Pencarian

Tantangan Anak Haram 2

Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram Bagian 2


kuceburkan ke sana!"
Suto Sinting tertawa geli melihat gadis itu bersungutsungut.
"Maksudku, aku tak punya uang untuk sewa kamar."
"Untuk apa sewa kamar" Kau pikir perempuan apa
aku ini"!"
"Mmm... mmm... maaf, aku tidak bermaksud
menilaimu jelek, Candu Asmara. Tapi... tapi terus terang
saja, tujuanku kemari semula ingin melihat orang-orang
yang mencalonkan diri sebagai menantu raja. Tapi
segera berubah setelah bertemu adikmu. Tujuanku
menjadi ingin melindungimu dari serangan Tengkorak
Tampan yang membawa senjata milik gurunya bernama
'Garpu Malaikat' itu. Aku khawatir kau menjadi korban
senjata yang kata temanku adalah senjata berbahaya.
Lalu...." "Cukup!" potong Candu Asmara. "Aku mengerti
maksudmu. Kalau kau ingin bertemu dengan Tengkorak
Tampan, kau bisa temui dia esok hari. Karena esok hari
para calon menantu raja berkumpul di alun-alun."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Kau
sendiri tak ingin lanjutkan pembalasanmu terhadap
Tengkorak Tampan?"
"Terlambat. Kurasa saat ini ia sudah menjadi tamu
kehormatan Paduka Raja. Siapa yang mengusik atau
mengganggu tamu istana akan mendapat hukuman dan
dianggap bermusuhan dengan pihak Raja Gundalana.
Jadi aku tak berani mengusiknya. Tapi jika ia sudah
pulang dan tidak lagi menjadi tamu Istana, aku akan
bikin perhitungan sendiri padanya!" kata Candu Asmara
dengan tegas sekali. Suto Sinting sangat menyukai nada
bicara yang tegas seperti itu.
Ketika Suto diajak masuk ke penginapan berlantai
dua itu, Candu Asmara sempat berkata dalam nada
pelan. "Aku mencari sahabatku; Cempaka Ayu!"
"Apakah dia sering bermalam di penginapan ini?"
"Dia anak pemilik penginapan ini."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut lagi. Ia ingin
ajukan tanya, tapi batal karena seorang lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun dan berpakaian rapi segera
menyambut kedatangan Candu Asmara dengan senyum
ramahnya. "Candu Asmara.... Oh, sudah lama kau tak datang
menjenguk kami. Mengapa kau menghilang hampir satu
purnama, Candu Asmara"!"
"Aku ada urusan yang harus kuselesaikan, Paman! O,
ya... perkenalkan, ini sahabatku; Suto Sinting."
Orang yang dipanggil sebagal 'paman' oleh Candu
Asmara itu memberikan hormat kepada Pendekar
Mabuk, kedua tangannya saling genggam di dada serta
badannya sedikit membungkuk.
"Selamat datang di penginapanku, Tuan Muda!"
"Terima kasih. Senang sekali aku melihat penginapan
sebagus ini, Paman," kata Suto membalas keramahan
sang Paman itu.
"Paman, apakah Cempaka Ayu ada?"
"O, dia ada di kamarnya. Datanglah sana ke
kamarnya! Kedatanganmu sangat ditunggu-tunggu oleh
Cempaka. Heh, heh, heh, heh...!"
Candu Asmara mengajak Suto Sinting menaiki
tangga yang tampak dari ruang tamu itu. Ruang tamu
tersebut dipakai sebagai kedai yang menyajikan
makanan mewah dengan tamu-tamu dari golongan atas.
Kala itu, kedai mewah tersebut sedang melayani delapan
tamu yang membentuk tiga kelompok berlainan meja.
Mereka memandang ke arah Candu Asmara dan Suto
Sinting, namun keduanya bersikap tak menghiraukan
pandangan para tamu berbusana rapi dan bagus itu.
"Orang yang kupanggil 'paman' tadi adalah ayahnya
Cempaka Ayu!"
"Ooo...," Suto hanya menggumam dan manggutmanggut lagi.
"Dia sangat senang jika aku ada di sini, karena
berkali-kali aku berhasil mengusir orang-orang yang
berniat mengganggu ketenangan para tamu di sini!"
"Rupanya kau petugas keamanan di penginapan ini"!"
"Tak resmi!" jawab Candu Asmara pendek, sambil
menelusuri lorong di depan kamar-kamar lantai atas.
Sebuah pintu kamar yang letaknya di ujung sendiri
diketuk oleh Candu Asmara. Kemudian seraut wajah
cantik berhidung bangir muncul dari balik pintu kamar
tersebut. "Candu Asmara..."!" gadis berusia sebaya dengan
Candu Asmara itu terpekik girang, kemudian ia
memeluk Candu Asmara dalam senyum yang lebar.
Matanya sempat beradu pandang dengan Pendekar
Mabuk yang masih berdiri di belakang Candu Asmara.
Gadis itu segera lepaskan pelukannya dan mulai salah
tingkah karena baru sadar bahwa Candu Asmara datang
bersama pemuda tampan.
"Cempaka, perkenalkan ini sahabatku; Suto Sinting
namanya." "Ooh..."! Pendekar Mabuk"!" Cempaka Ayu
terperanjat dengan mata membelalak.
Suto Sinting hanya anggukkan kepala dalam senyum
keramahannya. "Astaga! Rupanya apa yang kau impikan selama ini
benar-benar menjadi kenyataan, Candu Asmara. Kau
bisa bertemu dengan Pendekar Mabuk dan...."
"Ssst...! Tak perlu dibahas lagi soal itu," potong
Candu Asmara yang wajahnya menjadi semburat merah
karena malu kepada Suto Sinting. Senyum si tampan itu
semakin lebar, hatinya pun menggumam,
"Rupanya selama ini Candu Asmara ingin sekali
bertemu denganku. Hmm... ketahuan sekarang! Aku
yakin saat ini hatinya sangat gembira karena
keinginannya bertemu denganku sudah tercapai. Meski
berlagak angkuh, tapi ternyata dia menyimpan
kegembiraan yang pasti membuat hatinya melonjaklonjak. Hmm, hmm, hmm...!
Perempuan, perempuan...
paling pintar menutupi isi hatinya!"
Cempaka Ayu sebentar-sebentar melirik Pendekar
Mabuk. Rupanya gadis itu juga menyimpan rasa kagum
terhadap ketampanan Suto Sinting. Namun ia
menghargai nilai sebuah persahabatan, sehingga tak mau
bertingkah yang bukan-bukan di depan Candu Asmara,
ia hanya sering berbisik dan mereka tertawa kecil sambil
melirik Suto. "Kebetulan kau datang hari ini, Candu," ujar
Cempaka Ayu. "Mengapa kebetulan"!" tanya Candu Asmara.
Cempaka Ayu melirik ke arah Pendekar Mabuk
sesaat. Sepertinya ada sesuatu yang ragu-ragu dikatakan
karena keberadaan Suto di tempat itu. Suto jadi tak enak
hati. "Apakah aku harus pergi dulu?" tanya Suto Sinting.
"O, tidak! Tidak perlu," jawab Cempaka Ayu tergesa-
gesa. "Ini bukan rahasia lagi. Aku hanya ingin
menyampaikan kabar tentang niat Paduka Raja
mencarikan menantu yang gagah perkasa dan layak
diandalkan sebagai panglima negeri ini."
"Itu sudah kudengar, Cempaka. Esok para calon
menantu raja akan dikumpulkan di alun-alun untuk
dilihat kemahirannya dalam ilmu kanuragan. Siapa yang
ilmunya paling tinggi, itulah yang akan dinikahkan
dengan Rara Ayu Kumala, bukan"!"
"Iya. Tapi... tapi rencana itu ternyata harus diubah
oleh pihak keluarga istana."
"Mengapa diubah?"
"Kemarin malam Rara Ayu Kumala hilang."
"Hilang..."!" Candu Asmara terperanjat, demikian
pula Pendekar Mabuk yang segera berkerut dahi tajamtajam.
"Seseorang telah menculik Rara Ayu Kumala!"
"Ooh..."! Siapa orang yang menculik putri raja itu"!"
tanya Suto Sinting dengan rasa penasaran mendesak
dadanya. "Rara Ayu Kumala diculik oleh tokoh aliran hitam
dari Pulau Setan yang bernama : Hantu Urat Iblis!"
"Celaka!" sentak Candu Asmara dengan wajah
tegang. Agaknya ia sudah mengetahui siapa si Hantu
Urat Iblis itu.
Suto Sinting segera berkata, "Tapi mengapa para
penjaga di gerbang perbatasan masih menguji tamu yang
mau mencalonkan diri sebagai menantu raja"! Bahkan
aku sempat diuji oleh mereka!"
Cempaka Ayu menjawab, "Kabar ini belum disebarluaskan. Tapi ayahku mendengarnya
dari kenalannya
yang menjadi pejabat istana. Ayah pun wanti-wanti
padaku agar tidak bicara pada siapa pun. Tapi kepada
kalian aku tak bisa merahasiakannya."
Candu Asmara masih tertegun membayangkan Hantu
Urat Iblis, sementara itu Cempaka Ayu menyambung
kata-katanya sambil menatap Pendekar Mabuk.
"Mungkin maksud sang Raja tetap akan menerima
calon menantu sebanyak mungkin, karena dengan begitu
raja merasa punya banyak dukungan dari orang-orang
berilmu tinggi. Karena rencana beliau, esok para calon
menantu akan dikumpulkan di alun-alun, dan diberi tahu
tentang penculikan tersebut. Raja akan mengubah
sayembara, barang siapa yang bisa mengalahkan Hantu
Urat Iblis dan membawa pulang putrinya, dialah yang
akan dinikahkan dengan sang Putri dan mendapat
kedudukan tinggi sebagai panglima tertinggi di negeri
ini!" "Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut dalam
renungannya. "Apakah... apakah kau berminat untuk merebut Rara
Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis?" tanya
Cempaka Ayu kepada Suto.
Candu Asmara segera menyahut sambil menatap Suto
tajam-tajam dan bicaranya penuh tekanan.
"Hantu Urat Iblis adalah tokoh sesat aliran hitam
yang mempunyai ilmu 'Perisai Kubur', kau tak mungkin
bisa tumbangkan dirinya!"
"Apa itu ilmu 'Perisai Kubur'"!" tanya Pendekar
Mabuk. "Tak bisa terluka. Setiap kali ia terluka, lukanya akan
menutup sendiri dan pulih seperti sediakala. Racun apa
pun tak bisa bercampur dengan darahnya."
"Aku ingin mencoba melawannya!"
"Tak perlu, Suto!" sentak Candu Asmara. "Kau akan
mati sia-sia jika melawannya!"
Pendekar Mabuk terbungkam dan memendam
keheranan. "Mengapa ia jadi berang begitu"! Seandainya
aku mati, mengapa tak boleh" Ih, lama-lama aneh juga
gadis ini, ya"!"
* ** 5 ALASAN apa yang membuat Hantu Urat Iblis
menculik putri raja, hal itu pun menjadi sesuatu yang
dipikirkan oleh Pendekar Mabuk. Karenanya, sekalipun
ia dan Candu Asmara mendapat satu kamar gratis di
penginapan itu, namun Pendekar Mabuk tak bisa cepat
tertidur, ia masih terngiang kata-kata Candu Asmara
ketika mereka berada di kamar Cempaka Ayu.
"Hantu Urat Iblis bukan saja punya ilmu 'Perisai
Kubur', namun juga menguasai ilmu 'Peluh Neraka' yang
tidak dimiliki orang lain."
"Apa kehebatan ilmu 'Peluh Neraka' itu?" tanya Suto.
"Pada saat-saat yang ditentukan, ia dapat keluarkan
racun melalui peluhnya. Racun ganas yang sangat
mematikan itu bercampur dengan keringatnya. Siapa pun
yang terkena keringatnya walau sedikit saja, maka orang
itu akan mati dalam tiga belas hitungan. Repotnya lagi,
racun itu tak bisa ditangkal dengan obat penawar racun
apa pun." "Sakti sekali"!" sindir Suto Sinting agak tak percaya.
"Siapa sebenarnya si Hantu Urat iblis itu sehingga ia
bisa mempunyai ilmu aneh-aneh begitu"!"
"Dia anak haram dari mendiang Nyai Selir Iblis,
penguasa Pulau Setan. Menurut cerita dari guruku,
Hantu Urat Iblis sejak bayi tak pernah kena sinar
matahari, karena hidupnya di ruang bawah tanah. Di
sana ia digembleng oleh ibunya sendiri hingga menjadi
dewasa. Seluruh ilmu milik ibunya sudah mengalir ke
dalam diri Hantu Urat Iblis sejak ia berusia lima tahun.
Ketika ibunya tewas, ia muncul di permukaan bumi
sebagai pengganti sang Ibu; menjadi penguasa Pulau
Setan. Karenanya, dalam usia sekitar empat puluh tahun
ini, dia sudah menjadi tokoh yang ditakuti oleh lawanlawannya, karena ilmunya
memang dahsyat!"
"Apakah dia punya guru lain?"
"Tidak! Seluruh ilmu yang diwariskan oleh mendiang
ibunya sudah cukup untuk kalahkan beberapa guru dari
perguruan-perguruan yang pernah menjadi lawan ibunya
semasa hidup."
"Jika ia dikatakan sebagai anak haram, maka sampai
sekarang ia tak tahu siapa ayahnya?"
"Kurasa ia sudah tahu," jawab Candu Asmara. "Tapi
kurasa ia belum pernah bertemu dengan ayahnya.
Karena menurut cerita guruku, yang pernah menyelidiki
kekuatan di Pulau Setan, ternyata Nyai Selir Iblis pernah
kencan dengan siluman dari alam gaib. Kencan itu
membuahkan keturunan, dan keturunan tersebut adalah
si Hantu Urat Iblis."
Beberapa penjelasan itulah yang dicerna terus oleh
otak Pendekar Mabuk, hingga malam yang semakin larut
dibiarkan lewat begitu saja. Rasa kantuknya belum juga
datang walau ia telah berbaring di ranjang yang


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berseberang dengan ranjangnya Candu Asmara.
Sedangkan gadis berpakaian ungu bintik-bintik putih itu
tampak sudah tertidur sejak tadi dengan tenang, ia
berbaring sambil mendekap pedangnya yang diletakkan
di dada. Sebelum ke kamarnya, tadi Suto sempat mengisi
bumbungnya dengan tuak yang didapat dari ayah
Cempaka Ayu. Kini bumbung tuak itu telah terisi penuh.
Namun sebentar-sebentar ditenggaknya, sehingga mulai
berkurang sedikit.
"Bagaimana kalau kucoba menembus alam gaib dan
mencari ayahnya si Hantu Urat Iblis itu" Barangkali
dengan bujukan sang ayah, Hantu Urat Iblis mau
melepaskan putri raja," pikir Suto Sinting yang mampu
menembus alam gaib karena kekuatan khusus yang
diberikan oleh Ratu Kartika Wangi, calon ibu mertuanya
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Manusia Seribu Wajah").
"Tetapi... kalau aku pergi sekarang tanpa pamit, pasti
Candu Asmara sangat kecewa dan mempunyai penilaian
buruk padaku. Sebaiknya kubangunkan saja dia dan aku
harus pamit dulu padanya."
Suto Sinting dekati ranjang Candu Asmara. Namun
kurang dua langkah dari ranjang, Candu Asmara sudah
membuka matanya, terbangun dari tidurnya, namun tetap
dalam posisi tenang, walau tangan kanannya secara
cepat memegang gagang pedang. Begitu sadar didekati
Pendekar Mabuk, tangan yang memegang gagang
pedang itu mengendur, gagang pedang dilepaskan, tak
jadi dicabut. Kini pedang itu justru digeser ke samping
kiri, sejajar dengan tubuhnya.
"Hebat! Ternyata dia sangat peka dengan gerakan.
Walau dalam keadaan tertidur, namun dapat segera
mengetahui ada sesuatu yang mendekatinya," pikir Suto
Sinting merasa kagum terhadap kepekaan Candu
Asmara. Karena ia dipandang oleh gadis itu, maka ia pun
sunggingkan senyum berkesan nyengir. Suto jadi tak
enak hati, takut dianggap ingin bertingkah kurang ajar,
maka ia buru-buru jelaskan maksudnya.
"Aku ingin membangunkanmu, bukan ingin bertindak
yang bukan-bukan."
Candu Asmara hembuskan napas panjang, tapi ia
tetap berbaring dengan mata memandang langit-langit
kamar. "Mau apa membangunkan tidurku?"
"Aku mau... mau pamit!"
"Pamit ke mana?"
"Ke alam gaib."
"Edan!" sentaknya pelan, lalu cemberut dan
melengos. Suto Sinting lebih mendekat hingga persis di
tepi ranjang. "Akan kucoba menemui siluman yang menjadi ayah
si Hantu Urat Iblis itu. Akan kudesak siluman itu agar
mau menyuruh anaknya melepaskan putri raja."
"Tidurlah dulu, baru mengigau! Jangan mengigau
sebelum tidur, itu tidak baik!" ujar Candu Asmara
sambil masih palingkan wajah ke dinding.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum geli
mendengar kata-kata Candu Asmara. Wajah cantik itu
dipandangi dari samping. Timbul getaran nakal di batin
Suto yang membuatnya gelisah. Karena keindahan mata,
kemancungan hidung, ketebalan bibir yang serasi itu,
sangat menggoda hatinya dan membuatnya ingin usil di
wajah halus tanpa jerawat sebutir pun itu.
Lengan si gadis juga dipandangi. Hati pun berdesir
kembali, karena lengan itu mempunyai bulu-bulu halus
yang samar-samar, seakan mengundang hasrat untuk
meraba bulu-bulu itu.
Pendekar Mabuk akhirnya menelan ludah sendiri, ia
memberanikan diri untuk duduk di tepian ranjang.
Ternyata gadis itu diam saja, namun masih berpaling ke
arah dinding dan memejamkan mata. Suto yakin, gadis
itu tidak tidur. Karenanya ia pun segera mengajaknya
bicara dengan suara pelan, agar tak mengundang
kebrisikan bagi tamu penghuni kamar sebelah.
"Candu Asmara, aku bicara sungguh-sungguh tentang
rencanaku tadi. Sekarang juga aku akan pergi. Kau
tetaplah di sini dulu."
Candu Asmara membuka mata, kini wajahnya
menjadi agak miring ke kanan, pandangannya tertuju ke
wajah Suto Sinting yang tetap sunggingkan senyum tipis
di bibirnya. "Rencana apa maksudmu?" tanya Candu Asmara
berlagak bodoh. Sebelum Suto Sinting mengulangi
penjelasannya tadi, Candu Asmara sudah bicara lagi
lebih dulu. "Kau berhasrat ingin membebaskan putri raja itu"
Maksudmu supaya kau dinikahkan dengan Rara Ayu
Kumaia dan menjadi menantu Raja Gundalana" Kau
ingin menjadi panglima tertinggi di negeri ini dengan
didampingi istri secantik putri raja itu"!"
Pertanyaan yang beruntun hanya membuat Pendekar
Mabuk geli sendiri. Tawanya tak bersuara, tapi jelasjeias berkesan meremehkan
dugaan-dugaan Candu
Asmara itu. "Aku...."
"Kalau kau ingin mendapat hadiah seorang istri yang
cantik seperti Rara Ayu Kumala, pergilah sana,
bebaskanlah dia!" sahut Candu Asmara memotong katakata Suto.
Pendekar Mabuk akhirnya diam sambil tetap
sunggingkan senyum dan menatap Candu Asmara.
Pandangan yang beradu bagai menembus sampat ke
dasar hati masing-masing. Candu Asmara merasakan
getaran hati menjalar ke seluruh tubuhnya, seakan darah
mengalir dengan deras namun punya keindahan yang
sulit digambarkan.
Rupanya kebisuan di antara mereka berdua mengubah
wajah ketus dan cemberut menjadi sendu. Mata tegar
berubah menjadi sayu. Tangan di dada pindah ke
pangkuan Suto Sinting. Tangan itu disambut dengan
usapan lembut oleh sang Pendekar tampan. Akhirnya
tangan itu saling meremas pelan, dan rasa hangat
mengalir pula di seluruh tubuh mereka berdua.
"Mengapa kau tampaknya sangat tak setuju jika aku
membebaskan putri raja itu?" tanya Suto Sinting yang
kini membungkuk, bertumpu siku di pangkuannya,
sementara tangan Candu Asmara digenggam dengan
kedua tangan, dimainkan dengan usapan pelan-pelan.
"Aku takut kau tidak berhasil, tapi juga takut kalau
kau berhasil," jawab Candu Asmara dengan suara lirih,
sambil meresapi tiap usapan tangan Pendekar Mabuk.
"Aneh sekali ketakutanmu itu. Gagal takut, berhasil
takut?" "Karena jika kau gagal atau berhasil kita tetap tak
akan saling bertemu lagi. Gagal berarti mati, berhasil
berarti menjadi menantu raja."
Kepala gadis itu tergolek. Manis sekali. Suto merasa
sedang menunggui istrinya yang habis melahirkan.
Kebahagiaan seperti itulah yang ada di dalam hati
Pendekar Mabuk malam itu.
"Aku tak mungkin gagal, juga tak mungkin menikah
dengan putri raja."
"Benarkah?" suara itu agak parau, menambah suasana
menjadi semakin romantis saja rasanya.
Suto Sinting anggukkan kepala. "Aku bersumpah tak
akan menerima hadiah itu seandainya aku bisa kalahkan
Hantu Urat iblis."
"Kau tetap akan bersamaku?"
"Mengapa tidak?" jawab Suto lirih, namun terdengar
menggema sampai ke lubuk hati Candu Asmara.
"Kita baru saja bertemu, tapi rasa-rasanya seperti
sudah beberapa tahun saling kenal," ucap gadis itu.
"Aku pun merasa demikian. Begitu dekatnya kau
dengan hatiku, sampai aku lupa kalau kita baru saja
bertemu," balas Suto Sinting, lalu tersenyum menawan,
Candu Asmara pun tersenyum manis.
Tangan pemuda tampan itu beranikan diri mengusap
rambut Candu Asmara. Ternyata gadis itu tidak
menolak, ia bahkan meresapi usapan yang berawal dari
kening hingga ke pertengahan rambut itu. Ia meresapi
dengan mata terpejam lembut.
Kulit halus di pipi kuning itu semakin menggoda Suto
Sinting. Mata yang terpejam seakan sebuah isyarat untuk
Suto agar bertindak lebih romantis lagi. Maka dengan
jantung berdetak-detak cepat, Suto Sinting dekatkan
wajahnya. Pipi halus lembut seperti kulit bayi itu
diciumnya pelan-pelan. Ceesss...! Seperti salju menetes
di ujung hati, begitu indah dan sangat menyejukkan jiwa.
Candu Asmara tidak meronta, ia diam saja, seakan
pasrah dengan apa yang akan dilakukan Suto Sinting.
Gadis itu masih tak mau membuka matanya, walau
sudah dua kali dikecup oleh Suto; pipi dan keningnya.
Mungkin ia malu jika membuka matanya dan menatap
wajah tampan, atau tak sanggup menahan getaran jiwa
yang mengguncang dan bergemuruh di dalam dada.
Yang jelas wajah bersih berkulit kuning langsat itu
menjadi semburat merah saat dua kali menerima ciuman
lembut dari Pendekar Mabuk. Merahnya kulit wajah itu
bisa berarti menahan rasa malu atau menahan hasrat
yang memburu. Pendekar Mabuk mengumbar kebahagiaan di hatinya.
Ciumannya kembali menghangat di kening Candu
Asmara. Ciuman itu merayap pelan-pelan ke mata si
gadis. Namun kini kedua tangan Suto memegangi kepala
Candu Asmara, mengusap lembut kedua sisi kepala itu
dari rambut sampai ke pipi sambil merayapkan
ciumannya. Tangan kanan Candu Asmara meremas
pinggang Suto Sinting ketika ciuman hangat itu
mendekati bibirnya.
"Ooh... Indah sekali caranya menciumku," desah
Candu Asmara dalam hatinya.
Namun ketika bibir Suto melintasi hidungnya dan
hampir menyentuh bibirnya, Candu Asmara segera
membuka mata dan mengelak dengan memalingkan
wajah ke samping kiri. Ia bagaikan tak mau dikecup
bibirnya. Suto Sinting pun menarik wajah dan
memandanginya dengan satu tangan masih mengelus
lembut kepala gadis itu. Kini sang gadis menatapnya
dengan mata kian sayu.
"Jangan mencium bibirku," katanya dengan suara
seperti berbisik.
"Sekali saja," pinta Suto lirih.
"Jangan," sambil Candu Asmara menggeleng.
"Mengapa tak boleh?"
"Berbahaya bagi dirimu."
Suto Sinting lebarkan senyum geli. "Aku bisa
menahan hasratku jika kecupan kita makin membara."
"Tak mungkin kau bisa menahan hasratmu jika sudah
mengecup bibirku satu kali pun. Tak ada lelaki yang bisa
menahan keinginannya. Sekali kau mengecup bibirku,
kau akan mengecupnya terus dan selalu ingin berdekatan
denganku. Aku tak ingin membuatmu tergila-gila
padaku. Karena aku tahu hatimu belum sepenuhnya siap
hidup bersamaku."
"Jangan samakan diriku dengan pria lain, Candu
Asmara." "Kau belum tahu apa yang ada di mulutku, juga di
ujung bibirku, Suto."
"Keindahan dan kehangatan yang membara, bukan?"
Candu Asmara gelengkan kepala.
"Menurut guruku. Air liurku mengandung racun
karena aku pelajari ilmu 'Tirta Wicara'. Racun itu jika
bersatu dengan air liurmu akan membuatmu selalu ingin
bercumbu denganku dan... dan kau akan tergila-gila
padaku, Suto."
"Benarkah?"
"Aku tak pernah mencobanya. Sebab itu tak pernah
ada lelaki yang mengecup bibirku. Aku takut menyiksa
dirinya setelah kecupan itu berakhir."
Tentu saja Pendekar Mabuk tidak percaya
sepenuhnya. Rasa percaya dan tidak membuatnya
menjadi penasaran, ingin membuktikan. Karena memang
begitulah sifat Pendekar Mabuk, mudah penasaran
terhadap sesuatu yang membahayakan.
"Aku ingin mencobanya. Aku ingin sekali mengecup
bibirmu yang ranum ini," seraya ujung bibir itu disentuh
oleh telunjuk Suto Sinting.
"Apakah kau sudah siap untuk keracunan asmara?"
Suto tertawa kecil. "Kalau memang terbukti begitu,
tentunya kau tak akan menolak kehadiranku, bukan?"
Candu Asmara diam, sunggingkan senyum tipis,
seakan pamer lesung pipit yang kian menggoda hati
Pendekar Mabuk. Dada si pemuda kian bergemuruh
seperti gejolak gunung yang akan meletus. Bibir itu
dipandanginya, makin lama makin menantang
keberanian. Suto Sinting pun akhirnya dekatkan
wajahnya pelan-pelan.
"Suto, jangan...," larang Candu Asmara dengan suara
lembut sekali. Ia menempelkan telunjuknya ke bibir Suto
sebagai tanda melarang gerakan bibir mendekati
bibirnya sendiri.
"Aku ingin membuktikan kata-katamu, Candu
Asmara," desak Suto Sinting yang kian penasaran.
Candu Asmara akhirnya pasrah. "Kau memang
bandel. Terserah kau saja. Tanggung sendiri akibatnya,
Pendekar Nakal!"
Jari telunjuk itu pun pergi dari bibir Suto Sinting.
Wajah pemuda tampan kian mendekat. Candu Asmara
pejamkan mata dengan bibir merekah, seakan siap


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima kecupan hangat dari pemuda yang
mendebarkan hatinya itu.
Akhirnya bibir Suto pun menempel pelan-pelan di
permukaan bibir Candu Asmara. Siiiirr...! Hati keduanya
sama-sama berdesir indah sekali.
Bibir pemuda itu bergeser pelan dengan ujung
lidahnya menyentuh samar-samar di permukaan bibir si
gadis. Candu Asmara panas-dingin, sentuhan hangat
bibir dan lidah Suto membakar gairahnya hingga
berkobar-kobar.
"Aih, gila betul! Pandai sekali dia menciptakan
sentuhan indah yang membuatku ingin menjerit. Ooh...
aku suka sekali dengan keindahan ini! Ternyata lebih
indah dari sekadar usapan tangannya yang lembut tadi.
Ooh.... Suto, kau telah menjerat hatiku dengan cara
seperti ini. Tak sadarkah kau, Suto?" rintih batin si gadis
sambil tetap menikmati sentuhan lidah Suto yang
bermain nakal di permukaan bibirnya.
Akhirnya bibir ranum itu dipagut pelan-pelan oleh
Suto Sinting. Pagutan lembut itu bertambah
menggetarkan jantung si gadis, sehingga rasa ingin
menjerit nyaris tak bisa terbendung lagi.
"Hhmmmhh...," Candu Asmara mengerang dalam
gumam. Kedua tangannya meremas baju Suto bagian
punggung. Tubuhnya menggelia menahan rasa yang luar
biasa nikmatnya. Akhirnya gigi si gadis membuka dan
lidah Suto pun disambarnya. Haap...!
"Hhhmmmh...!" desah yang keluar lewat hidung
menghamburkan geram menggumam penuh curahan
kebahagiaan. Suto Sinting melumat lidah dan bibir
Candu Asmara dengan kelembutan yang terasa
menerbangkan jiwa setinggi mungkin. Candu Asmara
membalasnya dengan lembut pula, namun kedua
tangannya meremas tubuh Suto di sana-sini, seakan
ingin merobek baju Suto yang tak berlengan itu.
Batin si gadis menuntut kuat. Tuntutan keindahan
yang lebih nyata lagi itu dipertahankan mati-matian
hingga napasnya terengah-engah dan keringat dinginnya
keluar semua. Hembusan napas kelegaan terlontar
bersama erangan memanjang ketika Suto Sinting
melepaskan bibir si gadis dan merayapkan ciumannya ke
dagu, lalu menelusup ke leher.
"Aaaaaahh...!"
Candu Asmara gemas sendiri. Punggung Suto
menjadi sasaran remasan kegemasannya lagi. Tapi ia tak
mau menyingkirkan wajah Suto yang menelusup di
lehernya. Bahkan ia memiringkan kepala, membuat
lehernya menjadi kian terbuka sehingga Suto Sinting
memperoleh kebebasan bergerak. Leher itu disapu
dengan lidah Suto, sesekali dipagut-pagut kecil dalam
kelembutan yang memancarkan gairah berlebihan bagi
Candu Asmara. "Sutooo... uuuhh, hhek, heek, heek...," Candu Asmara
merengek seperti anak kecil, ia merasa semakin hanyut,
terbang di langit tingkat tertinggi, lupa segala-galanya,
hanyut dalam kemesraan yang belum pernah
diperolehnya, walau dulu ia pernah mempunyai seorang
kekasih yang bernama Umbada. Tapi Umbada tak
pernah mendapatkan kesempatan seperti yang diperoleh
Suto. Candu Asmara tak pernah mau berciuman dengan
Umbada, karena Umbada tak pandai menundukkan
jiwanya. Sementara itu, hati Pendekar Mabuk sendiri
berkecamuk dalam keheranan. Hasratnya ingin mencium
tubuh Candu Asmara tak bisa ditangguhkan sebentar
pun. Bahkan semakin lama semakin bersemangat, dan
gairahnya semakin berkobar-kobar.
"Edan! Aku tak bisa berhenti"! Padahal aku ingin
berhenti sebentar saja untuk menarik napas, tapi rasarasanya sulit sekali untuk
berhenti. Ooh... sekujur
tubuhku penuh dengan keringat dingin. Gairahku
meledak-ledak di dalam dada. Apakah karena racun
dalam air liurnya" Oh, pantas dia bernama Candu
Asmara, rupanya siapa pun yang pernah mengecup
bibirnya akan kecanduan bermain cinta dengannya.
Aduh, bagaimana berhentinya kalau begini"!"
Candu Asmara sendiri hanya bisa mengerang dan
merintih-rintih ketika ciuman Suto merayap sampai ke
belahan dada. Ia biarkan tangan Suto melebarkan
bajunya hingga baju itu terlepas. Dada berlapis kutang
tipis diterjang ciuman Pendekar Mabuk, sampai akhirnya
mulut Pendekar Mabuk itu mencapai puncak bukit
kehangatan, ia menyapu ujung bukit itu dengan
lidahnya, pelan namun pasti. Maksudnya, pasti disantap.
"Aaoouh...!" Candu Asmara memekik dengan
rematan kedua tangan semakin kuat ketika ujung bukit
itu akhirnya disantap oleh Pendekar Mabuk. Tubuhnya
mengejang, bibirnya digigit sendiri dengan kepala
menggeliat naik. Suto Sinting memagutnya pelan, pelan,
dan pelaaan... sekali.
"Celaka! Aku benar-benar tak bisa hentikan
tindakanku ini," pikir Suto sempat tegang juga.
"Keinginan menggumulinya semakin besar dan tak bisa
kuhindari. Ooh... kalau begitu aku benar-benar telah
terkena racun asmara dalam air liurnya itu. Bahaya kalau
begini! Bahaya sekali! Aku harus paksakan diri untuk
melepaskan cumbuanku dan meminum tuakku!"
Suto Sinting merencanakan hal itu, tapi dalam hatinya
masih ada sedikit kesangsian; dapatkah tuak itu melawan
racun asmara tersebut"
* ** 6 TERNYATA kesaktian tuak Suto masih mampu
melumpuhkan racun cinta tersebut. Dengan menenggak
tuak beberapa teguk, hasrat ingin bercumbu secara
berlebihan dapat dihentikan. Bahkan tuak itu mampu
meredam emosi cinta Candu Asmara, sehingga
keduanya sama-sama tegang, hanya saling berpelukan
dalam damai. Pelukan damai itu, melebihi puncak keindahan
bercumbu. Pelukan damai itu terasa lebih agung dan
sangat berkesan dalam hati mereka masing-masing.
Terasa sulit melupakan saat-saat bahagia dalam pelukan
seperti itu. Pusat perhatian mereka beralih ke masalah
penculikan putri raja. Mereka ikut hadir di alun-alun
bersama para calon menantu raja yang jumlahnya cukup
banyak itu. Namun Suto dan Candu Asmara tidak ikut
berkumpul di tengah alun-alun. Mereka hanya berada
dalam jajaran rakyat yang menyaksikan wajah-wajah
calon menantu raja mereka.
"Itu yang bernama Tengkorak Tampan," bisik Candu
Asmara sambil menunjuk ke arah pemuda berbaju
merah, rambut kucal, tubuh kurus, namun masih tampak
muda, seperti berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Suto Sinting hanya menggumam sambil manggutmanggut. Menurutnya, pemuda
berpakaian serba merah
dengan punggungnya bergambar tengkorak warna putih
itu memang mempunyai wajah yang lumayan tampan
dibandingkan Sawung Kuntet. Tapi melihat bentuk
matanya yang kecil, Suto dapat pastikan bahwa pemuda
itu penuh kelicikan.
Di samping Tengkorak Tampan, Suto melihat wajah
angker berbadan tinggi, besar, berbulu, ia adalah si
Singawulu yang pernah berhadapan dengan Suto saat
menyelamatkan nyawa Sawung Kuntet. Hanya beberapa
orang yang berwajah angker, lainnya pada umumnya
mempunyai wajah yang bisa dibilang lumayan ganteng.
"Gila! Bocah gendeng itu ada di sana juga rupanya"!"
gumam Suto Sinting dengan terperangah.
"Siapa maksudmu?"
"Santana, sahabatku dari Pulau Parang," jawab Suto
sambil menuding ke arah pemuda bersenjata toya bambu
kuning yang mengenakan rompi putih celana coklat itu.
Pendekar Mabuk geli sendiri saat membayangkan
pertemuannya dengan Santana, si pemuda kalem dan
murah senyum itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kematian Sang Durjana").
Pendekar Mabuk segera tertarik pada seorang pemuda
bertubuh lebih tinggi darinya, berbadan kekar dan
bercambang halus. Wajah tampannya dihiasi dengan
kumis tipis dan rambut bergelombang sepanjang bahu.
Pemuda yang mengenakan pakaian hijau muda dengan
hiasan benang emas itu diperkirakan baru berusia sekitar
dua puluh tahun. Tapi karena perawakannya yang tinggi
dan kekar, ia tampak seperti sudah berusia lebih dari dua
puluh tahun. Wajah bocahnya masih tampak jelas,
sehingga orang dapat menduga bahwa ia masih muda
belia. "Siapa pemuda yang berdiri di bawah pohon itu?"
"Oh, dia..."! Dia dikenal dengan nama si Pedang
Dewa, murid Perguruan Jari Wasiat, berasal dari Selat
Kubang. Aku kenal dengannya ketika adikku; Mirah
Cendani hampir mati di tangan para Perampok Gunung
Sawan. Dia yang selamatkan Mirah Cendani," jawab
Candu Asmara dengan lancar. Tapi tiba-tiba wajah gadis
itu sedikit menegang. Seseorang yang berjalan dari arah
kanan Suto menjadi pusat perhatian. Candu Asmara pun
berbisik kepada Suto dengan lagak tak memperhatikan
orang tersebut.
"Kita pindah ke sebelah sana saja, dekat Cempaka
Ayu!" "Kenapa?" tanya Suto heran.
"Pindah saja ke sana!" sambil Candu Asmara menarik
tangan Suto. Ketika pemuda itu menaruh curiga dengan
pandangan si gadis dan ingin berpaling ke belakang,
Candu Asmara buru-buru menyentak dengan suara bisik.
"Jangan menengok ke belakang! Jangan menengok!"
"Hei, ada apa sebenarnya, Candu Asmara"!"
"Dewi Ranjang melihatmu dan dia berusaha
mendekatimu!" bisik Candu Asmara yang membuat Suto
Sinting jadi tersenyum geli. Rasa takut Candu Asmara
terhadap aji pemikat di mata Dewi Ranjang membuatnya
sempat tampak gugup. Suto tahu, Candu Asmara sangat
takut jika Suto terkena aji pemikat Dewi Ranjang. Sebab
itu, Suto tak berani coba-coba melirik Dewi Ranjang,
karena Candu Asmara akan berang terhadapnya jika
nekat melakukan hal itu.
Candu Asmara berpindah posisi. Kini ia berjalan di
belakang Suto Sinting dan mengarahkan langkah Suto
untuk pindah tempat. Dengan begitu, ia seolah-olah
menjadi penghalang utama jika Dewi Ranjang ingin
mendekati Pendekar Mabuk.
Setelah mereka bergabung dengan Cempaka Ayu
yang berdiri bersama kekasihnya, maka pusat perhatian
mereka pun tertuju pada utusan dari istana yang
mewakili Raja Gundalana. Sang utusan tampil di atas
panggung lebar yang sebenarnya disediakan untuk
pertarungan laga bagi para calon menantu raja. Dari atas
sana sang utusan berseru mengumumkan tentang
hilangnya Rara Ayu Kumala Undarini Sumbi yang
diculik oleh Hantu Urat Iblis.
Suara gemuruh terdengar bagai ratusan lebah
menyerang alun-alun. Suara gemuruh itu berasal dari
gumam, gerutu dan kecaman dari para calon menantu
raja dan rakyat di sekeliling alun-alun. Mereka sangat
terkejut, sekaligus kecewa dengan munculnya musibah
yang baru sekarang diketahui oleh mereka itu.
"Tepat malam purnama yang akan datang dua hari
lagi, Hantu Urat iblis memberi kesempatan kepada siapa
saja yang ingin mencoba merebut Gusti Rara Ayu
Kumala dari tangannya. Hantu Urat Iblis menunggu di
Bukit Kecubung dan siap lakukan pertarungan dengan
siapa pun. Jika tak ada yang bisa menumbangkan
dirinya, maka Gusti Rara Ayu Kumala akan
diboyongnya ke Pulau Setan dan dijadikan istrinya
secara paksa."
"Bangsaaat...!" teriak Singawulu dengan keras,
membuat ia diperhatikan oleh setiap orang. Singawulu
tampak marah sekali dan sangat bernafsu untuk
membunuh Hantu Urat Iblis.
Suto Sinting justru tertawa geli mendengar makian
Singawulu yang sangat kecewa itu. Dalam benak Suto
terbayang semangat Singawulu saat hendak menuju ke
kotaraja, seakan ia yakin betul bahwa dirinya yang akan
menjadi menantu Raja Gundalana. Tapi kenyataannya ia
justru mendapat kabar seperti itu, dan Suto dapat
bayangkan betapa besar kekecewaan Singawulu saat itu.
Utusan raja berseru lagi, "Karenanya, Paduka Raja
memutuskan, barang siapa yang bisa membebaskan
Gusti Rara Ayu Kumala dan membawanya pulang
dengan selamat, dialah yang akan menjadi menantu
Paduka Raja dan diangkat sebagai panglima tertinggi di
negeri Bardanesya ini!"
"Aku sanggup!" seru salah seorang peserta.
"Aku juga sanggup! Kau pikir kau saja yang
sanggup"!" bantah orang di sebelahnya.
"Jangan besar mulut, Kawan! Buktikan, siapa di
antara kau atau aku yang berhasil tumbangkan si Hantu
Urat iblis itu!"
"Eh, kau meremehkan aku, ya"!" bentak orang kedua
tadi. "Kalau iya mau apa kau, hah"!" orang pertama juga
tampak berani. "Hei, hei, hei...! Jangan ribut di sini!" sentak yang
lainnya. "Kalau mau ribut di Bukit Kecubung sana!"
Mereka melerai, Suto Sinting memandang dengan
tertawa geli. Pendekar tampan itu masih tetap tenang dan
seakan tidak ikut terlibat dalam rencana pertarungan di


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukit Kecubung itu. Ia bahkan berbisik kepada Candu
Asmara dengan pelan.
"Dapatkah aku menghadap Raja Gundalana"!"
"Untuk apa?"
"Ada beberapa hal yang ingin kuketahui tentang
hubungan raja dengan Hantu Urat Iblis," jawab Suto
dengan serius, sehingga Candu Asmara pun menanggapi
dengan serius pula.
Bisikan itu didengar oleh Cempaka Ayu, kemudian
Cempaka Ayu ikut angkat bicara dalam bisikan pula.
"Kurasa untuk saat seperti sekarang ini, siapa pun
sulit menemui raja, karena beliau dalam keadaan sangat
berduka. Sebaiknya jika ada sesuatu yang ingin kau
ketahui, tanyakanlah kepada Paman Sumanjaya!"
"Siapa itu Paman Sumanjaya?" tanya Suto.
"Sahabat ayahku yang sering berkunjung untuk
makan di penginapanku."
"Oooo..," Suto manggut-manggut. "Apakah Paman
Sumanjaya mengetahui hubungan pribadi antara raja
dengan Hantu Urat Iblis?"
"Menurutku... beliau tahu banyak tentang keluarga
istana, karena beliau adalah penasihat raja dalam bidang
hukum dan adat."
"Kurasa memang lebih baik bicara kepada Paman
Sumanjaya saja," timpal Candu Asmara. "Menghadap
raja tidak mudah. Bisa-bisa kau dicurigai sebagai anak
buah Hantu Urat Iblis!" sambil Candu Asmara
sunggingkan senyum cantiknya yang membuat Suto
Sinting berdebar-debar, lalu balas memamerkan senyum
menawannya. Paman Sumanjaya bertemu dengan Pendekar Mabuk
di kedai penginapan milik keluarga Cempaka Ayu.
Pendekar Mabuk didampingi oleh Candu Asmara yang
sudah dikenal oleh Paman Sumanjaya.
Tetapi sebelumnya Suto mewanti-wanti kepada
Candu Asmara dan Cempaka Ayu agar jangan
memperkenalkan dirinya sebagai Pendekar Mabuk. Ia
hanya bersedia dikenalkan sebagai sahabat Candu
Asmara yang bernama Suto saja.
"Mengapa kau tak mau diperkenalkan sebagai
Pendekar Mabuk. Menurutku, jika Paman Sumanjaya
mengetahui bahwa kau Pendekar Mabuk, maka ia tak
segan-segan menceritakan apa saja yang ingin kau
ketahui. Namamu sudah sering disebut-sebut oleh para
prajurit dan pejabat istana," kata Cempaka Ayu.
"Justru aku tak ingin mereka terlalu menaruh harap
padaku," ujar Pendekar Mabuk. "Jangan katakan kalau
aku pun ingin mencoba membebaskan putri raja.
Katakan saja bahwa aku dan Candu Asmara hanya
sekadar ingin tahu tentang penculikan tersebut."
Candu Asmara menimpali lagi, "Kalau hanya itu aku
sendiri yang bicara kepada Paman Sumanjaya!"
Orang yang bernama Paman Sumanjaya itu berbadan
gemuk dan tinggi tubuhnya sedang-sedang saja.
Kebiasaannya makan siang di kedai tersebut bukan
lantaran di istana tidak mendapat jatah makan, tetapi
sekadar ingin selalu bertemu dengan ayahnya Cempaka
Ayu dan menambah porsi makannya. Sebab jika ia
makan terlalu banyak di istana, merasa malu terhadap
pejabat lainnya.
"Penculikan itu dilakukan pada tengah malam," ujar
Paman Sumanjaya mengawali ceritanya. "Tak seorang
pun yang terbangun pada malam itu, sehingga tak
seorang pun yang melihat jalannya penculikan tersebut.
Kami seperti dibius dengan suatu ilmu yang membuat
kami tertidur nyenyak sekali. Bahkan penjaga pintu
gerbang istana pun ikut tertidur sampai pagi baru
bangun." "Dari mana pihak istana tahu kalau Hantu Urat Iblis
menunggu di Bukit Kecubung?"
"Selembar surat ditinggalkan di dalam kamar Gusti
Rara Ayu Kumala," jawab Paman Sumanjaya.
Kini Suto Sinting giliran ajukan pertanyaan kepada
sang penasihat raja bidang hukum itu.
"Apakah sebelumnya pihak raja sudah kenal dengan
Hantu Urat Iblis, Paman?"
"Sudah," jawabnya tegas. "Hantu Urat Iblis pernah
datang melamar Rara Ayu Kumala, tapi lamarannya
ditolak secara halus."
"Secara halusnya bagaimana?"
"Rara Ayu Kumala mau menerima lamaran Hantu
Urat Iblis jika diberi maskawin seekor kelinci emas."
"Mana ada kelinci emas?" sela Suto sambil tertawa
dalam senyum. "Justru itulah putri raja memberi syarat yang tak
mungkin bisa dikabulkan oleh Hantu Urat Iblis."
"Hmmm...," Suto Sinting menggumam sambil
manggut-manggut. "Kalau begitu, rupanya Hantu Urat
Iblis merasa sakit hati dengan penolakan lamarannya itu,
kemudian ia mendengar sang Raja mencari calon
menantu. Sebelum calon menantu didapatkan, ia
menculik Rara Ayu Kumala. Menurutku selain ia sakit
hati juga ingin membuktikan bahwa ia mampu bertindak
dengan cara apa pun untuk dapat memperistri Rara Ayu
Kumala." "Ya, memang begitulah kesimpulan kami, para
pejabat Istana!" ujar Paman Sumanjaya.
"Tapi sebelumnya tak ada perjanjian apa-apa,
bukan?" "Perjanjian apa maksudmu, Nak?"
"Misalnya, sang Raja pernah berjanji tidak akan
mengawinkan putrinya dengan siapa pun sebelum Hantu
Urat Iblis mendapatkan kelinci emas, atau perjanjian
lainnya yang bersifat mengikat kebebasan keluarga
istana?" "O, tidak! Tidak pernah ada perjanjian apa pun."
Suto Sinting manggut-manggut, lalu diam termenung
beberapa saat. Sementara itu, Candu Asmara ganti
ajukan tanya kepada Paman Sumanjaya.
"Paman, jika seseorang berhasil merebut Rara Ayu
Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis, tapi dia tidak
bersedia menikah dengan Rara Ayu Kumala, apa
sanksinya?"
"Tak ada sanksi apa-apa. Tak ada hukuman apa-apa!
Justru pihak istana akan merasa tak enak hati dan pasti
akan menuruti apa pun permintaan orang tersebut
sebagai hadiahnya."
"Nanti dianggap penghinaan"!" timpal Suto Sinting
dengan nada cemas, karena ia pernah nyaris dianggap
menghina keluarga istana karena menolak hadiah berupa
perkawinan terhadap putri sang penguasa, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Asmara Darah Biru").
"Kurasa tidak demikian, Nak. Perkawinan itu hanya
semacam hadiah saja. Karena orang yang membebaskan
sang Putri belum tentu semuanya bermaksud melamar
ingin menjadi menantu raja. Peraturannya sudah berbeda
dengan peraturan semula. Sekarang siapa pun, tua atau
muda, lelaki atau perempuan, boleh ikut membebaskan
Rara Ayu Kumala. Pihak istana punya kebijaksanaan
tersendiri dalam hal ini."
"Paman berani menjamin tak ada kesan penghinaan
jika ada yang berhasil membebaskan Rara Ayu Kumala
tapi tidak mau menikah dengannya?" sela Candu
Asmara. "Ya. Aku berani menjamin! Apakah kau tak tahu
yang merumuskan ketentuan dan hukum adalah diriku,
Candu Asmara?"
Candu Asmara merasa lega, demikian pula Pendekar
Mabuk. Tapi bagi Paman Sumanjaya, pertanyaan itu
akhirnya menjadi buah ganjalan hatinya.
"Mengapa kalian mempersoalkan tentang itu"
Apakah ada yang ingin membebaskan putri raja tapi tak
ingin menikah dengannya"!"
Suto Sinting buru-buru menjawab pada saat bibir
Candu Asmara mulai bergerak ingin lontarkan kata.
"O, tidak! Kami hanya ingin tahu saja, Paman. Kami
tertarik dengan peristiwa itu dan ingin mengikuti sampai
di mana akhir dari penculikan tersebut. Adakah para
calon menantu raja yang mampu merebut sang Putri dari
tangan Hantu Urat Iblis" Hanya itu yang ingin kami
ketahui, Paman."
"Kita lihat saja pada malam purnama nanti!" kata
Paman Sumanjaya, seakan yakin bahwa salah satu dari
para tamu istana itu ada yang berhasil bebaskan Kumala
dari tangan Hantu Urat Iblis.
Candu Asmara sendiri akhirnya tertarik untuk melihat
pertarungan di Bukit Kecubung. Para jago dari pelosok
penjuru dunia datang untuk melawan Hantu Urat Iblis.
Bahkan menurut Paman Sumanjaya, para pelamar itu
ada yang datang dari Pegunungan Tibet dan Tanah
Gangga. Suatu kerugian besar jika Candu Asmara tidak
ikut menyaksikan pertarungan di Bukit Kecubung itu.
Selama dua malam Suto Sinting menginap di
penginapan milik ayahnya Cempaka Ayu itu. Selama
dua malam itu, bunga-bunga asmara berhamburan di
kamar yang tak seberapa lebar. Namun gadis berhidung
mancung itu tetap tak ingin lanjutkan cumbuan mereka
menjadi pelayaran cinta yang mendebarkan. Suto Sinting
pun tak merasa kecewa dan merasa lebih bangga dapat
memeluk Candu Asmara sepanjang malam tanpa
menodai cinta dan kesetiaannya terhadap Dyah
Sariningrum. "Jangan bertindak dulu sebelum jelas bahwa tak satu
pun dari mereka yang mampu merebut Kumala dari
tangan Hantu Urat Iblis," ujar Candu Asmara sebelum
mereka berangkat ke Bukit Kecubung.
"Aku memang bermaksud begitu. Kalau memang ada
yang mampu menumbangkan Hantu Urat Iblis, aku
justru senang, karena tak perlu repot-repot lompat sanasini melawannya."
Candu Asmara hembuskan napas lega. Tapi ketika
mereka berangkat menuju bukit tersebut pada awal
purnama tiba, Candu Asmara tampak gelisah. Ada suatu
kecemasan yang disembunyikan oleh gadis cantik
bertubuh tinggi sekal itu.
"Mengapa kau kelihatannya resah, Candu Asmara?"
tegur Suto yang merasa janggal atas jarangnya Candu
Asmara bicara sepanjang perjalanan itu.
"Aku takut kalau kau tumbang di tangan Hantu Urat
Iblis! Aku... aku tak ingin kau mati di tangannya!"
Suto Sinting tertawa kalem. "Bukankah kau dapat
bertindak secepatnya jika aku tampak terdesak bahaya"!
Kita bisa lari bersama, heh, heh, heh...."
"Aku yakin kau tak akan mundur walau sudah tahu
kalau terdesak. Kau adalah seorang pendekar, jiwamu
tak mungkin menyerah begitu saja. Kau lebih baik mati
di pertarungan daripada lari dari pertarungan!"
"Betulkah jiwaku begitu" Oh, aku sendiri justru baru
tahu sekarang," ujar Pendekar Mabuk dengan santainya,
seakan tak mempunyai ketegangan sedikit pun.
Ketenangan Suto itu justru membuat Candu Asmara jadi
kesal sendiri di dalam hatinya. Gadis itu tak mau
sunggingkan senyum seulas pun walau Suto
menggodanya dengan canda.
Sampai mereka tiba di Bukit Kecubung, gadis itu
masih tak mau tersenyum. Namun ketenangannya mulai
terlihat sejak ia melihat gurunya ternyata hadir di situ
pula bersama Mirah Cendani dan Sawung Kuntet,
"Lihat, di sebelah sana ada adikmu dan Sawung
Kuntet!" "Ya, aku tahu. Kita ke sebelah sini saja. Kalau Guru
tahu aku di sini, pasti akan melarangku ikut campur
dalam pertarungan ini. Padahal kalau kau maju melawan
Hantu Urat Iblis dan keadaanmu terdesak, aku tetap akan
ikut campur dalam pertarungan nanti!"
Candu Asmara sengaja tidak temui gurunya. Tapi ia
yakin, jika ia ikut campur dan dalam bahaya, pasti sang
Guru tidak akan tinggal diam. Rupanya kabar tentang
malam pertarungan itu cepat menyebar ke mana-mana
sampai Eyang Cakraduya mengetahuinya.
Terbukti, bukan hanya para calon menantu raja saja
yang hadir di Bukit Kecubung itu, melainkan beberapa
tokoh dari berbagai penjuru ikut datang menyaksikan
ulah si anak siluman yang kala itu belum datang.
Ketika bukit tersebut sudah ramai dikunjungi orang,
maka angin besar berhembus bagaikan badai di awal
kiamat tiba. Suara deru angin yang disertai dengan
kilatan cahaya petir membuat beberapa orang, terutama
yang berilmu rendah, sempat merinding dan bergidik.
Mereka memandang ke arah langit. Tampak cahaya biru
petir yang melesat di sana-sini dengan gelegar suaranya
yang menggema di sana-sini.
"Biasanya ini pertanda si Hantu Urat Iblis datang
bersama murkanya," bisik Candu Asmara kepada Suto
Sinting. Mata pemuda tampan murid si Gila Tuak itu
menatap ke sana-sini, hatinya penasaran ingin segera
melihat sosok tokoh aliran hitam yang dikenal sebagai
Hantu Urat Iblis itu.
* ** 7 TIDAK seorang pun mengetahui kehadiran Hantu
Urat Iblis. Tahu-tahu mereka dikejutkan oleh
kemunculan seorang lelaki berjubah hitam dan bercelana
merah. Jubah hitamnya yang tanpa lengan itu berkelebat
ditiup sisa badai misterius tadi.
Kini cahaya purnama tampak semakin terang dan
menyinari sesosok tubuh yang tak terlalu gemuk, tapi
juga tak terlalu kurus. Pandangan mata mereka tertuju
pada seraut wajah pucat yang punya ketampanan
tersendiri. Wajah pucat berambut sepunggung warna


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

abu-abu itu mempunyai kulit tubuh warna putih dengan
garis-garis biru sebagai bayangan urat nadi yang tampak
jelas karena ketipisan kulitnya.
"Diakah yang bernama Hantu Urat Iblis?" bisik Suto
kepada Candu Asmara.
"Benar! Dialah orangnya!" Candu Asmara menjawab
dengan suara sedikit terasa tegang.
Tapi Pendekar Mabuk memandang dengan sikap
tenang sekali, ia memperhatikan sosok Hantu Urat Iblis
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Ia tak melihat
orang tersebut membawa senjata, selain keruncingan
pada kuku-kuku tangannya. Hanya orang-orang berilmu
tinggi yang sering merasa malas membawa senjata,
karena seluruh anggota tubuhnya dapat berubah menjadi
senjata maut perenggut nyawa lawannya.
"Atau memang dia tak mempunyai senjata?" ujar hati
Suto Sinting dengan usil.
Bukit Kecubung termasuk bukit gundul tanpa hutan.
Ketinggiannya memang tak seberapa, tapi permukaan
puncaknya sangat datar, mirip sebuah lapangan bola. Di
puncak itu hanya ada satu pohon yang tumbuh tinggi,
seperti pohon jati tapi daunnya mirip beringin.
Di pohon itulah, Rara Ayu Kumala tahu-tahu sudah
terikat begitu mereka mengetahui Hantu Urat Iblis sudah
tiba di tempat tersebut. Gadis cantik itu terikat tubuhnya
dalam keadaan menangis terisak-isak. Namun ia masih
sehat dan tak ada luka sedikit pun pada tubuhnya.
"Gusti Ayu Kumala... apakah dia sudah menodaimu"!" seru Tengkorak Tampan.
"Belum! Tapi aku takut... oh, tolonglah aku...!" seru
Kumala Udarini Sumbi.
"Apakah dia menyakitimu"!" seru pemuda yang lain.
"Tidak. Dia... dia hanya menyekapku dan sekarang
mengikatku di sini! Tolong bebaskan diriku!" sambil
sang gadis menangis ketakutan.
Cahaya rembulan bersinar penuh. Malam bagaikan
siang. Terang sekali. Angin berhembus sedang dengan
kecepatan tak perlu disebutkan. Yang jelas, rambut
panjang Hantu Urat Iblis meriap-riap dipermainkan
angin. Sebagian ada yang menutup wajah, membuat
wajahnya menjadi tampak menyeramkan. Sorot
pandangan matanya sangat dingin, seakan mampu
membekukan seluruh darah orang yang dipandangnya.
Utusan dari istana maju, bicara dengan Hantu Urat
Iblis dengan gemetar.
"Hantu Urat Iblis, apakah kau tak menyesal membuka
tantangan pertarungan di sini dengan para pelamar ini"!"
"Jangan banyak mulut! Siapa yang merasa mampu
menjadi istri Kumala, tunjukkan padaku kehebatannya!
Hantu Urat Iblis berkuasa atas diri gadis yang sudah
lama kuidam-idamkan ini! Siapa pun tak berhak
memilikinya!"
"Baiklah, itu urusanmu. Kalau sakit, kau sendiri yang
menanggung. Para pelamar kebanyakan orang-orang
galak dan...."
Claaap...! Tiba-tiba dari mata Hantu Urat Iblis
keluarkan sinar merah berbentuk seperti pintu runcing.
Sinar itu melesat cepat dan menghantam dada utusan
dari istana. Zuuurb...!
Orang itu diam saja, tapi mulutnya tetap ternganga
tak bisa ditakupkan lagi. Ia tak menjerit kesakitan, walau
beberapa orang mengetahui dada utusan istana itu
menjadi hitam hangus selebar telapak tangan.
"Minggirlah, Ki Juru Wicara... biar aku yang
menghadapinya pertama kali!" ujar seorang pemuda
berbaju biru tua kepada utusan dari istana itu.
Tetapi pemuda tersebut segera tercengang setelah
mengetahui bahwa Ki Juru Wicara ternyata sudah tidak
bernyawa lagi. Wajah pemuda itu menegang dan ia
segera berseru kepada orang di sekitarnya.
"Dia sudah tak bernyawa"! Dia langsung mati"!"
"Kejam!" geram Singawulu yang tampak sudah tak
sabar lagi. Singawulu tiba-tiba melesat dalam satu lompatan.
Wuuut...! Jleeg...! Ia berdiri di depan Hantu Urat Iblis
dalam jarak lima langkah.
"Lepaskan putri raja atau kulepaskan kepalamu dari
ragamu!" ancam Singawulu sambil melepas sabuk
pusakanya. Hantu Urat Iblis tak menjawab. Hanya saja,
Singawulu tiba-tiba menggeragap bagai diterjang
bayangan hitam yang membuat matanya gelap sesaat.
Wuuus...! Tanpa suara teriak atau menggeram,
Singawulu tahu-tahu sudah berada di tanah, terkapar
dalam keadaan sekarat. Dadanya rusak tercabik kuku
tajam. Sedangkan Hantu Urat Iblis sudah berada di
tempat yang tadi dibelakangi Singawulu.
"Edan! Gerakannya seperti setan ketakutan"!" gumam
seorang penonton di samping Suto Sinting.
"Gerakan setan yang tidak ketakutan saja sudah
secepat itu, apalagi setan yang ketakutan, ya?" timpal
temannya. Beberapa orang sempat tertegun melihat Singawulu
kejang-kejang beberapa saat, kemudian napasnya
menghembus panjang, dan sejak saat itu tak mau
bernapas lagi. "Gila! Alangkah singkatnya pertarungan itu. Belum
apa-apa Singawulu sudah tewas, padahal baru
melepaskan sabuknya"!" gumam Suto Sinting pelan
sekali dan didengar oleh Candu Asmara.
Gadis itu berkata, "Begitulah cara Hantu Urat Iblis
jika bertarung. Tak pernah pakai basa-basi dulu, tahutahu lawannya tewas tanpa
sempat lakukan perlawanan
sedikit pun."
"Ssst...! Lihat, pemuda yang pernah menolong
adikmu itu sudah mencabut pedangnya. Pasti dia akan
menyerang lebih dulu," bisik Suto, dan baru saja bisikan
tersebut berhenti, ternyata pemuda tinggi berambut ikal
yang bergelar si Pedang Dewa sudah berkelebat
menerjang Hantu Urat Iblis.
Wees. .! Craas...!
Terjangan dari belakang membuat Hantu Urat Iblis
terkena sabetan pedang. Punggungnya tampak koyak
lebar. Tetapi beberapa orang yang berada di arah
belakang Hantu Urat Iblis segera tercengang melihat
luka itu berasap tipis dan bergerak menutup sendiri
secara pelan-pelan. Akhirnya punggung tersebut utuh
kembali tanpa luka seujung rambut pun. Hanya saja
pakaian hitam Hantu Urat Iblis tetap saja robek, tanpa
ada yang menjahitnya, baik secara ajaib maupun nyata.
"Itulah ilmu 'Perisai Kubur'-nya," bisik Candu
Asmara. Suto hanya menggumam kecil dan tetap tenang.
Matanya tertuju pada si Pedang Dewa yang memainkan
pedangnya dengan gerakan indah.
Hantu Urat Iblis hentakkan kakinya dari jarak lima
langkah. Duuhk...! Brruuus...!
"Aaaaa...!!" jeritan si Pedang Dewa terdengar
menyayat hati. Tanah yang dipijaknya itu longsor ke
dalam bukit. Tubuhnya bagai tersedot ke dalam. Setelah
itu tanah tersebut muncul kembali dan menjadi datar
lagi. Bahkan menjadi keras seperti tak pernah longsor
sedikit pun. "Celaka!" ujar Candu Asmara. "Si Pedang Dewa
tewas ditelan bumi"! Padahal dia pernah menolong
adikku. Aku harus...."
Suto Sinting mencekal lengan gadis itu. "Ingat, kau
hanya akan ikut campur jika aku dalam bahaya!"
Candu Asmara akhirnya hembuskan napas, tak jadi
lakukan tindakan pembalasan terhadap nasib si Pedang
Dewa, karena ingat akan janjinya.
Perhatian gadis itu segera diarahkan kepada si
Tengkorak Tampan. Karena pemuda berbaju merah
dengan gambar tengkorak di punggungnya itu segera
lakukan lompatan bersalto cepat ke arah Hantu Urat
Iblis. Wuk, wuk, wuk...! Sambil bersalto ia mencabut
senjata milik gurunya; 'Garpu Malaikat' yang selama ini
dianggap sebagai senjata sangat berbahaya.
Gerakan salto itu berhasil dihindari oleh Hantu Urat
Iblis dengan melompat ke samping kanan. Wees...!
Jleeg...! Tepat saat kaki Tengkorak Tampan menapak ke
tanah, 'Garpu Malaikat' disentakkan ke depan. Wuuut!
Claaap...! Dari ujung kedua mata garpu itu keluar sinar
merah sebesar lidi yang bergerak dengan sangat cepat.
Jleeb...! Sinar itu menghujam dada Hantu Urat Iblis.
"Uuhk "!" Hantu Urat Iblis sempat terpekik dan
limbung ke belakang beberapa langkah. Tapi kejap
kemudian ia menjadi tegak kembali dan lubang bekas
luka kedua sinar merah itu telah mengatup dengan
sendirinya. "Keparat kau, Iblis!" geram Tengkorak Tampan, lalu
ia lakukan lompatan menerjang dengan senjata
disabetkan dari bawah ke atas. Weees...!
Hantu Urat Iblis berguling ke tanah satu kali, lalu
tangannya menampar ke atas, mengenai kaki si
Tengkorak Tampan. Plaak...! Suara tamparan itu tak
seberapa keras, namun akibatnya sungguh berbahaya
bagi si Tengkorak Tampan.
Pada mulanya pemuda itu masih mampu berdiri tegak
dan memainkan jurusnya untuk siap lakukan serangan
kembali. Tapi tiba-tiba ia menggeloyor mau jatuh.
Tubuhnya terasa menggigil. Kakinya menjadi biru
legam. Warna biru legam itu merayap dengan cepat
sampai ke pinggul. Brruk...! Tengkorak Tampan pun
roboh dalam keadaan napas tersentak-sentak.
Semua mata memperhatikan si Tengkorak Tampan.
Mata mereka terbelalak serentak setelah si Tengkorak
Tampan mengejang kuat, lalu melemas sambil
hembuskan napas terakhirnya.
"Gila! Kena tamparannya saja langsung koit"!" ujar
penonton awam yang nekat menyusup di antara para
jagoan. Candu Asmara berbisik kepada Pendekar Mabuk,
"Bukan tamparannya yang mematikan, tapi keringat di
telapak tangannya, ia pasti pergunakan Ilmu 'Peluh
Neraka'. Tengkorak Tampan akhirnya mati setelah tiga
belas hitungan."
"Kau menghitungnya?"
"Ya," jawab Candu Asmara dengan tegas.
Kini setiap orang mengetahui kehebatan Ilmu si
Hantu Urat Iblis itu. Namun demikian pertarungan masih
berlangsung terus. Sebagian memang ada yang
mengundurkan diri, karena merasa tak punya ilmu yang
bisa untuk tandingi kesaktian Hantu Urat Iblis itu. Tapi
sebagian lagi masih merasa penasaran dan ingin
mencoba melawannya.
Mayat bergelimpangan di puncak Bukit Kecubung.
Setiap lawan yang tumbang tak bernyawa dibuang oleh
Hantu Urat Iblis dengan tendangan kaki hingga
menggelinding ke tepian.
Satu persatu mereka tumbang tak bernyawa. Sampai
akhirnya tak ada orang lagi yang ingin mencoba merebut
Rara Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis. Si anak
siluman itu berseru dengan suara lantangnya.
"Kuhitung sampai tiga kali, kalau tak ada yang maju,
berarti aku harus segera pulang ke Pulau Setan
memboyong Kumala!"
Suto dan Candi Asmara saling pandang. Tapi tibatiba Suto terkejut melihat
sekelebat bayangan melesat ke
tengah arena. Wuuus...! Jleeg...!
"Aku yang akan melawanmu, Paman!" ujar seorang
pemuda bertongkat bambu kuning sambil cengar-cengir.
"Edan! Santana mau ikut-ikutan maju"!" sentak Suto
Sinting dengan tegang.
Zlaaap...! Suto Sinting bagaikan menghilang dari
hadapan Candu Asmara. Ternyata ia berkelebat
menyambar tubuh Santana dari hadapan Hantu Urat
Iblis. Weess...! Tubuh Santana dilemparkan begitu saja
dan jatuh menggelinding menuruni lereng bukit.
Brruk...! "Aahk...!" pekikannya terdengar pelan dan pendek,
karena saat itu Santana langsung pingsan. Ulu hatinya
membentur batu sebesar kepala bayi dengan kerasnya
saat ia jatuh terbanting.
Kini Suto Sinting yang ada di depan Hantu Urat Iblis.
Kemunculan Pendekar Mabuk membuat beberapa orang
yang mengetahui ciri-ciri tersebut saling terkejut dan
bergumam kagum. Mirah Cendani segera berseru di sela
gumam mereka. "Pendekar Mabuk! Jangan hadapi dia!"
Si gadis ingin berlari ke arena, tapi tangan sang Guru
mencekalnya. "Biarkan dia mengakhiri keganasan si anak siluman
itu!" ujar Eyang Cakradayu yang mengenakan kain putih
dililitkan tubuh seperti seorang biksu.
Candu Asmara memandang dengan tegang,
jantungnya berdetak-detak saat mendengar Hantu Urat
Iblis membentak kepada Suto Sinting.
"Mau cari mampus juga kau, hah"!"
Suto Sinting justru menenggak tuaknya dengan
santai. Ketenangan Pendekar Mabuk membuat darah si
anak siluman itu semakin membara.
Tiba-tiba Hantu Urat Iblis menerjang Suto dengan
kecepatan tinggi, seperti yang dilakukan terhadap
Singawulu. Wees...!
Zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman' si Pendekar Mabuk
membuat terjangan cepat itu tak mengenai sasaran.
Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di samping Rara
Ayu Kumala. "Biadab kau!" geram Hantu Urat Iblis.
Zlaaap...! Suto sudah berpindah tempat sebelum
Hantu Urat Iblis menyerangnya. Anak siluman itu


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebingungan sesaat. Begitu menengok ke belakang,
ternyata lawannya sedang berdiri di belakangnya,
menutup bumbung tuak. Hal itu sangat menjengkelkan
sekali bagi Hantu Urat Iblis. Maka serta-merta dari
kedua matanya keluar sinar merah seperti pisau yang
meluncur cepat menghantam Suto Sinting.
Claaap...! Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan
bukit tersebut, karena Pendekar Mabuk menangkis dua
sinar itu dengan bumbung tuaknya. Bumbung tuak
tersebut tidak pecah atau terluka sedikit pun. Bahkan
lecet pun tidak. Tetapi tubuh Suto terpental ke belakang
akibat gelombang ledakan tadi, dan Hantu Urat Iblis
terdorong sempoyongan ke arah belakang.
"Wajahku panas sekali! Sialan! Ledakan tadi
menyemburkan hawa panas yang terasa membuat
wajahku melepuh! Aduh, perih sekali"!" gerutu hati
Pendekar Mabuk.
Candu Asmara semakin tegang, karena ternyata
wajah Suto benar-benar melepuh, bagai tersiram air
panas, demikian juga dengan dada dan lengannya. Tapi
agaknya Suto Sinting masih kuat menahan rasa sakit itu,
sehingga dalam waktu singkat ia sudah berdiri tegak
kembali. "Heeah...!" Hantu Urat Iblis sentakkan kaki ke bumi.
Suto Sinting ingat Jurus itu pernah digunakan untuk
melawan si Pedang Dewa. Maka dengan pergunakan
jurus 'Layang Raga', tubuh Suto tetap berada di tempat
sementara tanah di bawah kakinya menjeblos ke dalam.
Brruus...! Hantu Urat Iblis terbelalak melihat Suto Sinting tetap
berada di tempat dalam keadaan kedua kaki
mengambang di udara. Zuuurb...! Tanah itu muncul lagi
dan datar seperti semula. Telapak kaki Suto menyentuh
tanah lagi. Namun serta-merta ia lakukan lompatan cepat
menerjang lawannya. Bumbung tuak disodokkan ke
depan. Wuuut...! Jurus 'Bangau Mabuk' membuat tubuh
Suto terbawa terbang oleh gerakan bumbung tuak
tersebut. Hantu Urat Iblis menahan sodokan bambu itu dengan
kedua telapak tangannya yang mulai menyala merah itu.
Deeeb...! Duaaarr...!
Suto Sinting terlempar kembali dan jatuh terbanting
dengan sangat menyedihkan. Kepalanya membentur batu
dan bocor. Darah mengalir dari kepala bagian samping.
Sementara itu, Hantu Urat Iblis juga terlempar dan
berguling-guling ke belakang akibat ledakan yang saling
menyentak kedua arah itu.
Candu Asmara berkelebat hampiri Suto Sinting,
karena gadis itu sangat mencemaskan keselamatan Suto
melihat banyaknya darah yang mengalir.
"Suto! Suto, bangun...! Ayo, bangun dan minum
tuakmu!" seru Candu Asmara yang sempat membuat
Mirah Cendani dan gurunya terperangah kaget melihat
Candu Asmara ternyata sudah kenal dekat dengan
Pendekar Mabuk.
Hantu Urat Iblis cepat bangkit dan menggeram di
kejauhan. Candu Asmara tegang sekali, karena keadaan
Suto sangat lemah karena masih merasa pusing. Melihat
Hantu Urat Iblis hendak menyerang lagi, Candu Asmara
segera cabut pedangnya dan menghadang lawan,
melindungi Suto Sinting.
"Sudah saatnya kau berhadapan denganku, Anak
Haram!" seru Candu Asmara.
Murka si Hantu Urat Iblis memuncak mendengar
seseorang mengatakannya 'anak haram', ia pun
menggeram kuat dengan tubuh bergetar, kedua tangan
mulai diangkat pelan-pelan dengan kuku runcing
menyala biru, dan dari kuku ke kuku tampak sinar biru
berlompatan bagai petir-petir kecil.
Suto Sinting segera kerahkan tenaga begitu
mendengar seruan Candu Asmara, ia sadar bahwa gadis
itu mulai bertindak, sedangkan tindakan tersebut hanya
akan mengantarkan nyawa di tangan Hantu Urat Iblis.
Maka serta-merta kaki Suto menendang kaki Candu
Asmara. Beet...! Brruk...!
Gadis itu terpelanting jatuh. Suto yang ada di
belakangnya segera bangkit, berdiri dengan satu kaki
berlutut. Kemudian tangan kanannya menyentak ke
depan dalam keadaan jari lurus mengeras. Napasnya
dihentakkan lewat hidung. Bersamaan dengan itu,
melesatlah sinar-sinar kuning emas berbentuk pisau
kecil-kecil dalam jumlah banyak.
Cralaap...! Weerrss...!
Saat itu Hantu Urat Iblis sedang bersiap melepaskan
pukulan mautnya dari dua tangan, sehingga kedua
tangannya diangkat ke atas. Namun sebelum niatnya
terlaksana, sinar emas berbentuk pisau dari jurus
'Manggala' itu telah lebih dulu menerjang dadanya.
Zeeerrb...! Orang-orang bergumam kagum, "Oooohhh...!"
Hantu Urat Iblis diam tak bergerak dalam posisi tetap
mengangkat kedua tangan dan wajahnya tetap
menyeringai. Suto Sinting buru-buru menenggak
tuaknya untuk atasi luka bakar dan kebocoran di
kepalanya. Candu Asmara segera bangkit, tak pedulikan
Suto lagi, ia berlari dekati Hantu Urat Iblis sambil
mengangkat pedangnya.
Namun sebelum pedang itu ditebaskan, angin
berhembus agak kencang. Rambut Hantu Urat Iblis
rontok dan menjadi debu. Candu Asmara terperanjat
kaget. Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata Hantu
Urat Iblis sudah tak bernyawa lagi. Tubuhnya menjadi
abu seketika begitu terkena jurus 'Manggala' tadi.
Keadaan itu dapat diketahui oleh mereka setelah
hembusan angin semakin kencang dan tubuh Hantu Urat
Iblis pun berhamburan dalam bentuk abu. Prruuuss...!
"Dia telah tewas! Penculik itu tewas...!" teriak salah
seorang. Yang lain segera berseru,
"Hidup Pendekar Mabuk! Hidup Pendekar Mabuk!"
Mereka menghambur ke arah Suto sebagai ungkapan
kegembiraan atas keberhasilan Suto membebaskan putri
raja. Tetapi gerakan mereka terhenti karena saat itu Suto
Sinting segera dipeluk oleh Candu Asmara dengan
ungkapan kegembiraan yang luar biasa.
"Huuuhh...!" mereka menggoda kedua insan yang
berpelukan itu, lalu mereka hamburkan tawa
kemenangan. Sang putri pun segera dibebaskan dari
ikatannya oleh para prajurit istana yang ikut
menyaksikan pertarungan tersebut. Mirah Cendani dan
gurunya bergabung dengan Suto Sinting, demikian pula
dengan si Sawung Kuntet.
Mereka beramai-ramai mengantarkan Rara Ayu
Kumala ke istana, setelah gadis itu ucapkan terima
kasihnya kepada Pendekar Mabuk. Namun si gadis
merasa kecewa setelah Suto mengatakan,
"Kau bebas menikah dengan siapa pun, Rara Ayu.
Bukan aku calon suamimu."
Candu Asmara sunggingkan senyum kebanggaan.
Tangannya menggenggam erat-erat tangan Pendekar
Mabuk. Tanpa diketahui siapa pun, sepasang mata sedang
memandang ke arah Pendekar Mabuk. Sepasang mata itu
adalah milik seorang perempuan cantik bertahi lalat kecil
di ujung dagunya. Dia dikenal dengan nama: Dewi
Ranjang. Suto Sinting tak tahu kalau sedang diincar oleh mata
si Dewi Ranjang, alias janda liar pemburu kehangatan
pemuda. SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
DARAH PEMUAS RATU
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel Iblis Dan Bidadari 2 Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda Kehidupan Para Pendekar 6
^