Pencarian

Gelang Naga Dewa 2

Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa Bagian 2


jaraknya agak jauh.
"Cantik juga," kata Suto dalam hati. Ia sudah selesai makan dan tinggal
menghabiskan tuak dalam poci.
Perempuan itu berusia sekitar tiga puluh tahun.
Kecantikannya sudah matang, tidak seperti gadis belia secantik Dinada. Perempuan
itu mengenakan pakaian hitam dengan jubah tanpa lengan warna putih sutera.
Pinjung penutup dadanya yang berwarna hitam itu dihiasi dengan benang perak
membentuk bordiran
tersendiri. Pinjungnya ketat sekali, sehingga kelihatan bentuk dadanya yang
montok dan kencang itu. Ia mengenakan pakaian lengkap, dari kalung, gelang,
cincin, sampai gelang kaki. Hal itu membuat Suto Sinting dapat menduga bahwa
perempuan itu keturunan bangsawan, setidaknya dari keluarga orang berada. Tak
heran jika ia tadi menyombongkan soal uang di depan Pak Tua.
Matanya yang sedikit lebar tapi indah itu sesekali melirik Pendekar Mabuk. Bukan
berarti Suto tidak tahu, tapi berlagak tidak berminat memperhatikan perempuan
tersebut. Dengan tenang dan kalem Suto Sinting menikmati tuak dari poci.
Tiba-tiba tanpa disentuh sedikit pun poci keramik itu pecah dengan sendirinya.
Trak...! Prakk...!
Suto Sinting kaget. Pak Tua pun terkejut dan segera mengambil kain untuk
membersihkan meja.
"Maaf, Den. Pocinya memang sudah lama sekali, jadi mungkin sudah rapuh."
"Tak apa. Ada yang iseng saja, Pak. Hmmm... o, ya...
aku minta disediakan sepoci lagi, Pak Tua."
"Baik, Den. Baik...!" pemilik kedai jadi ketakutan sendiri.
Padahal menurut Suto pecahnya poci bukan karena poci sudah rapuh. Poci itu pecah
karena diusik dengan tenaga dalam perempuan berjubah putih itu. Suto Sinting
merasakan hawa kuat melintas di depannya dan poci pun pecah. Namun Suto tetap
berlagak tidak memperhatikan perempuan itu.
"Pak Tua...," seru perempuan itu. "Apakah kau punya satu kamar kosong untuk
kupakai bermalam" Akan kusewa kamarmu itu, Pak Tua. Berapa kau minta
dibayar untuk satu malam?"
Pak Tua pemilik kedai sedikit gugup saat melayani perempuan yang bernada angkuh
itu. "Hmmm... ehhh... saya memang punya satu kamar kosong untuk anak saya kalau
sedang pulang kemari.
Hmm... tapi... tapi tempatnya kotor. Tidak pantas dipakai bermalam oleh Den
Ayu." "Bukankah kau bisa merapikan dan membersihkannya" Akan kuberi upah sendiri untuk pekerjaanmu membersihkan kamar
itu, Pak Tua!"
"Hmmm... iya. Kalau begitu, baiklah. Saya persiapkan dulu, Den Ayu."
Pak Tua pergi membersihkan kamar tersebut. Di
ruang makan itu hanya ada Suto dan perempuan
tersebut. Lagi-lagi Suto merasakan hembusan angin melintas di depannya. Suto
hanya membatin,
"Hmmm... dia mengirimkan tenaga dalamnya lagi!"
Jari tangan Suto segera menyentil pelan. Hembusan hawa bertenaga dalam melesat
menghantam hembusan angin tenaga dalam kiriman perempuan itu.
Drakkk...! Meja terguncang bagaikan ada yang menggebraknya.
Padahal meja itu berbentuk papan datar yang memanjang dari depan Suto sampai
depan perempuan itu. Akibat getaran meja, poci di depan perempuan itu terguling
dan isinya tumpah berantakan, demikian pula arak yang ada
di depan si perempuan.
Rupanya perempuan itu juga tahu kalau pemuda
tampan di sampingnya menggunakan tenaga dalam, ia langsung menegur dengan sikap
angkuhnya. "Mau pamer ilmu" Boleh! Kita adu di luar kedai!"
Suto Sinting sunggingkan senyum tipis. "Aku tidak bisa apa-apa. Untuk apa adu
ilmu di luar kedai" Aku akan kalah."
Senyum perempuan itu semakin tampak nakalnya.
"Maumu adu ilmu di mana?" ia mendekat.
"Tak perlu adu ilmu. Aku bukan orang berilmu seperti kau yang bisa memecahkan
poci dari jarak jauh."
Senyumnya kian melebar, ia duduk di bangku persis sebelah Suto.
"Tak perlu merendahkan diri. Aku tahu kau punya segudang ilmu. Semua orang tahu
kalau murid si Gila Tuak itu ilmunya tinggi."
Suto Sinting terperanjat, namun hanya dalam hati.
"Sial. Rupanya dia tahu siapa diriku."
"Tapi tidak selamanya kebanggaanmu sebagai murid unggulan si Gila Tuak dapat kau
sandang. Barangkali aku akan menumbangkannya dalam waktu dekat ini,"
kata si perempuan angkuh.
Ucapan itu hanya ditanggapi dengan senyum oleh Pendekar Mabuk, murid sinting si
Gila Tuak itu. Seteguk tuak dihirupnya dari cangkir kecil.
"Siapa kau, Nona" Mengapa nada bicaramu begitu padaku" Apakah aku memusuhimu?"
Perempuan itu menarik napas. Matanya memandang
Suto sebentar, kemudian dialihkan ke arah araknya yang tumpah di meja.
"Aku mungkin terlalu sombong bagimu. Maafkan aku."
"Kau kemalaman di perjalanan?"
"Ya, dan aku butuh tempat untuk beristirahat."
"Kita punya nasib yang sama. Hanya saja kau lebih beruntung, karena kau lebih
dulu memesan kamar kepada Pak Tua itu, sedangkan aku belum tahu mau tidur di
mana. Mungkin di atas pohon."
Perempuan cantik berlagak angkuh itu kali ini tertawa berseri. "Kau seperti
kelelawar saja. Tidurnya di pohon."
"Kelelawar tidak pernah tidur malam. Jadi aku bukan kelelawar."
"Macan kumbang, maksudmu?" lalu perempuan itu semakin melebarkan senyum
memperpanjang tawanya yang bernada sedikit serak.
"Siapa namamu?" tanya Suto dengan suara kalem diiringi senyum yang mendebarkan
hati lawan jenisnya.
"Namaku" Hmmm... panggil saja aku: Aswarani."
"Nama yang bagus sekali."
"Murid si Gila Tuak kudengar memang suka memuji wanita."
"Itu hanya kabar bohong. Aku jarang memuji wanita, kecuali memang wanita itu
layak dipuji."
"Berapa orang wanita yang menurutmu layak dipuji?"
"Semuanya," jawab Suto sambil tertawa pelan, menandakan jawabannya itu sebagai
kelakar belaka.
"Apa benar kau tak punya tempat untuk bermalam?"
"Benar," jawab Suto Sinting, ia sudah tahu apa yang akan dikatakan perempuan
bermata nakal itu.
"Kau bisa tidur di kamar yang kusewa."
"Kau sendiri tidur di mana kalau aku tidur di kamar itu?"
"Apa salahnya kalau aku juga tidur di kamar itu?"
katanya dengan senyuman memperkuat godaan. Suto Sinting menanggapi dengan kalem,
walau hatinya menggerutu karena merasa tak berani berbuat macam-macam kepada
perempuan lain.
Jika Suto melakukan perserongan dengan perempuan mana pun, maka calon istrinya
yang bergelar Gusti Mahkota Sejati atau Dyah Sariningrum akan mengetahui dari
tempatnya yang jauh; Pulau Serindu. Ratu dari negeri Puri Gerbang Surgawi itu
dapat memantau tingkah laku Suto Sinting di mana pun berada. Noda merah di dahi
pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu, juga dapat dipakai sebagai
tanda apakah Suto pernah tidur dengan perempuan lain atau tidak sama sekali.
Karena jika Suto pernah tidur dengan perempuan lain, maka noda merah di kening
yang hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi itu akan berubah warna menjadi
merah jambu. Sebab itulah ke mana saja Suto pergi, ia selalu menjaga gairahnya
agar tidak terpancing jatuh dalam pelukan perempuan semontok apa pun. Ini
merupakan ujian berat bagi Suto. Namun demikian
kenyataannya Suto mampu menjaga prilakunya hingga tidak pernah dikecam oleh calon istrinya itu.
"Aku akan tidur di bangku ini saja," kata Suto.
"Kurasa Pak Tua pemilik kedai tidak keberatan asal kuberi uang sewa bangku."
"Pak Tua memang tidak keberatan, tapi aku sangat keberatan," kata Aswarani.
"Jangan memancingku untuk berbuat yang bukan-bukan, nanti kau akan menyesal.
Sebab aku lelaki yang tidak pernah mau tanggung jawab terhadap perempuan,"
Suto menakut-nakuti.
"Aku tak akan pernah menyesal terhadap pria yang tidak bertanggung jawab. Sebab
upah perbuatannya itu bisa kuambil sendiri berupa nyawanya." Aswarani juga tak
mau kalah gertak dengan menunjukkan keberaniannya untuk membunuh pria yang mencoba bermain-main dengannya.
"Sudahlah, tak perlu kita lanjutkan percakapan ini.
Nanti membuat hati kita saling panas. Aku ingin beristirahat,
karena esok pagi harus melanjutkan perjalanan."
"Ke mana arah perjalananmu?"
"Ke... ke Tanjung Samudera," jawab Suto Sinting.
Padahal ia sendiri tak tahu harus ke mana. Jawaban itu hanya sebagai kesimpulan
hatinya dari sejak tadi sore.
Suto menyimpulkan bahwa si Anak Petir akan menyerang Tanjung Samudera karena sudah mempunyai pusaka Gelang Naga Dewa.
"Untuk apa kau pergi ke sana, Suto?" tanya Aswarani bersikap seperti sudah lama
mengenal Pendekar Mabuk.
"Aku ingin bertemu dengan ratu negeri itu."
"Dewi Giok, maksudmu?"
"Oh, kau mengenal Dewi Giok?"
Aswarani mengangguk dengan kalem. "Aku juga mau bertemu dengannya."
"Aku malah belum pernah bertemu. Tapi aku pernah menyelamatkan negerinya."
"Aneh. Sudah pernah menyelamatkan negerinya tapi belum pernah bertemu dengan
ratunya"! Apa tidak salah ucap kau, Suto?"
Pendekar Mabuk nyengir. "Seseorang melarangku bertemu dengan Ratu Dewi Giok.
Akibatnya, sebelum aku bertemu, aku sudah harus pergi untuk keperluan lain."
Aswarani manggut-manggut dan menggumam lirih.
Entah apa yang ada dalam terawang pikirannya, yang jelas ia diam agak lama
sampai Pak Tua datang
memberitahukan bahwa kamar telah dibersihkan. Suto pun bicara dengan Pak Tua
meminta izin tidur di bangku panjang itu. Pak Tua malah mempersilakan Suto
menggunakan kamarnya sendiri, sedangkan ia akan tidur di bangku panjang. Tapi
Pendekar Mabuk menolak usul pemilik kedai yang sangat hormat padanya itu.
"Suto, bagaimana kalau kita esok berangkat bersama"
Kau bersedia?"
"Hmmmm... baiklah! Asal kau jangan menggodaku dengan lirikan mata dan senyummu
yang bikin hatiku deg-degan dari tadi."
Aswarani tertawa kecil.
Sebelum mereka pergi tidur, tiba-tiba malam yang
sunyi dirobek oleh suara teriakan seorang perempuan.
Jerit perempuan itu terdengar cukup dekat dengan kedai.
Karenanya, Pendekar Mabuk dan Aswarani tersentak kaget, demikian pula Pak Tua.
Namun wajah pemilik kedai tampak pucat seketika, ia gemetar dan sangat tegang.
"Jeritan apa itu, Pak Tua?"
"Pasti... pasti Dewa Loreng mencari korban lagi.
Mencuri anak perempuan dan... dan...," belum selesai ia bicara, Pendekar Mabuk
sudah melesat keluar lebih dulu.
Aswarani juga melesat keluar menyusul Pendekar Mabuk. Mereka segera tiba di
sebuah rumah yang gaduh.
Dari rumah itu muncul seorang lelaki berpakaian loreng: putih hitam, mirip
seekor kuda zebra. Badannya besar dan tampak sedang memanggul seorang gadis.
Gadis yang dipanggulnya dalam keadaan diam terkulai pertanda habis kena totok.
Sedangkan yang menjerit-jerit di dalam rumah adalah ibu gadis itu dan beberapa
keluarga lainnya.
Melihat kemunculan lelaki berpakaian loreng yang tak lain adalah Dewa Loreng,
Suto Sinting bergegas untuk menghadangnya. Tetapi pundaknya tiba-tiba dicekal
oleh Aswarani. Langkah pun tertahan, dan Suto mendengar perempuan itu berkata
dalam geram yang lirih.
"Serahkan padaku!"
Suto Sinting terpaksa memberi jalan untuk Aswarani.
Perempuan itu segera maju dan melompat tepat di depan langkah Dewa Loreng. Hal
itu membuat langkah Dewa Loreng pun terhenti.
Sisa cahaya rembulan yang tinggal sebagian itu masih menampakkan bayangan si
Dewa Loreng yang dengan gusar segera melompat menerjang Aswarani dengan tetap
memanggul gadis curiannya.
Wuuttt...! Aswarani berkelit ke samping, lalu tubuhnya memutar dan kakinya menendang ke belakang, Wuttt...! Behgg...!
Pinggang Dewa Loreng terkena tendangan telak,
hingga tubuh besar itu terhuyung-huyung mundur.
"Bangsat!" geramnya dengan nada gusar, ia segera meletakkan gadis itu di tanah,
lalu berdiri dengan penuh nafsu untuk membunuh. Goloknya segera dicabut, matanya
mendelik lebar.
"Perempuan peri! Mau cari mampus kau, hah"!"
Aswarani diam tanpa bicara, tapi sudah bersiap-siap melepaskan pukulannya. Kedua
tangan siap di atas dada, kaki kirinya ke belakang memanjangkan jarak, badannya
merendah dan matanya memandang tajam.
Orang-orang berkumpul di kejauhan karena mendengar jeritan ibu sang gadis yang kini tergeletak di tanah itu. Mereka
saling berkasak-kusuk mendukung tindakan Aswarani. Sementara itu, Suto Sinting
hanya diam saja, tapi matanya bekerja mengawasi seluruh gerak Dewa Loreng.
"Rupanya ada yang ingin jadi pendekar di desa ini!"
sindir Dewa Loreng. "Sayang nasibnya tak sampai
matahari terbit sudah menjadi mayat! Terimalah jurus
'Golok Emas' ini, Setan betina! Hiaaat...!"
Wut, wut...! Clapp...! Aswarani bergerak dua kali, tahu-tahu ujung jarinya keluarkan
sinar

Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lurus warna merah. Sinar itu menghantam dada Dewa Loreng. Jrabb...!
Duarrr...! Ledakan itu sempat membuat beberapa orang yang kaget menjerit panjang. Aswarani
berdiri dengan kedua kaki merapat, tapi satu tangannya masih terulur ke depan,
sedang tangan yang satunya merapat di dada.
Dewa Loreng tidak terdengar suaranya. Nyala api menyambar seluruh pakaiannya.
Dadanya berlubang bekas hantaman sinar merah tadi. Rupanya Dewa Loreng tak
diberi kesempatan menunjukkan ilmunya di depan Aswarani. Ia bagaikan disambar
petir yang membuatnya tersentak kaku, kemudian rubuh dalam keadaan tubuh
terbakar dan sudah tak bernyawa.
Suasana malam menjadi terang karena kobaran api yang membakar tubuh Dewa Loreng.
Orang-orang sempat menyerukan sorak kemenangan. Rupanya mereka senang melihat kematian Dewa Loreng yang selalu
meresahkan hati mereka, terutama yang mempunyai anak perawan.
Suto Sinting geleng-geleng kepala. Hatinya membatin, "Cepat sekali gerakannya, ganas sekali ilmunya. Rupanya ia tidak mau
membuang-buang waktu. Bahaya juga perempuan itu. Siapa yang melawannya tidak diberi kesempatan untuk bertobat.
Tapi... biarlah, memang ada baiknya Dewa Loreng menemui ajalnya sekarang juga
daripada menimbulkan korban lebih banyak lagi."
Suto Sinting sebenarnya ingin menghadapi Dewa
Loreng dengan cara tidak seganas Aswarani. Setidaknya ia ingin menanyakan
tentang Dinada yang menurut dugaan pemilik kedai tersesat di hutan dan
tertangkap Dewa Loreng. Tapi melihat perbuatan Dewa Loreng malam itu yang
mencuri anak perawan, berarti Dinada tidak jatuh ke tangan Dewa Loreng. Sebab
seandainya Dinada
tertangkap Dewa Loreng, tentunya orang berbadan besar itu tidak akan mencari mangsa pada malam itu. Setidaknya ia akan
sibuk dengan Dinada.
Suto Sinting melangkah masuk ke kedai lebih dulu.
Beberapa saat kemudian Aswarani menyusul masuk didampingi oleh pemilik kedai
yang berceloteh memuji kehebatan Aswarani.
"Terlalu ganas kau menghadapi Dewa Loreng," kata Suto Sinting setelah Aswarani
berdiri di depannya.
"Tak ada keramahan buat lelaki yang doyan memperkosa. Tak ada keramahan juga buat perempuan yang suka merebut kekasih
orang. Aku tak pernah memberi
kesempatan kepada mereka untuk memamerkan jurusnya. Muak sekali aku melihat orang-orang seperti itu!"
Suto Sinting tersenyum sambil angkat bahu. Aswarani menambahkan kata, "Demikian juga apabila kau bermaksud mempermainkan
hatiku, nasibmu akan
sama dengan Dewa Loreng."
Suto Sinting berkerut dahi. "Apa maksudmu bilang begitu?"
Perempuan itu memandang Pendekar Mabuk, kemudian menarik napas panjang. "Tidak apa-apa,"
ujarnya dengan suara lunak. "Aku hanya memperingatkan kau agar jangan mempermainkan hatiku." "Apakah kau pikir aku akan mempermainkan hatimu?" "Kalau aku terpikat olehmu dan kau menolakku, sama saja kau mempermainkan
hatiku." Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Apakah hatimu terpikat olehku?"
"Belum. Tapi mungkin nanti akan begitu, atau tidak sama sekali! Tergantung
bagaimana sikapmu padaku.
Kalau kau memusuhiku, maka kau pun akan seperti Dewa Loreng. Karena itu,
kuingatkan sebelumnya padamu agar jangan coba-coba menantangku!"
Hanya tawa kecil yang bisa keluar dari mulut
Pendekar Mabuk. Kepalanya sempat geleng-geleng karena heran terhadap sikap
perempuan itu. "Apakah aku harus menuruti hatimu kalau hatimu terpikat olehku?"
"Semua orang harus tunduk padaku!"
"Wah, kalau sudah begini lain lagi persoalannya.
Bisa-bisa kau berhadapan denganku, Aswarani!"
"Boleh. Kapan kau ingin berhadapan denganku"!"
katanya penuh nada menantang.
Suto Sinting buru-buru melunakkan sikap dengan senyum. "Menantang apa dulu"
Pertarungan yang bagaimana dulu" Yang hangat atau yang keras?"
Aswarani segera sadar sedang digoda oleh Pendekar Mabuk. Akhirnya ia
mengendurkan ketegangannya. Tapi dalam hati Pendekar Mabuk sempat membatin,
"Sepertinya dia tak mau dikalahkan oleh siapa pun.
Kalau dia tetap bersikap seperti itu, bisa-bisa dia akan menguasaiku. Jika benar
dia bermaksud begitu, maka tak ada jalan lain kecuali melakukan pertarungan
berdarah antara dia dan aku! Tapi... apakah aku tega bertarung dengan perempuan
secantik dia?"
Aswarani masuk ke kamar, sementara Suto diam di bangku tempatnya makan tadi. Ia
ditemani oleh pemilik kedai yang menceritakan tentang kekejaman Dewa Loreng.
Beberapa saat kemudian Aswarani keluar dari kamar, ia berseru memanggil Suto
dari depan kamar yang bisa terlihat melalui pintu dapur.
Suto Sinting membiarkan panggilan itu karena masih belum selesai mendengarkan
cerita pemilik kedai.
Aswarani jengkel dan menghampirinya sambil memasang wajah galak.
"Aku memanggilmu, apakah kau tuli tak mendengar panggilanku" Atau memang tak mau
datang padaku?"
Suto Sinting memandang kalem, ucapannya juga
terdengar kalem, namun
cukup mengena di hati
Aswarani. "Kau pikir aku ini apamu sehingga harus taat dengan
panggilanmu"
Mengapa kau jadi bersikap begitu padaku?" Aswarani diam sebentar dan menarik napas. Ketegangannya dikendurkan. Kemudian ia bicara dengan nada pelan.
"Maaf, aku belum puas dengan pertarungan tadi!
Mestinya Dewa Loreng tidak sendirian. Jadi aku bisa membantai kawanannya hingga
hatiku puas! Kalau sudah telanjur marah begini, rasa-rasanya belum puas jika
belum membunuh tiga-empat orang lagi."
Suto berkerut dahi dan membatin, "Wah, gawat!
Jangan-jangan perempuan ini punya penyakit kejiwaan yang gemar membunuh orang"!
Salah-salah aku pun akan
dibunuhnya kalau terlalu dekat dengannya. Sebaiknya esok aku pergi sendiri tak perlu bersamanya.
Aku yakin, orang seperti dia banyak musuhnya!"
* * * 5 TERNYATA rencana Suto tak bisa terlaksana.
Aswarani bangun lebih dahulu pada pagi harinya. Maka ketika Suto pamit kepada
Pak Tua pemilik kedai, Aswarani pun ikut pamit juga. Mau tak mau mereka berdua
keluar dari kedai bersama.
Suto Sinting tak berani melarang Aswarani agar jangan bersamanya, ia takut
menyinggung perasaan perempuan itu dan membuat si perempuan menjadi
ganas, sehingga bisa menimbulkan korban tak bersalah.
Bahkan untuk berbohong dengan mengatakan tak jadi pergi ke Tanjung Samudera pun
Suto tak berani, karena ia tahu perasaan perempuan itu cukup peka dan mampu
melihat rasa tidak suka Suto kepadanya. Akibatnya Pendekar Mabuk pasrah kepada
keadaan dan melangkah bersama Aswarani.
"Mudah-mudahan Dinada juga menuju ke Tanjung Samudera, jadi aku bisa bertemu
dengannya di sana,"
pikir Suto masih ingat kepada gadis peniup seruling itu.
"Dari mana asalmu, Aswarani"!" tanya Suto dalam perjalanan.
"Yang kau maksud kelahiranku atau perguruanku?"
"Perguruanmu!" jawab Suto tegas.
"Aku dari Perguruan Bukit Kasmaran."
Suto Sinting terkejut. Langkahnya terhenti sambil menatap Aswarani.
"Kenapa kau terkejut?"
"Kalau begitu kau kenal dengan Dinada?"
"O, ya! Aku sangat kenal."
"Juga kepada ketua perguruan yang sekarang?"
"Siapa"!" Aswarani berkerut dahi.
"Hmmm... kalau tak salah ingatanku Dinada pernah bilang bahwa Ketua Perguruan
Bukit Kasmaran adalah Pancasurti yang berjuluk si Merak Cabul."
Aswarani tersenyum, Suto Sinting merasakan senyum itu punya arti tersendiri.
"Ya. Aku kenal dengannya. Sebaiknya kau tak perlu bicarakan soal dia."
"Kenapa kau tak suka membicarakan tentang Merak Cabul?"
Pertanyaan itu belum terjawab, tiba-tiba mereka dihadang oleh kemunculan dua
orang berambut panjang dengan wajah sama-sama angker. Dua orang berbadan kurus
dan bermata kecil menandakan kekejiannya itu, masing-masing menggenggam senjata
tombak berujung pedang besar dengan pita merah rumbai-rumbai sebagai hiasan di
pangkal pedang. Sikap mereka jelas tak bersahabat, sehingga Suto Sinting
langsung menaruh curiga adanya ketidakberesan pada dua penghadang tersebut.
"Siapa kalian ini"!" hardik Aswarani lebih dulu.
"Kami tidak punya urusan denganmu, Perempuan jalang!" kata yang berbaju hitam.
Yang berbaju merah menimpali, "Urusan kami dengan
pemuda kacangan itu!" sambil menuding Pendekar Mabuk.
Aswarani memandang Suto Sinting dengan dahi
sedikit berkerut. Suto Sinting malah berkerut dahi lebih tajam lagi.
"Aku merasa tidak mengenal mereka," ucapnya pelan seakan ditujukan pada diri
sendiri. Tapi Aswarani mendengarnya dan langsung berkata,
"Tenang saja. Biar kuurus mereka!"
"Tidak. Biar aku saja!" kata Suto sambil bergegas maju di depan Aswarani.
Perempuan itu bergeser ke sisi lain dan berdiri dengan kedua kaki sedikit
merenggang, kedua tangan bersidekap di dada. Matanya tertuju tajam
pada kedua orang berambut panjang yang rata-rata berusia sekitar empat puluh
empat tahun. "Maaf, aku tidak mengenal siapa kalian, mengapa kalian punya urusan denganku?"
kata Suto dengan nada kalem.
"O, jadi kau ingin kenal kami"! Tentunya kau masih ingat Penguasa Teluk Neraka


Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kau bunuh demi putri Adipati Jayengrana"!"
"Penguasa Teluk Neraka"!" gumam Suto Sinting yang segera ingat peristiwa itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episdoe: "Sawan Pengantin").
"Aku Gundaraka, adik kedua Penguasa Teluk Neraka, dan ini adikku: Sancawisa."
"Kami menuntut balas atas kematian kakak kami!
Kudengar kaulah pembunuhnya; karena bumbung tuak dan ketampanan wajahmu membuat
kami yakin bahwa kau adalah Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu!"
"Ya, memang benar. Aku yang membunuh Penguasa Teluk Neraka itu, tapi aku punya
alasan kuat. Semua kulakukan dengan sangat terpaksa dan..."
"Jangan banyak mulut!" bentak Gundaraka. "Hutang nyawa harus dibayar dengan
nyawa!" Sancawisa menggeram, "Sudah saatnya dendam kami tercurahkan! Terima saja ajalmu
di tangan kami!
Hiaaat...!"
Sancawisa bergerak dengan senjatanya mulai disabetkan ke tubuh Suto Sinting. Tetapi tiba-tiba Aswarani bergerak lebih
cepat. Wess...! Tahu-tahu sudah ada di depan Suto Sinting, seakan jadi perisai
Pendekar Mabuk itu. Senjata tombak berujung pedang lebar itu ditangkap dengan kedua tangan dalam
keadaan miring. Zrabb...!
Kedua telapak menjepit tangan mata pedang, lalu disentakkan ke bawah.
Trakk...! Satu kali sentakan mata pedang yang terbuat dari besi baja mengkilat itu patah
menjadi dua bagian.
Gundaraka tak mau tunggu lama-lama. Saat Aswarani mematahkan
mata pedangnya Sancawisa, ia menyabetkan senjata dari arah samping. Wess...! Srett...!
Pinggang Aswarani terkena sabetan itu. Tapi ternyata pinggang tersebut tidak
mengalami luka sedikit pun.
Bahkan kain jubah Aswarani tidak robek selembar benang pun.
Suto Sinting terbelalak kagum. "Oh, tinggi juga ilmu Aswarani itu"! Pantas dia
berani tampil menghadapi dua orang ini" O, ya... aku tahu dia ingin unjuk
kesaktian di depanku.
Hmmm... biarlah dulu dia puas unjuk kesaktian. Mungkin nanti akan dipakai untuk menggertakku. Sebaiknya kutunggu saja dari bawah pohon ini."
Belum selesai hati Pendekar Mabuk berkecamuk, dua orang yang mengaku adik
Penguasa Teluk Neraka itu sudah dibuat tak berkutik oleh Aswarani. Satu lompatan
ke atas membuat Aswarani menyentakkan kedua tangannya. Dari kedua tangan yang menghentak silih berganti itu melesat sinar
merah lurus, masing-masing menghantam tubuh Gundaraka dan Sancawisa.
Slapp... slapp...!
Duarr...! Darrr...!
"Aaaaahh...!" Gundaraka menjerit sambil terpelanting jatuh, sedangkan Sancawisa
tidak sempat berteriak karena kepalanya hancur oleh sinar merahnya Aswarani.
Gundaraka masih menggelepar di tanah karena
dadanya terkena sinar merah tadi, bukan hanya terbakar hangus, tapi juga
berlubang besar. Dada itu pecah tepat di bagian sebelah kanan. Kejap berikutnya
Gundaraka tidak berkutik lagi. Ia menghembuskan napas terakhir setelah mengejang
sampai perutnya naik ke atas. Begitu perut terhempas turun, napas pun lepas
bersamanya. "Gerakannya begitu cepat dan tepat pada sasaran!"
pikir Suto Sinting. "Kurasa Penguasa Teluk Neraka sendiri seandainya masih hidup
dan melawan Aswarani akan tumbang dalam waktu sekejap."
Wajah perempuan itu menegang. Nafsu membunuhnya masih terlihat membayang melalui pandangan mata dan helaan napasnya, ia seperti merasa belum puas dengan hanya
membunuh dua orang. Suto Sinting mulai paham akan hal itu, maka ia pun segera
bicara menenangkan Aswarani.
"Hebat! Hebat sekali gerakanmu. Sangat mematikan.
Kurasa biar sepuluh orang seperti mereka, akan hancur dalam satu-dua jurus
olehmu! Aku sangat kagum dengan gerakan jurusmu, Aswarani!"
Tampak napas perempuan itu dihempaskan panjang-panjang. Raut wajahnya
memperlihatkan perasaan lega dan puas. Bahkan senyumnya sempat mekar walau
hanya seulas. "O, dia ingin dipuji"!" pikir Suto.
Dengan wajah ceria, Aswarani menyingkapkan anak rambut yang meriap di keningnya.
Gelang perhiasan yang dipakai di kedua tangannya itu gemerincing bagai irama
kelegaan hatinya.
"Tak kubiarkan siapa pun menantangmu."
Suto mulai menangkap makna kata yang punya
tujuan sangat pribadi. Tapi ia berlagak tak mengerti maksud Aswarani, sehingga
yang terlontar hanyalah ucapan terima kasihnya.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku.
Kalau tidak ada kau, mungkin aku mati dihajar mereka berdua. Setidaknya babak
belur dan terluka parah oleh serangan mereka."
Suto yakin, dengan kata-kata seperti itu Aswarani akan semakin bangga dan lebih
ceria lagi. Terbukti senyumnya
mekar dengan sangat manis dan mencerminkan keriangan hatinya. Bandul di kalungnya yang berhias batuan hijau
bening itu segera dibetulkan letaknya. Aswarani mendekati Suto Sinting dan
berkata dengan mata memandang sedikit sayu.
"Kita lanjutkan perjalanan atau beristirahat di semak-semak sebentar?"
"Hmmm... ehh... terus saja. Aku ingin lekas sampai di Tanjung
Samudera,"
kata Suto Sinting sambil mengawali langkahnya. Aswarani terpaksa mengikuti langkah itu, walaupun Suto
tahu hati perempuan itu memendam
rasa kecewa karena Suto memilih meneruskan perjalanan.
Belum ada seratus langkah, tiba-tiba seberkas sinar biru bintik-bintik melesat
dari arah lereng bukit yang ada di samping mereka.
Clappp...! "Aswarani, minggir!" teriak Suto Sinting sambil lompat ke arah datangnya sinar
biru bintik-bintik itu.
Bumbung tuaknya segera dihadangkan untuk menangkis sinar tersebut.
Jrabb...! Wusss. .!
Sinar itu memantul balik lebih cepat dan lebih besar dari aslinya setelah
menghantam bumbung tuak. Kejap berikutnya terdengar suara ledakan menggelegar.
Jlegarr...! Tiga batang pohon besar-besar bukan hanya tumbang namun lenyap dan menjadi
serbuk halus, tak bisa terlihat oleh mata lagi. Aswarani tampak tertegun
memandangi kejadian tersebut.
Mereka semakin tegang setelah mendengar suara
tawa cekikikan yang berkeliling bagaikan terbang di udara.
"Hih, hih, hih, hih...!"
"Celaka! Dia datang lagi"!" gumam Suto Sinting.
Dalam benak Pendekar Mabuk segera terbayang wajah tua keriput dengan bibir masuk
ke dalam mulut. Wajah itu tak lain adalah wajah Nini Kutang Katung.
Bayangan Pendekar Mabuk memang terbukti. Kejap berikutnya muncul sesosok tubuh
bongkok berjubah abu-abu dengan tongkat hitam yang ujungnya mirip
garpu dua mata, runcing seperti ujung anak panah.
"Hmmm...! Rupanya kau yang bikin ulah, Nini Kutang Katung!" kata Aswarani yang
ternyata sudah mengenal tokoh tua, gurunya Ratu Kelabang Setan.
"Hi, hi, hi, hi...! Aku senang sekali jumpa kau, Anak muda!" kata Nini Kutang
Katung kepada Suto Sinting.
Ucapan Aswarani bagai tidak digubris.
Aswarani bergerak maju. Namun kali ini Suto Sinting yang menahan dengan mencekal
pundak perempuan itu.
"Biar aku yang menangani! Dia agak berbahaya."
"Tapi dia...."
"Ganti kau yang melihat pertarunganku!" kata Suto sengaja sedikit menyombongkan
diri supaya Aswarani tidak berhadapan dengan tokoh sakti itu. Sebab Suto
menyangsikan kekuatan Aswarani jika melawan Nini Kutang Katung. Menurut
perkiraan Pendekar Mabuk, Aswarani tidak akan bisa menang jika melawan tokoh tua
yang satu ini. "Aku ingin menebus kelancanganmu saat kita di pantai itu, Anak bagus!" kata Nini
Kutang Katung kepada Suto Sinting. "Setelah itu aku akan membunuh perempuan
lacur itu!" ia menuding Aswarani.
Mendengar hal itu, Aswarani naik pitam dan siap-siap melepaskan pukulan jarak
jauhnya. Tapi Suto Sinting berhasil menahannya dengan merentangkan tangan dan
berkata penuh ketenangan.
"Jangan terpancing dia! Tenang. Aku akan menyelesaikan secepat mungkin."
Pendekar Mabuk berkata kepada nenek bongkok itu,
"Kalau kau masih penasaran padaku, kuharap kau jangan menyesal jika aku sampai
bertindak lebih parah dari saat di pantai itu, Nini!"
"Hih, hih, hih, hih...! Tak perlu bicara begitu padaku, Bocah bagus! Gertakanmu
tidak akan membuat hatiku goyah dan semangatku lemah. Perlu kau ketahui, bahwa
Raja Hantu sudah berhasil kubinasakan dan sekarang tinggal namanya. Kalau kau
ingin mencari mayatnya, datanglah ke pantai tempat kita bertemu dulu."
"O, jadi pamannya Dinada sudah tewas di tangannya"!" kata Suto dalam hati. "Kalau begitu perempuan tua ini lebih
berbahaya dari dugaanku. Aku harus lebih hati-hati dalam melawannya."
Nini Kutang Katung menggerak-gerakkan mulutnya, seperti
sedang mengunyah robekan sarung. Suto berfirasat, lawannya sedang membaca mantra. Maka ia buru-buru menenggak tuaknya
satu teguk. "Bocah bagus, terimalah jurus 'Bumi Lokamurka'
ini!" ujar sang Nenek. Kemudian ia menghentakkan tongkatnya ke tanah. Dugg...!
Werrrr...! Bumi bergetar. Tiba-tiba dari ujung tongkat yang dihentakkan ke tanah
itu mengeluarkan selarik sinar merah sebesar lidi melesat ke pertengahan kaki
Pendekar Mabuk.
Srrapp...! Sinar yang bagaikan menembus permukaan tanah itu melesat dengan cepat, kemudian
tanah tersebut menjadi retak dan terbelah menjadi dua bagian.
Grrak...! Werrrr...!
Tanah berguncang hebat. Belahan tanah itu merenggang lebar, sebagian ada yang longsor ke dalam.
Suto Sinting yang tak menduga akan terjadi hal seperti itu akhirnya ikut
terjeblos masuk ke dalam belahan tanah.
Bruss...! "Celaka...!"
pekiknya dalam hati. Untung ia menemukan gumpalan tanah agak keras. Kakinya
menjejak gumpalan tanah agak keras itu, wuttt...! Tubuhnya segera melenting ke
udara, keluar dari keretakan tanah.
Wukk, wukk...! Ia bersalto dua kali, lalu mendaratkan kakinya di tanah yang
masih utuh. Jlegg...!
Pada saat itu Suto melihat Aswarani terjungkal karena goncangan tanah yang
merekah itu. Namun keadaan perempuan tersebut masih jauh dari keretakan tanah.
Suto Sinting segera bergerak ke arah lain dengan menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya. Nini Kutang Katung kebingungan mencari Suto
Sinting, ia menggerutu dengan suara tuanya,
"Ke mana si setan ganteng tadi..."!"
"Aku di belakangmu, Nek!" jawab Suto dengan tenang.
Begitu Nini Kutang Katung membalikkan badan
menghadap ke arah Suto, tangan Pendekar Mabuk segera menghentak ke depan.
Clappp...! Sinar hijau keluar dari tangan Suto Sinting. Jurus
'Pukulan Guntur Perkasa' digunakan menghantam nenek sakti itu. Sang Nenek segera
mengibaskan tongkatnya
begitu melihat sinar hijau ke arahnya.


Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuttt...! Duarr...! Tongkat itu patah dihantam sinar hijau.
Bahkan sinarnya masih menembus ke arah sasaran dan tangan Nini Kutang Katung
menahan dengan cara
menghadang memakai telapak tangannya.
Jrabb...! Wuussss...! Tubuh tua itu terlempar delapan langkah ke belakang, ia seperti daun kering yang
dihembus badai. Jatuhnya terjungkal beberapa kali, namun keadaan tubuhnya masih
utuh. "Kuat sekali dia"!" pikir Pendekar Mabuk.
Biasanya lawan yang terkena
pukulan 'Guntur Perkasa' akan memar membiru pada bagian yang terkena sinar hijau itu. Memar itu
akan cepat membusuk, dan akhirnya sekujur tubuh menjadi membusuk. Tetapi kali
ini agaknya lawan Suto cukup tangguh.
Tokoh tua itu hanya terbatuk-batuk dan mengeluarkan dahak darah segar. Tangannya masih utuh tanpa memar biru sedikit
pun. Ini menandakan kekuatan tenaga dalam yang melapisi tubuh Nini Kutang Katung
sangat tinggi. Pendekar Mabuk tidak cukup menggunakan jurus 'Guntur Perkasa' saja. Harus menggunakan jurus lain untuk menumbangkan nenek bongkok itu.
"Sebaiknya kugunakan jurus 'Pecah Raga'. Apakah ia masih mampu menahan jurus
yang satu ini?" pikir Pendekar Mabuk sambil melangkah ke sisi samping, matanya
memandang setiap gerakan Nini Kutang
Katung yang kebingungan melihat tongkatnya patah menjadi dua bagian. Namun
bagian yang berujung seperti garpu runcing itu masih tergenggam di tangan
kanannya. "Heaaah...!" Nini Kutang Katung angkat kedua tangan dengan tongkat terbawa ke
atas. Kedua tangan itu gemetar.
Angin panas mulai terasa samar-samar. Kemudian debu putih mulai turun dari langit.
"Debu Neraka..."!" pikir Suto Sinting, langsung teringat debu-debu putih yang
mampu membakar setiap benda yang tertaburi.
Pada saat yang sama, sekelebat bayangan melintas di depan Pendekar Mabuk.
Wuttt...! Jlegg...!
"Dinada..."!" seru Suto bagai tak sadar.
Gadis berjubah kuning itu langsung meniup serulingnya. Tiupan seruling mendatangkan angin yang berputar-putar semakin lama
semakin cepat. Akibatnya debu-debu putih itu tak jadi turun, melainkan menyebar
entah ke mana. "Keparat kau, Mila...!!" geram Nini Kutang Katung yang merasa jurusnya
dikalahkan oleh seruling Dinada.
Ia segera menghentakkan sisa tongkatnya itu. Namun sebelum ujung runcing tongkat
itu keluarkan sinar biru yang mampu bergerak membingungkan lawan itu,
Aswarani segera melesat dan menendang tangan Nini Kutang Katung.
Plakk...! Wuttt...!
Tongkat itu terlepas dari genggaman, melesat terbang dan jatuh di kedalaman
semak belukar. "Rasakan ini, hiih...!" Aswarani menghantamkan telapak tangannya ke wajah Nini
Kutang Katung. Tapi telapak tangan sang Nenek juga segera menghantam sehingga
mereka beradu telapak tangan. Blarrr...!
Ledakan terjadi ketika tangan mereka beradu. Ledakan itu membuat Nini Kutang Katung terlempar lagi dan nyaris jatuh ke rongga
tanah yang retak itu.
Sedangkan Aswarani hanya tersentak mundur tiga tindak.
Tubuh Nini Kutang Katung mengepulkan asap bagai terbakar bagian dalamnya.
Napasnya pun mulai sulit dihela. Menyadari keadaan seperti itu, Nini Kutang
Katung merasa perlu mundur sesaat untuk sembuhkan luka dalamnya, ia pun segera
melarikan diri tanpa pamit.
Lompatan cepat Nini Kutang Katung dikejar oleh Aswarani
yang bernafsu sekali membunuhnya. Perempuan itu tak bisa merasa lega dan tenang jika nafsu membunuhnya
sudah sampai ke ubun-ubun tapi lawannya belum terbunuh.
"Sampai di mana pun akan kukejar kau, Kutang Katung!!" teriak Aswarani sambil
berkelebat cepat.
"Tunggu...!" teriak Dinada, kemudian mengejar Aswarani. Tapi Suto Sinting
bergerak lebih cepat dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya itu.
Zlappp...! Tahu-tahu ia sudah ada di depan Dinada, menahan gerakan gadis yang kemarin
terpisah darinya itu.
"Tahan. Tak perlu kau kejar, biar diselesaikan oleh Aswarani!"
"Minggir kau!" bentak Dinada. Ia berusaha lolos dari hadangan Suto Sinting,
namun hal itu sulit dilakukan karena Suto selalu merintanginya.
"Dinada, tenanglah dulu! Ada berita bagus untuk dirimu tentang pamanmu; si Raja
Hantu itu!"
"Aku akan mengejarnya dulu! Minggir, Suto...!"
"Hei, sabar! Nenek itu tak akan lepas dari kejaran Aswarani!"
"Bodoh!" sentak Dinada dengan cemberut. Kemudian ia melemas karena merasa sudah
tertinggal jauh, tak mungkin terkejar lagi. Dinada duduk di atas sebuah batu, di
bawah pohon teduh. Wajahnya cemberut dan tak mau memandang Suto Sinting.
"Lagak manjanya mulai keluar lagi," gumam Suto dalam hati. Ia hanya tersenyum
tipis lalu mendekati Dinada pelan-pelan.
"Dari mana saja kau, Dinada"! Mengapa sampai terpisah dariku"!"
Dinada diam saja. Mulutnya masih meruncing.
Sesekali ia mendesis dengan tangan mengepal kuat pertanda menahan kejengkelan.
"Aku tak sengaja meninggalkan kau, Dinada. Jangan marah padaku. Aku sudah
mencoba mencarimu keluar-masuk hutan itu, tapi kau tidak kutemukan. Bahkan aku
memanggilmu berulang-ulang,
tapi tak kudengar jawabanmu. Jangan salahkan aku, Dinada."
"Kau memang bodoh!" sentak Dinada lagi mirip gadis manja.
"Baiklah. Kuakui kebodohanku. Aku berjanji lain kali
tak akan meninggalkanmu, kecuali aku pamit pergi memisahkan diri."
"Bukan soal itu!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi sambil tersenyum.
"Maksudmu bagaimana, Nona manis?" bujuk Suto.
"Kau telah melakukan hal yang paling bodoh tentang perempuan itu!"
"Aswarani itu, maksudmu"!"
"Iya!" bentak Dinada dan bibirnya yang mungil menggemaskan meruncing kembali.
Suto Sinting tertawa pelan. "Tentang Aswarani aku tidak punya perasaan apa-apa.
Aku bertemu dengannya di kedai. Lalu, kami sama-sama ingin pergi ke Tanjung
Samudera. Hubunganku hanya sebatas teman biasa. Kau jangan cemburu dulu, Dinada.
Kalau saja..."
"Aku tidak mencemburuimu!" potong Dinada dengan ketus. "Aku hanya menyesali
tindakan bodohmu!"
"Di mana letak kebodohanku?"
"Membiarkan dia pergi mengejar Nini Kutang Katung!"
"Ooo...,"
Suto Sinting manggut-manggut.
"Jadi mentang-mentang dia orang Perguruan Bukit Kasmaran, lantas kau menganggap aku
harus mendampinginya terus sekalipun mengejar Nini Kutang Katung"!"
"Bukan itu maksudkuuu...!!" Dinada tampak gemas sekali.
Pendekar Mabuk kian heran. "Jadi apa maksudmu sebenarnya, Dinada"!"
"Aswarani adalah nama aslinya, ia menggunakan
nama julukan: Anak Petir!"
"Hahh..."!" Suto Sinting terkejut bukan kepalang.
"Ja... jadi dialah orang yang bernama Anak Petir"!"
"Iya! Apakah kau tidak melihat Gelang Naga Dewa di tangan kanannya tadi"!"
"Hmmm... eehh... iya, memang aku melihat dia memakai gelang, tapi bukan hanya
satu. Tangan kanan dan kiri memakai gelang, cincin, kalung, juga gelang kaki."
"Yang terbuat dari perunggu, berbentuk naga melingkar dua kali, dengan mata naga berwarna merah delima, bukankah itu pusaka
Gelang Naga Dewa"!"
"Ya ampuun...! Mana kutahu, aku belum pernah melihat Gelang Naga Dewa dan kau
tak pernah menceritakan ciri-ciri bentuk gelang pusaka itu. Ak...
aku.... Oh, sial!"
Pendekar Mabuk menepuk kepalanya sendiri, ia
berjalan mondar-mandir dengan gusar.
"Dari dulu yang bernama Anak Petir itu kusangka-lelaki! Aku tak pernah menyangka
kalau si Anak Petir adalah julukan yang dipakai seorang perempuan. Dan...
dan lagi tak pernah ada yang menjelaskan padaku bahwa Anak Petir itu seorang
perempuan. Mungkin mereka sangka aku sudah tahu hal itu!"
"Lalu, bagaimana kalau sudah begini"!" sentak Dinada, dan Suto Sinting hanya
bisa tertegun bingung sendiri.
* * * 6 ANAK mendiang Nyai Guntur Ayu itu ternyata
seorang perempuan, bukan seorang lelaki seperti yang dibayangkan Suto sejak mula
pertama mendengar nama Anak Petir. Baik Sumbaruni, Bulan Sekuntum, Untari, dan
yang lainnya menyebut-nyebut nama Anak Petir di depan Suto Sinting. Tetapi tidak
ada satu pun yang menjelaskan bahwa ia seorang lelaki atau perempuan.
Hanya kesimpulan dalam bayangan Suto sendiri yang menganggap Anak Petir adalah
seorang lelaki.
Tentu saja Suto tidak menaruh kecurigaan apa pun ketika bertemu dengan Aswarani
di kedai. Bahkan ketika melihat
Aswarani kebal oleh senjata Sancawisa, Pendekar Mabuk hanya menganggap biasa saja. Tidak mempunyai
dugaan bahwa kekebalan tubuh itu dikarenakan Aswarani mengenakan Gelang Naga Dewa.
Juga ketika Suto melihat perhiasan yang dikenakan Aswarani, tak sedikit pun
punya kecurigaan bahwa salah satu gelang tersebut adalah gelang pusaka yang
sedang diperebutkan beberapa orang.
Pendekar Mabuk merasa seperti ditipu mentah-
mentah oleh Aswarani. Padahal yang menipu adalah anggapannya sendiri. Jika ia
tahu bahwa Aswarani adalah orang yang bernama Anak Petir, tentu saja sudah
dilumpuhkan sejak pertemuan di kedai.
"Aku yakin Anak Petir tidak bermaksud lari begitu melihatku," kata Dinada dalam
perjalanan mengejar Aswarani dan Nini Kutang Katung. Sambungnya lagi,
"Untuk apa dia lari karena kedatanganku" Dia tidak akan takut kepadaku, juga
kepada siapa saja. Sebab dia sudah punya pusaka andalan di tangannya."
"Dia memang hebat, kulihat sendiri gerakannya dalam melawan Dewa Loreng dan
kedua adik Penguasa Teluk Neraka itu. Tapi sempat timbul rasa heranku terhadap
mendiang pamanmu yang kini telah terbunuh oleh Nini Kutang Katung itu."
"Mengapa heran?"
"Pada waktu pertarungan pertama; bukankah Raja Hantu sudah memegang Gelang Naga
Dewa" Mengapa ia tidak bisa tumbangkan Nini Kutang Katung, bahkan gelang itu
dititipkan kepadamu?"
"Tentu saja karena gelang itu baru diperoleh dari pencuriannya. Gelang itu hanya
akan berguna jika pemakainya sudah lakukan puasa selama tujuh hari sambil
memakai gelang tersebut. Jika belum lakukan puasa selama tujuh hari, gelang itu
tidak bedanya dengan gelang biasa bagi pemakainya."
"Apakah gelang itu sudah ada tujuh hari di tangan Anak Petir?"
"Lebih," jawab Dinada cepat. "Tentunya sudah dipuasai oleh Aswarani."
Percakapan demi percakapan dilakukan sambil memandang ke sana kemari, mencari suara pertarungan yang terjadi antara Nini
Kutang Katung dan Aswarani.
Tetapi suara pertarungan itu tidak mereka dengar, gerak bayangan orang berlari
pun tidak mereka lihat.
Dinada hampir putus asa. Hatinya kesal

Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membayangkan kebodohan Pendekar Mabuk. Untung
pendekar tampan itu pandai menghibur hatinya, sehingga semangat yang nyaris sirna itu mampu
terangkat lagi. Sampai pada akhirnya mereka mendengar suara ledakan menggelegar
di arah selatan.
"Mungkin itu pertarungan mereka!" kata Dinada dengan semangat penuh.
"Kita harus cepat ke sana sebelum Aswarani menghilang lagi!" Suto mendului
bergerak ke arah selatan.
Di bawah kaki bukit itu, sebidang tanah bergunduk-gunduk menjadi tempat
pertarungan dua tokoh berilmu cukup tinggi. Namun di sisi lain, Suto Sinting dan
Dinada melihat sesosok mayat tergeletak dengan luka di bagian perut. Isi
perutnya berhamburan keluar.
Dinada berkerut dahi dan berbisik kepada Suto,
"Mayat siapa itu?"
Suto masih ingat sosok lelaki kurus bertampang tengil sok berani. Rambutnya
panjang tipis diikat dengan kain warna coklat muda. Lelaki itu memakai pakaian
serba hitam yang sekarang basah oleh darah. Orang yang sekarang sudah menjadi
mayat itu tak lain adalah Mandor Gangsing, anak buah Ki Lurah Tunggoro.
Mandor Gangsing dan Gaung Cablak pernah diperintahkan untuk membawa pulang Bulan Sekuntum, karena Ki Lurah Tunggoro
ingin mengawini Bulan Sekuntum. Tapi pada waktu itu Bulan Sekuntum berhasil
melumpuhkan Gaung Cablak yang bertubuh tinggi besar itu, hanya saja Suto Sinting
segera menolong Gaung
Cablak dengan tuaknya, lalu diperingatkan agar jangan berani-berani mengganggu
Bulan Sekuntum lagi, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Keranda Hitam"). Dan kini yang ada di pertarungan bukan Aswarani melawan
Nini Kutang Katung, melainkan Bulan Sekuntum melawan seorang lelaki berkumis lebat berusia sekitar empat puluh lima
tahun, mengenakan pakaian rapi warna hijau berkrah leher tegak. Ketika Suto
Sinting menjelaskan kepada Dinada tentang mayat itu, Dinada segera terperanjat
dan berkata, "Oh, ya... aku baru ingat. Kalau begitu lelaki yang berpakaian hijau dengan
senjata keris itu adalah Ki Lurah Tunggoro."
"Kau kenal dengannya?"
"Aku hanya tahu namanya dan pernah jumpa sekali.
Dia adalah adik bungsu dari kesebelas saudara mendiang Guru Nyai Guntur Ayu."
"Jika begitu benar kata Bulan Sekuntum, bahwa Anak Petir adalah keponakan dari
Ki Lurah Tunggoro."
"Lalu pertarungan ini apakah karena Gelang Naga Dewa?"
"Kurasa ini pertarungan pribadi. Ki Lurah Tunggoro sakit hati lamarannya ditolak
oleh Bulan Sekuntum dan bikin perhitungan sendiri."
"Kita harus membantu Bulan Sekuntum!" kata Dinada penuh semangat.
"Jangan. Biarkan Bulan Sekuntum menunjukkan harga dirinya di depan Lurah
Tunggoro. Kecuali jika ia
dalam bahaya kita selamatkan dengan segera." kata Suto Sinting sambil bergeser
ke tempat yang lebih enak dipakai untuk menyembunyikan diri.
Bulan Sekuntum tampak masih tegar dan lincah.
Pedangnya dimainkan ke kanan-kiri sambil maju mendekati Ki Lurah Tunggoro.
Sementara itu, Ki Lurah Tunggoro yang bersenjata keris tanpa lengkung itu sedang
mencari kesempatan bagus untuk menyerang Bulan Sekuntum. Agaknya ia tidak punya
pilihan lain; daripada menanggung malu dan sakit hati karena lamarannya ditolak
Bulan Sekuntum, lebih
baik mengadu nyawa untuk menebus kegagalannya. Ki Lurah Tunggoro sempat berseru dalam amarahnya, "Pantang bagiku ditolak oleh perempuan macam kau, Bulan! Kematianmu
adalah tebusan yang setimpal untuk kelancanganmu menolak lamaranku.
Hiaaah...!"
Keris itu disentakkan ke depan dari jarak lima langkah. Lalu seberkas sinar
putih lurus melesat dari ujung keris. Slappp...!
Sinar putih itu mengincar ulu hati Bulan Sekuntum.
Dengan menyalurkan tenaga dalam melalui pedangnya, Bulan Sekuntum menghadang
sinar putih tersebut.
Desss...! Sinar itu menghantam pertengahan pedang.
Bulan Sekuntum menahan dengan tubuh bergetar kaki merendah, pandangan lurus ke
arah lawan. Sinar yang belum mau putus itu bagai memancarkan kekuatan lebih besar lagi
hingga tubuh Bulan Sekuntum
sedikit terdorong ke belakang. Namun tampaknya ia masih mampu menahan desakan
sinar putih tersebut.
Kejap berikut sinar putih itu warnanya berubah pelan-pelan menjadi kemerah-
merahan, dan akhirnya warna merahnya menjadi terang. Pedang yang ditegakkan itu
mulai berasap. Bulan Sekuntum terdesak, tubuhnya semakin bergetar kuat
Tiba-tiba ujung pedang Bulan Sekuntum keluarkan sinar merah yang melesat ke arah
tangan Ki Lurah Tunggoro. Clappp...! Trak, duarrr...!
"Auh...! Setan!" Ki Lurah Tunggoro melompat ke belakang sambil mengibaskan
tangannya. Sinar merah itu kenai genggaman Ki Lurah Tunggoro hingga
pecahkan gagang keris. Tangan itu sendiri segera kepulkan asap tanda terbakar.
Sementara kerisnya terlempar jauh tanpa gagang lagi.
Ki Lurah Tunggoro segera keraskan semua urat-
uratnya, mengerahkan tenaga untuk melawan rasa panas yang membakar tangannya.
Bulan Sekuntum sentakkan kaki dan melesat menerjang Ki Lurah Tunggoro dengan pedangnya.
Wuuttt...! Namun tiba-tiba Ki Lurah Tunggoro melemparkan
sesuatu dari tangan kirinya. Ternyata sinar hijau seperti bola kecil yang
diarahkan kepada Bulan Sekuntum.
Pedang pun dikibaskan untuk menangkis tenaga
dalam berbentuk sinar hijau itu. Wusss...! Dam...!
Ledakan tersebut membuat Bulan Sekuntum terpental tak bisa menjaga keseimbangan
tubuhnya, ia jatuh
terguling-guling sampai dalam jarak tujuh langkah dari tempatnya.
"Bulan Sekuntum terluka," bisik Dinada. "Lihat, wajahnya mulai pucat dan kebiru-
biruan! Kita harus segera bertindak."
"Jangan dulu," cegah Suto. "Bulan masih mampu bangkit, ia pasti akan menyerang
kembali." Tetapi tiba-tiba Ki Lurah Tunggoro mengangkat
kedua tangannya ke atas dalam keadaan telapak tangan terbuka.
Gerakan bertenaga penuh itu ternyata menghasilkan kilatan cahaya petir yang melesat dari langit
dan menyambar-nyambar
ke arah Bulan Sekuntum. "Dia gunakan jurus 'Geledek Murak'"!" kata Dinada dengan suara menegang. "Itu
tak boleh digunakan kecuali orang Perguruan Bukit Kasmaran!"
"Dari mana dia peroleh jurus itu?"
"Entah. Mungkin dari Anak Petir. Yang jelas Guru tidak pernah mengajarkan jurus
itu kepada orang lain, walaupun kepada adiknya sendiri! Kurang ajar! Pasti jurus
itu telah dijual oleh Anak Petir kepada pamannya, entah dengan imbalan apa!"
Duarrr...! Blarrr...! Blegarrr...! Duarrr...!
Bulan Sekuntum dihujani puluhan petir, ia melompat ke sana kemari hindari lidah
petir yang menyalakan sinar biru berkerilap itu.
Melihat Bulan Sekuntum terdesak, Dinada segera mencabut serulingnya dan
meniupnya dengan alunan lembut namun suaranya melengking tinggi. Alunan
seruling itu menghadirkan angin kencang, dan angin itu membawa kumpulan mega
bergerak di atas mereka.
Mega-mega itu bagaikan menyekap kilatan cahaya petir, sehingga serangan hujan
petir itu terhenti seketika.
"Bangsat! Ada yang mau ikut campur rupanya!"
geram Ki Lurah Tunggoro, sambil teliganya menyimak suara seruling.
Bulan Sekuntum yang terluka dalam itu juga mulai memasang telinga dan memandang
ke arah datangnya suara seruling. Hatinya menggumam,
"Kurasakan kehadiran Milasi di sini! Hmm... dia menolongku dengan serulingnya!
Kesempatan ini tak boleh disia-siakan."
"Aku tahu kau murid Guntur Ayu! Keluar dari persembunyianmu, Bangsat!" teriak Ki
Lurah Tunggoro, lalu
ia melepaskan pukulan jarak jauh
ke arah kerimbunan semak. Pukulan itu berupa sinar hijau seperti yang dilepaskan untuk
Bulan Sekuntum tadi.
Slappp...! Bulan Sekuntum menjegal cahaya hijau tersebut
dengan sentakkan tangannya yang menghadirkan gelombang berasap merah. Hal itu dilakukan setelah melompat dan bersalto cepat
menghadang sinar hijau.
Wusss...! Zrabbb...! Blegarr...! Sinar hijau pecah di pertengahan jarak karena
dibungkus pukulan berasap.
Tapi kejap berikutnya Bulan Sekuntum telah melesat dengan berjungkir balik ke
tanah menggunakan satu tangannya. Tab, tab, tab, tab...!
Begitu cepat gerakan jungkir baliknya itu, tahu-tahu
ia sudah ada di depan Ki Lurah Tunggoro, dan
pedangnya berkelebat menyabet dari kanan ke kiri.
Wuttt...! Crrassss...!
"Aaahg...!" Ki Lurah Tunggoro tersentak kaku, kepalanya terdongak, lehernya
koyak karena sabetan pedang Bulan Sekuntum.
Suara seruling berhenti. Dua orang di persembunyian itu memandang tak berkedip
ke arah Ki Lurah Tunggoro yang mulai limbung. Bulan Sekuntum masih pegangi
pedangnya dan diam tak bergerak dalam keadaan habis menebaskan pedang.
Brrukk...! Ki Lurah Tunggoro akhirnya tumbang, dan Bulan
Sekuntum melepaskan sikap diamnya, ia menghempaskan napas lega sambil menarik pedang dari gerakan semula. Matanya
memandang lurus pada
lawannya yang sedang meregang nyawa.
"Bukan dia lawanmu, tapi aku...!"
Terdengar seruan dari balik pohon setelah terlihat sekelebat bayangan melintas
cepat. Ternyata Aswarani baru saja datang dan ia melihat pamannya terkapar tak
berdaya. Bahkan saat Ki Lurah Tunggoro melepaskan napasnya
yang terakhir, Anak Petir itu sedang menghampirinya.
"Bedebah kau!" geramnya kepada Bulan Sekuntum, matanya
memandang liar dan buas. "Kau telah membunuh pamanku, kini aku yang harus mencabut nyawamu, Bulan!"
"Kusiapkan nyawaku untuk menebus gelang itu!"
kata Bulan Sekuntum tak pernah merasa takut kepada
siapa pun. Dinada dan Suto Sinting menjadi lebih tegang lagi.
"Itu dia...!" bisik Dinada. "Itu si Anak Petir yang kita cari-cari!"
"Sekarang sudah waktunya kita muncul memihak Bulan Sekuntum!"
"Tapi dia memakai Gelang Naga Dewa!" Dinada menampakkan kecemasannya.
"Aku yang akan menghadapinya!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas tapi berkesan
tenang, ia meneguk tuaknya sesaat, kemudian melompat keluar dari balik semak
bersama-sama Dinada.
Suto berseru, "Bulan, mundurlah kau!"
Bulan Sekuntum kaget melihat Suto Sinting ada
bersama Dinada. Tapi hatinya menjadi tenang dan keberaniannya bertambah.
Sedangkan Aswarani segera memandangi Pendekar Mabuk dengan mata masih
tampak buas dan ganas.
"Suto, menjauhlah dari Bulan agar kau tak menjadi korban salah sasaran!"
"Justru aku yang akan menghadapimu, Anak Petir!"
kata Suto Sinting membuat Aswarani menyipitkan mata memancarkan permusuhan.
"O, jadi si gadis laknat itu sudah menceritakan padamu tentang siapa aku"!"
sambil Aswarani menuding Dinada.


Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto Sinting maju dengan tenang dan berkata,
"Semuanya sekarang sudah kuketahui, kaulah orang yang kucari dan pernah membuat
namaku hampir hilang
karena dianggap mati oleh kalangan dunia persilatan!
Kau punya urusan pribadi denganku, Anak Petir!"
"Baik! Kudengar kau pun juga menantang pertarungan denganku. Semula aku ingin melupakan tantangan itu, tak ingin
melayaninya. Karena kupikir kau pemuda yang layak dibelai, bukan layak
dihancurkan. Tapi karena sikapmu sudah tak mau bersahabat lagi denganku, terpaksa kulayani
tantanganmu. Sekarang, di sini juga, kita awali pertarungan kita. Tunjukkan
kepada perempuan-perempuan
itu bahwa kau mampu mengungguli ilmuku! Tapi tentunya kau tahu bahwa sekarang aku mengenakan Gelang
Naga Dewa ini!"
Aswarani menunjukkan gelang yang dimaksud dengan mengangkat tangan kirinya, ia menyambung kata,
"Kau tak akan mampu kalahkan aku jika gelang ini masih ada di tanganku, Suto!"
"Kusarankan,
kembalikan gelang itu pada pemiliknya!"
Anak Petir tertawa. "Hah, hah, hah, hah...! Kau mau coba-coba memerintahku,
Pendekar Mabuk"! Oh, jangan harap ucapanmu bisa membuatku tunduk dan menuruti
perintahmu! Gelang ini adalah nyawaku. Kalau memang kau inginkan gelang ini
kembali kepada pemiliknya, rebutlah dan pertaruhkan dengan nyawamu!"
Sebelum Pendekar Mabuk bergerak, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Aswarani.
"Anak Petir, akulah lawanmu!"
Seruan itu ternyata datang dari mulut perempuan
berjubah Jingga. Dia adalah Untari, atau si Ratu Kelabang Setan, ia datang
sambil memanggul sesosok tubuh yang telah hangus. Sesosok tubuh hangus itu
dilemparkan ke depan Aswarani setelah jaraknya
mencapai empat langkah.
"Kau yang membunuh guruku ini!" sentak Untari.
"Aku tahu persis jurus yang membakar tubuh dengan lubang besar di dada adalah
milikmu, Anak Petir!"
"Tak salah dugaanmu. Memang aku yang membunuh gurumu!" kata Aswarani dengan
tegas. Rupanya dalam pelariannya yang dikejar Sumbaruni, Untari sempat bersembunyi dan
mengobati lukanya.
Kemudian tempat persembunyian itu diketahui Sumbaruni dan ia lakukan pertarungan dengan bekas istri jin itu. Tapi ia
terdesak dan lari lagi, Sumbaruni mengejarnya kembali
Dalam pelariannya itulah ia temukan mayat gurunya yang dalam keadaan dada
berlubang serta hangus sekujur badan, ia tahu hal itu adalah perbuatan Anak
Petir, karenanya ia mencari Anak Petir sambil menghindari Sumbaruni. Ternyata ia temukan si Anak Petir sedang berhadapan
dengan Pendekar Mabuk.
Kemarahannya semakin meluap, nafsu untuk membunuh Anak Petir kian berkobar
karena ia tak ingin Suto Sinting yang ingin dijadikan pasangan bercintanya itu
mendapat celaka dari si Anak Petir.
"Sekarang apa maumu, Untari"!" bentak Aswarani.
"Menghancurkan ragamu, Biadab!" geram Untari, kemudian
ia kerahkan tenaga dalamnya dengan mengeraskan kedua tangan dan kaki merendah. Tangan yang diangkat ke atas itu
tiba-tiba menyentak ke depan dan dua berkas sinar merah melesat menghantam dada
Aswarani yang sedang bertolak pinggang.
Wuttt...! Blarrr...!
"Hah, hah, hah, hah...!" Anak Petir tertawa seperti seorang lelaki. Tubuhnya tak
terluka sedikit pun. Hanya dibungkus asap sekejap, lalu tampak utuh dan tetap
segar. Gelang Naga Dewa membuatnya kebal terhadap pukulan tenaga dalam apa pun.
Hal itu membuat Suto Sinting berpikir mencari cara untuk mengalahkan Aswarani.
Sementara Untari lakukan serangan lagi dengan jurus-jurus mautnya, di kejauhan
sana tampak seseorang berlari cepat bagai kilatan cahaya ungu. Ternyata orang
itu adalah Sumbaruni.
"Sumbaruni...!"
seru Bulan Sekuntum. "Jangan campuri dulu urusan mereka. Kita jadi penonton saja!"
"Aku setuju! Hmmm... kulihat gelang pusaka ratumu ada di tangan Anak Petir. Itu
pertanda naas telah tiba bagi Untari!" kata Sumbaruni yang kemudian mendekati
Suto Sinting dan berbisik,
"Apakah kau ingin melawannya"!"
"Aku harus tumbangkan dia karena dua hal; peristiwa di Tanjung Samudera dan
merebut gelang pusaka itu untuk dikembalikan kepada pemiliknya!"
"Lakukan dengan hati-hati. Tapi kalau kau terdesak aku terpaksa ikut campur!
Lumpuhkan dulu kekuatan pada gelangnya!" bisik Sumbaruni, setelah itu bergabung
dengan Dinada serta Bulan Sekuntum di kejauhan sana.
Ratu Kelabang Setan kewalahan, karena semua jurus andalannya tak bisa
menumbangkan Aswarani. Bahkan ia sempat menghadirkan seribu kelabang yang muncul
dari tanah dan menyerang kaki Aswarani. Namun
dengan sekali hentakkan kaki ke bumi, seluruh kelabang itu musnah berasap
meninggalkan bau tak sedap.
"Sudah puaskah kau menyerangku, hah"!" hardik Aswarani.
"Tak akan puas sebelum kau mati menebus nyawa guruku!" jawab Untari sambil
bersiap melepaskan pukulannya lagi.
"Dasar keparat bodoh kau! Hiaaat...!"
Aswarani berguling ke tanah satu kali, lalu begitu bangkit tangannya keluarkan
sinar biru. Clapp...! Sinar biru itu melesat dan menghantam pinggang Untari.
Gerakan yang begitu cepat itu tak dapat dihindari oleh Untari, sehingga ia
tersentak kaget ketika sinar itu menghantam pinggangnya.
Jrabb...! Blarrr...!
Ledakan itu membuat Untari terbuang jauh, lalu jatuh dalam keadaan berselubung
asap. Ketika asap menipis dihembus angin, tubuh Untari sudah tak berbentuk lagi.
Pinggangnya pecah, sekujur tubuhnya hangus seperti nasib Nini Kutang Katung.
Tentu saja tak ada napas lagi padanya.
"Lihat, Suto...!" kata Aswarani. "Betapa cepatnya gerakanku, dan betapa
dahsyatnya jurusku tadi. Maukah kau seperti itu, Sayang"!"
"Kau tak akan bisa melakukan terhadap diriku!"
"Mulut besar! Kubuktikan sekarang juga! Hiaaah...!"
Clappp...! Sinar biru melesat menghantam Pendekar Mabuk. Tapi bumbung tuak
segera berkelebat ke depan dan menghadang sinar biru itu.
Trabb...! Zlapp...!
Sinar itu membalik ke arah pemiliknya lebih cepat dan lebih besar. Tapi Aswarani
sudah pernah melihat kehebatan bumbung itu, sehingga ia sudah menduga akan
terjadi hal demikian. Maka dengan satu kali lompatan bersalto, ia lolos dari
sinar baliknya itu.
Blegarrr...! Sinar itu menghantam pohon besar. Dua pohon lenyap berubah menjadi
debu. "Kau boleh bangga dengan bumbung tuakmu, tapi tak akan mampu menahan jurusku
kali ini, haaah...!"
Claappp...! Sinar merah besar terlepas dari tangan Aswarani. Suto Sinting
menghadangnya lagi dengan bumbung tuak, namun kali ini sinar tidak membalik arah
melainkan meledak di depan Suto.
Blegarrr.... Pendekar Mabuk terbang melambung ke udara.
Peristiwa itu pernah dialaminya ketika ia ingin menyelamatkan Bulan Sekuntum dalam peristiwa Keranda Hitam dulu. Kini keadaan Suto terkapar dengan luka
memar di sekujur tubuhnya. Semua yang menyaksikan hal itu menjadi tegang dan cemas.
Namun kali ini Suto Sinting tak sampai pingsan, ia segera menenggak tuaknya
untuk menyembuhkan luka.
Sisa tuak masih ditampung di mulut.
Ketika itu, Anak Petir melompat dengan mencabut
pedangnya dari punggung. "Sekarang terbukti aku dapat memenggal kepala Pendekar
Mabuk! Hiaaah...!"
Suto Sinting sentakkan kaki ke bumi. Wuuttt...!
Tubuhnya melenting di udara cukup tinggi. Ketika Aswarani menebaskan pedang di
tempat kosong, Suto Sinting semburkan tuak dari mulutnya.
Brrusss...! Semburan itu tepat kenai Gelang Naga Dewa.
Tak ayal lagi, jurus 'Sembur Siluman' membuat
gelang itu lenyap dari tangan Anak Petir
"Celaka..."!" Anak Petir menjadi tegang. Matanya mendelik lebar melihat Gelang
Naga Dewa lenyap dari tangannya.
Pada kesempatan itulah Suto Sinting yang sudah mendaratkan kaki ke bumi segera
melepaskan jurus pukulan 'Pecah Raga' yang berupa sinar hijau dari telapak
tangannya. Clapp...!
Blegarrr...! Anak Petir tak sempat menghindar lagi. Sinar hijau itu menghantam perutnya dan
ledakan menggelegar terdengar begitu dahsyat. Bersamaan dengan itu, tubuh si
Anak Petir pun pecah menjadi serpihan kecil-kecil.
Terdengar suara tepuk tangan dari tiga perempuan yang menyaksikan pertarungan
tersebut. Wajah mereka berseri-seri dan segera berlarian menghambur diri
mendekati Pendekar Mabuk. Mereka tampak ingin
memeluk Suto sebagai ungkapan rasa gembira mereka.
Suto Sinting kebingungan dan segera sentakkan
kakinya ke bumi lalu tubuhnya pun melenting di udara.
Wuuttt...! Tebb...! Pendekar Mabuk hinggap di atas pohon tanpa timbulkan gerakan sedikit
pun pada dedaunan pohon itu.
Senyumnya mekar di sana dengan sangat menawan.
"Turunlah!
Kenapa kau menghindar!"
seru Sumbaruni. "Aku takut kalian peluk bertiga!"
Mereka tertawa. Bulan Sekuntum yang jarang tertawa kali ini ikut tertawa Manis
sekali, tapi sama nilai kemanisannya dengan Dinada dan Sumbaruni.
"Tak ada yang ingin memelukmu! Jangan besar rasa dulu!"
seru Dinada sambil masih memegangi serulingnya. Suto Sinting pun segera lompat turun ke bawah
bagaikan seekor burung garuda menampakkan keperkasaannya.
Wuusss...! Jlegg...! Lalu, ketiga perempuan itu mendekat. Ketiganya menyergap Suto dalam pelukan.
"Mati aku kalau begini!" gumamnya dalam tawa.
Ketiga perempuan itu buru-buru sadar dengan apa yang dilakukan.
"Terlalu jauh aku mengungkapkan rasa bahagiaku"!"
pikir Dinada yang segera mengundurkan diri dengan malu.
"Oh, kenapa aku harus begini" Aku terbawa rasa gembiraku yang berlebihan! Aduh,
memalukan sekali!"
kata Bulan Sekuntum yang cepat-cepat melepaskan pelukan dan mundur tiga langkah.
Sumbaruni pun berkata, "Ya, ampuun... hangat sekali
tubuhnya. Tapi, tidak begini cara menuangkan kebanggaanku. Ah, seperti perempuan murahan saja aku ini," lalu Sumbaruni


Pendekar Mabuk 043 Gelang Naga Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lepaskan pelukan dan menjauh tiga langkah juga.
Pendekar Mabuk lepaskan napas lega. Ketiga perempuan itu saling menyembunyikan senyum sebagai ungkapan rasa malu.
"Selamat, kau berhasil menumbangkan angkara murka, Suto," kata Dinada dengan suara pelan dan senyum menawan.
"Lalu bagaimana dengan gelang pusaka itu?" tanya Sumbaruni.
"Seperti janjiku, harus dikembalikan kepada pemiliknya; Ratu Dewi Giok!"
"Jelmakan kembali gelang itu," ujar Bulan Sekuntum.
"Jangan sampai lupa seperti saat kau menyembur pedangku. Hampir saja kau lupa
menjelmakan kembali kalau tidak kutegur sebelum keluar dari kedai!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil ingat peristiwa itu.
Kemudian ia berkata, "Tidak akan kujelmakan di sini.
Kalau ada tokoh jahat lain yang menghendaki bisa jadi bahan rebutan lagi.
Sebaiknya antarkan aku menghadap Ratu Dewi Giok, Gelang Naga Dewa akan
kujelmakan di sana! Langsung kuserahkan kepada beliau!"
"Aku harus ikut!" sergah Sumbaruni.
"Kenapa kau ngotot sekali kelihatannya?"
"Siapa tahu kau main mata dengan sang Ratu!"
Bulan Sekuntum hanya mencibir lalu melengos, Suto Sinting
tersenyum kian lebar, ia memaklumi kecemburuan itu, sebab ia tahu Sumbaruni sebenarnya sangat mencintainya.
Sekalipun sudah ditolak namun tetap nekat. Suto hanya bisa angkat bahu, kemudian
mereka berempat pergi ke Istana Tanjung Samudera.
Dengan jurus yang bernama 'Jelma Siluman', pusaka Gelang Naga Dewa itu
diwujudkan kembali oleh
Pendekar Mabuk di depan Ratu Dewi Giok, kemudian diserahkan kepada sang Ratu.
Mata indah sang Ratu memandangi Pendekar Mabuk dengan penuh rasa
kagum. Sumbaruni tampak masam menyembunyikan
kecemburuannya. Suto Sinting hanya tersenyum-senyum sambil melengos ke arah
lain. SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul!!!
PUSAKA BERNYAWA
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 21 Si Pisau Terbang Pulang Karya Yang Yl Lembah Nirmala 14
^