Pencarian

Bandar Hantu Malam 1

Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 ANGIN berhembus bersama mega mendung di langit.
Kian lama hembusannya kian cepat. Sebuah bukit
berhutan tipis disapu angin senja. Cahaya matahari
memerah di cakrawala. Tapi cahaya itu masih mampu
tampakkan sosok manusia kurus berjubah putih.
Manusia kurus itu berambut putih, panjangnya sebatas
punggung tanpa ikat kepala. Rambut putih itu milik
seorang lelaki yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun. Jenggot dan
kumisnya pun telah memutih
rata. Rambut itu meriap-riap disapu angin senja.
Kian lama hembusan angin kian kencang. Pohon-
pohon meliuk nyaris patah bagian tengah batangnya.
Angin kencang itu seakan ingin tumbangkan tokoh tua
yang berdiri tegak di puncak bukit bertanah lapang.
Nyatanya tokoh tua itu tetap diam saja tak bergeming.
Tetap berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada,
membiarkan tubuhnya dihembus angin kencang. Jika
bukan tokoh berilmu tinggi, tentu ia sudah tumbang
sejak tadi. Hembusan angin itu jelas bukan sembarang angin.
Pasti ada yang mengirimkan kekuatan tenaga dalamnya
melalui hembusan angin. Karena angin itu ternyata
mempunyai hawa panas. Kian lama kian terasa jelas
hawa panasnya. Bahkan dedaunan pohon, ilalang, dan
rumput menjadi layu. Sekalipun tidak sampai kering,
namun kehijauan dedaunan itu telah mulai berkeriput dan layu. Unggas yang
mendiami bukit itu lari ketakutan diterpa angin panas tersebut. Toh nyatanya
tokoh tua berjubah putih masih tetap diam berlipat tangan didada, seakan menahan serangan
dari lawannya yang
mengancam keselamatan jiwa.
Kreseeek... Brrruuk...!
Pohon mulai tumbang. Itu tandanya kekuatan angin
cukup tinggi. Bahkan sebongkah batu sebesar kerbau
pun mulai retak. Traak...! Praak...! Dan akhirnya pecah terbelah menjadi lebih
dari delapan bagian. Tetapi tubuh kurus tua itu masih tetap berdiri tegak tanpa
bergeser sedikit pun dari tempatnya berpijak.
Bukit itu mempunyai jurang dalam sekali. Di
seberang jurang ada bukit lain tanpa tanaman tinggi.
Hanya batu-batuan yang saling bertonjolan sebagai ganti tanaman. Bukit yang
gersang itu dinamakan orang
Puncak Karang. Tanah dan bebatuannya berbentuk
seperti karang laut.
Di Puncak Karang itu terlihat seorang pemuda
berambut lurus sepanjang lewat bahu. Orang muda itu
mengenakan baju coklat tanpa lengan, celananya putih
kusam karena kotor oleh tanah. Entah berapa lama tidak dicuci. Pemuda tampan dan
gagah itu menggendong
bambu tempat tuak yang panjangnya sedepa. Bambu itu
adalah jenis bambu besi berwarna coklat kehijauan
dengan tali coklat kehitam-hitaman.
Melihat ciri pada bambu bumbung tuak itu, setiap
tokoh di dunia persilatan pasti mengenali pemuda
ganteng tersebut. Dia adalah Pendekar Mabuk, bernama
Suto, murid sinting si Gila Tuak. Ilmunya yang sering
dibilang edan-edanan itulah yang membuat Suto
dikatakan murid sinting dan akhirnya dikenal dengan
nama Suto Sinting.
Di Puncak Karang itu si murid sinting Gila Tuak
memandangi bukit seberang jurang. Hatinya menyimpan
rasa heran dan kecamuk yang didengar oleh telinga
batinnya sendiri.
"Hembusan angin itu jelas bukan angin sembarangan.
Seseorang sedang menyerang kakek berjubah putih itu.
Tapi di mana penyerangnya" Siapa orangnya" Aku tak
menemukan hal-hal yang mencurigakan di sana. Yang
jelas penyerangnya pasti ada di timur, karena angin itu berhembus dari timur ke
barat. Aku merasakan hawa
panas yang sepertinya mengandung tusukan seribu
jarum. Ini pasti ilmu tinggi yang dikuasai seseorang
sebagai ilmu andalannya. Kalau kakek berjubah putih itu bukan orang sakti, pasti
ia sudah muntah darah atau
menjadi hancur karena tenaga dalam yang cukup tinggi
itu. Hmmm... siapa kakek berkalung batuan merah itu?"
Tokoh tua berjubah putih itu memang kenakan
kalung batu-batuan warna merah kecoklat-coklatan.
Warna kalungnya itu sangat menyolok karena ada di
antara jubah putih dan jenggot panjang yang putih pula.
Sejauh ini Suto Sinting hanya bertindak sebagai
penonton yang baik. Rasa penasaran membuat Pendekar
Mabuk justru duduk dengan satu kaki masih menapak di
tanah dan satu kaki menumpang di atas batu seukuran
pinggangnya. "Pertarungan ini merupakan tontonan yang menarik
sekali. Aku ingin tahu akhir dari pertarungan aneh itu.
Apakah kakek berjenggot putih itu mampu menahan
serangan lawannya yang tak kelihatan itu" Hmm...
kulihat saja bagaimana jadinya."
Gemuruh suara angin bagaikan banjir datang dari
kejauhan. Kecepatan angin sungguh besar, sampai-
sampai pohon yang telah tumbang terseret ke barat
bagaikan didorong dan ditarik tenaga yang amat kuat.
Batu-batuan mulai menggelinding jatuh ke jurang.
Tetapi kakek berjubah putih itu masih diam tanpa
bergerak, kecuali jubahnya yang melambai-lambai dan
rambutnya yang meriap-riap seakan ingin copot dari
kulit kepalanya. Hawa panas yang hadir bersama angin
itu sudah membuat dedaunan menjadi menguning
dengan cepat. Mungkin tak lama lagi semua dedaunan
akan menjadi kering berwarna coklat.
Keadaan Suto Sinting tidak tepat berada di belakang
kakek kurus itu. Ia berada di sebelah selatan. Tapi
ketinggian tempatnya berpijak membuat pandangan
matanya mampu melihat jelas keadaan sang kakek sakti
itu. Sekalipun demikian, hawa panas yang hadir bersama angin sempat terasa
menyengat kulit lengannya. Padahal angin berhawa panas itu tidak terarah
kepadanya. "Kalau tubuh orang awam yang menerima hembusan
angin panas itu, pasti tubuhnya menjadi melepuh bagai terbakar," pikir Suto
dalam kebungkamannya. "Angin panas itu harus dilawan dengan gelombang hawa
dingin. Dengan begitu rasa panasnya tidak akan terasa dan... dan oh, mungkin si kakek
itu sedang melawannya dengan
gelombang hawa dingin"!"
Pertarungan tanpa gerak itu semakin menarik
perhatian. Mata Suto Sinting lebih melebar lagi karena ia melihat kalung batu-
batuan merah yang melingkar di
leher sang kakek kurus itu mulai menyala, memancarkan
cahaya kebiru-biruan. Cahaya itu indah dipandang mata, tapi mempunyai makna
keselamatan yang sangat besar.
"Dia mulai melepaskan kekuatan gelombang hawa
dinginnya," gumam Suto lirih, seperti bicara pada diri sendiri.
Dugaan Pendekar Mabuk itu memang benar. Sebab
kejap berikutnya, daun-daun pohon atau ilalang di kaki bukit itu menjadi berubah
warna. Yang semula
menguning layu kini mulai segar kembali. Warna
kuningnya berubah menjadi hijau pupus. Kian lama
dedaunan itu kian tampak lebih hijau lagi pada saat
kalung merah tersebut masih memancarkan sinar biru
indah. Mata Pendekar Mabuk kian melebar kagum melihat
pohon-pohon yang tumbang bergerak pelan-pelan,
berdiri kembali bagai diatur seperti awalnya. Pohon yang telah terseret dari
tempatnya kini kembali bergeser pada tempat semula. Pohon itu pun berdiri lagi
dengan gerakan yang amat pelan. Batu-batu yang sudah
beterbangan kembali ke tempatnya, yang pecah kembali
melayang dan menyatu lagi. Tanah yang terbongkar
karena sentakan akar pohon tumbang pun kembali
menimbun lubangnya dan menjadi rapat seperti semula.
"Gila"! Dia telah pulihkan keadaan alam yang sudah berantakan menjadi tertata
seperti awalnya. Luar biasa tinggi ilmu si kakek itu"!" gumam Suto dengan wajah
tegang. Cahaya pendar-pendar biru masih keluar dari kalung
batu-batuan merah. Semakin tercengang Suto Sinting
melihat adegan berikutnya. Daun-daun mulai berbusa
tipis. Bintik-bintik putih yang dilihatnya dari seberang jurang itu tak lain
adalah busa-busa salju. Bebatuan yang hitam pun mulai dilapisi warna putih
lembut. Bertambah lama bertambah tebal busa putih itu.
"Sungguh mengagumkan!" gumam Suto bermata
lebar. "Alam sekelilingnya kini menjadi penuh salju.
Tanah pun bersalju, bergumpal-gumpal dan menutupi
kedua kakinya. Wow...! Hebat sekali ilmu si kakek itu.
Angin kencang dihentikan, hawa panas dilawannya. Oh,
siapa sebenarnya kakek sakti itu?"
Langit berawan mendung hitam ikut-ikutan
menyingkir. Kini langit menjadi cerah, walau masih
memancarkan warna merah saga karena matahari mulai
tenggelam ke peraduannya. Tetapi lenyapnya awan
hitam itu membuat hati Suto Sinting seolah-olah
mengalami perasaan lega dan tenang. Lenyapnya awan
hitam itu sudah tentu karena kekuatan dahsyat sang
kakek berjubah putih yang berpengaruh sampai ke langit di atas kepalanya.
"Sayang Guru tidak ada di sini. Kalau ada di sini akan kutanyakan kepada Guru,
siapa kakek kurus berjubah
putih berkalung merah itu" Apakah ilmunya masih lebih
tinggi dari ilmu guruku" Hmmm... kurasa sejajar. Ya,
setidaknya Guru punya ilmu sejajar tingginya dengan
kakek itu. Atau mungkin Guru lebih tinggi lagi, hanya tidak pernah diperlihatkan
padaku ketinggian ilmunya
yang melebihi ilmu kakek berjubah putih itu?" kata Suto dalam kecamuk batinnya.
Duaaar...! Suara ledakan terdengar di kejauhan. Bukan berasal
dari bukti seberang jurang. Bukan berasal dari tempat
kakek sakti itu melakukan pertarungan gelap, tapi
berasal dari kaki Puncak Karang. Suto Sinting pun
segera berpaling ke belakang, memandang ke bawah,
melihat kepulan asap tipis yang segera hilang.
"Ada apa di sana" Jangan-jangan Rindu Malam dan
Kelana Cinta bertarung sendiri adu kehebatan ilmu
masing-masing?"
Kelana Cinta dan Rindu Malam adalah dua wanita
cantik yang berasal dari negeri Ringgit Kencana.
Kemunculan Rindu Malam dan Kelana Cinta dari
negerinya adalah sebagai utusan sang Ratu yang
bernama Asmaradani. Rindu Malam ditugaskan
menjemput Suto Sinting, sekaligus membantu
menghadapi masalah yang waktu itu hampir membuat
Suto kehilangan gelar kependekarannya. Sedangkan
Kelana Cinta adalah
orang kepercayaan Ratu
Asmaradani yang bertindak sebagai wakil sang Ratu
dalam menghadiri pertemuan tokoh tingkat tinggi dalam
memecahkan masalah persoalan kematian Empu Sakya,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Keris Setan Kobra"). Kedudukan
Kelana Cinta lebih tinggi dari Rindu Malam, sebab Kelana Cinta mempunyai
jabatan atau pangkat perwira di negeri Ringgit Kencana itu.
Ketika mereka bermaksud membawa Suto Sinting ke
negeri Ringgit Kencana untuk menghadap Ratu
Asmaradani yang pernah hadir lewat mimpi Suto, tiba-
tiba keduanya mempunyai selisih pendapat. Mereka
terpaksa berhenti di perjalanan dan menyuruh Suto agak menjauh, karena mereka
ingin lakukan perdebatan yang
tak boleh didengar siapa pun. Karenanya, Suto Sinting
naik ke Puncak Karang dan terkesima oleh pertarungan
kakek sakti yang aneh itu, sementara Rindu Malam dan
Kelana Cinta lakukan perdebatan sengit di kaki Puncak
Karang tersebut.
Apa yang diperdebatkan oleh kedua wanita cantik
berpotongan rambut cepak seperti lelaki itu adalah
sesuatu yang tak disangka-sangka oleh Suto Sinting.
"Sekalipun kau telah pertaruhkan nyawamu beberapa kali untuknya, tapi kau tetap
tidak diizinkan untuk jatuh cinta padanya, Rindu Malam."
"Gusti Ratu Asmaradani tidak keluarkan larangan
seperti itu, Perwira! Larangan yang dikeluarkan oleh Gusti Ratu Asmaradani
adalah tidak boleh menyakiti
atau melukai Suto!"
"Memang. Tapi jatuh cinta pada Suto itu pun
merupakan larangan yang tak perlu dijelaskan. Mestinya kau sudah mengetahui
tanpa mendapat penjelasan lebih
dulu!" "Kurasa kau sendiri yang mengincarnya, sehingga
kau takut kalau Suto lebih tertarik kepadaku daripadamu kepadamu, Perwira!"
Mata Kelana Cinta yang indah itu sedikit menyipit
memandang Rindu Malam. Ia menahan kemarahan
dalam hatinya. Suaranya mulai menggeram lirih.
"Jalankan tugasmu saja. Jangan bicara soal cinta."
"Tapi aku tak bisa menahannya dan ingin mengatakan padanya bahwa aku menaruh
hati padanya. Kau pun
tidak berhak melarangku, Perwira. Karena tugasmu
bukan melarang orang jatuh cinta tapi memberikan suara pembelaan dalam
menghadiri sidang para tokoh tingkat tinggi itu!"
"Rindu Malam, jangan pancing kemarahanku sekali
lagi. Jangan kau buat kesabaranku habis dengan
kekerasan hatimu itu! Aku pun bertugas menyelamatkan
Suto dari gangguan siapa pun, baik gangguan raganya
maupun gangguan hati dan jiwanya. Kalau kau nyatakan
dirimu jatuh cinta kepada Suto, maka pendekar tampan
itu akan punya penilaian lain terhadap kita. Dia tidak mau datang ke negeri kita
jika dia tidak berkenan


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima cintamu!"
Rindu Malam masih ngotot. "Dia pasti berkenan
menerima cintaku. Dia pasti membalas cintaku. Yang
penting aku harus bicara apa yang ada di dalam hatiku.
Aku tak tahan jika harus memendamnya lama-lama."
"Rindu Malam!" sentak Kelana Cinta. "Jangan rendahkan dirimu gara-gara rasa
cinta pada seorang
lelaki! Biarkan lelaki itu yang bicara, tapi kau jangan mengawalinya!"
"Tidak bisa! Untuk lelaki seperti Suto aku harus berani mengawalinya, supaya ia
segera mengetahui apa
isi hatiku sebenarnya!"
"Aku akan menjatuhkan hukuman untukmu jika kau
nekat mengatakan isi hatimu! Aku bisa menuduhmu
sebagai warga Ringgit Kencana yang menjatuhkan citra
dan harga diri seluruh rakyat negeri Ringgit Kencana
dengan caramu itu!"
"Aku tak peduli hukumanmu, Perwira Kelana Cinta!
Kalau kau mau hukum aku, silakan saja, yang penting
Suto harus tahu kalau aku mencintainya!" tegas Rindu Malam. Tapi tiba-tiba
sebuah suara segera menyahut
dari belakang mereka.
"Manusia bodoh!"
Kedua utusan dari negeri Ringgit Kencana itu terkejut
dan cepat palingkan wajah dengan masing-masing
paaang kuda-kuda secepatnya. Rindu Malam siap
lepaskan serangan jika keadaan membahayakan.
Sedangkan Kelana Cinta segera kendurkan ketegangan
karena ia mengenal siapa perempuan muda yang datang
berpakaian ungu muda dengan jubah warna ungu lebih
tua lagi itu. Wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu menyandang
pedang di punggung yang dililit
kain ungu pula pada bagian sarung dan gagangnya.
Rambutnya di sanggul sebagian di bagian tengah,
matanya indah tapi berkesan galak.
"Sumbaruni"!" geram Kelana Cinta yang merasa tak suka perdebatannya dicampuri
oleh orang lain.
Karenanya sikap Kelana Cinta terhadap Sumbaruni saat
itu kurang bersahabat. Tetapi wanita muda yang
sebenarnya sudah berusia sekitar delapan puluh tahun
lewat itu sengaja sunggingkan senyum sinis sebagai
sikap tenangnya.
Sumbaruni yang juga sering disebut Pelangi Sutera
adalah bekas istri jin Kazmat, yang mendapat ilmu
turunan dari seorang petapa sakti yang cukup disegani
pada masanya. Dari perkawinannya dengan jin Kazmat
yang merubah wujud sebagai pemuda tampan itu,
Sumbaruni mendapatkan seorang anak bertubuh tinggi,
besar, gundul, berkuncir, hitam kulitnya, dan hanya
memakai cawat. Anak itu bernama Logo, yang sering
disebut sebut sebagai anak jin. Sumbaruni terpikat oleh Suto Sinting, karena ia
merindukan seorang kekasih dan suami dalam hidupnya selanjutnya. Bahkan ia
sanggup beradu kesaktian dengan Ratu Gusti Mahkota Sejati,
penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi, yang punya
nama asli Dyah Sariningrum dan menjadi calon istri
Suto itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Ratu Tanpa Tapak").
Sebab itulah Pelangi Sutera tidak menyukai
perdebatan itu dan segera ikut campur dengan sikap
kurang bersahabat. Pelangi Sutera atau Sumbaruni
mempunyai ilmu yang dapat dipakai untuk mengukur
ketinggian ilmu seseorang dengan melihat wajahnya atau mendengar namanya saja.
Tak heran jika Sumbaruni
berkesan meremehkan kedua utusan dari negeri Ringgit
Kencana itu, karena ia sadar bahwa ilmunya lebih tinggi dari kedua orang
tersebut. "Apa maksudmu ikut campur dalam percakapan
kami, Sumbaruni"!" tegur Kelana Cinta dengan ketus.
"Karena aku tak izinkan gadis mana pun jatuh cinta kepada Suto Sinting."
"Apa alasannya"!" sentak Rindu Malam merasa tertantang oleh jawaban itu.
Sumbaruni sunggingkan senyum sinis semakin lebar.
"Aku lebih dulu jatuh cinta kepada Suto dan bermaksud ingin memiliki Suto!"
"Lancang betul mulutmu!" geram Rindu Malam
sambil melangkah menyamping mencari kesempatan
untuk lakukan penyerangan. Sumbaruni tetap tenang.
Matanya kian tajam memandangi Rindu Malam yang
terus bicara dengan suara geram yang pelan, tanpa
sentakan keras sedikit pun.
"Aku tak peduli siapa dirimu, yang jelas aku pun siap bertanding adu kekuatan
denganmu untuk dapatkan
Pendekar Mabuk itu!"
"Tahan!" potong Kelana Cinta. "Jangan kalian menjadi orang-orang konyol gara-
gara cinta! Sangat
memalukan!"
"Cinta punya harga diri sendiri, Kelana Cinta!" sahut Sumbaruni. "Aku setuju
dengan usul temanmu itu! Aku bersedia adu kesaktian dengan gadis itu!"
Kelana Cinta masuk ke pertengahan jarak antara
Sumbaruni dan Rindu Malam. Wajahnya tegang karena
menyimpan kejengkelan.
"Kalau kalian ingin bertanding kesaktian, silakan saja! Tapi jangan karena
cinta, jangan karena
merebutkan seorang lelaki! Seberapa pun tingginya
harga diri sebuah cinta, tetap akan memalukan jika
didengar orang-orang yang tidak menyukai kita.
Sadarlah kalian!"
"Minggirlah, Perwira...!" geram Rindu Malam dengan mulai mencabut pedangnya.
Kelana Cinta semakin
dongkol dengan sikap Rindu Malam. Ia menghardik
orang yang termasuk bawahannya itu,
"Kuperintahkan padamu untuk pulang lebih dulu.
Rindu Malam!"
"Aku tidak mau!"
"Kau membangkang perintahku"!"
"Aku terpaksa membangkang, karena perintahmu
tidak beralasan!"
Agaknya Rindu Malam tak merasa takut menghadapi
Kelana Cinta. Semua demi maksud hatinya yang ingin
menyampaikan rasa cintanya kepada Suto Sinting. Hal
itu membuat Kelana Cinta segera menghampiri Rindu
Malam dengan berang, lalu menampar wajah gadis itu
dengan gerakan cepat. Deeg...! Kelebatan tangan itu
ditangkis cepat pula oleh Rindu Malam, sehingga
pergelangan tangan mereka saling beradu kuat.
"Jangan memerintahku dalam keadaan seperti saat
ini, Perwira! Siapa pun bisa kulawan tanpa peduli
menang dan kalah!"
"Rindu Malam!" hardik Kelana Cinta dengan wajah kian tampakkan kemarahan.
"Biarkan aku bertanding kekuatan dengan perempuan itu!" sahut Rindu Malam,
sangat ngotot dan tak bisa dicegah lagi.
"Tidak! Tidak kuizinkan!"
Deeg...! Tiba-tiba Rindu Malam memukul rusuk
Kelana Cinta dengan telapak tangannya. Pukulan itu
sangat cepat dan tak sempat ditangkis oleh Kelana Cinta.
Akibatnya tubuh Kelana Cinta terlempar ke samping,
empat langkah jauhnya. Dan pada saat itulah Rindu
Malam segera berseru kepada Sumbaruni,
"Majulah kalau kau ingin tahu seberapa besar
hasratku mencintai Suto!"
"Kulayani tantanganmu!" kata Sumbaruni tanpa gentar.
Tapi baru saja Sumbaruni hendak langkahkan kaki
untuk maju, tiba-tiba tangan kiri Rindu Malam telah
lepaskan pukulan tenaga dalam bersinar putih bagaikan
sekeping logam bundar. Slaaap...! Sinar putih itu segera disambut oleh lompatan
Sumbaruni ke atas sambil
lepaskan pukulan dari genggaman tangan kanannya yang
memancarkan sinar hijau menggumpal tak beraturan.
Duaar...! Ledakan sinar putih dan sinar hijau itulah yang
didengar Suto Sinting dari Puncak Karang, itulah
sebabnya Pendekar Mabuk segera lari turun dari Puncak
Karang untuk mengetahui apa yang terjadi di kaki
puncak itu. Namun sebelum Pendekar Mabuk tiba di
kaki puncak, Rindu Malam sudah lebih dulu melompat
dengan menebaskan pedangnya ke dada Sumbaruni.
Wuuutt...! Sumbaruni bersalto mundur satu langkah. Begitu
mendarat di tanah ia langsung merendah. Tangannya
menapak tanah, kaki kanannya menendang pergelangan
tangan Rindu Malam yang menggenggam pedang.
Wuuut...! Deess...!
Wees...! Pedang pun terlepas dari tangan, terlempar
ke atas. Tapi Rindu Malam segera sentakkan kakinya
begitu tiba di tanah, sehingga tubuhnya kembali melesat ke atas dan menyambar
gagang pedangnya kembali
dengan tangan kiri. Tabb...!
Waktu itu bertepatan dengan Sumbaruni lepaskan
pukulan mautnya melalui sodokan dua jari kanan.
Suuut...! Dan terlepaslah selarik sinar biru dari ujung dua jari itu. Karena
tubuh Rindu Malam sudah telanjur
melesat naik, maka sinar biru itu tidak mengenai sasaran, melainkan justru
mengarah ke dada Kelana Cinta.
Dengan cepat Kelana Cinta sentakkan kedua
tangannya ke depan. Lalu sinar merah bergelombang
memancar keluar dan dihantam oleh sinar birunya
Sumbaruni. Blaaar...! Ledakan ini cukup kuat. Sumbaruni terpental ke
belakang, demikian pula Kelana Cinta. Sedangkan Rindu
Malam terpelanting ke samping dengan melayang tanpa
keseimbangan badan. Bruuk...! Mereka saling jatuh ke
tanah hampir bersamaan. Dan pada waktu itulah Suto
Sinting tiba di tempat tersebut. Jleeg!
"Sumbaruni"!" Suto Sinting memandang heran
terhadap Sumbaruni yang tak disangka-sangka sudah ada
di tempat itu. Mata Pendekar Mabuk yang bagus dan jeli menurut para wanita itu,
segera menatap Kelana Cinta
dan Rindu Malam yang sedang bergegas bangkit dari
kejatuhan mereka.
"Apa yang terjadi sebenarnya" Mengapa kalian saling bertarung?"
"Hmmm... anu... hanya salah paham sedikit," jawab Kelana Cinta menutupi
persoalan sebenarnya.
"Salah paham bagaimana?"
"Rindu Malam menyangka Sumbaruni orangnya
Raden Udaya, dan Sumbaruni menyangka Rindu Malam
anaknya Malaikat Beku. Kurasa... kurasa bisa kami
selesaikan sendiri, Suto."
"Benarkah begitu, Sumbaruni?" tanya Suto.
"Hmm... eh... iya," Jawab Sumbaruni sambil melirik Rindu Malam. Dan ketika Suto
menanyakan kepada
Rindu Malam, gadis itu pun akhirnya dengan berat hati
menganggukkan kepala.
"Memang... memang hanya salah paham saja."
Suto Sinting tertawa, tapi Rindu Malam dan
Sumbaruni saling lirik penuh hasrat untuk saling
menyerang. Hasrat itu sama-sama mereka tahan supaya
tidak membuat si pendekar tampan besar kepala, karena
merasa diperebutkan.
Tiba-tiba sekelebat bayangan datang dari arah
belakang Sumbaruni. Bayangan itu tahu-tahu sudah
berwujud di depan mereka, membuat Sumbaruni dan
Suto sedikit tercengang melihat penampilan seorang
tokoh tua berambut panjang abu-abu, berbadan kurus
dan berjubah putih kusam. Orang itu bukan orang tua
yang bertarung aneh di puncak bukit seberang tadi,
melainkan seorang tokoh tua yang amat dikenal Suto dan Sumbaruni. Dia adalah
Raja Maut, tokoh beraliran putih yang tidak sempat hadir dalam pertemuan di
Jurang Lindu untuk membicarakan pelaku pembunuhan Ki
Empu Sakya. "Sumbaruni, syukurlah kau bisa kutemui di sini!"
kata Raja Maut.
"Ada apa, Prasonco?" tanya Sumbaruni menyebutkan nama asli Raja Maut.
"Anakmu... terpeleset jatuh ke Jurang Petaka saat mencarimu!"
"Hah..."! Logo jatuh ke Jurang Petaka"!" sentak Sumbaruni dengan kaget.
Suto berkerut dahi dan berkata membatin, "Jurang
Petaka"! Bukankah jurang itu adalah jurang yang amat
dalam dan tak akan membuat siapa pun bisa selamat jika
masuk ke sana"! Oh, celaka! Kalau begitu Logo dalam
bahaya besar!"
Tetapi Raja Maut segera berkata kepada Sumbaruni
dan amat mengejutkan Pendekar Mabuk,
"Cepatlah cari anakmu itu sebelum ia dimanfaatkan oleh Siluman Tujuh Nyawa!
Sebab kudengar Siluman
Tujuh Nyawa bersemayam di Jurang Petaka sudah
beberapa waktu lamanya."
Detak jantung Pendekar Mabuk menjadi cepat dan
menghentak-hentak. Nama Siluman Tujuh Nyawa
adalah nama yang mengobarkan kemarahan dalam
dadanya. Tokoh sesat yang paling sakti dan mampu
menembus dunia gaib itu adalah tokoh yang sedang
dikejar-kejar oleh Pendekar Mabuk selama ini. Ia tak
akan mengawini Dyah Sariningrum sebelum berhasil
membunuh tokoh paling kejam dan ganas itu. Tetapi
selama ini Suto kehilangan Jejak Siluman Tujuh Nyawa
yang selalu menghindar jika bertemu dengan Suto.
"Sayang aku sedang dalam perjalanan ke negeri
Ringgit Kencana!" geram Suto dalam hatinya. "Apakah sebaiknya kubatalkan saja
rencana kunjunganku ke
negeri Ringgit Kencana itu" Tapi, Ratu Asmaradani
sangat membutuhkan pertolonganku, ia dalam bahaya
yang agaknya sangat menyedihkan. Atau... biarlah
kukerjakan dulu rencana pergi ke Ringgit Kencana,
setelah itu baru memburu Siluman Tujuh Nyawa ke
Jurang Petaka"!"
Kebimbangan Pendekar Mabuk membuat si murid
sinting Gila Tuak itu tertegun beberapa saat dalam
keadaan tetap berdiri memandangi Rindu Malam. Yang
dipandang dengan tatapan kosong itu justru menyangka
Suto sedang mengagumi kecantikannya dan mulai
berhasrat untuk mendekati hatinya. Tak heran jika Rindu Malam akhirnya berdebar-


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

debar panik dan salah tingkah
mendapat tatapan mata si pendekar tampan itu.
* * * 2 UNTUK mencapai negeri Ringgit Kencana, mereka
harus terlebih dulu menemukan Pulau Bayangan. Pulau
itu terletak di Selat Buaya. Sebuah selat di antara dua pulau besar yang berair
tenang. Gelombang lautan
seakan enggan melintasi Selat Buaya. Konon, di perairan itu dulunya hidup
binatang yang mirip buaya dan
dinamakan Buaya Laut. Tetapi binatang itu sekarang
sudah punah dan tak pernah terlihat lagi.
Pulau Bayangan adalah sebuah pulau kecil, luasnya
kurang dari sepuluh langkah. Bentuknya seperti
mangkok terbalik, tanpa tanaman apa pun kecuali hanya
rumput laut. Mereka mencapai Pulau Bayangan dengan
sebuah sampan yang terbuat dari batang kelapa. Sampan
itu panjang, tapi sempit. Dibuat secara mendadak oleh
Rindu Malam dan Kelana Cinta. Suto Sinting hanya
memperhatikan sambil sesekali meneguk tuak dari
bumbungnya, ia memang tidak diizinkan bekerja oleh
kedua utusan Ratu Asmaradani itu.
"Di mana sebenarnya letak negeri Ringgit Kencana
itu?" tanya Suto ketika mereka tinggal beberapa saat lagi mencapai Pulau
Bayangan. "Di Pulau Bayangan," jawab Kelana
Cinta mendahului mulut Rindu Malam yang ingin menjawab
pertanyaan itu.
"Katamu, Pulau Bayangan adalah pulau yang ada di
depan kita itu?"
"Memang."
"Pulaunya kecil begitu"!" Suto Sinting heran.
"Memang kecil," jawab Kelana Cinta lagi membuat Rindu Malam kembali tak jadi
bicara. "Lalu, mana istananya" Mana negerinya?"
"Negerinya...."
"Ada di sana!" sahut Kelana Cinta.
Rindu Malam bersungut-sungut. Merasa jengkel
dengan sikap Kelana Cinta yang selalu mendahuluinya
dalam bicara. Padahal dia ingin sekali menjawab apa-apa yang ditanyakan oleh
Suto. Ia ingin menjadi pemandu
Pendekar Mabuk. Dan melihat Rindu Malam cemberut
dan bersungut-sungut, Kelana Cinta sunggingkan
senyum geli, sebab ia sengaja menggoda hati Rindu
Malam agar jengkel oleh sikapnya. Hal itu dilakukan
oleh Kelana Cinta sekedar untuk melemparkan canda
dan menghilangkan ketegangan yang tadi terjadi di
antara mereka sebelum Sumbaruni datang.
Ketika Sumbaruni pergi bersama Raja Maut mencari
Logo, anaknya yang jatuh ke Jurang Petaka itu, Kelana
Cinta berhasil membujuk Suto Sinting agar tetap
meneruskan perjalanan ke negeri Ringgit Kencana.
Padahal waktu itu Rindu Malam sudah mau bicara dan
membujuk Suto, tapi didahului oleh Kelana Cinta. Gadis itu hanya bisa menyimpan
kedongkolan saja.
Sampan dari batang kelapa dibuang begitu mereka
tiba di pulau kecil seperti tempurung terbalik itu.
Sampan dibiarkan hanyut terbawa arus lemah, entah
menuju ke pantai sebelah mana. Yang jelas Kelana Cinta segera menyuruh Suto ke
tengah pulau kecil tersebut.
"Aneh sekali"!" gumam Suto Sinting sambil
memandang pulau gundul yang seolah-olah tempat
pengasingan amat menyedihkan. Tak ada tonggak, tak
ada pohon, tak ada atap, tak ada apa-apa. Tentu saja
Pendekar Mabuk bingung mencari di mana negeri
Ringgit Kencana itu.
Rindu Malam membawa Suto persis ke tengah pulau.
Kelana Cinta segera lakukan gerakan aneh. Kedua
tangannya direntangkan, lalu mengeras, dan bergerak
saling mendekat di depan dada. Kedua tangan itu saling bertemu, tapi hanya ujung
telunjuk dan ujung jempolnya saja yang bertemu, jari lainnya menggenggam rapat.
Kelana Cinta memusatkan pikirannya, mengerahkan
tenaga untuk keluarkan kekuatan aneh dari ujung
pertemuan dua telunjuk tersebut. Kejap berikut, ujung
telunjuk itu lepaskan selarik sinar warna-warni, bagaikan sinar pelangi. Sinar
itu melesat tanpa putus, mengarah ke tanah cadas berumput laut.
Sinar itu bergerak sesuai dengan langkah kaki Kelana
Cinta yang mengelilingi tubuh Rindu Malam dan Suto
Sinting. Sinar warna-warni itu mengingatkan Suto pada
setangkai bunga mawar warna-warni yang hadir dalam
mimpinya dan sempat menjadi kenyataan, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Keris Setan Kobra").
Sinar itu begitu mengenai tanah membekas seperti
warna dan nyala aslinya. Langkah kaki Kelana Cinta
yang bergerak berkeliling itu membuat tanah menjadi
bersinar dalam bentuk lingkaran, Kelana Cinta ada
dalam lingkaran tersebut. Dan ia segera hentikan
tindakan itu setelah bentuk sinar di tanah menjadi
lingkaran yang saling bertaut ujungnya.
Kini Kelana Cinta mendekati Suto dan Rindu Malam.
Sinar di tanah masih menyala warna pelangi, makin
lama makin berkobar seperti api, dan tahu-tahu bergerak cepat naik ke atas.
Wuuusst...! Pendekar Mabuk kaget dan sempat ditertawakan
kedua gadis itu. Wajah Suto terheran-heran memandang
sinar itu telah membentuk dinding tinggi warna-warni di bagian atasnya saling
merapat, meruncing seperti
kerucut. Kini mereka berada di dalam kurungan sinar
warna-warni. Tak sepatah kata pun terlepas dari mulut Suto yang
sedikit ternganga karena kagum dan heran. Bahkan
Pendekar Mabuk itu kian kerutkan dahi ketika rasakan
pulau yang dipijaknya itu bergerak amblas ke dalam laut secara pelan-pelan.
Gerakan itu terjadi cukup lama,
sehingga Suto dapat memperkirakan bahwa dirinya
bersama dua utusan negeri Ringgit Kencana itu sedang
dibawa menyelam ke dalam laut oleh pulau kecil
tersebut. Hal yang mengherankan Suto adalah tak ada air
yang masuk ke dalam lingkaran itu, tapi telinganya
sempat mendengar bunyi gemuruh air samar-samar.
"Dibawa ke mana aku ini?" pikir Suto dengan was-was. "Jangan-jangan aku diajak
bunuh diri bersama-sama?"
Rindu Malam sempat tersenyum tipis, menertawakan
keheranan Suto Sinting. Tapi anehnya, baik Rindu
Malam maupun Kelana Cinta tak ada yang bicara
sepatah kata pun. Hal itu membuat Suto sendiri tak
berani bicara apa-apa.
Claaap...! Sinar pelangi itu lenyap begitu saja. Juga sempat
mengejutkan Suto Sinting. Dan yang lebih mengejutkan
lagi, ternyata saat itu Suto sudah berada di pelataran sebuah istana yang dihuni
olah wanita-wanita cantik
berambut pendek seperti potongan lelaki. Bentuk
kecantikannya memang berbeda, tapi agaknya ada satu
keharusan bagi mereka untuk memangkas rambutnya
sependek mungkin hampir mirip seorang lelaki.
Pendekar Mabuk itu celingak-celinguk kebingungan.
Ia buru-buru meneguk tuaknya sambil membatin, "Siapa tahu setelah minum tuak aku
tidak terlalu bingung
begini!" Namun setelah meneguk tuak, ternyata Suto Sinting
semakin tambah bingung. Hal yang membuatnya
bingung adalah munculnya sejumlah gadis cantik
berpakaian macam-macam warna, namun mempunyai
bentuk pedang yang sama, bergagang bentuk bunga
mawar. Sedangkan di tepian pelataran Istana itu, terdapat
tanaman bunga mawar berjajar. Mawar-mawar di sana
berwarna seperti pelangi. Keharumannya yang khas
menyebar membuat Pendekar Mabuk merasa seperti
hidup di alam mimpi. Bunga-bunga mawar itu pun
mempunyai tangkai yang tanpa duri, seperti bunga
mawar yang diberikan kepadanya oleh seorang ratu
bernama Asmaradani di dalam mimpinya beberapa
waktu yang lalu.
Suto masih tidak berani bergerak. Bingung
memandangi wajah-wajah cantik yang segera
membentuk satu barisan memanjang dari dalam istana
sampai ke gerbang yang ada di belakang Suto Sinting
itu. Rupanya kehadiran Suto disambut dengan
penghormatan khusus, tak bedanya seorang tamu agung
mengunjungi sebuah negeri. Sekalipun Pendekar Mabuk
mencoba tenangkan diri, tapi masih saja tampak
keheranannya ketika memperhatikan wajah-wajah cantik
penuh senyum menawan kepadanya, dan segera disadari
bahwa tak satu pun ada orang lelaki di sekelilingnya.
Satu-satunya orang lelaki yang ada di antara mereka
adalah dirinya sendiri. Suto Sinting mulai grogi merasa dirinya tunggal ada di
antara gadis-gadis cantik.
"Di... di mana aku ini?" tanya Suto dalam bisik kepada Rindu Malam.
"Di negeri Ringgit Kencana," jawab Rindu Malam seiring senyum manisnya.
Kelana Cinta menambahkan kata, "Kita berada di
dasar laut, Suto!"
"Di dasar laut"! Aneh"!" gumam Suto yang memang
merasa aneh, karena ia tidak melihat ciri-ciri kehidupan dasar laut. Tanah yang
dipijak seperti tanah di
permukaan bumi. Pakaian mereka ataupun kulit mereka
tidak ada yang bersisik. Bagian atas tampak ada langit bermega putih. Langit
dalam keadaan terang walau tak
terlihat di mana letak mataharinya.
"Sebuah negeri yang aneh," katanya pelan. "Seperti negeri di atas permukaan
sebuah pulau saja!"
"Gusti Ratu kami mempunyai ilmu 'Latar Bayangan'
yang membuat semua pemandangan di sini seperti
pemandangan di permukaan pulau," kata Kelana Cinta.
"Apakah di sini juga ada siang dan malam?"
"Ya. Kami juga mengenal siang dan malam, tapi kami tak punya matahari dan
rembulan," jawab Rindu Malam.
"Hanya orang berilmu tinggi dan mempunyai
kepekaan indera keenam saja yang bisa sampai di tempat kami ini. Tetapi jika kau
tinggal di sini, kau akan
dibekali ilmu tersendiri yang bisa membuatmu keluar-
masuk ke negeri kami, seperti contohnya ilmu yang
kugunakan membawamu kemari tadi," kata Kelana
Cinta. "Seandainya ada...."
Kelana Cinta tak jadi teruskan kata, ia melihat
seorang wanita berjubah perak muncul di serambi istana.
Wanita berambut pendek itu membungkukkan badannya,
memberi hormat kepada Suto Sinting. Maka Kelana
Cinta berkata, "Sebaiknya kita segera masuk ke istana. Pendeta
Agung Dewi Rembulan sudah mempersilakan kita untuk
menghadap sang Ratu."
"O, perempuan cantik itu juga punya jabatan tinggi di sini?" sambil Suto
memandangi pendeta Agung Dewi
Rembulan yang kepalanya dihiasi rantai emas dengan
batu-batu kecil warna hijau bening, sejenis batu giok.
"Dia adalah pemimpin upacara suci bagi rakyat kami sekaligus penasihat Ratu
Asmaradani," bisik Rindu Malam. "Ayolah, sang Ratu sudah menunggu."
Sambil melangkah menuju Istana bertangga sepuluh
baris itu, Suto sempat berpikir curiga, "Jangan-jangan aku dibawa ke sini mau
dikawinkan" Wah, gawat kalau
begitu. Kalau toh aku lari, tak akan bisa timbul di
permukaan laut. Aku tak tahu jalan keluar dari negeri
ini." Pilar-pilar istana terbuat dari batuan bening.
Lantainya bagaikan kaca yang memantulkan bayangan
orang di atasnya. Pilar bening itu memantulkan sinar
warna-warni yang mempunyai nilai keindahan tersendiri.
Hawanya sejuk, tapi tidak membuat tubuh sampai
menggigil. Suto melangkah menaiki tangga serambi
sambil memandang kagum kepada kemegahan di
sekitarnya. Ruang paseban sangat luas, hening dan bersuasana
penuh kharisma. Di ruang paseban itulah Suto
dipertemukan dengan seorang wanita berambut panjang.
Hanya dialah wanita yang mempunyai rambut panjang
dari sekian banyak wanita yang ada di negeri tersebut.
Wanita itu seperti masih berusia dua puluh lima
tahun. Cantik, dadanya montok menggiurkan, senyum
tipisnya menampakkan lesung pipit yang memikat,
hidungnya tidak terlalu mancung namun bangir dan
indah. Bibirnya pun seperti kuncup mawar yang selalu
basah. Wanita itu mengenakan jubah biru sutera tipis,
dilengkapi dengan perhiasan mewah, termasuk mahkota
separo lingkaran yang dipajang di rambutnya, membuat
ia tampak berwibawa dan anggun. Wanita itu duduk di
sebuah kursi dari bebatuan bening warna hijau. Bagian depannya tertutup meja
dari marmer putih tak tembus
pandang, sehingga yang terlihat hanya sebatas dada ke
atas saja. Hal yang membuat Pendekar Mabuk menjadi
terbengong-bengong adalah kenyataan yang nyaris tak
dipercayainya, bahwa wanita berjubah biru tipis itu
adalah wanita cantik yang hadir dalam mimpinya
beberapa waktu yang lalu. Tentu saja Suto Sinting
segera ingat nama wanita yang memberikan bunga
mawar dua kali dalam mimpinya itu.
"Dia pasti Ratu Asmaradani...," ucapnya dalam hati.
Lalu sang Ratu berkata, "Selamat datang di negeriku.
Tentunya kau heran tapi tidak asing dengan wajahku
yang pernah hadir dalam mimpimu itu, Pendekar
Mabuk." Suto Sinting menelan ludahnya. "Iiy... iya...,"
jawabnya dengan kikuk antara malu dan kagum. "Boleh aku minum tuak sedikit?"
"Silakan," jawab Ratu Asmaradani dengan penuh keramahan dan senyum yang amat
menawan, ia tetap
duduk di singgasananya, ia memandangi Suto meneguk


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuaknya dengan wajah penuh keceriaan, seakan amat
gembira menerima kedatangan Pendekar Mabuk.
Pendeta Agung Dewi Rembulan juga memandang
dengan senyum keramahan, ia berdiri lima langkah di
samping tempat duduk sang Ratu. Wajahnya yang cantik
dan sepertinya baru berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu, sebenarnya wajah
yang terawat oleh sebuah ilmu
kecantikan. Padahal Pendeta Agung Dewi Rembulan
sebenarnya berusia di atas sembilan puluh tahun.
Sedangkan Ratu Asmaradani sebenarnya berusia di atas
tujuh puluh tahun.
Rindu Malam dan Kelana Cinta ada di samping kanan
kiri Suto dalam jarak masing-masing tujuh langkah.
Mereka berdiri tegak bagaikan sepasang pengawal setia
sang tamu. Sedangkan di pinggiran sana berlututlah
wanita-wanita muda dan cantik yang menjadi prajurit
istana negeri tersebut. Semua mata tertuju kepada Suto Sinting dengan wajah
berseri-seri. Suto duduk di atas batuan marmer putih, seperti
marmer meja di depan Ratu Asmaradani. Batuan marmer
itu berbentuk kotak kubus yang agaknya sengaja
disediakan untuk seorang tamu. Batu marmer itu diberi
bantalan warna merah jambu yang empuk dan sangat
enak untuk diduduki.
"Suto Sinting, sebelumnya aku minta maaf padamu
karena telah hadir dalam mimpimu menggunakan Ilmu
'Rambah Batin' yang kumiliki itu."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku tidak merasa
terganggu," kata Suto Sinting menampakkan ketegasan sikapnya.
"Aku sengaja memanggilmu dan ingin meminta
bantuan padamu, Suto."
"Kurasa kau salah orang, Nyai Ratu. Aku bukan dewa yang bisa dimintai bantuan.
Aku hanya manusia biasa
dengan kemampuan yang sangat terbatas."
"Tapi firasat yang datang padaku mengatakan, kaulah satu-satunya orang yang bisa
menolongku, Suto Sinting.
Apakah kau keberatan?"
Suara merdu yang lembut itu bergema di ruangan
berlangit-langit tinggi. Suara gemanya membuat suasana di situ semakin berkesan
sakral dan penuh
penghormatan. Suara Suto sendiri, menurut mereka, juga enak didengar dan
menimbulkan keindahan tersendiri di
batin mereka. "Jika demi kebaikan, aku tak pernah keberatan
menolong siapa pun semasa aku mampu melakukannya,
Nyai Ratu."
"Terima kasih sebelumnya, Pendekar Mabuk." Ratu Asmaradani masih belum mau
mendekati Suto, hanya
duduk dengan sunggingan senyum kian indah dan ceria.
"Perlu kau ketahui," kata sang Ratu, "Sebelumnya aku juga sudah meminta izin
kepada gurumu; si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang melalui mimpi juga."
Suto terperanjat, "Kau mengenal guruku, Nyai
Ratu"!"
"Sangat kenal," jawabnya penuh rasa bangga. "Aku adalah adik sepupu Nawang
Tresni atau Bidadari Jalang, Bibi gurumu itu"
"Ooo..."!" Suto Sinting melongo dengan rasa kaget.
Selama ini bibi gurunya tak pemah menceritakan tentang saudara sepupu yang
bernama Asmaradani. Maka Suto
pun dapat menduga berapa usia Asmaradani sebenarnya
jika ia adalah adik sepupu Bidadari Jalang, gurunya juga itu.
"Ibuku adalah adik dari ibunya Bidadari Jalang. Jadi cukup dekat hubunganku
dengan bibi gurumu itu, Suto
Sinting." Pendekar tampan angguk-anggukkan kepala.
Senyumnya kian mekar berseri menggoda hati para
prajurit di pinggiran ruang pertemuan itu. Pendekar
Mabuk merasa lega dan bangga bisa bertemu dengan
Ratu Asmaradani, yang dalam urutan silsilah termasuk
orang yang patut dihormati dan dilindungi, sebab adik
dari gurunya sendiri. Tetapi Suto Sinting diam-diam
menyimpan keheranan kecil.
"Tentunya dia punya ilmu tinggi. Tapi mengapa dia tak bisa selesaikan
persoalannya sendiri" Mengapa harus meminta bantuan padaku?"
Kemudian Suto Sinting pun bertanya, "Jadi, bagai
mana aku harus memanggilmu, Nyai Ratu" Bibi atau...."
"Terserah kau. Bukan panggilan hormatmu yang
kubutuhkan, tapi kesaktianmu yang kuharapkan bisa
menolongku."
"Boleh aku tahu apa kesulitanmu, Nyai Ratu?"
"Beberapa waktu yang lalu, seorang lelaki berilmu tinggi dapat masuk ke negeri
ini. Ia mengaku berjuluk
Bandar Hantu Malam, ia ingin mengawiniku, bahkan
memaksaku menerima lamarannya. Aku menolak, dia
sakit hati, lalu terjadilah pertarungan antara aku dan dia.
Aku kalah, Suto Sinting. Dan sampai sekarang dia masih menginginkan diriku.
Sampai sekarang aku pun belum
mampu menemukan lawan tanding ilmunya yang
dijatuhkan padaku yang bernama ilmu 'Racun Siluman'
itu. Kekuatan ilmu 'Racun Siluman' tak bisa hilang
sebelum disembuhkan olehnya atau si pemilik 'Racun
Siluman' itu mati."
Murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu membatin
di hatinya, "Sehebat apakah ilmu yang dimiliki Bandar Hantu Malam itu, sehingga
Asmaradani tak bisa
mengatasinya" Jangan-jangan ilmu Asmaradani hanya
pas-pasan" Ah, kurasa tidak! Buktinya ia bisa
membangun istana di dasar laut yang bersuasana seperti di permukaan bumi begini.
Lalu, mengapa ia tak bisa
kalahkan ilmu 'Racun Siluman' itu" Jangan-jangan dia
hanya menguji kesaktianku?"
Suara merdu yang enak didengar itu kembali
dilontarkan dengan lembuat,
"Orang-orangku tak mungkin mampu tandingi
ilmunya Bandar Hantu Malam. Jadi tak kuizinkan
mereka menyerang Bandar Hantu Malam. Dalam
teropong batinku yang kupadukan dengan ilmu 'Getar
Sukma' itu, aku melihat sebentuk kesaktian yang dahsyat dan tertinggi di antara
ilmu-ilmu lainnya ada padamu.
Salah satu hal yang bisa kulihat dalam teropong batinku adalah jurus-jurus
mautmu yang bernama jurus 'Yudha'
dan jurus 'Manggala' pemberian Ratu Kartika Wangi dari Puri Gerbang Surgawi di
alam gaib itu."
Hati sang pendekar tampan tersentak lembut
mendengar nama Kartika Wangi, calon mertuanya
disebut-sebut. Suto tak perlu meminta penjelasan lebih lanjut, ia sudah dapat
mengetahui bahwa Asmaradani
adalah orang berilmu tinggi, terbukti bisa mengetahui
Ilmu jurus 'Manggala' dan jurus 'Yudha' tersebut.
Tentunya Suto pun yakin, Asmaradani mampu melihat
titik merah di dahinya sebagai tanda bahwa Suto adalah orang terhormat di negeri
alam gaib tersebut.
Tetapi agaknya ada sesuatu yang membuat Suto
heran. "Aku mendengar kau menyebut-nyebut nama
Ilmu 'Getar Sukma'. Seingatku ilmu itu juga dimiliki
oleh bekas istri jin bernama Sumbaruni atau Pelangi
Sutera. Apakah ada hubungannya denganmu, Nyai
Ratu?" "Memang. Sumbaruni adalah bekas pengawalku.
Jelasnya, dulu dia pernah mengabdi di sini sebagai
panglimaku. Tetapi karena dia sangat mencintai
anaknya, maka ia tinggalkan jabatan itu dan
mengembara mencari anaknya yang bernama Logo. Aku
memberinya julukan nama: Pelangi Sutera."
"Ooo... pantas!" gumam Suto, tapi juga gumam hati Rindu Malam. Karena Rindu
Malam merasa baru
sekarang mendengar bahwa Sumbaruni adalah bekas
panglima negeri Ringgit Kencana itu. Rindu Malam
menjadi gentar hatinya setelah mengetahui hal itu dan
tak mau sesumbar menantang Pelangi Sutera lagi.
Sedangkan Kelana Cinta hanya melirik Rindu Malam
dan tersenyum tipis, sebagai tanda mencemooh. Sebab ia
sengaja tidak beri tahu lebih dulu kepada Rindu Malam
tentang siapa Sumbaruni itu. Kini Kelana Cinta puas
melihat Rindu Malam terbengong menyadari
kelancangan dan sesumbarnya.
"Apakah Sumbaruni tidak bisa ditarik kembali dan
dimintai bantuannya untuk melawan Bandar Hantu
Malam, Nyai?" usul Suto dalam bentuk tanya.
Dengan senyum manis sang Ratu gelengkan kepala.
"Ilmunya tak bisa kalahkan 'Racun Siluman' milik
Bandar Hantu Malam. Seandainya Bandar Hantu Malam
tak memiliki 'Racun Siluman', tentunya Kelana Cinta
sendiri bisa kalahkan dia."
Suto melirik Kelana Cinta, wanita itu diam saja dan
pura-pura tidak merasa dilirik. Lalu, Suto Sinting
kembali pandangi Ratu Asmaradani yang masih duduk
di balik meja marmer itu.
"Bagaimana kalau kita coba meminta bantuan
Sumbaruni" Mungkin Sumbaruni punya ilmu simpanan
yang...." "Tidak akan bisa, Suto!" potong Ratu Asmaradani dengan tetap tersenyum. "Jangan
menambah korban
dengan cara coba-coba. Aku tak mau Sumbaruni atau
yang lainnya temui nasib sepertiku."
"Kulihat kau baik-baik saja dan sehat, Nyai Ratu."
"Kelihatannya begitu. Tapi coba perhatikan diriku...,"
kata sang Ratu, lalu ia berdiri dan berjalan sampai di depan meja, berhadapan
dengan Suto. Pendekar Mabuk kagat bukan kepalang. Matanya
mendelik lebar-lebar melihat keadaan ratu cantik dan
menggairahkan itu. Ternyata Ratu Asmaradani
kehilangan tubuh bagian bawahnya dari batas pusar
sampai ke telapak kaki. Tubuh itu hanya sepotong, yang tersisa dari perut sampai
ke kepala. Andai saja Ratu
Asmaradani tidak mempunyai ilmu peringan tubuh
cukup tinggi, tentunya ia tak dapat berjalan karena tak punya kaki.
Pada saat Pendekar Mabuk tercengang, wajah Ratu
Asmaradani tertunduk malu dan sedih. Tapi suaranya
terdengar jelas,
"Paksa dia untuk sembuhkan diriku, Suto. Jika
memang sangat terpaksa, kalahkan dia dengan caramu.
Aku mohon bantuanmu. Pendekar Mabuk...!"
Suto Sinting masih tertegun merinding melihat
keganasan ilmu 'Racun Siluman', ia dapat bayangkan
alangkah menderitanya hidup tanpa bagian perut ke
bawah. * * * 3 RINDU Malam hanya diizinkan oleh Ratu
Asmaradani mengantar Suto sampai di permukaan laut
saja. Ia harus segera kembali, karena sang Ratu punya
firasat adanya rasa cinta di hati Rindu Malam. Bahkan
sebelum ia ditugaskan mengantarkan Suto ke permukaan
laut, sang Ratu sudah berpesan kepada semua rakyat dan orang-orang bawahannya,
"Tak satu pun boleh mencintai Suto dan merayunya.
Dia orang terhormat, murid dari kakak sepupuku.
Apalagi kalau dia berhasil kalahkan Bandar Hantu
Malam, kalian semua, termasuk aku, berhutang budi
kepadanya. Jadi jangan paksa dia jatuh cinta kepada
kalian. Karena aku pun tahu, bahwa dia sudah punya
calon istri tersendiri. Jika terjadi perkawinan antara dia dan salah satu dari
kita, maka Ratu Kartika Wangi jelas akan menuntut dan kita akan bermusuhan
dengan penguasa negeri alam gaib itu."
Memang menyedihkan keputusan itu bagi Rindu
Malam. Mau tak mau ia harus membantai habis rasa
cintanya kepada Suto Sinting, ia tak berani melanggar
larangan dari ratunya. Sekalipun membantai cinta adalah pekerjaan yang paling
sulit dilakukan bagi setiap insan, tetapi Rindu Malam punya keyakinan, sedikit
demi sedikit ia akan mampu melakukannya.
Suto Sinting diberi kunci untuk keluar masuk ke
negeri Ringgit Kencana tanpa melalui cahaya warna-
warni seperti saat ia dibawa ke situ oleh Kelana Cinta dan Rindu Malam. Kunci
itu berupa setangkai bunga
mawar warna pelangi tanpa duri. Bunga itu akan tetap
segar dan menyebarkan bau harum jika direndam dalam
tabung tuaknya Suto. Bunga itu dapat membuat Suto
sampai ke negeri Ringgit Kencana dengan hanya berdiri
di atas Pulau Bayangan dan menghirup aroma bunga
dengan napas panjang dan mata terpejam. Demikian pula
yang harus dilakukan jika ia akan keluar atau pergi
tinggalkan negeri itu.
"Jika dari sini kau menghirup bunga dengan napas
panjang dan pejamkan mata, kau akan muncul di pantai
utara tanah Jawa yang tak seberapa jauh dari Pulau
Bayangan. Tapi jika ingin masuk ke sini, kau harus
berdiri di pulau kecil itu lebih dulu," kata sang Ratu menjelaskan. "Sebetulnya
aku sudah kirimkan dua kali kunci menuju kemari kepadamu melalui mimpi, tapi
rupanya kau belum mengetahui bagaimana caranya
menggunakan kunci itu. Aku bisa memakluminya."
Kini pikiran Suto tertuju pada tokoh keji yang
mempunyai jurus 'Racun Siluman' itu. Ratu Asmaradani
tidak bisa mengetahui di mana Bandar Hantu Malam itu
berada. Karenanya sang Ratu hanya memberi perintah
kepada Suto, "Cari dan temukan! Kau pasti akan berhasil
menemukannya. Bandar Hantu Malam kurasa bukan
nama yang asing bagi para tokoh dunia persilatan,
terutama para tokoh tuanya. Sayang sekali sebelumnya
aku tak pernah dengar nama itu dan tak pernah jumpa.
Satu kali berjumpa langsung dia melamarku dan
memaksaku menjadi istrinya. Kulacak dengan ilmu
teropong batinku juga tak bisa ketemu, ia punya
kekuatan yang mampu sembunyikan diri dari teropong
indera keenam para tokoh tingkat tinggi."
Buat Suto Sinting, melacak tokoh sakti tidaklah sulit.
Kenalannya, para tokoh tua berilmu tinggi, tentu bisa


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimintai bantuan untuk melacak tempat tinggal Bandar
Hantu Malam itu. Maka untuk itu, Pendekar Mabuk
segera temui Tabib Awan Putih yang tinggal tak jauh
dari pantai utara. Tabib bermata kecil dengan pakaian
serba putih, kurus, bungkuk, berusia sekitar delapan
puluh tahun itu, segera manggut-manggut ketika Suto
menanyakan tentang orang bernama Bandar Hantu
Malam. Tabib Awan Putih yang berjenggot panjang
lurus ke bawah itu segera berkata dengan suara bijaknya,
"Setahuku, orang yang berjuluk Bandar Hantu Malam itu tinggalnya di Gunung Keong
Langit, arah timur dari sini."
"Apakah dia orang sakti yang berbahaya, Tabib Awan Putih?"
"Dulu memang ia berbahaya, ketika hidupnya sesat
dan belum beristri, ia bekas seorang perampok yang
mencari korban malam hari, sehingga berjuluk Bandar
Hantu Malam, karena kehadirannya bagaikan hantu
tanpa jejak. Cepat datang juga cepat pergi," tutur sang Tabib sambil menghisap
pipa tembakaunya.
"Kudengar dia punya Ilmu 'Racun Siluman'. Apa
benar itu?"
"Karena dia termasuk murid Warok Guci Wangsit,
sedangkan ilmu 'Racun Siluman' hanya milik Warok
Guci Wangsit pada masa itu, maka bisa saja ia mewarisi ilmu tersebut dari
gurunya. Dan ilmu itu sangat
berbahaya, Suto."
Suto Sinting angguk-anggukkan kepala. Sebelum ia
ucapkan kata, Tabib Awan Putih sudah bicara lagi
dengan tenang. "Tapi sejak ia punya istri, sang istri mampu
membuatnya bertobat dan pelajari ilmu-ilmu aliran
putih. Sayang istrinya sudah meninggal, sehingga bisa
jadi ia kambuh menjadi sesat kembali. Namun sejauh ini aku tak pernah dengar si
Bandar Hantu Malam bikin
ulah yang menggegerkan dunia persilatan. Namanya pun
bagaikan telah lenyap ditelan bumi. Itulah sebabnya aku merasa heran mengapa kau
tanyakan nama Bandar
Hantu Malam?"
"Hmmm... aku hanya sekadar ingin temui dia saja.
Ada persoalan sedikit yang harus kuselesaikan
dengannya," jawab Suto tak mau berterus terang, karena takut membuat nama Ratu
Asmaradani dilecehkan oleh
siapa saja. Karena wanita itu saudara sepupu bibi
gurunya, maka Pendekar Mabuk merasa perlu
melindungi nama baik wanita itu juga.
Dalam perjalanannya menuju Gunung Keong Langit,
yang menurut keterangan Tabib Awan Putih, bentuk
gunung itu seperti rumah keong raksasa itu, Suto Sinting sempat berpikir tentang
semua kata-kata dan penjelasan tabib bungkuk itu.
"Mungkin memang karena tak beristri lagi, maka
Bandar Hantu Malam kembali ke jalan yang sesat karena
tak ada orang yang mengingatkannya. Tapi mengapa
diawali dari dasar laut" Mengapa sasaran pertamanya
Ratu Asmaradani" Apakah dengan begitu tingkah
lakunya tidak mudah tercemar di permukaan bumi" Atau
karena Bandar Hantu Malam tak bisa menahan hasratnya
untuk beristri lagi dan sudah lama mengincar Ratu
Asmaradani yang masih tampak muda itu?"
Renungan itu patah. Langkah pun terhenti.
Pandangan Suto segera tertuju ke arah kirinya. Di sana
ada tanah lega berpohon jarang. Di atas tanah itu tampak dua orang mengadu
kesakitan dengan letupan-letupan
yang kadang menjadi ledakan mengguncang tanah. Suto
Sinting segera bergegas ke pertarungan dua perempuan
yang jaraknya lebih dari lima puluh langkah orang biasa.
"Sumbaruni..."!" gumam Suto Sinting, lalu matanya beralih kepada perempuan yang
satunya lagi, yang
kenakan baju dalam warna kuning kunyit dan dirangkap
baju jubah hijau. Perempuan yang ini berkuku runcing,
walau tak terlalu panjang. Dadanya kelihatan montok
sekali, wajahnya pun cantik, matanya indah tapi
berkesan jalang dan kulitnya putih mulus bagai tanpa
cacat. Melihat kakinya tak menyentuh tanah, maka Suto
Sinting segera tahu bahwa perempuan bersenjata kipas
bulu merak itu tak lain adalah Nila Cendani yang
disebut-sebut sebagai Ratu Tanpa Tapak.
Perempuan itulah yang membuat Suto dikejar-kejar
para pembunuh bayaran karena disangka memegang
pusaka Keris Setan Kobra pada waktu keris itu belum
ditemukan. Perempuan itu mempunyai dendam yang
begitu tinggi, karena ia pernah dikalahkan oleh Suto
Sinting dalam satu pertarungan di Gunung Sesat.
Niatnya yang ingin menaklukkan seluruh tokoh
persilatan dan menguasai dunia membuat Nila Cendani
tak peduli lagi bahwa Sumbaruni adalah neneknya jika
diurutkan sesuai silsilah sebenarnya, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak").
Untuk sementara waktu Pendekar Mabuk tidak ikut
campur dalam pertarungan tersebut, ia berdiri di atas
gundukan tanah yang ditutupi bayangan pohon besar
hingga tampak teduh. Suto Sinting justru menenggak
tuaknya beberapa teguk, setelah itu memperhatikan
pertarungan tersebut dengan tenang. Jarak pertarungan
itu dengan tempatnya duduk sekitar lima belas langkah.
Melihat kehadiran Suto Sinting di situ, Nila Cendani
segara hentikan pertarungan sejenak. Matanya
memandang sipit kepada Pendekar Mabuk pertanda
sedang memendam dendam. Suto Sinting yang merasa
dipandangi segera sunggingkan senyum menawan,
seakan sengaja menggoda Nila Cendani yang tak bisa
disentuh oleh orang yang bukan perawan atau bukan
jejaka. Itulah sebabnya Sumbaruni sejak tadi hanya
menghindari serangan-serangan Nila Cendani sambil
mencari akal bagaimana untuk menyerang balik. Sebab
Nila Cendani tak bisa disentuh oleh Sumbaruni yang
sudah tidak perawan lagi itu. Bahkan pukulan-pukulan
tenaga dalam Sumbaruni tidak bisa kenai Nila Cendani,
tapi pukulan Nila Cendani dapat sampai ke tubuh
Sumbaruni. Untuk sementara itu Sumbaruni hanya
memanfaatkan pukulan Nila Cendani yang melesat ke
arahnya dan diadu dengan pukulan tenaga dalamnya.
Gelombang ledakan itulah yang dimanfaatkan oleh
Sumbaruni dan diharapkan dapat menumbangkan tubuh
lawannya. "Memang susah melawan orang itu bagi Sumbaruni
atau orang yang sudah tidak perawan lagi," pikir Suto Sinting. "Kurasa biar
sebesar apa pun kekuatan
Sumbaruni jika terus-terusan hanya menghindari
serangan Ratu Tanpa Tapak itu, lama-lama ia akan
tumbang juga di tangan sang Ratu sesat itu. Agaknya
aku tak boleh biarkan pertarungan itu menjadi lebih lama lagi, karena Sumbaruni
sudah mulai kehilangan
akalnya." Terdengar seruan Sumbaruni menantang Ratu Tanpa
Tapak yang hentikan pertarungan karena pandangi Suto
Sinting. "Nila Cendani! Lanjutkan perterungan kita, karena aku tak sabar lagi ingin
segera mengalahkan dirimu!"
Mata Nila Cendani masih tertuju pada Suto Sinting.
Bahkan sikap berdirinya pun terang-terangan menghadap
ke arah Pendekar Mabuk. Diam-diam Sumbaruni
khawatir jika Nila Cendani lepaskan Ilmu 'Serap Sukma
Asmara' lewat gigitan bibirnya sendiri yang dapat
membuat Suto Sinting jatuh cinta dalam sekejap.
Karenanya, Sumbaruni segera lepaskan pukulan tenaga
dalamnya berbentuk kilatan cahaya merah ke arah wajah
Nila Cendani. Claap...! Zruub...! Cahaya merah itu
padam sebelum menyentuh wajah Nila Cendani. Hal itu
dilakukan berulang-ulang oleh Sumbaruni atau Pelangi
Sutera untuk memancing perhatian lawannya. Tetapi
agaknya Nila Cendani tidak mau terpancing dan justru
melangkah dekati Suto Sinting. Sumbaruni ketakutan
dan segera berseru kepada Suto,
"Pergi kau! Jangan di situ, Suto! Pergiii...!"
Karena Suto Sinting tak mau pergi, maka Sumbaruni
segera sentakkan kaki dan melenting ke udara, melesat
ke arah pertengahan jarak antara Suto dan Nila Cendani.
Wuuut...! Jleeg...! Kakinya menapak di tanah dengan
mantap dan langsung dalam keadaan berdiri
menghadang Nila Cendani.
"Kau tak akan bisa menyentuhnya. Nila Cendani!"
gertak Sumbaruni.
Perempuan itu diam saja, tapi tahu-tahu mencabut
kipasnya dari pinggang dan menyentakkan ke depan.
Suuut...! Claap...! Sinar hijau menyebar lebar bagaikan mata pedang yang melesat
ke arah leher Sumbaruni.
"Minggir, Sumbaruni!" teriak Suto dengan tegang.
Tetapi Sumbaruni andalkan jurus mautnya dengan
lepaskan sinar warna-warni dari sentakan kedua
tangannya. Sinar warna-warni itu membentuk perisai di
depannya dan dihantam oleh sinar hijau lebar milik Nila Cendani.
Blaaarrr...! Ledakan menggelagar begitu dahsyat mengguncang
bumi. Sinar terang menyilaukan melesat dalam sekejap,
nyaris membuat pandangan mata menjadi buta.
Gelombang ledakan yang sempat membuat beberapa
dahan pohon patah itu ternyata membuat Sumbaruni
tumbang terkapar dalam jarak delapan langkah dari
tempatnya berdiri. Tubuhnya berlumur darah yang
keluar menyembur dari tiap lubang di tubuhnya.
"Parah!" gumam Suto dalam kecemasan melihat keadaan Sumbaruni. Ia sendiri tadi
sempat terpelanting jatuh dan terguling-guling saat merasakan hentakan
gelombang ledakan. Tapi keadaan Suto tidak mengalami
cedera apa pun. Ia segera bangkit dan mencari Ratu
Tanpa Tapak. O, rupanya Ratu Tanpa Tapak juga tersentak mundur
beberapa langkah sampai ke belakang sebuah pohon
akibat ledakan dahsyat tadi. Namun keadaannya masih
tetap segar, tidak mengalami luka apa pun. Bahkan kini ia melesat maju tanpa
melangkah. Kakinya yang tidak
menginjak tanah itu membuat gerakannya bagaikan
melayang mendekati Suto Sinting.
"Kuhancurkan tubuh Sumbaruni jika kau tak mau
tunduk padaku, Suto!" kata Nila Cendani mengancam dengan suara dingin.
"Aku tak akan pernah tunduk pada orang sesat
sepertimu, Nila Cendani!"
"Bagus. Kalau begitu kau ingin lihat tubuh
Sumbaruni hancur sekarang juga!"
Wuuut...! Claaap...!
Dari mata Nila Cendani melesat selarik sinar biru bening ke arah tubuh Sumbaruni
yang terkapar tak
berdaya itu. Suto Sinting cepat patahkan sinar biru itu dengan lepaskan jurus
'Surya Dewata', yaitu sinar ungu yang keluar dari telapak tangan yang disatukan
di dada dan disentakkan ke depan. Claap...!
Blegaaarrr...! Ledakan lebih dahsyat dari yang tadi telah membuat
tanah bagaikan diguncang gempa hebat. Tiga pohon di
seberang sana tumbang, akarnya terdongkel keluar dari
tanah. Dua gugusan batu sempat pecah akibat
gelombang panas yang menghentak dahsyat dari ledakan
yang timbul akibat perpaduan sinar birunya Nila
Cendani dan sinar ungunya Suto Sinting.
Akibat ledakan itu, Nila Cendani terlempar kuat ke
belakang dalam jarak tujuh langkah. Ia terbaring ke sana-sini, dan akhirnya
terpuruk di bawah sebuah pohon dengan suara rintih yang samar-samar. Sedangkan
Suto Sinting sendiri juga terpental ke belakang, bahkan
bumbung bambunya sempat terlepas dari pundak. Mulut
Suto sempat lelehkan darah segar karena dadanya terasa dihantam gunung pada saat
terjadi ledakan maha dahsyat tadi. Pandangan mata Pendekar Mabuk sempat
berkunang-kunang dan buram. Samar-samar ia mencari
bambu tuaknya dan segera berhasil menemukannya.
Lalu ia buru-buru menenggak tuaknya beberapa teguk,
setelah itu baru merasa tenang. Pandangan matanya
terang kembali, rasa sakit di dada berangsur-angsur reda.
Pendekar Mabuk berdiri dengan tegak dan tegap.
Matanya memandang tajam ke arah Nila Cendani yang
baru saja bangkit di bawah pohon. Wajahnya berlumur
darah. Kakinya sudah bisa menapak di tanah. Tetapi
darah dari kedua matanya masih mengucur terus
membuatnya bersandar di batang pohon.
"Oh, dia buta..."!" gumam Suto dalam hati sambil kian mendekati lawan untuk
melihat lebih jelas lagi.
Kedua biji mata Nila Cendani itu hancur akibat sinar
birunya yang keluar dari mata tadi merusak biji mata
sendiri setelah diadu dengan sinar ungunya Pendekar
Mabuk. Akibatnya Nila Cendani tak bisa melihat apa-
apa lagi. Dan tangannya mulai meraba-raba ketika ingin
melangkah berpindah ke tempat yang menurutnya lebih
aman, yaitu di balik pohon besar tersebut.
"Celaka! Keadaanku sangat parah. Tak mungkin bisa menang melawan pemuda tampan
yang mirip setan alas
itu!" geram Nila Cendani.
"Nila Cendani!" seru Suto, "Jika kau ingin bertobat, jika kau mau tinggalkan
alam sesatmu, aku sanggup
sembuhkan biji matamu itu, Nila Cendani!"
"Persetan denganmu, Suto! Suatu saat aku akan
datang membalas kekalahan ini! Kau harus menebusnya
dengan dua biji matamu, Suto!"
Setelah berseru begitu, Nila Cendani melesat dari
balik pohon, meninggalkan tempat itu. Gerakan larinya sangat cepat. Tapi karena
matanya buta, maka ia pun
menghantam pohon di depannya. Bruus...! Bruk! Ia
jatuh, lalu bangkit lagi dan berlari lagi ke arah lain. Tapi ia tak tahu di
depannya ada semak berduri sehingga ia
pun menerabas semak berduri itu. Bruus...!
"Aauh...!" pekiknya dengan terengah-engah. Sekujur tubuhnya tergores duri,
membuat pakaiannya pun
menjadi robek-robek begitu keluar dari semak-semak itu.
Tapi Nila Cendani tak mau mengeluh berkepanjangan, ia


Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

larikan diri lagi dengan agak mengurangi kecepatannya
dan tangannya meraba-raba.
Sementara itu, Suto Sinting tak pedulikan lagi
lawannya yang telah menjadi buta itu. Perhatian
Pendekar Mabuk tercurah kepada Sumbaruni yang
terkapar dalam keadaan parah.
"Sumbaruni, bertahanlah...!" sambil Suto
mempersiapkan bumbung tuaknya.
"Tinggalkan aku. Aku... aku sudah tak kuat lagi.
Pergilah sana...," rintih Sumbaruni dengan napas mulai menipis.
"Tidak. Kau harus minum tuak ini, Sumbaruni! Ayo, minumlah...! Minum!"
"Ak... aku... aku tak bisa menelan," katanya kian lirih dan serak.
"Kau harus bisa menelan tuak ini! Kau harus
meminumnya. Lukamu akan sembuh, Sumbaruni! Ayo,
minumlah! Usahakan menelan tuak ini!"
Sumbaruni yang gagal menemukan anaknya di Jurang
Petaka, akhirnya harus menderita separah itu dalam
pertarungannya melawan perempuan sesat tersebut. Suto
Sinting tak tega membiarkan Sumbaruni tanpa daya. Ia
paksakan perempuan itu agar mau meminum tuaknya.
Tapi mulut Sumbaruni terasa makin kaku, sulit untuk
dibuka. Suto Sinting buru-buru memaksa mulut itu agar
terbuka dan bisa dituangi tuak bagian dalamnya. Namun
mata Sumbaruni sudah mulai sayu, menyipit, dan
napasnya pun kian menipis.
"Ayo, minum tuak ini sedikit saja, Sumbaruni!
Jangan menyerah kepada keparahanmu! Ayo, berusaha
melawan keparahan ini!" desak Suto Sinting sambil berusaha membuka mulut
Sumbaruni walau agar kasar
caranya. * * * 4 SEBUAH desa yang penduduknya cukup padat
menjadi tempat persinggahan Suto Sinting. Desa itu
terletak di kaki Gunung Keong Langit. Sebenarnya Suto
Sinting ingin tetap lakukan perjalanan, mendaki gunung itu untuk tiba di pondok
Bandar Hantu Malam. Tetapi
agaknya ia membutuhkan sebuah kedai untuk
beristirahat dan mengisi tabung bambu tuak yang telah
menipis isinya itu.
Suasana awal petang menyertai kehadiran Suto di
desa itu. Sebuah kedai yang tak seberapa besar menjadi tempat tujuan pertama.
Namun pada saat itu kedai
tersebut sudah mau ditutup oleh pemiliknya; Ki
Rosowelas. Orang itu bertubuh kurus, rambutnya pendek
bercampur uban lebat, wajahnya penuh kesan seorang
yang sabar dan ramah. Tapi saat itu Suto melihat lelaki berbaju abu-abu itu
Geger Dunia Persilatan 17 Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Pedang Tetesan Air Mata 3
^