Pencarian

Misteri Hutan Larangan 2

Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan Bagian 2


menggeliat hendak bangkit. Namun karena puku-
lan baru saja bersarang di tubuhnya, dia belum
bisa kuasai diri, hingga geliatannya hanya men-
gubah posisinya dari telentang menjadi miring.
Justru posisi ini membuat sepasang mata Pende-
kar 108 makin membesar. Karena tubuh gadis itu
persis menghadap ke arah Pendekar 108 mende-
kam. "Busyet! Dada itu begitu menggairahkan, Besar dan putih. Hmm...!" desis
Pendekar Mata Keranjang dengan usap-usap dagunya. Dadanya
berdegup tambah keras. Sementara tenggorokan-
nya turun naik tak beraturan. Napasnya terhem-
bus panjang-panjang.
Selagi Pendekar 108 terkesima, laki-laki
berjubah coklat bergerak bangkit. Dan tanpa
membentak, kedua tangannya bergerak menghan-
tam ke arah sang gadis.
Wuuuttt! Gelombang angin dahsyat yang membung-
kus kilatan-kilatan sinar coklat menghampar ke
arah gadis yang masih di atas tanah.
Seakan sadar bahwa maut mengancam di-
rinya, si gadis bergerak bangkit. Mungkin karena masih merasakan sakit pada
tubuhnya, hingga
gerakannya lamban. Hal ini membuat si gadis ter-
lengak, karena belum sempat dia membuat gera-
kan selanjutnya, serangan yang dilancarkan laki-
laki berjubah coklat telah berada di hadapannya.
Dari mulutnya terdengar pekikan kaget bercam-
pur takut. Wajahnya berubah pucat pasi, tubuh-
nya bergetar hebat. Dia merasa ajal akan segera
merenggut jiwanya!
Di sebelah kanan, melihat si gadis tak ber-
daya, laki-laki berjubah coklat tertawa perlahan penuh ejekan. Matanya yang
merah memejam dan membuka. "Itulah ganjaran bagi manusia yang mem-
bangkang dan menipu!" kata sang laki-laki seraya usap darah yang meleleh dari
sudut mulutnya.
Pada saat yang menegangkan itu, menda-
dak dari balik semak belukar di samping sang ga-
dis menyambar dua rangkum angin dahsyat. Satu
rangkum menyerempet tubuh si gadis hingga ter-
pelanting dan jatuh bergulingan. Sementara satu
rangkum lainnya memapak gelombang angin yang
membungkus kilatan warna coklat yang tadi hen-
dak menghajar tubuh si gadis!
Blaaarrr! Terdengar letupan keras. Di sebelah kanan,
laki-laki berjubah coklat berseru keras. Karena
tak menyangka maka dia tak punya kesempatan
untuk kerahkan tenaga dalam saat terjadinya le-
tupan, hingga saat itu juga tubuhnya mencelat
sampai beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya
membentur pada batang pohon lalu terkapar di
atas tanah! Di sebelah kiri, merasa dirinya disela-
matkan orang, dan melihat laki-laki berjubah coklat terkapar, sang gadis seakan
mendapat kekua-
tan baru. Dengan membentak garang, gadis can-
tik itu berkelebat. Tahu-tahu tubuhnya telah dua langkah di hadapan laki-laki
berjubah coklat yang menggapai-gapai hendak bangkit. Kaki kanannya
lantas bergerak menyapu ke arah bahu sang laki-
laki. Desss! Laki-laki berjubah coklat berseru tertahan.
Tubuhnya bergulingan. Darah hitam makin ba-
nyak mengalir dari bibirnya. Si gadis melangkah
mendekat. Saat itulah tiba-tiba laki-laki berjubah coklat mengambil sesuatu dari
kantong jubahnya.
Serta-merta tangannya mendekat pada mulutnya
yang telah membuka.
"Jangan mimpi bisa mati sebelum memberi
keterangan padaku!" kata sang gadis. Kembali kaki kanannya bergerak. Tangan
laki-laki berjubah coklat mental dan tercampaklah apa yang
semula hendak ditelannya.
Si gadis tertawa pendek, tubuhnya sedikit
merendah, lalu kedua tangannya bergerak meno-
tok bagian tertentu tubuh laki-laki berjubah coklat. Sesaat sang gadis
memperhatikan laki-laki
berjubah coklat yang kini diam tak bergerak ka-
rena tertotok. Lantas dengan tersenyum, dia ba-
likkan tubuh memandang ke arah semak belukar
dari mana tadi menyambar dua rangkum angin
yang selain menyelamatkan dirinya juga membuat
laki-laki berjubah coklat mencelat.
LIMA SIAPA pun adanya kau, harap sudi me-
nampakkan diri! Aku ingin mengucapkan terima
kasih!" si gadis berucap seraya terus pandangi ke arah semak belukar.
Di balik semak belukar, Pendekar Mata Ke-
ranjang tergagu sejenak. Setelah rapikan pa-
kaiannya seraya mendendangkan nyanyian tak je-
las dia menyibakkan semak belukar dan melang-
kah keluar. Si gadis kernyitkan kening, sepasang ma-
tanya yang bulat membesar dan menyipit. "Tak disangka. Ternyata seorang pemuda
tampan, bertubuh tegap...." Untuk beberapa saat lamanya sang gadis tampak
terkesima. Namun ketika Aji
balik memandang ke arahnya, si gadis seakan ba-
ru sadar. Dia buru-buru tersenyum lalu menjura
hormat. "Terima kasih atas pertolonganmu. Aku
berhutang budi juga nyawa. Kalau tidak dapat
pertolonganmu, aku tak tahu apa yang akan kua-
lami!" Si gadis angkat kepalanya, memperhatikan pada pemuda di hadapannya.
"Kalau boleh tahu, siapakah kau sebenar-
nya..."!"
Pendekar Mata Keranjang melirik, bukan
pada wajah gadis di hadapannya melainkan pada
dadanya yang tampak menyembul putih mulus
serta kencang menantang. Anehnya, yang dipan-
dangi bukannya segera palingkan tubuh. Sebalik-
nya dia ambil napas dalam-dalam serta panjang
hingga buah dadanya terlihat bergerak-gerak,
membuat Pendekar 108 membeliak dengan degup
jantung makin keras.
"Harap kau sudi menjawab pertanyaan-
ku...," si gadis berkata seakan menyadarkan Pendekar 108.
"Ah...!" Aji keluarkan seruan seolah terpe-ranjat. Sepasang matanya beralih
memandang wajah gadis di hadapannya.
"Hmmm.... Benar-benar cantik! Mata bulat,
bibir bagus, hidung mancung lebih-lebih da-
danya.,.." Pendekar 108 tersenyum, lalu berkata.
"Namaku Aji. Aji Saputra! Kau sendiri sia-
pa...?" "Aji.... Hmm.... Baru kali ini aku mendengar nama itu. Namun melihat
pukulannya tadi,
pemuda ini bukan orang sembarangan. Mungkin
itu nama aslinya yang tak banyak diketahui
orang. Sedang nama gelarnya mungkin banyak
yang mengetahuinya. Siapa gelar pemuda ini..."
Seandainya dia membawa senjata, mungkin den-
gan mudah aku dapat menebaknya. Karena gelar
seseorang biasanya tak jauh dari senjata yang di-
bawanya!" si gadis membatin, lalu melangkah lebih dekat. Begitu dekat, kembali
diperhatikannya sang pemuda. Namun dia gelengkan kepalanya
perlahan. Sebenarnya waktu mendekat, si gadis
ingin melihat barangkali si pemuda menyelipkan
senjata di pinggang. Namun setelah diteliti dia tak menemukan senjata, dia tak
berhasil mengetahui
siapa adanya si pemuda.
Karena ditunggu agak lama si gadis tak ju-
ga keluarkan suara untuk menjawab, Pendekar
Mata Keranjang angkat bicara kembali.
"Kalau kau keberatan sebutkan nama, tak
apa. Hanya kalau boleh aku tanya...," Aji tak meneruskan ucapannya, karena saat
itu sang gadis telah menyahut.
"Namaku Anting Wulan.... Tapi orang-orang
lebih mengenalku dengan Dewi Tengkorak Hi-
tam...." Mendengar ucapan si gadis, Pendekar Mata Keranjang sedikit terkejut.
Dalam kancah rimba
persilatan nama Dewi Tengkorak Hitam memang
telah banyak dikenal. Bukan hanya karena ke-
tinggian ilmunya, namun juga karena dia terkenal tokoh yang ugal-ugalan. Dia
tantang siapa saja
tokoh yang bernama besar. Baik itu dari jajaran
atas golongan putih atau golongan hitam. Hingga
karena sifatnya itulah Dewi Tengkorak Hitam ba-
nyak punya musuh. Baik itu dari orang-orang ja-
lur putih atau jalur hitam.
"Nama Dewi Tengkorak Hitam telah lama
kudengar. Namun benar-benar tak kusangka jika
sosok orangnya masih begini muda. Cantik dan
bentuk tubuhnya begitu mendebarkan.... Mu-
lanya aku menebak, Dewi Tengkorak Hitam itu
mukanya seperti tengkorak dan hitam...," Pendekar 108 seraya tersenyum. Lalu
melangkah satu tindak ke depan dan berkata.
"Hari ini sungguh merupakan hari baik bu-
atku. Tanpa diduga aku dapat bertemu dengan
tokoh rimba persilatan yang bernama besar. Te-
rimalah hormatku Dewi Tengkorak Hitam..,. Maaf
kalau aku tadi tak bersikap hormat padamu. Ka-
rena aku memang belum...."
"Kau terlalu memuji. Dadaku bisa pecah ji-
ka terlalu disanjung. Kau sendiri siapa sebenar-
nya" Yang kumaksud gelarmu?" Anting Wulan
alias Dewi Tengkorak Hitam menyela ucapan Aji
dan balik bertanya.
Sesaat Pendekar Mata Keranjang terdiam.
Dia terlihat bimbang. Namun sesaat kemudian dia
berkata sambil tarik kuncir rambutnya.
"Aku tak bergelar. Karena tak pantas ra-
sanya seorang pengelana jalanan sepertiku ini
memakai gelar. Sebut saja seperti yang kukata-
kan tadi. Aji.... "
"Aku tahu, kau berdusta. Tapi tak apa-
lah...," kata Dewi Tengkorak Hitam sambil menarik napas panjang. Di hadapannya
Pendekar 108 tampak terkejut, namun segera saja dia terse-
nyum, lalu berkata kembali.
"Dewi Tengkorak Hitam...."
Si gadis memandang tajam pada Pendekar
108 lalu berkata.
"Panggil Anting Wulan saja...."
"Hmmm... Anting Wulan. Kalau boleh
tanya, siapakah laki-laki berjubah coklat itu" Dan kenapa kalian terlibat
perkelahian?"
"Karena kau telah menolongku, aku berte-
rus terang saja. Soal siapa laki-laki itu, aku belum menanyakan padanya. Tapi
satu hal yang pasti dia adalah salah seorang utusan Penguasa
Hutan Larangan yang hendak membawaku
menghadap orang yang menyuruhnya!"
Pendekar Mata Keranjang terkejut. "Dari
mana kau tahu bahwa dia adalah utusan Pengua-
sa Hutan Larangan?"
Dewi Tengkorak Hitam dongakkan sedikit
kepalanya. Hingga lehernya yang jenjang terlihat jelas. Buah dadanya pun semakin
membusung kencang. Gadis muda ini tampaknya sengaja
membuat degup dada Pendekar 108 berdetak le-
bih kencang. Karena bersamaan dengan bergerak
tengadah, sepasang matanya dipejamkan seten-
gah membuka. Lantas kedua kakinya sedikit di-
pentangkan, hingga kedua pahanya terlihat jelas.
"Busyet! Siapa pun akan terguncang jika
melihat gadis ini...," batin Pendekar 108 sambil melirik ke arah paha Dewi
Tengkorak Hitam
"Beberapa waktu lalu...," Dewi Tengkorak Hitam akhirnya berkata. "Aku telah
menyirap kabar jika banyak tokoh-tokoh bernama besar tiba-
tiba hilang lenyap tiada berita. Lalu muncul berita bahwa hilangnya tokoh-tokoh
itu didalangi oleh
manusia yang menyebut dirinya Penguasa Hutan
Larangan. Semenjak saat itu aku melakukan per-
jalanan menyelidik. Terus terang, aku ingin me-
nantang orang yang menyebut dirinya Penguasa
Hutan Larangan itu!" Dewi Tengkorak Hitam sejenak hentikan keterangannya. Lalu
melanjutkan. "Tiba-tiba dalam perjalananku, mengha-
dang seorang laki-laki berjubah coklat yang me-
nyebut dirinya Utusan Coklat. Dia mengatakan
sebagai utusan Penguasa Hutan Larangan, dan
memang sengaja mencariku untuk dihadapkan
pada Penguasa Hutan Larangan- Karena aku se-
dang menyelidik, aku waktu itu pura-pura menu-
rut saja. Aku hanya ingin tahu di mana letaknya
Hutan Larangan. Setelah aku yakin bahwa tempat
ini adalah Hutan Larangan, aku membelot dan
mencari gara-gara. Namun dugaanku meleset,
Utusan Coklat tidak mudah untuk ditaklukkan.
Hingga seandainya tidak ada kau, pasti aku su-
dah diseretnya menghadap Penguasa Hutan La-
rangan. Dan aku tak dapat membayangkan apa
yang akan menimpaku...."
Dewi Tengkorak Hitam hentikan ucapan-
nya. Lalu luruskan pandangannya menatap pada
Pendekar Mata Keranjang.
"Kau sendiri hendak ke mana" Dan kenapa


Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di sini?" tanyanya kemudian.
"Hmm.... Berarti kabar tentang Penguasa
Hutan Larangan yang akhir-akhir ini menyentak
dunia persilatan bukan kabar bohong. Dan aku
tidak salah alamat datang ke tempat ini!" Aji
membatin. Lalu berkata.
"Terus terang, dengan hilangnya beberapa
tokoh rimba persilatan akhir-akhir ini, aku ingin tahu. Apakah benar adanya
semua berita itu! La-lu aku coba jalan-jalan hingga sampai sini!"
Kening Dewi Tengkorak Hitam mengernyit.
"Hanya sekadar jalan-jalan" Hmm.... Tak
mungkin. Kalau dia berani sendirian yang kuduga
menyelidik, dia bukanlah pemuda yang boleh di-
pandang sebelah mata. Siapa dia sebenarnya...?"
"Aji.... Katakan terus terang. Apakah kau
bermaksud menyingkap siapa adanya Penguasa
Hutan Larangan sekaligus menyelamatkan para
tokoh-tokoh itu?"
Sejenak Pendekar 108 terdiam. Sambil me-
ringis dia usap-usap ujung hidungnya.
"Bagaimana ini...?" Pendekar 108 berkata sendiri dalam hati. "Apakah aku harus
berterus terang padanya" Dia sudah mengatakan ingin
menyelidik dan menantang Penguasa Hutan La-
rangan. Meski tujuannya lain denganku tapi
orang yang dituju sama. Hmm.... Memang sebaik-
nya aku terus terang saja. Mendapat teman can-
tik sungguh sayang jika dibiarkan berlalu...." lalu Pendekar Mata Keranjang
anggukkan kepala pertanda membenarkan pertanyaan Dewi Tengkorak
Hitam. "Hmmm.... Jadi tidak meleset dugaanku.
Dia adalah pemuda berilmu tinggi. Mustahil jika
tidak berilmu tinggi berani hendak menyela-
matkan tokoh-tokoh yang akhir-akhir ini kabar-
nya diculik oleh Penguasa Hutan Larangan.
Sayang dia tidak berterus terang tentang siapa dia sebenarnya...."
"Aji. Rasa-rasanya orang yang kita cari adalah sama meski tujuan kita berbeda.
Kau tak ke- beratan bukan jika kita jalan bersama-sama?"
Pendekar Mata Keranjang 108 angkat ba-
hunya sambil tersenyum.
"Bersama-sama tokoh rimba persilatan
yang berwajah cantik tentunya suatu kenangan
tersendiri bagiku. Dan rasa-rasanya tak pantas
jika aku menolaknya...."
Paras muka Dewi Tengkorak Hitam beru-
bah bersemu merah. Tubuh gadis muda ini ter-
guncang sesaat mendengar pujian Pendekar 108.
"Pemuda ini pandai bicara memuji. Hmm....
Seandainya tidak sedang dalam menghadapi ma-
salah...."
"Anting Wulan.... Sebaiknya kita segera
bergerak sekarang, mumpung hari belum gelap
benar. Dan laki-laki itu tentunya bisa untuk pe-
tunjuk jalan!" kata Pendekar 108 membuyarkan lamunan Dewi Tengkorak Hitam.
Sambil palingkan wajah yang makin ber-
semu merah, Dewi Tengkorak Hitam anggukkan
kepala. Lalu melangkah mendekati laki-laki ber-
jubah coklat. Laki-laki berjubah coklat yang bukan lain
adalah Utusan Coklat lirikkan sepasang matanya.
Mulutnya membuka bergerak-gerak. Namun tiada
sepatah kata pun yang terdengar, karena Dewi
Tengkorak Hitam telah menotok lehernya.
Dewi Tengkorak Hitam tersenyum dingin.
Tangan kanannya bergerak menjambak rambut
Utusan Coklat lalu ditariknya ke atas. Sambil
menyumpah-nyumpah dalam hati, Utusan Coklat
bergerak berdiri mengikuti tarikan Dewi Tengko-
rak Hitam. "Kau harus tunjukkan di mana tempat
Penguasa Hutan Larangan!" bentak Dewi Tengkorak Hitam sambil menyeret Utusan
Coklat. Kare- na yang tidak tertotok hanya kaki kanannya, ma-
ka Utusan Coklat terpincang-pincang seraya me-
nyeret kaki kirinya mengikuti langkah Dewi Teng-
korak Hitam. Begitu sampai di hadapan Aji, Dewi Teng-
korak Hitam segera membebaskan totokan pada
leher Utusan Coklat. Seketika Utusan Coklat ber-
teriak keras. "Demi setan. Bunuh saja aku! Bunuh! La-
kukan cepat!"
Pendekar Mata Keranjang kernyitkan dahi.
Dia tak tahu apa yang membuat Utusan Coklat
berteriak begitu rupa, namun dia maklum jika la-
ki-laki itu dalam keadaan takut luar biasa. Pen-
dekar Mata Keranjang segera tarik bahu Dewi
Tengkorak Hitam dan berbisik.
"Laki-laki itu ketakutan. Mungkin karena
takut mendapat hukuman dari atasannya. Kita
tak boleh bertindak kasar padanya jika ingin agar dia mau menunjukkan tempat
Penguasa Hutan Larangan!"
Dewi Tengkorak Hitam anggukkan kepala.
Lalu berpaling pada Utusan Coklat dan berkata.
"Dengar! Kalau kau mau menunjukkan di
mana Penguasa Hutan Larangan, kami akan am-
puni nyawamu! Kau akan kami bebaskan!"
"Kalian boleh membunuhku! Aku tak akan
tunjukkan tempat itu!" teriak Utusan Coklat, membuat Dewi Tengkorak Hitam
berpaling pada Pendekar 108 seolah hendak minta pertimbangan.
Pendekar 108 sendiri usap-usap hidungnya se-
raya berpikir. Saat itulah mendadak Utusan Cok-
lat lejangkan kaki kanannya yang tidak tertotok
ke arah Dewi Tengkorak Hitam.
"Awas serangan!" teriak Aji memperin-
gatkan. "Jahanam!" maki Dewi Tengkorak Hitam
marah seraya geser tubuhnya ke samping. Lejan-
gan kaki Utusan Coklat menghajar angin sejeng-
kal di depan dada Dewi Tengkorak Hitam. Saat
itulah Dewi Tengkorak Hitam hantamkan kedua
tangannya ke arah dada Utusan Coklat.
Desss! Utusan Coklat meraung keras, tubuhnya
mencelat hingga beberapa tombak lalu terguling-
guling di atas tanah.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat berke-
lebat. Sesaat dia menunggu. Namun melihat Utu-
san Coklat tidak bergerak-gerak lagi, murid Wong Agung segera membalik tubuh
Utusan Coklat yang telungkup. Pendekar Mata Keranjang meng-
hela napas panjang. Ternyata dada Utusan Coklat
telah ambrol! Di depan sana, Dewi Tengkorak Hi-
tam memandang dengan tatapan dingin.
"Hilang sudah kesempatan...," gumam Pendekar 108 lalu melangkah ke arah Dewi
Tengko- rak Hitam. "Anting Wulan. Kita harus cepat tinggalkan
tempat ini!" kata Pendekar 108 sambil melangkah terus. "Ke mana..."!" tanya Dewi
Tengkorak Hitam dengan kernyitkan kening.
"Aku tadi menemukan tempat aneh. Aku
curiga dan penasaran dengan tempat itu!"
"Tempat aneh...?" ulang Dewi Tengkorak Hitam. Sepasang matanya yang bulat
memperhatikan pemuda di hadapannya. "Hmm.... Jangan-jangan dia mengajakku...."
Bibir Dewi Tengkorak Hitam tersenyum. Dadanya yang membusung
bergerak turun naik.
"Apakah tempat itu ada mata airnya?"
tanya Dewi Tengkorak Hitam sambil melangkah
menjajari Pendekar Mata Keranjang. Gadis ini
sengaja merapatkan tubuhnya ke bahu Aji. Bah-
kan ketika Aji diam saja, gadis ini menggeser tubuhnya hingga buah dadanya
sebelah kanan me-
nekan punggung Pendekar 108.
Sejenak murid Wong Agung ini menahan
napas. Perlahan-lahan tubuhnya berubah panas.
Namun teringat akan nasib para tokoh yang le-
nyap, gejolak yang mulai merambat di tubuhnya
segera ditahannya. Seraya menahan napas, dia
berpaling pada Dewi Tengkorak Hitam dan berka-
ta. "Anting Wulan. Kita tak punya waktu ba-
nyak. Kita harus segera sampai di tempat yang
kusebutkan tadi. Aku tak dapat menerangkan
tempat itu. Nanti saja kau lihat sendiri...."
Dewi Tengkorak Hitam terlihat menarik
napas panjang-panjang. Dadanya tampak makin
turun naik pertanda dia menindih gelegak nafsu
yang mulai menguasai dirinya.
Setelah diam sejenak, Aji anggukkan kepa-
la memberi isyarat agar Dewi Tengkorak Hitam
mengikuti langkahnya. Dengan wajah merah ga-
dis muda cantik itu angkat bahunya lalu melang-
kah mengikuti pemuda di depannya yang mulai
melangkah ke arah tengah hutan.
ENAM GELAP pekat telah mengepung tatkala
Pendekar Mata Keranjang dan Dewi Tengkorak
Hitam sampai di tempat semak belukar aneh yang
akar-akarnya mengambang di atas tanah dan
berwarna merah!
"Inilah tempat yang kusebutkan aneh itu!"
kata Pendekar 108 menerangkan.
Entah karena terkesima dengan semak be-
lukar di hadapannya atau karena kecewa karena
yang dituju Aji bukan tempat yang seperti hara-
pannya, Dewi Tengkorak Hitam terlihat diam saja
tak menyahut. Hanya sepasang matanya meman-
dang lurus ke depan.
Pendekar 108 kerlingkan matanya. Sepa-
sang mata itu mendadak membesar. Bukan kare-
na melihat wajah gadis di sampingnya yang masih
tertegun, melainkan karena saat itu Dewi Tengko-
rak Hitam tubuhnya dibasahi keringat, maka pa-
kaiannya yang tipis membalut ketat tubuhnya,
hingga tubuhnya jelas membentuk! Sepasang
buah dadanya yang menyembul sebagian, jelas
memperlihatkan bentuknya yang kencang menan-
tang. Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam berpaling, membuat Pendekar 108 salah
tingkah. Namun murid Wong Agung ini segera tersenyum sambil
usap-usap ujung dagunya.
"Semak belukar itu memang aneh. Lantas
apa maksudmu membawaku ke sini?"
"Semak belukar itu bukan hanya aneh. Ta-
pi juga mengandung kekuatan luar biasa. Aku cu-
riga jangan-jangan di balik semak belukar itu sarang manusia yang kita cari!"
Lalu Pendekar Mata Keranjang alihkan pandangannya ke depan. Dalam hati dia
berucap sendiri. "Hmm.... Seandainya laki-laki tadi tidak kedahuluan tewas,
mungkin dia bisa memberi keterangan. Tapi segalanya su-
dah berlalu...."
Dewi Tengkorak Hitam sipitkan sepasang
matanya. Kepalanya lantas berputar dan kembali
memandangi semak belukar yang tak jauh di ha-
dapannya. "Aku belum yakin jika tidak membuktikan-
nya sendiri!" katanya.
Tangan kanannya bergerak ke balik pa-
kaiannya. Ketika ditarik keluar lagi tampak dua
butiran sebesar buah duku berwarna hitam. Pen-
dekar 108 sejenak memperhatikan. Tiba-tiba se-
pasang matanya mendelik. Betapa tidak. Butiran
sebesar buah duku di tangan Dewi Tengkorak Hi-
tam itu ternyata berbentuk tengkorak kepala ma-
nusia! "Hmm.... Pasti ini yang membuatnya dige-lari Dewi Tengkorak Hitam...."
Sesaat Dewi Tengkorak Hitam menimang-
nimang dua butiran hitam yang membentuk
tengkorak kepala manusia itu, lalu tangannya di-
angkat didekatkan ke mulutnya. Mulutnya yang
membentuk bagus terlihat bergerak meniup. Ter-
jadilah hal yang luar biasa. Dua butiran di tan-
gannya menggelembung dan sekejap kemudian
telah berubah benar-benar menjadi tengkorak ke-
pala manusia serta tertata saling tindih!
Tanpa mempedulikan keheranan Pendekar
108, Dewi Tengkorak Hitam ambil salah satu
tengkorak hitam. Kini tangan kanan kirinya me-
megang tengkorak hitam. Sepasang matanya lan-
tas memejam sejenak. Tiba-tiba kedua tangannya
bergerak melemparkan dua tengkorak itu ke de-
pan, ke arah semak belukar aneh.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Kedua tengkorak hitam itu melesat deras
ke depan. Hebatnya bersamaan dengan itu dua
gelombang angin dahsyat terlebih dahulu me-
nyambar! Jelas jika selain dapat menggunakan
tengkorak sebagai senjata hebat, gadis ini juga
mampu mengalirkan tenaga dalam dan mele-
paskannya bersamaan tengkorak!
"Luar biasa...," gumam Aji sambil gelengkan kepala.
Namun sesaat kemudian, Pendekar Mata
Keranjang dan Dewi Tengkorak Hitam sama-sama
membelalakkan sepasang mata masing-masing.
Malah Dewi Tengkorak Hitam terlihat bantingkan
kedua kakinya. Dari hidungnya terdengar dengu-
san keras. Dia tak menyangka sama sekali jika
pukulan yang baru saja dilepaskannya hanya
menerabas semak belukar dan membuat gerum-
bulan semak itu bergoyang-goyang! Padahal pu-


Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulan yang baru dilepaskan adalah pukulan sakti
'Tengkorak Mendera Bumi'!
Sementara Pendekar 108 sendiri bertam-
bah penasaran. Diam-diam dia kerahkan tenaga
dalam siapkan pukulan sakti 'Mutiara Biru'.
Pada saat itulah, tiba-tiba semak belukar
aneh itu bergoyang-goyang lagi. Dan belum sem-
pat Pendekar 108 atau Dewi Tengkorak Hitam
mengetahui apa yang terjadi, gerumbulan semak
belukar itu bergerak menguak. Dan melesatlah
dua benda hitam disertai dua gelombang angin
dahsyat! "Dua tengkorak itu!" seru Aji sambil tarik tangan Dewi Tengkorak Hitam. Keduanya
lantas bergulingan di atas tanah untuk menghindari dua
buah benda hitam yang ternyata adalah dua
tengkorak milik Dewi Tengkorak Hitam!
Weeerrr! Weeerrr!
Dua tengkorak hitam melesat di atas tubuh
Pendekar 108 dan Dewi Tengkorak Hitam. Lalu
terus menerabas ke belakang. Sesaat kemudian
terdengar dua letusan keras. Lalu disusul dengan berderaknya pohon yang hendak
tumbang. Melirik, Pendekar 108 terkesiap. Dua pohon besar di
belakangnya tumbang dengan daun berhamburan
dan berubah menjadi hitam!
Begitu terdengar tumbangnya pohon, Dewi
Tengkorak Hitam angkat kepalanya hendak berge-
rak bangkit. Namun betapa terkejutnya gadis ini, karena bersamaan dengan itu dua
gelombang angin dahsyat datang menyambar!
Melihat hal itu Pendekar 108 bergerak ce-
pat. Tangannya menjulur dan ditariknya kuat-
kuat tangan gadis di sampingnya itu. Gelombang
angin lewat sejengkal di samping tubuh Dewi
Tengkorak Hitam. Namun mungkin karena kuat-
nya tarikan tenaga Aji yang ingin menyelamatkan
Dewi Tengkorak Hitam, membuat tubuh gadis itu
melambung hingga setinggi setengah tombak di
udara. Pendekar Mata Keranjang terkesiap, kare-
na Dewi Tengkorak Hitam terlihat tak bisa dikua-
sai diri. "Celaka! Tarikanku terlalu keras...!?" bisik Pendekar 108 lalu cepat dia
gulingkan tubuhnya
mengikuti arah tubuh Dewi Tengkorak Hitam.
Sedang Dewi Tengkorak Hitam sendiri pa-
rasnya pucat pasi. Dan sesaat lagi tubuhnya ja-
tuh telungkup di atas tanah, gadis ini pejamkan
sepasang matanya.
Bukkk! Dewi Tengkorak Hitam jatuh telungkup.
Namun gadis ini merasa heran. Karena tubuhnya
tidak terasa berbenturan dengan tanah. Dia me-
rasakan gerakan-gerakan pelan di bawahnya.
Dengan menindih rasa heran perlahan-lahan di-
bukanya kelopak matanya. Pertama-tama yang
terlihat adalah batuan hitam di bawahnya. Lalu
ketika matanya turun lagi ke bawah, gadis ini
terhenyak. Pendekar 108 tampak terengah-engah
menahan napas di bawah tubuhnya! Buah da-
danya yang kencang menantang tepat di atas hi-
dung murid Wong Agung ini.
Mungkin tak bisa bernapas, Aji segera ges-
er-geser kepalanya yang tertindih buah dada. Dia memang segera bisa sedikit
bernapas, namun hal
ini membuat kancing pakaian Dewi Tengkorak Hi-
tam terlepas dan tersingkaplah baju bagian atas-
nya, hingga tanpa penutup lagi buah dada ken-
cang milik Dewi Tengkorak Hitam menempel ketat
di wajahnya! Di lain pihak, geseran-geseran kepala Pen-
dekar Mata Keranjang tampaknya membuat Dewi
Tengkorak Hitam menggelinjang. Gadis cantik ini
keluarkan suara mendesah pelan, dan perlahan-
lahan pula tubuhnya digeser ke bawah. Begitu
wajahnya ada di atas wajah Aji, sepasang ma-
tanya dipejamkan sedikit, bibirnya dibuka, dan
kedua tangannya mencekal kedua bahu Pendekar
108. '"Jangkrik! Dia sepertinya menunggu, apakah aku...,"' Pendekar 108 tak
meneruskan kata hatinya, karena saat itu juga wajah Dewi Tengkorak Hitam telah
bergerak ke bawah dan dengan
dada berdegup keras bibirnya memagut bibir
Pendekar 108. Darah Pendekar Mata Keranjang 108 kon-
tan bergolak. Bersamaan dengan pagutan bibir
Dewi Tengkorak Hitam, kedua tangan murid
Wong Agung bergerak merangkul tubuh gadis
yang kini telungkup di atasnya.
Beberapa saat berlalu, tiba-tiba terdengar
suara gelegukan beberapa kali seperti suara orang sedang minum. Disusul kemudian
dengan suara tawa mengekeh panjang.
Baik Pendekar Mata Keranjang maupun
Dewi Tengkorak Hitam sama-sama tercekat. Ke-
dua orang ini segera lepaskan bibir masing-
masing. Dan dengan dada masih bergerak turun
naik serta terbuka, Dewi Tengkorak Hitam me-
lompat ke samping. Sedangkan Aji bergulingan
dua kali lalu bangkit dengan sepasang mata me-
mandang ke arah sumber tawa yang sesekali dis-
elingi dengan gelegukan.
Di bawah cahaya sinar rembulan yang ter-
nyata telah merambat dan menerobos melalui po-
hon-pohon yang tumbang, delapan tombak di de-
pan Pendekar 108 terlihat sesosok manusia du-
duk menggelosoh. Pakaiannya compang-camping.
Rambutnya tipis. Mukanya keriput dengan sepa-
sang mata sayu merah. Pada bahu manusia itu
tampak menyelempeng sebuah ikat pinggang be-
sar yang diganduli beberapa bumbung bambu.
Bau arak yang keras menyengat keluar dari bum-
bung bambu itu. Seraya duduk menggelosoh, ke-
dua tangannya yang juga memegang bumbung
bambu didekatkan silih berganti ke mulutnya.
"Setan Arak!" seru Pendekar 108 begitu mengenali siapa adanya orang.
Mendengar Pendekar 108 menyebut nama
orang, Dewi Tengkorak Hitam kernyitkan dahi.
Bibirnya menyungging senyum seringai. Kepa-
lanya lantas sedikit tengadah.
"Hmm.... Aku telah dengar nama tokoh
pantat arak ini. Sungguh kebetulan sekali hari ini aku bisa bertemu. Aku telah
lama mencari-carinya untuk ku tantang!"
Setelah mengancingkan bagian dadanya
yang terbuka, Dewi Tengkorak Hitam melangkah
ke arah orang yang duduk menggelosoh sambil
menenggak minuman dan bukan lain memang
Setan Arak. Apabila nafsu singgah di hati....
Bola mata sesat buta pandangan
Memandang tahi laksana roti
Memandang roti bagaikan tahi
Begitu panas dan demamnya nafsu....
Telinga jadi tuli, mata jadi buta
Mulut jadi bisu dan lidah kelu
Tiada guna bicara nasihat
Karena daging terasa tahi lalat...
Tiba-tiba Setan Arak keluarkan suara se-
perti orang senandungkan syair. Dewi Tengkorak
Hitam hentikan langkahnya mendengar lantunan
senandung Setan Arak. Dia merasa lantunan
syair itu menyindir dirinya.
"Jahanam! Apakah dia tahu siapa aku se-
benarnya?"
Wajah cantik Dewi Tengkorak Hitam makin
merah padam. Pelipis kiri kanannya bergerak-
gerak. Dagunya sedikit terangkat. Tangan kanan-
nya bergerak menyelinap masuk ke balik pa-
kaiannya. Ketika ditarik kembali satu butir tengkorak kecil berwarna hitam telah
ada di tangan- nya. Mulutnya lantas meniup. Namun gerakan
gadis itu tertahan tatkala lengannya dicekal
orang. Berpaling, Pendekar 108 tegak di samping-
nya dan langsung berkata.
"Anting Wulan. Jangan bertindak gegabah.
Dia bukan orang jahat. Aku mengenalnya! Dia
adalah Setan Arak...!"
"Aku tahu. Justru aku selama ini juga
mencarinya...!" jawab Dewi Tengkorak Hitam tanpa memandang lagi. Tapi tangannya
yang hendak ditiup diurungkan.
"Apakah antara kau dan dia ada silang
sengketa...?"
Dewi Tengkorak Hitam gelengkan kepa-
lanya. "Aku memang tidak punya masalah dengan dia, namun aku akan mencoba
menjajaki il- munya!" Pendekar Mata Keranjang geleng-geleng
kepala. "Aneh sifat gadis ini. Selalu ingin menantang setiap orang...," tiba-
tiba Aji seperti terkejut.
Kepalanya tengadah seakan memikirkan sesuatu.
"Heran, bagaimana gadis ini telah kenal tokoh-tokoh tua. Padahal usianya masih
begini muda"
Jangan-jangan.... Ah, kenapa aku berpikir jelek
padanya. Yang penting kali ini aku harus mence-
gah terjadinya bentrok antara keduanya. Masalah
di depan kurasa lebih penting!" berpikir sampai di situ, Pendekar 108 lantas
berkata. "Anting Wulan. Untuk sementara ini kuha-
rap kau menunda niatmu. Bagaimanapun juga
saat ini aku memerlukan bantuannya! Kau tak
keberatan bukan"!"
Meski dengan berat dan wajah kecewa, ak-
hirnya Dewi Tengkorak Hitam anggukkan kepa-
lanya. Dalam hati diam-diam gadis cantik ini be-
rucap. "Kalau bukan dia yang mencegah, kesempatan ini tak mungkin kusia-
siakan...."
Pendekar 108 lantas melangkah ke arah
Setan Arak. Setelah dekat dan menjura hormat
murid Wong Agung langsung bicara.
"Setan Arak. Kebetulan sekali kau muncul
di sini. Aku sekarang memang sedang memerlu-
kan bantuan!"
Seakan tidak melihat adanya orang dan ju-
ga tidak mendengar pembicaraan orang, Setan
Arak terus tenggelam dalam keasyikan araknya.
Bahkan melirik pun tidak!
Meski dalam hatinya merutuk panjang
pendek melihat tingkah laki-laki tua itu, namun
karena sadar kalau manusia arak itu sering ber-
sikap aneh maka pada akhirnya murid Wong
Agung hanya bisa usap-usap hidungnya seraya
menunggu. Namun karena ditunggu agak lama dan Se-
tan Arak tetap seperti semula malah kini rebahan dengan bergumam yang tak bisa
dimengerti, Pendekar 108 beranikan diri berkata kembali.
"Setan Arak! Aku tahu, kau mendengar
ucapanku. Harap kau sudi menyahut. Aku perlu
bantuanmu!"
"Puaaah! Kau menyela kesenangan orang
saja. Apakah cumbuan-cumbuan perlu minta
bantuan segala" Memangnya kau kehabisan te-
naga" Mana mungkin orang renta sepertiku bisa
membantu masalah yang begitu-begitu?"
Kembali Pendekar 108 merutuk dalam hati.
Namun wajahnya kali ini berubah merah padam.
Sementara Dewi Tengkorak Hitam bantingkan ka-
kinya mendengar ucapan Setan Arak. "Keparat!
Mulutnya terlalu usil dengan perbuatan orang!
Aku sudah gatal untuk menantangnya!"
"Kek!" kata Pendekar Mata Keranjang setelah agak lama terdiam. "Lupakan dulu
masalah cumbu-cumbuan. Aku benar-benar ingin bantuanmu!"
Tiba-tiba Setan Arak keluarkan tawa pan-
jang dan keras, hingga Aji tutup kedua telin-
ganya. Setelah puas tertawa, dia berpaling pada
Pendekar 108 dan berkata.
"Anak sedeng! Kau minta bantuan bukan
soal cumbu-cumbuan, lantas bantuan apa yang
kau minta" He..."!"
"Kek! Tentunya kau telah dengar tentang
lenyapnya beberapa tokoh rimba persilatan pada
akhir-akhir ini. Dan tentunya kau telah pula
mendengar bahwa diduga biang lenyapnya tokoh-
tokoh tersebut adalah manusia yang menyebut
dirinya Penguasa Hutan Larangan. Aku memang
belum...."
"Kau terlalu banyak omong! Bicara lang-
sung saja apa kesulitanmu!" sela Setan Arak. Lalu dia dekatkan bumbung bambu di
tangan kanannya dan menenggak isinya.
"Semak belukar itu adalah sarang manusia
yang bergelar Penguasa Hutan Larangan!" kata Pendekar 108 seenaknya. Sebenarnya
ia memang belum tahu pasti apakah benar gerumbulan se-
mak belukar itu tempat Penguasa Hutan Laran-
gan, namun karena agak jengkel, Pendekar Mata
Keranjang bicara seenaknya, mengatakan semak
belukar aneh itu tempat Penguasa Hutan Laran-
gan. "Puaaahhh! Ternyata nafsu juga membuat otak orang jadi keruh! Kau tadi
bilang hendak minta bantuan, sekarang bicara soal Penguasa
Hutan Larangan. Otakmu benar-benar minta di-
cuci!" Walau bertambah jengkel dengan ucapan
Setan Arak, namun Aji harus menahannya, kare-


Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

na dia pikir kali ini dia betul-betul mengharapkan bantuan orang tua di
hadapannya itu.
"Kek! Terus terang saja aku tak dapat
membuka tempat Penguasa Hutan Larangan itu.
Aku minta agar kau membantuku membukanya!"
"Dasar anak tolol! Kau bisanya cuma buka
baju orang!"
Pendekar Mata Keranjang tersenyum-
senyum mendengar ucapan Setan Arak. Sementa-
ra Dewi Tengkorak Hitam makin geram, namun
gadis ini tak hendak bergerak dari tempatnya ka-
rena saat itu Setan Arak dilihatnya menggeliat
bangkit. Dan tanpa menghiraukan pada Aji dia
melangkah ke arah semak belukar aneh.
Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak
memperhatikan. Lalu sambil tersenyum-senyum
dia melangkah mengikuti di belakangnya. Ketika
Setan Arak menghentikan langkah tak jauh dari
tempat Dewi Tengkorak Hitam, Pendekar 108
memberi isyarat agar Dewi Tengkorak Hitam tak
angkat bicara dengan gelengkan kepala dan me-
lintangkan jari telunjuknya di depan mulut. Mu-
rid Wong Agung ini khawatir akan terjadi sesuatu jika Dewi Tengkorak Hitam ikut-
ikutan bicara. Dan jika itu terjadi, bukan mustahil jika Setan
Arak akan mengurungkan niatnya.
Di depan, sejenak Setan Arak memandang
liar pada semak belukar berakar merah di hada-
pannya. Lalu pandangannya beralih pada Dewi
Tengkorak Hitam. Dewi Tengkorak Hitam pasang
tampang angker dengan mata mendelik.
Tiba-tiba Setan Arak lambaikan tangan ki-
rinya ke belakang memberi isyarat pada aji agar mendekat. Murid Wong Agung ini
menarik napas lega. Karena baru saja dadanya bergetar saat me-
lihat Setan Arak dan Dewi Tengkorak Hitam sal-
ing bentrok pandangan.
Setelah Pendekar 108 dekat, Setan Arak
sorongkan kepalanya dan berbisik.
"Ternyata kau pintar juga memilih perem-
puan. Tahu demikian, aku memasang syarat!"
"Kau tertarik padanya" Ah, jika saja kau
berada lebih dekat lagi, kau pasti bisa melihat
buah dadanya yang kencang menantang, pahanya
yang putih mulus...," jawab Pendekar 108 dengan suara pelan. Lalu tersenyum dan
berbisik kembali.
"Kalau kau memang tertarik, aku bisa
mengatakannya. Siapa tahu dia juga tertarik pa-
damu. Tubuhnya hangat, Kek! Bau badannya ha-
rum...." Setan Arak menyeringai. Mulutnya komat-
kamit. Sepasang matanya melirik pada Dewi
Tengkorak Hitam.
"Anak kurang ajar, dengar! Gadismu itu
memang berparas cantik, bertubuh aduhai. Ha-
rum tubuhnya mampu membuat dadaku kem-
bang kempis. Tapi maaf saja, jelek-jelek begini
aku tak mau bercumbu-cumbu dengan gadis be-
kas orang! Lagi pula kau akan menyesal jika kau
tahu siapa...," Setan Arak tak meneruskan uca-
pannya, karena saat itu juga Dewi Tengkorak Hi-
tam terlihat bantingkan kakinya dan melotot ke
arah Aji dan Setan Arak.
"Lihat, gadismu marah-marah. Lekas kau
ke sana!" bisik Setan Arak lalu melangkah setelah menenggak arak dari bumbung
bambu di tangan
kirinya. "Kek!" seru Pendekar 108 seraya melompat menjajari. "Kau belum selesai dengan
keteran-ganmu!"
"Puaaahhh! Urus dulu gadismu itu! Suatu
saat nanti kau akan tahu sendiri!" kata Setan Arak seraya kibaskan tangan
Pendekar 108 yang
memegang lengannya.
Dengan muka ditekuk Pendekar Mata Ke-
ranjang balikkan tubuh dan melangkah ke arah
Dewi Tengkorak Hitam yang masih mendelik ang-
ker. Begitu murid Wong Agung dekat, gadis cantik itu segera ajukan pertanyaan.
"Apa yang dikatakan tua bangka itu pada-
mu?" "Nggg.... Dia mengatakan kau cantik. Dan rasa-rasanya dia tertarik padamu!"
Tiba-tiba Dewi Tengkorak Hitam tertawa
bergerai-gerai mendengar jawaban Pendekar 108.
"Di mana enaknya bermesra-mesra dengan ma-
nusia yang lebih suka mencium bibir bumbung
daripada.... Bibir.... Hik... hik... hik.... Lebih senang mulusnya bumbung arak
daripada mulus-
nya....!" Dewi Tengkorak Hitam putus ucapannya dan kembali tertawa.
Setelah puas tertawa, kembali Dewi Teng-
korak Hitam berkata.
"Lagi pula bercumbu dengan tua bangka
seperti dia bikin pusing kepala. Karena aku belum panas dia sudah.... Hik...
hik... hik...!"
Pendekar Mata Keranjang geleng-geleng
kepala. Dan sesaat kemudian dia ikut-ikutan ke-
luarkan tawa. Saat itulah tiba-tiba terdengar gedebak-
gedebuk berulang kali. Lalu disusul dengan suara orang seperti sedang menghalau.
Pendekar Mata Keranjang dan Dewi Tengkorak Hitam hentikan
tawanya. Lalu berpaling ke arah sumber suara. Di depan sana, Setan Arak angkat
kedua tangannya,
lalu menenggak bumbung arak silih berganti dari
kedua tangannya. Terdengar gelegukan beberapa
kali. Lalu terdengar tawanya meledak keras.
TUJUH PENDEKAR Mata Keranjang dan Dewi
Tengkorak Hitam tidak menunggu lama. Dari ke-
gelapan di balik pohon muncul dua sosok laki-
laki dengan langkah terhuyung-huyung. Kedua-
nya sama-sama buka mulutnya lebar-lebar, na-
mun tak terdengar suara. Kedua laki-laki ini
mengenakan jubah besar warna biru dan hitam.
Ikat kepalanya berwarna seperti jubah masing-
masing. Hanya tangan kiri laki-laki berjubah hi-
tam tampak dibalut dan ditopang dengan kain
yang dikalungkan ke lehernya, pertanda bahwa
tangan kirinya cidera. Paras kedua laki-laki ini tidak bisa dikenali karena
keduanya menutup wa-
jah masing-masing dengan sepotong kulit tipis.
Ada kesamaan pada kedua laki-laki ini, yakni jari kelingking masing-masing orang
terpotong! Pendekar 108 kernyitkan kening. Sepasang
matanya memperhatikan kedua laki-laki.
"Hmm.... Ciri-cirinya sama dengan laki-laki yang tewas di tangan Dewi Tengkorak
Hitam. Hanya warna jubah dan ikat kepalanya yang ber-
beda. Kuat dugaan kedua laki-laki ini adalah juga utusan Penguasa Hutan
Larangan. Tapi kenapa
mereka bisa demikian..." Mereka tampaknya ter-
totok. Hmm.... Pasti yang melakukan totokan itu
adalah orang yang ada di belakangnya. Siapa
dia..." Apakah juga seorang gadis cantik dan bertubuh..." Aji tak meneruskan
kata hatinya, karena saat itu sepasang matanya menangkap muncul-nya sesosok
tubuh dari balik kegelapan.
Yang muncul ternyata seorang perempuan
tua renta. Tubuhnya telah bungkuk. Rambutnya
tipis dan kaku serta disanggul ke atas. Dia men-
genakan pakaian gombrong warna putih kusam.
Sepasang matanya sipit, namun tajam.
Sambil melangkah terseok-seok, sang ne-
nek ini mengacung-acungkan dua terompah besar
berwarna hitam legam di tangan kirinya, seolah
sedang menghalau. Anehnya, meski sendirian dan
seperti orang sedang menghalau, mulutnya tidak
memperdengarkan suara, melainkan tersenyum!
?"Dewi Bayang-Bayang!" seru Pendekar 108
begitu dapat mengenali siapa adanya sang nenek.
Di samping Aji, Dewi Tengkorak Hitam tampak
terkejut, malah surutkan langkah dua tindak ke
samping. Sepasang matanya memperhatikan
tingkah si nenek yang bukan lain memang Dewi
Bayang-Bayang. Mendengar namanya dipanggil orang, Dewi
Bayang-Bayang hentikan langkah. Kepalanya
berpaling, sepasang matanya membesar sedikit.
Memperhatikan pada Pendekar Mata Keranjang
lalu beralih pada Dewi Tengkorak Hitam. Namun
cuma sesaat. Dia lantas luruskan kepalanya
kembali dan memandang ke arah dua laki-laki
yang bukan lain adalah Utusan Biru dan Utusan
Hitam yang telah hentikan langkah masing-
masing tak jauh dari tempat Setan Arak.
Melihat Utusan Biru dan Utusan Hitam te-
lah hentikan langkah, Dewi Bayang-Bayang tu-
runkan kedua tangannya lalu mengenakan te-
rompah yang tadi diacung-acungkan.
"Dewi Bayang-Bayang!" kembali Pendekar 108 berseru. Lalu mendekat ke arahnya.
Namun sebelum Pendekar 108 buka suara lagi, Dewi
Bayang-Bayang telah berkata.
"Sedang apa kau malam-malam begini ke-
layapan di tempat ini" He..."!"
"Ini lagi. Manusia tua yang sukar dimen-
gerti...," kata murid Wong Agung dalam hati. Lalu berkata.
"Aku sedang menyelidik tempat Penguasa
Hutan Larangan.... Karena aku duga memang di-
alah yang ada di belakang lenyapnya beberapa to-
koh rimba persilatan akhir-akhir ini!"
"Hmmm.... Begitu" Lantas kenapa kau bisa
berdua-dua dengan tua bangka itu" Apakah dia
telah kau jadikan kekasih barumu"!" seraya berkata sepasang mata Dewi Bayang-
Bayang melirik pada Dewi Tengkorak Hitam.
"Tua bangka..." Sialan! Apakah Dewi
Bayang-Bayang sudah lamur" Gadis muda dan
cantik begitu dibilang tua bangka.... Aneh!" kata Aji dalam hati. Dahinya
mengkerut. "Setan Arak mengatakan bahwa aku akan menyesal jika tahu
siapa dia sebenarnya, sementara Dewi Bayang-
Bayang mengatakan dia tua bangka. Hm.... Apa
arti semua itu" Ah, kenapa aku pusing-pusing
memikirkan ucapan orang-orang aneh...."
Agak jauh di hadapan mereka, Dewi Teng-
korak Hitam terlihat terus memperhatikan Dewi
Bayang-Bayang. "Hmm.... Siapa pemuda itu sebenarnya" Dia kenal beberapa tokoh
rimba persila- tan yang terkenal berkepandaian tinggi. Apakah
dia tokoh muda yang akhir-akhir ini namanya
banyak dibicarakan orang dengan gelar Pendekar
Mata Keranjang 108" Hmm.... Dewi Bayang-
Bayang. Sebenarnya aku sudah lama juga menca-
ri nenek tua itu! Sayang.... Saat bertemu kea-
daannya tidak menguntungkan. Jika saja pemuda
itu tidak kenal padanya, sudah ku tantang nenek
itu saat ini juga!" batin Dewi Tengkorak Hitam sambil buang muka dan memandang
jurusan lain. "He! Apa kau telah bisu dan tuli" Ditanya orang diam saja"!" tiba-tiba
Dewi Bayang-Bayang membentak. Namun bibirnya menyunggingkan
senyum. "Dewi...," kata Pendekar 108 seraya lebih mendekat. "Siapa yang kau maksud
dengan tua bangka?"
"Dasar anak bodoh! Siapa lagi kalau bukan
manusia berdada montok berpaha mulus yang
tadi berhaha... hihi... bersamamu itu"!"
Mau tak mau Pendekar Mata Keranjang ga-
ruk-garuk kepala mendengar ucapan Dewi
Bayang-Bayang. Setelah memikir sejenak, dia lan-
tas berkata. "Dewi. Aku secara tak sengaja bertemu
dengannya di sini! Seperti aku, ternyata dia juga sedang mencari Penguasa Hutan
Larangan! Dia adalah Dewi Tengkorak Hitam...."
"Aku tak tanya namanya!" sahut Dewi
Bayang-Bayang. Lalu pandangannya beralih pada
Setan Arak yang masih terlihat asyik dengan mi-
numannya. "Dedemit arak itu. Apakah kau yang mem-
bawa-bawa dia kemari?"
Pendekar Mata Keranjang gelengkan kepa-
la. "Aku ke sini sendiri! Dia juga datang sendiri!"
Di depan sana, Setan Arak tenggak bum-
bung araknya. Lalu tertawa bergelak. Anehnya
arak yang masih di mulutnya tidak sepercik pun
yang muncrat! Lalu dia berkata.
Buah kelapa berwarna dua, satu hijau, cok-
lat satunya. Berjumpa telah berdua. Bercumbu dengan
dua bangka mana nikmatnya"
Orang gila mana yang tidak sialan.
Lontong ketupat dikira tahi hewan. Bersama
bulan aku berjalan
Tiada sahabat tiada kawan!
"Ha.... Ha.... Ha.... Syukur telah ada yang memberi keterangan, jadi aku tak
repot-repot menerangkan!"
"Luar biasa...," desis Pendekar 108. "Dia dapat menangkap pembicaraan orang,
padahal aku berkata amat pelan. Jaraknya pun jauh...,"
Aji membatin. Namun tak urung wajahnya merah
padam juga mendengar ucapan Setan Arak. Dia
menduga yang disindir dengan tua bangka bukan
lain adalah Dewi Tengkorak Hitam, yang memang
tengah bercumbu dengannya saat ditemukan Se-


Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tan Arak. Dewi Bayang-Bayang tersenyum-senyum.
Lalu berpaling pada Pendekar 108 dan berkata.
"He! Kenapa kau enak-enakan mematung"
Pergi sana! Dua laki-laki itu mungkin bisa me-
nunjukkan tempat orang yang kau cari!"
Sambil cengar-cengir, Pendekar 108 nge-
loyor dari hadapan Dewi Bayang-Bayang mende-
kat ke arah Dewi Tengkorak Hitam. Lalu memberi
isyarat pada gadis itu untuk mengikutinya. Na-
mun si gadis tak beranjak dari tempatnya, hingga pada akhirnya Aji melangkah
sendirian ke arah
Utusan Biru dan Utusan Hitam yang tegak den-
gan sinar mata ketakutan luar biasa.
"Dengar! " kata Pendekar 108 pada kedua laki-laki di sampingnya. "Aku tahu,
kalian adalah utusan Penguasa Hutan Larangan. Kalau kalian
masih ingin hidup, tunjukkan pada kami tempat
orang yang mengutus kalian!"
Utusan Biru dan Utusan Hitam saling pan-
dang satu sama lain. Mulut mereka membuka
seakan hendak mengatakan sesuatu. Namun tia-
da ucapan yang terdengar. Melihat hal ini murid
Wong Agung lantas gerakkan tangan kanannya
membebaskan totokan pada leher masing-masing
orang. "Nah, bicaralah!" kata Pendekar Mata Keranjang
Untuk beberapa saat kedua orang laki-laki
ini masih tak ada yang buka mulut. Keduanya
tampak bimbang. Namun tatkala terdengar suara
berdebam-debam yang mendekat ke arah mereka,
salah satu dari keduanya terlihat anggukan kepa-
la memberi isyarat. Tanpa menoleh kedua orang
ini tampaknya sudah tahu siapa adanya yang ke-
luarkan suara berdebam-debam. Begitu suara
berdebam-debam yang ternyata keluar dari te-
rompah Dewi Bayang-Bayang terhenti, Utusan Bi-
ru luruskan kepalanya ke depan, memandang ge-
rumbulan semak yang akarnya mengambang dan
berwarna merah. Lalu berteriak.
"Utusan Biru dan Utusan Hitam datang!
Pintu harap dibuka!"
Keduanya menunggu. Pendekar 108 melirik
pada Dewi Bayang-Bayang yang kini telah berada
di sampingnya. Lalu beralih pada Dewi Tengkorak
Hitam yang masih tegak mematung di tempatnya
semula. Melirik ke kiri, murid Wong Agung ini geleng-geleng kepala. Karena Setan
Arak terlihat tidur pulas!
"Sialan! Kalau hanya ingin tidur, kenapa
harus jauh-jauh ke sini!" maki Pendekar 108 dalam hati, lalu pandangannya
kembali ke depan.
"Utusan Biru dan Utusan Hitam datang!
Harap buka pintu!" kembali Utusan Biru berteriak. Mendadak terdengar suara tawa
mengekeh panjang. Hebatnya, bersamaan dengan itu tempat
itu bergetar. Ketika suara tawa lenyap, terdengar suara orang berucap.
"Utusan Bilu, Utusan Hitam. Kalian benal-
benal utusan baik. Diutus mengambil kecoa kecil-
kecil yang kalian bawa empat gajah besal-besal!
Kalian layak dibeli ganjalan.... Ha.... Ha.... Ha...!
Pendekal Mata Kelanjang 108! Setan Alak! Dewi
Bayang-Bayang dan Dewi Tengkolak Hitam! Sela-
mat datang di kawasan hutan lalangan...! Pengu-
asa Hutan Lalangan memang menghalap kehadi-
lan kalian, lebih-lebih Pendekal Mata Kelanjang
108! Ha.... Ha.... Ha...!"
Pendekar Mata Keranjang terkejut. Kepa-
lanya sedikit tengadah memikir. Dahinya menger-
nyit. "Siapa dia" Rasa-rasanya aku pernah bertemu atau membuat urusan dengan
orang yang na- da bicaranya cedal! Hmm.... Tapi siapa pun dia
adanya, yang pasti dia berilmu tinggi!?"
Kalau Pendekar 108 terkejut, demikian pu-
la Dewi Tengkorak Hitam. Namun keterkejutan
gadis ini bukan karena suara yang baru saja di-
dengarnya. Melainkan karena orang menyebut
Pendekar Mata Keranjang 108!
"'Hmm.... Ternyata dugaanku tidak mele-
set! Pemuda itu adalah pemuda yang akhir-akhir
ini menggegerkan rimba persilatan Pendekar Mata
Keranjang 108!"
Pendekar Mata Keranjang berpaling pada
Dewi Bayang-Bayang. Nenek ini terlihat tenang-
tenang saja, senyumnya pun terus menyungging.
Melirik lagi ke kiri, Setan Arak masih tampak tidur pulas! Pendekar dari Karang
Langit ini geser tubuhnya mendekati Dewi Bayang-Bayang.
"Dewi. Kau kira-kira dapat mengenali siapa
adanya orang yang baru saja bicara?"
Dewi Bayang-Bayang gelengkan kepalanya
perlahan. "Selama bertahun-tahun hidup, baru kali
ini aku menemui orang cedal berilmu tinggi! Kita tunggu saja siapa dia
sebenarnya! Namun mendengar nada bicaranya, dia telah mengenalmu
dengan baik. Berarti dia sudah pernah bertemu
denganmu! Coba kau ingat-ingat!"
Kembali Pendekar 108 mendongak. Namun
setelah agak lama dia berpaling kembali pada
Dewi Bayang-Bayang dengan menggeleng.
"Aku gagal mengingatnya! Mungkin Setan
Arak mengenalinya....?"
"Percuma kau bertanya padanya! Dia lebih
ingat jenis arak daripada mengingat suara-suara orang!" "Atau mungkin Dewi
Tengkorak Hitam dapat mengenalinya!"
Dewi Bayang-Bayang keluarkan tawa per-
lahan. "Apalagi tua bangka itu! Kalau kau tanya tentang suara-suara mendesah
merayu, dia lebih
paham! Hik.... Hik.... Hik...!"
Saat itulah tiba-tiba terdengar kembali su-
ara tawa panjang. Namun mendadak suara tawa
itu diputus. Yang terdengar kini suara orang be-
rucap. ?"Utusan Bilu, Utusan Hitam! Atas kelja kalian, kalian dikasih imbalan!"
Bersamaan dengan sirapnya suara cedal, dari semak belukar menderu angin dahsyat
mengeluarkan suara mengge-
muruh laksana gelombang.
Pendekar 108 cepat tarik tangan Dewi
Bayang-Bayang. Kedua orang ini langsung rebah-
kan masing-masing tubuhnya sejajar tanah. Di
belakang, Dewi Tengkorak Hitam keluarkan ma-
kian panjang pendek, lalu melompat ke samping
untuk menghindar. Di sebelah kiri, karena tidur
pulas maka tak ampun lagi tubuh Setan Arak
mencelat hingga beberapa tombak ke belakang.
Anehnya, manusia arak ini bukannya jatuh
menghempas tanah, justru melayang turun den-
gan perlahan dan begitu di atas tanah langsung
meneruskan tidurnya!
Yang paling naas adalah Utusan Biru dan
Utusan Hitam. Karena tubuhnya sebagian masih
tertotok maka keduanya tak bisa membuat gera-
kan untuk menghindar, hingga dengan telak tu-
buh keduanya terhajar gelombang angin. Kedua
laki-laki ini terhempas ke belakang dan berkapa-
ran di atas tanah! Sejenak tubuh keduanya terli-
hat melejang-lejang, tapi kejap kemudian diam
tak bergerak! Tewas dengan tubuh hangus hitam!
Belum lenyap rasa keterkejutan semua
orang, terdengar kembali suara orang cedal.
"Pendekal Mata Kelanjang! Dan kalian se-
mua, kalian telah melihat bagaimana Utusan Bilu
dan Utusan Hitam menemui ajal. Kalian akan
mengalami hal yang lebih dali itu! Ha.... Ha....
Ha...! Silakan masuk calon-calon penghuni abadi
Hutan Lalangan...!"'
Pendekar Mata Keranjang segera bangkit.
Wajahnya merah membara. Dengan kepalkan ke-
dua tangan dia berteriak lantang.
"Jahanam kecil! Siapa pun kau adanya,
tunjukkan dirimu!"'
Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah
gema suara tawa, membuat Pendekar Mata Ke-
ranjang naik pitam. Dengan kerahkan tenaga da-
lam, kembali dia berteriak.
"Keparat kecil! Kalau bukan bangsa penge-
cut, kenapa kau tidak segera unjukkan diri"!"
Gema suara tawa sirna. Kini terdengar sua-
ra cedal. "Pendekal Mata Kelanjang! Aku telah mem-
persilakan kau masuk.. Kenapa kau hanya teliak-
teliak" Apa kau takut..."!"
"Benar. Benar. Kenapa hanya berteriak-
teriak?" kali ini yang menyahut adalah Setan Arak. "Sialan!?" maki Aji. Lalu
kerahkan tenaga dalamnya. Tiba-tiba tangan kirinya berubah menjadi biru
mencorong. Serta-merta kedua tangan-
nya dihantamkan ke arah semak belukar.
Wuuuttt! Seberkas sinar biru melesat. Di depan, se-
mak belukar aneh itu keluarkan suara 'crasss' berulang kali. Dan sekejap
kemudian terlihat ge-
rumbulan semak belukar itu terabas rata. Aneh-
nya, yang mampu terabas hanya ujung atasnya
saja, sedangkan akar-akarnya yang menggantung
seakan tak terusik!
Karena terabas, ujung semak belukar itu
berhamburan. Namun semua orang jadi melen-
gak. Saat ujung-ujung semak belukar itu ber-
hamburan ke udara entah dari mana datangnya,
tiba-tiba gelombang angin dahsyat berputar-putar lalu menghembuskan ujung-ujung
semak belukar itu. Kini ujung-ujung semak belukar itu bagaikan pisau kecil-kecil menghampar
deras ke arah Aji
dan Dewi Bayang-Bayang!
Dewi Bayang-Bayang tersenyum. Menda-
dak nenek ini membuat gerakan salto dan ketika
kakinya melejang, kedua terompahnya disentak-
kan. Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua terompah besar sang nenek mencelat
deras ke depan. Bagaikan baling-baling, kedua terompah itu berputar-putar dan
melabrak habis ujung-ujung semak belukar! Namun tiba-tiba saja
serangkum angin menyambar ke arah terompah
yang masing mengapung di udara.
Pendekar 108 membeliakkan sepasang ma-
tanya. Sementara Dewi Bayang-Bayang komat-
kamit. Betapa tidak, terompah hitam itu kini me-
lesat ke arahnya dan ke arah Dewi Bayang-
Bayang! "Celaka! Dewi... Awas!" teriak Pendekar 108
ketika diliriknya Dewi Bayang-Bayang tegak me-
matung dengan mulut komat-kamit.
"Husss! Jangan berteriak-teriak melulu! Se-
lamatkan dirimu!" kata Dewi Bayang-Bayang
sambil membuat gerakan aneh. Kaki kiri kanan-
nya dilejang-lejangkan seperti orang sedang me-
nari. Sedangkan tangan kiri kanan meliuk-liuk ke bawah ke atas. Tiba-tiba
tubuhnya membal ke
atas, lalu membuat gerakan jungkir balik di uda-
ra. Pada jumpalitan ketiga, tahu-tahu tubuhnya
tegak di atas udara dan sudah berada di belakang terompah! Bukan hanya sampai di
situ, tubuhnya lantas melesat dengan posisi tetap tegak membu-
ru terompahnya! Dalam satu kejapan kaki ka-
nannya telah mengenakan terompah di atas uda-
ra! Sementara terompah satunya terus mene-
rabas ke arah Pendekar 108. "Sialan! Kalau ku-hantam, terompah ini pasti hancur!
Dan Dewi Bayang-Bayang pasti marah-marah! Terpaksa aku
harus menghindar!"
Berpikir sampai di situ, Pendekar 108 lan-
tas jejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat
cepat ke samping ke arah Dewi Tengkorak Hitam
yang terlihat was-was.
Weeerrr! Terompah hitam gagal menghajar tubuh
Pendekar Mata Keranjang. Namun kini melesat te-
rus ke belakang, mengarah pada Setan Arak yang
masih tidur-tiduran dan silih berganti sorongkan tangannya yang memegang bumbung
arak ke mulutnya. Braaakkk!
"Sialan! Kau pecahkan bumbung arakku!"
teriak Setan Arak. Sepasang matanya mengerjap-
ngerjap. Lalu tangan kanannya mengambil bum-
bung araknya yang telah pecah berantakan. Sisa-
sisa arak pada bumbung bambu yang pecah diji-
latinya. "Dasar manusia arak! Setetes pun tak rela
jika araknya tumpah!" gumam Aji seraya gelenggeleng kepala. Lalu melirik pada
Dewi Tengkorak Hitam. Yang dilirik balas melirik sambil busung-
kan dada. Di sebelah depan, begitu mendarat ke ta-
nah Dewi Bayang-Bayang langsung memaki pan-
jang pendek. "Kau juga sialan! Alas kakiku kau pecah-
kan jadi dua!" lalu melangkah tertatih-tatih ke arah Setan Arak. Diambilnya
terompah hitam mi-liknya yang sudah pecah jadi dua karena meng-
hantam bumbung Setan Arak.
"Bumbungku pecah berantakan. Alas kaki
bututmu pecah jadi dua. Ini gara-gara manusia
kecil tak tahu adat itu! Anak kecil kurang ajar itu harus diberi tahu adat
istiadat!"
"Betul! Adat istiadat!" kata Dewi Bayang-Bayang ikut-ikutan.


Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua orang ini lantas dorong tangan mas-
ing-masing ke arah semak belukar yang tinggal
akar-akarnya. Wuuuttt! Wuuuttt!
DELAPAN DUA gelombang angin melesat dari tangan
kanan Setan Arak dan tangan kiri Dewi Bayang-
Bayang. Cuaca yang remang-remang mendadak
berubah menjadi terang benderang. Tiada suara
gemuruh yang terdengar. Namun apa yang terjadi
kemudian sungguh luar biasa.
Semak belukar aneh di depan sana laksana
terdorong kekuatan dahsyat dan perlahan-lahan
bergerak ke belakang. Dan ketika Setan Arak un-
tuk kedua kalinya dorong tangan kanannya, se-
mak belukar itu mencelat deras ke belakang!
Bersamaan dengan mencelatnya gerumbu-
lan semak belukar, tampaklah jalan setapak se-
panjang lima tombak.
Pendekar Mata Keranjang segera menggaet
tangan Dewi Tengkorak Hitam, lalu berkelebat.
Meski tampak enggan, namun karena tangannya
telah tergaet, mau tak mau gadis cantik ini ikut berkelebat.
Sejenak Pendekar 108 hentikan tubuhnya
di depan jalan setapak. Sepasang matanya mem-
perhatikan. Lalu berpaling pada Dewi Tengkorak
Hitam. "Kurasa inilah jalan menuju tempat Penguasa Hutan Larangan! Ayo kita
jalan duluan. Yang
tua-tua biar belakangan!"
Dewi Tengkorak Hitam tetap diam tak me-
nyahut, membuat Pendekar 108 kernyitkan dahi.
"Anting Wulan! Tunggu apa lagi?"
Dewi Tengkorak Hitam masih diam. Hanya
sepasang matanya yang bulat memandang tajam
ke arah Pendekar 108. Aji jadi salah tingkah di-
pandang begitu rupa.
"Anting Wulan...," Pendekar Mata Keranjang 108 tak meneruskan ucapannya, karena
De- wi Tengkorak Hitam telah buka mulut dan beru-
cap. "Kau penipu! Kenapa tidak kau jelaskan dari tadi jika kau adalah manusia
yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108?"
"Ah, soal itu. Sudah kukatakan, aku tidak
bergelar. Hanya orang-orang yang menjulukiku
demikian. Tapi sudahlah. Itu bisa kita bicarakan
nanti. Ayo!" Pendekar 108 tarik tangan Dewi Tengkorak Hitam. Gadis ini masih
sempat memberengut. Namun akhirnya menurut juga.
Perlahan-lahan keduanya melangkah di ja-
lanan setapak. Pada ujung jalan di mana terlihat sebuah lubang, Pendekar 108
yang berada di depan hentikan langkah. Kepalanya bergerak me-
longok. Yang terlihat hanyalah cahaya kemerahan
dan bau anyir darah!
"Apa yang kau lihat"!?" tanya Dewi Tengkorak Hitam ketika melihat paras wajah
Pendekar Mata Keranjang berubah tegang sambil nyengir.
"Warna merah dan bau anyir darah!" jawab murid Wong Agung ini sambil layangkan
pandangannya jauh ke belakang. Setan Arak dan Dewi
Bayang-Bayang terlihat berjalan pelan ke arah jalanan setapak.
"Anting Wulan. Mereka rupanya telah men-
genalmu. Apakah kau pernah bertemu dengan
mereka?" Dewi Tengkorak Hitam terdiam sesaat. Da-
lam hati gadis ini membatin.
"Hmm.... Dia rupanya ingin mengetahui
siapa diriku dengan memancing bicara. Aku tak
boleh mengatakannya terus terang!?"
"Setan Arak dan Dewi Bayang-Bayang se-
lama ini baru kudengar namanya saja. Bertemu
orangnya baru di tempat ini! Kalau mereka telah
mengenalku, aku tak tahu. Kenapa hal itu kau
tanyakan?" Dewi Tengkorak Hitam balik bertanya.
Pendekar Mata Keranjang gerakkan kepa-
lanya menggeleng.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja...."
"Hmm.... Aku tahu, dia menyembunyikan
sesuatu. Apa Setan Arak dan Dewi Bayang-
Bayang telah mengatakan siapa diriku sebenar-
nya waktu dia bercakap-cakap tadi..." Tapi.... Melihat sikapnya yang tak berubah
padaku, rasanya
kedua tua bangka itu tidak mengatakannya.... Ah, kenapa aku mengkhawatirkan hal
itu" Apakah
aku benar-benar tertarik pada pemuda ini?" Dewi Tengkorak Hitam berkata sendiri
dalam hati. Kalau Dewi Tengkorak Hitam dibuncah
dengan kekhawatiran, Pendekar 108 sendiri di-
landa kegelisahan.
"Heran. Gadis ini usianya kira-kira masih
sejajar denganku. Tapi banyak tokoh-tokoh tua
telah mengenalnya. Apa memang karena keting-
gian ilmunya atau karena...."
"He.... Kau ke sini mau menyelidik apa
hendak melamun"!" suara Dewi Tengkorak Hitam memutuskan kata hati Aji.
Sambil usap-usap hidungnya Pendekar 108
segera palingkan wajahnya kembali pada lubang
di depannya. Weeesss! Mendadak gelombang angin dahsyat mele-
sat dari dalam lubang disertai asap putih. Bersamaan dengan itu tempat di mana
Pendekar 108 dan Dewi Tengkorak Hitam berada bergetar hebat.
Pendekar Mata Keranjang yang sadar akan
bahaya yang sedang mengancam keselamatan di-
rinya juga Dewi Tengkorak Hitam segera siapkan
pukulan sakti 'Mutiara Biru'. Tanpa berpaling pa-da gadis di sampingnya dia
berbisik. "Anting Wulan. Kau jangan jauh-jauh dari-
ku!" Dewi Tengkorak Hitam mengangguk perlahan, lalu geser tubuhnya lebih merapat
pada Pendekar Mata Keranjang.
Saat itulah mendadak gelombang angin
dan asap itu membalik. Baik Dewi Tengkorak Hi-
tam atau Pendekar 108 terkesiap. Meski Aji hen-
dak berusaha lepaskan pukulan, namun kea-
daannya sudah terlambat. Hingga sebelum kedua
tangannya bergerak, gelombang angin dan asap
putih telah menghantam keduanya!
Baik Pendekar 108 maupun Dewi Tengko-
rak Hitam merasakan tubuh masing-masing me-
nerabas semak belukar lebat. Dalam keadaan se-
perti itu, Pendekar 108 masih dapat melihat jika semak belukar itu membentuk
anak tangga menurun. Dan ketika hitungan murid Wong Agung
ini sampai dua puluh tiga tubuhnya terasa ter-
hempas di atas lantai ruangan. Lalu disusul den-
gan suara gedebukan terhempasnya tubuh Dewi
Tengkorak Hitam di sampingnya.
Untuk beberapa saat lamanya kedua orang
ini diam tak bergerak. Pendekar 108 merasakan
sekujur tubuhnya bagaikan remuk. Dan ketika
tangannya meraba dahi, terasa dua benjolan di si-tu.
"Sialan!" maki Aji, lalu membuka kelopak
matanya dan melirik pada Dewi Tengkorak Hitam
yang juga sedang bergerak menggeliat.
Ketika mereka telah dapat menguasai diri
masing-masing dan memandang berkeliling, me-
reka berdua sama-sama tersentak kaget. Ternyata
mereka berdua berada pada sebuah ruangan agak
besar berwarna merah. Namun yang membuat
mereka membelalak dan tekap hidung masing-
masing, ternyata warna merah yang ada pada se-
luruh dinding, langit-langit serta lantai adalah darah yang telah mengering!
"Tempat celaka apa pula ini?"" kata Pendekar 108 sambil merambat bangkit. Tangan
ka- nannya lalu diulurkan pada Dewi Tengkorak Hi-
tam untuk menolongnya berdiri.
Baru saja Dewi Tengkorak Hitam berdiri,
tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh panjang
dan bertalu-talu. Arahnya datang dari pintu besar yang ada pada salah satu sisi
dinding. ?"Pendekar Mata Keranjang 108! Akhirnya kau harus mati juga di tanganku! Ha....
Ha.... Ha...! Tapi aku ingin melihat kalian mati bersama-sama dengan tokoh-tokoh yang
kini ada dalam kekuasaanku! Ha.... Ha.... Ha...!"'
"Hmm.... Suara orang ini lain dengan suara
yang tadi. Sialan! Siapa manusia di balik semua
ini?" "Suara itu sepertinya telah kenal betul denganmu. Apa kau tak bisa
mengira-ngira siapa
adanya si empunya suara"! Dia menginginkan
kematianmu, berarti kau pernah punya masalah
Badai Awan Angin 35 Pedang Abadi Zhang Seng Jian Serial 7 Senjata Karya Khu Lung Pendekar Super Sakti 23
^