Pencarian

Asmara Berdarah Biru 1

Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 CAHAYA langit senja berwarna tembaga. Seolah-
olah atap bumi itu sedang dipanggang api raksasa yang menebarkan panas kemana-
mana. Namun nyatanya warna merah tembaga di langit
tidak membuat pemuda tampan berbadan kekar itu
menjadi hangus. Padahal sudah sejak tadi ia berada di tempat terbuka, ia
bertelanjang dada, duduk bersila di atas sebongkah batu datar warna hitam. Kedua
tangannya menengadah ke kanan-kiri. Kedua tangan itu
masing-masing menyangga dua bongkahan batu yang
masing-masing ukurannya sebesar gentong.
Otot-ototnya saling bertonjolan, membuat dadanya
tampak keras bagaikan baja. Lengannya pun
membengkak karena otot yang dikeraskan sejak tadi.
Tapi tak setetes keringat pun yang keluar dari pori-pori kulit tubuhnya.
"Pengerasan otot dan pengerahan tenaga untuk jurus ini tidak boleh menggunakan
kekuatan luar. Tetapi
kekuatan batinmu yang harus bekerja untuk
mengeluarkan tenaga sebesar gunung."
Seorang lelaki tua berkata begitu kepada si pemuda
tampan tersebut. Lelaki tua berjubah kuning dengan
pakaian dalamnya berwarna hijau itu mempunyai rambut
sepundak. Rambut, jenggot, dan kumisnya berwarna
putih uban. Wajahnya berkesan bijak, tegas, dan
berkharisma tinggi. Lelaki tua itulah yang dikenal
dengan nama si Gila Tuak. Dia adalah gurunya Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Dan
tentu saja pemuda tampan
yang bersila di atas batu dengan telanjang baju itu tak lain adalah murid si
Gila Tuak sendiri.
Rupanya kali ini Pendekar Mabuk sempatkan diri
'pulang kandang' untuk beberapa saat. Perjalanannya
keliling rimba persilatan dalam memburu Siluman Tujuh Nyawa telah membuat Suto
perlu berkunjung ke
kediaman gurunya, sekalian beristirahat menyusun
langkah barunya. Dan pada saat itulah Gila Tuak merasa perlu menurunkan satu
ilmu lagi kepada muridnya
sebagai tambahan bekal untuk sang murid.
"Sebenarnya jurus 'Sentuh Sentak' ini harus sudah kau pelajari dari dulu. Tapi
aku lupa memberikannya, karena banyaknya ilmu yang kuturunkan padamu," kata si
Giia Tuak sebelum jurus 'Sentuh Sentak' diturunkan kepada
Pendekar Mabuk.
Hati sang murid sinting berdebar girang. Sekalipun ia sadar jurus yang akan
diturunkan oleh gurunya itu
adalah jurus yang tersisa, alias jurus yang ketinggalan, tapi Suto merasa cukup
gembira. Setidaknya jurus itu
akan menjadi pelengkap dari sekian banyak jurus sakti yang sudah dimilikinya.
Maka dengan wajah berseri-seri penuh semangat, ia mengikuti langkah sang Guru
saat membawanya ke tempat yang berbatu-batu. Pepohonan
mengitarinya dalam jarak dua puluh tombak berkeliling.
Tempat itu menjadi suatu tempat yang menyerupai arena berlatih dengan pagar
dikelilingi pepohonan hidup
berdaun lebat. "Jurus yang ini lain dari yang lain, Suto."
"Maksudnya bagaimana, Guru?"
"Kekuatan batin yang disalurkan melalui kekuatan otot dapat menghasilkan
sebentuk kekuatan tenaga yang mampu menghancurkan bagian dalam tubuh lawanmu.
Tanpa menggunakan kekerasan. Seakan tidak
membutuhkan gerakan cepat, namun cukup dengan
sekali sentuh lawanmu bisa terluka bagian dalamnya.
Karena itu dalam latihan nanti kau tidak boleh
menggunakan napas keras. Tapi gunakan kekuatan batin
untuk mengencangkan otot-ototmu, sedangkan napasmu
harus bisa tetap teratur. Seakan kau sedang tidur."
"Aneh juga ilmu ini, Guru. Aku sangat ingin segera bisa menguasainya."
"Tidak boleh dengan nafsu," potong sang Guru.
"Untuk menguasai jurus 'Sentuh Sentak' hati kita harus tenang dan bersih, tidak
boleh dikuasai oleh nafsu atau
keinginan yang menggebu-gebu. Sebab keinginan yang
menggebu-gebu hanya akan membuat pancaran kekuatan
batinmu tidak terarah."
Itulah sebabnya sebelum mengawali berlatih jurus
'Sentuh Sentak', Pendekar Mabuk diperintahkan untuk
lakukan semadi sehari-semalam. Pendekar Mabuk
lakukan perintah itu tanpa ada rasa kesal atau gerutu dalam hati, sebab hal-hal
seperti itu memang sering
dialaminya jika ingin menerima pelajaran dari si Gila Tuak.
Latihan itu dimulai dari terbitnya matahari sampai
tenggelamnya sang surya. Pada mulanya Pendekar
Mabuk hanya duduk bersila, kedua tangannya
menengadah ke samping dan masing-masing dibebani
batu sebesar kepalan tangannya.
Menyangga batu sebesar kepalan tangan tanpa
menggunakan tenaga otot merupakan hal yang mudah
bagi siapa saja. Tetapi jika tiap hari ganti hari ganti pula ukuran besar batu
di tangannya, siapa orangnya yang
akan sanggup menyangga tanpa menggunakan kekuatan
otot" Namun toh Pendekar Mabuk mampu lakukan itu;
menyangga batu yang makin lama makin besar dengan
kekuatan batin dan pemusatan pikiran sangat tajam.
"Tujuh hari sudah kau lakukan latihan beban.
Sekarang kau harus lakukan latihan tanpa beban, tapi
rasanya seperti menyangga beban paling berat, melebihi berat batu terakhir yang
kau gunakan kemarin," kata Gila Tuak kepada sang murid di pagi hari berikutnya.
Latihan tanpa beban tapi menggunakan kekuatan
tenaga batin merupakan sesuatu yang tidak mudah
dilakukan. Dari pagi hingga sore, Suto harus duduk
bersila dengan kedua tangan menengadah ke samping
dan mengerahkan tenaga batin, seakan sedang
menyangga batu sebesar bukit.
Pada hari pertama latihan tanpa beban, Suto
mengalami kegagalan. Sampai matahari mau tenggelam,
ia masih belum merasakan menyangga beban berat.
Akibatnya yang diperoleh hanyalah rasa pegal pada
kedua sikunya. "Ke mana pikiranmu" Aku tidak melihat kekuatan
batin tersalur dari batinmu!" Giia Tuak menegur dengan sikap memarahi sang
murid. "Sekalipun aku ada di tempat jauh, memandangimu dari tepian sungai sana,
tapi aku melihat semburan tenaga batinmu sama sekali
tidak ada. Pikiranmu tidak terpusat pada satu titik
kekuatan batin, Suto!"
Pendekar Mabuk tundukkan kepala, "Memang,
Guru." ia tak bisa menyangkal kata-kata sang Guru.
"Mengapa justru pancaran dendam yang kulihat
memancar dari dalam batinmu! Mengapa begitu, Suto"!"
"Tiba-tiba aku terbayang wajah musuhku, Guru!"
"Durmala Sanca, maksudmu?"
"Benar, Guru. Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa membayang terus dalam
ingatanku, sehingga
batinku memancarkan dendam dan kejengkelan. Aku
gemas sekali dan ingin buru-buru mencarinya lagi,
Guru!" Gila Tuak menarik napas, mencoba memaklumi
perasaan muridnya yang sudah lama mengejar-ngejar
Siluman Tujuh Nyawa, sang tokoh aliran hitam yang
sering dijuluki manusia paling sesat itu. Si Gila Tuak pun berkata kepada
muridnya dengan memunggungi
sang murid. "Itu memang tugasmu; menghancurkan kelaliman,
meleburkan manusia sesat demi menyelamatkan umat
manusia di bumi. Tetapi seharusnya kau bisa
mengendalikan pikiranmu dan bisa menempatkan kapan
saatnya kau berpikir tentang Siluman Tujuh Nyawa,
kapan saatnya kau memusatkan pikiranmu dan pelajaran
ini! Kelak jika jurus 'Sentuh Sentak' ini mampu kau
kuasai dengan baik, Durmala Sanca pun bisa kau
tumbangkan dengan jurus ini! Tanpa harus
menggunakan gerak pukulan keras, cukup kau tepuk
pelan saja dia akan hancur dari dalam."
Dalam dada Suto Sinting terasa ada yang bergolak.
Sesuatu yang bergolak itu adalah semangat yang secara tak sadar telah dibakar
oleh penjelasan Gila Tuak.
Semangat untuk menghancurkan Siluman Tujuh Nyawa
membuat Suto Sinting akhirnya berlatih kembali dengan lebih tekun dan lebih
keras, ia bahkan minta waktu satu hari khusus untuk bersemadi menenangkan
pikirannya agar terpusat pada kekuatan batinnya.
Gila Tuak sudah menduga, "Kalau dia tidak diganggu oleh pikiran dendamnya, dia
dapat selasaikan pekerjaan ini dalam waktu singkat. Mudah-mudahan saja sekarang
dia sudah mampu mengendalikan daya pikirnya."
Dugaan sang Guru memang benar. Jika bukan Suto
Sinting, tak mungkin dapat selesaikan pelajaran jurus
'Sentuh Sentak' dalam waktu satu bulan. Kekuatan batin Suto yang sudah terlatih
sejak dulu mempercepat
selesainya pelajaran tersebut, sehingga Gila Tuak merasa bahwa jurus itu sudah
merasuk dalam jiwa muridnya.
"Tepuklah batu itu!" perintahnya untuk menguji kemampuan sang murid.
Pendekar Mabuk segera menepuk batu sebesar anak
sapi dengan gerakan pelan. Sebelumnya Gila Tuak
sempat berkata,
"Pusatkan batin dan pikiranmu untuk menghancurkan batu itu menjadi beberapa
bagian, terserah kehendakmu mau menjadi berapa bagian!"
"Aku paham, Guru!"
Maka, bagaikan melakukan gerakan menepuk dengan
malas-malasan, batu itu pun dijadikan kelinci percobaan.
Pluk...! Pendekar mabuk menepuknya dan batu itu pun
retak dalam waktu dua helaan napas kemudian.
Kraaak...! Ternyata batu itu terbelah menjadi empat bagian,
sehingga Suto pun membatin, "Jumlah belahan-nya sama dengan keinginan batinku!
Gila! Ini ilmu ringan yang mengandung bahaya sangat besar!"
Pemuda tampan berambut panjang sepundak tanpa
ikat kepala itu tersenyum bangga. Tapi sang Guru tetap memandangi batu tanpa
senyum, kemudian menatap
Suto dan berkata dengan penuh wibawa,
"Masih kurang!"
Tentu saja sang murid terbengong dan memendam
rasa kecewa. Menurutnya gerakan tepuk pelan pada batu dan bisa batu terbelah
menjadi empat bagian seperti
yang dikehendaki batinnya, adalah suatu gerakan jurus yang sudah hebat. Tapi
nyatanya sang Guru mengatakan: masih kurang.
"Lalu bagaimana seharusnya, Guru?" tanya Suto setelah menarik napas menyimpan
rasa kecewanya.
"Seharusnya batu itu pecah atau terbelah setelah hatimu mengatakan: 'harus
terbelah'. Sebelum hatimu
mengatakan: 'sekaranglah saatnya terbelah', batu itu tak boleh terbelah lebih
dulu." "Jadi... jadi harus bisa diatur kapan saatnya batu itu terbelah setelah kutepuk.
Guru"!' "Benar! Dan kau harus mengikat batu itu dengan
kekuatan batinmu setelah kau menepuknya. Ikatan batin itu kau lepaskan jika
sudah waktunya kau kehendaki
batu itu terbelah."
"Alangkah sukarnya?"
"Karena kau belum melakukan dan belum mencoba
maka kau bilang sukar! Bukankah sejak kecil kau
kudidik untuk tidak bilang 'sukar' terhadap suatu
pekerjaan sebelum kau mencobanya dan menemui
kegagalan sampai tiga kali"!"
Pendekar Mabuk nyengir dan garuk-garuk kepala, ia
membenarkan kata-kata gurunya. Memang seharusnya ia
tidak mengatakan hal itu adalah sesuatu yang sukar
sebelum ia mencoba dan menemui kegagalan sampai
tiga kali. Karena itu, Suto Sinting pun mulai mencoba apa yang seharusnya
dilakukan dalam penggunaan jurus
'Sentuh Sentak' itu.
Dengan tambahan waktu lima hari, jurus 'Sentuh
Sentak' itu akhirnya benar-benar dikuasai oleh si murid sinting itu. Sekalipun
demikian, senyum Gila Tuak
nyaris tak terlihat, padahal Suto berharap sang Guru
tersenyum dan merasa bangga terhadap kemampuan
sang murid. Gila Tuak hanya tersenyum sangat tipis dan manggut-manggut samar.
"Bagus. Kau sudah berhasil. Tetapi ingat, jangan gunakan jurus itu untuk melawan
orang yang tidak
punya salah padamu. Jurus itu hanya bisa digunakan
untuk orang yang bersalah padamu atau diam-diam
mempunyai kesalahan padamu. Jika orang tak punya
salah padamu, lalu kau gunakan jurus itu untuk
mencelakai orang itu, maka jurus itu tidak akan berguna sedikit pun. Tepukanmu
hanya sebatas tepukan tangan
tanpa kekuatan tenaga batin! Mengertikah kau,
Muridku"!"
"Mengerti, Guru!" jawab Suto Sinting dengan sikap lebih dewasa dari hari-hari
sebelumnya. "Tahukah apa yang harus kau lakukan sekarang ini, Suto?"
"Makan, Guru!"
"Makan melulu pikiranmu!" gerutu sang Guru dengan bersungut-sungut. Suto Sinting
nyengir sambil mengusap-usap perutnya yang melilit lapar. Gila Tuak berkata, "Sekarang yang
harus kau...." Zuuubbb...!
Sesuatu berkelebat ke arah Gila Tuak, membuat
ucapan Gila Tuak terhenti. Benda yang bergerak cepat
dari arah belakangnya itu segera dihindari dengan
gerakan kepala membungkuk ke depan sambil berseru,
"Awas...!"
Dengan membungkuknya Gila Tuak, benda yang
meluncur cepat itu menjadi mengarah ke dada Pendekar
Mabuk. Gila Tuak bagaikan menyerahkan urusan itu
kepada sang murid, sehingga dengan gerak tangkasnya
Suto Sinting segera memiringkan badan dan


Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengelebatkan tangannya ke depan. Teeb...!
Sesuatu yang bergerak itu kini terjepit di antara dua jari tangan Suto. Dengan
wajah tegang Suto Sinting
memandangi benda tersebut yang ternyata sebatang paku berwarna hitam baja.
Panjang paku itu seukuran
sekelingking orang dewasa. Ujungnya runcing dan
memancarkan sinar hijau kecil mirip kunang-kunang.
"Suto, kejar orang yang menyerang kita dari
kerimbunan seberang sungai itu! Dia adalah lawan
utamamu!" "Maksud Guru... dia adalah Siluman Tujuh Nyawa?"
"Benar. Karena hanya Siluman Tujuh Nyawa yang
mempunyai senjata 'Pasak Iblis' itu! Dan ia
menggunakannya hanya dalam keadaan terpaksa, jika
lawannya sukar ditumbangkan."
Dada Suto Sinting lebih berdetak dari semula.
Melihat gurunya diserang orang saja sudah cukup
membuat dada terasa panas, apalagi mendengar si
penyerangnya adalah Siluman Tujuh Nyawa, tentu saja
dada Suto Sinting terasa ingin pecah karena memendam
kemarahan besar.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk pun segera melesat
menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya
melebihi kilat itu. Sungai lebar diseberangi dengan
lompatan dari batu ke batu yang nyaris tak bisa terlihat mata siapa pun.
Sementara itu, di seberang sungai ada bayangan
hitam yang bergerak dengan kecepatan sama seperti
kecepatan Suto Sinting, itulah gerakan jubah hitamnya Siluman Tujuh Nyawa,
karena hanya tokoh sesat itu
yang mempunyai gerakan cepat nyaris sama dengan
gerakan Pendekar Mabuk.
"Durmala Sanca! Tunggu aku...! Hadapi aku,
Keparat!" teriak Suto Sinting menggema ke mana-mana.
Zaaab...! Bayangan hitam itu tiba-tiba bergerak
bagaikan menghilang. Suto tahu, Siluman Tujuh Nyawa
mempunyai kemampuan masuk ke alam gaib, sehingga
saat itu sang tokoh sesat itu dapat dipastikan berlari menghindari kejaran Suto
Sinting, masuk ke alam gaib.
Pendekar Mabuk segera mengusap keningnya. Noda
merah pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya
itu, dapat digunakan untuk masuk ke alam gaib.
Tetapi di alam gaib pun Suto kehilangan jejak
lawannya lagi. Yang ditemui bukan Siluman Tujuh
Nyawa, tapi Iblis dan setan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
perkara tersebut. Suto Sinting
penasaran, melesat keluar dari alam gaib dan mencari lawannya yang diduga sudah
keluar dari alam gaib saat ia menyusul masuk ke alam tersebut.
Itulah saatnya Pendekar Mabuk mulai mengembara
lagi. Sasarannya adalah sang tokoh sesat itu, tapi yang ditemuinya lebih sering
orang sesat tanggung.
Tapi dengan munculnya bayangan Siluman Tujuh
Nyawa dalam ingatan Suto selama mempelajari jurus
'Sentuh Sentak' itu, apakah itu suatu pertanda bahwa kali ini ia akan berhasil
berhadapan lagi dengan Siluman
Tujuh Nyawa dan melakukan pertarungannya yang
terakhir" Mungkinkah bayangan yang muncul dalam
ingatan Suto kemarin itu adalah perlambang bahwa kali ini pertarungannya dengan
Durmala Sanca akan
menghasilkan suatu keputusan; siapa yang mati di antara mereka berdua"
"Celaka! Aku akan menghadapi kesulitan cukup
berbahaya jika bumbung tuakku kosong begini! Ah,
sayang sekali waktu aku pergi tidak sempat mengisi
bumbung tuak ini. Padahal kulihat Guru masih
menyimpan tuak di sudut belakang. Dan lagi... uh,
perutku lapar sekali. Kalau tiba-tiba ada musuh
bagaimana" Kalau aku terpaksa mati di tangan musuh,
alangkah menderitanya mati dalam keadaan lapar dan
kekurangan tuak"!"
Pemuda tampan berdada bidang itu membatin dalam
perjalanannya. * * * 2 PERUT kosong masih bisa ditahan, tapi bumbung
tuak kosong tak bisa lagi dibiarkan. Karena bumbung
tuaknya sudah kosong, maka Pendekar Mabuk
sempatkan diri singgah di sebuah kedai. Pemuda
berambut lurus lewat pundak itu masuk ke kedai tersebut dengan tenang. Ada lima
bangku kosong lengkap dengan
mejanya. Pemuda tampan berbaju coklat tanpa lengan
dan celana putih berikat pinggang merah itu mengambil tempat duduk agak ke
tengah. Beberapa pasang mata
para pembeli yang sudah lebih dulu ada di kedai itu
saling memandangi si pemuda yang datang membawa
bumbung tuak. Beberapa orang saling berbisik, "Itu yang namanya Suto Sinting, kan?"
"Mungkin saja. Tapi kok dia nggak sinting kayak si Parmin, ya?"
"Parmin itu bukan sinting, tapi memang gila sejak dalam kandungan. Eh, ternyata
orangnya biasa-biasa
saja, ya" Kupikir yang namanya Suto Sinting itu
berbadan besar, punya otot saling bertonjolan, wajahnya sangar dan... pokoknya
menyeramkan. Eh, ternyata
malah seperti anak kemarin sore, ya?"
"Biar begitu muda tapi ilmunya tinggi lho. Hampir sama dengan tingginya ilmu Ki
Wuyung Rabi! Kalau
dipikir-pikir, Ki Wuyung Rabi itu usianya sudah
mencapai tujuh puluh delapan tahun. Tapi bocah muda
itu punya ilmu bisa menyamai Ki Wuyung Rabi. Berarti
dia kan lebih hebat dari Ki Wuyung Rabi. Iya, toh"!"
Di meja lain ada yang berkasak-kusuk sambil sesekali
melirik ke arah Pendekar Mabuk. Yang berbaju kuning
berkata kepada yang berbaju hitam,
"Sepertinya aku pernah melihat anak muda itu. Siapa
dia, ya?" "Apa kau tak ingat bahwa ciri-ciri pemuda yang
membawa bumbung tuak itu tak lain adalah Pendekar
Mabuk"!"
"O, iya! Dia yang namanya Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu, ya?" orang
berbaju kuning tampak ceria.
"Aku mau berkenalan, ah!"
"E, e, eh...! Jangan berani-berani dekati dia lho! Bisa kena kepret modar kau!"
"Memangnya kepalaku ini tungku, kok mau
dikepret"! Aku cuma mau kenalan sama dia. Soalnya
aku sering mendengar cerita kependekarannya dan aku
sangat mengagumi tokoh muda itu!"
Sebenarnya Suto Sinting mendengar kasak-kusuk
orang berbaju kuning itu, tapi Suto diam saja dan
berlagak tidak mendengarnya, ia memesan tuak dalam
cangkir, lalu menyuruh pemilik kedai mengisi bumbung
bambu tuaknya sampai penuh.
"Diisi tuak apa air teh, Nak?" tanya si pemilik kedai berusia lima puluh tahun.
"Diisi tuak, Paman. Saya tidak terbiasa minum teh."
"O, ya...! Baik. Sabar sebentar, ya Nak" Tidak
terburu-buru pergi toh?"
Dengan senyum ramahnya Suto menjawab, "Sekalian
saya istirahat kok, Paman. Saya tidak terburu-buru."
"O, baiklah kalau begitu. Hmmm... apa Kisanak mau menikmati nasi pecel?"
"Kalau ada... boleh!" jawab Suto Sinting
bersemangat. Orang berbaju kuning tadi akhirnya benar-benar
mendekati Suto dan menyapa dengan keramahan dan
kesopanan seorang pengagum.
"Maaf, apakah kau yang bernama Suto Sinting,
Pendekar Mabuk itu?"
"Benar," jawab Suto dengan senyum tipis. "Kau siapa?"
"Aku pengagummu. Namaku; Panurata."
Suto Sinting menyambut uluran tangan si Panurata,
mereka bersalaman. Panurata tampak senang sekali
menerima sikap ramah Suto Sinting, karena semula ia
menyangka Suto Sinting orang yang sombong karena
pengaruh namanya yang kondang itu.
"Boleh aku duduk di sini?"
"O, silakan! Aku senang kalau ada teman yang mau kuajak ngobrol."
"Aku tidak mengganggumu, bukan?"
"O, tidak!" Suto tepuk-tepuk pundak Panurata sebagai ungkapan kegembiraan
hatinya menerima persahabatan
itu. "Kau mau minum tuak?"
"Terima kasih. Aku memang suka minum tuak."
"Wah, kalau begitu kita bisa semalam suntuk duduk di sini, ya" Aku paling betah
ngobrol kalau ada teman minumnya!"
Pendekar Mabuk segera melambaikan tangan kepada
pemilik kedai, ia memesan sepoci tuak untuk diminum
berdua. Melihat keadaan menyenangkan begitu, teman
Panurata yang berbaju hitam jadi ikut bergabung. Suto menerima teman Panurata
dengan senang hati pula.
Orang itu bernama Kadasiman. Mengaku seorang
nelayan yang kehilangan perahunya karena disapu
gelombang ombak yang membadai beberapa waktu yang
lalu. Panurata pun bernasib serupa dengan Kadasiman;
kehilangan perahunya hingga tak bisa bekerja lagi
sebagai nelayan pencari ikan.
Tiba-tiba saja Suto merasakan ada perubahan pada
dirinya. "Panas sekali badanku?" pikir Suto Sinting. "Wah, bahaya ini! Ulu hatiku rasanya
seperti ditusuk-tusuk
duri. Sejak berjabat tangan dengan Panurata hawanya
panas sekali. Sejak berjabat tangan dengan Kadasiman ulu hatiku seperti ditusuk-
tusuk duri. Agaknya kedua
orang ini punya cara berkenalan yang berbeda dengan
yang lain. Hmm... boleh, boleh!" Suto manggut-manggut sendiri, ia meneguk tuak.
Kali ini tuak yang diteguk
adalah tuak dari dalam bumbung bawaannya yang baru
saja diserahkan oleh pemilik kedai, dan sudah terisi penuh itu.
"Di poci msslh ada tuak, kenapa ambil tuak dari bumbung, Suto?" ujar Kadasiman.
"Bau tuak bercampur bambu lebih sedap bagiku,"
jawab Suto dengan ramah. Padahal ia melakukan
pengobatan untuk dirinya sendiri. Terbukti setelah ia menenggak tuak dari
bumbung rasa sakit di ulu hati
hilang, rasa panas di dalam dada pun lenyap.
"Kudengar namamu makin lama semakin kondang
saja, Suto. Tentunya kau sangat bangga punya nama
yang dikenal oleh hampir seluruh tokoh rimba
persilatan!" kata Panurata.
Suto Sinting tertawa pelan sambil menepuk pundak
Panurata. "Jangan punya anggapan seperti itu. Jadi orang terkenal itu malah
susah." "Susahnya?"
"Segala ruang gerak kita diperhatikan oleh
masyarakat. Kita mau buang air di pinggir jalan saja
pasti dikecam orang. Misalnya aku buang air di pinggir jalan, orang akan bilang;
'Wah, Pendekar Mabuk kok
buang airnya sembarangan" Memalukan': Nah,
kebebasan kita terganggu, bukan" Coba kalau orang
tidak banyak yang mengenalku sebagai Pendekar
Mabuk, aku buang air di tengah jalan sekalipun, tidak ada yang mau memberi
tanggapan seperti itu. Iya, toh?"
"Ha, ha, ha...! Ceritamu ada-ada saja, Suto!" ujar Kadasiman sambil tertawa
seperti halnya Panurata.
Tambahnya lagi, "Tapi yang jelas, satu kali lirik delapan gadis yang kau buat
jungkir balik, kan?"
Suto menepuk lengan Kadsslman sambil tertawa dan
berkata, "Bukan hanya delapan gadis, tapi tiga nenek ikut jungkir balik dan
langsung pingsan!"
"Hua, hah, hah, hah, hah...!" Panurata meledakkan tawa yang membuat orang di
sekitar situ memandang ke
arah mereka. Kata Suto lagi, "Jadi orang terkenal juga repot.
Apalagi terkenal karena kesaktiannya, hhmmm... tak ada amannya!"
"Apa benar begitu?"
"Iya. Di mana-mana selalu dicoba orang. Ilmu kita
dicoba oleh mereka baik secara terang-terangan maupun diam-diam!"
Panurata agak salah tingkah walau masih tertawa
pelan. Kadasiman tampak sedikit gelisah juga Pendekar Mabuk justru meneguk tuak
dari cangkirnya.
"Ada yang berlagak baik, tapi sebenarnya mencoba ilmuku. Ada pula yang berlagak
jahat, tapi sebenarnya...
memang jahat! Tapi itu semua kuhadapi sebagai latihan sehari-hari. Latihan
mempertajam tingkat kewaspadaan."
"Apa benar pernah ada yang mencobamu secara
diam-diam?" tanya Kadasiman berlagak tak berdosa.
"O, pernah! Tidak hanya satu kali dua kali, tapi sering. Biasanya aku tidak
melayani cobaan itu. Kadang-kadang aku sedikit memberi pelajaran kepada mereka
dengan menyalurkan salah satu jurusku yang membuat
telinganya berdarah. Namanya jurus 'Sentuh Sentak".
Satu sentuhan saja menimbulkan satu sentakan kuat
yang tak dirasakan oleh lawanku. Hanya saja, tahu-tahu telinganya berdarah, atau
hidungnya yang berdarah."
"Aneh sekali ilmu seperti itu," ujar Kadasiman. Tapi Pendekar Mabuk melihat
gelagat Panurata semakin tidak tenang. Ada sesuatu yang ingin diperiksanya, tapi
ia ragu-ragu melakukannya.
Suto berkata, "Jurus 'Sentuh Sentak' itu hanya bisa diderita oleh orang yang
memang merasa bersalah
padaku, atau yang melakukan kesalahan secara diam-
diam. Kalau orang itu tidak punya salah padaku, jurus
'Sentuh Sentak' tidak akan bikin ia terluka sedikit pun."
"Apakah itu jurus warisan dari gurumu; si Gila Tuak
itu?" "Ya. Dan itu jarang kupakai kalau aku tidak dicobai orang lebih dulu," jawab
Suto dengan tenang sambil memperhatikan perubahan air muka kedua kenalan
barunya itu. Kadasiman tampak lebih tenang dari Panurata. Ia
ajukan tanya lagi pada Suto, "Kalau misalnya...!" tapi pertanyaan itu tidak jadi
diteruskan. Mata Kadasiman
melebar manakala ia melihat ada cairan merah mengalir lamban dari telinga
Panurata. "Panurata, kenapa telingamu berdarah..."!"
Panurata berlagak kaget. Memeriksa telinganya, dan
ternyata memang berdarah. Panurata bingung menjawab,
hanya senyum-senyum kikuk salah tingkah. Tapi ia


Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera berkata pula dengan wajah terperanjat,
"Kadasiman, telingamu juga berdarah!"
Kadasiman ikut salah tingkah dan beralasan,
"Mungkin aku menderita panas dalam!"
Suto Sinting tersenyum lebar, langsung berkata pada
pokok masalah sebenarnya.
"Kurasa kalian tak perlu mencobai diriku. Akibatnya akan buruk bagi kalian
sendiri." "Hmmm... anu... sebenarnya... anu...." Panurata tak bisa bicara.
Kata Suto lagi, "Kalau mau kenalan denganku tak perlu pakai cara begitu. Nanti
malah memperburuk
persahabatan. Betul kan, Kadasiman?"
"Iyy... Iya, betul!" jawsb Kadasiman yang secara tak langsung mengakui
perbuatannya. "Itu baru kubalas dengan ilmu ringan. Kalau kubalas dengan yang berat dan secara
diam-diam, bagaimana"
Kalau kusalurkan kekuatanku yang membuatmu jatuh
tak bernyawa setelah sampai rumah, kan yang rugi
keluarga kalian juga" Benar kan, Panurata?"
"Hmmm... iya, benar juga. Hmmm... maafkan aku,
Suto. Aku cuma sekadar ingin menguji apakah aku
masih punya ilmu atau tidak."
"Aku juga hanya ingin tahu, seberapa kekuatan
ilmuku untuk melukai orang yang terkenal sakti itu,"
timpal Kadasiman.
Rupanya mereka saling menyadari bahwa sentuhan
Suto yang dilakukan sambil bercanda tadi adalah
penggunaan jurus 'Sentuh Sentak' yang dilakukan akibat merasa dirinya dicobai.
Di dalam hati mereka secara
jujur mengakui kelebihan Pendekar Mabuk yang merasa
tenang dan tak mengalami luka apa pun. Padahal ilmu
yang disalurkan melalui berjabat tangan itu termasuk ilmu cukup tinggi di
perguruan mereka; Perguruan
Banteng Kedaton.
Setelah mereka meminta maaf kepads Pendekar
Mabuk, suasana akrab pun kembali dimiliki oleh
mereka. Canda mereka menghadirkan tawa, sampai dua-
tiga orang ikut nimbrung. Makin seru canda mereka,
mskin banyak yang ikut bergabung. Suasana kedai
menjadi lebih ramai lagi. Pembeli yang baru datang pun berani ikut nimbrung
dalam kelakar mereka.
Sampai akhirnya muncul seorang tamu berperawakan
tinggi, tegap, berdada bidang, dan kekar. Lelaki itu
mengenakan pakaian biru tua dengan ikat kepala merah.
Usianya sekitar tiga puluh tahun, berkumis sedang,
bersenjatakan kapak. Ujung kapak itu berbentuk mata
pisau yang sedikit melengkung namun tajam sekali.
Orang berbaju biru itu langsung menggebrak meja
dan berkata dengan lantang, "Mana yang namanya Suto Sinting"! Kamu..."!" Ia
menuding Suto. "Ya, aku Suto Sinting. Ada apa, Kawan"!"
Orang berbaju biru itu menggeram, matanya
memandang penuh permusuhan. Beberapa orang yang
ada di situ saling bungkam. Sebagian yang ada di dekat orang tersebut segera
menyingkir, takut jadi tempat
pelampiasan amarahnya. Bahkan sebagian yang sudah
mengenal orang itu segera menjauh seakan tak pernah
ikut berkelakar dengan Pendekar Mabuk.
"Hari ini aku minta kepastian darimu, Suto Sinting!
Kau atau aku yang msti!"
Pendekar Mabuk justru tersenyum geli, tetap
berpenampilan tenang. "Apa masalahnya, Kawan"
Mengapa kau langsung tentukan demikian, sedangkan
kita belum saling kenal" Kau memang mengenal
namaku, tapi aku tidak tahu siapa dirimu, Kawan!"
Sambil menepuk dada mirip menabuh bedug, orang
itu menyebutkan namanya keras-keras.
"Ini yang bernama Karto Dupak, kalau kau ingin
tahu! Akulah orangnya!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu apa
urusannya denganku" Mengapa datang-datang kau
menantangku begitu?"
"Jelas aku menantangmu, karena kaulah yang
menjadi penghalangku untuk mempersunting Muria
Wardani!" Dahi si tampan Suto itu berkerut tajam dengan masih
menyimpan sejuta gelinya. Kejadian itu dianggap
peristiwa aneh tapi lucu. Tak kenal siapa yang datang, tahu-tahu ditantang adu
tanding. Tak kenal siapa Muria Wardani, tahu-tahu dianggap sebagai penghalang
orang yang ingin mempersunting perempuan itu. Pendekar
Mabuk jadi geleng-geleng kepala sendiri saking
herannya. "Aku tidak kenal dengan nama wanita itu, Karto
Dupak," ucap Suto dengan tenang dan suara tetap ramah.
"Tak perlu berlagak bodoh kau, Suto Sinting!
Sekarang juga keluar dari kedai ini dan hadapi aku!
Kalau kau tak berani menghadapi aku, berarti kau
pendekar palsu yang punya nyali seujung kutil!
Sekarang juga kutunggu kau di luar!"
"Tunggu dulu. Aku...."
"Keluar kau! Aku menunggu sekarang juga!"
bentaknya sambil melangkah pergi.
Suto Sinting terbengong dalam senyuman geli yang
tiada surutnya. Semua mata memperhatikan ke arah
Suto, seakan menuggu keputusan dan ingin tahu
keberanian sang pendekar tampan itu. Tantangan di
depan umum sungguh suatu hal yang sulit ditolak buat
Pendekar Mabuk. Kalau saja tidak terjadi di depan
umum, barangkali Suto Sinting berusaha untuk tidak
melayani tantangan Karto Dupak. Tapi karena terjadinya
di depan umum, dan mereka memandang penuh tuntutan
atas sikap kesatrianya Suto, mau tak mau Suto pun
melangkah keluar menemui Karto Dupak. Mereka pun
tampak girang dan setengah bersorak. Masing-masing
berlarian keluar dengan penuh harap dapat menyaksikan pertarungan tokoh muda
yang sedang kondang itu.
"Apa maunya sebenarnya" Hanya menguji ilmu, atau memang punya unsur dendam
pribadi padaku" Tapi aku
tak pernah jumpa dengannya dan tak pernah kenal nama
Muria Wardani"! Jangan-jangan
ini sebuah kesalahpahaman?"
Karto Dupak memilih tempat di luar batas desa. Di
sana ada sebuah bukit yang pantas dikatakan sebagai
gundukan tanah tinggi. Karena ketinggiannya dapat
dicapai dengan sekitar tiga puluh langkah. Kelihatannya Karto Dupak bersungguh-
sungguh menghendaki
pertarungan tersebut.
Repotnya bagi Suto, ia benar-benar tak bisa
menghindari tantangan itu. Sebab Panurata dan beberapa orang lainnya berteriak-
teriak mengumumkan
pertarungan tersebut. Para penduduk desa keluar dari
rumah mereka karena tertarik ingin saksikan pertarungan antara Karto Dupak
dengan pendekar terkenal; Suto
Sinting. "Hoi, hoi... mau nonton pertarungan apa tidak"!
Pendekar Mabuk mau bertarung melawan Karto Dupak!"
seru Panurata. Yang lain ikut-ikutan berlari sambil
berseru, "Saksikanlah! Banjirilah! Pertarungan hebat antara
Karto Dupak melawan Pendekar Mabuk! Ayo, jangan
lewatkan! Kesempatan yang jarang terjadi ini akan
menimbulkan kesan tersendiri bagi kehidupan Anda!
Saksikanlah beramai-ramai, pertarungan hebat yang
akan menggemparkan dunia persilatan! Ayo, ayo...
mumpung gratis!"
"Konyol orang itu!" gerutu Suto Sinting, tapi ia tak bisa mencegah sebab orang
itu berlari terus keluar
masuk gang di antara rumah-rumah penduduk.
Mereka yang tertarik menyaksikan pertarungan itu
segera meninggalkan kesibukan masing-masing. Yang
sedang mandi, buru-buru handukan dan pakai
pakaiannya lalu berkelebat mengikuti rombongan Suto
Sinting. Yang sedang menanak nasi, langsung dimatikan apinya. Yang sedang
menggendong bayi, langsung
dimatikan bayinya, eh... langsung diletakkan bayinya.
Akibat banyaknya para peminat, Suto Sinting
berjalan menuju tempat yang ditentukan Karto Dupak
dengan diarak oleh masyarakat penggemarnya. Tua,
muda, kecil... semua ikut mengarak Suto Sinting sambil berseru: "Suto, Suto,
Suto, Suto...!"
"Suto Babat!"
"Husy! Itu soto babat! Plesetan terus kau ini kalau bicara!" tegur seseorang
pada temannya yang konyol.
Suto Sinting sendiri membatin, "Wah, kok malah jadi begini"! Pertarungan ini
bisa menyebar ke mana-mana dan aku bingung mengambil sikap kalau begini!"
"Kang Suto... Kang... minta cap jempolnya, Kang!"
seru seorang gadis remaja yang cantik imut-imut itu.
"Untuk apa cap jempol?"
"Untuk kenang-kenangan, Kang! Aku pengagum
beratmu lho, Kang!"
Ada-ada saja. Sempat-sempatnya mereka berpikir
mengabadikan cap jempolnya Pendekar Mabuk.
Rupanya masyarakat desa tersebut sudah banyak
mendengar cerita tentang kehebatan Pendekar Mabuk,
sehingga mereka banyak yang mengagumi kehebatan
sang pendekar. Suto Sinting menjadi buah pujaan
masyarakat desa tersebut, baik yang perempuan ataupun yang lelaki, baik yang
muda ataupun yang tua. Desa itu adalah desa persinggahan yang terletak antara
Bandar Pantai dengan wilayah pedalaman. Siapa pun yang
mendarat di pantai atau ingin berlayar, selalu singgah di desa tersebut untuk
bermalam. Karenanya desa itu cukup padat penduduknya, banyak yang membangun
rumah petak untuk disewa-sewakan.
Tak heran jika di desa itu pun ada seorang tokoh tua
yang punya nama di rimba persilatan. Tokoh tua itu
bernama Ki Wuyung Rabi, dari golongan pengelana
yang kini menetap di desa persinggahan itu. Tokoh tua yang usianya hampir
mencapai delapan puluh tahun itu
berusaha menerabas arak-arakan dan menemui Suto
Sinting sambil tetap berjalan.
"Suto Sinting! Aku Ki Wuyung Rabi, pernah ditolong oleh gurumu, Ki Sabawana
alias si GilaTuak!'
"O, salam hormatku untukmu, Ki Wuyung Rabi!"
"Terima kasih. Tapi ngomong-ngomong apa benar
kau mau bertarung sama Karto Dupak?"
"Dia menantangku, Ki! Aku sendiri tidak jelas
persoalannya! Tapi ia mendesakku agar melayani
tantangannya."
"Hati-hati saja! Dia muridnya Nyai Kucir Setan."
"Siapa itu Nyai Kucir Setan"!"
"Tokoh sesat yang baru bangkit dari kuburnya
setahun yang lalu. Kabarnya di alam kubur sana ia
memperoleh ilmu kesaktian yang amat tinggi, hingga
mampu bangkit dari kematiannya yang sudah sepuluh
tahun itu."
"Wah, seram juga, Kang!" ujar seorang anak remaja yang mengikuti percakapan itu
di belakang Suto.
"Sebaiknya urungkan saja pertarungan ini," kata Ki Wuyung Babi. "Jangan sampai
kau berurusan dengan Nyai Kucir Setan. Ilmunya sangat tinggi. Sudah bukan
ilmu manusia lagi yang digunakan, namun semuanya
serba ilmu setan!"
"Diurungkan..."!" Suto hentikan langkah dan menggumam. Mulai merenungkan usul Ki
Wuyung Rabi. Tapi beberapa orang yang mengikutinya saling
berseru, "Ayo, cepatlah! Kau sudah ditunggu Karto Dupak di Bukit Bogel itu, Suto!"
"Iya! Jangan takut. Maju terus pantang mundur,
kecuali kepepet!"
"Jangan ragu, Suto! Jangan kecewakan kami. Kami
mendukungmu! Hancurkan murid Nyai Kucir Setan
yang sering semena-mena terhadap penduduk desa kami
ini!" "Iya, Suto! Habisi saja dia. Kalau perlu dibuat rujak tumbuk sekalian!"
Suto Sinting bingung, seakan masyarakat
menuntutnya untuk tetap melangsungkan pertarungan.
Malahan ada yang mengejek dari jauh,
"Yeaah... baru mendengar nama Nyai Kucir Setan
saja sudah ciut nyalimu! Percuma punya gelar Pendekar Mabuk! Kalau takut,
mabuklah dulu, Suto!"
"Iya. Mabuk lagi saja! Mabuk lagi, Suto!"
Serombongan orang berseru dalam lagu, "Mabuk
lagiii, ah...! Mabuk lagi...! Tarung lagiii... ah! Tarung lagi!"
Suto Sinting hanya bisa geleng-geleng kepala.
* * * 3 KARTO DUPAK tampak tak sabar. Matanya
memandang tajam dan bengis ketika Suto Sinting tiba di depannya. Orang-orang
berkerumun mengelilingi
mereka membentuk satu arena. Ki Wuyung Rabi juga
ada di antara orang-orang itu. Matanya memandang
tajam kepada Karto Dupak, memancarkan kebencian
yang terpendam. Sedangkan Suto Sinting masih tetap
tenang, bersikap tak tegang sedikit pun. Malahan ia
sempatkan diri menenggak tuaknya. Glek, glek, glek...!
Orang-orang berseru,
"Nah, begitu! Mabuk dulu!" lalu mereka tepuk tangan bersama. Suto Sinting jadi
semakin tak enak hati. Ia ingin jelaskan bahwa sekalipun ia minum tuak satu
tabung penuh dihabiskan, ia tidak akan mabuk, karena tuak baginya bukan alat
untuk mabuk namun obat untuk
kesehatan badannya. Kesempatan untuk menjelaskan hal
itu tak ada, sebab Karto Dupak sudah mulai bicara
dengan nada geram.
"Kalau kau bisa unggul melawanku, aku akan mundur dari pinanganku. Tapi kalau
aku unggul melawanmu,
aku akan tetap melamar Muria Wardani. Kau mati atau


Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cacat, tak boleh menghalangi lamaranku lagi!"
"Muria Wardani itu siapa" Jelaskan dulu, Karto
Dupak!" "Banyak omong kau! Tentukan saja siapa yang mati.
Beres!" "Tidak. Aku tidak mau awali pertarungan ini jika kau tidak mau jelaskan siapa
Muria Wardani itu, sebab aku memang tidak kenal dengannya!"
"Cuih! Lagakmu memang memuakkan. Bikin hatiku
makin cemburu dan ingin membunuhmu! Terima saja
jurus 'Elang Seribu' ini! Heaaah...!"
Karto Dupak angkat kedua tangannya melewat batas
kepala, lalu kedua tangan yang melebar mirip seekor
elang ingin menyambar mangsa itu dihentakkan dalam
satu hentakan pendek. Deeb...! Dan dari kedua telapak tangan yang membentuk
cakar itu keluar serpihan serbuk warna biru mengkilap, mirip percikan bunga api.
Zrraaaab...! Serpihan serbuk biru itu menjadi satu dan mengarah
pada Suto Sinting, seolah-olah ribuan serbuk beling
ingin menerjang pori-pori tubuh Suto. Tapi dengan
tenang Suto Sinting memegang tali bumbung tuaknya,
lalu bumbung tuak itu diputar ke atas kepala. Wuuung...!
Wuuung...! Wuuung...!
Angin putaran bumbung menyebar, membuyarkan
serbuk biru, menerbangkan tiap butiran serbuk hingga
menempel pada daun-daun pohon sekeliling mereka.
Sementara itu, Karto Dupak sendiri tanpa sadar
tubuhnya ikut berputar bagaikan terbawa angin putaran bumbung tuak. Semakin
cepat putaran bumbung tuak,
semakin cepat pula tubuh Karto Dupak berputar, ia
berusaha menghentikannya, tapi sulit sekali
mengendalikan gelombang putaran yang terasa amat
kuat itu. Orang-orang tertawa dan bertepuk tangan melihat
Karto Dupak berputar-putar seirama dengan ayunan
putar bumbung tuak. Mereka tampak kegirangan melihat
Karto Dupak dipermainkan Suto Sinting. Bahkan ada
yang berseru dengan lantang,
"Putar terus sampai pagiii...!"
Suto Sinting segera hentikan permainan jurus 'Pusar
Pusing' itu. Ketika bumbung tuak sudah berada dalam
genggaman Suto, tubuh Karto Dupak masih berputar
bagaikan masih hanyut terbawa gelombang putaran di
sekelilingnya. Orang-orang tertawa sambil menuding-
nuding Karto Dupak. Salah seorang berseru,
"Hoi...! Berhenti! Bambunya sudah tidak diputar lagi kok masih mutar terus"
Ngigau kali tuh orang, ya?"
Brruk...! Karto Dupak jatuh terpuruk dalam keadaan
duduk, ia menggeram karena merasa pusing sekali.
Sementara itu, beberapa mata penonton tertuju pada
daun-daun pohon di sekeliling mereka. Daun-daun yang
terkena serbuk biru tadi saling mengering dan
berkeriputan bagai tak pernah kena sinar matahari.
Bahkan beberapa helai daun ada yang langsung rontok,
seakan sudah lama menjadi kering di atas sana. Berarti jika tadi serbuk biru itu
ada yang mengenai kulit
manusia, maka kulit orang itu akan berkeriput kering
seperti nasib daun-daun pohon tersebut.
"Ayo, bangun! Baru begitu kok sudah loyo"! Bangun, Karto...!' teriak beberapa
orang penonton.
Karto Dupak malu sekali dipermainkan seperti itu di
depan umum. Ia paksakan diri untuk bangkit dan
wajahnya dibuat kian angker, ia menuding salah seorang penonton yang berbaju
coklat. "Jangan bangga dulu dengan permainan konyolmu,
Suto! Kubalas kau dengan permainan mautku!"
"Hoi, yang dituding kok aku"!" kata orang itu. "Suto Sinting di sana! Di
belakangmu!"
"Huah, ha, ha, ha, ha...!" para penonton tertawa geli melihat Karto Dupak salah
tuding. Rupanya pengaruh
pusing membuat Karto Dupak memandang seseorang
dengan mata buram. Begitu dilihatnya baju warna
coklat, langsung orang itu disangka Suto Sinting.
Pendekar Mabuk sendiri tersenyum karena tak kuat
menahan geli. Pikirnya, "Sebaiknya tak perlu kutanggapi serius. Cukup kuberi
berbagai pelajaran konyol saja biar dia jera sendiri dan tak mau menantangku
lagi!" Karto Dupak kejap-kejapkan matanya. Setelah bisa
melihat dengan lebih terang lagi, barulah ia menghadap Suto Sinting dan berkata,
"Hmm...! Cepat sekali kau pindah tempat. Kau pikir aku heran dengan ilmumu
itu"!"
Yang menjawab penonton di belakang Suto, "Siapa
yang pindah tempat, orang dari tadi dia di sini kok.
Weeee...!"
"Diam kau!" bentak Karto Dupak pada orang yang berani bicara itu. Sebagai
pelampiasan rasa malunya, orang itu dihantam dengan pukulan jarak jauh tanpa
sinar. Wuuuut...! Suto Sinting merasakan ada hawa
panas melesat menuju orang di belakangnya. Langsung
saja Suto ayunkan bumbung tuaknya berkelebat.
Wuuus...! Angin dari ayunan bumbung tuak itu
bertabrakan dengan gelombang hawa panas yang
dilepaskan Karto Dupak. Duaar...!
"Eh, kuda, kambing, ayam, kalkun, monyet, bagong, petruk, iih... bikin kaget
saja!" Terjadi ledakan tak seberapa kuat namun suaranya
cukup mengejutkan, membuat salah seorang penonton
yang latah mengoceh tak karuan. Orang itu akhirnya
malu sendiri. Karto Dupak semakin jengkel, ia segera melompat
menerjang Suto dengan gerakan cepat bagaikan angin
berkelebat. "Heaaat...!"
Wuuut...! Buuuhk...! Pendekar Mabuk tersentak mundur dua tindak ketika
tangannya menangkis tendangan telapak kaki Karto
Dupak yang menjejak. Rupanya jejakan kaki itu punya
tenaga dalam besar, sehingga tangan Suto yang
menangkisnya terasa ngilu sekali. Seakan tulang-
tulangnya dicekam hawa dingin melebihi dinginnya es
balok. Para pengagumnya sempat cemas melihat Suto
tersentak mundur.
"Lumayan juga tenaga dalamnya! Kalau aku bertahan untuk tetap di tempat, bisa
patah tulang tanganku ini!"
pikir Suto Sinting dengan menarik napas untuk
menghilangkan rasa ngilu di tulang tangannya itu.
Sementara itu, Karto Dupak bagaikan mendapat
semangat untuk menyerang lebih gesit lagi, sehingga
kapaknya pun segera dicabut dari pinggang.
Wuuut...! "Sudah bukan saatnya untuk main-main, Bangsat!"
geramnya penuh nafsu untuk membunuh.
Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Seorang
penonton ada yang berkata, "Lho, mau dibunuh kok malah minum dulu" Benar-benar
sinting anak itu!"
Tentu saja kesempatan tersebut dipergunakan oleh
Karto Dupak untuk menyerang Suto Sinting yang
dianggap lengah. "Heaaat...!"
Satu lompatan menerjang Suto Sinting. Kapak besar
berujung pisau ditebaskan ke arah Pendekar Mabuk,
membelah kepala sang pendekar. Wuuung...! Tapi
dengan kaki merendah Suto melintangkan bumbung tuak
yang buru-buru ditutup itu. Bumbung tuak dipegang dua tangan, lalu kapak itu
menghantam bumbung tuak.
Traaang...! Kapak itu bagai menghantam besi baja.
Kepala Suto mundur satu sentakan, kalau tidak akan
terkena pisau di ujung kapak itu. Dan pada saat itu juga mulut Suto yang masih
menampung air tuak belum
ditelan segera disemburkan. Bruuusss...!
"Ha, ha, ha, ha, ha...!" para penonton tertawa, dianggapnya itu sudah kekonyolan
Suto Sinting. Kesannya memang seperti meremehkan lawan, tapi
sebetulnya semburan tuak itu adalah jurus maut juga
yang dinamakan jurus 'Sembur Siluman'.
Karto Dupak terpaku di tempat saat ia menyadari
tangannya sudah tidak menggenggam kapak lagi.
Matanya membelalak lebar, celingak-celinguk mencari
senjatanya. Orang-orang pun ikut mencari dengan
pandangan mata keheranan. Tapi Ki Wuyung Rabi
tampak tersenyum-senyum saja, karena ia tahu jurus
'Sembur Siluman' bisa melenyapkan senjata atau barang yang terkena semburan tuak
tersebut. "Bangsat kurap! Kau kemanakan kapakku, hah"!"
sentak Karto Dupak dengan sangat berang.
"Kapakmu ada di alam gaib. Kupindahkan ke sana
karena membahayakan keselamatan orang banyak!"
"Setan cingur! Kembalikan kapakku atau kuhabisi nyawamu dengan jurus andalanku
yang kali ini! Kembalikan!"
"Tidak!" jawab Suto sambil menggeleng dan
tersenyum tipis. Tentu saja hati Karto Dupak dongkol
sekali, karena merasa dipermainkan untuk bahan
tertawaan para penonton. Maka, Karto Dupak tidak mau
tanggung-tanggung lagi. Jurus andalannya dilepaskan
berupa dua sinar biru yang melesat dari matanya.
Claaap...! Suto Sinting menangkis sinar biru itu dengan
bumbung tuak. Sifat kesaktian bumbung tuak itu adalah memantulkan serangan lawan
membuat serangan itu dua
kali lebih besar dari aslinya dan bergerak lebih cepat.
Maka sepasang sinar biru itu pun memantul balik setelah menghantam bumbung tuak
tersebut. Zraaab...! Blaaar...!
Karto Dupak terkejut melihat sinar birunya memantul
balik dalam keadaan lebih besar dari aslinya. Keadaan kaget Karto Dupak
membuatnya tak sempat menghindar
atau menangkis dengan jurus lain. Akibatnya dia
menjadi korban senjatanya sendiri. Terhempas
melambung tinggi dan jatuh bagaikan nangka busuk
dibanting dari pohon setelah terdengar ledakan
menggelegar tadi. Bruukk...! Prook..!
"Aaaa...!"
Bukan Karto Dupak yang menjerit, tapi beberapa
penonton wanita yang tidak tega melihat keadaan Karto Dupak. Sebagian penonton
memalingkan wajah, tak
berani memandang Karto Dupak, karena tubuh Karto
Dupak langsung terpotong-potong menjadi beberapa
bagian akibat terkena sinarnya sendiri. Potongan
tubuhnya bukan dalam keadaan utuh, melainkan dalam
keadaan hangus. Barangkali saja sinar biru itu
sebenarnya membuat lawannya menjadi hangus. Tapi
karena memantul balik lebih besar, akhirnya si korban
bukan saja hangus melainkan juga terpotong-potong
menjadi beberapa bagian.
"Senjata makan tuan itu namanya!" kata salah seorang kepada temannya. Mereka
saling berkasak-kusuk, menggaung seperti ratusan lebah. Sedangkan
Suto Sinting diam tertegun dengan wajah penuh sesal.
Bahkan sampai KI Wuyung Rabi mendekatinya, Suto
masih diam saja.
"Sudahlah, jangan kau sesali, karena ini sudah
kehendak Karto Dupak sendiri."
"Seharusnya tidak perlu sampai begini!" ujar Suto dengan nada pelan, penuh rasa
sesal yang amat dalam.
"Dia bukan musuh beratku. Dia bukan orang paling berbahaya. Tak perlu
pertarungan ini harus memakan
korban jiwanya. Seharusnya cukup kuberi pelajaran saja biar ia jera. Tapi...."
"Tinggalkan tempat ini sebelum Nyai Kucir Setan
mengetahui kabar kematian muridnya."
"Aku malah ingin temui dia untuk jelaskan perkara kematian muridnya ini!"
"Apakah kau sudah siap menghadapi murkanya?"
tanya Ki Wuyung Rabi. "Perempuan itu bukan orang yang mudah diajak bicara, sulit
diberi pengertian. Kalau ia murka padamu, kau bisa kewalahan menghadapinya.
Salah-salah nyawamu bisa melayang di tangannya! Dia
mempunyai beberapa jurus maut yang amat dahsyat dan
sukar ditandingi."
"Apa pun jadinya, akan kuhadapi sebagai akibat dari keteledoranku dalam
pertarungan ini!"
Ki Wuyung Rabi menarik napas dalam-dalam.
Seseorang yang sengaja mendengarkan percakapan itu
berkata kepada temannya,
"Yang unggul dia kok malah dia yang merasa
teledor?" "Iya. Padahal kita sangat bangga melihat
kemenangannya, tapi dia malah tampak menyesal atas
kemenangan ini, ya" Aneh sekali dia itu!"
Ki Wuyung Rabi berkata kepada Suto Sinting, "Kalau memang kau ingin temui Nyai
Kucir Setan, kau bisa
berjalan dari sini ke arah timur. Nanti kau akan jumpai Bukit Kelabang. Di dalam
hutan Bukit Kelabang itu kau akan temukan sebuah pondok. Di situlah Nyai Kucir
Setan bermukim."
"Kalau begitu aku harus ke sana sekarang.
Kubatalkan perjalananku untuk sowan ke pondoknya
Resi Wulung Gading."
"Pertimbangkan mana yang lebih penting menurutmu.
Yang jelas, aku ingin pergi ke Jurang Lindu untuk temui gurumu, sekadar
silaturahmi. Sudah sangat lama aku
tidak jumpa gurumu!"
"Guru dalam keadaan baik-baik saja, Ki. Kurasa beliau bisa kau temui di Jurang
Lindu. Jika tak ada di sana, mungkin beilau ada di tempat Bibi Guru Bidadari
Jalang, di Lembah Badai!"
Pendekar Mabuk berpisah dengan Ki Wuyung Rabi.
Ia bergegas menuju ke arah timur, mencari Bukit
Kelabang. Tetapi perjalanan itu rupanya ada yang
mengikuti dari belakang. Seseorang mengikuti Suto
secara diam-diam dengan sesekali menyelinap di balik pohon. Setiap Suto menengok
ke belakang, orang itu
lebih dulu lenyap di balik persembunyiannya.
Gerakannya cepat sekali, sehingga Pendekar Mabuk tak
bisa memergoki keberadaan orang tersebut.


Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ilmunya lumayan tinggi," gumam Suto Sinting dalam hati. "Entah apa maksudnya,
tapi sejauh ini kulihat ia hanya mengikutiku saja. Mungkin ia akan menjebakku di
suatu tempat. Tapi mungkin saja ia
sekadar ingin tahu perjumpaanku dengan Nyai Kucir
Setan. Yang jelas, orang itu pasti tadi ada di antara para penonton. Hmmm...
sebaiknya kujebak dia di balik
tikungan itu saja!"
Suto Sinting segera membelokkan arah langkahnya
ke tikungan gugusan cadas yang membukit. Orang yang
mengikutinya tampak bergegas lebih cepat lagi karena takut kehilangan jejak.
Pendekar Mabuk bersembunyi di atas sebuah pohon berdaun lebat. Ia berdiri di
antara ranting-ranting kecil, yang jika diinjak manusia biasa akan roboh dan
patah. Tapi karena Suto menggunakan
ilmu peringan tubuhnya, maka ranting dan daun itu
bagai tak mengalami tekanan apa pun.
Ternyata yang mengikuti Suto adalah seorang
perempuan berjubah hijau tua. Jubahnya dari bahan kain mengkilap dengan hiasan
bunga putih kecil-kecil.
Usianya sekitar dua puluh empat tahun, berwajah cantik, berkulit putih mulus. Ia
mengenakan pinjung kain jenis sutera transparan warna merah jambu.
Suto Sinting tersenyum geli melihat gadis bertubuh
sekal dan berdada montok itu kebingungan mencari
mangsanya. Sudah lari ke sana, kembali lagi ke sini. Lari ke tempat datangnya
tadi, kembali lagi ke bawah pohon, ia seperti seorang ibu kehilangan anak
susuannya. Akhirnya Suto Sinting menampakkan diri ketika
gadis itu duduk termenung di atas batu setinggi lutut.
Wajahnya tampak sedih dan Suto Sinting tak tega
melihat kemurungan di wajah cantik itu. Dengan
gerakan cepat menerabas dedaunan tapi dedaunan tidak merasa diterabas, Pendekar
Mabuk tahu-tahu sudah ada
di belakang gadis itu, agak menyamping.
Suto berlagak batuk-batuk kecil membuat gadis itu
kaget dan cepat berpaling.
"Kau mencariku, Nona?" sapa Suto dengan senyum keramahan. Gadis itu terperangah
sesaat memandangi
ketampanan yang menggetarkan hati itu. Namun ia buru-
buru kuasai diri dengan menarik napas dan
menyunggingkan senyum sinis.
"Aku tidak mencarimu!" katanya. "Kebetulan saja aku kehilangan arah jadi bingung
sendiri." "O, kehilangan arah," kata Suto berpura-pura mempercayai jawaban itu, tapi
senyumnya makin lebar
pertanda merasa kian geli dengan sikap si gadis yang serba salah.
"Kalau begitu aku mengganggu ketenanganmu, ya"
Sebaiknya aku permisi saja, Nona! Maafkan kehadiranku ini!"
"Tunggu...!" gadis itu menahan ketika Suto Sinting ingin pergi. Padahal Suto
hanya berpura-pura untuk
memancing perasaan si gadis.
"Apakah kau tak ingin menolongku?"
"Menolong dalam hal apa?" tanya Suto Sinting dengan nada suara yang lembut dan
selalu menyejukkan
hati para gadis itu.
"Aku... aku kehilangan arah menuju pulang ke
rumah." "Kau tinggal di mana?"
Sambil menunggu jawaban si gadis, Suto Sinting
meneguk tuaknya sedikit sebagai pembasuh mulut dan
bibir. Dengan begitu bibirnya tampak ranum segar
karena basah. Tentu saja mata si gadis semakin terpana tak berkedip. Ketika Suto
tertawa tanpa suara, si gadis baru sadar kalau dirinya telah hanyut dalam
kekaguman hatinya sendiri.
"Kutanyakan tadi, kau tinggal di mana, Nona
Cantik?" "Lereng gunung."
"Gunung apa" Di sini banyak gunung. Bahkan
gunung yang paling dekat denganku pun ada!"
Wajah gadis itu menjadi semburat merah dadu. Mata
pendekar tampan itu nakal. Si gadia jadi malu. Untuk
menutup perasaan kikuknya, si gadis buru-buru
menjawab, "Aku tinggal di lereng Gunung Siwalan."
"Gunung Siwalan"!" Suto Sinting kerutkan dahi.
"Aku baru dengar nama gunung itu. Gunung Siwalan atau Gunung Sialan?"
"Hmmm... yang mana saja, terserah kau!" jawabnya membuat Suto kian perpanjang
tawa. Kali ini terdengar
seperti gumam memanjang. Gadis itu tundukkan wajah
tanda malu perlihatkan senyumnya.
Mata Suto Sinting belum mau lepas pandangi
kecantikan yang ada di depannya. Hidung bangir, mata
bulat indah, bibir mungil menggairahkan, dada
membusung, rambut disanggul kecil di tengah sisanya
meriap sepanjang punggung. Ah, semua itu benar-benar
rangkaian dari sebentuk kecantikan yang memukau hati.
Gadis itu mengenakan gelang hijau giok dan kalung
berbandul batuan hijau giok juga dikelilingi oleh butiran mutiara kecil.
Perhiasan itu menambah kecantikan yang berkesan mahal bagi mata setiap lelaki.
"Aku tak mengerti di mana letak Gunung Siwalan itu.
Barangkali kau bisa kasih tahu ciri-cirinya?"
"Ciri-cirinya... ada pohon, ada batunya, ada...."
"Ada monyetnya?" sahut Suto.
"Tidak ada. Sebab sekarang sedang berada di
depanku!" jawabnya sambil tersenyum geli. Suto
perdengarkan tawa sedikit keras namun tampak sopan
dan menawan. "Kalau begitu akulah monyet Gunung Siwalan!" kata Suto menambah kelakar di bawah
pohon peneduh itu.
Tapi dalam hati Suto punya kata-kata sendiri,
"Dia ingin mengakrabkan diri denganku. Dia
mencoba berkelakar, agaknya suka dengan kelakar
seperti itu. Hmm... anak siapa dia sebenarnya kok
cantiknya seperti ini" Aku jadi ingat calon istriku: Dyah Sariningrum. Dia juga
punya kecantikan seperti ini.
Tapi, ah... rasa-rasanya janggal sekali gadis secantik dia
tersesat di tempat seperti ini. Pasti dia punya keperluan denganku."
Kemudian Pendekar Mabuk bertanya, "Siapa
namamu, Nona?"
"Menurutmu siapa?"
"Konyol juga si cantik ini!" gumam Suto dalam hatinya. Tawa Suto yang
mengguncangkan pundak itu
membuat si gadis semakin berani sunggingkan senyum
melebar. "Namaku.... Telaga Sunyi."
"Wow...! Nama julukan yang cantik sekali. Pas untuk gadis secantik kau!"
Hati sang gadis berkata dalam hati, "Ah, dia selalu bikin jantungku berdebar-
debar. Dia pandai memikat
hati. Mungkin seribu gadis sudah pernah jatuh dalam
pelukannya. Tapi... biarlah, semuanya biar berlalu, dan aku pun barangkali akan
berlalu." Lalu terdengar suara Suto Sinting berkata,
"Seandainya aku punya nama seperti itu, akan kuukir pada setiap pohon sepanjang
Tanah Jawa ini. Sayangnya namaku tak seindah namamu. O, ya... kau perlu tahu
namaku?" "Sudah tahu! Namamu Suto Sinting, bukan" Kau
murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, bukan" Kau
punya gelar Pendekar Mabuk, bukan?"
"Rupanya kau lebih banyak tahu tentang diriku. Pasti kau ada di antara penonton
yang mengelilingi
pertarunganku dengan Karto Dupak tadi!"
"Memang."
"Lalu apa maksudmu mengikutiku" Aku yakin kau
punya maksud tertentu! Katakan saja, barangkali aku
bisa membantumu!"
"Ayahku sakit. Aku butuh seorang tabib. Kudengar kau juga dijuluki sebagai Tabib
Darah Tuak. Aku ingin mengundangmu datang ke rumah untuk mengobati
ayahku. Tapi aku tak berani mendekatimu."
"Kenapa tak berani?"
"Takut kau sangka aku terpikat olehmu dan mengada-ada!"
"Kalau toh benar begitu aku tak akan marah!"
"Ah, tidak sebenar itu! Aku hanya butuh bantuanmu sebagai tabib."
"Sakit apa ayahmu?"
"Kata beberapa orang pintar, beliau terkena Ilmu
'Teluh Cakar Buntung'. Sudah tiga belas tabib yang
menanganinya, tapi tak ada yang mampu membereskan
ilmu teluh itu."
"Teluh Cakar Buntung'...!" gumam Suto. Lalu tersenyum tipis setelah berkerut
dahi, "Aneh sekali namanya. Umumnya kalau tangan buntung itu tidak bisa
dipakai untuk mencakar. Tapi ini malah 'cakar
buntung'"!"
Telaga Sunyi angkat pundak tanda tak mengerti
maunya si pemilik ilmu hingga memberi nama seperti
itu. Gadis itu akhirnya setengah mendesak Suto dengan pertanyaan halus,
"Sudikah kau menolong ayahku?"
Setelah menghempaskan napas panjang Pendekar
Mabuk pun menjawab. "Demi menyelamatkan jiwa
seseorang, aku tak pernah keberatan memberikan
pertolongan."
"Berapa upah yang harus kuberikan padamu sebagai tabib?"
"Terlalu mahal untuk dibayar, terlalu murah untuk diremehkan. Yang jelas aku
bukan tabib. Aku seorang
pendekar! Kalau toh ada yang mengatakan aku tabib, itu hak mereka sebagai
manusia yang bebas berpendapat."
"Enak sekali bicaranya," pikirnya si gadis.
"Barangkali yang bikin menarik adalah senyumannya.
Senyum kejantanan yang sering kuimpikan, namun tidak
untuk kumiliki! Karena tak mungkin dia mau kumiliki.
Jadi lebih baik aku tidak perlu berharap untuk bisa
memiliki dia!' Begitulah hati Telaga Sunyi yang menentang
perasaannya sendiri. Sebab itu ia tak berani berjalan terlalu dekat dengan Suto
Sinting, ia selalu jaga jarak, karena jika terlalu dekat hasrat hatinya selalu
ingin menggandeng lengan sang pendekar tampan itu. Ia
membatasi diri demi menyelamatkan hatinya agar tak
timbul luka oleh harapannya sendiri.
Pendekar Mabuk tak merasa kecewa menunda
niatnya bertemu Nyai Kucir Setan, karena menurutnya
ada hal yang lebih perlu lagi untuk dilakukan. Bertamu dengan ayahnya Telaga
Sunyi merupakan suatu
pengalaman baru baginya. Karena ia akan bertemu
dengan orang yang menderita Ilmu 'Teluh Cakar
Buntung', ia sangat penasaran, seperti apa korban 'Teluh
Cakar Buntung' itu" Apakah ia mampu
menyembuhkannya, atau malah membuat si penderita
semakin parah" Secara jujur diakui hati Suto, bahwa ia ingin menjajal
kemampuannya dalam melawan ilmu
teluh semacam itu. ia pun ingin mengukur, sebesar apa kekuatan ilmu teluh
tersebut. Sayang sekali mereka tak bisa cepat tiba di rumah
Telaga Sunyi, karena tiba-tiba sebatang anak panah
melesat dari arah samping Suto Sinting. Zlaaap...!
Tangan Suto berkelebat ke samping dengan sedikit
gerak pundak serong ke arah datangnya anak panah.
Teeb...! Dalam waktu sekejap, dengan gerak yang nyaris tak terlihat, anak panah
itu sudah tertangkap dalam
genggaman Pendekar Mabuk.
Telaga Sunyi kaget melihat anak panah bermata emas
itu. Ia mulai gusar, dan Suto menangkap kegusaran itu sebagai kecemasan yang
amat dalam. Suto pun berbisik,
"Bersembunyilah! Akan kuhadapi sendiri orang ini!"
* * * 4 MUNCULNYA seorang pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahun membuat Pendekar Mabuk berkerut
dahi. Tentu saja Suto heran dengan pemuda berkumis
tipis yang punya ketampanan lumayan itu. Ia belum
pernah jumpa dengan pemuda berambut pendek yang
mengenakan ikat kepala dari logam emas, tengahnya
berhias batu merah bening. Penampilannya cukup
memukau, ia berpakaian merah, baju panjang warna
putih berkancing emas, rompi merah dan celana merah
bersulam benang emas pada tepiannya. Tangan kirinya
menggenggam busur panah yang terbuat dari kayu
berlapis emas pada ujung-ujungnya. Sedangkan anak
panah ada di dalam kantong kulit yang bertali, dan
talinya diselempangkan di dada. Tempat anak panah itu ada di sebelah kiri.
"Gagah sekali dia. Berkesan mewah. Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Bukan
seorang pengelana
dan bukan pula seorang dari rimba persilatan," pikir Suto Sinting dengan sikap
memandang penuh selidik. Pemuda
itu kalem-kalem saja. Caranya memandang juga kalem,
tapi punya kesan bermusuhan dengan Suto Sinting.
Ia berhenti tepat di depan Suto dalam jarak lima
langkah. Keduanya sama-sama berdiri tegak, kedua kaki sedikit merenggang.
Tingginya sama, besar badannya
juga sama. Yang beda cuma ketampanannya dan
pakaiannya. Suto Sinting lebih kumuh dari pemuda itu.
Tangan Suto masih menggenggam anak panah yang tadi
ditangkapnya. Dengan alasan itu Suto Sinting
mengawali percakapannya.
"Kau pemilik anak panah ini?"
"Benar!" jawabnya tegas, sama tegasnya dengan nada suara Suto Sinting.
"Kau sengaja membidikkan anak panah ini
kepadaku?"
"Sengaja!"
"Apa alasanmu" Kita belum pernah saling kenal."
"Namaku Pangeran Kertapaksi dan kau Pendekar
Mabuk; Suto Sinting! Sekarang kita sudah saling kenal!"
"Dari mana kau tahu namaku?"
"Ciri-cirimu sangat jelas dan kucatat dalam otakku!"
"Syukurlah kalau kau masih punya otak," ujar Suto sambil tersenyum bernada
melecehkan. Pangeran
Kertapaksi tersenyum sinis. Hanya ujung bibir kanannya yang ditarik naik
sedikit. Matanya tetap menatap tajam berkesan dingin.
"Mengapa kau ingin membunuhku, Kertapaksi?"
"Syarat untuk meminang Putri Muria Wardani adalah menyingkirkan kau dalam
hidupnya!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi. "Tadi Karto Dupak
juga menyinggung-nyinggung nama perempuan itu,
sekarang Kertapaksi juga menyinggung nama itu. Siapa


Pendekar Mabuk 040 Asmara Berdarah Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemilik nama itu sebenarnya" Mengapa dihubungkan
dengan diriku"!" pikir Suto Sinting bingung sendiri.
Kala ia berpikir, Kertapaksi berucap kata dengan nada ketus.
"Buatku adalah hal
yang paling mudah menyingkirkan dirimu. Tapi aku akan beri kebijaksanaan padamu. Jika kau mau
menyingkir dari kehidupan Muria
Wardani, aku tak akan memusuhimu. Bahkan aku ingin
bersaudara denganmu. Tapi jika kau tak mau mundur,
aku terpaksa menyatakan perang padamu, Suto Sinting!"
"Nanti dulu!" sergah Suto. "Sejujurnya kukatakan padamu, aku tidak kenal siapa
Muria Wardani itu!"
Kertapaksi sunggingkan senyum sinis lagi sebagai
tanda tak percaya. Sekali lagi Pendekar Mabuk dibuat
heran melihat senyum tidak percaya itu, sebab Karto
Dupak pun tidak mau percaya dengan pernyataannya itu.
"Ada apa sebenarnya?" gumam murid sinting si Gila Tuak, seakan bicara pada
dirinya sendiri. Tapi
Kertapaksi menanggapinya dengan nada ketus,
"Apa maksudmu berpura-pura bingung" Apakah kau
takut melawanku" Kalau kau takut, kau mundur saja.
Putuskan hubungan cintamu dengan Muria Wardani!"
"Ini lebih edan lagi!" gerutunya dalam hati. Lalu, Suto berkata dengan suara
jelas, "Aku tidak punya hubungan cinta dengan Muria Wardani. Jangan libatkan
aku dalam urusan ini!"
Senyum Kertapaksi kian lebar, kian berkesan sinis
dan melecehkan. "Kalau saja Muria Wardani mendengar sendiri ucapanmu, pasti kau
akan ditamparnya dan
mungkin dia akan sakit hati padamu seumur hidup!"
"Kau orang yang sulit diberi penjelasan, Kertapaksi!"
"Karena aku bukan anak kecil yang mudah kau tipu dengan gayamu itu, Pendekar
Mabuk!" Kali ini ucapan Kertapaksi agak keras, sebagai tanda bahwa ia mulai
jengkel kepada lawan bicaranya.
"Barangkali memang sudah menjadi gayamu, karena
kau memegang gelar pendekar, maka kau selalu
merendahkan diri di depan siapa saja. Tapi sikapmu itu semata-mata untuk
menghindari pertarungan denganku.
Sikapmu itu termasuk suatu kelicikan, Suto! Tak pantas seorang pendekar kondang
bersikap licik seperti itu!"
Kertapaksi berjalan memutari Suto Sinting. Sambungnya lagi,
"Aku bisa meraba siasatmu. Kau berlagak tak kenal dengan Muria Wardani supaya
terhindar dari permusuhan denganku. Tapi diam-diam kau telah punya
rencana untuk membawa lari Muria Wardani di saat aku
lengah dan tak menduga begitu!"
Kertapaksi tiba di tempat semula dan berhenti,
menghadap Suto Sinting dengan tegap lagi. Ia menuding menggunakan busurnya,
"Kau pengecut! Tak pantas jadi seorang pendekar!
Kalau kau takut bertarung, jangan menyandang gelar
pendekar!"
"Bukan pertarungan yang kutakuti, tapi kekalahanmu itu yang kucemaskan,
Kertapaksi!" kata Suto dengan nada balas mengejek lawannya.
"Kalau begitu kita buktikan siapa yang unggul di antara kita!"
"Apakah itu perlu?" ujar Suto dengan maksud menghindari pertarungan seperti
menghadapi Karto
Dupak tadi. "Kurasa itu memang perlu," ujar Kertapaksi sedikit mendesak. "Kita perlu saling
membuktikan, siapa yang unggul di antara kita, dan siapa yang berhak mengawini
Murla Wardani."
Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala sambil
tersenyum tenang. Bukan berarti dia tak mau menerima
tantangan itu, tapi merasa heran mengapa Kertapaksi
sengotot itu kepadanya. Kertapaksi diam tak bergerak, tapi dari kedua matanya
memancarkan sinar kebencian
yang begitu kuat. Suto Sinting merasakan kebencian itu
menembus sampai ke dasar hatinya, ia hanya menarik napas sebagai rasa iba
melihat sikap Kertapaksi yang dianggap keliru itu.
"Cobalah dinginkan kepalamu, Kertapaksi. Kau salah sasaran. Barangkali bukan aku
orang yang patut kau
benci!" "Kau...!" jawab Kertapaksi dengan tegas sekali.
Pendekar Mabuk sengaja tertawa dalam gumam.
Kemudian ia membuka bumbung tuaknya untuk
meneguk tuak. Namun baru saja ia mau melepas tutup
bumbung itu, tiba-tiba tangan Kertapaksi yang kanan menghentak ke depan.
Wuuut...! Wuuus...! Deeb!
Pukulan tenaga dalam padat menghantam pinggang
Suto Sinting. Pukulan itu sebenarnya dapat membuat
tubuh Suto mental sekitar lima langkah ke belakang,
karena cukup besar dan berat. Hanya saja, Suto Sinting masih bisa menahan dengan
mengencangkan perutnya
saat menerima pukulan itu, sehingga ia hanya
menggeloyor ke belakang dua tindak. Tapi napasnya
terasa sesak dan berat untuk dihela. Bumbung tuaknya
masih dalam keadaan terangkat mau dibuka tutupnya.
Bumbung tuak itu akhirnya berkelebat ke samping kiri
ketika Kertapaksi lepaskan pukulan bercahaya merah
dari ujung busur yang disodokkan ke depan. Claap...!
Draak! Wuuus....
Sinar merah itu membentur bumbung tuak dan
berbalik arah. Wuuut...!
Kertapaksi tersentak kaget dan gerakkan nalurinya
menghentakkan kaki hingga ia melesat ke atas dalam
gerakan salto. Wuk, wuk...! Dan sinar merah yang
berubah lebih besar itu menghantam sebuah pohon
dengan kerasnya. Blegaar...!
Kraaak...! Bruuussk...!
Pohon itu tumbang seketika, pecah dalam keadaan
terbelah menjadi lima bagian memanjang. Mata pemuda
berkumis tipis itu sempat terperanjat melihat pohon itu menjadi terbelah begitu
dalam keadaan keluarkan asap
yang menghanguskan bagian kulitnya.
"Edan! Jurusnya siapa itu" Jurusku tidak sedahsyat itu. Jurusku hanya bisa
membakar kulit tubuh lawan,
tidak sampai memecahkan pohon sebesar itu," pikir Kertapaksi dengan menelan
ludahnya sendiri, merasa
ngeri membayangkan seandainya yang terkena sinar
merah itu adalah manusia, entah seperti apa jadinya.
Namun pemuda beralas kaki sandai lilit itu tetap
tunjukkan sikap tenangnya, ia tak mau dilihat
keheranannya oleh lawan. Bahkan ia sempat tersenyum
sinis, seakan memamerkan kekuatan ilmunya yang bisa
memecahkan pohon sebesar itu.
"Kurasa kau sudah cukup mengenali ilmuku, Suto
Sinting. Seperti itulah kira-kira ilmuku. Untung kau tadi bisa menangkisnya
dengan bumbung tuakmu, jika tidak
kau akan bernasib seperti pohon itu, tahu"!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis. Kemudian
segera meneguk tuaknya, ia lebih kalem dan lebih tenang dari Kertapaksi. Setelah
meneguk tuaknya, suaranya
segera terdengar dengan jelas.
"Kuakui kau punya ilmu yang hebat, dan pasti lebih
tinggi dariku. Jadi, kurasa kau bukan lawan tandingku.
Kuakui kehebatanmu, Kertapaksi. Puas"!"
"Apakah kau ingin halangi niatku mempersunting
Muria Wardani?"
"O, tidak! Silakan saja!"
"Kau mau memutuskan hubungan cintamu
dengannya?"
"Dengan senang hati, karena memang aku tak punya hubungan apa-apa!"
"Hmm...!" Kertapaksi mencibir sinis. Setelah diam sesaat dalam beradu pandang,
Kertapaksi akhirnya
berkata, "Rasa-rasanya belum puas hatiku mendengar jawaban dan pernyataanmu! Kubaca
hatimu, kau punya siasat
licik untuk mengecohkan diriku!"
"Percayalah! Aku tak akan menemui Muria Wardani
lagi!" "Kupandangi matamu dan kutemukan sorot
kebohongan yang amat besar! Rupanya kau perlu dibuat
jera dengan membuatmu terluka dulu!"
"Kertapaksi, kumohon jangan menyerangku!"
"Tidak bisa! Kau harus menerima pukulan 'Racun
Gempur Tulang' ini, heeah...!"
Rupanya pemuda berkulit tipis itu penasaran sekali
melihat Suto Sinting masih segar bugar, ia ingin melukai Suto sebagai tindakan
yang lebih nyata lagi atas
kesaktian ilmunya. Maka dilepaskanlah pukulan bersinar kuning memutar seperti
angin puting beliung dari
telapak tangan kanannya. Wusst...! Sinar kuning
memutar itu menghantam Suto Sinting. Tetapi keadaan
Suto Sinting cukup siap. Tangan kirinya segera
mengembang dengan jari merapat. Lalu tangan itu
menghentak ke depan dan keluarlah sinar ungu sebesar
lidi. Sinar itu melesat lurus membentur sinar kuning
besar. Tapi sinar kuning itu tertahan di pertengahan
jarak. Makin lama gerakannya semakin mundur karena
terdesak oleh sinar ungunya Suto.
Kertapaksi menahan sinar kuningnya agar tetap
memancar hingga tubuhnya bergetar. Suto Sinting hanya bergetar bagian tangan
yang memancarkan sinar ungu
itu. Lalu, kaki Suto menghentak ke tanah satu kali, seakan melepaskan tenaga
dalam jurus itu secara tuntas.
Duuuk...! Wuuut...! Sinar kuning terdesak mundur dengan cepat
dan menghantam tangan pemiliknya sendiri. Blaam...!
Keadaan sinar itu sudah bercampur dengan sinar
ungunya Suto, sehingga Kertapaksi pun memekik
kesakitan. "Aaahg...!" tubuhnya terlempar ke belakang
manakala sinar-sinar itu padam, seakan telah
menghantam tubuh Kertapaksi. Kejap berikutnya
Kertapaksi mengejang dan menggeliat-geliat dengan
mata mendelik dan mulut ternganga-nganga. Dari
mulutnya keluar asap, juga dari hidung dan telinga. Asap itu berwarna kuning,
sebagai pertanda jurus 'Racun
Gempur Tulang' telah mengenai pemiliknya sendiri.
Pada saat itu terdengar suara langkah kaki kuda
mendekati tempat tersebut. Dari deru irama langkahnya,
Suto yakin ada dua ekor kuda yang menuju ke tempat
itu. Untuk melihat siapa yang datang, Suto Sinting
segera hentakkan napas ke bawah, perut menjadi keras
dan tubuh pun melesat naik dalam keadaan seperti
berdiri tegak. Lalu menerabas dedaunan dan hinggap di salah satu ranting sebesar
pensil tulis. Wuuut! Wruus...!
Suto diam di sana sambil memperhatikan ke arah
Pedang Langit Dan Golok Naga 29 Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long Kaki Tiga Menjangan 11
^