Pencarian

Runtuhnya Sebuah Kerajaan 1

Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan Bagian 1


RUNTUHNYA SEBUAH KERAJAAN
Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode 34:
Runtuhnya Sebuah Kerajaan
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Angin berhembus agak keras, dan sudah tidak terasa sejuk lagi di kulit.
Sehingga, membuat rambut sepasang anak muda yang sama-sama berwajah
menawan menjadi berkibaran dipermainkan angin.
Mereka memang tengah melangkah perlahan-lahan menyusuri jalan setapak yang di
kiri kanannya ditumbuhi pepohonan besar dan semak belukar.
Memang, saat ini matahari sudah sejak tadi muncul di langit.
Yang seorang mengenakan pakaian ungu. Dia
adalah seorang pemuda berwajah tampan dan kokoh.
Tubuhnya tegap berisi. Usianya bisa diperkirakan tak akan lebih dari dua puluh
dua tahun. Tapi anehnya, rambutnya berwama putih! Warna rambut yang hanya layak
dimiliki orang yang telah berusia lanjut. Sebuah guci arak terbuat dari perak
tampak menggantung di punggungnya. Ciri-ciri siapa lagi dalam rimba persilatan,
kalau bukan tokoh yang bernama Arya Buana alias Dewa Arak!
Sedangkan gadis berpakaian putih yang berjalan bersamanya, sudah tentu Melati.
Dia adalah putri angkat Raja Bojong Gading.
"Rasanya aku sudah tak sabar lagi untuk segera tiba di Kotaraja Bojong Gading,
Kang...," keluh Melati tanpa menghentikan langkah kakinya.
Arya menolehkan kepala. Dilepaskannya seulas senyum pada Melati. Dia tahu,
kekasihnya ini sudah tidak sabar untuk segera tiba di Istana Bojong Gading.
Akibat dirinya terkecoh oleh penjahat-penjahat yang mengaku sebagai pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading, memang telah menimbul-
kan keinginan Melati untuk menjenguk ayah angkat-nya.
Dulu Melati pernah ditipu adanya kabar kalau ayahnya telah sakit keras. Tapi
nyatanya, kabar itu hanya sekadar bualan belaka agar Melati terpisah dengan Dewa
Arak. Dan begitu terpisah, Melati akan dibunuh oleh penjahat-penjahat itu.
Untungnya, usaha mereka ternyata gagal.
Dan sekarang, Dewa Arak dan Melati dalam
perjalanan menuju ke Kerajaan Bojong Gading (Untuk jelasnya, silakan baca serial
Dewa Arak dalam episode "Dalam Cengkeraman Biang Iblis").
"Bagaimana kalau kita menggunakan ilmu lari cepat agar bisa mempersingkat
perjalanan ini, Melati?" usul Arya setelah terlebih dahulu
mengawasi sekeliling untuk meyakinkan bahwa tempat itu sunyi dan sepi.
"Usul seperti itulah yang sejak tadi kutunggu-tunggu keluar dari mulutmu, Kang,"
sambut Melati cepat.
"Baiklah kalau itu maumu," kata Arya. "Tapi..., di desa terdekat kita harus
mampir di kedai dulu, Melati."
"Untuk apa, Kang?" Melati mengeryitkan keningnya.
"Mengisi guci arakku dulu."
Melati sama sekali tidak memberi sambutan.
Tentu saja hal itu membuat Arya semakin penasaran.
"Bagaimana, Melati" Setuju?"
"Tunggu apa lagi, Kang?" Melati malah balas bertanya.
Maka tanpa berkata lagi, Melati langsung melesat ke depan. Tahu akan kelihaian
kekasihnya, tanpa ragu-ragu lagi putri angkat Raja Bojong Gading itu mengerahkan
seluruh kemampuannya. Dia tahu,
Arya tidak akan mengalami kesulitan untuk
mengejarnya. Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat tubuh Melati telah
puluhan tombak di depan. Karena tak ingin kehilangan jejak, Arya segera bergerak
mengejar. Tapi baru beberapa tombak, tiba-tiba....
Wusss...! Tiba-tiba sebuah suara mendesir mengarah ke tubuh Dewa Arak. Ternyata sebuah
kayu gelondongan yang di sekitarnya penuh ditancapi bambu-bambu berujung runcing dan
berbau amis, menyambar ke arah Arya.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru langkah kakinya yang hendak
melesat ke depan dirubah dengan sebuah totolan. Maka tubuhnya pun melenting
kembali ke belakang. Sehingga, benda berduri itu meluncur melewati dadanya, yang
berjarak beberapa jengkal saja. Namun demikian, angin desingannya cukup terasa
jelas di kulit Arya.
Belum juga kedua kaki Dewa Arak mendarat di tanah, benda-benda berkilatan
menyambar ke arahnya, diiringi suara berdesing nyaring. Melihat hal ini, Dewa Arak kaget
bukan kepalang. Sepasang matanya yang tajam bisa menangkap kalau benda-benda
berkilatan yang menuju ke arahnya tidak lain adalah pisau terbang. Dan menilik
dari desingannya, bisa diketahui kekuatan tenaga dalam pemiliknya.
Pemuda berambut putih keperakan itu langsung mengerahkan tenaga dalamnya pada
kedua tangan. Lalu serangan itu dipapaknya dengan sampokan kedua tangan.
Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras terdengar ketika kedua tangan Dewa Arak berbenturan dengan
pisau-pisau yang menuju ke arahnya. Senjata-senjata itu pun terpental tak tentu arah. Malah
sebagian kecil menuju ke arah asalnya. Bahkah suara luncurannya jauh lebih
nyaring daripada sebelumnya. Hal ini membuktikan kalau pisau-pisau itu melesat
begitu cepat. Prasss, prasss, cappp. .!
"Akh...! Terdengar jerit kesakitan, pertanda ada di antara pisau-pisau itu yang mengenai
pemiliknya sendiri.
Sedangkan sebagian besar menancap di pohon, atau lenyap ke dalam kerimbunan
semak-semak. Namun begitu kaki Dewa Arak mendarat di tanah, tiba-tiba. ...
Brusss...! Jantung Arya bagai mencelos ketika merasakan landasan yang dipijaknya amblas.
Maka, tubuhnya seketika meluncur terus ke bawah. Benaknya
berputar, dan langsung menyadari kalau dirinya telah masuk perangkap.
Dalam keadaan meluncur, Arya langsung
memandang ke bawah. Sebagai orang yang bersikap waspada, dia langsung mengetahui
bahaya yang terkandung di bawah sana.
Dugaan Dewa Arak sama sekall tidak meleset. Di dasar lubang tampak puluhan mata
tombak siap merejam tubuhnya. Tombak-tombak itu memang
sengaja ditanam di dalam tanah, dengan ujung-ujungnya mengarah ke atas. Bahkan
dari bau amis yang menyebar di sekitamya, Dewa Arak tahu kalau ujung tombak itu
beracun. Baunya benar-benar memualkan perut dan memusingkan kepala. Tentu saja
melihat hal ini, Dewa Arak tak mau mati sia-sia.
Maka... "Hih...!"
Selagi tubuhnya belum mencapai dasar lubang, Arya segera menusukkan tangannya ke
arah dinding lubang.
Jrebbb, jrebbb...!
Kedua tangan Dewa Arak langsung amblas ke sisi lubang. Maka dengan sendirinya,
luncuran tubuh Arya pun tertahan. Dan kini, tubuhnya bergelantungan dalam jarak
satu tombak dari ujung-ujung tombak yang siap merejam tubuhnya.
Arya memandang ke bawah sejenak. Benaknya
sibuk menimbang-nimbang sebelum memutuskan
tindakan yang akan dilakukan. Baru setelah merasa pasti, tangannya yang
terhunjam dalam di sisi lubang dilepaskan, sehingga tubuhnya kembali meluncur ke
bawah. Tapi kali ini luncurannya berbeda dengan
sebelumnya. Sekarang tubuh Arya meluncur tidak secepat tadi. Tambahan lagi,
tindakan itu memang telah diperhitungkan secara cermat, disertai pengerahan ilmu
meringankan tubuh.
'Hup...!" Ringan laksana segumpal kapas, kedua kaki Dewa Arak mendarat di ujung-ujung
tombak yang runcing itu. Lalu, kepalanya ditengadahkan ke atas untuk melihat
tanah berumput yang tadi ambrol sewaktu kedua kakinya hinggap.
Dewa Arak mengukur ketinggian lubang itu dari tempatnya berpijak. Jaraknya, tak
kurang dari dua setengah tombak. Diam-diam hatinya memuji
kerajinan orang yang telah membuat rangkaian jebakan itu. Pertanyaan demi
pertanyaan bergelayut di benaknya. Apakah rangkaian perangkap ini memang
ditujukan untuknya" Apabila hal itu benar, berarti semua sudah direncanakan!
Lalu, siapakah yang ingin menjebaknya"
Tapi Arya segera menepiskan semua pertanyaan itu dari benaknya. Yang harus
dilakukannya sekarang adalah keluar dari tempat itu sebelum orang yang membuat perangkap ini
melanjutkan perangkap lainnya.
Arya menekuk kedua lututnya, kemudian kedua kakinya bergerak menggenjot. Maka,
seketika tubuhnya pun melayang ke atas.
Bahaya yang dikhawatirkan Dewa Arak ternyata terbukti. Selagi tubuhnya baru
mencapai separuh perjalanan, di pinggir-pinggir lubang bermunculan beberapa buah
busur dalam keadaan siap dilepaskan.
Dan... Twanggg, twanggg, twanggg...!
Beberapa buah anak panah meluncur cepat ke
arah tubuh Dewa Arak yang tengah meluncur. Tentu saja hal ini membuat pemuda
berambut putih keperakan itu terkejut bukan kepalang. Lubang itu sempit, sehingga tidak
memungkinkan untuk
mengelak. Segera tenaga pada kedua tangannya dikerahkan, dan dipapaknya anak
panah yang meluncur ke arahnya.
Tak, tak, tak...!
Anak-anak panah itu langsung berpatahan ketika berbenturan dengan kedua tangan
Dewa Arak. Memang, dalam pengerahan tenaga dalamnya, kedua tangan Arya jadi lebih keras
ketimbang baja.
Dewa Arak memang berhasil mengkandaskan
semua serangan itu. Tapi, ternyata hal itu harus ditebus mahal. Dengan terpaksa
tubuhnya kembali meluncur deras ke bawah.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa bergelak bemada penuh kegembiraan terdengar dari atas lubang.
"Terimalah kematianmu, Dewa Arak...!"
Berbareng lenyapnya suara keras itu, dari atas kembali meluncur berbagai macam
senjata ke dalam lubang. Anak panah, tombak, pisau, golok, dan beraneka ragam
senjata lainnya, siap merejam tubuh Dewa Arak!
*** Arya memutar otak untuk menyelamatkan
selembar nyawanya. Dua ancaman maut tengah
tertuju ke arahnya. Dan apabila tidak diperhitungkan secara cermat cara untuk
menyelamatkan diri dalam waktu singkat, nyawanya jelas akan melayang ke alam
baka. Maka sebuah keputusan telah diambil Arya. Dia harus bertindak seperti
sebelumnya, kalau ingin selamat dari ancaman maut ini.
"Hih...!"
Sambil menggeram marah, Dewa Arak menusukkan tangannya ke dinding lubang.
Tapi... Wusss...!
Ternyata tangan Arya hanya menjangkau angin, dinding lubang itu sama sekali
tidak tersentuh oleh jari-jari tangannya. Ujung-ujung jarinya masih berjarak
beberapa jari dari dinding lubang.
Tubuh Arya terus meluncur turun, diburu
beraneka ragam senjata yang meluncur dari atas lubang. Sedangkan di bawahnya,
menanti puluhan ujung tombak yang siap menyate tubuh Dewa Arak.
Arya hampir putus asa. Dia sudah bemiat
mengambil tindakan untung-untungan. Kedua
kakinya harus mendarat di ujung-ujung tombak itu, lalu menangkis serangan yang
mengancamnya. Untungnya di saat yang gawat itu, Dewa Arak teringat akan keris miliik
Brajageni. Memang, keris itu kini berada di tangannya (Untuk lebih jelasnya,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Perkawinan Berdarah", yang merupakan lanjutan dari episode "Dalam Cengkeraman
Biang Iblis").
Secepat teringat akan keris itu, secepat itu pula tangan kanannya dimasukkan ke
balik baju. Dan ketika ditarik kembali, dalam genggamannya telah tercekal sebuah
keris dalam keadaan terhunus. Keris yang mengandung hawa dingin, dan membekukan
urat-urat tubuh orang yang menjadi lawan si pemegang keris.
Wuttt..! Crabbb...!
Keris itu kontan amblas ke dalam dinding lubang hingga sampai ke gagangnya. Dan
dengan sendirinya, luncuran tubuh Arya terhenti. Maka kini, tubuhnya
bergelantungan di pertengahan dasar lubang.
Dan pada saat itulah, beraneka ragam senjata meluruk deras ke arahnya. Betapapun
tubuh Dewa Arak telah merapat ke dinding lubang, tapi karena terialu banyak
senjata yang meluruk ke arahnya, usaha yang dilakukannya jadi sia-sia. Tetap
saja senjata-senjata itu mengenai berbagai bagian tubuhnya.
Untung saja Dewa Arak sudah memperhitungkan hal itu. Maka tenaga dalamnya segera
dikerahkan untuk membuat kulit tubuhnya kebal dan tidak terluka oleh luncuran
senjata-senjata tajam itu.
Pemuda berambut putih keperakan ini hanya
melindungi kepala dari sambaran berbagai macam senjata itu. Sehingga, luncuran
beraneka senjata itu sama sekali tidak mengenai kepalanya, tapi
tertangkis tangannya.
Tak, tak, takkk...!
Suara berdetak keras terdengar ketika hujan berbagai macam senjata berbenturan
dengan tubuh atau tangan Dewa Arak. Senjata-senjata itu pun
kontan berpentalan kembali dalam keadaan patah-patah. Memang, dalam ancaman
bahaya maut seperti ini, Arya tidak ragu-ragu lagi mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Beberapa saat lamanya hujan berbagai macam
senjata itu terjadi, dan selama itu pula Dewa Arak sibuk menangkalnya. Tangan
maupun seluruh tubuhnya dialiri tenaga dalam, sampai hujan berbagai macam senjata itu terhenti.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas lega, tapi hanya
sebentar saja. Karena, pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara
bergemuruh di atas sana.
Meskipun tidak melihat, namun Dewa Arak bisa menduganya. Pengalaman yang
mengajarkan kepadanya, kalau suara bergemuruh itu tak lain dari suara menggelindingnya batu-
batu. Bisa diperkirakan kalau orang-orang yang telah menjebaknya seperti ini,
tengah menggelindingkan baru besar.
Dugaan Dewa Arak memang tepat Di atas tanah, para penjebaknya tengah sibuk
mendorong sebuah batu besar. Jumlah mereka tak kurang dari lima belas orang, dan
semuanya mengenakan pakaian prajurit suatu kerajaan.
Sadar akan bahaya besar yang mengancam, Dewa Arak memutar benaknya untuk
menyelamatkan diri.
Hanya dalam waktu sebentar saja, sudah di-
temukan jalan keluar. Dan....
"Hih...!"
Dewa Arak memukulkan tangan kirinya yang
bebas ke dinding.
Pyarrr...! Dinding batu itu ambrol disertai suara hiruk-pikuk. Memang, pukulan yang
dilancarkan Dewa Arak disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hahhh..."!"


Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seruan keterkejutan keluar dari mulut Dewa Arak ketika melihat lorong memanjang
ke dalam pada bagian dinding yang dipukulnya. Perasaan penasaran mendorongnya
untuk menguak lebih lebar lagi. Dan hasil yang didapat, membuat Dewa Arak
tertegun. Ternyata benar-benar ada sebuah lorong memanjang, namun tampak gelap pekat.
Garis tengahnya tak lebih dari setengah tombak, jadi untuk merangkak cukup
sulit. Hati Dewa Arak merasa lega melihat kenyataan ini. Dia menduga, sudah ada jalan
baginya untuk menyelamatkan din. Maka, kepalanya menoleh ke atas ketika suara
bergemuruh itu tidak terdengar lagi.
Tampak oleh Dewa Arak seraut wajah yang
memiliki kumis lebat
"Ha ha ha...! Dewa Arak...! Saat ajalmu sudah tiba!
Ha ha ha...! Selamat berjumpa dengan malaikat maut! Ha ha ha...!"
Setelah mengucapkan kata-kata bernada penuh kemenangan, laki-laki berkumis lebat
itu memberi aba-aba dengan suara keras.
"Dorong...!"
Seiring lenyapnya suara laki-laki berkumis lebat Itu, kembali terdengar suara
bergemuruh keras.
Jelas, batu besar itu telah kembali didorong.
Dewa Arak kini mengerti maksud para penjebaknya. Mereka ingin mengurungnya di
dalam lubang jebakan ini! Untung saja telah ditemukan lubang penyelamat.
Meskipun belum diketahui kemana tembusannya, tapi telah cukup melegakan hatinya.
Brukkk...! Diiringi suara bergemuruh keras, batu besar itu menutupi lubang jebakan tempat
Dewa Arak terperangkap. Kontan keadaan di dalam lubang jebakan itu jadi gelap pekat karena
sinar matahari tidak bisa lagi menembus ke dalamnya.
"Ha ha ha...!"
Masih sempat terdengar oleh telinga Dewa Arak, suara tawa keras bernada penuh
kemenangan. Memang, dia tidak melihat pemilik tawa itu. Tapi, yang jelas sudah bisa dikenali
nada suaranya. Siapa lagi kalau bukan laki-laki berkumis lebat tadi"
Tapi, Dewa Arak tidak mau memusingkan hal itu lagi. Masih ada urusan yang lebih
penting dan harus didahulukan, yakni menyelamatkan nyawanya!
Karena tidak ada pilihan lain lagi, tanpa ragu-ragu pemuda berambut putih
keperakan itu segera masuk ke dalam lubang yang ditemukannya tanpa sengaja.
Karena kecilnya ukuran lubang itu, Arya hanya bisa menempuhnya dengan merayap
seperti seekor ular.
Tentu saja dengan cara seperti itu, perjalanan yang dilakukan berlangsung amat
lama. Tombak demi tombak ditempuh Arya secara lambat.
Sementara, lubang itu sama sekali belum
menampakkan tanda-tanda akan berakhir.
Namun, Dewa Arak tidak putus asa. Tubuhnya
terus merayap, meskipun tidak tahu berapa lama hal itu harus dilakukan, dan
berapa jauh jarak yang telah ditempuhnya.
Arya baru berhenti merayap apabila telah lelah.
Dia beristirahat sejenak, dan meminum araknya dengan susah-payah karena tempat
yang sangat sempit. Hanya sedikit saja araknya diteguk, karena belum tahu sampai
berapa lama lorong ini akan berakhir.
Melakukan perjalanan seperti itu tentu saja sangat melelahkan. Dan hal itu pun
dirasakan pula oleh Dewa Arak. Tak heran, kalau dia sering berhenti dan beristirahat Arya hanya
minum sedikit tanpa makan, karena memang tidak ada sesuatu yang bisa dimakan.
Itulah nasib Arya. Dia terus saja merayap
menyusuri lorong gua yang seperti tidak ada putusnya. Rasa lapar yang melilit
perut, rasa haus yang mencekik tenggorokan, melanda perjalanan menuju ujung
lorong. Entah berapa hari Arya menempuh lorong itu. Dan kini, dia melihat ada sebuah
kelainan pada lorong yang ditempuhnya. Sekarang pandangan mata Dewa Arak tidak
hanya bertemu kepekatan ketika melihat ke depan. Kini di kejauhan, samar-samar
terlihat sinar terang yang menyilaukan.
"Hhh...!"
Suara desah bernada kelegaan keluar dari mulut pemuda berambut putih keperakan
itu. Di saat dia hampir putus asa, akhirnya ditemukan juga ujung lorong itu.
Maka, kontan semangat Arya pun bangkit kembali.
Seiring timbulnya semangat, kecepatan merayap Arya pun mengalami perubahan.
Kini, tidak lagi loyo seperti sebelumnya.
Sinar terang itu ternyata memang berasal dari ujung lorong yang berbatasan
dengan dunia luar. Dan kini, Arya telah berada di ujungnya.
Namun, hati Dewa Arak kontan tercengang ketika mengetahui kalau akhir lorong
yang ditempuhnya ternyata berujung pada sebuah tebing yang di bawahnya terhampar
lautan luas! Beberapa saat lamanya Dewa Arak menatap ke bawah, ke air laut yang
terhampar. Permukaan laut itu tampak tenang.
Setelah menenangkan hati sejenak, Arya segera melompat ke bawah. Memang, jarak
antara ujung lorong itu dengan permukaan laut, tidak lebih dari sepuluh tombak!
Sesaat tubuh Arya melayang-layang di udara, kemudian....
Byurrr...! Air laut bermuncratan tinggi ke udara ketika tubuh Dewa Arak menimpa
permukaannya. Tubuhnya pun tenggelam beberapa saat sebelum akhirnya timbul kembali.
"Pruhhh...!"
Ketika telah timbul kembali di atas permukaan air laut, Arya segera menggoyang-
goyangkan kepalanya perlahan. Kemudian, dia menyelam kembali lalu timbul lagi.
Pemuda berambut putih keperakan itu merasakan betapa segar tubuhnya setelah lama
tidak bertemu air.
Setelah puas bermain-main dengan air, baru Dewa Arak berenang ke tepi pantai.
Dia harus tiba di Istana Bojong Gading secepatnya. Bukankah dia dan Melati
tengah menuju ke sana" Sebenarnya Arya sama sekali tidak tahu kalau dirinya
berada di dalam lorong itu selama dua hari. Pemuda berpakaian ungu itu hanya
tahu kalau perjalanan dari pantai itu ke Kerajaan Bojong Gading memakan waktu
satu hari. *** 2 Telah beberapa hari Melati mencari Dewa Arak yang tiba-tiba hilang entah ke
mana. Gadis putri angkat Raja Bojong Gading itu jadi bingung setengah mati.
Dia memang sempat menunggu seharian, begitu menyadari kalau Arya tidak ada di
belakangnya. Dikira, Arya hanya menggoda saja. Tapi setelah seharian menunggu tidak juga
bertemu, jelas itu bukan suatu godaan. Maka, dia kemudian memutuskan untuk
mencari Dewa Arak lebih dulu.
Belum juga hilang rasa bingung yang mencekam hati Melati, pergelangan kaki
kanannya seperti terjerat sesuatu. Dan sebelum sadar, tubuhnya sudah terangkat
ke atas pohon! Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Seperti sekejapan mata saja. Tapi, masih
lebih cepat lagi putaranan benak Melati. Maka begitu tubuhnya terasa melayang ke
atas, langsung pedangnya dicabut.
Tappp! Bertepatan dengan tubuhnya yang tergantung di atas cabang pohon dengan kepala di
bawah, karena pergelangan kaki kanannya terjerat tali, Melati berhasil mencekal
pedangnya. Maka secepat pedang itu tercekal tangannya, secepat itu pula
dibabatkan ke arah tali yang mengikat pergelangan kakinya.
Tasss! Tali itu kontan putus. Namun mau tak mau tubuh Melati melayang ke bawah. Namun
dengan gerakan indah, tubuhnya langsung berputar beberapa kali di udara. Dan....
"Hup...!"
Baru saja kedua kaki Melati mendarat di tanah, terdengar suara berkerotokan
keras, disusul ber-munculannya sosok-sosok tubuh dari balik kerimbunan semak-
semak dan pepohonan di sekelilingnya.
Cepat bukan main gerakan sosok-sosok tubuh itu.
Begitu keluar dari tempat persembunyian, mereka langsung melancarkan serangan ke
arah Melati. Dan kini, hujan senjata pun meluruk ke arah berbagai bagian tubuh
gadis berpakaian putih itu.
Singgg, singgg, singgg...!
Suara mendesing yang cukup nyaring, diiringi berkeredepnya sinar-sinar
berkilatan dari senjata para penyerang, mengawali meluncurnya serangan ke arah
sasaran. Namun Melati tetap bersikap tenang. Sama sekali sikapnya tidak tampak gugup
mendapat serangan yang bertubi-tubi itu. Bahkan dalam kesempatan yang singkat
itu, pandangannya masih sempat beredar ke sekeliling untuk memperhatikan lawan-
lawannya. Meskipun hanya sekilas, Melati bisa mengetahui kalau jumlah pengeroyoknya tak
kurang dari sepuluh orang. Mereka rata-rata mengenakan seragam
kerajaan. Entah kerajaan mana, putri angkat Raja Bojong Gading ini sama sekali
tidak mengetahuinya.
Melati tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena serangan-serangan para
pengeroyoknya telah meluncur tiba. Maka buru-buru pedangnya digerakkan untuk
menangkis serangan-serangan itu.
Trang, trang, trang...!
Benturan nyaring diiringi berpercikannya bunga-bunga api ke udara, membuat
suasana di hutan menjadi terang dan ramai.
"Akh...!"
Keluhan kesakitan terdengar dari mulut para pengeroyok Melati. Mereka merasakan
tangan yang menggenggam senjata seperti lumpuh. Dan tanpa dapat dicegah,
senjata-senjata itu pun terlepas dari pegangan. Memang, gadis itu telah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menangkis serangan-serangan itu. Para
pengeroyoknya yang hanya berkepandaian pas-pasan mana mampu bertahan"
Melati tidak mau memberi kesempatan. Maka
pedang di tangannya pun diluncurkan, membabat ke arah para pengeroyok yang
berada di depannya.
Untung saja, tidak diarahkan ke bagian tubuh yang berbahaya. Melati memang tidak
ingin membunuh mereka. Gadis itu ingin menangkap mereka hidup-hidup untuk
ditanyakan alasan mengapa hendak membunuhnya. Barangkali saja hal ini hanya
kesalahpahaman belaka.
Melati sudah memperkirakan keempat orang itu akan tersungkur di tanah dengan
bahu terluka. Maka, bisa diperkirakan betapa kaget dan men-dongkolnya hati gadis berpakaian
putih ini ketika melihat kenyataan kalau lawan-lawannya mampu menghindari
ancaman pedangnya.
Serempak empat orang prajurit itu cepat mencabut sesuatu dari balik punggungnya.
Kemudian, dengan cepat dipapaknya ujung pedang Melati.
Trang, trang, trang...!
Suara berdentang keras terdengar berkali-kali ketika ujung pedang Melati
berbenturan dengan sesuatu yang diambil para prajurit itu dari balik punggung
yang ternyata sebuah tameng.
Dan sebelum putri angkat Raja Bojong Gading ini berbuat sesuatu, prajurit-
prajurit lain kembali melancarkan serangan. Di tangan mereka kini telah
tergenggam tameng, di samping pedang yang telah diambil kembali.
Melati menggertakkan gigi. Gadis yang memiliki watak keras hati ini merasa
kesal. Dan akibatnya, serangannya makin ditingkatkan.
Kejengkelan Melati semakin bertambah ketika menyadari kekompakan lawan-lawannya.
Jelas, mereka adalah pasukan-pasukan yang terlatih. Di samping ltu, mereka mampu
menggunakan tameng dengan baik. Tameng itu memang menyulitkan
Melati untuk menjatuhkan serangan, karena tak ubahnya seperti benteng.
Para prajurit itu rupanya sudah mengetahui
kelihaian Melati. Rupanya bentrokan pertama telah menyadarkan mereka akan
kelihaian putri angkat Raja Bojong Gading itu. Maka mereka mengambil keputusan
untuk tidak sembarangan mengadu
pedang. Kecuali, menggunakan tameng yang dapat meredam pengaruh kekuatan tenaga
Melati. Dua puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, Melati masih belum mampu melukai
seorang pun Iawannya. Karuan saja hal ini membuatnya geram bukan kepalang.
Padahal, dia dulu terkenal sebagai tokoh persilatan yang berjuluk Dewi Penyebar
Maut! Tapi kini, sama sekali dia tidak mampu mem-
bereskan lawan-lawannya yang hanya terdiri dari belasan orang prajurit kerajaan.
Kalau didengar tokoh-tokoh persilatan, mau ditaruh mana mukanya"
Teringat akan hal ini, menimbulkan kegeraman yang amat sangat di hati Melati.
Kini dia pun tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan ilmu andalannya,
'Pedang Seribu Naga'.
Wunggg...! Suara menggerung keras seperti naga murka
terdengar ketika Melati mulai mempergunakan ilmu
Pedang Seribu Naga. Memang hebat bukan kepalang ilmu pedang andalannya. Begitu
dikeluarkan, kontan kepungan para pengeroyoknya membuyar, seperti semut
menerjang api. Tameng-tameng yang semula kokoh membentengi tubuh para prajurit, kini sama
sekali tidak berguna.
Ilmu 'Pedang Seribu Naga' memang tidak hanya besar namanya saja, tapi juga pada
kenyataannya. Serangannya bertubi-tubi dan saling menyusul dahsyat. Seakan-akan, memang ada
seribu naga yang tengah menyerang. Memang, ilmu 'Pedang Seribu Naga'
menitikberatkan pada serangan.
"Akh...!"
Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul dari mulut para prajurit itu. Tameng-
tameng mereka kontan terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah begitu
pergelangan tangan yang menggenggamnya tersabet pedang Melati.
Sebuah keuntungan bagi mereka. Meskipun
merasa geram bukan kepalang, Melati masih mempunyai rasa kasihan. Apalagi, gadis
itu sadar kalau dirinya tidak mempunyai urusan dengan prajurit-prajurit yang
dihadapinya. Maka, dia tidak mau bertindak kejam. Putri angkat Raja Bojong
Gading itu hanya melukai pergelangan tangan mereka.
Cukup parah memang, tapi tidak sampai membuat tangan itu putus.
Dalam beberapa gebrakan saja, Melati telah membuat lawan-lawannya tidak berdaya.
Tubuh-tubuh mereka bergeletakan di tanah, tanpa mampu bangkit lagi.
Kini yang dilakukan para prajurit itu hanya merintih-rintih kesakitan. Mereka
semua terluka dalam yang cukup parah, sehingga tidak bisa bangkit lagi.
Trek! Melati menyarungkan pedangnya kembali.
Kemudian dengan sorot mata dingin, kakinya
melangkah menghampiri kumpulan prajurit yang tergolek di depannya. Memang,
lawan-lawan Melati bergeletakan tidak di satu tempat, melainkan di
sekelilingnya. Hanya dalam beberapa langkah, Melati telah
terdiri di hadapan kelompok prajurit yang berada di depannya.
"Katakan..., mengapa kalian menyerangku?" tanya Melati, dingin nada suaranya.
"Cepat! Sebelum kesabaranku hilang, dan menyiksa kalian!"
Para prajurit itu saling berpandangan satu sama lain. Raut wajah mereka
memancarkan ketegangan hebat. Maka karuan saja hal itu membuat Melati heran.
Namun sebelum gadis berpjkaian putih ini
mengajukan pertanyaan kembali, terdengar keluhan yang membuatnya terkejut
Kepalanya segera
menoleh ke arah asal suara. Dan....
Sepasang mata Melati kontan terbelalak ketika melihat kelompok prajurit yang
tadi berada di sebelah kanannya tengah meregang maut Di perut mereka tampak
terhunjam sebilah pisau hingga gagangnya. Yang membuat kaget hati putri angkat
Raja Bojong Gading itu bukan pisaunya, melainkan tangan yang menghunjamkan
pisau! Tangan itu adalah tangan si pemilik perut sendiri. Jadi, prajurit itu
bunuh diri! Dan yang lebih gila lagi, tidak hanya seorang saja yang bertindak nekat itu,
tapi semua prajurit di kelompok kanan tadi.
Belum juga Melati sempat berbuat sesuatu,
kembali terdengar keluhan yang sama. Kali ini,
berasal dari kumpulan prajurit yang tengah
ditanyainya. Dan ketika kepalanya menoleh, kejadian yang sama juga tengah
berlangsung. Keterkejutan yang melanda hati, membuat Melati tidak mampu mencegah tindakan
bunuh diri lawan-lawannya. Sesaat kemudian, semua prajurit itu telah terkapar
tewas!

Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melati hanya bisa menatap mayat-mayat yang
tergeletak di bawah kakinya. Berbagai pertanyaan langsung berkecamuk di
benaknya. Mengapa para prajurit itu ingin membunuhnya" Dan mengapa ketika
ditanya alasannya sama sekali tidak menjawab" Bahkan malah bunuh diri. Lalu, ke
mana pula perginya Arya" Mengapa sampai sekarang kekasihnya itu tidak
menyusulnya"
Pertanyaan-pertanyaan itu bergulung-gulung
dalam benak Melati tanpa menemukan jawabannya.
Hal itu membuatnya menjadi kesal sendiri. Maka di-singkirkan pikiran-pikiran itu
kecuali.yang mengenai diri Arya. Mengapa Arya belum juga menyusulnya"
Setelah beberapa saat lamanya menungggu namun tidak juga terlihat tanda-tanda
kemunculan kekasihnya, maka Melati memutuskan untuk kembali ke tempat semula
saat meninggalkan Dewa Arak.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis itu
segera melesat cepat ke tempat semula. Tanpa ragu-ragu pula, seluruh ilmu
meringankan tubuhnya dikerahkan. Sehingga, yang terlihat hanyalah seleret
bayangan putih yang tak jelas bentuknya tengah melesat cepat menuju ke Timur.
Tapi belum juga berapa lama berlari, Melati mendengar suara langkah-langkah kaki
di kejauhan. Semula dia tidak ingin mempedulikannya, dan mencari jalan lain agar tidak
berpapasan. Tapi karena rasa ingin tahu mendorongnya, maka dia
cepat melompat naik ke atas pohon yang berada tepat di belakangnya.
Tappp...! Tanpa menimbulkan getaran sedikit pun, kedua kaki Melati hinggap di cabang
pohon. Dan dari balik kerimbunan dedaunan yang cukup lebat, ditunggu-nya
kehadiran pemilik langkah kaki itu.
Semakin lama, semakin terdengar jelas suara langkah-langkah itu. Ini berarti
usaha Melati tidak sia sia. Pemilik langkah kaki yang menurut per-kiraannya
lebih dari sepuluh orang itu memang menuju ke arah yang baru ditinggalkannya.
Sepasang mata Melati membelalak lebar, dan
jantungnya pun berdetak lebih cepat ketika melihat pemilik langkah yang
berjumlah tak kurang dari lima belas orang itu mengenakan pakaian yang sama
dengan prajurit yang baru saja menyerang dirinya.
Apakah mereka ini memang satu kelompok dan satu kerajaan"
Pertanyaan yang menyelinap di dalam hati membuat Melati menjadi semakin tertarik
untuk menyelidiki belasan orang berpakaian prajurit itu.
Dia menanti hingga rombongan prajurit itu lewat di bawahnya.
Dan seiring semakin mendekatnya rombongan itu, hati Melati kontan berdetak
kencang. Dan itu terjadi ketika mendengar pembicaraan mereka.
"Mudah-mudahan Angkara berhasil pula me-
namatkan riwayat gadis itu! Dan dengan demikian, penyerangan besar-besaran
terhadap Kerajaan Bojong Gading bisa segera dimulai," kata salah seorang di
antara belasan orang itu. Dia berwajah tinggi besar dan berkumis lebat
"Dan.., Kerajaan Bojong Gading pun pasti akan hancur berantakan! Bukankah
begitu, Jaladra?"
sambut yang bertahi lalat di bawah bibir.
"Ha ha ha...!"
Laki-laki tinggi besar yang ternyata bernama Jaladra tertawa terbahak-bahak.
Tampak jelas kalau hatinya merasa gembira bukan kepalang. Dan
sekejap kemudian, suara tawa yang riuh rendah segera memecah kesunyian hutan
itu. 'Tapi menurutku..., meskipun Angkara gagal toh hal itu tidak terlalu penting.
Gadis itu tidak terlalu berbahaya. Dengan kata lain, penyerangan terhadap Istana
Bojong Gading pun tetap akan dilanjutkan meskipun Angkara gagal! Bukan begitu,
Jaladra?" sambut laki-laki bertubuh pendek kekar.
Jaladra mengangguk-anggukkan kepala.
"Memang. Sasaran utama kita bukanlah gadis itu.
Dan tugas itu telah berhasil kita selesaikan dengan baik!"
Sementara itu, jantung Melati semakin cepat berdetak. Ketegangan seketika
melanda hatinya.
Betapa tidak" Kerajaan Bojong Gading akan diserbu!
Ini benar-benar kejutan yang amat besar! Kerajaan mana yang akan menyerbu" Dan
siapakah gadis yang dimaksudkan rombongan prajurit itu" Apakah dirinya" Dan
siapa pula orang yang menjadi sasaran utama mereka" Begitu pentingkah orang itu
sehingga penyerbuan terhadap Istana Bojong Gading pun dilakukan setelah orang
itu dibereskan"
Perasaan ingin tahu yang amat besar, mendorong Melati untuk mengikuti rombongan
prajurit itu. Memang, rombongan itu telah melalui pohon tempatnya bersembunyi.
Dengan hati-hati, Melati menguntit. Ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan sampai
ke puncaknya, agar langkah kakinya tidak terdengar oleh rombongan itu.
Melati juga telah turun dari cabang pohon tempatnya mengintai. Kini dia
mengikuti dengan menyelinap di balik kerimbunan semak-semak dan
pepohonan. Sepasang matanya beredar mengawasi tanah, berjaga-jaga agar langkah
kakinya tidak melanggar ranting kering, atau benda-benda yang dapat menimbulkan
suara. Kecurigaan Melati semakin besar ketika orang-orang yang dikuntit menuju ke arah
yang baru ditinggalkannya. Jelas, dugaan kalau gadis yang dimaksud dalam
pembicaran rombongan itu adalah dirinya. Jaladra dan rombongannya terpekik kaget
ketika melihat belasan sosok tubuh yang tergeletak di hadapan mereka. Sesaat
sepasang mata mereka semua terbelalak kaget, kemudian langsung menghambur ke
arah rombongan prajurit yang tadi hendak membinasakan Melati.
"Ucapanmu ternyata tidak meleset, Guntar," kata Jaladra ketika mereka semua
telah berada di dekat mayat-mayat itu.
Sambil berkata demikian, Jaladra memalingkan kepala ke arah laki-laki pendek
kekar yang ternyata bernama Guntar.
"Gadis itu ternyata lihai juga...," desis Guntar dengan wajah pucat.
Menilik dari wajah dan ucapannya, tampak jelas kalau Guntar sama sekali tidak
menyangka ucapannya menjadi kenyataan.
"Yahhh...," sahut Jaladra mendesah.
Sedangkan rekan-rekan mereka yang lain hanya menatapi mayat-mayat satu persatu.
Kegeraman tampak pada tarikan wajah mereka.
"Kalau menilik dari kematian mereka..., jelas gadis itu tidak tahu masalahnya.
Angkara dan yang lain-lain telah bunuh diri. Berarti, gadis keparat itu
tidak berhasil mengorek keterangan dari mereka...,"
kata Jaladra lagi.
"Kau melupakan satu hal, Kang," selak laki-laki yang bertahi lalat di bawah
mulut. "Apa itu?" tanya Jaladra.
"Gadis itu tengah menuju Istana Bojong Gading.
Jadi meskipun tanpa mengorek keterangan, dia juga akan mengetahui masalah yang
sebenarnya."
Jaladra, Guntar, dan semua prajurit yang berada di situ mengangguk-anggukkan
kepala pertanda membenarkan kesimpulan yang diambil rekan
mereka. "Kalau begitu..., kita harus secepatnya mengirim berita agar Istana Bojong
Gading segera diserbu. Toh yang jadi penghalang utama telah berhasil
dibereskan," ujar Jaladra setelah beberapa saat lamanya tercenung.
'Tapi..., gadis itu memiliki kepandaian tinggi, Jaladra. Dan ini terbukti di
depan mata kita sendiri.
Angkara dan pasukannya berhasil dilumpuhkan,"
bantah Guntar khawatir.
"Gadis itu memang memiliki kepandaian tinggi, Guntar. Tapi kau harus ingat. Di
pihak kita pun banyak tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Jadi, kau tidak
usah terlalu khawatir. Toh, sasaran utama telah berhasil dibereskan!" tegas
Jaladra. "Jadi...?" Guntar menggantung ucapannya.
"Kirim tanda untuk memulai penyerangan ter-
hadap Kerajaan Bojong Gading! Segera!" mantap dan tegas sekali perintah yang
dikeluarkan Jaladra.
"Baik...!"
Guntar lalu mengambil busurnya. Diselipkannya sebatang anak panah yang berbentuk
aneh ke busurnya. Dan....
Tranggg...! Anak panah itu meluncur ke angkasa. Dan
setibanya di sana, langsung memercikkan bunga-bunga api yang berwarna-warni.
Guntar tidak hanya sekali saja melepaskan anak-anak panah berapi itu.
Dia terus saja melepaskannya sampai semua anak panah yang tersedia habis.
Karuan saja hal itu membuat Melati yang
mengintai dari tempat persembunyian merasa kaget bukan kepalang. Sebagai seorang
putri angkat raja dan pernah beberapa kali terjun untuk mengatasi kerusuhan, dia
tahu kalau anak panah yang dilepaskan adalah untuk memberi tanda pada orang yang
berada di tempat jauh.
Melati memutar benaknya. Dan dalam waktu
singkat, telah diputuskan kalau dia harus pergi ke Istana Bojong Gading
secepatnya. Kerajaan itu berada dalam bahaya! Sebuah kerajaan lain yang tidak
diketahui Melati telah siap menyerbu.
Putri angkat Raja Bojong Gading ini memutuskan untuk kembali ke istana tanpa
menunggu Arya lagi.
Barangkali saja pemuda berambut putih keperakan itu kehilangan jejaknya dan
menempuh arah yang berbeda. Lagi pula, andaikata Arya tertinggal, pasti dia
mampu menyusul. Toh, tujuannya sudah di-sepakati. Istana Kerajaan Bojong Gading!
Maka tanpa mempedulikan belasan orang prajurit itu, Melati melesat cepat. Dengan
ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, maka yang terlihat
hanyalah sekelebat bayangan yang tidak jelas bentuknya.
"Hey...!"
Jaladra dan rekan-rekannya yang sempat melihat kelebatan bayangan putih,
langsung berteriak. Tapi hanya itu saja yang dapat mereka lakukan. Karena
belum sempat berbuat sesuatu, bayangan tubuh Melati telah lenyap di kerimbunan
semak-semak dan pepohonan.
*** 3 "Branjangan...! Lihat..!" seru salah seorang prajurit yang selalu memasang
pandangannya di angkasa.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kekar dan berambut kemerahan. Sambil
berkata demikian, telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke angkasa.
Sementara, prajurit yang dipanggil Branjangan menengadahkan kepala. Dan dia pun
langsung melihat sesuatu yang ditunjuk rekannya, yakni percikan bunga api yang berwarna-
warni nun jauh di sebelah Timur.
'Tanda dari Jaladra...," desis Branjangan.
"Benar," laki-laki berambut kemerahan meng-
anggukkan kepala.
"Kalau begitu..., aku akan cepat-cepat mem-
beritahukan panglima," kata Branjangan lagi.
"Ya! Cepatlah, Branjangan!" sambut prajurit berambut kemerahan, cepat
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Branjangan segera berlari cepat meninggalkan
rekannya menuju ke arah dua ekor kuda yang tengah memakan rumput Dan begitu
tinggal beberapa tombak lagi, Branjangan melompat ke arah salah satu punggung
kuda. Karuan saja binatang itu meringkik karena kaget Tapi Branjangan sama
sekali tidak peduli! Buru-buru.
diraihnya tali kekang kuda, dan digepraknya.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Kuda itu langsung berlari cepat meninggalkan kepulan debu tebal di belakangnya.
Sedangkan prajurit berambut kemerahan itu masih terus mem-
perhatikan angkasa.
Sementara itu, Branjangan memacu kudanya
bagai orang kesetanan. Yang ada di benaknya hanya satu. Tiba secepat mungkin di
kemah tempat rekan-rekannya berkumpul menunggu berita darinya.
Tak lama kemudian, tenda-tenda tempat rekan-rekannya beristirahat telah tampak
oleh pandangan mata Branjangan. Tenda-tenda itu dibangun hanya berjarak beberapa
ratus tombak dari tembok batas Kerajaan Bojong Gading. Memang, tempat
Branjangan dan rekannya tak begitu jauh dari tenda-tenda itu. Branjangan dan
rekannya hanya mencari tempat yang agak tinggi, agar mudah melihat tanda yang
akan dilepaskan Jaladra.
Suara berderap keras dari kaki-kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam bumi,
mengejutkan para prajurit yang berjaga-jaga di sekitar tenda. Tapi ketika
melihat Branjangan yang datang, kekagetan mereka pun sirna.
Setelah menarik tali kekang kudanya, Branjangan langsung melompat turun.
Padahal, binatang itu belum berhenti berlari. Akibatnya Branjangan hampir saja
tersungkur. Namun, itu pun sama sekali tidak dipedulikannya.
"Ada apa, Branjangan?" tanya salah seorang dari empat prajurit yang melangkah
menghampirinya.
"Ada tanda..., dari Jaladra," jawab Branjangan ter-putus-putus karena buru-buru
ingin menyampaikan berita itu. "Cepat beritahukan pada panglima."
"Baik!"
Prajurit yang lain bergegas menyanggupi dan langsung berlari cepat menuju ke
arah sebuah tenda yang paling besar dari sekian tenda-tenda yang ada di sekitar
situ. "Tunggu! Mau apa kau..."!"
Dua orang prajurit yang menjaga pintu masuk tenda yang paling besar segera
menghalangi langkah prajurit yang akan memberitahukan berita yang dibawa
Branjangan. "Ada tanda dari Jaladra...," beri tahu prajurit itu.
"Baik! Akan kami sampaikan!"
Setelah berkata demikian, salah seorang prajurit yang menjaga pintu masuk tenda
besar itu segera masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian, prajurit itu telah
keluar kembali diiringi seorang panglima bertubuh tinggi besar.
"Kalau begitu, kita harus cepat berangkat!" ujar laki-laki tinggi besar yang
tidak lain panglima kerajaan ini, Galiwung, namanya. "Kirim tanda pada pasukan-
pasukan lain!"
Sesaat kemudian, kesibukan besar pun terjadi di tempat itu. Ada yang sibuk
membongkar tenda atau menyiapkan perbekalan dan senjata. Tak ketinggalan pula
yang mengirim tanda pada pasukan lainnya.
Tak lama kemudian, pasukan prajurit yang
dipimpin Panglima Galiwung pun mulai berangkat Jumlah mereka tak kurang dari
seratus orang! Sebagian besar, menunggang kuda. Dan hanya
sebagian kecil saja yang berjalan kaki. Branjangan dan prajurit berambut
kemerahan tampak pula di antara mereka.
Dengan duduk di atas punggung kuda, Panglima Galiwung menatap satu persatu
wajah-wajah anggota pasukannya.
"Akhirnya, saat yang dinanti-nantikan tiba. Kita menyerang dan menghancurkan
Kerajaan Bojong Gading! Kita akan bunuh Prabu Nalanda! Maka..., Kerajaan Medang
akan menjadi kerajaan besar!"
Pelan dan satu-satu ucapan yang keluar dari mulut panglima Galiwung. Tapi karena
memang suaranya keras dan menggelegar, kata demi kata yang keluar dari mulutnya jadi
terdengar berwibawa.
"Hidup Kerajaan Medang...!" teriak seorang
prajurit yang berkumis tipis, sambil mengangkat tangannya ke atas.
"Hidup...!" sambut seluruh prajurit yang berada di situ.
Gabungan seruan mereka membuat keadaan
sekitar tempat itu seperti bergetar, membahana.
"Hancurkan Kerajaan Bojong Gading...!"
Branjangan tak mau kalah.
"Benar! Hancurkan...!" sambut prajurit yang rambut kemerahan.
"Kita bunuh Prabu Nalanda...!"
"Benar..., Prabu Nalanda harus dibunuh!"
"Hidup Prabu Indra Laksa...!"
Kali ini Panglima Galiwung yang meneriakkan kata-kata keras sambil mengangkat
kepalan tangan ke atas.
"Hidup...!"
Serempak seluruh prajurit Kerajaan Medang
menyambutnya. Bahkan seperti ada yang memberi perintah, mereka secara berirama
meneriakkan kata-kata hidup Kerajaan Medang.
Panglima Galiwung tensenyum lebar. Kepalanya terangguk-angguk. Hatinya merasa
puas sekali melihat semangat pasukannya. Maka dibiarkan saja mereka berseru-seru


Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras beberapa saat. Dan baru ketika dirasa telah cukup, segera diberinya aba-
aba pada pasukannya untuk berangkat
Bumi bagai dilanda gempa ketika ratusan ekor kuda itu menapakkan kaki secara
berbareng di tanah.
Sementara, dari mulut para prajurit Kerajaan Medang terdengar siulan-siulan
bernada kegembira-
an. Semakin lama, rombongan prajurit Kerajaan Medang semakin jauh meninggalkan
tempat itu. Sampai akhirnya, mereka lenyap dari pandangan mata.
Kini hanya kesunyian yang melingkupi tempat itu.
Hebatnya, tidak nampak adanya tanda-tanda kalau di tempat itu pernah dijadikan
tempat beristirahat pasukan prajurit! Tidak ada tanda-tanda di tempat itu telah
didirikan tenda, api unggun dan per-lengkapan lainnya.
*** "Jadi..., Pasukan Kerajaan Medang tengah menuju kemari?" tanya Prabu Nalanda.
Sambil duduk di singgasananya yang indah, Raja Kerajaan Bojong Gading itu
mengedarkan pandangan ke bawah. Di sana, tengah duduk bersila seorang prajurit
pintu gerbang. "Benar, Gusti Prabu," jawab prajurit itu penuh hormat, sambil tetap menundukkan
kepala. "Prajurit dari Kadipaten Tasik dan beberapa kadipaten lain yang
melaporkannya."
"Hm...."
Prabu Nalanda mengangguk-anggukkan kepala.
Jenggotnya yang hanya beberapa lembar itu dielus-elusnya. Kernyitan di dahinya
memberi tanda kalau orang nomor satu di Kerajaan Bojong Gading tengah berpikir
keras. "Apa saja yang dilaporkan prajurit kadipaten-kadipaten itu, Prajurit?" tanya
Prabu Nalanda ingin tahu.
"Menurut berita yang hamba terima, prajurit Kerajaan Medang berjumlah banyak,
Gusti Prabu,"
jawab prajurit pintu gerbang itu. "Lagi pula..., mereka dibantu tokoh-tokoh
persilatan aliran hitam yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Sehingga,
satu persatu kadipaten-kadipaten itu jatuh ke tangan mereka.
"Hehhh..."! Mengapa tokoh-tokoh persilatan aliran hitam ikut campur dalam
masalah ini" Apakah mereka ingin mendapatkan kedudukan dari Kerajaan Medang
apabila usaha penyerbuan itu berhasil"!"
dengus Prabu Nalanda, kaget
"Ampun, Gusti Prabu. Mengenai hal itu, hamba sama sekali tidak tahu."
Prabu Nalanda pun terdiam. Dia tidak
menyalahkan ketidaktahuan prajurit penjaga pintu gerbang itu.
"Bagaimana menurutmu, Paman Patih?"
Prabu Nalanda menolehkan kepalanya ke seorang laki-laki setengah tua berambut
jarang-jarang. Dia memang Patih Rantaka. Maka, laki-laki tua segera menghaturkan
sembah. Kedua ujung jari tangannya yang dirangkapkan, ditempelkan di hidung.
"Ampun, Gusti Prabu. Kalau menurut perkiraan Hamba, ada dua hal yang membuat
tokoh-tokoh persilatan aliran hitam ikut ambil bagian dalam penyerbuan terhadap
Kerajaan Bojong Gading,"
sahut Patih Rantaka setelah beberapa saat lamanya termenung.
"Apa saja alasan itu, Paman Patih?" tanya Prabu Nalanda penuh gairah.
Patih Rantaka tidak langsung menjawab per-
tanyaan itu. Dibasahinya dulu tenggorokannya yang mendadak kering.
"Dugaan hamba yang pertama, sama dengan
dugaan Gusti Prabu sendiri. Keikutsertaan mereka dalam penyerbuan itu adalah
untuk mencari kedudukan."
Prabu Nalanda mengangguk-anggukkan kepala.
Orang nomor satu di Kerajaan Bojong Gading ini pun menyadari ada kebenaran yang
tidak bisa dibantah dalam ucapan Patih Rantaka.
"Lalu yang kedua...?" desak Raja Kerajaan Bojong Gading tak sabar.
"Yang kedua, menurut hamba adalah masalah
pribadi, Gusti Prabu," jawab Patih Rantaka, mantap.
"Masalah pribadi?" Prabu Nalanda mengernyitkan keningnya. "Aku tidak mengerti
maksud ucapanmu mu, Paman?"
"Begini, Gusti Prabu. Seperti diketahui, ada dua orang pendekar muda yang
memiliki hubungan
sangat dekat dengan Kerajaan Bojong Gading. Gusti Ayu Melati yang juga putri
Angkat Gusti Prabu, dan Raden Arya Buana selaku kekasih Gusti Ayu. Dan sepanjang
pengetahuan hamba, hampir semua tokoh persilat mengetahui hal ini. Entah dari
mana mengetahuinya hamba sendiri tidak habis pikir. Tapi itulah dunia
persilatan, Gusti Prabu. Dunia persilatan memiliki telinga yang jauh lebih tajam
daripada telinga kita."
Patih Rantaka menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sementara,
berpasang mata yang berada di ruangan itu menatap ke arahnya penuh minat.
Di ruangan itu memang tak banyak orang. Yang ada hanya Prabu Nalanda, Patih
Rantaka, beberapa orang panglima, Ki Temula, beberapa orang anggota pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading, dan
prajurit penjaga pintu gerbang.
"Padahal, selaku seorang pendekar pembela
kebenaran dan keadilan, Gusti Ayu Melati dan Raden Arya pasti telah banyak
menanam permusuhan. Jadi
dengan adanya penyerbuan Kerajaan Medang ini, akan terbuka kesempatan bagi
tokoh-tokoh aliran hitam untuk melampiaskan dendamnya pada
pasangan pendekar muda itu. Begitu menurut
dugaan hamba, Gusti Prabu," tutur Patih Rantaka menyelesaikan ceritanya.
Kepala semua orang yang berada di ruangan
terangguk-angguk. Mereka semua menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Patih
Rantaka. "Sekarang satu masalah telah dapat kita atasi,"
kata Prabu Nalanda sambil tersenyum lega.
"Prajurit! kamu boleh kembali ke tempat tugasmuu!"
"Hamba, Gusti Prabu," sahut prajurit pintu
gerbang cepat sambil memberi hormat.
"Sekarang kita rundingkan cara terbaik untuk menghadapi serbuan Kerajaan
Medang," ujar Prabu Nalanda. "Bagaimana pendapat kalian semua?"
Setelah berkata demikian, Prabu Nalanda mengedarkan pandangan berkeliling.
Ditatapnya satu persatu wajah-wajah panglima dan patihnya.
Dan memang, sesaat kemudian dahi orang-orang penting Kerajaan Bojong Gading itu
sama-sama berkernyit dalam. Hanya beberapa kepala yang dahinya tidak ikut
berkernyit, yaitu kepala milik anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading.
Dan yang satu adalah kepala Ki Temula (Untuk jelasnya, mengenai tokoh Ki Temula,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah di Bojong Gading").
"Ampun, Gusti Prabu," sembah Panglima Jumali, seorang panglima yang bertubuh
tinggi besar dan bersuara keras. "Menurut hemat hamba, kedatangan pasukan
Kerajaan Medang kita sambut di luar perbatasan kotaraja. Hal ini untuk mencegah
mereka agar tidak masuk dan mengacau kotaraja. Masalah-
nya kalau hal itu terjadi, dapat menimbulkan korban penduduk."
Kepala semua panglima yang berada di situ
terangguk-angguk. Tak terkecuali, kepala Patih Rantaka. Memang, usul yang
diajukan Panglima Jumali tepat sekali.
"Di samping itu, Gusti Prabu," sambung Panglima Jumali lagi, lebih bersemangat
melihat dukungan bagi usulnya. "Apabila kita mengadakan pertarungan di luar
kotaraja, banyak keuntungan yang bisa dipetik."
"Sebutkan di antaranya, Panglima Jumali," sabda Prabu Nalanda ingin tahu.
Panglima Jumali menelan ludahnya sejenak,
untuk melancarkan suaranya yang sudah mulai serak karena terlalu banyak bicara.
"Begini, Gusti Prabu. Bila kita maju menyambut serbuan itu, kekuatan mereka bisa
langsung diketahui. Kalau kekuatan mereka ternyata di bawah kita, ini yang diharapkan.
Mereka dapat dihancurkan di sana tanpa ada korban di antara penduduk yang
tinggal dalam kotaraja," jelas Panglima Jumali, berapi-api.
"Lalu, kalau pasukan mereka lebih kuat?" pancing Prabu Nalanda.
"Yahhh...! Apa boleh buat, Gusti Prabu. Pasukan kita harus mundur masuk ke
istana. Hamba rasa dengan bantuan benteng yang kokoh, kita bisa bertahan," sahut
Panglima Jumali, dengan wajah merah padam.
Prabu Nalanda mengelus-elus jenggotnya yang hanya beberapa lembar itu.
"Baiklah. Aku setuju, Panglima Jumali. Persiap-kanlah segala sesuatunya," titah
Prabu Nalanda. "Akan hamba laksanakan semua perintah Gusti
Prabu," sahut Panglima Jumali sambil memberi hormat.
Prabu Nalanda menganggukkan kepala.
Dengan agak bergegas, Panglima Jumali, Ki
Temula, dan panglima-panglima lainnya meninggal kan ruangan itu. Kini yang
tinggal hanyalah Prabu Nalanda, Patih Rantaka, dan enam orang anggota pasukan
khusus yang menjaga keselamatan Raja Kerajaan Bojong Gading itu.
*** 4 Di bawah pimpinan Panglima Jumali, pasukan
Kerajaan Bojong Gading berangkat menuju
perbatasan Kotaraja Bojong Gading. Di sepanjang perjalanan rombongan pasukan ini
bertemu para penduduk yang tengah mengungsi.
Memang, berita tentang penyerbuan pasukan
Kerajaan Medang telah tersebar luas. Sehingga, membuat para penduduk yang
tinggal dekat perbatasan kotaraja berbondong-bondong meninggalkan tempat berteduh mereka.
Dengan barang-barang seadanya, rombongan penduduk itu menuju ke pusat
pemerintahan Kerajaan Bojong Gading.
Rupanya mereka tahu, tempat yang paling aman adalah dekat istana! Tentu saja
anggapan itu berubah, apabila pasukan Kerajaan Bojong Gading hancur di tangan
pasukan Kerajaan Medang, dan Istana Bojong Gading telah dikuasai.
Sepanjang perjalanan, para penduduk kotaraja mengelu-elukan pasukan Kerajaan
Bojong Gading Mereka sadar, nasib mereka semua bergantung pada hasil pertempuran
antara pasukan itu dengan pasukan penyerbu.
Bahkan para penduduk yang terdiri dari pemuda bang bertubuh kekar segera
memisahkan diri dari rombongan pengungsi. Secara sukarela dan dengan berbekal
senjata seadanya, mereka menggabungkan diri pada pasukan yang dipimpin Panglima
Jumali. Sedangkan orang-orang tua, wanita, dan anak-anak yang tidak bisa membantu,
mendoakan agar pasukan Kerajaan Bojong Gading berhasil menumpas
gerombolan penyerbu.
Tentu saja tindakan sukarela pemuda-pemuda
Kotaraja Bojong Gading itu diterima dengan tangan terbuka oleh para prajurit
Kerajaan Bojong Gading.
Sementara itu, kepergian ratusan pasukan
Kerajaan Bojong Gading, yang sebagian besar menunggang kuda, menimbulkan suara
bergemuruh di tanah. Senjata-senjata yang terhunus di tangan, tampak berkilatan
tertimpa sinar matahari.
Dan sebelum rombongan pasukan yang dipimpin Panglima Jumali tiba di tembok batas
kotaraja, dari jauh sudah terlihat panji-panji Kerajaan Medang tengah
berkibaran. "Hooop...!"
Panglima Jumali mengangkat tangan kanannya ke atas, sedangkan tangan kiri
menarik tali kekang kuda. Maka binatang tunggangannya seketika berhenti. Dan
ketika itu pula, pasukan Kerajaan Bojong Gading ikut menghentikan langkah.
Lalu, Panglima Jumali membalikkan arah
kudanya. Kini sambil duduk di atas kuda, ditatapnya wajah-wajah anggota pasukan
Kerajaan Bojong Gading yang berada di hadapannya, satu persatu.
"Wahai pasukan Kerajaan Bojong Gading yang
gagah perkasa...!"
Panglima Jumali membuka ucapannya dengan
suara mengguntur. Memang, sengaja dikerahkannya tenaga dalam pada suaranya.
Sehingga, membuat kata-katanya terdengar jelas oleh semua anggota pasukannya.
"Sekaranglah saatnya berbakti pada kerajaan dan tanah tumpah darah kalian! Di
hadapan kalian, telah ada musuh-musuh yang hendak menjarah tanh
tumpah darah kita! Musuh-musuh yang akan membunuh ayah, ibu, adik, anak, dan
seluruh orang yang
kalian cintai. Apa pun yang kalian miliki, akan dirampas mereka! Apakah kalian
semua akan membiarkan hal itu terjadi, wahai prajurit Kerajaan Bojong Gading
yang perkasa"!"
"Tidak...!"
Jawaban serempak dari seluruh anggota pasukan Kerajaan Bojong Gading diikrarkan.
Suasana di tempat itu sampai bergetar hebat akibat pengaruh teriakan ratusan
orang itu. "Oleh karena itu, mari kita pertahankan semua milik kita dengan seluruh
kemampuan! Jangan kita biarkan penjarah-penjarah itu merampok hak-hak kita. Kita
harus usir dan tumpas habis pasukan Kerajaan Medang yang akan menginjak-injak
martabat kita!" sambung Panglima Jumali lagi penuh semangat.
Akuuur...!" sambut anggota pasukan Kerajaan Bojong Gading penuh semangat.
"Hancurkan pasukan Kerajaan Medang...!" teriak Panglima Dampu.
"Usir mereka dari sini...!" sambut seorang prajurit Kerajaan Bojong Gading.
"Tumpas!" tambah yang lainnya.
"Ganyang!"
Seketika itu pula, suasana di sekitar tempat itu jadi riuh rendah oleh teriakan-
teriakan penuh semangat dari prajurit-prajurit Kerajaan Bojong Gading. Mereka
semua seperti tidak ingin
ketinggalan melontarkan sambutan. Tapi sebentar kemudian, suara riuh rendah itu
kontan lenyap ketika Panglima Jumali mengangkat tangannya ke atas.
"Wahai, prajurit Kerajaan Bojong Gading yang gagah berani. Mari kita tumpas
penjarah-penjarah itu! Jangan biarkan mereka memasuki tanah leluhur
kita! Kita pertahankan setiap jengkal tanah sampai tetes darah yang penghabisan!
Wahai, prajurit Kerajaan Bojong Gading, mari kita sambut
kedatangan mereka"
Usai berkata demikian, Panglima Jumali
mengibaskan tangannya ke depan seraya mem-
balikkan kudanya.
Sementara itu, pasukan Kerajaan Medang telah dekat di hadapan mereka. Pasukan
itu terus menyerbu tanpa mempedulikan teriakan-teriakan semangat pasukan Kerajaan Bojong
Gading. Pasukan Kerajaan Bojong Gading yang telah
dibakar semangatnya itu pun menyambut penuh semangat. Sambil mengeluarkan pekik-
pekik me-lengking tinggi, mereka meluruk memapak
kedatangan pasukan Kerajaan Medang.
Tepat seperti yang telah direncanakan Panglima Jumali, pertempuran menghadapi
pasukan Kerajaan Medang terjadi di luar Kotaraja Bojong Gading!
Tepatnya sekitar lima puluh tombak dari tembok batas kotaraja.
Pertempuran yang mengerikan pun terjadi ketika dua pasukan besar itu bertemu!
Dentang senjata beradu, teriakan-teriakan bernada kemarahan, jerit kesakitan dan
kematian, bercampur baur menjadi satu. Sinar sang surya yang memancar terik sama
sekali tidak dipedulikan, Yang ada di benak masing-masing pihak hanya satu.
Membunuh lawan sebanyak-banyaknya!
Panglima Jumali, dan panglima-panglima
Kerajaan Bojong Gading lainnya terkejut sekali ketika melihat banyaknya jumlah
lawan. Memang, mereka telah mendengar kalau Kerajaan Medang adalah sebuah
Kerajaan besar. Namun sungguh tidak disangka kalau jumlah lawan akan sebanyak
ini. Jelas, Mereka kalah dalam jumlah pasukan.
Tapi tentu saja pasukan Kerajaan Bojong Gading tidak keluar semua dari kerajaan.
Bahkan jumlah mereka sebenarnya pun tidak kalah. Memang, di Istana Bojong Gading
masih ada pasukan yang bertugas menjaga istana.
Prajurit-prajurit Bojong Gading bertarung seperti harimau terluka. Rupanya,
ucapan Panglima Jumali tadi termakan oleh mereka. Maka, mereka pun bertekad
bertarung sampai tetes darah yang terakhir.
Tidak kalah beringasnya terlihat dalam pertarungan adalah Panglima Jumali dan
panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading lainnya. Setiap kali senjata mereka
berkelebat, sudah dapat dipastikan ada lawan yang roboh tak bangun lagi untuk
selamanya. Memang menggiriskan sekali sepak terjang
panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading. Mereka membabat nyawa anggota pasukan
Kerajaan Medang seperti membabat rumput saja. Dan hal ini tidak aneh, karena


Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panglima-panglima ini bukan orang sembarangan melainkan tokoh-tokoh yang
memiliki tingkat kepandaian tinggi. Panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading ini
sebenarnya adalah bekas murid utama perguruan-perguruan besar yang dulu pernah
ada di wilayah kekuasaan Kerajaan Bojong Gading (Untuk lebih jelasnya, silakan
baca serial Dewa Arak episode "Banjir Darah di Bojong Gading").
Meskipun amukan panglima-panglima Kerajaan
Bojong Gading ini hebat bukan kepalang, tapi lebih hebat lagi amukan Ki Temula!
Kakek kecil berwajah tirus ini memang guru dari beberapa orang panglima Kerajaan
Bojong Gading. Dia dulunya adalah Ketua Perguruan Garuda Sakti, salah satu
perguruan besar yang ada di wilayah Kerajaan Bojong Gading. Dari sini saja bisa
diperkirakan kedahsyatan amukan Ki
Temula. Hanya dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung anggota pasukan Kerajaan
Medang yang roboh di tangan mereka. Lolong kematian diikuti ambruknya tubuh-
tubuh di tanah, selalu terjadi setiap tangan atau kaki mereka bergerak.
*** Tapi bukan hanya pihak Kerajaan Bojong Gading saja yang memiliki tokoh-tokoh
berkepandaian tinggi sehingga enak saja menyebar maut. Pihak Kerajaan Medang pun
memiliki jago-jago yang tak kalah banyak jumlahnya.
Memang, dalam usaha untuk menguasai wilayah Kerajaan Bojong Gading, Kerajaan
Medang yang pimpin panglima-panglima pilihan telah mengikut-sertakan pula jago-
jago nomor satu istana. Bukan hanya itu saja. Jauh-jauh hari sebelum penyerbuan
dilaksanakan, telah banyak dikumpulkan tokoh persilatan aliran hitam untuk
membantu menghadapi pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Dengan tawaran kedudukan apabila usaha
penyerbuan itu berhasil, dan juga alasan kalau Kerajaan Bojong Gading itu adalah
kerajaan yang akan dipimpin Dewa Arak nantinya, tokoh-tokoh persilatan aliran
bltam akhirnya bisa dibujuk untuk bergabung. Dan dengan banyaknya jago di pihak
Kerajaan Medang, tak terhitung pula banyaknya pasukan Kerajaan Bojong Gading
yang tewas. Panglima Jumali, Ki Temula, dan panglima-
panglima Kerajaan Bojong Gading lainnya tentu saja melihat hal itu. Kegeraman
bercampur kemarahan pun seketika melanda hati mereka. Maka sambil terus mengamuk
untuk merobohkan lawan demi
lawan, mereka bergerak mendekati jago-jago
Kerajaan Medang!
Usaha Ki Temula dan panglima-panglima
Kerajaan Bojong Gading yang membuka jalan, ternyata berhasil. Dan kini, jago-
jago kedua kerajaan itu telah terlibat pertarungan masing-masing.
Sekarang jalannya pertarungan lebih berimbang.
Karena, jago-jago Kerajaan Medang berhadapan dengan jago-jago Kerajaan Bojong
Gading. Dengan sendirinya, prajurit berhadapan dengan prajurit.
Panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading yang terdiri dari Panglima Jumali,
Panglima Tampaya, Panglima Jatalu, dan Panglima Garda mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi panglima-panglima, dan jago-jago
Kerajaan Medang.
Meskipun demikian, karena lawan yang dihadapi terlalu banyak, mereka jadi
terdesak. Di pihak lain, Ki Temula pun menghadapi hal ya serupa. Bekas Ketua Perguruan
Garuda Sakti ! mengamuk laksana macan luka. Entah sudah berapa puluh orang yang tewas di ujung
pedangnya. Sehingga, ujud pedangnya hampir tidak terlihat lagi.
Apalagi darah telah menutupi pedang itu hingga ke gagangnya Bahkan pakaian yang
dikenakan kakek sakti itu telah dipenuhi percikan darah lawan-lawannya.
Tapi kali ini, Ki Temula tidak bisa seleluasa sebelumnya dalam merobohkan lawan.
Lawan yang dihadapinya kali ini adalah tokoh-tokoh persilatan aliran hitam.
Mereka tidak selihai dirinya, tapi karena terdiri dari banyak lawan, karuan saja
dia menjadi keteter pula.
Bukan hanya Ki Temula dan panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading saja yang
terdesak. Pasukan Kerajaan Bojong Gading pun terdesak pula. Meski-
pun telah bertekad mempertahankan setiap jengkal tanah dengan percikan darah,
namun tak urung terdesak juga. Karena, pasukan Kerajaan Medang pun bertarung tak
kalah nekat. Dan yang lebih menguntungkan lagi, pasukan penyerbu ini memiliki
jumlah yang lebih banyak! Hasilnya, walaupun kemampuan perorangan prajurit
Kerajaan Medang hampir seimbang, tapi karena berjumlah banyak, mereka jadi
terdesak. Perlahan-lahan namun pasti tempat pertempuran mulai bergeser ke arah tembok
batas Kotaraja Bojong Gading.
Panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading tentu saja melihat hal itu, sehingga
membuat mereka cemas bukan kepalang. Mereka, terutama sekali Panglima Jumali,
tidak henti-hentinya melontarkan kata-kata keras untuk membangkitkan semangat
pasukannya. Tapi, ternyata tetap saja tidak merubah keadaan. Betapapun besar
semangat pasukan
Kerajaan Bojong Gading, tapi karena memang berkemampuan terbatas, maka tetap
saja mereka tidak mampu berbuat banyak. Mereka terus saja didesak mundur oleh
pasukan Kerajaan Medang.
Di antara orang-orang pihak Kerajaan Bojong Gading, hanya Ki Temula tokoh yang
paling lihai. Tapi, kakek sakti itu tetap saja tidak berdaya. Lawan yang dihadapinya terlalu
banyak dan lihai-lihai. Mati satu, segera muncul gantinya. Demikian seterusnya.
Sehingga, Ki Temula tidak bisa membantu pasukan Kerajaan Bojong Gading yang
tengah terdesak hebat.
Namun tak lama kemudian, mendadak terdengar derap kaki kuda yang bertubi-tubi
menghantam tanah di kejauhan, tampak seekor kuda yang
ditungangi seorang gadis berpakaian putih. Rambutnya hitam panjang hingga
melewati bahu. Dia
memacu kudanya dengan kecepatan tinggi ke arah pertepuran yang tengah
berlangsung. Meskipun derap kaki kuda yang bertubi-tubi
terdengar oleh semua prajurit yang tengah bertarung namun tak ada satu pun yang
berani menoleh ke asal suara. Mereka tidak sudi membuang nyawa hanya karena
ingin mengetahui orang yang tengah memacu kudanya secara tergesa-gesa itu.
Gadis berpakaian putih itu memang tengah gesa-gesa. Hal ini bisa dibuktikan dari
pecutan yang bertubi-tubi ke bagian belakang tubuh kuda.
Ctar, ctar, ctar...!
"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"
Masih dengan kecepatan tinggi, gadis berpakaian putih ini mencabut pedang yang
tergantung di punggung. Sehingga, kini dia memegang tali kekang kuda dengan satu
tangan. Dan dengan keadaan seperti itu kudanya dipacu ke arah kancah
pertarungan, serta langsung terjun ke dalamnya.
Bahkan pedangn langsung dikelebatkan.
"Aaakh...!"
Lolong kematian terdengar ketika pedang gadis berpakaian putih itu membabat
tubuh prajurit-prajurit Kerajaan Medang! Seketika itu pula, tubuh-tubuh mereka
ambruk ke tanah, dan tak bangun-bangun lagi.
Karuan saja kehadiran gadis berpakaian putih itu membuat pasukan Kerajaan Bojong
Gading yang berada di dekat situ menolehkan kepala, untuk melihat orang yang
telah membantu mereka. Maka seketika itu pula meledaklah kegembiraan mereka.
"Gusti Ayu...!" seru seorang prajurit Kerajaan Bojong Gading keras, bernada
kegembiraan. "Hahhh..."! Gusti Ayu..."!" prajurit lainnya mengulang tak percaya sambil terus
mengadakan perlawanan. "Hoy...! Gusti Ayu datang...!"
"Gusti Ayu datang...!"
Kegemparan langsung menyelimuti pasukan
Kerajaan Bojong Gading. Semangat mereka kembali bangkit atas kehadiran gadis
berpakaian putih yang memang Melati.
Kini dengan adanya bantuan dari Melati, desakan terhadap pasukan Kerajaan Bojong
Gading mulai berkurang. Dengan Ilmu 'Pedang Seribu Naga' Melati memang bagai
malaikat pencabut nyawa saja. Setiap kali pedangnya berkelebat, setiap kali pula
ada sesosok tubuh yang ambruk ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa.
Tapi hanya sebentar saja pasukan Kerajaan
Bojong Gading menarik napas lega. Pada kenyataann lawan-lawan yang dihadapi
memang terialu banyak Meskipun Melati telah membantu, tapi karena jumlah lawan
terlalu banyak, tetap saja pasukan Kerajaan Bojong Gading terdesak. Hanya saja,
desakan yang melanda memang tidak sedahsyat sebelumnya. Tapi meskipun begitu,
mereka tetap terdesak mundur. Bahkan hingga hampir mencapai tembok batas
kotaraja. Pada saat pasukan Kerajaan Bojong Gading
tengah terdesak hebat itulah, terdengar suara tawa berkakakan nyaring.
"Ha ha ha...!
Keras bukan kepalang tawa itu terdengar. Jelas tawa itu ditopang tenaga dalam
tinggi. Dan akibatnya memang tidak main-main. Hampir semua prajurit yang tengah bertempur
langsung ambruk, karena kedua lutut mereka tiba-tiba terasa lemas.
Bukan para prajurit saja yang terpengaruh oleh suara tawa itu bahkan para
panglima dari dua buah
kerajaan, tokoh-tokoh aliran hitam, dan Melati serta Ki Temula pun terpengaruh
pula. Malah, Melati dan Ki Temula sampai mengerahkan tenaga dalam untuk melawan
pengaruh suara tawa itu.
Tak jauh dari kancah pertempuran, muncul
seorang kakek bertubuh tinggi kurus. Rambutnya kaku seperti sikat kawat. Pakaian
yang dikenakan pun berupa helaian kain abu-abu yang dilibat-libat.
Di pinggangnya, tampak terlilit sebuah cambuk yang berserat-serat kasar.
Ki Temula dan Melati, dua orang'yang paling tangguh di antara semua orang yang
berada di situ, menatap kakek berambut kaku itu penuh selidik.
"Siapa kau, Kisanak" Dan mengapa mencampuri Urusan kami?" tanya Ki Temula
bernada hati-hati.
Bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti itu bukan orang bodoh. Dia tahu, kakek
berambut kaku itu memiliki kepandaian tinggi. Dan itu bisa diketahui dari suara
tawanya yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tapi sebelum kakek berambut kaku itu sempat menjawab, semua orang yang tadi
terpengaruh tawa yang dikeluarkannya telah berhasil memulihkan diri.
Maka, pertarungan pun kembali berlangsung.
Tanpa mempedulikan pertarungan lainnya, kakek berambut kaku itu menatap tajam
wajah Ki Temula.
"Semula, aku tidak ingin keluar dari tempat kediamanku! Tapi karena seseorang
telah berjanji mengunjungiku, namun tidak kunjung muncul, maka aku yang datang
mencarinya! Aku mencari Dewa Arak, tapi belum juga bertemu! Mungkin kalau semua
pasukan Kerajaan Bojong Gading kubantai dan Istana Bojong Gading berhasil
dikuasai orang, baru keparat itu akan muncul!"
"Siapa kau"!" tanya Ki Temula, berdebar tegang
Memang, sudah bisa diperkirakannya siapa kakek tinggi kurus ini. Dewa Arak
memang telah ceritakan padanya mengenai tokoh ini.
"Aku Kemamang Danau Neraka," kata kakek
berambut kaku, memperkenalkan diri.
Ki Temula sama sekali tidak merasa terkejut karena memang sudah menduganya
(Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Perjalanan Menantang Maut").
Usai memperkenalkan diri, Kemamang Danau
Neraka langsung melecutkan cambuknya ke arah pelipis Ki Temula. Untung saja
laki-laki tua itu sudah bersiap siaga sejak tadi. Maka, dia langsung melompat
mundur. Sehingga....
Ctarrr...! Asap tipis langsung mengepul. Percikan-percikan bunga api pun mengiringi ketika
lecutan cambuk tidak mengenai sasaran, dan hanya lewat beberapa jengkal di depan
wajah Ki Temula.
"Ha ha ha...!"
Kemamang Danau Neraka tertawa gembira ketika melihat serangannya bisa dielakkan
lawan. Tanpa mempedulikan kalau serangannya akan mengancam keselamatan orang-
orang yang berada di situ, kakek tinggi kurus ini kembali melancarkan serangan
susulan. Mau tak mau orang-orang yang tengah bertempur pun menyingkir dari situ. Mereka
semua tidak ingin mati konyol tersambar serangan nyasar dari kedua belah pihak.
Namun demikian, mereka tetap tidak menghentikan pertarungan.
Dengan menyingkirnya orang-orang yang berada di sekitar tempat itu, dua orang
kakek sakti itu jadi leluasa bertarung. Ki Temula yang sejak tadi sudah mencabut
pedangnya langsung memberi perlawanan
tak kalah sengit.
Maka pertarungan antara kedua kakek yang
sama-sama memiliki tingkat kepandaian tinggi pun berlangsung. Masing-masing
mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk menjatuhkan lawan secepatnya.
*** 5 Untuk pertama kalinya, Ki Temula harus bertarung melawan pemilik salah satu
pulau yang ada di Pulau Ular. Disadari kalau Kemamang Danau Neraka
adalah lawan yang amat tangguh, maka tanpa ragu-ragu bekas Ketua Perguruan
Garuda Sakti ini mengerahkan seluruh kemampuannya.
Pedang di tangan Ki Temula menyambar-nyambar ke arah berbagai bagian tubuh
lawan. Terkadang menusuk, membacok, dan tak ketinggalan membabat Memang, seluruh
permainan ilmu pedangnya
dikeluarkan. Hebat bukan kepalang permainan pedang Ki
Temula. Setiap gerakan pedangnya selalu menimbul kan bunyi yang menggiriskan
hati. Mengaung, mendesing, bahkan mencicit. Jelas, gerakan pedang itu didukung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Namun, kelihaian Ki Temula ternyata mampu
diimbangi Kemamang Danau Neraka. Meskipun
senjata kakek berambut kaku ini kelihatan lemas, tapi sebenarnya bisa menegang
kaku seperti layaknya sebatang tombak! Memang menakjubkan sekali permainan cambuk Kemamang
Danau Neraka. Senjata di tangannya bisa meliuk-liuk seperti seekor ular, mematuk-matuk,
menegang kaku, di samping melecut seperti cambuk pada umumnya.
Dari sini saja bisa diperkirakan kelihaian
Kemamang Danau Neraka. Paling tidak membutuhkan kemampuan tinggi, di samping
tenaga dalam yang amat kuat untuk mementahkan serangan kakek berambut kaku ini.
Tak heran, meskipun hanya mereka berdua saja yang bertarung, namun suara yang
ditimbulkannya tidak kalah dengan suara pertempuran ratusan prajurit.
Setelah bertarung beberapa jurus, Ki Temula baru mengakui kesaktian pemilik
pulau di Pulau Ular ini.
Pekembangan gerakan cambuk Kemamang Danau
Neraka benar-benar sulit diduga. Kalau saja Ki Temula bukan bekas ketua
perguruan silat besar yang telah banyak dan kenyang pengalaman bertempur, pasti
sudah sejak tadi ia roboh.
Tapi meskipun demikian, tetap saja Ki Temula terdesak. Dan itu terjadi setelah
pertarungan berlangsung lebih dari tiga puluh jurus. Di sini baru terbukti kalau
bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti ini mulai terlihat kalah segala-galanya. Baik
dalam tenaga, kecepatan maupun mutu ilmu silat. Jadi, tak aneh kalau dia
Kisah Si Bangau Putih 12 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Kucing Suruhan 6
^