Pencarian

Gadis Buronan 2

Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan Bagian 2


"Oooh...!" Suto Sinting menyentak lega, karena ia segera ingat dengan seorang
perempuan yang menjadi ratu di negeri Wilwatikta dan bernama Ratu Dewi
Cumbutari. Suto Sinting kenal baik dan bahkan pernah menyelamatkan negeri itu
dari ancaman maut si Raja iblis, (Baca serlai Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pembantai Raksasa"). Suto Sinting pun segera menceritakan peristiwa
pertarungannya dengan si Raja iblis itu kepada Merpati Liar.
"Aku harus menjalankan amanat mendiang Nyai Guru untuk menjaga agar pusaka
tersebut tidak jatuh di tangan tokoh aliran hitam. Aku harus bisa mengembalikan
pusaka itu ke tangan pewarisnya."
"Kudukung tekadmu itu, Merpati Liar. Hanya saja, barangkali perlu kau ketahui,
gadis yang tadi bersama kami, yang sempat kau bentak dengan garang, dia adalah
anak dari Jalma Dupi yang bernama Kejora."
"O, begitu..."!"
"Tiga anak gadis Jalma Dupi yang masih hidup adalah Kejora, si bungsu Menik dan
si sulung Dewi Hening. Keduanya ada di Lembah Sunyi bersama Resi
Wulung Gading menanyakan tentang di mana pusaka itu berada, dan sekarang Kejora
sedang dalam perjalanan ke sana pula bersama Resi Pakar Pantun."
"Hmmm...," Merpati Liar menggumam dan manggut-manggut, tampak sekali sikap tegas
dan pemberani di wajah cantiknya itu.
"Jika benar begitu keadaan yang ada, aku harus segera mencari si Kucing Hutan
untuk merebut kembali pusaka tersebut. Gadis pencuri pusaka itu, kudengar
bernama Peluh Setanggi. Gadis itu pula yang menjadi sasaran buronanku."
Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Dari mana kau dapat kabar tersebut?"
"Kujumpai sahabat lamaku yang bernama Sumbaruni, dialah yang menceritakan hal
itu. Menurut pengakuannya, ia mendengar kabar itu dari Pendekar Mabuk."
"O, pantas. Memang benar aku telah menceritakan hal itu kepada Sumbaruni."
"Dan kudengar pengakuannya, bahwa Pendekar Mabuk adalah kekasihnya."
Suto Sinting diam sambil palingkan wajah menutup senyumannya. Merpati Liar
memandang bagai menunggu jawaban yang pasti dari Pendekar Mabuk.
Karena lama tak ada jawaban, Merpati Liar ajukan tanya kembali,
"Benarkah kau kekasih Sumbaruni?" Karena Suto Sinting hanya senyum-senyum saja,
maka Hantu Laut segera berkata,
"Itu fitnah. Suto tidak pernah menyembelih Sumbaruni!"
"Siapa yang bilang menyembelih Sumbaruni?" ujar Suto Sinting.
"Dia tadi bilang apa?"
"Apa benar aku kekasihnya Sumbaruni".'" ucap Suto Sinting memperjelas tekanan
suaranya. "Ooo... kekasih" Kudengar dia bilang 'sembelih', tak tahunya 'kekasih'. Maklum
sajalah...," Hantu Laut malu, ia buang muka sambil garuk-garuk kepala.
"Dia bukan kekasihku, Merpati. Tapi aku tahu, dia mencintaiku."
"Kau tidak membalasnya?"
Suto Sinting gelengkan kepala.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Merpati Liar pelan, seakan punya arti
terselubung. Tapi Hantu Laut salah dengar lagi.
"Siapa yang babak belur"!"
"Syukur!" sentak Suto Sinting memperjelas ucapan Merpati Liar. "Dia bukan bilang
'babak belur', tapi bilang 'syukur', jelas"!"
"Lha, iya... aku tadi juga bilang 'siapa yang syukur', begitu!" Hantu Laut
menyangkal ketuliannya. Pendekar Mabuk jadi merenung dan berkata pada diri
sendiri, "Mengapa sekarang aku jadi ikut-ikutan budeg, ya"!"
Merpati Liar palingkan wajah sembunyikan senyum tipisnya. Kemudian ia bergegas
pergi menuju Lembah Meong untuk temui Kucing Hutan. Suto Sinting dan Hantu Laut
ikut bersamanya.
Langkah mereka terhenti saat melewati hutan jati.
Sekelebat bayangan melintas jauh di depan mereka.
Tetapi mata Merpati Liar cukup tajam dan bisa mengikuti kecepatan gerak bayangan
itu. Akibat langkah Merpati Liar tertahan, langkah Suto Sinting dan Hantu Laut
pun ikut terhenti. "Ada apa, Merpati?"
"Kulihat sosok seorang gadis berkutang hijau lari ke arah selatan."
"Berkutang hijau"! Hmmm... apakah dia si Peluh Setanggi"!" ujar Suto setelah
membayangkan sosok gadis berdada montok yang ditutup dengan kutang hijau berhias
benang emas. "Akan kuikuti langkahnya!" ucap Merpati Liar pelan, lalu ia lebih dulu melesat
ke arah selatan. Weesss...!
Kecepatan geraknya sempat mencengangkan Pendekar Mabuk. Ternyata perempuan itu
mampu bergerak hampir menyamai jurus 'Gerak Siluman'-nya Suto Sinting, ia
seperti orang menghilang lenyap ditelan bumi. Pendekar Mabuk tak mau kalah
saing, ia pun segera pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi
kecepatan anak panah itu.
Ziaaapp...! Hantu Laut terbengong melompong. Lalu terdengar gerutuannya dengan wajah
bersungut-sungut,
"Mentang-mentang pada bisa bergerak cepat aku ditinggalkan begitu saja. Hmmm...!
Kalian kira hanya kalian yang bisa bergerak secepat itu" Aku pun mampu
melakukannya. Lihat..., huup...!"
Gusraak...! "Aauuh...!" Hantu Laut mengerang karena kakinya tersandung akar pohon, ia jatuh
tersungkur mencium tanah.
Merpati Liar sudah sampai di tempat jauh, di atas bukit cadas yang tingginya
hanya sekitar iima tombak.
Di sana ia menghadang bayangan yang tadi dilihatnya, ia bersembunyi di balik
gugusan batu cadas setinggi dua tombak.
"Terpaksa kutinggalkan Pendekar Mabuk, karena aku tak mau kehilangan jejak kalau
benar gadis itu adalah si Peluh Setanggi!" ucapnya lirih. Tapi tiba-tiba di sisi
batu cadas itu terdengar suara yang ditujukan kepadanya.
"Dugaanku tepat, kau pasti akan kemari, karenanya aku menunggumu di sini."
Merpati Liar terperanjat tak berkedip. Wajah Pendekar Mabuk muncul dari balik
celah batuan cadas itu.
"Sial! Rupanya ia sudah sampai di sini lebih dulu sebelum aku tiba," gerutunya
dalam hati. Ia hanya geleng-gelengkan kepala tak kentara melihat senyum si
tampan mengembang di depannya. Mulut pun segera ternganga untuk mengatakan
sesuatu kepada Suto Sinting, tetapi niat tersebut terpaksa batal. Bahkan
tangannya segera menekan pundak Suto Sinting agar lebih merapat lagi ke lapisan
sisi batu. Rupanya Merpati Liar melihat gerakan menuju ke jalanan di bawah bukit cadas itu.
Suto Sinting segera mengarahkan pandangannya ke sana. Ternyata dugaannya benar,
Peluh Setanggi sedang berlari hendak
melintasi jalanan di bawah bukit cadas.
"Benarkah gadis itu yang bernama Peluh Setanggi?"
"Benar," jawab Suto Sinting mengikuti irama bisikan Merpati Liar.
"Aku akan menghentikan langkahnya! Mundurlah sedikit!"
"Hei, apa yang ingin kau lakukan?"
"Menggelindingkan batu ini biar menghalangi langkahnya!" jawab Merpati Liar
sambil ingin menjejak batu besar itu dengan kaki kanannya.
"Tunggu sebentar...!" cegah Suto Sinting. "Lihat, ada orang yang mendahuluimu
menghadang langkah gadis itu!"
Merpati Liar urungkan niatnya, memandang ke arah yang ditunjuk Suto Sinting.
Ternyata di sana memang ada seorang yang sengaja berdiri menghadang langkah
Peluh Setanggi persis di pengkolan jalan yang tidak terlalu banyak ditumbuhi
pepohonan. Si penghadang itu adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Mempunyai rambut meriap diikat dengan ikat kepala putih bersulam benang emas.
Ia hanya mengenakan kutang hijau, kain penutup bawahnya berbelahan tiga berwarna
hijau juga. Sebuah pedang disandangnya di pinggang kiri.
"Siapa gadis itu" Kau kenal dengannya?"
"Sangat kenal," jawab Suto Sinting dalam bisikan.
"Dia juga murid dari Biara Ungu, bekas teman seperguruan Peluh Setanggi. Dia
adalah salah satu dari tiga orang kepercayaan Nyi Mas Gandrung Arum. Dia
dikenai dengan nama Putik Linang."
"Apa yang dikehendaki oleh Putik Linang" Agaknya bersikap memusuhi Peluh
Setanggi."
"Kita perhatikan saja dulu apa yang ia lakukan terhadap bekas teman
seperguruannya itu."
Peluh Setanggi agak terkejut melihat kemunculan Putik Linang yang menghadang
langkahnya. Apalagi sikap Putik Linang kentara sekali memusuhinya, Peluh
Setanggi cepat pasang kewaspadaan tinggi, setidaknya dapat merasakan ada tujuan
tak baik atas penghadangan Putik Linang itu.
"Putik Linang, agaknya kau punya maksud tak baik menghadang langkahku ini!"
"Tergantung bagaimana kau menilai sikapku," jawab Putik Linang bernada tak
ramah. "Yang jelas aku diutus oleh Guru untuk menangkapmu!"
"Dengan tuduhan apa Guru akan menangkapku, bukankah aku sudah bukan muridnya
lagi?" "Kau memalukan nama perguruan, mencemarkan nama besar Guru dengan mencuri pusaka
Panji-panji Mayat! Kau dapat memancing permusuhan antara pihak Guru dengan pihak
Resi Badranaya!"
"Hmmm...!" Peluh Setanggi sunggingkan senyum sinis. "Guru sudah berani
memecatku, berarti Guru sudah siap menghadapi hal-hal seperti ini! Kusarankan,
pulanglah kembali ke Biara Ungu dan sampaikan salamku kepada Nyi Mas Gandrung
Arum, katakan bahwa sekarang antara dia dan aku tak punya urusan apa-apa lagi.
Segala tingkah lakuku di luar tanggung
jawabnya! Ingatkan kepada pendeta sesat itu, bahwa aku sudah menjadi pengikut
Kucing Hutan. Jika dia menggangguku, berarti dia akan berurusan dengan Perawan
Titisan Peri itu!"
"Guru mengizinkan aku membunuhmu jika kau tak mau ditangkap."
"Oh, begitu"!" senyum Peluh Setanggi adalah senyum meremehkan lawannya. Begitu
sinis dan memuakkan bagi Putik Linang, sehingga kedua tangan Putik Linang mulai
meremas dan napasnya tampak tertahan karena menggeram kemarahan.
"Kau pikir aku takut menghadapi gertakanmu, Putik Linang"! Aku tak pernah merasa
takut kepada siapa pun.
Bahkan kalau perlu gurumu, pendeta sesat itu, suruh datang kemari dan berhadapan
denganku. Sejengkal pun kakiku tak akan melangkah mundur melawannya!"
"Kurang ajar! Bicaramu sudah kelewat batas, Peluh Setanggi!" geram Putik Linang.
"Sudah waktunya mulutmu itu kuhancurkan sekarang juga. Heeeaaah...!"
Weeess...! Putik Linang berkelebat menerjang Peluh Setanggi, menghantamkan
pukulan tangannya yang kala itu sudah menyala merah membara. Wuuuk...! Pukulan
bertangan bara itu berhasil dihindari Peluh Setanggi dengan memiringkan badan,
lalu kakinya menendang maju dalam satu sentakan cepat. Wuut, beehg...!
"Uuhg...!" Putik Linang terlempar empat langkah ke belakang. Ia jatuh dalam
keadaan terkapar. Baahg...!
Peluh Setanggi segera melompat tinggi-tinggi dan tubuhnya meluncur ke bawah
tepat ke perut Putik
Linang. Suuutt...!
Putik Linang sadar akan datangnya bahaya dari atas.
Ia cepat gulingkan badan ke samping dua kali.
Wut, wuut...! Jleeg...! Kaki Peluh Setanggi akhirnya menginjak tempat kosong.
Tanah yang dipijak Peluh Setanggi menjadi melesak ke dalam sebatas mata kaki.
Berarti kekuatan tenaga dalam Peluh Setanggi kala itu sudah dipusatkan ke
telapak kakinya. Untung saja Putik Linang berhasil hindari kaki itu, seandainya
tidak, perutnya bisa jebol, isi perut bisa berantakan ke mana-mana.
Putik Linang segera bangkit sambil lakukan tendangan kaki yang menyentak ke
samping. Wuuss...!
Tendangan itu tak mengenai sasaran karena Peluh Setanggi cepat lakukan jungkir
balik ke belakang.
Wuuuss...! Tangan Putik Linang yang masih menyala bara sebatas pergelangannya segera
dihantamkan ke arah dada Peluh Setanggi. Namun hantaman tersebut kali ini diadu
dengan telapak tangan Peluh Setanggi yang mengepulkan asap putih dan
mengeluarkan busa-busa salju.
Deeb...! Zrrooosss...!
Asap mengepul bagai bara dicelup ke dalam air.
Namun keduanya sama-sama tersentak mundur hingga tiga langkah jauhnya, mereka
sama-sama terpelanting nyaris jatuh.
"Terpaksa kutebas batang lehermu, dan kuserahkan kepada Guru kepalamu,
Setanggi!"
Sreett...! Putik Linang mencabut pedangnya. Pedang segera dimainkan dengan jurus
yang indah dilihat. Peluh Setanggi belum mau mencabut pedangnya, ia masih
mengandalkan kekuatan tangan kosongnya dan merasa tak gentar sedikit pun
menghadapi lawan yang bersenjata tajam itu.
"Majulah, Jahanam!" geramnya sambil memandang benci kepada Putik Linang, karena
memang Putik Linang itulah orang yang paling dibenci olehnya semasa ia menjadi
murid di Biara Ungu. Kebencian itu timbul setelah Putik Linang resmi diangkat
sebagai pengawal dan orang kepercayaan Nyi Mas Gandrung Arum.
Sementara dirinya yang sudah lebih dulu menjadi murid di Biara Ungu masih belum
mendapat kesempatan untuk menjadi orang kepercayaan sang Guru. Peluh Setanggi
merasa sakit hati, lalu bertekad menjadi orang upahan bagi pihak mana pun yang
membutuhkan bantuannya.
Sebab itulah, ia dipecat sebagai murid Biara Ungu sampai sekarang.
"Majulah, Kodok busuk! Jangan hanya memainkan pedangmu saja!" bentak Peluh
Setanggi tak sabar menunggu serangan lawan. Putik Linang pun semakin panas
hatinya ditantang demikian.
"Hiaaah...!" Putik Linang lakukan lompatan menerjang lawannya dengan pedang siap
dihujamkan. Tetapi Peluh Setanggi segera berkelebat ke samping dalam satu lompatan bersalto
dan saat itulah sekeping logam menyerupai mata tombak dilemparkan ke arah Putik
Linang. Zing, zing, zing, zing...!
Trang, trang, trang, jeeb...!
"Aaahg...!" Putik Linang terkena lemparan senjata rahasia yang terakhir. Logam
yang mempunyai racun
'Lidah Malaikat' itu menancap di bawah pundak kiri Putik Linang. Gadis itu
langsung tumbang dan mengejang, lukanya mengepulkan asap putih.
Pendekar Mabuk terperanjat cemas, karena ia pernah melihat senjata rahasia itu
menancap di tubuh Kadal Ginting dan nyaris merenggut nyawa si pelayan Resi Pakar
Pantun itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa").
Karenanya, Pendekar Mabuk segera berkata kepada Merpati Liar dalam suara
membisik, "Putik Linang terkena racun 'Lidah Malaikat', harus segera diselamatkan. Aku
akan menyambar Putik Linang dan membawanya ke seberang sana, kau menahan gerakan
si Peluh Setanggi!"
"Aku tak suka diperintah. Aku akan lakukan apa yang ingin kulakukan!" jawab
Merpati Liar menampakkan keras kepalanya.
Zlaaapp...! Suto Sinting tak mau pedulikan ucapan itu, ia segera melesat dan
menyambar tubuh Putik Linang. Gerakannya yang seperti badai berhembus itu tak
mampu dilihat dengan jelas oleh Peluh Setanggi, ia hanya melihat sekelebat
bayangan yang menyambar tubuh Putik Linang.
"Mau dibawa ke mana dia, Setan! Biarkan dia mati oleh 'Lidah Malaikat'-ku!" seru
Peluh Setanggi, lalu
cepat-cepat sentakkan tangannya dan dari telapak tangan kiri itu keluar sinar
merah memanjang tanpa putus.
Sinar merah itu tiba-tiba dihantam dengan sinar hijau dari atas bukit cadas.
Slaaap...! Blegaaarrr...!
Perpaduan kedua sinar itu menimbulkan ledakan cukup dahsyat. Tanah di sekitar
mereka bergetar, demikian pula pepohonan yang tumbuh di sekeliling tempat itu"
Sinar hijau tadi membuat Peluh Setanggi terperanjat dan segera memandang ke atas
bukit. Ternyata sinar hijau itu datang dari sentakan kedua ujung jari Merpati Liar.
Melihat seorang perempuan berpakaian ketat warna biru berdiri di atas bukit
cadas, hati Peluh Setanggi menjadi berang, ia berseru dari tempatnya berdiri.
"Setan kurap! Turun kau kalau memang...." Slaap, jleeg...!
Belum habis ucapan itu, tiba-tiba Merpati Liar sudah berada di samping Peluh
Setanggi. Dalam hatinya Peluh Setanggi merasa kaget melihat kecepatan gerak
lawan barunya itu. Kata-kata tadi tak jadi diteruskan, dan ia segera memandang
dengan penuh curiga, ia merasa asing karena belum pernah bertemu dengan Merpati
Liar. "Siapa kau, Setan kurap"! Apa maksudmu mematahkan pukulan sinar merahku tadi,
hah"!" Peluh Setanggi menghardik lebih dulu agar tak kalah nyali.
Merpati Liar memandang dengan tajam. Bicaranya pelan, namun jelas didengar oleh
Peluh Setanggi. Nada bicara itu sangat dingin, terasa seperti menembus sampai


Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke dalam tulang.
"Kau pencuri pusaka Panji-panji Mayat itu! Kau harus bertanggung jawab
menghadapiku, Gadis dungu!"
"Kutanya siapa dirimu"! Jawab!" bentak Peluh Setanggi semakin menampakkan
keberaniannya. "Tanyakan kepada tuanmu, siapa si Merpati Liar itu!
Kucing Hutan mengenalku dan ia akan lari terbirit-birit jika melihatku!"
"Merpati Liar..."!" gumam Peluh Setanggi dalam hatinya, ia mencoba mengingat-
ingat nama itu, dan ia merasa pernah mendengar nama tersebut disebutkan oleh Nyi
Mas Gandrung Arum, ketika ia masih menjadi murid Biara Ungu.
Sementara itu, Suto Sinting sedang sibuk mengobati luka Putik Linang dengan
tuaknya. Tuak itu berhasil diminumkan ke mulut Putik Unang. Senjata berupa
sekeping logam mengkilat berhasil dicabut dari tubuh Putik Linang. Lukanya yang
berlubang menutup sendiri secara perlahan-lahan dengan menimbulkan asap tipis
dibarengi gerakan kulit yang mengatup. Rasa sakit Putik Linang mulai berkurang,
makin lama makin tidak terasa lagi. Ia pun segera sadar siapa penolongnya saat
itu. "Pendekar Mabuk..."!"
"Jangan bergerak dulu, biarkan lukamu kering betul baru bergerak lagi."
"Tapi... tapi aku harus menangkap Peluh Setanggi dalam keadaan hidup ataupun
mati." "Seorang sahabatku sedang menanganinya. Diamlah dulu di sini."
Pandangan mata si tampan segera diarahkan ke pertemuan Peluh Setanggi dengan
Merpati Uar. Tampaknya Peluh Setanggi bernafsu sekali ingin tumbangkan Merpati Liar, karena
ia benci kepada orang yang memihak Biara Ungu. Merpati Liar dianggap memihak
Biara Ungu, karenanya ingin sekali dihancurkan bersama sisa dendamnya kepada
Putik Linang. Namun baru saja Peluh Setanggi ingin bergerak, tiba-tiba ia terlempar ke samping
dengan keras. Wuuuss...!
Brruuk...! "Haaahg...!"
Satu sentakan kepala Merpati Liar membuat pandangan matanya mampu melemparkan
tubuh Peluh Setanggi. Mantan murid Biara Ungu itu membentur dinding bukit cadas
yang nyaris tegak lurus itu. Ia jatuh terpuruk sesaat, dan segera berusaha
bangkit dengan kerahkan tenaganya.
Tetapi agaknya Merpati Liar tak mau beri
kesempatan kepada lawannya untuk lakukan
pembalasan. Pandangan matanya yang tajam menyentak ke atas dan membuat tubuh
Peluh Setanggi melambung tinggi, lalu dalam keadaan melambung di udara, Merpati
Liar menggunakan kekuatan pandangan matanya untuk melemparkan tubuh itu ke
samping. Seett...!
Weess...! Brrukk...!
Tubuh gadis berkutang hijau itu membentur pohon.
Suara pekikannya tak terdengar lagi, karena yang menghantam pohon bagian
dadanya. Pernapasan pun
menjadi sesak. Benturan itu sempat membuat pohon jati tersebut bergetar cukup
hebat sehingga menimbulkan suara gemerusuk gaduh.
Baru saja tubuh Peluh Setanggi jatuh dari ketinggian, tiba-tiba melayang lagi
dengan cepat dan menghantam dinding cadas. Brruusss...!
Jatuh lagi ke tanah, tahu-tahu sudah terlempar lagi menghantam pohon lebih besar
dari yang tadi. Wuuutt...!
Brrukk...! Jatuh lagi, terlempar lagi menghantam dinding cadas. Brruus...!
Merpati Liar hanya menggerakkan kepalanya ke kanan atau ke kiri, atau pula ke
atas dan ke bawah.
Tubuh Peluh Setanggi terbanting-banting bagai dibuat mainan lawannya. Darah
mengucur dari hidung, mulut, dan bahkan kepalanya sempat bocor. Dadanya memar
membiru serta tulang punggungnya terasa patah.
Akhirnya Peluh Setanggi tak mampu berdiri lagi.
Bahkan mengeluarkan keluh dan erangan nyaris tak kuasa.
"Serahkan pusaka itu atau nyawamu akan hilang sekarang juga"!" hardik Merpati
Liar kepada lawannya.
Peluh Setanggi hanya diam terkulai dengan menyeringai kesakitan.
Mata perempuan berpakaian ketat itu sudah memandang batu besar di atas bukit
cadas itu. Batu tersebut mulai bergerak-gerak ingin menggelinding. Jika batu itu
berhasil menggelinding dan jatuh ke bawah bukit, maka tubuh Peluh Setanggi akan
hancur kejatuhan batu tersebut. Kekuatan mata Merpati Liar agaknya
cukup mampu menggelindingkan batu sebesar gardu ronda itu.
"Katakan di mana kau simpan pusaka itu!" sentak Merpati Liar sambil tetap
pandangi batu tersebut siap-siap untuk dijatuhkan dari atas bukit.
Pada saat setegang itu, tiba-tiba sekelebat bayangan tmelintas cepat menerjang
Merpati Liar. Wuuut...!
Craass...! "Aaahg...!" Merpati Liar terpekik dan segera limbung. Punggungnya koyak bagai
ingin terbelah menjadi dua bagian. Seseorang telah menebaskan pedangnya dan
tepat kenai punggung Merpati Liar.
Pendekar Mabuk yang sengaja tidak ingin turut campur menghajar Peluh Setanggi,
menjadi terbelalak kaget melihat Merpati Liar terluka sebegitu parah. Lebih
terkejut lagi setelah ia tahu siapa orang yang telah menebaskan pedangnya ke
punggung Merpati Liar itu.
"Darah Prabu...".'" ucapnya lirih penuh keheranan yang amat besar.
Rupanya Darah Prabu sudah berhasil melumpuhkan Buih Dewani dan Kuncup Nirwan.
Kedua adik kembar Peluh Setanggi itu ditinggalkan di pantai, ia menyusul
kekasihnya yang sedang menuju ke sebuah bukit, tempat asmara mereka bertemu yang
pertama kali. Tapi di perjalanan ia melihat Peluh Setanggi dibuat babak belur
oleh seorang lawan. Maka ia pun murka dan menerjang Merpati Liar dengan
pedangnya. "Setanggi..."! Setanggi..., aku datang!" seru Darah Prabu sambil mendekap Peluh
Setanggi yang sudah tak
bisa bersuara lagi itu.
Merpati Liar mengerang lirih dalam keadaan tertelungkup di tanah. .Pendekar
Mabuk segera muncul di samping Merpati Liar. Pandangan matanya tertuju tajam
kepada Darah Prabu.
"Suto..."!" Darah Prabu heran melihat Suto Sinting tampaknya berpihak kepada
Merpati Uar. "Mengapa kau lakukan kekejaman ini, Darah Prabu"!"
"Dia... dia ingin membunuh kekasihku!"
Dahi Pendekar Mabuk kian berkerut tajam. "Siapa kekasihmu yang kau maksud itu?"
"Peluh Setanggi...!" sambil Darah Prabu memeluk Peluh Setanggi penuh kecemasan.
Pedangnya sudah dimasukkan ke dalam sarungnya.
"Darah Prabu, apakah kau tak salah lihat"! Peluh Setanggi adalah gadis
buronanmu! Mengapa sekarang kau anggap sebagai kekasihmu"!"
"Karena... karena aku mencintainya dan dia mencintaiku!"
"Gila...!" geram Pendekar Mabuk sambil tetap memandang tajam kepada Darah Prabu.
Putik Linang muncul juga dalam keadaan sehat. Tapi ia ragu-ragu ingin menyerang
Darah Prabu, sebab ia tahu Darah Prabu adalah murid Resi Badranaya yang tak
boleh diganggu oleh para murid Nyi Mas Gandrung Arum. Akhirnya Putik Linang
hanya diam terpaku, tak tahu apa yang harus diperbuat.
Darah Prabu merasa malu dipandangi Suto Sinting
dengan sikap mencibir perasaan cintanya kepada Peluh Setanggi. Akhirnya, ia
putuskan untuk membawa pergi Peluh Setanggi dan mengobatinya di tempat yang
aman. "Akan kujelaskan di lain kesempatan, Suto!" ujarnya, lalu melesat pergi sambil
membawa Peluh Setanggi.
Putik Linang bergegas mengejar, tapi Suto Sinting segera mencegah dengan sebuah
seruan, "Jangan kejar dia.... "
"Tapi... tapi dia membawa lari Peluh Setanggi yang seharusnya kutangkap dan
kuserahkan kepada Guru!"
"Dia bersama Darah Prabu. Jika kau berurusan dengan Darah Prabu, berarti kau
akan mengadu domba Nyi Mas Gandrung Arum dengan Resi Badranaya, adik gurumu
itu!" Putik Linang menjadi salah tingkah sendiri. Pendekar Mabuk tidak hiraukan sikap
salah tingkahnya Putik Linang. Perhatiannya tertuju pada Merpati Liar yang
sedang sekarat, ia buru-buru menuangkan tuak ke mulut Merpati Liar dengan
bantuan Putik Linang. Tuak tersebut berhasil tertelan oleh Merpati Liar sedikit
demi sedikit. Lama-lama luka koyak memanjang dan dalam itu mengering dan
mengatup secara ajaib. Menjelang senja nyaris berganti petang, Merpati Liar
telah sehat kembali bagai tak pernah mengalami luka apa pun.
"Ke mana larinya si gadis bodoh itu"!"
"Ke barat bersama Darah Prabu!" jawab Putik Linang.
"Aku akan mengejarnya ke sana! Jika perlu pemuda yang melukaiku itu pun akan
kuhancurkan!"
"Jangan gegabah, Merpati! Darah Prabu itu muridnya Resi Badranaya!" ujar
Pendekar Mabuk mengingatkan.
"Tak peduli murid siapa dia, jika berpihak pada pencuri pusaka Panji-panji Mayat
akan kuhabisi nyawanya!"
Slaap...! Merpati Liar pun lenyap bagai ditelan bumi, padahal ia bergerak menuju
ke barat. Pendekar Mabuk sempat geleng-geleng kepala dan bergumam lirih,
"Keras kepala sekali dia!"
Putik Linang segera berkata, "Apa yang harus kita perbuat jika begini?"
"Pulanglah ke Biara Ungu, kabarkan kepada Nyi Mas Gandrung Arum bahwa Peluh
Setanggi sedang menjadi bahan buronan Merpati Liar. Pihaknya tak perlu ikut
memburunya! Aku sendiri akan mengejar mereka sekarang juga!"
Agaknya tak ada pilihan lain bagi Putik Linang kecuali mengikuti saran Pendekar
Mabuk, setelah pemuda tampan itu berkelebat ke arah barat.
* * * 6 PADA waktu pertarungan Merpati Liar dengan Peluh Setanggi, ternyata Hantu Laut
ada di balik semak-semak tak jauh dari tempat itu. Ia menyaksikan sendiri
kehebatan Merpati Liar saat menghajar Peluh Setanggi, sampai kemunculan Darah
Prabu dengan menyabetkan
pedangnya, ia mendengar percakapan Darah Prabu dengan Pendekar Mabuk, walaupun
ada sebagian yang tak begitu jelas karena gangguan di telinganya.
Maka ketika Darah Prabu membawa lari Peluh Setanggi ke arah persembunyian Hantu
Laut, orang tanpa baju itu segera muncul menghadang dengan satu lompatan yang
mengejutkan Darah Prabu.
Dengan masih menyangga tubuh Peluh Setanggi memakai kedua tangannya, Darah Prabu
memandang tajam ke arah Hantu Laut. Ia merasa tak mengenal siapa orang yang
menghadangnya, sehingga dengan suara menghardik ia pun berkata,
"Siapa kau, Setan gundul"! Mengapa menghalangi langkahku"!"
"Aku ada di pihak Pendekar Mabuk dan Merpati Liar.
Lepaskan gadis itu!" Hantu Laut berkata tegas. Senjata yoyo sudah ada di
genggaman tangannya.
"Kau boleh ambil gadis ini jika kau mampu membuatku menjadi bangkai!"
"Mau dibuat menjadi tangkai apa"! Tangkai sapu atau tangkai gayung"!" kata Hantu
Laut salah dengar. Ucapan
'bangkai' didengarnya 'tangkai', dan hal itu membuat Darah Prabu berkerut dahi
merasa tak paham maksud ucapan lawannya.
Merasa buang-buang waktu menghadapi orang yang sukar dipahami bicaranya itu,
Darah Prabu segera hindari Hantu Laut dengan membawa lari Peluh Setanggi ke arah
lain. Weess...! Tapi Hantu Laut segera mengejar dengan satu lompatan dan
melepaskan pukulan
tenaga dalam dari tangan kirinya. Wuuukk...! Beeehg...!
"Aaahg...!" tenaga dalam tanpa sinar itu kenai punggung Darah Prabu. Pemuda itu
terjungkal dan Peluh Setanggi terlepas dari tangannya.
Hantu Laut maju menyerang dengan menendangkan kakinya ke arah kepala Darah Prabu
yang baru saja mau bangkit berdiri itu. Tetapi tendangan tersebut dapat
ditangkis dengan lengan kiri Darah Prabu. Plaak...! Dan sebuah pukulan bertenaga
dalam jarak jauh dilepaskan menggunakan tangan kanannya. Wuuutt...! Claapp...!
Sinar kuning lurus mengenai lambung Hantu Laut.
Zzeeb...! "Aaauaahk...!"
Hantu Laut terdorong ke belakang dengan terhuyung-huyung sejauh enam langkah.
Tubuhnya terbungkuk-bungkuk dan seketika itu darah segar tersontak keluar dari
mulutnya. Kepalanya terasa pening, urat-uratnya menjadi seperti putus semua.
Akhirnya ia tumbang ke bumi bagai beduk jatuh dari pohon. Bluuuhg...! Ia
terkulai tak mempunyai kekuatan lagi. Matanya terbeliak-beliak dengan mulut
ternganga, napasnya tersentak-sentak bagai terhambat di tenggorokan.
Darah Prabu tak mau peduli lagi dengan lawannya.
Yang dipikirkan adalah membawa Peluh Setanggi ke tempat aman untuk mengobati
luka-luka sebelum terkejar oleh Pendekar Mabuk. Maka serta merta tubuh Peluh
Setanggi yang babak belur dan dalam keadaan mencemaskan itu diangkat dan dibawa
lari lagi. Kali ini ia menggunakan peringan tubuhnya yang tertinggi,
sehingga dapat berlari menerabas semak belukar dengan mudahnya.
Merpati Liar tiba di tempat itu dan terkejut melihat keadaan Hantu Laut yang tak
berdaya lagi itu. Ia mencoba mengajak bicara Hantu Laut dengan merendahkan
badan, "Siapa yang melakukannya"!"
"Tid... tidak ada yang me... menakutkan."
"Siapa yang melakukannya"!" ulang Merpati Liar dengan suara lebih keras lagi,
karena Hantu Laut tadi salah dengar.
"Dda... Darah... Darah Prabu!"
"Jahanam!" geram Merpati Liar. "Ke mana arah larinya?"
Sebelum Hantu Laut menjawab, Suto Sinting sudah tiba di tempat itu dan segera
lakukan pertolongan dengan tuaknya. Kedatangan Suto Sinting belum terlambat,
seandainya terlambat, maka Hantu Laut akan kehilangan nyawa karena semakin lama
ia merasa semakin sukar bernapas. Tapi berkat meminum tuak saktinya Pendekar
Mabuk, luka dalam yang berbahaya itu dapat teratasi.
Hantu Laut dapat bicara dengan lancar lagi. Ia menjelaskan arah pelarian Darah
Prabu. Namun ketika mereka hendak bergerak mengejar Darah Prabu kembali, tiba-
tiba sebuah suara memanggil Pendekar Mabuk di kejauhan sana.
"Sutooo...! Sutooo...!"
Semua mata memandang ke arah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun yang
berlari-lari ke arah
mereka. Merpati Liar kerutkan dahi dan bertanya kepada Pendekar Mabuk,
"Siapa orang itu?"
"Kelihatannya seperti Kadal Ginting, pelayannya Resi Pakar Pantun," jawab Suto
Sinting dengan mengecilkan mata untuk dapat melihat lebih jelas lagi.
Ternyata memang benar, Kadal Ginting yang mengikuti pelarian Darah Prabu sejak
dari pantai, akhirnya tiba di tempat itu dan bertemu dengan Pendekar Mabuk.
Dengan napas terengah-engah, Kadal Ginting mulai menceritakan apa yang
dilihatnya secara sembunyi-sembunyi tentang Darah Prabu dan Peluh Setanggi.
"Gadis itu tak ada puasnya, mengajak lagi, mengajak lagi, dan Darah Prabu
sendiri tak ada capeknya. Aku sendiri yang mengintip perbuatan itu merasa capek,
tapi mereka bagai tak kenal lelah sedikit pun," tutur Kadal Ginting dengan
berapi-api. Merpati Liar palingkan wajah, memandang ke arah pelarian Darah Prabu, ia merasa
malu mendengar cerita Kadal Ginting di depan Pendekar Mabuk. Apalagi Kadal
Ginting menceritakannya sambil sesekali menirukan gerakan Darah Prabu dan Peluh
Setanggi, bagi Merpati Liar hai itu cukup memalukan sebab di situ hanya dia
seorang yang sebagai perempuan.
"Lalu, bagaimana dengan dua adik kembarnya Peluh Setanggi itu?" tanya Suto
Sinting kepada pelayan Resi Pakar Pantun.
"Mereka terkapar di pantai, entah mati atau hanya
pingsan, aku tak berani memeriksanya."
Pendekar Mabuk segera memandang Merpati Liar dan berkata, "Kelihatannya mereka
saling lepaskan aji pemikat, sehingga keduanya saling jatuh cinta tanpa sadar
siapa orang yang mereka cintai."
"Persetan! Itu urusan mereka," ujar Merpati Liar dengan sifatnya yang agak kasar
dan selalu ketus itu.
"Yang kupikirkan adalah pusaka itu. Peluh Setanggi harus serahkan kembali pusaka
Panji-panji Mayat kepada orang yang berhak memilikinya!"
"Nah, tentang Panji-panji Mayat aku punya cerita sendiri...!" sahut Kadal
Ginting dengan sikap bangga.
Kemudian ia menceritakan apa yang didengar dari percakapan Peluh Setanggi
bersama kedua adik kembarnya, mengenai pusaka Panji-panji Mayat yang ternyata
palsu itu. Merpati Liar dan Suto Sinting terkejut.
"Palsu..."!" gumam Pendekar Mabuk dengan dahi berkerut tajam dan sedikit
melongo.

Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hantu Laut menimpali, "Siapa yang bisu"!"
"Palsu! Bukan bisu!" sentak Kadal Ginting.
Pendekar Mabuk bicara mirip orang menggumam,
"Jika pusaka itu palsu, lantas mengapa Resi Badranaya mengutus muridnya memburu
Peluh Setanggi"!"
Merpati Liar menjawab, "Mungkin Resi Badranaya sendiri tak tahu kalau pusaka itu
palsu?" "Jika benar begitu, lantas di mana pusaka yang asli"!"
Kadal Ginting ikut bicara, "Mungkin memang benar, pusaka itu ditukar dengan yang
palsu oleh Peluh
Setanggi sebelum diserahkan kepada Kucing Hutan."
Pendekar Mabuk dan Merpati Liar saling pandang dalam renungannya. Kejap
berikutnya Merpati Liar tarik napas dalam-dalam, setelah itu baru berkata
seperti ditujukan pada dirinya sendiri,
"Untuk mendapatkan kepastian, Peluh Setanggi harus berhasil kutangkap dan
kupaksa bicara dengan caraku sendiri!"
Merpati Liar bergerak lebih dulu tanpa memberi perintah kepada siapa pun.
Pendekar Mabuk akhirnya mengikuti gerakan perempuan tersebut menuju ke arah
pelarian Darah Prabu. Hantu Laut dan Kadal Ginting mengikutinya dengan susah
payah, mereka tertinggal jauh. Apalagi hari menjadi petang, mereka sulit
menemukan arah gerakan Pendekar Mabuk dan Merpati Liar.
Pengejaran itu membawa mereka ke sebuah desa. Di desa itu ada kedai yang lumayan
besar dengan pengunjung cukup ramai. Pendekar Mabuk mengajukan gagasan kepada
Merpati Liar untuk singgah di desa itu dan meneruskan pengejaran esok paginya.
"Malam-malam begini tak mungkin kita bisa temukan arah pelarian mereka,
Merpati!" Gagasan itu dapat diterima Merpati Liar karena beralasan dan masuk akal.
Kesempatan singgah di kedai digunakan Suto Sinting untuk mengisi bumbung tuaknya
yang tinggal beberapa teguk lagi itu. Jika bumbung berisi tuak penuh, hati
Pendekar Mabuk merasa lega, seakan ke mana pun ia pergi tak mempunyai kecemasan
sedikit pun. "Bagaimana dengan Hantu Laut dan Kadal Ginting"
Apakah mereka tahu kita ada di sini?" tanya Merpati Liar setelah sampai beberapa
saat mereka berada di kedai, tapi Hantu Laut dan Kadal Ginting belum muncul
juga. "Hantu Laut sudah terbiasa mencari jejakku, mereka pasti akan menemukan kita,"
kata Suto Sinting sambil pandangi orang-orang di dalam kedai itu. Tak satu pun
wajah yang dikenalnya, sebab memang desa itu baru pertama kali disinggahi
olehnya. Dengan menyewa sebuah kamar, mereka bermalam di desa tersebut. Tentu saja
Merpati Liar tak mau tidur seranjang dengan Pendekar Mabuk. Hati kecil bisa
menerima, tapi akal sehatnya menolak, sebab ia tak mau jatuh harga dirinya
dengan menerima kehadiran lelaki di ranjangnya. Mau tak mau Pendekar Mabuk tidur
di lantai dengan menggelar tikar pandan.
"Selama ini aku tak pernah mendengar namamu disebut-sebut dalam dunia
persilatan," kata Suto Sinting sambil merebahkan badan. "Mengapa sampai terjadi
begitu, Merpati?"
"Aku sedang pelajari suatu ilmu warisan Nyai Guru yang sampai sekarang belum
bisa kurampungkan,"
jawab Merpati Liar sambil berbaring telentang di ranjangnya, ia bagaikan bicara
dengan langit-langit kamar.
"Ilmu apa yang kau peiajari itu?"
Merpati Liar tak langsung menjawab, ia mempunyai
pertimbangan sendiri. Agaknya ia merahasiakan ilmu tersebut, tak ingin diketahui
oleh orang lain sebelum berhasil dipelajari. Karenanya ia pun segera memiringkan
badannya, memandang ke bawah dan di bawah tampak wajah Suto Sinting telentang
dengan lengan di dahi.
"Aku sedang mempelajari ilmu pemikat," jawabnya tampak tidak bersungguh-sungguh,
membuat Pendekar Mabuk memandang sambil sunggingkan senyum menawan. Desir di
hati Merpati Liar membuat batin mengeluh, seakan tak mau menerima desiran indah
setiap memandang senyuman Suto Itu.
"Siapa yang ingin kau pikat?" tanya Pendekar Mabuk memancing canda, mengendurkan
ketegangannya dalam mengejar gadis buronan itu.
"Siapa saja orangnya yang mau kupikat akan kupikat dengan ilmu itu. Termasuk
kau!" Senyum pendekar tampan itu kian melebar. Kini Merpati Liar mulai sunggingkan
senyum tipis yang amat menarik dan menambah kecantikannya. Mereka saling pandang
dengan tatapan mata lembut. Lalu, Pendekar Mabuk memancing sikap perempuan
cantik itu, "Aku bersedia kau pikat. Pikatlah aku dengan ilmumu itu!"
Senyum Merpati Liar kian lebar. Bunga-bunga indah mekar di hatinya. Namun
agaknya ia tak mau menuruti irama indah dalam hati, sehingga dengan mengubah
tidurnya menjadi telentang kembali, Merpati Liar sempat ucapkan kata yang
memancing tawa lirih di bibir Suto
Sinting. "Nanti saja, kalau gadis buronan itu sudah berhasil kutangkap dan pusaka Panji-
panji Mayat berhasil kukembalikan kepada yang berhak, kau akan kujerat dengan
ilmu pemikatku!"
Agaknya Merpati Liar sangat patuh kepada wasiat gurunya. Perhatiannya tercurah
pada tugasnya menjaga agar jangan sampai pusaka Panji-panji Mayat jatuh ke
tangan orang yang bukan keturunan dari Nyai Parisupit.
Terlebih jangan sampai pusaka itu jatuh ke tangan tokoh aliran hitam. Sebab
itulah, Merpati Liar menjadi berang saat mendengar kabar pusaka Panji-panji
Mayat dicuri Peluh Setanggi, ia sendiri tak tahu kalau peristiwa ini akan
mempertemukan dirinya dengan Pendekar Mabuk yang memiliki wajah tampan dan
senyum menawan itu.
Sekalipun demikian dekat dengan si pendekar tampan, namun urusan pribadinya
masih mampu dikesampingkan, dan ia lebih mengutamakan tugas yang diberikan oleh mendiang
gurunya ketika sang Guru masih hidup.
Begitu matahari mulai menampakkan suryanya, Merpati Liar bergegas meninggalkan
kedai itu. Pendekar Mabuk masih terasa mengantuk, tapi karena perempuan itu
nekat akan pergi meneruskan pengejarannya walaupun tanpa Suto Sinting, mau tak
mau murid si Gila Tuak menghapus rasa kantuknya dengan meneguk tuak di ujung
pagi. Mereka bergerak mengikuti naluri Merpati Liar, arah utara menjadi sasaran
pengejarannya. Perempuan itu seakan punya keyakinan bahwa di arah
utara nanti ia akan dapat bertemu dengan Darah Prabu dan Peluh Setanggi.
Merpati Liar mempunyai firasat yang cukup tajam.
Kenyataannya Darah Prabu dan Peluh Setanggi memang bergerak ke arah utara.
Semalaman mereka tinggal di dalam gua, dan di gua itulah Darah Prabu melakukan
penyembuhan terhadap diri Peluh Setanggi dengan cara menyalurkan pernapasan
murni yang dapat membentuk hawa sakti di dalam tubuh Peluh Setanggi. Hawa sakti
itulah yang membuat rasa sakit Peluh Setanggi lenyap, luka-lukanya mengering
walau tak bisa hilang seperti menelan tuak Suto. Tetapi tenaga Peluh Setanggi
berhasil pulih kembali. Buktinya mereka sempat bercinta satu kali di dalam gua
tersebut "Kita menghadap guru saja, dan minta dinikahkan secara resmi!" usul Darah Prabu
yang benar-benar telah tertawan hatinya oleh nikmatnya bercumbu bersama Peluh
Setanggi Itu. "Apakah gurumu mau menikahkan kita, karena...
karena kurasa gurumu tahu siapa diriku."
"Guru pasti mau menuruti permintaanku, karena beliau tak punya murid lain
kecuali aku sendiri."
"Bagaimana jika gurumu menolak?"
"Aku akan tinggalkan dia dan kita menikah di tempat lain. Aku kenal seorang
pendeta aliran putih yang menganggapku seperti anak sendiri. Kita bisa minta
bantuannya untuk menikahkan kita, supaya kelak jika kau melahirkan bayi maka
bayi kita bukan bayi setan."
"Terserah padamu, apa saja yang ingin kau lakukan
aku akan selalu setuju, asal jangan kau tinggalkan diriku walau sekejap pun,
Prabu." "Meninggalkan kau sama saja meninggalkan nyawaku, Setanggi."
Kebulatan tekad itulah yang membawa mereka ke arah utara, karena di sana ada
sebuah gunung yang bernama Gunung Wakas. Di pundak Gunung Wakas itulah sang Resi
Badranaya membangun pertapaan, dan pertapaan itu akhirnya menjadi padepokan
untuk melatih ilmu kanuragan bagi murid tunggalnya; Darah Prabu.
Perjalanan mereka ke Gunung Wakas tak bisa mulus, apalagi Darah Prabu membawa
gadis buronan yang diburu oleh berbagai pihak, tentu saja cukup banyak
perintangnya. Seberkas sinar hijau sebesar buah kelapa melesat dari suatu kerimbunan semak.
Sinar hijau itu mengarah kepada Peluh Setanggi. Tetapi dengan cekatan Darah
Prabu menyambar tubuh gadis buronan dan
membawanya terbang sejauh delapan langkah.
Wuuss...! Jegaarrr...!
Sinar hijau menghantam tanah, dan tanah itu menjadi retak selebar dua langkah
panjangnya sekitar sepuluh tombak. Asap mengepul dari keretakan tanah tersebut.
* * * 7 SIAPA orang yang menyerang kita"!" bisik Peluh
Setanggi setelah turun dari topangan tangan Darah Prabu. Matanya memandang ke
sekeliling dengan jeli.
Darah Prabu bersiap lindungi gadis buronan itu dengan berdiri di depan Peluh
Setanggi. Tiba-tiba sebatang anak panah melesat dengan memancarkan cahaya merah bara.
Weeess...! "Awas...!" seru Darah Prabu mengingatkan Peluh Setanggi, karena anak panah itu
datang dari arah samping mereka. Keduanya saling melompat berbeda arah. Wuut,
wuut...! Anak panah yang menyala bagai besi membara itu melesat ke tempat
kosong, lalu menghantam sebuah pohon. Deeebb...!
Weess...! Anak panah itu membalik arah dengan sendirinya, sasarannya menuju kepada Peluh
Setanggi. Melihat Peluh Setanggi terancam bahaya, Darah Prabu segera lepaskan
pukulan bersinar biru dari telapak tangan kirinya. Claapp...! Sinar biru itu
menghantam anak panah yang menuju Peluh Setanggi.
Blegaarr...! Ledakan menggelegar terjadi bersamaan dengan hancurnya anak panah yang
memercikkan bunga api ke mana-mana itu. Ledakan itu menyentakkan tubuh Peluh
Setanggi hingga terlempar ke belakang dan berguling-guling tujuh langkah
jauhnya. Sedangkan Darah Prabu yang berada dalam jarak cukup jauh dari ledakan
tadi hanya terdorong ke belakang dua tindak.
Ia segera melesat hampiri kekasihnya yang terpuruk di bawah sebatang pohon.
Weess...! Dalam sekejap
sudah berada di samping Peluh Setanggi dan matanya memandang ke sana-sini dengan
tajam. "Setanggi, kau terluka"!"
"Tidak, Prabu. Aku tidak apa-apa!" Peluh Setanggi segera bangkit dan menarik
napas dalam-dalam. Darah Prabu memeriksanya sebentar, ia segera memeluk lega
kepada gadis buronannya yang telah menjadi kekasihnya itu.
"Syukurlah, kau tak terluka apa pun!"
Namun pada saat mereka berpelukan, sebatang anak panah meluncur lagi dari balik
kerimbunan semak yang sama. Sasaran anak panah itu adalah punggung Darah Prabu
yang sedang memeluk Peluh Setanggi.
Melihat kedatangan anak panah yang memercik-mercikkan sinar biru petir itu,
Peluh Setanggi segera memeluk erat pemuda itu. Kakinya menghentak ke tanah dan
tubuh mereka melesat ke atas dalam keadaan tetap berpelukan. Wuuuttt...!
Anak panah itu tiba-tiba memecah menjadi empat bagian, masing-masing ke arah
kanan, kiri, atas, bawah.
Cahaya biru petir masih menyertai tiap anak panah tersebut.
Tubuh mereka yang melambung ke atas kini telah saling terpisah dan sama-sama
hinggap di atas sebuah dahan berbeda pohon. Wut, wut...! Jleg, jleg...!
Anak panah yang menuju ke atas mengarah kepada Darah Prabu. Peluh Setanggi
segera lepaskan pukulan dari tempatnya dengan sentakan kedua jarinya yang
memancarkan selarik sinar merah. Slaapp...!
Sinar merah tanpa putus itu menghantam anak panah yang mengarah kepada Darah
Prabu. Taaarrr...!
Letupan kecil terdengar namun justru membuat Darah Prabu dan Peluh Setanggi
terbelalak kaget, karena anak panah yang meletup akibat dihantam sinar merah
tadi pecah menjadi delapan bagian. Tiap bagian membentuk anak panah kecil yang
masih memancarkan kilatan sinar biru petir. Kedelapan anak panah melaju cepat ke
arah Darah Prabu.
"Lari, Prabu...!" teriak Peluh Setanggi dengan tegang.
Darah Prabu pun segera sentakkan kaki dan tubuhnya bagaikan terbang berpindah
pohon. Wuuusss...!
Delapan anak panah kecil itu akhirnya menghantam batang pohon tempat berdirinya
Darah Prabu semula.
Jegaarr...! Blaaarr...! Blegaaarr...!
Ledakan yang timbul sungguh dahsyat, mengguncang beberapa pohon di sekitar
tempat itu. Bahkan dua pohon tua ada yang tumbang dengan akar terangkat ke atas,
tanahnya menyebar ke mana-mana. Pohon yang terkena delapan anak panah kecil-
kecil itu menjadi serpihan kayu yang tak bisa dikatakan lagi sebagai batang atau
ranting. Ledakan itu membuat Peluh Setanggi kehilangan keseimbangan dan tergelincir jatuh
dari dahan yang dipijaknya. Wuuutt...! Untung ia bisa menguasai keseimbangan
tubuh, sehingga ketika sampai di tanah kedua kakinya menapak dengan baik. Ia
sempat melihat tiga anak panah lainnya berbalik arah tanpa menyentuh apa pun,
lalu di pertengahan jalan ketiganya bergabung
menjadi satu dan melesat lurus kembali ke tempat datangnya tadi.
Wuk, wuk, wuk...! Darah Prabu melompat turun dengan bersalto tiga kali. Gerakan
itu dilakukan dengan cepat, sehingga dalam sekejap sudah berada di sisi Peluh
Setanggi lagi. "Setanggi, kau masih tak apa-apa?" tanyanya cemas.
"Tenang, Prabu! Akan kuhantam orang yang bersembunyi di balik gerumbulan semak
di seberang sana!" ujar Peluh Setanggi kemudian melepaskan pukulan jarak jauhnya
dengan menyentakkan tangan kiri yang keempat jarinya berdiri tegak merapat dan
mengarah lurus ke depan. Wuuutt...!
Slaaapp...! Segumpal sinar merah bagaikan bola api melayang cepat menghantam gerumbulan
semak di seberang sana.
Zrraakk...! Buummm...!
Blegaarr...! Dua pohon tumbang seketika dihantam bola api itu.
Semak-semak yang ada di bawah pohon tersebut buyarkan menjadi hangus, sehingga
tempat itu tampak terbuka terang. Tetapi tak ada orang di balik semak yang
terbakar hangus itu. Peluh Setanggi memandang penuh rasa kecewa yang menambah
kemarahannya. "Jahanam! Tak ada manusia di sana!" geramnya dengan kedua tangan menggenggam
kuat-kuat. "Pasti dia sudah berpindah tempat!" kata Darah Prabu.
"Memang...!" tiba-tiba sebuah suara menjawab tepat
di atas kepala mereka. Seseorang ada di atas pohon tempat mereka berdiri. Orang
itu segera lepaskan pukulan ke bawah bersinar merah lurus. Slaaap...!
"Prabu...!" sentak Peluh Setanggi karena arah sinar itu bagai ingin menembus
ubun-ubun Darah Prabu.
Dengan cepat Darah Prabu sentakkan telapak tangannya ke atas, kakinya berlutut
satu. Claapp...!
Sinar kuning melesat dari telapak tangan Darah Prabu dan menghadang kecepatan
gerak sinar merah dari atas.
Blegaarr...! Darah Prabu terpental dan berguling-guling, sedangkan orang yang ada di atas
pohon itu pun terpental hingga mematahkan sebatang dahan milik pohon sebelahnya.
Krraakk...! Brruukk...!
Peluh Setanggi melesat hampiri kekasihnya yang berusaha bangkit berdiri, ia
menolong bangkit dengan memegangi tangan Darah Prabu. Wajah Peluh Setanggi
tampak cemas melihat mulut pemuda itu mengeluarkan darah sedikit di tepian
bibirnya. "Kau terluka, Prabu"! Kau terluka" Ooh... Prabu...!"
"Tenang, tenang... aku hanya terluka sedikit. Tak apa, bisa kuatasi dengan napas
murniku!"

Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Atasilah dulu lukamu, aku akan melayani si keparat itu!"
Orang yang jatuh dari pohon itu ternyata mampu atasi diri sehingga tidak
mengalami luka dan sakit apa pun. Ia kini berdiri dengan kaki sedikit merenggang
menghadap ke arah Peluh Setanggi. Di tangannya menggenggam busur panah berhias
gading, tempat panahnya ada di
punggung diikat dengan tali kulit menyilang dada.
Pemanah itu adalah seorang perempuan cantik berhidung mancung dengan rambut
disanggul. Rupanya Peluh Setanggi mengenali wajah cantik yang seperti berusia tiga puluh
tahun itu, walaupun sebenarnya usianya sudah cukup banyak. Tak heran jika Peluh
Setanggi segera menyapa dengan kasar kepada perempuan berjubah biru iaut tanpa
lengan dan berkulit sawo matang itu.
"Keparat kau, Geladak Ayu!"
Dewi Geladak Ayu yang dikenal sebagai bajak laut wanita itu hanya sunggingkan
senyum tipis dan sinis, ia melangkah dua tindak dan berhenti dengan sikap
menantang penuh wibawa. Rupanya ia benar-benar berhasil mengatasi racun yang
nyaris mencelakakan nyawanya pada saat ia terkena lemparan pisau beracunnya si
Kucing Hutan. Ia berhasil lolos dari cengkeraman Kucing Hutan yang bermaksud
memaksanya untuk menyerahkan pusaka Panji-panji Mayat, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode:
"Misteri Bayangan Ungu"). Kucing Hutan tak ingat bahwa Dewi Geladak Ayu
mempunyai ilmu 'Napas Tolak Bala' yang mampu menawarkan racun dengan sendirinya
sebelum merenggut nyawanya.
Darah Prabu segera dekati Peluh Setanggi dan memandang ke arah Dewi Geladak Ayu.
Pada saat itu sebenarnya mereka diperhatikan oleh dua pasang mata yang mengintai
dari balik pohon seberang. Mereka yang ada di balik pohon itu adalah Pendekar
Mabuk dan Merpati Liar. Suara ledakan dahsyat tadi memancing arah pengejaran mereka ke tempat itu.
Merpati Liar ingin segera menyerang Peluh Setanggi ketika Peluh Setanggi jatuh
dari pohon. Tetapi gerakannya ditahan oleh Suto Sinting yang berkata dalam
bisik, "Kita lihat dulu siapa penyerang mereka dan bagaimana hasilnya! Ngirit tenaga!"
Merpati Liar akhirnya urungkan niat, ia menyimak ke arah pertarungan. Bahkan
sekarang ia merasa lebih baik di persembunyian daripada ikut terjun ke
pertarungan, sebab dengan berada di persembunyian ia bisa mendengar percakapan
mereka. Merpati Liar pun mengenal siapa Dewi Geladak Ayu itu, namun antara
dirinya dengan Dewi Geladak Ayu tidak pernah punya masalah apa-apa. Karenanya ia
berharap agar Dewi Geladak Ayu dapat lumpuhkan Peluh Setanggi dan Darah Prabu
yang mulai dibencinya karena memihak Peluh Setanggi.
"Mengapa kau menyerang kami, Geladak Ayu"!
Apakah kau sudah bosan hidup menjadi bajak laut"
Apakah kau ingin hidup sebagai bajak neraka"!"
"Tutup mulutmu, Peluh Setanggi!" bentak Dewi Geladak Ayu dengan pandangan mata
mulai buas. "Beberapa waktu yang lalu kapalku kau tenggelamkan bersama orang-orang Biara
Ungu, beberapa anak buahku kalian bantai seenak perut kalian sendiri! Sekarang
aku menuntut balas dan ingin hancurkan orang-orang Biara Ungu! Karena kau adalah
orang Biara Ungu, maka kau
pun wajib mati di tanganku!"
"Aku bukan orang Biara Ungu lagi!" sentak Peluh Setanggi dengan lantang. "Aku
sudah keluar dari perguruan keparat itu! Jangan libatkan aku lagi dengan urusan
Biara Ungu! Jika kau ingin menuntut kehancuran kapalmu, tuntutlah si pendeta
sesat itu!"
"Hmmm...," Dewi Geladak Ayu mencibir sinis. "Kau ingin cuci tangan begitu saja
karena takut menghadapi kesaktianku" Oh, tak bisa! Kau harus ikut mati seperti
halnya adik kembarmu; si Pedang Gunting!"
Peluh Setanggi terperanjat mendengar adik kembarnya yang bernama Pedang Gunting
telah dibunuh oleh Dewi Geladak Ayu. Rona wajahnya menjadi merah menandakan
kemarahannya mulai memuncak, ia pun menggeram dengan kedua mata mengecil
memancarkan dendam begitu dalam.
"Kalau begitu kau layak kuhancurkan sekarang juga, Geladak keparat!"
"Kau yang harus hancur, Peluh cabul! Hiaaah...!"
Dewi Geladak Ayu melambung ke atas, dari ujung busurnya keluarlah sinar biru
menghantam ke arah Peluh Setanggi. Slaaap...! Peluh Setanggi lompat ke kiri,
Darah Prabu lompat ke kanan. Tapi dari tangan mereka masing-masing lepaskan
pukulan jarak jauh yang berbahaya.
Peluh Setanggi lepaskan pukulan bersinar hijau patah-patah, sedangkan Darah
Prabu lepaskan pukulan kuning bergumpal-gumpal mirip kabut. Claap...!
Wuuurrss...! Blaaarr...! Sinar birunya Dewi Geladak Ayu
mengenai tanah tempat mereka berdiri semula.
Jegaarrr...! Blaaarrr...!
Kedua serangan lawannya ditangkis dengan kibasan busur yang mengeluarkan sinar
biru membentuk setengah lingkaran bagai melingkupi tubuhnya. Rupanya sinar biru
itu tidak bisa ditembus sinar tenaga dalam lawan, akibatnya meledak bersamaan
dan membuat Dewi Geladak Ayu terjengkang ke belakang tiga langkah jauhnya, ia
jatuh berguling satu kali, tapi tiba-tiba sudah bangkit berdiri dengan tegak
kembali. "Perempuan jalang!" sentak Darah Prabu. "Kalau kau ingin menghancurkan kekasihku
yang tercinta ini, kau harus berhadapan denganku dulu. Darah Prabu tak akan
izinkan siapa pun menyentuh bayangan Peluh Setanggi!"
sambil Darah Prabu menepuk dada.
"Hmmm...!" Dewi Geladak Ayu mencibir sinis.
"Ketampananmu belum seberapa dibanding ketampanan Pendekar Mabuk, Bocah ingusan!
Perempuan bodoh itu memang layak mendapatkan kekasih sepertimu, hanya kau saja
yang lebih bodoh sehingga mau menjadi kekasih pelacur murahan itu!"
"Jahanam! Berani menghina calon istriku kau, hah"!
Heiaaatt...!"
Darah Prabu marah, pedangnya dicabut dan ia melesat maju menerjang Dewi Geladak
Ayu. Pedangnya ditebaskan dengan cepat ke arah Dewi Geladak Ayu.
Tapi bajak laut wanita itu menangkisnya dengan busur yang dialiri tenaga dalam
hingga kekerasannya menyerupai baja.
Trang, trang, trang, weess...! Trang, beeehg...!
"Uuhg...!" Darah Prabu tersodok ujung busur pada ulu hatinya, ia tersentak
mundur dua langkah dengan sedikit membungkuk menahan rasa mual di perutnya.
"Prabu..."!" Peluh Setanggi tampak cemas melihat keadaan Darah Prabu, ia menjadi
semakin marah dan segera lakukan pembalasan kepada Dewi Geladak Ayu.
"Hiaaatt...!"
Sraaang...! Pedang dicabut dari sarungnya, Peluh Setanggi berkelebat dengan
gerakan pedang bagai melilit-lilit di tubuhnya. Tebasannya begitu cepat dan
kuat, sehingga ketika ditangkis dengan busur menimbulkan percikan sinar merah
beberapa kali. Trang, claap... trang, clap... trang, dap...!
"Aauh...!" Dewi Geladak Ayu memekik sambil palingkan wajah. Matanya terpejam
kuat-kuat karena kedua mata itu terkena percikan sinar merah dari perpaduan
pedang dengan busur, ia mencoba membuka mata dan memandang sekitarnya, namun
langkahnya menjadi gontai karena tak bisa berbuat apa-apa. Ia segera menyadari
dirinya telah menjadi buta.
"Bangsaaat...!" teriaknya murka. "Kau telah membuat mataku menjadi buta,
Keparat!" sambil mencoba meraba sekelilingnya, ia menemukan sebatang pohon dan
berpegangan pada batang pohon itu.
"Hik, hik, hik, hik...!" Peluh Setanggi tertawa kegirangan. "Sekarang kau adalah
bajak laut yang tuna netra, Geladak setan! Kau akan berlayar menuju lautan api,
tepatnya di kubangan besar yang bernama neraka.
Kukirim kau ke sana sekarang juga sebagai pembalasan atas kematian si Pedang
Gunting. Heeeaaah...!"
"Matilah si Geladak Ayu itu!" gumam Merpati Liar dengan wajah tegang.
Pada saat-saat menegangkan itu, tiba-tiba berkelebat seberkas sinar ungu
menerjang pedang Peluh Setanggi yang sudah terangkat siap ditebaskan dari atas
ke bawah itu. Slaapp...! Prraang...! Pedang itu pun buntung seketika karena
pecah menjadi kepingan-kepingan tak berguna.
"Siapa yang melakukannya"!" sergah Merpati Liar dengan mata melebar dan suara
membisik. Suto Sinting yang ikut terperangah itu segera ucapkan kata membisik
pula. "Pasti ada pihak lain yang lindungi Dewi Geladak Ayu!"
Bluub...! Segumpal asap muncul di depan Peluh Setanggi.
Kemunculan asap itu mengeluarkan gelombang tenaga dalam yang menyentak dan
membuat tubuh Peluh Setanggi terlempar ke belakang, langsung ditangkap oleh
Darah Prabu. Asap putih mengepul makin tinggi dan makin tipis, lalu tampaklah sosok seorang
lelaki tua berkepala gundul dengan brewok putih rata. Lelaki tua itu mengenakan
pakaian model biksu dengan warna kain kuning, mengenakan kalung tasbih batu
putih sebesar kelereng. Kemunculannya yang tiba-tiba menunjukkan kesaktian
ilmunya di atas Peluh Setanggi dan Darah
Prabu. Yang jelas, Darah Prabu terperanjat tegang melihat kemunculan tokoh tua itu. Ia
tak berani lakukan serangan balasan untuk membela Peluh Setanggi. Sementara itu,
Peluh Setanggi pun segera berwajah cemas begitu mengetahui siapa yang muncul di
depannya melindungi Dewi Geladak Ayu.
"Guru..."!" sapa Darah Prabu kemudian segera membungkuk memberi hormat.
"Siapa orang itu, Merpati?" tanya Suto Sinting.
"Resi Badranaya!" jawab Merpati Liar dengan mata tetap lurus ke arah
pertarungan. "Oooh... dia orangnya yang bernama Resi Badranaya" Baru sekarang aku
melihatnya," gumam Suto Sinting. Kemudian ia segera hentikan gumaman kareni Resi
Badranaya mulai bicara.
"Apa yang kau lakukan di sini, Darah Prabu"!"
tanyanya penuh wibawa.
"Hmmm... eh... kami... kami melawan Geladak Ayu, Guru," jawab Darah Prabu dengan
gugup. "Mengapa Guru melindungi bajak laut wanita, tokoh sesat itu?"
"Bukan bajak lautnya yang kulindungi, dan bukan kesesatannya yang kubela, tetapi
gadis buronanmu itu tidak boleh memakan korban lagi! Sudah waktunya dia yang
menjadi korban peristiwa pencurian pusaka itu!"
Darah Prabu melihat gurunya memusuhi Peluh Setanggi, ia segera berdiri di depan
Peluh Setanggi, melindungi kekasihnya dari murka sang Guru.
"Kuharap, Guru jangan murka kepadanya. Peluh
Setanggi telah menjadi kekasih saya, calon istri saya, Guru! Mohon Guru sudi
merestui pernikahan kami."
"Apa..."!" sentak Resi Badranaya dengan kaget.
"Malah mau kau nikahi"! Edan tujuh turunan kau ini, Prabu"!"
Suto Sinting tertawa terkikik-kikik mendengar ucapan Resi Badranaya. Mulutnya
segera dibekap dengan tangan Merpati Liar.
"Diam, tolol! Jangan sampai mereka tahu kita menyadap pembicaraan di sini!"
bisik Merpati Liar, dan Suto Sinting menghentikan tawanya. Tangan itu belum mau
dilepaskan dari mulut Suto Sinting. Dengan nakal Suto menggigit tangan Merpati
Liar. "Auh...!" sentak Merpati Liar dengan suara tertahan, ia segera melepaskan
tangannya dari mulut Suto Sinting.
"Bagaimana aku tak merasa geli, disuruh menangkap musuh malah minta dikawinkan"
Konyol itu namanya!"
Mereka kembali menyimak percakapan di seberang sana.
"Ada apa dengan dirimu, Muridku"! Kulihat noda merah pecah di keningmu. Hmmm...
kalau tak salah dugaanku, kau telah terkena jurus pemikat aliran si Gandrung
Arum!" "Tidak... tidak, Guru. Saya tidak kena pikat, tapi memang mencintai Peluh
Setanggi. Kami saling mencintai, Guru. Mohon segera dinikahkan secara resmi!"
"Tidak!" sentak Resi Badranaya. Kemudian ia menuding muridnya dengan telunjuk,
dan dari telunjuknya itu melesat sinar putih perak bagai anak panah melesat dari
busurnya. Claaapp...! Deeebbb...!
Sinar itu menghantam kening Darah Prabu. Kepala pemuda tampan itu tersentak
mundur satu kali, tapi tak membuatnya tumbang atau celaka. Hanya saja, ia segera
terkejut dan seperti merasa heran terhadap keadaan sekelilingnya.
Suto Sinting berkata lirih, "Hei, lihat... Geladak Ayu melarikan diri dengan
gunakan mata batinnya!"
"Ssst...! Biarkan saja dia lari. Lihat, Darah Prabu menjadi seperti orang
linglung. Rupanya ia baru disadarkan oleh gurunya dari pengaruh ilmu pemikatnya
Peluh Setanggi!"
Darah Prabu memang seperti orang linglung, bahkan ia bertanya pada diri sendiri,
"Mengapa aku ada di sini"!
Lho... Guru" Oh, ampuni saya, Guru! Saya tidak tahu kalau Guru ada di depan
saya!" lalu ia membungkuk memberi hormat kepada Resi Badranaya.
"Prabu..."!" sapa Peluh Setanggi dengan cemas, ia masih dalam pengaruh jurus
pemikatnya Darah Prabu.
Dan ketika murid Resi Badranaya itu berpaling ke belakang, wajah sang murid
menjadi tegang.
"Hei, kau ada di sini, buronanku"!"
"Hmmm... iya, kita... kita memang selalu bersama, Prabu!"
"Keparat! Kau yang mencuri panji-panji itu, bukan"!
Hiaaat..."
Darah Prabu menerjang Peluh Setanggi tanpa rasa cinta lagi. Gadis itu terpental
karena tendangan keras
Darah Prabu. Brrus...!
"Aaauh...! Prabu, mengapa kau berubah sikap padaku"!" Peluh Setanggi ketakutan
menghadapi Darah Prabu yang berbalik sikap menjadi memusuhinya.
"Tangkap dia dan paksa untuk mengembalikan pusaka itu!" perintah Resi Badranaya.
Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di depan Darah Prabu. Wuuutt...!
Jleeg...! Suto Sinting terpekik kaget dengan suara membisik.
"Kucing Hutan..."! Itu dia si Perawan Titisan Peri"!"
"Kalau begitu, sekarang giliranku bertindak!" geram Merpati Liar.
Namun tiba-tiba Kucing Hutan yang berpakaian ungu itu menyentakkan tangannya ke
arah Darah Prabu. Dari tangannya keluar sinar merah sebesar lidi. Claaap...
Deess...! "Aaahg...!" Darah Prabu terpental ke belakang menabrak gurunya. Brruk...!
"O, rupanya kau biang keladinya, Kucing Hutan"!"
ujar Resi Badranaya masih tampak tenang, bagai tak peduli keadaan muridnya yang
jatuh di bawah kakinya.
"Memang aku yang mengutus Peluh Setanggi mencuri pusaka itu! Tapi ternyata aku
mengirimkan utusan yang bodoh! Pusaka itu palsu!"
"Palsu..."!" Resi Badranaya berkerut dahi. Rupanya sejak tadi telapak kakinya
mengepulkan asap tipis, asap itu dihirup oleh Darah Prabu, dan luka dalam yang
parah itu menjadi sembuh karena tubuh Darah Prabu mulai dipenuhi dengan asap
tersebut. Kucing Hutan berbalik memandang Peluh Setanggi yang hidungnya berdarah akibat
terjangan Darah Prabu tadi.
"Manusia bodoh kau! Mengapa yang kau curi pusaka palsu"!"
"Tidak mungkin!" sangkal Resi Badranaya. "Pusaka itu bukan pusaka palsu!
Parisupit sendiri yang menitipkan kepadaku agar tak dijamah oleh orang-orang
serakah dan sesat sepertimu, Kucing Hutan! Pusaka itu asli!"
Kucing Hutan geram karena bingung sendiri. Lalu ia memandang Peluh Setanggi.
"Kalau begitu, kau telah menukarnya dengan yang palsu sebelum pusaka itu kau
serahkan padaku!"
"Tidak! Aku... aku...."
"Pengkhianat!" bentak Kucing Hutan, kemudian tangannya berkelebat cepat.
Breeett...! "Aaahg...!" Peluh Setanggi tersentak dengan kepala terdongak. Lehernya menjadi
robek karena terpotong kuku runcing si Kucing Hutan yang murka itu. Ia segera
roboh dan menghembuskan napas terakhir. Nasib sang gadis buronan akhirnya mati
di tangan 'tuan' nya sendiri.
Namun Kucing Hutan sudah telanjur murka dan segera berkata kepada Resi
Badranaya. "Kau seorang resi yang bejat! Menyimpan pusaka palsu demi memperbesar namamu
biar menjadi kondang!"
"Gawat...!" bisik Suto Sinting sambil bangkit berdiri dengan tegang.
Kucing Hutan berseru lagi, "Sekarang terimalah upah penipuanmu itu, Resi bejat!
Heeaaah. .!"
Wuusss...!

Pendekar Mabuk 058 Gadis Buronan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gumpalan api melesat dari telapak tangan Kucing Hutan, arahnya tertuju pada Resi
Badranaya dan Darah Prabu. Guru dan murid itu baru saja hendak lakukan tangkisan
dengan menggerakkan tangan mereka. Tetapi seberkas sinar ungu melesat lurus
menghantam gumpalan api yang sebesar buah kelapa itu. Claaap...!
Sinar ungu itu datang dari kedua tangan Pendekar Mabuk yang saling merapat dan
disentakkan ke depan.
Sinar ungu itulah yang dinamakan jurus 'Surya Dewata'
yang cukup berbahaya.
Blegaaarr...! Ledakan dahsyat terjadi saat sinar ungu sebesar lidi itu menghantam bola api di
pertengahan jarak antara Resi Badranaya dengan Kucing Hutan. Ledakan itu membuat
tanah di sekitar mereka guncang dan retak merekah. Bahkan mayat Peluh Setanggi
terperosok masuk ke dalam keretakan tanah. Resi Badranaya dan muridnya sama-sama
melompat hindari keretakan tanah dan rubuhnya sebuah pohon. Sementara lebih dari
delapan pohon lainnya tumbang tak tentu arah bagai dilanda klamat.
Merpati Liar hanya tertegun bengong mengetahui sinar ungu itu mampu membuat
keadaan alam menjadi serusak itu. Tapi matanya tetap mengarah pada Kucing Hutan
yang terpental akibat ledakan dahsyat tadi. Tubuh perempuan yang mempunyai
sepasang taring pendek itu
terjepit di antara keretakan tanah. Namun dalam sekejap ia mampu melompat keluar
bersama hancurnya tanah penjepit tubuh itu.
Brraasss...! "Keparat busuk!" teriaknya. "Siapa pun orangnya yang mematahkan seranganku,
kelak akan berhadapan denganku setelah aku mempunyai pasukan mayat yang akan
menggegerkan rimba persilatan! Panji-panji Mayat akan berhasil kutemukan dan
menjadi milikku selamanya! Tunggu saatnya mereka bangkit dari kubur!"
Setelah berseru seperti orang gila, Kucing Hutan melesat pergi meninggalkan
mereka. Merpati Liar tak mau tinggal diam. Slaaap...! Tahu-tahu ia telah hilang
dari samping Pendekar Mabuk. Rupanya ia lakukan pengejaran terhadap diri si
Kucing Hutan yang bernafsu sekali ingin memiliki pusaka Panji-panji Mayat.
Pendekar Mabuk ingin menyusulnya, tapi Hantu Laut dan Kadal Ginting datang
berlari-lari dengan panik. Mau tak mau Suto Sinting muncul dari persembunyiannya
dan menemui mereka.
"Hantu Laut...!" panggilnya, lalu kedua orang itu bergegas menuju ke arahnya.
"Suto, kami mendengar bunyi langit runtuh. Dunia mau kiamat! Cepat cari tempat
buat sembunyi!" seru Hantu Laut.
"Kami tersesat mencarimu, Suto! Tapi berani sumpah mati sekarang juga, bukan
kami yang membuat bumi berguncang dan langit menjadi runtuh!" sela Kadal Ginting
dengan wajah tegang.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum dan berkata,
"Langit masih utuh! Lihatlah, ia tetap di atas kepala kita menaungi orang
berhati mulia. Kecuali seluruh manusia sudah menjadi busuk hatinya, mungkin
langit akan turun menimpa kita semua!"
Darah Prabu memanggil dari tempatnya dengan ceria,
"Suto...! Suto Sinting...!"
Lalu ia berkata kepada sang Guru, "Dia murid si Gila Tuak, Guru! Dia yang
menolong saya saat saya terkena racun 'Tapak Ungu'...!"
"Aku lebih tahu dari kau, bahwa dia adalah murid sinting si Gila Tuak. Kulihat
ciri-cirinya memang sesuai dengan penampilan Gila Tuak semasa muda yang gemar
membawa-bawa bumbung tuak!"
Resi Badranaya dan Darah Prabu segera menghampiri Pendekar Mabuk. Sang pendekar
segera memberi hormat kepada sahabat gurunya itu.
"Pasti kau yang melepaskan sinar ungu tadi, Suto."
"Betul, Eyang Resi," jawab Suto Sinting.
"Terima kasih atas bantuanmu. Tapi sayang gadis buronan kami itu telah mati,
mati tak tahu di mana ia menyimpan pusaka Panji-panji Mayat yang asli," kata
sang Resi sambil melirik ke arah lubang tempat mayat Peluh Setanggi terperosok
bagai mengubur sendiri.
"Yang jelas, pusaka yang dititipkan padaku oleh Parisupit itu adalah pusaka yang
asli. Jika sampai Kucing Hutan menyangka palsu, aku tak tahu dikemanakan pusaka
asli itu oleh Peluh Setanggi!"
"Merpati Liar sedang melacaknya, Eyang Resi. Saya
harus membantu Merpati Liar untuk dapatkan pusaka yang asli."
"Baik, berangkatlah sekarang juga. Aku akan kembali ke Lembah Sunyi, menemui
Wulung Gading dan mengabarkan hal ini. Sebab di tempat Wulung Gading itulah aku
mendengar cerita dari Pakar Pantun tentang keadaanmu dan keadaan muridku,
sehingga aku perlu mencarinya!"
"Saya akan ikut Pendekar Mabuk, Guru!"
"Tidak usah, kau nanti kena pikat lagi. Di pondok Eyang Wulung Gading, ada gadis
yang merindukanmu."
"Siapa, Guru?""
"Kejora."
"Ooh... Kejora..."! Kejora ada di sana"!" Darah Prabu terbelalak girang. Suto
Sinting hanya manggut-manggut sambil sunggingkan senyum. Kemudian ia bergegas
pergi menyusul Merpati Liar yang mengejar Kucing Hutan, setelah memerintahkan
Hantu Laut untuk menunggunya di padepokan Resi Wulung Gading.
SELESAI PENDEKAR MABUK Ikuti kelanjutan kisah ini!!!
PERAWAN TITISAN PERI
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Misteri Rumah Berdarah 8 Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 7
^