Pencarian

Runtuhnya Sebuah Kerajaan 2

Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan Bagian 2


sekarang sampai terdesak. Apalagi Ki Temula habis melakukan pertarungan yang
cukup menguras tenaga.
Memang patut dipuji kekerasan hati Ki Temula Walaupun tahu kalau tak akan mampu
menghadapi Kemamang Danau Neraka, tetapi dia terus mengadakan perlawanan dengan
gagah berani. Suara mendesing nyaring, mencicit, mengaung ditingkahi suara meledak-ledak
keras, meramaikan jalannya pertarungan antara Ki Temula melawan Kemamang Danau
Neraka. Menginjak jurus ketiga puluh lima, keadaan Ki Temula semakin terdesak. Serangan-
serangan yang dilancarkannya pun semakin berkurang. Kini, dia lebih sering
mengelak. Menangkis pun hanya sesekali saja dilakukan, karena hanya akan
merugikan saja.
Apalagi kekuatan tenaga dalamnya masih di bawah Kemamang Danau Neraka.
Sebaliknya, serangan-serangan Kemamang Danau Neraka semakin bertubi-tubi
meluncur ke arahnya.
Sudah bisa diperkirakan, robohnya Ki Temula hanya tinggal menunggu waktu saja.
Maka di jurus keempat puluh tiga....
Ctarrr...! Diiringi lecutan keras menggelegar, Kemamang Danau Neraka meluncurkan cambuknya
ke arah pelipis Ki Temula. Andaikata sampai mengenai sasaran, past! kepala kakek itu
akan hancur lebur.
Memang, lecutan itu sebenarnya mampu meng-
hancurkan batu karang yang paling keras sekalipun!
Ki Temula tentu saja mengetahui kedahsyatan serangan itu. Maka, buru-buru serangan itu dipapak dengan pedangnya.
Ctarrr! Rrrt..!
Ki Temula terperanjat ketika cambuk lawan tiba-tiba melilit batang pedangnya.
Tahu kalau keadaan-nya terjepit, kakek kecil. kurus ini berusaha melepaskan
senjatanya dari belitan itu. Seluruh kekuatan yang masih tersisa dikerahkan
untuk membetot.
Tapi, Kemamang Danau Neraka yang memang
sudah merencanakan hal ini sama sekali tidak mem-biarkannya. Dia pun balas
membetot sambil mempertahankan belitan cambuknya pada pedang lawan.
Maka adu tarik-menarik pun tidak bisa dielakkan lagi.
Tak lama kedua tokoh sakti ini saling tarik-tarikan, namun sudah terlihat
pemenangnya. Wajah Ki Temula tampak merah padam. Bahkan dari atas kepalanya
mengepul uap tipis, pertanda telah mengeluarkan tenaga dalam sampai ke
puncaknya. Sedangkan Kemamang Danau Neraka hanya
memerah saja wajahnya.
Perlahan-lahan, tubuh Ki Temula menjadi condong ke depan, karena terbawa tarikan
Kemamang Danau Neraka. Hal ini tidak mengherankan, karena di samping tenaga Ki
Temula ada di bawah lawannya, kekuatan tenaga dalamnya juga telah menurun jauh.
Memang, dia telah terlalu banyak mengeluarkan tenaga sebelum bertarung
menghadapi Kemamang Danau Neraka.
Meskipun tahu kalau dirinya kalah tenaga, tapi Ki Temula tetap tidak mau
melepaskan pedangnya.
masih tetap bertahan. Sisa-sisa tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan untuk
terus membetot.
Mendadak, tanpa diduga-duga Ki Temula,
Kemamang Danau Neraka melepaskan belitan
cambuknya. Akibatnya, tubuh kakek berwajah tirus itu terjengkang ke belakang,
terbawa tenaga tarikannya sendiri.
"He he he...!"
Kemamang Danau Neraka tertawa terkekeh.
Kembali cambuk di tangannya dilecutkan ke arah tubuh Ki Temula yang masih
terhuyung-huyung.
Padahal, Ki Temula belum mampu mematahkan
kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang.
Ctarrr...! "Akh...!"
Ki Temula memekik keras ketika ujung cambuk Kemamang Danau Neraka menyengat
dadanya. Keras bukan main! Darah langsung memercik deras dari mulut Ki Temula. Jelas,
kakek berwajah tirus ini terluka dalam.
Tindakan Kemamang Danau Neraka ternyata
tidak sampai di situ saja. Tanpa mengenai rasa kasihan sedikit pun, tubuh Ki
Temula yang masih terhuyung-huyung dikejarnya. Dan sekali lagi, cambuk di
tangannya meluncur. Kali ini dengan
gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular.
Ki Temula yang sudah terluka dalam dan masih terhuyung-huyung, berusaha
menangkis. Tapi
gerakan cambuk yang meliuk-liuk itu, menyulitkannya. Meskipun demikian pedangnya
tetap digerakkan untuk menangkis.
Tukkk...! Ternyata usaha Ki Temula gagal. Bahkan cambuk itu langsung menotok tepat pada
pelipis kanannya.
Kontan tubuh bekas Ketua Perguruan Garuda Sakti Ini ambruk ke tanah, dengan
nyawa meninggalkan raga. Pelipisnya telah pecah terkena lecutan cambuk yang
mengandung tenaga dalam amat tinggi itu.
Memang, menyedihkan sekali kematian Ki Temula.
Dia tewas tanpa sempat mengeluh lagi.
"He he he...!"
Tawa keras menggelegar Kemamang Danau
Neraka mengiringi perginya Ki Temula ke alam baka.
Setelah puas tertawa-tawa, dia menghambur ke dalam kancah pertarungan.
"Dewa Arak! Lihat..! Aku datang menagih janjimu...!"
Sambil berteriak-teriak keras, Kemamang Danau Neraka melecutkan cambuknya ke
arah pasukan Kerajaan Bojong Gading. Hebat dan menggiriskan sekali sepak terjang
kakek berambut kaku ini. Setiap kali cambuk, tangan, atau kakinya bergerak,
sudah dapat dipastikan akan ada yang roboh di tanah tanpa nyawa.
Maka, akibatnya terasa sekali bagi pasukan
Kerajaan Bojong Gading. Keadaan mereka memang sudah terdesak. Dan kini, Kemamang
Danau Neraka ikut terjun dalam kancah pertarungan menghadapi mereka. Maka,
keadaan pasukan Kerajaan Bojong Gading semakin kocar-kacir.
*** Mengamuknya Kemamang Danau Neraka
mengejutkan semua orang yang berada di pihak kerajaan dibawah pimpinan Prabu
Nalanda. Karena, berarti Ki Temula telah tewas!
Memang, tidak semua pasukan Kerajaan Bojong Gading yang melihat kematian Ki
Temula. Tubuh-tubuh yang tergolek di tanah juga tidak terhitung lagi. Tambahan
lagi, suasana sekitarnya benar-benar kacau oleh pertarungan. Sehingga sulit
untuk memperhatikan ke kanan dan ke kiri.
Melati dan keempat orang panglima Kerajaan
Bojong Gading hanya bisa menghembuskan napas berat. Mereka juga sudah bisa
memperkirakan kalau Ki Temula telah tewas. Bahkan Panglima Jatalu dan Panglima
Garda, hampir menitikkan air mata di sela-sela pertarungan menghadapi lawan. Ki
Temula adalah guru mereka. Dan sedihnya mereka sama sekali tidak bisa melihat
kematian guru mereka sendiri. Siapa yang tidak menjadi terenyuh hatinya"
Panglima Jumali dan ketiga orang panglima
lainnya sadar. Kalau pertarungan diteruskan, bukan tidak mungkin semua prajurit
Kerajaan Bojong Gading akan musnah. Maka....
"Prajurit Bojong Gading yang gagah berani,
mundurrr...!" teriak Panglima Jumali keras, sambil melompat menjauhi lawannya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, pasukan
Kerajaan Bojong Gading cepat bergerak mundur, menjauhi lawannya. Kini mereka
melakukan perlawanan sambil mundur.
Sebenarnya, sudah sejak tadi pasukan Kerajaan Bojong Gading mundur. Hanya saja,
gerak mereka terlalu lambat dan tidak terasa. Sekarang dengan
adanya perintah dari Panglima Jumali, mereka bergerak lebih cepat sambil
sesekali melancarkan perlawanan agar tidak mati konyol.
Bukan hanya pasukan Kerajaan Bojong Gading
saja yang mundur seraya terus melakukan perlawanan. Demikian juga Melati.
Meskipun penasaran, putri angkat Raja Bojong Gading itu terus melangkah mundur. Memang
disadari, kalau
tindakan yang diambil Panglima Jumali sangat tepat Sebuah keuntungan bagi pihak
Kerajaan Bojong Gading, Kemamang Danau Neraka rupanya sudah bosan mengamuk tanpa
mendapat perlawanan
berarti. Apalagi ketika pihak lawan mundur. Maka, amukannya pun dihentikan, dan
hanya berdiri sebagai penonton.
Tapi sebenarnya hal utama yang membuat kakek berambut kaku ini menghentikan
amukannya adalah teriakan-teriakan Melati.
"Kemamang Danau Neraka! Kau pengecut!
Beraninya hanya menghadapi orang-orang lemah.
Kalau jantan, tunggulah kedatangan Dewa Arak. Dia sudah lama mencari-carimu!"
Di sela-sela kesibukannya menghadapi lawan
gadis berpakaian putih itu mengeluarkan ucapan ucapan yang membuat telinga
Kemamang Danau Neraka memerah karena malu.
Namun meskipun tidak ada Kemamang Danau
Neraka, tetap saja keadaan tidak berubah.Pihak Kerajaan Bojong Gading tetap
terdesak hebat dan dipaksa mundur.
Tanpa sadar, tempat pertarungan terus bergeser ke dalam kotaraja. Tembok batas
kotaraja sudah sejak tadi terlewat. Dan kini, desakan pasukan Kerajaan Medang
telah mulai mendekati Istana Bojong Gading.
Dan selama gerak mundurnya pasukan Kerajan
Bojong Gading, korban terus berjatuhan di kedua belah pihak. Di mana-mana
bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa. Dentang senjata beradu
ditingkahi jerit kesakitan membahana membelah angkasa.
Sementara itu, pasukan Kerajaan Bojong Gading yang berada di dalam istana,
memperhatikan jalannya pertempuran dengan perasaan gelisah.
Pintu gerbang istana, telah dibuka lebar-lebar untuk memudahkan rekan-rekan
mereka masuk ke dalamnya. Dan hal itu memang dilakukan prajurit-prajurit penjaga
pintu gerbang, begitu mendapat aba-aba dari prajurit-prajurit yang berjaga-jaga
di atas benteng.
Patih Rantaka dan Panglima Dampu, dua
panglima yang bertugas menjaga keamanan benteng istana, segera memerintahkan
para prajurit yang tersisa untuk bersiap-siap. Pasukan panah telah siap
meluncurkan anak panah di semua tempat di atas benteng. Ini dilakukan apabila
rekan-rekan mereka telah dekat tembok benteng istana, agar lawan tidak ikut
masuk ke dalam benteng.
Dan ketika pasukan-pasukan yang tengah ber-
tempur itu telah berada dalam jarak luncuran anak panah, prajurit-prajurit yang
terdiri dari pemanah-pemanah ulung itu menjepretkan busurnya.
Twanggg, twanggg...!
Puluhan, bahkan mungkin lebih dari seratus anak-anah meluncur ke rah pasukan
Kerajaan Medang.
Tidak hanya sekali saja hal itu dilakukan, tapi berkali-kali. Karuan saja hal
itu membuat pasukan Kerajaan Medang kelabakan. Mereka segera
memapak datangnya anak panah itu dengan senjata atau tameng ya dipegang.
Sebagian besar anak panah itu berhasil tertangkis hingga runtuh. Tapi sebagian
di antaranya mengenai sasaran. Jerit-jerit kesakitan dan lolong kematian pun
terdengar membahana ketika anak-anak panah itu mendarat di berbagai bagian tubuh
anggota pasukan Kerajaan Medang.
Kesempatan baik itu digunakan oleh pasukan
Kerajaan Bojong Gading untuk masuk ke dalam benteng istana. Tentu saja tidak
semuanya berhasil masuk. Sebagian di antara mereka tewas dalam perjalanan menuju
benteng, dan sebagian kecil terkena serangan anak panah nyasar.
Dan begitu para panglima serta Melati yang
merupakan orang terakhir masuk ke dalam benteng, pintu gerbang istana pun
langsung ditutup.
Sementara pasukan panah terus saja melepaskan anak-anak panah.
Panglima Galiwung tentu saja tidak menginginkan pasukannya banyak jatuh korban.
Maka pasukannya segera diperintahkan mundur.
Meskipun merasa penasaran, pasukan Kerajaan Medang pun mentaati perintah
pemimpinnya. Mereka segera menghentikan penyerbuan dan bergerak mundur, walaupun tentu saja
dengan hati penasaran.
Perasaan penasaran yang lebih besar melanda hati lokoh-tokoh persilatan aliran
hitam. Mereka merasa heran, mengapa Panglima Galiwung menyuruh
mundur" *** 6 Kini pasukan Kerajaan Medang dengan leluasa menjarah semua harta benda para
penduduk Kotaraja Bojong Gading. Semua yang ada disikat, baik itu makanan maupun
hewan ternak. Yang lebih keji, ketika tidak ada lagi sesuatu yang dapat mereka rampok,
bangunan-bangunan tempat tinggal penduduk itu pun dibakar.
"Ha ha ha...!"
Gelak tawa kegembiraan prajurit Kerajaan
Medang mengiringi berkobarnya api yang membakar rumah-rumah penduduk Kotaraja
Bojong Gading. Asap tebal berwarna kehitaman membumbung tinggi ke angkasa ketika si jago merah
melahap bangunan-bangunan rumah. Suara gemeretak dinding-dinding bangunan yang
terbakar terdengar di sana-sini.
Tentu saja semua kekejian itu dilihat oleh
pasukan Kerajaan Bojong Gading. Terutama sekali, prajurit yang berjaga-jaga di
atas benteng istana dengan anak panah siap diluncurkan. Perasaan geram pun
melanda hati mereka semua. Kalau
menuruti perasaan hati sudah tentu mereka serbu pasukan Kerajaan Medang. Namun
apa daya" Buktinya lawan lebih kuat. Mengikuti kemarahan hanya akan merugikan diri
sendiri. Maka yang dapat dilakukan prajurit-prajurit Kerajaan bojong Gading
hanya menggertakkan gigi sambil mengepalkan kedua tangan.
Sementara orang-orang yang membuat prajurit Kerajaan Bojong Gading itu geram,
terus saja bergembira dan berpesta pora. Kalau saja para
penduduk kotaraja tidak lebih dulu mengungsi, pasti mereka akan menjadi korban
amukan pula. Dan nasib yang lebih mengerikan jelas akan menimpa kaum wanita.
"Ha ha ha...!"
Masih dengan gelak tawa tak putus-putus, prajurit Kerajaan Medang melangkah
meninggalkan tempat itu sambil membawa berbagai macam hasil
rampokan, dan segera bergabung dengan kelompok mereka. Kini mereka beristirahat
sambil menikmati makanan dan bersenda gurau. Mereka tahu,
kemenangan sudah berada di depan mata.
Tapi, tidak semua anggota pasukan Kerajaan
Medang bersenda gurau dan bersenang-senang.
Sebagian lagi berjaga-jaga, dan sisanya beristirahat di dalam tenda-tenda yang
telah dipasang. Semua tenda berukuran kecil. Tapi, ada sebuah yang mempunyai
bentuk dan ukuran lebih besar dari lainnya.
Di tenda inilah orang-orang penting Kerajaan Medang berkumpul. Panglima
Galiwung, beberapa panglima lainnya, jago-jago istana, dan tokoh-tokoh
persilatan aliran hitam tampak asyik berbincang-bincang.
"Mengapa harus menghentikan penyerangan,
Panglima Galiwung?" tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berpakaian
coklat tua. Suara laki-laki ini kecil dan nyaring, mirip ringkikan kuda. Sungguh berlainan
sekali dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar dan kekar. Raut wajahnya
kelimis, tanpa ditumbuhi kumis, jenggot, atau cambang. Namun demikian tidak
menjadikan perbawaannya berkurang. Sebuah luka melintang tampak menghiasi
wajahnya. "Hal itu memang kusengaja, Raksasa Batu," sahut
Panglima Galiwung sambil tersenyum.
"Sengaja?"
Alis laki-laki yang memiliki luka melintang di wajah, dan ternyata berjuluk
Raksasa Batu berkernyit. Tapi ternyata bukan hanya alis Raksasa Batu saja yang
berkernyit dalam. Tokoh-tokoh aliran hitam lainnya pun mengernyitkan alis pula.
"Mengapa, Panglima Galiwung?" tanya tokoh


Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan yang berpakaian hitam kelam. Dialah yang dijuluki si Garuda Hitam.
"Ya! Bukankah hanya tinggal sesaat lagi, kita akan berhasil meraih kemenangan
itu?" sambut laki-laki yang berpakaian merah menyala.
Memang, di antara mereka ada dua orang yang memiliki pakaian warna merah
menyala. Sebuah ikat kepala berwarna merah pun melilit di dahinya.Mereka
dijuluki Sepasang Setan Api.
Panglima Galiwung tidak langsung menjawab
pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan. Dia malah menyunggingkan senyum lebar
sambil mengelus-elus dagunya yang hanya. berjenggot tiga lembar.
"Perlu kalian ketahui semua," panglima Kerajaan Medang itu membuka pembicaraan.
"Dalam peperangan, tidak hanya kepalan saja yang kita butuhkan. Tapi juga otak."
Kontan wajah tokoh-tokoh persilatan yang ada di situ, merah padam. Memang,
sedikit banyak ucapan yang dikeluarkan Panglima Galiwung menyentil perasaan
mereka walaupun tidak secara langsung.
"Untuk apa harus mengorbankan pasukan banyak kalau aku bisa meruntuhkan Kerajaan
Bojong Gading dengan jumlah korban sedikit di pasukanku,"
kalem jawaban yang terdengar dari mulut Panglima Galiwung.
"Aku belum mengerti maksudmu, Panglima
Galiwung," kata Raksasa Batu sambil mengernyitkan kening.
Sementara, Sepasang Setan Api, Garuda Hitam, dan beberapa tokoh persilatan
aliran hitam lainnya tidak berkata apa-apa. Padahal, sebenarnya mereka dilanda
perasaan yang sama.
Mereka inilah tokoh-tokoh aliran hitam yang tersisa. Memang, sebagian tokoh
aliran hitam lainnya telah tewas ketika bertarung menghadapi Ki Temula dan
Melati. Panglima Galiwung menatap sebentar satu
persatu wajah-wajah yang menyiratkan ketidak-mengertian hadapannya.
"Kalau seandainya kuteruskan penyerbuan..., memang kemungkinan Istana Bojong
Gading bisa direbut Tapi..., kemungkinan pasukanku banyak sekali yang tewas.
Benteng itu terlalu kuat, dan sangat sulit menembusnya. Tambahan lagi, di atas
benteng istana benjejer pasukan panah. Mereka dengan mudah akan menghujani anak
panah pada pasukanku. Dan sudah bisa ditebak, banyak
pasukanku yang akan jadi korban sebelum mencapai tembok benteng!" jelas Panglima
Galiwung. Kontan kepala semua tokoh aliran hitam yang berada di situ terangguk-angguk.
Mereka menyadari adanya kebenaran dalam ucapan panglima Kerajaan Medang itu.
"Lalu..., sekarang apa yang akan kau lakukan, Panglima Galiwung?" tanya Garuda
Hitam. "Aku sudah tidak sabar lagi memasuki Istana Bojong Gading!"
"Tidak ada," jawab Panglima Galiwung, singkat Para tokoh aliran hitam itu saling
berpandangan satu sama lain. Wajah maupun sorot mata mereka
menampakkan keterkejutan mendalam. Memang,
jawaban yang diberikan Panglima Galiwung sama sekali tidak disangka-sangka.
"Jadi, kita harus diam berpangku tangan di sini, Panama Galiwung?" selak Raksasa
Batu tanpa menyembunyikan nada heran dalam pertanyaannya.
Panglima Galiwung menganggukkan kepala.
"Lalu..., bagaimana kita bisa mendapatkan Istana Kerajaan Bojong Gading,
Panglima GaBwung"!"
desak Raksasa Batu penasaran
Panglima Galiwung tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Seulas senyum malah tersungging di bibirnya.
"Karena mereka memutuskan untuk menghadapi
kita dengan cara bertahan di dalam benteng, maka akan kuturuti kemauan mereka.
Aku ingin tahu, sampai berapa lama mereka mampu bertahan di dalam benteng itu!"
Seketika, kepala semua tokoh persilatan aliran hitam yang ada di situ terangguk.
Kini, semuanya telah mengerti siasat yang akan dilakukan Panglima Galiwung.
Rupanya, panglima Kerajaan Medang itu ingin membuat pasukan Kerajaan Bojong
Gading terkurung di dalam benteng.
"Siasat yang kau lakukan sangat tepat, Panglima Galiwung," puji Raksasa Batu
sambil mengacungkan jempol kanannya.
"Benar. Mereka akan mati seperti tikus terjepit.
Mati secara perlahan-lahan!" sambut Garuda Hitam.
"Memang demikianlah maksudku!" sambut
Panglima Galiwung, gembira. "Setelah mereka semua lemah, kita akan serbu mereka!
Dan kurasa tanpa kesulitan benteng Kerajaan Bojong Gading dapat direbut! Ha ha
ha...!" "Ha ha ha...!"
Semua orang yang berada di dalam tenda besar itu pun tertawa bergelak. Tawa
gembira bernada
kemenangan. *** Siang itu suasana di persada panas bukan
kepalang. Memang, matahari telah tepat di atas kepala. Sinarnya memancar dengan
garang, seperti akan membakar apa saja yang ada di bawahnya.
Tapi suasana seperti itu tidak menghalangi
langkah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan berpakaian panglima.
Wajahnya penuh cambang bauk lebat, sehingga menambah kewibawaannya.
Panglima bertubuh tinggi besar itu tampak tengah melangkah tergesa-gesa. Ini
bisa dilihat dari langkah kakinya yang lebar-lebar. Tampaknya, tujuannya adalah
ke sebuah bangunan besar dalam istana.
Tapi di pintu masuk bangunan besar itu, laki-laki bertubuh tinggi besar ini
menghentikan langkahnya, karena tombak dua orang prajurit saling disilangkan
sehingga menutupi jalannya.
"Maaf, Panglima Gorawangsa! Tanpa perkenan
Gusti Prabu, kami tidak bisa membiarkanmu masuk,"
kata, prajurit yang bertahi lalat di pipi kanan.
Laki-laki tinggi besar yang ternyata Panglima Gorawangsa, panglima Kerajaan
Pasugihan, tersenyum pahit (Untuk lebih jelas mengenai tokoh ini, silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode
"Perjalanan Menantang Maut").
"Aku juga tahu peraturan itu, Prajurit!" sergah Panglima Gorawangsa. "Tapi
karena ada masalah penting dan mendesak, aku ingin menghadap Gusti Prabu.
Meskipun beliau belum memanggilku. Harap laporkan permintaanku ini pada Gusti
Prabu." Dua orang prajurit penjaga pintu masuk Istana Kerajaan Pasugihan itu saling
berpandangan sejenak. Kemudian prajurit yang bertahi lalat di pipi mengalihkan
pandangan kembali ke arah Panglima Gorawangsa.
"Baik. Kami akan melaporkan maksud Panglima.
Harap Panglima sudi menunggu sebentar."
Setelah berkata demikian, laki-laki bertahi lalat itu membalikkan tubuh dan
melangkah ke dalam.
Ditinggalkannya Panglima Gorawangsa dan rekannya.
Tak lama kemudian, prajurit bertahi lalat itu telah kembali keluar.
"Gusti Prabu berkenan menerima kedatanganmu, Panglima Gorawangsa."
Sementara prajurit yang satunya lagi segera melangkah ke samping, memberi jalan
pada Panglima Gorawangsa. Maka tanpa membuang-
buang waktu lagi, panglima Kerajaan Pasugihan itu segera melangkah ke dalam
istana. Panglima Gorawangsa segera memberi hormat
pada seorang laki-laki setengah baya yang tengah duduk di atas singgasana.
Dialah Raja Kerajaan Pasugihan. Prabu Manik Angkeran namanya.
Sedangkan di sekitar tempat itu, tampak berdiri beberapa orang prajurit yang
bersikap menjaga keselamatan Prabu Manik Angkeran. Mereka adalah pasukan khusus
Kerajaan Pasugihan, yang terdiri dari jago-jago nomor satu Istana Kerajaan
Pasugihan. Panglima Gorawangsa segera memberi hormat
dengan menekuk sebelah kakinya. Tangan kanannya yang terkepal menekan tanah,
sedang wajahnya menatap lantai.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba berani
menghadap tanpa dipanggil," ucap Panglima
Gorawangsa. "Lupakanlah, Gorawangsa. Katakan, apa yang
hendak kau sampaikan," sahut Prabu Manik
Angkeran, bijaksana.
Panglima Gorawangsa menelan ludah sejenak
untuk melonggarkan tenggorokannya.
"Hamba membawa berita buruk, Gusti Prabu,"
lapor Panglima Gorawangsa memulai ceritanya.
"Berita buruk, Gorawangsa?" sepasang alis Prabu Manik Angkeran berkerut "Berita
buruk apa" Cepat sampaikan!"
"Kerajaan Bojong Gading diserbu pasukan
Kerajaan Medang. Dan kini, pasukan itu tengah terkurung di benteng istana. Tanpa
adanya bantuan, Kerajaan Bojong Gading akan jatuh ke tangan Kerajaan Medang,
Gusti Prabu."
Kontan wajah Raja Pasugihan itu mengelam.
"Inikah berita yang kau katakan penting dan mendesak itu, Gorawangsa"!" tanya
Prabu Manik Angkeran, penuh bernada teguran. Raut ketidak-senangan tampak jelas
pada wajahnya. "Benar, Gusti Prabu. Dan hamba mohon ampun
apabila berita yang hamba bawa ini tidak berkenan di hati Gusti Prabu."
Brakkk! Sambil menggebrak tangan singgasananya, orang nomor satu di Kerajaan Pasugihan
itu bangkit berdiri. Wajahnya tampak merah padam. Jelas, Raja Pasugihan itu
tengah murka. "Gorawangsa!" tegur Prabu Manik Angkeran
bernada tinggi. "Meskipun belum diutarakan, tapi sudah bisa kutebak maksud
ucapanmu! Kau menginginkan aku membantu Kerajaan Bojong Gading, bukan"!"
"Ampun, Gusti Prabu. Memang demikianlah
maksud hamba," jawab panglima berkumis dan
berjenggot rapi ini sambil menundukkan kepala. Dia tahu, junjungannya murka
kepadanya. "Kau gila, Gorawangsa! Kau menginginkan
pasukan kerajaan kita ikut campur dalam
pertempuran itu"! Apakah sudah kau pertimbangkan masak-masak maksudmu itu"!
Puluhan, bahkan
mungkin ratusan prajurit kita akan gugur bila kuizinkan kau melaksanakan rencana
gila itu!"
"Ampun, Gusti Prabu. Tapi ingatkah Gusti Prabu akan Dewa Arak?" Panglima
Gorawangsa tetap nekat
"Aku ingat! Dewa Arak telah menanam budi besar pada kerajaan kita! Lalu, apa
hubungannya dengan Kerajaan Bojong Gading dan Kerajaan Medang"!"
masih tetap tinggi nada suara Prabu Manik
Angkeran. "Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Kalau hamba
tidak salah ingat, bukankah Gusti Prabu ingin membalas budi baik Dewa Arak"!"
"Benar! Lalu, mengapa"!"
"Kerajaan Bojong Gading adalah kerajaan calon mertua Dewa Arak, Gusti Prabu,"
lanjut Panglima Gorawangsa memberi penjelasan.
"Benarkah itu, Gorawangsa?" tanya Raja Kerajaan Pasugihan, mulai lunak nada
suaranya. "Ampun, Gusti Prabu. Demikianlah berita yang hamba ketahui."
Prabu Manik Angkeran tertegun sejenak.
Sepasang matanya menatap tajam pada satu titik.
Dan masih dengan sikap seperti itu, dia lalu duduk kembali di singgasananya
perjahan-lahan.
"Kalau begitu, kirim pasukan ke wilayah Kerajaan Bojong Gading, Gorawangsa.
Bantu kerajaan itu menghadapi Kerajaan Medang. Hhh...! Kerajaan Medang memang
kerajaan yang gemar berperang...."
"Akan hamba laksanakan perintah Gusti Prabu."
Kemudian setelah memberi hormat, panglima
yang bertubuh tinggi besar ini segera melangkah meninggalkan ruangan itu untuk
melaksanakan titah Prabu Manik Angkeran.
*** 7 Hari masih pagi. Sang surya baru saja muncul di ufuk Timur, namun sudah berupa
bola raksasa berwarna merah membara. Angin yang berhembus pun masih terasa sejuk
menerpa dada, dan terasa nikmat di kulit ketika pasukan Kerajaan Medang bergerak
menuju Istana Kerajaan Bojong Gading.
Di bawah pimpinan Panglima Galiwung, pasukan Kerajaan Medang siap menyerang
Istana Kerajaan Bojong Gading. Panji-panji kerajaan berkibaran di udara. Derap
kaki kuda dan kaki manusia yang bertubi-tubi menghantam tanah, membuat persada
bagai terguncang.
Berada paling depan adalah jago-jago Istana Kerajaan Medang dan tokoh-tokoh
persilatan aliran hitam. Hal itu memang mengikuti aturan yang dibuat Panglima
Galiwung. Panglima Kerajaan Medang itu tahu, kalau para prajurit yang berada di
bagian terdepan sudah dapat dipastikan akan banyak jatuh korban di antara
mereka. Bukan hanya itu saja yang menyebabkan
Panglima Galiwung mengambil keputusan demikian.
Dia berpikiran, jago-jago istana dan para tokoh persilatan aliran hitam itu akan
digunakan untuk melumpuhkan pasukan panah. Memang, dibutuhkan orang-orang yang
berkemampuan cukup tinggi untuk melaksanakan tugas itu. Dan hal itu tidak
mungkin bisa dilakukan para prajurit.
Tentu saja kedatangan pasukan Kerajaan Medang itu diketahui pasukan Kerajaan
Bojong Gading. Mereka pun, terutama sekali pasukan panah, segera
bersiap-siap menyambut datangnya serbuan.
Pasukan panah sudah siap di tempat masing-
masing dengan anak-anak panah terentang siap dijepretkan. Mereka semua menunggu
hingga pasukan lawan berada dalam jarak jangkauan
luncuran anak panah.
Dan ketika barisan pasukan Kerajaan Medang
yang terdepan telah berada dalam jangkauan, pasukan panah Kerajaan Bojong Gading
pun mulai menjepretkan panahnya.
Twanggg, twanggg...!
Puluhan, bahkan mungkin ratusan anak panah
melesat bagai hujan ke arah pasukan Kerajaan Medang. Dan sebelum anak panah itu
mengenai sasaran, pasukan Kerajaan Bojong Gading kembali meluncurkan anak-anak
panah lainnya. Kejadian seperti yang sudah diperhitungkan
Panglima Galiwung pun terjadi. Jago-jago istana dan tokoh-tokoh persilatan
aliran hitam sama sekali tidak mengalami kesulitan memunahkan hujan serangan
anak panah itu.
Trakkk, trakkk, trakkk...!
Sebagian besar serangan anak-anak panah itu berhasil dikandaskan. Baik terpukul
runtuh, maupun terpental balik. Hanya beberapa gelintir saja yang mengenai
prajurit-prajurit Kerajaan Medang.
"Aaakh...!" ,
Jerit kesakitan dan lolong kematian terdengar dari mulut prajurit-prajurit yang
terhunjam anak panah.
Tubuh-tubuh yang tidak bernyawa langsung berjatuhan ke tanah.
Seiring semakin majunya pasukan Kerajaan
Medang, maka semakin banyak jumlah prajurit yang berjatuhan di tanah disertai
lolong kematian. Tapi hal seperti itu tidak menimpa jago-jago istana dan
para tokoh persilatan aliran hitam. Mereka terus saja merangsek maju, mendekati
benteng dengan senjata-senjata di tangan yang tak henti-hentinya diputar-
putarkan untuk menangkis hujan anak panah.
Semakin lama, jarak antara mereka semakin
dekat Dan ketika telah mendekati tembok benteng istana, mereka pun melompat ke
atas. Dengan ilmu meringankan tubuh yang mereka
miliki, bukan merupakan hal yang sulit untuk melompat ke atas tembok benteng
sambil tetap memutar-mutarkan senjata untuk menangkis.
"Hup! Hup! Hup...!"
Sesaat kemudian, jago-jago Istana Kerajaan


Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Medang dan para tokoh persilatan aliran hitam pun telah mendaratkan kakinya di
atas tembok. Dan secepat berada di atas, secepat itu pula menyerbu pasukan
panah. Tentu saja pasukan panah Kerajaan Bojong
Gading tidak tinggal diam. Mereka langsung
mengadakan perlawanan, tapi hanya seperti semut-semut menerjang api. Dengan
mudah, mereka ditumbahgkan lawan-lawannya.
Memang dengan perbedaan tingkat kepandaian
yang jauh dibanding lawan-lawannya, pasukan panah Kerajaan Bojong Gading ini
menjadi santapan empuk. Jerit kematian diiringi bertumbangannya tubuh-tubuh
anggota pasukan Kerajaan Bojong Gading terdengar susul-menyusul. Keadaan di atas
tembok benteng istana pun kocar-kacir. Dengan sendirinya, hujan anak panah itu
pun berkurang. Saat itulah, pasukan Kerajaan Medang bergerak maju secara cepat di bawah
pimpinan Panglima Galiwung. Dengan kedua tangannya, panglima
Kerajaan Medang ini memukul daun pintu gerbang.
Dan.... Brakkk...! Daun pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati tebal dan berukir itu kontan
hancur berantakan.
Dapat dibayangkan, betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Panglima Galiwung.
Begitu melihat daun pintu gerbang itu telah terbuka lebar, pasukan Kerajaan
Medang segera meluruk masuk disertai pekikan keras membahana.
Pasukan Kerajaan Bojong Gading pun segera
menyambut kedatangan mereka. Tak pelak lagi, pertempuran yang mengerikan pun
terjadi. Suara dentang senjata beradu, jerit kesakitan, dan lolong kematian pun
mengusik keheningan pagi buta.
Bahkan masih ditingkahi suara berdebuknya tubuh-tubuh yang berjatuhan ke tanah
dalam keadaan tanpa nyawa.
Pasukan Kerajaan Bojong Gading di bawah
pimpinan lima orang panglima, satu orang patih, dan Melati, berjuang keras
menanggulangi serbuan lawan Pedang di tangan Melati, dalam penggunaan ilmu
'Pedang Pembunuh Naga', berkelebatan ke sana kemari. Suara menggerung keras
seperti naga murka menyertai gerakan pedangnya.
Setiap kali pedang itu berkelebat, sudah dapat dipastikan ada sesosok tubuh yang
roboh ke tanah dalam keadaan tidak bemyawa lagi. Putri angkat Raja Bojong Gading
ini memang bagaikan singa betina yang terluka saja.
Bukan hanya Melati saja yang mengamuk.
Panglima Jumali, Panglima Dampu, Panglima
Tampaya, Panglima Jatalu, dan Patih Rantaka melakukan hal serupa. Tapi karena
jumlah pasukan Kerajaan Bojong Gading jauh lebih sedikit, tetap saja usaha yang
dilakukan hampir tidak berarti. Pasukan Kerajaa Bojong Gading semakin terdesak
mundur. Melihat pasukannya semakin terdesak mundur, Prabu Nalanda tidak bisa tinggal
diam. Dia pun langsung terjun dalam kancah pertempuran, sambil mengeluarkan
pekikan keras. Tentu saja pasukan khusus Kerajaan Bojong
Gading pun tidak tinggal diam. Mereka terjun ke arena pertempuran untuk
melindungi junjungannya.
Cukup hebat amukan Raja Bojong Gading
Terutama sekali, amukan pasukan khusus yang selalu mendampinginya. Meskipun
tidak sedahsyat amukan panglima-panglima kerajaan, tapi sedikit banyak cukup
membantu pasukan Kerajaan Bojong Gading.
Suara hiruk-pikuk senjata beradu, jerit kesakitan, dan lolong kematian terdengar
saling susul. Untuk kedua kalinya, halaman Kerajaan Bojong Gading dibanjiri
darah (Untuk jelasnya mengenai kejadian yang pertama, silakan baca serial Dewa
Arak dalam episode "Banjir Darah di Bojong Gading").
*** Di saat-saat gawat bagi keutuhan Kerajaan Bojong Gading, terdengar suara
bergemuruh dari derap puluhan, bahkan mungkin ratusan ekor kuda. Itu pun masih
ditambah lagi teriakan-teriakan bernada peperangan.
Karuan saja suara ribut-ribut itu cukup memaksa orang-orang yang tengah
bertempur mengalihkan perhatian, walaupun hanya sekilas.
Ternyata di kejauhan, nampak ratusan kuda
tengah berpacu cepat menuju Istana Kerajaan Bojong Gading. Menilik dari adanya
dua macam panji-panji yang dibawa, bisa diketahui kalau pasukan berkuda itu
bukan dari satu kerajaan.
Dan memang, pasukan berkuda itu adalah
gabungan antara pasukan Kerajaan Pasugihan dan pasukan Kerajaan Kamujang.
Memang, seperti juga halnya Kerajaan Pasugihan, Kerajaan Kamujang pun mendengar
berita buruk yang menimpa Kerajaan Bojong Gading. Maka tanpa ragu-ragu lagi,
Raja Kamujang yang bernama Prabu Jayalaksana mengirimkan pasukan untuk membantu
Kerajaan Bojong Gading. Pasukan Kerajaan
Kamujang ini dipimpin langsung oleh Patih Juminta.
Tentu saja Prabu Jayalaksana tidak begitu saja mengirimkan pasukan untuk
membantu kalau tidak mempunyai alasan kuat Mana sudi dia mengorbankan pasukannya
untuk membantu kerajaan orang"
Dan ternyata alasan kuat itu adalah Dewa Arak.
Beberapa waktu yang lalu, Dewa Arak telah
menyelamatkan keutuhan Kerajaan Kamujang.
Betapapun dipaksakan keinginan untuk memberikan hadiah tapi tetap saja Dewa Arak
tidak mau menerimanya.Kini terbukalah jalan untuk membalas budi Dewa Arak. Bukankah
Kerajaan Bojong Gading adalah kerajaan calon mertua Dewa Arak" Menolong calon
mertuanya, berarti sama dengan menolong Dewa Arak. Dan setidak-tidaknya, dia
telah membalas budi itu (Untuk jelasnya mengenai cerita Kerajaan Kamujang,
silakan, baca serial Dewa Arak dalam kisah 'Pendekar Tangan Baja").
Di tengah perjalanan, pasukan Kerajaan
Kamujang yang dipimpin Patih Juminta, bertemu pasukan Kerajaan Pasugihan yang
dipimpin Panglima Gorawangsa. Setelah mengetahui maksud masing-masing, kedua pasukan itu
memutuskan untuk pergi bersama-sama. 'Dan sekarang, dua pasukan dari dua
kerajaan itu tengah meluruk ke arah Istana Bojong Gading yang tengah dilanda
kemelut. Tentu saja kedatangan pasukan dari dua kerajaan itu membuat pasukan Kerajaan
Medang dan pasukan Kerajaan Bojong Gading yang tengah bertempur jadi
kebingungan. Dan dengan sendirinya, meskipun pertempuran terus berlangsung
sengit, tapi sudah tidak seramai sebelumnya.
Terutama sekali, pertarungan antara kedua
panglima kerajaan. Baik Panglima Jumali dan kawan-kawan, maupun Panglima
Galiwung beserta rekan.
Pertarungan antara mereka jadi berkurang jauh sengitnya.
Panglima dari dua kerajaan itu sama-sama kaget atas kedatangan dua pasukan itu.
Meskipun sudah bisa diketahui asal pasukan-pasukan kerajaan itu, namun mereka
tidak mengetahui maksud
kedatangannya. Maka, jantung panglima-panglima kedua kerajaan yang sedang
bertikai itu jadi berdetak jauh lebih cepat. Tegang, karena menanti-kan
kelanjutan dari kedatangan pasukan-pasukan itu.
Meskipun demikian, pertarungan terus ber-
langsung sengit. Padahal, kedua belah pihak bertarung dengan pikiran-pikiran
yang berkecamuk di dalam benak.
Sementara itu, pasukan Kerajaan Pasugihan dan Kerajaan Kamujang semakin lama
semakin mendekati Istana Kerajaan Bojong Gading. Dengan sendirinya, suara
bergemuruh yang menyertai gerakan mereka semakin terdengar jelas.
"Hoi...! Pasukan Bojong Gading...! Aku, Panglima Gorawangsa dari Kerajaan
Pasugihan datang
membantu kalian...!" teriak Panglima Gorawangsa.
Teriakan Panglima Gorawangsa ini dikeluarkan
lewat pengerahan tenaga dalam, sehingga dapat terdengar jelas. Padahal jaraknya
dengan Istana Kerajaan Bojong Gading tak kurang dari dua puluh tombak.
"Aku, Patih Juminta dari Kerajaan Kamujang juga berniat sama dengan kedatangan
pasukan Kerajaan Pasugihan!" Patih Juminta berteriak pula, sebelum gema teriakan
Panglima Gorawangsa lenyap seluruh-nya.
Seperti juga Panglima Gorawangsa, teriakan Patih Juminta pun disertai tenaga
dalam. Hal itu terpaksa dilakukan agar bisa terdengar pasukan Kerajaan Bojong
Gading. Dan pada kenyataannya maksud pucuk pimpinan dua pasukan itu terkabul. Teriakan
mereka terdengar jelas oleh kedua belah pihak yang tengah terlibat pertarungan.
Tentu saja pemberitahuan dari Kerajaan
Kamujang maupun Kerajaan Pasugihan itu membuat semangat pasukan Kerajaan Bojong
Gading bangkit kembali. Sebaliknya, pasukan Kerajaan Medang menjadi khawatir
bercampur cemas.
Baik Patih Juminta maupun Panglima Gora-
wangsa segera memerintahkan menyerbu pasukan Kerajaan Medang. Maka kini keadaan
langsung berbalik. Pasukan Kerajaan Medang ganti kelabakan, karena tergencet
dari dua arah. Dari depan menghadapi pasukan Kerajaan Bojong Gading, dan dari
belakang menghadapi serbuan pasukan Kerajaan Pasugihan dan Kerajaan Kamujang.
Dentang senjata beradu, pekik kesakitan, dan lolong kematian semakin sering
terdengar. Tubuh-tubuh berlumur darah mulai bergelimpangan di tanah, tak mampu
bergerak lagi. Memang,
pertempuran yang terjadi berlangsung semakin
sengit. Di antara orang yang melihat datangnya bala bantuan itu adalah Melati. Padahal,
gadis itu tengah sibuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam.
Melati tahu, kedatangan pasukan itu adalah
untuk membantu Kerajaan Bojong Gading. Dan dia tahu kenapa dua kerajaan itu
membantu Kerajaan Bojong Gading. Hal ini hanyalah karena Dewa Arak.
Putri angkat Raja Bojong Gading itu tahu, karena Arya selalu menceritakan
perjalanannya. Dengan datangnya bala bantuan, lawan yang
dihadapi Melati makin berkurang. Kini lawan putri angkat Raja Bojong Gading itu
hanyalah tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Tidak ada lagi prajurit Kerajaan
Medang yang mengeroyoknya. Mereka
semua memisahkan diri dari kancah pertarungan untuk menghadapi serbuan pasukan
Kerajaan Pasugihan dan Kerajaan Kamujang.
Memang sejak tadi prajurit-prajurit Kerajaan Medang-lah yang membuat Melati
kerepotan. Keberadaan mereka menyulitkannya untuk men-
jatuhkan serangan pada lawan-lawannya. Sehingga, sejak tadi hanya keroco-keroco
saja yang tewas di tangan Melati. Raksasa Batu, Sepasang Setan Api, dan Garuda
Hitam, selalu mampu berlindung di balik tubuh para prajurit itu.
Tapi sekarang, mereka tidak bisa melakukan hal seperti itu lagi. Keempat orang
ini harus berusaha keras untuk menghadapi Melati yang menggunakan ilmu 'Pedang
Seribu Naga'. Memang dahsyat ilmu andalan putri angkat Raja Bojong Gading itu.
Suara menggerung keras mengiringi setiap pergerakan pedang Melati.
Tapi lawan-lawan yang dihadapi Melati ternyata
cukup memiliki kepandaian. Tambahan lagi, mereka menghadapinya bersama-sama.
Tidak aneh kalau perlawanan yang dilakukan pun cukup berat dirasakan Melati.
*** Gigi Panglima Galiwung bergemeletuk. Hatinya
merasa geram bukan kepalang ketika menyadari kalau pasukannya mungkin tidak
berhasil me-menangkan pertempuran. Datangnya bala bantuan tak terduga itulah
penyebabnya. Yang lebih celaka lagi, keadaan pasukannya yang tergencet dari dua arah.
Akibatnya, mereka tidak bisa menyelamatkan diri lagi. Jadi tidak ada pilihan
bagi mereka kecuali bertempur terus hingga titik darah penghabisan.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa keras meng-
gelegar laksana ada halilintar menyambar di sekitar tempat itu.
Hebat betul pengaruh yang ditimbulkan suara tawa itu. Semua orang yang tengah
bertarung langsung menghentikan gerakan. Bahkan langsung mendekapkan kedua
tangan ke telinga, yang mendadak terasa berdengung keras.
Hanya ada beberapa gelintir orang saja yang tidak mendekap telinganya. Mereka
adalah panglima-panglima kerajaan, jago-jago nomor satu istana, tokoh-tokoh
persilatan aliran hitam, dan Melati.
Semua kepala mendongak ke atas. Ratusan
pasang mata langsung tertuju ke arah tembok benteng istana. Karena, memang dari
sanalah asal suara tawa itu.
Di atas tembok benteng Istana Kerajaan Bojong Gading, nampak berdiri sesosok
tubuh berkulit kemerahan terbalut baju berwarna abu-abu. Dia tak lain dari Kemamang Danau
Neraka. Memang, tokoh Pulau Ular yang menggiriskan
itulah yang tadi mengeluarkan suara tawa keras menggelegar. Sebuah keuntungan
bagi semua prajurit yang ada di situ, kakek berambut kaku ini tidak mengeluarkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya sewaktu mengeluarkan tawa. Tambahan lagi, tawa yang
dikeluarkan pun tidak terus dilakukan.
Kalau dilanjutkan, apalagi disertai tenaga dalam penuh, pasti tidak akan ada
satu orang pun yang selamat.
"Sungguh sebuah pertarungan yang tidak adil...,"
kata Kemamang Danau Neraka.
Pelan saja ucapan yang keluar dari mulut
Kemamang Danau Neraka, seakan-akan tengah
bicara pada diri sendiri. Namun meskipun demikian, terdengar jelas oleh semua
orang yang berada di situ.
"Pasukan dari tiga kerajaan, bersatu mengeroyok pasukan sebuah kerajaan. Tidak
adil.... Sungguh tidak adil...!" lanjut Kemamang Danau Neraka, lebih keras
daripada sebelumnya.
Usai berkata demikian, kakek berambut kaku itu melepaskan cambuk yang melilit
pinggang, lalu melecutkannya ke udara.
Ctarrr...! Suara keras menggelegar seperti ada halilintar menyambar langsung terdengar. Dan
begitu lecutan cambuknya lenyap, Kemamang Danau Neraka segera melompat turun.
Laksana seekor burung garuda, tubuh tokoh Pulau Ular itu melayang ke bawah, dan
mendarat ringan di tanah.
Sementara itu pertarungan kembali berlangsung setelah pengaruh suara tawa
Kemamang Danau Neraka usai. Dengan demikian, kedua kaki
Kemamang Danau Neraka mendarat di tangah-
tengah pertempuran yang tengah berkecamuk.
Tapi, rupanya Kemamang Danau Neraka memang
ingin terlibat dalam pertarungan. Maka begitu kedua kakinya mendarat di tanah,
langsung saja cambuk di tangannya dilecutkan. Kalau tidak mengarah pada pasukan
Kerajaan Bojong Gading, tentu meluncur ke arah pasukan Kerajaan Kamujang dan
Kerajaan Pasugihan. Tampak jelas kalau kakek berambut kaku ini membela pihak
Kerajaan Medang.
Hebat bukan kepalang tindakan Kemamang
Danau Neraka. Setiap kali cambuk di tangannya dilecutkan, pasti ada yang roboh
ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa.
Permainan cambuk Kemamang Danau Neraka
memang luar biasa! Dengan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat tinggi,
cambuk itu bisa dikendalikan sekehendak hatinya. Terkadang
melecut seperti layaknya sebuah cambuk, tapi tak jarang menegang kaku seperti
layaknya sebatang tombak. Gilanya, gerakan cambuk itu terkadang bisa meliuk-liuk
dan mematuk-matuk seperti seekor ular!
Jerit kematian terdengar saling susul setiap kali cambuk, tangan, atau kaki
Kemamang Danau Neraka bergerak. Secara leluasa, tokoh hitam itu menyebar maut di
pihak lawan. Memang, celakalah prajurit-prajurit yang berhadapan dengan Kemamang Danau
Neraka. Betapa tidak" Setiap serangan yang dikirimkan, baik berupa tusukan,
bacokan, babatan. atau hantaman, sama sekali tidak terpengaruh. Sekujur tubuh
Kemamang Danau Neraka seolah-olah terbuat dari karet kenyal.
Sehingga membuat semua serangan berbagai senjata yang mengenai tubuhnya
berpentalan kembali.
Tubuh Kemamang Danau Neraka sama sekali tidak
terluka. Bahkan tangan para pengeroyoknya
langsung terasa sakit-sakit.
Melihat hal ini, Melati menggertakkan gigi.


Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hatinya merasa geram bukan kepalang melihat ketelengasan tindakan Kemamang Danau
Neraka. Tapi apa daya" Dia sendiri pun tengah sibuk menghadapi keroyokan lawan-lawannya.
Jadi, memang tidak ada yang bisa dilakukannya. Lagi pula seandainya memang harus
berhadapan dengan
Kemamang Danau Neraka, Melati tak bakal mampu membendung amukannya. Kakek
berambut kaku itu memang terlalu tangguh. Rasanya hanya Dewa Arak saja yang
mampu menanggulanginya. Terasa betul pentingnya kehadiran pemuda berambut putih
keperakan itu kalau tengah terjadi hal seperti ini.
Meskipun belum mampu mengalahkan lawan-
lawannya yang terdiri dari Sepasang Setan Api, Raksasa Batu, dan Garuda Hitam,
namun Melati sudah mampu menguasai keadaan. Gadis itu ternyata telah berhasil
mendesak keempat orang lawannya, meskipun harus memakan lebih dari tujuh puluh
jurus. Memang, meskipun keempat orang tokoh
persilatan aliran hitam itu memiliki kepandaian cukup tinggi, bahkan menghadapi
Melati secara keroyokan, tapi ilmu 'Pedang Seribu Naga' terialu tangguh untuk
bisa dihadapi. Perlahan-lahan mereka mulai terdesak mundur. Padahal, mereka
telah menggunakan senjata andalan masing-masing yang terdiri dari pedang dan
golok. *** "Kemamang Danau Neraka...! Akulah lawanmu!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras yang membuat
jantung semua orang yang berada di situ bergetar.
Jelas, pemilik suara itu memiliki tenaga dalam tinggi Memang, teriakan itu
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Belum juga teriakan itu lenyap, sesosok bayangan ungu melesat masuk ke dalam
kancah pertarungan dan langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah
Kemamang Danau Neraka.
Wuttt, wuttt..!
Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya
serangan sosok bayangan ungu itu.
Kemamang Danau Neraka tentu saja menyadari
adanya serangan berbahaya. Maka tanpa ragu-ragu lagi tubuhnya dilempar ke
belakang, dan bersalto beberapa kali di udara untuk menghindari
kemungkinan serangan susulan.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula kakek berambut kaku ini
bersiap siaga. Namun, ternyata serangan susulan yang dikhawatirkannya sama
sekali tidak kunjung datang.
Sosok bayangan itu tampak berdiri tenang di tempat Kemamang Danau Neraka semula
berada. "Dewa Arak...," desis Kemamang Danau Neraka.
Ada kegembiraan dalam suara kakek berambut
kaku itu. Bahkan gambaran perasaan yang sama, tampak pula baik pada raut wajah
maupun matanya.
Kemamang Danau Neraka memang merasa gembira bukan kepalang, karena bisa bertemu
orang yang dicarinya.
Sosok bayangan ungu yang tak lain Dewa Arak, tersenyum getir. Pandangannya
diedarkan berkeliling. Lega hatinya ketika melihat pihak Kerajaan Bojong Gading
di atas angin. Memang setelah Dewa Arak terdampar di pantai, dia langsung menuju ke Kerajaan
Bojong Gading. Satu keyakinannya, Melati pasti telah tiba dengan selamat di sana. Itulah
sebabnya, dia tidak mencari-cari lagi.
Arya menghapus peluh yang membasahi kening-
nya. Dia tadi agak terburu-buru datang ke istana, ketika dari kejauhan terdengar
suara riuh teriakan peperangan. Apalagi ketika di perjalanan dijumpai-nya
bangunan-bangunan yang porak-poranda. Dan kedatangannya tepat pada saat Kemamang
Danau Neraka belum lama mengamuk.
"Maafkan aku, Kemamang Danau Neraka. Bukan-
nya aku ingkar janji. Aku sudah menuju ke sana, tapi terhalang badai. Aku malah
terdampar, dan tidak pernah mendapatkan kesempatan lagi untuk
mengunjungimu," jelas Arya karena tahu alasan yang mendorong Kemamang Danau
Neraka meninggalkan tempatnya.
"Tidak usah mencari-cari alasan, Dewa Arak!"
sergah Kemamang Danau Neraka, keras. "Sudah kukatakan, apabila kau tidak datang
untuk memenuhi janjimu, dunia persilatan akan kubuat kacau. Tapi sayang, kau keburu
datang. Sekarang, mari kita bertarung untuk menentukan siapa yang lebih lihai di
antara kita!"
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Bersiaplah, Dewa Arak! Aku tidak segan-segan membunuhmu!" lanjut Kemamang Danau
Neraka lagi, tidak memberi kesempatan pada Dewa Arak untuk berpikir.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas panjang. Dia tahu, pertarungan tidak akan bisa
dihindari. Kemamang Danau Neraka begitu ingin bertarung. Maka dengan
hati berat, diambilnya guci arak yang tadi tergantung di punggung, lalu
dituangkan ke dalam mulut.
Gluk,... Gluk,... Gluk ...!
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya sebelum
tiba di lambung.
Sesaat kemudian, hawa hangat pun menjalari perut pemuda berambut putih keperakan
itu. Perlahan-lahan hawa hangat itu naik ke atas. Dan ketika telah mencapai
kepala, kedua kaki Dewa Arak pun tidak tetap lagi berdirinya di tanah. Tubuhnya
oleng sana, oleng sini. Kini, Dewa Arak telah siap dengan penggunaan ilmu
'Belalang Sakti' nya.
Saat itulah Kemamang Danau Neraka mulai
lancarkan serangan. Cambuk di tangannya langsung dilecutkan ke arah pelipis Dewa
Arak. Dewa Arak tahu kedahsyatan yang terkandung
dalam serangan itu. Jangankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun
akan hancur bila terkena. Maka buru-buru serangan itu dielakkan, menggunakan
jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Pemuda berpakaian ungu itu melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh.
Maka.... Ctarrr...! Memang merupakan hal yang remeh bagi Dewa
Arak untuk mengelakkan serangan bila menggunakan jurus itu. Buktinya ujung
cambuk itu hanya beberapa jengkal di sebelah kiri Arya. Bunyinya terdengar keras
memekakkan telinga. Bahkan asap tebal pun mengepul dari lecutan cambuk itu.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan itu berhasil
dielakkannya, dia melompat menerjang sambil mengayunkan guci
araknya ke arah kepala Kemamang Danau Neraka.
Tapi seperti juga halnya Dewa Arak, Kemamang Danau Neraka pun mampu mengelakkan
serangan itu. Bahkan juga mengirimkan serangan yang tak kalah dahsyat. Sesaat kemudian,
kedua belah pihak sudah terlibat pertarungan sengit.
*** 8 Kegemparan segera terjadi ketika tersiar berita akan kehadiran Dewa Arak.
Panglima Galiwung geram bukan kepalang. Kalau saja ada Jaladra di situ, mungkin
sudah dibacoknya hingga tewas. Padahal, Jaladra mengatakan kalau Dewa Arak telah
ditewaskannya. Tapi buktinya, tampak kalau tokoh muda yang menggemparkan itu
masih segar bugar.
Tapi Panglima Kerajaan Medang ini tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Yang
jelas, pikirannya sekarang harus dipusatkan pada pertempuran.
Sementara itu, para prajurit keempat kerajaan sama sekali tidak berani mendekati
kancah pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Kemamang Danau Neraka, dan antara
Melati melawan empat tokoh persilatan aliran hitam. Mendekati tempat itu berarti
mencari mati. Jangankan terkena langsung, baru terkena angin serangan nyasar
saja sudah merupakan bahaya besar. Tak aneh kalau mereka menjauhi kancah kedua
pertempuran itu.
Akibatnya, kancah pertarungan terpecah menjadi tiga kelompok. Namun demikian,
pertarungan Melati dan Dewa Arak yang menghadapi lawan masing-masing, tidak
kalah berisiknya.
"Heaaat..!"
Di jurus kedelapan puluh satu, Raksasa Batu nekat tanpa mempedulikan keselamatan
diri, dia melompat maju di saat ketiga orang rekannya melangkah mundur. Gada
panjang berduri di
tangannya diayunkan ke arah kepala Melati.
Wuttt..! Melati cepat-cepat membungkukkan tubuhnya,
sehingga sambaran gada itu lewat di atas kepalanya.
Rambut dan pakaian putri angkat Raja Bojong Gading itu langsung berkibaran
keras. Jelas, tenaga yang terkandung dalam serangan itu keras sekali.
Memang, Raksasa Batu adalah seorang tokoh
persilatan yang memiliki tenaga dalam amat kuat Dan belum sempat Raksasa Batu
mengatur ke-seimbangan tubuhnya, Melati cepat-cepat menusukkan pedangnya.
Wunggg...! Blesss...!
Tubuh Raksasa Batu kontan terbungkuk.
Sepasang matanya terbeliak lebar ketika pedang Melati menembus perutnya hingga
setengahnya lebih. Darah kontan muncrat dari bagian yang terluka.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Melati segera mencabut pedangnya dari
perut Raksasa Batu.
Kontan tubuh tokoh sesat itu ambruk ke tanah, diam tidak bergerak lagi untuk
selamanya. Namun Melati sudah tidak sempat melihat lagi ambruknya tokoh sesat itu, karena
sudah melancarkan serangan pada lawan-lawannya.
Garuda Hitam segera mengayunkan goloknya
untuk menangkis serangan pedang Melati yang membabat cepat ke arah leher.
Tranggg...! Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu berbenturan keras. Garuda Hitam yang
kalah tenaga kontan menyeringai merasakan sakit yang mendera tangannya. Dan di
saat itulah serangan susulan Melati kembali meluncur. Kaki kanannya yang dialiri
tenaga dalam penuh, telak menghantam dada Garuda Hitam.
Bukkk,..! Suara berderak keras dari tulang-tulang yang patah dan suara semburan darah dari
mulut, mengiringi melayangnya tubuh Garuda Hitam. Saat itu juga, nyawanya melayang
meninggalkan raga, dengan dada melesak ke dalam.
Meskipun kedua rekannya telah tewas, namun
Sepasang Setan Api tidak mau menyerah. Mereka tahu, lawan tidak akan memberi
ampun. Maka di-putuskannya untuk melawan terus sampai titik darah penghabisan.
Tapi, apa artinya amukan dua orang ini bagl Melati" Sewaktu mereka masih
berempat saja, Melati mampu mendesak. Apalagi hanya tinggal berdua"
Maka tanpa menemui kesulitan sedikit pun, putri angkat Raja Bojong Gading itu
berhasil mendesak lawannya. Robohnya Sepasang Setan Api ito hanya tinggal
menunggu waktu saja.
*** Sementara itu, pertempuran antar pasukan pun
sudah mendekati penyelesaian. Dengan adanya bantuan dari pasukan Kerajaan
Kamujang dan Kerajaan Pasugihan, Kerajaan Bojong Gading telah berada di atas angin. Bahkan
saat kehancuran bagi pasukan Kerajaan Medang hanya tinggal menunggu waktu saja.
Memang menyedihkan sekali nasib yang menimpa pasukan Kerajaan Medang. Mereka
sebenarnya terdesak hebat. Namun bila terus mengadakan perlawanan, sama saja
mencari penyakit. Tapi karena keadaan tidak menguntungkan, mereka terpaksa harus
melawan terus. Ternyata, semua yang memihak pasukan Kerajaan
Medang terdesak hebat. Bukan hanya para
prajuritnya saja. Bahkan Sepasang Setan Api, dan Kemamang Danau Neraka tampak
kewalahan. Dan rupanya, di antara ketiga pihak yang terlibat pertarungan, Sepasang Setan
Api lah yang terlebih dulu menemui malaikat pencabut nyawa. Karena, keadaan
mereka memang paling gawat.
"Haaat..! Melati melompat menerjang. Pedang di tangannya ditusukkan cepat ke arah leher
Sepasang Setan Api yang lelaki. Dan karena untuk mengelak sudah tidak
memungkinkan lagi, salah seorang dari Sepasang Setan Api segera menggerakkan
golok besarnya untuk menangkis. Sementara yang seorang lagi rupanya tidak sampai
hati melihat rekannya menangkis serangan sendirian. Maka dia pun ikut membantu
memapak luncuran pedang Melati.
Tranggg...! Suara benturan keras yang disertai percikan bunga api ke udara terjadi ketika
pedang Melati berbenturan dengan sepasang golok yang menjepitnya.
Luar biasa! Ilmu 'Pedang Seribu Naga' yang
dimiliki Melati dengan gerakan sederhana pada pergelangan tangan, telah membuat
pedangnya meliuk aneh. Sehingga, senjata lawan-lawannya terlepas dari pegangan.
"Akh...!" jerit salah seorang dari Sepasang Setan Api, kaget
"Ikh...!" pekik yang seorang lagi tidak kalah terkejut
Dan sebelum kedua tokoh sesat itu sempat berbuat sesuatu, pedang di tangan
Melati telah berkelebat cepat secara mendatar. Langsung dibabatnya leher
Sepasang Setan Api itu.
Wunggg...! Suara menggerung keras mengawali tibanya
serangan pedang Melati. Melihat hal ini, Sepasang Setan Api kaget bukan
kepalang. Apalagi, serangan itu begitu cepat. Maka dengan sebisa-bisanya, mereka
berusaha mengelak. Tapi....
Srattt..! "Akh...!"
"Aaakh...!"
Sepasang Setan Api menjerit memilukan ketika ujung pedang Melati menyerempet
leher mereka. Maka leher itu kontan koyak, disertai semburan darah segar.
Patut dipuji kekuatan Sepasang Setan Api.
Meskipun telah menderita luka yang cukup parah, namun masih mampu berdiri
meskipun agak terhuyung-huyung dengan tangan mendekap leher.
Tampak darah mengalir keluar dari celah-celah jari tangan mereka.
Beberapa saat lamanya tubuh Sepasang Setan Api terhuyung-huyung ke sana kemari,
sebelum akhirnya ambruk di tanah. Sebentar mereka berkelojotan, lalu diam tak
bergerak lagi untuk selamanya.
"Hhh...!"
Melati menghela napas lega. Sejenak ditatapnya tubuh dua orang tokoh sesat yang
berpakaian merah itu seraya menyusut peluh yang membasahi
wajahnya dengan saputangan
Lalu, pandangannya dialihkan ke arah per-
tempuran lain yang masih berlangsung. Yaitu pertarungan antar pasukan kerajaan
dan antara Dewa Arak dengan Kemamang Danau Neraka.
Hanya sekilas pandangan, Melati telah bisa
menilai keadaan pertempuran. Dia tahu, pihaknya akan keluar sebagai pemenang.
Maka, gadis berpakaian putih ini tidak ikut terjun dalam kancah
pertempuran. Kini dia hanya bertindak sebagai penonton saja.
Dugaan Melati sama sekali tidak meleset. Pihak Dewa Arak dan pasukan Kerajaan
Bojong Gading memang hanya tinggal menunggu waktu saja untuk keluar sebagai
pemenang. Jumlah anggota pasukan Kerajaan Medang
memang tinggal sedikit. Hampir seluruh pasukan mereka telah tewas. Demikian pula
tokoh-tokoh persilatan aliran hitam lainnya. Bahkan para panglimanya telah
banyak yang tewas. Yang tinggal hanya Panglima Galiwung.
Panglima bertubuh tinggi besar ini tengah terlibat pertarungan dengan Panglima
Jumali. Satu lawan satu, tanpa ada yang mengganggu. Sedangkan para panglima
Kerajaan Bojong Gading lainnya, sudah mengundurkan diri dari kancah pertarungan,
dan hanya menonton saja di pinggir arena.
"Aaakh...!"
Lolong kematian yang keluar dari mulut Panglima Galiwung, mengakhiri
pertarungannya dengan


Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima Jumali.
Seiring tewasnya Panglima Galiwung, para
prajuritnya yang tersisa pun melemparkan senjata ke tanah. Jelas, mereka
menyerah. "Tahan!" teriak Panglima Jumali melihat prajurit Kerajaan Bojong Gading mau
membunuh mereka.
Kontan para prajurit itu mengurungkan niatnya.
'Tangkap mereka! Masukkan ke dalam tahanan!"
"Mengapa tidak dibunuh saja, Pangjima?" sahut salah seorang prajurit. Nada
ketidaksetujuan atas keputusan yang diambil Panglima Jumali, tampak terdengar
jelas dalam suaranya.
Panglima Jumali memaklumi, mengapa pasukan-
nya ingin membunuh para prajurit itu. Oleh karena
itu, dia tidak marah dan hanya tersenyum saja. Tapi karena lelah, senyumnya jadi
seperti seringai saja.
Dan memang, keadaan panglima tinggi besar ini sangat mengharukan hati. Sekujur
tubuhnya dipenuhi noda-noda darah yang telah mengering, bercampur keringat dan
debu. "Hanya pengecut saja yang tega membunuh lawan tak berdaya," kata Panglima
Jumali. "Apakah kalian mempunyai jiwa pengecut"!"
"Tidak...!"
Hampir bersamaan, semua prajurit Kerajaan
Bojong Gading mengucapkan kata-kata demikian
"Bagus!" sambut Panglima Jumali dengan senyum lebar tersungging di bibir. "Kalau
begitu, laksanakan saja perintahku!"
Beberapa orang prajurit Kerajaan Bojong Gading lalu membawa anggota pasukan
Kerajaan Medang yang menyerah untuk dijebloskan ke dalam tahanan.
Sementara, sisanya sibuk membereskan segala sesuatu yang bisa dibereskan.
Sesaat kemudian, kesibukan pun terjadi di
halaman Istana Kerajaan Bojong Gading yang luas.
Para prajurit Kerajaan Bojong Gading, dibantu pasukan Kerajaan Kamujang dan
Pasugihan sibuk mengurus korban-korban peperangan. Yang hanya terluka, segera
dipisahkan dengan yang tewas.
Sementara itu, Patih Juminta dan Panglima
Gorawangsa segera berkumpul dengan pejabat-
pejabat Kerajaan Bojong Gading. Di antara mereka terdapat Melati, Patih Rantaka,
panglima-panglima Kerajaan Bojong Gading, pasukan khusus, dan tentu saja Prabu
Nalanda. "Akhirnya Dewa Arak hadir juga, Melati," kata Prabu Nalanda begitu mendapat
kesempatan berbincang-bincang. Melati pun segera menceritakan
perjalanannya yang sebenarnya memang bersama Dewa Arak. Tapi karena serangan
gelap, akhirnya Arya terpisah dengan Melati.
"Mungkin dia mendapat halangan di perjalanan, Ayahanda," jawab Melati.
Prabu Nalanda menganggukkan kepala.
"Aku pun menduga demikian, Melati. Entah
halangan apa yang membuatnya tertahan sampai berhari-hari."
Setelah berkata demikian, Prabu Nalanda
menoleh ke arah tempat. Patih Juminta dan
Panglima Gorawangsa berdiri. Kedua orang
pemimpin pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan itu tengah
memperhatikan jalannya pertarungan antara Dewa Arak melawan Kemamang Danau
Neraka penuh perhatian.
"Terima kasih atas bantuan yang kalian berikan.
Kalau tidak, mungkin Kerajaan Bojong Gading telah hancur," kata Prabu Nalanda.
"Lupakanlah mengenai hal itu, Gusti Prabu,"
jawab Panglima Gorawangsa. "Pertolongan yang kami berikan ini hanya sekadar
balas jasa kami atas pertolongan Dewa Arak dulu."
Setelah berkata demikian, panglima Kerajaan Pasugihan ini menceritakan
pertolongan yang diberikan Dewa Arak.
"Demikianlah ceritanya, Gusti Prabu. Sehingga, ketika raja kami mendengar berita
penyerbuan Kerajaan Medang, beliau segera mengirim pasukan untuk membantu,"
tutur Panglima Gorawangsa
mengakhiri ceritanya.
Prabu Nalanda mengangguk-anggukkan kepala.
Kini orang nomor satu di Kerajaan Bojong Gading itu telah mengerti, mengapa
Kerajaan Pasugihan
mengirimkan bantuan pasukan. Ternyata, Dewa
Arak, calon menantunya telah menanam budi pada kerajaan itu. Apakah hal yang
sama pun telah dibuat Dewa Arak pada Kerajaan Kamujang"
"Walaupun begitu, sampaikan ucapan terima
kasihku pada rajamu," kata Prabu Nalanda,
bijaksana "Akan hamba sampaikan, Gusti Prabu," sahut
Panglima Gorawangsa cepat.
Raja Bojong Gading tersenyum lebar. Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah
Patih Juminta. "Ucapan terima kasih yang sama pun kuucapkan atas bantuan kalian," ucap Prabu
Nalanda. "Alasan yang mendorong kerajaan kami mengirim pasukan, sama dengan alasan yang
diberikan Panglima Gorawangsa, Gusti Prabu," jawab Patih Juminta sopan.
"Hehhh..."! Jadi, kerajaan kalian pun mendapat bantuan pula dari Dewa Arak"!"
tanya Raja Bojong Gading.
Perasaan heran, kagum, bercampur bangga berkecamuk dalam benak Raja Bojong
Gading ini. Sama sekali tidak disangka kalau Dewa Arak demikian banyak menanam
jasa pada orang! Kekagumannya terhadap Dewa Arak pun semakin menjadi-jadi.
Namun, semua itu tidak ditampakkan pada wajahnya.
"Bukan hanya bantuan saja, Gusti Prabu. Dewa Arak malah telah menyelamatkan
Kerajaan Kamujang dari kehancuran."
Kemudian secara singkat dan jelas, Patih Juminta menceritakan semua kejadiannya.
*** Sementara itu pertarungan antara Dewa Arak
melawan Kemamang Danau Neraka telah ber-
langsung hampir seratus jurus. Dan keadaan kakek berambut kaku ini semakin
terdesak saja. Kemamang Danau Neraka menggertakkan gigi.
Sama sekali tidak disangka kalau kepandaian Dewa Arak sampai sehebat ini. Dia
sungguh tidak tahu kalau kepandaian Arya telah bertambah akibat masuknya
belalang raksasa ke dalam tubuhnya.
"Heaaat..!"
Di jurus keseratus lima, sambil mengeluarkan bentakan keras, Kemamang Danau
Neraka melayangkan cambuknya. Senjata lemas itu meliuk-liuk ke arah kepala Dewa Arak.
Kali ini, Dewa Arak memberi sambutan yang
berbeda dengan sebelumnya. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak lagi
menangkis dengan guci, atau mengelak. Tapi, malah menangkap ujung cambuk itu
dengan tangan telanjang.
Kemamang Danau Neraka terkejut bukan
kepalang melihat tindakan Dewa Arak. Seumur hidupnya selama ratusan kali
bertanding, belum pernah ada orang yang berani menangkap senjata andalannya.
Tidak aneh kalau tindakan Dewa Arak membuatnya kaget. Benarkah pendekar yang
masih muda itu mampu menangkap cambuknya"
Tappp! Cambuk Kemamang Danau Neraka ternyata
mampu dicekal tangan Dewa Arak. Dan begitu
tercekal, pemuda berpakaian ungu itu langsung menariknya.
Kemamang Danau Neraka tentu saja tidak ingin senjata andalannya terampas. Maka,
dia pun balas menarik. Mau tak mau adu tarik-menarik pun terjadi di antara dua
tokoh yang sama-sama memiliki
kepandaian tinggi itu.
Dalam pertandingan seperti ini, yang paling menentukan adalah kekuatan tenaga
dalam. Dan ternyata, Dewa Arak memiliki kekuatan tenaga dalam yang berada di
atas lawannya. Ini terbukti dengan condongnya tubuh Kemamang Danau Neraka ke
arah Dewa Arak,
"Hih...!"
Berbareng keluamya teriakan itu, Dewa Arak
menyentakkan tangannya.
"Aaah...!"
Kemamang Danau Neraka terkejut ketika tubuhnya melayang ke arah Dewa Arak. Namun
sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, dia langsung bisa menguasai diri. Maka
saat tubuhnya melayang, dia menggunakannya sebagai satu kesempatan. Kedua
kakinya langsung diluncurkan, untuk menyerang dada lawan.
Namun, rupanya Dewa Arak sudah mem-
perhitungkan hal itu. Guci araknya langsung dipalangkan di depan dada untuk
memapak tibanya serangan itu.
Blanggg...! Tubuh Dewa Arak sampai terdorong ke belakang saking kerasnya tendangan yang
dikirimkan Kemamang Danau Neraka. Memang, tendangan yang dilakukan jauh lebih keras, karena
terbawa tenaga sentakan Dewa Arak.
Meskipun demikian, bukan hanya Dewa Arak saja yang mengalami hal seperti itu.
Tubuh Kemamang Danau Neraka pun terlempar ke belakang. Dan saat itulah Dewa Arak
menghentakkan kedua tangannya ke depan, dalam penggunaan jurus 'Pukulan
Belalang'. Wusss...! Angin keras berhawa panas menyengat
menyambar deras ke arah Kemamang Danau Neraka.
Kakek berambut kaku ini berusaha mengelak, tapi bagaimana mungkin hal itu bisa
dilakukan"
Tubuhnya saat itu tengah berada di udara. Jadi yang dapat dilakukannya hanya
menggeliatkan tubuh.
Namun akibatnya....
Bresss...! "Aaakh...!"
Kemamang Danau Neraka menjerit memilukan
ketika jurus 'Pukulan Belalang' milik Dewa Arak menghantam dadanya. Seketika itu
pula, tubuhnya yang tengah melayang semakin jauh melayang.
Sekujur kulit Kemamang Danau Neraka kontan
menghitam hangus. Seketika itu tercium bau sangit daging yang terbakar di
sekitar tempat itu.
Dan ketika tubuh Kemamang Danau Neraka jatuh di tanah, beberapa belas tombak
dari tempat Dewa Arak, dia sudah tidak bergerak lagi untuk selamanya.
. Memang, Kemamang Danau Neraka telah tewas saat tubuhnya masih melayang-layang
di udara. "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas panjang. Meskipun
ada perasaan menyesal karena telah menewaskan Kemamang Danau Neraka, tapi
disadari kalau itu adalah jalan yang terbaik. Tokoh sesat yang menggiriskan itu
memang lebih baik dilenyapkan selama-lamanya daripada menyebar maut pada orang
yang tidak berdosa.
"Kang Arya..!"
Didahului jeritan kegembiraan, Melati berlari menghampiri Dewa Arak. Sedangkan
Dewa Arak berbalik sambil menyunggingkan senyum. Kemudian, mereka bersama-sama menghampiri
Prabu Nalanda dan para pejabat kerajaan lainnya.
Dewa Arak pun dihujani berbagai macarn
pertanyaan, baik oleh Prabu Nalanda maupun dari para panglima kerajaan yang ada
di situ. Terutama sekali dari Patih Juminta dan Panglima Gorawangsa.
"Bagaimana, Dewa Arak" Kapan kau akan singgah di kerajaan kami?" tagih Panglima
Gorawangsa. "Apabila ada kesempatan, pasti aku akan mampir ke sana," jawab Arya.
Percakapan mereka terhenti ketika terjadi
keributan di antara para prajurit.
"Ada apa?" tanya Melati, ingin tahu.
Patih Juminta dan Panglima Gorawangsa yang
juga melihat, menjadi tersenyum. Yang dilihat para prajurit ternyata adalah
percikan bunga api berwarna-warni di langit sebelah Utara.
"Sebuah tanda dari pasukan kami bahwa Istana Kerajaan Medang telah direbut."
Prabu Nalanda melengak.
"Jadi..., kalian juga mengirim pasukan ke sana?"
Hampir berbareng, Panglima Gorawangsa dan
Patih Juminta menganggukkan kepala.
"Pasukan kami pecah dua. Sebagian menuju
Istana Bojong Gading, dan sebagian lagi menuju Istana Kerajaan Medang," jelas
Patih Juminta. "Dan dengan adanya tanda itu pula, berarti kami harus kembali ke kerajaan,"
sambung Panglima Gorawangsa.
"Mengapa begitu tergesa-gesa"!" tanya Prabu Nalanda agak kaget "Beristirahatlah
dulu di sini selama beberapa hari."
"Terima kasih, Gusti Prabu. Percayalah. Lain kali, tawaran ini tidak akan kami
tolak," sahut Panglima Gorawangsa, berputar.
Prabu Nalanda tahu, kepergian pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan
tidak akan mungkin bisa dicegahnya lagi. Maka dia pun tidak menahannya lagi. Maka, dia
bersama Dewa Arak, Melati, seluruh pejabat, dan prajurit Kerajaan Bojong Gading,
segera melepas kepergian pasukan Kerajaan Kamujang dan Kerajaan Pasugihan.
Mereka mengantarkan dua pasukan itu hingga sampai di tembok batas kotaraja.
Debu mengepul tinggi ke udara ketika pasukan dua kerajaan itu bergerak
meninggalkan wilayah Kerajaan Bojong Gading. Ratusan pasang mata memandangi
kepergian mereka, hingga lenyap di kejauhan.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (molan150)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Dendam Asmara Liar 1 Mustika Lidah Naga 4 Harpa Iblis Jari Sakti 22
^