Pencarian

Pembunuh Gelap 3

Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap Bagian 3


Karena, baik yang kalah maupun yang menang akan
mengalami kerugian. Yang kalah tewas, sedangkan
yang menang pun tidak akan luput dari luka dalam
amat parah, paling tidak cacat seumur hidup! Ini dis-
ebabkan kedua kakek sakti itu memiliki tenaga dalam
hampir setaraf.
Semula keadaan kedua belah pihak sama. Na-
mun beberapa saat kemudian terlihat wajah Rongga
penuh dibanjiri keringat sebesar biji-biji jagung. Uap tebal mengepul dari atas
kepalanya. Sementara itu Barureksa, meskipun juga penuh keringat di wajah, tapi
uap yang mengepul di kepalanya hanya tipis!
Pada saat menegangkan ini, Dewa Arak yang
membopong Sekardati, tiba di tempat pertarungan.
Dan hanya dengan sekali lihat, dirinya langsung tahu
kalau kekhawatirannya terbukti. Rongga ternyata tetap tidak mampu menghadapi
Barureksa yang mengerikan. Dengan perasaan gelisah, Dewa Arak menu-
runkan tubuh Sekardati dan menyaksikan jalannya
pertarungan. Dia tahu tidak ada yang bisa dilakukan-
nya saat ini. Pertarungan yang terjadi berupa adu te-
naga dalam antara dua tokoh yang memiliki tenaga da-
lam di atasnya. Apabila memaksakan untuk memisah-
kan pun hanya akan mencelakai dirinya sendiri. Tena-
ga dalam kedua kakek itu akan menghantamnya, dan
akibatnya dia akan tewas dengan seluruh isi dada
hancur berantakan.
Kecemasan Arya semakin menjadi-jadi ketika
melihat kedua tangan Rongga tampak mulai menggigil.
Uap yang menguap di atas kepalanya semakin meneb-
al. Barureksa rupanya tahu hal itu. Dia berniat mem-
berikan pukulan terakhir yang mematikan lawan, atau
paling tidak terluka dalam amat parah sedangkan di-
rinya tidak mengalami kerugian sedikit pun. Kalau pu-
kulan terakhir tidak dilakukan, dan adu tenaga ini diteruskan, memang dirinya
akan keluar sebagai peme-
nang dengan menewaskan Rongga. Namun dia tetap
tidak akan terhindar dari luka dalam yang parah, ka-
rena Barureksa merasakan tenaganya mulai mengen-
dur. "Grrrhhh...!"
Barureksa mengeluarkan suara menggereng ke-
ras dari tenggorokannya. Dan seketika terdengar bunyi menggelogok dari mulut
Rongga disusul dengan me-nyemburnya darah segar. Tapi sialnya, semburan da-
rah itu justru mengancam wajah Barureksa.
Karuan saja Barureksa kelabakan karena tidak
menyangka akan terjadi hal seperti itu. Ditariknya tubuhnya ke belakang untuk
menghindarkan semburan
darah dari mulut lawan. Dia khawatir semburan darah
itu mengenai mata. Meskipun hanya percikan tapi da-
rah yang keluar dari mulut Rongga tidak ubahnya
sambaran senjata rahasia. Apabila mengenai mata bisa
mengakibatkan kebutaan seketika.
Pada saat yang bersamaan tubuh Rongga pun
terjengkang ke belakang akibat pengaruh gerengan
menggelegar tadi. Namun, kakek kecil ini memang
memiliki banyak ilmu aneh yang mengandung gera-
kan-gerakan tidak lumrah. Tubuhnya yang terjengkang
ke belakang, justru dimanfaatkan untuk membarengi
dengan totokan kedua ibu jari kakinya ke arah wajah
lawan. Barureksa mengeluarkan keluhan tertahan. Se-
rangan Rongga sama sekali tidak disangkanya. Selain
itu gerakannya berlangsung begitu cepat, sehingga Ba-
rureksa yang tengah kelabakan mengelakkan sem-
buran darah, tak sempat menangkis dan menghindar.
Meskipun demikian, Barureksa masih berusaha
keras untuk mengelak. Namun....
Jrot, jrot...! Barureksa meraung laksana binatang buas ter-
luka, ketika ibu jari kaki Rongga, mengenai biji ma-
tanya. Tak pelak lagi, kedua matanya langsung pecah!
Seketika itu pula tubuh Barureksa yang hanya menge-
nakan celana pendek kumal itu terhuyung-huyung.
Darah segar membasahi kedua pipinya. Kepalanya ter-
getar-getar seperti menahan rasa sakit yang hebat.
"Cepat sudahi riwayatnya...! Jangan biarkan dia
lolos...!" seru Rongga pada Dewa Arak.
Dewa Arak tidak mau membuang waktu lagi.
Dia sadar kakek kecil itu lebih tahu daripada dirinya mengenai keadaan
Barureksa. Perintah itu tanpa ragu-ragu langsung dilaksanakannya. Pemuda
berambut putih keperakan itu segera mengirimkan serangan
dengan sebuah sampokan ke arah pelipis.
Barureksa yang masih meraung-raung mena-
han rasa sakit, rupanya sempat juga merasakan
adanya bahaya mengancam. Maka tangan kirinya dige-
rakkan untuk menangkis.
Prattt! Tubuh Arya terpelanting ke belakang. Tapi, ka-
kek kurus kering itu pun terhuyung-huyung dan ham-
pir jatuh. Dan hal ini membuat Dewa Arak girang da-
lam hati. Kenyataan itu menunjukkan padanya kalau
Barureksa tidak setangguh sebelumnya. Mungkin ka-
rena pengaruh luka, dan karena telah terkuras tenaga
dalamnya selama pertarungan habis-habisan melawan
Rongga. Sekarang Arya mengerti mengapa Rongga me-
nyuruhnya segera bertindak.
Karena itu, tanpa mempedulikan rasa sakit
yang mendera tangannya Dewa Arak langsung melon-
tarkan serangan gencar bertubi-tubi dengan kedua ka-
kinya. Namun seperti semula, meskipun telah buta,
Barureksa masih mampu melakukan tangkisan secara
tepat. Sayangnya satu di antara serangan itu tidak dapat ditangkis, dan mengenai
pangkal paha kanannya.
Hampir Arya bersorak penuh perasaan gembira
ketika melihat tubuh Barureksa terpental ke belakang.
Bukan terpentalnya itu yang membuatnya gembira,
melainkan jeritan kesakitan yang keluar dari mulut kakek kurus kering itu. Ini
menandakan kalau Barureksa
sudah tidak kebal lagi, sehingga tendangan Dewa Arak
membuatnya merasa sakit.
Hasil serangannya membuat Dewa Arak sema-
kin bersemangat. Tanpa membuang-buang waktu se-
gera digunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Kemudian
pemuda berambut putih keperakan itu mengamuk se-
cara dahsyat. Namun, meskipun sepasang matanya telah bu-
ta dan keadaan tubuhnya telah lelah sehingga tenaga
dalamnya merosot jauh, Barureksa tetap merupakan
lawan yang amat tangguh. Apalagi ilmunya aneh-aneh.
Karena itu, meski Dewa Arak telah menggunakan ilmu
andalan 'Belalang Sakti', tetap mengalami kesulitan
untuk merobohkannya.
Wuttt! Ketika Barureksa melemparkan tubuh ke bela-
kang untuk mengelakkan serangan ayunan guci Dewa
Arak, pemuda berambut putih keperakan itu segera
menyusulinya dengan serangan jurus 'Pukulan Bela-
lang'. Tidak hanya sekali, melainkan bertubi-tubi dan gencar sekali. Dewa Arak
tidak ingin serangannya gagal.
Bresss! Barureksa mengeluarkan jeritan menyayat hati,
ketika salah satu dari beberapa pukulan jarak jauh
yang dilepaskan Dewa Arak menghantam telak da-
danya. Seketika, samar-samar pada bagian yang ter-
hantam, seperti timbul nyala api. Tubuh kakek kurus
kering itu pun melayang ke belakang. Kemudian ter-
cium bau amis seperti daging terbakar. Tokoh tua yang
memiliki daya kekebalan tubuh serta ilmu tinggi itu seketika tewas. Tubuhnya
yang kurus tanpa baju meng-
gelepar sesaat di atas tanah berumput.
Arya menghapus keringat yang membasahi wa-
jahnya dengan punggung tangan. Sekilas dipandan-
ginya mayat Barureksa sebelum mengalihkan perha-
tiannya pada si Kakek Kecil, Rongga.
"Kau hebat, Dewa Arak. Tidak mengecewakan,"
ucap kakek kecil itu tanpa bangkit dari bergoleknya di tanah. "Kalau tidak ada
kau, mana mungkin aku bisa membunuhnya, Kek," ujar Arya memuji seraya melangkah
menghampiri Rongga. Dewa Arak tahu kalau
guru Sekardati itu bukannya tidak mau bangkit, tap
karena memang tidak mampu. Luka-lukanya terlam-
pau parah. Bahkan untuk berbicara pun dia kelihatan
sangat parah. Arya tahu, nyawa kakek kecil ini tidak
akan bisa diselamatkan. Meskipun demikian, dia sege-
ra menghampirinya dan menyalurkan hawa murni un-
tuk mengurangi penderitaan Rongga, di samping un-
tuk menguatkannya.
"He he he...! Bagus...! Bagus...! Memang ini
yang kutunggu darimu, Dewa Arak. Aku belum ingin
mati. Bukankah kita belum menuntaskan permainan
tempo hari"!"
Arya tidak bisa menyambutnya karena segera
tenggelam dalam kesibukan menyalurkan hawa mur-
ninya. Cukup lama juga, sebelum akhirnya usaha itu
dihentikan. Kemudian dihapusnya peluh yang memba-
sahi kening dan lehernya.
"Kau memang pendekar tulen, Dewa Arak. Se-
karang agak lega rasanya dadaku."
Arya tahu kalau kakek kecil ini tidak berbo-
hong. Dilihatnya sendiri Rongga sudah tidak begitu
payah lagi ketika berbicara, bahkan dia telah mampu
untuk duduk. Namun Arya tahu, seperti juga kakek
kecil itu tahu, kalau hal ini hanya berlangsung sebentar saja. Kakek kecil itu
tetap akan pergi ke alam baka.
"Ada satu hal yang masih merupakan teka-teki
bagiku, Kek," ucap Arya cepat menyadari waktu yang dimiliki kakek kecil itu
terbatas. "Mengapa kekebalan Barureksa tidak terlihat lagi. Apakah ini karena
dia terluka atau lelah?"
"He he he...!" Rongga tertawa terkekeh. Ru-
panya tawa merupakan bagian dari kebiasaannya.
"Bukan, Dewa Arak. Rahasia kekebalannya ada pada mata. Apabila matanya terluka,
atau buta, kekebalannya pun musnah. Sudahlah, untuk apa kau pusingkan
masalah itu. Lebih baik kita teruskan permainan yang
tertunda. Ah, sama sekali tidak kusangka kalau aku
pergi bersamaan dengan muridku."
Rongga menoleh ke arah mayat Sekardati. Arya
tahu, kakek kecil ini amat berduka dengan kematian
muridnya yang demikian mengenaskan, meskipun ke-
sedihannya itu tersembunyi dalam sikapnya yang sela-
lu dipenuhi gelak tawa.
"Aku mempunyai dua buah tebakan, Dewa
Arak. Apabila kau berhasil menebak, aku tidak akan
mengajukan permohonan apa pun padamu. Tapi, ka-
lau kau tidak bisa menjawab, kau harus memenuhi
permintaanku. Bagaimana, adil kan, peraturan yang
kubuat?" Dewa Arak hampir tertawa mendengar peratu-
ran Rongga. Bagaimana bisa adil kalau taruhannya
hanya sepihak" Tapi, karena mengetahui watak kakek
kecil yang memang aneh, tambahan lagi usianya yang
sudah tidak lama lagi, Arya tidak sampai hati untuk
membantah. "Sangat adil, Kek," jawab Arya dengan suara sungguh-sungguh.
"Bagus! Sekarang dengarkan pertanyaanku
baik-baik! Apa bedanya kacang panjang dengan celana
panjang"! Ayo, cepat jawab!" ucap kakek kecil itu dengan sepasang mata tampak
berbinar-binar laksana
seorang anak kecil yang merasa gembira karena yakin
kalau pertanyaannya tak akan bisa terjawab.
7 Arya mengerutkan alis. Hampir dia tertawa
mendengar pertanyaan yang dianggapnya aneh dan
remeh untuk dipermasalahkan oleh orang dewasa,
apalagi tokoh persilatan seperti mereka. Namun ketika teringat kalau Rongga
memiliki watak tak ubahnya
anak kecil, Arya kembali memusatkan pikiran untuk
memecahkan jawaban bagi pertanyaan yang keliha-
tannya remeh itu.
"Sebuah pertanyaan sederhana dan mudah ja-
wabannya, Kek," ucap Arya tenang dan penuh keyakinan. "Kau pasti kalah. Nah,
dengarkan jawabanku
baik-baik! Perbedaan antara kacang panjang dengan
celana panjang adalah, kalau kacang panjang bisa di-
makan sedangkan celana panjang tidak."
"He he he...!" Rongga terkekeh penuh kemenangan. "Jawabanmu memang benar, Dewa
Arak tapi ti- dak tepat untuk jawaban bagi pertanyaan ini."
"Kalau begitu, pasti karena celana panjang na-
ma pakaian sedangkan kacang panjang jenis sayuran,"
jawab Arya lagi.
"Masih salah!"
"Habis... apa jawabannya, Kek" Aku menyerah,"
ucap Arya, mengalah.
Dengan sikap penuh kemenangan, Rongga me-
natap Arya. "Dengarkan jawaban pertanyaan ini, Dewa
Arak. Beda antara celana panjang dengan kacang pan-
jang. Kalau kacang panjang sungguhpun dipotong
pendek-pendek tetap bernama kacang panjang, se-
dangkan celana panjang apabila dipotong menjadi ce-
lana pendek. Jawabannya tepat dan sesuai dengan
pertanyaannyakan?"
Mau tidak mau Arya mengangguk-anggukkan
kepala membenarkan jawaban yang diberikan kakek
kecil itu. "O ya, Dewa Arak." Kali ini sikap kakek kecil ini tampak sungguh-sungguh
sehingga Dewa Arak menjadi tertarik dan memperhatikan baik-baik. "Andaikata
sekarang kita berdua berjalan bersama kemudian di
tengah perjalanan bertemu dengan setumpuk tai kuda
maukah kau membagi dua denganku?"
"Tentu saja tidak, Kek!" jawab Arya, cepat.


Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Astaga...! Tidak kusangka kau penggemar tai
kuda, Dewa Arak, sehingga mau menyerakahinya sen-
diri," ucap kakek kecil itu kalem tapi dengan nada geli dan penuh kemenangan.
Arya melongo, berpikir sejenak sebelum berha-
sil mendapatkan jawaban kalau pertanyaan kakek itu
dimaksudkan untuk menjebaknya. Dan pemuda be-
rambut putih keperakan itu ikut tertawa geli kare-
nanya. Sesaat kemudian, suasana di tempat itu dipe-
cahkan oleh dua buah tawa, tawa Arya dan Rongga.
Namun tak berapa lama, tawa kakek kecil diganggu
oleh batuk-batuk kecil. Napasnya kemudian memburu
secara cepat. Baik Arya maupun kakek kecil itu tahu
kalau saat perpisahan antara mereka untuk selama-
lamanya akan segera tiba.
Arya pun menghentikan tawa.
"Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, Kek?"
tanya Arya hati-hati.
"Seperti yang pernah kukatakan tadi, Dewa
Arak. Kuharap kau berhati-hati, karena kau akan ter-
libat salah paham dengan kakak seperguruan Sekarda-
ti. Kau mengenalnya, kan" Dan apabila mungkin kuin-
gin kau membantunya untuk mendapatkan obat yang
dapat menyembuhkannya. Kau tahu kan penyakit
dia?" Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Hhh...!" Rongga menghela napas berat. "Karena kesalahan dalam mempelajari
sebuah ilmu, dia berubah menjadi seorang nenek. Tapi wujudnya akan kem-
bali seperti sediakala apabila memakan otak manusia.
Kasihan dia.... Padahal, dulu, sebelum mempelajari il-mu itu pernah aku
memperingatkannya, bahwa ting-
katan ilmunya belum cukup. Tapi dia memang berke-
ras hati. Sifatnya hampir mirip dengan Sekardati. Dan itulah hasilnya....
Maklumlah, ilmu-ilmu ciptaanku
memang bukan ilmu-ilmu bersih. Kau mengerti...?"
Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan ke-
pala. "Nah! Dengan obat yang berhasil diciptakan oleh Kencana Wungu, penyakitnya
akan dapat disembuhkan. Tapi sayangnya, bukan hanya dia yang men-
ginginkan obat itu. Banyak tokoh persilatan lain men-
carinya. Seperti halnya Kencana Wungu sendiri mau-
pun Sangkuni. Obat-obatan buatan Kencana Wungu
itu memang banyak gunanya. Itulah sebabnya aku dan
Barureksa keluar dari tempat persembunyian untuk
mendapatkan obat itu. Obat panjang usia.... Selamat
tinggal, Dewa Arak...!" Tiba-tiba kepala kakek kecil yang lucu dan berilmu
tinggi ini pun terkulai ketika
nyawanya melayang meninggalkan raga.
Arya menghela napas berat. Kemudian dibuat-
nya dua buah lubang kuburan untuk Rongga dan Ba-
rureksa berdampingan. Kemudian setelah itu dibo-
pongnya Sekardati untuk dikuburkan di pemakaman
keluarga gadis ini. Akan dibaringkannya Sekardati
berdekatan dengan ayah dan adiknya.
Sebuah perjalanan yang membutuhkan waktu
cukup lama, bahkan mungkin lebih dari dua hari. Un-
tung Arya memiliki obat untuk mengawetkan tubuh
Sekardati agar tidak keburu berbau di tengah jalan.
*** Baru sehari melakukan perjalanan, ketika me-
lintasi sebuah hamparan padang pasir yang luas dan
berbukit-bukit, Dewa Arak melihat dua sosok tengah
terlibat dalam pertarungan sengit. Meskipun jaraknya
masih cukup jauh, tapi karena ciri-ciri salah satu pihak amat menyolok, Arya
langsung dapat memperkira-
kannya. Sosok yang satu itu kakak seperguruan Se-
kardati. Pakaian merah yang dikenakan langsung
membuat pemuda berambut putih keperakan itu bisa
mengenalinya. Dewa Arak pun semakin mempercepat larinya.
Meskipun jaraknya masih jauh, dirinya tahu kalau la-
wan yang dihadapi kakak seperguruan Sekardati yang
bernama Anyelir itu memiliki kepandaian tinggi.
Hal itu bisa diketahui Arya dari serunya perta-
rungan yang berlangsung di kejauhan.
Begitu semakin dekat, Dewa Arak tidak merasa
heran mengapa lawan Anyelir memiliki kepandaian
tinggi. Ternyata lawan kakak seperguruan Sekardati
itu tidak lain Kencana Wungu, pimpinan gerombolan
Pasukan Iblis Neraka yang dulu pernah mengganas,
melihat hal ini, Arya pun semakin mempercepat lari-
nya. Tak lama kemudian, pemuda yang tanpa men-
genakan baju ini telah berada dekat dengan mereka.
Dan sekarang dia bisa melihat adanya sosok yang se-
mula tidak dilihatnya.
"Sosok itu tak lain si Kakek Berkepala Botak,
tapi kenapa dia tergeletak di tanah?" tanya Arya dalam hati. "Tewaskah dia"
Kalau tewas siapa yang telah membunuhnya" Bukankah kakek botak itu memiliki
kepandaian tinggi pula" Bahkan mungkin tidak kalah
dengan Kencana Wungu."
Plak, plakkk! Benturan keras yang terjadi ketika kedua belah
pihak saling beradu tangan secara keras membuat tu-
buh kedua wanita yang berbeda usia itu sama-sama
terhuyung ke belakang. Kejadian itu membuat Kenca-
na Wungu dan Anyelir melihat keberadaan Dewa Arak
di situ. Baik Kencana Wungu maupun Anyelir tampak
kaget melihat kehadiran pemuda itu. Perasaan geram
dan kebencian pun tercampur di sana.
"Sekardati...!" seru Anyelir ketika melihat sosok yang dipondong Dewa Arak yang
bertelanjang baju.
Nada suara gadis berpakaian merah itu menyiratkan
keterkejutan dan kekagetan, juga kemarahan. "Benar, dia Sekardati...."
"Kalau begitu, kau harus tujuh kali mampus
untuk menebus semua dosa-dosamu, Manusia Keji!"
Setelah berkata demikian, memotong ucapan
Arya, Anyelir langsung menubruk maju. Kedua tangan-
nya meluncur deras ke arah Dewa Arak dengan sam-
pokan bertubi-tubi ke arah kepala dari kanan kiri de-
ngan mengeluarkan bunyi mengaung keras.
"Anyelir...! Tunggu dulu...! Aku...!" Arya terpaksa menghentikan ucapannya
karena serangan Anyelir
telah meluncur ke arahnya. Dia tak ingin mati konyol, maka langsung merendahkan
tubuh hingga serangan
bertubi-tubi Anyelir lewat di atas kepalanya. Namun
Anyelir memang hebat, dia langsung mengirimkan se-
rangan susulan dengan sebuah tendangan kanan-kiri
secara gencar ke arah kepala Arya yang tengah me-
nunduk. Kali ini Arya terpaksa melempar tubuh ke bela-
kang, bersalto beberapa kali di udara untuk terus
menjauh karena Anyelir tidak memberikan kesempa-
tan dan terus mengejarnya sambil menghujani dengan
serangan-serangan berbahaya. Untuk ketiga kalinya,
pemuda berambut putih keperakan ini bertarung den-
gan Anyelir. Dewa Arak benar-benar kerepotan. Adanya tu-
buh Sekardati dipondongan membuatnya kurang lelu-
asa. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak
mungkin mengirimkan serangan dengan kedua tangan.
Yang dapat dilakukannya hanya mengelak. Memang,
dapat melancarkan serangan dengan mempergunakan
kaki, tapi menghadapi Anyelir dengan kaki saja sama
dengan mencari mati konyol!
Akibatnya hanya dalam beberapa gebrakan,
Dewa Arak sudah terdesak hebat.
Sementara Kencana Wungu yang melihat Any-
elir telah terlibat dalam pertarungan dengan Dewa
Arak, segera mempergunakan kesempatan sebaik-
baiknya untuk melesat kabur. Mumpung kedua lawan
tangguh itu tengah sibuk cakar-cakaran. Menunggu
lebih lama di tempat itu hanya mencari penyakit. Ken-
cana Wungu tahu banyak tokoh yang menginginkan-
nya untuk mendapatkan ramuan-ramuan hasil cip-
taannya. Dia tidak takut, baik pada Anyelir maupun
Dewa Arak tapi dia terlalu cerdik untuk menuruti ke-
kerasan hatinya. Karena sikap itu akan membuatnya
kemungkinan besar kehilangan ramuan-ramuannya.
Kencana Wungu tahu, pertarungan dengan sa-
lah seorang di antara mereka saja akan membutuhkan
waktu cukup lama baginya untuk memperoleh keme-
nangan, itu andaikata berhasil menang. Dan waktu la-
ma itu cukup untuk membuat banyak lawan tangguh
berdatangan. Kencana Wungu ngeri kalau memikirkan
kakek kurus kering, Barureksa. Dia merasa kapok. Itu-
lah sebabnya, di saat Arya dan Anyelir sibuk ber-
tarung, dia melarikan diri.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, tempat
Dewa Arak dan murid Rongga bertarung, sudah tidak
terlihat lagi. Namun Kencana Wungu tidak menjadi be-
sar hati, melainkan terus berlari. Tak lama kemudian, dia telah memasuki daerah
yang berbatu-batu cadas.
"Terburu-buru sekali, Kencana Wungu" Hendak
ke mana, sih"!"
Sebuah suara membuat Kencana Wungu yang
tengah gelisah, terjingkat kaget bagai disengat kala-
jengking. Segera ditolehnya kepalanya ke arah kiri
tempat banyak gundukan batu-batu besar. Beberapa
di antaranya sebesar rumah!
Dan di salah satu gundukan batu yang besar-
nya tak kalah dengan seekor gajah besar, tampak ber-
tengger duduk berjongkok sesosok tubuh berpakaian
biru. Pemuda berwajah tirus, Sangkuni!
"Kau..."!"
Ucapan Kencana Wungu tercekat di tenggoro-
kan, penuh perasaan gentar dan jerih. Sepasang ma-
tanya beredar berkeliling, seperti mencari-cari sesuatu di situ. "Tidak usah
khawatir, Kencana Wungu. Guruku tak ada di sini. Di tempat ini yang ada hanya
kita berdua, kau dan aku!" ujar Sangkuni yang tahu pe-nyebab sikap nenek
berhidung melengkung itu.
Mendengar ucapan ini, dan tahu kalau ucapan
itu bisa dipercaya, Kencana Wungu berbesar hati. Me-
mang, dia tidak merasa takut terhadap Sangkuni. Yang
ditakutinya hanya Barureksa seorang. Dia tahu, apabi-
la ada kakek kurus kering di sini, dirinya tak akan bisa berdaya sama sekali.
"Sungguh berani mati kau menghadang jalan-
ku, Anak Muda!" tandas Kencana Wungu, yakin kalau dirinya akan bisa mengungguli
murid Barureksa itu.
Nenek berhidung melengkung itu mengelua-
rkan ucapan sambil mengayunkan kaki menuju se-
buah gundukan batu sebesar rumah, meletakkan
mayat kakek botak yang sejak tadi dipanggulnya.
"Rupanya kau merasa yakin akan dapat menga-
lahkanku dengan keberhasilanmu tempo hari, Nenek
Sombong"!"
Bersamaan keluarnya ucapan itu, Sangkuni
melompat dari atas gundukan batu. Untuk sesaat tu-
buhnya melayang-layang di udara laksana seekor bu-
rung sebelum akhirnya turun dan menjejak tanah.
"Kali ini kau tidak akan seberuntung dulu,
Anak Muda!"
Belum hilang gema ucapannya, Kencana Wun-
gu telah melancarkan serangan terhadap Sangkuni.
Sepasang anak panah di tangannya meluncur bertubi-
tubi ke arah berbagai bagian tubuh pemuda berpa-
kaian biru itu dengan mengeluarkan bunyi bercicitan
nyaring. Namun Sangkuni bukan lawan lemah. Golok
merah di pinggang segera dikeluarkan, diputar laksana kitiran untuk memapas
perjalanan anak-anak panah
itu. Trak, trakkkk! Kencana Wungu menggeram keras ketika se-
rangannya berhasil dipatahkan. Dengan tak kalah ga-
nas serangan susulan segera dilancarkan. Dan anak
panahnya seakan lenyap berubah sinar kecoklatan
yang tidak jelas bentuknya. Kedua panah itu meluncur
ke berbagai bagian tubuh Sangkuni laksana kilat me-
nyambar. Pertarungan sengit pun berlangsung begitu
dahsyat Kencana Wungu melancarkan serangan sambil
memekik-mekik nyaring penuh kemarahan. Tindakan-
nya mencerminkan dendam terpendam terhadap
Sangkuni. Terbayang kembali di benak nenek berhi-
dung melengkung itu kejadian yang menyebabkan ka-
kek botak, yang tak lain suaminya, tewas.
*** "Keparat! Siapa pun adanya orang itu, apabila
bertemu akan merasakan sendiri hukuman dariku,
Sangkuni! Dia akan menyesal seumur hidup berani
mencampuri urusanku!" tandas nenek berhidung me-
lengkung penuh perasaan geram ketika melihat sosok
berpakaian hijau lenyap. Hal itu terjadi setelah benda bulat yang dilemparkan
itu meledak dan menimbulkan
asap tebal. Sangkuni mengalihkan pandangan ke arah
Kencana Wungu. Pada saat yang bersamaan nenek
berhidung melengkung itu tengah menatapnya pula.
Mereka berdua saling tatap sejenak.
"Biarlah...!" Sangkuni mengeluarkan ucapan
yang lebih mirip desahan. "Biarlah sekarang Dewa Arak lolos dari tanganku, tapi
ada orang yang akan
menggantikannya menerima kematian saat ini. Kau,
Kencana Wungu!"
Kencana Wungu seketika melangkah mundur.
Nenek berhidung melengkung itu langsung memasang
sikap waspada dan siap tempur.
"Sebenarnya..., mengapa kau demikian mem-
benciku, Anak Muda"! Sepanjang pengetahuanku, aku
tak pernah bermusuhan denganmu. Jangankan berta-
rung bertemu pun baru kali ini! Lalu, bagaimana
mungkin kita bisa bermusuhan. Mungkinkah kau sa-
lah mengenal orang!"
"Tidak, Kencana Wungu!" Sangkuni mengge-


Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lengkan kepala, keras. "Aku tidak salah. Kau memang salah satu di antara sekian
banyak musuh besarku.
Salah seorang yang telah menyebabkan seseorang yang
kusayangi tewas! Kau harus menerima akibatnya."
Sangkuni langsung melompat menerjang Ken-
cana Wungu. Golok merah di tangannya ditusukkan
cepat ke arah leher. Namun, kandas karena nenek
berhidung melengkung itu berhasil menangkalnya
dengan jepitan batang anak panahnya.
Sangkuni menyusulinya dengan sebuah ten-
dangan kaki kanan ke arah dada agar Kencana Wungu
melepaskan jepitan terhadap goloknya. Dan usahanya
tidak sia-sia. Kencana Wungu melempar tubuh ke be-
lakang untuk menghindarkan tendangan yang mampu
menghancurkan tulang-belulang dan juga isi dadanya
itu. Sangkuni memburu, hingga pertarungan sengit
berlangsung secara cepat
Berbeda dengan Sangkuni, Kencana Wungu
bertarung dengan adanya beban batin di hatinya. Dia
tidak ingin bertempur dengan siapa pun saat-saat se-
karang ini. Jangankan bertempur, bertemu pun diusa-
hakannya tidak terjadi. Nenek berhidung melengkung
ini mengkhawatirkan keselamatan ramuan-
ramuannya. Maka begitu bertarung beberapa gebra-
kan, dia melarikan diri setelah terlebih dulu melem-
parkan jarum-jarum beracun untuk menghadang pen-
gejaran Sangkuni. Dengan mengandalkan lebatnya hu-
tan dan dipenuhi pepohonan dan semak-semak belu-
kar, Kencana Wungu berhasil meloloskan diri dari
pengejaran Sangkuni.
Kencana Wungu berlari melalui tempat-tempat
yang sulit untuk dilalui. Melalui celah-celah pohon, kerimbunan semak-semak,
kumpulan anak duri yang
menghadang. Itu semua diterjangnya agar Sangkuni
tidak dapat menemukannya. Bukan karena Kencana
Wungu takut, tapi khawatir kalau pertempurannya de-
ngan pemuda berpakaian biru itu akan mengundang
munculnya tokoh-tokoh persilatan lainnya. Dan itu be-
rarti, bahaya bagi keselamatan ramuan-ramuannya.
"Ikh...!"
Namun tanpa sadar Kencana Wungu terpekik
kaget. Dia yang tengah sibuk memperhatikan kanan-
kiri dan belakang karena takut ada orang yang meli-
hatnya, jadi tanpa sadar mengeluarkan pekikan ketika
pandangannya diarahkan ke depan. Dalam jarak seki-
tar satu tombak terpampang pemandangan yang
menggetarkan hati.
Dekat pohon beringin tampak sesosok tubuh.
Anehnya dia berdiri dengan kepala, tidak dengan kaki.
Berdirinya pun bukan di tanah melainkan di hampa-
ran tengkorak kepala manusia yang disusun teratur.
Bagian terbawah berisi lebih banyak daripada atasnya.
Makin ke atas makin sedikit. Sampai di tempat paling
atas hanya ada sebuah tengkorak kepala manusia.
Dan pada tengkorak ini, kepala sosok itu bertengger.
Tenang. Tidak oleng maupun bergetar sedikit pun.
Semula Kencana Wungu tidak bisa mengetahui
secara persis siapa sosok yang berdiri secara aneh dan di tempat yang aneh pula
itu. Kedudukan tubuh itu
yang membuat nenek berhidung melengkung tidak da-
pat segera mengenalinya. Namun ketika akhirnya ber-
hasil mengenali setelah memperhatikan lebih teliti,
jantung Kencana Wungu seperti berhenti berdenyut.
Tanpa sadar Kencana Wungu melangkah mundur den-
gan wajah berubah hebat.
Sosok yang berdiri secara aneh itu ternyata
adalah kakek kurus kering yang tak lain Barureksa!
Kencana Wungu sampai menahan napas agar tidak
terdengar atau diketahui Barureksa keberadaannya di
situ. Diam-diam dia menyesal sekali mengapa harus
lari dari Sangkuni. Ini namanya kabur dari mulut anj-
ing tapi masuk dalam mulut macan lapar!
Kencana Wungu membalikkan tubuh dengan
hati-hati bermaksud melarikan diri dari kakek kurus
kering yang diketahui memiliki kepandaian luar biasa
itu. Dan ketika telah beberapa langkah tidak ada gerakan dari Barureksa, dia
melesat cepat dari tempat itu dengan hati lega. Aman, pekiknya dalam hati.
Tapi, jantungnya yang semula telah tenang itu
kembali berdetak kencang ketika melihat sesosok tu-
buh yang berada jauh di depannya. Sosok itu seperti
juga sosok yang tadi ditemuinya, berdiri dengan kaki di atas. Hanya bedanya
tidak di atas tumpukan tengkorak, melainkan sebatang tongkat kecil yang terhun-
jam di tanah. Ujung tongkat itu berada setengah tom-
bak dari permukaan tanah.
Jantung Kencana Wungu berdebar keras ketika
mengetahui sosok yang berdiri di atas batang tongkat
itu ternyata Barureksa! Nenek berhidung melengkung
itu terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Bukankah Banureksa tengah sibuk
dengan dirinya yang aneh, ta-pi mengapa bisa berada di depannya tanpa diketahui
kapan bergerak dan bagaimana hal itu dilakukan.
Perasaan penasaran membuat nenek berhidung
melengkung itu kembali ke tempat semula, dilihatnya
kakek kurus kering berdiri dengan kepala di atas tum-
pukan tengkorak. Dan hatinya terkejut bukan kepa-
lang ketika melihat sosok itu ada! "Apakah pandanganku tidak tertipu?" tanya
Kencana Wungu di dalam hati. Berarti ada dua sosok kakek kurus kering! Sebagai
tokoh yang telah banyak pengalamannya, Kencana
Wungu langsung mengetahui kalau hanya ada satu so-
sok yang asli! Dipertimbangkannya, masak-masak ma-
na kemungkinan sosok yang asli dari kakek kurus ker-
ing itu. Sebagai seorang tokoh yang memiliki kepan-
daian tinggi, Kencana Wungu tahu kalau saat itu dia
menyerang sosok yang asli, apabila mengenai sasaran
kemungkinan besar Barureksa akan tewas!
Kencana Wungu cukup lama mempertimbang-kannya karena tidak ingin gagal. Dia berpikir, Baru-
reksa pasti akan memilih tempat yang lebih tersem-
bunyi untuk melindungi keselamatannya, dan tubuh
palsunya pasti terletak di tempat terbuka, yang gam-
pang dilihat orang.
Setelah mempertimbangkannya baik-baik, Ken-
cana Wungu menghentakkan kedua tangannya ke de-
pan ke arah sosok Barureksa yang berada di atas tum-
pukan tengkorak. Hembusan angin keras meluruk ke
arah tubuh kakek kurus kering itu.
Brakkk! Pohon beringin besar yang ada di belakang tu-
buh kakek kurus kering itu langsung hancur beranta-
kan terhantam pukulan jarak jauh Kencana Wungu
yang luar biasa. Sedangkan tubuh Barureksa yang be-
rada di bawah pohon itu telah lenyap entah ke mana
seperti asap dihembus angin.
Kencana Wungu kaget. Namun, secepat itu pu-
la dia bertindak, menghentakkan kedua tangannya lagi
ke arah sosok Barureksa yang berdiri di atas tongkat
Bresss! Kali ini semak-semak yang berada di belakang
sosok kakek kurus kering itu hancur berantakan, po-
rak-poranda seperti diterjang kelompok gajah liar. Seperti juga semula, pukulan
jarak jauh Kencana Wungu
me-embus begitu saja tubuh Barureksa yang seakan-
akan berupa segumpal asal.
Melihat hal ini wajah Kencana Wungu jadi se-
perti tidak berdarah. Hatinya menjadi kalap dan geram bukan main karena tahu
kalau dua sosok yang dilihatnya hanya berupa jelmaan Barureksa. Sedangkan
sosok yang asli tidak berada di situ.
"He he he...!"
Suara tawa terkekeh menyambut munculnya
dugaan di hati Kencana Wungu. Suara itu tidak jelas
dari mana datangnya. Kencana Wungu sendiri tidak
tahu dari mana asal tawa itu. Mendadak...
Brakkkk! Tengkorak manusia yang semula tersusun rapi
mendadak bergetar keras dan bergelindingan ke tanah.
Seakan-akan ada sesuatu yang bergerak dari bawah-
nya. Kencana Wungu dengan hati berdebar tegang.
Sepasang matanya menatap tak berkedip pada kumpu-
lan tengkorak manusia yang berguguran jatuh itu. In-
gin diketahuinya mengapa semua ini bisa terjadi
8 Hanya dalam sekejap saja tidak ada lagi teng-
korak kepala manusia yang bertumpukan. Bahkan
tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berada pal-
ing bawah pun berpentalan ke sana kemari.
Semula Kencana Wungu tidak mengerti menga-
pa hal itu bisa terjadi. Namun ketika melihat tanah tepat di bawah tumpukan
tengkorak itu retak-retak dan
bergetar keras seperti ada sesuatu yang hendak keluar dari dalamnya, dia
mengerti. Hanya saja yang tidak
dimengertinya, apakah yang hendak keluar dari dalam
tanah itu" Mayat hidup"
Brulll! Diiringi dengan berhamburannya tanah ber-
gumpal-gumpal dan debu mengepul tinggi, dari dalam
tanah yang retak-retak itu melayang naik sebuah peti
mati. Setelah berada setinggi setengah tombak dari tanah, peti itu berhenti
bergerak dan turun perlahan-
lahan ke tanah.
Sepasang mata Kencana Wungu hampir ter-
lompat keluar dari rongganya melihat pemandangan
mendebarkan hati ini. Kedua kakinya terasa lemas.
Benarkah ia akan berhadapan dengan mayat hidup"
Jantungnya memukul-mukul keras ketika peti mati itu
bergerak membuka. Dan dari dalamnya keluar Baru-
reksa! "Jangan harap kau akan bisa membunuh Barureksa, Nenek Dungu! Kau sendiri
yang akan mampus
di tanganku!"
Kakek kurus kering itu mengulurkan tangan
kanan hendak mencengkeram. Tentu saja, Kencana
Wungu tidak membiarkannya dan segera melompat
mundur. Tapi, hatinya langsung mencelos ketika meli-
hat tangan itu tetap mengancam ubun-ubunnya. Pa-
dahal, dia telah berada dalam jarak yang aman dari
cengkeraman betapapun panjangnya tangan manusia.
Kencana Wungu kian tegang dan kebingungan.
Tangan itu tetap mengancamnya. Dia baru menyadari
kini, bahwa Barureksa memiliki ilmu yang membuat
tangannya mampu memanjang sampai dua kali pan-
jang semula. Namun kesadaran Kencana Wungu datang ter-
lambat, tangan Barureksa tak akan tertahan lagi me-
nyambar ubun-ubunnya. Saat itu, sesosok benda hi-
tam meluncur deras dan....
Takkk! Benda hitam yang ternyata sebuah tongkat be-
sar dan berat dengan bentuk batang melingkar-lingkar
itu terpental kembali ketika berbenturan dengan tan-
gan. Sungguhpun demikian, tindakan itu telah cukup
untuk membuat nyawa nenek berhidung melengkung
lepas dari cengkeraman malaikat maut.
Kakek kurus kering menggeram. Pandangannya
langsung dialihkan ke arah dari mana tongkat berat
dan besar itu berasal. Dari sana tampak melesat sosok tubuh. Barureksa perlu
memperhatikan beberapa saat
untuk mengenali sosok yang telah mengacaukan ren-
cananya itu. Namun tidak demikian halnya dengan
nenek berhidung melengkung, tongkat berat dan besar
itu telah memberitahukan padanya kalau pemiliknya
adalah kakek botak, suaminya.
Dan memang, ketika akhirnya sosok itu berada
dekat, Barureksa yang ternyata matanya tidak dapat
melihat jauh, baru dapat mengenali kalau sosok itu
kakek botak. Dulu, bersama-sama dengan Kencana
Wungu, kakek botak ini berhasil mendesaknya. Tapi,
Barureksa tidak akan membiarkan mereka bertindak
begitu untuk kedua kalinya.
"Ke mana saja kau, Wungu?" Begitu tiba kakek botak itu langsung mengajukan
pertanyaan. "Lenyap begitu saja. Susah payah kucari kau, untung kali ini
berhasil bertemu. Kalau tidak, nyawamu tentu sudah
melayang."
Kencana Wungu yang tersenyum getir, tidak
memberikan jawaban sama sekali karena dirinya me-
mang bermaksud meninggalkan kakek botak itu.
Namun kedua orang ini tidak mempunyai wak-
tu lama untuk berbincang-bincang karena Barureksa
telah kembali melancarkan serangan. Kali ini yang di-
tuju si Kakek Botak. Meskipun demikian, Kencana
Wungu langsung turun tangan membantu. Pertarun-
gan dua lawan satu untuk yang kedua kalinya pun
berlangsung. Kencana Wungu berusaha menyerang dengan
anak-anak panahnya. Sedangkan kakek botak dengan
tongkatnya yang besar dan berat terus menggempur
lawan. Sementara Barureksa menghadapi mereka de-
ngan tangan kosong.
Meskipun tanpa senjata, tapi keampuhan tan-
gan Barureksa itu tidak kalah dengan kekuatan senja-
ta yang bagaimanapun. Kedua tangan yang kurus ker-
ing dan seperti tidak memiliki daging itu, mampu men-
jadi pedang, golok, bahkan tongkat, malah terkadang
menjadi catut baja!
Bunyi berdetak keras senantiasa terdengar se-
tiap kali tangan kurus kering itu berbenturan dengan
tongkat atau anak-anak panah. Tanpa terluka sedikit
pun. Bahkan jarum-jarum beracun Kencana Wungu
roboh sendiri ketika menancap di tubuh Barureksa.
Kencana Wungu dan kakek botak mengeluh da-
lam hati, karena kemampuan kakek itu seperti me-
ningkat dibanding beberapa waktu lalu. Mereka tidak
tahu kalau itu karena Barureksa baru saja selesai
mengubur diri hidup-hidup di dalam tanah. Dan ketika


Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertarungan telah berlangsung belasan jurus, Kencana
Wungu dan kakek botak harus mengakui kalau mere-
ka tak akan bisa menang terhadap Barureksa. Tubuh
kakek itu yang kebal menyulitkan keduanya untuk
memperoleh kemenangan. Beberapa kali senjata-
senjata mereka mengenai sasaran, tapi tanpa hasil
sama sekali. Sedangkan terhadap setiap serangan Ba-
rureksa keduanya harus berhati-hati kalau tidak ingin mati konyol.
Mendadak Barureksa menggeram keras sehing-
ga membuat tubuh Kencana Wungu dan kakek botak
tergetar hebat. Bahkan kaki mereka menggigil. Saat
itu, Barureksa yang rupanya merasa geram terhadap
kakek botak segera melesat menyerang.
Kakek botak kaget, tapi cepat melemparkan tu-
buh dan bergulingan untuk menyelamatkan nyawa.
Barureksa mengejarnya. Sementara Kencana Wungu
yang melihat ancaman maut terhadap suaminya, bu-
kan membantu malah melarikan diri. Nenek yang cer-
dik ini tahu kalau tidak ada gunanya lagi pertarungan itu diteruskan, karena
suaminya itu tetap tidak akan
pernah menang terhadap Barureksa.
Kencana Wungu terus berlari meskipun samar-
samar didengarnya jeritan menyayat hati dari mulut
kakek botak. Tanpa melihat pun, nenek berhidung me-
lengkung ini tahu kalau nasib suaminya itu telah be-
rakhir di tangan Barureksa.
Setelah menunggu hingga hari menjadi gelap,
baru Kencana Wungu datang dan mengambil mayat
kakek botak. Saat itu Barureksa sudah tidak berada di situ. Namun, dasar
nasibnya sedang sial, di tengah
perjalanan setelah sehari melakukan perjalanan, dia
bertemu dengan Anyelir yang membuat mereka terlibat
dalam pertarungan. Anyelir ingin mengambil mayat
yang berada di tangan Kencana Wungu.
*** Kencana Wungu menggertakkan gigi karena pe-
rasaan geram bercampur penasaran. Kini dia tahu me-
ngapa Sangkuni begitu yakin akan dapat mengalah-
kannya. Kepandaian Sangkuni telah meningkat diban-
ding beberapa hari lalu ketika pertarungan antara me-
reka terjadi. Kencana Wungu tidak tahu kalau dalam
waktu beberapa hari, pemuda berpakaian biru itu
mendapat tambahan ilmu dari Barureksa. Gurunya itu
memang luar biasa, meski dalam waktu sehari, dia
sanggup membuat kepandaian Sangkuni meningkat
cukup pesat. Sekarang, Sangkuni tidak mengalami kesulitan
sama sekali meskipun Kencana Wungu berusaha me-
nekannya dengan mempergunakan senjata andalan
yang jumlahnya lebih banyak. Bahkan nenek berhi-
dung melengkung ini yang terdesak hebat.
Trakkk! Lagi-lagi Kencana Wungu yang ingin mendapat-
kan kemenangan, menggunting golok Sangkuni yang
tengah meluncur ke arah lehernya. Namun kali ini
Sangkuni tidak kalah cepat bergerak. Begitu lawannya
bergerak hendak memutar-mutarkan senjata, dia pun
melakukan hal yang sama, dengan arah berlawanan.
Akibatnya, tidak terjadi putaran sama sekali karena
gerak yang saling berlawanan itu membuat keduanya
saling mematikan.
Kencana Wungu menggertakkan gigi karena
merasa geram melihat lawan mempergunakan cara
sendiri untuk melawannya. Dikerahkan seluruh tenaga
dalam untuk memenangkan adu putaran ini.
Kencana Wungu tercekat hatinya ketika mera-
sa-an putaran yang dilakukannya tidak mendapatkan
perlawanan sama sekali. Rupanya pada saat yang ber-
samaan Sangkuni malah mengendurkan tenaga. Aki-
batnya putaran yang dilakukan Kencana Wungu terla-
lu cepat, dan hampir tidak terkuasai lagi. Saat itu,
Sangkuni bertindak cepat mengerahkan tenaga untuk
menambah kekuatan pada perputaran, sehingga mem-
buat putaran pun semakin cepat.
Crottt! Kencana Wungu membelalakkan sepasang ma-
ta ketika golok Sangkuni menghujam perutnya hingga
tembus ke punggung. Di saat, nenek berhidung me-
lengkung itu kehilangan kendali, Sangkuni langsung
menusuknya. Darah pun menyembur deras dari bagi-
an yang terluka.
Tubuh Kencana Wungu mengejang sesaat, me-
regang maut sebelum akhirnya ambruk dan tidak ban-
gun lagi untuk selamanya. Baru, Sangkuni mencabut
goloknya yang tertinggal di perut Kencana Wungu, se-
telah yakin kalau nenek itu sudah tidak bernyawa lagi.
Sangkuni memang cerdik. Dia khawatir kalau Kencana
Wungu akan melakukan serangan dengan mengguna-
kan sisa-sisa tenaga terakhir. Maka begitu goloknya
berhasil menembus perut lawan, lalu dia langsung me-
lompat menjauh.
"Ha ha ha...!"
Sangkuni tertawa bergelak penuh kegembiraan
sambil menyeka goloknya yang berlumuran darah de-
ngan pakaian lawan. Ditatapnya tubuh nenek berhi-
dung melengkung itu dengan sorot mata puas.
"Arum, lihatlah...!" seru Sangkuni sambil me-nengadahkan kepala ke langit
seakan-akan orang yang
disebutnya berada di sana. "Salah seorang dari penye-bab terbunuhnya kau telah
berhasil kutumpas. Kini
tinggal satu orang lagi. Musuh terbesar, Dewa Arak!
Dia akan mengalami kematian yang lebih mengerikan
daripada Sekardati! Ha ha ha...!"
Tiba-tiba Sangkuni menghentikan tawa karena
pandangan matanya menangkap adanya dua titik di
kejauhan. Mula-mula kecil tapi semakin lama, secara
cepat sekali menjadi besar. Sepasang mata Sangkuni
yang telah terlatih langsung bisa mengetahui kalau titik itu merupakan dua tokoh
persilatan yang bergerak
cepat menuju tempatnya berada. Menilik dari keadaan
mereka, Sangkuni dapat menduga kalau dua sosok itu
tengah saling berkejaran.
Jantung Sangkuni berdetak lebih cepat dari bi-
asa karena perasaan tegang dan gembira ketika meli-
hat kalau sosok yang berada di depan mengenakan
pakaian ungu, sedangkan yang di belakangnya berpa-
kaian merah. Sangkuni tidak terlalu memperhatikan sosok
berpakaian merah. Seluruh perhatiannya ditumpah-
kan pada sosok yang satu lagi. Rambutnya yang putih
keperakan dan berkibar-kibar itu mengingatkan Sang-
kuni kepada Dewa Arak. Mungkinkah sosok itu Dewa
Arak, musuh terbesarnya"
Sangkuni gembira sekali ketika melihat sosok
itu benar Dewa Arak. Pemuda berambut putih kepera-
kan itu bertelanjang baju karena pakaiannya dipergu-
nakan untuk menutupi tubuh Sekardati yang berada
di bopongannya.
Begitu tahu kalau sosok itu ternyata Dewa
Arak, tanpa membuang-buang waktu lagi, Sangkuni
segera melesat menyambuti. Tak tanggung-tanggung
lagi, golok merahnya dicabut dan ditusukkan ke arah
leher pemuda berambut putih keperakan itu.
Bukan hanya Sangkuni saja yang merasa gem-
bira dengan pertemuan itu, Arya pun demikian. Ketika
pemuda berpakaian biru itu menyambutnya dengan
tusukan, kakinya dijejakkan. Sehingga tubuh Dewa
Arak melayang melewati kepala Sangkuni. Kemudian
kaki kanannya dijejakkan ke arah kepala.
Sangkuni yang melihat adanya ancaman ba-
haya itu langsung melompat ke depan dan bergulin-
gan. Ketika akhirnya berhasil bangkit, wajahnya agak
pucat karena dalam segebrakan saja nyawanya hampir
melayang. Pada saat yang sama dengan bangkitnya Sang-
kuni, sosok berpakaian merah yang ternyata Anyelir
telah tiba di sebelah Sangkuni. Dia merasa heran me-
lihat pemuda berpakaian biru itu menyerang Dewa
Arak. Namun sebelum pertanyaan sempat diajukan,
pemuda berpakaian biru itu telah lebih dulu meluruk
ke arah Dewa Arak dengan golok di tangan mengelua-
rkan bunyi mengaung keras di saat diputar-putarkan
sebelum dihunjamkan ke tubuh lawan.
Untung saja saat itu, Arya telah meletakkan tu-
buh Sekardati di tempat yang aman. Maka terjangan
Sangkuni langsung disambutnya.
"Sangkuni...! Sekarang juga akan kuhancurle-
burkan tubuhmu!"
"Kaulah yang akan mati atas tindakanmu yang
menyebabkan kematian Sekar Arum!" teriak Sangkuni tak mau kalah.
Klangngng! Bunga api berpijar ketika golok Sangkuni ber-
benturan dengan guci di tangan lawan. Seketika itu ju-ga Dewa Arak ternyata
langsung menggunakan ilmu
'Belalang Sakti'-nya, serta dengan guci menangkis ba-
batan yang mengancam leher.
Tubuh kedua tokoh muda yang sama berke-
mampuan tinggi itu terhuyung-huyung ke belakang.
Dan sebelum keduanya saling gebrak kembali, Anyelir
telah lebih dulu menyelak melakukan serangan dengan
melontarkan pisau-pisau terbangnya. Gadis berpa-
kaian merah ini memang memiliki kemampuan me-
lempar pisau. Dewa Arak agak terkejut ketika melihat lima
buah pisau terbang meluncur ke arahnya. Masing-
masing menuju ke bagian yang berbahaya. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini sempat terkejut ketika me-
lihat kehebatan ilmu melempar pisau Anyelir. Mula-
mula pisau itu berkelompok tapi ketika berada di ten-
gah perjalanan langsung berpencar menjadi tiga ba-
gian. Meskipun demikian, Dewa Arak masih sempat
membanting tubuh ke tanah dan bergulingan men-
jauh. Sangkuni segera menyusulinya dengan serangan
goloknya begitu pisau-pisau terbang Anyelir tak me-
nemui sasaran. Kini tanpa direncanakan lebih dulu,
Anyelir dan Sangkuni sama-sama melakukan penye-
rangan terhadap Dewa Arak.
Dewa Arak kaget bukan kepalang. Jangankan
pengeroyokan, menghadapi satu orang di antara mere-
ka saja, agak sulit baginya untuk mencapai kemenan-
gan. Sambil terus mengerahkan seluruh kemam-
puan menghadapi pengeroyokan, Dewa Arak memutar
pikiran untuk mencari penyelesaian yang baik atas
pertarungan ini. Masalahnya, Dewa Arak hanya mem-
punyai urusan dengan Sangkuni. Sedangkan Anyelir
hanya salah paham. Itulah sebabnya, pemuda beram-
but putih keperakan itu mengirimkan serangan-
serangan mematikan hanya pada Sangkuni. Sedang-
kan pada Anyelir sekadar mengimbangi serangan gadis
itu. Tentu saja Anyelir mengetahuinya tapi dia tidak
peduli. Yang ada di benaknya adalah melancarkan se-
rangan mematikan terhadap Dewa Arak.
Menghadapi perlawanan sengit dari Anyelir dan
Sangkuni yang seperti tak kenal ampun itu Dewa Arak
tampak kewalahan juga. Apalagi dirinya tidaklah sepe-
nuh hati melayani gempuran dari Anyelir kakak seper-
guruan Sekardati. Sementara wanita itu seperti kese-
tanan terus merangseknya. Dewa Arak pun kian terde-
sak hebat menghadapi gempuran bertubi-tubi itu.
Untung saja Dewa Arak mempunyai jurus
'Delapan Langkah Belalang'. Jurus ini cukup memban-
tunya dalam mengelakkan setiap serangan yang da-
tang. Dirinya lebih banyak mengelak daripada melaku-
kan penyerangan.
Tukkk! Dewa Arak mengeluarkan pekikan tertahan ke-
tika tangan kiri Sangkuni berhasil hinggap di bahu
kanannya dalam sebuah totokan dua jari. Seketika tu-
buh pemuda berambut putih keperakan ini terkulai di
tanah seperti sehelai karung basah.
"Ha ha ha...!"
Sangkuni tertawa bergelak mempertunjukkan
kegembiraan melihat Dewa Arak yang menjadi musuh
besarnya itu roboh tidak berdaya. Pertarungan lang-
sung berhenti. "Biarkan aku yang menghukum keparat ini!"
ujar Anyelir menyelak Sangkuni yang berdiri di depan-
nya. Gadis berpakaian merah itu meskipun keliha-
tannya sembarangan saja bertindak namun sebenar-
nya bersikap hati-hati. Dirinya tetap khawatir akan
terjadi sesuatu yang tak diinginkan dari Sangkuni.
Namun pemuda berpakaian biru itu tersenyum,
kemudian menggeser kaki seperti hendak menyingkir
dan memberi jalan pada Anyelir. Hal ini membuat ga-
dis berpakaian merah ini merasa lega.
Tiba-tiba Sangkuni mengirimkan babatan go-
loknya ke arah leher Anyelir. Tentu saja hal ini mem-
buat gadis berpakaian merah itu kaget karena tidak
menyangkanya. Semua ini terjadi begitu cepat. Sung-
guhpun demikian, Anyelir masih sanggup membukti-
kan kalau dirinya bukan orang yang mudah dipecun-
dangi. Bergegas dilemparkan tubuhnya ke belakang.
Namun, Sangkuni yang cerdik memang sudah mem-
perhitungkan kemungkinan itu. Dia pun melompat
mengejar. Dengan cepat dilancarkan totokan bertubi-
tubi melalui tangan kirinya. Beberapa di antaranya dapat dielakkan oleh Anyelir.
Namun, akhirnya satu di
antaranya berhasil membuat tubuh gadis itu roboh
lemas. Ambruk seperti orang yang dilolosi tulang-


Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belulangnya. "Ha ha ha...!"
Untuk yang kedua kalinya Sangkuni melepas
tawa bergelak. Sepasang matanya menatap berganti-
ganti pada Anyelir dan Dewa Arak yang sama-sama
tergolek di tanah.
"Keparat! Pengecut, ayo bebaskan aku, Penge-
cut! Kita bertarung, sampai di antara kita ada yang
tergeletak di tanah!" tantang Anyelir penuh kemarahan. "Ha ha ha...! Aku bukan
seorang anak kecil yang gampang kau tipu, Anak Manis! Untuk apa aku
bercapai lelah, kalau dengan cara mudah dapat me-
nangkapmu. Melihat ilmumu aku yakin kau murid
Rongga si Pendek. Kau akan mengalami nasib seperti
adik seperguruanmu. Bukankah wanita yang dipon-
dong-pondong Dewa Arak itu adik seperguruanmu"
Kau mau tahu apa yang dialaminya" Dia mati kelela-
han setelah kuperkosa! Kau dengar, kuperkosa! Dan
setelah kenyang, kuberikan tubuhnya yang mulus pa-
da semut-semut merah yang gigitannya mengandung
racun mematikan! Kau pun akan mengalami nasib se-
rupa, Anak Manis!"
Wajah Anyelir berubah pucat pasi seperti
mayat. Dia merasa ngeri mendengar ucapan Sangkuni
yang diketahuinya bukan ancaman kosong belaka. Di
samping itu timbul perasaan bersalah terhadap Dewa
Arak. Dia telah salah menuduh. Perasaan geram pun
muncul terhadap Sangkuni. Kalau saja bebas, akan di-
terjangnya Sangkuni mati-matian.
"Sekarang kau tenang-tenanglah dulu, Manis!
Aku akan berurusan dengan Dewa Arak dulu." Kemu-
dian, Sangkuni mengalihkan perhatian pada Dewa
Arak. "Kau mungkin bertanya-tanya mengapa aku
memusuhimu, Dewa Arak" Kau ingat, Arum. Sekar
Arum!" Dewa Arak tidak menjawab hanya kepalanya
yang mengangguk perlahan.
"Asal kau tahu saja, aku adalah tunangan
Arum. Aku dendam karena kau telah menyebabkan
Arum yang kusayangi tewas...."
' Tapi bukan aku yang telah membunuhnya,
Sangkuni," bantah Arya tenang. "Dia tewas karena perbuatan orang-orang dari
gerombolan Pasukan Iblis
Neraka!" "Aku tahu!" tandas Sangkuni, beringas. "Tapi kaulah yang menyebabkan
kematiannya. Pokoknya,
siapa pun yang telah menyebabkan kematiannya aka
mendapatkan balasan dariku!"
Arya terdiam. Disadari bahwa tidak ada gu-
nanya berdebat dengan Sangkuni. Pemuda berpakaian
biru itu telah mempunyai pikiran tidak waras. Dan
mendadak dia teringat akan ucapan Salaban. Diperha-
tikannya tubuh Sangkuni.
"Sekarang aku mengerti, kaulah yang telah
membunuh Salaban!" tandas Arya yakin.
"Ha ha ha...!" Sangkuni tertawa bergelak. "Syukur kalau kau telah mengetahuinya,
Dewa Arak. Orang
tua gila itu kubunuh karena dia tidak mau memba-
laskan dendam Arum kepadamu! Aku pula yang telah
membunuh guru dan saudara-saudara seperguruan
Arum, karena mereka pun lepas tangan atas kematian
Arum! Begitu pula Kencana Wungu, dan tinggal kau
yang belum kubunuh! Bersiaplah, Dewa Arak!"
Ucapan demi ucapan Sangkuni membuat wajah
Anyelir semakin menampakkan kekagetan. Sama se-
kali tidak disangka kalau dia benar-benar salah duga
terhadap Dewa Arak. Pemuda berambut putih kepe-
rakan itu ternyata tidak bersalah sama sekali. Sang-
kuni pelaku semua kekejian yang disangkanya dilaku-
kan oleh Dewa Arak.
"Tapi, sebelum kuhukum, kau harus menyak-
sikan sebuah pertunjukan menarik, Dewa Arak. Kau
akan melihat bagaimana aku mempermainkan anak
manis itu!"
Kemudian Sangkuni menghampiri Anyelir yang
langsung menjadi pucat wajahnya karena menyadari
adanya bahaya mengerikan akan mengancam. Dike-
rahkan seluruh tenaga dalam yang tersisa untuk
membebaskan diri. Tapi, sia-sia.
Brettt! Anyelir tidak bisa menyembunyikan kengerian
di wajahnya ketika tangan Sangkuni merobek bajunya
di bagian dada hingga salah satu bukit kembarnya
yang montok dan mulus mencuat keluar. Gadis berpa-
kaian merah itu menjerit kecil penuh perasaan takut,
tapi Sangkuni malah tertawa-tawa gembira.
"Lepaskan dia, Sangkuni!" Seruan yang amat
dikenal Sangkuni itu membuatnya menoleh, tanpa bisa
menghilangkan keterkejutan di wajahnya. Ternyata te-
linganya tidak salah dengar. Tepat di belakangnya berdiri Dewa Arak dengan guci
di tangan dan siap dengan
ilmu 'Belalang Sakti'-nya.
"Kau... kau mampu bebas dari totokanku"!"
tanya Sangkuni terbata-bata.
"Aku sengaja mengecohmu, Sangkuni. Sejak
tadi pun sebenarnya aku tidak apa-apa. Aku berpura-
pura saja. Hal ini kulakukan agar bisa menyadarkan
Anyelir dari kekeliruannya. Aku punya ilmu yang dapat memindahkan jalan darah,
Sangkuni!"
"Keparat!" Sangkuni menggeram, dan kemudian dengan golok merahnya melancarkan
penyerangan. Arya menyambutnya, sehingga pertarungan sengit pun
terjadi. Mereka saling serang dengan hebatnya.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Bahkan
bayangan kedua tokoh muda itu pun lenyap karena
cepatnya bergerak. Yang terdengar hanya bunyi men-
gaung dan mendesing nyaring dari gerakan-gerakan
kedua belah pihak.
Untuk kesekian kalinya, pada jurus ketujuh
puluh, golok merah Sangkuni menghantam guci Dewa
Arak. Hanya saja kali ini langsung menempel. Sangku-
ni yang tidak menyangka tampak gugup bukan main.
Dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh
Dewa Arak untuk melancarkan gedoran tangan kiri ke
dada pemuda berpakaian biru itu. Seketika Sangkuni
mengeluarkan jeritan mengerikan yang menyayat hati,
ketika tubuhnya melayang dengan darah menyembur
deras dari mulut. Pemuda berpakaian biru itu pun te-
was setelah tubuhnya terbanting ke tanah.
Tanpa berkata apa pun Dewa Arak segera
membebaskan totokan di tubuh Anyelir. Gadis berpa-
kaian merah itu hampir menangis karena merasa ter-
haru. Hampir dia memeluk Arya untuk mengucapkan
terima kasihnya yang tidak terhingga.
"Ambillah ramuan yang ada pada Kencana Wu-
ngu, Anyelir! Menurut gurumu, obat itu dapat me-
nyembuhkan penyakitmu. Aku pergi dulu. Aku akan
membawa Sekardati dan menguburkan di tengah-
tengah keluarganya."
"Aku ikut, Dewa Arak!"
Arya hanya mengangkat bahu, lalu melangkah
diikuti Anyelir meninggalkan tempat itu....
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tusuk Kondai Pusaka 3 Gelang Perasa Serial Tujuh Senjata (4) Karya Gu Long Kisah Sepasang Rajawali 15
^