Pencarian

Memperebutkan Batu Kalimaya 1

Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya Bagian 1


MEMPEREBUTKAN BATU KALIMAYA Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Memperebutkan Batu Kalimaya
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
l Lapangan luas yang ditumbuhi sedikit rumput ker-
ing dan pendek-pendek itu menjadi tujuan banyak
orang. Berbondong-bondong mereka berdatangan ke
sana. Dalam waktu singkat tempat yang biasanya sepi itu kini dipadati orang.
Sang surya memancarkan sinarnya dengan garang,
seakan hendak melelehkan semua yang ada di persa-
da. Panas menyengat melingkupi tanah lapang itu. Ta-pi, orang-orang yang
berkerumun tak bergeming dari
tempatnya. Peluh yang membahasi sekujur tubuh di-
hapusnya dengan punggung tangan.
Letak tanah lapang tak jauh dari istana kerajaan.
Orang-orang yang berkerumun pun sebagian besar
merupakan penduduk kota raja. Mereka berdiri berde-
sak-desakan mengelilingi dua orang yang berdiri tepat di tengah lapangan.
Keduanya memiliki ciri-ciri yang cukup mengundang perhatian. Mereka terdiri dari
lelaki dan wanita berusia hampir setengah baya.
Yang lelaki bertubuh kecil kurus. Terlalu kecil, malah. Tinggi tubuhnya tak
lebih dari seorang bocah berusia sepuluh tahun. Pakaiannya yang serba ketat
semakin memperlihatkan kekerdilan tubuhnya.
Sebaliknya, yang perempuan memiliki tubuh tinggi
besar dan gendut, persis gajah bengkak. Karena ge-
muknya dagunya seakan berjumlah banyak. Daging-
daging tubuhnya bergoyang ke sana kemari setiap kali wanita ini bergerak.
Keluarbiasaan tubuhnya itu semakin terlihat karena pakaian yang dikenakannya
ser-ba kebesaran.
Perbedaan kedua manusia ini saja sudah menim-
bulkan daya tarik. Apalagi ketika melihat tingkah ke-
duanya. Wanita bertubuh luar biasa besar itu duduk
bersila di atas kepala si lelaki. Sementara lelaki kerdil itu sendiri seperti
tak merasa keberatan. Dengan wajah dan sikap biasa dia berjalan mondar-mandir di
tengah lapangan.
Pasangan manusia aneh ini membuat tempat per-
tunjukan berukuran delapan kali empat tombak. Di
tempat yang berbentuk persegi panjang itu ditaburkan bubuk putih. Puluhan orang
yang berkerumun berdiri
di luar garis dari bubuk putih itu.
Lelaki kerdil yang membawa tubuh wanita raksasa
mengitari bagian dalam garis putih seraya mengedar-
kan pandangan berkeliling. Setelah dirasa semua
orang melihat ke arah mereka, langkah kakinya dihentikan tepat di tengah-tengah
tempat pertunjukan.
"Sebelumnya, aku mewakili kami berdua mengu-
capkan terima kasih sebesar-besarnya atas kehadiran para sahabat di sini. Kalian
telah menyempatkan waktu untuk menyaksikan pertunjukan yang kami gelar.
Pertunjukan yang tak seberapa hebat. Tapi jangan dilihat pertunjukannya,
lihatlah niatnya. Kami bermaksud untuk menghibur para sahabat sekalian. Hanya
ini yang kami lakukan sejak bertahun-tahun, berkela-na dari satu tempat ke
tempat lainnya!" ujar lelaki kerdil panjang lebar.
Tepuk tangan bergemuruh menyambuti selesainya
ucapan lelaki kecil kurus. Semua yang mendengar
ucapan itu diam-diam merasa geli. Lelaki ini memiliki suara berat dan parau,
layaknya dimiliki orang-orang yang bertubuh tinggi besar.
"Suamiku melupakan satu hal," sambung wanita bertubuh besar ketika gemuruh tepuk
tangan dan teriakan memberi semangat mereka. Berlainan dengan
lelaki kecil kurus, suara wanita ini melengking nyaring.
"Kami belum memperkenalkan diri. Kami berasal dari tempat yang jauh dari sini.
Namaku Wudani, sedangkan suamiku Darmakala,"
Wudani melompat dari atas kepala suaminya. Ke-
dua kakinya yang besar menjejak tanah dengan ringan sekali. Kemudian, dengan
langkah-langkah lebar wanita ini mengayunkan kaki ke arah gerobak yang ditarik
seekor sapi. Gerobak yang berada di dalam garis putih.
Semua orang menyaksikan gerak-gerik Wudani.
Apa yang akan dilakukan wanita ini" Mereka melihat
Wudani berdiri di belakang gerobak. Disibaknya tirai yang menutupi benda-benda
di dalam gerobak. Sebentar kemudian Wudani meninggalkan gerobaknya. Di
kedua tangannya tergenggam beberapa kayu sebesar
lengan yang panjangnya setengah tombak. Pada bagian ujung kayu terikat kain
berbentuk segi tiga dengan
warna yang berlainan.
Wudani melemparkan kayu-kayu berbendera itu
sembarangan saja. Namun bendera-bendera melayang
dan menancap di tanah berjajar rapi dalam jarak yang sama. Bagian di mana
terdapat kain berada di atas.
Angin yang bertiup cukup keras membuat kain-kain
bendera berkibaran.
"Suamiku mempunyai ilmu yang dinamakan Mata
Dewa. Dengan ilmu itu dia dapat melihat sesuatu kendati sepasang matanya
ditutup," ujar Wudani lagi, tak dipedulikannya keterkejutan orang-orang melihat
ca-ranya menancapkan bendera-bendera. Sebagian pe-
nonton yang merupakan tokoh-tokoh persilatan harus
mengakui kalau Wudani memiliki tenaga dalam kuat
Wanita bertubuh besar ini menutup ucapannya
dengan melemparkan sabuk hitam yang melilit ping-
gangnya. bagaikan bernyawa, sabuk itu meluncur ke
arah Darmakala. Orang yang dituju hanya diam saja.
Bahkan, ketika sabuk mulai melilit kepala dan menu-
tup sepasang matanya.
"Sekarang, kuharap ada di antara para sahabat
yang bersedia menolong kami. Pilihlah bendera mana
yang kalian mau, kemudian tanyakan pada suamiku
apa warnanya. Dia akan dapat menjawabnya dengan
tepat!" Suasana menjadi gaduh ketika Wudani selesai ber-
bicara. Para penonton merasa ragu untuk maju dan
memenuhi permintaan Wudani. Mereka malah berbica-
ra sendiri-sendiri. Terdengar gumaman-gumaman tak
jelas di sana-sini.
Wudani menunggu dengan sabar sampai akhirnya
salah seorang penonton bersedia memenuhi permin-
taannya. Orang yang baik hati itu masih muda. Tapi, gerak-geriknya terlihat
angkuh. Pedang yang tergantung di punggung menunjukkan lelaki ini bukan pen-
duduk biasa. "Terima kasih atas kesediaanmu untuk membantu
kami, Sahabat," sambut Wudani buru-buru dengan sikap penuh hormat. "Silahkan
pilih bendera yang kau inginkan."
Lelaki berpakaian coklat itu tak memberikan tang-
gapan. Wajahnya yang dingin tak menampilkan biasan
perasaan apa pun. Dihampirinya jejeran bendera. Pu-
luhan pasang mata penonton memperhatikan dengan
penuh rasa tertarik.
Lelaki berusia tiga puluh lima tahun dan berkulit
pucat seperti jarang terkena sinar matahari itu memi-lih salah satu bendera. Dia
tak mencabut bendera itu dengan tangan. Dalam jarak dua tombak tangan kanannya
dikibaskan seperti orang mengusir nyamuk.
Angin bertiup keras. Salah satu bendera tercabut dari tanah dan melayang ke arah
lelaki itu. "Salah satu bendera telah kuambil. Wahai orang sombong yang berani mengaku
memiliki ilmu Mata
Dewa, beritahukan jawabanmu!" desis lelaki berpakaian coklat, dingin.
"Kau mengambil bendera kuning, Sahabat!" seru Darmakala nyaring dan mantap.
Wajah lelaki berpakaian coklat tak berubah kendati
jawaban yang diberikan Darmakala benar. Tapi, dari
kilatan pada sinar matanya dapat diketahui kalau lelaki itu merasa terkejut
Lelaki berpakaian coklat merasa penasaran. Den-
gan cara seperti tadi diambil bendera lain. Tapi seperti juga sebelumnya,
Darmakala dapat menerkanya dengan tepat. Tepuk tangan bergemuruh sebagai tanda
kekaguman terdengar tak putus-putus.
Sampai semua bendera yang jumlahnya sepuluh
buah itu habis, tak satu pun jawaban yang meleset.
Dengan rasa jengkel yang tak dapat disembunyikan lelaki berpakaian coklat
meninggalkan tempat itu!
Gemuruh tepuk tangan dan ucapan-ucapan keka-
guman membahana bagai hendak meruntuhkan langit.
Wudani terpaksa berseru-seru meminta semua penon-
ton untuk tenang.
"Para sahabat sekalian," tutur Wudani lagi setelah suasana menjadi tenang.
"Perlu kalian ketahui, kemampuan suamiku tak hanya demikian. Masih banyak
yang lainnya. Dia mampu menelan api, tidur di atas
hamparan ujung pisau. Malah, meramal suamiku pun
mampu. Juga dia bisa menceritakan kejadian-kejadian yang lucu."
"Tunggu apa lagi" Tunjukkanlah hal-hal ajaib itu!"
celetuk seorang penonton.
"Benar! Kami sudah tak sabar ingin melihatnya!"
dukung penonton lainnya.
Wudani segera menyiapkan segala peralatan yang
di perlukan. Seketika decak kekaguman dan teriakan
heran berkumandang. Darmakala memasukkan obor
yang bernyala-nyala ke dalam mulutnya sampai koba-
ran api itu mati! Darmakala pun dengan enaknya tidur dan bergulingan
bertelanjang dada di atas hamparan
ujung-ujung pisau yang amat tajam.
Kegaduhan baru mereda ketika terdengar derap
kaki kuda bergemuruh menghantam bumi. Sosok-
sosok yang memacu kudanya ke tempat itu berjumlah
lima orang. Semuanya mengenakan pakaian seragam
kerajaan. Ketika para prajurit kerajaan turun dari ku-da dan melangkah cepat
mendekati tempat pertunju-
kan, sebagian besar penonton menyibak memberi ja-
lan. Tak terkecuali seorang pemuda berpakaian ungu.
Pemuda ini berambut panjang dan berwarna putih ke-
perakan. Dialah Arya Buana atau yang lebih dikenal
dengan julukan Dewa Arak.
"Mengapa pasukan kerajaan kemari" Apakah hen-
dak menyaksikan pertunjukan juga!" pikir semua pen-gunjung.
Darmakala dan Wudani segera menghentikan per-
tunjukkan dan menunggu tibanya rombongan kera-
jaan. Melihat pakaian dan tanda-tanda yang mereka
kenakan, pasangan suami istri ini menunjukkan per-
hatian pada prajurit yang berada paling depan. Prajurit itu mengenakan pakaian
yang menunjukkan kedudu-kannya di atas empat orang kawannya. Dia bertubuh
sedang tapi berwajah-hitam seperti pantat kuali! Tangannya tidak menggenggam
senjata. Sedangkan empat
orang prajurit di belakangnya memegang tombak.
"Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami
pertunjukan yang kecil dan sederhana ini mampu
mengundang datangnya pasukan kerajaan," ujar Darmakala santun sekali.
"Dan kehormatan untuk kalian berdua tak sampai di sini saja, Sobat," balas
prajurit bermuka hitam.
"Aku, Cemong, atas nama Gusti Prabu Mandaraka
mengundang kalian untuk datang ke istana. Raja ber-
kenan menerima kalian berdua."
Darmakala dan Wudani saling berpandangan.
"Ah, begitukah" Boleh kami tahu apa sebabnya?"
tanya Darmakala sesaat kemudian.
"Apakah kau belum mendengar mengenai sayem-
bara yang dibuat kerajaan ini?"
"Kami memang mendengarnya. Kami tahu raja ten-
gah menderita suatu penyakit. Tapi, kami berdua bu-
kan orang-orang yang tahu banyak mengenai pengoba-
tan. Kalau tabib dan ahli-ahli obat saja tak mampu
menyembuhkan sakit baginda raja, bagaimana pula
halnya dengan kami?" sahut Darmakala.
Cemong mengangguk-anggukkan kepala.
"Berita yang kau dengar kurang lengkap, Sobat
Gusti Prabu Mandaraka tak hanya membutuhkan ahli
obat. Beliau juga mencari orang yang mampu mem-
buatnya tertawa serta pandai berdebat." beritahu Cemong. "Dan menurut penyelidik
yang kami sebar, kalian berdua termasuk orang-orang seperti itu. Maka
atas nama Gusti Prabu Mandaraka, kami mengun-
dangmu ke istana."
Darmakala dan Wudani kembali saling berpandan-
gan sebelum akhirnya lelaki kecil kurus itu memberikan jawaban.
"Kami putuskan untuk menerima undangan Gusti
Prabu Mandaraka. Ini merupakan suatu kehormatan
besar. Tapi, kami minta waktu sebentar untuk berke-
mas-kemas."
Cemong meluluskan permintaan Darmakala.
Tak lama kemudian, Wudani dan Darmakala be-
rangkat meninggalkan lapangan bersama rombongan
kerajaan untuk pergi ke istana. Kerumunan para pe-
nonton pun buyar. Mereka meninggalkan tempat itu
dengan perasaan kecewa karena kehilangan pertunju-
kan yang menarik.
Arya ikut melangkah pergi. Diikutinya rombongan
pasukan kerajaan dengan pandangan mata. "Apa sebenarnya yang diinginkan raja?"
pikir pemuda berambut putih keperakan itu.
Memang, seperti juga Wudani dan Darmakala, Arya
telah mendengar akan sayembara raja. Tapi, mengapa
bukan hanya tabib-tabib saja yang dicari dan dibawa ke istana" Mengapa orang-
orang yang mampu bercerita lucu pun juga" Apakah raja membutuhkan hibu-
ran" Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak Dewa
Arak. Dan karena rasa ingin tahu yang besar, pemuda ini memutuskan untuk
mengikuti rombongan pasukan
kerajaan. Prabu Mandaraka yang berusia empat puluh lima
tahun, bertubuh tegap, dan kelihatan berwibawa itu
mengelus-elus jenggotnya yang hanya beberapa lem-
bar. Pandangannya ditujukan pada sosok Darmakala


Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Wudani yang duduk bersila di depannya. Prabu
Mandaraka sendiri duduk bersandar di singgasananya
yang mewah dan indah.
"Benarkah apa yang dikatakan prajurit itu Darmakala?"
"Benar, Gusti Prabu. Hamba memang berkata de-
mikian," jawab Darmakala sopan seraya merapatkan kedua tangannya di ujung
hidung. "Aku percaya dengan keteranganmu itu, Darmaka-
la. Tapi aku perlu bukti. Ingin ku saksikan sendiri kemampuan yang kau miliki.
Baru bisa kuketahui apa-
kah kau dan istrimu pantas untuk mengemban tugas
yang akan kuberikan. Bagaimana, Darmakala" Kau
bersedia diuji kemampuanmu?"
"Hamba bersedia, Gusti Prabu," jawab Darmakala, mantap. Prabu Mandaraka
tersenyum sambil mengu-sap-usap jenggotnya. Pandangannya dialihkan pada
seorang kakek berjubah kuning yang duduk di sebelah kirinya.
"Kau sudah siap untuk mengujinya, Resi Druna?"
"Hamba siap, Gusti Prabu!" sahut kakek berjubah kuning.
Prabu Mandaraka meletakkan kedua tangannya
pada tangan kursi singgasana. Resi Druna sendiri tak berani lama-lama membiarkan
junjungannya menunggu. Pandangan kakek ini segera ditujukan pada Dar-
makala. "Dengar baik-baik ucapanku ini, Darmakala. Tugas yang akan kau emban apabila
berhasil lulus dari ujian ini sangat membutuhkan kemampuan berdebat. Maka,
ujian yang akan kuberikan berkisar pada kelihaian
permainan lidah."
"Boleh aku mengajukan pertanyaan, Resi?" tanya Darmakala hati-hati.
"Silakan," Resi Druna menganggukkan kepala.
"Dalam permainan lidah itu apakah masuk akal
mempunyai kedudukan penting?"
"Tidak, Darmakala. Masuk akal atau tidak bukan menjadi masalah. Yang penting,
kau mampu membuat
lawan bicaramu tak dapat memberikan sanggahan. Je-
las?" Darmakala mengangguk. Resi Druna tersenyum ti-
pis. Wudani memperlihatkan paras tegang. Sementara
wajah-wajah para pejabat istana yang ikut menyaksi-
kan jalannya ujian menampakkan rasa ingin tahu yang besar.
*** 2 Hari masih pagi. Sang Surya baru saja muncul di
ufuk timur, bagai bola api raksasa yang berwarna merah saga. Sepagi itu suasana
di Perguruan Kelabang
Merah sudah tampak kesibukan. Murid-murid pergu-
ruan tidak ada yang berpangku tangan. Mereka sibuk
berlatih silat di halaman depan.
Saat ini Perguruan Kelabang Merah memang ten-
gah menghadapi saat istimewa. Ketua perguruan yang
berjuluk Kelabang Sakti mendapat kunjungan dari sa-
habat lamanya. Sahabat yang merupakan tokoh besar
golongan putih itu berjuluk Dewa Tangan Sakti.
Dewa Tangan Sakti telah berada di Perguruan Ke-
labang Merah sejak kemarin malam. Dan sejak pagi
harinya murid-murid perguruan sibuk membuat hia-
san dan umbul-umbul, mulai dari pintu gerbang sam-
pai ke ruang dalam, sehingga suasana di perguruan itu kelihatan semarak.
Di kanan kiri pintu gerbang terpancang dua tong-
kat panjang. Pada ujung-ujungnya tergantung panji
Perguruan Kelabang Merah dalam sulaman benang hi-
jau berbentuk kelabang merah! Panji-panji ini kelihatan gagah dan angker.
Murid-murid Perguruan Kelabang Merah di bawah
bimbingan Tanggala, murid kepala perguruan, sengaja berlatih lain dari biasanya.
Tanggala biasanya mempe-
ragakan beberapa gerakan dan murid-murid lain men-
gikuti, tapi kali ini tidak. Masing-masing memperagakan seluruh kemampuan yang
dimiliki. Tindakan itu sengaja mereka lakukan agar menda-
pat petunjuk-petunjuk berharga dari Dewa Tangan
Sakti. Beliau merupakan salah satu anggota Tiga Pendekar Sakti, selain Ketua
Perguruan Kelabang Merah, Kelabang Sakti. Saat itu Kelabang Sakti dan Dewa
Tangan Sakti duduk di depan pintu bangunan utama.
Mereka tengah memperhatikan Tanggala dan murid-
murid lainnya berlatih.
"Hanya begitu sajakah kedahsyatan ilmu-ilmu Perguruan Kelabang Sakti" Sungguh
buruk dan tak sepa-
dan sekali dengan berita yang tersiar di dunia persilatan!"
Seruan itu keras sekali dan penuh nada ejekan.
Belum lagi gema ucapan itu lenyap, sesosok tubuh melangkah tenang memasuki
halaman depan perguruan.
Kebetulan daun pintu gerbangnya terbuka dan tak terjaga.
Seketika, semua murid perguruan menghentikan
latihan dan mengalihkan perhatian ke arah tamu tak
diundang itu. Tapi Tanggala segera memberi isyarat
untuk terus melanjutkan latihan. Dia sendiri dengan sikap tenang menghampiri si
pendatang baru.
"Siapa kau, Sobat" Apa urusanmu datang ke tem-
pat kami" Bahkan, berani-beraninya melemparkan hi-
naan!" tanya Tanggala dengan berusaha bersikap ramah.
"Keroco seperti kau tak layak untuk mengenalku!
Kalau kau masih sayang nyawa menyingkirlah, Anjing
Kecil!" dengus sosok berpakaian hitam itu. "Dan panggil gurumu untuk
menghadapiku!"
Sosok itu seorang lelaki berusia tiga puluh lima ta-
hun. Tubuhnya tegap dan kekar. Wajahnya yang tam-
pan terhias sebaris kumis tipis, tatapan matanya terlihat begitu dingin.
Tanggapan lelaki berpakaian hitam membuat
Tanggala murka. Dia merasa tersinggung bukan main.
Dengan wajah merah padam dan mata mendelik, dita-
tapnya tamu tak diundang itu.
"Tak perlu guruku, aku sendiri sudah cukup untuk mengusir kau!"
"Ha ha ha...!"
Lelaki berpakaian hitam tertawa keras. Tapi hanya
mulutnya saja yang tertawa. Raut wajah dan sepasang matanya tetap dingin.
"Kau akan menyesali keputusan yang kau ambil,
Kunyuk Goblok!"
"Tutup mulutmu, Pengacau Hina!" Tanggala yang tak kuasa menahan kemarahan lagi
segera melancarkan serangan. Kedua kakinya dilayangkan bertubi-tubi ke arah
dada, ulu hati, dan pusar lawan. Amarah yang membakar hati membuat lelaki ini
tak ingat kalau serangan-serangannya dapat mengirim nyawa lawan ke
akhirat! Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti menghela
napas berat. Mata kedua tokoh ini memancarkan kek-
hawatiran besar. Mereka segera bisa mengetahui kalau lelaki berpakaian hitam
memiliki kepandaian amat
tinggi. Sebagai tokoh-tokoh kawakan, kedua kakek beru-
sia dia atas enam puluh tahun ini segera dapat menilai kemampuan lawan Tanggala.
Apalagi ketika melihat sepasang mata lelaki berpa-
kaian hitam. Sinar sepasang mata itu mencorong tajam dan bersinar kehijauan.
Sorot seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh persilatan yang memiliki tenaga
dalam san- gat tinggi. Karena pertarungan tak mungkin bisa di cegah la-
gi, kedua kakek ini hanya bisa berharap Tanggala dapat selamat. Setidak-tidaknya
jangan sampai terluka terlalu parah. Dengan hati berdebar tegang Kelabang Sakti
dan Dewa Tangan Sakti mengarahkan pandangan ke halaman. Di tempat itu
pertarungan baru saja dimulai.
Terlihat lelaki berpakaian hitam bersikap tak peduli dengan serangan yang
dilancarkan Tanggala. Padahal, kedua kaki yang menimbulkan deru angin keras itu
mampu menghancurkan batu karang.
Buk, buk, bukkk!
Berturut-turut dan secara telah tendangan Tangga-
la mendarat di sasaran. Seketika itu pula terdengar jerit kesakitan. Tapi bukan
dari mulut lelaki berpakaian hitam, melainkan dari mulut Tanggala!
Murid utama Perguruan Kelabang Merah itu mera-
sakan kedua kakinya tak menghantam tubuh manu-
sia. Bukan tubuh yang terbuat dari kulit dan daging, tetapi baja yang amat
keras. Tanggala merasakan
ujung-ujung kakinya sakit dan nyeri bukan main.
"Hanya sampai di situ saja kemampuanmu, ku-
nyuk tak tahu diri"!" dengus lelaki berpakaian hitam.
"Dengan kemampuan serendah ini kau hendak men-
gusirku"!"
Ejekan lawan membuat Tanggala menelan rasa
nyeri yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Sambil
melengking nyaring kembali dilancarkannya serangan
susulan. Kali ini berupa tamparan kedua tangan, berturut-turut ke arah pelipis
kanan dan kiri.
Lelaki berpakaian hitam tak bergeming dari tem-
patnya. Tadi pun ketika tendangan Tanggala mendarat di tubuhnya, kuda-kudanya
tak bergeming sedikit pun.
Malah, Tanggala yang terjengkang ke belakang.
Lelaki berpakaian hitam baru bertindak ketika
sampokan kedua tangan Tanggala hampir mengenai
sasaran. Kedua tangannya digerakkan memapaki se-
rangan dari arah dalam.
Plakkk, Tappp! Tanggala mengeluarkan keluhan tertahan. Tangki-
san kedua tangan lawan diikuti dengan gerakan men-
cekal pergelangan tangannya. Dan sebelum Tanggala
sempat berbuat sesuatu, lelaki berpakaian hitam telah menyentakkan kedua
tangannya. Tak ampun lagi tubuh Tanggala tertarik ke arah
lawan. Kedudukan Tanggala yang tengah berada di
udara dan kekuatan tenaga dalamnya yang berada di
bawah lawan, membuat tubuh murid utama Perguruan
Kelabang Merah itu tertarik begitu deras ke depan.
Kelabang Sakti tanpa sadar mencengkeram kedua
tangan kursi karena perasaan tegang. Tanggala berada dalam bahaya besar. Di
sebelah Kelabang Sakti, Dewa Tangan Sakti hanya menghela napas berat. Tokoh
golongan putih yang terkenal itu pun tahu kalau Tangga-la berada dalam keadaan
kritis! Kekhawatiran mereka memang beralasan. Begitu
tubuh Tanggala semakin dekat, lelaki berpakaian hi-
tam menggerakkan kepalanya menghantam dada
Tanggala. Terdengar bunyi berderak tulang-belulang
yang patah. Lelaki berpakaian hitam berlaku cerdik.
Berbarengan dengan benturan yang dilakukan, pegan-
gannya pada dua tangan Tanggala dilepaskan. Akibat-
nya tubuh murid utama Perguruan Kelabang Merah
melayang deras ke belakang.
Dari mulut Tanggala terdengar bunyi seperti hewan
disembelih. Mulut, hidung, dan kedua telinganya me-
nyemburkan darah segar. Semburan dari mulut cukup
deras, sehingga meluncur ke arah lelaki berpakaian hitam. Namun beberapa jengkal
sebelum mengenai tu-
buh cairan kental itu runtuh ke tanah seperti mem-
bentur dinding tak tampak.
Lelaki berpakaian hitam tetap bersikap seperti se-
mula. Tenang dan dingin. Bahkan ketika tubuh Tang-
gala yang telah menjadi mayat itu ambruk ke tanah.
Sesaat semua orang yang menyaksikan kejadian itu
tak melakukan tindakan apa pun. Mereka berdiri ter-
paku di tempatnya seperti orang kena sihir. Kejadian yang mereka saksikan
rupanya terlalu mengejutkan.
"Pengacau Hina! Berani kau main gila di Perkumpulan Kelabang Merah"!"
Belum juga bentakan kemarahan itu lenyap, berke-
lebatan ke arah lelaki berpakaian hitam beberapa sosok tubuh berpakaian hijau
yang bersulamkan gambar
kelabang merah.
"Tak usah banyak bicara seperti nenek-nenek kehabisan sirih! Maju dan seranglah
aku!?" tandas lelaki berpakaian hitam.
Keempat murid Perguruan Kelabang Merah tak ku-
asa menahan kemarahan lagi. Mereka adalah murid-
murid pilihan yang tingkatnya sedikit di bawah Tanggala. Dan sekarang tamu tak
diundang itu menantang
mereka untuk maju menyerang secara bersama-sama.
Empat murid Kelabang Sakti segera menggunakan
tongkat yang menjadi senjata andalan mereka. Dipu-
tarnya senjata itu sampai lenyap bentuknya menjadi
gulungan sinar hijau. Baru setelah itu, serangan dahsyat mereka lancarkan!
Lelaki berpakaian hitam tetap diam di tempatnya. Dan ketika gulungan sinar
tongkat menyambar dekat, semua pasang mata yang menyaksikan jalannya pertarungan
melihat sinar menyilaukan mata mencuat dari arah lelaki itu. Sinar terang me-
nyambar bagai halilintar ke arah empat murid Pergu-
ruan Kelabang Merah. Hanya sekelebatan saja, kemu-
dian lenyap! Semua murid Perguruan Kelabang Merah terkejut.
Empat rekan mereka mendadak menghentikan seran-
gan dan berdiri di tempatnya. Sebentar kemudian ro-
boh ke tanah dengan tubuh dibasahi cairan merah
kental! Karuan saja pemandangan ini sangat mengheran-
kan semua murid perguruan. Mereka tak tahu apa
yang terjadi. Hanya Kelabang Sakti dan Dewa Tangan
Sakti yang bisa memperkirakan. Empat murid Pergu-
ruan Kelabang Merah itu tewas karena leher mereka
robek terkena babatan sinar terang. Luka lebar yang sampai memutus urat besar di
tenggorokan itu telah
mencabut nyawa keempatnya.
Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti saling ber-
tukar pandang. Kedua kakek ini merasakan detak jan-
tung mereka bergerak lebih cepat. Rasa tegang melan-da keduanya. Meski mereka
mengetahui penyebab ke-
matian empat rekan Tanggala, tapi kedua pentolan golongan putih itu tak tahu apa
sebenarnya sinar menyilaukan mata yang dikirimkan lelaki berpakaian hitam.
Mereka hanya bisa menduga sinar terang itu be-
rasal dari pancaran pedang pusaka. Dan memang, ke-
dua kakek ini melihat di pinggang lelaki berpakaian hitam tergantung sebatang
pedang. Ketidakmampuan
mereka melihat gerakan lelaki itu mempergunakan pe-
dangnya sungguh sangat memukul perasaan. Benar-
benar ilmu pedang yang mengiriskan hati!
Kelabang Sakti sadar tak ada seorang muridnya
pun yang sanggup menghadapi tamu tak diundang itu.
Bahkan meski mereka menghadapinya bersama-sama.
Ilmu lelaki asing itu benar-benar sangat tinggi. Itulah
sebabnya ketika murid-murid Perguruan Kelabang Me-
rah berbondong-bondong hendak menempur pengacau
tak dikenal itu, Kelabang Sakti buru-buru mencegah.


Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mundur semua...! Siapakah kau, Saudara" Men-
gapa mengacau di tempatku" Aku yakin diantara kita
tak pernah ada urusan!" tegas Kelabang Sakti dengan suara keren seraya melangkah
maju. "Antara kau dan aku memang tak pernah saling
kenal, Kelabang Sakti. Jadi mustahil akan tercipta suatu urusan," jawab lelaki
berpakaian hitam, sinis.
"Urusan itu baru muncul setelah kau membunuh
orang yang mempunyai hubungan dekat denganku.
Kau ingat tokoh-tokoh yang berjuluk Tiga Naga Du-
nia?" "Tokoh-tokoh sesat yang gemar membuat keka-
cauan?" tanya Kelabang Sakti dengan alis berkerut.
Tiga Naga Dunia sekitar delapan tahun lalu me-
nyebar kekacauan di sana-sini. Kepandaian mereka
yang tinggi membuat banyak tokoh golongan putih te-
was. Namun, Kelabang Sakti berhasil menewaskan sa-
tu di antara mereka. Demikian juga Dewa Tangan Sak-
ti dan seorang tokoh golongan putih lainnya. Angkara murka Tiga Naga Dunia
berhasil mereka hentikan.
"Benar," jawab lelaki berpakaian hitam.
"Tentu saja aku mengenalnya!" tanda Kelabang Sakti sejujurnya. Meski diketahui
tamunya mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh Tiga Naga Dunia, tapi
hal itu tak menjadikannya mengingkari kenyataan. Padahal pembalasan dendam bisa
saja dilakukan lelaki
itu. "Salah seorang di antara mereka telah ku te-waskan!" lanjut Kelabang Sakti,
"Bagus kalau kau mengakui hal itu, Kelabang Sak-ti!" dengus lelaki berpakaian
hitam. Sepasang matanya tampak menyiratkan api kebencian. "Perlu kau keta-
hui, tokoh yang kau bunuh itu adalah murid kepona-
kan guruku! Maka bersiaplah untuk menerima pemba-
lasannya, Kelabang Sakti! Agar kau tak mati penasaran, akan ku perkenalkan
diriku. Namaku Sapta Reng-
gi!" "Mereka jahat, kau pun tak akan lebih baik dari iblis. Majulah, Renggi!
Ingin kulihat sampai di mana ke-saktianmu!" tantang Kelabang Sakti.
"Tak perlu kau gurui aku, Kelabang Sakti! Mam-
puslah...!" untuk pertama kalinya Sapta Renggi yang memulai penyerangan. Lelaki
ini mengirimkan pukulan kanan kiri bertubi-tubi ke arah dada Kelabang Sakti.
Deru angin keras mengiringi luncuran serangannya.
Kelabang Sakti yang bermaksud mengetahui keku-
atan tenaga dalam sengaja tak menghindari serangan itu. Dipapakinya dengan
kedudukan jari-jari tangan
serupa. Bukkk, dukkk! Benturan nyaring seperti bertumbukkannya dua
batang logam besar terdengar. Dua pasang kepalan itu bertemu berkali-kali di
tengah jalan. Akibatnya, tubuh Kelabang Sakti terguncang. Malah pada benturan
te-rakhir kakek ini terhuyung-huyung ke belakang. Se-
ringai kesakitan menghiasi mulutnya. Di lain pihak, Sapta Renggi tak terpengaruh
sedikit pun. Kelabang Sakti menggertakkan gigi untuk menekan
rasa terpukul yang melanda hati. Tanpa banyak bicara lagi diterjangnya Sapta
Renggi. Lelaki berpakaian hitam itu menyambutnya dengan penuh semangat. Per-
tarungan hidup dan mati pun berlangsung. Kelabang
Sakti yang telah mengetahui ketangguhan lawannya
segera menggunakan ilmu 'Kelabang Sakti'. Ilmu itu
membuat tubuhnya bagai tak memiliki berat.
Sapta Renggi pun tak kalah mempertunjukkan ke-
hebatannya. Lelaki ini memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Betapapun
gencar serangan-serangan
yang dikirimkan Kelabang Sakti, Sapta Renggi senan-
tiasa dapat memusnahkannya!
Semula jalannya pertarungan masih berimbang.
Tapi, memasuki jurus kedua puluh lima perlahan-
lahan Kelabang Sakti mulai terdesak. Ketua Perguruan Kelabang Merah ini segera
mengeluarkan senjata andalannya, tongkat berwarna hijau.
Dengan tongkat di tangan Kelabang Sakti bagai ha-
rimau tumbuh sayap. Serangan-serangannya semakin
dahsyat Selama beberapa gebrakan Sapta Renggi
hanya mengelakkannya. Namun, tiba-tiba saja Kela-
bang Sakti melihat sinar terang meluncur ke arahnya.
Kakek ini berusaha sekuat tenaga untuk membentuk
benteng pertahanan. Tapi usahanya sia-sia. Sinar terang itu mampu menembus
putaran tongkatnya dan
membabat leher Kelabang Sakti ambruk ke tanah.
Menggeliat sebentar sebelum akhirnya diam tak bergerak untuk selamanya. Tindakan
Sapta Renggi tak
hanya sampai di situ. Robohnya Kelabang Sakti justru membuatnya semakin
beringas. Lelaki ini mengamuk.
Jeritan kematian terdengar di sana-sini dengan diikuti ambruknya tubuh-tubuh tak
bernyawa. Tak lama kemudian, tak satu pun sosok lawan yang masih berdiri tegak.
Semua tewas tak terkecuali Dewa Tangan Sakti!
Seakan tak pernah terjadi apa-apa, Sapta Renggi
lalu melangkahkan kakinya dengan tenang meninggal-
kan halaman Perguruan Kelabang Merah.
*** Sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda berpacu
cepat melewati jalan tanah berdebu di gunung. Sang
kusir seorang gadis cantik berusia dua puluh dua tahun dan berpakaian kuning
gading. Gadis itu tak hen-ti-hentinya melecutkan cemeti ke punggung kuda-
kuda. Di belakang kereta kuda, tampak belasan orang
berkuda mengejar. Jarak yang terpaut hanya belasan
tombak. Kiranya, inilah penyebab gadis berpakaian
kuning memacu kuda-kudanya bagai kesetanan. Sedi-
kit demi sedikit jarak di antara mereka semakin dekat.
Jarak yang semula belasan tombak sekarang tak sam-
pai sepuluh tombak lagi.
Gadis berpakaian kuning memang tidak melihat
semakin dekatnya para pengejar. Tapi dari bunyi derap kaki kuda yang semakin
jelas terdengar, hal itu bisa diketahuinya.
Krakkkk! Terdengar bunyi gaduh ketika salah saru roda ke-
reta masuk ke dalam lubang. Meski lubang itu tak terlalu dalam namun
mengakibatkan as roda patah. Kere-
ta kuda itu pun jatuh tersungkur!
Gadis berpakaian kuning ternyata bukan wanita
sembarangan. Dia melompat turun sebelum kereta ku-
da itu ambruk. Manis dan indah gerakannya. Bahkan
ketika menjejak tanah, tak terdengar bunyi berarti.
Sementara itu para pengejarnya sudah tiba dan lang-
sung mengurungnya. Gadis berpakaian kuning men-
gedarkan pandangan ke arah orang-orang tersebut.
Tangannya yang berjari-jari lentik mencabut sepasang belati dari pinggangnya.
"Kemana pun kau pergi tetap akan kami kejar, Gadis Liar!" tandas salah seorang
pengejarnya. Orang itu bertubuh pendek gemuk dan berperut
gendut. Kepalanya polos tanpa sehelai rambut pun. Perut dan sebagian dadanya
terlihat jelas karena rompi
ketat yang dikenakannya. Di tangan lelaki botak ini tergenggam sebatang gada!
Gadis berpakaian kuning menatap lelaki gendut
yang melangkah menghampirinya. Bibir gadis ini
membentuk senyum mengejek.
"Pengecut-pengecut Hina! Dulu sewaktu ayahku
masih ada kalian tak ada yang berani menunjukkan
congor! Sekarang setelah beliau dibunuh oleh penjahat keji, kalian datang
mencari-cariku. Beramai-ramai lagi!
Benar-benar pengecut yang terlalu licik!" maki gadis berpakaian kuning.
"Ketidakadaan Ayahku membuatku merasa terpanggil untuk mewakilinya mele-
nyapkan kalian semua, Hai Pengecut-pengecut Hina.
Kemari akan kukirim kalian semua ke akhirat!"
"Tutup mulutmu, Gadis Liar! Selama ini bukannya kami takut pada ayahmu! Kami
tengah menyusun kekuatan dan waktu yang tepat untuk mengirim ayahmu
yang sok suci itu ke neraka. Sayang, di saat kami bermaksud melaksanakannya
telah didahului orang lain.
Maka, kaulah yang harus menggantikan ayahmu!"
Setelah berkata demikian, lelaki pendek gemuk
langsung mengayunkan gadanya ke arah kepala Ke-
mani. Bunyi menderu keras mengiringi tibanya seran-
gan. Kemani tersenyum mengejek. Kaki kanannya di-
langkahkan ke belakang dengan diikuti condongan tu-
buhnya. Serangan lawan lewat beberapa jari di depan wajah. Rambut Kemani sampai
berkibaran oleh deru
angin keras yang menyertai ayunan gada.
Tindakan Kemani segera dilanjutkan dengan ayu-
nan kaki kiri ke arah siku lawan yang menggenggam
gada. Lelaki gemuk yang tak ingin gadanya lepas dari pegangan bergegas menarik
tangannya. Serangan Kemani pun mengenai tempat kosong.
Gerakan Kemani lincah bukan main. Begitu seran-
gannya berhasil dielakkan dia meluruk maju dengan
serangan sepasang belati. Sesaat kemudian, kedua
orang itu telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Meski masih muda, Kemani memiliki kepandaian
tinggi. Hampir seluruh kepandaian ayahnya yang me-
rupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih telah di-wariskan padanya. Naga
Sakti, itulah ayah Kemani.
Sayang, lawan yang dihadapi Kemani bukan orang
sembarangan. Lelaki gundul itu amat terkenal di dunia persilatan sebagai salah
satu tokoh sesat yang ditaku-ti. Gada Pelumat Dunia, demikian julukannya.
"Uh...!"
Kemani mengeluarkan keluhan tertahan. Sebuah
gerakan tipuan Gada Pelumat Dunia berhasil menyapu
kakinya. Kemani terjungkal ke belakang dan jatuh ter-lentang.
"Terimalah ajalmu, Gadis Liar!" seru lelaki gundul seraya melompat untuk
menubruk Kemani. Gadanya
diayunkan ke arah kepala gadis itu.
Wajah Kemani langsung pucat. Serangan yang da-
tang terlalu tiba-tiba, sementara dirinya berada dalam kedudukan yang tidak
menguntungkan. Membuat tak
sempat mengelak. Satu-satunya cara untuk menyela-
matkan kepalanya dari hantaman gada hanya dengan
menangkis. Padahal, sepasang belati Kemani telah terlempar dari pegangan ketika
gadis itu terjungkal.
Kemani bimbang, haruskah dipergunakan tangan-
nya untuk menangkis" Bila hal itu dilakukan tulang-
tulang tangannya akan hancur berantakan! Atau, di-
biarkan saja kepalanya hancur oleh Gada"
Dalam waktu yang demikian singkat Kemani me-
mutuskan untuk menangkis. Dikerahkan seluruh te-
naganya ke tangan, kemudian dihentakkan ke depan.
Beberapa jari sebelum gada berbenturan dengan
tangan tiba-tiba terdengar bunyi lecutan nyaring bagai suara halilintar. Tampak
meluncur selarik sinar hitam yang ternyata sebuah sabuk. Sabuk itu melilit
pergelangan kaki Gada Pelumat Dunia. Lilitan sabuk yang
diikuti dengan sentakan membuat gada yang meluncur
ke arah Kemani tak sampai di tujuan.
Gada Pelumat Dunia segera sadar seseorang telah
mencampuri urusannya. Maka, sentakan sabuk yang
menarik tubuhnya ke belakang dimanfaatkan untuk
memberi hajaran pada orang usilan itu.
Gada Pelumat Dunia bersalto beberapa kali. Dili-
hatnya, dua tombak di belakangnnya berdiri seorang
pemuda berpakaian hitam. Di tangan pemuda ini ter-
genggam sehelai sabuk. Ujung yang satu berada di
pergelangan kaki Gada Pelumat Dunia.
Dengan pergelangan kaki masih terbelit sabuk, Ga-
da Pelumat Dunia mengirimkan serangan. Salto yang
dilakukannya membuat rentangan sabuk mengendur.
Ini membuat lelaki gundul itu leluasa untuk mengi-
rimkan serangan.
Lelaki berpakaian hitam yang bukan lain Sapta
Renggi terdengar mendengus. Sekali tangannya yang
menggenggam ujung sabuk digerakkan, getaran yang
timbul membuat sabuk bergelombang keras.
Desss! Gada Pelumat Dunia mengeluarkan jeritan serak
ketika sabuk melecut dadanya. Bukan ujung sabuk
yang menghantam, melainkan bagian tengahnya yang
berombak keras.
Tubuh Gada Pelumat Dunia terlempar ke belakang.
Dari mulut tersembur cairan merah kental. Meski
hanya sehelai kain, tapi karena ditopang oleh tenaga dalam lecutan sabuk tak
kalah keras dengan hanta-
man gada! Sapta Renggi tersenyum keji. Sabuknya ditarik se-
cara tiba-tiba. Luncuran tubuh Gada Pelumat Dunia
langsung tertahan. Bahkan, tubuh lelaki gundul itu
melayang ke arah Sapta Renggi.
Sapta Renggi terlihat menggerakkan pergelangan
tangannya. Lilitan sabuk terlepas. Lelaki ini langsung menyusulinya dengan
lecutan ujung sabuk ke arah
leher! Ctarrr! Gada Pelumat Dunia yang malang tak mampu ber-
buat apa pun untuk mengelakkan serangan. Secara te-
lak dan keras ujung sabuk menghantam sasaran.
Bunyi berderak keras tulang-tulang leher yang hancur dan muncratan darah dari
mulut, hidung dan telinga
mengiringi terlemparnya tubuh Gada Pelumat Dunia.
Nyawa lelaki gundul ini pergi meninggalkan raga sebelum tubuhnya menyentuh
tanah. Malah lelaki malang
ini tak sempat mengeluarkan jeritan kematian.
*** 3 Kemani terbelalak kaget melihat Gada Pelumat Du-
nia tewas dalam beberapa gebrakan. Gadis ini terpaku di tempatnya. Perasaan
kaget dan takjub terhadap
Sapta Renggi membuatnya tak ingat untuk segera
bangkit berdiri.
Sapta Renggi mengerling ke arah Kemani. Terlihat
kilatan aneh di mata lelaki berpakaian serba hitam ini.
Kerlingan Sapta Renggi beradu dengan pandangan
Kemani yang tengah menatapnya. Sementara, belasan
anak buah Gada Pelumat Dunia segera meluruk ke
arah Sapta Renggi dengan senjata di tangan.
Mereka menyerbu seraya mengeluarkan teriakan-
teriakan kemarahan. Tewasnya Gada Pelumat Dunia
demikian cepat sehingga mereka tak sempat turun
tangan untuk membantu. Sapta Renggi tetap bersikap
tenang. Lelaki ini malah menunggu tibanya serangan.
Kemani yang melihat hal ini tanpa sadar memekik ke-


Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cil. Terbayang di benaknya tubuh Sapta Renggi hancur tercacah-cacah hujan
senjata. Ketika senjata-senjata itu meluncur semakin dekat,
sinar terang menyilaukan mata mencuat dari arah
Sapta Renggi. Sinar terang itu menyambar-nyambar ke arah belasan anak buah Gada
Pelumat Dunia. Dan secepat sinar terang itu muncul, secepat itu pula lenyap-nya.
Kemani melihat Sapta Renggi tetap berdiri di tempatnya. Belasan penyerangnya
juga menghentikan ge-
rakan. Keheranan Kemani berganti dengan keterkejutan.
Tubuh belasan orang itu ambruk ke tanah dengan di-
dahului mengucurnya darah dan terlepasnya senjata
yang mereka cekal. Sambil bangkit Kemani memperha-
tikan lebih teliti. Dilihatnya leher anak buah Gada Pelumat Dunia sobek lebar.
Dari tempat inilah darah
mengucur! Kemani tak habis pikir bagaimana itu bisa terjadi.
Sapta Renggi tak mengganggu Kemani yang tengah
larut dalam kebingungan. Dia justru mempergunakan
kesempatan itu untuk memperhatikan si gadis. Ada
perasaan aneh yang tak dimengerti dirasakan Sapta
Renggi ketika melihat Kemani pertama kali.
Sapta Renggi buru-buru mengalihkan perhatiannya
ke arah lain ketika Kemani mengalihkan pandangan
menatapnya. Tanpa ragu-ragu Kemani segera men-
gayunkan kaki menghampiri Sapta Renggi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kak. Kalau tak ada kau, mungkin saat ini aku
hanya tinggal nama,"
ucap Kemani penuh rasa terima kasih.
Sapta Renggi menyunggingkan senyum lebar. Se-
nyum yang keluar dari lubuk hatinya yang paling da-
lam. Kenyataan ini membuat lelaki itu merasa heran
sendiri. Sejak kapan dia bisa tersenyum" Padahal, selama ini dia tak pernah
tersenyum. Yang lebih mengherankan lagi, dunia jadi kelihatan
indah ketika Kemani tersenyum kepadanya. Pohon-
pohon tampak lebih menarik. Kicau burung yang ter-
dengar lebih merdu dari biasanya. Dan, hatinya gembi-ra bukan main! Hal ini
benar-benar mengherankan
Sapta Renggi. "Tak ada yang perlu untuk diucapkan terima kasih, Nona. Orang-orang seperti
mereka memang selayaknya
dilenyapkan dari muka bumi, mereka hanya menim-
bulkan kekacauan belaka," sahut Sapta Renggi dengan senyum menghias bibir.
Sapta Renggi hampir tak percaya dengan ucapan
yang keluar dari mulutnya. Ucapan seperti itu layaknya diucapkan seorang
pendekar. Setidak-tidaknya,
seseorang yang mencintai kebenaran dan membenci
tindak kejahatan. Padahal, dia sendiri belum lama ini telah membasmi puluhan
tokoh golongan putih di Per-kumpulan Kelabang Merah!
"Aku, Sumantri," Sapta Renggi memperkenalkan diri dengan nama palsu. "Boleh ku
tahu siapa namamu, Nona?"
"Mengapa tidak, Sumantri?" balas Kemani sambil tersenyum manis. "Kau adalah
penolongku. Namaku Kemani."
"Sebuah nama yang bagus sekali, Kemani. Kau ju-
ga memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Sungguh
seorang gadis yang sulit untuk dicari duanya," puji Sumantri sejujurnya.
Tentu saja bukan kepandaian Kemani yang men-
dapat pujian Sumantri. Tapi, kecantikan dan keinda-
han tubuh gadis itu yang telah menaut hati Sapta
Renggi. "Tak ada artinya kepandaian yang kumiliki bila di-bandingkan denganmu,
Sumantri," cetus Kemani, kecewa. "Kalau saja aku memiliki kepandaian sepertimu,
mungkin ayahku tak perlu meninggal dan gerombolan
orang kasar itu tak dapat berbuat semaunya terha-
dapku!" Kemani kemudian menghampiri kereta kudanya.
Dari bagian belakang kereta di turunkannya sebuah
peti mati hitam berukir. Sapta Renggi mendekati. Bola matanya beralih berganti-
ganti pada Kemani dan peti mati
"Tenangkanlah hatimu, Kemani. Bukankah orang-
orang yang telah membunuh ayahmu telah tewas?" hibur Sapta Renggi.
"Maksudmu... gerombolan orang kasar ini?"
"Tentu saja! Bukankah orang-orang ini yang telah membunuh ayahmu?" Sumantri
alias Sapta Renggi
meminta penegasan.
"Kau keliru, Sumantri. Mereka bukan pembunuh
ayahku. Lagi pula, bagaimana mungkin ayahku bisa
tewas oleh orang-orang seperti mereka" Biar jumlah
mereka tiga kali lipat pun tak akan mampu membu-
nuh ayahku!"
"Ahhh...!" desah Sapta Renggi berpura-pura kagum. "Kalau begitu ayahmu memiliki
kepandaian tinggi, Kemani."
"Tentu saja, Sumantri! Kalau tidak, mana mungkin
bisa menjadi salah seorang dari Tiga Pendekar Sakti"
tandas Kemani tanpa menyembunyikan nada bang-
ganya. "Ahhh...! Untuk kedua kalinya Sapta Renggi berseru kaget.
Kali ini lelaki itu benar-benar merasa kaget. Sungguh tak disangkanya Kemani
putri dari tokoh Tiga Pendekar Sakti yang tersisa. Naga Sakti seorang tokoh
golongan putih yang dibunuhnya. Tapi, Sapta Renggi
mampu menyembunyikan perasaannya. Dalam sekeja-
pan lelaki ini telah mampu bersikap biasa.
"Boleh kulihat isi peti itu, Kemani?" Sapta Renggi mengalihkan pembicaraan.
Hatinya merasa galau
mengingat gadis yang menarik hatinya adalah putri
dari musuh besarnya.
"Mayat ayahku," jawab Kemani serak. "Semasa hidup beliau berpesan padaku agar
jika beliau meninggal kuburkan di dekat makam ibuku. Karena itulah aku
membawa-bawanya. Karena perjalanan membutuhkan
waktu beberapa hari, kuberikan ramuan-ramuan agar
mayat ayahku tidak berbau dan bisa tahan sampai di
tempat tujuan."
"Bagaimana kau membawa mayat ayahmu sedang
keretamu telah rusak?"
"Kupanggul. Di samping tak berat, tempatnya pun tak jauh lagi. Tinggal seratus
tombak dari sini," beritahu Kemani, lirih. "O ya, maukah kau menerimaku sebagai
murid, Sumantri. Kulihat kau memiliki kepan-
daian tinggi. Kau bersedia Sumantri?"
Sumantri kelihatan bingung. Kemani melihat hal
itu secara jelas. Dan, sebuah dugaan jelek berkumpul di benaknya.
"Tak usah ragu-ragu, Sumantri. Aku yakin kau
akan menolak permintaanku. Siapa yang bersedia me-
nerimaku sebagai murid?" keluh Kemani dengan nada sendu. Gadis berpakaian kuning
ini kemudian memba-likkan tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu.
Sambil memanggul peti mati ayahnya. "Selamat tinggal, Sumantri."
Sumantri alias Sapta Renggi terpaku ditempatnya.
Dia terlalu terkejut melihat tanggapan Kemani. Ketika gadis itu telah melangkah
sejauh tiga tombak, Sapta Renggi segera tersadar dari keterkejutannya.
"Kemani...! Tunggu...!" seru Sumantri keras.
Kemani tak mempedulikan seruan Sapta Renggi.
Ayunan kakinya semakin dipercepat.
Sapta Renggi kebingungan. Sebuah keputusan se-
gera diambilnya. Lelaki ini melompat dan bersalto beberapa kali sebelum akhirnya
mendarat di depan Ke-
mani, menghadang langkah gadis itu.
"Jangan salah mengerti, Kemani," ucap Sapta Renggi seraya menatap wajah gadis di
depannya lekat-lekat.
Kemani berusaha untuk tersenyum. Tapi gagal.
Kekecewaan akibat penolakan Sapta Renggi menye-
babkan senyum yang diukirnya terlihat begitu tawar.
"Aku tak apa-apa, Sumantri. Aku cukup tahu di-
ri..." "Dengar dulu penjelasanku, Kemani," potong Sumantri, cepat. "Aku belum
menjawab pertanyaanmu, bukan karena aku tak setuju. Tapi, aku bingung."
"Apa yang harus kau bingungkan" Aku tak marah
seandainya kau terus terang menolakku. Itu hakmu,
bukan?" timpal Kemani berusaha bersikap tegar.
"Lagi-lagi kau salah mengerti, Kemani," keluh Sapta Renggi. "Aku bukan bingung
memikirkan jawaban permintaanmu. Aku bingung karena ingin memenuhi
permintaanmu, tapi aku berhadapan dengan sumpah
yang kubuat..."
Sepasang alis Kemani yang indah tampak berkerut
"Sejujurnya aku ingin memenuhi permintaanmu,
Kemani. Aku ingin mengajarimu. Tapi aku telah ber-
sumpah demi almarhum orang tuaku, bahwa aku
hanya akan menggunakan kepandaianku untuk satu
tujuan yaitu membasmi musuh-musuhku. Aku berjan-
ji di hadapan guruku, Kemani."
Kemani masih diam. Tapi, kerutan pada alisnya te-
lah mengendur. Sapta Renggi tak menyia-nyiakan ke-
sempatan ini. Buru-buru keterangannya dilanjutkan.
"Kuakui, aku memang jauh untuk bisa dikatakan
orang baik-baik. Kendati demikian, sumpah itu ku junjung tinggi. Bagiku
kehormatan lebih berharga daripa-da nyawa."
Kemani menghias senyum di bibirnya yang indah.
Kali ini lebih berbentuk senyuman dari pada sebelumnya. Sapta Renggi merasakan
beban yang menghimpit
batinnya mendadak lenyap. Tapi, kegembiraan yang
timbul kembali pupus ketika mendengar ucapan Ke-
mani selanjutnya.
"Aku bisa memakluminya, Sumantri. Aku malah
bangga dengan pendirianmu. Hanya orang-orang ber-
watak gagah mau mengakui kekurangan dirinya dan
menjunjung tinggi kehormatan. Aku tak marah, Su-
mantri. Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan.
Selamat tinggal."
Kemani melangkahkan kaki hendak melewati Sapta
Renggi yang berdiri di depannya. Karuan saja tanggapan yang tak terduga-duga ini
membuat Sapta Renggi
kelabakan. Dengan tergesa-gesa kedua tangannya dijulurkan untuk mencegah.
"Mengapa harus berpisah, Kemani" Tidakkah lebih baik kalau aku, maksudku...,
kita melakukan perjala-
nan bersama-sama?"
"Itu tak mungkin, Sumantri," bantah Kemani seraya menggelengkan kepala." Aku
ingin mengunjungi bibiku untuk memberitahukan semua yang telah terjadi. Asal kau
tahu saja Sumantri, bibiku itu tidak su-ka dengan lelaki. Lagi pula aku tak
ingin mengganggu perjalananmu. Bukankah kau mengemban tugas dari
gurumu?" "Tapi, Kemani...,"
"Jangan halangi kepergianku, Sumantri!" potong Kemani dengan nada tinggi.
"Jangan kau rusak kekaguman ku dengan sikap seperti ini. Aku tak ingin melakukan
perjalanan bersama, dan aku tak suka kalau
kau menguntit perjalan ku! Bila itu kau lakukan, aku akan marah. Seumur hidup
aku tak akan mau bertemu apalagi bercakap-cakap denganmu!"
Sapta Renggi terdiam. Kemani tampaknya bersung-
guh-sungguh dengan ucapannya. Jadi akan sia-sia sa-
ja berusaha membujuknya.
"Kalau kau memang berkeras demikian aku tak
mempunyai pilihan lain, Kemani," desah Sapta Renggi putus asa. "Kuharap kau
selamat tiba di tempat tujuan. Dan kuharap kita bisa bersua kembali, Kemani."
"Semoga saja, Sumantri. Percayalah, aku tak akan melupakanmu. Kau seorang lelaki
yang baik."
Kemani melanjutkan langkahnya kembali. Kali ini
Sapta Renggi tak menghalanginya lagi. Lelaki ini malah menggeser kaki untuk
memberikan jalan pada gadis
berpakaian kuning itu.
Sapta Renggi tetap berdiri di tempat itu meman-
dangi kepergian Kemani, hingga tubuh gadis itu lenyap ditelan kejauhan. Terasa
ada kehampaan yang dirasakan Sapta Renggi. Alam tak seindah sebelumnya. Ki-
cau burung pun tak lagi merdu. Keindahan yang ada
lenyap terbawa perginya Kemani
*** Delapan ekor kuda itu tertambat di batang pohon
di lereng gunung. Penunggangnya terdiri dari lima
orang pasukan kerajaan dan tiga orang rakyat biasa.
Ketiga orang yang tidak berseragam pasukan kerajaan itu adalah Resi Druna,
Darmakala, dan Wudani.
"Tak bisakah binatang-binatang ini kita bawa hingga ke tempat tinggal yang Mulia
Sendari?" tanya anggota pasukan kerajaan yang bermuka hitam.
"Tidak, Cemong," jawab Resi Druna sambil menggeleng. "Medan yang akan kita
hadapi terlalu sulit. Biar binatang-binatang ini kita tinggal di sini dengan
dijaga empat orang prajurit. Kau ikut denganku bersama-sama Darmakala dan
Wundani untuk menemui Senda-
ri. Dengan adanya kau, aku yakin wanita keras kepala itu percaya kalau
kedatanganku sebagai utusan Gusti Prabu Mandaraka."
Cemong tak berani membantah. Dia tahu siapa Re-
si Druna dan Sendari, serta hubungan mereka dengan
Prabu Mandaraka.
Resi Druna sendiri Segera mengayunkan kaki
mendaki lereng gunung. Tanpa banyak bicara Darma-
kala, Wudani, dan Cemong mengikuti langkahnya. Se-
telah menempuh perjalanan beberapa saat lamanya,
Cemong harus mengakui kebenaran ucapan Resi Dru-
na. Medan yang mereka tempuh terlalu berat. Kuda-
kuda tak akan mampu menempuhnya. Bahkan para
prajurit anak buah Cemong pun akan mengalami ke-
sulitan. Jika mereka ikut serta perjalanan menuju tempat
Nenek Payung Sakti akan mengalami hambatan. Pan-
tas, Resi Druna tak membawa serta mereka. Cemong
sendiri yang memiliki kemampuan jauh di atas empat
prajurit itu susah payah mengikuti Resi Druna, Dar-
makala serta Wudani. Prajurit bermuka hitam ini se-
nantiasa tertinggal.
Setelah napas Cemong hampir putus dan peluh
membasahi sekujur tubuh, baru mereka berada di
tempat yang datar. Di kejauhan tampak sebuah pon-
dok sederhana. Tak ada pintu gerbang atau tembok
yang mengelilingi. Kendati demikian, pondok itu kelihatan apik dan bersih karena
di bagian depan dan se-kelilingnya ditumbuhi tanaman bunga aneka warna.
"Begitu tersembunyi tempat tinggal Sendari. Aku yakin tanpa bantuan Resi Druna
tak akan mungkin
tempat ini bisa diketemukan," ujar Darmakala dan Wudani dalam hati.
Keyakinan pasangan suami istri ini memang bera-
lasan. Untuk mencapai tempat tinggal Sendari mereka harus melalui jalan terjal
dan berliku-liku naik turun.
Jalan setapak licin serta jurang yang dalam menganga lebar siap menelan tubuh
mereka. Ketiga orang ini terus melangkah menghampiri


Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pondok yang masih berjarak puluhan tombak. Ketika
jarak mereka tinggal lima tombak lagi dari daun pintu yang tertutup rapat, tiba-
tiba terdengar suara teguran.
"Tikus-tikus dari mana berani lancang mendekati tempat tinggalku"! Apakah ingin
ekor-ekor kalian ku putuskan"!" sambut suara nyaring dari balik pintu pondok
yang tertutup. Seruan bernada ancaman itu membuat Resi Druna
menghentikan langkah. Melihat kakek ini berhenti,
Darmakala dan yang lainnya mengambil sikap serupa.
Keempat orang ini berdiri dengan sikap menunggu.
Paras Resi Druna tampak menegang. "Suara itu
masih belum berubah juga. Galak dan ketus. Apakah
sikap kerasnya tak juga luluh oleh waktu?" keluh Resi Druna dalam hati.
"Tikus-tikus tak tahu diri! Mengapa kalian tak segera angkat kaki dari tempat
ini"! Aku masih bersabar tak langsung memberikan hajaran. Tapi apabila kalian
tetap bersikeras, aku bisa berubah pikiran!"
"Kami tak akan beranjak dari sini, Sendari! Kedatangan kami kemari memang untuk
menemuimu. Ini atas perintah dari Gusti Prabu Mandaraka!" jawab Resi Druna, lantang.
Tak terdengar tanggapan atas jawaban yang diberi-
kan Resi Druna. Sesaat kemudian, di ambang pintu
pondok berdiri sesosok tubuh ringkih seorang nenek
berpakaian serba putih. Tubuhnya agak bongkok. Ber-
dirinya ditunjang oleh sebatang tongkat berkepala ular.
Sikap nenek itu kelihatan anggun dan penuh wibawa
sebagaimana harusnya seorang wanita tingkat tinggi.
Empat pasang mata tertuju ke arah nenek berpa-
kaian putih. Tapi, hanya Resi Druna yang memandang
penuh selidik. Sepasang matanya diedarkan mulai dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Sendari pun bertindak demikian. Nenek ini me-
mang memperhatikan keempat orang tamunya. Tapi
terhadap Resi Druna perhatiannya lebih ditujukan.
Dua pasang mata saling bentrok beberapa saat.
"Mengapa Resi Druna dan Sendari bertingkah de-
mikian" Melihat gelagatnya rasa-rasanya antara kedua orang ini mempunyai
hubungan. Kalau tidak, sikap
mereka terlihat janggal sekali," Darmakala dan Wudani bertanya-tanya dalam hati.
Pertanyaan demikian tak menggayuti benak Ce-
mong. Prajurit ini bersikap sebagaimana prajurit sejati.
Dia tak mau tahu urusan ini lebih jauh. Yang menjadi
patokannya hanya satu, melaksanakan perintah jun-
jungannya! "Rupanya kali ini kau lebih siap, Druna" Kulihat kau tak hanya membawa satu
orang untuk memenuhi
keinginanmu itu. Kuharap kali ini orang-orang yang
kau bawa mampu bertahan lebih lama menghadapiku.
Jangan seperti orang-orang sebelumnya."
Isi ucapan itu terasa mengharapkan kemenangan
untuk Resi Druna. Tapi, sikap Sendari mengisyaratkan sebaliknya. Nenek itu
kelihatan demikian sinis. Apalagi ketika menatap Darmakala dan Wudani!
Darmakala tak terlalu mempedulikan sikap Senda-
ri. Tapi, tak demikian halnya dengan Wudani. Wanita itu kelihatan tersinggung
bukan main. Parasnya menegang. Sorot sepasang matanya berkilat-kilat penuh
ancaman Wudani hendak mengeluarkan makian. Tapi, Dar-
makala yang mengetahui watak istrinya telah lebih du-lu menyentuh lengan Wudani
dan memberi isyarat
agar wanita itu bersabar. Wudani dengan terpaksa
menelan kembali marahnya.
Di lain pihak, Resi Druna tersenyum. Namun tidak
terpancar sorot kegembiraan di dalamnya. Yang lebih terlihat adalah kegundahan
hati. "Kau tetap belum berubah, Sendari. Hanya kemauanmu yang ingin dituruti orang
lain. Tingkahmu ini
yang memaksaku dan Gusti Prabu Mandaraka bertin-
dak seperti ini. Kuharap kali ini kau mau ikut bersamaku menghadap Gusti Prabu."
"Semua tergantung dari kemampuan orang-orang
yang kau bawa, Druna. Ciri-ciri kedua budakmu ini
boleh juga. Tapi, entah bagaimana dengan kemam-
puannya," jengek Sendari seraya menatap Darmakala dan Wudani dengan sorot mata
sengit. "Mereka akan membuat keangkuhan mu pudar,
Sendari," balas Resi Druna, tenang.
"Begitukah"!" sembur Sendari tak senang. Keras suaranya. "Akan kau lihat sendiri
kenyataannya, Druna! Ayo, tunggu apa lagi" Mari segera kita mulai!"
Resi Druna hanya tersenyum pahit Tapi, Sendari
tahu senyuman itu merupakan pertanda kakek berju-
bah kuning setuju atas usulnya.
"Darmakala.... Wudani...," ujar Resi Druna pelan pada pasangan suami istri itu.
"Kami telah siap, Sendari. Kau boleh memulainya,"
ucap Darmakala pada Sendari.
"Bagus!" sambut Sendari. Suaranya terdengar seperti binatang buas menggeram.
"Kau mungkin telah mengetahui jenis pertandingan yang kuinginkan. Druna pasti
telah memberitahu kalian!"
Darmakala mengangguk.
"Hmh...!" dengus Sendari. "Dengar baik-baik ucapanku."
Begitu ucapan nenek itu usai, Darmakala menden-
gar suatu suara di telinganya. Rangkaian kata-kata
yang membentuk pertanyaan. Hanya lelaki ini yang
mendengarnya, karena Sendari mengeluarkan perka-
taan itu melalui ilmu mengirim suara dari jauh.
Wudani kebingungan ketika tak mendengar perta-
nyaan yang diajukan Sendari.
Bukan hanya Wudani yang dibuat heran. Ada seo-
rang lagi yang dilanda perasaan sama. Seseorang yang keberadaannya tak diketahui
oleh siapa pun. Sosok
yang bukan lain dari Dewa Arak itu duduk di salah sa-tu cabang pohon. Sukar
terlihat dari bawah karena
terhalang oleh kerimbunan dedaunan.
Memang, karena keinginannya yang besar untuk
mengungkap rahasia keanehan sikap Raja Mandaraka,
Dewa Arak terus mengikuti ke mana Wudani dan Dar-
makala dibawa. Bahkan ketika pasangan suami istri
itu berada di istana, pemuda berambut putih kepera-
kan ini menunggu di luar.
Tapi yang paling bingung adalah Darmakala!
Hanya saja kebingungan Darmakala bukan disebabkan
oleh sikap nenek itu, melainkan oleh pertanyaannya.
Terdengar jelas oleh Darmakala bunyi pertanyaan
Sendari. "Aku ingin kau menceritakan sebuah kisah yang
tak habis diceritakan sampai tiga hari tiga malam."
"Gila!" pekik Darmakala dalam hati. "Tiga hari tiga malam"! Setengah hari pun
rasanya sudah mustahil.
Apa yang diceritakan sampai bisa selama itu?"
"Kuberi kau waktu sampai matahari berada di atas kepala untuk memberikan
jawaban. Bila sampai batas
waktu itu kau belum juga memberikan jawaban, berar-
ti aku menang," lanjut Sendari masih menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Darmakala menatap ke langit. Hatinya agak lega
ketika mengetahui sang Surya belum lama meninggal-
kan tempat terbitnya. Waktu baginya masih cukup la-
ma. Keheningan pun menyelimuti tempat itu. Semua
mulut terkatup rapat, seakan keempat orang yang ada di situ telah berubah
menjadi arca! Wudani terlihat seperti semut yang diletakkan di
abu panas, wanita itu gelisah sekali. Wudani tahu suaminya tengah dilanda rasa
bingung. Sayang, dia tak tahu hal apa yang membuat Darmakala kebingungan
seperti itu. Sungguh pun demikian Wudani tak kehilangan ak-
al. Wanita ini memiliki kecerdikan yang besar. Dia segera tahu kalau Sendari
mempergunakan ilmu mengi-
rim suara dari jauh.
"Kalau nenek sombong ini mempergunakan ilmu
itu, mengapa aku tidak" Memangnya hanya dia seo-
rang yang bisa menggunakan ilmu itu"!" desis hati Wudani tak senang.
"Ada apa, Kak Darma" Mengapa kau kelihatannya
bingung sekali?" tanya Wudani pada suaminya dengan menggunakan ilmu mengirim
suara dari jauh.
Darmakala merasa gembira bukan main mendapat
kiriman suara dari istrinya. Lelaki ini memang amat membutuhkan bantuan Wudani.
Istrinya jauh lebih
pandai menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang bersi-
fat menjebak seperti ini.
"Aku memang tengah bingung, Wudani," jawab Darmakala. "Sendari memberikan
pertanyaan yang sangat sulit untuk kujawab."
"Bagaimana pertanyaannya, Kak Darma?"
"Wanita tua bangka itu meminta ku Untuk mence-
ritakan sebuah kisah. Kisah apa pun yang tak habis
diceritakan hingga tiga hari tiga malam."
"Tiga hari tiga malam"! Mana ada cerita yang me-makan waktu demikian lama?"
cetus Wudani, kaget dan heran.
"Mana ku tahu, Wudani" Itu keinginan nenek keparat itu!" rutuk Darmakala.
"Tunggu sebentar, Kak Darma."
Perbincangan tanpa menggerakkan bibir itu untuk
sementara terhenti. Wudani tengah mencari jawaban
bagi pertanyaan aneh Sendari.
Darmakala mulai mengkhawatirkan kemenangan
di pihak Sendari setelah beberapa saat lamanya tak ju-ga didapatkan jawaban dari
Wudani. Wanita itu berdiri gelisah dengan pandangan sesekali terarah pada
Sendari. Sementara tak sepatah kata pun ucapan dikirim-
kannya pada Darmakala.
*** 4 "Kurasa aku menemukan jawabannya, Kak Dar-
ma." Perkataan yang dikirim tanpa menggerakkan bibir
itu diterima Darmakala ketika dia sudah hampir putus asa. Waktu yang dibutuhkan
Wudani ternyata tak se-singkat perkiraannya.
"Apa, Wudani" Cepat katakan!"
"Begini, Kak Darma. Kurasa pertanyaan nenek
sombong itu cuma akal-akalan. Mana mungkin sebuah
cerita membutuhkan waktu tiga hari tiga malam."
"Jadi bagaimana jawabannya, Wudani" Apakah ha-
rus kukatakan kalau tak ada jawabannya"!" desak Darmakala tak sabar.
"Tentu saja tidak demikian, Kak Darma. Kita harus memberikan sambutan sesuai
dengan pertanyaan itu.
Tipu daya harus kita lawan dengan cara yang sama."
Wudani segera menyambung ucapannya dengan
jawaban yang diperoleh. Darmakala mendengarkan
penuh perhatian.
"Bagaimana" Apakah kau tak bisa memberikan ja-
waban atas pertanyaanku?" Sendari dengan senyum mengejek.
Darmakala bersyukur dalam hati. Datangnya per-
tanyaan Sendari setelah istrinya selesai memberikan jawaban.
Dengan demikian lelaki ini telah siap. Darmakala
mengulas senyum di bibir dan mengangguk pasti.
Sepasang alis Sendari berkerut. Dia masih belum
mengerti arti anggukan Darmakala. Tapi, senyum lela-ki itu menunjukkan kalau ada
hal-hal yang menggem-
birakan hatinya.
"Jadi, kau telah mendapatkan jawabannya"!" dengus Sendari penuh
ketidakpercayaan.
"Benar!"
"Katakanlah. Aku ingin mendengarnya."
"Dengarkan baik-baik cerita ku ini, Sendari!" ucap Darmakala, mantap. "Belasan
tahun yang lalu di sebuah desa musim panen telah datang. Tanaman padi
yang siap untuk dituai bertebaran dimana-mana."
Sendari mengernyitkan kening. Wanita ini tak bisa
menebak arah cerita Darmakala. Kendati demikian, dia mendengarkan cerita
Darmakala dengan senyum mengejek di bibir.
"Di antara puluhan petani yang ada di desa itu,"
Darmakala melanjutkan ceritanya. "Ada seorang petani yang memiliki sawah paling
luas. Dia merupakan petani terkaya di desa. Lumbung padinya merupakan
bangunan paling besar. Ribuan pikul padi dapat dis-
impan di dalam lumbung itu."
Darmakala menghentikan ceritanya. Sendari tak
mengusik sama sekali. Mesti Darmakala sering berhen-ti, tak akan ada pengaruhnya
dengan waktu yang ter-
sedia, pikir Sendari. Waktu tiga hari tiga malam terlalu panjang hanya untuk
menghabiskan satu cerita.
"Sayang, lumbung padi petani terkaya itu berdeka-tan dengan lubang-lubang tempat
semut bersarang.
Jumlahnya tak terhitung. Semut-semut itu tahu akan
adanya makanan. Melalui lubang yang ada di lum-
bung, binatang-binatang itu masuk ke dalam lumbung
dan mengambil butir-butir padi."
Darmakala kembali menghentikan cerita. Senyum
tersungging di bibirnya seperti layaknya orang yang tengah mendapat kemenangan.
Sendari, Resi Druna,
dan Cemong mendengarkan cerita Darmakala. Tapi
hanya Sendari dan Resi Druna yang mendengarkan
dengan penuh perhatian, sedangkan Cemong hampir
bersikap tak peduli.
"Semut pertama datang memasuki lumbung dan
keluar kembali dengan menggondol sebutir padi. Se-
saat kemudian disusul oleh semut kedua. Semut keti-
ga pun masuk juga melalui lubang yang ada dan men-
gambil sebutir padi lalu kembali ke sarangnya. Kemudian disusul dengan...."
"Cukup...!" sentak Sendari tiba-tiba. Wajahnya tampak merah padam. "Kau
memenangkan pertaru-han!"
Resi Druna, Cemong, dan Wudani tersenyum gem-
bira. Teriakan Sendari telah mengakhiri pertandingan itu. Kemenangan berada di
pihak Darmakala. Besarnya kegembiraan mereka masih tak sebesar kegembiraan
Darmakala. Sudah diduganya Sendari tak akan sabar
mendengarkan cerita semut yang satu per satu masuk
ke lumbung padi.
"Kali ini kau menang Druna. Aku terpaksa kembali ke kerajaan. Tapi seperti yang
kukatakan dulu, hanya untuk waktu yang terbatas. Paling lama, dua belas
purnama," ucap Sendari dengan nada pahit
"Tak perlu selama itu kukira, Sendari," bantah Resi Druna. "Gusti Prabu tak
ingin mengganggu ketentera-man hidupmu. Kalau saja tak mempunyai keperluan
yang amat penting, Gusti Prabu tak ingin mengusik
mu. Tapi karena terpaksa...."
"Tidak usah banyak bicara yang tak perlu, Druna!"
potong Sendari tak sabar. Tongkatnya diketukkan ke
tanah hingga amblas hampir setengahnya. "Katakan
saja apa keperluanmu!"
Resi Druna tampak bimbang. Kakek ini melihat ke-


Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beradaan Darmakala dan Wudani di tempat itu.
Bila ia bicara pasangan suami istri itu akan men-
dengar. Padahal, masalah yang tengah dialami Prabu
Mandaraka cukup rahasia.
"Tak usah bimbang untuk bicara, Resi," ujar Darmakala tenang tanpa merasa
tersinggung. "Kalau kau takut kami mendengar masalah Prabu Mandaraka,
kau salah besar. Kami telah tahu mengenai hal itu dari sikap Gusti Prabu
sendiri." "Hm...! Apa yang kau ketahui, Darmakala?" tanya Resi Druna.
"Tidak banyak. Bukankah Gusti Prabu Mandaraka
kehilangan hal yang teramat penting dalam dirinya se-laku seorang lelaki" Gusti
Prabu kehilangan kejantanannya, bukan?"
"Hm...!"
Resi Druna hanya bisa menghela napas. Kakek ini
tak membantah atau membenarkan. Tapi, sikapnya
menunjukkan kalau terkaan Darmakala tidak salah.
"Sungguhkah itu, Druna"!" Sendari setengah terpekik.
Pelan dan kaku Resi Druna menganggukkan kepa-
la. Jawaban ini telah lebih dari cukup. Sendari memekik laksana seekor garuda
murka. Pekikannya mem-
buat Cemong terhuyung-huyung dengan wajah pucat.
Sekitar tempat itu bergetar hebat dan tongkat berkepala ularnya terlontar ke
atas. Sendari buru-buru me-
nangkapnya. "Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, Druna"!"
tegur Sendari dengan suara keras. "Lalu..., apa artinya keberadaanmu di Sana"!"
Wajah Resi Druna langsung merah padam. Nada
suaranya mulai meninggi ketika bicara.
"Apa artinya seorang manusia, betapapun tinggi kepandaiannya, jika Yang Maha
Kuasa telah menentu-kan lain"! Puluhan tabib dan ahli obat didatangkan, tapi tak
seorang pun sanggup menyembuhkan sakit
Gusti Prabu. Semua ahli obat itu mempunyai usul
yang sama kalau ingin Gusti Prabu Mandaraka sem-
buh dari penyakitnya!"
"Apa itu, Druna"!" tanya Sendari tak sabar.
"Sebuah batu permata yang bernama Kalimaya."
"Kalimaya"! Bagaimana mungkin bisa menda-
patkan pusaka itu" Bukankah tempatnya amat jauh
dari sini. Konon, pusaka itu dijaga oleh seorang tokoh sakti yang memiliki watak
aneh." "Aku pun telah mendengar berita itu, Sendari," keluh Resi Druna. "Pusaka
Kalimaya dimiliki oleh seorang tokoh yang amat sakti. Demi kesembuhan Gusti
Prabu dan keutuhan kerajaan, aku bersedia menem-
puh bahaya untuk mendapatkan pusaka itu. Sayang
aku tak mengetahui tempatnya. Itulah sebabnya aku
hendak meminta bantuanmu."
"Mengenai keadaan Gusti Prabu, Druna," sesal Sendari. "Kalau tahu keadaannya
seperti ini, aku tak akan bersikeras dengan pendapatku dan masalahnya
tidak berlarut-larut...."
"Aku tak ingin kau mengingkari sumpahmu sendi-
ri, Sendari," jawab Resi Druna.
"Kau pergilah lebih dulu, Druna. Aku ingin berkemas-kemas. Cukup banyak yang
harus kuurus di sini,"
"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Aku akan menunggumu di kaki gunung, dekat
sumber air. Kau
tahu kan?" Sambung Resi Druna, gembira. Usahanya membujuk Sendari untuk turun
gunung ternyata berhasil.
Sendari hanya mengangguk. Resi Druna tanpa ba-
nyak cakap segera meninggalkan tempat itu. Diberi-
kannya isyarat pada rombongannya untuk mengikuti.
Sendari sendiri bergegas kembali ke dalam pondok.
Di atas pohon Dewa Arak merasa lega. Prabu Man-
daraka ternyata tak mempunyai maksud yang tak
baik. Dari percakapan yang didengarnya, semua ingin tahunya telah terpuaskan.
Meskipun demikian, Arya
tak segera turun dari pohon. Pemuda ini merasa tak
enak jika nanti keberadaannya diketahui dan akan
menimbulkan salah paham. Diputuskannya untuk
meninggalkan tempat itu setelah Sendari pergi.
"Hhh...!"
Resi Druna mengarahkan pandangan ke puncak
gunung. Telah cukup lama dia dan rombongannya me-
nunggu. Batas kesabarannya telah terlampaui. Sendari tetap juga belum tampak
batang hidungnya.
Bukan hanya Resi Druna yang merasa gelisah dan
berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan di bela-
kang punggung. Lima orang yang menyertai perjala-
nannya pun ikut gelisah. Rasa tak sabar tampak jelas pada wajah dan sikap
mereka. "Jangan-jangan nenek itu kabur. Alasan yang di-pergunakannya untuk berkemas-
kemas sekedar siasat
belaka. Kalau tak demikian, mana mungkin akan begi-
tu lama?" celetuk Wudani tak sabar.
Resi Druna mengalihkan perhatian pada Wudani.
"Aku memaklumi kecurigaan mu, Wudani. Tapi bila kau mengenal lebih jauh siapa
Sendari, kau tak akan berkata demikian."
"Begitukah"!" tanya Wudani tanpa menyembunyikan keraguan hatinya.
"Tentu saja!" tandas Resi Druna, "Sendari bukan orang lain. Beliau termasuk guru
dari Gusti Prabu
Mandaraka. Kasih sayangnya terhadap murid sekali-
gus junjungannya itu demikian tinggi. Mana mungkin
Sendari akan kabur dengan alasan hendak berkemas-
kemas?" Wudani dan Darmakala saling berpandangan den-
gan wajah kaget. Sama sekali tak mereka sangka Sen-
dari mempunyai kedudukan demikian tinggi. Ini benar-benar di luar pengetahuan
mereka. "Maafkan atas sikap istriku yang tak patut, Resi,"
Darmakala mewakili istrinya meminta maaf. "Kami berdua sungguh tak mengetahui
hal ini." "Lupakanlah. Aku bisa memakluminya," jawab Resi Druna, bijaksana.
"Tadi kau katakan Sendari merupakan salah satu guru Gusti Prabu Mandaraka. Lalu,
siapakah guru-guru yang lain?" tanya Wudani ingin tahu.
"Gusti Prabu Mandaraka hanya mempunyai dua
orang guru. Orang satunya lagi yang mendapat kehor-
matan untuk menjadi guru beliau adalah aku."
"Ahhh.:.!"
Untuk kedua kalinya Wudani dan Darmakala tak
kuasa menahan rasa kagetnya. Ditatapnya Resi Druna
dengan mata membelalak seperti orang melihat hantu.
"Benar-benar luar biasa," desah Darmakala. "Sama sekali tak kami sangka kau
merupakan orang yang
amat terhormat, Resi. Maafkan kalau sikap yang kami tunjukkan padamu mungkin
kurang hormat."
Resi Druna buru-buru mengulapkan tangan. Terli-
hat jelas perasaan tak sukanya memperbincangkan hal itu. "Lupakan segala urusan
tetek bengek itu, Darma.
Terus terang, aku sendiri merasa risih dengan segala sopan santun yang terlalu
berlebihan. Kuharap kau
dan istrimu bersikap padaku sebagaimana wajarnya
saja." Hampir berbarengan Darmakala dan Wudani men-
ganggukkan kepala.
"Maaf kalau aku terlalu lancang, Resi. Melihat si-kapmu dan Sendari kelihatannya
kalian mempunyai
hubungan yang cukup erat. Apakah dugaanku benar?"
tanya Darmakala.
"Yahhh.... Begitulah, Darma. Kami memang mem-
punyai hubungan yang erat. Bahkan sangat erat" jawab Resi Druna dengan pandangan
tertuju ke angka-
sa, seperti tengah melihat gambaran masa lalunya di sana. "Kami saudara
seperguruan. Sendari adalah adik seperguruanku. Kami saling jatuh cinta dan
menjadi suami istri."
Sampai di sini wajah Resi Druna tampak muram.
Perasaan duka tergambar jelas di wajah dan sinar matanya. Darmakala jadi merasa
tak enak melihat hal ini.
"Maafkan aku, Resi. Aku telah membuatmu terke-
nang kembali pada hal-hal yang tak menyenangkan.
Kurasa kau tak perlu memberi keterangan lebih jauh."
"Tidak mengapa, Darma. Kau telah menolongku.
Tak ada salahnya kuceritakan padamu mengenai diri-
ku dan Sendari. Anggaplah hal ini sebagai balas jasa atas jerih payahmu."
Darmakala hanya mengangkat bahu. Diserahkan-
nya keputusan itu pada Resi Druna.
"Setelah menjadi suami istri kami turun gunung.
Sama seperti murid-murid golongan putih lainnya,
kami bermaksud hendak membela si lemah dari teka-
nan angkara murka. Cukup lama kami menunaikan
tugas suci itu sebelum akhirnya tanpa sengaja berhasil menyelamatkan nyawa
seorang raja dari suatu pem-bunuhan."
"Raja itu Prabu Mandaraka?" sela Wudani.
"Bukan. Raja yang saat itu tengah menyamar adalah ayah kandung dari Prabu
Mandaraka. Prabu Man-
daraka sendiri masih muda dan menjadi pangeran
mahkota. Ayahanda beliau bernama Prabu Baka. Sejak
itulah kami diangkat menjadi pengawal-pengawal pri-
badi Prabu Baka. Di istana kami menjadi guru Pange-
ran Mandaraka."
Resi Druna menghentikan ceritanya. Darmakala
dan Wudani menunggu dengan perasaan tak sabar.
"Ketika Prabu Baka mangkat dan Pangeran Manda-
raka menjadi raja, istriku ingin beristirahat dari tugas-tugasnya. Dia ingin
menyepi bersamaku untuk meng-
habiskan masa tua. Tapi aku menolak. Kami berteng-
kar hebat karena watak istriku amat keras. Kesuda-
hannya adalah seperti ini. Dia tinggal di tempat ini sedangkan aku di istana.
Istriku bersumpah tak akan
menginjak istana kecuali aku bisa memenuhi syarat-
Raja Pedang 11 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Memanah Burung Rajawali 20
^