Pencarian

Raja Iblis Tanpa Tanding 1

Dewa Arak 61 Raja Iblis Tanpa Tanding Bagian 1


RAJA IBLIS TANPA TANDING oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Raja Iblis Tanpa Tanding
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Brakkk...! Pintu sebuah rumah besar berdinding papan
hancur berantakan, saat sebuah kaki kokoh menghan-
tamnya. Diiringi bunyi hiruk-pikuk, kepingan-
kepingan pintu itu jatuh berderai di tanah. Seorang lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun yang tengah berbaring di dipan bambu tersentak kaget. Ia bangkit,
dan langsung bersikap waspada. Untung saja senjatanya
tidak pernah lepas, walaupun sedang berbaring.
"Mana Singa Hitam Tangan Sepuluh"! Cepat
suruh keluar! Atau..., kepalamu kuremukkan!" bentak lelaki tinggi besar
berkepala botak yang tadi menen-dang pintu. Pandangannya seketika beredar ke
seluruh penjuru ruangan yang tak begitu luas ini.
Dia berdiri paling depan. Di belakangnya, berdi-
ri dua lelaki yang juga berwajah kasar. Mereka berpakaian sama, berwarna hitam.
Menilik sikapnya, ra-
sanya lelaki tinggi besar itu bertindak sebagai pemimpin.
"Maaf. Kurasa Ki sanak semua keliru. Di sini tidak ada orang yang bernama Singa
Hitam Tangan Se-
puluh. Yang ada hanya aku, Prataksa," jawab si pemilik rumah yang bertubuh tegap
dan berpakaian coklat.
"Keparat! Kau berani berdusta, Prataksa"! Ru-
panya sudah bosan hidup, heh"! Rangkuti, Panca! Ge-
ledah rumah ini!" perintah lelaki tinggi besar pada dua anak buahnya.
Tanpa banyak cakap lagi, dua orang berpakaian
hitam yang bernama, Rangkuti dan Panca bergegas
melaksanakan perintah itu. Tapi sebelum maksud me-
reka terkabul, laki-laki tua bernama Prataksa telah menggeser tubuh menutupi
satu-satunya pintu yang
menghubungkan ruangan ini dengan ruangan yang
lainnya. "Kalian hanya dapat melakukannya, apabila
aku telah menjadi mayat!" tandas Prataksa mantap.
"Keparat! Rupanya kau sudah ingin mampus,
Tua Bangka! Hih...!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Rangkuti yang
bertubuh pendek kekar, menerjang Prataksa. Goloknya langsung ke arah perut
lelaki berpakaian coklat itu.
Wuttt! Serangan Rangkuti mengenai tempat kosong,
ketika Prataksa menarik kaki kanannya ke belakang
sambil doyong ke belakang. Dan begitu serangan
Rangkuti berhasil dielakkan, tangan kirinya langsung dikibaskan. Sungguh suatu
serangan tak terduga, sehingga...
Prattt! "Akh...!"
Rangkuti memekik keras ketika tangan Pratak-
sa menghantam telak tangan kanannya. Mulutnya
kontan meringis, merasakan sakit bukan kepalang.
Seakan-akan tulang-belulang remuk-remuk. Begitu ke-
rasnya hantaman lelaki berpakaian coklat itu, se-
hingga golok Rangkuti pun sampai terlempar.
Tapi sebelum Prataksa melancarkan serangan
susulan terhadap Rangkuti, Panca telah lebih dulu
menyerang dengan sebuah bacokan ke arah leher.
Wuttt, wuttt! Kembali serangan anak buah lelaki tinggi besar
itu hanya menemukan tempat kosong. Prataksa ru-
panya lebih cepat melompat mundur, sehingga semua
serangan hanya lewat di hadapannya.
"Keparat!" geram lelaki tinggi besar itu sambil mengepalkan tangannya melihat
kegagalan serangan
anak buahnya. Rupanya lelaki berkepala botak itu tidak bisa
menahan sabar lagi. Belum lagi gema ucapannya le-
nyap, dia telah melompat menerjang Prataksa. Dengan kelincahan dan kekuatan
pergelangan tangan, goloknya diputar beberapa saat, kemudian diluncurkan ke arah
leher Prataksa.
Wungngng! Kali ini Prataksa tidak berani bertindak semba-
rangan. Buru-buru sepasang pedang yang tergantung
di punggung dicabutnya. Dan seketika dipapaknya
luncuran golok itu dengan sepasang pedangnya yang
saling menyilang.
Trangngng! Bunga api berpijar, ketika senjata yang berbeda
jenis dan ukuran itu saling berbenturan. Begitu kuatnya benturan itu,
mengakibatkan tubuh Prataksa ter-
huyung-huyung ke belakang. Sementara, laki-laki botak itu langsung melenting ke
belakang. Tepat ketika kedua kaki lelaki tinggi besar itu
mendarat di tanah, Prataksa pun telah berhasil mem-
perbaiki keseimbangan tubuhnya. Dan secepat itu pula kedua belah pihak saling
gebrak kembali.
Kedua orang yang bertarung itu memang memi-
liki kepandaian yang tidak bisa dipandang ringan. Tentu saja mereka tidak berani
bertindak main-main. Ma-ka dalam gebrakan selanjutnya, seluruh kemampuan
yang dimiliki telah dikerahkan.
Tak heran kalau di ruangan yang tak begitu lu-
as ini, semua jadi begitu ramai di sekitar tempat itu.
Desing dan dentang senjata beradu meningkahi teria-
kan-teriakan pertarungan. Meja dan kursi bermentalan
ke sana kemari. Dinding dan langit-langit ruangan pun tergetar hebat, akibat
angin-angin serangan. Untung ruangan itu cukup, untuk sebuah pertarungan satu
lawan satu. Namun ketika pertarungan sudah memakai ju-
rus-jurus tinggi, mereka agaknya kurang merasa lelua-sa di ruangan ini. Dan
seperti telah disepakati bersama, mereka melesat keluar. Sehingga kini
pertarungan sengit pun berlanjut di halaman.
Sementara Rangkuti dan Panca juga bergegas
ke luar. Mereka tidak ingin ketinggalan menyaksikan pertarungan yang menarik
ini. Sehingga mereka men-gundurkan diri dari kancah pertarungan, dan lebih
tertarik untuk menjadi penonton saja. Meskipun demikian golok telanjang tetap
tercekal di tangan. Mereka memang harus bersiap-siap, apabila terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan atas pemimpin mereka.
Sementara itu, tanpa diketahui seorang pun,
sepasang mata lain tampak menyaksikan semua perta-
rungan itu secara sembunyi-sembunyi. Sepasang mata
yang memiliki bulu mata lentik itu mengintai dari balik dedaunan di atas cabang
pohon tinggi yang tak jauh
dari situ. Menilik dari sorot matanya, jelas dia sangat
menaruh perhatian atas pertarungan itu.
Pertarungan telah berlangsung lebih dari lima
puluh jurus. Namun tidak nampak adanya tanda-
tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pada ke-
nyataannya, pertarungan memang berlangsung seim-
bang. Meskipun demikian, tidak berarti kepandaian sa-tu sama lain berimbang.
Sebenarnya tenaga dalam
Prataksa masih lebih unggul sedikit daripada lelaki tinggi besar itu. Tapi dia
masih harus mengakui
keunggulan ilmu meringankan tubuh lawannya.
Sekarang, pertarungan telah menginjak jurus
ketujuh puluh dua. Tapi, keadaan masih tetap ber-
langsung seimbang. Namun, justru keadaan ini mem-
buat kesabaran lelaki tinggi besar itu hilang. Disadari kalau tidak membuat
sebuah perubahan, pertarungan
akan tetap berlangsung alot. Maka tanpa terlalu lama memutar otak, lelaki
berkepala botak ini telah menemukan suatu cara yang dianggapnya jitu.
Meskipun demikian, lelaki tinggi besar tidak
terlalu terburu-buru untuk melaksanakan rencananya, karena hasilnya nanti kurang
baik. Maka dengan sabar ditunggunya sampai keadaan menguntungkan.
"Hih!"
Di jurus kedelapan puluh dua, lelaki tinggi be-
sar baru mulai melancarkan rencananya. Pada kesem-
patan yang tepat, dilepaskannya satu tendangan ber-
putar ke kepala Prataksa. Mendapat serangan ini, Prataksa cepat melenting ke
belakang, berusaha meng-
hindari. Tepat ketika Prataksa berada di udara, jari-jari tangan kanan memijit
satu benjolan yang ada di gagang goloknya. Dan...
Trekkk! Mengerikan! Mata golok yang semula menempel
pada gagangnya, tiba-tiba meluncur ke arah Prataksa yang tengah berada di udara.
Munculnya serangan itu membuat Prataksa ke-
labakan bukan kepalang. Tambahan lagi tibanya se-
rangan itu terlalu mendadak. Sulit baginya untuk
menghindar dalam keadaan begini. Dan....
Cappp! "Akh...!"
Lolong kesakitan terdengar dari mulut Pratak-
sa, ketika mata golok lelaki tinggi besar itu menancap di dada sebelah kirinya.
Dan sebelum Prataksa sempat berbuat sesuatu,
lelaki tinggi besar kembali memijit benjolan lain pada gagang goloknya. Dan....
Brettt! Seketika mata golok yang semula tertancap di
dada kiri Prataksa, kembali meluncur ke arah lelaki tinggi besar ini. Ternyata
antara gagang dengan batang golok, terdapat pegas yang dapat memanjang dan me-
mendek, apabila benjolan pada gagang golok dipencet.
"Hugh!"
Dengan agak sempoyongan, Prataksa hinggap
di tanah. Dan tanpa mempedulikan keadaannya yang
terhuyung-huyung, pedang yang terpegang di tangan
kanan disimpannya ke punggung. Kemudian, tangan
kanannya yang kosong menotok jalan darah di sekitar luka yang cukup besar dan
dalam. Sehingga tidak ada lagi darah yang mengalir dari lukanya. Tapi....
*** "Aaakh...!"
Mendadak tubuh Prataksa kembali terhuyung-
huyung ke belakang, dengan pedang terlempar dari
tangannya. Kedua tangannya langsung digunakan un-
tuk mendekap luka di perutnya.
"Ha ha ha...!"
Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak
melihat keadaan Prataksa.
"Manusia Licik!" maki Prataksa dengan suara berdesis. Bibirnya menyeringai,
menderita sakit yang amat sangat. "Kau membubuhi racun di senjatamu.
Hhh...! Kini aku mengerti, mengapa kau tidak melan-
carkan serangan susulan di saat keadaanku tadi tidak memungkinkan. Aku kenal
betul orang macam kau!
Segala macam cara akan digunakan untuk mencapai
kemenangan."
"Ha ha ha...!"
Tawa keras bernada ejekan dari lelaki tinggi be-
sar itu yang menyambuti ucapan Prataksa.
"Syukurlah kalau kau sudah mengerti, Pratak-
sa! Selagi masih ada kesempatan, cepat beritahukan di mana Singa Hitam Tangan
Sepuluh! Cepat katakan,
sebelum terlambat. Apabila racun itu sudah menjalar lebih jauh, jangan harap
nyawamu akan tertolong!"
Prataksa mengeretakkan gigi, menahan geram.
Juga ditahannya sekuat tenaga rasa panas yang mem-
bakar di bagian perut.
"Aku tidak tahu, Manusia Keji! Dan bila tahu
pun, jangan harap akan kukatakan padamu! Kau pikir
aku takut mati heh"! Kau salah sangka!" cibir Prataksa cukup lantang meskipun
terdengar bergetar.
Lelaki tinggi besar itu mendengus geram men-
dengar anggapan sepele Prataksa.
"Baik kalau itu maumu, Keparat! Aku tahu, kau
tidak takut mati. Tapi, apakah kau mampu menang-
gung siksa racun yang bersarang di tubuhmu"!"
"Apa"! Bangsat! Licik, kau!"
Prataksa seketika merasakan dadanya berdebar
tegang. Sudah bisa diduga, maksud kata-kata berbau
ancaman dari lelaki tinggi besar ini. Dirinya akan mati secara perlahan-lahan,
diiringi siksaan yang memilu-kan. Siapa yang sanggup mendapat kematian seperti
itu" Lelaki tinggi besar itu menyunggingkan senyum
kemenangan. Sambil melipat tangan di depan dada,
dia terus memperhatikan wajah Prataksa.
"Ha ha ha...!"
Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak
melihat keadaan Prataksa.
"Manusia licik!" maki Prataksa dengan suara berdesis. Bibirnya menyeringai,
menahan rasa panas
yang membakar bagian perutnya. "Kau membubuhi
racun di senjatamu. Hhh...!"
"Apabila racun itu telah menyebar dalam da-
rahmu, kau akan menerima penderitaan yang hebat
sebelum mati! Rasa panas dan gatal-gatal akan me-
nyertai kematianmu!"
Prataksa merasakan bulu kuduknya mere-
mang! Disadari benar kalau lelaki tinggi besar ini tidak hanya sekadar
mengertaknya. Perlahan-lahan rasa
ngeri mulai merasuki hatinya. Semakin lama perasaan ngeri itu semakin membesar.
Sampai akhirnya, perasaan nekatlah yang meledak!
"Keparat! Manusia keji! Mampuslah kau!
Hiyaaa..., ugh!"
Tubuh Prataksa kontan limbung sebelum ber-
hasil menyerang lelaki tinggi besar itu. Kedua ta-
ngannya yang semula mengepal keras penuh kekua-
tan, kini didekapkan di perut. Seringai kesakitan yang tampak menggurat di
wajahnya. Tubuh Prataksa
membungkuk, merasakan rasa sakit yang menghebat.
"Ha ha ha...!"


Dewa Arak 61 Raja Iblis Tanpa Tanding di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak.
Dengan mulut menyunggingkan senyum sinis, dita-
tapnya wajah Prataksa lekat-lekat.
"Perlu kau ketahui, Prataksa. Racun itu akan
menjalar sangat cepat, apabila kau mengerahkan tena-ga dalam. Kau telah
merasakannya sendiri, bukan?"
Prataksa sama sekali tidak menanggapi. Di
samping rasa sakit yang tengah mendera, dia juga tak merasa perlu menanggapi.
Dan tubuhnya terus membungkuk sambil memegang bagian yang dilanda sakit.
Perutnya bagai diseruduk seekor kerbau ketika hendak menyerang lelaki berkepala
botak tadi. Tapi dekapan kedua tangan Prataksa pun tidak
berlangsung lama. Sebentar saja tangannya sudah si-
buk menggaruk-garuk, begitu rasa gatal mulai melan-
da sekujur tubuhnya, yang disertai rasa panas mem-
bakar. Bahkan kini rasa panas dan gatal itu makin la-ma semakin menjadi-jadi.
Prataksa terus menggaruk-garuk. Dan begitu
digaruk, rasa gatal yang melanda malah semakin men-
jadi-jadi. Bahkan, bagian tubuh yang terasa gatal semakin meluas.
"Ha ha ha...! Kau boleh menggaruk terus sam-
pai kulit dan dagingmu habis tercakar, Manusia Bo-
doh! Ha ha ha...!" ejek lelaki tinggi besar itu.
"Ha ha ha...!"
Rangkuti dan Panca juga ikut menyemaraki.
Kedua orang ini sepertinya ikut merasa senang
melihat penderitaan Prataksa. Sedikit pun tak ada belas kasihan di hati mereka.
Namun mendadak...
"Bontang! Manusia terkutuk! Jangan harap
kuampuni nyawamu!"
Suara makian keras, membuat tawa lelaki ting-
gi besar dan dua anak buahnya itu berhenti. Dengan
wajah berubah, mereka berpaling ke arah asal suara.
Sikap mereka tampak penuh kewaspadaan, karena
mengenali suara itu.
Wusss! Diiringi hembusan angin yang cukup keras, so-
sok bayangan hitam berkelebat. Kemudian tanpa me-
nimbulkan suara berarti, sesosok bayangan hitam
mendarat di tanah, di depan laki-laki tinggi besar yang dipanggil Bontang.
"Rupanya kau masih berani menemui kami,
Singa Hitam"! Kukira akan tetap bersembunyi sampai
kami meninggalkan tempat ini!" ejek lelaki tinggi besar bernama Bontang, tajam.
Bontang menyunggingkan seulas senyum pe-
nuh ejekan di bibirnya. Dengan sikap memandang
rendah ditatapnya sosok berpakaian hitam yang berdi-ri di hadapannya.
Sosok yang baru tiba itu memang pantas di-
panggil Singa Hitam. Wajahnya mirip singa. Kulitnya hitam seperti pakaian yang
membungkus tubuhnya
yang pendek kekar! Dialah yang dijuluki Singa Hitam Tangan Sepuluh!
"Mulutmu terlalu kotor, Bontang! Kau harus
dihajar!" Lelaki bermuka singa yang berjuluk Singa Hi-
tam Tangan Sepuluh menggeram. Wajahnya merah
padam menyiratkan kemarahan hatinya.
Usai berkata demikian Singa Hitam Tangan Se-
puluh mengambil kantong kecil dari kain hitam di
pinggangnya. Lalu dilemparkannya kantong itu ke be-
lakang, tanpa mengalihkan pandangan dari Bontang.
"Telan itu untuk menghilangkan rasa gatal yang kau derita, Prataksa," ujar Singa
Hitam Tangan Sepuluh. "Singa Hitam Tangan Sepuluh! Kedatanganku kemari, karena
Raja Iblis Tanpa Tanding menginginkan nyawamu! Bersiaplah menghadapi maut!"
ungkap Bontang. Srattt!
Sinar terang tampak memendar ketika Bontang
mencabut golok pendeknya.
Melihat hal ini, Rangkuti dan Panca pun me-
langkah maju dengan golok sudah terhunus.
"Kalian mundur! Biar aku yang akan mencoba
menjinakkan anjing liar ini," cegah Bontang yang mengetahui tindakan dua anak
buahnya. Mendengar ucapan pemimpin mereka, Rangkuti
dan Panca kembali ke tempat semula. Meskipun demi-
kian, golok-golok telanjang masih tetap tergenggam, siap digunakan. Sikap mereka
pun tetap waspada.
Sementara itu, diawali teriakan nyaring, Bontang melompat menerjang Singa Hitam
Tangan Sepuluh. Pada
saat tubuhnya masih berada di udara, golok di tan-
gannya dikelebatkan secara mendatar, mengarah tepat ke leher lelaki bermuka
singa itu. Wuttt! Deru angin keras yang mengiringi tibanya se-
rangan menjadi pertanda, betapa hebatnya tenaga da-
lamnya. Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu
betul tokoh yang bernama
Bontang ini cukup lihai. Tak heran kalau Bontang kini menguasai perkumpulan
kecil yang bernama Perkumpulan Iblis Merah. Maka, ditunggunya serangan itu
hingga menyambar dekat. Kemudian kakinya melang-
kah ke belakang, seraya mencondongkan tubuhnya.
*** 2 Wusss! Mata golok Bontang menyambar, lewat bebera-
pa jengkal dari leher Singa Hitam Tangan Sepuluh.
Namun, Bontang memang sudah memperhi-
tungkannya. Maka begitu serangan pertamanya gagal,
segera disusulinya dengan sebuah tusukan. Masih leh-er Singa Hitam Tangan
Sepuluh yang dijadikan sasa-
ran. Tapi untuk yang kesekian kalinya, serangan
Bontang hanya menggapai angin. Singa Hitam Tangan
Sepuluh lebih cepat merendahkan tubuhnya, dengan
menekuk lutut. Sehingga serangan itu meluncur bebe-
rapa jari di atas kepalanya.
Ternyata, kali ini Singa Hitam Tangan Sepuluh
tidak hanya bertahan saja melayani serangan lawan-
nya. Secepat tusukan golok Bontang berhasil dielak-
kan, secepat itu pula dikirimkan serangan balasan.
Lelaki bermuka singa ini melancarkan gedoran
dua telapak tangan terbuka ke arah dada. Cepat bu-
kan kepalang gerakannya, sehingga yang terlihat
hanya sekelebatan bayangan yang tidak jelas. Tak
aneh kalau tokoh ini mendapat julukan Tangan Se-
puluh, di samping julukan Singa Hitam!
"Hehhh..."!"
Bontang langsung terpekik kaget, mendapat se-
rangan cepat dan sama sekali tidak disangka-sangka.
Namun sebagai tokoh yang sudah terbiasa menghadapi
pertarungan, otaknya dengan cepat memberi perintah
untuk membuat gerakan kilat.
Patut dipuji kecepatan gerak Bontang. Dalam
waktu yang demikian singkat, dia melompat dengan
kedua kaki tertekuk untuk melindungi dada.
Dukkk! Benturan keras antara sepasang tangan dan
kaki itu tidak bisa dielakkan lagi. Seketika tubuh Bontang terjengkang ke
belakang. Rupanya pertahanan lelaki bermuka singa ini lebih menguntungkan
daripada lawannya. Kedudukan kakinya cukup kokoh, sehingga
hanya terjajar.
Jliggg! Dengan mulut menyeringai, Bontang mendarat
di tanah. Dan secepat itu pula kembali diserangnya
Singa Hitam Tangan Sepuluh. Rupanya serangan itu
mendapat perlawanan gigih dari lelaki bermuka singa ini. Maka kembali
pertarungan sengit tidak bisa dielakkan lagi. Kali ini Singa Hitam Tangan
Sepuluh telah pula mengeluarkan senjatanya, sebuah tombak
pendek berwarna hitam mengkilat!
Menarik dan begitu sengit pertarungan antara
Bontang dengan Singa Hitam Tangan Sepuluh. Apalagi
masing-masing telah mengeluarkan seluruh kemam-
puan sejak gebrakan-gebrakan awal.
Sementara itu, walau sulit melihat jelas jalan-
nya pertarungan, Rangkuti dan Panca terus berusaha
memelototkan mata untuk menyaksikan.
Memang gerakan Bontang dan Singa Hitam
Tangan Sepuluh terlalu cepat untuk bisa dilihat secara jelas. Yang bisa terlihat
hanyalah kelebatan bayangan merah dan hitam yang saling belit, dan sesekali
terpisah. Tidak terasa, pertarungan telah berlangsung
hampir empat puluh jurus. Dan selama itu, belum
nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai
pemenang. Melihat jalannya pertarungan yang demikian la-
ma, Rangkuti dan Panca tidak bisa tinggal diam lagi.
Padahal, Raja Iblis Tanpa Tanding yang merupakan
pucuk pimpinan tertinggi telah memerintahkan untuk
melenyapkan Singa Hitam Tangan Sepuluh secepat-
nya. Atas dasar pemikiran itulah, Rangkuti dan Panca ikut terjun dalam kancah
pertarungan. "Haaat...!"
Rangkuti mendahului serangan dari arah sebe-
lah kiri, disusul Panca dari kanan.
Singa Hitam Tangan Sepuluh terkejut bukan
kepalang. Apalagi saat itu, Bontang tengah melancarkan serangan dari atas
kepala. Itu pun masih ditam-
bah lagi dengan kedudukannya yang tidak mengun-
tungkan, ketika baru saja menghindari serangan bertubi-tubi dari Bontang.
Dalam waktu yang demikian singkat, Singa Hi-
tam Tangan Sepuluh memutar otak mencari cara un-
tuk menyelamatkan diri. Disadari keadaannya memang
amat berbahaya!
"Hih!"
Singa Hitam Tangan Sepuluh bertindak nekat.
Seketika kakinya menjejak tanah, lalu tubuhnya di-
lemparkan kebelakang. Pada saat yang sama pula
tombaknya diayunkan untuk menangkis serangan
Bontang! Trangngng! Srattt! "Akh!"
Singa Hitam Tangan Sepuluh memekik terta-
han. Memang serangan Bontang berhasil dipatahkan.
Sementara babatan golok Rangkuti juga berhasil di-
elakkan. Tapi sayang, babatan Panca gagal dihindar-
kan. Ujung golok anak buah Bontang itu sempat me-
robek lebar kulit perutnya. Darah pun langsung me-
nyembur deras dari bagian yang terluka
Meskipun agak terhuyung-huyung, begitu ber-
hasil menjejak tanah, Singa Hitam Tangan Sepuluh
langsung menotok sekitar lukanya. Sehingga darah
langsung berhenti mengalir. Dan sebelum Bontang dan anak buahnya melancarkan
serangan susulan, lelaki
bermuka singa telah lebih dulu melemparkan sebuah
benda berwarna coklat berbentuk telur itik
Darrr! Untung saja Bontang, Panca, dan Rangkuti te-
lah lebih dulu melempar tubuh ke belakang, menjauhi benda yang langsung meledak
menghantam tanah
mengepul menghalangi pandangan. Dan begitu asap
lenyap disapu angin, Singa Hitam Tangan Sepuluh su-
dah tidak berada di situ lagi. Demikian pula tubuh Prataksa yang tadi tergolek
Jelas, lelaki bermuka singa itulah yang membawanya kabur.
"Keparat!"
Bontang memaki kalang-kabut menyadari bu-
ruannya berhasil meloloskan diri. Kini yang terlihat hanya titik hitam yang
semakin mengecil di kejauhan, dan akhirnya lenyap.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bontang,
Rangkuti dan Panca melesat mengejar.
*** "Hhh...!"
Disertai helaan napas berat, Singa Hitam Ta-
ngan Sepuluh menatap Prataksa yang tengah tergolek
di tanah berumput yang dikelilingi semak-semak dan pepohonan lebat, sehingga
sulit terlihat Raut wajahnya menyiratkan kelesuan bercampur penyesalan.
"Maafkan aku, Prataksa. Aku tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Racun itu
telah menyebar di seluruh aliran darahmu, sebelum obat kuberikan," ucap Singa
Hitam Tangan Sepuluh bernada penyesalan.
Lelaki bermuka singa itu memang menyesal se-
kali, karena tidak dapat menolong Prataksa lebih jauh lagi. Sepasang matanya
yang tertuju pada Prataksa,
menyorotkan penyesalan yang mendalam.
"Kau tidak usah menyesali apa yang terjadi,
Singa Hitam. Malah, akulah yang justru berterima kasih padamu. Pertolongan yang
kau berikan pada ku,
lebih dari cukup. Obatmu telah mengusir perasaan
gatal pada sekujur tubuhku. Sehingga, aku tidak mati
secara tersiksa. Hhh...! Sulit kubayangkan. Kalau saja kau tidak menolongku,
pasti aku akan tewas dalam
keadaan daging hancur tercacah!"
Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak menyahuti.
Meski pun kata-kata Prataksa benar adanya, tapi tetap saja penyesalan yang
bersemayam di hati tidak mampu diusirnya.. Andaikata dia tiba lebih cepat, tentu
Prataksa tidak akan bernasib seperti ini. Ditatapnya sekujur kulit tubuh
Prataksa yang telah memerah dengan
sorot mata iba.
Memang obat Singa Hitam Tangan Sepuluh
berhasil melenyapkan rasa gatal-gatal yang menyiksa Prataksa. Tapi, ternyata
hawa panas membakar akibat pengaruh racun itu, tidak bisa ditanggulangi. Yang
lebih gila lagi, semakin lama hawa panas itu semakin
menyengat. Tak aneh kalau kulit tubuh Prataksa jadi merah seperti udang rebus.
Bisa dibayangkan betapa
dahsyatnya hawa panas yang membakar. Namun, Pra-
taksa mampu menerimanya tanpa mengeluh sedikit
pun. Jelas hatinya benar-benar teguh.
"Tidak usah dipusingkan tentang keadaan diri-
ku lagi, Singa Hitam!
Percayalah, aku telah siap mati. Dan karena
aku tidak ingin mati penasaran, maukah kau meme-
nuhi permintaan terakhir ku?" pinta Prataksa semakin lirih suaranya.
"Katakan, apa permintaan terakhirmu, Pratak-
sa. Aku berjanji akan memenuhinya," sambut Singa Hitam Tangan Sepuluh lembut
' Terima kasih, Singa Hitam. Kau memang sa-
habatku yang baik. Aku yakin, kau mampu meme-
nuhinya. Permintaanku sama sekali tidak sulit"


Dewa Arak 61 Raja Iblis Tanpa Tanding di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa permintaanmu, Prataksa" Cepat katakan,"
ujar Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak sabar. Dia
memang khawatir, lelaki berpakaian coklat ini keburu tewas! "Jaga dan
lindungilah anakku, Singa Hitam...."
"Wintari"!" Singa Hitam Tangan Sepuluh tersentak, "Mengapa aku demikian pelupa"
Ya! Tadi aku tidak melihatnya. Di mana dia sekarang, Prataksa"!"
Prataksa tersenyum kaku melihat tanggapan
Singa Hitam Tangan Sepuluh yang demikian penuh
keikhlasan. ''Katanya, dia tadi akan pergi ke hutan untuk
mencari binatang buruan. Dia ingin makan daging ke-
linci," jawab Prataksa terbata-bata. "Cari dan temukan-lah dia, Singa Hitam.
Anggaplah Wintari anakmu sen-
diri. Syukur-syukur, jika kau bersedia mengantarkannya pada kakek gurunya."
"Akan kujalankan permintaanmu, Prataksa.
Ah...! Aku menyesal sekali! Kalau saja aku tidak singgah di rumahmu, mungkin kau
tidak akan mendapat
musibah seperti ini...."
"Lupakankah, Singa Hitam. Kau tidak bersalah.
O, ya. Mengapa kau kembali lagi?"
Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak langsung
menjawab pertanyaan. Dia tercenung sejenak.
"Aku kembali karena bermaksud memintamu
untuk menjadi perantara yang menjelaskan bahaya ini pada para guru-guru dan
semua saudara sepergurua-nku. Karena kalau aku sendiri yang melaksanakannya
khawatir tidak akan sampai. Kau tahu kan sebabnya?"
Prataksa mengangguk-angguk. Namun menda-
dak saja perutnya terasa mual yang kemudian me-
rayap cepat ke atas. Dan....
"Huaaakh...!"
Prataksa memuntahkan darah kental berwarna
kehitaman dari mulutnya.
"Prataksa...!" pekik Singa Hitam Tangan Sepuluh cemas. Dia tahu, hidup lelaki
berpakaian coklat ini tidak akan lama lagi.
Prataksa berusaha tersenyum untuk menun-
jukkan kalau tidak apa-apa. Tapi karena saat itu tengah merasakan sakit yang
amat sangat pada dadanya,
senyum yang ditunjukkannya jadi lebih mirip seringai kesakitan.
"Hhh..., hhh.... Aku..., aku tidak ta.... Akh...!"
Prataksa menghembuskan napas terakhir sebelum
sempat menyelesaikan kata-katanya. Namun meski-
pun demikian, sudah bisa diduga oleh Singa Hitam
Tangan Sepuluh kelanjutannya.
Singa Hitam Tangan Sepuluh menatap mayat
sahabatnya penuh rasa duka. Meskipun memang tidak
ada pekik atau air mata kedukaan, tapi hatinya benar-benar sedih bukan kepalang.
Dia lantas berdiri, sambil tetap menundukkan kepala sebagai penghormatan
terakhir pada rekannya.
*** Sang Surya sudah sejak tadi menampakkan di-
ri. Cahayanya yang lembut menerangi persada. Bias-
bias sinarnya menembus hutan, melalui celah-celah
daun. Sehingga, membentuk garis-garis sinar yang terlihat indah dipandang mata.
Kicau burung dan teriakan penghuni hutan
lainnya menyemaraki suasana pagi yang hampir be-
ranjak siang. Di saat seperti itu tampak seorang gadis cantik berpakaian kuning
tengah melangkah melewati
deretan pepohonan. Kulitnya yang putih, halus, dan
mulus dijilati sinar-sinar matahari pagi yang menye-jukkan. Dengan rambutnya
yang berwarna hitam
mengkilat dan berkepang, dia semakin cantik untuk
dinikmati. Usianya tak akan lebih dari dua puluh tahun. "Hhh..., sial! Sejak
tadi tak terlihat kijang seekor pun. Hhh...! Bisa-bisa aku pulang dengan tangan
kosong," keluh gadis berpakaian kuning itu dengan wajah muram, seraya
menghenyakkan pantatnya di re-rumputan.
Mendadak gadis berpakaian kuning menoleh ke
belakang, ketika pendengarannya yang tajam menang-
kap adanya langkah-langkah kaki dari arah belakang.
Seketika itu pula, jantungnya berdebar tegang. Namun secercah harapan timbul di
hatinya. Dia berharap,
mudah-mudahan saja itu adalah langkah kijang!
Ternyata, harapan gadis berpakaian kuning itu
langsung pupus, ketika mendapatkan di belakangnya
hanya berdiri serombongan orang yang memiliki wajah dan penampilan kasar.
Pakaian yang mereka kenakan
seragam, yakni rompi terbuat dari kulit beruang. Bergegas gadis berpakaian
kuning bangkit. Disadari kalau orang-orang yang baru datang itu tidak bermaksud
baik. Seketika dipasangnya sikap waspada.
"Siapa kalian" Dan, apa maksud kalian datang
kemari"!" tanya gadis berpakaian kuning itu berusaha bersikap tenang. Namun
jari-jari tangan kanannya sudah meraba pinggang sebelah kanan, yang terselip
sebuah kipas hitam. Rupanya dia telah siap bertempur.
"Ha ha ha...!"
Namun pertanyaan gadis berpakaian kuning itu
malah disambut tawa bergelak dari orang-orang ber-
tampang beringas ini. Karuan saja gadis berpakaian
kuning itu jadi merasa heran bercampur marah. Dia
telah bertanya baik-baik, tapi malah dijawab dengan tawa keras dan tidak sedap
didengar. Meskipun demi-
kian, dicobanya untuk tetap bersabar.
"Kau keliru, Ni sanak! Seharusnya bukan kau
yang mengajukan pertanyaan, tapi kami!" sahut seorang yang berdiri paling depan,
setelah terlebih dulu mengangkat tangan kanannya ke atas. Sehingga, suara gelak
tawa itu langsung terhenti. Agaknya, orang ini adalah pemimpin dari orang-orang
ini. Si pemimpin ini bertubuh kekar, penuh otot
melingkar. Kepalanya botak. Di tangan kanannya ter-
genggam sebuah gada panjang dan berduri. Melihat
dari bentuknya, sekali lihat saja orang tahu kalau gada itu berat sekali! Namun
hebatnya, lelaki kekar berotot itu tidak terlihat keberatan sama sekali. Dari
sini saja mudah bisa diketahui kalau tenaga dalamnya tinggi.
"Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu,
Kisanak?" kata gadis berpakaian kuning dengan alis berkernyit dalam.
"Kau memang bodoh atau berpura-pura goblok,
Ni sanak. Perlu kuberitahu kami tengah mempunyai
sebuah persoalan. Dan kami tidak suka kau malah
meruwetkan persoalan itu. Maka jangan berpura-pura, sebelum nasibmu kuserahkan
kepada anak buahku!"
Seiring selesai ucapannya, lelaki kekar berotot
itu menudingkan jari telunjuknya ke belakang. Bagai diperintah, gadis berpakaian
kuning itu mengikuti
arah tudingan jari telunjuk itu. Dan seketika itu pula, hatinya mengkelap.
Belasan orang yang berpakaian
dari kulit beruang itu memandangi dengan tatapan bagai menjilati tubuhnya. Sorot
mata mereka bagai seri-gala melihat anak domba gemuk! Liar dan penuh naf-
su! Agaknya lelaki kekar berotot itu memang ke-
nyang pengalaman. Maka dia langsung tahu perasaan
yang tengah berkecamuk dalam hati gadis berpakaian
kuning yang sepertinya masih polos dan lugu.
"Nah! Sekarang kuceritakan persoalannya," lanjut lelaki kekar berotot penuh nada
kemenangan. "Ka-mi tengah mengejar-ngejar seorang lelaki setengah tua berwajah
mirip singa. Dia berpakaian hitam dan bertubuh pendek. Aku yakin, kau
melihatnya. Karena
kami tahu jelas, kalau arah larinya adalah kemari. Sekarang, katakanlah. Di mana
dia sekarang?"
"Ke arah sana!" jawab gadis berpakaian kuning itu seraya menudingkan jari
telunjuknya ke selatan, ke arah rumahnya sendiri. "Semula dia berada di rumah
yang ada di sana. Tapi, terus menempuh perjalanan ke selatan" 'Terima kasih atas
keteranganmu, Ni sanak.
Sekarang, kemarilah. Mendekat padaku," ujar lelaki kekar berotot dengan pandang
mata menyiratkan gai-rah. "Aku tidak mau! Aku ingin pergi!" sergah gadis
berpakaian kuning itu keras, karena menyadari akan
adanya bahaya mengerikan yang siap mengancam.
"Bukankah kau telah berjanji"!"
Laki-laki kekar berpakaian kulit beruang itu
terkekeh. "Rupanya kau tuli, Ni sanak! Janjiku itu hanya menyangkut anak buahku! Bukan
denganku. Kau mendengarnya, kan"!"
"Kau curang! Licik!" maki gadis berpakaian kuning itu kalap sambil melangkah
mundur. Wajah lelaki kekar berotot itu berubah kelam.
"Rupanya kau lebih suka diperlakukan kasar,
Wanita Dungu! Baik! Kalau itu maumu, akan ku turu-
ti!" Setelah berkata demikian, lelaki kekar berotot
itu melangkah maju. Kedua tangannya seketika di-
ulurkan untuk memeluk tubuh gadis berpakaian ku-
ning. Wuttt! Namun lelaki kekar berotot itu hanya memeluk
angin, karena sasarannya telah melangkah mundur
sambil menghunuskan senjatanya.
Trekkk! Di tangan kanan gadis berpakaian kuning telah
tergenggam sebuah kipas berwarna hitam, yang rang-
kanya terbuat dari baja-baja berujung runcing.
"Keparat! Berani kau mempermainkan Beruang
Kepala Baja?" bentak lelaki kekar berotot, marah.
Lelaki kekar berotot yang ternyata berjuluk Be-
ruang Kepala Baja kembali melancarkan serangan.
Hanya saja kali ini serangan yang dikirimkan tidak se-lunak sebelumnya. Disadari
kalau gadis berpakaian
kuning itu bukan orang lemah.
Wut, wut, wut! Beruang Kepala Baja melancarkan sampokan
bertubi-tubi ke arah bahu gadis berpakaian kuning ini.
Namun rupanya meskipun tengah dilanda amarah, le-
laki kekar berotot itu masih merasa sayang untuk
membunuh korbannya yang demikian cantik
Gadis berpakaian kuning gugup menghadapi
serangan lawannya. Dalam pandangan matanya, tan-
gan Beruang Kepala Baja seperti berubah puluhan ba-
nyaknya. Sehingga membuat pandangannya berku-
nang-kunang Meskipun demikian, gadis berpakaian kuning
itu tidak pasrah begitu saja menerima nasib yang akan menimpa dirinya. Memang,
dia tidak bisa melihat jelas serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Tapi
keinginan untuk menyelamatkan diri, membuatnya be-
rusaha sekuat tenaga menjegal serangan Beruang Ke-
pala Baja. Kipas bajanya seketika dikibas-kibaskan
untuk menjegal serangan yang akan meluncur ke
arahnya. Namun...
Wut, wut, wuttt!
Tappp! Tukkk! "Akh...!"
Rentetan kejadian yang berlangsung sukar un-
tuk bisa diikuti mata biasa. Tahu-tahu, gadis berpakaian kuning itu memekik
pelan, kemudian tubuhnya
roboh di tanah. Memang, dengan kecepatan luar biasa, Beruang Kepala Baja telah
menangkap pergelangan
tangan gadis berpakaian kuning, lalu membuatnya tertotok lemas.
"Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kesaktian Beruang Kepala Baja, Wanita
Bodoh! Dan atas penola-kanmu tadi, kau akan mendapat hukumannya. Kau
akan kuperkosa sampai aku puas. Kemudian, digilir
oleh semua anak buahku sampai kau mati!"
"Manusia iblis! Lebih baik kau bunuh saja aku!"
teriak gadis berpakaian kuning itu penuh rasa takut.
Kalau saja mampu bergerak, tentu lelaki kekar
berotot itu akan diserangnya mati-matian. Tapi, sayang hal itu tidak bisa
dilakukan. Sekujur tubuhnya terasa lemas bukan kepalang. Jangankan menyerang,
untuk menggerakkan ujung jarinya pun tidak mampu.
"Ha ha ha...! Membunuhmu" Hanya orang bo-
doh yang akan membunuh seorang dara cantik seper-
timu, tanpa memanfaatkannya lebih dulu! Dan aku
bukan orang bodoh! Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa yang belum putus, Beruang
Kepala Baja membungkuk. Kemudian tangannya pun
bergerak. Brettt! "Auw...!"
Bunyi kain yang terobek terdengar ketika ta-
ngan Beruang Kepala Baja yang berotot dan penuh bu-
lu, menjambret baju gadis berpakaian kuning itu di
bagian dada. Seketika, dua bukit kembar indah me-
nantang pun menyembul keluar.
' Iblis keji! Bunuh saja aku!'' jerit gadis berpa-
kaian kuning dengan suara mengandung isak, karena
rasa takutnya. 3 "Ha ha ha...!"
Hanya tawa gelak dari Beruang Kepala Baja dan
anak buahnya yang menyambuti jerit ketakutan gadis
berpakaian kuning ini. Tawa penuh nafsu birahi yang telah menyelimuti hati dan
pikiran, begitu melihat kulit tubuh gadis berpakaian kuning ini, yang putih
mulus! Gadis berpakaian kuning ini semakin ketaku-
tan saja. Apalagi ketika tangan Beruang Kepala Baja kembali terulur ke pakaian
bagian bawah. Tapi sebelum jari-jari tangan itu mencapai sa-
saran... Wuttt! Tukkk!
"Akh!"
Beruang Kepala Baja menjerit kesakitan ketika
sebuah batu sebesar ibu jari tangan menghantam telak punggung tangannya.
Seketika rasa sakit yang amat
sangat menyerang bagian yang terkena timpukan tadi itu. Sehingga, maksud untuk
menjarah sekujur tubuh
gadis berpakaian kuning diurungkannya.
"Keparat! Orang gila dari mana yang berani
mengganggu Beruang Kepala Baja"!" teriak lelaki kekar berotot ini keras bernada
ancaman. Seketika pandangan ditujukan ke arah batu tadi berasal. Sementara
seluruh anak buahnya juga menoleh ke arah yang sama.
Dengan sendirinya, gadis berpakaian kuning terlupa-
kan. Kini dalam jarak kira-kira empat tombak dari
mereka, terlihat sepasang anak muda. Yang seorang
adalah pemuda tampan berpakaian ungu. Wajahnya
yang jantan memiliki rambut berwarna putih kepera-
kan! Mirip rambut yang dimiliki orang berusia lanjut!


Dewa Arak 61 Raja Iblis Tanpa Tanding di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rambutnya yang seperti benang-benang perak itu te-
rurai sampai ke pinggang. Sehingga guci yang terletak di punggung jadi
tertutupi. Sementara di sebelahnya berdiri seorang gadis
cantik dengan kulit putih dan halus. Pakaiannya pu-
tih. Rambutnya panjang terurai sampai ke pinggang.
Sehingga semakin menambah keelokan wajahnya. Na-
mun bertenggernya sebatang pedang di punggung,
menandakan kalau gadis berpakaian putih ini bukan
wanita lemah. Dan dengan langkah tenang menyorotkan ke-
percayaan din yang besar, sepasang anak muda yang
sama-sama berwajah elok ini menghampiri Beruang
Kepala Baja dan gerombolannya.
Sementara Beruang Kepala Baja yang memang
tengah murka bukan kepalang kontan menggeram.
"Gggrrrhhh...! Akan kuhancurkan seluruh tu-
lang-belulang kalian," desis lelaki kekar berotot ini sambil menyambar gada
berduri yang tadi dititipkan
pada salah seorang anak buahnya, ketika hendak me-
maksakan kehendaknya pada gadis berpakaian kun-
ing. "Kau selamatkan gadis itu, Melati," ujar pemuda berambut putih keperakan itu
pada gadis berpa-
kaian putih itu.
"Baik, Kang," sahut gadis yang dipanggil Melati, patuh. Memang, gadis berpakaian
putih itu bukan lain dari Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Sementara
pemuda berambut putih keperakan itu tak
lain dari Arya Buana yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak. Dengan sikap tenang,
Dewa Arak menghampiri
Beruang Kepala Baja yang juga tengah melangkah ke
arahnya. Ketika jarak antara mereka tinggal beberapa
langkah lagi, Beruang Kepala Baja berhenti. Dengan
senyum terkembang di bibir, Dewa Arak juga berhenti.
"Kau..., kau.... Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya Beruang Kepala
Baja setengah terbata-bata.
Entah bagaimana, lelaki kekar berotot ini men-
dadak teringat akan selentingan kabar mengenai tokoh muda yang julukannya
menggemparkan dunia persilatan.
"Kalau benar, mengapa" Dan kalau tidak, ke-
napa, Kisanak?" Dewa Arak malah balas bertanya.
"Keparat! Tutup mulutmu, Bangsat kecil! Siapa
pun adanya kau, apabila aku tengah bertanya, haram
hukumnya mengajukan pertanyaan pula! Dan kau wa-
jib menjawab, tahu"!" sergah Beruang Kepala Baja be-rang. "Tidak usah banyak
cakap, Kisanak! Majulah cepat! Aku sudah tidak sabar lagi untuk mematahkan
tanganmu yang kurang ajar itu!" sambut Dewa" Arak, tak kalah marah.
Pemuda berambut putih keperakan ini memang
mudah marah, apabila melihat penjahat yang suka
memperkosa wanita. Dia memang sudah bertekad un-
tuk membasmi penjahat semacam itu! Maka tak heran
kalau dia tidak ragu-ragu lagi mengajukan tantangan.
"Keparat! Siapa pun adanya kau, rupanya perlu
merasakan kerasnya gada Beruang Kepala Baja! Ba-
rangkali saja kau bisa bersikap lebih sopan!
Hiyaaat...!"
Tanpa memberi kesempatan lagi pada Dewa
Arak untuk bersiap-siap, Beruang Kepala Baja lang-
sung melancarkan serangan. Gada berduri yang ter-
genggam di tangan kanannya langsung diayunkan ke
arah kepala Dewa Arak
Wuttt! Deru angin keras yang mengawali meluncurnya
serangan, menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam di-
kerahkannya. Begitu kuatnya, sehingga hanya sekali
hantam saja, sebongkah batu karang sebesar kerbau
bunting mampu diluncurkan dengan hanya sekali pu-
kul. Maka bisa dibayangkan apabila menimpa diri ma-
nusia. Tapi orang yang dihadapi adalah Dewa Arak!
Seorang tokoh sakti yang sungguhpun memiliki usia
demikian muda, namun memiliki pengalaman amat
luas. Maka menghadapi serangan itu, Arya sama sekali tidak menjadi gugup.
"Hup!"
Wusss! Hanya melangkahkan kaki kanan ke belakang
sambil mendoyongkan tubuh, Dewa Arak telah mem-
buat serangan gada berduri Beruang Kepala Baja
hanya mengenai tempat kosong. Senjata yang menge-
rikan itu lewat beberapa jari dari wajahnya. Sehingga,
sambaran anginnya yang keras, membuat sekujur pa-
kaian dan rambut pemuda berambut putih keperakan
itu berkibar keras.
Sementara Dewa Arak tidak hanya sampai di si-
tu. Begitu gada lawan telah bergerak meluncur lewat di depan wajahnya, tangan
kanannya cepat digerakkan
untuk menangkap pergelangan tangan kanan lawan.
Tappp! Cepat bukan kepalang gerakan tangan Dewa
Arak. Sehingga sebelum Beruang Kepala Baja menya-
dari, pergelangan tangan kanannya telah tercekal.
"Heh"!"
Beruang Kepala Baja berseru kaget, namun ti-
dak menjadi gugup. Berkat pengalamannya bertempur
selama ratusan kali, langsung disambutnya cekalan
tangan Dewa Arak. Tangannya seketika ditarik agar bi-sa lepas dari cekalan
tangan Dewa Arak. Tapi mak-
sudnya ternyata sia-sia. Jangankan melepas, untuk
mengguncangkannya tidak mampu.
Meskipun tahu kalau usahanya sama sekali ti-
dak membuahkan hasil, Beruang Kepala Baja tidak
menyerah begitu saja. Apalagi dia terhitung orang keras kepala yang sukar
menyadari kalau orang lain ternyata memiliki kemampuan di atasnya. Itulah sebab-
nya dia terus memaksakan diri untuk membebaskan
tangannya dari cekalan Dewa Arak. Namun saking
memaksakan diri, sampai-sampai terdengar suara me-
lenguh dari mulutnya.
Sementara itu, wajah Dewa Arak tampak malah
biasa-biasa saja. Apalagi tangannya yang sedikit pun tidak terlihat ada tanda-
tanda kalau sedang mengerahkan tenaga.
"Sekarang giliranku, Kisanak," kata Dewa Arak setelah membiarkan Beruang Kepala
Baja berusaha keras untuk membebaskan diri dari cekalannya bebe-
rapa saat Usai berkata demikian jari-jari tangan Dewa A-
rak bergerak meremas.
Krrrkkk! "Aaakh...!"
Beruang Kepala Baja menjerit kesakitan, seiring
terdengarnya suara berderak pelan tulang pergelangan tangannya yang hancur.
Seketika itu pula, genggaman jari tangannya pada gada mengendur. Sehingga
senjata berat itu pun jatuh berdebuk di tanah.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya sampai di situ
saja. Sehabis mencengkeram, tangannya langsung ber-
gerak membetot "Akh...!"
Untuk yang kedua kali Beruang Kepala Baja
mengeluarkan jerit tertahan. Tulang sambungan siku
dan bahunya langsung terlepas, ketika Dewa Arak me-
lancarkan betotan. Akibatnya, tubuhnya tertarik ke
arah Dewa Arak. Maka saat itulah kaki kanan Dewa
Arak mencuat ke arah perutnya, dan tidak bisa dihindari lagi. Sehingga....
Wuttt! Bukkk! "Hughk!"
Beruang Kepala Baja kontan menjerit tertahan,
begitu kaki Dewa Arak menghantam telak perutnya.
Tubuh lelaki kekar berotot itu langsung terlipat
ke depan. Wajahnya merah padam, dan sepasang ma-
tanya melotot. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar saja. Sesaat kemudian,
tubuhnya terkulai dan ambruk di tanah. Tendangan Dewa Arak yang telah
menghancurkan seluruh bagian dalam tubuhnya,
membuatnya harus pergi untuk selama-lamanya me-
ninggalkan dunia ini.
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian ce-
pat, sehingga gerombolan anak buah Beruang Kepala
Baja tidak sempat berbuat apa-apa. Hanya dalam be-
berapa gebrakan saja, Beruang Kepala Baja telah keburu tewas! Sehingga, anak
buahnya tak sempat
membantu. Tarikan wajah kebingungan dan sorot mata pe-
nuh perasaan tidak percaya memancar jelas dari seluruh anak buah gerombolan
Beruang Kepala Baja. Nya-
tanya mereka memang belum menerima kalau Beruang
Kepala Baja telah tewas hanya dalam beberapa gebra-
kan saja! Sulit dipercaya!
Untuk beberapa saat, anak buah Beruang Ke-
pala Baja hanya terpaku. Namun ketika kesadaran te-
lah kembali, mereka yang berjumlah tak kurang dari
dua belas orang itu kontan murka!
Srat, srattt, sringngng!
Suara denting dan gerakan senjata kontan ter-
dengar begitu belasan anak buah Beruang Kepala Baja mengeluarkan senjata masing-
masing. Lalu diiringi teriakan keras memekakkan telinga, mereka menyerbu
Dewa Arak. Maka seketika itu pula belasan senjata tajam
yang terdiri dari pedang dan golok berkelebatan me-
nyambar berbagai bagian tubuh Arya.
Tapi, ternyata Dewa Arak tetap bersikap te-
nang. Malah sedikit pun tidak nampak adanya tanda-
tanda akan menangkis atau mengelakkan serangan.
Tentu saja hal ini membuat anak buah Beruang
Kepala Baja heran. Meskipun demikian, mereka tetap
saja melanjutkan serangan pada Dewa Arak disertai
pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
Tak, tak, takkk!
Bunyi keras terdengar ketika mata senjata-
senjata itu menghantam berbagai bagian tubuh Dewa
Arak. Namun hasilnya" Nyatanya tubuh Dewa Arak,
seperti tidak terdiri atas kulit dan daging, melainkan, tersusun dari logam
keras! "Hehhh..."!"
Suara keterkejutan langsung terdengar susul-
menyusul dari mulut belasan orang anak buah Be-
ruang Kepala Baja. Dengan mata kepala sendiri, mere-ka melihat senjata-senjata
itu mendarat di tubuh Dewa Arak. Tapi apa yang terjadi" Bahkan sebaliknya tangan
yang menggenggam senjata jadi terasa lumpuh. Dan
yang lebih gila lagi, mata senjata mereka sudah gompal! Berganti-ganti mereka
memandang Dewa Arak, la-
lu kembali memandang senjata masing-masing.
"Puas"!" tanya Dewa Arak tanpa nada ejekan.
Ucapan Dewa Arak menyadarkan belasan orang
bertampang kasar yang masih terpaku takjub disertai rasa sakit pada tangan. Dan
seiring timbulnya kesadaran, belasan orang itu saling berpandang satu sama
lain. Lalu sebentar saja mereka telah membuat kata
sepakat dalam tatapan tadi.
Sing, sing, sing!
Suara berdesingnya senjata-senjata kembali
mengiringi meluncurnya serangan. Dan seperti juga
sebelumnya, anak buah Beruang Kepala Baja me-
nerjang Dewa Arak dari berbagai penjuru.
Namun kali ini Dewa Arak tidak berdiam diri
saja. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang berada
jauh di atas lawan-lawannya, mudah saja semua se-
rangan yang tertuju ke arahnya dielakkan. Bagaikan
bayangan, tubuhnya menyelinap di antara sambaran
senjata-senjata lawannya.
Sambil mengelak, Dewa Arak mengirimkan se-
rangan ke arah lawan-lawannya. Kedua kaki dan tan-
gannya berkelebat cepat! Ke mana pun tangan dan ka-
ki tokoh muda yang menggemparkan itu meluncur,
pasti ada satu tubuh yang terpental ke belakang diiringi jerit kesakitan.
Satu persatu anak buah Beruang Kepala Baja
roboh ke tanah dan tidak mampu bangkit lagi. Mes-
kipun demikian, tidak ada satu pun yang mati! Dewa
Arak hanya membuat mereka tidak mampu melan-
jutkan pertarungan saja.
Hanya dalam waktu singkat, tak ada lagi satu
pun anak buah Beruang Kepala Baja yang masih ber-
diri tegak di tanah. Mereka semua tergolek di tanah dalam keadaan pingsan. Namun
ada juga yang merin-tih-rintih kesakitan karena luka-lukanya. Sementara,
senjata-senjata mereka bergeletakan di sana-sini.
Tentu saja sekarang hanya tinggal Dewa Arak
seorang yang berdiri tegak di kancah pertarungan. Setelah merayapi keadaan
lawan-lawannya sejenak, per-
hatiannya dialihkan pada Melati yang baru saja selesai berbincang-bincang dengan
gadis berpakaian kuning
yang ditolong Dewa Arak tadi.
Tadi, waktu Dewa Arak sibuk menghadapi la-
wan-lawannya, Melati telah membebaskan gadis ber-
pakaian kuning ini dari totokan. Bahkan Melati ru-
panya telah memberi pakaian ganti pada gadis itu.
Dengan langkah tenang, Arya menghampiri Me-
lati dan gadis berpakaian kuning ini.
"Apa yang terjadi, Melati?" tanya Arya pada kekasihnya.
"Aku juga belum tahu, Kang," sahut Melati sambil menggelengkan kepala. "Nah,
Wintari! Sekarang, ceritakan mengapa kau bisa bentrok dengan
mereka?" Gadis berpakaian kuning yang ternyata berna-
ma Wintari, tidak langsung menjawab. Ditatapnya wa-
jah Arya dan Melati berganti-ganti.
"Sebelum kuceritakan masalahnya, kuucapkan
banyak terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan. Hhh..., entah apa
jadinya kalau tidak ada kalian berdua."
"Lupakanlah, Wintari," ujar Melati, seperti me-wakili Dewa Arak "Orang hidup
memang saling mem-butuhkan. Saat ini memang kami yang menolongmu.
Tapi lain kali, bukan tidak mungkin kau yang ganti
menolong kami. Jadi, jangan dipikirkan masalah budi.
Dan sekarang, ceritakan saja semua kejadian yang kau alami." "Baiklah," desah
Wintari, sambil menelan liur sejenak untuk membasahi tenggorokannya. Baru
setelah itu, semua kejadian yang menimpa diceritakannya.


Dewa Arak 61 Raja Iblis Tanpa Tanding di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arya dan Melati mendengarkan semua cerita
Wintari penuh perhatian. Sama sekali tidak diselak, hingga gadis berpakaian
kuning itu mengakhiri penu-turannya.
"Singa Hitam Tangan Sepuluh?" tanya Arya, alisnya tampak bertaut, karena merasa
heran. Dan sebenarnya, meskipun belum pernah ber-
temu langsung, tapi pemuda berambut putih kepe-
rakan ini tahu kalau Singa Hitam Tangan Sepuluh
adalah seorang tokoh golongan hitam. Tapi, mengapa
dikejar-kejar oleh Beruang Kepala Baja dan anak
buahnya yang juga berasal dari golongan sama"
Dewa Arak jadi termenung memikirkan. Se-
mentara Melati juga ikut berpikir, karena pernah mendengar selentingan kabar
mengenai tokoh yang berju-
luk Singa Hitam Tangan Sepuluh itu. Itulah sebabnya, seperti juga Dewa Arak, dia
pun merasa bingung mendengar penuturan Wintari.
Tapi Dewa Arak dan Melati terpaksa berhenti
memikirkannya, begitu mendengar banyak bunyi lang-
kah kaki yang menuju tempat ini. Hanya dalam seke-
jap saja, sepasang pendekar muda ini langsung dapat menduga kalau jumlah mereka
banyak dan berkepandaian beragam.
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan se-
bentar. Tapi dalam waktu sesingkat itu, masing-
masing telah bisa menebak kalau satu sama lain sa-
ma-sama heran. Mengapa demikian banyak orang yang
tengah menuju tempat ini"
Karena semakin lama terdengar semakin jelas
dan mendekat, Wintari pun mendengar langkah-
langkah itu pula. Tak bisa dipungkiri kalau para pemilik langkah itu benar-benar
menuju tempat ini.
"Apakah kalian tidak mendengar sesuatu?"
Wintari yang tidak kuasa menahan rasa ingin tahunya, langsung mengajukan
pertanyaan Hampir berbarengan, Dewa Arak dan Melati
menganggukkan kepala. Sebuah senyum lebar ter-
sungging di mulut sepasang pendekar muda itu, untuk menenangkan hati Wintari.
"Rasa-rasanya jumlahnya lebih banyak dari
mereka," kata Wintari lagi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah
gerombolan Beruang Kepala Baja
yang masih bergeletakan di tanah.
Dewa Arak menganggukkan kepala. Kemudian,
jari telunjuknya menuding ke depan, yang berarti ke belakang Wintari. Gadis itu
menoleh ke belakang. Dan seketika itu pula, dia terjingkat kaget ketika melihat
rombongan orang yang sudah berjarak sekitar sepuluh tombak darinya.
Sementara Dewa Arak dan Melati sebenarnya
juga terkejut. Hanya saja sepasang pendekar muda itu
mampu menguasai diri, sehingga tidak tampak pada
wajahnya. Memang wajar kalau Dewa Arak, Melati, dan
Wintari sampai terkejut. Jumlah orang yang tengah
bergerak mendekati tempat ini tidak kurang dari seratus orang! Menilik dari
macam-macam pakaian yang
dikenakan, bisa diperkirakan kalau mereka terdiri dari para tokoh persilatan.
Lantas apa tujuan orang-orang itu datang ke sini" Itulah yang bergayut di hati
Dewa Arak dan Melati.
Belum lagi rasa kaget sirna, Dewa Arak kembali
terkejut bercampur khawatir begitu melihat gerakan-
gerakan beberapa orang yang rata-rata berwajah ka-
sar. Memang sebagian memiliki ilmu meringankan tu-
buh tingkat rendahan. Tapi, ternyata ada beberapa
orang yang membuat Dewa Arak tercekat. Terutama
sekali, sosok yang berada paling depan. Gerakannya
ringan bukan kepalang. Bahkan ketika berlari, kedua kakinya seperti tidak
menyentuh tanah. Jelas, ilmu
meringankan tubuhnya sudah hampir mencapai ting-
kat kesempurnaan.
Sosok yang berlari paling depan ini mendapat
perhatian khusus dari Dewa Arak. Sosok itu berpa-
kaian dari kulit ular berwarna kuning keemasan. Tu-
buh kekar berotot, selaras wajahnya yang kasar dan
dipenuhi cambang bauk lebat. Sepasang mata yang
terletak jauh di dalam rongga, tampak tajam berkilat.
Ada pengaruh aneh yang mengerikan dari sepasang
mata yang terkadang mencorong kehijauan seperti ma-
ta harimau dalam gelap.
Dan kini orang-orang yang berjumlah lebih ku-
rang seratus itu telah berada di hadapan Dewa Arak, Melati, dan Wintari. Menilik
dari tindak-tanduknya, bi-sa diketahui kalau laki-laki berpakaian kulit ular itu
bertindak sebagai pemimpin, Dan kini dia berdiri berjarak dua tombak di hadapan
Dewa Arak dan rekan-
rekannya. "Ikh...!"
Jerit tertahan bernada kengerian keluar dari
mulut Melati dan Wintari ketika melihat mata lelaki berpakaian kulit ular itu.
Tanpa sadar, keduanya melangkah mundur. Sehingga, Dewa Araklah yang berdiri
paling depan. Sikap ngeri Melati dan Wintari terlihat jelas.
Namun raut wajah lelaki bermata mengerikan itu sama sekali tidak menampilkan
kemarahan. Tarikan wajahnya tetap seperti biasa. Dingin tanpa gambaran perasaan
apa pun di sana.
Tetap dengan raut wajah dingin, dirayapinya
satu persatu wajah-wajah yang berdiri di hadapannya.
Mula-mula Dewa Arak, kemudian Melati, dan terakhir
Wintari. Hal ini membuat kedua gadis itu merinding
bulu kuduknya. Ngeri! Hanya Dewa Arak yang masih
tetap terlihat tenang. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu balas menatap
dan memperhatikan,
sungguhpun ada perasaan tegang menggayuti hati.
4 "Ha ha ha...!"
Mendadak lelaki bermata mengerikan itu terta-
wa keras menggelegar, sehingga membuat suasana jadi bergetar hebat bagai ada
halilintar menyambar. Bisa dirasakan kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam sempurna.
Dan yang lebih mengejutkan seketika kedua lu-
tut sebagian besar orang yang berada di situ langsung terasa lemas. Bahkan
mereka langsung jatuh terdu-duk. Hanya beberapa orang saja yang mampu berta-
han, yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka adalah Dewa Arak, Melati, dan
beberapa orang anak buah lelaki bermata mengerikan ini.
' Tidak salahkah penglihatanku" Benarkah kau
Dewa Arak, Pemuda Sombong"!" tegur lelaki bermata mengerikan itu dengan suara
keras menggelegar.
"Itulah julukan yang diberikan orang kepadaku, Kisanak. Kalau boleh tahu, siapa
dirimu" Dan mengapa kau membawa demikian banyak orang kemari"!"
masih dengan sikap tenang, Dewa Arak balas menga-
jukan pertanyaan.
"Aku" Ha ha ha...! Kau ingin mengenalku, Dewa
Arak" Ha ha ha...! Rupanya julukan yang kau sandang telah membuatmu besar
kepala, heh"! Kau tahu, dengan siapa berhadapan sekarang"! Akulah si Raja Iblis
Tanpa Tanding! Aku adalah raja dari semua tokoh golongan hitam yang ada di
seluruh permukaan bumi ini!
Kau dengar"!" jawab lelaki bermata mengerikan itu, dengan suara keras dan
mengguntur. Meskipun tidak ada perubahan pada parasnya,
namun ia sebenarnya merasa terkejut bukan kepalang
mendengar jawaban orang yang mengaku berjuluk Ra-
ja Iblis Tanpa Tanding. Baru pertama kali Arya men-
dengar ada tokoh yang berani memiliki julukan Tanpa Tanding! Sombong bukan
kepalang! Dan lagi, sepenge-tahuannya, raja dari golongan hitam itu empat orang.
Mereka memang datuk-datuk sesat yang merajai di
tiap penjuru mata angin!
Arya sebenarnya tidak tahu kalau datuk-datuk
sesat yang masing-masing merajai satu mata angin itu,
telah berhasil dikalahkan oleh Raja Iblis Tanpa Tanding! Malah satu di antara
mereka terpaksa dibunuh
oleh tokoh hitam bermata mengerikan ini, karena tidak bersedia takluk! Memang,
itulah ganjaran bagi tokoh yang tidak bersedia menjadi taklukan Raja Iblis Tanpa
Tanding! "Dan sekarang kau telah melukai anak buahku.
Berarti, kau telah mengajukan tantangan terhadapku.
Bersiaplah menerima balasannya, Dewa Arak!" sambung Raja Iblis Tanpa Tanding,
membuyarkan lamu-
nan Dewa Arak. "Tidak usah berbasa-basi, Raja Iblis! Aku me-
mang bermaksud melenyapkanmu untuk selama-
lamanya, agar dunia menjadi tenang!" tegas Dewa Arak, mantap.
"Tutup mulutmu, Dewa Arak!" bentak Raja Iblis Tanpa Tanding keras. "Ayo! Kalian
tangkap kelinci-kelinci muda itu."
Usai memberi perintah pada anak buahnya, Ra-
ja Iblis Tanpa Tanding langsung menerjang Dewa Arak.
Jari-jari kedua tangannya disusun sedemikian rupa,
sehingga berbentuk setengah mengepal. Dan dengan
buku-buku jarinya dilancarkannya serangan ke arah
leher dan bawah hidung Dewa Arak Dua buah jalan
darah kematian!
Wut, wut, wut! Deru angin keras yang terdengar bersama me-
luncurnya serangan itu, menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung di
dalamnya. Dan ini
membuat Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah.
Maka buru-buru tubuhnya dilemparkan ke belakang,
lalu bersalto beberapa kali di udara. Sehingga, serangan Raja Iblis Tanpa
Tanding hanya mengenai tempat
kosong. Tapi melihat serangannya berhasil dielakkan,
Raja Iblis Tanpa Tanding tidak berdiam diri saja.
Dalam keadaan masih berada di udara, tubuh-
nya masih mampu melenting ke depan. Padahal, tidak
ada landasan bagi kakinya untuk menotol. Raja Iblis Tanpa Tanding langsung
menyusul Dewa Arak. Dan
pada saat itu pula, kembali kedua tangannya dilun-
curkan ke arah dada Dewa Arak
Dewa Arak terkejut melihat serangan susulan
lawannya. Disadari kalau sebelum kedua kakinya
hinggap di tanah, serangan lawan akan terlebih dulu mengenai sasaran. Maka tidak
ada jalan lain baginya kecuali menangkis serangan.
"Hih!"
Dewa Arak cepat menghentakkan kedua ta-
ngannya ke depan, untuk memapak serangan yang
tengah meluncur ke arahnya. Dan...
Prattt! Bunyi seperti ada dua benda berat beradu lang-
sung terdengar, ketika dua pasang tangan berbentu-
ran. Begitu dahsyatnya, sehingga udara di sekitar tempat itu sampai bergetar
hebat! Sementara, tubuh Dewa Arak dan Raja Iblis
Tanpa Tanding sama-sama terjengkang ke belakang.
Namun berkat kepandaian yang sudah mencapai ting-
katan tinggi, luncuran itu tidak sulit untuk dipatahkan. Baik Dewa Arak maupun
Raja Iblis Tanpa Tan-
ding, berjumpalitan beberapa kali di udara, mem-
pergunakan kekuatan yang melemparkan tubuh mere-
ka. Lalu.... Hampir bersamaan, Dewa Arak dan Raja Iblis
Tanpa Tanding mendarat di tanah, ringan laksana
daun kering. Dan kini, mereka berdiri berhadapan da-
lam jarak enam tombak.
*** Di saat Dewa Arak dan Raja Iblis Tanpa Tan-
ding saling menatap tajam seperti sedang mengukur
kemampuan masing-masing Melati dan Wintari mulai
diganggu anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding. Tapi tidak semua menuju ke arah
Melati dan Wintari, karena sebagian harus menolong yang terluka.
Melati tahu, Wintari sedikit banyak punya ke-
pandaian. Tapi kalau kepandaian yang sekadarnya sa-
ja, mana mungkin mampu menghadapi tiga orang ang-
gota gerombolan yang memiliki tingkat kepandaian sekadarnya juga"
Maka Melati segera melangkah maju. Sehingga,
dia kini berada di depan Wintari, bermaksud melin-
dungi. "He he he...! Mimpi apa aku semalam, sehingga bisa bertemu dua orang
bidadari yang molek-molek ,"
kata salah seorang dari dua anggota gerombolan di ba-risan terdepan.
Orang itu bertubuh pendek, gemuk. Kepalanya
botak dan berperut gendut. Saking gendutnya, rompi
abu-abu yang dikenakan tidak mampu menutupi pe-
rutnya. Ciri-ciri tubuhnya setidak-tidaknya mirip seekor katak. Laki-laki dengan
wajah selalu berseri-seri ini berjuluk Dewa Sesat Pemetik Bunga. Disebut Dewa
Sesat karena siapa sangka kalau wajah yang senantia-sa ramah itu memiliki hati
yang demikian kejam.
"Kau memang tidak bisa diam kalau melihat
wajah cantik, Dewa Sesat," ledek orang yang berdiri di sebelah Dewa Sesat
Pemetik Bunga. Orang itu bertubuh tinggi kurus, laksana bam-
bu. Berbeda dengan Dewa Sesat Pemetik Bunga, tokoh
ini memiliki raut wajah muram. Sehingga, seakan-
akan tengah dililit kesulitan.
"Itulah sebabnya aku berjuluk Dewa Sesat Pe-
metik Bunga, Siluman Pencabut Nyawa"!" sahut Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Semua pembicaraan itu dilakukan dengan sua-
ra keras. Maka tentu saja seluruh orang yang berada di situ mendengarnya. Tak
terkecuali, Melati dan Wintari. Dan mendengar pembicaraan itu Melati jadi
terperanjat. Bukan karena isi pembicaraan, tapi karena mendengar sapaan mereka
satu sama lain. Julu-
kan-julukan mereka sudah pernah didengarnya seba-
gai datuk golongan hitam di berbagai penjuru mata
angin. Dewa Sesat Pemetik Bunga adalah datuk kaum
hitam di wilayah timur. Sedangkan Siluman Pencabut
Nyawa di barat!
Kedua tokoh itu seperti yang lain, terkenal akan
kesaktian dan kekejamannya di wilayah masing-
masing selama belasan tahun, tanpa ada yang mampu
mengalahkan. Dan karena kekejamannya itu masing-
masing dianggap menjadi datuk sesat di wilayahnya.
Begitu tahu secara pasti tokoh-tokoh yang akan
menjadi lawannya, Melati semakin meningkatkan ke-
waspadaannya. Dengan sendirinya, seluruh urat sa-
rafnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala ke-
mungkinan. Dia tahu, dua orang ini memiliki kepan-
daian amat tinggi!
Melati menyadari bila salah satu datuk sesat ini


Dewa Arak 61 Raja Iblis Tanpa Tanding di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat kesempatan menyerang Wintari, maka akan
mudah sekali gadis itu ditundukkan. Dan Melati tidak menginginkan hal itu
terjadi. Maka sebelum mereka
bertindak, dia yang melancarkan serangan lebih dulu.
"Hih!"
Diiringi pekikan keras yang menyakitkan telin-
ga, putri angkat Raja Bojong Gading itu melompat, melancarkan serangan pada Dewa
Sesat Pemetik Bunga
yang berdiri lebih dekat dengan Wintari. Melati membuka serangan dengan jurus
'Naga Merah Kibaskan
Ekor'. Dan selagi berada di udara, tubuhnya berbalik sambil mengibaskan kaki.
Sasaran yang dituju Melati adalah pelipis, salah satu bagian yang mematikan.
Wuttt! "Hebat," puji Dewa Sesat Pemetik Bunga, girang bercampur kagum.
Sesungguhnya datuk pendek gemuk ini menga-
gumi serangan Melati. Dia tahu, serangan itu tidak bi-sa dipandang ringan. Dari
deru angin keras yang mengiringi tibanya serangannya, sudah bisa diperkirakan
kekuatan tenaga yang terkandung.
Meskipun demikian, bukan berarti Dewa Sesat
Pemetik Bunga gentar. Malahan tanpa ragu-ragu dipa-
paknya kibasan kaki Melati, mempergunakan tangan
kirinya dengan arah gerakan kilat dari dalam ke luar.
Benturan antara tangan dan kaki yang sama-
sama dialiri tenaga dalam tinggi pun tidak bisa dielakkan lagi. Sehingga....
Plak! Melati yang berada di udara kontan terpental
balik ke belakang. Sedangkan Dewa Sesat Pemetik
Bunga terhuyung-huyung. Namun dengan gerakan
manis, kedua tokoh yang berbeda jenis kelamin dan
golongan ini berhasil mematahkan daya dorong itu.
Dan hampir bersamaan mereka sama-sama hinggap di
tanah tanpa suara.
"Kau hebat, Wanita Liar!" maki Dewa Sesat Pemetik Bunga bernada memuji.
Pujian ini bukan tanpa alas an. Tangan kanan-
nya yang berbenturan dengan kaki Melati memang te-
rasa kesemutan. Agaknya tenaga dalam kekasih Dewa
Arak ini ampuh juga. Walaupun disadari keadaan Me-
lati mungkin lebih parah, tapi memang sesuatu yang
mengagumkan bila semuda itu sudah mampu memiliki
tenaga dalam sedemikian tingginya.
Usai berkata demikian, Dewa Sesat Pemetik
Bunga langsung mengirimkan cengkeraman ke arah
ubun-ubun Melati.
Cit, cit, cit! Decit angin tajam dari udara yang terobek oleh
serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga, menjadi bukti
nyata kalau serangan yang dikirimkannya amat berba-
haya. Tapi Melati bukan wanita sembarangan. Bah-
kan dulu sewaktu terjun dalam dunia persilatan, julukan yang dimilikinya telah
mampu mengguncangkan
dunia persilatan. Maka menghadapi serangan seperti
itu, dia tidak gugup. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan
tubuh. Sehingga, seran-
gan Dewa Sesat Pemetik Bunga hanya mengenai tem-
pat kosong, beberapa jari di depan sasaran.
Dewa Sesat Pemetik Bunga menduga kalau Me-
lati akan berhasil memunahkan serangannya. Maka
begitu berhasil dielakkan, kembali dikirimkannya serangan susulan. Tentu saja
Melati pun tidak tinggal diam. Dan kini pertarungan sengit pun tidak bisa
dielakkan lagi.
Menggiriskan dan menarik sekali pertarungan
yang berlangsung antara Melati melawan Dewa Sesat
Pemetik Bunga. Sehingga, Siluman Pencabut Nyata ja-
di sampai lupa dengan maksudnya semula, yaitu me-
nangkap Wintari Segera dijauhinya kancah pertarun-
gan dan menonton seperti halnya yang lain.
Melati yang tahu kalau keadaan sama sekali ti-
dak menguntungkan pihaknya, tanpa ragu-ragu lagi
mengeluarkan seluruh kemampuan. Demikian pula
Dewa Sesat Pemetik Bunga. Hal ini membuat per-
tarungan yang berlangsung semakin enak ditonton.
Sementara itu di pertarungan lain yang ber-
langsung antara Dewa Arak melawan Raja Iblis Tanpa
Tanding, juga tidak kalah menarik. Kedua tokoh yang sama-sama berkepandaian amat
tinggi itu sudah bertarung hampir lima puluh jurus. Namun sampai sela-
ma itu, masing-masing pihak belum ada yang menge-
luarkan ilmu andalan.
Tak terasa, sepuluh jurus kembali telah berlalu.
Jurus demi jurus yang digelar berlangsung cepat, karena gerakan dua tokoh yang
bertarung memang cepat.
Bahkan jalannya pertarungan pun hampir tidak bisa
dilihat secara jelas oleh orang-orang berkepandaian rendah. Yang terlihat hanya
kelebatan bayangan kuning dan ungu yang saling belit tapi terkadang saling
pisah. Meskipun sibuk menghadapi Raja Iblis Tanpa
Tanding, Dewa Arak masih sempat mengalihkan perha-
tian pada Melati dan Wintari sesekali. Dan ini menum-buhkan perasaan khawatir
begitu melihat keadaan
mereka yang tidak menguntungkan.
Jelas sekali Dewa Arak melihat Melati tetap saja
belum mampu mendesak lawannya. Padahal, jelas-
jelas gadis berpakaian putih itu telah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ini
membuktikan kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian mengagum-
kan. Hal ini tentu saja membuat Dewa Arak gelisah.
Dia dan Melati masing-masing menghadapi satu orang
lawan saja, namun belum mampu berbuat banyak se-
telah semakin lama. Padahal di belakang masih me-
nunggu calon lawan-lawan lain yang memiliki kepan-
daian tidak kalah hebat. Kalau saja mereka turun bersama-sama, entah apa jadinya
bagi Dewa Arak, Melati, dan Wintari.
Menyadari akan keadaan ini, Dewa Arak memu-
tuskan mencari saat yang tepat untuk menyelamatkan
Melati dan Wintari
"Hih!"
Pada sebuah kesempatan, Dewa Arak melempar
tubuh ke belakang kemudian bersalto. Dan saat itulah pemuda berambut putih
keperakan ini menghentakkan
kedua tangannya ke arah Raja Iblis Tanpa Tanding.
Wusss! Deru angin keras berhawa panas menyengat
meluruk ke arah Raja Iblis Tanpa Tanding. Lelaki yang bermata mengerikan ini
terkejut bukan kepalang. Tapi dengan ketenangan mengagumkan tubuhnya dibanting
ke tanah, kemudian bergulingan. Sehingga, serangan
Dewa Arak mengenai tempat kosong.
Namun Dewa Arak memang tidak memikirkan
keberhasilan serangannya yang memang dimaksudkan
untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan di saat tu-
buh Raja Iblis Tanpa Tanding masih bergulingan di tanah, dia melompat menerjang
Dewa Sesat Pemetik
Bunga. "Minggir, Melati!"
Selagi tubuhnya masih berada di udara, Dewa
Arak mengirimkan sebuah serangan. Laksana seekor
garuda menerkam mangsa, diserangnya Dewa Sesat
Pemetik Bunga dengan sebuah sergapan.
Dewa Sesat Pemetik Bunga terkejut bukan ke-
palang. Padahal, saat itu dia baru saja menghindari serangan maut Melati.
Sehingga, tidak ada lagi kesempa-
tan baginya untuk mengelak. Terpaksa dipapaknya se-
rangan yang dilancarkan Dewa Arak dengan sampokan
kedua tangan. Prattt! "Aaakh...!"
Dewa Sesat Pemetik Bunga memekik kaget. Tu-
buhnya terhuyung, dengan kedua tangan terasa sakit
akibat benturan barusan.
Hanya Dewa Sesat Pemetik Bunga seorang yang
merasakan akibat benturan itu, karena bagi Dewa
Arak benturan itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan ketika kedua
kakinya hinggap di tanah,
Dewa Arak langsung menggenjotnya. Sehingga tubuh-
nya kembali melenting. Hanya saja, kali ini arahnya tertuju ke arah Melati dan
Wintari. "Cepat, Melati!" seru Dewa Arak.
Dan.... Tappp! Tappp! Secepat pergelangan tangan Melati dan Wintari
tercekal, secepat itu pula dibawanya meninggalkan
tempat itu. Pergelangan tangan Melati dicekal dengan tangan kanan, sedangkan
Wintari dengan tangan kiri.
Siluman Pencabut Nyawa, Dewa Sesat Pemetik
Bunga, serta semua anak buah gerombolan Raja Iblis
Tanpa Tanding bergerak mengejar. Tapi baru juga be-
berapa langkah....
"Tahan!"
Seketika itu pula, semua ayunan langkah kaki
terhenti, begitu tahu siapa orang yang membentak.
Siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Tanpa Tand-
ing" "Biarkan mereka pergi," kata Raja Iblis Tanpa Tanding lagi. "Tak usah
dikejar. Kita masih punya urusan yang lebih penting."
Begitu kata-katanya selesai, Raja Iblis Tanpa
Tanding mengayunkan langkah meninggalkan tempat
itu, diikuti Dewa Sesat Pemetik Bunga dan Siluman
Pencabut Nyawa. Baru di belakang kedua orang ini
rombongan anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding lain-
nya. *** Sementara itu Dewa Arak terus berlari. Baru
ketika diyakini telah jauh dan lawan tidak mengejar, larinya dihentikan. Lalu
cekalannya pada tangan Wintari dilepaskan.
"Berbahaya sekali...," ucap pemuda berambut putih keperakan itu setelah
menghembuskan napas
berat. "Kau benar, Kang," sambut Melati. Gadis berpakaian putih ini juga telah
menghentikan larinya.
"Kalau tidak mengalami sendiri, aku tidak akan percaya. Persekutuan tokoh aliran
hitam dalam jumlah
yang besar, pergi berbondong-bondong. Entah apa
yang dicari."
"Sepanjang yang kuketahui, mereka mencari-
cari orang yang berjuluk Singa Hitam Tangan Sepu-
luh," celetuk Wintari.
"Mungkin kau benar, Wintari. Tapi, mengapa
mereka pergi secara bergerombolan begitu" Menurut
pemikiranku, seharusnya membuat kelompok-
kelompok. Karena dengan cara seperti itu, buruan
akan lebih mudah diketemukan," bantah Arya kurang setuju. Wintari langsung diam.
Disadari adanya kebenaran dalam ucapan Dewa Arak Melati pun terlihat
mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui
pendapat itu. "Lalu..., apa yang akan dikerjakan mereka?"
tanya Wintari, ingin tahu.
"Aku sendiri tidak tahu, Wintari. Tapi aku khawatir keamanan dunia persilatan.
Dengan jumlah se-
banyak itu, dan dengan adanya Raja Iblis Tanpa Tanding dan datuk-datuk kaum
sesat, gerombolan itu bisa berbuat banyak. Jelas, malapetaka akan timbul di ma-
na-mana!" "Kau benar, Kang," sambut Melati membenarkan. Dirasakan kekhawatiran kekasihnya
mempunyai alasan kuat. "Kunci satu-satunya hanya pada Singa Hitam
Tangan Sepuluh. Aku yakin, dia mengetahui rencana
Raja Iblis Tanpa Tanding, sehingga dicari-cari."
"Mungkin kau benar, Kang. Apakah tidak se-
baiknya kita mencari Singa Hitam Tangan Sepuluh?"
Dewa Arak tersenyum sabar.
"Pemikiran seperti itu sudah masuk dalam be-
nakku, Melati. Tapi, bagaimana dengan rombongan
Raja Iblis Tanpa Tanding" Haruskah kita mencari Sin-ga Hitam Tangan Sepuluh, dan
kita biarkan gerombo-
lan Raja Iblis Tanpa Tanding merajalela"!"
Seruling Samber Nyawa 15 Tokoh Besar Karya Khu Lung Kereta Berdarah 14
^