Pencarian

Bara Api Di Laut Kidul 1

Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul Bagian 1


1 WAJAH PERAK sang rembulan masih menyinarkan
cahayanya ke arah permukaan bumi. Pantulan
sinarnya pada permukaan daun yang basah oleh
embun malam, berkilat-kilat gemerlapan laksana
permata-permata yang bertaburan.
Sementara itu, di dalam rumah yang terletak di
ujung Desa Mijen, tampaklah tiga orang duduk di
balai-balai dalam suasana penuh keakraban.
Ki Rebab Pandan tak habis-habis kekagumannya
menatap wajah Pendekar Bayangan yang kini telah
menanggalkan topengnya. Wajah itu yang lebih tua
daripada dirinya, masih juga menampakkan
kesegarannya dan cerah. Sepasang kumis dan jenggot keputihan menghias wajahnya.
Demikian pula mata
Pendekar Bayangan yang tampaknya sudah tua itu,
masih pula bersinar bening dan tajam.
"Nah, Ki Rebab Pandan. Sekarang, silakan Andika
berceritera tentang Panembahan Jatiwana dan Ki
Topeng Reges itu. Kami ingin sekali mendengarnya,
lebih-lebih dengan kisah Landean Tunggal yang sangat mengharukan itu," ujar
Mahesa Wulung dengan penuh
hormat. "Ya. Berceriteralah, Kisanak. Saya rasa, aku pun
pernah mendengar nama Panembahan Jatiwana
beberapa puluh tahun yang lalu," sambung Pendekar
Bayangan pula. "Oh, ya, ya. Baiklah. Aku mulai saja dengan ceri-
teraku. Kita mulai pada waktu yang telah silam, kira-kira duapuluh tahun yang
lalu. Di waktu itu, saya
masih mengabdi pada Panembahan Jatiwana sebagai
seorang cantrik, seorang cantrik yang masih sangat
muda sekali yang kadang-kadang menangis bila
bertengkar dengan kawannya," Ki Rebab Pandan
berhenti sejenak sambil menyeruput wedang jahenya.
"Hmm, ceritera Andika mulai menarik," gumam
Pendekar Bayangan seraya menelan ubi rebus yang
telah dikunyahnya. "Teruskanlah. Kami akan mende-
ngarnya sampai selesai."
"Baiklah, dan lebih menarik lagi bila aku me-
ngatakan pada Andika berdua, bahwa aku sebenarnya
adalah putera Panembahan Jatiwana sendiri!" ujar Ki Rebab Pandan.
"Ha, Andika putera Panembahan Jatiwana"!" seru
Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung berbareng
saking kaget dan herannya.
"Begitulah. Sedang Landean Tunggal yang waktu itu
berusia jauh lebih tua dari aku, menjadi murid
kesayangan Bapak Panembahan Jatiwana. Ia seorang
yang baik, dan terhadap diriku ia sungguh menaruh
rasa sayang dan kasih. Bagiku ia merupakan seorang kakak yang sejati."
Suasana Padepokan Gunung Merapi ini sangat
tenteram dan damai. Perguruan Panembahan Jatiwana
berlangsung dengan baik serta cukup terkenal dimana-mana, di segenap pesisir
utara dan selatan Jawa.
Tetapi suasana tenteram dan damai tadi akan segera berubah, bila pada suatu sore
yang cerah kami berdua dengan
Kakang Landean Tunggal mengantar
Panembahan Jatiwana berjalan-jalan menuruni lereng gunung sebelah selatan.
"Angger Landean Tunggal dan kau, Rebab Pandan.
Apakah kalian telah memahami loncatan-loncatan
Srigunting yang telah aku ajarkan kemarin?" berkata Panembahan Jatiwana sambil
menghentikan langkahnya. "Sudah, Guru. Kami berdua telah mempelajarinya,
tetapi mungkin masih kurang sempurna," jawab
Landean Tunggal.
"Tak apalah, Angger. Justru kalian berdua kuajak
kemari ini, selain untuk berjalan-jalan menghirup
udara sore sesegar ini, juga aku ingin melihat sampai di manakah kalian telah
memahami loncatan-loncatan Srigunting itu," berkata Panembahan Jatiwana seraya
menatap kedua muridnya, membuat kedua orang itu
tertunduk segan. "Memanglah, suatu permulaan pasti kurang sempurna. Tetapi
dengan latihan-latihan dan ketekunan pastilah hal itu bisa dicapai Angger."
"Terima kasih, Guru," sela Landean Tunggal.
"Apakah guru bermaksud...."
"Memang aku ingin melihatnya, Landean," sahut
Panembahan Jatiwana segera. "Supaya aku dapat
mengetahui kekurangan-kekurangannya."
"Baik, Guru," kata Landean Tunggal dengan me-
nganggukkan kepalanya kemudian melangkah surut
ke belakang dua langkah. Setelah memusatkan
tenaganya, dengan segera ia menjejak tanah dan
melesatlah tubuhnya ke udara bagaikan gerak burung srigunting dengan tiga
putaran di atas untuk sejurus kemudian ia mendarat kembali ke tanah dengan
tegak. Melihat kelincahan Landean Tunggal, orang tua ini
tersenyum lega. "Hmmm, ya, ya. Itu cukup baik,
Angger. Nah, kini aku pun ingin melihat loncatanmu, Rebab Pandan."
"Siap, Guru," Rebab Pandan menghormat kemudian
ia pun meloncat ke udara dengan tiga kali putaran
tubuhnya seperti bola, persis yang dikerjakan Landean Tunggal. Tetapi ketika
mendarat iapun menunjukkan
gaya tersendiri. Ia telah mendarat di tanah dengan berjongkok. Karuan saja
Landean Tunggal serta
Panembahan Jatiwana terperanjat kagum!
"Hebat kau, Adi Rebab Pandan," seru Landean
Tunggal memuji.
"Bagus, bagus. Kalian berdua ternyata murid yang
cerdas. Loncatan-loncatan tadi cukup sempurna. Dan akan lebih sempurna jika
Angger berdua bisa lebih
lama berloncatan dan bersilat di udara." Panembahan Jatiwana berhenti berkata,
demi dilihatnya kedua
muridnya itu terlongoh-longoh mendengar tutur
katanya. "Bersilat di udara?" seru mereka kaget.
"Ya, bersilat di udara, sehingga akan sesuai dengan namanya. Loncatan
srigunting! Apakah Angger pernah melihat burung srigunting yang terbang
berjumpalitan di udara kesana kemari?"
"Pernah, Guru," ujar Landean Tunggal. "Tetapi itu
berarti kita harus mengerahkan segenap ilmu meri-
ngankan tubuh."
"Tak salah lagi, Angger!" sahut Panembahan
Jatiwana membenarkan. "Bila kalian telah mampu
melakukannya, maka tak mustahil Angger akan dapat
meloncat dan berputaran serta bersilat di udara dalam waktu yang cukup lama."
Orang tua ini berhenti
sejenak seraya menatapi kedua muridnya, kemudian ia melanjutkan kata-katanya,
"Nah, baiklah. Untuk
jelasnya aku akan memberi contoh kepada Angger
berdua." Mendengar ujar gurunya, Landean Tunggal serta
Rebab Pandan berdebar-debar hatinya, sebab mereka
belum pernah melihat orang tua ini mempertunjukkan loncatan srigunting dalam
bentuk tata kelahi dan silat.
"Hyaaat!"
Tiba-tiba lamunan mereka dikejutkan oleh sebuah
teriakan nyaring dan mata mereka menangkap baya-
ngan tubuh gurunya melesat ke atas udara tinggi-
tinggi dan berjumpalitan kesana kemari serta memutar tongkat kayunya seperti
pusaran angin berderu-deru menakjubkan. Gerakan ini dilakukan dengan cepat
serta lincah, selincah gerak burung srigunting.
Sesudah bersilat di udara sesaat tadi, Panembahan
Jatiwana lalu melayang ke bawah dan mendarat
kembali di atas tanah.
Ketika mendarat itu, Panembahan Jatiwana masih
melihat kedua orang muridnya tersebut terdiam
membisu. "Kalian tak perlu heran, Angger. Jika kalian terus senantiasa berlatih dengan
gigih, pastilah kelak Angger akan dapat melakukannya pula."
"Terima kasih, Guru."
"Dan sekarang," kata Panembahan Jatiwana kepada
kedua orang muridnya, "marilah kita berlatih loncatan srigunting dalam
pengetrapan tata silat. Kalian boleh menyerangku berbareng!"
Berbareng dengan kata-katanya itu, ia melihat
betapa kedua muridnya segera memasang kuda-kuda
siaga. Landean Tunggal bergeser surut ke belakang, sementara Rebab Pandan
melingkar ke kanan dua
langkah. Kedua pasang mata mereka menatap tajam
ke arah dirinya.
"Heh, heh, heh, bagus! Bagus! Kalau sudah begitu
baiknya kita mulai saja latihan ini. Ayo, seranglah saja," ujar Panembahan
Jatiwana kegirangan serta
bersiaga sepenuhnya.
Tiba-tiba sebuah angin berdesir dingin, dan ter-
nyata secara cepat dan diam-diam Landean Tunggal
telah melancarkan serangan pukulan ke arah orang
tua ini. Sementara itupun Rebab Pandan dengan sigapnya
mengirimkan sebuah tendangan kaki ke arah lambung
gurunya. Biarpun dalam hati kedua murid
Panembahan Jatiwana itu segan melakukan serangan-
serangan ini namun merekapun yakin bahwa gurunya
jauh berada di atas tingkatan ilmu mereka, sehingga dengan demikian keduanya
tidak usah kuatir kalau-kalau Panembahan Jatiwana itu terluka karenanya.
Dugaan mereka ternyata benar. Sebelum serangan
mereka sempat menyentuh kulit tubuh orang tua ini, mendadak saja Panembahan
Jatiwana telah melesat ke udara. Serangan-serangan mereka hanya
mendapatkan udara kosong belaka.
Dasar Landean Tunggal termasuk murid gemble-
ngan orang tua ini, maka begitu serangannya gagal ia tidak lantas berputus asa.
Iapun cepat mengetrapkan ilmu loncatan srigunting dan sambil melesat ke udara,
kedua tangannya telah melancarkan pukulan
beruntun. Tetapi orang tua ini sekali lagi membuat putaran di udara dan loloslah ia dari
gempuran Landean Tunggal, membuat muridnya ini terpekik kagum. Kini
Panembahan Jatiwana ganti melayang turun dan
menyerang Landean Tunggal dengan tepukan telapak
tangan. Serangan ini begitu tiba-tiba dan hanya
menggunakan sedikit tenaga, namun akibatnya sangat menakjubkan. Lengan Landean
Tunggal yang terkena
gempuran telapak tangan tadi tergetar dan kesemutan, sehingga ia terpaksa lekas-
lekas mendarat ke tanah.
Belum habis Panembahan Jatiwana mengawasi
Landean Tunggal mendarat ke tanah, tiba-tiba dari
arah samping meluncur satu serangan pula dengan
hebatnya. Maka cepat-cepat orang tua ini melengos ke samping. Dan alangkah
kagetnya, bila penyerang ini tidak lain si Rebab Pandan.
"Hyaat!"
Plaak! Tahu-tahu tangan Rebab Pandan tergempur oleh
telapak tangan Panembahan Jatiwana, sampai pemuda
ini tergetar surut ke belakang. Tapi baiknya ia cepat-cepat berputar di udara
hingga getaran tadi punah
karenanya. Sejurus kemudian iapun turun ke tanah
kembali. Begitu pula orang tua itu. Iapun turun ke tanah,
biarpun hanya sebentar. Sebab setelah itu iapun
melesat kembali ke udara dengan sigap dan lincah.
Dalam waktu yang sama, Landean Tunggal telah
mengejarnya dengan loncatan Srigunting ke arah
gurunya, dan bertempurlah mereka kembali ganti-
berganti. Maka tak ubahnya gerakan burung
srigunting, ketiganya berloncatan ke udara serta
bertempur dan sesaat mendarat kembali ke tanah
untuk kemudian berlenting lagi ke udara.
Kalau mula-mula keduanya segan bertempur
melawan gurunya, kini tanpa terasa mereka telah
mengerahkan segenap ilmunya dalam menghadapi
orang tua ini. Mereka bertempur dengan seru sampai puluhan
jurus dihabiskan. Tetapi tiba-tiba saja di tengah
pertempuran yang seru ini, Panembahan Jatiwana
telah berseru, "Tahan! Kita sudahi latihan ini!"
Tentu saja kedua muridnya itu terlongoh keheranan
melihat gurunya menutup latihan tersebut secara tiba-tiba. Mereka menduga keras
pastilah ada sesuatu
kejadian yang penting, sampai orang tua ini berbuat begitu.
"Angger berdua, dengarlah dengan baik-baik. Angin
dari arah selatan ini telah membawa getaran-getaran aneh. Getaran dari
pertarungan yang seru!"
Mendengar ujar gurunya ini, Landean Tunggal serta
Rebab Pandan terpaksa memusatkan pendengarannya
dan setelah beberapa lama berusaha, dapatlah mereka mendengar getaran-getaran
dari arah selatan.
"Benar, Guru! Rupanya telah terjadi pertarungan di sebelah selatan sana!" seru
Rebab Pandan. "Nah, marilah kita pergi ke sana. Kita akan lihat
apakah yang telah bertarung disana," kata
Panembahan Jatiwana sekaligus memberi isyarat
kepada kedua muridnya itu.
Sebentar saja ketiga orang itu telah berloncatan ke arah lereng Gunung Merapi
sebelah selatan dengan
cepatnya. Ketiga orang itu masing-masing bertanya di dalam
hati, apakah gerangan yang tengah terjadi di lereng selatan sana" Pertarungan
manusia ataukah pertarungan antara binatang buas" Getaran-getaran tadi
makin terdengar jelas apabila mereka semakin jauh
menuju ke lereng selatan.
Di antara keremangan cahaya senja, di antara
semak-semak ilalang di dataran kecil, terlihatlah tiga bayangan bergerak-gerak
dengan cepatnya, saling
melibat. Panembahan Jatiwana dengan kedua muridnya itu
segera bergerak lebih dekat ke arah ketiga bayangan itu, dan kini tampaklah
dengan jelas apa yang tengah terjadi di hadapan mereka.
Seorang pemuda dengan mati-matian bertahan
terhadap serangan dua ekor harimau tutul!
Tampaknya ia seorang pemberani, sebab ia hanya
menggunakan sebuah ranting kayu dalam menghadapi


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua binatang buas itu. Pada tubuhnya tampaklah
goresan-goresan dan luka-luka berdarah.
Rupa-rupanya kedua ekor harimau tutul itu sudah
sangat kelaparan, sehingga gerakan mereka tampak
semakin ganas. Loncatan-loncatan, terkaman serta
raungan yang menyeramkan terdengar memenuhi
tempat itu. Mereka merangsang pemuda itu dengan
ganas. Bau darah manusia yang menetes-netes dari
luka-luka itu sangat merangsang nafsu laparnya.
Sementara itu sang pemuda calon korbannya telah
banyak menderita luka-luka. Gerakannya menjadi
semakin lamban, apalagi darahnya telah banyak yang keluar dari luka-luka
tubuhnya. Ditambah dengan
rasa lelah yang kelewat sangat, maka si pemuda itu sudah berputus asa kiranya.
Ia tak mampu lagi
menangkis cakaran-cakaran kuku-kuku tajam dari
kedua harimau tutul itu, hingga bertambahlah luka-luka baru yang menghiasi
kulitnya. Dalam detik-detik yang kritis ketika pemuda itu
roboh ke tanah dan kedua harimau itu siap
menerkamnya, sekonyong-konyong dua buah batu
sebesar telur ayam telah melesat menerjang tubuh
kedua ekor harimau itu hingga keduanya jatuh
bergulingan ke tanah dengan raungan kesakitan.
Tentu saja kedua binatang tadi menjadi marah, bila serangannya telah terganggu
akibat lemparan batu-batu tersebut. Mereka cepat bangkit dan mengendap.
Mulutnya tampak menyeringai lebar, hingga gigi-gigi dan taringnya yang runcing
kelihatan sangat seram.
Keduanya menatap tajam ke arah utara dan
tampaklah seorang tua bertongkat kayu, berdiri de-
ngan kokoh laksana tonggak baja yang tak
tergoyahkan badai ataupun gempa. Sedang agak jauh
di belakang orang tua itu, berdiri pula dua orang muda yang tidak lain adalah
Landean Tunggal beserta Rebab Pandan.
Kedua macan tutul tersebut tidak lekas-lekas
memulai serangannya, seolah-olah mereka tengah
mengukur tenaga lawannya. Agaknya mereka
keheranan dengan kekuatan orang tua itu yang telah berhasil merobohkannya dengan
lemparan batu! Tetapi sesaat kemudian, mereka mulai menggeram
dan bersiaga. Panembahan Jatiwana tidak merasa
gentar karenanya, selain memutar tongkat kayunya
sampai berdesing menerbitkan angin.
Tiba-tiba seekor di antaranya menerkam ganas ke
arah Panembahan Jatiwana, namun orang tua ini
keburu meloncat ke udara sementara tongkatnya tetap berputar hebat! Kejadian
berikutnya sangat cepat dan sukar ditangkap mata. Tubuh macan tutul yang
menerkam tadi tahu-tahu menggeliat serta
menggerung keras akibat tongkat kayu Sang
Panembahan menggempur batok kepalanya, dan
sejurus kemudian macan tutul itu rebah ke tanah dengan kepala yang pecah!
Dalam waktu yang sama, ketika Panembahan
Jatiwana masih mengambang di udara, macan tutul
yang kedua segera meloncat tinggi-tinggi dengan kuku jari-jarinya yang
mengembang penuh, siap merobek
tubuh orang tua ini. Akan tetapi sekali lagi
Panembahan Jatiwana berputar di udara dan kembali
tongkat kayunya beraksi.
Prak! Raungan hebat memecah kesunyian senja, apabila
tongkat itu membentur tulang punggung harimau ini.
Gemertak tulang patah serta disusul oleh tubuh si
tutul terhempas ke tanah telah mengejutkan Landean Tunggal serta Rebab Pandan.
Tak nyana, bahwa
gurunya yang sudah setua itu masih mampu
merobohkan dua ekor macan tutul dalam beberapa
gebrakan saja. Mereka sesaat masih menatapi bangkai
kedua ekor macan tutul yang kini tergeletak di tanah bermandi darah!
Landean Tunggal serta Rebab Pandan buru-buru
berlari mendekati gurunya.
"Oooh, Guru tak apa-apa?" sapa Landean Tunggal
penuh kecemasan.
"Maaf, kami berdua tak sempat membantu," ujar
Rebab Pandan agak menyesal, sebab sebenarnya mere-
ka tak sampai hati membiarkan orang tua ini bersusah payah berjumpalitan
menghadapi kedua macan tutul
itu. "Tak apa, Angger. Aku masih tetap baik-baik saja.
Marilah kita cepat-cepat menolong orang itu! Kita
harus menyelamatkan jiwanya!"
"Baik, Guru," ujar mereka berbareng.
Ketiganya segera bergegas mendekati si pemuda
tadi, yang tergeletak dengan tubuhnya penuh luka-
luka berdarah. "Ah, kasihan dia. Mudah-mudahan jiwanya dapat
tertolong," berkata orang tua itu seraya berjongkok di samping tubuh si pemuda
berkumis lebat yang
terkapar di tanah tak berdaya.
"Ooh, Bapak telah menolong jiwaku," desis si
pemuda sambil menyeringai kesakitan. "Terima kasih."
"Tenanglah, Angger," Panembahan Jatiwana berkata
lirih. "Biarlah bapak membalut luka-lukamu."
Selesai berkata Sang Panembahan segera me-
ngambil selembar kain putih selebar ikat kepala serta dirobeknya menjadi
beberapa bagian. Kemudian ia
memetik daun-daun pohon-pohon kemeladingan serta
diremas-remasnya hingga lumat, untuk kemudian
dibubuhkan pada luka-luka itu.
"Nah, untuk sementara ini cukup untuk
menghentikan darahmu yang mengalir dari luka-luka,"
kata Sang Panembahan sambil membalut luka-luka si
pemuda. Sementara itu, Rebab Pandan yang memandang
wajah si pemuda berkumis lebat hatinya seketika
berdebar-debar. Entah apa sebabnya, ia tidak
mengetahui. Hatinya merasa curiga terhadap pemuda
ini, maka iapun menyela berbicara, "Maaf, Kisanak.
Siapakah Kisanak dan mengapa berada di tempat ini?"
"Eh, saya bernama Umpakan dan saya... eh saya...
hanya berjalan jalan saja ke tempat ini. Kemudian
kedua macan tutul tadi menyerangku," jawab si
pemuda berkumis lebat tadi tergagap-gagap,
menambah kecurigaan Rebab Pandan.
"Angger Rebab Pandan! Simpanlah pertanyaan-
pertanyaanmu untuk waktu yang akan datang, bila
Kisanak ini telah sembuh dari luka-lukanya," sambung Panembahan Jatiwana.
Mendengar tutur kata gurunya itu, Rebab Pandan
tertunduk malu. Kata-kata tadi seolah-olah sebagai sindiran yang menunjukkan
ketidak-sabaran serta
kecurigaan yang berlebihan.
"Marilah kita papah Kisanak ini ke padepokan kita,"
ajak Panembahan Jatiwana kepada kedua muridnya.
Maka tak lama kemudian ketiganya beranjak.
Rebab Pandan serta Landean Tunggal memapah tubuh
Umpakan yang masih kelihatan payah, sedang
Panembahan Jatiwana berjalan di sebelah muka. Me-
reka mendaki jalan yang semula menuju ke arah
utara, kembali ke Padepokan Gunung Merapi.
Saputan warna-warna merah lembayung tinggal
sepotong-sepotong di cakrawala barat, pertanda bahwa malam segera menjelang.
Beberapa ekor kelelawar
mulai keluar dari sarangnya untuk mencari makan,
dengan mencicit serta mengepak-ngepakkan sayapnya
mengarungi udara malam.
Langkah-langkah mereka makin lambat sebab jalan
mulai mendaki berbelok-belok dan mereka harus
berhati-hati, sebab kini tubuh Umpakan merupakan
beban yang cukup berat.
Ketika keempat orang itu tiba di pintu gerbang
Padepokan Gunung Merapi yang ditumbuhi oleh
sebuah pohon jati tua, maka tergopoh-gopohlah para cantrik menyongsong mereka.
Kedatangan rombongan
itu, yang disertai oleh seorang dalam keadaan luka-luka serta dipapah oleh
Landean Tunggal dan Rebab
Pandan, menyebabkan mereka saling bertanya-tanya
di dalam hati mereka sendiri, apakah yang telah
terjadi, dan siapakah tamu yang dipapah dalam
keadaan luka-luka tersebut"
Mereka segera masuk ke dalam rumah dan diba-
ringkannya tubuh Umpakan di atas sebuah balai-balai.
Panembahan Jatiwana buru-buru mencuci kedua
belah tangannya bersih-bersih, lalu ia menuangkan
sebuah lodong tembikar yang berisi cairan obat ke
dalam cawan dari tempurung kelapa serta kemudian
dengan hati-hati diminumkannya ke mulut Umpakan.
Suasana sesaat menjadi hening. Perhatian masing-
masing tertuju kepada Umpakan. Rebab Pandan yang
sejak tadi telah berusaha mengatasi rasa curiganya terhadap Umpakan ini, namun
tak mudah kiranya.
Relung hatinya seolah-olah berbisik, bahwa Umpakan adalah orang yang tidak baik
kelakuannya! Beberapa waktu kemudian, tampaklah Umpakan
telah tertidur lelap. Nafasnya tampak teratur sedang kulit tubuhnya kini tidak
sepucat tadi melainkan
kemerahan seperti sedia kala.
Melihat ini, Panembahan Jatiwana segera memberi
isyarat kepada Landean Tunggal serta Rebab Pandan
dan juga para cantrik, untuk meninggalkan ruangan
itu. "Yah, Angger berdua serta para cantrik. Kini biarlah Kisanak ini
beristirahat sepenuhnya. Marilah kita pun beristirahat, agar besok kita bisa
bangun lebih pagi.
Banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan."
"Baik, Bapak Guru," ujar Landean Tunggal dan
setelah bersama-sama Rebab Pandan serta para
cantrik mengangguk hormat, mereka kemudian me-
ninggalkan ruangan itu. Begitu pula, Sang
Panembahan tua ini bergegas ke arah kamarnya.
Akhirnya sepilah ruangan itu, juga sepi pula
Padepokan Gunung Merapi yang telah diselimuti oleh kabut malam. Alam seolah
tertidur semuanya, kecuali suara binatang-binatang malam yang bersahutan.
Namun di sebelah ruangan kamar di dalam rumah
padepokan itu, Landean Tunggal serta Rebab Pandan
tidak segera dapat tidur sebab mereka masih disibuki oleh pikiran-pikiran
tentang diri Umpakan yang baru saja mereka tolong itu.
"Ssst, Adi Rebab Pandan. Mengapa kau belum tidur
juga?" bisik Landean Tunggal kepada adik
seperguruannya yang berbaring di sampingnya.
"Maaf, Kakang. Aku merasa curiga terhadap
Umpakan," jawab Rebab Pandan.
Landean Tunggal agak terkejut mendengar kata-
kata Rebab Pandan, tapi kemudian iapun maklum
bahwa adik seperguruannya itu mempunyai perasaan
yang tajam. "Apa sebabnya kau curigai dia, Adi?" tanya Landean Tunggal kemudian.
"Kakang masih ingat ketika aku bertanya
kepadanya, mengapa ia sampai berada di tempat ini"
Ternyata Umpakan tadi telah menjawabnya dengan
tergagap-gagap."
"Ah, mungkin itu disebabkan luka-luka ataupun
kelelahannya, Adik Rebab Pandan," sela Landean
Tunggal. "Bisa jadi, Kakang. Tetapi bagiku hal itu lebih
berkesan sebagai suatu kebohongan," bisik Rebab
Pandan. "Aku yakin ia telah menyembunyikan
sesuatu." "Hmm, kalau itu benar, kita harus berhati-hati
mulai sekarang, Adik," ujar Landean Tunggal.
"Terutama kita harus menjaga keselamatan Bapak
Guru." "Betul Kakang. Aaaah...," Rebab Pandan berkata di-
susul dengan menguap, "aku telah mengantuk,
Kakang." "Kalau begitu, marilah kita tidur, Adik," potong
Landean Tunggal.
Keduanya lalu memejamkan mata serta
menenangkan pikiran dan beberapa waktu kemudian
merekapun mulai tertidur dengan pulasnya. Agaknya
mereka telah kelelahan sehabis berlatih sore hari tadi bersama gurunya.
*** 2 KEHADIRAN UMPAKAN pada Padepokan Gunung
Merapi ini semula tidak membawa perubahan apa-apa.
Bahkan yang terlihat adalah kerajinan Umpakan
dalam berguru dan menuntut ilmu ajaran
Panembahan Jatiwana. Ilmu jaya kawijayan,
kesantrian serta keluhuran budi, semua dipelajarinya,
tetapi pada bagian yang ketiga tersebut nampaknya
cukup sulit untuk diterimanya. Bahkan tidak jarang terjadi perdebatan dengan
Panembahan Jatiwana
tentang ilmu keluhuran budi tersebut.
Hal ini tentu saja mengherankan panembahan tua
itu, sebab tidak demikian halnya dengan Landean
Tunggal serta Rebab Pandan. Keduanya dengan mudah
memahami ilmu keluhuran budi tadi.
Sebenarnya ilmu itu hampir setiap orang bisa
menerimanya, sebab sangat mudah dipahami. Seperti
bagaimana keharusan menghormati serta menaati
segala perintah Tuhan Yang Maha Besar, menghormati raja, menghormati guru, orang
tua, saudara tua serta sahabat dan juga terhadap sesama makhluk di
marcapada ini. Dengan demikian maka tidak mustahil ilmu keluhuran budi ini akan
menciptakan ketentraman dan kedamaian hidup bebrayan di dunia.
Tetapi bagi orang yang jiwanya sudah terlalu kotor sering berbuat kejahatan
pastilah sukar menerimanya.
Sebab jiwanya seolah-olah sudah tertutup untuk ilmu keluhuran budi ini. Sedang
sebaliknya untuk hal-hal yang busuk, mereka akan lebih meresapkannya.
Namun rupanya Panembahan Jatiwana tidak terlalu
berprasangka buruk terhadap diri Umpakan. Ia hanya menganggap bahwa hati Umpakan
terlalu tumpul untuk memahami keluhuran budi, seperti halnya anak kecil yang terlalu sulit
untuk memahami bahwa


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerhana matahari bukanlah karena sang matahari
ditelan oleh Buto Ijo, tetapi karena matahari tertutup oleh bayangan rembulan.
Oleh karenanya, Sang Panembahan berusaha
sungguh-sungguh untuk menolong Umpakan. Ia tidak
ingin dikatakan terlalu berat sebelah dalam
membimbing murid-muridnya. Demikianlah, waktu
beredar dengan cepat dan selama ini hampir tak
terasa. Sudah tiga tahun lebih Umpakan tinggal
bersama mereka di padepokan lereng Gunung Merapi.
Akhirnya, Sang Panembahan Jatiwana sebagai
seorang yang telah arif bijaksana dapatlah sedikit-sedikit memahami kecurigaan
Rebab Pandan waktu
mula-mula bertemu dengan Umpakan. Kini pun orang
tua ini bertanya-tanya dalam hati, benarkah Umpakan orang yang baik-baik" Dan
pertanyaan ini akhirnya
lebih keras merunyam dada apabila pada suatu pagi, orang tua ini mengajak ketiga
muridnya untuk me-ngadakan latihan silat dan tata kelahi.
Dalam latihan ini, masing-masing berusaha
menunjukkan kecakapannya yang selama ini telah
dipelajari dan ditekuninya.
Suatu ketika, tibalah giliran pertandingan antara
Landean Tunggal menghadapi Umpakan.
Sesudah keduanya membungkuk hormat kepada
Panembahan Jatiwana, mereka segera bersiaga dan
tiba-tiba saja latihan itupun dibuka dengan satu serangan mengagetkan dari
Umpakan yang dilancarkan
sangat cepat ke arah Landean Tunggal. Panembahan
Jatiwana menjadi terkejut karenanya demikian pula
Rebab Pandan. Untunglah Landean Tunggal bukan anak kemarin
sore. Dengan tangkasnya ia mengelak dari serangan
itu, malahan dengan lincah iapun bergerak membalas menyerang ke arah Umpakan
disertai tebasan sisi
telapak tangan.
Mendapat serangan ini, Umpakan segera
melontarkan diri ke udara berjumpalitan dengan ilmu loncatan Srigunting.
Tubuhnya seakan-akan terbang.
Namun Landean Tunggal tidak tinggal diam
karenanya. Iapun secepat kilat melesat ke atas
mengejar Umpakan. Maka keduanyapun makin terlibat
dalam pertempuran sengit.
Panembahan Jatiwana melihat bahwa Umpakan
makin beringas dalam geraknya. Apa yang dilihatnya kemudian, jelas bahwa Umpakan
betul-betul bertempur dengan segala nafsu dan ilmunya!
Tandangnya segarang serigala lapar. Menerjang,
menerkam, menyambar seolah-olah ia kerasukan
setan. Meskipun begitu, Landean Tunggal tidak lekas
menjadi gugup. Iapun menjadi semakin cepat
geraknya. Kemampuan Umpakan menyerang ia selalu
dapat melihatnya dan segera membalasnya dengan
hebat! Rebab Pandan yang mengetahui gerakan Umpakan,
seketika berdebar-debar hatinya. Gerakan tadi ternyata telah merupakan gerak
percampuran antara
gerak ajaran Padepokan Gunung Merapi bercampur
gerak yang lain, sehingga membingungkan pandangan
mata. Rupa-rupanya saja sebelum Umpakan datang di
tempat ini ia pernah pula belajar silat di tempat lain.
Begitulah, pertempuran tadi semakin bertambah
hebat. Di dalam hati Umpakan mengumpat-umpat
bahwa Landean Tunggal masih dapat menyamai
ketangkasannya, bahkan lama-kelamaan pastilah dirinya akan dikalahkan oleh
rekannya itu! Sebagai anak yang berdarah muda ia tidak menginginkan hal itu.
Suatu ketika Umpakan melancarkan tendangan
maut ke arah rusuk lawannya, tetapi Landean Tunggal lebih cepat berputar
seperempat lingkaran sambil menyambut serangan tadi dengan tebasan sisi telapak
tangan dan selanjutnya...
Praak! Terjadilah benturan antara sisi telapak tangan
Landean Tunggal dengan tulang betis Umpakan, disu-
sul oleh pekik kesakitan dari mulut Umpakan.
Landean Tunggalpun tergetar ke belakang sampai
terhuyung-huyung, sedang Umpakan jatuh terpelan-
ting ke atas tanah.
Panembahan Jatiwana serta Rebab Pandan terkejut
karenanya. Keduanya segera beranjak untuk meng-
hentikan latihan itu. Lebih-lebih dengan orang tua ini.
Ia tidak ingin melihat keduanya betul-betul berkelahi ataupun sampai terluka
salah satu di antaranya.
Betapapun sesungguhnya Panembahan Jatiwana
merasa bangga bahwa muridnya telah mampu
bertempur sehebat itu, namun keduanya adalah hasil didikan, hasil gemblengan
dari Padepokan Gunung
Merapi. Maka iapun tidak ingin bahwa ilmu ajarannya itu saling berbentur
sendiri. "Landean Tunggal! Umpakan! Sudahlah! Cukup
sekian saja latihan ini!" terdengar seruan nyaring dari Panembahan Jatiwana,
mengumandang di halaman
padepokan itu. Sebagai seorang murid yang patuh, seruan itu
sudah cukup berarti. Maka Landean Tunggal lekas-
lekas melontarkan diri ke belakang menjauhi Umpakan yang kini sedang berdiri
kembali. Rebab Pandan menarik nafas lega mendengar
seruan Panembahan Jatiwana. Tetapi tidak
demikianlah dengan Umpakan. Relung-relung hatinya
telah diamuk perasaan jengkel dan marah. Sehingga ia cepat-cepat berdiri kembali
dan menyerang ke arah
Landean Tunggal.
Serangan itu sungguh tak terduga kecepatannya.
Dan yang lebih parah lagi, Landean Tunggal tak
bersiaga pada waktu itu. Hingga seandainya ia
terpukul oleh Umpakan boleh dipastikan kalau ia
roboh! Tiba-tiba dalam saat yang begitu tegang, sebuah
bayangan melesat mencegat serangan Umpakan dan
sejurus kemudian Umpakan terhenti langkahnya.
Rebab Pandan yang mengikuti kejadian itu,
serentak terhenyak takjub. Apa yang dilihatnya, tahu-tahu lengan Umpakan
terpegang oleh jari-jemari
Panembahan Jatiwana, sampai saudara tua
seperguruan ini meringis kesakitan. Oleh Umpakan
dirasanya lengannya terjepit oleh jari-jari gurunya, seperti terjepit oleh
lempengan-lempengan besi.
"Umpakan, kau tak mendengar kata-kataku,
Angger" Ingatlah, kau hanya berlatih saja," terdengar Panembahan Jatiwana
menyapa lirih dengan nada
penuh wibawa. "Lihatlah, lawan yang kau hadapi
sekarang. Bukankah itu saudara seperguruanmu
sendiri, si Angger Landean Tunggal?"
Oleh hal ini, apalagi karena cepitan dari jari
gurunya yang hebat itu, Umpakan seperti tersadar dari perbuatannya. Maka ia
segera menunduk ke tanah dengan wajah penuh kecewa dan menyesal.
"Maaf, Bapak Guru. Aku agak terlanjur tadi," desis Umpakan memecah kesunyian.
Biar berkata begitu, hatinya tak urung mengutuk.
Ia menganggap kalau gurunya lebih menyayangi
Landean Tunggal daripada dirinya sendiri. Buktinya, ia hampir-hampir terkalahkan
oleh Landean Tunggal.
"Hmm, pasti Bapak Guru lebih banyak memberi
gemblengan kepada si Landean Tunggal itu!" Demikian hati Umpakan penuh kata-kata
dan kekecewaan yang
tidak terlahirkan.
"Hmm. Kalau kalian telah sadar, sekarang
berjabatan tanganlah agar kalian tak akan saling
mendendam lagi!" ujar orang tua itu seraya
melepaskan pegangannya.
Dan akhirnya kedua murid itu saling berjabat ta-
ngan memenuhi permintaan gurunya. Saat itu
kelihatan sekali kecanggungan Umpakan ketika ia
mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Landean
Tunggal, seolah-olah ia sangat terpaksa melakukan hal itu. Maka sejak itulah
Panembahan Jatiwana telah
mulai dapat menilai sampai dimana kemampuan
masing-masing muridnya. Dengan begitu ia telah
dapat mengira-ngira kepada siapakah kelak ia harus menyerahkan Padepokan Gunung
Merapi ini. Tidak
lain adalah kepada Landean Tunggal serta dibantu
oleh Rebab Pandan.
Untuk itu, panembahan tua itu bertindak sangat
hati-hati. Ia tidak ingin terang-terangan menunjukkan kekecewaan atas sifat-
sifat Umpakan yang suka main menang sendiri. Dan sebagai orang tua yang
bijaksana, ia sangat pandai mengasuh ketiga muridnya ini. Ia
tidak menginginkan satu kericuhan di padepokannya
yang selama ini telah dibinanya dengan bersusah
payah. *** Sebagai seorang pemuda yang punya harga diri, ia
tidak mau begitu saja merasa tertinggal oleh
ketangkasan si Landean Tunggal. Itulah sebabnya
setelah kejadian itu, sejak ia dikalahkan oleh Landean Tunggal, Umpakan diam-
diam sering menyendiri ke
tempat-tempat sunyi untuk berlatih silat. Bagi dirinya, ia belum merasa puas
sebelum dapat mengalahkan
Landean Tunggal.
Dalam pada itu, baik Panembahan Jatiwana,
Landean Tunggal maupun Rebab Pandan tidak pernah
tahu, kemana si Umpakan pergi. Mereka memang se-
ngaja tidak ingin menanyakan hal itu kepada
Umpakan. Biarlah murid ketiganya ini berbuat
memenuhi gejolak hatinya, asal ia tidak menyusahkan padepokan itu serta orang-
orang di sekitarnya.
Demikianlah, pada suatu hari Landean Tunggal
serta Rebab Pandan berjalan-jalan keluar padepokan.
Keduanya berangkat pagi-pagi ketika matahari mulai memanahkan sinar-sinarnya ke
lereng timur Gunung
Merapi. Diam-diam di dalam hati kedua pemuda ini penuh
rasa ingin tahu, di manakah selama ini Umpakan
menghilang. Kadang-kadang tiga hari tiga malam si
Umpakan tidak pulang ke padepokan, lalu selang satu hari ia muncul dan dua hari
lagi iapun sudah pergi.
Landean Tunggal bersama Rebab Pandan mula-
mula menuruni lereng sebelah barat, kemudian
membelok ke selatan. Mereka mulai memasang
ketajaman telinganya untuk mendengar, kalau-kalau
mereka dapat mengetahui tempat Umpakan berlatih
silat. Getaran dari gerakan ilmu silat saja sudah cukup bagi mereka untuk dapat
ditangkap oleh ketajaman
telinganya. Ketika mereka mulai menginjak lereng selatan,
benar-benarlah keduanya dibikin kaget oleh getaran yang bersimpang siur dan
berdesau dari arah hutan
kecil, di dekat sebuah mata air.
"Adi Rebab Pandan, kau dengar itu, Adi?" gumam
Landean Tunggal seraya menggamit tangan adik
seperguruannya.
"Ya, Kakang. Aku juga mendengar suara itu," jawab
Rebab Pandan sambil memandang Landean Tunggal
penuh tanda tanya.
Dan keduanya tiba-tiba saja lalu teringat akan
pertemuannya dengan Umpakan di tempat ini pula.
Sedang kini, di tempat itu pula mereka mendengar
suara-suara aneh, karuan saja sesaat bulu tengkuk
mereka meremang saking ngerinya.
"Kakang Landean Tunggal, apakah kita akan
mendekati suara itu?" tanya Rebab Pandan
kecemasan. "Apakah Adi merasa takut?" ujar Landean Tunggal
kemudian. "Bukan takut, Kakang. Tetapi aku kuatir kalau
Bapak Guru marah, sebab kita tidak lebih dulu
memberi tahu kepada beliau."
"Jangan kuatir, Adi. Biarlah nanti aku yang
dimarahi oleh Bapak Panembahan. Kita hanya akan
mendekati suara itu untuk sekedar mengetahui saja.
Kalau nanti ternyata ada yang penting, barulah kita beritahukan kepada Bapak
Guru," Landean Tunggal
berkata. Mendengar ini, Rebab Pandan menjadi tidak kuatir
lagi. "Baiklah, Kakang. Aku setuju denganmu."
"Nah, marilah kita berhati-hati mendekati tempat
itu sekarang," berkata Landean Tunggal kemudian
bersama Rebab Pandan mengendap-endap mendekati
hutan kecil itu, dari mana suara berdesau dan
getaran-getaran hebat terdengar.
Kedua pemuda itu kemudian menyelinap dan mene-
robos semak ilalang serta rumpun pisang. Dengan sangat hati-hati mereka
selangkah demi selangkah
melewati sebuah mata air.
Tiba-tiba Rebab Pandan menarik lengan Landean
Tunggal, hingga kakak seperguruannya ini terbengong keheranan. "Ada apa, Adi
Rebab Pandan"!"
"Lihatlah ini, Kakang!" ujar Rebab Pandan sambil
menunjuk ke tanah yang lembab di tepi mata air.
"Jejak-jejak kaki manusia!" desis Landean Tunggal
sambil mengawasi ke bawah. "Dan lebih dari jejak
seorang!" Karuan saja Landean Tunggal memuji setengah
mati akan ketajaman perasaan dan indera si Rebab
Pandan. Dalam hati ia merasa kagum akan
kemampuan adik seperguruannya itu.
"Agaknya jejak-jejak ini ada hubungannya dengan
suara bising itu, Kakang Landean!" sela Rebab Pandan.
"Ayo, cepatlah kita melihat mereka, Kakang."
"Ya, marilah, Adik," Landean Tunggal berkata
seraya secepat kilat mengendap-endap kembali ke arah tempat itu.
Beberapa saat kemudian, tibalah mereka di tempat
itu. Kedua pemuda itu segera menguak dedaunan de-


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngan jari-jarinya dan betapa terperanjatnya bila ia melihat suatu pemandangan di
balik dedaunan itu.
Seorang yang bertubuh pendek agak bungkuk de-
ngan kepala gundul duduk membelakangi mereka dan
sementara itu, di depan si gundul kelihatanlah
Umpakan bersilat dengan gerakan yang cepat bagai
hantu. Tubuhnya merupakan gumpalan sinar yang
berkelebatan amat cepat, sementara tangan dan
kakinya sebentar-sebentar melancarkan serangan ke
udara kosong. Meskipun tanpa sasaran, pukulan ta-
ngan dan kaki menimbulkan angin dan memecah
udara sehingga menimbulkan suara berdesau dan
daun-daun kering beterbangan kian-kemari!
"Stt, Kakang Landean, siapakah si gundul itu?"
bisik Rebab Pandan kepada telinga kakak
seperguruannya.
"Hiss. Jangan keras-keras. Kita perhatikan saja
gerakan silat Umpakan ini. Mungkin ada gunanya bagi kita nanti," ujar Landean
Tunggal dengan suara yang
sangat lembut. Rebab Pandan cuma mengangguk saja.
Gerakan Umpakan itu kini makin cepat bernada
ganas, dan si gundul yang menunggunya itu me-
ngangguk-angguk serta bertepuk kegirangan.
"Hi, hi, hi, bagus, cah bagus. Kamu memang bocah
yang hebat. Untunglah aku bertemu dengan kamu,
bocah. Hi, hi, hi, sekarang si Jobin Karang ini punya murid yang tangguh! Dan
sebentar lagi akan malang-melintang di pulau Jawa! Hi, hi, hi."
Mendengar nama si gundul yang menyebut
namanya Jobin Karang itu, Rebab Pandan menggamit
lengan Landean Tunggal. Keduanya saling berpanda-
ngan penuh tanda tanya. Rebab Pandan mengangkat
bahunya sebagai tanda tidak tahu, tetapi kemudian
Landean Tunggal berbisik ke telinga Rebab Pandan,
"Nama itu pernah kudengar sebagai tokoh hitam dari Laut Kidul!"
Oleh keterangan tadi, mau tak mau Rebab Pandan
terperanjat seketika. Apa yang selama ini dikuatirkan ternyata benar, bahwa
Umpakan seorang yang tidak
baik, yang kini ternyata berkawan dengan tokoh hitam.
Si Jobin Karang.
Sementara itu, Umpakan telah mengakhiri
latihannya. Dengan satu lontaran jungkir balik di
udara, kemudian ia mendarat di tanah di depan Jobin Karang dalam posisi kaki
bersila, selanjutnya ia
membungkuk hormat di depan orang gundul itu.
"Hih, hi, hi, hi. Aku senang, cah. Aku bangga de-
ngan kemajuan itu. Tapi kenapa kau tidak mau cepat-cepat bergabung dengan kami"
Mengapa lebih kerasan dan betah tinggal di padepokan bobrok itu"!" terdengar si
gundul berkata.
"Maaf, Ki Jobin," jawab Umpakan. "Aku belum bisa
tinggal bersamamu sekarang, sebab masih ada
beberapa soal yang harus kuselesaikan di Padepokan Gunung Merapi itu!"
"Hmm, terserah padamu, bocah. Tetapi apa jadinya
jika para peronda Asemarang dan Banyubiru dapat
menemukan dirimu disini" Pasti kau akan dilumatkan di tempat ini beramai-ramai!"
"Kalau itu terjadi, aku akan melawan mereka de-
ngan sekuat tenaga, Ki Jobin. Mereka akan kuhajar
dengan ilmu silat ajaranmu ini!"
"Hi, hi, hi, baiklah. Aku tak perlu mencemaskan
dirimu, Umpakan. Ilmu silatku tadi sudah cukup buat menghadapi mereka."
Ketika itu Landean Tunggal berbisik kepada Rebab
Pandan, "Adik, dugaanmu dulu rupanya benar. Si
Umpakan adalah seorang buronan. Ia tengah dikejar
oleh peronda-peronda dari Asemarang dan Banyubiru."
"Ah, sungguh berbahaya nasib Bapak Panembahan.
Jika para peronda itu mengetahui bahwa Umpakan
menjadi muridnya, pastilah mereka akan menyalahkan guru kita. Sebab beliau telah
melindungi seorang
buronan!" ujar Rebab Pandan.
Tiba-tiba sebelum mereka melanjutkan kata-kata-
nya, tangan Landean Tunggal buru-buru menutup
mulut Rebab Pandan, sebab bersamaan dengan itu si
gundul Jobin Karang tahu-tahu menoleh ke belakang
seraya berseru nyaring.
"Hee, aku mendengar kasak-kusuk di pohon sana!
Hih, rupanya pisau ini harus bekerja!"
Dengan kata-kata itu, Jobin Karang secepat kilat
melemparkan sebuah pisau kecil panjang yang diambil dari balik bajunya.
Traak! "Ciiat!"
Landean Tunggal serta Rebab Pandan tak terkira
kagetnya mendengar bunyi itu, yang tepat berasal dari sebuah dahan pohon yang
melintang di atas kepala
mereka. Ketika kedua pemuda itu menoleh ke atas,
tampaklah seekor tupai tertancap pada dahan pohon
oleh sebuah pisau panjang hampir separo lebih masuk ke dalam kayu!
Melihat hal itu, Rebab Pandan serta Landean
Tunggal menarik nafas lega. Untunglah bukan kepala mereka yang ditembusi oleh
pisau itu. Untuk itu
keduanya bersyukur, tetapi juga tak kalah kagumnya melihat tenaga lemparan si
Jobin Karang itu.
"Hi, hi, hi untunglah hanya seekor bajing saja. He, Umpakan, apakah kau juga
sanggup meniru lemparanku tadi, ha"!" terdengar Jobin Karang me-
nyapa Umpakan. "Mudah-mudahan, Guru!" kata Umpakan sambil
bergerak cepat mencabut pisaunya, lalu dilemparnya ke arah bangkai tupai tadi.
Claak! Pisau itu pun menghunjam tepat pada tubuh
binatang itu, di samping pisau gurunya, si Jobin
Karang. Hanya saja pisau tadi menancap kurang dari separo. Namun hal itu sudah
cukup membanggakan
Jobin Karang. "Hi, hi, bagus, bagus. Nah, kiranya latihan cukup
untuk hari ini. Besok kau datang ke sini sore hari.
Sekarang marilah kita mengaso sejenak."
Dalam pada itu, Landean Tunggal serta Rebab
Pandan mengendap-endap kembali menjauhi tempat
itu. Dedaunan serta semak-semak lebat cukup baik
melindungi mereka, hingga keduanya selamat serta
terlindung dari pandangan mata Jobin Karang serta
Umpakan. Maka sejak saat itulah, Landean Tunggal serta
Rebab Pandan sering datang ke tempat ini untuk
mengintip latihan-latihan Umpakan bersama Ki Jobin Karang. Dengan begitu kedua
pemuda itu dapat
mengetahui semua gerakan-gerakan silat Umpakan
serta jurus-jurusnya.
Akhirnya setelah berpuluh-puluh kali Umpakan
digembleng oleh Ki Jobin Karang, ia menjadi seorang pendekar yang tangguh.
Umpakan yang sekarang
bukanlah Umpakan yang dahulu, dan sejak ini ia
sudah memperlihatkan ketangguhannya. Terutama
kepada orang-orang petani di seluruh kaki Gunung
Merapi, ia sering memamerkan keperkasaannya. Tidak jarang beberapa orang petani
telah naik ke Padepokan Gunung Merapi untuk mengadukan kelakuan
Umpakan ke hadapan Panembahan Jatiwana.
Bila sudah mendapat laporan begitu, Sang
Panembahan tidak jarang bersedih hati mendengar
kelakuan muridnya yang sering menyakiti orang-orang tak bersalah. Lalu
panembahan tua ini terpaksa
mengeluarkan uang ataupun benda-benda berharga
untuk sekadar mengganti apa-apa yang telah
dirusakkan oleh perbuatan Umpakan kepada para
petani itu. Pernah terjadi, si Umpakan ingin minum air kelapa
muda. Disuruhnya seorang petani untuk me-
ngambilkan kelapa muda itu. Tetapi karena kurang
cepat, maka si Umpakan menjadi marah. Kemudian
pohon kelapa tadi dengan tiga kali tendangan kakinya telah roboh ke tanah.
Kadang-kadang Panembahan Jatiwana merasa
menyesal telah menerima Umpakan sebagai muridnya.
Begitulah, kekurang-ajaran Umpakan tadi makin
meluas. Lebih-lebih ketika pada suatu hari seorang petani bernama Pak Dadap
telah tergopoh-gopoh mengadu pada Panembahan Jatiwana, yang pada saat itu tengah
duduk-duduk bersama Landean Tunggal serta
Rebab Pandan. "Oh, celaka, Sang Panembahan. Ketiwasan!" ujar
Pak Dadap dengan nafas kempas-kempis. Agaknya ia
telah berlari ketika menuju ke padepokan ini.
"Hee, mengapa, Ki Dadap" Ada apa?" sapa
Panembahan Jatiwana tak kalah bingungnya.
"Angger Umpakan! Angger Umpakan murid ketiga
Sang Panembahan, telah bertengkar dengan anak
gadisku, si Rara Sendang!"
"Hee"! Kakang Umpakan lebih kurang ajar lagi
rupanya! Maaf, Bapak Panembahan. Aku harus kesana
secepat mungkin!" seru Rebab Pandan sambil loncat
keluar rumah. Landean Tunggal yang melihat adik seperguruannya
tadi meloncat keluar, iapun secepat kilat menyusulnya.
"Adik Rebab Pandan, Tunggu! Kau tak boleh kesana
seorang diri! Berbahaya!"
Sebentar saja kedua pemuda itu telah berloncatan
dan lenyap di balik pepohonan.
"Wah, celaka ini, Ki Dadap!" seru Panembahan
Jatiwana cemas. "Ayolah kita pergi ke rumahmu!"
"Baik, Sang Panembahan."
Kedua orang tua itupun cepat-cepat berjalan me-
nuju ke timur, menuruni Padepokan Gunung Merapi.
Jauh di bawah sana, di kaki timur Gunung Merapi
terlihatlah petak-petak sawah yang terhampar dengan rapi. Daun-daun padi yang
menghijau berombak-ombak diusap oleh angin pegunungan yang segar.
Akan tetapi suasana pagi yang segar ini dipecahkan oleh jeritan dan teriakan
seorang gadis. "Tinggalkan aku seorang diri! Pergi! Pergi! Aku tak butuh pertolonganmu! Biar
aku urus sendiri sawahku ini!"
Gadis tadi, yang berwajah manis dan berkulit sawo
matang, tampak mencoba mengusir seorang pemuda
berkumis tebal yang mencoba mendekati dirinya.
"Hua, ha, ha, ha. Kowe semakin manis kalau marah, wong ayu! Dengarlah sekali
lagi kata-kataku!
Ikutlah dengan diriku ke Laut Kidul. Kau akan jadi istriku dan hidup makmur di
sana." "Tidak! Tidak! Aku sudah berkali-kali berkata
kepadamu, Kakang Umpakan, kalau aku lebih suka
tinggal disini!" seru Rara Sendang keras-keras.
"Ooo, kau ingin selamanya tinggal di tempat busuk
ini, seperti katak dalam tempurung"! Di lain tempat masih banyak pemandangan
yang indah, kota-kota
yang besar, keramaian, tontonan, pakaian yang indah-indah! Apakah kau tidak
ingin melihat itu semua?"
"Biar aku dibilang sebagai katak, aku akan tetap
tinggal disini! Aku benci kepadamu!"
"Kau benci kepadaku"! Apakah aku kurang tampan
untuk menjadi suamimu?" ujar Umpakan.
"Kau cukup tampan, Kakang Umpakan. Namun
ketampanan bukanlah barang yang penting bagiku."
"Ha, ha, ha, rupa-rupanya ada orang lain yang telah menempati hatimu, Rara
Sendang!" "Biar! Itu bukan urusanmu, Kakang!"
Umpakan terus mendekati Rara Sendang, sehingga
gadis ini terpaksa mundur-mundur sambil me-
ngacung-acungkan sebilah tongkat kayu di tangannya.
"Berhenti! Jangan mencoba menggodaku, Kakang.
Atau tongkat kayu ini akan menghajarmu!" berkata
demikian Rara Sendang sambil memutar tongkat
kayunya yang dipegang pada pertengahannya. Dengan
demikian maka tongkat tadi berputar bagai baling-
baling. "Hua, ha, ha. Hebat! Hebat! Bocah ayu pandai
bermain silat!" kata Umpakan sambil cekakakan
tertawa. "Tapi di depan hidungku jangan menyombong begitu, hee!"
"Hyaat," Rara Sendang berteriak nyaring sambil
menyerang Umpakan dengan pusaran tongkat
kayunya. Tetapi si pendekar kumis tebal ini cuma
berkelit ke samping dan loloslah ia dari serangan
tongkat kayu itu.
Kini Umpakan ganti menyabetkan telapak ta-
ngannya ke arah Rara Sendang dengan tenaga yang
sangat kecil. Memang sesungguhnya ia cuma
bermaksud menakut-nakuti gadis itu saja. Namun ia
pun terpaksa kagum bila gadis ini melesat ke samping menghindari serangan
Umpakan itu. Rara Sendang
terus menyerang Umpakan dengan sengitnya, maka
terjadilah pertempuran singkat selama delapan jurus.
Sebab pada jurus ke sembilan, tiba-tiba Umpakan
menggerakkan tangannya secara cepat dan tahu-tahu
telah menempel tangan Rara Sendang yang sebelah
kanan. "Lepas tongkatmu sekarang!" terdengar Umpakan
berteriak-nyaring dan terlepaslah tongkat kayu itu dari jari-jari Rara Sendang.
Kemudian sebelum gadis ini berbuat lain, tahu-tahu dirinya telah dipeluk oleh
Umpakan. Karuan saja si gadis ini berteriak ngeri, seperti kalau dirambati oleh
ulat berbulu. "Aduh! Lepaskan, setan! Lepaskan!"
"Ha, ha, ha, Kau boleh berteriak semaumu, Rara
Sendang. Tapi tak seorang pun yang akan...."
"Aduh! Aaakh!"
Umpakan terpaksa melepaskan Rara Sendang,
sebab tiba-tiba sebuah batu sebesar buah salak me-
nyambar lengannya, hingga pendekar ini terpaksa
berteriak kesakitan melolong-lolong.
Rara Sendang cepat-cepat berlari ke arah sosok
tubuh yang baru datang dari balik semak belukar.
"Ooh, Kakang Rebab Pandan. Untung kau lekas
datang, Kakang. Si Umpakan telah menggangguku!"
"Tenang, Adi. Lihatlah aku datang bersama Kakang
Landean Tunggal. Kau tak perlu kuatir!" ujar Rebab Pandan dengan perasaan
jengkel dan marah kepada


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Umpakan, sebab saudara seperguruannya ini telah
berani menggoda gadis pujaannya!
"Setan kau, Rebab Pandan dan Landean Tunggal!
Kalian selalu menggangguku!" umpat Umpakan serta
mengacungkan jari telunjuknya ke arah muka kedua
saudara seperguruannya.
"Apa maksudmu mengganggu Adi Rara Sendang ini,
Kakang Umpakan"!" seru Rebab Pandan.
"Bocah ingusan! Kau tahu apa dengan urusanku,
ha"! Ketahuilah, aku ingin mengambil Rara Sendang
sebagai isteriku."
"Hmm, kau lihat sendiri, gadis ini tidak senang denganmu. Apakah kau akan
memiliki seseorang dalam
wujud jasmaniahnya saja, sedang hati dan perasa-
annya tetap tertambat pada orang lain"!"
"Persetan! Jangan cuma berkoar saja, kau bocah
ingusan! Marilah kita berkelahi untuk mengukur
kejantanan kita!"
"Baik! Aku siap melayanimu, Kakang Umpakan,"
ujar Rebab Pandan, sekaligus bersiaga membuka jurus silat pertama. Juga Landean
Tunggal segera memasang kewaspadaannya.
Umpakan segera bersiaga pula. Sayangnya, sebelum
kedua pendekar ini bertempur seru, sekonyong-
konyong melesatlah satu bayangan berjubah abu-abu
ke arah mereka.
"Tahan!" terdengar suara nyaring dari bayangan
tadi yang tidak lain adalah Panembahan Jatiwana!
Sedang di belakangnya berdirilah Ki Dadap dengan
wajah suram. "Kau akan membuat kericuhan lagi, Angger
Umpakan"!" ujar Panembahan Jatiwana dengan
lembut. "Tidak, Sang Panembahan! Aku cuma bersenda-
gurau dengan Adi Rara Sendang ini," jawab Umpakan.
"Baiklah, untuk sesaat akan kita lupakan hal ini,"
kata Rebab Pandan menyela dengan jengkel.
"Angger Umpakan, sekarang silakan Angger mening-
galkan tempat ini, biar tidak terjadi perselisihan di antara kita lebih parah."
"Baiklah, untuk saat ini aku masih bersedia me-
ngalah. Akan tetapi, untuk perkara-perkara
selanjutnya, jangan harap aku sudi mengalah!"
Habis berkata demikian, Umpakan segera mening-
galkan mereka di persawahan itu. Ia terus menuju ke lereng selatan dan lenyap di
balik pepohonan.
Peristiwa ini ternyata makin menambah jurang
perbedaan pendapat antara Umpakan dengan orang-
orang Padepokan Gunung Merapi itu. Maka semenjak
itu, Umpakan makin jarang tidur di padepokan.
Baginya, rumah padepokan itu dianggapnya tempat
yang paling bobrok. Tidak menyenangkan.
Dan juga sejak peristiwa itu, Rebab Pandan tambah
sering berkunjung ke rumah Rara Sendang, untuk
sekedar membantu dan menjaga gadis manis yang
menjadi bunga terindah di kaki Gunung Merapi.
Begitulah, satu peristiwa memang kadang-kadang
dapat menimbulkan hal-hal yang aneh. Umpakan kini
makin tekun melatih dan menambah ilmu silatnya di
bawah bimbingan si gundul Ki Jobin Karang dari Laut Kidul.
*** 3 PADA SUATU sore, Panembahan Jatiwana
memanggil kedua muridnya di ruang tengah. Sesudah
ketiga orang itu duduk di balai-balai mereka saling menghormat.
Sesaat suasana tampak hening. Di depan
Panembahan Jatiwana bersila, tergeletaklah sebuah
alat musik gesek yakni sebuah rebab dengan
penggeseknya, sedang di dekat benda itu pula
terlihatlah sebuah cincin permata yang bersinar
kuning kemilau.
Melihat kedua benda ini, Landean Tunggal serta
Rebab Pandan bertanya-tanya di dalam hatinya.
Apakah gerangan maksud gurunya memasang benda-
benda itu di depan mereka"
"Angger berdua, hari ini aku akan membicarakan
sesuatu yang penting bersama kalian," terdengar
Panembahan Jatiwana membuka percakapan itu.
"Sampai dengan hari ini, aku telah memancang cukup membimbingmu dalam berbagai
ilmu yang bermanfaat
bagi hidupmu kelak. Kini umurku makin bertambah
dan aku semakin tua. Padepokan Gunung Merapi ini
telah aku bangun dengan susah-payah serta
senantiasa menjaga nama baik perguruan kita ini.
Tetapi nama baik tadi hampir-hampir dirusakkan oleh Umpakan. Kalau boleh
berterus terang, sebenarnya
bapak merasa kecewa dengan menerima Umpakan
sebagai keluarga perguruan padepokan ini. Aku sama sekali tidak nyana kalau dia
berkelakuan begitu.
Lebih-lebih dengan ceritera kalian bahwa ia telah
berkawan dengan orang-orang golongan hitam itu, aku lebih kecewa lagi. Agaknya
ia mau membalaskan sakit hatinya yang dahulu kepada kita. Dan kau, Angger
Landean Tunggal serta Rebab Pandan, kalian harus
berhati-hati terhadapnya. Hindarilah pertengkaran dengan dirinya, sebab mulai
saat ini aku akan
mencalonkan Angger Landean Tunggal sebagai
penggantiku kelak, dan Rebab Pandan sebagai
wakilnya. Nah, apakah kalian sanggup menerimanya?"
Kedua pendekar muda ini tertunduk penuh haru
mendengar kata-kata gurunya. Mereka tidak mengira
bahwa gurunya telah mempercayakan satu tugas
luhur sebesar itu. Sejurus kemudian kedua anak
muda itu mengangkat wajahnya serta terlihatlah ma-
tanya berkaca-kaca.
"Sanggup, Guru! Kami akan bersedia memimpin
dan meneruskan perguruan kita dengan menjaganya
mati-matian. Kalau perlu kami rela mengorbankan jiwa untuknya," ujar Landean
Tunggal. "Hmm, yah aku merasa syukur atas kesanggupan
kalian. Dengan begitu, kekecewaanku terhadap
Umpakan sedikit terobati karenanya," berkata
Panembahan Jatiwana sambil mengangguk-angguk.
"Kemudian ada satu tugas yang akan kuserahkan
kepada kalian, Angger. Tetapi sebelum itu, bapak ingin menyerahkan benda-benda
ini kepada Angger berdua.
Cincin ini yang bernama Galuh Punar, kuserahkan
kepada Angger Landean Tunggal. Ia akan menjagamu
dari pengaruh serta serangan racun dan bisa yang
jahat. Terimalah ini Angger!"
Landean Tunggal dengan tangan bergetar menerima
cincin Galuh Punar yang memancarkan cahaya
kekuningan itu, lalu dipakainya pada jari manis tangan kanannya. "Terima kasih,
Guru." "Dan kepadamu, Angger Rebab Pandan, ambillah
rebab ini untukmu. Kerangka rebab ini terbuat dari tulang binatang badak dari
Ujung Kulon, yang
kerasnya hampir menyamai besi baja. Dalam keadaan
terpaksa, alat ini dapat kau pergunakan sebagai
senjata dalam pertempuran. Sedang bunyi gesekannya bila dilambari dengan tenaga
dalam akan dapat
mempengaruhi sesuatu keadaan."
Disertai rasa yang bangga dan penuh haru pula,
Rebab Pandan menerima rebab itu dari tangan
Panembahan Jatiwana. Ia tak mengira bahwa ayahnya
akan menyerahkan benda itu kepadanya, sebab sejak
kecil ia telah merindukan rebab itu. Masih teringat jelas ketika masa kecilnya,
Panembahan Jatiwana
sering menggesek rebab ini untuk membujuknya, bila ia menangis sebab dimarahi
oleh ibunya. Sekarang
rebab itu telah menjadi miliknya, dan diam-diam ia berjanji dalam dirinya untuk
merawat barang itu
sebaik-baiknya. "Terima kasih, Bapak," ujar Rebab
Pandan. "Angger berdua, setelah kalian menerima kedua
benda itu, bapak akan mengatakan tugas yang akan
kuserahkan kepadamu. Ketahuilah Angger, kita
mempunyai beberapa kitab berisi macam-macam ilmu.
Salah satu di antaranya yang bernama Kitab Hijau,
berisi ilmu silat tataran tinggi. Seperti halnya ilmu loncatan Srigunting yang
telah kalian terima dari
ajaranku itu, berasal dari kitab ini pula," Panembahan Jatiwana berhenti
sejenak, lalu memungut sebuah
kitab bersampul warna hijau yang terletak di sebuah lemari di belakangnya. "Nah,
Angger berdua. Inilah
kitab itu! Bagian terakhir, dari Kitab Hijau ini berisi ilmu Netra Dahana yang
dahsyat, yang kelak boleh
kalian pelajari juga. Tetapi sayang sekali, Angger. Kitab ini masih mempunyai
kelengkapan yang harus kita
cari. Kelengkapannya ialah sebuah kaca rias
berbentuk bulat, bertangkai logam kaca biru. Mungkin Angger berdua akan heran
mendengar keteranganku
ini, tapi begitulah keterangan yang tertulis di dalam kitab ini. Benda itu
disebut kaca Sirna Praba."
"Mengapa disebut Sirna Praba, Bapak?" bertanya
Rebab Pandan, penuh rasa ingin tahu.
"Sebab bila ia terkena sesuatu cahaya, kaca tadi
akan memantulkan cahaya tersebut dengan kekuatan
yang dahsyat, yaitu seratus kali dari kekuatan cahaya semula. Maka sinar
tersebut tidak mustahil akan sanggup membakar hangus sesuatu benda!" ujar
Panembahan Jatiwana.
Keterangan ini membuat Landean Tunggal maupun
Rebab Pandan terpekur keheranan. Keduanya merasa
heran bahwa di zaman sekarang ini masih ada benda
yang sehebat itu. Mereka lantas teringat pada cerita wayang dari kitab Ramayana.
Di saat pertempuran
antara Prabu Rama melawan Dasamuka ada seorang
panglima perang Alengka yang sakti. Seorang raksasa yang bernama Bukbis. Ia
sanggup membakar musnah
lawannya dengan sinar api panas yang memancar dari mata. Tetapi Sang Hanoman
punya akal. Dengan
lembaran kaca tembaga yang teramat lebar, maka
dihadapilah Bukbis tadi. Tentu saja Bukbis kaget.
Dikiranya ia melihat musuhnya, maka iapun
memancarkan sinar apinya. Namun sinar tadi
terpantul kembali mengenai dirinya dan akhirnya
matilah dia dengan ditimbuni kaca tembaga tadi,
hingga tubuhnya hangus dan hancur.
"Di manakah kaca Sinar Praba tadi berada, Guru?"
bertanya pula Rebab Pandan kepada Panembahan
Jatiwana. "Hmm, dia tersimpan di dalam Candi Gedong
Songo, di lereng Gunung Ungaran. Kalau Angger
berdua telah tiba disana, carilah sebuah patung
Ganesya. Di belakang patung tadi terdapat sebuah
kotak batu. Nah, di dalamnya tersimpan kaca Sirna
Praba itu."
"Ooh, mengapakah ia tersimpan disana, Guru"
Bukankah ia benda yang sangat berharga?" ujar
Landean Tunggal.
"Ya, mungkin karena itulah benda tadi tersimpan di situ, sebab ia tak boleh
jatuh ke tangan orang
sembarangan. Sangat berbahaya akibatnya!" berkata
Panembahan Jatiwana. "Ia hanya boleh dimiliki oleh si pemegang Kitab Hijau ini!"
Suasana sesaat menjadi hening. Sang Panembahan
berdiam diri, demikian pula Landean Tunggal serta
Rebab Pandan. Kalau Panembahan Jatiwana bertanya
dalam hati, apakah kedua muridnya ini sanggup
mencari benda itu, maka lain lagi dengan kedua
muridnya ini. Landean Tunggal serta Rebab Pandan
ingin lekas-lekas mencari kaca Sirna Praba itu secepat mungkin.
"Bagaimana, Angger sekalian" Apakah kiranya
Angger berkeberatan dengan tugas mencari benda
tersebut?" ujar Panembahan Jatiwana mengatasi kehe-ningan.
"Tidak, Guru. Kami tidak akan keberatan untuk
mencari benda itu," menjawab si Landean Tunggal
mantap, hingga orang tua ini manggut-manggut puas.
"Dan setiap waktu kami akan berangkat segera bila
telah diizinkan oleh Bapak Guru," kata Rebab Pandan
menyambung. "Bagus, bagus. Besok pagi-pagi, Angger berdua
boleh berangkat secepatnya ke utara," Panembahan
Jatiwana berkata pula. "Dan ingatlah segala petunjuk-petunjuk yang telah aku
ceriterakan tadi."
"Semua telah kami ingat dengan baik-baik. Bapak
Guru tidak perlu merasa kuatir karenanya," berkata Landean Tunggal menegaskan
percakapannya. "Kami
berdua akan berusaha sungguh-sungguh untuk
mencari kaca Sirna Praba sampai ketemu."
"Terima kasih, Angger berdua. Ehh, diam-diam ini
telah kelewat malam, Angger sekalian. Marilah kita mempersiapkan segala sesuatu
untuk keberangkatanmu besok," ujar Panembahan Jatiwana,
dan sampai di situ berakhirlah percakapan ketiga
orang itu. Mereka lalu menyiapkan keperluan untuk
perjalanan besok. Satu perjalanan yang tidak dapat dipandang ringan, sebab
mereka harus mendaki dan
menuruni lereng-lereng gunung serta jurang dan
menerobos hutan-hutan lebat untuk mencapai daerah
percandian Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran.
*** Pagi itu di halaman depan rumah Padepokan
Gunung Merapi, tampaklah dua ekor kuda
ditambatkan pada pohon jeruk, sedang di sampingnya berdirilah seorang tua
bersama seorang pemuda tegap lagi asyik bercakap-cakap.
"Ah, sebentar lagi akan berangkat, tapi Adik Rebab Pandan belum juga muncul,"
ujar si pemuda dengan
nada kurang sabar.
Sebaliknya si orang tua cuma tersenyum-senyum
sambil bergumam. "Heh, heh, heh. Itulah kalau orang muda lagi dimabuk cinta.
Biarlah, kau tunggu
sebentar lagi, Angger Landean Tunggal. Mungkin


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adikmu Rebab Pandan digelendoti oleh Rara Sendang, sebab pergi ke Gunung Ungaran
sejauh itu akan
makan waktu yang cukup lama."
"Oooh, itulah Bapak, mereka datang," desis
Landean Tunggal, dan Panembahan Jatiwana segera
berpaling ke arah timur dimana dua orang muda-mudi bergandengan.
Setelah mereka dekat, buru-buru Panembahan
Jatiwana berkata, "Eeh, kalian panjang umur, Angger.
Baru saja kami bicarakan, tahu-tahu sudah datang."
"Betul juga ya, Sang Panembahan. Kok seperti
Raden Harjuna saja. Kalau dirasani tahu-tahu
muncul!" sela Landean Tunggal menggoda adik
seperguruannya yang baru tiba bersama kekasihnya,
Rara Sendang. Digoda oleh kakak seperguruan serta gurunya itu,
tentu saja si Rebab Pandan jadi blingsatan malu,
sementara si gadis tertunduk disertai senyum manis dan ibu jari kakinya
mengorek-ngorek tanah.
"Ah, maaf Bapak Guru dan Kakang Landean
Tunggal. Aku baru saja pamit minta diri kepada Pak Dadap sekeluarga. Maksudku
cuma sebentar, tapi Adi Rara Sendang ini, menahanku agak lama. Ia cemas
kalau aku menemui bahaya di jalan," kata Rebab
Pandan. "Lha, kan betul omongku tadi, Angger Landean
Tunggal" Heh, heh, heh, janganlah kau terlalu mengu-atirkan kangmasmu ini, Rara
Sendang. Percayalah
kalau ada apa-apa di perjalanan, pasti Angger Landean Tunggal akan menjaganya.
Harjunamu ini tak akan
hilang, Nini Rara Sendang."
Oleh kata-kata Sang Panembahan, si gadis manis
berkulit sawo matang yang hatinya semula
mencemaskan kepergian Rebab Pandan, serentak
menjadi tenang. Maka iapun berkata penuh hormat,.
"Terima kasih, Sang Panembahan. Kini hatiku tidak
lagi secemas tadi."
"Nah, begitulah namanya cinta sejati. Kemana pun
sang kekasih pergi menunaikan tugas, tak perlu
dicemaskan lagi. Biar bagaimanapun jadinya, kalau
sudah ditakdirkan menjadi jodohnya, pasti akan tetap bersatu juga. Sekarang,
mumpung matahari belum
terlalu tinggi, kalian kuizinkan berangkat, Angger berdua," ujar Panembahan
Jatiwana seraya menepuk
bahu kedua muridnya itu dan merekapun lalu
membungkuk hormat serta meminta diri.
"Hati-hati, Kakang," ujar Rara Sendang menyela.
"Dan semoga Tuhan akan melindungi kalian dari
marabahaya."
"Terima kasih!" seru Rebab Pandan dan Landean
Tunggal berbareng sambil memacu kudanya ke arah
utara menyusuri lereng Gunung Merapi dari arah
barat. Kabut putih masih menyelimuti lereng-lereng
gunung sebelah atas laksana gumpalan kapas raksasa.
Ditambah dengan kelebatan hutan lereng Gunung
Merapi dan sekali-sekali terdengar raungan binatang buas, maka bagi seorang yang
berhati kecil akan
segera ketakutan setengah mati. Betapa tidak" Tempat itu masih sangat asing dan
jarang dijamah orang,
hingga Landean Tunggal dan Rebab Pandan harus
berhati-hati dalam memilih jalan.
Namun mereka telah tergembleng oleh Panembahan
Jatiwana, baik jiwa ataupun raganya dalam
menghadapi setiap rintangan. Maka perjalanan ini
walaupun penuh bahaya dan sukar, kedua pemuda
tadi justru malah merasa senang, sebab apa saja yang telah diajarkan oleh
Panembahan Jatiwana, semua
dapat ditrapkan dan dipraktekkan disini. Seperti
bagaimana memilih jalan yang baik, mengenal suara binatang buas, macam-macam
tumbuh-tumbuhan,
dan masih banyak lagi lainnya.
Mereka terus menuju ke utara menuruni lereng
Gunung Merapi sebelah barat, dan sejurus kemudian
keduanya telah tiba di kaki gunung itu. Jalan disini lebih banyak yang mendatar,
sehingga kuda-kuda mereka lebih bisa berlari cepat.
Agak jauh di sebelah utara, tampaklah kemegahan
Gunung Merbabu yang tinggi perkasa tak ubahnya de-
ngan Gunung Merapi di sebelah selatan. Gunung tadi makin lama makin dekat,
apalagi setelah keduanya
tiba di kaki bukitnya. Terasalah betapa kecilnya
manusia berhadapan dengan kemegahan alam ciptaan
Tuhan. Perjalanan ini terasa amat jauh bagi Landean
Tunggal serta Rebab Pandan. Setelah mereka
menyusuri kaki Gunung Merbabu dan ke utara,
tibalah keduanya pada sebuah tebing yang landai dan di bawahnya terlihatlah satu
lembah yang luas.
Beberapa petak-petak sawah yang luas hampir
memenuhi sepertiga dari lembah itu. Itulah tanah
perdikan Banyubiru yang terkenal subur.
"Kakang Landean Tunggal, hari telah sore," kata
Rebab Pandan. "Bagaimana kalau kita singgah di Desa Banyubiru itu?"
"Hmm, baik, Adi. Memang aku pun bermaksud me-
ngajakmu bermalam di desa itu. Kita akan singgah
dulu melepaskan lelah dan besok kita lanjutkan lagi perjalanan ini," ujar
Landean Tunggal sekaligus
menderapkan kudanya menuruni lembah Banyubiru
dan di belakangnya menyusul Rebab Pandan.
Ketika mereka tiba di lembah itu, kegelapan senja
telah merayapi daerah perdikan Banyubiru dan desa
kecil itu seperti tertelan oleh kegelapan dan kesepian.
Tetapi sejurus kemudian beberapa dian lampu telah
dipasang di dalam rumah-rumah. Juga di depan
rumah penduduk beberapa orang tampak bergerombol
bercakap-cakap. Beberapa di antaranya tampak berkerudung kain seolah-olah
kedinginan oleh hawa senja pegunungan yang dingin. Namun bagi Landean
Tunggal serta Rebab Pandan yang berpikiran tajam,
tahulah bahwa di balik kerudung kain tadi setidak-
tidaknya terselip parang ataupun pedang yang
membuat tonjolan-tonjolan pada kerudung kain
tersebut. Orang-orang tadi memandang tajam ke arah
Landean Tunggal serta Rebab Pandan ketika mereka
makin mendekati tempat orang-orang itu bergerombol.
Namun setelah orang-orang tersebut menatap wajah
Landean Tunggal serta Rebab Pandan yang cerah dan
bening, merekapun lalu mengangguk hormat.
"Permisi, Kisanak sekalian," sapa Landean Tunggal
kepada orang-orang itu dengan ramahnya.
"Oooh, mari silakan," ujar seorang yang paling tua di antaranya. "Anak berdua
ini mau kemana?"
"Kami menuju ke Ungaran, Bapak," kata Landean
Tunggal. "Tapi malam ini terpaksa singgah bermalam disini."
"Ooh, begitu. Nah, anak berdua boleh menginap di
warung itu malam ini. Tapi hati-hati, Nak. Tengah
malam nanti jangan keluar pintu, sebab desa ini
tengah diintai bencana!"
"Diintai bencana?" ujar Landean Tunggal seraya
menarik tali kekang kudanya agar berhenti. Kedua
pemuda ini cepat-cepat turun dari atas kuda, sebab bercakap-cakap dengan lawan
bicara yang berdiri di bawah serta lebih tua itu tidaklah sopan.
"Maksud Bapak?" ulang Landean Tunggal penuh
rasa ingin tahu. Demikian pula Rebab Pandan menjadi tertarik oleh hal ini.
"Sebenarnya kami adalah para penjaga keamanan
Desa Banyubiru ini. Beberapa waktu yang lalu kami
telah berhasil mengepung dua orang berandal yang
mencoba mengganggu desa kami, tetapi agaknya mere-
ka orang-orang gemblengan, sebab mereka melawan
dengan gigih. Seorang di antaranya berhasil melo-
loskan diri dari kepungan dan seorang lagi akhirnya tewas di tangan kami.
Begitulah kejadian tadi rupanya berbuntut panjang sampai saat ini. Rupa-rupanya
seorang berandal yang berhasil lolos tadi telah
mengundang teman-temannya untuk menyerbu desa
ini pada tengah malam nanti."
"Dari manakah hal itu bisa diketahui?" ujar Rebab
Pandan keheranan.
"Mereka telah mengirimkan surat ancaman itu pada
sebatang anak panah yang ditembakkan ke halaman
balai desa!" jawab si orang tua.
"Hebat!" desis Landean Tunggal.
"Memang hebat, Nak. Sebab kali ini mereka akan
datang bersama dua orang tokoh sakti!" sambung si
orang tua. "Maka jika tengah malam nanti terjadi pe-nyerangan, anak berdua
tetaplah tinggal di dalam
rumah. Biar kami yang akan menghadapi mereka.
Tetapi jika kiranya anak berdua berlapang dada, kami akan dengan senang hati
menerima bantuanmu dalam
menyambut penyerbuan itu."
"Eh, baiklah, Bapak. Kami akan mencoba
keberanian kami. Mudah-mudahan tidak terlalu
mengecewakan para Kisanak disini," kata Landean
Tunggal. "Kini izinkanlah kami singgah ke warung itu dahulu."
"Wah silakan, Anak berdua. Maaf, kami telah terlalu lama menghentikanmu!" si
orang tua tadi berkata setengah malu.
Landean Tunggal dan Rebab Pandan sekali lagi me-
ngangguk hormat dan berlalulah mereka dengan
menuntun kudanya, sebab jarak warung itu sudah
tidak begitu jauh lagi.
*** Warung itu sudah ditutup pintunya, sebab malam
telah tiba dan tidak bakal ada pengunjung lagi. Di ruang tengah, di sebuah kamar
yang disediakan bagi para penginap, terdapat beberapa balai-balai bambu
berukuran kecil untuk satu orang. Landean Tunggal
serta Rebab Pandan berbaring pada balai-balai itu!
Malam yang kebetulan pada musim kemarau ini
dihiasi oleh sang purnama yang memancarkan sinar
peraknya ke lembah itu. Lembah yang subur dengan
sawah-sawah yang disebut Banyubiru, malam ini
kelihatan sepi. Jalan desa telah pula sepi, lengang. Tak seorang pun penduduk
keluar rumah kecuali para
penjaga keamanan desa pada berjaga-jaga di pintu-
pintu masuk desa. Mereka tengah menanti penye-
rangan para berandal yang mengancam Desa
Banyubiru, di tengah malam nanti.
Betapapun mereka telah siap berjaga-jaga, namun
tak urung rongga dada orang-orang itu berdegupan
keras, sebab mereka sadar bahwa kali ini harus
bertempur melawan berandal-berandal yang sakti. Mereka tak henti-hentinya
mengawasi tanah-tanah
pegunungan yang mengelilingi lembah Banyubiru itu.
Sementara itu dalam saat yang sama, di tebing
lembah di sebelah timur, tampaklah limabelas orang berkuda berhenti di balik
semak ilalang. Dua orang yang di depan agaknya pemimpin
rombongan itu, sebab keduanya tampak berkata-kata
asyik. Yang satu masih muda sedang yang satu lagi setengah tua.
"Kakang Botorsewu, sebentar lagi tengah malam,"
ujar seorang pemuda berwajah angker dengan
rambutnya yang gondrong awut-awutan kepada teman
di sampingnya yang mempunyai tubuh kekar berwajah
hampir persegi kaku. Kumis dan jenggotnya kasar
serabutan kurang teratur.
"Kau sudah gatal untuk mencincang mereka, Adik
Rikma Rembyak?" sahut Botorsewu kepada
sahabatnya yang masih muda dan berkalung terompet
kulit siput. "Sabarlah! Aku peringatkan, kita harus bertempur hati-hati. Apalagi
sebagai tokoh bajak laut, bukankah kurang biasa bertempur di daratan!"
"Hah, bagiku sama saja. Pokoknya asal aku tiup
terompet siput ini, mereka akan jadi kelabakan setengah mati dan Kakang
Botorsewu serta berandal-
berandal tinggal memukul hancur desa ini."
"Hua, ha, ha, baiklah, Adik Rikma Rembyak. Aku
percaya akan kemampuannya terompet siputmu itu.
Baiklah Adi, mari kita mulai pesta ini! Ha, ha, ha,"
Botorsewu terkekeh-kekeh ketawa.
Rikma Rembyak segera meniup terompet siputnya.
Maka keluarlah satu nada melengking mengalun
menelusuri tebing lembah dan turun ke Desa
Banyubiru dengan suara berpusaran seperti suara
siulan berpuluh-puluh setan lapar mengharap
mangsa. Mula-mula nada itu sangat rendah dan orang-orang
desa serta para penjaga keamanan mengira itu berasal dari bunyi angin kemarau
pegunungan yang bertiup
deras. Akan tetapi setelah nada tadi berangsur-angsur meliuk tinggi,
terperanjatlah orang-orang desa
tersebut. Kini merayaplah rasa takut dan ngeri ke dada mere-
ka. Siapa tak akan takut bila di tengah malam terang bulan, tahu-tahu terdengar
bunyi lengkingan merunyam hati. Celakanya bunyi terompet siput Rikma
Rembyak tadi tidak hanya sampai di situ saja. Kini makin meninggilah bunyi
tersebut sampai menyakitkan telinga dan mendirikan bulu tengkuk.
Maka akibatnya hebat sekali. Para penduduk
bergentayangan nabrak-nabrak sambil menutupi
kedua telinganya dengan tangan demikian pula para
penjaga desa tadi. Bagi yang berpikiran tajam serta buru-buru menutup kedua
lobang telinganya dengan
sobekan kain ataupun gumpalan kapas, pastilah akan terbebas dari pengaruh bunyi
alunan terompet siput si Rikma Rembyak tadi. Tetapi bagi yang kurang
mengerti, jangan diharap kalau mereka tidak
bergulingan di tanah sambil menjerit-jerit setengah menangis. Maka dalam saat-
saat yang seperti ini,
hanya orang tulilah yang paling beruntung, sebab ia tidak akan termakan oleh
lengkingan suara tadi.
Untunglah di saat-saat yang begini kritis masih ada dua orang di antaranya yang
terbebas dari bunyi tadi, meskipun mereka sama sekali tanpa menutup kedua
lobang telinganya.
"Ayo, Adi Rebab Pandan. Kini tibalah saatnya kita
menolong mereka!" seru Landean Tunggal sambil
meloncat keluar dari pintu warung penginapan, diikuti oleh Rebab Pandan yang
menggenggam rebabnya


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lengkap dengan alat penggeseknya.
"Kakang Landean Tunggal, berjagalah di pintu
gerbang desa. Aku akan melawan bunyi ini!" berkata demikian Rebab Pandan
sekaligus menggenjotkan
tubuhnya ke atas dengan ilmu loncatan Srigunting dan melesatlah ia ke atas
genting warung penginapan.
Sementara Landean Tunggal melesat ke gerbang
masuk Desa Banyubiru, Rebab Pandan bersila di atas genting sambil menggesek
rebabnya. Sebentar
kemudian, meluncurlah alunan lagu dari senar-senar rebab yang digesek oleh
tangan Rebab Pandan. Bunyi irama rebab tadi sangat lembut tapi tajam seakan-akan
luapan dari rasa hati Rebab Pandan yang
menentang bunyi alunan terompet siput si Rikma
Rembyak dari atas tebing sana.
Walaupun irama terompet siput Rikma Rembyak
datang bergulung-gulung bagai ombak badai Laut
Kidul, tetapi bunyi gesekan Rebab Pandan pada alat musik geseknya itu meliuk-
liuk lincah, laksana seekor naga yang tengah berenang menyelusuri samudera.
Dan kemudian bila kedua gulung suara itu bertemu,
terjadilah benturan dahsyat di udara.
Blaaar! Rikma Rembyak yang masih duduk di punggung
kudanya di samping Botorsewu menjadi tercengang
kebingungan melihat tiupan terompet siputnya
mendapat perlawanan dari arah desa. Sambil terus
meniup terompet siputnya semakin keras, Rikma
Rembyak gerenengan di dalam dada. "Eeh, gila, kurang ajar! Setan mana yang
berani lancang menandingi
terompet siputku ini"!"
Sekali lagi ia mengerahkan tenaga dalamnya dan
meniup terompet siputnya dengan hebat, namun
untuk kesekian kalinya pula Rikma Rembyak si
pendekar muda dari kawanan berandal ini terpaksa
terbengong mengkal, apabila suara alunan dari senar-senar rebab yang digesek itu
semakin menindih suara lengkingan terompetnya.
"Kakang Botorsewu! Wah, keparat orang-orang desa
itu! Rupanya mereka juga menyimpan pendekar sakti.
Ayo, kita serbu saja mereka sekarang ini!" seru Rikma Rembyak.
"Bagus, Adik Rikma Rembyak!" jawab Botorsewu
sambil melolos parang dari ikat pinggangnya yang
berkilat ketimpa sinar bulan.
Parang yang sudah dilolos itu segera diacungkan ke atas dan kemudian ia
berteriak dengan suara
menggeledek, "Kawan-awan, lihatlah baik-baik desa di lembah itu. Sepuluh orang
mengikuti kami dan tiga
orang penembak panah menjalankan tugasnya!"
Sesudah berkata begitu, Botorsewu bersama Rikma
Rembyak segera menderapkan kudanya menuruni
lembah diikuti oleh kesepuluh anak buahnya lalu disusul tiga orang pemanah yang
telah mempersiapkan
panah apinya. Mereka memacu kudanya dan bagai
serigala-serigala kelaparan mendekati pintu gerbang desa.
"Serbuuuu!" teriak Botorsewu, berbareng tiga panah api melesat ke arah desa dan
membakar dua buah
rumah penduduk.
Di pintu gerbang masuk desa, Landean Tunggal
telah selesai mempersiapkan pertahanan bersama para penjaga desa. Beberapa bambu
berduri dipasang
melintang pada pintu gerbang untuk menghalangi
serbuan itu. Melihat ini Rebab Pandan tak tinggal diam. Sambil
berloncatan dari genting rumah yang satu ke genting rumah yang lain, ia memutar
rebabnya di tangan serta
berkali-kali menyampok jatuh panah-panah api yang
bersiutan di udara.
Kemudian Rebab Pandan melesat turun ke tanah
serta berlari ke arah pintu gerbang desa di sebelah timur, dari mana serbuan
berandal-berandal tadi
dipusatkan! Di pihak kaum berandal, Botorsewu menggertakkan
giginya ketika panah-panah api tadi tak memenuhi
maksudnya, yaitu membakar rumah penduduk serta
menimbulkan kekacauan! Maka bersama tiga orang
anak buahnya yang bersenjata pedang, mereka
mendekati pintu gerbang desa.
Keempat orang berandal itu memutar pedangnya
bagai angin puyuh dan sebentar saja, bambu-bambu
berduri yang melintang pada pintu gerbang itu telah terpotong-potong putus
berserakan ke tanah.
Mereka segera menyerbu masuk ke desa, sayangnya
tiba-tiba para penjaga desa lebih cepat bertindak.
Ketiga orang yang di belakang kena sergap dan
robohnya mereka dari kudanya termakan oleh senjata-senjata penjaga desa. Sedang
yang terdepan, yaitu
Botorsewu segera terlibat dalam pertempuran melawan Landean Tunggal.
"Setan! Kau berani melawan Botorsewu, hah"!"
"Ha, ha, Landean Tunggal siap melayanimu, sobat!"
Kesepuluh orang berandal lain yang dipimpin oleh
Rikma Rembyak segera pula menyerbu masuk ke arah
desa. Ternyata di balik semak-semak di tepi desa, para penjaga desa telah
bersiaga dengan sepenuhnya.
Maka begitu pasukan berandal itu mendekati pintu
gerbang desa, berloncatanlah dari semak-semak di
pinggir jalan para penjaga desa menyergap berandal-berandal tersebut.
Sebentar saja tempat itu telah menjadi arena
pertempuran dan adu senjata yang seru. Rikma
Rembyak menebas-nebaskan pedangnya dengan ganas
hingga menakutkan pada pihak penyergap, dan
sebentar pula pedangnya telah berhasil membacok
lengan seorang penjaga desa, hingga orang ini menjerit hebat.
Ketika sekali lagi ia bermaksud membacokkan
pedangnya untuk membereskan orang tadi, mendadak
pedangnya terasa membentur sesuatu benda.
Traak! Alangkah kagetnya Rikma Rembyak ketika sebuah
bayangan yang baru saja melesat itu tahu-tahu telah menangkis bacokan pedangnya,
sampai tangannya
tergetar pedih! Yang membuat heran Rikma Rembyak
ialah ketika ia memperhatikan benda yang
menghalangi bacokan pedangnya ini, ternyata hanya
sebuah rebab belaka!
Pedang Kayu Harum 18 Anak Rajawali Serial Pemanah Rajawali Karya Chin Yung Pendekar Patung Emas 19
^