Pencarian

Sapu Jagad 1

Dewa Arak 91 Sapu Jagad Bagian 1


"Serial Dewa Arak 85
Sapu Jagad Aji Saka Cetakan pertama, Penerbit Cintamedia, Jakarta, Penyunting :Tuti S. Hak cipta pada Penerbit, Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Sebuah rakit melaju cepat membel ah permukaan ai r sungai. Pemuda berpakaian kuning yang berada di atas rakit itu mengayuhkan bambu sepanj ang satu tombak. Tidak terlihat pemuda itu mengerahkan tenaga, tapi rakitnya melaju kencang bak anak panah lepas dari busur!
Pemuda itu bertubuh tegap dan kekar. Wajahnya yang tampan semakin menarik dengan adanya sebaris kumis tipis. Sepasang matanya bersinar lembut. Terkadang mencorong kehijauan seperti mat a seekor macan dalam gelap.
Pemuda yang duduk s eenaknya di t engah rakit selebar empat kaki itu tampak mengerutkan sepasang alisnya. Pandangannya ditujukan lurus ke depan. Terlihat sesosok manusia tengah berenang menentang arus sungai.
Sosok berpakaian putih itu berenang menuju ke arah si pemuda. Pemuda berpakaian kuning semakin mengerutkan sepasang alisnya, ketika melihat rona merah membasahi sekujur pakaian sosok itu. Rona merah tersebutadalah darah! Rasa ingin tahu mendorong si pemuda untuk mempercepat laju rakitnya.
Ketika jarak antara keduanya tjnggal dua tombak, sosok berpakaian putih tak mengayuhkan kedua tangannya lagi. Arus sungai yang cukup deras membuat tubuhnya terbawa kembali ke arah datangnya.
Pemuda berpakaian kuning bertindak cepat. Bambu di tangannya dipukulkan pada permukaan sungai. Seketika, timbul gelombang di tempat pukulan bambu itu dan terus menuju ke depan, ke arah sosok berpakaian putih berada.
Begitu gelombang air menghantam, tubuhnya terlempar ke atas dan melambung ke arah si pemuda. Pemuda berpakaian kuning cepat mengulurkan tangan dan menerima tubuh itu dengan kedua tangan. Pemuda berpakaian kuning lalu merebahkan tubuh sosok itu di atas rakit. Sementara rakit dibiarkannya melaju sendiri dibawa arus sungai.
Sosok berpakaian putih ternyara s eorang kakek. Tubuhnya jangkung kurus. Tidak ada jenggot yang menghi as dagunya. Yang ada hanya sebaris kumis putih menjuntai hingga ke bawah bibir.
Kakek berusia tujuh puluh tahun itu terluka parah. Meski tak terlihat adanya bekas luka akibat senjata tajam, tapi dari mulut, hidung, dan telinga terdapat bercak-bercak darah yang telah mengering. Agaknya kakek ini terluka akibat pukulan atau s erangan yang mengandung tenaga dalam dahsyat!
Pemuda berpakaian kuning segera menempelkan kedua t elapak tangannya di dada kakek itu. Dia hendak menyalurkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dal am yang diderita si kakek. Cukup lama pemuda itu sibuk dengan usahanya. Wajahnya sampai memerah dan peluh membasahi dahi. Sampai di sini dirasakan adanya gerakan dari tubuh si kakek. Pemuda berpakaian kuning menghentikan penyaluran tenaganya dan menarik pulang kedua tangannya.
Pemuda ini kemudian memperhatikan arus sungai dan keadaan di sekitar tepi sungai. Setelah dirasakannya tak ada gangguan, dia duduk bersila untuk bersemadi menghimpun kembali t enaga dalamnya yang telah terkuras. Sebentar kemudian pemuda berpakaian kuning telah tenggelam dalam semadinya. Sementara rakit melaju terbawa arus air sungai. Bunyi rakit yang membelah permukaan air s eperti mengimbangi desah napas si pemuda. Suara napasnya yang tetap dan berirama teratur.
Ketika diras akan s emedinya sudah cukup, pemuda berpakaian kuning membuka matanya. Dilihatnya kakek berpakaian putih sudah duduk bersila di depannya. Si kakek tengah memperhatikannya dengan senyum mengembang di bibir.
"Kau sudah sadar, Kek" Bagaimana dengan lukamu?" tanya pemuda berpakaian kuning. Kemudian diambilnya bambu yang tadi digeletakkan di pinggir rakit. Bambu itu dipergunakan lagi untuk mengayuh. Rakit pun melaju dengan kecepatan penuh.
"Jauh lebih baik dari sebelumnya, Anak Muda. Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Boleh aku tahu siapa nama atau julukanmu?"
"Namaku Antareja, Kek. Aku belum punya julukan apa pun,"
jawab pemuda berpakaian kuning, jujur.
"Berarti kau belum l ama terjun ke dalam kancah dunia persilatan, Reja," sambut si kakek. "Tapi dengan kepandaian yang kau miliki dunia persilatan akan gempar. Setelah itu julukan akan segera kau dapat."
"Kau terl alu memuji, Kek," timpal Antareja, malu. Wajah pemuda ini terlihat memerah. "Memang aku belum lama keluar dari tempat tinggalku. Kendati demikian tak menjadi penyebab aku belum memperoleh julukan. Menurut guruku, di dunia persilatan banyak sekali orang sakti."
"Kau percaya?" desak si kakek.
Antareja mengangguk.
"Syukur kalau demikian," ujar kakek berpakaian putih. "Gurumu benar. Dan kau pun luar bi asa, Reja. Tak banyak orang seusia kau yang berpendiri an demikian. Biasanya, begitu memiliki sedikit kepandaian telah merasa menjadi tokoh tak terkalahkan. Bersyukurlah kau tak memiliki sifat seperti itu."
"Wah, wah...! Lama-lama kepal aku bisa pecah karena terusmenerus mendapat pujian darimu, Kek," kilah Antarej a dengan wajah semakin memerah.
"Aku senang berkenalan denganmu, Reja. Namaku Sukra Dilaga.
Orang-orang lebih s ering memanggilku Sukra," beri tahu kakek berpakaian putih. "O ya, boleh kutahu ke mana tujuanmu" Apakah hanya sekadar turun gunung setelah kau s elesai berguru, atau mempunyai urusan lain" Mungkin kau hendak mengamalkan ilmu-ilmu yang kau miliki untuk membela kebenaran?"
Antareja tak segera menjawab pertanyaan itu. Yang dilakukannya malah mengarahkan pandangan ke angkasa, seakan jawaban yang akan diberikannya berada di sana. Sukra Dilaga tak mengganggunya. Dengan sabar kakek itu menunggu jawaban Antareja. Sementara itu rakit terus melaju dengan kecepatan tinggi.
"Aku memang mempunyai urusan, Kek."
Jawaban itu diberikan Antareja s eraya mengalihkan pandangannya pada Sukra Dilaga. Sukra Dilaga mendengarkan dengan penuh minat.
"Beberapa tahun yang lalu kakakku meninggalkan perguruan. Dia pergi tanpa pamit, baik pada guru maupun padaku. Aku dan kakakku memang berguru pada orang yang sama. Kepergi annya yang tanpa izin itu membawa sert a pusaka milik guru. Kalau menuruti perasaan, waktu itu juga akan kususul dia dan kuajak pulang. Tapi guru melarangku. Kata beliau, aku belum saatnya terjun ke kancah dunia persilatan yang keras. Itulah sebabnya baru sekarang ini aku mencarinya setelah seluruh kepandaian guru diwariskannya padaku."
Sukra Dilaga menghembuskan napas berat. Kakek itu merasa ikut prihatin dengan masalah yang menimpa Antareja.
"Apakah kakakmu mempunyai si fat yang berbeda denganmu?"
tanya Sukra Dilaga ingin tahu. "Ataukah, ada masalah di antara kalian"
Barangkali saja gurumu bersikap tak adil, misalnya."
"Sama sekali tidak," j awab Antareja cepat seraya menggel eng.
"Guru tak membeda-bedakan antara kami. Hanya saja kakakku memang mempunyai watak yang keras. Apa yang diinginkannya harus didapatkan, walau apa yang akan terjadi."
"Aku turut prihatin dengan masalahmu itu, Reja. Percayal ah, aku tak akan tinggal diam Akan kubantu kau untuk menemukan kakakmu itu. O ya, siapa namanya?"
"Terima kasih atas maksud baikmu, Kek. Tapi aku tak ingin merepotkanmu. Biarlah aku sendiri yang akan mencarinya," tolak Antareja.
"Siapa bilang hal itu akan merepotkanku, Reja" Sama sekali tidak!
Aku justru merasa senang jika bisa menolongmu. Kau sendiri telah menolongku. Meskipun belum lama mengenalmu, aku merasa kau telah menjadi sahabatku. Dan di antara sahabat tak ada istilah merepotkan, bukan?" kilah Sukra Dilaga tak kurang akal untuk memaksa.
Antareja menghel a napas berat. Pemuda ini akhirnya menganggukkkan kepala.
"Nama kakakku itu Bogadenta, Kek. Dia gemar berpakaian yang indah-indah dan bias anya berwarna merah. Celananya hitam," beri tahu Antareja.
"Hanya itu?" Sukra Dilaga tampaknya kurang puas dengan petunjuk yang diberikan Antareja. "Tidak ada ciri-ciri lainnya yang menonjol?"
Antareja kelihatan ragu. Sorot sepasang matanya memancarkan kebimbangan. Sukra Dilaga melihat hal itu.
"Kalau kau merasa berat mengat akannya, tak perlu kau utarakan, Reja. Kurasa dengan petunjuk itu sudah cukup. Mudah-mudahan aku bisa menemukan Bogadenta."
Tanggapan Sukra Dilaga membuat Antareja merasa tak enak.
Kakek itu telah dengan tulus hati menawarkan bantuan, tapi malah kecurigaan yang mencuat di hatinya. Benar-benar keterlaluan! Antareja memaki dirinya sendiri.
"Maafkan aku yang telalu curiga, Kek. Memang masih ada ciri lainnya. Di tangannya, maksudku di pergelangan tangannya, terbelit gelang dari akar bahar," tambah Antareja untuk menghilangkan rasa tak enak di hatinya.
Sukra Dilaga mengangguk-anggukkan kepala. Matanya mengerling pada pergelangan tangan Antarej a. Di sana dijumpainya akar bahar pula. Hanya pada tangan kirinya.
Antareja s empat melihat kerling mata si kakek. Dan dia tahu tak ada gunanya menyembunyikan hal itu. Tangan kirinya malah diangsurkan.
"Padaku juga terdapat gelang akar bahar yang sama dengan kepunyaan kakakku. Guru memberikan pada kami sepasang akar bahar.
Aku mengenakannya di kiri, sedangkan kakakku di pergelangan tangan kanan," jelas Antareja tanpa diminta.
"Mengapa demikian" Apakah hanya kebetulan saja kau mengenakannya di kiri dan kakakmu di kanan, atau karena perintah gurumu?"
"Bukan hanya kebetulan, Kek," jawab Antareja. "Guru yang menyuruhnya. Hanya saja beliau tak menjel askan apa al asan beliau. Tapi aku yakin ada sebuah rahasia yang disembunyikan."
"Aku sependapat denganmu, Reja," Sukra Dilaga memberikan dukungan. "Ada rahasia yang t erkandung dalam gelang akar bahar itu.
Apakah kau tak pernah menanyakan keanehan itu?"
Antareja menggeleng.
Sukra Dilaga tak mengajukan pertanyaan lagi. Suasana menjadi hening ketika mereka saling berdiam diri. Belasan tombak rakit meluncur dalam keheningan yang melingkupi, yang terdengar hanya riak air dan bunyi laju rakit membelah permukaan sungai.
"Kau sendiri..., apa yang terjadi denganmu Kek sehingga kau menderita luka cukup parah?"
Antareja memecahkan keheningan. Sebenarnya sejak tadi dia ingin menanyakan hal itu. Tapi karena merasa tak enak dan takut dianggap terlalu mau tahu urusan orang, ditahannya rasa ingin tahunya.
Wajah Sukra Dilaga kelihatan berubah muram. Melihat itu Antareja s emakin meras a tak enak. Tanggapan yang diberikan Sukra Dilaga menjadi pertanda kalau pertanyaannya tak menyenangkan hati kakek itu.
"Maafkan aku Kek, kalau pertanyaan yang kuajukan tak berkenan di hatimu. Aku benar-benar tak tahu dan tak menginginkan hal ini," ucap Antareja penuh rasa bers alah.
Sukra Dilaga menggelengkan kepala dan tersenyum. Tapi hanya mulutnya yang tersenyum. Sorot wajahnya tetap menyiratkan kegundahan.
"Kau tak perlu meras a bersalah, Reja. Aku memang harus menceritakannya padamu. Kau harus tahu mengapa aku sampai t erluka hingga kau terpaksa menolongku," Sukra Dilaga menghel a napas sebelum melanjutkan ucapannya "Seperti juga kau, aku jarang sekali keluar dari tempat tinggalku. Kalau sekarang aku keluar, karena aku mendapat tugas dari majikan sekaligus guruku sebelum beliau meninggalkan dunia ramai."
"'Ah...! Jadi guru sekaligus majikanmu itu telah meninggal dunia?" cetus Antareja.
Sukra Dilaga menggeleng.
"Aku tak berani memastikan hal itu, Reja. Beliau hanya menutup hubungan dari dunia ramai dengan menyepi di sebuah tempat yang sangat terpencil. Dan beliau menyuruhku menunggu seseorang di sebuah tempat yang telah ditentukannya."
"Siapakah orang yang harus kau tunggu kedatangannya itu, Kek?" tanya Antareja l agi, tak sabar menunggu Sukra Dilaga melanjutkan ceritanya.
"Aku sendiri tak tahu, Reja. Majikanku tak memberitahu siapa orang itu dan kapan di a akan muncul. Aku hanya diperintahkan untuk menunggunya."
Antareja mengernyitkan dahi. "Bagaimana kalau orang yang kau tunggu-tunggu itu tak pernah muncul, Kek?"
"Majikanku mengatakan orang itu akan muncul. Dan aku yakin beliau tak salah!" tandas Sukra Dilaga penuh keyakinan.
"Sudah berapa lama kau menunggunya?" kejar Antareja. "Sebulan" Dua bulan?"
Sukra Dilaga terkekeh. Kakek itu kelihatan geli bukan main. Sesaat kemuraman dan kegundahan hatinya lenyap.
"Aku yakin kau tak akan mampu menebaknya, Reja!" tandas Sukra Dilaga kemudian. "Ketahuilah, aku telah menunggu orang yang dimaksud majikanku itu selama dua puluh lima tahun!"
"Gila!" tanpa sadar Antareja berseru s aking kagetnya. "Dan kau masih tetap mel aksanakan perintah majikanmu itu, Kek" Bagaimana kalau dia keliru"!"
"Aku yakin tidak, Reja! Meski kutahu setiap manusia bagaimanapun tinggi kepandaiannya tak akan luput dari kekeliruan, tapi aku yakin ucapan majikanku ini tak keliru."
"Tapi kau telah menunggu selama dua puluh lima tahun, Kek.
Kurasa telah cukup untuk membuktikan kalau ucapan majikanmu itu salah!" bantah Antarej a tak mau kalah.
"Belum bisa dipastikan demikian, Reja,"
"Mengapa Kek?"
"Karena belum melewati batas waktu yang ditetapkannya," jawab Sukra dilaga, tenang. "Beliau mengatakan kalau selama tiga puluh tahun orang tersebut tak kunjung datang, aku baru bebas dari tugas yang diberikannya."
Antareja terdiam. Benak pemuda ini berpikir keras. Kalau tak ada
masalah bes ar t ak mungkin majikan Sukra Dilaga demikian mementingkan
orang itu, pikir Antareja.
"Lalu..., bagaimana kau bisa t ahu kalau orang yang nanti datang
adalah yang kau tunggu-tunggu, Kek" Apakah ada ciri-ciri tertentu dari
orang tersebut?" tanya Antareja lagi.
Sukra Dilaga mengangguk
"Sayang, aku tak bisa memberitahukannya, Reja. Majikanku
berpes an keras agar aku merahasiakannya"
"Aku bisa mengerti, Kek," Antareja berusaha untuk memaklumi."
Tapi bagaimana kau bisa terluka dan berada di sini?"
"Itulah yang membuatku berduka, Reja," keluh Sukra Dilaga
setelah menghembuskan napas berat. "Yang datang t ernyat a bukan orang
yang kutunggu-tunggu. Malaikat yang kuharap, tapi iblis yang datang.
Seorang tokoh muda berkepandaian tinggi yang ingin mengambil pusaka
milik majikanku."
"Apakah dia seorang pemuda yang usianya kira-kira beberapa
tahun di atasku, Kek?" kejar Antarej a. Dia merasa khawatir kalau tokoh
muda itu adalah kakak kandungnya.
Sukra Dilaga tersenyum, Kekek itu mengerti apa yang dipikirkan
Antareja. "Kau tak usah khawatir, Reja," hibur Sukra Di laga, "Tokoh muda
yang datang untuk merampas pusaka majikanku itu bukan kakakmu. Tokoh
muda itu seorang wanita. Gadis yang amat cantik, tapi berwatak keji.
Mungkin lebih tepat kalau gadis itu mendapat julukan Iblis Berwajah
Bidadari!"W ajah Antareja yang semula menegang kini tenang kembali.
Jawaban Sukra Dilaga benar-benar melegakan hatinya.
"Perempuan berwatak keji itu memaksaku untuk memberikan
pusaka milik majikanku. Tentu saja aku tak memberikannya. Pertarungan
antara kami pun terjadi. Dia ternyata lihai bukan main. Aku berhasil
dikalahkannya. Beruntung s ebelum nyawaku melayang di tangannya, aku
berhasil mel arikan diri. Untuk membuatnya kehilangan jej ak aku terjun ke
dalam sungai. Dan kesudahannya kau yang l ebih tahu Reja. Kau telah
menolongku."
"Bagaimana dengan orang yang tengah kau tunggu-tunggu, Kek"
Dan bagaimana pula dengan pusaka milik majikanmu" Apakah kau biarkan
gadis jahat itu mengambilnya?"
"Justru karena memikirkan orang yang kutunggu-tunggu itulah aku
memutuskan untuk melarikan diri. Kalau tidak, aku lebih rela mati dari pada
melarikan diri s eperti anjing hendak dipukul!" tandas Sukra Dilaga dengan
penasaran. Kakek berpakaian putih ini teringat kembali akan pengalamannya
yang lalu. Dia berlari t erpontang-panting agar bisa sel amat dari maut. Jika
mengingat itu semua, rasa malu pun menyeruak hatinya.
"Mengenai pusaka milik majikanku, aku tak khawatir gadis jahat
itu akan mampu mengambilnya," sambung Sukra Dilaga dengan suara
penuh keyakinan. "Majikanku tak akan menyimpan pusakanya secara
sembarangan. Jadi, aku yakin tak s eorang tokoh pun bisa mendapatkannya.
Apalagi hanya seorang wanita muda!",
Antareja mengangguk-anggukkan kepala. Alasan yang
dikemukakan Sukra Dilaga memang dapat diterima akal.
"Kurasa sudah waktunya kita berpisah, Reja," ucap Sukra Dilaga,
pelan. "Mengapa demikian terburu-buru, Kek" Kau belum sembuh benar.
Lagi pula, kita baru berbincang-bincang sebent ar. Tidakkah kau bisa tinggal
lebih lama lagi?" Antareja kelihatan kecewa dengan keputusan Sukra
Dilaga. "Terima kasih atas tawaranmu, Reja. Sayang sekali aku tak bisa
memenuhinya. Aku harus kembali ke t empatku. Mudah-mudahan gadis
jahat itu sudah tak ada l agi. Dan siapa tahu orang yang kutunggu-tunggu
telah datang. Tak mengapa tubuh tua yang sudah reot ini kupaksa berjalan
jauh. Hanya inilah yang bisa kulakukan di sisa umurku, Reja."
Antareja bis a menerima jawaban Sukra Dilaga. Tapi, rasa sukanya
untuk melakukan perjal anan bers ama kakek itu mendorongnya mencari
jalan agar si kakek bisa tinggal lebih lama.
"Aku bisa memaklumi tugasmu, Kek. Tapi tidak bisakah kau
memberikan sedikit waktu lagi?"
Sukra Dilaga menggeleng.
"Di kelokan sungai nanti aku harus turun, Reja. Dari tempat itu aku
bisa segera tiba di tempatku dengan cepat. Bila kupaksakan turun j auh dari
kelokan, perjalanan yang kutempuh akan jauh lebih lama. Aku tak berani
bermain-main dengan waktu, Reja. Jadi dengan berat hati terpaksa
permohonanmu kutolak."
"Bagaimana kalau aku ikut denganmu?" Antareja mengajukan usul
setelah tercenung sebentar.
"Itu berarti kau akan mengetahui tempat yang kujaga," keluh Sukra
Dilaga, "Padahal majikanku telah berpes an agar selain orang yang
kutunggu-tunggu, tak boleh ada seorang pun menginjakkan kaki di tempat
itu." "Termasuk aku?"
Sukra Dilaga mengangguk pasti.
"Percayalah, Reja. Aku berjanji apabila tugasku telah selesai dan
kita bersua lagi, dengan s enang hati aku akan memenuhi permintaanmu.
Kita akan merantau bers ama, mengarungi kerasnya kancah dunia
persilatan," janji Sukra Dilaga.
Antareja tak mempunyai alas an lagi untuk menahan kakek itu lebih
lama. Pemuda ini mengembangkan senyum di bibir.
"Selamat jalan, Kek. Semoga kau berhasil menyelesaikan tugasmu
dengan baik."
"Selamat tinggal, Reja. Kau pemuda yang baik. Mudah-mudahan
kita bisa berjumpa lagi," balas Sukra Dilaga seraya tersenyum.
Kakek berpakai an putih ini melompat ke pinggir sungai di saat
rakit membelok. Laju rakit tetap tinggi. Tapi Sukra Dilaga tak mengalami
kesulitan. Laksana seekor burung, tubuh kakek ini melayang meninggalkan
rakit dan menjejak tanah berbatu di pinggir sungai.
Sukra Dilaga langsung berlari cepat meninggalkan tempat itu,
tanpa menol eh-noleh lagi. Sementara Ant arej a tetap duduk di rakitnya dan
mengayuhnya cepat mengikuti arus sungai.
2 Sukra Dilaga melakukan perjalanan dengan cepat Seluruh ilmu lari
cepatnya dikeluarkan agar bisa segera tiba di tempat tinggalnya. Tindakan
ini membuat kedua kakinya bagai tak menglnjak tanah karena saking
cepatnya digerakkan.
Tak lama kemudian, kakek ini berada di hamparan padang rumput
yang luas membentang. Tinggi tanaman sekitar dua tombak. Jarak t anaman
yang begitu rapat membuat pemandangan di seberang padang rumput ini tak
terlihat. Sukra Dilaga kelihatan bimbang. Semula karena keinginannya
untuk segera tiba membuatnya mengambil jalan pintas ini. Tapi ketika
berhadapan dengan hamparan padang rumput keraguan merayapi hatinya.
Tempat yang dituju Sukra Dilaga memang harus melalui padang rumput
dan rawa-rawa. Setelah itu, jalan yang ditempuhnya akan menanjak. Di
balik bukit yang dipisahkan oleh sungai itulah tempat tinggalnya berada.
Meski Sukra Dilaga hampir tak pernah turun gunung, namun
majikannya banyak bercerita tentang s egala s esuatu yang t erjadi di dunia
persilatan. Termasuk tokoh-tokohnya. Dan, salah satu tokoh yang diceritakan
majikannya adal ah tokoh yang bertempat tinggal di padang rumput dan
rawa-rawa. Majikan Sukra Dilaga tel ah berpes an agar di a jangan sampai
memasuki tempat itu. Maut mengintai di sana. Maut yang diciptakan
pemilik tempat itu!
Sekarang, begitu berhadapan dengan tempat ini, Sukra Dilaga baru
teringat kembali akan cerita majikannya. Tokoh penghuni rawa-rawa dan
padang rumput ini menyimpan dendam pada majikan Sukra Dilaga karena
dulu pernah dikalahkan. Telah dua kali tokoh aliran sesat itu bentrok dengan
majikan Sukra Dilaga. Beruntung di a selalu berhasil menyel amatkan diri
sebelum maut yang datang dari t angan majikan Sukra Dilaga
menjemputnya. "Ha ha ha...!"
Sebuah tawa bergel ak membuat Sukra Dilaga membalikkan tubuh.
Wajah kakek ini terlihat menegang.
Pemilik tawa itu ternyata s eorang pemuda berusia dua puluh lima
tahun. Wajahnya tampan. Tapi, sorot matanya liar. Tubuhnya yang cukup
kekar dibungkus pakaian tanpa lengan yang terbuat dari kulit buaya.
Sukra Dilaga tak merasa ngeri melihat pemuda itu. Yang membuat
bulu kuduknya meremang adalah makhluk-mahkluk yang berada di depan si
pemuda. Makhluk-makhluk yang jumlahnya puluhan itu tengah menatap
Sukra Dilaga dengan sinar mata buas. Buaya!
"Peruntungan kalian rupanya sedang baik Anak-anak!" seru
pemuda berompi kulit buaya sambil melecutkan cambuk untuk menggiring
buaya-buaya itu. "Tanpa dicari santapan telah datang sendiri. Walaupun
mungkin agak alot, tapi kurasa cukup untuk mengenyangkan perut kalian
semua!" Sukra Dilaga melangkah mundur dengan hati ngeri. Kakek ini
memang memiliki kepandaian tinggi. Tapi, rasa ngeri membuatnya agak
gentar juga. Kendati demikian akal sehatnya masih mampu bekerja. Cepat
diloloskannya sabuk untuk dipakai sebagai senjat a menghadapi serbuan
puluhan buaya. Sementara itu, buaya-buaya yang panjangnya hampir lima tombak
itu mulai membuka moncongnya lebar-lebar. Tampak deretan gigi-gigi
yang tajam. Buaya-buaya itu agaknya sudah tak sabar untuk menyerang
Sukra Dilaga. Mereka tengah menunggu perintah dari pemuda berompi kulit
buaya. Sukra Dilaga memperhatikan buaya-buaya dengan seksama. Ingin
diketahuinya kelemahan binatang melat a itu. Dia tak yakin hantaman
sabuknya akan berpengaruh bila mengenai punggung buaya-buaya tersebut.
Kulit mereka kelihatan demikian keras. Punggungnya pun bergerigi. Dan
semakin mendekati ekor, geriginya itu semakin panjang.
Ekor binatang itu amat berbahaya karena merupakan alat
penyerangan yang dahsyat!
"Rupanya kalian sudah tak sabar lagi untuk mencabik-cabik daging
tua bangka yang alot itu, Anak-anak" Kalau begitu, nikmatilah hidangan kalian!"
Pemuda berompi kulit buaya melecutkan cambuknya. Bunyi aneh
terdengar ketika cambuk itu melecut. Berbeda jauh dengan bunyi l ecutan
yang pertama kali tadi. Puluhan buaya langsung meluruk ke arah Sukra


Dewa Arak 91 Sapu Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dilaga. Binatang-binatang yang memiliki indra tajam ini seperti berlomba
untuk lebih dulu menikmati daging alot Sukra Dilaga!
Pertarungan unik pun terjadi. Sukra Dilaga tak ingin dagingnya
direncah-rencah s egera menggerakkan sabuknya. Senjata l emas itu
meluncur ke arah buaya-buaya kelaparan.
Dengan tenaga dal amnya yang kuat, Sukra Dilaga mampu
membuat sabuk menegang kaku laksana sebat ang tombak. Dalam keadaan
seperti itu tusukan dan babatannya tak ubahnya s enjata taj am! Tidak hanya
itu saja. Kakek berpakai an putih ini pun mampu membuat sabuk mematukmatuk
laksana seekor ular.
Ctar, ctar, ctarrr!
Empat ekor buaya langsung terlecut punggungnya! Tapi, binatang
itu memang memiliki kekebalan luar bias a. Serangan Sukra Dilaga tak
sedikit pun mempengaruhi gerakan mereka.
Sukra Dilaga tak terkejut melihat kenyataan ini. Dia memang telah
menduga sebelumnya. Maka, kegagalan tersebut tak membuatnya gugup.
Sabuknya kembali dilecutkan. Kali ini bagi an yang diserangnya adalah
sepasang mat a buaya-buaya itu. Sukra Dilaga yakin penglihat an binatang
yang mampu hidup di dua alam ini tak sekuat anggota tubuh lainnya.
Dan seperti juga sebelumnya, Sukra Dilaga menunjukkan serangan
sabuknya sekaligus pada empat ekor buaya. Sabuk itu meluncur dengan
diawali bunyi ledakan nyaring. Ternyata buaya-buaya itu mengetahui
adanya bahaya mengancam. Serangan Sukra Dilaga kali ini tak dibiarkan
mereka. Ujung sabuk yang mengancam mata dipapaki binatang-binatang itu
dengan sabetan ekor!
Prattt! Sabetan ekor buaya-buaya ternyata kuat bukan main. Serangan
Sukra Dilaga sampai terpental balik ke belakang! Untungnya, berkat tenaga
dalam kakek itu s abuk tak koyak-koyak akibat papakan ekor yang mampu
menghancurkan sebatang pohon besar.
Sukra Dilaga hampir tak percaya akan kenyataan yang dial aminya.
Buaya-buaya yang dihadapinya bukan binat ang sembarangan, melainkan
telah dilatih ilmu silat. Terbukti, binatang itu mampu menangkis serangan!
Kegagalan serangannya membuat Sukra Dilaga semakin didekati
rombongan buaya. Kakek yang tak ingin mati secara menyedihkan itu
berjuang keras menghalau penyerbunya. Tak hanya sabuk yang
dipergunakan, tapi juga tangan dan kakinya. Tangan-tangannya
dipergunakan untuk mengirimkan dorongan-dorongan yang mengandung
tenaga dalam tinggi dan hembusan angin keras.
Sukra Dilaga berharap hembusan angin akan melemparkan buaya
itu. Tapi, binatang bermoncong panjang ini seperti melekat dengan tanah!
Tak seekor pun di antara puluhan ekor binatang itu yang terlempar. Padahal,
angin yang, berhembus membuat batu-batu besar kecil yang ada di tempat
itu melayang! Buaya-buaya itu terus merangsek maju. Mereka mengirimkan
serangan dengan gigitan dan lecutan ekornya. Pertarungan ganjil yang
terjadi disaksikan oleh penonton yang amat bersemangat. Pemuda
berpakaian rompi kulit buaya tak henti-hentinya dia bersorak memberikan
semangat pada binatang-binatang peliharaannya.
Kedudukan Sukra Dilaga memang tak menguntungkan. Buayabuaya
yang dihadapinya selain berjumlah banyak juga cukup mengerti ilmu
silat. Hal ini membuat serangan-serangan kakek itu senantiasa kandas.
Sabuk si kakek s elalu berben turan dengan ekor buaya di saat meluncur ke
arah mata.Sukra Dilaga terpaksa bermain kucing-kucingan. Dengan
mengandalkan kecepat an gerak dan ilmu meringankan tubuhnya, kakek ini
berhasil menyelamatkan selembar nyawanya. Dia berlompatan dari
punggung satu ekor buaya ke punggung buaya lainnya. Begitu seterusnya.
Tapi baru beberapa belas jurus pertarungan unik itu berlangsung,
Sukra Dilaga meras akan pusing pada kepalanya. Perutnya pun terasa mual.
Tenaganya menyusut secara cepat. Sukra Dilaga yang telah cukup lama
hidup di dunia bisa memperkirakan apa yang terjadi. Dia pasti keracunan.
Dilihatnya dari mulut buaya-buaya keluar as ap tipis, yang terlihat oleh
Sukra Dilaga setelah memperhatikannya baik-baik.
Di saat keadaan Sukra Dilaga semakin mengkhawatirkan,
melesatlah sesosok bayangan serba hijau. Sosok bayangan ini langsung
menyambar tubuh Sukra Dilaga. Dibawanya tubuh kakek itu meninggalkan
buaya-buaya yang telah yakin mangsa mereka akan berhasil direncahrencah
dagingnya. Pemuda berompi kulit buaya menggertakkan gigi. Kelihatan dia
geram bukan main. Matanya yang mempunyai sorot aneh mengikuti gerak
lesatan sosok serba hijau.
Ctar, ctarrr, ctarrr!
Pemuda berompi kulit buaya kemudian melecutkan cambuknya.
Lagi-lagi bunyi yang aneh terdengar. Akibatnya, buaya-buaya mengejar
sosok serba hijau dengan cara yang luar biasa. Binatang-binatang berkaki
pendek itu melesat bagai terbang!
Begitu sosok serba hijau menjejakkan kaki di tanah, buaya-buaya
itu telah meluncur dengan moncong-moncong terbuka lebar, siap merencahrencah!
Sosok serba hijau yang memanggul tubuh Sukra Dilaga ternyata
seorang gadis berwaj ah cantik luar bias a. Kulitnya putih halus. Tubuhnya
yang dibungkus pakaian serba hijau terlihat begitu menawan. Si gadis yang
berusia sekitar dua puluh dua tahun itu tak terlihat cemas melihat ancaman
maut dari mulut-mulut buaya beracun. Bahkan ketika bi natang-binatang
buas itu telah menjejak tanah dan beramai-ramai menghampirinya!
"Permainan anak-anak seperti ini kau pamerkan padaku,
Bonggala"!" dengus si gadis sambil mencibirkan bibir, membentuk senyum
sinis. Gadis berpakaian hijau kemudian membentak nyaring. Dari balik
punggungnya dikeluarkan sebatang pedang. Badan pedang tampak
mengeluarkan sinar terang yang menyilaukan mata. Gerakan buaya-buaya
langsung terhenti ketika melihat pedang bersinar kehijauan itu. Mereka
kelihatan gentar! Hal ini membuat Bonggala menjadi geram. Sambil
menggertakkan gigi, cambuknya dilecutkan l agi. Pengaruh perintah yang
terkandung di dalamnya lebih kuat dari sebelumnya.
Gerombolan buaya itu kelihatan gelisah bukan main. Binatangbinatang
itu tahu kalau majikan mereka memerintahkan untuk menyerang.
Tapi, keberadaan pedang bersinar kehijauan di tangan si gadis membuat
gerombolan buaya tak berani bertindak.
Bonggala menggertakkan gigi. Sepasang matanya seperti
mengeluarkan api karena amarah yang melanda. Di a tahu binatang
peliharaannya tak mau mematuhi perintahnya karena takut dengan pedang
si gadis.Tapi amarah yang bergolak membuat Bonggala tak ambil peduli.
Bonggala melecutkan cambuknya. Bunyi riuh rendah t erdengar
ketika puluhan ekor buaya saling serang satu sama lain. Lecutan cambuk itu
ternyata mengandung perintah penyerangan. Buaya-buaya menjadi buas dan
liar karena urat-urat syarafnya terangsang oleh bunyi lecutan. Kebuasan dan
keliaran itu sebenarnya tertuju pada gadis berpakaian hijau. Tapi karena si
gadis mempunyai benda yang ditakuti gerombolan buaya, maka binatangbinatang
itu tak berani melakukan penyerangan. Akibatnya, pertempuran
antara masing-masing buaya pun tak bisa dihindarkan.
Bonggala kebingungan melihat akibat tindakannya. Amarahnya
yang tadi menggelegak s egera susut. Buaya-buaya yang tel ah terlibat
perkelahi an tak mau mendengarkan perintahnya lagi. Bunyi cambuk yang
berkali-kali dilecutkannya sama sekali tak dipedulikan. Padahal, bunyi
cambuk mengandung perintah agar binatang-binatang melata tersebut
menghentikan perkel ahiannya.
Gadis berpakaian hijau tertawa bergelak melihat pemandangan di
hadapannya. Bibirnya yang tipis dan merah, dicibirkan ketika menatap
Bonggala yang kebingungan.
Saat pertarungan antar binatang mel ata itu semakin sengit,
terdengar suara bentakan keras menggel egar. Bentakan yang disusul dengan
gumaman-gumaman tak jel as. Bunyi perkataannya sulit ditangkap. Dan
ketika gumaman itu selesai diucapkan, bentakan keras menggel egar kembali
terdengar. Buaya-buaya yang tengah berkelahi langsung berhenti! Mereka
masing-masing menjauhi lawan tarungnya. Sikap buaya-buaya itu kelihatan
ketakutan bukan main.
Bonggala dan gadis berpakaian hijau mengarahkan pandangan ke
tempat suara keras itu terdengar. Dua sosok bayangan berkelebat dan
mendarat tidak j auh dari mereka. Dua sosok bayangan itu mengenakan
pakaian yang berbeda dari orang kebanyakan. Yang mengeluarkan bentakan
tadi adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun. Matanya yang
sebelah kiri membelalak l ebar, tapi yang kanan seperti terpejam. Kepalanya
botak. Bagian yang ditumbuhi rambut hanya pada bagian kanan dan kiri
saja. Itu pun hanya beberapa helai saja.
Kakek bermata picak ini mengenakan pakaian coklat. Tapi bukan
warnanya yang menj adikan pakaian itu aneh. Baik baju maupun celana
yang dikenakan si kakek tak s ama panjangnya. Lengan baju dan celananya
antara yang kanan dan kiri tak sama panjang!
Sosok yang satu lagi tak kalah anehnya. Pakai an yang
dikenakannya bermodel biasa. Tapi, baik baju maupun celanannya tersusun
dari bahan yang berbeda warnanya. Baju sebelah kanan berwarna putih,
sedangkan bagian kiri berwarna hitam. Warna yang sama menghias
celananya. Hanya saja dengan susunan sebaliknya. Sosok yang kedua ini seorang
nenek. Usianya tak kurang dari tujuh puluh tahun. Sebagian besar
kulitnya telah keriput. Sungguh pun demikian nenek ini kelihatan genit.
Wajahnya dilapisi pupur tebal, sehingga kelihatan seperti memakai topeng.
Dua sosok yang kelihatan aneh ini bukan orang-orang yang dapat
membuat orang tertawa. Malah sebaliknya jika orang telah mengetahui
siapa mereka. Kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh kawakan
beraliran hitam. Mereka mampu membunuh orang secara keji sambil
tertawa-tawa gembira.
Kakek picak itu berjuluk Buaya Gila Bermata Tunggal! Dedengkot
kaum sesat yang telah menggegerkan dunia persilatan dengan tindakannya
keji dan kepandaiannya yang amat tinggi. Sejak tiga puluh tahun yang lalu
kakek ini merajalela tanpa ada seorang tokoh pun mampu menandinginya.
Namun tak seorang tohoh pun yang t ahu kalau Buaya Gila Bermata
Tunggal memendam perasaan gent ar terhadap seorang tokoh. Majikan dari
Sukra Dilaga! Buaya Gila Bermata Tunggal datang dari wilayah timur. Satu demi
satu tokoh-tokoh persilatan di wilayah itu dirobohkannya. Bagi tokoh aliran
putih tak ada ampun sedikit pun. Sedangkan bagi tokoh aliran hitam yang
mau tunduk di bawah kekuasaannya akan diampuni. Bagi yang tak mau tunduk,
dibasmi oleh Buaya GilaBermata Tunggal
Tak terhitung sudah tokoh-tokoh persilat an yang t ewas di
tangannya.Buaya Gila Bermata Tunggal tak hanya mengobrak-abrik wilayah
timur, selatan dan utara. Barat pun menj adi incarannya. Kakek ini
bermaksud menjadikan dirinya datuk nomor satu untuk golongan hitam!
Berkat kepandaiannya yang tinggi, Buaya Gila Bermata Tunggal
tak mengalami hambatan yang berarti. Timur, selatan, dan utara berhasil
dikuasainya. Tapi usahanya untuk menguasai daerah barat kandas
Di wilayah ini Buaya Gila Bermata Tunggal bertemu dengan tokoh
aliran putih yang terkenal. Pertarungan antara mereka pun terjadi. Kali ini
Buaya Gila Bermata Tunggal haais menelan kenyataan pahit. Tokoh aliran
putih yang dihadapinya itu tak mampu dikalahkan. Hasil pertarungan
mereka adalah seri. Tak ada yang menang atau yang kal ah. Peristiwa itu
terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Buaya Gila Bermata Tunggal tak bisa menerima kegagalannya. Dia
berlatih lebih keras selama lima tahun. Kemudian, tokoh aliran putih itu
disatroninya kembali. Tapi maksud hatinya t ak kesampaian. Tokoh yang
diincarnya itu telah tak ada di tempatnya. Dia sudah pergi entah ke mana.
Buaya Gila Bermata Tunggal merasa t ak puas. Anak buahnya
disebar untuk mencari tahu di mana tokoh itu berada. Tapi hasilnya sia-sia.
Jejaknya bagai lenyap ditelan bumi!
Buaya Gila Bermata Tunggal kembali ke tempat tinggalnya.
Bertahun-tahun kemudian dia berhasil menemukan jejak tokoh yang pernah
mengalahkannya. Yakin kalau kepandaiannya telah meningkat pesat.
Majikan Sukra Dilaga pun ditemuinya l agi. Mereka bertarung. Tapi seperti
juga pert emuan pertama, dalam perkelahian kali ini pun kakek picak ini
menderita kekalahan. Untung nyawanya masih bisa sel amat. Kekalahan
kedua kali Buaya Gila Bermata Tunggal terjadi tiga tahun yang lalu.
Nenek berpakaian hitam putih yang berdiri di sebelahnya juga
bukan orang s embarangan. Nenek ini dulunya termasuk sal ah satu pentolan
kaum hitam. Waktu itu belum ada seorang tokoh pun yang berminat
mengangkat diri s ebagai datuk. Nenek ini dikal ahkan oleh Buaya Gila
Bermata Tunggal. Berbeda dengan pentolan-pentolan kaum hitam lainnya,
nenek ini bersedia t akluk sehingga nyawanya s elamat. Nenek ini dikenal
dengan julukan Dewi Pesolek!
"Guru...!"
"Nenek...!"
Seruan itu keluar hampir berbarengan. Bonggala yang lebih dulu
berseru dan berhambur ke arah kakek picak. Sekejapan kemudian, gadis
berpakaian hijau berlari ke arah Dewi Pesolek sambil memanggul tubuh
Sukra Dilaga. Buaya Gila Bermat a Tunggal dan Dewi Pesolek t ak membalas
seruan s epas ang muda-mudi itu. Wajah kedua tokoh sesat ini terlihat tidak
senang. "Padmini, bagus sekali kelakuanmu! At aukah kau ingin menjadi
tamu yang kurang ajar! Tamu yang tak menghargai tuan rumahnya"! Cepat
kau minta maaf pada Bonggala atas kelancanganmu!" cetus Dewi Pesolek.
"Tapi, Nek...," gadis berpakaian hijau ingin membantah.
"Tidak ada tapi-tapian kalau kau masih menganggapku sebagai
nenek!" bantah Dewi Pesolek tak kalah keras.
Sikap Dewi Pesolek ini mengherankan hati Padmini. Mana pernah
nenek itu mempedulikan s egala sopan santun lagi" Pula tak biasanya dia
berkeras dengan pendapatnya yang sudah-sudah yaitu si nenek selalu
mengalah terhadap Padmini.
Dari ras a heran otak Padmini yang cerdas segera dapat menduga
hal-hal lain yang ters embunyi di balik sikap aneh itu. Setelah lebih dulu
menindas rasa tak senangnya, pandangannya diarahkan pada Buaya Gila
Bermata Tunggal. Rasa tak mau mengalah terhadap Bonggala membuat
Padmini memutuskan untuk bicara dengan kakek picak itu dari pada dengan
muridnya. "Maafkan at as kelancanganku, Kek. Sikapku tel ah membuat
banyak binatang peliharaanmu tewas," ujar Padmini lirih. Tapi nada
ucapannya tak seperti orang yang menyes al, melainkan seperti orang
terpaksa. "Meskipun sebenarnya aku tak tahu mengapa harus meminta
maaf, tapi karena nenekku memaksa, aku tak mempunyai pilihan lain..."
Dewi pesolek menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan
Padmini. Ucapan yang menunjukkan sikap keras gadis berpakaian hijau itu.
Dewi Pesolek sebenarnya mempunyai alasan kuat menyuruh
Padmini meminta maaf. Sekali lihat saja nenek ini telah bisa
memperkirakan apa yang terjadi. Dan Dewi Pesolek tahu bet apa sayangnya
Buaya Gila Bermata Tunggal pada binatang-binatang peliharaannya. Kakek
itu bisameledak amarahnya melihat buayanya tewas atau terluka.
Apabila tokoh seperti Buaya Gila Bermata Tunggal murka tak ada
istilah teman atau rekan lagi baginya. Siapa pun yang telah menyulut
amarahnya akan diberinya hajaran keras. Dan itu bisa berarti maut!
Dewi Pesolek tentu saja tak menginginkan Padmini celaka. Karena
itu, meski terpaksa dan berlawanan dengan suara hati, dipaksakannya
bersikap keras t erhadap Padmini. Untungnya gadis itu mau mendengar dan
mematuhi perintahnya.
"Ha ha ha...!"
Buaya Gila Bermata Tunggal tertawa bergelak. Tawa yang bebas
bagai orang yang tengah gembira.
"Kau tak perlu meminta maaf padaku atau pada muridku, Cah
Ayu!" lanjut kakek picak setelah puas tertawa "Justru aku seharusnya
berterima kasih padamu. Kau tahu mengapa?"
Padmini menggeleng. Gadis ini memang t ak tahu mengapa Buaya
Gila Bermata Tunggal malah mengucapkan terima kasih atas tindakannya.
Dewi Pesolek merasa gembira sekali melihat t anggapan Buaya


Dewa Arak 91 Sapu Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gila Bermata Tunggal. Apa pun penyebab kegembiraan kakek picak itu dia
tak peduli. Yang penting dedengkot kaum sesat itu tak marah atas kematian
binatang peliharaannya.
"Memang sudah kuduga kau tak akan mengetahui jawabannya,
Cah Bagus! Jangankan kau, muridku itu pun tak akan mengetahui
jawabannya. Maka, agar kau dan muridku yang goblok itu tak berlama-lama
kebingungan, lebih baik jawaban pertanyaan itu segera kuberikan!"
Buaya Gila Bermata Tunggal menghentikan ucapannya. Kakek
picak ini malah menatap lekat-lekat pada tiga sosok yang ada di dekatnya
satu per satu. Padmini yang memiliki hati besar dan ketabahan cukup merasakan
kengerian ketika pandangannya beradu dengan kakek picak. Sinar mata kakek
itu demikian tajam, seperti mampu membaca apa yang berkecamuk di
hati dan pikirannya. Mata Ruaya Gila Bermata Tunggal ini jauh lebih tajam
dan mengerikan dari pada mata Dewi Pesolek, gurunya.
"Karena, muridku yang goblok tapi tinggi hati ini jadi tahu dengan
dangkalnya ilmu yang dimilikinya!"
Akhirnya, keluar juga jawaban yang dimaksud Buaya Gila
Bermata Tunggal.
"Padahal telah berkali-kali kukatakan tentang kedangkalan ilmunya
itu. Tapi murid goblok ini tetap tak mau mengerti. Sekarang aku yakin dia
telah tahu dengan kemampuannya yang tidak seberapa itu. Dan aku yakin,
murid goblok ini akan segera meminta petunjuk padaku!"
Padmini mendapat kesempatan lagi untuk mengejek Bonggala.
Seulas senyum sinis yang ditutup dengan cibiran bibirnya dilontarkan pada
pemuda itu. Tentu saja tidak hanya Bonggala yang melihatnya. Dewi Pesolek
dan Buaya Gila Bermata Tunggal pun melihat. Dewi Pesolek mengeluh
dalam hati melihat tingkah muridnya. Nenek ini tahu tokoh seperti Buaya
Gila Bermata Tunggal, seperti juga dirinya, memiliki watak aneh yang
sukar untuk diterka. Bukan tak mungkin keinginan untuk membunuh
mendadak muncul karena sikap Padmini.
Lagi-lagi kekhawatiran Dewi Pesolek tak beral asan. Buaya Gila
Bermata Tunggal tak marah s ama sekali. Jangankan murka, mempedulikan
hal itu saja tidak. Hanya Bonggala yang terlihat menampakkan kemarahan
dan kegeramannya. Pemuda ini memang dongkol bukan main. Setelah dicerca
gurunya kemudian diledek oleh Padmini.
Keadaan yang t ak memungkinkan untuk membalas perlakuan
Padmini membuat Bonggala menyimpan rasa sakit hatinya. Hanya sorot
matanya yang menyiratkan ras a dendam dan sakit hati. Bukan hanya
Padmini saja yang mengetahui perasaan dalam sorot mata Bonggala. Buaya
Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek pun melihatnya. Hanya, kalau
kakek picak bersikap t ak peduli dan Padmini menganggap ancaman itu
secara s epele, tak demikian halnya dengan Dewi Pesolek. Si nenek merasa
khawatir bukan main!
"Berhati-hatilah, Padmini. Aku yakin Bonggala tak akan
menyudahi urusan ini begitu saja. Bukan t ak mungkin kau akan
dicelakainya secara licik," beritahu Dewi Pesolek melalui ilmu
mengirimkan suara dari jauh, hingga yang mendengar ucapannya hanya
Padmini seorang.
Padmini menatap wajah Dewi Pesolek lekat-l ekat. Ingin dilihatnya
tanggapan yang lebih jelas dari nenek itu.
"Bersikaplah biasa, Padmini. Jangan tunjukkan sikap yang
mencurigakan. Kau harus waspada penuh terut ama terhadap Bonggala. Si
picak ini pun meski kelihatannya baik hati, tapi di dalam lubuk hatinya
tersembunyi kekejian yang tak terbayangkan pikiranmu. Aku menyesal
membawamu kemari, Padmini."
Hati Padmini tercekat. Gadis yang telah lama tinggal dengan Dewi
Pesolek itu bisa merasakan kalau si nenek khawatir sekali. Dan
kekhawatiran si nenek membuat Padmini menjadi tegang. Belum pernah
dilihatnya Dewi Pesolek kelihatan demikian bingung.
"Kurasa...," Buaya Gila Bermata Tunggal membuka pembicaraan,
memecahkan keheningan yang melingkupi tempat itu. "Lebih baik kita ke
istanaku, Dewi. Di sana kita bisa berbincang-bincang secara leluasa, guna
merundingkan rencana kita selanjutnya. Bagaimana, Dewi?"
"Aku setuju saja, Buaya," jawab Dewi Pesolek tanpa berpikir
panjang lagi. Dan saat itu juga dia menyambung ucapannya dengan
mengirimkan suara dari jauh pada Padmini. "Kau ikut dengan aku, Padmini.
Cepat kau ajukan diri padaku agar aku mempunyai alasan untuk
membawamu..."
Pada saat yang bers amaan, Buaya Gila Bermata Tunggal pun
mengirimkan suara pula pada Bonggala.
"Pergunakan kesempat an ini sebaik-baiknya untuk membalas sakit
hatimu, Murid Dungu! Terserah apa hukuman yang hendak kau timpakan
pada gadis montok itu. Aku tak peduli. Tapi ingat, hal itu baru boleh kau
lakukan apabila aku sudah membawa gurunya ke dalam. Bukannya aku
takut terhadapnya. Tapi saat ini tenaganya kuperlukan untuk menghadapi
musuh besarku. Pergunakan ke sempatan ini sebaik-baiknya, Bonggala!"
"Aku ikut, Nek," ujar Padmini, bertepatan dengan sel esainya
Buaya Gila Bermat a Tunggal mengirim pemberitahuan pada muridnya.
Sambil berkata demikian, Padmini mengayunkan kaki mendekati gurunya.
Tubuh Sukra Dilaga yang berada di bahunya tak dilepaskan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Bonggala yang nadanya sarat dengan ej ekan lebih dulu
menyambuti ucapan Padmini, sebelum Dewi Pesolek memberikan
tanggapan. Wajah Padmini langsung merah padam karena malu dan
tersinggung. Wajah Dewi Pesolek pun berubah. Nenek ini merasakan
jantungnya berdetak lebih cepat. Padmini yang berwat ak keras pasti akan
terkena pancingan Bonggala.
Dewi Pesolek mengerling ke arah Buaya Gila Bermata Tunggal.
Hendak dilihatnya tanggapan kakek itu atas sikap muridnya. Tapi kakek
picak itu bersikap tak peduli.
Melihat hal ini semakin tak enak rasa hati Dewi Pesolek. Segumpal
pertanyaan bergayut di benaknya. Apakah kejadian ini telah direncanakan
oleh Buaya Gila Bermata Tunggal" Bukan tak mungkin kakek picak itu
yang mengatur semuanya.
3 "Sungguh tak kusangka betina bermulut tajam ini ternyata
memiliki hati yang kecil! Rupanya kau masih belum lepas menetek dengan
nenekmu, Wanita Liar"!"
Ejekan itu dikeluarkan Bonggala sebagai lanjutan atas gelak
tawanya. Kelicikannya membuat pemuda ini bersikap seperti orang bingung
dan tidak percaya. Kepal anya digeleng-gelengkan. Dari mulutnya
dikeluarkan sebaris kalimat yang diulang-ulang.
"Tak kusangka.... Tak kusangka...."
Seperti yang dikhawatirkan Dewi Pesolek, tanggapan Padmini
memang sesuai dengan harapan Bonggala.
"Tutup mulutmu, Pemuda Iblis! Siapa bilang hatiku kecil"
Melawan kau pun aku tak t akut. Ataukah kau ingin melihat buktinya"
Majulah! Akan kuhadapi kau sampai salah seorang di antara kita
menggeletak t ak bernyawa!" sembur Padmini berapi-api, penuh dengan
semangat yang meluap-luap.
Dewi Pesolek hanya bisa menghela napas berat. Kenyataan yang
dikhawatirkannya tak bisa dihindarkan l agi. Keributan antara Padmini
dengan Bonggala pasti akan terjadi.
Kegelisahan Dewi Pesolek s emakin bertambah-tambah ketika
Buaya Gila Bermat a Tunggal malah mengayunkan kaki meninggalkan
tempat itu. Si kakek picak ini menuju istananya. Rasa gelisah yang besar
membuat Dewi Pesolek kebingungan di tempatnya.
"Sudahlah, Dewi, segala urusan anak-anak tak usah direpotkan.
Nanti pun mereka akan baik kembali," ucap Buaya Gila Bermata Tunggal
dengan sikap tak peduli. Dewi Pesolek tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ucapan Buaya Gila Bermat a Tunggal merupakan sindiran taj am. Kalau dia
bersikeras untuk bertahan di tempat itu, sama saja dengan tak mempercayai
si kakek pi cak. Dan Dewi Pesolek tahu, akibatnya akan sangat gawat bagi
dirinya. Dengan hati gelisah kakinya diayunkan mengikuti langkah Buaya
Gila Bermata Tunggal. Si kakek itu sendiri yang berada beberapa langkah di
depan Dewi Pesolek, tiba-tiba membalikkan tubuh. Dewi Pesolek sampai
terkesiap karenanya. Perasaan geli sah membuatnya mudah menaruh curiga.
Buaya Gila Bermata Tunggal, ternyata tak hendak menyerangnya.
Kakek picak itu menatap Sukra Dilaga yang berada di bahu Padmini.
"Aku sampai lupa dengan orang itu...," ucap Buaya Gila Bermata
Tunggal. "Aku ingin tahu siapa yang t elah berani mati mengunjungi
tempatku."
Buaya Gila Bermata Tunggal kemudian melambaikan tangan,
kelihatan seperti tengah memanggil seseorang. Gerakannya pun t ak terlihat
mengerahkan tenaga. Padmini terkejut bukan main ketika merasakan ada
kekuatan dahsyat berusaha merebut tubuh Sukra Dilaga. Gadis ini tak mau
membiarkan tubuh itu terampas. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk
mempertahankan Sukra Dilaga.
Padmini tahu kalau kekuatan dahsyat itu berasal dari tangan Buaya
Gila Bermata Tunggal. Tokoh itu sendiri berjarak beberapa tombak darinya.
Tapi, lambaian tangannya dirasakan bagai tangan raksasa tak nampak.
Urat-urat Padmini terlihat seperti akar pohon. Semuanya
bertonjolan keluar s aking kerasnya gadis ini berusaha mempertahankan
tubuh Sukra Dilaga. Hanya sekejapan saja pert arungan tenaga dalam itu
terjadi. Begitu jari-jari Buaya Gila Bermat a Tunggal dijentikkan, Padmini
merasakan sekujur tubuhnya lemas. Gadis ini terkena totokan jarak j auh.
Totokan yang membuat aliran tenaga dalamnya terhenti. Dengan
terhentinya aliran tenaga Padmini, Buaya Gila Bermata Tunggal tak
mendapatkan perlawanan lagi. Tubuh Sukra Dilaga langsung melayang ke
arahnya. Padmini yang mendapatkan kembali tenaga dal amnya sesaat
kemudian, hanya bisa mengepalkan tinju melihat tubuh Sukra Dilaga telah
tergolek di tanah, di depan Buaya Gila Bermat a Tunggal. Kakek itu
membolak-balikkan tubuh Sukra Dilaga dengan mempergunakan kakinya.
"Binatang tak tahu diri ini adalah pelayan dari Empu Sapu Jagad,
Dewi," ujar Buaya Gila Bermata Tunggal. "Entah ada urusan apa pelayan
goblok ini bisa berada di sini. Kuras a lebih baik kal au Sapu Jagad
mengetahui pelayannya menjadi umpan buaya. "
Usai berkata demikian, dengan tingkah orang yang merasa jijik,
Buaya Gila Bermat a Tunggal mengibaskan tangan ki ri ke arah tubuh Sukra
Dilaga. Tubuh kakek yang malang itu meluncur ke arah gerombolan buaya.
Padmini yang gemar mencampuri urusan orang l ain tak bisa
tinggal diam. Dia hendak menyambar tubuh Sukra Dilaga sebelum jatuh ke
tempat kerumunan buaya kelaparan. Tapi, sebelum itu terlaksana Buaya
Gila Bermata Tunggal telah membentak keras.
"Diam kau...!"
Kalau menuruti peras aan, Padmini tak ingin mengikuti perintah itu.
Tapi pengaruh yang terkandung dalam bentakan itu memang luar biasa. Sekujur
tubuh Padmini lemas t ak berdaya. Buaya Gila Bermata Tunggal
kemudian kembali mengibaskan tangan. Kakek pi cak berwatak kej am ini
tak mau membiarkan Sukra Dilaga di rencah-rencah buaya dalam keadaan
pingsan. Kibasan itu dilakukan untuk menyadarkan Sukra Dilaga.
Maksud Buaya Gila Bermat a Tunggal memang terlaksana. Sukra
Dilaga langsung tersadar. Dan, kakek itu terkejut ketika mengetahui
tubuhnya melayang. Kekagetannya semakin menjadi-jadi ketika melihat
tempat yang akan dijatuhi tubuhnya adalah kerumunan buaya-buaya lapar!
Sukra Dilaga tak ingin mati percuma. Tenaga dalamnya dikerahkan
untuk menyelewengkan arah luncuran tubuhnya. Sukra Dilaga menjadi
panik ketika tak meras akan putaran tenaga dalam di pusarnya. Buaya Gila
Bermata Tunggal memang telah menghilangkan tenaga dalamnya, meski
hanya untuk sementara.
Buaya Gila Bermata Tunggal tersenyum puas ketika melihat nasib
yang menimpa Sukra Dilaga. Bonggala sendiri tert awa-tawa gembira. Dewi
Pesolek yang sejak tadi berdiam diri tetap membisu. Sebaliknya, Padmini
merasa muak melihatnya. Bahkan, gadis ini hampir muntah-muntah melihat
Sukra Dilaga yang malang jadi rebutan buaya-buaya kelaparan!.
Buaya Gila Bermata Tunggal baru mengayunkan kaki
meninggalkan tempat setelah sekujur tubuh Sukra Dilaga tak berbentuk lagi.
Dewi Pesolek tanpa banyak kata mengikutinya. Sebelum hal itu dilakukan,
masih sempat dilontarkan kerlingan pada muridnya. Kerlingan yang
mengandung arti agar muridnya berhati-hati. Dan, Padmini tahu hal itu.
Padmini ikut meninggalkan tempat itu ketika Buaya Gila Bermat a Tunggal
dan Dewi Pesolek baru melangkah beberapa tindak. Padmini menempuh
arah yang berl ainan dengan mereka.
Semula Padmini mengayunkan langkah seenaknya. Sikapnya
menunjukkan kes an tak peduli. Padahal sebenarnya tak demikian. Padmini
memasang kewaspadaan penuh terhadap gerak-gerik Bonggala!
Gadis ini tahu kalau Bonggala mengikutinya. Pemuda bermata liar
itu juga mengayunkan langkah seenaknya. Padmini yang teringat pesan
gurunya berusaha untuk menahan diri. Gadis ini malah berlari
mempergunakan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Tindakan itu dilakukan Padmini secara tiba-tiba. Karuan saja hal
ini mengejutkan Bonggala. Kaburnya gadis itu memaksa Bonggala berlari
dan mengejar Padmini secara terang-terangan.
Kejar-mengejar pun terjadi. Masing-masing mengerahkan seluruh
kemampuannya. Seketika tubuh keduanya lenyap. Yang terlihat hanya dua
kelebatan bayangan kuning dan kehijauan melayang-layang bagai tak
menyentuh permukaan tanah.
Gerakan kedua orang muda itu cepat bukan main. Dalam waktu
sebentar saja tempat mereka s emula berada tel ah jauh ditinggalkan. Dan
ketika jarak yang ditempuh telah lebih dari seribu tombak, Bonggala yang
sejak tadi menyusul sedikit demi sedikit bergegas melompat, melewati atas
kepala Padmini. Pemuda ini bersalto beberapa kali dan menjejak tanah di
depan Padmini. Hanya berjarak empat tombak!
Padmini tak mempunyai pilihan lain kecuaii menghentikan l arinya
dan menatap Bonggala dengan sengit.
"Mau apa kau mengejar-ngejarku terus, Pemuda ceriwis"! Kalau
tak mengingat larangan guruku, sudah kuterjang kau dan kucincang
dagingmu!" tandas Padmini penuh kemarahan.
Bonggala malah tertawa-tawa. Hal ini membuat kemarahan
Padmini semakin memuncak. Sepasang mata gadis itu mencorong tajam
yang ditujukan pada murid Buaya GilaBermata Tunggal.
"Aku tak akan mengejarmu apabila kau tak mencari-cari urusan
denganku, Wanita Liar!" tandas Bonggala sambil tersenyum aneh. "Tanpa
kuperkenankan s ama s ekali, kau mencampuri urusanku dengan pelayan
Sapu Jagad. Kau pul a yang membuat guru menegurku. Kau t elah membuat
aku terhina dua kali. Maka, sudah selayaknya kalau aku memberi hukuman
padamu!" Tanpa Bonggala menjelaskan keluhan yang dimaksudnya, dengan
naluri kewanitaannya Padmini bisa memperki rakan. Sikap Bonggal a ketika
menutup ucapannya tel ah memberitahukan gadis itu. Sepasang mata
Bonggala menjilati sekujur tubuh Padmini penuh gejolak nafsu birahi!
Tahu kalau Bonggala mengincar kemolekan tubuhnya, Padmini
jadi berang. Gadis ini marah bukan main. Dengan diawali teriakan keras
yang mengget arkan jantung, Padmini meluruk ke arah Bonggala. Tinju
kanan dan kirinya diluncurkan berganti-ganti.
Bonggala tersenyum mengejek. Sikapnya kelihatan memandang
remeh s erangan yang dilancarkan Padmini. Padahal, di lubuk hatinya
pemuda ini terkesiap melihat kedahsyatan serangan itu. Serangan Padmini
di samping cepat bukan main, sehingga tak terlihat jelas gerakan kedua
tangannya, juga menimbulkan bunyi berdesing nyaring.
Bonggala memang seorang pemuda tinggi hati. Dia malah
menyangka di dunia ini untuk golongan pemuda, hanya di rinya yang
memiliki tingkat kepandaian tertinggi. Maka meski mengetahui kedahsyatan
serangan itu, tanpa ragu-ragu lagi dipapakinya dengan sikap tangan yang
sama. Buk, bukkk!

Dewa Arak 91 Sapu Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Benturan bertubi-tubi antara dua pas ang tinju yang mengandung
tenaga dalam kuat tak bisa di elakkan. Get aran yang tercipta sampai pada
kedua bel ah pihak. Terutama sekali terhadap Padmini. Tubuh gadis itu
terhuyung-huyung ke belakang tiga langkah. Roman wajahnya menyi ratkan
kenyerian. Sakit dan ngilu mendera kedua t angannya yang berbenturan
dengan tangan Bonggala.
Di lain pihak, Bonggala hanya t erhuyung dua langkah. Seringai
kesakitan yang tampak di wajah Padmini tidak terlihat di wajah pemuda ini.
Padmini geram bukan main melihat hasil benturan itu, sementara
Bonggala justru tert awa-tawa gembira. Pemuda ini sengaja bersikap
demikian untuk membuat hati Padmini bertambah kalap. Hasil benturan itu
saja sudah cukup memukul perasaan Padmini. Apalagi jika ditambah
dengan ejekan yang diberikannya.
Dugaan Bonggal a memang tidak keliru. Padmini semakin uringuringan.
Dengan didahului teriakan melengkingnya nyaring, gadis ini
menerjang Bonggala dengan serangan-serangan dahsyat.
Bonggala segera menyambutinya. Dalam sekejapan tubuh
pasangan muda-mudi yang s aling bermusuhan ini telah lenyap. Yang
tampak hanya dua kelebat an bayangan kuning dan kehijauan yang saling
belit. Bunyi mendesing dan mengaung mengiringi gerakan keduanya.
Tingkat kepandaian Bonggala sebenarnya lebih tinggi. Tapi karena
pemuda ini bertarung hati-hati agar tak kes alahan tangan membunuh atau
melukai terlalu berat, kemampuan tertingginya tak dikeluarkan semua.
Sebaliknya, Padmini bertarung mempert aruhkan nyawa. Serangan-serangan
gadis ini selalu membawa maut. Bahkan tak jarang serangannya
mengandung ajakan untuk mengadu nyawa.
Bonggala sama sekali tak meladeni. Pemuda itu telah terpincuk
dengan kecantikan Padmini. Dia ingin merobohkan gadis itu tanpa melukai,
agar dapat menikmati tubuhnya. Sudah terbayang di benak Bonggala
nikmatnya menggeluti tubuh montok gadis itu.
Karena terl alu berhati-hati Bonggala jadi mengal ami kesulitan
untuk membekuk Padmini. Jalannya pertarungan malah berimbang. Bahkan,
karena terlalu nekatnya Padmini, Bonggala jadi kelihatan terdesak.
Keadaan tak menguntungkan ini malah dimanfaatkan Bonggala.
Pemuda yang licik itu mendapat gagasan ketika melihat bersemangatnya
Padmini untuk merobohkannya. Bonggala kemudian memperlihatkan
keadaan yang semakin terdesak.
Seperti yang sudah diduga Bonggala, Padmini memang semakin
bersemangat melancarkan serangan. Kewaspadaan gadis itu menyusut
karena terbawa dorongan untuk s egera dapat merobohkan lawannya. Dan
secara tak terduga-duga, Bonggala mengibaskan tangan kiri, setelah terlebih
dulu memasukkan t angannya ke balik baju. Tindakan itu dilakukannya
dengan cepat dan hanya sekejapan saja.
Padmini kelabakan ketika dari tangan Bonggala tersebar bubukbubuk
halus. Tidak tercium bau tajam sebagaimana biasanya bubuk racun.
Rasa gugup dan belum banyaknya pengalaman membuat Padmini
mengambil tindakan berbahaya. Gadis itu memej amkan mat a agar bubuk
yang disebarkan t ak mengenai matanya. Pada s aat yang bersamaan. karena
memang telah dinanti-nantikan Bonggala, segera dikirimkan tendangan kaki
kanan ke arah perut Padmini.
Deru angin yang mengiringi meluncurnya serangan tersebut
terdengar oleh Padmini. Gadis ini menyadari adanya bahaya. Meski tak
melihat, tapi bisa memperkirakan bagi an mana yang dituju. Dengan
sepasang mata masih terpejam Padmini melompat ke bel akang untuk
menghindar. Bukkk! "Hubh...!"
Keluhan tert ahan itu keluar dari mulut Padmini. Tendangan
Bonggala mendarat secara t elak di peutnya. Bonggala tak kalah cerdik.
Serangan yang dilancarkannya tak hanya dengan kaki kanan. Tapi,
disusulinya secara cepat dengan kaki kiri. Arah yang ditujunya tetap sama.
Siasat Bonggala berhasil. Padmini yang tak mengira tindakan ini
langsung terjengkang ke belakang. Wajah gadis itu menegang karena rasa
sesak yang mendera perutnya.
Saat yang baik itu tak disia-siakan Bonggala. Pemuda bermata liar
ini menerjang maju dengan totokan bertubi-tubi. Sementara Padmini sudah
membuka matanya kembali. Gadis ini bermaksud mengel akkan serangan.
Tapi kecepatan serangan Bonggala terlalu luar biasa. Padmini hanya mampu
mengelakkan beberapa totokannya. Totokan yang ketiga tak dapat
dielakkan lagi. Padmini roboh ke tanah seperti sehelai kain basah ketika jari
Bonggala menyentuh bahu kanannya.
"Ha ha ha...!"
Tawa bergelak penuh perasaan gembira dikumandangkan
Bonggala atas keberhasilannya. Sekejap pemuda ini menatap tubuh molek
yang tergolek di tanah dengan mata berkilat-kilat penuh nafsu.
Padmini merasakan detak j antungnya berpacu lebih cepat. Gadis
ini merasakan adanya ancaman yang mengerikan. Padmini hanya dapat
menatap tingkah Bonggala dengan sorot mata takut dan ngeri!
Bonggala tentu saja tahu arti sorot mat a Padmini. Kenyataan ini
membuatnya semakin gembira. Langkah-l angkahnya semakin diperlambat.
Sepasang matanya yang menatap Padmini semakin diperliar untuk lebih
menimbulkan rasa takut pada gadis itu.
Diiringi geraman bagai seekor harimau lapar menerkam mangsa,
Bonggala menerkam tubuh Padmini. Dengan buas wajah gadis itu
diciuminya. Padmini hanya bisa memejamkan mata dan merintih di dalam
hati. Tak puas hanya dengan menciumi sel ebar wajah, Bonggala mulai
menjarah pakai an si gadis. Tangannya yang berj ari-jari kuat dan mampu
menghancurkan batu karang paling keras bersiap mencabik-cabik pakaian
Padmini. "Kau renggut pakaian gadis itu, akan kuhancurkan batok
kepalamu, Manusia Jahanam!"
Bonggala langsung menahan maksudnya. Suara yang t erdengar
amat dekat itu menghentikan gerakannya. Pemuda ini bergegas bangkit
berdiri dan bersiap untuk bertarung.
Bonggala tahu ada seseorang yang melihat perbuatannya. Kendati
demikian, pemuda ini tak merasa gent ar. Dari suara yang ditangkap
telinganya agaknya pemilik suara itu masih muda. Sampai di mana sih
tingginya kepandaian seorang muda! Ucap Bonggala dalam hati dengan
nada meremehkan.
Bonggala mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sulit baginya
memperkirakan di mana pemilik suara itu berada. Di sekitar tempatnya
berada hanya semak-semak dan pepohonan bes ar. Bonggala dan Padmini
memang berada di dalam sebuah hutan lebat.
"Siapa kau, Orang Usilan"! Tunjukkan rupamu kalau kau bukan
seorang pengecut!" teriak Bonggala lantang, set elah mencari-cari dengan
penuh perhatian tak juga bisa memperkirakan di mana pemilik suara itu.
"Aku di sini, Sobat. Dekat denganmu...."
Bonggala menggertakkan gigi. Pemuda ini merasa dipermainkan.
Bonggala yang memiliki watak tinggi hati t etap tak mau berpikir j ernih.
Kalau saj a hatinya tak penuh dengan kesombongan, dari tidak dapat
dilacaknya di mana pemilik suara itu saja telah dapat diketahui ketinggian
ilmunya. Bonggala mengibaskan kedua tangan dengan pengerahan tenaga
sepenuhnya. Deru angin keras berhembus. Beberapa batang pohon
berpatahan ketika terlanda angin serangan. Semak-semak pun porakporanda.
Malah, sebagian besar tercabut sampai ke akarnya.
Bonggala memperhatikan kembali sekelilingnya yang sebagian
besar t elah terbuka. Tapi tetap saja pemilik suara yang mengancam dirinya
tak terlihat. Bersembunyi di mana si keparat sialan itu" Maki Bonggala
dalam hati. "Keluar kau, Pengecut! Jangan hanya bisa bersembunyi saja!
Kalau memang memiliki keberanian, keluar...!"
"Sejak tadi pun aku sudah menunjukkan diri, Manusia Tak
Bermata!" sahut pemilik suara. "Dongakkan kepalamu, dan lihat baik-baik!"
Bonggala mendongakkan kepalanya dan tanpa sadar pemuda ini
terjingkat ke belakang. Sesosok tubuh terbungkus pakaian ungu t ergantung
di atas kepalanya. Sosok itu tergantung dengan kepala di bawah.
Rambutnya yang putih keperakan terjurai ke bawah. Sosok yang ternyata
seorang pemuda tampan itu tergantung pada salah satu cabang pohon yang
besar bukan main. Letaknya di dekat Bonggala berdiri.
Bonggala hanya terkejut sebentar. Sesaat kemudian, sifat liciknya
membuat pemuda itu segera mengambil keputusan. Kedua tangannya
dihentakkan. Seketika itu juga, serangkum angin berciutan meluruk ke arah
pemuda berpakaian ungu. Bonggala telah memperhitungkan serangan itu
akan membuat pemuda usilan ters ebut melompat ke bawah. Dan bila itu
terjadi, serangan susulannya telah dipersiapkan.
Tapi, apa yang diperkirakan Bonggala ternyat a tak sesuai dengan
kenyataan. Pemuda berpakaian ungu t ak berusaha melompat untuk
mengelakkan serangan. Dengan kedua kaki masih terkait pada cabang
pohon, tubuhnya diayunkan sehingga pukulan jarak jauh Bonggala
mengenai tempat kosong.
Kenyataan ini saja sudah mengejutkan Bonggala. Tapi,
keterkejutan yang lebih bes ar melandanya ketika melihat akibat ayunan
pemuda berpakaian ungu. Daun-daun pohon berguguran dan meluncur
turun dengan memperdengarkan bunyi bercicitan nyaring. Bunyi yang
terdengar seakan-akan timbul dari meluncurnya anak panah!
Bonggala membentak keras. Kedua tangannya segera dihentakkan
untuk mengirimkan pukulan jarak jauh. Daun-daun itu bagaikan membentur
dinding yang tak nampak, roboh sebelum berhasil mengenai tubuh
Bonggala. Pada saat yang bersamaan pemuda berpakaian ungu berhasil
menjejak tanah. Bonggala hanya bisa menggert akkan gigi, geram melihat
keberhasilan orang usilan itu mendarat di tanah tanpa sempat dikirimkan
serangan. Bonggala menatap pemuda berpakai an ungu dengan sinar mata
penuh hawa pembunuhan. Orang yang ditat apnya terlihat tenang-tenang
saja. Dibalasnya tatapan bonggala.
"Siapa kau, Anjing Kurap"!" teriak Bonggala, keras. "Sungguh
berani kau mencampuri urusanku! Tidakkah kau tahu siapa aku"!"
Pemuda berpakaian ungu yang bukan lain Arya Buana at au lebih
dikenal dengan julukan Dewa Arak, tersenyum tenang. Dia tak kelihatan
marah atau tersinggung.
"Aku tak ingin tahu siapa kau, Manusia Hina! Tapi yang perlu kau
tahu, siapa pun adanya asal orang itu kulihat melakukan tindak kej ahatan
akan kutentang. Aku tak peduli siapa pun orang itu. Jelas"!"
"Kalau begitu, kau ingin mampus ..!"
Bonggala yang t elah murka langsung mencabut cambuknya,
kemudian dilecutkan. Dal am sekali lecut dikirimkannya serangan ke arah
ubun-ubun Dewa Arak. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bonggala
mampu membuat senjata lemas itu me-liuk-liuk bagai ular.
Dewa Arak bersikap tenang. Bonggal a tampaknya l awan yang
amat tangguh. Sungguh pun demikian, ditunggunya hingga dekat serangan
yang dilancarkan pemuda itu. Baru kemudian kepalanya digoyangkan!
"Ah...!"
Seruan kaget tercetus dari mulut Bonggala. Sepasang mata pemuda
ini membelalak lebar melihat rambut Dewa Arak berpencar menj adi dua
gumpal. Gumpalan yang pert ama meliuk liuk mengikuti gerak cambuk
Bonggala. Sedangkan gumpalan yang lain menegang kaku bak tongkat,
kemudian meluncur ke arah pergelangan t angan Bonggal a yang memegang
cambuk. Murid Buaya Gila Bermat a Tunggal ini segera tahu rambut Dewa
Arak bermaksud menotok pergelangan tangannya.
Bonggala sadar keadaannya tak menguntungkan. Jika serangan
diteruskan dia malah yang akan mendapat kerugian. Di samping
serangannya kemungkinan bes ar tertangkis, dia pun akan celaka oleh
gumpalan rambut Dewa Arak yang satu lagi.
Tanpa ragu-ragu Bonggala pun melompat mundur sehingga
serangan Dewa Arak kandas. Bonggala jadi semakin yakin Dewa Arak
memiliki kepandaian amat tinggi. Kekuatan tenaga dalamnya pasti berada di
atas dirinya. Bonggala tak s embarangan dalam menilai demikian. Tindakan
pemuda berambut putih keperakan itu membagi rambutnya menjadi dua
gumpalan memang tak aneh. Tapi membuat yang satu gumpal menegang,
dan yang lain meliuk liuk merupakan hal yang teramat sulit.
Kendati demikian. Bonggala tak menjadi gentar. Begitu selesai
menghindar pemuda ini kembali melancarkan s erangan jauh lebih dahsyat.
Dewa Arek bergegas menyambutinya.
Jalannya pert arungan disaksikan oleh satu-satunya penonton,
Padmini. Gadis ini semula merasa khawatir Dewa Arak tak mampu
menghadapi Bonggala. Tapi ketika bergebrak beberapa kali, harapan untuk
mendapatkan pertolongan dari pemuda berambut putih keperakan itu
membesar. Padmini memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh
minat. Semakin lama kekagumannya terhadap Dewa Arak semakin besar.
Wajah Arya yang t ampan dan sikapnya yang tenang membuat Padmini
semakin tertarik. Tanpa dapat dicegahnya lagi, bersemilah perasaan suka
terhadap penolongnya ini.
Sementara itu Bonggal a semakin sadar kal au Dewa Arak terlalu
tangguh. Setelah bergebrak belasan jurus, dia senantiasa didesak dan
dihimpit. Benturan yang terjadi beberapa kali membuat Bonggala selalu
terhuyung-huyung dengan langkah lebih banyak dari lawannya.
Bonggala memang pemuda sombong dan keras hati. Kendati
demikian, dia cerdik. Karena itu Bonggala tahu kal au melawan terus hanya
akan mencel akai dirinya s endiri. Bisa-bisa dia akan tewas di tangan Dewa
Arak. Ctarrr! Pertemuan antara gumpalan rambut Dewa Arak dan cambuk
Bonggala membuat pemuda bermata liar itu terhuyung-huyung dua langkah.
Ini terjadi entah untuk yang ke berapa kalinya.
"Tahan...!"
Bonggala berseru keras ketika Dewa Arak hendak menerjangnya
lagi. Dewa Arak memenuhi s eruan Bonggala. Bukan karena seruan itu,
tapi karena Arya seorang berjiwa kesatri a. Merupakan pantangan besar bagi
seorang gagah untuk menyerang lawan yang belum siap. Dewa Arak
menatap Bonggala lekat -lekat. Dengan s abar Arya menunggu hingga
Bonggala siap untuk bicara.
"Kali ini aku mengaku kal ah, Kunyuk Kurap!" ujar Bonggal a.
Sorot matanya memancarkan sakit hati yang besar. "Perkenalkan dirimu
agar kelak aku dapat mencarimu untuk membalas kekalahanku ini! Tentu
saja kalau kau tak takut untuk membiarkanku pergi!"
Arya hanya ters enyum mendengar ucapan Bonggala. Pemuda
bermata liar itu sengaja menekannya dengan kata-kata yang menyinggung
harga dirinya sebagai orang gagah.
"Aku bukan seorang pengecut, Manusi a Hina! Kalau kau masih
merasa penasaran, kelak kau boleh mencariku. Namaku Arya Buana.
Orang-orang Persilatan memberiku gelar Dewa Arak! Jel as"!" sahut Arya
tenang. Bukan hanya Bonggala s aja yang terkejut mendengar
pemberitahuan Arya. Padmini pun dilanda perasaan yang sama. Julukan
Dewa Arak telah lama mereka dengar. Inikah orangnya yang
menggemparkan dunia persilatan itu" Pikirmereka.
"Kiranya kau tokoh yang menggemparkan itu" Baik! Akan kucatat
nama dan julukanmu, Dewa Arak. Kel ak kita akan bertemu l agi. Dan, saat
itu berarti waktunya kau untuk menghadap malaikat maut !" ancam
Bonggala dengan suara bergetar.
"Akan kutunggu pelaksanaan janjimu itu! Tapi perlu kau ingat,
bukan hanya kau saja yang bisa berjanji, aku pun demikian!'' timpal Arya
penuh tekanan. "Apabila kita bert emu lagi dan kulihat kau masih menyebar
kekacauan, aku akan membuat perhitungan denganmu. Camkan itu!"
Bonggala membuang ludah dengan sikap kasar. Tubuhnya
kemudian dibalikkan dan melangkah meninggalkan tempat itu. Pemuda


Dewa Arak 91 Sapu Jagad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermata liar itu pergi tanpa menoleh-noleh lagi.
"Hhh...!"
Setelah menghela napas berat, Arya memutar-mutar rambutnya di
atas kepala. Bunyi berdesing disertai angin yang cukup keras pun
berhembus. Padmini semakin kagum ketika merasakan totokan yang
membelenggunya punah oleh angin putaran rambut Dewa Arak. Gadis itu
buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan aliran darahnya.
Sekejapan kemudian Padmini telah berdiri tegak di tanah.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan, Dewa Arak.
Tanpa adanya kau mungkin aku hanya tinggal nama," ucap Padmini penuh
rasa terima kasih. Ditatapnya Arya tanpa menyembunyikan sorot kagum
dalam sinar matanya.
"Lupakanlah, Nona. Sudah selayaknya orang hidup tolongmenolong,"
kilah Arya sambil mengulapkan tangan. "Mengapa kau bisa
bentrok dengan pemuda tadi?"
"Bonggala maksudmu, Dewa Arak?" tanya Padmini setengah
memberi tahu nama murid Buaya Gila Bermata Tunggal itu. "Karena aku
benci dengan kelakuannya!"
Arya sebenarnya telah berada di atas pohon sebelum Bonggala dan
Padmini tiba. Pemuda itu tengah beristirahat ketika Padmini dan Bonggala
ribut mulut. Dewa Arak pun melihat jel as jalannya pertarungan muda-mudi
itu. Dari gerakan keduanya, Arya bisa t ahu kal au Bonggala dan Padmini
mempunyai ilmu golongan hitam. Serangan-s erangan mereka yang liar dan
selalu mengancam kes elamatan nyawa menjadi ciri utama ilmu golongan
hitam. Maka, pemuda ini tak meras a kaget ketika mendengar Padmini
mengenal Bonggala.
"Panggil saja aku Padmini, Dewa Arak."
"Sebaiknya kau sapa aku dengan namaku saja, Padmini. Arya
namaku," balas Arya.
Padmini tersenyum.
"Kau suka kal au kuceritakan mengapa aku bisa berkenalan dengan
pemuda ceriwis dan kurang ajar, Arya?"
"Mengapa tidak, Padmini?" sambut Arya kalem. "Tapi kurasa
sebaiknya kita bercakap-cakap sambil duduk, akan lebih nyaman."
Tanpa menunggu tanggapan Padmini, Arya menghampiri sebatang
pohon yang akarnya menyembul ke tanah. Di situ pemuda ini meletakkan
pantatnya. Padmini mengikuti tanpa banyak bicara.
"Aku kenal Bonggala karena guruku, Arya. Guru yang yang telah
lama kuanggap sebagai nenekku sendiri."
Sampai di sini Padmini menghentikan ceritanya untuk melihat
tanggapan Arya. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu tenang-tenang
saja. Arya malah menunggu kelanjutan cerita Padmini dengan sabar.
"Guruku mendapat undangan dari guru Bonggala. Guru pemuda
ceriwis itu adalah seorang datuk sesat yang amat lihai dan kejam. Wajahnya
persis sama dengan Bonggala. Julukannya adalah Buaya Gila Bermata
Satu..." "Ah...!"
Seruan kaget Dewa Arak membuat Padmini menghentikan cerita.
Ditatapnya wajah Arya penuh selidik
"Kau mengenalnya, Dewa Arak?" tanya Padmini ingin tahu. Gadis
ini lupa menyebut Arya dengan julukannya, bukan nama.
Kelana Buana 17 Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Kasih Diantara Remaja 4
^