Pencarian

Pisau Tanduk Hantu 3

Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu Bagian 3


terdengar dan tidak menimbulkan khayalan indah
menuntut batin. Tak terasa mereka sudah cukup lama
berkasak-kusuk di balik kerimbunan semak, sehingga
suara-suara mesra itu pun hilang dan berganti
percakapan ringan penuh tawa cekikikan.
"Mereka sudah selesai berlayar. Kita dengarkan
percakapannya," bisik Suto Sinting kepada Teratai Kipas, lalu keduanya berbalik
arah, menyingkapkan
daun-daun ilalang pelan-pelan.
Menak Goyang dan Durjana Belang sama-sama tidak
tahu kalau dua pasang mata sedang memperhatikan
mereka. Tak aneh lagi jika Menak Goyang bicaranya
kelewat batas, sedikit ngeres, karena ingin memancing kemesraan lebih lama
dengan Maling Sakti. Agaknya si Maling Sakti sudah cukup puas bercanda dengan
nada ngeres, sehingga ia bicara ke masalah Pisau Tanduk Hantu.
"Hampir saja aku tertangkap basah oleh si Pendekar Mabuk kalau saja Pisau Tanduk
Hantu tidak kau pimjam untuk mengalahkan lawanmu itu."
"Apakah mereka menggeledahmu?"
"Ya. Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas serta gadis yang bertarung denganku itu
sempat menggeledahku.
Tentu saja aku tetap tenang karena pisau ada di
tanganmu dan kau gunakan membunuh Kadarwati,
musuh lamamu yang menjadi anak buah si Bancak Doya
itu. Aku sempat cemas dengan kekuatan Batu Sembur
Getih. Untung aku mengikuti saranmu; dengan
merelakan diri dipukul dan mengendurkan pernapasan,
maka tubuhku bisa dipukul seseorang. Dengan begitu
Pendekar Mabuk dan dua perempuan itu terbengong
bingung melihat aku bisa dibuat jatuh dan bisa kena
tampar. Aku sebenarnya ingin tertawa geli melihat
kebodohan mereka, tapi aku bisa menahannya kuat-kuat dengan berpura-pura ingin
melabrak gurumu. He, he, he, he...!"
"Sekarang bagaimana dengan Pisau Tanduk Hantu
itu" Apakah tetap ingin kau jual kepada istri Adipati
Kumitir?" "Menurutmu sendiri bagaimana" Sebab dijual
ataupun tidak pisau ini punya keuntungan sendiri bagi kita berdua. Istri Adipati
Kumitir; Gusti Permeswari Prananingsih itu, berani membayar mahal pisau ini.
Uangnya tak habis dimakan empat keturunan kita. Kita bisa pergi dari sini dan
pindah ke Pulau Khayalan, hidup di sana sebagai suami istri yang kaya raya,
Menak Goyang. Tapi jika pisau ini tidak kita jual, kita akan menjadi pasangan suami-
istri yang ditakuti para tokoh dunia persilatan."
Menak Goyang yang bersandar dalam pelukan
Maling Sakti tampak tetap menggoyang-goyangkan
kakinya yang melonjor. Pakaian mereka sudah rapi,
duduk mereka sedikit bergeser dari tempat cumbuan
tadi. Menak Goyang tampak berpikir sebentar, kemudian bertanya,
"Sebenarnya untuk apa Gusti Permeswari
Prananingsih ingin memiliki pisau pusaka itu" Apakah beliau bicara padamu?"
sambil Menak Goyang
memainkan pisau yang ada dalam sarungnya yang
terbuat dari tanduk rusa purba itu. Pisau itu jelas ada di tangan Menak Goyang,
mata Pendekar Mabuk dan
Teratai Kipas melihatnya jelas-jelas.
Tapi mereka tidak mau segera bertindak. Pendekar
Mabuk sendiri bermaksud mendengarkan semua
percakapan kedua pencuri tersebut untuk bekal
pengetahuan dirinya selanjutnya. Apalagi percakapan itu menyinggung-nyinggung
nama Istri Adipati Kumitir.
Seperti diketahui oleh Suto, bahwa istri Adipati Kumitir dulu pernah dihebohkan
sebagai istri Adipati yang
dibawa lari oleh Suto Sinting. Padahal yang membawa
lari adalah Suto palsu. Tetapi Suto asli tahu bahwa istri adipati itu memang
tergila-gila oleh ketampanan Suto palsu, sehingga ketika sang Istri Adipati
Kumitir bertemu dengan Suto asli, ia mengejar-ngejar dan
mengharap belaian kemesraan. Perempuan itu agaknya
memang tergila-gila dengan sosok penampilan Suto
palsu, hingga lupa akan martabatnya sebagai istri
seorang Adipati, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Peri Sendang Keramat").
Durjana Belang yang dikenal si Maling Sakti itu
menjawab pertanyaan Menak Goyang, "Secara pasti aku tak tahu mengapa Gusti
Permeswari Prananingsih
berkeinginan sekali memiliki Pisau Tanduk Hantu. Tapi dalam salah satu
percakapan aku sempat mendengar ia keceplosan bicara, bahwa ia sedang menyimpan
dendam dan cinta kepada seorang pemuda tampan. Perempuan
itu hanya punya dua pilihan, Jika cintanya tidak dilayani, pemuda itu harus
dibunuh. Dan pisau itulah yang
digunakan untuk menandingi pemuda tersebut
nantinya!"
Kini pisau ada di tangan Maling Sakti, diamat-amati
bagai penuh ungkapan sayang untuk melepaskan kepada
pembelinya. Tapi di balik kerimbunan semak ilalang,
Suto Sinting sempat tarik napas dalam-dalam sambil
menyimpan kecemasan, hatinya pun membatin, "Jangan-jangan akulah pemuda yang
sedang diincar oleh istri
Adipati itu. Sebab agaknya sang istri Adipati penasaran sekali akan cintanya.
Mungkin sampai sekarang ia masih tergila-gila padaku."
Batin ini berhenti berkecamuk, karena perhatian Suto Sinting tertuju kepada
Maling Sakti dan Menak Goyang lagi. Waktu itu Maling Sakti mencium pipi Menak
Goyang, dan gadis itu tampak kegirangan menerima
ciuman tersebut. Setelah itu terdengar lagi si Maling Sakti berkata,
"Kalau bukan karena kebesaran cintamu, kurasa tak mungkin aku bisa mendapatkan
Pisau Tanduk Hantu
ini." "Kalau bukan karena kau pandai memberikan
kepuasan batin yang amat indah, tak mungkin aku mau
mengorbankan diri mencuri pisau pusaka guruku itu!"
sambil tangan Menak Goyang mencubit pipi Maling
Sakti. Mereka tertawa cekikikan, karena tangan Maling Sakti mulai melakukan
'kerajinan tangan' lagi yang
membuat Menak Goyang tanpak senang sekali
menerimanya. Teratai Kipas berbisik kepada Suto, "Ooo... rupanya si Maling Sakti dianggap
pandai memberikan
kebahagiaan batin, sehingga Menak Goyang cintanya
terkojor-kojor kepada Maling Sakti."
"Itulah yang kukatakan tadi, kita tak bisa tahu hati seseorang yang sebenarnya.
Hanya orang itulah yang
mengetahui mengapa ia mau jatuh cinta kepada
seseorang. Dan kebahagiaan batin seperti yang dikatakan Menak Goyang pun belum
tentu sama dengan
kebahagiaan batin yang kau harapkan. Karena setiap
manusia berbeda selera batinnya."
Percakapan Suto Sinting segera berhenti karena tiba-
tiba mulutnya didekap oleh tangan Teratai Kipas. Teratai Kipas melirik ke arah
kiri. Ternyata lirikan itu
merupakan isyarat agar Suto memandang ke arah kiri.
Lalu Pendekar Mabuk terperanjat kaget, hampir saja ia keluar dari persembunyian
itu jika tangannya tidak
ditahan oleh Teratai Kipas.
"Kita lihat saja dulu dari sini!" bisik Teratai Kipas.
Seseorang muncul dan segera melesat ke arah Menak
Goyang dan si Maling Sakti. Orang itulah yang
membuat Suto Sinting terkejut, karena orang itu tak lain adalah wanita cantik
bekas istri jin.
"Sumbaruni..."!" desah Suto Sinting dalam
kecemasan. Kehadiran Sumbaruni juga mengejutkan Menak
Goyang dan Maling Sakti. Mereka cepat-cepat
melepaskan diri dari kemesraan. Berpisah dan saling
berdiri dengan sikap siap hadapi serangan sewaktu-
waktu. Tapi Sumbaruni tampak tenang. Bahkan
senyumnya keilhatan mengejek kemesraan yang tadi
sempat dipergokinya itu.
Mata Sumbaruni tertuju ke arah Pisau Tanduk Hantu
yang ada di tangan si Maling Sakti. Sebelum Sumbaruni bicara, Menak Goyang lebih
dulu menyapa, "Siapa kau"! Mengapa datang menemui kami di sini"
Apa maksudmu?"
"Menak Goyang, kau lupa padaku?"
Menak Goyang yang bergerak-gerak pinggulnya itu
mengerutkan dahi menatap Sumbaruni. Beberapa saat
kemudian terdengar Sumbaruni bicara lagi dengan sikap sinisnya.
"Ketika aku menjadi bocah kecil, kau pernah
melarikan aku dari tangan Suto Sinting dan
menyanderaku di perguruanmu! Demikian pula kau
Durjana Belang, kau pernah menyerobotku dari
gendongan orang Perguruan Tongkat Sakti dan
menyembunyikan aku saat Siluman Tujuh Nyawa
menghendaki diriku sebagai tumbal kesaktiannya. Aku
masih ingat kalian."
"Sumbaruni...?" desah Menak Goyang agak ragu.
"Ya, akulah Sumbaruni, Menak Goyang! Dulu waktu aku menjadi bocah kecil kau bisa
saja seenaknya memperlakukan diriku, memperdaya Suto Sinting agar
mengaku sebagai pencuri Pisau Tanduk Hantu. Tapi
ternyata kaulah biang keladi pencurian pusaka tersebut, Menak Goyang. Rupanya
kau bekerja sama dengan
Durjana Belang dalam pencurian Pisau Tanduk Hantu.
Pantas kau ngotot sekali menuduh Suto Sinting sebagai pencurinya, hanya untuk
menutupi kekasihmu itu agar
tidak masuk dalam kecurigaan gurumu!"
"Tutup mulutmu, Setan!" bentak Menak Goyang merasa malu ditelanjangi kedoknya
selama ini. Tapi bentakan itu justru menimbulkan tawa tipis bagi
Sumbaruni yang tak merasa gentar sedikit pun
menghadapi mereka berdua.
"Terus terang saja, apa maksudmu menemui kami,
Sumbaruni?" kata Maling Sakti dengan tenang, tapi matanya tampak memandang nakal
ke dada Sumbaruni.
"Aku tidak akan berurusan dengan kalian," ujar Sumbaruni. "Aku hanya ingin
mencari seseorang dan kebetulan tersesat kemari. Tapi suatu kebetulan aku bisa
bertemu denganmu, Menak Goyang. Aku membawa
kabar buruk untukmu."
"Kabar buruk apa" Kau mau menyebar fitnah?"
"Apa untungnya aku memfitnah dirimu?"
"Barangkah kau ingin merebut kekasihku ini dari pelukanku?" sambil Menak Goyang
melingkarkan tangannya ke pinggang Maling Sakti.
Sumbaruni hamburkan tawa kecil. "Apa aku ini
perempuan sebodoh kamu" Suto Sinting adalah
kekasihku. Jika dibandingkan kekasihmu seperti bumi
yang diinjak-injak kebo dan langit yang dipenuhi
bidadari."
"Sekali lagi kau bicara begitu, kurobek mulutmu, Betina Jalang!"
"Itulah sebabnya kau jangan gede rasa dulu. Tak perlu cemburu padaku. Aku hanya
ingin menyampaikan
kabar padamu bahwa seseorang sedang mengamuk di
perguruanmu. Mungkin sekarang sudah selesai atau
mungkin juga sedang berlangsung. Orang itu mencari
gurumu dan menuntut kembalinya Pisau Tanduk Hantu
itu. Jika kau tidak segera pulang ke perguruanmu, maka perguruanmu akan hancur
tak tertolong lagi. Mungkin
pula kau tak sempat melihat gurumu menghembuskan
napas terakhir. Sebab orang itu mempunyai ilmu lebih
tinggi dari ilmunya gurumu; Malaikat Miskin!"
"Siapa orang yang berani berkurang ajar seperti ini"!
Sebutkan namanya!"
"Siapa lagi kalau bukan Resi Pakar Pantun!"
"Oh..."!" Menak Goyang terperanjat dan menjadi tegang.
Sumbaruni lanjutkan kata saat Menak Goyang adu
pandang dengan Maling Sakti.
"Resi Pakar Pantun merasa sebagai pewaris yang
berhak memegang Pisau Tanduk Hantu itu. Pisau
tersebut diperoleh gurumu dengan cara merebut dan
membunuh adik Resi Pakar Pantun. Tentunya kau sudah
paham tentang hal itu, Menak Goyang. Sekarang
kusarankan cepatlah kembali ke perguruanmu sebelum
Resi Pakar Pantun mengamuk di sana!"
Teratai Kipas berbisik, "Rupanya Sumbaruni dan
Menak Goyang belum tahu kalau Perguruan Tongkat
Sakti sudah hancur."
"Ya. Dan rupanya bukan Maling Sakti yang
menghancurkannya, melainkan si 'Tikar Rombeng' itu."
Percakapan mereka berhenti sejenak, karena saat itu
Menak Goyang membentak kepada Sumbaruni, "Kau tak perlu mengatur langkahku!
Pergilah secepatnya! Biarkan kami melanjutkan kemesraan kami berdua!
Kehadiranmu hanya mengganggu kemesraan dan
kebahagiaan saja!"
Sumbaruni tertawa pelan. Teratai Kipas sempat
berbisik pada Suto, "Apakah benar dia kekasihmu"
Kudengar dia tadi mengaku sebagai kekasihmu."
"Siapa saja berhak dan boleh mengaku demikian.
Tapi kenyataan yang membedakan kebenaran ucapan
tersebut!" Jawab Suto Sinting sambil mata tetap mengawasi Sumbaruni, takut kalau
tahu-tahu diserang
dengan Pisau Tanduk Hantu.
"Aku memang tidak ingin berlama-lama di sini. Aku justru sedang mencari si Pakar
Pantun. Dia punya janji padaku yang belum dilunasi! Aku akan menagihnya, jika
perlu dengan kekerasan. Mulut orang tua itu memang
perlu ditampar dengan pedang biar tidak bicara plin-plan lagi!"
Sumbaruni segera pergi meninggalkan Menak
Goyang dan Maling Sakti. Tapi dalam hati Suto Sinting menjadi gundah.
"Dia mencari Resi Pakar Pantun" Mau menagih janji tentang apa" Jika ia sampai
bertarung dengan Resi Pakar Pantun, itu sangat membahayakan keselamatannya. Ada
baiknya kalau aku mengikuti Sumbaruni dulu dan
mencegah niatnya bersikap kasar kepada Resi Pakar
Pantun." Teratai Kipas melihat kegundahan itu dari sorot
pandangan mata Pendekar Mabuk. Gadis itu bagaikan
cukup peka perasaannya, tahu apa yang dibatin Suto,
sehingga ia berkata dengan nada sedikit ketus,
"Kalau kau mengikuti kepergian Sumbaruni, aku tak akan ikut. Biarlah aku pulang
ke Majageni sendiri."
"Tapi... tapi Sumbaruni ingin lakukan sesuatu yang berbahaya!"


Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan kau akan membelanya, bukan" Itu baik. Sebagai
seorang kekasih memang bertugas melakukan
pembelaan kepada wanita yang mencintainya. Tapi aku
tidak bisa, karena aku tidak punya urusan dengan
Sumbaruni. Pergilah sana dan biarkan aku pulang
sendiri." "Maksudku begini, Teratai...," ucapan Suto Sinting berhenti karena tiba-tiba ia
tertarik dengan percakapan Maling Sakti dengan Menak Goyang.
"Lupakan saja tentang perguruanmu!" kata Maling Sakti. "Kau tak perlu harus
kembali ke sana. Yang hancur biarlah hancur, kita melangkah sesuai dengan
rencana kita sendiri."
Menak Goyang berkata, "Baiklah. Aku ikut apa saja rencanamu, asal kau jangan
jauh-jauh dariku. Kalau
perlu, sekarang juga kita menuju ke kadipaten Kumitir dan menjual pisau pusaka
itu. Lalu, kita segera pergi ke Pulau Kayangan dan hidup bahagia di sana.
Bukankah itu suatu impian yang indah, Durjana Belang?"
"Ya, Itu impian yang indah," sambil Maling Sakti mencium pipi Menak Goyang, dan
sang gadis menyodorkan lebih dari pipi.
Tetapi percintaan dan kemesraan mereka terpaksa
terhenti dan buyar oleh datangnya sebuah serangan
bersinar merah yang mengarah kepada mereka. Claaap!
Sinar merah itu melintas cepat menghantam punggung
Menak Goyang yang sedang mencium Maling Sakti
dengan berkobar-kobar.
Jraaab...! "Aaah...!" Menak Goyang lepaskan ciumannya,
tersentak mundur kepalanya, mengerang dalam keadaan
tubuhnya menjadi hangus seketika. Rambutnya pun
menjadi keriting dan akhirnya jatuh dalam keadaan
kelojotan. "Bangsaaat...!" teriak Maling Sakti marah besar.
Wajahnya merah separo. Dan saat itu pula muncul di
hadapannya sesosok tubuh berjubah tambal-tambal.
"Malaikat Miskin..."!" ucap Suto dengan tegang.
* * * 7 BERULANG KALI Suto Sinting ingin bergerak, tapi
selalu ditahan oleh Teratai Kipas. Padahal di hati Suto Sinting sudah tak sabar,
ingin segera mengamankan
Pisau Tanduk Hantu itu.
"Biarkan mereka berurusan sendiri. Bukan pada
tempatnya kalau kita ikut campur urusan mereka!
Mereka adalah pemilik dan pencuri," Teratai Kipas memberikan alasan dan
pengertian maksud menahannya.
"Tetapi pisau itu membahayakan! Bisa-bisa pisau itu memakan korban lagi kalau
tidak segera diamankan.
Malaikat Miskin yang menjadi korban berikutnya! Kita harus amankan pisau itu
dari tangan si Maling Sakti."
"Kalau Maling Sakti menjadi korban, itu adalah hukumannya yang pernah membunuh
adik Resi Pakar
Pantun untuk merebut pisau itu!"
Suto Sinting diam termenung, namun matanya masih
mengawasi ke arah pertemuan Malaikat Miskin dan
Maling Sakti. Sementara itu, Menak Goyang agaknya
tidak tertolong lagi. Tubuhnya diam, kaku, hangus, dan tentunya sudah tidak
bernapas sedikit pun.
"Kau seorang guru yang kejam, Malaikat Miskin!
Muridmu kau bunuh dengan ilmu mautmu sendiri!"
"Membunuh murid murtad tidak ada salahnya!" kata Maiaikat Miskin dengan
memandang tajam kepada si
Maling Sakti. "Hukuman itu layak diterimanya karena rupanya dialah dalang
pencurian pisau pusakaku itu!"
"Kau salah, Malaikat Miskin! Menak Goyang tidak ada sangkut pautnya dengan pisau
ini!" sambil pisau pusaka itu ditunjukkan. "Hubunganku dengan Menak Goyang hanya
sebatas hubungan cinta semata!"
"Omong kosong!" bentak Malaikat Miskin.
"Sekarang tak perlu banyak bicara, serahkan pisau itu padaku, kau kubebaskan
dari segala hukuman dan
tuduhan!" "Ini bukan pisaumu! Kau pun tidak berhak memiliki Pisau Tanduk Hantu. Sekarang
aku tahu, bahwa pisau ini sebenarnya milik leluhurnya Resi Pakar Pantun! Kau
memiliki pisau ini dari hasil merampasnya, Malaikat Miskin! Jadi aku semakin
kuat mempertahankan pisau
ini dari jangkauanmu!"
"Keparat! Kau memang bajingan busuk, Durjana
Belang! Panggil gurumu dan suruh dia berhadapan
denganku!" teriak Malaikat Miskin dengan berang.
Maling Sakti tersenyum sinis, "Tak perlu kau
berhadapan dengan guruku, karena sebentar lagi Cukak Tumbila pun akan
kutumbangkan dan aku akan berkuasa
di Bukit Kopong! Siapa yang kehendaki pisau ini juga akan kutumbangkan. Durjana
Belang harus berkuasa di
antara para tokoh rimba persilatan. Dan pisau inilah yang akan mengadili siapa
saja yang menentangku!"
"Babi sangit!" geram Malaikat Miskin dengan mulai mengangkat tongkatnya. "Kau
berhadapan denganku, sama saja berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa, Maling
Pikun! Jangan sangka aku merasa gentar dengan senjata itu! Aku masih mampu
merebutnya dari
tanganmu! Lihat saja nanti!"
"Majulah kalau kau tak sayang nyawamu, Malaikat Gelandangan!"
Seet...! Pisau Itu dicabut dari sarungnya. Sarungnya dimasukkan ke ikat
pinggang, sedangkan pisau berbesi baja hitam itu dimainkan dengan satu tangan
oleh Maling Sakti. Gerakan jurus-jurus yang dipergunakan Maling Sakti tampak mantap
dan meyakinkan,
sepertinya ia memang sudah menguasai jurus berpisau
tunggal. Lincah dan gesit dalam setiap gerakannya.
Malaikat Miskin segera sentakkan tongkatnya ke
tanah. Duug...! Dari tanah memercik lidah api
menyambar tubuh Maling Sakti. Wuuus...! Tetapi
Maling Sakti segera lakukan lompatan dan berjungkir balik di udara. Wuuukk...!
Ia menuju Malaikat Miskin dan segera menendangkan kakinya ke arah kepala lawan.
Wuuss...! Dees...! Tongkat itu menghantam cepat mata kaki
Maling Sakti. Pada saat menghantam, tampak ada sinar biru memercik sekejap.
Claaap...! "Auuh...!" Maling Sakti memekik, ia jatuh terpuruk karena kakinya terasa sakit,
mata kaki bagaikan pecah karena hantaman tongkat bertenaga dalam tinggi. Tetapi
keadaan itu justru membuat Malaikat Miskin tertegun sekejap.
"Kenapa ia hanya mengaduh sebentar" Mestinya kaki itu hancur dan tak tak bisa
dipakai berjalan lagi. Untuk berdiri pun sudah tak mungkin mampu. Tapi ia
ternyata masih bisa berdiri. Kakinya seperti merasa keseleo
sedikit. Hebat juga kekuatan tenaga penahan luka pada kaki si Bocah Setan ini"!"
Saat tertegun itu, tiba-tiba tubuh Maling Sakti mampu melesat dan mengibaskan
pisaunya ke arah dada
Maiaikat Miskin. Wuuus...! Wuuut...! Malaikat Miskin tersentak mundur dan
menjatuhkan diri di tanah. Jika tidak begitu perutnya akan robek terkena sabetan
pisau maut tersebut.
Begitu tubuh sampai di tanah, tiba-tiba tubuh itu
berputar dengan menggunakan pinggulnya dan satu
sentakan napas membuat tubuh itu melenting naik, lalu bersikap berdiri tegak.
Jleeg...! Dan tongkatnya segera menebas ke arah kepala si Maling Sakti.
Wuuut...! Cepat sekali gerakan tongkat itu, sehingga hampir-hampir
kepala Maling Sakti remuk terhantam kepala tongkat.
Gerakan lincah si Maling Sakti membuat tubuhnya
dalam waktu singkat sudah berada di tanah dalam
keadaan tengkurap, ia berguling dengan kaki berputar naik, lalu menjejak perut
Malaikat Miskin. Duuhg...!
"Heegh...!" Malaikat Miskin terpekik mendelik.
Tubuhnya bagaikan dilanda badai. Terhempas kuat
menghantam gugusan batu cadas yang tadi dipakai untuk bermesraan dengan Maling
Sakti dan Menak Goyang.
Bueehg...! "Hiaaat...!" Tiba-tiba tubuh Maling Sakti melompat bagai seekor harimau hendak
menerjang lawannya.
Pisaunya terarah lurus ke tubuh Malaikat Miskin yang sedang merunduk hendak
bangkit dengan berpegangan
tongkatnya. Tiba-tiba mata Malaikat Miskin melihat
gerakan maut yang mengancam jiwanya. Seketika itu ia merebah kembali dan
tongkatnya disodokkan ke depan.
Wuuut...! Sodokan ke depan atas mengenai perut Maling Sakti. Duuhg, claap...!
Sinar merah memercik dari ujung tongkat yang menyentuh perut Maling Sakti.
"Uhg...!" Maling Sakti hanya terpekik pelan, tubuhnya tertahan dan oleng ke
kiri. Bruuk...! Lalu, wajahnya yang masih terangkat disapu oleh tendangan
putar kaki Malaikat Miskin. Plook...!
Tendangan itu cukup kuat dan keras, namun hanya
membuat kepala Maling Sakti tersentak ke belakang dan membentur tanah empuk.
Buuk...! Tapi wajah itu tetap utuh, tanpa luka dan tanpa darah. Malaikat Miskin
cepat sentakkan badan dengan bertumpu pada tongkatnya.
Badan melesat naik dan bersalto mundur dua kali. Wuk, wuk...!
"Edan!" gumamnya dalam hati setelah kakinya
menapak di tanah dengan tegak. "Sodokan tongkatku tak membuatnya cedera apa
pun"! Padahal biasanya
sodokan tongkat membuat benda apa pun menjadi pecah, perut orang bisa jebol
karena kualiri tenaga dalam yang bernama jurus 'Naga Beringas'. Tapi
kenyataannya ia hanya terpental jatuh tak seberapa parah! Ilmu apa yang
dimilikinya, sampai-sampai tendangan 'Sapu Neraka'-ku tidak bisa membuat
kepalanya pecah. Mestinya
kepalanya hancur saat terkena tendangan 'Sapu Neraka'
yang tak pernah ada yang kuat menahannya itu"!"
Maling Sakti berdiri dalam keadaan tegap pula. Ia
bagaikan tak mengalami rasa sakit pada kepala atau
tubuh lainnya. Ia bahkan tersenyum sinis dan mulai
pasang kuda-kuda lagi. Sempat pula si Maling Sakti
berkata, "Jurus-jurusmu tidak berguna buat tubuhku, Malaikat Miskin! Keluarkan semua
ilmumu dan aku siap
menghadapinya!"
"Keparat! Monyet juling kau! Terimalah jurus 'Dewa Kilat' ini, heaaah...!"
Malaikat Miskin segera putar-putarkan tongkatnya,
lalu tongkat menyentak ke depan dengan digenggam dua tangan. Wuuukkk...! Dari
ujung tongkat, tepat di
pertengahan tiga ranting pendek itu, melesat sinar biru bergerak zig-zag
bagaikan gerakan petir menyambar
mangsanya. Zaap, zaap, zaap...!
Maling Sakti mengambil sikap berdiri dengan kaki
merapat dan sedikit ditekuk lututnya ke depan. Pisau Tanduk Hantu digenggam di
depan wajah, tangan
kirinya menyangga tangan kanan yang menggenggam
pisau. Kilatan cahaya biru itu masuk mengenai dada
Maling Sakti. Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan alam
sekeliling. Ledakan itu menimbulkan cahaya biru besar menyebar dan mengepulkan
asap bergumpal-gumpal.
Sebongkah batu yang ada di belakang Maling Sakti itu menjadi hancur berbongkah-
bongkah. Pohon pun retak
karena daya ledak yang menghempas sangat kuat.
Beberapa tanaman semak tercabut dari akarnya dan
menjadi kering dalam waktu empat helaan napas.
Namun ketika asap yang membungkus tubuh Maling
Sakti itu mulai sirna, tampaklah samar-samar sosok
Maling Sakti yang masih berdiri dengan kaki merapat.
Sedikit pun tak ada yang luka, bahkan pakaiannya robek pun tidak. Tentu saja hal
itu membuat si Malaikat
Miskin terperangah bengong.
"Benar-benar gila orang ini"!" geram Malaikat Miskin lebih jengkel lagi. "Jurus
'Dewa Kilat' tak mempan menghancurkan tubuhnya" Padahal pohon saja
retak, batu saja pecah, itu pun tak terkena langsung oleh kilatan cahaya biruku.
Tapi dia... yang jelas-jelas
dihantam cahaya biru, masih tetap utuh. Bahkan masih bisa meringis seperti kuda
ganjen"! Setan alas!"
Durjana Belang yang wajahnya masih tampak merah
separo karena pengaruh amarah dalam hatinya itu kini mengendurkan ketegangan
uratnya. Senyumnya makin
tampak seperti seringai iblis yang kegirangan
menemukan mangsanya. Terucap pula kata-kata
sombongnya kepada Malaikat Miskin,
"Apakah masih ada jurusmu yang lebih dahsyat lagi, hah"! Keluarkan semua!
Lepaskan padaku, aku akan
menahannya!"
"Itu belum seberapa, Maling Kunyuk!" geram Malaikat Miskin. "Kali ini kau tak
akan mampu menahan pukulan 'Tongkat Jenazah' yang tak pernah ada tandingannya. Hiaaah...!
Hiaaah...!"
Wut, wut, wut...! Tubuh Malaikat Miskin berputar
cepat mengelilingi Maling Sakti. Tongkatnya pun
diputar cepat di atas kepala dengan kedua tangan. Dari putaran tongkat itu
keluar percikan-percikan bunga api dan membuat tongkat itu lama-lama menyala
merah bagaikan besi terpanggang api yang membara.
Maling Sakti hanya diam dan terkekeh-kekeh saja. Ia
tidak mengikuti gerakan lawan yang mengelilinginya
dengan sangat cepat, hampir tak terlihat itu. Jurus itu membuat lawan tak
mengerti kapan Malaikat Miskin
hentikan gerakannya dan lepaskan jurusnya. Hanya saja, tiba-tiba tubuh itu
bergerak lebih cepat lagi, lalu berhenti mendadak di belakang Maling Sakti.
Tongkat yang membara merah panas itu dihantamkan ke kepala si
Maling Sakti. Wuuut...! Praak!
Blaaarrrr...! Kembali ledakan dan asap berhamburan
membungkus tubuh Maling Sakti. Teratai Kipas dan
Suto Sinting sama-sama berpendapat bahwa kepala
Maling Sakti pecah, karena terdengar suara benda pecah
sebelum suara ledakan bergema menggetarkan
pepohonan sekeliling.
Namun alangkah terkejutnya mereka setelah
mengetahui Maling Sakti tetap berdiri tegak dengan kaki sedikit merenggang, dan
tertawa bagaikan kekeh tawa
seorang kakek. Kepalanya masih utuh. Tapi tongkat
andalan Malaikat Miskin pecah. Remuk menjadi
beberapa bagian. Malaikat Miskin memandang dengan
mata terbelalak tak bisa berkedip.
Dari persembunyiannya Pendekar Mabuk membatin,
"Luar biasa kekebalannya! Dengan bekal ilmu kekebalan dan kelipatgandaan tenaga
serta pisau itu, ia bisa menjadi tokoh sesat yang bertindak semena-mena.


Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agaknya aku harus bertindak cepat mengamankan pisau
itu sebelum Malaikat Miskin menjadi korban."
Tetapi sebelum Suto Sinting bergerak, tiba-tiba ia
terkejut melihat Maling Sakti melompat dengan sangat cepat, menerjang tubuh si
Malaikat Miskin. Gerakannya itu jelas tak bisa dihindari karena menyerupai
hembusan badai.
Wuuusss..! Tahu-tahu ia sudah berada di seberang
sana, dari sisi kanan Malaikat Miskin pindah ke sisi kiri.
Tentu saja orang yang dilintasinya menjadi terkejut dan menatapnya penuh
keheranan. "Monyet burik! Gerakannya lebih cepat dari
gerakanku. Padahal setahuku, Cukak Tumbila sendiri tak mungkin mampu berkelebat
secepat itu"! Dia seperti
menghilang dan berbentuk angin lewat di depanku.
Dan... dan... oh, celaka"!"
Malaikat Miskin menjadi tegang, karena ketika ia
memandang ke bawah, ternyata pakaiannya telah robek
dan kulit dadanya tergores benda tajam. Malaikat Miskin terpaku sejenak
memandangi lukanya. Tubuhnya segera
kelihatan gemetar. Ketegangan wajahnya kian jelas dan sangat menonjol.
Di sisi sana, Maling Sakti tertawa terkekeh-kekeh.
"He, he, he, he.... Jangan kaget, itulah hukuman bagi orang yang nekat ingin
melawanku, Malaikat Miskin!
Sekarang kau baru percaya bahwa aku bukan
tandinganmu. Tenaga dalammu tak akan mampu
mencederai tubuhku, karena tanpa sengaja aku telah
menelan Batu Sembur Getih yang mampu
melipatgandakan tenaga dalamku dan memperkebal
tubuhku! He, he, he, he...! Itulah akibatnya jika bandel Pisau Tanduk Hantu
akhirnya memakan bekas
majikannya sendiri! Kau tak akan bisa menyentuhku
lagi, Malaikat Miskin. Kau akan lenyap setelah melewati tiga kali tujuh hari!"
"Bangsaaat...!" Malaikat Miskin yang sudah kehilangan tongkatnya itu mengamuk,
ia menerjang tubuh Maling Sakti. Tapi tubuh itu hanya bisa dilewati saja, ditembus tanpa
sentuhan apa pun. Tubuh Malaikat Miskin sudah menjadi bayangan tampak nyata,
sebentar lagi akan menjadi bayangan hitam, lalu hanya tinggal suara, dan tujuh
hari kemudian lenyap tanpa tinggalkan bekas apa pun. Malaikat Miskin mengamuk
sejadi-jadinya, memukul, menghantam, menendang tapi semua
itu hanya ditertawakan oleh Maling Sakti. Karena tubuh
Maling Sakti tak bisa disentuh oleh Malaikat Miskin.
"Huaaahh...! Bangsat kau, Durjanaaa...!" teriak Malaikat Miskin dengan amat
berang dan salah tingkah.
Rasa sesalnya begitu tinggi, sehingga kemarahan yang tak bisa dilampiaskan
membuatnya seperti orang
kesurupan. "Terlambat...!" gumam Suto Sinting bernada keluh, lemas, dan lirih.
"Tak perlu kau sesali, karena itulah hukuman bagi si perampas pusaka!" kata
Teratai Kipas membujuk hati Pendekar Mabuk yang tampak kecewa dengan
kelambatan tindakannya sendiri.
"Orang sedunia bisa dibuatnya menjadi bayangan
semua oleh tindakan sewenang-wenangnya! Aku harus
segera merampas pisau itu!" kata Suto Sinting, kali ini tanpa banyak memikirkan
Teratai Kipas, ia melompat
keluar dari balik kerimbunan semak. Teratai Kipas
akhirnya ikut muncul juga dan membuat kejutan
tersendiri bagi si Maling Sakti. Sementara itu, bayangan sosok tubuh Malaikat
Miskin berlari menerjang
pepohonan sambil berseru dengan suara keras dan serak,
"Tunggu pembalasanku...! Kuadukan kau kepada
Cukak Tumbila! Tunggu...!"
Maling Sakti tidak hiraukan teriakan yang makin
lama semakin menjauh itu. Kini matanya lebih tertarik memperhatikan Pendekar
Mabuk dan Teratai Kipas.
Senyumnya bagaikan seringai bocah tanpa dosa, tapi
pisau keramat itu masih nyata-nyata tergenggam oleh
tangan kanannya.
Teratai Kipas mendahului bicara, "Kali ini kau tak bisa berlagak bodoh lagi,
Durjana Belang! Semua
rahasiamu sudah kami ketahui sejak tadi!"
"He, he, he.... Teratai Kipas dan Suto, kalian ingin rasakan juga bagaimana
menjadi sosok tanpa raga"
Mendekatlah kemari kalau kalian ingin seperti Malaikat Miskin itu! Tapi
sebelumnya kuingatkan padamu, tak
ada manusia lain yang mampu menandingiku; Batu
Sembur Getih dan Pisau Tanduk Hantu telah menyatu
dalam diriku! Tentunya kalian tahu bagaimana
kehebatan dua pusaka itu jika menyatu dalam tubuh satu orang!"
Pendekar Mabuk masih tenang. Malahan ia sempat
menenggak tuaknya beberapa teguk.
Teratai Kipas yang berdiri tak jauh dari samping kiri Pendekar Mabuk segera
berkata lagi, "Maling Sakti, kesombonganmu akan hancur jika kau berhadapan
dengan Pendekar Mabuk, karena dia tak sama dengan
pendekar lainnya! Jangan kau anggap setara dengan
kesaktian Malaikat Miskin!"
"Hah, ha, ha, ha, ha, ha...! Benarkah begitu, Suto?"
Dengan kalem Pendekar Mabuk kasih jawaban, "Aku sekadar menegakkan mana yang
benar dan melumpuhkan yang salah!"
"Tak perlu berbasa-basi lagi, Suto! Kau boleh bangga bisa mengalahkan Siluman
Tujuh Nyawa, tapi belum
tentu bisa kalahkan Durjana Belang, si Maling Sakti ini!" sambil ia menepuk dada
sendiri. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis, tetap tenang namun penuh
waspada. Tiba-tiba ketika Suto Sinting ingin lepaskan kata,
sekelebat bayangan muncul dan langsung menerjang si
Maling Sakti. Wuuut...! Brruuuus .! Tubuh Maling Sakti terbuang dan jatuh
membentur pohon. Tapi ia seperti tidak merasakan sakit sedikit pun. Dalam
sekejap ia telah bangkit dan berdiri menatap bayangan yang baru datang. Orang tersebut
segera disusul pelayannya yang selalu ketinggalan dalam bergerak.
Teratai Kipas berkata lirih kepada Suto, "Yaaah... si Tikar Rombeng muncul lagi!
Cari penyakit saja orang
ini"!"
Si Tikar Rombeng' alias Resi Pakar Pantun, memang
muncul di situ dalam keadaan kebingungan mencari
pencuri pusaka leluhurnya. Wajahnya tuanya menjadi
ceria ketika ia melihat pisau tersebut ada di tangan Maling Sakti.
"Celana kolor buat bungkus batu
Dibuka sedikit baunya langu
Tujuh keliling kucari pusaka itu
Ternyata ada di tangan bocah dungu!"
Resi Pakar Pantun mengawali lagaknya yang gemar
bermain pantun untuk mengungkapkan rasa. Ia tampak
tenang dalam sikap berdiri yang masih berkesan gagah walau usianya sudah banyak.
Mata Pendekar Mabuk
memperhatikan ke arah Resi Pakar Pantun, karena ia
ingat Sumbaruni yang tadi mencari orang itu. Rasa
khawatirnya membuat Pendekar Mabuk memancing
keterangan dengan pertanyaan seakan tanpa maksud
yang semestinya.
"Resi Pakar Pantun, beruntung sekali kau datang kemari, karena aku ingin
bertanya apakah kau tadi
bertemu dengan Sumbaruni?"
"He, he, he, he.... Sumbaruni tak akan bisa
mengejarku walau aku punya janji padanya. Aku tak
akan penuhi janjiku sebelum berhasil merebut pusaka
milik leluhurku itu!"
"Kalau boleh kusarankan, jangan teruskan niatmu Resi Pakar Pantun. Tapi aku
berjanji akan merebutkan Pisau Tanduk Hantu itu dari tangannya dan akan
kuserahkan padamu!" kata Suto Sinting yang
mempunyai dugaan bahwa sang Resi akan tumbang jika
melawan Maling Sakti.
"Celana kolor disambung-sambung menjadi sorban Bayi sungsang hendak menuntut
ilmu Meski wajahku tua rambut beruban
Tapi tak bisa termakan kelicikanmu."
Pendekar Mabuk memandang Teratai Kipas. Gadis
itu berkata lirih, "Agaknya ia tak butuh bantuanmu. Dia akan hadapi sendiri si
Maling Sakti."
"Tapi dia bisa celaka dan bernasib seperti Malaikat Miskin!"
"Biarkan saja. Itu memang pilihannya."
Terdengar pula suara Maling Sakti bicara dengan
Resi Pakar Pantun,
"Bagiku kedatanganmu adalah hal yang
menguntungkan, Resi Pakar Pantun! Dengan begitu aku
tak perlu susah payah mencari orang yang akan merebut
pisau ini. Aku tahu pisau ini milik leluhurmu, tapi
karena sudah di tanganku, tentunya menjadi milikku.
Aku tahu kau ingin merebutnya kembali, karena itu
lakukanlah niatmu sekarang juga, aku akan melenyapkan ragamu seperti mereka yang
mencoba menentangku!"
"Celana kolor tersangkut paku...."
"Robek?" potong Kadal Ginting.
"Belum," jawab Resi tak sadar, ia segera mendengus kesal dan mengulangi
pantunnya yang ditujukan pada
Maling Sakti. "Celana kolor tersangkut paku
Dilihat malu oleh sang tamu
Jangan remehkan ketuaanku
Sekali tepuk retaklah dadamu!"
Maling Sakti maju tiga langkah, Resi Pakar Pantun
pun maju dua langkah. Sikap si Maling Sakti penuh
tantangan, sementara Resi Pakar Pantun hanya diam
dalam ketenangannya.
Teratai Kipas berbisik pada Suto, "Kali ini judulnya Celana Kolor, bukan Tikar
Rombeng lagi...."
Belum sempat Suto menjawab, sudah terdengar suara
Resi Pakar Pantun berkata,
"Celana kolor basah ujungnya...."
"Tuh, benar kan" Celana kolor lagi?" bisik Teratai Kipas.
"Ssst...! Diamkan saja, biarkan sepuasnya dia bicara tentang celana kolor!"
"Iya, tapi aku risi membayangkannya."
"Jangan bayangkan bentuk celananya, tapi bayangkan
seni pantunnya," bisik Suto Sinting. Kasak-kusuk itu membuat sang Resi berhenti
berpantun sebentar.
Matanya melirik tak suka mendengar kasak-kusuk itu.
Maka ia pun mengulang lagi,
"Celana kolor basah ujungnya
Dicium perawan pingsan ibunya
Serahkan pisau itu kepada pemiliknya
Jangan sampai memakan korban pemegangnya."
Tawa Maling Sakti berkesan meremehkan. Tapi tawa
itu tiba-tiba lenyap karena mendadak ia mendapat
serangan pukulan jarak jauh dari tangan Kadal Ginting.
Claaap...! Seberkas sinar kuning melesat dan
menghantam pinggang Maling Sakti.
Duaaar...! Tubuh Maling Sakti hanya terguncang sedikit, dan
sinar kuning itu lenyap seketika setelah membentur
pinggang Maling Sakti. Mata sang Resi sedikit terkesiap menahan rasa heran
melihat Maling Sakti tak terluka
sedikit pun oleh pukulan Kadal Ginting. Bahkan saat itu Kadal Ginting segera
berkata pelan, "Dia kebal pukulan, Eyang! Hati-hati!"
"Aku tahu, dan aku bisa mengatasinya sendiri. Kau mundurlah, Kadal Ginting. Biar
kuhadapi sendiri bocah dogol ini!"
Maling Sakti pandangi wajah Kadal Ginting.
Matanya tajam memandang dengan wajah menjadi
belang, merah sebelah kanannya karena menahan
kemarahan. Tiba-tiba dari mata itu keluar sinar kecil bagaikan benang lurus
berwarna merah dan tertuju ke
tubuh Kadal Ginting. Slaaap...! Resi Pakar Pantun
menahan dengan telapak tangan menghadang sinar kecil itu. Zeerrrbbb...! Sinar
merah kecil bagaikan terkumpul di tangan Resi Pakar Pantun. Tangan itu cepat
menggenggam, lalu melemparkan genggaman tersebut
ke arah Maling Sakti.
Wuuut...! Claaap...!
Sinar merah terang menggumpal bagaikan bola,
terlepas dari genggaman tangan sang Resi. Menghantam tubuh Maling Sakti yang tak
sempat melompat
menghindarinya.
Jedaaar...! Ledakan mengejutkan terjadi, melepas
hentakan keras. Tubuh Maling Sakti tersentak mundur
tiga tindak, namun tak mengalami luka apa pun. Padahal tubuh itu tadi bagaikan
dibungkus nyala api dalam
sekejap. Tapi sehelai rambut pun tak ada yang terbakar.
Hal itu membuat Resi Pakar Pantun berkerut dahi
pertanda memendam perasaan heran. Hatinya pun segera berkata, "Mestinya dia
pecah karena sinarnya tadi. Tapi mengapa masih utuh" Rupanya ia punya ilmu kebal
yang tak mempan pukulan tenaga dalam seperti itu tadi"
Hmmm... baiklah. Dia boleh bangga punya ilmu kebal,
tapi belum tentu bisa menahan jurus 'Tepuk Amai-amai'-
ku ini...."
Resi Pakar Pantun segera merentangkan kedua
tangannya ke atas, lalu tiba-tiba ia bertepuk satu kali.
Plok...! Dari tepukan itu memercik sinar biru ke arah tubuh Maling Sakti.
Seberkas sinar biru itu segera
ditahan oleh telapak tangan kiri si Maling Sakti.
Claap...! Jleeb...! Sinar itu bagaikan masuk
menembus telapak tangan. Tiba-tiba tangan tersebut
menyentak ke depan dan keluarlah sinar biru tadi
beriringan dengan sinar merah sejajar. Sraaab...!
Melesatnya kedua sinar dihadang oleh kibasan tangan
sang Resi yang menghadirkan semburan asap putih.
Sinar-sinar itu masuk ke dalam asap putih, terbungkus menggumpal sekejap, lalu
meledak dengan dahsyatnya, sangat diluar dugaan Suto Sinting dan Teratai Kipas.
Glegaaarrrr...!
Gelombang hentakannya begitu kuat, menyebar ke
berbagai penjuru, membuat Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas nyaris terpelanting
jatuh. Untung keduanya segera saling berpegangan dan bertahan pada batang pohon,
sehingga mereka tak sampai terkapar seperti ynng
dialami Resi Pakar Pantun. Sedangkan Maling Sakti
sendiri tersentak mundur dan membentur dinding
gugusan cadas. Jika tidak ia pasti akan jatuh terkapar seperti Resi Pakar Pantun
dan Kadal Ginting yang tadi sempat terpekik kaget itu.
Melihat sang Resi jatuh terkapar dan berusaha
bangkit lagi, Maling Sakti segera menyerang dengan
gerakannya yang amat cepat Wuuut...! Hampir saja


Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakan itu tak mampu dilihat oleh Suto Sinting karena cepatnya. Dan sang Resi
sendiri nyaris diterjang tubuh Maling Sakti yang telah memasang Pisau Tanduk
Hantu di depannya. Untung sang Resi jatuh kembali karena
kakinya masih terasa lemas, sehingga terjangan itu
mengenai tempat kosong.
Menyadari hal itu, sang Resi menjadi semakin
tegang, ia cepat-cepat lepaskan jurusnya dengan
memukul tanah satu kali. Blaaak...! Dan dari tanah itu mengalirlah tenaga dalam
ke arah kaki si Maling Sakti, sehingga tubuh Maling Sakti terlempar terbang
diluar dugaan. Wuuut...!
Resi Pakar Pantun berdiri dengan satu lutut,
kemudian ia bertepuk tangan beberapa kali. Plok, plok, plok, plaaak, plak,
plok...! Beberapa sinar kilat menghujani tubuh Maling Sakti
yang sedang meluncur turun. Clap, clap, clap, clap...!
Ledakan yang terjadi akibat sinar biru menghantam
Maling Sakti itu terdengar beruntun sehingga
menjadikan suara bergemuruh sambung-menyambung.
Tanah dan pepohonan sekelilingnya ikut bergetar.
Hawa panas menyebar sesuai arah angin berhembus.
Tetapi tubuh Maling Sakti masih mampu mendarat
dengan sigap dan tak mengalami cedera apa pun juga.
Bahkan ia segera melayang bagaikan terbang menuju ke arah sang Resi dengan pisau
siap ditorehkan.
"Heaaahh...!"
Sang Resi menangkis gerakan tangan berpisau yang
berkelebat hendak menggores wajahnya. Plaaak...! Lalu tangan kanannya
dihantamkan ke depan, dan disambut
oleh hantaman tangan kiri si Maling Sakti. Plaaak...!
Duaaar...! Perpaduan kedua telapak tangan itu
memercikkan sinar merah terang, dan suara ledakannya menghentak kuat, membuat
kedua tubuh sama-sama
terpelanting mundur.
Brrruk...! "Aaaahg...!" Resi Pakar Pantun mendelik dengan tubuh menggeliat, berdiri dengan
satu lutut bertumpu di tanah.
Teratai Kipas memandang tegang ke arah Resi Pakar
Pantun, karena mulut sang Resi segera memuntahkan
darah segar. Wajah sang Resi menjadi pucat pasi,
sementara itu wajah Maling Sakti masih segar bugar dan cepat-cepat bangkit dari
jatuhnya tadi. "Keparat busuk kau, Maling Singkong! Hiaaah...!"
Kadal Ginting mencoba melakukan pembalasan atas
apa yang diderita oleh majikannya, ia menyerang dengan gerakan tangan
berseliweran cepat di depan wajah. Tiba-tiba kedua tangannya menyentak ke depan
dan gelombang hawa panas tinggi menerjang tubuh si
Maling Sakti. Wooosss...!
Tetapi orang itu hanya diam bagai dihembus hawa
sejuk tanpa rasakan sengatan panas sedikit pun,
sedangkan tanaman di belakangnya menjadi lekas layu
dan mengering dalam dua kejap saja. Tapi Maling Sakti tak mengalami luka bakar
sedikit pun. Bahkan ia maju dalam satu lompatan dan kakinya menendang dada
Kadal Ginting. Duuuhg...!
"Huaaahhg...!" Kadal Ginting terpental jauh dan jatuh terkapar di sana dalam
keadaan menyemburkan darah
dari mulutnya. "Kalian berdua memang cari mampus!" bentak Maling Sakti. "Sekarang tibalah
saatnya merubah nasibmu ini menjadi manusia tanpa raga, Resi Bodoh!
Hiaaah!" Maling Sakti berkelebat cepat menerjang sang Resi
dengan pisau dikibaskan. Namun sebelum pisau itu
mengenai tubuh sang Resi, tiba-tiba Suto Sinting
bergerak menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi anak panah dilepaskan dari
busurnya itu. Zlaaap...! Duuusss...! Kakinya berhasil menendang lengan Maling
Sakti. Tubuh itu tersentak ke samping sehingga ketika tangannya berkelebat
mengibaskan pisau, yang terkena pisau adalah dinding cadas di samping Resi Pakar
Pantun. Jraaasss.,.!
Namun lutut Maling Sakti menyentak maju dan tepat
kenai dada sang Resi yang sedang kesakitan. Duuuhg...!
"Uuhhg...!" sang Resi kian mendelik, hidung dan telinganya mengucurkan darah
segar. Sodokan lutut itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang amat besar,
mampu memecahkan sebongkah batu marmer yang
besarnya seperti kerbau. Jika sang Resi tidak dilapisi tenaga dalam kuat, dada
itu pasti jebol seketika dan tak ada ampun lagi bagi keselamatan jiwanya. Untung
sang Resi berlapiskan tenaga dalam besar, sehingga dada itu hanya mengalami luka
dalam yang cukup parah, ia
menjadi sukar bernapas, sekali bernapas tersentak-
sentak. Wajahnya makin pucat bagaikan kapas putih.
Maling Sakti sangat marah, sebab mestinya ia sudah
berhasil menggoreskan pisau itu ke tubuh Resi Pakar
Pantun, tapi karena ditendang Pendekar Mabuk,
sasarannya jadi meleset. Maka wajahnya yang merah
separo itu semakin bertambah merah lagi. Kini Suto
Sinting yang menjadi sasaran kemarahannya, karena ia tahu bahwa sang Resi sudah
terluka parah dan mudah
untuk dibereskan.
"Akhirnya kau ingin minta giliran juga, Suto
Sinting!" "Aku hanya menyelamatkan orang yang memang
berhak memiliki pusaka itu!"
"Tak perlu banyak mulut, terimalah pisau maut ini!
Hiaaah...!"
Maling Sakti melompat menerjang Pendekar Mabuk.
Pisaunya berkelebat merobek tangan sang pendekar
tampan. Tapi gerakan tangan Pendekar Mabuk cukup
gesit. Dengan sedikit bergeser ke kanan, pisau itu
berhasil membentur bumbung tuak sakti.
Blaaarrr...! Benturan pisau dengan bumbung tuak mengakibatkan
ledakan besar yang mementalkan tubuh Pendekar
Mabuk. Tubuh itu kontan ke samping dan kepala sang
pendekar tampan membentur batang pohon. Duuurr...!
Pohon besar itu berguncang, daunnya berjatuhan karena mendapat benturan hebat
dari kepala Suto Sinting.
Mestinya kepala itu pecah, sedikitnya bocor karena
benturannya sangat kuat. Tapi karena kepala itu juga dialiri tenaga dalam, maka
yang dialami Suto Sinting hanya pusing dan berkunang-kunang. Pandangan
matanya sedikit kabur. Sedangkan tubuh Maling Sakti
terpelanting membentur batu hingga batu itu mengalami keretakan di beberapa
tempat. Tapi Maling Sakti
bagaikan tidak merasakan sakit sedikit pun. Ia cepat
bangkit dan segera menyerang Suto lagi.
"Heaaat...!" ia berlari sebentar, lalu melompat sambil mengibaskan pisau ke
punggung Suto Sinting yang
tengah berusaha bangkit membelakangi.
"Sutooo...! Awaaass...!" teriak Teratai Kipas.
Suto Sinting mendengar jelas teriakan itu. Ia segera berbalik dan kakinya
bergerak memutar. Plook...!
Dengan tubuh condong ke kiri, kaki itu berhasil
menendang wajah Maling Sakti sangat kuat. Akibatnya
pisau itu tak sempat bergerak merobek kulit punggung Pendekar Mabuk. Tubuh si
Maling Sakti jatuh ke
samping dan berguling-guling.
Pendekar Mabuk melompat jauhi lawannya.
Tubuhnya bergerak limbung bagaikan orang mabuk
yang hampir jatuh. Tapi sebenarnya itulah jurus aneh milik Suto Sinting. Kadang
menukik, kadang
menggeloyor ke samping, tahu-tahu kakinya menyepak
ke belakang dan tepat kenai wajah Maling Sakti yang
baru saja hendak bangkit. Plaaak...!
Mau tak mau kepala Maling Sakti tersentak ke
belakang dan membentur batang pohon jati dengan
keras. Duuuhg...! Pohon itu bergetar karena kuatnya
benturan. Tapi kepala Maling Sakti tetap utuh, tanpa luka ataupun lecet sama
sekali. Bahkan ia bagaikan tak merasakan pusing sedikit pun, terbukti dapat
bangkit dengan segera.
Suto Sinting cepat-cepat tenggak tuaknya. Glek,
glek..! Cukup dua tegukan, sisanya disimpan di mulut.
Karena pada waktu itu, Maling Sakti telah datang
menyerangnya dengan pisau dihunjamkan ke dada Suto
Sinting. Maka, kaki Suto segera menghentak ke tanah
dan tubuhnya melenting di udara tepat pada saat pisau itu menghunjam. Wuuut...!
Bruuusss...! Tuak di mulut disemburkan ke arah
tangan yang memegang pisau. Tapi yang terkena
semburan tuak bukan tangan saja, melainkan kepala
Maling Sakti pun basah oleh air tuak. Jurus 'Sembur Siluman' dipergunakan oleh
Suto Sinting. Jurus itu
membuat Maling Sakti terbelalak kaget dan terbengong-bengong.
Pisau Tanduk Hantu lenyap dari tangannya. Lenyap
tak berbekas apa pun kecuali sarungnya yang masih
terselip di pinggang.
"Bangsat..."! Mana pisauku"! Mana pisau itu"!"
Maling Sakti mencari-cari ke rerumputan, disangkanya pisau itu jatuh tak
disadarinya. Padahal pisau itu lenyap, karena jurus 'Sembur Siluman' memang
berguna melenyapkan benda apa pun yang disemburnya.
"Pisaumu telah lenyap! Tak akan bisa kautemukan lagi, karena jurus 'Sembur
Siluman'-ku bertugas
melenyapkan apa saja yang berhasil kusembur dengan
tuak saktiku! Menyerahlah dan sadarlah, Maling Sakti!
Di atas kekuatanmu masih ada kekuatan lain yang lebih tinggi, yaitu kekuatan
Yang Maha Kuasa...."
"Persetan dengan celotehmu! Kalau kau tidak
mengembalikan pisau itu, kuhancurkan kepalamu
sekarang juga, Suto!" bentak Maling Sakti, ia tampak marah besar. Tangannya
mulai membentuk cakar
harimau, ia akan lepaskan jurus andalannya. Namun
sebelum itu, tiba-tiba seberkas sinar biru melesat
menghantam punggungnya. Sinar itu datang dari suara
tepukan tangan Resi Pakar Pantun yang agaknya
menghabiskan sisa tenaganya untuk mencoba
tumbangkan si Maling Sakti.
Sinar biru itu melesat cepat menghantam punggung
Maling Sakti. Claap...! Blaaarrr...!
Sinar menyilaukan mengembang. Asap mengepul
membungkus tubuh Maling Sakti. Suto Sinting terpental mundur dua tindak, merapat
di pohon. Tak lama
kemudian terdengar suara merintih tertahan dari dalam kepulan asap itu. Angin
bertiup menerbangkan kepulan asap, maka terlihat jelas sosok Maling Sakti yang
amat menyedihkan.
Tubuhnya terkelupas, pakaiannya compang-camping,
hangus terbakar. Mulutnya keluarkan darah segar,
demikian pula hidung dan telinganya. Daging tubuhnya tampak tersayat-sayat
mengerikan, ia masih mencoba
bertahan, tapi akhirnya tak kuat juga dan jatuh terkapar dengan erangan
memanjang. "Uuugghh...!"
Rupanya jurus 'Sembur Siluman' bukan saja
melenyapkan Pisau Tanduk hantu namun juga
melenyapkan kekuatan Batu Sembur Getih yang
membuat kebal tubuh Maling Sakti. Akibat hilangnya
kekebalan itu, maka kilatan cahaya biru dari jurus
'Tepuk Amai-amai' milik Resi Pakar Pantun itu telah
berhasil menghancurkan raga si Maling Sakti. Bahkan
dua helaan napas setelah si Maling Sakti jatuh, Suto Sinting yang mau
mengobatinya dengan tuak menjadi
terhenti langkahnya. Maling Sakti hembuskan napas
terakhir, untuk kemudian tak mampu bernapas selama-
lamanya. Ia mati dalam keadaan raganya hancur
mengerikan. Pendekar Mabuk segera menolong Resi Pakar Pantun
dengan tuaknya. Kadal Ginting pun nyaris terlambat jika Suto tidak segera
menuangkan tuak ke mulut si pelayan Resi Pakar Pantun itu. Ketika keadaan mulai
membaik, Resi Pakar Pantun pun berkata kepada Suto Sinting,
"Celana kolor digelar di atas meja...."
"Sudah, sudah... pantunnya nanti saja," kata Pendekar Mabuk melihat napas sang
Resi masih belum teratur.
"Sekarang istirahatkan dulu ragamu, juga otakmu, supaya lukamu lekas sembuh dan
tenagamu pulih kembali." "Terima kasih atas bantuanmu... tapi, bagaimana dengan Pisau Tanduk Hantu?"
"Apakah kau masih ingin agar pisau itu menjadi
sumber bencana bagi orang yang tak bersalah?"
Resi Pakar Pantun diam, menenangkan engahan
napasnya. Teratai Kipas berkata kepadanya, "Relakan saja pisau itu lenyap
daripada menjadi sumber bencana, tak urung kau juga yang menanggung dosanya,
karena kau pewarisnya!"
"Ya sudahlah...," ujar sang Resi.
"Celana kolor buat membungkus cincin
Golok tajam jangan dipakai gosok gigi
Rupanya tak ada lagi pilihan lain
Demi perdamaian manusia kurelakan pusaka itu
pergi." Kadal Ginting ikut-ikutan bermain pantun, karena ia merasakan badannya mulai
segar kembali. "Celana kolor terbang ke angkasa,
Disambar burung, burungnya mati...."
Karena lama tak ada lanjutannya, Resi Pakar Pantun melirik pelayannya yang ada
di samping dan bertanya,
"Lanjutannya bagaimana?"
"Saya hanya ingin kasih tahu ada burung goblok.
Sudah tahu celana kolor masih saja disambar, akhirnya menutup mata dan ia
menabrak pohon! Mati!"
Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tertawa. Lebih
geli lagi melihat kepala Kadal Ginting dikeplak oleh sang Resi. Ploook...!
"Hargailah pantun supaya umurmu panjang!"
"Apa hubungannya, Eyang?"
"Tidak ada!" jawabnya dengan kesal, dan itulah canda sang Resi yang merasa
beruntung bertemu dengan Pendekar Mabuk yang ilmunya dianggap ilmu gila-gilaan.
Tapi diam-diam sang Resi merasa kagum melihat sikap Suto Sinting yang tak mau
gegabah membunuh
lawan walau dengan mudah hal itu bisa dilakukan pada saat Maling Sakti
kehilangan pisaunya tadi.
"Bukan manusianya yang dibunuh, tapi kejahatannya yang wajib dimatikan!" itulah
pedoman Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak yang punya tugas menjadi penegak
kebenaran di rimba persilatan.


Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
ASMARA BERDARAH BIRU
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Majikan Gagak Hitam 2 Dewi Ular 84 Racun Kecantikan Telapak Setan 13
^