Pencarian

Mayat Hidup 1

Dewa Arak 58 Mayat Hidup Bagian 1


MAYAT HIDUP oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seb agian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Mayat Hidup
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 "Jangan...! Hentikan...!"
Teriakan keras penuh kekhawatiran menguak keheningan malam
yang menyelimuti persada ini. Suara itu beras al dari dalam sebu ah hutan.
Lebih tepatnya, dari salah satu pohon yang ada di seberang sana.
Keributan itu membuat beberapa ekor burung hantu yang hinggap di
pohon berterbang an. Tampak seorang pemuda berpakai an ungu dan
berambut putih keperakan terb aring di atas salah satu cabang pohon.
Sikap dan sepasang matanya yang terpejam menunjukkan pemuda
itu tengah tertidur. Jelas, teriakan-teriakan itu keluar tanp a disadari. Pemuda
berambut putih keperakan itu tengah b ermimpi! Dari tidurnya yang gelisah,
agaknya mimpi pemuda itu kurang baik.
Semakin lama keadaan pemuda berambut putih keperakan semakin
mengkhawatirk an. Seruan-seruan k ekhawatiran sen antiasa keluar dari mulutnya.
Sampai akhirnya, ketika mimpi itu mencapai puncaknya, pemuda berambut putih
keperakan terb angun.
"Ahhh...! Kiranya aku bermimpi..."
Pemuda itu mendesah penuh rasa syukur. Kemudian, duduk di
cabang pohon dengan kedua kaki terjulur ke bawah. Kedua tangannya
mengusap wajah y ang dibanjiri peluh-peluh seb esar j agung. Tampaknya mimpi
yang dialaminya cukup mencek am jiwa. Kalau tidak, mustahil
pemuda itu mengeluarkan peluh seperti itu. Sebab udara malam sangat dingin
hingga menusuk tulang.
"Tapi, benarkah semua ini hanya bunga tidur saja"! Apakah ini bukan sebuah pert
anda"! Kalau hany a mimpi biasa, mengapa terjadi berturut-turut dan dengan
kejadian yang sama"!" Tanpa merubah sikap duduknya, pemuda berambut putih
keperakan itu menggumam pelan.
Terbayang kembali di matanya mimpi yang selalu berulang
menghias tidurnya. Seorang gadis cantik berpakaian putih tengah berjuang
menghadapi maut. Gadis itu berusaha mempertahank an selembar nyawanya dari
belitan seekor ular b esar, yang m elilit sekujur tubuhnya. Mulut ular itu
hendak memangsa kep alanya!
Di saat gadis berpakaian putih tengah berjuang tampak puluhan
batang pedang meluncu r ke berb agai bagian tubuhnya. Pedang-p edang yang
membuat pemuda berambut putih keperakan b ergidik ngeri. Senjata-s enjata tajam
itu berwarna kemerahan sep erti besi dibakar.
Sementara itu, tepat di atas gadis berpakaian putih tampak seekor
naga berwarn a merah meny ala. Naga merah itu berusaha menghambat
luncuran pedang-p edang aneh itu. Beberapa kali, binatang raksasa itu berusah a
memapaki serbu an ped ang. Tapi, tubuhnya selalu terpental ke atas seperti
membentur sesuatu yang tidak nampak!
Mimpi itulah yang dialami pemuda berambut putih keperakan!
Dalam mimpi dilihatnya kepala gadis berpak aian putih masuk ke dalam mulut ular.
Tidak hanya itu. Pedang-pedang merah menyal a itu pun
menembus sekujur tubuhnya. Anehnya, pada saat senjata tajam itu mengenai
sasaran, naga merah yang besar itu sudah tidak ada lagi!
"Melati...,"
ujar pemuda berambut putih keperakan tanpa menyembunyikan rasa khawarir. "Apakah yang terjadi dengan dirimu"!"
Memang, gadis berpak aian putih yang ad a di dalam mimpi itu
bernama Melati. Sekarang, sudah dapat diterka siapa pemuda berambut putih
keperakan. Ya! Dia adalah Arya Buana at au yang lebih dikenal dengan julukan
Dewa Arak. Usai berkat a, Arya segera melompat turun.
Laksana d aun kering, Arya mend aratk an kedua kakiny a di tanah.
Tidak ada sedikit pun bunyi yang terdengar ketika pemuda itu hinggap.
"Rasanya ada kejadian yang membahayak an nyawamu, Melati. Aku yakin mimpi-mimpi
yang kualami sebuah isyarat. Kalau tidak guruku, Ki Gering Langit, yang
memberitahukannya. Tentu belatang raksasa di alam gaib. Mungkin kesimpulan yang
kuambil tidak berlebihan," gumam Arya kembali.
Seketika Arya teringat akan kejadian yang dialaminya sebelum
mimpi-mimpi buruk itu muncul. Hai-hal yang semula tidak terlalu
dipedulikannya. Tapi sekarang, semua itu teringat kembali!
Sebelum mimpi-mimpi buruk itu muncul, rasa gelisah selalu datang
mendera batin Arya. Rasa gelisah yang tidak diketahui sebabnya. Perasaan itu
muncul begitu saja.
Dan ketika Ary a memutar ben aknya untuk men cari seb ab,
keterkejutanl ah yang diterima. Saat pemikirannya sampai pada Melati, rasa takut
yang sangat langsung meny eruak ! Sayangny a, Dewa Arak tidak mempedulikannya.
Sikap tidak pedulinya terus berlanjut meski mimpi buruk mulai muncul. Pemuda
berambut putih keperakan itu baru memperhatikan ketika mimpi itu berulang terus-
menerus. Keyakinan Dewa Arak semakin men ebal ketika teringat dirinya
memiliki indra keenam, naluri! Dia dapat merasak an adany a bah aya yang tengah
mengancam. Hal itu didapatkan Dewa Arak secara tidak sengaja.
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Dalam
Cengkeram an Biang Iblis" dan "Kemelut Rimba Hijau").
Yakin akan kesimpulan yang didapat, pemuda itu melesat
meninggalkan hutan itu. Tanpa ragu-ragu seluruh ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan. Seketika itu pula bentuk tubuhnya lenyap. Yang terlihat
hanya sekelebatan bayang an ungu, melesat cepat menuju ke arah timur. Kalau saja
ada penduduk desa yang melihatnya, tentu akan menyangka sosok bayangan itu hantu
yang tengah berkeliaran mencari mangsa!
*** Siang itu cuaca ben ar-benar tidak menyen angkan. Matah ari yang
berad a tepat di atas kepal a memancarkan sinarnya deng an garang.
Seakan-akan deng an sinarny a itu sang Surya hend ak melelehk an ap a saja yang
ada di permukaan mayap ada.
Dalam cuaca sepanas itulah serombongan pasukan berkuda berp acu
cepat meninggalkan Hutan Rajang. Derap langkah kaki kuda mengusik
keheningan siang. Debu yang mengepul tinggi semakin menambah pengap udara siang
yang sudah tidak menyenangkan.
Rombongan berkuda itu berjumlah sepuluh orang. Semuanya
mengenak an serag am prajurit kerajaan. Hany a gadis cantik berambut panjang
tergerai yang tidak mengenakanny a. Gadis itu berpakaian putih.
"Keyakinanku tidak melesat bukan, Gusti Ayu Melati"!" ujar lelaki setengah bay a
yang b erkuda di seb elah gadis berpak aian putih. Mereka berdua berkud a paling
depan. "Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, Paman Patih"!" tanya gadis brepak aian
putih yang ternyata Melati. Seraya menolehkan kep ala dan menatap wajah seteng
ah tua di sebelahnya.
"Mengenai keb erhasilan tugas ini, Gusti Ayu," jelas lelaki setengah baya. Ia ad
alah patih Kerajaan Bojong Gading. Lelaki tua itu bernama Patih Rantaka.
Meskipun Patih Rantaka menghentikan ucap annya, Melati tidak
menggunakan kes empatan itu untuk memberikan tanggapan. Bahkan dia malah berdiam
diri, menunggu kelanjutan ucapan Patih Rantaka.
"Bukankah sejak semula sudah kukatakan bahwa dengan keberadaanmu di sini, Gusti Ayu, gerombolan pengacau itu akan dapat kita hancurk
an. Kenyataan tidak melesat kan"!"lanjut Patih Rantaka.
"Hik hik hik...!"
Melati tertawa untuk menutupi rasa b angga yang muncul di hati.
Dia tahu pujian itu dikeluarkan dengan tulus. Patih Rantaka, seperti juga
prajurit Kerajaan Bojong Gading lainya, sangat meng aguruinya. Mereka yakin
tidak ada lawan yang dapat menandingi putri angkat junjungan mereka.
"Kau bisa saja, Paman Patih," ucap Melati setelah berhasil menekan rasa banggany
a. "Kemenangan yang kudapat sebenarnya lebih pantas disebut kemujuran. Sebab
lawan yang kuhadapi memiliki kepandaian di bawahku!"
"Hik hik hik...! Kau benar, Melati! Dan s ekaranglah saatnya kau akan mendap at
giliran sebagai orang yang dikalahkan ! Kau akan mampus di tanganku!"
Sebuah suara keras menggem a ke seluruh tempat itu. Suara itu
terdengar lebih dulu sebelum Patih Rantaka sempat menyambuti ucapan Melati.
Karuan saja kejadian yang tidak disangka-sangka itu sangat mengejutkan rombongan
Keraj aan Bojong Gading. Tanpa diperintah lagi mereka langsung menyeb ar dan
bersikap wasp ada. Bahkan...
Srattt, sing, singgg!
Sinar-sinar terang berkilau an ketika prajurit-prajurit Kerajaan
Bojong Gading menghunus senjata. Kemudian, menyilangkan di depan dada.
Sikap itu menunjukkan mereka telah siap untuk menghadapi segala
kemungkinan yang terjadi.
Keterk ejutan yang sama pun melanda Melati dan Patih Rantaka.
Hanya saja Melati lebih dapat mengendalikan diri. Gadis itu tetap bersikap
tenang. Namun sepasang m atanya dialihkan k e arah suara itu datang.
Sedangkan tanganny a diacungkan ke atas memberi isyarat pad a rombongan untuk
menghentikan perjalanan.
Di depan Melati, hanya berjarak sekitar tiga tombak, berdiri sesosok tubuh
ramping di atas sebuah cabang pohon yang menjorok ke jalan. Belum sempat gadis
berpakaian putih itu memperhatikan lebih seksama, sosok ramping itu telah lebih
dulu bertindak. Sosok itu melompat ke bawah seperti burung melayang turun.
Ringan tanpa suara sosok ramping itu mendaratkan kaki di tanah, tiga tombak di
depan Melati. Melihat kejadian ini, Melati semakin meningkatkan kewaspadaan.
Dari pertunjukan yang dipamerkan sosok ramping, Melati dapat memperkirak an tingkat kepandaian lawan. Sungguh pun yang dipertunjukkan hanya ilmu meringankan tubuh, Melati tidak berani bertindak
gegabah. tingkat ilmu meringankan tubuh sosok ramping itu amat tinggi.
Bukan tidak mungkin jika kepandaiannya pun luar biasa.
Memang, ada kemungkinan lain. Misalnya, sosok ramping itu hanya
memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat. Tapi ilmu silatnya biasa saja.
Tapi, itu hanya kemungkinan kecil saja.. Namun yang pasti Melati tidak menjadi
gentar. Gadis itu tetap tenang.
"Siapa kau, Ni"! Rasanya aku tidak pemah berurusan deng anmu.
Mengapa kau menghadang perjalanan kami"!" tanya Melati penuh wibawa.
Sikap seorang panglima kerajaan! Seraya mengajukan pert anyaan, Melati
memperhatikan sosok yang berdiri di hadapannya. Barangkali saja dia bisa
menemukan ciri-ci ri yang dapat membuatnya mengenali sosok itu.
Tapi usaha Melati sia-sia, Dia tidak dapat mengenalinya. Sosok
ramping itu mengenakan penutup wajah. Selubung merah menyala yang
hanya mempunyai dua buah lubang kecil untuk mata. Pakaian dengan warna yang sama
membungkus tubuhnya yang ramping dan berisi. Potongan tubuh dan suarany a
menyebabk an Melati dapat menduga sosok ramping itu adalah seorang wanita!
"Mungkin kau tidak mengenalku, Melati. Tapi, aku cukup
mengenalmu. Kurasa tanp a penjelas an lagi pun kau telah tahu mengap a aku
menghadang perj alananmu," sambut wanita berpakai an merah dingin.
Melati menganggukkan k epala. Sepasang alisnya yang indah
tampak berkerut. Dia merasa pernah mend engar suara itu. Tapi kapan dan di mana
dia lupa. "Maksud yang tidak baik bukan"!"
sindir Melati seraya menyunggingkan senyum sinis.
"Tepat!" sambut wanita berpakai an merah tegas. Kep alanya dianggukkan.
"Lalu... alasannya"!" kejar Melati penasaran ingin tahu.
Wanita berpakaian merah tertawa mengejek. "Sayang sekali,
Melati. Aku ingin merahasiakan alasanny a kepad amu. Aku ingin kau mati tidak
tenang. Mati penasaran! Hik hik hik...!"
"Keparat!" maki Melati geram. "Kaulah yang akan mampus di tanganku, Pengecut!
Hih!" Dengan gerakan indah Melati melompat turun dari punggung kuda.
"Menyingkir dari sini, Cilik," ucap Melati. Ditepuknya dengan lembut punggung
binatang tunggangannya.
Binatang itu tampak mengerti. Sambil mengeluarkan ringkikan
pelan, kuda bertubuh kecil dengan bulu berwarna coklat itu membalikkan tubuh dan
melangkah menjauhi majikannya. Tak aneh kalau Melati
memberinya nama Cilik!
Ternyata bukan hanya Cilik yang menjauhi tempat itu. Patih
Rantaka dan semu a prajurit Kerajaan Bojong Gading pun menghindar. Kini tinggal
Melati dan wanita berpakaian merah yang berada di tempat itu. Kedua wanita itu
berhadapan dalam jarak tiga tombak.
*** Baik Melati maupun wanita berpakaian merah rupany a menyadari
kalau lawan yang akan dihadapi memang tangguh. Keduanya bertindak
hati-hati. Tidak ada satu pun yang berani melancarkan serang an lebih dulu.
Merek a saling menghampiri dengan sikap waspada.
Sebagai tokoh tingkat tinggi, Melati tahu melakukan penyerangan
lebih dulu terhadap lawan yang memiliki kepandaian tinggi merupakan tindakan
yang sangat merugikan. Setiap penyerang an berarti akan membuka celah-cel ah
bagai lawan untuk serangan.
Tapi, setelah menunggu sekian lama tidak ada serangan dari wanita
berpak aian merah, Melati kehilangan kesab aran.
"Haaat..!"
Didahului teriakan keras yang membuat prajurit Keraj aan Bojong
Gading dan Patih Rantaka menutup telinga, gadis berpakaian putih itu melancarkan
serangan. Melati mengawali gebrakannya d engan sebuah tend angan kaki
kanan lurus ke arah dada wanita berpak aian merah.


Dewa Arak 58 Mayat Hidup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuttt! Deru angin keras membuat debu m engepul tinggi, mengiringi
tibanya serangan itu. Dari sini dapat diketahui kekuatan serangan Melati.
Tendangan itu mampu menghancurkan pohon sebesar tiga pelukan orang dewasa!
Wanita berpakaian merah pun menyadari kedahsyatan serangan
lawan. Tapi dia tidak menjadi gentar. Wanita itu tetap berdiam diri di
tempatnya. Tidak terlihat tanda-tanda akan meng elakkan serangan itu.
Baru ketika serangan menyamb ar dekat, wanita berpak aian merah
mulai bertindak. Kaki kirinya dilangkahkan ke belakang. Sedang tangan kanannya
memap aki serang an deng an sebuah tetak an ke arah perg elangan kaki Melati.
Takkk! Benturan keras dua tenaga dalam tinggi itu pun tidak bisa dielakkan lagi.
Akibatnya, mereka merasakan bagi an yang berbenturan tergetar hebat.
Meskipun demikian, Melati berada dalam kedudukan yang kurang
menguntungkan. Sikap tangkisan wanita berpakaian merah membuat kaki Melati
seperti dijadikan sasaran serangan.
Tapi Melati tidak mempedulikan rasa sakit yang melanda. Begitu
serang annya dapat ditangkis, secepat itu pula serangan susulannya meluncur.
Dan itu dilakukan dengan kaki yang sama.
Wuttt! Dengan kecepatan seo rang ahli, Melati menarik kakinya sedikit.
Lalu diluncurkan kembali dalam sebuah tendangan miring ke arah leher.
Cepat bukan main tibanya serangan
itu. Buru-buru wanita berpak aian merah melompat ke belakang dengan menjejakkan kaki.
Serangan Melati mengenai tempat kosong. Kaki gadis berpakaian putih itu
menghantam beberapa jengkal di hadapan lawan.
Namun, Melati teryata sudah memperhitungkan hal itu. Maka
begitu serangan susulannya gagal, kaki kirinya langsung dijejakkan.
"Hih!"
Ketika tubuhnya berad a di udara, Melati mengibaskan kaki kirinya.
Itu dilakukannya sambil memutar tubuh!
Wusss! Wajah wanita berpak aian merah seketika berub ah. Sungguh tidak
disangkanya serang an Melati demikian bertubi-tubi dan susul-menyusul, sehingga
tidak memberikannya kesempat an untuk memperbaiki kedudukan.
Yang lebih mengejutkan sasaran Melati kali ini adalah pelipisnya!
Padahal bagian itu merupakan salah satu anggota tubuh manusia yang terlemah.
Jangankan terken a telak, terserempet saja sudah cukup untuk membuat nyawa
melayang ke alam baka!
Tapi, lagi-lagi wanita berpakaian m erah m ampu membuktikan
kalau ia bukan orang sembarangan. Dalam keadaan yang agak terjepit seperti itu
dia mampu melakukan tindakan penyelamatan. Wanita berpakaian merah segera
menekuk lututnya. Dibentuknya kuda-kud a serendah mungkin.
Sehingga.... Wusss! Kibasan kaki Melati meny ambar lewat beb erap a jari di atas k epala wanita
berpakai an merah. Saking kuatnya tenaga yang terkandung, pakaian wanita berpak
aian merah sampai terkibar keras!
Pada saat yang bersamaan dengan mendaratny a kedua kaki Melati
di tanah, wanita berpakaian merah berh asil memperbaiki kedudukan. Tapi, Melati
tidak mempedulikannya sama sekali. Serangan-s erang an kembali dilancark an.
Kali ini wanita berpakai an merah sudah siap ! Dia pun memberikan
sambutan hangat. Tak pelak Iagi, pertarungan sengit pun berlangsung.
2 Pada jurus-jurus awal, Melati maupun wanita berpakai an merah
belum mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Namun demikian, pertarungan
sudah berlangsung dahsyat. Bunyi menderu, mencicit, mengaung menyemaraki jalannya pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Tanah terbongkar di sana-sini, debu mengepul tinggi ke
udara, dan daun-daun serta ranting berguguran dari pohonnya. Itu semua terjadi
akibat serang an-serangan yang tidak menemui sasaran.
Karen a khawatir terk ena angin serang an yang nyasar itulah, Patih Rantaka dan
prajurit Kerajaan Bojong Gading lebih menjauhi kancah
pertarung an. Mereka semua tahu bahayany a. Jangankan terkena, terserempet angin
serangan itu pun sudah cukup untuk membuat nyawa mereka terancam.
Rombongan Kerajaan Bojong Gading melangk ah mundur tanpa
mengalihkan perhatian dari kan cah pertarung an. Seakan mereka khawatir jika
berpaling sebentar saja pertarung an akan b erakhir tanp a sempat mereka lihat.
Akibatnya, mengedip pun sedapat mungkin tidak mereka lakukan.
Padahal, sekalipun mereka memusatkan perhatian boleh dibilang
tak ada yang dap at merek a saksikan. Pertarung an berlangsung demikian cepat.
Tidak terlihat jelas orang-orang yang tengah bertarung.
Yang terlihat hanya dua sosok bayangan putih dan merah berkelebat
cepat. Terkadang dua sosok bayang an itu terpisah. Tapi lebih sering mereka
saling belit. Bila terpisah hanya berlangsung sekejap. Sesaat kemudian mereka
telah saling belit kembali.
Hanya itulah yang disaksikan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong
Gading. Walaupun begitu mereka tetap menyaksikanny a dengan penuh
perhatian. Meski mereka tidak melihat jelas. Tapi dari kelebatan sosok Melati
dan wanita berpakaian merah yang berbed a, mereka dapat perkirakan keadaan yang
tengah berlangsung.
Sampai saat ini rombongan Kerajaan Bojong Gading belum dapat
meramalkan. Sulit untuk memperhatikan pihak yang berad a di atas angin.
Pertarungan masih berl angsung seimbang. Melati dan wanita berp akaian merah
masih saling berusaha merobohkan lawan.
Kesimpulan yang diambil rombongan Kerajaan Bojong Gading
memang tidak keliru. Pertarungan kedua wanita itu masih berlangsung seimbang.
Padahal, tiga puluh lima jurus telah berlalu.
Beberap a kali tangan atau kaki mereka berbenturan, hingga tubuh
keduanya terg etar heb at. Bahkan terhuyung-huyung. Hal ini menandakan kekuatan
tenag a dalam merek a memang berimbang.
Ketika pertarung an menginjak jurus kelima puluh satu, wanita
berpak aian merah sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Seraya menggertakk an gigi, dengan sebuah gerakan an ah tubuhnya dibanting ke tanah,
kemudian menggelinding seperti bola.
Tentu saja Melati tidak membiarkan kesempatan baik itu. Buru-buru
dikerjarny a tubuh yang tengah bergulingan itu. Lalu, tangan kanannya diayunkan
ke arah kep ala. Tiba-tiba....
Singgg! Diiringi bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan telinga dan
kilauan sinar yang menyilaukan mat a, wanita berp akaian merah rneluncurk an pedangny a memapaki serangan Melati! Karuan saja Mel ati terkejut
bukan main. Tangannya bisa putus bila berbenturan dengan p edang wanita berpak
aian merah! Karen a itu, tanpa membuang-buang waktu Melati menarik pulang
tangannya. Dibarengi dengan langk ah mundur kaki kirinya.
Wuttt! Tangan Melati selamat! Batang ped ang wanita b erp akaian merah
membabat angin.
Tapi, rupanya wanita berpakaian merah tidak mempedulikan
keberh asilan tangkisannya. Begitu dilihatnya Melati menghentikan serangan dan
mundur, tubuhnya langsung dilentingkan. Sesaat kemudian, dia telah berdiri di
atas kedua kakinya.
Pada saat yang b ersam aan, Melati mencabut pedangny a. Kini
senjata itu disilangkannya di depan dada. Hal ini terpaksa dilakukan Melati
karen a lawan telah menggunakan senjata. Gadis itu tidak mau bertangan kosong
menghadapi orang selihai wanita berp akaian merah. Tanpa senjata saja wani ta
itu sudah demikian lihai, apalagi dengan pedang di tangan. Sulit untuk
dibayangkan! Dan Melati tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membuktikan
kebenaran dugaannya. Dengan diawali teriakan nyaring membahana, wanita berpak
aian merah mulai melancarkan serangan.
Singgg! Wanita berpakai an merah membuk a seranganny a dengan tusukan
lurus ke arah leher.
Wuttt! Ujung pedang wanita itu meluncur lewat beberapa jengkal di atas
kepala begitu Melati merend ahkan tubuhnya. Tindakannya tidak terhenti sampai di
situ. Sambil mengelak, pedangnya ditusukkan ke arah perut lawan.
Singgg! Cukup mengejutkan dan mendadak serangan balasan Melati. Tapi
wanita berpak aian merah tidak menjadi gugup. Bergegas kakinya dijejakkan,
sehingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala Melati. Dari sana, tusukannya
dilancark an ke arah kuduk gadis berpak aian putih itu.
Sekarang Melati tidak mempunyai kesempat an untuk mengelak.
Andaikata dipaksakan pun akibatnya tidak kecil. Maka, menangkislah satu-satunya
jalan. Dan tindakan itulah yang dilakukan Melati!
Gadis berpak aian putih itu menangkis dengan cara meng ayunkan
pedangnya ke b elakang. Tentu saja gerakan itu dilakukannya sambil membalikkan
tubuh. Tranggg! Benturan dua batang senjata terdengar. Bunyinya keras bukan main.
Disertai berpercikanny a bunga-bung a api.
Dengan mantap wanita berp akaian merah mendaratkan kedua
kakinya di tanah. Sementara Melati telah siaga. Malah, gadis berpakaian putih
itu lebih dulu melancarkan serangan.
Pertarungan yang jauh lebih seru dan menarik pun terjadi. Melati
mengamuk bagai harimau luka. Ilmu 'Pedang Seribu Naga' andalannya
dikerahkan, sampai gerakan ped angnya menimbulkan bunyi menggerung keras.
Tapi, ternyata ilmu pedang wanita berpakaian merah tidak kalah
hebat. Setiap serangan Melati mampu dipatahkan. Bahkan, serangan balasan yang
tak kalah hebatnya dilancarkan wanita itu.
Gerak an pedang wanita berpak aian merah demikian cepat dan
hampir tanpa suara. Mirip kilat. Tidak nampak akibat pada tempat yang dilewati,
kecuali bila menghantam sasaran. Suatu kedahsyatan yang
tersembunyi! Hanya orang yang berhadapan langsung yang dapat merasakan.
Tentu saja keadaan ini dialami Melati.
Karen a masing-masing memiliki ilmu pedang yang dahsyat,
pertarung an jadi berlangsung seimbang. Sampai lebih dari delapan puluh jurus
tidak terlihat tanda-tanda yang lebih unggul. Keduanya silih berganti
melancarkan serangan.
Kead aan di sekitar p ertarungan sulit digambarkan. Angin serangan mereka
membuat cabang-cab ang pohon putus dari batangnya.
*** "Haaat...!"
Di jurus kesembilan puluh satu, wanita berpakaian merah melompat
tinggi ke atas. Ketika telah mencapai ketinggian dua tombak, luncuran tubuhnya
terhenti. Karena tenag a luncuran ke atas sudah tidak ada lagi. Saat itulah
tubuhnya berbalik. Kini kepalanya di bawah dan kedua kakinya di atas.
Jari-jari kedua tanganny a disatukan sewaktu menggenggam pedang. Kedua tangan
itu terjulur lurus ke bawah, sehingga kedudukan tubuh wanita berpakaian merah
tegak lurus. Dalam kead aan s eperti itu tubuhnya meluncur k e arah Melati yang tepat berada
di bawahny a. Yang menggiriskan hati, dalam keadaan demikian tubuhnya berpusing
seperti gasing. Serangan wanita berpak aian merah itu lebih mirip dengan membor.
Melati terkejut bukan main. Disadarinya betapa berb ahaya serangan itu. Melati
ingin mengelak. Tapi, ternyata tidak mampu! Sepertinya ada kekuatan tak nampak
yang membuat tubuhnya terpaku. Gadis itu tidak mengerti mengapa ini bisa
terjadi! Tapi sebagai pendekar y ang telah cukup lama merambah dunia
persilatan, sebuah dugaan muncul dibenakny a. Apakah kead aan yang dialaminya
ini disebabkan oleh serangan lawanny a"
Seketika itu pula Melati teringat akan cerita Dewa Arak tentang
ilmu-ilmu aneh dan menakjubkan di dunia persilatan. Di antaranya adalah ilmu
yang membuat lawan tidak bergerak sewaktu serang an dilancark an.
Bahkan, tidak hanya membuat lawan meng alami kesukaran bergerak, tapi juga sulit
bernapas. Dewa Arak sendiri pernah mengalaminya (Untuk lebih jelasnya silakan
baca serial Dewa Arak dalam episode "Rahasi a Syair Leluhur").
Melati tahu hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan nyawanya.
Menangkis! Tanpa menunggu lebih lama Melati memutar pedangnya di atas kepala.
Bunyi menggerung keras seperti naga murka terdeng ar. Tanda-tanda Ilmu Pedang
Seribu Naga! Cepat bukan main Melati memutar senjatanya. Hingga bentuk
pedangnya lenyap. Yang terlihat hanya kilatan sinar berkilauan di atas kepala.
Trang, tranggg!
Terdengar bunyi dahsyat ketika dua batang pedang berbenturan.
Tidak hanya sekali, tapi ber-kali-kali. Sebab, serangan pedang wanita berp
akaian merah itu berputar!
Hebatnya, meskipun Melati berhasil menangkis serangan, tapi
luncuran pedang wanita berpak aian merah tidak berhenti sampai di situ.
Senjata itu terus meluncur. Dan...
Crattt! "Akh!"
Melati menjerit tertahan ketika ujung pedang wanita berp akaian
merah menggurat perg elang an tanganny a. Cukup dalam, sehingga darah merembes
keluar dari bagian yang terluka.
Dan sebelum Melati sempat berbu at sesuatu, wanita berp akaian
merah kembali melan cark an serangan. Itu dilakukannya ketika tubuhnya meluncur
turun. Wanita itu mengayunkan kedua k akinya bersamaan.
Akibatnya.... Desss! "Hukh!"
Keluhan tertah an kembali dilontarkan Melati. Kaki lawan mendarat
telak di perutnya. Keras bu kan main, sehingga tubuh gadis berpakaian putih itu
lerlempar ke bel akang. Pedangnya t erlep as dari gengg aman. Untungnya, di
saat-saat terakhir Melati sempat mengerahk an tenaga d alam. Kalau tidak, di
saat tubuhnya melayang tentu nyawanya pun melayang ke alam baka!
Meskipun demikian, bukan berarti Melati tidak mengalami kejadian
apa pun. Perutnya terasa sakit bukan main. Gadis berpakaian putih itu tampak
sulit bemapas. Brukkk! Bunyi berdebuk keras terdengar ketika tubuh Melati membentur
tanah, setelah melayang-lay ang beberap a tombak. Luka yang dideritanya membuat
gadis itu tidak mampu mendarat dengan baik
Melati menyeringai merasakan sakit yang mendera punggungnya


Dewa Arak 58 Mayat Hidup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika berbentu ran deng an tanah. Saat itulah, serangan susulan wanita
berpakaian merah kembali meluruk. Pedang di tangannya terayun deras ke arah
Melati. "Terimalah kematianmu, Melati!" seru wanita berpakian merah keras penuh keyakin
an. Tentu saja Melati tidak ingin kepalanya dipisahkan dari bad an.
Untuk menangkis adalah tidak mungkin. Hanya m engelak y ang dapat
menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi, elakan macam apa yang dapat dilakukan
orang yang tel ah terluka sep erti Melati" Hanya ad a satu, bergulingan!
Crakkk! Pedang wanita berpakaian merah amblas hampir setengahnya.
Pedang itu menghantam tanah ketika Melati telah lebih dulu menggulingkan tubuh
sehingga tidak berada di tempatnya lagi.
"Keparat!" maki wanita berp akain merah geram melihat keg agalan serang annya.
Sambil menggertakkan gigi, dikejarny a Melati. Serangan -seranganny a pun menyusul datang.
Pemandangan yang
agak an eh segera terlihat. Melati terus
menggulingkan tubuh. Sementara wanita berp akai an merah meng ejarny a ke mana
gadis berpak ain putih itu pergi, seraya menghujaninya dengan serang an-serangan
ped ang. Memang, beberapa kali Melati berhasil mengelakkan serangan demi
serang an. Tapi sampai beberapa lama gadis itu dapat bertahan"
*** Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Patih Rantaka dan
prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Tapi, apa yang dapat mereka lakukan"
Ikut terjun ke arena dan menolong Melati" Bagaimana mungkin"
Kalau gadis berpak aian putih itu saja dapat dikalahkan, bagaimana merek a"
Bukan hanya alasan itu yang membuat rombongan Kerajaan Bojong
Gading memaksakan diri tidak memberikan pertolongan. Keyakian yang demikian
terpatri bahwa putri junjungan mereka ini akan d apat mengat asi lawan, dan
takut kena marah kalau mencoba memberikan pertolongan.
Memang, prajurit-prajurit
Kerajaan Bojong Gading, apalagi pasukan khususnya, merupakan o rang-o rang yang sang at menjunjung tinggi
kegagah an. Pantangan besar bagi mereka untuk melakukan peng eroyok an.
Apalagi, pertarungan Melati dan wanita berp akain merah berlangsung adil!
Oleh karen a itu, Patih Rantaka dan semua prajurit Keiajaan Bojong Gading
berdiam diri. Mereka hanya memperhatikan jalannya pertarungan dengan sorot mata
cemas. Dalam hati mereka berharap Melati dapat mengat asi keadaan yang tidak
menguntungkan itu. Tapi, harapan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan.
Bukkk! "Ahhh...!"
Melati mengeluarkan jeritan kag et ketika tubuhnya membentur
serang an pohon. Akibatnya, gulingan tubuhnya terhenti. Saat itulah serangan
pedang wanita berp akaian merah meluncur ke arahnya!
Bukan hanya Melati yang dilanda keterkejutaa Patih Rantaka dan
prajurit Kerajaan Bojong Gading pun demikian. Tarikan wajah dan sorot mata
mereka memancark an keterkejutan yang amat sangat, melihat bahaya maut tengah
mengancam keselam atan putri junjungan mereka.
"Terimalah kematianmu, Melati!" seru wanita berpakaian merah keras, penuh
keyakinan Crakkk! Pedang wanita berpakaian merah amblas hampir setengahnya.
Pedang itu menghantam tanah ketika Melati telah lebih dulu menggulingkan tubuh
sehingga tidak berada di tempatnya lagi.
Saking kagetnya, tanpa sad ar mereka serempak m eluruk ke tempat
Melati tergolek. Senjata-senj ata yang tergengg am di tangan telah siap
diayunkan. Rombongan Kerajaan Bojong Gading ini lupa akan kegagahan.
Yang ada di benak mereka adalah menyelamatk an nyawa Melati. Orang yang mereka
kagumi. Walaupun tindakan yang dilakukan rombongan Kerajaan Bojong
Gading demikian cepat, rasanya tidak akan mungkin dapat menyelamatkan Melati.
Jarak mereka terlalu jauh.
Padahal, serangan wanita berp akain merah tebh hampir men capai
sasaran. Hanya kejadian luar biasa yang dapat menyelamatkan nyawa putri angkat
Raja Kerajaan Bojong Gading itu. Tapi, mungkinkah kejadian luar biasa itu akan
terjadi secara kebetulan" Pada saat orang berad a di ambang maut"
Ternyata kejadian itu memang bukan hal yang mustahil! Di
saat-saat yang amat gawat itu melesat sesuatu yang berwarna gel ap!
Wuttt! Takkk! "Akh...!"
Wanita berpakaian merah menjerit kesakitan. Di saat itu pedangnya
hampir memenggal kepala Melati, seleret benda berwarna gelap yang
ternyata batu sebesar dua ibu jari menghantam belakang siku tangan kanannya.
Telak dan keras bukan main, hingga tangan itu langsung lumpuh!
Pedang yang tergenggam itu terlepas dari pegang an dan jatuh ke tanah.
Cappp! Pedang itu menancap di tanah, beberapa rambut dari pinggang
Melati. Untuk yang kesekian kalinya wanita berpakaian merah men emui kegagal an
Bertepatan deng an lumpuhnya tangan kanan wanita berpakaian
merah, dari tempat rombongan Kerajaan Bojong Gading melesat sesosok tubuh.
Gerakannya sangat cepat. Yang terlihat hanya sekelebat bayangan ungu dalam
bentuk tidak jelas, melesat cepat menuju tempat Melati
"Hup!"
Tanpa menimbulkan bunyi sosok berpakaian ungu itu mendarat di
depan Melati. Sosok itu berdiri membelakangi. Sehingga gadis berpakaian putih
itu hanya dapat melihat bagian belakang tubuhnya. Punggung yang kekar dan
dibanduli guci arak itu sangat dikenal Melati. Rambutnya yang panjang putih
keperakan melambai -lambai ditiup angin
Tapi, ternyata bukan hanya Melati yang mengenal sosok berpakaian
ungu. Wanita berpakaian merah pun mengenalnya. Wanita itu mundur
selangkah begitu melihat sosok berambut putih keperakan. Rasa k agetnya memang
tidak bisa dilihat, karena wajahnya tertutup topeng. Namun, ini bisa diketahui
dari ucapan-u cap annya.
"Dewa Arak..."! Kau... kau.... Mengapa ada di sini"!" ucap wanita berpak aian
merah terb ata-b ata
Sosok yang memang tidak lain Dewa Arak, yang mempunyai nama
asli Arya Buana, tersenyum dingin. Ada ancaman mengerikan terk andung di sana.
Penyebabny a adal ah ketika melihat ny awa M elati hampir saja melayang.
Andaikata dia terlambat sesaat saja, mungkin nyawa gadis berpak aian pu tih itu
sudah melayang ke alam baka! Kenyataan ini membuat Dewa Arak murka bukan main.
"Mengapa"! Kau kag et, Manusia Pengecut"! Sekarang, dengan
adanya aku jangan harap dap at meneruskan k ekejianmu terhad ap Melati!"
tandas Dewa Arak keras.
Wanita berpakain merah mengg eleng-g elengkan k epal a. Entah apa
arti gelengannya. Sementara sepasang matanya berputar liar, seperti tengah
mencari jalan untuk meloloskan diri.
Sambil terus bersikap demikian, kedua kakinya melangkah ke
belakang. Tindakan yang dilakukannya menunjukkan wanita itu merasa gentar.
Dewa Arak menol eh sejen ak ke belak ang untuk melihat kead aan
Melati. Hanya sekilas saja! Meskipun demikian, telah cukup bagi Dewa Arak untuk
mengetahui keadaan kekasihnya. Kenyat aan yang didapatnya membuat pemuda itu semakin geram Arya tahu Melati mend erita luka yang cukup
parah! 3 Kesempatan di saat Dewa Arak meng alihkan memperh atian pada
Melati dipergunakan seb aik-baiknya oleh wanita berp akaian merah. Dengan bergeg
as tubuhnya dibalikkan. Kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tapi....
"Jangan harap dapat pergi begitu saja setelah melakukan kekejian ini!"
Seraya meng eluark an perny ataan p enuh wibawa. Dewa Arak
melesat mengejar wanita b erp akai an merah. Dan b egitu telah berada di
belakangny a, pemuda berambut putih keperakan itu melompat ke atas melewati
kepal a buruanny a. Dewa Arak b ersalto beb erapa kali seb elum mendarat dengan
mantap beberap a tombak di depan wanita berpakaian merah.
"Menyingkir dari tempat itu, Dewa Arak! Atau... terpaksa aku akan
menyerangmu...!" desis wanita berpakaian merah, tajam.
Dewa Arak mengernyitkan dahi. Pendekar muda itu tahu wanita
berpak aian merah gelisah. Suaranya demikian jelas menyiratkan kegalauan peras
aannya. Namun bukan hal itu yang membuat kernyitan di dahi Arya.
Bukan nada kegelisahanny a, melainkan....
"Siapa kau, Nisanak"! Cepat buka selubungmu. Aku yakin pemah
mengenalmu.... Setidak-tidaknya suaramu pemah kudengar..."
"Persetan dengan ucapanmu! Hih!"
Usai berkata, wanita berpak aian merah melompat menerjang Dewa
Arak deng an pukulan tangan kanan lurus ke arah dad a. Tahu kalau lawan yang
dihadapi jauh lebih lihai dari Melati, wanita berpakaian merah mengarahk an
seluruh tenaga dal amnya.
Wuttt! "Hm...!"
Dewa Arak menggumam pelan melihat serangan lawan. Pemuda itu
bersikap tenang. Tak dilakukan tindakan apa pun sampai serangan lawan menyambar
dek at. Baru setelah itu ia bertindak cepat.
Dewa Arak menarik kaki kanannya ke bel akang seraya menggerakk an tangan kanan.
Wuttt! Kreppp! "Ihhh...!"
Warrita berp akaian merah menj erit kaget. Tahu-tahu perg elangan
tangan kanannya telah kena cek al. Gerakan Dewa Arak terlalu cepat untuk
dihadapi. Sungguhpun demikian, wanita berpakaian merah bukan lawan yang
dapat dipecundangi dengan mudah. Sebelum Dewa Arak sempat melancarkan serang an lanjutan, dengan sebuah gerakan aneh dari jurus 'Ular'
pergelang an tangan kanan wanita itu diputar. Dan....
Plasss! Cekalan tangan Dewa Arak berh asil dipunahkan. Tindakannya
ternyata tidak terhenti sampai di situ. Bersamaan dengan berhasil dibebaskan
tangan kanannya, tangan kirinya menggedor dad a Dewa Arak!
Prattt! Terdengar bunyi benturan keras ketika Dewa Arak memapaki
dengan gerakan y ang sama! Dalam cekam an kemarahan y ang meluap
melihat wanita berpak aian merah hampir saj a membunuh kekasihnya, Dewa Arak
mengerahkan seluruh tenag a dalamnya pad a tangkisan itu.
Akibatnya menggiriskan. Tubuh wanita berp akaian merah terjengkang ke bel akang. Wanita itu merasakan sekujur tubuhnya lumpuh.
Terutama bagian yang berbenturan langsung. Kedua tangannya terasa sakit dan
ngilu! Bahkan sukar untuk digerakkan.
Meskipun demikian, wanita berpak aian merah masih mampu
mendarat deng an kedu a kaki lebih dulu. Malah dengan cara yang p atut diberikan
acung an ibu jari. Wanita itu berhasil mendarat dengan mantap!
Dewa Arak yang masih diamuk amarah tidak memberikan
kesempatan sedikit pun pada lawan. Langsung saja serangan susulannya meluncur.
Pemuda berambut putih keperakan itu meluruk ke arah wanita berpak aian merah
seraya mengirimkan serang an bertubi-tubi ke arah dada!
Arya menggunak an ilmu 'Delapan Cara Menaklukan Harimau' !
Wanita berpakain merah terkejut melihat cepatnya serang an itu.
Padahal, dia baru saja berdiri tegak di tanah. Sudah tidak mungkin lagi untuk
mengelak. Terpaksa dipapakiny a serang an itu. Meski kedua tangannya belum pulih
seperti sedia kala.
Plak, plakkk, bukkk!
"Hukh!"
Rentetan kejadianny a demikian cep at. Memang, wanita berp akaian
merah berh asil menangkis serangan Dewa Arak. Tapi hanya dua! Padahal, Dewa Arak
mengirimkan serangan bertubi-tubi. Tak pelak lagi, serangan yang ketiga mendarat
telak di dadanya.
Akibatnya, wanita berpakai an merah terhuyung ke belak ang. Bunyi
menggelogok terdeng ar dari kerongkonganny a. Tampaknya, dia terluka dalam dan
memuntahkan darah segar. Hanya saja tidak terlihat karena mulutnya tertutup
selubung merah menyala.
Tapi kejadian selanjutnya menjadi bukti kalau wanita itu menderita luka tak
ringan. Wanita berpakaian merah jatuh dan tidak bangkit lagi.
Bersamaan d engan rubuhnya wanita berp akaian merah, Dewa Arak
menghentikan gerak annya. Ditatapnya tubuh yang tergolek di tanah itu sekilas.
Lalu langkahnya diayunkan menuju tempat Melati
Tampak di sana Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading tengah
mengerumuni putri angkat raja Kerajaan Bojong Gading.
"Harap menyingkir sebentar. Biar kuperiksa luka-lukanya," ucap Arya pelan
meminta perhatian.
Kerumunan prajurit itu pun langsung menyeruak memberi jalan.
Tanpa buang-buang waktu, pemuda berambut putih keperakan itu segera berjongkok
dan memeriksa kead aan Melati
Gadis berpak aian putih itu pingsan setelah melihat kehadiran Dewa Arak.
Agaknya, gadis itu tidak kuat menahan luka luka yang diderita.
"Bagaimana, Dewa Arak"!"
Patih Rantaka yang sudah tidak sabar lagi segera mengajukan
pertanyaan, ketika dilihatnya Dewa Arak tercenung setelah m emeriksa keadaan
Melati. "Dia selamat, Paman. Memang luka-lukanya parah. Tapi tidak
sampai mencabut nyawany a," jawab Arya singkat.
Patih Rantaka mengangguk-angguk gembira. Gambaran peras aan
yang sama tampak di wajah prajurit-p rajurit Kerajaan Bojong Gading.
Pemberitahuan Dewa Arak telah membuat mereka merasa lega. Melati
selamat! "Untung kau datang tepat pada waktunya Dewa Arak," ucap Patih Rantaka. "Kalau
tidak... kami tentu akan kehilangan sekali..."
Prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading menganggukan kepal a,
menyatakan persetujuannya at as ucapan patih Kerajaan Bojong Gading itu.
"Aku pun bersyukur, Paman."


Dewa Arak 58 Mayat Hidup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya itu jawaban yang diberikan Arya. Patih Rantaka pun diam.
Lelaki tua itu tidak memberikan tangg apan lagi. Yang dilakukan h anya
mengangguk-angguk an kepala. Karena Patih Rantaka tidak mengajukan pertanyaan
lagi, Dewa Arak memberikan pengobatan terhad ap Melati.
Semua diperhatikan oleh rombongan Kerajaan Bojong Gading dengan hati penuh rasa
syukur. *** "Bagaimana kau tahu aku berad a di Hutan Hanjang, Kakang"!"
Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang gadis berpak ain putih.
Siapa lagi kalau bukan Mel ati" Gadis itu tengah duduk di atas punggung kuda
yang melangkah pelan.
Seraya b ertany a Melati menoleh k e arah sosok yang berada di
sebelahnya. Seorang pemud a berambut putih keperakan. Dewa Arak!
Pemuda itu tidak menunggangi kuda, tapi berjalan kaki. Di belakang muda-mudi ini
berjalan rombongan Kerajaan Bojong Gading. Berkuda
paling depan adalah Patih Rantaka!
Sementara itu, Dewa Arak tidak segera menjawab pertanyan Melati.
Pemuda itu termenung sebentar seperti tengah mencari jawaban.
"Tentu saja dari ayahmu, Melati," jawab Arya setengah menggoda.
"Maksudmu... Ayahanda Prabu Nalanda, Kakang"!" terka Melati memastikan.
Arya mengangguk memberik an tebakan kek asihnya.
"Jadi kau ke istana Bojong Gading lebih dulu?" kejar Melati lebih jauh.
Lagi-lagi pemuda berambut putih keperakan itu mengangguk.
"Kalau tidak ke san a, bagaimana mungkin aku dapat meng etahui kau dan pasukan
mu berada di sini, Melati"!" Arya balas mengajukan pertanyaan.
Melati mengangguk-anggukan kep ala menyad ari keben aran ucapan
Dewa Arak. "Lalu..., mengapa kau mencariku, Kakang"!" tanya Melati, setelah tercenung ses
aat lamanya. "Barangk ali ada urusan yang sangat penting?"
Dewa Arak mengangguk.
Melati langsung tercenung dan menarik tali kekang kudanya.
Hingga binatang itu menghentikan langkah. Karena Melati berkud a paling depan,
Patih Rantaka dan prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading pun terpaksa mengh
entikan kuda mereka. Kal au tidak, kuda-kuda itu akan menabrak Melati dan Arya.
Setelah terdiam sesaat Melati kemudian menoleh ke belakang.
"Paman Patih....," sapa Melati lembut
"Hamba, Gusti Ayu Melati," jawab Patih Rantaka cepat seraya memberi hormat
"Tolong sampaikan pada Ayahand a Prabu aku tidak dapat kemb ali ke istana. Ada
urusan yang amat penting. Bila urusan ini telah selesai aku akan ke istana,"
ujar Melati. "Akan hamba sampaikan, Gusti Ayu Melati," sambut Patih Rantaka penuh hormat
Ini salah satu sikap Melati yang amat dikagumi Patih Rantaka.
Meskipun mempunyai hak untuk memberikan perintah, gadis berpakaian putih itu
selalu melakukannya dengan sopan.
"Terima kasih, Patih Rantaka," sambut Melati seraya tersenyum manis.
Tapi sebelum Patih Rantaka memberikan tanggapan, tiba-tiba Dewa
Arak memberikan isyarat agar tidak ada seorang pun yang berbicara. Pemuda
berambut putih keperakan itu mendengar sesu atu.
Maka tanpa membantah sedikit pun, Melati dan seluruh rombongan
berdiam diri. Malah, tanpa sadar merek a menahan nap as.
"Kau benar, Kakang !" timpal Melati cepat "Ada bunyi benturan senjata."
"Benar, Melati!" sambut Arya. "Ada pertarung an yang tengah berlangsung. Dari
bunyinya yang agak sam ar, agakny a jarakny a cukup jauh dari sini."
"Bagaimana, Kakang"! Harusk ah kita ke sana?"
"Benar, Melati," jawab Arya pasti. "Barangkali saja ada orang yang membutuhkan
pertolongan kita."
Mendengar tanggapan Dewa Arak, tanpa menunggu lama Melati
menghela tali kekang kudanya. Kuda coklat itu melesat cepat laksana kilat.
Meskipun lebih kecil dari kuda umumnya, binatang tunggangan Melati ini memiliki
kecepatan lari y ang mengaguruk an dan k ekuatan b erpacu dalam jarak jauh.
Memang, terasa janggal bila dibandingkan dengan tubuhnya yang kecil.
Tapi betapapun cepatnya lari Cilik, Dewa Arak mampu mengimbangi. Hanya dalam beberapa kali lesatan pemud a berambut putih keperakan
itu telah berhasil menjajari Cilik.
Cilik memang seekor kuda. Tapi kuda pilihan. Binatang tunggangan
yang bertubuh kecil itu biasa berpacu. Karen a itu, begitu melihat Dewa Arak
berada di sebelahnya, tanpa dipacu lagi oleh Melati dia segera menambah kecep
atannya. Nalurinya membisikkan kalau dia harus berada di depan pemuda berambut
putih keperakan itu.
Kali ini Cilik kecewa.
Meski seluruh kemampuan larinya dikeluarkan, tetap saja di a tiak mampu meninggalkan. Laksan a bayang an, pemuda
beram but putih keperak an itu tetap berada di sebelah Cilik.
Sementara di belakang merek a, Patih Rantaka dan prajurit Kerajaan Bojong Gading
memacu binatang tunggangannya. Itu dilakukan agar mereka tidak tertinggal jauh
oleh Dewa Arak dan Melati!
Sementara itu, Dewa Arak dan Melati tak perlu menunggu terlalu
lama untuk mengetahui penyebab bunyi riuh rendah itu. Beberapa saat kemudian,
tampak sepuluh tombak di hadapan mereka terp ampang sebuah pertarung an.
Alis sepasang pend ekar mud a itu berkerut. Mereka m elihat sebuah pertarung an
yang sangat tidak adil. Seorang lelaki tinggi kurus yang sudah sangat tua
diserang oleh dua orang lelaki muda kekar bersenj ata golok.
Tapi, rupanya kakek tinggi kurus itu bukan orang sembarangan.
Meskipun dikeroyok ia masih mampu melakukan perlawan an sengit.
Tongkat di tangannya beberapa kali berb enturan deng an golok-golok lawan, dalam
upayanya untuk menyelamatkan selembar nyawa. Ternyata, bunyi benturan senjata
inilah yang didengar oleh Dewa Arak!
"Rasanya kak ek itu membutuhkan bantuan, Kakang," ucapa Mel ati tanpa mengendurk
an lari binatang tunggangannya.
"Benar, Melati," jawab Dewa Arak. Suaranya terd engar biasa.
Tidak terengah-eng ah sep erti orang y ang berl ari cepat. Bahkan, tidak ada
setitik peluh pun membasahi wajahnya. "Kalau tidak, dia akan tewas di tangan
lawan lawanny a."
Melati mengangguk-angguk memben arkan pend apat Arya. Dan
memang, perkiraan pemud a berambut putih keperak an itu tidak salah. Gadis itu
pun dapat melihat keadaan kakek tinggi kurus sudah sangat mengkhawatirk an. Terlihat jelas kakek itu terdesak hebat
Usia yang sudah tua membuat napas kakek tinggi kurus megap-meg ap seperti ikan dilemparkan k e darat. Padahal, pertarungan sepertinya
bam berlangsung beberapa jurus. Bila pertarungan terus berlanjut, kakek tinggi
kurus itu akan mati kehabisan napas.
Karen a melihat keadaan yang gawat itu, Dewa Arak tidak mau
membuang-buang waktu. Kecepatan lariny a ditambah. Akibatnya, Cilik tertinggal.
"Hentikan!"
Belum juga gema ucapan itu lenyap, tubuh Dewa Arak telah
mendarat di tengah arena pertarung an. Pemuda berambut putih keperakan itu
mendarat tepat di antara kedua belah pihak yang bertarung.
Tentu saja keberadaan Dewa Arak yang demikian mendadak
mengejutkan mereka yang t engah bertarung. Terutama kedu a lalaki kek ar yang
hampir saja berhasil mengirim nyawa kakek tinggi kurus ke alam baka, karen a
kagetnya, gerak an merek a terhenti di udara.
"Siapa kau, Kisanak" Mengapa mencampuri urusan kami"!" tanya salah seorang, yang
berkumis tebal.
"Tidak usah berbasa-b asi lagi, Kiwul! Bacok saja Habis perkara!"
seru rekanny a, yang berdahi lebar. Terasa jelas nada ketidaksabaran di
dalamnya. Tapi Ielaki berkumis tebal yang bernama Kiwul tidak menuruti
seruan rekanny a. Sepasang matanya yang diarahkan pada Dewa Arak
menuntut jawaban. Dan, harapan Kiwul memang terkabul.
"Aku Arya. Bukan maksudku mencampuri umsan kalian. Tapi,
bagaimana mungkin aku berdiam diri melihat ketidakadilan di sini"!"
"Berbuat ketidak adilan"!" Kiwul mengernyitkan d ahi. "Tahukah kau masalah yang
tengah kami hadapi, Arya"!"
"Tidak," jawab Arya sejujurny a. "Tapi, biar bagaimanapun aku tidak bisa
membiarkan seorang kakek tua dikeroyok dua lelaki kekar!"
Kiwul tersenyum pahit.
"Kuharg ai kegagahanmu, Arya. Tapi, asal kau tahu saja, kakek yang kau bela ini
adalah seo rang penipu dan p embunuh! Dan orang yang telah menjadi korban
ulahnya adalah guru kami. Beliau hampir tewas akibat tindakannya. Apakah kami
diamkan saja perbuatanny a"!"
Seketika itu juga Dewa Arak terdiam. Sungguh tidak disangkanya
jawaban seperti itu yang akan diterimanya. Kepalanya segera ditolehkan ke
belakang untuk menanyakan kebenaran ucapan Kiwul pada kakek tinggi kurus.
Mendadak.... "Mengapa kau
masih saja membuang-buang
waktu dengan percuma, Kiwul"!"
Seraya mengeluarkan perny ataan itu, rekan Kiwul mengayunkan
goloknya ke arah leher Dewa Arak!
Wuttt! "Ganta!"
Kiwul berseru kaget melihat tindakan Ganta. Apalagi, ketika
menyadari dia tidak mempunyai kesempatan untuk mencegah. Hanya
teriakan kaget yang dapat dikeluarkannya. Sementara itu golok Ganta terus
meluncur deras menuju sasaran.
Dewa Arak ters enyum. Hanya dengan sekali lihat Arya tahu
serang an yang dianggap Kiwul amat berbah aya tidak berarti sedikit pun baginya.
Memang, hanya deng an sekilas pemuda berambut pu tih keperakan itu bisa
mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan. Ternyata, tenaga yang menggerakk annya
adalah tenag a dalam biasa-biasa saja! Tidak perlu dikhawatirkan.
Keren a itu, Dewa Arak berdi am diri di tempatnya. Tidak terlihat
tanda-tand a dia akan menangkis atau mengelak. Karuan saja keny ataan itu
membuat Kiwul semakin kelabakan.
Takkk! Bunyi berdetak keras terdengar. Mata golok Ganta membentur
batang leher Dewa Arak, membuat kaget semua orang yang berada di situ.
Terutama Ganta. Golok itu membalik seperti menghantam gurupalan karet keras!
4 "Rupanya kau mempunyai kulit yang kebal, heh"! Sekarang, coba rasak an ini!"
Ganta menusukkan goloknya ke mata Dewa Arak. Sungguh sebuah
serang an berbah aya, karen a betapapun tingginya kepandai an seseorang tak akan
mungkin dapat membuat mata menjadi kebal.
Karen a itu, Dewa Arak tidak bisa membiarkan serangan itu. Di
samping karena d apat mengakib atkan sepas ang matany a menjadi buta, pemuda
berambut putih keperakan itu pun ingin memberikan pel ajaran atas sikap keras
kepala Gant a. Arya segera mengulurkan tanganny a.
Kreppp! Batang golok Ganta berhasil dicengkeram Dewa Arak. Lalu,
sebelum Ganta menyad ari sepenuhny a, pemuda berambut putih keperakan itu telah
menggerakkan jari-jarinya.
Takkk! Bunyi berdetak keras mengiringi patahny a batang golok Ganta.
Seketika, wajah Ielaki berdahi lebar itu nampak memucat. Kenyataan ini baru
menyadark an dirinya kalau pemuda yang berdiri di hadapanny a itu memiliki
kepandai an yang sangat tinggi.
Tanpa perlu dicegah lagi oleh Kiwul, Ganta menghentikan serangan
dan melangkah mundur.
"Bagaimana" Puas"!" tanya Dewa Arak tanpa meng ejek. Sepasang matanya menatap
tajam-t ajam. Tidak ada tanggapan sedikit pun dari Ganta dan Kiwul. Kejadian
yang dilihat terlalu mengetjutkan, hingga membuat mereka terkesima.
"Sekarang, mungkin kalian bisa menjelaskan permas alahanny a.
Kalau tidak, apa pun yang terjadi aku akan membela kakek ini!" tandas Dewa Arak
tegas. Kiwul dan Ganta saling berpandangan.
"Hhh...!" Kiwul menghela nafas panj ang. Rupanya, dia bermaksud memberitahukan
sejel asnya masalah yang di hadapi. "Kami berdua adalah murid Ki Aswatama..."
Sampai di sini Kiwul menghentikan ucapannya. Ditatapnya Dewa
Arak untuk melihat tanggapan pemud a berambut putih keperakan itu. Dia tahu nama
gurunya cukup dikenal sampai ke beberapa des a, sebagai seorang guru silat yang
jarang tandingannya.
Tapi Kiwul harus kecewa. Harapannya untuk melihat keterkejutan
Dewa Arak pupus. Pemuda itu tidak tampak terk ejut. Memang, Dewa Arak tidak
mengenal nama Ki Aswatama. Demikian pula dengan Melati yang
berdiri di sebelah kakek tinggi kurus, di belakang Dewa Arak.
"Kami berdua dan guru tinggal di Desa Palung, " lanjut Kiwul.
"Beberap a hari yang lalu Ganta melihat seorang penduduk desa yang telah berusia
lanjut dianiaya oleh tukang-tukang pukul Juragan Trestajumena Geni, orang kaya
di Desa Palung dan desa-desa sekitarny a."
"Dia seorang penindas penduduk!" selak Ganta begitu Kiwul menghentikan ceritany
a untuk mengambil napas.
Kiwul mengangguk. "Apa yang dikatakan Gan ta memang tidak
salah. Tapi, Juragan Trestajumena Geni tidak bisa sepenuhnya disalahkan.
Para pen duduk desa yang teng ah dililit kesulitan datang padanya dan meminjam
uang. Juragan Trestajumena Geni mem ang memberikanny a, tapi dengan perj anjian
pengemb aliannya jauh lebih bes ar dari pinjaman. Dia mengenak an renten yang
cukup besar. Jika penduduk tidak bisa segera mengembalikan, harta milik yang
senilai pinjaman akan disita. Nah!
Penduduk setengah tua itu disiksa karena dianggap melanggar pemjanjian.
Dia tidak mampu membayar hutangnya yang mencekik leher karena bunga yang terus
berbunga."
Kiwul menghentikan ceritanya. Ditelannya liur untuk membasahi
tenggorokannya yang saat itu terasa kering.
"Rupanya, pinjaman yang harus dikembalikan petani tua itu amat besar. Karen a
telah terlalu lama dan bunga itu beranak pinak. Sedang harta satu-satunya yang
berh arg a hanya rumahny a. Maka rumah itulah yang disita oleh tukang-tukang
pukul Juragan Trestajumena Geni. Lelaki tua itu menolak. Dan, tukang-tukang
pukul itu pun menyiksanya ag ar dia mau meninggalkan rumah itu!"
"Apa yang dikatak an Kiwul memang b enar!" Lagi-l agi Ganta menyela. "Tapi, saat
itu istri petani tua itu tengah sakit parah. Jangankan meninggalkan rumah, untuk
bangkit saja sudah susah. Petani tua itu pun minta waktu, Tapi yang didapat
malah siksaan. Karena tak tahan melihat kekejian itu, aku ikut campur! Akibatnya
terjadi pertarun gan."


Dewa Arak 58 Mayat Hidup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku terpaksa membantu Ganta. Karena jika hal itu tidak
kulakukan, dia akan tewas di tangan tukang tukang pukul Juragan
Trestajumena Geni yang cukup lihai dan berjumlah banyak," timpal Kiwul.
"Memang, dengan berdu a kami dapat mengusirnya! Mereka kabu r. Tapi masalahnya
tidak berh enti sampai di situ. Besoknya mereka datang dalam jumlah yang lebih
besar. Tanpa gentar kami menyambutnya."
"Namun karena jumlah mereka terlalu besar, kami terdesak. Untung di saat
terakhir, guru kami muncul dan membantu. Untuk yang kedua kalinya para tukang
pukul Juragan Trestajumena Geni kami pukul mundur," Ganta yang menyambuti.
"Anehnya, beberapa hari setelah itu guru kami mendadak sakit. Kami panggil dia
untuk mengobati guru!" Ganta menudingkan jari telunjuknya ke arah kakek tinggi
kurus. "Dia pun datang. Kemudian memeriksa luka guru kami. Tapi
hasilnya, bukannya sembuh tapi malah bertambah parah. Guru kami lumpuh total
setelah diperiksanya! Padah al, ia mengaku sebagai orang yang ahli mengobati
berbagai macam luka. Tapi nyatanya"! Dia tidak lebih dari seorang penipu!"
"Kalian sabh paham!" sergah kak ek tinggi kurus cepat. "Semakin parahny a luka
Ki Aswatama bukan karena aku salah mengobati. Tapi, atas perbuatan mereka juga!"
Dewa Arak dan Melati terdiam mendengar bant ahan kakek tinggi
kurus. Dalam cerita Ganta dan Kiwul, mereka tidak mendengar adanya orang yang
melukai Ki Aswatama. Tapi, mengapa kakek tinggi kurus mengatakan semakin
beratnya luka guru silat itu karena perbuatan seseo rang!
Sebelum Dewa Arak atau Melati mengutarak an perasaan haranny a,
kakek tinggi kurus telah melanjutkan ucapannya.
"Perlu kalian berdua ketahui, bukannya sombong kalau kukatakan luka-luka
bagaiman apun dapat kusembuhkan. Banyak orang yang membuktikannya sendiri!"
"Tapi kenyataannya"! Kau tidak bisa membuktikan bualanmu!"
bantah Ganta dengan suara tinggi.
"Luka-luka yang diderita Ki Aswatama lain! Luka itu tidak terjadi secara wajar.
Dia telah menjadi korban ilmu hitam. Ilmu teluh. Tapi kalian tetap tidak percaya
dan mengerti apalagi menuduhku penipu! Perlu
kutegaskan sek ali lagi. Luka-luka bagaimanapun parahny a, aku yakin dapat
menyembuhkannya. Tapi luka yang tidak wajar, bukan karena ilmu hitam!"
Sekarang Dewa Arak sudah mengerti persoalan yang mereka
hadapi. Itu hanya kesalahpahaman belak a. Memang, kalau menuruti perasaan pemuda
berambut putih keperak an itu tidak percaya akan cerita kakek tinggi kurus. Tapi
kenyataan telah mengajarkan pad anya bahwa hal-hal mistik itu bisa saja terjadi!
Banyak hal yang tidak dapat diterima oleh akal manusia.
Namun, toh itu terjadi. Maka meskipun agak ragu Dewa Arak memutuskan untuk
membantu kakek tinggi kurus. Pemuda berambut putih keperak an itu mencoba
mempercay ai cerita itu.
"Tenang." Dewa Arak mengangkat tangannya ke atas, mencegah pecahny a pertamngan
akibat suasana yang mulai memanas. "Tidak ada perso alan yang selesai bila
perasaan diletakk an di depan!"
Rupanya, ucapan Dewa Arak membuat Ganta dan Kiwul serta
kakek tinggi kurus sadar. Mereka terlihat menahan diri. Tidak menuruti nafsu
amarah sep erti sebelumnya.
*** "Mengapa kau bisa mengajukan dugaan kalau Ki Aswatama terkena
ilmu hitam" Dari mana kau meng etahuinya?" tanya Dewa Arak pada k akek tinggi
kurus. Kakek itu menatap wajah Dewa Arak penuh selidik. "Karena aku
melihat tanda-tandany a."
"Bisa beritahukan
tand a-tand a yang
kau mak sudk an, Ki Aswatama?" desak Dewa Arak.
"Tidak, Anak Muda," jawab kakek tinggi kurus seraya menggelengkan kep ala. "Sebab, sulit untuk dikatakan. Hanya yang perlu kau
ketahui, aku pun sedih melihat nasib Ki Aswatama. Tapi apa daya" Aku tidak mampu
menolongnya. Meskipun tahu penyebabnya. Apabila kupaksakan
untuk menolong, pengirim ilmu hitam itu akan murka. Aku pun akan
dikirimkannya ilmu hitam!"
"Sekarang p ersoalanny a telah jelas," ucap Dewa Arak ten ang.
"Sebuah kesalahpah aman telah terjadi. Dan...."
"Masalahnya belum selesai, Kisanak!" sergah Ganta penasaran.
"Dia belum menjelaskan mengapa luka guru bertambah parah sewaktu selesai
diperiksanya!"
"Itu hanya sebuah kebetulan Ganta! Aku yang sial. Di saat aku selesai memeriksa,
pengirim ilmu hitam itu mengirimkan serangan yang lebih kuat"
Kali ini Dewa Arak mengangguk. Disadarinya kemungkinan besar
ucapan k akek tinggi kurus itu benar. Arya cukup bany ak mengetahui mengenai
ilmu-ilmu aneh yang terkadang tidak masuk akal.
"Menurutku, ucapan itu ada benarnya. Kalau boleh kuusulkan,
daripada k alian bersusah pay ah memburu kakek ini lebih baik urus dan rawatlah
guru kalian. Atau salah seorang di antara kalian merawatnya, dan seorang lagi
mencari ahli obat dapat menyembuhkan penyakitnya."
Ganta dan Kiwul berpandangan. Usul Dewa Arak ada benarny a.
Saat itu guru mereka yang tengah sakit keras dan pasti membutuhkan seseorang.
Mengap a merek a malah meninggalkannya"
"Terima kasih atas usulanmu, Arya," ucap Kiwul seraya tersenyum.
"Saranmu benar-ben ar tepat. Aku khilaf."
Kemudian Kiwul membalikkan tubuh, dan melesat meninggalkan
tempat itu diikuti oleh Ganta. Lelaki berdahi lebar itu tidak mengucapkan terima
kasih. Yang dilakukannya hanya menganggukk an kepala. Itu pun sekilas saja.
Dewa Arak, Melati, dan kakek tinggi kurus memandangi kepergian
Ganta dan Kiwul hingga tubuh mereka lenyap di kejauhan.
"Terima kasih atas bantuanmu, Arya. Kalau tidak ad a dirimu
mungkin aku telah menjadi mayat," ucap kakek tinggi kurus penuh rasa syukur.
"Lupakanlah, Ki. Bukankah orang hidup memang harus saling
tolong-menolong"!" bantah Dewa Arak halus.
"Lalu.... Sekarang ke mana tujuanmu, Ki?" tanya Melati yang sejak tadi berdiam
diri. "Tentu saja kembali, Nisanak. Tempat tinggalku tak jauh dari sini.
Apakah kalian ingin singgah"!"
"Terima kasih. Sayang, kami masih mempunyai urusan penting
lainnya. Kami tengah terburu-buru. Tapi, percayalah. Kelak bila ada waktu
senggang kami akan singgah di tempatmu. Selamat tinggal, Ki!"
Usai berkata, Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu.
Tindakan pemuda berambut putih keperakan itu segera diikuti Melati. Sesaat
kemudian, sepasang muda-mudi berwaj ah elok itu telah melesat jauh. Sosok tubuh
mereka semakin mengecil dan akhirnya lenyap ditelan kejauh an.
"Hhh...!"
Setelah menghembuskan nap as berat, kakek tinggi kurus meninggalkan tempat itu pula. Dia kembali menuju tempat tinggalnya.
Sekejap kemudian, suasan a di sekitar tempat itu menjadi hening.
Tidak ada lagi bunyi benturan senjata atau teriak an keras membahana. Yang
tersisa hanya kesunyian.
*** "Akh!"
Jerit tertahan bernada kesakitan itu keluar dari mulut Melati.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan. Kalau Dewa Arak yang b erlari di sebelahnya
tidak seg era mengulu rkan tangan men angkap bahuny a, gadis berpak ain putih
itu pasti jatuh terjerembab di tanah!
"Apa yang terjadi, Melati?" tanya Dewa Arak. Rasa k aget dan khawatir membias di
wajahnya. Pemuda berambut putih keperakan itu menatap wajah Melati penuh
selidik. Rasa kaget yang melandanya semakin besar. Wajah gadis itu tampak pucat
pasi. Butir-butir keringat sebesar biji jagung membanjiri wajahnya.
"Aku juga tidak mengerti, Kakang," jawab Melati deng an bibir menyeringai
kesakitan. "Tahu-tahu saja paha kananku terasa sakit bukan main. Seperti..., ada
sebatang tombak yang menusuk di sana."
Dewa Arak mengarahk an tatapan ke arah paha Melati. Tapi, tidak
dijumpai tanda-tanda seperti yang dimaksud. Paha Melati masih seperti biasa.
Tidak terlihat bekas tusukan tombak! Hal itu membuat Dewa Arak bertanya-tanya
dal am hati. "Apakah Melati tidak keliru" Dan rasa seperti yang dikatakannya tidak pernah
ada" Tapi, kalau tidak, mengapa tiba-tiba tubuh gadis itu tersungkur" Tak
mungkin dia tersandung kerikil! Lalu, apa sebenarnya yang telah terjadi?"
"Sekarang, coba kau berdiri tegak kembali," ujar Dewa Arak setelah beberapa saat
termenung Pemuda itu kemudian melepaskan peganganny a. Tubuh gadis
berpak aian putih itu tidak dipapahnya lagi.
Tanpa banyak membantah, Melati melaksanakan perintah kekasihnya. Memang, semula dia berdiri dengan bertumpu pada kaki kiri.
Tapi baru saja kaki kanannya diluruskan Melati memekik kesakitan. Dengan segera
kedudukannya dikembalikan sep erti semula, berdiri pada kaki kiri.
Dewa Arak kaget bukan main melihat kenyataan ini. Dengan jelas
dilihatnya kaki kanan Melati tidak bisa lurus. Seperti ada s esuatu yang
mengganjal di sana. Padahal, tidak terlihat sesuatu pun di kaki gadis berpak
aian putih itu.
"Mengapa, Melati?" tanya Arya cemas seraya memegang bahu gadis itu untuk
membantunya berdiri.
"Aku tidak tahu, Kakang," keluh Melati. "Seperti ada sesuatu yang menancap di
paha kananku hingga tembus!"
"Hhh...!"
Dewa Arak menghembusk an napas berat. Dia sedikit pun tidak
mengerti kejadian yang tengah menimpa kekasihnya. Benaknya diputar untuk mencari
jawaban. Tapi, tetap tidak diketemukannya.
Tiba-tiba pemuda berambut putih keperakan itu teringat akan
mimpi-mimpi buruk yang masih menganggu tidurnya. Perasaan gelisah akan
keselamatan Melati pun melanda hatinya. Betapapun telah diusahakan untuk
menghilangkan peras aan itu, tetap saja dia tidak mampu.
Memang, ada perbedaan antara mimpi-mimpinya. Dalam mimpinya
tubuh gadis berpakai an putih itu dililit ular besar yang siap m elahap kepalany
a. Sementara serbuan pedang -pedang merah menyala meluncur datang. Tapi, mimpi-
mimpi yang belakangan ini menghias tidurnya tidak lagi disertai ular besar.
Ingatan itu membuat Dewa Arak tersent ak. Mengapa sejak bertemu
Melati ada pengurangan dalam rnimpinya" Pemuda berambut putih
keperakan itu segera menyadari
adanya kemungkinan
lain di sini. Disadarinya mimpi yang dialaminya bukan sekadar bunga tidur.
Memang, setelah beberapa k ali belalang raks asa masuk ke dalam
dirinya, Dewa Arak meras akan perub ahan. Ia dapat meras akan keb erad aan
seseorang di sekitarnya, adany a bah aya y ang mengan cam, dan sedikit mengerti
bahasa binatang.
Karen a kesad aran ak an perub ahan dalam dirinya dan kejadian yang sekarang
dialami Melati serta teringat kembali akan pengurangan rnimpinya, Dewa
Arak mulai mengambil kesimpulan. Bukan tidak mungkin mimpi-mimpi itu merupakan firasat yang didapatnya berkat belalang raksasa di
alam gaib. Sejak semula Dewa Arak memang sudah menduga mimpi-rnimpi
itu bukan sekedar bunga tidur. Tapi, kejaidan yang menimpa Melati
menjadikannya berpikir lebih sungguh-sungguh. Pemuda itu memutar
otaknya lebih keras. Sesaat kemudian, Arya telah dap at menemukan
kesimpulannya. Kini, Dewa Arak dapat memperhatikan kalau ular dan pedang-p edang yang tertuju ke arah Melati di dalam mimpi itu, dalam kenyataan
sebenarnya ad alah bah aya-b ahay a yang tengah meng ancam gadis itu. Mengenai
tidak adanya lagi ular yang membelit Melati, menjadi pertanda kalau satu bahaya
telah terlewati. Kalau begitu bahaya pertama adalah wanita berpak aian merah !
*** "Apa yang harus kulakukan sek arang, Kakang?" tanya Mel ati bingung.
Pertanyaan itu membuat Dewa Arak sad ar dari lamunanny a.
Perhatiannya dialihkan pada gadis berp akaian putih.
"Aku sendiri masih bingung, Melati. Lebih baik kau periksa tempat yang terasa
sakit. Barangkali saja ada tanda-t anda yang mencu rigakan...."
Wajah pucat Melati langsung memerah. Memeriksa bagian yang
terasa sakit sama saja dengan melucuti celananya. Bagaimana mungkin hal itu di
lakukan. Meskipun Dewa Arak kekasihnya, rasa malu terhadap pemuda berambut putih
keperakan itu tetap ada.
Dewa Arak rupanya m engerti. Pemuda itu segera mengetahui
penyebab memerahnya wajah Melati sampai ke kedua telinganya.
"Kalau begitu, kita cari tempat yang aman," ucap Dewa Arak.
Kepalany a menoleh ke sana kemari mencari tempat yang cukup aman. "Nah!
Kurasa di sana cukup aman!" tunjuk pemuda berambut putih keperakan itu ke arah
sisi jalan yang ditumbuhi pepohonan dan semak-semak cukup lebat.
Melati memperhatikan tempat itu sesaat sebelum menganggukkan
kepala menyetujui. Maka, Dewa Arak pun segera memapah tubuh gadis
berpakaian putih itu dan membawanya ke sana, ke balik semak-semak dan pepohonan.
Baru setelah itu, Dewa Arak membalikkan tubuh dan membiarkan Melati sendirian memeriksa bagian yang sakit.
Dewa Arak menunggu dengan perasaan tidak sabar. Rasanya waktu


Dewa Arak 58 Mayat Hidup di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan demikian lambat Dia ingin secep atnya mendeng ar hasilnya dari
muhat Melati. Sesaat kemudian....
"Akh!"
Sukma Dewa Arak bagai leny ap dari raga men dengar jerit tertahan
Melati. Jerit kesakitan! Padahal, yang tengah ditunggunya ad alah panggilan
Melati. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda berambut putih keperak an itu
membalikkan tubuh dan melesat ke tempat Melati berada.
Saat itulah didengarnya bunyi berdebuk keras. Tanpa melihat lagi
pun Dewa Arak dap at menerk a bunyi itu terjadi karen a ambrukny a tubuh Melati
ke tanah. "Melati!"
Teriakan Dewa Arak tercek at di tenggorokan. Kedua kakinya terasa
lemas. Penyebabnya adalah p emandang an yang terpampang di had apanny a.
Tubuh Melati tampak tertelungkup di tanah. Meskipun terlihat gerak an dari gadis
berpak ain putih itu, tapi keadaannya menimbulkan ras a khawatir pada Dewa Arak
5 Menghadapi keny ataan y ang tidak disangka-sangk a itu Dewa Arak
terkejut bukan main. Pemuda itu terkesima di depan Melati. Tapi hanya sebentar
saja. Sesaat kemudian, Arya telah menjatuhkan diri untuk
memeriksa kead aan Mel ati. Dewa Arak mem balikkan tubuh kekasihnya.
Tampak wajah Melati sangat pucat.
"Apa yang terjadi, Melati?" Dengan penuh k ekhawatiran Dewa Arak meng ajukan
pertany aan. Celana Mel ati yang telah agak terlu cuti dibetulkannya. Jelas
gadis itu telah melaksanakan perintahnya seb elum akhirnya menjerit dan
terjatuh. Sempat terlihat oleh Dewa Arak paha Mel ati yang putih dan halus.
Tidak terlihat tanda-tanda yang menunjukkan adanya luka!
"Seperti sebelumnya, Kakang! Sepertinya.... ada tombak yang
menusuk... Kali ini paha kiriku, kakang...," ujar Melati terbata-bata.
"Apa"!"
Dewa Arak terpekik kag et. Paha kiri. Itu berarti kedua kaki Mel ati tidak bisa
dipergunakan lagi! M eelati lumpuh"! Hampir Dewa Arak tidak percaya akan keny
Kisah Si Rase Terbang 4 Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Pusaka Warisan Iblis 1
^