Setan Bongkok 1
Dewa Arak 87 Setan Bongkok Bagian 1
SETAN BONGKOK oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau mcmperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode :
Setan Bongkok 128 hal. ; 12 x18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 "Siluman Harimau...! Manusia licik...! Jangan lari kau...!"
Seorang kakek berpakaian
putih berteriak-teriak
mengayunkan kaki berlari cepat.
Sosok yang disebut Siluman Harimau tampak tidak
mempedulikan teriakan itu. Bahkan, menoleh pun tidak. Dia terus berlari cepat
Kakek berpakaian putih yang bertubuh jangkung dan
bermuka pucat menggertakkan gigi. Ia geram bukan main.
Sorot matanya yang tertuju pada Siluman Harimau menyiratkan kemarahan besar. Sepasang matanya yang sipit semakin bertambah
sipit. Kakek itu meengerahkan seluruh ilmu larinya.
Tapi, usaha kakek berpakaian putih hampir tidak
berarti. Meski lari kakek ini cepat bukan main sehingga tubuhnya terlihat
sebagai kelebatan saja, jarak antara mereka tidak berubah. Siluman Harimau juga
memiliki kecepatan lari yang menakjubkan. Kedua kakinya seperti tidak menjejak tanah
karena cepatnya digerakkan
Sebentar kemudian, jarak telah terlampaui ratusan
tombak. Meski begitu, kakek berpakaian putih tetap belum bisa merubah jarak.
Kakek ini semakin geram. Beberapa kali kedua tangannya dihentakkan bergantian ke
depan. Angin luar biasa keras berhembus ke arah Siluman Harimau. Tapi, serangan
itu dengan mudah dipatahkan. Siluman Harimau melompat ke atas sehingga angin
deras itu lewat di bawah kedua kakinya.
Kakek berwajah pucat ini berseri wajahnya ketika
melihat bukit-bukit kapur terhampar di depannya. Arah yang dituju si kakek dan
Siluman Harimau memang puncak
gunung. Mereka kini tengah berlari cepat di lerengnya. Lereng Gunung Kidul!
Si kakek kembali menghentikan kedua tangannya.
Seperti yang diduganya, Siluman Harimau kembali melompat ke atas hingga pukulan
jarak jauh itu lewat di bawah kedua kakinya. Tapi, begitu Siluman Harimau
menjejakkan kaki di tanah, sesuatu yang direncanakan kakek berpakaian putih pun
terjadi. Batu-batu kapur sebesar kepala kerbau yang terkena pukulan
jarak jauh kakek berpakaian
putih meluncur ke arah Siluman Harimau dan kakek itu.
Siluman Harimau tidak menjadi gugup. Dia menggeram keras laksana seekor harimau murka. Batu-batu yang mengancamnya
berpentalan ke berbagai arah sebelum berhasil menyentuh kulit tubuhnya, seakan
di sekitar tubuh Siluman Harimau memancarkan kekuatan menolak yang luar biasa!
Kakek berpakaian putih tidak menjadi kecil hati. Dia tahu batu-batu itu tak akan
dapat melukai, apalagi sampai membunuh
Siluman Harimau. Tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Jadi, tak akan semudah itu ditaklukkan.
Tindakan tadi dilakukan si kakek hanya untuk
menghambat lari Siluman Harimau. Waktu yang hanya
sekejap itu telah membuat si kakek berhasil menyusul
lawannya. "Hendak lari ke mana lagi kau, Siluman licik"!" ejek kakek berpakaian putih.
Siluman Harimau yang juga seorang kakek, hanya
saja bertubuh tinggi besar, menatap kakek berpakaian putih yang telah berada di
depannya. Dua pasang mata saling berpandangan dengan sorot penuh tantangan.
Sikap mereka tak ubahnya dua ekor ayam jago yang hendak berlaga.
"Ha ha ha...!" Tawa bergelak dikeluarkan Siluman Harimau. Tawa yang membuat
tubuhnya berguncang-guncang. Wajahnya yang memang mirip wajah harimau,
apalagi dengan adanya dua buah taring di sudut-sudut
mulutnya, terlihat menyeramkan dan menggiriskan hati.
"Rupanya kau sudah ingin melihat alam kubur, Donggala"
Kalau belum, mumpung aku belum kehilangan kesabaran,
cepat menyingkir dari hadapanku!"
"Aku akan menyingkir apabila kau mengembaliain
kitab milik majikanku, dengan ditambah sebelah taringmu atas
kekurangajaranmu
mempermainkanku,
Siluman Harimau!" tandas Donggala, dingin.
Tawa Siluman Harimau semakin keras. Ancaman
Donggala dianggapnya lelucon. Kakek bermuka harimau ini tidak marah atau pun
tersinggung. Wataknya yang periang membuatnya tidak mudah dipengaruhi amarah.
"Kau lucu, Donggala. Ingin kulihat berapa tebal kulit wajahmu sehingga kau
begitu tak tahu malu menyebut-nyebut tua bangka yang bernasib malang itu sebagai
majikanmu! Kau yang telah diperlakukannya dengan baik malah mencelakai dan
mencuri kitabnya! Seekor anjing pun tak akan bertindak sekeji itu pada tuannya,
Donggala! Kau lebih hina dari pada seekor anjing! Kitab ini tak akan kuberikan
padamu! Sekarang kau mau apa"!"
Donggala menggertakkan gigi. Ucapan Siluman Harimau jelas-jelas merupakan tantangan. Tidak ada pilihan baginya untuk
mendapatkan kitab itu kembali kalau tidak melalui perkelahian.
"Kalau itu maumu, aku tidak punya pilihan lain! Kau yang memaksaku untuk
menjadikanmu harimau mati! Aku
tidak akan berlaku lunak lagi padamu, Siluman Harimau!
Mulai sekarang kau bukan rekanku lagi!" tandas Donggala, keras. Siluman Harimau
kembali tertawa keras. Ancaman Donggala tidak membuatnya gentar. Bahkan
tawanya berkesan melecehkan.
"Pada orang lain kau mungkin bisa mengucapkan
kata-kata palsu seperti itu, Donggala. Tapi tidak padaku!
Orang macam kau mana bisa dipercaya"! Jangankan aku
yang tidak pernah menanam budi padamu, majikanmu yang demikian baik hati padamu
saja kau balas dengan perbuatan keji!"
Hanya sampai di situ kata-kata Siluman Harimau.
Donggala dengan kemarahan yang meluap-luap telah mendorongkan kedua tangannya bergantian ke depan secara perlahan. Angin dingin
yang diiringi bau busuk menyengat berhembus ke arah Siluman Harimau.
"Ilmu 'Pukulan Racun Bunga Salju'...," desis Siluman Harimau begitu merasakan
akibat pukulan Donggala. "Rupanya kau masih ingat ilmu jelekmu itu, Donggala, kendati kau lama menjadi
budak tua bangka yang telah kau khianati itu...!"
Siluman Harimau melompat ke belakang. Ia bersalto
beberapa kali untuk menjauhi Donggala. Kedua tangannya dipukulkan bertubi-tubi
ke depan secara cepat. Seketika deru angin berhawa panas disertai bau sangit
menguak. Bunyi letupan terdengar begitu dua angin pukulan itu bertemu di udara.
Titik-titik air berjatuhan. Tanah kapur yang semula putih kekuningan langsung
berubah hitam pekat seperti terbakar ketika terkena tetesan air.
Donggala, yang seperti juga Siluman
Harimau, terhuyung-huyung ke belakang akibat benturan itu. Ia
mendengus mengejek.
'"Pukulan Seribu Macan Api'-mu masih cukup bagus, Siluman Harimau...!"
Meski kelihatan seperti memuji, Siluman Harimau
tahu kalau Donggala mengejeknya. Tapi, dia malah tertawa.
Tawa yang lebih mirip auman seekor harimau!
Donggala menyambut tawa itu dengan terjangan. Ia
mempergunakan 'Ilmu Pukulan Racun Bunga Salju' yang
menjadi andalan. Siluman Harimau menyambutinya. Pertarungan antara mereka pun tidak bisa dielakkan lagi.
Dua tokoh itu sama-sama lihai. Mereka mempunyai
ilmu yang memiliki dasar tenaga dalam berlawanan. Jalannya pertarungan
tampak seru sekali. Siluman Harimau mempunyai gerakan yang cepat dan liar serta penuh dengan penyerangan.
Sebaliknya, Donggala lebih memusatkan pada pertahanan. Gerakannya lambat tapi
penuh dengan tenaga!
Sebentar saja belasan jurus telah terlampaui. Selama
itu jalannya pertarungan belum berubah. Dua kakek itu sama-sama tangguh!
*** "Donggala...! Manusia tak kenal budi! Kau harus
mendapat hukuman
atas kekejian yang kau lakukan
terhadap Guru...!"
Seruan lantang penuh getaran kemarahan itu berkumandang. Keras dan berpengaruh hebat! Dinding-
dinding kapur sampai bergetar keras. Pertarungan antara Donggala dan Siluman
Harimau langsung terhenti. Kedua kakek itu bersamaan melompat mundur dan
mengalihkan perhatian pada si pendatang baru.
"Kiranya kau, Lesmana. Sungguh besar nyalimu
mengejarku, Bocah Bau Kencur" Pergilah cepat! Tinggalkan tempat ini! Atau, kau
ingin kujadikan seperti tua bangka dungu yang menjadi gurumu itu...!" sahut
Donggala dengan sikap meremehkan.
Pemilik seruan, Lesmana, seorang pemuda bertubuh
tegap, dan berahang kokoh, mengepalkan tinju. Sepasang matanya menatap tajam ke
arah Donggala, bak mata seekor burung elang mengincar mangsa! Tajam bukan main
dan penuh ancaman! "Kaulah yang akan kuseret ke hadapan Guru untuk
mempertanggungjawabkan
perbuatan biadabmu. Cepat serahkan Kitab Seribu Racun Tanpa Obat! Jangan tunggu sampai aku merampasnya
darimu!" "Ha ha ha...!" Siluman Hanmau tertawa bergelak.
Kakek itu kelihatan gembira sekali. "Donggala..., Donggala...
Nasibmu jelek sekali. Seorang bocah yang baru lepas dari tetek ibunya berani
mengancammu seperti itu!"
"Tutup mulutmu, Siluman Harimau!" sentak Donggala dengan wajah merah padam
menahan amarah.
"Setelah menghancurkan mulut bocah yang kurang
ajar ini, kau pun akan kubereskan!"
Wajah Lesmana berubah. Ditatapnya Siluman Harimau. Dia telah mendengar banyak tentang tokoh itu.
Seorang pentolan kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Kejam dan
memiliki ilmu racun hebat! Jantung
Lesmana berdebar tegang.
"Kau kelihatan kaget mendengar ucapanku, Bocah
Sombong"!" dengus Donggala. "Tak menyangka kau akan bertemu dengan Siluman
Harimau" Sebagai tambahan dan
untuk menghilangkan kesombonganmu, kuberitahu kalau
aku saingan terberat Siluman Harimau. Aku yakin tua
bangka gila yang dungu itu telah bercerita banyak padamu!"
"Siapa kau sebenarnya, manusia tak kenal budi..."!"
"Orang yang kau kenal selama ini sebagai Donggala tak lain dari Mayat Sejuta
Bunga, Pemuda Ingusan...!" selak Siluman Harimau sebelum Donggala memberikan
jawaban. Lesmana terjingkat ke belakang saking kagetnya.
Dengan pandangan tak percaya ditatapnya Donggala. Kakek itu hanya mendengus.
"Sekarang tidak ada gunanya lagi, Pemuda Sombong!
Meski kau merangkak-rangkak memohon ampun, aku tidak
akan memenuhinya. Kesempatan yang tadi kuberikan tidak kau gunakan. Bersiaplah
menerima kematian! Tapi, bisa jadi aku akan membiarkanmu pergi dari sini. Tentu
saja dengan satu syarat! Kau harus memaki-maki gurumu. Dengan begitu mungkin
aku akan memperbincangkan
Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk tidak membunuhmu. Mungkin hanya kedua kakimu yang kuambil.
Bagaimana"!"
"Sampai mati pun aku tidak sudi! Jangan kau kira aku takut. Apa pun yang terjadi
kau akan kubawa ke
hadapan guruku, Donggala!"
"Kalau begitu, mampuslah...!"
Donggala alias Mayat Sejuta Bunga membuka serangan dengan ilmu andalan. Lesmana tidak gentar.
Pemuda ini berteriak keras bagai garuda murka. Tangannya didorongkan ke depan.
Tidak hanya Mayat Setuju Bunga, Siluman Harimau
pun kaget melihat angin serangan Donggala terhempas balik.
Siluman Harimau sendiri tidak mampu melakukan hal itu!
Mayat Sejuta Bunga marah bukan main. Ia merasa
malu melihat hasil serangannya. Serangan yang lebih hebat pun dilancarkan. Tapi,
Lesmana memang seorang pemuda
luar biasa. Dia mampu menghadapinya dengan baik.
Setelah lima belas jurus pertarungan berlangsung,
Mayat Sejuta Bunga kehabisan kesabaran. Ilmu andalannya penuh keistimewaan.
Kekuatan tenaga dalam Lesmana
membuat serangannya membalik sebelum mendekati sasaran. Malah, beberapa kali Mayat Sejuta Bunga sendiri yang mengisap hawa
beracun dari serangannya. Tentu saja sebagai pemiliknya hal itu tidak berarti
apa-apa. Siluman Harimau kendati terkejut melihat kemampuan Lesmana, tak henti-hentinya mengeluarkan
ejekan terhadap saingannya. Hal ini membuat kemarahan Mayat Sejuta Bunga semakin
berkobar. Karena yakin Mayat Sejuta Bunga tidak akan bisa merobohkan Lesmana
dengan cepat, Siluman Harimau dengan sikap seenaknya meninggalkan tempat itu. Mayat Sejuta Bunga geram bukan main. Tapi, apa dayanya"
Lesmana tidak membiarkan dia meninggalkan kancah pertarungan.
Mayat Sejuta Bunga hanya bisa melihat sekejap
kepergian Siluman Harimau. Kecil sekali kemungkinannya kitab yang dibawa Siluman
Harimau dapat direbutnya. Itu terjadi karena kehadiran Lesmana. Maka, kepada
pemuda itu luapan amarahnya dilampiaskan!
Mayat Sejuta Bunga melempar tubuh ke belakang
menjauhi Lesmana. Pemuda itu mengejar seraya bersiap
melancarkan serangan. Mayat Sejuta Bunga yang telah
memutuskan untuk segera mengakhiri pertarungan, langsung bertindak.
Kakek berpakaian putih ini menarik napas dengan
kedua tangan dirangkapkan ke depan dada. Kemudian, cepat dihembuskannya. Wangi
bunga yang aneh menyebar dari
sekujur tubuh kakek itu. Lesmana yang tidak memperhitungkan hal ini segera menahan napas. Namun,
tindakan pemuda ini terlambat. Bau wangi itu keburu
dihisapnya. Seketika rasa pusing menyergap. Tenaganya langsung
lenyap. Tubuh Lesmana ambruk sebelum serangannya dirampungkan!
Mayat Sejuta Bunga menghembuskan napas berat.
Itulah ilmu yang membuatnya dijuluki Mayat Sejuta Bunga.
Sebuah ilmu yang hanya digunakan dalam keadaan terjepit.
Bila lawan mampu segera menangkalnya, dia yang akan
kehabisan tenaga. Ilmu itu memang banyak menguras
tenaga. Mayat Sejuta Bunga menghampiri Lesmana. Kemudian, ujarnya dengan sinis dan penuh ancaman.
"Kau akan menerima ganjaran atas perbuatanmu
yang sok pahlawan, Pemuda Sombong!"
*** "Sebenarnya untuk apakah kita ke sana, Nek"
Bukankah lebih enak tinggal di tempat kita. Berhari-hari sudah
kita melakukan perjalanan dan kau hanya menyebutkan nama tempat itu, tanpa kutahu maksud dan
kepergian kita ke sana," ucap seorang gadis cantik dengan penuh penasaran.
Sang nenek yang menjadi tumpahan kekurangsenangan gadis berpakaian
kuning itu hanya
terkekeh pelan. Dia terus saja mengayunkan kaki dengan dibantu tongkat bututnya.
Di sebelah si nenek, gadis
berpakaian kuning menunggu jawaban dengan perasaan
tidak sabar yang terlihat jelas di wajahnya.
Tingkah sang nenek yang beranting-anting sebesar
gelang dan berpakaian hitam membuat si gadis tidak sabar lagi. Ia rupanya
memiliki watak manja. Dengan mulut
meruncing, menunjukkan bibirnya yang indah dan ranum, si gadis menghentikan
langkah. "Mengapa berhenti, Cendana?" tanya si nenek pelan, sarat dengan kasih sayang. Ia
sedikit pun tidak marah melihat sikap si gadis. Si nenek berhenti melangkah.
Beberapa tindak di depan Cendana, tubuhnya dibalikkan.
"Dalam beberapa hari kita akan sampai di sana. Ayo, teruskan perjalanan."
"Tidak!" bantah Cendana dengan mulut cemberut
"Sebelum Nenek memberikan penjelasan kepadaku mengenai kepergian kita, aku tidak
akan beranjak dari sini!"
Cendana menguatkan tekadnya dengan duduk di
tanah. Kedua kakinya terjulur. Ia tak peduli tindakan itu membuat celananya
kotor. Si nenek menghela napas berat. Didekatinya Cendana.
Gadis itu berpura-pura tidak melihat. Sepasang matanya yang bening indah
dilayangkan ke sekitarnya, yang terlihat hanya batu kapur.
"Baiklah, Cendana. Aku akan memenuhi permintaanmu."
"Nah! Begitu dong, Nek. Nenek memang bijaksana.
Aku yakin Nenek akan memenuhi permintaanku!" sambut Cendana dengan gembira. Ia
bangkit berdiri dan mencium pipi si nenek
Sang nenek terkekeh pelan hingga kelihatan bagian
mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi.
"Kau memang pandai membuat orang menuruti
kehendakmu, Cendana," tegur si nenek yang ditanggapi Cendana dengan tawa.
"Dengar baik-baik," si nenek mulai dengan penjelasannya. "Kita akan pergi ke
Puncak Bukit Angsa, di balik Gunung Kidul ini, un tuk menemui seorang pendekar
besar berilmu tinggi, yang disegani belasan tahun lalu. Sayang, pendekar ini
memiliki satu cacat."
Cendana mengernyitkan kening. Dirasakan ada keluhan di dalam suara si nenek. Cendana adalah seorang gadis yang cerdik. Dia
segera dapat menduga kalau si nenek memiliki hubungan yang cukup erat dengan
sang pendekar. "Pendekar itu tak boleh melihat jidat licin," sambung si nenek dengan nada
getir. "Jidat licin, Nek" Apa itu?" tanya Cendana bingung.
Si nenek terkekeh. Geli melihat kepolosan muridnya.
"Cendana... Cendana.... Jidat licin itu, maksudnya wanita cantik."
Cendana mengangguk-anggukkan
kepala sambil membulatkan bibirnya.
"Apakah aku termasuk jidat licin, Nek?"
"Bukan saja licin, Cendana. Tapi, sangat licin!" tandas si nenek "Kau tahu,
Cendana. Kau memiliki wajah yang amat cantik. Yakin kau akan menjadi rebutan
para pemuda."
"Mereka akan terkaing-kaing pergi dariku, Nek!" sahut Cendana.
"Heh" Mengapa begitu, Cendana"!"
"Aku tak mau direbut-rebutkan. Aku kan bukan
benda atau makanan. Lagipula, aku lebih suka tinggal
bersama Nenek. Nenek kan sudah tua. Siapa lagi yang akan merawat Nenek kalau
bukan aku!"
Sang nenek terkekeh
geli. Kepalanya digoyang-
goyangkan sehingga sepasang antingnya terayun-ayun
"Percayalah, Cendana. Kau tak akan bisa mengingkari kodrat. Akan tiba masanya
kau jatuh hati pada lelaki.
Dan....?"Sudahlah, Nek. Aku jemu mendengar tentang lelaki!
Aku lebih suka kau ceritakan tentang maksud kepergian kita!"
potong Cendana yang merasa kurang senang mendengar uraian sang Nenek.
"Baiklah, Cendana." Nenek berpakaian hitam mengalah. "Tapi, camkan kata-kataku itu. Sekarang mengenai sang pendekar. Setiap kali melihat jidat licin, dia terpincuk. Pendekar
itu memang gila wanita cantik. Anehnya, entah mengapa setiap wanita selalu
mencintainya. Karena itu,
dunia persilatan menjulukinya sebagai Pendekar Penyebar Asmara. Tak terhitung sudah wanita-wanita cantik yang patah hati karena
tindakannya."
"Jahat sekali dia!" tandas Cendana, geram. "Kalau bertemu nanti, akan kuketuk
kepalanya!"
Si nenek tersenyum. Geli hatinya mendengar ancaman
Cendana. "Dia tidak jahat, Cendana. Bagi wanita-wanita yang mau hidup bersamanya, harus
rela menekan perasaan.
Beberapa di antara mereka mampu. Pendekar Penyebar
Asmara hidup bersama tiga istrinya. Mereka rela dimadu daripada kehilangan
pendekar itu."
Cendana mengepalkan tinju. Tampak jelas rasa tidak
senangnya "Lalu, untuk apa kita pergi ke sana?"
"Mempertemukanmu
dengan Pendekar Penyebar Asmara." "Untuk apa, Nek?"
"Sedikit membalas sakit hatiku, Cendana," jawab sang nenek dengan suara agak
bergetar. Sepasang mata tuanya tampak dipenuhi air.
Cendana menatap wajah si nenek penuh selidik. Ada
rasa iba di hatinya. Kendati sering membantah dan tak menuruti
ucapan si nenek, Cendana menyayanginya. Karenanya, kesedihan si nenek membuat gadis itu
Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengambil keputusan untuk memenuhi perminttannya.
"Apakah Nenek termasuk wanita yang patah hati oleh perbuatan Pendekar Mata
Bongsang itu?"
"Pendekar Mata Bongsang?" ulang si nenek. Sesaat dia lupa pada kesedihannya.
"Bukankah orang yang mudah terpincuk oleh wanita cantik disebut mata keranjang,
Nek" Dan, keranjang masih ada pertalian saudara dengan bongsang. Apa salahnya
kalau kusebut dia Pendekar Mata Bongsang?" kilah Cendana.
Sang nenek terkekeh geli. Harus diakuinya, semenjak
tinggal dengan Cendana, tak terhitung sudah tawa lepas keluar dari mulutnya.
Tingkah Cendana yang lucu dan polos membuatnya tak bisa menahan tawa. Perasaan
sedih tak pernah lama bersarang di hatinya. Cendana selalu menemukan cara yang tepat untuk mengusir kesedihannya.
2 "Tidak, Cendana." Si nenek menggeleng. "Aku tidak termasuk dalam deretan wanita-
wanita yang tertarik pada Pendekar Penyebar Asmara. Tapi harus kuakui, lelaki
itu memang amat menarik. Kalau saja belasan tahun lalu usiaku lebih muda dua
puluh tahun, mungkin aku pun akan tertarik padanya."
"Kalau demikian, mengapa nenek sakit hati padanya?"
kejar Cendana, penasaran.
"Muridku tewas akibat ulahnya. Meski bukan sepenuhnya kesalahan Pendekar Penyebar Asmara, tap dia bertanggung jawab atas
kematian muridku!" tegas di nenek sambil mengarahkan pandangan ke langit.
Seakan-akan di sana ada sesuatu yang dicarinya. Sepasang matanya kembali
berkaca-kaca. Kejadian bertahun silam itu rupanya masih membekas di hatinya.
"Bagaimana kejadiannya, Nek" Mengapa selama ini
Nenek tak pernah menceritakannya padaku" Mengenai
peristiwa itu, maupun tentang murid Nenek sebelum aku."
"Aku sengaja tidak menceritakannya, Cendana," jawab si nenek tanpa mengalihkan
pandangan. "Aku tidak ingin mengorek luka lama. Dengan tidak menceritakannya,
aku seperti lupa akan hal itu. Apalagi keberadaanmu lebih berarti dari pada
muridku yang dulu"
Si nenek kemudian menatap wajah Cendana lekat-
lekat. Dua pasang mata mereka saling bertatapan.
"Muridku yang terpikat hatinya oleh Pendekar Pe-
nyebar Asmara telah menyerahkan jiwa dan raganya pada pendekar itu. Tapi, ketika
muridku meminta Pendekar
Penyebar Asmara untuk menjadikannya sebagai istri, si pendekar itu mengajukan
syarat. Muridku tidak bisa
mengekang kebebasannya. Jadi, Pendekar Penyebar Asmara boleh memiliki istri
semaunya, asal wanita yang diingininya bersedia. Syarat Pendekar Penyebar Asmara
tidak bisa dipenuhi muridku. Pendekar Penyebar Asmara lalu meninggalkannya."
"Kejam sekali dia!" rutuk Cendana. "Apakah murid Nenek itu tidak menghalangi
kepergiannya?"
"Apa daya muridku yang memiliki ilmu seujung kuku Pendekar Penyebar Asmara"
Tanpa menemui kesulitan
pendekar itu pergi. Muridku yang ternoda dan dalam
cekaman rasa kecewa, setelah mengadu padaku, ia lalu
membunuh diri di hadapanku! Dia tidak pantas lagi hidup, katanya."
"Itu kejadian belasan tahun silam. Sekarang kau baru hendak membalas dendam,
Nek?" tanya Cendana dengan tidak senang.
"Aku tidak bermaksud melakukan pembalasan secara keras, Cendana. Kepandaian
Pendekar Penyebar Asmara
terlalu tinggi untuk kuhadapi. Tak sampai setahun setelah kematian muridku, aku
yang mencari-cari pendekar itu
berhasil menemukannya. Pertarungan antara kami terjadi.
Aku berhasil dirobohkannya. Tapi, Pendekar Penyebar
Asmara tidak membunuhku. Bahkan, dia menyatakan
penyesalan ketika mendengar dariku tentang nasib naas yang menimpa muridku," si
nenek mengakhiri kisahnya.
Suasana menjadi hening setelah nenek berpakaian
hitam menghentikan ceritanya. Kedua wanita itu tenggelam dalam alun pikiran
sendiri-sendiri.
"Pembalasan apa yang hendak kau lakukan, Nek?"
tanya Cendana memecah keheningan yang mencekik.
"Begini, Cendana. Kau memiliki wajah yang amat
cantik. Aku yakin sembilan dari sepuluh lelaki akan jatuh cinta padamu. Pendekar
Mata Bongsang itu pun akan
terpikat padamu. Kuharap kau sudi membalas sakit hatiku dengan
berpura-pura menyukainya. Kau harus mempermainkannya dan jangan sampai terpikat padanya.
Buktikan kalau ucapan yang tadi kau katakan mengenai
lelaki, benar adanya."
"Bagaimana kalau pendekar itu melakukan kekerasan padaku, Nek" Bukankah
kepandaiannya amat tinggi" Tidak akan
sulit baginya melakukan hal itu!" Cendana mengutarakan kekhawanrannya.
Si nenek tersenyum lebar dan menggelengkan kepala.
"Itu tidak akan terjadi, Cendana. Meski gemar wajah-wajah cantik, Pendekar
Penyebar Asmara tidak pernah
melakukan kekerasan untuk mendapatkan tubuh wanita
yang disukainya. Dia terlalu tinggi hati untuk melakukan hal serendah itu.
Tambahan lagi, dia merupakan tokoh golongan putih. Pantangan besar bagi seorang
pendekar melakukan hal seperti itu" Cendana membisu
"Bagaimana, Cendana?" tagih si nenek "Apakah kamu sekarang masih hendak mogok
jalan?" "Tentu saja tidak, Nek. Dengan senang hati aku akan ikut denganmu. Ceritamu
mengenai Pendekar Bermata
Bongsang itu semakin menambah besar keinginanku untuk ikut. Aku jadi ingin tahu
sampai di mana ketampanan
pendekar itu hingga membuat wanita tergila-gila kepadanya!"
Nenek berpakaian hitam tersenyum gembira bercampur geli. Lenyap sudah kesedihan yang semula
melanda hatinya, bak awan tertiup angin.
*** "Lurik...!
Kembali...!"
seru seorang gadis. Pandangannya diarahkan
ke angkasa. Di sana yang dipanggilnya berada.
Lurik yang ternyata seekor burung elang hitam
berbintik-bintik putih seakan tidak mendengar seruan itu.
Dia terus melesat ke arah puncak salah satu gunung di deretan Pegunungan Sewu.
Gadis berpakaian hijau pupus tampak cemas bukan
main. Setelah kebingungan sesaat, dia melesat mengejar ke arah yang dituju
burung itu. Tentu saja gadis yang memiliki wajah cantik dengan bentuk wajah
bulat telur harus
beberapa kali melihat ke angkasa agar tidak kehilangan jejak.
Gadis berpakaian hijau pupus ini mengejar dengan
perasaan heran. Baru kali ini Lurik tidak mempedulikan seruannya. Biasanya
binatang itu amat penurut. Malah, tidak pernah meninggalkan tempatnya bertengger
di cabang pohon dekat pondok si gadis.
"Larasati, hendak ke mana kau..."!" seru seorang lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun, berkulit hitam legam dan bergigi tonggos.
Lelaki ini tengah berada di dalam rumah. Ia keluar
karena mendengar kegaduhan di depan.
Larasati, si gadis berpakaian hijau pupus, menoleh
sebentar. "Aku hendak mengejar Lurik dulu, Ayah. Tingkahnya kelihatan aneh bukan main!"
jawab Larasati.
"Hati hati, Laras...!" seru lelaki bergigi tonggos lagi.
Kali ini tidak mendapatkan jawaban dari Larasati. Meskipun demikian, lelaki ini
tidak menjadi kecil hati. Dia yakin Larasati mendengar seruannya. Itu sudah
cukup. Larasati adalah seorang anak yang taat pada orangtuanya, terutama sekali
ayahnya. Setiap nasihat ayahnya selalu diperhatikannya baik-baik. Itulah sebabnya, kendati tidak mendapatkan jawaban,
lelaki itu tidak menjadi khawatir.
"Apa yang terjadi, Kak Tanggur?" tanya seorang wanita setengah baya ketika
lelaki bergigi tonggos melangkah ke ambang pintu, hendak masuk kembali ke dalam
rumah. "Lurik bertingkah aneh. Larasati tengah mengejarnya untuk membawanya pulang,"
jawab lelaki itu.
"Kau biarkan dia pergi, Kak?" desak wanita berpakaian abu-abu, tak puas. Sinar matanya penuh
tuntutan. "Mengapa tidak, Sakini" Larasati bukan gadis sembarangan. Dia telah memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi bahaya di
jalan. Lagi pula, tempat ini sepi. Tidak pernah dikunjungi orang. Untuk apa
dicemaskan?" bantah Tanggur, ringan.
"Kalau terjadi sesuatu padanya di tengah jalan,
bagaimana?" Si wanita yang menjadi istri Tanggur ini tampak begitu khawatir.
Tanggur menatap wajah istrinya lekat-lekat. Dia tidak menyalahkan sikap istrinya
yang terlalu mencemaskan
Larasati. "Larasati sudah dewasa. Aku yakin dia dapat menjaga diri. Dan lagi kepergiannya
tidak jauh. Ingat, Sa kini. Tak lama lagi Larasati harus terjun ke dunia
persilatan untuk mengamalkan ilmunya dan mencari pengalaman. Di samping itu,
agar mendapat jodoh yang sesuai. Apakah kau tidak ingin segera menimang cucu?"
Sakini mulai sedikit tenang. Ucapan Tanggur rupanya
masuk akalnya juga.
"Meski demikian, aku tetap khawatir, Kak Tanggur.
Larasati masih terlalu hijau, sedangkan dunia persilatan demikian kejam dan tak
kenal ampun...."
"Tenangkan hatimu, Sakini," hibur Tanggur. "Kelak apabila saatnya turun gunung
tiba, aku akan memberikan nasihat-nasihat yang amat berguna untuk bekalnya.
Berdoa saja pada Tuhan agar dia diberikan keselamatan."
Sakini sekarang benar-benar tenang. Dirasakan kebenaran semua ucapan suaminya. Dia tak membantah
ketika Tanggur mengajaknya ke dalam.
Sementara di tempat lain, Larasati harus menguras
seluruh kemampuannya agar tidak kehilangan jejak Lurik.
Burung itu tidak mengalami hambatan dalam perjalanannya.
Namun, tidak demikian halnya dengan Larasati. Lereng yang terjal dan curam
membuatnya harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Jika
tidak ingin celaka.
Begitu hampir mencapai puncak, Larasati mendengar
bunyi pekikan khas burung. Tapi tidak hanya satu,
melainkan dua! Satu di antaranya dikenal gadis itu sebagai pekikan
Lurik. Larasati semakin bersemangat untuk secepatnya tiba di puncak. Pekikan Lurik yang didengarnya adalah pekik
kemarahan! Ini berarti ada sesuatu yang
membuatnya marah.
Begitu menjejakkan kaki di puncak, Larasati menjadi
tidak senang. Di puncak yang memiliki dataran rata itu tampak Lurik tengah
berusaha untuk terbang. Ia mengepak-ngepakkan kedua sayapnya. Tapi, binatang itu
tidak mampu terbang. Lurik hanya diam di angkasa dengan kedua sayap terkepak-
kepak Di bawah, duduk tiga orang kakek yang memiliki ciri-
ciri menyeramkan. Salah satu di antaranya mirip monyet besar. Mulutnya membentuk
sedemikian rupa, mirip orang yang tengah mengisap sesuatu.
Larasati yang memiliki kecerdikan segera mengetahui
kalau bentuk mulut si kakek bukan karena dia tengah
bermain-main. Karena mulut kakek gorilla itulah Lurik tidak bisa terbang! Kakek
gorilla itu agaknya memiliki kepandaian tinggi. Setidak-adaknya dalam hal tenaga
dalam. Tapi, Larasati tidak menjadi gentar karenanya. Kekhawatiran akan nasib
Lurik membuatnya berani!
"Kakek jahat! Lepaskan burungku...!" seru Larasati.
Kemudian melompat mengirimkan tendangan bertubi-tubi ke arah dada si kakek.
Tendangan yang menimbulkan deru
Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angin keras. Kakek gorilla tersenyum dengan mempergunakan
matanya. Bentuk mulutnya diubah. Tidak untuk menyedot melainkan meniup! Kembali
Lurik mengeluarkan pekikan
nyaring. Tubuh binatang itu terhempas jauh ke atas bagai dihembus angin yang
luar biasa keras.
Des, des, desss!
Tendangan Larasati mendarat di sasaran dengan
telak, karena kakek gorilla tidak mengelakkannya sama sekali.
Tapi, kesudahannya bukan si kakek yang kesakitan. Justru Larasati yang memekik
tertahan karena kaget dan sakit.
Tubuh Larasati terpental ke belakang. Mulutnya yang
memiliki sepasang bibir indah mengeluarkan jeritan. Larasati merasakan seolah
yang ditendangnya bukan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang,
melainkan gumpalan karet yang keras dan kenyal!
"Raja Monyet, tak disangka kita menemukan alat yang dapat digunakan untuk
menguji kemampuan kita! Sekarang, kita buktikan siapa yang lebih berhak untuk
menduduki tempat pertama. Kau atau aku. Atau, Kelabang Merah!"
Kakek yang memiliki tubuh pendek bulat dan gemuk mirip bola, membuka suara.
"Benar!" sambung kakek terakhir yang dipanggil Kelabang Merah. Tokoh ini
memiliki bentuk tubuh luar biasa.
Tinggi kurus mirip bambu. Kulit tubuhnya merah seperti besi dipanaskan.
*** Larasati yang telah berhasil menjejak tanah, wajahnya
berubah hebat, begitu mendengar percakapan ketiga kakek itu. Ayahnya telah
bercerita banyak tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, baik dari golongan hitam
maupun putih. Di antara tokoh-tokoh golongan hitam, julukan Raja
Monyet yang lengkapnya Raja Monyet Bertangan Seribu,
Kelabang Merah, dan Gajah Kecil merupakan tokoh-tokoh terbesar kaum hitam!
Saking besarnya, mereka sampai malu untuk terjun ke dunia persilatan. Mereka
merasa tidak memiliki lawan yang seimbang. Ketiga tokoh ini dikenal dengan
sebutan Tiga Binatang Iblis Neraka!
Larasati tidak pernah membayangkan akan bisa
bertemu dengan pentolan-pentolan dunia hitam yang sudah menjauhkan diri dari
dunia persilatan ini. Menurut kabar, Tiga Binatang lblis Neraka lebih sibuk
menentukan siapa di antara mereka bertiga yang paling lihai. Sekitar lima belas
tahun mereka telah mengasingkan diri, dan mengadakan
pertemuan lima tahun sekali untuk menentukan pihak yang terlihai dan patut
disebut datuk sesat nomor satu.
Dari percakapan yang didengarnya, Larasati tahu
kalau dirinya akan dijadikan sasaran uji coba pertandingan tiga tokoh sesat itu.
Larasati tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, ketika dilihatnya Lurik telah
bebas dari pengaruh ilmu Raja Monyet Bertangan Seribu, Larasati
segera membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Tapi, baru beberapa kali lesatan larinya segera
dihentikan. Beberapa tombak di depannya, telah berada Tiga Binatang lblis Neraka
dalam sikap yang sama saat ditinggalkan! Mereka sibuk bercakap-cakap.
Larasati merasakan adanya ancaman bahaya. Tiga
Binatang lblis Neraka tidak mau melepaskannya pergi.
Karena itu mereka menghadangnya. Entah bagaimana hal itu terjadi, Larasati tidak
mengerti. Dia tidak melihat ketiga kakek itu berlari mendahuluinya. Tahu-tahu
mereka telah berada di depannya.
Kejadian kedua ini mengakibatkan Larasati lebih
yakin kalau Tiga Binatang Iblis Neraka benar-benar memiliki kepandaian luar
biasa tinggi. Rasanya tidak mungkin
melarikan diri dari mereka dengan cara kekerasan. Maka, Larasati memasang senyum
manis di bibir.
"Orang-orang tua gagah, berilah aku jalan. Aku
hendak pulang dan
menemui orangtuaku. Aku yakin
sekarang mereka tengah menungguku dengan hati cemas,"
ujar Larasati dengan suara lembut dan sesopan mungkin.
Kelabang Merah mendengus. Sepasang matanya yang
hampir tak ubahnya sebuah garis, menatap Larasati. Si gadis mengkirik bulu
kuduknya melihat sepasang mata yang
menyorot kehijauan itu!
"Salahmu sendiri mengapa datang ke tempat ini. Kau tidak bisa pergi sebelum
urusanmu dengan kami selesai!"
"Kalau kau memiliki kepandaian, mungkin bisa
meninggalkan tempat ini, Nona Cantik!" Gajah Kecil ikut menimpali sambil
tersenyum lebar. Kakek ini memang
terlihat aneh. Wajahnya selalu kelihatan tersenyum.
"Aku memiliki sedikit kepandaian. Tapi, apa artinya jika dibandingkan dengan
kepandaian kalian, Orang-orang Tua Gagah yang memiliki kesaktian demikian
menakjubkan!"
bantah Larasati sedikit memuji.
"Kau pandai mengambil hati, Nona," Raja Monyet Bertangan Seribu tak mau
ketinggalan. Kakek ini berbicara dengan tenang dan kelihatan penuh kesungguhan.
"Harus kami akui kalau ucapanmu itu tepat! Karena itulah, kami tidak akan
menarik keuntungan dari kelebihan yang kami miliki. Asal kau mampu bertahan dan
serangan kami sejurus saja, kau boleh meninggalkan tempat ini. Kau boleh
melakukan tindakan apa pun sesukamu, yang penting kau tidak roboh dalam sejurus.
Bagaimana?"
Larasati terdiam sejenak. Gadis ini merasa heran.
Raja Monyet Bertangan
Seribu yang memiliki ciri-ciri
mengerikan ternyata mempunyai sikap yang demikian halus.
Perkataannya sopan dan lemah lembut, seperti bukan keluar dari tokoh sesat sakti
yang mirip monyet besar itu.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" pancing Larasati untuk mengetahui kelanjutan
tindakan yang akan diambil Tiga Binatang Iblis Neraka. Terutama Raja Monyet
Bertangan Seribu yang memiliki sikap sopan dan lemah lembut itu.
"Tentu saja tidak apa-apa, Nona," jawab Raja Monyet Bertangan Seribu masih
dengan suara halus. "Hanya saja kami, terutama aku, akan memintamu memberikan
tanda mata sebagai kenang-kenangan kalau kita telah pernah
bertemu." "Boleh kutahu tanda mata itu, Kek?" desak Larasati penuh rasa ingin tahu.
"Tidak banyak dan mudah saja, Nona. Hanya dua biji matamu, dan potongan ujung
hidungmu, serta dua kakimu.
Itu saja sudah cukup."
Leher Larasati bagai tercekik. Raja Monyet Bertangan
Seribu kiranya tidak memiliki hati baik seperti ucapan-ucapannya yang sopan dan
lembut. Kakek gorila ini memiliki hati yang luar biasa keji! Apa jadinya dengan
dirinya bila tanda mata untuk kakek itu diberikan" Berdiri bulu kuduk Larasati
membayangkannya.
Larasati marah bukan main, ia merasa dirinya
dipermainkan. Tapi, kecerdikannya melarangnya untuk
mengumbar kemarahan. Hal itu hanya akan merugikan
dirinya. "Kalau begitu, aku pilih menghadapimu selama satu jurus, Kek. Tapi, apakah janji
yang kau ucapkan bisa
dipercaya" Tidakkah sia-sia apabila aku berhasil bertahan sejurus, kau akan
menjilat ludah dan mengingkari janji?"
"Kalau kau mampu bertahan, Nona Cantik," Gajah Kecil memberikan jawaban lebih
dulu. "Tidak hanya kami biarkan pergi. Tapi, kami bersedia menjadi budakmu! Ha
ha ha...!"
"Akan kuingat kata-katamu itu, Kek!!" sambut Larasati cepat dengan hati lega.
Secercah harapan bersemi di hatinya. Satu jurus tidak lama. Dia yakin akan mampu
bertahan. Larasati segera mundur dua langkah untuk mengatur
jarak. Dibentuknya kuda-kuda pertahanan yang amat kuat
"Aku sudah siap, Kek. Silakan mulai. Siapa di antara kalian
yang akan maju"!" beritahu Larasati setengah
menantang. Gadis ini sengaja tidak bertindak sebagai
penyerang, kemungkinan untuk dirobohkan lebih besar.
Dalam penyerangan, banyak bagian-bagian yang terbuka
dapat dijadikan sasaran penyerangan. Ini dapat membuatnya lebih mudah untuk
dirobohkan! Lain halnya bila dibentuk pertahanan. Semua celah yang ada tertutup!
"Kau cerdik, Nona," puji Raja Monyet Bertangan Seribu dengan mulut
menyunggingkan senyum. Hanya,
senyum yang terbentuk lebih mirip seringai karena wajah si kakek yang mengerikan
"Tapi, kecerdikan seperti itu tidak ada artinya bila ditujukan padaku."
Belum juga lenyap gema suaranya, Raja Monyet
Bertangan Seribu telah melesat ke arah Larasati dalam keadaan masih bersila!
Kakek ini tak ubahnya melayang.
Larasati yang memang sudah bersiaga sejak tadi
langsung melompat ke belakang. Raja Monyet Bertangan
Seribu tetap memburunya. Jauh lebih laju dari pada gerakan menghindar Larasati.
Begitu jarak antara mereka telah masuk
dalam jangkauan serangan, kakek gorila itu melancarkan serangan dengan kedua tangannya yang besar dan berbulu!
Larasati kelabakan, melihat tangan Raja Monyet
Hertangan Seribu seperti berjumlah banyak. Sukar untuk diketahuinya mana yang
asli dan bagian yang akan dijadikan sasaran serangan. Dengan sekenanya
digerakkan kedua
tangannya untuk membuat pertahanan!
Larasati mengeluh tertahan ketika kedua tangannya
lemas begitu dirasakan ada jari-jari tangan menyentuh sikunya. Sebelum
keterkejutannya hilang, jari-jari tangan lain telah menotok bahunya.
Tubuh Larasati langsung lemas dan ambruk ke tanah
tak ubahnya karung basah. Raja Monyet Bertangan Seribu memenuhi janjinya,
merobohkan Larasati sebelum satu jurus usai!
'"Ilmu Tangan Bayangan'-mu masih memiliki keampuhan juga, Raja Monyet," dengus Kelabang Merah bersikap merendahkan.
"Setidak-tidaknya masih lebih ampuh dari pada 'Ilmu Kelabang Terbang'-mu,
Kelabang Merah!" sahut Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Rupanya kau ingin membuktikannya sekarang juga"!" Kelabang Merah yang memiliki sikap berangasan segera melangkah maju.
Raja Monyet Bertangan Seribu tenang-tenang saja.
Kakek itu tetap diam di tempatnya. Sebaliknya, Gajah Kecil cepat-cepat
menengahi. Kakek ini dengan langkah mirip menggelinding, menyelak di antara
kedua saingannya.
"Kau jangan mau menang sendiri, Kelabang. Bukan
hanya kau dan Raja Monyet saja yang ingin memperebutkan kedudukan pertama. Aku
juga!" "Barangkali saja dia sudah tidak sabar untuk segera mencoba kedahsyatan ilmu
'Kelabang Terbang'ku!" rutuk Kelabang Merah. Suaranya agak lebih lembut
"Mungkin saja begitu," sambut Gajah Kecil. "Tapi, salah seorang dari kalian
pasti akan mendapat dua lawan.
Aku! Karena, aku tidak akan berdiam diri tanpa adanya lawan. Seperti biasanya,
kita tentukan siapa yang lebih berhak untuk bertarung lebih dulu!"
Kelabang Merah hanya mendengus. Sedangkan Kaja
Monyet Bertangan Seribu menyeringai, mempertunjukkan
gigi-geriginya yang besar-besar dan runcing.
"Usul yang bagus," puji Raja Monyet Bertangan Seribu. "Bagaimana
pelaksanaannya?"
"Tidakkah membosankan selalu begitu untuk memulai pertarungan?" dengus Kelabang
Merah. "Kau mempunyai usul yang lebih baik, Kelabang"!"
Gajah Kecil malah menantang. Kelabang Merah melotot,
marah. Tapi kemudian dia diam dengan dengus kesal
dikeluarkan dari hidungnya.
3 Seorang pemuda berpakaian ungu mengayunkan kaki
seenaknya menyusuri medan berbatu-batu kapur. Angin
yang sesekali berhembus agak keras mempermainkan
rambutnya yang tergerai putih panjang. Sebuah guci perak tersampir di punggung.
Pemuda ini tidak lain Dewa Arak.
Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan, yang memiliki nama asli Arya
Buana. Ketenangan Arya terusik ketika di kejauhan, di lereng bukit kapur, melesat tiga
titik yang semakin membesar dengan cepat. Pemuda yang selalu bertindak hati-hati
ini segera bersembunyi di balik sebatang pohon jati besar. Dari tempat ini Arya
mengintai! Tiga sosok yang berasal dari puncak itu melesat
dengan kecepatan mengagumkan. Begitu melihat dengan
jelas cara ketiga sosok itu berlari, Arya mengernyitkan kening karena kaget dan
heran. Sosok yang pertama, jangkung laksana bambu dan
berkulit merah, berlari dengan mengandalkan sepasang
kakinya yang panjang. Langkahnya lebar-lebar. Tapi terkadang sosok ini berlari dengan mempergunakan kedua tangannya. Cara ini tidak
membuat lari kakek jangkung berkurang kecepatannya. Malah, semakin bertambah
cepat! Sosok kedua bertubuh pendek gemuk dan berperut
gendut. Ia berlari tak kalah cepat dengan kakek jangkung.
Padahal, kedua kakinya pendek tak ubahnya kaki babi!
Sesekali kakek pendek ini bergulingan bak bola menggelinding. Ini membuat larinya bertambhh laju!
Sosok ketiga tak kalah aneh caranya berlari. Kakek
yang lebih mirip monyet besar daripada manusia ini lebih banyak melompat-lompat
daripada mengayunkan kaki. Cara yang dipergunakannya membuat dua kakek terdahulu
tidak bisa meninggalkannya. Mereka bertiga berlari berjajar!
Arya merasakan detak jantungnya bertambah cepat.
Dari cara mereka berlari, bisa diketahui kalau ketiga kakek ini memiliki tingkat
kepandaian yang amat tinggi.
Semakin dekat jarak tiga kakek yang bukan lain Tiga
Binatang Iblis Neraka, perasaan pemuda berambut putih keperakan ini semakin
menegang. Jika ketiga kakek itu terus berlari ke kaki gunung, keberadaannya akan
Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diketahui! Bukan tidak mungkin akan terjadi bentrokan. Arya tahu, banyak tokoh-tokoh aneh
di dunia ini yang meskipun tidak ada urusan, bisa dibuat sengketa yang berakhir
dengan pertarungan.
Kekhawatiran Dewa Arak ternyata tidak beralasan.
Beberapa puluh tombak dari tempatnya berada ketiga kakek yang seperti tengah
berlomba itu terlihat tidak akan turun lebih ke bawah. Mereka mengalihkan
perhatian pada batu-batu kapur sebesar gajah yang berjajar di lereng gunung.
Ketiga batu yang menilik letaknya telah diatur sebelumnya.
Cara tiga kakek bertindak terhadap batu-batu besar
itu kembali mengundang kekaguman di hati Dewa Arak.
Kakek jangkung menjulurkan kedua tangan. Tangannya yang memang
sudah lebih panjang dari tangan manusia umumnya, memanjang lagi. Ia dapat menjangkau batu, yang hampir lima tombak
jauhnya. Kakek pendek menggunakan cara yang lebih gila!
Batu itu ditabrak dengan gulingan tubuhnya. Tapi, tidak hancur atau terguling ke
kaki gunung. Batu itu malah
bertengger di atas kepalanya.
Kakek gorila menghentakkan kedua kakinya sehingga
membuat batu melayang ke arahnya. Diterimanya jatuhnya batu dengan menggunakan
kepala. Batu itu mendarat
dengan pelan bagai ditaruh dengan hati-hati. Dan, melekat seperti direkatkan!
Begitu mendapatkan batu, ketiga kakek ini membalikkan tubuh dan bersicepat menuju puncak. Batu
sebesar gajah berada di atas kepala masing-masing. Meski dengan beban seberat
itu, kecepatan lari mereka tidak berkurang.
Dewa Arak tercenung memperhatikan Tiga Binatang
lblis Neraka yang semakin menjauh. Benak pemuda ini
menduga-duga maksud tindakan ketiga kakek berkepandaian luar biasa itu.
Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk
mengikuti mereka. Ingin diketahuinya secara jelas maksud tindakan mereka.
Barangkali saja ada sesuatu yang tidak menyenangkan yang akan mereka lakukan.
Dengan hati-hati, karena khawatir diketahui Tiga Binatang Iblis Neraka, Dewa
Arak melesat ke arah puncak. Tak sampai puncak telah
didengarnya teriakan-teriakan
mereka. Arya sempat menangkapnya sedikit. Perlombaan tadi dimenangkan oleh Raja Monyet Bertangan
Seribu. Sedangkan Kelabang Merah dan Gajah Kecil, seri!
Begitu tiba di puncak Dewa Arak segera menyelinap
ke gundukan batu besar yang ada di situ. Pemuda berambut putih keperakan ini
memang telah mengincar tempat itu sewaktu belum mencapai puncak. Dari tempat ini
diamatinya sekitar puncak dan Tiga Binatang Iblis Neraka.
Arya menghela napas berat ketika melihat keberadaan
seorang gadis berpakaian hijau pupus. Gadis itu tergolek lemas di tanah. Gadis
yang bukan lain Larasati itu tertotok lemas. Tak jauh dari tubuh Larasati,
tergolek bangkai dua ekor burung elang. Yang satu Lurik, sedangkan yang lain
adalah burung elang yang menjadi kawan hidup Lurik. Lurik dengan nalurinya tahu
akan adanya ancaman terhadap
kawan hidupnya. Karena itu, dia pergi ke puncak Gunung Sewu ini untuk menolong.
Tapi, binatang ini pun menjadi korban pula. Dia tewas akibat tangan Raja Monyet
Bertangan Seribu yang kejam, meski selalu terlihat baik hati karena sikap dan
gerak-geriknya yang lemah lembut.
Lurik tewas, jatuh ke tanah setelah terbang beberapa
tombak. Larasati yang semula mengira binatang kesayangannya itu selamat, menangis di dalam hati. Marasa keliru kalau mengira
Raja Monyet Bertangan Seribu akan melepaskan burungnya. Jangankan hanya seekor
burung, nyawa manusia pun bagi kakek ini tak ubahnya nyawa
nyamuk! *** "Sekarang kalian berdua yang harus bertarung untuk
menjadi lawanku," ujar Raja Monyet Bertangan Seribu sambil menatap kedua
saingannya bergantian. "Seperti yang telah disetujui bersama, pertarungan tenaga
dalam yang akan kalian lakukan. Dalam ilmu lari cepat dan meringankan tubuh,
kalian berimbang. Sekarang, buktikan kalau salah satu di antara kalian pantas
untuk melawan aku!"
Kelabang Merah mendengus. Suatu kebiasaan buruk
yang telah menjadi ciri khasnya. Dengan kasar dia membuka percakapan
"Biar aku yang mulai lebih dulu...!"
Kelabang Merah kemudian membuat sepasang ta-
ngannya bertambah panjang. Kali ini yang menjadi sasaran adalah tubuh Larasati.
Tangan-tangan Kelabang Merah yang memiliki jari-jari panjang dan berkuku hitam
mencekal kedua pinggang Larasati.
Larasati yang bisa bersuara, memekik pelan. Kaget
dan geli karena pinggangnya dicekal. Pekikannya berganti dengan makian ketika
jari-jari tangan Kelabang Merah
dengan liarnya meremas-remas dua bukit kembar di
dadanya. "Rupanya kau pandai memanfaatkan kesempatan,
Kelabang! Atau, kau masih ragu-ragu untuk mulai menentukan keunggulanku"!" ejek Gajah Kecil.
Gajah Kecil mengeluarkan perkataan seperti itu
bukan karena ingin menolong Larasati dari rasa malu. Sama sekali tidak! Malah,
kakek ini suka melihat Larasati merasa malu dan menderita. Tapi, yang lebih
penting baginya
sekarang adalah menentukan siapa yang lebih unggul agar segera bisa bertarung
dengan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Kelabang Merah mendengus. Dengan sorot mata
geram dilemparkan tubuh Larasati ke arah Gajah Kecil. Tak lupa, dibebaskan dulu
totokan yang membuat gadis itu tak bisa bergerak. Kelabang Merah sengaja
melakukan hal itu untuk membuat Gajah Kecil agak repot!
Maksud Kelabang Merah ternyata tidak berhasil.
Gajah Kecil tanpa menemui kesulitan menangkap tubuh
Larasati dan melemparkannya lagi ke arah Kelabang Merah.
Kelabang Merah menangkap dan membalas melempar!
Larasati yang menjadi korban permainan ini memaki-
maki tak henti. Apalagi ketika beberapa kali bukit kembar di dadanya tercekal
tangan Kelabang Merah maupun Gajah
Kecil! Dia mencoba untuk meronta, bahkan mengirimkan
serangan begitu tubuhnya terlontar. Tapi, dengan mudah dipatahkan dan tubuhnya
diterima kemudian dilontarkan kembali.
Menginjak puluhan kali lemparan, tubuh Larasati
lebih sering tertutup pada Gajah Kecil! Baru selesai melempar dia telah menerima
kembali. Ini menandakan Gajah Kecil masih kalah kuat tenaga disbanding
saingannya, Kelabang Merah!
Napas Gajah Kecil mulai memburu. Dahinya yang
lebar telah basah oleh keringat. Semakin lama deru napasnya semakin memburu
dengan cepat. Ketika kembali tubuh
Larasati meluncur ke arahnya, Gajah Kecil mengibaskan tangan. Tubuh Larasati pun
melayang. Ke tanah.
"Bagus! Kau telah mengaku kalah, Gajah!" ujar Raja Monyet Bertangan Seribu,
gembira. "Sudah sejak tadi tanganku gatal-gatal!"
"Rupanya kau ingin meraih kemenangan dengan
memanfaatkan di saat aku masih lelah!" Kelabang Merah menukas dengan suara agak
memburu. Pertandingan dengan Gajah Kecil cukup membuatnya lelah.
"Tenangkan hatimu, Kelabang," timpal Raja Monyet Bertangan Seribu, halus.
"Tanganku gatal-gatal bukan untuk bertarung denganmu. Tapi, untuk memberikan
hajaran pada orang yang berani mengintai pertemuan kita!"
Raja Monyet Bertangan Seribu lalu mengeluarkan
sepasang kecer yang berada di punggungnya. Di persembunyiannya,
Dewa Arak bersikap waspada. Didengarnya Raja Monyet Bertangan Seribu telah mengetahui adanya orang yang
mengintai pertemuan mereka. Meski
demikian, pemuda berambut putih keperakan ini tidak mau keluar dari
persembunyian. Bukan tidak mungkin pengintai yang dimaksud adalah orang lain.
Kendati ada dugaan demikian, Arya tidak berani
bersikap ceroboh. Sekujur urat-urat sarafnya menegang penuh kewaspadaan. Ia
bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diharapkan.
Arya berusaha sedapat mungkin untuk tidak me-
ngeluarkan bunyi sekecil apa pun. Dia berdiam di tempatnya.
Di lain pihak, Kelabang Merah dan Gajah Kecil memusatkan pendengaran untuk
mengetahui pengintai yang dimaksud
Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Pengintip Hina, keluarlah kau...!"
Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan kecernya satu sama lain dengan keras. Anehnya, tidak
terdengar bunyi sedikit pun. Memang terdengar bunyi keras menggelegar. Tapi,
berasal dari gundukan batu tempat Arya bersembunyi yang hancur berkeping-keping.
Dewa Arak melemparkan tubuh ke belakang sakting
kagetnya. Kejadian ini sungguh di luar perkiraannya. Hanya berkat
kesiapsiagaannya dia berhasil melompat ke belakang untuk menghindari serangan
itu. Sungguh pun demikian, pecahan batu yang menyebar
ke berbagai arah, beberapa di antaranya mengenai tubuhnya.
Berkat tenaga dalam yang dimiliki tidak sedikit pun luka yang diderita Dewa
Arak. Malah, batu-batu itu yang
berpentalan begitu mengenai tubuhnya.
Raja Monyet Bertangan Seribu tersenyum ketika Arya
berhasil menjejak tanah secara mantap. Kakek ini tidak kelihatan kesal atau
marah melihat kegagalan terangannya.
Bahkan, dia gembira karena menemukan seorang lawan yang dianggapnya cukup
tangguh. "Kau hebat, Anak Muda. Aku jadi ingin melemaskan otot-ototku yang kaku," ujar
Raja Monyet Bertangan Seribu seraya menyimpan kecernya dan melangkah mendekati
Arya. "Huh! Hebat apanya"!" rutuk Kelabang Merah, tak senang. "Tokoh rendahan pun
tidak akan menemui kesulitan mengelakkan serangan itu!"
Gerutuan Kelabang Merah tidak ada yang menanggapi. Dewa Arak lebih memusatkan perhatiannya
pada kakek gorila. Lawan di hadapannya ini tangguh bukan main! Tahunya Raja
Monyet Bertangan Seribu akan tempat persembunyiannya telah menjadi bukti
ketinggian tingkat kepandaiannya.
Kali ini dia tidak bisa bermain-main. Ada Larasati
yang harus segera menolongnya. Bertindak ayal-ayalan bisa merenggut nyawa gadis
itu. Maka, di luar kebiasaannya, Dewa Arak melancarkan serangan lebih dulu.
Pemuda berpakaian ungu ini mengirimkan pukulan
bertubi-tubi ke arah dada Raja Monyet Bertangan Seribu.
Pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi berkesiutan
nyaring.Raja Monyet Bertangan Seribu sampai mengunjukkan giginya
yang tidak enak dilihat saking gembiranya mengetahui kedahsyatan serangan Dewa Arak. Penyakit
lamanya, gemar untuk bertarung dengan lawan tangguh,
muncul kembali. Tanpa ragu-ragu lagi dipapakinya serangan Arya.
Duk, duk, dukkk!
Bunyi keras seperti logam-logam beradu terdengar
ketika dua pasang tangan berbenturan. Tubuh Raja Monyet Bertangan
Seribu terhuyung selangkah ke belakang, sedangkan Dewa Arak terpental ke udara.
Dewa Arak memang sudah memperhitungkan
kejadian ini. Lontaran tubuhnya dipergunakan
untuk melampaui kepala Raja Monyet Bertangan Seribu. Ia terus ke belakang dan melesat
ke arah di mana tubuh Larasati
tergolek. Kelabang Merah dan Gajah Kecil yang menyaksikan
jalannya pertarungan tidak tinggal diam. Meski tidak
menduga hal ini akan terjadi, kedua kakek ini mampu
bertindak cepat. Mereka langsung bergerak menghadang.
Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gajah Kecil mampu mendahului Kelabang Merah di dalam
menghadang Dewa Arak!
Arya tidak menjadi kelabakan. Dia sudah memperhitungkan semuanya. Begitu dilihatnya tubuh Gajah Kecil meluruk ke arahnya
dengan gedoran kedua tangan, segera dihentakkan kedua tangannya. Dewa Arak
langsung menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' yang dahsyat!
Gajah Kecil mengeluarkan keluhan tertahan. Disadari
kalau sebelum serangannya mendarat di sasaran, serangan Dewa Arak akan lebih
dulu menghantamnya. Dia sedikit pun tidak menyangka Dewa Arak dalam waktu yang
demikian singkat mampu mengirimkan serangan jarak jauh yang
sangat dahsyat!
Gajah Kecil segera membanting tubuh dan bergulingan di tanah untuk menyelamatkan diri. Sedangkan Dewa Arak langsung
menjejakkan kaki di tanah. Dilanjutkan dengan bergulingan ke depan, melewati
kolong kedua kaki Kelabang Merah!
Kelabang Merah menjejakkan kaki untuk menghancurkan tubuh Dewa Arak. Tapi, pemuda itu telah lebih dulu meletik bangkit
sehingga tanah kapur amblas sedalam
betis Kelabang Merah. Arya sendiri segera menyambar tubuh
Larasati dan melarikannya secepat
mungkin menuruni puncak.
Rentetan kejadian yang dilakukan Dewa Arak itu
berlangsung demikian cepat dan singkat. Kendati demikian, tidak cukup untuk
lolos dari sergapan
Raja Monyet Bertangan Seribu. Kakek gorilla ini membalikkan tubuh dan mengirimkan pukulan
jarak jauh dengan dorongan tangan kanan!
Dewa Arak mendengar deru bahaya mengancam di
belakangnya. Tanpa menghentikan lari, disampokkan tangan kirinya yang bebas
untuk memapak serangan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Blarrr! Puncak gunung itu bergetar hebat ketika dua pukulan
jarak jauh yang memiliki kekuatan dahsyat bertemu di udara.
Akibatnya, tubuh Dewa Arak terpental ke depan. Padahal saat itu ia tengah berada
di udara. Keseimbangannya kurang terkuasai. Kakinya menabrak gundukan batu. Dewa
Arak pun terjungkal membawa Larasati di pondongannya.
Gulingan Aji Wisa Dahana 1 Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur Jago Kelana 4
SETAN BONGKOK oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau mcmperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode :
Setan Bongkok 128 hal. ; 12 x18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 "Siluman Harimau...! Manusia licik...! Jangan lari kau...!"
Seorang kakek berpakaian
putih berteriak-teriak
mengayunkan kaki berlari cepat.
Sosok yang disebut Siluman Harimau tampak tidak
mempedulikan teriakan itu. Bahkan, menoleh pun tidak. Dia terus berlari cepat
Kakek berpakaian putih yang bertubuh jangkung dan
bermuka pucat menggertakkan gigi. Ia geram bukan main.
Sorot matanya yang tertuju pada Siluman Harimau menyiratkan kemarahan besar. Sepasang matanya yang sipit semakin bertambah
sipit. Kakek itu meengerahkan seluruh ilmu larinya.
Tapi, usaha kakek berpakaian putih hampir tidak
berarti. Meski lari kakek ini cepat bukan main sehingga tubuhnya terlihat
sebagai kelebatan saja, jarak antara mereka tidak berubah. Siluman Harimau juga
memiliki kecepatan lari yang menakjubkan. Kedua kakinya seperti tidak menjejak tanah
karena cepatnya digerakkan
Sebentar kemudian, jarak telah terlampaui ratusan
tombak. Meski begitu, kakek berpakaian putih tetap belum bisa merubah jarak.
Kakek ini semakin geram. Beberapa kali kedua tangannya dihentakkan bergantian ke
depan. Angin luar biasa keras berhembus ke arah Siluman Harimau. Tapi, serangan
itu dengan mudah dipatahkan. Siluman Harimau melompat ke atas sehingga angin
deras itu lewat di bawah kedua kakinya.
Kakek berwajah pucat ini berseri wajahnya ketika
melihat bukit-bukit kapur terhampar di depannya. Arah yang dituju si kakek dan
Siluman Harimau memang puncak
gunung. Mereka kini tengah berlari cepat di lerengnya. Lereng Gunung Kidul!
Si kakek kembali menghentikan kedua tangannya.
Seperti yang diduganya, Siluman Harimau kembali melompat ke atas hingga pukulan
jarak jauh itu lewat di bawah kedua kakinya. Tapi, begitu Siluman Harimau
menjejakkan kaki di tanah, sesuatu yang direncanakan kakek berpakaian putih pun
terjadi. Batu-batu kapur sebesar kepala kerbau yang terkena pukulan
jarak jauh kakek berpakaian
putih meluncur ke arah Siluman Harimau dan kakek itu.
Siluman Harimau tidak menjadi gugup. Dia menggeram keras laksana seekor harimau murka. Batu-batu yang mengancamnya
berpentalan ke berbagai arah sebelum berhasil menyentuh kulit tubuhnya, seakan
di sekitar tubuh Siluman Harimau memancarkan kekuatan menolak yang luar biasa!
Kakek berpakaian putih tidak menjadi kecil hati. Dia tahu batu-batu itu tak akan
dapat melukai, apalagi sampai membunuh
Siluman Harimau. Tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Jadi, tak akan semudah itu ditaklukkan.
Tindakan tadi dilakukan si kakek hanya untuk
menghambat lari Siluman Harimau. Waktu yang hanya
sekejap itu telah membuat si kakek berhasil menyusul
lawannya. "Hendak lari ke mana lagi kau, Siluman licik"!" ejek kakek berpakaian putih.
Siluman Harimau yang juga seorang kakek, hanya
saja bertubuh tinggi besar, menatap kakek berpakaian putih yang telah berada di
depannya. Dua pasang mata saling berpandangan dengan sorot penuh tantangan.
Sikap mereka tak ubahnya dua ekor ayam jago yang hendak berlaga.
"Ha ha ha...!" Tawa bergelak dikeluarkan Siluman Harimau. Tawa yang membuat
tubuhnya berguncang-guncang. Wajahnya yang memang mirip wajah harimau,
apalagi dengan adanya dua buah taring di sudut-sudut
mulutnya, terlihat menyeramkan dan menggiriskan hati.
"Rupanya kau sudah ingin melihat alam kubur, Donggala"
Kalau belum, mumpung aku belum kehilangan kesabaran,
cepat menyingkir dari hadapanku!"
"Aku akan menyingkir apabila kau mengembaliain
kitab milik majikanku, dengan ditambah sebelah taringmu atas
kekurangajaranmu
mempermainkanku,
Siluman Harimau!" tandas Donggala, dingin.
Tawa Siluman Harimau semakin keras. Ancaman
Donggala dianggapnya lelucon. Kakek bermuka harimau ini tidak marah atau pun
tersinggung. Wataknya yang periang membuatnya tidak mudah dipengaruhi amarah.
"Kau lucu, Donggala. Ingin kulihat berapa tebal kulit wajahmu sehingga kau
begitu tak tahu malu menyebut-nyebut tua bangka yang bernasib malang itu sebagai
majikanmu! Kau yang telah diperlakukannya dengan baik malah mencelakai dan
mencuri kitabnya! Seekor anjing pun tak akan bertindak sekeji itu pada tuannya,
Donggala! Kau lebih hina dari pada seekor anjing! Kitab ini tak akan kuberikan
padamu! Sekarang kau mau apa"!"
Donggala menggertakkan gigi. Ucapan Siluman Harimau jelas-jelas merupakan tantangan. Tidak ada pilihan baginya untuk
mendapatkan kitab itu kembali kalau tidak melalui perkelahian.
"Kalau itu maumu, aku tidak punya pilihan lain! Kau yang memaksaku untuk
menjadikanmu harimau mati! Aku
tidak akan berlaku lunak lagi padamu, Siluman Harimau!
Mulai sekarang kau bukan rekanku lagi!" tandas Donggala, keras. Siluman Harimau
kembali tertawa keras. Ancaman Donggala tidak membuatnya gentar. Bahkan
tawanya berkesan melecehkan.
"Pada orang lain kau mungkin bisa mengucapkan
kata-kata palsu seperti itu, Donggala. Tapi tidak padaku!
Orang macam kau mana bisa dipercaya"! Jangankan aku
yang tidak pernah menanam budi padamu, majikanmu yang demikian baik hati padamu
saja kau balas dengan perbuatan keji!"
Hanya sampai di situ kata-kata Siluman Harimau.
Donggala dengan kemarahan yang meluap-luap telah mendorongkan kedua tangannya bergantian ke depan secara perlahan. Angin dingin
yang diiringi bau busuk menyengat berhembus ke arah Siluman Harimau.
"Ilmu 'Pukulan Racun Bunga Salju'...," desis Siluman Harimau begitu merasakan
akibat pukulan Donggala. "Rupanya kau masih ingat ilmu jelekmu itu, Donggala, kendati kau lama menjadi
budak tua bangka yang telah kau khianati itu...!"
Siluman Harimau melompat ke belakang. Ia bersalto
beberapa kali untuk menjauhi Donggala. Kedua tangannya dipukulkan bertubi-tubi
ke depan secara cepat. Seketika deru angin berhawa panas disertai bau sangit
menguak. Bunyi letupan terdengar begitu dua angin pukulan itu bertemu di udara.
Titik-titik air berjatuhan. Tanah kapur yang semula putih kekuningan langsung
berubah hitam pekat seperti terbakar ketika terkena tetesan air.
Donggala, yang seperti juga Siluman
Harimau, terhuyung-huyung ke belakang akibat benturan itu. Ia
mendengus mengejek.
'"Pukulan Seribu Macan Api'-mu masih cukup bagus, Siluman Harimau...!"
Meski kelihatan seperti memuji, Siluman Harimau
tahu kalau Donggala mengejeknya. Tapi, dia malah tertawa.
Tawa yang lebih mirip auman seekor harimau!
Donggala menyambut tawa itu dengan terjangan. Ia
mempergunakan 'Ilmu Pukulan Racun Bunga Salju' yang
menjadi andalan. Siluman Harimau menyambutinya. Pertarungan antara mereka pun tidak bisa dielakkan lagi.
Dua tokoh itu sama-sama lihai. Mereka mempunyai
ilmu yang memiliki dasar tenaga dalam berlawanan. Jalannya pertarungan
tampak seru sekali. Siluman Harimau mempunyai gerakan yang cepat dan liar serta penuh dengan penyerangan.
Sebaliknya, Donggala lebih memusatkan pada pertahanan. Gerakannya lambat tapi
penuh dengan tenaga!
Sebentar saja belasan jurus telah terlampaui. Selama
itu jalannya pertarungan belum berubah. Dua kakek itu sama-sama tangguh!
*** "Donggala...! Manusia tak kenal budi! Kau harus
mendapat hukuman
atas kekejian yang kau lakukan
terhadap Guru...!"
Seruan lantang penuh getaran kemarahan itu berkumandang. Keras dan berpengaruh hebat! Dinding-
dinding kapur sampai bergetar keras. Pertarungan antara Donggala dan Siluman
Harimau langsung terhenti. Kedua kakek itu bersamaan melompat mundur dan
mengalihkan perhatian pada si pendatang baru.
"Kiranya kau, Lesmana. Sungguh besar nyalimu
mengejarku, Bocah Bau Kencur" Pergilah cepat! Tinggalkan tempat ini! Atau, kau
ingin kujadikan seperti tua bangka dungu yang menjadi gurumu itu...!" sahut
Donggala dengan sikap meremehkan.
Pemilik seruan, Lesmana, seorang pemuda bertubuh
tegap, dan berahang kokoh, mengepalkan tinju. Sepasang matanya menatap tajam ke
arah Donggala, bak mata seekor burung elang mengincar mangsa! Tajam bukan main
dan penuh ancaman! "Kaulah yang akan kuseret ke hadapan Guru untuk
mempertanggungjawabkan
perbuatan biadabmu. Cepat serahkan Kitab Seribu Racun Tanpa Obat! Jangan tunggu sampai aku merampasnya
darimu!" "Ha ha ha...!" Siluman Hanmau tertawa bergelak.
Kakek itu kelihatan gembira sekali. "Donggala..., Donggala...
Nasibmu jelek sekali. Seorang bocah yang baru lepas dari tetek ibunya berani
mengancammu seperti itu!"
"Tutup mulutmu, Siluman Harimau!" sentak Donggala dengan wajah merah padam
menahan amarah.
"Setelah menghancurkan mulut bocah yang kurang
ajar ini, kau pun akan kubereskan!"
Wajah Lesmana berubah. Ditatapnya Siluman Harimau. Dia telah mendengar banyak tentang tokoh itu.
Seorang pentolan kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Kejam dan
memiliki ilmu racun hebat! Jantung
Lesmana berdebar tegang.
"Kau kelihatan kaget mendengar ucapanku, Bocah
Sombong"!" dengus Donggala. "Tak menyangka kau akan bertemu dengan Siluman
Harimau" Sebagai tambahan dan
untuk menghilangkan kesombonganmu, kuberitahu kalau
aku saingan terberat Siluman Harimau. Aku yakin tua
bangka gila yang dungu itu telah bercerita banyak padamu!"
"Siapa kau sebenarnya, manusia tak kenal budi..."!"
"Orang yang kau kenal selama ini sebagai Donggala tak lain dari Mayat Sejuta
Bunga, Pemuda Ingusan...!" selak Siluman Harimau sebelum Donggala memberikan
jawaban. Lesmana terjingkat ke belakang saking kagetnya.
Dengan pandangan tak percaya ditatapnya Donggala. Kakek itu hanya mendengus.
"Sekarang tidak ada gunanya lagi, Pemuda Sombong!
Meski kau merangkak-rangkak memohon ampun, aku tidak
akan memenuhinya. Kesempatan yang tadi kuberikan tidak kau gunakan. Bersiaplah
menerima kematian! Tapi, bisa jadi aku akan membiarkanmu pergi dari sini. Tentu
saja dengan satu syarat! Kau harus memaki-maki gurumu. Dengan begitu mungkin
aku akan memperbincangkan
Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk tidak membunuhmu. Mungkin hanya kedua kakimu yang kuambil.
Bagaimana"!"
"Sampai mati pun aku tidak sudi! Jangan kau kira aku takut. Apa pun yang terjadi
kau akan kubawa ke
hadapan guruku, Donggala!"
"Kalau begitu, mampuslah...!"
Donggala alias Mayat Sejuta Bunga membuka serangan dengan ilmu andalan. Lesmana tidak gentar.
Pemuda ini berteriak keras bagai garuda murka. Tangannya didorongkan ke depan.
Tidak hanya Mayat Setuju Bunga, Siluman Harimau
pun kaget melihat angin serangan Donggala terhempas balik.
Siluman Harimau sendiri tidak mampu melakukan hal itu!
Mayat Sejuta Bunga marah bukan main. Ia merasa
malu melihat hasil serangannya. Serangan yang lebih hebat pun dilancarkan. Tapi,
Lesmana memang seorang pemuda
luar biasa. Dia mampu menghadapinya dengan baik.
Setelah lima belas jurus pertarungan berlangsung,
Mayat Sejuta Bunga kehabisan kesabaran. Ilmu andalannya penuh keistimewaan.
Kekuatan tenaga dalam Lesmana
membuat serangannya membalik sebelum mendekati sasaran. Malah, beberapa kali Mayat Sejuta Bunga sendiri yang mengisap hawa
beracun dari serangannya. Tentu saja sebagai pemiliknya hal itu tidak berarti
apa-apa. Siluman Harimau kendati terkejut melihat kemampuan Lesmana, tak henti-hentinya mengeluarkan
ejekan terhadap saingannya. Hal ini membuat kemarahan Mayat Sejuta Bunga semakin
berkobar. Karena yakin Mayat Sejuta Bunga tidak akan bisa merobohkan Lesmana
dengan cepat, Siluman Harimau dengan sikap seenaknya meninggalkan tempat itu. Mayat Sejuta Bunga geram bukan main. Tapi, apa dayanya"
Lesmana tidak membiarkan dia meninggalkan kancah pertarungan.
Mayat Sejuta Bunga hanya bisa melihat sekejap
kepergian Siluman Harimau. Kecil sekali kemungkinannya kitab yang dibawa Siluman
Harimau dapat direbutnya. Itu terjadi karena kehadiran Lesmana. Maka, kepada
pemuda itu luapan amarahnya dilampiaskan!
Mayat Sejuta Bunga melempar tubuh ke belakang
menjauhi Lesmana. Pemuda itu mengejar seraya bersiap
melancarkan serangan. Mayat Sejuta Bunga yang telah
memutuskan untuk segera mengakhiri pertarungan, langsung bertindak.
Kakek berpakaian putih ini menarik napas dengan
kedua tangan dirangkapkan ke depan dada. Kemudian, cepat dihembuskannya. Wangi
bunga yang aneh menyebar dari
sekujur tubuh kakek itu. Lesmana yang tidak memperhitungkan hal ini segera menahan napas. Namun,
tindakan pemuda ini terlambat. Bau wangi itu keburu
dihisapnya. Seketika rasa pusing menyergap. Tenaganya langsung
lenyap. Tubuh Lesmana ambruk sebelum serangannya dirampungkan!
Mayat Sejuta Bunga menghembuskan napas berat.
Itulah ilmu yang membuatnya dijuluki Mayat Sejuta Bunga.
Sebuah ilmu yang hanya digunakan dalam keadaan terjepit.
Bila lawan mampu segera menangkalnya, dia yang akan
kehabisan tenaga. Ilmu itu memang banyak menguras
tenaga. Mayat Sejuta Bunga menghampiri Lesmana. Kemudian, ujarnya dengan sinis dan penuh ancaman.
"Kau akan menerima ganjaran atas perbuatanmu
yang sok pahlawan, Pemuda Sombong!"
*** "Sebenarnya untuk apakah kita ke sana, Nek"
Bukankah lebih enak tinggal di tempat kita. Berhari-hari sudah
kita melakukan perjalanan dan kau hanya menyebutkan nama tempat itu, tanpa kutahu maksud dan
kepergian kita ke sana," ucap seorang gadis cantik dengan penuh penasaran.
Sang nenek yang menjadi tumpahan kekurangsenangan gadis berpakaian
kuning itu hanya
terkekeh pelan. Dia terus saja mengayunkan kaki dengan dibantu tongkat bututnya.
Di sebelah si nenek, gadis
berpakaian kuning menunggu jawaban dengan perasaan
tidak sabar yang terlihat jelas di wajahnya.
Tingkah sang nenek yang beranting-anting sebesar
gelang dan berpakaian hitam membuat si gadis tidak sabar lagi. Ia rupanya
memiliki watak manja. Dengan mulut
meruncing, menunjukkan bibirnya yang indah dan ranum, si gadis menghentikan
langkah. "Mengapa berhenti, Cendana?" tanya si nenek pelan, sarat dengan kasih sayang. Ia
sedikit pun tidak marah melihat sikap si gadis. Si nenek berhenti melangkah.
Beberapa tindak di depan Cendana, tubuhnya dibalikkan.
"Dalam beberapa hari kita akan sampai di sana. Ayo, teruskan perjalanan."
"Tidak!" bantah Cendana dengan mulut cemberut
"Sebelum Nenek memberikan penjelasan kepadaku mengenai kepergian kita, aku tidak
akan beranjak dari sini!"
Cendana menguatkan tekadnya dengan duduk di
tanah. Kedua kakinya terjulur. Ia tak peduli tindakan itu membuat celananya
kotor. Si nenek menghela napas berat. Didekatinya Cendana.
Gadis itu berpura-pura tidak melihat. Sepasang matanya yang bening indah
dilayangkan ke sekitarnya, yang terlihat hanya batu kapur.
"Baiklah, Cendana. Aku akan memenuhi permintaanmu."
"Nah! Begitu dong, Nek. Nenek memang bijaksana.
Aku yakin Nenek akan memenuhi permintaanku!" sambut Cendana dengan gembira. Ia
bangkit berdiri dan mencium pipi si nenek
Sang nenek terkekeh pelan hingga kelihatan bagian
mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi.
"Kau memang pandai membuat orang menuruti
kehendakmu, Cendana," tegur si nenek yang ditanggapi Cendana dengan tawa.
"Dengar baik-baik," si nenek mulai dengan penjelasannya. "Kita akan pergi ke
Puncak Bukit Angsa, di balik Gunung Kidul ini, un tuk menemui seorang pendekar
besar berilmu tinggi, yang disegani belasan tahun lalu. Sayang, pendekar ini
memiliki satu cacat."
Cendana mengernyitkan kening. Dirasakan ada keluhan di dalam suara si nenek. Cendana adalah seorang gadis yang cerdik. Dia
segera dapat menduga kalau si nenek memiliki hubungan yang cukup erat dengan
sang pendekar. "Pendekar itu tak boleh melihat jidat licin," sambung si nenek dengan nada
getir. "Jidat licin, Nek" Apa itu?" tanya Cendana bingung.
Si nenek terkekeh. Geli melihat kepolosan muridnya.
"Cendana... Cendana.... Jidat licin itu, maksudnya wanita cantik."
Cendana mengangguk-anggukkan
kepala sambil membulatkan bibirnya.
"Apakah aku termasuk jidat licin, Nek?"
"Bukan saja licin, Cendana. Tapi, sangat licin!" tandas si nenek "Kau tahu,
Cendana. Kau memiliki wajah yang amat cantik. Yakin kau akan menjadi rebutan
para pemuda."
"Mereka akan terkaing-kaing pergi dariku, Nek!" sahut Cendana.
"Heh" Mengapa begitu, Cendana"!"
"Aku tak mau direbut-rebutkan. Aku kan bukan
benda atau makanan. Lagipula, aku lebih suka tinggal
bersama Nenek. Nenek kan sudah tua. Siapa lagi yang akan merawat Nenek kalau
bukan aku!"
Sang nenek terkekeh
geli. Kepalanya digoyang-
goyangkan sehingga sepasang antingnya terayun-ayun
"Percayalah, Cendana. Kau tak akan bisa mengingkari kodrat. Akan tiba masanya
kau jatuh hati pada lelaki.
Dan....?"Sudahlah, Nek. Aku jemu mendengar tentang lelaki!
Aku lebih suka kau ceritakan tentang maksud kepergian kita!"
potong Cendana yang merasa kurang senang mendengar uraian sang Nenek.
"Baiklah, Cendana." Nenek berpakaian hitam mengalah. "Tapi, camkan kata-kataku itu. Sekarang mengenai sang pendekar. Setiap kali melihat jidat licin, dia terpincuk. Pendekar
itu memang gila wanita cantik. Anehnya, entah mengapa setiap wanita selalu
mencintainya. Karena itu,
dunia persilatan menjulukinya sebagai Pendekar Penyebar Asmara. Tak terhitung sudah wanita-wanita cantik yang patah hati karena
tindakannya."
"Jahat sekali dia!" tandas Cendana, geram. "Kalau bertemu nanti, akan kuketuk
kepalanya!"
Si nenek tersenyum. Geli hatinya mendengar ancaman
Cendana. "Dia tidak jahat, Cendana. Bagi wanita-wanita yang mau hidup bersamanya, harus
rela menekan perasaan.
Beberapa di antara mereka mampu. Pendekar Penyebar
Asmara hidup bersama tiga istrinya. Mereka rela dimadu daripada kehilangan
pendekar itu."
Cendana mengepalkan tinju. Tampak jelas rasa tidak
senangnya "Lalu, untuk apa kita pergi ke sana?"
"Mempertemukanmu
dengan Pendekar Penyebar Asmara." "Untuk apa, Nek?"
"Sedikit membalas sakit hatiku, Cendana," jawab sang nenek dengan suara agak
bergetar. Sepasang mata tuanya tampak dipenuhi air.
Cendana menatap wajah si nenek penuh selidik. Ada
rasa iba di hatinya. Kendati sering membantah dan tak menuruti
ucapan si nenek, Cendana menyayanginya. Karenanya, kesedihan si nenek membuat gadis itu
Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengambil keputusan untuk memenuhi perminttannya.
"Apakah Nenek termasuk wanita yang patah hati oleh perbuatan Pendekar Mata
Bongsang itu?"
"Pendekar Mata Bongsang?" ulang si nenek. Sesaat dia lupa pada kesedihannya.
"Bukankah orang yang mudah terpincuk oleh wanita cantik disebut mata keranjang,
Nek" Dan, keranjang masih ada pertalian saudara dengan bongsang. Apa salahnya
kalau kusebut dia Pendekar Mata Bongsang?" kilah Cendana.
Sang nenek terkekeh geli. Harus diakuinya, semenjak
tinggal dengan Cendana, tak terhitung sudah tawa lepas keluar dari mulutnya.
Tingkah Cendana yang lucu dan polos membuatnya tak bisa menahan tawa. Perasaan
sedih tak pernah lama bersarang di hatinya. Cendana selalu menemukan cara yang tepat untuk mengusir kesedihannya.
2 "Tidak, Cendana." Si nenek menggeleng. "Aku tidak termasuk dalam deretan wanita-
wanita yang tertarik pada Pendekar Penyebar Asmara. Tapi harus kuakui, lelaki
itu memang amat menarik. Kalau saja belasan tahun lalu usiaku lebih muda dua
puluh tahun, mungkin aku pun akan tertarik padanya."
"Kalau demikian, mengapa nenek sakit hati padanya?"
kejar Cendana, penasaran.
"Muridku tewas akibat ulahnya. Meski bukan sepenuhnya kesalahan Pendekar Penyebar Asmara, tap dia bertanggung jawab atas
kematian muridku!" tegas di nenek sambil mengarahkan pandangan ke langit.
Seakan-akan di sana ada sesuatu yang dicarinya. Sepasang matanya kembali
berkaca-kaca. Kejadian bertahun silam itu rupanya masih membekas di hatinya.
"Bagaimana kejadiannya, Nek" Mengapa selama ini
Nenek tak pernah menceritakannya padaku" Mengenai
peristiwa itu, maupun tentang murid Nenek sebelum aku."
"Aku sengaja tidak menceritakannya, Cendana," jawab si nenek tanpa mengalihkan
pandangan. "Aku tidak ingin mengorek luka lama. Dengan tidak menceritakannya,
aku seperti lupa akan hal itu. Apalagi keberadaanmu lebih berarti dari pada
muridku yang dulu"
Si nenek kemudian menatap wajah Cendana lekat-
lekat. Dua pasang mata mereka saling bertatapan.
"Muridku yang terpikat hatinya oleh Pendekar Pe-
nyebar Asmara telah menyerahkan jiwa dan raganya pada pendekar itu. Tapi, ketika
muridku meminta Pendekar
Penyebar Asmara untuk menjadikannya sebagai istri, si pendekar itu mengajukan
syarat. Muridku tidak bisa
mengekang kebebasannya. Jadi, Pendekar Penyebar Asmara boleh memiliki istri
semaunya, asal wanita yang diingininya bersedia. Syarat Pendekar Penyebar Asmara
tidak bisa dipenuhi muridku. Pendekar Penyebar Asmara lalu meninggalkannya."
"Kejam sekali dia!" rutuk Cendana. "Apakah murid Nenek itu tidak menghalangi
kepergiannya?"
"Apa daya muridku yang memiliki ilmu seujung kuku Pendekar Penyebar Asmara"
Tanpa menemui kesulitan
pendekar itu pergi. Muridku yang ternoda dan dalam
cekaman rasa kecewa, setelah mengadu padaku, ia lalu
membunuh diri di hadapanku! Dia tidak pantas lagi hidup, katanya."
"Itu kejadian belasan tahun silam. Sekarang kau baru hendak membalas dendam,
Nek?" tanya Cendana dengan tidak senang.
"Aku tidak bermaksud melakukan pembalasan secara keras, Cendana. Kepandaian
Pendekar Penyebar Asmara
terlalu tinggi untuk kuhadapi. Tak sampai setahun setelah kematian muridku, aku
yang mencari-cari pendekar itu
berhasil menemukannya. Pertarungan antara kami terjadi.
Aku berhasil dirobohkannya. Tapi, Pendekar Penyebar
Asmara tidak membunuhku. Bahkan, dia menyatakan
penyesalan ketika mendengar dariku tentang nasib naas yang menimpa muridku," si
nenek mengakhiri kisahnya.
Suasana menjadi hening setelah nenek berpakaian
hitam menghentikan ceritanya. Kedua wanita itu tenggelam dalam alun pikiran
sendiri-sendiri.
"Pembalasan apa yang hendak kau lakukan, Nek?"
tanya Cendana memecah keheningan yang mencekik.
"Begini, Cendana. Kau memiliki wajah yang amat
cantik. Aku yakin sembilan dari sepuluh lelaki akan jatuh cinta padamu. Pendekar
Mata Bongsang itu pun akan
terpikat padamu. Kuharap kau sudi membalas sakit hatiku dengan
berpura-pura menyukainya. Kau harus mempermainkannya dan jangan sampai terpikat padanya.
Buktikan kalau ucapan yang tadi kau katakan mengenai
lelaki, benar adanya."
"Bagaimana kalau pendekar itu melakukan kekerasan padaku, Nek" Bukankah
kepandaiannya amat tinggi" Tidak akan
sulit baginya melakukan hal itu!" Cendana mengutarakan kekhawanrannya.
Si nenek tersenyum lebar dan menggelengkan kepala.
"Itu tidak akan terjadi, Cendana. Meski gemar wajah-wajah cantik, Pendekar
Penyebar Asmara tidak pernah
melakukan kekerasan untuk mendapatkan tubuh wanita
yang disukainya. Dia terlalu tinggi hati untuk melakukan hal serendah itu.
Tambahan lagi, dia merupakan tokoh golongan putih. Pantangan besar bagi seorang
pendekar melakukan hal seperti itu" Cendana membisu
"Bagaimana, Cendana?" tagih si nenek "Apakah kamu sekarang masih hendak mogok
jalan?" "Tentu saja tidak, Nek. Dengan senang hati aku akan ikut denganmu. Ceritamu
mengenai Pendekar Bermata
Bongsang itu semakin menambah besar keinginanku untuk ikut. Aku jadi ingin tahu
sampai di mana ketampanan
pendekar itu hingga membuat wanita tergila-gila kepadanya!"
Nenek berpakaian hitam tersenyum gembira bercampur geli. Lenyap sudah kesedihan yang semula
melanda hatinya, bak awan tertiup angin.
*** "Lurik...!
Kembali...!"
seru seorang gadis. Pandangannya diarahkan
ke angkasa. Di sana yang dipanggilnya berada.
Lurik yang ternyata seekor burung elang hitam
berbintik-bintik putih seakan tidak mendengar seruan itu.
Dia terus melesat ke arah puncak salah satu gunung di deretan Pegunungan Sewu.
Gadis berpakaian hijau pupus tampak cemas bukan
main. Setelah kebingungan sesaat, dia melesat mengejar ke arah yang dituju
burung itu. Tentu saja gadis yang memiliki wajah cantik dengan bentuk wajah
bulat telur harus
beberapa kali melihat ke angkasa agar tidak kehilangan jejak.
Gadis berpakaian hijau pupus ini mengejar dengan
perasaan heran. Baru kali ini Lurik tidak mempedulikan seruannya. Biasanya
binatang itu amat penurut. Malah, tidak pernah meninggalkan tempatnya bertengger
di cabang pohon dekat pondok si gadis.
"Larasati, hendak ke mana kau..."!" seru seorang lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun, berkulit hitam legam dan bergigi tonggos.
Lelaki ini tengah berada di dalam rumah. Ia keluar
karena mendengar kegaduhan di depan.
Larasati, si gadis berpakaian hijau pupus, menoleh
sebentar. "Aku hendak mengejar Lurik dulu, Ayah. Tingkahnya kelihatan aneh bukan main!"
jawab Larasati.
"Hati hati, Laras...!" seru lelaki bergigi tonggos lagi.
Kali ini tidak mendapatkan jawaban dari Larasati. Meskipun demikian, lelaki ini
tidak menjadi kecil hati. Dia yakin Larasati mendengar seruannya. Itu sudah
cukup. Larasati adalah seorang anak yang taat pada orangtuanya, terutama sekali
ayahnya. Setiap nasihat ayahnya selalu diperhatikannya baik-baik. Itulah sebabnya, kendati tidak mendapatkan jawaban,
lelaki itu tidak menjadi khawatir.
"Apa yang terjadi, Kak Tanggur?" tanya seorang wanita setengah baya ketika
lelaki bergigi tonggos melangkah ke ambang pintu, hendak masuk kembali ke dalam
rumah. "Lurik bertingkah aneh. Larasati tengah mengejarnya untuk membawanya pulang,"
jawab lelaki itu.
"Kau biarkan dia pergi, Kak?" desak wanita berpakaian abu-abu, tak puas. Sinar matanya penuh
tuntutan. "Mengapa tidak, Sakini" Larasati bukan gadis sembarangan. Dia telah memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi bahaya di
jalan. Lagi pula, tempat ini sepi. Tidak pernah dikunjungi orang. Untuk apa
dicemaskan?" bantah Tanggur, ringan.
"Kalau terjadi sesuatu padanya di tengah jalan,
bagaimana?" Si wanita yang menjadi istri Tanggur ini tampak begitu khawatir.
Tanggur menatap wajah istrinya lekat-lekat. Dia tidak menyalahkan sikap istrinya
yang terlalu mencemaskan
Larasati. "Larasati sudah dewasa. Aku yakin dia dapat menjaga diri. Dan lagi kepergiannya
tidak jauh. Ingat, Sa kini. Tak lama lagi Larasati harus terjun ke dunia
persilatan untuk mengamalkan ilmunya dan mencari pengalaman. Di samping itu,
agar mendapat jodoh yang sesuai. Apakah kau tidak ingin segera menimang cucu?"
Sakini mulai sedikit tenang. Ucapan Tanggur rupanya
masuk akalnya juga.
"Meski demikian, aku tetap khawatir, Kak Tanggur.
Larasati masih terlalu hijau, sedangkan dunia persilatan demikian kejam dan tak
kenal ampun...."
"Tenangkan hatimu, Sakini," hibur Tanggur. "Kelak apabila saatnya turun gunung
tiba, aku akan memberikan nasihat-nasihat yang amat berguna untuk bekalnya.
Berdoa saja pada Tuhan agar dia diberikan keselamatan."
Sakini sekarang benar-benar tenang. Dirasakan kebenaran semua ucapan suaminya. Dia tak membantah
ketika Tanggur mengajaknya ke dalam.
Sementara di tempat lain, Larasati harus menguras
seluruh kemampuannya agar tidak kehilangan jejak Lurik.
Burung itu tidak mengalami hambatan dalam perjalanannya.
Namun, tidak demikian halnya dengan Larasati. Lereng yang terjal dan curam
membuatnya harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Jika
tidak ingin celaka.
Begitu hampir mencapai puncak, Larasati mendengar
bunyi pekikan khas burung. Tapi tidak hanya satu,
melainkan dua! Satu di antaranya dikenal gadis itu sebagai pekikan
Lurik. Larasati semakin bersemangat untuk secepatnya tiba di puncak. Pekikan Lurik yang didengarnya adalah pekik
kemarahan! Ini berarti ada sesuatu yang
membuatnya marah.
Begitu menjejakkan kaki di puncak, Larasati menjadi
tidak senang. Di puncak yang memiliki dataran rata itu tampak Lurik tengah
berusaha untuk terbang. Ia mengepak-ngepakkan kedua sayapnya. Tapi, binatang itu
tidak mampu terbang. Lurik hanya diam di angkasa dengan kedua sayap terkepak-
kepak Di bawah, duduk tiga orang kakek yang memiliki ciri-
ciri menyeramkan. Salah satu di antaranya mirip monyet besar. Mulutnya membentuk
sedemikian rupa, mirip orang yang tengah mengisap sesuatu.
Larasati yang memiliki kecerdikan segera mengetahui
kalau bentuk mulut si kakek bukan karena dia tengah
bermain-main. Karena mulut kakek gorilla itulah Lurik tidak bisa terbang! Kakek
gorilla itu agaknya memiliki kepandaian tinggi. Setidak-adaknya dalam hal tenaga
dalam. Tapi, Larasati tidak menjadi gentar karenanya. Kekhawatiran akan nasib
Lurik membuatnya berani!
"Kakek jahat! Lepaskan burungku...!" seru Larasati.
Kemudian melompat mengirimkan tendangan bertubi-tubi ke arah dada si kakek.
Tendangan yang menimbulkan deru
Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angin keras. Kakek gorilla tersenyum dengan mempergunakan
matanya. Bentuk mulutnya diubah. Tidak untuk menyedot melainkan meniup! Kembali
Lurik mengeluarkan pekikan
nyaring. Tubuh binatang itu terhempas jauh ke atas bagai dihembus angin yang
luar biasa keras.
Des, des, desss!
Tendangan Larasati mendarat di sasaran dengan
telak, karena kakek gorilla tidak mengelakkannya sama sekali.
Tapi, kesudahannya bukan si kakek yang kesakitan. Justru Larasati yang memekik
tertahan karena kaget dan sakit.
Tubuh Larasati terpental ke belakang. Mulutnya yang
memiliki sepasang bibir indah mengeluarkan jeritan. Larasati merasakan seolah
yang ditendangnya bukan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang,
melainkan gumpalan karet yang keras dan kenyal!
"Raja Monyet, tak disangka kita menemukan alat yang dapat digunakan untuk
menguji kemampuan kita! Sekarang, kita buktikan siapa yang lebih berhak untuk
menduduki tempat pertama. Kau atau aku. Atau, Kelabang Merah!"
Kakek yang memiliki tubuh pendek bulat dan gemuk mirip bola, membuka suara.
"Benar!" sambung kakek terakhir yang dipanggil Kelabang Merah. Tokoh ini
memiliki bentuk tubuh luar biasa.
Tinggi kurus mirip bambu. Kulit tubuhnya merah seperti besi dipanaskan.
*** Larasati yang telah berhasil menjejak tanah, wajahnya
berubah hebat, begitu mendengar percakapan ketiga kakek itu. Ayahnya telah
bercerita banyak tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, baik dari golongan hitam
maupun putih. Di antara tokoh-tokoh golongan hitam, julukan Raja
Monyet yang lengkapnya Raja Monyet Bertangan Seribu,
Kelabang Merah, dan Gajah Kecil merupakan tokoh-tokoh terbesar kaum hitam!
Saking besarnya, mereka sampai malu untuk terjun ke dunia persilatan. Mereka
merasa tidak memiliki lawan yang seimbang. Ketiga tokoh ini dikenal dengan
sebutan Tiga Binatang Iblis Neraka!
Larasati tidak pernah membayangkan akan bisa
bertemu dengan pentolan-pentolan dunia hitam yang sudah menjauhkan diri dari
dunia persilatan ini. Menurut kabar, Tiga Binatang lblis Neraka lebih sibuk
menentukan siapa di antara mereka bertiga yang paling lihai. Sekitar lima belas
tahun mereka telah mengasingkan diri, dan mengadakan
pertemuan lima tahun sekali untuk menentukan pihak yang terlihai dan patut
disebut datuk sesat nomor satu.
Dari percakapan yang didengarnya, Larasati tahu
kalau dirinya akan dijadikan sasaran uji coba pertandingan tiga tokoh sesat itu.
Larasati tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, ketika dilihatnya Lurik telah
bebas dari pengaruh ilmu Raja Monyet Bertangan Seribu, Larasati
segera membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Tapi, baru beberapa kali lesatan larinya segera
dihentikan. Beberapa tombak di depannya, telah berada Tiga Binatang lblis Neraka
dalam sikap yang sama saat ditinggalkan! Mereka sibuk bercakap-cakap.
Larasati merasakan adanya ancaman bahaya. Tiga
Binatang lblis Neraka tidak mau melepaskannya pergi.
Karena itu mereka menghadangnya. Entah bagaimana hal itu terjadi, Larasati tidak
mengerti. Dia tidak melihat ketiga kakek itu berlari mendahuluinya. Tahu-tahu
mereka telah berada di depannya.
Kejadian kedua ini mengakibatkan Larasati lebih
yakin kalau Tiga Binatang Iblis Neraka benar-benar memiliki kepandaian luar
biasa tinggi. Rasanya tidak mungkin
melarikan diri dari mereka dengan cara kekerasan. Maka, Larasati memasang senyum
manis di bibir.
"Orang-orang tua gagah, berilah aku jalan. Aku
hendak pulang dan
menemui orangtuaku. Aku yakin
sekarang mereka tengah menungguku dengan hati cemas,"
ujar Larasati dengan suara lembut dan sesopan mungkin.
Kelabang Merah mendengus. Sepasang matanya yang
hampir tak ubahnya sebuah garis, menatap Larasati. Si gadis mengkirik bulu
kuduknya melihat sepasang mata yang
menyorot kehijauan itu!
"Salahmu sendiri mengapa datang ke tempat ini. Kau tidak bisa pergi sebelum
urusanmu dengan kami selesai!"
"Kalau kau memiliki kepandaian, mungkin bisa
meninggalkan tempat ini, Nona Cantik!" Gajah Kecil ikut menimpali sambil
tersenyum lebar. Kakek ini memang
terlihat aneh. Wajahnya selalu kelihatan tersenyum.
"Aku memiliki sedikit kepandaian. Tapi, apa artinya jika dibandingkan dengan
kepandaian kalian, Orang-orang Tua Gagah yang memiliki kesaktian demikian
menakjubkan!"
bantah Larasati sedikit memuji.
"Kau pandai mengambil hati, Nona," Raja Monyet Bertangan Seribu tak mau
ketinggalan. Kakek ini berbicara dengan tenang dan kelihatan penuh kesungguhan.
"Harus kami akui kalau ucapanmu itu tepat! Karena itulah, kami tidak akan
menarik keuntungan dari kelebihan yang kami miliki. Asal kau mampu bertahan dan
serangan kami sejurus saja, kau boleh meninggalkan tempat ini. Kau boleh
melakukan tindakan apa pun sesukamu, yang penting kau tidak roboh dalam sejurus.
Bagaimana?"
Larasati terdiam sejenak. Gadis ini merasa heran.
Raja Monyet Bertangan
Seribu yang memiliki ciri-ciri
mengerikan ternyata mempunyai sikap yang demikian halus.
Perkataannya sopan dan lemah lembut, seperti bukan keluar dari tokoh sesat sakti
yang mirip monyet besar itu.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" pancing Larasati untuk mengetahui kelanjutan
tindakan yang akan diambil Tiga Binatang Iblis Neraka. Terutama Raja Monyet
Bertangan Seribu yang memiliki sikap sopan dan lemah lembut itu.
"Tentu saja tidak apa-apa, Nona," jawab Raja Monyet Bertangan Seribu masih
dengan suara halus. "Hanya saja kami, terutama aku, akan memintamu memberikan
tanda mata sebagai kenang-kenangan kalau kita telah pernah
bertemu." "Boleh kutahu tanda mata itu, Kek?" desak Larasati penuh rasa ingin tahu.
"Tidak banyak dan mudah saja, Nona. Hanya dua biji matamu, dan potongan ujung
hidungmu, serta dua kakimu.
Itu saja sudah cukup."
Leher Larasati bagai tercekik. Raja Monyet Bertangan
Seribu kiranya tidak memiliki hati baik seperti ucapan-ucapannya yang sopan dan
lembut. Kakek gorila ini memiliki hati yang luar biasa keji! Apa jadinya dengan
dirinya bila tanda mata untuk kakek itu diberikan" Berdiri bulu kuduk Larasati
membayangkannya.
Larasati marah bukan main, ia merasa dirinya
dipermainkan. Tapi, kecerdikannya melarangnya untuk
mengumbar kemarahan. Hal itu hanya akan merugikan
dirinya. "Kalau begitu, aku pilih menghadapimu selama satu jurus, Kek. Tapi, apakah janji
yang kau ucapkan bisa
dipercaya" Tidakkah sia-sia apabila aku berhasil bertahan sejurus, kau akan
menjilat ludah dan mengingkari janji?"
"Kalau kau mampu bertahan, Nona Cantik," Gajah Kecil memberikan jawaban lebih
dulu. "Tidak hanya kami biarkan pergi. Tapi, kami bersedia menjadi budakmu! Ha
ha ha...!"
"Akan kuingat kata-katamu itu, Kek!!" sambut Larasati cepat dengan hati lega.
Secercah harapan bersemi di hatinya. Satu jurus tidak lama. Dia yakin akan mampu
bertahan. Larasati segera mundur dua langkah untuk mengatur
jarak. Dibentuknya kuda-kuda pertahanan yang amat kuat
"Aku sudah siap, Kek. Silakan mulai. Siapa di antara kalian
yang akan maju"!" beritahu Larasati setengah
menantang. Gadis ini sengaja tidak bertindak sebagai
penyerang, kemungkinan untuk dirobohkan lebih besar.
Dalam penyerangan, banyak bagian-bagian yang terbuka
dapat dijadikan sasaran penyerangan. Ini dapat membuatnya lebih mudah untuk
dirobohkan! Lain halnya bila dibentuk pertahanan. Semua celah yang ada tertutup!
"Kau cerdik, Nona," puji Raja Monyet Bertangan Seribu dengan mulut
menyunggingkan senyum. Hanya,
senyum yang terbentuk lebih mirip seringai karena wajah si kakek yang mengerikan
"Tapi, kecerdikan seperti itu tidak ada artinya bila ditujukan padaku."
Belum juga lenyap gema suaranya, Raja Monyet
Bertangan Seribu telah melesat ke arah Larasati dalam keadaan masih bersila!
Kakek ini tak ubahnya melayang.
Larasati yang memang sudah bersiaga sejak tadi
langsung melompat ke belakang. Raja Monyet Bertangan
Seribu tetap memburunya. Jauh lebih laju dari pada gerakan menghindar Larasati.
Begitu jarak antara mereka telah masuk
dalam jangkauan serangan, kakek gorila itu melancarkan serangan dengan kedua tangannya yang besar dan berbulu!
Larasati kelabakan, melihat tangan Raja Monyet
Hertangan Seribu seperti berjumlah banyak. Sukar untuk diketahuinya mana yang
asli dan bagian yang akan dijadikan sasaran serangan. Dengan sekenanya
digerakkan kedua
tangannya untuk membuat pertahanan!
Larasati mengeluh tertahan ketika kedua tangannya
lemas begitu dirasakan ada jari-jari tangan menyentuh sikunya. Sebelum
keterkejutannya hilang, jari-jari tangan lain telah menotok bahunya.
Tubuh Larasati langsung lemas dan ambruk ke tanah
tak ubahnya karung basah. Raja Monyet Bertangan Seribu memenuhi janjinya,
merobohkan Larasati sebelum satu jurus usai!
'"Ilmu Tangan Bayangan'-mu masih memiliki keampuhan juga, Raja Monyet," dengus Kelabang Merah bersikap merendahkan.
"Setidak-tidaknya masih lebih ampuh dari pada 'Ilmu Kelabang Terbang'-mu,
Kelabang Merah!" sahut Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Rupanya kau ingin membuktikannya sekarang juga"!" Kelabang Merah yang memiliki sikap berangasan segera melangkah maju.
Raja Monyet Bertangan Seribu tenang-tenang saja.
Kakek itu tetap diam di tempatnya. Sebaliknya, Gajah Kecil cepat-cepat
menengahi. Kakek ini dengan langkah mirip menggelinding, menyelak di antara
kedua saingannya.
"Kau jangan mau menang sendiri, Kelabang. Bukan
hanya kau dan Raja Monyet saja yang ingin memperebutkan kedudukan pertama. Aku
juga!" "Barangkali saja dia sudah tidak sabar untuk segera mencoba kedahsyatan ilmu
'Kelabang Terbang'ku!" rutuk Kelabang Merah. Suaranya agak lebih lembut
"Mungkin saja begitu," sambut Gajah Kecil. "Tapi, salah seorang dari kalian
pasti akan mendapat dua lawan.
Aku! Karena, aku tidak akan berdiam diri tanpa adanya lawan. Seperti biasanya,
kita tentukan siapa yang lebih berhak untuk bertarung lebih dulu!"
Kelabang Merah hanya mendengus. Sedangkan Kaja
Monyet Bertangan Seribu menyeringai, mempertunjukkan
gigi-geriginya yang besar-besar dan runcing.
"Usul yang bagus," puji Raja Monyet Bertangan Seribu. "Bagaimana
pelaksanaannya?"
"Tidakkah membosankan selalu begitu untuk memulai pertarungan?" dengus Kelabang
Merah. "Kau mempunyai usul yang lebih baik, Kelabang"!"
Gajah Kecil malah menantang. Kelabang Merah melotot,
marah. Tapi kemudian dia diam dengan dengus kesal
dikeluarkan dari hidungnya.
3 Seorang pemuda berpakaian ungu mengayunkan kaki
seenaknya menyusuri medan berbatu-batu kapur. Angin
yang sesekali berhembus agak keras mempermainkan
rambutnya yang tergerai putih panjang. Sebuah guci perak tersampir di punggung.
Pemuda ini tidak lain Dewa Arak.
Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan, yang memiliki nama asli Arya
Buana. Ketenangan Arya terusik ketika di kejauhan, di lereng bukit kapur, melesat tiga
titik yang semakin membesar dengan cepat. Pemuda yang selalu bertindak hati-hati
ini segera bersembunyi di balik sebatang pohon jati besar. Dari tempat ini Arya
mengintai! Tiga sosok yang berasal dari puncak itu melesat
dengan kecepatan mengagumkan. Begitu melihat dengan
jelas cara ketiga sosok itu berlari, Arya mengernyitkan kening karena kaget dan
heran. Sosok yang pertama, jangkung laksana bambu dan
berkulit merah, berlari dengan mengandalkan sepasang
kakinya yang panjang. Langkahnya lebar-lebar. Tapi terkadang sosok ini berlari dengan mempergunakan kedua tangannya. Cara ini tidak
membuat lari kakek jangkung berkurang kecepatannya. Malah, semakin bertambah
cepat! Sosok kedua bertubuh pendek gemuk dan berperut
gendut. Ia berlari tak kalah cepat dengan kakek jangkung.
Padahal, kedua kakinya pendek tak ubahnya kaki babi!
Sesekali kakek pendek ini bergulingan bak bola menggelinding. Ini membuat larinya bertambhh laju!
Sosok ketiga tak kalah aneh caranya berlari. Kakek
yang lebih mirip monyet besar daripada manusia ini lebih banyak melompat-lompat
daripada mengayunkan kaki. Cara yang dipergunakannya membuat dua kakek terdahulu
tidak bisa meninggalkannya. Mereka bertiga berlari berjajar!
Arya merasakan detak jantungnya bertambah cepat.
Dari cara mereka berlari, bisa diketahui kalau ketiga kakek ini memiliki tingkat
kepandaian yang amat tinggi.
Semakin dekat jarak tiga kakek yang bukan lain Tiga
Binatang Iblis Neraka, perasaan pemuda berambut putih keperakan ini semakin
menegang. Jika ketiga kakek itu terus berlari ke kaki gunung, keberadaannya akan
Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diketahui! Bukan tidak mungkin akan terjadi bentrokan. Arya tahu, banyak tokoh-tokoh aneh
di dunia ini yang meskipun tidak ada urusan, bisa dibuat sengketa yang berakhir
dengan pertarungan.
Kekhawatiran Dewa Arak ternyata tidak beralasan.
Beberapa puluh tombak dari tempatnya berada ketiga kakek yang seperti tengah
berlomba itu terlihat tidak akan turun lebih ke bawah. Mereka mengalihkan
perhatian pada batu-batu kapur sebesar gajah yang berjajar di lereng gunung.
Ketiga batu yang menilik letaknya telah diatur sebelumnya.
Cara tiga kakek bertindak terhadap batu-batu besar
itu kembali mengundang kekaguman di hati Dewa Arak.
Kakek jangkung menjulurkan kedua tangan. Tangannya yang memang
sudah lebih panjang dari tangan manusia umumnya, memanjang lagi. Ia dapat menjangkau batu, yang hampir lima tombak
jauhnya. Kakek pendek menggunakan cara yang lebih gila!
Batu itu ditabrak dengan gulingan tubuhnya. Tapi, tidak hancur atau terguling ke
kaki gunung. Batu itu malah
bertengger di atas kepalanya.
Kakek gorila menghentakkan kedua kakinya sehingga
membuat batu melayang ke arahnya. Diterimanya jatuhnya batu dengan menggunakan
kepala. Batu itu mendarat
dengan pelan bagai ditaruh dengan hati-hati. Dan, melekat seperti direkatkan!
Begitu mendapatkan batu, ketiga kakek ini membalikkan tubuh dan bersicepat menuju puncak. Batu
sebesar gajah berada di atas kepala masing-masing. Meski dengan beban seberat
itu, kecepatan lari mereka tidak berkurang.
Dewa Arak tercenung memperhatikan Tiga Binatang
lblis Neraka yang semakin menjauh. Benak pemuda ini
menduga-duga maksud tindakan ketiga kakek berkepandaian luar biasa itu.
Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk
mengikuti mereka. Ingin diketahuinya secara jelas maksud tindakan mereka.
Barangkali saja ada sesuatu yang tidak menyenangkan yang akan mereka lakukan.
Dengan hati-hati, karena khawatir diketahui Tiga Binatang Iblis Neraka, Dewa
Arak melesat ke arah puncak. Tak sampai puncak telah
didengarnya teriakan-teriakan
mereka. Arya sempat menangkapnya sedikit. Perlombaan tadi dimenangkan oleh Raja Monyet Bertangan
Seribu. Sedangkan Kelabang Merah dan Gajah Kecil, seri!
Begitu tiba di puncak Dewa Arak segera menyelinap
ke gundukan batu besar yang ada di situ. Pemuda berambut putih keperakan ini
memang telah mengincar tempat itu sewaktu belum mencapai puncak. Dari tempat ini
diamatinya sekitar puncak dan Tiga Binatang Iblis Neraka.
Arya menghela napas berat ketika melihat keberadaan
seorang gadis berpakaian hijau pupus. Gadis itu tergolek lemas di tanah. Gadis
yang bukan lain Larasati itu tertotok lemas. Tak jauh dari tubuh Larasati,
tergolek bangkai dua ekor burung elang. Yang satu Lurik, sedangkan yang lain
adalah burung elang yang menjadi kawan hidup Lurik. Lurik dengan nalurinya tahu
akan adanya ancaman terhadap
kawan hidupnya. Karena itu, dia pergi ke puncak Gunung Sewu ini untuk menolong.
Tapi, binatang ini pun menjadi korban pula. Dia tewas akibat tangan Raja Monyet
Bertangan Seribu yang kejam, meski selalu terlihat baik hati karena sikap dan
gerak-geriknya yang lemah lembut.
Lurik tewas, jatuh ke tanah setelah terbang beberapa
tombak. Larasati yang semula mengira binatang kesayangannya itu selamat, menangis di dalam hati. Marasa keliru kalau mengira
Raja Monyet Bertangan Seribu akan melepaskan burungnya. Jangankan hanya seekor
burung, nyawa manusia pun bagi kakek ini tak ubahnya nyawa
nyamuk! *** "Sekarang kalian berdua yang harus bertarung untuk
menjadi lawanku," ujar Raja Monyet Bertangan Seribu sambil menatap kedua
saingannya bergantian. "Seperti yang telah disetujui bersama, pertarungan tenaga
dalam yang akan kalian lakukan. Dalam ilmu lari cepat dan meringankan tubuh,
kalian berimbang. Sekarang, buktikan kalau salah satu di antara kalian pantas
untuk melawan aku!"
Kelabang Merah mendengus. Suatu kebiasaan buruk
yang telah menjadi ciri khasnya. Dengan kasar dia membuka percakapan
"Biar aku yang mulai lebih dulu...!"
Kelabang Merah kemudian membuat sepasang ta-
ngannya bertambah panjang. Kali ini yang menjadi sasaran adalah tubuh Larasati.
Tangan-tangan Kelabang Merah yang memiliki jari-jari panjang dan berkuku hitam
mencekal kedua pinggang Larasati.
Larasati yang bisa bersuara, memekik pelan. Kaget
dan geli karena pinggangnya dicekal. Pekikannya berganti dengan makian ketika
jari-jari tangan Kelabang Merah
dengan liarnya meremas-remas dua bukit kembar di
dadanya. "Rupanya kau pandai memanfaatkan kesempatan,
Kelabang! Atau, kau masih ragu-ragu untuk mulai menentukan keunggulanku"!" ejek Gajah Kecil.
Gajah Kecil mengeluarkan perkataan seperti itu
bukan karena ingin menolong Larasati dari rasa malu. Sama sekali tidak! Malah,
kakek ini suka melihat Larasati merasa malu dan menderita. Tapi, yang lebih
penting baginya
sekarang adalah menentukan siapa yang lebih unggul agar segera bisa bertarung
dengan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Kelabang Merah mendengus. Dengan sorot mata
geram dilemparkan tubuh Larasati ke arah Gajah Kecil. Tak lupa, dibebaskan dulu
totokan yang membuat gadis itu tak bisa bergerak. Kelabang Merah sengaja
melakukan hal itu untuk membuat Gajah Kecil agak repot!
Maksud Kelabang Merah ternyata tidak berhasil.
Gajah Kecil tanpa menemui kesulitan menangkap tubuh
Larasati dan melemparkannya lagi ke arah Kelabang Merah.
Kelabang Merah menangkap dan membalas melempar!
Larasati yang menjadi korban permainan ini memaki-
maki tak henti. Apalagi ketika beberapa kali bukit kembar di dadanya tercekal
tangan Kelabang Merah maupun Gajah
Kecil! Dia mencoba untuk meronta, bahkan mengirimkan
serangan begitu tubuhnya terlontar. Tapi, dengan mudah dipatahkan dan tubuhnya
diterima kemudian dilontarkan kembali.
Menginjak puluhan kali lemparan, tubuh Larasati
lebih sering tertutup pada Gajah Kecil! Baru selesai melempar dia telah menerima
kembali. Ini menandakan Gajah Kecil masih kalah kuat tenaga disbanding
saingannya, Kelabang Merah!
Napas Gajah Kecil mulai memburu. Dahinya yang
lebar telah basah oleh keringat. Semakin lama deru napasnya semakin memburu
dengan cepat. Ketika kembali tubuh
Larasati meluncur ke arahnya, Gajah Kecil mengibaskan tangan. Tubuh Larasati pun
melayang. Ke tanah.
"Bagus! Kau telah mengaku kalah, Gajah!" ujar Raja Monyet Bertangan Seribu,
gembira. "Sudah sejak tadi tanganku gatal-gatal!"
"Rupanya kau ingin meraih kemenangan dengan
memanfaatkan di saat aku masih lelah!" Kelabang Merah menukas dengan suara agak
memburu. Pertandingan dengan Gajah Kecil cukup membuatnya lelah.
"Tenangkan hatimu, Kelabang," timpal Raja Monyet Bertangan Seribu, halus.
"Tanganku gatal-gatal bukan untuk bertarung denganmu. Tapi, untuk memberikan
hajaran pada orang yang berani mengintai pertemuan kita!"
Raja Monyet Bertangan Seribu lalu mengeluarkan
sepasang kecer yang berada di punggungnya. Di persembunyiannya,
Dewa Arak bersikap waspada. Didengarnya Raja Monyet Bertangan Seribu telah mengetahui adanya orang yang
mengintai pertemuan mereka. Meski
demikian, pemuda berambut putih keperakan ini tidak mau keluar dari
persembunyian. Bukan tidak mungkin pengintai yang dimaksud adalah orang lain.
Kendati ada dugaan demikian, Arya tidak berani
bersikap ceroboh. Sekujur urat-urat sarafnya menegang penuh kewaspadaan. Ia
bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diharapkan.
Arya berusaha sedapat mungkin untuk tidak me-
ngeluarkan bunyi sekecil apa pun. Dia berdiam di tempatnya.
Di lain pihak, Kelabang Merah dan Gajah Kecil memusatkan pendengaran untuk
mengetahui pengintai yang dimaksud
Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Pengintip Hina, keluarlah kau...!"
Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan kecernya satu sama lain dengan keras. Anehnya, tidak
terdengar bunyi sedikit pun. Memang terdengar bunyi keras menggelegar. Tapi,
berasal dari gundukan batu tempat Arya bersembunyi yang hancur berkeping-keping.
Dewa Arak melemparkan tubuh ke belakang sakting
kagetnya. Kejadian ini sungguh di luar perkiraannya. Hanya berkat
kesiapsiagaannya dia berhasil melompat ke belakang untuk menghindari serangan
itu. Sungguh pun demikian, pecahan batu yang menyebar
ke berbagai arah, beberapa di antaranya mengenai tubuhnya.
Berkat tenaga dalam yang dimiliki tidak sedikit pun luka yang diderita Dewa
Arak. Malah, batu-batu itu yang
berpentalan begitu mengenai tubuhnya.
Raja Monyet Bertangan Seribu tersenyum ketika Arya
berhasil menjejak tanah secara mantap. Kakek ini tidak kelihatan kesal atau
marah melihat kegagalan terangannya.
Bahkan, dia gembira karena menemukan seorang lawan yang dianggapnya cukup
tangguh. "Kau hebat, Anak Muda. Aku jadi ingin melemaskan otot-ototku yang kaku," ujar
Raja Monyet Bertangan Seribu seraya menyimpan kecernya dan melangkah mendekati
Arya. "Huh! Hebat apanya"!" rutuk Kelabang Merah, tak senang. "Tokoh rendahan pun
tidak akan menemui kesulitan mengelakkan serangan itu!"
Gerutuan Kelabang Merah tidak ada yang menanggapi. Dewa Arak lebih memusatkan perhatiannya
pada kakek gorila. Lawan di hadapannya ini tangguh bukan main! Tahunya Raja
Monyet Bertangan Seribu akan tempat persembunyiannya telah menjadi bukti
ketinggian tingkat kepandaiannya.
Kali ini dia tidak bisa bermain-main. Ada Larasati
yang harus segera menolongnya. Bertindak ayal-ayalan bisa merenggut nyawa gadis
itu. Maka, di luar kebiasaannya, Dewa Arak melancarkan serangan lebih dulu.
Pemuda berpakaian ungu ini mengirimkan pukulan
bertubi-tubi ke arah dada Raja Monyet Bertangan Seribu.
Pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi berkesiutan
nyaring.Raja Monyet Bertangan Seribu sampai mengunjukkan giginya
yang tidak enak dilihat saking gembiranya mengetahui kedahsyatan serangan Dewa Arak. Penyakit
lamanya, gemar untuk bertarung dengan lawan tangguh,
muncul kembali. Tanpa ragu-ragu lagi dipapakinya serangan Arya.
Duk, duk, dukkk!
Bunyi keras seperti logam-logam beradu terdengar
ketika dua pasang tangan berbenturan. Tubuh Raja Monyet Bertangan
Seribu terhuyung selangkah ke belakang, sedangkan Dewa Arak terpental ke udara.
Dewa Arak memang sudah memperhitungkan
kejadian ini. Lontaran tubuhnya dipergunakan
untuk melampaui kepala Raja Monyet Bertangan Seribu. Ia terus ke belakang dan melesat
ke arah di mana tubuh Larasati
tergolek. Kelabang Merah dan Gajah Kecil yang menyaksikan
jalannya pertarungan tidak tinggal diam. Meski tidak
menduga hal ini akan terjadi, kedua kakek ini mampu
bertindak cepat. Mereka langsung bergerak menghadang.
Dewa Arak 87 Setan Bongkok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gajah Kecil mampu mendahului Kelabang Merah di dalam
menghadang Dewa Arak!
Arya tidak menjadi kelabakan. Dia sudah memperhitungkan semuanya. Begitu dilihatnya tubuh Gajah Kecil meluruk ke arahnya
dengan gedoran kedua tangan, segera dihentakkan kedua tangannya. Dewa Arak
langsung menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' yang dahsyat!
Gajah Kecil mengeluarkan keluhan tertahan. Disadari
kalau sebelum serangannya mendarat di sasaran, serangan Dewa Arak akan lebih
dulu menghantamnya. Dia sedikit pun tidak menyangka Dewa Arak dalam waktu yang
demikian singkat mampu mengirimkan serangan jarak jauh yang
sangat dahsyat!
Gajah Kecil segera membanting tubuh dan bergulingan di tanah untuk menyelamatkan diri. Sedangkan Dewa Arak langsung
menjejakkan kaki di tanah. Dilanjutkan dengan bergulingan ke depan, melewati
kolong kedua kaki Kelabang Merah!
Kelabang Merah menjejakkan kaki untuk menghancurkan tubuh Dewa Arak. Tapi, pemuda itu telah lebih dulu meletik bangkit
sehingga tanah kapur amblas sedalam
betis Kelabang Merah. Arya sendiri segera menyambar tubuh
Larasati dan melarikannya secepat
mungkin menuruni puncak.
Rentetan kejadian yang dilakukan Dewa Arak itu
berlangsung demikian cepat dan singkat. Kendati demikian, tidak cukup untuk
lolos dari sergapan
Raja Monyet Bertangan Seribu. Kakek gorilla ini membalikkan tubuh dan mengirimkan pukulan
jarak jauh dengan dorongan tangan kanan!
Dewa Arak mendengar deru bahaya mengancam di
belakangnya. Tanpa menghentikan lari, disampokkan tangan kirinya yang bebas
untuk memapak serangan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Blarrr! Puncak gunung itu bergetar hebat ketika dua pukulan
jarak jauh yang memiliki kekuatan dahsyat bertemu di udara.
Akibatnya, tubuh Dewa Arak terpental ke depan. Padahal saat itu ia tengah berada
di udara. Keseimbangannya kurang terkuasai. Kakinya menabrak gundukan batu. Dewa
Arak pun terjungkal membawa Larasati di pondongannya.
Gulingan Aji Wisa Dahana 1 Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur Jago Kelana 4