Asmara Janda Liar 2
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar Bagian 2
Perempuan itu tak lain adalah si Janda Liar yang
secara tak sengaja melewati bangunan bekas kuil dalam pengejarannya memburu
Pangkar Soma. "Pangkar Soma tak kudapat, tapi justru kau yang kudapat, Panji Klobot. Rasa-
rasanya kau memang lebih
berharga dari nyawa si Pangkar Soma. Kutangguhkan
pengejaranku terhadap Pangkar Soma, kulanjutkan
setelah puas bercumbu denganmu, Sayangku. Hi, hi, hi, hi, hi...!"
Janda Liar mengangkat kedua tangannya, lalu dua
berkas sinar hijau bening seperti telur burung melesat dari kedua telapak tangan
itu. Wees...! Kedua sinar itu kenai tubuh Suto dan Rumbani. Tubuh mereka tiba-
tiba menyala hijau bagaikan mengandung fosfor. Tetapi
tubuh itu segera bergerak melayang ke atas pelan-pelan, lalu menuju keluar
ruangan dalam keadaan tegak. Kedua mata mereka masih sama-sama terpejam dan
kepalanya terkulai lemas.
"Pulang ke pesanggrahan!" sentak Janda Liar dengan suara tertahan. Maka, kedua
tubuh lemas berwarna hijau bening itu pun berkelebat melayang meninggalkan
tempat itu. Janda Liar mengikutinya dari belakang
dengan gerakan bagai kapas terhembus angin. Sementara bumbung tuak Suto
dibiarkan tertinggal di reruntuhan kuil.
Janda Liar tak mengetahui bahwa perjalanan
malamnya ada yang mengrkuti dari balik kegelapan.
Orang yang mengikutinya itu sebentar-sebentar
berlindung di balik pohon dan mengatur jaraknya
sedemikian rupa hingga gerakannya tak tertangkap oleh kepekaan indera yang
diikuti. Perjalanan malam tanpa rembulan itu tidak
menyulitkan bagi si penguntit, karena ia menggunakan pedoman sinar hijau yang
melapisi tubuh Rumbani dan
Pendekar Mabuk. Sambil mengikuti langkah Selimut
Senja, si penguntit berpikir bagaimana caranya
membebaskan Suto dari kekuatan sihir si Janda Liar.
"Tanpa kekuatan sihir, tak mungkin Suto terbang begitu saja dalam keadaan
tidur," pikir si penguntit.
"Kalau kuserang begitu saja, mungkin saja si Janda Liar bisa tumbang, tapi
membebaskan Suto dari
pengaruh kekuatan sihirnya itu aku tak bisa. Sebaiknya kuikuti saja dulu sampai
kekuatan sihir itu dilepaskan oleh si Janda Liar, baru aku menyerangnya dari
belakang."
Tapi ternyata sampai menuruni lereng bukit menuju
ke Lembah Liar, kekuatan sihir itu masih belum
dilepaskan oleh Selimut Senja. Bahkan ketika tiba di pesanggrahan Partai Janda
Liar, Suto Sinting dan
Rumbani masih dalam keadaan tak sadar dan tubuh
mereka memancarkan sinar hijau fosfor.
Mau tak mau si penguntit segera menyerang Selimut
Senja dari belakang sebelum Suto dan Rumbani dibawa
masuk ke pesanggrahan. Seberkas sinar merah melesat
dari dua jari yang dikeraskan. Sinar itu menghantam
punggung Selimut Senja. Claaap...! Beeebss...!
Selimut Senja hanya tersentak ke depan dan cepat
balikkan tubuh sambil lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru
melingkar-lingkar seperti spiral.
Weerrss...! "Aaahk...!" pekik suara dari balik kegelapan. Si penguntit terkena pukulan sinar
biru melingkar-lingkar itu. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh di
kerimbunan semak.
"Siapa itu"! Keluar dan hadapi aku sekarang juga"
Kutunggu kau, Setan!"
Tentu saja seruan Selimut Senja itu tidak mendapat
jawaban. Pada saat itu, gerakan Suto dan Rumbani juga berhenti namun hanya bisa
mengambang di udara dalam
jarak tiga jengkal dari tanah.
Selimut Senja penasaran, ia segera melesat menuju ke tempat yang tadi keluarkan
suara pekik itu. Wuuut...!
Zraaak...! Selimut Senja menerjang semak belukar. Ia
menghantamkan pukulan bertenaga dalam tanpa sinar ke sekelilingnya. Semak dan
pepohonan kecil saling
berhamburan karena pukulan tenaga dalam itu.
Brruss...! Zraaak...! Krraak...! Bruuuk...!
Selimut Senja diam sebentar, matanya melirik tajam
ke sekeliling. Telinganya bagaikan dibuka lebar-lebar untuk menangkap suara yang
mencurigakan. Tangannya
siap melepaskan pukulan maut untuk menghantam suara
yang mencurigakan itu. Namun sampai beberapa saat ia tak mendengar apa-apa dan
tak ada tanda-tanda yang
mencurigakan. "Keluar kau, Jahanam!" seru Selimut Senja sengaja memancing tantangan.
Selimut Senja tak tahu bahwa si penguntit telah lebih dulu tinggalkan tempat
karena pinggangnya terkena
pukulan sinar biru tadi. Ia berkelebat menjauh dan naik ke atas pohon dalam satu
sentakan tubuh yang ringan. Di sana ia diam memeluk batang pohon sambil duduk di
atas dahan. Tubuhnya gemetar karena menahan rasa
sakit yang membakar bagian dalam tubuh.
"Aku harus bertahan! Harus bisa bertahan dan
meminta bantuan kepada seseorang yang menurutku
mampu membantuku membebaskan Suto Sinting.
Uuh...! Sekujur tubuh bagai dikelupas semua. Perih dan sakit! Uuuh...! Napasku
jadi ikut-ikutan sesak begini.
Mampukah aku bertahan sembunyi di sini"!"
Selimut Senja menghempaskan napas, merasa kesal
karena tidak menemukan lawannya. Akhirnya ia kembali hampiri Suto dan Rumbani
dan menjalankan kedua
tubuh bercahaya hijau itu dengan kekuatan batinnya
yang dikatakan sebagai kekuatan sihir itu.
Si penguntit melihatnya dari atas pohon, cahaya hijau itu bergerak menuju
pesanggrahan. Tapi ia tak dapat
berbuat apa-apa kecuali hanya mempertahankan diri agar tak jatuh dari atas
pohon. Selimut Senja sampai di depan gerbang
pesanggrahan. Dua pengawal gerbang mendekati cahaya
hijau itu dan ingin melepaskan pukulan karena dianggap sinar yang akan
menghancurkan pintu gerbang.
"Tahan...!" seru Selimut Senja.
"Oh, sang Ketua..."!"
"Buka pintu gerbang dan segera tutup rapat-rapat setelah kami masuk."
"Baik, Ketua!"
"Kalau ada orang yang mengikutiku dari belakang, dengan alasan apa pun, hantam
dia dan habisi sekalian!"
"Baik, Ketua! Kami akan lakukan sesuai pesan
Ketua!" jawab seorang pengawal mewakili empat
penjaga pintu gerbang lainnya. Mereka terdiri dari
perempuan-perempuan masih muda namun sudah
menyandang gelar sebagai janda. Ada janda kembang,
ada janda tak berkembang, ada pula janda kembang
kempis, artinya janda yang hidupnya susah.
Selang beberapa saat setelah si Janda Liar masuk
bersama Suto dan Rumbani, muncul seorang perempuan
berambut dikuncir dan menyandang pedang di
punggungnya. Perempuan berpakaian biru berkelebat
mendekati pintu gerbang.
"Siapa itu"!",sentak seorang pengawal sambil memandang orang yang baru datang
dalam keremangan
cahaya obor pintu gerbang yang memancar sejauh lima
tombak itu. "Aku: Damayanti!"
"Pesan Ketua harus dihabisi sekalian!"
"Baik! Serahkan padaku!"
Damayanti yang sebenarnya ingin melaporkan hasil
kerjanya, terpaksa berhenti karena seorang pengawal
menghadangnya dengan sikap menantang.
"Apa maksudmu bersikap begitu padaku, hah"!"
sentak Damayanti yang merasa kedudukannya jauh lebih tinggi dari pengawal itu.
"Tutup mulutmu dan terima saja pesanan sang Ketua ini, hiaah...!"
Pengawal yang memegang tombak itu
menghujamkan tombaknya ke perut Damayanti. Tapi
dengan cepat tangan Damayanti menangkisnya. Krrak...!
Tombak itu patah seketika, lalu Damayanti melancarkan tendangan putar dengan
cepat. Wuut...! Buuhk...!
Pengawal itu terlempar hingga membentur pintu
gerbang. Gubraak...!
"Aku harus menghadap Ketua, karena ciri-ciri Panji Klobot tidak sesuai dengan
wujud orangnya! Sang Ketua salah duga dari...."
Tiba-tiba pengawal yang satunya melemparkan pisau
bagai membuang sesuatu yang cepat. Ziling...!
Jrrub...! "Aaahkk...!" Damayanti mendelik. Leher kirinya tertancap pisau, lalu ia pun
tumbang tak bernyawa lagi.
Padahal dia bukan si penguntit. Si penguntit sedang berusaha turun dari atas
pohon untuk mencari bantuan.
Kasihan si Damayanti, nyawanya jadi korban
kesalahpahaman. Lalu, siapa si penguntit itu
sebenarnya"
Mengapa ia bersikeras untuk membebaskan Suto
Sinting" Tapi ia agaknya kenal dengan Selimut Senja.
Seorang perempuankah si penguntit itu" Atau justru si Panji Klobot sendiri"
* * * 5 EMBUN pagi mulai diserap oleh sinar matahari.
Rerumputan telah kering dan burung tak lagi berkicau.
Di atas rerumputan itulah sesosok tubuh tergeletak
dalam keadaan wajahnya pucat pasi. Napasnya masih
ada, tapi tampak pelan sekali. Seakan ia menunggu saat-saat sang ajal tiba
merenggut nyawanya. Ia tak mampu berteriak karena kerongkongannya bagaikan
kering kerontang akibat hawa panas yang membakar bagian
dalam tubuhnya.
Tak jauh dari tempatnya terkapar, sebuah pertarungan terjadi antara dua
perempuan cantik yang saling beradu pandang. Suara denting pedang terdengar
menggema di sekeliling tempat itu.
Dua perempuan cantik yang mengadu jurus
pedangnya itu salah satu berambut pendek diponi depan.
Bajunya tanpa lengan warna hitam berbintik-bintik putih logam. Pundak baju itu
kaku dan mempunyai krah
pendek tapi tegak.
Ia mengenakan kalung tali hitam berbandul batuan
merah segar dan giwang yang sama merahnya, kontras
sekali dengan warna kulitnya yang kuning. Ia tampak masih cantik dan muda,
usianya sekitar dua puluh tahun.
Sedangkan lawannya sudah cukup umur, sekitar
delapan tahun lebih tua dari si gadis berambut poni itu.
Perempuan yang satu itu mengenakan pakaian serba abu-abu dan rambutnya panjang
dibiarkan meriap sampai
pundak. Ia mengenakan ikat kepala merah dan memakai gelang di kanan-kirinya
warna hitam dari kulit binatang.
Perempuan itu adalah anak buah dari Janda Liar yang
bernama Rana Sumping. Ia juga ditugaskan untuk menangkap Panji Klobot. Ia tidak
tahu bahwa yang di-maksud ketuanya itu adalah Pendekar Mabuk; Suto
Sinting. Maka yang diburu adalah pemuda bernama
Panji Klobot. Rana Sumping mendapat keterangan dari seorang
pencari kayu, bahwa di Lembah Seram ada pondok dan
di pondok itu ada yang bernama Panji Klobot. Pondok
itu adalah milik tokoh tua berilmu tinggi yang dikenal dengan nama Kusir Hantu.
Rana Sumping tidak tahu siapa pemilik pondok
tersebut. Ketika ia mendekati pohon itu, tiba-tiba ia bertemu dengan cucu si
Kusir Hantu yang bernama
Pematang Hati. Terjadilah pertarungan antara Pematang Hati dengan Rana Sumping,
karena Pematang Hati tak
mau serahkan Panji Klobot pada saat itu sedang
menderita sakit beracun akibat serangan Sunting Sari.
Pematang Hati terluka oleh pedang Rana Sumping,
adiknya melihat hal itu lalu menyerang Rana Sumping.
Ternyata adik Pematang Hati yang bernama Mahligai
Sukma itu mempunyai kelincahan lebih tinggi dari
kakaknya. Ia berhasil hindari serangan Rana Sumping, bahkan beberapa kali ia
berhasil lukai Rana Sumping
dengan pukulan tenaga dalam jarak jauh.
Rana Sumping melarikan diri. Mahligai Sukma
penasaran, lalu mengejar Rana Sumping. Sepanjang
malam pengejaran itu tetap dilakukan, sampai akhirnya mereka bertemu di tempat
yang tak jauh dari sesosok
tubuh yang terkapar dalam keadaan sekarat itu.
Rana Sumping sendiri menjadi berang ketika dikejar
terus oleh Mahligai Sukma, akhirnya ia memutuskan
untuk mengadu ilmu pedangnya. Mahligai Sukma tidak
merasa gentar sedikit pun karena ia belajar ilmu pedang bukan dari kakeknya
saja, melainkan juga mendapat
ilmu pedang dari kakaknya sang kakek yang bernama
Tua Bangka alias Ki Sanupati.
Mahligai Sukma berhasil mendesak Rana Sumping
dengan jurus pedangnya yang tiada pernah berhenti
berkelebat. Jurus pedang itu pemberian si Tua Bangka dan dinamakan jurus 'Pedang
Linglung'. Tebasannya
seakan tak menuju ke sasaran, tapi tiba-tiba menyabet cepat ke arah lawan. Rana
Sumping hanya bisa
menangkis dan menghindari pedang Mahligai Sukma. Ia
bagaikan tak diberi kesempatan untuk membalas
serangan Mahligai Sukma.
"Lincah sekali gadis ini, seperti anak belalang saja!"
pikir Rana Sumping sambil menangkis tebasan pedang
Mahligai Sukma yang datang secara beruntun.
"Kalau tak segera melarikan diri, aku bisa mampus di tangan bocah kemarin sore
ini!" Trang, trang, trang, triing, trang, triing...!
Breet...! "Auh...!" Rana Sumping memekik, pundaknya
terkena tebasan pedang Mahligai Sukma. Luka koyak itu sangat perih dan panas,
bagai dibakar dengan api yang tak kunjung padam.
"Celaka! Racun pedang itu berbahaya sekali!" pikir Rana Sumping, maka ia segera
berjungkir balik dalam
satu lompatan ke belakang. Lalu, kakinya menyentak ke tanah dan tubuhnya pun
melambung ke atas. Suuut... !!
Ia hinggap di atas pohon, setelah itu segera melarikan
diri dengan lompatan-lompatan tangkas dari pohon ke
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pohon. "Jangan lari kau, Keparat!" seru Mahligai Sukma yang segera mengejarnya dengan
gerakan cepat. Wuuut...! Namun kaki Mahligai Sukma tersandung sesuatu dan
membuatnya jatuh tersungkur. Bruuuss...!
"Sial!" makinya dalam hati. Ia segera bangkit dan lakukan pengejaran kembali.
Tetapi tiba-tiba kakinya tak jadi melangkah ketika ia melihat sesuatu yang
membuat kakinya tersandung itu mengeluarkan suara rintih sangat pelan. Ternyata
kaki Mahligai Sukma telah tersandung paha sesosok tubuh yang terkapar tanpa daya
lagi itu. Mahligai Sukma memandang dengan dahi berkerut, lalu
segera mendekati orang yang terkapar itu.
"Oh, kau terluka parah..."!" ujarnya pelan sambil meneliti tubuh orang tersebut.
Mendengar suara seseorang bicara, orang itu segera
membuka mata walau hanya kecil saja. Mulutnya
bergerak-gerak berusaha keluarkan suara. Mahligai
Sukma dekatkan telinga, dan ia mendengar orang itu
berkata dalam nada membisik.
"Selamatkan.... Suto.... Sinting...."
"Hahh..."!" Mahligai Sukma terkejut. "Kau kenal dengan Suto Sinting?""
"Dddi... dia... tertawan ooleh... oleh.... Janda....
Liar...." "Suto tertawan oleh Janda Liar"! Oh, kalau begitu kau perlu kubawa pulang agar
kakekku mencoba
menyembuhkanmu!"
Mahligai Sukma memasukkan pedangnya ke sarung
pedang. Ia segera mengangkat tubuh orang tersebut.
Baginya lebih penting menyampaikan kabar dari mulut orang itu ketimbang mengejar
Rana Sumping, toh
lawannya itu dengan tak langsung sudah mengakui
keunggulannya dan tak mampu hadapi jurus pedangnya.
"Lain waktu bisa kulanjutkan lagi pertarungan ini!
Aku mengenali wajahnya walau tak tahu namanya!"
pikir Mahligai Sukma sambil memanggul orang yang
sekarat itu. Sampai di pondok, ia segera menyerahkan orang itu
kepada si Kusir Hantu. Saat itu luka Pematang Hati
sudah diobati oleh Kusir Hantu dan Panji Klobot sendiri mulai sehat.
"Orang ini terluka dan membawa kabar tentang
Suto!" kata Mahligai Sukma kepada kakeknya.
Panji Klobot kaget begitu melihat orang yang dibawa
oleh Mahligai Sukma.
"Ini dia orangnya...! Ini dia yang menyerangku dan mau menangkapku!"
Ternyata orang yang sekarat itu adalah si penguntit
yang tak lain adalah Sunting Sari. Bertepatan dengan ucapan Panji Klobot itu
terlontar, muncul pula Tenda Biru yang semalam menyusul Mahligai Sukma dan ikut
mengejar Rana Sumping. Tapi agaknya ia salah arah dan kembali pada pagi
menjelang siang.
"Oh, jadi si keparat ini sudah berhasil kau lukai"
Untuk apa dibawa kemari, habisi saja dia! Hiaaat...!"
"Tunggu!" cegah Kusir Hantu.
Tenda Biru tak jadi mencabut pedangnya.
"Dia membawa kabar tentang Suto!" timpal Mahligai Sukma sambil memandang Sunting
Sari. "Apa yang kau ketahui tentang Suto Sinting?" tanya Kusir Hantu.
"D... di.. bawa ke Lembah.... Liar.... Terta... terta...."
"Tertawa?" sahut Kusir Hantu.
"Tertawan... di ssssa... saaanna...."
Mereka saling berpandangan. Ada kecurigaan apa
yang dikatakan Sunting Sari itu hanya sebuah siasat
belaka. Tapi melihat luka yang parah, si Kusir Hantu berkeyakinan bahwa ucapan
itu memang benar. Maka ia
segera berkata kepada yang lain.
"Bawa masuk ke dalam akan kuobati dulu lukanya
biar dia bisa cerita lebih banyak lagi. Pepatah
mengatakan: 'Pikir dulu pendapatan sesal kemudian tak berguna'. Artinya, kalau
pendapatanmu rendah jangan
beli barang yang mahal-mahal, nanti bisa...."
"Sudahlah, Kek! Pepatah melulu, mending kalau
artinya sesuai dengan keadaan yang berlaku!" gerutu Mahligai Sukma yang dicekam
kegelisahan sejak
mendengar kabar Suto ditawan oleh Janda Liar. Karena dalam benak gadis itu
membayangkan Suto dalam
pelukan Janda Liar, setidaknya dengan Janda Liar akan memaksa Suto untuk
melayani hasratnya dengan cara
bagaimanapun. Bayangan Mahligai Sukma tak meleset jauh dari
kenyataan. Hanya saja, kemesraan itu belum sempat
terjadi, karena ketika Suto dilepaskan dari pengaruh sihir yang membuat cahaya
hijaunya padam, ia dalam
keadaan pingsan.
"Jaga dia dan hati-hati, esok pagi pasti dia sudah siuman karena kekuatan racun
kabutku cepat hilang jika berada di dalam tubuh orang bertubuh kekar!"
perintahnya kepada seorang anak buah.
"Baik. Saya akan tetap di ruangan ini sampai dia sadar, Ketua!
"Jangan di dalam ruangan itu. Di luar!" bentak Selimut Senja, dan sang anak buah
itu menurut dengan wajah kecut alias kecewa.
Rupanya ada sesuatu yang dilakukan oleh Selimut
Senja yang membuat sang anak buah berkeinginan sekali menjaga Suto di dalam
ruangan tersebut. Ruangan itu
adalah ruangan bawah tanah yang diterangi oleh obor-
obor berbumbung tinggi seperti tiang. Bahan bakarnya terbuat dari minyak kelapa
sehingga tidak membuat
hitam ruangan tersebut.
Ketika Suto sadar, ia terkejut sekali mendapatkan
dirinya dalam keadaan dirantai. Kedua tangannya
direntangkan dan terkait pada belenggu rantai yang
menempel pada dinding kokoh. Kedua kakinya juga
direntangkan dalam keadaan dibelenggu dengan rantai
besar yang kokoh. Pendekar Mabuk menjadi lebih
terkejut setelah mengetahui pakaiannya telah lenyap dan tubuhnya tak mengenakan
selembar benang pun.
Keadaan itulah yang membuat sang anak buah ingin
menjaga di dalam ruangan, namun dilarang oleh sang
Ketua. Craak...! Suto menggerakkan kedua tangannya begitu
sadar keadaan tubuhnya. Ia ingin menutupi bagian yang sangat memalukan jika
dipandang orang lain, terutama seorang wanita. Tapi tangannya tak bisa dipakai
untuk menutupi hal itu karena terbelenggu kuat.
"Wah, kacau banget kalau begini caranya! Masa' aku ditawan dalam keadaan seperti
ini"! Siapa yang
menawanku"! Rumbanikah yang menawanku"!"
Pendekar Mabuk berusaha menarik rantai agar jebol
dari dinding. Tapi ia bagaikan tak makan selama empat puluh hari.
"Ooh... tenagaku seperti hilang semua. Lemas sekali tubuhku. Tak kuat untuk
menjebol rantai ini dari
dinding. Aduuuh... kenapa aku bisa jadi seperti ini, ya"
Seingatku aku dipancing bercumbu dengan Rumbani.
Cumbuannya melelapkan sukma dan... setelah itu aku
tak ingat apa-apa lagi. Apakah... apakah dadanya
Rumbani mengandung racun yang membius
kesadaranku"! Oh, kalau begitu... dada perempuan itu sangat berbahaya.
Seharusnya diremas saja, bukan
dipagut dan...."
Klaaak...! Pintu ruangan terbuka, seseorang masuk
dan sunggingkan senyum kemenangan terhadap Suto
Sinting. "Selimut Senja..."!" ucap Suto dengan nada heran.
"Sudah kuduga kau telah sadar dari racun kabutku, Panji!"
"Celaka! Rupanya aku tertangkap oleh si Janda Liar.
Ooh... kalau caranya menawanku begini, dia memang
benar-benar janda yang liar!" ucap Suto dalam hatinya.
Pintu ruangan itu segera ditutup dan dikunci dari
dalam, karena penjaga di luar pintu ikut menongolkan kepalanya sambil senyum-
senyum. Selimut Senja
sempat membentaknya.
"Sekarang belum jadi tontonan! Nanti setelah aku puas menikmatinya, kau boleh
menontonnya dengan
teman-temanmu yang lain!"
Brraak...! "Aaaaaoow...!" sang penjaga menjerit karena tangannya tergencet ketika pintu
ditutup oleh Selimut Senja. Tangan itu segera dicabut ketika Selimut Senja
membukanya sedikit, sambil keluarkan perintah,
"Ambilkan buah anggur dan seguci tuak! Aku akan berpesta dengannya!"
"Bba... baik, Ketua," jawab si penjaga dengan masih menyeringai merasakan sakit.
Ia sempat menggerutu sambil melangkah meninggalkan pintu tersebut.
"Pesta ya pesta, tapi apakah tanganku juga ikut dipakai pesta sampai gepeng
begini! Aduuuh...
kebangetan sekali si Ketua. Melongok sebentar saja
upahnya digencet pintu. Apalagi kalau melongok sampai lama, mungkin kepalaku
yang akan digencetnya!"
Setelah pesanannya diserahkan, Selimut Senja segera
menutup pintu itu, lalu menguncinya dari dalam dengan palang pintu dari kayu
jati. Klaaak...!
"Aku tahu yang kau inginkan! Panah emas itu, bukan!
Aku sudah tidak memegang panah emas lagi, Selimut
Senja! Panah itu sudah kukembalikan pada kakekmu;
Begawan Parang Giri!"
"O, ya..."!" Selimut Senja berjalan melenggok mendekati Suto Sinting. Seakan ia
tak begitu tertarik dengan ucapan Suto. Pandangan matanya menjadi sayu
dan sering melirik nakal. Senyumnya pun berkesan
senyum perempuan jalang.
"Aku tak peduli panah itu di mana! Aku memang
kehilangan panah pusaka, tapi kau akan
menggantikannya dengan 'panah pusakamu' ini, bukan"!
Hi, hi, hi, hi...," sambil Selimut Senja mencengkeram sesuatu yang terbuka lebar
tanpa penutup itu. Suto hanya menyeringai kaget, takut cengkeraman tangan itu
memecahkan sesuatu yang selama ini dijaga dan
dirawatnya baik-baik itu.
Dengan wajah didekatkan, Selimut Senja berkata
pelan kepada Suto.
"Kesalahanmu dapat kuampuni jika kau mau
memenuhi keinginanku, Panji."
"Apa keinginanmu?"
"Hmmm..." Oh, kurasa kau tahu... inilah
keinginanku," sambil Selimut Senja meremas pelan
'jimat' kesayangan Suto itu.
"Maaf, aku tidak berselera dengan perempuan kasar dan memakai cara seperti ini.
Lepaskan aku dari
belenggu-belenggu ini, maka kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan dariku,"
bujuk Sulo. "Oh, aku bukan perempuan bodoh, Panji. Kau tak
akan kulepaskan sebelum kudapatkan kenikmatan
bercinta denganmu."
"Tapi... tapi keadaanku berdiri begini dan kau tak akan mendapatkannya, Selimut
Senja!" "Hi, hi, hi, hi... aku sudah terlatih sambil berdiri, Panji! Jangan takut, kau
pun akan merasakan seperti
kuterbangkan sampai di langit-langit surga."
"Gawat! Dia mudah mempermainkan aku sementara
aku tidak mempunyai kekuatan untuk meronta," pikir Suto Sinting sambil melirik
ke sana-sini mencari pakaian dan bumbung tuaknya.
Pakaian tidak kelihatan ada di ruangan itu, tapi
bumbung tuak tampak membayang tak jauh dari sebelah
kanannya. Bumbung tuak itu kadang kelihatan kadang
hilang. Suto mulai paham bahwa bumbung tuak akan
muncul pada saat tertentu nanti.
Selimut Senja mengambil guci tuak, lalu
meminumkan kepada Suto dengan tangan tetap jahil ke
arah itu-itu saja.
"Lihat, betapa baik aku padamu, aku tahu kau butuh minum. Teguklah tuak ini
sebanyak-banyaknya, Panji,
biar kau menjadi lelaki yang panas dalam asmara. Hi, hi, hi...."
Pendekar Mabuk meneguk tuak itu agak banyak.
Selimut Senja menyangka jika Suto meminum tuak
banyak-banyak, maka ia akan menjadi mabuk dan
gairahnya akan terbakar dengan sentuhan lembut pun. Ia
tidak tahu bahwa Suto adalah manusia yang nyaris tak pernah mabuk walau meminum
tuak sebanyak apa pun.
Justru tuak akan membuat badannya segar dan
kekuatannya pulih kembali.
Tuak yang diminumkan ke mulut Suto sengaja
dicecerkan hingga membasahi bagian dada, perut, dan
seterusnya. "Oh, sayang sekali tuaknya tercecer, padahal tuak ini tuak terbaik yang kupesan
dari Majalegi. Hmmm...!"
Selimut Senja mengecupi tuak yang membasahi
tubuh Suto itu. Dari dada hingga ke perut disusuri
memakai lidah dan bibirnya. Sapuan lembut yang
membakar gairah itu tetap dilakukan oleh Selimut Senja walau sampai melewati
batas perut Suto.
Mata Suto terpejam bukan karena meresapi sentuhan
hangat bibir Selimut Senja, melainkan menahan rasa
agar gairahnya tidak terbakar dan menjadi berselera.
Usaha itu berhasil, gairah yang mestinya berkobar
karena disapu oleh kecupan hangat Selimut Senja,
ternyata hanya dingin-dingin saja. Selimut Senja merasa heran melihat keadaan
Suto yang tidak tergugah oleh
cumbuannya. "Mengapa kau tak bangkit seperti malam itu, sebelum panah emasku kau curi?"
"Sudah kukatakan, aku tidak berselera dengan
perempuan kasar yang memperlakukan diriku seperti ini!
Aku tidak berselera padamu, Selimut Senja."
"Benarkah..."!" sambil senyum perempuan itu dipamerkan penuh goda, pandangan
mata sayunya pun
tampak menantang sekali.
Perempuan itu segera menari gemulai di depan Suto
Sinting. Tarian yang dibawakan adalah tarian yang
menggugah kejantanan seorang lelaki. Suto tetap kalem dan hanya sunggingkan
senyum sinis, seakan
meremehkan godaan Selimut Senja.
"Aku tetap tidak berselera padamu, Selimut Senja!"
Mulut perempuan itu tidak berucap apa pun, tapi ia
sunggingkun senyum yang cukup nakal. Bahkan
sekarang di sela gemulainya tarian, Selimut Senja
melepaskan jubahnya pelan-pelan hingga ia mengenakan penutup dada dan pakaian
bawah saja. "Aku tetap tidak berselera padamu walau kau berbuat begitu!" ujar Suto dengan
kalem, berkesan meremehkan rayuan Selimut Senja.
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lama-lama Janda Liar itu melepaskan kain penutup
dadanya. Kain itu terkulai di lantai dan tampaklah
sebentuk keindahan yang menyebarkan kehangatan
dalam khayalan setiap lelaki. Tetapi Suto Sinting tetap berkata dengan suaranya
yang tegar. "Ah, percuma saja kau begitu. Aku tetap tidak
berselera padamu, Janda Liar!"
Selimut Senja mengangkat kedua tangannya, lalu
pinggulnya meliuk-liuk dengan lidah menjilati bibirnya sendiri. Matanya semakin
sayu dan wajahnya menjadi
semakin sensual. Bahkan kali ini ia melepaskan pakaian bawahnya dengan pelan-
pelan, dan pinggulnya masih
meliuk-liuk membuat pria mana pun panas dingin.
"Ak... aku... aku tetap tidak bergairah pada...
padamu...." Suto mulai bicara berpatah-patah. Karena sebenarnya hati Suto mulai
berdebar-debar ketika
melihat perempuan cantik itu tidak mengenakan
selembar benang pun dan berliuk-liuk penuh bayangan
mesum. Gerakan itu makin mendekati Suto Sinting. Wajah
Suto ditengadahkan. Ia tak mau melihat Selimut Senja, dan mulutnya tetap
melontarkan kata,
"Aku... aku tidak bergairah padamu, Setan...."
"Benarkah...?" ucap Selimut Senja dengan suara mendesah, semakin menggetarkan
hati pendekar tampan
itu. "Benarkah kau tidak bergairah padaku?"
"Celaka! Aku tak bisa menghindar lagi! Tenagaku masih lemah gara-gara kabut
beracunnya itu! Ooh... apa yang harus kulakukan jika begini! Dia pasti akan
berhasil memperkosaku dalam keadaan seperti ini!
Ooh... mana enak"! Eh... anu... hmmm... apa, ya"!"
Tiba-tiba pintu ruangan itu digedor-gedor oleh
seseorang. Gedoran itu cukup keras hingga mengejutkan si Janda Liar.
Dook, dook, dook...!
"Biadab! Siapa itu!" Janda Liar menjadi berang karena khayalan asmaranya yang
sudah melambung
tinggi itu terputus dan buyar oleh suara gedoran pintu. Ia
buru-buru mengenakan pakaiannya karena gedoran pintu itu terdengar lagi, bahkan
semakin keras. "Keparat! Siapa yang berani mengganggu asmaraku ini"!" ujarnya dengan berang
sambil hampiri pintu tersebut.
* * * 6 PENJAGA pintu yang tadi tangannya tergencet itu
segera ditampar oleh Selimut Senja. Plaak...! Si penjaga pintu terpelanting
membentur dinding. Pipinya menjadi merah membekas lima jari.
"Beraninya kau mengganggu kemesraanku, hah"!"
bentak Selimut Senja.
"Mmaa... maaf, Ketua. Dddi... di luar ada tamu yang mengamuk dan... dan...."
"Mengapa harus lapor padaku"! Apakah kau dan
yang lain tak bisa mengatasi"! Goblok! Mau mengatasi orang mengamuk saja harus
pakai minta izin dulu
padaku!" "Buk... bukan soal minta izin, Ketua. Tapi... tapi kami semua kewalahan
menghadapi mereka!"
"Mereka..."! Berapa orang yang bikin ulah itu"!"
"Tig... tiga orang!" sambil tangannya yang tadi tergencet mengacungkan tiga
jari. "Siapa mereka"!" geram Selimut Senja mulai menanggapi laporan itu.
"Saya tidak jelas, Ketua. Tapi... tapi mereka menuntut dibebaskannya Suto
Sinting." "Di sini tidak ada Suto Sinting! Siapa itu Suto Sinting"!"
"Kami sudah jelaskan begitu, Ketua. Tapi... tapi tiga orang itu masih ngotot dan
melukai beberapa orang kita, Ketua! Hutami gigi depannya rompal, Ketua."
"Gara-gara dihajar tiga orang itu?"
"Gara-gara dia tadi pagi terpeleset di sumur, Ketua!"
Plaak...! Penjaga itu ditampar lagi.
"Kalau tidak ada hubungannya jangan ikut
dilaporkan, Tolol!"
"Ampun, Ketua...," ujarnya sambil menyeringai kesakitan. Kini pelipisnya menjadi
merah membekas jari tangan Selimut Senja.
Rupanya setelah mendapat keterangan lebih lengkap
dari Sunting Sari yang berhasil ditolong oleh Kusir
Hantu, mereka segera menyerang ke Lembah Liar.
Tenda Biru, Mahligai Sukma, dan Pematang Hati
mengamuk di depan gerbang pesanggrahan. Bahkan
mereka berhasil menjebol pintu gerbang dan menerjang orang-orang Partai Janda
Liar yang bermaksud
membendungnya. Pasir Putih, yang selama ini dipercaya untuk
mewakili keberadaan Selimut Senja jika Selimut Senja tidak ada di tempat,
mencoba menahan gerakan ketiga
orang cantik itu. Pasir Putih mempunyai ilmu yang
cukup dapat diandalkan untuk mengatasi keributan yang terjadi di pesanggrahan
Partai Janda Liar. Tetapi kali ini ia harus berhadapan dengan Tenda Biru yang
sangat berang mendengar Suto tertawa oleh si Janda Liar.
Mereka segera membentuk lingkaran pengepungan.
Mahligai Sukma dan Pematang Hati saling beradu
punggung dengan pedang terhunus dan mata
memandang penuh waspada. Sementara itu, Tenda Biru
menghadapi si Pasir Putih dengan wajah memancarkan
kemurkaan. "Kalau kalian tak mau melepaskan Suto Sinting, akan kuhancurkan tempat ini dalam
sekejap!" ancam Tenda Biru.
"Kau mengigau, Setan Belang! Di sini tak ada Suto Sinting! Kalian hanya cari
mampus saja datang kemari!"
ujar Pasir Putih sambil segera menghunus pedangnya
dengan pelan-pelan. Ia melangkah ke samping kiri dan Tenda Biru ke samping
kanan. "Panji Klobot!" sentak Mahligai Sukma. "Menurut orang yang memberi keterangan
pada kita, orang-orang di sini mengenal Suto dengan nama Panji Klobot!"
"Hmmm... ya!" ujar Tenda Biru, kemudian berkata kepada Pasir Putih. "Kami mau
membebaskan Panji Klobot! Kau pasti mengenalnya!"
"O, jadi yang kalian cari adalah Panji Klobot"!"
"Benar! Bebaskan dia sebelum kesabaranku hilang sama sekali!"
"Kau boleh membawa pergi Panji Klobot jika bisa melangkahi mayatku, Perempuan
Iblis!' "Kulangkahi betul mayatmu, Keparat! Hiaaat...!"
Tenda Biru menerjang dengan gerakan secepat kilat.
Pedangnya berkelebat menebas leher Pasir Putih. Tetapi dengan gerakan cepat pula
Pasir Putih menangkis
tebasan pedang itu. Trraaang...!
Sayang tangan kirinya terlambat bergerak, sehingga
kaki Tenda Biru menjejak telak pundaknya. Duuuk...!
Pasir Putih terpelanting jatuh, Tenda Biru
mengejarnya dengan pukulan tenaga dalam bercahaya
biru kecil seperti ujung anak panah. Claaap...!
Pasir Putih bangkit dan berlutut dengan satu kaki. Ia
pun melepaskan sinar merah besar dari tangan kirinya.
Wuuut...! Blaaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi saat sinar biru berbenturan
dengan sinar merah. Pasir Putih terjungkal akibat
gelombang ledakan itu, sedangkan Tenda Biru hanya
terdorong mundur dua langkah.
Pematang Hati mau menerjang Pasir Putih dengan
pedang diarahkan ke punggung Pasir Putih. Tetapi
Tenda Biru segera berseru dari tempatnya.
"Jangan! Biar kutumbangkan sendiri si mulut besar itu!"
Pematang Hati tak jadi lakukan penyerangan, ia
kembali berjaga-jaga di belakang adiknya; Mahligai
Sukma. Tenda Biru segera bersalto di udara saat Pasir Putih sudah mulai bangkit
kembali. Wuk, wuk, wuk...!
Tubuhnya meluncur turun dengan pedang siap
dihujamkan ke tubuh Pasir Putih. Namun tiba-tiba Pasir Putih melompat ke samping
dengan gerakan begitu
cepat, hingga hujaman pedang Tenda Biru kenai tempat kosong.
Pasir Putih segera lepaskan pukulan tangan kirinya
yang bersinar merah itu. Wuuut...! Tenda Biru
menebaskan pedangnya ke samping dengan kecepatan
tinggi hingga terdengar suara, wuuung...! Lalu pedang itu memancarkan sinar
hijau yang membentur sinar
merahnya Pasir Putih.
Bleegaaarrr...!
Kali ini Tenda Biru terlempar walau tak seberapa
jauh. Pasir Putih hanya terhuyung-huyung ke belakang dan dalam sekejap telah
berdiri tegak kembali.
Tiba-tiba Tenda Biru melemparkan pedangnya ke
arah Pasir Putih. Wuuut...! Pedang itu terbang dan Tenda Biru lompat ke atasnya.
Kini kedua kaki Tenda Biru
berada di atas pedang tersebut dan ikut terbang bersama sang pedang. Weess...!
Sambil berada di atas pedangnya, Tenda Biru
melepaskan sinar biru patah-patah dari ujung kedua jari yang dikeraskan itu.
Clap, clap, clap, clap...!
Pasir Putih kebingungan hindari sinar biru itu. Ia
melompat ke kiri, tapi Tenda Biru segera mengarahkan pedangnya yang melayang itu
ke kiri dengan gerakan
kakinya. Wees...!
"Hiaaat...!" Tenda Biru melompat turun dari altas pedang dengan gerakan
bersalto. Kakinya sempat
menendang gagang pedang dan pedang itu meluncur
lebih cepat lagi. Wees...! Jruub...!
"Aaahk...!"
Pasir Putih tak bisa hindari pedang itu lagi, karena perhatiannya menjadi kacau
oleh sinar biru patah-patah itu. Akibatnya, pedang itu menembus leher depannya
hingga sampai ke belakang. Dalam beberapa kejap
berikutnya, Pasir Putih tumbang dan tak bernyawa lagi.
Tenda Biru segera mencabut pedangnya dengan kasar,
menampakkan murkanya yang semakin berkobar.
Pada saat Tenda Biru mencabut pedang dari leher
Pasir Putih, seraut wajah cantik mesum milik si Janda Liar muncul dan memergoki
kematian Pasir Putih.
"Jahanam kau...!" teriak Selimut Senja sambil melompat memasuki lingkaran para
pengepung itu. Wuuut...! Jleeeg...!
Kedua kaki Selimut Senja segera merendah dan
tangannya disodorkan ke depan dengan jari-jari lurus.
Suuut...! Maka lima larik sinar kuning melesat dari tiap ujung jari tersebut.
Slaaap...! Tenda Biru memutar pedangnya dalam satu gerakan
tebas sangat cepat. Wuuut...! Gerakan pedang memutar itu memancarkan sinar biru
yang menjadi perisainya.
Bleegaarrr...! Ledakan lebih dahsyat terjadi hingga
mengguncangkan bangunan pesanggrahan tersebut.
Tenda Biru terpental ke belakang dan jatuh terbanting dengan keras, sementara
itu Selimut Senja juga
terjungkal tapi tak separah Tenda Biru. Dalam sekejap saja Selimut Senja sudah
bangkit kembali dan
melepaskan pukulan bersinar hijau lurus ke arah Tenda Biru. Claaap...!
Blaaar...! Sinar itu dipatahkan oleh pukulan Mahligai Sukma
yang bersinar putih hingga ledakan dahsyat kedua terjadi cukup mengguncangkan
tanah sekitar mereka.
"Hiaaatt...!" Pematang Hati melayang bagaikan seekor camar menyambar mangsanya.
Pedang ditebaskan dalam gerakan bersalto pada saat tepat di atas
kepala Selimut Senja.
Beet, traak...!
Pedang itu bagaikan menebas sebongkah baja yang
sulit dilukai. Pundak yang ditebas itu hanya
memercikkan bunga api sedikit, tapi si pemilik pundak tetap tegar tanpa rasakan
sakit sedikit pun. Ilmu 'Kulit Baja' si Janda Liar benar-benar sukar ditembus
senjata apa pun.
Kalau saja Pematang Hati sehabis menebaskan
pedangnya tidak lekas-lekas lakukan lompatan bersalto miring, maka ia akan
terkena pukulan tenaga dalam
Selimut Senja yang keluar dari ujung jarinya berwarna hijau patah-patah itu.
Cap, cap, cap, cap...!
"Aaahk...!" seorang anak buah Janda Liar memekik karena dadanya terhantam sinar
kuning patah-patah itu.
Orang tersebut tumbang dan berasap, sekujur tubuhnya menjadi hitam hangus, bau
daging terbakar pun
menyebar ke mana-mana. Orang tersebut tentu saja tak bernapas lagi. Sedangkan
orang di belakangnya terpaksa berguling-guling sambil berteriak dengan histeris,
karena gelombang panas dari sinar hijau patah-patah tadi
menyambar wajah tubuh depannya hingga menjadi
merah, seperti kepiting rebus pakai saos.
"Setan busuk! Kau bikin aku melukai anak buahku sendiri, hah! Rasakan
pembalasanku ini, Bangsat!
Hiaaaaaaaaahh...!"
Janda Liar keluarkan jurus 'Lembayung Getih' untuk
menyerang Pematang Hati. Masing-masing tangannya
mengeraskan dua jari dan dari masing-masing dua jari
itu keluar sinar merah yang segera menyatu menjadi satu kekuatan sinar merah
cukup dahsyat, seperti yang
dipakai untuk melukai Pangkar Soma itu. Claaaapp...!
Tetapi sebelum segalanya terjadi, Mahligai Sukma
telah berguling-guling di tanah seperti bola dan tiba-tiba kakinya menyambar
kaki Selimut Senja dengan kuat.
Plaaak...! Selimut Senja terpelanting ke kanan, akibatnya sinar merah dari jurus
'Lembayung Getih' melesat ke
arah atas, seakan ingin menghantam matahari.
"Hiaaat...!" Mahligai Sukma segera menghentakkan tumitnya bagai ingin menumbuk
dada si Janda Liar.
Tetapi tangan si Janda Liar segera menangkapnya dan
tulang kering kaki itu dihantamnya dengan pukulan
bertenaga dalam.
Krrrakk...! "Aaaau...!!"
"Mahligai..."!" pekik Pematang Hati menjadi semakin marah melihat adiknya
disakiti oleh Selimut Senja.
Dengan cepat ia lepaskan jurus pukulan bersinar putih ke kepala Selimut Senja.
Claaap...! Blaab, blaab...!
Tenda Biru juga menghantamnya dengan sinar biru
bundar sebesar jeruk peras. Kedua sinar itu kenai kepala dan leher Selimut
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senja. Blaar, duaarrr...!
Selimut Senja terguling-guling dengan keras. Tetapi
ia segera bangkit kembali dengan segar tanpa terluka sedikit pun. Bahkan
jubahnya pun tak ada yang robek,
sehelai rambutnya pun tak ada yang terbakar. Ia berdiri kembali sambil
sunggingkan senyum sinis kepada ketiga lawannya.
"Cepat mundur dulu kau!" teriak Tenda Biru kepada Mahligai Sukma yang dibantu
Pematang Hati untuk
menyingkir. "Kakiku patah," ucap Mahligai Sukma kepada Pematang Hati.
"Salurkan hawa sucimu untuk kurangi rasa sakitnya.
Akan kubalas mematahkan leher perempuan itu!" ujar Pematang Hati sambil menuntun
adiknya jauhi Selimut Senja.
Melihat keadaan Mahligai Sukma tampaknya lemah,
salah seorang anak buah Selimut Senja segera
melemparkan pisaunya ke arah leher Mahligai Sukma.
Ziiing...! Teeb...! Pisau itu ditangkap oleh Mahligai Sukma
dengan jepitan jarinya. Dalam keadaan duduk, Mahligai Sukma melemparkan kembali
pisau itu kepada
pemiliknya sambil berguling satu kali. Zzziing...!
Lemparan ini lebih cepat daripada lemparan si pemilik pisau. Hampir saja gerakan
pisau terbang tak terlihat oleh mata siapa pun.
Juub...! "Aaahk...!" si pemilik pisau memekik dengan mata mendelik, ulu hatinya tertancap
pisaunya sendiri, ia pun tumbang dan tak mau bernapas lagi.
"Jahanam kauuu...!" teriak Selimut Senja begitu melihat anak buahnya mati
tertancap pisau. Ia segera
melompat menyerang Mahligai Sukma. Tetapi
gerakannya segera ditabrak oleh Tenda Biru dari arah samping.
"Hiaaat...!"
Plak, plak, beet, wess, buuhk...!
Adu kecepatan tangan di udara terjadi beberapa kejap saja. Selimut Senja jatuh
terbanting, Tenda Biru
terpental dengan pedang tak berhasil lukai tubuh
lawannya. Kini Tenda Biru justru keluarkan darah dari mulutnya karena terkena
hantaman telapak tangan si
Janda Liar itu.
"Babi...! Cuiih...!" Tenda Biru memaki dan meludah.
"Dadaku seperti dihantam pilar beton! Sialan!" Ia segera bangkit lagi ketika
Pematang Hati menyerang Selimut
Senja dengan tendangan beruntun.
Bet, bet, bet, bet, bet...!
Selimut Senja hanya bisa menangkis karena cepatnya
tendangan yang datang ke arahnya. Ia sempat terdesak mundur dan tak bisa memberi
balasan apa pun.
Ketika Selimut Senja terdesak sampai ke barisan
pengepung, tiba-tiba salah seorang pengepung maju
menyerang Pematang Hati dengan pedangnya. Weees...!
Sambil masih lakukan tendangan beruntun Pematang
Hati menangkis pedang itu dengan pedangnya sendiri.
Kemudian dengan cepat pedangnya menghujam perut si
pengepung. Traang.... Juub...!
"Heegh...!" orang itu mendelik, lalu segera tumbang tak bernyawa setelah pedang
dicabut oleh Pematang
Hati. Pedang itu kini ganti ditebaskan ke leher Selimut Senja. Traaak...! Ujung
pedang yang berhasil kenai leher Selimut Senja itu hanya memercikkan bunga api
kecil, seperti pedang menghantam pilar baja. Sementara
Selimut senja tak terluka sedikit pun, bahkan ia berhasil putar tubuhnya dan
mengirimkan tendangan cepat ke
dada Pematang Hati.
Buuhk...! Weeeess...! Pematang Hati terpental ke belakang, melayang bagai
seonggok kapas terbawa angin. Brrruk...!
"Auuh...!" Pematang Hati mengaduh saat jatuh di depan Tenda Biru.
"Jaga adikmu, aku akan mendesaknya sepenuh
tenaga!" ujar Tenda Biru kepada Pematang Hati.
"Dia lemah jika jarak dekat!" Pematang Hati sempat berseru sambil duduknya
mundur, kemudian bangkit
dengan pegangi pinggangnya.
"Kuingatkan kepada kalian, lebih baik kalian pergi dari sini daripada nyawa
kalian terbuang sia-sia!" seru si Janda Liar.
"Kami tidak akan pergi jika tidak bersama Suto
Sinting!" "Aku tidak menyembunyikan orang bernama Suto
Sinting, Tolol!" bentak Selimut Senja.
"Panji Klobot itulah Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk!" balas Tenda Biru dengan suara membentak.
Selimut Senja diam sebentar. "Benarkah dia Pendekar Mabuk?" gumamnya dalam hati.
"Aku pernah dengar
nama itu, tapi belum pernah bertemu dengan orangnya.
Ooh... jika benar si Panji Klobot itu adalah Pendekar Mabuk, akan kupertahankan
lebih kuat lagi, karena aku ingin serap seluruh ilmunya!"
Tenda Biru berseru melontarkan ancamannya.
"Jika dia tidak kau bebaskan, semua anggota Partai Janda Liar ini akan kukirim
ke neraka, termasuk kau!" ia menuding Selimut Senja dengan pedangnya.
"Apa maksudmu mengatakan Panji Klobot adalah
Pendekar Mabuk"! Pria tawananku itu bukan Pendekar
Mabuk!" "Buka matamu lebar-lebar, Perempuan Picak! Per-
hatikan wajahnya, perhatikan ciri-cirinya.... Dia adalah Pendekar Mabuk, bukan
Panji Klobot! Panji Klobot
adalah muridku yang belum bisa apa-apa!"
"Oh, kalau begitu memang benar, dia adalah
Pendekar Mabuk," pikir Selimut Senja. "Alangkah beruntungnya aku bisa dapatkan
pendekar kondang yang terkenal kesaktiannya itu! Jika begini caranya, nyawa pun
siap kukorbankan untuk pertahankan Pendekar
Mabuk! Hmmm... bodoh sekali mereka! Sebenarnya tak
perlu memberitahukan padaku bahwa pemuda tampan
itu adalah Pendekar Mabuk. Padahal kalau dia memang
Panji Klobot, aku tak keberatan untuk melepaskannya
kalau sampai nyawaku terancam."
Lalu ia berseru kepada Tenda Biru,
"Dengar, Gadis Peot...! Sebenarnya aku tidak tahu kalau pemuda itu adalah
Pendekar Mabuk. Tapi karena
kau memberitahukan padaku dengan penuh keyakinan,
maka asmaraku pun semakin meluap-luap padanya.
Kupertaruhkan nyawaku untuk mempertahankan
Pendekar Mabuk itu! Dan aku tak akan segan-segan
hancurkan orang yang berniat memisahkan aku dengan
Pendekar Mabuk!"
"Sial! Dia semakin berkeras kepala"!" gumam hati Tenda Biru sambil mata tetap
memandang tajam kepada
Selimut Senja dan pedangnya siap digunakan untuk
menyerang. Kali ini Tenda Biru sudah mulai kumpulkan tenaganya ke tangan.
Pedangnya akan beraksi lebih
dahsyat lagi, diperkirakan akan dapat menjebolkan dada si Janda Liar itu.
Tiba-tiba seorang perempuan berpakaian kuning
gading dan bajunya tanpa lengan itu datang dengan
terengah-engah, sepertinya ia baru saja datang dari
bepergian. Ia menyelinap di antara para pengepung yang membentuk pagar melingkar
lebar itu. "Ketua...! Jangan percaya dengan kata-kata mereka!
Mereka penipu semua! Aku baru saja bertemu dengan
Pendekar Mabuk dan dia sedang dalam perjalanan
menyeberang pulau. Jadi pemuda yang ada di sini itu
memang benar-benar Panji Klobot!"
"Sunting Sari..., dari mana saja kau!" geram Selimut Senja.
"Aku mengejar si Tenda Biru itu, Ketua! Rupanya dia adalah kekasih Panji Klobot
yang ingin mengamuk di
sini. Aku tak berhasil mencegahnya, Ketua! Sebaiknya, hati-hati melawan dia dan
dua sahabatnya itu! Mereka licik dan penuh tipu muslihat! Pertahankan terus si
Panji Klobot yang sudah Ketua tawan itu!"
"Dari mana kau tahu kalau aku sudah menawan Panji Klobot"!"
"Kantani memberitahukanku di depan gerbang sana!
Kurasa Ketua tak perlu ragu-ragu untuk membunuh
mereka bertiga! Karena mereka sangat membutuhkan
Panji Klobot sebagai pemuas gairah mereka!"
"Sunting Sari..."!" gumam Mahligai Sukma dengan heran.
"Ssst...!" Pematang Hati memberi isyarat agar mereka tetap berlagak tidak
mengenal Sunting Sari. Karena saat Sunting Sari bicara tentang pertemuannya
dengan Pendekar Mabuk, mata kirinya sempat berkedip dua kali, menandakan agar mereka
tetap berlagak tidak saling
kenal. Sunting Sari yang telah sembuh akibat pengobatan
Kusir Hantu itu semakin menampakkan sikar
permusuhannya dengan Tenda Biru dan kedua kakak-
beradik itu. "Kalian tak akan mampu melawan Ketua kami! Kau
pikir Ketua kami ini bocah kemarin sore"!"
"Buktikan saja siapa yang terkirim ke neraka
nantinya!" seru Tenda Biru yang juga memahami
kedipan isyarat dari Sunting Sari tadi.
"Sunting Sari, kalau begitu kau jaga pemuda itu dan pertahankan dengan nyawamu!"
"Baik! Di mana dia sekarang, Ketua"!"
"Di ruang penyiksaan!" jawab Selimut Senja pelan.
"Pertahankan dia jangan sampai lolos jika tak ingin
nasibmu seperti Rumbani."
"Bagaimana dengan Rumbani?"
"Kupenggal tadi pagi, karena ia justru mau bercumbu dengan pemuda itu di sebuah
kuil! Laksanakan tugasmu sekarang juga, cepat!"
"Baik! Akan kupertahankan dia sampai titik darah penghabisan!"
Kemudian Sunting Sari pergi tinggalkan lingkaran
pengepungan itu. Selimut Senja sempat bimbang,
"Benarkah Pendekar Mabuk sedang dalam perjalanan menyeberang pulau" Kalau
begitu, yang ada di sini
memang benar-benar Panji Klobot"!"
Si Janda Liar itu menjadi gelisah diliputi
kebimbangan. Tetapi matanya tetap tertuju kepada ketiga lawan yang agaknya
sangat bernafsu sekali untuk
bebaskan pemuda tersebut. Tangan Tenda Biru mulai
bergetar bersama pedangnya, pertanda tenaga dalam
yang terkumpul dalam genggaman sudah mulai
disalurkan melalui pedangnya itu. Ia menunggu kesempatan bagus untuk melepaskan
jurus pedang bertenaga dalam tinggi itu.
"Janda Liar... sekarang tiba saatnya kita tentukan siapa yang harus mati dalam
pertarungan ini!" tantang Tenda Biru dengan lantang. Selimut Senja hanya
tersenyum tipis bernada sinis.
"Tentu saja yang harus mati adalah kalian bertiga!
Karena ilmu kalian masih ada di telapak kakiku! Belum ada sekuku hitamnya
dibanding ilmuku!"
"Kita buktikan saja, jangan hanya bisa berkoar, Janda
Liar!" "Baik! Bersiaplah membayangkan kuburan yang
penuh belatung dan lintah untuk menguburkan mayatmu, Keparat!"
Tenda Biru bergerak ke kiri dengan pedang tetap
diangkat sebatas pundak dan diarahkan kepada Selimut Senja. Sementara itu
Selimut Senja juga bergerak ke
kanan dengan jurusnya yang mirip sebuah tarian gemulai itu. Masing-masing
mencari kesempatan untuk lepaskan serangan maut yang akan mematikan salah satu
pihak. * * * 7 KERIBUTAN di pelataran depan ternyata
dimanfaatkan oleh dua perempuan yang bertugas
menjaga keamanan bagian dalam. Dua perempuan itu
adalah Suyuti dan Warih, si penjaga pintu ruang tawanan itu.
Suyuti dan Warih masuk ke ruang penyiksaan dan
saling cekikikan pandangi Suto Sinting yang terbelenggu kuat dalam keadaan kaki
merentang dan tangan
merentang. Mata mereka berbinar-binar penuh gejolak
api gairah saat memandang keperkasaan Pendekar
Mabuk. "Wow...! Besar sekali, ya?"
"Apanya?" tanya Warih.
"Perawakannya. Besar. Gagah, tegap, ganteng, dan...
banyak bulunya, ya?"
"Yang mana maksudmu?"
"Betisnya itu lho! Hi, hi, hi...!"
Pendekar Mabuk menahan kemarahan dalam hati. Ia
sebal sekali dijadikan tontonan dua perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh
tahun itu. Kalau saja tenaganya telah pulih, tuak dari bumbung saktinya telah
terminum, maka dengan sekali sentak saja rantai belenggu itu dapat lepas dari
tembok. Tapi karena tak mendapat minuman
tuak dari bumbung saktinya itu, maka tenaga Suto hanya separo kurang dari
kekuatan biasanya.
"Eh, Suyuti... kau pernah mendapatkan burung
jalak?" "Hmmm... mendapatkan belum pernah tapi kalau
melihat burung jalak terbang memang pernah."
"Di sini ada kakeknya burung jalak Iho."
"Mana...?"
"Itu...! Hi, hi, hi...!"
Kedua perempuan tersebut saling cekikikan membuat
hati Suto semakin malu dan jengkel.
"Hei, kau pikir aku anak monyet, kok dipakai
tontonan"!" sentak Suto Sinting:
Sentakan tersebut tak dihiraukan. Bahkan Suyuti
berani lebih kurang ajar lagi.
Namun tiba-tiba seorang perempuan segera masuk
bagai menyelinap, langkahnya pelan-pelan dan ia segera memberi isyarat pada Suto
agar diam saja. Perempuan
itu segera mendekati Warih dan Suyuti, kemudian kedua
kepala perempuan itu dijambaknya kuat-kuat dan kedua kepala pun diadu keras-
keras. Prraaak...!
"Uhk...!" Suyuti sempat terpekik pelan ketika darah muncrat dari kepalanya. Tapi
ia segera jatuh pingsan dengan kepala retak. Warih sudah tak bergeming lagi, ia
lebih dulu tak sadarkan diri ketika kepalanya
dibenturkan dengan kepala Suyuti.
"Sunting Sari..."! Lekas buka belenggu rantai ini!"
Sunting Sari diam, berdiri memandang sambil
tersenyum geli. Kepalanya sempat geleng-geleng sambil mulutnya berdecak penuh
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasa kagum. "Ck, ck, ck, ck... perempuan mana yang tak ngiler kalau melihatmu polos seperti
ini. Mana... ih, kenapa itu, kok bengkak"!" Sunting Sari menuding 'kakeknya
burung jalak' tadi. Suto Sinting malu sekali, akhirnya membentak berang sebagai
penutup rasa malunya.
"Buka belenggu ini! Jangan melotot saja, nanti
matamu kucolok baru kapok!"
"Apakah kedua perempuan ini sudah memakaimu?"
"Belum! Sudah jangan banyak tanya, buka belenggu ini!"
"Ssst...! Jangan teriak-teriak nanti didengar penjaga lainnya! Pejamkan matamu!"
kata Sunting Sari. Suto pun memejamkan mata. Lalu dari ujung jari tangan Sunting
Sari yang disentakkan ke depan itu keluar sinar merah panjang sebesar lidi.
Claap...! Deer...! Craaak...!
Rantai belenggu bagian tangan kiri putus. Sunting
Sari lakukan hal yang sama untuk belenggu tangan
kanan, juga kedua kaki. Kini Suto bebas dari lilitan belenggu walau kulit
lengannya sedikit terluka bakar karena sinar merah dari ujung jari Sunting Sari
itu. Pertama-tama yang dilakukan Suto adalah mengambil
bumbung tuaknya yang seolah-olah sudah menunggu
tuannya di sudut ruangan. Tuak diteguk beberapa kali, Tubuh Suto menjadi segar,
kekuatannya pulih kembali.
Tapi ia segera sadar akan keadaannya yang polos tanpa busana dan menjadi bahan
perhatian mata indah si
Sunting Sari itu. Maka ia buru-buru merapatkan kedua pahanya dan mendekap
tangannya di paha.
"Carikan pakaianku!"
"Terlalu lama. Nanti saja! Sekarang bantu mereka di luar!"
"Mereka siapa?"
"Tenda Biru, Pematang Hati, dan Mahligai Sukma.
Mereka sedang bertarung dengan Selimut Senja
menuntut dibebaskannya dirimu."
"Oh, siapa yang memberi tahu mereka kalau aku di sini?"
"Aku...!" jawab Sunting Sari dengan tersenyum bangga. "Kelihatannya mereka tak
mampu tumbangkan sang Ketua. Cepatlah bantu mereka!"
"Mana mungkin aku bisa bertarung dalam keadaan
telanjang begini"!" sentak Suto dengan jengkel.
"Hmmm...," Sunting Sari mencari akal. Lalu, dilihatnya kain pembalut tubuh
Suyuti yang berwarna
merah itu terhampar di lantai. Sunting Sari pun
memungut kain tersebut dan dilemparkan kepada Suto.
Wuuus...! "Pakailah kain ini dulu!"
"Mana enak dipakai untuk bertarung! Ribet!"
"Dililitkan sebatas paha saja, Tolol! Yang penting
'jimatmu' tidak kena angin, biar tidak kembung!" ujar Sunting Sari sambil
tertawa cekikikan. Maka Suto
Sinting pun segera kenakan kain itu. Kain dipakai seperti mengenakan cawat,
melilit di sela kedua pahanya dan
melingkar di pinggang. Dengan begitu, 'jimat' Suto tidak kelihatan tapi tubuhnya
yang kekar itu masih tampak
jelas tanpa baju dan celana.
"Kau seperti orang pedalaman kalau begitu! Cuma pakai cawat dan... menggairahkan
sekali. Hi, hi, hi...."
"Ah, kau!" Suto menepiskan tangan, kemudian bergegas keluar dengan terburu-buru
sambil menenteng bumbung tuaknya.
"Hei, jangan ke kiri! Itu jalan ke kamar mandi!"seru Sunting Sari. Suto berbalik
arah dan mengikuti langkah Sunting Sari.
Di pelataran depan, Tenda Biru sedang memuntahkan
darah kental karena pukulan dahsyat dari jurus tarian si Janda Liar itu. Ia baru
saja tersentak ke belakang dan jatuh terduduk. Pedangnya terlepas dari tangan
karena sekujur tubuhnya bagai tak bertulang lagi sejak
mendapat hantaman dahsyat dari Selimut Senja.
Pematang Hati sendiri sudah babak belur. Wajahnya
pucat, banyak luka memar dan hidungnya berdarah. Ia
sedang berlutut satu kaki sambil terengah-engah,
menandakan habis menguras tenaga untuk melawan si
Janda Liar. Mahligai Sukma pun tampak terkapar
terpisah dari kakaknya dalam keadaan pucat pasi.
Mulutnya melelehkan darah kental kehitam-hitaman
pertanda habis terkena pukulan Selimut Senja.
Saat itu adalah saat-saat penghabisan bagi tiga gadis tersebut. Selimut Senja
sedang memainkan jurusnya
yang mirip tarian itu untuk menghancurkan tubuh Tenda Biru lebih dulu.
Zlaaap...! Brrrruus...! Tiba-tiba Selimut Senja merasa diterjang badai kuat dan tubuhnya terpental dan
berguling-guling. Ia segera bangkit sambil tarik napas dan memandang ke arah
sesuatu yang menerjangnya tadi. Ternyata Pendekar
Mabuk telah berdiri tegak di sana dalam keadaan tanpa baju dan celana selain
hanya cawat kain merah tebal itu.
"Woow...!" para pengepung menyerukan ungkapan kagumnya terhadap ketampanan Suto
dan perawakannya
yang sering menjadi buah khayalan perempuan
kasmaran. "Biadab! Mana si Sunting Sari"! Mengapa kau
sampai bisa keluar dari ruangan itu, hah"!"
"Aku di sini, Ketua!" seru Sunting Sari lalu muncul dari sela-sela pengepung dan
berdiri di sebelah Suto.
"Kau yang melepaskannya, Sunting Sari"!"
"Ya, aku yang melepaskannya!" tegas Sunting Sari.
"Pengkhianat kau!"
"Sama halnya dengan dirimu yang juga pengkhianat, sehingga tega membunuh
kakekku, mantan ketua partai
ini!" "Hhmmmm...!!" Selimut Senja menggeram, matanya memancarkan kemarahan total.
"Kuhancurkan kau sekarang juga, Sunting Sari!
Hiaaat...! Selimut Senja keluarkan jurus 'Lembayung Getih'.
Sinar merah melesat dari kedua jarinya. Suto Sinting segera berkelebat bersama
bumbung tuaknya. Bumbung
itu yang dipakai untuk menangkis sinar merah tersebut.
Tuub...! Weess...!
Sinar itu berbalik arah lebih besar dan lebih cepat.
Selimut Senja kaget, karena baru sekarang ada orang
bisa membalikkan jurus 'Lembayung Getih'-nya. Rasa
kaget terkesima itu membuat Selimut Senja terlambat
menghindar. Akhirnya punggungnya terhantam sinar itu sendiri.
Blegaaarrr...! Mestinya benda sekuat apa pun terkena sinar itu akan hancur, bahkan biasanya
jurus 'Lembayung Getih'
membuat benda apa pun menjadi serbuk halus. Tetapi
pengaruh dari ilmu 'Kulit Baja' membuat Selimut Senja hanya terpental dan tak
mengalami luka sedikit pun baik pada tubuhnya maupun pakaiannya.
Selimut Senja terbanting tanpa rasa sakit. Ia cepat bangkit dan segera melayang
menyerang Suto Sinting.
Gerakan itu disambut dengan satu lompatan cepat oleh Suto sambil menyodokkan
bumbung tuaknya. Wuuut...!
Ujung bumbung tuak itu beradu dengan dua telapak
tangan Selimut Senja yang sudah membara merah dan
mengepulkan asap.
Prrak...! Blegaaarrr...!
Pendekar Mabuk terlempar ke belakang dan jatuh
berguling-guling. Selimut Senja juga terlempar ke
belakang, namun kali ini kedua tangannya menjadi hitam akibat terbakar.
"Jahanam kau, Panjiii...!" geramnya masih
menganggap Suto sebagai Panji Klobot.
Sementara itu, beberapa anak buahnya, termasuk
Sunting Sari terbelalak kaget melihat tangan Selimut Senja menjadi hangus.
"Aneh! Rupanya bambu tuak itu punya kesaktian
tinggi juga. Kedua tangan Selimut Senja bisa menjadi hangus. Berarti jika kenai
dadanya, maka dadanya juga akan menjadi hangus. Bumbung tuak itu bisa kalahkan
ilmu 'Kulit Baja' yang dimilikinya!" ucap Sunting Sari dalam hatinya.
"Kuberi kesempatan menyerahlah, Panji! Jangan
nekat melawanku. Sayangilah nyawamu dan kita bisa
bercumbu setiap saat! Kau akan ketagihan kalau sudah merasakan surga dalam
pelukanku, Panji...."
Kata-kata itu tak dihiraukan Suto Sinting. Ia justru menenggak tuaknya yang
tinggal separo kurang itu.
Sedikit tuak ditelan, sisanya ditampung di mulut.
Suto Sinting membuka jurus tantangan yang
menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh. Selimut
Senja merasa ditantang, lalu segera menari dengan cepat.
Tiba-tiba kedua tangannya merapat di dada dan
disentakkan ke depan.
Suuut...! Slaaap...!"
Sinar ungu lurus seperti tombak melesat dari ujung
kedua tangan itu dan menghantam ke arah Suto Sinting.
Kali ini Pendekar Mabuk tak ingin menangkisnya,
karena dalam sekelebat ia melihat keadaan di
belakangnya tak ada teman-temannya, selain para
pengepung itu. Maka dengan satu lompatan peringan
tubuh, Pendekar Mabuk melesat ke atas, bersalto
beberapa kali dalam ketinggian.
Sinar ungu itu menghantam dua pengepung sekaligus
dan... jegaaaarr...! Mereka hancur berkeping-keping, sulit dikenali lagi.
Gerakan Suto yang melambung itu segera mendarat
di tepian lingkaran pengepung. Salah seorang pengepung berusaha menghujamkan
tombaknya ke atas agar kenai
pantat Suto. Tetapi ujung tombak itu justru dipakai
pijakan kaki Suto yang segera menyentak dan membuat
tubuhnya melambung kembali dalam gerakan bersalto.
Teb...! Wuuut...!
Gerakan bersalto dua kali melewati atas kepala
Selimut Senja. Maka dalam keadaan kepala berbalik ke bawah, Suto Sinting
semburkan sisa tuak yang ada di
mulutnya sejak tadi itu.
Bwwruuuusss...!
Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' dipergunakan oleh
Pendekar Mabuk. Tuak yang disemburkan itu
memercikkan bunga api ke mana-mana, dan bunga api
itu menghujani kepala serta tubuh Selimut Senja.
Buuull...! Api pun membakar tubuh Selimut Senja dari
kepala sampai kaki.
"Aaaaaa...!!" Selimut Senja kebingungan
memadamkan api tersebut. Jubahnya mulai terbakar dan hampir habis. Rambutnya pun
keriting seketika lalu
rontok sebagian. Tapi nyala api masih berkobar seakan makin lama semakin besar.
"Aaaaa...! Aaaa...!" ia berguling-guling kebingungan memadamkan api tersebut.
Sementara Suto Sinting
sudah mendarat di dekat Tenda Biru dengan tegak dan
tenang. "Minum tuakku dulu, yang lain juga!"
Tenda Biru segera menerima bumbung tuak dan
menenggaknya beberapa teguk. Setelah itu, tuak
diberikan kepada Pematang Hati, dan Pematang Hati pun meneguknya beberapa teguk,
lalu ia meminumkan tuak
ke mulut adiknya: Mahligai Sukma. Dengan meminum
tuak tersebut, keadaan mereka menjadi segar dan luka-lukanya sembuh total dalam
waktu singkat. "Tenagaku terasa terkuras habis setiap tendanganku kenai tubuhnya," ujar
Pematang Hati sambil memandang si Janda Liar yang masih dibungkus api itu.
"Dia punya ilmu yang bisa menyerap tenaga lawan!"
ujar Suto mengutip keterangan Sunting Sari.
Beberapa anak buah si Janda Liar melarikan diri,
yang lain sibuk tak karuan. Karena api itu tak bisa
dipadamkan oleh siraman air. Suasana panik meliputi
mereka. Selimut Senja kelabakan, tubuhnya meleleh
bagai logam terkena panas. Ia masuk ke kamar-kamar dan membuat api semakin
berkobar membakar kain,
papan atau apa saja, sehingga dalam waktu singkat
pesanggrahan itu terbakar separo bagian.
Akhirnya, si Janda Liar itu tergeletak di serambi
samping dalam keadaan sudah tak bernyawa dan
tubuhnya yang hitam hangus itu masih dibungkus api
walau tak berkobar sebesar tadi. Para anggota Partai Janda Liar saling berwajah
tegang dan merasa takut
dekati Suto Sinting. Mereka mengakui keunggulan Suto yang mampu tumbangkan sang
Ketua, "Ternyata ilmu 'Kulit Baja' masih bisa kau kalahkan dengan ilmu tuakmu, Suto,"
ujar Sunting Sari dengan tersenyum bangga.
"Namanya jurus 'Sembur Bromo Wiwaha'," ujar Suto menjelaskan.
"Kita pulang ke Lembah Seram sekarang juga, Suto!"
ajak Tenda Biru seakan tak ingin Suto bicara dengan
Sunting Sari lebih lama lagi.
"Baiklah, Sunting Sari... kini kau bisa menggantikan kedudukan Selimut Senja
sebagai Ketua Partai Janda
Liar. Tapi aku punya satu permintaan padamu."
"Katakanlah...."
"Jadikan Partai Janda Liar sebagai kekuatan yang bertujuan menghancurkan
kekejaman dan keangkara-murkaan. Jadikan kelompok ini sebagai kelompok aliran
putih yang berguna bagi sesama."
"Akan kuturuti permintaanmu sebagai janjiku waktu kita di gua itu!" ujar Sunting
Sari. "Terima kasih atas bantuan kalian semua," tambah Sunting Sari kepada yang
lain. "Selamat jalan, Suto!" Sunting Sari memeluk
Suto, dan Suto pun memberikan pelukan perpisahan
yang hangat. "Jaga dirimu baik-baik, Sunting Sari," ucap Suto saat memeluk.
"Akan kuperhatikan semua nasihat dan saranmu,
Suto." Pematang Hati agak kesal dan berkata menyindir,
"Lama sekaliiii...!"
Suto pun melepaskan pelukannya. Ia melangkah bersama tiga gadis cantik yang
semuanya saling
memendam rasa kepada Suto Sinting. Tapi mereka
saling akur karena saling membantu dalam setiap
kesulitan. Langkah Suto yang menjauhi pesanggrahan itu
terhenti karena seruan Sunting Sari.
"Sutoooo...!"
"Mau apa lagi perempuan itu?" gerutu Mahligai Sukma.
"Ada apa..."!" Tenda Biru yang menjawab dengan seruan sedikit ketus.
"Sutooo... celanamu ketinggalan!" sambil Sunting Sari mengangkat pakaian Suto
dan melambai-lambaikan.
Suto terperanjat dan baru menyadari bahwa dirinya
hanya mengenakan cawat darurat saja. Ia segera tertawa sendiri dan bergegas
mengambil pakaiannya. Tapi
Pematang Hati menahan tangan Suto.
"Biar aku saja yang mengambilnya!" ucapnya rada ketus, lalu ia pergi mengambil
pakaian itu. Suto Sinting hanya tertawa kecil dan melambaikan tangan kepada
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sunting Sari. "Cup, cup, uuah...!"
Cium jauh untuk Sunting Sari dari Pendekar Mabuk.
SELESAI Segera terbit!!!
DEWI KESEPIAN Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel Kitab Pusaka 15 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis 4
Perempuan itu tak lain adalah si Janda Liar yang
secara tak sengaja melewati bangunan bekas kuil dalam pengejarannya memburu
Pangkar Soma. "Pangkar Soma tak kudapat, tapi justru kau yang kudapat, Panji Klobot. Rasa-
rasanya kau memang lebih
berharga dari nyawa si Pangkar Soma. Kutangguhkan
pengejaranku terhadap Pangkar Soma, kulanjutkan
setelah puas bercumbu denganmu, Sayangku. Hi, hi, hi, hi, hi...!"
Janda Liar mengangkat kedua tangannya, lalu dua
berkas sinar hijau bening seperti telur burung melesat dari kedua telapak tangan
itu. Wees...! Kedua sinar itu kenai tubuh Suto dan Rumbani. Tubuh mereka tiba-
tiba menyala hijau bagaikan mengandung fosfor. Tetapi
tubuh itu segera bergerak melayang ke atas pelan-pelan, lalu menuju keluar
ruangan dalam keadaan tegak. Kedua mata mereka masih sama-sama terpejam dan
kepalanya terkulai lemas.
"Pulang ke pesanggrahan!" sentak Janda Liar dengan suara tertahan. Maka, kedua
tubuh lemas berwarna hijau bening itu pun berkelebat melayang meninggalkan
tempat itu. Janda Liar mengikutinya dari belakang
dengan gerakan bagai kapas terhembus angin. Sementara bumbung tuak Suto
dibiarkan tertinggal di reruntuhan kuil.
Janda Liar tak mengetahui bahwa perjalanan
malamnya ada yang mengrkuti dari balik kegelapan.
Orang yang mengikutinya itu sebentar-sebentar
berlindung di balik pohon dan mengatur jaraknya
sedemikian rupa hingga gerakannya tak tertangkap oleh kepekaan indera yang
diikuti. Perjalanan malam tanpa rembulan itu tidak
menyulitkan bagi si penguntit, karena ia menggunakan pedoman sinar hijau yang
melapisi tubuh Rumbani dan
Pendekar Mabuk. Sambil mengikuti langkah Selimut
Senja, si penguntit berpikir bagaimana caranya
membebaskan Suto dari kekuatan sihir si Janda Liar.
"Tanpa kekuatan sihir, tak mungkin Suto terbang begitu saja dalam keadaan
tidur," pikir si penguntit.
"Kalau kuserang begitu saja, mungkin saja si Janda Liar bisa tumbang, tapi
membebaskan Suto dari
pengaruh kekuatan sihirnya itu aku tak bisa. Sebaiknya kuikuti saja dulu sampai
kekuatan sihir itu dilepaskan oleh si Janda Liar, baru aku menyerangnya dari
belakang."
Tapi ternyata sampai menuruni lereng bukit menuju
ke Lembah Liar, kekuatan sihir itu masih belum
dilepaskan oleh Selimut Senja. Bahkan ketika tiba di pesanggrahan Partai Janda
Liar, Suto Sinting dan
Rumbani masih dalam keadaan tak sadar dan tubuh
mereka memancarkan sinar hijau fosfor.
Mau tak mau si penguntit segera menyerang Selimut
Senja dari belakang sebelum Suto dan Rumbani dibawa
masuk ke pesanggrahan. Seberkas sinar merah melesat
dari dua jari yang dikeraskan. Sinar itu menghantam
punggung Selimut Senja. Claaap...! Beeebss...!
Selimut Senja hanya tersentak ke depan dan cepat
balikkan tubuh sambil lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru
melingkar-lingkar seperti spiral.
Weerrss...! "Aaahk...!" pekik suara dari balik kegelapan. Si penguntit terkena pukulan sinar
biru melingkar-lingkar itu. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh di
kerimbunan semak.
"Siapa itu"! Keluar dan hadapi aku sekarang juga"
Kutunggu kau, Setan!"
Tentu saja seruan Selimut Senja itu tidak mendapat
jawaban. Pada saat itu, gerakan Suto dan Rumbani juga berhenti namun hanya bisa
mengambang di udara dalam
jarak tiga jengkal dari tanah.
Selimut Senja penasaran, ia segera melesat menuju ke tempat yang tadi keluarkan
suara pekik itu. Wuuut...!
Zraaak...! Selimut Senja menerjang semak belukar. Ia
menghantamkan pukulan bertenaga dalam tanpa sinar ke sekelilingnya. Semak dan
pepohonan kecil saling
berhamburan karena pukulan tenaga dalam itu.
Brruss...! Zraaak...! Krraak...! Bruuuk...!
Selimut Senja diam sebentar, matanya melirik tajam
ke sekeliling. Telinganya bagaikan dibuka lebar-lebar untuk menangkap suara yang
mencurigakan. Tangannya
siap melepaskan pukulan maut untuk menghantam suara
yang mencurigakan itu. Namun sampai beberapa saat ia tak mendengar apa-apa dan
tak ada tanda-tanda yang
mencurigakan. "Keluar kau, Jahanam!" seru Selimut Senja sengaja memancing tantangan.
Selimut Senja tak tahu bahwa si penguntit telah lebih dulu tinggalkan tempat
karena pinggangnya terkena
pukulan sinar biru tadi. Ia berkelebat menjauh dan naik ke atas pohon dalam satu
sentakan tubuh yang ringan. Di sana ia diam memeluk batang pohon sambil duduk di
atas dahan. Tubuhnya gemetar karena menahan rasa
sakit yang membakar bagian dalam tubuh.
"Aku harus bertahan! Harus bisa bertahan dan
meminta bantuan kepada seseorang yang menurutku
mampu membantuku membebaskan Suto Sinting.
Uuh...! Sekujur tubuh bagai dikelupas semua. Perih dan sakit! Uuuh...! Napasku
jadi ikut-ikutan sesak begini.
Mampukah aku bertahan sembunyi di sini"!"
Selimut Senja menghempaskan napas, merasa kesal
karena tidak menemukan lawannya. Akhirnya ia kembali hampiri Suto dan Rumbani
dan menjalankan kedua
tubuh bercahaya hijau itu dengan kekuatan batinnya
yang dikatakan sebagai kekuatan sihir itu.
Si penguntit melihatnya dari atas pohon, cahaya hijau itu bergerak menuju
pesanggrahan. Tapi ia tak dapat
berbuat apa-apa kecuali hanya mempertahankan diri agar tak jatuh dari atas
pohon. Selimut Senja sampai di depan gerbang
pesanggrahan. Dua pengawal gerbang mendekati cahaya
hijau itu dan ingin melepaskan pukulan karena dianggap sinar yang akan
menghancurkan pintu gerbang.
"Tahan...!" seru Selimut Senja.
"Oh, sang Ketua..."!"
"Buka pintu gerbang dan segera tutup rapat-rapat setelah kami masuk."
"Baik, Ketua!"
"Kalau ada orang yang mengikutiku dari belakang, dengan alasan apa pun, hantam
dia dan habisi sekalian!"
"Baik, Ketua! Kami akan lakukan sesuai pesan
Ketua!" jawab seorang pengawal mewakili empat
penjaga pintu gerbang lainnya. Mereka terdiri dari
perempuan-perempuan masih muda namun sudah
menyandang gelar sebagai janda. Ada janda kembang,
ada janda tak berkembang, ada pula janda kembang
kempis, artinya janda yang hidupnya susah.
Selang beberapa saat setelah si Janda Liar masuk
bersama Suto dan Rumbani, muncul seorang perempuan
berambut dikuncir dan menyandang pedang di
punggungnya. Perempuan berpakaian biru berkelebat
mendekati pintu gerbang.
"Siapa itu"!",sentak seorang pengawal sambil memandang orang yang baru datang
dalam keremangan
cahaya obor pintu gerbang yang memancar sejauh lima
tombak itu. "Aku: Damayanti!"
"Pesan Ketua harus dihabisi sekalian!"
"Baik! Serahkan padaku!"
Damayanti yang sebenarnya ingin melaporkan hasil
kerjanya, terpaksa berhenti karena seorang pengawal
menghadangnya dengan sikap menantang.
"Apa maksudmu bersikap begitu padaku, hah"!"
sentak Damayanti yang merasa kedudukannya jauh lebih tinggi dari pengawal itu.
"Tutup mulutmu dan terima saja pesanan sang Ketua ini, hiaah...!"
Pengawal yang memegang tombak itu
menghujamkan tombaknya ke perut Damayanti. Tapi
dengan cepat tangan Damayanti menangkisnya. Krrak...!
Tombak itu patah seketika, lalu Damayanti melancarkan tendangan putar dengan
cepat. Wuut...! Buuhk...!
Pengawal itu terlempar hingga membentur pintu
gerbang. Gubraak...!
"Aku harus menghadap Ketua, karena ciri-ciri Panji Klobot tidak sesuai dengan
wujud orangnya! Sang Ketua salah duga dari...."
Tiba-tiba pengawal yang satunya melemparkan pisau
bagai membuang sesuatu yang cepat. Ziling...!
Jrrub...! "Aaahkk...!" Damayanti mendelik. Leher kirinya tertancap pisau, lalu ia pun
tumbang tak bernyawa lagi.
Padahal dia bukan si penguntit. Si penguntit sedang berusaha turun dari atas
pohon untuk mencari bantuan.
Kasihan si Damayanti, nyawanya jadi korban
kesalahpahaman. Lalu, siapa si penguntit itu
sebenarnya"
Mengapa ia bersikeras untuk membebaskan Suto
Sinting" Tapi ia agaknya kenal dengan Selimut Senja.
Seorang perempuankah si penguntit itu" Atau justru si Panji Klobot sendiri"
* * * 5 EMBUN pagi mulai diserap oleh sinar matahari.
Rerumputan telah kering dan burung tak lagi berkicau.
Di atas rerumputan itulah sesosok tubuh tergeletak
dalam keadaan wajahnya pucat pasi. Napasnya masih
ada, tapi tampak pelan sekali. Seakan ia menunggu saat-saat sang ajal tiba
merenggut nyawanya. Ia tak mampu berteriak karena kerongkongannya bagaikan
kering kerontang akibat hawa panas yang membakar bagian
dalam tubuhnya.
Tak jauh dari tempatnya terkapar, sebuah pertarungan terjadi antara dua
perempuan cantik yang saling beradu pandang. Suara denting pedang terdengar
menggema di sekeliling tempat itu.
Dua perempuan cantik yang mengadu jurus
pedangnya itu salah satu berambut pendek diponi depan.
Bajunya tanpa lengan warna hitam berbintik-bintik putih logam. Pundak baju itu
kaku dan mempunyai krah
pendek tapi tegak.
Ia mengenakan kalung tali hitam berbandul batuan
merah segar dan giwang yang sama merahnya, kontras
sekali dengan warna kulitnya yang kuning. Ia tampak masih cantik dan muda,
usianya sekitar dua puluh tahun.
Sedangkan lawannya sudah cukup umur, sekitar
delapan tahun lebih tua dari si gadis berambut poni itu.
Perempuan yang satu itu mengenakan pakaian serba abu-abu dan rambutnya panjang
dibiarkan meriap sampai
pundak. Ia mengenakan ikat kepala merah dan memakai gelang di kanan-kirinya
warna hitam dari kulit binatang.
Perempuan itu adalah anak buah dari Janda Liar yang
bernama Rana Sumping. Ia juga ditugaskan untuk menangkap Panji Klobot. Ia tidak
tahu bahwa yang di-maksud ketuanya itu adalah Pendekar Mabuk; Suto
Sinting. Maka yang diburu adalah pemuda bernama
Panji Klobot. Rana Sumping mendapat keterangan dari seorang
pencari kayu, bahwa di Lembah Seram ada pondok dan
di pondok itu ada yang bernama Panji Klobot. Pondok
itu adalah milik tokoh tua berilmu tinggi yang dikenal dengan nama Kusir Hantu.
Rana Sumping tidak tahu siapa pemilik pondok
tersebut. Ketika ia mendekati pohon itu, tiba-tiba ia bertemu dengan cucu si
Kusir Hantu yang bernama
Pematang Hati. Terjadilah pertarungan antara Pematang Hati dengan Rana Sumping,
karena Pematang Hati tak
mau serahkan Panji Klobot pada saat itu sedang
menderita sakit beracun akibat serangan Sunting Sari.
Pematang Hati terluka oleh pedang Rana Sumping,
adiknya melihat hal itu lalu menyerang Rana Sumping.
Ternyata adik Pematang Hati yang bernama Mahligai
Sukma itu mempunyai kelincahan lebih tinggi dari
kakaknya. Ia berhasil hindari serangan Rana Sumping, bahkan beberapa kali ia
berhasil lukai Rana Sumping
dengan pukulan tenaga dalam jarak jauh.
Rana Sumping melarikan diri. Mahligai Sukma
penasaran, lalu mengejar Rana Sumping. Sepanjang
malam pengejaran itu tetap dilakukan, sampai akhirnya mereka bertemu di tempat
yang tak jauh dari sesosok
tubuh yang terkapar dalam keadaan sekarat itu.
Rana Sumping sendiri menjadi berang ketika dikejar
terus oleh Mahligai Sukma, akhirnya ia memutuskan
untuk mengadu ilmu pedangnya. Mahligai Sukma tidak
merasa gentar sedikit pun karena ia belajar ilmu pedang bukan dari kakeknya
saja, melainkan juga mendapat
ilmu pedang dari kakaknya sang kakek yang bernama
Tua Bangka alias Ki Sanupati.
Mahligai Sukma berhasil mendesak Rana Sumping
dengan jurus pedangnya yang tiada pernah berhenti
berkelebat. Jurus pedang itu pemberian si Tua Bangka dan dinamakan jurus 'Pedang
Linglung'. Tebasannya
seakan tak menuju ke sasaran, tapi tiba-tiba menyabet cepat ke arah lawan. Rana
Sumping hanya bisa
menangkis dan menghindari pedang Mahligai Sukma. Ia
bagaikan tak diberi kesempatan untuk membalas
serangan Mahligai Sukma.
"Lincah sekali gadis ini, seperti anak belalang saja!"
pikir Rana Sumping sambil menangkis tebasan pedang
Mahligai Sukma yang datang secara beruntun.
"Kalau tak segera melarikan diri, aku bisa mampus di tangan bocah kemarin sore
ini!" Trang, trang, trang, triing, trang, triing...!
Breet...! "Auh...!" Rana Sumping memekik, pundaknya
terkena tebasan pedang Mahligai Sukma. Luka koyak itu sangat perih dan panas,
bagai dibakar dengan api yang tak kunjung padam.
"Celaka! Racun pedang itu berbahaya sekali!" pikir Rana Sumping, maka ia segera
berjungkir balik dalam
satu lompatan ke belakang. Lalu, kakinya menyentak ke tanah dan tubuhnya pun
melambung ke atas. Suuut... !!
Ia hinggap di atas pohon, setelah itu segera melarikan
diri dengan lompatan-lompatan tangkas dari pohon ke
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pohon. "Jangan lari kau, Keparat!" seru Mahligai Sukma yang segera mengejarnya dengan
gerakan cepat. Wuuut...! Namun kaki Mahligai Sukma tersandung sesuatu dan
membuatnya jatuh tersungkur. Bruuuss...!
"Sial!" makinya dalam hati. Ia segera bangkit dan lakukan pengejaran kembali.
Tetapi tiba-tiba kakinya tak jadi melangkah ketika ia melihat sesuatu yang
membuat kakinya tersandung itu mengeluarkan suara rintih sangat pelan. Ternyata
kaki Mahligai Sukma telah tersandung paha sesosok tubuh yang terkapar tanpa daya
lagi itu. Mahligai Sukma memandang dengan dahi berkerut, lalu
segera mendekati orang yang terkapar itu.
"Oh, kau terluka parah..."!" ujarnya pelan sambil meneliti tubuh orang tersebut.
Mendengar suara seseorang bicara, orang itu segera
membuka mata walau hanya kecil saja. Mulutnya
bergerak-gerak berusaha keluarkan suara. Mahligai
Sukma dekatkan telinga, dan ia mendengar orang itu
berkata dalam nada membisik.
"Selamatkan.... Suto.... Sinting...."
"Hahh..."!" Mahligai Sukma terkejut. "Kau kenal dengan Suto Sinting?""
"Dddi... dia... tertawan ooleh... oleh.... Janda....
Liar...." "Suto tertawan oleh Janda Liar"! Oh, kalau begitu kau perlu kubawa pulang agar
kakekku mencoba
menyembuhkanmu!"
Mahligai Sukma memasukkan pedangnya ke sarung
pedang. Ia segera mengangkat tubuh orang tersebut.
Baginya lebih penting menyampaikan kabar dari mulut orang itu ketimbang mengejar
Rana Sumping, toh
lawannya itu dengan tak langsung sudah mengakui
keunggulannya dan tak mampu hadapi jurus pedangnya.
"Lain waktu bisa kulanjutkan lagi pertarungan ini!
Aku mengenali wajahnya walau tak tahu namanya!"
pikir Mahligai Sukma sambil memanggul orang yang
sekarat itu. Sampai di pondok, ia segera menyerahkan orang itu
kepada si Kusir Hantu. Saat itu luka Pematang Hati
sudah diobati oleh Kusir Hantu dan Panji Klobot sendiri mulai sehat.
"Orang ini terluka dan membawa kabar tentang
Suto!" kata Mahligai Sukma kepada kakeknya.
Panji Klobot kaget begitu melihat orang yang dibawa
oleh Mahligai Sukma.
"Ini dia orangnya...! Ini dia yang menyerangku dan mau menangkapku!"
Ternyata orang yang sekarat itu adalah si penguntit
yang tak lain adalah Sunting Sari. Bertepatan dengan ucapan Panji Klobot itu
terlontar, muncul pula Tenda Biru yang semalam menyusul Mahligai Sukma dan ikut
mengejar Rana Sumping. Tapi agaknya ia salah arah dan kembali pada pagi
menjelang siang.
"Oh, jadi si keparat ini sudah berhasil kau lukai"
Untuk apa dibawa kemari, habisi saja dia! Hiaaat...!"
"Tunggu!" cegah Kusir Hantu.
Tenda Biru tak jadi mencabut pedangnya.
"Dia membawa kabar tentang Suto!" timpal Mahligai Sukma sambil memandang Sunting
Sari. "Apa yang kau ketahui tentang Suto Sinting?" tanya Kusir Hantu.
"D... di.. bawa ke Lembah.... Liar.... Terta... terta...."
"Tertawa?" sahut Kusir Hantu.
"Tertawan... di ssssa... saaanna...."
Mereka saling berpandangan. Ada kecurigaan apa
yang dikatakan Sunting Sari itu hanya sebuah siasat
belaka. Tapi melihat luka yang parah, si Kusir Hantu berkeyakinan bahwa ucapan
itu memang benar. Maka ia
segera berkata kepada yang lain.
"Bawa masuk ke dalam akan kuobati dulu lukanya
biar dia bisa cerita lebih banyak lagi. Pepatah
mengatakan: 'Pikir dulu pendapatan sesal kemudian tak berguna'. Artinya, kalau
pendapatanmu rendah jangan
beli barang yang mahal-mahal, nanti bisa...."
"Sudahlah, Kek! Pepatah melulu, mending kalau
artinya sesuai dengan keadaan yang berlaku!" gerutu Mahligai Sukma yang dicekam
kegelisahan sejak
mendengar kabar Suto ditawan oleh Janda Liar. Karena dalam benak gadis itu
membayangkan Suto dalam
pelukan Janda Liar, setidaknya dengan Janda Liar akan memaksa Suto untuk
melayani hasratnya dengan cara
bagaimanapun. Bayangan Mahligai Sukma tak meleset jauh dari
kenyataan. Hanya saja, kemesraan itu belum sempat
terjadi, karena ketika Suto dilepaskan dari pengaruh sihir yang membuat cahaya
hijaunya padam, ia dalam
keadaan pingsan.
"Jaga dia dan hati-hati, esok pagi pasti dia sudah siuman karena kekuatan racun
kabutku cepat hilang jika berada di dalam tubuh orang bertubuh kekar!"
perintahnya kepada seorang anak buah.
"Baik. Saya akan tetap di ruangan ini sampai dia sadar, Ketua!
"Jangan di dalam ruangan itu. Di luar!" bentak Selimut Senja, dan sang anak buah
itu menurut dengan wajah kecut alias kecewa.
Rupanya ada sesuatu yang dilakukan oleh Selimut
Senja yang membuat sang anak buah berkeinginan sekali menjaga Suto di dalam
ruangan tersebut. Ruangan itu
adalah ruangan bawah tanah yang diterangi oleh obor-
obor berbumbung tinggi seperti tiang. Bahan bakarnya terbuat dari minyak kelapa
sehingga tidak membuat
hitam ruangan tersebut.
Ketika Suto sadar, ia terkejut sekali mendapatkan
dirinya dalam keadaan dirantai. Kedua tangannya
direntangkan dan terkait pada belenggu rantai yang
menempel pada dinding kokoh. Kedua kakinya juga
direntangkan dalam keadaan dibelenggu dengan rantai
besar yang kokoh. Pendekar Mabuk menjadi lebih
terkejut setelah mengetahui pakaiannya telah lenyap dan tubuhnya tak mengenakan
selembar benang pun.
Keadaan itulah yang membuat sang anak buah ingin
menjaga di dalam ruangan, namun dilarang oleh sang
Ketua. Craak...! Suto menggerakkan kedua tangannya begitu
sadar keadaan tubuhnya. Ia ingin menutupi bagian yang sangat memalukan jika
dipandang orang lain, terutama seorang wanita. Tapi tangannya tak bisa dipakai
untuk menutupi hal itu karena terbelenggu kuat.
"Wah, kacau banget kalau begini caranya! Masa' aku ditawan dalam keadaan seperti
ini"! Siapa yang
menawanku"! Rumbanikah yang menawanku"!"
Pendekar Mabuk berusaha menarik rantai agar jebol
dari dinding. Tapi ia bagaikan tak makan selama empat puluh hari.
"Ooh... tenagaku seperti hilang semua. Lemas sekali tubuhku. Tak kuat untuk
menjebol rantai ini dari
dinding. Aduuuh... kenapa aku bisa jadi seperti ini, ya"
Seingatku aku dipancing bercumbu dengan Rumbani.
Cumbuannya melelapkan sukma dan... setelah itu aku
tak ingat apa-apa lagi. Apakah... apakah dadanya
Rumbani mengandung racun yang membius
kesadaranku"! Oh, kalau begitu... dada perempuan itu sangat berbahaya.
Seharusnya diremas saja, bukan
dipagut dan...."
Klaaak...! Pintu ruangan terbuka, seseorang masuk
dan sunggingkan senyum kemenangan terhadap Suto
Sinting. "Selimut Senja..."!" ucap Suto dengan nada heran.
"Sudah kuduga kau telah sadar dari racun kabutku, Panji!"
"Celaka! Rupanya aku tertangkap oleh si Janda Liar.
Ooh... kalau caranya menawanku begini, dia memang
benar-benar janda yang liar!" ucap Suto dalam hatinya.
Pintu ruangan itu segera ditutup dan dikunci dari
dalam, karena penjaga di luar pintu ikut menongolkan kepalanya sambil senyum-
senyum. Selimut Senja
sempat membentaknya.
"Sekarang belum jadi tontonan! Nanti setelah aku puas menikmatinya, kau boleh
menontonnya dengan
teman-temanmu yang lain!"
Brraak...! "Aaaaaoow...!" sang penjaga menjerit karena tangannya tergencet ketika pintu
ditutup oleh Selimut Senja. Tangan itu segera dicabut ketika Selimut Senja
membukanya sedikit, sambil keluarkan perintah,
"Ambilkan buah anggur dan seguci tuak! Aku akan berpesta dengannya!"
"Bba... baik, Ketua," jawab si penjaga dengan masih menyeringai merasakan sakit.
Ia sempat menggerutu sambil melangkah meninggalkan pintu tersebut.
"Pesta ya pesta, tapi apakah tanganku juga ikut dipakai pesta sampai gepeng
begini! Aduuuh...
kebangetan sekali si Ketua. Melongok sebentar saja
upahnya digencet pintu. Apalagi kalau melongok sampai lama, mungkin kepalaku
yang akan digencetnya!"
Setelah pesanannya diserahkan, Selimut Senja segera
menutup pintu itu, lalu menguncinya dari dalam dengan palang pintu dari kayu
jati. Klaaak...!
"Aku tahu yang kau inginkan! Panah emas itu, bukan!
Aku sudah tidak memegang panah emas lagi, Selimut
Senja! Panah itu sudah kukembalikan pada kakekmu;
Begawan Parang Giri!"
"O, ya..."!" Selimut Senja berjalan melenggok mendekati Suto Sinting. Seakan ia
tak begitu tertarik dengan ucapan Suto. Pandangan matanya menjadi sayu
dan sering melirik nakal. Senyumnya pun berkesan
senyum perempuan jalang.
"Aku tak peduli panah itu di mana! Aku memang
kehilangan panah pusaka, tapi kau akan
menggantikannya dengan 'panah pusakamu' ini, bukan"!
Hi, hi, hi, hi...," sambil Selimut Senja mencengkeram sesuatu yang terbuka lebar
tanpa penutup itu. Suto hanya menyeringai kaget, takut cengkeraman tangan itu
memecahkan sesuatu yang selama ini dijaga dan
dirawatnya baik-baik itu.
Dengan wajah didekatkan, Selimut Senja berkata
pelan kepada Suto.
"Kesalahanmu dapat kuampuni jika kau mau
memenuhi keinginanku, Panji."
"Apa keinginanmu?"
"Hmmm..." Oh, kurasa kau tahu... inilah
keinginanku," sambil Selimut Senja meremas pelan
'jimat' kesayangan Suto itu.
"Maaf, aku tidak berselera dengan perempuan kasar dan memakai cara seperti ini.
Lepaskan aku dari
belenggu-belenggu ini, maka kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan dariku,"
bujuk Sulo. "Oh, aku bukan perempuan bodoh, Panji. Kau tak
akan kulepaskan sebelum kudapatkan kenikmatan
bercinta denganmu."
"Tapi... tapi keadaanku berdiri begini dan kau tak akan mendapatkannya, Selimut
Senja!" "Hi, hi, hi, hi... aku sudah terlatih sambil berdiri, Panji! Jangan takut, kau
pun akan merasakan seperti
kuterbangkan sampai di langit-langit surga."
"Gawat! Dia mudah mempermainkan aku sementara
aku tidak mempunyai kekuatan untuk meronta," pikir Suto Sinting sambil melirik
ke sana-sini mencari pakaian dan bumbung tuaknya.
Pakaian tidak kelihatan ada di ruangan itu, tapi
bumbung tuak tampak membayang tak jauh dari sebelah
kanannya. Bumbung tuak itu kadang kelihatan kadang
hilang. Suto mulai paham bahwa bumbung tuak akan
muncul pada saat tertentu nanti.
Selimut Senja mengambil guci tuak, lalu
meminumkan kepada Suto dengan tangan tetap jahil ke
arah itu-itu saja.
"Lihat, betapa baik aku padamu, aku tahu kau butuh minum. Teguklah tuak ini
sebanyak-banyaknya, Panji,
biar kau menjadi lelaki yang panas dalam asmara. Hi, hi, hi...."
Pendekar Mabuk meneguk tuak itu agak banyak.
Selimut Senja menyangka jika Suto meminum tuak
banyak-banyak, maka ia akan menjadi mabuk dan
gairahnya akan terbakar dengan sentuhan lembut pun. Ia
tidak tahu bahwa Suto adalah manusia yang nyaris tak pernah mabuk walau meminum
tuak sebanyak apa pun.
Justru tuak akan membuat badannya segar dan
kekuatannya pulih kembali.
Tuak yang diminumkan ke mulut Suto sengaja
dicecerkan hingga membasahi bagian dada, perut, dan
seterusnya. "Oh, sayang sekali tuaknya tercecer, padahal tuak ini tuak terbaik yang kupesan
dari Majalegi. Hmmm...!"
Selimut Senja mengecupi tuak yang membasahi
tubuh Suto itu. Dari dada hingga ke perut disusuri
memakai lidah dan bibirnya. Sapuan lembut yang
membakar gairah itu tetap dilakukan oleh Selimut Senja walau sampai melewati
batas perut Suto.
Mata Suto terpejam bukan karena meresapi sentuhan
hangat bibir Selimut Senja, melainkan menahan rasa
agar gairahnya tidak terbakar dan menjadi berselera.
Usaha itu berhasil, gairah yang mestinya berkobar
karena disapu oleh kecupan hangat Selimut Senja,
ternyata hanya dingin-dingin saja. Selimut Senja merasa heran melihat keadaan
Suto yang tidak tergugah oleh
cumbuannya. "Mengapa kau tak bangkit seperti malam itu, sebelum panah emasku kau curi?"
"Sudah kukatakan, aku tidak berselera dengan
perempuan kasar yang memperlakukan diriku seperti ini!
Aku tidak berselera padamu, Selimut Senja."
"Benarkah..."!" sambil senyum perempuan itu dipamerkan penuh goda, pandangan
mata sayunya pun
tampak menantang sekali.
Perempuan itu segera menari gemulai di depan Suto
Sinting. Tarian yang dibawakan adalah tarian yang
menggugah kejantanan seorang lelaki. Suto tetap kalem dan hanya sunggingkan
senyum sinis, seakan
meremehkan godaan Selimut Senja.
"Aku tetap tidak berselera padamu, Selimut Senja!"
Mulut perempuan itu tidak berucap apa pun, tapi ia
sunggingkun senyum yang cukup nakal. Bahkan
sekarang di sela gemulainya tarian, Selimut Senja
melepaskan jubahnya pelan-pelan hingga ia mengenakan penutup dada dan pakaian
bawah saja. "Aku tetap tidak berselera padamu walau kau berbuat begitu!" ujar Suto dengan
kalem, berkesan meremehkan rayuan Selimut Senja.
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lama-lama Janda Liar itu melepaskan kain penutup
dadanya. Kain itu terkulai di lantai dan tampaklah
sebentuk keindahan yang menyebarkan kehangatan
dalam khayalan setiap lelaki. Tetapi Suto Sinting tetap berkata dengan suaranya
yang tegar. "Ah, percuma saja kau begitu. Aku tetap tidak
berselera padamu, Janda Liar!"
Selimut Senja mengangkat kedua tangannya, lalu
pinggulnya meliuk-liuk dengan lidah menjilati bibirnya sendiri. Matanya semakin
sayu dan wajahnya menjadi
semakin sensual. Bahkan kali ini ia melepaskan pakaian bawahnya dengan pelan-
pelan, dan pinggulnya masih
meliuk-liuk membuat pria mana pun panas dingin.
"Ak... aku... aku tetap tidak bergairah pada...
padamu...." Suto mulai bicara berpatah-patah. Karena sebenarnya hati Suto mulai
berdebar-debar ketika
melihat perempuan cantik itu tidak mengenakan
selembar benang pun dan berliuk-liuk penuh bayangan
mesum. Gerakan itu makin mendekati Suto Sinting. Wajah
Suto ditengadahkan. Ia tak mau melihat Selimut Senja, dan mulutnya tetap
melontarkan kata,
"Aku... aku tidak bergairah padamu, Setan...."
"Benarkah...?" ucap Selimut Senja dengan suara mendesah, semakin menggetarkan
hati pendekar tampan
itu. "Benarkah kau tidak bergairah padaku?"
"Celaka! Aku tak bisa menghindar lagi! Tenagaku masih lemah gara-gara kabut
beracunnya itu! Ooh... apa yang harus kulakukan jika begini! Dia pasti akan
berhasil memperkosaku dalam keadaan seperti ini!
Ooh... mana enak"! Eh... anu... hmmm... apa, ya"!"
Tiba-tiba pintu ruangan itu digedor-gedor oleh
seseorang. Gedoran itu cukup keras hingga mengejutkan si Janda Liar.
Dook, dook, dook...!
"Biadab! Siapa itu!" Janda Liar menjadi berang karena khayalan asmaranya yang
sudah melambung
tinggi itu terputus dan buyar oleh suara gedoran pintu. Ia
buru-buru mengenakan pakaiannya karena gedoran pintu itu terdengar lagi, bahkan
semakin keras. "Keparat! Siapa yang berani mengganggu asmaraku ini"!" ujarnya dengan berang
sambil hampiri pintu tersebut.
* * * 6 PENJAGA pintu yang tadi tangannya tergencet itu
segera ditampar oleh Selimut Senja. Plaak...! Si penjaga pintu terpelanting
membentur dinding. Pipinya menjadi merah membekas lima jari.
"Beraninya kau mengganggu kemesraanku, hah"!"
bentak Selimut Senja.
"Mmaa... maaf, Ketua. Dddi... di luar ada tamu yang mengamuk dan... dan...."
"Mengapa harus lapor padaku"! Apakah kau dan
yang lain tak bisa mengatasi"! Goblok! Mau mengatasi orang mengamuk saja harus
pakai minta izin dulu
padaku!" "Buk... bukan soal minta izin, Ketua. Tapi... tapi kami semua kewalahan
menghadapi mereka!"
"Mereka..."! Berapa orang yang bikin ulah itu"!"
"Tig... tiga orang!" sambil tangannya yang tadi tergencet mengacungkan tiga
jari. "Siapa mereka"!" geram Selimut Senja mulai menanggapi laporan itu.
"Saya tidak jelas, Ketua. Tapi... tapi mereka menuntut dibebaskannya Suto
Sinting." "Di sini tidak ada Suto Sinting! Siapa itu Suto Sinting"!"
"Kami sudah jelaskan begitu, Ketua. Tapi... tapi tiga orang itu masih ngotot dan
melukai beberapa orang kita, Ketua! Hutami gigi depannya rompal, Ketua."
"Gara-gara dihajar tiga orang itu?"
"Gara-gara dia tadi pagi terpeleset di sumur, Ketua!"
Plaak...! Penjaga itu ditampar lagi.
"Kalau tidak ada hubungannya jangan ikut
dilaporkan, Tolol!"
"Ampun, Ketua...," ujarnya sambil menyeringai kesakitan. Kini pelipisnya menjadi
merah membekas jari tangan Selimut Senja.
Rupanya setelah mendapat keterangan lebih lengkap
dari Sunting Sari yang berhasil ditolong oleh Kusir
Hantu, mereka segera menyerang ke Lembah Liar.
Tenda Biru, Mahligai Sukma, dan Pematang Hati
mengamuk di depan gerbang pesanggrahan. Bahkan
mereka berhasil menjebol pintu gerbang dan menerjang orang-orang Partai Janda
Liar yang bermaksud
membendungnya. Pasir Putih, yang selama ini dipercaya untuk
mewakili keberadaan Selimut Senja jika Selimut Senja tidak ada di tempat,
mencoba menahan gerakan ketiga
orang cantik itu. Pasir Putih mempunyai ilmu yang
cukup dapat diandalkan untuk mengatasi keributan yang terjadi di pesanggrahan
Partai Janda Liar. Tetapi kali ini ia harus berhadapan dengan Tenda Biru yang
sangat berang mendengar Suto tertawa oleh si Janda Liar.
Mereka segera membentuk lingkaran pengepungan.
Mahligai Sukma dan Pematang Hati saling beradu
punggung dengan pedang terhunus dan mata
memandang penuh waspada. Sementara itu, Tenda Biru
menghadapi si Pasir Putih dengan wajah memancarkan
kemurkaan. "Kalau kalian tak mau melepaskan Suto Sinting, akan kuhancurkan tempat ini dalam
sekejap!" ancam Tenda Biru.
"Kau mengigau, Setan Belang! Di sini tak ada Suto Sinting! Kalian hanya cari
mampus saja datang kemari!"
ujar Pasir Putih sambil segera menghunus pedangnya
dengan pelan-pelan. Ia melangkah ke samping kiri dan Tenda Biru ke samping
kanan. "Panji Klobot!" sentak Mahligai Sukma. "Menurut orang yang memberi keterangan
pada kita, orang-orang di sini mengenal Suto dengan nama Panji Klobot!"
"Hmmm... ya!" ujar Tenda Biru, kemudian berkata kepada Pasir Putih. "Kami mau
membebaskan Panji Klobot! Kau pasti mengenalnya!"
"O, jadi yang kalian cari adalah Panji Klobot"!"
"Benar! Bebaskan dia sebelum kesabaranku hilang sama sekali!"
"Kau boleh membawa pergi Panji Klobot jika bisa melangkahi mayatku, Perempuan
Iblis!' "Kulangkahi betul mayatmu, Keparat! Hiaaat...!"
Tenda Biru menerjang dengan gerakan secepat kilat.
Pedangnya berkelebat menebas leher Pasir Putih. Tetapi dengan gerakan cepat pula
Pasir Putih menangkis
tebasan pedang itu. Trraaang...!
Sayang tangan kirinya terlambat bergerak, sehingga
kaki Tenda Biru menjejak telak pundaknya. Duuuk...!
Pasir Putih terpelanting jatuh, Tenda Biru
mengejarnya dengan pukulan tenaga dalam bercahaya
biru kecil seperti ujung anak panah. Claaap...!
Pasir Putih bangkit dan berlutut dengan satu kaki. Ia
pun melepaskan sinar merah besar dari tangan kirinya.
Wuuut...! Blaaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi saat sinar biru berbenturan
dengan sinar merah. Pasir Putih terjungkal akibat
gelombang ledakan itu, sedangkan Tenda Biru hanya
terdorong mundur dua langkah.
Pematang Hati mau menerjang Pasir Putih dengan
pedang diarahkan ke punggung Pasir Putih. Tetapi
Tenda Biru segera berseru dari tempatnya.
"Jangan! Biar kutumbangkan sendiri si mulut besar itu!"
Pematang Hati tak jadi lakukan penyerangan, ia
kembali berjaga-jaga di belakang adiknya; Mahligai
Sukma. Tenda Biru segera bersalto di udara saat Pasir Putih sudah mulai bangkit
kembali. Wuk, wuk, wuk...!
Tubuhnya meluncur turun dengan pedang siap
dihujamkan ke tubuh Pasir Putih. Namun tiba-tiba Pasir Putih melompat ke samping
dengan gerakan begitu
cepat, hingga hujaman pedang Tenda Biru kenai tempat kosong.
Pasir Putih segera lepaskan pukulan tangan kirinya
yang bersinar merah itu. Wuuut...! Tenda Biru
menebaskan pedangnya ke samping dengan kecepatan
tinggi hingga terdengar suara, wuuung...! Lalu pedang itu memancarkan sinar
hijau yang membentur sinar
merahnya Pasir Putih.
Bleegaaarrr...!
Kali ini Tenda Biru terlempar walau tak seberapa
jauh. Pasir Putih hanya terhuyung-huyung ke belakang dan dalam sekejap telah
berdiri tegak kembali.
Tiba-tiba Tenda Biru melemparkan pedangnya ke
arah Pasir Putih. Wuuut...! Pedang itu terbang dan Tenda Biru lompat ke atasnya.
Kini kedua kaki Tenda Biru
berada di atas pedang tersebut dan ikut terbang bersama sang pedang. Weess...!
Sambil berada di atas pedangnya, Tenda Biru
melepaskan sinar biru patah-patah dari ujung kedua jari yang dikeraskan itu.
Clap, clap, clap, clap...!
Pasir Putih kebingungan hindari sinar biru itu. Ia
melompat ke kiri, tapi Tenda Biru segera mengarahkan pedangnya yang melayang itu
ke kiri dengan gerakan
kakinya. Wees...!
"Hiaaat...!" Tenda Biru melompat turun dari altas pedang dengan gerakan
bersalto. Kakinya sempat
menendang gagang pedang dan pedang itu meluncur
lebih cepat lagi. Wees...! Jruub...!
"Aaahk...!"
Pasir Putih tak bisa hindari pedang itu lagi, karena perhatiannya menjadi kacau
oleh sinar biru patah-patah itu. Akibatnya, pedang itu menembus leher depannya
hingga sampai ke belakang. Dalam beberapa kejap
berikutnya, Pasir Putih tumbang dan tak bernyawa lagi.
Tenda Biru segera mencabut pedangnya dengan kasar,
menampakkan murkanya yang semakin berkobar.
Pada saat Tenda Biru mencabut pedang dari leher
Pasir Putih, seraut wajah cantik mesum milik si Janda Liar muncul dan memergoki
kematian Pasir Putih.
"Jahanam kau...!" teriak Selimut Senja sambil melompat memasuki lingkaran para
pengepung itu. Wuuut...! Jleeeg...!
Kedua kaki Selimut Senja segera merendah dan
tangannya disodorkan ke depan dengan jari-jari lurus.
Suuut...! Maka lima larik sinar kuning melesat dari tiap ujung jari tersebut.
Slaaap...! Tenda Biru memutar pedangnya dalam satu gerakan
tebas sangat cepat. Wuuut...! Gerakan pedang memutar itu memancarkan sinar biru
yang menjadi perisainya.
Bleegaarrr...! Ledakan lebih dahsyat terjadi hingga
mengguncangkan bangunan pesanggrahan tersebut.
Tenda Biru terpental ke belakang dan jatuh terbanting dengan keras, sementara
itu Selimut Senja juga
terjungkal tapi tak separah Tenda Biru. Dalam sekejap saja Selimut Senja sudah
bangkit kembali dan
melepaskan pukulan bersinar hijau lurus ke arah Tenda Biru. Claaap...!
Blaaar...! Sinar itu dipatahkan oleh pukulan Mahligai Sukma
yang bersinar putih hingga ledakan dahsyat kedua terjadi cukup mengguncangkan
tanah sekitar mereka.
"Hiaaatt...!" Pematang Hati melayang bagaikan seekor camar menyambar mangsanya.
Pedang ditebaskan dalam gerakan bersalto pada saat tepat di atas
kepala Selimut Senja.
Beet, traak...!
Pedang itu bagaikan menebas sebongkah baja yang
sulit dilukai. Pundak yang ditebas itu hanya
memercikkan bunga api sedikit, tapi si pemilik pundak tetap tegar tanpa rasakan
sakit sedikit pun. Ilmu 'Kulit Baja' si Janda Liar benar-benar sukar ditembus
senjata apa pun.
Kalau saja Pematang Hati sehabis menebaskan
pedangnya tidak lekas-lekas lakukan lompatan bersalto miring, maka ia akan
terkena pukulan tenaga dalam
Selimut Senja yang keluar dari ujung jarinya berwarna hijau patah-patah itu.
Cap, cap, cap, cap...!
"Aaahk...!" seorang anak buah Janda Liar memekik karena dadanya terhantam sinar
kuning patah-patah itu.
Orang tersebut tumbang dan berasap, sekujur tubuhnya menjadi hitam hangus, bau
daging terbakar pun
menyebar ke mana-mana. Orang tersebut tentu saja tak bernapas lagi. Sedangkan
orang di belakangnya terpaksa berguling-guling sambil berteriak dengan histeris,
karena gelombang panas dari sinar hijau patah-patah tadi
menyambar wajah tubuh depannya hingga menjadi
merah, seperti kepiting rebus pakai saos.
"Setan busuk! Kau bikin aku melukai anak buahku sendiri, hah! Rasakan
pembalasanku ini, Bangsat!
Hiaaaaaaaaahh...!"
Janda Liar keluarkan jurus 'Lembayung Getih' untuk
menyerang Pematang Hati. Masing-masing tangannya
mengeraskan dua jari dan dari masing-masing dua jari
itu keluar sinar merah yang segera menyatu menjadi satu kekuatan sinar merah
cukup dahsyat, seperti yang
dipakai untuk melukai Pangkar Soma itu. Claaaapp...!
Tetapi sebelum segalanya terjadi, Mahligai Sukma
telah berguling-guling di tanah seperti bola dan tiba-tiba kakinya menyambar
kaki Selimut Senja dengan kuat.
Plaaak...! Selimut Senja terpelanting ke kanan, akibatnya sinar merah dari jurus
'Lembayung Getih' melesat ke
arah atas, seakan ingin menghantam matahari.
"Hiaaat...!" Mahligai Sukma segera menghentakkan tumitnya bagai ingin menumbuk
dada si Janda Liar.
Tetapi tangan si Janda Liar segera menangkapnya dan
tulang kering kaki itu dihantamnya dengan pukulan
bertenaga dalam.
Krrrakk...! "Aaaau...!!"
"Mahligai..."!" pekik Pematang Hati menjadi semakin marah melihat adiknya
disakiti oleh Selimut Senja.
Dengan cepat ia lepaskan jurus pukulan bersinar putih ke kepala Selimut Senja.
Claaap...! Blaab, blaab...!
Tenda Biru juga menghantamnya dengan sinar biru
bundar sebesar jeruk peras. Kedua sinar itu kenai kepala dan leher Selimut
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senja. Blaar, duaarrr...!
Selimut Senja terguling-guling dengan keras. Tetapi
ia segera bangkit kembali dengan segar tanpa terluka sedikit pun. Bahkan
jubahnya pun tak ada yang robek,
sehelai rambutnya pun tak ada yang terbakar. Ia berdiri kembali sambil
sunggingkan senyum sinis kepada ketiga lawannya.
"Cepat mundur dulu kau!" teriak Tenda Biru kepada Mahligai Sukma yang dibantu
Pematang Hati untuk
menyingkir. "Kakiku patah," ucap Mahligai Sukma kepada Pematang Hati.
"Salurkan hawa sucimu untuk kurangi rasa sakitnya.
Akan kubalas mematahkan leher perempuan itu!" ujar Pematang Hati sambil menuntun
adiknya jauhi Selimut Senja.
Melihat keadaan Mahligai Sukma tampaknya lemah,
salah seorang anak buah Selimut Senja segera
melemparkan pisaunya ke arah leher Mahligai Sukma.
Ziiing...! Teeb...! Pisau itu ditangkap oleh Mahligai Sukma
dengan jepitan jarinya. Dalam keadaan duduk, Mahligai Sukma melemparkan kembali
pisau itu kepada
pemiliknya sambil berguling satu kali. Zzziing...!
Lemparan ini lebih cepat daripada lemparan si pemilik pisau. Hampir saja gerakan
pisau terbang tak terlihat oleh mata siapa pun.
Juub...! "Aaahk...!" si pemilik pisau memekik dengan mata mendelik, ulu hatinya tertancap
pisaunya sendiri, ia pun tumbang dan tak mau bernapas lagi.
"Jahanam kauuu...!" teriak Selimut Senja begitu melihat anak buahnya mati
tertancap pisau. Ia segera
melompat menyerang Mahligai Sukma. Tetapi
gerakannya segera ditabrak oleh Tenda Biru dari arah samping.
"Hiaaat...!"
Plak, plak, beet, wess, buuhk...!
Adu kecepatan tangan di udara terjadi beberapa kejap saja. Selimut Senja jatuh
terbanting, Tenda Biru
terpental dengan pedang tak berhasil lukai tubuh
lawannya. Kini Tenda Biru justru keluarkan darah dari mulutnya karena terkena
hantaman telapak tangan si
Janda Liar itu.
"Babi...! Cuiih...!" Tenda Biru memaki dan meludah.
"Dadaku seperti dihantam pilar beton! Sialan!" Ia segera bangkit lagi ketika
Pematang Hati menyerang Selimut
Senja dengan tendangan beruntun.
Bet, bet, bet, bet, bet...!
Selimut Senja hanya bisa menangkis karena cepatnya
tendangan yang datang ke arahnya. Ia sempat terdesak mundur dan tak bisa memberi
balasan apa pun.
Ketika Selimut Senja terdesak sampai ke barisan
pengepung, tiba-tiba salah seorang pengepung maju
menyerang Pematang Hati dengan pedangnya. Weees...!
Sambil masih lakukan tendangan beruntun Pematang
Hati menangkis pedang itu dengan pedangnya sendiri.
Kemudian dengan cepat pedangnya menghujam perut si
pengepung. Traang.... Juub...!
"Heegh...!" orang itu mendelik, lalu segera tumbang tak bernyawa setelah pedang
dicabut oleh Pematang
Hati. Pedang itu kini ganti ditebaskan ke leher Selimut Senja. Traaak...! Ujung
pedang yang berhasil kenai leher Selimut Senja itu hanya memercikkan bunga api
kecil, seperti pedang menghantam pilar baja. Sementara
Selimut senja tak terluka sedikit pun, bahkan ia berhasil putar tubuhnya dan
mengirimkan tendangan cepat ke
dada Pematang Hati.
Buuhk...! Weeeess...! Pematang Hati terpental ke belakang, melayang bagai
seonggok kapas terbawa angin. Brrruk...!
"Auuh...!" Pematang Hati mengaduh saat jatuh di depan Tenda Biru.
"Jaga adikmu, aku akan mendesaknya sepenuh
tenaga!" ujar Tenda Biru kepada Pematang Hati.
"Dia lemah jika jarak dekat!" Pematang Hati sempat berseru sambil duduknya
mundur, kemudian bangkit
dengan pegangi pinggangnya.
"Kuingatkan kepada kalian, lebih baik kalian pergi dari sini daripada nyawa
kalian terbuang sia-sia!" seru si Janda Liar.
"Kami tidak akan pergi jika tidak bersama Suto
Sinting!" "Aku tidak menyembunyikan orang bernama Suto
Sinting, Tolol!" bentak Selimut Senja.
"Panji Klobot itulah Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk!" balas Tenda Biru dengan suara membentak.
Selimut Senja diam sebentar. "Benarkah dia Pendekar Mabuk?" gumamnya dalam hati.
"Aku pernah dengar
nama itu, tapi belum pernah bertemu dengan orangnya.
Ooh... jika benar si Panji Klobot itu adalah Pendekar Mabuk, akan kupertahankan
lebih kuat lagi, karena aku ingin serap seluruh ilmunya!"
Tenda Biru berseru melontarkan ancamannya.
"Jika dia tidak kau bebaskan, semua anggota Partai Janda Liar ini akan kukirim
ke neraka, termasuk kau!" ia menuding Selimut Senja dengan pedangnya.
"Apa maksudmu mengatakan Panji Klobot adalah
Pendekar Mabuk"! Pria tawananku itu bukan Pendekar
Mabuk!" "Buka matamu lebar-lebar, Perempuan Picak! Per-
hatikan wajahnya, perhatikan ciri-cirinya.... Dia adalah Pendekar Mabuk, bukan
Panji Klobot! Panji Klobot
adalah muridku yang belum bisa apa-apa!"
"Oh, kalau begitu memang benar, dia adalah
Pendekar Mabuk," pikir Selimut Senja. "Alangkah beruntungnya aku bisa dapatkan
pendekar kondang yang terkenal kesaktiannya itu! Jika begini caranya, nyawa pun
siap kukorbankan untuk pertahankan Pendekar
Mabuk! Hmmm... bodoh sekali mereka! Sebenarnya tak
perlu memberitahukan padaku bahwa pemuda tampan
itu adalah Pendekar Mabuk. Padahal kalau dia memang
Panji Klobot, aku tak keberatan untuk melepaskannya
kalau sampai nyawaku terancam."
Lalu ia berseru kepada Tenda Biru,
"Dengar, Gadis Peot...! Sebenarnya aku tidak tahu kalau pemuda itu adalah
Pendekar Mabuk. Tapi karena
kau memberitahukan padaku dengan penuh keyakinan,
maka asmaraku pun semakin meluap-luap padanya.
Kupertaruhkan nyawaku untuk mempertahankan
Pendekar Mabuk itu! Dan aku tak akan segan-segan
hancurkan orang yang berniat memisahkan aku dengan
Pendekar Mabuk!"
"Sial! Dia semakin berkeras kepala"!" gumam hati Tenda Biru sambil mata tetap
memandang tajam kepada
Selimut Senja dan pedangnya siap digunakan untuk
menyerang. Kali ini Tenda Biru sudah mulai kumpulkan tenaganya ke tangan.
Pedangnya akan beraksi lebih
dahsyat lagi, diperkirakan akan dapat menjebolkan dada si Janda Liar itu.
Tiba-tiba seorang perempuan berpakaian kuning
gading dan bajunya tanpa lengan itu datang dengan
terengah-engah, sepertinya ia baru saja datang dari
bepergian. Ia menyelinap di antara para pengepung yang membentuk pagar melingkar
lebar itu. "Ketua...! Jangan percaya dengan kata-kata mereka!
Mereka penipu semua! Aku baru saja bertemu dengan
Pendekar Mabuk dan dia sedang dalam perjalanan
menyeberang pulau. Jadi pemuda yang ada di sini itu
memang benar-benar Panji Klobot!"
"Sunting Sari..., dari mana saja kau!" geram Selimut Senja.
"Aku mengejar si Tenda Biru itu, Ketua! Rupanya dia adalah kekasih Panji Klobot
yang ingin mengamuk di
sini. Aku tak berhasil mencegahnya, Ketua! Sebaiknya, hati-hati melawan dia dan
dua sahabatnya itu! Mereka licik dan penuh tipu muslihat! Pertahankan terus si
Panji Klobot yang sudah Ketua tawan itu!"
"Dari mana kau tahu kalau aku sudah menawan Panji Klobot"!"
"Kantani memberitahukanku di depan gerbang sana!
Kurasa Ketua tak perlu ragu-ragu untuk membunuh
mereka bertiga! Karena mereka sangat membutuhkan
Panji Klobot sebagai pemuas gairah mereka!"
"Sunting Sari..."!" gumam Mahligai Sukma dengan heran.
"Ssst...!" Pematang Hati memberi isyarat agar mereka tetap berlagak tidak
mengenal Sunting Sari. Karena saat Sunting Sari bicara tentang pertemuannya
dengan Pendekar Mabuk, mata kirinya sempat berkedip dua kali, menandakan agar mereka
tetap berlagak tidak saling
kenal. Sunting Sari yang telah sembuh akibat pengobatan
Kusir Hantu itu semakin menampakkan sikar
permusuhannya dengan Tenda Biru dan kedua kakak-
beradik itu. "Kalian tak akan mampu melawan Ketua kami! Kau
pikir Ketua kami ini bocah kemarin sore"!"
"Buktikan saja siapa yang terkirim ke neraka
nantinya!" seru Tenda Biru yang juga memahami
kedipan isyarat dari Sunting Sari tadi.
"Sunting Sari, kalau begitu kau jaga pemuda itu dan pertahankan dengan nyawamu!"
"Baik! Di mana dia sekarang, Ketua"!"
"Di ruang penyiksaan!" jawab Selimut Senja pelan.
"Pertahankan dia jangan sampai lolos jika tak ingin
nasibmu seperti Rumbani."
"Bagaimana dengan Rumbani?"
"Kupenggal tadi pagi, karena ia justru mau bercumbu dengan pemuda itu di sebuah
kuil! Laksanakan tugasmu sekarang juga, cepat!"
"Baik! Akan kupertahankan dia sampai titik darah penghabisan!"
Kemudian Sunting Sari pergi tinggalkan lingkaran
pengepungan itu. Selimut Senja sempat bimbang,
"Benarkah Pendekar Mabuk sedang dalam perjalanan menyeberang pulau" Kalau
begitu, yang ada di sini
memang benar-benar Panji Klobot"!"
Si Janda Liar itu menjadi gelisah diliputi
kebimbangan. Tetapi matanya tetap tertuju kepada ketiga lawan yang agaknya
sangat bernafsu sekali untuk
bebaskan pemuda tersebut. Tangan Tenda Biru mulai
bergetar bersama pedangnya, pertanda tenaga dalam
yang terkumpul dalam genggaman sudah mulai
disalurkan melalui pedangnya itu. Ia menunggu kesempatan bagus untuk melepaskan
jurus pedang bertenaga dalam tinggi itu.
"Janda Liar... sekarang tiba saatnya kita tentukan siapa yang harus mati dalam
pertarungan ini!" tantang Tenda Biru dengan lantang. Selimut Senja hanya
tersenyum tipis bernada sinis.
"Tentu saja yang harus mati adalah kalian bertiga!
Karena ilmu kalian masih ada di telapak kakiku! Belum ada sekuku hitamnya
dibanding ilmuku!"
"Kita buktikan saja, jangan hanya bisa berkoar, Janda
Liar!" "Baik! Bersiaplah membayangkan kuburan yang
penuh belatung dan lintah untuk menguburkan mayatmu, Keparat!"
Tenda Biru bergerak ke kiri dengan pedang tetap
diangkat sebatas pundak dan diarahkan kepada Selimut Senja. Sementara itu
Selimut Senja juga bergerak ke
kanan dengan jurusnya yang mirip sebuah tarian gemulai itu. Masing-masing
mencari kesempatan untuk lepaskan serangan maut yang akan mematikan salah satu
pihak. * * * 7 KERIBUTAN di pelataran depan ternyata
dimanfaatkan oleh dua perempuan yang bertugas
menjaga keamanan bagian dalam. Dua perempuan itu
adalah Suyuti dan Warih, si penjaga pintu ruang tawanan itu.
Suyuti dan Warih masuk ke ruang penyiksaan dan
saling cekikikan pandangi Suto Sinting yang terbelenggu kuat dalam keadaan kaki
merentang dan tangan
merentang. Mata mereka berbinar-binar penuh gejolak
api gairah saat memandang keperkasaan Pendekar
Mabuk. "Wow...! Besar sekali, ya?"
"Apanya?" tanya Warih.
"Perawakannya. Besar. Gagah, tegap, ganteng, dan...
banyak bulunya, ya?"
"Yang mana maksudmu?"
"Betisnya itu lho! Hi, hi, hi...!"
Pendekar Mabuk menahan kemarahan dalam hati. Ia
sebal sekali dijadikan tontonan dua perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh
tahun itu. Kalau saja tenaganya telah pulih, tuak dari bumbung saktinya telah
terminum, maka dengan sekali sentak saja rantai belenggu itu dapat lepas dari
tembok. Tapi karena tak mendapat minuman
tuak dari bumbung saktinya itu, maka tenaga Suto hanya separo kurang dari
kekuatan biasanya.
"Eh, Suyuti... kau pernah mendapatkan burung
jalak?" "Hmmm... mendapatkan belum pernah tapi kalau
melihat burung jalak terbang memang pernah."
"Di sini ada kakeknya burung jalak Iho."
"Mana...?"
"Itu...! Hi, hi, hi...!"
Kedua perempuan tersebut saling cekikikan membuat
hati Suto semakin malu dan jengkel.
"Hei, kau pikir aku anak monyet, kok dipakai
tontonan"!" sentak Suto Sinting:
Sentakan tersebut tak dihiraukan. Bahkan Suyuti
berani lebih kurang ajar lagi.
Namun tiba-tiba seorang perempuan segera masuk
bagai menyelinap, langkahnya pelan-pelan dan ia segera memberi isyarat pada Suto
agar diam saja. Perempuan
itu segera mendekati Warih dan Suyuti, kemudian kedua
kepala perempuan itu dijambaknya kuat-kuat dan kedua kepala pun diadu keras-
keras. Prraaak...!
"Uhk...!" Suyuti sempat terpekik pelan ketika darah muncrat dari kepalanya. Tapi
ia segera jatuh pingsan dengan kepala retak. Warih sudah tak bergeming lagi, ia
lebih dulu tak sadarkan diri ketika kepalanya
dibenturkan dengan kepala Suyuti.
"Sunting Sari..."! Lekas buka belenggu rantai ini!"
Sunting Sari diam, berdiri memandang sambil
tersenyum geli. Kepalanya sempat geleng-geleng sambil mulutnya berdecak penuh
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasa kagum. "Ck, ck, ck, ck... perempuan mana yang tak ngiler kalau melihatmu polos seperti
ini. Mana... ih, kenapa itu, kok bengkak"!" Sunting Sari menuding 'kakeknya
burung jalak' tadi. Suto Sinting malu sekali, akhirnya membentak berang sebagai
penutup rasa malunya.
"Buka belenggu ini! Jangan melotot saja, nanti
matamu kucolok baru kapok!"
"Apakah kedua perempuan ini sudah memakaimu?"
"Belum! Sudah jangan banyak tanya, buka belenggu ini!"
"Ssst...! Jangan teriak-teriak nanti didengar penjaga lainnya! Pejamkan matamu!"
kata Sunting Sari. Suto pun memejamkan mata. Lalu dari ujung jari tangan Sunting
Sari yang disentakkan ke depan itu keluar sinar merah panjang sebesar lidi.
Claap...! Deer...! Craaak...!
Rantai belenggu bagian tangan kiri putus. Sunting
Sari lakukan hal yang sama untuk belenggu tangan
kanan, juga kedua kaki. Kini Suto bebas dari lilitan belenggu walau kulit
lengannya sedikit terluka bakar karena sinar merah dari ujung jari Sunting Sari
itu. Pertama-tama yang dilakukan Suto adalah mengambil
bumbung tuaknya yang seolah-olah sudah menunggu
tuannya di sudut ruangan. Tuak diteguk beberapa kali, Tubuh Suto menjadi segar,
kekuatannya pulih kembali.
Tapi ia segera sadar akan keadaannya yang polos tanpa busana dan menjadi bahan
perhatian mata indah si
Sunting Sari itu. Maka ia buru-buru merapatkan kedua pahanya dan mendekap
tangannya di paha.
"Carikan pakaianku!"
"Terlalu lama. Nanti saja! Sekarang bantu mereka di luar!"
"Mereka siapa?"
"Tenda Biru, Pematang Hati, dan Mahligai Sukma.
Mereka sedang bertarung dengan Selimut Senja
menuntut dibebaskannya dirimu."
"Oh, siapa yang memberi tahu mereka kalau aku di sini?"
"Aku...!" jawab Sunting Sari dengan tersenyum bangga. "Kelihatannya mereka tak
mampu tumbangkan sang Ketua. Cepatlah bantu mereka!"
"Mana mungkin aku bisa bertarung dalam keadaan
telanjang begini"!" sentak Suto dengan jengkel.
"Hmmm...," Sunting Sari mencari akal. Lalu, dilihatnya kain pembalut tubuh
Suyuti yang berwarna
merah itu terhampar di lantai. Sunting Sari pun
memungut kain tersebut dan dilemparkan kepada Suto.
Wuuus...! "Pakailah kain ini dulu!"
"Mana enak dipakai untuk bertarung! Ribet!"
"Dililitkan sebatas paha saja, Tolol! Yang penting
'jimatmu' tidak kena angin, biar tidak kembung!" ujar Sunting Sari sambil
tertawa cekikikan. Maka Suto
Sinting pun segera kenakan kain itu. Kain dipakai seperti mengenakan cawat,
melilit di sela kedua pahanya dan
melingkar di pinggang. Dengan begitu, 'jimat' Suto tidak kelihatan tapi tubuhnya
yang kekar itu masih tampak
jelas tanpa baju dan celana.
"Kau seperti orang pedalaman kalau begitu! Cuma pakai cawat dan... menggairahkan
sekali. Hi, hi, hi...."
"Ah, kau!" Suto menepiskan tangan, kemudian bergegas keluar dengan terburu-buru
sambil menenteng bumbung tuaknya.
"Hei, jangan ke kiri! Itu jalan ke kamar mandi!"seru Sunting Sari. Suto berbalik
arah dan mengikuti langkah Sunting Sari.
Di pelataran depan, Tenda Biru sedang memuntahkan
darah kental karena pukulan dahsyat dari jurus tarian si Janda Liar itu. Ia baru
saja tersentak ke belakang dan jatuh terduduk. Pedangnya terlepas dari tangan
karena sekujur tubuhnya bagai tak bertulang lagi sejak
mendapat hantaman dahsyat dari Selimut Senja.
Pematang Hati sendiri sudah babak belur. Wajahnya
pucat, banyak luka memar dan hidungnya berdarah. Ia
sedang berlutut satu kaki sambil terengah-engah,
menandakan habis menguras tenaga untuk melawan si
Janda Liar. Mahligai Sukma pun tampak terkapar
terpisah dari kakaknya dalam keadaan pucat pasi.
Mulutnya melelehkan darah kental kehitam-hitaman
pertanda habis terkena pukulan Selimut Senja.
Saat itu adalah saat-saat penghabisan bagi tiga gadis tersebut. Selimut Senja
sedang memainkan jurusnya
yang mirip tarian itu untuk menghancurkan tubuh Tenda Biru lebih dulu.
Zlaaap...! Brrrruus...! Tiba-tiba Selimut Senja merasa diterjang badai kuat dan tubuhnya terpental dan
berguling-guling. Ia segera bangkit sambil tarik napas dan memandang ke arah
sesuatu yang menerjangnya tadi. Ternyata Pendekar
Mabuk telah berdiri tegak di sana dalam keadaan tanpa baju dan celana selain
hanya cawat kain merah tebal itu.
"Woow...!" para pengepung menyerukan ungkapan kagumnya terhadap ketampanan Suto
dan perawakannya
yang sering menjadi buah khayalan perempuan
kasmaran. "Biadab! Mana si Sunting Sari"! Mengapa kau
sampai bisa keluar dari ruangan itu, hah"!"
"Aku di sini, Ketua!" seru Sunting Sari lalu muncul dari sela-sela pengepung dan
berdiri di sebelah Suto.
"Kau yang melepaskannya, Sunting Sari"!"
"Ya, aku yang melepaskannya!" tegas Sunting Sari.
"Pengkhianat kau!"
"Sama halnya dengan dirimu yang juga pengkhianat, sehingga tega membunuh
kakekku, mantan ketua partai
ini!" "Hhmmmm...!!" Selimut Senja menggeram, matanya memancarkan kemarahan total.
"Kuhancurkan kau sekarang juga, Sunting Sari!
Hiaaat...! Selimut Senja keluarkan jurus 'Lembayung Getih'.
Sinar merah melesat dari kedua jarinya. Suto Sinting segera berkelebat bersama
bumbung tuaknya. Bumbung
itu yang dipakai untuk menangkis sinar merah tersebut.
Tuub...! Weess...!
Sinar itu berbalik arah lebih besar dan lebih cepat.
Selimut Senja kaget, karena baru sekarang ada orang
bisa membalikkan jurus 'Lembayung Getih'-nya. Rasa
kaget terkesima itu membuat Selimut Senja terlambat
menghindar. Akhirnya punggungnya terhantam sinar itu sendiri.
Blegaaarrr...! Mestinya benda sekuat apa pun terkena sinar itu akan hancur, bahkan biasanya
jurus 'Lembayung Getih'
membuat benda apa pun menjadi serbuk halus. Tetapi
pengaruh dari ilmu 'Kulit Baja' membuat Selimut Senja hanya terpental dan tak
mengalami luka sedikit pun baik pada tubuhnya maupun pakaiannya.
Selimut Senja terbanting tanpa rasa sakit. Ia cepat bangkit dan segera melayang
menyerang Suto Sinting.
Gerakan itu disambut dengan satu lompatan cepat oleh Suto sambil menyodokkan
bumbung tuaknya. Wuuut...!
Ujung bumbung tuak itu beradu dengan dua telapak
tangan Selimut Senja yang sudah membara merah dan
mengepulkan asap.
Prrak...! Blegaaarrr...!
Pendekar Mabuk terlempar ke belakang dan jatuh
berguling-guling. Selimut Senja juga terlempar ke
belakang, namun kali ini kedua tangannya menjadi hitam akibat terbakar.
"Jahanam kau, Panjiii...!" geramnya masih
menganggap Suto sebagai Panji Klobot.
Sementara itu, beberapa anak buahnya, termasuk
Sunting Sari terbelalak kaget melihat tangan Selimut Senja menjadi hangus.
"Aneh! Rupanya bambu tuak itu punya kesaktian
tinggi juga. Kedua tangan Selimut Senja bisa menjadi hangus. Berarti jika kenai
dadanya, maka dadanya juga akan menjadi hangus. Bumbung tuak itu bisa kalahkan
ilmu 'Kulit Baja' yang dimilikinya!" ucap Sunting Sari dalam hatinya.
"Kuberi kesempatan menyerahlah, Panji! Jangan
nekat melawanku. Sayangilah nyawamu dan kita bisa
bercumbu setiap saat! Kau akan ketagihan kalau sudah merasakan surga dalam
pelukanku, Panji...."
Kata-kata itu tak dihiraukan Suto Sinting. Ia justru menenggak tuaknya yang
tinggal separo kurang itu.
Sedikit tuak ditelan, sisanya ditampung di mulut.
Suto Sinting membuka jurus tantangan yang
menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh. Selimut
Senja merasa ditantang, lalu segera menari dengan cepat.
Tiba-tiba kedua tangannya merapat di dada dan
disentakkan ke depan.
Suuut...! Slaaap...!"
Sinar ungu lurus seperti tombak melesat dari ujung
kedua tangan itu dan menghantam ke arah Suto Sinting.
Kali ini Pendekar Mabuk tak ingin menangkisnya,
karena dalam sekelebat ia melihat keadaan di
belakangnya tak ada teman-temannya, selain para
pengepung itu. Maka dengan satu lompatan peringan
tubuh, Pendekar Mabuk melesat ke atas, bersalto
beberapa kali dalam ketinggian.
Sinar ungu itu menghantam dua pengepung sekaligus
dan... jegaaaarr...! Mereka hancur berkeping-keping, sulit dikenali lagi.
Gerakan Suto yang melambung itu segera mendarat
di tepian lingkaran pengepung. Salah seorang pengepung berusaha menghujamkan
tombaknya ke atas agar kenai
pantat Suto. Tetapi ujung tombak itu justru dipakai
pijakan kaki Suto yang segera menyentak dan membuat
tubuhnya melambung kembali dalam gerakan bersalto.
Teb...! Wuuut...!
Gerakan bersalto dua kali melewati atas kepala
Selimut Senja. Maka dalam keadaan kepala berbalik ke bawah, Suto Sinting
semburkan sisa tuak yang ada di
mulutnya sejak tadi itu.
Bwwruuuusss...!
Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' dipergunakan oleh
Pendekar Mabuk. Tuak yang disemburkan itu
memercikkan bunga api ke mana-mana, dan bunga api
itu menghujani kepala serta tubuh Selimut Senja.
Buuull...! Api pun membakar tubuh Selimut Senja dari
kepala sampai kaki.
"Aaaaaa...!!" Selimut Senja kebingungan
memadamkan api tersebut. Jubahnya mulai terbakar dan hampir habis. Rambutnya pun
keriting seketika lalu
rontok sebagian. Tapi nyala api masih berkobar seakan makin lama semakin besar.
"Aaaaa...! Aaaa...!" ia berguling-guling kebingungan memadamkan api tersebut.
Sementara Suto Sinting
sudah mendarat di dekat Tenda Biru dengan tegak dan
tenang. "Minum tuakku dulu, yang lain juga!"
Tenda Biru segera menerima bumbung tuak dan
menenggaknya beberapa teguk. Setelah itu, tuak
diberikan kepada Pematang Hati, dan Pematang Hati pun meneguknya beberapa teguk,
lalu ia meminumkan tuak
ke mulut adiknya: Mahligai Sukma. Dengan meminum
tuak tersebut, keadaan mereka menjadi segar dan luka-lukanya sembuh total dalam
waktu singkat. "Tenagaku terasa terkuras habis setiap tendanganku kenai tubuhnya," ujar
Pematang Hati sambil memandang si Janda Liar yang masih dibungkus api itu.
"Dia punya ilmu yang bisa menyerap tenaga lawan!"
ujar Suto mengutip keterangan Sunting Sari.
Beberapa anak buah si Janda Liar melarikan diri,
yang lain sibuk tak karuan. Karena api itu tak bisa
dipadamkan oleh siraman air. Suasana panik meliputi
mereka. Selimut Senja kelabakan, tubuhnya meleleh
bagai logam terkena panas. Ia masuk ke kamar-kamar dan membuat api semakin
berkobar membakar kain,
papan atau apa saja, sehingga dalam waktu singkat
pesanggrahan itu terbakar separo bagian.
Akhirnya, si Janda Liar itu tergeletak di serambi
samping dalam keadaan sudah tak bernyawa dan
tubuhnya yang hitam hangus itu masih dibungkus api
walau tak berkobar sebesar tadi. Para anggota Partai Janda Liar saling berwajah
tegang dan merasa takut
dekati Suto Sinting. Mereka mengakui keunggulan Suto yang mampu tumbangkan sang
Ketua, "Ternyata ilmu 'Kulit Baja' masih bisa kau kalahkan dengan ilmu tuakmu, Suto,"
ujar Sunting Sari dengan tersenyum bangga.
"Namanya jurus 'Sembur Bromo Wiwaha'," ujar Suto menjelaskan.
"Kita pulang ke Lembah Seram sekarang juga, Suto!"
ajak Tenda Biru seakan tak ingin Suto bicara dengan
Sunting Sari lebih lama lagi.
"Baiklah, Sunting Sari... kini kau bisa menggantikan kedudukan Selimut Senja
sebagai Ketua Partai Janda
Liar. Tapi aku punya satu permintaan padamu."
"Katakanlah...."
"Jadikan Partai Janda Liar sebagai kekuatan yang bertujuan menghancurkan
kekejaman dan keangkara-murkaan. Jadikan kelompok ini sebagai kelompok aliran
putih yang berguna bagi sesama."
"Akan kuturuti permintaanmu sebagai janjiku waktu kita di gua itu!" ujar Sunting
Sari. "Terima kasih atas bantuan kalian semua," tambah Sunting Sari kepada yang
lain. "Selamat jalan, Suto!" Sunting Sari memeluk
Suto, dan Suto pun memberikan pelukan perpisahan
yang hangat. "Jaga dirimu baik-baik, Sunting Sari," ucap Suto saat memeluk.
"Akan kuperhatikan semua nasihat dan saranmu,
Suto." Pematang Hati agak kesal dan berkata menyindir,
"Lama sekaliiii...!"
Suto pun melepaskan pelukannya. Ia melangkah bersama tiga gadis cantik yang
semuanya saling
memendam rasa kepada Suto Sinting. Tapi mereka
saling akur karena saling membantu dalam setiap
kesulitan. Langkah Suto yang menjauhi pesanggrahan itu
terhenti karena seruan Sunting Sari.
"Sutoooo...!"
"Mau apa lagi perempuan itu?" gerutu Mahligai Sukma.
"Ada apa..."!" Tenda Biru yang menjawab dengan seruan sedikit ketus.
"Sutooo... celanamu ketinggalan!" sambil Sunting Sari mengangkat pakaian Suto
dan melambai-lambaikan.
Suto terperanjat dan baru menyadari bahwa dirinya
hanya mengenakan cawat darurat saja. Ia segera tertawa sendiri dan bergegas
mengambil pakaiannya. Tapi
Pematang Hati menahan tangan Suto.
"Biar aku saja yang mengambilnya!" ucapnya rada ketus, lalu ia pergi mengambil
pakaian itu. Suto Sinting hanya tertawa kecil dan melambaikan tangan kepada
Pendekar Mabuk 077 Asmara Janda Liar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sunting Sari. "Cup, cup, uuah...!"
Cium jauh untuk Sunting Sari dari Pendekar Mabuk.
SELESAI Segera terbit!!!
DEWI KESEPIAN Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel Kitab Pusaka 15 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis 4