Pencarian

Dewi Kesepian 1

Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 BUKIT yang tak seberapa tinggi itu menjadi ajang pertarungan dua wanita berusia
sebaya, sekitar dua puluh tujuh tahun. Keduanya sama-sama punya kecantikan dan
daya tarik yang cukup kuat. Bedanya, yang satu berbadan langsing namun sekal,
yang satu berbadan padat berisi dan tampak lebih tinggi.
Yang lebih tinggi mengenakan jubah biru tanpa lengan. Jubahnya itu tidak
dikancingkan, tapi ia mengenakan penutup dada semacam kutang namun terbuat dari
kain tipis warna hitam. Tipisnya kain membuat gumpalan montok di dadanya itu
tampak membayang dari luar. Kelihatan kencang dan
menantang. Sedangkan pakaian bawahnya berupa kain tipis warna hitam berbelahan
depan dari bawah sampai ke atas. Jika kakinya menendang, belahan kain itu
menyingkap dan tampaklah sesuatu yang ada di balik kain tanpa penutup lagi.
"Gila! Ck, ck, ck, ck...! Bertarung sambil pamer perabot begitu bisa bikin
lawannya gugup kalau lawannya seorang pria," ujar batin seorang pemuda yang
menyaksikan pertarungan itu dari atas pohon.
Pemuda tersebut berbaju coklat, celana putih, pakai ikat pinggang kain merah,
membawa bumbung tuak, rambutnya panjang tanpa ikat kepala, wajahnya ganteng
tanpa jerawat, dan... siapa lagi kalau bukan muridnya si Gila Tuak yang dikenal
dengan nama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk. Hobinya memang mengintip, tapi
yang diintip bukan perawan mandi, melainkan sebuah pertarungan. Dari seringnya
melihat pertarungan, Suto akan punya ingatan tentang beberapa jurus yang perlu
dipelajari kelemahannya, sehingga sewaktu-waktu ia berhadapan dengan seseorang
yang menggunakan jurus tersebut, ia tidak akan kewalahan lagi.
Perhatian Suto Sinting cenderung kepada perempuan tinggi sekal itu. Ibarat ayam,
ayam Bangkok. Penampilannya benar-benar mantap, baik mantap untuk pertarungan di arena maupun
untuk pertarungan asmara.
Apalagi dengan rambut digulung ke atas asal-asalan tapi dijepit pakai penjepit
dari perak, perempuan itu seakan memamerkan lehernya yang kuning mulus tanpa
cupang sedikit pun. Menggemaskan hati setiap pria.
"Aku baru sekarang melihatnya," ujar Suto dalam hati. "Hidungnya mancung,
bibirnya yang bawah agak tebal tapi menarik sekali. Pas satu kecupan. Matanya
memang agak lebar, tapi indah dan sedikit sayu, bikin hatiku gemas juga. Oh...
kenapa ia sejak tadi hanya menghindar dan menangkis" Mana serangannya"
Mengapa tak memberi perlawanan kepada si langsing?"
Si langsing itu juga berhidung mancung, tapi kecil.
Wajahnya berkesan mungil. Matanya bundar, rambutnya pendek, diikat dengan kain
merah. Pakaiannya serba ungu komprang. Kulitnya sawo matang. Tapi dadanya tampak
kencang dan sekal, walau tak semontok si jubah biru muda itu.
Si baju ungu menyelipkan pedang di pinggangnya, si jubah biru juga menyelipkan
pedang dari logam putih anti karat di pinggang. Tetapi ketika si baju ungu
mencabut pedangnya, perempuan berjubah biru itu tidak ikut-ikutan mencabut
pedang, ia hanya mundur dua tindak dan memasang kuda-kuda secara tak nyata.
Seakan ia malas melayani serangan lawannya.
"Sudah tiba saatnya kau kukirim ke neraka, Perempuan Lacur! Jangan lari dariku
kau!" seru si langsing berbaju ungu.
"Dewi Kesepian tak pernah lari dari pertarungan, Ambarini! Sebelum lawannya
mati, Dewi Kesepian tak akan hentikan pertarungan!"
"Mengapa kau tak membalas seranganku"!"
"O, itu urusanku! Mau membalas atau tidak, itu bukan urusanmu," seru si jubah
biru yang ternyata
bernama Dewi Kesepian itu,
Katanya lagi, "Aku sebenarnya hanya ingin tahu, seberapa kekuatan jurusmu untuk
mengalahkan kekuatanku! Ternyata dari tadi seranganmu tak ada yang membahayakan
nyawaku. Sama seperti seekor semut yang menggigit, panas sedikit tapi tidak
bikin koit!"
Si langsing yang bernama Ambarini itu menjawab berseru semakin berang, karena
hatinya kian panas mendengar ejekan Dewi Kesepian.
"Kalau begitu, terimalah jurus 'Pedang Walet' ini!
Hiaaah...!"
Ambarini lakukan lompatan yang mirip seekor burung walet terbang. Wuuut...!
Pedangnya menebas leher Dewi Kesepian. Tetapi dengan gerakan merendah hingga
berlutut satu kaki, Dewi Kesepian berhasil hindari tebasan pedang itu.
Di luar dugaan, Ambarini bersalto satu kali di belakang Dewi Kesepian, lalu
pedangnya menyabet dari bawah ke atas. Wuus...! Craas...!
"Uuhk...!" Dewi Kesepian yang baru mau bangkit itu terpaksa melompat dengan
berjungkir balik menggunakan dua tangan sebagai tumpuannya. Bruuk..!
Kedua kakinya tepat menapak di tanah namun dalam keadaan tidak serempak, ia
berusaha berdiri, tapi tubuhnya menggeloyor limbung.
Rupanya pedang Ambarini telah kenai punggung Dewi Kesepian hingga jubah birunya
robek dan berlumur darah. Luka itu tepat menghadap ke arah tenpat persembunyian
Suto Sinting, sehingga pemuda itu dapat
melihat jelas betapa panjang dan mengerikannya luka itu. Darah yang keluar
berwarna merah kehitam-hitaman, menandakan luka itu beracun dan racun itu cukup
berbahaya. "Hiaaat...!" Ambarini lakukan lompatan lagi dengan tubuh melayang lurus bersama
pedang yang disentakkan ke depan. Wuuut...!
Dewi Kesepian menahan sakit, tapi ia masih bisa putar tubuhnya dan layangkan
tendangan kaki kanannya.
Wuuut, beet...! Wees...!
Pedang Ambarini terpental lepas dari genggamannya karena lengannya terkena
tendangan kuat bertenaga dalam dari Dewi Kesepian. Ambarini sempat limbung dalam
gerakan terbangnya, ia tak bisa menjaga keseimbangan karena sentakan kaki kuat
tadi. Akibatnya, Dewi Kesepian dapat menghantam punggung Ambarini dengan pangkal
telapak tangannya. Dees...!
Buuhk...! "Heekh...!"
Brrruk...! Ambarini jatuh terbanting. Hampir saja wajahnya menghantam sebongkah
batu hitam yang sejak tadi diam di situ tak mau ikut campur dalam pertarungan.
Namun Ambarini segera mengangkat batu yang besarnya seukuran kepala kuda itu.
"Heeaaah...!"
Batu itu dilemparkan ke atas, lalu ditendang dengan ujung kakinya. Wuuut,
dees...! Weerr...! Batu itu melayang ke arah dada Dewi Kesepian. Dengan gerakan cepat,
dihantamnya batu
yang mendekatinya menggunakan kepalan tangan kanannya. Dees...! Pyaaar...!
Batu itu hancur menjadi butiran sebesar merica, menandakan betapa tinggi
kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewi Kesepian itu sebenarnya. Andai yang
dihantam adalah kepala Ambarini, tentu kepala itu akan remuk dan kelak
tengkoraknya tak akan berbentuk seperti layaknya tengkorak orang mati puluhan
tahun. Perempuan langsing itu masih penasaran, ia segera melepaskan pukulan tenaga
dalamnya dari jarak jauh.
Dengan sentakkan tangan kiri, telapak tangan itu keluarkan sinar hijau lurus
yang segera menghantam perut Dewi Kesepian. Claap...!
Beesss...! "Aauhk...!" Dewi Kesepian terbungkuk sambil menyeringai, kedua tangannya pegangi
perut. Dari sela-sela jemari keluar asap menandakan perutnya luka bakar, entah
bolong atau hanya lecet, yang jelas Dewi Kesepian sangat kesakitan.
Bet, bres, bres, plook...!
Wajah Dewi Kesepian menjadi sasaran empuk bagi kaki Ambarini.
Dewi Kesepian dihajar habis oleh Ambarini. Tapi anehnya Ambarini tak bisa
membunuh Dewi Kesepian dengan tangan kosong. Sekalipun Dewi Kesepian telah babak
belur dan lukanya amat parah, namun ia tetap berusaha bangkit berdiri. Walau
sebelum sempat berdiri, ia selalu tumbang kembali karena tendangan atau pukulan
Ambarini. Melihat keadaan Dewi Kesepian berlumur darah, Suto Sinting tak tega. Maka ketika
Ambarini berusaha mengambil pedangnya untuk mengakhiri nyawa Dewi Kesepian, Suto
Sinting melepaskan jurus 'Jari Guntur'
nya, berupa sentilan yang mengandung kekuatan tenaga dalam, besarnya seperti
tendangan seekor kuda jantan.
Pertama-tama pedang itu disentil lebih dulu dari jarak jauh. Tess...! Zraaak...!
Pedang itu terpental jauh, membuat Ambarini terbengong. Saat perempuan itu
terbengong, Suto Sinting menyentilkan jarinya lagi ke arah pinggang Ambarini.
Tess...! Buuhk...!
"Auh...!" Ambarini memekik dan terlempar kembali.
"Siapa orang yang menyerangku" Dari mana datangnya" Pasti dia ada di pihak Dewi
Kesepian! Agaknya ilmunya cukup tinggi. Tulangku menjadi linu semua mendapat serangan
tenaga dalamnya," pikir Ambarini sambil menyeringai menahan sakit dan berusaha
bangkit. Baru saja dapat separo berdiri, tiba-tiba perutnya bagaikan ada yang menendang
dengan kuat. Buuuhkk...!
"Heeehk...!" Ambarini terpental ke belakang dalam keadaan tubuh melengkung ke
depan. Brruuk...! Ia pun jatuh terduduk dengan keras. Perut menjadi mual, tulang
punggung terasa mau patah.
"Keparat! Rasa-rasanya aku akan kewalahan jika melayani orang yang memihak Dewi
Kesepian itu! Sebaiknya kutinggalkan saja perempuan itu, sebentar lagi pasti mati karena luka
racun dari pedangku tadi!"
Ambarini akhirnya melompat menyambar pedangnya, kemudian sambil terhuyung-huyung
ia berlari menjauhi tempat itu. Sampai di kejauhan ia berhenti sebentar dan
serukan kata kepada Dewi Kesepian yang tersandar di bawah pohon.
"Sekali lagi kau mengganggu suamiku, kutebas batang lehermu, Perempuan Jalang!"
Tanpa peduli suaranya didengar lawan atau tidak, Ambarini segera melesat pergi
menerabas semak belukar. Dan pada saat itulah Suto Sinting segera muncul dari
persembunyiannya. Dengan gunakan jurus
'Gerak Siluman', yang mampu bergerak secepat gerakan cahaya, Pendekar Mabuk
tahu-tahu sudah berada di samping Dewi Kesepian.
Zlaaap...! la segera geleng-geleng kepala melihat keadaan Dewi Kesepian yang babak belur
itu. Wajahnya penuh luka, berlumur darah, tak punya tenaga lagi, ooh...
menyedihkan sekali.
Pendekar Mabuk segera mengambil bumbung
tuaknya yang menyilang di punggung.
"Kasihan, wajah cantik-cantik jadi seperti topeng leak!" gumam Suto Sinting,
kemudian berusaha menuangkan tuak ke mulut Dewi Kesepian dengan hati-hati.
Sedikit demi sedikit tuak tertelan oleh Dewi Kesepian. Perempuan itu tak tahu
apa yang masuk ke mulutnya, yang jelas bisa ditelan dan bisa dipakai membasahi
kerongkongannya yang kering, ia berhasil
meneguk tuak sekitar lima tegukan. Setelah itu Suto Sinting menenggak tuak
sendiri, lalu menghembuskan napas lega. Matanya memandang sekeliling, mencari
tempat yang lebih teduh lagi. Ketika dilihatnya ada tempat yang lebih teduh,
walau keadaan tanahnya agak miring, Suto pun membawa Dewi Kesepian ke tempat itu
dengan mengangkatnya memakai kedua tangan.
Dewi Kesepian tak tahu bahwa ia telah menelan tuak sakti yang berkhasiat
menyembuhkan luka serta penyakit dalam waktu singkat. Sebenarnya bukan tuaknya
yang sakti, melainkan bumbung tuak itulah yang mempunyai kekuatan sakti karena
jelmaan dari seorang tokoh dunia persilatan masa lalu yang sering disebut-sebut
Suto sebagai Eyang Buyut Guru Wijayasura, kakek gurunya si Gila Tuak. Segala
macam jenis tuak dari mana pun jika sudah masuk ke bumbung bambu itu maka ia
akan berubah menjadi tuak sakti.
Terbukti dalam beberapa saat saja keadaan Dewi Kesepian sudah mulai normal
kembali. Luka-lukanya mengering, kemudian luka itu menyempit dan akhirnya hilang
bagai terserap ke dalam kulit. Luka di punggung akibat pedang beracun si
Ambarini juga mengering dan lenyap tak berbekas. Darah yang berceceran di tubuh
dan pakaian Dewi Kesepian bagaikan menguap diserap angin.
Dewi Kesepian terkejut setelah menyadari tubuhnya bersih dari luka dan tidak
merasa sakit di bagian mana pun. Justru badannya merasa lebih segar dari saat
sebelum bertarung melawan Ambarini tadi.
Perempuan itu semakin tampak kecantikannya.
Tubuhnya yang kuning langsat itu ternyata ditumbuhi bulu-bulu halus yang
menggetarkan hati setiap lelaki.
Bulu halus itu tumbuh sampai di bagian lengan, belakang pergelangan tangan, dan
sekitar tengkuknya.
Suto Sinting sempat merinding karena menahan getaran hati yang gemas-gemas
senang melihat bulu halus itu.
"Ooh... kau..."!" Dewi Kesepian terkejut setelah mengetahui ada seorang pemuda
tampan berambut lurus sepundak duduk di atas akar pohon yang menonjol bagai batu
itu. Lebih terkejut lagi setelah Pendekar Mabuk sunggingkan senyum, maka Dewi
Kesepian mulai merasakan ada sentakan halus di dalam hatinya.
Sentakan itu menimbulkan rasa nyaman dan indah, sehingga ia pun menjadi grogi
sesaat, ia memandang sekeliling, ternyata Ambarini sudah tak ada dan orang lain
pun tak ada kecuali si pemuda tampan berhidung bangir dan bermata bening teduh
itu. "See... seingatku aku tadi terluka parah, ter...
terkena... terkena racun pedangnya Ambarini. Tapi mengapa sekarang aku... aku
jadi bersih tanpa luka sedikit pun?" ucapnya lirih bagai bicara pada diri
sendiri. "App... apakah kau yang menolongku dan menyembuhkan lukaku tadi?"
"Mungkin," jawab Pendekar Mabuk sok berlagak cuek.
Perempuan yang mempunyai suara agak besar dan serak-serak menggairahkan itu
mulai perdengarkan
suaranya lagi setelah ia memandang ketempat pertarungannya tadi, ternyata di
sana tak ada Ambarini.
"Ke mana Ambarini tadi" Apakah dia melarikan diri?"
"Barangkali," jawab Suto lagi berlagak angkuh.
"Dingin sekali sikapnya," ujar batin Dewi Kesepian.
Lalu, ia pun mulai menampakkan sikap angkuhnya untuk membalas keangkuhan Suto
Sinting. "Terima kasih atas bantuanmu!" ucapnya datar, lalu ia segera melangkah pergi.
"Hei, tunggu dulu!" Suto Sinting mengejar, Dewi Kesepian tetap melangkah dengan
wajah memandang lurus ke depan. Suto terpaksa menghadang langkahnya.
"Begitukah sikapmu terhadap orang yang telah menolongmu?"
"Minggir...!" katanya dengan sedikit menyentak bernada sinis. Tetapi Suto tetap
tak mau minggir. Maka, Dewi Kesepian segera sentakkan tangannya ke depan, dan
tiba-tiba Suto seperti diterjang badai besar yang membuatnya terpental terbang
dengan ringannya.
Wuuut...! Brruuk...!
Punggung Suto membentur pohon dengan kuat.
Duuur...! Pohon itu sampai bergetar, beberapa daun dan bunganya berguguran. Suto
menyeringai merasakan tulang punggungnya terasa remuk dan sukar untuk berdiri.
Akhirnya ia hanya terengah-engah sambil bersandar pada batang pohon itu. Matanya
memandang lesu ke arah wajah cantik berbibir menggemaskan itu.
"Gila! Sentakan tangannya begitu kuat dan berbahaya
sekali. Kalau tak kuimbangi dengan menahan napas murniku, bisa jebol perutku,"
ujar Suto Sinting dalam hati.
Dewi Kesepian melangkah lagi tinggalkan Suto, seakan ia tak peduli keadaan
Pendekar Mabuk, walau ia yakin bahwa pemuda tampan itulah yang tadi menolongnya
dari luka parah itu. Namun ia pun yakin bahwa sikapnya yang cuek dan angkuh akan
membuat si pemuda menjadi penasaran.
Keyakinan itu memang benar. Sebab setelah Suto Sinting menenggak tuaknya untuk
obati rasa sakit di sekujur tubuhnya, ia segera mengejar langkah Dewi Kesepian
dan menghadang langkah perempuan itu lagi.
"Kau punya kekuatan hebat! Tapi mengapa tidak kau gunakan untuk melawan Ambarini
tadi"!" sambil Suto menuding-nuding seperti protes terhadap sikap Dewi Kesepian


Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di dalam pertarungan tadi.
"Jangan halangi langkahku!" Dewi Kesepian tetap berlagak angkuh, belum puas
membalas keangkuhan Suto Sinting.
"Tunggu dulu, ada yang ingin ku...."
Beet! Tiba-tiba kaki Dewi Kesepian berkelebat tak diketahui kapan bergeraknya.
Tahu-tahu dada Suto Sinting sudah menjadi sasaran empuk dan membuat tubuh pemuda
gagah dan kekar itu terlempar ke belakang dan jatuh berguling-guling menuruni
lereng bukit. Jika tak ada akar pohon yang tumbuh mirip papan berlapis-lapis
itu, mungkin Suto akan menggelinding terus sampai di kaki bukit.
Dewi Kesepian membelokkan arah langkahnya dan tetap cuek terhadap keadaan Suto
Sinting. "Kampret...!" teriak Suto memaki nasibnya yang sial.
Tapi justru makian itu membuat langkah Dewi Kesepian terhenti dan memandang Suto
dengan sinis. "Namaku Dewi Kesepian, bukan Kampret! Kampret itu nama kakekku. Lengkapnya: Ki
Dulang Kampret!"
Suto tertawa geli sambil menahan sakit di lututnya yang tadi membentur batu.
"Hei, aku tidak bermaksud memanggilmu atau menyebutkan nama kakekmu! Aku memaki
diriku sendiri yang bernasib sial! Sudah menolong, eeh...
dadanya nyaris bolong!"
Pendekar Mabuk menenggak tuak lagi, hanya dua teguk. Karena tiba-tiba jantungnya
terasa melemah, kadang detakannya menyendat-nyendat, kadang justru hilang tanpa
detakan. Pendekar Mabuk cemas akan keadaan jantungnya, maka ia segera meminum
tuak itu. Dan pada saat itu ia mendengar Dewi Kesepian berkata sambil hampiri dirinya.
"Itulah sebabnya, kalau diajak bicara orang jangan berlagak angkuh!"
Pendekar Mabuk menyeringai. "Maaf, aku tadi memang menggodamu."
"Anggap saja aku pun menggodamu."
"Iya, tapi tidak perlu sampai mau menjebolkan dadaku."
"Aku hanya menendang urat jantungmu."
"Urat jantungku"!" Suto berkerut dahi.
"Apakah jantungmu merasa tersendat-sendat dan sesekali terasa seperti tidak
berdetak lagi?"
"Hmmm... hmmm... iya, memang begitu."
"Nah, itulah yang dinamakan jurus 'Tendangan Jalur Jantung', dalam sepuluh
helaan napas kau akan pingsan!"
"Tapi... sekarang jantungku tidak mengalami perubahan apa-apa lagi."
"Kuhitung empat kali, kau pasti roboh! Satu...."
Suto Sinting nyengir sambil menempelkan telapak tangannya ke dada, merasakan
detak jantungnya yang memang normal karena sudah minum tuak.
"Dua.... Tiga...."
"Habis ini aku roboh, ya?"
"Iya. Empat...!"
"Robohnya di sebelah mana"!" Suto clingak-clinguk mencari tempat. "Enaknya aku
pingsan di bawah pohon itu saja, ya" Biar teduh!"
"Konyol!" geram Dewi Kesepian yang merasa terheran-heran. "Mengapa kau tidak
langsung pingsan dan bahkan masih bisa bersikap konyol begitu?"
"Mungkin tendanganmu hanya berlaku untuk jantung pisang. Bukan jantung manusia!"
sindir Suto membuat Dewi Kesepian menjadi malu dan dongkol, ia menarik napas dan
membuangnya dalam dengus kekesalan hati.
Suto Sinting hanya cengar-cengir sambil melihat-lihat keadaan di atas pohon,
sengaja bersikap meremehkan jurus yang dibanggakan perempuan itu.
"Ternyata kau orang kuat!" ujar Dewi Kesepian
secara jujur. "Selama ini belum pernah ada orang yang bisa menahan jurus
'Tendangan Jalur Jantung'-ku. Baru kaulah orangnya."
"Mengapa tidak kau pakai untuk melawan Ambarini?"
"Oh, kau kenal dengan Ambarini?"
"Aku hanya mengutip bicaramu saat menyebutkan namanya tadi," jawab Suto sambil
menunduk sebentar dan garuk-garuk kepala. Kemudian ia memandang Dewi Kesepian
dan bicara dengan serius.
"Dari dua seranganmu yang kurasakan tadi, menurutku kau seharusnya bisa
menumbangkan Ambarini! Tapi mengapa kau sepertinya tak mau menyerang atau
melukainya, bahkan membiarkan dirimu dihajar habis-habisan begitu"! Hampir saja
kau mati karena racun pedangnya kalau tidak kupaksa untuk meminum tuakku."
"O, jadi tuak itu yang membuatku sehat secara ajaib ini?" pikir Dewi Kesepian,
tapi mulutnya melontarkan kata lain.
"Aku merasa bersalah kepadanya. Kuterima hajarannya yang bertubi-tubi itu
sebagai hukuman kesalahanku."
"Boleh kutahu kesalahan apa yang membuatmu rela dihukum sedemikian rupa "
Dewi Kesepian memandang Suto dengan tegas, tanpa sungkan dan malu-malu.
"Aku tidur dengan suaminya; si Rayundita."
Suto Sinting tertawa panjang tapi tak sampai
terbahak-bahak. Dewi Kesepian tetap pandangi Suto dengan mata tak berkedip,
tajam dan penuh ketegasan.
Ketika menyadari dipandang tajam oleh Dewi Kesepian yang tidak tersenyum sedikit
pun itu, Suto Sinting buru-buru hentikan tawanya, karena ia segera sadar tawanya
itu menyinggung perasaan si perempuan cantik itu.
"Kau jujur sekali. Tapi mengapa kau sampai tidur dengan si Rayundita?"
"Karena aku tak tahu kalau dia sudah beristri!"
"Apakah dia tampan?"
"Tidak setampan dirimu!" jawabnya tegas lagi tanpa senyum sedikit pun.
"Apakah dia perkasa?"
"Tidak seperkasa dirimu juga!"
"Atau... mungkin kau mencintainya?"
"Tak ada cinta di hatiku!"
"Lalu, apa yang meribuatmu nekat tidur dengannya?"
"Karena aku butuh darahnya."
"Hah..."! Butuh darahnya?"
"Darah kemesraan ssorang lelaki harus kuperoleh setiap malam. Aku hanya bisa
bertahan tidak menerima darah kemesraan seorang lelaki selama dua malam. Itu pun
sudah membuatku amat tersiksa."
"Mengapa begitu"!"
"Aku terkena kutukan beracun dari Penguasa Pulau Siluman...."
"Oh, maksudmu.... Nyai Ronggeng Iblis"!"
"Benar! Rupanya kau mengenalnya"!"
"Hmmm... eeh... ya, aku mengenalnya, tapi langsung
membunuhnya!"
Dewi Kesepian terperanjat dan menjadi tegang.
"Kau..."! Kau membunuh Nyai Ronggeng Iblis"!" ia seakan tak percaya.
"Ya, aku membunuhnya demi menyelamatkan seorang gadis yang terkena pukulan
'Sabda Sirna', yang membuat gadis itu tak memiliki raga," (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
Dewi Kesepian tiba-tiba melemas dan jatuh terduduk dengan wajah sedih.
"Hei, kenapa kau"! Kenapa kau jadi lemas dan pucat"!"
Perempuan itu tak menjawab, namun bola matanya mulai berkaca-kaca pertanda
sebentar lagi tangisnya akan datang. Suto semakin kebingungan.
* * * 2 DEBUR ombak di pantai curam terdengar bagai irama nyanyian setan. Pantai curam
itu mempunyai tebing tinggi berdinding karang tegak lurus. Di atas tebing itu,
tampak seorang pemuda berusia dua puluh tahun sedang ditempa ilmu kanuragan oleh
gurunya. "Tendangan kiri, hup...! Tendangan kanan, huup...!
Tendangan depan, huup...! Tendangan belakang, huup...!"
Brruk...! Sang Guru jatuh sendiri, maklum usianya sudah hampir seratus tahun kurang
beberapa bulan. Kumis, jenggot, dan alis sudah memutih semua. Rambut di
kepalanya tinggal tujuh belas lembar lebih sedikit.
Tubuhnya yang kurus tampak sudah lemah untuk lakukan gerakan-gerakan menyentak.
Namun sang Guru masih bisa menutupi kelemahannya itu di depan muridnya.
"It tad ten yang sal...!"
"Apa maksud Guru?"
"Itu tadi contoh tendangan yang salah, Tolol! Jangan ditirukan!"
Sang murid justru cekikikan menertawakan alasan sang Guru dan membayangkan
jatuhnya sang Guru yang seperti kodok gagal melompat. Melihat muridnya
cekikikan, sang Guru dekati sang murid lalu menamparnya. Plook...!
"Kal sed lat jang ter!"
"Apa artinya itu, Guru"'
"Kalau sedang latihan jangan tertawa!"
Sang murid langsung diam, tak berani cekikikan, bahkan tak berani tersenyum.
Berdirinya tegak, wajahnya serius menyedihkan, pandangannya lurus dan mulutnya
ternganga sedikit. Sang Guru berkata kembali sambil mundur tiga langkah.
"Cob ul jur yang tad!"
Sang murid paham maksud gurunya, ia disuruh mengulangi jurus yang tadi. Maka,
sang murid pun lakukan tendangan kiri, kanan, dan depan. Sang Guru
manggut-manggut sambil berucap lirih.
"Bag, bag, bag...."
"Maksudnya; bagong, Guru?"
"Bagus!" bentak sang Guru, suaranya masih rada lantang, tak kentara seperti
suara orang berusia hampir seratus tahun. Sedangkan suara sang murid kecil
cempreng seperti kaleng kerupuk dipukul pakal sandal.
Rupanya sang Guru mempunyai kebiasaan bicara pendek. Dulu ketika ia menuntut
ilmu di sebuah perguruan, ia diajarkan bahasa sandi untuk berbicara dengan
sesama rekan perguruannya. Bahasa sandi itu sampai sekarang menjadi bahasa
sehari-hari baginya.
Akibat kebiasaan itulah maka sejak usia empat puluh tahun ia dikenal dengan nama
si Omong Cekak. Setelah tua dikenal dengan panggilan; Eyang Omong Cekak.
Sedangkan muridnya yang kurus berambut pendek lurus itu bernama Temon. Nama itu
pemberian dari Eyang Omong Cekak, karena bocah itu ditemukan hanyut di sebuah
sungai yang sedang dilanda banjir dalam usia tujuh belas tahun. Ketika
ditemukan, ia tidak tahu siapa keluarga dan di mana rumahnya, bahkan ia tidak
tahu namanya sendiri. Mungkin kepalanya terbentur-bentur benda keras saat hanyut
di sungai sehingga membuatnya lupa ingatan (amnesia). Benturan benda keras pada
kepalanya itu juga mengakibatkan ia tumbuh sebagai pemuda yang kadang-kadang
goblok, kadang-kadang cerdas. Bukan pintar-pintar bodoh, tapi bodoh-bodoh
pintar. "Sek jur puk tang kos."
Sang murid berkerut dahi pertanda kurang mengerti terjemahan bahasa sandi itu.
Eyang Omong Cekak akhirnya menjelaskan dengan bahasa yang benar.
"Sekarang latihan jurus tangan kosong!"
"Oooo...," Temon manggut-manggut. Bajunya yang berlengan panjang longgar warna
putih bola-bola merah seperti celananya itu segera dirapikan sebentar, kemudian
ia mengambil sikap kuda-kuda berkaki rendah renggang ke samping.
"Yang sep kem mar, ya?"
"Maksudnya, yang seperti kemarin itu, Guru?"
"Ya. Siap"!"
"Siap, Guru!"
"Mul...!"
Temon masih diam saja dengan posisi kaki rendah menyamping kedua tangan
menggenggam rapat di pinggang.
"Mul...!" bentak si Omong Cekak dengan jengkel sambil dekati Temon.
Temon memandang dengan berkerut dahi.
"Muuuul...!" seru sang Guru makin jengkel. Temon clingak-clinguk. Plaaak...!
"Kenapa malah clingak-clinguk!" sentak sang Guru.
"Kusangka Guru memanggil temanku; si Mulyana."
"Mul itu artinya mulaiiiii...! Uhuk, uhuk, uhuk."
Omong Cekak terbatuk-batuk karena terlalu emosi dalam bicaranya.
"Ayo, mul...!" perintahnya. Maka Temon pun segera berlatih jurus pukulan ke
depan. Gerakannya sangat
kaku dan lamban, seakan tidak bertenaga. Omong Cekak jengkel, akhirnya kepala
Temon dikeplaknya. Plaaak...!
"Aduh...!" Temon tersentak menggeloyor. "Kenapa aku dikeplak, Guru?"
"Karena kau punya kepala!" jawab Omong Cekak seenaknya. "Tenagamu mana"!
Tenagamu manaaaa..."!"
teriak Omong Cekak saking jengkelnya, lalu terbatuk-batuk lagi.
"Kal memuk har pak ten... pak ten... pak ten!"
ulangnya dengan jengkel.
"Apa itu pak ten?"
"Kalau memukul harus pakai tenaga, pakai tenaga, pakai tenagaaaa...! Goblok!"
lalu Omong Cekak menggerutu sambil bersungut-sungut. "Sudah tiga tahun jika
muridku masih belum becus menggunakan jurus pukulan! Das ot ud!"
"Ya, memang das ot ud, Guru."
"Apa kau tahu artinya das ot ud?"
"Tidak, Guru!" jawab Temon tegas seperti prajurit.
"Kenapa pakai bilang: ya" Das ot ud itu artinya 'dasar otak udang', tahu"!"
Temon diam, wajahnya menyedihkan, matanya kedip-kedip seperti anak cacingan, ia
tetap tegak, memandang lurus ke depan. Sang Guru berdiri di depannya dengan
tongkat kayu hitam berujung ukiran tangan menggenggam tetap dipegang tegang
dengan tangan kanannya.
"Kalau satu tahun lagi kau belum bisa kuasai jurus pukulan, kubuntungi kedua
tanganmu. Mengerti?"
Temon tersenyum sambil memandang lurus ke depan dan tetap berdiri tegak seperti
prajurit. "Satu tahun kemudian, kau tidak bisa kuasai jurus tendangan, kubuntungi juga
kedua kakimu. Paham?"
Temon tersenyum lagi, matanya mengerling genit.
"Genap enam tahun, kau tidak bisa kuasai jurus apa-apa dariku, lehermu
kubuntungi. Jelas?"
Temon mengedipkan mata sebelah sambil makin tersenyum. Tapi berdirinya masih
tetap tegak, kaki rapat, tangan rapat, wajah lurus ke depan.
"Sampai sepuluh tahun kau tidak bisa kuasai jurus apa pun dariku, perutmu
kubuntungi! Ingat itu!"
Temon tersenyum, anggukkan kepala sedikit, mata kanan berkedip-kedip genit.
Plook...! Tiba-tiba Temon menggeragap kaget karena
wajahnya ditampar oleh sang Guru.
"Diberi tahu malah senyum-senyum dan kedip-kedip!
Meremehkan, ya" Kau meremehkan nasihatku ini, ya"!"
gertak sang Guru.
"Tidak, Guru!" jawab Temon tegas bersuara keras.
"Mengapa kau sejak tadi hanya senyum-senyum ganjen dan kedip-kedip mainkan
mata"!"
"Karena...," jawab Temon tegas dan keras juga.
"Karena... di depanku ada wanita cantik, Guru!"
"Ah, yang bener..."!" bisik sang Guru, kemudian mencoba melirik ke belakang.
Omong Cekak kaget, ternyata di belakangnya dalam jarak tujuh langkah telah
berdiri seorang perempuan
cantik berjubah biru muda.
Perempuan itu tak lain adalah Dewi Kesepian yang larikan diri dari Suto sebelum
memberi penjelasan lebih lengkap tentang wajah sedihnya saat mendengar Nyai
Ronggeng Iblis telah dibunuh Suto itu. Diam-diam Suto pun mengikuti kepergian
Dewi Kesepian dan mengintainya dari kejauhan.
Melihat kehadiran seorang wanita cantik bertubuh sexy menggairahkan, Omong Cekak
menjadi salah tingkah. Jubahnya dirapikan, badannya ditegakkan biar kelihatan
gagah, bahkan ia berbisik kepada Temon.
"Pin sis, pin sis...!"
"Apa maksud Guru?"
"Pinjam sisirnya, Tolol!"
"Wah, dari rumah aku tidak membawa sisir, Guru.
Lagi pula, rambut Guru tinggal tujuh belas lembar saja kok mau disisir!"
"Bi kel gan."
"Bi kel gan itu apa, Guru?"
"Biar kelihatan ganteng."
"Walaaa... sudah tua kempot gigi nyaris omong begitu kok masih kepingin
ganteng." "Car ak sis...," bisik Omong Cekak lagi dengan menyenggol lengan muridnya.
"Carikan aku sisir, Dungu!"
"Di pantai begini mana ada sisir" Kalau toh ada paling-paling hanya duri ikan
yang mirip sisir! Guru mau sisiran pakai duri ikan?"


Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Amis, Tolol!"
"Makanya... sudahlah, kepala Guru digosok saja biar mengkilat, nanti kan
kelihatan ganteng!"
"Malah seperti biji salak, Bodoh!"
Akhirnya Omong Cekak dekati Dewi Kesepian dengan langkah tertatih-tatih namun
dipaksakan untuk tegak dan berusaha agar kelihatan gagah. Temon diam di tempat,
tertawa cekikikan melihat tingkah sang Guru.
"Sudah tua, peot, keriput, kok masih genit kalau melihat perempuan. O, ala....
Guru, Guru... apa ya masih bisa kencan orang sepertimu itu," ujar Temon pelan
sekali. "Benar-benar tua-tua keledai, makin tua makin mirip keledai. Jalan saja
sudah sempoyongan kok masih mau naksir perempuan. Uuh...! Kalau tidak ingat aku
tak punya saudara lagi, malas aku ikut dia! Mana tiap hari dibentak-bentak,
digoblok-goblokkan, salah sedikit main keplak, yuh... sengsara betul aku ikut
dia. Tapi, yaah...
daripada aku telantar tanpa tempat tinggal tanpa tempat makan, biarlah kukuat-
kuatkan ikut dia...."
Temon penasaran, ingin mendengar apa yang dibicarakan oleh sang Guru dengan
perempuan cantik itu. Maka ia berlagak mencari sesuatu sambil mendekati tempat
pertemuan sang Guru dengan Dewi Kesepian.
"Hai...," sapa kakek setua Omong Cekak itu. Alisnya disentakkan naik dengan
senyum tua dari mulut yang sudah miskin gigi itu.
"Sendirian saja Nona?"
"Ya, sendirian saja. Kenapa?" Dewi Kesepian bicara dengan senyum geli tertahan.
"Mau gabung dengan kami" Kami sedang berlatih
jurus 'Sapu Langit'. Satu kali pukulan langit akan pecah menjadi delapan
bagian." "Hmmm...," Dewi Kesepian hanya tersenyum bernada sinis.
"Bela pad ku cuk mur dan tid bay."
Dewi Kesepian berkerut dahi. "Kau bicara apa, Kakek Kempot?"
"Belajar padaku cukup murah dan tidak bayar."
"Aku tidak tertarik pada ilmumu! Aku justru ingin mengangkat pemuda itu menjadi
muridku!" "Eit, tid bis...!"
"Apa itu tid bis?"
"Tidak bisa! Temon adalah muridku. Sudah tiga tahun dia menjadi muridku, mengapa
kau mau serobot dia?"
"Aku mau! Aku mau!" seru Temon tiba-tiba.
Buuhk...! Kaki si Omong Cekak menendang perut Temon, membuat Temon berhenti
bicara, hilang kegembiraan, berganti wajah menyeringai menahan mual pada
perutnya. "Aku merawatnya sebagai murid selama tiga tahun, mengapa kau tiba-tiba mau
menyerobotnya! Itu namanya mematikan semangatku sebagai seorang Guru yang harus
mengamalkan ilmunya pada orang lain!" Omong Cekak mulai ngotot.
"Jadi apa maumu?" tantang Dbwi Kesepian.
"Kalau mau mengangkat Temon sebagai muridmu, kau harus mau mengangkatku sebagai
Maha Guru, yang berarti lebih tinggi kedudukannya darimu!"
Dewi Kesepian tersenyum sinis, lalu dengan cueknya melangkah dekati Temon.
Pemuda itu langsung tegak, kaki rapat, wajah menghadap ke depan, tanpa senyum
apa pun, seperti prajurit menunggu perintah panglimanya.
"Kau mau jadi muridku?"
"Siap! Saya mau, Nona!" jawab Temon keras dan tegas.
"Sudah dapat apa kau selama tiga tahun menjadi murid Kakek itu?"
"Siap. Tidak dapat apa-apa kecuali tamparan dan makian, Nona!"
"Jang buk kar!" sambil Omong Cekak sodokkan tongkatnya ke betis Temon.
"Kau bilang apa, Kakek?"
"Jangan buka kartu!" jawab Omong Cekak dengan cemberut. "Memalukan saja anak
ini!" ia menyambung dengan gerutuan, tapi gerutuan itu tak dihiraukan oleh Dewi
Kesepian. Perempuan tinggi itu masih berdiri di depan Temon, kedua tangannya bersidekap di
dada. Mata Temon sempat melirik ke dada itu, namun segera memandang lurus
kembali ketika belahan dada yang montok itu sengaja ditutup dengan telapak
tangan pemiliknya.
Temon sedikit grogi karena Dewi Kesepian
memandanginya tanpa bicara lagi.
Omong Cekak segera berkata kepada Dewi Kesepian.
"Bol ku tah sia nam?"
Dewi Kesepian berkerut dahi pertanda tak mengerti
maksud Omong Cekak. Maka kakek itu pun segera mengulang ucapannya dengan bahasa
yang benar. "Boleh kutahu siapa namamu, Nona?"
"Dewi Kesepian!" jawabnya singkat.
"Oh, bag sek nam it! Eeh... maksudku, bagus sekali nama itu. Sangat serasi
dengan namaku, Sayang."
"Siapa namamu, Kakek?"
"Namaku Jejaka Rindu!"
Temon menyahut dengan kendorkan sikap kakunya.
"Lho... katanya Guru bernama si Omong Cekak. Kok sekarang ganti Jejaka Rindu?"
"Wangsit wasiat dari dewata itu datangnya tidak diduga-duga, Temon! Kalau
wangsit wasiat mau datang sore, ya sore itulah kudapatkannya. Kalau mau datang
pagi atau siang, tak ada yang melarang!"
"O, jadi Guru tadi baru saja kedatangan wangsit wasiat dari dewata?"
"Iya. Dan sang dewata membisikkan kata padaku, bahwa aku harus mengubah nama
menjadi Jejaka Rindu.
Karena selama ini aku memang merindukan cinta suci seorang wanita sejati,
contohnya seperti si Dewi Kesepian ini! Bukankah begitu, Dewi?"
"Bukan!" jawab Dewi Kesepian dengan tegas.
"Wangsit dewata sudah lewat, kau ketinggalan, Kakek.
Karenanya, sebaiknya kau tetap saja memakai nama mu: Omong Cekak!"
"Lho, jadi si wangsit sudah lewat" Kok tidak mampir padaku, ya?" gumam si Omong
Cekak bagai bicara sendiri.
"Temon!" tegur Dewi Kesepian. "Sudah siapkah kau menjadi muridku"!"
"Siap, Ibu Guru!" jawab Temon dengan tegas dan tegak kembali.
"Eh, tunggu dulu! Bagaimana dengan diriku" Kau belum mengangkatku sebagai Maha
Guru kalian!"
Omong Cekak protes.
Dewi Kesepian sunggingkan senyum tipis sinis.
"Maha Guru..."! Apa kehebatanmu sehingga minta diangkat sebagai Maha Guru, Omong
Cekak?" "Meremehkan...!" geram Omong Cekak. Kemudian ia tancapkan tongkatnya ke tanah.
Craak...! Tongkat kayu itu ternyata mampu ditancapkan pada tanah berbatu karang
keras. Jika tanpa tenaga dalam, tak mungkin kayu itu bisa menancap di tanah
berbatu karang keras seperti menancap di tanah persawahan.
"Kau ingin lihat kemampuanku" Inilah buktinya!"
kata Omong Cekak. "Coba cabut tongkat ini kalau memang kau mampu!"
Dewi Kesepian sunggingkan senyum makin lebar, ia melirik Temon, kemudian berkata
dengan pelan tapi bernada penuh wibawa.
"Sebagai calon murid, tolong cabutkan tongkat itu.
Kau mewakili aku, Temon!"
"Siap, Ibu Guru!" seru Temon penuh semangat, kemudian ia bergegas mencabut
dengan dua tangan.
"Hiak...! Hiaak..., aahhh!"
Temon mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut tongkat itu. Napasnya sampai
ngos-ngosan, keringatnya bercucuran, wajahnya jadi merah, tapi tongkat itu masih belum bisa
dicabut dari tempatnya, bahkan bergerak sedikit pun tidak. Omong Cekak pun
menertawakannya.
"Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih, nih...! Carilah seratus orang untuk
membantumu, kau tak akan bisa mencabutnya, Temon! Hieh, heh, heh... hoh, hoh...
hih, hih...!"
"Calon Guru... tongkat ini pasti digigit naga di dalam tanah! Sukar dicabut,
Calon Guru!"
"Minggir...!" Dewi Kesepian bergegas maju dekati tongkat.
"Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih, hih...! Apalagi perempuan, tenaganya
seberapa" Yang lelaki saja tak kuat mencabut, kok yang perempuan mau ikut" Hieh,
heh, heh... hoh, hoh... hih, hih...!"
Pendekar Mabuk yang sejak tadi bersembunyi di suatu tempat yang aman dan rapi,
sempat berkata dalam batinnya.
"Rupanya si Omong Cekak baru keluarkan kesaktiannya. Sejak tadi tak kulihat
kehebatan Ilmunya.
Agaknya ia ingin sekali diakui sebagai orang berilmu yang lebih tinggi dari Dewi
Kesepian. Tapi... apakah Dewi Kesepian sanggup mencabut tongkat itu"!"
Dengan sekuat tenaga, Dewi Kesepian mencoba menarik tongkat ke atas dengan satu
tangan. "Hiaaah...! Huuuhk... aaah...!"
"Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih, hih.... Biar sampai perutmu jebol, tak
mungkin kau bisa mencabutnya,
Dewi Kesepian!"
Rasa penasaran membuat Dewi Kesepian mencabut dengan dua tangan. Tenaga dalamnya
dikerahkan, urat-uratnya keluar semua, tapi ternyata tongkat itu tetap menancap
kuat, seakan telah menembus belahan bumi di bagian lain. Omong Cekak terpingkal-
pingkal bangga melihat Dewi Kesepian terengah-engah dan gagal mencabut
tongkatnya. "Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih, hih...! Ayo, keluarkan semua kekuatan tenaga
dalammu! Biar sampai beranak tujuh, tak mungkin kau bisa mencabut tongkatku,
Sayang! Hieh, heh, heh, hoh, hoh, huh, huh, huh, hah, hih, hih, huuuuaah...!
Hieh, hieh, hieh...!"
Pendekar Mabuk membatin dari persembunyiannya,
"Itu orang tertawa apa kesurupan"! Tertawa kok seperti orang kesurupan"!"
Sebenarnya Pendekar Mabuk juga penasaran dan ingin mencoba. Tapi perasaan itu
ditahannya kuat-kuat.
Ia harus tetap bersembunyi agar tidak diketahui Dewi Kesepian bahwa ia mengikuti
gerakan perempuan itu.
"Bag, ma ing cob?"
"Aku tak tahu bahasamu!" sentak Dewi Kesepian.
"Bagaimana, apa masih ingin coba?" Temon menerjemahkan bahasa sandi itu.
"Baiklah. Kuakui kau punya kehebatan yang tak bisa kukalahkan!"
"Kau menyerah" Baik... beginilah cara mencabutnya!
Huup...!" Omong Cekak menghentakkan kakinya ke tanah.
Duuhk...! Ia terbengong, "Lho, kok tidak melesat naik"!"
Dewi Kesepian dan Temon sengaja memperhatikan terus, membuat si Omong Cekak jadi
salah tingkah. Duuhk, duuhk, duuhk...!
Kaki dihentakkan ke tanah berulang-ulang, tapi tongkat itu masih tetap diam tak
bergeming. Omong Cekak jadi bingung sendiri dan garuk-garuk kepala.
"Manaa..." Kok tidak bisa tercabut, Guru?" ujar Temon sambil mencibir
meremehkan. "Biasanya bisa terbang sendiri dalam satu hentakan kakiku!"
"Mungkin salah mantra, Gurul"
"Mungkin juga! Hmmm... coba kupusatkan tenaga dalamku ke telapak kaki!"
Omong Cekak pejamkan mata, tangannya bergerak naik pelan-pelan dan menyentak
turun dengan cepat sambil hentakkan kaki ke tanah. Duuuhk...!
"Waah... tongkatnya terbang tinggi sekali! Wah, wah, wah...!" Temon memandang ke
langit, padahal tongkat masih tetap tidak bergeming. Omong Cekak jadi malu dan
dongkol mendengar sindiran Temon.
"Ya, ampuuun... tongkatnya sampai menembus langit lho. Kalau sa...."
Plook...! Mulut Temon ditabok oleh Omong Cekak.
Pemuda itu kaget dan gelagapan.
"Ja menghin il ku, ya"! Sekali lagi kau menghina ilmuku, kupecahkan rahangmu!"
"Kau tak perlu marah begitu, Omong Cekak! Kau
memang terbukti tak punya kemampuan mencabut tongkat sendiri. Wajar kalau Temon
mengejekmu, karena tadi kau juga menghinanya!" ujar Dewi Kesepian membela Temon.
"Sial! Terpaksa harus dicabut dengan cara biasa saja!" gerutu Omong Cekak,
kemudian ia mencabut tongkat dengan tangan satu.
"Huuup...!"
Tongkat masih tak bisa tercabut. Omong Cekak jengkel, lalu mencabutnya dengan
tangan dua. "Huuh...!"
Brruuk..! Omong Cekak jatuh terduduk dan napasnya terengah-engah. Tongkat itu
belum bisa dicabut. Dewi Kesepian tersenyum geli, Temon cekikikan dengan
berlindung di belakang Dewi Kesepian. Omong Cekak bangkit berdiri dan berlagak
tenang. "Kubilang juga apa... susah dicabut tongkat ini, Nak!"
Lalu, ia clingak-clinguk sambil menggerutu sendiri,
"Sialan! Kenapa jadi susah dicabut, ya" Aduh, malu sekali aku kalau begini
caranya! Mau pamer ilmu di depan perempuan cantik malah malu sendiri."
Pendekar Mabuk pun ikut heran dari tempat persembunyiannya. "Mengapa bisa
begitu"! Kurasa ada yang tak beres di sekitar mereka."
Omong Cekak masih penasaran. Untuk menutupi rasa malunya kepada Dewi Kesepian,
ia mengerahkan tenaga intinya hingga seluruh tubuhnya gemetar. Lalu, tongkat itu
digenggam ujung atasnya dan ditarik ke samping dengan penuh tenaga. Setidaknya
ia berharap tongkat akan tercabut bersama jebolnya tanah di bawahnya.
Tetapi agaknya tongkat tetap tidak bisa ditarik begitu saja.
Kepala tongkat yang licin membuat tongkat terlepas dari genggaman tangan si
Omong Cekak. Akibatnya, tongkat itu melentur balik seperti dari karet.
Plaas, bletok...!
Kepala tongkat yang berupa ukiran tangan
menggenggam itu memantul kenai kepala si Omong Cekak sendiri. Omong Cekak tak
bisa berteriak, ia pengangi jidatnya yang langsung bengkak membiru.
Tangan yang satunya meraba-raba mencari pegangan karena tubuhnya limbung.
Akhirnya ia jatuh terkapar tak sadarkan diri alias pingsan.
Brrruk...! "Lho, Guru..."! Guru..."! Tongkatmu belum tercabut kok sudah pingsan"!" Temon
mengguncang-guncang tubuh Omong Cekak. Dewi Kesepian bergegas menarik lengan
Temon. "Lekas kita tinggalkan tempat ini. Aku yakin ada yang tak beres di sekitar sini,
Temon!" "Maksud Ibu Guru bagaimana?"
"Sudahlah, kita lari dulu! Aku punya tempat yang aman untuk kita berdua! Nanti
kujelaskan di sana!"
"Tapi... tapi.. bagaimana dengan Eyang Guru Omong Cekak ini"!"
"Biarkan saja dia pingsan, nanti akan siuman sendiri."
"Tapi...."
"Kau mau jadi muridku apa tidak"!" sentak Dewi Kesepian.
"Mmmma... maau... mau sekali!"
"Lekas ikut aku!"
Dewi Kesepian akhirnya membawa lari Temon, sementara si Omong Cekak masih tetap
cuek karena pingsan. Pendekar Mabuk menjadi bingung, mau menyelidiki sekitar
tempat itu atau mengikuti Dewi Kesepian"
"Aku yakin ada tokoh sakti yang jahil di sekitar tempat ini! Entah apa maksudnya
mempermainkan si Omong Cekak itu. Tetapi... tetapi aku ingin tahu apa yang
dilakukan Dewi Kesepian terhadap Temon.
Benarkah dia akan ajarkan ilmunya dan mengangkat Temon sebagal muridnya" Atau...
mungkin dia punya maksud lain terhadap Temon"!"
* * * 3 SESUATU yang tak beres seperti dugaan Pendekar Mabuk itu akhirnya menampakkan
diri. Mula-mula Suto melihat cahaya merah samar-samar bergerak bagaikan nyala
api yang hampir redup. Cahaya merah samar-samar itu mendekati tongkat si Omong
Cekak. Makin lama cahaya itu semakin redup. Tetapi di balik keredupannya tampak
sebentuk bayangan yang samar-samar. Pendekar Mabuk menjadi penasaran hingga ia
bergerak lebih dekat lagi dengan tetap menjaga kerapian persembunyiannya.
"Benda apa itu" Bentuknya seperti obor, tapi juga seperti keris. Sekarang malah
menjadi tinggi dan membentuk seperti bayangan manusia"! Hmmm... apa itu, ya?"
Pendekar Mabuk tetap pertahankan diri di tempat persembunyiannya, walaupun di
tempat itu ia mulai dirayapi semut merah yang jika menggigit terasa panas, namun
Suto berusaha untuk tidak keluarkan suara apa pun. Bahkan mengusir semut pun
dengan belaian lembut, wajahnya hanya menyeringai merasakan gigitan panas semut-


Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semut itu. Beberapa kejap kemudian, gigitan panas dari semut-semut itu tidak terasa lagi
karena perhatian Suto semakin tertarik pada sebentuk bayangan aneh yang tadi
tampak samar-samar itu. Bayangan tersebut sekarang kian jelas, dan semakin jelas
lagi sampai membentuk sosok tubuh manusia seutuhnya.
Kini sosok tubuh manusia itu tidak membayang kabur lagi. Benar-benar jelas
seperti halnya memandang Omong Cekak yang masih terkapar dalam keadaan pingsan
itu. Pendekar Mabuk kerutkan dahi, karena baru kali ini melihat seorang
perempuan berwajah tua, keriput, tapi masih bertubuh sekal, dadanya masih montok
berisi, bahkan pinggulnya masih tampak menggiurkan, seperti halnya pinggul milik
perempuan usia dua puluh lima tahun.
"Wajahnya begitu tua dan keriput-keriput, matanya cekung besar dan hidungnya
pesek nyaris gerumpang.
Bibirnya pecah-pecah dan giginya bertonjolan tak rata.
ih... menyeramkan sekali! Tapi mengapa tubuhnya masih semontok itu, ya" Siapa
dia gerangan?" pikir Suto Sinting sambil keluarkan napas pelan-pelan, takut
helaan napasnya terdengar oleh si perempuan berjubah hijau tipis dan berpinjung
kuning gading sama dengan warna celana ketatnya yang sebatas betis itu. Rambut
perempuan itu masih hitam, meriap lembut sepanjang punggung. Kepalanya
mengenakan ikat kain merah berbintik-bintik kuning, ia selipkan senjata berupa
kipas warna hijau di pinggangnya.
Perempuan itu berjari lentik dengan kuku tidak begitu panjang tapi berbentuk
bagus. Jari lentik itu diacungkan ke arah Omong Cekak. Claaap...! Sinar putih
perak keluar dari salah satu jarinya, lalu sinar itu menghantam tubuh Omong
Cekak. Tiba-tiba tubuh tua si Omong Cekak tersentak dan ia menjadi siuman.
Omong Cekak segera terkejut melihat kehadiran tokoh wanita berwajah menyeramkan
itu. Tetapi rasa kaget itu tidak membuat Omong Cekak ketakutan seterusnya, ia
hanya menarik napas dengan gerutu tak jelas seraya menepuk-nepuk dadanya yang
terasa tersentak saat melihat kehadiran si wajah menyeramkan.
"Seperti anak kecil saja kau, Tanuyasa! Sudah tua masih mau pamer ilmu di depan
perempuan cantik!
Maksudmu biar si Dewi Kesepian tadi terpikat olehmu, bukan"!"
"Kutu kambing! Rupanya kau yang menggangguku tadi, Rupa Setan!" geram Omong
Cekak sambil bersungut-sungut melengos.
"Aku sengaja membuat tongkatmu terpaku dengan bumi biar kau mendapat malu di
depan perempuan cantik itu!"
"Ter, ap mak mu"!"
Rupa Setan mengerti maksudnya. Omong Cekak menanyakan, "Terus, apa maksudmu?"
Maka si Rupa Setan pun menjawab, "Kuingatkan padamu, sebaiknya kau pulang ke
pertapaan!"
"Aku sudah bosan bertapa!" gerutu Omong Cekak.
"Aku terlalu rajin bertapa, akhirnya lupa belum punya istri! Aku kepingin punya
istri, Rupa Setan!"
"Sudah terlambat, Tanuyasa!" ujar Rupa Setan dengan memanggil nama asli si Omong
Cekak. "Usiamu sudah tidak memungkinkan punya keturunan lagi!"
"Tapi... tapi aku masih punya gairah! Mau dibuang ke mana gairahku" Ke sungai
terus, bosan!"
"Buanglah gairahmu padaku, Tanuyasa!"
"Uh, malas!" Omong Cekak makin cemberut, ia mencoba mencabut tongkatnya.
Bluuus...! Mudah sekali, bagai dicabut tanpa butuh tenaga. Anak kecil pun mampu
mencabutnya. Itu pertanda si Rupa Setan telah lepaskan kekuatannya yang tadi
dipakai memaku tongkat tersebut dengan bumi.
"Kalau aku mau, sejak dulu kau sudah kukawini.
Setidaknya kugerayangi!"
"Mengapa kau selalu menolak kehadiranku, Tanuyasa?" Rupa Setan makin mendekat.
"Habis, ilmuku tidak setinggi ilmumu! Kau tidak mau membagi ilmumu, sehingga aku
malu mempunyai istri
yang ilmunya lebih tinggi dariku."
"Mengapa malu?"
"Karena... karena kalau aku menamparmu, kau bisa membalasku dan aku bisa
bonyok!" jawab Omong Cekak bernada jengkel.
Pendekar Mabuk berucap membatin, "Ooo... ternyata si Rupa Setan naksir Tanuyasa
sejak lama, tapi Tanuyasa tidak mau menanggapi. Agaknya mereka bersahabat sudah
sejak lama. Mungkin sejak usia muda. Berarti, usia si Rupa Setan itu juga sudah
setua Tanuyasa alias si Omong Cekak" Mungkin karena menggunakan ramuan khusus
atau mantra ilmu pengawet muda, sehingga Rupa Setan masih tampak segar dan
montok, cuma sayangnya ilmu awet muda itu tidak bisa membuat wajahnya cantik dan
muda." Rupa Setan berkata lagi, "Tanuyasa, apakah kau lupa dengan nasihat Guru kita"
Kau harus bertapa selama delapan puluh tahun. Mengapa baru empat puluh lima
tahun bertapamu sudah kau hentikan?"
"Sudah kubilang aku bosan, aku bosan...! Bertapa terus di tempat sepi, tak ada
hiburan tak ada kesenangan.
Sedangkan ilmuku belum juga bertambah! Lebih baik sisa hidupku kugunakan untuk
mencari kenikmatan yang belum pernah kurasakan, yaitu kawin dan tidur dengan
istriku!" "Bukankah mendiang Guru kita pernah bilang, bahwa setelah kau selesaikan
bertapamu maka kau akan menjadi semuda dulu, ketika kau berusia tujuh belas
tahun dan baru masuk ke perguruan" Dan kemudaan-mu
itu akan abadi, kau bisa memilih calon istri seperti apa pun cantiknya, karena
kau akan kembali setampan dulu!"
"Ah, tanpa bertapa pun aku masih tampan, gagah, dan menawan!" sambil Omong Cekak
merapikan pakaian, memamerkan kegagahan dan ketampanannya yang hanya bisa diakui
oleh orang buta dari jarak jauh.
Omong Cekak berkata lagi, "Pergilah sana, jangan ganggu aku lagi! Aku mau
mengejar Dewi Kesepian!"
"Bukankah aku ada di dekatmu, Tanuyasa?"
"Aku suka sama Dewi Kesepianl Ilmunya pas-pasan kalau kutampar akan menangis,
kalau sudah menangis baru minta dipeluk. Bukan seperti kau, kalau ditampar ganti
menampar, meretakkan kepalaku! ingatlah kau, dulu kau pernah meretakkan
kepalaku"!"
"Karena kau meremas dadaku tanpa izin, Tanuyasa!"
"Mana ada meremas dada pakai izin dulu! Uuh...
konyol itu namanya! Meremas dada ya tak perlu izin.
Sejak saat itulah aku tak suka padamu, Rupa Setan! Oleh sebab itu, carilah pria
lain dan biarkan aku mengejar Dewi Kesepian! Pasti dia akan semakin kesepian
jika tidak mendapat pelukanku!"
"Kau belum tahu siapa dia, Tanuyasa!"
"Tentu saja aku tahu dia, karena aku tidak buta!"
"Tapi kau belum tahu bahwa dia perempuan yang terkena pencemaran kutuk!"
"Ap maks mu?" Omong Cekak kerutkan dahi.
"Dewi Kesepian terkena kutuk beracun dari Ronggeng Iblis," tutur si Rupa Setan.
"Kutukan beracun itu menyiksa hidupnya, karena dia akan selalu
membutuhkan darah kemesraan seorang lelaki untuk meredam racun kutukan itu. Jika
sampai dua malam ia tidak mendapatkan darah kemesraan seorang lelaki, maka
seluruh darah merahnya akan membusuk, jantungnya pun membusuk dan napasnya
menyebarkan wabah penyakit bagi siapa saja yang berada dalam jarak sepuluh
langkah darinya. Kutukan beracun itu hanya diucapkan oleh si Ronggeng Iblis dan
langsung mengenai dirinya. Tak ada obat yang mampu kalahkan kekuatan racun
kutukan itu kecuali dari diri si Ronggeng Iblis sendiri. Tetapi kudengar,
Ronggeng Iblis telah binasa di tangan pendekar muda yang bernama Suto Sinting."
Pendekar Mabuk membatin, "Ooo... pantas Dewi Kesepian menjadi lemas dan menangis
ketika kukatakan bahwa Nyai Ronggeng Iblis telah tewas di tanganku!"
Tanuyasa masih ngotot, "Kebetulan kalau dia selalu membutuhkan darah kemesraan,
aku akan berpesta cinta setiap malam dengannya."
"Kau tidak akan mampu bertahan sampai satu purnama, karena siapa pun yang telah
bercumbu dengannya, siapa pun yang kencan dengan Dewi Kesepian, maka jalan
darahnya akan mengalami pembekuan dan cepat atau lambat pria itu akan mati!"
kata si Rupa Setan.
"Hmmm... kau mengarang cerita untuk mencegahku agar tidak mengejar si Dewi
Kesepian itu, Anjardani!
Aku tak percaya!"
"Terserah kau percaya atau tidak, tapi aku tak ingin
kau menjadi korban wabah kutukan beracun itu, Tanuyasa! Karena itu, maafkan aku
jika aku mengambil jalan pintas untuk selamatkan dirimu!"
Claaap...! Tiba-tiba dari kedua bola mata yang cekung mendalam itu keluar dua
sinar hijau lurus. Kedua sinar hijau itu menjadi satu di pertengahan jarak, lalu
menghantam dada kiri Omong Cekak. Deeebs...!
Uuuhkk...!" Omong Cekak tersentak dan terbungkuk, ia berpegangan tongkatnya
untuk menahan tubuh agar tak limbung. Matanya memandang sayu kepada si Rupa
Setan. "Kau jah pad ku, Rup Set!"
"Ak terpak iak dem kesel mu!"
"Tap buk beg car...."
"Tak ad car ia kec beg, Tan yas!"
Tanuyasa jatuh berlutut napasnya tersendat-sendat.
"Ak ku bal perbu mu in, Rup Set!"
"Jang mar, ak kuba kau ke pon ku!"
Pendekar Mabuk hanya menggerutu dalam hati,
"Sialan! Ngomong apa mereka itu sebenarnya"! Kak, kuk, kak, kuk... seperti bebek
mau dipotong saja!"
Tetapi kejap berikutnya, Pendekar Mabuk melihat si Rupa Setan memutar kedua
tangannya di samping telinga dalam keadaan kedua jari masing-masing tangan
dikeraskan. Lalu, kedua tangan itu menyentak ke depan seperti melemparkan pisau.
Wuuut...! Dari kedua ujung jari tersebut keluar sepasang sinar hijau kebiru-
biruan. Sinar itu segera membungkus tubuh Tanuyasa.
Zaaab, suuurrb...!
Tubuh si Omong Cekak menyusut kecil, lalu menjadi satu genggaman, menggumpal dan
memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Cahaya itu pun segera melesat setelah si
Rupa Setan yang bernama asli Anjardani itu berubah menjadi bayangan, lalu lenyap
dan berganti sinar merah samar-samar. Sinar merah itu menyangga sinar hijau
kebiru-biruan. Weeesss...! Kedua sinar itu melesat ke atas bagai menembus langit. Pendekar
Mabuk hanya bisa dibuat terbengong-bengong penuh keheranan sambil memandang
langit. Seekor burung terbang melintas, di atas kepala Suto. Burung itu membuang
kotoran. Craat...! Plook...! Kotoran burung jatuh di kening Suto Sinting, barulah pemuda tampan itu
sadar dari keterbengongannya dan segera menggerutu tak karuan sambil kebingungan
membersihkan kotoran burung tersebut..
"Jangan-jangan si Rupa Setan yang buang ingus ke jidatku! Kurang ajar!" sambil
ia bergegas menuju ke tepian pantai datar untuk membersihkan kotoran burung
tersebut. Sambil mencuci kepalanya dengan air laut, Suto merenungkan kata-kata si Rupa
Setan. "Tak kusangka keberhasilanku membunuh Nyai Ronggeng Iblis ternyata bukan saja
menyelamatkan salah satu jiwa, namun juga mencelakakan jiwa lain.
Kasihan amat si Dewi Kesepian itu. Ia tak punya obat untuk melumpuhkan kekuatan
kutuk beracun yang di
deritanya! Hmmm... mengerikan sekali. Seandainya aku bercumbu dengannya dan
sampai mencapai puncak kenikmatan bersama, maka aku akan tertulat penyakit aneh
itu, jalan darahku akan membeku, lalu aku akan mati. Tetapi si Dewi Kesepian itu
tetap akan hidup mencari korban baru. Oh, haruskah perempuan itu dimusnahkan
agar tak menyebarkan wabah bagi kaum lelaki di dunia ini"!"
Tiba-tiba renungan itu terhenti, kecamuk batin Suto pun hilang seketika, ia
selesai mencuci rambut dan kepalanya. Saat mau berbalik ke tempat yang kering,
langkahnya terhenti juga karena memandang seraut wajah yang sudah ada di sana,
seakan menunggunya dengan penuh kesabaran.
"Resi..."! Resi Pakar Pantun..."! Ha, ha, ha, ha...!"
Suto Sinting berlari kegirangan karena sudah cukup lama tidak bertemu dengan
tokoh tua yang amat akrab dengannya itu.
"Janda genit jangan diajak bertapa, sekali bertapa maunya main cinta.
Lama kita tak pernah jumpa,
sekali jumpa mengapa mirip gurita?"
Suto Sinting segera membalas pantun si Resi Pakar Pantun dengan wajah ceria dan
tangan terbuka.
"Naik perahu turun gunung,
gunung di dada banyak lumutnya.
Memang lama kita tak jumpa,
tapi kau lebih mirip ikan baronang!"
"Janda kembung beranak golok,
ndak nyambung goblok!"
Suto Sinting tertawa, karena memang ia tak ahli membuat pantun. Tapi justru
hadirkan kelucuan setelah mendengar pantun kejengkelan si tokoh tua berpakaian
model biksu warna abu-abu itu.
"Dari mana saja kau, Suto"! Mengapa lama tak kulihat di rimba persilatan?"
"Kaulah yang bersembunyi, Eyang Resi! Aku sudah melanglang buana, sampai
menjelajah alam gaib dan dunia dasar bumi, tapi aku tak menemukan dirimu.
Kusangka kau sudah berteman dengan rayap-rayap pengunyah mayat!"
"Doamu jelek sekali. Orang tua kok didoakan cepat mati!" gerutu Resi Pakar
Pantun. Suto Sinting hanya tertawa geli. Tapi tawanya segera hilang setelah Resi Pakar
Pantun tampak murung dan merenung, walau matanya memandang jauh ke cakrawala.
"Ada apa, Eyang Resi" Kau kelihatannya murung dan sedih?"
"Pelayanku hilang!"
"Maksudmu, si Kadal Ginting itu?"
"Benar! Beberapa waktu yang lalu kupergoki ia sedang bercinta dengan seorang
perempuan, kemudian ia takut padaku dan melarikan diri, sampai sekarang ia tak
kembali padaku."
"Kadal Ginting bercumbu dengan seorang perempuan, begitu maksudmu?"
"Ya. Dia bercumbu di semak-semak tanpa
mengajakku. Padahal aku tahu siapa perempuan itu. Dia adalah perempuan
berbahaya. Kudengar kabar dari mulut ke mulut, perempuan itu menyimpan wabah
penyakit berbahaya karena terkena racun kutukan atau kutukan beracun!"
"Maksudmu... maksudmu si Dewi Kesepian?"
"Ya, benar!" jawab Resi Pakar Pantun dengan cepat.
"Celaka! Kalau begitu Kadal Ginting dalam bahaya!"
"Apakah kau bertemu dengan Kadal Ginting?"
"Ya, tapi tak kulihat ia bersama si Dewi Kesepian.
Tapi ia bersama... bersama.... Wah, jangan-jangan Temon jadi korban wabah
kemesraan beracun itu"!"
pikir Suto dengan tegang dan cemas, ia segera berkata lagi kepada sang Resi,
"Aku tahu ke mana arah kepergian Dewi Kesepian! Aku akan mencari dan menanyakan
tentang Kadal Ginting kepadanya!"
Kecemasan Suto ada benarnya. Temon dibawa oleh Dewi Kesepian ke dalam sebuah gua
yang biasa dipakai beristirahat para pencari kayu atau para pengembara.
Kala itu, senja mulai datang dan Dewi Kesepian sudah persiapkan kayu bakar untuk
nyalakan api unggun di dalam gua tersebut.
"Kita bermalam di sini dulu, Temon. Apakah kau keberatan?"
"Tidak, Ibu Guru! Aku sangat tidak keberatan bermalam di sini bersamamu, asalkan
aku mendapatkan ilmu yang dahsyat seperti ilmunya Pendekar Mabuk itu!"
"Oh, apakah kau kenal dengan Pendekar Mabuk?"
"Tidak, tapi aku sering mendengar cerita
kehebatannya dari beberapa orang yang makan di kedai-kedai itu, Ibu Guru. Dia
hebat, sakti, gagah, dan ganteng."
Dewi Kesepian tarik napas, terbayang wajah Suto Sinting. Ada sesuatu yang
mengganjal di hatinya yang membuatnya sempat gelisah dan resah. Namun
kegelisahan dan keresahan itu dibuangnya sedikit demi sedikit dalam bentuk
hembusan napas beberapa kali.
"Memang dia gagah dan ganteng...," ucapnya lirih sambil menata kayu untuk
dibakar. "Ibu Guru sudah pernah bertemu?"
"Pernah, tapi... tapi hanya sebentar," jawab Dewi Kesepian dengan lirih juga.
"Ibu Guru suka pada ketampanannya dan kegagahannya?"
"Entahlah! Kurasa kau tak perlu banyak bertanya tentang itu. Kita lupakan saja
tentang Pendekar Mabuk untuk sesaat. Kau siapkan diri untuk pelajari ilmu
pertama dariku."
"Baik, ibu Guru! Sekarang juga aku harus mulai belajar?"
"Sebentar lagi, kalau petang sudah datang dan dingin mulai mencekam."


Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kayu unggun segera dinyalakan. Cukup dengan melepaskan satu pukulan tenaga dalam
bersinar merah kecil dari telunjuk Dewi Kesepian, kayu itu sudah bisa terbakar
dan suasana di dalam gua menjadi temaram.
Saat itu Temon sedang menata beberapa ilalang kering yang untuk dijadikan alas
tidur. Temon melepas bajunya
sendiri dan digelar di atas ilalang kering itu sebagai pelapis alas tidur untuk
sang guru. "Kenapa bajumu kau lepas?"
"Ibu Guru silakan tidur di atas baju saya biar tubuh Ibu Guru tidak gatal. Saya
cukup menggunakan alas tidur tanpa pelapis, karena sudah biasa tidur di rumput,
he, he, he...."
Dewi Kesepian sunggingkan senyum kecil. "Rupanya ia punya bakat jadi pelayan
setiaku," pikirnya sambil melirik Temon sebentar. "Temon, kau bisa memijat?"
"Bisa, ibu Guru...."
"Panggii saja aku: Guru."
"O, ya. Baik. Hmmm... aku memang punya tugas tiap malam memijat punggung Eyang
Omong Cekak, Guru.
Apakah Guru ingin dipijat punggungnya?"
"Ya, punggungku terasa pegal. Soalnya tadi aku habis bertarung dengan seorang
musuh." "Wah, hebat sekali! Guru pasti menang, bukan?"
"Yah, seperti yang kau lihat sendiri," sambil Dewi Kesepian melepaskan jubahnya
dan meletakkan pedangnya di samping pembaringan. "Tubuhku tak ada yang terluka,
bukan"!"
"Benar. Tubuh Guru tetap utuh, halus, mulus, dan...."
Temon tertegun sesaat, karena Dewi Kesepian bukan saja melepas jubahnya, namun
juga melepas penutup dadanya. Sayang sekali kala itu Temon berada di belakang
Dewi Kesepian, sedangkan sang Dewi segera menelungkupkan badan ke atas
pembaringan. "Pijatlah sekarang juga, Mon."
"Bba... ba... baik, Guru," Temon menjawab dengan menggeragap, karena hatinya
berdebar-debar dan tangannya menjadi gemetar.
"Mengapa tanganmu gemetar, Mon?"
"Hmm... hmmm... iya, anu... soalnya Eyang Omong Cekak tidak pernah pijat sambil
lepas baju begini, Guru."
"Apa bedanya" Toh sama saja."
"Hmmm... eeh... ya, tidak ada bedanya. Tapi... tapi saya belum pernah... belum
pernah memegang tubuh perempuan tanpa baju, Guru," ujar Temon semakin tampak
gemetar. Keringatnya mulai tersumbul di bagian kening karena jantungnya
berdetak-detak cepat ketika merasakan kehangatan tubuh yang dipijatnya. Dewi
Kesepian tertawa dalam hati, dan ia berlagak tidak mempedulikan gemetarnya tubuh
Temon itu. Ia sengaja menikmati pijatan tangan Temon yang memang terasa enak.
"Pijatan tanganmu enak sekali, Mon. Kau pantas menjadi dukun pijat."
"Tee... terima... terima kasih atas pujian Guru," jawab Temon mulai parau karena
kerongkongannya ikut gemetar.
"Agak ke bawah sedikit, Mon. Pinggangku capek sekali rasanya."
Perintah itu dituruti oleh Temon. Ia memijat bagian pinggang dengan keringat
mulai mengalir dari pori-pori lengannya.
"Oh, enak sekali pijatanmu. Coba ke bawah sedikit,
Mon." Jantung Temon semakin berdetak-detak karena ia harus memijat bagian pinggul.
Pinggul itu terasa bagai digagahi oleh kedua tangan Temon. Bertambah menyentak-
nyentak degup jantung Temon pada saat itu.
"Bawah lagi, Mon...."
Sebenarnya Temon ragu. Tapi karena ingin dianggap murid yang patuh perintah
Guru, maka Temon pun memijat bagian pantat Dewi Kesepian.
"Agak kuat sedikit remasanmu, Temon."
"Bbbbaabb... bbbaaabb... bababbb...."
"Mau omong apa kau ini?"
"Baaaik, Guruuu..," lalu napas Temon terhembus lepas, ia terengah-engah menahan
gejolak yang sudah membakar hatinya. Gejolak itu tak lain adalah gejolak gairah
bercinta yang selama ini hanya bisa tumbuh dalam angan-angan semata.
"Agak ke tengah, Mon. Jangan pinggirnya saja,"
perintah Dewi Kesepian. Tentu saja Temon semakin gemetaran karena jika ia harus
meremas bagian tengah berarti akan menyentuh bagian yang selama ini belum pernah
disentuhnya dari seorang wanita.
"Yaah... itu, Mon! Ooh... enak sekali pijatanmu, jangan terlalu keras. Kurangi
sedikit dan, oh... yaaa... itu enak, Mon. Begitu terus, ya?"
"Bbbbaaaabb... bababbbbi... eehh, bbbaabbbii... aduh, bbbbaaaab...."
"Ada apa, Mon."
"Anu, anu, annuuuu... aannnn...."
"Ada apa dengan anumu?"
"Anuu... yaaa... anu, Guru...."
Dewi Kesepian cekikikan geli.
"Tunggu sebentar, Mon." Dewi Kesepian berbalik badan. Kini ia telentang dengan
kaki sedikit renggang.
"Pijat bagian betis, Mon."
"Iiyyy... iya, Guru," jawab Temon dengan wajah pucat dan keringat bercucuran.
Padahal malam telah tiba dan angin malam membawa udara dingin masuk ke gua
tersebut. Namun tubuh Temon justru dibanjiri oleh keringat yang membuat badannya
berkilauan. Dewi Kesepian tersenyum-senyum melihat Temon memijat bagian betis
sambil tundukkan kepala, seakan tak mau menampakkan wajahnya.
"Naik sedikit, Mon...."
Bagaimana jantung Temon tidak seperti genderang perang jika ia harus memijat
lebih atas lagi dari betis, berarti memijat bagian paha. Sedangkan kain hitam
yang membungkus bagian kaki hingga perut terbuat dari kain tipis berbelahan
tengah. Saat itu belahannya menyingkap dan tampaklah sebentuk kemulusan kuning
langsat dari paha sekal itu.
Karena perintah Guru, mau tak mau Temon memijat bagian paha. Sedangkan Dewi
Kesepian hanya mengenakan kain hitam itu saja, tak ada kain lagi yang
merangkapinya. Tak heran jika remasan tangan yang memijat itu semakin lemah dan
lemah sekali. Justru yang dirasakan Dewi Kesepian adalah getaran kuat dari jari-
jari yang menempel di pahatnya itu.
"Naik sedikit lagi, Mon...," perintah Dewi Kesepian.
Tapi perintah tersebut kali ini disertai suara mendesah, karena Dewi Kesepian
sudah mulai dibakar oleh gairah yang bergolak dalam dadanya. Hasrat ingin
bercumbu mulai timbul karena sentuhan tangan Temon.
Terlebih setelah Temon menuruti perintahnya memijat bagian lebih atas lagi, hati
perempuan itu semakin berdesir-desir ditaburi rasa nikmat yang mencekam jiwa.
"Bergeserlah agak mendekat kemari, Temon," sambil tangan Dewi Kesepian menarik
kain celana Temon agar duduknya lebih mendekat ke samping pinggangnya.
Temon pun bergeser sesuai keinginan sang Guru.
Dengan begitu, tangan Dewi Kesepian dapat mencapai paha Temon dan tangan itu
mulai meremas-remas lembut, lalu merayap lebih ke dalam lagi. Temon tak bisa
bicara sama sekali, karena napasnya kian memburu dan mulutnya sibuk menelan
ludah. Tangan Temon sendiri menjadi kian gemetar pada saat ia merasakan
menyentuh sesuatu yang lebih hangat dari bagian lainnya.
Dewi Kesepian menarik simpul kain ikat pinggang Temon. Lepasnya kain ikat
pinggang membuat kendurnya celana Temon, sehingga tangan perempuan itu pun
semakin lebih nakal lagi, menelusup dan meraih sesuatu yang membuat jantung
Temon menendang-nendang dadanya, ia belum pernah dijamah perempuan, baru kali
ini ia merasakan jamahan perempuan sehingga sulit sekali bagi Temon untuk
mengendalikan diri.
"Temon...!" ucap Dewi Kesepian sambil bangkit.
Kini ia duduk berdekatan dengan Temon, tapi tangan kanan Temon masih tetap
memijat bagian yang diminta sang Guru tadi. Pijatan itu cenderung berupa usapan
jari yang penuh getaran, sehingga Dewi Kesepian semakin ditaburi rasa nikmat
menjerat hati. Tangan kiri Dewi Kesepian meraba kepala Temon.
Mengusap rambut kepala itu dengan pandangan kian sayu. Bibirnya mulai merekah
seakan menantang untuk dikecup. Tapi Temon hanya diam saja karena tak tahu apa
yang harus dilakukan.
"Anak ini benar-benar lugu, belum pernah bercinta dengan siapa pun," pikir Dewi
Kesepian. Mau tak mau ia mendekatkan kepala Temon ke dadanya.
"Ambil... ambillah, Temon...."
"Mmmaak... maaak... maksud Guru bagaimana?"
Dewi Kesepian tidak bisa menjawab karena tangan Temon yang sedang memijat halus
itu semakin bergetar kuat. Akhirnya ia hanya bisa meletakkan mulut Temon tepat
di ujung gumpalan dada kanannya. Kepala itu sedikit ditekan dan ujung dada itu
pun terbenam masuk ke mulut Temon.
"Aaaow...!" Dewi Kesepian memekik dan segera menarik kepala Temon.
"Jangan digigit, Tolol!" sentaknya bernada manja.
"Hab... hab... hab... habis diapakan, Guru?"
"Kau tahu bagaimana jika bayi sedang kehausan?"
"Hmmm... iya... iya, tahu sekali, Guru."
"Jadilah bayi! Kau bayinya dan aku ibunya. Paham?"
"Tap... tapi... tapi bayi tidak sedang haus, Guru."
"Ini pelajaran jurus pertama! Kau harus menjadi bayi yang kehausan, dan aku
pura-pura Ibumu. Bisakah kau lakukan hal itu?"
"Oh, biss... bisa...!" jawab Temon dengan berseri-seri.
Pesanggrahan Keramat 1 Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah Jejak Darah Masa Lalu 1
^