Memperebutkan Batu Kalimaya 2
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya Bagian 2
nya. Dia rupanya merasa tersinggung sekali sehingga ingin membuatku repot.
Syaratnya adalah seperti yang kau alami, Darma. Telah banyak tokoh yang gagal
untuk memaksanya meninggalkan tempatnya, sampai
akhirnya kau datang."
Suasana menjadi hening ketika Resi Druna meng-
hentikan cerita.
Namun, lamunan mereka segera buyar, Resi Druna
tampak mengarahkan pandangan ke satu arah. Sinar
matanya terlihat penuh selidik. Darmakala, Wudani,
Cemong, dan empat prajuritnya mengarahkan pandan-
gan ke arah yang ditatap Resi Druna. Tampak sesosok bayangan berkelebatan cepat menuju ke arah mereka.
Sosok bayangan kuning itu memiliki bentuk tubuh
yang mungil dan ramping. Resi Druna dan pasangan
suami istri Wudani Darmakala mampu melihatnya se-
cara jelas. Sosok kuning itu adalah seorang wanita
muda. Sedangkan Cemong dan empat prajurit lainnya
hanya mampu melihat sosok bayangan kuning berke-
lebatan menuju tempat mereka berada. Bentuk sosok
bayangan kuning itu terlalu samar untuk dapat mere-
ka tangkap. Darmakala dan Wudani melihat dahi Resi Druna
berkernyit dalam. Resi Druna tampaknya tengah di-
landa kebingungan.
"Siapa gadis itu" Mengapa bisa tahu tempat ini"
Jarang ada tokoh persilatan yang melewati daerah ter-pencil ini. Apakah gadis
itu mempunyai hubungan
dengan Sendari?" Resi Druna bertanya-tanya dalam hati.
Gadis berpakaian kuning itu pun telah melihat ke-
beradaan rombongan Resi Druna. Tapi, dia berpura-
pura tak melihat. Ayunan kakinya tak diperlambat
Hanya arah yang ditempuhnya agak dipalingkan, se-
hingga tak melalui tempat berkumpulnya Resi Druna
dan rombongannya.
Tapi, sebelum maksud gadis itu mendaki ke pun-
cak melalui jalur lain terlaksana, Resi Druna telah menggeser kaki. Tubuh kakek
ini melayang dan dalam
sekejapan telah berdiri di tempat yang akan dilalui gadis berpakaian kuning.
Tindakan Resi Druna membuat gadis itu menghen-
tikan ayunan kakinya. Dia berhenti berlari empat tombak dari Resi Druna. Dengan
sepasang matanya yang
bening indah ditatapnya Resi Druna penuh tuntutan.
"Mengapa kau menghalangi jalanku, Kek" Aku tak ingin mencari keributan!" tandas
gadis itu. "Aku tahu, Nona," jawab Resi Druna kalem. "Karena itu kau menempuh jalan yang
tidak melewati ku.
Tapi aku pun tak mau mencari keributan. Aku wajib
tahu maksudmu mendaki puncak gunung ini."
"Harus..."! Si gadis mengerutkan sepasang alisnya yang indah.
"Benar "
"Mengapa" Apakah kau yang mempunyai gunung
ini?" sembur gadis berpakaian kuning.
"Tentu saja bukan, Nona. Tak ada orang yang
mempunyai gunung ini. Tapi...."
"Kalau begitu, apa hakmu melarangku naik ke
puncak" Malah harus tahu apa yang kulakukan di sa-
na"!" selak si gadis cepat dengan nada semakin tinggi.
Resi Druna menggeleng-gelengkan kepala melihat
tingkah gadis itu. Kalau tak memberikan jawaban lebih dulu, gadis itu pasti tak
akan memberikan keterangan.
Maka, diputuskannya untuk mengalah.
"Aku berhak tahu karena gunung ini jarang didatangi orang. Merupakan suatu
keanehan kalau kau
hendak mendaki sampai ke puncak. Tapi, yang lebih
penting lagi karena di atas sana tinggal seorang kawan baikku. Dia tak ingin ada
orang mendatangi tempatnya menyepi"
Sepasang alis gadis berpakaian kuning berkerut
kembali. Rupanya penjelasan Resi Druna menarik ha-
tinya. "Boleh ku tahu kawan baikmu yang tinggal di puncak sana, Kek?"
"Tentu saja, Nona," jawab Resi Druna sambil terke-keh. "Tapi kuharap kau mau
bersikap adil. Aku telah memberikan penjelasan sebab-sebab kau ku cegah
naik ke puncak. Maka, kuharap kau memberikan kete-
rangan mengapa hendak naik ke sana. Setelah itu, aku baru akan menjawab
pertanyaanmu yang kedua. Bagaimana?"
Si gadis tercenung sebentar. Kemudian, kepalanya
dianggukkan. "Cukup adil syarat yang kau ajukan, Kek. Baiklah kuberitahukan. Aku hendak ke
puncak untuk menemui seorang bibi guruku. Dia tinggal di atas sana."
"Boleh ku tahu siapa bibi gurumu?" desak Resi Druna.
"Kau dulu yang harus memberikan keterangan,
Kek. Kau tak boleh mengajukan pertanyaan lagi. Sekarang giliranku. Yang
kutanyakan, siapa kawan baikmu yang tinggal di puncak gunung itu?"
"Namanya Sendari," Resi Druna terpaksa mengalah karena bisa menerima alasan yang
dikemukakan si gadis. Gadis berpakaian kuning terjingkat ke belakang
seperti dipatuk ular berbisa. Wajahnya memperli-
hatkan keterkejutan besar.
"Bibi guruku itu pun bernama Sendari, Kek," ujar gadis berpakaian kuning.
Resi Druna kaget bukan main. Sepasang matanya
membelalak lebar ketika menatap si gadis.
"Bibi gurumu bernama Sendari"! Apakah kau
mempunyai hubungan dengan Raharja?" tanya Resi Druna dengan suara bergetar.
"Kau mengenal ayahku, Kek?" Si gadis malah balas bertanya.
"Mengenal sih, tidak. Tapi Sendari telah bercerita padaku mengenai putri seorang
tokoh persilatan bernama Raharja. Putri yang bernama Kemani itu menjadi muridnya
selama beberapa bulan. Hanya saja Sendari
tak ingin dipanggil guru, sehingga Kemani menyebutnya bibi guru. Kaukah gadis
yang bernama Kemani
itu?" Gadis berpakaian kuning mengangguk.
Resi Durna tersenyum lebar. "Ternyata kita orang sendiri, Kemani. Aku bernama
Durna. Resi Durna. Ini
anggota rombonganku."
Kemudian, Resi Durna menceritakan maksud ke-
datangannya ke tempat ini. Tak lupa diperkenalkannya satu per satu orang-orang
yang bersamanya.
Di saat Resi Durna tengah bercerita, di puncak gu-
nung Sendari tengah sibuk berkemas-kemas. Nenek ini mempunyai banyak hiasan di
dinding pondoknya. Sekarang hiasan-hiasan itu dipindahkan. Dari salah satu
hiasan berbentuk kepala seekor menjangan, dikelua-rkannya gulungan kain dari
kulit binatang.
Sendari membuka gulungan kulit binatang itu.
Tampak coretan-coretan berupa garis, segi tiga, dan tanda silang. Nenek ini
memperhatikannya sebentar
dengan penuh perhatian. Kemudian digulungnya kem-
bali kulit binatang itu.
Sendari menyelipkan gulungan kulit binatang di
selipan pinggangnya. Pada saat yang bersamaan den-
gan terselipnya gulungan kulit binatang tersebut, terdengar suara keras....
Brakkk! *** 5 Daun pintu pondok hancur berkeping-keping. Sen-
dari sampai terjingkat kaget dan mengalihkan perha-
tian ke arah daun pintu. Nenek ini mengibaskan tan-
gan ke sana kemari menepis kepingan-kepingan daun
pintu yang berpentalan tak tentu arah. Beberapa di an-taranya meluruk ke arah
Sendari. Dalam selisih waktu yang demikian singkat, dari
luar pondok tampak sesosok tubuh melangkah masuk
dengan tenangnya. Sendari memperhatikan hampir tak
berkedip. Sosok itu seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun. Pakaiannya
coklat membungkus tubuhnya
yang kekar. Wajahnya cukup tampan. Sayang, air mu-
kanya terlihat dingin tak menggambarkan perasaan
apa pun. "Siapa kau, Sobat"! Sungguh lancang sekali tindakan yang kau lakukan!" sent
Sendari keras penuh kemarahan,
"Siapa adanya aku tak perlu kau tahu, Tua Bang-ka! Yang penting, serahkan
gulungan kain itu padaku!
Atau, kau lebih suka kukirim ke neraka"!" dengus lelaki berpakaian coklat.
"Enak saja kau membuka mulut, Anjing Kurap!
Aku lebih suka mencopot lidahmu dari pada memberi-
kan benda ini!"
Sendari menutup ucapannya dengan sebuah ter-
jangan. Nenek ini tak bertindak setengah-setengah la-gi. Kebutan yang terselip
di pinggang segera dicabutnya. Senjata itu ditusukkan ke arah leher lawan.
Dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi Sendari
mampu membuat bulu kebutan yang lembut menjadi
keras laksana ujung tombak!
Lelaki berpakaian coklat tersenyum sinis. Mulutnya
bergerak meniup. Angin yang keluar membuat bulu-
bulu kebutan kembali melemas. Hampir bersamaan
dengan serangan itu kedua tangannya dihentakkan ke
dada Sendari. Sendari adalah seorang wanita yang keras kepala.
Kenyataan betapa lawan mampu melumpuhkan bulu-
bulu kebutannya telah membuktikan betapa kuat te-
naga dalam lawan. Sifat keras kepalanya mendorong
Sendari untuk tak ragu-ragu memapaki serangan la-
wan berikutnya.
Plakkkk! Bunyi keras terdengar. Dua pasang tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam amat kuat ber-
benturan. Seketika, tubuh kedua pemiliknya terjeng-
kang ke belakang. Si lelaki mampu menjejak tanah
dengan kedua kaki kendati harus melewati pintu pon-
dok. Sendari lebih parah keadaannya. Nenek itu ter-
jengkang dan punggungnya menabrak dinding dengan
keras. Dinding hancur berkeping-keping membawa tu-
buh renta itu keluar pondok.
Sendari bergegas bangkit. Nenek ini langsung ter-
peranjat ketika melihat gulungan kulit binatang yang merupakan peta tempat batu
Kalimaya berada telah
lenyap. Amarah Sendari semakin bergolak. Tanpa per-
lu melihat buktinya lagi, nenek ini tahu kalau lelaki berpakaian coklat telah
mengambil benda miliknya.
Sementara pendatang tak diundang itu tengah di-
amuk kemarahan pula. Sinar matanya tajam berkilat-
kilat. Pakaian luarnya yang berupa rompi segera dis-ingkapkan dengan kedua
tangan ke kanan dan kiri.
Pada bagian dalam rompi terlihat jajaran pisau-pisau putih berkilat. Sendari
sampai terbelalak melihatnya.
"Luar biasa orang ini," pikir istri Resi Druna itu.
"Apakah dia memiliki ilmu melempar pisau yang hebat" Dia sampai menyediakan
tempat khusus di ba-
gian dalam rompinya untuk tempat pisau "
Lelaki berpakaian coklat tersenyum sinis. Dilirik-
nya Sendari sekilas, kemudian dikerlingnya deretan pisaunya.
"Sebenarnya aku tak terlalu ingin membunuhmu,
tapi kau menghendaki lain. Maka, biarlah ku turuti kemauanmu!"
Lelaki itu mencabut sebatang pisau. Kemudian di
lemparkannya ke arah Sendari. Nenek ini tak tinggal diam menerima kematian.
Kebutannya dijadikan menegang kaku dan dipergunakan untuk memapaki
sambaran pisau!
Trakkk! Benturan yang terjadi membuat bulu-bulu kebutan
melemas. Namun pisau lawan terlempar ke belakang.
Sungguh pun begitu Sendari tak bisa berlega hari. Pisau yang terlempar balik itu
tak jatuh ke tanah. Bagai memiliki nyawa. Pisau berbalik dan meluncur kembali ke
arah Sendari. Kali ini bagian yang dituju adalah leher!
Meski terkejut melihat kejadian yang tak disangka-
sangka ini, Sendari tak menjadi gugup. Nenek ini
menggunakan kebutannya untuk menghalau serangan
pisau. Tak repot memang. Tapi ketika lelaki berpa-
kaian coklat menambah jumlah pisaunya, Sendari mu-
lai kelabakan. Istri Resi Druna ini berlari ke sana kemari menye-
lamatkan diri dari tangan-tangan maut yang meluncur ke arahnya. Terlihat
menggelikan betapa nenek itu
tampak sibuk menangkis dan mengelak dari serangan-
serangan pisau yang seperti mempunyai pikiran.
Lelaki berpakaian coklat hanya memperhatikan
dengan senyum sinis tersungging di bibir. "Ingin ku tahu sampai berapa lama kau
dapat bertahan, Peot"!"
guman lelaki itu dalam hati.
Ketika puluhan jurus telah berlalu, gerakan Senda-
ri mulai mengendur. Nenek ini merasa kelelahan. Di samping karena usia tua,
bertarung dengan cara demikian benar-benar menguras tenaga. Tidak hanya le-
lah badan, tapi juga lelah pikiran!
Crattt! "Aaakh...!"
Sendari memekik kesakitan. Salah satu pisau me-
nyayat bahunya. Darah pun merembes keluar dari ku-
lit dan daging yang terkoyak. Sendari terhuyung-
huyung. Saat itu dua pisau lain meluruk ke arahnya.
Pisau yang telah berhasil melukai Sendari meliuk, kemudian mengikuti dua pisau
sebelumnya. Sendari hanya bisa membelalakkan mata lebar-
lebar. Nenek ini ingin mengelak, tapi keadaan sudah tak memungkinkan lagi. Dia
telah terlalu lelah. Sendari hanya bermaksud memapaki apabila pisau-pisau
meluncur dekat.
Sing, sing, singggg!
Zebbb, zeb, zebbb!
Di saat yang amat genting bagi keselamatan Senda-
ri meluncurlah sebatang pohon pisang. Batang tana-
man yang panjangnya hampir satu tombak itu menyela
di antara pisau-pisau dan Sendari. Akibatnya, batang pisang itu yang menjadi
sasaran pisau-pisau lawan.
Pisau-pisau amblas ke batang pisang sampai ke ga-
gangnya. "Keparat!" maki lelaki berpakaian coklat Pandangannya di edarkan berkeliling.
"Siapa yang berani mati mencampuri urusan Sangka Ruti"! Kalau memang jantan,
keluar!" Sendari juga mengedarkan pandangan. Nenek ini
tahu ada seseorang yang telah menolongnya. Dan keti-ka seruan lelaki yang
bernama Sangka Ruti lenyap,
seperti hendak membuktikan ketidak-pengecutannya
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesosok bayangan ungu melesat turun dari atas wu-
wungan rumah! "Sebutkan namamu sebelum kukirim nyawamu ke
neraka, Keparat! Sangka Ruti tak pernah berkeinginan membunuh orang yang tak
terkenal!" sera Sangka Ruti ketika sosok berpakaian ungu telah menjejak tanah.
Sosok berpakaian ungu itu ternyata seorang pe-
muda berwajah tampan. Rambutnya yang panjang dan
berwarna putih keperakan semakin menambah keang-
keran sikapnya. Pemuda ini terlihat tak tersinggung mendapat teguran kasar dari
Sangka Ruti. Sikapnya
tetap tenang, memperlihatkan kematangan diri.
"Namaku Arya Buana. Panggil saja Arya," beri tahu pemuda berambut putih
keperakan. Baik Sangka Ruti maupun Sendari tak tampak ka-
get mendengar nama Arya Buana. Bahkan andaikata
pemuda ini memperkenalkan julukannya, kedua pen-
dengarnya itu tak akan kaget. Baik Sangka Ruti mau-
pun Sendari belum pernah mendengar julukan itu.
Yang satu karena terlalu lama mengeram diri. Sedangkan yang lain karena belum
lama menampakkan diri
ke dunia persilatan!
"Terimalah kematianmu, Anjing Kurap!"
Sangka Ruti yang tengah dilanda kemarahan tak
tanggung-tanggung lagi dalam melancarkan serangan.
Lima batang pisaunya di lemparkan pada Dewa Arak!
Padahal, tiga batang pisau saja telah cukup untuk
membuat Sendari hampir kehilangan nyawa.
Dewa Arak tak berani bertindak gegabah. Pemuda
ini telah tahu keluarbiasaan pisau-pisau milik Sangka Ruti. Arya telah lama
memperhatikan pertempuran
Sendari dengan pisau-pisau sebelum menemukan cara
yang tepat untuk menolongnya.
Memang, sejak Sangka Ruti melesat menuju pon-
dok untuk kemudian menghancurkan daun pintu, De-
wa Arak telah menaruh curiga. Arya mengenal Sangka
Ruti sebagai pemuda yang mencoba keampuhan ilmu
'Mata Dewa' Darmakala. Arya khawatir Sangka Ruti
bermaksud kurang baik terhadap si nenek. Begitu
daun pintu dihancurkan Sangka Ruti, Dewa Arak ber-
gegas turun dari pohon dan melesat ke arah pondok
Sendari. Maka, ketika melihat Sangka Ruti mulai memper-
gunakan senjatanya yang luar biasa, Dewa Arak den-
gan cara yang tak kalah luar biasa mengambil batang-batang pisang kemudian
diletakkannya di atas atap
pondok. Dewa Arak hanya melambaikan tangan seperti ten-
gah memanggil seseorang. Sesaat kemudian, sebatang
gedebong pisang berukuran satu tombak telah berada
di genggaman tangannya. Dengan batang pisang ini
Dewa Arak menghadapi serbuan lima batang pisau.
Menurut perkiraan Dewa Arak, hanya dalam bebe-
rapa gebrakan saja pisau-pisau Sangka Ruti akan da-
pat dilumpuhkan. Tapi, pemuda ini ternyata salah ter-ka. Pisau-pisau seperti
benar-benar mempunyai piki-
ran. Setiap kali Dewa Arak memapaki serangan agar
pisau-pisau itu amblas ke batang pisang, usahanya selalu gagal. Benturan yang
terjadi membuat pisau-pisau terpental ke belakang hingga tak menancap pada
batang pisang. Belasan jurus tindakan itu dilakukan. Dewa Arak
menjadi penasaran. Pemuda ini merasa dipermainkan.
Lawan yang dihadapinya padahal hanya senjata yang
berupa benda mati. Tapi, dia tidak mampu mengata-
sinya. Amarah yang timbul membuat Dewa Arak men-
gambil tindakan lain. Ketika untuk kesekian kalinya lima batang pisau meluncur
ke arahnya, Dewa Arak
mendorongkan tapak tangan kanannya yang terbuka.
Deru angin keluar dan meluncur dengan kuat bukan
main, laju lima batang pisau itu langsung tertahan. Pisau-pisau berhenti di
tengah Jalan! Saat ini yang memang ditunggu-tunggu Dewa Arak.
Tangan kirinya yang memegang gedebong pisang di-
ayunkan menghantam pisau-pisau yang tengah terta-
han di udara. Zeb, zeb, zeb....
Lima batang pisau itu langsung amblas ke dalam
gedebong pisang. Arya kemudian membanting batang
pisang karena sudah tak diperlukan lagi.
Sangka Ruti menatap Dewa Arak dengan sepasang
mata seperti mengeluarkan api. Lelaki ini tak melakukan tindakan apa pun. Dia
hanya mengarahkan pan-
dangan berganti-ganti pada Dewa Arak dan pisau-
pisaunya yang masih tersisa di bagian dalam rompi.
Dewa Arak dan Sendari menunggu tindakan Sang-
ka Ruti selanjutnya. Lelaki berpakaian coklat itu tampaknya merasa bimbang untuk
melancarkan serangan.
Cukup lama Sangka Ruti tenggelam dalam alun ke-
bimbangan. Tapi, akhirnya sebuah keputusan diam-
bilnya. Tanpa banyak bicara tubuhnya dibalikkan, lalu secepat kilat kakinya
diayunkan meninggalkan tempat itu. Sungguh pun demikian, Sangka Ruti masih
sempat meninggalkan ancaman lewat sorot matanya pada
Dewa Arak dan Sendari.
Dewa Arak dan Sendari tak mencegah kepergian
Sangka Ruti. Sendari tak berani bertindak gegabah karena menyadari kelebihan
Sangka Ruti dibanding di-
rinya. Sedangkan Dewa Arak, dia tak mempunyai uru-
san dengan lelaki itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Arya. Kau telah menyelamatkan nyawaku hingga
esok masih bisa melihat munculnya sang surya dan merasakan kehanga-
tan sinarnya," ujar Sendari seraya menatap Dewa Arak dengan pandangan penuh rasa
terima kasih. "Lupakanlah, Nek. Keberadaanku di sini hanya karena ketidaksengajaan. Aku
berjalan mengikuti ke ma-
na ayunan kakiku menuju. Dan aku yakin ini merupa-
kan kehendak Allah. Maka, lebih baik kalau kita bersyukur pada Nya," kilah Arya.
"Apa yang kau katakan memang benar, Arya. Kalau saja tak terjepit waktu dan
kesempatan, aku suka sekali berbincang-bincang denganmu. Tapi sayang, ba-
nyak orang yang telah menantikan kehadiranku. Aku
tak bisa berlama-lama di sini. Atau, kau ingin ikut bersamaku?"
Arya menggelengkan kepala. Pemuda ini dapat me-
rasakan adanya keraguan dalam ajakan Sendari. Aja-
kan itu tak keluar dari hati yang tulus, melainkan karena basa-basi. Arya
menghibur diri dengan beranggapan kalau si nenek tengah mempunyai masalah priba-
di. "Kebetulan aku tengah ingin menyendiri, Nek.
Mungkin aku akan tinggal di tempat ini beberapa wak-tu, lamanya. Tempat ini
kelihatannya jarang disinggahi orang."
"Kalau itu memang sudah keputusanmu, apa boleh buat?" kilah Sendari. "Kalau kau
mau, kau bisa tinggal di pondokku. Selamat tinggal, Arya."
"Selamat jalan, Nek," balas Arya.
*** "Kau yakin bukit itu yang dimaksud dalam petamu
yang hilang, Sendari?"
Pertanyaan itu dilontarkan Resi Druna. Kakek ini
bersama istrinya, Darmakala, Wudani dan Kemani,
berdiri di atas gundukan batu yang menjulang tinggi di kaki gunung. Pandang mata
mereka ditujukan ke arah
sebuah bukit beberapa puluh tombak di depan mere-
ka. Panjang dan lebar bukit itu belasan tombak. Ba-
gian bawahnya besar. Semakin ke atas semakin kecil, mirip segi tiga sama sisi.
Tinggi bukit kira-kira lima puluh tombak. Pada ketinggian sekitar dua puluh lima
tombak dari tanah terlihat sebuah lubang yang gelap dan pekat. Tampaknya lubang
itu adalah gua yang cukup besar.
"Aku tak yakin, Kak Druna," Sendari merubah panggilan pada suaminya. "Tapi,
kurasa tak ada salahnya kalau kita mencoba. Toh, hal itu tak akan me-rugikan.
Hhh...! Kalau ku tahu akan ada orang yang merampas gulungan peta itu, tentu akan
kuperhatikan baik-baik semua tanda-tanda yang ada. Bahkan kalau
mungkin akan ku hafalkan. Sayang...,"
"Kau kan sempat melihatnya lagi sebelum menye-
lipkannya di pinggang, Bi?" cetus Kemani setengah mengingatkan.
Tidak hanya Kemani yang mengetahui hal itu, tapi
semua anggota rombongan. Sendari telah mencerita-
kan sebelumnya. Dan sekarang mereka semua me-
nunggu jawaban Sendari.
"Memang. Tapi hanya sekilas. Tanda-tanda yang
ada mirip dengan keadaan di tempat ini. Aku separuh yakin kalau tempat inilah
yang dimaksud dalam peta."
"Kalau begitu tunggu apa lagi, Bibi" Kita satroni sa-ja tempat itu. Kalau yang
lain tak setuju, biar mereka menunggu di sini. Aku bersedia menemanimu naik ke
atas sana!" cetus Kemani berapi-api.
"Kau jangan salah mengerti, Kemani," bantah Resi Druna. "Bukannya kami tak
membuktikan kebenaran keterangan Sendari. Tapi, aku khawatir dengan sikap coba-
coba itu. Bukan tak mungkin gua yang akan kita masuki merupakan tempat tinggal
tokoh persilatan
yang mengasingkan diri. Kedatangan kita beramai-
ramai akan mengganggunya," jelas Resi Druna.
"Mengapa kau jadi seperti anak kecil, Kek. Berikan dia alasan apa saja. Kalau
dia tak menerima, aku tak akan terlalu bodoh untuk menempurnya!" tandas Kemani
penuh semangat Resi Druna, Sendari, Darmakala, dan Wudani ter-
senyum simpul melihat semangat Kemani. Mereka tak
merasa tersinggung mendengar perkataan gadis itu.
Kemani hanya terlalu menuruti perasaan, bukan se-
dang mengejek kehati-hatian mereka.
Resi Druna mengerling ke arah Sendari, Darmaka-
la, dan Wudani. "Kurasa tidak ada salahnya kalau kita mencoba usul, Kemani.
Sebuah usul yang cukup baik,"
ujarnya kemudian.
Persetujuan Resi Druna semakin menambah se-
mangat Kemani. Gadis yang memiliki keberanian besar ini segera melesat
mendahului yang lainnya. Kakinya yang mungil dan berbentuk bagus beberapa kali
meno-tol bebatuan untuk segera sampai di depan gua. Pada bagian depan gua
terdapat bagian batu yang menjorok, panjangnya sekitar setengah tombak. Di
bagian inilah Kemani mendaratkan ke dua kakinya.
"Monyet dari mana berani mati mengganggu ketenangan ku"!"
Seiring terdengarnya bentakan itu, serentetan an-
gin berpusar menyerbu Kemani. Gadis ini buru-buru
menjulurkan kedua tangannya. Dilancarkannya do-
rongan angin pukulan untuk menangkal serangan
yang datang. "Uhkh...!"
Perlawanan Kemani kandas di tengah jalan. Angin
pukulannya lenyap begitu saja. Serangan yang datang secara berputar seperti
menelan angin pukulan Kemani. Dan, serangan itu terus meluncur ke arah si gadis
dengan kedahsyatan yang tidak berkurang. Kemani
tampak terperanjat bukan main.
Kemani tak ingin nyawanya melayang begitu saja.
Dia berusaha melompat untuk menghindari serangan
lawan. Tapi, serasa terbang semangat gadis ini ketika mengetahui sekujur otot
dan urat-uratnya terasa lemas. Nyawanya kini bagai telur di ujung tanduk. Dia
tak bisa melompat atau mengelak.
Namun Kemani memiliki otak yang cukup cerdik.
Dia berpikir cepat untuk menyelamatkan nyawanya.
Kemani mengikuti keadaan tubuhnya yang sudah tak
berdaya. Karena untuk melompat merupakan hal yang
tak mungkin, gadis ini menjatuhkan diri mengikuti le-masnya tubuhnya.
Usaha Kemani ternyata tak berhasil mulus. Jatuh
tubuhnya terlalu lambat. Angin yang bergerak berpu-
tar tetap menghantamnya, meski hanya mengenai ba-
hu kiri. Ternyata akibatnya tetap dahsyat. Tubuh Kemani terpental ke belakang
dalam keadaan berputar.
Dari mulut gadis ini menyembur darah segar. Dan ka-
rena tempat di belakang Kemani tak ada yang dapat dijadikan tempat berpijak,
tubuhnya melayang ke bawah dalam keadaan berputar.
"Kemani...!"
Sendari memekik keras melihat keadaan Kemani.
Nenek ini memang belum bergerak dari tempatnya.
Hanya Resi Druna yang sudah melesat menyusul Ke-
mani. Kakek itu pun tak mampu berbuat sesuatu un-
tuk menolong Kemani. Semua kejadian itu berlang-
sung demikian cepat.
"Tak seorang pun boleh hidup setelah berani menginjak tempat kediamanku!"
Seruan keras itu berasal dari dalam gua. Disusul
dengan meluncurnya benda-benda kekuningan yang
meluncur mengikuti tubuh Kemani.
Pada saat itulah Resi Druna menjejakkan kaki di
depan gua. Tepat pada saat benda-benda kekuningan
telah jauh melewati mulut gua. Resi Druna menjadi
bimbang sejenak.
"Haruskah kutolong Kemani lebih dulu?" pikir kakek berjubah kuning ini.
Sebelum Resi Druna sempat melaksanakan mak-
sudnya, dari dalam gua bertiup angin keras yang me-
luncur secara berputar ke arahnya. Resi Druna kem-
bali menjadi bimbang. Kakek ini khawatir kalau me-
nyelamatkan Kemani lebih dulu dirinya tak akan
mempunyai kesempatan menghadapi serangan lawan.
Kebimbangan Resi Druna sirna ketika melihat Sen-
dari telah bertindak cepat Nenek itu meloloskan sabuk dan melemparkannya ke arah
Kemani. Tanpa membuang-buang waktu lagi Resi Druna segera memapaki
serangan dari dalam gua. Dilontarkannya pukulan ja-
rak jauh dengan seluruh pengerahan tenaga dalamnya.
Resi Druna yang telah kenyang pengalaman sece-
pat dapat mengetahui keanehan serangan lawan. Ma-
ka, dia pun melancarkan pukulan jarak jauh yang
mengandung pusaran angin.
Blarrrr! Bunyi keras terdengar ketika dua pukulan jarak
jauh berbenturan di tengah jalan. Tubuh Resi Druna
terpental ke belakang dalam keadaan berputar. Kakek ini terkejut bukan main
merasakan sekujur ototnya
seperti lumpuh. Dadanya juga terasa sesak. Sadarlah ia kalau pemilik serangan
dari dalam gua memiliki tenaga dalam amat kuat!
Pada saat yang bersamaan dengan terlemparnya
tubuh Resi Druna, sabuk Sendari melilit sekujur tu-
buh Kemani dan membawanya ke arah pemiliknya.
Benda-benda kekuningan itu pun meluncur lewat tan-
pa mendapatkan sasaran.
Tubuh Kemani yang terbelit sabuk jatuh di tangan
Sendari yang sudah bersiap menyambutnya. Sekeja-
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pan kemudian, menyusul Resi Druna yang menjejak-
kan kedua kaki di tanah.
Kakek berjubah kuning itu berhasil mendarat den-
gan mantap. Tapi, parasnya masih menampakkan ke-
terkejutan besar. Cepat pandangannya dialihkan ke
arah Sendari yang telah menurunkan tubuh Kemani
dan membebaskannya dari belitan sabuk.
"Orang yang berada di dalam gua memiliki kepandaian amat tinggi. Tenaga dalamnya
kuat bukan main," beritahu Resi Druna.
"Mudah-mudahan saja hanya tenaga dalamnya
yang dahsyat, tapi kepandaiannya tak terlalu tinggi,"
timpal Sendari setengah berharap.
Baru saja Sendari selesai berbicara, dari dalam gua melesat sesosok bayangan
kuning. Gerakannya cepat
bukan main sehingga bentuk tubuhnya tak terlihat jelas. Yang tampak hanya
sekelebatan bayangan kuning.
Sekejapan saja, sosok bayangan kuning telah bera-
da di depan rombongan Resi Druna. Sosok itu berdiri dalam jarak beberapa tombak.
Kini rombongan Resi
Druna bisa memperhatikan sosok kuning itu secara jelas.
*** 6 Sosok kuning itu ternyata seorang kakek berusia
delapan puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus dengan
kumis panjang menjuntai ke bawah mirip kumis tikus.
Pakaian kuning membungkus sekujur tubuhnya.
Kakek berpakaian kuning berdiri dengan memper-
gunakan dua batang tongkat yang dikempitkan di ke-
tiak. Kedua tongkat kakek itu lebih panjang dari kakinya, sehingga kedua telapak
kakinya menggantung
tak menyentuh tanah. Ditatapnya wajah rombongan
Resi Durna satu per satu. Resi Druna, Sendari, Dar-
makala serta Wudani segera tahu kalau kedua kaki si kakek lumpuh! Kedua batang
tongkat di pergunakan
untuk menopang berdirinya.
"Maafkan kalau kami membuat ketenanganmu ter-
ganggu, Sobat. Tapi, percayalah. Kami tak bermaksud jahat. Kedatangan kami ke
sini tak bermaksud meng-ganggumu. Sekali lagi kami mohon maaf."
Kakek berpakaian kuning menatap Resi Durna. Ti-
dak ada keramahan sedikit pun pada paras mau pun
sorot matanya. "Tidak ada maaf bagi orang yang berani menggang-gu ketenangan ku!" tandas kakek
berpakaian kuning.
"Sombong!" bentak Sendari yang mempunyai watak tak sabaran. Nenek ini merasa
tersinggung melihat sikap kakek lumpuh. "Kau kira kami takut padamu" Ingin ku
tahu sampai di mana kepandaianmu sehingga
berani bersikap sesombong ini!"
Resi Durna segera menggamit lengan Sendari yang
sudah melangkah maju. Tindakan Sendari dianggap-
nya terlalu menuruti amarah. Tapi, Sendari menyen-
takkan tangan suaminya hingga lepas dari cekalan.
Tanpa mempedulikan Resi Durna lagi dia melom-
pat, menerjang lawan. Nenek ini meski telah tua dan kelihatan lemah ternyata
memiliki kegesitan luar biasa. Dilancarkannya serangan bertubi-tubi dengan
mempergunakan kedua kaki.
Kakek berpakaian kuning mendengus. Tampaknya
dia meremehkan serangan Sendari. Dengan kedua
tongkat terkepit di ketiak di elakkannya tendangan lawan yang bertubi-tubi.
Bagai memiliki kaki yang wajar kakek ini berlompatan ke sana kemari.
Sampai beberapa jurus Sendari mengirimkan se-
rangan dengan kedua kakinya. Tapi, semua serangan
itu tak satu pun mengenai sasaran. Sendari semakin
kalap. Di jurus ke tujuh belas nenek ini mengirimkan gedoran kedua tangan ke
arah dada. Kali ini kakek
lumpuh tak berusaha mengelak. Dia malah melakukan
hal yang sama dengan lawan.
Blarrr! Sendari mengeluarkan jeritan tertahan. Kedua tan-
gannya berbenturan dengan kedua tangan lawan. Tu-
buhnya melayang deras ke belakang bagai daun kering diterbangkan angin. Sekujur
tangan Sendari terasa
lumpuh. Kakek berpakaian kuning hanya bergoyang-
goyang tubuhnya. Padahal, kakek ini berdiri dengan
kedua tongkat Resi Druna tak bisa menahan sabar lagi. Betapa-
pun antara dirinya dengan istrinya masih terdapat
ganjalan, penghinaan terhadap Sendari sama artinya
dengan menghina dirinya.
"Tidak patut seorang lelaki menghadapi perem-
puan. Hadapi aku! Kita buktikan siapa yang lebih patut untuk disebut lelaki!"
Diawali pekikan melengking Resi Druna menyo-
dokkan tongkatnya ke arah dada si kakek. Tongkat Re-si Druna besar dan berat.
Jangankan dada manusia
yang terdiri dari tulang dan daging, batu karang yang paling keras pun akan
hancur terkena sodokannya.
Kakek berpakaian kuning tidak bergeming dari
tempatnya. Baru ketika serangan menyambar dekat
kakek ini bertindak cepat. Tongkat itu dijepitnya dengan kedua telapak tangan
yang disatukan.
Tappp! Ujung tongkat Resi Druna berhenti beberapa jari
dari sasaran. Resi Druna tak mau mengalah. Dikerah-
kan seluruh tenaga dalamnya pada kedua tangan, lalu disalurkan pada tongkat
Tapi maksud Resi Druna tak terkabul. Tongkatnya
tak bergeming sedikit pun dari jepitan kedua tangan kakek berpakaian kuning.
Betapapun Resi Druna berusaha keras sampai wajahnya merah padam, tongkat
tak bergerak maju sedikit pun.
Resi Druna segera sadar usahanya akan berakhir
sia-sia. Buru-buru digantinya cara lain. Sekarang dia tak lagi berusaha
mendorong, melainkan menariknya.
Namun seperti juga sebelumnya, usahanya kali ini pun tak membuahkan hasil.
"Akan kau dapati suatu kenyataan kalau kau ternyata bukan seorang lelaki!"
dengus kakek berpakaian kuning.
Bukan hanya Resi Druna saja yang terkejut men-
dengar ucapan kakek itu. Darmakala, Wudani, dan
Sendari pun dilanda perasaan sama. Sendari telah
berhasil menjejak tanah, meski agak terhuyung-
huyung, sebelum Resi Druna terlibat pertarungan dengan kakek berpakaian kuning.
Tokoh-tokoh itu terkejut karena tahu betapa ber-
bahayanya berbicara di saat tengah mengadu tenaga
dalam. Hal itu akan mengakibatkan aliran tenaga da-
lam menghantam si pembicara tak hanya dari aliran
tenaga dalam lawan, tapi juga dari tenaga dalamnya
sendiri yang membalik. Tapi, kenyataannya kakek berpakaian kuning mampu
melakukan tanpa mengalami
akibat apa pun.
Belum lagi hilang keterkejutan yang melanda, Resi
Druna menerima keterkejutan. Tenaga dalamnya men-
galir dengan deras ke arah lawan. Resi Druna tentu sa-ja tak menginginkan hal
itu terjadi. Nyawanya akan
melayang karena kehabisan tenaga
Ketika semua itu berlangsung Sendari melihat sua-
tu keanehan. "Tidak salahkah penglihatanku"!" pikir Sendari,
"Bukankah itu ilmu 'Ulat Sutera'. Ilmu yang hanya dimiliki oleh Ulat Emas
Pemetik Bunga."
Sementara itu, di tempat lain di bagian lereng gu-
nung seorang pemuda berpakaian coklat berlari-lari
hendak mendaki ke puncak. Wajahnya kelihatan din-
gin seperti tak menampakkan perasaan apa pun. Di-
alah Sangka Ruti.
Sesampainya di puncak Sangka Ruti mendapati
sebuah pondok sederhana, berdinding bilik dan bera-
tapkan rumbia. Pondok itu mempunyai lantai pang-
gung yang disangga kayu bulat dan besar setinggi setengah tombak di keempat
sudutnya. Lantai pondok
dari papan dan mempunyai pendapa yang luas. Tak
terlihat ada seseorang di sana.
Kendati demikian, Sangka Ruti tahu pasti di dalam
pondok itu ada penghuninya. Dari celah-celah jendela dan pintu dilihatnya asap
mengepul. Bau khas ramuan obat-obatan menyebar. Pondok itu memang merupakan
tempat tinggal seorang kakek yang terkenal sebagai ahli pengobatan.
Sangka Ruti melompat ke atas dan mendarat di
lantai papan tanpa bunyi sedikit pun. Dengan berjingkat-jingkat ringan
didekatinya daun pintu. Pendengarannya dipasang setajam mungkin agar dapat men-
dengar bunyi sekecil apa pun.
"Kurasa sudah cukup, Kisanak. Minumkan saja
ramuan itu. Aku yakin dia akan segera sembuh."
Ucapan itu membuat Sangka Ruti tahu kalau pe-
milik pondok tengah menerima tamu. Hal itu tak men-
gejutkannya. Orang yang akan dijumpainya memang
banyak didatangi orang untuk dimintai pertolongan.
Tapi kelanjutan ucapan yang sangat mengejutkan lela-ki berpakaian coklat ini.
"Maaf, kalau aku seperti kurang sopan. Tampaknya masih ada orang yang ingin
menjumpai ku. Dan orang
itu tak ingin kedatangannya kuketahui...."
Sangka Ruti seperti menerima hantaman keras pa-
da dadanya. Ucapan itu merupakan pertanda kedatan-
gannya telah di ketahui. Padahal, hampir seluruh ilmu meringankan tubuhnya telah
dikerahkan. "Wahai orang yang berada di luar, tak usah ragu-ragu. Silakan masuk...!" seru
suara dari dalam pondok, lantang dan bernada tenang.
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu, daun
pintu pondok bergerak membuka. Tapi, tak ada seo-
rang pun berada di balik pintu. Daun pintu itu bergerak sendiri! Dan ketika
seluruh daun pintu telah ter-kuak, terlihatlah oleh Sangka Ruti apa yang berada
di dalam ruangan.
Ruangan di dalam pondok ternyata cukup luas.
Apalagi karena hampir tidak ada perabotan yang berar-ti di sana. Hanya sebuah
balai-balai bambu dan se-
buah kursi sederhana. Di atas balai duduk bersila seorang kakek bertubuh tinggi
besar. Sekujur tubuhnya
dipenuhi urat-urat yang melingkar. Wajahnya persegi dan ditumbuhi bulu-bulu
hitam lebat. Tak hanya kumis, tapi juga cambang dan jenggot. Pakaian abu-abu
yang serba kebesaran membungkus tubuh si kakek.
Sangka Ruti berdiri angkuh di ambang pintu. Ma-
tanya yang memiliki sorot dingin memandang kakek
pemilik pondok.
"Ada yang bisa kubantu, Anak Muda" Apakah ada
di antara anggota keluargamu yang sakit" Kulihat kau tak sedang menderita suatu
penyakit. Kalau dugaanku benar, tak usah ragu-ragu untuk mengatakannya,"
ujar kakek berpakaian abu-abu dengan suara lembut
Tanggapan Sangka Ruti adalah dengusan mengejek
"Tak usah berpura-pura, Tua Bangka! Orang lain boleh kau bohongi. Tapi, jangan
harap kau dapat melakukan hal itu pada Sangka Ruti!"
Wajah kakek tinggi besar langsung berubah hebat.
Tapi, hanya sekilas. Yang tampak kemudian adalah bi-as kebingungan di wajahnya.
"A... apa maksudmu, Ruti"!" tanya si kakek tanpa menyembunyikan perasaan heran
yang melanda. "Maksudku sudah jelas, Tua Bangka!" sahut Sangka Ruti dengan senyum sinis
tersungging di bibir. "Kau sebenarnya bukan tukang obat! Kau adalah tokoh
persilatan yang memiliki kepandaian lumayan. Kau bera-
lih menjadi tukang obat karena sikap pengecut mu.
Seekor anjing kudisan masih lebih baik dari pada kau!"
Kakek tinggi besar menampakkan kemarahan he-
bat pada sepasang matanya. Ucapan Sangka Ruti san-
gat menyinggung harga dirinya. Tapi, rupanya dia segera dapat menguasai diri.
"Akhirnya apa yang kuramalkan terjadi juga," ucap kakek itu dengan sikap dan
suara tenang. "Memang, betapapun rapinya menyembunyikan barang busuk
akhirnya baunya akan menyebar juga."
"Dengan kata lain, kau mengakui kalau selama ini telah bersikap pengecut untuk
menyelamatkan nyawamu, Tua Bangka Licik!"
"Tak ku sangkal kebenaran ucapanmu itu, Anak Muda. Tapi perlu kau ketahui,
setiap orang mempu-
nyai rasa takut. Apabila rasa takut itu muncul, akal sehat akan kehilangan
kegunaannya dan tindakan
yang tak wajar pun dilakukan. Harus kuakui kalau
aku pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama."
"Aku tak butuh pembelaan dirimu, Tua Bangka!"
sembur Sangka Ruti, kasar. "Yang kuinginkan adalah pengakuanmu! Aku ingin tahu
apakah kau masih bersikap pengecut?"
"Tak usah membakar-bakar harga diriku dengan
ucapan seperti itu, Anak Muda. Katakan saja apa yang kau inginkan!"
"Bagus kalau demikian!" dengus Sangka Ruti. "Sekarang katakan siapa kau
sebenarnya"!"
Kakek tinggi besar tidak segera menjawab. Dia ma-
lah tersenyum. Kemudian, tanpa menggerakkan tubuh
atau kaki kakek ini mampu membuat tubuhnya me-
layang naik ke atas dalam keadaan masih duduk bersi-la! Sangka Ruti hanya
mencibirkan bibir melihat per-buatan kakek itu. Baginya hal seperti itu bukan
merupakan sesuatu yang luar biasa. Dia sendiri mampu
melakukannya. Kerutan di atas Sangka Ruti mulai tercipta ketika
melihat kelanjutan tindakan si kakek. Balai-balai
bambu tempatnya duduk tadi bergeser ke arah Sangka
Ruti. Pemuda berpakaian coklat itu hampir tak per-
caya. Balai-balai bambu bagai memiliki roda. Terlihat jelas kaki-kaki balai
bergesekan dengan lantai, tapi tak terdengar bunyi apa pun.
Sangka Ruti bersikap waspada. Pemuda ini bersiap
menghadapi segala kemungkinan yang tak diharapkan.
Bukan tak mungkin balai-balai bambu itu diperguna-
kan menyerangnya. Namun, kekhawatirannya ternyata
tak beralasan. Balai-balai bambu berhenti bergeser be-
berapa jengkal darinya.
Pada saat yang bersamaan kakek tinggi besar me-
nurunkan kedua kakinya. Sekarang kakek itu berdiri
di lantai seraya menatap Sangka Ruti dengan penuh
selidik. "Sebenarnya..., jika menuruti aturan sudah sepan-tasnya kau kuberikan hukuman,
Anak Muda. Kau da-
tang tanpa kuundang. Menghinaku dan bahkan berani
menanyakan siapa diriku sebenarnya. Apa hakmu atas
semua itu"!" ujar kakek tinggi besar berapi-api.
"Aku memang tak berhak! Tapi orang yang menjadi guruku amat berhak. Dan, guruku
telah menyerahkan
haknya kepadaku!"
"Siapa gurumu?"
"Aku akan menyebutkannya, Tua Bangka! Tapi, sebelum itu biar ku terka dulu siapa
adanya dirimu. Bukankah kau orang yang dulu bernama Jagasena"!"
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah kakek tinggi besar beriak hebat. Terkaan
Sangka Ruti rupanya mengenai sasaran dengan tepat.
"Apakah kau terlalu pengecut sehingga tak berani mengakui namamu sendiri,
Jagasena"!" ejek Sangka Ruti.
"Siapa yang hendak menyangkal, Anak Muda" Mu-
lutmu terlalu lancang! Aku memang Jagasena! Seka-
rang, apa kehendakmu"!"
"Kurasa, aku tak perlu menjelaskannya padamu,
Jagasena," sahut Sangka Ruti, ringan. "Kau kenal benda ini?"
Jagasena mengalihkan pandangan ke arah benda
yang diangsurkan Sangka Ruti. Sebuah benda dari lo-
gam kekuningan yang berbentuk seperti ulat bulu!
Benda itu di ambil Sangka Ruti dari balik bajunya.
Sepasang mata Jagasena membelalak lebar seperti
hendak melompat keluar dari rongganya. Kakek ini
kenal betul dengan benda di tangan Sangka Ruti.
"Bagaimana, Jagasena" Kurasa sudah cukup ba-
gimu untuk mengenali benda ini, bukan"! ucap Sang-
ka Ruti seraya memasukkan kembali logam kuning itu
ke balik bajunya. "Dan, kurasa kau sudah tahu siapa guruku?"
Jagasena hanya tersenyum pahit. Senyum kakek
itu mempunyai arti yang sama dengan anggukan kepa-
la. "Sekarang, kurasa kau tahu maksud kedatanganku menjumpai mu. Aku membutuhkan
waktu berbulan-bulan untuk mengetahui di mana kau bersembunyi.
Kini sudah tiba waktunya bagimu untuk menerima sa-
kit hati guruku!"
"Mengapa harus kau yang diutusnya"! Kau masih, muda dan berilmu mentah. Kurasa
lebih baik kalau
gurumu sendiri yang menemuiku dan mengurus per-
soalan lama itu.. Akan terlihat lebih adil dan seimbang.
Tua sama tua!"
"Menghadapi orang seperti kau tak perlu guruku.
Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk melepaskan nyawamu!" sesumbar Sangka
Ruti. Sangka Ruti tak menunggu lebih lama. Dia melom-
pat ke arah Jagasena laksana harimau menerkam ca-
lon korbannya. Kedua tangannya terkembang mem-
bentuk cakar dan meluncur ke arah dada dan leher
Jagasena. Jagasena hanya tersenyum, sikapnya terlihat seba-
gaimana orang dewasa menghadapi anak kecil. Kaki
kanannya lalu dijejakkan sekali ke tanah. Tiba-tiba balai-balai bambu terangkat
ke atas secara cepat
Sangka Ruti meraung keras, geram melihat balai-
balai bambu menghalangi serangannya. Naiknya balai-
balai memaksa Sangka Ruti bersalto beberapa kali di
udara. Kalau hal itu tak dilakukannya, balai-balai
bambu itu yang akan diterjangnya.
"Gerakan yang lumayan...," puji Jagasena melihat kelincahan gerak Sangka Ruti.
*** 7 Pujian Jagasena memang tidak berlebihan. Sangka
Ruti luar biasa lihai. Meski telah terhambat balai-balai bambu, serangannya tak
menjadi pupus. Sambil melompat melewati balai-balai dilancarkannya serangan
lanjutan. Jagasena terlihat segan bertarung sungguh-
sungguh. Tangannya dikibaskan seperti orang mengu-
sir lalat. Sesaat kemudian, balai-balai bambu me-
layang ke arahnya. Jagasena mengulurkan tangan me-
nangkap salah satu kaki balai-balai. Bersamaan den-
gan itu serangan Sangka Ruti meluncur tiba. Jagasena mengayunkan tangannya.
Balai-balai bambu pun bergerak menyampok Sangka Ruti.
Jagasena tersenyum dikulum. Sekali lihat saja dia
tahu kalau untuk mengelak bagi Sangka Ruti sangat
mustahil! Memang dapat dilakukan, tapi kemungkinan
besar akan terkena hantaman balai-balai.
Ternyata Sangka Ruti pun memperhitungkan hal
demikian. Kesempatan baginya untuk mengelak sangat
terbatas. Kendati demikian, Sangka Ruti benar-benar memiliki ketenangan yang
mengagumkan! Dan karena
ketenangannya itulah dia dapat berpikir.
Sangka Ruti membatalkan serangan dan menggan-
tinya dengan tangkisan ke arah balai-balai. Jagasena
sempat terkejut melihat tindakan Sangka Ruti. Lawannya itu pasti bisa
memperkirakan tenaga yang terkandung dalam serangannya. Lagi pula, tangkisan
yang dilakukan tak terlalu tepat karena kedudukan Sangka Ruti sudah terlalu maju.
Tangkisan yang dilakukan
akan membuat bahu pemuda itu terhantam ujung ba-
lai! "Pemuda ini hanya melakukan perintah gurunya.
Usianya pun masih sangat muda. Rasanya agak keter-
laluan kalau nyawanya harus melayang," pikir Jagasena menimbang-nimbang. Pikiran
ini membuat Jagase-
na mengurangi tenaga yang tersalurkan dalam ayunan
balai-balai. Trakkk! "Ah...!"
Jagasena tak kuasa untuk menahan seruannya.
Terjadi hal yang di luar perkiraan. Bahu Sangka Ruti memang berbenturan dengan
salah satu sisi balai-balai, tapi tidak terjadi hal yang dicemaskannya.
Sangka Ruti telah memperhitungkan semuanya.
Meski menangkis, dia tak mempergunakan kekerasan.
Tak dihadapinya kekerasan dengan kekerasan pula.
Sangka Ruti menggunakan tenaga benturan itu untuk
melompat tinggi ke atas.
Karena kecerdikannya ini, Sangka Ruti tak mende-
rita kerugian sama sekali. Malah ketika tubuhnya melayang ke atas, pemuda ini
masih sempat menyelipkan tangannya ke balik baju. Dan sewaktu Sangka Ruti
mengibaskan tangannya terlihat sinar terang menyam-
bar. Jagasena tak menjadi gugup kendati kaget juga
melihat serangan mendadak itu. Balai-balai bambunya digetarkan. Terdengar deru
angin keras yang membuat luncuran sinar-sinar berkilat yang ternyata pisau-
pisau itu tertahan, tidak bisa maju.
Kakek tinggi besar ini sudah menduga pisau-pisau
akan runtuh ke tanah karena kehabisan daya luncur-
nya. Tapi, hampir Jagasena terpekik tak kuasa mena-
han keterkejutan. Pisau-pisau itu tak runtuh ke lantai seperti yang diduganya,
melainkan meliuk untuk
membebaskan diri dari angin ciptaan Jagasena.
Jagasena hampir tak percaya dengan penglihatan-
nya. Tiga batang pisau itu tetap meluncur ke arahnya.
Kakek ini segera melakukan tindakan seperti sebelumnya. Dia ingin menghambat
laju luncuran pisau-pisau itu lagi. Tapi, hatinya tercekat ketika kali ini
pisau-pisau tak terpengaruh. Tiga batang pisau itu segera meliuk sebelum angin
ciptaan Jagasena menghantamnya. Untuk pertama kali selama hidupnya Jagasena
harus bertarung menghadapi benda-benda mati. Malah,
jalannya pertarungan terlihat sengit seakan kakek itu menghadapi benda hidup
yang punya pikiran dan perasaan.
Jagasena penasaran bukan main ketika telah bela-
san jurus bertarung belum mampu memukul roboh pi-
sah-pisau. Pisau-pisau itu bahkan lebih cerdik dari benda hidup. Beberapa kali
Jagasena gagal memukul
roboh pisau-pisau karena benda mati itu selalu dapat mengelak. Bahkan,
tangkisan-tangkisan Jagasena
mempergunakan balai-balai bambu dengan harapan
pisau-pisau menancap di balai-balai, tak terkabulkan.
Sampai... Cap, cap, cappp...!
"Akh...!"
Jagasena memekik tertahan. Di jurus ketujuh pu-
luh tiga, karena sudah kelelahan, kakek ini bergerak kurang cepat. Tiga batang
pisau menghunjam tubuh-
nya. Seketika Jagasena terhuyung dan akhirnya am-
bruk di tanah. Kakek itu berusaha untuk bangkit, tapi ternyata
dia tak mampu. Bukan hanya karena keberadaan dua
batang pisau pada pahanya. Sekujur urat-urat dan
otot-otot tubuhnya mengejang tak bisa digerakkan. Jagasena tahu apa artinya
semua ini. Pisau-pisau Sang-ka Ruti mengandung racun mematikan yang berdaya
kerja cepat. Dalam waktu sebentar saja hasilnya telah terlihat
Sangka Ruti tertawa bergelak. Pemuda itu menatap
Jagasena dengan sorot mata penuh kemenangan.
"Ingin ku tahu sampai berapa lama kau bisa bertahan, Jagasena! Asal kau tahu
saja, racun yang terkandung dalam pisau-pisau itu sangat mematikan!" dengus
Sangka Ruti, dingin "Dan sambil menunggu ajalmu, aku ingin menyelesaikan urusan
lain. Urusan yang diembankan Guru kepadaku. Kurasa kau tahu,
bukan" Guruku kehilangan kejantanannya akibat per-
lakuanmu yang keji dan curang. Selamat menemui
malaikat maut, Tua Bangka! Aku ingin mengambil Ba-
tu Kalimaya!"
Jagasena tak mampu berbuat apa pun untuk men-
cegah tindakan Sangka Ruti. Kakek ini hanya bisa
menggertakkan gigi melihat Sangka Ruti melesat ma-
suk ke dalam ruangan khusus yang dijadikan tempat
semadinya. Sesaat kemudian, pemuda berpakaian coklat itu te-
lah keluar. Di tangannya tergenggam sebongkah benda yang memancarkan cahaya
berwarna-warni. Jagasena
mengeluh dalam hati. Sangka Ruti berhasil menda-
patkan Batu Kalimaya.
"Ha ha ha...!" Untuk pertama kalinya Sangka Ruti tertawa. Namun, wajah dan
sepasang matanya tak
menunjukkan perubahan. Tetap terlihat dingin.
"Akhirnya kudapatkan juga apa yang kucari selama ini. Batu Kalimaya! Selamat
tinggal, Jagasena. Selamat menghadapi malaikat maut. Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa bergelak yang tak putus-putus
Sangka Ruti melesat meninggalkan tempat itu. Pemuda ini tak merasa khawatir
Jagasena bisa lolos dari maut!
Dia yakin benar Jagasena akan tewas oleh racun pi-
saunya yang mematikan!
Pada saat yang bersamaan dengan perginya Sang-
ka Run, di tempat lain Ulat Emas Pemetik Bunga ten-
gah terlibat pertarungan dengan Resi Druna. Kakek itu mulai menyerang Ulat Emas
yang terkenal sebagai tokoh sesat puluhan tahun lalu. Tapi, usaha Resi Druna
kandas. Bahkan sekarang kakek ini terancam maut
karena tenaga dalamnya mengalir deras ke arah Ulat
Emas. Sekujur tubuh Wudani tampak menegang hebat
menyaksikan pertempuran itu. Terlebih ketika melihat sinar kekuningan yang
membias di sekitar telapak tangan Ulat Emas Pemetik Bunga. Wajah wanita ini tam-
pak berubah-rubah.
"Kiranya kau... Jahanam itu...!" desis Wudani penuh dendam.
Hanya sampai di situ saja ucapan Wudani, tapi
Darmakala segera bisa menduga siapa orang yang di-
maksud istrinya. Darmakala merasakan dadanya se-
sak oleh amarah yang bergolak. Wudani telah menceritakan padanya mengenai sinar
kuning itu. Sekitar dua puluh lima tahun lalu istrinya diperkosa oleh seorang
tokoh sesat Wudani tak mengenal tokoh itu. Dia hanya mengetahui sinar kuning
sebagai ciri-ciri pemerko-sanya. Untuk mencari si pemerkosa Darmakala men-
gajak istrinya berkelana dengan berpura-pura menjadi
tukang sulap. "Manusia iblis! Kau harus menebus mahal perbua-tanmu yang bejat itu!" raung
Darmakala penuh dendam.
Lelaki kecil kurus ini menyampokkan tangan ka-
nannya yang berbentuk cakar ke arah pelipis Ulat
Emas Pemetik Bunga. Kemarahan yang melanda mem-
buat Darmakala tak ingat kalau tindakannya itu tidak mencerminkan kegagahan.
Lelaki ini menyerang lawan
yang tengah bersitegang menghadapi lawan lainnya.
Ulat Emas Pemetik Bunga ternyata tak gugup
menghadapi ancaman maut itu. Sambi menggertakkan
gigi dikerahkannya tenaga pada kedua tangan hingga
tubuh Resi Druna terjengkang ke belakang! Resi Druna yang memang lelah bukan
main karena sebagian besar
tenaga dalamnya telah tersedot lawan, tak mampu
berbuat apa pun. Tubuh kakek ini terbanting ke tanah dengan keras.
Ulat Emas sendiri begitu berhasil melemparkan Re-
si Druna, segera memapaki serangan Darmakala den-
gan tindakan yang sama. Kakek itu menyampokkan
tangannya untuk menangkis.
Krakkk! "Akh...!"
Darmakala menjerit kaget. Jari-jarinya patah. Ka-
rena berbenturan dengan tangan lawan. Kekuatan te-
naga dalam yang terkandung dalam sampokan Ulat
Emas yang menyebabkan hal demikian. Hanya berkat
kelihayannya, Darmakala mampu mendarat di tanah
dengan kedua kaki. Padahal, dia terlempar dalam keadaan tubuh berputar-putar.
Darmakala tak menjadi gentar melihat hasil seran-
gannya. Seraya mengeluarkan raungan keras bak ha-
rimau terluka, dia kembali melancarkan serangan
mematikan. Pada saat yang bersamaan Wudani juga
menyerang Ulat Emas Pemetik Bunga.
Plakkk! Darmakala mengeluarkan keluhan tertahan. Gedo-
ran kedua tangan terbuka ke arah dada lawan disam-
but dengan gerakan yang sama. Bukan tindakan lawan
yang membuatnya mengeluh, melainkan akibatnya.
Kedua tangannya melekat dengan tangan lawan.
Serangan Wudani pun meluncur datang, dan men-
darat di punggung Ulat Emas. Gedoran yang mengan-
dung pengerahan seluruh tenaga dalam itu mendarat
setelah Wudani bersalto di atas kepala Ulat Emas Pemetik Bunga.
Plakkk! "Eh..."!"
Wudani berseru kaget ketika kedua telapak tan-
gannya mendarat di sasaran yang dituju. Tapi, kedua telapak tangannya bagai
bukan berbenturan dengan
punggung manusia, melainkan setumpukan besar ka-
pas! Seluruh tenaga serangan wanita itu mendadak lenyap. Bahkan kedua tangannya
tak bisa dilepaskan
dari punggung. Ada tarikan yang amat kuat membuat
tangan Wudani melekat. Hati wanita ini tercekat ketika merasakan tenaga dalamnya
tersedot ke arah Ulat
Emas Pemetik Bunga.
Kejadian yang menimpa Wudani juga dialami Dar-
makala. Lelaki ini berusaha sekuat tenaga menahan
aliran tenaganya, tapi usahanya sia-sia. Dalam sekejapan wajah Darmakala dan
Wudani dibanjiri keringat
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dingin. Keduanya secara cepat menjadi lelah. Pasangan suami istri itu segera
sadar, apabila hal ini terus berlangsung mereka akan mati lemas.
Kecemasan Darmakala dan Wudani memang bera-
lasan. Tapi lawan mereka ternyata tak menginginkan
hal itu terjadi. Ketika keadaan Darmakala dan Wudani semakin mengkhawatirkan,
secara tak terduga-duga
Ulat Emas Pemetik Bunga merubah aliran tenaganya.
Tidak lagi menyedot, melainkan memberikan!
Darmakala dan Wudani meraung bagai binatang
disembelih. Dari mulut, hidung, dan telinga keduanya mengalir darah segar ketika
tubuh mereka terlempar
ke belakang. Pasangan suami istri ini melayang-layang sebelum terbanting di
tanah. Darmakala dan Wudani
menggeliat-geliat sebentar. Akhirnya, keduanya diam tak bergerak lagi untuk
selamanya. Mereka tewas dengan bagian dalam dada remuk.
Sendari segera tahu diri. Nenek ini sangat yakin
Ulat Emas Pemetik Bunga terlalu lihai untuk dihadapi.
Resi Druna yang lebih pandai dari dirinya saja dapat dipecundangi tokoh sesat
itu. Sekarang suaminya tengah duduk bersila untuk memulihkan tenaga dalam-
nya yang hilang.
Di sebelah Resi Druna, Kemani juga tengah duduk
bersemadi untuk menyembuhkan luka dalamnya. Un-
tungnya luka gadis ini tak terlalu parah.
Tanpa sadar Sendari melangkah mundur. Semen-
tara Ulat Emas Pemetik Bunga justru melangkah maju.
Dua batang tongkatnya bergerak maju tanpa menim-
bulkan bunyi sedikit pun! Padahal, jelas-jelas bagian bawah tongkat bergesekan
dengan tanah. Ulat Emas
Pemetik Bunga sekarang memiliki tenaga dalam luar
biasa dahsyat. Mendadak tokoh sesat itu menghenti-
kan langkahnya. Pendengarannya yang sangat tajam
mendengar suara langkah menuju ke tempatnya bera-
da. Ulat Emas Pemetik Bunga tak perlu menunggu la-
ma untuk mengetahui pemilik langkah itu. Di kejau-
han dilihatnya sosok tubuh coklat bergerak cepat ke
arahnya. Ulat Emas Pemetik Bunga yang semula ber-
siap untuk menghadapi segala kemungkinan, kini
mengendurkan kembali urat-urat syarafnya.
"Membuatku kaget saja monyet kecil itu. Kukira siapa," pikir Ulat Emas Pemetik
Bunga. Sosok coklat itu dalam waktu sekejapan kemudian
telah berada di depan Ulat Emas Pemetik Bunga. Dan, sosok yang bukan lain Sangka
Ruti ini segera memberi hormat
"Mengapa kau keluar dari tempatmu, Ulat?" sapa Sangka Ruti seenaknya kendati
Ulat Emas Pemetik
Bunga adalah gurunya. Pemuda ini mengedarkan pan-
dangan ke sekitarnya. Diperhatikannya sosok-sosok
yang berada di situ. "Kiranya kau telah bekerja cukup keras..."
"Monyet-monyet buduk itu membuatku keluar dari tempat tinggalku yang nyaman,
Ruti!" dengus Ulat Emas Pemetik Bunga. "Bagaimana" Kau berhasil melaksanakan
tugasmu?" Sangka Ruti menarik napas berat. Penyesalan tam-
pak jelas di wajahnya.
"Aku telah berusaha keras, Ulat. Tapi Jagasena ternyata lebih cerdik...."
"Apa maksudmu, Ruti"! Kau gagal"!" kejar Ulat Emas penasaran.
"Tidak sepenuhnya demikian, Ulat" sahut Sangka Ruti. "Jagasena berhasil
kutemukan. Dia menyamar menjadi seorang ahli obat. Tempatnya tak jauh dari si-
ni, malah masih satu gunung, Jagasena tinggal di lereng sebelah timur. Aku
berhasil menemukannya dan
bahkan membunuhnya, Ulat. Sayang..."
"Mengapa, Ruti" Apakah Batu Kalimaya tak ada
padanya"!"
"Hampir tepat dugaanmu, Ulat."
"Terangkan yang jelas, Ruti. Jangan sepotong-
sepotong seperti itu. Jangan sampai aku nanti lupa kalau kau adalah muridku!"
tegas Ulat Emas Pemetik Bunga.
"Kakek pengecut itu rupanya telah berjaga-jaga lebih dulu. Batu Kalimaya telah
dihancurkan sehingga hanya berupa bubuk yang tak berguna," beritahu Sangka Ruti.
"Jangan katakan kalau bubuk Kalimaya tak kau
bawa, Ruti. Kesalahan itu telah cukup untuk membua-
tku mengirim nyawamu ke lubang kubur!"
"Jangan khawatir, Ulat. Bubuk Kalimaya kubawa.
Nih, terima!" Sangka Ruti melemparkan buntalan kain kecil yang terselip di
pinggangnya. Ulat Emas Pemetik Bunga menangkapnya dengan penuh semangat.
Tergesa-gesa dibukanya ikatan buntalan kecil itu. Terdapat bubuk halus di
dalamnya. Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah Sang-
ka Ruti. Kelihatan jelas sikap penuh selidiknya.
"Benarkah ini bubuk Kalimaya, Ruti"!"
"Aku yakin sekali akan hal itu, Ulat. Jagasena memberikan bubuk itu setelah aku
mengancam akan membantai orang-orang yang tengah berada di pon-
doknya," dusta Sangka Ruti yang juga memiliki keinginan untuk mendapatkan Batu
Kalimaya. "Kalau kau tak percaya, biar aku yang membuktikan kebenaran-nya.
Kulihat di tempat ini ada betina liar yang dapat dijadikan percobaan. Berikan
padaku bubuk itu, Ulat.
Lagi pula, untuk apa orang setua kau menginginkan
kejantanan kembali" Biar aku yang masih muda dan
memiliki hidup lebih panjang."
Ulat Emas Pemetik Bunga kelihatan bimbang. Si-
kap muridnya terlihat demikian meyakinkan. Tapi, ke-waspadaannya mendorong Ulat
Emas Pemetik Bunga
untuk bersikap hati-hati. Bukan tak mungkin sikap
Sangka Ruti hanya merupakan sandiwara.
"Kurasa kau benar, Ruti," ujar Ulat Emas Pemetik Bunga dengan suara berat "Aku
memang telah terlalu tua. Dan, mungkin bubuk Kalimaya ini tak akan berarti
banyak untukku. Biarlah kau saja yang menda-
patkannya."
"Tua bangka gila ini rupanya tak pernah meninggalkan kewaspadaan. Untung aku
sudah menduga hal
seperti ini dan meminum penangkalnya. Mudah-
mudahan saja ini hanya gertakan. Kalau tidak, bisa berbahaya nanti. Tua bangka
ini tak akan segan-segan membunuhku," pikir Sangka Ruti yang memiliki otak
cerdik. Dengan sikap gembira yang dibuat-buat Sangka
Ruti kemudian menerima angsuran bubuk Kalimaya
dari gurunya. Di dekatkannya bubuk itu ke mulutnya
dan siap di minum. Sangka Ruti kecewa bukan main
ketika melihat tidak adanya cegahan dari Ulat Emas
Pemetik Bunga. Kenyataan ini membuat Sangka Ruti
kebingungan. "Celaka...! Mengapa jadi begini" Bubuk ini sebenarnya racun yang amat mematikan.
Kalimaya yang asli ada padaku!" keluh Sangka Ruti dalam hati.
Di saat Sangka Ruti tengah dilanda kebingungan
dan bubuk Kalimaya telah dituangkan ke mulutnya,
Ulat Emas Pemetik Bunga membentak keras.
"Hiyaaa...!"
Bubuk Kalimaya yang tengah meluncur ke dalam
mulut Sangka Ruti tiba-tiba meliuk ke arah Ulat Emas Pemetik Bunga, lalu meluruk
deras ke arah mulut si
kakek yang membuka!
Bersamaan dengan tertelannya bubuk itu Sangka
Ruti tersenyum di dalam hati. Pemuda ini tahu nyawa
gurunya tak akan selamat. Bubuk itu adalah racun
yang amat mematikan dan berdaya kerja cepat.
Hanya sesaat setelah tertelannya racun, Ulat Emas
Pemetik Bunga merasakan tanda-tanda yang menggeli-
sahkan. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya
berkunang-kunang. Sekujur urat-urat syaraf dan ototnya melemah secara cepat
"Keparat...!" desis Ulat Emas Pemetik Bunga. "Bocah keparat itu telah meracuni
ku. Kurang ajar!"
Sangka Ruti yang mendengar desisan itu tertawa
ganda. Tawa gembira penuh nada kemenangan.
"Selamat jalan ke lubang kubur, Ulat. Kau boleh memimpikan Kalimaya di neraka.
Aku yakin di akhirat kejantanan mu akan pulih kembali. Kau bisa bermain
cinta dengan setan-setan perempuan di sana!"
Tanpa mempedulikan Ulat Emas Pemetik Bunga
yang tengah meregang nyawa, Sangka Ruti mengalih-
kan perhatian pada Kemani
"Kita bertemu lagi, Wanita Liar. Dulu kau beruntung karena aku masih sakit
akibat ilmu yang kupelajari! Sekarang aku telah mendapatkan pemunahnya.
Bersiaplah untuk menerima curahan cinta dariku!"
Kemani yang baru saja sadar dari semadinya terke-
jut melihat Sangka Ruti. Pemuda itu dikenalinya sebagai orang yang telah
membunuh ayahnya dan mem-
perkosa dirinya. Untungnya Sangka Ruti hanya besar
gairah saja, kejantanannya nol! Betapapun pemuda itu berusaha keras tetap saja
keinginannya untuk me-renggut kehormatan Kemani kandas. Dengan kesal
dan malu Sangka Ruti meninggalkan calon korbannya.
"Kiranya kau...!" desis Kemani penuh dendam. Ta-pi, seruan Kemani hanya sampai
di situ saja. Belum
selesai gadis itu bicara tubuhnya tertarik deras ke arah Sangka Ruti, begitu
pemuda itu melambaikan tangan
ke arahnya. Kemani berusaha keras untuk mematah-
kan pengaruh yang melanda. Tapi dia gagal. Secara deras tubuhnya melayang.
Sendari tak membiarkan muridnya yang tak diakui
sebagai murid itu celaka di tangan Sangka Ruti. Dia melompat menerjang si
pemuda. Di dalam hatinya nenek ini menyayangkan mengapa tak membawa batang
pisang. Pohon itu mempunyai keistimewaan untuk
memunahkan pisau-pisau Sangka Ruti yang mengi-
riskan! Kecemasan Sendari beralasan. Sangka Ruti telah
diamuk nafsu birahinya. Tak dipedulikannya serangan si nenek. Tangan kirinya
dikibaskan setelah dimasuk-kan ke balik baju. Seketika itu pula sinar terang
berki-lau dan meluncur ke arah Sendari. Nenek itu pun
membatalkan serangannya. Bila hal itu tetap dite-
ruskan nyawanya akan melayang di ujung pisau-pisau.
Tindakan yang diambil Sendari membuat Sangka Ruti
leluasa bertindak. Begitu tubuh Kemani berhasil dipe-luknya, hanya dengan sekali
sentak Sangka Ruti
membuat Kemani tak berpakaian lagi.
Kemani menjerit-jerit kebingungan. Dengan kedua
tangannya di usahakan untuk menutupi sepasang bu-
kit kembar dan bagian bawah tubuhnya. Usaha sea-
danya ini hanya bisa menutupi sekadarnya. Sangka
Ruti semakin beringas. Sepasang matanya bagai hen-
dak melompat keluar. Dengan buas Sangka Ruti me-
nubruk Kemani dan menggumulinya di tanah. Mulut
dan tangannya bergerilya, mencium dan meremas apa
yang bisa dicium dan diremas.
Kemani meronta-ronta. Dia menjerit-jerit dan me-
mohon agar Sangka Ruti tak melakukan kekejian yang
dicemaskannya itu. Tapi, pemuda ini tak mempeduli-
kannya sama sekali. Malah Sangka Ruti semakin buas
bertindak. "Sangka Ruti! Hentikan...!"
Terdengar suara keras menggelegar ketika Kemani
sudah lelah dan pasrah. Gadis itu tak melakukan perlawanan lagi, kecuali hanya
menangis. Sangka Ruti terjingkat kaget bagai disengat kala-
jengking. Pemuda ini kaget bukan main. Bahkan, tu-
buh Kemani sampai dicampakkannya. Tubuh itu ter-
guling-guling di tanah, dan ketika terhenti buru-buru Kemani mengambil
pakaiannya yang koyak-koyak.
Dengan bahan seadanya itu dia berusaha menutupi
tubuh telanjangnya.
Sangka Ruti dan Kemani tak merasa kaget ketika
melihat pemilik bentakan. Sosok itu adalah Arya Bua-na atau Dewa Arak. Yang
membuat Sangka Ruti kaget
adalah keberadaan Jagasena di sebelah Dewa Arak.
Dia hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya. Jagasena ternyata tidak mati!
Bahkan kakek itu masih
mampu berdiri, kendati dengan bantuan dua batang
bambu pada ketiaknya!
Sangka Ruti lupa kalau Jagasena seorang ahli pen-
gobatan. Meski racun Sangka Ruti amat mematikan,
kakek itu mampu memunahkannya! Dan kebetulan
pulalah Dewa Arak datang tepat pada waktunya. Arya-
lah yang meminumkan obat pemunah racun, karena
Jagasena sudah tak mampu bergerak. Kakek itu hanya
menunjukkan obat yang harus diambil Arya.
Meski lama tak memunculkan diri, ternyata Jaga-
sena tetap mengamati perkembangan di dunia persila-
tan. Dia segera tahu tengah berhadapan dengan Dewa
Arak ketika pemuda itu muncul. Maka, tanpa ragu-
ragu kakek itu minta tolong. Setelah racun terusir dari tubuhnya.
"Kalimaya alias Bidun Kluwung itu merupakan sela
aji (batu mulia) yang luar biasa. Sayang, telah diambil orang untuk memulihkan
kejantanannya." beritahu Jagasena setelah Dewa Arak menolong dirinya dan
menceritakan mengapa ia bisa sampai berada di tem-
pat ini. Sangka Ruti segera memutar otaknya ketika meli-
hat Arya membawa batang pisang. Dengan batang ta-
naman itu pisau-pisaunya dapat dilumpuhkan. Sang-
ka Ruti tak ingin membuang-buang waktu lagi. Segera dikirimkannya serangannya
dengan enam batang pisau pada Dewa Arak dan Jagasena. Masing-masing
mendapat serangan separuh dari pisau-pisau itu.
Arya bergegas memberikan salah satu gedebong pi-
sangnya pada Jagasena. Dan seperti kejadian yang sudah-sudah, tanpa menemui
kesulitan sedikit pun pi-
sau-pisau itu dilumpuhkan. Sangka Ruti yang me-
mang sudah menduga hal ini merasa gembira bukan
main. Senjata-senjata penangkal itu hanya dapat di-
gunakan satu kali. Kini lawan tak memiliki penangkal lagi. "Sekarang, bersiaplah
kalian untuk menerima kematian,..!" dengus pemuda berpakaian coklat itu.
"Kurasa lebih baik kau tinggalkan tempat ini segera, Kek," beritahu Arya pada
Jagasena dengan ilmu mengirimkan suara dari jauh. "Jumlah banyak tak ada
artinya. Yang penting bagi kita adalah penangkal senjata mengerikan itu!"
"Apa yang kau katakan memang benar, Dewa
Arak," sahut Jagasena. "Tanpa adanya penangkal, lambat laun nyawa kita akan
melayang karenanya.
Aku akan pergi mencari penangkal itu!"
Jagasena melesat meninggalkan tempat itu. Dalam
kecemasan Sangka Ruti akan mengirimkan serangan
dengan pisau mautnya, Jagasena langsung mengerah-
kan seluruh ilmu lari cepatnya. Sangka Ruti hanya bi-sa memaki dalam hati. Dia
tak menduga Jagasena
akan kabur. Cepatnya tindakan kakek itu membuat
Sangka Ruti tak mampu berbuat apa pun untuk men-
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cegahnya. Kemarahan yang melanda membuat Sangka Ruti
segera melemparkan tiga batang pisau pada Dewa
Arak. Arya yang telah mengetahui kedahsyatan pisau-
pisau itu segera mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'
yang menjadi andalannya. Dengan gerak terhuyung-
huyung seperti akan jatuh dan terkadang seperti hendak memapaki serbuan pisau-
pisau, Arya menghadapi
serangan itu. Melihat Dewa Arak kerepotan menghadapi pisau-
pisaunya, Sangka Ruti kembali mengalihkan perhatian pada Kemani. Gadis yang kini
telah berpakaian lagi ini tampak memucat kembali wajahnya. Dengan sikap
ngeri yang terlihat jelas dia bergerak mundur
"Awww...!" jerit Kemani ketika pakaiannya kembali direnggut Sangka Ruti.
Sangka Ruti kemudian dengan napas memburu
melepas pakaiannya. Bagai harimau menerkam mang-
sa, pemuda ini menubruk dan menggeluti tubuh Ke-
mani. Kemani sendiri hanya bisa menjerit dan meron-
ta-ronta. "Sangka Ruti...! Hentikan...!" Bentakan keras menggelegar penuh dengan hawa
kemarahan itu bagai
halilintar di telinga Sangka Ruti dan Kemani. Mereka mengenal pemilik suara itu.
Sangka Ruti segera menggulingkan tubuhnya lalu
bergegas mengenakan pakaian. Kemani sendiri lang-
sung menyambar pakaiannya. Hampir berbarengan
kedua orang ini mengalihkan pandangan ke arah asal
suara. Dan, seperti yang sudah mereka duga, di tem-
pat itu berdiri sesosok tubuh berpakaian serba hitam.
Sapta Renggi! "Sapta Renggi...!" desis Sangka Ruti.
"Sumantri...," desah Kemani penuh harap. Sumantri yang bernama asli Sapta Renggi
adalah saudara seperguruan Sangka Ruti. Keduanya sama-sama menjadi
murid Ulat Emas Pemetik Bunga. Keinginan untuk
mempunyai ilmu yang tak terkalahkan membuat me-
reka rela kehilangan kejantanan. Tentu saja dengan
perhitungan, mereka akan sembuh kembali apabila
menemukan Batu Kalimaya yang mampu menyem-
buhkan penyakit itu.
"Mengapa kau mencampuri urusanku, Renggi...!"
desis Sangka Ruti penuh ancaman.
"Dialah yang telah membunuh ayahku dan dulu
berusaha memperkosaku, Sumantri," beritahu Kemani, sebelum Sapta Renggi
memberikan jawaban.
"Kiranya kalian telah saling mengenal!" ejek Sangka Ruti, "Dan kau pasti telah
terpincuk padanya, Renggi.
Kalau begitu, kau harus mampus!"
"Biadab! Kaulah yang akan kubunuh, Ruti!"
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Sangka Ruti
dan Sapta Renggi menggerakkan tangan mereka.
Sangka Ruti melemparkan sebatang pisau yang memi-
liki kemampuan jauh di atas pisau-pisau lainnya.
Sapta Renggi pun menghunus pedang dan melom-
pat ke arah Sangka Ruti. Ini merupakan keuntungan
bagi Sangka Ruti! Jarak yang cukup jauh membuat dia yang memiliki senjata lempar
berada di atas angin.
Cappp! "Aaakh...!"
Sapta Renggi menjerit memilukan ketika pisau
Sangka Ruti menembus lehernya. Nyawa lelaki ini me-
layang saat itu juga. Kendati demikian, luncuran tu-
buhnya ke arah Sangka Ruti tak terhenti. Bahkan ke-
cepatannya tak berkurang.
Sangka Ruti berusaha untuk mengelak. Tapi, seku-
jur urat-uratnya tak bisa digerakkan sama sekali sinar menyilaukan mata yang
memancar dari batang pedang
Sapta Renggi membuatnya lumpuh!
Blesss! "Aaakh...!"
Sangka Ruti mengeluarkan raungan setinggi langit.
Pedang Sapta Renggi menembus perutnya hingga ke
punggung. Darah muncrat-muncrat bersamaan den-
gan tubuhnya dan Sangka Ruti ke tanah. Pemuda itu
menggelepar sebentar dan tewas dengan tubuh Sapta
Renggi di atasnya.
"Sumantri...!"
Kemani menghambur ke tempat tubuh Sangka Ruti
dan Sapta Renggi berada. Gadis ini merasa terharu sekali dengan pengorbanan yang
diberikan Sapta Renggi.
Sementara itu, seiring dengan tewasnya Sangka
Ruti, pisau-pisau yang tengah berkelebatan mencecar Dewa Arak roboh ke tanah
seakan kehilangan nyawa.
Jatuh begitu saja karena pemiliknya telah tewas.
Dewa Arak, Sendari segera berjalan menghampiri
tubuh dua saudara seperguruan itu. Bahkan, Resi
Druna yang telah bangkit dari semadinya ikut meng-
hampiri. Kakek ini teringat pada tugas semula, menca-ri Batu Kalimaya sebagai
obat untuk menyembuhkan
penyakit Baginda Prabu Mandaraka.
Kakek itu segera memeriksa sekujur pakaian
Sangka Ruti. Tak membutuhkan waktu lama untuk
menemukan apa yang dicarinya. Batu Kalimaya diang-
katnya tinggi-tinggi seperti ingin menunjukkan pada yang lain. Di sebelahnya
Sendari sibuk menghibur
Kemani yang terus menangis. Sementara itu, di kejau-
han Jagasena tampak tengah membawa banyak sekali
gedebong pisang. Dia tidak tahu kalau pertempuran telah berakhir.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Medali Naga 4 Mustika Lidah Naga 3 Raja Silat 10
nya. Dia rupanya merasa tersinggung sekali sehingga ingin membuatku repot.
Syaratnya adalah seperti yang kau alami, Darma. Telah banyak tokoh yang gagal
untuk memaksanya meninggalkan tempatnya, sampai
akhirnya kau datang."
Suasana menjadi hening ketika Resi Druna meng-
hentikan cerita.
Namun, lamunan mereka segera buyar, Resi Druna
tampak mengarahkan pandangan ke satu arah. Sinar
matanya terlihat penuh selidik. Darmakala, Wudani,
Cemong, dan empat prajuritnya mengarahkan pandan-
gan ke arah yang ditatap Resi Druna. Tampak sesosok bayangan berkelebatan cepat menuju ke arah mereka.
Sosok bayangan kuning itu memiliki bentuk tubuh
yang mungil dan ramping. Resi Druna dan pasangan
suami istri Wudani Darmakala mampu melihatnya se-
cara jelas. Sosok kuning itu adalah seorang wanita
muda. Sedangkan Cemong dan empat prajurit lainnya
hanya mampu melihat sosok bayangan kuning berke-
lebatan menuju tempat mereka berada. Bentuk sosok
bayangan kuning itu terlalu samar untuk dapat mere-
ka tangkap. Darmakala dan Wudani melihat dahi Resi Druna
berkernyit dalam. Resi Druna tampaknya tengah di-
landa kebingungan.
"Siapa gadis itu" Mengapa bisa tahu tempat ini"
Jarang ada tokoh persilatan yang melewati daerah ter-pencil ini. Apakah gadis
itu mempunyai hubungan
dengan Sendari?" Resi Druna bertanya-tanya dalam hati.
Gadis berpakaian kuning itu pun telah melihat ke-
beradaan rombongan Resi Druna. Tapi, dia berpura-
pura tak melihat. Ayunan kakinya tak diperlambat
Hanya arah yang ditempuhnya agak dipalingkan, se-
hingga tak melalui tempat berkumpulnya Resi Druna
dan rombongannya.
Tapi, sebelum maksud gadis itu mendaki ke pun-
cak melalui jalur lain terlaksana, Resi Druna telah menggeser kaki. Tubuh kakek
ini melayang dan dalam
sekejapan telah berdiri di tempat yang akan dilalui gadis berpakaian kuning.
Tindakan Resi Druna membuat gadis itu menghen-
tikan ayunan kakinya. Dia berhenti berlari empat tombak dari Resi Druna. Dengan
sepasang matanya yang
bening indah ditatapnya Resi Druna penuh tuntutan.
"Mengapa kau menghalangi jalanku, Kek" Aku tak ingin mencari keributan!" tandas
gadis itu. "Aku tahu, Nona," jawab Resi Druna kalem. "Karena itu kau menempuh jalan yang
tidak melewati ku.
Tapi aku pun tak mau mencari keributan. Aku wajib
tahu maksudmu mendaki puncak gunung ini."
"Harus..."! Si gadis mengerutkan sepasang alisnya yang indah.
"Benar "
"Mengapa" Apakah kau yang mempunyai gunung
ini?" sembur gadis berpakaian kuning.
"Tentu saja bukan, Nona. Tak ada orang yang
mempunyai gunung ini. Tapi...."
"Kalau begitu, apa hakmu melarangku naik ke
puncak" Malah harus tahu apa yang kulakukan di sa-
na"!" selak si gadis cepat dengan nada semakin tinggi.
Resi Druna menggeleng-gelengkan kepala melihat
tingkah gadis itu. Kalau tak memberikan jawaban lebih dulu, gadis itu pasti tak
akan memberikan keterangan.
Maka, diputuskannya untuk mengalah.
"Aku berhak tahu karena gunung ini jarang didatangi orang. Merupakan suatu
keanehan kalau kau
hendak mendaki sampai ke puncak. Tapi, yang lebih
penting lagi karena di atas sana tinggal seorang kawan baikku. Dia tak ingin ada
orang mendatangi tempatnya menyepi"
Sepasang alis gadis berpakaian kuning berkerut
kembali. Rupanya penjelasan Resi Druna menarik ha-
tinya. "Boleh ku tahu kawan baikmu yang tinggal di puncak sana, Kek?"
"Tentu saja, Nona," jawab Resi Druna sambil terke-keh. "Tapi kuharap kau mau
bersikap adil. Aku telah memberikan penjelasan sebab-sebab kau ku cegah
naik ke puncak. Maka, kuharap kau memberikan kete-
rangan mengapa hendak naik ke sana. Setelah itu, aku baru akan menjawab
pertanyaanmu yang kedua. Bagaimana?"
Si gadis tercenung sebentar. Kemudian, kepalanya
dianggukkan. "Cukup adil syarat yang kau ajukan, Kek. Baiklah kuberitahukan. Aku hendak ke
puncak untuk menemui seorang bibi guruku. Dia tinggal di atas sana."
"Boleh ku tahu siapa bibi gurumu?" desak Resi Druna.
"Kau dulu yang harus memberikan keterangan,
Kek. Kau tak boleh mengajukan pertanyaan lagi. Sekarang giliranku. Yang
kutanyakan, siapa kawan baikmu yang tinggal di puncak gunung itu?"
"Namanya Sendari," Resi Druna terpaksa mengalah karena bisa menerima alasan yang
dikemukakan si gadis. Gadis berpakaian kuning terjingkat ke belakang
seperti dipatuk ular berbisa. Wajahnya memperli-
hatkan keterkejutan besar.
"Bibi guruku itu pun bernama Sendari, Kek," ujar gadis berpakaian kuning.
Resi Druna kaget bukan main. Sepasang matanya
membelalak lebar ketika menatap si gadis.
"Bibi gurumu bernama Sendari"! Apakah kau
mempunyai hubungan dengan Raharja?" tanya Resi Druna dengan suara bergetar.
"Kau mengenal ayahku, Kek?" Si gadis malah balas bertanya.
"Mengenal sih, tidak. Tapi Sendari telah bercerita padaku mengenai putri seorang
tokoh persilatan bernama Raharja. Putri yang bernama Kemani itu menjadi muridnya
selama beberapa bulan. Hanya saja Sendari
tak ingin dipanggil guru, sehingga Kemani menyebutnya bibi guru. Kaukah gadis
yang bernama Kemani
itu?" Gadis berpakaian kuning mengangguk.
Resi Durna tersenyum lebar. "Ternyata kita orang sendiri, Kemani. Aku bernama
Durna. Resi Durna. Ini
anggota rombonganku."
Kemudian, Resi Durna menceritakan maksud ke-
datangannya ke tempat ini. Tak lupa diperkenalkannya satu per satu orang-orang
yang bersamanya.
Di saat Resi Durna tengah bercerita, di puncak gu-
nung Sendari tengah sibuk berkemas-kemas. Nenek ini mempunyai banyak hiasan di
dinding pondoknya. Sekarang hiasan-hiasan itu dipindahkan. Dari salah satu
hiasan berbentuk kepala seekor menjangan, dikelua-rkannya gulungan kain dari
kulit binatang.
Sendari membuka gulungan kulit binatang itu.
Tampak coretan-coretan berupa garis, segi tiga, dan tanda silang. Nenek ini
memperhatikannya sebentar
dengan penuh perhatian. Kemudian digulungnya kem-
bali kulit binatang itu.
Sendari menyelipkan gulungan kulit binatang di
selipan pinggangnya. Pada saat yang bersamaan den-
gan terselipnya gulungan kulit binatang tersebut, terdengar suara keras....
Brakkk! *** 5 Daun pintu pondok hancur berkeping-keping. Sen-
dari sampai terjingkat kaget dan mengalihkan perha-
tian ke arah daun pintu. Nenek ini mengibaskan tan-
gan ke sana kemari menepis kepingan-kepingan daun
pintu yang berpentalan tak tentu arah. Beberapa di an-taranya meluruk ke arah
Sendari. Dalam selisih waktu yang demikian singkat, dari
luar pondok tampak sesosok tubuh melangkah masuk
dengan tenangnya. Sendari memperhatikan hampir tak
berkedip. Sosok itu seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun. Pakaiannya
coklat membungkus tubuhnya
yang kekar. Wajahnya cukup tampan. Sayang, air mu-
kanya terlihat dingin tak menggambarkan perasaan
apa pun. "Siapa kau, Sobat"! Sungguh lancang sekali tindakan yang kau lakukan!" sent
Sendari keras penuh kemarahan,
"Siapa adanya aku tak perlu kau tahu, Tua Bang-ka! Yang penting, serahkan
gulungan kain itu padaku!
Atau, kau lebih suka kukirim ke neraka"!" dengus lelaki berpakaian coklat.
"Enak saja kau membuka mulut, Anjing Kurap!
Aku lebih suka mencopot lidahmu dari pada memberi-
kan benda ini!"
Sendari menutup ucapannya dengan sebuah ter-
jangan. Nenek ini tak bertindak setengah-setengah la-gi. Kebutan yang terselip
di pinggang segera dicabutnya. Senjata itu ditusukkan ke arah leher lawan.
Dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi Sendari
mampu membuat bulu kebutan yang lembut menjadi
keras laksana ujung tombak!
Lelaki berpakaian coklat tersenyum sinis. Mulutnya
bergerak meniup. Angin yang keluar membuat bulu-
bulu kebutan kembali melemas. Hampir bersamaan
dengan serangan itu kedua tangannya dihentakkan ke
dada Sendari. Sendari adalah seorang wanita yang keras kepala.
Kenyataan betapa lawan mampu melumpuhkan bulu-
bulu kebutannya telah membuktikan betapa kuat te-
naga dalam lawan. Sifat keras kepalanya mendorong
Sendari untuk tak ragu-ragu memapaki serangan la-
wan berikutnya.
Plakkkk! Bunyi keras terdengar. Dua pasang tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam amat kuat ber-
benturan. Seketika, tubuh kedua pemiliknya terjeng-
kang ke belakang. Si lelaki mampu menjejak tanah
dengan kedua kaki kendati harus melewati pintu pon-
dok. Sendari lebih parah keadaannya. Nenek itu ter-
jengkang dan punggungnya menabrak dinding dengan
keras. Dinding hancur berkeping-keping membawa tu-
buh renta itu keluar pondok.
Sendari bergegas bangkit. Nenek ini langsung ter-
peranjat ketika melihat gulungan kulit binatang yang merupakan peta tempat batu
Kalimaya berada telah
lenyap. Amarah Sendari semakin bergolak. Tanpa per-
lu melihat buktinya lagi, nenek ini tahu kalau lelaki berpakaian coklat telah
mengambil benda miliknya.
Sementara pendatang tak diundang itu tengah di-
amuk kemarahan pula. Sinar matanya tajam berkilat-
kilat. Pakaian luarnya yang berupa rompi segera dis-ingkapkan dengan kedua
tangan ke kanan dan kiri.
Pada bagian dalam rompi terlihat jajaran pisau-pisau putih berkilat. Sendari
sampai terbelalak melihatnya.
"Luar biasa orang ini," pikir istri Resi Druna itu.
"Apakah dia memiliki ilmu melempar pisau yang hebat" Dia sampai menyediakan
tempat khusus di ba-
gian dalam rompinya untuk tempat pisau "
Lelaki berpakaian coklat tersenyum sinis. Dilirik-
nya Sendari sekilas, kemudian dikerlingnya deretan pisaunya.
"Sebenarnya aku tak terlalu ingin membunuhmu,
tapi kau menghendaki lain. Maka, biarlah ku turuti kemauanmu!"
Lelaki itu mencabut sebatang pisau. Kemudian di
lemparkannya ke arah Sendari. Nenek ini tak tinggal diam menerima kematian.
Kebutannya dijadikan menegang kaku dan dipergunakan untuk memapaki
sambaran pisau!
Trakkk! Benturan yang terjadi membuat bulu-bulu kebutan
melemas. Namun pisau lawan terlempar ke belakang.
Sungguh pun begitu Sendari tak bisa berlega hari. Pisau yang terlempar balik itu
tak jatuh ke tanah. Bagai memiliki nyawa. Pisau berbalik dan meluncur kembali ke
arah Sendari. Kali ini bagian yang dituju adalah leher!
Meski terkejut melihat kejadian yang tak disangka-
sangka ini, Sendari tak menjadi gugup. Nenek ini
menggunakan kebutannya untuk menghalau serangan
pisau. Tak repot memang. Tapi ketika lelaki berpa-
kaian coklat menambah jumlah pisaunya, Sendari mu-
lai kelabakan. Istri Resi Druna ini berlari ke sana kemari menye-
lamatkan diri dari tangan-tangan maut yang meluncur ke arahnya. Terlihat
menggelikan betapa nenek itu
tampak sibuk menangkis dan mengelak dari serangan-
serangan pisau yang seperti mempunyai pikiran.
Lelaki berpakaian coklat hanya memperhatikan
dengan senyum sinis tersungging di bibir. "Ingin ku tahu sampai berapa lama kau
dapat bertahan, Peot"!"
guman lelaki itu dalam hati.
Ketika puluhan jurus telah berlalu, gerakan Senda-
ri mulai mengendur. Nenek ini merasa kelelahan. Di samping karena usia tua,
bertarung dengan cara demikian benar-benar menguras tenaga. Tidak hanya le-
lah badan, tapi juga lelah pikiran!
Crattt! "Aaakh...!"
Sendari memekik kesakitan. Salah satu pisau me-
nyayat bahunya. Darah pun merembes keluar dari ku-
lit dan daging yang terkoyak. Sendari terhuyung-
huyung. Saat itu dua pisau lain meluruk ke arahnya.
Pisau yang telah berhasil melukai Sendari meliuk, kemudian mengikuti dua pisau
sebelumnya. Sendari hanya bisa membelalakkan mata lebar-
lebar. Nenek ini ingin mengelak, tapi keadaan sudah tak memungkinkan lagi. Dia
telah terlalu lelah. Sendari hanya bermaksud memapaki apabila pisau-pisau
meluncur dekat.
Sing, sing, singggg!
Zebbb, zeb, zebbb!
Di saat yang amat genting bagi keselamatan Senda-
ri meluncurlah sebatang pohon pisang. Batang tana-
man yang panjangnya hampir satu tombak itu menyela
di antara pisau-pisau dan Sendari. Akibatnya, batang pisang itu yang menjadi
sasaran pisau-pisau lawan.
Pisau-pisau amblas ke batang pisang sampai ke ga-
gangnya. "Keparat!" maki lelaki berpakaian coklat Pandangannya di edarkan berkeliling.
"Siapa yang berani mati mencampuri urusan Sangka Ruti"! Kalau memang jantan,
keluar!" Sendari juga mengedarkan pandangan. Nenek ini
tahu ada seseorang yang telah menolongnya. Dan keti-ka seruan lelaki yang
bernama Sangka Ruti lenyap,
seperti hendak membuktikan ketidak-pengecutannya
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesosok bayangan ungu melesat turun dari atas wu-
wungan rumah! "Sebutkan namamu sebelum kukirim nyawamu ke
neraka, Keparat! Sangka Ruti tak pernah berkeinginan membunuh orang yang tak
terkenal!" sera Sangka Ruti ketika sosok berpakaian ungu telah menjejak tanah.
Sosok berpakaian ungu itu ternyata seorang pe-
muda berwajah tampan. Rambutnya yang panjang dan
berwarna putih keperakan semakin menambah keang-
keran sikapnya. Pemuda ini terlihat tak tersinggung mendapat teguran kasar dari
Sangka Ruti. Sikapnya
tetap tenang, memperlihatkan kematangan diri.
"Namaku Arya Buana. Panggil saja Arya," beri tahu pemuda berambut putih
keperakan. Baik Sangka Ruti maupun Sendari tak tampak ka-
get mendengar nama Arya Buana. Bahkan andaikata
pemuda ini memperkenalkan julukannya, kedua pen-
dengarnya itu tak akan kaget. Baik Sangka Ruti mau-
pun Sendari belum pernah mendengar julukan itu.
Yang satu karena terlalu lama mengeram diri. Sedangkan yang lain karena belum
lama menampakkan diri
ke dunia persilatan!
"Terimalah kematianmu, Anjing Kurap!"
Sangka Ruti yang tengah dilanda kemarahan tak
tanggung-tanggung lagi dalam melancarkan serangan.
Lima batang pisaunya di lemparkan pada Dewa Arak!
Padahal, tiga batang pisau saja telah cukup untuk
membuat Sendari hampir kehilangan nyawa.
Dewa Arak tak berani bertindak gegabah. Pemuda
ini telah tahu keluarbiasaan pisau-pisau milik Sangka Ruti. Arya telah lama
memperhatikan pertempuran
Sendari dengan pisau-pisau sebelum menemukan cara
yang tepat untuk menolongnya.
Memang, sejak Sangka Ruti melesat menuju pon-
dok untuk kemudian menghancurkan daun pintu, De-
wa Arak telah menaruh curiga. Arya mengenal Sangka
Ruti sebagai pemuda yang mencoba keampuhan ilmu
'Mata Dewa' Darmakala. Arya khawatir Sangka Ruti
bermaksud kurang baik terhadap si nenek. Begitu
daun pintu dihancurkan Sangka Ruti, Dewa Arak ber-
gegas turun dari pohon dan melesat ke arah pondok
Sendari. Maka, ketika melihat Sangka Ruti mulai memper-
gunakan senjatanya yang luar biasa, Dewa Arak den-
gan cara yang tak kalah luar biasa mengambil batang-batang pisang kemudian
diletakkannya di atas atap
pondok. Dewa Arak hanya melambaikan tangan seperti ten-
gah memanggil seseorang. Sesaat kemudian, sebatang
gedebong pisang berukuran satu tombak telah berada
di genggaman tangannya. Dengan batang pisang ini
Dewa Arak menghadapi serbuan lima batang pisau.
Menurut perkiraan Dewa Arak, hanya dalam bebe-
rapa gebrakan saja pisau-pisau Sangka Ruti akan da-
pat dilumpuhkan. Tapi, pemuda ini ternyata salah ter-ka. Pisau-pisau seperti
benar-benar mempunyai piki-
ran. Setiap kali Dewa Arak memapaki serangan agar
pisau-pisau itu amblas ke batang pisang, usahanya selalu gagal. Benturan yang
terjadi membuat pisau-pisau terpental ke belakang hingga tak menancap pada
batang pisang. Belasan jurus tindakan itu dilakukan. Dewa Arak
menjadi penasaran. Pemuda ini merasa dipermainkan.
Lawan yang dihadapinya padahal hanya senjata yang
berupa benda mati. Tapi, dia tidak mampu mengata-
sinya. Amarah yang timbul membuat Dewa Arak men-
gambil tindakan lain. Ketika untuk kesekian kalinya lima batang pisau meluncur
ke arahnya, Dewa Arak
mendorongkan tapak tangan kanannya yang terbuka.
Deru angin keluar dan meluncur dengan kuat bukan
main, laju lima batang pisau itu langsung tertahan. Pisau-pisau berhenti di
tengah Jalan! Saat ini yang memang ditunggu-tunggu Dewa Arak.
Tangan kirinya yang memegang gedebong pisang di-
ayunkan menghantam pisau-pisau yang tengah terta-
han di udara. Zeb, zeb, zeb....
Lima batang pisau itu langsung amblas ke dalam
gedebong pisang. Arya kemudian membanting batang
pisang karena sudah tak diperlukan lagi.
Sangka Ruti menatap Dewa Arak dengan sepasang
mata seperti mengeluarkan api. Lelaki ini tak melakukan tindakan apa pun. Dia
hanya mengarahkan pan-
dangan berganti-ganti pada Dewa Arak dan pisau-
pisaunya yang masih tersisa di bagian dalam rompi.
Dewa Arak dan Sendari menunggu tindakan Sang-
ka Ruti selanjutnya. Lelaki berpakaian coklat itu tampaknya merasa bimbang untuk
melancarkan serangan.
Cukup lama Sangka Ruti tenggelam dalam alun ke-
bimbangan. Tapi, akhirnya sebuah keputusan diam-
bilnya. Tanpa banyak bicara tubuhnya dibalikkan, lalu secepat kilat kakinya
diayunkan meninggalkan tempat itu. Sungguh pun demikian, Sangka Ruti masih
sempat meninggalkan ancaman lewat sorot matanya pada
Dewa Arak dan Sendari.
Dewa Arak dan Sendari tak mencegah kepergian
Sangka Ruti. Sendari tak berani bertindak gegabah karena menyadari kelebihan
Sangka Ruti dibanding di-
rinya. Sedangkan Dewa Arak, dia tak mempunyai uru-
san dengan lelaki itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Arya. Kau telah menyelamatkan nyawaku hingga
esok masih bisa melihat munculnya sang surya dan merasakan kehanga-
tan sinarnya," ujar Sendari seraya menatap Dewa Arak dengan pandangan penuh rasa
terima kasih. "Lupakanlah, Nek. Keberadaanku di sini hanya karena ketidaksengajaan. Aku
berjalan mengikuti ke ma-
na ayunan kakiku menuju. Dan aku yakin ini merupa-
kan kehendak Allah. Maka, lebih baik kalau kita bersyukur pada Nya," kilah Arya.
"Apa yang kau katakan memang benar, Arya. Kalau saja tak terjepit waktu dan
kesempatan, aku suka sekali berbincang-bincang denganmu. Tapi sayang, ba-
nyak orang yang telah menantikan kehadiranku. Aku
tak bisa berlama-lama di sini. Atau, kau ingin ikut bersamaku?"
Arya menggelengkan kepala. Pemuda ini dapat me-
rasakan adanya keraguan dalam ajakan Sendari. Aja-
kan itu tak keluar dari hati yang tulus, melainkan karena basa-basi. Arya
menghibur diri dengan beranggapan kalau si nenek tengah mempunyai masalah priba-
di. "Kebetulan aku tengah ingin menyendiri, Nek.
Mungkin aku akan tinggal di tempat ini beberapa wak-tu, lamanya. Tempat ini
kelihatannya jarang disinggahi orang."
"Kalau itu memang sudah keputusanmu, apa boleh buat?" kilah Sendari. "Kalau kau
mau, kau bisa tinggal di pondokku. Selamat tinggal, Arya."
"Selamat jalan, Nek," balas Arya.
*** "Kau yakin bukit itu yang dimaksud dalam petamu
yang hilang, Sendari?"
Pertanyaan itu dilontarkan Resi Druna. Kakek ini
bersama istrinya, Darmakala, Wudani dan Kemani,
berdiri di atas gundukan batu yang menjulang tinggi di kaki gunung. Pandang mata
mereka ditujukan ke arah
sebuah bukit beberapa puluh tombak di depan mere-
ka. Panjang dan lebar bukit itu belasan tombak. Ba-
gian bawahnya besar. Semakin ke atas semakin kecil, mirip segi tiga sama sisi.
Tinggi bukit kira-kira lima puluh tombak. Pada ketinggian sekitar dua puluh lima
tombak dari tanah terlihat sebuah lubang yang gelap dan pekat. Tampaknya lubang
itu adalah gua yang cukup besar.
"Aku tak yakin, Kak Druna," Sendari merubah panggilan pada suaminya. "Tapi,
kurasa tak ada salahnya kalau kita mencoba. Toh, hal itu tak akan me-rugikan.
Hhh...! Kalau ku tahu akan ada orang yang merampas gulungan peta itu, tentu akan
kuperhatikan baik-baik semua tanda-tanda yang ada. Bahkan kalau
mungkin akan ku hafalkan. Sayang...,"
"Kau kan sempat melihatnya lagi sebelum menye-
lipkannya di pinggang, Bi?" cetus Kemani setengah mengingatkan.
Tidak hanya Kemani yang mengetahui hal itu, tapi
semua anggota rombongan. Sendari telah mencerita-
kan sebelumnya. Dan sekarang mereka semua me-
nunggu jawaban Sendari.
"Memang. Tapi hanya sekilas. Tanda-tanda yang
ada mirip dengan keadaan di tempat ini. Aku separuh yakin kalau tempat inilah
yang dimaksud dalam peta."
"Kalau begitu tunggu apa lagi, Bibi" Kita satroni sa-ja tempat itu. Kalau yang
lain tak setuju, biar mereka menunggu di sini. Aku bersedia menemanimu naik ke
atas sana!" cetus Kemani berapi-api.
"Kau jangan salah mengerti, Kemani," bantah Resi Druna. "Bukannya kami tak
membuktikan kebenaran keterangan Sendari. Tapi, aku khawatir dengan sikap coba-
coba itu. Bukan tak mungkin gua yang akan kita masuki merupakan tempat tinggal
tokoh persilatan
yang mengasingkan diri. Kedatangan kita beramai-
ramai akan mengganggunya," jelas Resi Druna.
"Mengapa kau jadi seperti anak kecil, Kek. Berikan dia alasan apa saja. Kalau
dia tak menerima, aku tak akan terlalu bodoh untuk menempurnya!" tandas Kemani
penuh semangat Resi Druna, Sendari, Darmakala, dan Wudani ter-
senyum simpul melihat semangat Kemani. Mereka tak
merasa tersinggung mendengar perkataan gadis itu.
Kemani hanya terlalu menuruti perasaan, bukan se-
dang mengejek kehati-hatian mereka.
Resi Druna mengerling ke arah Sendari, Darmaka-
la, dan Wudani. "Kurasa tidak ada salahnya kalau kita mencoba usul, Kemani.
Sebuah usul yang cukup baik,"
ujarnya kemudian.
Persetujuan Resi Druna semakin menambah se-
mangat Kemani. Gadis yang memiliki keberanian besar ini segera melesat
mendahului yang lainnya. Kakinya yang mungil dan berbentuk bagus beberapa kali
meno-tol bebatuan untuk segera sampai di depan gua. Pada bagian depan gua
terdapat bagian batu yang menjorok, panjangnya sekitar setengah tombak. Di
bagian inilah Kemani mendaratkan ke dua kakinya.
"Monyet dari mana berani mati mengganggu ketenangan ku"!"
Seiring terdengarnya bentakan itu, serentetan an-
gin berpusar menyerbu Kemani. Gadis ini buru-buru
menjulurkan kedua tangannya. Dilancarkannya do-
rongan angin pukulan untuk menangkal serangan
yang datang. "Uhkh...!"
Perlawanan Kemani kandas di tengah jalan. Angin
pukulannya lenyap begitu saja. Serangan yang datang secara berputar seperti
menelan angin pukulan Kemani. Dan, serangan itu terus meluncur ke arah si gadis
dengan kedahsyatan yang tidak berkurang. Kemani
tampak terperanjat bukan main.
Kemani tak ingin nyawanya melayang begitu saja.
Dia berusaha melompat untuk menghindari serangan
lawan. Tapi, serasa terbang semangat gadis ini ketika mengetahui sekujur otot
dan urat-uratnya terasa lemas. Nyawanya kini bagai telur di ujung tanduk. Dia
tak bisa melompat atau mengelak.
Namun Kemani memiliki otak yang cukup cerdik.
Dia berpikir cepat untuk menyelamatkan nyawanya.
Kemani mengikuti keadaan tubuhnya yang sudah tak
berdaya. Karena untuk melompat merupakan hal yang
tak mungkin, gadis ini menjatuhkan diri mengikuti le-masnya tubuhnya.
Usaha Kemani ternyata tak berhasil mulus. Jatuh
tubuhnya terlalu lambat. Angin yang bergerak berpu-
tar tetap menghantamnya, meski hanya mengenai ba-
hu kiri. Ternyata akibatnya tetap dahsyat. Tubuh Kemani terpental ke belakang
dalam keadaan berputar.
Dari mulut gadis ini menyembur darah segar. Dan ka-
rena tempat di belakang Kemani tak ada yang dapat dijadikan tempat berpijak,
tubuhnya melayang ke bawah dalam keadaan berputar.
"Kemani...!"
Sendari memekik keras melihat keadaan Kemani.
Nenek ini memang belum bergerak dari tempatnya.
Hanya Resi Druna yang sudah melesat menyusul Ke-
mani. Kakek itu pun tak mampu berbuat sesuatu un-
tuk menolong Kemani. Semua kejadian itu berlang-
sung demikian cepat.
"Tak seorang pun boleh hidup setelah berani menginjak tempat kediamanku!"
Seruan keras itu berasal dari dalam gua. Disusul
dengan meluncurnya benda-benda kekuningan yang
meluncur mengikuti tubuh Kemani.
Pada saat itulah Resi Druna menjejakkan kaki di
depan gua. Tepat pada saat benda-benda kekuningan
telah jauh melewati mulut gua. Resi Druna menjadi
bimbang sejenak.
"Haruskah kutolong Kemani lebih dulu?" pikir kakek berjubah kuning ini.
Sebelum Resi Druna sempat melaksanakan mak-
sudnya, dari dalam gua bertiup angin keras yang me-
luncur secara berputar ke arahnya. Resi Druna kem-
bali menjadi bimbang. Kakek ini khawatir kalau me-
nyelamatkan Kemani lebih dulu dirinya tak akan
mempunyai kesempatan menghadapi serangan lawan.
Kebimbangan Resi Druna sirna ketika melihat Sen-
dari telah bertindak cepat Nenek itu meloloskan sabuk dan melemparkannya ke arah
Kemani. Tanpa membuang-buang waktu lagi Resi Druna segera memapaki
serangan dari dalam gua. Dilontarkannya pukulan ja-
rak jauh dengan seluruh pengerahan tenaga dalamnya.
Resi Druna yang telah kenyang pengalaman sece-
pat dapat mengetahui keanehan serangan lawan. Ma-
ka, dia pun melancarkan pukulan jarak jauh yang
mengandung pusaran angin.
Blarrrr! Bunyi keras terdengar ketika dua pukulan jarak
jauh berbenturan di tengah jalan. Tubuh Resi Druna
terpental ke belakang dalam keadaan berputar. Kakek ini terkejut bukan main
merasakan sekujur ototnya
seperti lumpuh. Dadanya juga terasa sesak. Sadarlah ia kalau pemilik serangan
dari dalam gua memiliki tenaga dalam amat kuat!
Pada saat yang bersamaan dengan terlemparnya
tubuh Resi Druna, sabuk Sendari melilit sekujur tu-
buh Kemani dan membawanya ke arah pemiliknya.
Benda-benda kekuningan itu pun meluncur lewat tan-
pa mendapatkan sasaran.
Tubuh Kemani yang terbelit sabuk jatuh di tangan
Sendari yang sudah bersiap menyambutnya. Sekeja-
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pan kemudian, menyusul Resi Druna yang menjejak-
kan kedua kaki di tanah.
Kakek berjubah kuning itu berhasil mendarat den-
gan mantap. Tapi, parasnya masih menampakkan ke-
terkejutan besar. Cepat pandangannya dialihkan ke
arah Sendari yang telah menurunkan tubuh Kemani
dan membebaskannya dari belitan sabuk.
"Orang yang berada di dalam gua memiliki kepandaian amat tinggi. Tenaga dalamnya
kuat bukan main," beritahu Resi Druna.
"Mudah-mudahan saja hanya tenaga dalamnya
yang dahsyat, tapi kepandaiannya tak terlalu tinggi,"
timpal Sendari setengah berharap.
Baru saja Sendari selesai berbicara, dari dalam gua melesat sesosok bayangan
kuning. Gerakannya cepat
bukan main sehingga bentuk tubuhnya tak terlihat jelas. Yang tampak hanya
sekelebatan bayangan kuning.
Sekejapan saja, sosok bayangan kuning telah bera-
da di depan rombongan Resi Druna. Sosok itu berdiri dalam jarak beberapa tombak.
Kini rombongan Resi
Druna bisa memperhatikan sosok kuning itu secara jelas.
*** 6 Sosok kuning itu ternyata seorang kakek berusia
delapan puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus dengan
kumis panjang menjuntai ke bawah mirip kumis tikus.
Pakaian kuning membungkus sekujur tubuhnya.
Kakek berpakaian kuning berdiri dengan memper-
gunakan dua batang tongkat yang dikempitkan di ke-
tiak. Kedua tongkat kakek itu lebih panjang dari kakinya, sehingga kedua telapak
kakinya menggantung
tak menyentuh tanah. Ditatapnya wajah rombongan
Resi Durna satu per satu. Resi Druna, Sendari, Dar-
makala serta Wudani segera tahu kalau kedua kaki si kakek lumpuh! Kedua batang
tongkat di pergunakan
untuk menopang berdirinya.
"Maafkan kalau kami membuat ketenanganmu ter-
ganggu, Sobat. Tapi, percayalah. Kami tak bermaksud jahat. Kedatangan kami ke
sini tak bermaksud meng-ganggumu. Sekali lagi kami mohon maaf."
Kakek berpakaian kuning menatap Resi Durna. Ti-
dak ada keramahan sedikit pun pada paras mau pun
sorot matanya. "Tidak ada maaf bagi orang yang berani menggang-gu ketenangan ku!" tandas kakek
berpakaian kuning.
"Sombong!" bentak Sendari yang mempunyai watak tak sabaran. Nenek ini merasa
tersinggung melihat sikap kakek lumpuh. "Kau kira kami takut padamu" Ingin ku
tahu sampai di mana kepandaianmu sehingga
berani bersikap sesombong ini!"
Resi Durna segera menggamit lengan Sendari yang
sudah melangkah maju. Tindakan Sendari dianggap-
nya terlalu menuruti amarah. Tapi, Sendari menyen-
takkan tangan suaminya hingga lepas dari cekalan.
Tanpa mempedulikan Resi Durna lagi dia melom-
pat, menerjang lawan. Nenek ini meski telah tua dan kelihatan lemah ternyata
memiliki kegesitan luar biasa. Dilancarkannya serangan bertubi-tubi dengan
mempergunakan kedua kaki.
Kakek berpakaian kuning mendengus. Tampaknya
dia meremehkan serangan Sendari. Dengan kedua
tongkat terkepit di ketiak di elakkannya tendangan lawan yang bertubi-tubi.
Bagai memiliki kaki yang wajar kakek ini berlompatan ke sana kemari.
Sampai beberapa jurus Sendari mengirimkan se-
rangan dengan kedua kakinya. Tapi, semua serangan
itu tak satu pun mengenai sasaran. Sendari semakin
kalap. Di jurus ke tujuh belas nenek ini mengirimkan gedoran kedua tangan ke
arah dada. Kali ini kakek
lumpuh tak berusaha mengelak. Dia malah melakukan
hal yang sama dengan lawan.
Blarrr! Sendari mengeluarkan jeritan tertahan. Kedua tan-
gannya berbenturan dengan kedua tangan lawan. Tu-
buhnya melayang deras ke belakang bagai daun kering diterbangkan angin. Sekujur
tangan Sendari terasa
lumpuh. Kakek berpakaian kuning hanya bergoyang-
goyang tubuhnya. Padahal, kakek ini berdiri dengan
kedua tongkat Resi Druna tak bisa menahan sabar lagi. Betapa-
pun antara dirinya dengan istrinya masih terdapat
ganjalan, penghinaan terhadap Sendari sama artinya
dengan menghina dirinya.
"Tidak patut seorang lelaki menghadapi perem-
puan. Hadapi aku! Kita buktikan siapa yang lebih patut untuk disebut lelaki!"
Diawali pekikan melengking Resi Druna menyo-
dokkan tongkatnya ke arah dada si kakek. Tongkat Re-si Druna besar dan berat.
Jangankan dada manusia
yang terdiri dari tulang dan daging, batu karang yang paling keras pun akan
hancur terkena sodokannya.
Kakek berpakaian kuning tidak bergeming dari
tempatnya. Baru ketika serangan menyambar dekat
kakek ini bertindak cepat. Tongkat itu dijepitnya dengan kedua telapak tangan
yang disatukan.
Tappp! Ujung tongkat Resi Druna berhenti beberapa jari
dari sasaran. Resi Druna tak mau mengalah. Dikerah-
kan seluruh tenaga dalamnya pada kedua tangan, lalu disalurkan pada tongkat
Tapi maksud Resi Druna tak terkabul. Tongkatnya
tak bergeming sedikit pun dari jepitan kedua tangan kakek berpakaian kuning.
Betapapun Resi Druna berusaha keras sampai wajahnya merah padam, tongkat
tak bergerak maju sedikit pun.
Resi Druna segera sadar usahanya akan berakhir
sia-sia. Buru-buru digantinya cara lain. Sekarang dia tak lagi berusaha
mendorong, melainkan menariknya.
Namun seperti juga sebelumnya, usahanya kali ini pun tak membuahkan hasil.
"Akan kau dapati suatu kenyataan kalau kau ternyata bukan seorang lelaki!"
dengus kakek berpakaian kuning.
Bukan hanya Resi Druna saja yang terkejut men-
dengar ucapan kakek itu. Darmakala, Wudani, dan
Sendari pun dilanda perasaan sama. Sendari telah
berhasil menjejak tanah, meski agak terhuyung-
huyung, sebelum Resi Druna terlibat pertarungan dengan kakek berpakaian kuning.
Tokoh-tokoh itu terkejut karena tahu betapa ber-
bahayanya berbicara di saat tengah mengadu tenaga
dalam. Hal itu akan mengakibatkan aliran tenaga da-
lam menghantam si pembicara tak hanya dari aliran
tenaga dalam lawan, tapi juga dari tenaga dalamnya
sendiri yang membalik. Tapi, kenyataannya kakek berpakaian kuning mampu
melakukan tanpa mengalami
akibat apa pun.
Belum lagi hilang keterkejutan yang melanda, Resi
Druna menerima keterkejutan. Tenaga dalamnya men-
galir dengan deras ke arah lawan. Resi Druna tentu sa-ja tak menginginkan hal
itu terjadi. Nyawanya akan
melayang karena kehabisan tenaga
Ketika semua itu berlangsung Sendari melihat sua-
tu keanehan. "Tidak salahkah penglihatanku"!" pikir Sendari,
"Bukankah itu ilmu 'Ulat Sutera'. Ilmu yang hanya dimiliki oleh Ulat Emas
Pemetik Bunga."
Sementara itu, di tempat lain di bagian lereng gu-
nung seorang pemuda berpakaian coklat berlari-lari
hendak mendaki ke puncak. Wajahnya kelihatan din-
gin seperti tak menampakkan perasaan apa pun. Di-
alah Sangka Ruti.
Sesampainya di puncak Sangka Ruti mendapati
sebuah pondok sederhana, berdinding bilik dan bera-
tapkan rumbia. Pondok itu mempunyai lantai pang-
gung yang disangga kayu bulat dan besar setinggi setengah tombak di keempat
sudutnya. Lantai pondok
dari papan dan mempunyai pendapa yang luas. Tak
terlihat ada seseorang di sana.
Kendati demikian, Sangka Ruti tahu pasti di dalam
pondok itu ada penghuninya. Dari celah-celah jendela dan pintu dilihatnya asap
mengepul. Bau khas ramuan obat-obatan menyebar. Pondok itu memang merupakan
tempat tinggal seorang kakek yang terkenal sebagai ahli pengobatan.
Sangka Ruti melompat ke atas dan mendarat di
lantai papan tanpa bunyi sedikit pun. Dengan berjingkat-jingkat ringan
didekatinya daun pintu. Pendengarannya dipasang setajam mungkin agar dapat men-
dengar bunyi sekecil apa pun.
"Kurasa sudah cukup, Kisanak. Minumkan saja
ramuan itu. Aku yakin dia akan segera sembuh."
Ucapan itu membuat Sangka Ruti tahu kalau pe-
milik pondok tengah menerima tamu. Hal itu tak men-
gejutkannya. Orang yang akan dijumpainya memang
banyak didatangi orang untuk dimintai pertolongan.
Tapi kelanjutan ucapan yang sangat mengejutkan lela-ki berpakaian coklat ini.
"Maaf, kalau aku seperti kurang sopan. Tampaknya masih ada orang yang ingin
menjumpai ku. Dan orang
itu tak ingin kedatangannya kuketahui...."
Sangka Ruti seperti menerima hantaman keras pa-
da dadanya. Ucapan itu merupakan pertanda kedatan-
gannya telah di ketahui. Padahal, hampir seluruh ilmu meringankan tubuhnya telah
dikerahkan. "Wahai orang yang berada di luar, tak usah ragu-ragu. Silakan masuk...!" seru
suara dari dalam pondok, lantang dan bernada tenang.
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu, daun
pintu pondok bergerak membuka. Tapi, tak ada seo-
rang pun berada di balik pintu. Daun pintu itu bergerak sendiri! Dan ketika
seluruh daun pintu telah ter-kuak, terlihatlah oleh Sangka Ruti apa yang berada
di dalam ruangan.
Ruangan di dalam pondok ternyata cukup luas.
Apalagi karena hampir tidak ada perabotan yang berar-ti di sana. Hanya sebuah
balai-balai bambu dan se-
buah kursi sederhana. Di atas balai duduk bersila seorang kakek bertubuh tinggi
besar. Sekujur tubuhnya
dipenuhi urat-urat yang melingkar. Wajahnya persegi dan ditumbuhi bulu-bulu
hitam lebat. Tak hanya kumis, tapi juga cambang dan jenggot. Pakaian abu-abu
yang serba kebesaran membungkus tubuh si kakek.
Sangka Ruti berdiri angkuh di ambang pintu. Ma-
tanya yang memiliki sorot dingin memandang kakek
pemilik pondok.
"Ada yang bisa kubantu, Anak Muda" Apakah ada
di antara anggota keluargamu yang sakit" Kulihat kau tak sedang menderita suatu
penyakit. Kalau dugaanku benar, tak usah ragu-ragu untuk mengatakannya,"
ujar kakek berpakaian abu-abu dengan suara lembut
Tanggapan Sangka Ruti adalah dengusan mengejek
"Tak usah berpura-pura, Tua Bangka! Orang lain boleh kau bohongi. Tapi, jangan
harap kau dapat melakukan hal itu pada Sangka Ruti!"
Wajah kakek tinggi besar langsung berubah hebat.
Tapi, hanya sekilas. Yang tampak kemudian adalah bi-as kebingungan di wajahnya.
"A... apa maksudmu, Ruti"!" tanya si kakek tanpa menyembunyikan perasaan heran
yang melanda. "Maksudku sudah jelas, Tua Bangka!" sahut Sangka Ruti dengan senyum sinis
tersungging di bibir. "Kau sebenarnya bukan tukang obat! Kau adalah tokoh
persilatan yang memiliki kepandaian lumayan. Kau bera-
lih menjadi tukang obat karena sikap pengecut mu.
Seekor anjing kudisan masih lebih baik dari pada kau!"
Kakek tinggi besar menampakkan kemarahan he-
bat pada sepasang matanya. Ucapan Sangka Ruti san-
gat menyinggung harga dirinya. Tapi, rupanya dia segera dapat menguasai diri.
"Akhirnya apa yang kuramalkan terjadi juga," ucap kakek itu dengan sikap dan
suara tenang. "Memang, betapapun rapinya menyembunyikan barang busuk
akhirnya baunya akan menyebar juga."
"Dengan kata lain, kau mengakui kalau selama ini telah bersikap pengecut untuk
menyelamatkan nyawamu, Tua Bangka Licik!"
"Tak ku sangkal kebenaran ucapanmu itu, Anak Muda. Tapi perlu kau ketahui,
setiap orang mempu-
nyai rasa takut. Apabila rasa takut itu muncul, akal sehat akan kehilangan
kegunaannya dan tindakan
yang tak wajar pun dilakukan. Harus kuakui kalau
aku pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama."
"Aku tak butuh pembelaan dirimu, Tua Bangka!"
sembur Sangka Ruti, kasar. "Yang kuinginkan adalah pengakuanmu! Aku ingin tahu
apakah kau masih bersikap pengecut?"
"Tak usah membakar-bakar harga diriku dengan
ucapan seperti itu, Anak Muda. Katakan saja apa yang kau inginkan!"
"Bagus kalau demikian!" dengus Sangka Ruti. "Sekarang katakan siapa kau
sebenarnya"!"
Kakek tinggi besar tidak segera menjawab. Dia ma-
lah tersenyum. Kemudian, tanpa menggerakkan tubuh
atau kaki kakek ini mampu membuat tubuhnya me-
layang naik ke atas dalam keadaan masih duduk bersi-la! Sangka Ruti hanya
mencibirkan bibir melihat per-buatan kakek itu. Baginya hal seperti itu bukan
merupakan sesuatu yang luar biasa. Dia sendiri mampu
melakukannya. Kerutan di atas Sangka Ruti mulai tercipta ketika
melihat kelanjutan tindakan si kakek. Balai-balai
bambu tempatnya duduk tadi bergeser ke arah Sangka
Ruti. Pemuda berpakaian coklat itu hampir tak per-
caya. Balai-balai bambu bagai memiliki roda. Terlihat jelas kaki-kaki balai
bergesekan dengan lantai, tapi tak terdengar bunyi apa pun.
Sangka Ruti bersikap waspada. Pemuda ini bersiap
menghadapi segala kemungkinan yang tak diharapkan.
Bukan tak mungkin balai-balai bambu itu diperguna-
kan menyerangnya. Namun, kekhawatirannya ternyata
tak beralasan. Balai-balai bambu berhenti bergeser be-
berapa jengkal darinya.
Pada saat yang bersamaan kakek tinggi besar me-
nurunkan kedua kakinya. Sekarang kakek itu berdiri
di lantai seraya menatap Sangka Ruti dengan penuh
selidik. "Sebenarnya..., jika menuruti aturan sudah sepan-tasnya kau kuberikan hukuman,
Anak Muda. Kau da-
tang tanpa kuundang. Menghinaku dan bahkan berani
menanyakan siapa diriku sebenarnya. Apa hakmu atas
semua itu"!" ujar kakek tinggi besar berapi-api.
"Aku memang tak berhak! Tapi orang yang menjadi guruku amat berhak. Dan, guruku
telah menyerahkan
haknya kepadaku!"
"Siapa gurumu?"
"Aku akan menyebutkannya, Tua Bangka! Tapi, sebelum itu biar ku terka dulu siapa
adanya dirimu. Bukankah kau orang yang dulu bernama Jagasena"!"
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah kakek tinggi besar beriak hebat. Terkaan
Sangka Ruti rupanya mengenai sasaran dengan tepat.
"Apakah kau terlalu pengecut sehingga tak berani mengakui namamu sendiri,
Jagasena"!" ejek Sangka Ruti.
"Siapa yang hendak menyangkal, Anak Muda" Mu-
lutmu terlalu lancang! Aku memang Jagasena! Seka-
rang, apa kehendakmu"!"
"Kurasa, aku tak perlu menjelaskannya padamu,
Jagasena," sahut Sangka Ruti, ringan. "Kau kenal benda ini?"
Jagasena mengalihkan pandangan ke arah benda
yang diangsurkan Sangka Ruti. Sebuah benda dari lo-
gam kekuningan yang berbentuk seperti ulat bulu!
Benda itu di ambil Sangka Ruti dari balik bajunya.
Sepasang mata Jagasena membelalak lebar seperti
hendak melompat keluar dari rongganya. Kakek ini
kenal betul dengan benda di tangan Sangka Ruti.
"Bagaimana, Jagasena" Kurasa sudah cukup ba-
gimu untuk mengenali benda ini, bukan"! ucap Sang-
ka Ruti seraya memasukkan kembali logam kuning itu
ke balik bajunya. "Dan, kurasa kau sudah tahu siapa guruku?"
Jagasena hanya tersenyum pahit. Senyum kakek
itu mempunyai arti yang sama dengan anggukan kepa-
la. "Sekarang, kurasa kau tahu maksud kedatanganku menjumpai mu. Aku membutuhkan
waktu berbulan-bulan untuk mengetahui di mana kau bersembunyi.
Kini sudah tiba waktunya bagimu untuk menerima sa-
kit hati guruku!"
"Mengapa harus kau yang diutusnya"! Kau masih, muda dan berilmu mentah. Kurasa
lebih baik kalau
gurumu sendiri yang menemuiku dan mengurus per-
soalan lama itu.. Akan terlihat lebih adil dan seimbang.
Tua sama tua!"
"Menghadapi orang seperti kau tak perlu guruku.
Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk melepaskan nyawamu!" sesumbar Sangka
Ruti. Sangka Ruti tak menunggu lebih lama. Dia melom-
pat ke arah Jagasena laksana harimau menerkam ca-
lon korbannya. Kedua tangannya terkembang mem-
bentuk cakar dan meluncur ke arah dada dan leher
Jagasena. Jagasena hanya tersenyum, sikapnya terlihat seba-
gaimana orang dewasa menghadapi anak kecil. Kaki
kanannya lalu dijejakkan sekali ke tanah. Tiba-tiba balai-balai bambu terangkat
ke atas secara cepat
Sangka Ruti meraung keras, geram melihat balai-
balai bambu menghalangi serangannya. Naiknya balai-
balai memaksa Sangka Ruti bersalto beberapa kali di
udara. Kalau hal itu tak dilakukannya, balai-balai
bambu itu yang akan diterjangnya.
"Gerakan yang lumayan...," puji Jagasena melihat kelincahan gerak Sangka Ruti.
*** 7 Pujian Jagasena memang tidak berlebihan. Sangka
Ruti luar biasa lihai. Meski telah terhambat balai-balai bambu, serangannya tak
menjadi pupus. Sambil melompat melewati balai-balai dilancarkannya serangan
lanjutan. Jagasena terlihat segan bertarung sungguh-
sungguh. Tangannya dikibaskan seperti orang mengu-
sir lalat. Sesaat kemudian, balai-balai bambu me-
layang ke arahnya. Jagasena mengulurkan tangan me-
nangkap salah satu kaki balai-balai. Bersamaan den-
gan itu serangan Sangka Ruti meluncur tiba. Jagasena mengayunkan tangannya.
Balai-balai bambu pun bergerak menyampok Sangka Ruti.
Jagasena tersenyum dikulum. Sekali lihat saja dia
tahu kalau untuk mengelak bagi Sangka Ruti sangat
mustahil! Memang dapat dilakukan, tapi kemungkinan
besar akan terkena hantaman balai-balai.
Ternyata Sangka Ruti pun memperhitungkan hal
demikian. Kesempatan baginya untuk mengelak sangat
terbatas. Kendati demikian, Sangka Ruti benar-benar memiliki ketenangan yang
mengagumkan! Dan karena
ketenangannya itulah dia dapat berpikir.
Sangka Ruti membatalkan serangan dan menggan-
tinya dengan tangkisan ke arah balai-balai. Jagasena
sempat terkejut melihat tindakan Sangka Ruti. Lawannya itu pasti bisa
memperkirakan tenaga yang terkandung dalam serangannya. Lagi pula, tangkisan
yang dilakukan tak terlalu tepat karena kedudukan Sangka Ruti sudah terlalu maju.
Tangkisan yang dilakukan
akan membuat bahu pemuda itu terhantam ujung ba-
lai! "Pemuda ini hanya melakukan perintah gurunya.
Usianya pun masih sangat muda. Rasanya agak keter-
laluan kalau nyawanya harus melayang," pikir Jagasena menimbang-nimbang. Pikiran
ini membuat Jagase-
na mengurangi tenaga yang tersalurkan dalam ayunan
balai-balai. Trakkk! "Ah...!"
Jagasena tak kuasa untuk menahan seruannya.
Terjadi hal yang di luar perkiraan. Bahu Sangka Ruti memang berbenturan dengan
salah satu sisi balai-balai, tapi tidak terjadi hal yang dicemaskannya.
Sangka Ruti telah memperhitungkan semuanya.
Meski menangkis, dia tak mempergunakan kekerasan.
Tak dihadapinya kekerasan dengan kekerasan pula.
Sangka Ruti menggunakan tenaga benturan itu untuk
melompat tinggi ke atas.
Karena kecerdikannya ini, Sangka Ruti tak mende-
rita kerugian sama sekali. Malah ketika tubuhnya melayang ke atas, pemuda ini
masih sempat menyelipkan tangannya ke balik baju. Dan sewaktu Sangka Ruti
mengibaskan tangannya terlihat sinar terang menyam-
bar. Jagasena tak menjadi gugup kendati kaget juga
melihat serangan mendadak itu. Balai-balai bambunya digetarkan. Terdengar deru
angin keras yang membuat luncuran sinar-sinar berkilat yang ternyata pisau-
pisau itu tertahan, tidak bisa maju.
Kakek tinggi besar ini sudah menduga pisau-pisau
akan runtuh ke tanah karena kehabisan daya luncur-
nya. Tapi, hampir Jagasena terpekik tak kuasa mena-
han keterkejutan. Pisau-pisau itu tak runtuh ke lantai seperti yang diduganya,
melainkan meliuk untuk
membebaskan diri dari angin ciptaan Jagasena.
Jagasena hampir tak percaya dengan penglihatan-
nya. Tiga batang pisau itu tetap meluncur ke arahnya.
Kakek ini segera melakukan tindakan seperti sebelumnya. Dia ingin menghambat
laju luncuran pisau-pisau itu lagi. Tapi, hatinya tercekat ketika kali ini
pisau-pisau tak terpengaruh. Tiga batang pisau itu segera meliuk sebelum angin
ciptaan Jagasena menghantamnya. Untuk pertama kali selama hidupnya Jagasena
harus bertarung menghadapi benda-benda mati. Malah,
jalannya pertarungan terlihat sengit seakan kakek itu menghadapi benda hidup
yang punya pikiran dan perasaan.
Jagasena penasaran bukan main ketika telah bela-
san jurus bertarung belum mampu memukul roboh pi-
sah-pisau. Pisau-pisau itu bahkan lebih cerdik dari benda hidup. Beberapa kali
Jagasena gagal memukul
roboh pisau-pisau karena benda mati itu selalu dapat mengelak. Bahkan,
tangkisan-tangkisan Jagasena
mempergunakan balai-balai bambu dengan harapan
pisau-pisau menancap di balai-balai, tak terkabulkan.
Sampai... Cap, cap, cappp...!
"Akh...!"
Jagasena memekik tertahan. Di jurus ketujuh pu-
luh tiga, karena sudah kelelahan, kakek ini bergerak kurang cepat. Tiga batang
pisau menghunjam tubuh-
nya. Seketika Jagasena terhuyung dan akhirnya am-
bruk di tanah. Kakek itu berusaha untuk bangkit, tapi ternyata
dia tak mampu. Bukan hanya karena keberadaan dua
batang pisau pada pahanya. Sekujur urat-urat dan
otot-otot tubuhnya mengejang tak bisa digerakkan. Jagasena tahu apa artinya
semua ini. Pisau-pisau Sang-ka Ruti mengandung racun mematikan yang berdaya
kerja cepat. Dalam waktu sebentar saja hasilnya telah terlihat
Sangka Ruti tertawa bergelak. Pemuda itu menatap
Jagasena dengan sorot mata penuh kemenangan.
"Ingin ku tahu sampai berapa lama kau bisa bertahan, Jagasena! Asal kau tahu
saja, racun yang terkandung dalam pisau-pisau itu sangat mematikan!" dengus
Sangka Ruti, dingin "Dan sambil menunggu ajalmu, aku ingin menyelesaikan urusan
lain. Urusan yang diembankan Guru kepadaku. Kurasa kau tahu,
bukan" Guruku kehilangan kejantanannya akibat per-
lakuanmu yang keji dan curang. Selamat menemui
malaikat maut, Tua Bangka! Aku ingin mengambil Ba-
tu Kalimaya!"
Jagasena tak mampu berbuat apa pun untuk men-
cegah tindakan Sangka Ruti. Kakek ini hanya bisa
menggertakkan gigi melihat Sangka Ruti melesat ma-
suk ke dalam ruangan khusus yang dijadikan tempat
semadinya. Sesaat kemudian, pemuda berpakaian coklat itu te-
lah keluar. Di tangannya tergenggam sebongkah benda yang memancarkan cahaya
berwarna-warni. Jagasena
mengeluh dalam hati. Sangka Ruti berhasil menda-
patkan Batu Kalimaya.
"Ha ha ha...!" Untuk pertama kalinya Sangka Ruti tertawa. Namun, wajah dan
sepasang matanya tak
menunjukkan perubahan. Tetap terlihat dingin.
"Akhirnya kudapatkan juga apa yang kucari selama ini. Batu Kalimaya! Selamat
tinggal, Jagasena. Selamat menghadapi malaikat maut. Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa bergelak yang tak putus-putus
Sangka Ruti melesat meninggalkan tempat itu. Pemuda ini tak merasa khawatir
Jagasena bisa lolos dari maut!
Dia yakin benar Jagasena akan tewas oleh racun pi-
saunya yang mematikan!
Pada saat yang bersamaan dengan perginya Sang-
ka Run, di tempat lain Ulat Emas Pemetik Bunga ten-
gah terlibat pertarungan dengan Resi Druna. Kakek itu mulai menyerang Ulat Emas
yang terkenal sebagai tokoh sesat puluhan tahun lalu. Tapi, usaha Resi Druna
kandas. Bahkan sekarang kakek ini terancam maut
karena tenaga dalamnya mengalir deras ke arah Ulat
Emas. Sekujur tubuh Wudani tampak menegang hebat
menyaksikan pertempuran itu. Terlebih ketika melihat sinar kekuningan yang
membias di sekitar telapak tangan Ulat Emas Pemetik Bunga. Wajah wanita ini tam-
pak berubah-rubah.
"Kiranya kau... Jahanam itu...!" desis Wudani penuh dendam.
Hanya sampai di situ saja ucapan Wudani, tapi
Darmakala segera bisa menduga siapa orang yang di-
maksud istrinya. Darmakala merasakan dadanya se-
sak oleh amarah yang bergolak. Wudani telah menceritakan padanya mengenai sinar
kuning itu. Sekitar dua puluh lima tahun lalu istrinya diperkosa oleh seorang
tokoh sesat Wudani tak mengenal tokoh itu. Dia hanya mengetahui sinar kuning
sebagai ciri-ciri pemerko-sanya. Untuk mencari si pemerkosa Darmakala men-
gajak istrinya berkelana dengan berpura-pura menjadi
tukang sulap. "Manusia iblis! Kau harus menebus mahal perbua-tanmu yang bejat itu!" raung
Darmakala penuh dendam.
Lelaki kecil kurus ini menyampokkan tangan ka-
nannya yang berbentuk cakar ke arah pelipis Ulat
Emas Pemetik Bunga. Kemarahan yang melanda mem-
buat Darmakala tak ingat kalau tindakannya itu tidak mencerminkan kegagahan.
Lelaki ini menyerang lawan
yang tengah bersitegang menghadapi lawan lainnya.
Ulat Emas Pemetik Bunga ternyata tak gugup
menghadapi ancaman maut itu. Sambi menggertakkan
gigi dikerahkannya tenaga pada kedua tangan hingga
tubuh Resi Druna terjengkang ke belakang! Resi Druna yang memang lelah bukan
main karena sebagian besar
tenaga dalamnya telah tersedot lawan, tak mampu
berbuat apa pun. Tubuh kakek ini terbanting ke tanah dengan keras.
Ulat Emas sendiri begitu berhasil melemparkan Re-
si Druna, segera memapaki serangan Darmakala den-
gan tindakan yang sama. Kakek itu menyampokkan
tangannya untuk menangkis.
Krakkk! "Akh...!"
Darmakala menjerit kaget. Jari-jarinya patah. Ka-
rena berbenturan dengan tangan lawan. Kekuatan te-
naga dalam yang terkandung dalam sampokan Ulat
Emas yang menyebabkan hal demikian. Hanya berkat
kelihayannya, Darmakala mampu mendarat di tanah
dengan kedua kaki. Padahal, dia terlempar dalam keadaan tubuh berputar-putar.
Darmakala tak menjadi gentar melihat hasil seran-
gannya. Seraya mengeluarkan raungan keras bak ha-
rimau terluka, dia kembali melancarkan serangan
mematikan. Pada saat yang bersamaan Wudani juga
menyerang Ulat Emas Pemetik Bunga.
Plakkk! Darmakala mengeluarkan keluhan tertahan. Gedo-
ran kedua tangan terbuka ke arah dada lawan disam-
but dengan gerakan yang sama. Bukan tindakan lawan
yang membuatnya mengeluh, melainkan akibatnya.
Kedua tangannya melekat dengan tangan lawan.
Serangan Wudani pun meluncur datang, dan men-
darat di punggung Ulat Emas. Gedoran yang mengan-
dung pengerahan seluruh tenaga dalam itu mendarat
setelah Wudani bersalto di atas kepala Ulat Emas Pemetik Bunga.
Plakkk! "Eh..."!"
Wudani berseru kaget ketika kedua telapak tan-
gannya mendarat di sasaran yang dituju. Tapi, kedua telapak tangannya bagai
bukan berbenturan dengan
punggung manusia, melainkan setumpukan besar ka-
pas! Seluruh tenaga serangan wanita itu mendadak lenyap. Bahkan kedua tangannya
tak bisa dilepaskan
dari punggung. Ada tarikan yang amat kuat membuat
tangan Wudani melekat. Hati wanita ini tercekat ketika merasakan tenaga dalamnya
tersedot ke arah Ulat
Emas Pemetik Bunga.
Kejadian yang menimpa Wudani juga dialami Dar-
makala. Lelaki ini berusaha sekuat tenaga menahan
aliran tenaganya, tapi usahanya sia-sia. Dalam sekejapan wajah Darmakala dan
Wudani dibanjiri keringat
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dingin. Keduanya secara cepat menjadi lelah. Pasangan suami istri itu segera
sadar, apabila hal ini terus berlangsung mereka akan mati lemas.
Kecemasan Darmakala dan Wudani memang bera-
lasan. Tapi lawan mereka ternyata tak menginginkan
hal itu terjadi. Ketika keadaan Darmakala dan Wudani semakin mengkhawatirkan,
secara tak terduga-duga
Ulat Emas Pemetik Bunga merubah aliran tenaganya.
Tidak lagi menyedot, melainkan memberikan!
Darmakala dan Wudani meraung bagai binatang
disembelih. Dari mulut, hidung, dan telinga keduanya mengalir darah segar ketika
tubuh mereka terlempar
ke belakang. Pasangan suami istri ini melayang-layang sebelum terbanting di
tanah. Darmakala dan Wudani
menggeliat-geliat sebentar. Akhirnya, keduanya diam tak bergerak lagi untuk
selamanya. Mereka tewas dengan bagian dalam dada remuk.
Sendari segera tahu diri. Nenek ini sangat yakin
Ulat Emas Pemetik Bunga terlalu lihai untuk dihadapi.
Resi Druna yang lebih pandai dari dirinya saja dapat dipecundangi tokoh sesat
itu. Sekarang suaminya tengah duduk bersila untuk memulihkan tenaga dalam-
nya yang hilang.
Di sebelah Resi Druna, Kemani juga tengah duduk
bersemadi untuk menyembuhkan luka dalamnya. Un-
tungnya luka gadis ini tak terlalu parah.
Tanpa sadar Sendari melangkah mundur. Semen-
tara Ulat Emas Pemetik Bunga justru melangkah maju.
Dua batang tongkatnya bergerak maju tanpa menim-
bulkan bunyi sedikit pun! Padahal, jelas-jelas bagian bawah tongkat bergesekan
dengan tanah. Ulat Emas
Pemetik Bunga sekarang memiliki tenaga dalam luar
biasa dahsyat. Mendadak tokoh sesat itu menghenti-
kan langkahnya. Pendengarannya yang sangat tajam
mendengar suara langkah menuju ke tempatnya bera-
da. Ulat Emas Pemetik Bunga tak perlu menunggu la-
ma untuk mengetahui pemilik langkah itu. Di kejau-
han dilihatnya sosok tubuh coklat bergerak cepat ke
arahnya. Ulat Emas Pemetik Bunga yang semula ber-
siap untuk menghadapi segala kemungkinan, kini
mengendurkan kembali urat-urat syarafnya.
"Membuatku kaget saja monyet kecil itu. Kukira siapa," pikir Ulat Emas Pemetik
Bunga. Sosok coklat itu dalam waktu sekejapan kemudian
telah berada di depan Ulat Emas Pemetik Bunga. Dan, sosok yang bukan lain Sangka
Ruti ini segera memberi hormat
"Mengapa kau keluar dari tempatmu, Ulat?" sapa Sangka Ruti seenaknya kendati
Ulat Emas Pemetik
Bunga adalah gurunya. Pemuda ini mengedarkan pan-
dangan ke sekitarnya. Diperhatikannya sosok-sosok
yang berada di situ. "Kiranya kau telah bekerja cukup keras..."
"Monyet-monyet buduk itu membuatku keluar dari tempat tinggalku yang nyaman,
Ruti!" dengus Ulat Emas Pemetik Bunga. "Bagaimana" Kau berhasil melaksanakan
tugasmu?" Sangka Ruti menarik napas berat. Penyesalan tam-
pak jelas di wajahnya.
"Aku telah berusaha keras, Ulat. Tapi Jagasena ternyata lebih cerdik...."
"Apa maksudmu, Ruti"! Kau gagal"!" kejar Ulat Emas penasaran.
"Tidak sepenuhnya demikian, Ulat" sahut Sangka Ruti. "Jagasena berhasil
kutemukan. Dia menyamar menjadi seorang ahli obat. Tempatnya tak jauh dari si-
ni, malah masih satu gunung, Jagasena tinggal di lereng sebelah timur. Aku
berhasil menemukannya dan
bahkan membunuhnya, Ulat. Sayang..."
"Mengapa, Ruti" Apakah Batu Kalimaya tak ada
padanya"!"
"Hampir tepat dugaanmu, Ulat."
"Terangkan yang jelas, Ruti. Jangan sepotong-
sepotong seperti itu. Jangan sampai aku nanti lupa kalau kau adalah muridku!"
tegas Ulat Emas Pemetik Bunga.
"Kakek pengecut itu rupanya telah berjaga-jaga lebih dulu. Batu Kalimaya telah
dihancurkan sehingga hanya berupa bubuk yang tak berguna," beritahu Sangka Ruti.
"Jangan katakan kalau bubuk Kalimaya tak kau
bawa, Ruti. Kesalahan itu telah cukup untuk membua-
tku mengirim nyawamu ke lubang kubur!"
"Jangan khawatir, Ulat. Bubuk Kalimaya kubawa.
Nih, terima!" Sangka Ruti melemparkan buntalan kain kecil yang terselip di
pinggangnya. Ulat Emas Pemetik Bunga menangkapnya dengan penuh semangat.
Tergesa-gesa dibukanya ikatan buntalan kecil itu. Terdapat bubuk halus di
dalamnya. Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah Sang-
ka Ruti. Kelihatan jelas sikap penuh selidiknya.
"Benarkah ini bubuk Kalimaya, Ruti"!"
"Aku yakin sekali akan hal itu, Ulat. Jagasena memberikan bubuk itu setelah aku
mengancam akan membantai orang-orang yang tengah berada di pon-
doknya," dusta Sangka Ruti yang juga memiliki keinginan untuk mendapatkan Batu
Kalimaya. "Kalau kau tak percaya, biar aku yang membuktikan kebenaran-nya.
Kulihat di tempat ini ada betina liar yang dapat dijadikan percobaan. Berikan
padaku bubuk itu, Ulat.
Lagi pula, untuk apa orang setua kau menginginkan
kejantanan kembali" Biar aku yang masih muda dan
memiliki hidup lebih panjang."
Ulat Emas Pemetik Bunga kelihatan bimbang. Si-
kap muridnya terlihat demikian meyakinkan. Tapi, ke-waspadaannya mendorong Ulat
Emas Pemetik Bunga
untuk bersikap hati-hati. Bukan tak mungkin sikap
Sangka Ruti hanya merupakan sandiwara.
"Kurasa kau benar, Ruti," ujar Ulat Emas Pemetik Bunga dengan suara berat "Aku
memang telah terlalu tua. Dan, mungkin bubuk Kalimaya ini tak akan berarti
banyak untukku. Biarlah kau saja yang menda-
patkannya."
"Tua bangka gila ini rupanya tak pernah meninggalkan kewaspadaan. Untung aku
sudah menduga hal
seperti ini dan meminum penangkalnya. Mudah-
mudahan saja ini hanya gertakan. Kalau tidak, bisa berbahaya nanti. Tua bangka
ini tak akan segan-segan membunuhku," pikir Sangka Ruti yang memiliki otak
cerdik. Dengan sikap gembira yang dibuat-buat Sangka
Ruti kemudian menerima angsuran bubuk Kalimaya
dari gurunya. Di dekatkannya bubuk itu ke mulutnya
dan siap di minum. Sangka Ruti kecewa bukan main
ketika melihat tidak adanya cegahan dari Ulat Emas
Pemetik Bunga. Kenyataan ini membuat Sangka Ruti
kebingungan. "Celaka...! Mengapa jadi begini" Bubuk ini sebenarnya racun yang amat mematikan.
Kalimaya yang asli ada padaku!" keluh Sangka Ruti dalam hati.
Di saat Sangka Ruti tengah dilanda kebingungan
dan bubuk Kalimaya telah dituangkan ke mulutnya,
Ulat Emas Pemetik Bunga membentak keras.
"Hiyaaa...!"
Bubuk Kalimaya yang tengah meluncur ke dalam
mulut Sangka Ruti tiba-tiba meliuk ke arah Ulat Emas Pemetik Bunga, lalu meluruk
deras ke arah mulut si
kakek yang membuka!
Bersamaan dengan tertelannya bubuk itu Sangka
Ruti tersenyum di dalam hati. Pemuda ini tahu nyawa
gurunya tak akan selamat. Bubuk itu adalah racun
yang amat mematikan dan berdaya kerja cepat.
Hanya sesaat setelah tertelannya racun, Ulat Emas
Pemetik Bunga merasakan tanda-tanda yang menggeli-
sahkan. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya
berkunang-kunang. Sekujur urat-urat syaraf dan ototnya melemah secara cepat
"Keparat...!" desis Ulat Emas Pemetik Bunga. "Bocah keparat itu telah meracuni
ku. Kurang ajar!"
Sangka Ruti yang mendengar desisan itu tertawa
ganda. Tawa gembira penuh nada kemenangan.
"Selamat jalan ke lubang kubur, Ulat. Kau boleh memimpikan Kalimaya di neraka.
Aku yakin di akhirat kejantanan mu akan pulih kembali. Kau bisa bermain
cinta dengan setan-setan perempuan di sana!"
Tanpa mempedulikan Ulat Emas Pemetik Bunga
yang tengah meregang nyawa, Sangka Ruti mengalih-
kan perhatian pada Kemani
"Kita bertemu lagi, Wanita Liar. Dulu kau beruntung karena aku masih sakit
akibat ilmu yang kupelajari! Sekarang aku telah mendapatkan pemunahnya.
Bersiaplah untuk menerima curahan cinta dariku!"
Kemani yang baru saja sadar dari semadinya terke-
jut melihat Sangka Ruti. Pemuda itu dikenalinya sebagai orang yang telah
membunuh ayahnya dan mem-
perkosa dirinya. Untungnya Sangka Ruti hanya besar
gairah saja, kejantanannya nol! Betapapun pemuda itu berusaha keras tetap saja
keinginannya untuk me-renggut kehormatan Kemani kandas. Dengan kesal
dan malu Sangka Ruti meninggalkan calon korbannya.
"Kiranya kau...!" desis Kemani penuh dendam. Ta-pi, seruan Kemani hanya sampai
di situ saja. Belum
selesai gadis itu bicara tubuhnya tertarik deras ke arah Sangka Ruti, begitu
pemuda itu melambaikan tangan
ke arahnya. Kemani berusaha keras untuk mematah-
kan pengaruh yang melanda. Tapi dia gagal. Secara deras tubuhnya melayang.
Sendari tak membiarkan muridnya yang tak diakui
sebagai murid itu celaka di tangan Sangka Ruti. Dia melompat menerjang si
pemuda. Di dalam hatinya nenek ini menyayangkan mengapa tak membawa batang
pisang. Pohon itu mempunyai keistimewaan untuk
memunahkan pisau-pisau Sangka Ruti yang mengi-
riskan! Kecemasan Sendari beralasan. Sangka Ruti telah
diamuk nafsu birahinya. Tak dipedulikannya serangan si nenek. Tangan kirinya
dikibaskan setelah dimasuk-kan ke balik baju. Seketika itu pula sinar terang
berki-lau dan meluncur ke arah Sendari. Nenek itu pun
membatalkan serangannya. Bila hal itu tetap dite-
ruskan nyawanya akan melayang di ujung pisau-pisau.
Tindakan yang diambil Sendari membuat Sangka Ruti
leluasa bertindak. Begitu tubuh Kemani berhasil dipe-luknya, hanya dengan sekali
sentak Sangka Ruti
membuat Kemani tak berpakaian lagi.
Kemani menjerit-jerit kebingungan. Dengan kedua
tangannya di usahakan untuk menutupi sepasang bu-
kit kembar dan bagian bawah tubuhnya. Usaha sea-
danya ini hanya bisa menutupi sekadarnya. Sangka
Ruti semakin beringas. Sepasang matanya bagai hen-
dak melompat keluar. Dengan buas Sangka Ruti me-
nubruk Kemani dan menggumulinya di tanah. Mulut
dan tangannya bergerilya, mencium dan meremas apa
yang bisa dicium dan diremas.
Kemani meronta-ronta. Dia menjerit-jerit dan me-
mohon agar Sangka Ruti tak melakukan kekejian yang
dicemaskannya itu. Tapi, pemuda ini tak mempeduli-
kannya sama sekali. Malah Sangka Ruti semakin buas
bertindak. "Sangka Ruti! Hentikan...!"
Terdengar suara keras menggelegar ketika Kemani
sudah lelah dan pasrah. Gadis itu tak melakukan perlawanan lagi, kecuali hanya
menangis. Sangka Ruti terjingkat kaget bagai disengat kala-
jengking. Pemuda ini kaget bukan main. Bahkan, tu-
buh Kemani sampai dicampakkannya. Tubuh itu ter-
guling-guling di tanah, dan ketika terhenti buru-buru Kemani mengambil
pakaiannya yang koyak-koyak.
Dengan bahan seadanya itu dia berusaha menutupi
tubuh telanjangnya.
Sangka Ruti dan Kemani tak merasa kaget ketika
melihat pemilik bentakan. Sosok itu adalah Arya Bua-na atau Dewa Arak. Yang
membuat Sangka Ruti kaget
adalah keberadaan Jagasena di sebelah Dewa Arak.
Dia hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya. Jagasena ternyata tidak mati!
Bahkan kakek itu masih
mampu berdiri, kendati dengan bantuan dua batang
bambu pada ketiaknya!
Sangka Ruti lupa kalau Jagasena seorang ahli pen-
gobatan. Meski racun Sangka Ruti amat mematikan,
kakek itu mampu memunahkannya! Dan kebetulan
pulalah Dewa Arak datang tepat pada waktunya. Arya-
lah yang meminumkan obat pemunah racun, karena
Jagasena sudah tak mampu bergerak. Kakek itu hanya
menunjukkan obat yang harus diambil Arya.
Meski lama tak memunculkan diri, ternyata Jaga-
sena tetap mengamati perkembangan di dunia persila-
tan. Dia segera tahu tengah berhadapan dengan Dewa
Arak ketika pemuda itu muncul. Maka, tanpa ragu-
ragu kakek itu minta tolong. Setelah racun terusir dari tubuhnya.
"Kalimaya alias Bidun Kluwung itu merupakan sela
aji (batu mulia) yang luar biasa. Sayang, telah diambil orang untuk memulihkan
kejantanannya." beritahu Jagasena setelah Dewa Arak menolong dirinya dan
menceritakan mengapa ia bisa sampai berada di tem-
pat ini. Sangka Ruti segera memutar otaknya ketika meli-
hat Arya membawa batang pisang. Dengan batang ta-
naman itu pisau-pisaunya dapat dilumpuhkan. Sang-
ka Ruti tak ingin membuang-buang waktu lagi. Segera dikirimkannya serangannya
dengan enam batang pisau pada Dewa Arak dan Jagasena. Masing-masing
mendapat serangan separuh dari pisau-pisau itu.
Arya bergegas memberikan salah satu gedebong pi-
sangnya pada Jagasena. Dan seperti kejadian yang sudah-sudah, tanpa menemui
kesulitan sedikit pun pi-
sau-pisau itu dilumpuhkan. Sangka Ruti yang me-
mang sudah menduga hal ini merasa gembira bukan
main. Senjata-senjata penangkal itu hanya dapat di-
gunakan satu kali. Kini lawan tak memiliki penangkal lagi. "Sekarang, bersiaplah
kalian untuk menerima kematian,..!" dengus pemuda berpakaian coklat itu.
"Kurasa lebih baik kau tinggalkan tempat ini segera, Kek," beritahu Arya pada
Jagasena dengan ilmu mengirimkan suara dari jauh. "Jumlah banyak tak ada
artinya. Yang penting bagi kita adalah penangkal senjata mengerikan itu!"
"Apa yang kau katakan memang benar, Dewa
Arak," sahut Jagasena. "Tanpa adanya penangkal, lambat laun nyawa kita akan
melayang karenanya.
Aku akan pergi mencari penangkal itu!"
Jagasena melesat meninggalkan tempat itu. Dalam
kecemasan Sangka Ruti akan mengirimkan serangan
dengan pisau mautnya, Jagasena langsung mengerah-
kan seluruh ilmu lari cepatnya. Sangka Ruti hanya bi-sa memaki dalam hati. Dia
tak menduga Jagasena
akan kabur. Cepatnya tindakan kakek itu membuat
Sangka Ruti tak mampu berbuat apa pun untuk men-
Dewa Arak 92 Memperebutkan Batu Kalimaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cegahnya. Kemarahan yang melanda membuat Sangka Ruti
segera melemparkan tiga batang pisau pada Dewa
Arak. Arya yang telah mengetahui kedahsyatan pisau-
pisau itu segera mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'
yang menjadi andalannya. Dengan gerak terhuyung-
huyung seperti akan jatuh dan terkadang seperti hendak memapaki serbuan pisau-
pisau, Arya menghadapi
serangan itu. Melihat Dewa Arak kerepotan menghadapi pisau-
pisaunya, Sangka Ruti kembali mengalihkan perhatian pada Kemani. Gadis yang kini
telah berpakaian lagi ini tampak memucat kembali wajahnya. Dengan sikap
ngeri yang terlihat jelas dia bergerak mundur
"Awww...!" jerit Kemani ketika pakaiannya kembali direnggut Sangka Ruti.
Sangka Ruti kemudian dengan napas memburu
melepas pakaiannya. Bagai harimau menerkam mang-
sa, pemuda ini menubruk dan menggeluti tubuh Ke-
mani. Kemani sendiri hanya bisa menjerit dan meron-
ta-ronta. "Sangka Ruti...! Hentikan...!" Bentakan keras menggelegar penuh dengan hawa
kemarahan itu bagai
halilintar di telinga Sangka Ruti dan Kemani. Mereka mengenal pemilik suara itu.
Sangka Ruti segera menggulingkan tubuhnya lalu
bergegas mengenakan pakaian. Kemani sendiri lang-
sung menyambar pakaiannya. Hampir berbarengan
kedua orang ini mengalihkan pandangan ke arah asal
suara. Dan, seperti yang sudah mereka duga, di tem-
pat itu berdiri sesosok tubuh berpakaian serba hitam.
Sapta Renggi! "Sapta Renggi...!" desis Sangka Ruti.
"Sumantri...," desah Kemani penuh harap. Sumantri yang bernama asli Sapta Renggi
adalah saudara seperguruan Sangka Ruti. Keduanya sama-sama menjadi
murid Ulat Emas Pemetik Bunga. Keinginan untuk
mempunyai ilmu yang tak terkalahkan membuat me-
reka rela kehilangan kejantanan. Tentu saja dengan
perhitungan, mereka akan sembuh kembali apabila
menemukan Batu Kalimaya yang mampu menyem-
buhkan penyakit itu.
"Mengapa kau mencampuri urusanku, Renggi...!"
desis Sangka Ruti penuh ancaman.
"Dialah yang telah membunuh ayahku dan dulu
berusaha memperkosaku, Sumantri," beritahu Kemani, sebelum Sapta Renggi
memberikan jawaban.
"Kiranya kalian telah saling mengenal!" ejek Sangka Ruti, "Dan kau pasti telah
terpincuk padanya, Renggi.
Kalau begitu, kau harus mampus!"
"Biadab! Kaulah yang akan kubunuh, Ruti!"
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Sangka Ruti
dan Sapta Renggi menggerakkan tangan mereka.
Sangka Ruti melemparkan sebatang pisau yang memi-
liki kemampuan jauh di atas pisau-pisau lainnya.
Sapta Renggi pun menghunus pedang dan melom-
pat ke arah Sangka Ruti. Ini merupakan keuntungan
bagi Sangka Ruti! Jarak yang cukup jauh membuat dia yang memiliki senjata lempar
berada di atas angin.
Cappp! "Aaakh...!"
Sapta Renggi menjerit memilukan ketika pisau
Sangka Ruti menembus lehernya. Nyawa lelaki ini me-
layang saat itu juga. Kendati demikian, luncuran tu-
buhnya ke arah Sangka Ruti tak terhenti. Bahkan ke-
cepatannya tak berkurang.
Sangka Ruti berusaha untuk mengelak. Tapi, seku-
jur urat-uratnya tak bisa digerakkan sama sekali sinar menyilaukan mata yang
memancar dari batang pedang
Sapta Renggi membuatnya lumpuh!
Blesss! "Aaakh...!"
Sangka Ruti mengeluarkan raungan setinggi langit.
Pedang Sapta Renggi menembus perutnya hingga ke
punggung. Darah muncrat-muncrat bersamaan den-
gan tubuhnya dan Sangka Ruti ke tanah. Pemuda itu
menggelepar sebentar dan tewas dengan tubuh Sapta
Renggi di atasnya.
"Sumantri...!"
Kemani menghambur ke tempat tubuh Sangka Ruti
dan Sapta Renggi berada. Gadis ini merasa terharu sekali dengan pengorbanan yang
diberikan Sapta Renggi.
Sementara itu, seiring dengan tewasnya Sangka
Ruti, pisau-pisau yang tengah berkelebatan mencecar Dewa Arak roboh ke tanah
seakan kehilangan nyawa.
Jatuh begitu saja karena pemiliknya telah tewas.
Dewa Arak, Sendari segera berjalan menghampiri
tubuh dua saudara seperguruan itu. Bahkan, Resi
Druna yang telah bangkit dari semadinya ikut meng-
hampiri. Kakek ini teringat pada tugas semula, menca-ri Batu Kalimaya sebagai
obat untuk menyembuhkan
penyakit Baginda Prabu Mandaraka.
Kakek itu segera memeriksa sekujur pakaian
Sangka Ruti. Tak membutuhkan waktu lama untuk
menemukan apa yang dicarinya. Batu Kalimaya diang-
katnya tinggi-tinggi seperti ingin menunjukkan pada yang lain. Di sebelahnya
Sendari sibuk menghibur
Kemani yang terus menangis. Sementara itu, di kejau-
han Jagasena tampak tengah membawa banyak sekali
gedebong pisang. Dia tidak tahu kalau pertempuran telah berakhir.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Medali Naga 4 Mustika Lidah Naga 3 Raja Silat 10