Pencarian

Perempuan Pembawa Maut 2

Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut Bagian 2


abu-abu itu menganggukkan kepala atau mengiyakan Sumini akan menerjangnya dengan hebat
Kakek berpakaian abu-abu yang bernama Barnaba itu
hanya tertawa terkekeh, tidak mengiyakan atau membantah pertanyaan
Sumini. Kemudian dibalikkan tubuhnya, bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Berhenti, Keparat! Heaaa...!"
Sumini melompat menerjang dan
langsung me lancarkan serangan.
Deru angin keras berhawa dingin yang menusuk
tulang mengiringi ribanya serangan, dengan kedua tangan terbuka gadis itu
menghantam ke arah dada Barnaba.
"Hmh!"
Sambil mendengus dibalikkan tubuhnya. Barnaba
menyambut pukulan Sumini dengan dorongan kedua tangannya seraya mengeluarkan seluruh tenaga dalam. Tak pelak lagi, hawa panas
yang menyengat melingkupi sekitar tempat
itu ketika pertapa Gunung Welirang itu menghentakkan kedua tangannya.
Bresss! Tumbukan keras antara dua pasang tangan yang
sama-sama dialiri tenaga dalam kuat dan mengandung hawa berlawanan itu tak
terelakkan. Sumini terjengkang kembali ke belakang dengan hawa panas menjalari
sekujur badan. Sedangkan Barnaba hanya bergoyang-goyang tubuhnya.
"Berhenti, Keparat! Heaaa...!" Sumini melompat dan langsung melancarkan
serangan. "Hmh!" Sambil mendengus, Barnaba membalikkan tubuhnya. Lalu, kedua tangannya
didorongkan menyambut pukulan Sumini.
Bresss! Kemudian, tanpa mempedulikan Sumini yang masih
berusaha untuk mengusir hawa panas di tubuhnya, Barnaba melesat meninggalkan
tempat itu sambil mengerahkan tenaga panas untuk mengusir hawa dingin yang
menjalar ke dalam tubuhnya.
Sumini hanya bisa menggertakkan gigi penuh perasaan kesal, sambil menatap tubuh Barnaba yang
semakin menjauh. Dia tidak mampu mencegah kepergian
Barnaba karena hawa panas masih dirasakan menyengat di tubuhnya. Andaikata
dibiarkan bagian tubuhnya akan
terluka dalam. Yang bisa dilakukan sekarang harus segera mengusir hawa panas itu
keluar dari tubuhnya, sambil berusaha untuk memulihkan tenaga. Dirinya sadar
dalam keadaan seperti ini tidak mungkin mampu menandingi
Barnaba yang sakti. Tenaganya telah berkurang jauh setelah bertarung menghadapi
Kerbau Bertenaga Raksasa.
Oleh karena itu, setelah berhasil mengusir hawa
panas yang menyergap sekujur tubuh, dilangkahkan kakinya menghampiri semak-semak
yang berada di sekitar tempat itu.
Sumini bermaksud menjalankan semadi guna memulihkan
tenaga dalamnya. Hatinya sudah tak sabar untuk menghadapi Barnaba.
*** "Itu dia orangnya!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras yang membuat
Sumini menghentikan
semadi dan membuka sepasang
matanya. Gadis berpakaian kuning ini tidak tahu berapa lama dia bersemadi, tapi
yang jelas hari telah malam. Untung saja ada sang Dewi Malam bersinar cukup
terang, sehingga keadaan di persada tidak gelap pekat.
Dalam siraman sinar bulan terlihat oleh Sumini
serombongan orang-orang berpakaian seragam prajurit kerajaan. Sumini buru-buru bangkit begitu rombongan prajurit
Kerajaan Samodra itu bergerak mengepungnya. Sepasang matanya memancarkan
kebengisan ketika melihat seorang pemuda
tampan berkumis tipis berada di belakang rombongan prajurit itu. Sosok itu begitu dikenalinya. Dialah Pranacitra, Kakak
seperguruan Sumini yang ketika terjadi pertikaian antara para Brahmana dengan
kerajaan, justru memihak kerajaan. Meskipun harus bermusuhan dengan
gurunya, Raja Pedang Langit Bumi.
Pranacitra mengayunkan langkah menyibak beberapa
orang prajurit yang menghalangi jalan. Sekarang dia berdiri paling depan,
berhadapan dengan Sumini. Dalam sekilas saja, pemuda berkumis tipis ini telah
mengenali Sumini.
"Apakah kau tidak keliru?" Pranacitra menoleh ke arah
prajurit pendek kekar yang tadi menunjukkan keberadaan Sumini. "Benarkah gadis ini yang tadi berkelahi dengan Kerbau
Bertenaga Raksasa, dan dia memegang
sebuah kitab berwarna kuning?"
"Benar, Panglima. Dialah yang telah membunuh
Kerbau Bertenaga Raksasa," tegas prajurit pendek kekar penuh
kesungguhan karena merasakan adanya nada ketidakpercayaan dalam pertanyaan Pranacitra.
Sumini yang mendengar percakapan itu melongo.
Pranacitra telah menjadi Panglima Kerajaan Samodra" Luar biasa" Kalau tidak
mendengar dan menyaksikan sendiri, dia tidak akan percaya.
Sumini tidak tahu kalau Pranacitra diangkat menjadi
salah satu Panglima Kerajaan Samodra atas jasanya
Pranacitra selalu ikut campur dan membantu pasukan
Kerajaan Samodra dalam menghadapi perlawanan orang-
orang yang tidak mau menuruti perintah Raja Pancawala.
Penguasa Kerajaan Samodra memerintahkan kepada
semua orang di lingkungan kerajaan untuk menganggap
dirinya sebagai dewa dan menyembahnya. Saat itu, para prajurit kerajaan
kewalahan harus menghadapi banyak orang pandai. Dan karena jasa Pranacitra
itulah rombongan
prajurit kerajaan memperoleh kemenangan. Maka Pranacitra mendapat anugerah
sebagai Panglima Kerajaan Samodra. Dia memimpin pasukan Kerajaan Samodra dalam
menumpas orang-orang yang menentang perintah raja.
Karena keheranan melihat Pranacitra menjadi Panglima Kerajaan Samodra, Sumini tampak tercengang
keheranan. Dia masih berdiri dengan pikiran melayang ke sana kemari.
Sementara itu, begitu mendengar jawaban bernada
sungguh-sungguh dari prajurit pendek kekar, Pranacitra langsung mengerutkan
alis. Dia bingung bukan kepalang.
Benarkah Sumini yang telah membunuh Kerbau Bertenaga Raksasa" Rasanya mustahil!
Dia tahu betul sampai di mana kemampuan
ilmu gadis berpakaian
kuning itu. Tapi,
mungkinkah prajurit pendek kekar itu berbbhong" Rasanya tidak mungkin juga.
Karena tahu, tak akan dapat menjawab pertanyaan itu dengan berpikir. Pranacitra
membuang jauh-jauh pertanyaan yang menggayut di benaknya itu.
"Menyerahlah Sumini! Tidak ada gunanya melawan.
Percuma! Kau tidak bisa menang...! Kalau dulu kau dan ayahmu menuruti kehendak
kerajaan, nasibmu tak akan
sengsara seperti ini. Menyerahlah, Sumini! Biar bagaimanapun kau tetap adik seperguruanku. Kau tahu, aku tak ingin dirimu harus
tersiksa. Percayalah, aku akan memohon ampunan kepada Baginda Raja Pancawala.
Ya. Setidak-tidaknya agar hukuman yang akan dijatuhkan
kepadamu, dapat diperingan.... Ayolah, Sumini!" dengan sopan dan lemah lembut
Panglima Kerajaan Samodra itu berusaha membujuk Sumini.
Mendengar bujuk rayu yang lembut itu Sumini
tercenung. Pikirannya tiba-tiba merenung ke masa silam.
Beberapa tahun lalu Pranacitra begitu baik kepadanya. Suatu masa-masa indah yang
sulit dilupakannya. Pranacitralah yang sering membimbingnya. Diakui, memang
pemuda tampan itulah yang sangat diakrabinya. Bahkan lebih erat dibanding terhadap
ayahnya sendiri.
Namun kenangan tinggallah kenangan. Hal itu terjadi
jauh sebelum Pranacitra tergiur kedudukan dan mabuk
jabatan. Kini Pranacitra telah menjadi pengkhiahat perguruan. Murid murtad yang tidak mendukung kesetiaan pada gurunya. Mengingat
sikap yang menyakitkan itu Sumini menggertakkan gigi menahan geram.
"Tutup mulutmu, Pengkhianat...!"
sahut Sumini dengan geram, "Aku bukan orang bejat sepertimu yang sudi menjilat pantat raja
lalim itu. Kau telah mabuk kemewahan dan kedudukan, Prana! Kau telah lupa
tanggung jawabmu sebagai seorang murid perguruan...!"
Mendengar ucapan yang menyindir itu Panglima
Pranacitra tersenyum sinis.
"Hhh.... Dasar keras kepala...!"
"Heaaa...!"
Dengan diawali teriakan melengking nyaring, Sumini
melompat meneriang bekas kakak seperguruannya.
"Ah!"
Pranacitra terpekik kaget tanpa sadar ketika merasakan adanya sambaran angin keras berhawa dingin keluar dari serangan
Sumini. Meskipun demikian, dia tetap menganggap remeh. Sebab, dulu dia paham
benar beberapa ilmu yang dimiliki Sumini. Tanpa ragu-ragu dipapaknya terjangan
Sumini seraya mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Pranacitra
bermaksud segera merobohkan Sumini dalam segebrakan!
Bresss! "Aaakh...!"
Panglima Kerajaan Samodra itu terpekik keras.
Tubuhnya terlontar deras ke belakang seperti daun kering ditiup angin, lalu
terbanting dan bergulingan di tanah. Dan ketika akhirnya berhasil bangkit,
pemuda berkumis tipis ini menggigil karena adanya aliran hawa dingin
menyerangnya. Belum juga rasa kaget yang melandanya lenyap,
Sumini telah melancarkan serangan susulan. Dengan cepat sekali tangannya
menampar pelipis, sambil mencengkeram dengan tangan kiri ke pusar Pranacitra!
Dua buah serangan maut yang dilancarkan secara cepat dan bersamaan.
Pranacitra mengenal serangan maut itu. Maka buru-
buru tubuhnya dibanting ke tanah dan bergulingan menjauh.
Namun Sumini mengejarnya. Untung saja belasan prajurit Kerajaan Samodra yang
melihat adanya ancaman bahaya
maut, segera bertindak cepat menghadang Sumini. Mereka langsung menghujaninya
dengan serangan secara bersamaan.
Sumini marah, melihat tindakannya terhalang. Serangannya terhadap Pranacitra terpaksa dibatalkan. Dan sekarang kedua
tangannya digunakan untuk menangkis
hujan senjata yang mengancam keselamatan nyawanya.
Seketika para prajurit tersentak kaget. Mata mereka
terbelalak,

Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan tidak percaya melihat senjatanya berpatahan tersambar tangan Sumini. Bahkan para penyerangnya langsung terjengkang dan berjatuhan ke
tanah. Lagi-lagi Sumini tidak sempat meneruskan tin-
akannya. Karena Pranacitra telah lebih dulu melancarkan serangan.
Pedang yang menjadi senjata andalannya ditusukkan ke leher Sumini. Namun tanpa menemui
kesulitan putri Raja Pedang Langit Bumi ini mengelakkannya.
Pertarungan semrawut pun berlangsung.
5 Sekarang Pranacitra percaya akan keterangan prajurit pendek kekar, bahwa Sumini
telah membunuh Kerbau
Bertenaga Raksasa. Bekas adik seperguruannya itu ternyata sekarang telah
memiliki kemampuan yang hebat. Padahal, dia dan prajurit kerajaan telah
mengeroyoknya. Namun sedikit pun Sumini tidak terdesak. Bahkan pihak Pranacitra
yang kewalahan. Beberapa prajurit telah bergelimpangan tanpa nyawa di tanah
akibat amukan putri Raja Pedang Langit Bumi itu. Pranacitra menyadari bahwa saat
ini ilmu yang dimiliki Sumini bahkan berada di atas ayahnya. Entah bagaimana hal
itu bisa terjadi, Pranacitra merasa tak habis pikir.
Pranacitra mengeluarkan siulan nyaring dari mulutnya, seraya terus melakukan perlawanan. Sumini tahu kalau
bekas kakak seperguruannya itu akan mempergunakan siasat, tapi sedikit pun dia tak gentar, bahkan
seakan tidak mempedulikannya.
Terus saja dilancarkan desakan, meskipun empat orang prajurit yang ikut mengeroyok, berlari
meninggalkan kancah pertarungan.
Perginya empat orang prajurit membuat kekuatan
Pranacitra dan sisa anak buahnya semakin melemah.
Namun, Panglima Kerajaan Samodra itu terus melakukan perlawanan,
sungguhpun korban di pihaknya terus berjatuhan. Mendadak Pranacitra melemparkan serbuk dari tangan kirinya ke arah Sumini Terpaksa gadis ini melempar tubuh ke belakang
khawatir serbuk itu beracun.
Namun rupanya tindakan itu hanya merupakan siasat
belaka. Karena begitu Sumini melompat mundur, Pranacitra melarikan diri.
Menyusul empat prajuritnya. Melihat hal itu sisa dua prajurit yang
mendampingi Pranacitra, ikut
melarikan diri. Namun hanya dengan sekali lesatan, Sumini telah melewati mereka.
Dengan cepat Sumini melancarkan serangan yang membuat nyawa kedua prajurit sial
itu tewas seketika.
Sumini tidak mempedulikan hal itu dan
terus melakukan pengejaran terhadap Pranacitra. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang
berada di atas Pranacitra, bekas kakak seperguruannya itu disusul. Mendadak...
Rrrttt! "Heh..."!"
Hati Sumini tersentak kaget Tubuhnya terangkat
dengan kaki di atas, ketika pergelangan kaki kanan terjerat sesuatu. Dan sebelum
gadis berpakaian kuning itu sadar, tubuhnya telah tergantung dengan kepala di
bawah. "Ha ha ha...!"
Pranacitra membalikkan tubuh dan berlari mendekatinya ketika melihat tubuh Sumini tergantung di atas cabang pohon besar.
Sumini tidak berdaya untuk
melepaskan diri karena pedangnya telah terjatuh saat tubuhnya tergantung.
Sedangkan tali jerat sangat kuat dan tidak bisa diputuskan dengan pengerahan
tenaga dalam. Sumini menggertakkan gigi karena marah dan geram
melihat kelicikan lawan. Dia tahu sekarang, empat prajurit yang pergi lebih dulu
telah diperintahkan untuk membuat perangkap ini. Dan ternyata usaha mereka tidak
sia-sia Sumini masuk perangkap! Kemenangan pun berada di
tangan Panglima Pranacitra.
"Pranacitra, Pengecut Hina! Penjilat pantat raja lalim, pengkhianat busuk! Kalau
kau mau, lekas bunuh! Kau kira aku takut mati"! Bunuhlah aku, Pengecut Hina!"
maki Sumini, sejadi-jadinya karena kesal. Hal itu hanya ditanggapi Pranacitra
dengan tawa bergelak.
Sumini yang semakin meluap amarahnya, segera
melancarkan serangan dengan pukulan-pukulan jarak jauh kedua tangannya yang
bebas. Na mun dengan mudah
serangan itu dielakkan oleh Pranacitra seraya terus tertawa-tawa penuh ejekan.
"Tak semudah itu akan menghabisi nyawamu, Sumini. Kau akan kusiksa sampai setengah mati, baru
kuhadapkan pada raja untuk menerima hukuman sebagaimana layaknya seorang pemberontak!"
"Keparat!" Sumini hanya bisa memaki-maki penuh perasaan geram karena lelah
melancarkan serangan tanpa hasil.
Sing...! "Heh..."!"
Mendadak Pranacitra menghentikan tawanya secara
mendadak, karena mendengar bunyi mendesing nyaring.
Belum sempat dia berbuat sesuatu....
Brettt! Tali yang menjerat kaki Sumini, putus tersambar
sebuah kerikil tajam. Sehingga tubuh gadis berpakaian kuning itu melayang turun.
Dan yang membuat Pranacitra semakin kelabakan, Sumini langsung bisa
mempergunakan peluang
itu sebaik-baiknya.
Gadis itu melancarkan cengkeraman ke arah ubun-ubun Pranacitra.
"Heaaa...!"
Wuttt...! Meskipun dengan agak geragapan, Pranacitra mampu
mengelakkan serangan tiba-tiba itu. Namun, serangan
lanjutan Sumini yang berupa tendangan kaki kanan ke arah dada, tidak mampu
dielakkannya dan mendarat secara telak.
Sehingga membuat dadanya hancur. Saat itu nyawa Pranacitra melayang ke alam
baka. *** "Bagus...!
Bagus...! Kau dapat mempergunakan kesempatan yang kuberikan.
Sumini mengalihkan pandangan ke arah asal suara.
Di belakangnya telah berdiri dengan anggun seorang kakek berpakaian putih.
Wajahnya yang bersih bercahaya terhias jenggot panjang sampai ke leher. Di
tangannya tergantung menjuntai sebuah tasbih putih. Matanya tampak merah
seakan kurang tidur. Dia tersenyum manis memandangi
Sumini yang masih terbengong.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan, sehingga aku dapat membunuh
orang terkutuk itu, Kek,"
ucap Sumini penuh hormat seraya menganggukkan kepala.
Tak dipedulikannya empat prajurit anak buah Pranacitra yang melarikan diri
ketika melihat pemuda pimpinan mereka tewas. "Kalau boleh kutahu siapa kau,
Kek?" "He he he...!" kakek berpakaian putih itu tertawa lembut "Akulah orang yang
tertulis di dalam surat dari ayahmu itu, Sumini."
"Ah...! Jadi..., jadi... kau.... Eyang Pradaga"!" Sumini tersentak kaget
bercampur gembira.
"He he he...!" kakek berjubah putih yang ternyata Eyang
Pradaga tertawa seraya mengangguk-anggukkan
kepala. "Sekarang, tunggu apa lagi, Sumini"! Bukankah semua urusanmu sudah
beres" Mari, pergi bersamaku untuk memenuhi permintaan ayahmu! Tempatku
terpencil, dan tak mungkin pasukan kerajaan akan menemukannya! Kalau
tidak mengingat kau adalah putri sahabat kentalku, tak mungkin
aku bersusah payah turun gunung untuk membawamu ke tempatku."
"Tapi, Kek...," Sumini meragu. "Aku belum berhasil menemukan pembunuh ayahku,
tak mungkin aku bisa ikut denganmu. Hatiku tak akan pernah tenang."
"Tidak usah
repot-repot, Sumini," sahut Empu
Pradaga, tetap dengan senyum lebar. "Aku baru saja bertemu dengan pembunuh
ayahmu dalam perjalanan ke sini."
"Benarkah itu, Kek"!" tanya Sumini dengan sepasang mata
membelalak lebar. "Siapakah orang yang telah membunuh ayahku itu?"
"Barnaba," jawab Eyang Pradaba, kalem. "Cepatlah!
Nanti dia keburu pergi."
Tapi sebelum Empu Pradaga dan Sumini melesat
meninggalkan tempat itu, terdengar seruan keras.
"Sumini...! Tunggu sebentar...!"
Seruan itu berasal dari tempat yang jauh, di belakang Sumini dan Empu Pradaga.
Tapi bunyinya seakan berada dekat. Dan begitu Sumini dan Empu Pradaga menoleh
mereka melihat sebuah titik kecil di kejauhan tengah melesat cepat ke arah
mereka. Hanya satu tarikan napas saja sosok itu telah sampai di dekat mereka.
"Ah...! Kiranya kau, Dewa Arak," ucap Sumini dengan raut wajah memerah, teringat
akan perjumpaannya pertama kali dengan perhuda berambut putih keperakan itu.
"Maaf mengganggu sebentar, Kek!" ucap Arya sopan pada Empu Pradaga. "Tapi
bolehkan kutahu ke mana kalian berdua akan pergi" Bukan bermaksud ikut campur,
tapi aku telah mendapat amanat dari Raja Pedang Langit Bumi untuk
mengantarkannya pada seorang yang beniama Empu Pradaga."
'Terima kasih atas jerih payahmu, Anak Muda. Kau
tak perlu repot-repot lagi mengantarkannya. Akulah Empu Pradaga yang kau
maksudkan itu."
"Ah...! Sungguh kebetulan sekali...!" seru Arya dengan nada gembira. "Jadi,
sekarang kalian akan
pergi ke pertapaanmu, Empu"!"
"Tidak, Arya," Sumini menyelak. "Aku akan membalaskan kematian ayahku dulu pada Barnaba."
Kemudian secara singkat tapi jelas, Sumini menerangkan semua percakapannya dengan Empu Pradaga.
"Maaf, Anak Muda!" ujar Empu Pradaga ketika Sumini telah menghentikan ceritanya.
"Kami hendak pergi dulu.
Mari, Sumini. Kita harus bergegas sebelum dia pergi lebih jauh."
Dewa Arak pun tidak bisa menahan keduanya. Dia
hanya bisa menganggukkan kepala ketika kedua orang itu melesat
meninggalkannya.
Diam-diam hatinya merasa bersyukur karena tugas yang dibebankan kepadanya meski tanpa sengaja telah
tuntas. Dengan hati lega dia melangkah menempuh arah berlawanan dengan yang
ditempuh Sumini dan Empu Pradaga.


Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Barnaba...! Berhenti, kau...!"
Kakek berpakaian abu-abu yang tengah berjalan di
sebuah hamparan tanah lapang berumput, menghentikan
langkah. Kemudian
ditolehkan kepalanya ke
belakang. Dilihatnya sosok bayangan melesat cepat dari kejauhan.
Hanya dalam sekejapan saja telah berada di dekatnya.
"Siapa kau, Anak Muda" Mengapa kau memberhentikan langkahku..."! Sungguh besar nyalimu
melakukan hal itu! Dan, dari mana kau tahu namaku"!"
tanya kakek berpakaian abu-abu yang ber-nama Barnaba memberondong.
Pemuda berwajah tampan itu tersenyum. Meskipun,
tengah mempunyai sebuah urusan yang sungguh-sungguh, tapi menghadapi pertanyaan
bertubi-tubi seperti itu, mau tidak mau dia agak merasa geli. Itulah sebabnya
dia menyunggingkan senyum walaupun getir.
"Aku Arya. Aku tahu namamu dari seseorang gadis yang ayahnya kau bunuh. Aku
tidak mempermasalahkan
ayah kawanku yang telah kau bunuh itu. Aku hanya ingin meminta
pertanggungjawabanmu atas nasib kawanku dan
orang yang dipercayakan menjadi ayah angkatnya," jelas Arya panjang lebar.
"Lebih baik kau tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pikiran dan
membunuhmu, Anak Muda! Aku tak
mengerti maksud ucapanmu. Aku tidak kenal siapa kawanmu apalagi ayah kandungmu!"
Usai berkata demikian, Barnaba membalikkan tubuh
dan bersiap melangkahkan kaki meninggalkan Dewa Arak.
"Tunggu, Barnaba!" sentak Dewa Arak. "Ayah kawanku itu bernama Raja Pedang Langit Bumi!"
"Dan kawanmu yang kau maksudkan itu pasti putri Raja Pedang Langit Bumi yang
cantik itu, bukan?" timpal Barnaba dengan suara dan sikap yang membuat Dewa Arak
berubah dengan wajah memerah. Dia merasakan adanya
sindiran dalam ucapan kakek berpakaian abu-abu itu.
"Benar!" sahut Arya, pura-pura tidak mengetahui sindiran Barnaba. "Dan dia
bersama ayah angkatnya hendak menemuimu. Aku yakin kau telah bertemu dengan
mereka berdua. Katakan apa yang telah kau lakukan terhadap
mereka, Barnaba"!" desak Dewa Arak dengan suara berat.
"Keparat!"
Barnaba yang rupanya telah kehilangan kesabaran,
langsung menerjang dengan menghantamkan pukulan telapak tangan kiri. Kelihatannya hanya sembarangan saja, tapi ada hembusan
angin keras yang mengiringi ribanya serangan kakek berpakaian abu-abu itu.
Dewa Arak sadar kalau pukulan tangan kosong
Barnaba amat dahsyat. Dia tahu sebatang pohon yang amat besar pun akan tumbang
apabila terhantam. Namun Dewa Arak tanpa ragu-ragu memapak-serangan Barnaba
dengan gerakan yang sama. Hal itu dilakukan karena rasa jengkel melihat sikap
Barnaba yang meremehkannya.
Plak! Dua buah tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi berhawa panas berbenturan. Akibatnya, tubuh kedua belah
pihak sama-sama terhuyung beberapa langkah ke belakang.
"Kiranya kau lihai juga, Anak Muda," puji Barnaba sejujurnya. "Pantas kau
membuat nama besar di dunia persilatan. Tapi, aku belum kalah!"
"Kau benar hebat, Barnaba," timpal Arya, dengan pujian yang sama.
Memang, kedua belah pihak sama-sama kagum akan
kelihaian lawan. Meskipun telah menduga sebelumnya
mereka tak urung merasa terkejut merasakan kehebatan lawan masing-masing.
Rasa penasaran membuat Barnaba tak sungkan-
sungkan langsung melancarkan serangan lanjutan. Diterjangnya Dewa Arak. Pemuda beramput putih keperakan itu segera menyambutnya
dengan sikap lebih hati-hati.
Bentuk tubuh keduanya lenyap, yang terlihat kini
hanya dua bayangan kelabu dan ungu. Dalam bentuk tidak jelas mereka saling
belit, hanya kadang-kadang saja saling pisah, itu pun sebentar karena sesaat
kemudian keduanya telah
saling serang. Bahkan terkadang sukar untuk dibedakan saking cepatnya gerakan masing-masing pihak.
Karena begitu cepatnya, tak terasa pertarungan telah berlangsung lebih dari
seratus jurus. Namun sejauh itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan
keluar sebagai pemenang. Kedua belah pihak masih saling melancarkan serangan dahsyat. Beberapa kali benturan tangan dan kaki terjadi
namun keduanya memang sama-sama tangguh.
Kenyataan ini rupanya membuat kedua belah pihak
jadi penasaran bercampur tidak sabar. Bagai telah disepakati sebelumnya, baik
Barnaba maupun Dewa Arak pada jurus ke seratus tiga puluh lima, sama-sama
mengeluarkan ilmu andalan. Barnaba mengeluarkan sebilah pedang batangnya
berwarna kehijauan. Sedangkan Dewa Arak mengambil guci arak yang tersampir di
punggung, lalu dituangkan ke mulut.
Setelah terdengar bunyi tegukan, Dewa Arak merasakan adanya hawa hangat menjalar naik ke kepala setelah arak itu sampai di
lambungnya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mulai
limbung karena kedua kakinya tidak menapak secara tetap di tanah.
Barnaba tidak merasa heran melihat tingkah laku
lawannya. Sebagai seorang tokoh persilatan yang telah kenyang pengalaman dia
tahu, banyak orang memiliki ilmu aneh, tapi mengandung kedahsyatan luar biasa.
Dia yakin Dewa Arak memiliki ilmu seperti itu. Maka, tanpa membuang-buang waktu dia melompat menerjang Dewa
Arak. Pedangnya diputar seperti kitiran dan menyambar ganas ke arah dada lawan.
Sedangkan tangan kiri bersiap untuk melancarkan serangan susulan.
"Heaaa...!"
Klang! Suara berdentang nyaring disertai percikan bunga api, ketika Dewa Arak menangkis
tusukan pedang lawan dengan ayunan guci araknya. Pada saat yang hampir
bersamaan, tangan kiri Barnaba meluncur dengan sebuah totokan ke arah leher Dewa
Arak. Namun pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mengelakkannya dengan
memiringkan kepala. Bahkan langsung mengirimkan tendangan kaki
kanan ke arah pusar yang memaksa Barnaba melompat
mundur! Kesempatan yang sebentar di saat berada cukup jauh
dari lawan dipergunakan kedua belah pihak untuk memeriksa senjata masing-masing. Hati mereka lega ketika mengetahui tak ada
kerusakan sedikit pun pada masing-masing pusaka. Kembali keduanya saling gebrak.
Pertarungan yang lebih menggiriskan dan menyeramkan dari sebelumnya kembali berlangsung. Sinar kehijauan pedang Barnaba
berkelebatan ke sana kemari seperti halilintar menyambar-nyambar, terkadang
meliuk-liuk mirip ular. Memang, tak da pat diremehkan kehebatan ilmu pedang
kakek tua berpakaian abu-abu ini. Setiap serangan yang dilancarkan
selalu mengarah pada bagian-bagian
mematikan. Sehingga apabila tergores sedikit saja sudah cukup untuk mengirim
nyawa orang ke alam baka, ka rena racun yang terkandung di dalam batang pedang
itu. Klang! "Heaaa...!"
Pada jurus kedua ratus tujuh puluh, Dewa Arak
menangkis dengan guci. Kemudian mempergunakan tenaga tangkisan itu untuk
bersalto ke atas melewati kepala Bemaba, ketika serangan pedang kakek itu
meluncur ke arah leher.
Barnaba yang dapat menduga maksud Dewa Arak,
segera membalikkan tubuh sambil menyabetkan senjatanya ke
belakang menangkal serangan
susulan yang akan dilakukan Dewa Arak.
Trikkk! "Heh...!"
Barnaba memekik kaget ketika dengan perhitungan
matang Dewa Arak berhasil mempergunakan batang pedang sebagai tempat landasan
gucinya. Pemuda itu tidak berani mempergunakan tangan atau kaki mendarat di
batang pedang Barnaba yang beracun.
Ketika itulah, sebelum Barnaba sempat berbuat
sesuatu, tangan kiri Dewa Arak telah memukul bahu
kanannya. Sehingga tubuh lelaki tua itu terjengkang ke belakang dengan darah
menetes di sudut bibirnya.
Dan, sebelum kakek berpakaian abu-abu itu sempat
berbuat sesuatu, Dewa Arak telah melesat ke arahnya. Dan tahu-tahu
tangannya telah menempel di ubun-ubun Barnaba. Sekali saja Barnaba melakukan suatu gerakan yang mencurigakan, nyawanya
akan lebih dulu melayang ke alam baka.
"Aku tidak ada permusuhan denganmu, Barnaba.
Tapi, tolong katakan padaku, apa yang telah kau lakukan pada diri Sumini dan
Empu Pradaga"!" tanya pemuda berambut putih keperakan itu dengan nada ancaman.
"Ha ha ha...!" Barnaba tertawa terkekeh. "Kau keliru, kalau
mengira dengan ancaman ini aku takut dan mengatakan hal-hal yang ingin kau ketahui, Dewa Arak. Kau keliru. Mau bunuh
silakan bunuh, siapa yang takut mati?"
Mendengar ucapan ini Dewa Arak segera menarik
kembali tangannya karena tahu kalau Barnaba bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Arya tahu bagi orang seperti Barnaba, dan bahkan dia sendiri, mati bukan hal
yang perlu ditakuti! Setiap saat nyawa bisa melayang tanpa bisa dicegah.
"Barnaba, seperti yang telah kukatakan tadi, di antara kita
tidak ada permusuhan, dan aku tidak mau menciptakannya. Aku tidak ikut campur, dan bahkan tidak peduli dengan pembunuhan
yang telah kau lakukan terhadap Raja Pedang Langit Bumi. Tapi, aku wajib tahu
akan nasib yang menimpa Sumini dan Empu Pradaga!"
Wajah Barnaba berubah hebat seketika. Karuan saja
hal itu membuat Arya merasa heran. Apakah ada yang salah pada ucapannya sehingga
mebuat kakek berpakaian abu-abu itu merasa terkejut.
"Itukah nama dua orang yang kau khawatirkan
keselamatannya?" tanya Barnaba dengan suara bergetar.
Tanpa bisa menyembunyikan keterkejutan yang membayang jelas di wajahnya.
"Benar," Arya menganggukkan kepala. "Sumini adalah putri Raja Pedang Langit Bumi
sedangkan Empu Pradaga, orang yang akan menjadi ayah angkatnya."
"Bisa kau berikan sedikit ciri-cirinya padaku, Dewa Arak" Maksudku, ciri-ciri
Empu Prada ga itu! Dan, mengapa kau menyangka mereka berdua kucelakai?"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
segera menceritakan pertemuannya dengan Sumini dan
Empu Pradaga. Juga ciri-ciri kakek berpakaian putih tadi.
Pendekar muda itu merasakan ada hal-hal yang pelik di sini.
Sehingga segera diceritakannya secara gamblang, tanpa ada yang
ditutup-tutupi. Sikap
Barnaba yang seperti itu membuatnya merasa yakin ada hal-hal

Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hebat yang tersembunyi di sini.
"Celaka! Putri Raja Pedang Langit Bumi itu sekarang berada dalam bahaya, Dewa
Arak!" desah Barnaba setelah mendengar penuturan Arya sampai selesai.
Kemudian, kakek berpakaian
abu-abu ini men-
ceritakan hal-hal sebenarnya yang diketahuinya. Hal itu membuat Dewa Arak merasa
heran dan terkejut setengah mati mendengarnya.
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan menyusulnya, Barnaba. Maafkan atas
kesalahanku!"
"Lupakanlah, Dewa Arak. Aku tidak menganggap kau melakukan sebuah kesalahan
padaku. Bahkan sebaliknya kau memberikan keuntungan. Karena dengan terjadinya
pertarungan di antara kita dan kesalahpahaman ini, aku jadi mengetahui di mana
adanya Empu Prada ga itu."
Namun, Dewa Arak tidak bisa menyambuti ucapan
Barnaba. Begitu mendengar kakek berpakaian abu-abu itu tidak menganggap
kesalahannya sebagai hal yang perlu dipersoalkan, tubuhnya telah melesat. Dewa
Arak ingin secepatnya bertemu dengan Sumini dan Empu Pradaga.
*** Sementara itu Sumini tengah berlari cepat dengan
napas terengah-engah. Tanpa mempedulikan semak belukar dan rumput ilalang yang
dilaluinya, gadis itu terus berlari.
Bahkan onak berduri pun diterjangnya, sehingga pakaiannya banyak yang ko yak-
koyak. Saat itu, Sumini berada di dalam sebuah hutan yang tampaknya masih
perawan, belum terjamah orang.
Sumini baru menghentikan larinya dan bersembunyi,
ketika menemukan sebuah semak-semak belukar yang lebat.
Di sini, gadis berpakaian kuning itu berjongkok dan
menenangkan deru napasnya yang memburu karena rasa
takut dan tegang.
Dengan menggeleng-gelengkan kepala, putri Raja
Pedang Langit Bumi itu teringat kembali kejadian yang baru saja dialaminya.
Kejadian bersama Empu Pradaga.
"Di mana penjahat keji itu, Kek"!" tanya Sumini.
Hatinya tak sabar setelah beberapa saat lamanya dia dan Empu Pradaga, berlari
cepat untuk menuju tempat Barnaba, tidak juga bertemu. Bahkan tanda-tanda
keberadaannya pun tidak terlihat.
"Penjahat keji"!"
Empu Pradaga malah balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan, berlari di sebelah Sumini dengan tatapan tertuju ke
depan. Kakek ini ternyata cukup lihai, mampu menjajari Sumini. Padahal putri
Raja Pedang Langit Bumi itu telah mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki untuk berlari cepat.
"Lho..."!" Sumini terperanjat mendengar jawaban yang tidak disangka-sangka itu.
Tanpa sadar kecepatan larinya mengendur hingga dia tertinggal. Namun keadaan
kembali seperti semula karena Empu Prada ga menghentikan lari dan membalikkan
tubuh, menghadap Sumini. "Bukankah kau hendak mengajakku menemui Barnaba, orang
yang telah membunuh ayahku, Kek"!"
"Sayang sekali, Sumini," jawab Empu Pradaga seperti menyesalkan keadaan.
"Sebenarnya dengan senang hati aku akan
membawamu pada Barnaba, dan bahkan membunuhnya untukmu. Tapi..., bagaimana aku mempunyai urusan yang jauh lebih
penting denganmu. Kau akan kubawa ke tempat tinggalku."
Aku tidak mau!" sentak Sumini keras sambil
mengayunkan kaki ke belakang, mundur-mundur. "Jangan harap aku sudi ke tempat
tinggalmu se belum aku berhasil membalaskan
dendam atas kematian ayahku! Bahkan
menjumpai kuburnya pun belum kulakukan!"
Empu Pradaga menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau saja aku mempunyai waktu lebih
banyak lagi, mungkin aku akan membantumu mendapatkan Barnaba dan bahkan
membunuhnya, Sumini. Tapi... sayang, waktu yang kumiliki terbatas. Tapi,
percayalah aku akan mencari Barnaba dan membunuhnya setelah urusan ini selesai!
Dan...." "Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai kapan pun tetap tidak. Bukankah kau
mengatakan kalau Barnaba telah kau jumpai beberapa saat yang lalu"! Mengapa
repot-repot mencarinya lagi"! Atau....", kau telah berbohong padaku"!"
"Kau cerdik, Sumini! Memang, aku tidak bertemu
dengan Barnaba. Tadi kukatakan telah bertemu hanya agar kau mau ikut pergi
deriganku. Cepatlah, Sumini! Aku tidak punya
banyak waktu, jangan sampai aku terpaksa membawamu dengan kekerasan."
"Keparat! Lakukan kalau kau mampu, Empu Pembohong!" ujar Sumini, tegas.
"He he he...!" Empu Prada ga tertawa bergelak merasa lucu melihat Sumini yang
telah bersiap-siap melakukan perlawanan. Seakan-akan kakek ini tengah melihat
seorang anak kecil yang tengah menantangnya. "Tidak ada gunanya kau melawan,
Sumini. Aku tahu kau memiliki kepandaian tinggi, dan hal itu kuketahui dari
keberhasilanmu membunuh Pranacitra secara mudah. Tapi, tidak ada gunanya. Tak
akan ada satu pun tokoh persilatan yang dapat menghadapiku, Sumini! Camkan itu! Tidak juga Dewa Arak!
Kalau aku mau, saat bertemu dengannya, telah kukirim nyawanya ke neraka!"
Belum juga Empu Pradaga menutup mulutnya,
Sumini telah melancarkan serangan. Kakinya menendang bertubi-tubi ke arah
lambung yang mengeluarkan bunyi menderu keras karena didorong tenaga dalam kuat.
Hanya dengan melangkahkan kaki kanan dan ke
belakang, Empu Prada ga telah membuat semua serangan Sumini kandas. Kemudian
kakek berpakaian putih itu-mengulurkan kedua tangan ke arah pinggang Sumini
seperti hendak memeluk.
Tappp! "Ikh!"
Sumini memekik tertahan ketika pergelangan tangan
kanannya tercekal Empu Pradaga yang bergerak demikian cepat. Hal itu dilakukan
ketika Sumini menarik tubuhnya mengelak dari pelukannya.
Meskipun demikian, Sumini tidak gugup. Buru-buru
ditarik tangannya. Namun kalah cepat! Karena begitu
tangannya tercekal Empu Pradaga, langsung melakukan
gerakan lanjutan. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu kedua tangan kakek
berpakaian putih itu telah menangkap kedua pinggang Sumini.
Kelanjutan kejadian yang tidak tersangka-sangka ini
membuat Sumini gugup. Sungguh pun demikian, karena
telah dapat menduga tindakan yang akan dilakukan lawan, Sumini mengerahkan
tenaga untuk memperberat tubuhnya.
Untuk kesekian kalinya Sumini harus menelan
kenyataan pahit. Usahanya gagal. Tubuh gadis itu terangkat ke atas dan Empu
Pradaga memutar-mutarnya sambil
tertawa bergelak.
Sumini tidak berdaya untuk berbuat apa pun ketika
tubuhnya diputar-putar beberapa saat. Akhirnya kakek berpakaian putih itu
melemparkannya ke depan dengan
mengerahkan tenaga dalam.
Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh Sumini meluncur
jauh ke depan akibat tenaga lemparan yang kuat itu. Na mun, kali ini Sumini
mampu mempertujukkan kalau dirinya tidak mudah dijadikan pecundang. Dengan manis
diaberjungkir balik di udara, kemudian membalik dengan tenaga lontaran yang
masih mendorongnya. Sehingga tubuhnya meluncur ke arah lawan, dan berdiri di
depannya. Empu Pradaga membelalakkan sepasang mata heran
melihat lawan mampu menggagalkan lemparannya. Sama
sekali tidak disangka kalau Sumini mampu melakukan hal seperti itu. Semula kakek
berpakaian putih ini menduga kalau tubuh Sumini akan melayang jauh dan akhirnya
menumbuk pohon yang berada tak jauh dari situ.
"Ha ha ha...! Bagus...! Ba gus...! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian juga,
Anak Manis"! Baik, kita bersenang-senang dulu sebelum kau terpaksa ikut pergi
denganku!"
ucap Empu Pradaga, penuh perasaan gembira.
Sumini yang telah berhasil memperbaiki kedudukannya, dan berdiri tegak berhadapan dengan kakek berpakaian putih itu,
tidak mempedulikan ucapan yang tertuju padanya. Menyadari kalau lawan kali ini
memiliki kepandaian tinggi, dicabut pedangnya. Sebagai seorang putri raja
pedang, dengan pedang di tangannya itu Sumini tidak ubahnya seekor harimau
bersayap. 6 Serangan-serangan
Sumini, benar-benar menakjubkan. Bentuk pedangnya lenyap. Yang terlihat
sekarang hanya sinar-sinar berkilauan laksana halilintar menyambar-nyambar ke
arah Empu Pradaga. Kadang-
kadang, sinar itu memecah seperti membuat jalan sendiri-sendiri, tapi semuanya
menuju ke satu arah, Empu Pradaga!
"Hebat..!"
Di sela-sela kesibukannya mengelakkan serangan,
Empu Pradaga masih sempat mengeluarkan pujian. Kakek berpakaian putih ini
sebenarnya merasa kagum menyaksikan permainan ilmu pedang Sumini
Dengan ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam
yang luar biasa, Sumini benar-benar menggiriskan hati.
Namun, toh Empu Pradaga ma mpu menangkal setiap
serangannya. Tubuh kakek itu bagaikan asap, berkelebatan ke sana kemari di
antara sambaran pedang Sumini. Ke mana saja pedang lawan menyambar, selalu
berhasil dielakkan.
Sumini menggertakkan gigi karena kesal ketika
sampai empat puluh jurus melancarkan serangan, tak satu pun mengenai sasaran.
Dan yang lebih menjengkelkan
hatinya, kakek berpakaian putih itu belum melancarkan serangan sama sekali.
Tiba-tiba Empu Pradaga menggeram keras laksana
seekor harimau tengah murka. Getaran suaranya membuat Sumini terkejut. Dadanya
terasa tergetar hebat, bahkan kedua kakinya menggigil. Sebelum dia sempat
berbuat lebih jauh, tangan kakek itu telah bergerak. Sumini memekik tertahan
ketika merasakan tangannya yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Dia tidak
mampu mencegah sama
sekali ketika Empu Pradaga mengulurkan tangan merampas pedangnya.
Wajah Sumini seketika pucat. Kenyataan ini menyadarkannya kalau Empu Pradaga benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Dia
mulai merasa gentar. Baru sekali ini ditemukannya lawan yang memiliki kepandaian
tinggi. "Bagaimana, Anak Manis?" tanya Empu Pra daga dengan senyum mengejek sambil
menimang-nimang pedang Sumini.
Sumini mundur-mundur ketika Empu Pradaga melangkah perlahan ke arahnya. Dengan pedang di tangan saja dia tidak mampu
menghadapi kakek yang luar biasa ini, apalagi tanpa senjata. Dia akan dapat
dikalahkan secara mudah.
"Subranta,..! Sungguh kau tidak tahu malu berani mengganggu seorang bocah
ingusan...."
Mendadak terdengar suara seseorang yang membuat
Empu Prada ga terkejut. Begitu juga Sumini. Diam-diam perasaan gembira menyeruak
di hati gadis berpakaian kuning ini karena mengenai pemilik suara itu. Pemilik
suara inilah yang dulu membuatnya lolos dari Dewa Arak. Seorang
perempuan tua berpakaian hitam yang sebenarnya nenek kandung Sumini.
Tiba-tiba pula terdengar angin berkesiutan, dan di
tengah-tengah antara Sumini dan Empu Pradaga, berdiri seorang nenek berpakaian
hitam. "Kau..."!"
Empu Pradaga membelalakkan mata keheranan. "Kau masih hidup"! Kau tidak mati"! Kau selamat, Durgandini?"
"Ya," sahut nenek berpakaian hitam yang ternyata bernama Durgandini. "Tapi tidak
dengan cara seperti yang kau lakukan, Subranta"! Mengorbankan banyak nyawa tidak
berdosa! Dan sekarang kalau aku tidak segera datang, mungkin cucuku pun akan
menjadi korban kebiadabanmu!"
"Ah...!" Subranta alias Empu Pradaga terperanjat.
"Jadi, bocah ini cucumu"! Kalau begitu Raja Pedang Langit Bumi anakmu"!"
"Mengapa" Kaget?"
"Terus terang kukatakan iya, Durgandini. Tapi, aku tidak mau mengurus hal-hal
kecil semacam itu. Yang
penting, sekarang aku butuh cucumu ini! Menyingkirlah kau, Durgandini, jangan
sampai aku lupa kalau kita pernah mempunyai hubungan baik!"
"Lupakanlah hal itu, Subranta! Apa pun yang terjadi, aku
tidak akan membiarkan cucuku jadi korban kebiadabanmu!" tegas Durgandini mantap.


Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sumini! Cepat kau pergi dari sini! Selamatkan
dirimu!" "Tapi, Nek...!" Sumini masih mencoba membantah.
"Cepat pergi kataku!" sergah Durgandini. Ketika Sumini hendak memberikan
tanggapan lagi, Empu Pradaga alias Subranta telah menggeram hebat dan menubruk
Durgandini dengan kedua tangan terpentang, seperti layaknya seekor harimau menerkam mangsanya.
Kedahsyatan serangan ini membuat Sumini melompat
mundur, tapi tidak demikian halnya dengan Durgandini.
Dengan gagah berani nenek berpakaian hitam itu memapak datangnya
serangan dengan kedua tangan hendak mencengkeram. Jglarrr...! Ledakan keras menggelegar seketika terdengar memekakkan telinga. Suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan Sumini
yang berada jauh dari tempat
pertarungan pun merasakan sendiri kedahsyatan getarannya.
Hal ini memaksa gadis berpakaian kuning itu untuk terus menjauhi
dari tempat pertarungan karena menyadari
bahayanya. Kini Sumini mulai mengetahui kekhawatiran neneknya, ketika melihat Durgandini terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang akibat benturan itu. Sumini tahu, tenaga dalam neneknya kalah kuat jika
dibandingkan dengan Empu Prada ga.
Sementara itu, Empu Pradaga tampaknya tidak main-
main dengan ancamannya. Tanpa memberi kesempatan pada Durgandini untuk
memperbaiki kedudukan, dia melakukan serangan susulan. Namun, Durgandini pun
bukan orang yang gampang dipecundangi. Dengan cepat dia dapat
mengelak, dan bahkan segera melancarkan serangan tidak kalah dahsyat. Dia mulai
mempergunakan payung yang
menjadi senjata andalannya.
Sesaat kemudian bentuk tubuh kedua tokoh sakti
yang sama-sama tua itu lenyap. Sehingga yang tampak hanya bayangan
hitam dan putih saling berkelebatan saling
membelit. Pandangan mata Sumini yang tajam dapat melihat kalau Empu Pradaga
memang terlalu tangguh untuk dilawan.
Menginjak jurus ketiga puluh, dilihatnya Durgandini telah dapat
bermain mundur. Serangan-serangan
yang dilakukannya sudah mulai berkurang. Hanya mengelak dan menangkis yang dilakukan,
bahkan menangkis pun sesekali saja karena merugikannya.
Dalam keadaan terdesak, rupanya Durgandini masih
sempat melihat kalau Sumini belum meninggalkan tempat itu. Maka dikeluarkan
seruan-seruan untuk memaksa Sumini meninggalkan tempat itu secepatnya.
Hal itu amat berbahaya, dan hampir saja tindakan
yang cukup membagi perhatian ini membuatnya kehilangan nyawa. Sumini tahu kalau
dia tetap di sini, neneknya akan menghadapi
bahaya besar karena selalu mengkhawatirkannya. Maka meskipun tidak sampai hati, dikeraskan perasaan untuk
meninggalkan tempat ini.
Sungguhpun demikian, karena rasa khawatirnya yang
masih berkecamuk, Sumini berkali-kali menolehkan kepala berusaha
melihat keadaan neneknya. Tindakan itu dihentikan ketika tubuh kedua orang yang bertempur tidak terlihat lagi. Sampai
akhirnya gadis berpakaian kuning itu tiba di kerimbunan semak-semak belukar.
Baru saja deru napas Sumini mereda, terdengar bunyi
berkerosakan yang semakin lama semakin keras pertanda ada sesuatu yang tengah
mendekati tempatnya dengan
menerobos kerimbunan semak-semak. Sumini merasakan
jantungnya berdetak cepat lagi.
"Mau lari ke mana, Bangsat Kecil"! Jangan harap dapat lolos dari tanganku! Aku
tahu kau bersembunyi di sekitar tempat ini. Aku mencium baumu! Keluarlah, cepat!
Sebelum aku kehilangan kesabaran dan merobek-robek
tubuhmu sampai hancur...!"
Sumini bukan seorang gadis penakut. Namun mendengar ancaman itu kakinya menggigil keras karena ngeri. Apalagi ketika
didengarnya bunyi mendengus-dengus, seperti
seekor anjing pelacak tengah mencari jejak. Kekhawatiran Sumini semakin memuncak! Suara dan bunyi mengendus-endus itu
terdengar demikian dekat
"Keluarlah kau, Bangsat Kecil!"
Berbareng keluarnya teriakan itu, serentak angin
keras berhembus. Semak-semak tempat sembunyi Sumini
tercabut sampai ke akar-akarnya, bagai ditarik oleh tangan-tangan raksasa gaib.
Hampir Sumini copot jantungnya ketika melihat
tempat persembunyiannya dihancurkan. Apalagi ketika
melihat Empu Prada ga dengan wajah dan sepasang mata yang semakin merah telah
berdiri beberapa tombak di
depannya. Meskipun demikian, Sumini tidak kehilangan akal
untuk bertindak di saat-saat genting, dia masih ingat untuk menghentakkan
tangannya melancarkan pukulan jarak jauh.
Namun hanya dengan kibasan tangan kiri, Empu Pradaga yang tengan kalap membuat
pupus serangan Sumini yang dahsyat itu.
Sumini seakan tidak kuat berdiri karena hatinya
ngeri. Dia tahu tidak ada jalan lolos lagi baginya untuk menyelamatkan selembar
nyawa. Dan, Empu Prada ga yang tengah murka langsung menubruknya. Sumini tidak
bisa bergerak lagi. Dengan rasa putus asa matanya terpejam, pasrah pada
kenyataan yang akan menimpanya.
Tapi, serangan Empu Pradaga tidak kunjung datang.
Bahkan dia mendengar adanya seruan keras diikuti dengan berdesirnya angin keras.
"Pradaga...! Keparat keji, terimalah ajalmu! Heaaa...!"
Sebuah benturan keras langsung terdengar ketika
teriakan itu belum lenyap gemanya. Benturan yang membuat tempat berpijak Sumini
tergetar hebat seperti terlanda gempa. Dan ketika gadis berpakaian kuning itu
membuka mata dilihatnya sesosok tubuh berpakaian abu-abu melayang deras ke
belakang, bahkan melewati kepalanya. Sementara Empu Prada ga hanya terhuyung-
huyung beberapa langkah.
Namun sosok berpakaian abu-abu itu rupanya bukan
tokoh sembarangan. Dia mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya
terlontar, lalu meluruk kembali ke arah Empu Prada ga yang baru saja hendak
menerkam Sumini lagi.
"Keparat jahanam!" Empu Pradaga menggeram seperti harimau luka yang membuat dada
Sumini tergetar keras.
"Siapa kau, Anjing Kudisan! Sungguh berani mati kau mencampuri urusanku!"
"Kaulah yang harus mati di tanganku, Pradaga! Demi membalas kematian murid-
muridku yang telah kau bantai dan jadikan korban kebiadanmu yang terkutuk itu!"
sahut kakek berpakaian abu-abu. Ingatkah kau akan perguruan kecil wanita di
leher Gunung Welirang" Nah, akulah guru mereka. Kau telah melakukan kekejian
iblis di saat aku tak ada di sana! Sekarang terimalah balasanku, Iblis Keji!"
"Jadi, kau Barnaba"! Rupanya kau ingin menyusul murid-muridmu, heh"! Baiklah,
terimalah kematianmu, Barnaba!" Empu Prada ga melancarkan serangan berturut-turut
dengan kedua tangannya yang terkepal keras. Tapi, Barnaba mengelakkan serangan
dengan membanting tubuh ke tanah dan bergulingan menjauh.
' Menyingkirlah, Sumini! Pergi, tinggalkan tempat ini!
Cari Dewa Arak dan minta perlindungan padanya! Iblis keji ini akan menjadikanmu
korban kebiadaban nafsunya!" seru Barnaba sambil terus menggulingkan tubuh.
Sumini tidak langsung mematuhi seruan itu. Hatinya
berperang antara mengikuti perintah itu atau menyerang orang yang telah membunuh
ayahnya. Dan Barnaba pun rupanya mengetahi keragu-raguan
Sumini. Maka sambil bergulingan mengelakkan serangan maut Empu Pradaga, dia
kembali berseru, "Pergilah, Sumini!
Cepat! Percayalah, bukan aku yang membunuh ayahmu!
Kalau kau tidak percaya, tanya saja pada Dewa Arak. Dia tahu pembunuhnya!"
Kali ini Sumini tidak berani membuang waktu lebih
lama. Dia merasakan adanya kesungguhan dalam ucapan
kakek berpakaian abu-abu itu. Maka sambil menggertakkan gigi untuk lebih
menambah kekuatan tenaga dalamnya,
tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya ingin menjumpai Dewa
Arak untuk meminta pertolongan
sekaligus keterangan mengenai ayahnya.
*** Barnaba harus berjuang keras untuk menanggulangi
serangan gencar Empu Pradaga. Harus diakuinya kalau saat ini kepandaiannya belum
dapat diandalkan untuk dapat membalas dendam. Empu Pradaga memang seperti bukan
manusia lagi. Serangan-serangan Barnaba baik pukulan maupun tendangan tidak
dirasakan sama sekali. Beberapa kali serangannya mendarat di berbagai bagian
tubuh lawan, tapi hanya mampu membuat Empu Pradaga terhuyung-huyung sebentar,
kemudian kembali sigap seperti sediakala.
Tidak terlihat kalau pukulan dan tendangannya berpengaruh.
Sebaliknya, Barnaba harus berhati-hati menghadapi
setiap serangan balasan Empu Pradaga. Karena, jangankan terkena secara telak,
baru terserempet angin serangannya saja
sudah cukup untuk membuat tubuh Barnaba terhuyung-huyung seperti diseruduk seekor banteng.
Sadar akan ketinggian ilmu lawannya Barnaba tidak
ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan pedangnya yang beracun.
Dan setelah pedang itu dikeluarkan Empu Pradaga tidak berani menerima serangan.
Rupanya dia telah mengetahui kalau pedang Barnaba mengandung racun yang tidak
terkira ganasnya.
Dengan pedang beracun di tangan, Barnaba dapat
bernapas lebih lega. Empu Pradaga tidak bisa bersikap seperti
sebelumnya, mengacuhkan setiap serangan. Sekarang, kakek berpakaian putih itu bertarung seperti layaknya, terkadang
mengelak dan sesekali melancarkan serangan balasan.
Lima puluh jurus telah berlalu. Selama itu Empu
Pradaga tidak bisa melakukan tindakan berarti. Barnaba masih mampu melakukan
perlawanan sengit. Empu Pradaga tidak mampu melakukan desakan karena lawan mampu
mempergunakan pedang beracunnya di saat yang tepat.
Wajah Empu Pradaga merah padam karena geram.
Sambil mendengus segera dikeluarkan senjata andalannya, berupa seuntai tasbih.
Kehebatannya tidak terperikan.
Bentuk tasbih itu lenyap ketika digerakkan. Yang tampak kini hanya segulungan
sinar putih yang meluncur ke arah Barnaba.
Hanya dengan beberapa gerakan, dihitung dari Empu
Pradaga menggunakan senjata, Barnaba dibuat kelabakan.
Permainan tasbih Empu Pradaga benar-benar membuatnya bingung. Tasbih itu
terkadang lepas dari tangan memburu dan menyambar tubuh lawan tapi kemudian bisa
kembali lagi ke pemiliknya.
Trakkk! "Aaakh...!"
Barnaba mengeluarkan jeritan tertahan ketika tasbih
Empu Pradaga membelit batang pedangnya. Dicobanya untuk melepaskan senjata
andalan itu dari belitan senjata lawan.
Tapi sia-sia. Sebelum Barnaba sempat berbuat sesuatu, Empu Pradaga mengirimkan
serangan maut ke arah ulu hati dengan tusukan jari-jari tangan kirinya.
Barnaba segera melangkah mundur seraya melakukan tarikan terhadap senjatanya agar dapat lepas dari belitan
senjata lawan. Tindakan
ini membuat tubuh,
terutama bagian atas tergeser ke belakang sejauh beberapa kaki. Ini membuat
jari-jari tangan Empu Prada ga tidak akan bisa menyentuh sasaran.
Namun perhitungan Barnaba meleset sama sekali.
Tangan Empu Pradaga terus mengejar dan akhirnya berhasil menembus ulu hatinya.
Padahal Barnaba telah berusaha keras untuk mengelakkannya. Ternyata tangan
Empu Pradaga bisa memanjang hampir dua kali lipat ukurannya.
Inilah yang menyebabkan elakan Barnaba sia-sia. Dan kakek berpakaian abu-abu itu
menjerit keras, ketika jari-jari tangan Empu Pradaga menembus dadanya hingga
menimbulkan muncratan darah segar membasahi tubuhnya.


Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa mempedulikan lawannya lagi, Empu Pradaga
segera melesat untuk mengejar Sumini.
7 Empu Pradaga yang sudah kalap itu berlari secepat-
cepatnya sehingga kedua kakinya seperti tidak menapak tanah. Namun setelah
beberapa saat lamanya berlari, kakek berpakaian putih ini mengerutkan alis
ketika melihat ada sesosok tubuh yang juga bergerak cepat. Hanya saja arah yang
ditempuh sosok itu berlawanan dengannya.
Karena kedua belah pihak bergerak saling mendekati,
hanya dalam waktu sesaat saja, jaraknya telah semakin dekat. Dan Empu Pradaga
menggeram hebat ketika melihat secara jelas kalau sosok yang bergerak cepat
mendekatinya ternyata, Dewa Arak.
Dan kegeraman Empu Pradaga semakin menjadi-jadi
ketika melihat Dewa Arak sepertinya sengaja menghadang perjalanannya.
"Hendak ke mana, Empu"! Dan mengapa terburu-
buru sekali"!"
tanya Dewa Arak yang telah berdiri menghadangnya di jalan. "Ke mana Sumini?"
Jawaban bagi pertanyaan Dewa Arak sebuah hentakkan kedua telapak tangan yang menimbulkan bunyi angin keras. Apabila
mengenai sasaran mampu membuat
tubuh hancur lebur, dan itu diketahui secara pasti oleh Dewa Arak. Pendekar muda
itu segera melompat ke atas, sehingga serangan lewat di bawah kakinya.
Empu Pradaga benar-benar tengah mengejar waktu.
Begitu melihat Dewa Arak melompat ke atas, dia langsung melesat lari menerobos
tempat Dewa Arak semula berada.
Namun Dewa Arak tidak kalah
cerdik. Ketika tubuhnya masih berada di atas langsung berputar tepat di saat Empu Pradaga
tengah melewati tempatnya. Kedua
tangannya diayunkan ke arah ubun-ubun kepala kakek
berpakaian putih itu.
Dewa Arak langsung melancarkan serangan maut.
Dan itu bukan tanpa alasan karena dia telah mengetahui secara pasti siapa
sebenarnya Empu Pradaga ini!
Begitu meninggalkan Barnaba yang saat itu tengah
terluka. Dewa Arak memacu larinya secepat mungkin.
Maksudnya agar segera tiba di tempat pertapaan Empu
Pradaga di sebelah selatan lereng Gunung Anjasmoro.
Cukup lama Dewa Arak berlari cepat ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya bunyi
rintihan dari sebelah kanannya. Semula, pemuda berambut putih
keperakan itu bermaksud membiarkannya saja mengingat dia sendiri tengah mengejar waktu. Namun, naluri kependekarannya tidak
bisa diajak melakukan hal seperti itu.
Maka, Arya membelokkan arah, dan berlari menuju tempat suara rintihan itu
berasal. Hanya beberapa kali lesatan, Dewa Arak telah berhasil mengetahui asal dan
pemilik suara rintihan itu. Dan begitu melihatnya, Arya sempat terperanjat.
Langkahnya seketika terhenti di tengah
jalan. Pemilik suara rintihan
itu dikenalinya betul, nenek berpakaian hitam yang telah menyebabkan Sumini terpisah
darinya, Durgandini.
Durgandini juga melihat kedatangan Dewa Arak
meskipun tubuhnya saat itu terkapar berlumur darah.
Pendengarannya yang tajam, menangkap bunyi langkah kaki Dewa Arak dan ditolehkan
kepalanya. Begitu dilihatnya pemuda itu, wajahnya tampak berseri gembira.
"Dewa Arak...! Syukur kau datang, cepat selamatkan Sumini! Dia terancam bahaya
mengerikan!"
Seruan Durgandini membuat Dewa Arak mengernyitkan kening karena heran. Sebagai
seorang pendekar yang telah kenyang makan asam garam dunia
persilaan, dia dapat merasakan adanya nada kekhawatiran dalam ucapan nenek
berpakaian hitam ini. Dan hal itu membuatnya merasa heran. Mengapa, Durgandini
merasa khawatir akan nasib Sumini.
Dewa Arak tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam
alun pertanyaan seperti itu. Begitu mendengar nama Sumini disebut, dia langsung
melupakan tindakan Durgandini yang waktu itu telah
menyebabkan Sumini lolos darinya"
Keselamatan Sumini saat itu jauh lebih penting daripada meribiitkan masalah yang
telah lalu! "Apa yang terjadi dengan Sumini" Aku tahu kalau Sumini pergi dengan Empu Pradaga
yang berhati keji! Lalu, sekarang di mana dia?" tanya Dewa Arak tak sabar.
"Kau sudah tahu hal itu, Dewa Arak?" tanya Durgandini setengah tidak percaya.
"Aku sudah tahu dari Barnaba! Jangan buang-buang waktu, cepat katakan ke mana
Sumini dibawa pergi!"
"Sumini berhasil kuselamatkan dari tangan jahat Empu Pradaga itu. Aku bertarung
dengannya dan kalah.
Untung saja karena dia tengah terburu-buru aku tidak sempat dibunuhnya. Dia
lebih mementingkan mengejar
Sumini berlari ke arah sana!"
"Siapakah kau ini, Nek?" tanya Dewa Arak tak kuasa menahan perasaan ingin
tahunya. "Aku nenek kandung Sumini. Raja Pedang Langit
Bumi adalah anakku!"
"Ah...!"
Dewa Arak kaget karena hal itu benar-benar tidak
disangkanya. "Bisa kutinggalkan kau sebentar, Nek"! Kalau saja aku tidak tengah
beradu cepat dengan waktu, dan Sumini tidak berada dalam keadaan gawat, aku akan
menungguimu di sini sampai keadaanmu pulih seperti
sediakala."
"Tidak usah kau pedulikan aku, Dewa Arak! Aku tidak apa-apa. Yang penting,
selamatkan Sumini."
Dewa Arak sudah tidak sempat lagi mendengar
sambutan Durgandini karena langsung
melesat cepat meninggalkannya. Dan ternyata arah yang ditunjukkan
nenek berpakaian hitam itu tidak keliru sama sekali. Baru beberapa saat berlari,
di kejauhan dilihatnya sesosok tubuh tengah melesat cepat mendekati tempatnya
berada. Dan tak lama kemudian Arya tahu kalau sosok itu Sumini adanya.
"Sumini! Syukurlah kau selamat!" seru Arya seraya menghadang di depan Sumini
yang tampak pucat pasi. "Di mana Empu Pradaga itu"! Dan mengapa kau lari kembali
ke tempat semula. Cepat kau tolong nenekmu!"
"Em... pu Pra... da... ga tengah berta... rung dengan Bar... naba...," jawab
Sumini dengan suara terputus-putus karena napasnya yang terengah disebabkan rasa
takut dan tegang.
Perasaan takut dan tegang membuat Sumini tidak
bisa memperhatikan arah lagi. Yang dipikirkannya berlari sejauh-jauhnya dari
Empu Pradaga yang mengerikan. Sama sekali tidak sempat diingat kalau dia menuju
ke tempat yang semula ditinggalkannya. Sehingga dia berpapasan dengan Dewa Arak.
"Kau mau ke mana, Dewa Arak?" tanya Sumini ketika melihat
Dewa Arak melesat ke tempat yang baru ditinggalkannya. Tempat Empu Pradaga dan Barnaba tengah bertarung keras.
"Menjumpai
Empu Pradaga dan menghentikan perbuatan kejinya yang telah merenggut nyawa tidak
berdosa," jawab Arya pelan, tapi mantap.
"Lebih, baik kau urungkan niatmu, Dewa Arak!" ujar Sumini tanpa dapat
menyembunyikan rasa khawatir atas keselamatan Dewa Arak. "Akan sangat berbahaya
bagi keselamatanmu. Empu Pra daga bukan manusia lagi, dia iblis!
Kepandaian yang dimilikinya benar-benar tidak lumrah manusia! Kau akan tewas di
tangannya, Dewa Arak!"
"Biarlah kalau itu memang sudah nasibku, Sumini!
Aku rela mempertaruhkan nyawa demi membasmi orang
seperti Empu Pradaga!"
Kemudian, tanpa menunggu jawaban Sumini, Dewa
Arak melesat menuju tempat yang baru ditinggalkan Sumini.
Dan akhirnya dia melihat Empu Prada ga yang tengah berlari cepat ke arahnya.
Dari kenyataan ini saja dia sudah bisa menduga nasib yang diterima Barnaba.
Tanpa membuang-buang waktu lagi dan tanpa pikir
panjang, Dewa Arak segera mengirimkan serangan maut.
Sudah bisa diperkirakannya ketinggian ilmu Empu Pradaga dengan
keberhasilannya
mengalahkan Durgandini dan Barnaba. Namun serangan Dewa Arak kandas ketika Empu
Pradaga dengan cepat merendahkan tubuhnya. Bahkan
kakek berpakaian putih itu mampu mengirimkan serangan tidak terduga. Kaki
kanannya ditendangkan ke belakang, seperti seekor kuda yang tengah menyepak!
Karena tidak ada kesempatan untuk mengelak, Dewa
Arak pun menangkisnya dengan kedua tangannya disilangkan. Dukkk! "Eh...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
segera mengirimkan serangan maut ke arah Empu Pradaga.
Namun, serangan Dewa Arak kandas ketika kakek itu
merendahkan tubuhnya.
Dewa Arak menyeringai ketika sekujur tangannya
terasa lumpuh, dan tubuhnya tergetar hebat. Di samping itu dia terpental kembali
ke udara. Na mun, Dewa Arak tak mudah
untuk ditundukkan, pertarungan sengit pun berlangsung. Baru beberapa jurus saja, Dewa Arak telah me-
ngetahui kebenaran Sumini mengkhawatirkan nasibnya.
Empu Pradaga ternyata benar-benar lihai! Setiap kali terjadi benturan antara
mereka, baik kaki maupun tangan selalu membuat tubuh Arya terhuyung-huyung ke
belakang dengan rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuh. Sementara lawan hanya
tergetar saja tubuhnya.
Namun hal itu belum membuat Dewa Arak merasa
takjub. Yang membuat pemuda berambut putih keperakan itu merasa kagum hanya
ketika mengetahui lawan tidak pernah
mengelakkan setiap serangan yang mengarah berbagai bagian tubuhnya. Setiap serangan baik pukulan maupun
tendangan yang mengenai berbagai bagian tubuhnya, tidak berpengaruh banyak. Tubuh Empu Pradaga hanya tergetar sedikit.
Setelah itu kakek berpakaian putih ini langsung melancarkan serangan dahsyat.
Hanya dalam beberapa jurus, Dewa Arak sudah dipaksa untuk mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'. Pendekar muda itu merasa kewalahan. Setiap
serangan tidak berarti bagi lawan, sedangkan serangan lawan membuatnya
terpontang-panting.
Dan setelah Dewa Arak mengeluarkan ilmu 'Belalang
Sakti' keadaannya jauh lebih menguntungkan daripada
sebelumnya. Setidak-tidaknya dia tidak terlalu terpontang-panting
dalam mengelakkan serangan. Dengan jurus 'Delapan

Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Langkah Belalang', serangan-serangan
Empu Pradaga tidak terlalu sulit untuk dipupuskan.
Namun Dewa Arak tetap saja terdesak ketika Empu
Pradaga mulai menggunakan tasbihnya. Tasbih itu mampu saling
bantu dengan tangan kiri yang senantiasa mengirimkan serangan berupa pukulan jarak jauh. Pukulan dahsyat yang membuat
tanah, batu, dan pohon yang terkena sasaran hancur be-rantakan.
"Hea...!"
Duk! "Heaps...!"
Tubuh Arya terdorong jauh ke belakang ketika
menangkis dengan guci tendangan Empu Prada ga yang
mengarah ke perut.
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Empu Pradaga. Dengan sinar mata bengis, dia bersiap melancarkan serangan
mematikan. Namun, tindakannya mendadak tertahan ketika terdengar bunyi berdesing nyaring diikuti meluncurnya
beberapa bilah pisau ke arah mata, tenggorokan, dan ulu hati.
"Heh...! Haits...!"
Sambil mengeluarkan pekikan tertahan, Empu Pradaga cepat menundukkan tubuh. Sehingga serangan dua bilah pisau yang mengarah
sepasang mata lewat di atas kepalanya.
Yang mengancam tenggorokan langsung tertangkap mulutnya. Sedangkan yang mengarah ulu hati disampokkan sehingga
kembali ke tempat semula.
Empu Pradaga belum sempat berbuat sesuatu,
sesosok bayangan kuning melesat diiringi bunyi berdesing nyaring. Seleret sinar
berkilauan yang ternyata sebilah pedang meluncur ke tenggorokan Empu Pradaga.
Trak! Dengan kecepatan yang mengagumkan Empu Pradaga
berhasil menangkis pedang sosok bayangan kuning dengan tasbih, dan membelitnya.
Tidak hanya sampai di situ, dengan satu sentakan, Empu Prada ga membuat tubuh
sosok bayangan kuning itu tertarik ke depan. Kemudian disambutnya dengan gedoran telapak tangan kiri terbuka.
"Uh...!"
Sosok bayangan kuning yang ternyata Sumini
terpekik. Namun berkat kelihaiannya, dia mampu menghentakkan kaki sehingga tubuhnya melenting ke atas dan serangan itu pun
lewat di bawahnya.
Sebelum keadaan Sumini semakin buruk Dewa Arak
telah melesat menyelamatkannya
dengan mengirimkan serangan yang membuat Empu Pra daga mengalihkan perhatian dari Sumini. Pertarungan yang jauh lebih sengit berlanjut. Empu
Pradaga kini menghadapi dua orang lawan.
Meskipun dikeroyok oleh Dewa Arak dan Sumini,
Empu Pradaga tidak terdesak Perlawanan sengit tetap dapat diberikan. Bahkan Dewa
Arak diam-diam kaget karena
merasakan kepandaian Empu Pradaga sepertinya bertambah.
Kalau semula, serangan-serangan pedang Sumini tidak
ditangkisnya dengan tangan, sekarang dilakukan hal itu.
Begitu juga terhadap serangan-serangan yang dikirimkan.
"Ikh!"
Sumini menjerit tertahan ketika pedangnya berhasil
dicengkeram tangan kiri Empu Pradaga. Semula meskipun beberapa kali tertangkis,
tak pernah di tercengkeram karena Sumini bertindak lebih cepat.
Jeritan pendek Sumini kembali terdengar ketika
Empu Pradaga menarik tangannya sehingga tubuh gadis itu ikut tertarik ke depan.
Kemudian dengan kecepatan yang sulit untuk diikuti mata, kakek berpakaian putih
itu mengirimkan totokan ke arah bahu kanan. Sumini yang tidak sempat mengelak
langsung roboh lemas.
Melihat hal itu Dewa Arak yang tadi dipaksa mundur
menjauh oleh serangan jarak jauh Empu Pradaga segera melesat untuk menolong
Sumini. Namun dia kalah cepat, kakek berpakaian putih itu telah lebih dulu
menyambar tubuh Sumini dan memondongnya. Kemudian dengan sekali menjejakkan
kaki, tubuh Empu Pradaga telah lewat di atas kepala Dewa Arak dan terus melesat
cepat meninggalkan tempat itu.
Dewa Arak tidak tinggal diam, dan langsung melakukan pengejaran. Namun ternyata untuk kesekian
kalinya, pemuda berambut putih keperakan itu harus
menelan pil pahit. Kecepatan lari Empu Pradaga benar-benar tidak terjangkau
olehnya. Kedua kaki kakek berpakaian putih itu seperti tidak bersentuhan dengan
tanah, melainkan melayang. Dewa Arak meskipun telah mengerahkan seluruh
kecepatan lari, tetap saja tertinggal, dan semakin lama semakin jauh.
Sungguhpun demikian, Dewa Arak tidak putus asa.
Dia terus melakukan pengejaran. Di dalam hati, dirinya menyayangkan
tindakan Sumini yang datang untuk menolongnya. Meskipun diakui tanpa adanya Sumini
mungkin nyawanya sudah melayang ke alam baka.
Semangat Dewa Arak untuk melakukan pengejaran,
semakin membara ketika melihat sosok tubuh tengah terlibat dalam pertarungan.
Memang masih terlalu kecil untuk
diketahui, tapi menilik gerakan-gerakan yang dilakukan, bisa diketahui
kalau sosok yang tengah terlibat dalam pertarungan sengit itu Empu Pradaga dan Durgandini.
Sesaat kemudian, Arya telah bisa membuktikan
kebenaran dugaannya. Durgandini dan Empu Pradaga tengah terlibat dalam
pertarungan. Namun dalam sekilas dia tahu kalau keadaan nenek berpakaian hitam
itu amat gawat.
Tubuhnya terpontang-panting ke sana kemari. Dia tidak sempat
melakukan serangan balasan, hanya mampu mengelak dengan susah payah.
"Hih!"
Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya, melakukan serangan jarak jauh dengan jurus 'Pukulan
Belalang'. Seketika itu pula angin berhawa panas menyengat, meluruk ke arah Empu
Pradaga yang tengah memburu dan menghujani Durgandini dengan serangan-serangan
maut. Glarrr! Ledakan keras laksana petir menyambar terdengar
ketika Empu Pradaga menghentakkan kedua tangan pula
untuk memapak serangan Dewa Arak. Akibatnya tubuh Dewa Arak terjengkang ke
belakang dan terguling-guling dengan dada dirasakan sesak. Bahkan, dari sudut
bibirnya mengalir darah segar tanda kalau dia terluka dalam. Sementara tubuh
Empu Prada ga hanya tergetar.
Saat itulah Durgandini melompat bangun dan menusukkan payungnya ke perut Empu Pradaga.
Begitu cepat, payung itu dikembangkan.
Pyarrr! Payung Durgandini langsung hahcur berantakan
ketika tangan Empu Pradaga menangkisnya. Padahal, payung itu bukan senjata
sembarangan melainkan pusaka yang
sangat ampuh. Tubuh Durgandini pun terpental ke belakang.
"Bertahanlah, Dewa Arak!" ujar Durgandini sambil mengerling Arya yang berada di
sebelahnya. "Sebentar lagi kita akan memperoleh kemenangan."
"Bagaimana kita akan memperolehnya, Nek"!" tanya Dewa Arak penuh perasaan tidak
percaya. "Dia lihai sekali!
Aku tidak pernah menyangka akan ada orang yang memiliki kepandaian setangguh
ini!" "Lupakanlah hal itu, Dewa Arak!" sergah Durgandini cepat. "Sekarang yang penting
kita harus memberikannya kejutan terakhir yang membuatnya pergi ke alam baka....
Kita gabungkan kekuatan! Kau siap"!"
Tanpa menunggu persetujuan, Durgandini berdiri di
belakang Dewa Arak dan menempelkan kedua tangannya ke punggung pemuda berambut
pu tih keperakan itu. Seketika Dewa Arak merasakan
aliran kekuatan dahsyat yang
menjalar dari kedua tangan yang menempel di punggung.
Pendekar muda itu pun memusatkan kekuatan untuk
mengalirkan tenaga dahsyat Durgandini ke pusar.
"Hih!"
Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Dan segulungan angin dahsyat yang jauh lebih keras hembusannya dari
sebelumnya, menyambar ke arah Empu
Pradaga yang tengah terhuyung-huyung akibat serbuk-
serbuk yang menyebar dari payung Durgandini yang hancur.
Nenek berpakaian hitam itu menaruh serbuk-serbuk
di payungnya. Serbuk yang mampu membuat orang pingsan seketika itu. Tapi, Empu
Pradaga ternyata hanya terhuyung-huyung dan pusing beberapa saat karena begitu
serangan Dewa Arak meluncur dia sudah sadar. Seperti semula, tanpa ragu
dipapaknya serangan itu dengan hentakan kedua
tangannya pula.
Glarrr! Bunyi yang jauh lebih keras dari sebelumnya pun
terdengar ketika dua hembusan angin dahsyat bertabrakan di udara. Tubuh Dewa
Arak dan Durgandini serta Empu
Pradaga sama-sama terhempas deras ke belakang seperti daun diterbangkan angin.
Mereka jatuh terguling-guling, tapi segera bangkit meski dengan kepala digeleng-
gelengkan akibat rasa pusing yang melanda.
"Aaakh...!"
Empu Pradaga mengeluarkan
jeritan melengking
tinggi dan menyayat hati. Tubuhnya ambruk ke tanah.
Sekujur tubuhnya basah bersimbah darah yang keluar dari hidung, mulut, telinga,
dan matanya. Lelaki tua berjubah putih itu seketika tewas dengan tubuh berubah
merah bagai udang rebus.
"Apa yang terjadi"! Mengapa dia tewas, Nek"!" tanya Dewa Arak, heran.
"Ilmu yang dituntutnya, Dewa Arak," jawab Durgandini kalem.
Kemudian secara singkat Durgandini menceritakan
pada Dewa Arak. Empu Pradaga yang nama sebenarnya
Subranta adalah kakak seperguruannya. Dulu, puluhan


Dewa Arak 62 Perempuan Pembawa Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun lalu, bersama-sama dengan Durgandini menuntut ilmu mukjizat yang mampu
membuat tenaga dalam meningkat
pesat dan memiliki penciuman setajam anjing pelacak.
Sehingga tahu di mana adanya orang yang dicari. Selain itu tubuhnya akan kebal
segala macam senjata.
Sayang, ilmu itu menuntut adanya pengorbanan
manusia. Korban yang dibutuhkan adalah wanita dan lelaki muda belia. Empu
Pradaga membutuhkan wanita, sedang
Durgandini membutuhkan lelaki. Korban-korban itu diambil darahnya.
"Aku berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap lelaki dengan bantuan
suamiku. Tidak demikian halnya dengan Subranta. Akhirnya dia sial sendiri.
Korban yang baru dicicipinya ternyata sudah tidak perawan lagi, akibatnya
nyawanya terancam. Itulah sebabnya dia mencari-cari Sumini. Seorang gadis
sesakti Sumini mempunyai darah yang bagus! Puluhan bahkan ratusan kali lebih
bagus dari darah wanita lain."
"Kini aku mengerti, Nek. Sepasang mata dan wajah Empu Prada ga yang merah tidak
terjadi secara sewajarnya."
"Benar. Semakin merah, berarti waktu hidupnya
semakin sedikit, karena semakin banyak bagian tubuhnya keracunan akibat darah
wanita yang tidak suci itu."
"Pantas dia begitu bersemangat untuk mendapatkan Sumini,"
Arya mengangguk-anggukkan
kepala seraya menatap tubuh Sumini tergolek di sebatang bawah pohon.
"Sayang,"
desah Arya. "Dengan matinya Empu Pradaga tidak ada yang tahu siapa pembunuh Raja Pedang Langit Bumi."
"Empu Pradaga pembunuhnya. Dia mengakuinya
padaku, Dewa Arak. Raja Pedang Langit Bumi memergokinya ketika tengah melakukan
tindakan biadab terhadap wanita korbannya.
Itulah sebabnya ayah Sumini bermaksud merobek surat yang dibuat sebelumnya. Rupanya anakku baru tahu kalau Subranta
menginginkan Sumini untuk
dikorbankan. Subranta memang selalu menginginkan korban yang tidak dalam keadaan
cemas dan ketakutan. Karena korban yang dalam keadaan tenteram batinnya lebih
mampu menimbulkan kekuatan yang hebat, berlipat kali daripada yang tengah
ketakutan...."
Kemudian Durgandini pun tak lupa menceritakan
kepada Dewa Arak, bahwa selama beberapa hari ini
kemampun Sumini telah mengalami kemajuan pesat. Hal itu terjadi karena adanya
perubahan dari kekuatan racun aneh yang bersarang di tubuh Sumini menjadi tenaga
dalam yang hebat. Dahulu ketika Sumini masih kecil, Durgandini sengaja
menyuntikkan racun aneh ke tubuh cucunya itu. Maksudnya untuk melindungi tubuh
Sumini. Sebab jika batin gadis itu mengalami rasa takut dan cemas, dengan
sendirinya racun akan bekerja, bahkan mampu membunuh lawan secara
mengerikan. Namun ketika mengetahui cucunya dalam bahaya,
Durgandini dengan keahliannya telah mengubah racun di tubuh Sumini menjadi suatu
kekuatan. Agar Sumini mampu menghadapi lawan yang akan menangkapnya.
Kini Dewa Arak baru memahami keheranannya
melihat Sumini dalam beberapa hari saja telah menguasai ilmu kemampuan tinggi.
Juga tentang racun aneh yang telah menewaskan beberapa tokoh sakti secara
mengerikan. Usai menjelaskan demikian, Durgandini menghampiri
tubuh Sumini yang masih tergolek dalam keadaan pingsan.
Rasa takut yang hebat telah menyebabkannya pingsan.
Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melesat
pergi. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Jejak Di Balik Kabut 8 Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Harimau (4) Karya Motinggo Busye Pendekar Remaja 1
^