Pencarian

Darah Pemuas Ratu 1

Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 DARI ketinggian sebuah tebing cadas, tampak
sekelebat bayangan melintas di sela-sela pepohonan.
Bayang itu bukan tanpa sosok, tapi mempunyai sosok yang sedang berlari
ketakutan. Sosok orang yang berlari ketakutan itu mengenakan baju kuning dan celana hitam.
Dilihat dari parasnya yang belum berkumis dan belum berkeriput, maka ia dapat
digolongkan sebagai anak muda yang berusia sekitar dua puluh tahun. Bukan
rambutnya saja yang pendek, tapi badannya juga tergolong pendek, walau bukan
berarti kerdil.
Pemuda itu pernah mengintip seorang wanita cantik
bernama Puting Selaksa yang sedang mandi. Peristiwa itulah yang membuatnya
menjadi salah satu dari sahabat Suto Sinting; si Pendekar Mabuk murid Gila T uak
itu. Pemuda yang punya kemahiran ngibul itu tak lain adalah Mahesa Gibas, yang juga
pernah menjadi pelayan
Adipati Jayengrana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Buronan Cinta
Sekarat").
Sepasang mata yang mengikuti pelariannya dari atas tebing cadas bertanya-tanya
dalam hati, "Apa yang membuat Mahesa Gibas berlari ketakutan seperti itu"
Dikejar anjing, dikejar kucing, atau dikejar cacing?"
Beberapa kejap setelah Mahesa Gibas mele wati
gcrumbulan semak berduri, tampak seorang lelaki brewok berbadan gemuk sedang
berlari pula sambil berseru keras-keras. Orang itu berpakaian serba abu-a bu
dengan ikat kepala kain merah. Melihat brewoknya yang lebat dan penampilannya
yang berperut buncit itu, dapat diduga ia berusia sekitar empat puluh tahun.
"Berhenti! Hoii...! Berhenti kau, Mahesa!"
Seruan orang gemuk berikat pinggang kain merah itu membuat Mahesa Gibas menambah
kecepatan larinya.
Namun orang brewok bersenjata golok di pinggangnya juga menambah kecepatan
larinya, seolah-olah ia tak ingin kehilangan buronannya.
"Mahesaa...! Berhenti kau, Setan T uli!" teriak orang brewok bermata lebar yang
membuat tampangnya
menjadi cukup menyeramkan.
Melihat si Mahesa Gibas membelok ke kiri, orang brewok itu memotong jalan dengan
menerabas ilalang, ia
segera lakukan lompatan dari ketinggian tanah di ba wah tebing itu. Wuuut...!
Jleeg...! Tahu-tahu ia sudah menghadang di depan Mahesa Gibas.
"Haahh..."!!" Mahesa Gibas terpekik kaget dengan mata mendelik, wajah menegang,
mulut terbuka dan langkah terhenti. Jantungnya terasa kempes seketika.
Wuuus...! Orang brewok itu menyambar baju Mahesa Gibas pada saat pemuda itu
berbalik dan ingin melarikan diri lagi. Mahesa Gibas semakin ketakutan. Maka ia
pun berteriak keras-keras untuk melampiaskan rasa takutnya.
"T oloong...!
Toloong...! Aku mau diperkosa! Tolooong...!" sambil kaki Mahesa Gibas bergerak seakan sedang berlari, tapi
sebenarnya menggantung di tempat karena orang brewok itu menjinjing baju Mahesa
Gibas hingga tubuh kurus itu terangkat seperti anak kucing.
Sepasang mata yang ada di atas tebing cadas tak seberapa tinggi itu melihat
jelas adegan tersebut.
Sepasang mata itu milik pemuda tampan berambut
panjang lurus sepundak tanpa ikat kepala, ia memakai baju buntung warna coklat
dan celana putih kusam. Di punggungnya
terdapat bambu yang dipakai
untuk bumbung tempat tuak. Pemuda itu tak lain adalah si Pendekar Mabuk yang dikenal
pula dengan nama Suto Sinting; murid si Gila T uak.
Melihat Mahesa Gibas dicekal orang brewok, Suto Sinting segera kirimkan sentilan
jarak jauhnya yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu. T ees...! Satu sentilan
mempunyai kekuatan tenaga dalam seukuran tendangan
kuda jantan. Dan hawa padat yang berasal dari sentilan jurus 'Jari Guntur' itu
tepat kenai pinggang kanan si orang brewok. Beehk...!
"Aaahkk...!"
si brewok memekik keras, tubuh gemuknya terlempar ke samping dalam jarak lima
langkah. Sentakan tubuh yang merasa seperti ditendang kuda jantan itu membuat
genggaman pada baju Mahesa Gibas terlepas. Breet...! Baju itu sempat robek di ba
gian tepian tengkuknya. Mahesa Gibas sendiri juga jatuh terpental terbawa
hempasan tubuh si brewok.
Zlaaap...! Suto Sinting berkelebat turun dari atas tebing yang tak seberapa
tinggi Itu. Dalam sekejap ia sudah
berdiri di depan si brewok yang masih menyeringai kesakitan dengan suara raungan kecilnya.
"Suto..."! Suto Sinting"! Oooh... kebetulan sekali!"
seru Mahesa Gibas. Ia se gera berlari hampiri Pendekar Mabuk.
"Suto, tolong aku! Orang itu mengejarku dari kemarin!" sambil Mahesa Gibas
mengguncang-guncang lengan Suto Sinting. Pemuda tampan itu hanya diam dengan
kalem dan pandangi si Mahesa Gibas. Hatinya tak percaya dengan pengakuan Mahesa
Gibas tadi yang mengatakan dirinya dikejar si brewok dari kemarin.
"T olong selamatkan aku, Suto! Selamatkan nyawaku dari orang berwajah mirip
kuburan angker itu!" Mahesa Gibas memohon-mohon dengan wajahnya yang pucat
menandakan sangat ketakutan. Suaranya yang beruntun menandakan bahwa ia sangat
mengharap pembelaan dari si Pendekar Mabuk.
"Mundurlah ke pohon itu. Aku akan hadapi orang ini!" ujar Suto Sinting dengan
suara tegas namun berkesan kalem.
T epat pada saat Mahesa Gibas mundur ke bawah
pohon yang berjarak lima langkah dari tempat Suto berdiri,
orang brewok berbaju abu-abu tanpa dikancingkan itu bangkit dari jatuhnya. Rupanya ia mulai bisa atasi rasa sakit
di pinggangnya akibat terkena sentilan jarak jauh tadi. Pinggangnya sempat memar
membiru, namun dengan napas berat ia menahannya.
"Kebo jahil! Kaukah yang menyerangku tadi"!"
bentaknya. "Ya, memang aku yang menyerangmu dari jauh!"
jawab Suto Sinting tegas dan tetap tenang. Bumbung tuaknya
sudah dipindahkan, kini menggantung di
pundak kanannya.
Si bre wok sangat berang, matanya yang sebesar
jengkol itu masih melotot, bagai hiasan yang enak dicolok. Suaranya sengaja
dikeraskan agar tampak galak.
"Mengapa kau menyerangku, hah"!" bentak si orang brewok kepada Suto Sinting, ia
belum tahu siapa yang dihadapi saat itu.
Suto Sinting tidak menjawab, tapi justru ganti
bertanya, "Mengapa kau mengejar-ngejar sahabatku; si Mahesa Gibas itu"!"
"Kalau kau tidak tahu persoalannya, mengapa kau menyerangku dari jarak jauh"!
Apakah kau tak tahu kalau mendapat serangan seperti itu sangat sakit"! Lihat,
pinggangku sampai memar membiru begini!" Ia menyingkapkan bajunya dan perlihatkan pinggangnya yang memar sebesar telapak
tangan orang dewasa itu.
"T adi kudengar teriakan Mahesa Gibas yang mengatakan dirinya akan kau perkosa"!"
"Bohong! Apakah kau tak tahu kalau aku seorang lelaki
tulen"! Apa perlu kutunjukkan bukti kelelakianku"!"
"Justru aku tahu kau seorang lelaki, maka menurutku bisa saja kau memperkosa
sahabatku yang juga lelaki."
"Dasar bocah bodong! Kau kira aku lelaki 'ganda campuran'"! Yang namanya lelaki
tulen itu kalau mau memperkosa ya memperkosa perempuan! Untuk apa
memperkosa sesama lelaki"! Tolol!"
Suto Sinting segera sadar. "Mahesa Gibas pandai menipu, pandai ngibul, dan mahir
bikin gosip yang bukan-bukan. Jangan-jangan aku termakan tipuan si Mahesa Gibas
seperti dulu"!"
Pendekar Mabuk segera memanggil Mahesa Gibas.
Yang dipanggil mendekat pelan-pelan dengan rasa takut.
Se bentar-sebentar
melirik si orang brewok yang napasnya masih ngos-ngosan dan wajahnya masih
tampak berang. Mahesa Gibas tak berani berdiri sejajar dengan Suto. Ia berhenti
di belakang Suto Sinting, berlindung di sana jika sewaktu-waktu si orang brewok
menyerangnya. Suto Sinting tetap di tempat, berpaling ke kanan dengan mata melirik ke arah
Mahesa Gibas sambil ajukan tanya,
"Kau mengenal orang itu, Mahesa"!"
"Ya. Hmmm... dia yang bernama Panca Longak Longok!"
"Panca Longok!" sergah si brewok. "T idak pakai Longak! Longok saja!"
Suto Sinting menahan geli dengan senyum kecilnya.
"Benarkah kau mau diperkosa oleh si Panca Longok itu"!" tanya Suto, dan Mahesa
Gibas gelagapan sesaat.
"Hmmm... dia... dia orangnya Ki Lurah Mugeni."
"Yang kutanyakan, benarkah kau mau diperkosanya, seperti apa yang kau serukan
tadi"!" Suto Sinting agak menyentak
dan Mahesa Gibas semakin grogi, ia tundukkan kepala dengan cemberut, sebagai tanda bahwa pengakuannya tadi tidak
benar. Panca Longok segera menyahut, "Aku memang
pesuruhnya Ki Lurah Mugeni!"
"Hmm...!" Suto manggut-manggut memandang tak berkedip namun punya seulas senyum
tipis yang membuat wajahnya tampak simpatik.
"Aku disuruh Ki L urah Mugeni untuk mencari Mahesa Gibas."
"Perlu apa Ki Lurah Mugeni menyuruhmu mencari Mahesa Gibas"!"
"Menyerahkan hadiah buat Mahesa berupa sejumlah uang!" sambil Panca Longok
keluarkan kantong merah dari lilitan ikat pinggangnya yang berwarna merah juga.
Kantong merah bertali ditimang-timang dengan tangan kanannya. Gemerincing suara
uang logam di dalam kantong merah terdengar, menandakan jumlahnya tidak sedikit.
Suto Sinting buru-buru memandang Mahesa Gibas.
Yang dipandang terbelalak tak
berkedip menatap
kantong merah di tangan Panca Longok.
Pesuruh Ki Lurah Mugeni segera jelaskan masalah sebenarnya kepada Pendekar
Mabuk. Wajahnya masih cemberut
menahan kedongkolan karena memar di
pinggangnya masih terasa nyeri.
"Ki Lurah Mugeni sangat berterima kasih kepada Mahesa Gibas yang telah menemukan
kotak perhiasan dan mengembalikannya kepada Ki Lurah."
Suto ajukan tanya dengan suara pelan, "Benarkah kau telah menemukan kotak
perhiasan itu"!"
"Hemm... iyy... iya," jawab Mahesa Gibas dengan kaku.
Suto Sinting sempat berbisik sambil tersenyum,
"T umben kau jujur!"
"Kemarin malam aku menginap di rumah Ki Lurah Mugeni," tutur Mahesa Gibas.
"Lalu, malam itu ada pencuri yang menggasak beberapa barang termasuk kotak
perhiasan itu. Paginya kotak itu kutemukan tergeletak di tepi sungai. Maka
kukembalikan kepada Ki Lurah Mugeni. T api... tapi isinya sudah tak ada. Aku
hanya temukan kotaknya saja, Suto! Sumpah! Aku tak mengambil isinya!"
Mahesa Gibas tampak ngotot, seakan tak ingin
dituduh seba gai orang yang mengambil isi kotak perhiasan itu. Lalu, pesuruh Ki
Lurah Mugeni se gera berkata,
"Kotak itu memang hanya berisi sebuah cincin emas
yang harganya tak seberapa. Cincin itu adalah cincin perkawinan Ki Lurah Mugeni
dengan mendiang istrinya yang pertama. Ki Lurah sendiri mengiklaskan cincin itu,
yang tentunya sudah diambil pencurinya dan kotaknya dibuang di tepi sungai.
Namun ada benda paling
berharga yang tersimpan di lapisan bawah dari kotak tersebut."
"Benda..."! Aku tak melihat benda apa"!" ujar Mahesa Gibas dengan ngotot.
"Kotak itu terdiri dari dua lapis. Lapisan teratas berisi cincin kawin, tapi
lapisan yang kedua berisi benda berharga yang belum sempat diurus oleh Ki Lurah
Mugeni!" "Ooh..."!" Mahesa Gibas terperangah.
"Benda itu peninggalan mendiang ayah Ki Lurah yang pernah menghancurkan kapal
bajak laut dan menemukan benda tersebut di kapal itu. T api karena Ki Lurah Mugeni masih banyak
kesibukan, maka beliau tak sempat mengurus benda tersebut."
"Maksudmu peta harta karun?" tanya Suto menebak.
"Hmm.... Hmm... bukan. Pokoknya
ya... anu...

Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berharga gitu." Orang itu jadi gugup, karena tebakan Suto sebenarnya memang
betul. Mahesa Gibas sempat tertegun bengong. Kini raut wajahnya tampak menyimpan
penyesalan. Rupanya
cincin yang ada dalam kotak perhiasan itu diambil sendiri oleh Mahesa Gibas
sesaat setelah menemukan kotak perhiasan yang jatuh dari bungkusan si pencuri.
Karena rasa takut dicurigai se bagai orang yang mengambil cincin emas, maka Mahesa Gibas buru-buru pamit dari rumah Ki Lurah
Mugeni. Sampai sekarang cincin itu masih berada di selipan ikat pinggang Mahesa
Gibas. Ia tidak tahu kalau kotak itu terdiri dari dua lapis dan berisi peta
harta karun. Ketika ia melihat Panca Longok menyusulnya, ia
menyangka sedang dikejar-kejar karena persoalan cincin itu. Mahesa Gibas mengira
akan dihajar oleh Panca Longok, sehingga ia berlari sejadinya dan berteriak asal
saja. Rupanya ia dibayang-bayangi oleh kesalahannya sendiri, sehingga batinnya
sangat tersiksa ketika rasa takut itu mencekamnya.
"Mahesa Gibas, terimalah hadiah dari Ki Lurah Mugeni ini! Ki Lurah berpesan,
kapan-kapan jika kau lewat di desa kami, singgahlah walau hanya sebentar,"
ujar si Panca Longok yang sudah kehilangan rasa jengkelnya kepada Mahesa Gibas.
Ia pun menyerahkan kantong merah kecil bertali yang berisi uang kepada Mahesa
Gibas. Pemuda berwajah penuh sesal itu
menerimanya tanpa senyum keceriaan.
"Kalau tahu begitu, lebih baik kuserahkan kotak bersama cincinnya. Karena dengan
panduan peta itu aku bisa temukan harta karun tersebut dan aku bisa menjadi
orang kaya!" gerutu hati Mahesa Gibas.
Panca Longok pamit pulang ke desanya setelah diberi minum tuak saktinya Suto. T
uak itu mempunyai khasiat ajaib, yaitu menghilangkan rasa sakit dan warna biru
memar di pinggang Panca Longok.
"Mengapa kau masih tampak murung, Mahesa?"
tegur Suto Sinting setelah Panca Longok tak ada di antara mereka berdua.
Mahesa Gibas diam saja. Ia menyelipkan kantong
merah berisi uang itu ke kain ikat pinggangnya. Pada saat itu, tanpa disengaja
cincin yang tersimpan di ikat pinggang itu jatuh ke tanah. Pluuk...! Suto
Sinting terperanjat dan segera memungutnya. Mahesa Gibas mulai salah tingkah dan
waswas. "Cincin siapa ini, Mahesa?" tanya Suto sambil mengamati cincin tersebut.
"Hmm, eeh... cincin... cincin nenekku yang... yang...."
"Oooo... sekarang aku tahu...!" Suto Sinting manggut-manggut
sambil pandangi Mahesa Gibas. Yang dipandang semakin salah tingkah lagi.
"Rupanya kau salah pengertian tadi. Kau menyangka si Panca Longok ingin
menangkapmu, karena kau
merasa bersalah telah mengambil cincin dalam kotak itu.
Dan sekarang kau sangat menyesal setelah tahu kotak perhiasan itu ternyata
berisi peta harta karun"! Hmm, ya, ya, ya... pantas kau cemberut terus sejak
tadi!" Mahesa Gibas semakin tak bisa bicara. Malu sekali.
T api dasar tukang kibul, dasar pula muka tembok, dalam sekejap ia sudah bisa
nyengir dan segera alihkan pembicaraan ke masalah lain.
"Aku disuruh Perawan Sinting untuk mencarimu, Suto!"
"Jangan mengalihkan pembicaraan dulu!" sergah Pendekar Mabuk dengan hati kesal.
"Bereskan dulu masalah cincin ini!"
Mahesa Gibas takut, ia menunduk dengan wajah
murung. "Baiklah. Kuakui... aku memang mengambil cincin itu sebelum kotak tersebut
kuserahkan kepada Ki Lurah Mugeni," ujarnya lirih.
"Pulangkan cincin ini!" seraya Suto Sinting serahkan cincin itu kepada Mahesa
Gibas. "Kuantar kau ke rumah Ki Lurah Mugeni, dan mintalah maaf kepada beliau!"
"T api... tapi Perawan Sinting ingin bertemu denganmu, Suto! Dia sangat membutuhkan dirimu!"
"Persoalan si Perawan Sinting adalah persoalan kedua. Persoalan yang pertama,
kau harus kembalikan cincin itu dan meminta maaf kepada Ki Lurah Mugeni!"
tegas Pendekar Mabuk.
Wajah si pembual itu semakin mendung. "Aku takut kalau...."
"Kutemani kau ke sana!" potong Suto Sinting.
Mahesa Gibas tak punya pilihan lain. Akhirnya ia kembali ke desa tempat Ki Lurah
Mugeni dipercaya oleh penduduk sebagai sang kepala desa.
Dalam perjalanan ke desa tersebut, ingatan Suto Sinting menerawang ke wajah
cantik milik Perawan Sinting.
Gadis yang mempunyai kesamaan nama belakang dengan Suto itu sudah lama tak dijumpainya.
Namun benak Suto masih ingat tentang segala sesuatunya yang ada pada diri si Perawan Sinting itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Perawan Sinting").
"Mengapa Perawan Sinting ingin bertemu denganku,
hingga ia menyuruhmu mencariku"!" tanya Suto sambil melangkah.
Namun sebelum Mahesa Giba s menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba langkah mereka
terhenti secara mendadak.
Mereka dikejutkan oleh kemunculan seseorang yang turun dari atas pohon, melayang
bagaikan seekor burung perkasa.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting memandang dengan
mata sedikit mengecil karena merasa asing dengan orang tersebut.
Se dangkan Mahesa Gibas hanya terbengong sambil mengusap dadanya yang nyaris
kehilangan jantung karena rasa kagetnya tadi.
* * * 2 RAUT wajah tampan beralis tebal itu menatap Suto Sinting dengan sorot pandangan
tajam. Pemuda itu berambut
sepanjang pundak,
seperti Suto. Hanya bedanya, rambut pemuda itu tampak bergelombang tidak selurus rambut Suto
Sinting. Dengan alis tebal, hidung mancung, mata sedikit lebih besar dari mata Pendekar
Mabuk, pemuda itu mempunyai ketampanan yang nyaris mendekati nilai ketampanan
Suto. Kulitnya yang berwarna lebih muda dari warna kulit Suto itu membuatnya
tetap berkesan jantan.
Ia juga berbadan tegap, gempal, dan ketinggiannya sebaya dengan Suto, sehingga kegagahannya pun nyaris senilai dengan kegagahan Pendekat Mabuk.
Pemuda yang berusia se baya Suto itu mengenakan celana biru muda, sabuk hitam,
rompi cekak biru muda juga, dan berkalung hitam dengan bandul berbentuk bintang
segi enam yang terbuat dari logam putih metal.
Di bagian tengah bintang segi enam itu terdapat batu ungu sebe sar kelereng.
"Apa maksudmu menghadang langkahku, Sobat"!"
tegur Suto Sinting dengan sikap bersahabat.
"Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Mabuk"!"
tanya pemuda berpedang pendek di pinggang kiri itu.
"Aku bukan Pendekar Mabuk. Aku bernama Mahesa Gibas Wingit!" jawab Mahesa Gibas
dengan lagak tengil.
"Aku tidak bertanya padamu, Orang-orangan Sa wah!" geram pemuda itu.
"Aku hanya mengumumkan diri!" balas Mahesa Gibas,
memuakkan sekali lagaknya. Suto Sinting sunggingkan senyum kalem, kemudian menatap pemuda sebayanya yang masih berada
dalam jarak enam langkah di depannya itu.
"Benar. Akulah si Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
Dari mana kau mengenaliku?"
"Ciri bumbung tuakmu itu!"
Suto menggumam lirih, lalu ajukan tanya kembali,
"Kau sendiri siapa, Sobat"!"
"Aku.... Buyut Batara, utusan dari T anah Leluhur!"
"T anah Leluhur..."!" Mahesa Gibas menggumam
dengan nada tegang, lalu wajahnya tampak tegang juga.
Ia bergeser ke belakang Suto dengan pandangan mata dibayangi rasa takut. Hal itu
mengundang kecurigaan dan rasa heran si Pendekar Mabuk.
"Aku ingin bicara denganmu sebentar, Suto!" bisik Mahesa Gibas, setelah itu ia
menjauh dan Pendekar Mabuk mengikutinya. Sementara itu, si Buyut Batara memandang dengan curiga dan
perasaan tak enak.
Namun ia tetap berdiri di tempatnya dengan gagah.
Dadanya yang keras dan bidang itu tetap tampak
membusung tegar.
"Ini ada sangkut pautnya dengan Perawan Sinting, Suto!"
"Apa maksudmu"!" bisik Suto juga.
"Perawan Sinting menyuruhku mencarimu, karena ia ditemui oleh sekelompok orang
dari T anah Leluhur.
Orang-orang itu menduga Perawan Sinting adikmu, dan mereka mencarimu. Mereka tak
percaya dengan kata-kata Perawan Sinting yang tidak mengetahui di mana kau
berada. Bahkan Perawan Sinting hampir saja
mengambil tindakan keras, sebab mereka tidak mau pergi dan selalu mengikuti ke
mana kami pergi. Sampai akhirnya, ketika aku dan Perawan Sinting ada di sebuah
kedai, Perawan Sinting menyuruhku pergi mencarimu secara diam-diam."
"Apa maksud orang-orang T anah
Leluhur itu mencariku"!"
"Aku tak tahu.
Seingatku, mereka juga tidak menjelaskan kepada Perawan Sinting. Kalau tak ada aku,
mungkin Perawan Sinting sudah dibunuhnya. Mereka tampak segan terhadapku."
Pendekar Mabuk tahu, kata-kata terakhir jelas bualan Mahesa Gibas sendiri. Bukan
kenyataan. Suto tak heran lagi, karena Mahesa Gibas punya kebiasaan selalu
menambahkan bualannya jika sedang menjelaskan
sesuatu hal. Bualan itu dimaksud untuk mengangkat namanya agar tak dipandang
remeh di depan siapa saja.
"Agaknya ada yang tak beres pada diri orang-orang T anah Leluhur," gumam Suto
Sinting dalam hati. "Aku sendiri belum pernah tahu di mana dan siapa penguasa T
anah Leluhur itu. Hmmm... sebaiknya kubereskan saja teka-teki ini dengan
menghadapi si Buyut Batara itu!"
Maka, Suto pun bergegas kembali temui si Buyut
Batara yang tampak menunggu dan tak mau mengganggu perundingan tadi. Sikapnya yang tak mau mengganggu perundingan tadi
membuat Suto Sinting sedikit heran, karena sikap itu adalah sikap yang baik dan
bertata krama tinggi. Padahal penjelasan Mahesa Gibas tadi menimbulkan kesan
bahwa orang-orang
T anah Leluhur itu bermaksud buruk kepada Perawan Sinting. Pendekar Mabuk jadi
serba salah menilai si Buyut Batara dalam hatinya.
"Buyut Batara, benarkah orang-orangmu telah menemui sahabatku yang bernama Perawan Sinting"!"
"Ya, benar!" jawab Buyut Batara dengan tegas.
"Kami mencarimu, dan menghubungi adikmu; si Perawan Sinting untuk menanyakan di mana kau berada dan meminta bantuannya
mencari dirimu."
"Perawan Sinting bukan adikku!" ujar Suto dengan tegas. "Tapi dia lebih dari
seorang adik bagiku."
"O, kalau begitu kami tak salah jika meminta bantuannya mencarikan dirimu, Suto
Sinting"!"
"Jika dilakukan dengan

Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasar itu sama saja menantang permusuhan denganku!"
"Kurasa tak ada perintah untuk menemui Perawan Sinting dan meminta bantuannya
secara kasar! Sama halnya sikapku terhadapmu saat ini, Pendekar Mabuk!
Apakah kau menilaiku bersikap kasar kepadamu"!"
Pendekar Mabuk diam sesaat. T api dalam hatinya ia mengakui bahwa sikap yang
ditunjukkan Buyut Batara di depannya pada saat itu tidak mempunyai kekasaran
sedikit pun. Jika suara si Buyut Batara agak keras, itu lantaran
ia punya sikap yang tegas dan ingin menegakkan wiba wanya.
"Jika begitu kau tentunya tak keberatan jika jelaskan apa perlunya kau
mencariku, Buyut Batara"!"
"Aku ingin membawamu ke T anah Leluhur. Rakyat kami sangat membutuhkan dirimu,
Pendekar Mabuk."
"Hmmm.... Perlu apa aku dibawa ke T anah Leluhur"!'"
"Kami...."
"Ssst...!" tiba-tiba Suto Sinting memotong kata-kata Buyut Batara sebelum pemuda
itu bicara lebih lanjut.
Suto mendengar suara gemerisik semak terinjak.
Lirikan mata Pendekar Mabuk segera dipahami oleh Buyut Batara. Pemuda itu pun
segera menyimak suara yang mencurigakan. Suara kaki melangkah pelan itu
datang dari arah belakangnya, sehingga ia perlu bergeser sedikit memutar
tubuhnya dengan lirikan mata tegang.
Se dangkan Mahesa Gibas mulai bersiap-siap mencari tempat berlindung, karena ia
tahu akan terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya jika tak segera berlindung.
T iba-tiba dua buah logam yang memantulkan sinar matahari berkelebat ke arah
Buyut Batara. Wuuus, wuuuss...! Dua pisau terbang melesat dari arah samping kiri
Buyut Batara. T api sebelum pemuda itu menghindarinya, dua pisau serupa muncul la gi dan mengarah
ke punggung Buyut Batara. Wuus, wwuusss...! Buyut Batara sentakkan kakinya dan dalam sekejap tubuhnya sudah melambung ke
atas. Wees...! Sedangkan Suto Sinting segera bergerak cepat dalam satu lompatan
yang sulit dilihat orang. Zlaap...! Teb, teeb...! Kedua pisau yang mengarah di
punggung Buyut Batara berhasil ditangkapnya dengan dua tangan. Kedua pisau itu
terjepit di sela jari tangan kanan-kiri Pendekar Mabuk.
Buyut Batara daratkan kakinya kembali ke tanah
setelah dua pisau dari arah kirinya menancap di sebatang pohon.
Jreb. Jreeb..! T angan
pemuda itu segera merenggang, penuh siaga.
Matanya yang tajam melirik Pendekar Mabuk. Kedua tangan Suto sedikit diacungkan,
memperlihatkan kedua pisau yang berhasil ditangkapnya itu. Wajah Suto tidak
setegang Buyut Batara.
"Aku dapat dua!" ujar Suto sambil tersenyum, ia menampakkan ketenangannya.
Buyut Batara masih tegang. Baru saja ia ingin
membalas senyuman Suto, tiba-tiba matanya melihat dua orang menerjang Suto dari
belakang dengan satu
lompatan sama-sama cepat.
"Awas di belakangmu, Suto!" pekik Buyut Batara.
T api senyum Pendekar Mabuk masih tetap mekar tanpa rasa kaget.
"Aku tahu...," ujar Suto dengan kalem, lalu cepat membalikkan badan dan kedua
tangannya mengayun ke depan, sambil berlutut satu kali. Wuut, wuut...!
Kedua pisau di tangan Suto itu melesat dan menancap mengenai kedua orang
tersebut. Jeb, jeb...!
"Aaahk...!" keduanya terpekik dan jatuh terjungkal kehilangan keseimbangan
tubuh. Satu pisau menancap di paha salah seorang, satu pisau lagi menancap di
bawah pundak kanan orang yang satunya lagi.
Kemunculan dua orang yang telah berhasil dirobohkan Suto itu disusul dengan munculnya tiga orang lagi. Mereka melompat
dari balik kerimbunan semak sebelah kiri Buyut Batara dan sebelah kanannya.
Wuuut...! Jleg, jleg...! Brruk...! Salah seorangyang baru muncul itu terpeleset
dan terpelanting jatuh. Memalukan sekali. T api ia segera berdiri dan memaksakan
wajahnya supaya tampak angker.
Kini kedua pemuda itu berhadapan dengan empat
orang mengenakan rompi zirah, atau pakaian perang anti senjata tajam. Mereka
mengenakan topi besi yang mirip bakul nasi. Lengan mereka juga dibungkus dengan
kain berlapis besi agar tak mempan jika terkena pedang.
Mahesa Gibas semakin merunduk, berlindung semak-semak rimbun di balik pohon.
Dari sela-sela batang semak, ia masih bisa melihat apa yang terjadi di depan
sana. Pendekar Mabuk merasa heran melihat empat orang berpakaian Kerajaan seperti itu.
Dua orang yang sempat dirobohkan dengan pisau terbang tadi juga berpakaian sama.
Hanya saja, bagian paha mereka tak terlindung baju besi, se dangkan bawah pundak
orang yang terkena pisau itu kebetulan robek sehingga pisau lemparan Suto dapat
kenai tubuhnya.
Pisau beracun itu membuat kedua orang tersebut tak bisa berdiri lagi, tapi
keadaannya masih bisa bernapas.
Rupanya pisau itu mempunyai racun yang melumpuhkan korbannya, sehingga kedua
orang tersebut hanya bisa mengerang kesakitan karena tak bisa mencabut pisau
yang masih menancap di tubuh mereka.
Empat orang bertopi besi mirip bakul nasi itu segera berjejer tegak dengan
masing-masing tangan pegangi gagang pedang. Namun pedang mereka belum sempat
dicabut. Salah seorang mewakili mereka maju dua langkah dari barisan.
Pendekar Mabuk melirik Buyut Batara. Pemuda itu sedang memperhatikan wajah-wajah
angker keempat orang tersebut.
"Siapa mereka" Aku tak punya kenalan seperti mereka," bisik Suto Sinting masih
kelihatan tenang, karena bumbung tuaknya sudah berpindah di tangan kanannya
begitu keempat orang tadi muncul dari semak-
semak. "Mereka adalah para prajurit dari Istana Kematian,"
jawab Buyut Batara dalam bisikan. "Mereka menghendaki diriku. Bukan dirimu. Karena merekalah yang selama ini menculik para
pemuda T anah Leluhur dan sering bikin kacau di tempat kami!"
"Jadi, bagaimana kalau sudah begini"!"
"Akan kucoba menangani mereka. Tapi... kurasa mereka juga akan menangkapmu!"
"Aneh. Belum kenalan sudah mau menangkap?"
gumam Suto Sinting.
"Karena kau termasuk pemuda bertubuh kekar dan gagah."
"Apa hubungannya"!"
Buyut Batara tak sempat menjawab, karena suara
orang yang maju dua langkah dari barisannya itu telah lebih dulu berseru dengan
suaranya yang kasar, keras, dan serak.
"Menyerahlah Buyut Batara, ketimbang kepalamu kupenggal di tempat ini! Jangan
terlalu berharap dapat bantuan dari pemuda sebelahmu itu, karena ia pun akan
segera kami lumpuhkan. Bilamana perlu akan kami cincang di sini juga!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum mendengar
dirinya terancam
juga. Ia justru membuka tutup
bumbung tuaknya dan menenggak tuak dengan tenang, tanpa rasa takut
diserang. Keempat orang Istana Kematian itu memperhatikan Suto dengan hati dongkol.
"Hei, kau... yang minum tuak! Dengar perhatikan
kata-kataku!" bentak orang yang tadi mengancam. Orang itu hampiri Suto Sinting
dengan pedang dicabut dari sarungnya dan bermaksud ingin mengancam memakai
pedang tersebut.
T etapi suara bentakan itu dimanfaatkan Suto untuk alasan tersedak. Minumnya
terhenti, kepalanya tersentak ke depan, tuak di mulutnya menyembur ke arah orang
tersebut sambil berlagak terbatuk-batuk.
Bwrruus...! "Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!"
"Haah..."!" orang yang mau mengancamnya itu kaget.
Semburan tuak Suto itu bukan semata-mata semburan biasa, namun memercikkan bunga
api yang segera
membakar tubuh orang tersebut.
"Ooh, hhahh..."! Hhaaa... haaaaaa...!!"
Pendekar Mabuk telah mengawali perlawanannya.
Jurus ' Sembur Bromo Wiwaha"
digunakan dalam keadaan yang tepat sekali, tampak seolah-olah tidak sengaja,
namun sebenarnya sangat sengaja. Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' itu membuat semburan tuak dari mulut Pendekar Mabuk
berubah menjadi bara api dan segera membakar tubuh orang tersebut.
Semua mata terbelalak kaget, termasuk mata Buyut Batara. Mata mereka tak
berkedip, tubuh mereka tak bergerak. Shock dalam beberapa helaan napas. Mereka
hanya memandangi orang yang pakaiannya terbakar itu berguling-guling di
rerumputan, berusaha memadamkan api yang membungkusnya.
"T oloong...! Keparat! Toloong...! Aaow...! Tolong
aku, Jangan bengong saja, Setaann...!!" Jeritnya kepada ketiga prajurit
lainnya. Barulah ketiga prajurit itu
berusaha memadamkan api dari tubuh orang tersebut.
Ada yang menggunakan baju zirahnya dikebut-kebutkan untuk
memadamkan api, ada yang menggunakan
segenggam rumput ilalang disabet-sabetkan.
Salah seorang lari sana-sini dengan bingung mencari air untuk padamkan api tersebut.
Suto Sinting tertawa seperti orang menggumam.
Pelan tapi jelas merasa geli. Matanya pandangi kesibukan para prajurit itu. Ia berdiri berdekatan dengan Buyut Batara. Pemuda
dari T anah Leluhur itu akhirnya tersenyum juga melihat ketiga prajurit
kebingungan memadamkan api yang membungkus tubuh temannya
itu. "Panaaas...! Panaaaass...! Aaoow...! Aaaaaiiir...!"
Mahesa Gibas ikut keluar dari persembunyiannya, ia berlari-lari membawa daun
talas berisi air. Air itu segera disiramkan ke tubuh orang tersebut! Namun
karena jumlahnya sedikit, maka air itu tak dapat memadamkan api yang makin lama
semakin berkobar besar.
T anpa sadar seorang prajurit yang berusaha memadamkan api dengan menaburkan tanah ke tubuh korban itu berseru kepada Mahesa
Gibas. "Cari lagi yang banyak! Cepat, ambil air yang banyak seperti tadi!"
"Mana bisa! Aku sudah tidak bisa buang air lagi!"
"Hahh..."! Jadi yang kau siramkan tadi air senimu"!"
"Habis tak ada air lainnya"!" Mahesa Gibas ngotot.
"Kurang ajar! Wajah ketuaku disiram dengan air begituan"!"
Mahesa Gibas ketakutan, lalu segera lari ke arah Pendekar Mabuk dan Buyut
Batara. T erdengar suara gerutu Pendekar Mabuk saat Mahesa Giba s berada di
belakangnya. "Kau ini bikin ulah yang bukan-bukan saja! Untung mereka tak segera memenggal
lehermu!" "Habis, aku sendiri juga bingung. T ak ada air terdekat dari sini. Kebetulan aku
sedang kebelet... lalu, yah...
kumanfaatkan saja. Siapa tahu bisa memadamkan api itu," ujar Mahesa Gibas dengan
suara seperti orang menggumam.
Buyut Batara sendiri tidak segera lakukan serangan terhadap orang-orang istana
Kematian itu. Pendekar Mabuk merasa heran dan akhirnya ajukan tanya kepada Buyut
Batara. "Mengapa kau tak menyerangnya saat mereka banyak kelengahan begitu"!"
"Hmmm... menurutmu bagaimana" Haruskah aku menyerangnya"!"
"Hei, mengapa kau menunggu perintah dariku"!" ujar Suto Sinting heran. Buyut
Batara bingung menjawabnya.
Akhirnya Suto Sinting lakukan sesuatu setelah
melihat Buyut Batara tampak ragu-ragu untuk bertindak.
Pendekar Mabuk melesat dengan cepat ke arah mereka yang sibuk memadamkan api.
Zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman'-nya
yang mempunyai kecepatan seperti

Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecepatan cahaya itu dipergunakan. Kakinya merentak
saat menerabas ketiga orang yang sibuk mengerumuni sang ketua prajurit itu.
Brruus...! "Aaahhh...!!" ketiganya memekik keras. Ketiganya juga terpental ke tiga arah
dalam keadaan tubuh mereka melayang cepat. Mereka jatuh terhempas dengan kuat.
Ada yang terbanting di rerumputan, ada yang masuk ke semak berduri, ada yang
membentur pohon.
Yang paling parah yang membentur pohon. Dua
tulang rusuknya patah seketika, ia mengerang kesakitan.
Sekalipun memakai rompi besi, tapi rompi yang
membentur pohon dengan kuat itu justru membuat
tulang iganya bagaikan dihantam dengan sebatang besi.
Pendekar Mabuk segera dekati orang yang terbakar.
Orang itu masih mengerang dalam keadaan sekarat. Api masih
berkobar-kobar.
Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya, sebagian ditelan, sebagian lagi disemburkan ke arah kobaran
api tersebut. Bwweerrs...! Wuuuubbbh...!
Api padam seketika. Dua prajurit yang tadi terkena pisau itu bisa memandang
keadaan tersebut, dan diam-diam mereka tercengang kagum, namun masih tetap harus
menyeringai menahan rasa sakit dalam keadaan lemas bagai tak bertulang sedikit
pun. Sang ketua prajurit seperti babi panggang. Hangus dan berasap. T api ia masih
bisa merintih walau pelan sekali, ia belum sempat mati. Jika api tak dipadamkan
dalam waktu lima hitungan napas lagi, maka orang tersebut akan tewas tanpa bisa
tertolong lagi.
Buyut Batara tetap diam di tempat bersebelah dengan
Mahesa Gibas. Ia sempat menggumamkan kata kagum terhadap
kemampuan Pendekar Mabuk dalam memadamkan kobaran api tersebut. "Luar biasa sekali!"
Mahesa Gibas menyahut, "Memang ini tindakan di luar biasanya."
Dahi pemuda T anah Leluhur itu berkerut saat melihat Pendekar Mabuk menenggak
tuak lagi. Rupanya kali ini tak ada tuak yang ditelan. T uak itu segera
disemburkan ke sekujur tubuh si ketua prajurit yang sudah seperti babi panggang
itu. Bwwrreeess...! T ak ada yang paham dengan tindakan itu. Mereka tak tahu bahwa Suto Sinting
telah menggunakan jurus penyembuhan yang dinamakan jurus ' Sembur Husada'
itu. Luka apa pun dapat disembuhkan dengan tuak yang disemburkan ke tubuh si
penderita. T etapi akibatnya si penderita akan kehilangan ingatan tentang diri
Pendekar Mabuk. Seandainya si ketua prajurit sebelumnya sudah kenal baik dengan
Suto, maka ia akan sembuh tapi lupa siapa diri Suto Sinting.
Jurus seperti itu jarang dipergunakan oleh Pendekar Mabuk. Biasanya Suto lakukan
penyembuhan dengan cara meminumkan tuak dari bumbung saktinya itu.
T etapi agaknya kali ini ia tak memungkinkan dapat meminumkan tuak ke mulut
orang yang sudah separo matang itu. Maka jurus 'Sembur Husada' dipergunakan,
seperti saat ia mempergunakannya kepada seorang gadis yang terluka di masa lalu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
T iga prajurit yang tadi terpental hanya bisa terbengong di tempat melihat asap mengepul dengan tebal membungkus si ketua
prajurit. Ketika asap itu pudar sedikit demi sedikit, tampak si ketua prajurit
menggeliat bangun. T ubuhnya yang hangus dan terluka bakar itu menjadi bersih
seperti sediakala. Si ketua bisa berdiri dengan tegak, seperti tak pernah
mengalami luka apa pun. Ia sendiri merasa heran dan memperhatikan tubuhnya.
T etapi ketika ia memandang Suto Sinting, orang itu tampak heran dan merasa baru
kali ini jumpa dengan seorang pemuda berbaju buntung warna coklat. Dan bagi
Suto, hal itu tidak merugikan dirinya. T oh tanpa terkena pengaruh dari jurus
'Sembur Husada' ketua prajurit itu tetap saja tak mengenal siapa Suto.
Dua orang prajurit yang terjerembab di semak dan terbanting di rerumputan tadi
segera hampiri si ketua.
Mereka pandangi keadaan tubuh si ketua, memeriksa dengan teliti. Lalu salah
seorang berseru kepada dua orang yang terkena pisau dan satu orang yang patah
rusuknya. "Ketua sembuh! Ketua tak punya luka sedikit pun!
Ajaib sekali!"
Pendekar Mabuk melangkah kalem ke arah Buyut
Batara. Setibanya di samping pemuda itu, ia berkata pelan sambil pandangi si
ketua prajurit yang sedang kebingungan.
"Katakan kepada mereka, jika masih mau coba-coba mengganggu kami, aku akan
bertindak lebih kasar lagi.
T api jika mereka bersedia pulang ke Istana Kematian, akan kusembuhkan kedua
orang yang terkena pisau itu dan seorang yang meraung di bawah pohon itu!"
Buyut Batara bagai seorang prajurit yang patuh
kepada komandannya, ia pun berseru seperti apa yang dikatakan Suto Sinting tadi.
"Kami bukan orang-orang yang mengenal kata menyerah atau kalah, Buyut Batara!"
seru si ketua prajurit masih ngotot juga.
Sambungnya lagi, "Tetapi kami hanya bisa menunda waktu untuk satu tugas!
Sekalipun sekarang kami pulang ke Istana Kematian, bukan berarti melepaskan
ancaman untukmu dan... dan untuk temanmu itu! Aku hanya ingin buktikan kemampuan
temanmu mengobati ketiga anak buahku itu!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum. Buyut Batara berbisik sambil meliriknya. "Dia
masih keras kepala!"
"Itu hanya sekadar jaga harga dirinya sebagai seorang prajurit. Kata-katanya
sudah membuktikan dia tak akan berani berhadapan dengan kita lagi!"
Pendekar Mabuk akhirnya obati ketiga prajurit yang terluka itu dengan meminumkan
tuaknya. Ketiganya menjadi sehat dan badan mereka terasa segar tanpa luka apa
pun. Bahkan dua prajurit yang tadi terbanting dan menyerusuk ke semak berduri
itu juga ikut minta minum tuak tersebut. Suto Sinting tak keberatan memberikan
tuaknya. Setidaknya sikap itu telah mencerminkan kemenangan besar pada pihaknya.
"Lain waktu kita pasti bertemu!" kata si ketua prajurit
dengan suara keras sambil menuding Suto Sinting.
Seruan itu hanya dijawab dengan lambaian tangan kecil oleh Suto dan senyum lebar
yang berkesan melecehkan mereka. Mereka pun segera pergi tinggalkan tempat itu.
"Itulah mereka," ujar Buyut Batara. "Hampir setiap empat hari sekali mereka
datang ke Tanah Leluhur dan membuat kekacauan, membunuh, merampas harta kami,
dan... menculik beberapa pemuda yang berbadan sepertiku."
"Untuk apa mereka menculik pemuda-pemuda sepertimu?"
"Entah. Kami tak tahu dengan pasti. T api menurut dugaan kami, teman-temanku itu
akan dijadikan prajurit di Istana Kematian, memperkuat Istana Kematian dalam
menghadapi lawan. Sementara itu, T anah Leluhur sendiri diharapkan tidak
mempunyai kekuatan lagi setelah semua pemuda sepertiku diangkut ke Istana
Kematian!"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut dan
menggumam pelan.
"Karenanya, aku dipilih oleh rakyat T anah Leluhur sebagai utusan yang bertugas
mencari Pendekar Mabuk sampai dapat!"
"Maksudnya..."!"
"Kami ingin meminta bantuanmu untuk memperkuat T anah Leluhur, mengusir orang-
orang Istana Kematian, syukur bisa membebaskan rekan-rekanku yang diculik oleh
pihak Istana Kematian itu! Kami menaruh harap
sekali padamu, Suto! Karena itulah, beberapa orang kami yang mengetahui tentang
perempuan bernama
Perawan Sinting segera menghubungi perempuan itu dan mendesak agar diberi tahu
di mana Suto Sinting berada.
Mungkin desakan kami itu mencurigakan, sehingga Perawan Sinting merasa
terganggu."
"Kurasa Perawan Sinting dapat memahami keadaan kalian jika sudah dijelaskan
seperti ini."
"Lalu, keputusanmu sendiri bagaimana, Suto" Maukah kau menyelamatkan sisa nyawa yang ada di T anah Leluhur itu?"
Pendekar Mabuk menarik napas, memandang jauh. Ia mempertimbangkan langkahnya,
karena ia tak ingin masuk dalam jebakan yang membahayakan jiwanya.
* * * 3 MENIMBANG serangan enam prajurit Istana Kematian yang mengincar Buyut
Batara, akhirnya
Pendekar Mabuk bergegas pergi ke Tanah Leluhur.
Se belumnya ia perintahkan Mahesa Gibas untuk menghubungi Perawan Sinting, karena sejak kematian Peri Kahyangan alias si
Bayangan Setan itu, Mahesa Gibas selalu bersama Perawan Sinting, sementara Suto
menyelesaikan urusan lainnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Rahasia Bayangan Setan").
"Mahesa, cari Perawan Sinting dan beri tahu bahwa
aku ada di T anah Leluhur. Suruh gadis itu menyusulku di T anah Leluhur!"
Mahesa Gibas tak bisa menolak perintah itu, karena sejak ia keluar dari
jabatannya sebagai pelayan sang Adipati, hanya Suto Sinting dan Perawan Sinting
yang mau menampungnya. Kedua orang itulah yang selalu dapat
dijadikan pelindungnya jika terjadi bahaya mengancam keselamatannya.
Pendekar Mabuk sendiri memerintahkan hal itu
bukan semata-mata meminta bantuan Perawan Sinting, tapi sebagai tindakan
berjaga-jaga bagi dirinya sendiri.
Seandainya permintaan Buyut Batara itu merupakan jebakan maut yang akan
merepotkan dirinya, setidaknya Perawan Sinting akan segera mengetahui dan
melakukan penyelamatan.
T api melihat wajah Buyut Batara berlagak tenang, tanpa kecemasan sedikit pun,
hati kecil Suto mengatakan bahwa
pihak T anah Leluhur memang terancam kehancuran oleh tindakan orang-orang Istana Kematian.
Buyut Batara tampak berharap sekali datangnya bantuan dari Pendekar Mabuk,
sehingga apa pun yang ditanyakan Suto selalu dijawab apa adanya tanpa ada
keraguan. "Dulu T anah Leluhur diperintah oleh Bapa Resi Burnawa. T etapi sejak tewasnya
Bapa Resi di tangan Ratu Kehangatan yang bernama asli Indudari itu, kekuatan T
anah Leluhur menjadi lemah. Sampai sekarang kami tak punya penguasa tunggal. Kami hanya mempunyai beberapa sesepuh
yang untuk sementara ini menjadi pengatur kehidupan di T anah Leluhur."
Buyut Batara menjelaskan hal itu, karena Suto
Sinting ajukan tanya masalah penguasa T anah Leluhur.
Dalam otak Pendekar Mabuk mulai mencatat nama
penguasa Istana Kematian yang agaknya lebih dikenal dengan nama Ratu Kehangatan
ketimbang nama asli Indudari itu.
"Sudah berapa orang pemuda yang diculik dan diba wa ke Istana Kematian"!" tanya
Suto Sinting. "T iga belas orang," jawab Buyut Batara. "Sebetulnya mereka pemuda-pemuda
tangguh. Boleh dikata, mereka adalah
prajurit pilihan kami yang mempunyai kepandaian bertempur, berilmu tinggi, dan berjiwa ksatria. T etapi sekalipun
kami mengunggulkan mereka, toh pihak Ratu Kehangatan masih bisa melumpuhkan kami
satu persatu dan menculiknya, entah siang ataupun malam."
"Ada berapa pemuda tangguh di T anah Leluhur"!"
"T ak banyak. Sisanya hanya sedikit, termasuk aku.
Dan agaknya para penculik itu mempunyai ilmu lebih tinggi dari kami."
"Hmmm...," Suto menggumam, lalu diam sesaat.
Ia tetap melangkah di samping Buyut Batara bagai dua ksatria sedang menuju ke
medan pertempuran.
Mereka berdua sama gagahnya, sama gantengnya, dan sama-sama berbadan kekar.
T ak heran jika langkah mereka diikuti oleh sepasang mata yang secara diam-diam
mengintai dari balik celah bebatuan besar di depan mereka. Bebatuan besar itu
berada di atas bukit cadas yang tak seberapa tinggi,
puncaknya dapat dicapai dengan satu kali sentakan kaki Suto Sinting.
"Selain para pemuda, adakah kaum wanita yang diculik mereka, Buyut?"
"Sejauh ini, belum ada," jawab Buyut Batara dengan kesan jujur. "Padahal kami
juga punya beberapa gadis berilmu yang tergabung dalam kelompok para prajurit T
anah Leluhur."
"Hmmm...!" Suto manggut-manggut lagi.
Mereka melewati jalanan di bawah bukit cadas
berbatu-batu itu. Suto Sinting sempat ajukan tanya kepada Buyut Batara.
"Apakah mereka yang hilang itu benar-benar dibawa ke Istana Kematian untuk
dijadikan prajurit di sana"!
Bagaimana jika ternyata mereka dibunuh?"
"Sejauh ini kami belum pernah menemukan mayat mereka. Jadi kami yakin mereka
masih hidup dan berada dalam benteng Istana Kematian."
"Jauhkah letak Istana Kematian
dengan T anah Leluhur itu"!"
"Jika ditempuh dengan berjalan kaki biasa, memakan waktu satu hari satu malam. T


Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

api jika kita berlari cepat menggunakan ilmu petingan tubuh, kira-kira hanya
memakan waktu satu malam atau satu siang."
"T ermasuk
dekat menurutku. Apakah pihakmu pernah menyerang ke Istana Kematian?"
"Belum pernah. Sebab kami sadar kekuatan kami tak seimbang
jika berhadapan dengan pihak Istana Kematian. T etapi dalam...."
"Ssst...!" Suto Sinting memotong pembicaraan itu dengan mencekal lengan kekar
Buyut Batara. T indakan itu mengherankan bagi Buyut
Batara, sehingga ia
berpaling memandang Suto dengan dahi berkerut.
"T etap saja melangkah biasa," bisik Pendekar Mabuk.
"Ada apa sebenarnya?"
"Ada yang mengikuti kita."
"Ada di mana orang itu"! Di belakang kita?"
Suto Sinting tersenyum menahan rasa geli.
"Namanya mengikuti ya tentu dari belakang, tidak mungkin dari depan! Kalau dari
depan namanya menuntun kita! Bukan mengikuti!"
Buyut Batara malu dengan pertanyaan bodohnya tadi.
Ia ingin menoleh ke belakang, tapi Suto Sinting buru-buru melarangnya.
"Jangan menoleh. T etap saja seperti biasa, seolah-olah kita tak tahu kalau dia
mengikuti dari belakang."
"T api... tapi dari mana kau tahu kalau dia mengikuti kita" Aku tak mendengar
suara langkah kakinya," bisik Buyut Batara.
"Suara langkah kakinya memang tak terdengar.
Kurasa dia mempunyai ilmu peringan tubuh yang cukup lumayan, sehingga langkah
kakinya bisa tak terdengar.
T api aku mendengar detak jantungnya."
"Ooh..."!" Buyut
Batara terperanjat
dan merasa kagum. Baru sekarang ia tahu ada orang yang bisa mendengar suara detak jantung
di kejauhan. Buyut Batara memang tak tahu bahwa Pendekar Mabuk juga mempunyai
ilmu 'Lacak Jantung' yang membuatnya
dapat mendengar detak jantung seseorang di tempat yang tersembunyi.
Mereka akan melewati tikungan jalan. Kerimbunan pohon bambu yang tumbuh merapat
dapat dijadikan tempat bersembunyi bagi kedua pemuda tersebut. Suto Sinting
segera membisikkan rencana kepada Buyut Batara.
"Jika kita nanti sudah membelok di balik pepohonan bambu itu, lekaslah naik ke
pohon. Kau bisa lakukan lompatan cepat ke atas pohon, bukan?"
"Bisa!" jawab Buyut Batara.
"Bagus. Carilah tempat bersembunyi di atas pohon nanti, agar jangan sampai kau
terlihat dari bawah. Aku akan berhenti dan menghadang si penguntit kita itu!"
"Baik. Hati-hatilah, Suto!"
"Sekarang jangan kelihatan tegang dulu. Santai saja!"
bujuk Suto Sinting karena Buyut Batara mulai menggenggamkan kedua tangannya. Hal itu bisa dilihat dari belakang dan tampak
mereka bersiap menghadapi seseorang. Karenanya, Buyut Batara segera melepaskan
genggaman tangannya, ia ikut tertawa pelan ketika Suto Sinting membuat lelucon
lewat celotehnya. Bahkan Suto Sinting sempatkan diri menenggak tuaknya sesaat.
Gerakan menenggak itu dimaksud juga untuk memeriksa apakah ada bahaya di atas
pohon sekitar mereka.
"Aman...," ucap Suto membatin. Langkah mereka pun berlanjut, membelok di
tikungan, di balik serumpun pohon bambu hijau yang tumbuh rapat. T ak jauh dari
tikungan ada sebuah pohon dengan cabangnya menaungi
jalanan yang dilewati mereka berdua. Pendekar Mabuk berikan isyarat lewat
angukan kepalanya.
Buyut Batara segera sentakkan kaki ke tanah.
Wuuus...! T ubuhnya meluncur naik dan hinggap di salah satu dahan. Jleeg...!
Suto Sinting memandang sebentar, kemudian ia tersenyum sambil menatap kearah
tikungan itu. Ia sengaja berbalik arah dengan sikap menunggu datangnya si
penguntit. "Aku yakin dia berilmu tinggi, karena suara langkah kakinya tak terdengar
sedikit pun," ujar Suto Sinting membatin sendiri. "T api ia tidak bisa
sembunyikan suara detak jantungnya, sehingga ia tak akan menduga kalau kuhadang
di sini dan akan kupergoki siapa
dia sebenarnya!"
T ernyata sampai beberapa saat lamanya, dari arah tikungan itu tidak muncul
siapa pun juga. Padahal hati Suto sudah tak sabar. Rasa penasaran ingin
mengetahui siapa penguntitnya membuat
Suto menjadi jengkel
sendiri. "Apakah dia tahu kalau sedang kujebak di sini?" pikir Suto, lalu segera
menggunakan jurus 'Lacak Jantung'-
nya lagi untuk mengetahui di mana orang itu bersembunyi. Namun sesaat setelah jurus itu dipergunakan, wajah Suto Sinting mulai berubah.
Dahinya berkerut dan matanya melirik sekitarnya. Ada kecemasan yang mulai
dirasakan oleh si murid sinting Gila T uak itu.
"Aneh! T ak ada suara detak jantungnya lagi" Apakah dia pergi ke lain arah dan
jadi menguntitku" Hmm...
tapi... tapi suara detak jantung Buyut Batara juga tak kutangkap dengan indera
pendengaran gaibku"! Aneh sekali. Yang kutangkap hanya suara detak jantungku
sendiri"!"
Pendekar Mabuk semakin cemas, ia mendongak ke
atas, memandang pohon berdaun rindang tempat Buyut Batara bersembunyi tadi.
"Ooh..."! Tak kulihat bayangan seseorang di atas sana. Apakah Buyut Batara
pindah tempat"! Sialan kalau pindah tempat!" ujar Suto membatin. Lalu, ia pun
memanggil Buyut Batara dengan suara setengah tertahan. "Buyut...! Hei, menjawablah, Buyut! Yuut...! Buyut Batara"! Ssst...! Buyut, kau
dengar suaraku"!"
T ak ada jawab apa pun dari atas pohon. Pendekar Mabuk semakin bertambah cemas
lagi. Wuuut...! Ia pun menyusul naik ke atas pohon dengan satu sentakan kaki
ringan. T ubuhnya melayang dengan cepat dan menerabas daun-daun kecil yang rimbun itu. Brruuss...!
"Edan! Ke mana bocah itu"!" geramnya dengan hati kesal, karena Buyut Batara
ternyata tak ada di pohon tersebut.
T api ketika ia memandang ke arah selatan, tampak sekelebat bayangan merah
tembaga yang melesat dari pohon ke pohon. Bayangan itu sepertinya sedang
memanggul sesuatu yang berwarna biru muda.
"Kurang ajar! Rupanya seseorang telah berhasil membawa lari Buyut dari pohon
ini"!"
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar Mabuk segera mengejar
bayangan merah jambu itu dengan hati semakin kesal, ia merasa telah kebobolan.
Bahkan lebih parah lagi, niatnya menjebak justru ganti terjebak. Hal itu membuat
Pendekar Mabuk sangat jengkel dan bertambah penasaran, ia harus berhasil menangkap orang itu dan membebaskan
Buyut Batara, karena tertangkapnya
Buyut Batara karena gagasannya sendiri.
Pendekar Mabuk tak tahu bahwa keadaan Buyut
Batara di atas pohon merupakan hal yang sangat
menguntungkan bagi pihak si penguntit. Orang tersebut bermaksud mengikuti Suto
dan Buyut Batara melalui atas pohon, agar tak menimbulkan kecurigaan bagi kedua
pemuda tersebut. Namun ketika ia tiba di pohon berdaun rindang itu, ternyata
Buyut Batara muncul dan hinggap di sebuah dahan membelakangi orang tersebut.
Buyut Batara sendiri tak tahu ada
orang di belakangnya, ia hanya rasakan sentuhan keras di bagian tengkuknya. Sentuhan
keras di bagian sekitar tengkuk itu adalah sebuah totokan dua jari tangan si
penguntit. T entu saja Buyut Batara tersentak, namun tak bisa keluarkan suara,
ia segera menjadi lemas, terkulai hampir jatuh.
Orang tersebut menyambar tubuh Buyut
Batara sebelum pemuda itu jatuh dari atas pohon. Keadaan Buyut Batara masih sadar dan
mengetahui apa yang sedang terjadi atas dirinya. Hanya saja, ia kehilangan
kemampuan bersuara dan bergerak. Orang tersebut agak kerepotan sebentar menahan
tubuh Buyut Batara yang gempal itu. Namun dengan kekuatan tenaga dalamnya, ia
berhasil meletakkan Buyut Batara di pundaknya seperti
handuk basah. Kemudian ia berusaha tinggalkan pohon itu tanpa suara sedikit pun.
Mulanya langkah dan gerakannya dilakukan sangat pelan, setelah agak jauh baru ia
berlari melompati pohon ke pohon dengan ilmu peringan tubuhnya.
Orang tersebut ternyata mempunyai kecepatan gerak yang membuat Suto Sinting
kewalahan. Jurus 'Gerak Siluman' yang digunakan si Pendekar Mabuk tak
berhasil memburunya, karena orang tersebut mempunyai gerakan berbelok-belok
membingungkan. Bahkan Suto sempat
salah arah. Ia tak melihat
orang tersebut membelok ke arah timur. Suto masih mengejarnya ke arah selatan.
Setelah sadar ia salah arah, ia pun kembali ke arah semula.
Tapi sudah terlambat; orang itu sudah membelok lagi entah ke arah mana. Suto Sinting
mencari ke berbagai penjuru dalam radius sekian kilometer. T api orang yang
membawa lari Buyut Batara tetap tidak berhasil ditemukan.
Kesimpulan batin Suto mengatakan, "Pasti orang Istana Kematian! Entah siapa
namanya, yang jelas bukan salah satu dari keenam prajurit tadi!"
T entu saja Suto tak berhasil temukan orang tersebut, karena ia tidak melihat
adanya sebuah gua kecil di salah satu lereng bukit tak jauh dari tempat ia salah
arah itu. Gua tersebut selain kecil, hanya cukup untuk masuk satu orang dalam keadaan
merunduk, juga bagian depan gua tumbuh ilalang setinggi pundak orang dewasa.
Ilalang itu menutupi mulut gua, sehingga tidak kelihatan jelas
dari jalanan seberang semak tersebut,
Orang tersebut meletakkan Buyut Batara di mulut gua itu. Setelah ia masuk ke
dalam gua, ia segera menarik tubuh Buyut Batara hingga ikut masuk ke dalam gua
tersebut. Jika bukan orang yang pernah masuk ke gua itu, tak mungkin gua itu
mudah ditemukan oleh orang berpakaian merah tembaga itu.
Keadaan di dalam gua ternyata cukup lebar. Banyak bebatuan yang berserakan di
sana-sini, tapi banyak pula tempat
datar yang kering. Langit-langit gua itu mempunyai tiga lubang tembus ke atas bukit. Cahaya matahari masuk melalui tiga
lubang tersebut, membuat suasana di dalam gua cukup terang tapi aman. Gua itu
tidak punya jalan tembus ke mana-mana, selain celah-celah sempit pada dinding
gua yang tidak bisa dipakai lewat seseorang. Celah sempit itu juga membiaskan
cahaya matahari, sehingga jika matahari condong ke barat atau baru terbit dari
timur, gua itu tetap mendapat penerangan cahaya.
Buyut Batara dibaringkan di atas tanah datar yang dilapisi daun-daun ilalang
kering. Ilalang kering itu disusun se demikian rupa, sehingga dapat digunakan
untuk tidur dengan empuk. Hal itu menandakan bahwa orang tersebut pernah tidur
atau istirahat di gua itu beberapa kali.
Suara sebuah ledakan yang samar-samar mengubah
arah pengejaran Pendekar Mabuk. Suara itu berasal dari utara. Tampaknya cukup
jauh dari tempatnya berdiri saat itu.
"Jangan-jangan suara ledakan itu adalah pertarungan Buyut Batara dengan orang
berpakaian merah tembaga tadi"!" duga hati murid sinting si Giia T uak. Maka tak
ada langkah lain bagi Suto Sinting kecuali hampiri suara ledakan tersebut.
T ernyata suara itu memang datang dari sebuah
pertarungan. Pertarungan itu terjadi di hutan berpohon renggang,
sehingga banyak tempat kosong yang memberi kebebasan bagi sebuah pertarungan. Pada waktu Suto Sinting tiba di atas
salah satu pohon, ia sempat kecewa sesaat, karena pertarungan itu bukan
pertarungannya Buyut Batara.
Namun hatinya segera tergugah melihat salah satu pihak yang bertarung itu adalah
seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wanita itu mempunyai paras
wajah yang cantik walau berkulit sawo matang.
Rambutnya disanggul seba gian, sisanya meriap sampai menutupi bahunya.
T ubuh sekal yang tampak padat berisi dan berurat kencang itu dibungkus dengan
jubah kuning gading tanpa lengan. Jubah itu terbuka bagian depannya. T api si
wanita cantik berhidung mancung itu mengenakan kain penutup dada ber warna hijau
tua, sama dengan kain penutup bagian bawahnya yang berbelahan dua kanan-kiri
itu. Sebuah sa buk dari kulit binatang dikenakan untuk menyelipkan pedang


Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergagang putih berkilauan dari logam anti karat.
"Siapa wanita cantik itu"!" tanya Suto dalam hatinya.
"Gerakannya cukup gesit
dan lincah. Jurus yang
dimainkan... boleh juga! Ia punya gerak tipuan yang bagus. Hmmm... baru sekarang
kulihat wanita bermata penuh keberanian itu. T api yang jelas, lawannya pasti
orang istana Kematian, sebab pakaian besi dan topi besinya sama dengan keenam
prajurit yang tadi. Namun dia bukan salah satu dari mereka. Aku ingat betul,
wajah mereka tak ada yang seperti lelaki ini!"
Lelaki yang kini mencabut pedang panjangnya itu berusia sekitar tiga puluh lima
tahun, mempunyai kumis lebat dan berwajah ganas, ia mempunyai tubuh yang tinggi
dan besar, melebihi keenam prajurit yang tadi berurusan dengan Suto.
Orang mata lebar itu bukan saja pandai bermain jurus pedang, namun ia juga
mempunyai jurus pukulan jarak jauh bercahaya merah. Ketika pedangnya menebas dan
tertangkis oleh pedang si wanita cantik, ia sempat terpental karena wanita itu
segera memutar tubuh dan melayangkan tendangan kuatnya ke arah perut lawan.
Begitu orang itu bangkit dari jatuhnya yang berjarak delapan langkah dari tempat
si wanita cantik itu berdiri, tangan kirinya segera melepaskan sinar merah
bundar seperti telur burung. Claaap...!
Sinar merah dari telapak tangan kirinya itu melesat ke arah wanita berjubah
kuning. Namun dengan lincah wanita itu melenting ke udara, bersalto maju dua
kali dengan gerakan putar yang cepat. Wes, wes...! Sinar merah itu akhirnya
padam begitu saja karena menerjang rumput ilalang lebat. Buuuss...! Asap
mengepul dari tengah kelebatan semak ilalang itu.
"Kalau ilalang itu tanahnya tidak basah, pasti akan terbakar karena sinar merah
tadi," pikir Suto Sinting, namun perhatiannya segera berpindah ke pertarungan.
Wanita berjubah buntung warna kuning berdiri dalam jarak empat langkah dari
lawannya, ia diserang dengan jurus
pedang yang berkesan membabi-buta tapi mempunyai gerakan cepat.
Trang, trang, trang, trang...!
Wanita itu terdesak, karena setiap tebasan pedang yang ditangkisnya berkekuatan
besar dan membuat tubuhnya terdorong mundur. Rupanya orang istana Kematian itu
mempunyai tenaga cukup besar, sesuai dengan postur tubuhnya, sehingga tangkisan
pedang si wanita selalu nyaris mengenai tubuhnya sendiri.
Sa betan pedang lawan di ba gian ba wah bisa dihindari oleh si wanita dengan
lompatan. T api di luar dugaan, lelaki itu juga melompat dan memutar tubuhnya
dengan cepat sambil lepaskan tendangan kaki besarnya. Wuuut, buuhkk...!
"Aahk...!" wanita itu terpekik karena pinggangnya terkena tendangan kuat. T
ubuhnya terpental sejauh lima langkah
ke samping kanan. Ia jatuh terbanting, kepalanya nyaris pecah karena batu besar yang ada di sampingnya dalam jarak tiga
jengkal itu. "Aahhhkk.... Uuuhk...!"
Rupanya tendangan kaki tadi mengandung tenaga
dalam cukup besar, sehingga si wanita akhirnya
mengeluarkan darah kental dari mulutnya. Selain rasa sakit di pinggangnya, rasa
panas pun bagai membakar
tubuh bagian dalam. Darah itu keluar cukup banyak dan membuat wanita tersebut
menjadi pucat. "Berakhir sudah riwayatmu, Perempuan
Jalang! Heeaah...!"
Prajurit berwajah angker
itu melompat dengan pedang terangkat ke atas, siap memenggal leher si wanita yang sedang bersimpuh
dan membungkuk.
T etapi ketika tubuhnya melayang di udara, tiba-tiba ia merasa
diterjang sesuatu yang datang dari
arah depannya. Angin padat berhembus cepat dan kuat, membuat tubuh si prajurit
berwajah angker itu terlempar ke belakang dan berjumpalitan di udara.
Baaahk ..! Wuuusss...! Wuuk, wuuk, wuuk...!
Praaang...! "Aahk...!" ia memekik dengan kepala terdongak karena
jatuh terbanting dalam posisi tengkurap. T ersangga batu sebesar anak sapi.
Untung saja ia mengenakan rompi besi, sehingga
tubuhnya tak mengalami luka, hanya saja dadanya terasa sakit sekali karena
bagaikan membentur besi baja.
Angin padat yang menabraknya tadi tak lain adalah jurus 'Jari Guntur' Suto yang
disentilkan dari atas pohon.
Pendekar Mabuk akhirnya keluar dari persembunyiannya. Zlaaap...! Dalam waktu singkat ia sudah berada di depan wanita
yang terluka, matanya memandang lurus ke arah prajurit berwajah angker itu.
"Bangsat! Rupanya kau mau cari mampus juga, hah"!" orang itu paksakan diri untuk
berteriak, ia pun memaksakan diri untuk bangkit walau sambil menahan
rasa sakit di dada.
"Heeeaah...!" teriaknya sambil mengacungkan pedang lurus ke depan dan tubuhnya
meluncur di udara dengan cepat bagaikan terbang. Pedang itu tepat mengarah ke
dada Suto Sinting.
Dengan cepat Suto Sinting pun meluncur ke depan bagaikan terbang, namun setelah
bumbung tuaknya disodokkan. Bumbung tuak itu bagaikan menarik Suto hingga
terbang mengikutinya. Jurus 'Bangau Mabuk'
digunakan oleh Suto
Sinting, sehingga ketika ia bertabrakan dengan prajurit itu, ujung pedang si prajurit beradu dengan ujung
bumbung tuak Suto.
Duaaar...! Ledakan cukup keras terjadi. Prajurit itu terpental mundur dan melayang-layang.
Pedangnya pecah patah menjadi beberapa keping, ia tak tahu bambu bumbung tuak
itu bukan sembarang bambu dan mempunyai
kesaktian dahsyat yang sulit dilawan.
Suto Sinting berdiri tegang setelah terjadinya ledakan tadi. Ia sunggingkan
senyum, memandang tajam pada si prajurit yang terbatuk-batuk dan memuntahkan
darah dari mulutnya. Rupanya ledakan tadi juga menyebarkan kekuatan tenaga dalam
yang menghantam leher prajurit itu.
"Celaka! Kurasa dia bukan tandinganku! Uuhkk...!
Se baiknya kutinggalkan saja mereka! Lukaku harus kusembuhkan dulu!" pikir si
prajurit. Prajurit itu segera melarikan
diri dengan sisa tenaganya. Pendekar Mabuk hanya memperhatikan
dengan bertolak pinggang dan tersenyum. Bumbung tuaknya sudah digantungkan di
pundak kanan. Setelah prajurit itu menghilang dari pandangan mata, Suto segera berbalik arah
dan hampiri wanita berjubah kuning gading itu. T etapi ia terkejut melihat
wanita tersebut
sudah terkapar dengan pedang tak
bisa digenggamnya lagi.
"Celaka! Jangan-jangan nyawanya sudah melayang sebelum berkenalan denganku"!"
ujar hati Suto dengan cemas, ia pun mempercepat langkahnya untuk sampai di
tempat wanita cantik itu.
* * * 4 WANIT A cantik itu akhirnya tertolong juga. T uak yang dituangkan ke mulut
wanita itu secara sedikit demi sedikit membuat kesembuhan yang mujarab. Wanita
cantik itu kebingungan
dan terheran-heran
ketika menyadari badannya menjadi segar, lebih segar daripada sebelum lakukan
pertarungan. Ia pun terperanjat memandang seraut wajah seorang pemuda tampan yang punya
senyum mendebarkan itu.
Ketika wanita itu bebas dari maut akibat luka dalamnya, Suto Sinting berada di
ba wah pohon teduh, sandarkan pundak kirinya sambil kedua tangan terlipat di
dada. Bumbung tuaknya menggantung di pundak kanan.
Senyumnya mekar indah dengan tatapan mata yang
lembut. T ak heran jika wanita cantik beralis tebal namun tertata rapi itu sempat
terbengong menatap Pendekar Mabuk.
"Siapa dia"!" pikirnya, mencoba mengingat-ingat masa sebelum pingsan tadi.
"Seingatku... seingatku... orang Istana Kematian tadi menyerangku
dengan tendangan yang luar biasa beratnya. Kemudian... kemudian aku jatuh, darahku keluar dari mulut dan...
dan... dan kulihat samar-samar orang Istana Kematian tadi ingin mengakhiri
hidupku dengan satu lompatan. Lalu... lalu bagaimana, ya?"
Wanita itu masih diam mengingat-ingat
pertarungannya tadi.
"O, iya... kemudian lawanku tiba-tiba terpental sebelum pedangnya menghujam ke
tubuhku. Dan...
kalau tak salah, aku sempat melihat sekelebat bayangan melompati kepalaku, lalu
berdiri di depanku, setelah itu... bayangan itu pingsan. Eh, aku yang pingsan.
Hmmm.... Lalu ke mana si muka iblis tadi" T ak ada bangkainya di sini. Berarti
si muka iblis tadi melarikan diri setelah pemuda itu membelaku. Hmmm...
begitukah kejadiannya"!"
Suto Sinting tetap tidak menyapa lebih dulu. Ia ingin tahu, seperti apa sikap
wanita cantik itu setelah lolos dari maut.
Suto hanya memandanginya dengan
seulas senyum indah tetap menghiasi bibirnya.
Wanita cantik masih membatin, "Jangan-jangan
pemuda ini berkomplot dengan si muka iblis itu"! Lalu ia pura-pura... eh, tapi
dia membawa bambu panjang.
Apakah itu bumbung tuak"! O, ya... ia mengenakan baju coklat celana putih!
Bukankah... bukankah itu ciri-ciri si Pendekar Mabuk yang sering kudengar dari
mulut orang-orang itu" Aduh, deg-degan juga aku jadinya. Apa benar
dia Pendekar Mabuk"! Kalau melihat ketampanannya, gagahnya, ciri rambutnya tanpa ikat kepala, memang dia sesuai
dengan ciri Pendekar Mabuk.
T api siapa tahu dia hanya seorang penjual tuak dalam bumbung yang kebetulan
nyasar kemari"!"
Dengan lagak membetulkan letak pakaian, membersihkan tanah dan memasukkan pedangnya ke
sarung pedang, wanita cantik itu masih berkecamuk dalam hatinya. Setelah itu, ia
pun segera tentukan sikap untuk menyapanya lebih dulu. Wajah ketus dan angkuh
dipasang supaya tidak dinilai sebagai wanita seribu tiga alias wanita murahan.
"Mengapa kau memandangiku terus"!"
Pendekar Mabuk semakin lebarkan senyum, ia tahu wanita tersebut sedang salah
tingkah dan tak mengerti harus berbuat apa. Karena sudah ada teguran pertama,
Pendekar Mabuk akhirnya dekati wanita cantik bertubuh sekal itu.
"Kebetulan aku lewat daerah sini. Aku sedang mencari
sahabat baruku yang dibawa lari oleh seseorang."
"Aku tidak membawa lari sahabatmu!" ketus si wanita cantik.
"Memang bukan kau orangnya. Orang itu mengenakan pakaian merah tembaga. Oh, ya..."!" tiba-
tiba Suto Sinting ingat sesuatu. Hati pun mulai bicara sendiri.
"Pakaian merah tembaga seperti pakaian besi para prajurit Istana Kematian! Orang
yang tadi melawan perempuan ini juga mengenakan rompi anti senjata tajam yang
berwarna merah tembaga. Kalau begitu, Buyut Batara memang diba wa
lari oleh prajurit

Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Istana Kematian! Atau... atau orang tadikah yang membawanya lari"!"
Dengan ketegangan sedikit membias di wajah tampannya, Suto Sinting bur u-buru ajukan tanya kepada wanita cantik itu.
"Apakah... apakah kau tadi melihat prajurit muka angker itu memanggul
seseorang?"
"T idak!" jawabnya tegas. "Aku hanya melihat dia menenteng pedangnya. Ketika
berpapasan denganku, dia segera menyerangku, karena dia tahu aku adalah orang T
anah Leluhur."
"Ooh..."!" Suto Sinting terkejut mendengar si wanita cantik adalah orang T anah
Leluhur. T api wanita itu semakin angkat dagu menampakkan kesombongannya.
Kesombongan itu bukan asli dari dalam jiwanya,
melainkan sengaja dipaksakan timbul untuk menjaga harga dirinya di depan pemuda
tampan itu. "Benarkah kau orang Tanah Leluhur"!"
"Ya! Kenapa"!"
ia melirik sinis. "Kau mau menangkapku seperti orang-orang istana Kematian itu"!
T angkaplah kalau kau bisa!" tantangnya sambil tangannya mulai meraih gagang pedang, namun belum
mencabutnya. Suto Sinting buru-buru nyengir. "Hmmm, bukan begitu maksudku. Hmmm... begini,
aku sendiri sedang...
sedang mencari sahabatku. Dia orang T anah Leluhur juga dan...."
"Siapa namanya"!" potong wanita cantik itu dengan pandangan mata tertuju tegas-
tegas ke wajah Suto Sinting.
"Namaku... Suto Sinting dan aku...."
"Yang kutanyakan siapa nama sahabatmu itu"!"
sergah si wanita.
"Oh, nama sahabatku"! Hmmm... dia mengaku
bernama Buyut Batara! Kami baru saja...."
"Siapa..."!" wanita itu terbelalak. "Buyut Batara"!
Benarkah kau telah bertemu dengan adikku; si Atmajaya alias Buyut Batara itu"!"
Kini mata Suto Sinting juga menatap nanap pada
wajah wanita cantik itu.
"Adikmu..."!" gumam Suto dengan nada sangsi.
"Buyut Batara adalah adikku! Dia mengenakan rompi biru dan celana biru, memakai
kalung berbentuk bintang, mempunyai batu ungu di tengah bintang logam putih
itu"!"
"Benar! T epat sekali!" sahut Suto Sinting bersemangat. "Apakah kau melihatnya"!"
"Justru aku sedang mencarinya! Sudah tujuh hari dia tak pulang karena tugas
mencari Pendekar Mabuk. Aku mencemaskan
keselamatannya,
maka kususul dia. Namun sudah dua hari ini aku tak bisa menemukan
Buyut! Aku khawatir ia telah ditangkap oleh orang Istana Kematian!"
Wanita itu mulai menampakkan kecemasan aslinya.
Matanya memandang ke sana-sini, seakan tak sabar ingin segera bertemu dengan
Buyut Batara. "Pantas kecantikan wajahnya sedikit mirip dengan Buyut Batara, terutama
hidungnya," ujar Suto Sinting dalam hati setelah membandingkan wajah wanita itu dengan wajah Buyut Batara.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya wanita cantik itu.
"Bukankah tadi sudah kusebutkan namaku"!"
Gadis itu bingung mengingatnya. Suto menyambung lagi, "Namaku adalah Suto
Sinting...."
"Oh, tak kuhiraukan nama itu tadi disebutkannya?"
pikir si wanita. Lalu ia memandang Suto dengan sorot mata berbinar-binar.
"Kalau begitu... kalau begitu kaukah yang bergelar Pendekar Mabuk itu"!"
"Buyut Batara mengenaliku sebagai Pendekar Mabuk.
Mengapa kau tak mengenaliku?"
"Hmmm, eeh, hmmm, eehh...!" wanita cantik itu salah tingkah sendiri dengan
senyum yang serba salah juga. Ia merasa malu karena tak merasa kalah cerdas
dengan adiknya. Untuk menutupi rasa malunya, ia justru perkenalkan namanya
sendiri. "Hmmm, ehh, iya... anu, namaku... namaku: Rembulan Senja."
"Nama yang bagus sekali," gumam Suto Sinting lirih, sampai di telinga wanita
cantik itu. T etapi di dalam hati
Suto ada gerutu yang tersembunyi.
"Sial! Buyut tak pernah bilang kalau punya kakak secantik ini"! Apa dia takut
Naga Sakti Sungai Kuning 12 Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Memburu Putri Datuk 3
^