Pencarian

Perawan Perawan Persembahan 2

Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan Bagian 2


kan kekuatannya semakin menurun. Bahkan pengliha-
tannya juga semakin kabur.
Dan rupanya, para pengeroyok mengetahui ke-
jadian yang tengah dialami Dewa Arak. Maka, mereka
berniat merangsek pemuda itu. Bahkan sedikit pun ti-
dak akan memberi kesempatan kepada Dewa Arak.
Kali ini belasan orang berwajah kasar dan ber-
senjatakan aneka ragam jenis itu menerapkan siasat
lain. Mereka tidak langsung menyerang sekaligus, tapi secara berganti-ganti.
Jumlah mereka yang dua belas orang ini me-
mang membuat rencana tidak sulit diwujudkan. Ge-
rombolan itu memulai siasatnya. Enam orang melaku-
kan serangan, sementara sisanya menunggu giliran.
Dengan cara seperti ini, diharapkan Dewa Arak tidak
mempunyai kesempatan beristirahat
"Haaat..!"
Teriakan-teriakan melengking nyaring yang sal-
ing susul, kontan terdengar ketika enam orang itu
memulai serangan. Seketika itu pula, kilatan senjata-senjata tajam beraneka
jenis, berkelebatan mengan-
cam berbagai bagian tubuh Dewa Arak dari berbagai
jurusan. Arya yang memang sejak tadi sudah bersiaga,
langsung bertindak. Meskipun sepasang matanya su-
dah tidak bisa diandalkannya lagi, tapi sepasang telin-ganya masih bisa
dimanfaatkan. Dan dengan menggu-
nakan pendengaran, diladeni serbuan lawan-lawannya.
Tahu akan keadaan yang tidak menguntung-
kan, Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan il-
mu 'Belalang Sakti' andalannya.
Tapi, tentu saja kali ini tidak sedahsyat bi-
asanya. Di samping kemampuan Dewa Arak yang te-
ngah menurun, di bahunya pun terpanggul tubuh Me-
lati. Meskipun demikian, bukan berarti kedahsyatan
ilmu 'Belalang Sakti' itu pupus. Jurus-jurus yang terdapat dalam ilmu itu, tetap
menunjukkan keampu-
hannya. "Heit!"
Luar biasa! Dengan gerakan terhuyung-huyung
seperti akan jatuh, Dewa Arak menghindari serangan
lawan-lawannya, menggunakan jurus 'Delapan Lang-
kah Belalang'. Tapi baru saja serangan itu berhasil dielakkan,
serangan susulan kembali menyusul. Kali ini, dilaku-
kan oleh kelompok kedua. Maka untuk yang kedua ka-
linya beberapa senjata tajam mengancam keselamatan
Dewa Arak. Kali ini pun Dewa Arak berusaha mengelak
tanpa melancarkan serangan balasan. Bukan karena
apa-apa, yang jelas di benaknya tersusun rencana un-
tuk secepatnya meninggalkan tempat itu, sebelum se-
luruh tenaga dalamnya habis terkuras.
Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang
makan asam garam dunia persilatan, Dewa Arak tahu
kalau penyebaran racun akan semakin cepat, apabila
peredaran darah mengalir cepat. Dan cepatnya pereda-
ran darah, tergantung banyak tidaknya kegiatan yang
dilakukan. Maka tak heran kalau Dewa Arak tidak mela-
kukan perlawanan. Bahkan elakannya pun dilakukan
sambil menjauhkan diri.
Enam orang pengeroyok ini tampaknya terlalu
bersemangat untuk segera merobohkannya. Mereka
sama sekali tidak menduga kalau pemuda berambut
putih keperakan itu akan melarikan diri. Apalagi, jurus
'Delapan Langkah Belalang' milik Dewa Arak memang
terlalu sulit untuk bisa diketahui perkembangannya
oleh para pengeroyok. Karena begitu habis mengelak,
Dewa Arak langsung menghentakkan kakinya. Seketi-
ka tubuhnya melenting sambil tetap memondong Mela-
ti. Dan begitu mendarat, dia langsung melesat Sehing-ga tanpa diduga para
pengeroyok, pemuda berambut
putih keperakan itu berhasil meloloskan diri dari ser-gapan lawan-lawannya.
Karuan saja hal itu membuat dua belas orang
pengeroyoknya terkejut bukan kepalang. Serentak me-
reka bergerak mengejar.
"Hendak lari ke mana kau, Dewa Pengecut"!"
bentak salah seorang yang berkumis melintang. Seperti juga yang lain, dia
memiliki raut wajah kasar dan tubuh kekar.
"Jangan harap untuk bisa lolos dari tangan ka-
mi!" sambung yang lain, dengan suara tak kalah keras.
Maka seketika terdengar ejekan-ejekan menya-
kitkan terhadap Dewa Arak, dari para pengeroyok. Be-
gitu ramai dan keras, membuat telinga jadi panas.
Bahkan para pengeroyok itu juga segera mengejar De-
wa Arak. Sementara itu Dewa Arak tentu saja tidak
mempedulikannya. Dan apabila menuruti perasaan
hati, keselamatan dirinya dan Melati jelas terancam.
Jelas-jelas terlihat kalau gerombolan itu bermaksud
membinasakan mereka berdua.
Itulah sebabnya, Dewa Arak terus saja melesat
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dia beru-
saha secepat mungkin meninggalkan lawan-lawannya
sebelum kekuatan yang dimilikinya lenyap.
Tapi harapan tinggal harapan. Sewaktu melari-
kan diri, kekuatan yang dimiliki Dewa Arak memang
telah menurun jauh. Dan celakanya, terus melorot se-
cara demikian cepat. Akibatnya, pemuda berambut pu-
tih keperakan itu rasanya akan sia-sia untuk segera
kabur sejauh-jauhnya dari para pengeroyok. Padahal
dia masih berada dalam jarak yang tak jauh dari pen-
gejarnya. Paling tidak, hanya terpaut belasan tombak!
Dan kini seluruh tenaga Dewa Arak mendadak
musnah. Rasa lemas yang luar biasa langsung me-
nyergapnya. Sekujur tulangnya bagai dilolosi. Lemas
tak terkira! Brukkk! Tak ampun lagi, tubuh Dewa Arak ambruk di
tanah laksana sehelai karung basah. Dengan sendi-
rinya, tubuh Melati pun jatuh pula di tanah.
Namun demikian, Dewa Arak tidak putus asa.
Pemuda ini masih berusaha keras untuk bangkit. Se-
mangat yang besar karena dorongan ingin menyela-
matkan Melati, membuatnya mampu bertahan untuk
tidak pingsan. Tapi usaha Dewa Arak ternyata sia-sia. Rasa
lemas yang amat sangat, membuatnya tak mampu
berdiri. Padahal, telah diusahakan sekeras-kerasnya.
*** "Ha ha ha...!"
Tawa dua belas orang pengeroyok Dewa Arak
pun meledak, ketika tiba di tempat Dewa Arak ter-
sungkur. Tawa kegembiraan bercampur ejekan.
Dan masih dengan tawa yang belum putus, me-
reka memandangi Dewa Arak yang kembali terjerunuk
tak kuat menahan beban tubuhnya. Malahan senjata-
senjata tajam para pengeroyok telah siap diayunkan.
Srat, srat, srat!
Sinar-sinar terang seketika mencuat ketika be-
lasan senjata meluruk ke tubuh Dewa Arak, Bahkan
sepertinya, masing-masing tak ingin melepaskan ke-
sempatan itu. Maka kematian Dewa Arak tinggal me-
nunggu waktu saja. Apalagi, pemuda berambut putih
keperakan itu sama sekali tidak mampu berbuat apa-
apa. Tapi, sebelum belasan senjata beraneka ragam
itu merencah tubuh Dewa Arak, tiba-tiba sesosok
bayangan putih berkelebat cepat, menyambar Dewa
Arak dan Melati.
Tappp, tappp! Cappp, cappp, creppp, jrebbb!
Cepat bukan kepalang gerakan sosok bayangan
putih itu, sehingga beberapa senjata tajam yang me-
luncur hanya menghantam tanah, tempat Dewa Arak
dan Melati tergolek tadi.
"Keparat!"
Pengeroyok yang berkumis melintang meng-
geram ketika mengetahui senjatanya dan senjata re-
kan-rekannya sama sekali tidak menemui sasaran.
Mereka tahu, dua orang calon korban tadi berhasil dis-elamatkan oleh seseorang.
Memang, dua belas orang
pengeroyok tadi melihat kelebatan sosok bayangan pu-
tih, meskipun tidak secara jelas. Dan mereka juga tahu arah yang ditempuh sosok
bayangan putih tadi. Dan
tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera
bergerak mengejar.
Tapi dua belas orang yang rata-rata berwajah
kasar dan bertubuh kekar ini kecele! Ternyata sosok
bayangan putih itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang luar biasa. Sehingga hanya dalam beberapa kali
lesatan saja, mereka telah tertinggal jauh. Bahkan ak-
hirnya tubuh sosok bayangan putih itu lenyap dari
pandangan mata. Maka terpaksa rombongan pengejar
itu menghentikan langkahnya.
"Keparat!"
Untuk yang kesekian kalinya, laki-laki berku-
mis melintang itu memaki geram. Amarah yang hebat
tampak jelas, baik pada raut wajah maupun nada sua-
ranya. "Kau kenal orang usilan itu, Kang?" tanya laki-laki yang memiliki bibir
tebal dan hitam.
Laki-laki berkumis melintang itu menggeleng.
"Aku tidak sempat melihatnya. Jangankan wa-
jahnya, bentuk tubuhnya pun tidak sempat kulihat.
Keparat! Orang usilan itu harus mendapatkan ganja-
ran atas kelancangannya!" desis laki-laki berkumis melintang dengan sorot mata memancarkan dendam.
"Apa yang harus kita laporkan pada sang Ke-
tua, Kang?" tanya salah seorang yang berkulit kuning pucat seperti orang
penyakitan. "Hhh...!" laki-laki berkumis melintang menghela napas berat. "Apa lagi kalau
bukan menceritakan apa adanya" Tapi yang jelas, kita semua tidak akan lolos dari
hukuman! Hhh...! Padahal, sang Ketua sudah yakin, kalau rencana ini akan
berhasil. Sukar kubayangkan kemurkaannya, apabila dia tahu kalau Dewa Arak
berhasil lolos dari maut'
"Tapi, Kang," sergah salah seorang yang mempunyai tahi lalat besar di pipi.
"Bukankah Dewa Arak dan kawannya telah berhasil kita cekoki racun" Aku
yakin, nyawa mereka akan melayang. Bukankah racun
milik sang Ketua tidak bisa diragukan lagi keampu-
hannya" Jadi, aku yakin mereka akan tewas!"
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Sam-
pang," kata laki-laki berkumis melintang pada rekan-
nya yang memiliki tahi lalat besar di pipi. "Menurut pengalaman selama ini, Dewa
Arak dan rekannya itu
akan tewas. Tapi aku yakin sang Ketua tak akan ber-
pendapat seperti itu. Tanpa melihat dengan mata kepa-la sendiri, dia tak akan
percaya kalau Dewa Arak telah tewas. Aku sendiri yakin kalau Dewa Arak tewas!
Bahkan tidak mungkin selamat."
Kontan semua mulut dari rekan laki-laki ber-
kumis melintang tertutup. Tidak satu pun ada yang bicara. Mereka tampak terpatri
dengan rencana masing-
masing. "Lalu..., sekarang apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya laki-laki
berkulit kuning.
"Tentu saja melaporkan semuanya pada sang
Ketua," jawab laki-laki berkumis melintang, tak bergai-rah. Usai berkata
demikian, laki-laki berkumis me-
lintang itu berbalik.
"Mari kita berangkat," lesu ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berkumis
melintang itu. Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka se-
gera mengayunkan langkah, mengikuti dari belakang
laki-laki berkumis melintang yang telah melesat pergi lebih dulu.
*** 6 "Uaaah...!"
Arya membuka mulutnya lebar-lebar sambil
menggeliatkan tubuhnya untuk melemaskan urat-
uratnya yang terasa kaku. Perlahan-lahan sepasang
matanya dibuka. Seketika itu pula dia tersentak dari berbaringnya. Sementara,
raut wajahnya menampakkan rasa kaget bukan kepalang.
Dewa Arak memandang ke sekeliling. Rupanya
dia berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan
cukup baik, meski hanya berdinding dari bilik. Sementara tubuhnya yang masih
lemas tergolek di sebuah
balai-balai bambu. Sedangkan tak jauh darinya, tam-
pak sebuah meja yang di atasnya terdapat kendi dan
beberapa buah gelas bambu. Salah satu dari gelas
bambu itu tampak masih mengepulkan asap beraroma
khas, aroma ramuan obat!
Arya jadi berpikir keras. Berbagai macam per-
tanyaan bergayut di benaknya. "Mengapa dia berada di sini" Dan di manakah ini?"
Sejenak kemudian semua kejadian yang dialami
telah berhasil diingatnya. Waktu dia berada dalam kedai telah diracuni secara
licik oleh pemilik kedai palsu.
Rupanya, mereka memang sudah merencanakan se-
mua itu untuk membunuhnya. Kemudian Dewa Arak
kabur untuk menyelamatkan diri, tapi sebelum mak-
sudnya terlaksana keburu jatuh. Dan akhirnya, ping-
san. Jadi, dia belum mati! Lalu, bagaimana nasib Me-
lati" Ingat akan Melati, membuat Dewa Arak tersen-
tak kaget. Perasaan khawatirnya pun kembali menye-
ruak. Dan dalam cekaman rasa cemas yang melanda,
pandangannya kembali dilayangkan ke sekitar ruan-
gan. Tapi tetap saja kekasihnya tidak diketemukan.
Tentu saja ini membuat Dewa Arak cemas.
Rasa khawatir yang amat sangat terhadap kese-
lamatan kekasihnya, membuat pemuda berambut pu-
tih keperakan itu berusaha bangkit dari berbaringnya.
Tapi.... "Uuuh...!"
Tanpa sadar, sebuah keluhan tertahan keluar


Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari mulut Arya ketika baru saja beringsut. Rasa pusing yang amat sangat
langsung mendera kepalanya,
sehingga membuat pandangannya seperti berputar.
Terpaksa Dewa Arak mengurungkan niatnya,
dan segera merebahkan tubuhnya kembali di pemba-
ringan. Kemudian matanya dipejamkan untuk menghi-
langkan rasa pusingnya.
Saat itulah Dewa Arak mendengar suara lang-
kah-langkah halus di luar kamar. Semakin lama, se-
makin jelas tertangkap meskipun tetap tidak jelas.
Tampaknya memang ada orang yang tengah menuju
tempatnya. Rasa ingin tahu membuat Dewa Arak membuka
matanya. Sedikit pun tidak ada rasa khawatir bila
orang yang datang ke tempatnya bermaksud buruk.
Justru sebaliknya, Dewa Arak yakin orang itu bermak-
sud baik, menilik dari tindakan pertolongan yang telah diberikannya. Jelas,
orang itulah yang membawanya
ke sini, dan memberikan ramuan obat yang kini dile-
takkan di atas meja.
Kriiit...! Suara berderit pelan terdengar seiring berge-
raknya daun pintu di dalam ruangan Dewa Arak bera-
da. Dan sesaat kemudian, seraut wajah tua menyem-
bul dari balik daun pintu itu. Seraut wajah yang terlihat masih segar, meskipun
telah ditumbuhi kumis dan
jenggot berwarna putih. Warna pakaian yang dikena-
kannya merah. "Rupanya kau sudah sadar, Anak Muda," sapa kakek berpakaian merah itu sambil
mengayunkan langkah menghampiri Dewa Arak.
"Itu semua berkat pertolonganmu juga, Ki," ja-
wab Arya sekenanya.
"Ah! Matamu sungguh awas, Anak Muda. Da-
lam keadaan gawat pun, kau masih bisa mengenaliku"
Hebat! Benarkah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?"
tanya kakek berpakaian merah itu sambil menarik
kursi yang terletak di kolong meja tempat guci dan gelas-gelas bambu berada.
Kemudian, perlahan-lahan
pantatnya diletakkan di kursi itu.
"Apa istimewanya julukan itu, Ki" Aku yakin
kau memiliki kepandaian dan julukan yang melebihi-
ku," sambut Dewa Arak berusaha merendah.
"Ha ha ha...!" kakek berpakaian merah tertawa lunak. "Kau terlalu merendah, Dewa
Arak. Siapa yang belum mendengar tentang dirimu. Julukanmu begitu
menggemparkan dunia persilatan. Hampir semua to-
koh persilatan tahu, kau memiliki kepandaian tidak
ada bandingannya. Tak terhitung sudah datuk kaum
sesat yang tewas di tanganmu. Tapi kau masih bersi-
kap rendah hati. Luar biasa! Kau luar biasa, Dewa
Arak!" "Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki. Toh, kenya-taannya menghadapi gerombolan
orang liar saja aku
dan kawanku telah dibuat tidak berdaya. Kalau saja
kau tidak datang menolongku, mungkin aku dan ka-
wanku telah tewas. Ah! Ya...! Apakah kau melihat ka-
wanku, Ki?"
Langsung saja Dewa Arak menanyakannya, be-
gitu teringat kembali pada Melati. Perasaan penuh harap tampak jelas dalam sorot
wajah dan sinar ma-
tanya. "Apakah kawanmu itu gadis berpakaian putih yang tergeletak di sampingmu?"
tanya kakek berpakaian merah memastikan.
"Benar, Ki. Dialah kawanku. Melati, namanya,"
sambut Dewa Arak, dengan tarikan wajah ceria. "Apakah kau melihatnya?"
Kakek berpakaian merah menganggukkan ke-
pala. "Bukan hanya melihatnya saja, Dewa Arak. Aku pun membawanya pula kemari.
Seperti juga kau, dia
menderita keracunan hebat. Dan dia kubaringkan di
kamar sebelah, setelah kuberikan pengobatan seper-
lunya." "Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas le-ga. "Aku tak tahu harus
berkata apa untuk mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, Ki. Budi
yang kau berikan pada kami terlalu besar."
"He he he...," kakek berpakaian merah tertawa terkekeh sambil menggeleng-
gelengkan kepala. "Kau ini aneh, Dewa Arak. Masih saja meributkan soal budi.
Padahal, dibandingkan pengabdianmu pada dunia per-
silatan, usahaku ini sama sekali tidak berarti apa-apa."
Dewa Arak hanya bisa menyunggingkan se-
nyum kaku. Kini disadari, betapa di dunia ini masih
ada orang yang mau mengingat kebaikan orang lain.
Ternyata, benih-benih kebaikan yang telah ditanam
Dewa Arak, telah menghasilkan buah keselamatan ba-
ginya sendiri. "Kau terlalu merendahkan diri, Ki. Meskipun
demikian, aku yakin kau bukan orang sembarangan.
Bolehkah aku mengenalmu lebih jauh, Ki?" tanya De-wa Arak, hati-hati.
"Tentu saja boleh, Dewa Arak. Tapi nanti saja-
lah. Sekarang, yang lebih penting menyembuhkan lu-
kamu dulu. Kau tahu, Dewa Arak. Racun yang men-
gendap di tubuhmu dan juga di tubuh kawanmu itu
amat berbahaya. Racun yang amat ganas dan memati-
kan." Kakek berpakaian merah menghentikan uca-
pannya sebentar untuk mengambil napas.
"Untunglah, aku berhasil menjinakkannya. Se-
karang, keadaanmu dan juga kawanmu sudah tidak
berbahaya lagi. Masalah kesembuhan hanya tinggal
menunggu waktu saja."
"Terima kasih atas jerih payahmu, Ki. Keberha-
silanmu menyembuhkan kami, menjadi pertanda ka-
lau kau bukan orang sembarangan. Boleh kutahu na-
mamu, Ki"!"
Kakek berpakaian merah itu hanya tersenyum
tipis. Ditatapnya Dewa Arak dengan sorot mata cerah.
"Namaku sederhana saja, Dewa Arak. Blantaka.
Tapi orang-orang biasa menyebutku Eyang Blantaka."
Akhirnya, keluar juga kata-kata kakek ber-
pakaian merah ini dalam memperkenalkan diri.
"Eyang Blantaka"!" Dewa Arak mengulang na-
ma itu tanpa menyembunyikan rasa kagetnya. "Jadi..., kau Ketua Perguruan Kalong
Merah, Ki"!"
"Rupanya kau mengenai perguruanku juga,
Dewa Arak?" kakek berpakaian merah yang ternyata bernama Blantaka tersenyum
pahit. "Tentu saja, Ki! Perguruan Kalong Merah amat
terkenal. Tapi, masih lebih terkenal namamu! Karena
kaulah yang telah membuat Perguruan Kalong Merah
yang selama puluhan tahun berlumur noda hitam,
menjadi bersih!" ujar Dewa Arak penuh kagum. "Dan kudengar, Perguruan Kalong
Merah telah menciptakan
banyak pendekar pembela kebenaran. Kau telah ber-
hasil membuat perguruan itu menjadi sebuah pergu-
ruan golongan putih! Aku kagum padamu, Ki!"
"Terima kasih atas pujianmu, Dewa Arak,"
hanya itu yang diucapkan kakek berpakaian merah ini.
Seketika itu pula, benak Ki Blantaka melayang-
layang ke masa seratus tahun silam. Leluhurnya, me-
mang seorang datuk golongan hitam yang amat ditaku-
ti. Dengan kesaktian dan kekejamannya yang tiada
banding, dibentuklah Perguruan Kalong Merah. Ini
hampir sesuai julukannya, Kalong Merah.
Turun-temurun, tiap murid yang menjadi ketua
perguruan meneruskan sepak-terjang si Kalong Merah
yakni mengacau dunia persilatan. Baru ketika Ki Blantaka yang mempunyai hati
bersih menjadi ketua, ke-
biasaan itu dirombaknya. Tentu saja banyak yang me-
nentang. Namun, semuanya berhasil dipatahkan. Dan
benar seperti yang dikatakan Dewa Arak, sekarang
Perguruan Kalong Merah berubah menjadi perguruan
silat yang beraliran putih.
"Aku tidak memuji, Ki. Tapi, begitulah cerita
yang kudengar dalam dunia persilatan," bantah Dewa Arak, halus. Kemudian dengan
raut wajah sungguh-sungguh ditatapnya wajah kakek berpakaian merah
lekat-lekat "Agar percakapan kita berjalan lebih enak, bagaimana kalau kau
memanggil namaku saja, Ki.
Namaku yang sebenarnya, Arya Buana. Tapi, orang-
orang biasa menyapaku Arya."
"Begitu pun boleh, De..., eh! Arya...!" sambut Ki Blantaka datar. "O ya, Arya.
Hampir saja aku lupa.
Kau masih harus minum sekali lagi ramuan obatku
agar pengaruh racun yang mengendap di tubuhmu le-
nyap semua."
Ki Blantaka segera mengambil gelas bamboo
berisi ramuan obat yang dibuatnya. Kemudian dide-
katkan gelas itu ke mulut Arya.
Semerbak ramuan berbau agak pedas tercium
hidung Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih kepe-
rakan itu tidak mempedulikannya. Dan tanpa ragu-
ragu, diminumnya ramuan obat itu hingga tuntas.
"Sekarang beristirahatlah, Arya. Aku pergi dulu untuk menengok kawanmu. Seperti
juga kau, dia pun
harus minum ramuanku sekali lagi agar terbebas dari
pengaruh racun itu."
Kemudian tanpa menunggu tanggapan Dewa
Arak, Ki Blantaka segera bangkit dan melangkah me-
ninggalkan Dewa Arak. Sementara, Dewa Arak hanya
memandangi punggung kakek berpakaian merah itu
hingga lenyap di balik pintu. Lega sudah rasa harinya mendengar Melati berada di
situ pula. Dan bahkan
akan sembuh dari lukanya. Kini tanpa perasaan cemas
lagi, sepasang matanya dipejamkan. Memang untuk
membunuh waktu, hanya dengan tidur.
*** Matahari sudah naik tinggi, bahkan sudah
hampir mencapai titik tengahnya ketika tiga sosok tubuh duduk di teras depan
sebuah pondok berdinding
bilik. Tiga sosok itu terdiri dari dua orang laki-laki dan seorang wanita.
Mereka memang Dewa Arak, Melati,
dan Ki Blantaka yang tengah duduk saling berhadapan
beralaskan tikar daun kelapa.
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin mengaju-
kan sebuah pertanyaan padamu, Ki," ucap Arya.
Wajah pemuda berambut putih keperakan itu
terlihat sudah cerah kembali, setelah mendapat pera-
watan dari Ki Blantaka. Dewa Arak benar-benar telah sehat kembali. Seluruh
kemampuannya pun telah pu-lih.
"Ajukan saja, Arya. Kalau bisa, tentu akan ku-
jawab," sambut Ki Blantaka, ringan.
"Terlebih dulu aku minta maaf, Ki. Bukannya
bermaksud turut campur, tapi aku hanya merasa he-
ran. Mengapa seorang ketua perkumpulan besar seper-
timu, meninggalkan perguruan" Mungkinkah ini ada
hubungannya dengan kemurungan yang tengah me-
landamu?" tanya Dewa Arak hati-hati.
"Hanya itu yang ingin kau tanyakan, Arya?"
tanya Ki Blantaka kalem.
Dewa Arak mengangguk. Sedangkan Ki Blan-
taka langsung terdiam.
"Dugaanmu tidak salah, Arya. Aku mening-
galkan perguruan memang berhubungan erat dengan
kemuraman wajahku," ujar Ki Blantaka memulai penjelasan. "Hal ini karena tiga
orang adik seperguruanku tidak puas dengan tindakan yang kuambil. Setelah
Perguruan Kalong Merah kubawa ke jalan putih, mere-
ka pergi diam-diam. Yang lebih celaka lagi, mereka
membawa lari kitab-kitab berisi ilmu-ilmu peninggalan Kalong Merah!"
Sampai di sini, Ki Blantaka menghentikan ceri-
ta. Dibasahinya tenggorokan yang terasa kering den-
gan air ludahnya sendiri. Sekilas ditatapnya Dewa
Arak untuk melihat tanggapannya. Tapi ternyata Dewa
Arak lebih memilih diam dan mendengarkan.
"Semula aku bersikap diam. Kupikir, kalau me-
reka memang tidak mau mengikuti jalanku dan ingin
menentukan jalan sendiri, biarlah. Tapi kejadian demi kejadian yang menimpa
dunia persilatan, memaksaku
untuk turun tangan."
"Kejadian apa saja, Ki?" tanya Melati, ingin ta-hu.
' Penculikan besar-besaran terhadap wanita-
wanita yang masih gadis," jelas Ki Blantaka. "Semula aku masih ragu kalau
pelakunya adalah adik-adik seperguruanku. Tapi bukti-bukti yang berhasil
kudapat, menjelaskan kalau merekalah dalang dari semua keja-
dian itu."
Dewa Arak mengangguk-angguk. Memang, Pra-
kosa sebelum mati juga telah menjelaskan hal itu. Semula, mereka hanyalah
gerombolan perampok biasa.
Tapi, ternyata ada seorang tokoh yang memaksa mere-
ka untuk mencari perawan sebanyak-banyaknya. Gag-
al berarti maut!
Hanya saja Dewa Arak dan Melati tidak me-
nyangka kalau dalang di belakang layar itu adalah pelarian-pelarian dari
Perguruan Kalong Merah! Yang
mereka tahu, dalang itu adalah seorang tokoh yang
berjuluk Harimau Baja!
Dan sebenarnya, Harimau Bajalah yang me-
nundukkan gerombolan demi gerombolan perampok,
yang kemudian diperintahkan mencari perawan-
perawan. Bagi yang tidak taat, langsung dibinasakan.
"Itulah cerdiknya mereka, Arya. Kalau saja,
penculikan-penculikan itu dilakukan sendiri, tentu dalam waktu tak lama aku
tahu. Dan memang, mereka
takut kalau aku akan menghalangi maksud mereka.
Kalau yang disuruh adalah gerombolan-gerombolan
rampok, siapa yang dapat menduga" Hhh...! Sama se-
kali tidak kusangka kalau tiga orang adik seperguruanku akan memiliki anak-anak
buah yang tersebar. As-
al tahu saja. Para pengeroyok kalian di kedai waktu itu adalah anak buah tiga
adik seperguruanku."
"Ah...!"
Hampir berbareng Dewa Arak dan Melati berse-
ru kaget, karena sama sekali tidak menyangka. Ru-
panya, kedua pendekar muda itu sudah masuk inca-
ran tanpa disadari.
"Bagaimana kau bisa menduga demikian, Ki?"


Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Dewa Arak tak kuat menahan rasa ingin tahu.
"Dari racun yang masuk ke dalam tubuh ka-
lian! Racun itu adalah milik leluhur kami yang berjuluk Kalong Merah!" tandas Ki
Blantaka, tegas.
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan
tanpa berkata-kata. Dan karena Ki Blantaka juga ber-
diam diri. Keadaan menjadi hening.
"Sekarang..., apa yang akan kau lakukan, Ki"!"
tanya Dewa Arak, ingin tahu.
"Sederhana saja. Mereka adalah adik-adik se-
perguruanku. Maka sudah menjadi kewajibanku untuk
menghalangi tindakan mereka. Dan kalau mereka te-
tap menentang, tidak ada jalan lain...."
Sampai di sini Ki Blantaka menghentikan uca-
pannya. Tapi itu pun sudah cukup bagi Dewa Arak
dan Melati untuk mengetahui kelanjutannya.
"Kapan kau akan berangkat, Ki?" tanya Melati.
"Besok. Toh, aku sudah dapat memperkirakan
di mana tempat tinggal mereka."
"Di mana, Ki?"
"Goa Kelelawar! Tempat tinggal almarhum Ka-
long Merah dulu."
*** 7 Dewa Arak, Ki Blantaka, dan Melati melesat ce-
pat mendaki lereng Gunung Tongkeng. Gesit laksana
kera dan cepat laksana bayangan, tubuh tiga tokoh
sakti itu berkelebat cepat menuju puncaknya. Entah
sudah berapa lama mereka berlari. Dan mendadak saja
Dewa Arak menghentikan ayunan kakinya. Dan seke-
tika pula, Ki Blantaka dan Melati berhenti melesat.
"Ada apa, Arya?" tanya Ketua Perguruan Kalong
Merah ingin tahu.
"Rasanya aku mendengar suara orang merin-
tih," sahut Dewa Arak. "Apakah kau mendengarnya, Ki?"
Walau yang ditanya Ki Blantaka, tapi Melati
ikut menjawab. Gadis berpakaian putih itu mengge-
leng, sementara Ki Blantaka diam saja.
"Tidak, Arya. Apakah kau mendengarnya"!" Ki Blantaka balas bertanya.
"Benar, Ki. Tapi samar-samar. Sepertinya, asal-
nya dari sana," Dewa Arak menuding ke arah sebelah kanan. "Kalau begitu, mari
segera kita ke sana!" ajak Ki Blantaka.
Sambutan Ki Blantaka yang demikian penuh
semangat, sama sekali tidak disangka Dewa Arak. Dan
Ketua Perguruan Kalong Merah itu memang punya
alasan kuat bertindak demikian. Dia merasa penasa-
ran terhadap Dewa Arak yang memiliki pendengaran
jauh lebih tajam daripada dirinya.
Mereka seketika bertiga melesat ke arah yang
ditunjuk Dewa Arak. Dan ternyata, pendengaran pe-
muda berambut putih keperakan itu mulai terbukti.
Dari kejauhan, ketiga orang itu telah melihat adanya sosok-sosok yang
bergeletakan di tanah. Maka mereka
pun semakin mempercepat lari.
Tak lama berlari, mereka telah berada di dekat
sosok-sosok yang bergeletakan. Dan mereka bergegas
memeriksanya. "Hey...! Bukankah mereka orang-orang yang be-
rada di kedai, Kang. Merekalah yang mengeroyok kita!"
seru Melati ketika mengenali sosok-sosok itu.
Bukan hanya Dewa Arak saja yang mengang-
guk. Ki Blantaka pun demikian.
"Tapi ada satu yang bukan, Melati. Kau kenal
dia?" sanggah Dewa Arak, seraya menunjuk ke satu arah. Melati mengarahkan
pandang ke arah yang ditunjukkan kekasihnya. Ternyata di situ tergolek seo-
rang lelaki berpakaian coklat.
"Bukankah orang ini yang memberi perlawanan
terhadap serbuan perampok di Desa Banyu, Kang"!"
kata Melati, seketika teringat pada kejadian di Desa Banyu beberapa waktu yang
lalu. Dewa Arak mengangguk.
"Apa tidak mungkin kalau dia yang telah mela-
kukan semua ini."
"Lebih baik kita tanyakan secara jelas pa-
danya." Usai berkata demikian, Dewa Arak segera menghampiri laki-laki berpakaian
coklat itu. Begitu
sampai, tubuhnya langsung membungkuk. Disadari ti-
dak ada gunanya memberikan pertolongan, karena lu-
ka-luka yang diderita lelaki berpakaian coklat itu terlalu parah.
"Bisa terangkan, mengapa kau ada di sini, Ki
sanak"!" tanya Dewa Arak setelah memberi totokan di beberapa bagian tubuh laki-
laki berpakaian coklat,
agar dapat menjawab secara lancar.
"Aku ingin membasmi dalang tindakan terku-
tuk ini!" tandas lelaki berpakaian coklat, ketika mengenali Dewa Arak dan Melati
sebagai orang yang mem-
punyai musuh sama.
"Sepertinya kau mempunyai dendam hebat ter-
hadap orang-orang jahat itu, Kisanak. Bisa dije-
laskan"!" tanya Dewa Arak lagi.
"Adikku diambil oleh iblis-iblis terkutuk itu.
Dan dia tidak pernah kembali.... Aku selidiki berbulan-
bulan, dengan dibantu Dewa Baju Emas. Tapi sayang,
di saat hampir berhasil aku dihadang orang-orang itu.
Hingga akhirnya, aku terluka. Aku mohon..., bantuan
Dewa Baju Emas. Dan..., akh!"
Sebelum sempat menyelesaikan ucapan, lelaki
berpakaian coklat itu mengejang kaku dan diam tidak
berkutik lagi. Nyawanya telah lebih dulu melayang ke alam baka.
Dewa Arak bangkit berdiri. Dan seperti telah
disepakati, mereka bertiga segera melesat ke Puncak
Gunung Tongkeng. Memang, saat itu pula terdengar
suara-suara pertarungan.
Hanya dalam beberapa kali lesatan, Dewa Arak,
Melati, dan Ki Blantaka telah berhasil menemukan
sumber suara pertarungan yang melibatkan dua sosok
tubuh. Bergegas, ketiga orang itu mendekati kancah
sekitar pertarungan.
Ketiga tokoh golongan putih ini baru menghen-
tikan langkah, ketika telah berada dalam jarak lima
tombak dari kancah pertarungan. Dan mereka segera
memperhatikan pertarungan penuh perhatian. Meski-
pun tokoh-tokoh yang tengah bertarung bergerak ce-
pat, namun bagi mata Dewa Arak, Ki Blantaka, dan
Melati, bukan persoalan untuk menyaksikannya.
Tanpa menemui kesulitan, ketiganya dapat me-
lihat ciri-ciri dua orang yang tengah bertarung. Yang seorang lelaki kekar dan
gagah, terbungkus pakaian
kuning emas. Sedangkan lawannya seseorang berwa-
jah seperti raksasa. Tapi, tubuhnya justru lebih pendek dari manusia biasa.
Dengan telanjang dada, tokoh raksasa kecil ini tampaknya lebih mirip bocah
gembala yang bertampang seram. Dialah tokoh yang berjuluk
Raksasa Tua! Hanya sekali lihat, baik Dewa Arak, Ki Blan-
taka, maupun Melati, dapat menebak kalau lelaki ber-
pakaian kuning emas ini adalah Dewa Baju Emas! To-
koh persilatan golongan putih yang bermaksud me-
numpas angkara murka dalang penculikan terhadap
perawan-perawan suci!
Sebenarnya, pertarungan itu telah berlangsung
tak kurang dari sepuluh jurus. Dan kini Raksasa Tua
tampak menggulingkan tubuhnya, mendekati Dewa
Baju Emas. Kemudian langsung dilancarkannya se-
rangan berupa sapuan kaki kanan.
Jangan dianggap ringan serangan Raksasa Tua.
Meskipun kakinya kecil, tapi kekuatan yang terkan-
dung di dalam sapuannya sanggup mematahkan ba-
tang pohon yang besarnya tidak kurang dari dua pelu-
kan orang dewasa!
Dewa Baju Emas pun tahu kedahsyatan se-
rangan lawan. Itulah sebabnya, dia tidak berani ber-
tindak main-main. Buru-buru kakinya menjejak, se-
hingga tubuhnya melayang ke atas. Sehingga, seran-
gan lawan hanya menyambar tempat kosong.
Tapi Raksasa Tua juga bukan orang bodoh.
Semua pergerakan Dewa Baju Emas telah diperhitung-
kan. Maka, ketika Dewa Baju Emas mengelak dengan
cara melompat ke atas, langsung saja dikirimkannya
serangan susulan berupa tendangan lurus ke atas
dengan kaki kiri.
Zebbb! Dewa Baju Emas tercekat melihat serangan lan-
jutan ini. Apalagi ketika mengetahui, kalau bagian
yang terancam adalah selangkangannya. Padahal, saat
itu tubuhnya tengah berada di udara. Dan rasanya su-
lit untuk dapat mengelak, kecuali dengan memapak.
Maka seketika Dewa Baju Emas menghentakkan ka-
kinya ke bawah.
"Hih!"
Blakkk! Benturan antara dua telapak kaki yang sama-
sama dialiri tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan lagi. Akibatnya kedua
batang kaki itu sama-sama tersentak balik.
"Hup!"
Pada saat Dewa Baju Emas mendarat di tanah,
Raksasa Tua pun telah berhasil memperbaiki kedudu-
kannya. Dan tanpa menunda-nunda lagi, laki-laki ber-
tampang seram itu kembali menerjang Dewa Baju
Emas. Tapi dalam serangan kali ini, Raksasa Tua su-
dah mencabut sebuah tombak pendek yang tergeng-
gam di tangan kanan. Dan dengan senjata itu, Dewa
Baju Emas terus didesaknya.
Melihat lawan telah menggunakan senjata, De-
wa Baju Emas tidak berani ayal-ayalan. Disadari kalau kepandaian lawan belum
tentu berada di bawahnya.
Maka senjata andalannya pun dicabut. Kini sebuah
pedang yang juga berwarna kuning emas telah ter-
genggam di tangan kanan.
Pertarungan semakin berjalan menarik. Bunyi
decit angin tajam dari udara yang terobek akibat gerakan dua senjata itu,
menyemaraki pertarungan. Bebe-
rapa kali bunyi berdentang nyaring diiringi berpercikannya bunga api tercipta,
manakala senjata-senjata
itu saling berbenturan.
Dalam waktu tak berapa lama, dua puluh jurus
telah lewat. Dan selama itu, belum nampak adanya
tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Ru-
panya, tingkat kepandaian kedua belah pihak berim-
bang. Tapi menginjak jurus ketiga puluh satu, terjadi
perubahan yang menegangkan. Dewa Baju Emas
agaknya dalam bertarung seperti orang kebingungan.
Beberapa kali pedangnya dikibaskan ke atas, baik be-
rupa tangkisan maupun serangan. Padahal, saat itu
Raksasa Tua melancarkan serangan secara mendatar.
Hanya di saat-saat yang mengkhawatirkan,
Dewa Baju Emas berhasil mengelakkan serangan. Itu
pun hampir terlambat. Karena hal ini terjadi berulangulang, maka hanya dalam
beberapa gebrakan saja De-
wa Baju Emas telah terdesak hebat. Dari beberapa ba-
gian tubuhnya mulai mengalirkan darah segar, karena
beberapa kali terserempet tombak pendek Raksasa
Tua. Tentu saja perubahan mendadak ini membuat
Dewa Arak, Ki Blantaka, dan Melati merasa heran.
Mengapa Dewa Baju Emas bertindak seperti itu" Seba-
gai tokoh-tokoh yang berpengalaman, ketiga orang itu langsung bisa memperkirakan
ada hal yang tidak
beres. Bukan tidak mungkin Raksasa Tua berlaku cu-
rang. Atau barangkali saja menggunakan ilmu hitam!
Tapi Dewa Arak dan Ki Blantaka terpaksa ha-
rus membuang dugaan itu. Mereka melihat sendiri,
Raksasa Tua semula juga heran melihat sikap Dewa
Baju Emas yang kelihatan kelabakan. Namun sesaat
kemudian, hal seperti itu langsung digunakan untuk
keuntungan dirinya.
"Rasanya ada yang tidak beres, Ki," kata Dewa Arak agak pelan suaranya.
"Aku pun menduga demikian, Arya," jawab Ki Blantaka. "Bukan tidak mungkin ini
ada hubungannya dengan sihir. Tapi menurut pengamatanku, Raksasa
Tua tidak menggunakannya."
"Benar, Ki. Kalau begitu..., siapa" Rasanya ti-
dak masuk akal orang luar membantu Raksasa Tua.
Bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan?"
Ki Blantaka terdiam. Disadarinya ada kebena-
ran juga dalam ucapan Dewa Arak. Dan mendadak dia
tersentak. "Ah...!" seru Perguruan Kalong Merah.
"Ada apa, Ki?" tanya Dewa Arak ketika merasakan adanya kegugupan dalam seruan Ki
Blantaka. "Aku ingat...! Leluhurku..., Kalong Merah miliki ilmu seperti itu. Memang! Dia
memiliki berbagai ilmu hitam yang tidak masuk akal, di samping ilmu silat
dan keahlian racunnya. Salah satu di antaranya ada-
lah ilmu sihir yang membuatnya mampu menguasai
batin seseorang, meskipun tanpa bertatap muka...."
"Berarti..., pelarian dari Perguruan Kalong Me-
rah telah berhasil mendapatkan ilmu-ilmu itu," potong Dewa Arak, tidak sabar.
"Kemungkinan besar juga demikian," jawab Ki Blantaka tidak berani memastikan.
Ada nada kekhawatiran dalam ucapan Ketua
Perguruan Kalong Merah ini. Tarikan wajahnya pun
menyiratkan kecemasan yang tidak dapat disem-
bunyikan. Kalau pelarian-pelarian dari perguruannya
itu berhasil mendapatkan ilmu itu, jelas ketenteraman dunia bakal goyah.
" Segera akan kucari mereka, Ki!"
Tanpa menunggu sambutan Ki Blantaka, Dewa
Arak segera meninggalkan tempat itu. Tujuannya Goa
Kalong seperti yang diceritakan Ki Blantaka.
Ki Blantaka hanya dapat menghela napas berat,
karena dia memang tak mungkin ikut Dewa Arak. Ke-
selamatan Dewa Baju Emas tampaknya tengah teran-
cam. Dan Ki Blantaka pun bersiap-siap memberi perto-
longan bila diperlukan.
Sementara, Melati begitu melihat kekasihnya


Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan tempat itu, segera menyusulnya. Se-
dangkan Ki Blantaka tidak bisa menahannya.
Dan begitu tatapan Ki Blantaka beralih ke arah
pertarungan, keadaan Dewa Baju Emas semakin ber-
tambah gawat. Bahkan beberapa kali ujung tombak
lawan menggores kulitnya, sehingga cukup membuat
darah mengalir. Dan karena lukanya cukup banyak,
sekujur tubuh Dewa Baju Emas kini telah dibanjiri aliran darah!
Sebenarnya luka-luka yang diderita Dewa Baju
Emas sama sekali tidak parah. Tapi karena tidak
mempunyai kesempatan untuk menghentikan aliran
darahnya, tenaganya jadi berkurang secara cepat.
"Akh!"
Dewa Baju Emas menjerit tertahan ketika kaki
lawan menghantam telak perutnya. Untung, bagian itu
telah lebih dulu dilindungi dengan tenaga dalam.
Meskipun demikian, tubuh Dewa Baju Emas
tak urung terjengkang jauh ke belakang dan tergulingguling di tanah dengan napas
sesak! Dan saat itulah, Raksasa Tua mengirimkan serangan susulan. Tombaknya
langsung diluncurkan ke arah leher Dewa Baju
Emas! Menyadari akan adanya bahaya maut terhadap
Dewa Baju Emas, Ki Blantaka tidak tinggal diam. Ce-
pat-cepat tubuhnya melesat. Langsung dipapaknya se-
rangan tombak itu dengan tongkatnya.
Trangngng! Bunga-bunga api seketika berpijar, karena sak-
ing kerasnya pertemuan antara dua senjata itu. Dan
akibatnya, tubuh Raksasa Tua terjengkang ke bela-
kang. Sedangkan, Ki Blantaka hanya terhuyung-
huyung tiga langkah. Dari sini bisa diukur kalau tena-ga dalam Ketua Perguruan
Kalong Merah ini berada
jauh di atas lawannya.
Namun baru saja, Ki Blantaka hendak mengi-
rimkan serangan susulan terhadap Raksasa Tua, tiba-
tiba sepasang matanya menangkap adanya sosok besar
di angkasa. Terpaksa Ketua Perguruan Kalong Merah
ini membatalkan maksudnya. Dan begitu pandangan-
nya diarahkan ke sana, sepasang mata Ki Blantaka
langsung terbelalak.
Ternyata di angkasa tampak seekor kalong rak-
sasa merah yang besarnya seukuran tubuh manusia,
tengah meluncur deras ke arahnya. Gigi-gigi runcing hewan malam yang meluruk
cepat ini tertuju ke arah
leher Ki Blantaka.
Tentu saja Ki Blantaka tidak ingin mati konyol.
Buru-buru serangan hewan itu dipapaknya, dengan
tusukan tombaknya ke arah perut.
Melihat serangan tombak, kalong raksasa itu
langsung membatalkan serangannya. Maka Ki Blan-
taka pun selamat dari maut. Namun, Ketua Perguruan
Kalong Merah ini tidak bernapas lega, karena Raksasa Tua telah melancarkan
serangan. *** Sementara itu, Dewa Arak telah tiba di sebuah
goa yang telah ditunjukkan Ki Blantaka. Goa Kalong.
Dewa Arak menatap goa di hadapannya seje-
nak, kemudian melangkah hati-hati, masuk ke dalam-
nya. Sekujur urat saraf dan otot tubuhnya menegang
waspada. Tampaknya, dia jelas siap menghadapi sega-
la kemungkinan.
Goa Kalong ternyata hanya mempunyai sebuah
lorong, dan tidak begitu panjang. Tak sampai sepuluh tombak, Dewa Arak telah
melihat adanya sinar terang
di depan. Bergegas pemuda berambut putih keperakan
ini mendekati. Ternyata, di dalam goa terdapat sebuah ruang-
an luas yang kanan kirinya tertutup dinding-dinding
tebing, namun bagian atasnya terbuka. Di sana tam-
paklah tiga sosok tengah duduk bersila, berjajar saling bergenggaman satu
tangan. Sepasang mata mereka dipejamkan. Tanpa berpikir lebih lama, Arya tahu
kalau mereka tengah menyatukan kekuatan untuk mengirimkan ilmu hitam! Pantas
saja, tadi Dewa Baju Emas
kelabakan! Agak tercekat hati Dewa Arak ketika melihat
kalau tiga sosok itu mengenakan topeng harimau pada
wajahnya. Hanya pakaian yang membedakan mereka.
Yang berpakaian hitam, berjuluk Harimau Baja. Se-
mentara yang berpakaian putih perak, berjuluk Hari-
mau Perak. Sedangkan yang berpakaian kuning emas
berjuluk Harimau Emas. Dan apabila mereka berga-
bung julukannya adalah Tiga Harimau Sakti!
"Keparat! Orang-orang seperti kalian tidak
layak dibiarkan hidup!" desis Dewa Arak begitu teringat akan tujuannya ke tempat
ini. Usai berkata demikian, Dewa Arak melompat.
Kemudian dari atas, laksana burung garuda mener-
kam mangsa, tubuhnya meluruk ke arah Tiga Harimau
Sakti. Wurrr! Deru angin keras yang mengawali tibanya se-
rangan Dewa Arak, membuat Tiga Harimau Sakti me-
nyadari akan adanya bahaya mengancam. Dan seketi-
ka mereka langsung bergerak, menyambut serangan
itu. Wut, wut, wut! Tak, tak, tak! Tubuh Tiga Harimau Sakti langsung terjeng-
kang ke belakang ketika tangan-tangan mereka ber-
benturan dengan tangan Dewa Arak. Seketika ketiga
orang itu terkejut bukan kepalang, karena tangan-
tangan mereka terasa sakit-sakit dan seperti lumpuh!
Demikian pula yang dialami Dewa Arak. Tu-
buhnya sampai terpental balik ke belakang, namun
dengan sebuah gerakan indah berhasil mendarat rin-
gan di tanah. Kali ini, Dewa Arak kalah cepat Karena Tiga Ha-
rimau Sakti sudah keburu melancarkan serangan,
menerjang dari tiga jurusan. Gerakan mereka cepat
bukan kepalang, sehingga serangan yang dikirimkan
menimbulkan bunyi deru mencicit
Wut, wut, wut! Tiga Harimau Sakti menyadari bahaya yang
mengancam. Dan seketika mereka pun langsung ber-
gerak, menyambut serangan itu .
*** 8 Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu
lagi. Dalam gerakan cepat, araknya segera dituang ke mulutnya.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Terdengar suara tegukan, ketika arak itu lewat
di tenggorokannya. Sebentar kemudian, langkah Dewa
Arak sudah terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Ge-
rakan lewat ilmu 'Belalang Sakti' itulah, Dewa Arak
berhasil membuat serangan lawan-lawannya kandas.
Gampang saja tubuhnya menyelinap di antara tubuh
lawan-lawannya.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa
Arak. Dengan jurus 'Belalang Mabuk', langsung dilan-
carkanya serangan balasan.
Dan kini pertarungan sengit pun terjadi.
Dahsyat dan mengiriskan. Masing-masing pi-
hak mengerahkan seluruh kemampuan. Gerakan-
gerakan Tiga Harimau Sakti begitu terarah, seperti terdiri dari satu pikiran.
Mereka dapat saling mengisi dan melindungi. Kalau saja Dewa Arak tidak
menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', sudah sejak tadi berhasil dirobohkan.
Lima puluh jurus telah lewat. Dan selama itu,
belum nampak tanda-tanda adanya pihak yang bakal
dirobohkan. Jalannya pertarungan masih berimbang,
dan saling berganti melancarkan serangan.
Menggiriskan setiap kali tokoh-tokoh ini melan-
carkan serangan. Bunyi mendecit, menderu, dan men-
gaung langsung terdengar mengisi tiap ruang dan wak-
tu. Tanah pun terbongkar di sana-sini, memporakpo-
randakan sekitarnya.
Di jurus kelima puluh tiga, bagai telah berse-
pakat sebelumnya, Tiga Harimau Sakti mendadak
menghentikan gerakan masing-masing. Kemudian me-
reka melangkah mundur, sehingga membuat Dewa
Arak heran. "Mengapa Tiga Harimau Sakti menghentikan
penyerangannya?" tanya Dewa Arak dalam hati.
Pendekar muda yang menggemparkan dunia
persilatan ini pun menghentikan gerakannya. Diperha-
tikannya dengan seksama semua tindakan Tiga Hari-
mau Sakti. Sementara itu, Tiga Harimau Sakti malah ber-
diri berjajar dengan tangan saling bergandengan satu sama lain. Yang berada di
kiri dan kanan segera mencabut ganco yang terselip di pinggang. Sedangkan yang
berada di tengah tetap menancapkan ganconya di
pinggangnya. Laki-laki yang berada di sebelah kiri mengha-
dapkan ujung ganconya ke bumi. Sedangkan yang di
sebelah kanan ke langit. Sementara, dari mulut-mulut mereka keluar gumaman-
gumaman yang asing di telinga. Sulit dimengerti, dan sulit ditangkap secara
jelas. Semakin lama, suara itu semakin cepat dan keras diucapkan.
Semula Dewa Arak merasa heran melihat ting-
kah lawan-lawannya. Tapi, sebentar kemudian ber-
ganti kaget, ketika pemuda berambut putih keperakan
ini merasakan perubahan pada suasana di sekitarnya.
Semula suasana cerah. Tapi beberapa saat kemudian,
seiring semakin keras dan cepatnya gumaman-
gumaman aneh yang keluar dari mulut Tiga Harimau
Sakti, tiba-tiba saja langit berubah gelap pekat. Awan hitam tampak bergumpal-
gumpal. Angin pun berhembus kencang, membawa hawa dingin yang mampu
membuat orang sesakti Dewa Arak meremang bulunya!
Bahkan keadaan seperti itu masih ditingkahi kilat yang menyambar-nyambar.
Dewa Arak agak gugup menghadapi kenyataan
ini. Apalagi ketika sekujur tubuhnya terasa mulai lemas. Sekujur otot, urat, dan
tulang-belulangnya seper-ti lumpuh, sehingga tenaga dalamnya tidak mampu di-
kerahkan. "Sihir...!" desis hati Dewa Arak ketika mulai menyadari adanya ketidakberesan
ini. Setelah menyadari kalau semua keanehan ini
tercipta karena pengaruh sihir, Dewa Arak pun menge-
rahkan kekuatan batinnya untuk melawannya. Selu-
ruh perhatianya dipusatkan, maka pertarungan yang
aneh pun berlangsung. Tiga Harimau Sakti yang ber-
gandengan tangan sambil mengucapkan rangkaian ka-
ta-kata dalam nada dan ketinggian berganti-ganti, sementara Dewa Arak yang
berdiri tegak dengan kedua
tangan terlipat di bahu dan mata dipejamkan serta kepala ditundukkan.
Dewa Arak berusaha sekuat tenaga memu-
satkan tenaga batinnya, sehingga sekujur wajahnya
dipenuhi keringat sebesar-besar jagung. Namun, tetap saja usahanya sia-sia. Dan
semua keanehan itu tetap saja tidak mampu diusirnya.
Dewa Arak memang belum menyadari kesala-
han yang diperbuatnya. Dan inilah yang menjadi pe-
nyebab ketidakberhasilan nya dalam mengusir penga-
ruh yang ditimbulkan lawan. Dia baru mulai menga-
dakan perlawanan, di saat tindakan lawan telah mem-
pengaruhinya. Dan seiring kegagalan usaha perlawanan Dewa
Arak, pengaruh ilmu Tiga Harimau Sakti pun semakin
menjadi-jadi. Pemuda itu mulai menggigil kedinginan, karena angin dingin yang
berhembus membawa butir-butir es yang kemudian menempel di tubuhnya.
Di saat-saat terakhir, ketika tubuhnya sudah
tidak berdiri tegak lagi, Dewa Arak teringat gucinya.
Maka seluruh sisa-sisa kemampuan yang dimilikinya
segera dikerahkan untuk mengambil gucinya yang ter-
sampir di punggung. Dan begitu berhasil meng-
genggam guci araknya, buru-buru dituangkannya ke
mulut. Gluk.... Gluk... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu mele-
wati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya me-
nuju ke perut. Sesaat kemudian, hawa hangat pun
berputaran di sekitar perutnya. Lalu, hawa panas itu perlahan-lahan naik ke
atas. Dan seketika kedudukan
kaki Dewa Arak pun mulai tidak tetap lagi, oleng sana oleng sini.
Pada saat itu, perkataan-perkataan Tiga Hari-
mau Sakti terdengar semakin cepat dan keras di telin-ga Dewa Arak. Bahkan
seperti suara dalam kepalanya.
"Arrrggghhh...!"
Dalam usahanya untuk menghilangkan suara
Tiga Harimau Sakti yang seperti telah memenuhi isi
kepalanya, Dewa Arak meraung keras, sehingga mem-
buat suasana di sekitar tempat itu seperti bergetar.
Dan memang sungguh dahsyat raungan Dewa
Arak. Akibatnya, tubuh Tiga Harimau Sakti langsung
terjengkang ke belakang. Di sudut mulut mereka meni-
tik darah segar. Rupanya, Tiga Harimau Sakti terluka dalam cukup parah, akibat
raungan Dewa Arak yang
dikerahkan lewat tenaga dalam penuh.
Mendapat kenyataan ini, Tiga Harimau Sakti ti-
dak menjadi gentar. Mereka kembali tegak dan bersiap mengadakan perlawanan
kembali. Namun pada saat
yang sama, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat,
dan mendarat di sebelah Dewa Arak. Ternyata, mereka
adalah Ki Blantaka dan Melati.
Melati tadi memang sempat kehilangan jejak
Dewa Arak, sehingga tersesat. Untung gadis itu dalam pencariannya bisa bertemu
Ki Blantaka. "Bagaimana dengan Raksasa Tua, Ki?" tanya
Dewa Arak, ingin tahu.
' Tewas!" jawab Ketua Perguruan Kalong Merah
singkat. Sepasang mata laki-laki tua itu diarahkan pada Tiga Harimau Sakti. Dia
tahu, wajah di balik topeng itu
adalah adik-adik seperguruannya.
"Sebelum terlambat, lebih baik kalian ikut ber-
samaku ke perguruan untuk mempertanggung-
jawabkan semua perbuatan kalian...."


Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** "Haaat..!"
Teriakan keras Tiga Harimau Sakti, menjadi ja-
waban atas tawaran yang diajukan Ki Blantaka. Mau
tidak mau, Ketua Perguruan Kalong Merah itu me-
nyambutnya dengan kekerasan pula.
Tentu saja Dewa Arak dan Melati tidak tinggal
diam. Maka pertarungan pun terpecah menjadi tiga
bagian. Dewa Arak menghadapi Harimau Emas. Ki
Blantaka berhadapan dengan Harimau Perak, se-
dangkan Melati bertarung dengan Harimau Baja. Mas-
ing-masing pihak mengerahkan seluruh kemampuan
yang dimiliki. Sementara itu Harimau Emas dan Dewa Arak
telah terlibat dalam pertarungan sengit. Pelarian Perguruan Kalong Merah yang
memiliki kemampuan pal-
ing hebat dibanding rekan-rekannya itu melancarkan
serangan bertubi. Bahkan saat itu, mengirimkan se-
buah tendangan kaki kanan miring ke arah leher.
Wuttt! Deru angin keras yang terdengar, menjadi per-
tanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung di da-
lamnya. Dewa Arak pun menyadarinya, sehingga tidak
berani bertindak sembrono. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil
mendoyongkan tubuh. Sehingga,
kaki Harimau Emas hanya mengenai tempat kosong.
Dan begitu serangan lawan berhasil dikan-
daskan, Dewa Arak meluncurkan tangan kirinya untuk
menangkap pergelangan kaki Harimau Emas yang be-
lum sempat ditarik kembali.
Tappp! Tangkapan Dewa Arak hanya mengenai tempat
kosong, karena Harimau Emas telah lebih dulu mena-
rik kakinya. Bahkan laki-laki berpakaian kuning emas itu langsung mengirimkan
serangan balasan yang tak
kalah dahsyat. Tangannya langsung dikibaskan, se-
hingga segundukan angin keras meluncur ke arah De-
wa Arak. Untungnya Dewa Arak tidak gugup. Maka be-
gitu merasakan adanya sambaran angin keras yang
mampu membuat tubuhnya bertumbangan, langsung
tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua kakinya. Se-
hingga, kedua kaki Dewa Arak seperti berakar dengan
bumi. Maka begitu angin keras menghantam tubuh-
nya, Dewa Arak sama sekali tidak bergeming. Hanya
rambut dan pakaiannya yang berkibaran keras, men-
jadi pertanda kalau pemuda berambut putih kepera-
kan itu baru saja dilanda segundukan angin keras.
Melihat serangannya sama sekali tidak mem-
buahkan hasil yang diharapkan, Harimau Emas men-
jadi geram bukan kepalang.
"Keparat! Pantas kau berani bersikap kurang
ajar, Monyet Kecil! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian! Baik, kulayani
kemauanmu! Hih!"
Kali ini pelarian dari Perguruan Kalong Merah
itu tidak segan-segan lagi melancarkan serangan.
Langsung saja dikirimkan sebuah tendangan kaki ka-
nan lurus ke arah dada Dewa Arak.
Wuttt! Deru angin keras yang mengiringi tibanya se-
rangan menjadi pertanda betapa kuatnya tenaga yang
tersalur di dalamnya.
Tapi, Dewa Arak tetap bertindak tenang. Kaki
kanannya segera ditarik ke belakang, seraya mencon-
dongkan tubuh. Dia tahu, meskipun hanya bertindak
demikian, serangan Harimau Emas telah dapat dielak-
kannya. Namun betapa kagetnya hati pemuda berambut
putih keperakan itu, ketika melihat kaki Harimau
Emas tetap meluncur ke arah dadanya. Padahal, dia
telah melangkah mundur! Hal ini membuat Dewa Arak
sedikit gugup, walau hanya sebentar saja. Maka den-
gan agak tergesa-gesa, Dewa Arak masih sempat men-
jejakkan kakinya, sehingga tubuhnya terlempar ke be-
lakang. Wuttt! Tendangan Harimau Emas meluncur beberapa
jari di bawah kaki Dewa Arak. Terlambat sedikit saja, kaki pelarian Perguruan
Kalong Merah itu akan lebih
dulu bersarang di anggota tubuh Dewa Arak.
Jliggg! Setelah terlebih dulu bersalto beberapa kali di
udara, Dewa Arak mendaratkan sepasang kakinya di
tanah dengan mantap. Dan secepat itu pula, dia ber-
siap untuk menghadapi serangan lawan selanjutnya.
Namun ternyata, Harimau Emas belum melan-
carkan serangan susulan. Malah, sekujur tubuh Dewa
Arak dirayapinya penuh selidik.
Sementara itu, Dewa Arak tidak berani bertin-
dak sembrono lagi. Dewa Arak tahu, mengapa kaki la-
wan tetap mengejar. Pasti karena pelarian Perguruan
Kalong Merah itu memiliki ilmu yang membuat kaki
atau tangannya dapat memanjang.
Kesimpulan yang didapat Dewa Arak ini, tidak
dilakukan secara sembarangan. Dewa Arak tahu, me-
mang ada ilmu semacam itu di dunia persilatan. Bah-
kan Melati pun memilikinya. Sehingga tangannya bisa
dipanjangkan hampir dua kali lipat, ketika jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku',
telah dikeluarkannya.
Tapi Dewa Arak tidak bisa terlalu lama tengge-
lam dalam alun pikiran itu. Lawan di hadapannya
memang teramat tangguh. Kalau bertindak sembrono,
nyawa taruhannya.
Sementara Harimau Emas sendiri rupanya su-
dah merasa cukup memperhatikan lawannya. Dan se-
karang, dia mulai bersiap membuka serangan kembali.
"Kau cukup hebat, Anak Muda. Rasanya pantas
untuk menjadi lawanku," puji Harimau Emas dingin.
"Tapi jangan berbangga hati dulu. Sekarang, kau ber-siaplah, Anak Muda. Aku akan
memulai pertarungan
yang sebenarnya. Hadapilah ilmu 'Tinju Topan dan Ge-
ledek'-ku ini!"
Usai berkata demikian, Harimau Emas itu me-
nyilangkan kedua tangannya yang terkepal erat di de-
pan dada. Kemudian dengan gerakan perlahan-lahan
tapi penuh tenaga, kedua tangannya ditarik ke sisi
pinggang. Bunyi berkerotokan seperti ada tulang-
tulang berpatahan, mengiringi gerakan tangan itu.
Melihat hal ini, Dewa Arak tidak berani main-
main. Disadari kalau ilmu yang akan dikeluarkan la-
wan ini amat dahsyat. Maka, guci arak yang tergan-
tung di punggung segera diraihnya, kemudian ditua-
ngkan ke mulut Gluk... Gluk... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu mele-
wati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya me-
nuju ke perut. Ada hawa hangat menyebar di sana.
Kemudian secara perlahan-lahan, hawa itu naik ke
atas. Sesaat kemudian, sepasang kaki pemuda beram-
but putih keperakan itu pun oleng. Kini Dewa Arak telah siap mempergunakan ilmu
'Belalang Sakti'.
Semua gerak-gerik Dewa Arak tidak luput dari
perhatian Harimau Emas. Tampak ada kerutan pada
kedua alis pelarian Perguruan Kalong Merah itu, me-
nandakan keheranannya.
Tapi Harimau Emas tidak membiarkan pera-
saan bingung terus bermain-main dalam benaknya.
Dia dapat menduga, pasti ilmu yang akan dikeluarkan
Dewa Arak adalah sebuah ilmu andalan. Memang tidak
sedikit ilmu yang kelihatannya aneh, tapi di dalamnya terkandung kedahsyatan
mengiriskan! Seiring timbulnya pikiran seperti itu, Harimau
Emas pun memusatkan perhatian pada ilmu yang ten-
gah dikeluarkannya. Kemudian....
"Haaat..!"
Diawali sebuah teriakan keras menggeledek
yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar
hebat, Harimau Emas mulai melancarkan serangan
pembukaan. Tak tanggung-tanggung lagi, langsung di-
kirimkannya pukulan tangan kanan kiri bertubi-tubi
ke arah dada Dewa Arak. Bunyi ledakan keras seperti
ada halilintar menyambar-nyambar mengiringi melun-
curnya serangan.
Memang kelihatannya berbahaya bukan kepa-
lang serangan Harimau Emas. Karena di samping diali-
ri tenaga dalam dahsyat, juga meluncur dengan kece-
patan menakjubkan.
Tapi orang yang diserang memang telah siap
dengan penggunaan ilmu 'Belalang Sakti' -nya. Tanpa
menemui kesulitan sedikit pun, Dewa Arak berhasil
membuat serangan itu kandas dengan gerakan seperti
orang akan jatuh.
Karuan saja hal itu membuat Harimau Emas
penasaran bukan kepalang. Segera disusulinya dengan
serangan berikut yang tidak kalah dahsyat. Dan seper-ti juga serangan
pertamanya, kali ini pun bunyi meledak-ledak timbul, seiring meluncurnya
serangan. Per- tarungan dahsyat dan menarik pun, tidak bisa dihin-
darkan lagi. Harimau Emas benar-benar dipaksa mengelua-
rkan seluruh kemampuannya yang bertubi-tubi dan
susul-menyusul. Namun semua itu berhasil dikan-
daskan lawan dengan gerakan aneh, bahkan berlang-
sung sampai lima jurus!
Kegagalan demi kegagalan serangannya, mem-
buat pelarian Perguruan Kalong Merah itu penasaran
bukan kepalang. Apalagi, sampai saat itu Dewa Arak
belum melancarkan serangan balasan. Tentu saja ini
membuatnya merasa diremehkan. Dalam cekaman ra-
sa penasaran dan marah, Harimau Emas langsung
mengeluarkan jurus-jurus inti ilmu 'Tinju Topan dan
Geledek'! "Hih!"
Laksana gasing, tubuh Harimau Emas berpus-
ing. Dan ketika telah melihat sasaran, kedua tangan dan kakinya mencuat dari
balik putarannya. Jelas ini serangan berbahaya, karena meluncurnya sama sekali
tidak disangka-sangka.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang melihat pe-
rubahan serangan lawannya. Dan patut diakui, ilmu
itu memang luar biasa! Keadaan tubuh Harimau Emas
yang berputaran, membuat Dewa Arak sulit melancar-
kan serangan. Sebaliknya, Harimau Emas enak saja
melancarkan serangan. Dengan sendirinya, kedudukan
pelarian Perguruan Kalong Merah jadi lebih mengun-
tungkan. Untung saja Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang
Sakti' yang ajaib, sehingga mampu melakukan gerakan
sesulit apa pun, dalam keadaan bagaimanapun. Den-
gan jurus 'Delapan Langkah Belalang', yang merupa-
kan kumpulan dari langkah-langkah khas untuk
menghindari serangan, jelas membuat heran orang
yang menyaksikannya.
Berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti' itu-
lah, Dewa Arak mampu menghindari setiap serangan
Harimau Emas hingga lebih dari sepuluh jurus! Kenya-
taan ini membuat bulu kuduk pelarian Perguruan Ka-
long Merah meremang! Selama hidupnya, belum per-
nah ditemukan ada seorang lawan pun yang mampu
memusnahkan serangannya hanya dengan mengelak.
Apalagi selama sepuluh jurus! Bahkan Sangga Buana,
pemilik Pulau Es saja tidak mampu bertindak seperti
ini! Tidak aneh kalau hal itu membuat Harimau
Emas semakin kalap. Maka kedahsyatan serangannya
pun terus ditingkatkan.
Akibatnya langsung diterima Dewa Arak. Dira-
sakannya, betapa tekanan serangan-serangan lawan
semakin dahsyat. Apabila diumpamakan ombak, maka
itulah ombak setinggi bukit yang menyerangnya.
Dan memang kelihatannya Dewa Arak berada
dalam keadaan mengkhawatirkan. Yang dilakukannya
hanya terus-menerus mengelak.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Hal ini ti-
dak aneh, karena kedua belah pihak sama-sama me-
miliki gerakan cepat. Bahkan, tak terasa pertarungan telah berlangsung lima
belas jurus. Dan selama ini,
Dewa Arak masih mengandalkan keistimewaan ilmu
meringankan tubuh 'Belalang Sakti', dan jurus
'Delapan Langkah Belalang' untuk mematahkan setiap
serangan lawan.
Tapi begitu pertarungan telah lewat lima belas
jurus, Dewa Arak memutuskan untuk merubah cara
bertarungnya! *** "Hih!"
Wuttt! Diiringi bunyi menderu keras, tinju kanan Hari-
mau Emas mencuat dari dalam putaran tubuhnya. Tak
tanggung-tanggung lagi, sasaran yang dituju adalah
ubun-ubun, tempat yang mematikan di tubuh manu-
sia! Sementara Dewa Arak benar-benar melaksana-
kan rencananya. Begitu melihat kepalan Harimau
Emas meluncur, langsung dipapaknya dengan tinju
kanan pula. Bahkan tanpa ragu-ragu lagi, seluruh te-
naga dalamnya dikeluarkannya dalam pengerahan ju-
rus 'Tenaga Sakti Inti Matahari'!
Wuttt! Hawa panas menyengat menyebar seiring me-
luncurnya tinju Dewa Arak. Itu pun masih ditambah
adanya kepulan asap tipis dari sekujur tubuhnya. Se-


Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat kemudian....
Dukkk! Dahsyat bukan kepalang benturan yang terjadi
antara dua kepalan yang sama-sama dialiri tenaga da-
lam tinggi. Bunyi menggelegar laksana halilintar me-
nyambar langsung terdengar! Akibat selanjutnya, tu-
buh dua tokoh sakti itu sama-sama terpental ke bela-
kang. Tapi dengan sebuah gerakan manis, baik Dewa
Arak maupun Harimau Emas mampu mematahkan
kekuatan yang membuat tubuh terhuyung-huyung.
Dan di saat tengah berada di udara, Dewa Arak cepat
menghentakkan kedua tangannya menggunakan jurus
'Pukulan Belalang'!
Wusss! Bresss! "Aaakh...!"
Harimau Emas kontan menjerit menyayat keti-
ka pukulan jarak jauh Dewa Arak menghantam telak
dadanya. Tubuhnya langsung melayang deras ke bela-
kang seperti daun kering dihembus angin. Saat itu ju-ga, nyawanya melayang ke
alam baka dengan tubuh
gosong. Ringan tanpa suara, Dewa Arak mendaratkan
kedua kakinya di tanah. Pandangannya dialihkan ke
arah Melati dan Ki Blantaka yang telah menyelesaikan pertarungan. Memang tanpa
Harimau Emas, Harimau
Baja, dan Harimau Perak lebih cepat dikalahkan. Ka-
rena pada dasarnya, ketiga tokoh sesat itu akan ber-
bahaya bila telah bersatu. Kini Harimau Baja dan Ha-
rimau Perak tergolek lemah, dengan luka dalam yang
parah. Tampak Ki Blantaka menundukkan kepala
dengan tarikan wajahnya menyiratkan kesedihan.
Dengan gerak isyarat, Dewa Arak mengajak Melati me-
ninggalkan tempat itu. Dia tahu, saat ini Ki Blantaka ingin menyendiri.
"Di mana mereka menyimpan Perawan-Perawan
Persembahan itu, Melati?" tanya Dewa Arak ketika bermaksud mencari perawan-
perawan yang konon untuk persembahan Tiga Harimau Sakti dalam menuntut
ilmu sihir. "Tadi waktu aku bertemu Ki Blantaka, dia ber-
cerita kalau perawan-perawan itu memang telah dibu-
nuh Tiga Harimau Sakti, untuk persembahan. Jadi ki-
ta memang tidak bisa menyelamatkan mereka!" jelas
Melati. "Dari mana Ki Blantaka tahu hal itu?"
"Sebelum tewas di tangan Ki Blantaka, Raksasa
Tua mengakui terus terang kalau yang bertindak seba-
gai algojonya adalah dia sendiri."
"Hhh...."
Dewa Arak hanya menarik napas penuh sesal,
karena tidak sempat menyelamatkan Perawan-Perawan
Persembahan itu.
"Yah.... Mudah-mudahan arwah mereka diteri-
ma di sisi-Nya," desah Dewa Arak.
Dan kedua pendekar muda itu terus melang-
kah, keluar goa. Dan sekarang yang tinggal hanya Ki
Blantaka seorang!
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Perawan Lembah Wilis 14 Dewi Ular 30 Tumbal Cemburu Buta Kesatria Baju Putih 9
^