Pencarian

Berakhir Di Ujung Fajar 1

Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar Bagian 1


1 HAMPIR SELURUH ISI rumah saudagar Wayan Ar-
sana terbangun dan berlarian keluar, begitu terdengar teriakan keras dari arah
pertamanan di sebelah utara.
"Maling! Tolong! Penculikan!" demikian teriak Putu
Tantri sambil mendeprok di tanah, karena tubuhnya
merasa lumpuh setelah terkena cambukan rambut Nyi
Durganti beberapa saat yang lalu.
Semua laki-laki telah keluar sambil menggenggam
berbagai senjata. Keris terhunus, pedang, tombak, dan sementara memegang obor-
obor penerangan tertampak
di sana-sini. Sebagian dari mereka adalah para penjaga dan tamu-tamu.
Di saat mereka tiba di luar, mendadak saja telah dikejutkan oleh sepasang
bayangan manusia yang berla-
ri meloncat-loncat di atas atap genteng rumah. Seo-
rang di antara bayangan tadi kelihatan dengan jelasnya memondong tubuh ramping
yang lunglai tanpa
daya. Dari mulutnya terdengar ketawa cekikikan.
"Itu pasti malingnya!" teriak salah seorang penjaga sambil mengembat tombaknya
dan kemudian dilem-parnya ke arah dua bayangan manusia tadi. "Heeit!"
Batang tombak tersebut melesat dengan kecepatan
luar biasa ke arah sasarannya. Akan tetapi, tanpa di-duga, satu bayangan
bertubuh kekar yang tengah te-
rancam oleh tombak tadi, tiba-tiba saja telah memutar tubuh, sekaligus
menyabetkan pedangnya ke samping.
Wesst! Craaangng!
Hampir semua mulut melongo, begitu menyaksikan
tombak yang sedang menyambar itu telah patah men-
jadi dua bagian, kemudian bergulingan runtuh di atas genteng.
Melihat ini, beberapa orang penjaga merasa belum
puas. Mereka cepat melemparkan pisau-pisau kecil ke arah bayangan bertubuh kekar
yang selalu melindungi bayangan yang kedua. Bunyi-bunyi berdesing segera
terdengar mengiringi kilatan-kilatan pisau terbang
yang melesat ke arah sasaran. Namun buat kedua ka-
linya, si sasaran mempertunjukkan kegesitannya de-
ngan memutar pedang di tangannya.
Wusss! Tak! Tak! Trang!
Putaran pedang si bayangan kekar telah menyam-
pok runtuh seluruh pisau-pisau terbang tadi sebelum sempat menyentuh kulitnya.
Berbareng itu terdengarlah iringan ketawa dari mulut yang terbuka lebar-
lebar. "Hia, ha, ha, ha. Jangan coba-coba menggertak Tangan Iblis dengan senjata
murahan tadi. Hia, ha, ha, ha, ha."
Di saat yang sama, di antara para penjaga dan
orang-orang yang bersiaga di bawah, muncullah seo-
rang laki-laki tua berambut putih, sambil mengang-
guk-angguk dan memandang ke atas, di mana Tangan
Iblis dan Nyi Durganti yang memondong tubuh Made
Maya, tengah mencari tempat loncatan berikutnya.
Ternyata Nyi Durganti serta Tangan Iblis telah bera-da di atas atap genteng
rumah induk yang merupakan
bangunan paling selatan dari keseluruhan kelompok
rumah saudagar Wayan Arsana. Justru demikian, ma-
ka rumah ini terpisah cukup jauh dengan dinding
tembok halaman dan pintu gerbangnya. Maka tentu
saja hal ini cukup menimbulkan perhitungan bagi ke-
duanya, karena untuk sekali keluar halaman, mereka
tidak akan mampu melampaui dinding yang sangat
jauh letaknya. Meskipun demikian, mereka tidak merasa gentar se-
dikitpun, malahan sejak tadi Tangan Iblis masih mengumbar ketawanya yang
berkumandang di udara ma-
lam. "Ha, ha, ha, ha. Haep! Huk, huuk."
Tiba-tiba terjadilah satu peristiwa yang benar-benar mengagetkan. Di saat Tangan
Iblis masih tertawa lebar-lebar, satu cahaya kelihatan telah menyambar ke
mulutnya, dan tahu-tahu terhentilah suara ketawa ta-di. Sedang di mulut si
Tangan Iblis terlihatlah sebuah jambu batu yang menyumbatnya, sehingga ia tidak
mampu bersuara lagi.
Seketika mata si Tangan Iblis melotot saking ma-
rahnya, dan ketika ia menatap ke bawah, ke arah ge-
rombolan orang-orang tersebut, tampaklah seorang
kakek berambut putih tersenyum-senyum, dan seketi-
ka Tangan Iblis dapat mengenalnya kembali. Dialah si Kakek Wiku Salaka!
Keruan saja Tangan Iblis dapat menebak bahwa
perbuatan kurang ajar ini pasti dilakukan oleh Kakek Wiku Salaka. Sebab,
bukankah ia sendiri pernah bertempur dan telah mengetahui akan kesaktian kakek
bangkotan itu" Terlebih-lebih lagi mata Tangan Iblis yang tajam dapat melihat,
bahwa di dekat Kakek Wiku Salaka berdiri, terdapat sebatang pohon jambu batu
yang rindang dan berbuah lebat.
"Keparat! Ia telah memamerkan kepandaiannya!"
pikir si Tangan Iblis dengan kemarahan yang meluap-
luap. "Tapi jangan keburu bangga dengan kekurang-
ajaran tadi. Aku pun mampu melakukannya!"
Sementara itu, gerombolan orang-orang yang me-
ngepung di sebelah bawah, pada tertawa geli dan ter-pingkal-pingkal begitu
melihat bahwa mulut Tangan
Iblis yang semula bebas tertawa-tawa, kini telah ter-bungkam dan tersumbat oleh
sebuah jambu batu yang
sekepalan tangan besarnya. Disamping mereka kege-
lian, juga terselip perasaan kagum akan kepandaian si Kakek Wiku Salaka yang
kini berdiri di antara mereka.
Beberapa waktu yang lalu, dengan jelasnya mereka
sempat melihat gerakan tangan si Kakek Wiku Salaka
yang cepat. Memetik sebuah jambu batu dan kemu-
dian melemparkannya ke arah Tangan Iblis, dalam ke-
cepatan tak terukur! Akan tetapi, sewaktu mereka tengah tertawa-tawa kepada
Tangan Iblis tadi, mendadak saja telah dikejutkan oleh kejadian berikutnya.
Dhaak! Tangan Iblis melampiaskan kemarahannya dengan
sebuah gerakan disertai daya sembur yang kuat, se-
hingga buah jambu batu yang semula menyumbat mu-
lutnya tadi, seketika melesat keluar dan menyambar ke bawah!
"Taak! Aaakh!"
Tiba-tiba saja seorang penjaga di sebelah bawah, tidak jauh dari si Kakek Wiku
Salaka berdiri, telah kena sambar buah jambu batu tersebut sehingga jatuh
terpelanting dan pingsan seketika. Pada dahi si penjaga malang itu terlihat
bengkak kebiruan!
"Setan kecil!" gerendeng Kakek Wiku Salaka seraya
menggenjot kakinya ke tanah serta berseru kepada
seorang laki-laki setengah tua yang juga berdiri di sampingnya, "Ayo Ki
Selakriya, ikuti aku ke atas!"
Maka seketika itu tampaklah dua sosok tubuh me-
lesat ke atas genteng dan berlari ke arah Tangan Iblis serta Nyi Durganti
bersama Made Maya!
Melihat ini keruan saja Nyi Durganti dan Tangan Ib-
lis menjadi kaget seketika! Mereka segera dapat menduga akan datangnya bahaya
yang mengancam. Bu-
kankah ini berarti dua lawan satu, sebab kedua ta-
ngan Nyi Durganti tengah memondong tubuh Made
Maya yang terkulai pingsan. Dengan demikian, tak
mungkin ia dapat melayani serangan-serangan yang
bakal mendatang ini!
"Ibu," seru Tangan Iblis kepada Nyi Durganti, "ce-
patlah berlari ke selatan! Biar aku yang melindungimu.
Akan kutahan kedua orang ini buat beberapa saat!"
Berbareng itu, Tangan Iblis telah bergerak cepat ketika Ki Selakriya dan Wiku
Salaka sudah semakin de-
kat jaraknya untuk memulai serangan. Dengan seko-
nyong-konyong Tangan Iblis mengibaskan tangannya
ke depan, disusul satu ledakan keras disertai asap
menyembur ke segenap penjuru.
Ki Selakriya yang pernah mengenal senjata rahasia
Tangan Iblis segera berseru memperingatkan Kakek
Wiku Salaka. "Awas kakek Wiku, asap beracun!"
Mereka berdua terpaksa menghentikan langkahnya
ketika dalam sekejap mata, asap beracun tadi menyer-bu dan menghalangi pandangan
mata. Ki Wiku Salaka cepat-cepat menyabetkan kain se-
lendangnya ke depan, membentur asap beracun tadi.
Namun dalam waktu yang singkat itu, Nyi Durganti
dengan memondong tubuh Made Maya kemudian di-
susul oleh Tangan Iblis telah melesat meninggalkan
genteng. Kaki-kaki mereka dengan lincah berloncatan dan berpijak di atas puncak-
puncak pohon yang meng-hubungkan rumah pendapa dengan pagar tembok ha-
laman. Dan sekejap kemudian, mereka telah kabur ke
selatan dan melompati pagar halaman untuk selanjut-
nya turun keluar.
Beberapa orang penjaga berlarian ke luar halaman
mengejarnya, sementara yang lain tetap tinggal di dalam halaman, karena Kakek
Wiku Salaka mencegah-
nya. "Hai anak-anak! Jangan kosongkan halaman ini be-
gitu saja!" seru Wiku Salaka. "Bersiagalah, kalau-kalau ada bahaya yang lain!"
Kakek Wiku Salaka dan Ki Selakriya segera melon-
cat turun dan bergegas kembali ke daerah pertama-
nan, di mana masih dijumpainya beberapa tetamu dan
sanak keluarga yang mengerumuni Sunutama dan Pu-
tu Tantri. Melihat kedatangan mereka berdua, saudagar Wa-
yan Arsana yang ikut mengerumuni, cepat-cepat men-
jemputnya. "Sunutama masih pingsan, Ki Sela," ujar Wayan Ar-
sana memberitahu. "Urat darahnya telah terdesak de-
ngan kuat."
"Bagaimana dengan si Putu Tantri?" bertanya Kakek
Wiku Salaka pula.
"Dia tidak apa-apa, sebentar lagi akan mampu ber-
diri kembali," jawab Wayan Arsana. "Sekarang ini Kakang Sukerte tengah
merawatnya."
Sementara itu, seorang penjaga telah mendekati
Wayan Arsana dan berkata, "Tuan Wayan Arsana. Ka-
mi telah mendapatkan sebilah pisau dan secarik surat yang menancap di batang
pohon, di sebelah sana!"
"Mari kita ambil segera," ujar Wayan Arsana sambil
melangkah ke arah pohon yang ditunjuk oleh penjaga
tadi. Begitu pula Kakek Wiku Salaka mendekati pohon tersebut.
Memang di sana terlihatlah sebilah pisau yang ter-
tancap hampir separuh lebih dengan selembar surat,
terbuat dari kain bertulis.
Dengan hati-hati, Wayan Arsana mencabut pisau
tersebut dan surat itu segera diberikannya kepada Kakek Wiku Salaka, diiringi
kata, "Bapak Wiku, apakah pendapat Andika tentang peristiwa ini" Saya sangat
mencemaskan nasib Made Maya."
Sambil menerima surat tersebut dan membacanya
sekali, berkatalah kemudian Kakek Wiku Salaka, "Angger Wayan Arsana, dengarlah
si surat ini. Si Tangan Iblis, pendekar bandel yang telah kita kalahkan beberapa
waktu yang lalu, ternyata masih menaruh dendam kepada kita. Karenanya ia telah
menculik Angger cucu
Made Maya dengan maksud menggertak dan mengan-
cam." "Huh, sungguh kelewat berani orang itu," dengus
Wayan Arsana dengan gusarnya. "Lalu, apakah anca-
mannya, Bapak?"
"Pada hari tepat bulan purnama di atas rumah ini,
ia akan datang dengan gerombolannya dengan mem-
bawa Made Maya. Jika kita bersedia menukarnya de-
ngan tiga peti harta benda, mereka akan menyerahkan kembali si Made Maya dalam
keadaan baik-baik!"
"Terlalu kurang ajar mereka!" desis Wayan Arsana
setelah mendengar penuturan Kakek Wiku Salaka.
"Akan kita kerahkan seluruh orang-orang di daerah ini untuk mengejarnya!"
"Tahanlah kesabaran dan kesadaranmu, Angger,"
sahut Wiku Salaka seraya menggenggam pundak Wa-
yan Arsana, seolah-olah menahan kemungkinan sau-
dagar Wayan Arsana untuk meloncat. "Pikirlah dengan baik-baik sebelum engkau
terlanjur memutuskan sesuatu."
"Apakah Bapak tidak sependapat?"
"Dengarlah dulu baik-baik, Angger Wayan Arsana,"
kata Kakek Wiku Salaka serta menepuk-nepuk bahu
anak menantunya. "Hilangnya Made Maya bukan eng-
kau saja yang sedih dan susah. Lihatlah dengan si Sunutama yang roboh pingsan.
Pasti dialah orang yang
paling sedih saat ini. Sebagai seorang pengantin baru, ditambah lagi sebagai
seorang pendekar pula, ternyata tak mampu menghadapi para penculik Made Maya.
Itu satu pertanda bahwa mereka adalah orang-orang yang
sakti dan bukan tandingannya. Demikian pula aku
pun tak kurang sedih dan berprihatin dengan kema-
langan yang menimpa si Made Maya. Bukankah ia juga
cucuku yang sangat kusayangi" Nah, cuma saja kita
tidak boleh serampangan untuk bertindak. Justru kita menjaga keselamatan Made
Maya, maka untuk sementara, kita harus memberi kelonggaran kepada penco-
leng-pencoleng tersebut."
"Jadi... maksud Bapak?"
"Buat sementara, kita harus menahan diri. Dengan
begitu maka terjaminlah keselamatan Made Maya sam-
pai pada saat pembayaran nanti!" ujar Kakek Wiku Salaka. "Karenanya, jika kita
terus mengejar-ngejar mereka sekarang juga, bukan mustahil bila mereka akan
menjadi lebih gusar dan mencelakai Made Maya."
Saudagar Wayan Arsana tersentak kaget setelah
mendengar kesimpulan Kakek Wiku Salaka tadi. Hal
itu membuatnya sadar, seperti orang yang terbangun
dari mimpi buruk, dan kemudian tampaklah ia me-
nundukkan kepalanya sambil bergumam perlahan,
"Aku mengerti, Bapak."
"Nah, syukurlah, Nak," berkata Kakek Wiku Salaka
dengan napas lega. "Sesuatunya belum terlanjur. Kita harus menghadapi kawanan
Tangan Iblis dengan hati
panas, tapi kepala dingin. Mereka harus kita hadapi dengan cara yang jitu.
Selain kita menerima Made
Maya dalam keadaan baik dan sehat, kalau ada ke-
mungkinanpun, kita harus membasmi mereka sekali-
gus!" *** Dalam pada itu, Nyi Durganti dan Tangan Iblis yang
telah berhasil menculik Made Maya secepat kilat kabur ke arah timur sambil
mengerahkan segenap ilmu meng-entengkan tubuh dan tenaga dalamnya, sehingga me-
reka seolah-olah terbang di atas permukaan tanah.
Oleh sentuhan dan tamparan angin malam yang se-
juk ini, Made Maya menjadi setengah sadar dari ping-sannya. Dirasanya dua buah


Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan yang kokoh seke-
ras besi mengepit tubuhnya, dan membuat dirinya ti-
dak mampu bergerak sama sekali.
Ia mengeluh dalam hati, tapi kemudian menjadi le-
bih kaget lagi begitu ia menyadari bahwa tubuhnya di-bawa lari dengan kecepatan
yang luar biasa.
Dengan diam-diam Made Maya mencoba membuka
kelopak matanya serta menatap ke atas untuk menge-
tahuinya, siapakah orang yang tengah membawanya
kabur ini. Teranglah bahwa orang ini pasti mempunyai kesaktian yang tinggi.
Demikian pikir Made Maya.
Terbayang kembali sepintas lalu segenap peristiwa
yang baru saja dialaminya. Yah, ia ingat betul! Ketika itu, ia tengah duduk-
duduk bersama suaminya, Sunutama, di dalam pertamanan di belakang rumah. Tiba-
tiba saja muncul si Tangan Iblis bersama seorang nenek berwajah mayat.
Pertempuran singkat segera ter-
jadi, tapi sesaat kemudian suaminya telah kena dirobohkan oleh Tangan Iblis.
Saat-saat itulah yang paling mengagetkan baginya.
Ia tidak tahu, apakah Sunutama hanya roboh pingsan
atau malah mati sekaligus. Maka tak salah bila ia
mengeluh tentang semua kejadian itu.
Made Maya menjadi sangat ketakutan sewaktu ia
menentang ke atas, di saat wajah orang yang memon-
dongnya terkena sorot sinar rembulan. Itulah tidak
lain dari wajah si Nenek Durganti yang pucat pasi sebagai tak berdarah.
Namun Made Maya juga menjadi heran sewaktu
dengan memberanikan diri mengamati wajah Nenek
Durganti tadi. Terutama adalah kesan seram dan men-
gerikan. Wajah nenek yang memondongnya itu, benar-
benar pucat dan kaku seperti mayat, bagaikan tidak
bergerak sedikitpun, meski tertampar oleh hempasan
angin malam yang sejuk menggigilkan tulang. Sedang
rambutnya yang terurai panjang, memutih kapas, ber-
kibaran ke belakang, menambah keseraman yang di-
milikinya oleh wajah pucatnya.
Selain keseraman yang dirasakan oleh Made Maya,
iapun merasakan satu hal yang sukar dicari jawaban-
nya. Yah, memang aneh perasaan yang diterima Made
Maya ini. Mengapa" Sebab di samping rasa seram, ia-
pun merasa aman dan tenang di dalam pelukan dan
pondongan Nenek Durganti ini.
Nah, jangan dibilang tidak aneh, bahwa seorang ju-
stru merasa aman di dalam cengkeraman lawannya!
Mengejutkan bukan"!
Mendadak saja, ketika Nyi Durganti dan Tangan Ib-
lis melewati sebuah pohon beringin tua yang batang-
nya berlubang besar, mereka sangat terperanjat begitu satu bayangan pendek besar
melompat keluar dari dalam lubang pohon dan langsung menerjang mereka.
"Gila! Siapa kau, hei!" seru Nyi Durganti lalu berkelit menghindari terjangan si
bayangan penyerang. Hal itu sebenarnya tidak patut dilakukan olehnya, seandainya
ia sedang tidak memondong seseorang.
Si penyerang tidak menggubris. Begitu Nyi Durganti
mengelak, secepat kilat ia melesat ke samping dan kakinya kembali menyapu ke
arah sasaran yang seorang
lagi. Bukk! "Aakh!"
Tangan Iblis terhuyung ke belakang sewaktu pun-
daknya tergempur oleh tendangan si penyerang yang
hebat. Seketika itu rasa pedih menjalar ke segenap
urat-urat tubuhnya. Maka cepat-cepat ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mengusir perasaan itu.
Sementara itu si penyerang tertawa terkekeh-kekeh,
merasa lawannya yang seorang berhasil dikenai ten-
dangannya. Dengan dua kali berjumpalitan di udara, ia kemudian mendarat kembali
di atas sebongkah batu
padas dan bertolak pinggang dengan pongahnya.
Nyi Durganti menjelingkan mata, setelah sesaat kemudian ia mengenal suara tawa
yang terkekeh-kekeh
dari mulut lawannya.
"Bagus Wirog! Kaukah itu keparat, heei"!" seru Nyi
Durganti marah. "Apa maksudmu dengan mengganggu
perjalanan kami ini"! Kau akan mencari mati"!"
"Jangan terlalu galak, Nyai!" sahut Bagus Wirog se-
raya nyungir-nyungir. "Ternyata tambah tua pera-
ngaimu masih tetap galak, begitu pula pinggang dan
tubuhmu masih tetap genit!"
"Mengacau omonganmu! Jangan berbelit-belit dan
mengungkit perkara silam. Katakan saja apa maumu?"
"Bagus, jika engkau langsung menanyakan pokok-
nya," sahut Bagus Wirog seraya mengelus-elus kumis-
nya. "Aku ingin membuat perhitungan denganmu, se-
perti belasan tahun lalu yang pernah aku ucapkan!"
Nyi Durganti mengerutkan keningnya mendengar
kata-kata Bagus Wirog yang sungguh-sungguh dan
penuh ancaman itu. Ia menyadari bahwa lawannya ini
bukan orang sembarangan. Meski belasan tahun yang
lalu ia pernah mengalahkannya, tapi selama itu pula tidak mustahil bila ia
menggembleng dirinya. Oleh sebab itu, haruslah ia berhati-hati menghadapi Bagus
Wirog sekali ini. Pastilah ia jauh lebih sakti, terbukti dari ceritera anak buah
Tangan Iblis yang pernah
menghadapinya. Akan tetapi, Nyi Durganti bisa menyadari bahwa ke-
adaan dirinya tidak menguntungkan untuk mengha-
dapi lawannya, sedangkan kedua tangannya kini di-
pergunakan untuk memondong tubuh Made Maya
yang setengah lumpuh. Sudah pasti! Tak mungkin ia
mampu menggunakan kedua tangannya dalam hal ini.
Paling-paling ia hanya sanggup mengibas-ngibaskan
rambutnya, sebagai senjata yang tersembunyi.
"Jadi kau ingin bertanding lagi seperti belasan ta-
hun yang lalu" Apakah belum cukup engkau kukalah-
kan di saat itu"!" ujar Nyi Durganti sambil mendelik
marah. "Hmm. Haah, ha, ha, ha. Masa telah berlalu dan
jaman telah berganti. Karenanya, janganlah mengukur keadaan sekarang seperti
keadaan masa lalu. Bersiap-lah jika aku telah membuka pertempuran ini!"
Mendengar itu, Tangan Iblis tak tinggal diam. Maka
secepat kilat ia melolos pedangnya dan bersiaga membela Nyi Durganti setiap
saat. "Hyaaat!" Bagus Wirog membuka serangannya sem-
bari menghajarkan kedua cambuk pedangnya berba-
reng. Sungguh dahsyat serangan ini.
Tapi Nyi Durganti bukanlah anak kecil yang mudah
terkejut dengan sesuatu kejadian tiba-tiba seperti serangan Bagus Wirog tadi.
Maka secepat kilat ia mengibaskan rambutnya, sebelum kedua ujung cambuk
pendek Bagus Wirog melecut dirinya.
Ternyata Nyi Durganti mempunyai kelebihan yang
menakjubkan dalam banyak hal. Kibasan rambut pu-
tihnya yang terurai segera menyambut kedua ujung
senjata lawan sehingga seketika itu pula terjadilah benturan keras.
Daaarrr! Kedua tangan Bagus Wirog terguncang ke belakang
akibat benturan tadi, sementara mulutnya mengelua-
rkan desis tertahan karena rasa nyeri yang menjalari kedua telapak tangannya.
Sedang Nyi Durganti masih
berdiri tegak sambil memondong tubuh Made Maya,
meskipun sesungguhnya kulit kepalanya berkeringat
ketika rambutnya berbentur dengan kedua cambuk
Bagus Wirog. "Ilmunya bertambah tinggi!" desis Nyi Durganti.
"Pantas saja dia berani menantangku!"
Segera pula nenek tua ini bersiap siaga kembali.
Dalam pada itu, Bagus Wirogpun tak kalah kagum-
nya. Sesaat setelah ia berhasil menguasai dirinya kem-
bali, ia menggenggam kedua cambuknya lebih erat un-
tuk selanjutnya melesat kembali ke arah Nyi Durganti dengan serangan dahsyatnya.
Melihat ini, Tangan Iblis tidak mau tinggal diam sebagai penonton. Berbareng
mulutnya mengeluarkan
suara menggeram, tubuhnya melenting terjun ke arah
Bagus Wirog. Pertempuran hebatpun segera terjadi di tengah hu-
tan, diterangi oleh cahaya rembulan yang menembusi
dari celah-celah pepohonan rimba. Betapa kedahsya-
tan perang tanding ini terlihat dari robohnya pepohonan kecil dan semak-semak di
sekitar mereka, semen-
tara binatang-binatang kecil berloncatan menjauh karena kekacauan yang
menimpanya. Menghadapi keroyokan dua orang lawan, Bagus Wi-
rog tidak mau setengah-setengah mengerahkan ilmu
dan tenaganya. Kedua tangannya dengan lincah me-
mutar kedua cambuk pendeknya bagaikan pusaran-
pusaran angin yang siap menggulung lawan-lawannya.
Kerepotan pula Nyi Durganti dalam menghadapi se-
rangan-serangan Bagus Wirog yang mengalir seperti air bah tanpa putus-putusnya.
Memang demikianlah sesungguhnya tandang Bagus Wirog yang sudah me-
ngetahui seberapa ukuran dan tingginya kepandaian
Nyi Durganti. Kalau terkena sabetan rambutnya saja
sudah cukup menggetarkan kedua belah tangannya,
apalagi jika ia sampai terkena pukulannya. Maka sela-gi ia melihat posisi Nyi
Durganti tidak menguntungkan, tanpa sia-sia ia menggunakan kesempatan tadi
sebaiknya guna menyerang dan mencecar Nyi Durganti.
"Setan!" umpat Nenek Durganti seraya berkali-kali
berloncatan ke sana-ke mari, menghindari serangan
Bagus Wirog tadi. Kesempatannya untuk menyerang
ternyata lebih sedikit daripada menghindarkan diri.
Itulah sebabnya mengapa Nyi Durganti hanya berkelit-
kelit mengelakkan serangan lawan.
Meskipun begitu, itupun sudah merupakan kelebi-
han bagi dirinya, yang kendati dalam keadaan tidak
menguntungkan, toh ia masih sanggup menanggulangi
serangan Bagus Wirog yang ganas.
Untung saja Tangan Iblis tidak membiarkan ibunya
roboh terhajar cambuk-cambuk lawannya yang bertu-
buh bulat pendek itu. Dengan tangkasnya ia memain-
kan jurus-jurus ilmu pedang pilihan yang jarang tandingannya. Tak ubahnya
pusaran air yang sanggup
menyeret tenggelam terhadap korbannya, pedang Ta-
ngan Iblis menebas-nebas sangat dahsyat.
Si Bagus Wirog menjadi semakin marah melihat
perkembangan keadaan. Berkali-kali keningnya ber-
kerut apabila serangannya hampir berhasil, tahu-tahu ujung pedang Tangan Iblis
telah terjulur dan mematuk ke arah tubuhnya.
"Keparat!" seru Bagus Wirog mengumpat kepada
Tangan Iblis. "Kau main keroyok dan pengecut! Me-
ngapa tidak kau biarkan aku bertanding sendirian melawan nenek-nenek ini"!"
"Heh, apa perdulimu, Wirog"!" bantah Tangan Iblis
sambil gencar melancarkan serangannya.
"Ini adalah urusan orang tua-tua! Tidak seharusnya
bocah ingusan seperti kamu ikut campur!" seru Bagus Wirog lantang.
"Menyingkirlah, Iblis pengecut!"
"Kaulah yang pengecut!" bentak Tangan Iblis. "Apa-
kah dirimu tidak malu, menyerang lawan yang lagi kerepotan seperti ini"!"
"Iblis gila! Rasakanlah cambukku ini, haah!" Bagus
Wirog berteriak dan berbareng cambuk-cambuk pen-
deknya berdesing-desing menyambar kedua lawannya.
Gerakannyapun bertambah gesit. Meski tubuhnya bu-
lat pendek, ia mampu berloncatan seperti kijang dan di saat lain menyambar tak
ubahnya seekor elang kelapa-
ran. Yang membuat Tangan Iblis menggerendeng adalah
gerakan-gerakan Bagus Wirog yang sering menyerang
dengan cara menerobos, menubruk dan sering pula
dengan menggelindingkan tubuhnya tak beda sebuah
bola. Bagus Wirog mempunyai kelincahan seperti see-
kor tikus, yang sudah sepantasnya dipunyainya seba-
gai seorang raja tikus liar yang dipimpinnya. Semua itu membuat Tangan Iblis
lebih marah lagi dan mengerahkan segenap kemampuannya. Sebab alangkah ma-
lu dan celakanya seandainya ia tidak bisa membela Nyi Durganti dari tekanan
serangan si raja tikus! Pedang di tangannya mendesing-desing lebih dahsyat
membuat tebasan-tebasan yang kilat dan sukar diketahui jun-
trungannya, seolah-olah adalah serangan iblis layaknya.
Berulang-ulang Bagus Wirog terpaksa meloncat su-
rut serta mendesis kagum karena patukan-patukan
dan sambaran ujung pedang lawannya terlalu jauh
mendekati tubuhnya. Bahkan pada saat mendekati ju-
rus yang kedua puluh lima, sewaktu ia menghindari
sabetan rambut Nyi Durganti dengan merunduk, tiba-
tiba... sreet! Pedang si iblis muda telah menyambar kepalanya.
Mujurlah buat Bagus Wirog disebabkan oleh keta-
jaman inderanya, sehingga ia cepat-cepat menggelin-
dingkan tubuhnya begitu mendengar kesiur angin di-
ngin. "Haah"!" seruan keras bercampur kagum keluar da-
ri mulut si raja tikus, sewaktu ujung-ujung rambut
kepalanya kena terbabat rontok oleh mata pedang dari Tangan Iblis. "Kau tunggu
balasanku, setan!"
Keruan saja Tangan Iblis menjadi berkakakan keta-
wa girang, melihat serangannya berhasil cukup baik.
"Ha, ha, ha, ha. Lebih baik engkau membiarkan
kami lewat, tikus gendut! Perkara adu tenaga boleh di-lanjutkan lain kali dengan
ibuku, Nyi Durganti! Lihatlah, apakah peringatan mata pedangku tadi masih ku-
rang berarti bagimu"!"
"Iblis jorok! Mulutmu memang pintar mengoceh!
Coba saja, kalau tidak main keroyok, belum tentu engkau sanggup melakukan hal
itu!" damprat Bagus Wi-
rog yang bertubuh bulat pendek seraya mulutnya ko-
mat-kamit, persis tampang seekor tikus yang lagi marah-marah.
"Hyaaatt!" teriakan Bagus Wirog yang naik pitam
sambil menggerakkan kedua cambuk pendeknya da-
lam dua arah ke kiri dan ke kanan.
Nyi Durganti terpaksa menangkis serangan cambuk
kiri Bagus Wirog dengan kibasan rambutnya, disusul
tubuhnya meloncat jauh ke kiri untuk menghindari serangan lain.
Sedang Tangan Iblis sendiri sangat merasa kaget
dengan serangan mendadak tadi, hingga sewaktu
ujung cambuk pendek di tangan kanan Bagus Wirog
mematuk ke pundaknya, ia tak sempat menghindari.
Taaarr!

Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Auhh!" keluh Tangan Iblis sambil mulutnya menye-
ringai menahan rasa pedih yang membakar pundaknya
akibat sentuhan ujung cambuk si raja tikus lawannya.
Kendati tidak terlalu keras sentuhan ujung cambuk
tadi, sudah cukup membuat kulit pundaknya merah
lebam seperti kena bakar gumpalan bara api.
"Heh, keparat!" Merasa terkena oleh ujung cambuk
Bagus Wirog dan menderita cedera, Tangan Iblis menggeram marah. "Tikus gendut!
Beruntung kau dapat
menyentuh ujung kulitku hari ini! Sekarang cobalah
kau merasakan pukulan Telapak Iblisku ini.... Hyaatt!"
Daarr! Tiba-tiba Tangan Iblis menghempaskan telapak ta-
ngan kirinya ke arah Bagus Wirog, dan satu tenaga
pukulan dahsyat yang tidak tampak seketika melanda
ke depan ke arah lawannya.
Akan tetapi si raja tikus ini betul-betul mengagum-
kan, ketika dengan gerakan sebat membuang diri ke
samping dan menggelinding bagai bola karet. Mulut
Bagus Wirog mengeluarkan ketawa kecut sewaktu ma-
tanya sempat menatap bahwa pukulan Tangan Iblis
tadi sempat menghajar cabang pohon beringin yang
seketika sempal dan runtuh.
"Ha, ha, ha, ha. Mengamuklah sepuasmu, iblis. Se-
bentar lagi kalian akan mampus menjadi kerangka!
Nah, cobalah kalian mementang lebar-lebar mata yang ada di kepalamu itu.
Perhatikanlah sekelilingmu itu!
Ciiiitttt!" Dengan teriakan mencicit, Bagus Wirog me-nyudahi kata-katanya.
Suara mencicit tadi mengaung, menggema mengge-
tarkan udara malam di tengah hutan yang lebat.
Daun-daun pohonpun ikut bergetar dan sesaat kemu-
dian terdengar suara kemerosak disertai bau engas yang menusuk hidung. Dalam
sekejap mata, muncullah cahaya-cahaya kuning kehijauan di antara sela-
sela dedaunan semak, tak jauh dari tanah.
Mula-mulai Tangan Iblis dan Nyi Durganti mengira
bahwa itu semua adalah cahaya dari kunang-kunang
yang hinggap atau berkeluyuran di sela dedaunan, sehingga tidak perlu untuk
dirisaukan. Akan tetapi, ketika mereka melihat bahwa cahaya tadi tidak berkedip-
kedip, terkejutlah hati mereka berdua. Apalagi ketika ternyata cahaya-cahaya
tadi bergerak mendekat. Dalam sorotan cahaya rembulan, mereka dapat melihat
gumpalan-gumpalan tubuh hitam yang berekor pan-
jang bergerak rapat, merupakan pemandangan yang
menyeramkan. "Tikus, tikus!" desis Nyi Durganti dan Tangan Iblis
berbareng dengan hati yang bergetar.
"Ha, ha, ha," gelak ketawa Bagus Wirog terdengar.
"Memang tepat! Mereka adalah tikus-tikus pengikutku, dan sebentar lagi tubuh
kalian berdua akan direncah-nya!"
"Keparat! Kau mengundang tikus-tikus jorokmu ke
mari!" seru Tangan Iblis marah.
"Heh, heh. Mengumpatlah semaumu, Tangan Iblis!"
ujar Bagus Wirog. "Sekarang tunjukkanlah apa kalian mampu menghadapinya!"
Selesai dengan ucapannya, Bagus Wirog telah mele-
sat, menyerang kembali dengan dua senjata cambuk-
nya ke arah Nyi Durganti dan Tangan Iblis. Bahkan di saat yang sama, tikus-tikus
pengikut Bagus Wirog telah ikut menerjang pula.
Suara gemerosak dari kaki-kaki kecil mereka terdengar seketika bercampur bunyi
mencicit yang riuh.
Dalam sekejap itu pula terjadilah pertempuran yang lebih dahsyat, lebih seru
dari pertempuran yang terda-hulu.
Betapa kisruhnya gerakan Nyi Durganti dalam meng-
hadapi lawan-lawan mereka yang aneh dan ganas, ti-
dak terkecuali dengan si Tangan Iblis. Mereka seka-
rang benar-benar dapat merasakan betapa dahsyatnya
serangan tikus-tikus tadi kepadanya. Sehingga kare-
nanya pula, mereka tidak usah mencela kepada Dregil dan kawan-kawannya karena
mereka telah melarikan
diri dari serangan tikus-tikus ini. Tambahan lagi, selain keduanya harus
menanggulangi serangan bina-
tang-binatang ganas tersebut, Bagus Wirog pun ikut
pula melabrak habis-habisan dibarengi derai ketawa
yang meyakinkan akan kemenangan yang bakal dica-
painya. "Angger Tangan Iblis," seru Nyi Durganti kepada
anaknya, "kita tidak akan tahan lama bertempur terus-
terusan dalam keadaan sesulit ini! Ayo, kita harus secepatnya meninggalkan
tempat ini!"
"Baik, Ibu!" sahut Tangan Iblis kepada Nenek Dur-
ganti. "Sekarang saatnya!" Demikian Tangan Iblis me-nyudahi kata-katanya seiring
tangan kirinya meraba
ikat pinggangnya, mengambil sesuatu untuk secepat
kilat dibantingnya ke tanah, tak jauh dari tikus-tikus dan Bagus Wirog berada.
Bluub! Bluubb! Dua letupan terdengar disusul pecahnya dua gum-
palan asap hitam beracun menyebar ke udara, menga-
caukan arena pertempuran.
Tampaklah beberapa tikus yang telah menyedot
asap beracun tadi terguling mati dan kaku, sedang
yang lain-lainnya mencicit-cicit menghindarkan diri.
Demikian juga dengan Bagus Wirog yang mundur ke
belakang. Dalam saat itulah, ketika pemandangan terhalang
oleh asap hitam, Nyi Durganti dan Tangan Iblis menjejak tanah dan melesat kabur
ke arah selatan.
*** 2 BEBERAPA orang tampak menerobos semak hutan
dan menyibakkan dedaunan serta akar-akar liar yang
bergelantungan di sana-sini. Dengan senjata-senjatanya, mereka membabat dan
membuka jalan di sebelah
depan yang akan dilalui, sementara dua orang yang
berjalan di muka bercakap-cakap.
"Tuan Ngurah Jelantik, apakah kita mampu menge-
jar para penculik itu"!" bertanya salah seorang penjaga kepada laki-laki di
sebelahnya. "Sudah sejauh ini kita mencari jejaknya."
"Jangan putus asa, Kisanak," ujar Ngurah Jelantik.
"Yang kita hadapi adalah orang-orang sakti. Untuk itu kita memerlukan banyak
ketekunan daripadanya."
Penjaga tadi manggut-manggut mendengar tutur
kata pendekar Ngurah Jelantik. "Mudah-mudahan kita
segera mendapatkannya. Meski kita cuma berenam,
tapi kecemasan hati telah lenyap karena Tuan Ngurah Jelantik berada di samping
kita. Jika tidak, besar kemungkinan kami tidak berani menempuh perjalanan di
tengah hutan malam-malam begini."
Tersenyumlah Ngurah Jelantik karena ucapan si
penjaga yang terlalu memuji-muji dirinya, maka iapun berkata, "Aah, Kisanak
terlalu memanjakan aku. Yang penting adalah terjalinnya kerja sama di antara
kita. Meski seandainya kita ini terdiri dari segerombolan tokoh-tokoh sakti, namun
jika tidak ada kerja sama,
maka tidak akan ada artinya. Bahkan mungkin kehan-
curan yang akan kita temui!"
Si penjaga terhenyak kagum oleh tutur pendekar
Ngurah Jelantik yang terasa bijaksana itu. Namun itu semua membuatnya maklum
apabila diingatnya, bahwa Ngurah Jelantik adalah pendekar dari Kerajaan
Singaraja. Nama keluarganya telah terkenal di mana-
mana, baik kebijaksanaan maupun kesaktiannya.
Mereka semakin jauh menempuh jalannya. Berpu-
luh kunang-kunang terbang melintas di hadapan me-
reka seperti memberi jalan kepada manusia-manusia
pengabdi keamanan ini.
Sekonyong-konyong, Ngurah Jelantik mengacung-
kan tangan ke atas sebagai isyarat berhenti dan bersiap-siap kepada kelima
pengikutnya. Serentak mereka melolos pedang, keris, dan senjata
yang mereka bawa, sedang dada mereka berdetak, ge-
muruh seperti diisi oleh puluhan genderang yang dita-buh bertalu-talu.
Sekali lagi pendekar Ngurah Jelantik mengacung-
kan tangan ke depan, tepat di saat bunyi berdesir terdengar dari arah utara.
Keruan saja dada mereka menjadi lebih bergetar serta masing-masing saling
menebak, apakah gerangan yang mendatang dari arah ter-
sebut" Binatang buas" Atau hantukah barangkali" Me-
reka lebih erat menggenggam tangkai senjatanya, siap siaga untuk digunakan bila
keadaan memerlukan.
Begitulah, Ngurah Jelantik dan rekan-rekannya ti-
ba-tiba terperanjat, begitu muncul dua sosok tubuh
manusia meloncat-loncat dengan gesitnya. Dan lebih
jelas lagi oleh mereka, bahwa salah seorang di antaranya sambil memondong tubuh
seorang gadis. "Itulah, dia!" desis Ngurah Jelantik kepada kelima
rekannya. "Cegat!"
Begitu berteriak, mereka berenam melesat ke de-
pan, menyerang kedua sosok tubuh manusia tadi.
Kiranya dapat dibayangkan betapa kagetnya kedua
orang yang diserang secara tiba-tiba. Dengan gugup
keduanya melompat ke samping dengan gerakan me-
ngagumkan para penyerang itu.
"Nah kita bertemu kembali, Iblis!" seru pendekar
Ngurah Jelantik ketika menerjang bersama rekan-
rekannya. Dan kepada salah seorang rekan tadi, ia
berseru, "Tawes, kau bersama tiga orang menyerang
yang laki-laki itu! Biar aku dan Paria yang menghadapi iblis perempuan ini!"
Dalam waktu yang singkat pula berkobarlah per-
tempuran seru! Diam-diam, baik Nyi Durganti maupun Tangan Iblis
mengeluh dalam hati karena keringat mereka belum
lagi kering sesudah bertempur mati-matian melawan
Bagus Wirog dan kawan-kawannya, yakni tikus-tikus
liar yang ganas. Sekarang, keduanya harus mengha-
dapi kembali serangan Ngurah Jelantik berenam yang
masih memiliki udara segar dan tenaga penuh.
Ternyata Nyi Durganti dan Tangan Iblis masih mam-
pu menjaga diri. Begitu serangan mendatang, kedua-
nya telah bersiaga memapakinya.
Ngurah Jelantik dan Paria menyerang Nyi Durganti,
sementara Tawes dan ketiga temannya mengerubut
Tangan Iblis dengan gencar. Senjata-senjata mereka
bersambaran mengurung tubuhnya, merupakan kila-
tan-kilatan warna putih.
Namun Tangan Iblis tidak menjadi gentar. Pedang-
nya beraksi kembali, menari-nari menangkis setiap
senjata lawannya. Hanya saja sebentar-sebentar mu-
lutnya mengeluarkan desis tertahan, karena pundak-
nya yang beberapa saat lalu terhajar oleh cambuk Bagus Wirog, masih terasa
sangat mengganggu, sangat
pedih dan nyeri.
Di sebelah lain, Nyi Durganti terpaksa mengerahkan
segenap tenaganya. Untuk menghadapi Ngurah Jelan-
tik dan Paria, ia hanya sempat menggunakan rambut-
nya. Berkali-kali dengan gesit ia memutar kepala dan mengibaskan rambutnya, tak
ubahnya seorang penari
yang tengah beraksi. Meskipun tampaknya cuma se-
pele, sabetan-sabetan rambut Nyi Durganti sangatlah ampuhnya. Mungkin
kekuatannya hampir menyamai
pukulan cambuk hitamnya si Bagus Wirog. Hal ini di-
ketahui oleh Ngurah Jelantik dan Paria, ketika mereka menghindar, angin sabetan
dari rambut Nyi Durganti
cukup menimbulkan rasa pedih.
"Luar biasa!" desis Ngurah Jelantik saking kagum-
nya. "Nenek tua ini memiliki tenaga dalam yang sem-
purna! Rasanya sangat sukar menyentuh tubuhnya
dengan pedangku ini!"
Memang demikianlah sesungguhnya. Meski pedang
Ngurah Jelantik telah mencecar Nyi Durganti, toh nenek tua itu dengan enaknya
meloncat ke sana-ke mari
menghindari serangan.
Namun memang ada hal lain yang banyak mempe-
ngaruhi serangan-serangan Ngurah Jelantik, yakni kepentingan dan keselamatan
Made Maya yang berada di
dalam pondongan tangan Nyi Durganti. Itulah yang
menyukarkan. Selain ia bermaksud menyerang Nyi
Durganti dan jika perlu membinasakannya sekali, tapi ia harus masih menjaga
keselamatan Made Maya dan
menjaga agar pedangnya tidak sampai mencederainya.
Di sebelah lain, Tawes berempat mati-matian menge-
rubuti Tangan Iblis. Semula mereka menyangka bahwa
lawannya ini akan mudah dirobohkan, karena sebe-
narnyalah mereka terdiri dari penjaga-penjaga pilihan dan jago berkelahi.
Kenyataannya, pertempuran sudah lebih sepuluh jurus tetapi Tangan Iblis masih
tetap gigih bertempur. Pedang di tangannya selalu saja me-
nyambar ke arah tubuh lawan yang mencoba men-
dekati. Sehingga dengan demikian, Tawes dan kawan-
kawannya terpaksa harus berhati-hati dalam setiap
langkah dan gerakan.
"Heh, he, he, he. Kalian orang-orang ingusan mau
membuang nyawa?" teriak Tangan Iblis sesumbar.
"Percuma saja! Mumpung masih ada waktu, lekaslah
kalian pergi menyelamatkan diri. Jangan menghalangi perjalanan kami!"
"Kami bukan orang-orang pengecut, Tangan Iblis!"
seru Tawes sangat lantang. "Berkorbanpun kami rela
demi membela kebenaran!"
"Kebenaran"! Heh, heh, heh. Apa itu kebenaran!
Hanyalah kata-kata kosong belaka. Kalau kalian ingin tahu, aku pun bertindak
menurut kebenaran dalam
pengertianku!" balas Tangan Iblis.
"Keparat! Ayo, kawan-kawan. Sikat iblis durjana
ini!" seru Tawes seraya menerjang kembali dengan sengitnya, diikuti oleh ketiga
rekannya. "Hatinya sudah
terlalu hitam!"
Apa yang diucapkan oleh Tawes tadi memang tidak
jauh dari kenyataan. Tokoh seperti Tangan Iblis ini sudah tidak lagi
memperhatikan kaidah-kaidah kebena-
ran dalam tata kehidupan manusia. Baginya, bertin-
dak sebebas dan sekehendak sendiri adalah pendi-
riannya yang berurat akar sangat kukuhnya. Sehingga dengan demikian ia cuma
tertawa mendengar kata-kata Tawes.
Tandang Nyi Durganti makin tampak gesit apabila
beberapa saat kemudian mulutnya tampak berkomat-
kamit mengucapkan sesuatu. Biarpun sambil memon-
dong tubuh Made Maya, ia masih mampu menanggu-


Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langi serangan dari Ngurah Jelantik dan Paria. Bahkan kedua lawannya tadi,
setapak demi setapak tergeser
surut, sebab mereka merasakan bahwa tenaga sera-
ngan Nyi Durganti tersebut menjadi berlipat-lipat.
Rambutnya yang panjang terurai seperti benar-benar
benda hidup yang bernyawa. Sekali waktu mampu
menangkis senjata-senjata lawannya dan tidak jarang seperti hendak melibat serta
merampasnya dari tangan-tangan Ngurah Jelantik serta Paria. Tidak jarang pula
rambut nenek itu melecut-lecut bagaikan sambaran seekor ular ganas yang haus
korban. Inilah yang membuat kedua lawannya terpesona kagum tapi juga
terdesak! Akan tetapi yang paling menggetarkan hati adalah
sorot pandangan mata Nyi Durganti yang seolah-olah
melontarkan tekanan tenaga yang berlipat-lipat jum-
lahnya, disamping rasa pesona yang mampu melum-
puhkan semangat lawan. Pada saat-saat demikian itu, wajah Nyi Durganti tampak
seperti berubah, menjadi
bentuk wajah yang mengerikan dan memukau! Demi-
kianlah dalam penglihatan Ngurah Jelantik dan Paria serta rekan-rekan lainnya
yang sempat menatap wajah
Nenek Durganti.
"Ilmu hitam!" desah Ngurah Jelantik setelah melihat perubahan pada Nyi Durganti.
"Celaka. Ini tak ku-sangka sama sekali. Padahal ilmuku masih belum
sempurna untuk menghadapi hal tersebut!"
Kesadaran pendekar muda Singaraja ini sedikit ter-
lambat, sebab dalam saat yang gawat itu, tiba-tiba saja rambut Nenek Durganti
telah menyabet pundak si Paria dengan kecepatan yang sukar dilihat mata. Saat
tersebut sangat cepat, dan seketika itu pula Paria rebah ke tanah dengan tubuh
lunglai bagai selembar
daun kering yang tanggal dari tangkainya.
Betapa kagetnya Ngurah Jelantik serta Tawes seka-
wanan, begitu melihat robohnya Paria di atas tanah.
Mereka menjadi lebih sadar bahwa dua orang lawan
yang tengah mereka hadapi ini bukanlah orang semba-
rangan. Kalau nenek tua tersebut mampu menyabet
roboh Paria dengan rambutnya, padahal kedua ta-
ngannya masih tetap memondong tubuh Made Maya,
betapa tingginya ilmu Tangan Iblis yang masih muda, sedangkan ibunya yang sudah
tua renta saja masih
sesakti itu. Tawes dan ketiga rekannya benar-benar terperanjat.
Belum lagi ia lepas dari perhatiannya kepada Paria, mendadak saja Tangan Iblis
bergerak cepat menebaskan pedangnya dan tahu-tahu terdengarlah jeritan-jeritan
parau dari mulut ketiga rekan Tawes yang rebah disertai luka menganga pada dada
mereka. "Auuuh!"
Detik itu pula Tangan Iblis pun menjerit kecil, sebab pedang si Tawes sempat
pula menyentuh kulitnya,
meski tidak terlalu besar luka yang ditimbulkan. Namun toh itu sudah merupakan
satu kelebihan kecil
bagi Tawes. Rupanya, ketika Tangan Iblis menggerak-
kan pedangnya ke arah rekan-rekannya, Tawes telah
melesat ke samping dan pedangnya menggasak lam-
bung Tangan Iblis.
Tentu saja si Tangan Iblis menjadi marah luar bi-
asa. Secepat kilat ia melancarkan pukulan sisi telapak tangan kirinya yang tepat
mendarat ke punggung Tawes, selagi lawannya belum merobah jurusnya.
"Huuuk! Hooek!"
Tawes terbatuk-batuk berbareng tubuhnya mende-
prok di tanah. Sedang dari mulutnya mengalir darah kental, akibat luka dalam
yang dideritanya.
Ngurah Jelantik tidak menyangka bahwa keadaan
berkembang buruk begitu cepatnya. Semua rekannya
telah rubuh, kecuali dirinya saja yang masih mampu
bertahan. "Ha, ha, ha, ha."
"Hi, hi, hi, hi."
Demikianlah derai ketawa Nyi Durganti dan Tangan
Iblis berkumandang sahut-sahutan menimbulkan pe-
ngaruh pukau yang sangat hebat!
Ngurah Jelantik menjadi seperti orang linglung. Ka-
lau ia mengerahkan segenap tenaganya untuk meng-
halau pengaruh pesona dari suara tertawa Nyi Durgan-ti dan Tangan Iblis, berarti
ia melepaskan perhatian terhadap gerakan-gerakan lawan dan ini adalah sangat
berbahaya bagi keselamatannya.
Akhirnya Ngurah Jelantik mengerahkan sebagian
perhatiannya. Oleh sebab itu, sewaktu Tangan Iblis
mengirimkan tikaman pedang, ia masih mampu meng-
hindarinya. Namun di saat itu pula Nyi Durganti menyabetkan
rambutnya ke arah dirinya.
"Mampus kau!" seru Nyi Durganti yang telah me-
nyerang Ngurah Jelantik dengan gesit dan ganas.
Sekali lagi Ngurah Jelantik masih mujur dengan
menggelindingkan tubuhnya ke tanah, hingga sera-
ngan Nyi Durganti tersebut cuma sia-sia.
Tangan Iblis tidak membiarkan pendekar Singaraja
ini meloloskan diri, maka secepat kilat ia menebaskan pedangnya ke bawah yang
meluncur bagai kilat.
"Heeitt!" Ngurah Jelantik melenting ke udara bagai
belalang, membuat kedua lawannya tercengang kagum.
Tapi sayang, Nyi Durganti lebih cepat bertindak. Tepat di saat Ngurah Jelantik
melesat ke atas, di saat itu pula nenek tua tadi melecutkan rambutnya ke kaki
lawannya. Beeet! Daaarr! Tanpa sesambat, Ngurah Jelantik mendeprok runtuh ke bawah dan berbareng itu pula
tangan kiri si Tangan Iblis menggaplok punggungnya.
Plak! "Hoeekh!"
Ngurah Jelantik seketika terbanting di tanah diser-
tai darah segar melontak dari mulutnya. Dengan sa-
ngat susah payah ia mencoba merangkak, sementara
Tangan Iblis dan Nyi Durganti tertawa terkekeh-kekeh melihat semua lawannya
telah roboh. "Angger Tangan Iblis! Lekas bereskan si Jelantik keparat ini! Tikamlah dengan
pedangmu itu!" seru Nyi
Durganti lantang. "Biar dia tahu, siapa Nyi Durganti dan Tangan Iblis!"
"Baik, Ibu!" sahut Tangan Iblis seraya mengangkat
pedangnya, siap ditikamkan ke tubuh Ngurah Jelantik yang masih bergerak-gerak
lemah. Ujung mata pedang Tangan Iblis cepat meluncur ke
bawah dibarengi teriakan kemenangan dari mulutnya.
"Haah! Mati kau sekarang!"
Mendadak saja sesuatu telah terjadi dengan amat
cepatnya, tepat di saat nyawa pendekar Ngurah Jelantik hampir direnggut oleh
pedang Tangan Iblis.
Traaang! Satu sinar putih melesat dan menyambar pedang
tadi dengan kerasnya, sampai Tangan Iblis menjerit
kesakitan luar biasa. Pedangnya seketika terpelanting lepas dari genggaman
tangan, disusul rasa pedih menyengat seluruh sendi-sendi tangan kanannya. Dan
rasa lumpuh segera merayapinya!
"Ibu! Ada penyerang gelap! Aku dikenainya!" seru
Tangan Iblis sambil peringisan dan terkejut sekali.
"Ha, ha, ha, ha. Kalian iblis-iblis membuat onar di sini. Lekas minggat sebelum
aku benar-benar marah!"
terdengar teriakan bergema dari sela-sela dedaunan di arah selatan, menandakan
bahwa si pendatang itu
memiliki tenaga dalam yang hebat.
"Celaka!" desis Nyi Durganti ketika menyadari hal
ini. Sebagai tokoh di dunia persilatan, ia dapat mengetahui akan kesaktian orang
ini. Seperti tadi ketika ia melemparkan batu yang melesat tanpa suara dengan
kecepatan yang luar biasa.
"Ayoh, Tangan Iblis! Kita lari sekarang," ujar Nyi
Durganti tepat di saat beberapa batu menyambar ke
arah mereka. Mujurlah bahwa keduanya cepat bertindak. Meski
dengan susah payah, mereka berhasil lolos dan kabur dari tempat itu. Sebentar
saja Tangan Iblis dan Nyi Durganti telah melesat, menerobos pepohonan di sebelah
timur serta lenyap di sebelah sana.
*** 3 PENDEKAR Ngurah Jelantik masih berusaha meng-
gerakkan tubuhnya dan membuka kelopak matanya
yang sudah terasa sangat berat. Sesaat ia masih sempat menatap Nyi Durganti dan
Tangan Iblis kabur ke
arah timur. Setelah itu tampak pula olehnya dua
bayangan manusia meloncat-loncat mendatangi ke
arahnya dari sebelah selatan. Tak antara lama pendekar Ngurah Jelantik tak dapat
lagi menahan dirinya, untuk kemudian rebah tak sadarkan diri.
Begitulah sesungguhnya, pandangan Ngurah Jelan-
tik tidak keliru, sebab dari sebelah selatan, berloncatan dua sosok tubuh
manusia dalam gerakan ringan
dan tergopoh-gopoh ke arahnya.
"Kakek! Celakalah mereka! Semuanya telah roboh!"
seru salah seorang pendatang yang bertubuh ramping
dengan nada cemas seperti halnya wajahnya yang ter-
peranjat. "Jangan cemas, Tunjung!" ujar si kakek tua yang
melesat di samping gadis itu. "Kita periksa dulu tubuh-tubuh mereka. Mungkin
salah satu di antaranya dapat kita tolong!"
Sebentar saja mereka berdua telah berdiri di bekas
medan pertarungan yang kini diisi oleh keenam tubuh laki-laki yang terluka dan
berlepotan darah.
Dengan cermat si kakek tua yang tidak lain adalah
Ki Tutur segera memeriksa tubuh-tubuh yang berka-
paran tadi. Sesaat ia mendesak serta mengangguk-
angguk dan di saat lain ia menggeleng-gelengkan ke-
pala. Ini semua diikuti oleh Tunjung dengan hati berdebar-debar. Apalagi sewaktu
dilihatnya Ki Tutur melihat keadaan tubuh Ngurah Jelantik.
Gadis ini lalu teringat akan perjumpaannya dengan
pendekar tersebut beberapa pekan yang lalu, sewaktu mereka diserang oleh Bagus
Wirog dan tikus-tikusnya.
Yah, bukankah saat itu ia melempar senyum manis
kepada Ngurah Jelantik"! Tapi sekarang ia tak sampai hati melihat pendekar itu
serta kawan-kawannya ter-kapar tak sadarkan diri.
"Bagaimanakah, Kakek?" tanya Tunjung kecema-
san. "Apakah yang kita perbuat sekarang?"
"Hmm, ketahuilah, Cucu. Dua orang telah mati,
seorang lagi masih berdetak jantungnya tapi sebentar lagi pasti berhenti, karena
lukanya terlalu parah. Sedang tiga orang lagi masih mempunyai harapan untuk
dapat kita selamatkan nyawanya."
"Termasuk Pendekar Jelantik inikah, ketiga orang
yang Kakek sebutkan tadi"!"
"Benar. Pendekar Jelantik ini ternyata memiliki ke-
tahanan tubuh yang cukup besar. Kita harus me-
nolong ketiga orang ini dengan segera. Nah, bukalah bungkusan kain di punggungmu
itu, Tunjung!"
"Baik, Kakek," sahut Tunjung seraya lekas-lekas
melepas bungkusan kain dari punggungnya. Di dalam-
nya terlihat beberapa tabung bambu yang bersumbat
gabus serta beberapa gulungan sobekan kain dan lem-
baran-lembaran daun.
Setelah ketiganya diminumi beberapa butir obat
yang dikeluarkan dari tabung-tabung bambu tadi, se-
geralah tubuh-tubuh mereka yang semula telah dingin, kini menjadi hangat.
Darahpun telah berhenti menetes dari mulutnya.
Khusus kepada Ngurah Jelantik yang mendapat ce-
dera akibat sabetan rambut Nyi Durganti serta pu-
kulan tangan si Tangan Iblis, Ki Tutur harus mengoba-tinya lebih seksama, sebab
untuk dua luka sekaligus, pengobatannya paling sukar. Salah-salah jika orangnya
kurang ahli, bisa mengakibatkan kematian bagi si penderita.
Beberapa waktu kemudian, setelah dengan susah
payah Ki Tutur berusaha mati-matian mengobati ke-
tiga penderita tersebut, selesailah sudah pekerjaannya.
Mula-mula Paria adalah yang pertama membuka
mata, sebab dari ketiganya, hanya dialah seorang yang paling ringan
penderitaannya. Kemudian menyusul si
Tawes dan pendekar Ngurah Jelantik hampir berba-
reng membuka mata sambil mengerang kecil, ketika
dada keduanya masih terasa panas bagai dibakar bara api.
"Ookh, Andika berdua telah menolong kami?" desah
Ngurah Jelantik penuh kesyukuran.
"Jangan bergerak keras-keras lebih dahulu. Duduk-
lah bersila kurang lebih sepemakanan sirih lamanya.
Sesudah itu Andika berdua bebas bergerak. Kalian telah menderita luka dalam,
kecuali Tuan yang seorang ini!" ujar Ki Tutur seraya menunjuk kepada Paria.
"Benar. Turutlah kata kakekku ini, Tuan Ngurah
Jelantik," kata Tunjung pula. "Silakan duduk di sini!"
Diiringi senyuman, Ngurah Jelantik melaksanakan
nasehat Ki Tutur. Dan berbareng si Tawes, keduanya
bersila untuk beberapa saat sambil mengheningkan di-ri. Suasana malam yang telah
mendekati dini hari itu benar-benar sangat lengang dan tenang. Sang rembulan
sudah semakin condong di cakrawala barat. Sebentar lagi pasti sinar fajar akan
muncul perlahan-lahan dari tepi langit sebelah timur.
Ketika Ngurah Jelantik dan Tawes selesai menghe-
ningkan diri, Ki Tutur dan Paria mengajak mereka untuk mengubur mayat ketiga
rekan penjaga di tempat
itu juga. "Andika bertiga harus singgah ke pondokku lebih
dahulu buat beberapa hari, sebab tenaga Tuan-tuan
telah banyak terkuras dalam pertempuran tadi," demikian kata si kakek tua Ki
Tutur kepada Ngurah Jelantik bertiga.
"Tenaga kami terkuras?" desah Tawes dengan pera-
saan hampir tidak percaya. "Aku kurang merasakan
hal itu, Kakek."
"Memang maksudku bukan tenaga untuk sekadar
bergerak, tapi tenaga bergerak guna mempertahankan
diri! Nah, jika Tuan ingin mencobanya tentang kebena-
ran kata-kataku tadi, silakan Andika bersilat beberapa jurus."
Dasar si Tawes yang berwatak keras, sudah terang
tidak begitu saja dapat menerima keterangan Ki Tutur yang demikian tadi. Maka
sambil sekaligus mencoba
kemampuan diri, ia segera berdiri dan lalu meloncat dengan membuka satu jurus
pembukaan dari serangan kilat. Namun alangkah kagetnya ketika menda-
dak saja gerakannya menjadi kacau, tidak keruan, dan hampir saja tubuhnya jatuh
terbanting di tanah!
"Ooh, celaka!" desis Tawes saking kaget dan heran-
nya. Untung saja Ki Tutur cepat bergerak dan mena-
han tubuhnya, sehingga Tawes tidak mengalami cedera sedikitpun. Sebaliknya ia


Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malah tersipu-sipu malu karena kata-kata Ki Tutur tadi ternyata benar. Kare-
nanya buru-buru ia membungkuk minta maaf dan ka-
tanya kemudian, "Ah, maaf, Ki Tutur. Kata-kata An-
dika memang benar. Tapi, apakah ini berarti bahwa
kami tak akan mampu lagi untuk bersilat dan membe-
la diri?" "Jangan berkecil sedemikian itu, Nak," ujar kembali Ki Tutur sambil menepuk-
nepuk pundak si Tawes.
"Keadaan dan gangguan tadi hanya sementara saja.
Tapi itupun dengan syarat bahwa kalian harus men-
dapat pengobatan dan latihan yang seksama. Jika ti-
dak, maka tidak mustahil bahwa sesuatu yang bersifat sementara akan betul-betul
berbahaya pada akhirnya."
"Kami bertiga mengucapkan terima kasih sebelum-
nya," sahut pendekar Ngurah Jelantik menyela pembi-
caraan tersebut. "Dengan senang hati kami akan me-
nerima uluran pertolongan Ki Tutur."
"Nah, nah. Senanglah hatiku, Nak. Anda bertiga ha-
rus membantu mengubur mayat ketiga rekanmu ini.
Marilah kita bekerja sekarang dan sesudah itu kita akan berjalan ke daerah
selatan, kembali ke rumah-
ku." Sebentar kemudian, Ki Tutur, Ngurah Jelantik,
Tawes dan Paria segera bekerja, menggali lubang yang cukup dalam untuk mengubur
mayat ketiga penjaga
yang telah tewas dalam pertempuran melawan Nyi
Durganti dan si Tangan Iblis.
Dengan khidmatnya, pendekar Ngurah Jelantik me-
nundukkan kepala, dengan berkomat-kamit mengu-
capkan doa sebagai pengiring penguburan ketiga rekannya tersebut, dan sebentar
itu pula selesailah sudah.
Perlahan sekali Ngurah Jelantik berdiri dan sekali lagi ia masih menatap kepada
gundukan tanah merah dengan perasaan penuh haru, sementara desiran angin
dini hari mengusap-usap wajah mereka bagaikan meng-
hibur hati-hati yang sedang susah.
"Marilah, Tuan-tuan. Kita masih akan berjalan agak
jauh ke selatan. Udara segar dini hari ini sangat menyehatkan. Karenanya,
hiruplah ia banyak-banyak ke
dalam paru-paru," ujar Ki Tutur sambil berjalan di sebelah depan melewati
lorong-lorong semak-semak pe-
pohonan seperti seolah-olah telah mengenalnya de-
ngan baik. Jauh di ufuk timur, tersembullah warna semburat
merah sebagai ujung dari fajar pagi yang bakal mendatang. Mereka terus berjalan
melewati panorama indah yang terpapar di sepanjang jalan.
"Apakah Ki Tutur pernah mendengar nama Nyi
Durganti dan Tangan Iblis?" bertanya pendekar Ngu-
rah Jelantik. "Sama sekali belum, Nak," jawab Ki Tutur sambil
memikir-mikir sesaat. "Mendengar namanya saja baru
kali ini. Namun yang terang saja keduanya adalah na-ma yang tidak baik."
"Memang demikian, Bapak."
"Jika demikian, pasti keduanya mempunyai kesak-
tian yang besar," sambung Ki Tutur dengan mende-
hem-dehem kecil. "Beruntung aku masih bisa menye-
lamatkan Anda dari keganasannya."
"Apakah Ki Tutur sudah lama tinggal di daerah ini?"
kembali Ngurah Jelantik bertanya kepada orang tua
yang berjalan di depannya.
"Benar, Nak. Kami sudah belasan tahun tinggal di
tanah terpencil ini. Selama itu kami hidup dengan ten-tramnya."
Pendekar Ngurah Jelantik menganggukkan kepala,
tapi ia tak berani bertanya lebih jauh lagi, sebab ia kuatir kalau-kalau hal ini
akan menimbulkan kegusaran kepada Ki Tutur. Kemudian, iapun mengalihkan
pembicaraannya setelah beberapa saat terhenti. "Masih
jauhkah tempat Andika, Bapak?"
"Sebentar lagi kita sampai di sana," sambung Ki Tu-
tur. "Nah, apakah Tuan melihat pohon beringin raksa-sa yang tumbuh di dekat
gundukan batu-batu hitam di sebelah selatan itu?"
Pendekar Ngurah Jelantik melayangkan panda-
ngannya jauh ke arah tersebut, dan tampaklah oleh-
nya pohon beringin yang sayup-sayup tersaput oleh
kabut pagi. "Aku dapat melihat beringin itu, Ki Tutur," demikian ujar pendekar Ngurah
Jelantik. "Aku dapat menebak,
bahwa tempat itu adalah tempat yang indah...."
"Heh, heh, heh, Angger telah berpikir sangat menda-
lam," sambut Ki Tutur. "Tapi tak ada salahnya. Me-
mang tempat tinggal kami terletak di dekat mata air yang bening dengan sebuah
pancuran yang gemericik."
"Ahh sungguhkah itu, Bapak?" berkata pula Ngurah
Jelantik. "Pastilah kami merasa senang!"
"Heh, heh, semogalah demikian. Kami harap Anda
bertiga akan kerasan tinggal di sana, sampai sembuh seperti sediakala."
"Terima kasih, Ki Tutur. Kami bertiga akan berse-
nang hati memenuhi permintaan Andika," ujar Ngurah
Jelantik. "Di tempat yang sedemikian tenang ini, pastilah kami dapat berlatih
dan memulihkan kesehatan
dengan saksama."
"Pasti. Pasti," sambung Ki Tutur. "Banyak sekali
hal-hal yang patut Angger ketahui. Aku yang sudah
tua ini bersedia memberi petunjuk-petunjuk kepada
Angger." Demikianlah, mereka asyik bercakap-cakap di se-
panjang perjalanan. Dan ini membuat mereka terhibur dari rasa lelah. Tanpa
terasa, mereka makin mendekati pohon beringin tua yang ditunjuk oleh Ki Tutur
semula, dan makin jelaslah tampaknya betapa cabang-
cabang dan sulur-sulur beringin tersebut menjorok ke segenap arah, bagaikan
puluhan ujung jari-jari yang siap memberi perlindungan kepada siapapun dari
bahaya. Yang pertama-tama mendesis kagum adalah si pen-
dekar Ngurah Jelantik, lalu menyusul Tawes dan Paria, sebab mata mereka telah
menatap satu panorama alam
yang amat indahnya. Gundukan batu-batu hitam yang
setinggi gajah itu berdampingan dengan beringin tua.
Sedang di celah-celah lekukan batu tadi, menggeme-
ricik air jernih yang tercurah ke bawah, dan jatuhlah ke dalam cekungan kolam
batu yang bermata air.
Dari kolam batu tadi mengalirlah perlahan-lahan air jernih ke arah selatan
melewati parit kecil yang berbe-lok-belok mengikuti irama permukaan tanah dan
ton- jolan-tonjolan batu. Di dekatnya, terdapat pula sebuah rumah-rumah sesaji yang
kecil, terbuat dari pahatan batu. Kemudian, di sebelah mata air agak jauh
sedikit, berdirilah pondok kecil yang sederhana, tapi cukup indah dan serasi.
Bermacam-macam bunga bermekaran
tumbuh menghiasi halaman pondok Ki Tutur tadi. Ma-
ka terjelmalah suasana keindahan yang sungguh men-
cengkam hati. Beberapa pohon-pohon besar yang tumbuh pula di
sekitar pondok itu, penuh dihiasi oleh benda-benda
bulat berwarna coklat abu-abu, laksana buah-buahan
yang bergantungan pada cabang-cabangnya. Inilah
yang tidak kalah mengherankan buat Ngurah Jelantik
bertiga. Mula-mula sekali mereka merasa asing dengan
benda-benda bulat tersebut, namun ketika lebih dekat lagi, barulah mereka tahu
bahwa benda-benda bulat
tadi adalah sarang-sarang lebah! Seketika dada Ngu-
rah Jelantik berdebar-debar keras, sebab sesungguh-
nya ia telah mengenal kehebatan lebah-lebah putih
piaraan si kakek dan cucu gadisnya. Apabila mereka
berlima telah tiba di halaman pondok Ki Tutur, terdengarlah bunyi bergetar dan
berdengung dari arah po-
hon-pohon, di mana bergantungan sarang-sarang le-
bah putih. "Ehh, jadi, di sinilah lebah itu berdiam"!" ujar Ngurah Jelantik dengan
takjubnya. "Betul, Angger. Di sinilah mereka tinggal dan aku
ternakkan," sahut Ki Tutur. "Dari lebah-lebah itu kami memperoleh madu dan bisa
yang sangat berguna bagi
ilmu pengobatan. Sedang mereka, mendapat makan
dari madu bunga-bungaan." Begitu Ki Tutur berkata
menjelaskan tentang lebah-lebah putih piaraannya.
"Maaf, Kakek," sela si Tunjung ikut berbicara. "Ta-
won-tawon putih kita telah lama menunggu. Kita harus memberinya hadiah."
"Hmm, kau memang benar, Tunjung," jawab Ki Tu-
tur seraya mengangkat sepotong ruas bambu besar
bersumbat yang tergantung di pundaknya dengan seu-
tas tali. "Nah, terimalah tabung bambu ini, dan berilah mereka hadiah. Biarlah
mereka menyambut kita."
"Baik, Kakek," ujar si Tunjung serta menerima ta-
bung ruas bambu bersumbat dari tangan kakeknya,
kemudian mundur beberapa langkah sambil bersiul
nyaring ke udara.
Pohon-pohon di mana bergantungan sarang-sarang
lebah tadi, serentak tergetar oleh bunyi siulan dari mulut si Tunjung. Seperti
hendak roboh, segenap dedaunan bergetar akibat lebah-lebah pada keluar dari
sarang serta menggerakkan sayap-sayapnya sambil me-
ngeluarkan bunyi berdengung yang membisingkan.
Sesudah Tunjung membuka sumbat tabung bambu
tadi, tiba-tiba terhamburlah bau sedap dan manis, dan sesaat kemudian
meluncurlah satu persatu lebah putih dari pohon-pohon untuk kemudian mencucup
cai- ran sari bunga dan buah yang tersedia di dalam ta-
bung ruas bambu tersebut. Selesai itu, para lebah kemudian terbang kembali ke
atas untuk selanjutnya
hinggap di tempat semula, di atas daun-daun ataupun sarang-sarang mereka.
Sementara itu, Ngurah Jelantik, si Tawes dan Paria
tak habis heran dan kagumnya melihat pemandangan
di depannya. Mereka tak mengira bahwa lebah-lebah
berbisa itu dapat dijinakkan serta digembalakan seperti halnya binatang ternak
sapi, kambing dan lainnya.
Akhirnya Ki Tutur mempersilakan ketiga tamunya
masuk ke dalam pondok. "Mari, Angger Ngurah Jelan-
tik dan Angger berdua. Silakan beristirahat di dalam pondokku ini. Anggaplah
seperti dalam rumah sendiri."
Ki Tutur membuka pintu dan sebentar kemudian
mereka berempat telah duduk di ruang depan bera-
laskan tikar anyaman pandan.
Ternyata ruangan pondok Ki Tutur ini tersusun
dengan rapinya. Sebuah rak bambu dengan susunan
kitab-kitab lontar dan beberapa patung-patung pe-
runggu yang berukuran kecil, tersusun di sebelah ki-
tab-kitab, tadi merupakan satu kesatuan susunan
yang amat indah.
Pada dinding bambu tergantung pula beberapa sen-
jata, seperti keris, pedang dan mata tombak bertangkai pendek. Maka melihat ini
semua, Ngurah Jelantik
menjadi heran sampai ia berkata-kata sendiri di dalam hatinya, "Ki Tutur ini
tidak pernah membawa senjata, tapi di dinding rumahnya terpasang beberapa
senjata yang tentunya bukan sekadar hiasan kosong. Dengan
demikian, aku bisa menduga bahwa meskipun tidak
membawa senjata pastilah si Kakek Tutur ini memiliki kepandaian menggunakan
senjata." Selama itu rupanya si Tunjung telah menyiapkan
cawan dan mangkuk-mangkuk serta selodong minu-
man tuak di samping sepinggan juadah ketan.
Ketika itu telah dihidangkan, Ki Tutur segera mena-
warkan kepada para tetamunya, "Marilah, Angger.
Nikmatilah sekadar hidangan ini. Cukup cocok untuk
udara sepagi ini."
"Terima kasih, Ki Tutur," serentak pendekar Ngurah
Jelantik bertiga menghaturkan kesenangan hatinya
dan hidangan tadi disambutnya seraya berkata kemba-
li, "Janganlah kami terlalu direpotkan, Ki Tutur. Biarlah kami bertiga
menyesuaikan diri dengan keadaan
dan alam di tempat ini, dengan demikian akan terjalin-lah keserasian."
"Aah, syukurlah, Angger. He, he, he. Dengan begitu
aku tak malu-malu menghidangkan masakan yang se-
derhana. Maklumlah kita tinggal di tengah hutan. Sedang untuk sebongkah garam,
kadang-kadang kita
terpaksa mencarinya ke desa-desa dan menukarnya
dengan selodong madu lebah."
Pondok Ki Tutur yang selama itu bisu dan penuh
suasana kesepian, kini seolah-olah telah hidup dengan suara tawa dan percakapan-
percakapan meriah yang
mengasyikkan. Akan tetapi tidak semuanya ikut bergairah dengan
keramaian di pondok Ki Tutur tadi. Sebab bila diperhatikan di antara celah
dedaunan pakis di sebelah selatan pohon, tampaklah sesosok bayangan manusia ber-
mata tajam, mengawasi pondok tadi.
"Hmm, kurang ajar!" gerundal si pengintai tadi se-
raya menggertakkan giginya. "Si tua bangka itu me-
nerima beberapa tamu di pondoknya. Ini berarti peker-jaanku akan mendapat
kesulitan!"
Si pengintai ini berperawakan sedang, berpakaian
bersih dan licin serta mentereng yang membalut tu-
buhnya, merupakan pakaian orang-orang kaya. Ia be-
rumur kira-kira setengah abad, namun wajahnya ma-
sih tetap tampan, sehingga orang yang belum kenal
akan dia, pastilah tidak akan percaya bila ia sudah be-rumur separuh abad.
"Hmm, biarlah akan tetamu itu! Bagaimanapun ju-
ga aku harus mendapatkan sasaranku yang telah lama
aku cita-citakan setiap saat!" demikian si wajah licin ini menggerundal lalu
memutar tubuh. "Akan kutung-gu sampai tiba kesempatan yang baik!"
Habis berkomat-kamit begitu, si wajah licin lalu
menggenjotkan kakinya ke tanah disusul tubuhnya
melesat tinggi ke arah selatan, laksana seekor belalang yang menjauhi bahaya.
Sebentar saja tubuh si pengintai tadi telah lenyap di balik pepohonan rindang,
lenyap seperti sekilas bayangan yang lewat dengan ce-
patnya. Orang pasti akan terpukau kagum bila melihat si
wajah licin tadi ketika melesat dan pasti akan ber-
tanya-tanya, siapakah gerakan si pengintai ini" Yang terang saja pastilah ia
memiliki kesaktian yang tinggi!
Sedang orang-orang yang berada di dalam pondok Ki
Tutur tadi, tak satupun yang mengetahui perihal si
pengintai yang baru saja kabur itu. Mereka masih
asyik bercakap-cakap dan minum-minum di ruang de-
pan, sementara di luar sinar pagi mulai muncul dari balik dedaunan di sebelah


Pendekar Naga Geni 20 Berakhir Di Ujung Fajar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

timur. *** 4 TIGA KEPALA MANUSIA tampak sebatas leher pada
permukaan kolam dari sebuah mata air yang jernih
dan sejuk bagaikan tiga bola yang sebentar-sebentar bergerak. Mereka tidak lain
adalah pendekar Ngurah
Jelantik, Tawes, dan Paria. Agak jauh dari tepi kolam, duduklah Ki Tutur di atas
bongkah batu hitam. Di dekatnya, duduk pula si Tunjung di atas batu yang lebih
kecil. Sebentar-sebentar Ki Tutur mengawasi ketiga ta-
munya tadi dengan wajah agak tegang, tapi sebentar
waktu pula ia tersenyum-senyum.
Rupanya si Tunjungpun mempunyai perasaan yang
sama dalam mengamat-amati ketiga murid baru ka-
keknya. Hatinya sudah barang tentu berdebar-debar,
sebab ia telah mengetahui bahwa air kolam itu dinginnya luar biasa, apalagi
dalam waktu yang masih pagi ataupun waktu sore menjelang senja.
Air kolam itu begitu dinginnya, seolah-olah mampu
membekukan tubuh dan tulang-belulang yang teren-
dam olehnya. Si Tunjung merasa bimbang, apakah
Ngurah Jelantik, Tawes dan Paria mampu mengatasi
rasa dingin tadi"
Hari masih terlalu pagi ketika Ki Tutur dan Tunjung menyaksikan pendekar Ngurah
Jelantik bertiga, berendam diri di dalam kolam tadi. Entah sudah berapa lama
ketiganya melatih diri, menanggulangi rasa di-
ngin yang menusuk tulang itu. Kini telah terlihat, bahwa wajah si Paria dan
Tawes sebentar-sebentar me-
ngerut sambil mulutnya mengeluarkan desisan terta-
han. Sedang Ngurah Jelantik masih tetap bersikap tenang tanpa memperlihatkan
perubahan-perubahan
dan kesan-kesan wajah seperti halnya si Tawes dan
Paria. Beberapa saat kemudian, makin tampak bahwa si
Tawes dan Paria menunjukkan kegelisahan serta suara desisan sebagai curahan rasa
yang menahan kedinginan yang rasanya makin membekukan tubuhnya. Me-
reka merasa seolah-olah darahnya telah terhenti mengalir dari jantungnya.
"Brrr ... tobat!" seru si Tawes seraya melesat keluar dari kolam air itu dengan
sikap yang menimbulkan ketawa, tak ubahnya gerakan seekor katak.
Sudah barang tentu Paria sangat kagetnya, dan
perbuatan Tawes tadi dengan cepat menjalar ke dalam nalurinya. Maka, begitu
Tawes telah keluar dari kolam, Pariapun lalu memekik sambil meloncat keluar
meninggalkan kolam air dingin. "Waaw... dingiinn... hiih!"
Ki Tutur dan Tunjung terkejut pula melihat hal ini.
Tapi sesaat kemudian mereka berdua tertawa geli
sambil kemudian Ki Tutur berseru, "Jangan berkecil
hati, Angger Tawes dan Paria. Meski Andika berdua telah keluar lebih dahulu dari
kolam itu, namun kalian telah cukup lama bertahan dalam air dingin tersebut.
Itu berarti bahwa kalian telah memiliki keunggulan."
Tawes dan Paria mengangguk, walaupun mereka
agak kecewa. Tetapi mereka yakin bahwa kata-kata Ki Tutur tadi bukanlah sekadar
kata-kata penghibur hati belaka. Dengan demikian Tawes dan Paria menjadi le-ga.
Yang menjadi perhatian mereka sekarang ialah
pendekar Ngurah Jelantik yang sampai saat ini masih
terus bertahan merendamkan diri di dalam air. Bagi
Tawes dan Paria, hal ini sudah dimaklumi olehnya.
Bukankah Ngurah Jelantik adalah pendekar Kerajaan
Singaraja yang telah terkenal dan terpilih untuk tugas-tugas berat" Sehingga
sudah sepatutnya bila Ngurah
Jelantik memiliki keunggulan di atas diri mereka berdua.
Ki Tutur tak lepas pula perhatiannya dari Ngurah
Jelantik yang mampu bertahan dalam menanggulangi
rasa dingin. Diam-diam Ki Tutur memberi pujian di dalam hatinya. "Hhh, Angger
Jelantik banyak mengalami kemajuan di dalam dirinya. Mudah-mudahan saja
Seruling Perak Sepasang Walet 5 Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Sian Ku Po Kiam Karya Khu Lung Pendekar Naga Mas 8
^