Pencarian

Perawan Perawan Persembahan 1

Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan Bagian 1


PERAWAN-PERAWAN
PERSEMBAHAN oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji. S
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode:
Perawan-Perawan Persembahan
128 hal - 12 x 18 cm.
1 Sang Surya sudah bergulir dan terbenam di
ufuk barat. Sinarnya yang merah jingga, telah lama
menghilang di kaki-kaki langit sebelah barat. Dan sekarang, sang Dewi Malam yang
menggantikan tugas-
nya untuk menerangi persada dengan sinarnya yang
temaram. Tapi gerombolan awan tebal berwarna hitam
yang bergumpal-gumpal di angkasa, seolah mengha-
langi sinarnya. Sehingga suasana di muka bumi jadi
remang-remang. Keadaan seperti ini saja sudah membuat ma-
lam menjadi mencekam. Apalagi, angin dingin menggi-
gil kan tulang sesekali berhembus keras. Tak heran
kalau keadaan ini cukup membuat orang lebih suka
tinggal di dalam rumah.
Kalau saja di luar sana masih ada juga orang
dalam suasana seperti itu, tentu ada hal penting yang harus diselesaikan nya.
Dan ini dialami oleh dua sosok yang tampak melangkah menyusuri jalan utama Desa
Banyu. Satu di antara mereka tampak membawa ken-
tongan. Tentu saja, mereka adalah peronda yang hams
menyelesaikan tugasnya hingga fajar nanti.
Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan yang terdengar keras mengi-
ringi langkah kedua sosok itu. Apalagi, dalam suasana malam yang demikian sunyi.
"Ginta...," panggil salah seorang. Lelaki pendek kekar yang memegang kentongan
dan dipanggil Ginta
menoleh. "Ada apa, Pertala?" tanya Ginta.
Pertala yang memiliki tubuh tinggi kurus, ter-
diam sesaat. Nampak kalau sikapnya ragu-ragu untuk
berbicara, sehingga membuat Ginta kesal.
"Kau tidak merasa ada keanehan malam ini,
Ginta?" tanya Pertala, sebelum Ginta memuntahkan kekesalannya.
Ginta kontan terperanjat, mendengar ucapan
Pertala. Tanpa sadar kepalanya menoleh ke kanan dan
ke kiri. Tapi, tidak ada yang dilihatnya, kecuali bentuk yang serba tidak jelas
di tengah suasana yang remang-remang.
"Apa maksudmu, Pertala?" Ginta malah balas mengajukan pertanyaan. Namun nada
suaranya terdengar agak gemetar.
Perlu diakui, lelaki pendek kekar ini memiliki
sifat penakut, terutama jika berada di tempat-tempat yang menyeramkan. Dan
sebenarnya, sejak tadi Ginta
sudah merasa ketakutan yang terus ditahan-tahan.
Tapi ucapan Pertala barusan, seperti menyergapnya
dalam suasana yang mencekam.
"Malam ini perasaanku tidak enak sekali, Gin-
ta," desah Pertala, bernada keluh. "Bahkan bulu ku-dukku sampai berdiri."
"Hm..., lalu?" tanya Ginta, semakin bergetar karena rasa takut yang kian
melunturkan keyakinannya.
Meskipun tidak menoleh, sepasang mata Ginta
berkeliaran liar mengawasi sekeliling. Dan perasaan
takut itu kian menjadi-jadi ketika menyadari kalau sekarang berada dekat
perbatasan desa. Di sini memang
sudah tidak ada pondok lagi. Rumah penduduk yang
paling dekat dengan mulut desa telah cukup jauh di
belakang mereka. Itu pun hanya sebuah!
"Perasaanku mengatakan, ada sesuatu yang
akan terjadi...," sambung Pertala pelan, lebih mirip bi-sikan.
Kali ini Ginta tidak bisa menahan rasa takut-
nya lagi. Buru-buru tubuhnya berbalik, kemudian ber-
lari kembali ke dalam desa!
Karuan saja tindakan Ginta mengejutkan Per-
tala. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dike-
jarnya Ginta. "Ginta! Tunggu...!"
Maka dalam suasana malam sunyi mencekam
itu, terjadi kejar-kejaran antara dua orang peronda De-sa Banyu.
"Akh...!"
Belum juga sepuluh tombak berlari, Ginta men-
jerit kaget. Tubuhnya langsung terjerembab ke depan
dan jatuh ke tanah, begitu kakinya tersangkut batu
yang menonjol di tanah. Karena Ginta berlari dalam
suasana gelap tanpa obor, tentu saja bagai orang buta berlari. Dan tak lama,
Pertala berhasil menyusul Ginta yang meringis-ringis kesakitan.
"Hhh... hhh.... Apa yang terjadi, Ginta"! Hhh...
hhh.... Mengapa kau berlari-lari seperti dikejar setan?"
tanya Pertala dengan napas tersengal-sengal. Obor di tangannya hampir padam
terhembus angin ketika berlari tadi.
"Semua ini karena kau!" sentak Ginta keras.
"Aku"!" dengan nada tidak percaya, Pertala meminta penjelasan.
"Benar!" tandas Ginta mantap. "Kalau tidak karena ceritamu, aku tidak akan
ketakutan."
"Hhh...!" Pertala menghela napas berat "Bukan hanya kau saja yang takut, Ginta!
Aku juga! Bahkan
mungkin lebih besar darimu! Buktinya, aku tidak
mampu menahannya, sehingga menceritakannya pa-
damu!" Ginta kontan terdiam. Pertala juga diam. Maka
suasana hening langsung melingkupi tempat itu.
"Kau dengar bunyi itu, Pertala?" tanya Ginta, memecah keheningan.
Pertala menatap wajah rekannya sejenak, ke-
mudian diam. Dicobanya untuk mencari tahu, tentang
bunyi yang dikatakan Ginta. Dahinya berkernyit da-
lam, dengan perhatian terpusat pada pendengarannya.
"Ya," jawab Pertala seraya menganggukkan kepala. "Kalau tidak salah, bunyi derap
kaki kuda. Entah berapa jumlahnya.... Tapi yang jelas, banyak juga."
"Dugaanmu sama denganku, Pertala," sahut
Ginta. "Entah siapa yang di malam seperti ini mengen-darai kuda...."
"Jangan-jangan...," Pertala menghentikan ucapannya. Sepasang matanya langsung
diarahkan ke arah mulut desa yang baru saja ditinggalkan tadi.
Lelaki tinggi kurus ini segera mengalihkan per-
hatian ke arah Ginta. Pada saat yang sama, Ginta me-
natapnya. Maka kini dalam keremangan sinar obor,
dua peronda Desa Banyu ini saling berpandangan. Ada
sorot kekhawatiran dalam pancaran mata mereka.
"Perampok..."!"
Hampir berbareng, Ginta dan Pertala mende-
siskan kata itu. Ada alasan kuat yang mendorong du-
gaan itu muncul. Mereka memang telah mendengar
tentang rombongan perampok berkuda yang melaku-
kan penculikan terhadap wanita-wanita muda!
Setelah menegaskan kalau arah yang dituju
rombongan berkuda itu adalah desa mereka, maka se-
perti telah disepakati, keduanya berlari cepat menuju lambung desa.
Tong, tong, tongngng!
Bunyi kentongan yang mengisyaratkan adanya
bahaya mengancam, langsung dipukul Ginta tanpa
menghentikan larinya.
Isyarat yang diberikan Ginta pun langsung
mendapatkan sambutan. Daun pintu rumah yang le-
taknya paling dekat dengan tempat Ginta dan Pertala
berada, langsung terbuka. Dari dalamnya keluar seo-
rang lelaki tinggi besar yang langsung memukul ken-
tongan, menyambung kentongan Ginta.
Tong, tong, tongngng!
*** Pada saat yang sama, Ginta dan Pertala telah
hampir tiba di pondok lelaki tinggi besar yang tengah memukul kentongan. Namun,
bunyi yang terdengar di
kejauhan semakin keras. Bergemuruh, membuat bumi
seperti bergetar hebat.
Seperti telah diatur saja, awan hitam bergum-
pal-gumpal yang menutupi sinar rembulan, mulai
buyar tertiup angin. Maka secara perlahan-lahan kea-
daan di persada tidak remang-remang seperti sebe-
lumnya. Sadar kalau suasana telah terang, Pertala dan
Ginta menoleh. "Oh!"
Jeritan kaget keluar hampir berbarengan dari
mulut mereka, ketika melihat serombongan orang ber-
kuda di belakang berjarak sekitar sepuluh tombak!
Dan kalau diperhatikan, wajah mereka rata-rata tam-
pak bengis. Pemandangan ini membuat dua peronda Desa
Banyu yang telah lelah itu, seperti mendapat tamba-
han tenaga baru. Entah dari mana datangnya kekua-
tan, tiba-tiba kecepatan lari mereka bertambah.
Meskipun demikian, apa artinya kecepatan lari
manusia biasa bila dibanding kecepatan kuda. Biarpun Pertala dan Ginta telah
mengerahkan seluruh kemampuan lari, tetap saja jaraknya dengan para penunggang
kuda itu semakin dekat. Bahkan sudah dapat dipastikan akan tersusul.
Sementara itu, para penunggang kuda tampak
merasa gembira, memburu orang yang dilanda ketaku-
tan. Sambil mencambuki agar kuda-kuda berlari lebih
kencang, mereka terus mengumbar tawa!
Dan tawa yang paling keras, dikeluarkan oleh
sosok bercambang bauk lebat yang berkuda paling de-
pan. Dia juga berpakaian hitam seperti yang lainnya.
Tapi menilik tindak-tanduknya, dapat diketahui kalau laki-laki bercambang bauk
itu adalah yang bertindak
sebagai pemimpin.
"Mau lari ke mana, Anjing-anjing Kecil"! Ha ha
ha...!" kata lelaki bercambang bauk lebat itu, ketika telah berjarak tak lebih
dari lima tombak dengan dua
orang yang berusaha menyelamatkan diri. Begitu kata-
katanya selesai, lelaki bercambang bauk lebat itu me-masukkan tangan kirinya ke
balik baju. Dan sebentar
saja, tangannya telah dikeluarkan bersama dua bilah
pisau. "Sekarang, pergilah kalian ke neraka! Hih...!"
dengus lelaki bercambang bauk lebat itu seraya men-
gibaskan tangan kirinya.
Seketika itu pula, dua batang pisau putih ber-
kilat yang berada di tangannya, melesat cepat ke arah Ginta dan Pertala. Bunyi
berdesing cukup nyaring,
mengiringi tibanya serangan.
Ginta dan Pertala yang tentu saja bukan tokoh
persilatan memang tidak bisa menangkap desir angin
serangan dua belah pisau. Mereka hanya mempercepat
larinya. Sehingga akibatnya....
Cappp, cappp! "Akh, akh!"
Hampir berbareng, Ginta dan Pertala melolong
menyayat ketika senjata yang dilepaskan lelaki ber-
cambang bauk lebat itu tepat menghunjam punggung!
Seketika, langkah kaki mereka terhenti dengan tubuh
tersentak ke depan. Dan mereka akhirnya ambruk di
tanah, tidak bangkit lagi selama-lamanya.
Tubuh kedua peronda ini tergolek hanya bebe-
rapa langkah lagi saja dari tempat tinggal lelaki tinggi besar yang masih
memukul kentongan. Dan semua kejadian ini terlihat jelas olehnya.
Dan belum juga lelaki tinggi besar ini lebih la-
ma memukul kentongan, tiba-tiba sebatang anak pa-
nah yang dilesatkan salah seorang rombongan berkuda
telah mendarat di dadanya. Dia kontan terjengkang
dan ambruk di tanah. Dia tewas menyusul Ginta dan
Pertala. Sesaat kemudian, lelaki bercambang bauk lebat dan rombongannya telah
berada di depan pondok itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melompat tu-
run dari atas punggung kudanya, diikuti belasan orang bertampang kasar lainnya.
"Geledah rumah itu...!" seru lelaki bercambang bauk lebat itu, dengan suara
keras. Tanpa menunggu perintah dua kali, beberapa
orang anak buahnya berserabutan masuk ke dalam
pondok lelaki tinggi besar yang telah tewas tertancap panah. Hanya sebentar
saja, dan begitu kembali di ba-hu kanan salah seorang telah terpanggul sesosok
tu- buh ramping berambut panjang!
"Tolong...! Manusia biadab...! Ayah...!" jerit sosok tubuh ramping itu.
Tapi siapa yang akan menolong sosok ramping
itu" Lelaki tinggi besar yang rupanya adalah ayahnya, telah tergeletak tanpa
nyawa. Sambutan yang diteri-manya hanyalah tawa gelak rombongan orang-orang
bertampang kasar itu!
"Ha ha ha...!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki bercambang
bauk lebat itu tertawa bergelak, ketika melihat anak buahnya datang dengan
memondong sosok ramping di
bahunya. "Man kita cari yang lainnya!"
Usai berkata demikian, lelaki bercambang bauk
lebat itu berlari lebih dulu menuju lambung Desa
Banyu. Dan di belakangnya, belasan anak buahnya
mengikuti. Sementara, semua binatang itu ditam-
batkan di dekat rumah lelaki tinggi besar yang telah tewas! Tapi baru beberapa
tombak berlari, dari arah yang berlawanan tampak berbondong-bondong orang
bergerak mendatangi. Di tangan mereka tampak ter-
genggam senjata dalam berbagai jenis dan bentuk!
"Ha ha ha...!"
Kembali lelaki bercambang bauk lebat tertawa
bergelak. "Lihat! Rupanya orang-orang dungu itu sudah
siap mengantar nyawa. Sungguh sebuah penyambutan
yang amat menggembirakan! Ha ha ha...!"
Dan memang, dugaan lelaki bercambang bauk


Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebat itu tidak salah! Rombongan orang yang bergerak memapaki kedatangan mereka
adalah penduduk Desa
Banyu. Mereka datang secara berbondong-bondong,
karena isyarat kentongan tanda bahaya yang terdengar saling bersahutan.
Sosok yang berjalan paling depan adalah se-
orang laki-laki setengah baya berpakaian putih. Dialah Kepala Desa Banyu.
Namanya, Ki Buleleng.
Sambil memberi semangat pada para penduduk
di belakangnya, Ki Buleleng mengacung-acungkan go-
lok yang tergenggam di tangan. Dan memang, tindakan
Kepala Desa Banyu ini membuat warganya terpancing
semangatnya. Dalam waktu tidak terlalu lama, pertempuran
dua rombongan itu pun tidak dapat dielakkan lagi.
Akibatnya, pertempuran besar-besaran pun langsung
berkobar! Seketika itu pula suasana malam yang semula
hening dan sunyi, langsung dipecahkan bunyi dentang
senjata beradu. Bunga-bunga api pun berpercikan ke
sana kemari, sebagai pertanda kuatnya benturan sen-
jata yang terjadi.
Sebenarnya jumlah penduduk Desa Banyu le-
bih banyak. Bahkan hampir mencapai dua kali lipat
daripada jumlah perusuh itu. Tapi karena sebagian besar penduduk tidak memiliki
ilmu silat, akibatnya
rombongan perampok itu sangat leluasa membinasa-
kan mereka satu persatu. Maka lolong menyayat hati
terdengar susul-menyusul diikuti robohnya para pen-
duduk Desa Banyu di tanah dengan tubuh bersimbah
darah. Para perampok itu mengamuk laksana harimau
luka. Setiap kali senjata mereka berkelebat, sudah dapat dipastikan ada sosok
yang roboh dan tidak bang-
kit-bangkit lagi untuk selamanya.
Tapi, ternyata tidak semua orang di pihak Desa
Banyu yang mudah ditundukkan. Bahkan mampu
mengadakan perlawanan sengit, dan mampu mende-
sak salah seorang perampok. Dialah, Ki Buleleng, Ke-
pala Desa Banyu!
Sambil terus mengadakan perlawanan sengit,
laki-laki tua berpakaian putih ini tak henti-hentinya memberi semangat pada para
penduduk Desa Banyu.
"Jangan mundur...! Lawan terus...! Mundur,
berarti desa kita hancur...!"
Berkat teriakan Ki Buleleng, maka para pendu-
duk Desa Banyu terus mengadakan perlawanan.
Seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan.
Mereka tahu, nasib anak dan istri tergantung perta-
rungan ini. Tapi perlawanan yang diberikan nyatanya sia-
sia belaka. Keadaan di pihak penduduk Desa Banyu
bagaikan semut-semut menerjang api. Begitu berhasil
dekat, langsung berguguran tanpa daya.
Kini, sungguh mengerikan keadaan Desa Ba-
nyu. Di sepanjang jalan utama desa terjadi pertarun-
gan mati-matian. Di sana-sini, bergeletakan sosok-
sosok tubuh tanpa nyawa. Dan darah pun sudah
menggenangi sekitarnya.
Sementara wajah lelaki bercambang bauk lebat
itu tampak berseri-seri. Sudah terbayang di benaknya kalau perlawanan para
penduduk Desa Banyu akan
dapat diruntuhkan.
Tapi seri di wajah pimpinan rombongan peram-
pok ini lenyap, begitu pandangannya tertumbuk pada
salah satu pertarungan. Tampak salah seorang anak
buahnya kerepotan menghadapi laki-laki berpakaian
putih, yang tak lain Ki Buleleng.
Gigi lelaki bercambang bauk lebat itu jadi ber-
gemeletak. Lalu seketika dia melompat masuk dalam
kancah pertarungan antara Ki Buleleng melawan anak
buahnya. Padahal, saat ini Kepala Desa Banyu itu tengah menerjang dengan sebuah
tusukan ke arah leher
lawannya. Trangngng! Bunga api berpercikan ke sana kemari, ketika
serangan Kepala Desa Banyu itu dipapak golok besar
milik lelaki bercambang bauk lebat ini. Seketika itu pula tubuh Kepala Desa
Banyu terpental kembali ke
belakang. Demikian pula lelaki bercambang bauk itu.
Jliggg! Begitu berhasil mendarat di tanah, Ki Buleleng
langsung menatap sosok yang telah membuat seran-
gannya kandas. "Siapa kau"!" tanya Ki Buleleng, keras.
"Ha ha ha...!" lelaki bercambang bauk lebat tertawa bergelak penuh kegembiraan.
"Aku adalah pimpinan rombongan ini. Prakosa, namaku! Jelas"!"
"Prakosa..."!"
Tanpa sadar, Ki Buleleng mendesiskan nama
itu penuh perasaan kaget. Sebuah nama yang telah se-
lalu sering didengarnya. Memang, Prakosa adalah seo-
rang kepala rampok yang memiliki kepandaian tinggi
dan berwatak kejam. Entah, telah berapa banyak desa
yang telah dibuat porak-poranda hanya untuk mencu-
lik wanita-wanita! Sungguh sama sekali tidak disangka kalau Ki Buleleng sekarang
akan bertemu tokoh yang
mengiriskan hati ini.
"Rupanya kau mengenalku, Tua Bangka! Tapi
itu tidak mengubah nasibmu! Bersiaplah untuk ma-
ti...!" ancam pemimpin perampok yang ternyata bernama Prakosa.
"Kaulah yang akan mati di sini, Prakosa!
Hiyaaat...!"
Ki Buleleng mendahului melancarkan serangan.
Pedangnya ditusukkan ke arah perut kepala rampok
itu. Seketika terdengar bunyi berciutan yang cukup
nyaring mengiringi serangannya.
"Hmh...!"
Prakosa mendengus melihat serangan itu. Se-
cercah senyum mengejek tampak tersungging di bibir-
nya. Dan masih dengan senyum penuh ejekan, ka-
kinya melangkah ke kiri seraya mendoyongkan tubuh.
Maka tusukan pedang itu lewat di sebelah kanan ping-
gangnya. Dan sebelum Ki Buleleng berbuat sesuatu, Pra-
kosa telah lebih dulu menggerakkan tangan.
Wuttt! Tappp! Tahu-tahu saja pedang di tangan Ki Buleleng
telah lebih dulu tercengkeram tangan Prakosa!
Karuan saja, hal ini membuat Kepala Desa
Banyu terkejut bukan kepalang. Buru-buru senjatanya
ditarik kembali agar bisa lepas dari cengkeraman lawan. Tapi usaha Ki Buleleng
sia-sia belaka. Betapa-
pun seluruh tenaganya telah dikerahkan, tetap saja
pedang itu tidak bergeming. Dan wajahnya pun seketi-
ka merah padam. Seakan-akan, yang mencengkeram
pedangnya adalah sebuah penjepit baja!
Berbeda dengan Ki Buleleng, wajah Prakosa ter-
lihat biasa-biasa saja. Malah tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau tengah
mengerahkan tenaga. Menda-
dak... Krakkk! Bunyi berderak keras terdengar ketika Prakosa
menggerakkan tangan untuk meremas pedang Kepala
Desa Banyu itu hingga hancur berkeping-keping. Pa-
dahal, saat itu Ki Buleleng tengah berusaha sekuat tenaga menarik senjatanya.
Tak pelak lagi, tubuh Kepala Desa Banyu ini pun terjengkang ke belakang terbawa
tenaga tarikannya sendiri.
Tapi Ki Buleleng ternyata tidak mudah dipe-
cundangi begitu saja. Meski agak terhuyung-huyung,
kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang mam-
pu dipatahkan. Wajah Ki Buleleng langsung memucat. Sepa-
sang matanya menatap berganti-ganti pada pedang
yang tinggal setengah di tangannya. Sementara pada
jemari Prakosa, terlihat potongan pedang yang telah
hancur teremas.
Kepala Desa Banyu ini pun memang telah men-
dengar berita kalau Prakosa mempunyai sebuah ilmu
yang membuat kedua tangannya sekuat baja! Dan se-
karang, telah dibuktikannya sendiri kebenaran berita itu! Jari-jari tangan
Prakosa benar-benar luar biasa!
*** 2 Meskipun perasaan gentar merayapi hati, na-
mun Ki Buleleng pantang mundur. Apalagi ia tahu,
Prakosa tidak bakal mengampuninya. Maka tidak ada
jalan lain, kecuali melakukan perlawanan mati-matian.
"Hiyaaat...!"
Ki Buleleng berteriak keras. Pedang di tangan-
nya yang telah tinggal setengah ditusukkan cepat ke
arah leher Prakosa. Tapi untuk yang kesekian kalinya, pemimpin rampok ini tidak
mengalami kesulitan untuk
mementahkan serangan. Tanpa menggeser kakinya,
Prakosa mendoyongkan kepala ke kanan. Maka seran-
gan itu lewat beberapa jari di sebelah kiri lehernya.
Dan pada saat yang bersamaan, tangan kiri
Prakosa dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah da-
da Ki Buleleng.
Menerima kenyataan yang tidak disangka-
sangka, Ki Buleleng menjadi gugup bukan kepalang.
Rasanya memang tidak ada jalan lain, kecuali me-
nangkis. Maka seketika tangan kirinya bergerak me-
mapak serangan yang bisa saja dapat mengirim nya-
wanya ke alam baka.
Prattt! "Akh...!"
Ki Buleleng menjerit memelas ketika benturan
terjadi. Tubuhnya seketika melayang ke belakang.
Bahkan tangan yang berbenturan terasa sakit bukan
kepalang. Dan yang lebih mencengangkan hati, bagian
tubuhnya yang sebelah kiri seperti lumpuh!
Dan kali ini, Ki Buleleng rasanya memang tidak
mampu mematahkan kekuatan yang membuat tu-
buhnya meluncur. Maka dengan keras, tubuhnya ja-
tuh di tanah menimbulkan bunyi berdebuk.
"Ha ha ha...!"
Prakosa tertawa bergelak. Dengan langkah
lambat dihampirinya Ki Buleleng yang tergolek di tanah. Saat itu, Kepala Desa
Banyu ini memang tidak
mampu berbuat apa-apa. Sebelah tubuhnya yang lum-
puh, membuatnya tidak mampu bergerak.
Sudah dapat dipastikan nyawa Ki Buleleng
akan berakhir di tangan Prakosa! Sementara Kepala
Desa Banyu itu pun menyadarinya. Meskipun demi-
kian, hatinya tidak gentar. Bahkan sepasang matanya
dibelalakkan lebar-lebar, untuk melihat Prakosa yang tengah melangkah perlahan-
lahan menghampirinya.
Selangkah demi selangkah, jarak antara Pra-
kosa dengan Ki Buleleng semakin dekat. Lelaki ber-
cambang bauk lebat ini tidak memperhatikan lagi per-
tarungan yang tengah berlangsung di sekitarnya. Dia
tahu, anak buahnya tengah terus mendesak ke lam-
bung desa. Tapi di saat gawat bagi keselamatan Ki Bule-
leng, mendadak....
"Haaat...!"
Diawali teriakan nyaring yang memekakkan te-
linga, sesosok bayangan coklat meluruk ke arah Pra-
kosa, membawa serangan dari atas laksana seekor ga-
ruda menerkam mangsa. Kedua tangannya yang ter-
kembang membentuk cakar, diluncurkan deras ke
arah pelipis. "Eh..."!"
Prakosa jadi terperanjat. Disadari akan adanya
ancaman maut ke bagian-bagian tubuh yang memati-
kan. Bunyi angin yang mengiringi tibanya serangan,
menunjukkan kalau tenaga dalam pemiliknya tidak
dapat disamakan dengan Ki Buleleng!
Itulah sebabnya, lelaki bercambang bauk lebat
ini tidak berani bertindak main-main. Buru-buru ke-
dua tangannya diayunkan dengan pengerahan tenaga
penuh untuk memapak.
Prangngng! Bunyi keras seperti benturan logam keras ter-
dengar, ketika dua pasang tangan beradu. Akibatnya,
tubuh satu sama lain sama-sama terjengkang ke arah
yang berlawanan.
Jliggg! Tepat begitu Prakosa berhasil menguasai ke-
seimbangan, sosok berpakaian coklat itu pun menda-
ratkan kedua kakinya di tanah.
"Keparat! Sungguh berani kau main gila den-
ganku"! Siapa kau"!" bentak Prakosa, keras penuh kemarahan. Kedua tangannya yang
bergetar hebat dan
kuda-kudanya yang terbongkar akibat benturan tadi-
lah menyebabkan kemarahannya.
Dan sekarang, dengan sepasang mata menyala-
nyala, Prakosa merayapi sosok yang telah melancarkan serangan terhadapnya.
Dia ternyata seorang lelaki berusia sekitar tiga
puluh lima tahun. Wajahnya tirus mirip tikus. Pakaian sederhana berwarna coklat
membungkus tubuhnya
yang tegap. "Kau memang lupa, atau hanya berpura-pura
saja, Prakosa"!" lelaki berpakaian coklat malah balik mengajukan pertanyaan.
Prakosa terperanjat mendengar sambutan lelaki
berpakaian coklat itu.
"Bangsat! Rupanya kau memang benar-benar
orang tak waras! Kalau begitu, lebih baik kukirim saja kau ke neraka!" dengus
Prakosa. Belum lenyap gema dengusannya, lelaki ber-
cambang bauk lebat itu telah meluruk ke arah lelaki
berpakaian coklat dengan sebuah serangan. Begitu de-
kat, Prakosa melancarkan pukulan tangan kanan lu-


Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rus ke arah dada.
"Hmh!"
Lelaki berpakaian coklat itu mendengus, seperti
mengejek begitu melihat serangan. Sikap yang ditun-
jukkan agaknya amat memandang rendah lawan. Dan
sebelum serangan itu sempat mengenai sasaran, lang-
sung dipapaknya dengan tinju kanan.
Dukkk! Bunyi keras langsung terdengar, ketika kedua
tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam berbentu-
ran keras. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sama-
sama terhuyung mundur. Hanya saja, Prakosa selang-
kah lebih jauh dibanding lelaki berpakaian coklat yang hanya terhuyung tiga
langkah. Jelas, bisa diduga tena-
ga dalam lelaki berpakaian coklat itu lebih kuat dari Prakosa!
Seringai kesakitan yang tampak di bibir Pra-
kosa, semakin memperjelas kenyataan kalau tenaga
dalamnya kalah jauh. Memang, tulang-tulang ta-
ngannya terasa sakit-sakit bukan main akibat ben-
turan itu. Meskipun demikian, hal itu tidak dipedulikannya. Begitu berhasil
mematahkan kekuatan yang
membuat tubuhnya terhuyung, tubuhnya langsung
merangsek maju. Dan serangkaian tendangan bertubi-
tubi langsung dikirimkan.
Terjangan Prakosa langsung mendapat tan-
gapan tak kalah gencar dari lelaki berpakaian coklat itu. Sesaat kemudian, kedua
belah pihak mulai terlibat pertarungan sengit!
Sementara itu dalam pertarungan lain, tam-
paknya anak buah Prakosa terus mendesak para pen-
duduk untuk terus masuk ke dalam desa. Sudah bisa
ditebak, penduduk Desa Banyu akan mengalami nasib
yang naas. "Aaakh...!"
Lolong keras menyayat hati kembali terdengar
ketika golok salah seorang anggota gerombolan Prako-
sa, menembus perut salah seorang penduduk hingga
tembus ke punggung. Tubuh penduduk yang naas itu
pun ambruk di tanah, ketika golok yang menembus
tubuhnya dicabut. Setelah menggelepar di tanah, nya-
wanya pun melayang ke alam baka dengan tubuh ber-
simbah darah. Dan kini jumlah penduduk Desa Banyu yang
masih terus mengadakan perlawanan sambil mundur,
paling banyak tinggal sepuluh orang. Sisanya telah
bergeletakan tanpa nyawa di tanah. Sedangkan di pi-
hak gerombolan liar itu, tak satu pun yang terluka.
Sudah dapat dipastikan, para penduduk yang
tersisa ini pun tidak dapat mempertahankan hidup-
nya. Apalagi para perampok itu terus memburunya tak
kenal ampun. Di saat gawat itu, mendadak melesat dua sosok
bayangan putih dan ungu ke dalam kancah perta-
rungan. Dan selagi berada di udara, dua sosok bayan-
gan ini mengibas-ngibaskan tangannya. Maka dari
tangan yang bergerak mengibas itu menyeruak angin
keras ke arah gerombolan perampok. Akibatnya, anak
buah Prakosa ini bertumbangan ke belakang laksana
daun-daun kering diterbangkan angin!
Jliggg! Jliggg!
Dua sosok bayangan itu langsung mendarat se-
cara mantap di tanah, membelakangi penduduk Desa
Banyu! Mereka ternyata sepasang anak muda yang
berwajah menarik. Yang pemuda berwajah tampan dan
jantan. Pakaian berwarna ungu membungkus tubuh-
nya yang kekar. Rambutnya yang panjang berwarna
putih keperakan, membuatnya kelihatan matang!
Sedangkan yang seorang lagi adalah gadis ber-
pakaian putih. Wajahnya cantik jelita laksana bidadari.
Rambutnya yang panjang berwarna hitam dan terlihat
indah, dibiarkan tergerai. Sehingga, semakin menam-
bah kecantikannya!
"Iblis-iblis keji...!" maki gadis berpakaian putih, tanpa dapat menyembunyikan
perasaan geramnya.
"Orang-orang seperti kalian tidak layak dibiarkan hidup!" Seiring keluarnya
suara bernada geram, gadis berpakaian putih itu menghampiri anak buah Prakosa
yang telah bangkit dan siap melakukan perlawanan.
Menyadari kalau gadis berpakaian putih itu bukan la-
wan ringan, belasan orang kasar itu bersikap waspada.
Mereka melangkah lambat-lambat, seraya bergerak
menyebar. *** Meskipun tahu kalau gadis berpakaian putih
itu akan menghadapi keroyokan, tapi pemuda beram-
but putih keperakan ini tidak kelihatan kalau akan
memberi bantuan. Bahkan malah menjauhi tempat itu,
seperti sengaja membiarkan rekannya.
Tindakan pemuda berambut putih keperakan
itu rupanya membuat para penduduk Desa Banyu me-
rasa heran, sekaligus khawatir terhadap nasib gadis
berpakaian putih ini.
"Mengapa kau tidak membantunya, Kisanak"
Apakah manusia-manusia biadab itu akan kau biar-
kan membunuhnya?" tanya seorang penduduk yang
bertubuh kecil kurus, tanpa menyembunyikan rasa
herannya, dengan napas kembang kempis setelah ber-
tarung. "Rasanya belum perlu, Kisanak. Mudah-
mudahan Melati dapat mengatasinya," jawab pemuda berambut putih keperakan itu,
penuh kerendahan.
"Dan lebih baik kalian menyingkir."
Memang, gadis cantik berpakaian putih itu ada-
lah Melati, kekasih Dewa Arak. Sementara pemuda
tampan berambut putih keperakan itu tak lain dan tak bukan adalah Arya Buana
yang berjuluk Dewa Arak
sendiri! Dalam pengembaraan mereka kini, sepasang
pendekar itu harus berhadapan dengan manusia-
manusia beringas, yang tak mengenal belas kasih.
Tak heran sewaktu mereka melihat pertarun-
gan yang tak seimbang, langsung saja berkelebat un-
tuk menyelamatkan penduduk Desa Banyu.
Lelaki bertubuh kecil kurus itu pun terdiam.
Perhatiannya dialihkan pada rekan-rekannya untuk
meminta pendapat. Tapi mereka semua mengangkat
bahu. Memang tidak ada pilihan, kecuali menyingkir
dari tempat itu. Dan kini, pemuda berjuluk Dewa Arak pun telah menyingkir.
Sementara para penduduk Desa Banyu tampak
masih diliputi rasa khawatir. Mereka tahu, betapa li-hainya para perampok itu.
Mereka saja yang bertenaga kuat tidak mampu melawan, apalagi gadis berpakaian
putih yang tadi disebut bernama Melati itu" Maka dengan rasa gelisah, mereka
mengarahkan pandangan pa-
da kancah pertarungan Melati.
Saat ini, Arya mengarahkan pandangan ke arah
pertarungan yang akan berlangsung. Tampak ge-
rombolan perampok itu telah mulai mengepung Melati.
Senjata-senjata mereka telah diputar-putar, menunggu saat yang tepat untuk
melancarkan serangan.
Di pihak lain, sikap Melati tampak tenang.
Bahkan cenderung tidak peduli. Tindak-tanduknya se-
perti tidak hendak bertarung.
"Haaat...!"
Salah seorang di antara perampok itu berteriak
keras, langsung melompat menerjang. Goloknya diba-
batkan secara mendatar ke arah leher Melati. Maksud-
nya jelas, hendak memisahkan kepala gadis berpa-
kaian putih itu dari tubuhnya.
Pada saat yang bersamaan, anggota perampok
yang lain melancarkan serangan. Keadaan Melati me-
mang membuat deg-degan para penduduk Desa
Banyu. Betapa tidak" Hujan senjata mengancam kese-
lamatan nyawanya.
Tapi nyatanya Melati tetap bersikap tenang. Se-
dikit pun tidak nampak adanya tanda-tanda kalau
akan melakukan elakkan atau tangkisan. Baru ketika
serangan-serangan itu menyambar dekat, gadis berpa-
kaian putih itu bertindak. Kakinya cepat dijejakkan, sehingga tubuhnya melayang
ke atas. Langsung dile-watinya kepala lawan-lawannya. Akibatnya, semua se-
rangan anak buah Prakosa hanya mengenai tempat
kosong. Gerakan Melati demikian cepat, sehingga para perampok itu tidak sempat
mengetahui kejadiannya.
Yang mereka tahu, serangan yang dilancarkan hanya
mengenai tempat kosong, dan yang menjadi sasaran
telah berada di luar kepungan.
Melihat hal itu, anak buah Prakosa tidak men-
jadi ciut nyalinya. Bahkan mereka kembali melan-
carkan serangan susulan. Maka pertarungan sebentar
saja sudah berlangsung sengit.
Anak buah Prakosa mengerahkan seluruh ke-
mampuan yang dimiliki. Senjata-senjata di tangan
berkelebat cepat mencari sasaran di tubuh gadis itu.
Namun, gerakan Melati terlalu cepat untuk dapat dijadikan sasaran. Lincah
laksana kera dan gesit bagaikan bayangan, tubuh gadis itu berkelebatan ke sana
kemari, di antara kelebatan senjata lawannya.
Sebaliknya, serangan balasan Melati selalu saja
membuahkan hasil. Setiap kali tangan atau kakinya
yang berisi tenaga dalam tinggi bergerak, sudah dapat dipastikan ada sosok tubuh
yang ambruk dan tidak
bangkit lagi untuk selamanya. Mati!
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, tinggal
enam orang anak buah Prakosa yang masih mampu
melanjutkan pertarungan. Itu pun, perlawanan yang
tidak mengandung arti sama sekali. Dan sebenarnya,
berakhirnya pertarungan tinggal menunggu waktu sa-
ja. Melati yang berada di atas angin kelihatan lebih berpeluang untuk
mengakhirinya. Dan semua kejadian itu tidak luput dari perha-
tian Prakosa yang sibuk bertarung melawan laki-laki berpakaian coklat. Setiap
kali matanya melirik ke arah anak buahnya, saat itu pula rasa khawatir bergayut
di hatinya. Disadari kalau pihaknya berada dalam keadaan tidak menguntungkan.
Keadaan dirinya sendiri
sudah kurang baik.
Memang bila dibandingkan anak buahnya, Pra-
kosa masih lebih beruntung! Dia hanya berhadapan
dengan laki-laki berpakaian coklat. Entah, apa jadinya kalau gadis berpakaian
putih yang dihadapinya. Belum lagi pemuda berambut putih keperakan juga belum
ikut campur. Kalau gadis itu saja sudah sedemikian
sakti, apalagi yang pemuda!
Atas dasar pemikiran itulah, Prakosa mulai
memikirkan keputusan yang semula tidak ada di be-
naknya. Mencari selamat!
"Hih!"
Pada satu kesempatan yang ada, lelaki bercam-
bang bauk lebat ini mengibaskan tangannya.
Brrr! Seketika kumpulan debu dalam warna tidak je-
las, meluruk ke arah lawan. Karuan saja hal ini mem-
buat lelaki berpakaian coklat itu terkejut bukan kepalang. Dia tidak berani
bertindak gegabah, karena bu-
kan tidak mungkin debu itu mengandung racun ganas.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, lelaki berpakaian
coklat itu membanting tubuhnya ke kanan dan bergu-
lingan menjauh. Dan kesempatan itu pun diperguna-
kan Prakosa sebaik-baiknya untuk melarikan diri. Ce-
pat laksana kilat tubuhnya melesat cepat meninggal-
kan tempat itu.
"Keparat!"
Begitu berhasil bangkit, lelaki berpakaian cok-
lat itu memaki-maki kalap, ketika melihat Prakosa telah berada jauh di depan.
Meski tidak mungkin akan
dapat mengejar, tetap saja dilakukan oleh laki-laki
berpakaian coklat itu.
"Melati...! Tahan...!"
Seruan keras bernada cegahan yang keluar dari
mulut Dewa Arak, hampir berbarengan dengan mele-
satnya tubuh lelaki berpakaian coklat yang mengejar
Prakosa. Dan Melati yang saat itu telah siap mengirimkan serangan mematikan pada
dua lawannya yang ter-
sisa, jadi menghentikan gerakannya. Dan kepalanya
pun menoleh ke belakang, menatap Dewa Arak dengan
sorot mata tidak puas.
Tentu saja Dewa Arak menyadari ketidak-
puasan gadis itu. Maka buru-buru pemuda berambut
putih keperakan itu menghampiri. Tapi, nyatanya ke-
sempatan itu dipergunakan dua lawan Melati untuk
menusukkan golok ke perut sendiri.
Jreppp! Jreppp!
"Akh, akh...!"
Seketika jeritan pendek tertahan mengiringi ro-
bohnya tubuh mereka ke tanah. Karuan saja tindakan
yang tidak disangka-sangka ini membuat Dewa Arak,
apalagi Melati, seperti terpaku tak percaya. Dan akhirnya tindakan yang dapat
dilakukan hanya melesat
menghampiri. Barangkali saja mereka dapat melaku-
kan sesuatu, sebelum dua orang itu tewas.
Tapi harapan sepasang pendekar muda itu sia-
sia. Dua anak buah Prakosa itu telah lebih dulu tewas.
Dewa Arak dan Melati hanya dapat saling berpandan-
gan, sebelum akhirnya mengangkat bahu.
3 "Hiya! Hiyaaa...!"
Ctarrr! Bunyi lecutan cambuk yang diselingi bentakan-
bentakan keras penunggang kuda terdengar, membe-
lah suasana pagi. Itu pun masih ditambah dengan de-
rap langkah kaki kuda.
Suasana pagi ini memang cerah. Sang Surya
yang belum lama menampakkan diri, memancarkan
sinarnya yang lembut di ufuk timur. Angin pun ber-
hembus pelan, lembut membelai kulit
Tapi suasana seperti itu sama sekali tidak me-
narik perhatian seorang lelaki berpakaian hitam yang menunggang kuda bagai
dikejar setan. Wajahnya yang


Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat angker dengan cambang bauknya semakin
angker saja ketika dia berusaha mempercepat lari ku-
danya. Ctarrr! Lelaki bercambang bauk lebat itu kembali me-
lecutkan cambuknya, binatang tunggangannya berlari
lebih cepat! Padahal, kuda berwarna coklat mulus yang ditungganginya kini telah
berlari sangat cepat, dan telah mendengus-dengus kelelahan. Namun laki-laki itu
seperti tidak peduli. Sementara debu tampak mengepul tinggi di udara, tersepak
kaki-kaki binatang itu saat berlari. Kuda itu memang tengah melalui jalan tanah
berdebu. "Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan, lela-
ki bercambang bauk lebat itu melecutkan cambuknya
kembali. Sedangkan pandangannya diarahkan ke de-
pan. Dan baru saja pandangannya tertuju ke depan,
sepasang mata lelaki bercambang bauk lebat ini terbelalak lebar. Ternyata
sekitar lima belas tombak di de-pannya, telah berdiri sesosok tubuh. Sosok
terbungkus pakaian hitam mengkilap itu berdiri tepat di tengah-tengah jalan yang
akan dilalui lelaki bercambang bauk lebat ini. Maka dapat diduga, sosok itu
memang bermaksud menghadang perjalanannya.
Dengan hati masih bertanya-tanya, lelaki ber-
cambang bauk lebat itu memperlambat laju kudanya.
Dan pandangannya tetap diarahkan pada sosok yang
menghadang jalannya. Ingin diketahuinya, siapa sebe-
narnya sosok yang begitu usil itu!
Semakin lama, jarak antara kedua orang yang
bakal bertemu di tengah jalan ini semakin dekat Den-
gan sendirinya, ciri-ciri sosok yang menghadang jalan semakin terlihat jelas
oleh lelaki bercambang bauk lebat itu. "Ah...!"
Jeritan keterkejutan keluar dari mulut lelaki
bercambang bauk lebat, ketika telah melihat jelas sosok yang menghadang
perjalanannya. Sosok terbung-
kus pakaian hitam mengkilap ini mengenakan topeng
harimau, sehingga wajah aslinya tidak bisa dikenali.
Namun bisa diduga, kalau sosok ini adalah seorang lelaki, bila melihat potongan
tubuhnya. Dan agaknya lelaki bercambang bauk lebat itu sudah mengenai peng-
hadang nya. "Hm..., rupanya Harimau Baja! Mengapa kau
ada di sini"! Baru saja aku bermaksud menemuimu,"
sapa lelaki bercambang bauk lebat itu, pelan.
Setelah berkata demikian, lelaki bercambang
bauk lebat itu melompat turun dari punggung ku-
danya. Kemudian binatang itu dituntun untuk meng-
hampiri orang penghadang perjalanannya.
"Hmh!" dengus lelaki bertopeng harimau yang ternyata berjuluk Harimau Baja.
Karuan saja hal ini membuat lelaki bercambang
bauk lebat itu terkejut. Tapi, buru-buru ditutupinya dengan senyuman lebar.
Sedangkan kakinya terus te-rayun mendekati Harimau Baja.
"Tidak usah berpura-pura, Prakosa!" sentak Harimau Baja, kasar!
Seketika itu pula, langkah lelaki bercambang
bauk lebat yang memang Prakosa berhenti. Mulai dis-
adari akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Makanya, dia langsung bersikap
waspada. Dan sekarang,
Prakosa berdiri berhadapan dengan Harimau Baja da-
lam jarak tiga tombak.
"Apa maksudmu, Harimau Baja" Aku tak men-
gerti?" tanya Prakosa, pura-pura tidak tahu.
Lelaki bercambang bauk lebat itu sengaja men-
gajukan pertanyaan demikian untuk memastikan ke-
benaran dugaannya. Dia masih belum tahu pasti, apa
maksud Harimau Baja mencegatnya di sini.
"Rupanya kau masih mau mungkir, Prakosa!"
tukas Harimau Baja. "Jangan dikira aku tidak tahu tentang kegagalanmu dalam
menjalankan tugas! Dan
aku tahu, kau bermaksud kabur! Sekarang, bisa kau
duga maksud keberadaanku di sini, Prakosa"! Ya,
membunuhmu walaupun kau adalah adik sepergurua-
nku!" Sekarang Prakosa yakin, keributannya dengan kakak seperguruannya tidak
bisa dielakkan lagi. Maka dilepaskan tali kekang kudanya.
"Pergilah, Kilat! Cari makanan!" perintah Prakosa pada binatang tunggangannya.
Seperti mengerti perintah, kuda coklat itu ber-
lari congklang meninggalkan majikannya, menuju
hamparan rumput hijau yang terletak di kanan dan ki-
ri jalan itu. Harimau Baja menatap kuda coklat itu sesaat,
kemudian mulutnya menyunggingkan senyum keji.
"Seekor kuda yang baik, hehhh..."! Sayang se-
kali kalau harus kehilangan majikannya...!" desis Harimau Baja, dingin dan
datar. Hari Prakosa kontan tercekat. Disadari kalau
lelaki bertopeng harimau ini tidak hanya memberi an-
caman kosong belaka. Apalagi juga disadari kalau lela-ki bertopeng harimau ini
memiliki kepandaian tinggi.
Tapi, tentu saja dia tidak sudi memberikan nyawanya
secara percuma!
Wuttt! Deru angin keras terdengar ketika serangan
perdana Prakosa meluncur, yang disertai pengerahan
seluruh tenaga dalamnya. Serangannya dibuka dengan
sebuah sampokan tangan kanan ke arah pelipis!
"Hmh...!"
Harimau Baja hanya mendengus melihatnya.
Sikapnya pun terlihat tenang dengan berdiri tetap pa-da tempatnya. Tak ada
tanda-tanda kalau serangan itu akan ditangkis atau dielakkan.
Baru ketika serangan menyambar dekat, ta-
ngan kirinya bergerak memapak sambil lalu! Dari si-
kapnya menunjukkan, serangan Prakosa tak patut un-
tuk dihadapi secara sungguh-sungguh.
Meskipun heran, Prakosa sama sekali tidak
mempedulikannya. Saat itu yang ada di benaknya
hanya satu, merobohkan Harimau Baja secepat mung-
kin. Takkk! "Akh!"
Jeritan kesakitan keluar dari mulut Prakosa ke-
tika tangannya berbenturan dengan tangan Harimau
Baja. Rasa sakit dan ngilu seketika mendera bagian
tangannya yang beradu! Bahkan tubuhnya sampai
terhuyung ke belakang.
Nyatanya ini cukup membuat Prakosa kaget.
Benarkah tenaga Harimau Baja sedemikian kuat nya,
sehingga mampu membuatnya terhuyung-huyung"
Padahal, jelas terlihat kalau lelaki bertopeng harimau itu seperti tidak
mengerahkan tenaga!
Dan belum lagi kekagetan harinya lenyap, de-
ngan kecepatan menakjubkan, tangan kiri Harimau
Baja telah meluncur cepat. Dan...
Tappp! Tahu-tahu pergelangan tangan kanan Prakosa
telah tercekal! Karuan saja hal itu membuat lelaki bercambang bauk lebat ini
gugup. Dengan sebisa-bisanya
diusahakan untuk membebaskan tangannya yang ter-
cekal dengan cara menarik.
Tapi usahanya ternyata sia-sia belaka. Betapa-
pun Prakosa telah berusaha sekuat tenaga untuk me-
narik, tetap saja tidak bergeming.
"Keluarkan semua tenagamu, Prakosa," ujar
Harimau Baja dengan mulut menyunggingkan senyum
mengejek. Untuk yang kesekian kalinya, Prakosa harus
menerima kenyataan mengejutkan. Baru disadari ka-
lau kini Harimau Baja telah memiliki kepandaian amat tinggi! Dan itu terbukti,
dengan ketidakberhasilan nya dalam melepaskan tangannya dari cekalan Harimau
Baja! "Ha ha ha...!"
Berbeda dengan Prakosa yang sampai mengelu-
arkan suara keluhan, Harimau Baja masih mampu ter-
tawa-tawa. Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalam Harimau Baja jauh di
atas Prakosa! "Sekarang giliranku, Prakosa!"
Belum juga gema ucapan itu lenyap, Harimau
Baja sudah meremas tangan Prakosa.
"Akh!"
Prakosa kontan melolong kesakitan seiring ter-
dengarnya bunyi berkerotokan tulang-belulangnya
yang hancur berantakan.
Dan sebelum Prakosa sempat berbuat sesuatu,
Harimau Baja tiba-tiba menarik tangannya. Akibatnya, tubuh lelaki bercambang
bauk lebat itu tertarik ke depan, dengan sambungan tulang bahu terlepas. Me-
mang betapa kerasnya sentakan itu!
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Hari-
mau Baja. Kali ini tangannya bergerak menyampok!
Tak tanggung-tanggung, sasaran yang dituju ternyata
pelipis yang merupakan salah satu bagian yang mema-
tikan! Prakosa tentu saja sadar akan adanya ancaman maut. Pikirnya, kalau
mengelak jelas itu tindakan
mustahil. Maka diputuskannya untuk menangkis.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan kirinya
segera diangkat untuk melindungi pelipis.
Takkk! "Akh!"
Untuk yang kesekian kalinya, Prakosa memekik
kesakitan. Bunyi berderak keras yang menyertai ben-
turan tadi menjadi pertanda kalau tulang tangannya
telah patah. Dan yang lebih mengenaskan, saking
kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam seran-
gan itu, tubuhnya sampai terjengkang ke belakang
hingga memuntahkan darah segar.
Begitu tubuh Prakosa tengah melayang, Hari-
mau Baja cepat mengibaskan tangan kanannya.
Singngng! Bunyi berdesing nyaring terdengar ketika se-
buah benda berkilat meluncur ke arah leher Prakosa.
Sementara Prakosa sendiri memang sudah tidak bisa
berbuat apa-apa.
Tapi, sebelum benda berkilat yang ternyata pi-
sau itu menghunjam sasaran, dari arah yang berlawa-
nan melesat seleret benda berwarna gelap. Dan....
Takkk! Bunyi keras langsung terdengar ketika benda
berwarna gelap yang ternyata sebuah kerikil sebesar
ibu jari kaki telak menghantam pisau Harimau Baja.
Akibatnya, pisau itu runtuh sebelum mencapai
sasaran. Dan Prakosa pun langsung jatuh berdebuk
keras, tak mampu bertarung lagi. Bahkan napasnya
pun tinggal satu-satu.
*** Harimau Baja menatap tajam penuh kemara-
han pada dua sosok yang telah berdiri di hadapannya.
Yang satu, seorang pemuda berambut putih kepera-
kan. Dia berdiri di depan Prakosa yang terbaring le-
mah. Sedangkan satu lagi adalah seorang gadis berpa-
kaian putih yang langsung memeriksa keadaan Prako-
sa. Siapa lagi mereka kalau bukan Dewa Arak dan Me-
lati. "Keparat!"
Harimau Baja memaki penuh geram. Sepasang
matanya yang mencorong tajam dalam gelap, menjadi
pertanda kalau hatinya tengah murka terhadap orang
yang telah lancang menggagalkan serangannya. Me-
mang, Aryalah yang telah melemparkan kerikil untuk
menyelamatkan Prakosa dari kematian yang lebih
mengenaskan. "Rupanya kau sudah bosan hidup, Anjing Ci-
lik"! Sekarang, terimalah kematianmu! Ssshhh...!"
Bunyi mendesis keras seperti ular besar yang
tengah murka terdengar, ketika Harimau Baja mulai
mengejangkan kedua tangannya. Jari-jari tangannya
yang menegang penuh kekuatan lurus ke de pan,
mengarah pada Dewa Arak.
Bunyi mendesis yang keluar dari mulutnya se-
makin keras seiring keluarnya asap tipis mengepul dari sekujur tubuh Harimau
Baja. Dan semakin lama, asap
itu semakin tebal. Bahkan ada hawa dingin yang me-
nyebar dari tubuh Harimau Baja. Inilah ilmu andalan
lelaki bertopeng harimau itu, ilmu 'Ular Es'!
"Ssshhh...!"
Diawali suara mendesis keras yang membuat
bulu kuduk berdiri, Harimau Baja menghampiri Dewa
Arak dengan langkah-langkah silang. Sepasang ma-
tanya yang mencorong tajam laksana mata harimau
dalam gelap, merayapi sekujur tubuh lawannya. Jelas, dia tengah mencari celah-
celah yang akan dijadikan
sasaran. Sementara, Dewa Arak pun menghampiri la-
wannya dengan langkah sembarangan saja. Bahkan
terkadang terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Se-
tiap kali kakinya melangkah setindak ke depan, tapi
segera kembali mundur tiga tindak ke belakang. Itu
pun sambil terus menuangkan arak ke dalam mulut.
Dan hal ini membuat Harimau Baja terheran-
heran. Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Tak lama kemudian, jarak antara mereka telah
menjadi dekat. Dan saat itulah Harimau Baja mener-
jang Dewa Arak.
"Ssshhh...!"
Diawali bunyi desisan yang tidak pernah putus
sejak tadi, Harimau Baja mulai melancarkan serangan
berupa totokan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati!
Cit, cit, cit! Bunyi berdecit nyaring terdengar, begitu kedua
tangan Harimau Baja meluncur menuju sasaran. Dari
sini saja bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam
yang terkandung di dalam serangannya. Cepat bukan
kepalang serangan itu meluncur. Padahal Dewa Arak
masih sibuk menenggak araknya.
Gluk...! Gluk...! Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu mele-
wati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian terasa
hawa hangat berputar di dalam perut pemuda beram-
but putih keperakan itu. Lalu, perlahan-lahan hawa


Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hangat itu naik ke atas. Maka Dewa Arak pun semakin
oleng sana-sini.
Dewa Arak memang telah dapat memperkira-
kan kalau lawan yang dihadapinya adalah tokoh tang-
guh. Maka tanpa ragu-ragu segera dikeluarkan ilmu
'Belalang Sakti' andalannya.
Di dalam pengerahan ilmu 'Belalang Sakti'. De-
wa Arak cepat menjejakkan kakinya, begitu serangan
Harimau Baja meluncur dekat. Tubuhnya langsung
melayang melewati kepala lawan. Sehingga serangan-
serangan Harimau Baja hanya lewat di bawah kakinya.
Sementara dalam keadaan masih di atas, tubuh
Dewa Arak langsung berjungkir balik. Kemudian tan-
gan kanannya langsung disampokkan ke arah bela-
kang kepala Harimau Baja.
Wuttt! Tapi sampokan Dewa Arak hanya mengenai
tempat kosong, karena Harimau Baja sudah lebih ce-
pat merendahkan tubuhnya. Jari-jari tangan pemuda
berambut putih keperakan itu hanya lewat beberapa
jari di atas sasaran, sehingga membuat rambut dan seluruh pakaian Harimau Baja
berkibaran seperti dilan-
da angin keras. Dari sini saja bisa diketahui, betapa kuat tenaga dalam yang
terkandung dalam sampokan
Dewa Arak tadi.
Ketidakberhasilan serangan itu rupanya sudah
diperhitungkan Dewa Arak. Maka sebuah serangan su-
sulan segera dikirimkan berupa sepakan ke bawah
dengan kaki kanan.
Wukkk! Kali ini Harimau Baja tidak mempunyai kesem-
patan lagi untuk mengelak. Diperkirakannya, bila se-
pakan kaki itu mengenai sasaran, kepalanya akan
hancur berantakan. Maka lelaki bertopeng harimau itu buru-buru mengulurkan
tangan kanannya, seraya
menoleh ke arah datangnya serangan.
Tappp! Gila! Patut diacungkan jempol kecepatan peru-
bahan gerakan Harimau Baja. Entah dengan cara ba-
gaimana, tahu-tahu pergelangan kaki Dewa Arak telah
berhasil dicekalnya. Bahkan secepat itu pula disentakkan. "Akh!"
Tanpa sadar, Dewa Arak memekik kaget ketika
tubuhnya melayang akibat sentakan Harimau Baja.
Kejadian itu sama sekali di luar dugaan. Sehingga,
pemuda itu tidak sempat berbuat sesuatu.
Di saat tubuh Dewa Arak tengah melayang, Ha-
rimau Baja telah melesat memburu sambil me-
lancarkan totokan bertubi-tubi ke arah bagian-bagian
yang mematikan.
Tapi dalam keadaan masih terus melayang,
Dewa Arak masih mampu memapak serangan-
serangan Harimau Baja.
Plak, plak, plak!
Bunyi tamparan keras terdengar ketika dua pa-
sang tangan yang sama-sama mengandung tenaga da-
lam tinggi berbenturan. Akibatnya, tubuh satu sama
lain sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.
Tapi itu hanya berlangsung sebentar saja, ka-
rena sesaat kemudian mereka telah saling gebrak
kembali. Maka pertarungan sengit pun tidak bisa di-
elakkan lagi. Hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi
antara kedua tokoh berbeda usia yang sama-sama
memiliki kepandaian tinggi ini. Bunyi menderu yang
diringkahi suara mencicit dan mengaung, terdengar setiap kali tangan atau kaki
Dewa Arak dan Harimau Ba-
ja bergerak. Bahkan debu pun sampai mengepul tinggi
ke udara. Melati yang menjadi penonton, terpaksa me-
nyingkir agak menjauh. Sambaran angin serangan ke-
dua tokoh yang bertarung itu memang terlalu berba-
haya. Terserempet saja, sudah bisa mengakibatkan lu-
ka dalam yang cukup parah.
Harimau Baja sebenarnya merasa takjub me-
nyadari hawa panas yang menyebar dari sekujur tu-
buh Dewa Arak. Apalagi ketika pemuda berambut pu-
tih keperakan itu melancarkan serangan. Namun, yang
membuat lelaki bertopeng harimau itu kelabakan ada-
lah perkembangan ilmu Dewa Arak yang begitu sulit
diterka. Terkadang gerakan Dewa Arak lemas seperti
tanpa tenaga, tapi sesaat kemudian keras dan penuh
kekuatan. Perubahan ini memang terlalu cepat diduga.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Memang
tidak heran, karena kedua belah pihak sama-sama
memiliki gerakan cepat. Tapi menginjak jurus ketujuh puluh satu, Dewa Arak
tampak mulai unggul.
Memang serangan Dewa Arak yang disertai
semburan arak dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sak-
ti' terlalu kuat untuk dihadapi Harimau Baja yang telah mengerahkan ilmu
andalannya. Namun Harimau Baja bukan orang bodoh. Dia
pun menyadari kalau Dewa Arak merupakan seorang
lawan yang terlalu kuat. Apabila dia berkeras melan-
jutkan pertarungan, hanya kerugian lah yang dida-
patkannya. Maka benaknya segera diputar untuk men-
cari siasat agar dapat melarikan diri.
Di jurus kesembilan puluh enam, dengan gera-
kan mengagumkan Harimau Baja mengebutkan tan-
gannya. Maka seketika itu pula bubuk-bubuk halus
menyebar ke segala arah. Khawatir akan adanya ra-
cun, pemuda berambut putih keperakan itu melompat
mundur sambil menahan napas.
Kesempatan ini yang ditunggu-tunggu Harimau
Baja. Cepat tubuhnya berbalik, kemudian melesat ce-
pat meninggalkan tempat itu dengan pengerahan selu-
ruh ilmu lari cepatnya.
Tapi ternyata Dewa Arak memang tidak menge-
jarnya. Malah begitu Harimau Baja telah jauh, pemuda berambut putih keperakan
ini berbalik dan menghampiri Melati yang sudah berada di samping Prakosa
kembali. "Bagaimana keadaannya, Melati?" tanya Arya seraya melirik tubuh Prakosa yang
tergolek di tanah.
"Tak bisa ditolong lagi, Kang," jawab Melati.
Gadis itu tidak merasa menyesal karena tidak
mampu memberikan pertolongan. Karena yang diketa-
huinya, Prakosa adalah pimpinan rampok yang kema-
rin malam melakukan penyerbuan di Desa Banyu.
"Dia menderita keracunan hebat, tulang perge-
langan tangannya hancur akibat bertarung dengan la-
wanmu tadi!" jelas Melati.
Dewa Arak hanya dapat mengangguk-angguk-
kan kepala mendengar penjelasan kekasihnya.
"O ya, Kang. Sebelum tewas, dia sempat menga-
takan kalau penculikan terhadap perawan-perawan itu
dilakukan atas ancaman Harimau Baja dan dua ka-
wannya." "Harimau Baja?" Dewa Arak mengerutkan sepasang alisnya.
"Lawan yang kau hadapi itu, Harimau Baja."
"Oto...!" Arya membentuk bulatan dengan mulutnya. "Tiga orang itu menggunakannya
untuk menuntut ilmu," ujar Melati lagi, menambah ceritanya.
"Ash...!"
Kali ini Dewa Arak tidak menahan keterkeju-
tannya. Tampak wajahnya menyiratkan penyesalan.
"Kalau saja tahu, tak akan kubiarkan Harimau
Baja lolos dari tanganku!"
"Sudahlah, Kang! Tidak usah disesali! Lebih
baik kita kejar manusia-manusia seperti Harimau Baja dan kawan-kawannya," ajak
gadis berpakaian putih itu.
Dewa Arak mengangguk karena menyadari
adanya kebenaran dalam ucapan kekasihnya.
*** 4 "Uh! Panasnya hari ini. Kerongkongan ku terasa
tercekik!" keluh seorang gadis cantik berpakaian putih.
Rambut hitamnya yang panjang tergerai, disibak-
kannya. "Kau haus, Melati?" tanya pemuda berpakaian ungu yang memiliki rambut putih
keperakan. Dia berjalan di sebelah gadis berpakaian putih yang dipanggil Melati.
"Bukan hanya haus, Kang. Tapi juga letih!"
sambut Melati cepat.
"Kalau demikian, kita harus cepat-cepat men-
cari kedai untuk mengisi perut dan sekalian berteduh dari sengatan hawa panas
ini," timpal pemuda berambut putih keperakan yang tak lain Arya alias Dewa
Arak. "Tapi..., mana ada kedai di sekitar sini, Kang?"
sergah Melati sambil mengedarkan pandangan ke seke-
liling. Kata-kata Melati memang tidak berlebihan. Di sekeliling tempat ini tidak
tampak satu bangunan pun.
Yang terlihat hanyalah sebuah tanah lapang luas. Se-
jauh mata memandang yang terlihat hanyalah kesu-
nyian. "Di sini memang tidak ada, Melati. Tapi aku yakin, di sana ada," jawab
Dewa Arak sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan.
"Jadi...," Melati menggantung ucapannya.
"Yahhh..,, kita harus mempercepat perjalanan
kalau ingin segera tiba di sana."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" sambut Melati
bernada tantangan. "Mari kita ke sana."
Usai berkata demikian, Melati lalu mengayun-
kan langkah. Luar biasa! Hanya sekali langkah saja,
gadis berpakaian putih itu telah berada dalam jarak
sembilan tombak di depan.
Sementara Dewa Arak hanya menggeleng-
geleng saja melihat tingkah Melati. Namun sebentar
saja pemuda berambut putih keperakan itu segera
mengayunkan kakinya untuk menyusul Melati.
Sesaat kemudian sepasang pendekar muda itu
telah berkelebat cepat, seperti saling mengejar. Kini yang terlihat hanyalah dua
bayangan berwarna putih
dan ungu tengah melesat cepat ke depan.
Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Baru be-
berapa kali lesatan saja mereka telah melihat banyak bangunan di kejauhan. Dan
hal ini membuat semangat
sepasang pendekar muda itu semakin besar untuk se-
gera tiba di sana.
Semakin lama, kedua pendekar itu telah ham-
pir dekat dengan bangunan-bangunan yang terlihat di
depan. Maka tak lama kemudian, Dewa Arak dan Me-
lati menghentikan larinya, agar tidak membuat kejutan pada penduduk setempat.
Kini sepasang anak muda ini meneruskan per-
jalanan dengan langkah biasa. Pandangan mereka be-
redar ke sekeliling tempat itu, menatap satu persatu bangunan-bangunan yang ada.
"Sebuah kedai, Kang," desah Melati pelan bernada gembira, ketika sapuan matanya
melihat sebuah kedai. "Benar, Melati. Mari kita ke sana," ajak Arya.
Kemudian Dewa Arak dan Melati melangkah
menuju kedai. Sebentar saja, mereka tiba di depan kedai. Di ambang pintu, pemuda
berambut putih kepera-
kan itu menghentikan langkah sebentar dan menge-
darkan pandangan ke dalam.
Kedai itu ternyata cukup ramai. Meja yang ter-
sedia cukup banyak, telah hampir terisi semua. Hanya tinggal dua buah meja yang
kosong, dan berada di tengah ruangan.
Setelah merasa cukup mengadakan penilaian,
Dewa Arak menghampiri salah satu meja, diikuti Mela-
ti di belakangnya.
"Mau pesan apa, Den?" sambut seorang laki-
laki berusia empat puluh lima tahun, ketika melihat
Dewa Arak dan Melati telah duduk di bangku mereka.
' Teh manis seguci kecil, arak seguci besar,
ayam panggang dua ekor, dan jagung bakar empat,"
sebut Dewa Arak untuk pesanannya.
"Harap sabar menunggu, Den," kata laki-laki kecil kurus yang ternyata pemilik
kedai itu. Usai berkata demikian, laki-laki bertubuh ku-
rus itu beranjak menuju ke dalam untuk menyiapkan
pesanan Arya. Sepeninggal pemilik kedai, suasana di meja
Dewa Arak pun hening. Baik Dewa Arak maupun Mela-
ti tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Mas-
ing-masing kini sudah tenggelam dalam pikirannya.
Meskipun kelihatannya tenang-tenang saja, sebenar-
nya Dewa Arak telah memasang kewaspadaan penuh.
Begitu memasuki kedai ini, perasaannya membisikkan
akan adanya bahaya yang mengancam. Dan getaran
perasaan itu semakin membesar, ketika masuk ke da-
lam kedai. Terutama sekali, ketika duduk!
Dewa Arak sebenarnya bukan orang yang ter-
lalu menuruti perasaan. Tapi kali ini, bukan perasaannya yang menyimpulkan
demikian. Tapi, naluri! Me-
mang, sejak belalang raksasa dari alam gaib berhasil
ditarik masuk ke dalam tubuhnya, naluri Dewa Arak
semakin tajam. Dan seiring semakin seringnya belalang raksasa
itu masuk ke dalam tubuhnya, Dewa Arak bagaikan
seorang manusia dengan naluri binatang. (Untuk je-
lasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:
'Makhluk dari Dunia Asing', dan 'Dalam Cengkeraman
Biang Iblis'). Dewa Arak tahu, naluri adanya bahaya meng-
ancam itu sama sekali tidak menipunya. Sayangnya,
sulit diketahui dari mana asal bahaya itu. Yang jelas, nalurinya membisikkan
adanya bahaya di tempat ini!
Maka tak heran kalau Dewa Arak bersikap
waspada. Seluruh urat saraf di tubuhnya menegang.
Bahkan ekor matanya pun beberapa kali beredar ke
sekeliling. Barangkali saja ditemukan adanya tanda-
tanda mencurigakan. Tapi sampai sejauh itu, belum
terlihat adanya hal-hal yang dikhawatirkan.
Tak lama kemudian, pemilik kedai telah kem-
bali sambil membawa baki berisi pesanan Dewa Arak.
Di belakangnya, berjalan seorang laki-laki bertubuh


Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekar, membawa seguci besar arak.
Setelah berada di dekat tempat Dewa Arak, me-
reka meletakkan semua pesanan itu di atas meja den-
gan hati-hati. "Silakan dinikmati, Den," ujar laki-laki kurus itu mempersilakan.
"Terima kasih, Ki."
Sebentar saja, Dewa Arak mengambil guci
araknya yang tergantung di punggung, lalu diletak-
kannya di atas meja. Sementara, Melati mulai men-
gambil salah satu potongan ayam panggang dan mem-
bawanya ke mulut
Gluk... gluk... gluk...!
Pada saat Dewa Arak menuangkan arak di da-
lam guci besar ke dalam gucinya, Melati mulai mengu-
nyah santapannya. Di tangan Dewa Arak, guci besar
dan berisi penuh arak itu tak ubahnya segumpal ka-
pas. Enak saja guci itu diangkat dengan satu tangan!
Padahal, laki-laki bertubuh kekar yang membawanya
di belakang pemilik kedai tadi, membawanya dengan
kedua tangan. Itu pun dilakukan sambil mengerahkan
sebagian besar tenaganya.
Dewa Arak baru menghentikan tuangan arak
ketika guci peraknya telah penuh. Kemudian, arak da-
lam guci besar yang masih tersisa banyak itu baru dituangkan ke dalam gelas
bambu yang telah disediakan
pemilik kedai. Hanya dalam sekejapan saja, segelas arak itu
telah berpindah ke perut Dewa Arak. Lalu, diambilnya sebatang jagung dan
dimakannya. Namun sebelum jagung habis dinikmati Dewa
Arak.... "Kang...," suara panggilan lemah Melati membuat Dewa Arak mengalihkan
perhatian dari ma-kanan
yang tengah dinikmatinya.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya sambil menatap wajah kekasihnya.
"Kepalaku pusing, Kang. Tubuhku pun le-
mas...," keluh gadis berpakaian putih itu.
"Apa"!"
Dewa Arak terlonjak kaget bagai disengat ular
berbisa. Pandangannya langsung dialihkan ke arah
makanan dan minuman yang tersaji di atas meja.
"Jangan dilanjutkan makan dan minum mu. Ini
semua pasti mengandung racun!" seru Dewa Arak ketika sepasang matanya terasa
berkunang-kunang.
Begitu selesai kata-katanya, pemuda berambut
putih keperakan itu langsung bangkit. Tapi, saat itu pula.... Srat, srat, srat!
Sinar-sinar terang langsung mencuat ketika
semua pengunjung kedai ini menghunus senjata mas-
ing-masing. Kemudian mereka langsung menerjang
Dewa Arak dan Melati.
Sing, sing, sing!
Suara berdesing nyaring mengiringi melayang-
nya senjata-senjata menuju sasaran.
Keadaan sepasang pendekar muda itu benar-
benar gawat. Terutama sekali Melati, yang benar-benar sudah tidak memiliki daya
apa pun. Kepalanya yang
pusing, membuat semua yang terlihat jadi berputaran
sehingga tidak terlihat jelas.
Untung saja Melati masih bisa mendengar. Dan
dengan pendengarannya yang tajam, dia mencoba me-
nerka apa yang terjadi. Kendati demikian, rasa lemas yang amat sangat membuat
tubuhnya tak kuasa dige-rakkan. Seluruh tenaga dalam yang dimilikinya bagai-
kan lenyap tak tersisa. Kini Melati tak ubahnya seo-
rang bayi yang baru lahir. Dia tidak mampu berbuat
apa-apa, selain berdiam diri.
Untung saja di sampingnya ada Dewa Arak.
Maka dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, pe-
muda berambut putih keperakan itu melesat menyam-
bar tubuh Melati. Lalu....
"Hih!"
Dewa Arak berjumpalitan beberapa kali di uda-
ra, melewati kepala para penyerangnya. Dan....
Ringan laksana sehelai daun kering, kedua ka-
kinya mendarat di belakang para pengeroyoknya.
Sayang, kedudukan kakinya tidak mantap. Rupanya,
racun mulai mempengaruhi keadaan pemuda beram-
but putih keperakan itu.
Tentu saja para pengunjung kedai yang rupa-
nya memang bermaksud melenyapkan sepasang pen-
dekar ini tidak membiarkan buruannya lolos. Maka be-
gitu melihat Dewa Arak berhasil meloloskan diri, mere-ka langsung memburu.
Sementara itu, Dewa Arak baru teringat kalau
telah terlupa menyambar gucinya. Maka buru-buru
tubuhnya melesat kembali ke tempat semula. Tapi kali ini, usaha yang dilakukan
tidak mulus seperti sebelumnya. Kedelapan belas orang lawan ternyata telah
langsung menghadang maksudnya.
Yang lebih gawat lagi, racun yang dicampurkan
dalam makanan dan minuman Melati termasuk racun
keras dan berdaya kerja cepat. Dan ini dirasakan betul oleh Dewa Arak. Pemuda
berambut putih keperakan
ini merasakan pusing, dan pandangan matanya ber-
kunang-kunang. Tubuhnya pun semakin lemas, teru-
tama ketika berada di udara.
Rupanya nasib sial masih akrab dengan Dewa
Arak. Sebelum maksudnya mengambil guci terlaksana,
si pemilik kedai yang rupanya mengetahui maksud
pemuda berambut putih keperakan itu, telah lebih du-
lu membanting guci Dewa Arak ke lantai.
Pyarrr! Arak memercik ke sana kemari, ketika guci pe-
rak Dewa Arak membentur lantai. Tentu saja pusaka
murid tunggal Ki Gering Langit itu bukan benda biasa yang gampang pecah.
Apalagi, sampai retak. Walaupun, yang membanting memiliki tenaga dalam tinggi.
*** 5 Begitu guci arak itu mental kembali ke atas,
Dewa Arak yang masih memanggul Melati segera mele-
paskan tendangan ke arah gucinya. Sehingga guci itu
semakin tinggi naik ke atas. Dan dengan pengerahan
ilmu meringankan tubuhnya, Dewa Arak cepat melesat
ke atas, menyambar gucinya.
Tappp! Begitu berhasil menyambar guci peraknya yang
melayang di atas, Dewa Arak kembali mendarat di ta-
nah. Segera dituangnya guci itu ke dalam mulut. Tapi, ternyata tidak ada setetes
pun arak yang masuk ke dalam tenggorokannya. Memang semua araknya telah
tumpah. Pada saat itu, belasan orang yang telah gagal
menghambat telah meluruk ke arah Arya sambil men-
gayunkan senjata masing-masing.
Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali
menangkis dengan gucinya. Biasanya, papakannya di-
lakukan dengan tangan telanjang. Tapi, sekarang te-
naganya telah banyak yang susut
Klangngng, klangngng...!
Dentang nyaring diiringi berpijarnya bunga-
bunga api ke udara langsung terjadi ketika belasan
senjata itu berbenturan dengan guci Dewa Arak.
Akibatnya, tubuh para pengeroyok Dewa Arak
terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan berge-
tar. Sementara Dewa Arak sendiri pun juga terhuyung
beberapa langkah. Tak heran, karena belasan senjata
lawan membentur gucinya secara bersamaan. Sehing-
ga, tenaga-tenaga itu seperti bersatu saja yang menghasilkan kekuatan besar.
Tambahan lagi, saat itu ke-
kuatan pemuda berambut putih keperakan itu telah
menurun. Dewa Arak menggertakkan gigi ketika merasa-
Menjenguk Cakrawala 7 Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Perjodohan Busur Kumala 7
^