Pencarian

Kabut Di Bukit Gondang 2

Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang Bagian 2


Hitam, dan Setan Tertawa, serta Dewa Pencabut Nyawa" Bukankah mereka mencari
Desa Sampan" Apakah mereka juga mencari Garang Laksa"
"Ada apa, Melati" Mengapa kau termenung" Sekarang ceritakan apa yang telah
terjadi sepeninggalku?"
Ucapan Arya membuyarkan lamunan Melati Gadis berpakaian putih itu menatap
wajah kekasihnya sesaat.
"Memang banyak terjadi peristiwa saat kau turun ke bawah, Kang. Anehnya mereka
semua menanyakan Desa Sampan"! Mungkinkah yang mereka cari sama dengan yang
tengah diselidiki gerombolan orang berseragam pasukan kerajaan?"
Lalu Melati menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Arya mendengarkan
dengan penuh perasaan tertarik. Tak sekalipun dipotongnya hingga Melati
menyelesaikan ceritanya.
"Itulah yang terjadi sepeninggalmu, Kang," tutur Melati menutup ceritanya.
"Setan Tertawa... Dewa Pencabut Nyawa.... Mereka adalah dua datuk sesat yang
luar biasa pandai dan kejam. Untung mereka tidak menurunkan tangan jahat
kepadamu. Dan....
Melati! Kenapa kau..."!"
Arya menghentikan ucapannya. Dilihatnya tubuh Melati mendadak limbung. Wajah
gadis berpa kaian putih itu pucat pasi bagai mayat. Jelas, ada sesuatu yang
tengah terjadi padanya. Demikian dugaan Arya.
Jawaban bagi pertanyaan Arya adalah robohnya tubuh Melati. Tapi sebelum ambruk
ke tanah, Arya telah lebih dulu menangkap tubuh gadis itu.
5 Tanpa membuang-buang waktu, Arya segera membopong Melati dan membawanya ke
tempat teduh. Di bawah sebatang pohon yang berumput tebal tubuh gadis berpakaian
putih itu dibaringkan.
"Mengapa, Melati" Apa yang kau rasakan?" tanya Arya sangat khawatir.
Bisa dimaklumi mengapa pemuda berambut putih keperakan itu demikian khawatir.
Wajah Melari pucat pasi. Keringat sebesar-besar jagung menghias wajahnya. Tapi
yang lebih membuat Arya cemas adalah bintik-bintik hitam di wajah Melati.
Bintik-bintik itu semakin banyak!
Perlahan-lahan Melati membuka kelopak matanya. Tapi kemudian ditutupnya kembali.
"Aku... aku tidak tahu, Kang. Aku merasa lemas dan pusing. Aku... aku tidak
mampu menggerakkan jari-jariku...," terdengar suara Melati terputus-putus
seperti orang gagap.
Arya tercenung. Pemuda itu kelihatan sedang berpikir keras hingga dahinya
berkerut "Aku yakin kau terkena racun, Melati. Cobalah kau ingat-ingat. Barangkali ada
serangan lawan yang mengenaimu.... Atau... ada yang telah menyemprotkan
serbuk... Atau...
yang lainnya. Ingat-ingatlah, Melati."
"Akan... akan kucoba, Kang."
Melati berusaha keras mengingat-ingat kejadian yang telah dialaminya. "Apa yang
kau duga tidak pernah terjadi, Kang. Tidak ada satu pun serangan lawan yang
mengenaiku. Tapi...
aku ingat ucapan Dewa Pencabut Nyawa sebelum pergi."
"Coba ulangi perkataannya, Melati," desak Arya tidak sabar.
Kembali Melati mengernyitkan dahi berusaha mengingat-ingat. "Hmh...! Sejak dulu
watakmu masih belum juga berubah, Setan Tertawa. Manis di mulut, tapi pahit
dirasakan. Mana mungkin wanita ini akan bertemu denganmu lagi! Dasar ular kepada dua!"
Melati mengulangi ucapan Dewa Pencabut Nyawa.
Arya mengangguk-angguk. Rupanya pemuda itu telah berhasil menarik sebuah
kesimpulan. "Kapan dia mengucapkan pernyataan itu, Melati"!"
"Setelah Setan Tertawa mengucapkan pujiannya padaku, karena berhasil mematahkan
serangan-serangan beruntunnya. Ah...! Aku ingat, Kang! Aku telah berbenturan
tangan dengan Setan Tertawa!"
"Kalau begitu..., biar kulihat tanganmu!"
Dewa Arak segera menggulung lengan baju Melati. Seketika itu pula dia
terperanjat. Pada pergelangan tangan Melari tampak bintik-bintik hitam sebesar ibu jari.
Rasa penasaran membuat Dewa Arak menggulung lengan baju yang satu. Hasil yang
didapat membuatnya yakin akan kebenaran dugaan Melati. Pada tangan kanan,
meskipun terdapat tanda hitam, tapi berupa ritik-titik kecil. Jelas, racun itu
berasal dari benturan tangan Melati dengan Setan Tertawa.
"Dugaanmu benar, Melati," ucap Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu
menerawangkan pandangannya ke langit. "Setan Tertawa! Percayalah...! Aku tidak
akan melepaskanmu atas kekejian yang telah kau lakukan ini."
Arya kemudian menurunkan guci arak dari punggungnya "Tidak ada jalan lain,
Melati. Terpaksa kau harus meminum arakku. Buka mulutmu!"
Masih dalam keadaan tetap terpejam, Melati membuka mulutnya. Arya segera
menuangkan araknya.
Gluk....Gluk.....Gluk..!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melalui tenggorokan Melati. Kemudian
Arya menaruh kembali guci araknya di punggung. Itu semua dilakukan tanpa
melepaskan perhatiannya dari Melati.
Tak berapa lama, Arya melihat desah napas Melari mulai teratur. Tanpa memeriksa
lagi ia tahu Melati telah tertidur. Agaknya arak Arya tengah menunjukkan
khasiatnya. Di saat Melati terlelap Arya menghubung-hubungkan semua kejadian itu. Baik yang
dialaminya maupun dialami Melati. Hasilnya adalah munculnya berbagai pertanyaan.
Mengapa tokoh-tokoh persikitan dan orang-orang kerajaan menuju Desa Sampan"
Apakah benar untuk mencari Garang Laksa" Lalu, orang macam apakah Garang Laksa
itu, sehingga datuk-datuk sesat seperti Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa
sampai ikut-ikutan mencari"
Dewa Arak tahu tokoh seperti Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa tidak akan
melakukan hal seperti itu kalau tidak karena urusan yang sangat penting! Apakah
urusan itu" Kembali satu pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
Mendadak Dewa Arak tersentak ketika teringat sesuatu! Bukankah dia tengah menuju
Desa Sampan juga" Dan bukankah Benggala dan kawan-kawannya berada di Desa
Sampan"! Celaka! Mereka pasti berada dalam bahaya.
"Uh...!"
Keluhan Melati menyadarkan Arya dari lamunannya. Buru-buru pemuda berambut
putih keperakan itu mengalihkan perhatiannya. Seketika itu pula raut wajahnya
menyiratkan kegembiraan. Titik-titik hitam di wajah Melati lenyap! Racun itu
telah berhasil dipunahkan.
Rasa penasaran memaksa Arya melihat tangan kiri Melati. Kenyataan yang
dilihatnya pun sama. Tangan itu mulus! Tidak ada noda-noda hitam sebesar ibu
jari lagi. Semuanya lenyap. Arak Arya ternyata benar-benar manjur dan bekerja
cepat. Kegembiraan Arya semakin bertambah ketika melihat Melati membuka matanya.
Bahkan kemudian bangkit dan duduk.
"Syukur racun itu berhasil dipunahkan, Melati," ucap Arya gembira.
"Arakmu memang manjur, Kang," timpal Melati tersenyum manis.
Arya hanya menyunggingkan senyum lebar sebagai jawabannya.
"Kurasa kita harus cepat-cepat ke Desa Sampan, Kang!" sambil berkata demikian,
Melati bangkit berdiri.
"Tenanglah, Melati. Tidak usah terburu-buru. Kau belum sembuh benar. Dan...."
"Aku sudah sembuh, Kang," bantah Melati.
"Tapi... wajahmu masih pucat, Melati. Lagi pula...."
"Hanya lemas sedikit. Aku yakin di tengah perjalanan tenagaku akan pulih
kembali," timpal Melati. "Cepatlah kita ke sana, Kang. Aku khawatir mereka telah menyebar
onar di sana! Ayolah, Kang! Tunggu apa lagi"!"
Dewa Arak tidak segera menanggapi. Pemuda itu tercenung berusaha mempertimbangkan. Dan sesaat kemudian jawabannya diberikan.
"Baiklah kalau kau memang sanggup, Melati," ujar Arya mengalah.
*** Brakkk! Bunyi berderak keras mengawali hancurnya daun pintu sebuah pondok sederhana.
Salah seorang dari rombongan orang berpakaian seragam kerajaan telah
menendangnya. Bunyi hiruk-pikuk itu menyebabkan pemilik rumah bergegas keluar ingin melihat
penyebab timbulnya bunyi riuh rendah itu.
Tapi sebelum mencapai pintu sang pemilik rumah, seorang lelaki setengah baya
berjenggot jarang-jarang, segera membalikkan tubuhnya. Sudah dapat diduga
maksudnya. Lelaki itu hendak meninggalkan tempat itu. Sebab dilihatnya pintunya hancur
berantakan dan di depan rumah berkumpul banyak orang dengan gelegat
mencurigakan. "Berhenti, Tua Bangka! Atau... kau ingin rumahmu kujadikan lautan api!"
Langkah lelaki berjenggot jarang-jarang itu terhenti. Kemudian, dengan tarikan
wajah memancarkan rasa takut yang sangat kakinya dilangkahkan ke luar.
"Keparat! Berani kau mempermainkan kami, Tua Bangka"!"
Prajurit yang telah menendang hancur daun pintu, seorang lelaki kekar berkumis
melintang, rupanya tidak sabar melihat langkah pemilik rumah yang dianggapnya
terlalu lambah. Maka dengan penuh kemarahan, dia maju menghampiri. Kemudian
tangan kanannya diulurkan. Dan....
Kreppp! Leher baju lelaki berjenggot jarang-jarang telah dicekal prajurit berkumis
melintang. Tidak hanya itu. Diangkatnya tubuh pemilik rumah. Lalu dilemparkan keluar!
Wuttt! Bukkk! Tubuh pemilik rumah yang sial itu ambruk di tanah dengan menimbulkan bunyi
berdebum setelah melayang-layang beberapa saat.
"Aduh...."
Lelaki setengah baya itu merintih kesakitan. Dicobanya untuk bangkit, tapi tidak
mampu. Rupanya banyak bagian tubuhnya yang terkilir. Dengan menyeringai
kesakitan tubuhnya kembali direbahkan. Sementara itu, prajurit berkumis
melintang segera menghampiri. Dan hanya dalam beberapa langkah telah berada di
dekatnya. "Aku ingin mengajukan pertanyaan, Tua Bangka! Kuharap kau mau menjawabnya!
Dan dengan benar! Kalau tidak.., kau akan tahu sendiri akibatnya! Mengerti"!"
"Mengerti, Tuan," jawab lelaki berjenggot jarang-jarang sambil menganggukkan
kepala. "Bagus...!" puji prajurit berkumis melintang. "Nah! Sekarang dengarkan
pertanyaanku baik-baik! Apa nama desa ini"!"
"Desa Gondang, Tuan."
"Desa Gondang"!"
Prajurit itu mengulang ucapan pemilik rumah seraya mengalihkan pandangan ke arah
rekan-rekannya yang mengawasi semua peristiwa yang berlangsung.
"Benar, Tuan."
"Hm.... Lalu... bisa kau tunjukkan padaku di mana letak Desa Sampan"!"
"Desa Sampan" Kalau begitu, kau tinggal menempuh arah ke timur, Tuan.
Sekeluarnya dari desa ini. Kau akan memasuki daerah Desa Sampan," jelas lelaki
setengah baya. Prajurit berkumis melintang mengangguk-angguk, "Apakah benar
orang yang bernama Garang Laksa tinggal di Desa Sampan"!"
Pemilik rumah itu tidak segera menjawab. Dia tercenung sejenak sebelum
menggeleng. "Sayang sekali. Aku tidak mengenalnya, Tuan. Dan...."
"Keparat! Kau berani mempermainkan aku, Tua Bangka!" geram prajurit itu, "Apa kau
sudah bosan hidup"!"
Seketika tubuh pemilik rumah menggigil keras karena rasa takut yang menggelegak.
"Ampun, Tuan. Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku benar-benar tidak mengenal
orang itu. Bahkan mendengarnya pun baru kali ini. Itu pun dari mulutmu sendiri,
Tuan," ujarnya dengan sangat takut.
"Keparat! Rupanya kau lebih suka dikasari baru mau bicara, Tua Bangka! Hih!"
Bukkk! "Akh!"
Tubuh lelaki setengah baya itu menggeliat. Lolong kesakitan keluar dari
mulutnya. Tendangan prajurit berkumis melintang mengenai perutnya dengan telak. Untung
prajurit itu hanya menggunakan tenaga kasar. Kalau tidak, nyawa lelaki
berjenggot jarang-jarang telah melayang ke alam baka!
"Cepat katakan, Tua Bangka! Atau... kau ingin kusiksa lagi?"
"Ampun, Tuan. Aku sungguh-sungguh tidak tahu.... Akh!"
Lagi-lagi lelaki berjenggot jarang-jarang menggeliat kesakitan ketika prajurit
itu kembali mengirimkan tendangan. Kali ini ke arah wajahnya, dan mengenai
hidungnya. Tak pelak lagi, cairan merah kental mengalir dari kedua lubang
hidungnya. "Ini pertanyaanku yang terakhir, Tua Bangka! Kau mau menjawab pertanyaanku. Atau
harus kuhabisi nyawamu! Asal kau tahu saja, kesabaranku telah habis!" sambil
berkata demikian, prajurit berkumis melintang meletakkan kaki kanannya di dada
lelaki setengah baya yang telentang tak berdaya. Sekali saja tenaga dalamnya
dikerahkan, penduduk desa yang malang itu akan tewas dengan tulang dada hancur
berantakan. Namun sebelum, lelaki berjenggot jarang-jarang memberikan jawaban, mendadak...
Wuttt! Takkk! "Akh!"
Prajurit berkumis melintang melolong kesakitan. Sebuah batu sebesar ibu jari
menghantam tulang keringnya. Keras dan telak. Bisa dibayangkan sakitnya. Tak
aneh jika prajurit itu menjerit kesakitan sambil melompat-lompat dengan satu
kaki. Sedangkan yang satu ditekuk. Sementara tangannya memegang bagian yang
sakit. Kejadian yang menimpa prajurit berkumis melintang membuat rekan-rekannya kaget
bercampur marah. "Orang gila dari mana yang berani mencampuri urusan kami"!"
seru rekan prajurit berkumis melintang yang bermata sipit.
Belum juga gema ucapan prajurit bermata sipit hilang, melesat dua sosok
bayangan. Kemudian, Jliggg! Jliggg!
Ringan laksana daun kering jatuh, dua sosok bayangan itu mendaratkan kaki di
dekat tubuh lelaki berjenggot jarang-jarang.
"Menyingkirlah, Ki. Biar kami yang akan membereskan manusia-manusia keji ini!"
ucap sosok berpakaian ungu dan berambut putih keperakan. Siapa lagi kalau bukan
Arya alias Dewa Arak"!
"Aku... aku tidak bisa bergerak, Anak Muda," sahut lelaki berjenggot jarang-
jarang terputus-putus dengan suara aneh, karena batang hidungnya telah remuk.
"Bawa dia menyingkir, Melati," ucap Arya pada sosok berpakaian putih di
sebelahnya. "Baik Kang," sahut Melati patuh. Kemudian dibawanya penduduk desa itu
menyingkir. "Monyet Busuk! Kau harus membayar mahal atas tindakanmu! Hiyaaat...!"
Diawali teriakan keras prajurit bermata sipit meluruk ke arah Dewa Arak. Tombak
yang tergenggam di tangannya ditusukkan ke arah perut pemuda berambut putih
keperakan itu. Wuttt! Dewa Arak tersenyum geli melihat serangan itu. Bagi tokoh sepertinya serangan
prajurit itu tidak berarti sama sekali! Dengan tenang ditunggunya hingga
serangan itu menyambar dekat. Baru setelah itu, dia melompat ke atas. Tidak
tinggi. Lalu....
Tappp! Bagai seekor burung, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di batang tombak lawan.
Lalu mengerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya untuk memberatkan tubuh.
Tentu saja prajurit bermata sipit itu kelabakan. Dirasakannya yang berada di
batang tombaknya bukan manusia, tapi seekor gajah! Meskipun begitu, dia tidak
mau melepaskan senjatanya. Akibatnya bagian ujung tombak menukik turun terbawa
berat tubuh Dewa Arak.
Tapi saat itu juga Arya bertindak. Dengan ujung kaki ditendangnya mata tombak.


Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tukkk! Kelihatannya perlahan dan tanpa tenaga. Tapi akibatnya luar biasa. Tombok itu
meluncur ke arah prajurit bermata sipit. Padahal, kedua tangan prajurit itu
menggengamnya erat-erat. Dan kejadian selanjutnya sudah dapat ditebak.
Crottt! Darah bermuncratan ketika tombak itu menembus perut pemiliknya hingga ke
punggung. Tubuh prajurit bermata sipit roboh ke tanah. Menggelepar sesaat,
kemudian diam tidak bergerak. Mati dengan kedua tangan masih menggenggam batang
tombak 6 Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat. Sehingga tak seorang pun dari
para prajurit sempat berbuat sesuatu. Baru ketika prajurit bermata sipit roboh
dalam keadaan tidak bernyawa amarah mereka meledak
"Keparat! Kau berani membunuh prajurit Kerajaan Pakuan, Monyet Jelek! Serbu...!"
seru prajurit berkumis melintang pada kawan-kawannya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, rombongan prajurit yang ternyata berasal dari
Kerajaan Pakuan meluruk ke arah Dewa Arak dengan tombak di tangan. Prajurit
berkumis melintang yang menjadi pimpinan ikut menyerbu. Melihat gerakannya yang
tidak gesit, agaknya rasa sakit yang melanda tulang keringnya belum lenyap.
Dewa Arak tetap tenang. Dengan pandang mata dihitungnya jumlah lawan. Lima belas
termasuk prajurit berkumis
melintang! Jumlah
yang terlalu sedikit untuk dapat
mengalahkannya.
Dewa Arak menunggu hingga serangan mereka tiba. Telah diputuskan untuk
melenyapkan prajurit-prajurit Kerajaan Pakuan. Dewa Arak tahu kalau dibiarkan
hidup mereka akan terus menyebar maut. Telah disaksikannya sendiri kekejaman
mereka. Sosok yang ditemuinya di jurang kecil adalah salah satu korbannya.
Tidak hanya itu. Kalau dia dan Melati terlambat datang dan menyerang prajurit
berkumis melintang dengan batu, mungkin lelaki berjenggot jarang-jarang telah
tewas pula. Dengan pertimbangan itu Dewa Arak memutuskan untuk membunuh rombongan prajurit
Kerajaan Pakuan.
Namun Dewa Arak tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berpikir, serangan
lawan-lawannya telah meluncur tiba. Meskipun demikian, pemuda berambut putih
keperakan itu tidak melakukan tindakan apa pun. Tidak mengelak atau menangkis.
Dia berdiri tegak dengan kedua tangan terkulai di sisi pinggang.
Tentu saja tindakan Dewa Arak membuat lawan-lawannya heran. Namun, hanya
sesaat perasaan itu bergayut. Mereka segera membuangnya, dan berharap Dewa Arak
tidak melakukan perlawanan agar dapat secepat mungkin membinasakannya!
Tetapi kegembiraan itu segera berganti keterkejutan. Karena....
Tak, tak tak! Bunyi berdetak keras terdengar susul-menyusul ketika ujung tombak prajurit-
prajurit Kerajaan Pakuan mengenai sasaran di berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
Ternyata senjata mereka tidak mampu menembus kulit Arya yang telah dilindungi
tenaga dalam. Tergores pun tidak.
Kenyataan ini membuat prajurit berkumis melintang dan rekan-rekannya terkesima.
Raut wajah dan sorot mata mereka memancarkan ketidakpercayaan yang dalam. Untung
saja Dewa Arak tidak mempergunakan kesempatan itu untuk mengirimkan serangan
balasan. Kalau tidak, pasti mereka semua tewas.
"Bagaimana" Puas?" tanya Arya tanpa ber-maksud mengejek
Ucapan itu menyadarkan rombongan prajurit Kerajaan Pakuan dari tertegunnya. Dan
seiring timbulnya kesadaran itu mereka kembali meluruk ke arah Dewa Arak.
"Serang bagian-bagian yang lemah!" seru prajurit yang memiliki kumis melintang
itu mengirimkan tusukan ke arah mata. Prajurit lainnya mengikuti jejaknya.
Hasilnya, serangan-serangan yang mereka kirimkan selalu ditujukan pada mata,
leher, dan ubun-ubun.
Semuanya bagian-bagian terlemah di tubuh manusia.
"Serbu...!"
Lima belas prajurit Kerajaan Pakuan meluruk ke arah Dewa Arak dengan tombak di
tangan. Melihat serangan itu, Dewa Arak hanya berdiri tegak dengan kedua tangan
terkulai di sisi pinggang. Pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak
mengelak maupun menangkis.
Kali ini Dewa Arak tidak berani membiarkan. Betapa pun tinggi tenaga dalamnya,
tetap saja tidak membiarkan matanya dijadikan sasaran tusukan tombak! Terpaksa
kedua tangannya digerakkan untuk menangkis.
Tak, tak, tak! Kembali bunyi berdetak keras terdengar. Bunyi itu tercipta karena benturan
tombak-tombak itu dengan kedua tangan Dewa Arak. Hasilnya jauh lebih dahsyat!
Setiap tombak yang berbenturan dengan tangan Dewa Arak langsung berpatahan.
Hanya dalam beberapa saat saja tidak ada satu pun senjata lawan yang utuh.
Malah bukan hanya senjata-senjata itu yang menerima akibatnya. Tubuh prajurit
Kerajaan Pakuan terjengkang ke belakang dengan separo tubuh terasa lumpuh. Saat
itu kaki Dewa Arak ikut ambil bagian. Dengan ujung kaki ditendangnya patahan-
patahan tombak yang berserakan di tanah.
Tuk, tuk, tuk! Sing, sing, sing!
Cappp, cappp, cappp! Trang!
"Akh, akh, akh!"
Jeritan-jeritan menyayat membumbung ketika patahan tombak mendarat di tubuh
prajurit Kerajaan Pakuan. Tubuh mereka roboh di tanah. Mati dengan potongan
tombak menancap ke leher atau perut
Tapi, tidak semua prajurit tewas. Beberapa di antara mereka berhasil menangkis
potongan tombak dengan sisa tombak yang ada. Mereka berhasil menyelamatkan
nyawa, sekalipun untuk itu harus terjengkang karena kuatnya tenaga lontaran
potongan tombak Kini, begitu potongan-potongan tombak yang berserakan di dekat
Dewa Arak habis, tinggal empat orang prajurit yang masih hidup. Prajurit
berkumis melintang termasuk di antara mereka.
Sisa prajurit Kerajaan Pakuan itu tahu tidak ada gunanya melawan. Kenyataan yang
mereka hadapi telah memberi petunjuk Dewa Arak terlalu tangguh bagi mereka. Maka
begitu bangkit berdiri, tanpa ragu-ragu mereka membalikkan tubuh dan berlari
pergi. Dewa Arak diam saja. Dibiarkan keempat lawannya melaksanakan keinginannya. Dia
tidak mengejar atau berusaha mencegah kepergian mereka. Pemuda berambut putih
keperakan itu mempuhyai dugaan kuat prajurit Kerajaan Pakuan jera dan tidak akan
meneruskan maksudnya ke Desa Sampan. Apalagi sampai menimbulkan keonaran seperti
sebelumnya. Tapi rupanya ada yang merasa tidak puas. Orang itu adalah Melati. Begitu
dilihatnya empat prajurit Kerajaan Pakuan melarikan diri, gadis itu bertindak
cepat. Ditendangnya empat buah batu sebesar ibu jari yang ada di situ.
Tuk, tuk, tuk! Sing, sing, sing!
Bunyi mendesing nyaring yang menyakitkan telinga mengiringi meluncurnya batu-
batu itu. Dan, Tak, tak, tak! "Akh, akh, akh!"
Jerit tertahan keluar dari mulut tiga orang prajurit. Batu-batu itu menghantam
kepala mereka. Telak dan keras. Tubuh mereka langsung roboh ke tanah. Tewas
dengan kepala pecah!
Hanya seorang yang berhasil lolos dari maut. Orang itu adalah prajurit berkumis
melintang. Dia berhasil lolos karena sempat merendahkan tubuh ketika mendengar
bunyi mendesing nyaring dari belakang. Dan sebelum Melati sempat berbuat
sesuatu, prajurit berkumis melintang telah menerobos rimbunan semak-semak lebat
"Keparat!" maki. Melati jengkel melihat keberhasilan prajurit berkumis melintang
lolos dari ancaman maut.
"Sudahlah, Melati," hibur Arya seraya menghampiri kekasihnya. "Aku yakin dia
jera dan kembali ke tempatnya."
"Tapi aku tetap penasaran, Kang," sahut Melati, "Apalagi dialah yang paling
kejam." "Dari mana kau tahu dia yang paling kejam, Melati"!" tanya Arya ingin tahu.
"Bukankah dia yang tadi melakukan penyiksaan, Kang"!" jawab Melati cepat.
"Hm...!" hanya gumaman yang diberikan Arya sebagai tanggapan ucapan Melati, "O
ya, Melati. Bagaimana luka-lukanya. Apakah dapat disembuhkan?" tanya Arya
mencoba mengalihkan persoalan setelah sesaat tercenung.
Dan ternyata usaha pemuda berambut putih keperakan itu berhasil. Melati segera
melupakan kejengkelannya, dan memberikan jawaban atas pertanyaannya.
"Sebenarnya cukup parah. Tapi berkat obat-obat peninggalan guruku, dia sudah
sembuh sekarang. Hanya perlu beristirahat beberapa hari agar sehat kembali."
Arya mengangguk-angguk puas dengan jawaban kekasihnya. Sedangkan lelaki
berjenggot jarang-jarang yang kini sudah bisa berdiri segera membungkukkan
tubuh. "Terima kasih atas pertolongan Tuan dan Nona Pendekar. Kalau tidak, mungkin aku
telah tewas. Entah bagaimana aku harus membalas kebaikan ini."
"Lupakanlah, Ki," jawab Arya sopan dan lembut, "Tolong-menolong antara sesama
manusia itu soal biasa. Untung saja kami kebetulan melewati tempat ini. Tapi
mengapa prajurit-prajurit Kerajaan Pakuan menyiksamu, Ki"!"
"Karena aku tidak bisa menjawab pertanyaan mereka, Tuan Pendekar," beri tahu
lelaki berjenggot jarang-jarang.
Arya dan Melati saling berpandangan. Ingatan mereka segera tertuju pada petani
penyadap karet yang dibunuh dan dibuang ke dalam jurang.
"Boleh kutahu pertanyaan yang mereka ajukan, Ki"!"
"Pertama kali mereka menanyakan letak Desa Sampan. Langsung kutunjukkan. Tapi
pertanyaan selanjutnya mereka menanyakan tempat tinggal orang yang bernama
Garang Laksa. Karena aku tidak mengenalnya, kujawab apa adanya. Tapi mereka
tidak percaya dan terus memaksaku memberikan jawaban," urai lelaki setengah baya
itu. Arya mengangguk-angguk. Entah apa maksud anggukannya, hanya dia yang mengerti.
"Maaf, Ki. Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Ada urusan yang harus kami
selesaikan. Selamat tinggal! Mari, Melati!"
Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu. Melati segera menyusul. Hanya dalam
beberapa kali lesatan tubuh mereka telah terlihat sebagai benda hitam sebesar
ibu jari. Semakin lama semakin kecil dan akhirnya lenyap. Lelaki berjenggot jarang-jarang
menggeleng-gelengkan kepala dengan hati dipenuhi rasa kagum.
*** "Ah...!"
Tanpa sadar Dewa Arak dan Melati mengeluarkan seruan kaget. Sepasang mata
mereka membelalak lebar ke satu arah. Ke depan. Tampak kepulan asap tebal dan
hitam membumbung tinggi ke angkasa.
"Apakah asap itu timbul dengan sewajarnya, Kang?" tanya Melati tanpa
menghentikan lari.
"Kurasa tidak, Melati," jawab Arya, "Aku yakin asap itu timbul karena kebakaran.
Kau lihat kan" Ada asap merah seperti nyala api sesekali muncul di sela kepulan
asap hitam"!"
Jawaban Dewa Arak membuat Melati menatap kepulan asap tebal hitam di kejauhan.
Ucapan Arya memang benar. Di sela-sela kepulan asap tebal tampak sinar merah.
Memang, hanya sesekali munculnya. Tapi cukup untuk membuktikan kalau di depan
mereka telah terjadi kebakaran.
"Benar, Kang. Aku melihatnya," Melati mengangguk.
"Itu berarti di depan sana telah terjadi kebakaran," ucap Arya menegasi.
"Apa"!"
Dewa Arak tersentak. Bahkan sampai mengendurkan larinya. Kepalanya ditolehkan ke
arah Melati. Sesaat lamanya dia berbuat seperti itu dengan kedua kaki terus
terayun. "Kau benar, Melati," ucap Arya mengeluh seraya mengalihkan tatapannya ke depan.
"Di depan kita Desa Sampan."
"Aku yakin kebakaran itu tidak terjadi secara wajar, Kang. Pasti ada tangan-
tangan jahil yang melakukannya! Siapa lagi kalau bukan orang-orang yang memburu
Garang Laksa"!"
ujar Melati berapi-api.
"Kalau benar demikian, kita harus bergegas, Melati! Jangan sampai semuanya
berlarut-larut!" sambung Arya seraya menambah kecepatan larinya.
Tapi Dewa Arak tidak mengerahkan seluruh kemampuannya. Bila itu dilakukan Melati
akan tertinggal jauh. Dewa Arak tidak menginginkan hal itu terjadi. Laksana
hantu, Arya dan Melati melesat. Yang ada di benak mereka hanya satu. Tiba di
Desa Sampan secepat mungkin.
Saat ini mereka masih berada di wilayan Desa Gondang. Dan mereka tengah berlari
cepat di jalan tanah yang kanan kirinya membentang hamparan sawah. Tidak
terlihat satu rumah penduduk pun di dekat situ.
Berkat ilmu meringankan tubuh mereka yang tinggi, tak berapa lama kemudian
mereka telah melihat tembok batas Desa Sampan. Semangat Dewa Arak dan Melati
semakin berkobar. Hingga kecepatan lari mereka makin ditingkatkan. Tapi beberapa
saat kemudian...
"Lihat itu, Melati!" Arya menudingkan jari telunjuknya ke depan seraya terus
berlari. Sebenarnya tanpa diberitahu pun gadis berpakaian putih itu telah melihatnya.
Yang ditunjuk-kan Arya berada di depan mereka. Dan terlihat sangat mencolok!
"Pasti penduduk Desa Sampan."
Dewa Arak mengemukakan dugaannya tanpa mengalihkan pandangan. Sepasang
matanya terus tertuju ke arah rombongan yang tengah menuju ke arah mereka
berdua. Jumlah mereka cukup banyak. Sebagian besar terdiri dari orang tua, wanita, dan
anak-anak. "Benar, Kang. Mereka pasti hendak mengungsi," timpal Melati.
Mendadak dari arah belakang rombongan, melesat sesosok bayangan melewati kepala
mereka yang diduga Dewa Arak dan Melati penduduk Desa Sampan. Sosok bayangan
hitam itu bersalto beberapa kali. Lalu mendarat di depan rombongan.
Jiiggg! Dengan mantap sosok bayangan hitam berdiri menghadang jalan. Golok besar
terhunus di tangan kanannya. Saat itu juga langkah rombongan penduduk berhenti.
"Jangan harap kalian dapat meninggalkan desa sebelum memberitahu tempat tinggal
Garang Laksa!" teriak sosok berpakaian hitam dengan lantang. Golok besar di
tangannya diacung-acungkan di atas kepala.
Hebat akibat ancaman sosok berpakaian hitam. Rombongan penduduk langsung
berbalik dan berlari-lari kembali ke desa. Dewa Arak dan Melati memperhatikan
semua itu. Sayang mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Jarak mereka masih cukup jauh, kurang
lebih seratus tombak!
"Keparat!" geram Melari penuh kemarahan, "Sepertinya aku mengenal lelaki
berpakaian hitam itu, Kang."
"Ingat-ingatlah. Tapi yang terpenting kita harus bergegas, Melati. Korban akan
banyak yang jatuh," sambut Arya.
"Aku ingat, Kang!" ujar Melari ketika jarak mereka tinggal lima puluh tombak
lagi. "Ya.
Dia anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam!"
"Celaka! Pasti telah banyak jatuh korban!" ujar Arya khawatir.
Perasaan cemas akan keselamatan penduduk Desa Sampan membuat Dewa Arak dan
Melati mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Akibatnya, dalam sekejap Melati
tertinggal! Semakin lama semakin jauh. Dewa Arak memutuskan untuk mendahului Melati. Pada
saat yang bersamaan lelaki berompi hitam tengah menggiring penduduk yang hendak
kabur untuk kembali ke desa.
"Hih!"
Dewa Arak bersalto beberapa kali melewati kepala lelaki berpakaian hitam. Dan...
Jliggg! Dengan ringan Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di hadapan lelaki berpakaian
hitam. Hingga membuatnya terkejut. Bahkan sampai terjingkat kaget.
"Keparat! Siapa kau, Kambing Buduk"! Sung-guh berani menghadang perjalananku!
Pernahkah kau mendengar julukan Gerombolan Perompak Laut Hitam"! Nah! Aku adalah
salah satu anggotanya! Cepat berlutut dan bersihkan sepatuku dengan lidahmu.
Barangkali aku akan memberi ampunan padamu!"
Wajah Dewa Arak langsung merah padam. Hinaan yang diterimanya telah melampaui
batas. Tambahan lagi, lelaki berpakaian hitam yang ternyata Gerombolan Perompak
Laut Hitam itu telah menimbulkan malapetaka di Desa Sampan. Tidak ada jalan lain
kecuali melenyapkannya dari muka bumi.
"Manusia seperti kau tidak layak dibiarkan hidup! Hih!"
Dewa Arak mengibaskan tangannya. Kelihatan pelan dan tanpa pengerahan tenaga.
Tapi akibatnya luar biasa. Dari tangan yang mengibas itu keluar serentetan angin
keras meluncur ke arah anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam.
Kejadian itu membuat lelaki berpakaian hitam terperanjat kaget. Sebisanya dicoba
mengelakkan serangan. Tapi....


Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bresss! "Akh!"
Anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam yang sial itu terjengkang deras ke
belakang, terkena serangan jarak jauh Dewa Arak yang menghantam dadanya dengan
telak. Darah menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Lelaki berpakaian
hitam itu tewas saat itu juga.
Melati tiba. Lalu bersama-sama dengan Dewa Arak melesat ke Desa Sampan. Terpaksa
pasangan pendekar muda itu melompati kepala rombongan penduduk desa yang
berlari-lari kembali ke desa. Karena kalau mengikuti rombongan penduduk terlalu
lama. Jliggg! Begitu mendarat di tanah, Dewa Arak dan Melati melesat cepat. Rumah-rumah
terbakar di sana-sini. Tapi, pasangan muda itu tidak mempedulikannya. Mereka
terus melesat ke dalam desa.
Langkah Dewa Arak dan Melati terhenti ketika melihat pemandangan yang terpampang
di hadapan mereka. Dalam jarak sekitar sepuluh tombak tampak dua sosok
berpakaian hitam tengah dikelilingi belasan orang yang mengenakan pakaian be-
warna sama. Dewa Arak dan Melati merasa heran. Mengapa orang-orang yang berpakaian sama itu
berhadapan sebagai musuh" Karena perasaan heran itulah pasangan pendekar muda
berwajah elok ini berdiri terpaku dalam jarak sepuluh tombak. Sepasang mata
mereka tertuju ke arah kelompok berpakaian hitam yang sedang ribut. Mendadak...
"Dewa Arak...!"
7 Dewa Arak menoleh ke arah asal suara. Tampak seraut wajah yang dikenalnya
tergolek di tanah. Agaknya sosok gagah itu terluka.
"Kau..., Benggala...!" seru Arya gembira bertemu dengan orang yang dicarinya.
Pemuda berambut putih keperakan itu segera mengayunkan langkah menghampiri
Benggala. Pada saat yang bersamaan, keributan antar kelompok berpakaian hitam
semakin menjadi.
"Kuperingatkan sekali lagi, Garang Laksa," ucap lelaki bermuka kuda yang tidak
lain Marangsang, seraya menudingkan jari telunjuknya ke arah lelaki tinggi
besar. "Cepat beritahukan di mana harta rampasan itu kau simpan. Kalau tidak,
jangan salahkan aku jika bertindak keras terhadapmu!"
Garang Laksa, lelaki tinggi besar yang berkumis, jenggot, dan cambang lebat
tersenyum mengejek. Lelaki itu tidak merasa gentar mendengar ancaman bekas
wakilnya. "Asal kau tahu saja, Marangsang. Aku tidak gentar dengan ancamanmu. Aku tidak
takut mati! Jadi, percuma saja kau mengancamku. Tempat penyimpanan harta itu
tetap tidak akan kuberitahu. Harta itu akan kubagikan pada orang-orang miskin
yang memerlukannya!
Bukan demikian, Wulung"!" tegas dan mantap Garang Laksa mengucapkannya.
Wulung yang berdiri di sebelah pimpinannya mengangguk menyetujui ucapan
pimpinannya. "Kalau begitu, kalian berdua harus mampus!" desis Garang Laksa geram.
"Serbu...!"
Tanpa menunggu perintah kedua kali, Gerombolan Perompak Laut Hitam menyerbu
Garang Laksa, bekas pimpinan mereka sendiri. Senjata yang tergenggam di tangan
dibabatkan ke berbagai bagian tubuh Garang Laksa. Bukan hanya Gerombolan
Perompak Laut Hitam yang menyerbu, Marangsang pun ikut terjun ke dalam kancah
pertarungan. Melihat adanya ancaman maut, Garang Laksa dan Wulung tidak tinggal diam. Mereka
menyambuti serbuan yang datang dengan hangat. Pertarungan pun tidak bisa
dihindarkan lagi.
Di satu arena Garang Laksa dan Wulung berjuang keras mempertahankan nyawa dari
ancaman maut Marangsang dan anak buahnya. Di tempat lain Dewa Arak, Melati, dan
Benggala terlibat dalam percakapan.
"Apa yang terjadi, Benggala"! Mengapa kau dan yang lainnya terluka?" tanya Arya.
Sebenarnya Dewa Arak sudah mempunyai dugaan. Tapi untuk memastikannya,
pertanyaan itu dilontarkan.
"Sederhana saja, Dewa Arak," jawab Benggala. "Serombongan orang-orang kasar yang
mengaku berjuluk Gerombolan Perompak Laut Hitam datang ke desa ini. Mereka
mencari seseorang yang bernama Garang Laksa. Karena tidak ada yang dapat
menunjukkan tempatnya, mereka mengamuk. Menyebarkan onar dan membakar rumah-rumah."
Benggala menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Sementara Dewa Arak dan
Melati menunggu dengan sabar. Sekali pun tidak dipotongnya cerita Benggala.
"Tentu saja aku dan pemuda-pemuda desa ini tidak bisa tinggal diam. Dengan bekal
senjata di tangan, kami mengadakan perlawanan," lanjut Benggala. "Tapi ternyata
mereka terlalu kuat untuk dilawan. Sekalipun jumlah kami lebih banyak. Kemampuan
perorangan mereka jauh di atas kami, terutama orang yang mempunyai wajah seperti
kuda." Kembali Benggala menghentikan ceritanya. Kali ini karena luka-luka yang
diderita. Bibirnya menyeringai kesakitan.
"Satu persatu di pihak kami korban berjatuhan. Sebagian tewas dan luka berat,
sisanya luka-luka cukup parah. Aku mendapat kesempatan roboh paling belakangan.
Di saat mereka hendak membunuh kami semua, muncul dua orang mencegah. Nyawa kami
pun tertolong."
"Dua orang penolong itu pasti yang tengah bertempur dengan mereka," potong
Melati tak sabar untuk mengajukan dugaan.
"Kau cerdik, Nisanak," puji Benggala.
"Kau bisa saja, Benggala. Apa hebatnya" Aku yakin semua orang menebak seperti
itu," celetuk gadis berpakaian putih itu untuk menutupi rasa malunya karena mendapat
pujian. "Tapi..., aku tidak menduga seperti itu," goda Arya tersenyum lebar. Karuan saja
wajah Melati semakin merah seperti udang rebus.
"Sudahlah," akhirnya Arya juga .yang menghentikan gurauan segar itu, "Sekarang
yang masih menjadi pertanyaan, mengapa mereka satu kelompok?"
Benggala mengangkat bahu tidak mengerti. Mereka sepertinya memang saling
mengenal. Tapi kalau dikatakan mereka satu kelompok, aku tidak setuju. Apa
alasanmu menduga demikian" Apakah karena warna pakaian mereka sama?"
"Sebagian besar memang karena itu," jawab Arya jujur, "Tapi, sebagian lagi
karena ucapan dan tingkah laku mereka. Semuanya menunjukkan mereka berasal dari
satu kelompok!"
"Lalu... mengapa mereka berselisih"!" tanya Benggala penasaran.
"Jawaban dari pertanyaan itu yang harus kita cari. Yang jelas, satu hal telah
kita dapatkan. Mereka berselisih tentang harta yang kelihatannya disimpan lelaki
tinggi besar. Rupanya dia yang bernama Garang Laksa," jawab Arya yakin.
Benggala diam. Lelaki itu tidak memberikan tanggapan. Melatilah yang menyambuti
ucapan kekasihnya.
"Menurut pendapatku, sekalipun benar mereka berasal dari kelompok yang sama, aku
berpihak pada Garang Laksa!" tegas gadis berpakaian putih itu.
"Apa alasanmu berpihak pada Garang Laksa, Melati?" tanya Arya ingin tahu.
"Pertama, Garang Laksa yang menyelamatkan penduduk desa ini," jawab Melati
sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Benggala dan kawan-kawannya yang
bergeletakan di sekitar tempat itu.
"Hm...," Arya menggumam pelan. "Ada pertama, pasti ada yang kedua. Apa alasan
keduamu, Melati?"
"Dari percakapan yang kudengar, jelas Garang Laksa bermaksud baik. Dia akan
memberikan harta yang dimilikinya pada orang-orang miskin. Niat itu tidak
dimiliki lawan-lawannya. Nah, Kang. Itulah dua alasan yang mendorongku membela
Garang Laksa," ujar Melati.
"Alasanmu masuk akal, Melati," puji Arya seraya mengangguk-angguk. "Tapi...."
"Kenapa, Kang" Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Melati mendengar ucapan
kekasihnya berhenti di tengah jalan.
"Benar, Melati," Arya membenarkan, "Aku teringat pada rombongan prajurit
Kerajaan Pakuan, Setan Tertawa, dan Dewa Pencabut Nyawa. Apakah karena harta
juga mereka mengejar-ngejar Garang Laksa" Rasanya tidak masuk akal! Kalau
rombongan prajurit Kerajaan Pakuan mungkin juga. Tapi Setan Tertawa dan Dewa
Pencabut Nyawa" Rasanya mustahil mereka masih gila harta!"
"Kau benar, Kang," sambut Melati mendukung, "Menurutku tak mungkin Setan Tertawa
dan Dewa Pencabut Nyawa memburu Garang Laksa karena harta. Pasti ada urusan
lain." "Aku pun menduga demikian, Melati. Tapi apa urusannya?"
"Nanti pun masalah ini akan terjawab, Kang. Aku yakin Setan Tertawa dan Dewa
Pencabut Nyawa akan berada di desa ini," ucap Melati yakin.
Usai berkata, gadis berpakaian putih itu melayangkan
pandangan ke arah
pertarungan. Terlihat jelas keadaan tidak seimbang. Garang Laksa dan Wulung
terus-menerus didesak mundur Gerombolan Perompak Laut Hitam.
Memang sebenarnya kalau dibuat perbandingan tingkat kepandaian Garang Laksa
tidak bisa ditandingi lawannya mana pun. Tapi karena lawan yang di hadapi
terlalu banyak, tak kurang dari empat belas orang sementara dia hanya berdua
Wulung, tak heran jika Garang Laksa dan Wulung terdesak hebat.
Di saat pertarungan berlangsung dengan sengit, Dewa Arak pun dilanda kesibukan.
Dia berusaha keras mengobati luka-luka Benggala dan rekan-rekannya. Beruntung
Benggala dan dua kawan pemburunya sewaktu bertemu Dewa Arak dulu berhasil
disembuhkan Dewa Arak. Demikian juga beberapa pemuda desa lainnya.
Melati yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan Garang Laksa dan Wulung
menghadapi Marangsang dan Gerombolan Perompak Laut Hitam tidak kuasa menahan
diri. Apalagi ketika dilihatnya Garang Laksa dan Wulung semakin terdesak. Sebagai
tokoh persikitan yang berkepandaian tinggi, Melati tahu robohnya Garang Laksa
dan Wulung hanya tinggal menunggu waktu. Kedua orang itu pasti tewas di tangan
lawan. Melati tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka....
Srattt! Sinar terang menyilaukan mata, berkilat ketika gadis berpakaian putih itu
menghunus pedang. Lalu....
"Hiyaaat...!"
Sambil mengeluarkan teriakan keras yang menggetarkan tempat itu, Melati melompat
ke atas. Di sana tubuhnya diputar beberapa kali sebelum meluruk ke dalam kancah
pertarungan. Trang, trang, trang!
Terdengar bunyi berdentang. Melati memapaki beberapa serangan yang ditujukan ke
arah Garang Laksa. Akibatnya anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam terhuyung-
huyung mundur dengan tangan terasa sakit.
Tidak hanya sampai di situ. Sehabis menangkis, Melati melancarkan serangan
terhadap Gerombolan Perompak Laut Hitam. Tidak tanggung-tanggung lagi langsung
dikeluarkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.
Wungngng! Bunyi menggerung keras seperti naga murka keluar ketika Melati menggerakkan
pedangnya. Akibatnya langsung terlihat. Kepungan Gerombolan Perompak Laut Hitam
hancur berantakan! Mereka tercerai-berai saat itu juga.
Seperti telah disepakati saja. Masing-masing orang memilih lawannya. Melati
menghadapi keroyokan dua belas orang Gerombolan Perompak Laut Hitam. Marangsang
langsung dicegat Garang Laksa. Sedangkan Wulung memaksa seorang anggota
gerombolan untuk menjadi lawannya. Akibatnya kancah pertarungan terpecah menjadi
tiga. Sekarang keadaan berubah jauh. Semula Marangsang dan gerombolannya berada di
atas angin. Tapi sekarang dengan ikut campurnya Melati, ganti pihak Marangsang
terdesak Melati, Garang Laksa, dan Wulung berhasil mendesak lawan masing-masing.
Sebenarnya begitu melihat Melati terjun dalam kancah pertarungan, Gerombolan
Perompak Laut Hitam langsung gentar. Mereka telah merasakan kehebatan gadis
berpakaian putih itu. Tapi apa boleh buat. Keadaan tidak memungkinkan untuk
melarikan diri. Yang dapat dilakukan adalah melawan dan terus melawan.
Tapi baru beberapa gebrakan terdengar lolong kematian yang menggiriskan hati.
Suara itu berasal dari anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam yang menghadapi
Melati. Tidak hanya sekali jeritan itu terdengar. Suara lolongan diikuti
ambruknya tubuh anggota gerombolan dengan tanpa nyawa.
Memang meskipun Gerombolan Perompak Laut Hitam yang menghadapi Melati
berjumlah dua belas orang, tapi tetap saja mereka bukan tandingan gadis
berpakaian putih itu. Dalam memainkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga' Melati tak
ubahnya seekor harimau yang mempunyai sayap. Trengginas. Ke mana pun pedangnya
berkelebat pasti ada sesosok tubuh yang ambruk ke tanah dalam keadaan tanpa
nyawa. Wungngng! Srat, srattt!
"Akh, akh!"
Dua lolong kematian terakhir membuat Melati memasukkan pedangnya kembali ke
dalam sarung. Dengan lenyapnya suara lolongan itu tidak ada lagi lawan yang
masih berdiri tegak. Mereka semua telah tergolek di tanah. Pertarungan itu
diselesaikan Melati dengan tak lebih dari sepuluh jurus!
Melati memandangi sosok anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam yang bergeletak
di tanah. Lalu perhatiannya dialihkan pada dua pertarungan lain yang masih
berlangsung. "Haaat...!"
Diiringi teriakan menggeledek, anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam yang
menghadapi Wulung melancarkan tusukan ke arah perut.
Melihat ancaman maut meluncur ke arahnya, Wulung tidak berani bertindak gegabah.
Cepat tubuhnya didoyongkan ke samping kiri. Hasilnya memang tidak sia-sia.
Tusukan lawan mengenai tempat kosong beberapa jari dari pinggang kanannya.
Kesempatan yang baik itu tidak disia-siakan Wulung. Golok besarnya ditusukkan ke
pinggang anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam. Lawan Wulung berusaha keras
untuk mengelak. Dan...
Cappp! "Akh!"
Anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam mengeluarkan jeritan memilukan. Golok
besar Wulung menembus pinggangnya. Darah menyembur deras dari bagian yang
terluka. Apalagi ketika Wulung mencabut kembali senjatanya.
Tubuh anak buah Marangsang yang sial itu terhuyung-huyung. Sepasang matanya
membelalak lebar menyiratkan ketidakpercayaan akan kejadian yang dialaminya.
Sementara kedua
tangannya didekapkan pada bagian yang terluka untuk mencegah terus menyemburnya darah.
Tapi hanya sesaat anggota Gerombolan Perompak Laut Hitam itu meregang nyawa. Dia
ambruk ke tanah. Menggelepar-gelepar sejenak. Lalu diam tidak bergerak untuk
selamanya. Mati! Kini tinggal Marangsang yang masih hidup dan terus bertarung menghadapi
Garang Laksa. Tapi keadaannya pun tidak menguntungkan. Dia terus-menerus didesak
dan dihimpit Memang di awal-awal pertarungan berlangsung agak seimbang. Masing-
masing pihak silih berganti mengirimkan serangan. Tapi sekarang, menginjak jurus
kedua puluh, keadaan sudah jauh berubah. Jangankan menyerang, bertahan saja
Marangsang hampir tidak mampu.
Akhirnya Marangsang sadar dirinya tak mungkin mengalahkan Garang Laksa. Apalagi
membunuhnya. Maka diputuskan untuk bertindak. Dia bermaksud mengajak lawannya
mati bersama! Keinginan itu membuat Marangsang bertindak nekat. Cara bertarungnya dirubah.
Lelaki bermuka kuda itu tidak memikirkan pertahanan lagi. Yang ada di benaknya
hanya menyerang dan menyerang.
Tindakan nekat Marangsang memang segera terlihat hasilnya. Serangan membabi
buta, Marangsang memaksa Garang Laksa melompat mundur. Sebab kalau dilayani,
memang kemungkinan besar Marangsang dapat dibinasakannya, tapi dia sendiri pun
tidak akan luput dari serangan Marangsang. Akibatnya paling tidak dia akan
terluka parah! Maka Garang Laksa mengalah. Dibiarkan saja Marangsang mengamuk membabi buta,
hingga ia terpaksa mengelak terus-menerus. Dengan sabar Garang Laksa menunggu
kesempatan yang bagus.
Dan kesempatan itu tercipta di jurus kedua puluh tujuh. Saat itu Marangsang


Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membabatkan goloknya dengan mendatar ke arah leher Garang Laksa.
Wuttt, Golok Marangsang menyambar tempat kosong. Lewat beberapa jari di atas kepala
Garang Laksa. Saat itulah Garang Laksa melancarkan serangan balasan. Trisula di
tangan kanannya ditusukkan ke arah perut lawan.
Marangsang terkejut bukan main melihat gerakan Garang Laksa. Disadarinya ada
bahaya mengancam. Maka dia berusaha mengelak. Hasilnya....
Cappp! "Wuaaa...!"
Marangsang melolong keras ketaka trisula Garang Laksa menembus perutnya. Dia
gagal mengelakkan serangan itu. Karena sejak tadi memang sudah tidak
mempedulikan pertahanan.
8 Tubuh Marangsang terhuyung. Kedua tangannya didekapkan ke perutnya yang robek.
Sementara goloknya terlepas dari pegangan begitu trisula Garang Laksa menembus
perut. Saat itulah Garang Laksa kembali meluruk. Lelaki itu mengirimkan serangan dengan
trisulanya yang lain. Dengan cepat dan tidak terduga trisula itu ditusukkan ke
leher. Crottt! "Aaa...!"
Jeritan panjang menyayat keluar dari mulut Marangsang. Senjata andalan Garang
Laksa menembus lehernya. Tak pelak lagi, darah menyembur deras dari lukanya.
Marangsang menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih. Kemudian diam tak
bergerak. Marangsang tewas dengan sangat mengenaskan.
"Hhh...!"
Garang Laksa menghela napas berat. Tidak nampak seri kegembiraan di wajahnya.
Padahal, dia telah berhasil mengalahkan dan membunuh lawan. Memang sebenarnya
Garang Laksa tidak sampai hati membunuh Marangsang. Bagaimanapun juga lelaki
bermuka kuda itu wakilnya. Tapi keadaan memaksanya bertindak seperti itu. Kalau
tidak, Marangsang akan terus merongrongnya.
Setelah puas menatap mayat Marangsang, Ga rang Laksa membersihkan sepasang
trisulanya dari noda-noda darah, kemudian menyelipkan lagi ke pinggang. Tapi
baru saja Garang Laksa mengayunkan langkah mendekati Wulung.
"He he he...! Mau lari ke mana lagi kau, Garang Laksa"! Ke mana pun kau
bersembunyi jangan harap bisa mengelabuiku! He he he...!"
Meskipun Garang Laksa yang ditegur, tapi tidak hanya lelaki tinggi besar itu
saja yang mengalihkan perhatian ke arah asal suara, Wulung, Dewa Arak, dan
Benggala pun demikian.
Namun yang paling terkejut Garang Laksa dan Melati. Mereka mengenal pemilik
suara dan tawa itu.
"Ah...!"
Tanpa sadar Garang Laksa, Benggala, dan Wulung memekik kaget menyaksikan
pemandangan di depan mereka. Di salah satu cabang pohon yang besarnya tak lebih
dari ibu jari tampak duduk bersila sesosok tubuh pendek gemuk berwajah ceria.
Cabang pohon itu melengkung tak kuat menahan beban. Tapi anehnya sosok pendek
gemuk enak saja
melakukan. Padahal, dia berada hampir di ujung cabang!
"Setan Tertawa...," desis Melati kaget.
Wajah Dewa Arak berubah begitu mendengar julukan Setan Tertawa. Pemuda itu
segera teringat akan janji yang diucapkannya. Maka dengan tatapan tetap tertuju
pada sosok yang berada di atas cabang pohon itu, kakinya dilangkahkan
menghampiri "Setan Tertawa...! Kalau kau memang bukan seorang pengecut, turun dan hadapi
aku!" tantang Dewa Arak.
Sosok yang duduk di atas cabang pohon yang memang Setan Tertawa membuka
mulutnya, "Ha ha ha...!"
Setan Tertawa terkekeh. Biasa saja. Tidak terlihat keanehan di dalamnya. Tapi
sesaat kemudian baru terasa perbedaannya. Tawa Setan Tertawa semakin lama
semakin keras. Dan seiring dengan semakin mengerasnya tawa itu, semua orang yang
berada di bawah menerima akibatnya.
Mula-mula tawa itu hanya menyakitkan telinga. Itu pun hanya untuk orang-orang
yang memiliki tenaga dalam tidak tinggi. Ba gi Melati, apalagi Dewa Arak, sama
sekali bukan masalah.
Tapi lama-kelamaan pengaruhnya mulai membesar. Bukan hanya pada telinga, tapi
juga kepala dan dada. Tawa itu menyebabkan kepala pusing dan dada terasa sesak.
Orang-orang selain Melati dan Dewa Arak menutup telinga untuk mencegah masuknya
tawa itu. Bahkan Melati dan Dewa Arak diam-diam mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya.
Semula Dewa Arak bermaksud membiarkan tindakan Setan Tertawa. Pemuda itu ingin
tahu sampai di mana serangan tawa lawan. Tapi ketika melihat keadaan Garang
Laksa, Wulung, Benggala, dan yang lainnya, Dewa Arak pun sadar mereka akan
celaka. Mereka akan tewas dengan mengenaskan!
Maka maksudnya semula terpaksa diu rungkan. Diputuskan untuk melawan sebelum
mereka semua celaka. Dewa Arak segera memusatkan tenaga dalamnya. Kemudian
dikeluarkan lewat siulan!
Sesaat kemudian, terjadi pertarungan
yang menegangkan. Pertarungan
yang mengandalkan kekuatan tenaga dalam. Tawa Setan Tertawa dan siulan Dewa Arak.
Masing-masing berusaha saling mempengaruhi.
Siulan Dewa Arak ternyata mampu mengimbangi tawa Setan Tertawa. Meskipun tidak
dapat menindihnya, siulan itu mampu membuat tawa Setan Tertawa kehilangan
pengaruh. Garang Laksa, Wulung, dan Benggala, serta yang lainnya menarik napas lega.
Tapi Setan Tertawa bukan orang bodoh. Dia tahu tawanya tidak dapat diandalkan
lagi. Maka diputuskan untuk melompat dari cabang pohon.
Jliggg! Laksana daun kering jatuh di tanah, Setan Tertawa mendaratkan kedua kakinya.
"He he he...! Pantas kau berani menantangku, Anak Muda. Rupanya kau memiliki
sedikit kepandaian! Tapi jangan harap dapat mengungguli Setan Tertawa! He he
he...!" Ada nada meremehkan dalam ucapan Setan Tertawa. Tapi Dewa Arak tidak
mempedulikan. Pemuda itu tenang. Yang ada di benaknya adalah berusaha untuk
memenuhi janji yang telah diucapkan.
"Setan Tertawa...! Aku tidak mengenalmu. Mungkin demikian pula denganmu. Tapi
karena tindakan kejimu terhadap temanku dan demi menjaga ketenangan dunia
persikitan, terpaksa kau akan kulenyapkan!" mantap dan tegas Dewa Arak
mengucapkan kata-katanya.
"Ha ha ha...!" Setan Tertawa terbahak-bahak "Luar biasa! Betapa sombongnya.
Rupanya kau belum mengenal siapa aku, Anak Muda"!"
"Siapa yang tidak mengenal julukan Setan Tertawa" Datuk sesat yang sangat
pandai, tapi memiliki watak keji!" jawab Dewa Arak lantang.
"He he he...! Kau benar, Anak Muda. Ha ha ha...! Tak pernah kusangka ada seorang
pemuda selihai dan seberani kau. Eh, tunggu dulu! Di dunia persikitan kudengar
telah muncul seorang tokoh digdaya. Seorang pendekar yang masih muda dan
berjuluk Dewa Arak.
Ciri-cirinya..., ah sama denganmu. Jadi rupanya kau Dewa Arak... sungguh tidak
kusangka akan bertemu denganmu. Mari, Dewa Arak. Ingin kubuktikan kebenaran
berita yang menggembar-gemborkan julukan itu!"
Usai berkata, Setan Tertawa bersiap-siap melancarkan serangan. Lelaki gemuk
pendek itu berteriak dengan sepasang mata terpejam. Sementara kedua tangannya
disilangkan ke depan dada.
*** Melihat sikap Setan Tertawa, Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Cepat
diambilnya guci arak yang bergantung di punggung. Kemudian dituangkan ke mulut.
Gluk... Gluk... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat
kemudian hawa hangat merayap naik ke kepala. Kedudukan kaki Dewa Arak mulai
tidak menapak tetap di tanah. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu limbung.
Tapi jangan dipandang rendah. Justru pada saat seperti itu Dewa Arak berada
dalam puncak kemampuannya. Semua ciri-ciri ini menunjukkan ilmu 'Belalang Sakti'
siap dipergunakan.
Setan Tertawa sempat tertegun melihat ilmu yang dikeluarkan Dewa Arak. Tapi
hanya sekejap. Buru-buru dibuangnya perasaan itu. Lalu....
"Hiyaaat...!"
Diawali teriakan keras yang menggetarkan tempat itu, Setan Tertawa melompat
menerjang. Di saat tubuhnya berada di udara, dengan sisi tangan kanan
dihantamnya ubun-ubun Dewa Arak
Wuttt! Setan Tertawa kecewa. Serangannya mengenai tempat kosong. Tubuh Dewa Arak
sudah tidak berada lagi di situ. Setan Tertawa menjadi heran bukan main. Dia
tidak melihat Dewa Arak mengelak. Bahkan yang dilihatnya, dengan langkah seperti
akan jatuh, Dewa Arak menyambut serangan dengan tubuhnya. Tapi mengapa
serangannya tidak mengenai sasaran"
Tapi hanya sebentar saja pertanyaan itu bergayut di benak Setan Tertawa. Sesaat
kemudian sebagai seorang datuk sesat yang mempunyai pengalaman luas, dia segera
mengetahui Dewa Arak menggunakan sebuah ilmu yang unik
Meskipun demikian dia tidak menjadi putus asa. Seluruh kemampuan yang
dimilikinya dikeluarkan. Dicecarnya Dewa Arak Tapi selalu saja serangannya
mengenai tempat kosong. Sebaliknya, setiap serangan balasan Dewa Arak membuat
Setan Tertawa kelabakan!
Tapi meskipun demikian, kakek pendek gemuk ini mampu memberikan perlawanan yang
berarti. Seru dan menarik pertarungan yang berlangsung. Masing-masing mengeluarkan
seluruh kemampuannya. Dewa Arak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Kedua tangan,
guci, dan semburan araknya menjadi satu kesatuan yang dapat menggilas habis
pertahanan lawan!
Tapi lawan yang dihadapinya seorang datuk yang sangat tinggi ilmunya. Terlebih
Setan Tertawa mengeluarkan ilmu andalan. 'Ilmu Tangan Pasir Besi' yang mampu
membuat tangannya kebal dan beracun!
Tapi 'Ilmu Tangan Pasir Besi' kehilangan keampuhannya ketika bertemu dengan ilmu
'Belalang Sakti'. Racun yang terkandung dalam setiap serangan Setan Tertawa
menguap kedahsyatannya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tak terasa pertarungan telah menginjak seratus
dua puluh lima jurus. Dan sampai pada jurus ini Setan Tertawa mulai terdesak dan
terhimpit! Setan Tertawa menggertakkan gigi. Rasa penasaran yang amat sangat menggelora di
dalam hatinya ketika menyadari kenyataan lawannya jauh lebih unggul. Terpaksa
senjata andalannya dikeluarkan. Sepasang kecer.
Blammm, blammm!
Bunyi berdentam keras langsung terdengar begitu Setan Tertawa membenturkan
sepasang kecernya. Keras bukan main laksana ledakan halilintar. Sehingga semua
orang yang berada di situ ambruk ke tanah dengan lutut terasa lemas.
Kini pertarungan kembali berlangsung. Lebih seru dan sengit daripada sebelumnya.
Karena Setan Tertawa telah menggunakan senjata andalannya. Bunyi riuh rendah
menyemaraki jalannya pertarungan. Bunyi menderu, mencicit, dan mengaung
terdengar silih berganti. Ditimpali dengan bunyi berdentam memekakkan telinga.
Kembali jurus demi jurus berlalu cepat. Tak terasa seratus dua puluh lima jurus
lagi telah berlalu. Hingga kedua tokoh ringkat tinggi yang berbeda usia dan
aliran itu telah bertarung dua ratus lima puluh jurus.
Sampai di sini jalannya pertarungan mulai berubah. Gerakan-gerakan Setan Tertawa
tidak selincah tadi. Bahkan bobot serangannya jauh berkurang. Rupanya kakek
pendek gemuk ini sudah kelelahan.
Tidak demikian dengan Dewa Arak Pemuda berambut putih keperakan itu masih tetap
seperti semula. Kelincahan dan kekuatan serangannya sedikit pun tidak berkurang.
Karena setiap kali merasa lelah dan tenaganya berkurang, Dewa Arak segera
menenggak araknya.
Saat itu juga kekuatannya pulih kembali.
Dengan sendirinya Dewa Arak menguasai pertarungan. Beberapa kali Setan Tertawa
terhuyung-huyung ketika benturan terjadi. Di jurus kedua ratus enam puluh satu
Setan Tertawa menyerang kepala Dewa Arak dengan kedua kecernya yang saling
beradu. Tentu saja untuk melakukannya dia harus melompat ke atas. Karena tinggi
tubuhnya hanya sedada Arya.
Blammm...! Kembali serangan Setan Tertawa mengenai tempat kosong. Dewa Arak telah
merendahkan tubuhnya. Kedua kecer itu saling berbenturan beberapa jari di atas
kepala Arya. Bunyi keras memekakkan telinga.
Saat itu banyak celah-celah terbuka di pertahanan Setan Tertawa, mulai dari dada
ke bawah. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Secepat
kilat kedua tangannya dihentakkan ke dada lawan.
Wuttt! Hembusan angin dahsyat menderu mengiringi meluncurnya kedua tangan Dewa Arak.
Setan Tertawa terkejut bukan main. Disadarinya ancaman besar. Lelaki gemuk
pendek itu mencoba mengegoskan tubuhnya. Tapi....
Bukkk! "Aaa...!"
Jeritan menyayat dikeluarkan Setan Tertawa. Tubuhnya melayang ke belakang
terdorong kedua tangan Dewa Arak yang mendarat telak di sasaran. Darah segar
menyembur dari mulut, hidung, dan telinga. Membasahi tanah sepanjang tubuhnya
meluncur. Brukkk! Diiringi bunyi berdebuk keras, tubuh Setan Tertawa mendarat di tanah setelah
melayang-layang beberapa tombak. Datuk sesat yang ditakuti kawan maupun lawan
itu tewas dengan tulang dada hancur!
"Hhh...!"
Dewa Arak menghembuskan napas lega. Ditatapnya tubuh Setan Tertawa sesaat
sebelum diayunkan langkahnya menghampiri Melati. Tapi baru beberapa langkah
ayunan kakinya dihentikan. Karena....
"Kau hebat, Dewa Arak. Kau berhasil membunuh Setan Tertawa. Tapi masih ada aku!
Kelak aku akan datang mencarimu! Aku tidak mau kau menganggapku bertindak
curang, mengajak kau yang telah lelah untuk bertarung! Sampai nanti, Dewa Arak!"
Keras dan lantang seruan itu dikeluarkan, sehingga menggema ke seluruh penjuru
tempat itu. Dan sebelum gema suara itu lenyap, sesosok bayangan hitam tinggi
seperti galah telah melesat jauh. Larinya tidak hanya mempergunakan kaki, tapi
berganti-ganti dengan tangan. Yang luar biasa justru karena itulah kecepatan
larinya mengagumkan!
"Dewa Pencabut Nyawa...," gumam Arya.
Memang, sekalipun belum bertemu muka, Dewa Arak bisa memperkirakan pemilik
suara itu Dewa Pencabut Nyawa. Lalu tanpa memperhartikan lebih lama, Dewa Arak
mengayunkan langkah mendekati Melati dan yang lainnya.
"Kuucapkan terima kasih atas bantuanmu, Dewa Arak. Tanpa bantuanmu mungkin aku
sudah tewas di tangan dua datuk sesat itu," ucap Garang Laksa penuh rasa syukur.
"Lupakanlah, Garang Laksa. Kalau boleh kutahu, mengapa mereka mengejar-
ngejarmu" Juga Gerombolan Perompak Laut Hitam dan prajurit Kerajaan Pakuan"!"
Arya mengeluarkan ganjalan hatinya.
"Panjang ceritanya, Dewa Arak. Tapi akan kuceritakan dengan ringkas. Sebenarnya
aku Pimpinan Gerombolan Perompak Laut Hitam. Tapi, Allah berkenan memberi
rahmat-Nya. Sebuah kejadian membuatku sadar. Aku pun bermaksud kembali ke jalan yang benar.
Kudatangi kembali kampung kelahiranku. Desa Sampan. Tapi, anak buahku tidak
tinggal diam. Mereka ingin harta rampasan kami yang kusimpan. Maka aku dikejar-
kejar." Garang Laksa menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
"Rupanya kepergianku tercium pula oleh Kerajaan Pakuan. Mereka mengirim
prajurit-prajurit terbaiknya untuk menangkapku. Mereka ingin aku menyerahkan
pusaka kerajaan yang telah kami rampas."
"Lalu..., bagaimana dengan Setan Tertawa dan Dewa Pencabut Nyawa"! Mengapa
mereka mengejar-ngejarmu"!" tanya Melati tidak sabar.
"Itu akibat kecerobohanku sendiri. Rupanya pulau tempat harta kusimpan menjadi
tempat pertemuan Dewa Pencabut Nyawa dan Setan Tertawa untuk memamerkan ilmu-
ilmu, terbaru. Kunjunganku yang terakhir ke sana bertepatan dengan pertemuan
mereka. Aku dipergoki. Padahal, mereka tidak ingin ada seorang pun melihat
ketika pertemuan diadakan.
Hukumannya adalah mati! Maka aku dikejar! Dan karena berhasil selamat dari
kejaran itu, aku segera insaf!"


Dewa Arak 54 Kabut Di Bukit Gondang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Arak dan Melati mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Ada sebuah berita gembira," celetuk Benggala.
"O ya"! Apa itu, Benggala"!" tanya Melati. "Garang Laksa adalah kakak kandungku
yang sejak kecil pergi merantau!"
"Ah! Kalau begitu, kuucapkan selamat berkumpul kembali," ucap Dewa Arak.
Sedangkan Melati mengangguk menyetujui.
Angin berhembus lembut. Seperti ikut merasa berbahagia melihat kegembiraan
manusia-manusia yang tengah bercengkerama.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Dendam Iblis Seribu Wajah 10 Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Suling Naga 10
^