Pencarian

Perintah Maut 1

Dewa Arak 55 Perintah Maut Bagian 1


PERINTAH MAUT oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A.Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Perintah Maut
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Srakkk...! "Keparat!"
Bunyi berkerosakan yang disusul dengan suara makian keras penuh
kejengkelan, merob ek keh eningan suasan a yang m asih diselimuti kegelap an.
Sebenarny a, saat itu malam telah berlalu. Tugas rembulan, telah hampir usai.
Hanya saja sang Surya belum menampakkan diri di ufuk timur. Meskipun demikian,
kicau burung sudah mulai terdengar. Kokok ayam jantan pun sesekali bersuara,
seakan hendak menyambut pagi.
Di tengah suasana sep erti itulah suara maki an tadi terdeng ar dari mulut
sesosok tubuh berpakaian hitam. Wajahnya tak tampak karena tertutup kain hitam
dari bawah mata sampai ke leher. Kain itu diikatkan ke belakang kepala. Hal itu
sebagai pertanda kalau dirinya tak ingin dikenal.
"Hih!"
Dengan menggeram, sosok berpakai an hitam itu menarik kuat-kuat
kakinya. Ternyata salah satu kakinya terperosok ke dalam sebuah lubang yang tak
terlihat karena tertutup semak -semak dan rerumputan. Lubang itu kecil tapi
cukup dalam. Sosok berpakaian hitam itu tampak merasa kesakitan, mungkin kalau
tak tertutup kain, mulutnya meringis-ringis menahan nyeri di kaki yang terjepit
lubang itu. Hanya matany a yang tajam tampak jelalatan ke sana kemari, seperti
ada yang tengah diawasi.
Namun sosok berpakaian hitam itu tidak mempedulikan rasa sakit
yang mendera. Begitu terbebas d ari lubang, kakinya kemb ali
metanjutkan perjalanan. Langkahny a terburu-bu ru sekali. Sehingga tampak agak
terpincang -pincang. Karena k aki sebelah kan an yang terperosok di lubang tadi,
dirasakan masih sangat sakit ketika dijejakkan ke tanah.
Srak! Srak! Srak!
Bunyi berkerosakan dari semak-semak dan rerumputan yang
dilewati sosok berpakaian hitam itu terdengar, hampir tiada henti.
Terlihat jelas, sosok berpakai an hitam itu tengah tergesa-g esa.
Setelah cukup lama men erobos semak -semak d an rerumputan,
akhirnya sosok berpakaian hitam itu sampai di sebuah tanah lapang yang
membentang luas. Tak satu pun pohon besar yang m enghalangi tempat itu, kecuali
rumput-rumput pendek dan kering.
Sosok berpakaian hitam itu menghentikan langk ah dan mengedark an pand angan. Namun, hal itu hanya dilakukannya s ebentar.
Sesaat kemudian, kakinya kembali diayunkan. Kali ini lebih cepat dari
sebelumnya. Rupanya ras a sakit yang melanda k aki telah mulai
berkurang. Ternyata sosok berpakaian hitam itu bukan orang sembarang an.
Setidak-tidaknya, memiliki ilmu yang cukup tinggi. Hal itu dapat dibuktikan dari
larinya yang cepat dan gesit
Tak berapa lama kemudian, dalam jarak belasan tombak di hadapan
sosok berpakai an hitam, samar-sam ar tampak s ebuah b angunan. Ke tempat itulah
kakinya diayunkan. Hanya dal am beberapa k ali lesatan, tubuhnya telah berad a
tepat di depan bangun an itu. Sebuah bangunan yang tampak menyeramkan. Apalagi
dalam suasana pagi yang masih
gelap dan sunyi seperti ini.
Setelah berhenti di depan bangunan itu diedarkan matanya,
mengawasi ke sekitar pekarang an yang luas. Bangunan tua itu
tampaknya sudah tak berpenghuni. Hal itu bisa dibuktikan dari
keadaannya yang terbengk alai seperti tak terawat. Pepohonan kecil tampak
meranggas di tengah halaman luas yang kotor.
Setelah puas memperhatikan, sosok berpakaian hitam itu lalu
melangkah menuju bagian kiri bangunan. Ada suatu yang aneh di bagian itu. Di
sana tampak tertancap seb atang tombak berwarna mengkilat.
Setengah dari tombak itu menancap di tanah. Hal itu membuktikan
betapa kuat tenaga dal am yang telah menghunjamkannya.
Begitu berada di dek at tombak, sosok berpakaian hitam itu
menghentikan langkah. Ditolehkan kepalanya ke sana kemari. Seakan-akan tak ingin ada orang lain melihat tindakan yang akan
dilakukanya. Setelah merasa yakin tidak ada orang melihat, sosok berpakaian
hitam itu memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Sesaat kemudian tangan nya
telah keluar dengan menggenggam segulungan surat dan
sebuah kantung kain seb esar k epalan b ayi. Kantung yang tampak menggembung itu
mengeluarkan bunyi berdencing nyaring ketika
dikeluarkan Setelah kembali menoleh ke sana kemari, sosok berpakaian hitam
itu buru-buru menggantungkan gulungan surat dan kantung kain ke
gagang tombak. "Hhh...! Akhirnya selesai juga tugasku. Kini tinggal menunggu hasilnya. Ha ha
ha...! Tunggulah kematianmu, Bima Seta! Ha ha ha...!"
ujarnya seray a tertawa terbah ak-bah ak, merasa puas dan bangga. Rasa gembira
itu pun tampak tersirat dari sepasang matanya yang tak tertutup kain.
Masih dengan tawa yang belum putus, sosok berpakaian hitam
segera meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya
telah menjauh, dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan pagi
*** "Aneh...! Aku tak mengerti arti semua itu, Kang."
Sebuah pertanyaan dengan suara lembut terdengar, ketika tubuh
sosok berpakaian hitam telah jauh meninggalkan bangunan itu. Suara itu beras al
dari salah satu pohon yang berada tak jauh dari bangunan tua.
Ternyata pada sal ah satu cab ang pohon besar di sebel ah kanan
bangunan itu, tampak dua sosok tubuh yang duduk berdampingan.
Rimbunnya dedaunan pohon ditambah suasana pagi yang masih gelap, membuat keberad
aan mereka sulit untuk diketahui.
"Aku juga tidak mengerti, Melati," timpal sosok lainnya. "Tapi jelas..., ada
seseorang yang tengah terancam jiwanya! Dan orang itu bernama Bima Seta.
Sementara orang yang mengincar nyawanya,
kuduga orang berpakaian hitam tadi. Tapi..., mengapa tindakan yang dilakukannya
seperti itu?"
Terdengar jelas perb edaan kedu a suara itu. Yang pertama lembut, dan agak
melengking. Sedangkan yang belakangan suaranya mantap,
dan agak berat. Jelas, suara pertama keluar dari mulut seorang wanita.
"Mungkin ada hubungannya dengan benda-b enda yang digantungkan pada gagang tombak itu, Kang," ujar wanita yang dipanggil Melati.
"Mungkin kau benar," sahut pemilik suara l elaki. "Tidak ada salahnya kalau kita
memeriksanya. Toh, ini semua demi kebaikan."
Belum juga lenyap ucapan pemilik suara kedua itu, dari atas pohon melesat turun
dua sosok bayangan, putih dan ungu! Dan....
Jliggg! Seringan kapas, dua sosok yang t adi berada di atas pohon
menjejakkan kaki di tanah. Jelas, keduany a mempunyai
ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna.
Kedua sosok itu segera menghampiri tempat sosok berpakaian
hitam menaruh benda-b enda yang dibawanya. Terlihat tindakan mereka tidak begitu
tergesa-gesa. Dalam jilatan sinar bulan yang remang-remang, terlihat cukup jelas ciri-ciri
merek a. Sosok pertama seorang gadis berwajah cantik jelita.
Rambutnya panjang tergerai. Sehelai pakaian putih membungkus
tubuhnya yang ramping.
Sedangkan sosok kedua, ternyata seorang pemuda tampan berusia
sekitar dua puluh satu tahun. Wajahnya memperlihatkan kejantananny a.
Tubuhnya yang kekar dan berotot, dibungkus pakaian ungu.
Ada sebuah keanehan p ada pemuda berpakaian
ungu itu. Rambutnya yang panjang b erwarna putih kep erak an. Warna rambut yang biasanya
hanya dimiliki orang-orang berusia lanjut.
Kini bisa ditebak siapa sebenarnya pemuda berambut putih
keperakan itu. Ya! Arya Buana. Lelaki muda yang lebih terkenal dengan julukan
Dewa Arak ! Dengan pandang an tertuju pada benda-benda yang tergantung di
batang tombak, Arya d an Melati terus melangk ah mend ekat. Namun, ketika jarak
ant ara pas angan muda-mudi itu dengan sasaran tinggal tiga tombak lagi, tiba-
tiba berkeleb at sesosok bayang an hitam yang melesat begitu cepat. Dan....
Brettt! Dalam sekejap gulungan surat dan kantung kecil itu telah lenyap
dari tempatnya. Sosok bayangan hitam itulah yang menyambarnya!
Kemudian dengan kecep atan luar biasa, sosok bayangan itu melesat meninggalkan
tempat Dewa Arak dan Melati berada.
Kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingg a sulit untuk
dirinci rentetanny a. Yang jelas, baik Dewa Arak maupun Melati baru menyadari
ketika sosok bayangan hitam itu telah melesat jauh.
Meskipun demikian, sepasang pendek ar ini sempat melihat kalau
sosok bayangan hitam itu bukan manusia. Ya, bukan! Melainkan seekor burung.
Sepasang pendek ar muda itu hanya bisa memperh atikan burung itu melayang di
bawah cahaya bulan yang temaram. Semakin lama semakin jauh, sampai akhirnya
lenyap dari pandangan mata. Ditelan kejauhan dan suasana rem ang-malang malam
menjelang pagi.
Melihat kejadian barusan, Dewa Arak dan M elati hanya s aling
pandang. Ada sorot keheran an dan rasa pen asaran meman car di mata mereka.
"Aku jadi semakin tidak mengerti, Kang," ujar Melati, lirih tak ubahnya mirip
bisikan. Kepalanya menggel eng-gel eng perlahan.
"Hhh...!"
Dewa Arak pun hanya menyahut dengan hel aan nap as panjang.
Sedangkan tatap annya diarahkan k e langit, seperti tengah men cari jawaban atas
pertanyaan kekasihnya di sana.
"Bukan kau saja yang tak mengerti, Melati. Aku pun merasa heran.
Apa arti semua kejadian an eh ini"! Hanya satu yang berhasil
kusimpulkan. Dan kurasa kau pun mengetahuinya...."
Dewa Arak menghentikan ucap annya. Ditatapnya sejen ak wajah
Melati. Sikap dan pandangan matanya s eakan -ak an tengah menunggu jawaban dari
gadis berpakaian putih itu.
"Apa itu, Kang?"
Ternyata bukan jawaban yang diberikan Melati, melainkan
pertanyaan bern ada penuh ras a ingin tahu.
"Ada seseorang yang tengah teran cam kesel amatanny a! Kau tahu kan siapa yang
kumaksudkan?"
"Maksudmu..., Bima Seta"!" tanya Melati, ragu-ragu.
"Tepat!" sahut Dewa Arak sambil mengacungkan ibu jari. "Dialah yang kumaksudkan.
Ada bahaya besar yang tengah mengancam
keselamatan Bima Seta. Kita harus menyelamatkannya, Melati!"
"Aku setuju saja, Kang! Tapi.., ke mana kita harus mencari Bima Seta" Kita belum
tahu di mana tempat kediamannya. Dan yang lebih repot lagi, kita belum pernah
melihat orang itu. Jelas, kita belum pernah mengenal nama Bima Seta. Lalu...,
bagaimana cara kita mencegah
pembantaian itu?" tanya Melati, seakan-akan meragukan tindakan penceg ahan itu.
"Hanya ad a dua cara, Melati," sahut Dewa Arak cepat. "Pertama, kita cari orang
yang tadi datang kemari."
"Lalu..., apa cara yang satunya lagi, Kang?" desak Melati tidak sabar menunggu.
"Mengejar burung
yang telah mendahului kita, menyambar
barang -barang di tombak tadi. Memang, hal ini lebih sulit. Tapi yang jelas,
kita tahu arah yang ditempuh binatang itu. Kita ikuti dan selidiki.
Mudah-mudahan saja, belum terlambat!"
"Kalau begitu maksudmu, kita harus cep at bertindak, Kang ! O, ya.
Apa tindakan kita sekarang?" tanya M elati seray a menatap wajah kekasihnya.
"Mengejar orang berp akai an serba hitam tadi!" jawab Ary a dengan suara tegas
dan mantap. Usai berkata demikian, Dewa Arak langsung mengayunkan kaki
dengan gerakan luar bias a. Hanya dengan sek ali lesatan, tubuhnya telah berada
dalam jarak belas an tombak dari tempat semula.
Melihat hal ini, Melati tak mau kalah. Gadis itu pun segera
mengayunkan kaki. Hanya dalam sekejap mata, tubuhnya juga telah
melesat belasan tombak. Sesaat kemudian, pasangan pendek ar muda ini telah sama-
sam a melesat menuju arah yang di tempuh sosok berpakaian hitam.
*** "Tuan...! Tuan Besar...! Aku datang, Tuan Besar...!"
Suara teriak an keras dan parau deng an logat yang aneh lerdeng ar beberapa
kali. Sesosok tubuh yanq tengah terbaring di atas balai-balai bambu terbangun.
Perlahan-lah an kelopak matanya membuka
"Ah...! Kau rupanya, Raja," gumam sosok yang terbaring di atas balai-balai
bambu, setelah terlebih dulu menggeliatkan tubuh. "Sepagi ini kau sudah
membangunkanku. Apa ada pekerjaan yang harus
kulakukan?"
"Benar, Tuan...! Benar! Dan aku telah membawany a...!" sahut pemilik suara serak
dengan logat aneh itu.


Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Aku telah melihatnya. Sini, berikan padaku...!" pinta sosok yang tergolek
di balai-balai seraya bangkit dari berbaring, lalu perlahan -lahan duduk.
Pemilik suara serak dan berlog at aneh itu pun langsung meluncur menuju balai-
balai bambu. Ternyata suara parau dan berlogat aneh itu keluar dari mulut seekor
burung cukup bes ar. Sayapnya yang leb ar terkepak.
Wrettt! Jrabbb! Dalam sekejap burung itu telah hinggap di bahu kanan sosok lelaki yang dipanggil
Tuan Besar. Sosok lelaki setengah baya, berkumis tebal yang duduk di
pembaringan segera mengelus burung berbulu hitam itu. Kemudian
tangannya diulurkan untuk mengambil gulungan surat dan buntalan
kecil yang tergeletak di balai-balai. Tampaknya burung besar yang dipanggil Raja
telah menjatuhkan kedua b enda itu di balai-balai bambu sebelum hinggap di bahu
pemiliknya. Perlahan-l ahan dibukanya tali pengikat gulungan surat yang terbuat dari kulit
binatang itu. Pada lembaran yang tampak halus tertera sed eret tulisan hitam.
Lelaki berkumis tebal itu segera membacany a dalam hati.
Utusan dari Akhirat.
Lewat surat ini aku mengutusmu untuk menghabisi nyawa Bima
Seta. Kau tahu kan, siapa Bima Seta itu" Ya. Dia adalah Kepala Desa Jarak. Siang
ini dia akan pergi berburu ke Hutan Saragan. Kau bisa menghabisi nyawanya di
sana. O, ya. Di dalam buntalan kecil itu telah kusediakan uang
imbalannya. Hitunglah! Aku rasa jumlahnya cukup.
Sampai di sini, lelaki bertubuh tinggi dan berkumis tebal
menggulung kembali surat itu. Ada seulas senyum tersungging di
bibirnya. Lalu, setelah meletakkan gulungan kulit binatang itu di balai-balai
bambu, segera diambilnya kantung kecil dari kain hitam itu.
Setelah tali pengikat dilepas, segera dikeluark an isinya.
Cring! Cring! Bunyi berdencing nyaring terdengar ketika ben da-bend a logam
yang ternyata uang itu berjatuhan di telapak tangannya.
"Ha ha ha...!"
Lelaki berkumis tebal itu tertawa terbahak-bah ak. Sebuah tawa yang menyiratkan
kegembiraan. "Kau tahu isi surat itu, Raja"!" tanya lelaki berkumis tebal itu pada burung
hitam yang masih bertengger di pundaknya.
"Tahu, Tuan Besar! Sebuah tugas, bukan"!" sambut burung berbulu hitam itu dengan
suara serak dan logat yang aneh.
"Ha ha ha...!"
Ledakan tawa lelaki berkumis tebal yang ternyata berjuluk Utusan dari Akherat
itu pun semakin keras menggelegar, sehingga membuat seisi ruangan berg etar h
ebat. Hal itu pertanda kal au dia mengerahkan tenaga dalam ketika mengumbar tawa
yang bern ada penuh kegembiraan itu.
Masih dengan suara tawa yang belum putus, Utusan dari Akherat
menimang-nimang kepingan-kepingan uang di tangannya. Namun
tiba-tiba tawanya terh enti ketika burung hitam itu menyelak.
"Tuan...! Tuan Besar...! Aku sudah tidak tahan lagi...! Seluruh tubuhku terasa
gatal! Aku ingin kembali ke warna asliku...!"
"Oh, iya! Aku sampai lupa Ayo, Raja! Aku pun harus segera
mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugasku!"
Usai berkata demikian, Utusan dari Akherat langsung bangkit dari duduknya. Lalu
melangkahkan kaki meninggalkan kamar tidurnya.
2 Derap k aki kuda yang beradu dengan bumi menambah hiruk-pikuk
keadaan di dalam Hutan Saragan. Kalau semula yang terdengar hanya kicau burung
dan teriakan-teri akan binatang penghuni hutan, kini gemuruh langkah kaki kuda
seakan-akan hend ak memecahk an suasan a.
Namun kemudian kuda coklat bertubuh kekar itu tampak melangkah perl ahan, karen a penunggangny a tidak memacu cep at.
Bahkan seperti memang disengaj a agar binatang tunggangannya tidak berjalan
cepat. Dia sibuk memperhatikan keadaan sekitar tempat itu.
Penunggang kuda itu ternyat a seorang lelaki seteng ah bay a,
berpak aian coklat muda. Kepalany a menoleh
ke sana kem ari,
seakan -akan ad a sesuatu yang tengah dicariny a. Bahkan beberap a kali tali
kekang kudanya ditarik dengan maksud agar berhenti. Sesekali langkah binatang
tunggangannya berh enti. Mata lelaki itu jelalatan mengawasi tempat di
sekitarnya yang tampak sepi dan sunyi.
Lelaki berpakai an coklat muda itu ternyata tidak sendirian. Di
belakangny a, berjajar dua ekor kuda hitam yang masing-masing
ditunggangi lelaki bertubuh kekar dan berwajah sangar. Gagang pedang tampak
menyembul dari balik punggung mereka. Berbeda deng an lelaki berpak aian cokl at
muda, dua lelaki bertubuh k ekar itu tampak b egitu waspada.
Ketiga lelaki penunggang kuda itu semakin jauh memasuki Hutan
Saragan. Namun lelaki berpakai an coklat muda yang berada di depan, tampaknya
tak mempedulikan keadaan hutan itu.
Lelaki berpak aian coklat muda menghentikan langkah kudanya
ketika tiba di dekat hamparan padang rumput yang luas. Dengan sebuah gerak an
indah tubuhnya melompat turun dari punggung kuda.
Jliggg! Dengan mantap dan kokoh kedua kakinya hinggap di tanah.
Kemudian pandang annya dialihkan ke arah dua lelaki kekar yang masih duduk di
punggung kuda masing-masing. Mereka segera melompat
turun. "Ambilkan busur itu, Birawa!" pinta lelaki berpakaian coklat muda.
Salah seorang dari dua penunggang kuda hitam itu segera
mengambil busur yang tergantung di punggung. Lalu diberikannya pada lelaki
berpakaian coklat muda.
"Ini, Ki," ucap lelaki yang berbibir teb al dan hitam itu, penuh hormat.
Lelaki berpak aian coklat muda hanya menganggukkan kepala
perlahan s eray a menerima busur b esar itu. Lalu, tanpa mempedulikan kudanya,
segera melangkah menuju hamparan rerumputan yang ada di sebelah kiri mereka.
Sambil melangkah perlahan, tangan lelaki berpakaian coklat muda
itu melolos anak panah dari kantung panjang y ang terg antung di punggungnya.
Ternyata bukan hanya s ebatang, melainkan du a batang anak pan ah. Kemudian yang
lebih mengherankan, keduany a dipasang pada tali busur.
Dan kini, dengan sikap siap meluncurkan anak panahnya, lelaki
berpak aian coklat muda itu berjalan mengendap-end ap menyibak
rerumputan. Namun tentu saja bukan karen a rerumputan yang telah menghalangi
langkahnya, hingga langkahnya tampak berhati-hati sekali.
Ternyata puluhan tombak di hadapannya ad a beberapa eko r kijang yang tengah
merumput. Rupanya binatang-binatang itulah yang telah menarik perhatianny a.
Lelaki berpak aian coklat muda bertindak hati-hati sekali. Seolah-olah khawatir kalau kelompok binatang itu mengetahui kehadiranny a. Sehingga dengan perlahan-lahan kakinya mendekat
sampai pada jarak jangk auan panah. Sesekali tubuhnya menyelinap di balik pohon
besar yang rumbuh di sekitar tempat itu.
Sementara itu, dua lelaki berwajah kasar yang rup anya peng awal lelaki berpak
aian cokl at muda itu, hanya mengawasi dari kejauh an.
Kuda mereka, seperti juga milik lelaki berpak aian coklat muda, telah
ditambatkan di bawah pohon.
"Bagaimana kalau kita bertaruh, Sempani"!" tanya Birawa setengah mengajak.
Lelaki yang dipanggil Sempani tak langsung memberikan jawaban.
Wajahnya tampak tercenung sambil menatap tajam mata Birawa.
"Bertaruh apa, Birawa"!"
"Begini. Ki Bima Seta hendak memanah kijang-kijang itu. Nah!
Itulah yang akan kita pertaruhkan. Apakah Ki Bima Seta akan berhasil atau
tidak"!" jawab Birawa seray a mengangguk-anggukkan kep ala.
"Baik. Kuterima ajakanmu," sambut Sempani. "Kutebak, beliau akan berh asil
memanah salah satu di antara kijang-kijang itu."
Birawa tersenyum. Kepalany a kembali mengangguk-angguk.
"Kau cerdik, Sempani! Kau tak memberiku kesempatan lain! Apa boleh buat,
meskipun aku tahu pasti kalau majikan kita itu mempunyai kemampuan memanah yang
luar biasa, terpaks a kuterima pilihan
lainnya. Asal kau tahu saja, kita bertaruh dengan sebulan penghasilan kita!"
"Ya, aku setuju!" sahut Sempani cepat, sambil melepas senyum gembira. Wajahnya
menggambarkan key akinan bahwa dia bakal
memenangkan taruh an itu.
Kini, Birawa dan Sempani mengalihkan pan dangan, memperhatikan lelaki berpakai an coklat muda yang ternyata bernama Ki Bima Seta.
Tampak di sela-sela rerumputan yang agak tinggi, Ki Bima Seta
tengah berjalan mengend ap-endap. Busur panahnya yang besar telah siap direntang
di depan wajah.
Rupanya Sempani yang akan memenangkan pertaruh an. Masalahnya, sampai Ki Bima Seta berada para jarak jangkauan anak panahnya,
kijang-kijang itu tampak masih sibuk merumput. Mereka
tampaknya tidak menyadari akan adanya ancam an maut yang tengah
mengintai. Ki Bima Seta merasakan jantungnya berd ebar teg ang. Apalagi
ketika mulai membidikkan panah nya. Sudah terbayang di ben aknya betapa kedua an
ak panah itu akan melesat cepat dan menembus tubuh salah satu kijang itu. Tentu
saja kijang paling gemuk dan besar yang menjadi sasaranny a. Namun tiba-tiba....
Srakkk! Blukkk! Sebuah batu sebesar k epalan meluncu r dan jatuh di dekat
sekawan an kijang itu. Tentu saja kejadian itu membuat binatang-binatang
itu terkejut bukan kepalang, dan langsung berhamburan melarikan diri.
Kejadian yang sama sekali tak terduga dan tiba-tiba ini membuat Ki Bima Seta
terkejut dan marah bukan kepalang. Padahal, sudah terbayang di benaknya bet apa
seekor kijang yang paling bes ar dan g emuk akan menggelepar tertembus anak
panahnya. Maka secara untung-untungan,
dilepaskan anak panah dari
busurnya. Trakkk! Swing...!
Dengan kecepatan tinggi, kedua anak panah melesat ke arah
sekawan an kijang yang tengah b erlari an dari tempat itu. Hasilnya memang
seperti yang diduga Ki Bima Seta. Kedua anak panah itu hanya menyambar angin!
"Keparat!" maki Ki Bima Seta geram. Disadari kalau kegagalan usahanya itu
disebabkan ad anya ganggu an yang tidak terduga. "Monyet gila dari mana yang
telah menggangguku hari ini, heh..."! Keluar kau, Pengecut! Jangan bersembunyi!
Tampakkan dirimu!"
Sambil mengeluarkan teri akan-t eriak an geram bernad a tantang an, Ki Bima Seta
mengedarkan p andang an mengawasi sekelilingnya.
Hatinya merasa penas aran ingin segera melihat orang yang telah berbuat usil
tadi. "Siapa yang bersembunyi, Bima Seta"! Sejak tadi aku di sini!" sahut sebuah
suara. Ki Bima Seta terjingkat kaget bagai disengat ular berbisa,
masalahnya, suara itu berasal dari atas kepalanya. Langsung saja kepalany a
didongakkan. Untuk kedua kalinya, lelaki berpakaian coklat muda itu terjingkat kaget. Bahkan
kali ini sampai tersurut mundur. Tepat di atas kepalanya, pada salah satu cabang
pohon, duduk mencangkung sesosok tubuh
berpak aian hitam.
Dan belum sempat Ki Bima Seta berbuat sesuatu, sosok berpakaian
hitam itu telah melesat meninggalkan tempat duduknya. Gerakan yang dilakukannya
begitu cepat dan tampak indah.
Jliggg! Dengan begitu ringan sosok berpakaian hitam itu mendaratkan
kedua kakinya di tanah. Ini menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tubuhnya
amat tinggi. "Siapa kau"!" tanya Ki Bima Seta seraya menudingkan jari telunjuknya. Matanya
yang tajam merayapi sosok yang berdiri sekitar tiga tombak di depannya. Sesosok
berpakaian serba hitam itu bertubuh tinggi dan kurus. Sebuah selubung hitam yang
dikenakan membuat
wajahnya tidak terlihat. Hanya sepasang matanya yang tampak karena tepat pada
bagian mata, terdapat dua buah lubang.
"Siapa diriku sebenarny a, nanti kujelaskan belak angan. Yang lebih penting lagi
kau, Bima Seta! Apa kau terkejut karena tindakan yang kulakukan itu, Bima
Seta"!" tanya sosok berselubung hitam bernada tak acuh.
"Dari mana kau tahu namaku, Keparat"!" tanya Ki Bima Seta, tak dapat
menyembunyikan peras aan kag etnya. "Dan siapa s ebenarnya dirimu" Aku belum
pernah mengenalmu! Mengapa kau mencampuri
urusanku"!"
"He he he...! Tidak usah kaget, Bima Seta! Aku hanya ingin
memastikan saja kalau kau orang yang kucari," sosok berselubung hitam itu
tertawa terkekeh, menyad ari pancinganny a berhasil.
Ki Bima Seta kontan terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau
dirinya telah masuk perangkap sosok berselubung hitam itu.
"Hm..., ada apa kau mencariku"! Aku merasa tidak pernah punya urusan denganmu,"
ujar Ki Bima Seta, agak terbata-bata.
Sebenarny a laki-laki berpak aian coklat muda ini bukan o rang
sembarang an. Namun, penampilan dan sikap sosok berselubung hitam itu membuatnya
harus bersikap hati-hati. Apalagi tadi telah disaksikan sendiri kemampuan sosok


Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak dikenal itu. Ilmu meringankan tubuhnya jelas telah mencapai tingkat
tinggi. Meskipun, tingkat kepandaian dan tenaga
dalam sosok ini belum dilihat, Ki Bima Seta bisa memperkirak annya.
"Semula memang tidak, Bima Seta," masih tetap tenang ucapan sosok berselubung
hitam. "Tapi, sekarang di antara kita ada urusan.
Seseorang telah menyewaku untuk melenyapkanmu dari muka bumi."
Ki Bima Seta tersentak kaget. Kakinya serta-merta mundur
selangkah ketika menyadari ada bahaya mengancam. Di samping dirinya tahu kalau
sosok berselubung hitam itu akan membunuhnya, juga karena ada sebuah dugaan yang
menyelinap di benaknya begitu mendapat
jawaban itu. *** Ki Bima Seta teringat akan seorang tokoh misterius dalam dunia
persilatan. Seorang tokoh sakti yang mempunyai pekerjaan sebagai pembunuh
bayaran. Tidak seorang pun yang meng etahui siapa
sebenarnya, karen a tokoh itu selalu menyembunyikan wajah. Yang
diketahui, tokoh ini mempunyai julukan Utusan dari Akherat!
Hhh...! Orang inikah si pembunuh bayaran yang berjuluk Utusan
dari Akherat itu"! Tanya Ki Bima Seta dalam hati.
Rasanya memang tidak keliru. Karena, menurut kabar, pembunuh
bayaran yang berjuluk Utusan dari Akherat itu mengenakan pakaian serba hitam.
"Siapa kau, Kisanak"!" tanya Ki Bima Seta, ingin memasrikan kebenaran dugaanny
a, setelah termenung beberap a saat.
"Mengenai namaku, sayang sekali tidak bisa kujelaskan. Tapi, kau boleh
menyebutku sebagai Utusan dari Akherat," jawab
sosok berselubung hitam yang ternyata memang Utusan dari Akherat.
"Ah...!"
Meskipun sudah menduga sebelumnya, Ki Bima Seta tak urung
terkejut juga. "Kau pernah mendengar julukan itu"!" tanya Utusan dari Akherat, masih tetap
bersikap tenang.
"Ya," Ki Bima Seta menganggukkan kepala. "Bukankah kau pembunuh bayaran?"
"He he he...!"
Utusan dari Akherat menganggukk an kepal a seraya tert awa
terkekeh -kek eh.
"Utusan dari Akherat," ucap Ki Bima Seta dengan raut wajah sungguh-sungguh. "Aku
berani membayarmu beberapa kali lipat dari orang yang telah meny ewamu.
Syaratnya, batalk an maksudmu. Dan
bunuh orang yang menyuruh membunuhku!"
"Sayang sekali, Bima Seta! Aku tak dapat melakukannya. Ini
menyangkut kehormatanku. Kau tahu, perintah yang diberikan padaku, tak dapat
dibatalkan lagi. Sekalipun permintaan itu datang dari
penyewaku. Setiap perintah berl aku mutlak! Tidak dapat ditawar-tawar lagi!"
jawab Utusan dari Akherat dengan tegas.
Melihat sikap keras Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta jengkel.
"Jangan kaukira aku takut padamu, Utusan dari Akherat! Orang lain boleh takut
mendengar julukanmu. Tapi, aku tidak!"
"Bagus, Bima Seta! Jawaban seperti itulah yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Kau
tahu, aku tak ingin orang yang akan kubunuh menyerah begitu saja. Nah,
bersiaplah kau!"
"Kaulah yang akan kami lenyapkan !"
Seruan keras itu keluar dari mulut Sempani dan Birawa hampir
berbarengan. Ternyata dua lel aki bertubuh kekar ini telah berada di situ sejak
tadi. Mereka ikut mend engark an percak apan antara Ki Bima Seta dengan Utusan
dari Akherat. Keduanya tidak langsung bertindak karena melihat majikan merek a
masih terlibat percak apan d engan pembu nuh bayaran itu.
Usai berkata demikian, Sempani dan Birawa langsung bertindak.
Srat! Srat! Cahaya berkilauan langsung mencuat ketika Sempani Dan Birawa
mencabut pedang yang tersandang di punggung. Lalu, bagai telah saling sepakat
mereka b erg erak mengh ampiri Utusan dari Akherat dari arah berlawanan. Sempani
dari kiri, dan Birawa sebaliknya. Lalu....
"Hiyaaat..!"
Diiringi teriakan keras yang membuat suasan a di sekitar tempat itu tergetar
hebat, Sempani dan Birawa melancark an serang an.
Baik Birawa maupun Sempani menggerakk an pedang berputar
laksana baling-baling, sebelum akhirnya dibabatkan ke tubuh Utusan dari Akherat.
Sempani melancarkan tusukan lurus ke dada. Sedangkan Birawa mengirimkan babatan
ke leh er. Bunyi menderu yang mengiringi tibanya serang an itu menjadi pertanda
kuatnya tenaga dalam yang mereka kerahk an.
"Hmh...!"
Utusan dari Akherat mengelu arkan d engusan bernada m engejek
melihat serangan-s erang an itu. Dia tetap bersikap tenang meskipun bahaya maut
tengah meluncur mengancam jiwanya. Sama sekali tak ada tanda-tand a akan
dilakukanny a tindakan pembelaan diri, baik mengelak ataupun menangkis.
Bukan hanya Sempani dan Birawa yang merasa terkejut melihat
tindakan Utusan dari Akherat, Ki Bima Seta pun demikian. Apakah
Utusan dari Akherat akan membiarkan kedua serangan itu mendarat
pada sasaranny a" Kalau benar demikian, berarti tokoh misterius ini telah
memiliki kekuatan tenaga dalam yang sulit untuk diukur. Atau dia memiliki ilmu
yang membuat tubuhnya tak dapat ditembus senjata tajam"
Peratanyan -pertanyaan ini merasuk di benak Sempani, Birawa, serta Ki Bima Seta.
Dan mereka tak perlu menunggu terl alu lama untuk
mendapatkan jawabanny a.
Tak! Takkk! Bunyi berdetak keras seperti benturan logam keras terdeng ar ketika pedang
Sempani dan Birawa mendarat pada sasarannya.
"Hah..."!"
"Akh..."!"
Sempani dan Birawa terpekik keras, ketika merasak an tangan
mereka seketika terasa panas. Keduanya tampak menghentikan serangan terhadap l
awan. Mulut merek a meringis menah an rasa sakit yang mendera di tangan.
"He he he...! Mengapa berhenti"!" ejek Utusan dari Akherat melihat kedua lawan
menyering ai kesakitan, seray a menatap diriny a dengan pandangan takjub.
"Pilihlah bagian yang empuk!"
Usai berk ata demikian, sosok berselubung hi tam itu melipat kedua tangannya di
depan dada. Sikapnya menunjukkan kalau dirinya siap menerima serang an Sempani
dan Birawa tanpa memberikan perlawan an.
Sempani dan Birawa saling pandang sebentar. Karen a sesaat
kemudian, keduanya telah kembali melancarkan serangan.
Ternyata Utusan dari Akherat benar-b enar menepati janjinya. Dia tak memberikan
perlawan an sama sekali. Dibiarkan saja semua serangan kedua lawannya. Tak pelak
lagi, dua batang ped ang yang dikerahkan dengan tenaga dal am, bertubi-tubi
menghantam sekujur tubuhnya.
Tak! Tak! Tak! Namun, seperti juga kejadian sebelumnya, Utusan dari Akherat tak terpengaruh
sama sek ali. Jangankan terluka, tergores pun tidak! Karena Sempani dan Birawa
mengerahkan seluruh tenag a dalam untuk
melancarkan serangan secara terus-m enerus, tak aneh kal au akibatnya mereka kel
elahan bag ai kehilangan daya.
"Sudah puas"! Ha ha ha...!"
Lagi-lagi Utusan dari Akherat tertawa terbahak -bah ak mengejek.
Hal itu dilakukan tanpa merubah sikap semula. Tubuhnya tetap berdiri tegak
dengan kedu a tangan terlipat di depan dad a. Tampak pa-kaiannya terkoyak-koy ak
akibat rusuk an, sabetan, dan bacok an kedua p edang lawan.
Sesaat baik Sempani maupun Birawa menatap n anar Utusan dari
Akherat. Keduany a seak an-ak an tak mampu melakukan serang an.
Rupanya kedua pengawal Ki Bima Seta ini telah menyadari kalau lawan terlalu
tangguh. Di samping itu mereka seperti telah kehabisan tenaga untuk memberi
jawaban. Cara berdiri Sempani dan Briawa yang tidak tegak lagi telah menjadi
bukti nyata kelelahan yang diderita.
"He he he...!"
Utusan dari Akherat tertawa terkekeh. Kemu dian dengan tawa yang belum putus,
pandangannya diarahk an ke arah Ki Bima Seta.
Ki Bima Seta yang masih berada di situ, tentu saja menyaksikan
semua kejadian itu.
"Sekarang giliranmu, Bima Seta! Ket ahuilah, he he he...! Nasibmu tak sama
dengan mereka," ujar Utusan dari Akherat seraya menuding Sempani dan Birawa.
"Aku hanya diperintah agar membunuhmu!
Bersiaplah, Bima Seta! Padamu aku tidak bisa bersikap lunak!"
Srat! Srat! Ki Bima Seta mencabut sepasang goloknya sebagai tanggap an atas
peringatan yang diberikan Utusan dari Akherat. Jelas, lelaki berpakaian coklat
muda itu bermaksud untuk mengadakan perlawan an.
"Jangan kau kira mudah untuk membunuhku, Bangsat!" dengus Ki Bima Seta sengit.
Seiring dengan makian itu, Ki Bima Seta memutar-mutarkan
sepasang goloknya di depan dada.
Wunggg! Wunggg...!
Bunyi mengaung keras seperti segerombolan lebah mengamuk
kontan terdengar. Hal itu menandakan kalau Ki Bima Seta mempunyai tenaga dalam
yang amat kuat.
Dengan sepasang golok yang diputar-putarkan, Ki Bima Seta
menghampiri Utusan dari Akherat. Terlihat hati-hati sekali tindakannya.
Kakinya melangkah perlahan -lahan, dengan pandangan terus tertuju pada lawannya.
Ki Bima Seta tampaknya tengah men cari bagian dari tubuh lawan yang akan
dijadikan sasaran serangan
Hal yang sama pun dilakuk an Utusan d ari Akherat. Pembunuh
bayaran itu tampaknya tahu kalau yang dihadapi kali ini tak bisa disamakan
dengan lawan-lawan sebelumnya. Itulah sebabnya, meskipun kelihatannya sosok
berselubung hitam ini bersikap tenang, sebenarnya kewaspad aan telah dipasang
secara penuh. Utusan dari Akherat mengawasi setiap langkah Ki Bima Seta
dengan seksam a. Memang, kedudukannya t etap tidak berub ah. Namun, sepasang
matanya beredar mengikuti setiap tindakan kaki Ki Bima Seta.
"Haaat..!" Sing! Sing! Sepasang golok Ki Bima beta bergerak cepat seperti
menggunting leher Utusan dari Akherat.
Melihat serangan yang berbahaya ini, sosok berselubung hitam segera menarik kaki
kanannya mundur, dan mencondongkan tubuhnya ke belakang!
Beberap a saat lamanya, keadaan berlangsung seperti itu. Utusan
dari Akherat tetap b erdiri diam di tempatnya. Sedangkan Ki Bima Seta terus
melangkah menghampirinya deng an sepas ang senjata siap untuk disarangkan pad a
sasaran. Keadaan jadi terlihat menegangkan hati.
Perasaan itu pun melanda Sempani dan Birawa yang kini hanya
bertindak sebagai penonton.
"Haaat...!"
Teriakan keras menggelegar Ki Bima Seta memecahkan ketegangan
yang melingkupi tempat itu. Lelaki berpakaian cokl at itu membuka serang an
dengan sebu ah jurus mematikan. Sepasang goloknya bergerak cepat seperti
menggunting leher Utusan dari Akherat.
Serangan Ki Bima Seta yang begitu cepat sulit untuk diduga. Hal itu karen a
lelaki setengah baya itu melakukan gerakan yang sedemikian rupa. Sehingga golok
yang berada di tang an kan an membabat d ari kiri, sedangkan golok di tangan
kiri membabat dari kanan.
Sing! Sing! Bunyi berdesing nyaring yang memekakkan telinga terdengar,
ketika sepasang golok itu saling berkelebat memburu sasaran.
Utusan dari Akherat menyadari adanya maut yang mengancam
jiwanya. Namun anehnya, tak tampak sedikit pun kegugupan atau
peras aan gentar di mata lelaki berselubung kain hitam itu. Meskipun serang an
lawan meluncur demikian cepat, gerakan yang dilakukannya ternyata jauh lebih
cepat. Kaki kan annya seg era ditarik mundur, sambil tak lupa mencondongkan
tubuh ke belakang.
Wuttt! Wuttt! Hasil tindakan Utusan dari Akherat memang tidak percum a.
Serangan Ki Bima Seta lewat beberapa jari di depan, dan membabat tempat kosong.
Angin kencang dari serangan itu menerpa kepalanya yang tertutup selubung kain
hitam. Melihat hal ini, Ki Bima Seta tidak putus asa. Begitu serangan
pertama berhasil dielakkan lawan, langsung saja dilakukan serangan susulan.
Sambil melangkah maju, sepasang goloknya diputar sedikit.
Lalu, kembali melesat. Sasarannya kali ini tak lain kedua pinggang lawan.
"Hebat...!"
Tanpa sadar dari mulut Utusan dari Akherat terlontar kata pujian.
Bukan sebuah pujian kosong. Rupanya sosok berselubung hitam ini
memang meras a kagum melihat keh ebatan p erk embangan ilmu golok lawannya.
Meskipun demikian, bukan berarti Utusan d ari Akhirat tak mampu
mematahkan serang an dahsyat itu. Sama sekali tidak! Meskipun
serang an lanjutan itu berlangsung begitu cepat, dan hampir tidak terduga.
"Hiyaaa...!"
Wut! Wut! "Hih...!"
Dengan cep at Utusan dari Akherat melemparkan tubuh ke belakang, sehingga serang
an Ki Bima Seta kembali kandas.
Namun, Ki Bima Seta benar-benar tak ingin memberi kesempatan
sedikit pun kepada lawan untuk memperbaiki kedudukan. Tepat ketika tubuh Utusan
dari Akherat tengah b erad a di udara, kakinya digenjotkan untuk memburu lawan
seraya melancark an serang an bertubi-tubi.
Pemandangan yang menarik pun terjadi. Keadaan yang kurang
pantas disebut sebagai sebuah pertarung an. Masalahnya, Utusan dari Akherat
terus-m enerus berg erak menjauh, sementara Ki Bima Seta memburunya seray a
tanpa henti menghujani serangan secara beruntun.
Selama hampir sepuluh jurus Ki Bima Seta melancarkan serangan
dahsyat dan bertubi-tubi. Namun selama itu, tak satu pun yang mengenai sasaran.
Semua berhasil dielakkan Utusan dari Ak herat. Karuan saja hal ini membuat
lelaki berpakaian coklat muda itu merasa p enasaran bukan kepalang. Sehingga,
serangan-s erangannya pun semakin dahsyat dan susul-menyusul laksana gelombang
laut. Sebenarny a, kalau saja Ki Bima Seta mau membuka mata dan tidak
menuruti rasa penasaran, dia tak harus terlalu bemafsu. Kegagal an demi kegagal
an serangan yang dilakukan dalam belasan jurus, telah membuktikan kalau tingkat kepandaian lawan berada jauh di atasny a.
Setidak-tidaknya dalam hal ilmu meringankan tubuh.
Namun tampaknya Ki Bima Seta mempunyai watak keras kepala.
Rasa penasaran yang berkecamuk di hati, membuat hal itu tidak
terpikirkan. Bukan menghentikan serang an dan mencari cara ag ar dapat
meloloskan diri, lelaki berpakaian coklat itu justru semakin gencar melancarkan
serangan. Kembali lima jurus terlewati! Dengan begitu pertarungan itu hampir mencap ai dua
puluh jurus. Namun Ki Bima Seta tak berhasil
menyarangk an satu pun serangannya.
"Sekarang giliranku, Bima Seta!"


Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar seruan Utusan dari Akherat di antara deru hujan serangan sepasang
golok Ki Bima Seta.
Seketika itu pula jantung Ki Bima Seta berdetak lebih cepat
mendengar ucapan itu. Namun, hal itu tetap tak membuat serangannya semakin
mengendur. Hany a saja kali ini kewasp adaanny a ditingkatkan.
Disadari kalau ucap an itu mengandung pengertian kalau lawan akan mulai
melancarkan serangan bal asan.
Ternyata benar, Utusan dari Akh erat langsung m emenuhi janjinya.
Hal itu terbukti pada jurus kesembilan bel as, tepat ketika Ki Bima Seta
menusukkan sepasang goloknya ke dada lawan. Sosok berselubung
hitam cepat mengulurkan kedua tangan nya.
Seketika wajah Ki Bima Seta berubah, melihat gerakan lawan.
Meskipun belum tahu pasti bentuk serangan itu, pikirannya sudah dapat menduga
tindakan yang akan dilakukan Utusan dari Akherat. Apa lagi kalau bukan hend ak
menangk ap mata go loknya" Sudah gilakah Utusan dari Akherat"! Atau memang
dirinya mempunyai tenaga dalam yang
amat kuat sehingga dapat menangkap sepas ang goloknya tanpa terluka!
Ki Bima Seta merasakan betap a jantungnya berdeb ar-d ebar. Hal itu karen a
hatinya yakin Utus an dari Akh erat akan meng alami akibat yang tidak
menyenangkan ap abila tetap menerusk an maksudnya. Setidak-tidaknya tangan si pembunuh bayaran itu akan terluka.
Ki Bima Seta yakin kalau lawannya telah salah perhitungan. Utusan dari Akherat
terlalu yakin d engan keku atan ten aga dal am yang dimiliki dan terlalu
mengangg ap rem eh kemampuan l awan. Padahal, Ki Bima Seta tahu pasti bahwa
kemampu an dan tenag a dalamnya tak bisa
disamakan dengan Sempani atau Birawa, kedua pengawalnya. Jangankan hany a dua orang, biar ada sepuluh Sem pani atau Birawa pun tak dapat
disamakan dengan dirinya!
Karen a keyakinan itulah Ki Bima Seta mengambil keputusan untuk
meneruskan serang annya. Bahkan lelaki berpakai an coklat muda itu menggertakk
an gigi, seakan-akan berus aha meningkatkan kekuatan serang an sampai batas-
batas tertinggi kemampuan yang dimilikinya.
Dugaan Ki Bima Seta tidak salah! Utusan dari Akherat ternyata
memang bermaksud mem apak serang an itu dengan kedu a tanganny a!
Dan.... Kreppp! "Heh..."!"
Pekikan kaget keluar dari mulit Ki Bima Seta, ketika melihat
kejadian yang sama sekali tak diduga. Sepasang goloknya berhasil direnggut
cengkeraman Utusan dari Akherat ! Dan jari-jari tangan sosok berselubung hitam
itu tampak tetap utuh! Jang ankan putus, terluka pun tidak! Hal ini benar-ben ar
di luar dugaan Ki Bima Seta. Matanya terbelalak kag et bercampur heran.
Ki Bima Seta langsung menyadari akan kead aan yang kurang
menguntungkan baginya. Lelaki seteng ah bay a itu tidak ingin senjata andalan
itu dirampas. Maka, dengan cepat ditariknya agar lepas dari cengkeraman tang an
lawan. Lelaki berpak aian coklat muda itu tahu kalau hal itu dilakukan, setidak-
tidaknya tangan Utusan dari Akherat akan terluka!
Untuk yang kedua kalinya hasil yang diharapkan Ki Bima Seta tidak sesuai dengan
kenyataan. Sepasang golok itu sedikit pun tak bergeming.
Seakan-akan bukan tangan manusia yang mencengkeramnya, melainkan sebuah jepit
baja. Betapapun Ki Bima Seta mengerahk an tenaga sampai terdengar suara ah -uh
ah-uh dari mulutnya, tetap saja sia-sia!
Tiba-tiba saja, ketika Ki Bima Seta tengah bersitegang dengan
tarikannya, tanpa diduga Utus an dari Akh erat melep askan cengkeramanny a. Akibatnya pun dapat diduga! Tubuh Ki Bima Seta
terjengkang ke belak ang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
"Aaah...!"
Tanpa sadar Ki Bima Seta mengeluark an jeritan yang s ebagian
besar karena rasa kaget.
Di saat tubuh Ki Bima Seta berada dalam keadaan terhuyung-huyung, Utusan dari Akherat memasukkkan tangan kanannya ke balik baju.
Hanya sekejap saja, tangan itu telah keluar dengan menggenggam seb atang pisau
kecil bergag ang ukiran k epala tengko rak manusia.
Secepat pisau kecil itu berada di genggaman tangan, secepat itu pula Utusan dari
Akherat mengibaskanny a.
Singgg! Bunyi berdesing nyaring mengiringi lesatan pisau kecil itu ke tubuh Ki Bima Seta
yang belum sempat memperbaiki kedudukannya.
Ki Bima Seta terkejut bukan kepalang, melihat serangan itu.
Masalahnya, pisau itu meluncur ketika tubuhnya masih terhuyung-huyung. Sedapat mungkin sepasang goloknya digerakkan
untuk mematahkan serangan itu. Tapi....
Crap! "Aaakh...!"
Jeritan panjang menyay at hati keluar dari mulut Ki Bima Seta,
ketika pisau bergagang kepala tengkorak menghunjam di ubun-ubunnya.
Usahanya untuk memapak pisau itu gagal total!
Brukkk! Tubuh Ki Bima Seta ambruk di tanah, menggelepar-gelep ar
sejenak, sebelum akhirnya diam tidak berg erak lagi untuk selamany a.
Mati! "Ki...!"
Hampir bersamaan Sempani dan Birawa menjerit kaget. Bagai
diperintah, keduanya segera melesat menghampiri mayat Ki Bima Seta yang terkapar
berlumur darah.
"Ha ha ha...!"
Berbeda deng an Sempani dan Birawa y ang tampak sangat terpukul
atas kematian Ki Bima Seta, Utusan dari Akherat malah gembira. Sambil
memperhatikan mayat korbanny a, dia tertawa terbah ak-b ahak.
Dan masih dengan tawa yang belum putus, pembunuh bayaran itu
melesat meninggalkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan beberapa kali lesatan,
tubuhnya sudah tak terlihat lagi. Hanya sebuah titik hitam kecil tampak di
kejauhan, yang akhirnya lenyap.
Kini, suasana di Hutan Saragan kembali sunyi. Tidak terdengar lagi gemuruh
pertarung an dan teriakan -teriak an keras. Kead aan pulih seperti sedia kala.
3 Hari sudah ag ak siang. Sang Surya telah cukup jauh meninggalkan tempat
terbitnya, memancarkan sinar yang tidak lagi nikmat di kulit.
Dalam suasana sep erti
itulah tampak sepasang muda-mudi melangkah cepat memasuki tapal batas sebuah desa. Mereka mengenak an pakaian berwarna ungu dan putih. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak
dan Melati"!
Di ambang tembok batas desa, pasangan pendekar berwajah elok ini menghentikan
langkah. Pandangan mereka diedarkan ke depan. Sejauh mata memandang, yang
terlihat hanya jajaran tanam an singkong.
Meskipun demikian bukan berarti tidak terlihat pemandangan
lainnya. Di beberapa tempat tampak sosok-sosok tubuh bertelanjang dada yang
tengah sibuk mencabuti pohon-pohon singkong. Memang,
sudah waktunya tanaman itu untuk diambil hasilnya.
Hanya seb entar saja Dewa Arak dan Mel ati bersikap demikian.
Kemudian dengan gerak isyarat, Dewa Arak mengajak kekasihnya untuk menuju para
petani itu. Tanpa membantah sedikit pun, gadis berpakaian putih itu mengikuti.
Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Dewa Arak dan
Melati menghampiri salah seorang penduduk desa yang tengah sibuk dengan
pekerjaanny a Kedu anya melangk ah di atas jalan setapak yang membelah jajaran
pepohon an. "Maaf, Kisanak ! bisa kami mengganggu s ebentar"! Kami ingin menanyak an
sesuatu," tanya Arya sopan.
Lelaki bertubuh kekar dan berkulit hitam kecoklatan karena sering terbakar
matahari itu, menghentikan kesibukannya. Matanya s ejenak menatap kedu a muda-
mudi di hadapanny a. Sekilas tampak sorot
keterkejutan pad a wajahnya. Namun hal itu hanya berlangsung sebentar.
Karen a segera ditutupinya dengan secercah senyum ramah.
"Silakan, Kisanak! Katakanlah, barangkali saja aku bisa membantu," sahut lelaki kekar itu ramah.
"Begini, Kisanak. Kami tengah mencari ses eorang yang bernama Bima Seta.
Apakah kau bisa menunjukkan
pada kami tempat
tinggalnya"!" Arya mulai mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi berkecamuk di
hati. Seketika, senyum yang menghias wajah lelaki kekar itu lenyap.
Jelas, yang menjadi penyebabnya tak lain pertanyaan Ary a.
Tentu saja perubahan air muka lelaki kekar itu tak luput dari
perhatian Arya dan Melati. Dan tentu saja kejadian itu membuat
keduanya h eran. Namun, baik Dewa Arak maupun Mel ati tak
memperlihatkan perasaan itu.
"Ada urusan ap a mencarinya, Kisanak"!" tany a lelaki kekar itu dengan nada
suara kurang ram ah.
Arya mengembangk an senyum lebar.
"Sebenarny a kami tidak mempunyai urusan apa pun dengannya.
Hanya saj a, di tengah perj alanan, kami mendeng ar ada orang yang bermaksud
membunuhnya. Sayang, sebelum kami sempat mengetahuinya, dia telah keburu kabur," jelas Arya, tetap bersikap tenang.
"Jadi..., kau menanyakan tempat tinggalnya untuk memberitahukan adanya usah a
pembunuhan itu, Kisanak"!" tukas lelaki kekar itu, cepat.
"Benar, Kisanak," Arya menganggukkan kep ala.
Secercah senyum sinis langsung terpampang di bibir lelaki kekar
itu. "Urungkan saja ni atmu, Kisanak!" tandas lelaki kek ar itu dengan nada semakin
tidak ramah. "Percayal ah! Usah a pembunuhan itu tidak akan berhasil! Nah!
Sekarang, pergilah!"
Wajah Arya berubah. Hatinya merasa tersinggung sekali mendapat
perlakuan sep erti itu. Namun, karena sadar kalau lelaki kekar itu pasti
mempunyai alasan sehingg a bersikap d emikian, Dewa Arak men ahan diri.
Ditahannya amarah yang berkob ar-kob ar di dalam dada.
Arya berh asil menekan kemarahanny a. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan
Mel ati. Gadis berpakaian putih ini merasa tersinggung bukan kepalang melihat
perlakuan lelaki kas ar itu pada kek asihnya.
Arya telah bertany a baik-baik, mengapa mendapat sambutan seperti itu"
Hatinya tak menerima.
"Apakah kau tidak bisa sopan sedikit, Kisanak"! Kawanku bertanya baik-baik,
mengapa kau memperlakukanny a seperti terhad ap anjing kudisan"!"
Suara Melati terdengar bergetar, sebagai pertanda kalau sewaktu-waktu amarahny a dapat meledak.
Hal ini pun diketahui secara pasti oleh Arya. Maka, pemuda
berambut putih keperakan ini buru-buru menyentuh lengan Melati untuk meredak an
amarah yang melanda hati kekasihnya. Arya tak ingin Melati turun tangan terhadap
lelaki bertubuh kekar itu.
Memang, lelaki kekar itu rupanya mempunyai sikap keras kepala.
Meskipun tahu kalau Melati tengah marah, dia bersikap tidak peduli.
"Sopan katamu"! Dengan terus meladeni kalian berdua saja aku sudah bersikap
sangat sopan! Kalau tidak, kalian telah kutinggalkan sejak tadi"
"Keparat! Menghad api orang sepertimu memang harus menggunakan kekeras an!"
Usai berkata demikian, Melati mengibaskan tangan kanannya.
Kelihatannya pel an saja dan tanpa p engerahan ten aga. Tapi akibatnya benar-
benar menakjubkan! Tubuh lelaki bertubuh kekar itu melayang ke belakang, seperti
dihembus angin badai!
"Aaa...!"
Lelaki kekar itu menjerit ketakutan ketika mengetahui tubuhnya
melayang deras ke belakang. Dan sebelum jeritannya habis....
Srakkk! Brukkk!
Tubuh lelaki kekar itu jatuh di tanah. Beberapa batang pohon
singkong langsung patah karena tertimpa.
"Uh...!"
Lelaki kekar itu mengeluh kesakitan ketika berusaha untuk bangkit.


Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun demikian, tindakan itu terus dipaksakannya. Akhirnya
tubuhnya berhasil melakukan hal itu, meskipun dengan susah payah.
"Sudah kuduga..., kalian berdua tak ubahnya deng an orang-o rang yang telah
lebih dulu tiba! Pura-pura menany akan sesuatu, lalu akhirnya menyebar maut di
desa ini!" rutuk lelaki kekar itu, geram.
Melati tersenyum sinis.
"Bisa kumaklumi kalau orang-orang yang lebih dulu datang dari kami melakukan
tindakan demikian! Merek a tidak salah! Kaulah yang menjadi penyebabny a! Orang
mana pun tentu akan marah apabila
mendapat perlaku an seperti yang kami terima!"
Melihat keadaan yang sudah mulai memanas itu, Arya tidak bisa
tinggal diam. Buru-buru dia menyelak di antara Melati dan lelaki kek ar itu.
Pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud melerai.
"Tenang. Aku yakin ada kesalahpahaman di sini," ujar Arya buru-buru karen a
takut didahului. "Percayalah, Kisan ak! Kami tidaklah sejahat yang kau sangka.
Dan...." "Asal kau tahu saja, Petani Busuk! Kawanku ini jauh lebih mulia daripada dirimu!
Apakah kau pern ah menyelamatk an nyawa orang lain"
Tidak, kan" Nah! Dengar baik-b aik, kawanku itu telah meyelamatkan nyawa puluhan
ribu orang! Pernah kau deng an julukan Dewa Arak"!"
selak Melati, berapi-api.
Wajah lelaki kasar itu langsung berubah pucat. Julukan Dewa Arak yang disebutkan
Melati-lah yang menjadi penyebabnya. Memang,
meskipun hanya seorang petani, dia pernah mendengar julukan itu.
Menurut kabar yang sampai ke telinganya, Dewa Arak seorang pendekar pembela
keben aran. Benarkah pemuda yang berdiri di hadapannya ini tokoh yang mempunyai
julukan demikian" Rasanya sulit untuk
dipercay a! "Benarkah k au tokoh yang berjuluk Dewa Arak"!" tanya lelaki kekar tak yakin.
Nada suarany a pelan, tidak kasar seperti sebelumnya.
Tidak ada pilihan lagi bagi Arya kecuali memben arkan p ertany aan itu. Dengan
senyum terkembang kepalanya mengangguk.
"Benar, Kisanak. Itulah julukan yang diberikan dunia persilatan padaku.
Sedangkan namaku Ary a Buana. Panggil saja Arya. Sedangkan kawanku ini Melati."
"Ah...! Kalau begitu, maafkan kelaku anku, Dewa Arak! Aku telah salah menduga.
Biasanya setiap orang yang menanyakan nama Bima
Seta, pasti merupakan konco-kon conya," jelas lelaki kekar itu, membela diri.
"Lupakanlah, Kisanak! Aku bisa memakluminya," jawab Arya, bijaksana. "Bukan
begitu, Melati"!"
Terpaksa Melati menganggukkan kepala, menyetujui pendapat
kekasihnya. Padahal, hatinya masih jengkel. Walaupun memang tidak sebesar seb
elumnya. Permintaan maaf lelaki kekar itu telah cukup meredak an amarahnya.
"O, ya. Atas nama seluruh penduduk Des a Kalisari, aku, Saraka, mengucapk an
selamat datang di desa ini," lanjut lelaki kekar itu agak terbata-bata.
"Terima kasih atas sambutanmu, Kang Saraka!" Arya merubah panggilannya. "O, ya.
Kurasa lebih baik kau panggil namaku saja.
Rasanya telingaku menjadi gatal mendengarny a."
Lelaki kekar yang bernama Saraka itu tersenyum mendengar ucapan
Arya, yang dikeluarkan sambil bergurau itu.
"Bagaimana, Kang Saraka"! Bisakah kau mem-eri keterang an atas sikap bencimu
terhadap Bima Seta"!" tanya Arya, mengalihkan percakap an pada pokok permasalah
an. "Hhh...!" Saraka menghembuskan napas berat. "Ceritanya panj ang, Arya. Aku
khawatir kau tidak sabar mendengarkanny a...."
"Ceritakanlah,
Kang! Percayalah, aku akan sabar mendengark annya!" terd engar p enuh keyakin an Arya memb erikan jawabanny a.
"Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan, Arya," Saraka terpaksa mengal ah.
"Sekarang dengarkan baik-b aik."
Sampai dl sini, Saraka menghentikan ucapanny a. Dan termenung,
memikirkan kata-kat a yang tepat untuk memulai keterang annya. Arya dan Melati
menggunakan kesempatan itu untuk memusatkan perhatian pada cerita Saraka.
*** "Sebenarny a Bima Seta bukan penduduk asli desa ini. Dia
merupakan pendat ang dari tempat yang tidak kami ketahui secara jelas di mana.
Meskipun demikian, hal itu tidak kami permasalahkan.
Kehadiran Bima Seta dan maksudnya untuk tinggal di desa ini kami sambut dengan
tangan terbuka," ujar Saraka memulai ceritany a.
Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. Meskipun demikian,
tidak ada ucapan yang mereka keluarkan.
"Rasa suka kami terhadap Bima Seta semakin mendalam karena dia pandai berg aul.
Hanya d alam waktu beb erap a hari saja, seisi desa telah menyukainya," Saraka
kembali melanjutkan ceritanya. "Sekitar satu minggu setelah kedatangan Bima Seta
di desa kami, mulai bermunculan beberapa orang yang menilik gerak-gerikny a
adalah tokoh-tokoh
persilatan. Baik secara berkelompok maupun perorang an mereka
berdatang an kemari."
Saraka mengh entikan ket erang annya untuk meng ambil napas.
Ditelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Sejak saat itu, kami mulai merasa tidak enak. Sebuah pertanyaan pun muncul di
benak para warga desa. Mengapa orang-o rang kasar itu berdatang an kem ari. Saat
itu kami belum merasa curiga terhadap Bima Seta."
Untuk kesekian kalinya, Saraka menghentikan keteranganny a.
"Perasaan curiga terhad ap Bima Seta mulai muncul ketika kami melihat adanya
perubah an pada sikapnya. Bima Seta mulai memasang jarak deng an penduduk des a.
Sampai akhirnya, dia melakukan tindak kekerasan. Merampok, membunuh, dan
memperkosa para wanita. Yang
lebih gila lagi, tidak hanya gadis yang menjadi korbannya. Tapi juga para wanita
yang telah bersuami!"
"Apakah tidak ada perl awan an dari para pen duduk desa ini, Kang"!
Guru silat desa ini, misalnya" Atau..., kepala desa?" tanya Ary a, menyelak.
"Tentu saja ada, Arya," jawab Saraka dengan suara mendesah.
"Guru silat desa ini bersama beberap a orang muridnya melakukan perlawanan."
"Lalu..., hasilnya"!" kejar Ary a lagi. Meskipun dari jawab an dan sikap Saraka,
bisa diperkirak an hasil perlawan an yang dilakukan terhadap Bima Seta.
"Merek a semua tewas!" teras a jelas nada keluhan dalam ucapan Saraka. "Bima
Seta bukan orang sembarangan. Dia memiliki kepandaian amat tinggi. Apalagi, dia
tidak bertindak sendiri. Orang-orang k asar yang berdatang an ke desa ini
ternyata anak buahny a!"
"Heh..."! Mengapa bisa demikian, Kang"!" tanya Arya, tanpa menyembunyikan peras
aan terk ejutnya.
"Merek a satu gerombolan, Arya. Menurut kabar yang kami dengar, Bima Seta dan
pengikut-pengikutnya merup akan sisa-sisa p erampok yang telah dihancurk an
pasukan kerajaan. Yang kusay angkan, mengapa mereka memilih desa ini sebagai
tempat pelarian...."
"Sekarang aku bisa mengerti mengap a kau bersikap kasar pada kami," ujar Arya
sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Terima kasih atas pengertianmu, Arya," ucap Saraka penuh peras aan syukur.
"Dan..., kalau kau tidak keberatan..., atas nama seluruh penduduk Desa Jarak,
kumohon kau bersedia melenyapkan kedurjan aan Bima Seta dan kelompoknya.
Bagaimana, Arya"! Mauk ah kau
memenuhi permohonan kami?"
"Tentu saja, Kang. Aku akan berusaha seku at tenag a untuk
melenyapkan keangkaramurkaan ini," janji Arya, mantap.
"Kang...," Melati yang sejak tadi berdiam diri, angkat bicara.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya sambil menolehkan kepala.
"Bukankah ada o rang yang b ermaksud membunuh Bima Seta"!
Apakah kau lupa"!"
"Aku yakin usaha itu akan gagal, Melati," dengan nada yakin Saraka mendahului
memberikan jawab an. "Telah banyak usaha seperti itu dilakukan. Tapi hasilnya,
sia-sia! Aku yakin, usaha pembunuhan itu pasti gagal!"
"Kita lihat saja hasilnya, Kang," sambut
Arya tak berani
memastikan. "Tidak baik berputus asa. Karena hal itu hanya akan melenyapkan
semang at. Dan...."
Ucap an Arya terhenti ketika mendengar langkah kaki kuda.
Ditolehkan kepalany a untuk melihat tapal batas desa, tempat asal bunyi itu.
Melati dan Saraka pun melakukan tindakan serupa.
Tampak tiga ekor kuda tengah berjalan pelan mem asuki jalan desa.
Masing-masing binatang itu membawa penunggang. Hanya saj a ada
perbed aan yang mencolok di sana. Di punggung kuda coklat yang
diiringi dua pengawal tampak sesosok tubuh terkulai lemas dalam
keadaan tertelungkup.
Dewa Arak dan M elati yang memiliki pandangan tajam, sepintas
saja dapat meng etahui kalau sosok di punggung kuda coklat itu telah tewas.
"Dua penunggang kuda hitam itu adalah anak-an ak buah Bima Seta, Arya," ujar
Saraka dengan suara bergetar. "Birawa dan Sempani nama mereka."
Arya dan Melati saling pandang.
"Lalu..., siapa orang yang tertelungkup di punggung kuda coklat itu, Kang"!"
tanya Arya. "Sepertinya dia telah tewas...."
"Benarkah itu, Arya"!" tanya Saraka seteng ah tak percay a "Kalau melihat
pakaian yang dikenakan dan kuda tunggang annya, pasti Bima Seta! Hanya Bima Seta
yang mengenakan pakaian dan kuda berwarna
coklat." "Berarti..., pembunuh itu telah berhasil melaksan akan tugasny a,"
tukas Melati. "Benarkah itu"!" tanya Saraka masih tak percay a
"Mari kita buktikan kebenaranny a!"
Setelah berkata demikian,
Arya segera mengayunkan
kaki, menghampiri. Mau tidak mau, meskipun merasa gentar, Saraka ikut
serta. Itu pun setelah dilihatnya Melati melangk ah mengikuti Dewa Arak.
Tentu saja, kedatangan Dewa Arak bers ama Melati dan Saraka
segera diketahui Birawa dan Sempani. Namun keduanya tak peduli,
terus menjalankan kuda mereka. Bahkan senyum mengejek tampak
tersungging di bibir mereka. Jelas, kedua orang kasar ini menganggap rendah tiga
sosok yang menghampiri mereka.
Karen a kedua belah pihak sama-sam a bergerak menghampiri,
dalam waktu singkat jarak mereka telah demikian dekat, sekitar tiga tombak.
Sampai di sini kedua belah pihak sama-sama menghentikan
langkah. *** "Hih!"
Sempani melompat dari punggung kuda. Lalu....
Srattt! Sinar terang mencuat ketika pedangny a dicabut.
"Rupanya kalian ingin mencari penyakit, heh..."! Berani mencegat perjalan an
kami!" seru Sempani mengancam.
Dan sebelum gema ucapannya lenyap, Sempani langsung melancarkan serangan. Saat itu hatinya masih dalam keadaan gusar dan marah
akibat amuk an Utusan dari Akherat. Maka langsung saja
dilampiaskannya pada para penghad angnya.
Wuttt! Sempani tidak bertindak setengah -seteng ah. Dalam serangan
pertama saja langsung dikirimkan serangan mematikan. Pedangnya
diluncurkan membabat tenggorokan! Dan yang menjadi sasaran pertama adalah Dewa
Arak ! Dewa Arak tetap bersikap ten ang, meskipun melihat jelas adanya
ancam an maut terhadap diri nya. Tidak terlihat adanya gelagat kalau pemuda
berambut putih keperakan ini akan melakukan g erak an untuk mengatasi serang an
lawan. Namun ketika ujung pedang Sempani hampir mengenai sasaran,
tiba-tiba Dewa Arak mengulurkan tang an. Sebuah gerakan y ang sangat cepat.
Orang kasar sep erti Sempani mana mampu melihat jelas tangan Dewa Arak" Yang
sempat dilihatnya hanya sekel ebatan bay angan tak jelas. Dan tahu-tahu .
Kreppp! Batang pedang Sempani telah tercek al. Dan sebelum anak buah
Bima Seta itu sempat berbuat sesuatu, Dewa Arak telah lebih dulu bertindak.
Pemuda berambut putih keperakan itu memutarkan tangannya. Sempani kaget bukan kepalang ketika merasakan tubuhnya terb awa
putaran tangan lawan. Buru-buru dikerahkannya ten aga dalam untuk melawan. Namun
ternyata tenaga Dewa Arak terlalu kuat untuk bisa ditahan. Karena Sempani tak
mau melep askan cek alan pad a gagang pedang hingga tubuhnya terbawa putaran
tangan Dewa Arak.
Wuk! Wuk! Wuk! Tubuh Sempani terputar di atas kepala Dewa Arak laks ana
baling-baling. "Aaah...!"
Tanpa sadar mulut Sempani mengeluarkan
jeritan panjang. Teriakan yang keluar karena p eras aan ngeri dan kag et. Tubuhnya terputar-put
ar di udara dengan kecep atan tinggi.
4 Sempani merasa tersiksa bukan k epalang. Apalagi ketika diras akan putaran itu
semakin lama semakin cepat. Kepala mulai terasa pusing, pandanganny a pun
berkunang-kunang. Karena semua yang dilihatnya berputaran secara cepat.
Mula-mula hanya rasa pusing yang diderita Sempani. Namun sesaat
kemudian, rasa mual timbul. Semakin lama dirasakan perutnya bagaikan dikocok-
kocok dengan kuat. Sempani yakin sebentar lagi pasti akan muntah-muntah.
Rupanya Dewa Arak pun menyad ari kemungkinan terjadinya hal
seperti itu. Terbukti sebelum Sempani muntah-muntah, tangannya telah lebih
melepaskan cek alan pada mata pedang lawan.
Tubuh Sempani seketika terlontar dan melayang jauh. Jeritan
tertahan anak buah Bima Seta itu pertanda kengerian hatinya yang mencek am di
saat tubuhnya meluncur.
Entah di mana tubuh Sempani jatuh, Dewa Arak tak mempedulikan
lagi. Begitu tubuh anak buah Bima Seta itu dilepaskan, diayunkan kakinya
mendekati Birawa.
Karuan saja hal itu membuat Birawa merasakan jantungnya
berdetak lebih cepat. Dia sadar pemud a berambut putih keperakan itu memiliki
kemampuan luar biasa. Keberhasilannya merobohkan Sempani dalam waktu yang
demikian singkat dan dengan amat mudah itu, sebagai bukti nyata yang tak dapat
dibantah lagi! Birawa buru-bu ru melompat dari punggung ku da. Lalu, tanpa
malu-malu lagi berlutut di depan Dewa Arak. Pedang yang tergantung di punggung
langsung dilemparkan begitu saja ke tanah.
"Ampun, Tuan Pendekar! Tobat...!" ucap Birawa memohon belas kasihan.
Dewa Arak tidak menyahuti. Ditatapnya sekujur tubuh Birawa yang
berlutut tepat di depannya. Entah apa yang terkandung dalam benak pendekar muda
ini. Dan sebelum Dewa Arak berhasil menemukan kat a-kat a yang akan


Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikeluarkan, Saraka telah menyelak. Lelaki kekar itu langsung
mendekati Birawa.
"Manusia keji sepertimu tak layak dibiarkan hidup! Hih!"
Saraka mengayunk an goloknya yang terselip di pinggang, ke arah
leher Birawa. Nasib rek an Sem pani ini sudah bisa diperkirakan apabila golok
itu mendarat di sasarannya.
Wuttt! Takkk! "Akh!"
Singgg! Renteten kejadiannya berl angsung demikian cepat sehingga sulit
untuk diikuti mata. Tahu-tahu, golok di tangan Saraka telah terlempar jauh.
Hal itu terjadi karena campur tangan Dewa Arak. Di saat mata golok hampir
memenggal leher, Dewa Arak meng ayunkan kaki kan an,
memapak mata golok Sarak a. Dengan peng erah an tenag a dalam yang dimiliki,
kakinya tak kalah kuat dengan batang baja. Itulah sebabnya benturan yang
terjadi, menimbulkan bunyi seperti dua logam keras berada
"Mengapa, Arya"! Mengap a kau menceg ahku membunuhnya..."!"
tanya Saraka terbata-bata seraya menatap tajam wajah Dewa Arak.
Tarikan wajah dan sorot mata lelaki kekar ini menyiratkan ketidakpercay aan yang dalam.
"Bukan merupakan tindak an ksatria membunuh lawan yang tak
mengadak an perlawanan, Kang!" sahut Dewa Arak deng an suara pel an, tapi
mengandung ketegasan. Seketika wajah Saraka merah padam
karen a malu. Padahal, Dewa Arak telah memilih kalimat yang halus!
"Lalu..., apakah kita harus mengampuninya, Arya"!" tanya Saraka lagi tanpa
menyembunyikan rasa penas aran yang bergolak.
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Semua itu kuserahkan pada kebijaksanaanmu, Kang. Kau dan
penduduk Desa Jarak yang lebih berhak untuk memutuskannya," jawab Arya,
bijaksana. Saraka langsung diam. Jawab an Dewa Arak membuatnya merasa
puas. Perasaan kagum yang sudah bersemi terhadap pemuda berambut putih keperakan
itu pun semakin tumbuh subur. "Berita itu memang tidak berlebihan. Dewa Arak
terny ata seo rang p endekar besar yang dapat bertindak bijaksana," gumam lelaki
kekar ini dalam hati.
"Kalau begitu..., atas nama penduduk Desa Jarak, kuucapkan terima kasih atas
bantuan yang kau berikan, Arya," ucap Saraka penuh rasa syukur.
"Lupakanlah ! O ya, Kang. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya."
"Silakan, Arya!"
Dewa Arak pun mengalihkan perhatianny a pada Birawa.
"Siapa yang telah membunuh Ki Bima Seta, Birawa"!" tanya Arya penuh wibawa.
"Seorang tokoh yang berjuluk Utusan dari Akherat, Tuan Pendekar," jawab lelaki berbibir tebal itu sambil mengangkat wajahnya.
"Utusan dari Akherat..."!"
Arya mengulang julukan y ang disebutkan Birawa. Dahinya
berkernyit seakan-ak an tengah memutar pikiran. Hal yang sama pun dilakukan
Melati. Keduanya merasa pernah mendengar julukan itu.
Namun tidak ingat kapan dan di mana mereka menget ahuinya.
"Dia seorang pembunuh bay aran, Tuan Pendekar," lanjut Birawa, seakan -akan meng
etahui apa yang dipikirkan Dewa Arak.
"Ah...! Sekarang aku ingat! Ya! Aku juga pernah mendeng arny a.
Seorang pembunuh bayaran! Kau tidak tahu siapa yang
telah menyewany a"!" tanya Arya, ingin tahu.
"Tidak, Tuan Pendekar," Birawa menggelengk an kepala. "Utusan dari Akherat tak
memberitahuk annya."
Dewa Arak mengangguk -anggukkan k epala. Jawab an seperti itu
memang sudah diduganya. Karena meskipun tak pernah berhubungan
dengan urusan sep erti itu, dia tahu tak mungkin seorang pembunuh bayaran
memberitahukan siapa yang telah menyewany a.
"Cukup, Kang! Sekarang kuserahkan dia pad amu."
"Terima kasih, Arya. Aku akan membawanya ke balai desa. Seperti katamu tadi,
biar para penduduk yang akan menentukan hukuman
terhadapny a."
"Itu bagus," puji Arya, bernada gembira mendengar Saraka menyetujui usulnya.
*** Penduduk Desa Jarak gempar mendeng ar kematian Ki Bima Seta.
Merek a langsung merayakannya. Mulai dari mulut desa, sampai di
depan setiap rumah terp asang hiasan dan umbul-umbul. Julukan Utusan dari
Akherat pun menjadi buah bibir. Setiap penduduk memuji-mujinya setinggi langit.
Di sana-sini orang membicarak an kehebat an tokoh itu.
Tentu saja Dewa Arak pun mendapat pujian pula. Karena dialah
yang telah melumpuhkan perlawan an Birawa dan Sempani, dua orang anak buah Ki
Bima Seta. Sepasang pendekar muda berwajah elok ini pun mendapat jamuan dan
penghormatan dengan ditemani para sesepuh
Desa Jarak. "Terima kasih atas bantuanmu, Dewa Arak. Bantuan yang kau
berikan tidak kecil artinya bagi kami. Tanpa bantuanmu, orang-orang desa ini
tidak akan hidup tenang. Aku sebagai Kepala Desa Jarak
mengucapk an terima kasih yang sebesar-besarnya
atas semua pertolonganmu," ucap seorang laki-laki setengah baya berpakai an putih.
Jenggot pendek yang telah memutih menghias bawah dagunya. Ki
Barjanala, namanya.
"Ah! Kau terlalu melebih-lebihk an, Ki. Tanpa bantuanku pun sebenarnya Sempani
dan Birawa akan dap at kalian lumpuhkan. Kepada Utusan dari Akherat -lah
seharusny a kalian berterima kasih," sahut Arya merendah.
"Kau terlalu meng ecilkan arti bantuanmu, Dewa Arak. Kalau tidak karen a
mendengar julukanmu, tak akan mungkin sisa gerombolan Bima Seta kabur dari
sini," sebuah suara yang keluar dengan susah payah, ikut campur. Pemilik suara
itu seorang kakek kecil kurus berpakaian hijau.
Inilah sesepuh Desa Jarak, yang bernama Ki Kuncara.
"Apa yang dikatakan Ki Kuncara dan Ki Barjanala memang tidak salah, Dewa Arak,"
tukas seorang lelaki bertubuh tegap, kekar, dan bercambang lebat. "Apa pun
alasanmu, tetap jasa yang kau sumbangkan berarti besar. Memang, kelihatannya
jasa yang dibuat Utusan dari Akherat jauh lebih bes ar. Karena dia y ang telah
berhasil membunuh Ki Bima Seta. Tapi ada yang kau lupakan, Utusan dari Akherat
membunuh Ki Bima Seta bukan karena keinginan menolong para penduduk Desa Jarak.
Pembunuhan yang dilakukannya karena suruh an seseorang."
"Kau benar, Sembada!" ujar Ki Barjanal a setengah terpekik.
"Berarti, orang yang menyuruh Utusan dari Akherat pun perlu mendapatkan u cap an
terima kasih. Sayang, kita tidak tahu di mana mereka bertempat tinggal!"
"Kau benar, Ki Barjanala," puji Ki Kuncara dengan suara khasny a.
"Seharusnya merek a pun kita jamu di sini sebagai tanda terima kasih atas
tindakan yang telah mereka lakukan."
"Apa yang dikat akan Ki Kun cara, tepat sekali!" M elati ikut pula menimpali
karena merasa tidak enak berdiam diri terus. "Seharusnya Utusan dari Akherat dan
orang y ang menyewanya bisa berada di sini untuk merayakan pesta han curnya kedu
rjanaan Bima Seta."
"Tidak mengapa, Nisanak. Keberad aan kalian untuk menemani
kami pun sudah cukup untuk membuat hati gembira. Siapa yang belum pernah mendeng
ar julukan Dewa Arak yang telah menggemparkan
dunia persilatan"!
Eh, silakan dicicipi hidangannya. Jangan malu-malu...!"
Sambil berkata demikian, Kepala Desa Jarak itu mendahului
mengulurkan tangan, mengambil sepotong singkong goreng dan
memasukkan ke dalam mulutnya.
Tindakan Ki Barjanala langsung diikuti yang lainnya. Sehingga
sejenak pembicaraan terputus. Yang terdeng ar hanyalah suara kunyahan mereka.
*** Hembusan angin sejuk menyibakk an rambut Arya d an Melati, tapi
mereka tampak tak mempedulikan. Bahkan mereka seperti menikmatinya. Beberap a kali mereka menarik napas dalam-dalam
sambil mengembangkan dada seak an ingin memasukkan udara segar itu sebanyak
-banyakny a. Bumi persada makin diliputi suasana pagi ketika Dewa Arak dan
Melati meninggalkan Desa Jarak. Sang Surya yang muncul di ufuk timur masih
berupa bola raksasa merah menyala. Hembusan angin semilir
menghembuskan hawa sejuk, terasa nikmat di kulit.
"Mengapa h arus sepagi ini kita meninggalkan Desa J arak, Kang"!"
tanya Melati, seraya menarik tali kekang kuda. Wajahnya diarahkan pada
kekasihnya. Terpaksa, Arya menghentikan langkah kudanya pula. Memang,
kedua pendek ar muda itu kini sama-sama menunggangi kuda. Kuda
hitam yang sebenarnya dimiliki Sempani dan Birawa. Ki Barjanala yang
memberikannya. Padahal Dewa Arak dan Melati bersikeras untuk menolak. Namun,
Kepala Des a Jarak itu tetap tak berubah dengan keputusannya. Terpaksa pasangan
pend ekar muda ini menerima. Kuda-kuda hitam itu pun
berganti pemilik. Sedangkan pemilik mereka sebelumnya, Sempani dan Birawa telah
tewas di tangan penduduk Desa Jarak.
Kedua anak buah Bima Seta itu tewas secara mengerikan. Betapa
tidak" Mereka digantung! Lalu, setiap penduduk melempari tubuh
mereka deng an batu. Masing-masing orang sekali!
Dewa Arak dan Melati tidak sampai hati melihatnya. Namun,
mereka tak mencampuriny a, karena hukuman demikian sudah menjadi adat di tempat
itu. Birawa dan Sempani memang pantas untuk mendapat hukuman. Tindak kekejian
yang mereka lakukan telah melampaui batas.
Melati mengerutkan alis ketika melihat Dewa Arak tidak menjawab
pertanyaannya. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya diam
termenung. "Kang...!" sapa Melati lagi dengan nada sedikit disentakkan.
"Eh, apa.... Nggg... ya..., bukankah kau menanyakan sebab
kepergian kita yang demikian cepat"!" sahut Dewa Arak menggeragap.
"Benar, Kang," Melati menganggukkan kepala. "Apakah ini ada hubungannya dengan
Utusan dari Akherat"!"
"Hhh...!" Arya menghela napas seraya mengg eleng-g elengkan kepala. "Kau terlalu
cerdik, Melati. Tidak ada satu rahasia pun yang dapat kusembunyikan apabila kau
berada di dekatku."
"Gombal!" sergah
Melati, berpura-pura tak
senang dengan memasang muka merengut. Namun, sepasang matanya yang berbinar-binar telah menjadi bukti nyata kalau gadis berpakaian putih itu merasa
gembira. Siapa sih yang tidak senang mendapat pujian dari orang yang
dicintainya"
"Ha ha ha...!"
Dewa Arak tertawa bergel ak, melihat sikap kekasihnya. Tapi hanya sebentar s aja
hal itu dilakukannya. Sesaat kemudian, raut wajahnya menyiratkan kesungguhan.
"Memang, aku mempunyai sebuah dugaan. Seperti yang kau terk a, ini ada
hubungannya d engan Utusan d ari Akh erat. Hhh..., aku belum yakin akan
kebenaranny a!" ujar Arya, tanpa menoleh pada wajah Melati.
"Katakanl ah, Kang! Aku ingin mendengarnya," sambut Melati tak sabar.
Dewa Arak hany a menggeleng -gelengk an
kepala melihat ketidaksabaran kekasihnya. Telah diketahuinya betul kalau Melati memang memiliki
watak keras. "Begini, Melati," Arya mulai memberi penjelasan. "Ada beberapa hal yang
membuatku menaruh curiga sehubungan dengan kematian
Bima Seta di tangan Utusan dari Akherat. Kau tahu kan mengapa Utusan dari
Akherat membunuh Bima Seta"!"
"Hm...," Melati menganggukkan kepala seray a menatap wajah Dewa Arak. "Menurut
pendap atku orang itu tidak punya tujuan, kecuali imbalan yang didapatnya."
"Tepat! Sekarang menurut dugaanmu siapa at au pihak manakah yang telah menyewa
Utusan dari Akherat"!" tanya Dewa Arak, kali ini wajahnya menoleh ke waj ah kekasihnya.
Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Wajahnya tampak
tercenung. Otaknya diputar berusah a mencari jawaban atas pertany aan itu.
"Kalau kau tanyak an orangny a..., rasanya sulit bagiku untuk menduganya, Kang.
Tapi, kalau pihak mana, aku bisa menjawabnya.
Dugaanku kuat, bahwa pihak itu berasal dari Desa Jarak."
"Hhh...! Aku pun menduga demikian. Tapi, mengapa tak satu pun di antara merek a
yang mengakui seb agai penyewa Utusan dari Akherat"!"
untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak melontarkan pertany aan itu.
"Malah sepertinya tidak ada satu pun yang teringat pada si penyewa itu, Kang.
Semua puji-pujian dan ucapan terima kasih ditujukan pada Utusan dari Akherat. Ki
Barjanala dan Ki Kuncara pun berpendapat demikian," sambung Melati.
"Tapi ada satu orang yang mengingatnya, Melati," timpal Arya lagi.
"Dan orang itu Sembada. Kau ingat"!"
"Ya. Aku ingat, Kang! Dia menyebut-nyebut mengen ai orang yang menyewa Utusan
dari Akherat. Jadi..., diakah orang yang telah menyewa Utusan dari Akherat,


Dewa Arak 55 Perintah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kang"!"
"Aku belum berani mem astikan, Melati. Ada hal-hal yang
mencurigak an di sini. Sekarang mari kita membahasnya sambil
meneruskan perj alanan !" ajak Arya sambil menghentakkan tali kekang kudanya
perlah an. Seketika pula kuda hitam itu melangkah. Melihat hal ini Melati pun melakukan
tindakan yang sama.
"Menurut akal seh at," ujar Arya lagi menyambung ucapan sebelumnya. "Penyewa
Utusan dari Akherat tak lain orang dari Desa Jarak. Kita kesampingkan dulu
dugaan kita terhad ap penyewa yang beras a dari luar. Kurasa, kemungkinannya
kecil sekali."
Melati mengangguk-anggukkan
kep ala. Tampaknya hatinya menerima pendap at Dewa Arak.
"Nah! Sekarang pert anyaannya adalah, mengapa si penyewa Utusan dari Akherat itu
tak mau mcnonjolkan diri. Aku yakin, dia tahu
penghormatan yang akan diterima, kalau orang itu mau menonjolkan dirinya.
Masalahnya, lupanya semua penduduk Desa Jarak atas jasa yang diberikan penyewa
itu, tak dapat disalahkan. Mereka semua terlalu gembira, sehingga belum sempat
terpikir k alau sebenarny a yang
mempunyai jasa besar atas tewasny a Bima Seta adalah si penyewa. Hal itu
terjadi karena kesal ahan si penyewa sendi ri yang tak memberitahukanny a."
Dewa Arak menghentikan ucapanny a sebentar untuk menarik napas
dan mencari kata-kata yang tepat sebag ai pelanjut uraiannya.
"Bisa dimaklumi kalau penduduk Desa Jarak lupa akan jasa
penyewa. Aku sendiri sama sekali tidak ingat akan h al itu. Yang ada di benakku
bahwa Utusan dari Akherat pembunuh Bima Seta. Tidak
terpikirkan ak an hal lainnya. Aku baru tering at ketika Sembada mengatakanny a.
Dan saat itu pula aku merasakan ad anya kej anggalan dalam masalah ini. Itulah
sebabnya, kuputuskan untuk berpu ra-pu ra meninggalkan Desa Jarak."
"Jadi..., kau tidak sungguh-sungguh bermaksud meninggalkan Desa Jarak, Kang"!"
tanya Melati, setengah tak percay a.
Arya menganggukk an kepala.
"Ah...! Aku mengerti, Kang...! Kau bertindak demikian, pasti karen a ingin
menimbulkan kesan pada penyewa Utusan dari Akherat bahwa kau telah meninggalkan
Desa Jarak. Dengan demikian, terbuka kesempatan bagi peny ewa Utusan d ari
Akherat untuk melanjutkan
tindakannya ap abila hal itu memang akan dilakukan. Bukan begitu, Kang"!" terka
Melati. "Tepat, Melati. Memang demikian, maksudku," 'sahut Arya, membenark an. "Aku
yakin, apabila kita tetap berada di sana, penyewa Utusan dari Akherat merasa
akan terg anggu untuk melakukan tindakan.
Tentu saja, kalau orang itu hendak melakukan tindakan lanjutan."
"Dengan k ata lain, penyewa Utusan dari Akherat itu mempunyai maksud tidak baik,
Kang"!" celetuk Melati mencari kepastian.
"Aku tak mengatakan demikian, Melati," sahut Arya. "Hanya saja tindakan yang
dilakukan menumbuhkan rasa curigaku. Yang jelas, kalau tidak
ada sebab atau akibatnya, hhh... kurasa janggal harus menyembunyikan tindak kebaikannya."
"Bagaimana kalau
penyewa Utusan dari Akherat itu tidak mempunyai pamrih apa pun dalam perbuatannya, Kang"!" Melati mengajukan dugaan
la-innya. "Yah..., anggaplah seperti yang kita lakukan selama ini...!"
"Apa yang kau katakan memang tidak bisa kusangkal, Melati. Terus terang, aku pun
berharap demikian. Tapi, tidak ada salahnya toh, kalau kita bersikap waspad a.
Entah mengapa, aku tetap merasa ada sesuatu di balik ini. Setidak-tidaknya ada
maksud terselubung. Kalau tidak, untuk apa penyewa Utusan dari Akherat itu
menyembunyikan diri"!"
Melati kontan terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan
Pedang Angin Berbisik 15 Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang Bende Mataram 11
^