Pencarian

Mahluk Dari Dunia Asing 2

Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing Bagian 2


"Ah! Tidak perlu banyak peradatan, Wigati. Tolong-menolong di antara sesama
manusia adalah hal yang wajar."
Seulas senyum tulus terkembang di bibir Melati,
meskipun beberapa saat sebelumnya sempat merasa dongkol melihat sikap Wigati
pada Arya. "Ucapanmu seperti orang tua, Melati," kata Wigati.
"Maksudmu?" tanya Melati disertai kernyitan pada dahinya.
"Tidak ada maksud apa-apa," ringan jawaban yang keluar dari mulut Wigati. "Aku
hanya teringat ucapan ayahku setiap kali selesai menolong orang. Ucapan yang
tadi keluar dari mulutmu itulah yang selalu dikatakannya."
Melati mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti maksudnya. Sedangkan Arya hanya menundukkan
kepala, menyembunyikan senyum lebar yang tidak bisa
ditahan. Melati tentu saja tahu, mengapa tunangannya menundukkan kepala. Kalau saja tidak ada Wigati, sudah dicubitnya Arya! Tapi
karena keadaan tidak memungkinkan, terpaksa sikapnya seolah-olah tidak
mengetahui. "Hm..., boleh kutahu siapa orang tuamu, Wigati?"
tanya Melati setengah hati.
"Tentu saja boleh!" jawab Wigati cepat sambil mengerling ke arah Arya. "Ayahku
meskipun tidak setenar Dewa Arak, tapi cukup ditakuti tokoh-tokoh persilatan
aliran hitam. Julukannya, si Jari maut."
Melati dan Dewa Arak agak terkejut ketika mendengar
julukan ayah Wigati. Bahkan wajah Melati sampai berubah.
Sedangkan Arya sampai mendongakkan kepala. Mengapa
bisa begitu kebetulan" Bukankah murid Perguruan Ayam
Emas mengatakan
kalau iblis yang telah membantai
demikian banyak orang di perguruan itu akan menyerbu
kediaman si Jari Maut. Sungguh sama sekali tidak disangka kalau akan bertemu
putri si Jari Maut sendiri.
"Kalian mengenal ayahku?" tanya Wigati ragu ketika melihat keterkejutan pada
wajah Arya dan Melati
Hampir berbareng Arya dan Melati menggelengkan
kepala. "Tapi kalian tampak terkejut ketika aku menyebut julukan ayahku"!" desak Wigati
penasaran. Arya dan Melati saling berpandangan. Sesaat keduanya kebingungan. Haruskah mereka katakan pada
Wigati berita yang mereka dapatkan dari mulut Perguruan Ayam Emas" Dan dalam adu
pandang sesaat itu, Arya tahu kalau Melati menyerahkan persoalan itu padanya.
Rasa penasaran Wigati semakin menjadi-jadi ketika
melihat sepasang muda-mudi itu malah saling pandang
ketika habis dilontarkan pertanyaan.
"Katakan, mengapa kalian seperti terkejut ketika kusebutkan julukan ayahku"!"
Mulai meninggi suara yang keluar dari mulut gadis
berpakaian biru itu. Sepasang matanya menatap berganti-ganti ke arah wajah Arya
dan Melati. Ada nada kepenasaran yang menggebu-gebu, baik pada raut wajah maupun
nada suara Wigati. Namun, Arya tidak langsung menjawab. Dia malah
berdehem sebentar untuk melonggarkan tenggorokannya.
"Kami hanya terkejut karena tidak menyangka
ayahmu adalah seorang tokoh pendekar yang terkenal," kata Arya sekenanya.
Sungguh, pemuda berambut putih keperakan itu
sama sekali tidak menyangka apabila jawabannya tepat pada sasaran. Si Jari Maut
adalah tokoh besar aliran putih pada puluhan tahun yang lalu. Julukannya
disebut-sebut dengan perasaan gentar oleh tokoh-tokoh aliran hitam. Dan hal itu
terjadi karena sepak terjangnya yang terlalu kejam pada tokoh-tokoh aliran
hitam. "Jadi, kau pernah mendengar julukan ayahku, Dewa Arak"!" sambut Wigati gambira.
"Hal ini benar-benar di luar dugaanku. Karena, ayahku mengatakan kalau tokoh-
tokoh persilatan jarang yang mengenalnya. Kecuali, tokoh-tokoh tua atau
keturunan tokoh hitam yang tewas di tangannya.
Sungguh tidak kusangka kau pernah mendengarnya, Dewa
Arak!" Arya menyunggingkan senyum. Tapi karena tidak
keluar dari lubuk hati, jadi terlihat kaku dan dipaksakan malah lebih mirip
sebuah seringai ketimbang senyuman.
Tapi Wigati yang tengah dilanda kegembiraan karena
mengetahui Dewa Arak mengenal julukan ayahnya, sama
sekali tidak melihat kejanggalan itu Dewa Arak adalah tokoh yang amat
dikaguminya. Apalagi, ketika diketahuinya bahwa tokoh yang menggemparkan itu
seorang pemuda yang
berwajah tampan dan gagah. Itulah sebabnya, Wigati merasa gembira bukan kepalang
mengetahui Arya pernah mendengar julukan ayahnya.
"Kalau boleh kutahu, dari mana kau tahu julukan
ayahku, Dewa Arak" Padahal, sudah lebih dari dua puluh tahun ayahku meninggalkan
dunia persilatan. Malah pada saat itu, kau mungkin masih sangat kecil. Dan aku
yakin, kau belum tahu apa-apa!" cecar Wigati penuh semangat.
Mendapat desakan bertubi-tubi itu, membuat Arya
kelabakan namun untungnya, pemuda berambut putih
keperakan itu mampu menyembunyikannya. Sehingga, tidak terlihat pada sikapnya.
Memang, Wigati tidak mengetahuinya. Tapi tidak
demikian halnya Melati. Putri angkat Raja Bojong Gading itu tentu saja tahu
kalau kekasihnya tengah kelabakan. Keringat yang bermunculan di dahi, dan sorot
mata Arya yang tidak biasanya, telah menggambarkan kekalutan Arya.
6 Untuk pertama kalinya, Arya dibuat kelabakan dan
kebingungan. Bukan karena apa-apa, tapi karena mau tak mau terpaksa harus
berbohong! Yang lebih membingungkan lagi, kebohongannya harus dilanjutkan untuk
menutupi kebohongan yang pertama. Inilah yang membuat Arya
kelabakan! Diam-diam, Dewa Arak menyesali jawabannya tadi.
Sama sekali tidak disangka kalau jawaban asal-asalan itu mengenai sasarannya.
Dan lebih celaka lagi, Wigati demikian bernafsu untuk menanyainya terus-menerus.
Maka dengan demikian, dia harus berbohong lagi.
"Katakan, Dewa Arak. Tidak usah ragu-ragu. Dari
siapa kau mengetahui julukan ayahku"! Jangan katakan
kalau kau telah mendengar julukan ayahku sewaktu masih bayi"!" desak Wigati
setengah bergurau.
"Aku mohon, kau jangan memanggilku Dewa Arak,
Wigati. Panggillah Arya saja," kata Arya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Baiklah," Wigati menganggukkan kepala. "Katakan, Arya. Dari mana kau tahu
julukan ayahku"!"
Arya terdiam. Rupanya, Wigati termasuk gadis yang
memiliki watak keras. Sebelum mengetahui sampai tuntas desakannya belum juga
dihentikan. Namun melihat Arya belum juga menyambuti pertanyaannya, Wigati jadi kehilangan kesabaran.
"Biar kutebak sendiri, deh! Kau pasti mengetahui julukan ayahku dari gurumu
kan"!" duga Wigati, sok tahu.
"Benar kan dugaanku"!"
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Dia ingin buru-buru lepas
dari desakan Wigati. Maka meskipun dengan berat hati, kepalanya dianggukkan.
"Maafkan aku, Guru. Aku telah mencatut nama mu,"
ucap Arya dalam hati.
"Tepat kan dugaanku, Arya?" kata Wigati samba tersenyum lebar.
Kembali Arya menganggukkan kepala. Sedangkan
Melati terpaksa berpura-pura batuk, untuk menutupi tawanya yang hampir meledak melihat peristiwa di hadapannya. "O ya, Wigati. Bisa kau bawa kami menemui ayahmu"
Kami ingin sekali berbincang-bincang dengan beliau," Arya buru-buru mengalihkan
persoalan agar tidak terlibat dalam kebohongan lagi.
"Tentu saja bisa, Arya," sambut Wigati gembira. "Aku yakin, ayah akan gembira
berkenalan denganmu. Ayah sering menyebut-nyebut namamu, Arya. Dia kagum sekali
padamu. Kau pendekar bijaksana katanya. Dia yakin, banyak orang jahat yang sadar berkat
kebijaksanaanmu. Tampaknya, ayah menyesali rindakannya yang keras terhadap
tokoh-tokoh hitam dulu."
Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Hanya
dia sendiri yang mengetahui maksudnya.
"Mengapa kau bisa dilibat ular, Wigati?" tanya Melati untuk mengurangi perasaan
tidak enak mengigat sikapnya tadi.
Putri angkat Raja Bojong Gading ini khawatir, Wigati
merasa tersinggung melihat sikapnya tadi. Itulah sebabnya, dia mengajukan
pertanyaan pada gadis itu. Walaupun
sebenarnya dia kurang berminat untuk mengutarakannya.
"Aku tengah berburu kijang," jawab Wigati.
Kemudian gadis berpakaian biru itu menceritakan
semua kejadian yang dialaminya.
"Untunglah kau memberi pertolongan, Melati. Kalau tidak, mungkin tubuhku sudah
berada di dalam perut ular sialan itu," tutur Wigati menutup ceritanya.
Melati menyunggingkan senyuman lebar. Dia sama
sekali tidak mengucapkan apa pun sebagai tanggapan
terhadap cerita Wigati.
"Bagaimana kalau perbincangan ini dilanjutkan dalam perjalanan menuju ke rumah
ayahmu, Wigati?" usul Arya bernada mengingatkan.
"Sebuah usul yang baik sekali," sambut Wigati cepat.
Melati dan Arya saling berpandangan. Sama sekali
tidak disangka kalau perjalanan mencari si Jari Maut tidak terlalu sulit.
Seorang penunjuk jalan yang tidak mungkin salah, telah menjadi pemandunya.
Kini, ketiga orang muda itu bergerak menuju tempat
kediaman si Jari Maut. Sepanjang perjalanan Wigati tak henti-hentinya
berceloteh. Terutama sekali pada Arya.
Perasaan kagumnya terhadap pemuda berambut putih
keperakan tampak jelas sekali.
Namun hal ini justru membuat Arya dan Melati sedikit
merasa kasihan. Mereka berdua tahu, Wigati merupakan
seorang gadis lugu. Tanpa ragu-ragu perasaan kagumnya ditonjolkan! Melati yang
semula mendongkol, akhirnya malah jatuh kasihan. Dia tahu, Arya hanya mencintai
dirinya. Di hati Dewa Arak hanya ada satu nama, yakni Melati!
*** "Kau yang salah bicara, atau telingaku yang salah
dengar, Arya"!" tanya seorang kakek bertubuh tinggi kurus laksana galah. Dia
mengenakan pakaian berwarna kuning, membungkus tubuhnya yang kurus kering.
Kakek itu tengah duduk bersila di sebuah ruangan
tengah di dalam sebuah rumah. Di sekelilingnya, duduk bersila juga Melati,
Wigati, dan Arya yang mengelilinginya.
Arya duduk tepat di hadapan kakek berpakaian kuning itu.
"Aku hanya menyampaikan semua yang kulihat dan
kudengar, Ki," ucap Arya, kalem.
Kakek tinggi kurus itu menarik napas dalam-dalam
dan menghembuskannya kuat-kuat. Raut wajahnya tampak
menyiratkan kesedihan.
"Ayah! Aku percaya kalau Arya mengatakan hal yang sebenarnya," tegas Wigati,
seraya memandang wajah kakek tinggi kurus.
Kakek tinggi kurus yang ternyata ayah Wigati dan
berjuluk si Jari Maut, menatap wajah putrinya tajam-tajam beberapa saat lamanya.
"Bukannya aku tidak percaya ceritamu, Arya," ucap si Jari Maut setengah
mengeluh. "Tapi, berita yang kau sampaikan ini terlalu mengejutkan bagiku. Kau
mengatakan, Perguruan Ayam Emas telah musnah. Dan ketuanya sendiri telah tewas.
Kau tahu, Arya. Ki Tarung adalah sahabat kentalku! Aku sering mengunjunginya.
Bahkan beberapa hari yang lalu, aku mengunjunginya. Hhh...! Sukar dipercaya!"
Arya diam saja. Sama sekali tidak ditanggapinya
ucapan si Jari Maut. Disadari kalau kakek tinggi kurus itu merasa terpukul.
Maka, membiarkannya adalah tindakan
yang paling bijaksana. Orang seperti si Jari Maut tidak akan lama tenggelam
dalam kesedihan.
Suasana di sekitar tempat itu kontan hening. Se-
muanya tidak ada yang membuka suara, dan tenggelam
dalam lamunannya masing-masing.
Plak! Keheningan suasana itu dipecahkan dengan dipukulnya kepalan tangan kanan si Jari Maut ke telapak tangan kirinya yang
terbuka. Maka kontan tiga pasang mata terarah pada wajah si Jari Maut,
"Kau bilang, pembunuh itu akan datang kemari,
Arya"!"
ada nada dendam dalam pertanyaan kakek berpakaian kuning itu.


Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitulah berita yang kudengar dari mulut seorang murid Perguruan Ayam Emas
yang belum tewas, Ki," javuab Arya.
Memang Arya dan Melati telah menemukan murid
Perguruan Ayam Emas yang menjadi korban keganasan
Gandula. Dan dari salah seorang murid yang masih hidup, berita itu
didapatkannya. "Hm...!"
Si Jari Maut mengggumam pelan. Kepalanya terangguk-angguk. Entah apa maksudnya, hanya dia sendiri yang tahu.
"Baik! Aku akan menunggunya di sini. Dan kalau
benar-benar datang, pembunuh itu akan menerima pembalasannya dariku!" ada nada ancaman dalam ucapan kakek tinggi kurus itu.
Arya diam saja tidak menanggapi. Bisa dimaklumi
kemarahan yang melanda hati si Jari Maut. Ki Tarung Ketua Perguruan Ayam Emas
adalah sahabat akrabnya. Tidak aneh kalau si Jari Maut begitu murka mendengar
kematian sahabatnya, berikut kehancuran perguruannya.
*** "Jari Maut! Keluar kau...!"
Sebuah panggilan bernada tantangan membuat si Jari
Maut, Dewa Arak, Melati dan Wigati tersadar dari lamunan masing-masing. Dan
bagai diberi perintah keempat orang itu berbareng bangkit berdiri. Si Jari
Mautlah orang yang pertama kali bangkit dari duduk bersilanya, dan langsung
melangkah keluar. Memang, panggilan itu datangnya dari luar rumah!
Wajah si Jari Maut tampak merah membara memancarkan kemarahan yang amat sangat. Dengan langkah lebar-lebar kakinya terayun keluar.
Arya, Melati, dan Wigati bergegas melangkah menyusul di belakang si Jari Maut. Arya dan Melati sempat saling
berpandangan dengan sorot mata menyiratkan keheranan. Dan memang sebenarnya kedua orang itu merasa heran bukan kepalang.
Mereka tahu kalau panggilan bernada tantangan itu dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam. Dan dari kekuatan suara itu, sepasang pendekar muda itu bisa mengukur kekuatan
tenaga dalam si pemiliknya yang tidak begitu kuat.
Dan itulah sebabnya, mengapa mereka merasa heran.
Kalau hanya sampai di situ saja kekuatan tenaga dalam pemiliknya, mengapa dengan
leluasa bisa menyebar maut di Perguruan Ayam Emas" Bahkan sampai Ki Tarung yang
merupakan ketuanya berhasil dibunuh! Padahal menurut
kabar yang terdengar, kepandaian Ki Tarung amat tinggi!
Di halaman rumah tampak berdiri dua sosok tubuh,
yang tak lain adalah Caraka dan Gandula.
Caraka berdiri sekitar setengah tombak di hadapan
Gandula, dengan dada dibusungkan. Bahkan kepalanya pun agak
ditengadahkan. Kedua tangannya yang terkacak pinggang semakin memperjelas kesombongan sikapnya.
Ternyata, Caraka-lah yang tadi meneriakkan tantangan pada si Jari Maut.
Meskipun Caraka berdiri di depan, tapi pandangan
mata si Jari Maut, Dewa Arak, Melati, dan Wigati sama sekali tidak tertuju
padanya. Tapi tertuju pada sosok tubuh asing di belakang
Caraka. Pandangan mata mereka semua menyorotkan keheranan. Bukan karena ciri-ciri yang terdapat pada Gandula, tapi
juga bulu-bulu kuduk mereka merinding tanpa sebab.
"Makhluk dari mana ini...?" desis si Jari Maut bernada kaget dan tidak percaya.
Tanpa sadar, kakek tinggi kurus ini menoleh ke arah
Arya yang telah berdiri di sebelahnya.
"Kau mengenal makhluk aneh itu, Arya?" tanya si Jari Maut, pelan.
Arya menggelengkan kepala.
"Seumur hidup, baru kali ini aku melihat makhluk seperti ini, Ki," jawab pemuda
berambut putih keperakan itu.
Dan memang, Arya sama sekali tidak berbohong.
Gandula memang memiliki keadaan mengerikan. Sungguhpun Arya telah pernah melihat makhluk-makhluk
biadab, tapi tidak seperti Gandula.
Arya merasa keanehan timbul dalam dirinya. Sebuah
perasaan gelisah tanpa sebab tiba-tiba muncul. Dan inilah yang membuatnya heran
bukan kepalang. Mengapa sekarang merasa gelisah" Padahal tadi tidak!
Benak Arya pun berputar untuk mencari-cari penyebab timbulnya perasaan gelisah itu. Cukup lama juga benaknya berpikir
keras, sebelum akhirnya timbul pada satu kesimpulan
yang tidak bisa dibantah lagi. Perasaan gelisahnya itu muncul ketika dia melihat Gandula. Ada apa dengan Gandula"
Tapi Arya segera membuang pertanyaan yang menggelayuti benaknya itu jauh-jauh. Karena tampak si Jari Maut sudah siap
memuntahkan kemarahannya.
"Jari Maut....'" seru Caraka keras, masih dengan tangan berkacak di pinggang.
Si Jari Maut yang tengah sibuk memperhatikan
Gandula jadi mengalihkan pandangan ke arah Caraka.
"Kau..."! Apa maumu, Caraka"! Cepat pergi dari sini, sebelum kemarahanku timbul!"
Memang, si Jari Maut mengenal Caraka yang
merupakan keponakan Juragan Donggala. Caraka mencintai Wigati. Dan beberapa
bulan silam, dengan perantaraan
pamannya, Caraka meminang Wigati. Tapi lamarannya
ditolak mentah-mentah oleh si Jari Maut, karena kakek itu tahu kalau Caraka
adalah seorang pemuda yang berwatak tidak baik! Bahkan sering mengganggu anak
gadis orang! Sebenarnya kalau saja si Jari Maut tidak disibuki oleh pikiran tentang Gandula,
mungkin akan merasa heran.
Mengapa Caraka berani bersikap seperti itu padanya"
Apakah pemuda itu sudah mempunyai nyawa rangkap!
"Tidak usah banyak bicara, Jari Maut!" bentak Caraka, semakin berani "Cepat
katakan padaku, di mana Eyang Bantara! Jangan coba-coba menyembunyikannya!
Cepat, sebelum segalanya terlambat! Dan kau akan bernasib seperti si Tarung dan
perguruannya!"
Terdengar suara gemeretak dari mulut si Jari Maut
mendengar ucapan dan sikap Caraka yang kurang ajar. Tapi, kemarahannya sedikit
bercampur keheranan besar! Ancaman Caraka mengisyaratkan seakan-akan pemuda
itulah yang telah melakukan pembantaian Perguruan Ayam Emas.
Karuan saja hal itu membuat si Jari Maut bingung.
Apakah telinganya tidak salah dengar" Sampai mati pun dia tidak percaya kalau
orang seperti Caraka mampu melakukan itu. Dia tahu betul, sampai di mana
ketinggian ilmu Caraka.
Walaupun diakui Caraka mempunyai ilmu tinggi, tapi paling hebat
hanya setingkat dengan Lintar, murid utama Perguruan Ayam Emas! Tak akan mungkin bila mampu
membunuh Ki Tarung!
"Rupanya kau mengetahui tentang pembunuhan di
Perguruan Ayam Emas itu juga, Caraka?" panci si Jari Maut.
"Hmh...?"
Caraka mendengus, kemudian melangkah ke belakang
beberapa tindak. Tangannya diulurkan menyentuh tangan Gandula, yang sejak tadi
hanya menggeram saja.
"Aku dan kawanku inilah yang telah menghancur-
leburkan Perguruan Ayam Emas itu, Jari Maut!" jelas Caraka penuh nada bangga.
"Hukh!"
Tubuh si Jari Maut terhuyung ke belakang seperti
diseruduk seekor kerbau. Ucapan Carakalah yang menyebabkannya demikian.
Wigati bergegas menghampiri.
"Apa yang terjadi, Ayah...?" tanya Wigati penuh rasa khawatir.
Berbeda dengan Wigati, Arya dan Melati diam saja.
Mereka tahu, si Jari Maut hanya mengalami guncangan hati.
Sepasang muda-mudi ini lebih memusatkan perhatian pada Gandula, sosok yang
mengherankan hati
Sepasang mata Caraka berkilat-kilat ketika melihat
Wigati, gadis yang teiah membuatnya tergila-gila. Tapi dasar mata keranjang,
ekor matanya pun sejak tadi beberapa kali mengerling ke arah Melati. Tampak
liar, dan menyimpan nafsu birahi!
"Sekarang ayahmu tidak apa-apa, Wigati. Tapi tak lama lagi, aku tidak berani
menjamin keselamatannya!" ejek Caraka.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras. Rupanya dia merasa
sudah tidak sabar lagi mengetahui berita tempat Eyang Bantara berada.
Caraka terjingkat kaget, karena geraman Gandula
menyadarkannya. Maka, dia tidak berani bertele-tele lagi.
Memang, dia belum mengenal betul watak Gandula. Jadi, bukan hal yang mustahil
apabila makhluk berkepala botak itu tiba-tiba mengamuk. Jangan-jangan, dia pun
ikut menjadi korban amukannya.
"Cepat, Jari Maut! Katakan, di mana Eyang Bantara!"
teriak Caraka keras.
"Cuhhh...!"
Wigati menyemburkan ludahnya ke arah Caraka. Kini
gadis itu tidak merasa heran lagi melihat sikap Caraka yang sombong. Dia seperti
juga ayahnya, tahu kalau Caraka pasti mengandalkan makhluk aneh yang diakui
sebagai teman. Si Jari Maut menggeram keras.
"Sikapmu telah melampaui batas, Caraka. Kau harus diberi pelajaran agar tidak
semakin kurang ajar! Dan kalau Donggala, pamanmu itu marah, aku tidak ragu-ragu
lagi menghajarnya pula!"
Usai mengucapkan ancaman, si Jari Maut melangkah
menghampiri Caraka. Tentu saja Caraka yang telah mengetahui kesaktian ayah Wigati itu, tidak mau mencari penyakit. Buru-buru
kakinya melangkah mundur dan
berlindung di belakang Gandula.
"Dia tidak mau mengatakan di mana adanya Eyang
Bantara, Gandula. Kini semuanya kuserahkan padamu
untuk mengurusnya!" kata Caraka, licik.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras. Dia murka bukan kepalang terhadap si Jari Maut. Telah didengarnya sendiri, Caraka berkali-kali
mengajukan pertanyaan, tapi sama sekali tidak dijawab oleh si Jari Maut. Dan ini
sudah membuatnya cukup
mempunyai alasan untuk membunuh kakek berpakaian kuning itu.
Si Jari Maut sama sekali tidak merasa gentar. Bahkan
sebaliknya, dadanya terasa panas karena hawa amarah yang membakar dada. Sudah
bisa diperkirakan, Gandula-lah


Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelaku pembantaian di Perguruan Ayam Emas. Siapa pun
makhluk aneh ini, dan dari mana pun asalnya, sudah tidak terpikirkan lagi. Yang
menjadi keinginannya hanya satu.
Membunuh Gandula dan Caraka untuk membalaskan
kematian sahabat kentalnya.
Si Jari Maut tahu, Gandula pasti bukan tokoh
sembarangan. Makhluk berkepala botak itu pasti memiliki kepandaian yang amat
tinggi. Kalau tidak, mustahil Ki Tarung bisa tewas di tangannya. Padahal,
kepandaian Ketua Perguruan
Ayam Emas itu hanya berselisih sedikit daripadanya. Itulah sebabnya, si Jari Maut bersiap-siap mengeluarkan ilmu
andalannya, 'Jari Pengejar Nyawa'!
Kakek tinggi kurus ini menyusun jari-jari tangannya.
Jari telunjuk diacungkan, sedangkan jari-jari tangan lainnya dikepalkan. Inilah
ilmu 'Jari Pengejar Nyawa'.
Wigati, Arya, dan Melati segera menyingkir. Demikian
pula Caraka. Mereka memperhatikan pertarungan yang akan berlangsung dengan
perasaan tegang, Sementara, Caraka sambil tersenyum simpul juga terus
memperhatikan. Jelas dia merasa yakin, Gandula akan keluar sebagai pemenang.
Sementara itu, Arya semakin dilanda rasa heran
ketika mengetahui
perasaan gelisah yang melandanya
semakin besar. Bahkan sudah menjurus ke arah perasaan takut. Siapakah Gandula
sebenarnya"
"Apakah ayahmu mengenal orang yang bernama
Eyang Bantara, Wigati?" tanya Arya pelan.
"Entahlah, Arya," Wigati menggelengkan kepala. "Tapi aku yakin dia tidak
mengetahuinya."
"Apakah makhluk berkepala botak itu kawan Caraka?" Arya kembali bertanya, setelah beberapa saat lamanya
tercenung dengan dahi berkernyit
"Aku baru pertama kali ini melihatnya, Arya.
Mengapa?" Wigati malah balik bertanya.
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu, ia
malah menghembuskan napas dalam-dalam.
"Aku merasa ada keanehan pada laki-laki berkepala botak itu, Wigati. Dugaanku,
Caraka memperalatnya untuk kepentingan dirinya sendiri," jelas Arya. "Dari mulut
murid Perguruan Ayam Emas, sempat kudengar kalau Caraka dan kawannya pernah
menanyakan tentang orang yang bernama Eyang Bantara. Dan ketika jawaban itu
tidak didapat, mereka semua dibantai!"
Wigati terdiam dengan dahinya berkernyit. Jelas, ada
sesuatu yang dipikirkannya. Tapi hal itu segera dilupakannya ketika melihat
ayahnya telah siap bertarung dengan Gandula.
Arya pun rupanya sudah merasa cukup mengeluarkan uneg-unegnya. Pandangannya dilayangkan ke arah yang sama dengan
Wigati. Demikian pula halnya dengan Melati yang sejak tadi hanya bertindak
sebagai pendengar saja.
7 "Haaat...!"
Diiringi bentakan keras yang membuat Caraka dan
Wigati menutup telinga, si Jari Maut melancarkan serangan.
Dia melompat menerjang dengan kedua jari telunjuk
meluncur cepat ke arah makhluk berkepala botak itu.
Serangkaian serangan bertubi-tubi tampak mengarah ke
ubun-ubun. Ada suara mendecit nyaring seperti seekor tikus terjepit ketika jari-
jari tangan itu meluncur ke arah sasaran.
"Terimalah
kematianmu, Manusia Dungu!" seru Gandula keras, seraya menudingkan jari telunjuk ke tanah.
Untuk yang kesekian kalinya, terjadi peristiwa yang
membuat berpasang-pasang mata terbelalak. Keadaan yang dialami si Jari Maut,
laksana seekor burung yang tengah terbang di angkasa, kemudian meluncur sebatang
anak panah menembus tubuhnya! Namun, terjangan si Jari Maut terhenti
secara mendadak. Dan tahu-tahu, tubuhnya meluncur deras ke tanah dengan kepala lebih dulu! Cepat sekali meluncurnya tubuh
itu ke tanah! "Ayah...!"
"Ki...!"
Hampir berbareng, Arya, Melati dan Wigati terpekik.
Mereka semua merasa terkejut bukan kepalang melihat
kejadian aneh yang menimpa kakek tinggi kurus itu. Memang buat Wigati dan
Melati, mereka sama sekali tidak mengerti kejadian yang tengah menimpa si Jari
Maut. Tapi tidak demikian halnya dengan Arya. Pemuda berambut putih
keperakan itu sudah bisa memperkirakan, mengapa tubuh si Jari Maut bisa meluncur
ke bawah. Memang Arya pernah mengalami hal seperti itu.
Hanya saja, waktu itu saat berlatih dengan gurunya, Ki Gering Langit.
Kejadiannya persis seperti yang dialami oleh si Jari Maut.
"Mungkinkah laki-laki berkepala botak ini memiliki ilmu 'Pitunduk'?" tanya Arya
dalam hati. Tapi, Dewa Arak tidak sempat berpikir lebih lama lagi.
Maka buru-buru dia melompat ke arah si Jari Maut.
Maksudnya hendak menyelamatkan kakek tinggi kurus itu sebelum kepalanya
menghantam tanah!
Sementara itu, si Jari Maut sendiri dicekam rasa
kaget yang tidak terperikan. Betapa tidak" Tubuhnya
meluncur ke bawah tanpa mampu berbuat apa-apa.
Betapapun seluruh ilmu meringankan tubuhnya telah
dikerahkan untuk menahan kecepatan luncuran, tetap saja tidak mampu! Tubuhnya
terus meluncur ke tanah dengan
kecepatan tinggi.
"Hih...!"
Saat itulah, pertolongan Dewa Arak tiba. Memang,
dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak jadi seperti mempunyai
sepasang sayap. Sama sekali tidak
mengalami kesulitan untuk melakukan gerakan dan lompatan seperti apa pun, dan dalam keadaan yang
bagaimanapun. Tappp...! Dewa Arak berhasil menangkap pergelangaikai si Jari
Maut. Tapi akibatnya tubuhnya malal ikt terbawa turun!
Untung saja secepat dia menangkap pergelangan kaki si Jari Maut, secepat itu
pula disetakkannya, sambil melepaskan cekalan.
Suara bergemeletuk yang terdengar menjadi pertanda
lepasnya sambungan tulang kaki kanan si Jari Maut.
Memang, sentakan Dewa Arak keras bukan main! Namun
usaha Dewa Arak ternyata tidak percuma! Walaupun,
sentakan itu sama sekali tidak mampu menghalangi
luncuran tubuh si Jari Maut namun ternyata nyawanya bisa diselamatkan. Karena
sentakan itu telah membuat arah
luncuran agak nyerong, sehingga hanya bahu kanan nya saja yang menghantam tanah.
Brukkk...! Keras sekali tubuh si Jari Maut menghantam tanah.
Sebuah seringai kesakitan tampak di mulutyna. Tapi si Jari Maut pantang
menyerah. Tanpa memperdulikan rasa sakit yang melanda, dia langsung bangkit dan
menerkam Gandula.
Kali ini Gandula sama sekali tidak berbuat sesuatu,
dan malah seperti membiarkan terkaman lawan. Anehnya, tubuh si Jari Maut
mendadak terjengkag ke belakang.
Dirasakan ada sebuah kekuatan tak nampak yang membuat kekuatannya membalik
sendiri. Di sekitar tubuh Gandula seperti dikungkungi gumpalan karet yang mampu
membuat tubuh lawan yang nyerang malah terpental balik!
Maka, seketika tubuh si Jari Maut melayang deras ke
belakang, tanpa mampu berbuat sesuatu untuk mematahkan lontaran itu.
Semua itu diperhatikan Melati dan Wigati dengan
pandangan mata cemas, ngeri, bercampur takjub. Bahkan Arya yang telah berhasil
mendaratkan kedua kakinya di tanah pun, menyaksikannya pula.
*** Wigati yang merasa cemas bukan kepalang melihat
keadaan ayahnya, hendak bergerak menolong. Tapi, keburu dicegah Melati.
"Lebih baik diam saja, Wigati. Biarkan Dewa Arak dan ayahmu yang melawannya.
Kalau mereka saja tidak mampu menghadapinya apalagi kita?"
Kepala Wigati bagai diguyur seember air es. Langsung
disadari kalau Melati benar! Kalau ayahnya dan Dewa Arak saja tidak mampu,
apalagi dirinya"! Maka kini gadis itu hanya bisa memperhatikan Dewa Arak yang
langsung melesat ke arah si Jari Maut. Jelas, pemuda berambut putih
keperakan itu ingin mematahkan kekuatan yang membuat
tubuh ayah Wigati terlempar!
Tappp! Dewa Arak berhasil menangkap tangan si Jari Maut,
dan langsung membawanya. Agak sedikit heran hati Dewa Arak ketika menyadari
kekuatan yang mendorong tubuh
kakek itu tidak seberapa kuat! Namun Dewa Arak cepat
menyadari kalau Gandula sama sekali tidak melakukan
gerakan penyerangan apa pun. Dan memang, makhluk
berkepala botak itu sama sekali tidak menyerang!
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan manis, Dewa Arak
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sementara si Jari Maut buru-buru melompat
turun. Sesaat Arya dan si Jari Maut saling berpandangan.
Mereka merasa heran, ketika melihat Gandula sama sekali tidak menyerang lagi.
Meskipun begitu, keduanya tetap bersikap waspada. Sepasang mata keduanya pun
menatap Gandula penuh selidik, dan bersiap-siap menghadapi munculnya serangan mendadak.
"Kau hebat juga, Pemuda Rambut Putih!" kata Gandula, selalu diiringi geraman.
"Aku kagum padamu.
Maka, kau kuberi kesempatan untuk bertarung denganku
dalam keadaan kau siap! Berdua dengan kawanmu pun
boleh!" Arya dan si Jari Maut saling berpandangan. Kini
keduanya mengerti, mengapa tidak muncul serangan lanjutannya. Rupanya, Gandula ingin mereka bersiap-siap lebih dulu.
"Kuterima tantanganmu..., Kisanak," sahut Dewa Arak lantang. "Tapi kumohon, kau
mau melepaskan orang yang tidak tersangkut dengan urusan ini!"
"Hmrrrhhh...! Apa maksudmu"!" sentak Gandula keras. "Jangan main-main denganku!"
Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Aku tidak main-main," kata Arya sungguh-sungguh.
"Aku hanya ingin kau membiarkan kedua orang wanita itu pergi!"
"Jangan kabulkan permintaannya, Gandula! Wanita-
wanita itulah yang bisa kita gunakan untuk mengorek
keterangan tentang Eyang Bantara. Dengan adanya wanita itu sebagai sandera, kita
bisa membuat mereka bercerita mengenai Eyang Bantara!" seru Caraka buru-buru
Pemuda berpakaian indah, keponakan Juragan Donggala ini khawatir Gandula akan mengabulkan permintaan itu. Padahal, dia sudah tidak sabar lagi untuk mendapatkan Wigati.
Dan yang lebih menggembirakan
hatinya, di sana masih ada gadis yang jauh lebih cantik daripada Wigati. Melati!
"Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi keinginanmu!" tegas Gandula.
Dewa Arak dan si Jari Maut saling berpandangan.
Semula mereka yakin, Gandula akan memenuhi permintaan mereka. Tapi, maksudnya
diurungkan oleh ucapan Caraka.
Karuan saja hal ini membuat dua tokoh sakti ini khawatir.
Mereka tahu, Gandula telah kena diperalat Caraka! Padahal, pemuda berpakaian
indah itu adalah seorang yang memiliki watak bejat. Tidak mustahil kalau


Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekacauan pasti akan timbul.
Sebuah dugaan menyelinap di hati si Jari Maut dan
Dewa Arak. Jangan-jangan, tindakan pembantaian di Perguruan Ayam Emas pun terjadi karena keinginan Caraka.
Begitu pula dengan kejadian yang akan menimpa si Jari Maut.
Si Jari Maut mempunyai alasan yang lebih kuat. Dia
tahu, Caraka memang mempunyai dendam terhadap murid
Perguruan Ayam Emas. Terutama sekali pada Lintar. Karena murid kepala Perguruan
Ayam Emas itu telah beberapa kali menggagalkan tindak kejahatan Caraka. Tambahan
lagi, Lintar lah yang direncanakan menjadi suami Wigati!
Namun keadaan yang tengah dihadapi, memaksa
Dewa Arak dan si Jari Maut melupakan pikiran-pikiran yang menggeluti kepala.
Maka mereka bersiap-siap mengadakan perlawanan.
Si Jari Maut buru-buru mempersiapkan ilmu 'Jari
Pengejar Nyawa' andalannya. Sedangkan Arya segera mengambil guci arak yang tergantung di punggung dan
kemudian menuangkan ke dalam mulut
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan Arya dalam perjalanan menuju ke perut. Kontan ada hawa hangat yang
merayapi perut Dewa Arak, kemudian merayap ke atas kepala. Sikap kaki Dewa Arak
pun mulai tidak tetap. Ini menjadi pertanda kalau pemuda berambut putih
keperakan itu telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
"Haaat...?" teriak si Jari Maut keras. Seiring keluarnya teriakan, kakek tinggi
kurus itu melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada ulu hati dan pusar
lawan. Decitan angin tajam pun kontan terdengar.
Wusss...! Pada saat yang hampir bersamaan, Dewa Arak pun
menerjang Gandula. Tubuhnya melayang udara, dan bersalto beberapa kali.
Kemudian, guci yang tergenggam di tangan kanannya diayunkan ke arah kepala
Gandula. Apabila
mengenai sasaran, sudah bisa dipastikan kalau kepala
makhluk aneh akan hancur berantakan.
Kali ini di sekeliling Gandula tidak ada kekuatan aneh yang mampu membuat tubuh
si penyerang terlontar kembali.
Sehingga, Dewa Arak dan si Jari Maut leluasa melancarkan serangan.
"Pergilah kalian ke neraka!" bentak Gandula. Akibatnya luar biasa bagi Dewa Arak dan si Jari Maut.
Terjangan mereka kontan pupus. Bahkan sebaliknya, tubuh mereka terlempar deras
ke belakang! Dewa Arak yang berada di udara, terpental melayang ke belakang,
dengan arahnya agak menyerong ke atas. Sedangkan si Jari Maut yang berada
terjengkang ke belakang, tapi tidak ke udara seperti Dewa Arak
"Kang Arya...!" teriak Melati.
"Ayaaah...!" jerit Wigati pula. Hampir berbareng, kedua gadis yang sama-sama
cantik manis ini menghambur ke arah Dewa Arak dan si Jari Maut.
"Tangkapkan gadis berpakalan biru untukku, Gan-
dula," kata Caraka bernada perintah.
Gandula hanya menggeram pelan. Jari telunjuk
kanannya bergerak pelan, tapi akibatnya, Wigati yang tengah berlari merasa
sekujur tubuhnya langsung lemas mendadak!
Sekujur otot-otot dan urat-urat syarafnya seperti kehilangan daya. Hasilnya,
tubuhnya pun terjerembab ke tanah. Namun demikian, Wigati sempat melihat tubuh
ayahnya yang meluncur deras ke arah gundukan batu sebesar gajah.
Dan.... Prakkk! Tanpa sempat bersambat lagi, nyawa si Jari Maut pun
pergi meninggalkan raga Darah bercampur otak muncrat-
muncrat dari kepalanya yang hancur berantakan. Tubuh itu pun kemudian ambruk di
tanah, dan tak bergerak lagi untuk selamanya.
"Ayah...!"
Wigati berusaha menjerit keras. Tapi perasaan lemas
mendadak yang melanda tubuhnya, ternyata juga mempengaruhi suaranya. Sehingga jeritan yang keluar
terdengar seperti keluhan!
"Ha ha ha...!"
Caraka tertawa bergelak-gelak.
Hatjnya merasa gembira bukan kepalang melihat si Jari Maut telah tewas.
Dengan langkah lebar-Iebar dihampirinya Wigati yang masih tergolek tak berdaya.
"Akhirnya kau kudapatkan juga, Wigati," kata Caraka bernada kemenangan.
Pemuda berpakaian indah itu kemudian mengulurkan
tangan. Dan sekali jari tangannya menotok punggung, Wigati pun terkulai. Caraka
terpaksa menotok karena Gandula telah memberitahukan, kalau rasa lemas yang
melanda Wigati tidak akan berlangsung lama!
"Hup...!"
Dengan wajah berseri-seri gembira, diangkatnya
tubuh Wigati. Meskipun ada sedikit perasaan kecewa karena Melati tidak berhasil
didapatkan. Memang, gadis berpakaian putih itu telah lenyap ke balik kerimbunan
pepohonan dalam usahanya mengejar tubuh Dewa Arak yang melayang jauh ke udara,
tak ke tahuan di mana jatuhnya.
Kalau menuruti perasaan, Caraka ingin mengejarnya.
Tapi dia khawatir tidak akan mampu menandingi Melati.
Maka, maksudnya itu diurungkan. Biarlah kali ini hatinya puas dengan hanya
berhasil mendapatkan Wigati!
Sementara itu, Gandula hanya mengawasi saja semua
kelakuan Caraka. Ada perasaan putus asa yang menyelinap, mengingat orang-orang
yang ditemuinya tidak mengetahui Eyang Bantara. Jangankan tempat tinggalnya,
namanya pun jarang dikenal. Kini dia hanya menggantungkan harapan pada Caraka
yang mengaku tahu sahabat-sahabat Eyang
Bantara. "Mari, Gandula. Kita kembali dulu untuk beristirahat.
Nanti kutunjukkan kawan-kawan Eyang Bantara yang lain.
Sayang, si keparat Jari Maut tidak menunjukkannya."
Setelah berkata demildan, Caraka melangkah meninggalkan tempat itu. Ada senyum gembira tersungging di bibirnya. Dia merasa
gembira berhasil mendapatkan gadis yang diidam-idamkannya selama ini. Sedangkan
Gandula hanya menggeram pelan, kemudian melangkah mengikuti
Caraka yang telah melangkah lebih dulu.
Sepeninggal Gandula dan Caraka suasana kembali
hening. Tidak terdengar lagi suara sedikit pun. Kesunyian menyelimuti tempat
itu, sehingga tampak menyeramkan!
*** Dengan pandangan mata tertuju pada tubuh Dewa
Arak yang terus melayang, Melati mengayunkan kakinya
mengejar. Beberapa kali kakinya tersandung akar-akar pohon melintang yang
menyembul keluar permukaan tanah. Hanya berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkatan tinggi saja, sehingga dia tidak jatuh tersungkur di tanah.
Wajah Melati kontan pucat pasi ketika melihat tubuh
kekasihnya meluncur ke arah sebatang pohon besar.
"Kang Arya...! Awas... ! Kau akan menabrak pohon besar...!" teriak Melati kalap.
Arya yang sejak tadi melihat Melati memburunya,
tentu saja mendengar seruan itu. Dia memang tidak melihat
sasaran tempat tubuhnya meluncur, karena luncurannya
didahului oleh dengan punggung.
Namun apa dayanya" Sejak tadi pun kekuatan yang
membuat tubuhnya meluncur telah diusahakan untuk
dipatahkan. Tapi, tetap saja dia tidak mampu. Sekarang pun Dewa Arak masih tetap
melanjutkan usahanya, walaupun
tanpa hasil! Apakah nasibnya akan berakhir di sini"
Arya sudah bisa memperkirakan, apabila tubuhnya
menghantam batang pohon itu, pasti akan tewas. Atau paling tidak,
akan terluka parah. Tulang-tulang punggungnya akan hancur berantakan karena dia sama
sekali tidak bisa
mengerahkan tenaga dalamnya
untuk melindungi
tubuhnya. Sementar a Melati hanya bisa memperhatikan semua kejadian itu dengan sepasang mata terbelalak. Gadis
itu sama sekali
tidak bisa berbuat apa pun untuk menyelamatkan kekasihnya. Karena, tubuh Arya meluncur
melewati sebuah sungai yang cukup lebar. Paling tidak, akan membutuhkan waktu
beberapa saat, sebelum sampai ke seberang. Dan andaikata bisa mencapai seberang
sungai pun, tubuh Arya pasti sudah menghantam pohon besar itu. Namun meskipun
demikian, Melati tidak putus asa. Maka segera dipungutnya potongan kayu yang ada
di sekitar shu. Benda-benda itu diperlukannya untuk
mencapai seberang.
"Hih...!"
"Hih...!" belum juga Melati mencapai pertengahan sungai, daya lompatannya sudah
habis. Melati buru-buru menjauhkan
potongan kayu pertama, untuk tempat berpijaknya di atas air.
Meskipun tengah sibuk dengan usahanya, Melati
masih sempat memperhatikan tubuh Dewa Arak yang terus meluncur deras ke arah
pohon besar! Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, Melati
melompat. Tapi seperti yang sudah diduga, belum juga
mencapai pertengahan sungai, daya lompatannya habis.
Tubuhnya kontan meluncur ke permukaan sungai. Dan
sebelum tubuhnya tercebur ke dalam sungai, Melati buru-buru menjatuhkan potongan
kayu pertama, tepat di bagian sungai tempat tubuhnya akan terjatuh.
Prattt...! Begitu kakinya menyentuh kayu itu, Melati langsung
menotolkan kaki. Maka, tubuhnya pun kembali melenting ke atas. Dan hal yang sama
dilakukan Melati ketika tubuhnya hampir meluncur ke sungai kembali.
Meskipun tengah sibuk dengan usahanya, Melati
masih sempat memperhatikan Arya. Hampir sepasang
matanya terbelalak ketika melihat tubuh Arya yang tengah meluncur deras ke arah
pohon besar, mendadak terhenti dan melayang turun!
Sambil melentingkan tubuh kembali sehabis menjejak
potongan kayu, Melati mengalihkan pandangan ke arah
tempat tubuh Arya meluncur turun.
Kontan bulu tengkuk Melati merinding ketika melihat
seorang kakek berpakaian putih bersih berdiri di situ. Kumis, jenggot, dan
jambangnya telah memutih semua. Bahkan
panjang jenggotnya sampai ke dada! Sekujur tubuh kakek itu tampak seperti
mengeluarkan sinar berkilauan! Terutama sekali wajahnya! Bahkan Melati sampai
memejamkan mata karena tak kuat memandang wajah kakek itu berlama-lama.
Silau! "Hup...!"
Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya
kedua kaki Melati di seberang sungai, Arya pun hinggap di tanah pula, tepat di
depan kakek itu.
"Guru...," sebut Arya sambil memberi hormat. Kini keheranan yang melanda hati
Arya lenyap. Memang, semula hatinya merasa heran ketika merasakan luncuran
tubuhnya terhenti, lalu meluncur turun. Apalagi ketika dirasakan kepandaiannya
mampu dikeluarkan kembali! Tapi setelah mengetahui keberadaan kakek berpakaian
putih bersih di situ, keheranannya pun langsung hilang.
Kakek berpakaian putih bersih yang memang tidak
lain adalah Ki Gering Langit hanya tersenyum lebar.
"Bangunlah, Arya," ujar Ki Gering Langit pelan Arya pun bangkit berdiri. Dan
pada saat itulah, Melati melangkah ragu-ragu menghampiri. Kemudian, gadis itu
berdiri di sebelah kekasihnya.
"Syukur kau selamat, Kang," ucap Melati, masih bergetar suaranya karena perasaan
tegang yang melanda.
"Padahal, tadi aku sudah khawatir sekali...."
"Gurulah yang telah menyelamatkanku, Melati," jelas Arya.
Melati pun buru-buru memberi hormat pada Ki Gering
Langit. "Terima kasih atas pertolonganmu pada Arya, Ki,"
kata Melati penuh terima kasih.
"He he he...!" Ki Gering Langit tertawa. Lembut sekali suaranya, sehingga
menyejukkan dada. "Guru manapun akan menyelamatkan muridnya selama bisa


Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilakukan, Melati." Wajah Melati kontan berubah muram. Ucapan Ki
Gering Langit mengingatkannya akan nasib gurunya yang tewas secara mengenaskan.
Tapi toh, gurunya yang bernama Ki Julaga itu merasa gembira sebelum mati.
Gembira karena murid
yang disayanginya berhasil dibujuk untuk menyelamatkan diri, persis seperti ucapan Ki Gering Langit.
Teringat akan nasib gurunya membuat Melati teringat
akan pesan yang dititipkan kepadanya sebelum kakek itu meninggal dunia.
"Boleh aku bertanya, Ki," tanya Melati sambil menatap wajah guru Arya, tapi
pandangannya kemudian dipalingkan lagi karena tak tahan menghadapi sinar-sinar
pada wajah itu terlalu lama.
"Tanyakanlah," sambut Ki Gering Langit lembut.
Keberanian Melati semakin membesar mendengar sambutan kakek berpakaian putih
bersih itu. Memang, semula dia merasa segan untuk mengajukan pertanyaan. Ada
sesuatu dalam diri Ki Gering Langit yang membuat orang merasa segan dan hormat
padanya. "Apakah kau yang bernama Ki Gering Langit, Ki?"
tanya Melati, polos.
Di bibir Ki Gering Langit tersungging senyuman ketika Melati mengucapkan
pertanyaannya. "Benar, Melati. Aku Ki Gering Langit. Apakah Arya tidak pernah bercerita tentang
diriku padamu?" Ki Gering Langit malah balas bertanya. "Padahal padaku, Arya
banyak bercerita tentang dirimu."
Ucapan bernada godaan ini membuat wajah Melati
memerah. Bahkan Arya pun memaksakan diri untuk
berdehem, karena terasa ada sesuatu yang mengganjal di lehernya. Sungguh sama
sekali tidak disangka kalau gurunya bisa bercanda pula!
"Pernah, Ki. Arya pemah bercerita tentang dirimu,"
jawab Melati setelah rasa malunya lenyap "Guruku pun banyak bercerita tentang
dirimu, Ki."
8 Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala.
"Arya pun sudah menceritakannya padaku, Melati.
Bukankah gurumu adalah Ki Julaga?" tanya Ki Gering Langit
"Benar, Ki," jawab Melati sambil menganggukkan kepala.
Di dalam hati, Melati merasa heran bercampur
kagum. Tampak tidak ada kemarahan, kejengkelan atau
dendam baik pada raut wajah maupun nada suara guru
Arya. Padahal, Ki Julaga itu adalah pelayan Ki Gering Langit yang telah
mengkhianatinya. Dia telah kabur dari tempat tinggalnya dan membawa lari kitab-
kitab pusaka. Lalu
Melatilah yang menjadi pewaris tunggal dari ilmu-iimu yang dimiliki Ki Julaga.
Berarti, Melati terhitung cucu murid Ki Gering Langit.
"Sudah cukup lama aku ingin menemuimu, Ki," kata Melati lagi setelah beberapa
saat lamanya terdiam.
"Mengapa kau ingin bertemu denganku, Melati"'"
tanya Ki Gering Langit tersenyum dikulum.
Arya bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Melati ingin
bertemu dengan Ki Gering Langit" Malahan niat itu, katanya, sudah lama! Untuk
apa" Dan mengapa Melati tidak pemah menyatakan hal itu padanya" Dan lagi,
seingatnya Melati tidak pernah bertemu dengan Ki Gering Langit (Untuk
jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode 'Tinju Penggetar Bumi").
Berbagai pertanyaan bergelayut di benak Arya. Tapi
tidak ada satu jawaban pun yang didapatkannya.
"Bukankah waktu itu kau telah bertemu denganku?"
tanya Ki Gering Langit.
Arya mengangguk membenarkan ucapan gurunya.
"Waktu itu, aku belum dititipi amanat, Ki," jawab Melati
yang membuat Arya dan Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala.
"Jadi..., ada orang yang ingin menyampaikan pesan padaku. Dan kau yang menjadi
kurirnya, Melati?" duga Ki Gering Langit, tetap dengan suara lembut.
Melati menganggukkan kepala.
Arya memandang wajah gurunya sekilas. Kini sudah
bisa diduga, orang yang telah menyampaikan pesan pada Melati itu pasti Ki Julaga
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Dendam Tokoh
Buangan").
"Sebelum meninggal..., guru telah meniripkan pesan padaku untuk meminta maaf
padamu, Ki. Dia merasa
bersalah karena telah mengkhianatimu...," kata Melati dengan suara serak dan
terbata-bata. Ki Gering Langit mengelus-elus jenggotnya.
"Sebenarnya..., aku sudah lama memaafkannya,
Melati. Apalagi ketika kutahu, dia sudah menyadari kesalahannya. Tambahan lagi, dia telah berhasil mendidik seorang pendekar wanita
yang gagah seperti dirimu. Aku sudah lama memaafkanmu, kalau tidak, mungkin
sudah sejak dulu kusuruh Arya untuk menghukumnya," urai kakek berpakaian putih bersih
itu panjang lebar.
"Tapi..., dia ingin mendengar kau sendiri yang
mengatakan bahwa semua kesalahannya telah kau maafkan, Ki," kata Melati lagi.
"Biar hatinya tenang, Begitu katanya, Ki."
"Baiklah," Ki Gering Langit mengalah. "Kalian berdua menjadi saksi atas ucapanku
ini. Aku, Ki Gering Langit telah memaafkan semua kesalahan-kesalahan yang dibuat
Ki Julaga." "Terima kasih atas kebaikan hatimu, Ki," ujar Melati penuh haru karena teringat
nasib gurunya kembali. Ki Gering Langit mengulapkan tangannya.
"Tidak perlu berterima kasih, Melati, bahkan kalau kutahu ilmu yang dicurinya
malah menimbulkan seorang
pendekar wanita sepertimu, aku malah mengizinkannya
untuk mencuri kitabku yang lain. Andaikata kitab itu ada!"
Seulas senyum sendu tersungging di bibir Melati.
Senyum yang hadir dalam cekaman hati yang masih dilanda kedukaan.
Arya buru-buru merangkulnya. "Kalau saja gurumu
masih hidup, tak bisa kubayangkan, betapa besar perasaan gembiranya melihat
bakti yang kau berikan padanya, Melati,"
kata Ki Gering Langit lagi.
Memang, kakek berpakaian putih bersih itu telah
mendengar kematian Ki Julaga dari Dewa Arak. Sedangkan Arya sendiri mendengarnya
dari Melati. Suasana langsung hening ketika Ki Gering Langit
menghentikan ucapannya. Karena, baik Arya maupun Melati tidak memberikan
tanggapan. "Sekarang giliranmu, Arya," kata Ki Gering Langit sambil menoleh ke arah pemuda
berambut putih keperakan itu "Katakanlah ganjalan di hatimu."
Arya agak tergagap mendapat pertanyaan yang sama
sekali tidak disangka-sangka itu. Tapi hanya sebentar saja, karena sesaat
kemudian sudah bisa mengendalikan diri.
"Memang ada hal-hal yang ingin kutanyakan, Guru,"
kata Arya setelah
tercenung beberapa saat lamanya.
"Mengenai belalang raksasa yang ada di alam gaib."
Kemudian, Arya menceritakan semua kejadian yang
dialaminya sampai bertemu belalang raksasa.
Ki Gering Langit mendengarkan semua cerita Arya
penuh perhatian. Sama sekali cerita murid nya tidak diselak.
Namun bukan hanya kakek berpakaian putih itu saja yang mendengarkan cerita Arya.
Melati pun ikut mendengarkan.
Kini dia pun mengerti, hal-hal aneh yang terjadi sewakru Arya berhasil
menewaskan Dedemit Api (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam
episode "Dalam Cengkeraman Biang Iblis").
"Begitulah ceritanya, Guru," tutur Arya, menyelesaikan ceritanya.
Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala. "Apa yang kau dengar dan kau lihat
di dalam mimpimu itu
memang benar, Arya. Mimpi itu bukan hanya sebagai bunga tjdur. Itu memang cara
lain yang bisa kugunakan untuk memberitahukanmu," kalem jawaban Ki Gering
Langit. "Jadi..., belalang raksasa itu benar-benar ada, Guru?"
desak Arya ingin tahu.
Ki Gering Langit menganggukkan kepala.
"Dan benarkah belalang raksasa itu bisa kubawa
masuk ke dalam diriku. Guru?" tanya Arya lagi meminta kepastian.
"Bukankah kau sendiri telah membuktikannya, Arya?"
Ki Gering Langit malah balas bertanya.
Arya menganggukkan kepala. Kini hatinya merasa
lega, karena pertanyaan yang sudah lama menggelayuti
benaknya telah terjawab.
"Satu hal yang perlu kau tahu, Arya. Kau jangan
sembarangan membawa masuk belalang raksasa itu. Lakukanlah hal itu apabila sudah tidak sanggup menghadapi lawanmu!" jelas Ki
Gering Langit ' Akan kuingat-ingal semua nasihatmu itu, Guru,"
janji Arya. "Bagus!" puji Ki Gering Langit "Ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Arya.
Setiap kali kau membawa belalang raksasa itu ke dalam dirimu, kemampuan ilmu
'Belalang Sakti'mu akan bertambah. Baik tenaga dalam, maupun
kemampuan jurus-jurus dalam ilmu 'Belalang Sakti'mu.
Semakin lama belalang raksasa itu ada di dalam dirimu.
semakin banyak ilmu yang akan kau serap."
Kembali sebuah teka-teki yang selama ini menggelayuti benak Arya, terjawab. Tidak heran jika pada saat itu dia mampu
mengalahkan Dedemit Salju. Padahal, Dedemit Salju belum tentu kalah menghadapi
Dedemit Api. Sedangkan Dewa Arak menghadapi Dedemit Api tanpa
bantuan belalang raksasa, pasti akan roboh.
"O ya, Arya. Ada sebuah hal lagi yang ingin
kuberitahukan padamu," kata Ki Gering Langit lagi. "Mengenai lawan yang tadi kau hadapi."
"Ada apa dengan lawanku, Guru?"
"Dia bukan manusia biasa, Arya," jawab kakek berpakaian putih bersih itu. "Dia
merupakan gabungan antara makhluk alam gaib dengan manusia biasa. Ibunya,
makhluk alam gaib. Entah itu berupa siluman, jin, atau dedemit, aku kurang
jelas. Dan ayahnya adalah manusia biasa."
"Ah!"
Hampir berbareng Arya dan Melati terpekik keras.
"Dari mana kau mengetahui kalau lawanku itu adalah makhluk alam gaib. Guru?"
tanya Arya ingin tahu.
Ki Gering Langit tidak langsung menjawab pertanyaan
itu, tapi malah terdiam beberapa saat lamanya.
"Pertama kali, adalah kejadian-kejadian aneh pada alam. Apabila tidak ada
sesuatu yang menggemparkan, alam tidak akan menunjukkan gejala-gejala seperti
itu," jawab Ki Gering Langit "Dan yang kedua, ibu dari lawanmu datang menemuiku.
Dia menceritakan semuanya."
"Bagaimana mungkin, manusia dan makhluk halus
bisa kawin dan mendapatkan keturunan, Ki?" tanya Melati, heran bercampur ingin
tahu. "Kalau menurut sewajarnya tidak mungkin, Melati.
Tapi karena kedua-duanya menyimpang, yahhh..., terjadilah hal seperti itu.
Menurut berita yang kudapatkan, seorang penduduk
yang bernama Bantara ingin memperoleh kedudukan, kekayaan, dan juga ilmu pengobatan. Dia
bertapa beberapa lamanya, lalu menggauli seorang makhluk gaib yang berwujud
binatang."
Ki Gering Langit menghentikan ceritanya sejenak.
"Bantara sama sekali tidak mengetahui kalau kejadian itu menyebabkan makhluk
dari alam gaib itu hamil, dan
akhirnya melahirkan anak berjenis laki-laki. Setelah besar, anak campuran itu
kemudian menanyakan ayahnya pada
sang Ibu. Hal itu karena dia memiliki keanehan ketimbang makhluk lainnya."
Kembali Ki Gering Langit menghentikan ceritanya
sejenak, untuk mengambil napas. Sementara, Melati dan Arya tetap mendengarkan
dengan perasaan semakin tertarik.
"Semula sang Ibu tidak memberitahukannya. Tapi
karena Gandula terlalu mendesak, akhirnya diberitahukannya juga. Akibatnya, seperti ini. Gandula melakukan pencarian
terhadap ayahnya secara membabi
buta." "Lalu..., Eyang Bantara itu sekarang di mana. Guru?"
tanya Arya ingin tahu.
"Hhh...!"
Ki Gering Langit menghela napas berat. Karuan saja
hal ini membuat Arya dan Melati merasa heran dan
menduga-duga. Apakah telah terjadi sesuatu terhadap Eyang Bantara"
"Eyang Bantara telah meninggal dunia sekitar seratus tahun yang lalu, Arya."
"Ahhh...!"
Hampir berbareng, Arya dan Melati terpekik kaget.


Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa Gandula sama sekali tidak mengetahui hal itu?" tanya sepasang muda-muda
itu dalam hati.
"Gandula sama sekali tidak tahu kalau perbedaan
waktu di alam gaib dengan di alam nyata sangat jauh. Satu hari disana, mungkin
sama dengan sepuluh tahun di sini,"
jelas Ki Gering Langit ketika melihat keheranan yang
membayang di wajah Arya dan Melati.
Kontan kepala Arya dan Melati terangguk-angguk.
Perasaan bingung yang melanda pun kontan lenyap. Yang tinggal hanya perasaan
kasihan terhadap Gandula. Sebab, usaha pencariannya ternyata sia-sia!
"Kalau begitu, aku harus memberitahukan hal ini
pada Gandula, Guru," kata Arya mengambil keputusan.
"Aku tidak yakin Gandula akan mendengarkan
ucapanmu, Arya," sahut Ki Gering Langit. "Keinginannya untuk bertemu ayahnya
terlalu menggebu-gebu. Aku yakin, dia tidak mau
mendengarkan ucapan apapun selain pemberitahuan tempat tinggal ayahnya."
Arya langsung terdiam. Disadari ada kebenaran yang
tidak bisa dibantah dalam ucapan gurunya.
"Meskipun begitu, memang lebih baik kau memberitahukannya dulu, Arya. Barangkali saja Gandula bisa sadar. Apabila tidak,
baru kau harus menunaikan
tugasmu selaku seorang pendekar. Memberantas semua
kekacauan yang terjadi di muka bumi, sebatas kemampuanmu!" tandas Ki Gering Langit.
Arya menganggukkan kepala, pertanda siap memenuhi perintah itu. Tapi ternyata anggukan kepala
pemuda berambut putih keperakan itu terlihat kaku. Melati tentu tahu sebabnya.
Dewa Arak sama sekali tidak berdaya menghadapi Gandula!
"He he he...!" Ki Gering Langit tertawa terkekeh.
Rupanya masalah yang tengah melibat muridnya diketahuinya. "Kau merasa kesulitan untuk menghadapinya, Arya?"
"Benar, Guru," sahut Arya sambil menganggukkan kepala. "Dia memiliki ilmu yang
luar biasa. Tanpa susah payah, dia mampu membuatku tidak berdaya. Ilmunya
mengingatkanku akan ilmu 'Pitunduk' milik Guru."
Ki Gering Langit menganggukkan kepala.
"Memang begitulah makhluk-makhluk alam gaib,
Arya. Mereka banyak memiliki keistimewaan. Tapi, percayalah. Kau akan bisa menghadapinya. Bahkan mungkin bisa mengalahkannya,"
tegas Ki Gering Langit, bernada yakin.
Arya dan Melati saling pandang.
"Bagaimana aku bisa menghadapinya, Guru" Apakah
Guru akan menurunkan ilmu lagi padaku?"
Ki Gering Langit menggelengkan kepala.
"Ilmu yang kau miliki sudah cukup untuk membuat
kau mampu mengalahkannya, Arya," jawab kakek berpakaian putih bersih itu.
"Aku sudah mengerahkan seluruh kemampuanku
sewaktu menghadapinya, Guru. Tapi, dengan mudah aku
berhasil ditundukkannya," bantah Arya.
"Kau hanya menggunakan ilmu-ilmu kasar, Arya.
Padahal apabila menghadapi ilmu gaib, kita harus menghadapi dengan ilmu yang sama. Dan apabila tidak, kita harus mencari
kelemahan dari ilmu itu," papar Ki Gering Langit.
"Tapi bagaimana aku akan bisa menemukan kelemahannya. Guru" Sebelum aku berbuat sesuatu, makhluk itu sudah bisa membinasakanku dengan ilmu
ajaibnya itu!"
Ki Gering Langit tersenyum lebar.
"Akan kuterangkan sejelas-jelasnya
agar kau mengerti, Arya. Begini. Gandula adalah keturunan dua jenis makhluk yang berbeda.
Dia bisa hidup di alam gaib dan alam nyata, karena mempunyai raga di samping
jiwa. Berbeda dengan makhluk halus lainnya," urai Ki Gering Langit panjang
lebar. "Sebagai keturunan makhluk alam gaib, dia pun
memiliki berbagai keistimewaan yang dimiliki leluhurnya. Kemampuan-kemampuan yang tidak masuk akal manusia!"
Ki Gering Langit menatap wajah Arya dan Melati
berganti-ganti untuk mengetahui apakah sepasang muda-
mudi itu mengerti atau tidak pada penjelasannya. Tapi setelah sesaat ditunggu,
ternyata tidak ada pertanyaan yang muncul.
"Seperti juga Gandula, kau memiliki raga kasar dan raga halus. Hanya saja, raga
halusmu tidak memiliki
keistimewaan seperti halnya Gandula. Sehingga, kau bisa dipecundanginya. Raga
halusmu pedu memiliki kemampuan agar bisa menghadapi ilmu-ilmu mengerikan milik
Gandula. Memang, bisa saja aku memberi sebagian ilmu-ilmu gaib yang kumiliki padamu,
Arya. Tapi..., hanya ilmu-ilmu gaib yang layaknya dimiliki manusia biasa saja.
Tentu saja tidak akan berarti saat menghadapi Gandula."
"Kalau begitu..., bagaimana Kang Arya akan bisa
menghadapi makhluk itu, Ki?" tanya Melati tanpa menyembunyikan perasaan cemasnya.
"Kau bisa menduga, ke mana harus mencari bantuan untuk
raga halusmu itu?" Ki Gering Langit malah melontarkan pertanyaan itu kembali pada Arya.
Arya tercenung. Dahi pemuda berambut putih keperakan ini tampak berkernyit, pertanda tengah berpikir keras untuk menjawab
pertanyaan gurunya. Sekelebatan
dugaan, melintas di benaknya.
"Apakah..., aku harus membawa masuk belalang
raksasa itu ke dalam diriku, Guru?" terka Arya.
"Tepat!"
Ki Gering Langit mengacungkan jempolnya.
"Jadi..., belalang raksasa itu juga memiliki kemampuan seperti yang dimiliki Gandula, Guru?" tanya Arya setengah tak percaya.
"Meskipun belalang raksasa itu tidak berwujud raga halus seperti yang dimiliki
Gandula, tapi karena berada di alam
gaib, belalang itu pun mempunyai banyak keistimewaan. Tapi mengenai mampu tidaknya mengalahkan Gandula aku tidak tahu
pasti!" jawab Ki Gering Langit, tak mau
memberi kepastian. Arya mengangguk-anggukkan
kepala. "O ya, Ki," celetuk Melati tiba-tiba. "Bukankah apabila belalang raksasa itu
masuk ke dalam tubuh Kang Arya, maka kemampuannya ada yang tertinggal di tubuh
Kang Arya. Apakah ilmu-ilmu gaibnya pun ikut pula diwarisi Kang Arya."
Ki Gering Langit menggelengkan kepala. "Kemampuan gaib belalang
raksasa itu tidak akan diwarisi Arya. Kemampuan yang diwarisinya hanya bersifat menambahi
kemampuan yang sudah dimiliki Arya. Jadi, mana mungkin Arya akan menerima
cipratan kemampuan gaib karena tidak memiliki dasarnya. Dia hanya mendapat
tambahan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, dan semakin sempurnanya ilmu
'Belalang Sakti'. Di samping itu, Arya pun jadi seperti memiliki indera keenam.
Dia bisa lebih dulu mengetahui akan adanya sebuah bahaya, ketimbang orang lain,"
urai Ki Gering Langit panjang lebar.
Melati tidak bertanya lagi. Sedangkan Arya kini
mengerti, mengapa tadi perasaan gelisahnya timbul ketika bertemu Gandula. Indera
keenamnya yang pada binatang
disebut naluri, ternyata telah menajam. Sehingga, dia bisa mengetahui adanya
bahaya mengancam.
"Apakah kalian berdua sudah mengerti?"
"Mengerti, Guru," jawab Arya.
"Mengerti, Ki," sahut Melati tak mau kalah.
"Kalau begitu..., aku pergi dulu. Selamat bertugas, Arya."
Arya dan Melati bergegas memberi hormat, sebelum
akhirnya tubuh Ki Gering Langit raib dari pandangan.
*** Riuh suara makian mengusik keheningan malam yang
sudah mendekati dini hari. Suara itu ternyata berasal dari salah sebuah kamar di
dalam sebuah pondok.
Di dalam kamar itu, ternyata ada dua sosok tubuh
manusia yang tengah bergumul di balai-balai. Sementara makian-makian itu keluar
dari mulut orang yang digumuli.
Dia adalah seorang gadis berwajah cantik jelita dan berambut dikepang.
Wajah gadis itu cukup cantik. Meskipun sepasang
matanya tampak merah dan agak membengkak, pertanda
habis menangis. Beberapa kali mulutnya yang berbentuk mungil
dan indah itu mengeluarkan keluhan-keluhan
memohon belas kasihan, di samping makiannya. Tapi
sambutan yang diterimanya adalah ciuman dan remasan
bertubi-rubi di sekujur tubuhnya, disertai dengus napas memburu yang menerpa
wajahnya. Sampai akhirnya....
"Akh...!"
Gadis berambut kepang yang tak lain dari Wigati itu
menjerit tertahan. Dan beberapa saat kemudian, sosok tubuh di atasnya yang bukan
lain adalah Caraka segera bangkit.
Sebuah seringai kepuasan tersungging di bibirnya.
"Biadab! Terkutuk kau, Caraka! Akan kurobek-robek jantungmu dan kuhirup
darahmu!" maki Wigati kalap.
Sepasang mata gadis berambut dikepang itu memancarkan hawa kebencian yang memuncak. Kalau saja, tidak tertotok lemas,
mungkin Caraka sudah diterjangnya.
"He he he...!"
Caraka hanya tertawa terkekeh-kekeh, meskipun bulu
tengkuknya sempat meremang mendengar ancaman itu.
Sorot mata, wajah, dan nada suara, membuktikan Wigati tidak main-main dengan
ancamannya. Tapi, semua itu tidak dipedulikannya. Dia kini malah beranjak
meninggalkan ruangan itu.

Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum juga kakinya mencapai pintu, terdengar
bentakan yang membuat Caraka terlonjak kaget. Memang, dia mengenal siapa pemilik
suara itu. Suara yang baru saja didengarnya, yang ternyata Dewa Arak!
"Hoooi...! Caraka! Keluar kau...! Kembalikan Wigati...!"
Karuan saja hal itu membuat Caraka kelabakan. Dia
tahu, dirinya bukan tandingan Dewa Arak yang telah
disaksikan sendiri kesaktiannya. Tapi, hatinya kemudian tenang ketika teringat
akan Gandula. Bukankah makhluk aneh yang memiliki kemampuan ajaib itu berada di
ruang depan"
Teringat akan Gandula, membuat Caraka tidak ragu-
ragu lagi melangkah keluar dari ruangannya. Dan memang, ketika
daun pintu dibuka, terlihat Gandula tengah melangkah keluar. Jelas, makhluk berkepala botak itu akan menghampiri Dewa Arak!
Maka, buru-buru dia bergegas
mengejar untuk membarengi langkah Caraka.
Di depan pondok yang letaknya terpisah dari pondok-
pondok lainnya, berdiri dua sosok tubuh yang memang tak lain dari Dewa Arak dan
Melati. Memang, sepeninggal Ki Gering Langit, Melati dan
Arya langsung mencari jejak Gandula. Tidak sulit menemukannya, karena makhluk dari dunia asing itu
memang memiliki ciri-ciri yang menyolok. Di sepanjang perjalanan, Arya tidak
lupa memusatkan perhatian pada belalang raksasa, agar nanti tidak mengalami
kesulitan untuk membawanya masuk ke dalam tubuhnya.
"Gandula...!" seru Arya ketika Gandula dan Caraka telah beberapa langkah
melewati ambang pintu. "Aku membawa berita tentang orang yang kau cari!"
Tepat seperti yang sudah diduga, Gandula langsung
kelabakan. Makhluk dari dunia asing ini menggeram keras.
"Katakan, di mana Eyang Bantara!" bentak Gandula tidak sabaran.
"Eyang Bantara, ayahmu, telah lama tewas, Gandula.
Kau terlambat datang. Dan...."
"Hmrrrhhh...!"
Gandula meraung seperti binatang buas terluka.
Telunjuk tangan kanannya langsung ditudingkan ke bawah.
Maka, hebat akibatnya bagi Dewa Arak Sekujur tulang-
tulangnya bagai lolos dan tubuhnya terasa lemas bukan kepalang. Maka seperti
karung basah, tubuhnya ambruk ke tanah!
"Kang...!" jerit Melati kaget.
Dan kekagetan Melati berganti kekhawatiran ketika
melihat Gandula menghampiri Arya dengan langkah lebar.
Geraman-geraman kemurkaan terdengar jelas dari mulutnya.
Memang, Gandula merasa murka bukan kepalang mendengar ucapan Dewa Arak. Dan
karena kemarahan yang amat
sangat, membuatnya mengambil keputusan untuk menghabisi nyawa Dewa Arak.
Srattt...! Melati langsung mencabut pedangnya ketika melihat
bahaya besar yang tengah mengancam keselamatan kekasihnya. "Haaat..!"
Didahuiui pekikan melengking nyaring, Melati menerjang Gandula. Pedang di tangannya mengeluarkan
suara menggerung seperti naga murka ketika diluncurkan ke arah leher Gandula.
Gandula yang tengah murka kembali menudingkan
jari telunjuknya. Seketika itu pula, luncuran tubuh Melati kontan terhenti, dan
ganti meluruk ke bawah. Melati
merasakan seluruh tenaganya langsung habis. Bahkan
sekujur otot-otot dan tulang-tulangnya loyo, tak bertenaga.
Sementara itu, Dewa Arak memang dilanda perasaan
lemas secara mendadak ketika Melati menyerang Gandula.
Tapi apa dayanya" Jangankan berteriak melarang, menggerakkan bibir saja tidak mampu! Tanpa membuang-
buang waktu lagi, Arya memusatkan pikirannya untuk
membawa belalang raksasa ke dalam tubuhnya.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras. Langkahnya kontan terhenti. Sepasang matanya menatap ke kejauhan. Rupanya, dia
mengetahui ada 'makhluk gaib' lain yang muncul.
Sesaat kemudian, Arya merasakan angin pelan tapi
dingin menggigilkan, menghembus tubuhnya. Dalam sekejapan saja, sekujur bulu-bulu di tubuhnya kontan
bangun. Dewa Arak tampak menggigil.
"Arrrggghhh...!"
Dengan geraman aneh yang belum pernah keluar dari
mulutnya selama belum mengenal belalang raksasa, Dewa Arak membuka mulut.
Kemudian, diambilnya guci arak dari punggung, dan dituangkan ke atas kepala.
Gluk... Gluk... Gluk....!
Suara tegukan kasar terdengar dari mulut Arak ketika
arak itu melewati kerongkongannya. Memang, kali ini tokoh muda yang
menggemparkan dunia persilatan ini meminum
araknya dengan kasar. Sebagian araknya berceceran di
sekitar mulut dan di tangan tapi segera diusapnya dengan punggung tangan.
Ketika hawa panas yang semula muncul di perut
perlahan naik ke atas kepala, keadaan kaki Dewa Ara pun tidak tetap lagi. Oleng
sana, oleng sini. Ini menjadi pertanda, Dewa Arak telah siap dengan ilmu
'Belalang Mabuk'nya.
"Hmrrrhhh...! Binatang jelek! Mengapa kau membela orang yang menjadi lawanku"!
Apakah kau pun ingin
kumusnahkan"!" ancam Gandula seraya menatap Dewa Arak.
Memang, Gandula tahu di dalam tubuh Dewa Arak
telah bersemayam belalang raksasa dari alam gaib. Maka dia pun menegurnya.
Bahkan sebelum binatang itu masuk,
Gandula telah melihat kedatangannya.
Berbeda dengan Gandula yang melihat belalang
raksasa itu mulai dari awal kedatangannya, Caraka tidak demikian. Pemuda
berpakaian indah itu melihat belalang raksasa itu telah masuk ke dalam tubuh
Dewa Arak, tapi tidak terlihat jelas. Caraka hanya melihat bayang-bayang samar,
tapi cukup jelas di belakang Dewa Arak!
Usai mengucapkan kata-kata ancaman itu, Gandula
segera menudingkan telunjuk ke bawah.
"Pergilah ke neraka bersama pemuda itu, Binatang Jelek!" bentak Gandula keras.
Seketika itu pula, Dewa Arak merasa sebuah
kekuatan raksasa yang tidak tampak menekannya ke bawah.
Rupanya, Gandula ingin membuat kepala lawannya hancur menghantam tanah.
Di saat gawat itu, tiba-tiba dalam diri Dewa Arak
timbul keinginan untuk membuka mulut. Keinginan itu
begitu kuat, sehingga membuat Dewa Arak mengikutinya.
Ketika mulut Dewa Arak membuka, terdengar geraman keras dari mulutnya. Keras sekali! Tapi anehnya, kekuatan yang menekan
tubuh pemuda itu langsung hilang!
Jelas, geraman itulah yang telah memunahkan kekuatan
yang hampir saja menghancurkan kepala Dewa Arak!
"Keparat!"
Gandula memaki keras melihat Dewa Arak berhasil
melepaskan diri dari pengaruh ilmunya. Diiringi geraman menyeramkan
tangannya kembali bergerak. Kali ini telunjuknya ditudingkan ke atas.
Tapi untuk yang kedua kalinya pengaruh serangan itu
lenyap ketika Dewa Arak mengeluarkan geraman keras.
Memang, sekarang pemuda berambut putih keperakan itu
tidak merasa ragu-ragu lagi untuk mengikuti keinginan yang muncul mendadak. Dia
tahu keinginan itu muncul dari
belalang raksasa!
Gandula menggeram keras. Disadari, tidak ada
gunanya lagi melancarkan serangan seperti itu. Serangan anehnya yang didasari
pada ucapan dan pemusatan pikiran, dipunahkan oleh belalang raksasa dengan suara
pula! Kini, Gandula menyerang tanpa menggunakan ilmu
ajaibnya! Dan ternyata, makhluk gaib ini juga memiliki kepandaian silat. Ilmu
meringankan tubuhnya amat tinggi!
Begitu pula kepandaian dan mutu ilmu silatnya!
Untung saja yang dihadapinya adalah Dewa Arak!
Meskipun masih muda tapi memiliki kesaktian luar biasa!
Maka pertarungan pun jadi berlangsung sengit
Pertarungan antara dua makhluk yang berasal dari
alam yang berbeda itu berlangsung sengit bukan kepalang.
Deru angin keras dari pergerakan setiap serangan keduanya, diselingi geraman
yang berbunyi berbeda satu sama lain. Dan juga, diiringi terdengarnya tegukan
arak ketika di tengah-tengah pertarungan, ketika Dewa Arak menenggak araknya.
Caraka memperhatikan jalannya pertarungan dengan
hati berdebar tegang. Sama sekali tidak diduganya kalau Dewa Arak mampu
mengimbangi Gandula.
Karena sibuk memperhatikan pertarungan, Caraka
sama sekali tidak melihat ketika Melati bangkit dan bergerak mengendap-endap
menuju pondok. Memang, Melati memutuskan untuk menyelamatkan Wigati lebih dulu.
Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, putri angkat
Raja Bojong Gading itu berhasil masuk ke dalam rumah.
Lalu, dia perlahan-lahan melangkah menghampiri sebuah kamar yang pintunya
tertutup rapat Kriiit...! "Ikh...!"
Melati menjerit kaget ketika melihat sesosok tubuh
yang terlentang di balai-balai tanpa sehelai benang pun melekat di tubuh.
Apalagi, ketika mengetahui kalau sosok tubuh itu adalah Wigati!
Dengan langkah gemetar Melati melangkah menghampiri. Sedangkan Wigati hanya menatap Melati
dengan air mata berlinang. Kalau saja Melati bukan gadis berwatak keras, mungkin
sudah terisak-isak karena terharu melihat malapetaka yang menimpa Wigati.
Meski dengan tangan gemetar, Melati masih mampu
untuk membebaskan totokan pada Wigati! Gadis berambut kepang itu langsung
memeluk Melati ketika pengaruh
totokannya telah punah. Melati pun balas memeluk dengan perasaan tak karuan.
"Melati...!" jerit Wigati pilu.
Dada Wigati tampak berguncang-guncang karena isak
tangis yang melanda. Sementara, Melati mengelus-elus
rambut gadis itu. Putri angkat Raja Bojong Gading itu merasa terenyuh sekali
pada Wigati. Tapi hanya sesaat saja Wigati larut dalam kesedihan.
Dilepaskan pelukannya pada Melati.
"Terima kasih atas pertotonganmu, Melati," ucap Wigati tersendat karena
bercampur isak. "Sekarang aku harus membalaskan sakit hati ini pada jahanam
keparat itu!"
Setetah berkata demikian, Wigati bergegas mengenakan pakaiannya, lalu melesat keluar. Sedangkan Melati mengikuti di
belakangnya. "Caraka! Iblis keji! Rasakan pembalasanku!"
Wigati langsung memaki ketika tiba di luar pintu, dan langsung menerjang dengan
sepasang pisaunya. Karuan saja seruan
itu membuat Caraka terkejut dan langsung menolehkan kepala. Keterkejutannya semakin bertambah
ketika melihat Wigati tengah melesat ke arahnya dengan sepasang pisau siap untuk
menjagal dirinya!
Dengan agak gugup, Caraka mengelakkan serangan
itu dan langsung mencabut senjata andalannya, berupa
sepasang golok pendek! Dan dengan kedua senjata itu di tangan, dihadapinya
serangan membabi buta Wigati! Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat dalam
pertarungan mati-matian!
Dua kancah pertarungan mempertahankan nyawa itu


Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disaksikan seorang penonton saja, yakni Melati! Gadis berpakaian putih ini
beberapa kali harus menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan jalannya
pertarungan kedua belah pihak.
Sebuah senyum lega tersungging di mulut Melati
ketika melihat Wigati berhasil mendesak Caraka. Memang, kepandaian putri si Jari
Maut itu berada di atas lawannya.
Wigati unggul dalam segala hal. Tidak aneh apabila dalam tiga puluh jurus saja,
Caraka terdesa hebat. Dan akhirnya pada jurus ke tiga puluh dua....
"Akh...!"
Caraka roboh tersungkur ketika pisau Wigati menembus lambungnya. Dan belum sempat keponakan
Juragan Donggala ini berbuat sesuatu, Wigati melesat
memburu. Dan dengan amarah meluap-luap, sepasang pisau itu dihunjamkan bertubi-
tubi ke sekujur tubuh Caraka.
Maka seketika lolong kesakitan terdengar berkali-kali dari mulut Caraka, tapi
Wigati bagaikan sudah kesetanan.
Pisaunya terus dihunjamkan.
Melati sampai menutup matanya, tidak sanggup lagi
melihat tubuh Caraka hancur tercacah. Dan begitu tubuh Caraka telah tidak
berbentuk lagi, Wigati baru menghentikan perbuatannya. Dengan disertai keluhan
tertahan, gadis itu pergi dari situ.
"Wigati...!" panggil Melati. Tapi Wigati terus saja berlari, seolah-olah tidak
mendengar panggilan itu. Sebentar kemudian tubuhnya lenyap ditelan kegelapan
malam. Melati bermaksud mengejar Wigati, tapi kemudian
mengurungkan niatnya ketika mendengar dua buah geraman yang berbeda, tapi sama-
sama mengandung getaran kuat.
Sehingga membuatnya tidak kuasa berdiri karena lututnya kontan lemas.
Tapi putri angkat Raja Bojong Gading itu masih
mampu untuk menolehkan kepala ke arah asal suara
geraman yang tak lain adalah pertarungan antara Dewa Arak dan Gandula.
Saat itu, pertarungan antara Dewa Arak melawan
Gandula telah mencapai seratus delapan puluh jurus. Dari kedua kepala kedua
tokoh sakti itu pun tejah mengepul asap, ketika keduanya sama-sama melompat
menerjang lawan!
Wuttt, wuttt..! Dukkk...!
"Aaargh...!"
Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Kedua
sampokan tangan Gandula berhasil dielakkan Dewa Arak
dengan menundukkan kepala. Sebaliknya tendangan kaki
kanan Dewa Arak langsung mengeml telak lawan. Tak pelak lagi, tubuh Gandula pun
terlempar disertai semburan darah dari mulutnya. Nyawa Gandula melayang sebelum
tubuhnya ambruk ke tanah menimbulkan suara berdebuk!
"Sebelum kedua kaki Dewa Arak menyentuh tanah,
belalang raksasa itu melesat keluar dari tubuhnya.
"Kang Arya...!"
Didahului seruan dari hati yang lega, Melati menghambur ke arah Arya dengan tangan terkembang. Arya pun menyambutnya. Sesaat
kemudian, keduanya sudah
saling peluk penuh rasa syukur.
Perlahan-lahan sepasang pendekar muda itu melepaskan pelukannya, dan memandang ke arah lenyapnya tubuh Wigati yang pergi
dengan hati hancur. Ada rasa iba yang amat sangat dalam hati sepasang pendekar
muda itu. Sementara itu, malam telah mulai mendekati dini
hari. Keruyuk ayam jantan di kejauhan telah mulai
terdengar. Tak lama lagi, sang surya akan menampakkan diri SELESAI
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Tiga Dara Pendekar 24 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Beruang Salju 17
^