Pencarian

Dalam Pelukan Musuh 1

Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 SO SOK kurus ber wajah tua berdiri di atas gundukan tanah yang membukit.
Gundukan tanah itu mirip
kuburan raksasa, tanpa pohon dan batu kecuali rumput yang mirip karpet hijau
itu. Wajah si sosok tua dapat membuat bulu kuduk merinding, bahkan orang hamil
bisa miskram mendadak karena rasa ngeri melihat wajah bermata cekung, tulang
pipi dan tulang rahang saling bertonjolan.
Jubah abu-abunya tak dikancingkan. Jubah
itu bergerak-gerak ditiup angin perbukitan hingga menyerupai sayap kelelawar penghisap darah. Rambut putihnya yang dikonde
sebagian itu juga meriap-riap
dihembus angin tanpa permisi dulu oleh si pemilik rambut.
Sosok tua kurus jelek dan angker itu milik seorang nenek yang berkuku runcing
warna kehitam-hitaman.
Kuku itu dapat untuk merobek kulit singa, apalagi kulit jeruk. Dengan pakaian
dalam warna putih kusam, sosok tua yang jelas berjenis kelamin perempuan itu
sekarang sedang menjadi bahan pembicaraan para tokoh rimba persilatan.
Dia adalah Nyai Dupa Mayat, guru si De wi Ranjang, yang terbunuh dalam
pertarungannya dengan Pendekar Mabuk, alias Suto Sinting. Nyai Dupa Mayat memang
mempunyai keringat berbau dupa. Wajah tuanya yang keriputan dengan kedua bibir
mirip jahitan celana itu mempunyai kulit pucat, sepucat seorang almarhumah.
Karena ia dikenal dengan nama Nyai Dupa Mayat. Tapi nama aslinya semasa gadis
adalah Pratiwi Ekawati.
"Ya, aku ingat nama itu. T ak kusangka nama secantik itu sekarang diganti dengan
nama angker mirip kuburan leak," ujar seorang lelaki tua berusia sekitar delapan
puluh tahun. Lelaki itu memandang Nyai Dupa Mayat dari kejauhan, tepatnya dari
balik kerimbunan pohon hutan, ia bersembunyi di sana bersama seorang pemuda
lulusan Pulau Parang yang punya wajah tampan itu.
Masih ingat pemuda yang ke mana-mana membawa
tongkat pramuka sebagai senjata toya andalannya"
Tongkat itu dari bambu kuning dan
mempunyai kesaktian tersendiri,
walaupun tak sesakti bambu tuaknya si Pendekar Mabuk. Pemuda murah senyum itu
adalah Sandhi T anayom yang sering disingkat menjadi Santana, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode :
"Kematian Sang Durjana").
"Apakah Guru kenal betul dengan nenek kempot itu?"
tanya Santana kepada lelaki tua yang ternyata gurunya sendiri itu.
"Dulu aku bukan saja kenal dengannya, tapi juga pernah mengadakan hubungan manis
dengannya. Yaah...
semacam cinta monyet, begitulah kira-kira," ujar sang Gur u tanpa malu-malu.
Santana sunggingkan senyum geli tertahan.
"Amit-amit," gumam Santana lirih. "Mau-maunya Gur u bercinta monyet dengan
perempuan keriputan seperti sarung tak dicuci itu"!"
"Oh, waktu itu dia masih muda dan paling cantik di antara yang berwajah jelek.
Dulu dia punya bentuk tubuh
sekal, padat berisi, dadanya juga seperti semenanjung Malakla.-."
"Maksudnya...?"
"Menjorok maju dan... dan memang joroklah pokoknya!" ujar si Guru dengan lagak santai, jika bicara selalu seenaknya,
seperti tak pernah merasa tua dan kadang lupa bahwa dirinya adalah seorang guru
bagi muridnya. Sang Guru itu juga murah senyum dan selalu ceria.
Semangat mudanya masih menyala-nyala, pandangan
matanya pun masih jelas, sehingga bisa membedakan perempuan mana yang cantik dan
yang tidak cantik, hamil dan tidak hamil, mati dan tidak mati... semua bisa
dibedakan dengan mudah oleh si Guru. Se bab itulah, si Gur u mempunyai nama
julukan yang cukup dikenal bagi para sahabatnya.
Dewa Bandot. Itulah julukan gurunya Santana yang bertubuh tak terlalu kurus, namun juga tidak
gemuk, alias sedang-sedang saja. Kebiasaan bermain kalung manik-manik biru yang
panjangnya sampai ke perut itu merupakan ciri si Dewa Bandot yang tak bisa
dilupakan oleh para sahabatnya. Seperti saat itu, di balik persembunyian pun
tangannya bermain kalung manik-maniknya
seraya pandangi Nyai Dupa Mayat. Sang Nyai sendiri juga mengenakan kalung dari butiran
batu hitam namun tak sepanjang kalung yang dipakai si Dewa Bandot.
"Jadi, jauh-jauh dari Pulau Parang kau membawaku kemari hanya ingin kau suruh
melihat bekas kekasihku itu"!" bisik Dewa Bandot kepada muridnya.
"Aku tidak tahu kalau dia bekas kekasih monyetnya Gur u. Aku hanya ingin
tunjukkan kepada Guru, nenek itulah yang punya ilmu 'Gerhana Senyawa', yaitu
ilmu yang bisa membuat
bayangannya bergerak sendiri
dan...." "Sudah, sudah... kau tak perlu jelaskan padaku. Aku gurumu, berarti aku lebih
tahu tentang berbagai macam ilmu!" potong si Dewa Bandot. "Ngomong-ngomong, ilmu
'Gerhana Senyawa' itu kehebatannya di mana, Santana?"
"Huuhh... tadi
mau dijelaskan Guru melarang. Sekarang malah menanyakannya."
Sambil pamerkan senyum tuanya, Dewa Bandot
berbisik lirih, "Yaah... namanya orang sudah tua begini, kadang lupa dengan
ucapannya sendiri. Maklumi saja, Santana. Jangan jadi beban pikiranmu, nanti kau
jatuh sakit, makin parah, lalu mati... itu tidak baik, Santana."
Entah apa yang digerutukan Santana, sebab anak
muda itu jika ditanya sering memberi jawaban yang berbeda dengan maksud
pertanyaannya. Mau tak mau si Dewa Bandot ajukan tanya lagi. Akhirnya sang murid
mengulang penjelasannya tadi.
"Bayangan itu bisa bergerak sendiri memburu lawan atau menyerangnya. Bayangan
hitam itu mempunyai
daya panas yang sangat tinggi, sehingga siapa pun tersentuh bayangan tersebut
dapat terbakar, bahkan banyak yang menjadi abu seketika."
"Ooo... ya, ya... sekarang aku ingat, Ilmu 'Gerhana Senyawa' itu adalah kekuatan
inti segala api, termasuk api neraka dan api unggun diserapnya. T entu saja
dapat membuat seseorang menjadi abu atau arang dengan
sekali sentuh."
"T api mengapa bayangannya bisa bergerak sendiri tidak sesuai dengan gerakan
orangnya, Guru?"
"Itu kekuatan iblis! Jadi, kekuatan iblis masuk ke dalam dirinya dan selalu
berada pada bayangan. Karena iblis ada dalam bayangannya, maka bayangan itu
dapat bergerak sendiri. Se bab itulah dikatakan 'Senyawa'
artinya, sama-sama punya nyawa tapi juga sama-sama punya bentuk seperti
pemiliknya, hanya beda wujud kasarnya."
Obrolan di balik persembunyian itu terhenti, karena perhatian mereka segera
terpusat kembali kepada Nyai Dupa
Mayat yang berdiri dengan kedua tangan bersidekap di dada. Karena matahari tepat di pertengahan langit, maka bayangan Nyai Dupa Mayat tepat berada di ba wah
kakinya. Tegak lurus dengan tubuhnya.
Rupanya ada sesuatu yang ditunggu oleh Nyai Dupa Mayat, sehingga ia berada di
tempat itu. Sesuatu yang ditunggu tersebut ternyata sudah datang dan kini sang
Nyai yang bertubuh masih tegak tanpa kebungkukan itu segera pandangi orang yang
baru datang. Ia masih berada di atas gundukan tanah, sehingga dapat terlihat dan
melihat dengan jelas.
"Siapa orang yang baru datang itu, Santana" Apakah kau kenal dengannya"!"
"Memang benar. Dia menunggu kedatangan orang itu," jawab Santana seperti orang
tuli diajak bicara. Sang Gur u terpaksa mengulang dengan nada agak jengkel.
"Yang kutanyakan, siapa orang yang baru datang itu"!"
"Oh, nama orang itu"! Hmmm... namanya...."
Se belum Santana menjawab secara lengkap, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas
di depan mata mereka.
Bayangan itu berkelebat menuju ke arah Nyai Dupa Mayat, tapi tidak mengetahui
keberadaan Santana
dengan gurunya di balik pohon bersemak-semak itu.
Jleeg...! Bayangan yang berkelebat bagaikan angin itu hentikan langkah dan tahu-
tahu sudah berdiri di samping
orang yang sudah lebih dulu menghadap Nyai Dupa
Mayat. "Edan! Keduanya sama-sama cantik, Santana!" Ujar si Dewa Bandot dalam bisikan.
"Iya... cantik semua, Guru. Dan...."
"Ssst...!" sang Gur u mendesis sambil memberi isyarat dengan telunjuk
ditempelkan ke mulut. Santana pun diam, tak jadi lanjutkan kata-katanya. Mereka
segera menyimak suara Nyai Dupa Mayat yang bicara kepada dua ga dis yang
menghadapnya. Dua gadis itu tampaknya sengaja diundang oleh Nyai Dupa Mayat dan
mereka merencanakan pertemuan di tempat itu.
"Kalian sengaja kupanggil untuk bicarakan tentang permohonan kalian tempo hari,"
ujar Nyai Dupa Mayat dengan suara tuanya yang masih garing seperti keripik
singkong lama di penggorengan.
"Aku ingin kabulkan harapan kalian, yaitu mempelajari Ilmu 'Gerhana Senyawa'. T etapi aku punya satu permintaan yang harus
kalian penuhi."
"Sebutkan permintaanmu itu. Nyai," ujar si gadis yang baru datang.
"Cari pemuda bergelar Pendekar Mabuk! Bawalah dia padaku, karena aku ingin
membunuhnya sebagai balas dendam atas kematian murid kesayanganku; Dewi
Ranjang. Jika kalian bisa membawa Pendekar Mabuk kepadaku, maka kalian akan
dapatkan ilmu 'Gerhana Senyawa' yang kalian idam-idamkan dari dulu itu."
"Baik. Akan kucari si Pendekar Mabuk dan kuba wa padamu!" ujar si gadis yang
datang pertama kali itu.
Gadis yang baru datang berkata, "Asal kau jangan menipuku, Nyai! Jika kau
menipuku, aku akan bikin perhitungan sendiri denganmu!"
"Jangan bicara sembarangan di depanku, Wigati!"
hardik Nyai Dupa Mayat sambil tangannya menuding lurus kepada gadis yang baru
datang itu. Mata sang Nyai memandang tajam sekali. Rupanya ia tersinggung
dengan kata-kata Wigati, sehingga wajah angkernya tampak semakin menyeramkan.
T api gadis yang bernama Wigati itu justru menanggapinya dengan santai dan tenang. Bahkan
senyumnya terkesan sedikit sinis.
"Aku hanya khawatir kalau kau berbuat licik, Nyai!
Karena aku adalah gadis yang paling benci kelicikan!
Lebih baik kulakukan pertarungan sampai mati daripada harus diliciki seseorang.
Ingat-ingatlah hal itu, Nyai!"
Ucapan Wigati semakin dirasakan sang Nyai memanaskan telinga. "Belum-belum sudah membakar harga diriku, Wigati!" geram
Nyai Dupa Mayat dengan sorot pandangan mata semakin tajam.
Wigati masih bandel, menyahut dengan kata-kata
berkesan angkuh.
"Sebelum kau menjatuhkan harga diriku dengan tipuanmu nanti, aku harus memberi
peringatan padamu, Nyai!"
"Kau yang harus kuberi peringatan, Gadis Bodoh!"
T iba-tiba Nyai Dupa Mayat lakukan lompatan bagaikan terbang. T ubuhnya meluncur
di atas kepala Wigati.
Weess...! Pada saat itu, baik Wigati maupun gadis yang
pertama kali datang itu tidak punya kecurigaan apa-apa tentang gerakan sang
Nyai. Mereka menganggap sang Nyai turun dari atas gundukan tanah yang membukit.
T etapi ketika tubuh sang Nyai melayang melintasi atas kepala Wigati,
bayangannya menerjang gadis itu karena matahari tepat di atas kepala manusia.
Wuusss...! Blaaabs...! Buuuusss...! Gadis yang pertama kali datang menghadap Nyai Dupa
Mayat itu segera terlonjak kaget hingga tubuhnya mental ke belakang. Mata gadis
itu mendelik melihat Wigati bagai disambar petir tanpa suara. Cahaya merah
berkerliap sekejap. Tak ada satu kedipan mata. T ahu-tahu Wigati telah lenyap,
tinggal asap yang mengepul tebal.
Asap itu pun sirna karena angin berhembus agak


Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kencang. Dan pada saat itu pula si gadis yang datang pertama kalitadi terpekik
lirih bernada kaget.
"Ooh..."!" Gadis itu semakin lebarkan matanya ketika melihat Wigati sudah
menjadi abu dan tumpukan arang hitam. T ubuh Wigati bagai dimasukkan dalam open
yang panasnya ribuan derajat. Pakaian dan pedangnya ikut terbakar. T ak ada yang
tersisa dari tubuh Wigati selain gundukan abu putih suram yang bercampur arang
hitam. Arang itu adalah sisa kerangka Wigati yang terbakar oleh hawa panas
ribuan derajat tingginya.
"Edan!" gumam si Dewa Bandot
dengan mata mendelik dari balik ilalang. Mata itu segera dikedipkan dan kepala ditarik
mundur karena hembusan angin
menggerakkan daun ilalang kecil. Daun ilalang kecil itu mencolok mata si Dewa
Bandot. Untung saja ia tidak
terpekik keras sehingga keberadaannya di tempat itu masih tidak diketahui oleh
orang lain. Santana sendiri tak berkedip, karena baru sekarang ia melihat jelas sekali
bagaimana bayangan Nyai Dupa Mayat menghanguskan tubuh la wan. Santana tak bisa
bersuara, kerongkongannya bagaikan ikut kering saat bayangan Nyai Dupa Mayat
membakar Wigati dalam
tempo kurang dari satu kedipan.
Mereka segera mendengar suara Nyai Dupa Mayat
bicara dengan gadis yang pertama kali datang menghadangnya itu.
"Aku tak suka punya utusan yang berani bicara tak sopan di depanku! Ini suatu
peringatan bagimu. Jika kau ingin dapatkan ilmu 'Gerhana Senyawa', kerjakan
tugas itu dan jangan bicara sembarangan di depanku!"
"Aku mengerti, Nyai!"
"Pergilah sekarang juga, cari si Pendekar Mabuk!
Bawa dia padaku secepatnya!"
"Baik, Nyai!" jawab si ga dis, lalu segera melesat pergi dengan gerakan seperti
anak panah lepas dari busurnya. Blaas...!
"Aku akan menghadang gadis itu, Guru!" ujar Santana bergegas pergi, tapi sang
Guru segera mencekal lengannya.
"Jangan gegabah!"
"T api dia mau mencelakai sahabatku; si Pendekar Mabuk itu, Guru!"
"Harus dipikirkan langkah yang paling aman, agar kita tidak mati konyol,
Santana!" Pemuda itu akhirnya hembuskan napas panjang,
menyabarkan diri, menahan hasrat menggebu yang ingin kejar gadis utusan Nyai
Dupa Mayat itu.
"Kita ikuti saja ke mana perginya si Pratiwi," ujar Dewa Bandot dalam bisikan.
"Karena sudah lama aku tak mengetahui di mana tempat tinggal Pratiwi yang
sekarang. Yang jelas dia sudah tidak tinggal di tempat yang dulu. T empat itu
agaknya sudah kena gusur karena di sana sudah dibangun sebuah waduk untuk
pengairan sawah orang-orang kadipaten Jumbalang."
Nyai Dupa Mayat segera berkelebat pergi tinggalkan tempat itu. Dewa Bandot
mengikutinya, Santana agak ketinggalan karena gerakannya kalah, cepat dengan
gerakan sang Guru.
"Kasihan Suto kalau sampai bernasib seperti Wigati tadi," ujar Santana membatin.
"Di mana Suto sekarang berada" Aku harus memberitahukan tentang utusan Nyai Dupa
Mayat itu. Jangan sampai ia terjebak sebelum punya persiapan hadapi keganasan
ilmu 'Gerhana Senyawa' itu."
Se benarnya saat itu Suto Sinting berada tak jauh dari tempat tersebut, ia
berada di balik bukit berhutan lebat itu. T api karena tak terjadi suara ledakan
atau denting pedang pertarungan, ia tak menuju ke tempat itu.
Sayangnya lagi, mereka tak ada yang mengarah ke
balik bukit itu, hingga tak ada yang bertemu dengan murid sinting si Gila T uak
dan Bidadari Jalang.
Seandainya sang Nyai bergerak ke arah balik bukit, pasti ia akan jumpa dengan
Pendekar Mabuk dan ceritanya
akan tamat sampai di sini saja. Untung sang Nyai bergerak ke timur dan sang
utusan bergerak ke utara, sehingga kesibukan Pendekar Mabuk tidak ada yang
mengganggu. Sang pendekar tampan itu tetap tenang duduk di
bawah pohon berumput halus, melonjorkan kedua
kakinya sambil dengan santai. Di samping kanannya terdapat
bumbung bambu berisi tuak yang berdiri
bersandar batu dengan santai pula. Di pangkuan Suto, terdapat kepala manusia
berambut panjang. Kepala itu masih bisa mengedipkan mata dan sunggingkan senyum,
sebab kepala itu milik seorang gadis cantik yang menaruh hati kepada Pendekar
Mabuk. "Baru sekarang kurasakan betapa damainya hidup ini," ujar si gadis yang
kepalanya jatuh di pangkuan Suto. "Keindahan yang kurasakan saat ini, benar-
benar berbeda dengan keindahan yang ada dalam aliran hitam.
T erasa lebih agung dan lebih berarti bagi jiwaku."
"Betulkah kau tak pernah rasakan keindahan seperti ini?" tanya Suto Sinting
sambil mengusap-usap rambut gadis itu dengan sentuhan yang teramat lembut dan
berkesan sekali.
"Ada kemesraan yang pernah kurasa, ada keindahan yang pernah kunikmati, namun
tak selembut ini. Baru sekarang seumur hidupku aku bermanja di pangkuan seorang
lelaki yang terasa menyatu dalam jiwaku."
"Ah, masa'..."!" Suto Sinting menggoda dalam senyuman.
"Sumpah! Berani disedot setan kalau aku berkata
bohong padamu, Suto," ujar si gadis seraya mengusapkan tangannya ke pipi Suto, dan jarinya pun mulai menyentuh bibir pemuda
tampan itu. "Suto harus percaya bahwa saat ini aku benar-benar merasa bahagia sekali,
seolah-olah hidup ini punya arti yang lebih dalam dari yang pernah kurasakan.
Rasa-rasanya aku tak ingin cepat mati jika selalu berada di pangkuanmu, Suto."
* * * 2 GADI S yang berbaring di pangkuan Pendekar Mabuk itu berambut panjang selewat
pundak, lebih sering rambutnya berada di depan pundak dengan keikalan bagian ba
wahnya. Sedangkan rambut depan diponi
sebatas kening, ia mempunyai wajah cantik, namun tidak berkesan manja.
Kecantikannya itu adalah kecantikan yang mempunyai nilai tegar, berani, dan
cerdas. Selain hidungnya yang mancung, bibirnya yang tebal sensual, matanya yang biru,
alias mata yang tebal, gadis itu juga mempunyai tubuh yang tinggi, sekal,
berdada montok dan kencang. Kemontokan dadanya itu tertutup rompi ketat anti
senjata tajam yang bercampur logam tembaga. Rok bawahnya juga bercampur logam
tembaga yang panjangnya hanya separo paha, sehingga kemulusan paha sekatnya itu sering tampak menggiurkan hati seorang pemuda normal seperti Suto
Sinting itu. Melihat pedang berukuran panjang dari besi kehitam-hitaman dan pisau-pisau
terbang yang ada di sekeliling pakaian perangnya, gadis itu kentara sekali
sebagai seorang prajurit wanita dari suatu negeri. Negeri itu sekarang telah
hancur, ratunya binasa di tangan Pendekar Mabuk. Siapa lagi gadis cantik bermata biru tegar itu jika bukan
Pandawi, mantan prajurit Ratu Kehangatan yang kini bertekad pindah dari aliran
hitam ke aliran putih.
Sejak Pendekar Mabuk berhasil tumbangkan si
Jahanam T ua yang kala itu nyaris membunuh Pandawi, gadis itu menjadi lebih
akrab dengan Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bibir
Penyebar Maut").
Rasa terpikatnya terhadap Suto tumbuh sejak ia
melihat Pendekar Mabuk bertarung melawan Dewi
Ranjang dalam memperebutkan sebuah pedang pusaka yang bernama Pedang Jagal
Keramat. Dewi Ranjang
tewas di tangan Suto Sinting setelah pemuda itu
menerima lemparan pedang dari Pandawi untuk melawan serangan Dewi Ranjang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pertarungan Dewi Ranjang").
Pada mulanya Pandawi menaruh dendam kepada Suto
Sinting karena Suto Sinting berhasil hancurkan Istana Kematian tempatnya menjadi
satu dari beberapa prajurit wanita pengawal Ratu Kehangatan. Ia ingin kalahkan
Suto Sinting, sehingga ketika bertemu dengan Nyai Dupa Mayat, Pandawi memberi
tahu tentang kematian
Dewi Ranjang di tangan Pendekar Mabuk. Sang Nyai pun
segera mengajak Pandawi untuk bersekutu menyerang Suto Sinting dengan perjanjian: Pandawi akan mendapat ilmu 'Gerhana
Senyawa' dari sang Nyai dan diangkat sebagai muridnya. Tetapi hati kecil yang
menaruh kekaguman terhadap ketampanan serta kegagahan Pendekar Mabuk membuat Pandawi tak bisa tidur, selalu terbayang wajah
Pendekar Mabuk yang makin lama memadamkan api dendamnya. Akhirnya,
Pandawi putuskan untuk tinggalkan Nyai Dupa Mayat dan bergabung dengan Pendekar
Mabuk. T ernyata pemuda tampan bertubuh kekar dengan
senyum yang mengguncangkan hati setiap gadis itu menerima Pandawi dengan tangan
terbuka tapi hati separo tertutup. Hati itu terpaksa ditutup separo, karena di
dalamnya masih tersimpan cinta kasih dan kesetiaan untuk Dyah Sariningrum, calon
istri Suto Sinting yang menjadi ratu di negeri Puri Gerbang Surga wi di alam
nyata. Namun sikap manis Pendekar Mabuk itu dirasakan Pandawi semakin membuatnya bertekuk lutut dan terlena. Buaian mesra
selembut itu belum pernah dirasakan
oleh Pandawi, sehingga dalam hatinya Pandawi bertekad ingin memiliki kemesraan selembut itu selamanya.
Namun kini belaian lembut, kemesraan yang agung, dan remasan jemari penuh
getaran indah itu terpaksa harus mereka hentikan.
Suasana romantis mereka
dirusak oleh datangnya sinar merah sebesar telur burung.
Sinar merah itu melesat dari atas pohon seberang dan
mengarah ke tubuh Pandawi. Clap, Wuuusss...!
Pendekar Mabuk melihat datangnya sinar tersebut, ia segera meraih bumbung
tuaknya sambil sentakkan
kepala Pandawi hingga ga dis itu terbangun. Bumbung tuak itu segera dipakai
menangkis sinar merah tersebut setelah Suto Sinting gulingkan tubuh satu kali
dan berdiri dengan satu kaki berlutut, kedua tangan pegangi bambu bumbung
tuaknya. Deeb...! Wuuuusss...!
Sinar merah itu memantul balik ke arah semula dalam keadaan lebih besar dan
lebih cepat dari aslinya.
Brrruus... Blegaaarr...!
Pohon itu hancur bersama bunyi ledakan yang cukup dahsyat. Dahan dan batangnya
menyebar ke mana-mana menjadi potongan-potongan sebesar telapak tangan.
Bahkan pohon di kanan-kirinya ikut bergetar nyaris tumbang karena gelombang
ledakan tadi mempunyai
daya sentak cukup besar.
"Siapa itu tadi"!" geram Pandawi dengan mata birunya memandang ganas. Gadis itu
tampak tegang dan berang.
"T enang saja," ujar Suto Sinting kalem. "Pasti ada orang yang tak suka melihat
kedamaian kita, Pandawi."
"Akan kupenggal kepala orang itu! Berani-beraninya dia mengganggu kemesraanku"!"
sambil tangan Pandawi siap-siap mencabut pedangnya. Namun tangan Suto
memberi isyarat agar pedang jangan dicabut dulu. Ia ingin tahu siapa orang yang
berani melepaskan pukulan jarak jauhnya tadi.
"Apakah dia ikut
hancur bersama pohon yang
meledak itu"!" tanya Pandawi yang mau melangkah ke sana namun segera dicegah
oleh Pendekar Mabuk.
"T ak mungkin dia ikut hancur, karena aku yakin dia bukan orang bodoh. Begitu
melihat sinar merahnya berbalik arah ia pasti sudah pergi dari pohon itu lebih
dulu. Hanya saja kita tak sempat melihat ke mana perginya. Aku akan mencari di
sekitar sini. Kau tetap di tempat, Pandawi!"
T iba-tiba sebuah suara terdengar di belakang mereka.
"Aku di sini!"
Pendekar Mabuk dan Pandawi cepat berbalik dan
lemparkan pandangan tajam kepada orang tersebut.
Pandawi sudah mulai merunduk sebagai sikap kuda-
kuda untuk hadapi serangan lawan. Tapi karena orang yang tiba-tiba muncul di
belakang mereka itu diam saja, tidak lepaskan serangan lagi, maka Pandawi pun
segera kendurkan ketegangannya.
"Dewi Kun..."!" gumam Suto Sinting, menyebut sepotong nama itu dengan nada
heran. Dewi Kun adalah kakak sulung dari tiga gadis
kembar yang menguasai Kuil Perawan Ganas di Pulau Swaladipa. Ia seorang wanita
berhati keras dan mudah menjadi ganas oleh suatu masalah yang tidak berkenan di
hatinya. Mulanya Suto Sinting sempat bingung
sebentar

Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika melihat penampilan sosok cantik berambut keriting halus terurai sepanjang punggung.
Rompi merah berumbai-rumbai dengan ujung rompi
saling terikat di depan perut, dan celana rumbai-rumbai berukuran separo paha
yang ketat itu, merupakan ciri
pakaian dari ketiga gadis kembar dari Kuil Perawan Ganas. T etapi begitu melihat
tato bunga mawar di belahan dada kanannya, Suto segera mengenali bahwa perempuan
itu adalah Dewi Kun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kuil Perawan
Ganas"). Pandawi merasa tak kenal dengan Dewi Kun. Ia
segera hampiri wanita itu yang sama-sama berani dalam beradu nyawa. Dewi Kun
tetap berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merenggang. Tangan kirinya yang
menenteng pedang bergagang ukiran kepala burung itu tampak siap-siap menyatu
dengan tangan kanannya
untuk mencabut pedang tersebut. T etapi Pandawi justru melangkah lebih cepat dan
lebih tegas lagi.
Suto Sinting menyangka Pandawi ingin memaki-maki di depan Dewi Kun. Tapi di luar
dugaan, begitu Pandawi tiba di depan Dewi Kun, tangannya segera berkelebat
menghantam dengan tinjunya ke wajah Dewi Kun tanpa bicara sepatah kata pun.
Beet...! Dewi Kun menangkap genggaman tangan itu dengan tangan kanannya. T
eeb...! Namun tangan Pandawi segera terlipat
sambil ia bergerak ke samping dan sikunya menghentak kuat ke wajah Dewi Kun. Plok...!
"Ouh...!"
Dewi Kun tersentak ke belakang, terhuyung-huyung sambil sedikit merunduk memegangi rahangnya yang terkena
sodokan siku Pandawi.
Gerakan Pandawi tak putus sedikit pun. Begitu
lawannya oleng ke belakang, kakinya segera menendang dengan mantap. Wuuut...!
Buuhk...! "Uuh...!" Dewi Kun terpelanting hampir jatuh.
Pandawi melompat pendek dan rendah, tubuhnya
berputar cepat dan kaki kirinya lakukan tendangan putar.
Wuus...! Plook...! Wajah Dewi Kun terkena tendangan dengan telak sekali, hingga
wanita itu terlempar ke samping dan jatuh di semak-semak. Brruus...!
Pandawi tak memberi kesempatan lawannya untuk
membalas. Bahkan tak ada kesempatan bagi Dewi K un untuk bersiap hadapi serangan
berikut. Karena baru saja ia jatuh terhempas, Pandawi sudah datang lagi dalam
satu gerakan lari cepat dan langsung menendang dagu Dewi Kun bagai menendang
bola. Dees...! "Ouff...!" Dewi Kun terjungkal makin ke dalam semak. Pandawi ingin menginjak
kepala Dewi Kun
dengan satu lompatan agak tinggi, tapi tiba-tiba sekelebat bayangan menyambarnya. Zlaap...! Wuuut...!
T ahu-tahu ia sudah berada dalam jarak tujuh langkah dari Dewi Kun, dan ia
berada dalam pelukan Suto
Sinting. "Cukup, Pandawi! Cukup!"
"Lepaskan aku!" sentak Pandawi berang sambil meronta, ia masih bernafsu ingin
menyerang Dewi Kun lagi. T api gerakannya ditahan kuat-kuat oleh tangan kiri
Suto Sinting yang memeluknya.
"Sudah, sudah...! Jangan teruskan, Pandawi! Dia sahabatku!"
"Sahabat"! Orang yang mau membunuh kita dengan ilmu tenaga dalamnya itu kau
anggap sahabat"!" bentak Pandawi dengan mata nanar liar.
"Mungkin... mungkin dia hanya usil saja," jawab
Pendekar Mabuk mencari alasan, karena ia tidak
mengharapkan kedua perempuan itu saling bertarung hingga timbul korban lebih
parah lagi. "Lepaskan dia, Suto!" teriak Dewi Kun sudah berdiri tegak dan mencabut
pedangnya. "Akan kulihat seberapa tangguhnya dia menghadapi jurus pedangku!"
"Hiaah...!" Pandawi menyentakkan kedua tangan dan terlepas dari pelukan Suto
Sinting. Suto jatuh ke belakang, terjengkang seperti anak baru bisa berjalan.
Pandawi segera lari hampiri Dewi Kun sambil mencabut pedangnya. Sraang...!
"Hiaaat...!" Pandawi memekik panjang, lalu tebaskan pedangnya yang lebih besar
dan lebih panjang dari pedang milik Dewi Kun.
Wuuut...! Pedang berkelebat bagai ingin membelah kepala Dewi Kun, namun dengan
cekatan sekali Dewi Kun menangkis pedang itu di atas kepalanya. T raang...!
"Heeah...!" Pandawi menjejakkan kaki dan tepat kenai perut Dewi Kun. Buuhk...!
"Heeegh...!" Dewi Kun terlempar mundur sejauh empat langkah. Namun ia masih
mampu berdiri walau sedikit oleng. Saat Dewi Kun membetulkan posisi
kakinya, Pandawi datang menyerang dengan tebasan pedang besarnya itu.
Wuuk, wuuk, wukk, traang, trang, wuus...!
"Heeeeaaaat...!!"
Dewi Kun memekik panjang sambil sentakkan kaki
ke tanah, tubuh pun melambung ke atas dalam gerakan bersalto. Pedang segera
berkelebat menebas kepala
Pandawi. Namun mantan prajurit wanita itu sedikit rendahkan kaki dan
menyilangkan pedangnya dengan kedua tangan di atas kepala. T raang...! T ebasan
Dewi Kun tertangkis pedang itu.
T ubuh Dewi K un bergerak turun dari udara dalam posisi siap menapak. Pedangnya
yang masih terulur ke depan itu segera disa bet dengan pedang Pandawi.
Sa betan pedang itu sangat kuat, mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar.
Wuuut...! Trraang, daarrrr...!
Ledakan kecil yang mengejutkan itu mempunyai daya sentak sangat kuat. Percikan
api menyebar ketika pedang beradu dengan pedang. Namun Dewi Kun segera
menggeragap ketika pedangnya ternyata terlepas dari genggaman tangannya melayang
dan menancap pada
sebuah pohon, lima langkah dari tempatnya berdiri.
Jruubs...! Pandawi menggenggam pedang dengan kedua tangan,
lalu segera ayunkan pedang itu dari atas ke bawah, seolah-olah ingin membelah
kepala Dewi Kun yang
dianggap mirip semangka itu. Wuuut...! Dewi K un berlutut satu kaki, lalu....
zeeb! Pedang itu berhasil dijepit dengan kedua telapak tangannya tanpa luka.
Kedua tangan Dewi Kun menyentak ke samping dengan kekuatan tenaga dalam tersalur
ke tangannya. Bett...!
Sentakan itu ternyata mampu melemparkan tubuh
Pandawi ke arah kiri. T ubuh itu terlempar dengan kuat.
Brruuk...! Pandawi jatuh dalam keadaan miring. T ubuhnya
sempat membal di tanah, ia mengerang kecil karena
tulang pundaknya membentur akar pohon sekeras batu, sedangkan pedangnya sudah
tidak di tangan. Pedang itu masih terjepit di kedua telapak tangan Dewi Kun.
"Hiaaah...!" Dewi Kun memutar balik pedang itu hingga gagang pedang a da di
tangannya, kemudian melemparkan pedang tersebut ke arah tubuh Pandawi.
Wuuut...! Pandawi sempat melihat gerakan pedang meluncur ke arahnya, ia segera berguling
ke kiri. Juubs...! Pedang pun menancap di tanah tempat Pandawi terbanting tadi.
Melihat pedangnya dalam satu jangkauan, Pandawi
segera bangkit untuk mencabut pedang itu. Namun
Pendekar Mabuk segera kirimkan jurus 'Jari Guntur'
yang merupakan sentilan bertenaga dalam, kekuatannya seperti tendangan seekor
kuda jantan. T ees, tees...!
"Aahk...!" Pandawi terlempar ke belakang karena lengannya bagai ditendang kuda.
Pedangnya tak jadi tercabut.
"Uuhk...!" Dewi Kun terlempar dan jatuh di semak-semak sewaktu ia ingin
melepaskan pukulan bersinar merah ke arah Pandawi. Rupanya pemuda tampan itu
juga lepaskan sentilan mautnya yang mengenai paha Dewi Kun hingga perempuan itu
tak jadi lepaskan
pukulan jarak jauhnya ke arah Pandawi.
Kini keduanya menyeringai kesakitan, sekujur tulang mereka bagai terpotong-
potong. Sakit semua. Mereka hanya mengerang sambil menggeliat berusaha bangkit,
namun tak bisa secepat tadi..
Pendekar Mabuk melesat dalam satu lompatan.
Wuuut...! Ia menyambar pedang Dewi Kun yang
tertancap di pohon. Sleeb...!
Setelah pedang itu berhasil dicabut, kaki Suto yang masih melayang itu menjejak
pohon tersebut, sehingga gerakan terbangnya berpindah arah. Dees, wuuut...!
Sleeb...! Pedang Pandawi berhasil disambar. Kini kedua pedang perempuan itu ada
di tangannya. Suto Sinting bersalto satu kali setelah menjejakkan kakinya ke
atas batu setinggi perut. Wuuk...! Dalam sekejap ia sudah daratkan kedua kakinya
di depan Dewi Kun dan Pandawi. Jleeb...!
"Kalau kalian masih tetap saling menyerang, kedua pedang ini akan kuhancurkan!"
ancam Pendekar Mabuk sambil mengangkat kedua pedang dengan tangannya, sementara
bumbung tuaknya menggantung di pundak
kanan, ia tampak serius, sehingga kedua wanita itu sama-sama diam dalam keadaan
duduk, sama-sama
pandangi Suto Sinting yang tampak serius itu.
Kedua perempuan itu akhirnya patuh kepada Pendekar Mabuk. Agaknya mereka tak ingin kehilangan senjata kesayangan mereka,
walau keduanya bukan
merupakan pedang pusaka, tapi cukup berarti bagi keselamatan hidup mereka.
Rasa permusuhan mereka memang masih ada, tapi
tidak ditonjolkan di depan Pendekar Mabuk. Mereka segera diberi minum tuak dari
bumbung bambu sakti itu, sehingga dalam beberapa saat kemudian tubuh mereka
menjadi segar. Rasa sakit mereka lenyap, bahkan tuak itu mampu meredakan
kemarahan dalam hati Pandawi
maupun Dewi Kun, walau tidak berarti padam sama
sekali. "Apa maksudmu mengarahkan pukulanmu ke Pandawi"!" tegur Suto Sinting kepada Ketua Kuil Perawan Ganas itu, sambil
serahkan kembali pedang masing-masing.
Pandawi memandang angker kepada Dewi Kun yang
meliriknya dengan sinis.
"Aku merasa tak rela kau dibuai perempuan liar macam dia!"
"Jaga mulutmu, Keparat!" sentak Pandawi. Ia ingin menyerang lagi, tapi segera
ditahan oleh genggaman tangan Suto yang mencekal lengannya.
"Dewi Kun, tindakanmu terlalu melewati batas. Kau tak berhak mencampuri urusan
pribadiku!" ujar Suto Sinting dengan tegas.
"Kau dulu milikku!"
"T ak ada siapa pun orangnya yang memiliki diriku!
Semua adalah sahabatku."
Dewi Kun menarik napas, sepertinya menahan rasa
perih di hatinya mendengar ucapan Pendekar Mabuk Itu.
Namun ia berusaha untuk tidak menampakkan perasaan sebenarnya.
"Kalau tahu kau tidak mencintaiku, kukejar kau saat melarikan Bocah Emas dari
Pulau Swaladipa!" ujar Dewi Kun seperti orang menggeram.
"T ak ada kata cinta yang keluar dari mulutku untuk siapa saja...," ucap Suto,
tapi hatinya melanjutkan sendiri, "... kecuali untuk calon Istriku; Gusti
Mahkota Sejati, Dyah Sariningrum."
"Sekarang katakan saja apa maksudmu datang ke tanah Jawa ini, Dewi Kun"!"
"Aku ingin bertemu dengan Bocah Emas yang kau bawa lari itu!"
"Hmm... untuk apa kau mencari Bocah Emas?"
"Aku ingin mencari tahu kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' yang...."
"Apa..."!" sahut Pandawi agak kaget. Suara itu membuat Dewi Kun hentikan
ucapannya, memandang
Pandawi dengan tajam.
Suto Sinting segera menimpali, "Setahuku, Ilmu itu milik Nyai Dupa Mayat, Dewi
Kun! Apakah kau punya urusan dengan Nyai Dupa Mayat"!"
"Beberapa waktu yang lalu dia telah mengacak-acak Kuil Perawan Ganas dan
bermaksud menguasainya.
Adik bungsuku, Dewi Mul tewas secara mengerikan; menjadi abu dan arang setelah
diterjang oleh bayangan hitamnya! Juga beberapa anak buahku, dibuat menjadi abu.
Kini waktunya aku bikin perhitungan dengan Nyai Dupa Mayat. T api aku harus
mengetahui kelemahan ilmu
Itu. Menurutku, hanya Bocah Emas yang mengetahui kelemahan ilmu apa pun!"
Pendekar Mabuk diam tertegun. Dalam benaknya
terbayang si Bocah Emas yang pernah dibawanya lari dari Pulau Swaladipa. Bocah
Emas itu adalah anak pasangan petapa sakti yang telah tiada, yaitu Eyang
Winudaya dengan Eyang Sutimuning, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Bocah Titisan Iblis").
Mendengar penuturan Dewi Kun, dalam hati Suto
Sinting pun bertanya-tanya, "Benarkah yang mengetahui kelemahan ilmu 'Gerhana
Senyawa' adalah si Bocah Emas"! Mungkinkah hanya si Bocah Emas yang mampu
kalahkan Nyai Dupa Mayat"!"
Pandawi pandangi Suto Sinting sejak tadi.
Ia mengharapkan satu langkah dari Suto untuk ikut
mengetahui kelemahan Ilmu 'Gerhana Senyawa' itu.
Pendekar Mabuk pun sempat memandang Pandawi
sebentar, kemudian pandangannya dialihkan ke arah Ketua Kuil Perawan Ganas.
"Bocah Emas itu ada di Pulau Sangon...."
"Ya, aku tahu! Bocah Emas itu berada di Istana Ratu Remaslega. T api aku perlu
bantuanmu untuk menghadap Ratu Remaslega," sahut Dewi Kun. "Se bab bila tidak
bersamamu, maka kedatanganku ke sana hanya akan
dianggap sebagai musuh belaka. Apalagi di sana ada Elang Samudera, yang
setidaknya akan menaruh curiga buruk padaku!"
Pendekar Mabuk diam kembali, benaknya dililiti oleh berbagai pertimbangan dan
kesangsian. Namun akhirnya ia putuskan untuk mencoba turuti permintaan Dewi Kun,
sekalian ia sendiri ingin tahu rahasia kelemahan Ilmu
'Gerhana Senyawa' Itu. Maka ia pun memandang
Pandawi yang telah menjauh dan berdiri di ba wah pohon, bersandar di sana dengan
mata memandang tajam kepada Dewi Kun. Pendekar Mabuk terpaksa dekati
Pandawi. "Kau mendengar sendiri apa yang dikatakannya.
Bagaimana menurutmu, Pandawi"!"


Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak mau ikut ke Pulau Sangon!" jawab Pandawi dengan nada datar berkesan
ketus. Matanya tetap
memandang ke arah Dewi Kun yang juga menatapnya
dengan sinis. "Mengapa kau tak mau ikut ke Pulau Sangon"
Bukankah kita sejak kemarin bingung memikirkan
kelemahan Ilmu 'Gerhana Senyawa' itu"!"
"Aku tak sudi berjalan dengan perempuan menjijikkan itu!" ucap Pandawi mirip orang sakit gigi.
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. T erasa
serba salah jadinya. Di sisi lain ia butuh keterangan dari si Bocah Emas tentang
kelemahan ilmu tersebut, di sisi lain Pandawi benci kepada Dewi Kun. Suto
sendiri merasa tak enak jika pergi berdua bersama De wi K un, sementara Pandawi
tak mau bersamanya. Jelas hal itu akan mengecewakan Pandawi dan hubungan
manisnya dapat menjadi retak.
Pandawi akhirnya berkata lirih, "Kita memang harus bertemu dengan orang yang kau
maksud sebagai Bocah Emas itu, tapi jangan bersama perempuan jahanam itu!
Dia bisa kubunuh di perjalanan!"
"Pandawi, kau tak boleh begitu."
"Harus begitu!"
"Huhh... repot juga kalau be gini!" keluh Suto lirih sambil lepaskan napas
panjang. Wajahnya pun menjadi tampak lesu.
* * * 3 SEBERKA S sinar hijau sebesar merica melesat dari belakang Suto Sinting. Sinar
itu sangat kecil dan tak ditangkap oleh pandangan mata Dewi Kun. Suto sendiri
tak rasakan hembusan hawa aneh yang mendekati
punggungnya. T ahu-tahu ia merasa tengkuknya seperti digigit nyamuk. Sniit...!
"Auuh...! Sialan!" Suto Sinting terkejut sambil
memaki, lalu menepak tengkuknya. Plaak...! Ia menyangka ada nyamuk yang menggigit
tengkuk kepalanya. Namun kejap berikut, pandangan mata Suto Sinting menjadi berkunang-kunang, makin
lama semakin buram.
Kurang dari tujuh hitungan tubuh Pendekar Mabuk
menjadi lemas, ia pun jatuh terkulai tak sadarkan diri.
"Suto..."!" pekik Pandawi dengan kagetnya, ia segera menangkap tubuh
Suto yang terkulai lemas itu. Se dangkan Dewi Kun bergegas hampiri Suto Sinting pula dengan wajah penuh
keheranan. Namun tanpa diketahui oleh dua wanita cantik itu, sinar hijau kecil itu melesat
lagi dari balik pepohonan rindang. Kali ini dua sinar hijau yang melesat dengan
kecepatan tinggi.
Sniit, sniit...!
"Uhh...!" "Aah...!"
Pandawi merasa lehernya digigit semut, tangannya segera menepak leher yang
tersengat itu. Dewi Kun juga merasa daun telinganya seperti disengat lebah.
Secara refleks tangannya menepak telinga sendiri. Plak...!
Kejap berikutnya, kedua wanita itu saling berkerut dahi dan saling pandang.
Mereka pun akhirnya menjadi lemas, kemudian jatuh tak sadarkan diri.
Kini ketiga orang itu saling terkapar di tanah dalam keadaan pingsan. Hutan yang
sunyi tiba-tiba dihiasi oleh suara
tawa yang terkekeh pelan mirip orang menggumam. T awa itu berasal dari balik kerimbunan pohon berjarak sekitar lima
belas langkah dari tempat Suto terkapar.
Sesaat kemudian muncul seraut wajah tua mirip
seorang lelaki berusia sekitar delapan puluh tahun.
Kakek berambut panjang abu-abu dengan kumis dan
jenggotnya yang abu-abu juga itu mengenakan jubah abu-abu dan tutup kepala kain
merah. Badannya kurus, matanya kecil, berhidung panjang. Salah satu bagian
tubuhnya yang menjadi ciri-cirinya adalah daun telinga yang mempunyai taji atau
jalu kecil. Setiap orang yang melihat sepasang taji kecil di telinga tokoh tua
itu pasti akan segera mengenalinya sebagai si Jalu Kuping dari Lereng Kunyuk di
Gunung Dara. Pendekar Mabuk pernah berhadapan dengan tokoh
nyentrik yang rada konyol itu. Suto juga pernah dibuat tak berdaya oleh
kesaktian ilmu si Jalu Kuping, sehingga raga Suto Sinting pernah ditukar dengan
raga milik muridnya yang bernama Badra Sanjaya, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pusaka Jarum Surga").
Kali ini agaknya Suto Sinting juga 'dikerjain' oleh si Jalu
Kuping hingga tak berdaya. Jalu Kuping menyambar tubuh Suto Sinting dan membawanya pergi sambil tinggalkan ucapan untuk
Pandawi dan De wi K un yang pingsan itu.
"Maaf, kupinjam sebentar jagoan kalian. Heh, heh, heh, heh...!" .
Ki Jalu Kuping tak lupa membawa pula bumbung
tuak Suto Sinting, sebab ia tahu kekuatan Pendekar Mabuk seba gian besar berada
dalam kesaktian bumbung itu. Dengan memanggul Suto di pundak kirinya, seperti
memanggul kasur yang mau dijemur, Ki Jalu Kuping melesat bagaikan kilat menuju
ke pondoknya yang ada di Lereng Kunyuk. Hutan di lereng itu dulu pernah menjadi
pusat perkumpulan para monyet dari berbagai penjuru. T api sejak Ki Jalu Kuping
menempati daerah itu, para monyet pun pergi dan tak ada yang mau
singgah di petilasan mereka lagi. Ki Jalu Kuping mempunyai ilmu yang dapat
mengusir segala macam
jenis binatang, termasuk kutu di rambut
seorang perawan. Namun jauh sebelum mencapai kaki Gunung Dara,
langkah Ki Jalu Kuping dihadang oleh seorang lelaki tua yang berusia sekitar
delapan puluh tahun juga. Ia mengenakan pakaian model biksu yang membungkus
tubuhnya agak gemuk itu. Rambut juga tipis, tapi berwarna putih. Begitu tipisnya
hingga tokoh tua itu berkesan botak. Namun ia mempunyai janggut panjang berwarna
putih rata. Ki Jalu Kuping hentikan langkah ketika tiba-tiba tokoh tua itu muncul dari balik
gugusan cadas, seakan
sengaja menghadangnya dengan senyum berkesan konyol. "Ooh... kau!" keluh Jalu Kuping tampak kurang suka dengan penghadangan itu,
"Telur sapi berwarna Jingga,
dibuat bedak bikin manis rupa.
Sudah lama kita tak jumpa,
sekali jumpa wajahmu seperti buaya."
Orang itu segera terkekeh geli sendiri. Tapi si Jalu Kuping bersungut-sungut
sambil menggerutu tak jelas, ia terpaksa turunkan tubuh Suto Sinting pelan-
pelan, dibaringkan di tempat yang teduh. Rupanya si Jalu Kuping sudah mengenal
orang tersebut, terlebih setelah kemunculan seorang lelaki berusia sekitar empat
puluh tahun yang bertubuh kurus agak pendek. Lelaki berpakaian serba hijau dan berikat kepala merah dikenal sebagai pelayan si
janggut putih. "Bagaimana kabarmu, Pakar Pantun"!"
"Ooh, selalu sehat dan awet muda, Jalu Kuping,"
jawab si janggut putih yang tak lain adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya
yang bernama si Kadal Ginting.
Tokoh jago pantun itu sangat kenal baik dengan Suto Sinting, sehingga ia tahu
persis siapa orang yang dipanggul Jalu Kuping tadi, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Asmara Darah Biru").
"Telur gajah di dalam celana,
indah baunya harum bentuknya...."
Kadal Ginting segera memotong sambil mencolek
lengan majikannya, "Eyang... kebalik itu tadi. Yang
benar: 'indah bentuknya, harum baunya', begitu."
"Yang punya pantun aku, kenapa kau yang repot susun kata"!"
"T erserah Eyang sajalah...," Kadal Ginting cemberut tundukkan kepala. Sang Resi
pun ulangi pantunnya tadi.
"Telur gajah di dalam celana,
indah bentuknya harum baunya.
Siapa orang yang tidak terpesona,
m elihat Pakar Pantun selalu berwajah Arjuna."
"Hehh, heeh, hehh, hehh...!"
Jalu Kuping sunggingkan senyum cekak. "Boleh saja kau selalu merasa seperti
Arjuna. T api sebaiknya segeralah menyingkir dan jangan halangi langkahku,
karena aku ada urusan yang sangat penting, Pakar Pantun!"
Resi Pakar Pantun melirik ke arah Pendekar Mabuk yang belum siuman juga itu.
Kemudian senyumnya
kembali merekah mirip durian tua.
"Kelihatannya kau punya urusan dengan Pendekar Mabuk, Jalu Kuping!"
"Benar! Dan kau tak perlu tahu, sebab aku malas memberi tahu dirimu!" tegas Ki
Jalu Kuping yang kala itu tidak membawa tongkat.
"Kelihatannya kau mencuri pemuda itu dan kau ba wa pergi. Maksudku, kau buat dia
pingsan lalu kau cabut dari tempatnya."
"Itu urusanku!"
"Ooo... berarti kau punya maksud tak baik terhadap cucu angkatku itu, Jalu
Kuping." "Jangan bikin masalah denganku, Pakar Pantun!"
gertak si Jalu Kuping. T api gertakan itu ditertawakan oleh Resi Pakar Pantun.
"Telur bebek jatuh di tanah...."
"Pecah, Eyang...," sahut Kadal Ginting.
"Diam kau! Ini pantun, tak kenal kata pecah untuk telur bebek. Mau jatuh di
tanah kek, di batu kek, di atas kepalamu kek, tak akan pecah!" omel sang Resi,
dan sang pelayan hanya
geleng-geleng kepala
sambil menjauh, seakan bersikap masa bodoh dengan pantun yang akan dilontarkan sang
majikan. Maka Resi Pakar Pantun pun lanjutkan pantunnya kepada si Jalu Kuping
yang tampak masih tenang dengan mengelus-elus
janggutnya. "Telur bebek jatuh ke tanah,
berubah bentuk m enjadi rakit.
Bukan aku yang bikin m asalah,
tapi kau sendiri yang cari penyakit."
"Apa maksud pantunmu"!"
"Kau kuanggap menculik Pendekar Mabuk, dan itu namanya kau mencari penyakit!
Sudah pendekar, mabuk lagi, eeh... masih mau diculik"! Kau bisa digibas oleh si
Gila T uak, tahu"!"
"Aku punya urusan dengan murid si Gila T uak ini.
Bukan bermaksud menyakitinya. Aku takut ia tak mau menolongku jika tidak dengan
cara langsung kuba wa ke pondokku, maka terpaksa kubius dengan jurus ' Sengat
Rembulan'-ku!"
"Itu namanya curang!" sahut sang Resi, sedangkan si
Kadal Ginting segera menggerutu dengan bersungut-sungut.
"Rembulan mana punya sengat"! Uuh... ngaco saja kalau bikin nama jurus orang
ini!" Rupanya gerutuan itu didengar oleh si Jalu Kuping.
Hatinya agak jengkel juga kepada si Kadal Ginting.
Dengan cepat ia sentakkan tangannya dengan jari tangan menegang keras dan lurus.
Suuut...! Claap...! Sinar hijau sekecil merica melesat dan kenai lengan si Kadal
Ginting. Sang Resi mau bertindak menghalangi sinar itu, tapi sinar sudah
terlanjur kenai Kadal Ginting.
"Begitulah rasanya jika rembulan menyengat!" ujar si Jalu Kuping dengan
tersenyum sinis.
Brruuk...! Resi Pakar Pantun terperanjat pandangi pelayannya yang tahu-tahu roboh tak
berkutik lagi, alias pingsan.
T indakan itu cukup menyinggung harga diri sang Resi.
Maka terdengarlah suara sang Resi yang mengecam si Jalu Kuping.
"T ak pantas kau lakukan hal itu kepada pelayanku, Jalu Kuping!"
"Aku sudah
bosan berhadapan dengan kalian! Kuharap kau tidak mengganggu perjalananku lagi, Pakar Pantun!" sambil Jalu
Kuping mau mengangkat Suto Sinting dan bumbung tuaknya lagi. Tapi tiba-tiba hawa
padat dilepaskan dari tangan Resi Pakar Pantun.
Wuuut...! Buuuhk...!
Pukulan tenaga dalam tanpa sinar kenai pinggang
Jalu Kuping yang sedang membungkuk itu. Brruuus...!
Jalu Kuping terlempar melompati Suto Sinting. Ia jatuh terguling-guling bagaikan
dilanda badai kencang. Tapi ketika
gerakan tergulingnya berhenti,
ia langsung bangkit dan berdiri dengan tegak.
Senyum tipis berkesan sinis, mekar di bibir tuanya yang berwarna biru kehitam-
hitaman. "Oo... jadi kau mau main-main denganku, Pakar Pantun"!" sambil Jalu Kuping
manggut-manggut.
"Kau yang mengawali lebih dulu dengan menyerang pelayanku."
"Karena kalian menghalangi langkahku!" sahut Jalu Kuping mulai beremosi.
"Kuhalangi langkahmu, karena aku curiga dengan maksudmu membawa Pendekar Mabuk
secara tidak sah!" bantah Resi Pakar Pantun. "Untuk apa kau membawanya dengan cara seperti
ini"!"
Jalu Kuping mencoba bersabar dengan menarik
napasnya dalam-dalam. Ia melangkah lebih mendekat lagi,
lalu menuding

Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Resi Pakar Pantun sambil menggeram penuh kejengkelan.
"Dengar, Pakar Pantun...! Muridku si Badra Sanjaya terkena
pukulan 'Mati Raga' yang dimiliki oleh lawannya, ia tak bisa bergerak dan bicara sedikit pun.
Sudah empat puluh hari lamanya ia menderita seperti itu.
Aku tak tahu siapa lawannya itu. Maka aku ingin
menggunakan raga Suto Sinting untuk mencari orang yang memiliki jurus 'Mati
Raga' itu. Sukmanya akan kupindahkan ke raga Suto, dengan begitu ia akan dapat
membalas kekalahannya. Setidaknya ia dapat sebutkan
padaku siapa lawan yang telah membuatnya tak bisa berbuat apa-apa itu!"
"Suto belum tentu mau!"
"Memang. Karena itulah ia kubius dengan jurus
'Sengat Rembulan', sehingga ketika ia sadar ia sudah berada di raganya Badra
Sanjaya dan Badra Sanjaya akan pergi mencari lawannya dengan memakai raganya si
Suto Sinting!"
"Itu pemaksaan namanya! Licik!" sentak Resi Pakar Pantun penuh nada kecaman.
"Aku sendiri punya keperluan dengan Pendekar Mabuk itu. Aku disuruh oleh Resi
Wulung Gading untuk memanggil Suto sehubungan dengan penyerahan Pedang Jagal
Keramat ke tangan Karina, murid si Burung Bengal."
"T angguhkan dulu urusan itu! Aku tak ingin muridku menderita lebih lama lagi.
Setelah urusanku selesai, Pendekar Mabuk akan kuantar sendiri ke Lembah Sunyi
untuk temui Kakang Wulung Gading!"
"T idak bisa!" bantah sang Resi. "Urusan ini lebih penting daripada urusan
pribadimu! Jika sampai raga Suto bertemu dengan lawannya muridmu, dan dia
terkena jurus 'Mati Raga' lagi, lantas siapa yang akan bertanggung ja wab dengan
bencana itu"! Bisa atau tidak, Suto Sinting akan kubawa ke Lembah Sunyi!"
"Kalau begitu kita terpaksa bertarung dulu, Pakar Pantun," ujar Jalu Kuping
dengan sikap meremehkan, senyumnya tetap berkesan sinis. Sang Resi pun ikut-
ikutan tersenyum sinis dan bersikap meremehkan pula.
"Jika memang kau inginkan pertarungan, aku akan
melayani secara kecil-kecilan!"
"Hemm...! Kau akan tumbang di tanganku, Pakar Pantun!"
"Telur dadar tersangkut dipaku,
m elam bai-lambai ditiup sang bayu.
Bersiaplah kenalan dengan ilmu baruku,
sekali tepuk rontok tulang dan tetelanm u."
Resi Pakar Pantun segera tarik kaki kirinya ke
belakang dan kedua kaki merendah, kedua tangan
mengeras, masing-masing mengeraskan telapak tangan.
Melihat persiapan seperti itu. Jalu Kuping pun se gera renggangkan kaki dan
merendah sedikit, lalu kedua tangannya yang berada di samping dada saling
mengeras pula dengan telapak tangan mengarah ke depan. Napas pun terhempas pelan
melalui mulutnya.
"Hooooohhh...!!"
Kedua tangan Jalu Kuping segera berasap, ia lakukan gerakan di tempat sebelum
maju menyerang lawan.
Sementara itu, Resi Pakar Pantun pun
mulai keluarkan asap dari kedua telapak tangannya,
ia mengubah posisi dengan gerakkan kaku karena seluruh tubuhnya mengeras.
"Heeah...!" Resi Pakar Pantun menyentakkan kaki, tubuh pun segera meluncur ke
depan. Wuuus...! Dan si Jalu Kuping tak mau diam di tempat, sentakan kakinya
juga membuatnya meluncur ke depan dalam keadaan
seperti singa ingin menerkam mangsanya.
Kedua tokoh tua itu akhirnya bertemu di udara dan saling hantamkan pukulan
berasapnya secara beruntun.
Plak, plak, plak, plak, plak...!
Mereka saling beradu tangan, saling tangkis, dan saling beradu kaki dengan
gerakan serba cepat. Ketika tubuh mereka hendak turun ke bumi, mereka saling
mengadu kedua telapak tangan.
"Hiaah...!"
Jegaaaarrrr...!
Kilatan cahaya ungu kemerah-merahan membias
dalam sekejap bersama suara ledakan dahsyat. Gelombang ledakan itu mempunyai hawa panas yang
menyentak kuat ke berbagai penjuru. Akibatnya, si Jalu Kuping terpental dalam
gerakan melambung ke udara cukup tinggi, sedangkan Resi Pakar Pantun terlempar
ke belakang dalam gerakan seperti dihempas badai.
Wuuut...! Brruk...!
Keduanya sama-sama jatuh terbanting. Agaknya si
Jalu Kuping lebih parah, karena ia terbanting dari keadaan yang lebih tinggi
ketimbang Resi Pakar Pantun.
Bluuk...! "Aaahk...!" Jalu Kuping mengerang kesakitan, ia tak pedulikan janggutnya yang
menjadi hangus dan bondol.
Wajahnya sendiri berubah menjadi kemerah-merahan karena hawa panas dari ledakan
tadi. Resi Pakar Pantun juga ber wajah merah, seperti
kepiting diangkat dari air rebusan, ia menggeragap dan kebingungan karena
merasakan panas yang menjalar lambat ke leher dan dada.
"Celaka! Hawa saljuku tak bisa padamkan rasa panas membakar ini"!" gumam hati
Resi Pakar Pantun dengan
cemas. Di pihak lawan, si Jalu Kuping juga mencemaskan hal yang sama.
"Uuhf...! T ak tahan aku dengan hawa panas ini! Gila!
Napas kutupku tak bisa memadamkan hawa panas yang sebentar lagi membakar sekujur
tubuhku!" Resi Pakar Pantun membatin, "Ini harus dibantu dengan air! Ooh, ya... aku ingat,
tadi di sebelah sana aku melewati sungai! Sebaiknya aku berendam di sungai itu
sambil kerahkah hawa saljuku!" ,
Supaya tak disangka kalah dan larikan diri, Resi Pakar Pantun segera serukan
pantunnya dengan suara bergetar dan serak akibat menahan sakit.
"Telur kuda jatuh di mulut babi,
telur babi tak pernah bisa bernyanyi.
Jangan pergi ke mana-mana kau, Kuping Sapi,
tak sampai sewindu aku kan datang lagi."
Blaass...! Resi Pakar Pantun pun pergi secepatnya.
Jalu Kuping mulai dapat menangkap maksud kepergian sang Resi.
"Dia pasti mau gunakan air sebagai pembantu hawa dinginnya! Hmm, sebaiknya
kuikuti dia, karena aku pun butuh air untuk membantu hawa dingin dari napas
kutupku!" Blaasss...! Jalu Kuping segera susul Resi Pakar
Pantun. Keadaan panas yang merambat ke dada itu
membuat si Jalu Kuping tak pedulikan keadaan
Pendekar Mabuk, dan Resi Pakar Pantun tak pedulikan keadaan si Kadal Ginting. T
anpa diketahui mereka berdua, Suto Sinting sudah mulai siuman, karena para
tokoh tua itu pergi terlalu lama.
Rupanya sinar hijau kecil yang menyengat dari si Jalu Kuping bukan pukulan
mematikan. Sinar hijau yang dinamakan
jurus ' Sengat Rembulan' hanya melumpuhkan urat saraf dan menghapus kesadaran
seseorang. Beberapa saat kemudian, orang itu akan siuman sendiri, tergantung
ketahanan fisik dan Ilmu yang dimiliki. Semakin tinggi ilmu orang itu, semakin
cepat siumannya.
Berbeda dengan si Kadal Ginting; tak dapat cepat siuman karena ia mempunyai ilmu
tidak setinggi Pendekar Mabuk. Maka ketika Pendekar Mabuk siuman, ia segera terkejut melihat
Kadal Ginting terkapar tak jauh darinya.
"Gila"! Kenapa si Pandawi berubah menjadi Kadal Ginting"! Wah, celaka kalau
begini"! Berarti aku tadi bermesraan dengan si Kadal Ginting serta...," ucapan
hati Suto terhenti sejenak, karena memori dalam
benaknya teringat kembali saat-saat terakhir bersama Pandawi dan Dewi Kun.
"O, bukan! Pandawi bukan berubah menjadi Kadal Ginting! Aku ingat... saat itu
aku merasa seperti disengat nyamuk, lalu pandangan mataku mulai buram dan... dan
aku tak sadar lagi. Hmm... pasti orang yang membawaku sampai di sini. Tapi apa
hubungannya dengan Kadal Ginting"!"
Pendekar Mabuk segera tenggak tuaknya. Dengan
meneguk tuak dari bumbung saktinya, rasa nyeri di sekujur tubuhnya menjadi
hilang. Badannya terasa segar
dan sehat kembali, seperti tak pernah pingsan atau terluka sedikit pun.
Kebetulan sekali Kadal Ginting pingsan dalam
keadaan mulut sedikit ternganga, seperti lubang belut.
Pendekar Mabuk menuangkan tuaknya pelan-pelan ke mulut Kadal Ginting. T uak
masuk ke tenggorokan
sedikit demi sedikit bagai air merembas ke tanah.
Beberapa saat kemudian, Kadal Ginting sadar dan
langsung tersedak.
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!" Kadal Ginting terbatuk-batuk, karena ia memang
rawan dengan penyakit batuk.
Wajahnya sampai merah dan berkeringat karena batuknya tak berhenti-henti.
Plaak...! Suto Sinting menepak tengkuk
Kadal Ginting supaya batuknya berhenti. T api Kadal Ginting tersungkur jatuh dalam
keadaan tengkurap. Ulu hatinya terganjal akar yang menonjol. Napasnya sesak, dan
ia pun pingsan kembali.
"Sial! Rupanya tabokan tanganku terlalu keras
sehingga dia pingsan lagi. Haahhh... bikin kerjaan saja ini orang!" gerutu
Pendekar Mabuk sambil gulingkan tubuh Kadal Ginting agar telentang kembali.
* * * 4 PELAYAN Resi Pakar Pantun itu setelah ditolong
Suto hanya bisa jelaskan tentang siapa orang yang
membawa Suto sampai ke tempat itu. Persoalan yang sebenarnya, Kadal Ginting tak
bisa jelaskan. Karena pada waktu Jalu Kuping jelaskan perkara muridnya; si Badra
Sanjaya itu, ia dalam keadaan KO alias pingsan.
Maka dalam hati Suto pun diliputi tanda tanya besar,
"Apa alasan Ki Jalu Kuping membiusku dan ingin membawaku ke
pondoknya"! Kesulitan apa yang
dialaminya sehingga ia nekat bertindak sekonyol itu padaku" Lalu, bagaimana
dengan Pandawi dan Dewi
Kun itu"!"
Ke mana kedua tokoh tua itu pergi, Kadal Ginting juga tak bisa jelaskan. Oleh
sebab itu, Pendekar Mabuk segera perintahkan Kadal Ginting untuk mencari kedua
tokoh tua itu ke arah timur, sedangkan Suto sendiri akan mencari ke arah utara.
Padahal kedua tokoh tua itu berlari ke arah barat. T entu saja mereka tidak akan
bertemu dengan kedua tokoh tua itu.
T anpa terasa Pendekar Mabuk sudah berkeliaran
mencari mereka selama dua hari, baik mencari kedua tokoh tua itu atau mencari
Pandawi dan Dewi Kun.
Rasa-rasanya seluruh pelosok bumi telah dijelajahi Suto untuk mencari mereka,
padahal baru sebagian kecil dari permukaan bumi yang dijelajahinya. Tentu saja
mereka tak dapat ditemukan.
Anehnya, Pendekar Mabuk justru menemukan seraut
wajah cantik lainnya yang belum pernah dikenal dan dijamahnya. Seraut wajah
cantik jelita itu milik seorang gadis berpakaian kuning gading. Bajunya tanpa
lengan, agak ketat dengan tubuhnya yang sekal itu. Celananya
juga a gak ketat dengan pinggulnya yang padat berisi itu.
T api gadis itu mengenakan jubah tanpa lengan yang mudah dilepas.
Jubah merah beludru itu seperti jubah milik Superman atau Drakula, seakan bisa dipakai untuk terbang. T api sebenarnya gadis
itu tidak bisa terbang, karena bukan peranakan kelelawar, ia juga tidak doyan
minum darah, karena bukan keturunan vampire.
Suto Sinting temukan
gadis berambut pendek sepundak itu di sebuah lembah. Gadis yang mengenakan ikat kepala dari lempengan
logam kuning emas berbatu kecil-kecil seperti intan itu ditemukan Suto bukan
dalam keadaan sedang melamun atau menangis, tapi dalam keadaan sedang
berjumpalitan di udara karena hindari pedang seorang lawan. Lawan yang sedang
bertarung dengan si gadis itu pernah dilihat oleh Suto, yaitu seorang pemuda
berusia sekitar dua puluh lima tahun yang rambutnya digulung ke atas dan dililit
pita merah. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap, dan ramping.
Badannya tidak sekekar Pendekar

Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mabuk, ia mengenakan jubah kuning mengkilat dari semacam kain satin, pakaian dalamnya
warna hitam. Sarung pedangnya dibungkus kain jingga dan terselip di pinggang.
Pemuda berwajah tampan dan beralis tebal itu tak lain adalah si Raden Lontar,
putra bangsawan yang menjadi murid Perguruan Darah Biru.
Raden Lontar adalah sosok pemuda yang haus ilmu, sehingga ia pernah ingin
membunuh seorang tokoh tua aliran putih yang bernama T ulang Geledek, hanya
untuk dapatkan ilmu dahsyat dari si manusia berwajah ba dak yang bernama Rogana.
Kehadiran Pendekar Mabuk dan gadis
konyol; Perawan Sinting, membuat usaha menangkap T ulang Geledek menjadi gagal, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Perawan Sinting").
"Aku masih ingat si Raden Lontar itu," gumam hati Suto Sinting. "Tapi siapa
gadis cantik berhidung mancung dan berbibir menggemaskan itu"! Hmm...!
Kecantikannya punya daya tarik tersendiri. Beda dengan yang
sudah-sudah. Kecantikan itu bagaikan memancarkan cahaya berlian yang berkesan mewah dan mengagumkan. Hmmm... benar-
benar mirip boneka
gadis itu." Suto Sinting geleng-geleng kepala dengan rasa kagum berbunga-bunga.
Gerakan gadis itu sangat lincah dan gesit. Segalanya dilakukan dengan cepat,
nyaris tak terlihat mata manusia biasa. Agaknya ia belum mau menggunakan
senjatanya walau Raden Lontar sudah menggunakanpedangnya
yang berkesan mewah itu.
"Menyerahlah kau, T irai Surga!" bentak Raden Lontar yang rupanya kewalahan
karena sejak tadi tak bisa kenai gadis itu dengan pedangnya.
"Perguruanku tak kenal kata menyerah, Raden Lontar! Tapi jika perguruanmu
mengenal kata menyerah, kusarankan agar segeralah kabur sebelum hidupmu
berakhir di sini!" ujar si gadis yang ternyata bernama T irai Surga itu.
"Kita buktikan siapa yang masa hidupnya berakhir di sini! Hiaaah...!
Raden Lontar menebaskan pedangnya dari kanan ke
kiri. Arahnya ke leher T irai Surga. T api dengan gerakan gesit dan cepat T irai
Surga meliukkan badan sambil merunduk hingga pedang Raden Lontar membabat
tempat kosong. Wuuss...!
Dengan geram Raden Lontar hentakkan kaki ke
depan dan pedangnya menghujam ke dada si gadis.
Suuut...! Gadis itu hanya bergeser ke samping dalam gerakan miring. Pedang lawan
lewat di depan dadanya.
T angan si gadis segera menghantam pergelangan
tangan Raden Lontar. Plaak...! Pedang itu hampir saja terlepas dari genggaman
Raden Lontar, namun berhasil ditangkap kembali dengan gerakan terhuyung ke
kanan. Kesempatan itu digunakan oleh T irai Surga untuk lepaskan tendangan menyamping.
Gerakan kaki itu
sangat cepat, sehingga Raden Lontar tak bisa hindari atau menangkisnya.
Bet, plook...! Wajah Raden Lontar terkena tendangan cepat dan
kuat. Pemuda itu tersentak ke belakang dan terjungkal satu kali.
"Monyet...!"
geram Raden Lontar setelah menegakkan badannya dalam keadaan satu kaki berlutut.
Wajahnya yang terasa panas dan tulang rahangnya
seperti patah itu ditahan sesaat. Raden Lontar segera lepaskan pukulan tangan
kiri. Wuuut...! Claap...! Sinar biru lurus melesat dari telapak tangan Raden
Lontar di luar dugaan T irai Surga. Sinar itu berkelebat sangat cepat dan tak
bisa dihindari. Si gadis hanya bisa
menahan dengan telapak tangannya yang segera ingin memancarkan sinar merah.
Namun sebelum sinar merah itu menjadi besar dan terlepas dari telapak tangan
itu, sinar birunya Raden Lontar lebih dulu menghantamnya.
Blegaaar...! Ledakan cukup keras membuat T irai Surga terlempar sejauh tujuh langkah dan
jatuh berguling-guling. Ra den Lontar segera mengejarnya, tak beri kesempatan
bagi si gadis untuk lepaskan balasan. Kali ini Raden Lontar pergunakan pedangnya
untuk membunuh T irai Surga.
Dalam jarak satu langkah, pedang itu diayunkan
memenggal leher si gadis yang sedang sempoyongan akibat ledakan tadi.
Wuuut...! Traaang...!
T iba-tiba pedang itu terpental bagai disambar setan.
Se butir batu kecil telah melesat dan kenai pedang itu.
Batu kecil itu disentilkan dari tangan seorang pemuda tampan yang bersembunyi di
balik semak. Pendekar Mabuk itulah orangnya yang merasa sayang jika gadis
secantik itu terpenggal kepalanya.
"Setan...!! Siapa kau yang ada di semak-semak itu"!
Keluar!" seru Raden Lontar setelah memungut pedangnya. Pendekar Mabuk sengaja tak menjawab, karena
sebenarnya ia tak ingin terlibat urusan antar perguruan itu. Ia hanya merasa
sayang jika gadis itu sampai kehilangan nyawa. Jika hanya luka atau celaka tak
apa, asal jangan sampai mati.
Raden Lontar mencoba untuk tidak pedulikan gangguan dari balik semak. Selagi T irai Surga belum bangkit dan masih tampak
lemah akibat pukulan sinar birunya tadi, Raden Lontar ayunkan kembali pedangnya
untuk memenggal kepala gadis Itu. Wuuut...!
Traang...! Lagi-lagi batu sekecil kemiri melesat kenai pedang Raden Lontar. Pedang itu
tersentak kuat membalik arah, bahkan membuat keseimbangan Raden Lontar menjadi
limbung. Hampir saja ia jatuh terjengkang kalau tak segera pasang kuda-kuda
rendah. "Bangsat kurap betul orang itu!" geram Raden Lontar, kemudian tangan kirinya
lepaskan pukulan bersinar biru seperti tadi ke arah semak-semak. Claap...!
Sinar biru itu melesat cepat ke arah semak-semak. Suto Sinting melihat gerakan
sinar biru itu, lalu cepat-cepat hadangkan bumbung tuaknya sebagai penangkis.
T uub...! Sinar itu membentur bumbung tuak seperti benda padat membentur karet.
Bumbung tuak tidak
mengalami luka lecet atau hangus sedikit pun, tapi ia mampu pantulkan sinar biru
itu ke arah semula dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya.
Wuuus...! "Edan..."!"
pekik Raden Lontar dengan mata mendelik melihat sinar birunya memantul balik dengan lebih cepat dan lebih besar
dari aslinya, ia sempat panik, dan segera melepaskan jurus bersinar kuning dari
sentakan pedangnya. Pedang yang disentakkan ke depan keluarkan sinar kuning dari
ujungnya sebesar telur ayam kampung. Claap...!
Jegaaarrr...! Benturan sinar kuning yang baru saja keluar dari ujung pedang dengan sinar biru
timbulkan ledakan dahsyat yang melemparkan tubuh Raden Lontar sejauh sepuluh
langkah lebih. T ubuh itu melayang ke belakang bagai tersapu badai
dan jatuh terbanting di atas
sebongkah batu sebesar anak sapi. Bruuuk...!
"Huaaaahhkk...!!"
pekik Raden Lontar dengan kerasnya. Suara pekikan itu dibarengi dengan semburan darah segar dari mulutnya.
Suto Sinting sendiri terkejut, karena tak sangka akan membuat Raden Lontar
separah itu. "Salahnya, pakai ditangkis dengan sinar kuning segala!" gerutu hati Suto
Sinting. "Coba dihindari saja, tak akan membuatnya terluka dalam separah itu"!"
T irai Surga pun terperanjat melihat lawannya terlempar sejauh itu dan semburkan darah segar dari mulutnya. Gadis itu dapat
menduga, lawannya terluka parah bagian dalam tubuhnya. Namun siapa orang yang
memihaknya, T irai Surga tak dapat menduga.
Raden Lontar mencoba bangkit dengan terhuyung-
huyung. Wajahnya menjadi pucat pasi seperti mayat.
Mulutnya menganga terus karena berusaha menghirup napas yang tampak sukar sekali
itu. Ia melangkah mundur dengan masih pegangi pedangnya. Langkahnya itu
menggeloyor dan jatuh terduduk di tempat, darah keluar lagi dari mulutnya. Namun
ia mencoba bangkit kembali dengan pandangan mata mulai sayu.
"Wah, mati tuh orang..."!" gumam hati Suto Sinting
dengan agak menyesal. Ia ingin bergegas keluar untuk menolong Raden Lontar,
karena di antara dirinya dan Raden Lontar sebenarnya tak punya masalah pribadi
apa pun. Ia hanya menyelamatkan nyawa si cantik T irai Surga itu, tak sengaja
membuat Raden Lontar sampai segawat itu.
Namun sebelum Pendekar Mabuk keluar dari persembunyiannya, murid Perguruan Darah Biru itu sudah kabur lebih dulu. Dalam
hati Raden Lontar yakin bahwa lukanya akan semakin parah jika dilanjutkan
melawan T irai Surga atau orang yang ada di balik semak itu. Maka ia memilih
lari dari pertarungan dan segera temui gurunya untuk lakukan pengobatan.
"T api aku akan kembali lagi untuk bikin perhitungan sendiri denganmu, T irai
Surga!" geram hati Raden Lontar yang cepat menghilang di balik kerimbunan hutan
seberang. T irai Surga sudah dapat berdiri dan menahan
kayunya, ia ingin kejar musuh perguruannya itu. T etapi tiba-tiba langkahnya
terhenti oleh sebuah suara yang muncul dari semak-semak di belakangnya.
"T ahan...!"
T irai Surga terkejut meiihat seraut wajah tampan yang sedang melangkah tegap ke
arahnya. Gadis itu sempat
tertegun bagai melihat setan ganteng menghampirinya.
"Ya, ampun... ganteng amat pemuda ini"! Senyumnya walaupun tipis namun terasa
meneduhkan hatiku yang marah kepada si Raden Lontar itu"!" ujar T irai Surga
dalam hati. "Anak siapa dia, ya"! Pandangan matanya membuat hatiku berdesir-
desir indah. Ooh... kurasa dia memakai ilmu pelet sehingga aku bisa terpesona
oleh penampilannya. Tapi... tapi apa benar dia pakai ilmu pelet"! Wajahnya toh
memang asli tampan, badannya juga tegap, gagah, dan langkahnya mantap sekali.
Kurasa tanpa ilmu pelet pun dia sudah menawan."
Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah di depan T irai Surga dalam jarak satu
tombak kurang. Senyumnya sengaja dipamerkan supaya si gadis tahu bahwa ia
bermaksud bersahabat bukan bermusuhan. Namun si
gadis belum bisa membalas senyumannya. Walau hati si gadis berdebar-debar indah,
tapi ia tak mau pamer senyum sembarangan. Ia memasang wajah berkesan
dingin. Hanya saja, sorot pandangan matanya tak bisa berbohong, bahwa ia
terpesona kepada murid sinting si Gila T uak itu.
"T ak perlu kau kejar dia, Nona. Lukanya sudah terlalu berat. Anggap saja dia
kalah tanding denganmu dan melarikan diri. Jangan menyerang orang yang telah
melarikan diri dan tak berdaya itu."
"Kaukah yang ikut campur dalam pertarunganku ini"!" suara T irai Surga terdengar
dingin sekali, seakan acuh tak acuh terhadap kehadiran Suto di situ.
"Ya, memang aku yang menyentilkan batu ke pedang Raden Lontar, karena aku tak
ingin nyawamu melayang dalam usia semuda ini dan secantik ini. Kau boleh mati
setelah wajahmu keriput dan kempot, yaah... kira-kira setelah berusia seratus
tahun lebih," ujar Suto Sinting
seenaknya saja dalam bicara.
"Apakah kau dewa penentu usia seseorang"!"
"T erserah anggapanmu. Dianggap dewa ya mau, dianggap raja ya mau, dianggap
pangeran ya mau! Asal jangan dianggap sapi saja."
Senyum pemuda tampan itu makin mekar. T irai
Surga merasa diajak bercanda, tapi ia sengaja menahan senyum dan tawa agar tak
berkesan sebagai gadis yang mudah terpikat oleh ketampanan dan kelakar setiap
pemuda. Ia justru melangkah ke bawah pohon, supaya tubuhnya yang putih mulus itu
terlindung oleh sengatan sinar matahari. Suto Sinting hanya mengikuti dengan
pandangan mata, namun karena gadis itu berhenti agak jauh, mau tak mau Suto
Sinting pun menghampirinya, ia ingin melihat sebentuk kecantikan yang mulus,
tanpa cacat, dan jerawat sebutir pun.
"Kau terlalu lancang, ikut campur dalam urusan perguruanku!"
"Maaf, seperti kukatakan tadi. aku hanya tak ingin Raden
Lontar mencabut nyawamu. Kalau hanya membuatmu bonyok atau babak belur, itu tak apa. Asal jangan membuatmu mati."
"Mengapa kau tak ingin kalau aku mati?"
"Hmmm... karena... karena itu akan merepotkan aku.
Aku adalah orang yang tak bisa melihat mayat tergeletak tanpa dikubur. Aku
selalu menguburkan mayat tak
kukenal, terutama yang berwajah cantik," sambil Suto Sinting tertawa pelan
pertanda ucapannya hanya sekadar kelakar belaka. Kali ini si gadis sunggingkan
senyum kecil berkesan sinis.
"Rupanya kau ingin kuanggap sebagai pendekar sakti, ya" Hmmm...," gadis itu
mencibir. "T anpa kau bela pun sebenarnya aku bisa tumbangkan pemuda laknat
tadi! Aku sengaja diam, dan menunggu dia mendekat, lalu akan kuhantam dia dengan jurus
mautku. T api rupanya kau terlalu usil dan sok jago, sehingga ia akhirnya kabur
dalam keadaan bernyawa. Padahal aku ingin dia kabur dalam keadaan sudah tak
bernyawa."
"Mana mungkin"!" ujar Suto sambil tertawa lirih.


Pendekar Mabuk 095 Dalam Pelukan Musuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin saja! Kau sangka ilmuku lebih rendah dari Raden Lontar"! Hmmm...!
Sepuluh Raden Lontar pun sanggup kugulingkan dalam waktu sekejap"!"
"Maksudku, mana mungkin orang sudah tak punya nyawa bisa lari"!" potong Suto
Sinting membuat Tirai Surga hentikan kata-katanya, sedikit
merasa malu menyadari ucapannya yang salah ucap tadi.
Setelah sama-sama diam sesaat, Pendekar Mabuk
segera ajukan tanya kepada T irai Surga yang sejak tadi dipandanginya penuh rasa
kagum. "Kalau boleh kutahu, perkara apa yang membuat perguruanmu bermusuhan dengan
perguruannya Raden Lontar"!"
"Urusan Guru sama Guru, murid jadi kena getahnya!"
jawab T irai Sur ga masih bernada dingin. "Mereka berebut kitab warisan Eyang
Istana Kumala Putih 5 Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah Pedang Angin Berbisik 3
^