Gadis Buronan 1
Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 PERTARUNGAN di puncak bukit terpaksa terhenti beberapa saat, karena kedua orang
yang saling mengadu kesaktian itu sama-sama terjungkal ke belakang. Sebuah
ledakan dahsyat melemparkan tubuh mereka hingga berjungkir balik bagai dilanda
badai angin panas.
Keduanya sama-sama mengucurkan darah dari hidung, keduanya sama-sama berwajah
pucat pasi bagai mayat kemarin sore.
"Dadaku sesak sekali. Terasa sakit jika untuk bernapas. Aku harus salurkan hawa
dingin dulu untuk mengatasi luka dalamku ini," pikir seorang pemuda tampan
bercelana hijau dengan rompinya yang hijau
berhias benang emas. Pemuda berambut panjang digulung tengah itu tak lain adalah
Darah Prabu, murid Resi Badranaya yang diutus mengejar seorang gadis dari
Perguruan Biara Ungu.
Sementara itu, lawan Darah Prabu juga mengalami nasib yang serupa. Tubuhnya
sempat terkulai sesaat setelah terlempar gelombang ledakan akibat beradu tenaga
dalam dengan Darah Prabu tadi.
"Monyet kadas! Tulang-tulangku bagaikan remuk semua kalau begini caranya.
Uuhf...! Hampir-hampir aku tak mempunyai tenaga lagi, sehingga untuk bangkit
saja sukarnya bukan main. Aku harus lakukan penyembuhan sementara dengan napas
murniku!" ujar si gadis membatin gerutu dan keluhan.
Gadis itu yang hanya mengenakan kutang tanpa jubah dengan dada montok bertato
gambar naga sejengkal itu tak lain adalah Peluh Setanggi, buronan cantik yang
ulet dan licin bagaikan belut. Lukanya di bagian lambung akibat pertarungannya
dengan Sumbaruni itu sudah mulai mengering, ia melakukan pengobatan sendiri
dengan napas murninya. Namun pengobatan itu belum selesai, ia sudah dipergoki
oleh Darah Prabu, sehingga harus lari lagi menghindari murid Resi Badranaya itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
Agaknya keduanya sama-sama kuat, sehingga keduanya sama-sama letih setelah
bertarung sekian lama tak ada yang tumbang salah satu. Jika Peluh Setanggi
melarikan diri, Darah Prabu mengejarnya lagi, lalu
terjadilah pertarungan kembali. Hanya saja, agaknya pertarungan di bukit itu
adalah pertarungan terakhir yang tanpa sadar disepakati dalam hati mereka. Peluh
Setanggi tak ingin melarikan diri lagi. Hidup dan mati, menang atau kalah ia
akan hadapi Darah Prabu, demikian pula halnya dengan Darah Prabu sendiri.
Salah satu dari beberapa jurus andalannya telah digunakan untuk melumpuhkan
Peluh Setanggi. Tapi sejak tadi si cantik berambut terurai itu cukup mampu
mematahkan jurus-jurus andalan Darah Prabu.
"Alot sekali nyawanya"!" gumam Darah Prabu membatin. "Jurus-jurus berbahayaku
masih bisa ditangkis dengan jurus simpanannya, walau akhirnya aku dan dia sama-
sama jungkir balik kewalahan. Tapi rupanya dia bukan gadis yang mudah
ditaklukkan. Mungkin usahaku merebut kembali pusaka itu harus dilakukan dengan menggunakan
tipu muslihat."
Sedangkan Peluh Setanggi pun membatin, "Jurus simpananku ternyata tak bisa
mengalahkan jurus-jurusnya. Jika terus-terusan begini, bisa-bisa aku kehabisan
jurus simpanan. Rasa-rasanya aku harus gunakan siasat untuk mengalahkan si
monyet kadas itu!"
Setelah keduanya sama-sama mengumpulkan tenaga kembali, kini mereka sama-sama
berdiri dan saling berhadapan dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka saling
memandang penuh dendam tersembunyi.
Peluh Setanggi mempersiapkan dirinya untuk bertarung kembali dengan tangan kanan
mulai memegangi gagang pedang yang ada di pinggang
kirinya. Darah Prabu pun memperlihatkan kegagahannya dengan berdiri tegak dan
tangan memegangi gagang pedang di pinggang, seakan siap dicabut kapan saja.
Dalam pandangan sepintas, mereka seolah-olah siap beradu jurus pedang untuk
menentukan siapa yang harus tumbang. Tetapi sebenarnya dalam hati mereka sama-
sama menyimpan keraguan.
"Jangan-jangan jurus pedangku tak mampu mematahkan jurus pedangnya?" pikir Peluh
Setanggi. "Menurut Guru jurus pedangku agak lemah.
Mampukah aku mengalahkan jurus pedangnya"!"
Darah Prabu maju satu langkah, Peluh Setanggi juga maju satu langkah. Sreet...!
Peluh Setanggi mendului mencabut pedangnya. Sraang...! Darah Prabu pun mencabut
pedangnya, ia segera maju dua langkah, Peluh Setanggi juga maju dua langkah.
Kini jarak mereka cukup dekat dan masih saling memandang dengan sorot mata
tajam. Kedua mata mereka sama-sama mengecil bagai ingin membuat pandangannya
lebih tajam lagi.
Semak di bawah pohon bergerak-gerak. Ternyata ada orang yang mengintai
pertarungan di baiik gerumbulan semak itu. Sepasang mata memperhatikan ke arah
Darah Prabu dan Peluh Setanggi dengan penuh ketegangan.
Sepasang mata itu milik seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun,
berambut pendek, ikat kepala putih, baju hijau tua, kurus, pendek, dan tanpa
kumis ataupun jenggot selembar pun. Orang itu tak lain adalah pelayan Resi Pakar
Pantun yang bernama Kadal Ginting.
Sang pelayan terpisah dari tuannya akibat
pertarungan di negeri Bumiloka. Namun kesetiaan dari si Kadal Ginting,
bagaimanapun juga ia tetap mencari tuannya; Resi Pakar Pantun. Setelah ia
menemui Penunggu Hutan Rawa Kotek sesuai petunjuk Suto Sinting, dan ternyata
sang Tuan tidak ada di sana, maka Kadal Ginting mencari terus ke arah mana saja
sampai akhirnya tiba di bukit itu dan memergoki pertarungan yang sejak tadi
tiada habisnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa").
Pada waktu Darah Prabu dan Peluh Setanggi sama-sama bangkit, Kadal Ginting
sempat membatin,
"Nah, kali ini pasti lebih seru dari yang tadi. Oh masing-masing sudah mulai
memegangi gagang pedangnya. Lha... benar, kan" Sekarang masing-masing sudah
mencabut pedangnya. Wah, pasti mereka akan saling beradu kepandaian memainkan
jurus pedang. Hmmm... mana yang unggul nantinya; Darah Prabu atau si gadis yang tadi sebelum
terjadi ledakan dahsyat kudengar dipanggil dengan nama Peluh Setanggi"!"
Kadal Ginting sudah mengenal Darah Prabu, karena dulu pernah bertemu dengan
Darah Prabu ketika ia mengikuti Resi Pakar Pantun dalam suatu perjalanannya.
Tak heran jika Kadal Ginting masih ingat bahwa pemuda tampan itu adalah muridnya
Resi Badranaya, sahabat Resi Pakar Pantun.
Tapi agaknya Kadal Ginting menyimpan
kedongkolan di balik persembunyiannya, karena kedua orang itu tidak segera
lakukan pertarungan dengan pedang. Kadal Ginting sudah tak sabar, sehingga ia
pun bicara sendiri dengan suara lirih sekali,
"Ayo, lekas! Tinggal bacok sana, bacok sini saja kok susah amat"! Tebaskan
pedangmu Darah Prabu. Beet..., begitu! Untung-untungan sajalah, apakah gadis itu
bisa menangkis atau tidak. Ledakan tidak ya mati, ledakan bisa ya selamat. Ah,
gadis itu juga agaknya ragu-ragu menebaskan pedangnya ke leher Darah Prabu.
Apakah karena Darah Prabu ganteng maka ia tak tega membuntungi kepalanya" Uuh...
dasar gadis goblok!
Kehilangan lawan berwajah ganteng tak apalah, kan masih ada aku yang juga
berwajah ganteng?"
Peluh Setanggi benar-benar tak melihat ada lelaki lain di situ kecuali Darah
Prabu. Seandainya melihat pun tak akan sudi melirik Kadal Ginting yang berwajah
tua dan berkulit seperti lipatan sabuk. Pusat perhatian Peluh Setanggi memang
tertuju pada sepasang mata bening yang memancarkah kemarahan itu.
"Sebaiknya kupikat hatinya dengan jurus 'Mantra Pemasung', biar dia tergila-gila
padaku dan tunduk padaku. Jika sudah begitu dia akan rela kuperlakukan
bagaimanapun juga, sekali pun kuhabisi nyawanya tak akan melawan."
Begitu kecamuk batin Peluh Setanggi yang merasa kewalahan menghadapi jurus-
jurusnya Darah Prabu.
Padahal pada waktu itu Darah Prabu sendiri membatin dalam hatinya,
"Agaknya aku perlu menggunakan jurus 'Tutur Kasmaran', biar tak perlu repot-
repot lagi menaklukkan kekerasan hatinya yang tak mau bicara tentang pusaka
curiannya!"
Maka batin Darah Prabu pun segera mengucapkan sebaris mantra ajian yang dapat
untuk meluluhkan hati wanita dalam keadaan mata saling beradu pandang.
Sorot pandangan mata Darah Prabu mulai berbinar-binar karena memancarkan
kekuatan gaib yang menguasai jiwa, pikiran dan batin si Peluh Setanggi.
"Cahya pamujan cahyaning pangeran mata wicara suryaning dewata
tebar-tebur menebar lewat mata sampai dubur tundak-tanduk tertunduklah jabang
bayinya Peluh Setanggi
tanpa tunduk akan mati, semakin tunduk penuh gairah tak mau lepas ledakan tak
kukehendaki. Bergobar-gaber sumsum selimut semut-semut nyut-nyut pengasih dikenyut susut.
Sembah, sembah, sembah, sembah,
sembahing kawula lan gusti."
Pandangan mata Darah Prabu mulai memancarkan sinar hijau samar-samar yang
berasap tipis. Sinar hijau dan asap tipis itu tak terlihat oleh mata orang yang
diincar jurus 'Tutur Kasmaran' itu. Tetapi bagi yang tidak diincar jurus
tersebut melihat samar-samar pancaran sinar hijau bercampur asap tipis itu.
Padahal waktu itu di dalam batin Peluh Setanggi juga melepaskan kekuatan sihir
ajaran dari Nyi Mas Gandrung Arum, gurunya. Kekuatan sihir itu terpancar karena
'Mantra Pamasung' diucapkan dalam batinnya,
"Peri keblak demit tandak
lumpuhkan hatinya Darah Prabu
dan jerat pikat dengan aji para dewa-dewi.
Sir kumisir, ser gangser, cucup puser Peri puber satria ngiler,
tak akan pisah sebelum basah.
Ser, ser, ser. Kiri muter, kanan muter, tengah gemeter.
Nyimat-nyimut senat-senut,
hati lanang digdaya pasrah seturut asmara ujung perut.
Pasrah sumarah sukma batin jiwa si Darah Prabu.
Oh, ah, oh, ih. Mpot-mpot copot."
Kadal Ginting yang melihat adanya sinar biru bening sebesar lidi melesat dari
pertengahan kening di antara kedua alis Peluh Setanggi. Sinar biru kening itu
tidak bisa dilihat Darah Prabu sebagai sasaran batin si Peluh Setanggi. Tetapi
bagi orang lain, seperti Kadal Ginting, melihat jelas sinar biru bening sebesar
lidi itu memancar masuk ke dalam kening Darah Prabu tanpa rasa apa pun.
"Gila! Keduanya sama-sama melepaskan tenaga dalam dan saling terkena serangan
masing-masing. Wah, pasti keduanya akan meledak bersama dan menjadi serpihan
daging hangus yang menjijikkan jika dibayangkan. Oh, aku tak tega! Aku tak mau
melihat kengerian itul"
Kadal Ginting buang muka sambil menahan debar-debar dalam dadanya. Jantung yang
berdag-dig-dug itu menunggu meledaknya dua orang tersebut dengan ketegangan yang
amat mencekam. "Kok lama sekali mereka tidak saling meledak"!"
pikir Kadal Ginting sambil masih berpaling. Kemudian perlahan-lahan rasa ingin
tahunya memaksa kepala bergerak ke arah semula, tapi matanya mengecil karena
bersiap untuk terpejam saat terjadi ledakan yang dibayangkan.
Padahal saat itu Darah Prabu sedang maju satu langkah, Peluh Setanggi juga maju
satu langkah, akhirnya mereka berada dalam satu jangkauan sepelukan. Keduanya
telah sama-sama terkena aji pemikat yang membangkitkan gairah cinta dan hasrat
ingin bercumbu tak tertahankan lagi. Yang ada di dalam hati mereka adalah debar-
debar keindahan dan gejolak hasrat ingin saling memberi kehangatan.
"Sebenarnya kau cantik sekali, Peluh Setanggi," ucap Darah Prabu dengan lirih.
"Kau pun sangat tampan dan menawan, Darah Prabu," balas Peluh Setanggi dalam
suara mendesah.
"Oh, aku sangat berhasrat memelukmu, Peluh Setanggi."
"Darah Prabu... tubuhku dingin sekali, hangatkan dengan pelukanmu. Hangatkan
sekarang juga, Darah Prabu," desah Peluh Setanggi dengan pandangan matanya
menjadi sayu akibat diburu gairah bercumbu.
Maka pelan-pelan sekali Darah Prabu dekatkan bibirnya ke bibir Peluh Setanggi.
Pelan-pelan pula bibir Peluh Setanggi merekah ternganga siap menerima kehangatan
lawannya. Darah Prabu kian tak mampu bertahan melihat bibir merekah sebegitu
indah. Akhirnya
bibir itu pun dikecup dengan bibirnya dan dilumat pelan-pelan. Sekujur tubuh
Peluh Setanggi seperti dikerumuni jutaan semut. Berdesir indah sekali, sehingga
keindahan itu menuntun batin untuk merenggut lebih dari sekadar kehangatan
bibir. Peluh Setanggi buru-buru memeluk Darah Prabu dengan satu tangan, karena tangan
kanannya masih memegangi pedang. Begitu pemuda itu terpeluk erat, lidah dan
bibir menyerang dengan lincah dan ganas.
Darah Prabu terpaksa harus membalas lebih ganas lagi dengan tangan kiri meremas
punggung Peluh Setanggi yang tak berkain itu.
"Lhooo..."!" Kadal Ginting bagai ingin terlonjak dalam pekikan batinnya. Begitu
ia membuka mata lebar-lebar, ternyata yang dilihatnya bukan ledakan mengerikan
namun pertemuan bibir dengan bibir yang saling melumat tanpa malu-malu lagi.
"Kok jadi begitu"!" pikir Kadal Ginting. "Wah, wah, wah... kacau balau
pertarungan ini! Pertarungan cap apa ini namanya" Sudah sama-sama cabut pedang,
tinggal bres, bres, bres... eh, pakai adu mulut segala"! Ini namanya melanggar
tata tertib pertarungan. Harus kulaporkan kepada Eyang Resi atau para tokoh tua
rimba persilatan! Tapi... tapi nanti dulu, ah! Untuk apa buru-buru pergi, karena
kelihatannya Peluh Setanggi menuntun Darah Prabu ke semak-semak seberang sana.
Naah... betul, bukan"! Eh... kok mereka semakin menjadi-jadi" Lho, lho... kok
Darah Prabu melepaskan rompinya. Sik, sik, sik... lakone apa ledakan begini,
ya"!" Kadal Ginting kebingungan mencari jalan untuk mendekati semak-semak yang
mulai bergoyang-goyang itu.
Darah Prabu tak sadar lagi apa yang dilakukannya, demikian pula Peluh Setanggi.
Kasmaran mereka saling beradu cukup seru, merusakkan ilalang sekitarnya, memecah
kesunyian puncak bukit dengan suara gemerisik dan rintihan gaduh yang memekik-
mekik dari mulut Peluh Setanggi.
Darah Prabu tak ingat lagi tentang siapa-siapa, bahkan tak terbayang sedikit pun
wajah Kejora, si gadis lugu yang kala itu sedang diculik oleh bayangan ungu.
Padahal sebelumnya hati Darah Prabu telah terpikat oleh kecantikan Dewi Kejora
yang akrab dipanggil Kejora saja itu. Ia menjadi berang saat Kejora diculik
orang. Tapi sekarang, dalam dekapan hangat tubuh berdada montok kencang itu, Darah
Prabu tak berpikir lagi tentang nasib Kejora. Ia tak tahu Kejora sudah
dibebaskan dari dekapan penculiknya oleh Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
Darah Prabu memang tak tahu bahwa Kejora
kebingungan mencarinya dengan wajah sedih. Setelah lolos dari tawanan si Kucing
Hutan, Kejora tidak menampakkan keceriaannya, hal itu membuat Resi Pakar Pantun
sebagai pelaku penyelamatan itu menjadi kecewa. Tokoh tua berusia sekitar
delapan puluh tahun itu bersungut-sungut menjauhi Kejora yang merengut di bawah
pohon. Pemuda tampan berbaju coklat tak
berlengan dengan pakaian putih lusuh dan selalu membawa bumbung tuak itu sedang
berusaha membujuk Kejora agar tak berduka. Pemuda tampan itu adalah Pendekar
Mabuk yang dikenai dengan nama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang. "Kau tak boleh semurung ini, Kejora. Seharusnya kau merasa beruntung karena kau
telah bebas dari tangan si Kucing Hutan alias Perawan Titisan Peri itu."
"Untuk apa aku bebas dari Kucing Hutan kalau tak bisa bertemu dengan Darah
Prabu" Aku kangen dan ingin mendengar suaranya, Suto. Aku ingin melihat
ketampanan wajahnya dan, ah... pokoknya kangen sekali."
Resi Pakar Pantun yang bersungut-sungut itu segera menyahut, "Kangen, kangen...!
Kau enak, tinggal merasakan kangen, aku ini yang tak enak, susah payah
menyelamatkan dan membawa keluar dirimu dari bangunan kuno itu sampai lututku
membentur batu, eeh... yang diselamatkan justru cemberut dan merasa kecewa.
Kalau begitu kau masuk kembali ke bangunan kuno itu saja!"
"Jangan begitu, Resi," tutur Suto Sinting dengan kalem. "Mohon dimaklumi saja,
karena Kejora menyimpan cinta begitu besar kepada Darah Prabu."
Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cinta, cinta... apa itu cinta"! Aku tidak tahu soal cinta!" gerutu Resi Pakar
Pantun sambil memunggungi Suto Sinting dan Kejora. Kemudian terdengar suaranya
berucap dalam pantun.
"Sarung kumal diseruduk anak badak,
robek tepinya dipakai jingkrak-jingkrak.
Biar cinta sebesar gajah bengkak,
apalah artinya kalau tak mampu bertindak."
Kejora memandang sengit kepada Resi Pakar Pantun, ia sempat berkata pelan, "Apa
maumu sebenarnya, Pak Tua?"
"Sarung kumal buat bungkus pisang, semakin lama semakin hangat dipegang.
Hargailah susah payah seseorang,
walau dengan senyum dan wajah riang."
Si gadis justru semakin cemberut dan kesal kepada Resi Pakar Pantun, ia segera
melangkah pergi sambil berkata dalam nada sewot,
"Bodo, bodo, bodo... pokoknya aku mau cari Darah Prabu!"
"Hei, Kejora... mau ke mana kau mencarinya?"
"Ke mana saja, pokoknya aku harus bertemu Darah Prabu!"
"Bagaimana dengan pusaka leluhurmu"! Bukankah kita sedang mencari pusaka itu"!"
"Masa bodoh...!"
Weesss...! Kejora larikan diri tak mau diajak berunding lagi. Pendekar Mabuk
menahan rasa jengkel menghadapi sikap manja si gadis lugu itu. Ia memandang Resi
Pakar Pantun dan segera berkata,
"Aku harus mendampinginya, karena ia dalam tanggung jawabku. Kau sendiri
bagaimana, terserah keputusanmu, Resi."
"Uu...! Sama saja mengasuh anak sapi kalau begini
caranya!" seraya ia bergegas mengikuti langkah Suto Sinting yang mengejar
pelarian Kejora. Agaknya sang Resi tak tega membiarkan Suto Sinting mendampingi
Kejora yang ingin mencari Prabu Darah itu, walau dalam hati sang Resi penuh
gerutu dan geram kejengkelan.
* * * 2 GERAKAN lari Kejora tanpa disengaja diterjang oleh sekelebat bayangan yang
sedang melintas. Terjangan itu cukup kuat hingga membuat Kejora terlempar tinggi
dan tersangkut di kerimbunan sebuah pohon.
"Aaaa...!"
Gusraakk...! "Auuuh...! Toloooong...!"
Teriak Kejora tidak mengejutkan Resi Pakar Pantun dan Suto Sinting. Hal yang
mengejutkan mereka adalah sekelebat bayangan yang terlihat jelas menerjang
Kejora. Terjangan itu pun membuat sosok bayangan yang berlari cepat itu terjungkal dan
berguling-guling di tanah, lalu berhenti terkapar di depan langkah Pendekar
Mabuk dan Resi Pakar Pantun.
"Uuuhhg...!" orang itu mengerang kesakitan sambil melontarkan gerutu tak jelas.
"Hantu Laut..."!" sapa Suto Sinting dengan suara menyentak heran.
Orang yang menerjang Kejora tanpa sengaja itu
memang seorang lelaki berkepala gundul, bercelana biru, ikat pinggang merah, tak
pernah pakai baju yang dikenal dengan nama Hantu Laut. Ia berbadan besar,
berhidung bulat, berkulit hitam, perutnya sedikit buncit dan agak budeg.
Resi Pakar Pantun mengenal orang bermata besar itu, tapi juga pernah mendengar
penjelasan dari salah seorang sahabatnya bahwa Hantu Laut sudah bukan lagi anak
buah Siluman Tujuh Nyawa, si tokoh sesat yang paling ditakuti oleh para tokoh
aliran hitam itu. Semula memang Hantu Laut adalah sekutunya Siluman Tujuh Nyawa,
bekerja menjadi pelayan Tapak Baja yang menguasai sebuah kapal penyerang dalam
pemerintahan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi ketika Hantu Laut ditundukkan oleh Suto
Sinting, akhirnya ia menjadi pengikut Suto Sinting dan mengabdi kepada
pemerintahan Ratu Pekat di Pulau Beliung, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pusaka Tombak Maut").
Tentu saja kepergian Hantu Laut dari Pulau Beliung atas perintah atau seizin
Ratu Pekat. Biasanya ia mengemban tugas dari Ratu Pekat untuk menyampaikan suatu
kabar kepada Pendekar Mabuk.
"Hantu Laut..., mengapa kau ada di sini"!" tanya Suto Sinting setelah menarik
tangan si Hantu Laut agar cepat berdiri.
"Siapa bilang aku penakut" Aku berani berhadapan dengan siapa saja!"
"Hei, yang kutanyakan tadi: mengapa kau ada di
sini"!" Suto Sinting memperjelas pertanyaannya, dan Hantu Laut pun segera
menggumam sambil manggut-manggut, mengakui salah dengarnya tadi. "Oooo...
mengapa aku ada di sini" Apakah kau tak lihat kalau aku di sini karena jatuh
menabrak seekor rusa"!"
"Toloooong...!" seru Kejora di atas pohon. Suto Sinting melirik ke atas sambil
menahan geli, kemudian bicara kepada Hantu Laut,
"Yang kau tabrak bukan seekor rusa, tapi seorang gadis cantik! Lihat, dia
tersangkut di atas pohon itu!"
"Sutooo... tolong akuuu...!" teriak Kejora dengan nada suara penuh rasa takut.
Resi Pakar Pantun hanya memandang dengan
tersenyum sinis, sengaja tak mau berbuat apa-apa untuk gadis itu. Pendekar Mabuk
berkata kepada sang Resi,
"Kurasa kau bisa membantunya turun kemari, Resi."
"Memang bisa, tapi aku tak mau lakukan."
"Kenapa begitu, Resi?"
"Pertolonganku tak akan punya arti baginya, ia tetap akan murung tanpa merasa
senang dan tak akan menampakkan rasa syukurnya atas pertolonganku."
"Toloooong... aku takut jatuuuh...!" seru Kejora bernada mau menangis.
"Mintalah tolong kepada Darah Prabu! Berteriaklah yang keras memanggil nama
kekasihmu itu!" seru Resi Pakar Pantun dengan hati dongkol.
Suto Sinting hanya tertawa kecil melihat sikap sang Resi yang pengaruh
kebanyakan umur jadi bersikap seperti anak kecil.
"Turunkan dia, cepat!" perintah Suto Sinting kepada Hantu Laut.
Orang berkeringat itu tak berani menentang perintah Pendekar Mabuk, ia pun
segera melesat dalam satu lompatan dan hinggap di dahan, kemudian menyambar
Kejora dan dibawanya turun. Wuuuss...! Zrraaak...!
"Aaaaa...! Takuuuttt...?"
Kejora menjerit lebih keras lagi. Setelah diturunkan dari topangan kedua tangan
Hantu Laut, ia buru-buru memeluk Suto Sinting dengan manja dan berkata sambil
membenamkan wajah di dada Suto Sinting.
"Aku... aku takut, Suto! Aku takut kepada orang utan!
Aku paling jijik dengan seekor kera sekecil apa pun.
Apalagi sebesar itu, oooh... takut sekali, Suto!"
"Hei, hei... itu bukan kera. Bukan pula orang utan.
Dia adalah Hantu Laut sahabatku. Perhatikanlah baik-baik, jangan sepintas saja!"
Sang Resi menimpali, "Apa kubilang tadi, tak ada terima kasihnya gadis ini jika
dapat pertolongan. Bukan menampakkan rasa bersyukurnya malah menghina si
penolong. Untung si Hantu Laut orang budeg, jadi ia tak dengar dikatakan sebagai
orang utan atau kera raksasa."
"Kera raksasa!" sentak sang Resi memperjelas ucapannya tadi.
Hantu Laut terbengong, lalu palingkan muka sambil menggumam lirih,
"Kebangetan...!"
Kejora pandangi Hantu Laut dengan sorot pandangan mata penuh curiga, ia masih
berlindung di balik tubuh kekar si Pendekar Mabuk, ia sempat berbisik kepada
Suto Sinting, "Apakah dia suka menggigit?"
"Husy, dia bukan sejenis serigala!" balas Suto Sinting dalam bisikan pula.
"Tap... tapi dia sahabatmu?"
"Benar. Penampilannya memang menyeramkan, tapi hatinya baik. Jangan beranggapan
buruk kepadanya, nanti dia tersinggung."
"Tiap hari makanannya apa?"
"Beling!" jawab Pendekar Mabuk agak kesal atas pertanyaan Kejora itu. Rupanya
Hantu Laut mendengar percakapan itu walau secara samar-samar, lalu ia segera
berkata, "Eh, Nona... biar begini-begini aku ini manusia. Kau pikir kuda lumping"! Jangan
menghinaku sebagai pemakan beling. Aku makan nasi, jagung, ubi dan sebagainya!
Sama dengan kau juga."
"Siapa yang mengatakan kau makan beling" Bukan aku, Kang Hantu! Suto yang
menjawab begitu tadi."
"Sudah, sudah...," Suto Sinting segera melerai cekcok kecil itu. "Hantu Laut,
sekali lagi kutanya mengapa kau ada di sini" Bukankah seharusnya kau ada di
Pulau Beliung?"
"Aku diutus oleh Ratu Pekat untuk menemuimu dan menyampaikan sebuah kabar yang
penting kau ketahui."
"Kabar apa itu?"
"Dyah Sariningrum, calon istrimu yang menjadi Ratu di negeri Puri Gerbang
Surgawi di Pulau Serindu, mengirimkan utusan untuk menemuimu, tapi kapalnya
terdampar di Pulau Beliung."
Pendekar Mabuk sangat terkejut mendengarnya.
Terbayang seraut wajah cantik yang amat dicintai dan selalu mendampingi alam
pikirannya setiap hari. Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota Sejati
mengirimkan utusannya untuk menemui Pendekar Mabuk. Hal ini jarang dilakukan
jika tidak karena ada perkara yang amat penting. Tapi anehnya, mengapa kapal
mereka terdampar di Pulau Beliung"
"Siapa yang menjadi utusan calon istriku itu"!" tanya Suto Sinting kepada Hantu
Laut "Belum. Aku belum mendengar keputusan calon istrimu."
"Siapa yang jadi utusan! Bukan keputusan! U-tusan!" seru sang Resi.
"O, yang diutus"! Hmmm... si cebol gagap; Dewa Racun."
"Ooooh...!"
Brrruk...! Kejora jatuh terkulai dengan lemas. Pendekar Mabuk terkejut, yang lainnya
memandang heran. Gadis itu segera diangkat oleh Pendekar Mabuk.
"Kejora..."! Kejora, mengapa kau jatuh lemas begitu mendengar nama Dewa Racun"!"
"Aku... aku tak kuat lagi menahan rasa sakit sekujur tubuh, akibat... akibat
terjangan Kang Hantu Laut itu.
Oooh...." Resi Pakar Pantun menggumam dan menggerutu tak jelas. Tapi wajahnya tampak tidak
seheran tadi, bahkan
berkesan dongkol setelah mengetahui penyebab jatuhnya Kejora. Pendekar Mabuk
tertawa kecil, lalu segera meminumkan tuaknya yang dikenal sebagai tuak sakti
paling mujarab untuk sembuhkan segala macam luka dan penyakit. Terbukti dalam
beberapa saat saja Kejora sudah tampak segar dan mampu berdiri dengan tegak,
seluruh rasa sakitnya lenyap setelah menelan tuak Suto.
Kini pikiran Suto Sinting kembali tertuju pada kabar tentang Dewa Racun. Jika
bukan karena masalah penting tak mungkin Dyah Sariningrum mengutus Dewa Racun
untuk menemui Suto Sinting, karena Dewa Racun adalah orang kepercayaan Dyah
Sariningrum yang ketujuh.
Ketika Dyah Sariningrum ingin memanggil Suto Sinting ke istananya, ia mengutus
Dewa Racun untuk mencari sosok si Pendekar Mabuk yang dikenal pula sebagai Bocah
Tanpa Pusar itu. Pertemuan itulah yang membuat Suto Sinting dan Dewa Racun
menjadi akrab dan saling bahu-membahu dalam menumbangkan kejahatan semasa dalam
perjalanan menuju Pulau Serindu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pertarungan di Bukit Jagal").
"Kabar apa yang harus disampaikan oleh Dewa Racun kepadaku"!" tanya Suto Sinting
kepada Hantu Laut.
"Aku tidak tahu, Suto. Sebaiknya datanglah ke Pulau Beliung dan temuilah dia di
sana, sebab Dewa Racun dalam keadaan sakit."
"Sakit..."!" Suto Sinting terkejut. "Sakit apa dan mengapa ia bisa sakit?"
"Aku bukan tabib jadi aku tak bisa menentukan jenis penyakitnya," jawab Hantu
Laut. Resi Pakar Pantun yang berjalan di sekitar pohon belakang Hantu Laut, tiba-tiba
segera ajukan tanya dengan suara agak keras.
"Mengapa punggungmu bernoda merah, Hantu Laut"!"
"Aku tidak sedang marah-marah, aku sedang menceritakan tentang...."
"Noda merah!" sang Resi memperjelas maksudnya dengan suara lebih keras lagi.
"O, noda merah..."! Noda merah apa?" Hantu Laut berusaha menengok ke belakang
memeriksa punggungnya, tapi tentu saja hal itu tak bisa dilakukan.
Tak ada orang yang bisa melihat punggungnya sendiri jika tanpa bantuan cermin.
Wajah sang Resi tampak sedikit tegang, sehingga Suto Sinting menjadi penasaran
dan segera ikut memeriksa punggung Hantu Laut, demikian pula dengan Kejora yang
tak mau jauh-jauh dari Pendekar Mabuk.
"Oh, benar. Ada tiga noda merah yang membentuk sudut-sudut segitiga. Hmmm...."
Suto Sinting manggut-manggut memperhatikan tiga noda merah di punggung Hantu
Laut yang menyerupai pertemuan tiga sudut dalam bangunan segi tiga. Noda itu
sebesar biji jagung dan tampak jelas bagian kulit yang matang akibat panas api.
"Kau habis lakukan pertarungan, Hantu Laut"!" tanya sang Resi.
"Pertukaran apa?"
"Pertarungan!" sentak sang Resi.
"O, pertarungan"! Iya, memang aku habis lakukan pertarungan dengan seseorang
yang tidak kukenal...."
Kata-kata itu terhenti karena tiba-tiba salah satu kuku jari tangan Hantu Laut
jatuh ke tanah bagai kehabisan perekat. Pluuk...! Kuku yang jatuh itu adalah
kuku bagian jempol kirinya.
"Lho... kukumu jatuh, Kang Hantu!" ujar Kejora dengan wajah kaget.
Hantu Laut bingung melihat kukunya copot tanpa darah setetes pun. Jempol kirinya
menjadi tak berkuku sedikit pun. Baru saja Suto Sinting akan memeriksa tangan
kanan Hantu Laut, tiba-tiba kuku kelingking kanannya copot juga. Pluk...!
"Tak salah lagi," ujar Resi Pakar Pantun. "Kau terkena pukulan 'Aji Brangaspati'
yang akan membuat tubuhmu lambat laun terpotong tiap persendiannyal"
"Mung... mungkin juga," Hantu Laut agak gugup.
"Sebab aku tadi diserang oleh seseorang yang berilmu tinggi dan sukar kulawan.
Aku melarikan diri karena merasa tidak sanggup menandingi ilmunya. Dan...
karena itulah aku menerjang Kejora tanpa sengaja sebab tak mau diburu orang
itu." "Kau tak mengenali orangnya"! Aneh. Mengapa dia menyerangmu dengan menggunakan
pukulan berbahaya jika kalian tak saling kenal?" kata Suto Sinting dengan dahi
berkerut. "Aku benar-benar tak tahu, Suto. Bahkan persoalan
yang dibicarakan pun tak kumengerti."
"Persoalan apa?"
"Ia menyangka diriku sebagai anak buah Perawan Titisan Peri dan memaksaku
memberitahukan di mana pusaka Panji-panji Mayat disembunyikan. Padahal...."
"Tunggu...!" sergah Suto Sinting dengan terkejut, lalu ia memandang Resi Pakar
Pantun dan Kejora secara bergantian.
"Kau disangka anak buahnya Perawan Titisan Peri dan disangka mengetahui tentang
pusaka Panji-panji Mayat"!" ulang Resi Pakar Pantun merasa aneh.
"Tapi aku tidak tahu tentang pusaka itu, Resi. Aku...
aku bahkan baru mendengarnya sekarang ini!" kata Hantu Laut dengan suara agak
ngotot, sehingga sang Resi membentak,
"Iya, tapi jangan melotot di depanku begitu!"
"Berarti ada pihak lain yang menghendaki Panji-panji Mayat," gumam Suto Sinting,
lalu Kejora yang mendengar gumaman itu bertanya dalam keluguannya.
"Siapa pihak lain itu, Suto?"
"Ini baru dibicarakan! Kok malah tanya"!" gerutu Suto Sinting agak kesal dengan
pertanyaan bodoh itu.
Kemudian Suto Sinting bertanya kepada Hantu Laut,
"Bagaimana ciri-ciri orang tersebut"!"
Tapi Resi Pakar Pantun lebih dulu bersuara sebelum Hantu Laut menjawab,
"Rasa-rasanya aku kenal pemilik pukulan 'Aji Brangaspati' ini."
Semua mata memandang Resi Pakar Pantun.
"Bukan aku pemiliknya, jangan memandangiku dengan curiga begitu."
"Siapa yang mencurigaimu" Justru kami menunggu jawabanmu jika benar kau tahu
siapa pemilik 'Aji Brangaspati' itu!" kata Suto Sinting masih bernada kesal
hati. Pluuk...! Satu kuku dari jari tangan Hantu Laut jatuh ke tanah tanpa rasa sakit.
Semua mata memandang ke arah kuku yang jatuh ke tanah itu. Hantu Laut menjadi
bertambah tegang. Kesepuluh jarinya diperhatikan dengan sedih. Tinggal tujuh
jari yang masih berkuku, dan ia berkata bagai bicara pada dirinya sendiri,
"Apakah seluruh jariku ini nantinya akan tidak berkuku semua"!"
"Mungkin malah kau akan tidak berkepala jika seluruh persendianmu sudah putus
semua," kata sang Resi semakin membuat Hantu Laut menjadi cemas.
"Minumlah tuakku sebelum semua persendianmu putus!" perintah Suto sambil
Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerahkan bumbung tuaknya. Hantu Laut pun buru-buru menenggak tuak itu dengan
gemetar, hingga air tuak mengguyur sebagian wajahnya karena tak tepat jatuh ke
mulut. "Coba lihat punggungmu, apakah tuak Suto bisa berhasil menghentikan kekuatan
racun dari pukulan 'Aji Brangaspati' itu?" ujar sang Resi.
Ternyata tuak sakti itu mampu melumpuhkan kekuatan racun pukulan 'Aji
Brangaspati'. Tiga noda merah itu lambat laun menjadi samar-samar bagai menguap
dihembus angin. Pendekar Mabuk menarik
napas dan menghempaskan dengan perasaan lega setelah tiga noda merah itu lenyap
sama sekali, berarti pengaruh kekuatan dari pukulan 'Aji Brangaspati' bisa
dikalahkan oleh kekuatan tuak saktinya.
"Resi, kau belum menjawab pertanyaanku tentang siapa pemilik pukulan 'Aji
Brangaspati' itu," ujar Suto Sinting mengingatkan.
Tetapi sebelum Resi Pakar Pantun ucapkan kata, tiba-tiba Pendekar Mabuk melihat
seberkas sinar merah berbentuk bintang melesat dari balik pohon dan menuju ke
punggung Hantu Laut. Weeesss...! Dengan gerakan cepat di luar dugaan siapa pun,
Pendekar Mabuk menarik tangan Hantu Laut hingga orang besar berkulit hitam itu
terjungkal ke depan. Brrus...!
Satu lompatan kecil membuat Suto Sinting
menghadang laju sinar merah tersebut. Bumbung tuaknya disilangkan di depan dada
tepat pada waktu sinar merah ingin mengenai dadanya sendiri.
Trruub...! Slaaab...! Sinar itu berbalik arah dalam keadaan lebih besar dan
lebih cepat gerakannya. Sebuah pohon tempat datangnya sinar itu menjadi sasaran
dengan telak. Blegeerr...! Zuuurrbbsss...!
Buuusss...! Pohon itu hangus bagai dijilat api setan. Dalam sekejap sudah menjadi arang dari
akar sampai ranting paling pucuk. Daunnya menjadi debu yang
berhamburan. Sisa asap mengepul beberapa kejap lalu
hilang terhembus angin.
"Siapa pemilik sinar merah itu"!" tanya Kejora kepada Hantu Laut. Pertanyaan itu
tak dihiraukan oleh Hantu Laut, sebab Suto Sinting segera berseru,
"Kalian tunggu di sini aku akan mencari orang itu!"
Kemudian sebuah suara terdengar dari belakang mereka yang menghadap ke pohon
terbakar itu. "Tak perlu dicari, aku kan telah datang sendiri!"
Serentak wajah mereka berpaling ke belakang dengan rasa kaget. Pandangan mata
mereka tertuju pada sebuah dahan pohon, di sana ada seseorang yang berdiri
dengan sikap menantang penuh keberanian. Resi Pakar Pantun segera menggeram
jengkel. "Sudah kuduga kaulah orangnya. Turun kau!"
"Itu dia orangnya yang menyerangku, Suto!" ujar Hantu Laut.
Dengan mata memandang orang tersebut Suto Sinting berbisik kepada Resi Pakar
Pantun, "Siapakah dia, Resi?"
* * * 3 DARI atas pohon meluncurlah tubuh elok semampai berpakaian ketat warna biru.
Wuuuss...! Rambut panjang terurai sepunggung menebar bagai sayap kupu-kupu.
Perempuan yang seperti berusia sekitar tiga puluh tahun itu mendaratkan kakinya
ke tanah tanpa suara. Ini
menandakan ia mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi.
Perempuan cantik bermata dingin itu mengenakan pakaian terusan dari bahan yang
lentur, ketat sekali dengan tubuh hingga berbentuk lekak-lekuk keindahan
tubuhnya yang berdada montok dan berpinggul sekal.
Bahan pakaiannya seperti terbuat dari campuran karet tipis berkancing rapat dari
dada sampai bawah perut.
Kancingnya adalah kancing jepret, yang sekali sentak dapat lepas seluruhnya.
Tubuh yang terbungkus kain tipis ketat dari atas siku sampai betis itu tidak
mengenakan sabuk atau ikat pinggang apa pun, sehingga senjatanya ditaruh di
bawah lengan, ia mempunyai sepasang pisau kembar bersarung tembaga di kanan-kiri
tangannya. Ukuran pisau hanya sebatas dari pergelangan sampai siku, mempunyai
tali pengikat dari bahan karet warna biru, sesuai warna pakaiannya.
Resi Pakar Pantun berbisik kepada Pendekar Mabuk,
"Dialah yang bernama Merpati Liar, satu-satunya murid Nyai Parisupit yang awet
muda." "Hmmhh..., padahal Nyai Parisupit itu neneknya Kejora."
"Benar," bisik sang Resi lagi. "Neneknya Kejora hanya punya satu murid di luar
keturunannya."
Bisik-bisik itu dihentikan karena Merpati Liar tampak bergerak dekati Hantu
Laut. Suto Sinting tak mau lepaskan pandangan matanya dan bersiap lakukan
sesuatu jika Merpati Liar menyerang Hantu Laut.
Sedangkan Resi Pakar Pantun segera menyapanya dengan pantun untuk melepas
kebisuan di antara mereka.
"Sarung kumal sarung sialan,
sekali dipakai bikin bisulan.
Jangan dulu memancing permusuhan,
sebelum jelas letak persoalan."
Mata dingin itu melirik sang Resi. Lalu menuding dengan tegas sambil ucapkan
kata bernada tak ramah.
"Kau tak punya hak untuk mencampuri urusanku, Pakar Pantun! Kuharap tutup mulut
dan jangan ikut campur kalau esok masih ingin bernapas."
Resi Pakar Pantun paksakan diri untuk terkekeh pendek.
"Merpati Liar...."
"Sarung kumal lupa ditenun,
sekali ditenun bikin orang manyun.
Siapa remehkan si Pakar Pantun,
akan menderita apes turun-temurun."
Merpati Liar masih melirik sangar ke arah Resi Pakar Pantun, jari-jari tangannya
mulai mengeras. Pendekar Mabuk tahu gelagat, perempuan itu pasti akan lepaskan
pukulan tenaga dalamnya ke arah Resi Pakar Pantun.
Maka sebelum hal itu terjadi, Pendekar Mabuk lebih dulu bicara kepada Merpati
Liar. "Apa perlumu bersikap memusuhi kami, Merpati Liar"!"
Kini pandangan mata dingin yang cukup tajam itu beralih ke arah Suto Sinting.
Yang dipandang menampakkan ketenangan wajahnya, sehingga sikap
bermusuhan tak terlihat di permukaan wajah tampan itu.
"Siapa kau dan apa hubunganmu dengan si bandot tua itu"!" seraya ia menuding
Resi Pakar Pantun.
"Aku hanya seorang sahabat Eyang Resi, juga sahabat dari Hantu Laut dan Kejora,"
sambil Suto Sinting memperkenalkan Hantu Laut dan Kejora. Tambahnya lagi,
"Namaku Suto Sinting dan...."
"Aku tak butuh pemuda sinting!" sahut Merpati Liar dengan sinis.
Kejora menyahut dengan lugu, "Eh, Yu... Suto bukan pemuda sinting. Namanya saja
Suto Sinting, tapi dia bukan orang sinting alias orang gila! Bodoh amat kau ini,
Yu"!"
"Jangan turut bicara, Gadis tolol!" ketus Merpati Liar sambil memandang sangar
kepada Kejora. Yang dipandang menjadi mengkerut, dan bergeser ke belakang Resi Pakar Pantun.
"Aku kemari hanya ingin bikin perhitungan dengan si kebo keling itu!" seraya
Merpati Liar menuding Hantu Laut.
"Aku bukan maling! Enak saja mengatakan aku maling!" sentak Hantu Laut salah
dengar. "Kebo keling!" sang Resi memperjelas ucapan tadi.
"Siapa yang kebo keling?" Hantu Laut bingung.
"Kau...!" sentak Merpati Liar menampakkan kegalakannya. "Kebo keling macam kau
layak mati jika tak mau tunjukkan di mana si Perawan Titisan Peri itu menyimpan
pusaka 'Panji-panji Mayat!"
"Aku bukan anak buah Perawan Titisan Mayat, eh...
Peri!" kata Hantu Laut dengan ngotot. "Sudah kubilang, aku tidak kenal dengan
titisan peri atau titisan setan, sebab aku titisan orang baik-baik!"
"Omong kosong!" geram Merpati Liar.
"Dia memang tidak tahu-menahu tentang Perawan Titisan Peri alias si Kucing Hutan
itu!" timpal Suto Sinting. "Dia datang dari Pulau Beliung, tak punya urusan apa-
apa dengan Kucing Hutan."
"Diam kau, Pendusta!" gertak Merpati Liar, namun gertakan itu hanya ditertawakan
oleh Suto Sinting melalui senyumannya yang melebar. Senyuman itu dipandangi oleh
Merpati Liar dan membuat perempuan itu menyimpan kegundahan dalam hatinya. Tapi
ia tetap lanjutkan kata-katanya yang bernada tak bersahabat itu.
"Kulihat dengan mata kepalaku sendiri, dia mondar-mandir di depan bangunan kuno
yang menjadi tempat kediaman si Kucing Hutan itu. Dia pasti mata-mata si Kucing
Hutan yang bertugas mengamankan sekitar sarang mereka itu!"
"Aku... aku mondar-mandir di sekitar bangunan kuno itu karena mencari Suto
Sinting. Sebab dikejauhan kudengar suara ledakan di sana, kusangka itu
pertarungan Suto Sinting, ternyata yang kutemukan hanya mayat seorang lelaki
bergincu. Tapi aku tak tahu siapa pembunuh lelaki bergincu itu!" ujar Hantu Laut
menjelaskan dengan nada tetap ngotot.
"Dia memang mencariku, Merpati Liar. Dan lelaki bergincu itu memang lawanku. Dia
anak buah si Hantu Laut yang berhasil kulumpuhkan," kata Suto Sinting
dengan nada kalem seakan penuh kesabaran.
Merpati Liar tampak ragu mempercayai ucapan itu, kemudian berkata dengan masih
tetap bernada ketus.
"Kurasa kalian adalah komplotan si Hantu Laut itu!
Rasa-rasanya harus kuhancurkan salah satu agar kalian mengaku di depanku!"
Weess...! Kepala Merpati Liar mengibas ke samping kiri. Dari bola matanya keluar
sepasang sinar hijau sebesar lidi mengarah ke dada Hantu Laut. Slaaap...!
Hantu Laut lompat ke samping belakang untuk hindari sinar hijau itu. Sebenarnya
gerakan Hantu Laut itu terlambat dan ia bisa terkena sepasang sinar hijau yang
bergerak sangat cepat itu. Namun sebelumnya Suto Sinting sudah lebih dulu
lepaskan jurus 'Tangan Guntur'
yang mengeluarkan sinar biru besar dari telapak tangannya. Sinar biru itu
menghantam sepasang sinar hijau di pertengahan jarak. Wesss...!
Jlegaaarr...! Ledakan menghentak kuat telah membuat mereka tunggang langgang terlempar ke
berbagai arah, termasuk Resi Pakar Pantun dan Kejora. Bahkan Pendekar Mabuk
sendiri terlempar dalam keadaan terkapar dan jatuh tak kuasai keseimbangan
badan. Buuhk...! Sedangkan Merpati Liar terhempas kuat dan membentur sebuah
pohon di belakangnya. Hantu Laut terguling-guling bagai kapas dihempaskan badai.
Perempuan cantik berhidung mancung itu segera bangkit berdiri dan pandangi Suto
Sinting yang telah tegak lebih dulu.
Mata perempuan itu memandang Suto Sinting lebih tajam lagi, bagai memancarkan
kemarahan yang lebih besar dari sebelumnya. Lalu tiba-tiba kepalanya menyentak
sedikit ke atas. Tanpa diduga-duga tubuh Pendekar Mabuk terlempar ke atas bagai
dilemparkan oleh suatu kekuatan gaib.
Wuuuss...! Perempuan itu segera gerakkan kepalanya ke samping. Seet...! Dan tubuh Suto yang
masih dipandanginya itu terlempar ke samping dengan kuat.
Wuuus...! Brruk...! Tubuh itu membentur pohon dengan kerasnya.
"Gila! Ternyata kabar yang kudengar selama ini tidak salah. Merpati Liar
mempunyai kekuatan besar pada matanya," pikir Resi Pakar Pantun. "Rupanya ia
telah kuasai jurus 'Kendali Netra' yang mampu melemparkan benda apa saja cukup
menggunakan pandangan matanya."
Suto Sinting menyeringai, kepalanya terasa sakit beradu dengan batang pohon
besar, ia buru-buru menenggak tuaknya setelah berkelebat ke balik pohon.
Hanya beberapa kejap saja Pendekar Mabuk sudah keluar dari balik pohon tepat
pada saat Merpati Liar menghampirinya dengan langkah garang.
Seett...! Kepala Merpati Liar menghentak ke kanan, Suto Sinting terlempar lagi
ke kiri. Wuuuss...! Brrruk...!
Pohon tak seberapa besar menjadi sasaran tubuh Suto Sinting. Krraak...! Pohon
itu menjadi retak karena hantaman tubuh kekar Pendekar Mabuk.
Melihat Suto dihajar oleh perempuan cantik, Hantu Laut tak bisa tinggal diam. Ia
segera lakukan lompatan penuh murka dan melepaskan senjata yoyonya yang beracun
itu. "Heeeaaah...!"
Wuuuttt...! Weess...! Senjata yoyo itu dilemparkan ke arah punggung Merpati Liar. Dari
tepian yoyo itu keluar gerigi tajam beracun ganas. Apabila yoyo itu disentakkan
talinya ke belakang, maka akan membalik arah dalam keadaan gerigi masuk ke
dalam. Tetapi sebelum yoyo itu kenai punggung Merpati Liar, tiba-tiba tubuh perempuan
itu berbalik arah dan kepalanya terayun membuat kekuatan tenaga dalam pada
matanya menyentak, melemparkan tubuh besar Hantu Laut hingga jatuh terguling-
guling di bebatuan.
Brrusss...! Pada saat itulah, Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya yang
berupa sentilan bertenaga dalam cukup besar. Tees...! Duugh...!
Tubuh Merpati Liar terjungkal karena punggungnya bagai ditendang seekor kuda
jantan binal. Pendekar Mabuk yang semula berlutut kaki satu kini bangkit dan
melepaskan sentilannya lagi.
Tes, tes, tes, tes...!
Brruk, gusrak, wwees... gubras, prakkk...!
Kini ganti perempuan itu yang dihajar Suto Sinting, dijungkirbalikkan ke sana-
sini dengan sentilan 'Jari Guntur' yang sukar ditangkis itu. Jarak mereka yang
lebih dari lima langkah membuat Suto Sinting leluasa melepaskan sentilannya,
hingga Merpati Liar bagaikan dihajar oleh makhluk halus yang tak bisa dilihat ke
mana arah gerakannya.
"Keparat...!" geram Merpati Liar setelah hujan sentilan 'Jari Guntur' itu
berhenti. Jika tidak dihentikan, perempuan itu dapat mati dalam keadaan jebol
dadanya atau hancur wajahnya oleh sentilan Pendekar Mabuk.
"Resi, bawa Kejora ke Lembah Sunyi, biar bergabung dengan kakak dan adiknya di
padepokan Resi Wulung Gading!" ujar Suto saat berada tak jauh dari Resi Pakar
Pantun. Merasa ilmunya kalah tinggi dengan Pendekar Mabuk, maka sang Resi pun menuruti
perintah tersebut, ia bergegas pergi membawa Kejora setelah Pendekar Mabuk
bicara lagi dengan mata tetap tertuju pada Merpati Liar,
"Nanti aku akan menyusulnya ke sana. Aku akan atasi dulu perempuan ini!"
Hantu Laut tak mau ikut pergi bersama sang Resi, ia memperhatikan pertarungan
Suto Sinting dengan Merpati Liar, dan tidak bermaksud ikut campur lagi sebab
menurutnya Suto Sinting mulai keluarkan kekuatan ilmunya, sehingga mampu
mengimbangi serangan lawan.
"Ia mempunyai kekuatan pada mata, aku harus gunakan jurus 'Pucuk Rembulan' untuk
mengimbanginya," kata Suto Sinting dalam hatinya.
"Hiaaah...!" Merpati Liar serukan suara dengan kedua
tangan merentang ke samping membentuk cakar.
Matanya memandang tajam ke arah Suto Sinting.
Pandangan mata itu dilawan oleh Pendekar Mabuk dengan menggunakan jurus 'Pucuk
Rembulan' yang bisa mendorong benda pakai mata dari bawah ke atas. Jurus ini
pernah dipakai saat terjadi peristiwa di Pulau Mayat, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Prahara Pulau Mayat").
Kekuatan 'Kendali Netra' perempuan itu melawan kekuatan mata dari jurus 'Pucuk
Rembulan' ternyata menghasilkan pertarungan yang cukup seru. Tubuh mereka sama-
sama terangkat ke atas tanpa alas berpijak sedikit pun. Tubuh itu melayang dalam
ketinggian setengah tombak dalam keadaan saling bergetar.
"Hhhheeeaahh...!"
Merpati Liar mengerang panjang akhirnya terlontar dalam satu teriakan murka.
Tubuhnya melesat maju bagaikan terbang dalam satu hempasan. Suto Sinting
bersikap menunggu walau tanpa alas berpijak. Lalu tiba-tiba kepala Suto Sinting
menyentak ke kiri. Seeettt...!
Weeerrr...! Tubuh Merpati Liar berputar di udara bagaikan baling-baling, gerakan majunya
terhenti akibat tertahan kekuatan mata Suto Sinting. Tubuh yang berputar itu tak
bisa mengendalikan keseimbangannya lagi, lalu terlempar ke samping dan
menghantam kerimbunan daun di atas pohon. Zrrraakk...! Duuurr...!
Pohon besar itu bergetar dihantam tubuh Merpati Liar. Perempuan itu tersangkut
di celah-celah dahan,
terjepit tak bergerak di sana untuk beberapa saat.
Tes, tess...! Suto Sinting menghajarnya dengan sentilan bertenaga dalam.
Perempuan itu tak bisa menghindar dan menangkis karena keadaannya yang terjepit
dahan. Mau tak mau ia hanya memekik-mekik dengan suara tertahan merasakan sakit
Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada daerah yang terkena hantaman tenaga dalam menyerupai tendangan kuda jantan
itu. "Aahg, uuhg...!"
Pendekar Mabuk segera menapakkan kakinya ke tanah. Kemudian menyentak dan
bersalto dua kali di udara mendekati pohon tersebut. Di bawah pohon ia memandang
ke atas dan berseru,
"Masihkah kau ingin pamer ilmu di depanku, Perempuan cantik"!"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut yang menyeringai karena berusaha
melepaskan diri dari jepitan dahan itu. Agaknya ia mengalami kesulitan karena
tak bisa lakukan gerakan apa-apa. Kedua tangannya merapat dengan tubuhnya,
sehingga yang bisa digerakkan hanya bagian kaki, itu pun tak bisa leluasa.
Huup...! Pendekar Mabuk melenting naik dan menendang pangkal dahan yang menjepit
tubuh Merpati Liar. Dees...! Krraakkk...!
Dahan patah seketika, melayang jatuh ke tanah dalam keadaan jepitan merenggang.
Saat itulah Merpati Liar mampu lepaskan diri dengan sebuah sentakan lengan.
Prraakk...! Wuusss...! Ia berguling ke samping, lalu segera
berdiri dengan satu lutut dan melepaskan pukulan bersinar merah dari ujung kedua
jarinya. Claaapp...!
Sinar itu memecah menjadi tiga larik, dan itulah yang dinamakan pukulan 'Aji
Brangaspati' yang tadi melukai Hantu Laut. Tetapi tiga larik sinar merah itu
dihantam dengan sinar hijaunya Suto Sinting. Clap, blaarr...!
Sinar merah itu hancur oleh pukulan 'Guntur Perkasa'-nya Pendekar Mabuk.
Sentakan gelombang ledaknya lebih besar ke arah Merpati Liar, karena jarak
pertemuan dua sinar itu dekat dengan Merpati Liar.
Akibatnya, perempuan itu terlempar berguling-guling di tanah dan baru terhenti
setelah membentur batu besar. Di sana ia memuntahkan darah merah walau tak
banyak. Namun ia merasakan sakit pada dadanya yang mulai sulit bernapas.
"Dia terluka cukup berbahaya," pikir Pendekar Mabuk secara diam-diam, sikapnya
masih tampak tenang dan penuh waspada.
Merpati Liar mencoba bangkit, tapi segera terhuyung-huyung mau jatuh, ia buru-
buru berpegangan pada batu setinggi perut orang dewasa itu. Ia mencoba bernapas
dengan berat dan menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit di dada.
Pendekar Mabuk segera mendekati bersama Hantu Laut yang lecet punggungnya akibat
jatuh di bebatuan tadi.
"Kau tertuka berbahaya, Merpati Liar. Aku tak bermaksud mencelakaimu jika kau
tak memusuhi kami."
Merpati Liar tundukkan kepala dengan badan masih
miring ke kanan, karena lengan kanannya dipakai untuk bertumpu di atas batu.
Pendekar Mabuk segera menyodorkan bumbung tuaknya dengan sikap ramah.
"Minumlah tuakku untuk mengobati lukamu!"
Perempuan iu diam saja, perlahan-lahan kepalanya terangkat, matanya memandang ke
wajah Pendekar Mabuk. Sorot pandangan mata itu masih saja bersikap bermusuhan.
Agaknya ia dalam kebimbangan untuk memutuskan; menerima uluran bumbung tuak itu
atau menyerang kembali dalam jarak hanya dua langkah.
* * * 4 GEGER pusaka Panji-panji Mayat ternyata
memancing beberapa tokoh lama untuk saling bermunculan. Mereka ternyata cukup
peduli dengan pusaka tersebut, karena sebagian besar dari mereka tahu siapa
orang yang berhak memiliki Panji-panji Mayat itu.
Para tokoh aliran putih berusaha agar Panji-panji Mayat atau Panji-panji Agung
jangan sampai jatuh ke tangan tokoh aliran hitam, sebab jika pusaka itu jatuh ke
tangan tokoh beraliran hitam maka akan timbul kekacauan di mana-mana. Setidaknya
akan terbentuk serombongan pasukan mayat hidup yang dapat mengusik perdamaian
dan ketenangan kehidupan di muka bumi.
Sikap kepedulian terhadap Panji-panji Mayat ternyata nyaris hilang dari diri
Darah Prabu. Murid Resi
Badranaya itu ditugaskan deh gurunya untuk memburu seorang gadis yang mencuri
Panji-panji Mayat dari padepokan sang Resi. Gadis buronan itu tak lain adalah
Peluh Setanggi, tetapi agaknya keduanya mempunyai ilmu yang sama kuat, sehingga
terjadi perubahan sikap di luar rencana. Darah Prabu adalah murid Resi Badranaya
sedangkan Peluh Setanggi murid Nyi Mas Gandrung Arum. Padahal antara Resi
Badranaya dengan Nyi Mas Gandrung Arum ada hubungan sedarah walau bukan
seperguruan. Sikap Resi Badranaya terhadap kakaknya; Nyi Mas Gandrung Arum,
sangat bertentangan dan sering terjadi perang batin di antara keduanya, sebab Nyi Mas
Gandrung Arum menganut aliran hitam sedangkan Resi Badranaya beraliran putih.
Keduanya bersepakat untuk tidak saling mengusik, jika tidak inginkan perang
saudara. Sejauh ini mereka saling tidak tahu menahu tentang aliran masing-masing
dan tidak mau ikut campur dalam setiap urusan masing-masing. Tetapi belakangan
ini, setelah Peluh Setanggi keluar dari Perguruan Biara Ungu dan menjadi
pengikut Kucing Hutan yang juga dikenal sebagai Perawan Titisan Peri itu, sikap
Resi Badranaya mulai menampakkan permusuhannya terhadap sang kakak, sebab Resi
Badranaya belum tahu bahwa Peluh Setanggi sudah bukan murid kakaknya lagi. Darah
Prabu pun tidak tahu kalau Peluh Setanggi telah berpihak kepada Kucing Hutan,
yaitu seorang gadis cantik yang buas dan mempunyai kebiasaan meminum darah kaum
lelaki. Tetapi akibat sama-sama menggunakan jurus
pemikat, Darah Prabu dan Peluh Setanggi menjadi rukun dan saling menyayangi.
Permusuhan di hati mereka sirna tuntas sejak Darah Prabu memberikan
keperkasaannya dan Peluh Setanggi memberikan kehangatannya. Mereka bagai tak
pernah saling bermusuhan sedikit pun. Yang ada di dalam hati dan jiwa mereka
adalah rasa ingin mencintai dan dicintai, rasa ingin menyayangi dan disayangi,
juga rasa ingin memanjakan dan dimanjakan.
Sambil memandang ombok bergulung-gulung,
mereka saling berpelukan dengan mesra. Sesekali Darah Prabu mencium kening Peluh
Setanggi, sesekali pula Peluh Setanggi yang mengecup bibir Darah Prabu dengan
nakal. Kemudian tawa mereka berderai-derai menyimbulkan adanya kebahagiaan di
dalam kebersamaan tersebut.
"Dulu aku pernah bercita-cita ingin mempunyai seorang istri yang cantik, berani,
berilmu dan pandai bercumbu. Kupikir semua itu mustahil dapat kuperoleh.
Tapi ternyata sekarang perempuan dalam bayangan dan cita-citaku itu ada padamu,
Peluh Setanggi."
"Betulkah kau mencintaiku dengan tulus, Darah Prabu?"
"Lebih tulus dari cinta seorang ibu terhadap anaknya," jawab Darah Prabu dengan
nada lembut. "Aku yakin di dunia ini tak ada sesuatu yang putih seputih cintaku
padamu, Setanggi."
"Oh, aku senang sekali mendengar ucapanmu, Darah Prabu," sambil Peluh Setanggi
menyandarkan kepalanya ke dada pemuda tampan itu. "Aku pun dulu bercita-cita
ingin mendapatkan suami yang gagah, tampan, tinggi ilmunya dan perkasa dalam
bercinta. Ternyata semua itu telah kau penuhi, Darah Prabu, itulah sebabnya aku
sungguh tak bisa jika harus berpisah darimu. Sampai ke liang kubur pun aku ingin
ikut bersamamu, Darah Prabu."
"Boleh saja ikut ke liang kubur, tapi tidak boleh nakal."
Peluh Setanggi tertawa riang. "Nanti di dalam kubur kita bisa saling umpuk-
tumpukan lagi, bukan?"
"Ya, memang harus ditumpuk kalau satu liang kubur dipakai dua orang."
Canda mereka bekepanjangan melantur ke mana-mana. Yang jelas hati mereka bahagia
sekali, serasa bumi ini hanya dihuni oleh mereka berdua. Mereka tak tahu kalau
dari salah satu sisi ada sepasang mata yang mengintainya dari sejak berada di
puncak bukit sampai kepantai. Sepasang mata yang mengikuti mereka adalah mata si
pelayan Resi Pakar Pantun; Kadal Ginting.
Tubuhnya sudah berulang-kali basah kuyup karena keringat dinginnya membanjir
terus melihat adegan-adegan syur yang dilakukan Peluh Setanggi dengan Darah
Prabu, ia berusaha menyimak setiap suara yang keluar dari mulut mereka, dan
berusaha memperhatikan setiap gerakan yang mereka lakukan.
"Jangan-jangan keduanya sama-sama telah miring otaknya," pikir Kidal Ginting.
"Padahal mereka bermusuhan sesengit itu, mengapa sekarang jadi bermesraan
segesit ini"! Kuikuti dari tadi, sudah tiga kali
mereka melakukan percumbuan yang edan-edanan di balik semak. Kurasa sekarang
mereka akan istirahat di pantai ini sambil mengumpulkan tenaga kembali."
Namun, telinga Kadal Ginting segera menangkap suara Peluh Setanggi yang sambil
cekikikan melakukan kerajinan tangan dengan rajin sekali itu. "Prabu, di balik
gugusan karang itu sepertinya ada tempat teduh yang lega. Tak inginkah kau pergi
te sana?" "Untuk apa kita ke sana?"
"Tak inginkah kau menikmati surga di tubuhku lagi?"
"Siapa yang tak ingin" Dari tadi aku sedang mencari tempat yang enak untuk
berlayar dengan perahu cintamu."
"Hi, hi, hi... kalau begitu kita ke sana sekarang juga, Prabu. Gairahku telah
terbakar oleh ciuman-ciumanmu...." Kalimat itu terpotong oleh desah Peluh
Setanggi. "Ah, jangan begitu tanganmu, Prabu. Di sana saja kalau ingin
melakukannya. Jangan di sini, nanti ada setan lewat, aku malu dilihat setan!"
Kadal Ginting membatin, "Kurang ajar! Aku dianggap setan. Kalau tak ingat sedang
mengintip, kutabok mulut gadis itu, dan... lho, lho... kok mereka ke sana" Wah,
pasti akan begituan lagi! Gila! Tak ada puasnya perempuan itu rupanya. Ah,
tapi... lumayan juga buat tontonan iseng. Sebaiknya aku lebih dekat lagi supaya
dapat melihat dengan jelas seperti tadi...!"
Kadal Ginting pun bergegas mendekati gugusan karang berongga, ia bersembunyi di
celah-celah karang ketika Peluh Setanggi mulai menyapu habis tubuh Darah
Prabu dengan ciumannya. Darah Prabu masih berdiri melepas, rompinya.
"Luar biasa gadis itu. Ia tak sabar mendapatkan kemesraan seperti tadi. Wah-wah,
wah... rupanya ia gadis yang berselera tinggi. Enak sekali si Darah Prabu
diperlakukan seperti anak kucing sedang dimandikan begitu, ya" Iih... tubuhku
jadi merinding sendiri, sepertinya tubuhku ikut dimandikan oleh ciuman Peluh
Setanggi." Kadal Ginting bergidik sendiri dengan jantung berdetak-detak keras.
Lututnya gemetar nyaris tak mampu berdiri lagi.
Ketika senja akan tiba, pelayaran cinta mereka pun usai. Darah Prabu dan Peluh
Setanggi terkapar lemas dicekam kelelahan. Kadal Ginting duduk bersimpuh di
pasir basah karena lututnya bagai kehilangan urat penopang tubuh. Sekujur
badannya basah bukan karena percikan ombak, tapi karena banjir keringat dingin
selama menyaksikan tontonan iseng itu. Bukan hanya napas Peluh Setanggi dan
Darah Prabu saja yang terengah-engah, melainkan napas Kadal Ginting pun ngos-
ngosan. Bahkan napas mereka sudah reda, tapi napas Kadal Ginting masih ngos-
ngosan. Peluh Setanggi dan Darah Prabu masih membiarkan busananya terkulai di samping
mereka. Alam indah dan irama ombak memacu gairah sedang dinikmati tanpa rasa
canggung dan malu, sebab mereka yakin tak ada orang yang melihat keadaan mereka
saat itu. Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ledakan yang cukup menggelegar.
Ledakan itu membuat gugusan
karang yang menjadi atap berteduh mereka itu runtuh sebagian. Tentu saja Peluh
Setanggi dan Darah Prabu menjadi panik dan secepat kilat mengenakan pakaian
mereka. "Perbuatan siapa ini"!" geram Darah Prabu.
"Tetaplah di sini, akan kucari orang yang mengganggu kemesraan kita!" seraya
Peluh Setanggi mengenakan penutup dadanya.
Wees, wees...! Peluh Setanggi keluar dari rongga karang itu, Darah Prabu tak
mungkin mau tinggal di tempat, sebab ia tak ingin Peluh Setanggi menghadapi
bahaya sendirian, ia pun ikut melesat keluar dari rongga karang.
Sementara itu, Kadal Ginting semakin gemetar dan tak bisa bergerak, karena
pecahan karang tadi ada yang terbang mengenai tengkuk kepalanya. Pandangan mata
Kadal Ginting menjadi buram sedikit, tapi rasa sakit nyut-nyutan menjalar sampai
ke ubun-ubun. Untung saja bongkahan karang segenggaman itu tak sampai membuat
kepalanya bocor.
Dari tempatnya terkulai bersimpuh itu, Kadal Ginting masih bisa melihat ke mana
arah kepergian Darah Prabu dan Peluh Setanggi. Ternyata mereka sedang berhadapan
dengan dua orang gadis berwajah kembar. Dua orang gadis itu mengenakan kutang
hijau dan kain penutup bagian bawahnya sepanjang betis berwarna ungu berbelahan
empat. Keduanya sama-sama mempunyai wajah serupa dengan Peluh Setanggi. Kesamaan
rupa dan bentuk tubuh itu yang membuat Kadal Ginting
terperangah memandang heran hingga mulutnya melongo.
"Kembar..."! Siapa yang kembar sebenarnya" Kedua gadis yang baru datang itu atau
Peluh Setanggi yang kebetulan punya wajah serupa dengan kedua gadis itu"!"
gumam lirih Kadal Ginting. Ia tak tahu bahwa Peluh Setanggi bersaudara kembar
sepuluh. Dua adik kembarnya ikut memihak Kucing Hutan, sementara sisanya masih
menjadi murid Perguruan Biara Ungu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Misteri Bayangan Ungu").
Dua adik kembarnya yang ikut memihak Kucing Hutan adalah Kuncup Nirwana dan Buih
Dewani. Kedua adik kembar itulah yang datang ke pantai dan melepaskan pukulan
penghancur karang bagian atas rongga tadi. Yang menjadi tanda bagi kedua adik
kembar Peluh Setanggi adalah gambar tato di atas payudara kiri mereka. Buih
Dewani mempunyai tato bergambar sebilah keris bercahaya, sedangkan Kuncup
Nirwana mempunyai tato bergambar kepala harimau. Karenanya, Peluh Setanggi dapat
mengenali dengan cepat siapa adik kembarnya yang datang itu.
"Nirwana, Dewani...!" sentak Peluh Setanggi. "Apa maksud kalian mengganggu
kemesraanku, hah"!"
Darah Prabu terbengong melompong memandangi dua gadis kembar yang sama persis
dengan kekasihnya, ia tak menyangka ada dua gadis kembar yang sedikit pun tak
berbeda dengan Peluh Setanggi, kecuali pada gambar tatonya. Darah Prabu belum
tahu bahwa Peluh Setanggi
mempunyai sembilan adik kembar, sebab itu ia sempat berbisik kepada Peluh
Setanggi, "Siapa mereka itu, Setanggi?"
"Dua adik kembarku! Hati-hati, jangan salah cium.
Aku punya sembilan adik kembar yang sama persis dengan diriku. Perhatikan tato
di dada kami!" jawab Peluh Setanggi dengan cepat, lalu perhatiannya tertuju
kepada Kuncup Nirwana dan Buih Dewani yang berdiri dengan sikap menantang.
"Masih untung kalian adikku sendiri, jika bukan sudah kuhancurkan kepala kalian
karena mengganggu kemesraanku dengan Darah Prabu!"
Kuncup Nirwana buka suara, "Pantaskah kalian bercengkerama di sana sementara
kami kena marah terus oleh Ratu Kucing Hutan"!"
"Tiga kali kami menerima hajaran dari Ratu Kucing Hutan gara-gara kau mencuri
pusaka palsu!" timpal Buih Dewani. "Kami ditugaskan mencarimu, Setanggi!
Ternyata kau sedang bercinta seenaknya dengan pemuda itu! Memuakkan sekali!"
"Percuma kami mengikutimu kalau kau tak punya pembelaan terhadap diri kami!"
sahut Kuncup Nirwana.
"Kami yang menerima hukuman kau yang menerima kemesraan. Hmmm... apakah itu adil
menurutmu"!"
"Lalu apa mau kalian sebenarnya, hah"!" bentak Peluh Setanggi menjaga wibawa di
depan adik-adiknya.
"Tinggalkan pemuda itu dan pergilah menghadap sang Ratu. Kau harus menebuskan
kesalahanmu yang telah mencuri pusaka palsu!"
"Pusaka palsu..."!" Peluh Setanggi berkerut dahi, karena ia segera ingat tentang
pusaka Panji-panji Mayat yang dicurinya dari pondok Resi Badranaya.
Darah Prabu pun segera ingat tentang pusaka Panji-panji Mayat dan tugas
menangkap Peluh Setanggi.
Tetapi tugas itu ternyata kalah dengan rasa cinta yang ingin memiliki Peluh
Setanggi selamanya. Hanya saja, Darah Prabu sempat merasa heran mendengar pusaka
yang dicuri Peluh Setanggi itu adalah pusaka palsu.
"Jadi... selama ini Guru menyimpan pusaka palsu"!"
tanyanya dalam hati bernada heran.
"Setanggi, kami ditugaskan membawamu pulang ke Hutan Lembah Meong untuk
menghadap Ratu Kucing Hutan!" ujar Kuncup Nirwana dengan nada tegas.
"Tidak. Aku tidak mau, karena tugasku telah selesai.
Pusaka itu tidak mungkin palsu!"
"Ratu mencoba membawa Panji-panji Mayat ke sebuah makam, tapi ternyata mayat
dalam makam tak bisa bangkit. Lalu panji-panji itu dibawanya ke kuburan para
penduduk desa, ternyata para penghuni kubur tak satu pun yang bangkit mengikuti
panji-panji itu!" kata Buih Dewani.
Mata dan mulut Peluh Setanggi menampakkan sikap tertegun yang membimbangkan
hati. Sementara itu, Kuncup Nirwana serukan kata kembali,
"Panji-panji itu sekarang sudah dihancurkan oleh Ratu Kucing Hutan dengan murka.
Menurut kabar yang diperoleh Banci Wadak, pusaka Panji-panji Mayat sudah
berhasil dicuri oleh Dewi Geladak Ayu. Maka sang Ratu
sendiri segera menangkap Dewi Geladak Ayu. Namun sayang bajak laut perempuan itu
Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu lepaskan diri dari pengaruh racun di pisau sang Ratu, dan segera melarikan
diri. Sementara kemarin siang kami kembali ke istana dan menemukan Banci Wadak
telah menjadi mayat mengenaskan. Entah siapa pembunuhnya!"
"Yang jelas bukan aku pembunuh Banci Wadak.
Setelah kuserahkan panji-panji curianku kepada sang Ratu, aku segera pergi
memburu pembunuh Paman Badai Kutub. Dan sejak itu aku belum kembali ke istana!"
"Jangan menambah murka sang Ratu, Setanggi! Kami yang kena getahnya!" seru Buih
Dewani agak membentak.
Kuncup Nirwana menambahkan kata, "Jika kau tak menghadap sang Ratu, anggapan
sang Ratu tetap buruk kepadamu."
"Anggapan apa"!"
"Kau telah menukar pusaka yang asli dengan yang palsu. Itulah anggapan sang
Ratu!" jawab Buih Dewani.
"Dusta! Fitnah itu namanya!" sentak Peluh Setanggi.
"Yakinkanlah kepada sang Ratu bahwa anggapan itu tidak benar. Jelaskan semuanya
di depan sang Ratu, Setanggi!"
"Aku tidak mau menemui sang Ratu, karena aku tak mau berpisah dari Darah Prabu!"
"Kau bisa membawa pemuda itu menghadapnya juga."
"Kau pikir aku bodoh"! Ratu Kucing Hutan adalah
peminum darah lelaki, ia sangat berselera dengan lelaki semuda dan segagah Darah
Prabu. Aku tak mau Darah Prabu direbutnya dan menjadi korbannya seperti lelaki
yang lain!"
"Kalau kau tetap tak mau, haruskah kami memaksamu dengan cara kasar, Setanggi"!"
ucap Buih Dewani yang dirasakan oleh Peluh Setanggi sebagai tantangan. Maka ia
pun memandangi kedua adik kembarnya dengan sorot pandangan mata tajam penuh
pertimbangan. "Haruskah aku bertarung dengan adik kembarku sendiri?" gumam Peluh Setanggi
pelan, namun didengar oleh Darah Prabu. Pemuda itu pun akhirnya berbisik kepada
Peluh Setanggi.
"Biar kuhadapi kedua adikmu, larilah ke bukit tempat cinta kita bertemu. Nanti
aku akan menyusulmu ke sana."
"Kau... kau akan melawan adikku" Mereka bukan berilmu rendah, Prabu! Kalau hanya
satu orang mungkin saja kau bisa kalahkan mereka, tapi kalau dua orang kau akan
dibuat tak berdaya dalam dua gebrakan saja!"
"Aku masih punya jurus simpanan yang belum pernah kugunakan untuk melawan siapa
saja." "Itu berarti kau akan membunuh kedua adikku!"
"Lalu, aku harus bagaimana" Jika mereka membahayakanmu, apa salahnya jika mereka
dilenyapkan?"
"Tidak. Aku tidak ingin hal itu terjadi!" ujar Peluh Setanggi dalam bisikan,
namun benaknya masih dibuat
pusing oleh keputusan langkahnya; menemui Kucing Hutan atau melumpuhan kedua
adik kembarnya itu"
Darah Prabu segera berbisik lagi, "Baiklah, aku hanya akan membuat kedua adikmu
tumbang sementara kau melarikan diri ke bukit itu. Aku berjanji tak akan
melenyapkan nyawa adikmu, Setanggi! Larilah sana, dan akan kuhadang mereka jika
mengejarmu. Tunggu aku di bukit dan jangan ke mana-mana sebelum aku datang
menjemputmu."
Kini yang ada dalam pikiran Peluh Setanggi adalah sebuah keraguan; mampukah
Darah Prabu menghadapi kedua adiknya tanpa harus melenyapkan nyawa mereka"
* * * 5 TUAK sakti itu ternyata bukan saja sebagai penyembuh luka, melainkan juga
jembatan bagi terjalinnya sebuah persahabatan dan perdamaian. Secara jujur batin
Merpati Liar mengakui daya penyembuh secara gaib. Ia rasakan sendiri khasiat
tuak itu di badannya; rasa sakit hilang, badan terasa lebih segar dari
sebelumnya, hati mereka lebih tenang setelah meneguk tuak Suto.
"Kudengar kabar, hanya Tabib Darah Tuak yang mempunyai kekuatan mujarab dalam
penyembuhannya melalui air tuak," katanya di depan Suto Sinting dan Hantu Laut.
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum, lalu berkata, "Barangkali kabar itu
memang benar. Tapi barangkali kau belum tahu siapa Tabib Darah Tuak itu,
Merpati." "Kudengar kabar, Tabib Darah Tuak adalah si Pendekar Mabuk, murid Eyang Gila
Tuak, sahabat guruku."
Hantu Laut menyahut sambil menuding Suto Sinting,
"Dialah yang bergelar Pendekar Mabuk! Dia juga yang menjadi satu-satunya murid
si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"
Merpati Liar sedikit terperanjat dan pandangi Suto Sinting dengan keraguan.
"Benarkah kata-katanya itu?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala dengan senyum ramah yang menawan.
"Oh, kalau begitu aku salah duga."
"Dia belum duda, masih perjaka. Mengapa kau bilang dia duda?" sahut Hantu Laut
salah dengar. "Salah duga!" tegas Suto Sinting. "Bukan salah duda!"
"Ooo...," Hantu Laut hanya manggut-manggut dan buang muka menutupi rasa malunya.
Merpati Liar memandang Hantu Laut, tak ada senyum namun tak bersikap bermusuhan
seperti tadi. "Merpati, kalau boleh kutahu, apa maksudmu mencari pusaka Panji-panji Mayat?"
tanya Suto Sinting mulai menyelidik.
"Aku adalah murid tunggai Nyai Parisupit yang
bukan dari pihak keturunannya."
"Ya, aku telah dengar penjelasan itu dari Resi Pakar Pantun."
"Kudengar kabar, Panji-panji Mayat dicuri oleh seorang gadis yang berpihak
kepada Perawan Titisan Peri; si Hantu Laut itu. Perlu kau ketahui, Perawan
Titisan Peri adalah bukan dari keturunan leluhur Nyai Guru Parisupit. Ketika
Nyai Guru Parisupit belum mangkat, beliau pernah berpesan padaku agar ikut
menjaga pusaka Panji-panji Mayat agar jangan sampai jatuh di tangan orang yang bukan keturunan beliau. Aku tahu persis,
bahwa pusaka itu hanya berhak dimiliki oleh kedua anak Nyai guruku; yaitu Jalma
Dupi atau Manggarsani, adiknya."
"Manggarsani..."!" gumam Suto Sinting dengan berkerut dahi pertanda merasa asing
terhadap nama Manggarsani.
"Kudengar kabar, Jalma Dupi dan istrinya sudah tewas di tangan keturunan
Gajahloka, dua anaknya pun tewas. Tetapi Jalma Dupi mempunyai tiga anak gadis
lainnya yang kudengar kabar, mereka masih hidup.
Hanya tak kutahu di mana tinggalnya sekarang dan siapa-siapa saja tiga anak
gadis Jalma Dupi itu. Satu orang lagi yang berhak memegang pusaka itu adalah
Manggarsani, tetapi sudah lama Manggarsani mengasingkan diri dan tak pernah
kudengar kabarnya.
Mungkin sudah mati, mungkin juga masih hidup."
"Aku tak pernah mendengar nama Manggarsani,"
gumam Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri.
"Tapi aku tahu sifat dan watak Manggarsani yang tak mau ribut tentang warisan
leluhur. Bahkan ia selalu menjauhi pertikaian dengan sesama. Manggarsani seorang
perempuan yang amat cinta pada perdamaian dan ketenangan, ilmunya lumayan
tinggi, tapi tak pernah diumbar di dunia persiiatan. Kabar terakhir yang
kudengar, ia menggunakan nama julukan: Dewi Cumbutari."
Serba Hijau 2 Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah Pendekar Kembar 2
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 PERTARUNGAN di puncak bukit terpaksa terhenti beberapa saat, karena kedua orang
yang saling mengadu kesaktian itu sama-sama terjungkal ke belakang. Sebuah
ledakan dahsyat melemparkan tubuh mereka hingga berjungkir balik bagai dilanda
badai angin panas.
Keduanya sama-sama mengucurkan darah dari hidung, keduanya sama-sama berwajah
pucat pasi bagai mayat kemarin sore.
"Dadaku sesak sekali. Terasa sakit jika untuk bernapas. Aku harus salurkan hawa
dingin dulu untuk mengatasi luka dalamku ini," pikir seorang pemuda tampan
bercelana hijau dengan rompinya yang hijau
berhias benang emas. Pemuda berambut panjang digulung tengah itu tak lain adalah
Darah Prabu, murid Resi Badranaya yang diutus mengejar seorang gadis dari
Perguruan Biara Ungu.
Sementara itu, lawan Darah Prabu juga mengalami nasib yang serupa. Tubuhnya
sempat terkulai sesaat setelah terlempar gelombang ledakan akibat beradu tenaga
dalam dengan Darah Prabu tadi.
"Monyet kadas! Tulang-tulangku bagaikan remuk semua kalau begini caranya.
Uuhf...! Hampir-hampir aku tak mempunyai tenaga lagi, sehingga untuk bangkit
saja sukarnya bukan main. Aku harus lakukan penyembuhan sementara dengan napas
murniku!" ujar si gadis membatin gerutu dan keluhan.
Gadis itu yang hanya mengenakan kutang tanpa jubah dengan dada montok bertato
gambar naga sejengkal itu tak lain adalah Peluh Setanggi, buronan cantik yang
ulet dan licin bagaikan belut. Lukanya di bagian lambung akibat pertarungannya
dengan Sumbaruni itu sudah mulai mengering, ia melakukan pengobatan sendiri
dengan napas murninya. Namun pengobatan itu belum selesai, ia sudah dipergoki
oleh Darah Prabu, sehingga harus lari lagi menghindari murid Resi Badranaya itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
Agaknya keduanya sama-sama kuat, sehingga keduanya sama-sama letih setelah
bertarung sekian lama tak ada yang tumbang salah satu. Jika Peluh Setanggi
melarikan diri, Darah Prabu mengejarnya lagi, lalu
terjadilah pertarungan kembali. Hanya saja, agaknya pertarungan di bukit itu
adalah pertarungan terakhir yang tanpa sadar disepakati dalam hati mereka. Peluh
Setanggi tak ingin melarikan diri lagi. Hidup dan mati, menang atau kalah ia
akan hadapi Darah Prabu, demikian pula halnya dengan Darah Prabu sendiri.
Salah satu dari beberapa jurus andalannya telah digunakan untuk melumpuhkan
Peluh Setanggi. Tapi sejak tadi si cantik berambut terurai itu cukup mampu
mematahkan jurus-jurus andalan Darah Prabu.
"Alot sekali nyawanya"!" gumam Darah Prabu membatin. "Jurus-jurus berbahayaku
masih bisa ditangkis dengan jurus simpanannya, walau akhirnya aku dan dia sama-
sama jungkir balik kewalahan. Tapi rupanya dia bukan gadis yang mudah
ditaklukkan. Mungkin usahaku merebut kembali pusaka itu harus dilakukan dengan menggunakan
tipu muslihat."
Sedangkan Peluh Setanggi pun membatin, "Jurus simpananku ternyata tak bisa
mengalahkan jurus-jurusnya. Jika terus-terusan begini, bisa-bisa aku kehabisan
jurus simpanan. Rasa-rasanya aku harus gunakan siasat untuk mengalahkan si
monyet kadas itu!"
Setelah keduanya sama-sama mengumpulkan tenaga kembali, kini mereka sama-sama
berdiri dan saling berhadapan dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka saling
memandang penuh dendam tersembunyi.
Peluh Setanggi mempersiapkan dirinya untuk bertarung kembali dengan tangan kanan
mulai memegangi gagang pedang yang ada di pinggang
kirinya. Darah Prabu pun memperlihatkan kegagahannya dengan berdiri tegak dan
tangan memegangi gagang pedang di pinggang, seakan siap dicabut kapan saja.
Dalam pandangan sepintas, mereka seolah-olah siap beradu jurus pedang untuk
menentukan siapa yang harus tumbang. Tetapi sebenarnya dalam hati mereka sama-
sama menyimpan keraguan.
"Jangan-jangan jurus pedangku tak mampu mematahkan jurus pedangnya?" pikir Peluh
Setanggi. "Menurut Guru jurus pedangku agak lemah.
Mampukah aku mengalahkan jurus pedangnya"!"
Darah Prabu maju satu langkah, Peluh Setanggi juga maju satu langkah. Sreet...!
Peluh Setanggi mendului mencabut pedangnya. Sraang...! Darah Prabu pun mencabut
pedangnya, ia segera maju dua langkah, Peluh Setanggi juga maju dua langkah.
Kini jarak mereka cukup dekat dan masih saling memandang dengan sorot mata
tajam. Kedua mata mereka sama-sama mengecil bagai ingin membuat pandangannya
lebih tajam lagi.
Semak di bawah pohon bergerak-gerak. Ternyata ada orang yang mengintai
pertarungan di baiik gerumbulan semak itu. Sepasang mata memperhatikan ke arah
Darah Prabu dan Peluh Setanggi dengan penuh ketegangan.
Sepasang mata itu milik seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun,
berambut pendek, ikat kepala putih, baju hijau tua, kurus, pendek, dan tanpa
kumis ataupun jenggot selembar pun. Orang itu tak lain adalah pelayan Resi Pakar
Pantun yang bernama Kadal Ginting.
Sang pelayan terpisah dari tuannya akibat
pertarungan di negeri Bumiloka. Namun kesetiaan dari si Kadal Ginting,
bagaimanapun juga ia tetap mencari tuannya; Resi Pakar Pantun. Setelah ia
menemui Penunggu Hutan Rawa Kotek sesuai petunjuk Suto Sinting, dan ternyata
sang Tuan tidak ada di sana, maka Kadal Ginting mencari terus ke arah mana saja
sampai akhirnya tiba di bukit itu dan memergoki pertarungan yang sejak tadi
tiada habisnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa").
Pada waktu Darah Prabu dan Peluh Setanggi sama-sama bangkit, Kadal Ginting
sempat membatin,
"Nah, kali ini pasti lebih seru dari yang tadi. Oh masing-masing sudah mulai
memegangi gagang pedangnya. Lha... benar, kan" Sekarang masing-masing sudah
mencabut pedangnya. Wah, pasti mereka akan saling beradu kepandaian memainkan
jurus pedang. Hmmm... mana yang unggul nantinya; Darah Prabu atau si gadis yang tadi sebelum
terjadi ledakan dahsyat kudengar dipanggil dengan nama Peluh Setanggi"!"
Kadal Ginting sudah mengenal Darah Prabu, karena dulu pernah bertemu dengan
Darah Prabu ketika ia mengikuti Resi Pakar Pantun dalam suatu perjalanannya.
Tak heran jika Kadal Ginting masih ingat bahwa pemuda tampan itu adalah muridnya
Resi Badranaya, sahabat Resi Pakar Pantun.
Tapi agaknya Kadal Ginting menyimpan
kedongkolan di balik persembunyiannya, karena kedua orang itu tidak segera
lakukan pertarungan dengan pedang. Kadal Ginting sudah tak sabar, sehingga ia
pun bicara sendiri dengan suara lirih sekali,
"Ayo, lekas! Tinggal bacok sana, bacok sini saja kok susah amat"! Tebaskan
pedangmu Darah Prabu. Beet..., begitu! Untung-untungan sajalah, apakah gadis itu
bisa menangkis atau tidak. Ledakan tidak ya mati, ledakan bisa ya selamat. Ah,
gadis itu juga agaknya ragu-ragu menebaskan pedangnya ke leher Darah Prabu.
Apakah karena Darah Prabu ganteng maka ia tak tega membuntungi kepalanya" Uuh...
dasar gadis goblok!
Kehilangan lawan berwajah ganteng tak apalah, kan masih ada aku yang juga
berwajah ganteng?"
Peluh Setanggi benar-benar tak melihat ada lelaki lain di situ kecuali Darah
Prabu. Seandainya melihat pun tak akan sudi melirik Kadal Ginting yang berwajah
tua dan berkulit seperti lipatan sabuk. Pusat perhatian Peluh Setanggi memang
tertuju pada sepasang mata bening yang memancarkah kemarahan itu.
"Sebaiknya kupikat hatinya dengan jurus 'Mantra Pemasung', biar dia tergila-gila
padaku dan tunduk padaku. Jika sudah begitu dia akan rela kuperlakukan
bagaimanapun juga, sekali pun kuhabisi nyawanya tak akan melawan."
Begitu kecamuk batin Peluh Setanggi yang merasa kewalahan menghadapi jurus-
jurusnya Darah Prabu.
Padahal pada waktu itu Darah Prabu sendiri membatin dalam hatinya,
"Agaknya aku perlu menggunakan jurus 'Tutur Kasmaran', biar tak perlu repot-
repot lagi menaklukkan kekerasan hatinya yang tak mau bicara tentang pusaka
curiannya!"
Maka batin Darah Prabu pun segera mengucapkan sebaris mantra ajian yang dapat
untuk meluluhkan hati wanita dalam keadaan mata saling beradu pandang.
Sorot pandangan mata Darah Prabu mulai berbinar-binar karena memancarkan
kekuatan gaib yang menguasai jiwa, pikiran dan batin si Peluh Setanggi.
"Cahya pamujan cahyaning pangeran mata wicara suryaning dewata
tebar-tebur menebar lewat mata sampai dubur tundak-tanduk tertunduklah jabang
bayinya Peluh Setanggi
tanpa tunduk akan mati, semakin tunduk penuh gairah tak mau lepas ledakan tak
kukehendaki. Bergobar-gaber sumsum selimut semut-semut nyut-nyut pengasih dikenyut susut.
Sembah, sembah, sembah, sembah,
sembahing kawula lan gusti."
Pandangan mata Darah Prabu mulai memancarkan sinar hijau samar-samar yang
berasap tipis. Sinar hijau dan asap tipis itu tak terlihat oleh mata orang yang
diincar jurus 'Tutur Kasmaran' itu. Tetapi bagi yang tidak diincar jurus
tersebut melihat samar-samar pancaran sinar hijau bercampur asap tipis itu.
Padahal waktu itu di dalam batin Peluh Setanggi juga melepaskan kekuatan sihir
ajaran dari Nyi Mas Gandrung Arum, gurunya. Kekuatan sihir itu terpancar karena
'Mantra Pamasung' diucapkan dalam batinnya,
"Peri keblak demit tandak
lumpuhkan hatinya Darah Prabu
dan jerat pikat dengan aji para dewa-dewi.
Sir kumisir, ser gangser, cucup puser Peri puber satria ngiler,
tak akan pisah sebelum basah.
Ser, ser, ser. Kiri muter, kanan muter, tengah gemeter.
Nyimat-nyimut senat-senut,
hati lanang digdaya pasrah seturut asmara ujung perut.
Pasrah sumarah sukma batin jiwa si Darah Prabu.
Oh, ah, oh, ih. Mpot-mpot copot."
Kadal Ginting yang melihat adanya sinar biru bening sebesar lidi melesat dari
pertengahan kening di antara kedua alis Peluh Setanggi. Sinar biru kening itu
tidak bisa dilihat Darah Prabu sebagai sasaran batin si Peluh Setanggi. Tetapi
bagi orang lain, seperti Kadal Ginting, melihat jelas sinar biru bening sebesar
lidi itu memancar masuk ke dalam kening Darah Prabu tanpa rasa apa pun.
"Gila! Keduanya sama-sama melepaskan tenaga dalam dan saling terkena serangan
masing-masing. Wah, pasti keduanya akan meledak bersama dan menjadi serpihan
daging hangus yang menjijikkan jika dibayangkan. Oh, aku tak tega! Aku tak mau
melihat kengerian itul"
Kadal Ginting buang muka sambil menahan debar-debar dalam dadanya. Jantung yang
berdag-dig-dug itu menunggu meledaknya dua orang tersebut dengan ketegangan yang
amat mencekam. "Kok lama sekali mereka tidak saling meledak"!"
pikir Kadal Ginting sambil masih berpaling. Kemudian perlahan-lahan rasa ingin
tahunya memaksa kepala bergerak ke arah semula, tapi matanya mengecil karena
bersiap untuk terpejam saat terjadi ledakan yang dibayangkan.
Padahal saat itu Darah Prabu sedang maju satu langkah, Peluh Setanggi juga maju
satu langkah, akhirnya mereka berada dalam satu jangkauan sepelukan. Keduanya
telah sama-sama terkena aji pemikat yang membangkitkan gairah cinta dan hasrat
ingin bercumbu tak tertahankan lagi. Yang ada di dalam hati mereka adalah debar-
debar keindahan dan gejolak hasrat ingin saling memberi kehangatan.
"Sebenarnya kau cantik sekali, Peluh Setanggi," ucap Darah Prabu dengan lirih.
"Kau pun sangat tampan dan menawan, Darah Prabu," balas Peluh Setanggi dalam
suara mendesah.
"Oh, aku sangat berhasrat memelukmu, Peluh Setanggi."
"Darah Prabu... tubuhku dingin sekali, hangatkan dengan pelukanmu. Hangatkan
sekarang juga, Darah Prabu," desah Peluh Setanggi dengan pandangan matanya
menjadi sayu akibat diburu gairah bercumbu.
Maka pelan-pelan sekali Darah Prabu dekatkan bibirnya ke bibir Peluh Setanggi.
Pelan-pelan pula bibir Peluh Setanggi merekah ternganga siap menerima kehangatan
lawannya. Darah Prabu kian tak mampu bertahan melihat bibir merekah sebegitu
indah. Akhirnya
bibir itu pun dikecup dengan bibirnya dan dilumat pelan-pelan. Sekujur tubuh
Peluh Setanggi seperti dikerumuni jutaan semut. Berdesir indah sekali, sehingga
keindahan itu menuntun batin untuk merenggut lebih dari sekadar kehangatan
bibir. Peluh Setanggi buru-buru memeluk Darah Prabu dengan satu tangan, karena tangan
kanannya masih memegangi pedang. Begitu pemuda itu terpeluk erat, lidah dan
bibir menyerang dengan lincah dan ganas.
Darah Prabu terpaksa harus membalas lebih ganas lagi dengan tangan kiri meremas
punggung Peluh Setanggi yang tak berkain itu.
"Lhooo..."!" Kadal Ginting bagai ingin terlonjak dalam pekikan batinnya. Begitu
ia membuka mata lebar-lebar, ternyata yang dilihatnya bukan ledakan mengerikan
namun pertemuan bibir dengan bibir yang saling melumat tanpa malu-malu lagi.
"Kok jadi begitu"!" pikir Kadal Ginting. "Wah, wah, wah... kacau balau
pertarungan ini! Pertarungan cap apa ini namanya" Sudah sama-sama cabut pedang,
tinggal bres, bres, bres... eh, pakai adu mulut segala"! Ini namanya melanggar
tata tertib pertarungan. Harus kulaporkan kepada Eyang Resi atau para tokoh tua
rimba persilatan! Tapi... tapi nanti dulu, ah! Untuk apa buru-buru pergi, karena
kelihatannya Peluh Setanggi menuntun Darah Prabu ke semak-semak seberang sana.
Naah... betul, bukan"! Eh... kok mereka semakin menjadi-jadi" Lho, lho... kok
Darah Prabu melepaskan rompinya. Sik, sik, sik... lakone apa ledakan begini,
ya"!" Kadal Ginting kebingungan mencari jalan untuk mendekati semak-semak yang
mulai bergoyang-goyang itu.
Darah Prabu tak sadar lagi apa yang dilakukannya, demikian pula Peluh Setanggi.
Kasmaran mereka saling beradu cukup seru, merusakkan ilalang sekitarnya, memecah
kesunyian puncak bukit dengan suara gemerisik dan rintihan gaduh yang memekik-
mekik dari mulut Peluh Setanggi.
Darah Prabu tak ingat lagi tentang siapa-siapa, bahkan tak terbayang sedikit pun
wajah Kejora, si gadis lugu yang kala itu sedang diculik oleh bayangan ungu.
Padahal sebelumnya hati Darah Prabu telah terpikat oleh kecantikan Dewi Kejora
yang akrab dipanggil Kejora saja itu. Ia menjadi berang saat Kejora diculik
orang. Tapi sekarang, dalam dekapan hangat tubuh berdada montok kencang itu, Darah
Prabu tak berpikir lagi tentang nasib Kejora. Ia tak tahu Kejora sudah
dibebaskan dari dekapan penculiknya oleh Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
Darah Prabu memang tak tahu bahwa Kejora
kebingungan mencarinya dengan wajah sedih. Setelah lolos dari tawanan si Kucing
Hutan, Kejora tidak menampakkan keceriaannya, hal itu membuat Resi Pakar Pantun
sebagai pelaku penyelamatan itu menjadi kecewa. Tokoh tua berusia sekitar
delapan puluh tahun itu bersungut-sungut menjauhi Kejora yang merengut di bawah
pohon. Pemuda tampan berbaju coklat tak
berlengan dengan pakaian putih lusuh dan selalu membawa bumbung tuak itu sedang
berusaha membujuk Kejora agar tak berduka. Pemuda tampan itu adalah Pendekar
Mabuk yang dikenai dengan nama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang. "Kau tak boleh semurung ini, Kejora. Seharusnya kau merasa beruntung karena kau
telah bebas dari tangan si Kucing Hutan alias Perawan Titisan Peri itu."
"Untuk apa aku bebas dari Kucing Hutan kalau tak bisa bertemu dengan Darah
Prabu" Aku kangen dan ingin mendengar suaranya, Suto. Aku ingin melihat
ketampanan wajahnya dan, ah... pokoknya kangen sekali."
Resi Pakar Pantun yang bersungut-sungut itu segera menyahut, "Kangen, kangen...!
Kau enak, tinggal merasakan kangen, aku ini yang tak enak, susah payah
menyelamatkan dan membawa keluar dirimu dari bangunan kuno itu sampai lututku
membentur batu, eeh... yang diselamatkan justru cemberut dan merasa kecewa.
Kalau begitu kau masuk kembali ke bangunan kuno itu saja!"
"Jangan begitu, Resi," tutur Suto Sinting dengan kalem. "Mohon dimaklumi saja,
karena Kejora menyimpan cinta begitu besar kepada Darah Prabu."
Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cinta, cinta... apa itu cinta"! Aku tidak tahu soal cinta!" gerutu Resi Pakar
Pantun sambil memunggungi Suto Sinting dan Kejora. Kemudian terdengar suaranya
berucap dalam pantun.
"Sarung kumal diseruduk anak badak,
robek tepinya dipakai jingkrak-jingkrak.
Biar cinta sebesar gajah bengkak,
apalah artinya kalau tak mampu bertindak."
Kejora memandang sengit kepada Resi Pakar Pantun, ia sempat berkata pelan, "Apa
maumu sebenarnya, Pak Tua?"
"Sarung kumal buat bungkus pisang, semakin lama semakin hangat dipegang.
Hargailah susah payah seseorang,
walau dengan senyum dan wajah riang."
Si gadis justru semakin cemberut dan kesal kepada Resi Pakar Pantun, ia segera
melangkah pergi sambil berkata dalam nada sewot,
"Bodo, bodo, bodo... pokoknya aku mau cari Darah Prabu!"
"Hei, Kejora... mau ke mana kau mencarinya?"
"Ke mana saja, pokoknya aku harus bertemu Darah Prabu!"
"Bagaimana dengan pusaka leluhurmu"! Bukankah kita sedang mencari pusaka itu"!"
"Masa bodoh...!"
Weesss...! Kejora larikan diri tak mau diajak berunding lagi. Pendekar Mabuk
menahan rasa jengkel menghadapi sikap manja si gadis lugu itu. Ia memandang Resi
Pakar Pantun dan segera berkata,
"Aku harus mendampinginya, karena ia dalam tanggung jawabku. Kau sendiri
bagaimana, terserah keputusanmu, Resi."
"Uu...! Sama saja mengasuh anak sapi kalau begini
caranya!" seraya ia bergegas mengikuti langkah Suto Sinting yang mengejar
pelarian Kejora. Agaknya sang Resi tak tega membiarkan Suto Sinting mendampingi
Kejora yang ingin mencari Prabu Darah itu, walau dalam hati sang Resi penuh
gerutu dan geram kejengkelan.
* * * 2 GERAKAN lari Kejora tanpa disengaja diterjang oleh sekelebat bayangan yang
sedang melintas. Terjangan itu cukup kuat hingga membuat Kejora terlempar tinggi
dan tersangkut di kerimbunan sebuah pohon.
"Aaaa...!"
Gusraakk...! "Auuuh...! Toloooong...!"
Teriak Kejora tidak mengejutkan Resi Pakar Pantun dan Suto Sinting. Hal yang
mengejutkan mereka adalah sekelebat bayangan yang terlihat jelas menerjang
Kejora. Terjangan itu pun membuat sosok bayangan yang berlari cepat itu terjungkal dan
berguling-guling di tanah, lalu berhenti terkapar di depan langkah Pendekar
Mabuk dan Resi Pakar Pantun.
"Uuuhhg...!" orang itu mengerang kesakitan sambil melontarkan gerutu tak jelas.
"Hantu Laut..."!" sapa Suto Sinting dengan suara menyentak heran.
Orang yang menerjang Kejora tanpa sengaja itu
memang seorang lelaki berkepala gundul, bercelana biru, ikat pinggang merah, tak
pernah pakai baju yang dikenal dengan nama Hantu Laut. Ia berbadan besar,
berhidung bulat, berkulit hitam, perutnya sedikit buncit dan agak budeg.
Resi Pakar Pantun mengenal orang bermata besar itu, tapi juga pernah mendengar
penjelasan dari salah seorang sahabatnya bahwa Hantu Laut sudah bukan lagi anak
buah Siluman Tujuh Nyawa, si tokoh sesat yang paling ditakuti oleh para tokoh
aliran hitam itu. Semula memang Hantu Laut adalah sekutunya Siluman Tujuh Nyawa,
bekerja menjadi pelayan Tapak Baja yang menguasai sebuah kapal penyerang dalam
pemerintahan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi ketika Hantu Laut ditundukkan oleh Suto
Sinting, akhirnya ia menjadi pengikut Suto Sinting dan mengabdi kepada
pemerintahan Ratu Pekat di Pulau Beliung, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pusaka Tombak Maut").
Tentu saja kepergian Hantu Laut dari Pulau Beliung atas perintah atau seizin
Ratu Pekat. Biasanya ia mengemban tugas dari Ratu Pekat untuk menyampaikan suatu
kabar kepada Pendekar Mabuk.
"Hantu Laut..., mengapa kau ada di sini"!" tanya Suto Sinting setelah menarik
tangan si Hantu Laut agar cepat berdiri.
"Siapa bilang aku penakut" Aku berani berhadapan dengan siapa saja!"
"Hei, yang kutanyakan tadi: mengapa kau ada di
sini"!" Suto Sinting memperjelas pertanyaannya, dan Hantu Laut pun segera
menggumam sambil manggut-manggut, mengakui salah dengarnya tadi. "Oooo...
mengapa aku ada di sini" Apakah kau tak lihat kalau aku di sini karena jatuh
menabrak seekor rusa"!"
"Toloooong...!" seru Kejora di atas pohon. Suto Sinting melirik ke atas sambil
menahan geli, kemudian bicara kepada Hantu Laut,
"Yang kau tabrak bukan seekor rusa, tapi seorang gadis cantik! Lihat, dia
tersangkut di atas pohon itu!"
"Sutooo... tolong akuuu...!" teriak Kejora dengan nada suara penuh rasa takut.
Resi Pakar Pantun hanya memandang dengan
tersenyum sinis, sengaja tak mau berbuat apa-apa untuk gadis itu. Pendekar Mabuk
berkata kepada sang Resi,
"Kurasa kau bisa membantunya turun kemari, Resi."
"Memang bisa, tapi aku tak mau lakukan."
"Kenapa begitu, Resi?"
"Pertolonganku tak akan punya arti baginya, ia tetap akan murung tanpa merasa
senang dan tak akan menampakkan rasa syukurnya atas pertolonganku."
"Toloooong... aku takut jatuuuh...!" seru Kejora bernada mau menangis.
"Mintalah tolong kepada Darah Prabu! Berteriaklah yang keras memanggil nama
kekasihmu itu!" seru Resi Pakar Pantun dengan hati dongkol.
Suto Sinting hanya tertawa kecil melihat sikap sang Resi yang pengaruh
kebanyakan umur jadi bersikap seperti anak kecil.
"Turunkan dia, cepat!" perintah Suto Sinting kepada Hantu Laut.
Orang berkeringat itu tak berani menentang perintah Pendekar Mabuk, ia pun
segera melesat dalam satu lompatan dan hinggap di dahan, kemudian menyambar
Kejora dan dibawanya turun. Wuuuss...! Zrraaak...!
"Aaaaa...! Takuuuttt...?"
Kejora menjerit lebih keras lagi. Setelah diturunkan dari topangan kedua tangan
Hantu Laut, ia buru-buru memeluk Suto Sinting dengan manja dan berkata sambil
membenamkan wajah di dada Suto Sinting.
"Aku... aku takut, Suto! Aku takut kepada orang utan!
Aku paling jijik dengan seekor kera sekecil apa pun.
Apalagi sebesar itu, oooh... takut sekali, Suto!"
"Hei, hei... itu bukan kera. Bukan pula orang utan.
Dia adalah Hantu Laut sahabatku. Perhatikanlah baik-baik, jangan sepintas saja!"
Sang Resi menimpali, "Apa kubilang tadi, tak ada terima kasihnya gadis ini jika
dapat pertolongan. Bukan menampakkan rasa bersyukurnya malah menghina si
penolong. Untung si Hantu Laut orang budeg, jadi ia tak dengar dikatakan sebagai
orang utan atau kera raksasa."
"Kera raksasa!" sentak sang Resi memperjelas ucapannya tadi.
Hantu Laut terbengong, lalu palingkan muka sambil menggumam lirih,
"Kebangetan...!"
Kejora pandangi Hantu Laut dengan sorot pandangan mata penuh curiga, ia masih
berlindung di balik tubuh kekar si Pendekar Mabuk, ia sempat berbisik kepada
Suto Sinting, "Apakah dia suka menggigit?"
"Husy, dia bukan sejenis serigala!" balas Suto Sinting dalam bisikan pula.
"Tap... tapi dia sahabatmu?"
"Benar. Penampilannya memang menyeramkan, tapi hatinya baik. Jangan beranggapan
buruk kepadanya, nanti dia tersinggung."
"Tiap hari makanannya apa?"
"Beling!" jawab Pendekar Mabuk agak kesal atas pertanyaan Kejora itu. Rupanya
Hantu Laut mendengar percakapan itu walau secara samar-samar, lalu ia segera
berkata, "Eh, Nona... biar begini-begini aku ini manusia. Kau pikir kuda lumping"! Jangan
menghinaku sebagai pemakan beling. Aku makan nasi, jagung, ubi dan sebagainya!
Sama dengan kau juga."
"Siapa yang mengatakan kau makan beling" Bukan aku, Kang Hantu! Suto yang
menjawab begitu tadi."
"Sudah, sudah...," Suto Sinting segera melerai cekcok kecil itu. "Hantu Laut,
sekali lagi kutanya mengapa kau ada di sini" Bukankah seharusnya kau ada di
Pulau Beliung?"
"Aku diutus oleh Ratu Pekat untuk menemuimu dan menyampaikan sebuah kabar yang
penting kau ketahui."
"Kabar apa itu?"
"Dyah Sariningrum, calon istrimu yang menjadi Ratu di negeri Puri Gerbang
Surgawi di Pulau Serindu, mengirimkan utusan untuk menemuimu, tapi kapalnya
terdampar di Pulau Beliung."
Pendekar Mabuk sangat terkejut mendengarnya.
Terbayang seraut wajah cantik yang amat dicintai dan selalu mendampingi alam
pikirannya setiap hari. Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota Sejati
mengirimkan utusannya untuk menemui Pendekar Mabuk. Hal ini jarang dilakukan
jika tidak karena ada perkara yang amat penting. Tapi anehnya, mengapa kapal
mereka terdampar di Pulau Beliung"
"Siapa yang menjadi utusan calon istriku itu"!" tanya Suto Sinting kepada Hantu
Laut "Belum. Aku belum mendengar keputusan calon istrimu."
"Siapa yang jadi utusan! Bukan keputusan! U-tusan!" seru sang Resi.
"O, yang diutus"! Hmmm... si cebol gagap; Dewa Racun."
"Ooooh...!"
Brrruk...! Kejora jatuh terkulai dengan lemas. Pendekar Mabuk terkejut, yang lainnya
memandang heran. Gadis itu segera diangkat oleh Pendekar Mabuk.
"Kejora..."! Kejora, mengapa kau jatuh lemas begitu mendengar nama Dewa Racun"!"
"Aku... aku tak kuat lagi menahan rasa sakit sekujur tubuh, akibat... akibat
terjangan Kang Hantu Laut itu.
Oooh...." Resi Pakar Pantun menggumam dan menggerutu tak jelas. Tapi wajahnya tampak tidak
seheran tadi, bahkan
berkesan dongkol setelah mengetahui penyebab jatuhnya Kejora. Pendekar Mabuk
tertawa kecil, lalu segera meminumkan tuaknya yang dikenal sebagai tuak sakti
paling mujarab untuk sembuhkan segala macam luka dan penyakit. Terbukti dalam
beberapa saat saja Kejora sudah tampak segar dan mampu berdiri dengan tegak,
seluruh rasa sakitnya lenyap setelah menelan tuak Suto.
Kini pikiran Suto Sinting kembali tertuju pada kabar tentang Dewa Racun. Jika
bukan karena masalah penting tak mungkin Dyah Sariningrum mengutus Dewa Racun
untuk menemui Suto Sinting, karena Dewa Racun adalah orang kepercayaan Dyah
Sariningrum yang ketujuh.
Ketika Dyah Sariningrum ingin memanggil Suto Sinting ke istananya, ia mengutus
Dewa Racun untuk mencari sosok si Pendekar Mabuk yang dikenal pula sebagai Bocah
Tanpa Pusar itu. Pertemuan itulah yang membuat Suto Sinting dan Dewa Racun
menjadi akrab dan saling bahu-membahu dalam menumbangkan kejahatan semasa dalam
perjalanan menuju Pulau Serindu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pertarungan di Bukit Jagal").
"Kabar apa yang harus disampaikan oleh Dewa Racun kepadaku"!" tanya Suto Sinting
kepada Hantu Laut.
"Aku tidak tahu, Suto. Sebaiknya datanglah ke Pulau Beliung dan temuilah dia di
sana, sebab Dewa Racun dalam keadaan sakit."
"Sakit..."!" Suto Sinting terkejut. "Sakit apa dan mengapa ia bisa sakit?"
"Aku bukan tabib jadi aku tak bisa menentukan jenis penyakitnya," jawab Hantu
Laut. Resi Pakar Pantun yang berjalan di sekitar pohon belakang Hantu Laut, tiba-tiba
segera ajukan tanya dengan suara agak keras.
"Mengapa punggungmu bernoda merah, Hantu Laut"!"
"Aku tidak sedang marah-marah, aku sedang menceritakan tentang...."
"Noda merah!" sang Resi memperjelas maksudnya dengan suara lebih keras lagi.
"O, noda merah..."! Noda merah apa?" Hantu Laut berusaha menengok ke belakang
memeriksa punggungnya, tapi tentu saja hal itu tak bisa dilakukan.
Tak ada orang yang bisa melihat punggungnya sendiri jika tanpa bantuan cermin.
Wajah sang Resi tampak sedikit tegang, sehingga Suto Sinting menjadi penasaran
dan segera ikut memeriksa punggung Hantu Laut, demikian pula dengan Kejora yang
tak mau jauh-jauh dari Pendekar Mabuk.
"Oh, benar. Ada tiga noda merah yang membentuk sudut-sudut segitiga. Hmmm...."
Suto Sinting manggut-manggut memperhatikan tiga noda merah di punggung Hantu
Laut yang menyerupai pertemuan tiga sudut dalam bangunan segi tiga. Noda itu
sebesar biji jagung dan tampak jelas bagian kulit yang matang akibat panas api.
"Kau habis lakukan pertarungan, Hantu Laut"!" tanya sang Resi.
"Pertukaran apa?"
"Pertarungan!" sentak sang Resi.
"O, pertarungan"! Iya, memang aku habis lakukan pertarungan dengan seseorang
yang tidak kukenal...."
Kata-kata itu terhenti karena tiba-tiba salah satu kuku jari tangan Hantu Laut
jatuh ke tanah bagai kehabisan perekat. Pluuk...! Kuku yang jatuh itu adalah
kuku bagian jempol kirinya.
"Lho... kukumu jatuh, Kang Hantu!" ujar Kejora dengan wajah kaget.
Hantu Laut bingung melihat kukunya copot tanpa darah setetes pun. Jempol kirinya
menjadi tak berkuku sedikit pun. Baru saja Suto Sinting akan memeriksa tangan
kanan Hantu Laut, tiba-tiba kuku kelingking kanannya copot juga. Pluk...!
"Tak salah lagi," ujar Resi Pakar Pantun. "Kau terkena pukulan 'Aji Brangaspati'
yang akan membuat tubuhmu lambat laun terpotong tiap persendiannyal"
"Mung... mungkin juga," Hantu Laut agak gugup.
"Sebab aku tadi diserang oleh seseorang yang berilmu tinggi dan sukar kulawan.
Aku melarikan diri karena merasa tidak sanggup menandingi ilmunya. Dan...
karena itulah aku menerjang Kejora tanpa sengaja sebab tak mau diburu orang
itu." "Kau tak mengenali orangnya"! Aneh. Mengapa dia menyerangmu dengan menggunakan
pukulan berbahaya jika kalian tak saling kenal?" kata Suto Sinting dengan dahi
berkerut. "Aku benar-benar tak tahu, Suto. Bahkan persoalan
yang dibicarakan pun tak kumengerti."
"Persoalan apa?"
"Ia menyangka diriku sebagai anak buah Perawan Titisan Peri dan memaksaku
memberitahukan di mana pusaka Panji-panji Mayat disembunyikan. Padahal...."
"Tunggu...!" sergah Suto Sinting dengan terkejut, lalu ia memandang Resi Pakar
Pantun dan Kejora secara bergantian.
"Kau disangka anak buahnya Perawan Titisan Peri dan disangka mengetahui tentang
pusaka Panji-panji Mayat"!" ulang Resi Pakar Pantun merasa aneh.
"Tapi aku tidak tahu tentang pusaka itu, Resi. Aku...
aku bahkan baru mendengarnya sekarang ini!" kata Hantu Laut dengan suara agak
ngotot, sehingga sang Resi membentak,
"Iya, tapi jangan melotot di depanku begitu!"
"Berarti ada pihak lain yang menghendaki Panji-panji Mayat," gumam Suto Sinting,
lalu Kejora yang mendengar gumaman itu bertanya dalam keluguannya.
"Siapa pihak lain itu, Suto?"
"Ini baru dibicarakan! Kok malah tanya"!" gerutu Suto Sinting agak kesal dengan
pertanyaan bodoh itu.
Kemudian Suto Sinting bertanya kepada Hantu Laut,
"Bagaimana ciri-ciri orang tersebut"!"
Tapi Resi Pakar Pantun lebih dulu bersuara sebelum Hantu Laut menjawab,
"Rasa-rasanya aku kenal pemilik pukulan 'Aji Brangaspati' ini."
Semua mata memandang Resi Pakar Pantun.
"Bukan aku pemiliknya, jangan memandangiku dengan curiga begitu."
"Siapa yang mencurigaimu" Justru kami menunggu jawabanmu jika benar kau tahu
siapa pemilik 'Aji Brangaspati' itu!" kata Suto Sinting masih bernada kesal
hati. Pluuk...! Satu kuku dari jari tangan Hantu Laut jatuh ke tanah tanpa rasa sakit.
Semua mata memandang ke arah kuku yang jatuh ke tanah itu. Hantu Laut menjadi
bertambah tegang. Kesepuluh jarinya diperhatikan dengan sedih. Tinggal tujuh
jari yang masih berkuku, dan ia berkata bagai bicara pada dirinya sendiri,
"Apakah seluruh jariku ini nantinya akan tidak berkuku semua"!"
"Mungkin malah kau akan tidak berkepala jika seluruh persendianmu sudah putus
semua," kata sang Resi semakin membuat Hantu Laut menjadi cemas.
"Minumlah tuakku sebelum semua persendianmu putus!" perintah Suto sambil
Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerahkan bumbung tuaknya. Hantu Laut pun buru-buru menenggak tuak itu dengan
gemetar, hingga air tuak mengguyur sebagian wajahnya karena tak tepat jatuh ke
mulut. "Coba lihat punggungmu, apakah tuak Suto bisa berhasil menghentikan kekuatan
racun dari pukulan 'Aji Brangaspati' itu?" ujar sang Resi.
Ternyata tuak sakti itu mampu melumpuhkan kekuatan racun pukulan 'Aji
Brangaspati'. Tiga noda merah itu lambat laun menjadi samar-samar bagai menguap
dihembus angin. Pendekar Mabuk menarik
napas dan menghempaskan dengan perasaan lega setelah tiga noda merah itu lenyap
sama sekali, berarti pengaruh kekuatan dari pukulan 'Aji Brangaspati' bisa
dikalahkan oleh kekuatan tuak saktinya.
"Resi, kau belum menjawab pertanyaanku tentang siapa pemilik pukulan 'Aji
Brangaspati' itu," ujar Suto Sinting mengingatkan.
Tetapi sebelum Resi Pakar Pantun ucapkan kata, tiba-tiba Pendekar Mabuk melihat
seberkas sinar merah berbentuk bintang melesat dari balik pohon dan menuju ke
punggung Hantu Laut. Weeesss...! Dengan gerakan cepat di luar dugaan siapa pun,
Pendekar Mabuk menarik tangan Hantu Laut hingga orang besar berkulit hitam itu
terjungkal ke depan. Brrus...!
Satu lompatan kecil membuat Suto Sinting
menghadang laju sinar merah tersebut. Bumbung tuaknya disilangkan di depan dada
tepat pada waktu sinar merah ingin mengenai dadanya sendiri.
Trruub...! Slaaab...! Sinar itu berbalik arah dalam keadaan lebih besar dan
lebih cepat gerakannya. Sebuah pohon tempat datangnya sinar itu menjadi sasaran
dengan telak. Blegeerr...! Zuuurrbbsss...!
Buuusss...! Pohon itu hangus bagai dijilat api setan. Dalam sekejap sudah menjadi arang dari
akar sampai ranting paling pucuk. Daunnya menjadi debu yang
berhamburan. Sisa asap mengepul beberapa kejap lalu
hilang terhembus angin.
"Siapa pemilik sinar merah itu"!" tanya Kejora kepada Hantu Laut. Pertanyaan itu
tak dihiraukan oleh Hantu Laut, sebab Suto Sinting segera berseru,
"Kalian tunggu di sini aku akan mencari orang itu!"
Kemudian sebuah suara terdengar dari belakang mereka yang menghadap ke pohon
terbakar itu. "Tak perlu dicari, aku kan telah datang sendiri!"
Serentak wajah mereka berpaling ke belakang dengan rasa kaget. Pandangan mata
mereka tertuju pada sebuah dahan pohon, di sana ada seseorang yang berdiri
dengan sikap menantang penuh keberanian. Resi Pakar Pantun segera menggeram
jengkel. "Sudah kuduga kaulah orangnya. Turun kau!"
"Itu dia orangnya yang menyerangku, Suto!" ujar Hantu Laut.
Dengan mata memandang orang tersebut Suto Sinting berbisik kepada Resi Pakar
Pantun, "Siapakah dia, Resi?"
* * * 3 DARI atas pohon meluncurlah tubuh elok semampai berpakaian ketat warna biru.
Wuuuss...! Rambut panjang terurai sepunggung menebar bagai sayap kupu-kupu.
Perempuan yang seperti berusia sekitar tiga puluh tahun itu mendaratkan kakinya
ke tanah tanpa suara. Ini
menandakan ia mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi.
Perempuan cantik bermata dingin itu mengenakan pakaian terusan dari bahan yang
lentur, ketat sekali dengan tubuh hingga berbentuk lekak-lekuk keindahan
tubuhnya yang berdada montok dan berpinggul sekal.
Bahan pakaiannya seperti terbuat dari campuran karet tipis berkancing rapat dari
dada sampai bawah perut.
Kancingnya adalah kancing jepret, yang sekali sentak dapat lepas seluruhnya.
Tubuh yang terbungkus kain tipis ketat dari atas siku sampai betis itu tidak
mengenakan sabuk atau ikat pinggang apa pun, sehingga senjatanya ditaruh di
bawah lengan, ia mempunyai sepasang pisau kembar bersarung tembaga di kanan-kiri
tangannya. Ukuran pisau hanya sebatas dari pergelangan sampai siku, mempunyai
tali pengikat dari bahan karet warna biru, sesuai warna pakaiannya.
Resi Pakar Pantun berbisik kepada Pendekar Mabuk,
"Dialah yang bernama Merpati Liar, satu-satunya murid Nyai Parisupit yang awet
muda." "Hmmhh..., padahal Nyai Parisupit itu neneknya Kejora."
"Benar," bisik sang Resi lagi. "Neneknya Kejora hanya punya satu murid di luar
keturunannya."
Bisik-bisik itu dihentikan karena Merpati Liar tampak bergerak dekati Hantu
Laut. Suto Sinting tak mau lepaskan pandangan matanya dan bersiap lakukan
sesuatu jika Merpati Liar menyerang Hantu Laut.
Sedangkan Resi Pakar Pantun segera menyapanya dengan pantun untuk melepas
kebisuan di antara mereka.
"Sarung kumal sarung sialan,
sekali dipakai bikin bisulan.
Jangan dulu memancing permusuhan,
sebelum jelas letak persoalan."
Mata dingin itu melirik sang Resi. Lalu menuding dengan tegas sambil ucapkan
kata bernada tak ramah.
"Kau tak punya hak untuk mencampuri urusanku, Pakar Pantun! Kuharap tutup mulut
dan jangan ikut campur kalau esok masih ingin bernapas."
Resi Pakar Pantun paksakan diri untuk terkekeh pendek.
"Merpati Liar...."
"Sarung kumal lupa ditenun,
sekali ditenun bikin orang manyun.
Siapa remehkan si Pakar Pantun,
akan menderita apes turun-temurun."
Merpati Liar masih melirik sangar ke arah Resi Pakar Pantun, jari-jari tangannya
mulai mengeras. Pendekar Mabuk tahu gelagat, perempuan itu pasti akan lepaskan
pukulan tenaga dalamnya ke arah Resi Pakar Pantun.
Maka sebelum hal itu terjadi, Pendekar Mabuk lebih dulu bicara kepada Merpati
Liar. "Apa perlumu bersikap memusuhi kami, Merpati Liar"!"
Kini pandangan mata dingin yang cukup tajam itu beralih ke arah Suto Sinting.
Yang dipandang menampakkan ketenangan wajahnya, sehingga sikap
bermusuhan tak terlihat di permukaan wajah tampan itu.
"Siapa kau dan apa hubunganmu dengan si bandot tua itu"!" seraya ia menuding
Resi Pakar Pantun.
"Aku hanya seorang sahabat Eyang Resi, juga sahabat dari Hantu Laut dan Kejora,"
sambil Suto Sinting memperkenalkan Hantu Laut dan Kejora. Tambahnya lagi,
"Namaku Suto Sinting dan...."
"Aku tak butuh pemuda sinting!" sahut Merpati Liar dengan sinis.
Kejora menyahut dengan lugu, "Eh, Yu... Suto bukan pemuda sinting. Namanya saja
Suto Sinting, tapi dia bukan orang sinting alias orang gila! Bodoh amat kau ini,
Yu"!"
"Jangan turut bicara, Gadis tolol!" ketus Merpati Liar sambil memandang sangar
kepada Kejora. Yang dipandang menjadi mengkerut, dan bergeser ke belakang Resi Pakar Pantun.
"Aku kemari hanya ingin bikin perhitungan dengan si kebo keling itu!" seraya
Merpati Liar menuding Hantu Laut.
"Aku bukan maling! Enak saja mengatakan aku maling!" sentak Hantu Laut salah
dengar. "Kebo keling!" sang Resi memperjelas ucapan tadi.
"Siapa yang kebo keling?" Hantu Laut bingung.
"Kau...!" sentak Merpati Liar menampakkan kegalakannya. "Kebo keling macam kau
layak mati jika tak mau tunjukkan di mana si Perawan Titisan Peri itu menyimpan
pusaka 'Panji-panji Mayat!"
"Aku bukan anak buah Perawan Titisan Mayat, eh...
Peri!" kata Hantu Laut dengan ngotot. "Sudah kubilang, aku tidak kenal dengan
titisan peri atau titisan setan, sebab aku titisan orang baik-baik!"
"Omong kosong!" geram Merpati Liar.
"Dia memang tidak tahu-menahu tentang Perawan Titisan Peri alias si Kucing Hutan
itu!" timpal Suto Sinting. "Dia datang dari Pulau Beliung, tak punya urusan apa-
apa dengan Kucing Hutan."
"Diam kau, Pendusta!" gertak Merpati Liar, namun gertakan itu hanya ditertawakan
oleh Suto Sinting melalui senyumannya yang melebar. Senyuman itu dipandangi oleh
Merpati Liar dan membuat perempuan itu menyimpan kegundahan dalam hatinya. Tapi
ia tetap lanjutkan kata-katanya yang bernada tak bersahabat itu.
"Kulihat dengan mata kepalaku sendiri, dia mondar-mandir di depan bangunan kuno
yang menjadi tempat kediaman si Kucing Hutan itu. Dia pasti mata-mata si Kucing
Hutan yang bertugas mengamankan sekitar sarang mereka itu!"
"Aku... aku mondar-mandir di sekitar bangunan kuno itu karena mencari Suto
Sinting. Sebab dikejauhan kudengar suara ledakan di sana, kusangka itu
pertarungan Suto Sinting, ternyata yang kutemukan hanya mayat seorang lelaki
bergincu. Tapi aku tak tahu siapa pembunuh lelaki bergincu itu!" ujar Hantu Laut
menjelaskan dengan nada tetap ngotot.
"Dia memang mencariku, Merpati Liar. Dan lelaki bergincu itu memang lawanku. Dia
anak buah si Hantu Laut yang berhasil kulumpuhkan," kata Suto Sinting
dengan nada kalem seakan penuh kesabaran.
Merpati Liar tampak ragu mempercayai ucapan itu, kemudian berkata dengan masih
tetap bernada ketus.
"Kurasa kalian adalah komplotan si Hantu Laut itu!
Rasa-rasanya harus kuhancurkan salah satu agar kalian mengaku di depanku!"
Weess...! Kepala Merpati Liar mengibas ke samping kiri. Dari bola matanya keluar
sepasang sinar hijau sebesar lidi mengarah ke dada Hantu Laut. Slaaap...!
Hantu Laut lompat ke samping belakang untuk hindari sinar hijau itu. Sebenarnya
gerakan Hantu Laut itu terlambat dan ia bisa terkena sepasang sinar hijau yang
bergerak sangat cepat itu. Namun sebelumnya Suto Sinting sudah lebih dulu
lepaskan jurus 'Tangan Guntur'
yang mengeluarkan sinar biru besar dari telapak tangannya. Sinar biru itu
menghantam sepasang sinar hijau di pertengahan jarak. Wesss...!
Jlegaaarr...! Ledakan menghentak kuat telah membuat mereka tunggang langgang terlempar ke
berbagai arah, termasuk Resi Pakar Pantun dan Kejora. Bahkan Pendekar Mabuk
sendiri terlempar dalam keadaan terkapar dan jatuh tak kuasai keseimbangan
badan. Buuhk...! Sedangkan Merpati Liar terhempas kuat dan membentur sebuah
pohon di belakangnya. Hantu Laut terguling-guling bagai kapas dihempaskan badai.
Perempuan cantik berhidung mancung itu segera bangkit berdiri dan pandangi Suto
Sinting yang telah tegak lebih dulu.
Mata perempuan itu memandang Suto Sinting lebih tajam lagi, bagai memancarkan
kemarahan yang lebih besar dari sebelumnya. Lalu tiba-tiba kepalanya menyentak
sedikit ke atas. Tanpa diduga-duga tubuh Pendekar Mabuk terlempar ke atas bagai
dilemparkan oleh suatu kekuatan gaib.
Wuuuss...! Perempuan itu segera gerakkan kepalanya ke samping. Seet...! Dan tubuh Suto yang
masih dipandanginya itu terlempar ke samping dengan kuat.
Wuuus...! Brruk...! Tubuh itu membentur pohon dengan kerasnya.
"Gila! Ternyata kabar yang kudengar selama ini tidak salah. Merpati Liar
mempunyai kekuatan besar pada matanya," pikir Resi Pakar Pantun. "Rupanya ia
telah kuasai jurus 'Kendali Netra' yang mampu melemparkan benda apa saja cukup
menggunakan pandangan matanya."
Suto Sinting menyeringai, kepalanya terasa sakit beradu dengan batang pohon
besar, ia buru-buru menenggak tuaknya setelah berkelebat ke balik pohon.
Hanya beberapa kejap saja Pendekar Mabuk sudah keluar dari balik pohon tepat
pada saat Merpati Liar menghampirinya dengan langkah garang.
Seett...! Kepala Merpati Liar menghentak ke kanan, Suto Sinting terlempar lagi
ke kiri. Wuuuss...! Brrruk...!
Pohon tak seberapa besar menjadi sasaran tubuh Suto Sinting. Krraak...! Pohon
itu menjadi retak karena hantaman tubuh kekar Pendekar Mabuk.
Melihat Suto dihajar oleh perempuan cantik, Hantu Laut tak bisa tinggal diam. Ia
segera lakukan lompatan penuh murka dan melepaskan senjata yoyonya yang beracun
itu. "Heeeaaah...!"
Wuuuttt...! Weess...! Senjata yoyo itu dilemparkan ke arah punggung Merpati Liar. Dari
tepian yoyo itu keluar gerigi tajam beracun ganas. Apabila yoyo itu disentakkan
talinya ke belakang, maka akan membalik arah dalam keadaan gerigi masuk ke
dalam. Tetapi sebelum yoyo itu kenai punggung Merpati Liar, tiba-tiba tubuh perempuan
itu berbalik arah dan kepalanya terayun membuat kekuatan tenaga dalam pada
matanya menyentak, melemparkan tubuh besar Hantu Laut hingga jatuh terguling-
guling di bebatuan.
Brrusss...! Pada saat itulah, Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya yang
berupa sentilan bertenaga dalam cukup besar. Tees...! Duugh...!
Tubuh Merpati Liar terjungkal karena punggungnya bagai ditendang seekor kuda
jantan binal. Pendekar Mabuk yang semula berlutut kaki satu kini bangkit dan
melepaskan sentilannya lagi.
Tes, tes, tes, tes...!
Brruk, gusrak, wwees... gubras, prakkk...!
Kini ganti perempuan itu yang dihajar Suto Sinting, dijungkirbalikkan ke sana-
sini dengan sentilan 'Jari Guntur' yang sukar ditangkis itu. Jarak mereka yang
lebih dari lima langkah membuat Suto Sinting leluasa melepaskan sentilannya,
hingga Merpati Liar bagaikan dihajar oleh makhluk halus yang tak bisa dilihat ke
mana arah gerakannya.
"Keparat...!" geram Merpati Liar setelah hujan sentilan 'Jari Guntur' itu
berhenti. Jika tidak dihentikan, perempuan itu dapat mati dalam keadaan jebol
dadanya atau hancur wajahnya oleh sentilan Pendekar Mabuk.
"Resi, bawa Kejora ke Lembah Sunyi, biar bergabung dengan kakak dan adiknya di
padepokan Resi Wulung Gading!" ujar Suto saat berada tak jauh dari Resi Pakar
Pantun. Merasa ilmunya kalah tinggi dengan Pendekar Mabuk, maka sang Resi pun menuruti
perintah tersebut, ia bergegas pergi membawa Kejora setelah Pendekar Mabuk
bicara lagi dengan mata tetap tertuju pada Merpati Liar,
"Nanti aku akan menyusulnya ke sana. Aku akan atasi dulu perempuan ini!"
Hantu Laut tak mau ikut pergi bersama sang Resi, ia memperhatikan pertarungan
Suto Sinting dengan Merpati Liar, dan tidak bermaksud ikut campur lagi sebab
menurutnya Suto Sinting mulai keluarkan kekuatan ilmunya, sehingga mampu
mengimbangi serangan lawan.
"Ia mempunyai kekuatan pada mata, aku harus gunakan jurus 'Pucuk Rembulan' untuk
mengimbanginya," kata Suto Sinting dalam hatinya.
"Hiaaah...!" Merpati Liar serukan suara dengan kedua
tangan merentang ke samping membentuk cakar.
Matanya memandang tajam ke arah Suto Sinting.
Pandangan mata itu dilawan oleh Pendekar Mabuk dengan menggunakan jurus 'Pucuk
Rembulan' yang bisa mendorong benda pakai mata dari bawah ke atas. Jurus ini
pernah dipakai saat terjadi peristiwa di Pulau Mayat, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Prahara Pulau Mayat").
Kekuatan 'Kendali Netra' perempuan itu melawan kekuatan mata dari jurus 'Pucuk
Rembulan' ternyata menghasilkan pertarungan yang cukup seru. Tubuh mereka sama-
sama terangkat ke atas tanpa alas berpijak sedikit pun. Tubuh itu melayang dalam
ketinggian setengah tombak dalam keadaan saling bergetar.
"Hhhheeeaahh...!"
Merpati Liar mengerang panjang akhirnya terlontar dalam satu teriakan murka.
Tubuhnya melesat maju bagaikan terbang dalam satu hempasan. Suto Sinting
bersikap menunggu walau tanpa alas berpijak. Lalu tiba-tiba kepala Suto Sinting
menyentak ke kiri. Seeettt...!
Weeerrr...! Tubuh Merpati Liar berputar di udara bagaikan baling-baling, gerakan majunya
terhenti akibat tertahan kekuatan mata Suto Sinting. Tubuh yang berputar itu tak
bisa mengendalikan keseimbangannya lagi, lalu terlempar ke samping dan
menghantam kerimbunan daun di atas pohon. Zrrraakk...! Duuurr...!
Pohon besar itu bergetar dihantam tubuh Merpati Liar. Perempuan itu tersangkut
di celah-celah dahan,
terjepit tak bergerak di sana untuk beberapa saat.
Tes, tess...! Suto Sinting menghajarnya dengan sentilan bertenaga dalam.
Perempuan itu tak bisa menghindar dan menangkis karena keadaannya yang terjepit
dahan. Mau tak mau ia hanya memekik-mekik dengan suara tertahan merasakan sakit
Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada daerah yang terkena hantaman tenaga dalam menyerupai tendangan kuda jantan
itu. "Aahg, uuhg...!"
Pendekar Mabuk segera menapakkan kakinya ke tanah. Kemudian menyentak dan
bersalto dua kali di udara mendekati pohon tersebut. Di bawah pohon ia memandang
ke atas dan berseru,
"Masihkah kau ingin pamer ilmu di depanku, Perempuan cantik"!"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut yang menyeringai karena berusaha
melepaskan diri dari jepitan dahan itu. Agaknya ia mengalami kesulitan karena
tak bisa lakukan gerakan apa-apa. Kedua tangannya merapat dengan tubuhnya,
sehingga yang bisa digerakkan hanya bagian kaki, itu pun tak bisa leluasa.
Huup...! Pendekar Mabuk melenting naik dan menendang pangkal dahan yang menjepit
tubuh Merpati Liar. Dees...! Krraakkk...!
Dahan patah seketika, melayang jatuh ke tanah dalam keadaan jepitan merenggang.
Saat itulah Merpati Liar mampu lepaskan diri dengan sebuah sentakan lengan.
Prraakk...! Wuusss...! Ia berguling ke samping, lalu segera
berdiri dengan satu lutut dan melepaskan pukulan bersinar merah dari ujung kedua
jarinya. Claaapp...!
Sinar itu memecah menjadi tiga larik, dan itulah yang dinamakan pukulan 'Aji
Brangaspati' yang tadi melukai Hantu Laut. Tetapi tiga larik sinar merah itu
dihantam dengan sinar hijaunya Suto Sinting. Clap, blaarr...!
Sinar merah itu hancur oleh pukulan 'Guntur Perkasa'-nya Pendekar Mabuk.
Sentakan gelombang ledaknya lebih besar ke arah Merpati Liar, karena jarak
pertemuan dua sinar itu dekat dengan Merpati Liar.
Akibatnya, perempuan itu terlempar berguling-guling di tanah dan baru terhenti
setelah membentur batu besar. Di sana ia memuntahkan darah merah walau tak
banyak. Namun ia merasakan sakit pada dadanya yang mulai sulit bernapas.
"Dia terluka cukup berbahaya," pikir Pendekar Mabuk secara diam-diam, sikapnya
masih tampak tenang dan penuh waspada.
Merpati Liar mencoba bangkit, tapi segera terhuyung-huyung mau jatuh, ia buru-
buru berpegangan pada batu setinggi perut orang dewasa itu. Ia mencoba bernapas
dengan berat dan menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit di dada.
Pendekar Mabuk segera mendekati bersama Hantu Laut yang lecet punggungnya akibat
jatuh di bebatuan tadi.
"Kau tertuka berbahaya, Merpati Liar. Aku tak bermaksud mencelakaimu jika kau
tak memusuhi kami."
Merpati Liar tundukkan kepala dengan badan masih
miring ke kanan, karena lengan kanannya dipakai untuk bertumpu di atas batu.
Pendekar Mabuk segera menyodorkan bumbung tuaknya dengan sikap ramah.
"Minumlah tuakku untuk mengobati lukamu!"
Perempuan iu diam saja, perlahan-lahan kepalanya terangkat, matanya memandang ke
wajah Pendekar Mabuk. Sorot pandangan mata itu masih saja bersikap bermusuhan.
Agaknya ia dalam kebimbangan untuk memutuskan; menerima uluran bumbung tuak itu
atau menyerang kembali dalam jarak hanya dua langkah.
* * * 4 GEGER pusaka Panji-panji Mayat ternyata
memancing beberapa tokoh lama untuk saling bermunculan. Mereka ternyata cukup
peduli dengan pusaka tersebut, karena sebagian besar dari mereka tahu siapa
orang yang berhak memiliki Panji-panji Mayat itu.
Para tokoh aliran putih berusaha agar Panji-panji Mayat atau Panji-panji Agung
jangan sampai jatuh ke tangan tokoh aliran hitam, sebab jika pusaka itu jatuh ke
tangan tokoh beraliran hitam maka akan timbul kekacauan di mana-mana. Setidaknya
akan terbentuk serombongan pasukan mayat hidup yang dapat mengusik perdamaian
dan ketenangan kehidupan di muka bumi.
Sikap kepedulian terhadap Panji-panji Mayat ternyata nyaris hilang dari diri
Darah Prabu. Murid Resi
Badranaya itu ditugaskan deh gurunya untuk memburu seorang gadis yang mencuri
Panji-panji Mayat dari padepokan sang Resi. Gadis buronan itu tak lain adalah
Peluh Setanggi, tetapi agaknya keduanya mempunyai ilmu yang sama kuat, sehingga
terjadi perubahan sikap di luar rencana. Darah Prabu adalah murid Resi Badranaya
sedangkan Peluh Setanggi murid Nyi Mas Gandrung Arum. Padahal antara Resi
Badranaya dengan Nyi Mas Gandrung Arum ada hubungan sedarah walau bukan
seperguruan. Sikap Resi Badranaya terhadap kakaknya; Nyi Mas Gandrung Arum,
sangat bertentangan dan sering terjadi perang batin di antara keduanya, sebab Nyi Mas
Gandrung Arum menganut aliran hitam sedangkan Resi Badranaya beraliran putih.
Keduanya bersepakat untuk tidak saling mengusik, jika tidak inginkan perang
saudara. Sejauh ini mereka saling tidak tahu menahu tentang aliran masing-masing
dan tidak mau ikut campur dalam setiap urusan masing-masing. Tetapi belakangan
ini, setelah Peluh Setanggi keluar dari Perguruan Biara Ungu dan menjadi
pengikut Kucing Hutan yang juga dikenal sebagai Perawan Titisan Peri itu, sikap
Resi Badranaya mulai menampakkan permusuhannya terhadap sang kakak, sebab Resi
Badranaya belum tahu bahwa Peluh Setanggi sudah bukan murid kakaknya lagi. Darah
Prabu pun tidak tahu kalau Peluh Setanggi telah berpihak kepada Kucing Hutan,
yaitu seorang gadis cantik yang buas dan mempunyai kebiasaan meminum darah kaum
lelaki. Tetapi akibat sama-sama menggunakan jurus
pemikat, Darah Prabu dan Peluh Setanggi menjadi rukun dan saling menyayangi.
Permusuhan di hati mereka sirna tuntas sejak Darah Prabu memberikan
keperkasaannya dan Peluh Setanggi memberikan kehangatannya. Mereka bagai tak
pernah saling bermusuhan sedikit pun. Yang ada di dalam hati dan jiwa mereka
adalah rasa ingin mencintai dan dicintai, rasa ingin menyayangi dan disayangi,
juga rasa ingin memanjakan dan dimanjakan.
Sambil memandang ombok bergulung-gulung,
mereka saling berpelukan dengan mesra. Sesekali Darah Prabu mencium kening Peluh
Setanggi, sesekali pula Peluh Setanggi yang mengecup bibir Darah Prabu dengan
nakal. Kemudian tawa mereka berderai-derai menyimbulkan adanya kebahagiaan di
dalam kebersamaan tersebut.
"Dulu aku pernah bercita-cita ingin mempunyai seorang istri yang cantik, berani,
berilmu dan pandai bercumbu. Kupikir semua itu mustahil dapat kuperoleh.
Tapi ternyata sekarang perempuan dalam bayangan dan cita-citaku itu ada padamu,
Peluh Setanggi."
"Betulkah kau mencintaiku dengan tulus, Darah Prabu?"
"Lebih tulus dari cinta seorang ibu terhadap anaknya," jawab Darah Prabu dengan
nada lembut. "Aku yakin di dunia ini tak ada sesuatu yang putih seputih cintaku
padamu, Setanggi."
"Oh, aku senang sekali mendengar ucapanmu, Darah Prabu," sambil Peluh Setanggi
menyandarkan kepalanya ke dada pemuda tampan itu. "Aku pun dulu bercita-cita
ingin mendapatkan suami yang gagah, tampan, tinggi ilmunya dan perkasa dalam
bercinta. Ternyata semua itu telah kau penuhi, Darah Prabu, itulah sebabnya aku
sungguh tak bisa jika harus berpisah darimu. Sampai ke liang kubur pun aku ingin
ikut bersamamu, Darah Prabu."
"Boleh saja ikut ke liang kubur, tapi tidak boleh nakal."
Peluh Setanggi tertawa riang. "Nanti di dalam kubur kita bisa saling umpuk-
tumpukan lagi, bukan?"
"Ya, memang harus ditumpuk kalau satu liang kubur dipakai dua orang."
Canda mereka bekepanjangan melantur ke mana-mana. Yang jelas hati mereka bahagia
sekali, serasa bumi ini hanya dihuni oleh mereka berdua. Mereka tak tahu kalau
dari salah satu sisi ada sepasang mata yang mengintainya dari sejak berada di
puncak bukit sampai kepantai. Sepasang mata yang mengikuti mereka adalah mata si
pelayan Resi Pakar Pantun; Kadal Ginting.
Tubuhnya sudah berulang-kali basah kuyup karena keringat dinginnya membanjir
terus melihat adegan-adegan syur yang dilakukan Peluh Setanggi dengan Darah
Prabu, ia berusaha menyimak setiap suara yang keluar dari mulut mereka, dan
berusaha memperhatikan setiap gerakan yang mereka lakukan.
"Jangan-jangan keduanya sama-sama telah miring otaknya," pikir Kidal Ginting.
"Padahal mereka bermusuhan sesengit itu, mengapa sekarang jadi bermesraan
segesit ini"! Kuikuti dari tadi, sudah tiga kali
mereka melakukan percumbuan yang edan-edanan di balik semak. Kurasa sekarang
mereka akan istirahat di pantai ini sambil mengumpulkan tenaga kembali."
Namun, telinga Kadal Ginting segera menangkap suara Peluh Setanggi yang sambil
cekikikan melakukan kerajinan tangan dengan rajin sekali itu. "Prabu, di balik
gugusan karang itu sepertinya ada tempat teduh yang lega. Tak inginkah kau pergi
te sana?" "Untuk apa kita ke sana?"
"Tak inginkah kau menikmati surga di tubuhku lagi?"
"Siapa yang tak ingin" Dari tadi aku sedang mencari tempat yang enak untuk
berlayar dengan perahu cintamu."
"Hi, hi, hi... kalau begitu kita ke sana sekarang juga, Prabu. Gairahku telah
terbakar oleh ciuman-ciumanmu...." Kalimat itu terpotong oleh desah Peluh
Setanggi. "Ah, jangan begitu tanganmu, Prabu. Di sana saja kalau ingin
melakukannya. Jangan di sini, nanti ada setan lewat, aku malu dilihat setan!"
Kadal Ginting membatin, "Kurang ajar! Aku dianggap setan. Kalau tak ingat sedang
mengintip, kutabok mulut gadis itu, dan... lho, lho... kok mereka ke sana" Wah,
pasti akan begituan lagi! Gila! Tak ada puasnya perempuan itu rupanya. Ah,
tapi... lumayan juga buat tontonan iseng. Sebaiknya aku lebih dekat lagi supaya
dapat melihat dengan jelas seperti tadi...!"
Kadal Ginting pun bergegas mendekati gugusan karang berongga, ia bersembunyi di
celah-celah karang ketika Peluh Setanggi mulai menyapu habis tubuh Darah
Prabu dengan ciumannya. Darah Prabu masih berdiri melepas, rompinya.
"Luar biasa gadis itu. Ia tak sabar mendapatkan kemesraan seperti tadi. Wah-wah,
wah... rupanya ia gadis yang berselera tinggi. Enak sekali si Darah Prabu
diperlakukan seperti anak kucing sedang dimandikan begitu, ya" Iih... tubuhku
jadi merinding sendiri, sepertinya tubuhku ikut dimandikan oleh ciuman Peluh
Setanggi." Kadal Ginting bergidik sendiri dengan jantung berdetak-detak keras.
Lututnya gemetar nyaris tak mampu berdiri lagi.
Ketika senja akan tiba, pelayaran cinta mereka pun usai. Darah Prabu dan Peluh
Setanggi terkapar lemas dicekam kelelahan. Kadal Ginting duduk bersimpuh di
pasir basah karena lututnya bagai kehilangan urat penopang tubuh. Sekujur
badannya basah bukan karena percikan ombak, tapi karena banjir keringat dingin
selama menyaksikan tontonan iseng itu. Bukan hanya napas Peluh Setanggi dan
Darah Prabu saja yang terengah-engah, melainkan napas Kadal Ginting pun ngos-
ngosan. Bahkan napas mereka sudah reda, tapi napas Kadal Ginting masih ngos-
ngosan. Peluh Setanggi dan Darah Prabu masih membiarkan busananya terkulai di samping
mereka. Alam indah dan irama ombak memacu gairah sedang dinikmati tanpa rasa
canggung dan malu, sebab mereka yakin tak ada orang yang melihat keadaan mereka
saat itu. Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ledakan yang cukup menggelegar.
Ledakan itu membuat gugusan
karang yang menjadi atap berteduh mereka itu runtuh sebagian. Tentu saja Peluh
Setanggi dan Darah Prabu menjadi panik dan secepat kilat mengenakan pakaian
mereka. "Perbuatan siapa ini"!" geram Darah Prabu.
"Tetaplah di sini, akan kucari orang yang mengganggu kemesraan kita!" seraya
Peluh Setanggi mengenakan penutup dadanya.
Wees, wees...! Peluh Setanggi keluar dari rongga karang itu, Darah Prabu tak
mungkin mau tinggal di tempat, sebab ia tak ingin Peluh Setanggi menghadapi
bahaya sendirian, ia pun ikut melesat keluar dari rongga karang.
Sementara itu, Kadal Ginting semakin gemetar dan tak bisa bergerak, karena
pecahan karang tadi ada yang terbang mengenai tengkuk kepalanya. Pandangan mata
Kadal Ginting menjadi buram sedikit, tapi rasa sakit nyut-nyutan menjalar sampai
ke ubun-ubun. Untung saja bongkahan karang segenggaman itu tak sampai membuat
kepalanya bocor.
Dari tempatnya terkulai bersimpuh itu, Kadal Ginting masih bisa melihat ke mana
arah kepergian Darah Prabu dan Peluh Setanggi. Ternyata mereka sedang berhadapan
dengan dua orang gadis berwajah kembar. Dua orang gadis itu mengenakan kutang
hijau dan kain penutup bagian bawahnya sepanjang betis berwarna ungu berbelahan
empat. Keduanya sama-sama mempunyai wajah serupa dengan Peluh Setanggi. Kesamaan
rupa dan bentuk tubuh itu yang membuat Kadal Ginting
terperangah memandang heran hingga mulutnya melongo.
"Kembar..."! Siapa yang kembar sebenarnya" Kedua gadis yang baru datang itu atau
Peluh Setanggi yang kebetulan punya wajah serupa dengan kedua gadis itu"!"
gumam lirih Kadal Ginting. Ia tak tahu bahwa Peluh Setanggi bersaudara kembar
sepuluh. Dua adik kembarnya ikut memihak Kucing Hutan, sementara sisanya masih
menjadi murid Perguruan Biara Ungu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Misteri Bayangan Ungu").
Dua adik kembarnya yang ikut memihak Kucing Hutan adalah Kuncup Nirwana dan Buih
Dewani. Kedua adik kembar itulah yang datang ke pantai dan melepaskan pukulan
penghancur karang bagian atas rongga tadi. Yang menjadi tanda bagi kedua adik
kembar Peluh Setanggi adalah gambar tato di atas payudara kiri mereka. Buih
Dewani mempunyai tato bergambar sebilah keris bercahaya, sedangkan Kuncup
Nirwana mempunyai tato bergambar kepala harimau. Karenanya, Peluh Setanggi dapat
mengenali dengan cepat siapa adik kembarnya yang datang itu.
"Nirwana, Dewani...!" sentak Peluh Setanggi. "Apa maksud kalian mengganggu
kemesraanku, hah"!"
Darah Prabu terbengong melompong memandangi dua gadis kembar yang sama persis
dengan kekasihnya, ia tak menyangka ada dua gadis kembar yang sedikit pun tak
berbeda dengan Peluh Setanggi, kecuali pada gambar tatonya. Darah Prabu belum
tahu bahwa Peluh Setanggi
mempunyai sembilan adik kembar, sebab itu ia sempat berbisik kepada Peluh
Setanggi, "Siapa mereka itu, Setanggi?"
"Dua adik kembarku! Hati-hati, jangan salah cium.
Aku punya sembilan adik kembar yang sama persis dengan diriku. Perhatikan tato
di dada kami!" jawab Peluh Setanggi dengan cepat, lalu perhatiannya tertuju
kepada Kuncup Nirwana dan Buih Dewani yang berdiri dengan sikap menantang.
"Masih untung kalian adikku sendiri, jika bukan sudah kuhancurkan kepala kalian
karena mengganggu kemesraanku dengan Darah Prabu!"
Kuncup Nirwana buka suara, "Pantaskah kalian bercengkerama di sana sementara
kami kena marah terus oleh Ratu Kucing Hutan"!"
"Tiga kali kami menerima hajaran dari Ratu Kucing Hutan gara-gara kau mencuri
pusaka palsu!" timpal Buih Dewani. "Kami ditugaskan mencarimu, Setanggi!
Ternyata kau sedang bercinta seenaknya dengan pemuda itu! Memuakkan sekali!"
"Percuma kami mengikutimu kalau kau tak punya pembelaan terhadap diri kami!"
sahut Kuncup Nirwana.
"Kami yang menerima hukuman kau yang menerima kemesraan. Hmmm... apakah itu adil
menurutmu"!"
"Lalu apa mau kalian sebenarnya, hah"!" bentak Peluh Setanggi menjaga wibawa di
depan adik-adiknya.
"Tinggalkan pemuda itu dan pergilah menghadap sang Ratu. Kau harus menebuskan
kesalahanmu yang telah mencuri pusaka palsu!"
"Pusaka palsu..."!" Peluh Setanggi berkerut dahi, karena ia segera ingat tentang
pusaka Panji-panji Mayat yang dicurinya dari pondok Resi Badranaya.
Darah Prabu pun segera ingat tentang pusaka Panji-panji Mayat dan tugas
menangkap Peluh Setanggi.
Tetapi tugas itu ternyata kalah dengan rasa cinta yang ingin memiliki Peluh
Setanggi selamanya. Hanya saja, Darah Prabu sempat merasa heran mendengar pusaka
yang dicuri Peluh Setanggi itu adalah pusaka palsu.
"Jadi... selama ini Guru menyimpan pusaka palsu"!"
tanyanya dalam hati bernada heran.
"Setanggi, kami ditugaskan membawamu pulang ke Hutan Lembah Meong untuk
menghadap Ratu Kucing Hutan!" ujar Kuncup Nirwana dengan nada tegas.
"Tidak. Aku tidak mau, karena tugasku telah selesai.
Pusaka itu tidak mungkin palsu!"
"Ratu mencoba membawa Panji-panji Mayat ke sebuah makam, tapi ternyata mayat
dalam makam tak bisa bangkit. Lalu panji-panji itu dibawanya ke kuburan para
penduduk desa, ternyata para penghuni kubur tak satu pun yang bangkit mengikuti
panji-panji itu!" kata Buih Dewani.
Mata dan mulut Peluh Setanggi menampakkan sikap tertegun yang membimbangkan
hati. Sementara itu, Kuncup Nirwana serukan kata kembali,
"Panji-panji itu sekarang sudah dihancurkan oleh Ratu Kucing Hutan dengan murka.
Menurut kabar yang diperoleh Banci Wadak, pusaka Panji-panji Mayat sudah
berhasil dicuri oleh Dewi Geladak Ayu. Maka sang Ratu
sendiri segera menangkap Dewi Geladak Ayu. Namun sayang bajak laut perempuan itu
Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mampu lepaskan diri dari pengaruh racun di pisau sang Ratu, dan segera melarikan
diri. Sementara kemarin siang kami kembali ke istana dan menemukan Banci Wadak
telah menjadi mayat mengenaskan. Entah siapa pembunuhnya!"
"Yang jelas bukan aku pembunuh Banci Wadak.
Setelah kuserahkan panji-panji curianku kepada sang Ratu, aku segera pergi
memburu pembunuh Paman Badai Kutub. Dan sejak itu aku belum kembali ke istana!"
"Jangan menambah murka sang Ratu, Setanggi! Kami yang kena getahnya!" seru Buih
Dewani agak membentak.
Kuncup Nirwana menambahkan kata, "Jika kau tak menghadap sang Ratu, anggapan
sang Ratu tetap buruk kepadamu."
"Anggapan apa"!"
"Kau telah menukar pusaka yang asli dengan yang palsu. Itulah anggapan sang
Ratu!" jawab Buih Dewani.
"Dusta! Fitnah itu namanya!" sentak Peluh Setanggi.
"Yakinkanlah kepada sang Ratu bahwa anggapan itu tidak benar. Jelaskan semuanya
di depan sang Ratu, Setanggi!"
"Aku tidak mau menemui sang Ratu, karena aku tak mau berpisah dari Darah Prabu!"
"Kau bisa membawa pemuda itu menghadapnya juga."
"Kau pikir aku bodoh"! Ratu Kucing Hutan adalah
peminum darah lelaki, ia sangat berselera dengan lelaki semuda dan segagah Darah
Prabu. Aku tak mau Darah Prabu direbutnya dan menjadi korbannya seperti lelaki
yang lain!"
"Kalau kau tetap tak mau, haruskah kami memaksamu dengan cara kasar, Setanggi"!"
ucap Buih Dewani yang dirasakan oleh Peluh Setanggi sebagai tantangan. Maka ia
pun memandangi kedua adik kembarnya dengan sorot pandangan mata tajam penuh
pertimbangan. "Haruskah aku bertarung dengan adik kembarku sendiri?" gumam Peluh Setanggi
pelan, namun didengar oleh Darah Prabu. Pemuda itu pun akhirnya berbisik kepada
Peluh Setanggi.
"Biar kuhadapi kedua adikmu, larilah ke bukit tempat cinta kita bertemu. Nanti
aku akan menyusulmu ke sana."
"Kau... kau akan melawan adikku" Mereka bukan berilmu rendah, Prabu! Kalau hanya
satu orang mungkin saja kau bisa kalahkan mereka, tapi kalau dua orang kau akan
dibuat tak berdaya dalam dua gebrakan saja!"
"Aku masih punya jurus simpanan yang belum pernah kugunakan untuk melawan siapa
saja." "Itu berarti kau akan membunuh kedua adikku!"
"Lalu, aku harus bagaimana" Jika mereka membahayakanmu, apa salahnya jika mereka
dilenyapkan?"
"Tidak. Aku tidak ingin hal itu terjadi!" ujar Peluh Setanggi dalam bisikan,
namun benaknya masih dibuat
pusing oleh keputusan langkahnya; menemui Kucing Hutan atau melumpuhan kedua
adik kembarnya itu"
Darah Prabu segera berbisik lagi, "Baiklah, aku hanya akan membuat kedua adikmu
tumbang sementara kau melarikan diri ke bukit itu. Aku berjanji tak akan
melenyapkan nyawa adikmu, Setanggi! Larilah sana, dan akan kuhadang mereka jika
mengejarmu. Tunggu aku di bukit dan jangan ke mana-mana sebelum aku datang
menjemputmu."
Kini yang ada dalam pikiran Peluh Setanggi adalah sebuah keraguan; mampukah
Darah Prabu menghadapi kedua adiknya tanpa harus melenyapkan nyawa mereka"
* * * 5 TUAK sakti itu ternyata bukan saja sebagai penyembuh luka, melainkan juga
jembatan bagi terjalinnya sebuah persahabatan dan perdamaian. Secara jujur batin
Merpati Liar mengakui daya penyembuh secara gaib. Ia rasakan sendiri khasiat
tuak itu di badannya; rasa sakit hilang, badan terasa lebih segar dari
sebelumnya, hati mereka lebih tenang setelah meneguk tuak Suto.
"Kudengar kabar, hanya Tabib Darah Tuak yang mempunyai kekuatan mujarab dalam
penyembuhannya melalui air tuak," katanya di depan Suto Sinting dan Hantu Laut.
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum, lalu berkata, "Barangkali kabar itu
memang benar. Tapi barangkali kau belum tahu siapa Tabib Darah Tuak itu,
Merpati." "Kudengar kabar, Tabib Darah Tuak adalah si Pendekar Mabuk, murid Eyang Gila
Tuak, sahabat guruku."
Hantu Laut menyahut sambil menuding Suto Sinting,
"Dialah yang bergelar Pendekar Mabuk! Dia juga yang menjadi satu-satunya murid
si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"
Merpati Liar sedikit terperanjat dan pandangi Suto Sinting dengan keraguan.
"Benarkah kata-katanya itu?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala dengan senyum ramah yang menawan.
"Oh, kalau begitu aku salah duga."
"Dia belum duda, masih perjaka. Mengapa kau bilang dia duda?" sahut Hantu Laut
salah dengar. "Salah duga!" tegas Suto Sinting. "Bukan salah duda!"
"Ooo...," Hantu Laut hanya manggut-manggut dan buang muka menutupi rasa malunya.
Merpati Liar memandang Hantu Laut, tak ada senyum namun tak bersikap bermusuhan
seperti tadi. "Merpati, kalau boleh kutahu, apa maksudmu mencari pusaka Panji-panji Mayat?"
tanya Suto Sinting mulai menyelidik.
"Aku adalah murid tunggai Nyai Parisupit yang
bukan dari pihak keturunannya."
"Ya, aku telah dengar penjelasan itu dari Resi Pakar Pantun."
"Kudengar kabar, Panji-panji Mayat dicuri oleh seorang gadis yang berpihak
kepada Perawan Titisan Peri; si Hantu Laut itu. Perlu kau ketahui, Perawan
Titisan Peri adalah bukan dari keturunan leluhur Nyai Guru Parisupit. Ketika
Nyai Guru Parisupit belum mangkat, beliau pernah berpesan padaku agar ikut
menjaga pusaka Panji-panji Mayat agar jangan sampai jatuh di tangan orang yang bukan keturunan beliau. Aku tahu persis,
bahwa pusaka itu hanya berhak dimiliki oleh kedua anak Nyai guruku; yaitu Jalma
Dupi atau Manggarsani, adiknya."
"Manggarsani..."!" gumam Suto Sinting dengan berkerut dahi pertanda merasa asing
terhadap nama Manggarsani.
"Kudengar kabar, Jalma Dupi dan istrinya sudah tewas di tangan keturunan
Gajahloka, dua anaknya pun tewas. Tetapi Jalma Dupi mempunyai tiga anak gadis
lainnya yang kudengar kabar, mereka masih hidup.
Hanya tak kutahu di mana tinggalnya sekarang dan siapa-siapa saja tiga anak
gadis Jalma Dupi itu. Satu orang lagi yang berhak memegang pusaka itu adalah
Manggarsani, tetapi sudah lama Manggarsani mengasingkan diri dan tak pernah
kudengar kabarnya.
Mungkin sudah mati, mungkin juga masih hidup."
"Aku tak pernah mendengar nama Manggarsani,"
gumam Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri.
"Tapi aku tahu sifat dan watak Manggarsani yang tak mau ribut tentang warisan
leluhur. Bahkan ia selalu menjauhi pertikaian dengan sesama. Manggarsani seorang
perempuan yang amat cinta pada perdamaian dan ketenangan, ilmunya lumayan
tinggi, tapi tak pernah diumbar di dunia persiiatan. Kabar terakhir yang
kudengar, ia menggunakan nama julukan: Dewi Cumbutari."
Serba Hijau 2 Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah Pendekar Kembar 2