Pencarian

Misteri Hutan Larangan 1

Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan Bagian 1


MISTERI HUTAN LARANGAN Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Misteri Hutan Larangan
128 hal. https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel SATU MALAM telah menapak jauh. Dan karena
cahaya sang rembulan serta kerlipan berjuta bin-
tang tak mampu menembus arak-arakan awan hi-
tam yang tampak menggantung menutupi hampir
seluruh permukaan langit, membuat bentangan
angkasa terlihat hitam legam. Bumi pun menjadi
gelap gulita. Kegelapan itu terlihat makin pekat di hutan
belantara sepi di sebelah timur bukit Larangan.
Karena selain dirambahi rangasan semak belukar
tinggi-tinggi, hutan belantara itu ditumbuhi jajaran pohon besar berusia ratusan
tahun yang ber-
daun rindang. Mungkin karena tiadanya angin
yang berhembus, membuat selain digenggam ge-
lap pekat, hutan belantara itu menjadi sunyi
mencekam! Tiba-tiba dua sosok bayangan hitam berke-
lebat memasuki kawasan hutan belantara. Entah
karena cepatnya kelebatan bayangan ini atau ka-
rena kerapatan semak belukar dan pekatnya sua-
sana, sosok bayangan tadi tiba-tiba lenyap laksa-na ditelan bumi begitu masuk
kawasan hutan. Sosok keduanya baru terlihat kembali
tatkala keduanya menghentikan lari masing-
masing di tengah-tengah hutan yang rangasan
semak belukarnya berbentuk aneh. Betapa tidak,
rangasan semak belukar di mana dua sosok ini
berhenti tampak akar-akarnya mengambang di
atas tanah! Hingga akar-akar itu seperti ular-ular kecil yang menggerombol!
Keanehan bukan hanya
sampai di situ saja. Ternyata akar-akar yang se-
perti ular-ular kecil itu berwarna merah berkilau!
Untuk beberapa saat lamanya dua sosok
ini tegak tak bergerak. Mulut keduanya terkanc-
ing rapat. Hanya sepasang mata masing-masing
tak berkesip memandang ke depan, ke arah se-
mak belukar aneh yang ternyata membentuk se-
buah lingkaran agak besar.
Mendadak sosok sebelah kanan membuat
gerakan. Kepalanya dipalingkan ke arah sosok di
sebelahnya. Mulutnya bergerak membuka. Na-
mun tiada kata yang terdengar. Dia tampak bim-
bang. Sosok ini lantas putar kembali kepalanya
dan memandang kembali ke arah semak belukar
aneh di hadapannya. Namun sosok sebelah kanan
ini terlihat tak bisa menahan kesabaran. Hingga
sesaat kemudian, kepalanya kembali berpaling
pada sosok di sebelahnya. Mulutnya bergerak
membuka. Dan terdengarlah ucapannya. Lirih
hampir berbisik.
"Percuma kita tegak dengan perasaan te-
gang di sini! Bagaimanapun juga kita harus sege-
ra menghadap dan berterus terang dengan kega-
galan tugas kita! Siapa tahu nyawa kita masih di-ampuni, walau itu kecil
kemungkinannya!"
Yang diajak bicara tak menyahut. Sepa-
sang matanya tetap lurus memandang ke depan,
membuat sosok yang tadi bicara menghela napas
dalam-dalam dan alihkan pandangannya kembali
ke depan. Sosok sebelah kanan ini adalah seorang la-
ki-laki setengah baya. Rambutnya panjang. Di
kepalanya tampak melingkar ikat kepala berwar-
na merah. Kumisnya lebat demikian pula jam-
bang dan jenggotnya. Sepasang matanya tajam
dengan alis tebal hitam. Dia mengenakan jubah
besar warna hitam.
Sementara sosok di samping kiri adalah ju-
ga seorang laki-laki setengah baya. Di kepalanya juga tampak ikat kepala
berwarna merah. Rambutnya panjang demikian pula jenggotnya. Hanya
laki-laki ini tak berkumis dan tak bercambang.
Dia mengenakan jubah besar berwarna kuning.
Ada suatu keganjilan pada dua laki-laki se-
tengah baya ini. Yakni kedua jari kelingking masing-masing tidak ada! Yang
tampak hanyalah
sembulan kecil yang tidak rata, jelas menandakan jika jari kelingking itu
sengaja dipotong!
Beberapa saat berlalu, laki-laki sebelah
kanan kembali palingkan wajah pada laki-laki di
sampingnya. "Kita hanyalah orang-orang utusan. Hidup
mati kita tidak berhak kita miliki lagi. Jadi sia-sia jika masih memikirkan
keselamatan. Lebih balk
kita segera menghadap dan menerima apa yang
akan terjadi!"
Kali ini laki-laki sebelah kiri palingkan wa-
jah. Setelah menarik napas panjang dan dalam,
dia membuka mulut.
"Aku tidak memusingkan keselamatan, ka-
rena aku tahu apa yang akan kita terima dengan
gagalnya tugas yang kita jalankan. Tapi.... Tidak ada salahnya jika kita
mencoba. Meski akhirnya
kematian juga yang kita alami, namun tidak ter-
tutup kemungkinan kita bisa selamat!"
Laki-laki berjubah hitam yang tegak di se-
belah kanan tertawa perlahan. Kepalanya meng-
geleng. "Hal itu pernah dilakukan oleh utusan yang gagal, namun kau tahu sendiri
apa akibat-nya. Tewas perlahan-lahan! Apakah kita mengin-
ginkan merasakan sakit berlama-lama sebelum
tewas?" "Utusan itu tolol! Seharusnya dia segera
bunuh diri saat tahu jika dirinya gagal dengan
usahanya menyelamatkan diri. Aku punya cara
untuk...," laki-laki berjubah kuning ini tak meneruskan ucapannya.
Parasnya tiba-tiba berubah. Tubuhnya ber-
getar, sepasang matanya tak berkedip meman-
dang ke depan. Hal sama juga terlihat pada laki-
laki berjubah hitam.
Ternyata semak belukar di hadapan mere-
ka bergerak menguak. Lalu tampaklah sebuah ja-
lan setapak. Karena akar-akar semak belukar itu
berwarna merah, maka jalan setapak itu meski
samar-samar namun jelas terlihat.
Bersamaan dengan menguaknya semak be-
lukar aneh itu, terdengar suara.
"Sang penguasa telah menunggu. Segera
masuk!" Kedua laki-laki itu saling berpandangan se-
jenak. Paras wajah keduanya terlihat pucat pasi.
Laki-laki berjubah hitam memberi isyarat dengan
anggukkan kepala. Lalu melangkah ke arah jalan
setapak. Laki-laki berjubah kuning sebenarnya
ingin berkata, namun karena laki-laki berjubah
hitam telah melangkah, niatnya diurungkan.
Dengan tubuh gemetar dan wajah keringatan, dia
pun melangkah mengikuti laki-laki berjubah hi-
tam. Begitu kedua laki-laki ini menginjakkan
kaki masing-masing pada jalan setapak, kuakan
semak belukar kembali menutup!
Ternyata jalan setapak itu hanya sepanjang
lima tombak. Pada ujung jalan tampak sebuah
tangga menurun dari semak belukar. Anehnya,
meski merupakan semak belukar, ketika kedua
laki-laki ini menginjak, semak belukar itu tidak bergoyang!
Anak tangga itu berujung pada sebuah
ruangan besar. Pada sisi dinding sebelah kanan,
terlihat tujuh undakan dari batu yang menghu-
bungkan dengan sebuah pintu besar yang tampak
tertutup. Baik langit-langit, dinding maupun lantai
ruangan besar itu berwarna merah. Bukan merah
karena warna cat melainkan darah! Hingga selain
menyeramkan ruangan itu berbau amis menjijik-
kan! Baru saja kedua laki-laki menginjak kaki
masing-masing pada lantai ruangan merah, pintu
besar yang dihubungkan dengan undakan batu
berderit membuka. Seberkas sinar putih menebar
dari balik pintu.
Paras kedua laki-laki ini makin pias. Lu-
tutnya terlihat goyah. Namun keduanya mengua-
tkan diri hingga tubuhnya tetap tegak meski terlihat gemetar. Dua laki-laki ini
tidak menunggu lama. Mendadak terdengar suara tawa mengekeh
panjang. Tahu-tahu di ambang pintu telah tam-
pak sebuah kursi besar berwarna merah. Di atas-
nya duduk berjongkok sesosok tubuh besar. Pa-
ras wajah dan seluruh tubuhnya hampir tak bisa
dikenali, karena paras wajahnya ditutup dengan
sebuah karung terbuat dari goni. Hanya pada ba-
gian mata terlihat berlubang. Sementara sekujur
tubuhnya ditutup dengan sebuah jubah besar
berwarna merah. Begitu besarnya jubah, hingga
sebagian tampak berserakan ke bawah.
Untuk beberapa saat sepasang mata yang
hanya tampak dari lubang karung memandang
liar ke arah dua laki-laki di bawahnya. Tangannya yang tertutup jubah diangkat
setinggi kepala. Ti-ba-tiba di sampingnya muncul sesosok tubuh.
Seperti halnya sosok yang di atas kursi. Sosok
yang baru muncul ini juga dibalut dengan jubah
besar berwarna merah. Hanya sosok ini menge-
nakan caping lebar.
Sosok yang berdiri di samping kursi seje-
nak pandangi dua laki-laki di bawah dari lubang
pada kedua matanya. Tiba-tiba terdengar dengu-
san keras dari hidungnya. Suaranya pun lantas
terdengar. Berat dan bergetar.
"Kalian tampaknya gagal membawa Dewi
Bayang-Bayang untuk disatukan dengan sauda-
ranya Dewi Kayangan ke sini...!"
Kedua laki-laki berjubah hitam dan kuning
serta-merta jatuhkan diri masing-masing ke lantai ruangan. Keduanya menjura
dalam-dalam. "Maafkan kami...," jawab laki-laki berjubah hitam tanpa mengangkat kepala.
Sosok berjubah merah bercaping keluarkan
tawa panjang. Tiba-tiba tawanya diputus. Lalu
terdengar kembali ucapannya.
"Kalian telah lama menjadi anak buah Pen-
guasa Hutan Larangan. Kalian pasti tahu apa
yang akan kalian terima karena gagal menjalan-
kan tugas!"
"Maafkan kami.... Sebenarnya kami hampir
saja bisa menyeret Dewi Bayang-Bayang, tapi...."
"Bagi Penguasa Hutan Larangan, tidak ada
kata tapi!" sahut sosok berjubah merah bercaping memotong ucapan laki-laki
berjubah hitam yang
masih bersujud. Kepalanya lalu dipalingkan pada
sosok besar di atas kursi. Yang ada di atas kursi tampak anggukkan kepala.
Bersamaan dengan anggukan kepala sosok
di atas kursi, kedua tangan sosok berjubah merah bercaping bergerak diangkat ke
atas. Di bawah sana, dua laki-laki berjubah hi-
tam dan kuning tubuhnya terangkat. Merasakan
hal demikian kedua laki-laki ini angkat kepala
masing-masing. Paras keduanya telah tampak pu-
tih, napasnya seakan tersedak. Kedua tangan
masing-masing bergerak menggapai-gapai seakan
ingin membebaskan diri dari cengkeraman tangan
yang tidak kelihatan mata.
Laki-laki berjubah kuning kerahkan tenaga
dalam, rupanya dalam keadaan takut dan menge-
tahui apa yang bakal dialami, laki-laki ini menjadi nekat. Walau hanya bisa
menggapai, namun karena tenaga dalamnya telah dikerahkan, hingga
bersamaan dengan gapaian tangannya menyam-
bar dua gelombang angin dahsyat ke arah sosok
berjubah merah bercaping.
Namun serangan nekat laki-laki berjubah
kuning hanya sampai setengah jalan, karena saat
itu juga membersit sinar merah dan melabrak
buyar dua gelombang angin serangannya.
Di seberang, sosok di atas kursi turunkan
tangan kanannya yang baru saja didorong pelan
ke depan dan membersitkan sinar merah yang
membuyarkan serangan laki-laki berjubah kun-
ing. Mendapati hal demikian, laki-laki berjubah kuning tercekat. Dan sebelum
hilang rasa terce-katnya, dia merasakan tubuhnya membubung de-
ras ke atas. Lalu tiba-tiba membalik dan menukik ke bawah. Terdengar suara
bergedebukan. Disusul dengan jeritan tinggi. Lalu sepi. Dan tubuh laki-laki
berjubah kuning telah terkapar di atas lantai ruangan dengan wajah hancur!
Sosok berjubah merah bercaping kibaskan
tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ma-
sih tetap di atas. Perlahan-lahan tangan kanan-


Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya diturunkan dan bersamaan dengan itu, tu-
buh laki-laki berjubah hitam di bawahannya ikut
turun ke lantai ruangan.
"Hmmm.... Rupanya Wakil Penguasa masih
memberi kesempatan hidup padaku!" batin laki-laki berjubah hitam dengan melirik
ke atas. Na- mun dia belum berani membuka mulut. Meman-
dang pun masih dengan kepala menunduk.
"Utusan Hitam!" terdengar suara dari sosok berjubah merah bercaping.
"Hari ini Penguasa Hutan Larangan masih
mengampuni nyawamu. Namun tidak untuk yang
kedua kalinya. Kau mengerti?"
Entah karena senang nyawanya masih se-
lamat atau karena terkejut, laki-laki berjubah hitam yang dipanggil dengan
Utusan Hitam serta-
merta dongakkan kepala dan bangkit. Lalu me-
langkah dua tindak ke depan. Seraya membung-
kuk dalam-dalam dia berkata.
"Terima kasih.... Aku minta kesempatan
sekali lagi untuk melaksanakan tugas! Jika gagal, aku rela menerima hukuman!"
Sosok berjubah merah bercaping yang ter-
nyata Wakil Penguasa Hutan Larangan tertawa
bergelak. "Setiap kesalahan pasti mendapat huku-
man! Termasuk kesalahanmu yang gagal menye-
ret Dewi Bayang-Bayang!"
Utusan Hitam merasa jantungnya kembali
berdebar kencang. Tengkuknya menjadi dingin.
Darahnya laksana sirap. Kelegaan yang sejenak
dirasakan mendadak lenyap kembali.
"Wakil Penguasa! Aku tahu jika aku telah
melakukan kesalahan. Harap tunda dulu huku-
man. Beri kesempatan padaku sekali lagi...!"
"Hm.... Nyawamu memang ditunda. Tapi ti-
dak untuk hukumanmu!" habis berkata begitu, Wakil Penguasa angkat tangan
kanannya. Dan serta-merta didorong ke depan.
Utusan Hitam terperangah. Namun belum
sempat memikir apa yang hendak dilakukannya,
tubuhnya terasa dihantam gelombang besar.
Hingga tubuhnya mencelat ke belakang dan
membentur sisi tembok dinding ruangan. Karena
mencelatnya dalam posisi miring, tangan kirinya
terlebih dahulu menghantam sisi dinding ruan-
gan, namun hal itu menyelamatkan wajahnya da-
ri benturan dengan tembok. Hingga tatkala tu-
buhnya terkapar di lantai, tangan kirinya tampak hancur, sementara mukanya hanya
sedikit bengkak. "Utusan Hitam! Itu hanya sebagai peringatan. Sekali lagi gagal,
lebih-lebih punya niat untuk melawan, kau akan mengalami nasib seperti
Utusan Kuning. Kau dengar"!"
Walau merasakan sakit di tangan, Utusan
Hitam anggukkan kepala. Lantas menjura dalam-
dalam. Wakil Penguasa keluarkan tawa panjang.
Kepalanya bergerak tengadah. Dari mulutnya ter-
dengar seruan keras.
"Utusan Hijau, Utusan Putih, Utusan Biru!"
Belum lenyap suara gaung seruan Wakil
Penguasa, melesat tiga sosok bayangan dari arah
tangga semak belukar. Dan tahu-tahu telah tegak
berjajar dengan sikap hormat.
Sejenak dari lubang karung goni sepasang
mata Wakil Penguasa memperhatikan satu persa-
tu pada tiga sosok yang kini tegak berjajar di bawahnya. Mereka adalah laki-laki
setengah baya. Ketiganya mengenakan jubah besar. Paling kanan
berjubah warna hijau. Di tengah mengenakan ju-
bah warna putih, sementara yang paling kiri
mengenakan jubah warna biru. Masing-masing
kepala tampak terikat sehelai kain berwarna se-
perti jubah yang dikenakan masing-masing orang.
"Dengar! Hari ini kalian mendapat kehor-
matan dari Sang Penguasa Hutan Larangan un-
tuk melakukan tugas. Utusan Hijau! Kau bertu-
gas menyeret hidup atau mati tokoh golongan hi-
tam bergelar Bawuk Raga Ginting. Utusan Putih!
Kau diberi tugas untuk membawa tokoh golongan
putih bergelar Manik Angkeran. Utusan Biru! Kau
memperoleh tugas untuk membawa gadis berna-
ma Roro Ajeng! Dan Utusan Hitam! Kau diberi ke-
sempatan sekali lagi untuk menyeret Dewi
Bayang-Bayang! Laksanakan se-karang juga!" ka-ta Wakil Penguasa dengan kepala
tengadah. "Kami siap laksanakan perintah Penguasa
Hutan Larangan!" keempat laki-laki ini berseru serentak.
"Bagus! Tapi kalian harus ingat apa yang
semestinya kalian lakukan jika keadaan tidak
memungkinkan. Kalian masih ingat"!"
"Kami harus menghilangkan jejak dengan
bunuh diri!" kembali keempatnya berseru serentak. Wakil Penguasa berpaling pada
sosok di atas kursi yang ternyata adalah Sang Penguasa
Hutan Larangan. Sang Penguasa anggukkan ke-
pala. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
mengebut ke bawah. Kursi yang diduduki berge-
rak dan tiba-tiba lenyap! Begitu juga sosok Wakil Penguasa. Lalu terdengar pintu
berdebam menutup. Keempat laki-laki sejenak saling berpan-
dangan. Mereka tidak ada yang buka suara. Se-
saat kemudian, Utusan Hijau balikkan tubuh dan
berkelebat, disusul dengan Utusan Putih, lalu
Utusan Biru. Terakhir Utusan Hitam melesat
meski dengan memegangi tangan kirinya yang
masih meneteskan darah.
DUA MALAM telah hampir berujung. Hamparan
bumi masih diliputi kegelapan. Sesosok bayangan
terlihat berkelebat cepat menuju arah sebuah
lembah. Sampai pusat lembah, bayangan ini hen-
tikan larinya. Dia adalah seorang laki-laki yang usianya
tidak bisa ditebak, karena wajahnya ditutup den-
gan sepotong kulit tipis. Rambutnya panjang se-
bahu. Pada kepalanya terikat sebuah kain ber-
warna hijau. Laki-laki ini mengenakan sebuah ju-
bah besar juga berwarna hijau.
Sejenak sepasang mata laki-laki berjubah
hijau yang bukan lain adalah Utusan Hijau me-
nyapu ke sekeliling lembah. Namun cuma seje-
nak. Tak lama kemudian dia berkelebat dan tahu-
tahu telah tegak di ujung lembah di mana terlihat sebuah mulut gua.
Untuk beberapa lama sepasang mata Utu-
san Hijau memandang tak kesiap ke depan. Bu-
kan ke arah mulut gua. Namun ke arah sebuah
sosok yang ada di atas mulut gua.
"Hmmm.... Manusia hebat...!" gumam Utusan Hijau seraya memperhatikan lebih
seksama. Di atas gua, memang tampak sesosok tu-
buh. Dia adalah seorang perempuan berdandan
aneh. Wajahnya dipupuri dengan bedak putih
tebal. Bibirnya yang tebal sebelah atas terlihat merah dipoles. Rambutnya
panjang sebahu. Namun rambut bagian atasnya dibuat pendek dan
jabrik. Sementara bagian sampingnya dibiarkan
panjang. Kedua matanya besar dengan hidung
mancung tapi bengkok. Namun bukan sosok pe-
rempuan ini yang membuat Utusan Hijau me-
mandang tak kesiap. Justru karena sosok perem-
puan berdandan aneh itu tidak lebih seperti seo-
rang anak kecil. Karena tinggi tubuhnya hanya
setengah tombak! Hebatnya, sosok perempuan
pendek itu tidak jatuh, meski ujung tombak yang
didudukinya hanya menancap sedikit ke dalam
batu bagian atas gua. Melihat hal ini jelas bahwa perempuan pendek itu memiliki
ilmu meringan-kan tubuh yang sempurna.
Utusan Hijau melangkah dua tindak ke de-
pan. Mulutnya bergerak membuka. Tak lama ke-
mudian terdengar dia berucap.
"Kunyil! Aku tak akan banyak bicara. Ka-
lau kau ingin selamat, ikut aku!"
Meski tampak terkejut mendengar na-
manya dipanggil, namun perempuan pendek yang
berdandan aneh itu masih belum keluarkan sua-
ra. Namun dalam hati perempuan pendek ini di-
am-diam berucap.
"Jahanam busuk! Siapa manusia tak
kuundang ini" Dia mengetahui namaku, padahal
selama ini hanya beberapa orang saja yang men-
getahui!" Mendapati ucapannya tak mendapat sahu-
tan, Utusan Hijau keluarkan dengusan keras. Dia
kembali melangkah dua tindak ke depan. Tangan
kanannya bergerak merapikan ikat kepalanya.
Namun tatkala ditarik kembali, dia sedikit me-
nyentakkan tangannya. Bersamaan dengan itu
serangkum angin dahsyat menyambar keluar.
Namun hal ini bukanlah sebuah serangan.
"Kunyil! Kau dengar ucapanku, apakah
kau masih juga tak mau buka suara..."!"
Utusan Hijau menunggu sesaat. Dan ketika
merasa yakin bahwa orang yang dipanggil Kunyil
tidak akan buka mulut untuk menyahut, dia ang-
kat kedua tangannya. Tapi sebelum tangan itu ki-
rimkan serangan, perempuan pendek yang bukan
lain adalah Kunyil yang dalam rimba persilatan
lebih dikenai dengan Bawuk Raga Ginting kelua-
rkan tawa mengekeh panjang. Namun mendadak
saja dia putuskan suara tawanya. Tubuhnya ber-
gerak, dan lenyap dari pandangan. Sesaat kemu-
dian terdengar suara cleeep!.
Utusan Hijau tersurut satu langkah ke be-
lakang. Dia segera berpaling. Bawuk Raga Ginting telah berdiri tegak di
sampingnya dengan kaki kiri menyilang di atas kaki kanan. Tangan kanannya
mencengkeram tombak yang ternyata pangkalnya
mengembang dan membentuk sekuntum bunga.
"Bagus! Memang tidak ada gunanya kau
melakukan pembangkangan!" kata Utusan Hijau dengan senyum seringai.
Tiba-tiba Bawuk Raga Ginting gerakkan
kaki kirinya yang menyilang di atas kaki kanan
dan dibantingkan ke atas tanah. Di depannya,
Utusan Hijau sedikit terkejut. Dia maklum manu-
sia pendek di hadapannya tidak bisa dipandang
remeh, karena bersamaan dengan bantingan kaki,
tanah pijakannya terasa bergetar. Namun Utusan
Hijau tak hendak menunjukkan wajah terkejut
apalagi takut mendapati pamer tenaga dalam Ba-
wuk Raga Ginting. Malah dengan keluarkan tawa
pendek bernada mengejek, dia berkata.
"Kunyil! Ilmumu memang tinggi, namun
kedatanganku bukan untuk melihat mainan
akrobatmu!"
Mendengar kata-kata Utusan Hijau, kali ini
balik Bawuk Raga Ginting yang keluarkan tawa
pendek. Bibirnya yang merah dipoles bergetar.
"Orang tak dikenal! Siapa kau..."! Dan ke
mana kau akan mengajakku"!"
"Aku Utusan Hijau. Salah seorang utusan
dari Penguasa Hutan Larangan. Aku mendapat
kehormatan untuk menjemput dan membawamu
menghadap Sang Penguasa Hutan Larangan!"
"Kalau aku tidak bersedia"!" tanya Bawuk Raga Ginting dengan dongakkan kepala.
Meski bibirnya menyungging senyum namun sepasang
matanya terlihat membeliak. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak pertanda dia
sedang menahan gejolak amarah.
"Nasibmu akan celaka! Karena tubuhmu
yang tidak bernyawa lagi akan kuseret sampai
Hutan Larangan!"
"Jahanam!" maki Bawuk Raga Ginting.
"Utusan Hijau! Apakah kau sadar, sedang berhadapan dengan siapa kau saat ini"!"
Utusan Hijau ikut-ikutan tengadahkan ke-
pala. "Aku tahu siapa kau! Manusia cebol terla-hir dengan nama Kunyil. Setelah
besar dan beril-
mu mengubah nama menjadi Bawuk Raga Gint-
ing. Betul"!"
"Ah...!" Bawuk Raga Ginting keluarkan seruan seperti terkejut. "Pengetahuanmu
ternyata cukup luas. Namun kau salah besar jika ingin
mengajakku ke hadapan junjunganmu. Justru
aku akan mengajakmu melihat-lihat pemandan-
gan alam kubur! Hik.... Hik.... Hik...! Sungguh
malang nasibmu...!" Bawuk Raga Ginting men-
gumbar tawa cekikikan panjang. Tapi tiba-tiba
tawanya laksana direnggut hantu gen-tayangan.
Bersamaan dengan itu tangan kirinya berkelebat
Utusan Hijau merasakan tubuhnya ter-
sambar hempasan angin dahsyat. Hingga tubuh-
nya bergetar. Namun laki-laki berjubah hijau be-
sar ini segera kerahkan tenaga dalam. Dan dida-
hului bentakan dahsyat, dia melompat ke depan.
Tangan kiri kanan bergerak memukul. Sinar re-
dup dan panas melesat mendahului hantaman
tangan. Praaakk! Praaakk!
Bawuk Raga Ginting berseru tertahan. Ma-
nusia pendek ini segera melompat mundur tiga
langkah. Sepasang matanya yang besar liar me-
mandang ke arah Utusan Hijau, lalu beralih pada
kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan
kedua tangan Utusan Hijau. Kedua tangannya
ternyata telah berubah warna menjadi hijau! Dan
terasa panas bukan alang kepalang.
Bawuk Raga Ginting sadar bahwa lawan
yang dihadapi kali ini bukan orang yang bisa di-


Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandang sebelah mata. Memaklumi hal ini, ma-
nusia pendek ini kerahkan segenap tenaga da-
lamnya. Mulutnya komat-kamit. Dan tanpa kelu-
arkan bentakan terlebih dahulu, dia putar tu-
buhnya. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandan-
gan. Namun sesaat kemudian muncul satu lang-
kah di hadapan Utusan Hijau dengan tangan ka-
nan kiri menghantam. Sebenarnya hantaman ke-
dua tangan Bawuk Raga Ginting ini hanyalah ti-
puan belaka, karena bersamaan dengan itu seca-
ra cepat kedua tangannya ditarik pulang kembali, dan kini sepasang kakinya yang
justru menghantam. Ada serangkum angin dahsyat yang menderu
mendahului. Pertanda hantaman itu telah dialiri
tenaga dalam kuat.
Namun betapa terlengaknya Bawuk Raga
Ginting. Karena gerak tipunya diketahui lawan.
Padahal setiap orang yang baru pertama kali ben-
trok dengannya pasti terkecoh dengan gerak ti-
punya. Namun karena kakinya telah telanjur me-
lejang kirimkan hantaman, maka Bawuk Raga
Ginting tak hendak menariknya kembali. Apalagi
dia telah lancarkan terjangan maut yang diandal-
kan, yakni hantaman 'Sapu Bumi'.
"Sapu Bumi'! He.... He.... He.... Apa hebatnya!" ejek Utusan Hijau seraya angkat
tangannya, kepalanya bergerak merunduk. Tapi tangannya
tidak menghantam atau menangkis terjangan ka-
ki lawan. Melainkan bergerak cepat ke samping
kanan dan kiri. Lalu seeettt!
Bawuk Raga Ginting tercekat. Dia hampir
tak dapat percaya pada apa yang dialami. Karena
kejap itu juga kedua kakinya telah masuk ke jepitan tangan Utusan Hijau!
Selagi terlengak begitu rupa dan belum
sempat membuat gerakan untuk membebaskan
diri, Utusan Hijau gerakkan kedua tangannya ke
samping. Buuukkk! Bawuk Raga Ginting terbanting ke atas ta-
nah. Dia katupkan rapat-rapat bibirnya agar sua-
ra seruannya tidak terdengar, namun karena rasa
sakit terlalu menguasai dirinya, maka seruan itu akhirnya terdengar juga. Kini
bukan hanya tangannya yang berubah jadi hijau. Tapi juga kedua
kakinya! Sambil menyumpah panjang pendek Ba-
wuk Raga Ginting bergerak bangkit. Tapi belum
sampai tubuhnya tegak berdiri, Utusan Hijau ki-
baskan jubahnya.
Bawuk Raga Ginting terperangah kaget.
Namun sudah terlambat untuk membuat gerakan
menghindar. Hingga kibasan jubah Utusan Hijau
yang keluarkan sambaran angin dahsyat itu telak
menghajar bahunya!
Untuk kali kedua Bawuk Raga Ginting ter-
banting ke tanah. Sejenak kepalanya terlihat bergerak-gerak. Namun sesaat
kemudian lunglai di
atas tanah. Dia pingsan.
Utusan Hijau memperhatikan sosok Bawuk
Raga Ginting, lalu kibas-kibaskan jubahnya. Den-
gan senyum seringai dia melangkah mendekat.
Tangan kanannya segera menyambar tubuh
mungil Bawuk Raga Ginting, meletakkannya di
atas bahu lantas berkelebat meninggalkan lem-
bah. * * * Sesosok bayangan putih tampak berkelebat
menyusuri ilalang tinggi di sebelah barat hutan
pinus. Saat itu matahari baru saja unjuk diri,
hingga hamparan ilalang itu tampak berkilat-kilat dan melambai-lambai disentuh
hembusan angin pagi. Tiba-tiba sosok bayangan putih hentikan
larinya. Tangannya bergerak mengusap keringat
yang membasahi lehernya. Dia adalah seorang la-
ki-laki. Karena paras wajahnya tertutup sepotong kulit tipis, maka laki-laki ini
tidak mudah ditebak berapa usianya. Dia mengenakan ikat kepala
warna putih, sama dengan jubah besar yang di-
kenakannya. Rambutnya panjang dengan sepa-
sang mata tajam. Ketika tangannya bergerak, ter-
lihat jari kelingkingnya tidak ada.
"Hmmm.... Pasti di gubuk itu dia berada!"
gumam laki-laki berjubah putih yang bukan lain
adalah Utusan Putih seraya arahkan pandangan-
nya agak jauh ke depan. Di sana memang tampak
sebuah gubuk kecil.
Setelah mengawasi sejenak, Utusan Putih
kembali berkelebat. Dan tahu-tahu telah berdiri
tegak di depan gubuk. Sepasang matanya liar
memandang sekeliling. Setelah menarik napas
panjang dia buka mulut.
"Manik Angkeran! Cepat keluarlah! Aku,
Utusan Putih datang untuk menjemputmu sekali-
gus membawamu!"
Tak ada sahutan dari dalam gubuk. Sekali
lagi Utusan Putih sapukan pandangannya. Dia
tak menemukan tanda-tanda akan adanya orang
yang muncul. Sepasang matanya berubah merah,
dagunya mengembung dengan kedua tangan
mengepal, jelas menandakan jika dia telah dira-
suki hawa kemarahan.
"Manik Angkeran! Kuperingatkan sekali la-
gi. Keluarlah dan ikut aku!" Utusan Putih kembali berteriak. Karena kali ini
dengan keluarkan tenaga dalam, maka suaranya membahana dan mene-
rabas hingga hutan pinus.
Di atas sebuah pohon tak jauh dari gubuk,
terlindung oleh rimbun dedaunan, seorang laki-
laki agak tua mengenakan pakaian hijau-hijau
tampak duduk di atas sebuah dahan pohon. Tan-
gan kanannya bergerak-gerak memainkan sebuah
untaian kalung dari manik-manik berwarna hijau.
Meski sepasang matanya tampak terpejam rapat
seolah sedang pusatkan mata batinnya dengan
mulut komat-kamit namun apa yang ada tak jauh
di bawahnya tak luput dari pandangannya.
"Utusan Putih..." Hmmm.... Baru kali ini
aku mendengar nama itu. Siapa dia sebenarnya"
Dia berkata menjemput dan sekaligus membawa-
ku.... Hm.. Berarti dia tak dusta dengan ucapan-
nya, karena dia benar-benar seorang suruhan!
Tapi disuruh siapa...?" batin orang yang di atas pohon. Tiba-tiba kening laki-
laki berusia agak lanjut ini mengernyit. Sepasang matanya bergerak
membuka. "Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh me-
nyelimuti rimba persilatan. Para tokoh baik dari jalur hitam atau dari jalur
putih banyak yang ti-ba-tiba lenyap begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama
sekali. Beberapa orang telah coba me-
nyelidiki ke mana gerangan lenyapnya para to-
koh-tokoh itu. Namun, sejauh ini mereka mene-
mui jalan buntu. Malah tak jarang mereka sendiri ikut lenyap.... Hmmm.... Apakah
kedatangan ta-mu ini ada kaitannya dengan kejadian-kejadian
itu" Ah, sebenarnya aku sudah tak ingin ikut
campur dengan masalah rimba persilatan. Namun
tak ada salahnya jika aku menemuinya. Siapa ta-
hu dia membawa kabar tentang kejadian-kejadian
itu...," berpikir sampai di situ, kakek berbaju hijau ini segera hendak melayang
turun, namun niatnya dia urungkan tatkala didengarnya suara
berderak keras.
Memandang ke arah sumber suara, terke-
jutlah si kakek. Gubuk di bawah sana telah han-
cur. Ketika sang kakek memandang agak ke
samping, terlihat laki-laki yang menyebutkan na-
manya Utusan Putih turunkan kedua tangannya.
Dari sini si kakek sudah dapat menduga siapa ge-
rangan orang yang telah menghancurkan gubuk.
"Hmmm.... Orang ini tampaknya bukan
orang baik-baik! Apakah aku harus mene-
muinya...?" si kakek di atas pohon menghela napas panjang.
Namun belum sampai satu helaan napas,
terdengar seruan lantang.
"Manik Angkeran! Jangan bersikap penge-
cut. Turunlah dari atas pohon!"
Kakek berbaju hijau-hijau sedikit terkejut.
Kepalanya mendongak. Dan menggeleng perlahan.
"Hmmm.... Dia telah mengetahui aku berada di sini. Terpaksa aku harus turun
menemui dan menanyakan apa maksud sebenarnya! Rimba
persilatan nyatanya memang tak pernah sepi dari
gelombang masalah...."
Si kakek hentakkan bahunya. Tubuhnya
melayang turun dan menjejak tanah sepuluh
langkah di depan Utusan Putih. Sepasang ma-
tanya segera memperhatikan laki-laki setengah
baya di hadapannya. Sementara tangan kanannya
memutar untaian manik-manik berwarna hijau.
"Bagus! Sekarang ikut aku!" kata Utusan Putih begitu dapat mengenali siapa
adanya orang tua di hadapannya.
Sang kakek yang bukan lain memang Ma-
nik Angkeran sunggingkan senyum.
"Sobat. Kau jangan terburu-buru. Se-
butkan dulu siapa kau sebenarnya...! Juga hen-
dak ke mana aku akan kau bawa!" suara Manik Angkeran terdengar tenang.
Utusan Putih melirik tajam. Dari hidung-
nya terdengar dengusan. Dengan kacak pinggang
dia berkata. "Manik Angkeran. Aku adalah Utusan Pu-
tih. Salah seorang utusan Penguasa Hutan La-
rangan. Aku datang untuk menjemput dan mem-
bawamu menghadap Penguasa Hutan Larangan!
Jelas"!"
Manik Angkeran anggukkan kepala. "Dia
sengaja menyembunyikan wajah di balik sepotong
kulit tipis. Berarti dia mempunyai maksud tidak
baik. Penguasa Hutan Larangan.... Hmmm.... Aku
memang mendengar selentingan tentang itu. Na-
mun kenapa dia mengajakku ke sana?" batin Manik Angkeran, lalu berkata.
"Utusan Putih. Aku hanyalah manusia hina
papa. Tempat tinggalku gubuk reot, dan kini telah kau hancurkan pula. Kalau
tiba-tiba hari ini
orang yang kau sebut sebagai Penguasa Hutan
Larangan memanggilku tentunya sebuah kehor-
matan tersendiri bagiku. Kalau boleh tahu, ada
apakah sebenarnya di sana?"
"Itu bisa kau lihat sendiri jika kau telah
sampai!" jawab Utusan Putih dengan suara agak tinggi. Dia tampak tak sabar.
Manik Angkeran kembali anggukkan kepa-
la. Pandangannya lantas mengarah pada jurusan
lain. "Utusan Putih. Sebenarnya aku ingin sekali menyambuti maksudmu. Namun
karena aku masih ada urusan, bagaimana kalau...," Manik Angkeran tidak
melanjutkan ucapannya karena Utu-
san Putih telah menyahut.
"Manik Angkeran! Kau harus ikut sekarang
juga! Jika kau membangkang, jangan menyesal
jika kau ikut aku dengan tubuh tanpa nyawa!"
Mendengar ucapan Utusan Putih, yakinlah
Manik Angkeran jika laki-laki di hadapannya
bermaksud tidak baik.
Utusan Putih melangkah maju. Bibirnya
ulaskan senyum seringai. Dengan mata melotot
angker, dia membentak keras.
"Kau kuberi pilihan, Manik Angkeran! Ikut
dengan baik-baik, atau ikut dengan tubuh tanpa
nyawa!" Yang dibentak masih tampak tenang-
tenang. Malah bibirnya tak putus-putusnya sung-
gingkan senyum membuat Utusan Putih makin
geram. Namun laki-laki utusan Penguasa Hutan
Larangan ini masih menunggu, karena dilihatnya
Manik Angkeran tercenung seakan mempertim-
bangkan kata-katanya.
"Hmm.... Kalau boleh memilih...," kata Manik Angkeran dengan putuskan dulu
ucapannya. Sesaat kemudian melanjutkan. "Aku memilih tidak ikut secara baik, apalagi ikut
dengan tanpa nyawa...."
Utusan Putih menggereng keras. Dan tanpa
bicara lagi, kedua tangannya bergerak kirimkan
serangan jarak jauh dengan tangan kosong. Saat
itu juga, dua gelombang angin dahsyat laksana
gempuran ombak menyambar ke arah Manik
Angkeran. Meski telah waspada, namun tak urung
Manik Angkeran dibuat terkejut. Tubuhnya sea-
kan diterkam gelombang besar. Kalau saja dia tak segera melompat menghindar,
bukan tidak mungkin dalam satu gebrakan saja tubuhnya
akan bergelimpangan di atas tanah. Sadar akan
ketinggian ilmu lawan, Manik Angkeran tak mau
bertindak gegabah. Namun laki-laki ini masih tak hendak membalas serangan orang.
Dia terlihat tetap berdiri tegak dengan putar-putar untaian ka-
lungnya. Namun putaran itu kini keluarkan suara
menderu-deru pertanda bahwa dia telah kerah-
kan tenaga dalam.
Di depan, melihat serangan pembukanya
begitu mudah dielakkan lawan, mata Utusan Pu-
tih membeliak merah. Diam-diam dia juga mak-
lum jika orang yang dihadapinya bukanlah orang
sembarangan. Didahului bentakan garang, Utusan Putih
jejakkan kakinya. Tubuhnya melesat ke depan.
Kedua tangannya pulang balik merentang dan
menutup. Hebatnya bersamaan gerakan meren-


Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tang dan menutup itu angin dahsyat yang meng-
hamparkan hawa panas semburat ke sana-
kemari! Mendapati serangan demikian, Manik Ang-
keran sedikit terkesiap. Kakek yang pada mu-
lanya hanya ingin menghindar ini mau tak mau
harus ambil kuda-kuda menangkis sekaligus me-
nyerang, karena ke mana pun dia hendak meng-
hindar semburatan serangan Utusan Putih da-
tang menyongsong.
"Hmm.... Serangannya tampak membabi
buta, namun membuat tak ada tempat kosong
untuk menghindar. Apa boleh buat...!" batin Manik Angkeran. Kedua tangannya
segera diangkat.
Tangan kiri segera mendorong sementara tangan
kanan putar-putar untaian manik-maniknya.
Gelombang angin melesat keluar dari tan-
gan kiri Manik Angkeran, lalu disusul dengan
menderunya putaran-putaran angin yang seakan
membungkus tubuhnya.
Blaaarrr! Terdengar dentuman dahsyat ketika dua
pukulan itu bentrok di udara. Hebatnya, tubuh
Utusan Putih seakan tak terbias oleh bentroknya
pukulan, padahal tanah di tempat itu sejenak
bergetar. Sebaliknya tubuh Utusan Putih terus
melesat malah kini dengan memperdengarkan su-
ara tawa mengekeh. Manik Angkeran terkejut, la-
lu melompat mundur. Dia sama sekali tidak men-
duga jika lawan begitu tangguh, padahal dia sem-
pat terseret dua langkah ke belakang begitu terja-di bentrok pukulan.
Selagi Manik Angkeran digenggam pera-
saan terkejut, dua tangan Utusan Putih telah me-
lesat ke arah kepalanya. Manik Angkeran cepat
hantamkan manik-maniknya.
Sreeettt! Sreeettt!
Utusan Putih melengak kaget. Dia mem-
bentak beberapa kali dengan kerahkan segala
kemampuannya untuk melepaskan kedua tan-
gannya yang ternyata masuk dalam untaian ma-
nik-manik hijau milik Manik Angkeran.
Manik Angkeran tersenyum. Mungkin ka-
rena tak mau mencederai lawan dia hanya sen-
takkan untaian manik-maniknya dengan pelan.
Bukkk! Namun apa yang terjadi membuat Utusan
Putih terhenyak. Karena meski sentakan itu terlihat pelan, selain tak
perdengarkan suara eran-
gan, laki-laki berjubah putih ini langsung bergerak bangkit! Dan serta-merta
melompat ke arah
Manik Angkeran.
Sambil menindih rasa terkesimanya, Manik
Angkeran kembali putar-putar untaian kalung
manik-maniknya. Namun kali ini Utusan Putih
sudah dapat membaca gerakan lawan. Dia tidak
lagi hantamkan kedua tangan sekaligus. Melain-
kan silih berganti dan begitu menghantam segera
ditarik pulang. Hal ini membuat Manik Angkeran
terdesak. Kakek ini terus menangkis dengan pu-
tar kalung untaian manik-maniknya seraya mun-
dur. Saat itulah Utusan Putih membentak garang.
Tubuhnya berputar lalu berkelebat.
Manik Angkeran berseru kaget ketika dia
mendapati lehernya telah terjepit kedua kaki Utusan Putih. Dia segera hantamkan
tangan kirinya sementara tangan kanannya berusaha menjerat
kaki di atasnya. Namun gerakannya kalah cepat.
Utusan Putih telah putar tubuhnya hingga mau
tak mau tubuh Manik Angkeran ikut terputar dan
terhempas di atas tanah! Untaian kalung manik-
maniknya terlepas dan jatuh lima langkah di
sampingnya. Utusan Putih keluarkan tawa mengekeh.
"Aku tahu, kau tidak sepenuh hati melawanku.
Namun itu menjadi bumerang celaka bagimu!" ka-ta Utusan Putih seraya melangkah
mendekat. Manik Angkeran yang tampaknya memang
tidak sepenuh hati dalam melakukan perlawanan
bergerak bangkit. Kakek ini dalam rimba persila-
tan memang dikenai sebagai tokoh yang paling ti-
dak suka dengan kekerasan. Bahkan terhadap
orang yang menginginkan nyawanya. Dan ini pun
tampak di kala menghadapi Utusan Putih. Namun
sifatnya itu kali ini menjadi senjata makan tuan.
Karena begitu Manik Angkeran setengah tegak
hendak berdiri, Utusan Putih lancarkan pukulan
jarak jauh tangan kosong.
Desss! Manik Angkeran keluarkan seruan keras.
Meski dia berusaha menghindar namun sudah
sangat terlambat. Hingga tanpa ampun lagi se-
rangan Utusan Putih menghajar perutnya. Manik
Angkeran terjungkal. Kakek ini merasakan pan-
dangannya berkunang-kunang lalu gelap sama
sekali. Utusan Putih cepat berkelebat. Setelah yakin bahwa Manik Angkeran
pingsan, laki-laki
utusan Penguasa Hutan Larangan ini gerakkan
tangan kanannya menotok di tiga tempat. Dengan
gerak cepat pula diangkatnya tubuh Manik Ang-
keran lantas berkelebat meninggalkan tempat itu.
TIGA SIANG itu panas bukan alang kepalang. Di
sebuah dataran berpasir yang membentang luas
di sebelah barat dusun Kepatihan terlihat seorang
perempuan berjalan tertatih-tatih. Paras wajah-
nya telah dipenuhi dengan keriputan, namun ka-
rena kulit wajahnya amat tipis, keriputan itu tidak begitu terlihat. Justru yang
tampak adalah tonjolan tulang-tulang wajahnya. Dia mengena-
kan pakaian gombrong warna putih kusam. Ram-
butnya telah putih dan amat jarang. Karena ram-
but itu disanggul ke atas dan terlihat kaku, maka rambut itu mirip sebuah tusuk
konde. Sepasang
matanya sipit namun tajam. Kedua kakinya men-
genakan sepasang terompah besar dari kayu ber-
warna hitam legam. Anehnya, meski nenek itu
berjalan sendirian dan tak ada yang pantas untuk membuat orang tersenyum, sang
nenek selalu sunggingkan bibir untuk tersenyum! Hebatnya,
setiap langkahan kakinya terdengar suara berde-
bam-debam yang memekakkan telinga.
Tiba-tiba si nenek hentikan langkah. Sepa-
sang matanya yang sipit sedikit membelalak. Te-
linganya bergerak-gerak. Lalu dengan cepat tu-
buhnya berputar membalik. Setelah tersenyum-
senyum dia berkelebat ke arah dia datang. Tu-
buhnya melesat lenyap. Yang terlihat hanyalah
bayang-bayang sosoknya di atas dataran pasir!
Sementara itu, di perbatasan dusun Kepa-
tihan dua sosok bayangan tampak tegak berdiri
dengan sepasang mata masing-masing meman-
dang tak berkesip ke arah dataran pasir.
Dua sosok ini adalah dua orang laki-laki.
Sebelah kanan mengenakan jubah besar warna
biru. Sementara di sampingnya mengenakan ju-
bah besar warna hitam. Ada kesamaan pada dua
laki-laki ini. Mereka sama-sama menutup wajah
masing-masing dengan sepotong kulit tipis, se-
hingga paras keduanya tidak bisa dikenali. Juga
jari jemari masing-masing orang hanya empat.
Jari kelingking mereka tampak tidak ada! Hanya
tangan kiri laki-laki berjubah hitam tampak ditopang dengan kain yang
dilingkarkan pada leher-
nya. "Kau yakin ini tempat tinggal orang yang kita cari?" laki-laki berjubah
biru buka suara setelah agak lama keduanya tak ada yang angkat
bicara. "Yakin ini tempat tidaknya, tidak. Namun satu hal yang pasti, aku
bersama Utusan Kuning
menemukan dia di sini!" laki-laki berjubah hitam menyahut.
"Aneh. Bagaimana mungkin seorang ma-
nusia tinggal di tempat seperti ini" Pedataran pasir tanpa sebatang pohon pun!"
gumam laki-laki berjubah biru yang bukan lain adalah Utusan Bi-ru seraya
gelengkan kepala.
"Bagaimana" Apa kita akan teruskan pen-
carian ini dengan melintas pedataran pasir itu?"
tanya laki-laki berjubah hitam yang bukan lain
adalah Utusan Hitam.
Mendengar nada tanya Utusan Hitam, Utu-
san Biru keluarkan tawa pendek.
"Pertanyaanmu menunjukkan kau ragu-
ragu. Apakah kau takut" Seandainya tidak me-
mandangmu sebagai sahabat, aku tak mau kau
ajak! Karena urusanku sendiri untuk membawa
gadis bernama Ajeng Roro belum kulaksanakan."
"Utusan Biru! Dalam hidup, tidak pernah
terbersit rasa takut di dadaku! Dan seandainya
tangan kiriku tidak cidera, aku pun tak akan
minta bantuanmu! Kalau kau merasa keberatan,
lekas tinggalkan tempat ini!" kata Utusan Hitam dengan suara agak meradang.
Utusan Biru kembali keluarkan tawa. Ma-
lah kali ini mengekeh panjang. Namun tiba-tiba
saja dia putuskan kekehan tawanya karena di
tempat itu mendadak terdengar suara tawa berge-
lak-gelak dan menindih lenyap suara tawanya.
Utusan Biru membeliakkan sepasang ma-
tanya dengan kepala bergerak memutar. Semen-
tara Utusan Hitam tetap memandang ke arah de-
pan dengan wajah tegang. Dalam hati masing-
masing orang diam-diam maklum jika orang yang
keluarkan gelak tawa adalah orang yang memiliki
kepandaian tinggi dan tenaga dalam hebat. Kare-
na masing-masing orang ini dapat merasakan ge-
taran pada tanah pijakannya.
Setelah mengedarkan pandangan ke selu-
ruh sudut dataran dan agak lama menunggu tak
juga menemukan adanya orang, padahal suara
tawanya tetap terdengar malah makin keras, Utu-
san Biru palingkan wajah ke arah Utusan Hitam.
Mulutnya membuka hendak ajukan pertanyaan.
Namun mulut itu mengatup kembali ketika tiba-
tiba saja suara gelak tawa tadi lenyap dan bergan-ti dengan suara debaman yang
sangat memekak-
kan telinga serta terdengar dekat sekali.
Secepat kilat Utusan Biru dan Utusan Hi-
tam palingkan wajah masing-masing. Utusan Hi-
tam terlihat surutkan langkah dua tindak ke be-
lakang. Sedangkan Utusan Biru mendelik tak
berkesip. Lima belas tombak di hadapan mereka,
tampak seorang tua berjalan terbungkuk-
bungkuk ke arah mereka. Kedua kakinya menge-
nakan terompah besar berwarna hitam. Ternyata
dari langkahan kaki si perempuan mengeluarkan
suara berdebam-debam! Hingga kedua laki-laki
ini harus mengerahkan tenaga dalam untuk me-
nangkis suara yang seakan me-nusuk kendang
telinganya! Seraya menahan amarah, Utusan Biru ber-
paling pada Utusan Hitam.
"Utusan Hitam! Siapa jahanam tua ini"!"
"Dialah Dewi Bayang-Bayang. Manusia ke-
parat yang kita cari!"
Utusan Biru yang sejenak dibakar hawa
amarah sesaat jadi terkesiap. Ia kembali paling-
kan wajah dan memperhatikan lebih seksama pa-
da perempuan tua yang bukan lain memang Dewi
Bayang-Bayang. "Hmmm.... Tak heran jika Utusan Hitam
dan Utusan Kuning tak bisa menyeret perempuan
tua ini menghadap Penguasa Hutan Larangan.
Dia memiliki tenaga dalam luar biasa. Langkahan
kakinya tampak biasa, namun suara yang ditim-
bulkan mampu menusuk kendang telinga!"
Mungkin karena tegang, kedua orang ini
tak ada yang buka mulut untuk bicara. Bahkan
meski Dewi Bayang-Bayang telah ada tiga langkah
di hadapan mereka!
Sementara Dewi Bayang-Bayang sendiri
seakan acuh saja dengan adanya dua orang laki-
laki yang kini ada di dekatnya. Malah sambil se-
nyum-senyum dia meneruskan langkah dan me-
lewati keduanya tanpa memandang!
"Keparat! Kenapa kita dibuat tercenung
dengan ulah tua bangka itu"!" ujar Utusan Biru begitu Dewi Bayang-Bayang telah
melewatinya. Dagu laki-laki itu kontan mengembung. Sepasang
matanya merah berkilat. Urat lehernya menyem-
bul, pertanda dia diamuk amarah.
"Utusan Biru! Jangan bertindak gegabah.
Kegagalanku bersama Utusan Kuning untuk me-
nyeret perempuan tua itu karena bertindak sem-
brono!" ucap Utusan Hitam memperingatkan.
Di depan mereka, Dewi Bayang-Bayang ti-
ba-tiba hentikan langkah. Lalu duduk menggelo-
soh. Terompah kanannya diambil dan digerak-
gerakkan pulang balik di bawah dagunya seolah-
olah sedang berkipas. Anehnya, bersamaan den-
gan itu berdesir angin kencang ke kanan dan kiri!
Sesaat kemudian Dewi Bayang-Bayang berucap.
Sungguh malang nasib orang, lepas dari
mulut macan masuk mulut buaya.


Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sungguh sial takdir orang, menggali lubang
untuk jasad sendiri.
Malang, malang benar orang yang tidak
mengerti peringatan.
Tapi apa hendak dikata, orang-orang dungu
memang selalu salah hitung!
Utusan Biru kembali berpaling pada Utu-
san Hitam begitu Dewi Bayang-Bayang hentikan
ucapannya. Sesaat kedua orang ini saling pan-
dang. Utusan Biru memberi isyarat dengan me-
nunjuk ke kanan dan kiri. Utusan Hitam angguk-
kan kepala. Serentak kedua orang ini bergerak.
Utusan Biru berkelebat ke arah kanan, sedang
Utusan Hitam ke arah kiri. Tahu-tahu kedua
orang ini telah berada tiga langkah di samping
kanan-kiri Dewi Bayang-Bayang yang masih du-
duk dengan berkipas-kipas terompah.
"Dewi Bayang-Bayang! Saatmu telah tiba
untuk menghadap Penguasa Hutan Larangan! Se-
geralah bangkit. Dan ikut kami!" Utusan Biru keluarkan bentakan.
Dewi Bayang-Bayang hentikan kipasan te-
rompahnya. Namun sepasang matanya tidak me-
mandang pada orang yang membentak. Justru
sepasang mata itu bergerak mengatup. Lalu mu-
lutnya menganga lebar-lebar. Seakan bicara pada
dirinya sendiri, dia bergumam.
"Saat panas begini kenapa aku ngantuk"
Sialan benar! Tapi kalau tidak dituruti aku bisa celaka...," habis bergumam
begitu, enak saja dia merebahkan diri dengan terlebih dahulu meletakkan
terompahnya untuk bantalan kepala.
Merasa tidak disambuti orang, Utusan Biru
bantingkan kaki. Rahangnya mengembung den-
gan tangan mengepal. Sementara Utusan Hitam
hanya diam memandang. Sejak awal, laki-laki
berjubah hitam ini memang telah tunjukkan wa-
jah kecut. Ini bisa dimengerti karena sebelum ini dia memang telah bertemu
dengan Dewi Bayang-Bayang, dan gagal untuk membawa nenek itu.
Malah karena kegagalannya itulah dia menda-
patkan hukuman dengan hancurnya tangan ki-
rinya. Itu masih untung dibanding dengan Utusan
Kuning yang harus menemui ajal.
"Tua Bangka! Kau akan menyesal karena
memandang remeh kami!" kata Utusan Biru. Lalu memberi isyarat dengan anggukan
kepala pada Utusan Hitam. Dua orang ini serentak melompat ke arah
Dewi Bayang-Bayang. Tangan masing-masing
bergerak menghantam. Dari derasnya angin yang
melesat mendahului tangan, jelas sekali bahwa
keduanya telah aliri tangan masing-masing den-
gan tenaga dalam. Dan tampaknya mereka ingin
segera menyelesaikan masalah. Karena arah han-
taman mereka pada titik yang mematikan. Yakni
kepala dan dada!
Namun sejauh ini Dewi Bayang-Bayang
masih belum membuat gerakan. Nenek ini seper-
tinya tak merasa jika jiwanya sedang diincar ajal.
Baru begitu sekejap lagi hantaman tangan meng-
hajar tubuhnya, dia menggeliat, tangan kanan kiri bergerak ke atas seolah hendak
membetulkan le-
tak terompahnya. Namun sebelum tangannya
menyentuh kepala, secepat kilat tangan itu mem-
balik. Saat mana hantaman tangan Utusan Biru
dan Utusan Hitam datang menghajar.
Praaakkk! Praaakkk!
Utusan Biru dan Utusan Hitam berseru te-
gang. Keduanya merasa lengannya seakan meng-
hantam benda keras. Tubuh keduanya ter-
huyung-huyung. Dan sebelum keduanya bisa ku-
asai diri, Dewi Bayang-Bayang menggeliat bang-
kit. Kedua tangannya menjulur dan mencekal
leher jubah masing-masing orang. Sambil terse-
nyum, kedua tangannya menyentak ke bawah.
Bukkk! Bukkk! Utusan Biru dan Utusan Hitam jatuh te-
lungkup. Sadar akan bahaya, kedua orang ini se-
gera bergerak bangkit. Namun kedua orang ini
terperangah kaget. Karena begitu keduanya hen-
dak bangkit, tengkuk masing-masing terasa di-
hantam palu. Dan sebelum dapat mengetahui apa
yang menghantam tengkuknya, masing-masing
orang ini telah jatuh telungkup kembali.
Dewi Bayang-Bayang tersenyum-senyum.
Lalu rebahkan punggungnya kembali sementara
kedua betisnya uncang-uncang di atas tengkuk
Utusan Biru dan Utusan Hitam!
"Ehh.... Kalian tadi kudengar cerita tentang Penguasa Hutan Larangan. Coba
ulangi lagi cerita kalian itu. Aku akan mendengarkan sambil tiduran! Hik....
Hik.... Hik...!"
"Keparat! Angkat kakimu dahulu!" teriak
Utusan Biru sambil menggerakkan tangannya.
Namun ketika dirasa tindihan kaki Dewi Bayang-
Bayang makin menekan ketika dia menggerakkan
tangannya, Utusan Biru hentikan gerakannya.
Sedangkan Utusan Hitam tak berani berkutik
sama sekali. Setelah ditunggu agak lama tidak ada yang
buka mulut, Dewi Bayang-Bayang angkat tubuh-
nya. Kedua laki-laki itu berseru serentak. Karena bersamaan dengan terangkatnya
tubuh Dewi Bayang-Bayang tekanan kakinya makin membe-
rat. "Baiklah. Kalian tidak ada yang mau cerita.
Mungkin kalian memilih mengantarku saja ke
tempat juragan kalian itu! Baik. Baik.... Kita be-rangkat sekarang!"
Habis berkata begitu, Dewi Bayang-Bayang
angkat kedua kakinya dari tengkuk masing-
masing orang. Tubuhnya digeser sedikit. Tiba-tiba kakinya bergerak kembali
dengan cepat. Dan....
Takkk! Taaakkk! Takkk! Takkk!
Utusan Biru dan Utusan Hitam kembali
berseru tertahan. Mereka tercekat. Karena leher
dan bahu masing-masing kaku tak bisa digerak-
kan. Ternyata dengan ibu jari kakinya Dewi
Bayang-Bayang telah lakukan totokan pada leher
dan kedua bahu masing-masing orang.
Dengan senyum-senyum Dewi Bayang-
Bayang tertatih-tatih bangkit. Tangan kiri kanan menjulur ke bawah. Dijambaknya
rambut masing-masing orang, lantas ditariknya ke atas. Mau
tak mau meski dengan menyumpah habis-
habisan dalam hati, kedua orang ini bergerak
bangkit. "Bagus! Saat bagi kalian menjadi penunjuk
jalan untuk menuju tempat juragan kalian! Hik....
Hik.... Hik...!"
Sejenak Utusan Biru dan Utusan Hitam
saling pandang satu sama lain. Namun karena
mereka tidak bisa keluarkan suara, mereka hanya
saling pandang seakan sama-sama minta pertim-
bangan. Selagi kedua orang ini menimbang-
nimbang, Dewi Bayang-Bayang ambil kedua te-
rompahnya. Tangan kiri kanan yang telah meme-
gang terompah besar cepat bergerak memukul
punggung masing-masing orang. Karena pukulan
itu bukan pukulan biasa, maka begitu terpukul,
kedua orang ini sama-sama terhuyung-huyung ke
depan. "Ayo jalan!" seru Dewi Bayang-Bayang sambil acung-acungkan terompahnya.
Mungkin karena takut mendapat pukulan terompah, kedua
orang ini lantas melangkah perlahan-lahan. Di
belakangnya Dewi Bayang-Bayang mengikuti
sambil tersenyum-senyum!
EMPAT SESOSOK bayangan tampak berkelebat
melintasi Bukit Larangan, lalu terus berlari me-
nuju arah timur di mana terlihat hutan belantara sepi yang dikenai orang dengan
nama Hutan Larangan. Mungkin karena rapatnya pohon yang
tumbuh serta merangasnya semak belukar, hing-
ga meski saat itu matahari baru saja menggelincir dari titik tengahnya, namun
Hutan Larangan tampak redup. Malah ketika memasuki tengah
hutan, suasana agak gelap!
Bayangan tadi tiba-tiba hentikan larinya.
Sepasang matanya yang tajam memandang berke-
liling mengikuti putaran kepalanya.
"Hmm.... Tak salah jika orang menamakan
tempat ini Hutan Larangan...," bisik sang bayangan yang ternyata adalah seorang
pemuda berpa- ras tampan. Dia mengenakan baju warna hijau
dilapisi dengan baju lengan panjang warna kun-
ing. Rambutnya panjang dan dikuncir ekor kuda.
"Tempat ini sangat sepi. Tak kudengar ki-
cauan burung, apalagi binatang hutan. Aneh,
mungkinkah hutan angker begini dihuni manu-
sia" Binatang saja takut, hanya manusia punya
nyali besar yang berani hidup di sini...," gumam sang pemuda yang bukan lain
adalah Aji Alias
Pendekar Mata Keranjang 108 seraya memperha-
tikan tempat di sekelilingnya.
"Hanya pohon-pohon dan semak belukar....
Di mana aku dapat menemukan sarang manusia
yang akhir-akhir ini santar dibicarakan orang"
Penguasa Hutan Larangan.... Hmm.... Adakah itu
hanya kabar burung saja" Tapi.... Dengan le-
nyapnya beberapa tokoh rimba persilatan, mung-
kinkah masih bisa dikatakan kabar burung?"
Murid Wong Agung ini sejenak tercenung.
Kepalanya tengadah memandangi rimbunan
daun-daun di atasnya. "Dengan lenyapnya beberapa tokoh rimba persilatan,
Penguasa Hutan La-
rangan yang dikabarkan biang keladi penculikan
tokoh-tokoh itu aku yakin bukan cerita karangan.
Tapi di mana aku dapat menemukannya" Hmm....
Aku akan menyelidik sebelah sana!" Aji lantas berkelebat ke arah barat. Namun
pencariannya tiada hasil. "Sialan! Ke mana lagi harus menyelidik"
Tempat ini rasanya sudah kuaduk-aduk! Namun
nyatanya tak kutemukan sebuah tempat tinggal,
apalagi sosok manusia yang disebut-sebut orang
sebagai Penguasa Hutan Larangan! Ternyata ka-
bar yang tersebar selama ini hanya mengada-ada.
Betul ada orang yang menculik tokoh-tokoh rimba
persilatan, tapi bukan di sini sarangnya.... Keparat! Aku sudah termakan cerita
bohong!" gumam Aji sambil memaki panjang-pendek.
"Aku harus meninggalkan tempat ini,
mumpung cuaca belum benar-benar gelap...,"
Pendekar Mata Keranjang lantas balikkan tubuh
hendak meninggalkan tempat itu. Namun lang-
kahnya tertahan tatkala sepasang matanya mem-
bentur pada semak belukar yang aneh.
Mungkin karena tak percaya pada pengli-
hatan matanya, Pendekar Mata Keranjang kucek-
kucek matanya. Lalu kembali memandang. Ma-
tanya menyipit dan membeliak.
"Aneh. Semak belukar akar-akarnya men-
gambang di atas tanah. Dan warnanya kemerah-
merahan! Jangan-jangan...," tengkuk murid Wong Agung ini jadi dingin.
"Ah, persetan dengan hantu hutan! Aku
akan mendekat!" gumam Pendekar 108 lantas
melangkah ke arah semak belukar aneh yang tak
jauh dari hadapannya. Seeettt!
Tiba-tiba segerombol semak belukar di ha-
dapannya bergerak cepat melayang ke arahnya.
Pendekar 108 berseru tegang. Bukan hanya kare-
na terperangah kaget. Namun oleh kecepatan le-
satan semak belukar itu yang mampu menerabas
bahu kirinya meski dia telah bergerak menghin-
dar. Anehnya, begitu berhasil menerabas bahu
kiri Aji, segerombol semak belukar itu kembali
melayang ke tempatnya semula!
"Tak bisa kupercaya!" gumam Aji seraya siapkan pukulan. Namun betapa terkejutnya
murid Wong Agung ini. Bahu kirinya terasa hangat.
Melirik, dia membelalak. Baju kirinya ternyata telah bersimbah darah!
"Jahanam!" maki Pendekar 108 seraya alirkan tenaga dalam ke bahu kirinya yang
mulai te- rasa panas. Paras wajahnya merah padam.
"Tak mungkin semak belukar itu bergerak
sendiri. Pasti ada orang yang menggerakkan!"
berpikir sampai di situ, Aji putar sepasang ma-
tanya. Namun sampai matanya merah mencari,
dia tak menemukan seorang pun!
"Siapa pun kau adanya, jangan sembunyi!
Tunjukkan dirimu!" teriak Pendekar Mata Keranjang sambil kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Pendekar 108 menunggu sebentar.
Tak ada jawaban. Malah dua gerombol semak be-
lukar bergerak dan melesat ke arahnya.
Pendekar 108 melompat mundur, dan ser-
ta-merta kedua tangannya didorong ke depan.
Semak belukar itu hancur berantakan di tengah
jalan. Anehnya, begitu semak belukar hancur be-
rantakan, tiga gerombol semak belukar kembali
melesat menyusul. Seraya menindih rasa geram,
kembali murid Wong Agung ini sentakkan kedua
tangannya. Tiga gerombol semak belukar sembu-
rat dan hangus! Tapi belum sirap semburatan
semak belukar, kembali empat gerombol semak
belukar melesat cepat ke arahnya!
"Gila! Aku tak bisa begini terus-terusan.


Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tenagaku akan hilang percuma! Orang ini sengaja
menguras tenagaku!" pikir Pendekar Mata Keranjang 108, lalu hantamkan kembali
kedua tangan- nya karena empat gerombol semak belukar itu te-
lah satu depa di hadapannya. Begitu empat ge-
rombol semak itu berantakan, Aji cepat melompat
ke samping. "Edan! Bagaimana mungkin..."!" seru Pendekar 108 seraya melotot besar. Ternyata
gerum- bulan semak belukar aneh itu sepertinya tidak
ada yang semburat hancur! Gerumbulan semak
belukar itu tetap seperti semula, rapat tidak ada yang terkuak! Padahal Pendekar
108 telah berha-
sil membuat hancur berantakan beberapa gerom-
bol! "Gendeng! Benar-benar gendeng! Tempat apa sebenarnya ini"!" ujar Pendekar
108 dengan katupkan rahang rapat-rapat. Pelipisnya bergerak-gerak. Merasa
dipermainkan orang, kemara-
han murid Wong Agung ini tak dapat dibendung
lagi. Kedua tangannya yang telah teraliri tenaga dalam segera dihantamkan ke
arah semak belukar aneh yang akar-akarnya mengambang.
Wuuuttt! Serangkum angin dahsyat mengeluarkan
suara bergemuruh menyambar ke depan. Namun
untuk kesekian kalinya, murid Wong Agung ini
harus melotot. Semak belukar itu bukannya terabas rata
seperti dugaannya. Melainkan hanya bergoyang-
goyang sebentar, lalu diam!
"Setan jahanam!" kemarahan Pendekar 108
benar-benar memuncak. Sambil memandang liar
ke depan dia berteriak.
"Kalau kau tak mau keluar, jangan me-
nyesal jika kau rasakan pukulanku!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menunggu
sebentar. Dia berharap dengan gertakannya,
orang yang diduga telah mempermainkannya
akan keluar. Namun apa yang diharap tidak men-
jadi kenyataan. Hal ini membuat murid Wong
Agung ini naik pitam. Dengan membentak garang,
kedua tangannya ditarik ke belakang, lalu dido-
rong ke depan. Angin menggemuruh melesat disertai sinar
putih berkilau. Hawa panas pun menebar meling-
kupi tempat itu.
Taaassss! Angin pukulan Pendekar 108 seperti meng-
gebrak sesuatu namun hanya keluarkan suara
perlahan. Aji terhenyak sendiri menyaksikan hal
itu. Dia tak habis pikir. Bagaimana semak belu-
kar itu hanya bergoyang-goyang, padahal dia baru saja lepaskan pukulan sakti
'Bayu Cakra Buana'.
Selagi Pendekar 108 terhenyak dalam keti-
dakmengertian, tiba-tiba saja dari arah semak belukar melesat angin dahsyat yang
juga mengelua- rkan suara menggemuruh juga bersinar putih
berkilau! "Bayu Cakra Buana'!" seru Pendekar 108
mengetahui pukulan yang kini melesat cepat ke
arahnya. Seraya menindih rasa terkejut, murid
Wong Agung ini jejakkan kedua kakinya. Tubuh-
nya melesat ke samping menghindar. Namun tak
urung sambaran pukulan itu menyerempet ping-
gangnya. Hingga tak ampun lagi tubuhnya me-
layang berputar, lalu menghempas dan bergulin-
gan di atas tanah. Untuk beberapa lama dia diam
tak bergerak-gerak karena merasakan sakit pada
pinggangnya. Setelah alirkan hawa murni, dia
bergerak bangkit. Pada pinggang bajunya tampak
robek menganga. Kulit di baliknya membiru!
"Gila! Ini baru gila! Bagaimana tidak. Pukulanku membalik! Dan semak jahanam itu
hanya goyang-goyang!" rutuk Pendekar Mata Keranjang
seraya usap-usap pinggangnya.
"Hmm.... Mungkin tempat ini sarang ma-
nusia yang disebut-sebut orang sebagai Penguasa
Hutan Larangan. Tapi tak kulihat sebuah tempat
tinggal. Hanya semak belukar aneh.... Apa pun
adanya semak itu, aku jadi penasaran! Akan ku-
hantam dengan pukulan 'Mutiara Biru'. Masa'
kan tidak mempan...!" bisik Aji. Lalu melangkah mundur dua langkah. Tangan kiri
ditarik ke belakang, sementara tangan kanan di depan dada.
Seketika itu juga tangan kirinya berubah menjadi biru berkilat-kilat, pertanda
murid Wong Agung
ini telah kerahkan pukulan 'Mutiara Biru'.
Namun sesaat lagi tangan kirinya hendak
kirimkan pukulan, terdengar suara bentakan-
bentakan dahsyat dari arah belakang. Pendekar
108 urungkan niat untuk lancarkan pukulan. Ke-
palanya segera berpaling. Telinganya dipasang
baik-baik. "Hmm.... Seperti suara orang sedang berke-
lahi.... Mendengar bentakan-bentakannya sampai
terdengar di sini, bukan mustahil jika orang yang sedang berkelahi ini orang
yang berilmu tidak
sembarangan. Sebaiknya aku ke sana dahulu,
siapa tahu aku mendapatkan sesuatu yang berta-
lian dengan semak belukar keparat itu. Lebih-
lebih tentang Penguasa Hutan Larangan...," berpikir begitu, Pendekar Mata
Keranjang segera
berkelebat ke arah suara bentakan-bentakan.
Begitu dekat dengan suara bentakan-
bentakan, Pendekar 108 segera menyelinap ke ba-
lik semak belukar. Sepasang matanya lalu me-
mandang ke depan.
Mula-mula yang terlihat hanyalah bayan-
gan-bayangan yang berkelebat tak karuan, na-
mun jelas bahwa bayangan itu saling lancarkan
pukulan, karena saat itu juga tempat di mana
Pendekar Mata Keranjang mendekam terasa ber-
getar! Saat bentakan terhenti dan terdengar sua-ra seruan dua kali berturut-
turut, baru Pendekar 108 dapat dengan jelas melihat siapa adanya sang bayangan.
Di sebelah kanan, terkapar seorang laki-
laki yang wajahnya tidak bisa dikenali karena ditutup dengan sepotong kulit
tipis. Dia mengena-
kan jubah besar warna coklat. Ikat kepalanya ju-
ga berwarna coklat. Dari sudut bibirnya telah terlihat mengalir darah hitam,
menunjukkan jika la-
ki-laki itu telah terluka dalam cukup parah.
Kepala Pendekar Mata Keranjang 108 lan-
tas berpaling ke arah kiri, mendadak sepasang
matanya mendelik besar. Dadanya berdegup ken-
cang. Tenggorokannya bergerak turun naik.
"Benar-benar aduhai...," bisik murid Wong Agung seraya tak berkesip memandang ke
jurusan kiri. Di situ terlihat telentang seorang perempuan muda. Parasnya cantik
jelita. Mengenakan
pakaian tipis warna merah berbunga-bunga hi-
tam. Pakaiannya itu dibuat agak rendah di bagian dada, hingga meski cuaca agak
redup, dari tempatnya mendekam Pendekar 108 masih dapat me-
lihat agak jelas sembulan buah dadanya yang
tampak putih mulus! Bukan hanya itu saja. Pa-
kaian gadis muda ini bagian bawah ternyata di-
buat membelah di tengah. Hingga saat telentang
begitu rupa, Aji dapat melihat sepasang pahanya
yang berkulit putih, bahkan hampir pangkal pa-
hanya! Tiba-tiba gadis muda berparas cantik ini
Syair Maut Lelaki Buntung 3 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Rahasia Peti Wasiat 2
^