Tragedi Di Tengah Kabut 2
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut Bagian 2
pada tangan kiri dan kanan Putu Tantri, dan karena-
nya, para pengepung tadi terkekeh-kekeh geli melihat sikap tersebut.
"Ha, ha, ha, ha. Kau akan menari, bocah ayu"!" se-
ru Dregil yang suka memandang remeh kepada setiap
orang yang menjadi lawannya.
Tetapi alangkah kagetnya kemudian, sebelum Dregil
melanjutkan kata-katanya, mendadak saja Putu Tantri telah mengibaskan kipasnya
ke depan yang mengembang terbuka dengan bunyi menjetar! Bersamaan itu pula
menyambarlah angin dingin menampar ke depan
Dregil dengan santernya.
"Huh!" desis si Dregil sambil nyungir-nyungir meng-
atasi rasa kagetnya. "Jadi kau mampu pula untuk me-
layani tombakku ini" Baiklah, kau boleh main-main
dengan kipasmu beberapa jurus, tapi setelah itu kau akan kuringkus dalam
pelukanku. Heh, heh, heh!"
Bagaimanapun juga, pendekar Ngurah Jelantik
yang mengikuti peristiwa ini dari tempat persembunyiannya, menjadi kian
tertarik. Arje sudah semakin penasaran menghadapi Ki Su-
kerte yang menggunakan sapu lidi bertangkai sebagai senjata. Rasanya memang
sangat aneh hal itu jika dipikirkan oleh si Arje yang bersenjata pedang dan kini
berputar secepat kitiran mencecar ke arah Ki Sukerte.
Terpaksa Arje berpikir keras untuk ini. Berkali-kali sudah, ia terpaksa
menghindari sodokan-sodokan sapu
lidi yang berujung runcing dan tajam dari lawannya.
Bahkan ia menjadi semakin marah ketika diketahuinya bahwa Ki Sukerte pandai pula
bertempur menghadapi
serangan pedangnya.
Makin bertambah hebat pertempuran tersebut, apa-
bila kawan-kawan Arje dan Dregil telah menerjang pula ke arah Ki Sukerte dan
Putu Tantri. "Maaf, Tuan-tuan," seru Ki Sukerte sambil bertem-
pur. "Sapu lidiku ini biasa untuk menyapu sampah-
sampah kotoran, tapi sekarang terpaksa kugunakan
untuk menghadapi Tuan-tuan sekalian. Sekali lagi harap dimaafkan!"
"Keparat!" sumpah si Arje mendengar ejekan lawan-
nya yang telah menyamakan dirinya dengan sampah
kotoran. "Kau harus mati sekarang!"
Beberapa saat telah berlalu. Kelihatannya Ki Su-
kerte dan anak gadisnya agak kerepotan menghadapi
keroyokan anak buah Tangan Iblis yang telah makan
gemblengan ini. Meskipun senjata sapu lidi Ki Sukerte berhasil melukai salah
seorang di antara pengeroyoknya, tetapi sama sekali tidak memperingan tekanan
dari pihak lawan.
Dalam pada itu, sepasang kipas perak di tangan Pu-
tu Tantri berkilatan menyambar-nyambar kesana-
kemari dengan dahsyatnya dan jaranglah dari lawan-
lawannya yang langsung berani membentur dengan
senjata mereka. Namun agak sayang bahwa jurus-
jurus yang digunakan oleh Putu Tantri terasa kurang sempurna.
Ngurah Jelantik yang masih saja sembunyi, hampir-
hampir meloncat untuk membantu Ki Sukerte berdua.
Tapi mendadak saja terdengarlah jeritan mencicit yang sangat kerasnya mengiringi
berkelebatannya bayangan manusia yang meloncat dari semak-semak bagaikan
keluar dari liang persembunyiannya.
Mereka yang sibuk bertempur, seketika terhenti se-
jenak dengan kemunculan tokoh ini. Rasa kaget ber-
campur pukau menyebabkan mereka tidak dapat ber-
kata-kata untuk beberapa saat lamanya. Bahkan me-
reka mundur beberapa langkah ke belakang, ketika tokoh manusia tadi meloncat ke
tengah arena pertempu-
ran. Dengan demikian, arena tadi seakan-akan terpisah
menjadi dua bagian. Yang sebelah adalah pihak Arje, Dregil, dan kawan-kawannya,
sedang di sebelah lain
berdirilah Ki Sukerte dan Putu Tantri.
Perawakan tokoh yang baru muncul ini agak pen-
dek, namun tegap dan agak bundar pula. Wajahnya ti-
dak tampak bengis, tapi dari sinar matanya yang sipit terbayanglah sifat
kelicikan dan penuh siasat. Ia memakai kain berbunga-bunga coklat dan celana
hitam, tanpa baju. Sedang kulit tubuhnya kehitaman, berbu-
lu-bulu panjang. Yang agak lucu adalah kumis orang
tersebut. Cuma beberapa lembar, panjang-panjang dan kaku. Dihubungkan dengan
gigi depannya yang besar-besar dan selalu meringis, tidaklah bisa disalahkan ji-
ka orang menyamakan wajah tadi dengan wajah seekor
tikus hutan. "Cih! Cih! Cih! Kalian membuat onar di sini, kepa-
rat!" ujar manusia bulat pendek tadi seraya menunjuk ke pihak Arje dan Dregil.
"Kalian mencoba merampas
barang-barang milik orang berdua ini, ha"!"
"Persetan! Ini urusan kami! Apa pula kepentingan-
mu, sampai kau berani turut campur! Apakah kau be-
lum tahu bahwa kami adalah anak buah si Tangan Ib-
lis"!" teriak Dregil sangat marah.
"Tangan Iblis?" ulang manusia bulat pendek seraya
berpikir-pikir sebentar. "Cih! Aku tak kenal namanya!
Tidak peduli si Tangan Iblis atau si Tangan Gendruwo, aku tidak takut karenanya.
Sebab bagi Bagus Wirog tidak ada yang perlu ditakuti, tahu"! Kalau kalian ingin
tahu kepentinganku, barang-barang milik kedua orang inilah yang sejak tadi telah
kuincar!" "Kurang ajar! Jadi kita mempunyai maksud yang
sama, sobat!" seru Dregil. "Kau boleh merampasnya bi-la telah mengalahkan kami
terlebih dahulu!"
"Eee, jadi terangnya kalian menantangku, ya"!" ber-
teriak Bagus Wirog serta mencabut dua buah cambuk
pendek berwarna hitam mengkilat dari ikat pinggang-
nya. Dengan anyamannya yang beruas-ruas, maka
cambuk tadi miriplah dengan dua buah ekor tikus
yang telah terpotong.
Mendengar kesombongan lawannya yang cuma seo-
rang diri, Dregil menggeretukkan giginya. Segera ia berkata kepada kawannya,
"Kakang Arje, biar aku pecahkan kepala si Bagus Wirog ini bersama kawan-
kawan. Kau jagalah Ki Sukerte berdua, supaya jangan lepas sebagai buruan kita!"
"Bagus, Adi Dregil. Cepatlah bertindak!" seru Arje, bersamaan Dregil telah
menerjang ke arah lawan disertai beberapa kawannya.
Bagai macan-macan kelaparan, mereka melesat ke
depan dan senjata-senjata di tangannya berkelebat menyambar kepala Bagus Wirog.
Akan tetapi lawan mere-
ka yang bulat pendek bergigi tikus ini tidak lekas menjadi gentar oleh serangan
membadai tadi. Bagus Wirog ternyata bukan lawan yang dapat di-
duga kekuatannya. Biasanya seorang yang diserang
seperti itu pasti akan menghindar ataupun jika ia
orang yang tangguh, pastilah akan bersiaga menang-
kisnya dengan segala pengerahan tenaga. Namun ti-
daklah begitu dengan Bagus Wirog ini. Begitu senjata-senjata lawan beramai-ramai
menghujan ke arah diri-
nya, ia cepat berjongkok dan memutar kedua cambuk
pendeknya di atas kepala.
Plak! Plaak! Plaak! Taarrr!
Seketika itu juga Dregil dan kawan-kawannya men-
jerit kaget, sebab senjata-senjata mereka seolah-olah telah menerjang bantalan
karet. Itulah tangkisan Bagus Wirog.
Dengan begitu maka Dregil dan kawan-kawannya
terpental surut beberapa langkah dengan tangan ke-
semutan, sedang Bagus Wirog sendiri cuma terkekeh-
kekeh kegelian, masih dalam sikap jongkok.
Untuk jurus tangkisan yang hebat tadi, diam-diam
Ngurah Jelantik mengangguk-angguk kagum dari tem-
pat persembunyiannya.
"Siapakah tokoh yang menamakan dirinya Bagus
Wirog itu?" demikian pikir Ngurah Jelantik.
Dregil menjadi penasaran dan hampir tidak percaya,
bahwa senjata-senjata mereka tidak mampu menem-
bus putaran cambuk pendek dari Bagus Wirog. Maka
Dregil meloncat kembali sambil menyapukan mata
tombaknya ke arah Bagus Wirog lalu disusul pula de-
ngan serangan kawan-kawannya berbareng. Dengan
demikian maka pertempuran hebat berlangsung kem-
bali di tengah hutan yang lebat dan berkabut tipis.
Dalam pada itu, Arje dan tiga orang kawan-ka-
wannya masih terus menjaga kedua lawannya, yakni
Ki Sukerte dan Putu Tantri. Namun sampai sejauh ini mereka tidak berbuat apa-
apa, sebab perhatian mereka sama-sama tertarik ke arah pertempuran dahsyat
antara Bagus Wirog melawan Dregil dan kawan-kawannya.
Sinar matahari yang sangat terik dan panas itu ru-
panya telah mulai menghangatkan dasar hutan dan
permukaan tanahnya, sehingga uap air beramai-ramai
melayang ke atas, merupakan kabut tipis yang mene-
rawang bagai sutera.
Bagus Wirog sungguh menakjubkan gerakannya.
Cepat dan cekatan menerobos serangan lawannya ke-
sana-kemari, sementara kedua cambuk pendek hitam
di tangannya berkali-kali mematuk ke arah pertahanan lawan yang kosong dan
lengah. Sekali-kali ia bergulingan di tanah untuk kemudian meloncat ke atas de-
ngan lincah, bagaikan seekor tikus menerkam lawan-
nya. Kini Dregil dan kawan-kawannya mulai mengucur-
kan keringat dingin setelah berkali-kali senjata-senjata mereka gagal menyentuh
tubuh Bagus Wirog. Sedang
sebaliknya, lawannya yang bertubuh bulat pendek ini kelihatan semakin segar
saja. Bahkan sekarang cambuk pendeknya bertambah ganas.
Pada jurus berikutnya, mendadak saja Bagus Wirog
melenting ke atas dan tiba-tiba cambuk kirinya melecut kepala salah seorang
kawan Dregil, sedang cambuk kanannya menghajar tangan seorang lawannya yang
lain. "Waaarrgh!"
Semuanya terkejut ketika dua jeritan berbareng
mengumandang memasuki udara, disusul dengan dua
tubuh kawan Dregil terjungkal roboh dalam keadaan
kepala retak dan yang seorang tangannya patah!
Keruan saja Dregil dan kawan-kawannya yang ma-
sih tinggal menjadi ngeri juga melihat kedua kawannya roboh dalam keadaan
mengerikan. Sehingga kemudian
mereka terdesak oleh terjangan-terjangan cambuk Ba-
gus Wirog yang datang laksana prahara.
Melihat hal itu, Arje tidak mau tinggal diam menon-
ton kawan-kawannya semakin terdesak. Maka secepat
kilat ia melesat dan langsung menerjang Bagus Wirog dengan tebasan-tebasan
pedangnya yang dilambari
oleh segenap kekuatan dan kemarahan.
Meskipun Dregil telah dibantu oleh Arje dan kawan-
kawan lainnya, namun Bagus Wirog sama sekali tidak
terpengaruh olehnya. Tambahan tenaga Arje tadi seo-
lah-olah cuma tuangan setetes air ke dalam laut tanpa memberi pengaruh dan
perubahan suasana.
Terpaksalah mereka mengakui akan kelebihan Ba-
gus Wirog ini dan mati-matian mempertahankan diri.
Inilah yang benar-benar di luar dugaan. Kalau semula mereka berada di pihak
penyerang, kini berbalik sebagai pihak yang diserang.
"Cih! Cih! Cih! Lekaslah minggat dari sini!" seru Wirog sambil meloncat kesana-
kemari tanpa memberi ke-
sempatan lowong kepada lawan-lawannya untuk seka-
dar bernafas lega.
*** Ngurah Jelantik berdebar-debar pula menyaksikan
pertempuran itu. Iapun bertanya-tanya dalam hati,
apakah sanggup kiranya jika suatu saat ia menolong
Ki Sukerte dan Putu Tantri serta menghadapi Bagus
Wirog ini"!
Arje, Dregil, dan para pengikutnya semakin terdesak lebih hebat lagi. Dapatlah
dipastikan, bahwa mereka
akan berantakan untuk lima jurus kemudian.
"Hih, hi. Hi. Masih belum mau lari" Apakah kalian
menunggu sampai kedua cambukku ini memecahkan
batok-batok kepalamu"!" seru Bagus Wirog, sementara kedua cambuknya terus
beraksi. Dalam saat yang demikian kritisnya, sekonyong-
konyong dua buah sinar menyambar tubuh Bagus Wi-
rog dari balik semak belukar. Untunglah si tokoh bulat pendek ini cepat
melenting ke udara dan dua buah pisau runcing menghunjam ke dalam batang pohon
di sebelahnya. Bagus Wirog kemudian mendarat kembali di tanah
dan mulutnya komat-kamit mengumpat, "Keparat!
Siapa main gila-gilaan ini"! Hayo lekas ke luar, menunjukkan batang hidungmu,
supaya dapat kupecahkan
sekali!" Iapun tertegun, ketika sebagai jawaban kata-kata-
nya, muncullah seorang berperawakan gagah dari ba-
lik semak-semak, melangkah ke tengah arena pertem-
puran dengan tenangnya.
"Kakang Jimbaran!" seru Dregil dan Arje dalam sua-
ra gembira dan penuh harapan. "Si wajah tikus ini telah mengganggu kami!"
"Jangan cemas! Akupun ingin mencoba kekuatan-
nya!" kata Jimbaran sambil melesat dengan gerakan
tiba-tiba, sedang kakinya telah melancarkan tendan-
gan hebat yang sukar diikuti mata!
Buuk! Paha Bagus Wirog tanpa ampun terhajar oleh ten-
dangan Jimbaran, sehingga tubuhnya terguling dan
menggelinding seperti bola. Tetapi sungguh di luar dugaan, ketika kemudian tubuh
Bagus Wirog melenting
balik dan menerjang ke arah Jimbaran dalam kecepa-
tan tinggi, sampai lawan-lawannya kebingungan untuk sesaat.
Plaakk! Pundak Jimbaran ganti terkena tendangan kaki Ba-
gus Wirog sampai tubuhnya terguncang dan jatuh ter-
duduk. Arje, Dregil, dan kawan-kawannya tercekat melihat
kejadian tadi. Berbareng mereka menerjang ke arah
Bagus Wirog dan sesaat kemudian, Jimbaran setelah
bangkit ikut pula mengurung si tokoh bulat pendek
itu. Ki Sukerte dan Putu Tantri masih saja berdiri terce-nung mengawasi
pertempuran tadi. Kalau mereka mau
lari, sebenarnya mudah saja, meskipun dijaga oleh tiga orang anak buah Dregil.
Hanya saja mereka memang
sengaja untuk masih tinggal di situ sambil menyaksikan pertempuran dan jurus-
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurus yang digunakan oleh pihak Jimbaran dan pihak Bagus Wirog.
Tampaklah bahwa Jimbaran dan kawan-kawannya
mengamuk. Mereka bertempur menggunakan jurus be-
rantai yang menghantam lawan dengan gerakan ter-
atur dan sambung-menyambung tanpa ada saat yang
lowong sedikitpun. Kini angin kemenangan ganti ber-
pihak pada Jimbaran dan kawan-kawannya. Keme-
nangan yang semula hampir diperoleh si Bagus Wirog, menjadi buyar dengan
datangnya Jimbaran di pihak
lawan. Agaknya masih beruntunglah buat Bagus Wirog,
karena dimilikinya kegesitan yang luar biasa. Sehingga kendati dirinya telah
terdesak, masih saja ia mampu meloloskan diri dari sentuhan senjata-senjata
lawannya. "Celaka! Aku makin terdesak!" desis Bagus Wirog
bersungut-sungut gelisah. "Ketiga lawanku yang uta-
ma ini, memiliki tenaga gabungan yang luar biasa.
Sangat sulit untuk memecahkan tenaga mereka seo-
rang diri. Untuk laripun rasanya sangat sukar! Mereka
telah mengepungku dari segenap arah, tak ubahnya
satu lingkaran mata rantai baja! Hmm, biar kucoba
untuk beberapa saat lagi!"
Dari tempat persembunyiannya, Ngurah Jelantik se-
perti terpukau menyaksikan pertempuran tadi. Mata-
nya terus saja melotot, sebab ia memang merasa
sayang untuk berkedip sebentar saja dan melewatkan
adegan-adegan di depannya. Jurus-jurus yang diguna-
kan oleh Bagus Wirog sungguh menarik hatinya, serta diam-diam ia mencatat di
dalam otaknya yang cerdas.
Bagus Wirog yang semula berusaha mengatasi te-
kanan dari pihak lawannya, ternyata tidak berhasil
dengan baik. Malahan hampir-hampir saja pedang
Jimbaran sempat membacok kepalanya, jika ia tidak
lekas-lekas membuang diri ke samping serta berguli-
ngan di tanah. Tampaklah Bagus Wirog terengah-engah dengan
mulut menyeringai, hingga giginya yang besar-besar
menonjol keluar tak ubahnya sikap seekor tikus yang ketakutan karena kalah
berkelahi dan menanti ajal-nya.
Melihat itu, Jimbaran dan kawan-kawannya telah
bersiap melancarkan serangan terakhir yang pasti
mematikan. Dengan langkah perlahan mereka mende-
kati Bagus Wirog, sementara senjata-senjata di ta-
ngannya gemerlapan oleh sinar matahari.
Baik Ngurah Jelantik maupun Ki Sukerte dan Putu
Tantri sama tergetar hatinya melihat adegan yang tegang itu. Meskipun Bagus
Wirog dan pihak Jimbaran
semula sama-sama bermaksud jahat, merampas ba-
rang-barang Ki Sukerte, namun kini keadaan Bagus
Wirog benar-benar memilukan dan patut dikasihani.
Mendadak saja, si tokoh bulat pendek itu mendo-
ngakkan kepalanya ke atas dan mengeluarkan jeritan
panjang mencicit yang seketika memenuhi udara di
tengah hutan dengan menggetarkan dada siapa saja.
Jeritan tadi lebih mirip jeritan seekor tikus daripada jeritan seorang manusia.
Karenanya, tidak mengherankan bila Ki Sukerte berdua, Ngurah Jelantik, maupun
Jimbaran beserta anak buahnya hampir-hampir tidak
bisa mempercayai bahwa jeritan tadi keluar dari mulut Bagus Wirog, si manusia
bulat pendek. Berbareng selesainya kumandang dan gema jeritan
mencicit dari Bagus Wirog tadi, terdengarlah suara
gemeresak daun semak belukar dan rerumputan di sebelah timur mereka, seolah-olah
bunyi injakkan kaki berpuluh-puluh banyaknya.
Suara berderak dan gemerisik tadi makin dekat dan
sesaat kemudian terlihatlah satu pemandangan yang
membuat Jimbaran serta semua orang yang berada di
tempat itu mengeluarkan jeritan tertahan. Sebab dari sela dedaunan dan rumput-
rumput muncullah belasan
ekor tikus hutan yang besar-besar, berbulu hitam ke-coklatan dan bergigi tajam.
Dari gerakannya yang gesit dan mulutnya yang menyeringai mengeluarkan liur,
dapatlah diketahui bahwa puluhan tikus tadi sangat
liar. Namun mengherankan pula, ketika binatang-bina-
tang pengerat ini berhenti dan menggerombol di sam-
ping dan di belakang Bagus Wirog sambil mencicit-
cicit, menciumi kakinya seakan-akan memeriksa kaki
Bagus Wirog mengalami cedera atau tidak.
Siapakah tidak mengkirik dan berdiri bulu teng-
kuknya melihat pemandangan yang ganjil dan me-
nyeramkan ini" Bagus Wirog yang berdiri tegap di sekitar puluhan tikus-tikus
hutan ini tak ubahnya raja da-ri para tikus liar tersebut. Apalagi wajahnya yang
agak mirip-mirip tikus itu menyebabkan keganjilan tersebut benar-benar mencekam
perasaan orang-orang yang berada di sekeliling tempat tersebut.
Terlebih-lebih bagi Jimbaran dan anak buahnya
yang semula mengepung rapat-rapat terhadap Bagus
Wirog, kini dengan sendirinya mundur-mundur ke be-
lakang dengan hati kecut.
Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, tiba-
tiba saja Bagus Wirog telah mencicit keras sambil menunjukkan jarinya ke arah
Jimbaran dan anak buah-
nya. Maka seketika itu juga, puluhan tikus hutan yang bergerombol di sekitar
Bagus Wirog menyerbu berloncatan, meluruk bagai air bah, ke arah mereka dengan
suara bergemuruh dan mencicit-cicit.
Seorang anak buah Jimbaran yang berdiri paling
depan mencoba untuk menebaskan pedangnya, tapi
binatang-binatang pengerat yang liar ini lebih cepat menyerangnya.
"Awas, Ktut!" teriak teman-temannya.
Tapi terlambat! Dalam sekejap mata, pada tubuh
orang itu telah bergayutan puluhan ekor tikus yang
mencercah badannya dengan gigi-gigi tajam dan beker-ja cepat.
"Tikus-tikus keparat! Pergi! Pergiii!" teriak histeris terdengar dari mulut si
Ktut yang sejurus kemudian telah terguling roboh di tanah.
Sambil bergulingan tadi, si Ktut berusaha mengi-
bas-ibaskan tangan dan kakinya yang kini telah meng-hitam karena hampir-hampir
tertutup oleh tubuh-
tubuh tikus hutan yang mengeroyoknya.
Putu Tantri yang melihat kejadian ini, mendekap
erat-erat ayahnya, Ki Sukerte. Hampir saja gadis ini pingsan karena tak tahan
melihat adegan yang ngeri
dan menyeramkan tadi.
"Aaakh! Tolong! Tolooongng! Aduuh... sakit., sakiiit!"
Jerit kesakitan dan parau terdengar dari mulut si Ktut yang masih berusaha
berkutat melepaskan tikus-tikus yang kini telah mulai menggerogoti tubuhnya,
sehingga darahpun bercucuran membasahi tubuh dan tanah di
sekitarnya. Ternyata bau darah segar dan amis itu sangat me-
narik selera tikus-tikus lain yang belum ikut mengeroyok tubuh si Ktut, sehingga
dengan cepat mereka beramai-ramai menyerbu ke tubuh manusia yang telah
tidak berdaya dan kini berkelojotan di tanah setengah mati.
Boleh dikatakan semua mata terpukau menghadapi
adegan yang paling mengerikan yang belum pernah
terjadi selama hidup mereka. Apalagi kini mereka menyaksikan dengan mata kepala
sendiri. Sedang Ngurah Jelantik yang sedari tadi masih saja
terpukau di tempat persembunyiannya, seperti tidak
mau percaya untuk meyakini bagaimana puluhan ti-
kus liar bisa diperintah oleh seorang manusia, dan berani menyerang manusia
pula! Tapi pertanyaan ini
memang tak pernah bisa terjawab manakala perhatian
tertumpah pada adegan yang mengerikan ini. Si kor-
ban sudah tak mampu berbuat apa-apa dan sesaat
kemudian ia masih berusaha merangkak, tapi toh ak-
hirnya jatuh kembali di tanah dan menggelepar-gelepar sangat mengharukan.
"Waaarrrggghhh!"
Terdengarlah jerit berkepanjangan dan itulah meru-
pakan jerit terakhir dari mulut si Ktut. Tubuhnya ter-hampar di tanah tanpa
berkutik, sementara puluhan
tikus liar itu dengan lahapnya menggerogoti kulit dagingnya. Gigi-gigi setajam
pahat mereka, bekerja dengan cepatnya. Memotong, menggerek dan mencercah
tubuh sang korban untuk kemudian dilahap dan pin-
dah ke dalam perut-perut mereka, yang tampaknya se-
lalu lapar serta keranjingan daging segar.
Jimbaran dan anak buahnya seketika terbang se-
mangatnya melihat sepak terjang tikus-tikus lain yang
telah membinasakan salah satu kawannya dalam seke-
jap saja. Mereka menjadi sibuk menjaga diri supaya tidak ikut direncah oleh
tikus-tikus tersebut. Beberapa orang, termasuk Jimbaran, Dregil, dan Arje,
dengan lincahnya menggebrak tikus-tikus yang mencoba me-
rangsak tubuh mereka. Namun terpaksa mereka terhe-
ran-heran dan kewalahan, ketika tikus-tikus yang di-gebrak tadi, begitu
terjatuh, lalu serentak menyerbu kembali ke arah mereka dengan ganasnya.
Sementara itu, Putu Tantri menjerit dan terisak-isak ketika pandangan matanya
menatap ke arah tubuh si
Ktut yang malang. Ternyata tubuh si korban dalam
waktu singkat telah merupakan kerangka tulang de-
ngan sedikit sisa-sisa daging merah yang melekat di sana-sini. Sedang di
sekitarnya, puluhan tikus yang telah selesai berpesta-pora tadi kelihatan duduk-
duduk sambil mulutnya masih berkomat-kamit, mengunyah
sisa-sisa daging dan darah segar yang masih berlepotan di sekitar mulut.
Sebentar kemudian mereka ramai lagi mencicit-cicit
dan menatapkan pandangan matanya ke arah Jimba-
ran serta anak buahnya. Mata hewan-hewan kanibal
tadi memancarkan perasaan yang selalu haus akan
daging dan darah dari manusia-manusia yang berdiri
di hadapannya. Hal ini dapat pula diketahui oleh Jimbaran yang senantiasa
waspada. Setelah dia melihat
kematian si Ktut dan betapa nekadnya binatang-
binatang liar tadi dalam menghadapi lawannya, maka
cepat-cepat ia memberi tahu kepada anak buahnya.
"Awas, tunggu aba-abaku! Kita harus segera me-
nyingkir dari binatang-binatang terkutuk ini!"
Bagus Wirog tertawa terkekeh-kekeh melihat ting-
kah ketakutan dan kengerian dari Jimbaran dan anak
buahnya. Seraya duduk di atas sebongkah batu besar
ia mengejek dan berseru ke arah mereka, "Ha, hi, hi,
hi! Mengapa tidak lekas-lekas angkat kaki dari tempat ini"! Apakah kalian ingin
seperti temanmu tadi"! Tinggal tulang dan mampus dalam sekejap mata"!"
Selesai dengan kata-katanya, Bagus Wirog meng-
acungkan tangannya ke arah rombongan Jimbaran
disertai jeritan mencicit-cicit yang ke luar dari mulutnya. Serentak para tikus
liar tadi menyerbu, menggemuruh ke arah manusia-manusia di depannya. Dari
mulutnya terdengar bunyi mencericit riuh, seolah-olah saling mengatakan, mana
manusia-manusia yang bakal direncak sebagai korbannya.
Akan tetapi Jimbaran telah mengambil satu kepu-
tusan untuk menyingkir dari tempat itu. Bagaimana-
pun juga, sebagai manusia, Jimbaran dan kawan-
kawannya tidak sudi mati konyol di mulut binatang-
binatang pengerat yang lahap daging itu. Kalau toh ia mati, lebih baik mati di
tangan manusia-manusia yang menjadi lawannya. Sedang kini yang dihadapi oleh
mereka adalah para tikus liar. Dan alangkah rendah dan hinanya menurut mereka,
jika seandainya sampai mati dikeroyok oleh binatang tersebut.
"Mundur!" teriak Jimbaran kepada kawan-kawan-
nya, dan serentak mereka berloncatan ke belakang untuk kemudian kabur ke arah
utara. Kepergian gerombolan Jimbaran tadi diiringi oleh
gema ketawa Bagus Wirog yang terkekeh-kekeh meng-
umbar ketawa puasnya. Sementara itu, para tikus ikut pula mencericit ramai
sambil mengangguk-anggukan
kepala. Malahan satu dua ekor di antaranya, berloncatan menjungkit-jungkit,
bagai luapan rasa gembiranya.
Tempat tersebut telah penuh oleh tikus-tikus dan
sekarang hanya Ki Sukerte serta Putu Tantri yang tinggal di situ, di samping
Bagus Wirog sendiri. Beberapa ekor tikus masih tampak menggerogoti kerangka si
Ktut hingga menimbulkan pemandangan yang me-
ngerikan, tapi juga mengharukan.
"Cih! Cih! Chih! Para pengecut telah kabur!" kata
Bagus Wirog menggeleng-gelengkan kepala. "Mengapa
tidak sedari tadi, sebelum kawannya yang seorang ini mampus"!"
Ki Sukerte dan Putu Tantri sesaat masih terpaku di
tempatnya ketika Jimbaran dan kawan-kawannya me-
ninggalkan tempat tersebut. Mereka tersadar dan kaget oleh bentakan Bagus Wirog
yang tiba-tiba mengacungkan tangan.
"Heeii, kalian berdua! Hi, hi, hi. Sekarang kamulah yang akan mendapat giliran
berikutnya untuk diga-nyang oleh tikus-tikus ini! Kecuali jika Anda menyerahkan
semua barang-barangmu, termasuk sepasang
kipas perak di tangan bocah manis itu!"
Ki Sukerte memandang sesaat ke samping, kepada
Putu Tantri, lalu berkata kepada Bagus Wirog keras-
keras, "Kau manusia biadab! Mana bisa barang-barang pusaka ini mesti kami
serahkan kepadamu dengan
enaknya!" "Jadi kalian ingin kekerasan untuk mempertahan-
kan barang-barang butut itu"!"
"Cobalah untuk mengambil barang-barang ini dari
tanganku, kalau mau! Mereka akan kupertahankan
mati-matian! Bukankah begitu, Putu Tantri"!"
Gadis yang memegang sepasang kipas perak itu
mengangguk mantap seraya memasang jurus memper-
tahankan diri, sebab ia telah yakin bahwa sebentar
kemudian bakal terjadi pertarungan ramai.
"Kalau begitu, matilah kalian!" seru Bagus Wirog serentak mengacungkan
tangannya, disusul kemudian
puluhan tikus tadi menyerbu dengan liarnya ke arah
Ki Sukerte dan Putu Tantri.
Kedua ayah dan anak ini cepat menggunakan senja-
tanya, menghadapi para tikus yang telah siap meren-
cah tubuh tanpa ampun. Kedua kipas perak di tangan
Putu Tantri berkali-kali berkelebatan menyambar para tikus yang berani mendekat
ke arahnya, namun patut
dikagumi bahwa tikus-tikus tadi mampu mengelak
dengan gesitnya. Dengan demikian untuk sementara
Putu Tantri berhasil menanggulangi serangan tikus-
tikus tersebut, akan tetapi ia tak berhasil membunuh seekorpun. Jadi tampaklah
bahwa masing-masing saling serang-menyerang dan mengelak tanpa korban
yang jatuh. Entah apa sebabnya para tikus itu tidak berani le-
bih seru menyerang Putu Tantri. Apakah disebabkan
gadis ini bersenjata kipas perak yang selalu menyambar-nyambar melindungi diri,
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ataukah memang me-
reka sengaja mempermainkan Putu Tantri. Sebab bisa
juga dimaklumi, setelah gadis itu kelelahan, tentulah suatu saat ia akan
terlengah dan di saat itulah para tikus tadi merencah dan melahap tubuhnya!
Berbeda dengan Ki Sukerte yang bersenjata sapu
bertongkat. Seganas tikus-tikus itu menyerang, secepat itu pula senjata aneh
tadi berputar disertai sambaran-sambaran yang mematikan. Seekor di antara ti-
kus-tikus tadi segera terhajar oleh ujung lidi-lidi yang tajam dan seketika
terpelanting jatuh di antara kawan-kawannya dengan keadaan tubuh luka-luka
mencu- curkan darah. Tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang aneh, tapi ju-ga mengerikan. Dan ternyata
inilah nanti yang mem-
pengaruhi kelemahan pertahanan Ki Sukerte dan Putu
Tantri. Si tikus yang terluka tadi, begitu tubuhnya terjatuh di antara kawan-
kawannya, segera dikeroyok
dan direncah oleh para tikus lainnya sampai tubuhnya hancur dan lumat dalam
sekejap mata, untuk kemudian dilahap oleh mereka! Inilah yang aneh! Apakah
karena mereka marah melihat seorang di antara ka-
wannya terluka dan kemudian menghukum serta
membunuhnya sendiri" Ataukah barangkali mereka
masih kelaparan, sehingga begitu melihat kawannya
terluka dan bakal mati dengan cuma-cuma, segera di-
ganyangnya sendiri"!
Keruan saja Putu Tantri menjadi ngeri dan perta-
hanan dirinya menjadi kendor. Hal ini mempengaruhi
pula Ki Sukerte. Melihat anaknya kehilangan seman-
gat, iapun menjadi putus asa. Maka terdesaklah me-
reka oleh puluhan tikus-tikus tadi dan bisa dipastikan bahwa keduanya segera
akan mengalami kematian
tragis, seandainya sebuah bayangan manusia tidak segera melesat ke arah mereka.
"Kisanak! Janganlah takut! Aku membela kalian!"
seru bayangan manusia tadi yang tidak lain adalah
pendekar Ngurah Jelantik. "Teruskan pertahankan de-
ngan senjata-senjata Anda!"
"Baik! Terima kasih, sahabat," ujar Ki Sukerte pula.
"Nah, Putu Tantri, bangkitkan lagi keberanianmu!"
Maka sekejap kemudian ketiga orang itu memain-
kan senjata-senjatanya dengan hebat, dilandasi oleh ilmu permainannya yang
matang sehingga pertempuran tadi menjadi kian seru. Ketiga orang ini dapat
merobohkan beberapa ekor tikus setelah dengan mati-
matian bertempur sengit melawan hewan-hewan pe-
ngerat tadi. Itupun sebenarnya telah merupakan kemajuan yang
dapat mereka capai, sebab sesungguhnya tikus-tikus
tersebut mampu bertempur seperti naluri manusia,
seperti menyerang, mengelak gerak tipuan, dan seba-
gainya. Rasanya, mereka telah memiliki kecakapan ta-di dengan latihan dan
melewati percobaan-percobaan
yang terinci. Maka tak heranlah, meskipun beberapa ekor dari
tikus-tikus tadi telah binasa, yang lainnyapun masih
gigih dan sengit melancarkan serangan-serangannya.
Agaknya saja pertempuran ini akan menelan waktu
yang lebih lama.
Bagus Wirog yang sejak semula masih duduk di
atas batu besar itu diam-diam telah menggeram ma-
rah, sesudah sekian lama mengikuti pertempuran ter-
sebut. Ia mulai menjadi risau begitu dilihatnya beberapa ekor tikus pengikutnya
telah binasa oleh senjata-senjata ketiga lawannya.
"Keparat!" desis Bagus Wirog. "Ada yang membela
kedua orang calon korbanku. Tunggulah sepak ter-
jangku yang segera akan datang melandanya! Haaatt!"
Tubuh Bagus Wirog melesat, berkelebat dengan ge-
sitnya, segesit loncatan tikus-tikus liar yang berada di situ. Ia langsung
menerjang ke arah Ngurah Jelantik, sementara kedua cambuk hitam pendek di
tangannya dengan deras melayang ke pundak lawan.
"Awas, Tuan!" seru Putu Tantri dari samping, ketika ia melihat serangan kilat
Bagus Wirog yang datang dengan dahsyatnya.
Pendekar Ngurah Jelantik cepat memutar tubuh se-
raya mengibaskan pedangnya ke samping, menangkis
terjangan cambuk Bagus Wirog.
Blaarr! Sebuah letupan membisingkan terdengar sewaktu
pedang Ngurah Jelantik berbenturan dengan kedua
cambuk pendek Bagus Wirog.
"Uhh!" keluh si Ngurah Jelantik sambil terpental ke belakang akibat benturan
tadi. Hampir saja ia jatuh tunggang-langgang ke arah puluhan tikus-tikus di si-
tu, jika saja ia tidak cepat-cepat berjumpalitan ke atas, memunahkan pengaruh
dari benturan lawannya itu.
"Bagus! Bagus! Tapi seranganku tidak sampai se-
kian saja, sobat! Inilah dia sambungannya!" seru Bagus Wirog dengan kerasnya.
Ngurah Jelantik yang telah melesat turun segera
disambut oleh serangkaian serangan dari Bagus Wirog.
Akan tetapi, sejak ia hampir roboh oleh benturan senjata lawannya yang bulat
pendek itu, segeralah ia me-nyiapkan diri. Sebab sejak itulah ia mengetahui
ukuran kekuatan dan ilmu Bagus Wirog yang sesungguh-
nya sangat hebat dan kemungkinan berada di atas
tingkatan dirinya. Karenanya, pertempuran menjadi
lebih hebat. Dengan turun tangannya Bagus Wirog ke arena per-
tempuran, sesungguhnya membuat keadaan Ki Sukerte
dan Putu Tantri menjadi terancam kembali oleh sera-
ngan-serangan tikus liar tadi, sebab untuk menanggulangi Bagus Wirog,
terpaksalah Ngurah Jelantik men-
curahkan dan memusatkan perhatiannya sepenuhnya
kepada lawannya. Ini berarti ia tidak lagi sempat memberikan bantuannya kepada
Ki Sukerte dan Putu Tan-
tri dalam menghadapi tikus-tikus tersebut.
Pada sesungguhnya, meskipun ia sibuk bertempur
melawan Bagus Wirog, pendekar Ngurah Jelantik ber-
kali-kali melempar pandang ke arah Ki Sukerte dan
anak gadisnya. Ia merasa tidak sampai hati membiar-
kan kedua orang itu bertempur sendirian melawan he-
wan-hewan pengerat yang liar dan senantiasa haus
korban. Justru perhatian Ngurah Jelantik berkali-kali menjadi terpecah
karenanya. Memanglah kalau dipikir-pikir, keadaan sama-sama serba sulit, baik
bagi Ngurah Jelantik maupun bagi Ki Sukerte dan Putu Tantri sendiri.
"Rasakanlah olehmu, sobat! Sebentar lagi mereka
berdua akan binasa dilahap oleh tikus-tikus ini, sedang engkau sendiri juga akan
mampus di tanganku!"
seru Bagus Wirog. "Salahmu sendiri mengapa engkau
sampai campur tangan!"
"Hah, jangan main gertak terhadapku, iblis! Aku
masih mampu menghadapi seranganmu! Sekarang,
apa lagi yang akan engkau keluarkan"!"
Ucapan Ngurah Jelantik tadi betul-betul meme-
rahkan telinga Bagus Wirog. Ia tidak lekas menjawabnya, kecuali sesaat kemudian
mulutnya mengeluarkan
bunyi mencicit keras.
Keruan saja Ngurah Jelantik menjadi kaget dan
hampir tidak percaya bahwa suara jeritan tikus tadi bisa keluar dari mulut Bagus
Wirog. Detik berikutnya, puluhan ekor tikus hutan yang
liar dan masih segar bermunculan dari balik semak belukar seakan-akan baru saja
keluar dari liang rumahnya. Mereka langsung menyerbu Ngurah Jelantik, se-
lagi ia sibuk dan gigih bertempur melawan Bagus Wi-
rog. "Ha, ha, ha. Hiruplah udara segar sebanyak-ba-
nyaknya dan tataplah wajahku baik-baik sebelum tu-
buhmu hancur dicacah mereka. Atau barangkali kau
lebih suka mati karena senjataku ini, haa"!" seru Bagus Wirog dengan mencecar
terus-menerus ke arah
Ngurah Jelantik.
Mendapat serangan ganda dari tikus-tikus dan Ba-
gus Wirog sendiri, Ngurah Jelantik menjadi kian kerepotan. Keringatnya
bercucuran membasahi setiap ku-
litnya, dan hampir saja pedangnya terlepas karena telapak tangannyapun telah
licin. Tambahan lagi, ha-
tinya pun kian risau, ketika melihat ke arah Ki Sukerte dan Putu Tantri. Mereka
telah pula nampak akan kele-tihannya serta keputus-asaan yang membayang dari
wajahnya. Jika seandainya Ngurah Jelantik tadi sendirian saja, agaknya tak akan
malulah jika ia mengambil langkah seribu, melarikan diri dari Bagus Wirog serta
para tikus liar tadi. Tapi bukankah ia masih harus
mengingat kedua orang lain yang patut ditolong dan
diselamatkan dari kebinasaan"
Dalam keadaan yang menegangkan, di mana kebi-
nasaan telah mengancam kepada Ngurah Jelantik, Ki
Sukerte, serta Putu Tantri, sekonyong-konyong terdengarlah bunyi dengungan yang
sambung-menyambung
membahana ke segenap sudut-sudut daun pepohonan
dan pelosok-pelosok hutan di sekitar arena pertempuran tadi.
Hal ini mengagetkan siapa saja, baik manusia-ma-
nusia maupun puluhan tikus-tikus yang berada di si-
tu, sehingga tanpa disadari pertempuran menjadi kendor beberapa saat.
Mulut-mulut para tikus pengikut Bagus Wirog pada
saling mencericit, seperti membayangkan satu kegeli-sahan yang mulai merayapi
hati segenap makhluk
yang berada di tempat itu, seperti burung-burung unggas yang beterbangan
menyingkir ke udara, disusul
beberapa ekor bajing berloncatan dengan paniknya.
Dengungan tadi makin jelas terdengar, turun naik
mengalun dari arah selatan bagai sebuah alunan mu-
sik yang mampu menggetar dan merobohkan segenap
isi hutan. Nguuggng.... Digerakkan oleh naluri yang sama, mereka serentak
mengawaskan mata ke arah selatan, di mana daun-
daun seperti tergetar dan sesaat kemudian menampak-
lah segumpal kabut putih yang mengalir ke utara me-
nembus dedaunan dengan diiringi bunyi berisik dan
mendengung. "Ohh! Apakah itu yang datang"! Hantu"!" pikir pen-
dekar Ngurah Jelantik dengan perasaan panik. "Celaka ini. Bertambah lagi bahaya
yang mengancam...."
Tak berbeda dengan Ki Sukerte dan Putu Tantri
yang berdiri dengan cemas. Keduanya tidak mengira
bahwa perjalanannya telah menemui rintangan-rinta-
ngan yang sangat berbahaya. Pencegatan oleh orang-
orangnya Jimbaran, kemudian Bagus Wirog, dan kini
bahaya apalagi yang tersembunyi di belakang suara
berdengung itu.
Setiap dada makin berdebar-debar manakala gum-
palan awan putih tadi semakin mendekat ke arah me-
reka, tanpa ada yang bisa mengetahui apakah sebe-
narnya itu. Mendadak saja gumpalan awan putih tadi meluruk
ke bawah, menyebar ke arah bekas arena pertempuran
laksana sebuah gumpalan awan mendung yang pecah
dan menyebarkan air hujan.
"Tawon putih!" teriak Bagus Wirog dalam nada sua-
ra parau dan berbau panik ketakutan, ketika ia dapat mengenal bahwa gumpalan
kabut awan yang meluruk
dan memencar ke arahnya itu, adalah serombongan
lebah-lebah berbisa yang ratusan jumlahnya! Dan ce-
lakanya, kawanan lebah putih berbisa tadi langsung
menyerangnya. Keruan saja Bagus Wirog secepat kilat memutar ke-
dua cambuk pendeknya untuk melindungi tubuhnya
dari serangan kawanan lebah berbisa tadi. Sedang pa-ra tikus pengikut Bagus
Wirog, menjadi kalang-kabut setelah mereka diserang oleh beratus-ratus lebah
berbisa dari udara.
Berbeda sewaktu mereka menghadapi manusia
yang bertubuh lebih besar dan mudah menyerangnya,
akan tetapi mereka sekarang berhadapan dengan la-
wan-lawan yang jauh lebih kecil dan bersenjatakan
sengat-sengat berbisa.
Beberapa ekor tikus segera terkena sengatan lebah
putih itu dan sejurus kemudian berkaparan di tanah
dengan tubuh kaku tanpa nyawa.
Sungguh hebat serangan lebah putih yang memati-
kan tersebut, sehingga patutlah bahwa Bagus Wirog
bertempur mati-matian menjaga dirinya.
Tapi terjadi pula satu keanehan, bahwa lebah-lebah
tadi cuma menyerang Bagus Wirog dan tikus-tikusnya.
Sedang Ki Sukerte, Putu Tantri, serta Ngurah Jelantik, cuma dilewatinya, tanpa
diusik sedikitpun. Itulah pula sebabnya mereka bertiga jadi terbengong-bengong
keheranan, menyaksikan pertempuran aneh yang selama
hidupnya baru sekali ini dilihatnya.
*** 5 TIKUS-TIKUS YANG MATI KAKU karena sengatan
lebah-lebah beracun makin bertambah jumlahnya.
Bangkai-bangkainya berserakan terkapar di sana-sini, sementara yang masih hidup
dengan sibuknya berloncatan kesana-kemari menghindari serangan lawan
yang tidak kurang ganasnya. Hal ini tidak sedikit menimbulkan kekacauan pada
gerombolan tikus-tikus
tadi. Kadang-kadang mereka saling bertubrukan ketika berloncatan menghindari
serangan lebah putih.
Demikian pula Bagus Wirog makin kerepotan dan
terdesak meskipun ia dengan hebatnya memutar ke-
dua cambuk pendek secepat kitiran berpusing. Me-
mang ia berhasil pula meruntuhkan beberapa ekor le-
bah, tapi itupun setelah sekian lama bertempur mati-matian.
"Serangga keparat!" teriak Bagus Wirog mengumpat-
umpat dengan kemarahan yang memuncak, seraya
mengeluarkan jurus-jurus puncak dari permainan
cambuk hitamnya. Benar-benar seperti orang kerasu-
kan setan sepak terjang Bagus Wirog sekali ini, sampai tak memperdulikan keadaan
sekeliling, kecuali pusat perhatiannya cuma tertuju ke arah lebah-lebah putih
yang beterbangan mengeroyok dan berkeliling di seki-
tarnya. Namun tak lama kemudian, ketika kakinya kena
tabrak oleh seekor tikus, Bagus Wirog seperti teringat kembali kepada nasib para
tikus anak buahnya itu.
Dan seketika bukan main kagetnya, begitu ia tepat melempar pandangan matanya ke
arah sekeliling. Tam-
paklah dengan jelas, tidak kurang dari dua puluh ekor tikus pengikutnya, telah
mati kaku tergeletak di tanah.
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini sadarlah bahwa keadaan tidak begitu mengun-
tungkan bagi dirinya serta segenap tikus-tikus tadi.
Kalau toh ia mampu bertahan dalam menghadapi se-
rangan lebah-lebah itu, berarti akan lebih banyak korban yang jatuh di pihak
tikus-tikus anak buahnya.
Bagus Wirog segera mengeluarkan jeritan mencicit
yang panjang disusul dengan tubuhnya meloncat ke
arah semak belukar di sebelah timur. Demikian pula
dengan serentak, para tikus anak buahnya menarik di-ri dari tempat pertempuran
untuk kabur ke arah ti-
mur, mengikuti Bagus Wirog.
Sebentar saja Bagus Wirog dan tikus-tikusnya telah
lenyap dari pandangan mata. Yang tertinggal kemudian hanyalah bangkai-bangkai
tikus yang telah mati kaku.
Sedang lebah-lebah putih itu masih beterbangan berkeliling di atas bekas arena
pertempuran, bagai gumpalan awan putih yang berdengungan membisingkan.
Karenanya, Ngurah Jelantik, Ki Sukerte, dan Putu
Tantri merasa cemas. Sebab, setelah kaburnya Bagus
Wirog dan tikus-tikusnya, tidaklah mustahil bahwa lebah-lebah berbisa itu akan
ganti menyerang diri me-
reka! Namun, mendadak saja berkelebatlah satu baya-
ngan bertubuh ramping dari arah selatan, menuju ke
arah mereka sambil bersenandung merdu.
"Lebah putih lebah sayang, terbang rendah me-
layang-layang. Orang baik patut disayang, orang jahat
pasti diserang. Ha, ha, ha. Maaf, sahabat-sahabat
sayang. Andika semua tak perlu kuatir dengan lebah
putihku ini!" ujar seorang gadis cantik yang masih remaja sekali sambil
berloncatan mendekati Ngurah Je-
lantik bertiga.
Gerakan yang ringan hampir tanpa suara membuat
gadis remaja ini seakan-akan melayang dan Ngurah
Jelantik bertiga menjadi kagum karenanya.
"Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan No-
na!" ujar Ngurah Jelantik seraya mengangguk kepada
gadis remaja tadi. "Dan perkenalkanlah, saya bernama Ngurah Jelantik, sedang
mereka ini adalah Ki Sukerte dan Putu Tantri."
"Aah, sama-sama, Tuan. Sesama makhluk, kita wa-
jib tolong-menolong," berkata si gadis remaja sambil melempar senyum manis yang
menggetarkan hati Ngurah Jelantik.
"Nama saya adalah Tanjung," demikian si gadis re-
maja memperkenalkan diri dan mendadak saja sesosok
bayangan orang tua melesat ke arah mereka berbareng Tanjung berseru. "Oh, itu
kakek saya, Ki Tutur telah datang. Sekarang aku harus pergi meninggalkan Andika
bertiga." "Maaf, Tuan-tuan. Cucuku ini sangat nakal. Ia ter-
lalu jauh menggembalakan lebah putihnya," seru si
kakek Tutur seraya menyambar pinggang si Tanjung
dan kabur ke arah selatan, bersama lebah-lebah putih yang terbang mengelompok
bagai gumpalan awan putih yang berdengungan di sepanjang jalan.
Pendekar Ngurah Jelantik, Ki Sukerte dan Putu
Tantri menghela nafas dengan lenyapnya Ki Tutur,
Tanjung, dan lebah-lebah putihnya, di balik pepoho-
nan yang lebat. Mereka merasa sayang bahwa kejadian tadi telah berlalu dengan
cepatnya tanpa suatu perke-nalan yang lebih mendalam. Akhirnya merekapun te-
lah bersiap-siap melanjutkan perjalanannya masing-
masing. "Kami bermaksud mengunjungi sanak keluarga
yang tinggal di daerah Gilimanuk," ujar Ki Sukerte ketika berpamitan dengan
pendekar Ngurah Jelantik.
"Semoga kita dapat berjumpa lagi dalam keadaan sehat dan selamat."
"Saya pun harus secepatnya melanjutkan perjala-
nan ke Singaraja," Ngurah Jelantik berkata sambil me-nyiapkan tali-temali
kudanya. "Nah, aku permisi sekarang, Ki Sukerte. Selamat jalan dan selamat
tinggal." "Selamat jalan, Tuan," ujar Ki Sukerte dan Putu
Tantri hampir berbareng. "Berhati-hatilah. Semoga De-wata Agung melindungi
Anda!" Pendekar Ngurah Jelantik memacu kudanya ke arah
timur, menyusuri jalan rintisan dan lenyap di balik pepohonan. Sedang Ki Sukerte
bersama Putu Tantripun
telah melangkahkan kakinya, melanjutkan perjalanan-
nya menuju ke daerah barat, di mana sang matahari
merayap ke arah sana pula dengan lambatnya.
Beberapa ekor burung layang-layang berbondongan
kembali ke sarangnya dengan tergesa, seolah-olah takut kemalaman di tengah
perjalanan. *** Beberapa orang yang tengah duduk-duduk berkum-
pul di dekat pohon-pohon ilalang di tengah hutan,
mendadak saja dibikin terkejut oleh munculnya bebe-
rapa orang dengan langkah tergesa-gesa dan terengah-engah. Wajah-wajah mereka
berkilat basah oleh keri-
ngat dan kotor dengan debu yang menutupi kulit-kulit tubuhnya. Begitu pula
pakaian dari beberapa orang di antara mereka telah sobek-sobek di sana-sini
disertai luka-luka kecil berdarah.
Tampak sekali bahwa mereka telah kelelahan serta
suasana kecemasan masih belum lepas dari wajah-
wajahnya. Malahan di antara mereka segera merebah-
kan diri di atas rerumputan dengan nafas yang ber-
sesakan. "Heei, mengapa kalian ini"!" berseru seorang berwa-
jah garang yang duduk di situ. "Apa yang telah terjadi, Jimbaran"! Katakan
lekas!" "Ses... sesuatu yang mengerikan...," sahut Jimbaran tergagap-gagap. "Seorang
kawan kami... yakni si Ktut, telah tewas...!"
"Haah, tewas katamu"!" seru Tangan Iblis sambil
mengguncang-guncang bahu Jimbaran. "Sebutkan,
siapa yang telah berbuat sekurang ajar itu, hee"!"
"Waktu itu kami telah mencegat dua orang di dae-
rah selatan, lalu tiba-tiba saja muncul seorang manusia bulat pendek yang
membawa tikus-tikus berjumlah puluhan. Ia menolong kedua orang tadi dan
bertempur dengan kami. Ternyata mereka sangat kuat, hingga si Ktut menjadi
korban keroyokan tikus-tikus liar dan di-lahapnya sampai habis! Akhirnya, kami
terpaksa meng-undurkan diri," demikian tutur ceritera Jimbaran.
Si Tangan Iblis terperanjat sesaat mendengar nasib
seorang anak buahnya yang mati secara konyol dima-
kan oleh tikus-tikus liar tadi. Akan tetapi, segera ia berkata dengan nada
marah, "Naah, sudah berkali-kali aku katakan, supaya jangan mengganggu siapapun
di tempat ini! Kau tahu, itu sangat berbahaya bagi tempat pondokan kita yang
tersembunyi di sini. Apakah otak-mu tidak berpikir, bahwa tindakanmu tadi bisa
mem- bawa orang-orang lain ke tempat ini"!"
Jimbaran tertunduk ketakutan menghadapi kema-
rahan Tangan Iblis, maka katanya kemudian, "Maaf,
Kakang, kami terlengah waktu itu...."
"Heei, kau belum menyebutkan nama lawanmu
yang bertubuh bulat pendek tadi"!" ujar Nyi Durganti
menyela. "Siapakah dia"!"
"Oooh, betul, Nyai. Nama orang itu adalah Bagus
Wirog!" ujar Jimbaran gugup.
"Hooh! Si keparat Bagus Wirog telah keluyuran
sampai di daerah ini"!" seru Nyi Durganti dengan kaget. "Ngngng, ini berbahaya.
Bagus Wirog bukanlah
orang sembarangan. Ia sangat sakti dan mempunyai
rombongan tikus-tikus seperti yang diceriterakan oleh Jimbaran tadi."
"Jadi, Ibu telah mengenalnya?" gerendeng Tangan
Iblis. "Apakah ia bermusuhan dengan Ibu?"
"Benar, Angger. Aku telah mengenal Bagus Wirog
itu. Memang kami pernah berselisih kecil, tapi kalian tak usah kuatir. Aku
sanggup menghadapinya."
"Terima kasih, Ibu. Kembali tentang penyerbuan ke
rumah saudagar Wayan Arsana, kapankah itu bisa ki-
ta laksanakan"!"
Nyi Durganti mengerutkan keningnya mendengar
perkataan anaknya, si Tangan Iblis, dan kemudian
menggumam, "Hm, kau masih penasaran terhadapnya,
Ngger! Apakah perlunya mengusik orang-orang tolol
itu?" "Ibu," ujar Tangan Iblis dengan lembutnya, "sebe-
narnya kami dapat melupakan hal itu. Namun sayang
sekali bahwa kami telah mendapat penghinaan yang
sangat keterlaluan. Mereka melepaskan kami dengan
iringan ketawa dan ejekan. Terlebih lagi dengan si tua Wiku Salaka yang telah
memandangku dengan sebelah
mata saja, benar-benar merupakan hinaan yang tidak
mudah terlupakan. Aku adalah putra Nyi Durganti.
Mendapat hinaan begitu, apakah itu secara tidak langsung menampar muka Ibu"!"
Nyi Durganti menghela napas panjang, begitu Ta-
ngan Iblis rampung mengutarakan pendapatnya. Apa
yang diutarakan anaknya tadi banyak benarnya. Na-
mun sebab musabab bibit persengketaan itu, dirasa-
nya tidak mempunyai sangkut paut dengan dirinya.
Bukankah si Tangan Iblis sekadar mempaut dengan
dirinya" Bukankah si Tangan Iblis sekadar membela
anak muridnya, yakni Jembrana dan Jimbaran setelah
berselisih dengan Wayan Arsana" Dan kebetulan pula, seorang sahabat Jimbaran
yang bernama Wasi Bera telah terlibat dalam persoalan mereka. Dengan demikian
apakah itu sebenarnya tidak sepenuhnya merupakan
tanggung jawab Tangan Iblis sendiri" Akan tetapi, sekali lagi sifat orang tua,
mendengar anaknya kalah dan katanya mendapat penghinaan, siapakah yang tidak
akan terbakar hatinya"
Pertimbangan manusia kadang-kadang memang
mudah condong ke arah sepihak. Jarang yang bisa
bertahan bahwa untuk yang salah harus disalahkan,
sedang yang benar harus tetap benar. Apalagi jika itu sudah menyangkut hubungan
keluarga. Tentunya
hanya seorang ksatrialah yang mampu bersifat adil
dan seimbang. Baginya tidak akan ada sifat-sifat sahabat atau keluarga, sebab ia
selalu memandang manu-
sia mempunyai hak yang sama. Sehingga pertimba-
ngannya akan bersifat umum menyeluruh.
Tetapi sekali lagi hal itu sangatlah sukarnya. Seperti halnya Nyi Durganti yang
telah mendengar penjelasan dari Tangan Iblis, segera hatinya terbakar oleh
kemarahan yang menyala bagaikan obor. Apalagi didasari
oleh pertimbangan hati yang dangkal, maka Nyi Dur-
ganti tidak mempunyai lagi pertimbangan lain, selain harus membela Tangan Iblis
dengan sungguh-sungguh.
"Baiklah, Angger Tangan Iblis. Kita akan mencari
hari yang baik, dan aku perlu memikirkan satu siasat yang jitu. Aku mengharap
bisa langsung memukul
benggol-benggolnya, tanpa banyak menimbulkan kor-
ban di pihak orang-orang rendahan yang tidak tahu
apa-apa!" "Terima kasih, Ibu. Hanya itulah yang ananda ha-
rapkan," berkata Tangan Iblis. Mukanya berseri-seri puas sepuas anak kecil yang
dijanjikan oleh ibunya
untuk mendapatkan kembang gula manis.
"Tapi kalian harus memperhatikan, pimpinan ada-
lah di Tangan Iblis, sedang segala sesuatu harus mendengar nasehatku terlebih
dulu. Ingatlah akan bahaya pasukan kerajaan! Jika kalian bertindak liar semau-
maunya, aku akan cuci tangan dari perkara ini!" demikian bicara Nyi Durganti
dengan tandasnya.
"Kami akan mematuhi segala nasehatmu, Ibu," ber-
kata Tangan Iblis sekali lagi dengan senangnya. "Saya akan memerintahkan seluruh
pengikutku untuk memperhatikan hal itu."
Dalam pada itu, Dregil dan Arje tengah membantu
mengobati kawan-kawannya yang terluka. Kebanyakan
adalah luka-luka bekas gigitan tikus-tikus liar pengikut Bagus Wirog, ketika
mereka bertempur beberapa
saat yang lalu.
Kadang kala Dregil dan Arje masih meremang bulu
tengkuknya bila teringat akan kematian seorang ka-
wannya akibat keroyokan tikus-tikus liar. Kedua orang tadi seperti sukar
mempercayai, betapa tubuh si Ktut dapat habis kulit dagingnya dalam sekejap mata
oleh rencahan gigi tikus-tikus tadi. Dan yang membuatnya lebih heran adalah
perawakan, wajah dan tindak-tan-duk Bagus Wirog yang menyerupai seekor tikus.
Semua itu diceritakannya kepada kawan-kawan lain-
nya yang tidak ikut bertempur pada waktu itu. Karenanya, keruan saja mereka
tercengang-cengang kehera-
nan mendengar penuturan ceritera si Dregil dan Arje.
"Apakah engkau kira-kira berani menghadapi tikus-
tikus itu, Parse?" bertanya Dregil sambil cengingisan setengah mengejek, kepada
temannya yang bertubuh
gemuk di sebelahnya.
"Weeh, tentu saja berani. Kalau memang itu menja-
di lawan kita, haruslah kita lawan!" temannya yang
bernama Parse berkata dengan penuh semangat.
"Hi, hi, hi. Semangatmu hebat! Tapi aku kuatir bah-
wa tubuhmu yang gemuk itu akan menarik selera ti-
kus-tikus tadi," kata Dregil menggoda. "Atau mungkin saja kau berani
menghadapinya asal tikus-tikus tadi ompong, tanpa gigi. Sehingga mereka cuma
mampu menjilat-jilati tubuhmu saja. Hi, hi, hi."
"Huss! Ngawur sekali bicaramu," potong Parse cem-
berut. "Bagaimana kalau kita membawa kucing-kucing
untuk melawan mereka"!"
"Satu usul yang baik! Hmmm, tapi di mana kita ha-
rus mencari kucing-kucing dalam jumlah yang ba-
nyak?" sambut si Dregil. "Dan lagi, untuk seekor kucing, paling-paling ia hanya
sanggup menelan dua ekor tikus hutan itu. Sedang jumlah tikus tadi pasti ratusan
jumlahnya! Nah, bukankah itu merupakan persoalan
yang cukup sulit dan memusingkan"! Salah-salah ma-
lah kucing-kucing itu yang akan dilahap oleh gerombolan tikus liar tadi! Sayang,
engkau tidak ikut kami waktu itu. Ternyata tikus-tikus tersebut sangat terlatih
dan mampu menghindari senjata-senjata yang mengancamnya."
"Jika demikian, lebih baik aku tidak ikut bertempur melawan binatang-binatang
tadi. Aku lebih senang
tinggal di sini menjaga pondok, atau membantu mema-
sak makanan," sahut Parse.
"Hi, hi, hi. Memang itulah pekerjaan yang paling cocok buatmu!" ujar Dregil
diiringi ketawa segenap kawan-kawan lainnya yang berada di sekelilingnya. "He,
he, he. Apabila sudah sampai pada persoalan masakan, saya kira Parselah yang
paling cocok."
Suasana menjadi gembira beberapa saat, dan itu
cukup menghibur hati mereka yang tengah bergurau,
tanpa mengetahui bahwa para pemimpinnya tengah
merencanakan penyerbuan ke rumah saudagar Wayan
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arsana di daerah Gilimanuk. Dan boleh dipastikan,
bahwa pertempuran kali ini akan lebih hebat, karena Nyi Durganti yang sakti,
yakni ibu si Tangan Iblis sendiri, akan turun tangan membantu mereka di gelang-
gang pertempuran.
Entah kapan rencana itu akan dilaksanakan. Ba-
rangkali satu minggu lagi, atau sebulan kemudian, dan mungkin juga pada keesokan
harinya, tak seorang di
antara mereka yang mengetahuinya. Yang jelas saja,
mereka melihat bahwa para pemimpinnya seperti si
Tangan Iblis, Nyi Durganti, I Jembrana, Jimbaran dan seorang lagi yang bertubuh
kurus, dengan sibuknya
kasak-kusuk melakukan perundingan.
Kabut putih yang sebening sutera mulai mengam-
bang di udara seiring dengan merendahnya sang mata-
hari ke cakrawala barat. Beberapa ekor kelelawar ber-kepak mengembangkan
sayapnya, beterbangan ke
udara mencari makanannya, tanpa menggubris manu-
sia-manusia yang bergerombol di dekat pondok-pon-
dok ilalang di hutan tadi.
*** Di suatu malam, ketika sang purnama mulai me-
ngembang di langit dengan megahnya, sinarnya telah
merambah ke segenap permukaan bumi, sampai dae-
rah Gilimanukpun bermandi cahaya perak.
Beberapa sosok tubuh dengan lincahnya mengen-
dap-ngendap di balik semak-semak hutan kecil yang
terletak di sebelah timur rumah Wayan Arsana. Mereka tampak berhenti dan
membicarakan sesuatu dengan
segenap rombongannya yang terdiri tidak kurang dari delapan orang lebih.
"Dengarkan sekali lagi baik-baik. Terutama dengan
Adi Jimbaran yang pernah membuat kesalahan!"
Semuanya mengangguk, kecuali seorang wanita ber-
wajah mayat kepucatan yang mendengarkan peringa-
tan tadi dengan tenangnya. Itulah dia, Nyi Durganti.
"Ingatlah, bahwa ini bukan penyerbuan yang sebe-
narnya, melainkan sekadar peringatan untuk meng-
guncangkan perasaan mereka! Nah, maka janganlah
melakukan suatu tindakan apapun tanpa isyarat dari
saya!" begitu Tangan Iblis memperingatkan para pengikutnya.
"Jangan kuatir, Kakang. Aku akan memimpin me-
reka agar tinggal di tempat ini baik-baik," ujar I Jembrana berjanji.
"Baik. Sekarang kita bisa berangkat, Ibu," Tangan
Iblis berkata kepada Nyi Durganti. "Mereka akan me-
nunggu kita di sini."
"Ayo, Tangan Iblis. Ikuti aku!" seru Nyi Durganti
sambil meloncat dengan gesitnya meninggalkan tempat itu, laksana seekor kijang.
Tangan Iblis segera menyusulnya dengan melesat ke
arah timur, mendekati arah tembok rumah Wayan Ar-
sana. Keduanya merupakan dua bayangan hitam yang
berkelebatan ringan, tak ubahnya dua iblis yang te-
ngah mencari korbannya.
Keduanya kemudian melesat ke atas tembok pagar
tanpa menimbulkan suara, untuk melanjutkan berlon-
catan dari genting atap rumah satu ke genting lainnya.
Gerakan mereka sangat cepat dan sebatnya, sehingga
orang biasa tak akan tahu tentang penyelundupan ini, apalagi sampai mengetahui
rencana-rencana yang tengah tergambar di otak Tangan Iblis bersama ibunya.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika melihat bekas-
bekas hiasan janur yang telah agak kering di halaman rumah itu.
"Bekas-bekas pesta, Ibu!" bisik Tangan Iblis kepada Nyi Durganti di sebelahnya.
"Agaknya belum lama berlangsung. Mungkin kemarin, atau dua hari yang lalu."
"Biarlah, kita melaksanakan rencana kita," ujar Nyi Durganti.
Kembali mereka berloncatan memutar. Dan ketika
mencapai halaman rumah, Tangan Iblis berhenti se-
saat di atas genting, seraya menatapi dua buah patung singa yang berdiri megah
di depan pintu rumah.
"Ssst, mengapa berhenti di sini?" gereneng Nyi Dur-
ganti kepada anaknya. "Adakah sesuatu yang penting
sampai engkau menghentikan langkahmu?"
"Lihatlah dua buah patung singa itu, Bu. Aku jadi
teringat dengan Pulau Mondoliko."
"Apa hubungannya"!"
"Aku tiba-tiba mendapat satu pikiran yang selama
ini tengah kucari-cari. Tak tahunya pemecahan itu telah kudapatkan di tempat
ini." "Ah ayolah, Ngger! Kita harus cepat-cepat melaksa-
nakan pekerjaan kita," desak Nyi Durganti. "Tentang patung singa itu, pikirkan
saja belakangan."
"Baik, Ibu," sahut Tangan Iblis sambil meloncat
kembali bersama Nyi Durganti ke arah utara, menelu-
suri segenap pojok rumah.
Dalam saat yang bersamaan pula, di sebuah perta-
manan, jauh di sebelah utara yang masih termasuk
lingkungan rumah saudagar Wayan Arsana, dua orang
muda-mudi sedang asyik bercengkerama. Yang putri
sangat cantik, sedang prianya berwajah tampan. Wajah si putri tadi masih
menampakkan bekas-bekas cuku-ran upacara pengantin dan sanggulnya dihiasi bunga-
bunga harum yang semerbak mengambar di udara te-
rang bulan. Keduanya duduk di atas kursi panjang
terbuat dari batu putih dan saling memandang mesra.
"Kau tak menyesal bersuamikan aku, Made Maya?"
bertanya si pria sambil mengusap pipi pengantin putri yang montok merah jambu
itu. "Jangan katakan itu, Kakang Sunutama," ujar Made
Maya, sementara jari-jarinya menutupi bibir suaminya, seperti takut kalau
suaminya berkata-kata lebih lanjut.
"Apakah Kakang masih menyangsikan cinta kasihku?"
"Bukan begitu, Adi Maya. Hanya aku sedikit kuatir
kalau kedudukan kita dipandang tidak seimbang oleh
mata masyarakat."
"Ahh, itu tak usah dipikirkan, Kakang. Mereka toh
cukup menghargai Kakang Sunutama sebagai pemahat
ulung di daerah ini."
Sunutama manggut-manggut mendengar tutur kata
istrinya. "Syukurlah jika demikian, Dinda. Aku tak
pernah menyangsikan cintamu."
"Ooh, Kakang...," keluh Made Maya seraya mere-
bahkan kepalanya ke dada Sunutama yang bidang dan
tegap, membuat laki-laki muda itu tergetar hatinya.
"Heei, mengapa kau menangis, Maya?" sapa Sunu-
tama dengan membelai-belai rambut istrinya. Butiran air mata yang mengalir
keluar dari sudut mata Made
Maya berkilatan tertimpa cahaya perak rembulan, ba-
gaikan intan permata.
"Aku berbahagia, Kakang. Berbahagia sekali," keluh
Made Maya dan memeluk tubuh suaminya lebih erat.
"Lihatlah sang purnama itu, Maya. Ia seperti mener-
tawakan dirimu, karena Dinda telah meruntuhkan bu-
tiran air mata bahagia," berkata kemudian Sunutama
dengan mengusap leher Made Maya, sampai mengge-
linjangkan kegelian.
Sambil tersenyum manja Made Maya merangkul
leher suaminya dan Sunutama membiarkannya. Seke-
jap kemudian sepasang temantin baru itu telah terha-nyut dalam kemesraan
bermandikan cahaya perak
sang rembulan. Huk...! Huk...! Huuukk...!
Siulan burung hantu terdengar memecah kesunyi-
an, mengagetkan tiba-tiba Sunutama dan Made Maya.
"Ooh, aku takut, Kakang Sunutama," ujar Made
Maya dengan manjanya. "Suara burung hantu itu sa-
ngat menyeramkan."
"Eh, masakan seorang pendekar seperti kau ini ta-
kut mendengar suara burung hantu?" desah Sunuta-
ma menggoda. "Apakah tidak mungkin, bahwa burung
hantu tersebut memberi salam dan ucapan selamat
kepada kita?"
"Aku merasa sebaliknya, bahwa ia memberi isyarat
akan datangnya marabahaya," sahut Made Maya.
Sunutama tidak lekas menjawab, melainkan ia meng-
angkat hidungnya ke udara dan menggerundal, "Coba
dengarkan baik-baik, Made Maya. Aku mendengar ge-
rakan yang lembut sekali. Entah bunyi daun terjatuh atau bunyi lainnya aku belum
tahu. Sebaiknya kita
berhati-hati, Dinda."
Belum lama mereka menyelesaikan kata-katanya,
mendadak saja berkelebatlah dua bayangan hitam dari arah selatan dan langsung
turun ke tengah pertamanan, membuyarkan kabut malam yang tengah mela-
yang. Made Maya hampir berteriak mendengar suara beri-
sik yang mengiringi turunnya dua sosok tubuh manu-
sia ke tengah pertamanan. Yang lebih mengagetkannya adalah wajah kaku mayat dari
seorang di antara kedua pendatang itu. Mereka mengeluarkan derai ketawa bernada
berat yang tertahan di dalam mulutnya. Agaknya mereka cukup berhati-hati dan
berusaha agar orang
lain tidak akan mendengarnya.
"Siapa kalian"! Datang secara gelap di tempat ini?"
seru Sunutama bersiaga.
"Bagus kalau kalian bertanya. Tapi coba perhatikan
baik-baik siapa aku ini!" seru si wajah garang yang tidak lain adalah Tangan
Iblis. "Tangan Iblis! Kaulah yang telah merusak keten-
traman di sini beberapa waktu yang lalu"!" berseru
Sunutama dengan beraninya, begitu mengenal wajah
si pendatang. "Jangan banyak mulut. Hari ini aku akan meng-
adakan pembalasan!" sahut Tangan Iblis. "Ibu, apakah pendapatmu sekarang?"
"Robohkan yang laki-laki, tapi jangan kau bunuh!
Biar aku yang akan menangkap perempuannya!" ujar
Nyi Durganti seraya bersiaga pula dengan terkaman-
nya. Jari-jari tangannya mengembang disertai sorot
mata yang mengerikan seperti hantu.
Made Maya yang melihatnya, seolah-olah telah
menghadapi hantu leak yang ganas. Serentak hatinya
menjadi bergetar ketakutan. Namun iapun telah bertekad melawan.
Di saat itu pula Tangan Iblis melesat ke depan, me-
lancarkan serangannya kepada Sunutama yang telah
bersiaga sepenuhnya. Maka sejenak kemudian terjadi-
lah pertempuran yang sangat seru di tengah pertama-
nan yang semula bersuasana tenang.
Sunutama sudah pernah melihat sepak terjang si
Tangan Iblis, karenanya ia sangat berhati-hati dan tidak mau gegabah menghadapi
lawannya ini. "Heh, heh. Kau mampu bertahan berapa jurus
menghadapi seranganku ini, ha"!" ujar Tangan Iblis
dengan melancarkan tendangan kakinya.
Wuuutt! Sunutama cukup waspada dan mengeluarkan gera-
kan gesit berjungkir balik ke udara untuk kemudian
turun ke bawah sambil menyapukan kedua tangannya
ke arah kepala Tangan Iblis dengan gaya ketam men-
capit belut. "Setan!" gerundal Tangan Iblis lantaran kaget de-
ngan serangan Sunutama yang tanpa terduga. Namun
dasar ia telah banyak pengalaman, maka secepat kilat ia menjatuhkan diri ke
bawah. Tak tahunya, Sunutama kembali melancarkan se-
rentetan serangan maut dengan dupakan kaki ke arah dada Tangan Iblis, yang saat
itu masih tertelentang di tanah.
"Heeit, jangan gegabah!" seru Tangan Iblis sambil
menerjangkan kakinya ke atas menyambut dupakan
Sunutama yang mendatang dengan derasnya.
Blaakk! Benturan keras terjadi, dengan akibat Sunutama
terpelanting ke belakang, sedang Tangan Iblis pun peringisan menahan rasa
kesemutan yang menjalar di
kakinya akibat benturan tadi
"Kurang ajar! Bertenaga pula orang muda ini!" um-
pat Tangan Iblis. "Sayang aku tak boleh membinasa-
kannya!" Dengan sedikit pusing, Sunutama cepat bersiaga
kembali untuk menghadapi lawannya.
"Heei, Angger Tangan Iblis! Jangan bermain-main
seperti anak kecil. Lekaslah robohkan anak itu!" seru Nyi Durganti. "Tunggu
apalagi"!"
"Baik, Ibu. Tapi dia cukup bandel!" sahut Tangan
Iblis. "Sebentar lagi, barangkali dua jurus kemudian!"
Demikian teriakan pasti dari Tangan Iblis dan sambil menggeram marah, ia
melipat-gandakan serangannya
kepada Sunutama.
Sementara itu, Made Maya merasa kerepotan meng-
hadapi serangan Nyi Durganti. Apalagi nenek berwajah mayat ini selalu
menyorotkan sinar matanya yang penuh pesona dan memukau. Serangan-serangan yang
dilancarkannya seperti lenyap tak berbekas dalam
tangkisan Nyi Durganti. Dan inilah yang membuatnya
cemas. Seolah-olah lawannya berwujud bayangan be-
laka, sehingga setiap kali diserang, dengan mudahnya ia menangkis.
Kesulitan istrinya ini telah dilihat oleh Sunutama.
Maka gerakannya makin nekad. Namun ini menimbul-
kan kelengahan, dan dua jurus kemudian, seperti su-
dah diramalkan oleh Tangan Iblis, Tangan Iblis menerkam pundaknya.
Plaak! "Aakh!"
Sunutama mengaduh pendek dan pandangannya
menjadi kabur. Berbareng roboh pingsan, mulutnya
menyebut nama istrinya, "Made Mayaaa....!"
"Kakang Sunutama...!" seru Made Maya kecemasan
dan dengan marahnya ia mendamprat ke arah Nyi
Durganti. "Kalian jahat! Awas aku akan berteriak jika kalian tidak minggat dari
tempat ini. Apakah kalian ingin berhadapan dengan Kakek Wiku Salaka dan pen-
dekar-pendekar lainnya"!"
Mendengar ini Nyi Durganti secepat kilat menyapu-
kan tangannya ke depan dan mengusap wajah Made
Maya yang seketika jatuh pingsan di tangan Nyi Dur-
ganti. "Nah, sekarang tempelkan surat peringatan itu!" seru Nyi Durganti kepada Tangan
Iblis. "Lekaslah, Ngger!"
Tangan Iblis pun cepat melemparkan sebilah pisau
yang bertempelkan secarik kain bertulis ke arah sebatang pohon di pertamanan,
sementara Nyi Durganti telah memondong tubuh Made Maya.
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, keparat! Kalian mengacau!" jerit sesosok tu-
buh ramping bersenjatakan sepasang kipas perak di
tangannya dan menyerang Nyi Durganti. "Terimalah
serangan si Putu Tantri ini! Heeitt!"
Nyi Durganti yang sakti itu tidak gugup sedikitpun.
Ia cukup mengibaskan kepalanya sehingga rambutnya
yang terurai panjang menghajar lengan Putu Tantri
sampai gadis ini merasa kesakitan dan lumpuh sesaat.
Kesempatan ini digunakan oleh Nyi Durganti dan
Tangan Iblis untuk kemudian melesat ke atas genting dan berloncatan cepat ke
arah selatan, kabur tanpa
menimbulkan suara.
"Toloooooong! Maling! Maliingng!" teriak Putu Tantri sambil mendeprok kesakitan
di tanah, mengagetkan
segenap isi rumah saudagar Wayan Arsana dan me-
reka berlarian ke arah taman, di mana satu tragedi di tengah kabut baru saja
terjadi. Sampai di sini selesailah seri Naga Geni "Tragedi di Tengah Kabut", dan segera
akan menyusul seri Naga
Geni, yakni "Berakhir di Ujung Fajar". Di situ akan kita ketahui nasib Made Maya
selanjutnya, yang ternyata
membawa serentetan peristiwa yang mengharukan, te-
gang dan sangat menarik.
SELESAI Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** 4 *** *** *** *** 5 *** *** SELESAI Perjodohan Busur Kumala 21 Dewi Sri Tanjung 2 Si Tangan Iblis Tokoh Besar 1
pada tangan kiri dan kanan Putu Tantri, dan karena-
nya, para pengepung tadi terkekeh-kekeh geli melihat sikap tersebut.
"Ha, ha, ha, ha. Kau akan menari, bocah ayu"!" se-
ru Dregil yang suka memandang remeh kepada setiap
orang yang menjadi lawannya.
Tetapi alangkah kagetnya kemudian, sebelum Dregil
melanjutkan kata-katanya, mendadak saja Putu Tantri telah mengibaskan kipasnya
ke depan yang mengembang terbuka dengan bunyi menjetar! Bersamaan itu pula
menyambarlah angin dingin menampar ke depan
Dregil dengan santernya.
"Huh!" desis si Dregil sambil nyungir-nyungir meng-
atasi rasa kagetnya. "Jadi kau mampu pula untuk me-
layani tombakku ini" Baiklah, kau boleh main-main
dengan kipasmu beberapa jurus, tapi setelah itu kau akan kuringkus dalam
pelukanku. Heh, heh, heh!"
Bagaimanapun juga, pendekar Ngurah Jelantik
yang mengikuti peristiwa ini dari tempat persembunyiannya, menjadi kian
tertarik. Arje sudah semakin penasaran menghadapi Ki Su-
kerte yang menggunakan sapu lidi bertangkai sebagai senjata. Rasanya memang
sangat aneh hal itu jika dipikirkan oleh si Arje yang bersenjata pedang dan kini
berputar secepat kitiran mencecar ke arah Ki Sukerte.
Terpaksa Arje berpikir keras untuk ini. Berkali-kali sudah, ia terpaksa
menghindari sodokan-sodokan sapu
lidi yang berujung runcing dan tajam dari lawannya.
Bahkan ia menjadi semakin marah ketika diketahuinya bahwa Ki Sukerte pandai pula
bertempur menghadapi
serangan pedangnya.
Makin bertambah hebat pertempuran tersebut, apa-
bila kawan-kawan Arje dan Dregil telah menerjang pula ke arah Ki Sukerte dan
Putu Tantri. "Maaf, Tuan-tuan," seru Ki Sukerte sambil bertem-
pur. "Sapu lidiku ini biasa untuk menyapu sampah-
sampah kotoran, tapi sekarang terpaksa kugunakan
untuk menghadapi Tuan-tuan sekalian. Sekali lagi harap dimaafkan!"
"Keparat!" sumpah si Arje mendengar ejekan lawan-
nya yang telah menyamakan dirinya dengan sampah
kotoran. "Kau harus mati sekarang!"
Beberapa saat telah berlalu. Kelihatannya Ki Su-
kerte dan anak gadisnya agak kerepotan menghadapi
keroyokan anak buah Tangan Iblis yang telah makan
gemblengan ini. Meskipun senjata sapu lidi Ki Sukerte berhasil melukai salah
seorang di antara pengeroyoknya, tetapi sama sekali tidak memperingan tekanan
dari pihak lawan.
Dalam pada itu, sepasang kipas perak di tangan Pu-
tu Tantri berkilatan menyambar-nyambar kesana-
kemari dengan dahsyatnya dan jaranglah dari lawan-
lawannya yang langsung berani membentur dengan
senjata mereka. Namun agak sayang bahwa jurus-
jurus yang digunakan oleh Putu Tantri terasa kurang sempurna.
Ngurah Jelantik yang masih saja sembunyi, hampir-
hampir meloncat untuk membantu Ki Sukerte berdua.
Tapi mendadak saja terdengarlah jeritan mencicit yang sangat kerasnya mengiringi
berkelebatannya bayangan manusia yang meloncat dari semak-semak bagaikan
keluar dari liang persembunyiannya.
Mereka yang sibuk bertempur, seketika terhenti se-
jenak dengan kemunculan tokoh ini. Rasa kaget ber-
campur pukau menyebabkan mereka tidak dapat ber-
kata-kata untuk beberapa saat lamanya. Bahkan me-
reka mundur beberapa langkah ke belakang, ketika tokoh manusia tadi meloncat ke
tengah arena pertempu-
ran. Dengan demikian, arena tadi seakan-akan terpisah
menjadi dua bagian. Yang sebelah adalah pihak Arje, Dregil, dan kawan-kawannya,
sedang di sebelah lain
berdirilah Ki Sukerte dan Putu Tantri.
Perawakan tokoh yang baru muncul ini agak pen-
dek, namun tegap dan agak bundar pula. Wajahnya ti-
dak tampak bengis, tapi dari sinar matanya yang sipit terbayanglah sifat
kelicikan dan penuh siasat. Ia memakai kain berbunga-bunga coklat dan celana
hitam, tanpa baju. Sedang kulit tubuhnya kehitaman, berbu-
lu-bulu panjang. Yang agak lucu adalah kumis orang
tersebut. Cuma beberapa lembar, panjang-panjang dan kaku. Dihubungkan dengan
gigi depannya yang besar-besar dan selalu meringis, tidaklah bisa disalahkan ji-
ka orang menyamakan wajah tadi dengan wajah seekor
tikus hutan. "Cih! Cih! Cih! Kalian membuat onar di sini, kepa-
rat!" ujar manusia bulat pendek tadi seraya menunjuk ke pihak Arje dan Dregil.
"Kalian mencoba merampas
barang-barang milik orang berdua ini, ha"!"
"Persetan! Ini urusan kami! Apa pula kepentingan-
mu, sampai kau berani turut campur! Apakah kau be-
lum tahu bahwa kami adalah anak buah si Tangan Ib-
lis"!" teriak Dregil sangat marah.
"Tangan Iblis?" ulang manusia bulat pendek seraya
berpikir-pikir sebentar. "Cih! Aku tak kenal namanya!
Tidak peduli si Tangan Iblis atau si Tangan Gendruwo, aku tidak takut karenanya.
Sebab bagi Bagus Wirog tidak ada yang perlu ditakuti, tahu"! Kalau kalian ingin
tahu kepentinganku, barang-barang milik kedua orang inilah yang sejak tadi telah
kuincar!" "Kurang ajar! Jadi kita mempunyai maksud yang
sama, sobat!" seru Dregil. "Kau boleh merampasnya bi-la telah mengalahkan kami
terlebih dahulu!"
"Eee, jadi terangnya kalian menantangku, ya"!" ber-
teriak Bagus Wirog serta mencabut dua buah cambuk
pendek berwarna hitam mengkilat dari ikat pinggang-
nya. Dengan anyamannya yang beruas-ruas, maka
cambuk tadi miriplah dengan dua buah ekor tikus
yang telah terpotong.
Mendengar kesombongan lawannya yang cuma seo-
rang diri, Dregil menggeretukkan giginya. Segera ia berkata kepada kawannya,
"Kakang Arje, biar aku pecahkan kepala si Bagus Wirog ini bersama kawan-
kawan. Kau jagalah Ki Sukerte berdua, supaya jangan lepas sebagai buruan kita!"
"Bagus, Adi Dregil. Cepatlah bertindak!" seru Arje, bersamaan Dregil telah
menerjang ke arah lawan disertai beberapa kawannya.
Bagai macan-macan kelaparan, mereka melesat ke
depan dan senjata-senjata di tangannya berkelebat menyambar kepala Bagus Wirog.
Akan tetapi lawan mere-
ka yang bulat pendek bergigi tikus ini tidak lekas menjadi gentar oleh serangan
membadai tadi. Bagus Wirog ternyata bukan lawan yang dapat di-
duga kekuatannya. Biasanya seorang yang diserang
seperti itu pasti akan menghindar ataupun jika ia
orang yang tangguh, pastilah akan bersiaga menang-
kisnya dengan segala pengerahan tenaga. Namun ti-
daklah begitu dengan Bagus Wirog ini. Begitu senjata-senjata lawan beramai-ramai
menghujan ke arah diri-
nya, ia cepat berjongkok dan memutar kedua cambuk
pendeknya di atas kepala.
Plak! Plaak! Plaak! Taarrr!
Seketika itu juga Dregil dan kawan-kawannya men-
jerit kaget, sebab senjata-senjata mereka seolah-olah telah menerjang bantalan
karet. Itulah tangkisan Bagus Wirog.
Dengan begitu maka Dregil dan kawan-kawannya
terpental surut beberapa langkah dengan tangan ke-
semutan, sedang Bagus Wirog sendiri cuma terkekeh-
kekeh kegelian, masih dalam sikap jongkok.
Untuk jurus tangkisan yang hebat tadi, diam-diam
Ngurah Jelantik mengangguk-angguk kagum dari tem-
pat persembunyiannya.
"Siapakah tokoh yang menamakan dirinya Bagus
Wirog itu?" demikian pikir Ngurah Jelantik.
Dregil menjadi penasaran dan hampir tidak percaya,
bahwa senjata-senjata mereka tidak mampu menem-
bus putaran cambuk pendek dari Bagus Wirog. Maka
Dregil meloncat kembali sambil menyapukan mata
tombaknya ke arah Bagus Wirog lalu disusul pula de-
ngan serangan kawan-kawannya berbareng. Dengan
demikian maka pertempuran hebat berlangsung kem-
bali di tengah hutan yang lebat dan berkabut tipis.
Dalam pada itu, Arje dan tiga orang kawan-ka-
wannya masih terus menjaga kedua lawannya, yakni
Ki Sukerte dan Putu Tantri. Namun sampai sejauh ini mereka tidak berbuat apa-
apa, sebab perhatian mereka sama-sama tertarik ke arah pertempuran dahsyat
antara Bagus Wirog melawan Dregil dan kawan-kawannya.
Sinar matahari yang sangat terik dan panas itu ru-
panya telah mulai menghangatkan dasar hutan dan
permukaan tanahnya, sehingga uap air beramai-ramai
melayang ke atas, merupakan kabut tipis yang mene-
rawang bagai sutera.
Bagus Wirog sungguh menakjubkan gerakannya.
Cepat dan cekatan menerobos serangan lawannya ke-
sana-kemari, sementara kedua cambuk pendek hitam
di tangannya berkali-kali mematuk ke arah pertahanan lawan yang kosong dan
lengah. Sekali-kali ia bergulingan di tanah untuk kemudian meloncat ke atas de-
ngan lincah, bagaikan seekor tikus menerkam lawan-
nya. Kini Dregil dan kawan-kawannya mulai mengucur-
kan keringat dingin setelah berkali-kali senjata-senjata mereka gagal menyentuh
tubuh Bagus Wirog. Sedang
sebaliknya, lawannya yang bertubuh bulat pendek ini kelihatan semakin segar
saja. Bahkan sekarang cambuk pendeknya bertambah ganas.
Pada jurus berikutnya, mendadak saja Bagus Wirog
melenting ke atas dan tiba-tiba cambuk kirinya melecut kepala salah seorang
kawan Dregil, sedang cambuk kanannya menghajar tangan seorang lawannya yang
lain. "Waaarrgh!"
Semuanya terkejut ketika dua jeritan berbareng
mengumandang memasuki udara, disusul dengan dua
tubuh kawan Dregil terjungkal roboh dalam keadaan
kepala retak dan yang seorang tangannya patah!
Keruan saja Dregil dan kawan-kawannya yang ma-
sih tinggal menjadi ngeri juga melihat kedua kawannya roboh dalam keadaan
mengerikan. Sehingga kemudian
mereka terdesak oleh terjangan-terjangan cambuk Ba-
gus Wirog yang datang laksana prahara.
Melihat hal itu, Arje tidak mau tinggal diam menon-
ton kawan-kawannya semakin terdesak. Maka secepat
kilat ia melesat dan langsung menerjang Bagus Wirog dengan tebasan-tebasan
pedangnya yang dilambari
oleh segenap kekuatan dan kemarahan.
Meskipun Dregil telah dibantu oleh Arje dan kawan-
kawan lainnya, namun Bagus Wirog sama sekali tidak
terpengaruh olehnya. Tambahan tenaga Arje tadi seo-
lah-olah cuma tuangan setetes air ke dalam laut tanpa memberi pengaruh dan
perubahan suasana.
Terpaksalah mereka mengakui akan kelebihan Ba-
gus Wirog ini dan mati-matian mempertahankan diri.
Inilah yang benar-benar di luar dugaan. Kalau semula mereka berada di pihak
penyerang, kini berbalik sebagai pihak yang diserang.
"Cih! Cih! Cih! Lekaslah minggat dari sini!" seru Wirog sambil meloncat kesana-
kemari tanpa memberi ke-
sempatan lowong kepada lawan-lawannya untuk seka-
dar bernafas lega.
*** Ngurah Jelantik berdebar-debar pula menyaksikan
pertempuran itu. Iapun bertanya-tanya dalam hati,
apakah sanggup kiranya jika suatu saat ia menolong
Ki Sukerte dan Putu Tantri serta menghadapi Bagus
Wirog ini"!
Arje, Dregil, dan para pengikutnya semakin terdesak lebih hebat lagi. Dapatlah
dipastikan, bahwa mereka
akan berantakan untuk lima jurus kemudian.
"Hih, hi. Hi. Masih belum mau lari" Apakah kalian
menunggu sampai kedua cambukku ini memecahkan
batok-batok kepalamu"!" seru Bagus Wirog, sementara kedua cambuknya terus
beraksi. Dalam saat yang demikian kritisnya, sekonyong-
konyong dua buah sinar menyambar tubuh Bagus Wi-
rog dari balik semak belukar. Untunglah si tokoh bulat pendek ini cepat
melenting ke udara dan dua buah pisau runcing menghunjam ke dalam batang pohon
di sebelahnya. Bagus Wirog kemudian mendarat kembali di tanah
dan mulutnya komat-kamit mengumpat, "Keparat!
Siapa main gila-gilaan ini"! Hayo lekas ke luar, menunjukkan batang hidungmu,
supaya dapat kupecahkan
sekali!" Iapun tertegun, ketika sebagai jawaban kata-kata-
nya, muncullah seorang berperawakan gagah dari ba-
lik semak-semak, melangkah ke tengah arena pertem-
puran dengan tenangnya.
"Kakang Jimbaran!" seru Dregil dan Arje dalam sua-
ra gembira dan penuh harapan. "Si wajah tikus ini telah mengganggu kami!"
"Jangan cemas! Akupun ingin mencoba kekuatan-
nya!" kata Jimbaran sambil melesat dengan gerakan
tiba-tiba, sedang kakinya telah melancarkan tendan-
gan hebat yang sukar diikuti mata!
Buuk! Paha Bagus Wirog tanpa ampun terhajar oleh ten-
dangan Jimbaran, sehingga tubuhnya terguling dan
menggelinding seperti bola. Tetapi sungguh di luar dugaan, ketika kemudian tubuh
Bagus Wirog melenting
balik dan menerjang ke arah Jimbaran dalam kecepa-
tan tinggi, sampai lawan-lawannya kebingungan untuk sesaat.
Plaakk! Pundak Jimbaran ganti terkena tendangan kaki Ba-
gus Wirog sampai tubuhnya terguncang dan jatuh ter-
duduk. Arje, Dregil, dan kawan-kawannya tercekat melihat
kejadian tadi. Berbareng mereka menerjang ke arah
Bagus Wirog dan sesaat kemudian, Jimbaran setelah
bangkit ikut pula mengurung si tokoh bulat pendek
itu. Ki Sukerte dan Putu Tantri masih saja berdiri terce-nung mengawasi
pertempuran tadi. Kalau mereka mau
lari, sebenarnya mudah saja, meskipun dijaga oleh tiga orang anak buah Dregil.
Hanya saja mereka memang
sengaja untuk masih tinggal di situ sambil menyaksikan pertempuran dan jurus-
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurus yang digunakan oleh pihak Jimbaran dan pihak Bagus Wirog.
Tampaklah bahwa Jimbaran dan kawan-kawannya
mengamuk. Mereka bertempur menggunakan jurus be-
rantai yang menghantam lawan dengan gerakan ter-
atur dan sambung-menyambung tanpa ada saat yang
lowong sedikitpun. Kini angin kemenangan ganti ber-
pihak pada Jimbaran dan kawan-kawannya. Keme-
nangan yang semula hampir diperoleh si Bagus Wirog, menjadi buyar dengan
datangnya Jimbaran di pihak
lawan. Agaknya masih beruntunglah buat Bagus Wirog,
karena dimilikinya kegesitan yang luar biasa. Sehingga kendati dirinya telah
terdesak, masih saja ia mampu meloloskan diri dari sentuhan senjata-senjata
lawannya. "Celaka! Aku makin terdesak!" desis Bagus Wirog
bersungut-sungut gelisah. "Ketiga lawanku yang uta-
ma ini, memiliki tenaga gabungan yang luar biasa.
Sangat sulit untuk memecahkan tenaga mereka seo-
rang diri. Untuk laripun rasanya sangat sukar! Mereka
telah mengepungku dari segenap arah, tak ubahnya
satu lingkaran mata rantai baja! Hmm, biar kucoba
untuk beberapa saat lagi!"
Dari tempat persembunyiannya, Ngurah Jelantik se-
perti terpukau menyaksikan pertempuran tadi. Mata-
nya terus saja melotot, sebab ia memang merasa
sayang untuk berkedip sebentar saja dan melewatkan
adegan-adegan di depannya. Jurus-jurus yang diguna-
kan oleh Bagus Wirog sungguh menarik hatinya, serta diam-diam ia mencatat di
dalam otaknya yang cerdas.
Bagus Wirog yang semula berusaha mengatasi te-
kanan dari pihak lawannya, ternyata tidak berhasil
dengan baik. Malahan hampir-hampir saja pedang
Jimbaran sempat membacok kepalanya, jika ia tidak
lekas-lekas membuang diri ke samping serta berguli-
ngan di tanah. Tampaklah Bagus Wirog terengah-engah dengan
mulut menyeringai, hingga giginya yang besar-besar
menonjol keluar tak ubahnya sikap seekor tikus yang ketakutan karena kalah
berkelahi dan menanti ajal-nya.
Melihat itu, Jimbaran dan kawan-kawannya telah
bersiap melancarkan serangan terakhir yang pasti
mematikan. Dengan langkah perlahan mereka mende-
kati Bagus Wirog, sementara senjata-senjata di ta-
ngannya gemerlapan oleh sinar matahari.
Baik Ngurah Jelantik maupun Ki Sukerte dan Putu
Tantri sama tergetar hatinya melihat adegan yang tegang itu. Meskipun Bagus
Wirog dan pihak Jimbaran
semula sama-sama bermaksud jahat, merampas ba-
rang-barang Ki Sukerte, namun kini keadaan Bagus
Wirog benar-benar memilukan dan patut dikasihani.
Mendadak saja, si tokoh bulat pendek itu mendo-
ngakkan kepalanya ke atas dan mengeluarkan jeritan
panjang mencicit yang seketika memenuhi udara di
tengah hutan dengan menggetarkan dada siapa saja.
Jeritan tadi lebih mirip jeritan seekor tikus daripada jeritan seorang manusia.
Karenanya, tidak mengherankan bila Ki Sukerte berdua, Ngurah Jelantik, maupun
Jimbaran beserta anak buahnya hampir-hampir tidak
bisa mempercayai bahwa jeritan tadi keluar dari mulut Bagus Wirog, si manusia
bulat pendek. Berbareng selesainya kumandang dan gema jeritan
mencicit dari Bagus Wirog tadi, terdengarlah suara
gemeresak daun semak belukar dan rerumputan di sebelah timur mereka, seolah-olah
bunyi injakkan kaki berpuluh-puluh banyaknya.
Suara berderak dan gemerisik tadi makin dekat dan
sesaat kemudian terlihatlah satu pemandangan yang
membuat Jimbaran serta semua orang yang berada di
tempat itu mengeluarkan jeritan tertahan. Sebab dari sela dedaunan dan rumput-
rumput muncullah belasan
ekor tikus hutan yang besar-besar, berbulu hitam ke-coklatan dan bergigi tajam.
Dari gerakannya yang gesit dan mulutnya yang menyeringai mengeluarkan liur,
dapatlah diketahui bahwa puluhan tikus tadi sangat
liar. Namun mengherankan pula, ketika binatang-bina-
tang pengerat ini berhenti dan menggerombol di sam-
ping dan di belakang Bagus Wirog sambil mencicit-
cicit, menciumi kakinya seakan-akan memeriksa kaki
Bagus Wirog mengalami cedera atau tidak.
Siapakah tidak mengkirik dan berdiri bulu teng-
kuknya melihat pemandangan yang ganjil dan me-
nyeramkan ini" Bagus Wirog yang berdiri tegap di sekitar puluhan tikus-tikus
hutan ini tak ubahnya raja da-ri para tikus liar tersebut. Apalagi wajahnya yang
agak mirip-mirip tikus itu menyebabkan keganjilan tersebut benar-benar mencekam
perasaan orang-orang yang berada di sekeliling tempat tersebut.
Terlebih-lebih bagi Jimbaran dan anak buahnya
yang semula mengepung rapat-rapat terhadap Bagus
Wirog, kini dengan sendirinya mundur-mundur ke be-
lakang dengan hati kecut.
Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, tiba-
tiba saja Bagus Wirog telah mencicit keras sambil menunjukkan jarinya ke arah
Jimbaran dan anak buah-
nya. Maka seketika itu juga, puluhan tikus hutan yang bergerombol di sekitar
Bagus Wirog menyerbu berloncatan, meluruk bagai air bah, ke arah mereka dengan
suara bergemuruh dan mencicit-cicit.
Seorang anak buah Jimbaran yang berdiri paling
depan mencoba untuk menebaskan pedangnya, tapi
binatang-binatang pengerat yang liar ini lebih cepat menyerangnya.
"Awas, Ktut!" teriak teman-temannya.
Tapi terlambat! Dalam sekejap mata, pada tubuh
orang itu telah bergayutan puluhan ekor tikus yang
mencercah badannya dengan gigi-gigi tajam dan beker-ja cepat.
"Tikus-tikus keparat! Pergi! Pergiii!" teriak histeris terdengar dari mulut si
Ktut yang sejurus kemudian telah terguling roboh di tanah.
Sambil bergulingan tadi, si Ktut berusaha mengi-
bas-ibaskan tangan dan kakinya yang kini telah meng-hitam karena hampir-hampir
tertutup oleh tubuh-
tubuh tikus hutan yang mengeroyoknya.
Putu Tantri yang melihat kejadian ini, mendekap
erat-erat ayahnya, Ki Sukerte. Hampir saja gadis ini pingsan karena tak tahan
melihat adegan yang ngeri
dan menyeramkan tadi.
"Aaakh! Tolong! Tolooongng! Aduuh... sakit., sakiiit!"
Jerit kesakitan dan parau terdengar dari mulut si Ktut yang masih berusaha
berkutat melepaskan tikus-tikus yang kini telah mulai menggerogoti tubuhnya,
sehingga darahpun bercucuran membasahi tubuh dan tanah di
sekitarnya. Ternyata bau darah segar dan amis itu sangat me-
narik selera tikus-tikus lain yang belum ikut mengeroyok tubuh si Ktut, sehingga
dengan cepat mereka beramai-ramai menyerbu ke tubuh manusia yang telah
tidak berdaya dan kini berkelojotan di tanah setengah mati.
Boleh dikatakan semua mata terpukau menghadapi
adegan yang paling mengerikan yang belum pernah
terjadi selama hidup mereka. Apalagi kini mereka menyaksikan dengan mata kepala
sendiri. Sedang Ngurah Jelantik yang sedari tadi masih saja
terpukau di tempat persembunyiannya, seperti tidak
mau percaya untuk meyakini bagaimana puluhan ti-
kus liar bisa diperintah oleh seorang manusia, dan berani menyerang manusia
pula! Tapi pertanyaan ini
memang tak pernah bisa terjawab manakala perhatian
tertumpah pada adegan yang mengerikan ini. Si kor-
ban sudah tak mampu berbuat apa-apa dan sesaat
kemudian ia masih berusaha merangkak, tapi toh ak-
hirnya jatuh kembali di tanah dan menggelepar-gelepar sangat mengharukan.
"Waaarrrggghhh!"
Terdengarlah jerit berkepanjangan dan itulah meru-
pakan jerit terakhir dari mulut si Ktut. Tubuhnya ter-hampar di tanah tanpa
berkutik, sementara puluhan
tikus liar itu dengan lahapnya menggerogoti kulit dagingnya. Gigi-gigi setajam
pahat mereka, bekerja dengan cepatnya. Memotong, menggerek dan mencercah
tubuh sang korban untuk kemudian dilahap dan pin-
dah ke dalam perut-perut mereka, yang tampaknya se-
lalu lapar serta keranjingan daging segar.
Jimbaran dan anak buahnya seketika terbang se-
mangatnya melihat sepak terjang tikus-tikus lain yang
telah membinasakan salah satu kawannya dalam seke-
jap saja. Mereka menjadi sibuk menjaga diri supaya tidak ikut direncah oleh
tikus-tikus tersebut. Beberapa orang, termasuk Jimbaran, Dregil, dan Arje,
dengan lincahnya menggebrak tikus-tikus yang mencoba me-
rangsak tubuh mereka. Namun terpaksa mereka terhe-
ran-heran dan kewalahan, ketika tikus-tikus yang di-gebrak tadi, begitu
terjatuh, lalu serentak menyerbu kembali ke arah mereka dengan ganasnya.
Sementara itu, Putu Tantri menjerit dan terisak-isak ketika pandangan matanya
menatap ke arah tubuh si
Ktut yang malang. Ternyata tubuh si korban dalam
waktu singkat telah merupakan kerangka tulang de-
ngan sedikit sisa-sisa daging merah yang melekat di sana-sini. Sedang di
sekitarnya, puluhan tikus yang telah selesai berpesta-pora tadi kelihatan duduk-
duduk sambil mulutnya masih berkomat-kamit, mengunyah
sisa-sisa daging dan darah segar yang masih berlepotan di sekitar mulut.
Sebentar kemudian mereka ramai lagi mencicit-cicit
dan menatapkan pandangan matanya ke arah Jimba-
ran serta anak buahnya. Mata hewan-hewan kanibal
tadi memancarkan perasaan yang selalu haus akan
daging dan darah dari manusia-manusia yang berdiri
di hadapannya. Hal ini dapat pula diketahui oleh Jimbaran yang senantiasa
waspada. Setelah dia melihat
kematian si Ktut dan betapa nekadnya binatang-
binatang liar tadi dalam menghadapi lawannya, maka
cepat-cepat ia memberi tahu kepada anak buahnya.
"Awas, tunggu aba-abaku! Kita harus segera me-
nyingkir dari binatang-binatang terkutuk ini!"
Bagus Wirog tertawa terkekeh-kekeh melihat ting-
kah ketakutan dan kengerian dari Jimbaran dan anak
buahnya. Seraya duduk di atas sebongkah batu besar
ia mengejek dan berseru ke arah mereka, "Ha, hi, hi,
hi! Mengapa tidak lekas-lekas angkat kaki dari tempat ini"! Apakah kalian ingin
seperti temanmu tadi"! Tinggal tulang dan mampus dalam sekejap mata"!"
Selesai dengan kata-katanya, Bagus Wirog meng-
acungkan tangannya ke arah rombongan Jimbaran
disertai jeritan mencicit-cicit yang ke luar dari mulutnya. Serentak para tikus
liar tadi menyerbu, menggemuruh ke arah manusia-manusia di depannya. Dari
mulutnya terdengar bunyi mencericit riuh, seolah-olah saling mengatakan, mana
manusia-manusia yang bakal direncak sebagai korbannya.
Akan tetapi Jimbaran telah mengambil satu kepu-
tusan untuk menyingkir dari tempat itu. Bagaimana-
pun juga, sebagai manusia, Jimbaran dan kawan-
kawannya tidak sudi mati konyol di mulut binatang-
binatang pengerat yang lahap daging itu. Kalau toh ia mati, lebih baik mati di
tangan manusia-manusia yang menjadi lawannya. Sedang kini yang dihadapi oleh
mereka adalah para tikus liar. Dan alangkah rendah dan hinanya menurut mereka,
jika seandainya sampai mati dikeroyok oleh binatang tersebut.
"Mundur!" teriak Jimbaran kepada kawan-kawan-
nya, dan serentak mereka berloncatan ke belakang untuk kemudian kabur ke arah
utara. Kepergian gerombolan Jimbaran tadi diiringi oleh
gema ketawa Bagus Wirog yang terkekeh-kekeh meng-
umbar ketawa puasnya. Sementara itu, para tikus ikut pula mencericit ramai
sambil mengangguk-anggukan
kepala. Malahan satu dua ekor di antaranya, berloncatan menjungkit-jungkit,
bagai luapan rasa gembiranya.
Tempat tersebut telah penuh oleh tikus-tikus dan
sekarang hanya Ki Sukerte serta Putu Tantri yang tinggal di situ, di samping
Bagus Wirog sendiri. Beberapa ekor tikus masih tampak menggerogoti kerangka si
Ktut hingga menimbulkan pemandangan yang me-
ngerikan, tapi juga mengharukan.
"Cih! Cih! Chih! Para pengecut telah kabur!" kata
Bagus Wirog menggeleng-gelengkan kepala. "Mengapa
tidak sedari tadi, sebelum kawannya yang seorang ini mampus"!"
Ki Sukerte dan Putu Tantri sesaat masih terpaku di
tempatnya ketika Jimbaran dan kawan-kawannya me-
ninggalkan tempat tersebut. Mereka tersadar dan kaget oleh bentakan Bagus Wirog
yang tiba-tiba mengacungkan tangan.
"Heeii, kalian berdua! Hi, hi, hi. Sekarang kamulah yang akan mendapat giliran
berikutnya untuk diga-nyang oleh tikus-tikus ini! Kecuali jika Anda menyerahkan
semua barang-barangmu, termasuk sepasang
kipas perak di tangan bocah manis itu!"
Ki Sukerte memandang sesaat ke samping, kepada
Putu Tantri, lalu berkata kepada Bagus Wirog keras-
keras, "Kau manusia biadab! Mana bisa barang-barang pusaka ini mesti kami
serahkan kepadamu dengan
enaknya!" "Jadi kalian ingin kekerasan untuk mempertahan-
kan barang-barang butut itu"!"
"Cobalah untuk mengambil barang-barang ini dari
tanganku, kalau mau! Mereka akan kupertahankan
mati-matian! Bukankah begitu, Putu Tantri"!"
Gadis yang memegang sepasang kipas perak itu
mengangguk mantap seraya memasang jurus memper-
tahankan diri, sebab ia telah yakin bahwa sebentar
kemudian bakal terjadi pertarungan ramai.
"Kalau begitu, matilah kalian!" seru Bagus Wirog serentak mengacungkan
tangannya, disusul kemudian
puluhan tikus tadi menyerbu dengan liarnya ke arah
Ki Sukerte dan Putu Tantri.
Kedua ayah dan anak ini cepat menggunakan senja-
tanya, menghadapi para tikus yang telah siap meren-
cah tubuh tanpa ampun. Kedua kipas perak di tangan
Putu Tantri berkali-kali berkelebatan menyambar para tikus yang berani mendekat
ke arahnya, namun patut
dikagumi bahwa tikus-tikus tadi mampu mengelak
dengan gesitnya. Dengan demikian untuk sementara
Putu Tantri berhasil menanggulangi serangan tikus-
tikus tersebut, akan tetapi ia tak berhasil membunuh seekorpun. Jadi tampaklah
bahwa masing-masing saling serang-menyerang dan mengelak tanpa korban
yang jatuh. Entah apa sebabnya para tikus itu tidak berani le-
bih seru menyerang Putu Tantri. Apakah disebabkan
gadis ini bersenjata kipas perak yang selalu menyambar-nyambar melindungi diri,
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ataukah memang me-
reka sengaja mempermainkan Putu Tantri. Sebab bisa
juga dimaklumi, setelah gadis itu kelelahan, tentulah suatu saat ia akan
terlengah dan di saat itulah para tikus tadi merencah dan melahap tubuhnya!
Berbeda dengan Ki Sukerte yang bersenjata sapu
bertongkat. Seganas tikus-tikus itu menyerang, secepat itu pula senjata aneh
tadi berputar disertai sambaran-sambaran yang mematikan. Seekor di antara ti-
kus-tikus tadi segera terhajar oleh ujung lidi-lidi yang tajam dan seketika
terpelanting jatuh di antara kawan-kawannya dengan keadaan tubuh luka-luka
mencu- curkan darah. Tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang aneh, tapi ju-ga mengerikan. Dan ternyata
inilah nanti yang mem-
pengaruhi kelemahan pertahanan Ki Sukerte dan Putu
Tantri. Si tikus yang terluka tadi, begitu tubuhnya terjatuh di antara kawan-
kawannya, segera dikeroyok
dan direncah oleh para tikus lainnya sampai tubuhnya hancur dan lumat dalam
sekejap mata, untuk kemudian dilahap oleh mereka! Inilah yang aneh! Apakah
karena mereka marah melihat seorang di antara ka-
wannya terluka dan kemudian menghukum serta
membunuhnya sendiri" Ataukah barangkali mereka
masih kelaparan, sehingga begitu melihat kawannya
terluka dan bakal mati dengan cuma-cuma, segera di-
ganyangnya sendiri"!
Keruan saja Putu Tantri menjadi ngeri dan perta-
hanan dirinya menjadi kendor. Hal ini mempengaruhi
pula Ki Sukerte. Melihat anaknya kehilangan seman-
gat, iapun menjadi putus asa. Maka terdesaklah me-
reka oleh puluhan tikus-tikus tadi dan bisa dipastikan bahwa keduanya segera
akan mengalami kematian
tragis, seandainya sebuah bayangan manusia tidak segera melesat ke arah mereka.
"Kisanak! Janganlah takut! Aku membela kalian!"
seru bayangan manusia tadi yang tidak lain adalah
pendekar Ngurah Jelantik. "Teruskan pertahankan de-
ngan senjata-senjata Anda!"
"Baik! Terima kasih, sahabat," ujar Ki Sukerte pula.
"Nah, Putu Tantri, bangkitkan lagi keberanianmu!"
Maka sekejap kemudian ketiga orang itu memain-
kan senjata-senjatanya dengan hebat, dilandasi oleh ilmu permainannya yang
matang sehingga pertempuran tadi menjadi kian seru. Ketiga orang ini dapat
merobohkan beberapa ekor tikus setelah dengan mati-
matian bertempur sengit melawan hewan-hewan pe-
ngerat tadi. Itupun sebenarnya telah merupakan kemajuan yang
dapat mereka capai, sebab sesungguhnya tikus-tikus
tersebut mampu bertempur seperti naluri manusia,
seperti menyerang, mengelak gerak tipuan, dan seba-
gainya. Rasanya, mereka telah memiliki kecakapan ta-di dengan latihan dan
melewati percobaan-percobaan
yang terinci. Maka tak heranlah, meskipun beberapa ekor dari
tikus-tikus tadi telah binasa, yang lainnyapun masih
gigih dan sengit melancarkan serangan-serangannya.
Agaknya saja pertempuran ini akan menelan waktu
yang lebih lama.
Bagus Wirog yang sejak semula masih duduk di
atas batu besar itu diam-diam telah menggeram ma-
rah, sesudah sekian lama mengikuti pertempuran ter-
sebut. Ia mulai menjadi risau begitu dilihatnya beberapa ekor tikus pengikutnya
telah binasa oleh senjata-senjata ketiga lawannya.
"Keparat!" desis Bagus Wirog. "Ada yang membela
kedua orang calon korbanku. Tunggulah sepak ter-
jangku yang segera akan datang melandanya! Haaatt!"
Tubuh Bagus Wirog melesat, berkelebat dengan ge-
sitnya, segesit loncatan tikus-tikus liar yang berada di situ. Ia langsung
menerjang ke arah Ngurah Jelantik, sementara kedua cambuk hitam pendek di
tangannya dengan deras melayang ke pundak lawan.
"Awas, Tuan!" seru Putu Tantri dari samping, ketika ia melihat serangan kilat
Bagus Wirog yang datang dengan dahsyatnya.
Pendekar Ngurah Jelantik cepat memutar tubuh se-
raya mengibaskan pedangnya ke samping, menangkis
terjangan cambuk Bagus Wirog.
Blaarr! Sebuah letupan membisingkan terdengar sewaktu
pedang Ngurah Jelantik berbenturan dengan kedua
cambuk pendek Bagus Wirog.
"Uhh!" keluh si Ngurah Jelantik sambil terpental ke belakang akibat benturan
tadi. Hampir saja ia jatuh tunggang-langgang ke arah puluhan tikus-tikus di si-
tu, jika saja ia tidak cepat-cepat berjumpalitan ke atas, memunahkan pengaruh
dari benturan lawannya itu.
"Bagus! Bagus! Tapi seranganku tidak sampai se-
kian saja, sobat! Inilah dia sambungannya!" seru Bagus Wirog dengan kerasnya.
Ngurah Jelantik yang telah melesat turun segera
disambut oleh serangkaian serangan dari Bagus Wirog.
Akan tetapi, sejak ia hampir roboh oleh benturan senjata lawannya yang bulat
pendek itu, segeralah ia me-nyiapkan diri. Sebab sejak itulah ia mengetahui
ukuran kekuatan dan ilmu Bagus Wirog yang sesungguh-
nya sangat hebat dan kemungkinan berada di atas
tingkatan dirinya. Karenanya, pertempuran menjadi
lebih hebat. Dengan turun tangannya Bagus Wirog ke arena per-
tempuran, sesungguhnya membuat keadaan Ki Sukerte
dan Putu Tantri menjadi terancam kembali oleh sera-
ngan-serangan tikus liar tadi, sebab untuk menanggulangi Bagus Wirog,
terpaksalah Ngurah Jelantik men-
curahkan dan memusatkan perhatiannya sepenuhnya
kepada lawannya. Ini berarti ia tidak lagi sempat memberikan bantuannya kepada
Ki Sukerte dan Putu Tan-
tri dalam menghadapi tikus-tikus tersebut.
Pada sesungguhnya, meskipun ia sibuk bertempur
melawan Bagus Wirog, pendekar Ngurah Jelantik ber-
kali-kali melempar pandang ke arah Ki Sukerte dan
anak gadisnya. Ia merasa tidak sampai hati membiar-
kan kedua orang itu bertempur sendirian melawan he-
wan-hewan pengerat yang liar dan senantiasa haus
korban. Justru perhatian Ngurah Jelantik berkali-kali menjadi terpecah
karenanya. Memanglah kalau dipikir-pikir, keadaan sama-sama serba sulit, baik
bagi Ngurah Jelantik maupun bagi Ki Sukerte dan Putu Tantri sendiri.
"Rasakanlah olehmu, sobat! Sebentar lagi mereka
berdua akan binasa dilahap oleh tikus-tikus ini, sedang engkau sendiri juga akan
mampus di tanganku!"
seru Bagus Wirog. "Salahmu sendiri mengapa engkau
sampai campur tangan!"
"Hah, jangan main gertak terhadapku, iblis! Aku
masih mampu menghadapi seranganmu! Sekarang,
apa lagi yang akan engkau keluarkan"!"
Ucapan Ngurah Jelantik tadi betul-betul meme-
rahkan telinga Bagus Wirog. Ia tidak lekas menjawabnya, kecuali sesaat kemudian
mulutnya mengeluarkan
bunyi mencicit keras.
Keruan saja Ngurah Jelantik menjadi kaget dan
hampir tidak percaya bahwa suara jeritan tikus tadi bisa keluar dari mulut Bagus
Wirog. Detik berikutnya, puluhan ekor tikus hutan yang
liar dan masih segar bermunculan dari balik semak belukar seakan-akan baru saja
keluar dari liang rumahnya. Mereka langsung menyerbu Ngurah Jelantik, se-
lagi ia sibuk dan gigih bertempur melawan Bagus Wi-
rog. "Ha, ha, ha. Hiruplah udara segar sebanyak-ba-
nyaknya dan tataplah wajahku baik-baik sebelum tu-
buhmu hancur dicacah mereka. Atau barangkali kau
lebih suka mati karena senjataku ini, haa"!" seru Bagus Wirog dengan mencecar
terus-menerus ke arah
Ngurah Jelantik.
Mendapat serangan ganda dari tikus-tikus dan Ba-
gus Wirog sendiri, Ngurah Jelantik menjadi kian kerepotan. Keringatnya
bercucuran membasahi setiap ku-
litnya, dan hampir saja pedangnya terlepas karena telapak tangannyapun telah
licin. Tambahan lagi, ha-
tinya pun kian risau, ketika melihat ke arah Ki Sukerte dan Putu Tantri. Mereka
telah pula nampak akan kele-tihannya serta keputus-asaan yang membayang dari
wajahnya. Jika seandainya Ngurah Jelantik tadi sendirian saja, agaknya tak akan
malulah jika ia mengambil langkah seribu, melarikan diri dari Bagus Wirog serta
para tikus liar tadi. Tapi bukankah ia masih harus
mengingat kedua orang lain yang patut ditolong dan
diselamatkan dari kebinasaan"
Dalam keadaan yang menegangkan, di mana kebi-
nasaan telah mengancam kepada Ngurah Jelantik, Ki
Sukerte, serta Putu Tantri, sekonyong-konyong terdengarlah bunyi dengungan yang
sambung-menyambung
membahana ke segenap sudut-sudut daun pepohonan
dan pelosok-pelosok hutan di sekitar arena pertempuran tadi.
Hal ini mengagetkan siapa saja, baik manusia-ma-
nusia maupun puluhan tikus-tikus yang berada di si-
tu, sehingga tanpa disadari pertempuran menjadi kendor beberapa saat.
Mulut-mulut para tikus pengikut Bagus Wirog pada
saling mencericit, seperti membayangkan satu kegeli-sahan yang mulai merayapi
hati segenap makhluk
yang berada di tempat itu, seperti burung-burung unggas yang beterbangan
menyingkir ke udara, disusul
beberapa ekor bajing berloncatan dengan paniknya.
Dengungan tadi makin jelas terdengar, turun naik
mengalun dari arah selatan bagai sebuah alunan mu-
sik yang mampu menggetar dan merobohkan segenap
isi hutan. Nguuggng.... Digerakkan oleh naluri yang sama, mereka serentak
mengawaskan mata ke arah selatan, di mana daun-
daun seperti tergetar dan sesaat kemudian menampak-
lah segumpal kabut putih yang mengalir ke utara me-
nembus dedaunan dengan diiringi bunyi berisik dan
mendengung. "Ohh! Apakah itu yang datang"! Hantu"!" pikir pen-
dekar Ngurah Jelantik dengan perasaan panik. "Celaka ini. Bertambah lagi bahaya
yang mengancam...."
Tak berbeda dengan Ki Sukerte dan Putu Tantri
yang berdiri dengan cemas. Keduanya tidak mengira
bahwa perjalanannya telah menemui rintangan-rinta-
ngan yang sangat berbahaya. Pencegatan oleh orang-
orangnya Jimbaran, kemudian Bagus Wirog, dan kini
bahaya apalagi yang tersembunyi di belakang suara
berdengung itu.
Setiap dada makin berdebar-debar manakala gum-
palan awan putih tadi semakin mendekat ke arah me-
reka, tanpa ada yang bisa mengetahui apakah sebe-
narnya itu. Mendadak saja gumpalan awan putih tadi meluruk
ke bawah, menyebar ke arah bekas arena pertempuran
laksana sebuah gumpalan awan mendung yang pecah
dan menyebarkan air hujan.
"Tawon putih!" teriak Bagus Wirog dalam nada sua-
ra parau dan berbau panik ketakutan, ketika ia dapat mengenal bahwa gumpalan
kabut awan yang meluruk
dan memencar ke arahnya itu, adalah serombongan
lebah-lebah berbisa yang ratusan jumlahnya! Dan ce-
lakanya, kawanan lebah putih berbisa tadi langsung
menyerangnya. Keruan saja Bagus Wirog secepat kilat memutar ke-
dua cambuk pendeknya untuk melindungi tubuhnya
dari serangan kawanan lebah berbisa tadi. Sedang pa-ra tikus pengikut Bagus
Wirog, menjadi kalang-kabut setelah mereka diserang oleh beratus-ratus lebah
berbisa dari udara.
Berbeda sewaktu mereka menghadapi manusia
yang bertubuh lebih besar dan mudah menyerangnya,
akan tetapi mereka sekarang berhadapan dengan la-
wan-lawan yang jauh lebih kecil dan bersenjatakan
sengat-sengat berbisa.
Beberapa ekor tikus segera terkena sengatan lebah
putih itu dan sejurus kemudian berkaparan di tanah
dengan tubuh kaku tanpa nyawa.
Sungguh hebat serangan lebah putih yang memati-
kan tersebut, sehingga patutlah bahwa Bagus Wirog
bertempur mati-matian menjaga dirinya.
Tapi terjadi pula satu keanehan, bahwa lebah-lebah
tadi cuma menyerang Bagus Wirog dan tikus-tikusnya.
Sedang Ki Sukerte, Putu Tantri, serta Ngurah Jelantik, cuma dilewatinya, tanpa
diusik sedikitpun. Itulah pula sebabnya mereka bertiga jadi terbengong-bengong
keheranan, menyaksikan pertempuran aneh yang selama
hidupnya baru sekali ini dilihatnya.
*** 5 TIKUS-TIKUS YANG MATI KAKU karena sengatan
lebah-lebah beracun makin bertambah jumlahnya.
Bangkai-bangkainya berserakan terkapar di sana-sini, sementara yang masih hidup
dengan sibuknya berloncatan kesana-kemari menghindari serangan lawan
yang tidak kurang ganasnya. Hal ini tidak sedikit menimbulkan kekacauan pada
gerombolan tikus-tikus
tadi. Kadang-kadang mereka saling bertubrukan ketika berloncatan menghindari
serangan lebah putih.
Demikian pula Bagus Wirog makin kerepotan dan
terdesak meskipun ia dengan hebatnya memutar ke-
dua cambuk pendek secepat kitiran berpusing. Me-
mang ia berhasil pula meruntuhkan beberapa ekor le-
bah, tapi itupun setelah sekian lama bertempur mati-matian.
"Serangga keparat!" teriak Bagus Wirog mengumpat-
umpat dengan kemarahan yang memuncak, seraya
mengeluarkan jurus-jurus puncak dari permainan
cambuk hitamnya. Benar-benar seperti orang kerasu-
kan setan sepak terjang Bagus Wirog sekali ini, sampai tak memperdulikan keadaan
sekeliling, kecuali pusat perhatiannya cuma tertuju ke arah lebah-lebah putih
yang beterbangan mengeroyok dan berkeliling di seki-
tarnya. Namun tak lama kemudian, ketika kakinya kena
tabrak oleh seekor tikus, Bagus Wirog seperti teringat kembali kepada nasib para
tikus anak buahnya itu.
Dan seketika bukan main kagetnya, begitu ia tepat melempar pandangan matanya ke
arah sekeliling. Tam-
paklah dengan jelas, tidak kurang dari dua puluh ekor tikus pengikutnya, telah
mati kaku tergeletak di tanah.
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini sadarlah bahwa keadaan tidak begitu mengun-
tungkan bagi dirinya serta segenap tikus-tikus tadi.
Kalau toh ia mampu bertahan dalam menghadapi se-
rangan lebah-lebah itu, berarti akan lebih banyak korban yang jatuh di pihak
tikus-tikus anak buahnya.
Bagus Wirog segera mengeluarkan jeritan mencicit
yang panjang disusul dengan tubuhnya meloncat ke
arah semak belukar di sebelah timur. Demikian pula
dengan serentak, para tikus anak buahnya menarik di-ri dari tempat pertempuran
untuk kabur ke arah ti-
mur, mengikuti Bagus Wirog.
Sebentar saja Bagus Wirog dan tikus-tikusnya telah
lenyap dari pandangan mata. Yang tertinggal kemudian hanyalah bangkai-bangkai
tikus yang telah mati kaku.
Sedang lebah-lebah putih itu masih beterbangan berkeliling di atas bekas arena
pertempuran, bagai gumpalan awan putih yang berdengungan membisingkan.
Karenanya, Ngurah Jelantik, Ki Sukerte, dan Putu
Tantri merasa cemas. Sebab, setelah kaburnya Bagus
Wirog dan tikus-tikusnya, tidaklah mustahil bahwa lebah-lebah berbisa itu akan
ganti menyerang diri me-
reka! Namun, mendadak saja berkelebatlah satu baya-
ngan bertubuh ramping dari arah selatan, menuju ke
arah mereka sambil bersenandung merdu.
"Lebah putih lebah sayang, terbang rendah me-
layang-layang. Orang baik patut disayang, orang jahat
pasti diserang. Ha, ha, ha. Maaf, sahabat-sahabat
sayang. Andika semua tak perlu kuatir dengan lebah
putihku ini!" ujar seorang gadis cantik yang masih remaja sekali sambil
berloncatan mendekati Ngurah Je-
lantik bertiga.
Gerakan yang ringan hampir tanpa suara membuat
gadis remaja ini seakan-akan melayang dan Ngurah
Jelantik bertiga menjadi kagum karenanya.
"Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan No-
na!" ujar Ngurah Jelantik seraya mengangguk kepada
gadis remaja tadi. "Dan perkenalkanlah, saya bernama Ngurah Jelantik, sedang
mereka ini adalah Ki Sukerte dan Putu Tantri."
"Aah, sama-sama, Tuan. Sesama makhluk, kita wa-
jib tolong-menolong," berkata si gadis remaja sambil melempar senyum manis yang
menggetarkan hati Ngurah Jelantik.
"Nama saya adalah Tanjung," demikian si gadis re-
maja memperkenalkan diri dan mendadak saja sesosok
bayangan orang tua melesat ke arah mereka berbareng Tanjung berseru. "Oh, itu
kakek saya, Ki Tutur telah datang. Sekarang aku harus pergi meninggalkan Andika
bertiga." "Maaf, Tuan-tuan. Cucuku ini sangat nakal. Ia ter-
lalu jauh menggembalakan lebah putihnya," seru si
kakek Tutur seraya menyambar pinggang si Tanjung
dan kabur ke arah selatan, bersama lebah-lebah putih yang terbang mengelompok
bagai gumpalan awan putih yang berdengungan di sepanjang jalan.
Pendekar Ngurah Jelantik, Ki Sukerte dan Putu
Tantri menghela nafas dengan lenyapnya Ki Tutur,
Tanjung, dan lebah-lebah putihnya, di balik pepoho-
nan yang lebat. Mereka merasa sayang bahwa kejadian tadi telah berlalu dengan
cepatnya tanpa suatu perke-nalan yang lebih mendalam. Akhirnya merekapun te-
lah bersiap-siap melanjutkan perjalanannya masing-
masing. "Kami bermaksud mengunjungi sanak keluarga
yang tinggal di daerah Gilimanuk," ujar Ki Sukerte ketika berpamitan dengan
pendekar Ngurah Jelantik.
"Semoga kita dapat berjumpa lagi dalam keadaan sehat dan selamat."
"Saya pun harus secepatnya melanjutkan perjala-
nan ke Singaraja," Ngurah Jelantik berkata sambil me-nyiapkan tali-temali
kudanya. "Nah, aku permisi sekarang, Ki Sukerte. Selamat jalan dan selamat
tinggal." "Selamat jalan, Tuan," ujar Ki Sukerte dan Putu
Tantri hampir berbareng. "Berhati-hatilah. Semoga De-wata Agung melindungi
Anda!" Pendekar Ngurah Jelantik memacu kudanya ke arah
timur, menyusuri jalan rintisan dan lenyap di balik pepohonan. Sedang Ki Sukerte
bersama Putu Tantripun
telah melangkahkan kakinya, melanjutkan perjalanan-
nya menuju ke daerah barat, di mana sang matahari
merayap ke arah sana pula dengan lambatnya.
Beberapa ekor burung layang-layang berbondongan
kembali ke sarangnya dengan tergesa, seolah-olah takut kemalaman di tengah
perjalanan. *** Beberapa orang yang tengah duduk-duduk berkum-
pul di dekat pohon-pohon ilalang di tengah hutan,
mendadak saja dibikin terkejut oleh munculnya bebe-
rapa orang dengan langkah tergesa-gesa dan terengah-engah. Wajah-wajah mereka
berkilat basah oleh keri-
ngat dan kotor dengan debu yang menutupi kulit-kulit tubuhnya. Begitu pula
pakaian dari beberapa orang di antara mereka telah sobek-sobek di sana-sini
disertai luka-luka kecil berdarah.
Tampak sekali bahwa mereka telah kelelahan serta
suasana kecemasan masih belum lepas dari wajah-
wajahnya. Malahan di antara mereka segera merebah-
kan diri di atas rerumputan dengan nafas yang ber-
sesakan. "Heei, mengapa kalian ini"!" berseru seorang berwa-
jah garang yang duduk di situ. "Apa yang telah terjadi, Jimbaran"! Katakan
lekas!" "Ses... sesuatu yang mengerikan...," sahut Jimbaran tergagap-gagap. "Seorang
kawan kami... yakni si Ktut, telah tewas...!"
"Haah, tewas katamu"!" seru Tangan Iblis sambil
mengguncang-guncang bahu Jimbaran. "Sebutkan,
siapa yang telah berbuat sekurang ajar itu, hee"!"
"Waktu itu kami telah mencegat dua orang di dae-
rah selatan, lalu tiba-tiba saja muncul seorang manusia bulat pendek yang
membawa tikus-tikus berjumlah puluhan. Ia menolong kedua orang tadi dan
bertempur dengan kami. Ternyata mereka sangat kuat, hingga si Ktut menjadi
korban keroyokan tikus-tikus liar dan di-lahapnya sampai habis! Akhirnya, kami
terpaksa meng-undurkan diri," demikian tutur ceritera Jimbaran.
Si Tangan Iblis terperanjat sesaat mendengar nasib
seorang anak buahnya yang mati secara konyol dima-
kan oleh tikus-tikus liar tadi. Akan tetapi, segera ia berkata dengan nada
marah, "Naah, sudah berkali-kali aku katakan, supaya jangan mengganggu siapapun
di tempat ini! Kau tahu, itu sangat berbahaya bagi tempat pondokan kita yang
tersembunyi di sini. Apakah otak-mu tidak berpikir, bahwa tindakanmu tadi bisa
mem- bawa orang-orang lain ke tempat ini"!"
Jimbaran tertunduk ketakutan menghadapi kema-
rahan Tangan Iblis, maka katanya kemudian, "Maaf,
Kakang, kami terlengah waktu itu...."
"Heei, kau belum menyebutkan nama lawanmu
yang bertubuh bulat pendek tadi"!" ujar Nyi Durganti
menyela. "Siapakah dia"!"
"Oooh, betul, Nyai. Nama orang itu adalah Bagus
Wirog!" ujar Jimbaran gugup.
"Hooh! Si keparat Bagus Wirog telah keluyuran
sampai di daerah ini"!" seru Nyi Durganti dengan kaget. "Ngngng, ini berbahaya.
Bagus Wirog bukanlah
orang sembarangan. Ia sangat sakti dan mempunyai
rombongan tikus-tikus seperti yang diceriterakan oleh Jimbaran tadi."
"Jadi, Ibu telah mengenalnya?" gerendeng Tangan
Iblis. "Apakah ia bermusuhan dengan Ibu?"
"Benar, Angger. Aku telah mengenal Bagus Wirog
itu. Memang kami pernah berselisih kecil, tapi kalian tak usah kuatir. Aku
sanggup menghadapinya."
"Terima kasih, Ibu. Kembali tentang penyerbuan ke
rumah saudagar Wayan Arsana, kapankah itu bisa ki-
ta laksanakan"!"
Nyi Durganti mengerutkan keningnya mendengar
perkataan anaknya, si Tangan Iblis, dan kemudian
menggumam, "Hm, kau masih penasaran terhadapnya,
Ngger! Apakah perlunya mengusik orang-orang tolol
itu?" "Ibu," ujar Tangan Iblis dengan lembutnya, "sebe-
narnya kami dapat melupakan hal itu. Namun sayang
sekali bahwa kami telah mendapat penghinaan yang
sangat keterlaluan. Mereka melepaskan kami dengan
iringan ketawa dan ejekan. Terlebih lagi dengan si tua Wiku Salaka yang telah
memandangku dengan sebelah
mata saja, benar-benar merupakan hinaan yang tidak
mudah terlupakan. Aku adalah putra Nyi Durganti.
Mendapat hinaan begitu, apakah itu secara tidak langsung menampar muka Ibu"!"
Nyi Durganti menghela napas panjang, begitu Ta-
ngan Iblis rampung mengutarakan pendapatnya. Apa
yang diutarakan anaknya tadi banyak benarnya. Na-
mun sebab musabab bibit persengketaan itu, dirasa-
nya tidak mempunyai sangkut paut dengan dirinya.
Bukankah si Tangan Iblis sekadar mempaut dengan
dirinya" Bukankah si Tangan Iblis sekadar membela
anak muridnya, yakni Jembrana dan Jimbaran setelah
berselisih dengan Wayan Arsana" Dan kebetulan pula, seorang sahabat Jimbaran
yang bernama Wasi Bera telah terlibat dalam persoalan mereka. Dengan demikian
apakah itu sebenarnya tidak sepenuhnya merupakan
tanggung jawab Tangan Iblis sendiri" Akan tetapi, sekali lagi sifat orang tua,
mendengar anaknya kalah dan katanya mendapat penghinaan, siapakah yang tidak
akan terbakar hatinya"
Pertimbangan manusia kadang-kadang memang
mudah condong ke arah sepihak. Jarang yang bisa
bertahan bahwa untuk yang salah harus disalahkan,
sedang yang benar harus tetap benar. Apalagi jika itu sudah menyangkut hubungan
keluarga. Tentunya
hanya seorang ksatrialah yang mampu bersifat adil
dan seimbang. Baginya tidak akan ada sifat-sifat sahabat atau keluarga, sebab ia
selalu memandang manu-
sia mempunyai hak yang sama. Sehingga pertimba-
ngannya akan bersifat umum menyeluruh.
Tetapi sekali lagi hal itu sangatlah sukarnya. Seperti halnya Nyi Durganti yang
telah mendengar penjelasan dari Tangan Iblis, segera hatinya terbakar oleh
kemarahan yang menyala bagaikan obor. Apalagi didasari
oleh pertimbangan hati yang dangkal, maka Nyi Dur-
ganti tidak mempunyai lagi pertimbangan lain, selain harus membela Tangan Iblis
dengan sungguh-sungguh.
"Baiklah, Angger Tangan Iblis. Kita akan mencari
hari yang baik, dan aku perlu memikirkan satu siasat yang jitu. Aku mengharap
bisa langsung memukul
benggol-benggolnya, tanpa banyak menimbulkan kor-
ban di pihak orang-orang rendahan yang tidak tahu
apa-apa!" "Terima kasih, Ibu. Hanya itulah yang ananda ha-
rapkan," berkata Tangan Iblis. Mukanya berseri-seri puas sepuas anak kecil yang
dijanjikan oleh ibunya
untuk mendapatkan kembang gula manis.
"Tapi kalian harus memperhatikan, pimpinan ada-
lah di Tangan Iblis, sedang segala sesuatu harus mendengar nasehatku terlebih
dulu. Ingatlah akan bahaya pasukan kerajaan! Jika kalian bertindak liar semau-
maunya, aku akan cuci tangan dari perkara ini!" demikian bicara Nyi Durganti
dengan tandasnya.
"Kami akan mematuhi segala nasehatmu, Ibu," ber-
kata Tangan Iblis sekali lagi dengan senangnya. "Saya akan memerintahkan seluruh
pengikutku untuk memperhatikan hal itu."
Dalam pada itu, Dregil dan Arje tengah membantu
mengobati kawan-kawannya yang terluka. Kebanyakan
adalah luka-luka bekas gigitan tikus-tikus liar pengikut Bagus Wirog, ketika
mereka bertempur beberapa
saat yang lalu.
Kadang kala Dregil dan Arje masih meremang bulu
tengkuknya bila teringat akan kematian seorang ka-
wannya akibat keroyokan tikus-tikus liar. Kedua orang tadi seperti sukar
mempercayai, betapa tubuh si Ktut dapat habis kulit dagingnya dalam sekejap mata
oleh rencahan gigi tikus-tikus tadi. Dan yang membuatnya lebih heran adalah
perawakan, wajah dan tindak-tan-duk Bagus Wirog yang menyerupai seekor tikus.
Semua itu diceritakannya kepada kawan-kawan lain-
nya yang tidak ikut bertempur pada waktu itu. Karenanya, keruan saja mereka
tercengang-cengang kehera-
nan mendengar penuturan ceritera si Dregil dan Arje.
"Apakah engkau kira-kira berani menghadapi tikus-
tikus itu, Parse?" bertanya Dregil sambil cengingisan setengah mengejek, kepada
temannya yang bertubuh
gemuk di sebelahnya.
"Weeh, tentu saja berani. Kalau memang itu menja-
di lawan kita, haruslah kita lawan!" temannya yang
bernama Parse berkata dengan penuh semangat.
"Hi, hi, hi. Semangatmu hebat! Tapi aku kuatir bah-
wa tubuhmu yang gemuk itu akan menarik selera ti-
kus-tikus tadi," kata Dregil menggoda. "Atau mungkin saja kau berani
menghadapinya asal tikus-tikus tadi ompong, tanpa gigi. Sehingga mereka cuma
mampu menjilat-jilati tubuhmu saja. Hi, hi, hi."
"Huss! Ngawur sekali bicaramu," potong Parse cem-
berut. "Bagaimana kalau kita membawa kucing-kucing
untuk melawan mereka"!"
"Satu usul yang baik! Hmmm, tapi di mana kita ha-
rus mencari kucing-kucing dalam jumlah yang ba-
nyak?" sambut si Dregil. "Dan lagi, untuk seekor kucing, paling-paling ia hanya
sanggup menelan dua ekor tikus hutan itu. Sedang jumlah tikus tadi pasti ratusan
jumlahnya! Nah, bukankah itu merupakan persoalan
yang cukup sulit dan memusingkan"! Salah-salah ma-
lah kucing-kucing itu yang akan dilahap oleh gerombolan tikus liar tadi! Sayang,
engkau tidak ikut kami waktu itu. Ternyata tikus-tikus tersebut sangat terlatih
dan mampu menghindari senjata-senjata yang mengancamnya."
"Jika demikian, lebih baik aku tidak ikut bertempur melawan binatang-binatang
tadi. Aku lebih senang
tinggal di sini menjaga pondok, atau membantu mema-
sak makanan," sahut Parse.
"Hi, hi, hi. Memang itulah pekerjaan yang paling cocok buatmu!" ujar Dregil
diiringi ketawa segenap kawan-kawan lainnya yang berada di sekelilingnya. "He,
he, he. Apabila sudah sampai pada persoalan masakan, saya kira Parselah yang
paling cocok."
Suasana menjadi gembira beberapa saat, dan itu
cukup menghibur hati mereka yang tengah bergurau,
tanpa mengetahui bahwa para pemimpinnya tengah
merencanakan penyerbuan ke rumah saudagar Wayan
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arsana di daerah Gilimanuk. Dan boleh dipastikan,
bahwa pertempuran kali ini akan lebih hebat, karena Nyi Durganti yang sakti,
yakni ibu si Tangan Iblis sendiri, akan turun tangan membantu mereka di gelang-
gang pertempuran.
Entah kapan rencana itu akan dilaksanakan. Ba-
rangkali satu minggu lagi, atau sebulan kemudian, dan mungkin juga pada keesokan
harinya, tak seorang di
antara mereka yang mengetahuinya. Yang jelas saja,
mereka melihat bahwa para pemimpinnya seperti si
Tangan Iblis, Nyi Durganti, I Jembrana, Jimbaran dan seorang lagi yang bertubuh
kurus, dengan sibuknya
kasak-kusuk melakukan perundingan.
Kabut putih yang sebening sutera mulai mengam-
bang di udara seiring dengan merendahnya sang mata-
hari ke cakrawala barat. Beberapa ekor kelelawar ber-kepak mengembangkan
sayapnya, beterbangan ke
udara mencari makanannya, tanpa menggubris manu-
sia-manusia yang bergerombol di dekat pondok-pon-
dok ilalang di hutan tadi.
*** Di suatu malam, ketika sang purnama mulai me-
ngembang di langit dengan megahnya, sinarnya telah
merambah ke segenap permukaan bumi, sampai dae-
rah Gilimanukpun bermandi cahaya perak.
Beberapa sosok tubuh dengan lincahnya mengen-
dap-ngendap di balik semak-semak hutan kecil yang
terletak di sebelah timur rumah Wayan Arsana. Mereka tampak berhenti dan
membicarakan sesuatu dengan
segenap rombongannya yang terdiri tidak kurang dari delapan orang lebih.
"Dengarkan sekali lagi baik-baik. Terutama dengan
Adi Jimbaran yang pernah membuat kesalahan!"
Semuanya mengangguk, kecuali seorang wanita ber-
wajah mayat kepucatan yang mendengarkan peringa-
tan tadi dengan tenangnya. Itulah dia, Nyi Durganti.
"Ingatlah, bahwa ini bukan penyerbuan yang sebe-
narnya, melainkan sekadar peringatan untuk meng-
guncangkan perasaan mereka! Nah, maka janganlah
melakukan suatu tindakan apapun tanpa isyarat dari
saya!" begitu Tangan Iblis memperingatkan para pengikutnya.
"Jangan kuatir, Kakang. Aku akan memimpin me-
reka agar tinggal di tempat ini baik-baik," ujar I Jembrana berjanji.
"Baik. Sekarang kita bisa berangkat, Ibu," Tangan
Iblis berkata kepada Nyi Durganti. "Mereka akan me-
nunggu kita di sini."
"Ayo, Tangan Iblis. Ikuti aku!" seru Nyi Durganti
sambil meloncat dengan gesitnya meninggalkan tempat itu, laksana seekor kijang.
Tangan Iblis segera menyusulnya dengan melesat ke
arah timur, mendekati arah tembok rumah Wayan Ar-
sana. Keduanya merupakan dua bayangan hitam yang
berkelebatan ringan, tak ubahnya dua iblis yang te-
ngah mencari korbannya.
Keduanya kemudian melesat ke atas tembok pagar
tanpa menimbulkan suara, untuk melanjutkan berlon-
catan dari genting atap rumah satu ke genting lainnya.
Gerakan mereka sangat cepat dan sebatnya, sehingga
orang biasa tak akan tahu tentang penyelundupan ini, apalagi sampai mengetahui
rencana-rencana yang tengah tergambar di otak Tangan Iblis bersama ibunya.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika melihat bekas-
bekas hiasan janur yang telah agak kering di halaman rumah itu.
"Bekas-bekas pesta, Ibu!" bisik Tangan Iblis kepada Nyi Durganti di sebelahnya.
"Agaknya belum lama berlangsung. Mungkin kemarin, atau dua hari yang lalu."
"Biarlah, kita melaksanakan rencana kita," ujar Nyi Durganti.
Kembali mereka berloncatan memutar. Dan ketika
mencapai halaman rumah, Tangan Iblis berhenti se-
saat di atas genting, seraya menatapi dua buah patung singa yang berdiri megah
di depan pintu rumah.
"Ssst, mengapa berhenti di sini?" gereneng Nyi Dur-
ganti kepada anaknya. "Adakah sesuatu yang penting
sampai engkau menghentikan langkahmu?"
"Lihatlah dua buah patung singa itu, Bu. Aku jadi
teringat dengan Pulau Mondoliko."
"Apa hubungannya"!"
"Aku tiba-tiba mendapat satu pikiran yang selama
ini tengah kucari-cari. Tak tahunya pemecahan itu telah kudapatkan di tempat
ini." "Ah ayolah, Ngger! Kita harus cepat-cepat melaksa-
nakan pekerjaan kita," desak Nyi Durganti. "Tentang patung singa itu, pikirkan
saja belakangan."
"Baik, Ibu," sahut Tangan Iblis sambil meloncat
kembali bersama Nyi Durganti ke arah utara, menelu-
suri segenap pojok rumah.
Dalam saat yang bersamaan pula, di sebuah perta-
manan, jauh di sebelah utara yang masih termasuk
lingkungan rumah saudagar Wayan Arsana, dua orang
muda-mudi sedang asyik bercengkerama. Yang putri
sangat cantik, sedang prianya berwajah tampan. Wajah si putri tadi masih
menampakkan bekas-bekas cuku-ran upacara pengantin dan sanggulnya dihiasi bunga-
bunga harum yang semerbak mengambar di udara te-
rang bulan. Keduanya duduk di atas kursi panjang
terbuat dari batu putih dan saling memandang mesra.
"Kau tak menyesal bersuamikan aku, Made Maya?"
bertanya si pria sambil mengusap pipi pengantin putri yang montok merah jambu
itu. "Jangan katakan itu, Kakang Sunutama," ujar Made
Maya, sementara jari-jarinya menutupi bibir suaminya, seperti takut kalau
suaminya berkata-kata lebih lanjut.
"Apakah Kakang masih menyangsikan cinta kasihku?"
"Bukan begitu, Adi Maya. Hanya aku sedikit kuatir
kalau kedudukan kita dipandang tidak seimbang oleh
mata masyarakat."
"Ahh, itu tak usah dipikirkan, Kakang. Mereka toh
cukup menghargai Kakang Sunutama sebagai pemahat
ulung di daerah ini."
Sunutama manggut-manggut mendengar tutur kata
istrinya. "Syukurlah jika demikian, Dinda. Aku tak
pernah menyangsikan cintamu."
"Ooh, Kakang...," keluh Made Maya seraya mere-
bahkan kepalanya ke dada Sunutama yang bidang dan
tegap, membuat laki-laki muda itu tergetar hatinya.
"Heei, mengapa kau menangis, Maya?" sapa Sunu-
tama dengan membelai-belai rambut istrinya. Butiran air mata yang mengalir
keluar dari sudut mata Made
Maya berkilatan tertimpa cahaya perak rembulan, ba-
gaikan intan permata.
"Aku berbahagia, Kakang. Berbahagia sekali," keluh
Made Maya dan memeluk tubuh suaminya lebih erat.
"Lihatlah sang purnama itu, Maya. Ia seperti mener-
tawakan dirimu, karena Dinda telah meruntuhkan bu-
tiran air mata bahagia," berkata kemudian Sunutama
dengan mengusap leher Made Maya, sampai mengge-
linjangkan kegelian.
Sambil tersenyum manja Made Maya merangkul
leher suaminya dan Sunutama membiarkannya. Seke-
jap kemudian sepasang temantin baru itu telah terha-nyut dalam kemesraan
bermandikan cahaya perak
sang rembulan. Huk...! Huk...! Huuukk...!
Siulan burung hantu terdengar memecah kesunyi-
an, mengagetkan tiba-tiba Sunutama dan Made Maya.
"Ooh, aku takut, Kakang Sunutama," ujar Made
Maya dengan manjanya. "Suara burung hantu itu sa-
ngat menyeramkan."
"Eh, masakan seorang pendekar seperti kau ini ta-
kut mendengar suara burung hantu?" desah Sunuta-
ma menggoda. "Apakah tidak mungkin, bahwa burung
hantu tersebut memberi salam dan ucapan selamat
kepada kita?"
"Aku merasa sebaliknya, bahwa ia memberi isyarat
akan datangnya marabahaya," sahut Made Maya.
Sunutama tidak lekas menjawab, melainkan ia meng-
angkat hidungnya ke udara dan menggerundal, "Coba
dengarkan baik-baik, Made Maya. Aku mendengar ge-
rakan yang lembut sekali. Entah bunyi daun terjatuh atau bunyi lainnya aku belum
tahu. Sebaiknya kita
berhati-hati, Dinda."
Belum lama mereka menyelesaikan kata-katanya,
mendadak saja berkelebatlah dua bayangan hitam dari arah selatan dan langsung
turun ke tengah pertamanan, membuyarkan kabut malam yang tengah mela-
yang. Made Maya hampir berteriak mendengar suara beri-
sik yang mengiringi turunnya dua sosok tubuh manu-
sia ke tengah pertamanan. Yang lebih mengagetkannya adalah wajah kaku mayat dari
seorang di antara kedua pendatang itu. Mereka mengeluarkan derai ketawa bernada
berat yang tertahan di dalam mulutnya. Agaknya mereka cukup berhati-hati dan
berusaha agar orang
lain tidak akan mendengarnya.
"Siapa kalian"! Datang secara gelap di tempat ini?"
seru Sunutama bersiaga.
"Bagus kalau kalian bertanya. Tapi coba perhatikan
baik-baik siapa aku ini!" seru si wajah garang yang tidak lain adalah Tangan
Iblis. "Tangan Iblis! Kaulah yang telah merusak keten-
traman di sini beberapa waktu yang lalu"!" berseru
Sunutama dengan beraninya, begitu mengenal wajah
si pendatang. "Jangan banyak mulut. Hari ini aku akan meng-
adakan pembalasan!" sahut Tangan Iblis. "Ibu, apakah pendapatmu sekarang?"
"Robohkan yang laki-laki, tapi jangan kau bunuh!
Biar aku yang akan menangkap perempuannya!" ujar
Nyi Durganti seraya bersiaga pula dengan terkaman-
nya. Jari-jari tangannya mengembang disertai sorot
mata yang mengerikan seperti hantu.
Made Maya yang melihatnya, seolah-olah telah
menghadapi hantu leak yang ganas. Serentak hatinya
menjadi bergetar ketakutan. Namun iapun telah bertekad melawan.
Di saat itu pula Tangan Iblis melesat ke depan, me-
lancarkan serangannya kepada Sunutama yang telah
bersiaga sepenuhnya. Maka sejenak kemudian terjadi-
lah pertempuran yang sangat seru di tengah pertama-
nan yang semula bersuasana tenang.
Sunutama sudah pernah melihat sepak terjang si
Tangan Iblis, karenanya ia sangat berhati-hati dan tidak mau gegabah menghadapi
lawannya ini. "Heh, heh. Kau mampu bertahan berapa jurus
menghadapi seranganku ini, ha"!" ujar Tangan Iblis
dengan melancarkan tendangan kakinya.
Wuuutt! Sunutama cukup waspada dan mengeluarkan gera-
kan gesit berjungkir balik ke udara untuk kemudian
turun ke bawah sambil menyapukan kedua tangannya
ke arah kepala Tangan Iblis dengan gaya ketam men-
capit belut. "Setan!" gerundal Tangan Iblis lantaran kaget de-
ngan serangan Sunutama yang tanpa terduga. Namun
dasar ia telah banyak pengalaman, maka secepat kilat ia menjatuhkan diri ke
bawah. Tak tahunya, Sunutama kembali melancarkan se-
rentetan serangan maut dengan dupakan kaki ke arah dada Tangan Iblis, yang saat
itu masih tertelentang di tanah.
"Heeit, jangan gegabah!" seru Tangan Iblis sambil
menerjangkan kakinya ke atas menyambut dupakan
Sunutama yang mendatang dengan derasnya.
Blaakk! Benturan keras terjadi, dengan akibat Sunutama
terpelanting ke belakang, sedang Tangan Iblis pun peringisan menahan rasa
kesemutan yang menjalar di
kakinya akibat benturan tadi
"Kurang ajar! Bertenaga pula orang muda ini!" um-
pat Tangan Iblis. "Sayang aku tak boleh membinasa-
kannya!" Dengan sedikit pusing, Sunutama cepat bersiaga
kembali untuk menghadapi lawannya.
"Heei, Angger Tangan Iblis! Jangan bermain-main
seperti anak kecil. Lekaslah robohkan anak itu!" seru Nyi Durganti. "Tunggu
apalagi"!"
"Baik, Ibu. Tapi dia cukup bandel!" sahut Tangan
Iblis. "Sebentar lagi, barangkali dua jurus kemudian!"
Demikian teriakan pasti dari Tangan Iblis dan sambil menggeram marah, ia
melipat-gandakan serangannya
kepada Sunutama.
Sementara itu, Made Maya merasa kerepotan meng-
hadapi serangan Nyi Durganti. Apalagi nenek berwajah mayat ini selalu
menyorotkan sinar matanya yang penuh pesona dan memukau. Serangan-serangan yang
dilancarkannya seperti lenyap tak berbekas dalam
tangkisan Nyi Durganti. Dan inilah yang membuatnya
cemas. Seolah-olah lawannya berwujud bayangan be-
laka, sehingga setiap kali diserang, dengan mudahnya ia menangkis.
Kesulitan istrinya ini telah dilihat oleh Sunutama.
Maka gerakannya makin nekad. Namun ini menimbul-
kan kelengahan, dan dua jurus kemudian, seperti su-
dah diramalkan oleh Tangan Iblis, Tangan Iblis menerkam pundaknya.
Plaak! "Aakh!"
Sunutama mengaduh pendek dan pandangannya
menjadi kabur. Berbareng roboh pingsan, mulutnya
menyebut nama istrinya, "Made Mayaaa....!"
"Kakang Sunutama...!" seru Made Maya kecemasan
dan dengan marahnya ia mendamprat ke arah Nyi
Durganti. "Kalian jahat! Awas aku akan berteriak jika kalian tidak minggat dari
tempat ini. Apakah kalian ingin berhadapan dengan Kakek Wiku Salaka dan pen-
dekar-pendekar lainnya"!"
Mendengar ini Nyi Durganti secepat kilat menyapu-
kan tangannya ke depan dan mengusap wajah Made
Maya yang seketika jatuh pingsan di tangan Nyi Dur-
ganti. "Nah, sekarang tempelkan surat peringatan itu!" seru Nyi Durganti kepada Tangan
Iblis. "Lekaslah, Ngger!"
Tangan Iblis pun cepat melemparkan sebilah pisau
yang bertempelkan secarik kain bertulis ke arah sebatang pohon di pertamanan,
sementara Nyi Durganti telah memondong tubuh Made Maya.
Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, keparat! Kalian mengacau!" jerit sesosok tu-
buh ramping bersenjatakan sepasang kipas perak di
tangannya dan menyerang Nyi Durganti. "Terimalah
serangan si Putu Tantri ini! Heeitt!"
Nyi Durganti yang sakti itu tidak gugup sedikitpun.
Ia cukup mengibaskan kepalanya sehingga rambutnya
yang terurai panjang menghajar lengan Putu Tantri
sampai gadis ini merasa kesakitan dan lumpuh sesaat.
Kesempatan ini digunakan oleh Nyi Durganti dan
Tangan Iblis untuk kemudian melesat ke atas genting dan berloncatan cepat ke
arah selatan, kabur tanpa
menimbulkan suara.
"Toloooooong! Maling! Maliingng!" teriak Putu Tantri sambil mendeprok kesakitan
di tanah, mengagetkan
segenap isi rumah saudagar Wayan Arsana dan me-
reka berlarian ke arah taman, di mana satu tragedi di tengah kabut baru saja
terjadi. Sampai di sini selesailah seri Naga Geni "Tragedi di Tengah Kabut", dan segera
akan menyusul seri Naga
Geni, yakni "Berakhir di Ujung Fajar". Di situ akan kita ketahui nasib Made Maya
selanjutnya, yang ternyata
membawa serentetan peristiwa yang mengharukan, te-
gang dan sangat menarik.
SELESAI Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** 4 *** *** *** *** 5 *** *** SELESAI Perjodohan Busur Kumala 21 Dewi Sri Tanjung 2 Si Tangan Iblis Tokoh Besar 1