Pencarian

Bara Api Di Laut Kidul 2

Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul Bagian 2


"Setan keparat! Anak gendruwo! Siapa ini edan-
edanan, bertempur dengan alat musik" Apakah kamu
kekurangan senjata"!" teriak Rikma Rembyak sambil meloncat turun dari punggung
kudanya! "Berandal tengik! Rupanya kaulah yang membuat
suara bising tadi!" seru Rebab Pandan sambil me-
nyambut serangan Rikma Rembyak. Ia melihat musuh
ini berkalung terompet kulit siput.
"Dan kau juga rupanya yang lancang mengganggu
tiupan terompetku dengan rebab bobrok itu"!" teriak Rikma Rembyak seraya
menebaskan pedangnya ke
arah leher Rebab Pandan dalam kecepatan angin
badai, sementara dalam kepala ia sudah
membayangkan bahwa leher lawannya ini akan putus
dengan sekali tebas saja.
Namun mendadak Rikma Rembyak terpaksa
melompong mulutnya bila tahu-tahu pedangnya cuma
menyambar angin. Sedang Rebab Pandan, pendekar
muda dari Gunung Merapi, meloncat ke udara dengan
gesit sebelum pedang lawan sempat menyentuh
tubuhnya. Dengan penuh keheranan, Rikma Rembyak melihat
bahwa lawannya melesat ke udara dan jungkir balik
laksana sikap burung srigunting. Bersamaan Rebab
Pandan mendarat ke tanah, Rikma Rembyak memburu
dan sekali lagi menebaskan pedangnya.
Untuk kedua kalinya Rebab Pandan
memperlihatkan kegesitannya. Cepat-cepat tangan
kirinya yang menggenggam alat pengengsel rebab
menangkis tebasan pedang lawan.
Traang! Terpaksa Rikma Rembyak terkejut setengah
mati dengan hal ini, dan tiba-tiba dilihatnya pula rebab yang digenggam oleh
tangan kanan lawannya menyambar hebat ke arah kepalanya. Untunglah ia cepat-
cepat mengendap. Kalau terlambat sedikit saja pastilah
tubuhnya sudah tak berkepala lagi!
Di tempat lain Botorsewu menyerang Landean
Tunggal dengan sambaran-sambaran parangnya.
Parang tersebut yang berkilat tajam dan besar me-
nyambar-nyambar cepat sekali, sebab digerakkan oleh tangan yang perkasa dan
berotot gempal. Hanya saja Botorsewu belum tahu bahwa lawannya adalah
Landean Tunggal, murid Panembahan Jatiwana. Maka
hanya cukup dilambari kelincahan gerak serta
loncatan-loncatan Srigunting, loloslah Landean
Tunggal dari incaran-incaran maut senjata lawannya.
Yang sangat menjengkelkan hati Botorsewu ialah
lawannya ini. Ia tetap bertangan kosong dalam
menghadapi serangan-serangan parangnya! Keduanya
semakin ganas bertempur terjang menerjang,
berloncatan di udara dan gerakan mereka bagai
bayang-bayang saking cepatnya.
Sedang di pojok barat, para penjaga desa bertempur mati-matian melawan kesepuluh
orang berandal.
Hampir-hampir saja orang-orang desa tadi terkalahkan oleh berandal itu, kalau
saja dari arah sebuah rumah tidak keburu muncul seorang tua yang berjalan
seenaknya! Tiba-tiba seorang dari penjaga desa yang lagi
bertempur, melihat kedatangan orang tua itu.
"Ki Canggah Banyubiru!" teriaknya seru hingga me-
ngagetkan para berandal tadi.
Melihat orang tua itu, empat orang berandal
melepaskan diri dari libatan pertempuran dengan para penjaga desa, serta
menyerbu Ki Canggah Banyubiru.
Namun orang tua ini dengan tenang melepas ikat
kepalanya dan menyongsong serangan keempat
berandal tersebut. Keempat senjata pedang di tangan berandal-berandal tadi
berkelebat dan menebas-nebas hebat, tetapi dengan enaknya si orang tua tadi
berloncatan lincah dan menelusup di antara
sambaran-sambaran pedang lawan. Kemudian setelah
beberapa kejap tiba-tiba ia memutar dan
menggerakkan ikat kepalanya! Tar! Tar! Taar!
Terdengar tiga ledakan berturut-turut dan tiga orang dari penyerangnya roboh
terlempar ke tanah.
Yang seorang berteriak ngeri setengah kaget. Cepat-cepat ia memutar tubuh untuk
lari, tapi Ki Canggah Banyubiru lebih cepat bergerak. Taaar! Sekali lagi ikat
kepalanya melenting dan menyambar tulang punggung
berandal tadi dan rebahlah penyerang yang keempat
ke tanah dengan darah segar tersembur dari
mulutnya. Setelah itu, orang tua itu cepat-cepat menerjunkan diri ke arena pertempuran
yang tengah berkecamuk
hebat. Dalam pada itu, sambil bertempur tadi Ki
Canggah Banyubiru sempat melirik ke arah Landean
Tunggal dan Rebab Pandan yang bertempur gigih
melawan kedua orang pemimpin berandal-berandal ini.
Betapa kagumnya dan memuji dalam hati, bahwa
tamu-tamu yang menginap di warung desa mampu
bertempur sehebat itu!
Serangan-serangan parang dari Botorsewu rupanya
semakin hebat, dan melihat hal ini Landean Tunggal melompat ke samping serta
melepas ikat pinggangnya.
Ikat pinggang kulit tadi lalu diputarnya di atas kepala dengan sekuat tenaga,
maka timbullah suara berdesau menakutkan. Sedang ujung ikat pinggang yang
dipasangi oleh timangan baja biru tadi, berkeredapan merupakan cahaya biru.
Botorsewu tidak tunggu lama lagi. Secepat kilat ia menerjang ke arah Landean
Tunggal, tetapi tiba-tiba merasa tangan kanannya yang menggenggam pedang
tergempur oleh satu tenaga raksasa hingga pedangnya terpelanting lepas dibarengi
oleh mulutnya berteriak kesakitan. Botorsewu berusaha menguasai dirinya,
namun sekali lagi ujung-ujung ikat pinggang Landean Tunggal yang terbuat dari
baja biru tadi menyambar kepalanya, bagai sambaran geledek!
"Eaakh!" Botorsewu seketika terjerembab ke tanah
dengan kepala berlumuran darah. Sesaat tubuhnya
mengejang dan kemudian diam tak bergerak. Mati!
Melihat pemimpinnya mati, sisa-sisa berandal tadi
menjadi kendor semangat tempurnya. Sedang di
sebelah lain, si Rikma Rembyak mengutuk-ngutuk
dalam hati, bila lawannya yang sama-sama masih
muda ini sedikit demi sedikit berhasil mendesaknya!
Dan memang benarlah! Rebab Pandan
melipatgandakan serangannya. Lebih-lebih setelah ia
tahu bahwa pemimpin berandal telah ditewaskan oleh kakak seperguruannya!
"Cepat bertekuk lutut, sebelum kau mampus di ta-
ngan Rebab Pandan!" teriak Rebab Pandan.
"Kunyuk edan! Mana ada orang mau menyerah
kepada tukang penggesek rebab macam tampangmu
itu!" jawab Rikma Rembyak sambil memperhebat
permainan pedangnya, tapi mendadak senjata
lawannya menyambar ke arah kepalanya, maka cepat-
cepat ia menangkis dengan pedangnya. Traang!
Mendadak saja kaki Rebab Pandan beraksi dengan
cepat. Sebuah tendangan telah menyambar ke dada
Rikma Rembyak dan pendekar dari pihak berandal
yang masih muda ini, terpelanting jungkir balik di tanah. Sementara itu Rikma
Rembyak dapat melihat
bahwa sebagian kekuatan dari teman-temannya telah
hancur, apalagi Botorsewu telah mati.
Dengan secepat geraknya, tiba-tiba Rikma Rembyak
melesat ke samping dan meloncat ke salah satu
punggung kuda, seraya berteriak, "Kawan-kawan, ayo kita mundur!!"
Mendengar itu, tiga orang berandal segera meloncat ke punggung kuda dan
memacunya ke arah timur
mengikuti Rikma Rembyak! Seorang lagi dari berandal yang terluka parah mencoba
meloncat ke punggung
kuda, tapi rupa-rupanya tenaganya telah habis,
sehingga loncatannya tidak sampai dan terhempaslah ia ke tanah dan mati!
Begitulah pertempuran tadi selesai. Sebelas
berandal termasuk Botorsewu telah tewas. Sedang di pihak penduduk tiga orang
tewas dan beberapa luka-luka.
Atas kemenangan ini, karuan saja para penduduk
dan penjaga-penjaga keamanan serta Ki Canggah
Banyubiru sangat berterima kasih kepada Landean
Tunggal dan Rebab Pandan.
Malam kembali sepi, sedang di balai desa, sibuklah orang-orang mengurus korban-
korban pertempuran
tadi. Dalam hati penduduk desa sejak malam itu,
timbullah rasa tenteram dan damai yang telah
dirindukannya. Mereka tak perlu lagi cemas akan
pengacauan dari kaum berandal tadi, sebab sebagian besar dari kekuatan mereka
telah musnah. Sementara itu Landean Tunggal serta Rebab Pandan kembali ke
warung penginapan dan tidurlah mereka dengan
pulasnya. *** 4 LANDEAN TUNGGAL mengerdip-ngerdipkan mata-
nya ketika terasa bahwa berkas-berkas sinar matahari jatuh menimpa pelupuk
matanya. "Wah, matahari sudah tinggi! Agak kesiangan ini!"
desis Landean Tunggal serta bangkit dengan segera.
Ketika dilihatnya ke samping, tampaklah adik
seperguruannya juga masih tertidur pulas, seperti
orang yang kelelahan.
Memang ketika teringat akan kejadian tadi malam,
maklumlah ia bahwa pertempuran menghadapi para
berandal itu sangat melelahkan. Maka tak heranlah
bila adik seperguruannya, si Rebab Pandan itu yang biasanya selalu bangun pagi-
pagi, kali ini masih belum membuka mata.
Landean Tunggal bermaksud membiarkannya
untuk sebentar waktu lagi. Namun ketika ia teringat
akan tugas yang mereka kerjakan, lalu segeralah ia menepuk-nepuk pundak Rebab
Pandan. "Hyaat!"
Cegg! Rebab Pandan bangun dan langsung mengirim satu
pukulan ke arah Landean Tunggal, tapi untungnya tangan Rebab Pandan itu tiba-
tiba ditangkap oleh
cengkeraman Landean Tunggal.
"Hai, mengapa kau, Adik"!" seru Landean Tunggal
setengah heran, sedang Rebab Pandan cuma meringis
segan. "Heh, heh. Maaf, Kakang Landean. Aku tengah
bermimpi bertempur melawan Rikma Rembyak tadi
malam. Dan ketika Andika membangunkan aku,
kukira musuh lain yang mau mengeroyokku!"
"Ha, ha, ha. Tak apalah, Adi! Aku malah bangga
bahwa Adi tetap waspada, meskipun dalam keadaan
mimpi!" ujar Landean Tunggal. "Marilah kita berkemas, Adi. Kita akan cepat-cepat
meneruskan perjalanan ke Gedong Songo."
"Baik, Kakang."
Kedua pendekar muda ini segera berkemas-kemas
dan membersihkan badan dengan air sumur yang
sejuk menyegarkan. Sesudah selesai dan membayar
sewa kamar serta makanan, mereka meneruskan
perjalanannya kembali ke arah utara.
Sewaktu mereka melewati jalan desa itu, tampaklah
beberapa orang berbisik-bisik lalu mengangguk hormat kepada Landean Tunggal dan
Rebab Pandan. Agaknya
mereka telah tahu bahwa kedua pendekar muda inilah yang telah menolong desa
mereka dari pengacauan
berandal-berandal gunung.
Sesudah mereka keluar dari pintu gerbang desa,
dipacunya kedua kudanya menuju utara.
Sepanjang perjalanan hanya gunung dan hutan-
hutan lebat serta gemericik air yang mengalir dari sela-sela batu mengiringi
panorama alam yang indah. Mere-ka jadi terhibur oleh karenanya. Keindahan alam
tadi seperti wajah seorang puteri yang mengelu-elukan
perjuangan mereka dalam mengusir kaum berandal
yang telah sekian lama membikin rusuh. Kini wajah
alam itu seperti cerah, angin bertiup segar dan udara cerah.
Landean Tunggal dan Rebab Pandan menambah
kecepatan lari kudanya. Tak antara lama, tibalah mereka di sebuah sungai kecil
yang tidak begitu dalam, sebab sungai itu merupakan awal dari sebuah sungai yang
panjang mengalir ke utara, yakni Sungai
Tuntang. "Cepat Adi, kita menyeberang! Sebentar lagi kita
sampai. Lihatlah gunung yang mendekam di utara
sana. Itulah Gunung Ungaran yang kita tuju, Adi,"
ajak Landean Tunggal serta menderapkan kudanya
menyeberangi sungai kecil yang dalamnya hanya
selutut kaki kudanya.
"Di manakah letak candi-Candi Gedong Songo itu,
Kakang?" kembali bertanya Rebab Pandan.
"Kalau kita sama mendaki kaki Gunung Ungaran
dan kemudian membelok ke arah timur laut, di lereng itulah kita akan menjumpai
candi-candi itu."
Sungai kecil itu telah mereka seberangi. Kini
keduanya menempuh hutan-hutan kecil di kaki
Gunung Ungaran sebelah selatan. Dalam perjalanan
ini, Landean Tunggal berkali-kali tersenyum bila
mendengar adik seperguruan yang berkuda di sebelah belakang itu bersenandung
tembang Dandanggula
ataupun tembang lainnya yang mendambakan
kerinduan hati seorang pemuda yang teringat akan
gadisnya. Landean Tunggal yang cukup bijaksana
membiarkan saja Rebab Pandan bersenandung tadi
dan ia tak akan mengganggunya. Apalagi suara itu
sangat empuk dan merdu, hingga perjalanan mereka
tak terasa telah menginjak lereng sebelah timur.
Landean Tunggal sendiri sering bertanya-tanya
dalam hati, kapankah hatinya juga akan tertambat
pada seorang gadis seperti Rebab Pandan ini" Tapi
anehnya sampai saat ini ia masih belum tergerak
hatinya ke arah itu, kecuali ke arah keluhuran budi dan semua pelajaran ilmu
dari Panembahan Jatiwana.
Di lereng timur itu, kabut putih sebentar-sebentar melayang ringan berarak-arak
sampai sinar matahari siang sebentar hilang dan sebentar muncul. Bunyi serangga,
terutama tenggeret atau yang biasa disebut garengpung itu berdengung bersahut-
sahutan dari pohon-pohon sarangan dan pohon-pohon lainnya.
Pohon-pohon pakis, bunga-bunga anggrek liar dan
sulur-suluran, sebagai ciri utama dari tumbuh-


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tumbuhan tanah pegunungan banyak tumbuh di sana-
sini dengan lebatnya.
Kuda mereka tidak lagi dapat berpacu karena jalan
yang mereka lalui penuh berbatu-batu lagi curam. Mereka sebentar-sebentar
melepaskan lelah serta
beristirahat secukupnya sambil menikmati nasi yang telah dikepal-kepal sebesar
genggaman tangan. Sedang lauknya ikan asin yang mereka beli dari warung
penginapan di Desa Banyubiru pagi tadi.
Menjelang matahari turun ke cakrawala barat,
kedua pendekar muda tadi telah sampai ke daerah
percandian. Dari jauh, tampaklah remang-remang
bentuk Candi Gedong Songo yang kelabu kehitaman.
Akan tetapi, benarkah bahwa perjalanan mereka
lancar" Sebab di balik semak-semak pohon pakis
berloncatanlah satu bayangan laki-laki tua, berambut panjang terurai dengan
wajah keriput tua tersenyum dengan sinisnya ke arah dua pendekar muda tadi! Dan
gerak loncatannya yang ringan bagai kapas itu
dapatlah segera diukur betapa hebatnya ilmu
meringankan tubuh kakek tua ini.
"Haa, apakah yang mau dikerjakan oleh bocah-
bocah ingusan di senja-senja begini ini" Apakah mereka tidak tahu bahwa daerah
ini termasuk wewenang
kekuasaan Gombelwadas" Heh, heh, heh, baiknya aku
tunggu dulu apa maunya mereka!" gumam kakek tua
tadi seraya berloncatan lagi membayangi Landean
Tunggal serta Rebab Pandan dari balik semak-semak.
Dalam pada itu, kedua pendekar muda tadi cepat-
cepat mendekati daerah percandian yang telah gelap.
Mereka lalu turun dari kuda dan menambatkannya
sekali pada sebuah pohon pakis.
"Kakang Landean Tunggal, di manakah kita akan
bermalam kali ini?" tanya Rebab Pandan kepada kakak seperguruannya.
"Hmm, disini tak ada rumah penduduk, Adi. Tapi
janganlah kuatir. Tak ada jeleknya kita menginap di relung-relung candi rusak
itu, daripada kita kaku kedinginan di luar sini."
"Setuju, Kakang," sahut Rebab Pandan dengan
tersenyum. Maka kedua pendekar muda itupun mempersiapkan
tempat untuk tidur. Dengan berlandaskan bantal
kepala kuda serta masing-masing berselimut selembar kain, mereka segera
merebahkan dirinya ke lantai batu dan tak lama kemudian tertidurlah keduanya
kelelahan. Di luar, udara dingin terasa menusuk
tulang sumsum. Sedang di balik semak-semak, si kakek tua tadi
mengangguk geram. "Hah! Mereka tidur di situ. Bagus, bagus! Aku sekarang belum
tahu maksud-maksud mereka. Baiklah, aku akan tunggu sampai besok pagi!"
Habis menggerundal begitu, kakek tersebut melesat
ke samping dan lenyaplah tubuhnya di gelap malam
yang telah mencengkam daerah Gedong Songo. Daerah
ini masih jarang didatangi manusia dan di sekeli-
lingnya masih dipagari oleh hutan lebat. Oleh sebab itu daerah ini sangat sepi
baik siang dan lebih-lebih
malam hari. Maka tak heranlah bila kedatangan
Landean Tunggal serta Rebab Pandan ke tempat candi-candi tua ini sangat
mengherankan bagi si kakek tua yang menyebut namanya Gombelwadas itu.
Sang malam terus beredar tanpa lelahnya dan sang
waktu tak terasa cepat berlalu. Demikianlah sisa-sisa malam telah bergeser ke
langit sebelah barat,
sementara ujung fajar pagi mengintai dari cakrawala timur.
Sayup-sayup terdengar kokok ayam hutan dan
beberapa ekor jengkerik masih mendering merdu,
seakan-akan masih berusaha menahan kepergian sang
malam. Landean Tunggal serta Rebab Pandan telah bangun
di sinar pagi yang pertama menyentuh daerah Gedong Songo itu. Keduanya lalu
membersihkan diri pada ma-ta air di dekat candi.
"Adi Rebab Pandan, marilah kita mulai mencari
Kaca Sirna Praba!" ajak Landean Tunggal kepada adik seperguruannya.
"Kita harus mencari patung Ganesya lebih dulu
Kakang," ujar Rebab Pandan. "Dan ini tidak mudah,
sebab di daerah ini pasti ada lebih dari satu patung Ganesya!"
"Yah, tapi kita harus menemukan kaca itu, biar
bagaimana pun sukarnya, Adik!" berkata Landean
Tunggal. "Bukankah Kitab Hijau milik perguruan kita tidak akan lengkap bila kaca
Sirna Praba tadi tidak kita temukan?"
"Dari mana kita akan mulai mencari benda itu,
Kakang?" "Kita periksa saja tempat ini dari selatan dan
kemudian menuju ke utara," ujar Landean Tunggal,
dan kemudian keduanya mulailah memeriksa candi-
candi itu dari sebelah selatan.
Tiap relung dan sudut dari candi-candi itu
ditelusuri serta diteliti dengan seksama. Pada candi pertama diketemukan patung
Ganesya, tapi peti batu seperti yang dipesan oleh Panembahan Jatiwana tidak
mereka ketemukan.
Biar begitu kedua orang ini tidak berputus asa. Mereka terus mencari dan mencari
hingga pada candi
yang paling utara, mereka menemukan lagi sebuah
patung Ganesya.
Patung Ganesya berkepala gajah yang
melambangkan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan
ini duduk bersila dengan megah, dan kedua pendekar muda tadi cepat mendekatinya.
Landean Tunggal dengan hati berdegupan mene-
ngok celah-celah di bagian belakang patung ini, dan tiba-tiba terbelalaklah
matanya bila ia menatap sebuah kotak batu berukir kasar. Dengan segera Landean
Tunggal memungut kotak batu tadi sambil
bergemetaran tangannya, sebab hatinya dipenuhi
pertanyaan, apakah betul benda yang dicari, tersimpan di dalam kotak batu ini"
"Adi Rebab Pandan," seru Landean Tunggal kepada
adik seperguruannya yang berdiri di belakangnya dengan terperanjat pula menatapi
kotak batu itu,
"lihatlah, Adi. Kita telah menemukannya! Menemukan benda yang diminta oleh guru
kita!" "Akh, syukurlah, Kakang. Syukurlah! Hampir saja
aku berputus asa karenanya," ujar Rebab Pandan
terbata-bata penuh haru.
"Ayo, kita periksa di luar, Adik!" seru Landean
Tunggal tak sabar, sebab ia ingin lekas-lekas
mengetahui benda yang telah bersusah payah
dicarinya. Keduanya lalu berloncatan keluar candi dan berdiri dekat pintu gerbang candi
yang berjenjang.
Hati-hati sekali mereka membuka peti batu
tersebut. Begitu tutupnya terbuka, maka kedua
pendekar muda itu lebih terpesona lagi. Memang
terasa bahagia, bila sesuatu benda yang bersusah-
susah payah dicarinya, kini betul-betul diketemukan.
Sebab kaca yang berbingkai logam baja biru, seperti yang biasa digunakan untuk
berias itu, terletak di dalamnya.
"Oooh, benar-benar menakjubkan, Kakang!" kata
Rebab Pandan. Dan Landean Tunggal pun tak habis
kagumnya menatapi kaca Sirna Praba tadi.
Tetapi selagi mereka diliputi kekagumannya
terhadap benda ini, sekonyong-konyong berkelebat
satu bayangan manusia menyambar ke arah mereka.
Sebuah tangan yang berjari-jari penuh keriput ketuaan berkembang siap menyambar
kaca Sirna Praba itu.
Tentu saja kedua pemuda ini terperanjat bukan
main. Rebab Pandan secepat kilat mengayunkan
senjata rebabnya ke arah tangan tadi dan terjadilah satu benturan. Weess. Trak!
Bayangan tadi kemudian berjumpalitan di udara
dan mendarat di tanah dengan bertolak pinggang,
sambil meringis sinis ia berkata, "Heh, heh, heh,
terimalah tadi sekadar salam perkenalan dari
Gombelwadas, penguasa daerah lereng Ungaran ini."
"Terima kasih, Kakek! Tapi apakah maksudmu
mencoba mengganggu kami?" ujar Landean Tunggal
agak curiga. "Heh, heh. Jangan pura-pura kamu, bocah ingusan!
Apa kau kira aku tidak melek, kalau kalian telah menemukan benda berharga itu!"
seru Gombelwadas
garang! "Apa pula maksudmu, Kakek?" sela Rebab Pandan
pula, karena iapun kurang senang dengan munculnya
orang tua ini. Dalam hati ia sudah menduga akan
timbul persengketaan dengan dirinya.
"Keparat! Kalian banyak ngomong saja! Lekas kalian serahkan benda itu kepadaku.
Sebagai penguasa
daerah ini, aku berhak menguasai segala barang yang terdapat disini!"
"Haa, apakah ada seorang yang mengangkat Kakek
sebagai penguasa daerah ini"!" berseru Rebab Pandan jengkel.
"Kurang ajar, masih saja berkelakar bodoh! Yang
mengangkat adalah diriku sendiri! Tahu, kowe"!"
"Hmm, kami tak akan begitu saja menyerahkan
benda ini, Kakek! Dari jauh kami telah bersusah payah mencarinya ke sini dan
kini ada orang yang dengan
enak mau mengambilnya. Tidak! Benda ini telah kami ketemukan dan akan kami bawa
pergi!" "Kunyuk! Rupanya harus kuambil dengan paksa!"
teriak Gombelwadas dan melesatlah ia tiba-tiba ke
arah Landean Tunggal serta Rebab Pandan. "Hyaat!"
Kedua pendekar tadi sangat terperanjat dan
terpaksa keduanya terhuyung-huyung ke belakang
karena tersampok oleh angin pukulan si kakek tua
yang dahsyat. Oleh kenyataan ini, kedua pendekar tadi dapat
mengukur bahwa kekuatan Gombelwadas tadi setaraf
dengan guru mereka. Panembahan Jatiwana! Karuan
saja mereka terpaksa bertempur sepenuh tenaga, bila tidak ingin mati konyol!
Sebentar saja terjadilah pertempuran dahsyat!
Ketiganya bergerak bagai bayangan berkelebatan
saking cepatnya.
Biar kakek tua Gombelwadas ini seperti orang yang
sudah tak bertenaga, yang kira-kira sekali pukul akan menggeletak di tanah,
namun tidak demikianlah kenyataannya! Bahkan tenaganya malah berlipat-lipat!
Geraknya sangat garang, laksana seekor macan lapar, sedang kedua tangannya
berkali-kali menerkam dengan ganasnya!
Tapi yang dilawan kali ini adalah murid-murid
gemblengan Panembahan Jatiwana. Kedua pemuda
tadi bergerak lincah, menghindari setiap terkaman si kakek tua dan lama-kelamaan
mereka merasa terdesak oleh lawannya. Keduanya sama sekali tak
sempat membalas, kecuali hanya bertahan saja. Itu pun sudah untung, sebab
tandang kakek tua tadi
semakin ganas! Kakek Gombelwadas juga keheranan menghadapi
kedua lawan mudanya ini. Tak mengira sama sekali
bahwa mereka mampu bertempur melawan dirinya
sampai sekian lama! Maka tiba-tiba ia mengibaskan tangannya dan berkeredapanlah
jarum-jarum kecil
berbisa menyambar ke arah Landean Tunggal dan
Rebab Pandan. Diserang begini macam, mereka sangat terkejut dan
untunglah mereka dapat menguasai dirinya. Dengan
lompatan Srigunting, keduanya lolos dari sambaran-
sambaran jarum berbisa tadi.
Berbareng itu pula, Gombelwadas melesat ke arah
Rebab Pandan. Tahu-tahu pundak pendekar muda ini
kena tercengkeram oleh jari-jari si kakek tua dan
selanjutnya tubuh Rebab Pandan kena terhempaskan
ke tanah oleh Gombelwadas hingga bergulingan de-
ngan meringis. Setelah itu si kakek tua ganti berpaling ke arah Landean Tunggal.
"Heh, heh, heh, tahu rasa kau bocah ingusan!" ejek Gombelwadas dan sekali lagi
ia mengibaskan tangannya ke arah Landean Tunggal.
Berpuluh jarum berbisa terbang menyambar cepat,
tapi Landean Tunggal cukup memiringkan tubuh
menghindari jarum-jarum tadi. Sayang, bahwa jarum-
jarum tersebut terbang dalam keadaan tersebar ke
samping hingga tiga buah di antaranya menancap ke
lengan Landean Tunggal.
Melihat ini, si kakek tua terkekeh senang, sebab
pasti lawannya akan binasa sekejap lagi. Namun ia
terpaksa menghentikan ketawanya bila Landean
Tunggal dengan enaknya mencabut ketiga jarum
berbisa itu dan membuangnya ke tanah. Kakek tua itu tidak tahu bahwa Landean
Tunggal mengenakan cincin Galuh Punar yang dapat menawarkan racun dan bisa
sehebat apapun!
Kini Landean Tunggal tahulah bahwa mereka
menghadapi tokoh sakti yang luar biasa. Maka kaca
Sirna Praba tersebut yang masih digenggamnya
diarahkan menentang sinar matahari, sambil
menghadapi arah Kakek Gombelwadas berdiri!
Sinar matahari dengan sendirinya tercampak me-
nimpa kaca tersebut. Landean Tunggal sebenarnya tak bermaksud menggunakan kaca
Sirna Praba ini, tetapi ia sudah benar-benar kehabisan akal menghadapi
Kakek Gombelwadas yang hebat begitu. Apalagi adik
seperguruannya telah kena dihempaskan ke tanah dan kini masih terbaring
peringisan. Begitulah sinar panas matahari tadi terpantulkan
oleh kaca Sirna Praba dan diarahkanlah oleh Landean Tunggal ke arah Kakek
Gombelwadas. Maka terjadilah akibat yang hebat ketika sinar panas matahari
menimpa tubuh Kakek Gombelwadas.
Orang tua tadi seketika menjerit hebat dan tubuh-
nya terbakar sampai bergulingan rebah ke tanah
sambil berserabutan tangan dan kakinya. Sebentar
kemudian apipun padam dan Gombelwadas yang sakti
itu mati dengan tubuh hangus seperti daging sate.
Landean Tunggal merasa ngeri melihat akibat
pantulan sinar panas yang dipantulkan oleh kaca
Sirna Praba ini. Iapun segera menyimpan kaca tadi di dalam bajunya dan cepat-
cepat ia menolong Rebab
Pandan. Dengan sedikit pijatan-pijatan yang teratur pada pundak adik
seperguruannya, sembuhlah si
Rebab Pandan dari rasa pedih dan sakit yang kelewat sangat, akibat cengkeraman
Kakek Gombelwadas.
Tak beda dengan Landean Tunggal, Rebab Pandan
pun terperanjat melihat kehebatan dan akibat dari
sinar pantulan kaca Sirna Praba tersebut. Belum
pernah ia melihat kengerian seperti itu.
"Kakang, ah hebat sekali kaca Sirna Praba ini!"


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

desah Rebab Pandan disertai hati yang ngeri.
"Itulah agaknya mengapa kaca ini tersimpan di
tempat terpencil seperti ini, seperti yang dikuatirkan oleh Bapak Guru. Sebab
jika ia sampai jatuh di tangan orang sembarangan, berbahaya akibatnya, bukan?"
Rebab Pandan mengangguk membenarkan
perkataan Landean Tunggal.
"Adik Rebab Pandan, kini selesailah tugas kita ini.
Marilah kita lekas-lekas berkemas untuk perjalanan
pulang ke Padepokan Gunung Merapi."
"Baik, Kakang Landean. Marilah!"
Sebentar saja mereka telah rampung berkemas, dan
segera berpacu ke arah selatan menuruni lereng kaki Gunung Ungaran sebelah
timur. Perjalanan pulang kali ini terasa lebih cepat dan
ringan bila dibanding sewaktu mereka berangkat.
Tambahan lagi, mereka telah berhasil mendapatkan
kaca Sirna Praba yang mereka cari, hingga langkah-langkah kuda mereka seolah-
olah terasa lebih ringan.
Di hadapan mereka terbentanglah lembah Banyubiru,
sedang di sebelah selatan sana berdiri Gunung
Merbabu dan Merapi.
*** 5 BERKALI-KALI Sang Panembahan Jatiwana berjalan
mondar-mandir di halaman Padepokan Gunung Mera-
pi. Hatinya kadang-kadang merasa cemas, tapi juga
kadang-kadang menjadi tenang, bahkan penuh
harapan bahwa kedua muridnya akan berhasil
menemukan kaca Sirna Praba yang dimaksud.
Kedua muridnya, Landean Tunggal serta Rebab
Pandan, telah satu pekan lebih lamanya pergi meninggalkan padepokan dan sampai
senja ini mereka belum kembali.
Ketika itu terasa bahwa Padepokan Gunung Merapi
menjadi lebih sunyi daripada hari-hari yang lalu.
Sedang kenyataannya, para cantrik dan abdi
padepokan selalu menemani dan menghibur orang tua
ini, demikian pula sampai pada senja sekarang.
Di senja ini, ketika Sang Panembahan lagi mondar-
mandir tadi, tampaklah seorang cantrik tergopoh-
gopoh dari arah jalan masuk ke halaman padepokan.
"Oh, Sang Panembahan tak perlu lagi bercemas hati
sekarang. Lihatlah dari tebing barat itu. Kedua anak murid Sang Panembahan telah
kembali dengan selamat. Mereka tengah naik menuju kemari," ujar
cantrik tadi terasa sebagai siraman air embun ke hati Sang Panembahan. Segar dan
dingin, menenangkan
hatinya yang lagi kecemasan menanti kedua anak
muridnya pulang.
"Eh, ya Allah! Syukurlah, cantrik. Kita sudah
berhari-hari menantinya, bukan?" ujar Sang
Panembahan terbata-bata saking gugupnya dan
gembira. Panembahan Jatiwana lalu bergegas ke pintu
gerbang diikuti oleh beberapa orang cantrik keluarga padepokan. Mereka sesaat
berdiri di situ memandang ke arah tebing sebelah barat.
Dan betullah apa yang dikatakan cantrik tadi, sebab tak antara lama muncullah
dua anak muda berkuda
dari tebing barat, seolah-olah muncul dari balik tanah.
Keduanya menuju ke pintu gerbang padepokan di
mana Panembahan Jatiwana dan para cantrik berdiri
menyambut mereka. Ketika kuda-kuda mereka makin
mendekat, Landean Tunggal serta Rebab Pandan
cepat-cepat meloncat turun dari punggung kuda.
Keduanya lalu mengangguk hormat ke hadapan
gurunya, dan panembahan tua ini segera menepuk-
nepuk pundak mereka.
"Bagaimana, Angger sekalian, apakah tugasmu
telah berhasil?"
"Berkat doa Bapak Guru, kami berdua telah
berhasil mendapatkan kaca Sirna Praba," berkata
Landean Tunggal.
"Wah, syukurlah, Angger. Dengan begitu akan lebih
sempurnalah perguruan kita ini. Mari Angger berdua, silakan segera masuk ke
rumah. Kita akan lebih puas bercakap-cakap, dan aku ingin mendengar kisah
perjalanan kalian."
"Terima kasih, Guru," ujar Landean Tunggal dan
bersama Rebab Pandan, keduanya masuk ke dalam
rumah, setelah lebih dulu membasuh kakinya dengan
air tempayan di dekat pintu.
Demikianlah mereka duduk di ruang depan,
sementara seorang cantrik menyuguhkan minuman
serta ketela rebus yang masih hangat.
Landean Tunggal berceritera tentang perjalanan me-
reka ke daerah Gedong Songo itu, dan Panembahan
Jatiwana mau tak mau mengagumi kedua muridnya
yang telah berhasil mengatasi segala bahaya yang
dijumpainya. Dan paling bangga lagi buat Sang
Panembahan ialah diketemukannya kaca Sirna Praba
ini. Maka ia tak habis kagumnya mengamat-amati
kaca ini. Apa yang diimpikan akan kelengkapan Kitab Hijau selama ini, betul-
betul terlaksana sekarang.
Maka semenjak kembalinya Landean Tunggal serta
Rebab Pandan ke padepokan ini dengan selamat dan
pula diketemukannya benda ampuh tersebut, suasana
padepokan ini terlihat lebih cemerlang dan semarak lagi.
Tetapi apakah yang begitu akan dapat berlangsung
terus" Sayangnya tidak begitu nyatanya. Sebab setelah lima hari mereka kembali
ke padepokan, Sang
Panembahan telah mengambil suatu keputusan, suatu
maksud yang telah sekian lama ditunggunya.
Pagi itu Sang Panembahan telah memanggil kedua
muridnya ke ruang depan. Sesudah mereka duduk di
balai-balai, Sang Panembahan memungut kaca Sirna
Praba serta Kitab Hijau.
"Nah Angger berdua, kini tibalah saatnya kalian
menerima kewajiban sebagai wakilku kelak. Kitab
Hijau serta kaca ini harus kalian simpan dan pelajari baik-baik," Panembahan
Jatiwana berkata dengan
mantap. "Dan aku minta Angger Landean Tunggal
menyimpannya!"
"Beribu terima kasih, Bapak Guru," ujar Landean
Tunggal serta Rebab Pandan berbareng. Kedua pende-
kar muda ini benar-benar merasa terharu karenanya.
Suasana sesaat menjadi hening, namun mendadak
dari balik pintu masuk, muncullah Umpakan dengan
wajah cemberut.
"Hah! Rupanya benarlah apa dugaanku semula,
bahwa Bapak Guru terlalu berat sebelah terhadap
muridnya. Mengapa justru aku tidak ikut dipercaya
untuk menyimpan kedua benda itu?" berkata
Umpakan seraya mengacungkan tangannya ke arah
Kitab Hijau dan kaca Sirna Praba.
Pasti saja mereka itu terperanjat terhadap sikap
Umpakan yang muncul tiba-tiba dan bersikap kurang
sopan yang berkata sambil berdiri dengan sikap acak-acakan seperti orang hutan
tak mengenal tatakrama.
Bila sesungguhnya mereka dalam hati merasa
mengkal dan marah namun ketiganya adalah orang-
orang yang pandai menguasai perasaan serta tahu me-ngaturnya mana yang perlu
dilahirkan dan mana yang tidak. Mereka seolah-olah tak menjadi heran ataupun
takut terhadap sikap Umpakan ini.
Oleh sikap ini, Umpakan merasa seperti diperma-
inkan ataupun diremehkan sekali, maka tiba-tiba ia menggeram marah, serta
berteriak garang. "Hah,
kalian orang-orang yang tak mengenal rasa adil dan
bersekongkol menyisihkan diriku! Tapi kalian jangan menyesal bila aku berhasil
menghancurkan Padepokan Gunung Merapi, seperti ini!"
Berkata demikian itu, Umpakan berbareng
memukul dinding kayu dengan seru!
Braak! Dinding tersebut pecah berlobang akibatnya.
Baik Panembahan Jatiwana, Landean Tunggal,
serta Rebab Pandan terbelalak melihat akibat pukulan Umpakan yang mampu
melobangi tembus dinding
kayu setebal dua jari, semudah melobangi selembar
daun! "Hua, hua, hua, kalian tahu" Kalian melek dengan kekuatan pukulanku ini" Nah,
aku tak ingin keke-rasan lebih lanjut, maka serahkan kedua benda itu
kepadaku!" ujar Umpakan.
"Manusia tak tahu diuntung!" teriak Landean
Tunggal marah. "Kalau tahu tabiatmu seburuk ini, dari dulu tak perlu kami
menyelamatkan dirimu dari
mulut-mulut macan itu. Biar kamu mendekam dalam
perut binatang itu!"
"Hah! Tak perlu mengungkit-ungkit barang yang
telah lalu! Tak guna! Yang penting adalah sekarang, waktu yang kini kita hadapi!
Kalau kepingin mencoba kekuatanku, ayo kulayani sekarang juga, Landean
Tunggal!" berseru Umpakan serta meloncat ke
halaman, sedang Landean Tunggalpun menyusulnya
meloncat keluar.
Tanpa berkata lagi, Umpakan langsung
mengirimkan serangan ganas ke arah Landean
Tunggal, tapi betapa kaget ia bila dengan gesit Landean Tunggal berhasil
menghindar. Dan sebentar kemudian di halaman Padepokan Gunung Merapi ini terjadi
pertarungan yang dahsyat. Umpakan menumplak
segala kegesitan, ketangkasan serta kesaktiannya
untuk melawan Landean Tunggal. Namun kesemuanya
ini, seakan-akan terhempas musnah menghadapi
kekuatan lawan. Yang lebih mengherankan bagi
Umpakan ialah gerakan silat Landean Tunggal yang
senantiasa menyamai bahkan tahu cara-cara
menangkis jurus-jurus silat ajaran Ki Jobin Karang.
Oleh karenanya Umpakan makin terdesak setelah
menghabiskan tiga puluh jurus.
Mendapat lawan yang tangguh begini, Umpakan
lebih mata gelap. Cepat ia menggerakkan kedua ta-
ngannya ke balik baju serta secepat kilat
dikibaskannya ke arah Landean Tunggal!
"Awas Kakang Landean!" seru Rebab Pandan
memperingatkan kakak seperguruannya bila dilihatnya delapan buah pisau kecil
panjang berkilatan melesat ke tubuh Landean Tunggal. Demikian pula Sang
Panembahan berdesir hatinya melihat hal ini.
Untunglah, Landean Tunggal lebih cepat lagi
gerakannya! Dengan menjejak tanah tubuhnya melesat ke udara
dalam gaya loncatan Srigunting dan semua orang
menahan nafas melihat kejadian berikutnya yang
cuma sekejap saja.
Tiga buah pisau lewat di bawah tubuh Landean
Tunggal, sedang yang empat buah lainnya masing-
masing kena terjepit oleh jari-jari kedua belah tangan, kaki dan yang satu lagi
kena terjepit oleh mulutnya!
Umpakan terpaksa melompong mulutnya melihat
adegan yang begitu hebat seperti tak masuk akal.
Belum lagi ia sempat bertindak lagi, tahu-tahu tubuh Landean Tunggal melesat ke
arah dirinya dan
terasalah kedua kaki lawannya bagai tembok baja
mendobrak dadanya, dan tanpa berkutik tubuhnya
terhempas ke belakang jungkir balik di tanah berbatu-
batu. Tapi masih untung ia mengetrapkan ilmu meng-
entengkan tubuh walaupun secara tiba-tiba hingga
luka-luka yang dideritanya tidak seberapa banyak.
Hanya benjol bengkak serta tergores berdarah pada
kulit. "Aduh... keparat kowe, Landean Tunggal!" ujar Umpakan sambil sempoyongan
berdiri. "Baik, kau
menang sekarang! Tapi awas, tunggulah
pembalasanku nanti!"
Umpakan terhuyung-huyung meninggalkan tempat
itu ke arah selatan, diikuti oleh pandangan semua ma-ta orang-orang di
padepokan. "Angger Landean, ah keadaan semakin ruwet
agaknya. Tak urung Umpakan tadi akan kembali lagi
kemari. Jika ia membawa teman-temannya golongan
hitam ataupun berandal-berandal, celakalah kita. Nah, begini saja Angger Landean
Tunggal. Kau pindah saja ke Jepara di pesisir utara sana. Bawalah dan
simpanlah Kitab Hijau serta kaca Sirna Praba ini
olehmu," berkata Sang Panembahan dengan hati risau.
"Besok pagi berangkatlah Angger kesana. Dengan
begitu maka kita terpencar menjadi dua, dan salah
satu akan bisa selamat dari keganasan Umpakan."
"Baiklah, Gapak Guru," jawab Landean Tunggal
tertunduk sedih dan memanglah ia teramat sedih bila meninggalkan Padepokan
Gunung Merapi ini, seperti
yang terjadi pada keesokan harinya. Dengan sangat
mengharukan perpisahan dengan Panembahan
Jatiwana, Rebab Pandan dan para cantrik serta
keluarga padepokan berlangsung di pagi hari itu.
Landean Tunggal berkuda ke arah barat dan
sebentar-sebentar dia menengok ke belakang serta
melambai-lambaikan tangannya. Padepokan Gunung
Merapi tadi semakin jauh dan bertambah jauh dari
matanya, namun semakin dekat di dalam hatinya.
*** Sementara itu jauh di sebelah selatan sana, di tepi
pantai Laut Kidul.
Di sela bunyi-bunyi deburan ombak yang
mendahsyat bergulung-gulung memecah ke pantai,
berloncatanlah sebuah bayangan manusia ke udara
laksana gerakan seekor burung camar meniti buih.
Lincah, cekatan dan gesit!
"Bagus, bocah! Bagus! Tak percuma aku
menggemblengmu di Laut Kidul ini!" teriak seorang
laki-laki berkepala gundul yang berdiri di samping seorang pemuda berambut
gondrong awut-awutan.
"Nah, Rikma Rembyak! Lihatlah gerakan Umpakan
itu dengan baik. Sebagai murid termuda, kau harus
lebih banyak belajar dulu kepada Umpakan sebelum
langsung menerima pelajaran dari aku. Maka kau
harus menganggap Umpakan sebagai gurumu pula!"
"Baik, Ki Jobin Karang," kata pemuda gondrong


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi. Keduanya sangat mengagumi gerakan Umpakan
dan begitulah dari hari ke hari dan dari minggu ke bulan, Umpakan terus berlatih
lebih giat. Segala
petunjuk dan nasehat Ki Jobin Karang dipatuhinya
betul-betul. Dalam dirinya ia masih menyimpan
dendam yang membara terhadap Landean Tunggal,
merupakan satu bara api di Laut Kidul!
Hampir setiap hari ketiganya berlatih seru di pantai.
Mulai dari Pantai Congot di sebelah barat sampai ke Parangtritis di sebelah
timur telah mereka jelajahi dalam latihan-latihan tadi.
Dalam waktu-waktu senggang, mereka bertiga se-
ring memancing ikan di laut ini. Mereka sengaja
melakukannya selain untuk dimakannya, yang penting adalah untuk melatih
kesabaran dan kecekatan.
Kedua unsur tadi sangat penting dalam ilmu silat.
Pada suatu hari seperti biasanya mereka tengah
asyik memancing. Tapi jika Ki Jobin Karang dan Rikma Rembyak telah mendapat
beberapa ekor ikan,
Umpakan masih belum dapat seekor pun. Hal itu tentu saja menimbulkan rasa kesal
di dada Umpakan.
Untunglah, pada tarikan pancingnya yang kelima
belas, Umpakan berbesar hati sebab terasa sangat
berat! Maka secepat kilat ditariknya tali pancingnya ke atas. Tetapi apakah yang
terjadi" Sungguh
mengejutkan sekali! Satu hal yang sangat ganjil!
Bukan ikan ataupun sesuatu binatang laut lainnya
yang dapat dimakan, tetapi sebuah topeng! Yah,
sebuah topeng dari logam tipis yang telah rusak dan penuh rumah-rumah siput yang
menempel pada sebagian besar sisinya telah tergantung pada mata
pancing milik Umpakan.
Ki Jobin Karang dan Rikma Rembyak tercengang
dibuatnya! Dan selanjutnya, tiba-tiba saja Ki Jobin Karang membungkuk hormat di
depan Umpakan yang
lagi sibuk mengamat-amati topeng rusak itu.
"Heei, mengapa engkau, Guru"!" seru Umpakan
kaget. "Topeng itu! Topeng yang bocah pegang itu adalah
topeng lambang keperkasaan serta kesaktian yang
pernah dimiliki oleh kaum berandal dari Laut Kidul.
Topeng itu telah sekian lama hilang, ketika pemimpin kami yang memakainya telah
tewas dan tercebur ke
laut ini dalam suatu pertarungan melawan seorang
pendekar Majapahit bernama Harya Nagageni yang
bersenjata cambuk pusaka yang menyala biru
kehijauan! Nah, dengan topeng yang bocah temukan
ini, berarti kaulah yang beruntung. Kaulah yang akan membangun kembali kejayaan
berandal Laut Kidul
yang telah musnah!"
Umpakan terhenyak kaget mendengar penuturan Ki
Jobin Karang tersebut. Tak mengira bahwa dirinya
kejatuhan rejeki nomplok sebesar itu, satu keberun-tungan yang benar-benar tak
terduga olehnya!
Ketiganya lalu berjalan pulang. Sampai di rumah,
Umpakan cepat-cepat membersihkan topeng tadi de-
ngan hati-hati dan cermat, sedang Ki Jobin Karang
dan Rikma Rembyak menunggunya.
"Hmm, lihatlah, Guru. Sekarang ia telah bersih, tapi beberapa bagian ada yang
rusak dan tergores seperti ini."
"Tidak apa-apa, Umpakan, itu dapat diperbaiki
nanti!" "Terima kasih, Guru!" ujar Umpakan puas sambil
melepas ikat kepalanya hingga terurailah rambutnya yang panjang. Topeng tadi
dicobanya pada mukanya
dan ternyata sangat sesuai. "Hmm, topeng ini akan
kupakai dan sejak saat ini aku akan bergelar Ki
Topeng Reges!"
Semenjak saat itu, sejak topeng tadi diperbaiki serta dipakainya, Ki Topeng
Reges seperti mendapat
tambahan tenaga baru, dan keinginannya untuk
membalas dendam atas kekalahannya kepada Landean
Tunggal semakin berkobar. Apalagi jika ia mengingat akan kedua benda pusaka yang
kini berada di tangan Landean Tunggal itu. Semua itu harus direbutnya!
Tapi kapankah maksud itu dapat terlaksana" Ini yang selalu dipikirkannya!
Maka pada suatu hari ia berunding dengan Ki Jobin
Karang, muridnya si Rikma Rembyak dan beberapa
orang berandal yang sengaja tinggal bersama mereka
untuk berguru. "Ki Jobin Karang, Rikma Rembyak dan murid-
muridku yang lain, kalian aku minta berkumpul disini untuk mengetahui rencana-
rencana dari gerombolan
kita! Dalam waktu yang dekat ini aku akan menjelajah ke Gunung Merapi di sebelah
utara sana, sebab kalian telah tahu bahwa kita mempunyai musuh utama yang
bercokol di Padepokan Gunung Merapi itu! Jika mere-ka dapat kita kalahkan, maka
nama perguruan kita
dapatlah lebih terkenal lagi di mana-mana. Hutan-
hutan dan daerah-daerah seperti Mentaok,
Prambanan, Gunung Kidul, Borobudur, Banyubiru dan
lain-lainnya akan segera jatuh ke tangan kita! Heh, heh, heh, mungkin pula kita
pun akan dapat mengangkangi pesisir utara sana! Untuk itu semua, aku bersama Ki
Jobin Karang akan pergi untuk sementara waktu. Kalian kuharap tinggal di sini
menjaga daerah pantai kita, dan Rikma Rembyak akan memimpin
kalian sebagai wakilku! Bagaimana konco-konco, ada yang kurang jelas?"
"Sudah mengerti, Guru," jawab Rikma Rembyak
seraya mengangguk. "Kami akan menjaga tempat ini
sebaik-baiknya."
"Hmm, begitulah yang aku harapkan!" ujar Ki
Topeng Reges dengan hati senang. Dalam hatinya ia
merasa lega bahwa kali ini ia akan datang ke
Padepokan Gunung Merapi serta membuat
perhitungan dengan Landean Tunggal.
Kini ia akan menunjukkan kesaktiannya kepada
mereka yang telah berkali-kali menyakitkan hatinya.
Wajah-wajah Panembahan Jatiwana, Rebab Pandan
serta terutama Landean Tunggal selalu menghantui
pikirannya. Meskipun sesungguhnya dalam hati
kecilnya ia mengakui bahwa dirinya sendirilah yang
mula-mula bersalah dan merusak ketenteraman
Padepokan Gunung Merapi itu, namun apa yang kini
berkuasa dalam dirinya adalah kebutaan. Kebutaan
akan kebenaran yang sesungguhnya. Rasa dendam
cemburu, dan sombong saling bergelut di rongga
dadanya dan ini semua sudah tak dapat dikekangnya.
Yang dapat terbayang dalam kepalanya hanyalah
pembalasan dendam. Mereka, orang-orang padepokan
tadi, harus tunduk di telapak kakinya, serta merayap minta belas kasihan di
hadapan Ki Topeng Reges!
Begitulah pada suatu pagi, Ki Topeng Reges
bersama Ki Jobin Karang telah pergi meninggalkan
Laut Kidul menuju ke utara. Keduanya berkuda untuk mempercepat waktu dan
menghemat tenaga, sebab
mereka yakin bahwa segera akan terjadi pertarungan melawan orang-orang Padepokan
Gunung Merapi! Dengan memacu kuda-kudanya seperti angin lalu,
Topeng Reges serta Ki Jobin Karang mendekati Gu-
nung Merapi. Dan menjelang senja, di saat matahari mendekati kaki langit sebelah
barat, mereka telah tiba di lereng kaki Merapi.
Seperti tak sabar rupanya, kedua pendekar
berandal tadi menderap kudanya ke atas menelusuri
jalan kecil yang menuju ke arah Padepokan Gunung
Merapi. Dalam pada itu, seorang cantrik yang kebetulan
tengah memeriksa hasil kebunnya di lereng gunung,
tiba-tiba telah memergoki kedatangan kedua orang ini.
Dengan terpekik kaget cantrik itu menatap seorang
penunggang kuda yang berwajah seperti hantu, me-
nyeramkan. Cantrik tua ini hampir tak dapat membedakan
apakah itu wajah asli ataukah wajah tiruan, karena memang cahaya senja
membuatnya samar-samar.
Karena takut dan kagetnya, orang tua ini berlari,
namun alangkah kagetnya bila tahu-tahu si wajah
hantu yang tidak lain Ki Topeng Reges ini meloncat dari punggung kudanya serta
menerkam tubuhnya.
"Berhenti, setan! Aku butuh ocehanmu!" teriak Ki
Topeng Reges sambil menggoncang-goncang bahu
cantrik tua itu. Kini orang tua itu dapatlah mengetahui bahwa wajah yang seperti
hantu ini adalah sebuah
topeng! "Aduh, aduh, jangan sakiti saya!" rintih cantrik tua tadi ketakutan. "Ssss...
saya tak tahu apa-apa, Tuan."
Plak! Plak! Dua buah tamparan ganas mampir di
pelipis orang tua ini, sampai menjerit kesakitan.
"Lekas katakan! Apakah hari ini, si tua Jatiwana,
Landean Tunggal serta Rebab Pandan ada di rumah!"
seru Ki Topeng Reges.
"Ooh... yang ada cuma Bapak Guru dan Rebab
Pandan saja, sedang... sedang Landean Tunggal telah pindah ke Jepara..."
"Haa"! Pindah ke Jepara" Keparat si kunyuk itu
telah minggat ke utara! Hmm, kemanapun ia lari akan kita kejar! Bukankah begitu,
Ki Jobin Karang"!" seru Topeng Reges.
"Bagus, aku akan selalu mengikutimu! Tapi apakah
kita tidak perlu singgah ke padepokan itu" Biar kita beri sedikit pelajaran
kepada si orang tua, Jatiwana itu!"
"Yah! Aku setuju! Ayo kita cepat kesana!" seru
Topeng Reges serta menghempaskan tubuh cantrik tua itu ke tanah dan ia meloncat
kembali ke punggung
kuda serta memacunya ke arah jalan masuk ke
Padepokan Gunung Merapi.
Sementara itu Panembahan Jatiwana dan Rebab
Pandan yang lagi asyik berbicara di ruang depan, tiba-
tiba dikagetkan oleh sebuah teriakan menggeledek dari arah halaman.
"Kakek peot Jatiwana! Ayo, lekas keluar! Aku si
Umpakan telah kembali, dan siap mengadu tenaga de-
nganmu! Hai kakek pengecut, cepat keluar!"
Rebab Pandan yang mendengar teriakan itu menjadi
naik darah. Cepat ia beranjak keluar, tetapi tiba-tiba sebuah cengkeraman yang
kuat menahan langkahnya!
"Sabar, Angger Rebab Pandan! Apakah kau lupa
bahwa kau dan Landean Tunggal adalah pewaris dari
perguruan ini"! Jika kau sampai cedera, maka
harapanku tadi adalah sia-sia belaka! Nah, biarlah aku yang keluar sendirian.
Kau tak perlu ikut! Sekali lagi aku tekankan, bahwa aku melarangmu keluar apapun
yang terjadi pada diriku! Angger sembunyi saja di sini!"
Panembahan Jatiwana meloncat keluar, sedang
Rebab Pandan tetap bersembunyi dengan kecemasan.
Dari celah-celah lobang dinding ia mengintai keluar.
Sementara itu tangannya telah menyambar rebabnya
yang tergeletak sejak tadi.
Dari celah dinding tadi dapatlah ia menyaksikan
gurunya yang kini berdiri tenang di halaman
padepokan menyongsong dua orang berkuda yang
telah tiba di pintu gerbang padepokan.
Kali ini baik panembahan tua maupun Rebab
Pandan yang mengintip dari dalam tempat sembunyi
itu terperanjat melihat salah seorang tamunya yang berwajah seperti hantu, yakni
Ki Topeng Reges! Topeng yang dipakai oleh Umpakan ini ternyata mempunyai
daya pengaruh yang membuat lawannya berkecil hati
dan merasa ngeri.
Tiba-tiba tanpa berkata lagi kedua tamu tadi
langsung menyerang Panembahan Jatiwana dengan
ganas. Ketiganya segera bertempur hebat dan sebentar
saja telah menghabiskan puluhan jurus. Mereka
bergerak sangat cepat sampai sukar diikuti oleh
pandangan mata.
Ternyata panembahan tua ini menghadapi tokoh-
tokoh kuat yang tak mudah dapat dikalahkan, bahkan dirinya sendiri menjadi
terdesak lama-kelamaan oleh Ki Jobin Karang dan Topeng Reges! Akhirnya, sebuah
pukulan tangan Ki Jobin Karang berhasil menelusup pertahanannya lalu menggempur
bahunya. Akibatnya, panembahan tua ini terhempas ke tanah
diiringi ketawa berderai dari mulut Ki Jobin Karang serta Topeng Reges! Dengan
segera Panembahan
Jatiwana berusaha bangkit, namun sekonyong-
konyong sebuah tendangan kaki Topeng Reges
menggempur kembali pundaknya hingga orang tua ini
terhempas kembali ke tanah dengan mengaduh
kesakitan! "Akh! Kau terkutuk, Umpakan! Kau akan terhukum
oleh perbuatanmu sendiri!"
Mendengar ini, Umpakan atau Ki Topeng Reges ser-
ta Ki Jobin Karang makin bertambah ganas. Keduanya seperti kerasukan setan
menghajar panembahan tua
ini dengan pukulan serta tendangan kaki ganti-ber-
ganti, sampai ia kelesetan di tanah babak-belur.
Sementara itu Rebab Pandan yang menyaksikan
peristiwa ini, cepat menggesek rebabnya dengan nada yang menggayut-gayut pedih
dan menyebabkan Ki
Topeng Reges serta Ki Jobin Karang terhuyung disertai rasa panik dan bingung
yang bercampur aduk menjadi satu, hingga mereka terpaksa menghentikan pukulan
serta tendangannya pada tubuh Panembahan
Jatiwana. "Ayo, Ki Jobin Karang! Cepat kita tinggalkan tempat keparat ini! Lekas!" teriak
Ki Topeng Reges sambil
mendekati kudanya.
"Baik... baik! Aduh suara apa ini yang telah
menggores menyayat hati! Keparat!" desah Ki Jobin
Karang seraya meloncat ke punggung kudanya, lalu
mengikuti Topeng Reges meninggalkan halaman
Padepokan Gunung Merapi menuju ke arah barat.
Begitu keduanya lenyap di balik lereng barat, Rebab Pandan secepat kilat
meloncat ke halaman diikuti oleh beberapa orang cantrik tergopoh-gopoh berlari
keluar. Tubuh Panembahan Jatiwana yang pingsan segera
digotong ke dalam rumah oleh Rebab Pandan dibantu
oleh para cantrik dan mereka merawatnya dengan
seksama. Kalau mengingat kejadian tadi, Rebab
Pandan marahnya bukan main, tetapi tokh ini telah
dikehendaki Panembahan Jatiwana, hingga ia tak


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani berbuat apa-apa.
*** 6 ANGIN SIANG bertiup di selatan kota Jepara dengan
segarnya, menghilangkan panas dan udara gersang.
Beberapa rumah petani berdiri di dekat kebun dan
tanah persawahan yang subur kehijauan.
Seorang pemuda berkumis tebal, memanggul pacul
sedang berjalan ke arah sebuah rumah. Tetapi ia tiba-tiba dikagetkan oleh
seorang laki-laki setengah tua yang dikenalnya sebagai tetangga, menghentikan
jalan-nya. "Angger Landean Tunggal. Ssstt, aku tadi lihat dua orang berkuda yang berwajah
seram telah masuk ke
dalam rumahmu. Keduanya sesaat berada di rumah
itu dan akhirnya keluar dengan mendekap sesuatu
benda!" "Wah celaka ini," desis Landean Tunggal seraya
meloncat ke dalam rumah. "Hmmm semua berserakan,
pastilah kedua tamu tadi mencari sesuatu!"
Hati Landean Tunggal berdebar-debar. Selama
tinggal dan mengasingkan diri di kota Jepara,
semuanya tampak tenteram. Namun hari ini tidaklah
demikian. Dan tiba-tiba saja ia lalu teringat kepada sesuatu! Sesuatu yang
selama ini disimpan dan
dibawanya ke Jepara atas permintaan gurunya.
Panembahan Jatiwana. Dimasukinya ruang kamar
tempat ia tidur. Di sini pun barang-barang berserakan.
Cepat-cepat Landean Tunggal membuka sebuah
gerobok, sebuah peti kayu tempat menyimpan pakaian dan benda-benda berharga
lainnya. "Aduh! Kaca Sirna Praba dan Kitab Hijau pemberian
guru telah hilang!" seru Landean Tunggal dengan
suara gemetar saking kagetnya. Dilihatnya sebuah peti kayu kecil berukir tempat
menyimpan kedua benda
tersebut telah hilang dari tempatnya semula.
Bagai orang kebingungan Landean Tunggal berlari
keluar halaman rumah. Memang dilihatnya di atas
tanah banyak terdapat bekas-bekas telapak kaki kuda, sedang si orang tua
tetangganya masih saja berdiri di situ.
"Benar, Pak Suta! Mereka telah mencuri hartaku!"
ujar Landean Tunggal. "Kemana arahnya mereka pergi, Pak"!"
"Keduanya datang dari arah selatan, Angger! Dan
mereka kembali ke arah selatan pula!" kata Pak Suta terbata-bata.
"Terimakasih, Pak. Aku akan mengejar mereka! Titip rumahku sebentar!" seru
Landean Tunggal seraya
berlari ke belakang menyiapkan kudanya.
Orang tua tadipun ikut pula membantunya. "Hati-
hati, Angger, agaknya mereka berdua adalah orang-
orang jahat!"
"Baik, Bapak. Aku berangkat sekarang!" Landean
Tunggal berkata serta meloncat ke punggung kuda dan memacunya kabur ke arah
selatan. Debu jalan berkepul-kepul naik oleh derapan kaki
kuda Landean Tunggal tadi, dan begitu pula jauh di mukanya di jalan yang sama,
tampaklah dua ekor ku-da dipacu oleh penunggang-penunggangnya. Seorang
di antaranya yang berwajah hantu tampak mengepit
sebuah peti kayu kecil berukir indah.
"Bapak Ki Jobin Karang, lihatlah, kita telah berhasil mendapatkan kitab pusaka
Hijau dan kaca Sirna
Praba yang telah sekian lama kita impi-impikan!"
"Ha, ha, ha, aku pun turut gembira, Topeng Reges!
Dengan begitu perguruan kita akan menjadi lebih
kuat!" kata Ki Jobin Karang, sementara itu udara siang makin terasa panas.
"Wah, kita telah menempuh jarak yang panjang, Ki
Jobin Karang! Baiklah kita istirahat sebentar di hutan kecil itu!" ajak Topeng
Reges lalu membelokkan
kudanya ke kiri menuju ke sebuah hutan kecil di
sebelah timur jalan.
"Carilah sebuah mata air untuk menyegarkan
tubuh, Angger Topeng Reges. Juga kuda-kuda kita
perlu minum!" seru Ki Jobin Karang yang berpacu di belakang kuda Ki Topeng
Reges. Setelah beberapa saat mereka menerobos hutan
kecil itu, berhentilah keduanya di sebuah mata air kecil yang jernih.
"Nah, ini kebetulan sekali, Ki Jobin Karang.
Badanku pun terasa sangat kering!" ujar Ki Topeng
Reges. Ditanggalkannya topeng itu setelah mereka turun
dari kuda, lalu dibasuhnya mukanya dengan air sejuk ini. Setelah itu lalu
tangan, kaki dan leher serta dadanya dibasahi dengan air, hingga terasa
tenaganya kembali segar. Demikian pula dengan Ki Jobin Karang.
Sesudah mereka puas menyegarkan tubuh dan kuda-
kuda, merekapun minum dengan lahapnya. Keduanya
lalu beristirahat sepenuhnya.
Dalam pada itu, Ki Topeng Reges telah memakai
kembali topengnya dan tampak ia sibuk membuka-
buka lembaran Kitab Hijau tersebut. Pada bagian
pertama, ia tak tertarik akan isinya. Demikian pula bagian tengah ia melewatinya
saja. Tapi pada bagian terakhir ia sangat tertarik akan isinya yang
memaparkan Ilmu Sakti Netra Dahana. Ternyata kaca
berbingkai logam biru yang terdapat di dalam kotak kayu tadi, ada hubungannya
dengan ilmu ini! Kaca ini adalah kaca pusaka yang mampu mengatasi Ilmu
Sakti Netra Dahana.
Ki Topeng Reges mengangguk-anggukkan kepalanya
puas, mengetahui akan rahasia kedua benda pusaka
tadi. Bukankah dihubungkan dengan topeng yang ia
pakai ini, akan sesuai dan menjadikan dirinya sakti tak terkalahkan"! Sejenak
kemudian terpikirlah satu keputusan yang akhirnya akan merubah dirinya
sebagai Topeng Reges yang sakti!
Kedua orang tadi masih beristirahat ketika matahari bergeser perlahan-lahan ke
arah barat, hingga sinarnya tidak lagi terang. Tempat tadi menjadi suram.
Tetapi sebuah semak tiba-tiba terkuak lebar oleh jari-jari dan muncullah sebuah
wajah bermata tajam me-
ngawasi kedua orang tadi.
"Hmm, rupanya kedua orang inilah yang mencuri
Kitab Hijau dan kaca Sirna Praba! Tapi tunggulah,
Landean Tunggal kali ini akan menunjukkan
kegesitannya!"
Dengan menggerundal begitu, tiba-tiba melesatlah
tubuh Landean Tunggal ke arah Topeng Reges bagai
selembar kapas terhempas angin. Itulah kehebatan
ilmu Kitab Hijau yang telah digabung dengan loncatan Srigunting! Dengan menjejak
tanah saja, Landean
Tunggal dapat melenting ke arah yang ia sukai tanpa bersuara!
Ki Topeng Reges yang tengah berbaring setengah
ngantuk di samping Ki Jobin Karang, tiba-tiba terkejut merasakan angin dingin
yang bertiup kencang ke arah mereka. Kemudian sebuah bayangan menyambar peti
kayu berukir yang tergeletak di samping tubuhnya,
membuat dirinya terhenyak kaget. Belum lagi ia
sempat berbuat sesuatu, sebuah tendangan kaki sekonyong-konyong melanggar
dadanya hingga Ki Topeng
Reges terhempas ke tanah dan demikian pula nasibnya si Jobin Karang. Begitu ia
berusaha menerkam
Landean Tunggal yang telah berhasil merebut peti
berukir tadi, lawannya ini cuma berkelit ke samping dan tangan kanannya
mengirimkan satu pukulan yang
bersarang ke dagunya, menyebabkan Ki Jobin Karang
terpelanting jatuh. Setelah itu Landean Tunggal
melesat arah utara dan lenyap di balik semak ilalang!
Sambil mengutuk, Ki Jobin Karang peringisan
terduduk di tanah, sementara Ki Topeng Reges masih terbaring dengan dada sesak.
"Hee, Angger Topeng Reges! Mengapa tidak kita
kejar orang itu. Ia telah merebut kembali peti pusaka itu!" seru Ki Jobin Karang
setengah marah. "Ah, sia-sia perjalanan kita ini!"
"Tenang saja, Ki Jobin Karang! Peti kayu berukir
tadi hanya berisi Kitab Hijau saja, sedang kaca Sirna Praba serta lembaran-
lembaran terakhir dari Kitab
Hijau yang berisi Ilmu sakti Netra Dahana telah aku robek! Nah, lihatlah ini, Ki
Jobin Karang!" kata Ki Topeng Reges seraya mengeluarkan sebuah kaca dan
lembaran-lembaran kertas dari balik bajunya.
Ini semua menyebabkan Ki Jobin Karang terbeliak
matanya. "Uaaah, bejat! Angger memang pandai bersiasat!"
puji Ki Jobin Karang. "Pantas kalau Angger menjadi pemimpin!"
Mendengar pujian tadi, Topeng Reges cuma
terkekeh ketawa kegirangan dan kemudian berkata.
"Tapi tadi aku tak sempat membalas tendangan kaki
Landean Tunggal. Ia memang hebat bukan" Biarlah
kali ini merasa menang. Tetapi tunggulah setelah aku mempelajari Ilmu Sakti
Netra Dahana ini. Jangan
harap aku akan membiarkannya hidup lebih lama
lagi!" "Mmm, sekarang kemana tujuan kita, Topeng
Reges?" tanya Ki Jobin Karang. "Kita kembali saja ke Laut Kidul?"
"Tidak! Marilah kita mencari tempat yang sepi di
kaki Gunung Muria itu untuk mempelajari lembaran-
lembaran kertas ini!" berkata Ki Topeng Reges. "Dan sesudah berhasil, kita akan
mencari si kunyuk
Landean Tunggal!"
Ki Jobin Karang mengangguk setuju. "Baik, Angger!
Ke mana pun engkau pergi, aku akan senantiasa me-
ngikutimu!"
Kemudian mereka berkemas-kemas meninggalkan
tempat tersebut dan berkuda ke arah selatan,
menempuh hutan-hutan lebat di kaki Gunung Muria
yang kini telah disaput oleh warna-warna merah senja.
*** Sejak saat itu, sesudah Landean Tunggal berhasil
merebut kembali Kitab Hijau pemberian Panembahan
Jatiwana dari tangan Ki Topeng Reges, ia sibuk dan senantiasa memperdalam
latihan-latihan silatnya.
Berhari dan berminggu-minggu ia membajakan diri-
nya. Kitab Hijau tadi dipelajarinya kembali berkali-kali, seperti kurang puas rasanya
jika dibiarkan tertutup saja! Kadang-kadang ia menyesali dirinya karena
bagian terakhir dari Kitab Hijau yang berisi Ilmu Sakti Netra Dahana belum
sempat dipelajarinya. Dan bagian-bagian itu telah hilang! Oh, betapa marah nanti
bila gurunya Sang Panembahan Jatiwana mendengar hal
ini. Bila Landean tunggal menghubungkan kejadian-
kejadian tadi dengan peristiwa-peristiwa yang telah silam, maka sekonyong-
konyong berdebar-debarlah
dadanya. Ya, selama ia tinggal di tempat ini tak
seorang pun tahu bahwa ia menyimpan Kitab Hijau
dan kaca Sirna Praba. Dua pusaka sakti yang jarang tandingannya.
Kalau begitu, siapakah yang tahu bahwa kedua
benda pusaka dipegang olehnya" Tak ada yang tahu!
Kecuali Panembahan Jatiwana, Rebab Pandan dan...
Umpakan! Yah, nama yang terakhir tadi tiba-tiba
menggoncangkan dadanya! Bukankah Umpakan tadi
yang pernah mengirikan benda-benda tadi ketika
masih berada di Padepokan Gunung Merapi" Dan
orang yang mengenakan topeng hantu tadi mempunyai
ciri-ciri dari bentuk tubuh Umpakan.
Dalam hati kecil Landean Tunggal, terselip juga rasa penyesalannya terhadap
gurunya. Mengapa orang tua
itu terlalu percaya dan terbuka tangan hingga
menerima Umpakan sebagai muridnya" Kini teman
seperguruannya itu telah menjadi tokoh berandal yang sakti dan merajai golongan
hitam di Laut Kidul.
Bahkan Umpakan telah berani terang-terangan
menentang Panembahan Jatiwana.
"Ah... betapapun marahnya dan menghukumku,
aku akan menerimanya. Bapak Panembahan Jatiwana
harus aku beritahu akan hilangnya kaca Sirna Praba dan lembaran-lembaran dari
Kitab Hijau yang telah
dirobek. Aku berkeyakinan bahwa orang bertopeng itu adalah Umpakan sendiri!"
Begitu Landean Tunggal
berkata-kata sendiri di dalam hatinya. "Baiknya aku berangkat hari ini juga,
sebab hal tadi sangat gawat dan lagi sarana apakah untuk menghadapinya, hanya
Panembahan Jatiwana yang lebih tahu...."
Landean Tunggal kemudian mempersiapkan
kudanya dan juga barang-barang yang perlu ia bawa, terutama Kitab Hijau itu.
Dengan perasaan yang sangat berat Landean Tunggal meninggalkan rumah dan
tempat itu, karena telah bertahun ia tempati dengan tenteram.
Demikianlah, Landean Tunggal lalu melarikan
kudanya ke arah selatan menyusuri kaki Gunung
Muria. Dilewatinya hutan-hutan kecil dan desa-desa yang hanya terdiri dari
beberapa rumah saja. Sebentar ia mendaki tanah bergunung-gunung dan sebentar
turun ke lembah datar.
Setelah beberapa saat ia berkuda, sampailah ia di lembah kaki Gunung Muria
sebelah selatan yang
dipagari oleh hutan lebat, maka berhentilah ia sejenak memandang hutan tersebut
yang membentang dengan
megahnya. Hutan tadi masih jarang diinjak kaki
manusia sebab banyak terdapat binatang buas
ataupun serangga-serangga berbisa. Malahan ia
pernah mendengar bahwa disini terdapat ular-ular
yang berukuran luar biasa besarnya, di samping
sejenis serangga semacam laba-laba yang dapat
tumbuh sampai setinggi manusia.
Untuk itu semua Landean Tunggal tidak heran,
sebab Panembahan Jatiwana sendiri pernah
memberitahunya bahwa di tempat-tempat terpencil,
lembah ataupun sangat tinggi dari permukaan laut,
sehingga sinar matahari jarang sampai, akan
banyaklah kehidupan-kehidupan yang aneh, seperti
binatang-binatang raksasa dan sangat berbisa sampai kepada tumbuh-tumbuhan yang
menghisap darah dan
memakan daging.
Namun Landean Tunggal bukanlah berkecil hati
menghadapi keadaan alam yang begitu seramnya.
Maka setelah sesaat ia berhenti, ditepuknya leher
kudanya kembali agar berjalan. Tapi anehnya kuda
tadi malah meringkik dengan kaki depannya yang
berjingkrakan panik.
"Ada suatu yang berbahaya!" desis Landean Tunggal
dan pandangan matanya menyusuri segenap
pepohonan dan semak-semak yang kini tampak
kegelapan oleh awan-awan mendung hitam yang
berarak-arak mengalir ke arah selatan.


Pendekar Naga Geni 7 Bara Api Di Laut Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba saja di balik pepohonan yang lebat itu,
mata Landean Tunggal menatap adanya kilatan-kilatan cahaya merah yang sebentar
menyala dan sebentar
padam seperti mempunyai jarak yang tertentu.
Cepat Landean Tunggal meloncat turun dari
kudanya dan kemudian ia mengendap-endap ke arah
kilatan-kilatan cahaya di balik pepohonan tadi untuk mengetahui, apakah
sebenarnya yang tengah terjadi.
"Heh, mungkinkah itu api dari hantu termamang,
seperti yang diceriterakan oleh orang-orang tua?"
gumam Landean Tunggal. Pikirannya lalu
membayangkan sebuah bentuk tubuh yang terdiri dari api menyala, tengah keluar
dari dalam tanah dengan kaki di atas dan kepala di bawah! Itulah bentuk hantu
yang pernah ia dengar dari mulut ke mulut.
Langkah Landean Tunggal makin dekat dan
bertambah dekat hingga kilatan-kilatan cahaya api itu seperti terasa membakar
tubuhnya. Dilihatnya beberapa rumpun semak terhangus seperti abu.
Dengan hati-hati sekali ia menguakkan semak-
semak tadi dan hampir saja terbeliak sambil menjerit pendekar ini menyaksikan
pemandangan di depannya.
Disana, dilihatnya seorang bertopeng seperti hantu tengah berloncatan kesana-
kemari sambil sekali-sekali memancarkan kilatan cahaya api dari matanya ke arah
dedaunan, hingga semak-belukar di sekelilingnya hangus terbakar menjadi abu.
Sungguh dahsyat dan mengerikan! Itulah Ilmu Sakti
Netra Dahana yang terdapat di dalam Kitab Hijau
pemberian Panembahan Jatiwana! Dan orang yang
bertopeng itu, adalah yang mencurinya. Ia masih mengenal baik-baik orang
bertopeng hantu ini.
Serasa ia mau meremas si topeng hantu ini, tapi tak mungkin. Kini ia telah
menguasai Ilmu Netra Dahana, dan untuk melawannya ia tak kuasa sama sekali,
sebab kaca Sirna Praba itupun telah jatuh ke tangan si wajah hantu itu pula.
Hanya kaca itulah yang sanggup melawan Ilmu Netra Dahana!
Dalam beragu hati itu, mendadak Landean Tunggal
merasakan satu hempasan angin dari arah samping.
Seperti satu gerak naluriah yang telah mendarah daging, Landean Tunggal
mengendapkan tubuh sambil
bersiaga penuh.
Prak! Sebuah pukulan tangan dari orang yang
berkepala gundul setengah tua dan agak bongkok telah berhasil ditangkis dengan
tangan kirinya hingga
masing-masing tergetar surut. Landean Tunggal cepat membalas, tapi orang inipun
dengan lincah berkelit ke samping. Kemudian ia berkacak pinggang.
"Ha, ha, ha, sekaranglah saat kita mengukur
tenaga, kunyuk. Inilah Ki Jobin Karang dari Laut
Kidul!" Landean Tunggal terkejut dan segera dapat me-
ngenal wajah itu. Ya, tak salah lagi. Inilah Ki Jobin Karang yang dulu
menggembleng Umpakan di lereng
Merapi. Maka cepat-cepat ia bersiaga dan memang
tepat, sebab tiba-tiba Ki Jobin Karang menyerang
ganas ke arah dirinya. Disambutnya serangan itu dan terjadilah pertempuran yang
seru! Sekali ini Landean Tunggal betul-betul mencurahkan segenap ilmunya.
Mendadak sebuah bayangan lain melesat dan
langsung menyerang Landean Tunggal pula. Inilah Ki Topeng Reges! Lidah-lidah api
yang ganas berkali-kali menyambar dari bola matanya siap membakar
Landean Tunggal menjadi sate!
Menghadapi keroyokan ini, Landean Tunggal benar-
benar merasa terdesak, tak tahu ia bagaimana caranya menghadapi Ilmu Sakti Netra
Dahana yang kini telah dikuasai oleh Ki Topeng Reges. Bukankah kaca Sirna Praba
yang ampuh itupun telah jatuh ke tangan
pendekar berwajah hantu ini"
Akhirnya Landean Tunggal melesatkan dirinya ke
udara, kemudian larilah ia ke arah utara, menuju ke kaki Gunung Muria sebelah
barat. Melihat lawannya lari, Ki Topeng Reges menggeram
marah. "Kurang ajar! Lekas Ki Jobin Karang, ayo, kita kejar si keparat itu!"
Sebentar saja terjadilah kejar-mengejar di kaki
Gunung Muria itu. Ketiga manusia tadi berkejaranlah laksana tiga ekor belalang
saling berloncatan amat gesitnya. Landean Tunggal yang berlari paling cepat
sibuk mencari siasat untuk melepaskan diri dari
kejaran kedua orang lawannya itu. Maka dicobanya ia berlari terpotong-potong
bertukar arah sebentar
membelok ke kiri dan sebentar membelok ke kanan.
Dengan begitu ia berharap akan lolos dari mereka dengan segera.
Memanglah, sesungguhnya Ki Topeng Reges dan Ki
Jobin Karang sudah hampir kehilangan jejak Landean Tunggal. Namun mereka tak
putus asa, sebab mereka
bertelinga tajam. Dari getaran-getaran langkah kaki Landean Tunggal saja, mereka
telah dapat mengetahui ke arah mana lawannya berlari.
Sambil mengejar tadi, Ki Topeng Reges memperde-
ngarkan suara ketawanya yang bergetaran dan
semakin lama semakin nyaring mengerikan telinga.
Bahkan kali ini suara tertawa Ki Topeng Reges yang dilambari dengan segenap
tenaga dalam seperti
menyusuri segenap pepohonan dan lekuk-lekuk lereng serta jurang-jurang,
sedemikian mengerikan seakan-akan memenuhi seluruh rimba dan menelan Landean
Tunggal yang tengah berlari di depan para
pengejarnya. Begitu hebatnya pengaruh suara tertawa tadi, hingga dada Landean
Tunggal seperti tergoncang-goncang. Tanpa terasa mereka telah tiba di sebuah
dataran luas dikelilingi oleh sebuah jurang yang dalam bernama Jurang Mati!
"Hua, ha, ha, lekas menyerah saja dan serahkan
Kitab Hijau milikmu, supaya kau aku ampuni!" ancam Ki Topeng Reges.
"Keparat! Kalian boleh memiliki kitab itu, setelah kalian terlebih dulu
melangkahi mayatku!" teriak
Landean Tunggal dengan seramnya!
"Hyaat! Modar kowe!" teriak Ki Topeng Reges bersama Jobin Karang yang menerjang
Landean Tunggal berbareng, dan kembali terjadilah
pertempuran hebat di tepi Jurang Mati.
Ki Jobin Karang terus mendesak Landean Tunggal
sampai ke tepi jurang. Sebuah tebasan telapak ta-
ngannya tiba-tiba dapat menggempur pundak kiri
lawannya hingga pendekar muda ini terpekik
kesakitan. Namun dalam saat itu pula Landean
Tunggal pun mengirimkan sebuah genjotan tangan,
tepat di arah ulu hati Ki Jobin Karang hingga pendekar berandal ini ternganga
mulutnya tanpa bersuara,
kecuali semburan-semburan kecil darah segar yang
keluar dari tenggorokannya.
Sesaat tubuh si pendekar gundul ini oleng dan
kemudian terpelanting ke bawah. Beberapa suara
benturan keras dibarengi jerit mengerikan mengiringi tubuh Ki Jobin Karang yang
melayang ke Jurang Mati dan membentur batu-batu tonjolan di lereng jurang.
Melihat hal ini, betapa marahnya Ki Topeng Reges!
Dan tidak heranlah bila ia mempergencar serangannya dengan Ilmu Sakti Netra
Dahana. Rasa sakit pada pundak kiri Landean Tunggal
semakin terasa pedih sehingga geraknya menjadi
terganggu. Ketika ia melihat sebuah jalan rintisan yang turun ke arah Jurang
Mati ini, Landean Tunggal buru-buru melesatkan diri ke arah jalan ini, sedang Ki
Topeng Reges tak mau tertinggal lolos oleh lawannya, sehingga iapun terus
mengejar lawannya menuruni
Jurang Mati! Landean Tunggal menjadi kaget bila jalan kecil ini berakhir pada sebuah lobang
gua pada lereng terjal.
Tanpa pikir panjang ia cepat-cepat masuk ke dalam.
Ternyata Ki Topeng Regespun memburunya ke dalam
lobang gua ini, membuat Landean Tunggal kebingu-
ngan. Tiba-tiba ia menemukan sebuah ruangan lain di dalam goa ini dan tanpa
pikir panjang lagi ia
menyelinap ke dalamnya.
"Hua, ha, ha, ha, bersembunyi di situ" Baiklah,
kalau kau berkeras kepala mengangkangi Kitab Hijau itu. Matilah engkau di dalam
sana!" seru Ki Topeng Reges seraya menerjang tepi lobang tersebut sampai
beberapa bongkah batu runtuh menutup lobang ini.
Kemudian sekali lagi kakinya beraksi dan sekali lagi sehingga akhirnya bongkah-
bongkah batu tadi telah
menutup lobang ini seluruhnya. Setelah ini Ki Topeng Reges lalu mengeluarkan
sepotong tabung bambu kecil dan membuka sumbatnya sekali.
"Nah, nah, keluarlah sobat. Kau aku tempatkan di
goa ini untuk menjaga tawananku, si kunyuk Landean Tunggal yang bandel!" guman
Ki Topeng Reges sambil mengawasi seekor laba-laba hitam keluar dari tabung bambu
itu dan kemudian larilah makhluk kecil ini ke tempat gelap.
"Ha, ha, ha. Dalam beberapa saat nanti, laba-laba
tadi akan tumbuh dan berkembang sebesar dan seting-gi manusia. Dengan begitu
maka tak mungkinlah bila Landean Tunggal tadi dapat lolos dari tempat ini
hidup-hidup!" Ki Topeng Reges segera bergegas keluar dan meninggalkan tempat
ini. Sementara itu, di dalam lubang goa yang telah
tersumbat oleh bongkah-bongkah batu, si Landean
Tunggal terduduk di dasar goa yang licin dan lembab.
Untunglah di langit-langit goa ini terdapat lubang-lubang yang tembus udara
sampai ke atas, hingga ia masih dapat bernafas dengan leluasa. Di samping itu
berkas-berkas sinar matahari masuk lewat lubang
langit-langit goa itu pula.
Landean Tunggal berputus asa kini. Tak mungkin ia
dapat keluar lagi, lebih-lebih setelah ia melihat pundak kirinya yang bengkak
kemerahan. Agaknya pukulan Ki Jobin Karang tadi bukan sekedar pukulan kosong,
tetapi pukulan yang memutus saraf-saraf dan merusak otot-otot gerak hingga
separuh tubuhnya yang kiri
terasa lumpuh dan pedih.
Landean Tunggal lama-lama terbiasa dengan
kegelapan ruang goa ini. Kini ia sudah dapat mengenal segala sesuatu di
sekeliling dirinya. Dikeluarkannya Kitab Hijau yang sedari tadi disimpan di
balik bajunya dengan terbungkus selembar kain putih selebar ikat kepala. Kain
itu disobeknya sebagian, sedang sisanya dipergunakan untuk mengalasi Kitab Hijau
yang diletakkan di dekat kakinya.
Dengan menahan sakit, Landean Tunggal telah
menggigit ujung jari telunjuk kanannya sampai
mengeluarkan tetesan-tetesan darah. Demikianlah,
pada sobekan kain tadi, dibuatnya sebuah surat yang ditulis oleh Landean Tunggal
dengan darah dari jari telunjuknya.
"Aku hanya turut berharap semoga tempat ini
diketemukan oleh seorang pendekar budiman," gumam
Landean Tunggal seorang diri.
Demikianlah, sesudah itu ia bersemadi menanti
saat pertolongan tiba, hingga berhari, berminggu, dan berbulan-bulan, bahkan
bertahun lamanya sampai pa-da saat akhir hayatnya, ia tetap bersemadi di goa
itu. "Nah, demikianlah ceriteraku ini berakhir. Semoga
Kisanak Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung tidak
kecewa," ujar Ki Rebab Pandan kepada kedua pende-
ngarnya yang masih terpesona beberapa saat.
"Hebat dan sangat mengharukan, sobat!" desis
Pendekar Bayangan dengan mata berkaca-kaca me-
ngenangkan nasib Landean Tunggal.
Demikian pula Mahesa Wulung merasakan betapa
hatinya tersayat pilu merasakan penanggungan
Landean Tunggal yang malang. Terbayang kembali
ketika ia bertemu dengan kerangka Landean Tunggal, dan menemukan kedua benda
pusakanya, yakni cincin
permata Galuh Punar dan Kitab Hijaunya.
Tempat itu sesaat menjadi sunyi senyap, masing-
masing tengah bergelut dengan pikirannya sendiri-
sendiri. Namun satu hal yang menjadi pikiran utama dan sama, adalah Ki Topeng
Reges! Kepadanyalah mereka akan menuntut balas atas kematian Landean
Tunggal dan atas segala kekejaman serta kejahatan
yang telah dikerjakan!
Nah, para pembaca yang budiman, itulah tadi ceri-
tera "Bara Api di Laut Kidul" dari Seri Naga Geni yang kami sudahi. Tetapi
benarkah bahwa Ki Topeng Reges yang berilmu Netra Dahana itu tak terkalahkan"
Untuk menjawab pertanyaan ini, tunggu ceritera seri Naga Geni berikutnya, yakni
"Keruntuhan Netra
Dahana". T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
1 *** 2 *** *** 3 *** *** *** 4 *** 5 *** *** 6 *** T A M A T Pembalasan Selir Sesat 2 Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Kelana Buana 6
^