Pencarian

Dendam Selir Malam 2

Pendekar Mabuk 060 Dendam Selir Malam Bagian 2


sai ilmu sihir, bahkan pernah dijuluki oleh beberapa
orang sebagai Ratu Sihir Sejagat.
Salah satu contoh ilmu sihir yang diturunkan
kepada Suto Sinting adalah jurus atau ilmu 'Sapta
Tinggal', yang mampu membuat Pendekar Mabuk tam-
pak menjadi kembar tujuh rupa dan lain-lain gerakan.
Ketika dalam perjalanan menuju Lembah Ba-
dai, tiba-tiba Suto Sinting dan Nenek Cintani temukan sebuah patung batu dalam
bentuk manusia sedang
membungkuk bagai menahan rasa sakit di perutnya.
Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah untuk
mengamati patung tersebut dari jarak dekat. Bahkan
ia meraba patung yang berdiri di tanah bercadas keras itu. Sementara itu Nenek
Cintani terbengong melom-pong dengan hati berkata,
"Kurasa ini bukan patung biasa."
Lalu, ia pun berucap kata kepada Suto Sinting,
"Patung ini pasti jelmaan dari seseorang yang terkena sinar biru dari Tongkat
Guntur Bisu! Tak mungkin
orang membangun patung atau prasasti di tempat se-
perti ini."
"Gila!" tiba-tiba Pendekar Mabuk tersentak kaget. Wajah pun menjadi tegang,
langkah mundur dila-
kukan Suto Sinting sebanyak tiga tindak.
"Aku mengenali orang ini!" katanya dengan ma-ta tak berkedip.
"Siapa orang yang menjadi patung ini"!"
"Kabut Merana, murid dari sahabat guruku; si
Galak Gantung!"
Suto Sinting yakin patung itu adalah Kabut Me-
rana, gadis yang dulu dikenalnya dalam peristiwa geg-
er tergantungnya bayi cucu Sultan Renggana. Hati pun
menjadi sedih bercampur berang melihat Kabut Mera-
na menjadi patung berlumut. Padahal dulu Kabut Me-
rana dan Suto sama-sama nyaris mati di tangan Tu-
lang Naga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam epi-
sode: "Bayi Pembawa Petaka").
5 PATUNG Kabut Merana tiba-tiba terancam ba-
haya. Seberkas sinar merah berbentuk bunga api me-
lesat dari suatu arah dan menghantam patung terse-
but. Pendekar Mabuk bergegas sentakkan kaki dan tu-
buhnya melambung di udara melewati kepala patung.
Dengan cekatan sekali bumbung tuaknya dihadangkansebagai penangkis sinar merah itu.
Duuusss...! Benturan tersebut membuat sinar
merah kembali ke arah semula dalam keadaan lebih
besar dan lebih cepat dari aslinya. Bumbung tuak itu
hanya berasap sepintas, keadaannya masih utuh tan-
pa hangus dan luka sedikit pun.
Jegaaarr...! Ledakan dahsyat menggelegar manakala sinar
merah itu temukan sasaran sebongkah batu besar di
balik pepohonan yang jauhnya sekitar tiga puluh lang-
kah dari tempat patung Kabut Merana berada. Leda-
kan itu mengguncangkan bumi, nyaris membuat pa-
tung itu retak karena getarannya cukup kuat.
"Apa pun yang terjadi patung ini jangan sampai
hancur, karena kelak aku akan membuatnya berwujud
manusia kembali!" kata Suto Sinting dengan kalimat yang cepat.
Pada saat itu sebatang pohon mulai berderit.
Pohon itu akhirnya tumbang akibat getaran daya ledak
tadi. Sedangkan dari sisi lain muncul lagi sinar merah serupa dengan yang tadi
dalam ukuran yang sama.
Pendekar Mabuk sempat kebingungan. sebab pohon
yang tumbang itu hendak menimpa patung Kabut Me-
rana, sedangkan sinar merah itu menuju ke arahnya
dengan cepat. "Hiaaah...!" Nenek Cintani sentakkan tangan kirinya ke atas. Tangan itu
memancarkan sinar kuning
yang melesat ke arah batang pohon yang sedang berge-
rak tumbang. Claaap...!
Blegaaar...! Pohon tersebut hancur menjadi serpihan-
serpihan kecil yang menghujani patung dan kepala
mereka. Sementara itu, Suto Sinting tak pedulikan lagi serpihan pohon tersebut.
Ia lakukan lompatan ke depan sambil kibaskan bumbung tuaknya ke arah sinar
merah yang menyerangnya. Wuuuuk...!
Duuusss...! Sinar merah kembali arah dalam
keadaan seperti tadi. Lalu menghantam sebuah pohon
besar yang berjarak lima belas tombak dari tempatnya
berdiri. Jegaaarrr...!
Pohon itu hangus seketika dengan menyebar
kan asap tebal. Ketika asap sirna, pohon itu telah
menjadi seonggok arang keropos. Tetapi dari kepulan
asap yang sempat menyebar di sekeliling pohon, mun-
cul sesosok tubuh yang meloncat dengan gerakan ber-
salto. Wuuut...! Kaki orang itu menjejak pohon lain, lalu melesat lagi dalam
gerakan bersalto. Wuuut...! Ki-ni kaki pun menjejak sebongkah batu tak seberapa
be- sar, desss...! Lalu tubuh pun melenting ke udara da-
lam gerakan bersalto dua kali, Wut, wuuut...!
Jleeeg...! Orang lincah itu akhirnya mendaratkan ka-
kinya ke tanah di depan Pendekar Mabuk dalam jarak
delapan langkah. Mata Pendekar Mabuk memandang
tak berkedip. Ternyata orang itu adalah lelaki tua berusia sekitar delapan puluh
tahun. Rambutnya pan-
jang berwarna putih diikat ke belakang. Jenggotnya
pendek, kumisnya lebat, keduanya berwarna putih ra-
ta, ia bermata cekung dan berbadan kurus. Mengena-
kan pakaian dalam hitam dilapisi jubah putih tanpa
lengan. Tokoh tua itu sangat dikenal oleh Pendekar
Mabuk, namun tidak dikenal oleh Nenek Cintani.
"Ki Galak Gentung..."!" sapa Suto Sinting dengan nada terheran-heran. Rupanya
tokoh tua itu tak
lain adalah Galak Gantung, gurunya Kabut Merana,
namun juga sahabat dari si Gila Tuak.
Pandangan matanya yang tampak tajam namun
berkesan dingin itu membuat Suto Sinting tak habis
pikir, mengapa ia diserang oleh Galak Gantung. Agak-
nya tokoh tua itu memendam murka kepadanya, se-
hingga Suto Sinting pun akhirnya ajukan tanya kepada
sahabat gurunya itu.
"Ki Galak Gantung, mengapa kau menyerangku
dan ingin hancurkan patung muridmu ini"!"
Dengan suara datar dan dingin, Galak Gantung
pun menjawab, "Aku malu melihat muridku menderita seperti
itu. Lebih baik ia hancur binasa daripada menderita
sebagai patung berlumut. Kaulah penyebabnya, dan
karena itu kau harus menebus dengan nyawamu, Su-
to!" "Tunggu dulu, Ki...!" sergah Suto Sinting dengan sedikit gugup, karena ia tak
kehendaki pertarun-
gan melawan tokoh yang dihormati itu.
"Mengapa kau menuduhku sebagai penyebab-
nya" Aku baru saja tiba di tempat ini bersama Cinta-
ni!" "Omong kosong!" sentak Galak Gantung me-
nampakkan kemarahannya. Ia melangkah lebih dekat
lagi. Sambungnya kemudian,
"Berita telah tersebar, bahwa Pendekar Mabuk
menjadi pencuri pusaka Tongkat Guntur Bisu yang
dapat mencelakai seseorang dengan mengubah orang
itu menjadi patung batu!"
"Itu tidak benar, Ki. Berita itu bohong!" sela Nenek Cintani yang tadi
mengundurkan diri tiga langkah
dari belakang Suto Sinting. Kali ini ia beranikan diri ikut bicara, karena ia
merasa yakin bahwa Suto
Sinting tidak bersalah.
"Aku tak mengenalmu, Perempuan Rapuh! Ku-
harap kau jangan ikut campur dalam urusan ini!" gertak Galak Gantung.
"Tapi apa yang dikatakannya memang benar,
Ki," ujar Suto Sinting masih berusaha untuk tidak terpancing menjadi marah. "Kau
lihat sendiri, aku tidak memegang Tongkat Guntur Bisu!"
"Kau pikir aku bodoh, tak bisa mengerti jalan
pikiranmu"! Kali ini aku terpaksa bertindak tanpa seizin gurumu demi membela
muridku! Kau telah me-
nyimpang dari jalan arif seorang pendekar, Suto! Ge-
larmu itu harus dilepas bersama nyawamu juga! Cu-
kup banyak korban seperti muridku ini yang sempat
kutemukan sepanjang perjalanan kemari."
Suto Sinting hembuskan napas penahan kesa-
baran. Ia sempat melirik Nenek Cintani yang kini ada
di samping kirinya. Sang nenek hanya pandangi Galak
Gantung yang melangkah ke samping bagai mencari
kesempatan untuk lakukan serangan ke arah Suto
Sinting. Suara tokoh tua itu terdengar kembali, "Ketika kudengar kabar bahwa
muridku berubah menjadi patung batu akibat ulah mu, mulanya aku tak mau per-
caya begitu saja. Tapi setelah kulihat sendiri bahwa
Puspa Jingga, murid Nini Kalong. Juga menjadi patung
di kaki bukit, aku mulai percaya dengan berita terse-
but." "Och... ja... jadi Puspa Jingga pun mengalami
nasib serupa"!" Suto Sinting sangat terkejut, sebab ia kenal betul dengan Puspa
Jingga maupun gurunya;
Nini Kalong, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam epi-
sode: "Kipas Dewi Murka").
"Jangan berlagak dungu di depanku, Suto Sint-
ing. Kulihat sendiri, Tembang Selayang, anak Empu
Tapak Rengat, juga kau celakai hingga menjadi patung
berlumut."
"Tembang Selayang"!" ucap Suto Sinting begitu kagetnya hingga suaranya nyaris
tak terdengar. Ia pun terbayang wajah cantik milik putri Empu Tapak Rengat
yang pernah membantunya dalam perebutan sebuah
pusaka juga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam epi-
sode: "Kapak Setan Kubur"),
"Dan tak berapa jauh dari sini...," sambung Galak Gantung. ".... Kutemukan pula
patung batu berlumut jelmaan dari raga Bulu Sekuntum, anak buah Ra-
tu Dewi Giok dari Tanjung Samudera."
"Oh, celaka! Bulan Sekuntum pun menerima
nasib seperti itu"!" gumam Suto Sinting seperti bicara sendiri, sambil benaknya
membayangkan wajah Bulan
Sekuntum yang cantik, sekal dan berdada montok,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Keranda Hitam").
Dalam hati Suto Sinting hanya ada satu kesim-
pulan, ada orang yang bermaksud ingin melenyapkan
dirinya dengan menyebar fitnah sebagai pencuri Tong-
kat Guntur Bisu. Tetapi siapa gerangan si pemfitnah
itu, Suto Sinting tak bisa menduga-duga sedikit pun.
Tetapi ia punya firasat akan diburu dan dituntut oleh beberapa tokoh berilmu
tinggi, terutama para guru me-
reka yang menjadi korban keganasan Tongkat Guntur
Bisu. Galak Gantung adalah contoh yang sudah nya-
ta, ia ingin menuntut balas atas musibah yang dialami oleh muridnya. Pendekar
Mabuk mencoba meyakinkan
bahwa dirinya tidak bersalah, tapi agaknya kabar ten-
tang dirinya sebagai pemegang Tongkat Guntur Bisu
itu sudah menyebar dan dipercaya oleh setiap orang.
Terbukti Galak Gantung sama sekali tidak bisa mene-
rima penjelasannya, padahal Galak Gantung tahu
bahwa Suto Sinting adalah murid tokoh sakti beraliran putih yang pantang lakukan
pencurian dan bertindak
sekeji itu. "Sekarang hanya ada dua pilihan, kau kehilan-
gan nyawa atau aku yang kehilangan nyawa," kata Galak Gantung. "Hidupku hanya
akan penuh dengan ra-sa malu dan menderita tekanan batin jika aku tak bisa
membunuh orang yang mencelakai muridku! Karena
itu aku tak akan merasa rugi jika toh nanti kau bisa
membunuhku, Suto Sinting. Persahabatan ku dengan
gurumu kuanggap sudah tidak ada lagi!"
"Celaka kalau begini jadinya! Lalu, apa yang
harus kulakukan"!" pikir Suto Sinting diliputi kebim-bangan dan keresahan.
Baginya bukan soal siapa yang
kalah dan menang, siapa yang mati dan hidup, namun
lebih dari itu, tantangan Galak Gantung merupakan
pertarungan yang sia-sia karena kesalah-pahaman.
Pendekar Mabuk harus bisa meluruskan tanpa tim-
bulkan korban nyawa. Tapi jika nyawanya sendiri te-
rancam, apakah ia akan membiarkan seseorang men-
cabut nyawanya dengan seenaknya"
"Keluarkan pusaka Tongkat Guntur Bisu itu!
Aku tak akan mundur menghadapi tongkat itu, Bocah
Liar!" geram Galak Gantung dengan sorot pandangan
mata semakin tajam. Pendekar Mabuk hanya diam
tanpa melayani tantangan itu. Tapi ia tetap dalam keadaan siap jika sewaktu-
waktu menerima serangan dari
sahabat gurunya itu.
Ia hanya berbisik kepada Nenek Cintani, "Men-
jauhlah dan jangan campuri urusan ini!"
"Aku saksi kebenaran mu, Suto! Aku harus me-
luruskan kekeliruan itu dengan melawannya!" ucap Nenek Cintani dengan suara
tuanya, "Ku mohon jangan campuri dulu urusan ini.
Aku akan selesaikan sendiri tanpa ada korban satu
pun!" Nenek Cintani akhirnya sadar apa keinginan Suto Sinting, maka ia pun
segera menepi ke bawah
pohon sambil tetap waspada menjaga keselamatan Su-
to Sinting dari jarak jauh. Ia tak ingin kehilangan pemuda tampan itu, karena
hanya pemuda tampan itu-
lah satu-satunya seorang sahabat yang tak pernah
menghina dan menyinggung perasaannya. Nenek Cin-
tani menaruh harap agar persahabatan itu dapat ber-
langsung kekal, lebih-lebih ia membutuhkan perte-
muan dengan Bidadari Jalang. Mau tak mau ia harus
menjaga agar Suto Sinting bisa tetap hidup dan mem-
bawanya ke Lembah Badai.
Slaaap...! Galak Gantung bagaikan menghilang
lenyap ditelan bumi. Tapi kejap berikut ia sudah mun-
cul di belakang Suto Sinting dalam jarak tiga langkah.
Suaranya terdengar menggumam besar bernada ge-


Pendekar Mabuk 060 Dendam Selir Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ram. "Ku awali pertarungan ini agar kau merasa ter-hormat!"
Wuuut...! Hembusan hawa panas menerjang
punggung Suto Sinting. Tetapi sebelum hembusan itu
membakar kulit, Suto Sinting sudah lebih dulu berke-
lebat dalam satu sentakan jurus 'Gerak Siluman' yang
juga mirip menghilang lenyap dari pandangan mata
lawannya. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di tempat
sejauh lima belas langkah dari Galak Gantung. Hawa
panas yang dapat melelehkan baja dari telapak tangan
Galak Gantung akhirnya menerpa sebatang pohon dan
pohon itu pun layu seketika, dalam kejap berikutnya
berubah hitam menjadi arang.
"Jangan lari kau, Bocah Sinting!" gertak Galak Gantung dengan wajah murka.
"Aku tidak lari, karena aku tidak bersalah, Ki
Galak Gantung!" ujar Suto Sinting dari tempatnya. Ia tetap berdiri tenang dengan
kedua kaki sedikit me-renggang. Sementara itu, Nenek Cintani hampir saja
lepaskan pukulan tenaga dalamnya karena ia berada
di belakang Galak Gantung. Namun karena tokoh tua
itu cepat menghilang dan tahu-tahu muncul di dekat
Suto Sinting maka pukulan itu ditahan dalam geng-
gaman. Galak Gantung lepaskan pukulan berbentuk
angin kencang dari kibasan tangan kirinya. Wuuus...!
Weeerr...! Angin kencang datang menerjang Pendekar
Mabuk. Hembusan angin kencang berhawa dingin se-
perti salju itu datang tanpa diduga-duga, sehingga
Pendekar Mabuk terlempar dalam sentakan keras dan
sempat melayang-layang di udara. Akhirnya tubuh ke-
kar itu membentur pohon dan jatuh terbanting dengan
cukup menyedihkan.
Bruuukk...! "Uuhhg...!" pekiknya dengan berat pertanda
menahan sakit pada dadanya yang membentur batu
sebesar kepala.
Hawa sedingin salju semakin terasa mencekam
tulang-belulang Pendekar Mabuk. Tubuh itu menggigil,
darahnya bagai terasa membeku. Sehingga persen-
diannya tak dapat dipakai untuk bergerak.
"Gila! Jurus apa ini, urat-uratku terasa kaku
semua dan, ooh... detak jantungku melemah"! Uuh...
aku sukar bernapas!"
Pendekar Mabuk ingin meneguk tuaknya, tapi
tangannya tak mampu mengangkat bumbung tuak.
Sementara itu, Galak Gantung melangkah
mendekatinya dan berhenti dalam jarak sepuluh tom-
bak. Kemudian seberkas sinar hijau lurus melesat dari kedua jari tangannya yang
disentakkan ke depan.
Claaap...! Saat itulah, Nenek Cintani melepaskan pukulan
tenaga dalamnya yang dari tadi tertahan dalam geng-
gaman. Pukulan tenaga dalam itu berupa sinar ungu
berkelok-kelok melesat ke arah pertengahan jarak an-
tara Suto Sinting dengan Galak Gantung. Slaaap...!
Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi akibat benturan sinar
ungunya Nenek Cintani dengan sinar hijaunya Galak
Gantung. Ledakan bergelombang besar itu menghem-
paskan tubuh Galak Gantung hingga terpelanting ke
belakang dan berguling-guling, sementara tubuh Pen-
dekar Mabuk sendiri semakin ter-hempas menjauh
dan membentur sebongkah batu besar. Brrukkk...!
"Aaahg...!" pekiknya keras bersamaan bunyi
gemuruh akibat robohnya dua pohon ke arah berlawa-
nan dengan jatuhnya Suto Sinting.
"Sutooo...!" seru Nenek Cintani yang suaranya tak sampai didengar oleh Pendekar
Mabuk. Kekuatan
teriak sang nenek sangat lemah, sehingga Suto Sinting tak tahu kalau dirinya
sedang dihampiri oleh Nenek
Cintani. Wuuutt...! Tubuh sang nenek bergerak cepat
dalam lompatan berkali-kali. Sekejap saja ia sudah berada di depan Suto Sinting
dan bermaksud membantu
Suto untuk berdiri.
Tetapi Galak Gantung sudah lebih dulu bangkit
dan menjadi bertambah murka karena ikut campurnya
Nenek Cintani. Maka dengan mulut bungkam tanpa
sepatah kata pun, Galak Gantung lepaskan pukulan
jarak jauh berupa lima sinar merah yang keluar dari
kelima jari. Sinar merah itu melesat bagaikan tali pen-jerat sukma.
Bertepatan dengan datangnya lima sinar me-
rah, sekelebat bayangan melintas dengan cepat dari
arah kiri Nenek Cintani. Sepasang tangan tua me-
nyambar tubuh Pendekar Mabuk dan Nenek Cintani.
Bumbung tuak yang masih menggantung di pundak
Pendekar Mabuk ikut terbawa pula. Weeess...! Laaap...!
Bleguuurr...! Lima sinar merah menghantam tanah dan bumi
pun berguncang hebat. Tanah tersebut menjadi amblas
ke dalam membentuk lubang cukup besar. Beberapa
pohon tumbang karena akarnya bagai tersedot ke da-
lam dan hancur bersama tanah di sekitarnya.
"Keparat...!" geram Galak Gantung setelah
mengetahui serangannya meleset dari sasaran. Ma-
tanya yang memancarkan nafsu untuk membunuh itu
mencari di mana Pendekar Mabuk berada. Ternyata
lawan yang dicarinya ada di gugusan tanah cadas yang
membukit tak seberapa tinggi. Pendekar Mabuk terka-
par di sana dengan didampingi Nenek Cintani.
Tetapi yang membuat Galak Gantung semakin
menggeram adalah munculnya seorang tokoh tua ber-
pakaian model biksu warna abu-abu. Tokoh tua itu
agak gemuk dan tidak membawa senjata apa-apa. Ia
berdiri tegak pandangi Galak Gantung dengan kedua
tangan bersedekap di dada. Penampilannya cukup te-
nang, dan tidak berkesan bermusuhan. Tapi hal itu
membuat kebencian Galak Gantung semakin nyata.
Nenek Cintani mendengar tokoh tua itu bicara
pelan padanya, "Bantu ia meminum tuaknya cepat-
cepat!" Tetapi nenek bertanduk itu justru memandangi tokoh berambut tipis putih
dengan jenggot dan kumis
yang putih rata, ia merasa asing dengan sang penye-
lamat nyawa dari ancaman lima sinar merah tadi.
"Keparat kau! Apakah kau ingin ikut mati ber-
sama murid si Gila Tuak itu, hah"!" bentak Galak Gantung setelah ia bergerak
bagai menghilang dan muncul
kembali di bawah cadas yang membukit itu.
"Anak tikus masuk celana,
bertemu kutu langsung disewa.
Mengumbar marah apalah guna,
lebih baik bicara sambil tertawa."
Siapa lagi tokoh tua yang gemar bermain pan-
tun selain Resi Pakar Pantun. Dengan wajah dan se-
nyum konyolnya, ia biarkan Galak Gantung meman-
dang dengan murka. Galak Gantung segera mengirim-
kan pukulan bergelombang yang memancarkan sinar
hijau. Wuuuung...!
Resi Pakar Pantun buru-buru menangkisnya
dengan seberkas sinar kuning lebar yang keluar dari
kedua telapak tangan ketika tangan tersebut disentak-
kan ke depan. Claaap...!
Zluub...! Sinar hijau bergelombang itu tiba-tiba
padam tanpa suara menggelegar. Bahkan letupan kecil
pun tak terjadi, kecuali kepulan asap putih samar-
samar yang membubung tinggi ke angkasa.
"Kau benar-benar memancing hasratku untuk
menghancurkanmu, Pakar Pantun!" seru Galak Gan-
tung bagai lupa siapa dirinya, yang banyak dipandang
sebagai tokoh aliran putih berkharisma tinggi.
Resi Pakar Pantun berkata pelan kepada Nenek
Cintani, "Larilah kalian, biar kuredakan murka si Galak Gantung ini!"
Setelah itu ia melompat dari ketinggian tepat si
Kadal Ginting muncul di kejauhan sana, tempat Suto
Sinting terkapar tadi. Kadal Ginting ingin lepaskan pukulan jarak jauhnya
sebagai sikap memihak sang ma-
jikan, tetapi Resi Pakar Pantun mengangkat satu tan-
gannya pertanda Kadal Ginting tak diizinkan lakukan
tindakan apa pun.
Jleeg...! Kini ia berhadapan dengan Galak Gan-
tung yang berwajah beringas. Senyum sang Resi masih
merupakan seringai konyol yang memuakkan Galak
Gantung. "Ada sesuatu yang perlu ku jelaskan padamu,
Galak Gantung!"
"Tutup mulutmu dan terima saja upah mu
membela si Bocah sinting itu!"
Wuuut...! Galak Gantung menghantamkan salah satu te-
lapak tangannya ke dada Resi Pakar Pantun. Tapi den-
gan cekatan sang Resi menahan pukulan itu dengan
sentakkan telapak tangannya pula. Wuuut...!
Plak, blaaarrr...!
Kali ini terdengar kembali ledakan cukup seru.
Ledakan itu membuat keduanya sama-sama terpental
ke belakang, berjungkir balik tak karuan. Dua tenaga
sakti diadu dan hasilnya cukup menyedihkan bagi ke-
duanya. Dari hidung dan telinga mereka mengalir da-
rah segar sebagai tanda sama-sama luka bagian da-
lamnya. Nenek Cintani sudah berhasil membantu Suto
Sinting meminum tuak. Keadaan Pendekar Mabuk pun
menjadi segar kembali. Ketika ia ingin membantu Resi
Pakar Pantun, tiba-tiba tangan kurus bagai tulang di-
bungkus kulit itu mencekal pundaknya.
Nenek Cintani menahan gerakan Suto Sinting
sambil berkata,
"Pak Tua itu menyuruh kita lari, dia akan me-
redakan kemarahan lawanmu!"
Pendekar Mabuk diam sejenak mempertim-
bangkan anjuran tersebut. Hatinya pun segera mem-
batin, "Demi menghindari korban salah satu antara aku atau Galak Gantung, memang
sebaiknya aku segera pergi dan tidak melayani kemarahannya yang sa-
lah paham itu!"
Maka, bersama Nenek Cintani yang mampu
bergerak cepat walau tak bisa imbangi jurus 'Gerak Siluman', mereka berdua
melesat tinggalkan gugusan
cadas yang membukit, sementara Resi Pakar Pantun
dan Galak Gantung sama-sama sedang menyalurkan
hawa murni untuk mengobati luka dalam mereka.
6 UNTUK menyingkat waktu agar segera tiba di
Lembah Badai, Suto pun memotong jalan melalui per-
bukitan. Namun baru satu bukit yang didaki oleh me-
reka, ternyata perjalanan mereka sudah menemui
hambatan. Sekelebat bayangan datang menyambar Pende-
kar Mabuk dari arah samping. Kehadiran bayangan
yang berkelebat itu sama sekali tidak diduga-duga oleh Suto Sinting. Akibatnya,
ia terpental karena terjangan yang cukup keras dan cepat. Bruuusss...!
"Aaaahg...!"
"Auuuh! Sutoo..."!" Nenek Cintani terpekik karena dagunya tersodok bambu tuak
tanpa disengaja.
Akibatnya sang nenek pun ikut terpental dan bergul-
ing-guling di tanah.
Terjangan itu membuat pelipis Suto Sinting ba-
gaikan ditendang kuat-kuat. Kepalanya menjadi sakit
dan pandangan matanya kabur. Sesosok bayangan
yang berdiri di depannya pada saat ia merangkak ingin bangkit, ternyata tak bisa
dipandang dengan jelas. Tulang-tulangnya bagaikan patah semua, hingga terasa
sakit sekali ketika dipakai untuk berdiri.
Wuuk, crass... "Aaaah...!" Suto Sinting terpekik keras karena lengannya menjadi koyak. Yang
dirasakan hanyalah
gerakan cepat berhawa dingin mendekati lehernya. Fi-
rasatnya mengatakan ada senjata yang sedang meng-
hampiri leher, karenanya Suto Sinting berusaha
menghindari dengan cara mundur selangkah dan me-
liukkan badan ke samping. Tetapi benda itu ternyata
masih sempat merobek daging lengannya hingga terlu-
ka bakar. Perihnya bukan kepalang tanggung, pertan-
da senjata tajam yang merobek kulitnya itu mengan-
dung racun. Dalam keadaan pandangan mata masih buram,
Suto Sinting merasakan panas di sekujur tubuhnya.
Bahkan urat-uratnya yang kekar menjadi lunak dan
mengalami kesukaran saat ingin digerakkan.
"Celaka! Aku terkena racun pada senjata itu!"
pikirnya, maka dengan sisa tenaga ia sentakkan kaki
dan tubuhnya pun melesat naik, lalu dengan sekuat
tenaga ia berusaha bersalto ke belakang hindari serangan berikutnya.
Wuk, wuk, wuk, wuuusss...!
"Sepertinya lawanku kali ini bersenjata pedang
panjang," kata Suto Sinting dalam hati. Gerakan pedang yang menebas ke sana-sini
diterima pendengaran
dengan jelas. Pendekar Mabuk semakin mundur sam-
bil menunggu pulihnya pandangan mata.
Trang, trang, wuuus...! Trang, trang, trang...!
Suara pedang beradu. Ini menandakan adanya
perlawanan dari Nenek Cintani yang juga bersenjata
pedang. Kesempatan itu buru-buru digunakan oleh
Pendekar Mabuk untuk meminum tuaknya. Dengan
susah payah akhirnya ia berhasil menenggak tuak wa-
lau tercecer ke mana-mana. Tetapi keadaan tubuhnya
menjadi segar kembali setelah beberapa saat meneng-
gak tuak. Pandangan matanya pun mulai jelas kemba-
li. "Kurang ajar! Siapa orang itu"!" geramnya dalam hati saat sudah mampu memandang
lawannya. Saat itu sang lawan sedang mengadu jurus pedangnya
dengan Nenek Cintani. Suto Sinting sempat terpukau
melihat Nenek Cintani masih lincah dalam bermain ju-


Pendekar Mabuk 060 Dendam Selir Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rus pedang. Bahkan beberapa kali lawannya tampak
terdesak mundur dan terkena tendangan kaki atau
pukulan tangan kirinya.
Beg, beg, beg...!
Pukulan beruntun yang amat cepat dari telapak
tangan kiri Nenek Cintani itu mendarat telak di dada
seorang pemuda yang sibuk memainkan pedangnya.
Pendekar Mabuk merasa baru kali itu melihat wajah si
pemuda berbaju tanpa lengan warna putih. Rupanya
pemuda tampan bertato seekor burung elang di pung-
gung telapak tangan kanannya itulah yang menerjang-
nya secara tiba-tiba.
"Siapa orang itu" Aku merasa tak pernah jum-
pa dengannya sebelum ini. Tapi mengapa ia menye-
rangku dengan ganas"!"
Pemuda tersebut tak lain adalah Si Elang Sa-
mudera yang mengenakan sepasang gelang kulit warna
loreng hitam-putih.
Pada satu kesempatan, Nenek Cintani tertipu
oleh gerakan pedang Elang Samudera. Tubuhnya ikut
miring ke kanan, tidak tahunya kaki kiri Elang Samu-
dera maju menendangnya dengan tendangan setengah
lingkaran. Wuuus...! Ploook...!
"Auuh...!" Nenek Cintani terlempar ke samping, pipinya terkena tendangan dari
arah samping. Ia terjungkal dan berguling di tanah. Dalam sekejap sudah
mampu bangkit kembali, sedangkan Elang Samudera
mendesak dengan serangan berbahaya. Pedangnya
menebas cepat dan sangat cepat. Nyaris tak mampu
dilihat gerakan pedangnya itu. Wuuut...! Traaang...!
Untung Nenek Cintani masih mampu menang-
kisnya. Jika tidak, maka dada perempuan tua renta itu akan terbelah menjadi dua
bagian. Sayangnya, ketika
pedang Nenek Cintani berhasil menahan tebasan pe-
dang lawan, tahu-tahu dadanya menjadi sakit dan tu-
buhnya melayang ke belakang. Sebuah tendangan kaki
lurus telah dilancarkan oleh Elang Samudera dan te-
pat kenal ulu hati perempuan tua itu.
Duugh...! "Oohhg...!"
Elang Samudera membiarkan tubuh nenek ber-
tanduk itu jatuh delapan langkah ke belakang. Pedang
pemuda tampan itu disentakkan ke langit. Ujung pe-
dang menjadi menyala merah bara bagai besi terpang-
gang api. Warna merah yang tidak sampai separuh ba-
gian mata pedang itu melesat dengan sendirinya ke
arah Nenek Cintani. Claaapp...!
Padahal waktu itu keadaan Nenek Cintani be-
lum siap menerima serangan kembali. Sinar merah itu
hampir saja menghantam dada Nenek Cintani.
Zlaaap...! Suto Sinting berkelebat menghadang
sinar merah tersebut. Bumbung tuaknya digunakan
menangkis sinar itu. Deess...! Blaaar...! Ledakan cukup dahsyat pun menggema ke
mana-mana. "Gila! Sinar merah itu meledak begitu menyen-
tuh bumbung tuakku. Berarti tenaga dalam yang di-
gunakan pemuda itu cukup tinggi. Jika tidak, maka
sinar merah itu akan berbalik ke arah pemiliknya se-
perti biasanya. Gila betul! Aku jadi penasaran ingin
menghadapinya hingga tuntas!" pikir Pendekar Mabuk sambil bersiap menghadapi
serangan berikutnya. Matanya sempat melirik sekejap ke arah Nenek Cintani,
ternyata perempuan bertanduk itu memuntahkan da-
rah kental yang cukup membahayakan jiwanya. Tapi
Pendekar Mabuk tak punya waktu untuk mengobati
sang nenek. Akhirnya ia berikan bumbung itu sambil
berkata, "Minum tuak dulu, dan kupinjam pedangmu!"
Wuuut...! Suto Sinting menyambar pedang Ne-
nek Cintani, sedangkan bumbung tuaknya ditinggal-
kan agar tuak bisa diminum sendiri oleh sang nenek.
Dengan satu sentakan kaki ke tanah, Pendekar Mabuk
sudah berada di depan Elang Samudera sambil meng-
genggam pedang di tangan, kanannya.
"Rupanya kau sangat ingin berhadapan den-
ganku, Sobat!" ujar Suto Sinting menampakkan ketenangan sikapnya,
Elang Samudera kelihatan lebih sinis. Pandan-
gan matanya cukup tajam dan tanpa senyum sedikit-
pun "Serahkan pusaka itu atau kita lanjutkan per-
tarungan kita ini"!" ancam Elang Samudera bernada dingin. Pendekar Mabuk justru
sunggingkan senyum
tipis. "Pusaka apa maksudmu" Tongkat Guntur Bi-
su"! Hmmm...!" senyum sinis Pendekar Mabuk kian
melebar. "Aku tak punya banyak waktu untuk bicara
denganmu!"
"Lalu apa maumu, Sobat"! Kalau saja aku
mempunyai pusaka itu pasti sudah kuserahkan pada-
mu, sebab aku bukan orang yang gemar cari penyakit."
"Mengapa tidak segera kau berikan sekarang
juga"!" "Karena aku tidak memiliki pusaka itu! Kau salah paham, Kawan. Tapi jika
kau memaksaku harus
memilih, maka aku akan memilih bertarung denganmu
demi membuktikan kebenaran pengakuan ku!"
Elang Samudera menggeram, "Aku tak butuh
kebenaran mu lagi. Yang kubutuhkan adalah kepala-
mu untuk memperistri Ratu Remaslega. Hiaaah...!"
Wuuut, wweesss...!
Elang Samudera menerjang dengan satu lompa-
tan cepat sekali. Pedangnya berkelebat menebas dari
samping, sasaran utamanya adalah memenggal leher
Suto Sinting. Namun dengan tangkas Pendekar Mabuk
yang pernah belajar jurus-jurus pedang dari tokoh jago pedang kesohor yang
bernama Ki Argapura itu, segera
berkelit dengan badan meliuk bagai orang mabuk ingin
tumbang. Tapi pedangnya cepat disentakkan ke arah
samping hingga membentur tebasan pedang Elang
Samudera. Traaang...! Bunga api memercik dari perpaduan pedang
tersebut. Gerakan itu membuat mereka saling beradu
punggung. Elang Samudera segera melipat pedangnya
ke belakang dan ditusukkan tanpa harus berpaling le-
bih dulu. Wuuuut...! Pendekar Mabuk paham betul
dengan jurus seperti itu, sehingga ia sudah persiapkan diri untuk lakukan satu
sentakan kaki dan tubuhnya
pun melesat naik melebihi kepala Elang Samudera.
Suuut...! Di udara, tiba-tiba tubuh Suto Sinting berjung-
kir balik. Dalam keadaan menukik itulah pedang dite-
baskan bagai ingin membelah kepala Elang Samudera.
Wuuuut... Trang...! Elang Samudera rendahkan badan
dengan pedang menyilang di atas kepala. Serangan pe-
dang Pendekar Mabuk pun tertangkis oleh pedangnya
hingga memercikkan bunga api kembali.
Namun di luar dugaan, keadaan Suto Sinting
yang berjungkir balik itu bukan saja untuk mene-
baskan pedangnya, tapi juga melakukan tendangan ke
belakang dengan kerasnya. Wuuut...! Duuuhg...!
"Aaahg...!" Elang Samudera terpental ke depan dan berguling-guling di tanah.
Tendangan Suto Sinting tepat mengenal belakang kepalanya. Tendangan bertenaga
dalam itu membuat darah mengucur dari hidung
dan telinga Elang Samudera.
"Edan! Jurus pedangnya sukar kuduga arah-
nya!" geram Elang Samudera dalam hatinya. "Agaknya ia lebih menguasai jurus
pedang ketimbang diriku."
Sementara itu, Nenek Cintani pun membatin,
"Tak kusangka Suto punya jurus pedang yang cukup hebat! Gerakan itu belum pernah
kulihat sebelumnya,
dan aku yakin perpaduan pedang dengan kakinya tak
mungkin bisa dihindari oleh lawan mana pun."
Pendekar Mabuk sengaja tidak mendesak la-
wannya dengan serangan berikut. Ia justru berdiri
dengan tegak dan menampakkan kegagahan serta ke-
perkasaannya. Tetapi di wajahnya masih terpancar se-
nyum ketenangan yang berkesan santai, seakan tak
punya minat untuk menumbangkan lawan lebih parah
lagi. Elang Samudera dibiarkan bangkit berdiri dan
mempersiapkan diri kembali.
"Masih tak mau percaya dengan kejujuran ku"!"
ujar Suto Sinting setengah menantang. Hati Elang Sa-
mudera menjadi semakin panas.
"Jangan bangga dulu dengan jurus pedangmu.
Coba hadapi jurus 'Badai Pedang'-ku ini! Hiaaaah...!"
Tubuh Elang Samudera tiba-tiba memutar ba-
gaikan gangsing. Gerakan pedangnya begitu cepat
hingga menimbulkan suara mendengung. Sementara
itu, Pendekar Mabuk diam di tempat dengan pedang
dipegang dua tangan. Jurus 'Pedang Batu' segera di-
gunakan. Weees...! Wung, wung, wung, wung...!
Begitu tubuh yang memutar cepat itu berada
dalam jarak satu jangkauan, tiba-tiba Suto Sinting
memutar tubuh satu kali dengan tebasan pedang yang
sama sekali tak bisa dilihat oleh siapa pun. Slaaap...!
Trraang...! Weeesss...!
Nenek Cintani tak sempat berkedip, namun ha-
tinya membatin, "Apa yang dilakukan Suto" Mengapa ia diam saja dan tiba-tiba
pedang lawannya terpental
sejauh itu?"
Elang Samudera hentikan gerakan putarnya.
Seet...! Tiba-tiba kaki Suto Sinting menendang dalam
gerakan memutar satu kali. Weees...! Ploook...!
"Uuuhg...!" Elang Samudera terpental dan sebe-
lum jatuh tubuhnya sudah membentur pohon di bela-
kangnya. Beeehg...!
Zlaaap...! Tiba-tiba Suto Sinting sudah ada di
depannya dengan pedang diacungkan menggunakan
satu tangan. Ujung pedang menempel di tengah leher
Elang Samudera, membuat kepala Elang Samudera tak
bisa bergerak karena takut tergores pedang. Tubuh
Elang Samudera berdiri dengan gemetar merapat den-
gan pohon. Nafasnya yang semestinya ngos-ngosan
menjadi tertahan dan dihembuskan pelan-pelan. Ma-
tanya mendelik dengan mulut ternganga tegang.
"Ucapkan selamat tinggal kepada matahari se-
karang juga. Cepat!" hardik Suto Sinting dengan suara sedikit menggeram.
Keringat dingin Elang Samudera keluar semua,
padahal ancaman itu hanya sebuah gertakan belaka.
Tapi Elang Samudera menganggapnya suatu kesung-
guhan yang mengancam jiwanya.
"Sedikit nafasmu menyentak, pedang ini terbe-
nam di lehermu!"
Elang Samudera semakin tegang, bibirnya tam-
pak gemetar. Nenek Cintani mendekat sambil memba-
wakan bumbung tuak.
"Habisi saja dia sekarang juga! Jangan beri ke-
sempatan lebih lama dari dua helaan napas!" kata Nenek Cintani menambah ciut
nyali Elang Samudera.
Padahal Nenek Cintani pun hanya memperkuat gerta-
kan Suto Sinting, sebab ia yakin Suto Sinting tak akan mau membunuh lawannya
dengan begitu saja tanpa
mengetahui banyak hal tentang tuduhan terhadapnya.
"Ak... aku mengaku kalah," ucap Elang Samu-
dera dengan gemetar, tapi terpancar jiwa kesatriaan-
nya melalui pengakuan itu.
Ternyata ada pihak lain yang menganggap an-
caman pedang Suto itu sudah kesungguhan. Pihak
lain itu adalah Resi Pakar Pantun yang sengaja menca-
ri Suto. Ia datang bukan saja bersama pelayannya;
Kadal Ginting, melainkan juga bersama Galak Gan-
tung. "Tahan murkamu, Suto!" seru Resi Pakar Pantun sambil setengah berlari
mendekati Pendekar Ma-
buk. Kehadiran mereka hanya dipandang sepintas oleh
Suto Sinting, setelah itu matanya tertuju tajam ke arah mata Elang Samudera.
Agaknya kemarahan Galak Gantung sudah da-
pat dijinakkan oleh Resi Pakar Pantun. Terbukti sua-
ranya segera menimpali kata-kata Resi Pakar Pantun.
"Kurasa memang ada sesuatu yang harus dilu-
ruskan, Suto. Tariklah pedangmu sebentar."
"Dia mempunyai tuduhan terhadap Suto sama
seperti tuduhanmu, Ki!" kata Nenek Cintani setelah Pendekar Mabuk kelihatan
masih enggan bicara.
"Aak... aku... aku minta maaf jika tuduhan itu
tak benar," ujar Elang Samudera dengan suara pelan, karena jika ia gunakan suara
agak keras, ia khawatir
sentakan nafasnya membuat lehernya tertembus ujung
pedang yang runcing itu.
Pendekar Mabuk masih pandangi wajah Elang
Samudera yang pucat berkeringat. Kian lama wajah
Suto Sinting sendiri sunggingkan senyum tipis, kemu-
dian ia segera menarik pedangnya sambil melebarkan
senyum. Elang Samudera hembuskan napas kelegaan.
Pedang pun dilemparkan ke arah Nenek Cintani.
Taab...! Sang nenek sangat terampil menangkap pe-
dang itu. Bumbung tuak segera diminta, dan Suto
Sinting pun menenggak tuak itu tiga teguk.
"Elang Samudera," sapa Resi Pakar Pantun.
"Sejak kau ingin tinggalkan kedai di desa itu, aku su-
dah mengatakan padamu, bahwa kau tak akan mam-
pu kalahkan Pendekar Mabuk. Sekarang apa yang ku-
katakan itu terbukti, bukan"!"
"Benar. Aku mengakui keunggulan ilmu pe-
dangnya," jawab Elang Samudera dengan kepala ter-tunduk sedikit.
"Dan sudah kukatakan pula, bahwa Pendekar
Mabuk tak mungkin mencuri pusaka itu. Mengapa kau
masih tak percaya?"
"Karena aku memperoleh keterangan dari orang
penting di Pulau Sangon. Aku percaya keterangan itu
tidak mungkin palsu. Dia mengatakan bahwa Tongkat


Pendekar Mabuk 060 Dendam Selir Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Guntur Bisu dicuri oleh Pendekar Mabuk. Barang sia-
pa bisa mengambil kembali pusaka itu atau membawa
pulang penggalan kepala Pendekar Mabuk, jika lelaki
boleh menjadi suami Ratu Remaslega, jika perempuan
berhak menjadi pewaris kekayaan sang Ratu. Maka
aku pun berminat untuk memburu Pendekar Mabuk."
"Siapa orang yang bicara begitu padamu?"
tanya Galak Gantung,
"Perwira Pulau Sangon yang bernama Dewi Cin-
tani!" "Hah..."!" Nenek Cintani terkejut dengan mata melebar memandang ke arah
Suto Sinting, sedangkan
Suto Sinting pun menatap Nenek Cintani dengan ta-
jam. 7 RESI Pakar Pantun dan Galak Gantung belum
tahu siapa Nenek Cintani itu. Rasa heran pun timbul
di wajah dua tokoh tua itu ketika Suto Sinting beradu pandang dengan Nenek
Cintani setelah mendengar ke-
terangan dari Elang Samudera.
Nenek Cintani akhirnya berkata dengan geram
kemarahan kepada Elang Samudera, "Kau jangan me-
nyebar fitnah lebih parah dari yang sudah-sudah! Bi-
sa-bisa kurobek habis mulutmu yang lancang itu, Se-
tan Licik!"
"Apa maksudmu mengancam begitu"!" ujar
Elang Samudera. "Aku tidak memfitnah mu, Nenek
Peot! Aku memang mendapat perintah memburu Pen-
dekar Mabuk bersama tongkat pusaka curiannya itu
dari Perwira Pulau Sangon...."
"Akulah Perwira Pulau Sangon!" sahut Nenek
Cintani dengan suara membentak.
"Tidak! Kau bukan Perwira Pulau Sangon!"
"Aku datang dari Pulau Sangon! Aku dipercaya
oleh Ratu Remaslega untuk berada paling depan dari
semua prajurit Pulau Sangon! Akulah perwira mereka!"
Elang Samudera tetap gelengkan kepala, tapi
suaranya tidak sekeras tadi.
"Tidak. Perwira Pulau Sangon adalah wanita
berparas cantik dan pemberani."
"Keparat kau!" geram Nenek Cintani sambil
mengangkat pedangnya. Elang Samudera mundur se-
langkah dan memasang kuda-kuda walau tanpa pe-
dang. Pendekar Mabuk rentangkan tangan di depan
Nenek Cintani pertanda menahan gerakan sang nenek.
Dari wajah dan nafasnya yang memburu, Pendekar
Mabuk tahu bahwa Nenek Cintani menjadi berang ka-
rena tidak diakui sebagai Perwira Pulau Sangon. Se-
mentara itu, di samping Suto Sinting, dua tokoh tua
itu sama-sama diam dan memandangi Nenek Cintani
serta Elang Samudera secara bergantian.
"Sarungkan pedangmu, Cintani," perintah Suto
Sinting dengan suara pelan namun berkesan tegas.
"Dia menghinaku, Suto!"
"Tidak. Ini bukan semata-mata penghinaan, ta-
pi ada sesuatu yang tak beres, perlu dibicarakan den-
gan kepala dingin, Cintani."
"Aku Perwira Pulau Sangon. Aku yang bernama
Nenek Cintani. Tapi aku tidak pernah bicara pada sia-
pa pun tentang hilangnya pusaka itu, dan aku tidak
pernah menyuruh siapa pun untuk memburu Pende-
kar Mabuk!" Nenek Cintani tampak ngotot sekali.
Galak Gantung segera maju selangkah dan
berkata kepada Elang Samudera.
"Sebenarnya, siapa dirimu, Anak Muda"!"
"Seperti yang sudah kau dengar, Pak Tua....
Aku adalah Elang Samudera dari Teluk Merah. Aku di-
perintahkan oleh guruku untuk datang ke Pulau San-
gon menemui Ratu Remaslega."
"Dengan alasan apa gurumu menyuruhmu me-
nemui Ratu Remaslega?" tanya Resi Pakar Pantun
yang belum pernah mendengar pengakuan tersebut.
"Guru menyuruhku mengabdi kepada Ratu
Remaslega untuk memperkuat pertahanan di pulau
itu. Perintah Guru selalu tak berani ku bantah. Tetapi ketika aku bertatap muka
dengan Ratu Remaslega,
sang Ratu dalam keadaan murung dan tak mau bicara.
Kemudian seorang pengawalnya menyarankan agar
aku mau menunda pertemuanku dengan sang Ratu
karena sang Ratu dalam keadaan sedang berduka. Ku-
tanya kepada pengawal itu penyebab duka sang Ratu,
namun aku tak mendapat jawaban yang sebenarnya.
Aku terpaksa pulang kembali ke Teluk Merah menga-
barkan hal itu kepada Guru. Tetapi di perjalanan aku
disusul oleh seorang wanita cantik penunggang kuda
putih. Dia adalah Perwira Pulau Sangon."
"Aku tidak pernah naik kuda putih!" sahut Nenek Cintani dengan berang.
"Ssstt...! Dengarkan dulu semuanya," kata Galak Gantung. "Teruskan ceritamu,
Elang Samudera."
Elang Samudera mengangguk penuh hormat
kepada tokoh tua itu. Kemudian ia melanjutkan ceri-
tanya dengan suara jelas.
"Menurut keterangan penunggang kuda putih
itu, rakyat Pulau Sangon sedang dilanda duka karena
pusaka Tongkat Guntur Bisu milik sang Ratu dicuri
orang. Pencurinya adalah Pendekar Mabuk. Perwira
Pulau Sangon itu berkata kepadaku, bahwa sang Ratu
baru saja membuka sayembara; barang siapa bisa me-
rebut kembali pusaka Tongkat Guntur Bisu, akan
mendapat hadiah istimewa dari beliau. Barang siapa
bisa memenggal kepala Pendekar Mabuk, berhak men-
jadi suami sang Ratu dan segala permintaannya akan
dituruti oleh sang Ratu. Maka aku pun segera pergi
mencari Pendekar Mabuk untuk memenggal kepa-
lanya, sebab terus terang saja, aku kagum kepada ke-
cantikan Ratu Remaslega. Aku terpikat pada pandan-
gan pertama."
"Siapa gurumu sebenarnya" Saat di kedai ke-
marin kau belum menjawab pertanyaanku, Elang Sa-
mudera," kata Resi Pakar Pantun setelah menarik napas dalam-dalam.
Tetapi Galak Gantung segera bicara kepada Re-
si Pakar Pantun, "Kalau benar dia berasal dari Teluk Merah, maka aku dapat
pastikan bahwa ia adalah murid dari Pendeta Darah Api, pamannya Ratu Remasle-
ga." "Memang benar, Pak Tua. Aku adalah murid Pendeta Darah Api!" ujar Elang
Samudera membenar-kan pendapat Galak Gantung dengan ketegasan dan
rasa bangga yang terpancar di wajahnya.
"Kalau begitu," sela Nenek Cintani. "Kaukah yang bernama Adhiyaksa?"
"Ya, namaku sebenarnya memang Adhiyaksa!"
Nenek bertanduk itu segera bangun dan tun-
dukkan kepala. Ia tak berani memandang Elang Sa-
mudera, seperti ada sesuatu yang disembunyikan dan
membuat hatinya menjadi sedih. Mungkin sang nenek
malu dengan keadaan dirinya yang separuh hewan itu,
tapi mungkin juga karena ada penyebab lain. Maka
Suto Sinting pun segera mendekatinya dan ajukan
tanya dengan suara pelan, namun bisa didengar oleh
yang lain. "Apakah kau kenal dengannya, Nenek Cinta-
ni"!" Setelah membiarkan pertanyaan itu sesaat, Nenek Cintani pun palingkan
wajah kembali, menatap
Elang Samudera dengan bola mata berkaca-kaca per-
tanda menahan tangis.
"Adhiyaksa sejak usia delapan tahun dititipkan
kepada Pendeta Darah Api, sedangkan aku dititipkan
kepada Pendeta Kembang Ayu, yaitu adik perempuan
Pendeta Darah Api. Maka jadilah aku sebagai murid
Pendeta Kembang Ayu yang sekarang menjadi penasi-
hat Ratu Remaslega."
"Dari mana kau tahu kalau aku sejak usia de-
lapan tahun ikut dengan Guru Pendeta Darah Api?"
"Karena..: karena kau sebenarnya adalah adik-
ku, Adhiyaksa...!"
"Hahhh..."!"
Elang Samudera terkejut, Nenek Cintani tak
tahan memendam keharuan, maka ia pun segera tun-
dukkan kepala dan menitikkan air mata. Mereka yang
lain saling pandang dengan mulut terkunci sesaat,
termasuk si Kadal Ginting yang mengikuti percakapan
itu dari bawah pohon.
Elang Samudera berkata, "Guru memang men-
gatakan, bahwa aku akan menemukan sesuatu yang
amat berharga di Pulau Sangon nanti, yaitu seorang
kakak yang selama ini berpisah dariku. Tetapi ketika
aku datang ke istana Pulau Sangon, aku lupa dengan
kata-kata Guru, sebab yang terbayang lekat dalam be-
nakku adalah wajah Ratu Remaslega. Tapi... tapi apa-
kah benar kau kakakku" Setua inikah kakakku?"
Nenek Cintani segera mundur menjauhi Elang
Samudera. "Tidak...! Aku... aku salah ucap. Aku bukan kakakmu! Kau tidak
mempunyai kakak manusia separuh hewan seperti ini! Tidak, Adhiyaksa... aku bukan
kakakmu. Kakakmu masih ada di Pulau Sangon seba-
gai prajurit unggulan!"
Elang Samudera terpaku di tempat dalam ke-
bimbangan. Nenek Cintani melangkah mundur sambil
tampakkan tangisnya dan memandangi Elang Samu-
dera. Suto Sinting segera berkata kepada Elang Samu-
dera, "Barangkali dia memang kakakmu, tapi karena dia terkena pengaruh sihir
lawannya, maka tampak
seperti manusia separuh hewan."
Elang Samudera pun akhirnya berseru, "Ka-
kak...!" "Tidak! Kau bukan adikku, dan aku bukan kakakmu! Selamat tinggal,
Adhiyaksa...!" Weees...!
"Kakaaaaak...!" teriak Elang Samudera mengejar Nenek Cintani yang segera larikan
diri. Tetapi pelarian itu segera terhenti karena dari
arah depan Nenek Cintani muncul seorang gadis ber-
pakaian serba kuning dengan langkah terhuyung-
huyung. Gadis itu tampak terluka parah pada bagian
perut dan dadanya. Darah mengucur membasahi ba-
gian depan tubuh langsing itu.
Nenek Cintani terperanjat kaget dan berseru
menyapa, "Puri Lanjar..."! Oh, kaukah itu, Puri Lanjar..."!" "Uuhgg...!" gadis
terluka parah itu akhirnya roboh ke depan tak mampu menahan diri untuk tetap
berdiri. Nenek Cintani segera menghampirinya dengan
tegang. Elang Samudera tiba di tempat itu, namun
perhatiannya sudah beralih kepada Puri Lanjar. Suto
Sinting dan yang lainnya segera ikut menghampiri ga-
dis yang terluka.
"Siapa gadis ini, Cintani"!" tanya Pendekar Mabuk. "Puri Lanjar, orang kedua
setelah diriku, pengawal samping Ratu Remaslega!" jawab Nenek Cintani dengan
suara berkesan panik.
"Puri Lanjar, apa yang terjadi pada dirimu ini"!
Mengapa sampai begini, Puri Lanjar"!"
Gadis berwajah sepucat mayat itu berusaha bi-
cara dalam pangkuan Nenek Cintani. Mulutnya berge-
rak-gerak, tampak sulit melontarkan kata.
"Aku Dewi Cintani... percayalah, aku perwira-
mu. Katakan apa yang terjadi, Puri Lanjar"!" desak nenek bertanduk itu.
"Selir Dewani...."
"Ada apa dengan si keparat itu"! Lekas bicara
padaku, Puri Lanjar!"
"Aku... aku diutus menangkap Selir Dewani,
karena dia... dia mencuri pusaka Tongkat Guntur Bi-
su, tapi... tapi... aku terluka olehnya dan... dan...."
"Biar kuberi minum tuak dulu," kata Suto Sinting sedikit mendesak. Nenek Cintani
bergeser sedikit
memberi tempat untuk Suto Sinting yang ingin menu-
angkan tuaknya. Tetapi baru saja tutup bumbung tuak
itu dibuka, ternyata Puri Lanjar telah menghembuskan
napas terakhir dan tak mungkin bisa terselamatkan
lagi jiwanya oleh tuak Suto itu.
"Puri Lanjaaarrr...!" teriak Nenek Cintani dengan suara tuanya yang serak hingga
akhirnya ia terba-
tuk-batuk dalam tangis.
"Keparat kau, Selir Dewani...!"
Pendekar Mabuk tampak kecewa sekali, ia ter-
lambat memberikan tuaknya kepada gadis yang terlu-
ka itu. Tetapi sang Resi segera berbisik kepada Suto
Sinting sambil menepuk punggung pemuda tampan
itu, "Memang sudah takdirnya ia harus tiada, tak
mungkin bisa tertolong oleh tuakmu."
Galak Gantung menimpali dengan persoalan
lain, "Kalau begitu, pencuri pusaka Tongkat Guntur Bisu adalah Selir Dewani!
Bukan kau, Suto!"
Elang Samudera berkata, "Jika begitu, orang
yang menemuiku di perjalanan dan mengaku sebagai
Perwira Pulau Sangon itu adalah Selir Dewani"!"
"Mungkin saja begitu. Apa susahnya mengaku
sebagai perwira dan mengaku bernama Dewi Cintani"!"
jawab Resi Pakar Pantun.
"Tapi mengapa ia menyuruhku memenggal ke-
pala Pendekar Mabuk" Apakah...." Elang Samudera
memandang Suto Sinting dan lanjutkan kata-katanya,
".... Apakah Selir Dewani adalah musuh bebuyutan mu, Pendekar Mabuk?"
Murid sinting si Gila Tuak itu justru gelengkan
kepala dengan dahi berkerut. Ia tampak bingung, dan
akhirnya suaranya yang pelan terdengar berkata,
"Aku malah tidak kenal dengan Selir Dewani.
Jangankan bertemu orangnya, mendengar namanya
saja baru kali ini. Maksudku, baru dalam peristiwa ini.
Sebelumnya aku tak pernah mendengar nama Selir
Dewani" "Aneh!" gumam Resi Pakar Pantun.
Ketika si Galak Gantung mau bicara, tiba-tiba
niatnya dibatalkan karena mendengar suara derap
langkah kaki kuda menuju ke arah mereka. Tak bera-
pa lama kemudian muncul seekor kuda putih yang
menjadi pusat perhatian Suto Sinting dan yang lain-
nya. Di atas kuda putih itu tampak seraut wajah can-
tik berhidung mancung dan bermata indah namun


Pendekar Mabuk 060 Dendam Selir Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkesan jalang. Perempuan penunggang kuda putih
itu mengenakan jubah lengan panjang warna biru mu-
da dengan rambut disanggul rapi berlilitkan logam
emas pelapis bebatuan permata. Perempuan cantik
berdada montok itu diperkirakan oleh mereka berusia
sekitar dua puluh tujuh tahun.
Melihat perempuan yang menyandang pedang
di punggungnya, Elang Samudera segera berseru sam-
bil menudingkan tangannya kuat-kuat.
"Itu dia orangnya! Dia yang mengaku bernama
Dewi Cintani dan sebagai Perwira Pulau Sangon!"
"Keparat busuk kau, Selir Dewani...!" teriak Nenek Cintani sambil berkelebat
menerjang perempuan
yang masih berada di atas punggung kuda.
Weeesss...! Gerakan sang nenek begitu cepat
hingga mengejutkan Galak Gantung dan Resi Pakar
Pantun yang dilalui bagian depannya. Tubuh sang ne-
nek melambung tinggi dengan kaki terarah ke wajah
Selir Dewani. Wuuut...! Selir Dewani hanya mengangkat tan-
gan dan membuka telapak tangannya ke depan. Tiba-
tiba tubuh nenek kurus kering itu terpental dengan
sendirinya sebelum kakinya menyentuh tubuh Selir
Dewani. Nenek itu membalik arah bagai dilemparkan
tenaga yang cukup kuat. Weeerrr...! Brruk...!
"Aaauhg..,!" Nenek Cintani mengerang kesakitan, seluruh tulangnya bagaikan
remuk. Ia jatuh tepat di tanah depan Elang Samudera yang sedang memun-gut
pedangnya. Pedang itu tadi terlempar saat lakukan pertarungan dengan Suto
Sinting. "Kukejar tikus dari Pulau Sangon, yang kute-
mukan justru kawanan musang di sini!" seru perempuan yang masih duduk di atas
kuda putih itu. Ia
tampak angkuh dan sombong.
Galak Gantung menggeram sambil memandang
tajam Selir Dewani. Resi Pakar Pantun bersungut-
sungut dan bicara kepada Kadal Ginting yang kala itu
segera mendekati sang Resi karena takut diserang pe-
rempuan di atas kuda itu.
"Kurang ajar betul perempuan itu. Kita diang-
gap kawanan musang!"
"Padahal hanya satu wajah yang mirip musang,
ya Eyang?"
"Siapa" Aku..."! Jangan menyindir ku begitu,
bisa kubobok wajahmu, Kadal Ginting!" geram Resi Pakar Pantun.
Selesai menolong Nenek Cintani dengan memi-
numkan tuaknya, Suto Sinting segera mencekal lengan
Elang Samudera yang ingin bergegas maju menyerang
Selir Dewani dengan pedangnya. Gerakan murid Pen-
deta Darah Api itu terhenti karena tangan Suto Sint-
ing, ia pun cepat berpaling memandang Suto dan saat
itu Suto Sinting segera berkata,
"Kurasa perempuan itu sekarang sudah menja-
di bagianku! Biar aku yang menghadapinya, Elang
Samudera."
Resi Pakar Pantun berseru kepada Selir Dewa-
ni, "Turun kau dari kudamu, bicarakan masalah mu dengan kami. Jangan seenaknya
mengatakan kami
kawanan musang!"
"O, jadi aku harus mengatakan bahwa kalian
adalah kawanan serigala"! Hi, hi, hi...!"
Galak Gantung menjadi berang, ia segera sen-
takkan tangan kanannya ke depan untuk lepaskan
pukulan jarak jauhnya. Namun gerakan itu kalah ce-
pat dengan gerakan tangan Selir Dewani yang menca-
but sesuatu dari balik jubahnya. Sesuatu yang dica-
butnya itu tak lain adalah sebatang tongkat dari emas berukir panjang satu
hasta. Tongkat itulah yang dina-makan Tongkat Guntur Bisu.
Claaap...! Sinar biru berekor hijau melesat dari bola intan
di ujung tongkat manakala tongkat itu disentakkan ke
arah depan. Sinar biru itu menyebar begitu mendekati
tubuh Galak Gantung. Gerakan menghindari dari Ga-
lak Gantung ternyata terlambat juga, sehingga tubuh
Galak Gantung terbungkus sinar biru yang menyilau-
kan itu. Semua memandang dengan kaget, dan melang-
kah mundur dalam keadaan wajah menegang. Sinar
biru itu lenyap dari tubuh Galak Gantung dan mereka
semakin terperangah melihat Galak Gantung berubah
menjadi sebuah patung batu berlumut, bagai sudah
berusia ratusan tahun.
"Gila...!" geram Suto Sinting bernada gumam.
"Hi, hi, hi...!" Selir Dewani tertawa kegirangan.
"Siapa lagi yang ingin diabadikan menjadi patung ba-tu"!" ia memandang Kadal
Ginting dan berkata dengan sinisnya, "Apakah kau ingin seperti si tua bangka
itu" Majulah selangkah kalau memang kau ingin menjadi
patung berlumut seperti dia!"
Kadal Ginting geleng-gelengkan kepala dengan
wajah takut. Ia makin bersembunyi di belakang Resi
Pakar Pantun, Di luar dugaan siapa pun, dari arah belakang
Selir Dewani melesat sesosok bayangan yang langsung
menerjang perempuan itu. Weeesss...! Brruss...!
Selir Dewani terjungkal jatuh dari atas pung-
gung kuda. Brruk...! Sang kuda meringkik kaget den-
gan mengangkat kedua kaki depannya, kemudian me-
larikan diri dari tempat itu.
Selir Dewani melontarkan sumpah serapah tak
beraturan sambil masih menggenggam Tongkat Guntur
Bisu. Ia cepat-cepat bangkit berdiri dan terkejut me-
mandang orang yang baru datang itu.
"Bibi..."!" sapanya dengan nada heran. Orang yang menerjang Selir Dewani dari
belakang itu adalah
seorang perempuan berjubah satin merah jambu. Ia
berwajah cantik dengan rambut disanggul berhias
permata. Sebuah senjata berupa kipas gading tampak
terselip di pinggangnya.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat melihat
kehadiran perempuan itu, sebab ia sudah mengenal-
nya. Itulah sebabnya ia segera menyapa dengan suara
lantang, "Rara Santika..."!"
"Maaf, aku datang tak bermaksud mencampuri
urusan kalian, tapi untuk mengejar buronanku ini!"
kata Rara Santika yang dulu pernah bekerja sama
dengan Pendekar Mabuk dalam peristiwa penghan-
curan Gua Tumbal Perawan yang dikuasai oleh adik
Rara Santika, yaitu Rara Sumina, (Baca serial Pende-
kar Mabuk dalam episode: "Gundik Sakti").
Selir Dewani menggeram dengan sorot pandan-
gan mata tajam ke arah Rara Santika. Tongkat Guntur
Bisu tampak siap-siap untuk digunakan menyerang
Rara Santika. Tapi perempuan berpenutup dada biru
muda yang dipanggil 'bibi' oleh Selir Dewani itu tidak merasa takut sedikit pun.
Ia bahkan berkata dengan
suara lantang, "Akhirnya kutemukan juga kau di sini! Sekali-
pun kau mengubah namamu menjadi Selir Dewani, ta-
pi aku tetap tahu bahwa kau adalah Selir Malam yang
dari dulu dikenal sebagai Gadis Pencuri."
"Apa maksud Bibi menyerangku dari bela-
kang"!" "Ratu Remaslega adalah sahabatku, dan dia ta-hu bahwa kau adalah
keponakanku. Ratu Remaslega
setengah menuntut kepadaku agar tongkat pusakanya
yang kau curi itu dikembalikan. Aku malu padanya,
dan aku harus bisa merebut tongkat itu jika kau tidak mau mengembalikan secara
baik-baik, Selir Malam!"
"Akan kukembalikan setelah pembunuh ibuku
menjadi patung batu, termasuk Bibi Santika sendiri!"
Rara Santika menyambar kipas gadingnya yang
bernama Kipas Dewi Murka. Ia lakukan satu lompatan
kecil untuk menghindari serangan keponakannya yang
ternyata bernama Selir Malam itu. Wuuut...! Dan saat
itulah Tongkat Guntur Bisu lepaskan sinar birunya
yang berekor hijau menuju ke dada Rara Santika.
Claaap...! Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat mengguncangkan bumi. Sinar
biru itu ternyata mampu ditangkis dengan Kipas Dewi
Murka. Namun ledakan tersebut membuat Rara Santi-
ka terlempar jauh dan membentur sebongkah batu be-
sar. Brrruk...!
"Oouuh...!" Rara Santika jatuh terkulai dengan mulut keluarkan darah karena
benturan punggung
dengan batu sangat keras. Tulang punggungnya sem-
pat patah hingga ia tak mampu lagi untuk tegakkan
badan. Kipasnya sendiri terpental lima langkah darinya tersangkut pada ranting
semak. "Rupanya kipas itu adalah senjata yang mampu
menangkis kekuatan Tongkat Guntur Bisu"!" gumam
Nenek Cintani di samping Elang Samudera dan Suto
Sinting. "Aku harus bertindak sekarang juga!" ujar Suto Sinting bagai bicara
pada diri sendiri. Resi Pakar Pantun yang mendengar ucapan itu segera berpaling
dan ingin mencegah niat Suto. Namun pencegahannya itu
terlambat. Pendekar Mabuk sudah lebih dulu bergerak
dengan cepat ke arah depan Rara Santika, seakan
menghadang serangan berikutnya dari Selir Malam.
"Memang kalian berdua yang kuharapkan mati
bersama untuk menebus kematian Ibuku yang kalian
bunuh! Mulanya aku ingin kau dibenci oleh setiap wa-
nita, Pendekar Mabuk. Aku ingin kau mati secara me-
nyedihkan dengan diburu ke sana-sini seperti babi hu-
tan. Karenanya, setiap perempuan yang mengenalmu
kujadikan patung batu dan ku sebarkan bahwa kaulah
pencuri tongkat pusaka ini. Tetapi agaknya rencana itu kurang tepat dan terlalu
mengulur waktu. Maka ku
putuskan untuk menghadapi kau dan membuatmu
menjadi patung batu untuk kemudian kuhancurkan
selembut sagu!"
Pendekar Mabuk menggumam, "O, pantas kau
mendendam padaku dan pada Rara Santika. Rupanya
kau anak dari si Gundik Sakti itu!"
"Benar! Tapi aku tak ikut mati saat Gua Tum-
bal Perawan yang menjadi tempat tinggal kami kau
hancurkan bersama bibiku yang keparat itu! Aku se-
dang tidak ada di tempat pada saat kau hancurkan
gua itu." Pendekar Mabuk melangkah pelan mendekati
ke arah Kipas Dewi Murka, namun gerakannya itu ti-
dak menimbulkan kecurigaan Selir Malam. Begitu de-
kat dengan Kipas Dewi Murka, Pendekar Mabuk segera
berkata kepada si Selir Malam.
"Lampiaskan dendammu padaku, jangan kau
korbankan orang lain yang tak bersalah padamu! Tapi
percayalah, kau tak akan mampu membunuhku, ka-
rena aku dan bibimu ada di pihak yang benar!"
"Akan kubuktikan kemampuanku di depan si
keparat Cintani yang termakan sihir ku itu! Hiaaat..,!"
Claaap...! Tongkat Guntur Bisu keluarkan sinar
birunya kembali. Zlaaap...! Suto Sinting menyambar
Kipas Dewi Murka dan kipas itu pun segera disentak-
kan sambil menangkis datangnya sinar biru. Wuuuk...!
Blaaaass...! Sinar biru itu berbalik arah dan
menghantam Selir Malam secara di luar dugaan.
Blaaab...! Zlaaasss...!
Tubuh Selir Malam yang tak sempat menghin-
dar itu terpaku di tempat, dan sinar biru menyebar
membungkusnya dengan menyilaukan.
Kejap berikut, sinar biru itu lenyap dan tam-
paklah sesosok patung batu berlumut dalam bentuk
seorang wanita berwajah kaget dengan gerakan mau
melarikan diri. Selir Malam akhirnya menjadi sebuah
patung batu berlumut, tapi Tongkat Guntur Bisu ma-
sih tetap utuh, terselip di tangan patung. Tangan itu bagaikan berlubang, yang
seolah-olah sengaja diper-siapkan untuk tempat menaruh tongkat.
Tongkat Guntur Bisu segera diambil oleh Suto
Sinting. Setelah mengamat-amati sebentar, ia segera
bergegas menemui Rara Santika yang tak bisa bangkit
karena patah tulang punggungnya. Perempuan itu pun
segera diberinya minum tuak dari bumbung sakti, ke-
mudian Kipas Dewi Murka dikembalikan kepada Rara
Santika. "Kusangka kipas ini tidak bisa untuk memba-
likkan sinar biru tadi," kata Rara Santika yang kini sudah mampu berdiri.
"Aku pun untung-untungan saja mengerahkan
tenaga dalam dan menyentakkan kipas untuk me-
nangkis sinar biru. Ternyata justru mampu membalik-
kan sinar tersebut."
"Lagi-lagi kau beruntung dalam pertarungan
maupun dalam asmara," sindir Rara Santika sambil tersenyum sinis. Pendekar Mabuk
hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Biasanya jika sudah memperoleh kemenangan
kau pergi meninggalkan aku," sambung Rara Santika.
"Jika tidak karena pekerjaan yang amat pent-
ing, aku ingin selalu mendampingimu."
"Ah, lupakan tentang itu!" Rara Santika mengelak dan tak mau terlibat perkara
perasaan dan batin.
"Patung itu harus kuhancurkan sebagai tanda kematian abadi bagi keponakanku
sendiri yang se-sat itu!"
Tiba-tiba dua jari tangan kanan Rara Santika
menyentak ke depan dan selarik sinar hijau melesat
menghantam patung Selir Malam. Claap...! Blaarrr...!
Patung itu hancur menjadi serbuk yang lembut
dan menyebar ke mana-mana. Tak ada kemungkinan
lagi bagi Selir Malam untuk berubah wujud sebagai
manusia biasa. Pendekar Mabuk paham betul maksud
penghancuran itu, maka ia pun menarik napas dalam-
dalam penuh kelegaan.
"Sutooo...! Sutooo...! Aku telah berubah! Lihat, aku telah berubah...!"


Pendekar Mabuk 060 Dendam Selir Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seruan itu datang dari Nenek Cintani yang ber-
lari-lari menghampiri Suto Sinting dan Rara Santika.
Pendekar Mabuk terperangah dengan mulut bengong
dan mata tak berkedip setelah menggumam kagum,
"Ya ampuuun..."!"
Rupanya kematian Selir Malam membuat pen-
garuh sihirnya pun hilang. Nenek Cintani berubah wu-
jud menjadi manusia biasa. Bukan sekadar manusia
seutuhnya, namun juga manusia yang mengagumkan
dan mendebarkan hati Pendekar Mabuk. Karena ter-
nyata Nenek Cintani adalah seorang perempuan cantik
yang masih tergolong berusia muda. Kecantikannya
begitu memukau tiap lelaki, hingga Suto Sinting sem-
pat sesak napas, terutama memandang dadanya yang
kencang dan menonjol penuh tantangan itu. Tanpa
malu-malu, Nenek Cintani segera memeluk Suto Sint-
ing dalam keharuannya. Rara Santika hanya melirik
ketus, Resi Pakar Pantun tersenyum-senyum kecut
memandangi Rara Santika. Sedangkan si murid Pende-
ta Darah Api segera ikut memeluk Dewi Cintani seba-
gai kakak yang selama ini berpisah darinya.
Resi Pakar Pantun berkata, "Hentikan suka cita
ini. Pikirkan nasib si Galak Gantung dan yang lainnya itu. Menurutku, Galak
Gantung tak pantas menjadi
patung. Ia tampak jelek sekali."
Rara Santika menyahut, "Pesan sang Ratu Re-
maslega kepadaku, para korban Tongkat Guntur Bisu
ini dapat dipulihkan menjadi manusia kembali apabila
terkena tetesan air dari Sendang Ketuban."
"Nan air itulah yang terbayang dalam benakku
sejak tadi!" ujar Resi Pakar Pantun.
"Air Sendang Ketuban..."!" Pendekar Mabuk
menggumam dengan berkerut dahi. "O, ya... aku ingat.
Sendang Ketuban ada di negeri Wilwatikta. Aku pernah
mengambilnya untuk menawarkan racun 'Tapak Ungu'
yang kala itu mengenai si Darah Prabu," (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pembantai Raksasa").
"Aku ikut ke negeri Wilwatikta!" sahut Elang Samudera.
"Aku setuju," kata Rara Santika. "Kau ikut pulang ke Pulau Sangon bersamaku,
Cintani!" "Yah, kalau memang begitu baiknya, terpaksa
aku ikut saran mu, Rara Santika!" kata Dewi Cintani dengan rasa kecewa yang
disembunyikan. Hasratnya
ingin mendampingi Suto Sinting setelah dirinya tam-
pak cantik kembali terpaksa dibatalkan, karena ia pun malu kepada adiknya jika
tampak terpikat kepada murid sinting si Gila Tuak itu.
Dengan meneteskan air Sendang Ketuban, ma-
ka para korban yang menjadi patung batu itu akhirnya
pulih menjadi manusia kembali seperti aslinya. Peker-
jaan itu dilakukan sendiri oleh Suto Sinting, sambil
bermaksud membersihkan namanya dari anggapan
buruk yang sudah telanjur disebarkan oleh Selir Ma-
lam itu. SELESAI Segera terbit!!!
SETAN RAWA BANGKAI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Imbauan Pendekar 4 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Tembang Tantangan 25
^