Pencarian

Setan Rawa Bangkai 1

Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
1 SETAN Rawa Bangkai adalah julukan
bagi tokoh aliran hitam yang berusia delapan puluh tahun, ia bertapa di
sebuah rawa dengan cara merendam
tubuhnya sampai batas leher, tinggal kepalanya saja yang tampak di
permukaan air rawa. Tapa rendam itu dilakukan olehnya selama tujuh belas tahun.
Kemunculannya kembali ke dunia
persilatan sempat menjadi bahan
percakapan para tokoh tua kalangan
atas, baik yang beraliran hitam maupun putih. Mereka mengatakan, "Setan Rawa
Bangkai mulai bergentayangan kembali."
Tak heran jika beberapa tokoh tua
aliran putih mengadakan pertemuan di puncak Bukit Sekal.
"Delapan belas tahun yang lalu, Marundang atau si Setan Rawa Bangkai pernah
hampir menghancurkan dunia
dengan ilmu 'Cakrabumi'-nya. Untung bisa ditumbangkan oleh jurus 'Petak
Sembilan'-nya si Raja Maut," ujar Ki Argapura, tokoh yang kesohor sebagai jago
pedang kawakan, pernah menurunkan Ilmu pedangnya kepada Pendekar Mabuk, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Ladang Pertarungan").
"Memang benar! Tapi sekarang si Raja Maut telah tiada, haruskah kita tangani
bersama-sama agar Setan Rawa Bangkai tidak mengumbar keganasannya kembali?"
timpal tokoh gemuk
berjenggot putih yang dikenal dengan nama si Jubah Kapur. Ketua Partai
Gelandangan itu sangat peduli sekali dengan bahaya yang mengancam kedamaian
serta keutuhan dunia persilatan,
karenanya dalam pertemuan di Bukit
Sekal itu ia paksakan diri untuk hadir dan ikut membahasnya.
"Kurasa saat ini Marundang punya ilmu baru yang lebih berbahaya dan
sepertinya kekuatan kita tidak cukup untuk menandingi kekuatan Marundang,"
kata tokoh tua berambut belakang
panjang depannya botak, tanpa kumis dan tanpa jenggot. Tokoh yang
mengenakan jubah abu-abu itu dikenal dengan nama Buyung Gerang, saudara
seperguruan dengan Poci Dewa yang kala itu ada di sampingnya, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pertarungan Tanpa Ajal").
Galak Gantung, orang yang tempo
hari lakukan pertarungan dengan Suto Sinting karena salah paham itu, segera ikut
angkat bicara dengan sikap
wibawanya. "Sebenarnya ada satu orang yang bisa menandingi si Setan Rawa Bangkai itu. Tapi
entah dia mau turun tangan atau tidak dalam perkara ini."
"Siapa maksudmu, Galak Gantung"!"
tanya Ki Argapura.
"Kurasa aku belum tentu sanggup.
Jangan berharap padaku," sahut si Tua Bangka, tokoh berilmu tinggi yang
memiliki pusaka Kapak Setan Kubur.
"Jangan gede rasa dulu, Tua
Bangka! Yang kumaksud bukan dirimu!"
ujar Galak Gantung.
"O, maaf. Kukira akulah orang
yang kau anggap sakti itu, he, he,
he...." Tua Bangka cengar-cengir sambil garuk-garuk kepalanya.
"Orang yang mampu tumbangkan
kekuatan si Setan Rawa Bangkai tak
lain adalah Sabawana alias si Gila
Tuak!" "Menurutku, Bidadari Jalang,
saudara seperguruannya si Gila Tuak juga mampu melawan kekuatan Setan Rawa
Bangkai," sela Sumbaruni, tokoh
perempuan cantik yang sudah berusia banyak tapi masih tampak muda.
Perempuan mantan istri jin dan punya kesaktian cukup tinggi. Tapi toh ia masih
merasa akan kalah tanding jika melawan Setan Rawa Bangkai.
Poci Dewa menimpali sambil
manggut-manggut, "Ya, ya... kurasa si Gila Tuak atau Bidadari Jalang yang mampu
lumpuhkan Setan Rawa Bangkai."
"Tapi mereka sudah tidak mau ikut libatkan diri dalam bentrokan dengan siapa
pun. Mereka sudah mengasingkan diri dan enggan ikut campur di rimba persilatan,"
ujar Ki Tumbang Laga yang usianya sudah mencapai tujuh puluh
lima tahun tapi masih tampak gagah, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Kutukan Pelacur Tua").
"Tapi kudengar mereka berdua akan datang menghadiri pertemuan ini!"
sahut Sumbaruni.
Wuuus...! Buuubb...!
Tiba-tiba segumpal asap mengepul
di samping Sumbaruni. Perempuan sakti yang menyimpan cinta kepada Pendekar Mabuk
itu sempat terkejut sesaat. Asap itu pun lenyap dan muncullah sesosok tubuh
gemuk berkepala gundul
mengenakan pakaian model biksu warna kuning, berkalung tasbih sebesar
kelereng sepanjang perut, ia tokoh
yang kumis dan brewoknya berwarna
putih rata namun berkesan lembut.
Tokoh aliran putih itu tak lain adalah Resi Badranaya, guru dari si Darah
Prabu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Buronan").
"Maaf aku terlambat datang,"
ujarnya sambil mendekapkan kedua
telapak tangan di dada dan badan
sedikit membungkuk pertanda memberi hormat kepada sahabat-sahabatnya yang sudah
ada di tempat. "Badranaya, kusangka kau tak akan datang karena sibuk dengan urusan
kakakmu; Nyi Mas Gandrung Arum."
"Urusanku sudah selesai, dan
telinga tuaku mendengar kabar tentang
kemunculan si Setan Rawa Bangkai.
Firasatku mengatakan, bahwa Setan Rawa Bangkai pasti mempunyai kekuatan lebih
ampuh lagi, ilmu yang lebih dahsyat lagi, sehingga ia akan
memporakporandakan isi dunia untuk
yang kedua kalinya. Kudengar kabar
pula bahwa kalian berkumpul di Bukit Sekal ini, sehingga kusempatkan untuk hadir
di antara kalian."
Tua Bangka yang juga kenal dengan
Resi Badranaya itu segera berkata,
"Sebaiknya tugas melumpuhkan
Setan Rawa Bangkai kami percayakan
padamu saja, Badranaya. Apakah kau
punya kesanggupan untuk mengungguli kekuatan barunya Marundang?"
"Mengungguli atau tidak, itu
persoalan nanti. Yang penting jika
kalian percayakan hal ini kepadaku, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk
menumbangkan si Setan Rawa Bangkai
itu! Sekalipun nyawaku menjadi korban, aku telah siap dengan hati rela. Toh
semua ini demi selamatkan bumi yang kita pijak agar jangan hancur sebelum kiamat
tiba." "Aku tidak setuju!" celetuk Galak Gantung. "Aku keberatan jika Badranaya yang
berhadapan dengan Marundang. Sama
saja kita membuang satu nyawa secara sia-sia. Setan Rawa Bangkai tidak bisa
ditandingi secara coba-coba. Harus ada lawan yang sekali serang bisa bikin ia
binasa!" "Kalau kau tidak bersedia, aku pun tidak akan memaksakan diri untuk menghadapi
Marundang," kata Resi Badranaya dengan nada bijaksana.
"Barangkali pertimbanganmu memang benar, Galak Gantung. Hanya saja,
siapa orang yang mampu tumbangkan
Marundang dalam sekali serang?"
"Gila Tuak atau Bidadari Jalang.
Tapi mereka...."
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan
di samping Galak Gantung,
"Mengapa harus aku"!"
Semua mata tertuju pada si
pemilik suara tersebut. Ternyata orang yang bicara itu adalah tokoh beralis
tebal putih yang memakai pakalan hijau di bungkus jubah kuning lengan panjang
bukaan depan. Tokoh berambut putih
rata sepanjang pundak dengan ikat
kepala hitam dan tongkat hitam
setinggi dada itu tak lain adalah Ki Sabawana, atau si Gila Tuak. Sedangkan
perempuan cantik yang tampak masih
muda namun sudah berusia banyak yang
berdiri di samping Gila Tuak adalah perempuan sakti nomor dua setelah si Gila
Tuak. Dia adalah Bidadari Jalang, mantan tokoh hitam yang sudah
berpindah ke aliran putih. Keduanya itu adalah guru dari Suto Sinting yang
bergelar Pendekar Mabuk. Keduanya
muncul tanpa suara dan tanpa tanda.
Bagi mereka kemunculan itu sudah
tidak mengherankan. Mereka tahu, Gila Tuak dan Bidadari Jalang adalah nama tokoh
sakti yang tercantum dalam
daftar paling atas dari deretan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Nama
yang ada pada deretan ketiga setelah dua tokoh itu adalah Siluman Tujuh
Nyawa, manusia yang dikutuk menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun.
Tapi dalam pertemuan di Bukit Sekal itu, Siluman Tujuh Nyawa tidak hadir, karena
memang pertemuan itu bukan dari aliran hitam.
Bidadari Jalang segera angkat bicara setelah semua tercekam hening beberapa helaan napas,
"Kami dengar apa yang sedang
terjadi di rimba persilatan. Setan
Rawa Bangkai bergentayangan kembali.
Kami sengaja diam karena kami punya sahabat cukup banyak yang ilmunya
mampu menyamai Setan Rawa Bangkai.
Kalian-kalian inilah yang sebenarnya kurang percaya diri, sehingga tidak mau
bertindak secepatnya."
"Bidadari Jalang," ujar Galak Gantung. "Kabar terakhir yang kudengar sebelum
hadir dalam pertemuan ini
ialah tentang ilmu baru yang dimiliki si Setan Rawa Bangkai. Ada dua ilmu yang
sudah ia coba untuk mengacaukan suatu daerah tanpa belas kasihan
sesama manusia. Kedua ilmu itu adalah
'Sukma Sakti' dan satu lagi 'Cakar
Belah Jagat'. Seseorang yang sudah
kuasai ilmu 'Sukma Sakti' berarti ia hampir mencapai tingkat puncak ilmu
tertinggi. Kau dan Gila Tuak sudah ada di tingkat yang sama, tapi kami masih
jauh di bawah kalian. Jadi sia-sia
saja jika kami bertindak melawan Setan Rawa Bangkai. Satu-satunya jalan hanya
kalian berdua yang mampu hentikan
kekejian Setan Rawa Bangkai."
Tua Bangka menyahut, "Kami tidak ingin buang-buang waktu, buang-buang tenaga dan
yang terpenting kami tidak ingin buang-buang nyawa. Perlu
diingat, bahwa kami hanya punya satu nyawa. Jadi tak bisa dipakai untuk
coba-coba melawan keganasan Setan Rawa
Bangkai." "Lalu untuk apa kau punya pusaka Kapak Setan Kubur kalau masih merasa kecil di
hadapan Setan Rawa Bangkai?"
"Nawang Tresni," kata Tua Bangka menyebut nama asli Bidadari Jalang.
"Pusaka yang kumiliki sudah hancur kala aku melawan Balekubang, Penguasa Pulau
Tangkal yang ingin mengawini
cucuku itu. Kukorbankan pusaka Kapak Setan Kubur demi keselamatan cucuku dan
kehancuran si Balekubang. Jadi, sekarang apa yang kupunya hanya kapak tebang
pohon yang tak punya kekuatan apa-apa untuk
melawan Setan Rawa
Bangkai." Mereka terdiam sebentar, karena
baru sekarang mendengar Kapak Setan Kubur ternyata telah hancur bersama
hancurnya orang-orang Pulau Tangkal.
Sayang sekali mereka tak menyaksikan pertarungan Tua Bangka dengan orang-orang
Pulau Tangkal, sehingga
peristiwa hancurnya Kapak Setan Kubur itu tidak bisa disaksikan dengan mata
kepala mereka masing-masing. Jika pada waktu itu Tua Bangka tidak harus
melawan orang-orang Pulau Tangkal,
maka ia akan membantu Pendekar Mabuk dalam mencari pusaka Panji-panji Mayat
milik keluarga Dewi Hening itu, (Baca serial Pendekar Mar buk dalam episode:
"Misteri Bayangan Ungu").
Perundingan itu berlangsung
hampir sehari penuh. Pada dasarnya
mereka menaruh harap kepada Gila Tuak atau Bidadari Jalang untuk
menghancurkan kekejian si Setan Rawa Bangkai. Tapi agaknya kedua tokoh
sakti yang namanya cukup disegani di kalangan sejajarnya itu merasa
keberatan untuk lakukan permintaan
mereka. Akhirnya Gila Tuak berkata
kepada mereka, "Jika kalian merasa tak ada yang sanggup tumbangkan si Marundang, maka aku akan
mengutus muridku untuk
melawan Setan Rawa Bangkai."
"Hah..."! Maksudmu si bocah tanpa pusar; Suto Sinting itu?" cetus Tua Bangka
agak kaget. "Tidak. Aku tidak setuju jika
Suto Sinting yang harus berhadapan
dengan Setan Rawa Bangkai. Aku sangat tidak setuju!" ujar Sumbaruni dengan nada
keras, ia tampak gusar mendengar Suto Sinting akan mendapat perintah dari sang
Guru untuk melawan Setan
Rawa Bangkai, sebab ia tak ingin Suto Sinting sebagai pemuda yang dicintai
walau bertepuk sebelah tangan itu
celaka dan hancur di tangan Setan Rawa Bangkai.
"Mengapa kau tampak berang sekali setelah mendengar rencanaku,
Sumbaruni"!" tanya Gila Tuak dengan kalem.
"Suto Sinting bocah kemarin sore.
Bukan tandingannya jika harus melawan Setan Rawa Bangkai, itu sama saja kau
ingin mencelakakan muridmu sendiri, Gila Tuak!"
"Kami tidak khawatirkan hal itu,"
kata Bidadari Jalang. "Kami tidak cemaskan keselamatan Suto, sebab kami tahu
seberapa tinggi kekuatannya,
sehingga menurut kami ia cukup mampu mengatasi kekejian Setan Rawa Bangkai itu,
Sumbaruni!"
"Bidadari Jalang dan Gila Tuak,"
sela Ki Argapura, "Kumohon perkara ini jangan dianggap remeh dan jangan
dipakai buat main-main. Benar apa kata Sumbaruni, bahwa muridmu; si Pendekar
Mabuk, adalah bukan tandingannya Setan Rawa Bangkai. Bisa-bisa anak itu akan
mati dalam sekali gebrak saja.
Kuingatkan sekali lagi, jika Setan


Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rawa Bangkai berani
bergentayangan lagi, maka itu adalah tanda bahwa ia
sudah mempunyai ilmu yang lebih
dahsyat dari delapan belas tahun yang lalu."
'Dan itu sama saja menyuruh murid
untuk bunuh diri!" timpal Poci Dewa.
Dalam pertemuan itu ada pula
tokoh yang selama ini sering dampingi Suto Sinting dengan kekonyolannya
maupun dengan kesungguhannya. Dia
adalah Resi Pakar Pantun bersama
pelayannya; si Kadal Ginting. Resi
Pakar Pantun segera hentikan bisik-
bisiknya kepada Resi Badranaya, dan kini ia bicara kepada si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang dengan pantunnya:
"Bunga kecubung memakai
selendang, menanak nasi di dalam kerang.
Jangan anggap remeh usia orang, sekali gebrak nyawa pun akan
hilang." Pantunnya itu bersifat membela
keputusan Gila Tuak, sehingga, dengan lancar ia bicara kepada mereka,
"Aku yakin Pendekar Mabuk mampu lumpuhkan si Setan Rawa Bangkai, asal pada saat
ia bertarung melawan si Setan Rawa Bangkai, ia didampingi
perempuan cantik."
"Kekuatan Suto tidak pada
perempuan cantik, Pakar Pantun. Jangan bicara sembarangan!" hardik Gila Tuak.
Hardikan itu membuat Resi Pakar Pantun nyengir malu karena merasa salah duga.
Bidadari Jalang menimpali, "Bocah tanpa pusar mempunyai kekuatan yang sulit
ditandingi atau dikalahkan oleh seseorang. Itulah kehebatan Suto
Sinting, dan karenanya kalian tak
perlu khawatir tentang keselamatannya, ia akan menghancurkan kekejian dan
keganasan si Setan Rawa Bangkai."
Akhirnya mereka melepaskan desah
kepasrahan sambil angkat bahu. Bahkan Buyut Gerang sempat berkata mirip
orang menggumam,
"Terserah kalian saja, Gila Tuak!
Jika memang kau dan Bidadari Jalang yakin akan kekuatan seimbang pada diri murid
kalian, lakukan saja sesuai
keyakinan kalian!"
"Masalahnya sekarang aku belum tahu, Suto Sinting ada di mana" Tolong carikan
dia dan ceritakan rencanaku ini kepadanya."
"Tapi... tapi bagaimana jika Suto kalah dan nyawanya loncat dari
raganya"!" ujar Sumbaruni yang tampak gelisah sekali.
* * * 2 PEMUDA tanpa pusar yang bernama
Suto Sinting kala itu sedang
berhadapan dengan Jagal Neraka. Orang brewok berambut ikal yang mempunyai mata
besar, bibir tebal dan perawakan tinggi besar itu sengaja menghadang langkah
Suto Sinting ketika pemuda
tampan yang membawa-bawa bumbung tuak itu melewati pantai. Jagal Neraka
adalah Ketua Perampok Lembah Hantu
yang tempo hari nyaris mati di tangan Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Dendam Selir Malam"). Rupanya kekalahannya telah membuat Jagal
Neraka menaruh dendam kepada Suto Sinting, sehingga ia
sengaja mencari pendekar berbaju
coklat tanpa lengan baju itu. Jagal Neraka sengaja tidak sendirian,
melainkan bersama dua saudaranya,
yaitu seorang adik yang bernama Kerak Singa dan seorang kakak yang bernama Iblis
Bujangan. "Seperti janjiku semula, kita
akan bertemu lagi dan aku akan menebus kekalahanku tempo hari, Pendekar
Mabuk!" ujar Jagal Neraka dengan mata lebarnya membelalak penuh pancaran
dendam. Pendekar Mabuk hanya diam
saja, berdiri tegak dengan tenang.
Bahkan sempat membuka bumbung tuaknya untuk ditenggak. Namun sebelumnya ia
berkata kepada Jagal Neraka.
"Dendam tidak akan membawa
kedamaian, Jagal Neraka. Dendam justru dapat menyeret orang ke liang kubur."
"Persetan dengan nasihatmu, Bocah Sinting!" bentak Jagal Neraka, maksudnya ingin
menjatuhkan nyali
Pendekar Mabuk agar merasa takut dan gentar kepadanya, namun bentakan keras itu
bagai tidak didengar oleh si
tampan bercelana putih kusam itu.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum
sejenak, kemudian menenggak tuaknya dengan kalem. Seakan ia tidak sedang
berhadapan dengan musuh.
Sikapnya itu dianggap meremehkan
sekali oleh Jagal Neraka dan memancing kemarahan Jagal Neraka lebih berkobar
lagi. Kerak Singa berkata pelan
seperti menggumam,
"Dia menganggap ringan kehadiran kita ini, Jagal Neraka. Hantam saja
sekarang juga biar bocah itu tahu
sopan sedikit!".
"Memang harus kuhancurkan wajah gentengnya itu. Hheeeaah...!" Jagal Neraka
menggeram jengkel sekali.
Tubuhnya melompat maju dengan kaki
kanan yang besar mengarah ke wajah
Pendekar Mabuk. Weeesss...!
Suto Sinting yang sedang
menenggak tuak dengan tengadah itu
bagai tak peduli akan kehadiran
serangan dari lawan. Tapi ketika kaki besar itu hampir menyentuh kepalanya,
tiba-tiba tubuh Suto Sinting bagaikan lenyap. Zlaaap...! ia bergerak sangat
cepat menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' hingga
mirip menghilang.
Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Kerak Singa dan Iblis Bujangan.
"Bangsat tengik! Lari ke mana dia"!"
geram Iblis Bujangan yang
bertubuh besar dengan perut buncit dan mengenakan baju merah tak dikancingkan
bagian depannya. Kumisnya lebat,
rambutnya panjang sepundak mengenakan ikat kepala merah juga.
"Apakah dia keturunan hantu,
sehingga bisa menghilang begitu
saja"!" Kerak Singa juga menggeram jengkel dengan mata kecilnya yang
mencari ke arah depan. Orang kurus
berkumis tipis dan berdagu runcing itu sempat terkejut ketika Suto Sinting
perdengarkan suaranya di belakang
kedua orang tersebut.
"Aku tidak lari ke mana-mana!"
Weeet...! Kedua kakak-beradik itu
segera palingkan wajah ke belakang.
Suto Sinting tersenyum tenang saat
mereka lebarkan mata pertanda kaget mengetahui lawannya sudah ada di
belakang mereka.
"Monyet sungsang! Kau sengaja
mempermainkan kami, hah"!" bentak Iblis Bujangan, ia segera mencabut
senjata kapak dua mata yang tadi
terselip di sabuknya. Wuuut...! Kapak itu digenggam kuat-kuat, siap untuk
dihantamkan dalam satu kali lompat
saja. Tetapi Suto Sinting masih tetap tenang, tak ada kesan takut sedikit pun.
Tali bumbung tuaknya dililitkan di tangan kanan hingga bambu sakti itu bagaikan
sedang ditenteng dengan
ringan. "Maaf, aku tidak mempermainkan kalian. Aku
hanya menghindari
bentrokan yang dapat membahayakan jiwa kita bersama. Persoalanku dengan Jagal
Neraka adalah bukan persoalan kalian
berdua," kata Suto Sinting sambil matanya memandang lurus ke arah Jagal Neraka
yang sedang melangkah mendekati mereka.
"Tapi Jagal Neraka adalah adikku!
Jika ia sakit aku ikut sakit. Jika ia dendam padamu, maka aku pun dendam
padamu!" "O, begitukah tali persaudaraan kalian"!"
"Iya!" sentak Iblis Bujangan.
Kerak Singa menimpali, "Jangan harap kau bisa lolos jika kami bertiga sudah
bersatu begini! Kesatuan kami merupakan kekuatan yang tiada
tandingnya. Kuharap kau bersujud dan memohon ampun kepada kakakku; si Jagal
Neraka!" Pendekar Mabuk justru sunggingkan
senyum. Pandangan matanya sudah tidak tertuju kepada Jagal Neraka lagi,
melainkan kepada si Kerak Singa.
Dengan suara kalem, Pendekar Mabuk
berkata, "Aku tak pernah dididik oleh
guruku untuk meminta ampun kepada
orang sesat seperti kalian! Jadi aku tidak tahu bagaimana caranya bersujud dan
meminta ampun. Tolong berikan
contohnya!"
"Bodoh! Begini caranya...," kata Kerak Singa, lalu ia berlutut di depan Suto
Sinting dan mencium tanah sambil berseru,
"Ampunilah kesalahanku, dan aku berjanji tidak akan berani melawanmu lagi
serta...."
Beeeg...! Tiba-tiba kaki Jagal
Neraka menendang pinggang Kerak Singa.
"Goblok! Kenapa kau yang bersujud di depannya"! Bangun!"
"Sial! Aku terpedaya oleh
omongannya!" Kerak Singa berdiri dengan menggeram jengkel. Lalu ia
berkata kepada Jagal Neraka,
"Diamlah di sini, akan kuhajar sendiri bocah sinting itu!"
Iblis Bujangan juga berkata,
"Benar, Jagal Neraka! Diamlah di
tempat, biar aku dan adikmu yang
membereskan pemuda dungu itu! Kerak Singa, serang dia...!"
"Keeeeaahhh...!"
Pendekar Mabuk hanya memandang
Jagal Neraka dengan seulas senyum
kalem mekar di bibirnya. Ketika
serangan dari Kerak Singa datang, ia berusaha menghindar dengan sedikit
memiringkan badan ke kanan. Tetapi
ternyata tendangan dari Iblis Bujangan
datang dari kanan dan akibatnya rahang Suto Sinting menjadi sasaran telak
tendangan kaki besar itu.
Wuuuut...! Ploook...!
Krrrak..! "Aaaaow...!"
Suto Sinting tersentak mundur
tiga langkah. Tapi yang berteriak
keras-keras adalah Jagal Neraka. Orang berperawakan besar itu menjerit sambil
memegangi rahangnya. Suto Sinting
tidak bersuara sedikit pun.
Kerak Singa penasaran melihat
Suto Sinting bagai kebal tendangan.
Karenanya, Kerak Singa segera melesat dalam
satu lompatan dan tubuhnya
berputar tepat di depan Suto Sinting.
Putaran tubuh itu membuat kakinya
menyabet wajah Suto Sinting dengan
telak sekali. Ploookk...!
"Aaauhg...!" terdengar suara Jagal Neraka memekik tertahan bersama tubuhnya
terpelanting melintir ke
kiri. "Habisi saja dia!" seru Iblis Bujangan. "Heeeah...!"
"Hiaaah...!"
Kedua kakak-beradik itu maju
bersama menerjang Suto Sinting.
Pukulan telak meluncur beberapa kali
mengenai wajah tampan Pendekar Mabuk.
Keduanya menghajar Suto Sinting bagai orang kesurupan.
Bed, bed, plok, plak, buuhg,
plak, cprot...! Crrraasss...!
Kapak dua mata diayunkan dari
atas ke bawah dan tepat membelah dada Suto Sinting.
"Aaaaahg...!"
Jeritan memilukan itu datang dari
Jagal Neraka, sedangkan Suto Sinting hanya tersentak mundur tiga langkah lagi.
Kulit tubuhnya masih utuh tanpa luka sedikit pun. Tentu saja hal itu sangat
mengejutkan Iblis Bujangan dan Kerak Singa. Mereka sama-sama
berpaling memandang Jagal Neraka yang ada di belakang mereka.
"Haaah..."!"
"Lhoo..."!"
Mereka sama-sama terkejut melihat
Jagal Neraka terkapar berlumur darah.
Bukan saja wajahnya menjadi babak
belur tapi juga dadanya robek terbelah sampai batas pusar. Keadaan Jagal
Neraka sangat menyedihkan, ia tak bisa berteriak lagi, bahkan bernapas pun
tampak sulit sekali.
Pendekar Mabuk berkata dengan
suara kalem, "Ada rahasia yang belum
kalian ketahui, bahwa orang yang
tersengal-sengal begitu namanya orang sekarat! Lekas bawa pergi dan carikan obat
penyambung nyawanya. Jika tidak, maka
ia akan mati oleh senjata
kakaknya sendiri."
"Bangsat! Yang kubelah si bocah sinting itu, yang celaka malah Jagal Neraka!
Ilmu macam apa yang ia miliki sebenarnya"!"
"Jangan bicara saja! Cepat bawa pergi Jagal Neraka dan selamatkan
dia!" seru Kerak Singa dengan wajah panik.
Mereka tidak tahu bahwa Suto
Sinting telah menggunakan ilmu 'Alih Raga', yaitu mengalihkan rasa ke raga orang
lain. Ilmu itu dilepaskan pada saat mata Suto Sinting memandangi
Jagal Neraka sebelum ia diserang Iblis Bujangan dan Kerak Singa tadi. Ilmu
'Alih Raga' membuat dirinya mudah
dipukul tapi orang lain yang merasakan sakitnya.
Iblis Bujangan dan Kerak Singa
bergegas mengangkat tubuh besar Jagal Neraka yang dalam keadaan sekarat itu.
Tetapi sebelum tubuh itu sempat
terangkat, Jagal Neraka telah
menghembuskan napas yang terakhir,
karena jantungnya robek akibat tebasan kapak tajam Iblis Bujangan.
"Bangsaaaat...! Dia sudah tak
bernyawa lagi! Ini gara-gara bocah sinting itu! Kubunuh kau, Sapi Lanang!


Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

heeeahh...!" Kerak Singa berlari dan lakukan lompatan bersalto ke arah
Pendekar Mabuk. Namun tiba-tiba di
pertengahan jarak tubuh Kerak Singa terpental dan melayang bagaikan
terbuang jauh dari tempat tersebut.
Sepertinya ada badai besar yang hanya bisa menghempaskan tubuh kurus si
Kerak Singa. Melihat keadaan itu Suto Sinting menjadi heran dan mulai
berkecamuk dalam batinnya,
"Pasti ada pihak lain yang
memihakku.... Hmmm... siapa orang itu dan di mana ia berada"!" Sambil mata Suto
Sinting melirik sekeliling dengan teliti.
"Aaaah...!" di sebelah sana Kerak Singa menjerit keras-keras karena
tubuhnya terbanting di atas gugusan batu karang. Punggungnya terluka babak belur
akibat goresan ujung runcing
gugusan batu karang itu.
"Celaka! Kalau kuterus-teruskan bisa berbahaya. Mampus
semua saudaraku!" pikir Iblis Bujangan
setelah menyadari tingginya ilmu
pemuda yang dihadapi itu.
"Kerak Singa, tinggalkan tempat ini! Cepaaat...!" Iblis Bujangan berteriak
serukan perintah, ia sudah memanggul mayat Jagal Neraka. Setelah serukan
perintah ia pun segera
berkelebat pergi sambil membawa mayat adiknya. Kerak Singa akhirnya ikuti saran
sang kakak, namun sebelumnya
sempat berseru tinggalkan ancaman
kepada Suto Sinting.
"Awas! Suatu saat aku akan
membeset sekujur tubuhmu, Bocah Gila!"
Pendekar Mabuk hanya angkat bahu
dan kembangkan kedua tangan pertanda pasrah dengan ancaman itu. Tapi di bibirnya
sunggingkan senyum sebagai imbang bahwa ia tak merasa gentar
mendengar ancaman tersebut. Tuak pun ditenggaknya kembali tiga teguk.
Tiba-tiba telinganya menangkap
suara jerit di kejauhan. Jerit itu
adalah jerit seorang wanita yang tak bisa ditebak muda dan tuanya.
"Aaaaa...!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi dan
berkata dalam hati, "Suara jeritan perempuan. Hmmm... arahnya dari timur.
Siapa dia dan ada apa dengan dirinya"
Aku harus segera ke sana untuk
mengetahui rahasia jeritan itu?"
Zlaaap...! Dengan menggunakan
jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi
anak panah terlepas dari busur, Pendekar Mabuk berkelebat menuju ke arah timur, ia
tinggalkan daerah pasir pantai demi mengikuti rasa penasarannya.
Zlaaaap...! Wuuut, Jleeg.".!
Ia tiba di atas pohon tinggi
dalam sekejap. Kerimbunan daun pohon membuatnya tak terlihat jelas dari bawah.
Tapi dalam keadaan di atas pohon itu ia dapat memandang suasana di bawah dan
sekitarnya. "Oh, Itu dia..."!" mata Pendekar Mabuk terarah pada gerakan seorang gadis yang
berlari menerabas semak
bagai dikejar setan. Pendekar Mabuk cepat-cepat berkelebat ke arah gadis
tersebut. Zlaaap...! Wuuut...!
"Aaaaooff...!"
Gadis itu disambarnya dari
belakang, lalu dibawa melayang ke atas pohon bagaikan terbang. Mulutnya
segera disekap dengan tangan agar tak menimbulkan suara jeritan yang dapat
diketahui oleh pengejarnya.
Setelah sampai di atas pohon, di
sebuah dahan besar bercabang tiga,
tangan Suto Sinting melepaskan
bekapannya sehingga mulut gadis itu mampu mengeluarkan engahan beruntun.
"Jangan berteriak. Aku bukan
lawanmu. Aku seorang teman, Nona!"
"Ooh, oooh... ooh, siapa... siapa kau"!"
Gadis itu memandang dengan rasa
takut. Tapi setelah agak lama, ia
mulai sadar bahwa orang yang
menyambarnya itu berwajah tampan dan memikat hati. Gadis yang memakai rompi
hijau muda sama dengan warna celananya itu segera hentikan rasa takutnya.
Namun pandangan matanya masih menyorot penuh keheranan karena merasa asing,
belum pernah jumpa dengan Suto
Sinting. Sementara itu Suto Sinting
sendiri sempat menatap penuh rasa
kagum, karena gadis berambut pendek yang memakai ikat kepala hijau muda juga itu
ternyata berparas cantik.
Mungil tapi menarik. Hidungnya bangir dan matanya membelalak indah.
Ketika pandangan mata Suto
Sinting terarah ke dada si gadis, ia buru-buru buang pandangan karena
berdebar-debar melihat dada si gadis yang montok dan mengenakan penutup
dada warna merah jambu sangat tipis.
Sebagian belahan dada bagian atas
tampak menantang dalam kepolosan kulit lembutnya yang berwarna kuning
langsat. Pandangan mata Suto saat itu ke arah pinggang, ternyata gadis itu
mempunyai dua pisau di pinggang kanan kirinya.
Gadis berusia sekitar dua puluh
tiga tahun dan bertubuh sekal itu
segera mengulang pertanyaannya dengan suara masih gemetar akibat rasa
takutnya tadi. "Kaaau... kau siapa?"
"Aku seorang sahabat. Bukan
musuhmu, Nona."
"Hmmm.,. eeh... tapi namamu
siapa?" "Kau bisa memanggilku: Suto,"
jawab si Pendekar Mabuk tanpa mau
menjelaskan siapa nama dan gelarnya yang sebenarnya.
"Terus terang, Nona... baru
sekarang aku jumpa denganmu, sehingga aku tak tahu siapa namamu."
"Hmmmm... hmmm... namaku...
namaku Pakis Ratu."
"Pakis Ratu..."! Oh, indah
sekali. Seperti nama tanaman hias."
"Iiih...!" gadis itu mencubit lengan Suto Sinting. Yang dicubit
hanya tertawa kecil tanpa suara.
"Apakah kau benar-benar bukan
berpihak pada si Dewa Tengkorak"!"
"Siapa .."! Dewa Tengkorak"! Oh, aku malah baru sekarang mendengar nama Dewa
Tengkorak. Siapa itu Dewa
Tengkorak"!"
Pakis Ratu tampak ragu untuk
menjelaskannya. Matanya melirik ke
alam sekitarnya dengan perasaan cemas.
Rupanya gadis itu masih merasa takut menjelaskan siapa Dewa Tengkorak itu.
Kecemasan dan keraguan Pakis Ratu
membuat Pendekar Mabuk menjadi semakin penasaran lagi.
"Katakan saja siapa Dewa
Tengkorak itu. Jangan takut, aku
melindungimu dari bahaya apa pun,
Pakis Ratu!"
* * * 3 SETELAH beberapa saat ditunggu
tak ada orang berkelebat di sekitar pohon itu, maka Pendekar Mabuk berani
memastikan si pengejar Pakis Ratu
telah kehilangan arah. Gadis itu
segera dibawa turun dan mereka bicara di bawah pohon. Kebetulan di bawah
pohon itu ada sebatang pohon kering yang tumbang beberapa waktu yang lalu.
Suto Sinting membiarkan Pakis Ratu
duduk di atas batang pohon kering itu sambil menuturkan kisahnya.
"Ayahku seorang lurah di Dewa
Balongan. Tapi... tapi sekarang desa itu sudah tidak memiliki kepala desa lagi.
Ayahku telah dibunuh oleh Dewa Tengkorak, ibuku dan keempat saudaraku juga
dibunuh oleh Dewa Tengkorak. Kami sekeluarga dihabisi, nyaris tak
tersisa seorang pun. Bahkan pelayan-pelayan kami pun dibantai habis oleh Dewa
Tengkorak."
Pakis Ratu mulai menitikkan air
matanya. Wajahnya tertunduk dengan
napas tersengal-sengal karena isak
tangis kesedihannya. Pendekar Mabuk hanya menarik napas untuk menutupi
rasa harunya, ia bangkit berdiri dan melangkah ke depan, kemudian berpaling
kembali memandangi Pakis Ratu.
"Mengapa Dewa Tengkorak membantai keluargamu?"
Gadis itu menelan ludahnya satu
kali, kemudian mencoba untuk
menenangkan tangis. Sesaat kemudian barulah terdengar suaranya yang
sedikit parau itu.
"Dewa Tengkorak adalah anak
tunggal Ki Gadalumo. Dulu, Ki Gadalumo adalah lurah di Desa Balongan. Tapi
karena Ki Gadalumo lakukan kesalahan, maka Kanjeng Adipati tidak mau memilih Ki
Gadalumo sebagai lurah. Bahkan ia dipecat dari jajaran punggawa
kadipaten. Sebagai gantinya, ayahku diangkat oleh Kanjeng Adipati untuk menjadi
lurah di Desa Balongan."
"Lalu, Ki Gadalumo benci kepada ayahmu dan memusuhinya"!"
"Ki Gadalumo mati bunuh diri
karena malu kepada masyarakat desa.
Dewa Tengkorak yang selama ini pergi berguru mendengar kabar tersebut dan
menyangka penyebab kematian ayahnya adalah ayahku. Maka ia memusuhi
keluargaku. Tetapi pada waktu itu,
Dewa Tengkorak tak pernah berhasil
melukai ayahku, karena ayahku
mempunyai seorang pengawai yang
bernama Paman Wiradipa. Ilmu si Dewa Tengkorak kalah dengan Ilmu Paman
Wiradipa."
"Lalu, mengapa sekarang
keluargamu bisa dibantai oleh Dewa
Tengkorak"!"
"Dia dibantu oleh seseorang yang ilmunya lebih tinggi dari Paman
Wiradipa. Dalam sekali gebrak saja Paman Wiradipa tumbang tak bernyawa.
Ayahku tak sanggup menghadapi Dewa Tengkorak. Dengan keganasannya yang
mengerikan, Dewa Tengkorak membantai habis seluruh penghuni rumahku."
"Kau sendiri berhasil lolos dari pembantaiannya?"
Pakis Ratu mengangguk sambil
masih menahan isak tangisnya, ia
bicara dengan nada lebih parau lagi karena bercampur tangis kesedihan.
"Aku sedang berada di pondok
Guru. Ketika tiba di rumah, Dewa
Tengkorak sedang mencari-cariku. Maka aku pun segera melarikan diri dan
mengadu kepada Guru."
"Apa tindakan gurumu?"
"Guru terluka parah oleh serangan Dewa Tengkorak dan orang yang
membantunya. Guru sempat berseru agar aku melarikan diri dan tidak
menghadapi Dewa Tengkorak yang
bersekutu dengan seorang tokoh sakti itu. Maka, Dewa Tengkorak pun
mengejarku tanpa orang yang
membantunya. Aku berlari dan berlari untuk selamatkan diri. Kelak aku harus
bikin perhitungan dengan Dewa
Tengkorak jika aku sudah menambah
ilmuku." Pendekar Mabuk diam beberapa saat
lamanya, ia membiarkan gadis itu
menangis terisak-isak membayangkan
kematian keluarganya. Dalam benak Suto Sinting terlintas kenangan lama saat
keluarganya dibantai habis oleh si
Kombang Hitam pada saat ia masih
berusia bocah. Terasa betul luka
kepedihan di hati Suto Sinting bila mengenang peristiwa tersebut, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode perdana: "Bocah Tanpa Pusar").
"Biarkan ia menangisi kengerian itu, supaya lega hatinya dan kebal
terhadap bayangan duka itu," pikir Suto Sinting. "Setelah puas
mencurahkan duka lewat air mata, ia pun akan berhenti menangis sendiri.
Kalau sekarang ia kubujuk, kubelai
atau kupeluk, tangisnya akan kian
meraung dan dukanya akan semakin
menjadi-jadi. Tapi agaknya aku perlu lakukan sesuatu untuk lindungi gadis ini.
Dewa Tengkorak pasti tetap
mengincar Pakis Ratu, dan belum akan berhenti memburu keturunan Lurah Desa
Balongan itu sebelum Pakis Ratu
dilenyapkan juga."
Tuak dalam bumbung sakti diteguk
kembali oleh Suto Sinting. Tiba-tiba teringat dalam benaknya bahwa tuaknya itu
bukan saja bisa dipakai untuk
penyembuhan, namun bisa juga digunakan untuk menenangkan hati yang resah atau
sedih. Maka, ia pun segera menyuruh Pakis Ratu meneguk tuaknya.
"Minumlah sebagai penenang
jiwamu, Pakis Ratu. Seteguk saja sudah cukup."
Ternyata apa kata Suto Sinting
dalam bujukannya itu memang benar. Dua teguk tuak diminum oleh Pakis Ratu.
Lambat laun rasa dukanya menjadi
sirna, kecemasannya pun pudar. Pakis Ratu menjadi tenang, jiwanya yang
guncang akibat kematian keluarganya kini telah menjadi kokoh kembali.
"Aku harus mencari seorang guru lagi untuk memperdalam ilmuku dan
kelak akan kupakai untuk membalas
dendam kepada Dewa Tengkorak," ujar si gadis dengan nada geram menahan
dendam. Matanya sempat memandang lurus dengan sedikit mengecil, seakan
memancarkan cahaya dendam kesumat yang sangat membara.
"Kalau kau...."
Kata-kata Suto Sinting terhenti
seketika karena ia melihat cahaya
merah bergerak cepat ke arah punggung Pakis Ratu. Claaap.. ! Dengan
kecepatan tinggi tangan Pendekar Mabuk menyambar tubuh Pakis Ratu. Weees...!
Gadis itu jatuh dalam dekapan Suto
Sinting sambil terpekik kaget. Cahaya merah itu kenai sebatang pohon dan
timbulkan ledakan cukup keras.
Duaaar...! Pohon tersebut menjadi koyak,
sebagian kulit batangnya terkelupas.
Daun-daunnya pun berguguran walau tak seluruhnya. Tapi batang pohon itu
menjadi seperti habis diseruduk cula badak.
"Ada yang mau membunuhku"!" ujar Pakis Ratu dengan tegang setelah
memandang nasib pohon tersebut.
"Tenanglah. Biar aku yang
menghadapi orang itu," bisik Suto


Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinting sambil menarik tubuh Pakis
Ratu agar berdiri di belakangnya.
Gadis itu menurut sambil matanya
melirik ke sana-sini penuh waspada.
Suto Sinting bagaikan bicara
sendiri sambil memandang ke arah semak belukar yang berada dalam
jarak sepuluh langkah lebih darinya.
"Keluarlah, Sobat! Jangan
bersembunyi di balik semak itu. Aku tahu kau ada di sana dan aku dapat
lepaskan pukulan jarak jauhku jika kau tak mau keluar dari semak-semak!"
Alam menjadi sepi sesaat.
Pendekar Mabuk menunggu orang yang
bersembunyi di balik semak-semak itu.
Namun yang ditunggu tak kunjung
muncul. Suto Sinting sudah mau
lepaskan jurus pukulan jarak jauhnya.
Namun tiba-tiba seberkas sinar merah melesat lagi dari arah samping dan
sasarannya adalah tubuh Pakis Ratu.
Claaap...! Wuuusss...! Blaaarrr...! Pendekar Mabuk kaget dan menjadi
heran. Sinar merah itu meledak di
pertengahan jarak.
Sinar merah itu meledak setelah
munculnya seberkas cahaya putih
sebesar lidi. Cahaya putih itu
menghantam sinar merah dan terjadilah ledakan cukup besar, sempat membuat
pepohonan bergetar hingga daun-daun pun berguguran.
"Hmmm... ada yang memihakku
secara sembunyi-sembunyi," pikir Suto Sinting. "Siapa orang yang memihakku itu"
Mengapa ia tak menampakkan diri?"
Rupanya ledakan tadi menyemburkan
gelombang hawa panas ke arah pengirim sinar merah tersebut. Hawa panas itu
segera dihindari dan mau tak mau si pemilik sinar merah segera melompat keluar
dari persembunyiannya, ia
melambung bagaikan terbang dan
bersalto dua kali. Dalam sekejap saja sudah mendaratkan kakinya di depan
Suto Sinting dan Pakis Ratu.
Jleeeeg...! "Ooh..."!" Pakis Ratu terpekik dengan wajah tegang memandang tokoh yang baru
datang. Tokoh tersebut seorang lelaki
bertubuh kurus berbaju abu-abu dan
celana merah. Bajunya tidak
dikancingkan sehingga tampak tulang iganya saling bertonjolan keluar
karena kekurusan badannya. Tangannya kecil, bagai tulang terbungkus kulit
tanpa daging sedikit pun. Rambutnya kucal, sepanjang tengkuk dengan ikat kepala
warna merah tua. Matanya
melotot lebar seakan ingin lepas dari rongganya, ia mempunyai alis tebal
yang hampir beradu di pertengahan
kening. "Dddl... dialah yang bernama Dewa Tengkorak!" bisik Pakis Ratu dengan agak
gugup, namun ia masih dapat lebih tenang dari sebelum meminum tuaknya Suto
Sinting. Mendengar bisikan itu, Pendekar
Mabuk hanya menggumam lirih dengan
mata tetap memandang lelaki kurus
bersenjata pedang lebar yang masih
berlumur darah kering.
Wajah menyeramkan bermata melotot
itu memandang Suto Sinting tanpa
berkedip. Yang dipandang hanya tenang-tenang saja, namun segala gerak-gerik
lawannya tertangkap oleh indera
penglihatannya.
"Menyingkirlah dari gadis itu
agar panjang umurmu, Bocah Tolol!"
geram Dewa Tengkorak yang berusia
sekitar lima puluh tahun.
"Menyingkir atau tidak nyawaku sudah punya batas usia sendiri," kata Suto
Sinting dengan suara kalem. "Apa
pedulimu jika aku tak mau menyingkir dari gadis ini?"
"Kau akan kujadikan korban
terakhir setelah keluarga Lurah
Deksana kuhabisi tanpa sisa sepotong pun!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum, bahkan tertawa kecil tanpa
suara bagai orang mendengus. Sikapnya yang kalem membuat hati Dewa Tengkorak
menjadi semakin panas.
"Kuhitung tiga kali kalau kau
masih melindungi gadis itu, aku
terpaksa mencabut nyawamu lebih dulu, Bocah Tolol!"
"Gadis ini tidak berdaya
dan bukan tandinganmu, Dewa Tengkorak."
"Aku tidak peduli! Dia harus mati sebagal keturunan Lurah Deksana yang tercecer
dari pembantaianku!"
"Aku hanya melindungi kaum yang lemah dan orang yang benar! Biasanya aku sulit
disuruh menyingkir jika yang kulindungi adalah orang yang tak
berdaya." "Setan alas!
Tak sabar aku berceloteh denganmu. Heeeah...!"
Dewa Tengkorak berkelebat cepat
sekali bagaikan angin menerjang tubuh Pendekar Mabuk. Pedang besarnya itu
ditebaskan dari atas samping ke bawah.
Wuuung...! Pendekar Mabuk justru sentakkan
kaki hingga tubuhnya naik ke atas dan berputar cepat. Wuuut...!
Dalam putaran itu, bumbung bambu tuak
dipergunakan untuk menahan tebasan
pedang besar, sementara tangan kirinya berkelebat cepat menghantam dagu Dewa
Tengkorak. Duuug...! Krrrak...!
Traaang...! "Aaauh...!" Dewa Tengkorak terpental mundur bagai terbuang begitu saja. Pukulan
menggunakan pangkal
telapak tangan kiri itu ternyata
bertenaga dalam cukup besar. Dagu si Dewa Tengkorak terdengar gemeretak
patah. Sementara itu pedangnya beradu dengan bumbung tuak. Suaranya seperti
pedang beradu dengan besi baja yang sukar dipatahkan atau digores sedikit pun.
Brrruk...! Dewa Tengkorak jatuh
terjungkal dengan punggung menyentuh tanah lebih dulu. Ia segera berjungkir
balik dan, wuut...! Jleeeg...! Tahu-tahu sudah berdiri lagi dengan dagu menjadi
biru. "Gggrrrmm...!" ia menggeram sambil memainkan pedangnya ke sisi
kanan-kiri. Wut, wut wut..! Sedangkan Pendekar Mabuk masih berdiri tegak dan
tenang, seperti tidak habis lakukan perlawanan apa pun.
"Keparat busuk kau! Tak boleh
dianggap enteng rupanya. Terima jurus
'Malaikat Penggal Hantu' ini!
Hheeeeaahh...!"
Wung, wung, wung, wung, wung...!
Pedang besar itu bergerak cepat
menebas ke sana-sini sambil bergerak maju. Tebasannya begitu cepat hingga
timbulkan suara dengung. Gerakan Dewa Tengkorak sukar dilihat oleh mata
orang awam, namun Pendekar Mabuk masih bisa mengikuti tiap gerakan dengan
pandangan mata yang terlatih melihat benda berkelebat cepat itu.
Pendekar Mabuk segera memutar
bumbung tuaknya. Tali bumbung
digenggam dan bumbung itu melayang
berputar mengelilingi kepalanya,
menimbulkan suara menggaung lebih
keras dari suara pedang besar itu.
Wuuung, wuuung, wuuung,
wuuung...! Traaang, duaaar...!
Ledakan cukup keras timbul akibat
bumbung tuak beradu dengan tebasan
pedang bertenaga dalam itu. Ledakan
tersebut membuat Dewa Tengkorak
terpelanting ke belakang dan jatuh
terduduk. Sementara itu Suto Sinting masih tetap diam di tempat, hanya
bergeser ke kiri sedikit setelah
terjadi benturan pedang dengan
bumbung, tapi keadaannya masih berada di depan Pakis Ratu.
"Keparat laknat kau!" geram Dewa Tengkorak, ia segera bangkit dan
mengangkat pedang besarnya lagi. Tapi tiba-tiba pedang itu hancur menjadi
serpihan seperti garam kristal.
Prrruusss...! "Hahhh..."!" Dewa Tengkorak terbelalak. Mata yang sudah melotot semakin melotot
lagi hingga wajahnya tampak menyeramkan, ia tak menyangka kalau pedangnya
ternyata sudah hancur begitu membentur bumbung tuak
tersebut. Rupanya perpaduan tenaga
dalam dari pedang dan bumbung tuak
mengakibatkan kehancuran bagi sang
pedang. Kehancuran itu tidak terjadi secara seketika, namun selang beberapa
kejap setelah tenaga dalam yang semula disalurkan ke pedang itu ditarik
kembali oleh pemiliknya.
Dengan wajah terbengong
memandangi gagang pedangnya yang sudah
tidak bermata pedang lagi itu, Dewa Tengkorak menggeletukkan giginya
hingga terdengar gemeretuk dari tempat Pakis Ratu berdiri. Gadis itu
menggumam kagum dalam hatinya.
"Hebat sekali ilmunya Suto.
Pedang baja sebesar itu diadu dengan bumbung bambu saja bisa remuk
sedemikian rupa. Jangan-jangan Suto punya ilmu lebih tinggi dari ilmunya Paman
Wiradipa"! Hmmm... alangkah
hebatnya dia; sudah tampan, berilmu tinggi lagi. Sungguh luar biasa
mengagumkannya."
Pendekar Mabuk bicara kepada Dewa
Tengkorak, "Kusarankan hentikanlah pembantaianmu! Kurasa sudah cukup ayah Pakis
Ratu kau bunuh, bahkan seluruh keluarganya yang kau bantai. Biarkan gadis ini
hidup dengan tenang tanpa gangguan dendammu, Dewa Tengkorak!"
"Tutup bacotmu!" bentak Dewa Tengkorak semakin murka. "Kurasa kau memang layak
dihancurkan seperti kau menghancurkan senjataku ini!
Hiaaah...!"
Dewa Tengkorak mengangkat kedua
tangannya membentuk cakar. Kedua
tangan itu menyala merah membara.
Namun sebelum ia bergerak, tiba-tiba
seberkas sinar putih perak sebesar
lidi melesat menghantam dadanya.
Claaap...! Duuus...!
"Aaahg...!" Dewa Tengkorak tumbang ke belakang bagai ditendang kuda. Wajahnya
menjadi pucat pasi
dengan mulut memuntahkan darah merah segar.
Pendekar Mabuk merasa heran dan
segera memandang sekeliling sambil
membatin, "Siapa orang yang membantuku
sejak dari pantai tadi"! Mengapa ia tidak menampakkan diri terang-terangan"!"
Dewa Tengkorak mengerang dengan
merangkak rangkak mencari tempat untuk rambatan. Tetapi berulang kali ia gagal
berdiri karena tubuhnya terasa lemas, ia terpaksa menahan napas
dengan mengeraskan seluruh urat
tubuhnya menggunakan sisa tenaga yang ada. Asap tipis mulai mengepul dari pori-
pori kulitnya, dan tubuh kurus itu mulai bergetar dengan suara
mendesah panjang. Rupanya ia lakukan penyembuhan secara sederhana. Dan hal itu
tidak dipedulikan oleh
Suto Sinting. Pandangan Pendekar Mabuk ke arah
belakangnya, karena ia menjadi
penasaran ingin mengetahui siapa orang yang membantu menyerang Dewa Tengkorak
itu. Pakis Ratu sendiri merasa bingung melihat Suto Sinting celingak-celinguk
mirip pemuda dungu.
"Apa yang kau cari, Suto"!"
"Orang yang melepaskan sinar
putihnya tadi."
"Sinar putih apa" Aku tidak
melihat ada sinar putih."
Pendekar Mabuk makin bingung
menjelaskannya.
* * * 4 LANGIT sore memancarkan warna
merah tembaga, seakan mengisyaratkan kepada manusia akan datangnya bencana.
Kematian akan terjadi di mana-mana, jerit tangis anak manusia akan
menggema di seluruh pelosok dunia.
Bencana yang akan timbul itu tak lain datang dari keganasan tokoh aliran
hitam yang dikenal dengan nama Setan Rawa Bangkai.
Pendekar Mabuk belum mengetahui
kemunculan Setan Rawa Bangkai,
sehingga ia masih menganggap suasana berjalan sebagaimana mestinya. Yang ada
dalam benak Pendekar Mabuk adalah mencari tempat untuk bermalam sang
gadis cantik yang sudah kehilangan
seluruh anggota keluarganya itu. Namun agaknya Pakis Ratu masih meributkan soal
pelarian Dewa Tengkorak yang
dibiarkan Suto Sinting.
"Seharusnya manusia terkutuk itu jangan diberi kesempatan hidup lagi!
Seharusnya kau tidak membiarkan Dewa Tengkorak melarikan diri walau dalam
keadaan terluka, ia bisa saja meminta bantuan penyembuhan kepada temannya yang
ilmunya lebih tinggi itu. Jika lukanya sembuh, maka ia akan mengumbar kekejian
lagi, setidaknya ia akan memburuku kembali!"
Gadis itu bicara dengan
bersungut-sungut Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum kecil melihat raut muka
si cantik mungil itu. Dengan
sabar Pendekar Mabuk pun jelaskan
maksud dirinya membiarkan Dewa
Tengkorak melarikan diri.
"Kalau dia mati sekarang juga, berarti dia tidak menebus kekejiannya
dengan kehidupan yang sengsara. Ingat, Pakis Ratu... hidup itu lebih sengsara
daripada mati. Orang yang mati tidak akan menemukan kesulitan lagi, tidak akan
merasakan penderitaan lagi.
Tetapi orang yang hidup akan merasakan semua itu. Jika ia menanam kejahatan,
maka hidup selanjutnya akan menuai penderitaan. Jika ia menanam kebaikan, maka
hidup selanjutnya akan menuai


Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keindahan. Jadi kalau Dewa Tengkorak kita biarkan
hidup, berarti kita biarkan dia menuai penderitaan, diburu musuhnya, dikejar dendam, dihantui
kegelisahan dan lain sebagainya."
"Bilang saja kalau kau tak bisa membunuh Dewa Tengkorak, karena ilmumu lebih
rendah darinya!" potong Pakis Ratu dengan nada ketus dan wajah
cemberut. "Ya, anggap saja begitu," balas Suto Sinting dengan diiringi senyum kesabaran.
"Kelak kalau aku sudah berguru lagi pada orang yang lebih sakti
darinya, akan kubunuh sendiri si
tengkorak busuk itu!"
Suto Sinting tertawa geli, namun
tawanya tak sampai keluarkan suara
keras. Mirip orang menggumam.
"Kau ingin berguru kepada siapa?"
"Siapa saja!" jawabnya tetap berwajah cemberut. "Aku pernah dengar cerita
tentang kesaktian seorang
pendekar yang bernama Pendekar Mabuk.
Aku akan berguru padanya. Aku akan
meminta ilmu dan kesaktian yang dapai untuk hancurkan kepala si Dewa
Tengkorak itu."
Semakin geli hati Suto Sinting
mendengarnya. Rupanya gadis itu benar-benar belum mengetahui bahwa ia sedang
berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Bagi Suto, hal itu semakin membuatnya serba
salah. Jika ia mengaku bahwa
dirinyalah Pendekar Mabuk yang
diceritakan Pakis Ratu, belum tentu si gadis akan mempercayainya. Jika Suto diam
saja, maka alangkah kasihannya si gadis yang tidak tahu di mana Pendekar Mabuk
berada. "Yang penting sekarang mencari tempat untuk bermalam. Kau butuh
istirahat, Pakis Ratu."
Ucapan itu disertai belaian
lembut di rambut Pakis Ratu. Si gadis merasakan debaran aneh di hatinya yang
membuat ia tak mampu menepiskan tangan yang membelai rambut pendeknya itu. Ia
hanya berlagak acuh tak acuh, seakan
tidak menghiraukan usapan lembut dari tangan pemuda tampan itu.
"Aku ingin menemui guruku lagi.
Mungkin Guru butuh bantuan karena
luka-lukanya. Di pondoknya itu aku bisa bermalam dan beristirahat."
"Siapa gurumu sebenarnya, Pakis Ratu?"
"Nyai Kidung Laras."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi,
merasa asing dengan nama Nyai Kidung Laras. Baru kali ini ia mendengar nama
tersebut, sehingga hasrat hati pun
ingin bisa bertemu dengan tokoh
tersebut. Terlebih setelah Suto
Sinting ingat bahwa Nyai Kidung Laras sedang menderita luka seperti yang
diceritakan Pakis Ratu, keinginan
untuk bertemu Nyai Kidung Laras
semakin besar, sebab ia ingin mencoba mengobati perempuan itu dengan
menggunakan tuak saktinya.
Untuk mempersingkat waktu,
Pendekar Mabuk menggunakan jurus
'Gerak Siluman' dalam perjalanannya menuju ke tempat tinggal Nyai Kidung Laras.
Kecepatan lari dari jurus
'Gerak Siluman' tak mungkin bisa
diikuti atau diimbangi oleh Pakis
Ratu. Mau tak mau Pakis Ratu
digendongnya dengan dua tangan. Gadis itu tidak keberatan, karena hatinya merasa
senang jika berada dalam
pelukan pemuda tampan itu.
"Mana arah yang harus kutuju?"
"Ke selatan!" jawab Pakis Ratu, padahal arah yang sebenarnya adalah ke barat.
Pakis Ratu sengaja memperjauh jarak supaya ia lebih lama berada
dalam gendongan Pendekar Mabuk. Dari selatan, ia segera menuju ke arah
barat, dan Suto Sinting tidak
menyadari kalau diperdaya oleh Pakis Ratu.
"Edan! Kecepatan geraknya seperti terbang. Ternyata arah selatan sangat pendek
bagi perjalanan 'terbang'
seperti ini," pikir Pakis Ratu.
"Seharusnya aku tadi menunjuk ke arah timur lebih dulu, baru ke selatan,
setelah itu ke barat. Jadi aku bisa berada dalam gendongannya lebih lama lagi."
Semua perjalanan yang ditempuh
dengan menggunakan jurus Gerak
Siluman' memakan waktu pendek.
Sepertinya baru sekejap Pakis Ratu
berada dalam gendongan Suto Sinting, tahu-tahu mereka sudah sampai di
Lembah Hijau, tempat kediaman Nyai
Kidung Laras. Ternyata keadaan Nyai Kidung
Laras memang menyedihkan. Sekujur
tubuhnya menjadi hitam hangus akibat luka bakar yang sulit disembuhkan.
Luka bakar itu tidak menyerang pada rambut atau pakaian, namun hanya
mengenai kulit dan daging tubuh sang Nyai. Perempuan berusia lima puluh
tahun itu terkapar di depan pondoknya tanpa bisa lakukan apa-apa.,ia
bagaikan sedang menunggu saatnya ajal tiba.
Namun ketika Pendekar Mabuk tiba
di tempat, sang Nyai dipaksa untuk
meminum tuak sakti beberapa teguk.
Dengan menelan tuak tersebut, luka
bakar di tubuh Nyai Kidung Laras
menjadi sembuh secara berangsur-
angsur. Bahkan sebelum petang tiba, keadaan Nyai Kidung Laras telah
menjadi sehat melebihi sebelum lakukan pertarungan dengan Dewa Tengkorak.
Perempuan berjubah ungu yang
rambutnya disanggul asal-asalan itu ternyata dulunya bekas perempuan
cantik. Terbukti sampai sekarang rona kecantikannya masih membekas di wajah sang
Nyai. Badannya tidak terlalu
kurus, namun juga tidak gemuk. Badan
itu masih terawat dengan rapi dan
tampak sekal berisi. Dalam hati Suto Sinting mengakui, perempuan separo
baya itu masih punya daya pikat
sendiri bagi seorang lelaki, hanya
saja tidak terlalu ditonjolkan.
Nyai Kidung Latas bukan perempuan
jalang yang yang melirik nakal. Ia justru tampak berkharisma
dengan ketenangannya yang kadang membuat Suto Sinting kikuk bicara.
"Luka yang kuterima ini bukan
dari ilmunya Dewa Tengkorak," kata sang Nyai saat menyalakan pelita.
"Jika bukan Dewa Tengkorak,
lantas siapa yang menyerangmu, Nyai?"
tanya Suto Sinting dengan tutur kata yang ramah dan lembut.
"Dewa Tengkorak sekarang
bersekutu dengan Setan Rawa Bangkai yang baru selesai lakukan semadi
rendam di rawa busuk itu. Agaknya Dewa Tengkorak sekarang sudah menjadi
pelayan Setan Rawa Bangkai, karena ia ingin memanfaatkan kesaktian Setan
Rawa Bangkai untuk kepentingan
pribadinya. Salah satu kepentingan
pribadi yang sudah dibantu oleh Setan Rawa Bangkai adalah membantai
keluarganya Pakis Ratu."
Pendekar Mabuk menggumam sambil
manggut-manggut.
Petang dibiarkan
lewat, karena ia sudah sepakat dengan Pakis Ratu untuk bermalam di pondok Nyai
Kidung Laras. "Siapa yang dimaksud Setan Rawa Bangkai itu, Guru?" tanya Pakis Ratu yang
rupanya baru kali itu mendengar nama Setan Rawa Bangkai. Sang Nyai pun
menjelaskan kepada muridnya, tapi
Pendekar Mabuk menyimak betul tiap ucapan sang Nyai sebagi bekal
pengetahuannya tentang tokoh beraliran hitam tersebut.
"Setan Rawa Bangkai mempunyai
nama asli Marundang. Usianya sudah
sangat tua tapi kekuatannya masih
seperti anak muda. Dia bekas ketua
Perguruan Leak Garang. Semasa jayanya perguruan itu ditakuti oleh perguruan
lain. Jurus-jurusnya sangat mematikan dan tidak kenal belas kasihan kepada
lawan." Suto Sinting menyempatkan meneguk
tuaknya ketika Nyai Kidung Laras
hentikan cerita sebentar karena
terbatuk-batuk. Batuk itu adalah sisa gatal di tenggorokan karena tak pernah
meminum air tuak.
Sang Nyai pun lanjutkan
ceritanya, "Perguruan Leak Garang menyediakan tenaga-tenaga pembunuh
bayaran, pengawal bayaran dan orang-orang upahan yang siap menerima
perintah dari siapa saja yang berani memberi upah tinggi kepada mereka.
Tetapi pada suatu hari, Perguruan Leak Garang diserang oleh orang-orang Pulau
Kelabang yang diketuai Medangsula,"
"Siapa yang unggul, Guru?"
"Perguruan Leak Garang disapu
habis oleh orang-orang Pulau Kelabang.
Tinggal si Marundang seorang diri. Ia mengamuk dan membabat habis orang
Pulau Kelabang, sampai ketua mereka pun dibinasakan tanpa ampun oleh
Marundang. Sejak itu ia tinggal
seorang diri di dalam hutan, di tepi rawa busuk yang disebut Rawa Bangkai.
Hatinya menyimpan dendam kepada orang-orang rimba persilatan, karena saat
perguruannya diserang oleh orang-orang Pulau Kelabang, tak ada satu pun orang
yang mau memihaknya. Maka timbullah dendam di hati Marundang untuk
membantai habis seluruh tokoh rimba persilatan. Dengan kesaktiannya yang tinggi,
ia menyebarkan kematian secara membabi buta. Tapi akhirnya ia nyaris binasa oleh
lawannya yang dikenal
dengan nama si Raja Maut...."
"Raja Maut"! Oh, saya kenal betul dengan mendiang Raja Maut, Nyai!" ujar Suto
Sinting memotong pembicaraan sang Nyai, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak").
"Aku pun kenal dengan Raja Maut, tapi... kau sebut tadi 'mendiang'
padanya" Jadi, Raja Maut sekarang
sudah meninggal?"
"Sudah, Nyai. Beliau tewas di
tangan Rara Sumina," jawab Suto Sinting dengan nada duka, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Gundik Sakti").
Setelah diam sesaat, Nyai Kidung
Laras perdengarkan suaranya kembali.
"Kekalahannya dalam melawan Raja Maut membuat Marundang perdalam lagi ilmunya
dengan melakukan tapa rendam di rawa busuk itu. Selama delapan
belas tahun ia tidak tampakkan diri di rimba persilatan. Sebulan yang lalu
kudengar kabar bahwa Marundang yang berjuluk Setan Rawa Bangkai itu sudah
bergentayangan kembali. Kabar yang
kudengar pula, bahwa Setan Rawa
Bangkai telah kuasai dua ilmu baru
yang bernama 'Sukma Sakti' dan Cakar Belah Jagat'. Kedua ilmu itu sama-sama
berbahaya karena hampir mencapai
tingkat tertinggi dari segala ilmu."
Pendekar Mabuk menjadi sangat
tertarik mendengar nama dua ilmu
barunya Setan Rawa Bangkai itu. Ia pun segera ajukan tanya kepada Nyai Kidung
Laras, "Apa kehebatan kedua ilmu itu, Nyai?"
"Yang dinamakan ilmu 'Sukma
Sakti' itu adalah menyerang lawan
tanpa gerakan namun dapat membuat
lawan terluka parah, bahkan bisa
meremukkan kepala lawan. Sedangkan
ilmu atau jurus 'Cakar Belah Jagat'
itu tak lain adalah kecepatan gerak tangan yang mempunyai kuku beracun dan
bertenaga dalam tinggi, hingga tanah pun dapat terbelah jika dicakarnya
dengan jurus 'Cakar Belah Jagat'. Dan kedua ilmu itu sukar ditandingi, Suto.
Barangkali hanya si Gila Tuak saja
yang bisa menandingi ilmunya Setan
Rawa Bangkai."
Pendekar Mabuk sempat terperanjat
mendengar nama gurunya disebutkan.
Suto Sinting sendiri masih belum tahu apakah Nyai Kidung Laras tidak tahu bahwa
Suto adalah si Pendekar Mabuk, muridnya Gila Tuak" Atau, jangan-
jangan Nyai Kidung Laras berlagak
tidak tahu tentang jati diri Suto
Sinting. Hal itu akhirnya tidak
dipedulikan oleh Suto. Yang ada dalam benak Suto adalah ingin mengetahui
seberapa hebat kedua ilmu barunya
Setan Rawa Bangkai itu. Karenanya ia pun segera ajukan tanya kepada Nyai Kidung
Laras. "Di mana aku dapat temui Setan Rawa Bangkai itu, Nyai?"
"Jangan!" sergah Pakis Ratu secara tiba-tiba. Nyai Kidung Laras sunggingkan
senyum kecil, kemudian
bertanya kepada Pendekar Mabuk,
"Untuk apa kau ingin tahu tempat tinggal Setan Rawa Bangkai?"
"Saya ingin melihat kehebatan
kedua ilmu itu, Nyai."
"Jangan, Suto! Nanti kau akan
mati jika bertemu muka dengannya.
Guruku saja tak bisa tandingi Setan Rawa Bangkai, apalagi dirimu, Suto!"
Gadis itu menampakkan
kecemasannya. Agaknya ia tak ingin
Suto Sinting menderita celaka sekecil apa pun. Entah perasaan apa yang
mendasari rasa tidak rela jika Suto celaka, yang jelas kala itu Pakis Ratu
pandangi Suto Sinting dengan sorot
pandangan mata bernada memohon
pengertian dari Suto. Bahkan
ia mengulang bujukannya yang bernada
larangan itu. "Kumohon, jangan coba-coba temui dia. Lebih baik kau tidak perlu tahu kehebatan
dua ilmu barunya itu,
ketimbang kau sendiri menjadi korban nantinya!"
Nyai Kidung Laras menimpali,
"Kurasa saran dari muridku itu memang benar, Suto. Aku tahu arah perasaannya
saat ini, tapi sebaiknya biar kau
sendiri yang menarik kesimpulan."
Pendekar Mabuk tersenyum malu-
malu. * * * 5 KAKI Gunung Babat diselimuti
kabut tipis yang merayap bagai ribuan roh bergentayangan. Kabut tipis itu berada
satu mata kaki dari tanah,


Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat akar pepohonan tampak samar-samar.
Hutan di kaki gunung itu banyak
ditumbuhi pohon jati liar yang
menjulang tinggi bagai ingin mencakar langit. Hutan itu jarang dilintasi
manusia karena keadaannya yang cukup liar. Binatang buas dan rawa-rawa
menyebar bak penghuni tetap hutan
tersebut. Seekor ular sebesar batang kelapa yang panjangnya lebih dari
tujuh tombak sedang merayap pelan
menuju semak belukar. Di balik semak itu ada sebuah gua bermulut lebar.
Rupanya sang ular ingin masuk ke dalam gua tersebut sebagai tempat tinggalnya
selama ini. Tetapi tiba-tiba ular besar itu
tersentak kaget dan mengibaskan
ekornya hingga menghantam sebatang
pohon ketika terdengar suara ledakan yang menggelegar dan mengguncangkan tanah
sekitarnya. Rupanya ledakan itu berasal dari
arah timur kaki gunung tersebut.
Ledakan dahsyat itu terjadi akibat
benturan cahaya berlainan warna. Dan kedua cahaya itu datang dari tangan dua
tokoh sakti yang sedang melakukan pertarungan bertaruh nyawa.
Dua tokoh sakti yang mengadu ilmu
itu sama-sama berusia di atas tujuh puluh tahun. Salah satu dari kedua
tokoh itu mengenakan jubah kuning
tanpa lengan, Rambutnya panjang diikat ke belakang, ubannya masih tipis namun
kentara kalau sudah berusia lanjut.
Sekalipun sudah berusia tujuh puluh tahun lebih namun tokoh berjubah
kuning itu masih kelihatan gagah dan lincah. Wajahnya yang jenaka kelihatan tak
dibebani perasaan gentar sedikit pun.
Tokoh itu pernah muncul dalam
suatu peristiwa yang melibatkan
Pendekar Mabuk dalam mengatasi
keganasan gadis bernama Seroja Putih yang terkena kutuk dari tokoh
beraliran hitam bernama Nyai Pegat
Raga. Gadis itu adalah murid dari
ketua Perguruan Tapak Dewa yang
bernama Eyang Darah Guntur. Dan tokoh yang berjubah kuning itu adalah adik dari
Eyang Darah Guntur yang dikenal dengan nama Ki Tumbang Laga, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Kutukan Pelacur Tua").
Sedangkan lawan yang dihadapi Ki
Tumbang Laga kali itu adalah tokoh yang sedang menjadi bahan pembicaraan orang-
orang rimba persilatan, ia tak lain adalah Setan Rawa Bangkai yang mempunyai
nama asli Marundang.
Setan Rawa Bangkai bertubuh lebih
kurus dari Ki Tumbang Laga. Bahkan
lebih kurus lagi dari si Dewa
Tengkorak. Badannya yang kurus bagai hanya mempunyai tulang itu tampak
berwarna hitam tapi bersisik busik, ia mempunyai sepasang mata cekung dengan
tulang rongga mata tampak menonjol dan tepian matanya berwarna merah. Rambut
panjang sepunggung dibiarkan meriap lepas berwarna abu-abu. Bibirnya
tampak pecah-pecah bagai orang
menderita sakit panas dalam atau
sariawan. Tokoh berjubah hitam itu
mempunyai kuku runcing-runcing,
panjang dan berwarna hitam kelabu.
Ketajaman kukunya itu sempat merobek sebatang pohon jati ketika ia menyabet
perut Ki Tumbang Laga dengan gerakan mencakar. Untung Ki Tumbang Laga cepat
menghindar dengan lakukan sentakan
yang membuat tubuhnya melambung ke
atas dan berjungkir balik satu kali di udara, kemudian kakinya menyentak pada
batang pohon, sehingga tubuh Ki
Tumbang Laga bagaikan meluncur terbang pindah ke tempat lain. Wuuut...!
Craaak...! Lima kuku panjang dan runcing itu
menyebat batang pohon dan batang pohon
besar itu menjadi koyak berserat-serat bagai terbabat lima mata pedang.
Sedangkan pohon di kanan kirinya
menjadi hangus pada tempat-tempat
tertentu karena terkena angin sabetan cakar tersebut.
Setan Rawa Bangkai diam di tempat
dan pandangi lawannya dengan mata
cekung yang cukup tajam. Rambutnya
tertutup angin hingga sebagian
merintangi permukaan wajahnya. Kedua tangan di samping masih berjari keras
seakan siap-siap lakukan cakaran
berikutnya. Ki Tumbang Laga sudah
berdiri di depannya dalam jarak tujuh langkah. Tokoh tua berwajah jenaka itu
tersenyum bagai menyepelekan
perlawanan Setan Rawa Bangkai. Dari tempatnya cengar-cengir, Ki Tumbang Laga
lontarkan kata dengan suara
lepas. "Sampai kapan pun kau tak akan bisa mengungguli ilmuku, Marundang!
Sebaiknya kau menyerah saja dan
merelakan nyawamu melayang sebagai
penebus kematian murid kakakku, si
Seroja Putih itu!"
"Kau datang kemari untuk antarkan nyawamu, Tumbang Laga!"
"O, tidak. Jangan salah paham.
Aku tidak mengantarkan nyawa,
melainkan diutus oleh kakakku; si
Darah Guntur untuk menebus kematian Seroja Putih. Sebab murid kakakku itu telah
kau bunuh melalui tangan
pelayanmu si Dewa Tengkorak.
Seandainya sekarang pun aku dapat
jumpa dengan Dewa Tengkorak, maka
kalian berdua akan kuantarkan ke
neraka tanpa dipungut biaya sedikit pun, Marundang!"
"Kematian Seroja Putih bukan atas perintahku, tapi tindakan si Dewa
Tengkorak sendiri. Mengapa kau
menuntut padaku, Tumbang Laga"!"
"Atas perintahmu atau bukan, yang jelas kau bertanggung jawab atas
segala perbuatan Dewa Tengkorak. Sebab ia berani bertindak semena-mena karena
merasa mendapat perlindungan darimu.
Mustahil sekali Dewa Tengkorak berani bertindak semena-mena jika tidak atas
dukungan darimu, Marundang."
Dengan mata cekung memancarkan
kebencian, Setan Rawa Bangkai berkata bagai tanpa irama dan nada. Datar
sekali. "Tak ada pilihan lain, bersiaplah untuk mati lebih dulu!"
Tiba-tiba tubuh Ki Tumbang Laga
terlempar ke samping dengan kuat
sekali. Wuuut...! Brruuusss...! Tubuh itu menghantam pohon besar tanpa dapat
menjaga keseimbangannya. Kepala Ki
Tumbang Laga membentur batang pohon dengan keras sekali hingga terdengar suara
seperti tulang meretak.
Prraakk...! "Aaahg...!" pekik pendek Ki Tumbang Laga mengawali cucuran darah yang keluar
dari kepalanya.
Setan Rawa Bangkai masih diam di
tempat dan hanya memandang dengan
sorot mata semakin tajam. Tanpa
gerakan sedikit pun, ia telah dapat membuat tubuh Ki Tumbang Laga yang
baru saja terpuruk di bawah pohon
tersebut telah melayang lagi ke arah lain, bagai dilemparkan ke suatu
tempat dengan gerakan layang sangat cepat.
Weesss...! Brruusss...!
Praaak...! "Aaauh...!" pekikan Ki Tumbang Laga terdengar kembali setelah
tubuhnya menabrak sebongkah batu
sebesar kerbau berdiri.
Ki Tumbang Laga tidak tahu bahwa
Setan Rawa Bangkai telah pergunakan ilmu 'Sukma Sakti', yang bisa
menghantam atau menyerang lawannya
dengan kekuatan batin. Karena itu, Ki Tumbang Laga yang masih mencoba untuk bisa
berdiri lagi, tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kepala mendongak ke atas.
Ia seperti mendapat pukulan
dahsyat pada dadanya. Padahal saat itu Setan Rawa Bangkai hanya diam di
tempat tanpa lakukan gerakan sedikit pun.
"Huuugh...!" Ki Tumbang Laga pejamkan mata kuat-kuat dengan tubuh melengkung ke
belakang. Dadanya
menjadi berasap dan membekas hitam
berbentuk telapak tangan. Bekas hitam itu mengepulkan asap putih samar-samar,
disusul dengan muntahnya darah kental berwarna merah kehitaman dari mulutnya.
Dalam keadaan separah itu, tubuh
Ki Tumbang Laga melayang kembali. Kali ini ia melambung tinggi tanpa mendapat
pukulan atau tendangan dari lawannya.
Tubuh yang melambung tinggi itu segera bergerak turun dalam keadaan kepala di
bawah. Darah makin tersontak banyak dari mulutnya.
Kepala Ki Tumbang Laga bergerak
ke arah sebongkah batu yang ujungnya runcing. Kepala itu akan menancap pada
keruncingan batu tersebut.
Zlaaap...! Wuuut...!
Tiba-tiba sekelebat bayangan
menyambar tubuh Ki Tumbang Laga. Dalam sekejap saja bayangan itu sudah
berhasil memanggul tubuh Ki Tumbang Laga dan menampakkan diri dalam jarak
sepuluh langkah dari Setan Rawa
Bangkai. Pandangan mata Marundang
sempat terkesiap sejenak dengan mata cekungnya yang mengecil, ia merasa
asing terhadap kemunculan tokoh muda yang berani menyambar tubuh Ki Tumbang
Laga. Tokoh muda itu tak lain adalah
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang kali ini menyilangkan bumbung tuaknya di
punggung. Dengan tangan kiri
memegangi tubuh Ki Tumbang Laga yang dipanggulnya, Suto Sinting sempat
beradu pandangan mata dengan Setan
Rawa Bangkai. "Siapa kau..."!" gertak Setan Rawa Bangkai tanpa bergerak sedikit pun dari
tempatnya berdiri.
Suto Sinting tidak memberi
jawaban, bahkan melepaskan serangan pun tidak, ia hanya berkelebat sambil
membatin dalam hatinya,
"Menyeramkan sekali tokoh itu.
Pasti dia itulah yang dikenal Setan Rawa Bangkai. Rupanya kedatanganku
nyaris terlambat. Ki Tumbang Laga
hampir saja mati di tangannya. Hmmm...
rupanya arah yang ditunjukkan oleh
Nyai Kidung Laras tak membuatku salah jalan. Kurasa di hutan inilah terdapat
rawa busuk yang baunya menyebar sampai di tempat ini. Sebaiknya tidak
kulayani sekarang, aku harus
selamatkan jiwa Ki Tumbang Laga dulu!"
Zlaaap...! "Hei, jangan pergi! Jawab dulu pertanyaanku, Monyet!" sentak Setan Rawa Bangkai
dengan suara seraknya.
Tetapi Pendekar Mabuk tetap pergi
dengan pergunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang mampu bergerak dengan kecepatan sangat tinggi bagai
menghilang dari pandangan mata itu.
Namun agaknya Setan Rawa Bangkai
tidak mau melepaskan lawannya begitu saja. Pandangan matanya masih mampu melihat
gerakan secepat anak panah, sehingga dengan kekuatan batin dari ilmu 'Sukma
Sakti', ia menyerang Suto Sinting dan membuat Pendekar Mabuk
tiba-tiba terjungkal bagai dibanting oleh tenaga gaib yang tak kelihatan.
Wuuuut...! Brrruukk...!
"Aahhg...!"
Suara rintihan itu datang dari
mulut Ki Tumbang Laga yang sudah
terluka sangat parah itu, sebab
keadaan Ki Tumbang Laga tertindih
tubuh Suto Sinting yang tak bisa
kendalikan keseimbangan badannya.
"Celaka! Dia menggunakan kekuatan batinnya untuk menyerangku!" geram Suto
Sinting dalam hati. "Aku tak bisa melawannya karena serangan itu tak
bisa dilihat mata. Uuuh... hidungku...
sial betul! Hidungku jadi berdarah
akibat bantingan keras tadi. Uuuh...
tulangku pun terasa remuk semua kalau begini!"
Zaaap...! Setan Rawa Bangkai
tiba-tiba sudah berada di depan Suto Sinting dalam jarak enam langkah.
Namun sebagai seorang pendekar, Suto Sinting tak mau menyerah begitu saja, ia
berusaha bangkit dan membiarkan Ki Tumbang Laga terkapar di tanah.
Sayangnya, baru saja ia bangkit
dengan satu kaki berlutut, tiba-tiba datang serangan tenaga besar tanpa
terlihat bentuknya. Tahu-tahu saja
dagu Suto Sinting bagai ditendang oleh kaki bertenaga dalam cukup besar.
Serangan pada dagu membuat kepala
Pendekar Mabuk tersentak ke belakang dalam keadaan terdongak dan rasa sakit
menyerang dari ubun-ubun sampai
telapak kaki. Wuuuut...! Brrrus...!
Suto Sinting terpental ke
belakang lima langkah jauhnya dari
tubuh Ki Tumbang Laga. Mulutnya
menyemburkan darah segar karena
tenggorokannya pun terasa seperti
terkena tendangan bertenaga besar.
Suto Sinting nyaris tak bisa bicara lagi, bahkan pernapasannya menjadi
sesak sekali. "Tuak... mana tuakku..."!
Tuak...!" pikir Suto Sinting sambil berusaha meraih bumbung tuaknya yang masih
menyilang di punggung.
Wuuut... Beeeegh...!
"Heeegh...!" Suto Sinting tersentak mendelik karena perutnya
terasa mendapat pukulan besar yang
makin membuat napasnya sulit dihela lagi. Serangan itu tetap datang dari si
Setan Rawa Bangkai dengan
menggunakan ilmu 'Sukma Sakti'-nya.
Serangan tersebut membuat Suto Sinting terpuruk lemas bagai kehilangan
seluruh tenaga. Hanya ada sisa tenaga sedikit yang dapat digunakan untuk
meraih bumbung tuaknya.
Pada saat Pendekar Mabuk berhasil
meraih bumbung tuak, tiba-tiba ia
sempat melihat tubuh Setan Rawa
Bangkai terpelanting ke samping dan berguling-guling menerabas semak
Menuntut Balas 14 Anak Berandalan Karya Khu Lung Pendekar Pedang Pelangi 12
^