Pencarian

Makhluk Jejadian 1

Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian Bagian 1


MAKHLUK JEJADIAN oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis darl penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Makhluk Jejadian
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Ayaaah...! Tolong...!"
Jeritan nyaring melengking, dan berasal
dari sesosok tubuh ramping yang berada di pon-
dongan sosok kekar berpakaian hitam, menguak
keheningan siang. Tubuh wanita itu menggeliat-
geliat dalam pelukan tangan kanan sosok berpa-
kaian serba hitam.
"Penjahat-penjahat keji! Jangan harap ka-
lian dapat lolos dari tanganku!" sebuah suara keras dan parau bernada kemarahan,
menimpali te- riakan wanita berpakaian merah itu.
Pemilik suara kedua ini ternyata seorang
lelaki berusia sekitar lima puluh tahun bertubuh tinggi kurus dan berkumis
melintang. Dia berlari cepat mengejar sosok hitam yang membawa kabur putrinya.
Sebuah golok pendek berwarna hi-
tam mengkilat tergenggam di tangan kanannya.
Lelaki berpakaian coklat tua itu ternyata
memiliki kecepatan lari berada di atas sosok hitam yang dikejarnya. Jarak antara
mereka yang semula cukup jauh, semakin lama semakin dekat.
Namun ketika jarak mereka tinggal sekitar sepu-
luh tombak, kawan-kawan sosok berpakaian hi-
tam membalikkan tubuh, menghadang di depan-
nya. Hal ini membuat lelaki berkumis melintang
tidak bisa melanjutkan pengejarannya.
"Tua bangka dungu! Rupanya kau sudah
kepingin masuk lubang kubur, heh"!" seru sosok
berpakaian serba hitam yang bertubuh pendek
kekar. Tangan kanannya bergerak, dan tahu-tahu
di dalam genggamannya telah tercekal sebuah pi-
sau pendek berwarna putih mengkilat. Tiga sosok hitam lainnya pun melakukan hal
yang sama. "Kalianlah yang akan kukirim ke akherat!"
Berbareng keluarnya ucapan itu, lelaki berkumis melintang menubruk maju. Golok
hitam di tangannya diputar laksana kitiran di atas kepala sebelum diluncurkan ke
arah kepala sosok hitam
yang bertubuh pendek kekar.
Trangng! Bunga-bunga api berpercikan ke udara ke-
tika sosok hitam pendek kekar mengayunkan pi-
sau di tangan memapak serangan itu. Akibatnya,
tubuh sosok pendek kekar terhuyung-huyung
dua langkah ke belakang, sedangkan lelaki ber-
kumis melintang hanya tergetar tubuhnya.
Lelaki berpakaian coklat itu tidak menyia-
nyiakan kesempatan. Goloknya kembali meluncur
deras untuk menghabisi nyawa lawan yang belum
sempat memperbaiki kedudukan. Namun niatnya
tak menjadi kenyataan, karena tiga sosok berpa-
kaian serba hitam yang juga berwajah dan bersi-
kap kasar seperti sosok pendek kekar, serentak
menyambuti serangan lawan. Mau tidak mau le-
laki tinggi kurus itu membatalkan serangan dan
memutar goloknya untuk menghadapi serangan
tiga pisau yang meluncur ke arahnya. Pertarun-
gan pun segera terjadi.
Lelaki berpakaian coklat yang terus diliputi
kecemasan terhadap keselamatan putrinya itu
bertarung kalap seperti binatang buas terluka.
Dengan ganas goloknya berkelebatan mencari-cari sasaran. Dia ingin secepatnya
mengakhiri pertarungan itu. Tapi maksudnya tetap tidak kesam-
paian. Tiga orang lawannya terlalu kuat untuk di-hadapi, betapapun telah
dikerahkan seluruh ke-
mampuan, dia tidak mampu mendesak. Malah
keadaannya yang kian lama kian terhimpit. Apa-
lagi ketika lelaki pendek kekar ikut campur dalam pertarungan. Lelaki tinggi
kurus ini terus terdesak dan hanya mampu bermain mundur.
Tak sampai sepuluh jurus, ujung pisau sa-
lah seorang lawan telah membabat goloknya hing-
ga terpental jauh. Dan sebelum lelaki berkumis
melintang ini bertindak untuk menghindar, tiga
batang pisau yang lain secara hampir bersamaan
membabat tubuhnya. Seketika mulutnya menge-
luarkan jeritan menyayat hati ketika senjata-
senjata lawan menjarah sekujur tubuhnya. Lelaki berpakaian coklat itu ambruk
berlumuran darah.
Tanpa mempedulikan mayat lelaki tinggi
kurus, empat lelaki berpakaian serba hitam itu
segera melesat meninggalkannya. Mereka berlari
menyusul rekan mereka yang memondong wanita
berpakaian merah muda.
Langkah keempat lelaki berpakaian hitam
ini semakin dipercepat ketika melihat rekan me-
reka berdiri sekitar dua puluh tombak di depan.
Sosok ramping berpakaian merah muda masih
berada di bahu kanannya. Namun bukan hal itu
yang membuat empat lelaki berpakaian hitam itu
tergesa-gesa, melainkan keberadaan sosok yang
menghadang perjalanan rekan mereka.
*** "Ah...! Kiranya kau tidak sendirian, Penculik Hina"! Pantas kau bersikap
demikian tenang!
Rupanya kau mengandalkan kawan-kawanmu,
heh"!" ujar sosok yang berdiri menghadang di tengah jalan. Matanya memandangi
keempat lelaki berpakaian serba hitam yang telah berdiri di dekat lelaki yang
memondong tubuh wanita itu.
"Siapa kau, Kakek Tua"!" sergah lelaki pendek kekar, keras. "Sungguh berani mati
kau menghadang perjalanan kami! Menyingkirlah!
Sayangilah umurmu yang tinggal beberapa hari
itu! Pergilah cepat sebelum kami kehilangan ke-
sabaran dan terpaksa membunuhmu!"
"Hmh!" Sosok yang ternyata seorang kakek bermuka kehijauan itu mendengus. "Asal
kalian tahu saja, keberadaanku di sini justru untuk
menghalangi niat busuk kalian! Lepaskan wanita
yang kalian culik itu, dan aku akan membiarkan
kalian pergi dari sini. Atau... haruskah aku men-gambilnya dengan cara
kekerasan"!"
"Kau mencari mati sendiri, Tua Bangka
Bau Tanah...!"
Lelaki pendek-kekar melompat menerjang
dengan sebuah tusukan pisau ke arah leher. Na-
mun kakek bermuka kehijauan itu tetap bersikap
tenang, seakan-akan membiarkan ancaman maut
terhadapnya. Baru ketika ujung pisau itu me-
nyambar dekat, tangan kanannya bergerak cepat.
Baik lelaki pendek kekar maupun keempat
kawannya tidak dapat mengetahui tindakan yang
dilakukan kakek bermuka kehijauan itu. Yang je-
las, tahu-tahu tubuh lelaki pendek kekar itu terpental jauh ke belakang dan
jatuh berdebuk di
tanah, beberapa tombak dari tempat semula. Pi-
sau putih mengkilat yang semula berada di tan-
gannya telah berada di tangan kakek bermuka
kehijauan. Sambil tertawa terkekeh-kekeh kakek
bermuka kehijauan itu menimang-nimang pisau
lawannya. "Sebuah senjata yang cukup bagus," gumam kakek bermuka kehijauan yang bertubuh
tinggi melebihi manusia umumnya. Mungkin
tinggi tubuhnya tidak kurang dari satu setengah kali manusia normal.
Melihat dalam segebrakan lelaki pendek
kekar telah dapat dirobohkan, keempat rekannya
pun tahu kalau kakek bertubuh jangkung ini
memiliki kepandaian amat tinggi. Maka serentak
mereka mencabut senjata masing-masing. Bah-
kan lelaki berpakaian hitam yang memondong
wanita berpakaian merah muda pun, ikut berge-
rak dan mengepung kakek bermuka kehijauan se-
telah terlebih dulu melemparkan tubuh gadis itu ke tempat yang cukup aman dari
bahaya pertarungan.
"Begini lebih baik, agar pertarungan cepat
selesai," dengus kakek bertubuh jangkung itu tanpa memperhatikan empat lelaki
berpakaian serba hitam yang telah mengurungnya dari empat
penjuru. Dia masih asyik menimang-nimang pi-
sau rampasannya.
Sikap kakek bermuka kehijauan ini mem-
buat kemarahan empat lelaki berpakaian hitam
semakin meluap. Sambil mengeluarkan teriakan-
teriakan nyaring mereka menerjang. Sinar-sinar
menyilaukan mata langsung mencuat ketika em-
pat lelaki berpakaian hitam itu menggerakkan
tangan, melakukan penyerangan dengan pisau di
tangan. Namun mereka kecelik. Babatan, tusukan,
tikaman, dan ayunan senjata mereka ternyata
hanya mengenai angin.
Laksana bayangan tubuh kakek bermuka
kehijauan itu begitu cepat menyelinap di antara serangan pisau-pisau lawan yang
berkelebatan. Hal ini membuat empat lelaki berpakaian hitam
semakin penasaran dan melakukan penyerangan
lebih dahsyat. Seperti semula, hasilnya tidak berubah. Kakek bertubuh jangkung
itu terlalu lin-
cah untuk dapat dikejar dengan serangan.
"Sekarang giliranku...!"
Di tengah-tengah kelebatan serangan pi-
sau-pisau empat pengeroyoknya, kakek yang
mengenakan jubah putih itu berseru keras men-
gatasi riuh rendahnya bunyi pertarungan. Dan
belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuh-tubuh
lelaki berpakaian hitam berpentalan keluar kan-
cah pertarungan dan terbanting keras di tanah.
Dengan tenang kakek bertubuh jangkung itu ber-
diri tegap. Kedua tangannya menggenggam senja-
ta-senjata milik keempat lawan.
Tampaknya kelima lelaki berpakaian hitam
mulai sadar kalau kakek jangkung itu terlalu
tangguh bagi mereka. Kakek itu memiliki kepan-
daian yang amat tinggi. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,
setelah saling pandang sebentar, mereka membalikkan tubuh dan berlari
tunggang-langgang meninggalkan tempat itu. Se-
buah keuntungan masih berada di pihak mereka,
kakek bertubuh jangkung tidak berwatak telengas dan menjatuhkan tangan maut
kepada mereka. Bahkan melukai pun tidak. Kakek bermuka kehi-
jauan itu hanya merampas senjata dan membuat
tubuh mereka terlempar! Sehingga kelima lelaki
berpakaian hitam masih mampu berlari cepat
meninggalkan tempat itu.
Sementara kakek bermuka kehijauan itu
tidak mempedulikan lima orang lawannya lagi.
Diayunkan kakinya menghampiri wanita muda
berpakaian merah muda yang tergolek lemah di
bawah sebatang pohon berdaun rimbun. Rupanya
sebelum dilemparkan tubuh gadis itu telah ditotok oleh lelaki yang memondongnya.
"Bangkitlah, Cucu! Orang-orang jahat itu
telah kuusir pergi," ucap kakek bertubuh jangkung itu seraya menepuk tubuh gadis
itu untuk membebaskan totokan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek!"
ucap gadis bermuka cantik jelita itu seraya bangkit berdiri.
"Lupakanlah, Anak Manis!" sahut kakek jangkung itu sambil mengulapkan tangan dan
tersenyum lebar.
"O ya, mengapa kau bisa berada bersama
mereka?" Gadis berpakaian merah muda itu menen-
gadahkan kepalanya ke langit seperti tengah
mencari jawaban pertanyaan itu.
"Aku tinggal bersama ayahku di tempat
terpencil. Ayah bekas seorang pendekar, meski-
pun kepandaiannya tidak terlalu tinggi. Di tempat itu Ayah dan aku hidup sebagai
petani untuk menyambung hidup. Bertahun-tahun lamanya kami
hidup tenang. Tadi, tiba-tiba saja muncul lima
orang jahat itu yang menculikku. Ketika itu Ayah tengah sibuk di sawah, dan aku
dalam perjalanan untuk mengirim makanan kepada Ayah. Entah
bagaimana nasib Ayah sekarang karena tadi kuli-
hat beliau mengejar-ngejar kelima orang yang
menculikku."
"Kalau begitu... mari, kita temui ayahmu.
Barangkali saja dia tengah mencari-carimu," ajak kakek bermuka kehijauan itu.
Gadis berpakaian merah muda itu menye-
tujuinya. Sesaat kemudian, keduanya telah me-
nempuh arah yang semula ditinggalkan oleh lima
lelaki berpakaian hitam.
Tak membutuhkan waktu lama bagi dua
orang itu untuk menemukan lelaki berkumis me-
lintang. Mendadak gadis berpakaian merah lang-
sung mengeluarkan jeritan menyayat hati sambil menghambur ketika melihat sosok
tubuh ayahnya tergolek di tanah bermandikan darah.
"Ayah...!"
Gadis berpakaian merah meraung-raung.
Tanpa mempedulikan darah yang membasahi wa-


Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jah dan sekujur tubuh ayahnya, ditubruknya tu-
buh lelaki yang telah tidak bernyawa itu.
"Hhh...!" kakek jangkung hanya menghela napas berat melihat kenyataan ini.
Disadari kalau tidak ada gunanya mencegah tindakan gadis berpakaian merah itu.
Dibiarkan saja dia menangis
dengan suara memilukan beberapa saat sebelum
akhirnya roboh tak sadarkan diri.
Tanpa berkata apa pun, kakek bermuka
kehijauan yang memang sejak tadi sudah bersiap
segera menyambut tubuh gadis itu sebelum am-
bruk di tanah. Kemudian, dibawanya melesat me-
ninggalkan tempat itu.
*** "Hhh... hhh... sebenarnya untuk apa sih
semua siksaan ini, Gumilang?" tanya seorang gadis berpakaian hijau muda dengan
suara teren- gah-engah dan peluh bercucuran membasahi
kening dan lehernya yang putih mulus.
Sosok yang dipanggil Gumilang, tidak lang-
sung menjawab pertanyaan itu. Pemuda berpa-
kaian coklat itu malah melompat, kemudian hing-
gap di sebuah tonjolan batu beberapa tombak di
depannya. Sebuah perbuatan yang tidak terlalu
sulit sebenarnya kalau saja dilakukan dalam keadaan biasa. Namun saat itu dia
mengenakan alas
kaki berupa potongan kayu tebal yang dibentuk
sesuai telapak kaki. Cara mengenakannya dengan
menjepit mempergunakan ibu jari kaki dan telun-
juk pada tonjolan di bagian depan. Hal itu tentu membuatnya repot juga. Apalagi
bahu kanannya memanggul sebuah pikulan yang terbuat dari su-
sunan rotan-rotan diikat menjadi satu. Pada
ujung-ujung rotan itu tergantung dua buah ember besar dari kayu tebal yang penuh
berisi air. Benda cair itu tampak bermuncratan ke sana kemari
ketika kaki Gumilang mendarat di tonjolan batu.
Tindakan serupa pun dilakukan oleh gadis
berpakaian hijau muda itu. Seperti juga Gumi-
lang, dia pun memakai alas kaki yang sama dan
memikul dua ember air. Hanya saja ember yang
dibawanya lebih kecil.
"Jangan kau anggap ini sebagai siksaan,
Kenari!" ujar Gumilang sambil kembali melompat untuk hinggap pada batu runcing
yang berada di depannya lagi. "Aku yakin, apa yang kita lakukan, dan karena semua ini perintah
Eyang, pasti banyak gunanya bagi kita. Hhh... hhh... hhh...."
"Bisa kau beritahukan gunanya padaku,
Gumilang"!" desak gadis berpakaian hijau muda yang ternyata bernama Kenari,
penuh perasaan penasaran, tetap dengan suara terengah-engah.
"Aku belum merasakan sedikit pun kegunaan se-
mua siksaan ini."
"Jadi kau tidak merasakan kegunaannya,
Kenari" Apakah kau tidak merasakan sendiri per-
bedaannya?"
Gumilang balik bertanya sambil terus me-
lompat-lompat dan hinggap di atas batu-batu
runcing yang membentang dan harus mereka la-
lui. Terpeleset sedikit saja cukup untuk membuat mereka mengalami luka-luka
akibat tersayat-sayat batu-batu itu.
"Tidak!" sambung Kenari, lantang.
"Lupakah kau, Kenari"! Beberapa bulan la-
lu, kita tidak mampu melewati tempat ini! Andaikan bisa pun, air yang kita bawa
telah habis ter-cecer di perjalanan. Apakah kau tidak tahu pula kalau pikulan
kita secara bertahap semakin mengecil karena batang-batang rotannya dikurangi
Eyang satu-persatu"! Tidakkah kau sadari kalau
sekarang kita dapat menempuh perjalanan lebih
cepat"! Apakah kau tidak tahu pula kalau ember-
ember yang kita bawa ini beratnya semakin ber-
tambah"! Dan masih banyak lagi hal-hal yang
tampaknya tak kau sadari...," urai Gumilang panjang lebar, dengan penuh semangat
Kenari kontan terdiam. Rupanya penjela-
san Gumilang membuatnya dapat berpikir. Dan
dia pun mulai menyadari kebenaran ucapan pe-
muda berpakaian coklat itu ketika mengingat-
ingat semua yang dikatakan secara terperinci itu.
Dan sekarang, sepasang muda-mudi itu melan-
jutkan pekerjaan mereka tanpa bercakap-cakap.
"Hup!"
Setelah sekian lamanya melalui perjalanan
yang bermedan batu-batu runcing, Gumilang dan
Kenari tiba pada sebuah tempat datar, di lereng gunung.
"Ayo, Kenari!" seru Gumilang penuh semangat "Aku yakin sekarang kita akan lebih
cepat tiba di puncak. Dan, kolam-kolam yang harus ki-ta isi telah penuh! Kita
telah maju pesat. Aku yakin, sekarang Eyang akan memberikan pelajaran
yang jauh lebih berharga!"
Kemudian Gumilang dan Kenari pun kem-
bali berlari. Meskipun medan yang dilalui menanjak serta berbatu terjal dengan
enak mereka me-
lesat. Namun anehnya tak tampak tumpahan
atau percikan air dari ember-ember yang mereka
pikul. Padahal, isinya hampir penuh!
Mendadak langkah Gumilang dan Kenari
yang semula cepat, langsung mengendur ketika
melihat lima sosok tubuh berpakaian hitam berdi-ri di depan, menghadang
perjalanan mereka.
"Berhati-hatilah, Kenari!" bisik Gumilang.
"Aku yakin mereka bermaksud tidak baik. Ingat, apabila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, kau lekas kabur! Biar aku yang akan mencoba menghadang
mereka," ujar Gumilang.
"Tapi, Kang...," Kenari mencoba membantah, dengan suara pelan karena takut
ketahuan. "Tidak ada tapi-tapian, Kenari!" tegas Gumilang masih dengan suara berbisik.
"Ingat, kita belum mempelajari ilmu silat yang berarti dari
Eyang. Jadi, tidak ada gunanya melawan mereka
bersama-sama."
Karena yakin kalau lima sosok yang berdiri
menghadang sekitar sepuluh tombak dari mereka
bermaksud tidak baik, Gumilang segera berjalan
di depan, dan tidak berlari seperti sebelumnya.
Keduanya membelok ke kanan, melalui jalan se-
tapak yang licin dan menurun. Tanpa banyak bi-
cara, Kenari mengikuti langkah Gumilang meng-
hindari para penghadang yang belum dikenalnya
itu. Begitu keduanya berbelok arah dan baru
mulai menuruni jalan setapak, lima lelaki itu berlari mengejar.
"Hey! Mau ke mana kalian"! Berhenti!" seru lelaki yang bertubuh pendek kekar.
"Kenari! Cepat kabur! Beritahu Eyang!
Buang saja pikulan itu!" seru Gumilang tanpa bi-sa menyembunyikan kecemasannya.
Dia sendiri langsung membalikkan tubuh, bersiap mengha-
dang kelima lelaki berpakaian hitam itu. Ember-
ember segera diturunkan, lalu pikulan yang ter-
susun dari rotan-rotan sebesar jari telunjuk dan berjumlah empat buah itu,
digenggam dengan kedua tangan. Pemuda berpakaian coklat ini bersiap untuk
mengadakan perlawanan.
Wuttt! Ayunan pikulan rotan yang digerakkan se-
cara mendatar itu membuat lima lelaki berpa-
kaian hitam melompat ke belakang. Dari bunyi
berdecit nyaring yang terdengar mereka dapat
mengetahui kalau tenaga dalam pemuda berpa-
kaian coklat itu tidak bisa dianggap remeh.
"Keparat! Rupanya kau sudah kepingin
mampus, heh"!" seru lelaki pendek kekar geram ketika melihat gadis berpakaian
hijau muda yang berada jauh di depan. Gerakan gadis itu ternyata sangat cepat,
bagaikan larinya seekor kijang!
Baik lelaki pendek kekar maupun keempat
kawannya tidak bisa terlalu lama memperhatikan
Kenari karena Gumilang telah kembali menyerang
mereka, secara kalap. Cukup hebat gebrakan
Gumilang, sehingga membuat lima lelaki berpa-
kaian hitam ini buyar dan kerumunan.
Hal itu hanya berlangsung beberapa gebra-
kan, karena sesaat kemudian, Gumilang telah
terkurung. Lima lelaki berpakaian hitam ini tampaknya orang-orang yang terbiasa
bertempur un- tuk mempertaruhkan nyawa. Maka sebentar ke-
mudian mereka langsung tahu kalau Gumilang
hanya menang dalam hal tenaga dan kegesitan
gerakan, sedangkan mengenai gerakan-gerakan
ilmu silat, tipu-tipu penyerangan, dan tangkisan maupun elakan, belumlah mahir.
Serangan-serangan yang dilancarkan pemuda berpakaian
coklat itu pun tidak berkembang. Dapat ditebak
dan mudah dipatahkan. Keadaan Gumilang be-
nar-benar gawat!
Sementara itu, Kenari meskipun
mengkhawatirkan keselamatan Gumilang, terus
berlari tanpa mempedulikan medan yang ditem-
puh. Tidak dipedulikannya sama sekali jalanan li-
cin atau kadang semak belukar berduri yang
membuat pakaiannya koyak-koyak, namun aneh-
nya tidak mampu melukai kulitnya yang halus.
Yang ada di benaknya adalah berlari secepat
mungkin untuk memberitahukan kejadian ini pa-
da gurunya. Krakkk! Brukkk!
"Hey...!"
Kenari mengeluarkan jeritan kaget ketika
sebatang pohon besar tiba-tiba tumbang mengha-
langi jalan, padahal saat itu dia tengah berlari secepat mungkin. Gadis
berpakaian hijau muda ini
menjadi gugup, tapi tetap tidak kehilangan kesa-daran untuk bertindak, meski
untuk sesaat nya-
linya seperti terbang entah ke mana. Untuk per-
tama kali, Kenari yang belum pernah mengguna-
kan kemampuannya, ditantang untuk menyela-
matkan diri dengan kepandaian yang belum dike-
tahui kegunaannya.
"Hih!"
Di saat-saat terakhir, Kenari menjejak ta-
nah dengan kaki kanannya. Seketika tubuhnya
melenting ke atas melewati batang pohon yang
menghalangi jalan. Setelah bersalto beberapa kali di udara, dia berusaha
mendarat di tanah. Tapi....
Tappp! Kenari terpekik kaget ketika pergelangan
kaki kanannya dicekal oleh sebuah tangan besar
dan penuh bulu-bulu tebal. Dan sebelum dia
sempat berbuat sesuatu, tubuhnya terayun deras
ketika tangan besar itu bergerak menghem-
paskannya. Krosakkk! Tubuh Kenari terlempar jauh dan jatuh ke
semak-semak. Ini merupakan sebuah keuntungan
bagi gadis berpakaian hijau muda ini, karena
apabila jatuh menimpa batu atau tanah, dengan
luncuran sederas itu, entahlah bagaimana luka
yang akan dideritanya.
Kenari, menduga kalau pemilik tangan be-
sar dan berbulu itu termasuk orang-orang yang
mengejarnya. Karena begitu takutnya ia tidak
mempedulikan rasa pusing akibat bantingan tadi.
Dengan cepat gadis itu menerobos kerimbunan
semak-semak berusaha melesat kabur.
Kedua kalinya Kenari menjerit kaget. Seke-
tika itu juga terhenti. Matanya membelalak lebar, seakan tidak percaya akan
pemandangan yang dilihatnya.
2 Memang tidak terlalu berlebihan kalau Ke-
nari sampai demikian terkesima. Sosok yang ber-
diri di hadapannya dalam jarak dua tombak, me-
mang memiliki potongan tubuh menggiriskan ha-
ti. Bentuk tubuhnya tidak ada bedanya dengan
manusia biasa, memiliki sepasang tangan, sepa-
sang kaki, dan kepala di atas. Namun bagian tu-
buhnya yang hanya tertutup pakaian berupa
rompi putih, memperlihatkan bulu-bulu halus
berwarna hitam dan bergaris-garis kuning seperti layaknya bulu-bulu yang
terdapat pada seekor
macan! Ketika sosok makhluk yang mengerikan itu membuka mulutnya, tampak gigi-
gigi taring runcing mencuat kanan kiri. Sosok ini lebih mirip manusia harimau!
"Gggrrrhhh...! Mau lari ke mana kau, Wani-
ta Liar"! Grrrhhh...! Jangan harap dapat lolos dari tanganku. Grrrhhh...!" Sosok
berompi putih itu mengeluarkan suara keras dan parau dengan se-sekali diselingi
geraman keras mirip auman harimau. Seruan manusia harimau itu membuat Ke-
nari sadar dari terkesimanya. Dan hal ini menyelamatkan nyawanya. Karena saat
itu juga lelaki
berompi putih yang berbulu harimau loreng itu melompat menerkamnya. Lompatannya
pun mirip seekor harimau menyerang mangsanya.
Kenari yang belum pernah memperguna-
kan kemampuannya, dan bahkan belum menge-
tahui tingkat kepandaiannya, menjadi gugup me-
lihat serangan itu. Sesaat dia terpaku kaku di
tempatnya. Untung saja di saat-saat gawat, ketika jari-jari tangan sosok manusia
harimau yang mempunyai kuku-kuku panjang melengkung dan
berwarna kehitaman hampir merencah lehernya,
Kenari teringat akan pelajaran ilmu silat yang di-terimanya dari gurunya. Kaki
kanannya digerak-
kan melakukan tendangan lurus ke arah perut
lawan yang tengah melompat.
Wuttt! Manusia harimau itu ternyata benar-benar
memiliki ilmu meringankan tubuh yang hampir
tidak masuk akal! Serangan Kenari berhasil di-
elakkannya. Padahal, saat itu tubuhnya tengah
berada di udara, tidak memiliki landasan apa pun yang dapat digunakan untuk
menjejak, tapi toh
hal itu mampu dilakukannya. Dengan hanya


Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggeliatkan tubuh, serangan Kenari berhasil
dielakkannya, bahkan sempat mengirimkan sam-
pokan yang membuat gadis berpakaian hijau mu-
da itu melempar tubuh ke belakang dan bergulin-
gan menjauh. Karena tidak ingin bertarung, Kenari mem-
pergunakan kesempatan itu untuk terus mencelat
dan melarikan diri. Namun manusia harimau itu
benar-benar tidak mau melepaskannya. Dengan
kecepatan yang mengagumkan makhluk aneh itu
melesat mengejar. Kejar-kejaran pun terjadi. Kenari hampir tak percaya ketika
sempat menoleh ke belakang. Dilihatnya manusia harimau itu terkadang berlari dengan bantuan
kedua tangan se-
bagaimana halnya seekor harimau sungguhan!
Dengan cara lari seperti itu, kecepatan larinya pun tidak berkurang, bahkan
bertambah cepat
Kenari mengerahkan seluruh kemampuan-
nya untuk meninggalkan manusia harimau se-
jauh mungkin. Namun maksudnya tidak tercapai
sama sekali. Makhluk yang merupakan campuran
antara manusia dengan harimau itu tetap tidak
bisa ditinggalkan. Meskipun demikian Kenari pun
tidak bisa disusul, jarak antara keduanya tidak berubah.
Setelah melalui jalan terjal berbatu-batu
yang kadang menanjak dan menurun, Kenari dan
manusia harimau itu sampai di sebuah tempat
datar. Dari situ tampak di kejauhan sebuah ban-
gunan berupa pondok
Melihat hal ini semangat Kenari bertam-
bah. Dia yakin apabila telah tiba di pondok itu dan gurunya datang, manusia
harimau ini akan
dapat diusir, dan bahkan dikalahkan.
Namun tiba-tiba semangat Kenari surut,
bahkan berubah menjadi ketegangan, ketika ma-
tanya melihat lima sosok tengah terlibat dalam
suatu pertarungan sengit. Satu di antara mereka dikenali betul oleh Kenari,
Eyang Kendi Laga. Dan yang membuat hatinya lebih terkejut ketika melihat lawan-
lawan yang mengeroyok gurunya itu
sama seperti makhluk yang mengejarnya, campu-
ran antara manusia dengan binatang.
Meskipun demikian, Kenari tetap mene-
ruskan larinya. Biar bagaimanapun dia lebih te-
nang kalau berada di sisi gurunya. Namun ketika jarak antara Kenari dengan
tempat pertarungan
tinggal beberapa tombak lagi, tiba-tiba manusia harimau itu melompat melewati
atas kepala sambil meraung keras. Kini makhluk aneh itu telah
berdiri menghadang di depan Kenari. Mau tak
mau Kenari terpaksa melakukan penyerangan.
Untuk kedua kalinya pertarungan antara mereka
pun terjadi. Penglihatan Kenari ternyata tidak salah.
Tak jauh dari tempat itu seorang kakek kecil kurus dan berkepala botak tengah
sibuk bertarung
menghadapi empat orang pengeroyoknya yang be-
rupa makhluk aneh. Campuran antara manusia
dengan binatang. Dan masing-masing memiliki
keistimewaan yang berbeda sesuai dengan jenis
campuran hewannya.
Eyang Kendi Laga, meskipun tengah sibuk
mengerahkan seluruh kemampuan untuk meng-
hadapi pengeroyokan lawan-lawannya, masih
sempat melihat kehadiran Kenari. Perasaan kha-
watir akan keselamatan muridnya pun timbul. In-
gin dia berusaha menolong Kenari, tapi apa
dayanya" Dia sendiri tengah sibuk menghadapi
gempuran dahsyat kelima makhluk aneh itu.
Desss! Untuk yang kesekian kali, Eyang Kendi La-
ga berhasil mengirimkan sebuah tendangan ke
arah perut salah seorang lawannya yang merupa-
kan campuran antara manusia dengan badak!
Tapi, lagi-lagi tubuh lawannya sama sekali tidak bergeming, seakan tidak
merasakan akibat tendangan kakek kurus itu. Padahal tendangan dah-
syat itu kalau mengenai sebongkah batu besar
atau cadas pun akan hancur!
Sama halnya dengan manusia badak, tiga
pengeroyok lainnya pun tidak kalah hebatnya,
Manusia kera memiliki kegesitan yang menga-
gumkan. Setiap serangan Eyang Kendi Laga selalu
kandas. Sebaliknya kakek kecil botak itu harus
selalu berhati-hati terhadap serangannya. Kedahsyatan yang sama dimiliki pula
oleh manusia be-
ruang dan manusia serigala!
Crattt! Eyang Kendi Laga memekik tertahan ketika
sampokan tangan manusia kera berhasil meng-
gores bahu kanannya. Tubuh kakek kecil kurus
ini tampak terhuyung ke belakang dengan darah
merembes keluar dari bagian yang terluka. Belum sempat Eyang Kendi Laga
memperbaiki kedudukan, manusia badak telah melancarkan serangan
dengan serudukan kepala.
Eyang Kendi Laga terkejut bukan kepalang,
namun masih sempat untuk menjejakkan kaki
sehingga tubuhnya melayang ke atas. Namun tin-
dakannya tetap kurang cepat, kepala manusia
badak yang mempunyai tanduk tunggal sempat
menghantam kaki kanannya.
Meskipun tidak mengenai dada, serangan
manusia badak itu cukup membuahkan hasil.
Eyang Kendi Laga tidak bisa mendarat secara wa-
jar di tanah. Serbuan terkaman manusia serigala yang berhasil dielakkan
membuatnya jatuh terguling di tanah
Tindakan manusia serigala ternyata amat
cepat. Makhluk berbulu hitam ini langsung melu-
ruk menerkam Eyang Kendi Laga untuk men-
goyak-ngoyak tubuhnya dengan disertai lolongan
melengking. Karena tidak sempat untuk mengelakkan
serangan, Eyang Kendi Laga mengambil keputu-
san untuk memapak moncong yang penuh gigi-
gigi runcing dengan kedua tangannya, meskipun
untuk itu harus terluka. Dihentakkan kedua tan-
gannya itu ke depan
*** "Kaing..!"
Sebelum moncong manusia serigala ber-
benturan dengan sepasang tangan Eyang Kendi
Laga yang dikepalkan, makhluk berbulu hitam itu mengeluarkan lengkingan
kesakitan. Tubuhnya
ambruk ke tanah sebelum berhasil melaksanakan
maksudnya. Sebagai tokoh tua yang sudah banyak pen-
galaman di dunia persilatan, Eyang Kendi Laga
mengetahui penyebabnya. Meskipun hanya beru-
pa sekelebatan, dia sempat melihat sepotong ranting sebesar ibu jari melesat
cepat dan menghan-
tam telak badan manusia serigala itu. Dia tahu
ada seseorang yang telah menolongnya.
Belum sempat Eyang Kendi Laga bangkit,
di depannya, berdiri membelakangi sesosok tubuh kekar berambut panjang. Tanpa
membalikkan tubuh, dan hanya menolehkan kepala, sosok kekar
yang ternyata seorang pemuda tampan berwajah
jantan itu berkata.
"Biar aku yang menghadapi mereka, Eyang.
Lebih baik kau tolong muridmu."
Ucapan pemuda berambut panjang itu
hanya terhenti sampai di situ karena empat orang pengeroyok Eyang Kendi Laga
telah menerjangnya. Pemuda berambut panjang itu mengelak-
kannya dan kemudian melancarkan serangan se-
hingga terjadi pertarungan seru.
Eyang Kendi Laga tahu kalau pemuda pe-
nolongnya memiliki kepandaian tinggi. Hal itu diketahuinya dari hasil sambitan
yang mengenai manusia serigala. Tanpa berpikir lebih lama lagi dia segera melakukan perintah
pemuda berambut
panjang itu. Meskipun dengan keadaan tubuh
yang belum sehat betul, dia melesat menuju kan-
cah pertarungan antara Kenari dengan manusia
harimau. Semula pertarungan antara Kenari dan
manusia harimau berlangsung tak jauh dari per-
tarungan Eyang Kendi Laga. Namun karena mas-
ing-masing pertarungan bergeser pindah tempat,
terutama sekali pertarungan antara Kenari den-
gan manusia harimau, jarak antara mereka jadi
terpisah jauh. Bahkan pertarungan antara Kenari dengan manusia harimau telah
berada di tepi sebuah jurang. Sementara keadaan gadis itu sangat gawat, karena
terus terdesak ke bibir jurang.
Dan tepat di saat Eyang Kendi Laga berha-
sil mendekati kancah pertarungan, Kenari me-
lompat ke belakang untuk menghindari sampokan
tangan manusia harimau yang bertubi-tubi. Gadis berpakaian hijau muda ini sama
sekali tidak tahu kalau di belakangnya adalah jurang menganga.
"Kenari..! Awas...!"
Eyang Kendi Laga yang melihat adanya ba-
haya itu berseru keras. Namun teriakannya ter-
lambat karena tubuh Kenari telah melayang ke
belakang. Kenari yang belum sadar akan bahaya
itu mengira peringatan gurunya adalah untuk
menghadapi manusia harimau. Dia baru memekik
kaget ketika menyadari kedua kakinya tidak kun-
jung menjejak tanah, dan bahkan terus melayang
ke bawah. Gadis itu baru tahu kalau dirinya me-
lompat ke jurang.
"Kenari...!" Eyang Kendi Laga berteriak keras sejadi-jadinya. Entahlah bagaimana
perasaan yang ada di dalam hati lelaki tua itu. Keterkejutan, kepiluan, marah,
cemas bercampur jadi satu.
Sekali lihat saja, meskipun belum menjenguk
sendiri jurang itu, dirinya tahu kemungkinan untuk hidup bagi Kenari tipis
sekali. Kemarahan yang menggelegak tak dapat
lagi dibendungnya. Wajahnya memerah dengan
mata membelalak menatap manusia harimau itu.
Tanpa mengucapkan kata-kara apa pun Eyang
Kendi Laga langsung melompat menerjangnya.
Manusia harimau, tanpa banyak cakap se-
gera menyambut terjangan Eyang Kendi Laga.
Pertarungan dahsyat pun terjadi di tepi jurang
itu. Pukulan dan tendangan serta cakaran yang
menimbulkan angin menderu keras terdengar di-
tingkahi oleh suara teriakan-teriakan kemarahan.
Belasan jurus berlalu dengan cepat, tapi belum
ada yang terkalahkan. Si Manusia Harimau itu
tampaknya merasa kalau lawannya kali ini tidak
bisa dianggap remeh, terlalu kuat. Hanya dalam
beberapa gebrakan, dia berapa kali terkena pukulan yang mengakibatkan tubuhnya
terpental jauh dan terguling-guling di tanah.
Di kancah lainnya, pemuda berambut pan-
jang pun telah dapat menguasai jalannya perta-
rungan. Meskipun manusia serigala dan manusia
monyet memiliki kecepatan gerak yang menga-
gumkan, dia mampu mengatasi mereka. Beberapa
kali dia membagi-bagi pukulan pada empat la-
wannya. Terutama sekali pada manusia badak
dan manusia beruang yang mempunyai gerakan
lambat. Untung manusia beruang dan manusia
badak memiliki kekuatan tubuh yang mengagum-
kan, sehingga pukulan-pukulan pemuda beram-
but panjang itu seperti tidak menimbulkan akibat apa pun pada mereka. Tidak
demikian halnya
dengan manusia kera dan manusia serigala. Baru
dua kali pukulan pemuda berambut panjang ber-
sarang, mereka sudah tidak mampu bangkit lagi,
tergolek di tanah. Sekarang yang masih menga-
dakan perlawanan sengit tinggal manusia badak
dan manusia beruang yang sudah agak payah da-
lam melakukan gerakan.
Sebuah tendangan yang dilakukan pemuda
berambut panjang tanpa terduga-duga membuat
manusia beruang terpental jauh dan terbanting di tanah tak berkutik lagi.
Tendangan yang mendarat di dada itu membuat tulang tubuh campuran
antara manusia beruang itu remuk.
Kenyataan ini membuat manusia badak
menggeram keras. Dengan cepat makhluk berku-
lit keras itu melakukan penyerangan dengan
mempergunakan kepalanya. Deru angin keras
mengiringi tibanya serangan yang menuju ke da-
da pemuda berambut panjang itu. Dan....
Cappp! Cappp! Kepala bercula itu menghantam perut pe-
muda berambut panjang dengan telak. Namun se-
buah kejadian yang mengejutkan lawannya terjadi, Tubuh pemuda berambut panjang
itu tidak bergeming sama sekali. Malah, kepala manusia badak itu yang menempel
di perutnya! Dengan telak dan keras kepala bercula itu
menghantam perut pemuda berambut panjang
yang tidak berusaha mengelak sama sekali. Na-
mun sebuah kejadian yang mengejutkan lawan-
nya terjadi. Tubuh pemuda berambut panjang itu
tidak apa-apa. Bergeming pun tidak! Kepala ma-
nusia badak itu malah menempel ke perutnya.
Manusia badak mendengus dan berusaha
untuk menarik kepalanya. Tapi sia-sia saja! Kepalanya seakan telah melekat
dengan perut lawan.
Selain itu, ada hawa panas luar biasa yang me-
nyeruak dari perut pemuda berambut panjang


Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, sehingga membuat kepala manusia badak itu
seperti diletakkan di atas sebuah tungku api yang panas! Manusia badak ini
meraung-raung kesakitan dengan suaranya yang aneh.
Saat itulah, pemuda berambut panjang
menghantamkan kedua telapak tangannya yang
terbuka pada sisi-sisi kepala manusia badak.
Blangng! Raungan keras dan menggetarkan keluar
dari mulut si Manusia Badak. Tubuh makhluk je-
jadian ini sempoyongan karena pada saat yang
bersamaan, pemuda berambut panjang itu mele-
paskan tenaga yang membuat kepala lawan me-
nempel dengan perutnya.
Pada saat yang bersamaan, manusia hari-
mau pun mengeluarkan raungan keras ketika dua
buah pukulan tangan terbuka Eyang Kendi Laga
menghantam telak di dadanya.
Eyang Kendi Laga mengayunkan kaki
mendekati pemuda berambut panjang ketika dili-
hat lawannya sudah tidak bergerak lagi. Lawan-
lawan pemuda tampan itu pun sudah tergeletak
semua di tanah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak
Muda. Kalau tidak ada kau, mungkin aku yang
tua sudah tidak berada lagi di dunia ini," ucap Eyang Kendi Laga penuh rasa
terima kasih. "Lupakanlah, Kek!" sambut pemuda be-
rambut! panjang itu, sopan. "Pertolonganku tidak ada artinya sama sekali. Bahkan
karena keter-lambatanku pula muridmu jatuh ke jurang. Kalau
saja aku datang lebih cepat, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Benarkah
dugaanku kalau wanita
yang jatuh ke jurang tadi muridmu...?"
"Benar," Eyang Kendi Laga mengangguk-
kan kepala. "Hm... boleh kutahu siapa kau, Anak Muda" Aku, Eyang Kendi Laga."
"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku memang
tengah mencari-carimu, Eyang. Itulah sebabnya
aku berada di sini. Menurut berita yang kudengar kau tinggal di sini. Bahkan
bersama-sama dengan beberapa orang muridmu. O ya, aku Arya Buana...," jawab
pemuda berambut panjang itu mem-perkenalkan diri.
"Arya Buana"!" Eyang Kendi Laga menger-
nyitkan dahi seperti tengah berpikir. Beberapa
saat lamanya dia termenung dengan pandangan
tertuju ke angkasa. "Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Dan.... Ah...!
Arya...! Bukankah kau yang terkenal dengan julukan Dewa Arak"!
Ya, benar! Ciri-cirimu sesuai dengan berita yang kudengar mengenai tokoh muda
yang telah meng-goncangkan dunia persilatan. Bukankah kau
yang berjuluk Dewa Arak..., Arya?"
"Begitulah orang memberiku julukan,
Eyang," jawab Arya, tanpa rasa bangga sama sekali. "Tapi, aku lebih suka
dipanggil dengan na-maku, Arya."
Eyang Kendi Laga merasa kagum menden-
gar ucapan pemuda berambut panjang yang ber-
diri di hadapannya. Dari tanggapan atas ucapan-
nya dia tahu kalau Arya memiliki watak rendah
hati. Penuh rasa gembira, sungguhpun tidak bisa menyembunyikan kegetiran hatinya
akibat jatuh-nya Kenari ke dalam jurang, ditatapnya sekujur
tubuh Arya penuh selidik. Pakaian khasnya yang
berwarna ungu dengan rambut panjang berwarna
putih keperakan. Tak ketinggalan pula guci arak yang tergantung di punggung,
jelas ciri-ciri yang dimiliki Dewa Arak.
"O ya. Hm..., lalu apa maksud kedatan-
ganmu mencariku, Arya" Apakah hanya sekadar
untuk mengunjungi gubukku yang reot ini"!"
tanya Eyang Kendi Laga kemudian seraya terse-
nyum memandangi Dewa Arak.
"Kurasa hal itu bisa kita bicarakan nanti,
Eyang. Urusan ini tidak terlalu mendesak. Lebih baik kita selidiki kemungkinan
keadaan muridmu. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan
lolos dari maut," Arya mengajukan usul.
"Tidak ada salahnya kalau kuikuti saran-
mu itu, Arya. Tapi, aku yakin kemungkinan un-
tuk hidup bagi Kenari amat kecil. Aku tahu betul, jurang itu amat dalam dan
terjal, sulit untuk dapat kita turuni kecuali kalau mempunyai sayap."
Mulut kakek kecil kurus ini berkata demi-
kian, tapi kakinya melangkah menuju jurang
tempat tubuh Kenari tadi terjatuh. Hampir Dewa
Arak tertawa geli, tapi karena takut menyinggung hati kakek kecil kurus itu,
ditahannya. Tanpa
berkata apa pun, diikutinya tindakan Eyang Ken-
di Laga menuju ke jurang.
Langkah Eyang Kendi Laga dan Arya ter-
henti bibir jurang. Keduanya melongokkan kepala ke bawah. Ternyata benar, di
samping curam dan
sangat terjal jurang itu amat dalam. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya
kabut di bawah,
tidak tampak sama sekali dasar jurang itu.
Arya menghela napas berat. Kemudian ia
menoleh ke arah Eyang Kendi Laga. Kakek kecil
kurus itu pun balas menatapnya dengan pandan-
gan terharu dan penuh penyesalan.
"Bagaimana, Arya"!" tanya Eyang Kendi La-ga dengan suara parau dan pelan sekali,
"Rasanya kemungkinan yang dikatakan
Eyang benar. Kecil sekali kemungkinannya bagi
Kenari dapat lolos dari maut. Kecuali... bila Tu-
han menghendaki lain."
"Mudah-mudahan, Arya," sambung Eyang
Kendi Laga cepat dan penuh harap. "Tapi kemungkinan untuk hidup sangat kecil.
Dasar ju- rang itu berupa bebatuan cadas yang siap mere-
mukkan tubuh siapa saja yang terlempar ke sa-
na,..." "Siapa yang tahu kehendak Yang Maha Kuasa, Eyang...," gumam Dewa Arak
sambil kembali menengok ke dasar jurang.
Eyang Kendi Laga tidak memberikan tang-
gapan lagi. Diayunkan kakinya meninggalkan
tempat itu seraya memberi isyarat pada Arya agar mengikutinya. Pemuda berambut
putih keperakan
itu pun melangkah di sisi Eyang Kendi Laga.
"Kelihatannya sepi sekali, Eyang," Arya membuka pembicaraan setelah suasana
hening beberapa saat. "Ke mana saja muridmu yang lain?" Eyang Kendi Laga berubah
seketika. Meski hanya sekejap hal itu tidak bisa lolos dari pandangan Arya yang
tajam dan berpengalaman. Se-
ketika itu pula pemuda berpakaian ungu ini tahu, ada sesuatu yang terjadi
terhadap murid Eyang
Kendi Laga. "Mereka sudah tidak ada lagi, Arya," jawab Eyang Kendi Laga datar tanpa nada
sedih, tapi mulutnya yang tersenyum getir serta sorot ma-
tanya yang kosong menunjukkan kalau hati ka-
kek ini terguncang.
"Hhh... maafkan aku, Eyang! Bukan mak-
sudku untuk mengusik kenangan yang tidak enak
dan..." ujar Arya.
"Tidak apa-apa, Arya. Lagi pula aku pun
ingin menceritakan masalah yang menimpa tem-
patku ini padamu. Barangkali saja kau dapat
memecahkannya...," potong Eyang Kendi Laga cepat untuk menghilangkan perasaan
tidak enak yang menyelimuti hati Arya atas pertanyaan tadi.
Arya diam. Diedarkan sepasang matanya
ke sekeliling tempat itu. Tapi seperti tadi, hanya keheningan yang dijumpainya.
"Kejadiannya berawal dari beberapa hari
yang lalu," Eyang Kendi Laga memulai ceritanya.
Dewa Arak pun memperhatikannya dengan sung-
guh-sungguh. "Memang berita yang kau dapat itu tidak
salah. Aku mempunyai beberapa orang murid.
Sembilan orang. Delapan lelaki muda dan seorang gadis. Tapi beberapa hari yang
lalu, tujuh di antara mereka lenyap tanpa ketahuan ke mana per-
ginya. Lenyap begitu saja seperti ditelan bumi.
Yang tinggal hanya dua orang Gumilang dan Ke-
nari. Dan..., Gumilang! Ke mana dia"! Mengapa
aku begitu pelupa"! Kenari hanya kembali seo-
rang diri! Duh..,, pasti ada sesuatu yang terjadi terhadap dirinya...!"
Tiba-tiba Eyang Kendi Laga teringat akan
Gumilang, muridnya.
"Kalau begitu, mari kita cari, Eyang," sahut Arya, cepat. Dirinya langsung bisa
mengetahui kegelisahan Eyang Kendi Laga.
"Mari, Arya!" sambut Eyang Kendi Laga tak sabar. "Aku mempunyai dugaan di mana
adanya Gumilang! Mudah-mudahan saja belum terjadi
sesuatu yang tidak kita harapkan atas dirinya!"
Dengan kekhawatiran yang mendalam
akan keselamatan Gumilang, Eyang Kendi Laga
melesat meninggalkan tempat itu. Kakek kecil kurus ini langsung melesat menuju
jalan yang dilalui dua orang muridnya untuk mengambil air dan
mengisi dua bak besar di belakang rumah.
Tanpa berkata apa pun, Arya segera men-
gikutinya. 3 "Itu tong air mereka...!"
Suara Eyang Kendi Laga terdengar penuh
getaran karena perasaan tegang menyergap ha-
tinya. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke
depan, agak ke atas
Arya terbelalak melihat tong air yang ditun-
juk Eyang Kendi Laga. Tong dari kayu berat itu
berada di udara, melayang-layang sekitar tiga
tombak di atas permukaan bumi. Padahal dua
buah tong kayu besar yang masih tergantung pa-
da pikulannya itu tidak ada yang memegang. Jadi melayang-layang sendiri!
"Hati-hati, Eyang!" Meski dengan perasaan tidak enak karena takut dianggap
menasihati, Arya memperingatkan Eyang Kendi Laga. "Aku
yakin ada orang sakti yang tersangkut dengan pe-ristiwa ini. Aku yakin tong itu
tidak bergerak sendiri. Atau..., benarkah muridmu mampu melaku-
kan hal seperti ini?"
Ucapan Arya membuat Eyang Kendi Laga
agak memperlambat larinya. Dia merasakan ke-
benaran ucapan Arya. Perasaan tegang mengingat
keselamatan murid yang tinggal semata wayang
membuatnya melupakan keberadaan tong air itu.
Tong air itu tidak mungkin berada di sana tanpa ada orang sakti yang berdiri di
belakangnya. Dan dia tahu pasti kalau Gumilang, betapa pun hebatnya, tidak akan
mampu melakukan hal seperti
itu" Dia sendiri pun merasa sangsi untuk dapat
melakukannya. Sayangnya, baik Arya maupun Eyang Ken-
di Laga tidak dapat langsung mengetahui orang
yang berada di balik tong air itu. Tempat tong air itu berada, lebih tinggi dari
tempat Arya dan
Eyang Kendi Laga. Dua tokoh sakti yang berbeda
usia ini menempuh jalan mendatar beberapa saat
lamanya ingin mengetahui siapa yang mengenda-
likan tong air itu.
Langkah Eyang Kendi Laga dan Arya lang-
sung tertahan. Mata mereka membelalak menatap
lurus ke depan. Berjarak lima tombak dari tempat mereka, berdiri sesosok tubuh
ringkih dan bongkok dari seorang kakek yang mengenakan pa-
kaian terbalik. Baik baju ataupun celananya di-
kenakan secara terbalik, yang bagian dalamnya di luar! Kakek bongkok ini tengah
menjulurkan tan-
gan kanannya ke depan. Sedangkan tangan ki-
rinya melambai-lambai tertiup angin. Baik Eyang Kendi Laga maupun Arya tahu
kalau lengan baju
itu kosong! Tangan kiri kakek bongkok itu bun-
tung sampai pangkal tangan.
Kakek bongkok itu pun rupanya melihat
kedatangan Eyang Kendi Laga dan Arya. Tangan
kanannya yang terjulur itu ditarik kembali ke sisi pinggang. Seketika itu pula
tong air yang melayang-layang di udara jatuh ke tanah. Kenyataan ini membuat
Eyang Kendi Laga dan Arya semakin
yakin kalau kakek bongkok inilah yang membuat
tong air itu berada di udara.
"He he he...!" kakek bongkok itu tertawa terkekeh dengan biji mata berputaran
liar seperti orang tak waras. "Siapa kalian" Apakah kalian mempunyai nyawa
rangkap sehingga berani mengintai perbuatanku?"
"Kaulah yang harus menjelaskan kebera-
daanmu di sini!" sergah Eyang Kendi Laga tak mau kalah gertak. "Sekitar daerah
ini berada dalam kekuasaanku! Dan tong air yang kau per-
mainkan itu milik muridku! Katakan apa yang te-
lah kau lakukan terhadapnya!"
"He he he,..! Rupanya kau galak juga, Ku-
rus!" ujar kakek bongkok seraya mengayunkan kaki menghampiri. "Ingin kuketahui
apakah la-gakmu sesuai dengan kepandaian yang kau mili-
ki"!" "Boleh kau lihat sendiri, Bongkok!" Seraya berkata demikian, Eyang Kendi
Laga yang ter- pancing kemarahannya, melompat menerjang.
Tangan kanannya dijulurkan ke depan dengan ja-
ri-jari siap menusuk mata lawan. Desiran angin
keras dan suara berdesit mengiringi serangan itu.
"Uh...! Boleh juga kau, Kurus!" Kakek bongkok itu melangkahkan kaki kanan ke
belakang sehingga tusukan jari tangan lawan tak
mengenai sasaran. Namun hal ini sudah diperhi-
tungkan oleh Eyang Kendi Laga, langsung diki-
rimkan serangan susulan berupa tendangan ke-
ras dan bertubi-tubi.
Kakek bongkok tampak tetap tenang. Sedi-
kit pun tak tampak kegugupannya. Dengan tak
kalah cepat dia menyelinap maju melalui bawah,
dan tahu-tahu dia telah berada di dekat Eyang
Kendi Laga. Tangan kirinya yang buntung mengi-
rimkan serangan tak kalah dahsyat. Lengan ba-
junya yang kosong menegang kaku laksana pe-
dang, dapat menusuk ke arah tenggorokan lawan.
Namun, Eyang Kendi Laga pun berhasil memus-
nahkannya dan mengirimkan serangan tak kalah
dahsyat sehingga menimbulkan pertarungan sen-
git Sebentar saja pertarungan telah berlang-


Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sung hampir dua puluh jurus.
Tukkkk! Prattt!
Eyang Kendi Laga memekik kesakitan seir-
ing dengan tubuhnya yang terlempar ke belakang.
Kakek kecil berkepala botak ini masih mampu
mendarat dengan kedua kaki, meski agak ter-
huyung-huyung. Sebelum Eyang Kendi Laga melesat mener-
jang untuk melanjutkan pertarungan, Arya telah
lebih dulu bergerak dan berdiri di sebelahnya.
"Biar aku yang mencoba menghadapinya,
Eyang," ujarnya dengan suara halus.
Dewa Arak sengaja ikut campur karena ta-
hu kalau Eyang Kendi Laga bukan tandingan ka-
kek bongkok yang berilmu lebih tinggi. Pemuda
berpakaian ungu ini melihat secara jelas jalannya pertarungan. Sehingga
mengetahui kalau Eyang
Kendi Laga telah terluka cukup parah. Tangan ki-ri kakek bongkok yang kosong itu
ternyata benar-benar luar biasa, Eyang Kendi Laga sempat terke-na dua pukulan
beruntun. Pertama lengan baju
itu menotok bahu kanan, kemudian langsung me-
lemas dan mengebut mengenai bahu kiri secara
keras. Itulah sebabnya tadi tubuh Eyang Kendi
Laga terlempar beberapa langkah sambil menjerit.
*** "He he he...! Rupanya kau juga ingin ber-
main-main denganku, Rambut Setan" Mengapa
harus membuang waktu dengan melawan satu
persatu" Lebih baik maju bareng, aku akan men-
galahkan kalian sekaligus biar tidak bertele-tele!"
"Terima kasih atas usulmu itu, Kek," ucap Arya sambil mengembangkan senyum di
bibir. Dia tidak terpengaruh oleh ucapan mengejek dari ka-
kek bongkok itu. "Tapi sayang sekali, aku tidak bisa menurutimu. Aku dan kawanku
ini bukan termasuk orang-orang pengecut! Biarlah, andai-
kata kalah darimu pun aku tidak menyesal. Kau
memang tangguh dan sakti."
"He he he...! Kau terlalu merendah, Rambut Setan! Aku tidak yakin akan dapat
mengalah-kanmu, tapi jangan harap kau akan mudah pula
mengalahkanku. Terimalah seranganku!"
"Uh...!"
Arya mengeluarkan keluhan tertahan keti-
ka melihat kakek bongkok itu melancarkan se-
rangan dengan tangan kirinya yang buntung.
Lengan baju itu bergerak aneh, mematuk-matuk
dan meliuk-liuk seperti seekor ular. Gerakannya yang lemas tapi cepat, sempat
membuat pendekar
muda berambut putih keperakan itu agak kebin-
gungan untuk mengetahui secara pasti bagian
yang menjadi sasaran.
Namun Arya adalah Dewa Arak yang telah
kenyang pengalaman menghadapi berbagai ma-
cam tokoh di dunia persilatan. Sebelum serangan itu mencapai sasaran, telah bisa
diketahuinya kalau tangan baju yang kosong itu mengincar wa-
jahnya. Maka buru-buru didoyongkan tubuh ba-
gian atasnya ke belakang tanpa memundurkan
kaki. Dewa Arak hampir terpekik kaget ketika
serangan itu mendadak berubah. Serangan len-
gan baju lawan ternyata hanya pancingan belaka, karena langsung ditarik sebelum
mencapai sasaran. Serangan sesungguhnya ternyata sebuah
pukulan tangan kanan dengan jari-jari terbuka ke
arah dada. Deru angin keras yang mengiringi serangan
tipuan menyadarkan Dewa Arak kalau gedoran
itu mampu menumbangkan sebatang pohon be-
sar. Maka tanpa membuang-buang waktu lang-
sung dipapaknya dengan bentuk jari-jari tangan
serupa. Glarrr! Baik tubuh kakek bongkok maupun Dewa
Arak terhuyung-huyung ke belakang, akibat ben-
turan keras tangan mereka yang mengandung te-
naga dalam kuat itu. Arya agak kaget ketika me-
nyadari kalau kakek bongkok hanya terhuyung
dua atau tiga langkah. Padahal dirinya hampir
mencapai dua tombak ke belakang. Sama sekali
tidak disangkanya kalau tenaga dalam lawan
sampai sekuat itu.
Namun Arya tidak bisa berlama-lama teng-
gelam dalam alun keterkejutannya karena kakek
bongkok telah mengirimkan serangan susulan
dengan mempergunakan sepasang kakinya. Dua
batang kaki itu meluncur bertubi-tubi ke arah
Arya dengan kibasan-kibasan yang mengeluarkan
deru angin keras.
Pertarungan sengit antara dua tokoh ber-
beda usia itu terus berlangsung. Dewa Arak den-
gan kemampuannya dapat mematahkan seran-
gan-serangan maut lawan. Bahkan mengirimkan
serangan balasan yang tak kalah berbahaya den-
gan mengerahkan ilmu 'Delapan Cara Menakluk-
kan Harimau' dan 'Sepasang Tang Penakluk Na-
ga'. Pemuda berambut putih keperakan ini senga-
ja tidak mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' nya karena dia menduga kalau
lawannya bukan orang
jahat. Buktinya, tadi kakek bongkok ini tidak
mengirimkan serangan susulan pada Eyang Kendi
Laga yang terhuyung-huyung karena terkena se-
rangannya. Hal itu merupakan cerminan tokoh
persilatan yang tak suka berlaku curang. Tak ingin membokong lawan bila dalam
keadaan tidak siap. Seperti dua buah ilmu yang dipergunakan
Dewa Arak, ilmu-ilmu kakek bongkok memiliki
daya serangan luar biasa. Pertarungan telah berjalan beberapa jurus, kedua belah
pihak lebih banyak melancarkan serangan daripada pertaha-
nan. Sehingga pertarungan tampak seru dan me-
negangkan. Sementara itu Eyang Kendi Laga yang me-
nyaksikan dari jarak beberapa tombak, merasa
tegang dan was-was. Sebab setiap kali terjadi benturan keras baik kaki maupun
tangan Dewa Arak
tampak selalu terhuyung-huyung ke belakang.
Seakan pemuda itu tak mampu menahan kekua-
tan tenaga dalam lawannya.
Plakkk! Bretttt!
Hampir bersamaan Dewa Arak dan kakek
bongkok itu terhuyung-huyung ke belakang. Dari
mulut keduanya pun keluar jeritan kesakitan dan keterkejutan. Dalam sebuah
gerakan yang sangat
cepat, tepakan tangan kanan kakek bongkok ber-
hasil menghantam pundak kiri Arya. Namun pe-
muda berambut putih keperakan itu pun berhasil
mencengkeram lengan baju kiri lawan hingga so-
bek. Tanpa menemui kesulitan Dewa Arak ber-
hasil mematahkan kekuatan yang membuat tu-
buhnya sempoyongan. Kemudian bersiap untuk
melompat kembali ke kancah pertarungan setelah
terlebih dahulu menggosok sudut bibirnya dengan punggung tangan kanan. Tampak
darah di tangannya. Dewa Arak terluka.
"Cukup, Rambut Setan! Kau benar-benar
lihai!" Seketika urat-urat saraf dan otot-otot Dewa Arak yang semula menegang
kaku menjadi lemas
kembali, mendengar ucapan kakek bongkok itu.
Apalagi kakek itu pun tak siap untuk bertarung
lagi. Tentu saja hal itu membuat kening Dewa
Arak berkerut karena merasa heran.
"Sekarang beritahukan pada kami pemilik
tong air yang kau buat permainan itu. Tentu saja kalau kau memang tidak
bermaksud untuk mencari permusuhan dengan kami," sela Eyang Kendi Laga cepat
"He he he...! Pemilik tong air itu?" tuding kakek bongkok pada tong air yang
tergeletak di atas tanah berbatu-batu. Dan ketika hampir Arya dan Eyang Kendi Laga
menganggukkan kepala,
kakek ini segera menyambung ucapannya, "Mengapa kalian bertanya padaku" Sejak
aku berada di sini pun pemiliknya sudah tidak ada. Hanya
tong air itu yang ada di sini. He he he...!"
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga saling
pandang. Keduanya tahu kakek bongkok itu sama
sekali tidak berdusta.
"Kalau begitu..., maafkan atas tindakan
kami, sobat," ucap Eyang Kendi Laga sambil mengulurkan tangan meminta maaf.
"Kami telah salah menjatuh tuduhan. Kami kira kau yang telah
mencelakai pemilik tong air itu. Asal kau tahu sa-ja, pemilik tong air itu
adalah muridku."
"Lupakanlah, Kurus!" sambut kakek bongkok tetap tidak merubah panggilannya.
Uluran tangan Eyang Kendi Laga tidak disambutnya sa-
ma sekali. "Sikapmu membuat perutku mual!"
Meski merasa mendongkol atas sikap ka-
kek bongkok, Eyang Kendi Laga tidak berkata
apa-apa. Perhatiannya dialihkan pada Dewa Arak.
"Kalau begitu, Gumilang mendapat bahaya
sebelum kakek ini datang, Eyang."
Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala
membenarkan dugaan Dewa Arak. "Dan aku ya-
kin Gumilang tidak menyerah begitu saja. Dia
pasti mengadakan perlawanan. Namun, apabila
itu terjadi, pasti akan ada bekas-bekas pertarungan di sekitar sini."
Tanpa berbicara lagi Arya dan Eyang Kendi
Laga mulai sibuk meneliti sekitar tempat itu. Sementara kakek bongkok tampak
hanya berdiri memperhatikan sambil cengengesan sendirian.
Namun kemudian secara diam-diam dia melang-
kah mengikuti Eyang Kendi Laga dan Dewa Arak
yang tengah meneliti tempat ini.
*** "Arrrggghhh...!"
Bagai diberi perintah Arya, Eyang Kendi
Kitab Mudjidjad 4 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Satria Terkutuk Kaki Tunggal 3
^