Pencarian

Perempuan Pembawa Maut 1

Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut Bagian 1


PEREMPUAN PEMBAWA MAUT
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Perempuan Pembawa Maut
128 hal. ; 12 x18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Suara senandung gembira keluar dari mulut seorang
kakek bertubuh tinggi kurus, dan berpakaian longgar
berwarna putih. Kakek ini tengah duduk di pinggir sungai.
Sebatang joran tergenggam di tangan kanannya.
Mendadak kakek tinggi kurus itu menarik jorannya.
Tampak seekor ikan berkelojotan. Sebetulnya, joran milik kakek ini tidak layak
disebut joran karena tanpa tali, pelampung bahkan mata kail. Hanya sebatang kayu
yang dibuat mirip joran.
Sambil bersiul-siul, kakek tinggi kurus itu meraih
ikan yang menggeliat di ujung joran, Lalu dimasukkannya ke dalam
keranjang kecil yang telah berisi ikan hasil tangkapannya. Ketika dia bermaksud memasukkan jorannya ke dalam air, mendadak
gerakan tangannya dihentikan, lalu ditolehkan kepalanya ke belakang.
"Sumini...," desah kakek tinggi kurus itu dengan tarikan wajah menyiratkan
kecemasan. Belum juga gema ucapannya lenyap, kakek itu sudah
bangkit secara cepat. Joran dan keranjang berisi ikan tangkapannya tidak
dipedulikan lagi. Kemudian dengan sekali lesatan, dia telah berada dalam jarak
belasan tombak dari tepi sungai.
Dengan kecepatan yang tidak mengendur, kakek
tinggi kurus itu melesat Tubuhnya yang terbalut pakaian putih sekejap saja telah
lenyap. Kini yang tampak hanya kelebatan bayangan putih melesat menuju sebuah
bangunan yang berada tak jauh dari sungai tempatnya memancing.
"Sumini...," untuk yang kedua kalinya si Kakek tinggi kurus menyebutkan nama
itu. Namun kali ini dengan sorot mata menyiratkan keterkejutan.
Beberapa tombak di hadapan kakek tinggi kurus itu
tampak empat sosok yang tengah menuju ke arahnya.
"Kakek...!"
Salah seorang dari keempat sosok, berseru memanggil
si Kakek tinggi kurus. Dia seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun.
Wajahnya cantik. Tubuhnya yang ramping
terbalut pakaian kuning.
"Sumini...!"
Kakek tinggi kurus berseru penuh kecemasan seraya
melangkah maju. Namun langkahnya langsung terhenti
karena salah satu dari tiga orang yang berada bersama Sumini segera menariknya
ke belakang, dan dua sosok lagi melangkah
ke depan. Ketiganya menunjukkan sikap bermusuhan, bahkan siap bertarung.
"Selangkah lagi kau maju, gadis ini akan kehilangan nyawanya, Jaya Katwang!"
ancam lelaki berkepala botak dan beralis tebal. Dadanya yang terbuka
memperlihatkan bulu tebal dan hitam.
"Siapa kalian" Dan apa maksud kalian dengan semua ini?"
Kakek tinggi kurus yang bernama Jaya Katwang tidak
berani bergeming dari tempatnya karena menyadari kesungguhan ancaman itu. Matanya dengan tajam merayapi tiga lelaki berwajah
kasar itu satu persatu, terutama sekali kepada lelaki berkepala botak dan
rekannya yang bertubuh pendek kekar. Karena kedua orang inilah yang berdiri
paling depan. "He he he...!" lelaki pendek kekar yang mengenakan rompi merah
tertawa terkekeh. "Tindakanmu memang
bijaksana, Jaya Katwang. Kau langsung berbicara pada pokok persoalan. Maka kami
pun tidak mau berpanjang kata lagi. Cepat, serahkan pusaka peninggalan Raja
Pedang Langit Bumi, kalau ingin gadis ini selamat!"
Wajah Jaya Katwang langsung berubah hebat.
"Apakah aku tidak salah dengar" Mengapa kalian
meminta padaku" Apa hubungannya aku dengan Raja
Pedang Langit Bumi?"
Brettt! "Awww...!"
Sumini memekik ketakutan ketika lelaki bermuka
hitam yang menyanderanya, merenggut pakaiannya sehingga sobek! Dua buah bukit
kembar pun mencuat menantang.
Indah dan menggiurkan.
"Kau lihat, Jaya Katwang"!" tanya lelaki berkepala botak, tenang tapi penuh
ancaman. "Kami tidak hanya bergurau! Apabila tak kau serahkan pusaka-pusaka itu,
gadis ini akan ditelanjangi oleh kawanku dan diperkosanya sampai mati di
depanmu!" Jaya Katwang tidak langsung memberikan tanggapan.
Ditatapnya Sumini dan tiga lelaki kasar itu sesaat dengan sorot mata menyiratkan
kebingungan yang tidak dapat
disembunyikan. "Hhh.... Baiklah," ujar Jaya Katwang setelah menghembuskan napas berat. Disadari tidak ada lagi pilihan lain baginya. "Aku
akan memberikan pusaka itu pada kalian.
Tapi, harap bebaskan gadis itu dulu."
"Kau bersumpah tak akan mengingkari janjimu, Jaya Katwang?" ujar lelaki pendek
kekar, tidak percaya
"Aku bersumpah demi arwah leluhurku, dan majikanku yang mulia, Raja Pedang Langit Bumi!" tandas Jaya Katwang mantap.
Wajah ketiga lelaki kasar langsung berseri. Mereka
tahu Jaya Katwang tidak akan berani mengingkari janjinya.
Maka tanpa ragu-ragu, lelaki berwajah
hitam segera membebaskan totokannya pada Sumini dan mendorong
tubuh gadis itu.
Jaya Katwang bergegas melangkah maju dan menangkap tubuh Sumini Namun, gadis berpakaian kuning itu langsung melepaskan
diri. Dan setelah merapikan
pakaiannya sebentar, dipukulkan tinju kanannya ke perut lelaki berkepala botak
yang kebetulan berada paling dekat dengannya.
Blegkh! "Heh..."!"
Tangan Sumini mengenai perut yang lunak seolah-
olah tenaganya amblas ke dalam air. Dan sekali, lelaki berkepala
botak itu mengibaskan tangan secara sembarangan, tubuh Sumini terhuyung-huyung ke belakang seperti dihempaskan angin
badai! Untung Jaya Katwang bertindak cepat menangkap
tubuh Sumini yang meluncur ke arahnya.
"Ha ha ha...!" lelaki berkepala botak tertawa bergelak bernada meremehkan.
"Itulah akibatnya bagi orang yang berani menyerang Kerbau Bertenaga Raksasa! Ha
ha ha...! "
Seketika wajah Jaya Katwang berubah. Pernah
didengarnya julukan Kerbau Bertenaga Raksasa. Seorang tokoh penting golongan
hitam yang dulu pernah dikalahkan Raja Pedang Langit Bumi!
"Hm.... Lelaki berkepala botak ini yang mempunyai julukan seperti itu," gumam
Jaya Katwang dalam hati Berbeda dengan Jaya Katwang, Sumini tidak pernah
mendengar julukan Kerbau Bertenaga Raksasa, maka dia tidak merasa kaget sama
sekali. Meskipun demikian, dari serangan yang dilakukan tadi telah
menyadarkannya kalau lelaki berkepala botak itu memiliki kepandaian yang tak
bisa diremehkan.
Dirinya jelas bukan apa-apanya jika dibandingkan tokoh ini. Maka, begitu berhasil ditangkap Jaya Katwang, dia
langsung menyerang lelaki berompi merah.
"Sumini! Lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan lemas, berlututlah!" seru
lelaki berompi merah ketika gedoran kedua tangan Sumini hampir mengenai dadanya.
Akibatnya benar-benar seperti yang dikatakan. Sumini merasakan sekujur tubuhnya lemas. Tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya
ambruk, dan berlutut di depan lelaki berompi merah.
Sebagai seorang yang telah memiliki kepandaian
tinggi, Jaya Katwang tahu kalau lelaki berompi merah itu pasti seorang yang ahli
dalam ilmu sihir. Dia sadar kalau dalam ucapan itu terkandung kekuatan aneh yang
mampu mempengaruhi orang yang dituju. Maka sebelum kejadian lebih buruk menimpa
Sumini, dia langsung berkelebat dan berdiri di depan gadis itu, bersiap untuk
memberikan perlindungan.
"Aku telah berjanji untuk memberikan pusaka-pusaka yang kalian minta. Untuk apa
kalian masih mencelakainya.
Jangan kalian lakukan kalau tak ingin aku terpaksa menjilat ludahku sendiri!"
tandas Jaya Katwang, tegas.
"Ha ha ha...!"
Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa terbahak-bahak.
"Jangan salah duga, Jaya Katwang! Kami tidak
bermaksud mencelakai gadis ini. Dan kurasa kau pun
mengetahuinya pula. Gadis itu sendiri yang telah menyerang kami. Kami tidak
melakukan apa pun yang membahayakan nyawanya. Dan tentu saja akan dapat kami
cabut dengan mudah kalau dikehendaki...."
Jaya Katwang tidak bisa berkata apa-apa lagi ka rena dia pun tahu kalau Sumini
yang melakukan penyerangan terlebih dahuhi. Sedangkan lelaki berkepala botak dan
lelaki berompi merah yang diduganya sebagai Raja Sihir Berbaju Merah, hanya
membela diri. Karena itu, tanpa banyak cakap ditariknya Sumini agar bangun.
"Tidak ada gunanya melawan mereka, Sumini," ujar Jaya Katwang dengan suara
perlahan, memberi tahu Sumini.
Sumini tidak memberikan jawaban sama sekali.
Namun dari sikapnya yang hanya diam, jelas kalau gadis itu pun menyadari
kebenaran ucapan Jaya Katwang. Hanya
tarikan wajah dan sorot matanya yang menyiratkan kebencian. Rasa penasaran dan sakit hati masih bersarang di hatinya.
"Cepat berikan pusaka-pusaka itu, Jaya Katwang!
Kami sudah tak sa bar lagi menunggu. Jangan tunggu sampai kami kehilangan
kesabaran!" tandas lelaki berwajah hitam yang berjuluk Setan Ular Karang.
Jaya Katwang menghela napas berat seraya menatap
wajah Setan Ular Karang sesaat. "Kalau begitu, mari ikut aku!"
Dengan sikap waspada dan agak bergegas tiga
pentolan golongan hitam itu mengikuti Jaya Katwang dan Sumini yang melangkah
lebih dulu. Sesampainya di depan
pintu sebuah bangunan
sederhana tempat kediamannya, Jaya Katwang menghentikan langkah.
"Kalian tunggu sebentar di sini! Karena tempat tinggal pusaka majikanku tidak
boleh dimasuki orang lain kecuali keturunannya. Dan kalau kalian memaksa,
biarlah aku bertindak bodoh dengan melawan kalian, setelah terlebih dulu kubunuh dia!" ucap
kakek tinggi kurus itu seraya meletakkan tangan kanannya di ubun-ubun Sumini.
Kerbau Bertenaga Raksasa, Setan Ular Karang, dan
Raja Sihir Berbaju Merah saling pandang sejenak. Lalu, perlahan Kerbau Bertenaga
Raksasa menganggukkan kepala, menyetujui. Rupanya, lelaki berkepala botak ini
secara tidak langsung telah didaulat rekan-rekannya untuk menjadi juru bicara.
"Kami tidak keberatan dengan usulmu itu, Jaya
Katwang. Tapi, Sumini tidak boleh kau ajak serta! Ingat, kalau kau berani
bertindak macam-macam gadis
ini menerima akibatnya!" tandas Kerbau Bertenaga Raksasa mengancam.


Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa memberikan tanggapan sedikit pun, Jaya
Katwang melangkah masuk.
"Kau tunggu di sini, Sumini!" ujar Jaya Katwang sambil menoleh ke arah Sumini.
Sebelum Sumini memberikan jawaban, Setan Ular
Karang telah berdiri di sebelahnya, bersiap untuk mencegah gadis berpakaian
kuning itu melarikan diri. Sumini tidak berani berkutik. Dia menyadari tiga
tokoh golongan hitam itu tidak segan-segan melakukan tindakan mengerikan apabila
berani melakukan sesuatu yang mencurigakan mereka.
*** "Lepaskan gadis itu dulu, baru pusaka ini akan
kuserahkan," seru Jaya Katwang begitu muncul di ambang pintu dengan sebuah
buntalan kain lusuh berwarna kuning.
Tanpa memberikan bantahan sedikit pun, Setan Ular
Karang langsung mendorong tubuh Sumini. Gadis berpakaian kuning itu pun menghambur ke arah Jaya
Katwang. "Terima ini...!"
Sambil berkata demikian, Jaya Katwang melemparkan
buntalan kuning yang dijinjingnya. Lalu tangannya digunakan untuk memeluk Sumini.
Mereka saling berlomba, Setan Ular Karang, Kerbau
Bertenaga Raksasa, dan Raja Sihir Berbaju Merah mengururkan tangan untuk menyambuti. Namun, karena
Setan Ular Karang yang berada paling dekat dengan Jaya Katwang, dialah yang
berhasil menangkapnya. Tapi....
"Setan Ular Karang berikan padaku!"
Pada saat yang bersamaan dengan itu, Kerbau
Bertenaga Raksasa mengirimkan serangan berupa sapuan kaki kanan ke arah sepasang
kaki Setan Ular Karang.
Namun rupanya tokoh sesat bermuka hitam itu telah
menduga. Dia segera melompat ke atas, kemudian ujung kakinya menendang ke arah
tenggorokan Kerbau Bertenaga Raksasa.
"Ukh...!"
Lelaki botak bertelanjang dada itu terpekik kaget.
Kemudian melompat ke belakang untuk menghindarkan
serangan itu. Setan Ular Karang memang berhasil memaksa Kerbau
Bertenaga Raksasa untuk mundur. Namun saat itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Sihir Berbaju Merah untuk merampas
buntalan kain kuning.
Brettt! "Keparat!"
Setan Ular Karang memaki penuh perasaan geram
melihat buntalan yang berisi pusaka peninggalan Raja Pedang Langit Bumi
berpindah tangan.
Namun, di saat tubuh Raja Sihir Berbaju Merah masih
berada di udara, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih memapaki. Lelaki
berompi merah ini langsung mengetahui adanya ancaman terhadap buntalan di
tangannya. Dan karena dua rekannya masih belum mungkin melakukan hal itu, pelakunya pasti Jaya
Katwang. Maka dipercepat
cekalannya terhadap buntalan kain itu.
Brettt! Kain yang telah rapuh itu langsung robek-robek tak
mampu menahan tarikan dua tangan bertenaga dalam tinggi yang memperebutkannya.
Isi yang ada di dalam buntalan itu pun berjatuhan ke tanah.
Untuk yang kedua kalinya perlombaan memperebutkan isi buntalan kain kuning itu terjadi. Setan Ular Karang dan Kerbau
Bertenaga Raksasa yang berada dalam kedudukan lebih menguntungkan, langsung
meluruk ke arah jatuhnya isi buntalan kain kuning.
Kerbau Bertenaga Raksasa langsung melompat ke
depan dan menggulingkan tubuhnya untuk mendekati
pusaka yang diincarnya. Sedangkan Setan Ular Karang
melesat ke atas laksana seekor burung garuda, dan dari sana menukik ke bawah!
"Ikhhh...!"
Kerbau Bertenaga Raksasa yang hampir saja berhasil
mencekal kitab, langsung menarik kembali tangannya sambil mengeluarkan pekik
kengerian. Karena Setan Ular Karang tahu kalau dirinya akan kalah, langsung
melemparkan senjata andalannya. Seekor ular belang yang besarnya selengan manusia!
Sehingga tidak ada satu pun yang berhasil mengambil
kitab dan pedang yang tergolek di tanah. Karena masing-masing pihak tidak berani
melakukannya, takut akan
menjadi korban yang penyerang pihak lain. Beberapa saat keempat tokoh itu saling
mengawasi satu sama lain sambil sesekali memperhatikan pusaka yang tergeletak di
tanah. "Mengapa kau hendak mengambil kembali pusaka
yang telah kau berikan, Jaya Katwang! Apa kau hendak mengingkari janji yang
telah kau ucapkan"!" lantang suara Kerbau Bertenaga Raksasa tanpa mengalihkan
perhatian dari pusaka dan dua orang rekannya. Dirinya khawatir mereka akan
mendahului mengambil pusaka itu, kalau sampai
lengah sekejap saja.
"Aku telah memenuhi janjiku, menyerahkan pusaka itu
pada kalian. Tapi, karena kulihat kalian memperebutkannya, kurasa tidak ada salahnya kalau aku ikut serta dalam perebutan
ini!" jawab Jaya Katwang, kalem.
Kerbau Bertenaga Raksasa langsung terdiam ka rena
menyadari kebenaran ucapan kakek tinggi kurus itu. Sekilas diliriknya tempat
Sumini tadi berada. Ternyata tempat itu telah
kosong. Rupanya ketika dia dan rekannya memperebutkan pusaka ini, Jaya Katwang yang cerdik telah menyuruhnya kabur.
Setan Ular Karang dan Raja Sihir Berbaju Merah pun
tampaknya mengetahui siasat Jaya Katwang. Setelah ketiganya saling pandang sejenak, masing-masing menganggukkan kepala seperti telah mengambil sebuah
persetujuan. "Kau cerdik, Jaya Katwang! Rupanya kau bermaksud mencari
kesempatan di dalam kesempitan! Mencoba memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan di
saat kami tengah saling terpecah. Sayang, kami tidak sebodoh yang kau duga, Jaya
Katwang! Hhh.... Ternyata kami harus menyingkirkanmu lebih dulu, Tua Bangka!
Bukankah demikian, Setan Ular Karang, Raja Sihir Berbaju Merah"!"
"Tidak salah!" sahut Setan Ular Karang dan Raja Sihir Berbaju Merah hampir
berbarengan seraya menganggukkan kepala.
"Aku sudah siap untuk kemungkinan itu! Majulah
kalian semua!" tantang Jaya Katwang, mantap.
"Ha ha ha...!" Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa terbahak-bahak. "Kami bukan
pengecut-pengecut yang hanya berani melakukan pengeroyokan, Jaya Katwang!
Bukankah demikian, Setan Ular Karang"!"
Setan Ular Karang yang tidak menyangka akan
mendapat pertanyaan seperti itu, buru-buru menganggukkan kepala.
"Nah! Kau lihat sendiri kan, Jaya Katwang" Setan Ular Karang berani menghadapimu
sendirian! Kalau begitu biar aku dan Raja Sihir Berbaju Merah yang menjadi saksi
pertarungan kalian!" ujar Kerbau Bertenaga Raksasa lagi.
Setan Ular Karang menggertakkan gigi karena geram,
merasa telah tertipu oleh Kerbau Bertenaga Raksasa. Dia diadu domba dengan Jaya
Katwang! Tapi, apa boleh buat"
Tidak mungkin dia mundur sekarang kalau tak ingin dicap pengecut!
Begitu melihat kesediaan Setan .Ular Ka rang, Jaya
Katwang segera mencabut pedangnya. Pelayan kepercayaan tokoh yang terkenal
sebagai rajanya ilmu pedang itu merasa lebih berbesar hati bertarung
mempergunakan senjata.
"Hm...! Bedebah...!" gumam Setan Ular Karang dalam hati.
Setelah menarik napas, perlahan-lahan kedua tangannya yang terbuka disilangkan di depan wajah, lalu ditarik ke sisi
pinggang. Bunyi berdesis dan menggetarkan, seperti suara belasan ekor ular yang
tengah murka terdengar.
Sesaat kemudian, kedua tangan lelaki berwajah hitam
legam ini mulai dari ujung jari sa mpai pergelangan tangan berubah menghitam!
Inilah ilmu 'Ular Karang' yang menjadi andalannya.
Jaya Katwang tahu kalau lawan telah menggunakan
ilmu andalan. Namun tak tampak perasaan gentar di
wajahnya. Kakek tinggi kurus ini lalu menggerakkan
pedangnya. Suara deru angin dari kibasannya terdengar seiring dengan berubahnya
pedang itu menjadi sinar.
Meluncur deras ke depan.
"Heaaa...!"
Tak! Tak! Tak! "Heh...!"
Bunyi berdetak seperti benturan logam keras terdengar ketika Setan Ular Karang memapak serangan mata pedang lawan dengan
tangan telanjang. Karuan saja hal ini membuat Jaya Katwang kaget bukan kepalang.
Hatinya hampir tak percaya, melihat kedua tangan lawan tak
mempan bacokan senjata tajam.
Walaupun demikian, Jaya Katwang tetap melanjutkan
serangan. Sebagai seorang yang telah banyak makan asam garam, dia tahu kalau
bagian lainnya belum tentu akan kebal juga. Maka segera dialihkan
serangannya agar tidak
berbenturan dengan kedua tangan lawan. Pertarungan sengit pun berlangsung.
Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki
gerakan cepat, maka pertarungan itu berlangsung cepat.
Tubuh kedua tokoh berkelebatan ke sana kemari. Hanya bayangan putih dan coklat
yang tampak saling belit, dengan sesekali terpisah. Namun kemudian telah saling
gempur dengan kecepatan tinggi.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung empat
puluh jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan
keluar sebagai pemenang. Keduanya masih seimbang.
Kerbau Bertenaga Raksasa dan Raja Sihir Berbaju
Merah menyaksikan jalannya pertarungan dengan penuh
minat. Kedua tokoh ini merasa kagum akan kepandaian Jaya Katwang dan Setan Ular
Karang. Keduanya tidak yakin kalau kepandaian yang dimiliki berada di atas
tokoh-tokoh yang tengah bertarung itu.
"Heaaa...!"
"Hih!"
Pada jurus keenam puluh, Setan Ular Karang tiba-tiba mengibaskan
tangannya. Seleret sinar kehitaman
pun meluncur ke arah lawan, Jaya Katwang tampak tersentak kaget, tahu kalau sinar-
sinar kehitaman itu ternyata ular-ular hitam yang mempunyai racun ganas. Dengan
cepat pedangnya diputar untuk memapak!
"Heaaa...!"
Cra, crat, crat!
Ular-ular hitam kelam itu terbelah hingga menjadi
beberapa potong ketika pedang Jaya Katwang menebasnya.
Namun, Setan Ular Karang tidak mempedulikannya. Pada saat yang bersamaan dengan
meluncurnya ular-ular itu kedua telapak tangannya dipukulkan bertubi-tubi ke
dada Jaya Katwang!
Jaya Katwang kembali terkejut bukan kepalang.
Namun sebisa-bisanya laki-laki itu berusaha mengandaskan serangan lawan dengan
pedangnya. "Hih...!"
Tak, tak, tak! Bugkh! "Akh!"
Jaya Katwang menjerit tertahan ketika tangan kiri
Setan Ular Karang menghantam telak dadanya, setelah
beberapa pukulan sebelumnya berhasil ditangkis. Tubuh kakek tinggi kurus ini pun
terjengkang ke belakang

Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian ambruk di tanah untuk selama-lamanya.
2 "Kakek...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan ketakutan dari dalam
pondok. Sesosok ramping berpakaian kuning menghambur lalu bersimpuh di dekat tubuh Jaya Katwang yang tergolek.
Setan Ular Karang, Kerbau Bertenaga Raksasa, dan
Raja Sihir Berbaju Merah tersenyum gembira melihat
kehadiran Sumini. Semula mereka menyangka gadis itu telah kabur.
Sebenarnya Sumini telah disuruh pergi oleh Jaya
Katwang. Namun dirinya tak sampai hati meninggalkan
kakek yang sangat disayanginya itu, menantang maut
sendirian. Sumini tidak pergi justru mengintip semua kejadian itu dari dalam!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Sumini ketika melihat Jaya Katwang tewas.
Sehingga dia tidak bisa menahan diri dan berlari keluar.
"Anak itu akan menjadi ancaman kelak, biar kuhabisi dia sekalian! Toh, kurasa
janji kita telah tidak berlaku lagi karena Jaya Katwang sendiri telah
membatalkannya!" ucap Setan Ular Karang seraya mengayunkan kaki menghampiri
Sumini yang masih duduk bersimpuh.
"Tunggu, Setan Ular Karang!" cegah Raja Sihir Berbaju Merah sambil melompat
menghadang. "Daripada kau bunuh percuma, lebih baik aku yang melakukannya!"
"Sesukamulah!"
Setan Ular Karang mengangkat bahu. Lalu kembali ke
tempat semula. Dia tahu, mengapa lelaki berompi merah itu mau mengambil alih
tugas. Apalagi kalau bukan ka rena tertarik pada tubuh montok menggiurkan
Sumini" Raja Sihir Berbaju Merah mempunyai sifat mata keranjang. Jadi, sudah
dapat diperkirakan kejadian yang akan menimpa Sumini sebelum dibunuh.
Sambil tertawa terkekeh, Raja Sihr Berbaju Merah
terus menghampiri Sumini. Sementara, gadis berpakaian kuning itu telah berhasil
menguasai perasaan sedihnya.
Perlahan-lahan tubuhnya berbalik dengan wajah beringas menatap
Raja Sihir Berbaju Merah yang tengah mendekatinya. "Lihat siapa aku, Sumini" Aku Jaya Katwang!" ucap Raja Sihir Berbaju Merah
seraya menatap kedua bola mata Sumini dengan sorot mata mengandung suatu
kekuatan aneh. Wajah Sumini yang semula bengis dan
penuh kebencian mendadak berubah redup dan memperlihatkan
kesedihan. "Kakek...!"
seru Sumini. Gadis itu langsung menghambur ke arah Raja Sihir Berbaju Merah yang telah menjelma menjadi Jaya
Katwang. Kedua tangan terkembang menyambut Sumini.
Raja Sihir Berbaju Merah tersenyum gembira menyambut tubuh Sumini dengan pelukan erat. Dengan
napas memburu Jaya Katwang penjelmaan itu menciumi
dengan buas pipi, leher, dan bibir mungil Sumini.
Karuan saja Sumini kelabakan. Dia meronta tapi sia-
sia. Pelukan kedua tangan Raja Sihir Berbaju Merah terlalu erat. Sumini semakin
keras meronta ketika melihat orang yang memeluk dan menciuminya secara rakus ini
bukan Jaya Katwang melainkan Raja Sihir Berbaju Merah. Sumini tiba-tiba tersadar,
karena Raja Sihir Berbaju Merah tidak terus menekankan ilmu sihirnya. Lelaki
berompi merah itu larut dalam amukan nafsu birahinya.
Brettt! "Aaakh...!"
Pakaian Sumini mulai dari bagian dada sampai pusar
langsung koyak ketika tangan Raja Sihir Berbaju Merah merenggutnya. Sumini
menjerit penuh perasaan ngeri.
Tubuhnya pun semakin kuat meronta-ronta.
Namun tindakan Sumini tidak berarti sama sekali.
Tanpa menemui kesulitan, Raja Sihir Berbaju Merah terus menjarah tubuh Sumini.
Sekarang ciuman-ciumannya mulai turun ke leher. Ciuman campur gigitan gemas.
Satu tangan Raja Sihir Berbaju Merah memeluk
tubuh Sumini. Sedangkan yang lain digunakan untuk
melucuti pakaian calon korbannya diselingi dengan remasan-remasan terhadap dua
bukit kembar di dada Sumini yang telah menyembul keluar.
Sumini memekik tertahan. Tubuhnya terjengkang ke
belakang dan jatuh telentang di tanah ketika Raja Sihir Berbaju Merah
mendorongnya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh lelaki berompi
merah untuk membuka pakaian lalu menubruk Sumini.
*** "Binatang...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras diiringi angjn kencang menderu dan
menghantam tubuh Raja Sihir Berbaju Merah yang tengah menindih Sumini. Tubuh
lelaki berompi merah itu terpental ke samping dan terguling-guling di tanah.
Namun dengan manis Raja Sihir Berbaju Merah mampu mematahkan kekuatan yang
membuat tubuhnya
terlempar. Dengan cepat dia bangkit berdiri.
"Keparat! Orang gila dari mana yang berani mengganggu kesenanganku"!" seru Raja Sihir Berbaju Merah penuh perasaan geram.
"Menyingkirlah, Dik," terdengar suara memerintah Sumini agar menyingkir.
Dengan raut wajah merah padam dan sorot mata
penuh kebencian terhadap Raja Sihir Berbaju Merah, Sumini bangkit dan bergegas
lari ke dalam rumah. Sekilas matanya melihat orang yang telah memberikan
pertolongan atas dirinya.
Penolong Sumini ternyata seorang pemuda tampan
berambut putih keperakan hingga ke pinggang. Tubuhnya yang kekar terbungkus
pakaian warna ungu.
"Siapa kau, Anjing Kecil" Cepat katakan! Pantang bagiku membunuh orang yang
tidak kukenal!" seru Raja Sihir Berbaju Merah dengan nada tinggi.
"Aku Arya, dan kesenanganku membunuh orang yang gemar bertindak biadab
seperrjmu! Memperkosa wanita tak berdaya!"
"Sombong! Kaulah yang akan mampus di tanganku,
Pemuda Gila! Heaaa...!"
Raja Sihir Berbaju Merah langsung mengirimkan
tusukan dengan tangan kiri ke arah mata pemuda berambut keperakan itu.
Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Dewa Arak itu
masih bersikap tenang. Padahal dia tahu lawannya memiliki kepandaian tinggi.
Dari serangannya yang menimbulkan angin menderu keras menandakan terkandung
tenaga dalam kuat Tanpa menggeser kaki, didoyongkan tubuhnya ke kiri sehingga
serangan itu lewat di sebelah kanan wajahnya.
Tangan kanannya bergerak cepat menangkap pergelangan tangan lawan.
Gerakan Dewa Arak yang sangat cepat membuat Raja
Sihir Berbaju Merah tersentak kaget. Matanya membelalak dengan kening mengkerut,
seakan tak percaya. Kemudian dengan gerak cepat, tapi terlambat, pergelangan
tangannya telah lebih dulu tercekal oleh Dewa Arak.
Meskipun demikian, lelaki berompi merah tetap tegar.
Tak tampak sedikit pun perasaan gugup.
"Hih...!"
Tangan kanannya dipukulkan ke dada Dewa Arak
yang terbuka. Deb! "Heh..."!"
Kali ini Raja Sihir Berbaju Merah tidak kuasa untuk
menahan keluarnya jeritan. Tangannya menempel di dada lawan dan tak dapat
ditarik kembali. Na mun Raja Sihir Berbaju Merah tidak kehilangan akal.
"Arya, lihat siapa aku" Berani kau melakukan hal seperti ini pada gurumu?" ucap
lelaki berompi merah ini seraya mengerahkan seluruh kekuatan ilmu sihir yang
dimilikinya. Dia menyadari kalau lawan kali ini tidak akan dapat dipengaruhi
segampang Sumini.
"Hah..."!"
Dewa Arak tersentak kaget ketika melihat yang dicekal ternyata lengan gurunya.
Bagai disengat ular berbisa, pemuda beramput putih keperakan itu segera
melepaskan cekalan dan kekuatan menyedotnya, lalu melompat ke
belakang. Kesempatan itu pun segera dipergunakan Raja Sihir Berbaju Merah untuk
melompat ke belakang pula.
Sekarang Arya baru melihat kalau yang berdiri di
belakangnya bukan Ki Gering Langit, gurunya, melainkan Raja Sihir Berbaju Merah.
Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang pengalaman, dia segera sadar kalau
lawannya menggunakan ilmu sihir. Maka dia berusaha untuk tidak menatap mata
lawannya. Sementara itu, Kerbau Bertenaga Raksasa dan Setan
Ular Karang yang telah memperhatikan jalannya pertarungan segera tahu kalau
pemuda berambut putih keperakan itu merupakan lawan yang amat tangguh.
Mendadak Setan Ular Karang melesat ke arah kitab
milik Raja Pedang Langit Bumi yang masih tergeletak di tanah, dan menyambarnya.
Kemudian membawanya kabur.
Kerbau Bertenaga Raksasa tentu saja tidak mau membiarkan hal itu.
"Setan licik! Jangan harap niatmu yang busuk itu akan berhasil!" seru lelaki
berkepala botak itu seraya melesat mengejar.
Tindakan yang sama dilakukan Raja Sihir Berbaju
Merah. Namun, hanya dengan sekali menggerakkan tubuh, Dewa Arak telah berdiri
menghadangnya. "Jangan harap aku akan membiarkan orang sepertimu hidup lebih lama di dunia!" ujar Dewa Arak penuh tekanan.
Raja Sihir Berbaju Merah menggeram karena tahu tak
akan dapat meloloskan diri dari Dewa Arak. Dia memutuskan untuk
melakukan perlawanan mati-matian. Namun, mendadak mulutnya menyeringai seperti merasa kesakitan.
Lalu, kedua tangannya saling menggaruk. Yang kanan
menggaruk telapak tangan kiri dan sebaliknya.
Karuan saja Dewa Arak merasa heran melihat
tindakan Raja Sihir Berbaju Merah. Dia merasa curiga kalau hal
ini hanya merupakan siasat lawan, maka kewaspadaannya tetap tak ditinggalkan. Namun, kecurigaannya semakin memupus ketika melihat garukan Raja Sihir Berbaju Merah
tidak hanya pada bagian itu, tapi juga mengarah pada mulutnya.
"Ah...!"
Tanpa sadar Arya mengeluarkan jeritan bernada kaget
ketika melihat kedua telapak tangan dan mulut Raja Sihir Berbaju Merah mulai
menghitam. Gosong! Seakan-akan
terbakar sesuatu. Dan sekarang, lelaki berompi merah itu mulai mengerang-erang
sambil terus menggaruk tubuhnya yang lain.
Tindakan Raja Sihir Berbaju Merah tak berlangsung
lama. Sesaat kemudian
tubuhnya ambruk ke
tanah. Nyawanya melayang seketika.
Setelah menunggu beberapa saat tubuh Raja Sihir
Berbaju Merah tidak bergerak lagi, Dewa Arak menghampirinya. Memeriksanya dari jarak dua tombak.
Hanya sekilas hal itu dilakukannya. Dewa Arak segera bisa mengetahui kalau Raja
Sihir Berbaju Merah tewas karena racun yang amat ganas.
Tapi, siapa yang telah melakukan hal keji ini"
"Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan
napas berat. Lalu
diarahkan pandangannya ke pondok di belakangnya, tempat Sumini tadi masuk.
Ditunggunya beberapa saat agar gadis berpakaian kuning itu keluar. Namun tidak
nampak adanya tanda-tanda kalau Sumini akan keluar.
"Sumini...!"
panggil Dewa Arak pelan seraya mengawasi pintu pondok.
Tidak ada tanggapan sama sekali. Jangankan muncul,
sahutan pun tidak. Perasaan tidak enak pun menyeruak di hati Arya. Khawatir
kalau-kalau di saat dia tengah terlibat pertarungan, ada orang yang memanfaatkan
kesempatan untuk mencelakai gadis itu. Padahal, dia telah berjanji pada Raja Pedang Langit
Bumi untuk menjaga Sumini hingga gadis itu kembali seperti sedia kala.
Setelah menunggu beberapa saat Sumini tidak juga
muncul, Dewa Arak tidak sabar. Dengan sekujur urat-urat syaraf menegang waspada,
dilangkahkan kakinya menuju pondok.
*** "Sumini...!"
Untuk yang kedua kalinya, Arya memanggil putri Raja


Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang Langit Bumi itu. Kali ini dengan perasaan cemas karena ruang tengah dan
kamar-kamar yang diperiksanya kosong. Tidak terlihat adanya tanda-tanda
keberadaan Sumini.
"Sumini...!
Aku Arya! Disuruh ayahmu untuk menyampaikan hal penting. Keluarlah dan jangan bersembunyi!" seru Arya lagi dengan suara lebih keras, sambil menyinggung-
nyinggung nama Raja Pedang Langit Bumi. Karena ada sekelumit dugaan menyelinap
di hati Arya kalau Sumini takut menjumpainya dengan alasan dirinya termasuk
orang yang bermaksud jahat.
Setelah mencari akal lagi dan tidak juga menjumpai
Sumini, Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu.
Pantang baginya meremehkan amanat yang diberikan orang.
Apalagi orang yang memberikan amanat itu telah meninggal dunia! Dugaan Arya
tidak keliru. Sumini memang
menghindarinya. Sumini mengira kalau Arya sama dengan tiga tokoh golongan hitam
yang hendak merampas pusaka.
Namun banyak alasan yang membuatnya menghindari
pemuda berambut putih keperakan itu. Rasa malu karena Arya telah melihatnya
dalam keadaan tanpa pakaian adalah penyebab utamanya. Sedangkan hal lainnya,
keinginannya untuk menjumpai sang Ayah dan menceritakan nasib yang menimpa Jaya
Katwang. Sumini kabur melalui pintu belakang karena khawatir
bentrokan dengan Dewa Arak. Mula-mula dia mengendap-
endap. Ketika telah melewati jalan setapak yang di kanan kirinya tumbuh
pepohonan dan semak-semak cukup lebat, Sumini mulai mempergunakan ilmu lari
cepatnya. Namun beberapa kali, larinya harus diperlambat karena keadaan jalan
yang licin dan harus menembus kelebatan pepohonan.
Memang, tempat tinggal Raja Pedang Langit Bumi dekat dengan hutan.
Sumini berlari dengan sepenuh tenaga karena keinginan untuk cepat-cepat menjauhkan diri dari Dewa Arak untuk segera bertemu
dengan ayahnya. Namun, mendadak larinya dihentikan, sepasang matanya menatap
tajam ke depan. Tampak oleh Sumini, dari jarak sekitar tiga puluh tombak belasan
orang mengenakan pakaian seragam prajurit.
Sumini memperhatikan lebih teliti untuk mencari ketegasan kalau rombongan
prajurit itu berasal dari Kerajaan Samodra.
Seragam yang mereka kenakan diketahuinya betul.
Sebuah keberuntungan bagi Sumini karena dia
berada di tempat yang tinggi, sedangkan belasan orang prajurit itu berada di
dataran rendah. Tempat putri Raja Pedang Langit Bumi berada merupakan sebuah
hamparan tanah berumput. Pada beberapa bagian terdapat pepohonan dan semak-semak lebat.
Sehingga memungkinkan baginya bersembunyi untuk mengawasi mereka.
Wajah Sumini berubah ketika melihat arah yang
ditempuh rombongan prajurit itu adalah tempat yang
ditinggalkannya. Jadi dia dan rombongan prajurit itu akan berpapasan di tengah
jalan, Sumini tidak menghendaki hal itu terjadi karena dia tahu prajurit-
prajurit Kerajaan Samodra itu akan menangkap apabila melihatnya. Hatinya yakin
kehadiran rombongan prajurit itu karena hendak menangkap ayahnya dan dia.
Memang, keluarganya telah menjadi
buronan sejak sang Ayah memutuskan untuk memihak
kaum Brahmana! Itulah sebabnya, Sumini bergegas melesat ke salah
satu kerimbunan semak yang ada di sebelah kirinya, dan bersembunyi di sana. Dia
tahu kalau rombongan prajurit itu bukan orang-orang rendahan. Hiasan-hiasan pada
bagian leher dan seragam yang dikenakan, menunjukkan kalau
rombongan itu terdiri dari orang-orang pilihan. Terutama sekali dua orang yang
berada paling depan.
Sumini tidak berani bertindak gegabah. Diusahakannya untuk tidak menimbulkan bunyi yang dapat menimbulkan kecurigaan.
Bahkan bernapas pun dia berhati-hati sekali, khawatir terdengar rombongan
prajurit Kerajaan Samodra yang semakin dekat jaraknya.
"Tak lama lagi selesailah tugas kita. Hanya tinggal menangkap hidup atau mati
putri Raja Pedang Langit Bumi,"
ucap salah soerang dari rombongan prajurit yang berjalan paling depan. Dia
bertubuh kecil kurus, tapi memiliki sepasang mata tajam, berkilat
"Benar," sahut sosok yang berjalan di sebelahnya, bertubuh tegap dan berkulit
kemerahan. "Sayang, mayatnya tidak dapat kita bawa ke istana sebagai bukti
kepada Gusti Prabu Pancanala. Pemuda berambut putih keperakan itu terlalu cepat
untuk dapat kita kejar. Aku jadi penasaran padanya."
"Hukh!"
Sumini merasakan dadanya sesak bukan kepalang
seakan-akan telah habis diseruduk seekor kerbau liar.
Percakapan kedua orang yang ada dalam rombongan
Kerajaan Samodralah yang menjadi penyebabnya. Percakapan kedua orang itu memang sampai ke telinganya, karena tepat berada di
dekatnya. Keterkejutan akibat mendengar berita ini membuat
Sumini tanpa sadar menginjak dedaunan kering. Pelan saja bunyinya, tapi cukup
keras bagi dua orang yang menjadi pemimpin rombongan Kerajaan Samodra itu.
"Maling hina, tunjukkan dirimu!" Sambil berkata demikian, lelaki kecil kurus
mengibaskan tangan kanannya.
Seketika beberapa bilah benda berkilat meluncur ke arah semak-semak tempat
persembunyian Sumini
Srak! Srak! Srak!
Tiga bilah pisau berkilat yang dilemparkan lelaki kecil kurus itu amblas ke
dalam semak-semak. Namun tidak
terdengar jeritan apa pun karena Sumini telah lebih dulu melompat keluar dari
situ. "Ha ha ha...!" lelaki kecil kurus itu tertawa terbahak-bahak ketika melihat
sosok yang sekarang telah berada di hadapannya. "Sungguh tak kusangka kalau kami
akan menemukanmu di sini. Tak perlu bersusah payah ke
rumahmu.... Menyerahlah, Pemberontak Hina sebelum kami terpaksa menggunakan
kekerasan!"
"Jangan mimpi, Anjing Penjilat! Kaulah yang harus melepaskan kepalamu sekarang!"
Sumini melompat menerjang seraya menusukkan
pedangnya ke arah ulu hati lelaki kecil kurus. Lelaki kecil kurus itu
menangkisnya dengan pisau putih berkilat yang sejak tadi memang telah
dipegangnya. Trang! Bunyi berdentang keras terdengar ketika pedang dan
pisau berbenturan menimbulkan percikan bunga api. Tubuh Sumini terjengkang ke
belakang. Senjatanya terlepas dari pegangan karena sekujur tangannya dirasakan
bagaikan lumpuh seketika.
Kesempatan itu dipergunakan oleh seorang prajurit
untuk meringkus Sumini. Rupanya dia tak ingin menyia-nyiakan tubuh Sumini yang
ramping dan menggiurkan. Maka prajurit yang mata keranjang itu meluruk dan
memeluk tubuh Sumini erat-erat. Namun....
"Wuaaa...!"
Prajurit itu menjerit keras dan menyayat ketika kedua lengannya melingkari tubuh
Sumini yang ramping. Tubuh montok itu langsung dilepaskannya. Dan wajahnya yang
tadi menciumi sekujur wajah Sumini dengan buas tampak
menghitam seperti terbakar.
Sambil mengerang-erang
kesakitan prajurit itu menggunakan kedua tangan untuk menggaruki wajahnya
yang gosong. Karena di samping hangus, rasa gatal yang hebat menggerayangi
sekujur wajahnya. Akibat yang lebih mengerikan pun terjadi, kedua tangannya yang
dipakai menggaruk, berubah hitam! Sesaat kemudian, tubuhnya
ambruk dalam keadaan tanpa nyawa.
Kejadian ini membuat rombongan prajurit kerajaan
terkejut bukan kepalang. Mereka terlongong bengong seperti melihat hantu, dengan
sorot mata memanearkan kengerian.
"Menyingkir semua...! Biar aku yang membunuh iblis keji ini...!"
Saat itulah terdengar bunyi meledak-ledak keras,
disusul dengan meluncurnya sinar kemerahan ke arah ubuh-ubun Sumini. Padahal
saat itu putri Raja Pedang Langit Bumi ini tengah merasa heran melihat kejadian
yang menimpa prajurit mata keranjang itu.
Ctarrr! Sinar kemerahan yang ternyata sebuah cambuk,
langsung meledak di udara. Tidak pada sasaran yang dituju.
Ketika ujung cambuk hampir mengenai ubun-ubun Sumini, tiba-tiba
berkelebat sesosok bayangan ungu. Dengan kecepatan luar biasa hingga tak tertangkap pandangan mata biasa, sosok itu
menyambar titbuh Sumini.
"Keparat!"
Lelaki bermuka kemerahan menggeram murka mengetahui ada orang yang menyelamatkan calon korbannya.
Dengan geram pandangannya dialihkan ke arah sosok ungu itu melesat. Dan baik dia
maupun rombongan langsung
melihatnya. Orang yang baru saja mereka percakapkan, Dewa Arak.
"Menyingkirfah,
Sumini! Biar aku yang menghadapinya," ucap Arya seraya menurunkan tubuh gadis berpakaian kuning itu.
Lalu tanpa mempedulikan Sumini, Dewa Arak segera
menghadapi rombongan prajurit Kerajaan Samodra yang
telah mengurungnya dengan senjata di tangan.
"Siapa kau, Anak Muda" Apakah kau salah satu dari para pemberontak itu"! Jangan
harap dapat lolos dari tangan kami!" ancam lelaki berkulit kemerahan.
"Menyingkirlah dari sini! Dan serahkan mayat Raja Pedang Langit Bumi, baru
keselamatanmu akan kami
pertimbangkan," tambah lelaki kecil kurus seraya menimang-nimang dua bilah pisau
di tangannya. "Manusia-manusia berhati binatang!" ucap Arya dengan
suara berat karena amarah yang bergolak, menyaksikan ketelengasan sikap lelaki berkulit kemerahan itu. Sekejap saja tadi
dia terlambat, nyawa Sumini pasti melayang.
Kekejaman tindakan orang-orang Kerajaan Samodra ini membuat Dewa Arak memutuskan untuk
menentang. "Jangan harap aku akan memenuhi permintaan gila kalian! Lebih baik
menyingkirlah, sebelum aku terpaksa mengusir kalian dari sini dengan kekerasan!"
"Pemberontak Hina, mampuslah kau!"
Ctar, ctar, ctar...!
Cambuk merah panjang di tangan lelaki berkulit
kemerahan melecut, seperti halilintar menyambar-nyambar ke arah kepala Dewa
Arak. "Hea!"
Trap! Unjung cambuk itu tersamba r di tangan Dewa Arak
yang memapaknya. Dengan cepat dicengkeramnya ujung
cambuk, lalu ditarik. Tentu saja lelaki berkulit kemerahan itu tidak membiarkan
senjata andalannya itu dirampas oleh lawan yang telah membetotnya. Keduanya
saling bersitegang.
Cambuk yang terbuat dari bahan ulet dan dapat mulur itu meregang, dan tiba-tiba
Arya melepaskannya.
Sing! "Heh..."!"
Bunyi berdesing nyaring terdengar ketika ujung
cambuk itu menyambar ke arah muka pemiliknya sendiri.
Lelaki berkulit kemerahan terkejut bukan kepalang. Dengan cepat dia merendahkan
tubuh sehingga lesatan ujung
cambuk itu lewat di atas kepalanya.
"Serang...!"
"Bunuh dia...!"
Sebelum Dewa Arak melancarkan serangan susulan,
lelaki kecil kurus dan anak buahnya langsung melancarkan serangan. Sehingga
pemuda berambut putih keperakan itu mengalihkan perhatiannya. Karena dihujani
berbagai macam senjata yang memburu tubuhnya.
Melihat keadaan yang sangat berbahaya, Dewa Arak
langsung mempertunjukkan
kemampuannya. Semua serangan yang mengancam, dipapaknya dengan tangan
telanjang. Bunyi berdetak nyaring mengiringi berbenturannya tangan
dan kaki Dewa Arak dengan senjata-senjata
pengeroyoknya. Setiap kali tangan atau kakinya menangkis, selalu


Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat penyerangnya sendiri yang terpental ke belakang.
Namun, kekerasan hati para prajurit Kerajaan Samodra itu memang patut diacungi
jempol. Setiap kali mereka terlempar, setiap kali pula kembali menerjang,
meskipun untuk itu tubuhnya kembali terlempar.
Karena tahu kalau di antara rombongan itu hanya
lelaki kecil kurus dan lelaki berkulit kemerahan yang memiliki tingkat
kepandaian paling tinggi, Dewa Arak terus mencecar dengan melancarkan serangan
yang lebih keras pada keduanya.
Meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu tidak mau menjatuhkan tangan kejam pada lawan-lawannya. Disadari
kalau mereka hanya orang-orang yang melakukan perintah pimpinan. Lagi pula tidak
terbukti kalau mereka melakukan tindakan kejam, kecuali lelaki berkulit
kemerahan. Itulah sebabnya, Dewa Arak selalu menjaga agar tangkisan atau
serangannya tidak terlalu keras untuk mereka.
Pertarungan berlangsung kurang menarik karena
keadaan para prajurit Kerajaan Samodra itu bagaikan
sekelompok semut yang menerjang api. Mereka roboh
sebelum sempat mencapai sasaran. Tak sampai tiga puluh jurus, tubuh-tubuh mereka
telah bergelimpangan di tanah, tak mampu bangkit lagi hanya bisa mengeluarkan
keluhan kesakitan.
"Aku tak punya urusan
dengan kalian. Maka menyingkirlah dari sini!" ucap Dewa Arak penuh perasaan wibawa, seraya menatap
sosok-sosok yang bergelimpangan di sekelilingnya.
Lelaki kecil dan lelaki berkulit kemerahan tahu kalau Dewa Arak terlalu kuat
untuk dilawan. Maka setelah berhasil bangkit, meskipun dengan agak payah, segera
memberi isyarat agar mundur pada rombongannya. Dihampirinya
lelaki berkulit kemerahan itu, lalu dipapahnya untuk meninggalkan tempat Lelaki
itulah yang menderita luka paling parah.
Arya hanya menatap rombongan prajurit Kerajaan
Samodra yang melangkah terseok-seok meninggalkannya.
Dan ketika pandangannya dialihkan, tampak Sumini tengah menatapnya. Kemudian
diayunkan langkahnya mendekati
gadis itu. "Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Sumini seraya menundukkan
kepala. Dia masih malu
mengingat Arya telah menjumpainya dalam keadaan tanpa berpakaian.
"Lupakanlah, Sumini!" ujar Arya perlahan, tidak merasa heran mengetahui Sumini
telah mengenalnya. Dia menduga gadis itu telah mendengar percakapannya dengan
Kerbau Bertenaga Raksasa dan rekan-rekannya.
"Dewa Arak...," ucap Sumini tersendat-sendat dengan sepasang
mata merembang berkaca-kaca. "Aku ingin mengajukan pertanyaan padamu. Boleh?"
"Silakan, Sumini," jawab Arya agak terharu. Dia bisa memperkirakan pertanyaan
Sumini melihat sikapnya yang sedih. "Be..., benarkah ayahku telah tewas...?"
tanya Sumini lagi dengan suara yang semakin terbata-bata. Bahkan
sepasang bibirnya pun tampak bergetar.
"Hhh...!"
Setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat,
Dewa Arak menganggukkan kepalanya secara perlahan-
lahan. Dia tahu tidak ada gunanya menyimpan rahasia itu.
Lebih cepat Sumini mengetahui nasib ayahnya, lebih baik.
"Ayaaah...!" desah Sumini seraya mendekapkan kedua tangan di dengan wajahnya
yang tertunduk. Ada air bening mengalir keluar dari celah-celah jarinya.
Arya membiarkan saja gadis itu menangis. Bahkan dia
memberinya kesempatan dengan membalikkan tubuhnya
membelakangi agar gadis itu tidak malu. Namun sempat dilihatnya tubuh Sumini
terguncang-guncang karena tangis yang ditahan.
Setelah beberapa saat lamanya tidak terdengar bunyi
tangisan, Arya membalikkan tubuh. Dilihatnya Sumini masih seperti semula,
tubuhnya terguncang-guncang dan air mata bercucuran dari celah-celah jari kedua
tangan. Rupanya gadis itu berusaha keras untuk menahan agar tangisnya tidak
keluar. Arya melangkah menghampiri. Pelan-pelan karena
khawatir mengejutkan Sumini.
"Jangan kau tahan tangismu, Sumini! Keluarkanlah!
Karena dengan menangis tekanan batin yang menghimpitmu akan berkurang. Tak usah
kau menahannya," ucap Arya lembut.
Ucapan Arya bagaikan minyak menyambar api.
Seketika tangis Sumini langsung meledak. Memang, saat itu Sumini membutuhkan
orang yang dapat dijadikannya tempat mencurahkan perasaan sedih dan mengasihi
kemalangannya. Setelah beberapa saat lamanya Dewa Arak menunggu,
akhirnya tangis Sumini mulai mereda.
"Maafkan aku, Dewa Arak. Aku telah merepotkan
dirimu...," ucap Sumini serak karena cukup lama menangis.
"Tidak usah kau pikirkan itu, Sumini Aku merasa gembira dapat menolongmu karena
dapat memenuhi amanat yang
diberikan ayahmu sebelum meninggal. Beliau memintaku membawamu kepada Empu Pradaga. Beliau
berdiam di salah satu goa di sebelah selatan Gunung
Anjasmoro ini. 3 Sumini tidak langsung memberikan tanggapan. Ditatapnya wajah Dewa Arak yang tengah menatapnya
karena menunggu jawaban dari mulutnya.
"Terima kasih atas jerih payahmu, Dewa Arak. Tapi....
Sebelum aku pergi dan ikut denganmu ke tempat ringgal Empu Pradaga, aku ingin
mendengar secara jelas bagaimana kematian ayahku. Beliau memiliki kepandaian
amat tinggi, Dewa Arak. Dan, belum pernah terkalahkan. Aku tidak
percaya ada orang yang mampu membunuhnya!"
Dewa Arak menatap wajah Sumini lekat-lekat Sikapnya terlihat sungguh-sungguh.
"Kuakui. Aku percaya kepandaian ayahmu amat
tinggi, dan jarang ada yang dapat menandinginya. Tapi, asal kau tahu saja,
banyak tokoh dari persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Dan mungkin ayahmu
harus menghadapi tokoh yang lebih tinggi ilmu dan kedigdayaannya. Sehingga
ayahmu menemui ajalnya...."
"Jadi.... Kau tidak tahu orang yang telah membunuh ayahku, Dewa Arak?" tanya
Sumini, tanpa menyembunyikan rasa kecewanya. Semula disangkanya Dewa Arak tahu
pembunuh ayahnya. "Sayang sekali, begitu kutemukan ayahmu tengah sekarat. Dan
dia hanya menyebut namamu.
Tak jauh dari tempat kejadian kutemukan segulung surat yang berisikan pesan
agar.... Maaf, Sumini aku telah lancang membukanya. Untuk jelasnya silakan kau
baca saja surat ini!" ujar Arya seraya menyerahkan gulungan daun lontar pada
Sumini. Tanpa bicara apa pun, Sumini menerima surat itu dan
membacanya. Sumini, Anakku....
Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap diriku, kuharap kau pergi
dan meminta perlindungan pada Empu Pradaga di sebelah selatan Gunung Anjasmoro
ini. Ayahmu, Raja Pedang Langit Bumi.
"Ayah...!" seru Sumini dengan suara serak karena rasa sedih yang menyeruak ke
dalam hatinya. Gadis itu tak tahan mengenangkan sang Ayah yang telah pergi untuk
selamanya. Dewa Arak membiarkan Sumini tenggelam dalam alun
kesedihannya beberapa saat.
"Sekarang kau mengerti mengapa aku harus membawamu kepada Empu Pradaga, Sumini" Dan, o ya..., ada sesuatu yang ingin
kutanyakan padamu. Apakah kau tahu kalau dalam tubuhmu tersembunyi racun ganas
yang membahayakan orang lain, tapi anehnya tidak berpengaruh sedikit pun pada
dirimu"!"
"Jadi.... Itulah sebabnya prajurit kerajaan itu tewas setelah
memeluk diriku?" sahut Sumini masih
serak suaranya. "Aku..., aku sama sekali tidak mengetahui hal itu, Arya." "Bukan hanya
prajurit itu, Sumini. Tapi juga Raja Sihir Berbaju Merah. Hanya saja karena
tenaga dalam Raja Sihir Berbaju Merah lebih kuat, dia mampu bertahan lebih
lama," jelas Arya, panjang lebar. "Kalau saja aku tidak melihat sendiri nasib
prajurit yang tewas secara mengerikan tadi, mungkin teka-teki kematian Raja
Sihir Berbaju Merah, tidak akan terjawab olehku. Ada apa..., Sumini?"
"Ah..., eh... tidak ada apa-apa, Dewa Arak," jawab Sumini agak gugup, seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
Dewa Arak diam, tidak ingin mendesak lagi setelah
mendengar jawaban itu. Tadi dia menanyakan hal itu karena dilihatnya Sumini
tengah termenung. Seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. Namun, tentu saja
meskipun yakin ada yang
disembunyikan, Arya tidak mengajukan ketidakpercayaannya atas jawaban yang diberikan Sumini.
"Kau tahu, mengapa racun ganas itu bisa berada di dalam dirimu tanpa
mencelakaimu, Sumini?"
"Tidak, Dewa Arak," jawab Sumini.
Lagi-lagi jawaban yang diberikan Sumini membuat
kecurigaan Dewa Arak semakin besar. Sebab dia tahu,
meskipun tidak mengatakannya, Sumini tidak memusatkan perhatian pada percakapan
mereka. Ada sesuatu yang tengah mengganggu pikiran gadis itu. Namun yang jelas
masalah ayahnya.
"Tapi, kurasa ayahmu tahu, Sumini," lanjut Arya dengan sikap seolah-olah tidak
tahu kalau Sumini tidak memperhatikan percakapan yang tengah berlangsung.
"Itulah sebabnya dia bermaksud membawa pada Empu Pradaga. Aku yakin, kakek itu
yang diandalkan ayahmu untuk mengobati penyakitmu yang aneh ini. Hhh...! Kalau
tak melihatnya sendiri aku tidak percaya ada racun yang bersarang di tubuh orang
dan mampu melukai orang lain. Tanpa melukai tubuh orang tempatnya bersarang.
Seakan-akan kau ini ular atau binatang berbisa lainnya."
Usai berkata demikian, Dewa Arak menolehkan kepala
ke belakang karena mendadak mendengar adanya bunyi
mencurigakan. Pendengarannya ternyata tidak salah. Dalam jarak sekitar lima
tombak di belakangnya, berdiri dengan bersandar pada sebatang pohon, seorang
nenek berpakaian serba hitam. Tubuhnya terbalut pakaian hitam, mengenakan topi
berbentuk kerucut dan sebatang payung terkepit di ketiak kanannya.
"Hik hik hik...!" nenek berpakaian hitam itu tertawa mengikik. "Tak kusangka di
tempat seperti ini akan menemukan seorang hidung belang yang tengah merayu
korbannya!"
Wajah Dewa Arak kontan berubah. Meskipun nenek
itu tidak menunjukkan ucapannya, tapi bisa diketahuinya kalau dirinyalah yang
dimaksud. "Mulutmu ternyata tajam sekali, Nek. Tidak sepantasnya ucapan seperti itu keluar dari mulut orang setua dirimu!" sahut Dewa
Arak berusaha sekuat tenaga untuk menahan
amarah, agar ucapannya tidak menandakan
kemarahan. "Kau masih
mau menyangkal, Hidung Belang"!
Rupanya kau ingin dihajar dulu baru mengaku"! Baiklah kalau itu yang kau mau!"
Belum lagi lenyap ucapannya, nenek berpakaian
hitam itu telah menubruk Dewa Arak dengan sebuah
tusukan payung ke arah perut. Namun, dengan melompat ke belakang, Dewa Arak
telah berhasil membuat serangan itu mengenai
tempat kosong. Kemudian, dengan cepat mengirimkan tendangan kaki kanan ke leher perempuan tua itu.
"Akh!"
Dewa Arak mengeluarkan pekikan tertahan. Kakinya
membalik ketika nenek berpakaian hitam itu membuka
payung untuk menangkal serangan lawan. Ketika tubuh
pemuda berambut putih keperakan agak terhuyung, nenek itu kembali melancarkan
serangan dengan sebuah tusukan ke ulu hati, pusar, dan dada secara bertubi-tubi.
Meskipun berada dalam keadaan kurang menguntungkan, Dewa Arak masih berhasil mengelakkan
serangan itu. Bahkan cepat mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah
dahsyat. Beberapa saat kemudian kedua belah pihak telah terlibat dalam
pertarungan sengit.
Pada jurus-jurus awal Dewa Arak mengalami sedikit
kesukaran menghadapi nenek berpakaian hitam itu. Senjata payung itulah yang
membuatnya kelabakan, karena dengan cepat menguncup dan membuka seiring dengan
serangan yang dilancarkan Dewa Arak. Dengan jurus seperti itu seakan memiliki pasangan
senjata pedang dan perisai.
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh,
mulai terlihat adanya perimbangan kekuatan. Kedua belah pihak mampu melancarkan
serangan jumlah serangan yang sama. Saling serang dan menangkis. Padahal Dewa
Arak belum mengeluarkan

Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu andalannya. Baik nenek bersenjata payung maupun Dewa Arak tampak berusaha
saling mendesak pertahanan lawan. Hingga pada jurus
kelima puluh, pertarungan belum berubah. Imbang. Belum tampak adanya tanda-tanda
siapa yang bakal menang.
Mendadak nenek berpakaian hitam melancarkan
tusukan beruntun dengan ujung payungnya. Sehingga
memaksa Dewa Arak melompat menjauh. Namun, nenek
berpakaian hitam itu tidak melancarkan serangan lanjutan.
Dia melompat jauh ke belakang dan melesat meninggalkan Dewa Arak. Hanya dalam
beberapa kali lesatan, tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
Dewa Arak yang memang tidak bemiat mencari
permusuhan tidak menghalangi. kepergian nenek itu. Setelah yakin musuhnya tidak
kembali lagi untuk melancarkan
serangan, ditolehkan kepalanya untuk membagi perhatian pada Sumini,
"Heh..."!"
Namun, betapa terkejutnya Dewa Arak ketika mendapati Sumini tidak berada di tempat. Rasa penasaran membuat
pemuda berambut putih keperakan itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Namun tetap saja tidak menemukan adanya
gadis berpakaian kuning itu.
"Sumini...!" seru Dewa Arak seraya melangkahkan kakinya secara serampangan,
karena tidak tahu ke mana Sumini lenyap. Lagi pula dia tidak tahu apakah Sumini
pergi sendiri atau diculik orang lain.
Sambil terus berseru, tanpa tujuan yang jelas Dewa
Arak mencari-cari Sumini. Dia merasa bertanggung jawab atas nasib gadis itu,
meskipun Raja Pedang Langit Bumi tidak
memesannya secara langsung. Namun, demi ketenteraman roh Raja Pedang Langit Bumi, dirinya berniat menyelamatkan Sumini
sampai berada di tangan Empu
Pradaga. *** Sementara itu Sumini telah berada jauh dari tempat
Dewa Arak. Gadis itu melarikan diri ketika Dewa Arak tengah terlibat pertarungan
dengan nenek berpakaian hitam. Dia menunggu sampai pemuda berpakaian ungu itu
benar-benar lengah. Dengan mengendap-endap dia meninggalkan tempat itu. Ketika
telah berjarak cukup jauh baru berlari dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya.
Entah berapa lama berlari, Sumini tidak mengetahuinya. Namun yang jelas, larinya terhenti ketika mendengar bunyi tawa
mengikik yang dikenalnya, karena tawa itu baru saja didengar. Tawa nenek
berpakaian hitam.
Sumini bermaksud menolehkan kepala ke belakang,
arah asal suara itu. Namun, maksudnya diurungkan ka rena melihat kelebatan
bayangan hitam melesat dari belakang, melewatinya. Dan ketika diarahkan
pandangannya ke depan, tepat di hadapannya telah berdiri nenek berpakaian hitam
yang tadi bertarung dengan Dewa Arak.
"Syukurlah kau dapat bertindak cepat, Sumini," ucap nenek berpakaian hitam
dengan nada suara seperti orang yang telah lama mengenal gadis berpakaian kuning
itu. "Bukankah ini semua sesuai dengan siasatmu pula, Nek"!" Sumini balas memuji. "O
ya, bagaimana dengan Dewa Arak" Apakah kau berhasil merobohkannya?"
"Hik hik hik...!"
Nenek berpakaian
hitam tertawa mengikik dan
tersenyum menggoda karena merasakan
adanya nada kekhawatiran dalam ucapan Sumini.
"Kau tidak usah khawatir, Cucuku. Dewa Arak tidak apa-apa. Dia lihai sekali.
Lagi pula, andaikata aku mampu merobohkannya, tak akan mungkin kulukai orang
yang telah berjasa menolongmu berkali-kali itu," ucap nenek berpakaian hitam
bernada menghibur.
"Kau..., kau mengetahui semua itu, Nek?" tanya Sumini setengah tidak percaya.
"Tentu saja!" sahut nenek berpakaian hitam, tegas.
"Sayang, kedatanganku terlambat hingga tidak sempat mencegah mereka membunuh
Jaya Katwang, suamiku! Tapi, aku sempat melihat tindakan Raja Sihir Berbaju
Merah terhadap dirimu, hanya saja aku sengaja membiarkannya.
Sebab aku mempunyai sebuah rencana terhadapmu!"
"Rencana"!" ulang Sumini dengan alis ber-kerut.
"Rencana apa, Nek"!"
"Baiknya kuceritakan secara lengkap saja agar kau tidak terus bertanya-tanya dan
masalahnya menjadi jelas,"
ucap nenek berpakaian hitam yang ternyata nenek Sumini.
Sebab nenek itu ibu kandung Raja Pedang Langit Bumi.
Kemudian secara singkat tapi jelas, nenek berpakaian hitam itu menceritakan
semuanya. Berkali-kali Sumini yang mendengarkan cerita itu mengeluarkan jeritan
kaget karena tidak menyangka akan seperti itu berita yang didengarnya.
"Nah, begitulah
ceritanya, Sumini," ujar nenek
berpakaian hitam menutup ceritanya. "Sekarang, tibalah saatnya untuk
merampungkan rencana yang telah lama
kususun. Kau akan kujadikan orang sakti! Hik hik hik...!"
*** Sumini berlari cepat meninggalkan tempat pertemuannya dengan nenek berpakaian hitam itu yang
ternyata nenek kandungnya sendiri. Sungguh pun demikian, gadis berpakaian kuning
itu tidak lupa untuk bertindak hati-hati karena jalan yang ditempuhnya menurun.
Sumini memang bermaksud turun gunung.
Selama ini Sumini tidak pernah turun gunung.
Tinggal di Gunung Anjasmoro itu pun karena ikut ayahnya melarikan diri dari
kejaran pasukan kerajaan, dan untuk yang pertama kalinya. Tambahan lagi, dia
turun melewati jalan yang belum dikenal. Akibatnya dia tersesat karena tidak
tahu arah. Sampai akhirnya tiba di sebuah anak bukit yang merupakan tanah
pekuburan yang amat luas.
Sumini berlari terus dengan maksud hendak melewati
bukit tanah kuburan itu. Namun tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri, dan kedua
kakinya menggigil. Seolah sengaja dia berhenti. Hatinya terkejut merasa takut,
mendengar suara tawa berkakakan, sedang orangnya belum tampak. Suara tawa itu
tidak seperti biasa. Seolah-olah bukan suara manusia. Ibliskah atau suara mayat!
Meskipun bukan gadis yang penakut, mendengar
suara tawa mengerikan seperti itu Sumini tak dapat
menahan. Tubuhnya merinding ketakutan. Apalagi tempat itu merupakan kuburan.
Hampir sa ja gadis berpakaian kuning itu berlari tunggang langgang kalau tidak
ingat bahwa saat itu siang hati. Dia yakin setan atau hantu takkan muncul di
siang hari. Keyakinan itulah yang menumbuhkan keberanian di
hati Sumini. Sekarang dia menduga kalau suara tawa itu keluar dari mulut seorang
tokoh persilatan yang mempunyai tenaga
dalam cukup kuat. Maka, tanpa ragu-ragu dilangkahkan kakinya menuju asal suara.
Sebelum Sumini sampai di tempat yang dituju, dari
balik salah satu kuburan tampak sesosok tubuh. Rupanya dia sejak tadi merebahkan
diri sehingga tidak terlihat oleh Sumini.
Dan ketika Sumini melihatnya, kontan dia menggeram. Dikenalinya betul sosok itu sebagai Setan Ular Karang! Orang yang
hampir membuatnya menjadi orang
terhina selamanya!
"Iblis keji! Sekarang kau harus terima balasan atas kejadian yang kau lakukan!"
seru Sumini keras penuh kemarahan. Dia teringat akan nasib yang hampir menimpa
dirinya. Juga kematian Jaya Katwang, kakeknya.
Setan Ular Karang terperanjat mendengar bentakan
gadis itu. Buru-buru tubuhnya dibalikkan! Ketika melihat siapa yang barusan
membentaknya lelaki berpakaian coklat itu merasa lega.
"Ah.... Kebetulan sekali kau datang kemari, Anak Manis. Aku memang tengah ingin
menggeluti tubuh seorang wanita. Kemarilah, Anak Manis! Kita bermain cinta,"
ucap Setan Ular Karang sambil melambaikan tangan.
Terlihat gembira sekali tokoh sesat yang berwajah
hitam ini. Bukan hanya karena dia ingin bermain cinta dengan Sumini. Harinya
merasa lega ketika mengetahui orang
yang menegurnya ternyata Sumini. Semula disangkanya orang yang da tang Raja Sihir Berbaju Merah atau Kerbau Bertenaga
Raksasa untuk merampas pusaka
Raja Pedang Langit Bumi da ri tangannya.
Memang, pusaka Raja Pedang Langit Bumi berada di
tangan Setan Ular Karang. Tokoh sesat yang licik itu berhasil melarikan diri
dengan membawa pusaka itu. Sedangkan
Kerbau Bertenaga Raksasa yang mengejarnya, tidak berhasil karena telah
kehilangan jejak lelaki berwajah hitam ini.
Di tempat pekuburan yang letaknya tersembunyi ini,
Setan Ular Karang tinggal dan
mempelajari ilmu-ilmu
peninggalan Raja Pedang Langit Bumi. Dia berlatih keras agar cepat dapat
mempelajari ilmu-ilmu Raja Pedang Langit Bumi.
Namun baru dua hari, tempat persembunyiannya yang
terpencil berhasil diketemukan Sumini.
Sementara itu Sumini menatap penuh kebengisan
pada Setan Ular Karang. Kemarahan seketika terbangkit melihat lelaki berwajah
hitam itu. "Temuilah setan-setan di neraka, Iblis Keji!" dengus Sumini sambil menubruk maju
dengan jari-jari tangan kiri terbuka meluncur ke arah muka Setan Ular Karang.
Gerakannya begitu cepat mengarah kedua bola mata lawan.
Dan dari sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang kuat! Setan Ular Karang
terkejut melihat serangan cepat Sumini. Namun dengan cepat pula tokoh berwajah
hitam itu menarik tubuhnya ke belakang.
Plak! Rrrt! "Hey! Kembalikan kitabku!" Setan Ular Karang berseru marah dan kaget ketika
melihat Sumini dengan tenangnya memasukkan sebuah kitab ke balik baju. Setan
Ular Karang tidak tahu bagaimana kitab milik Raja Pedang Langit Bumi yang berada
di pinggangnya bisa diambilnya dengan begitu cepat. Dia hanya merasa ketika
menarik tubuh ke belakang, kitab itu diserobot dengan kecepatan kilat. Dan tahu-
tahu kitab itu telah lenyap dari pinggangnya.
Dengan sepasang mata terbelalak marah bercampur
kaget Setan Ular Karang menatap wajah Sumini lekat-lekat.
Benarkah gadis ini telah menjadi demikian lihainya" Padahal, beberapa hari yang
lalu, dengan sebelah tangan pun dia sanggup mengalahkan gadis itu. Tapi
sekarang" Ataukah dia tadi yang bertindak terlalu memandang rendah" Pikiran-
pikiran seperti itu berkecamuk di benak Setan Ular Karang.
Memang dugaan Setan Ular Karang ada benarnya.
Keberhasilan Sumini merampas kitab itu dari pinggangnya, sebagian besar terjadi
karena Setan Ular Karang menganggap remeh. Di samping itu, tak jelas kalau
Sumini ternyata memiliki gerakan yang sangat cepat.
Sumini tersenyum tenang bercampur gembira melihat
keberhasilan usahanya. Dia tidak merasa heran sama sekali meskipun telah
berhasil merampas kitab dengan cara cukup menakjubkan.
"Kitabmu" Lupakah kau kalau engkau mencuri kitab ini dari tempat tinggalku"
Kitab ini milikku! Enak saja kau mengaku-aku...!"
"Keparat! Rupanya kau ingin mati secara mengerikan, Wanita Sundal" Akan
kuperkosa sampai mati!"
Belum habis gema ucapan itu, Setan Ular Karang
telah meluruk maju melancarkan serangan. Karena marah, dan tahu kalau Sumini
telah memiliki kepandaian lebih hebat dari sebelumnya, dia langsung mengeluarkan
ilmu 'Ular Karang' yang diandalkannya. Kedua tangannya hingga
sebatas pergelangan berubah warna hitam legam. Suara berdesit
dan menderu nyaring mengiringi tibanya serangannya. Tapi Sumini sekarang bukankah Sumini beberapa
hari yang lalu, yang dapat dengan mudah diro-bohkan.
Laksana bayangan tubuhnya berkelebat ke sana kemari di antara sambaran-sambaran
kedua tangan Setan Ular Karang.
Setan Ular Karang menggeram. Beberapa jurus sudah
dilancarkan untuk menyerang, tapi tak satu pun yang
mengenai sasaran. Serangan-serangan yang dilancarkan pun semakin dahsyat.
Sejauh itu Sumini belum memperlihatkan perlawanan
yang berarti. Dia hanya mengelakkan setiap serangan Setan Ular Karang dengan
menggunakan kelincahannya. Hati
Sumini merasa gembira sekali ketika melihat serangan-serangan lawan, tidak satu
pun yang dapat menyentuh
tubuhnya. Hal ini memang pertanda kalau kepandaiannya telah meningkat pesat
Pada jurus kedua belas, untuk kesekian kalinya
kedua tangan Setan Ular Karang meluncur ke arah leher.
Dengan cepat Sumini memiringkan kepalanya sedikit, dan bersamaan dengan itu
tangannya menampar.
Plak! Sumini menampar dengan menggunakan sebagian
tenaganya, dan mengenai pipi kiri Setan Ular Karang. Namun akibatnya cukup untuk
membuat tubuh lelaki berwajah


Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam itu terbanting dan bergulingan. Ketika Setan Ular Karang meloncat bangun,
pipinya telah bengkak membiru, dan beberapa giginya di pinggir kiri copot!
Sesaat Setan Ular Karang menggetarkan kepala,
karena dirasakan pening sekali, sambil tangannya mengusap darah di mulut
"Cuhhh!"
Sambil meludahkan gigi dan darah, Setan Ular Karang
menatap Sumini yang berdiri tenang, dengan amarah
berkobar-kobar. Sekarang, tokoh sesat berwajah hitam ini tahu kalau entah dengan
cara bagaimana Sumini telah
mampu menguasai kepandaian tinggi. Diam-diam dia merasa gentar. Disadari kalau
dirinya bukan tandingan Sumini.
Meskipun demikian Setan Ular Karang tidak rela meninggalkan kitab Raja Pedang Langit Bumi yang baru sedikit
dipelajarinya. Dia bertekad untuk melakukan perlawanan. Setan Ular Karang mengeluarkan sebatang suling
kecil dari pinggangnya dan bermaksud meniupnya. Ini adalah salah satu
keistimewaan ilmu yang dimilikinya. Dengan meniup suling kecil dari bambu itu
dia ma mpu memanggil dan memerintahkan ular-ular agar membantu dirinya.
"Heaaakh...!"
Namun sebelum suling bambu kecil itu menempel di
mulut mendadak Setan Ular Karang melolong menyayat hati sambil memegang dan
kemudian menggeruk-garuk pipi
kirinya yang telah menghitam. Sesaat kemudian tubuh Setan Ular Ka rang ambruk
dan sampailah ajalnya.
Sumini menatap tubuh lawannya yang tergolek di
tanah setelah menabrak sebuah kuburan. Kemudian gadis berpakaian kuning ini
mendongakkan kepalanya ke atas.
"Tenanglah di alam baka, Kakek! Satu pembunuhmu telah berhasil kubinasakan! Aku
berjanji akan mencari yang dua orang lagi...."
Setelah menundukkan kepala beberapa saat untuk
mengheningkan cipta atas arwah Jaya Katwang, Sumini
melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya mencari dan membalas dendam terhadap
pembunuh-pembunuh kakek
dan ayahnya. 4 Hari telah senja ketika Sumini memasuki mulut
sebuah desa di kaki Gunung Anjasmoro. Rasa lapar
membuatnya melangkahkan kaki menuju sebuah kedai yang terletak di pinggir jalan.
Namun baru sebelah kakinya memasuki ambang
pintu kedai, dia terperanjat melihat sosok-sosok tubuh yang bergelimpangan tak
tentu arah di lantai. Meja dan kursi berserakan. Begitu pula perabotan kedai itu
pecah dan berantakan.
"Uhhh...!"
Suara rintihan dari dalam kedai membuat Sumini
melangkah masuk dan menghampiri seorang lelaki bertubuh kekar yang tengah
berusaha bangkit. Lelaki inilah yang lukanya tidak terlalu parah.
"Apa yang terjadi, Ki" Siapa yang melakukan hal ini?"
tanya Sumini, ketika tubuhnya sudah berjongkok di dekat lelaki kekar itu. Bunyi
gemeretak keras dari mulutnya menandakan kalau gadis berpakaian kuning ini
dilanda perasaan geram.
"Seorang lelaki berkepala botak datang menanyakan tentang seorang lelaki
berpakaian serba coklat dan bermuka hitam pada kami semua. Begitu mendapat
jawaban tidak tahu, karena kami semua memang tidak mengetahuinya, dia mengamuk
dan menganiaya kami semua. Beberapa orang
yang mempunyai kemampuan mencoba untuk melawan, tapi dia lihai sekali. Dan juga
kebal! Dengan mudah perlawanan orang-orang itu dipatahkannya," tutur lelaki
kekar itu panjang lebar.
"Sekarang ke mana perginya orang itu?" tanya Sumini.
Dia dapat menduga kalau orang yang melakukan kekejian itu Kerbau Bertenaga
Raksasa yang tengah mencari-cari Setan Ular Ka rang.
"Dia baru saja pergi ke arah barat," jelas lelaki kekar itu.
Sumini tersenyum gembira mendengar jawaban yang
jelas itu. "Bukankah lelaki berkepala botak itu bertelanjang dada. Dan mempunyai bulu-bulu
tebal di dadanya?" tanya Sumini untuk mencari kepastian.
"Benar!" sahut lelaki kekar seraya mengangguk.
Tanpa mengucapkan
terima kasih lagi, Sumini melesat kabur meninggalkan kedai. Dan berlari cepat ke arah perginya lelaki
berkepala botak yang diduganya Kerbau Bertenaga Raksasa itu. Lelaki kekar itu
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat gadis di hadapannya tahu-tahu lenyap. Dia
hanya melihat kelebatan bayangan kuning melesat keluar kedai dan seterusnya
lenyap. Sumini terus berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki. Pemberitahuan kalau Kerbau Bertenaga Raksasa
belum la ma meninggalkan kedai, membuatnya ingin segera memburunya. Gadis
berpakaian kuning itu telah lupa niatnya semula untuk makan di kedai.
Ternyata pemberitahuan yang didapat tidak sa lah.
Belum lama berlari, Sumini telah melihat sesosok tubuh di kejauhan.
Kenyataan ini membuat Sumini semakin bersemangat, dan larinya pun semakin cepat. Sehingga jarak antara sosok di depan
dengan dirinya semakin dekat. Betapa girang
hatinya ketika mengetahui kalau sosok yang dikejarnya itu ternyata Kerbau Bertenaga Raksasa
"Berhenti kau, Iblis Keji!" seru Sumini sambil terus berlari.
Kerbau Bertenaga Raksasa terkejut tersentak kaget
mendengar bentakan itu. Belum juga kepalanya sempat
ditolehkan tahu-tahu sosok bayangan kuning telah melesat melewati atas kepala,
lalu berdiri menghadang di depannya.
Laksana sehelai daun kering Sumini menjejak tanah.
"Ha ha ha...!"
Setelah tertegun sejenak, memperhatikan sosok yang
berdiri di hadapannya, Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa bergelak.
"Kiranya kau, Bocah Cilik"! Sungguh berani mati kau menghadang jalanku! Apakah
kau telah mempunyai nyawa rangkap" Kudengar kau jadi buronan kerajaan...,
biarlah kau kutangkap untuk kuserahkan pada mereka. Siapa tahu aku mendapat
ganjaran kedudukan tinggi!"
Sambil berkata demikian, Kerbau Bertenaga Raksasa
melangkah menghampiri Sumini dengan sikap memandang
rendah. Dia benar-benar tak menyadari bagaimana gadis berpakaian kuning itu
mampu menghadang di depannya
tanpa menimbulkan suara. Yang teringat olehnya, Sumini adalah seorang gadis
lemah. Baru Kerbau Bertenaga Raksasa melangkah beberapa
tindak, sambil tersenyum sinis, Sumini mengambil sesuatu dari balik pakaiannya.
"Apakah kau tidak tertarik dengan ini, Kerbau Gila?"
tanya Sumini seraya mengacung-acungkan
kitab milik ayahnya di depan wajah.
Kerbau Bertenaga Raksasa terkejut dengan mata
terbelalak melihat kitab yang amat diinginkannya berada di tangan Sumini.
Keterkejutan ini membuatnya tak sempat marah mendengar sapaan Sumini tadi
"Dari mana kau dapatkan kitab itu?" tanya Kerbau Bertenaga Raksasa dengan suara
bergetar karena perasaan tegang dan heran melanda hatinya.
Kerbau Bertenaga Raksasa tidak langsung merampas
kitab di tangan Sumini karena masih merasa heran dari mana dan bagaimana pusaka
Raja Pedang Langit Bumi itu berada di tangan Sumini. Bukankah kitab itu berada
di tangan Setan Ular Karang. Ataukah kitab yang diberikan kepada tokoh sesat
berwajah hitam itu palsu belaka. Dan di tangan gadis inilah yang asli"
"Tidak usah kau tahu dari mana aku mendapatkannya, Kerbau! Yang penting apakah kau tidak menginginkannya" Kalau kau
mau cepatlah sebelum aku
membakarnya!" tantang Sumini tenang.
Ucapan Sumini menyadarkan
Kerbau Bertenaga
Raksasa akan hal yang harus dilakukannya. Maka sambil melangkah maju dengan
cepat tangan kanannya bergerak merampas kitab yang ditimang-timang Sumini.
Wuttt! Tangkapan Kerbau Bertenaga Raksasa mengenai
angin ketika Sumini menarik tubuh bagian atasnya ke
belakang tanpa menggeser kaki. Karuan saja hal itu
membuat lelaki berkepala botak penasaran. Kembali tangannya diayunkan untuk merampas, tapi tidak hanya sekali digerakkan melainkan
berkali-kali. Seperti juga sebelumnya, usaha Kerbau Bertenaga
Raksasa mengalami kegagalan. Padahal Sumini sama sekali tidak bergeser dari
tempatnya. Dia hanya menggerak-gerakkan kedua tangan dan tubuh bagian atasnya,
kadang ke kiri dan kadang ke kanan, serta sesekali ke belakang.
Kenyataan ini menyadarkan Kerbau Bertenaga Raksasa kalau Sumini ternyata memiliki kepandaian tinggi.
Gadis itu memiliki kecepatan gerak yang menakjubkan.
"Hanya sampai di situ sajakah kemampuanmu,
Kerbau?" ejek Sumini yang memang bermaksud mempermainkan Kerbau Bertenaga Raksasa sebelum membunuhnya. Kerbau Bertenaga Raksasa mendengus keras, karena
kemarahan yang menggelegak. Kemudian serangan-serangan lanjutan dengan
pengerahan seluruh kemampuan pun
dilancarkan. Melihat serangan lawan semakin ganas, Sumini pun
tak tinggal diam. Dan, sesaat kemudian, kedua belah pihak telah terlibat dalam
pertarungan sengit. Namun hanya beberapa jurus saja Kerbau Bertenaga Raksasa
mampu melakukan perlawanan sengit. Menginjak jurus ketiga belas, serangan-serangan
yang dilakukannya semakin berkurang.
Dia lebih banyak mengelak, bahkan menangkis pun jarang dilakukan karena selalu
mengakibatkannya bergetar hebat.
Kerbau Bertenaga Raksasa kalah dalam hal tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Dengan keunggulan itulah
Sumini dapat mendesaknya.
Pada jurus ketujuh
belas Sumini melancarkan
tendangan lurus ke arah leher. Kerbau Bertenaga Raksasa mengelakkannya dengan
menundukkan tubuh. Namun secepat kilat, Sumini menarik kakinya, dan meluncurkan lagi dengan sebuah
tendangan ke arah kepala.
Prak! "Aaakh...!"
Kerbau Bertenaga Raksasa meraung keras ketika
kepalanya remuk. Darah bercampur otak berhamburan dari kepala yang pecah.
Tubuhnya ambruk saat itu juga.
"Hhh...!"
Sumini menghela napas lega melihat lawannya telah
tewas berlumuran darah. Dihapus peluh yang membasahi dari pipi dan leher dengan
lengan bajunya.
"Bagus sekali...!"
Tiba-tiba terdengar suara pelan tanpa pengerahan
tenaga dalam. Meski begitu tetap membuat Sumini terperanjat dan menolehkan kepala ke belakang. Tampak seorang kakek berpakaian
abu-abu, dan bermuka merah
berdiri di belakang dengan melipat kedua tangan di dada.
Jantung Sumini langsung berdebar keras ketika
melihat sosok berpakaian abu-abu. Tubuh yang tinggi kekar dan sebuah penutup
kepala berbentuk setengah tempurung kelapa berwarna hitam yang bertengger di
atas kepala. Sosok hitam itu mengingatkannya akan cerita ayahnya.
"Inikah Barnaba, petapa di lereng Gunung Welirang yang turun gunung karena ingin
membaktikan diri pada Kerajaan Samodra dengan menangkap ayahku" Setelah
bertahun-tahun para prajurit tak berhasil menangkap Raja Pedang Langit Bumi.
Hm.... Inikah tokoh sakti yang telah membunuh Ayah...?" pertanyaan-pertanyaan
seperti itu seketika berkecamuk di benak Sumini.
"Kaukah tokoh yang bernama Barnaba?" tanya Sumini dengan
suara bergetar karena perasaan
tegang yang melanda. Raja Pedang Langit Bumi pernah cerita pada Sumini
akan seorang tokoh sakti yang mempunyai ciri-ciri seperti ini.
"Dan kau putri Raja Pedang Langit Bumi"!" sosok abu-abu itu malah balas


Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengajukan pertanyaan. "Kalau dirimu bukan seorang bocah ingusan, mungkin sudah
kubawa ke kerajaan karena telah berani memberontak!"
Sumini menggertakkan gigi menahan amarah yang
menggelegak di dadanya. Dia tak heran sama sekali kalau kakek berpakaian abu-abu
ini bisa menebak dirinya dengan tepat. Sebab hatinya yakin kakek ini telah
menyaksikan pertarungannya tadi dengan Kerbau Bertenaga Raksasa.
"Kaukah pembunuh ayahku"!" tanya Sumini lagi dengan suara parau dan bergetar.
Kemarahannya seakan sudah tak mampu dibendung lagi. Dan sekali saja, kakek
berpakaian Tiga Dara Pendekar 8 Pendekar Bloon 4 Betina Dari Neraka Istana Yang Suram 12
^