Pencarian

Pusaka Warisan Iblis 1

Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis Bagian 1


PUSAKA WARISAN IBLIS Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Pusaka Warisan Iblis
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Hujan petir sambung menyambung tiada
henti, kilat menyambar-nyambar dengan disertai
hembusan angin yang begitu kencang. Berbagai
jenis pepohonan bertumbangan, tumpang tindih
tiada berketentuan. Tak seorang pendudukpun
yang berani keluar meninggalkan rumahnya. Su-
asana yang ada hanyalah gelegar petir dan desau
angin ribut yang menderu-deru. Dalam suasana
seperti itu nampak sesosok tubuh sedang berlari
kencang tanpa menghiraukan keadaan di sekeli-
lingnya. Tubuhnya basah penuh berlumur darah,
sementara di bagian tangannya menggengam se-
buah buntalan kecil yang juga di lumuri banyak
darah. Nampaknya orang yang sedang berlari-lari
mendapat bacokan senjata tajam yang cukup pa-
rah. "Glegeeer....!"
Petir di angkasa serasa merobek bumi, tu-
buh laki-laki yang berlumur darah dan telah pula basah dengan air hujan nampak
bergetar. Sejenak dia menghentikan langkahnya. Sorot ma-
tanya liar memperhatikan suasana di sekeliling-
nya. Sepasang mata yang redup itupun nampak
berkilat-kilat ketika melirik pada buntalan yang dibawanya.
"Aku harus segera sampai ke sana....!" kata laki-laki setengah baya ini,
selanjutnya tanpa me-nanti lebih lama. Orang inipun kembali berlari le-
bih kencang lagi. Dalam keadaan berlari itu, luka menganga di bagian punggungnya
semakin banyak mengalirkan darah. Bahkan di bagian ba-
junya yang basah, darah beku yang bergumpal-
gumpal jatuh berceceran.
"Sraaak...!"
"Gabruuuuk...!" tubuh laki-laki itu tersungkur ke depan saat mana sebuah tali
yang diren- tangkan sebatas lutut dan muncul dengan tiba-
tiba, menghadang kakinya.
Lalu beberapa sosok tubuh berpakaian ku-
ning gading nampak berlompatan dari semak-
semak dan langsung mengerumuni laki-laki yang
sudah dalam keadaan terluka parah ini.
"Kau telah berhasil membawa benda itu,
Jatayu...!"
"Keberanianmu sungguh luar biasa...! kau
terluka parah rupanya..." He...he...he...! Tempat itu memang mengandung banyak
jebakan, itu makanya kami tidak berani menjarahnya. Se-
karang serahkan benda itu pada kami, Jatayu...!
Cepatlah...kalau tidak jiwamu kan segera me-
layang!" Salah seorang diantara mereka yang berbadan pendek namun memiliki mulut
sangat le- bar. Laki-laki yang sedang dalam keadaan ter-
sungkur dan memiliki nama Jatayu ini mende-
ngus. Tapi suara dengusannya tak ubahnya ba-
gai orang yang sedang merintih kesakitan.
"Apakah kau ingin agar kami mengambil-
nya secara paksa...!" bentak si mulut lebar nampak semakin tak sabar saja.
"Glegeeer...!" petir di angkasa sana kembali menyambar. Tetapi tiga orang laki-
laki berpakaian kuning itu sudah tiada menghiraukannya lagi.
"Kakang Gompal Pringgan! Mengapa harus
basa basi..." Orang ini sudah hendak mampus,
lebih baik kita habisi saja sekalian...!" tukas salah seorang dari tiga orang
itu merasa tak sabar.
"Mengingat Nyai Pamekasan...! Aku tak
akan bertindak segegabah itu...!" kata Gompal Pringgan merasa segan.
"Kau dengarkan, Jatayu...! Kakangku ma-
sih mau memberi kesempatan hidup padamu ka-
rena orang yang dihormatinya... nah sekarang se-
rahkanlah bungkusan itu?"
"Ak...aku tak ingin menyerahkan bungku-
san ini pada siapapun...!" sela Jatayu. Sungguhpun suaranya tersendat-sendat,
namun dia ma- sih dapat berkata tegas.
"Kalau begitu, orang ini benar-benar tak
bisa dikasihani. Rebut bungkusan itu!" perintah Gompal Pringgan kepada dua orang
saudaranya. Dengan gerakan yang sangat cepat dua orang
berpakaian serba kuning itu menggebrak Jatayu.
Namun di luar dugaan kiranya laki-laki yang su-
dah terluka parah ini bangkit kembali. Pandangan matanya berubah beringas dan
liar. "Kalian tak akan pernah mendapatkan apa-
pun dariku...!" bentak Jatayu dengan suara bergetar. "Kau memang pantas
mampus...!" teriak Gompal Pringgan. Dalam keadaan sekalap ini, la-
ki-laki berpakaian kuning ini mencabut sen-
jatanya yang berupa Gading Gajah yang berhulu
ranting. Senjata aneh itu kemudian menderu ke
arah bagian, kepala, dada dan juga perut Jatayu.
Sungguhpun dalam keadaan terluka parah, na-
mun dia masih mampu menghindari terjangan
senjata di tangan tiga laki-laki berpakaian kun-
ing. Tetapi keadaan seperti itu tidak berlangsung lama. Tubuhnya yang sudah
kehilangan banyak
darah, nampak mulai limbung, lemas tiada berte-
naga. "Desak terus! Jangan beri dia kesempatan untuk menghindar...!" kata Gompal
Pringgan semakin memperhebat serangan-serangannya.
"Celaka! Tubuhku sudah tiada bertenaga
sama sekali, aku pasti tak dapat mempertahan-
kan apa yang seharusnya kusampaikan pada gu-
ruku...!" batin laki-laki yang bernama Jatayu ini masih terus berusaha
mengimbangi serangan-serangan lawannya.
"Hiaaat! Mampuslah kau...!" teriak ketiga orang itu bersamaan.
"Jrooos! Croook...Jrooot...!" senjata gading gajah yang sangat tajam itu
menembus batok kepala, dada juga bagian perut Jatayu. Laki-laki
yang sudah dalam keadaan terluka parah ini
langsung roboh, menggelosor mencium rerum-
putan basah. Dengan cepat Gompal Pringgan menyam-
bar bungkusan yang tergenggam erat di tangan
Jatayu. Kemudian tanpa menoleh-noleh lagi, ke-
tiganya segera berlari menjauh, kemudian meng-
hilang dikegelapan malam. Hujan deras yang dis-
ertai gemuruh suara petir masih terus menggila,
tak sampai sepemakan sirih setelah perginya tiga orang itu. Seorang perempuan
tua berusia sekitar lima puluh tahun muncul pula di tempat itu. Nenek berpakaian
tambal-tambal ini memiliki badan
agak bongkok. Sedangkan di tangannya nampak
tergenggam sebuah tongkat berukir kepala Singa
Merah. Kalangan persilatan mengenalnya sebagai
Pengemis Tongkat Sakti. Perempuan tua yang
memiliki nama Nyai Pamekasan ini merupakan
seorang tokoh beraliran lurus yang pernah mera-
jai dunia persilatan lebih kurang sepuluh tahun
yang lalu. Selama itu dia tak pernah terkalahkan oleh tokoh persilatan manapun
karena kehebatan
permainan tongkatnya yang begitu dahsyat. Lima
tahun terakhir setelah mengalahkan Sumbadra,
yaitu tokoh sesat yang bermukim di Pulau Angsa.
Nyai Pamekasan mulai mengasingkan diri di pun-
cak Gunung Berhala yang jauh dari keramaian
dunia-ramai bersama seorang muridnya yang
bernama Jatayu.
Semua itu dilakukannya demi menjaga ke-
selamatan sebuah benda pusaka yang berupa se-
buah Geluk Emas peninggalan almarhum gu-
runya Indra Bayu, yang sejak dulu telah diincar
oleh kalangan persilatan dari berbagai golongan.
Tetapi karena akhir-akhir ini semakin bertambah
banyak saja orang yang mengincar peninggalan
gurunya itu, maka Nyai Pamekasan mengutus
muridnya untuk memindahkan Geluk Pusaka itu
dari Lereng Bromo ke tempat pertapaanya di Gu-
nung Berhala. Tetapi setelah kepergian muridnya, mendadak hatinya dihantui rasa
was-was. Jangan-jangan di jalan muridnya yang bernama Ja-
tayu mengalami banyak rintangan. Dalam suasa-
na kalut seperti itu, akhirnya Nyai Pamekasan
meninggalkan Gunung Berhala, menyusul murid-
nya ke Lereng Bromo.
Ketika nenek berpakaian tambal-tambal ini
sampai di lereng Bromo dan memeriksa tempat
penyimpanan. Benda langka itu sudah tak ber-
ada di tempatnya. Diapun sudah dapat memas-
tikan Geluk Emas pastilah sudah diambil oleh
murid tunggalnya. Diam-diam nenek ini me-
ngikutinya dari belakang. Tetapi setelah melewati beberapa desa, dalam suasana
hujan petir. Akhirnya orang tua ini menjadi terperanjat begitu
melihat sosok tubuh yang sangat dikenalnya ter-
geletak tanpa nyawa.
"Siapa yang telah melakukan pembunuhan
keji ini...!" batin Nyai Pamekasan, sambil memeriksa keadaan mayat muridnya.
Melihat luka-luka
yang terdapat di sekujur tubuh Jatayu, nenek
berpakaian tambal-tambal ini kerutkan kening-
nya. "Sebuah luka bekas goresan senjata tajam pastilah akibat perangkap yang
terpasang di dalam gua, dan tololnya aku sampai lupa mengin-
gatkan yang satu itu. Tapi kematiannya pastilah
bukan karena luka itu, aku tahu persis. Ya... luka
berlubang mirip tanduk kerbau ini, pastilah yang menyebabkannya tewas...!" batin
si nenek sambil terus memeriksa tubuh muridnya di bagian lain.
"Luka bekas tanduk kerbau ini meninggal-
kan racun yang dapat membunuh seekor gajah.
Di sini terdapat tiga luka yang sama, kalau kuingat-ingat aku tak pernah melihat
orang yang mempergunakan senjata seperti ini...!" kata Nyai Pamekasan, sekejap
dipandanginya tiga luka di
bagian tubuh Jatayu. Otaknya bekerja keras un-
tuk mengingat siapa sebenarnya pemilik senjata
aneh yang telah menewaskan muridnya.
"Tanduk kambing! Ah tak mungkin... tan-
duk binatang seperti kambing terlalu kecil untuk di pergunakan sebagai senjata.
Tanduk lembu dan kerbau juga tak mungkin, apalagi tanduk ru-
sa. Tak terdapat petunjuk apapun untuk men-cari
tahu siapa pelaku pembunuhan ini...!" desah Nyai Pamekasan, lalu garuk-garuk
kepalanya yang basah oleh air hujan.
"Gajah...!" gumannya pelan. Gajah tak ber-tanduk... tetapi gadingnya, hemmm! Itu
pasti se- kali. Tapi siapa pemilik senjata seperti itu" Selama malang melintang di rimba
persilatan dulu,
aku tak mempunyai lawan yang memiliki senjata
seaneh itu. Atau mungkinkah selama lima tahun
aku mengundurkan diri dari dunia persilatan ke-
mudian muncul tokoh-tokoh baru yang memper-
gunakan gading gajah sebagai senjata andalan...!"
kata si nenek di dalam hati.
"Kemungkinan itu pasti ada saja. Dan sia-
papun orang yang melakukan tindakan keji seper-
ti ini, aku harus mencarinya. Yah... akan kucari walau sampai ke ujung bumi
sekalipun. Geluk
Emas peninggalan guruku kalau sampai terjatuh
ke tangan orang-orang sesat pastilah akan me-
nimbulkan malapetaka yang banyak memakan
korban jiwa...!" batin Nyai Pamekasan. Nenek berpakaian tambal-tambal ini
kembali terdiam, la-lu dipandanginya mayat Jatayu. Lalu tanpa sa-
dar, air matanyapun menitik. Dia nampaknya me-
rasa terpukul sekali atas kematian murid tung-
galnya. Dengan tatapan hampa, tubuhnya me-
nunduk kemudian diangkatnya mayat Jatayu, la-
lu melangkah pergi menuju Gunung Berhala.
2 Dalam hembusan udara pagi yang segar,
dan semerbak harumnya bunga-bunga yang tum-
buh liar. Betapa alam serasa menjanjikan suasa-
na kedamaian pada setiap mahkluk yang meng-
huninya. Namun suasana seperti itu segera ter-
pecah oleh hiruk pikuk derap langkah kuda yang
sedang dipacu cepat menuju lereng gunung Bro-
mo. Para penunggang kuda itu terdiri dari lima
orang bertubuh kekar, berpakaian cokelat, den-
gan wajah dipenuhi jambang dan bawuk, sedang-
kan di bagian punggung mereka menggelantung
sebilah pedang dengan gagang panjang beronce
merah. Siapakah mereka ini" Kalangan persilatan
mengenal mereka sebagai Lima Datuk Sesat dari
Hutan Parik. Mereka di kenal sebagai orang-orang golongan hitam yang begitu
kejam dan telenggas.
Dengan Pedang Pusaka Pembasmi Setan yang
mengandung racun sangat ganas, mereka dapat
membunuh lawannya hanya dalam sekedipan
mata saja. Dalam pada itu pemimpin rombongan
yang berada paling depan dan paling tua diantara rombongan lainnya, nampak
menghentikan lari
kuda tunggangannya secara tiba-tiba.
"Berhenti...!" perintahnya pada empat
orang penunggang kuda yang berada di bagian
belakang. Dengan cepat empat orang kawannya
menarik kekang kuda hingga binatang tunggan-


Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan itu berhenti secara tiba-tiba.
"Ada apa kakang...!" tanya salah seorang diantaranya.
"Hhh...! Menurutmu masih jauhkah lereng
Bromo dari tempat ini..." Aku pernah pergi ke sa-na beberapa purnama yang lalu,
kalau kita terus
melanjutkan perjalanan. Kira-kira setengah hari
nanti kita segera sampai...!"
"Masih jauh juga perjalanan kita dari tem-
pat ini...! Aku merasa kuatir benda langka itu telah terjatuh ke tangan orang
lain...!" desah laki-laki berusia enam puluh tahun itu merasa was-
was. "Kakang Wicak Sono! Mengapa kita harus takut! Kalau Geluk Emas yang konon
kabarnya memiliki keajaiban dalam menyembuhkan berba-
gai penyakit itu sampai terjatuh ke tangan orang
lain. Kita dapat merampasnya, dan kita akan
menjadi lima orang tabib sesat yang tiada duanya di kolong langit ini...!" sela
lainnya dengan sesungging senyum licik.
"Huh...! Siapa sudi menjadi seorang tabib
yang sepanjang hidupnya terus melarat. Kalau
Geluk Emas itu telah kudapat, maka akan ku-
ciptakan racun yang mematikan. Dan membuat
teror di mana-mana...!" dengus Wicak Sono.
"Sebuah ide yang cukup jitu kakang...!
Kami bahkan mendukung dengan sepenuh ha-
ti...!" kata lain-lainnya mendukung.
"Jangan banyak membual, baiknya kita te-
ruskan saja perjalanan kita ini...!" ujar yang menjadi pimpinan, lalu menggebrak
kudanya. "Kakang! Lihatlah...! Di depan sana ada ti-
ga orang yang patut kita curigai." seru salah seorang dari kelima datuk sesat
itu. "Kejar orang itu...!" teriak Wicak Sono. Lalu dengan kecepatan yang menggila
kelima datuk sesat dari Bukit Bontang inipun kembali mengge-
brak kudanya dengan kecepatan luar biasa.
Dalam waktu yang begitu singkat tiga
orang pejalan kaki yang mereka curigai itupun telah tersusul.
"Kisanak! Mohon berhenti...!" perintah Wicak Sono pada tiga orang laki-laki
berpakaian kuning. Secara serentak mereka menoleh, tapi
nampaknya para pejalan kaki ini tidak mengenali
siapa para penunggang kuda itu.
"Siapakah anda..." Mengapa pula meng-
hentikan perjalanan kami...?" tanya salah seorang diantaranya yang berbadan
pendek dan bermulut
lebar. "Ahh... dunia yang luas ini sering kami buat porak poranda dengan sepak
terjang kami. Empat penjuru mata angin dunia persilatan telah
mengenal kami dengan begitu baik. Tapi alang-
kah menyesalnya kami, hari ini ada tiga orang tikus dapur yang kesasar tidak
mengenal siapa kami adanya...!" tukas Wicak Sono dengan tatapan dingin. Memerah wajah tiga
laki-laki berpakaian serba kuning ini. Apalagi mengingat betapa kelima orang
penunggang kuda itu tak memandang muka kepadanya.
"Tiada hujan, tiada pula angin. Tetapi aku
heran mengapa pohon-pohon bertumbangan. Dan
kalian orang-orang gila dari manakah begitu da-
tang langsung mengumbar kata-kata kasar...!"
bentak Gompal Pringgan. Geram.
"Bangsat...! Tikus-tikus ini benar-benar tak tahu betapa tingginya gunung dan
dalamnya lautan. Tahukah kalian dengan siapa kalian ber-
hadapan?" "Mengapa tidak" Kalian adalah lima ekor
monyet cokelat yang sengaja datang mencari ga-
ra-gara...!" sentak salah seorang dari tiga orang laki-laki berpakaian kuning
ini berang. Selama
malang melintang di rimba persilatan belum per-
nah ada dalam sejarahnya tokoh manapun berani
menghina mereka sedemikian rupa. Dan kali ini
tiga orang laki-laki belum pernah mereka lihat se-
pak terjangnya telah begitu berani menghina den-
gan kata-kata kasar. Hal ini mereka anggap seba-
gai suatu penghinaan yang tak dapat dimaafkan.
"Setan alas, anjing geladak! Kau telah begi-tu berani menghina kami, dan hanya
ada satu ca- ra demi keselamatan jiwa kalian. Serahkan bung-
kusan itu pada kami!" perintah Wicak Sono.
"Semudah itukah kalian memberi perintah
pada orang lain..." Pula bungkusan ini tidak me-
miliki arti apa-apa...!" kata Gompal Pringgan. Sementara dua orang kawannya
melirik ke arah
bungkusan yang berada dibagian punggung sau-
dara seperguruannya yang paling tua.
Tentu saja apa yang dilakukan oleh dua la-
ki-laki berpakaian kuning ini menarik perhatian
para penunggang kuda. Mereka menjadi curiga.
Jangan-jangan Geluk Emas yang terdapat di le-
reng Bromo, kini telah berada di tangan ke tiga
orang itu. Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba saja Wicak Sono memberi isyarat
pada empat orang
kawannya. Tanpa basa-basi lagi, empat orang ib-
lis inipun berlompatan dari punggung kuda mas-
ing-masing. Dengan gerakan sangat cepat, tahu-
tahu Gompal Pringgan dan dua orang saudara se-
perguruannya telah terkepung rapat.
"Huaaa...ha...ha...! Jangan ada seorang dari kalianpun yang coba-coba mengambil
tindakan yang sangat gegabah. Serahkan buntalan itu, dan kami
hanya menghendaki dua belah tangan kalian sa-
ja...!" bentak Wicak Sono. Namun di luar dugaan Gompal Pringgan balas tergelak-
gelak. Karena su-
aranya di sertai dengan tenaga dalam yang tinggi.
Maka suara tawa itu terasa menggetarkan jan-
tung lawan-lawannya. Maka sadarlah Wicak Sono
dan kawan-kawannya, kalau saat itu mereka se-
dang berhadapan dengan tiga orang lawan yang
tidak dapat dipandang sebelah mata.
"Cring... Sriiing...!" secara mendadak serentak keempat kawan tokoh sesat inipun
mencabut senjatanya. Sedangkan yang menjadi pimpinan
masih tetap ongkang-ongkang di atas punggung
kudanya. "Jangan pernah bermimpi hujan kan terja-
di di tengah-tengah panas yang menyengat. Se-
tan-setan dari bukit Bontang" Bagi kami nama
kalian yang begitu kesohor di empat penjuru mata angin tidak ada apa-apanya...!
Kucing kurap dan
tikus belekan boleh keder mendengar julukan ka-
lian, tapi tidak begitu halnya dengan Tiga Hantu Lembah Neraka...!" bentak
Gompal Pringgan tanpa sungkan-sungkan lagi. Kenyataan yang terjadi, lima Datuk
Sesat ini memang nampak terkejut
luar biasa. Tiga Hantu Lembah Neraka bukanlah
nama yang asing bagi mereka, bahkan dunia per-
silatan mengenal tiga orang ini karena ketinggian ilmunya. Tetapi selama ini
Tiga Hantu Lembah
Neraka merupakan tokoh sesat yang sangat mis-
terius. Sangat jarang sekali terlihat berkeliaran di rimba persilatan. Itu
makanya ketika melihat kehadiran ketiga laki-laki berpakaian serba kuning.
Kelima datuk sesat dari Bukit Bontang ini tidak
mengenal mereka sama sekali. Karena sebelum-
nya sekalipun mereka tak pernah berjumpa apa-
lagi bentrok dengan tiga tokoh misterius ini. Selanjutnya dengan sikap agak
merendah, namun
tak pernah mengalah. Wicak Sono berkata: "Nama Tiga Hantu Lembah Neraka sangat
di kenal karena kehebatan senjata dan ketinggian ilmunya.
Terlalu sombong demi kami karena telah begitu
jumawa menggembar-gemborkan julukan kami
yang tidak ada apa-apanya di hadapan anda se-
kalian. Maafkanlah! Tapi bolehkan kami tahu apa
isi bungkusan yang anda bawa...?" ujar Wicak Sono tanpa mengalihkan ucapan dari
tujuan semula. "Ha... ha... ha...! Bicara saja muter-muter, tak tahunya itu-itu
juga akan kau tanyakan...!"
sentak Gompal Pringgan tanpa sungkan-sungkan
lagi. "Kami hanya sekedar ingin tahu saja...!"
kata Wicak Sono berkilah.
"Heh...kalau kau ingin tahu isi bungkusan
ini, maka tinggalkan kepala kalian disini. Nanti ji-ka kalian benar-benar telah
menjadi setan neraka kalian baru kuberi tahu...!" antara sungkan dan rasa
penasaran berbaur menjadi satu, akhirnya
meledak menjadi sebuah amarah yang sudah ti-
dak menghiraukan akibatnya.
"Tiga Hantu Lembah Neraka! Sungguhpun
kalian memiliki sepuluh tangan sepuluh kaki.
Kami Lima Datuk Dari Bukit Bontang tidak per-
nah merasa gentar. Keenggananmu mene-
rangkan isi bungkusan itu saja sudah merupakan
satu bukti pada kami, bahwa sebenarnya isi
bungkusan itu tak lain adalah Geluk Emas yang
telah kalian curi dari Lereng Bromo...!"
"Bagus! Kalau kalian sudah mengetahui,
mengapa tidak cepat-cepat merat dari hadapan
kami...?" bentak Gompal Pringgan, secara mendadak berubah beringas.
"Semua kalangan persilatan menjadi gem-
par karena benda itu sobat. Mereka berlomba-
lomba untuk mendapatkannya. Tak segan-segan
mereka saling bunuh dan curiga mencurigai. Bu-
kan mustahil kamipun yang da tang jauh-jauh
dari bukit Bontang, juga ingin melihat dan memi-
liki Geluk Emas yang mengundang banyak perha-
tian golongan manapun...!"
"Lebih baik kalian bermimpi telah menda-
patkan benda ini, dari pada harus mendapatkan-
nya secara kenyataan. Benda ini sampai di ta-
ngan kami telah merenggut jiwa yang mem-
bawanya. Aku menjadi takut dalam waktu se-
kejab lagi, nyawa diantara kita menjadi korban
berikutnya...!" sentak Gompal Pringgan setengah mengingatkan. Sungguhpun Tiga
Hantu Lembah Neraka telah memberi peringatan sedemikian ru-
pa. Tapi nampaknya Wicak Sono dan empat orang
saudara seperguruannya tidak mengindahkan pe-
ringatan itu. "Kami siap mengadu jiwa demi Geluk Emas
yang ada di tanganmu itu...!" mengerang suara Wicak Sono, tanda dia sudah tidak
menghiraukan ancaman tokoh misterius yang berdiri tegak
di depannya. "Keinginan kalian hanya akan menambah
jumlah korban lebih banyak lagi, kucing kurap
Bukit Bontang...!"
"Tunggu apa lagi...! Majulah...!" bentak salah seorang berpakaian kuning lainnya
yang ber- nama Ki Luwuh. "Sebelum itu kita harus habisi dulu kuda-
kuda mereka...!"
"Shaaaa...!"
Gompal Pringgan menyambitkan senjata
rahasianya yang berupa serpihan tulang gajah
yang sangat kecil mirip jarum. Seperti di ketahui senjata rahasia ini juga
mengandung racun yang
sangat ganas. Begitu tangan Gompal Pringgan
melambai ke arah depannya, puluhan benda kecil
berwarna putih menghantam telak di bagian leher
kuda-kuda tunggangan milik kelima Datuk Bukit
Bontang. "Hiiieeeeh...!"
Kuda tunggangan itupun meringkik keras
saat mana bagian lehernya tertembus senjata ra-
hasia milik Gompal Pringgan. Bahkan senjata-
senjata maut itu langsung menembus leher itu,
lalu melesat lagi dan menancap pada sebatang
pohon. Tak dapat dicegah, lima ekor kuda tung-
gangan itupun ambruk ke bumi, begitupun den-
gan kuda milik Wicak Sono. Andai saja laki-laki
setengah baya itu tidak cepat-cepat menghindar
sudah pasti diapun menjadi sasaran empuk sen-
jata rahasia milik lawannya.
"Huuuaa...!"
Secara serentak kelima orang itu menggem-
pur Tiga Hantu Lembah Neraka, dengan jurus pe-
dang andalannya. Sementara itu masih dengan
bertangan kosong, laki-laki berpakaian serba
kuning ini melayaninya dengan begitu mantap.
Kenyataannya kedua golongan sesat itu
memang sama-sama memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Masing-masing mereka mempunyai
kelebihan dalam setiap jurus pedang maupun ju-
rus-jurus silatnya.
Satu kesempatan secara serentak Tiga
Hantu Lembah Neraka melakukan gerakan meng-
hindar ke belakang tujuh tombak, lima orang la-
wan memburu dengan membabatkan pedangnya
secara bertubi-tubi. Namun di luar dugaan mas-
ing-masing tangan Tiga Hantu Neraka mengga-
bungkan tangannya dengan posisi berbaris ke
samping. Lima Datuk Bukit Bontang terus men-
desaknya. Pada saat itulah
"Hiaaaat...!"
Tubuh Tiga Hantu Lembah Neraka secara
serentak melayang di udara laksana terbang. Se-
cara praktis lima orang lawannya kehilangan sa-
sarannya. Ketika Wicak Sono menoleh ke be-
lakangnya, maka dilihatnya Tiga Hantu Lembah
Neraka telah berada di sana.
"Kuya...!" geram Wicak Sono dan lain-
lainnya. Lalu dengan mempergunakan jurus 'Me-
nusuk Awan Menembus Kegelapan' secara ber-
barengan mereka berbalik langkah kemudian me-
nerjang Gompal Pringgan dan dua orang kem-
bratnya. 3

Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serangan itu selama ini dikenal sebagai se-
rangan yang sangat berbahaya dan mengandung
resiko tinggi bagi setiap lawannya. Bahkan tiga
orang lawannyapun dapat merasakan angin sam-
baran pedang yang begitu keras dan ganas. Tiada
mengenal sungkan lagi Gompal Pringgan, Ki Lu-
wuh dan Pramesta segera pula mencabut senja-
tanya yang terbuat dari gading gajah dan men-
gandung racun keji luar biasa.
"Wuuk...! Wuuk...! Wuuuk...!"
Tak kalah dahsyatnya senjata merekapun
menderu. Bentrokanpun terjadi.
"Traaak...!" Wicak Sono dan empat orang saudara seperguruannya keluarkan seruan
tertahan. Tubuh mereka terhuyung-huyung, tangan
terasa nyeri bagai kesemutan. Bahkan dua orang
lainnya sampai terjengkang. Lalu terbatuk bebe-
rapa kali, bahkan secara cepat tubuh dua orang
kawan Datuk sesat dari Bukit Berkabung beru-
bah membiru. Mata melotot bagai melihat setan di siang bolong. Kejadian itu
tidak berlangsung la-ma, karena sekejap kemudian tubuhnya berkelo-
jotan, lalu terdiam untuk selama-lamanya.
Kiranya ketika senjata masing-masing me-
reka saling bentrok tadi dengan kecepatan yang
sangat sulit untuk diikuti kasat mata, Gompal
Pringgan sempat pula menusukkan senjatanya ke
dada lawan. Demi melihat kenyataan ini, semakin
bertambah beringaslah Wicak Sono dan dua
orang tokoh lainnya. Akhirnya selain menyerang
Tiga Hantu Lembah Neraka dengan pedangnya,
merekapun mulai melepaskan pukulan-pukulan
"Bayangan Menggoda", untuk mengacaukan kon-sentrasi lawannya.
"Dep...Dep...!" Tiga Hantu Lembah Neraka yang sudah mengetahui kunci kelemahan
lawannya juga tidak tinggal diam. Dua orang di anta-
ranya segera berdiri merapat. Sedangkan Gompal
Pringgan nampak melompat, lalu berdiri tegak di
atas tubuh dua orang saudaranya. Gabungan ge-
rakan seperti ini sebenarnya merupakan salah sa-
tu dari tiga cara untuk melepaskan senjata raha-
sia yang mereka miliki.
Tapi mana mungkin Wicak Sono dan dua
orang lainnya mengetahui bahwa sesungguhnya
apa yang dilakukan oleh lawan-lawannya dapat
berakibat fatal bagi diri mereka. Tiga pukulan
maut dilepaskan oleh Lima Datuk Sesat yang
hanya tinggal bersisa tiga orang itu.
"Wueeess...!" Ki Luwuh dan Pramesta me-nandingi pukulan itu dengan Ajian
Perenggut De- wa, sementara Gompal Pringgan sudah ber-siap-
siap untuk menyambitkan senjata rahasia-nya
yang berupa serpihan gading beracun.
"Dwuuuer...!" tubuh gabungan Tiga Hantu
Lembah Neraka tiada bergeming sedikitpun. Se-
mentara tiga orang lawannya dalam keadaan ter-
huyung-huyung dan muntah darah kental. Pada
saat lawannya dalam keadaan seperti itulah,
Gompal Pringgan sambitkan senjata rahasianya.
"Weeer...!"
"Creep...! Creep...!" hanya Wicak Sono saja yang sedang terluka dalam itu, mampu
membabat runtuh serangan senjata rahasia milik la-
wannya. Sedangkan dua orang datuk lainnya
meskipun mampu merontokkan serangan senjata
rahasia milik Gompal Pringgan, namun beberapa
buah diantaranya berhasil menembus bagian da-
da dan perut mereka. Kejab itu juga dua orang
datuk sesat kembali terbanting roboh.
Dengan sangat cepat, tubuh orang itupun
membiru. "Saudara-saudaraku...!" jerit Wicak Sono begitu menyadari dalam waktu yang
sangat singkat empat orang saudara seperguruannya tewas
di tangan Tiga Hantu Lembah Neraka.
"Kalian, Kepar...!" ucapan Wicak Sono ter-cekat hanya sampai di tenggorokan
saja. Kiranya mempergunakan kelengahan lawannya tiga orang
laki-laki bertampang dingin itu telah pergi begitu saja. "Kurang ajar! Setelah
membantai orang-orangku, manusia iblis itu pergi begitu saja. Aku pasti akan
mencari mereka walau sampai ke liang
kubur sekalipun...!" geram Wicak Sono. Dengan hati diliputi kepedihan, tokoh
dari lima datuk in-
ipun segera membuat kubur untuk saudara-
saudaranya yang tewas di tangan Tiga Hantu
Lembah Neraka. **** Walaupun pemuda berkuncir itu sudah
menerangkan siapa dirinya yang sesungguhnya.
Namun tetap saja orang-orang yang bersenjata-
kan tombak itu terus saja menyerang dan beru-
saha mendesaknya. Hujan senjatapun tak dapat
dihindarinya lagi. Kalau sejak semula Buang
Sengketa hanya berusaha menghindar dan me-
nangkis setiap datangnya serangan, maka kali ini nampaknya dia sudah tak dapat
menahan kesa-barannya lagi. Masih tetap mempergunakan jurus
Membendung Gelombang Menimba Samudra,
pendekar Hina Kelana segera memutar kedua
tangannya hingga akhirnya tak ubahnya bagai
sebuah perisai yang kokoh dalam melindungi di-
rinya. Tubuh pemuda ini akhirnya nampak hanya
bagai bayang-bayang belaka. Karena tangan yang
berputar membentuk perisai diri itu di aliri tenaga dalam yang cukup tinggi,
maka setiap senjata
tombak di tangan lawannya berhasil tersentuh
tangan si pemuda, maka mata tombak yang cu-
kup tajam dan tak terhitung jumlahnya itu ber-
pentalan ke segala penjuru. Sebegitu jauh pulu-
han orang para pengeroyoknya nampak tiada ter-
pengaruh dengan tindakan yang dilakukan oleh
pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara ini.
Semakin lama bahkan puluhan pengeroyok
itu semakin memperhebat serangannya. Sedikit
banyaknya pemuda ini tentu menjadi heran, apa-
lagi ketika dia melihat hampir setiap wajah para penyerangnya itu tiada
menunjukkan ekspresi
sedikitpun. Bahkan rasa takut tak terlihat sama
sekali dalam sorot mata orang-orang itu.
"Aku begitu heran dengan keadaan orang-
orang ini, mereka menyerangku bagai orang yang
sedang dirasuki setan. Wajah mereka pucat, tiada menunjukkan gairah kehidupan.
Bahkan akupun tiada melihat antara keseriusan dengan sikap
main-main. Hhh! Tapi di antara sekian banyak
orang-orang yang menyerangku ini, tak pernah
sekalipun kudengar suara mereka. Apakan mere-
ka ini merupakan orang-orang gagu, tuli atau
bahkan sebangsanya memedi yang mendapat pe-
rintah dari orang lain...! Ah berengsek ... sejak ta-di mereka mengincar bagian
pinggangku, ataukah
mungkin mereka menginginkan periuk mustika
ini. Lalu untuk apa mereka menghendaki periuk
yang kubawa-bawa ini. Pasti ada sesuatu yang
terjadi di tempat ini, satu persoalan yang patut untuk kuselidiki...!" batin
pemuda itu sambil terus berusaha mengelakkan sabetan senjata-
senjata lawan yang datangnya bertubi-tubi.
"Aku harus mencoba mereka dengan cara
lain...!" kata pemuda itu. Secara mendadak tubuh Buang Sengketa berkelebat
lenyap. Tapi nampaknya semua lawan-lawannya yang rata-rata memi-
liki kepandaian lumayan itu merasa tidak kehi-
langan jejak. Terbukti mereka terus memburu
pendekar ini, walau kemanapun dia berusaha
menghindar. Kekesalanpun akhirnya menyelimuti
diri sang pemuda. Tak ayal lagi diapun sudah
bersiap-siap mengerahkan Lengkingan Ilmu Pe-
menggal Roh. "Heiiikgh...!"
Tanah di sekitar perbukitan dan penuh di-
tumbuhi oleh berbagai tumbuhan menjalar itu-
pun terguncang keras bagai sedang dilanda se-
laksa gempa. Para penyerang itu berpelantingan
tunggang langgang. Namun tetap saja tiada ke-
luar sepatah katapun dari mulut mereka. Yang
membuat Buang Sengketa terheran-heran karena
tak seorangpun dari mereka yang menemui ajal
sebagaimana mestinya.
"Edan... manusia atau setankah mereka
ini... Tak satupun dari mereka yang terpengaruh
oleh lengkingan Ilmu Pemenggal Roh. Tubuh me-
reka hanya roboh saja, tapi tak seorangpun yang
mengalami akibat apa-apa...!"
"Craang... Triingg... Triiing...!"
"Hiaaa...! Hooooss...!"
Pendekar keturunan negeri alam gaib ini
mengerahkan setengah dari tenaga dalamnya ke
arah bagian telapak tangannya. Sementara seba-
gian lainnya dia pergunakan untuk melindungi
diri dari hujan mata tombak yang tiada henti. Sekejap kemudian tubuhnya yang
telah basah ber-
mandi keringat nampak menggeletar. Begitu tan-
gannya yang telah teraliri tenaga dalam itu dia
dorongkan keempat penjuru mata angin. Maka
menderulah serangkum sinar Ultra Violet me-
labrak tubuh lawan-lawannya yang berjarak begi-
tu dekat dengan dirinya. Tak salah lagi saat itu Buang Sengketa telah melepas
pukulan Empat Anasir Kehidupan yang menyebarkan hawa panas
membakar. Kembali orang-orang yang bersenjata tom-
bak itupun berpelantingan roboh. Saat itu tubuh
mereka tak ubahnya bagai ranting kering yang di-
landa topan prahara. Sama seperti kejadian yang
telah lalu, kali inipun tiada terdengar lolongan dan jeritan maut. Tubuh yang
berpelantingan dan
jatuh tumpang tindih dalam keadaan hangus itu-
pun tidak menebarkan bau daging terbakar.
Sementara itu sisa-sisa dari para pengero-
yoknya yang selamat dari pukulan yang dilepas-
kan oleh si pemuda nampak semakin bertambah
beringas. Dengan gesit mereka menyerang si pe-
muda dengan tusukan maupun sabetan tombak
dari berbagai penjuru. Namun Buang Sengketa
yang sudah melindungi diri dengan memperguna-
kan sebagian tenaga saktinya ini tiada bergeming sedikitpun juga. Pakaiannya
hampir keseluruhan
tercabik-cabik di sana sini, tapi tubuhnya tidak mengalami luka walau barang
sedikitpun. "Hiaaat...!"
"Weeer...!"Weeerr...!" pukulan yang sama-pun kembali dilakukan oleh Buang
Sengketa, ke- jadian serupa terulang kembali. Pada saat lawan-
lawannya hanya tinggal beberapa gelintir saja, ke-
tika itulah terdengar suara tawa sambung me-
nyambung tiada henti. Buang Sengketa memper-
hatikan keadaan di sekelilingnya. Tapi tak seo-
rangpun yang dia lihat berada di sekitar tempat itu, terkecuali beberapa
gelintir sisa-sisa lawannya. Alis si pemuda mengkerut, kemudian garuk-
garuk rambutnya.
"Pastilah pemilik suara itu seorang perem-
puan. Tapi aku merasa kagum dengan ilmu men-
girimkan suaranya yang begitu sempurna. Satu
yang dapat kubuktikan, bahwa orang-orang yang
telah menyerangku ini besar dugaanku merupa-
kan suruhan pemilik suara tadi. Terbukti begitu
mendengar suara tawanya saja mereka sudah
menyingkir dari hadapanku...!"
"Kalau tak salah, manusia dungu pembawa
periuk dengan rambut di kuncir seperti orang
banci pastilah pendekar goblok Si Hina Kelana.
Sayang... sayang sekali...!" ujar suara itu tanpa menghiraukan Buang Sengketa
yang sedang dilanda perasaan bingung. Bagai di sengat bina-
tang berbisa, pemuda itu terlonjak kaget. Sama
sekali dia tiada menyangka kalau perempuan
yang bicara melalui ilmu mengirimkan suara itu
begitu meremehkan dirinya.
"Huh. Aku tak pernah mengenalmu, bicara
secara sembunyi-sembunyi seperti setan. Ru-
pamu buruk seperti nenek sihir, atau bahkan
mungkin lebih jelek dari iblis...!" maki Buang Sengketa merasa tersinggung. Pada
dasarnya dia memaklumi, perempuan yang bicara melalui ilmu
mengirimkan suara itu pastilah seorang tokoh
yang memiliki kepandaian tinggi. Sebab tak sem-
barangan orang mampu melakukannya terkecuali
mereka yang sudah memiliki tenaga dalam di atas
sempurna. Namun Buang Sengketa tiada mem-
perdulikan hal itu. Dia merasa tersinggung den-
gan kata-kata pemilik suara itu. Sebaliknya yang diajak bicara kembali tertawa
mengekeh. "Pendekar Hina Kelana! Pemuda gembel
yang namanya kesohor di delapan penjuru persi-
latan...! Padamu kami tak perlu basa basi, karena kau telah melewati daerah
terlarang yang menjadi kekuasaanku. Dan merupakan orang yang kucu-rigai, maka
anda harus bersedia kami geledah!
Seandainya apa yang kami cari tidak terdapat pa-
damu, maka kami persilakan segera meninggal-
kan tempat ini...!" Ujar si pemilik suara bergetar.
"Aneh, mendengar suaranya mengapa jan-
tungku berdebar-debar. Menghadapi lawan yang
sehebat apapun aku tak pernah mengalami keja-
dian seganjil ini....! Siapakah orang itu" Suaranya seperti pernah kukenali...!"
membatin pemuda ini dengan hati diliputi tanda tanya.
"Mengapa kau diam, bocah...! Apakah kau
sudah bersedia untuk kami periksa...?" sentak suara itu segera membuyarkan
lamunan Buang

Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sengketa. "Heh...! Belum pernah seumur hidupku
dan sepanjang jalan yang kulalui, ada peraturan
seaneh ini. Mulanya kedatanganku disambut
dengan serangan berbagai tombak karatan. Bah-
kan aku merasa yakin orang-orang yang telah
menyerangku pastilah merupakan orang-orang
suruhanmu...!" tersendat suara pemuda itu.
"Mereka memang benar orang-orang suru-
hanku, tapi bisa engkau lihat bahwa orang itu
bukanlah manusia sungguhan. Lihatlah baik-baik
betapa mereka merupakan orang-orang yang bi-
asa dipergunakan oleh para petani untuk meng-
halau burung di sawah!" dengan sikap enggan pendekar ini memperhatikan mayat-
mayat hangus yang tadi kena di hantam pukulan Empat
Anasir Kehidupan. Sepasang matanyapun mem-
belalak tak percaya. "Bagaimana mungkin orang-orangan yang diciptakannya dapat
menyerangku sedemikian rupa" Pantasan tadi mayat-mayat itu
tidak mengeluarkan suara maupun jeritan apa-
pun...! Kurang ajar! Hari ini aku benar-benar ke-na dikerjai...!" batin Buang
Sengketa. Buang Sengketa akhirnya merasa kesal sendiri, akhirnya diapun
memutuskan untuk meninggalkan tempat
itu. Tapi seperti apa yang terdapat dalam pikirannya, baru saja dia melangkah
tiga tindak. Dari
arah depannya, datang angin kencang menderu-
deru. "Tak ada mendung dan tak ada hujan, tiba-tiba angin bertiup sekencang
ini...! Pastilah ulah perempuan-perempuan itu...!" umpatnya dengan suara
perlahan. Lalu tanpa membuang-buang
waktu lagi, Buang Sengketa kerahkan tiga perem-
pat tenaga dalamnya. Kedua tangan terlipat di
depan dada, tubuh tegak bagaikan sebuah arca.
Dengan sengaja saat itu si pemuda memang sen-
gaja mencoba mengadu tenaga dalamnya dengan
pihak lawan. Hembusan angin semakin lama semakin
bertambah kencang, pakaian Buang Sengketa
berkibar-kibar. Tapi tubuhnya tetap tidak ber-
geming sedikitpun, malah bibir pemuda itu me-
nyunggingkan seulas senyum.
"Musim kemarau panjang seperti ini, udara
memang terlalu panas. Masih untung ada orang
yang begitu berbaik hati mengipasi diriku seperti ini...!" teriak Buang
Sengketa, lalu tergelak-gelak.
"Kampreet...!" terdengar suara kesal si wanita. "Hiyaaaa...!" suara teriakan
keras itu di sertai dengan melayangnya tiga sosok tubuh
mengenakan topeng berwarna biru. Dengan gera-
kan yang sangat ringan tubuh ketiga perempuan
bertopeng ini menjejakkan kakinya persis di de-
pan Buang Sengketa.
"Kau memang hebat pemuda tampan, na-
mun jangan buru-buru berbangga diri. Sekali lagi kukatakan padamu, kami akan
memeriksamu...!"
"Gila mengapa jantungku berdebar tiada
berketentuan. Siapakah perempuan-perempuan
ini...?" batin Buang Sengketa tanpa menjawab pertanyaan si perempuan bertopeng.
"Pemuda kurang ajar! Jangan berlagak pi-
lon, di dalam periukmu pasti kau sembunyikan
Geluk Emas yang saat ini sedang diperebutkan
oleh banyak tokoh...! Cepat-cepatlah serahkan
kepada kami...!"
"Aku tiada tahu menahu tentang geluk dan
segala macam yang diperebutkan oleh para se-
tan. Menepilah,...! Aku sedang melaksanakan tu-
gas dari seseorang atas benda yang sedang dipe-
rebutkan itu...!" Buang Sengketa mende-ngus, la-lu berbalik langkah mencari
jalan lain. Namun
dua orang bertopeng lainnya telah meng-hadang
jalan yang akan dilaluinya.
"Minggir! Aku tak punya urusan dengan
kalian...!"
"Semudah itukah engkau pergi begitu saja.
Sekarang semakin keras dugaanku benda yang
diperebutkan banyak tokoh itu pastilah berada di dalam periuk itu!"
"Wah wong edan dari manakah kalian ini"
Mengapa begitu tolol..." Setengah hidup aku
mencari benda itu, bahkan belum ketemu hingga
sekarang. Sekarang kalian dengan seenaknya
menuduhku yang bukan-bukan...!"
"Jangan berdalih macam-macam...! Sergap
dia...!" perintah perempuan bertopeng pada dua orang kawannya.
"Weeer...! Weeer! Weeer...!" tiga buah jala yang terbuat dari oyot kayu
mengurung tubuh
Buang Sengketa. Dengan cepat bagian bawah jala
itu disentakkan oleh mereka, hingga me-
nyebabkan tubuh pemuda itu tak dapat bergerak
dan terjerembab jatuh. Belum lagi pemuda ini
sempat berbuat banyak. Dua totokan pada bagian
urat gerak membuat tubuhnya kaku.
"Hi...hi...hi...! Ternyata pendekar yang sangat kesohor itu hanya memiliki nama
kosong...! Buktinya berhadapan dengan Tiga Dara Berto-
peng saja sudah tak mampu berbuat banyak...!"
dengus si Topeng Biru yang menjadi pimpinan.
"Kurang ajar! Kalian benar-benar manusia
pengecut...! Lepaskan aku, mari kita bertarung
secara ksatria...!" maki si pemuda.
"Mana bisa! Kau telah kalah...! Sekarang
kau harus kami bawa ke tempat kediaman kami
untuk menjalani pemeriksaan...!"
"Pemeriksaan kentut busuk! Kalian hanya-
lah sebangsanya maling kecil yang tidak ada
apanya di depanku...!" umpat Buang Sengketa.
Ketiga perempuan bertopeng itu nampaknya su-
dah tidak menghiraukan si pemuda lagi, lalu den-
gan tergesa-gesa, salah seorang diantara mereka
langsung memanggul tubuh si pemuda. Bagai tak
memiliki bobot, tubuh si pemuda serasa melayang
laksana terbang ketika perempuan bertopeng
membawanya berlari kencang.
4 Pulau Angsa dilihat sepintas lalu tak ubah-
nya bagai sebuah perahu yang terapung di ten-
gah-tengah lautan. Nampak begitu kecil bahkan
dilihat dari kejauhan nampak hanya merupakan
sebuah titik hitam belaka. Saat itu laut memang
sedang dilanda badai, sehingga tak seorang ne-
layanpun yang berani menangkap ikan dalam su-
asana angin ribut selama hampir sebulan. Lain
lagi halnya dengan sebuah sampan kecil yang te-
rus melaju mengarungi gelombang besar menuju
Pulau Angsa. Seolah bagai tiada memperdulikan
deburan ombak yang menggulung dan angin ribut
yang berhembus kencang. Laki-laki berpakaian
cokelat yang berada di atas sampan kecil ini seolah berpacu melawan ganasnya
ombak yang se- makin terus menggila.
Berulang kali sampan yang ditumpanginya
dihempaskan gelombang. Setiap kali salah seo-
rang dari lima datuk sesat dari Bukit Bontang ini harus menjaga keseimbangannya.
Tetapi nyalinya
tak pernah menciut dalam melawan ganasnya su-
asana alam. "Mudah-mudahan kakang mbok berada di
tempat saat ini! Empat orang saudara seper-
guruan tewas di tangan Tiga Hantu Lembah Ne-
raka. Sakit hati ini harus dibalas dengan cara bagaimana sekalipun. Pula kakang
mbok pasti mau membantuku jika kabar tentang Geluk itu ku-
sampaikan kepadanya...!" gumam Wicak Sono
sambil terus berusaha mengendalikan sampan
yang ditumpanginya. Semakin lama, Pulau Angsa
berjarak semakin dekat dengan sampan Wicak
Sono. Tak sampai sepemakan sirih, sampan itu-
pun telah merapat di pinggiran pantai pulau ter-
sebut. Wicak Sono segera menambatkan sampan-
nya pada sebatang tonggak kayu. Kemudian den-
gan langkah gontai laki-laki berusia lima puluh
sembilan tahun inipun menelusuri jalan setapak
menuju sebuah rumah bertonggak tinggi. Rumah
bertonggak yang dindingnya terbuat dari kayu api itu nampak sepi, seolah tiada
berpenghuni, bahkan pintunya pun tertutup rapat. Tapi laki-laki ini merasa yakin
di dalam sana penghuninya pasti
berada di tempat.
"Kakang mbok...! Kakang mbok...! Apakah
kakang berada di dalam...!" tanyanya sekedar ba-sa-basi.
"Hik...! Hiii...! Selalu saja kau memakai segala peradatan, adik Sono! Dewa laut
sedang murka, angin ribut membuat tubuh tuaku meng-
gigil. Untuk apa aku berkeliaran di luaran sa-
na...!" sebuah suara yang begitu dingin me-
nyahut dari dalam rumah bertonggak tinggi.
"Hhh. Di luar sini udara memang sangat
dingin, bahkan ketika di tengah laut sana aku
hampir mampus diterjang ombak!"
"Nah sekarang tunggu apa lagi, apakah aku
harus turun menyeretmu...?"
"Baiklah ...!" kata Wicak Sono. Karena rumah bertonggak yang tingginya mencapai
empat meter itu tidak memiliki tangga. Maka Wicak Sono terpaksa harus mengerahkan
tenaganya. "Heuuup...!" dengan sekali genjot, maka tubuh laki-laki berpakaian cokelat
inipun melayang ke udara. Dengan tepat pula dia menjejak-
kan kakinya di atas lantai rumah.
"Jliikgh...!"
"Masuklah, pintu tidak terkunci...!" perin-
tah perempuan yang berada di dalam pondok
dengan sikap acuh. Daun pintu berderit ketika
Wicak Sono mendorongnya. Suasana di dalam
ruangan yang berukuran dua kali tiga meter me-
nebarkan bau busuk yang begitu menusuk.
Ketika Wicak Sono mengitarkan pandangan
matanya kesatu sudut, maka terlihatlah sosok
tubuh seorang wanita yang sudah tidak asing lagi bagi dirinya. Perempuan itu
berusia sekitar enam puluh tahun. Berbadan kurus ceking, berambut
putih, sedangkan pakaiannya berwarna merah
darah dan di sana sini telah pula di penuhi den-
gan tambalan yang beraneka ragam. Perempuan
itu menyunggingkan seulas senyum kecut saat
mana Wicak Sono menghampiri dirinya. Tanpa
diperintah laki-laki berusia setengah baya inipun langsung duduk di depan
perempuan berwajah
tidak ramah. "Kedatanganmu kemari pasti membawa
persoalan yang besar, adi Sono...?" dengus Sumbadra seperti sudah dapat meraba
apa yang ingin disampaikan oleh adik seperguruannya.
"Apa yang kakang mbok katakan itu me-
mang tak dapat kubantah! Memang sesungguh-
nya kedatanganku ke sini membawa suatu per-
soalan yang cukup rumit, sekaligus menyangkut
sebuah penghinaan yang membuat lima iblis dari
Bukit Bontang merasa kehilangan muka di dunia
persilatan." Wajah yang tidak bersahabat itu nampak semakin cemberut, sementara
kedua matanya yang menjorok ke dalam memandang lurus
pada Wicak Sono. Gembong tokoh sesat ini buru-
buru menundukkan kepalanya.
"Dari dulu kau selalu begitu, adi...! Engkau tak pernah mau datang menyambangi
tempat tinggalku, bila kehidupanmu tak mengalami
hambatan apa-apa. Bahkan kaupun tak mau per-
duli ketika aku beberapa purnama terbaring sakit ketika kalah dalam bertarung
dengan Nyai Pamekasan dari Gunung Berhala...!" terdengar satu teguran dari
perempuan tua yang bernama Sumba-
dra. "Aku mengaku salah, kakang mbok...! Selama ini adikmu ini memang terlalu
mementing- kan diri sendiri, sehingga tidak sekalipun aku
menjengukmu di tempat yang terpencil ini...!"
Sumbadra nampak mendengus, bagaimanapun
dia tahu watak adik seperguruan yang satu ini.
Ada kalanya dalam berbagai hal Wicak Sono ba-
nyak mengalah, tetapi andai secara terus mene-
rus disudutkan. Maka diapun bisa menjadi san-
gat marah. "Kakang mbok! Masihkah kakang marah
padaku...?" kali ini Wicak Sono menengadahkan wajahnya. Sedangkan matanya
memandang tajam
pada perempuan tua yang duduk bersimpuh di
depannya. "Kalau aku menuruti kemarahanku, sudah
sejak tadi kau sudah kubuat seperti ini...!" berkata begitu, penghuni Pulau Angsa
tersebut melu- dah ke dinding.
"Cuiiih...!"
Jrooos! Akibatnya sungguh menakjubkan
sekali. Hingga membuat Wicak Sono yang sudah
hampir lebih lima tahun tak pernah bertemu den-
gan saudara seperguruannya yang tertua itupun
membelalakkan kedua matanya. Bagaimana ti-
dak, hanya dengan sekali sembur saja dinding
yang terbuat dari bilik bambu itu nampak berlu-
bang oleh semburan ludah tadi. Dapat di bayang-
kan betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki
oleh perempuan bertubuh ceking ini.
"Kakang mbok! Sama sekali aku tiada me-
nyangka kalau sekarang ini kakang memiliki te-
naga sakti yang sungguh mengagumkan...! Ahh...
aku yakin dengan kemampuan yang kakang mili-
ki, kakang pasti mau menolong adikmu yang ma-
lang ini...!" ucap Wicak Sono setengah menghiba.


Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hik...hik...hi...! Sejak kapan kau punya
minat meminta bantuanku, Wicak Sono...!" memerah wajah dedengkot tokoh sesat ini
begitu mendengar sindiran penghuni Pulau Angsa ini.
Tapi kelihatannya Sumbadra tiada memperduli-
kan semua ini. "Kakang mbok! Seandainya empat orang
adik seperguruanmu tewas secara menyedihkan
di tangan orang lain, apakah hatimu tidak pernah tergugah untuk membela atau
menuntut balas atas kematian mereka...?" tanya Wicak Sono, langsung pada titik persoalan.
Sumbadra jelas kelihatan begitu terkejut demi mendengar kabar
yang disampaikan oleh adik seperguruannya ini.
Selama ini walaupun tak melihat secara langsung
nama Lima Tokoh Datuk Sesat dari Bukit Bon-
tang sudah kesohor dimana-mana, sangat jarang
sekali kalangan persilatan yang berani membuat
urusan dengan Lima Datuk Sesat dari Bukit Bon-
tang ini. Kemampuan dan permainan pedang
yang mereka miliki tidak perlu lagi diragukan.
Sumbadra cukup mengetahui hal ini, karena pada
dasarnya dulu mereka sama-sama berasal dari
satu perguruan. Yaitu Perguruan Angsa Merah
namanya. Kini begitu datang Wicak Sono menyam-
paikan kabar yang tiada diduga-duga. Siapapun
yang mampu mengalahkan sekaligus mene-
waskan empat orang saudara seperguruannya,
pastilah memiliki ilmu kepandaian melebihi kehe-
batan yang dimiliki oleh saudara-saudara seper-
guruannya. Maka akalnyapun bekerja cepat.
Hanya sesaat saja dia membuang pandangan ma-
tanya jauh-jauh. Detik berikutnya Sumbadra su-
dah kembali berhadapan dengan adik sepergu-
ruannya. "Empat orang saudara kita tewas begitu sa-
ja! Sedangkan yang kuketahui mereka bukanlah
orang-orang yang lemah. Bahkan mereka se-
bagaimana halnya dengan dirimu bukanlah
orang-orang yang lemah. Pula persoalan apakah
yang membuat semuanya terjadi dengan begitu
cepatnya...?" sentak Sumbadra. Melihat mimik wajahnya nampak jelas kalau
perempuan berusia
lanjut ini dirundung kesedihan.
Akhirnya secara singkat Wicak Sono men-
ceritakan segala sesuatunya yang telah terjadi.
Setelah mendengar semua cerita Wicak Sono, la-
ma sekali Sumbadra berdiam diri, sama sekali dia tidak menyangka bahwa lawan
yang dihadapi oleh
adik-adik seperguruannya adalah Tiga Hantu
Lembah Neraka, yaitu tokoh misterius yang dapat
menciptakan segala jenis racun dan merupakan
tokoh sesat yang tidak dapat diukur kepandaian-
nya. Jangankan lima orang adik seperguruannya,
andai saat ini dia tidak menciptakan ilmu baru
yang diberi nama 'Semburan Iblis' belum tentu
mampu mengatasi Tiga Hantu Lembah Neraka.
Tapi saat sekarang dia merasa yakin sekali, den-
gan ilmu sakti yang baru diciptakannya itu, dia
pasti mampu menghadapi Tiga Hantu Lembah Ne-
raka. Hmm. Geluk Emas merupakan sebuah har-
ta peninggalan yang sangat langka. Konon kabar-
nya benda itu memiliki seribu satu kegaiban yang dapat dipergunakan untuk
tujuan-tujuan tertentu
dan bahkan lebih dari itu. Andai aku dan Wicak
Sono berhasil merebut benda itu dari tangan Tiga Hantu Lembah Neraka, pastilah
aku berhasil mengundang si keparat Nyai Pamekasan yang
pernah mempecundangiku dulu. Heh... Geluk
Emas itu peninggalan gurunya musuh besarku,
dia pasti akan mencariku pabila Geluk Emas be-
rada di tanganku...!" batin Sumbadra dengan sesungging senyum licik.
"Bagaimana kakang mbok! Apakah kakang
begitu tega membiarkan saudara-saudara kita te-
was di tangan mereka begitu saja...?" tanya Wicak
Sono, harap-harap cemas.
"Seburuk-buruknya aku, tidak nantinya
Tiga Hantu Lembah Neraka berbuat semena-mena
pada saudara-saudara kita. Aku pasti akan me-
nuntut balas atas penghinaan yang sangat besar
ini...!" kata Sumbadra dengan suara meng-geram.
Legalah hati Wicak Sono mendengar ke-putusan
kakang seperguruannya itu.
"Adi Sono! Tahukah engkau mengapa aku
bersedia membantumu dalam menumpas Tiga
Hantu Lembah Neraka?" dedengkot datuk sesat dari Bukit Bontang gelengkan
kepalanya berulang-ulang. Sumbadra kembali tersenyum sinis.
"Semua itu kulakukan atas nama den-
dam...!" dengus perempuan berpakaian merah darah itu dengan sorot mata penuh
kebencian'' "Dendam..." Apakah kakang mbok men-
dendam pada Tiga Hantu Lembah Neraka?" tanya Wicak Sono dengan hati diliputi
rasa ketidak mengertian. "Kemarahanku pada Tiga Hantu Lembah
Neraka karena mereka telah membunuh saudara-
saudara kita. Tapi dendamku adalah pada pemilik
Geluk Emas yang diperebutkan oleh banyak
orang...!"
"Apakah kakang mbok tahu, siapa pemilik
Geluk Emas itu...?" Meledak tawa Sumbadra ketika Wicak Sono menanyakan tentang
apa yang menjadi ganjalan hatinya selama ini. Memang se-
benarnya hanya perempuan itu sajalah yang tahu
pada siapa dia menaruh dendam. Itulah sebabnya
begitu tawanya mereda, maka Sumbadra buru-
buru menyambung.
"Pemilik Geluk Emas itu sebenarnya meru-
pakan musuh besarku, yaitu Nyai Pamekasan
yang saat ini tinggal di Gunung Berhala. Dia me-
rupakan tokoh tua yang memiliki kepandaian be-
raneka ragam. Dulu sebelum kuciptakan ilmu
andalan aku pernah dikalahkan oleh tikus tua
itu...!" "Sekarang aku membantumu dengan tujuan membasmi Tiga Hantu Lembah
Neraka, ke- mudian merampas Geluk Emas dengan maksud
memancing perhatian Nyai Pamekasan agar men-
cariku...! Hik...hi...hi...! Aku, yakin pabila Geluk Emas itu berada di tanganku
pastilah si tua
bangka Pamekasan akan berurusan den-
ganku...!"
"Dan kakang mbok akan melampiaskan ke-
kalahan tempo hari...?" tanya Wicak Sono setengah menduga-duga. Kali ini
Sumbadra kembali
tergelak-gelak, lalu tubuhnya yang kurus kering
itupun terguncang-guncang.
"Ternyata otakmu masih encer, adi Sono...!
Kau cukup paham dengan segala rencana yang
ada di dalam kepalaku...! Dendamku pada Nyai
Pamekasan memang sedalam lautan. Semua itu
baru kuanggap impas andai aku berhasil men-
gorek biji matanya, kemudian memenggal ke-
palanya dan menghirup pula darah tuanya...!" tukas Sumbadra dengan mata
berkilat-kilat di ba-
kar emosi. "Tentunya niat kakang mbok tak mungkin
pernah kesampaian andai kita belum merampas
Geluk Emas dari tangan Tiga Hantu Lembah Ne-
raka, bukan...?"
"Merampas Geluk Emas dari tangan Tiga
Hantu Lembah Neraka bukanlah satu pekerjaan
yang mudah. Tapi aku yakin dengan ilmu baru
yang telah kuciptakan, aku pasti mampu melaku-
kannya...!"
"Ahk...! Aku merasa gembira dengan ke-
sanggupan kakang mbok. Semoga saja apa yang
kakang mbok harapkan dapat terlaksana dengan
baik...!" "Aku tak pernah ragu dengan kemampuan
yang kumiliki sekarang ini...!" ujar perempuan itu pasti. "Lalu kapan kita
berangkat...?" tanya Wicak Sono merasa tak sabaran.
"Laut sekarang sedang di landa badai, pula
aku belum menyiapkan segala sesuatunya. Ada
baiknya besok pagi kita mulai melakukan perja-
lanan...!" gumam Sumbadra memberi keputusan.
5 Gontai sekali langkah perempuan berto-
peng biru ini, seolah bagai ada suatu beban yang begitu berat menindih bagian
kakinya. Sesekali
perempuan itu menyandarkan tubuhnya pada
dinding rumah, nampaknya seperti ada keraguan
di dalam hatinya. Padahal jarak antara kamarnya
dengan ruangan tempat mengurung Buang Seng-
keta hanya berjarak sepuluh meter saja. Begitu
dekat, namun hanya untuk menjenguk keadaan
pemuda yang berada dalam tawanannya, beru-
langkali tak pernah kesampaian. Bahkan beru-
lang kali perempuan bertopeng ini terpaksa harus kembali ke kamar dengan
sendirinya, saat mana
keragu-raguan itu secara tiba-tiba menyeruak
memenuhi seisi rongga dadanya. Terkadang di da-
lam kamar, tanpa sepengetahuan dua orang pem-
bantunya. Perempuan bertopeng biru ini menan-
gis, sepanjang malam. Hingga membuat kedua
kelopak matanya membengkak.
Pendekar Hina Kelana adalah sebuah nama
yang tak asing lagi bagi dirinya, bahkan hampir setiap saat perempuan bertopeng
itu selalu me-ngingatnya. Dia tak pernah mampu melupakan
pigur seorang tokoh yang selalu dikaguminya se-
jak dia berumur sebelas tahun. Kebaikannya tak
perlu diragukan lagi, ketampanan wajahnya, ke-
hebatan ilmu yang dimilikinya membuat tokoh
manapun menjadi bergidik saat mana senjata Go-
lok Buntung dan cambuk Gelap Sayuto telah be-
rada di dalam genggamannya. Bahkan perempuan
bertopeng itu masih ingat, sejak dulu telah berulang kali pendekar keturunan
raja ular di negeri alam gaib itu telah menyelamatkan dirinya dari
belenggu maut. Itu tidak dapat dilupakannya be-
gitu saja, bahkan karena terdorong rasa rindu
yang begitu menggebu, ketika berada dalam asu-
han seorang tokoh sakti berulang kali dia jatuh
sakit. Dalam keadaan demam yang membawa pa-
nas begitu tinggi perempuan itu sering menyebut-
nyebut nama pendekar itu. Tapi diapun tak ingin
mengecewakan harapan orang yang sangat dicin-
tainya, selama tiga tahun dia belajar dengan to-
koh sakti yang dia angkat sebagai guru sekaligus orang tuanya. Dengan baik dia
berhasil mempela-jari jurus-jurus silat maupun pukulan sakti yang sangat handal.
Menunggu terlalu lama perempuan itu merasa tak betah, kemudian dia jatuh
sakit lagi. Kali ini penyakitnya begitu parah, bahkan nyaris tak terobati. Orang
tua angkatnya su-
dah barang tentu mengkhawatirkan keadaan pe-
rempuan yang merupakan murid satu-satunya
itu. Tapi sebagai tabib, dia sendiri tak mampu
memberikan obat buat murid yang sangat di-
manjakannya. Satu saat datanglah seorang be-
gawan yang juga masih merupakan sahabat Sang
Guru. Begawan itu dengan gamblang men-
ceritakan tentang segala sesuatu yang terjadi atas diri si wanita. Hingga sampai
pada satu kesimpu-lan yang memutuskan: Hanya satu kebebasan hi-
dup yang dapat membuat murid sahabatnya itu
sembuh sebagaimana sediakala. Sebagai orang
yang pernah mengalami masa muda, tentu sang
guru yang bijaksana itu mengerti apa sesungguh-
nya yang menjadi ganjalan hati muridnya selama
ini. Merindukan pemuda yang sangat dikasihinya,
itulah alasan pertama yang membuat gadis itu ja-
tuh sakit, hingga sedemikian parah. Maka diapun
berjanji untuk melepas muridnya itu ke rimba
persilatan. Waktupun terus berlalu, dunia persilatan
yang tidak ramah. Membuatnya sering bentrok
dengan berbagai kalangan. Apalagi perempuan itu
memiliki wajah yang begitu cantik. Tentu kehadi-
rannya menarik perhatian banyak orang. Hingga
kemudian dia memutuskan untuk mengenakan
sebuah topeng. Setelah mengalahkan sebuah per-
guruan Topeng Biru dan kemudian menjadi Ketua
Partai persilatan di sana.
Lima bulan sejak dirinya resmi menjadi ke-
tua perguruan Topeng Biru. Perempuan berwajah
cantik itu mendengar tentang kabar Geluk Emas
yang saat itu sedang diburu oleh kalangan persi-
latan berbagai golongan. Berita mengenai Geluk
Emas itu sebenarnya tidak begitu menarik perha-
tiannya. Bahkan dia telah memutuskan untuk ti-
dak mengambil bagian dalam pemburuan benda
yang membikin gempar itu. Dihatinya hanya ada
satu harapan, semoga dengan meluasnya berita
tentang Geluk Emas itu, orang yang dinanti-
nantikannya akan muncul. Karena sebagaimana
yang diketahuinya. Pendekar Hina Kelana meru-
pakan seorang tokoh muda yang gemar sekali me-
lakukan pengembaraan ke manapun dia suka.
Bukan tidak mungkin pemuda yang sering diliputi
rasa keingintahuan ini mendengar tentang kabar Geluk Emas yang saat itu sedang
diperebutkan oleh berbagai kalangan itu.
Kenyataannya apa yang diharap-
harapkannya bukanlah hanya sekedar impian.


Pendekar Hina Kelana 28 Pusaka Warisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Kina Kelana akhirnya muncul juga se-
cara tak terduga-duga. Lalu perempuan bertopeng
itupun menjalankan siasat dengan berpura-pura
melakukan penggeledahan terhadap diri si pemu-
da. Tetapi setelah kini pemuda itu telah berhasil di tangkapnya, mendadak muncul
keragu-raguan di hatinya untuk menjumpai atau sekedar berpu-
ra-pura menanyakan tentang sesuatu kepadanya.
Bahkan diapun tiada mengerti apa yang seharus-
nya dia lakukan.
"Ahk... mengapa setelah aku berjumpa de-
ngannya, hatiku menjadi ragu-ragu" Padahal se-
harusnya aku merasa bersyukur karena Sang
Hyang Widi telah mempertemukan dengan di-
rinya." batin perempuan bertopeng itu sedih. Selanjutnya orang inipun kembali ke
dalam ka- marnya, daun pintu dia tutupkan. Namun di da-
lam kamarnya entah mengapa hatinya menjadi
gelisah, berulang kali dia mondar mandir di da-
lam ruangan kamarnya.
Ketika hatinya sedang diliputi perasaan
was-was seperti itu, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Siapa...!" tanya si perempuan bertopeng biru, manakala daun pintu diketuk
semakin gencar. "Ket... ketua...! Tawanan kita kabur..!" lapor sebuah suara
nampak begitu gugup. Ketua
Perguruan Topeng Biru nampak sangat terkejut
sekali demi mendengar laporan salah seorang
pembantunya. Hatinya menjadi berdebar tak ka-
ruan, tiba-tiba ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Secara
reflek perempuan
itupun menyentakkan daun pintu kamarnya. Be-
gitu berhadapan dengan pembantu yang masih
berdiri di depannya, maka:
"Bagaimana pemuda itu dapat meloloskan
diri! Bukankah kalian secara bergantian men-
jaganya...?"
"Orang itu meloloskan diri dengan jalan
membobol atap di atas kamar... cuma itu yang
kami ketahui...!"
"Membobol atap...!" gumamnya. Kemudian sepintas lalu dia memperhatikan
pembantunya ini. "Apakah kalian tidak melakukan pengejaran...?" tanyanya penuh selidik.
"Pengejaran sudah kami lakukan, namun
kami tak menemui tanda-tanda adanya orang ter-
sebut...!"
"Coba kita periksa kamarnya,...!" ujar ketua perguruan Topeng Biru itu
memutuskan. Ak-
hirnya dengan diikuti oleh pembantu utamanya,
maka ketua perguruan Topeng Biru itupun menu-
ju ruangan lain tempat menahan Buang Sengketa
selama beberapa hari ini. Kenyataan-nya memang
benar seperti apa yang dikatakan oleh pemban-
tunya. Pendekar Hina Kelana sudah tak berada di
dalam ruangan itu, bahkan jala yang dijadikan
sebagai alat untuk menyergap si pemuda telah
pula terbelah menjadi beberapa bagian.
"Pastilah golok buntung yang telah diper-
gunakan oleh pemuda itu untuk menghancurkan
semuanya. Padahal jala itu bukanlah jala semba-
rangan. Binatang sekalipun apabila telah terpe-
rangkap di dalamnya tak mungkin dapat melo-
loskan diri. Tapi aku tak merasa heran dengan
kemampuan yang dimilikinya. Akh, akhirnya dia
pergi lagi! Kemana aku harus mencarinya...!" batinnya di dalam hati.
"Ketua! aku mendapatkan sepucuk su-
rat...!" "Surat apa, Melur...?" tanya Ketua Perguruan Topeng Biru, lalu
memperhatikan sobekan
kulit kayu yang berada di dalam genggaman tan-
gan pembantunya. Tanpa di perintah, pembantu
yang bernama Melur itupun menyerahkan kulit
kayu yang bertuliskan kata-kata yang begitu je-
las. Selanjutnya dengan hati berdebar ketua per-
guruan Topeng Biru inipun mulai membaca kali-
mat demi kalimat.
Manusia bertopeng seperti hantu.
Siapapun adanya dirimu, itu aku tak peduli.
Berada di dalam penyekapan yang mirip dengan sebuah penginapan ini aku merasa
tak betah. Pen-gadilan dan segala sesuatu yang berbau mengiba itu bukanlah
pekerjaanku. Aku masih punya hutang janji dengan Nyai Pamekasan, pemilik Geluk
Emas yang kini sedang diperebutkan. Walau bagaimanapun aku tak ingin timbul
banyak korban karena benda itu. Nah, karena kutunggu beberapa hari anda tidak
muncul-muncul juga. Maka aku
memutuskan untuk pergi dengan caraku sendiri.
Tertanda Hina Kelana
Terasa lemas bagai tak bertulang tubuh ke-
tua perguruan Topeng Biru setelah membaca su-
rat yang ditulis oleh Buang Sengketa. Hatinya
menjerit bahkan menyesali diri sendiri. Mengapa
dia tidak berterus terang saja tentang siapa di-
rinya yang sesungguhnya" Kini orang itu pergi la-gi. Entah kemana dia harus
mencari. Memerah
wajahnya, hangat pula kelopak matanya. Namun
dia tetap berusaha agar butiran bening itu tak
menetes. Tak siapapun boleh tahu apa yang se-
dang terjadi pada dirinya saat itu. Tidak juga Melur pembantunya. Mungkin masih
banyak jalan untuk dapat bertemu dengan pemuda itu kemba-
li. Itulah yang sedang dipikirkannya saat itu. Dalam keadaan gundah seperti itu,
tiba-tiba dia berkata pada Melur :
"Kau dan Melati, tetap tinggallah di pergu-
ruan...!" "Ketua hendak kemana...?" tanya Melur diliputi rasa ketidak mengertian.
"Aku akan mencari pemuda itu! Dia orang
yang patut dicurigai...!"
"Tapi pergi seorang diri itu sangat berba-
haya ketua! Ada baiknya kalau kami turut serta.
Lagipula bukankah masih banyak murid-murid di
sini yang dapat kita percaya untuk menjaga per-
guruan...?" katanya keheran-heranan.
"Tidak! Walau bagaimanapun aku harus
pergi sendiri! Kau tak perlu merisaukan kesela-
matanku, sebab aku cukup tahu apa yang seha-
rusnya aku lakukan...!"
"Baiklah,... kalau ketua telah memberi ke-
putusan begitu, saya tak dapat membantah-
nya...!" kata Melur dengan sikap menghormat.
"Nah, sekarang juga aku harus pergi! Ja-
galah keselamatan perguruan ini sampai aku
kembali...!" pesan ketua perguruan Topeng Biru pada bawahannya.
"Pesan ketua pasti akan kami laksanakan
sebaik mungkin...!"
"Bagus kalau kau sudah mengerti apa yang
aku maksudkan...!" kata perempuan itu. Selan-jutanya tanpa menunggu lebih lama
lagi, diapun berbalik langkah. Lalu tanpa menoleh-noleh lagi.
Ketua Perguruan Topeng Biru itupun bergegas
pergi meninggalkan murid-muridnya.
*** Ketika Buang Sengketa sampai di lereng
Gunung Berhala, pemuda ini mendengar suara
bentakan dan denting senjata tajam di puncak
sana. Pemuda ini nampaknya menjadi kecut. Tapi
dia dapat memastikan siapapun yang sedang me-
lakukan pertempuran pada malam gelap menje-
lang dinihari itu, pastilah salah seorang di antaranya Nyai Pamekasan. Siapa
yang menjadi la-
wannya" Itulah yang belum diketahui oleh si pe-
muda. "Siapapun adanya orang yang sedang ber-
tempur dengan Nyai Pamekasan, yang pasti orang
itu membawa maksud-maksud yang tak baik...!"
batinnya. "Heeep...!" Hanya dalam-waktu sekejap sa-ja, pemuda itu telah mengerahkan ilmu
lari cepat, Ajian Sapu Angin. Dalam kegelapan itu, tubuh si
pemuda nampak berkelebat mendaki ke arah
puncak gunung. Dengan mengandalkan ilmu
mengentengi tubuh yang sudah sangat sempurna
pula, tiada kesulitan bagi pemuda itu dalam me-
lakukan pendakian yang sebenarnya sangat sulit.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu
apapun dengan orang tua itu." gumamnya lagi.
Lalu dengan sangat berhati-hati, sesampainya di
atas gunung berhala pemuda ini langsung menu-
ju ke arah belakang pondok. Suasana di tempat
itu nampaknya sudah menjadi berantakan. Bah-
kan mayat-mayat tak dikenal bergelimpangan
tumpang tindih tak berketentuan. Jelaslah sudah
semua pembunuhan yang terjadi terhadap orang-
orang ini, pelakunya pastilah Nyai Pamekasan.
Namun pemuda ini nampaknya tak dapat
berdiam di situ lebih lama lagi, saat mana dia merasakan pondok kecil yang
terbuat dari kayu dan
beratap kayu pula terasa terguncang-guncang.
Buang Sengketa berusaha memperjelas penden-
garannya. Tahulah dia, di depan pondok sedang
terjadi adu tenaga dalam antara Nyai Pamekasan
dengan lawan-lawannya. Laksana kilat, tubuh
pemuda itu kemudian melesat meninggalkan da-
pur pondok. Begitu si pemuda sampai ke tempat
terjadinya pertempuran, dengan jelas dia melihat Nyai Pamekasan sedang bertahan
mati-matian menghadapi pukulan jarak jauh yang dilakukan
oleh dua orang laki-laki berbadan gemuk pendek
berpakaian kulit gajah. Pemuda ini jelas tidak
kenal dengan dua orang laki-laki bersenjatakan
kebutan. "Kau serahkan Geluk Emas peninggalan
gurumu itu, Nyai...! Kami pasti segera pergi dari tempat ini...!"
"Huh! Aturan iblis mana yang membenar-
kan milik orang lain mau kalian kangkangi secara paksa...!" dengus Nyai
Pamekasan dengan wajah memerah dibakar amarah.
"Penghuni Gunung Berhala! Kau telah begi-
tu banyak membunuh orang-orang kami. Persoa-
lan hutang nyawa bisa berbuntut panjang andai
engkau tidak cepat-cepat menyerahkan Geluk itu
pada Sepasang Gendera Maut...!" bentak salah seorang dari laki-laki bersenjata
kebutan ini berang.
6 Sungguhpun Nyai Pamekasan sudah terlu-
ka dalam begitu juga halnya dengan kedua orang
lawannya. Tapi perempuan berusia lanjut ini se-
bagai orang yang sudah banyak makan asam ga-
ram dunia persilatan akhirnya menjadi geli sendi-
ri. "Sudah kukatakan Geluk Emas itu tak ada
di tanganku, kalaupun ada masakan aku mau
memberikannya pada kalian begitu saja, hek...
hik...hik...! Sudah jelas kalian hanyalah sebangsanya perampok tengik yang
pantas untuk di ge-
buk...!" ejek Nyai Pamekasan sambil tergelak-gelak. Mendapat ejekan sedemikian
rupa, kedua laki-laki gemuk yang memiliki julukan Gendewa
Maut ini menjadi gusar. Sambil bersiap-siap
membangun serangan kembali. Salah seorang di
antara mereka yang memiliki jambang dan kumis
yang begitu lebat, membentak: "Kurang ajar! Kau memang tidak bisa diajak
berdamai. Jalan satu-satunya yang paling baik buatmu adalah mam-
pus...!" "Hiaaaat...!"
"Caiiit...!" secara bersamaan dua laki-laki gemuk pendek inipun melancarkan satu
serangan ganas. Senjata di tangan mereka yang berupa ke-
butan berkelebat menyambar ke arah bagian ke-
pala Nyai Pamekasan, sedangkan senjata si ge-
muk lainnya menyambar bagian perut perempuan
renta ini. Anginpun bersiuran dan mendorong
dengan keras tubuh perempuan ini. Andai saja ti-
dak sejak semula Nyai Pamekasan menjaga segala
kemungkinan yang bakal terjadi. Pastilah tubuh
perempuan itu terkena sabetan senjata lawannya
atau setidak-tidaknya terjengkang.
"Benar-benar kuya! Orang-orang ini ki-
ranya memang menghendaki jiwaku...! Akupun
tak perlu bersikap ayal-ayalan lagi...!" batin Nyai Pamekasan di dalam hati.
Setelah berhasil menghindari pukulan yang dilancarkan oleh Sepasang
Gendera Maut, maka Nyai Pamekasan pun balas
melakukan pukulan yang diberi nama 'Dewi Ber-
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 32 Si Pemanah Gadis Karya Gilang Perguruan Sejati 6
^