Pencarian

Gerbang Siluman 2

Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman Bagian 2


mana pun kecuali dari dirimu, Suto. Aku selama ini kesepian dan kau pergi tak
pernah mau menengokku."
"Aku akan bersamamu jika 'Tuak Dewata' sudah kudapatkan dan Guru sudah bisa
sembuh seperti sediakala. Untuk itu, katakanlah di mana aku bisa dapatkan 'Tuak Dewata' itu,
Sumbaruni?"
Perempuan yang masih tampak muda itu gelengkan kepala. Pandangan matanya semakin
sayu, bahkan kini ia mendekati Suto dan berhenti dalam jarak dua langkah di
depan Suto. "Aku mau mengatakannya setelah kau mau
mengisi kesepian hatiku dengan kehangatan asmaramu, Suto."
"Sumbaruni, ini bukan pada tempatnya...."
"Aku tak peduli lagi, karena selama ini aku sudah menunggu dan aku lelah
menunggu sambil menderita batin, Suto. Sekarang aku tak bisa menahan gairahku
lagi. Karenanya kucari kau dan aku inginkan cumbuanmu, Suto."
"Oh, Sumbaruri... kuharap kau bisa memahami kesulitanku saat ini."
"Tidak, Suto!" ucap Sumbaruni sambil melepas jubah ungu tuanya. Jubah itu
dilepas dengan pelan-pelan dengan pandangan mata lembut sayu memancing gairah
Pendekar Mabuk.
"Aku tak bisa mengerti lagi tentang dirimu, karena dirimu tak pernah mau
mengerti kebutuhan batinku, Suto.
Ooh... hentikan dulu semadimu itu dan bercumbulah denganku walau sekejap saja, Suto."
Sumbaruni kian mendekat. Kini ia berada dalam satu jangkauan tangan Suto.
Wajahnya tampak dibungkus oleh hasrat bercumbu yang meletup-letup dalam hati.
Bibirnya sesekali dijilat sendiri, namun kini digigit sendiri sambil tangannya
melepas pengait penutup dadanya. Begitu penutup dada terlepas, tampak jelas di
depan mata Suto dua gumpalan daging yang berkulit mulus dan membengkak kenyal
bagai menantang untuk dipagut.
"Lihatlah, selama ini dadaku menunggu sentuhan bibirmu, Suto. Ooh... tak ada
buruknya jika kau hentikan semadimu sebentar dan sentuhlah ujung-ujung dadaku
ini. Sebentar saja, Suto...," pinta Sumbaruni sambil
tangannya merayapi tubuhnya sendiri, pinggulnya meliuk-liuk dan pandangan matanya kian sayu.
Jantung Suto dibuat berdebar-debar karena mulai terbakar gairah begitu melihat
dada yang terlepas bebas tanpa penghalang itu. Bahkan kini Sumbaruni juga
melepaskan celana ketatnya pelan-pelan dengan suara mendesah-desah penuh ajakan
bercumbu. "Suto, dekaplah aku sebentar saja agar aku dapat hidup tenang kembali, Suto...!
Oouh... ambillah ini!
Ambillah, Sayangku...."
Pendekar Mabuk hanya bisa menelan ludah sendiri dan tetap duduk bersila tanpa
menyentuh tanah ketika Sumbaruni
mulai berani menyodorkan dadanya mendekati mulut Suto Sinting. Tantangan itu makin lama semakin membuat keringat
dingin Suto mencucur di sekujur tubuhnya.
Apalagi sekarang Sumbaruni meliuk-liuk dengan
gemulainya sambil matanya terbeliak dan tangannya meraba bagian terpeka bagi
seorang wanita, Suto Sinting menjadi semakin sesak napas dan sulit dilontarkan
kata apa pun. Napasnya pun mulai terdengar memburu, walau ia masih bertahan
untuk duduk bersila tanpa menyentuh bumi.
"Suto, ayolah... peluklah aku. Aku sudah siap menerima amukan asmaramu, Sayang.
Cumbulah aku sekarang juga,
Suto...," sambil Sumbaruni duduk bersandar pada dinding, ia meliuk-liuk dengan gerakan pinggul yang membuat
lelaki mana pun akan panas dingin jika melihatnya.
Gua itu dipenuhi oleh suara desah dan erangan
Sumbaruni yang menyerupai tangis pengharapan. Hati Pendekar Mabuk bukan saja
tergugah untuk memberikan cumbuan ala kadarnya, namun juga merasa kasihan
melihat Sumbaruni menggelepar-gelepar seperti cacing kepanasan itu.
Namun tiba-tiba ia mendengar suara berbisik lembut di telinga kirinya,
"Pejamkan mata. Dia hanya iblis penggoda!"
Suara itu dikenali Suto sebagai suara Sang Tiara.
Tetapi bagi Suto, memejamkan mata dalam keadaan seperti itu adalah hal yang
paling sulit dilakukan. Sebab Sumbaruni kini semakin menjadi-jadi. Ia bagaikan
bercumbu dengan tangannya sendiri. Suaranya memanggil-manggil Suto Sinting penuh daya tarik yang semakin membakar gairah
Suto. "Kedipkan matamu sekarang juga, Suto! Kedipkan matamu!" bujuk suara Sang Tiara
yang rupanya telah mengirimkan bisikannya melalui kekuatan batin.
"Sutooo... lekaslah datang kemari, Sayang...," rengek Sumbaruni bagai tak tahu
malu lagi. Pada saat itu, Suto segera memejamkan mata sekejap, ia bagaikan berkedip satu
kali, dan ketika mata itu terbuka kembali, ternyata Sumbaruni tak ada. Jubah dan
pakaian gadis itu yang tadi berserakan di depan Suto juga telah hilang tanpa
bekas. Suasana gua menjadi hening, tak ada suara Sumbaruni yang merengek-rengek
minta dicumbu. "Ternyata tadi benar-benar hanya godaan." pikir Suto
Sinting, kemudian ia memejamkan mata kembali sambil menenangkan jantungnya yang
tadi sudah nyaris pecah karena dibakar tuntutan gairah.
Hari berikutnya, keheningan bertapa sang Pendekar Mabuk diganggu lagi oleh
kedatangan suara yang menyuruh Suto menghentikan bertapanya.
"Hentikan bertapamu dan katakan apa yang kau inginkan sebenarnya Suto."
Mata sang pendekar muda segera dibuka. Byaaak...!
Ia terkejut melihat seorang pemuda berusia sekitar sembilan belas tahun berdiri
di depan pintu gua. Pemuda yang mengenakan pakaian rompi dan celana hijau muda
itu telah berada di dalam gua dan sedang berdiri memperhatikan Suto dengan sikap
meremehkan apa yang dilakukan Suto saat itu.
Pemuda tersebut mempunyai rambut panjang digulung di tengah kepalanya sisanya meriap sepundak, ia berkulit kuning dan
berwajah tampan. Dengan pedang sarung perak di pinggangnya, pemuda itu tampak
gagah dan perkasa.
"Darah Prabu..."!" ucap Suto pelan sekali.
"Syukur kau masih mengingatku, Suto," kata Darah Prabu sambil dekati Suto.
"Kusarankan hentikan saja usahamu mencari 'Tuak Dewata' itu."
"Mengapa kau memberiku saran begitu, Darah Prabu?"
"Karena 'Tuak Dewata' sudah diminum habis oleh guruku: Resi Badranaya!"
Deeeg...! Jantung Suto seperti ditendang keras saat mendengar ucapan tersebut.
"Ternyata kau masih bodoh dan tidak secerdas diriku, Suto. Guruku juga sakit,
sama seperti Eyang Gila Tuak.
Tetapi aku segera bisa dapatkan 'Tuak Dewata' dari seorang pendeta di pegunungan
Tibet. Tuak itu segera diminum habis oleh guruku, lalu dalam waktu sangat
singkat, guruku menjadi sehat dan sekarang justru sedang mempersiapkan liang
kubur untuk Gila Tuak.
Sebab gurumu saat ini dalam keadaan tinggal menunggu lepasnya nyawa saja."
Pendekar Mabuk gemetar walau masih tetap bersila tanpa menyentuh bumi. Darahnya
mulai seperti dibakar, panas sekali dan menggetarkan seluruh urat dan
persendiannya. Hatinya diserang oleh rasa malu, kecewa, sedih,
dan cemas. Pandangan matanya mulai memancarkan kebencian kepada Darah Prabu.
"Dengar, aku datang bukan sebagai penggoda, tapi benar-benar sosok yang nyata.
Kau bisa menyentuhku!"
ujar Darah Prabu sambil sodorkan tangannya. "Peganglah tanganku."
Tapi Pendekar Mabuk hanya diam saja dan tak mau menyentuh tangan itu. Darah
Prabu tersenyum sinis dan berkata dengan wajah didekatkan, sekitar dua jengkal
dari depan Suto.
"Pulanglah! Gurumu ingin bertemu denganmu yang terakhir kalinya. Aku disuruh
menyusulmu!"
Gigi Suto menggeletuk. Ingin rasanya segera menghantam wajah Darah Prabu tanpa peduli mereka
sebenarnya bersahabat. Tetapi tiba-tiba Sang Tiara kirimkan
suara bisikannya lagi melalui kekuatan batinnya. "Pejamkan mata, dan jangan lagi layani godaan itu!"
Pendekar Mabuk memejamkan mata sebentar. Hanya satu helaan napas, ia segera
membuka mata kembali.
Ternyata Darah Prabu sudah tak ada. Tempat itu tetap sepi, seperti tak pernah
dimasuki orang lain kecuali mereka berdua.
"Berarti yang hadir tadi benar-benar godaan. Bukan sosok Darah Prabu yang
sebenarnya. Ooh... hampir saja murkaku terlepas dan 'Napas Tuak Setan'-ku keluar
memporak-porandakan tempat ini!" pikir Suto Sinting.
Lalu, ia memejamkan matanya kembali.
Namun baru saja ia memejamkan mata, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki
masuk ke gua itu dan seseorang berseru memanggilnya dengan nada gugup.
"Suto, Sutooo... oh, tolong aku, Suto...!"
Mata pemuda itu terbuka kembali. Hatinya tersentak melihat seorang perempuan
muda yang cantik dan menjadi buah khayalannya selama ini. Perempuan itu
mengenakan jubah kuning sutera dengan pakaian dalam biru lembut. Rambutnya yang
disanggul itu bermahkota indah. Mengenakan kalung 'sangsangan susun' sebagai
tanda masih gadis suci.
Perempuan cantik itu tak lain adalah orang yang bergelar Gusti Mahkota Sejati
dengan nama asli Dyah Sariningrum.
"Dyah..."!" Suto bersuara sedikit menyentak.
"Suto, hentikan dulu semadimu. Aku dikejar-kejar oleh seseorang dan...," belum
selesai Dyah Sariningrum bicara, tiba-tiba muncul si pengejar yang berkerudung
hitam dari atas kepala sampai kaki.
Lelaki berkerudung hitam memegang tombak pusaka yang dinamakan pusaka El Maut.
Wajah dingin di balik kerudung hitam itu sangat dikenali oleh Suto sebagai wajah
manusia sesat yang menjadi musuh utamanya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa alias
Durmala Sanca. Gemetar seluruh tubuh Suto Sinting ketika melihat Siluman Tujuh Nyawa masuk ke
gua tersebut dan segera mendekati Dyah Sariningrum. Suto Sinting masih diam
bersila tanpa menyentuh bumi dengan hati mulai diguncang kebimbangan untuk
hentikan bertapanya atau melanjutkannya. Sementara itu, Dyah Sariningrum
berusaha menghindari kejaran Siluman Tujuh Nyawa, namun ia terpelanting dan
hampir jatuh kalau tidak segera disambar oleh tangan Siluman Tujuh Nyawa itu.
"Sutooo... Sutooo...! Oh, tolong aku, Sutooo...!"
Dyah Sariningrum meronta keras, tapi Siluman Tujuh Nyawa berhasil mendekapnya.
Wajah perempuan itu segera diciuminya dengan kasar dan liar. Kain kerudung hitam
terlepas dari kepala, sehingga rambut Siluman Tujuh Nyawa yang panjang itu
meriap ke sana-sini diamuk tangan Dyah Sariningrum.
Perempuan itu terdesak di dinding dan tangan
Siluman Tujuh Nyawa dengan kasar menarik kain
penutup dada. Breeet...! Tees...!
"Aaauw...!" jerit Dyah Sariningrum sambil meronta,
namun agaknya tenaganya tak mampu mengungguli
kekuatan Siluman Tujuh Nyawa, sehingga wajah Durmala Sanca itu segera berhasil mendusal di dada Dyah Sariningrum. Dua
gumpalan lembut yang tampak sekal dan kencang itu menjadi santapan lezat bagi
Durmala Sanca. Dada Suto Sinting terasa mau jebol melihat kekasihnya diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Napasnya mulai terasa menggetarkan seluruh dinding gua, karena napas kemarahan
Suto adalah 'Napas Tuak Setan' yang dapat hadirkan bencana besar bagi alam yang
ada di depannya, ia sudah pejamkan mata dua kali, namun pemandangan itu masih
terlihat jelas di depan matanya.
"Pejamkan sekali lagi, itu hanya godaan!" bisik suara Sang Tiara. Namun hati
Suto ragu dengan bisikan tersebut.
* * * 5 SANG TIARA benar-benar sangat membantu

Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelangsungan semadi Pendekar Mabuk. Tanpa bisikan batin Sang Tiara, Suto sudah
mengalami kegagalan berulang kali karena tak tahan menghadapi godaan.
Untung ia mengikuti
saran Sang Tiara untuk
mengedipkan mata yang ketiga kalinya, sehingga pemandangan yang mendidihkan
darah dan menjebolkan dada itu sirna tanpa bekas. Ternyata pemandangan Dyah
Sariningrum diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa itu hanya godaan iblis belaka.
Bayangan semu yang sangat menyiksa jiwa, telah lenyap tanpa bekas apa pun,
kecuali bekas luka memar di hati Suto membayangkan seandainya Dyah Sariningrum benar-benar diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Tujuh hari lamanya Suto menghadapi gangguan yang beraneka ragam. Selama ia
mengikuti bisikan Sang Tiara, maka ia tetap selamat dalam semadinya itu.
Sampai akhirnya, sebuah suara datang dan bicara kepadanya dengan jelas dan
lantang. "Edan! Sekarang gangguannya datang dalam bentuk suara
tanpa rupa!" Suto membatin dalam kebungkamannya,
"Suto, tetaplah di tempatmu dan dengarkan saja suaraku ini," ujar suara tersebut
yang masih dianggap sebagai godaan bagi Suto.
"Setelah aku selesai bicara nanti, cepatlah pergi ke Gerbang Siluman. Atasi
keributan di sana dan jangan biarkan Gerbang Siluman dihancurkan oleh orang-
orang Istana Laut Kidul."
Mendengar ucapan itu, Suto Sinting mulai sangsi dengan anggapannya tadi. Bahkan
hatinya pun berkata,
"Sepertinya kali ini aku tidak sedang berhadapan dengan godaan seperti hari-hari
kemarin. Suara itu agaknya bicara padaku dengan sungguh-sungguh."
Suara Sang Tiara pun terdengar berbisik melalui batinnya,
"Ini memang suara asli, bukan godaan! Bicaralah
padanya dan haturkan sembah serta hormat kepada pemilik suara itu, Suto."
Hati Suto pun tergugah untuk segera mengakui
bahwa ia sedang bicara dengan tokoh tingkat tinggi yang tak mau menampakkan
wajahnya. Suto juga merasakan hadirnya suasana hormat yang berkharisma pada saat
itu. Angin yang selama ini tak dirasakan berhembus, kali ini terasa menerpa tubuh
Suto, hingga helai-helai rambutnya tersingkap ke belakang. Angin sejuk itu
mengawali datangnya suara tanpa rupa yang segera disambut oleh Suto dengan
kepala menunduk dan tubuh yang mengambang turun ke bumi. Kini ia duduk bersila
dengan menyentuh bumi.
70 GERBANG SILUMAN
"Kumohon penjelasan sejujurnya, siapa yang sedang bicara denganku ini"!" ujar
Suto Sinting dengan nada tegas dan bersungguh-sungguh.
"Aku adalah yang selama ini berada dalam bumbung tuakmu, Suto!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahinya kuat-kuat, karena ia tak paham maksud kata-kata
itu. Walaupun ia akhirnya mempunyai kesimpulan tentang suara tersebut, tapi ia
sangsi dengan kesimpulannya sendiri. Tak heran jika Suto pun mendesak suara
tersebut untuk mengaku dengan jelas siapa dirinya.
"Jika kau tak mau menyebutkan siapa dirimu, aku tak mau mendengarkan kata-
katamu!" "Kurasa kau telah menyimpulkan dalam hatimu siapa diriku sebenarnya," ujar suara
itu bernada tegas dan
berwibawa. "Jangan kau bantah sendiri kesimpulan batinmu itu, Suto. Memang
akulah yang bicara padamu saat ini. Aku adalah yang selalu menyertaimu ke mana
pun kau pergi, karena aku selalu kau bawa-bawa dalam keadaan senang maupun
susah." "Apakah... apakah kau adalah jelmaan dari bumbung tuakku?"
"Benar! Kau tak perlu sangsikan diriku."
"Ooh..." Jadi... jadi kau adalah Eyang Buyut Guru...."
"Jangan kau sebut namaku jika kau tak ingin Gua Pedupan ini hancur karena
badai!" "Ampun. Eyang Buyut Guru...!" Suto Sinting langsung bersujud menyembah hingga wajahnya mencium tanah. Sang Tiara pun ikut-ikutan bersujud memberi hormat tinggi-tinggi.
Suto segera mengetahui bahwa suara itu adalah milik seorang tokoh lama yang
menjadi gurunya Eyang
Purbapati dan Nini Galih. Sedangkan Nini Galih dan Purbapati adalah guru dari
Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Suto tahu, siapa yang menjelma menjadi bumbung tuaknya. Suto juga tahu, siapa
yang namanya tak boleh disebut, sebab jika disebutkan akan datang badai petir
mengerikan. Tokoh sakti itu tak lain adalah Wijayasura yang dalam silsilahnya
sebagai Eyang Buyut Guru dari Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Pedang Guntur Biru").
"Suto, kusarankan padamu, hentikanlah semadimu ini, Nak. Kau sudah menjadi
seorang pemuda yang sarat
dengan kesaktian, ilmu yang kau miliki sudah termasuk ilmu gila-gilaan, sampai-
sampai kau dijuluki Suto Sinting. Kurasa sudah tak perlu harus lakukan semadi.
Apakah kau masih merasa kekurangan ilmu?"
"Tidak, Eyang Buyut Guru!"
"Ya, kurasa kau memang tidak kekurangan ilmu.
Apalagi kau sudah memiliki 'Dewatakara' yang sangat ampuh dan sakti itu! Kau
sudah menjadi orang yang hebat, Cucu buyutku! Hebat sekali. Sampai-sampai karena
terlalu hebat, kau tak bisa membedakan mana ilmu yang termasuk aliran silatmu
dan mana yang bukan. Buktinya, kau merasa bangga dan gembira menerima ilmu
'Dewatakara' dari pengikutnya Ratu Laut Kidul itu!"
Pendekar Mabuk diam sesaat, ia merasa disindir dan menjadi semakin tak enak hati
menerima sindiran itu.
Rasa sesal semakin membengkak dalam jiwa Pendekar Mabuk, ia mengakui telah
lakukan kecerobohan pada saat bertemu dengan Payung Serambi dan menerima titisan
ilmu 'Dewatakara' itu.
"Maaf, Eyang Buyut Guru. Saya mengakui telah lakukan kesalahan yang tidak patut
dilakukan, oleh seorang murid aliran si Gila Tuak," ujar Suto akhirnya mengakui
kebodohannya. "Tetapi semua itu sangat di luar dugaan saya, Eyang. Saya tidak
tahu kalau ilmu itu tidak boleh saya miliki karena berbeda aliran. Terus terang,
saya terlalu silau dengan kecantikan Payung Serambi,
sehingga apa pun yang dilakukan dan dimilikinya membuat hati saya terkagum-kagum,
kemudian timbul rasa ingin menjadi seperti dirinya."
"Itulah sifat manusia yang harus dikendalikan dengan pikiran
bersih. Cucu buyutku. Setiap manusia mempunyai keinginan. Tetapi keinginan itu bukan merupakan jaminan dari kebenaran
langkahnya. Kau harus bisa membedakan, mana keinginan yang dapat membuat
langkahmu menjadi benar. Nak!"
"Sekali lagi, saya mohon ampun. Eyang! Saya berjanji tidak akan sembarangan
menerima ilmu dari orang lain, tanpa seizin Kakek Guru; si Gila Tuak atau Bibi
Guru; Bidadari Jalang."
Hening sejurus,
Pendekar Mabuk mempertajam
pendengarannya, termasuk pendengaran batinnya. Tapi agaknya suara Eyang
Wijayasura masih menunggu
ucapan berikut dari sang cucu buyut. Maka Suto Sinting pun perdengarkan kembali
suaranya dengan penuh hormat dan kesopanan yang tinggi.
"Apakah kesalahan saya ini tidak bisa diampuni lagi, Eyang Buyut Guru?"
"Tentu saja bisa," jawab suara sakti itu. "Karena sebetulnya letak kesalahan ini
bukan hanya padamu.
Gila Tuak juga ikut bersalah. Mengapa sampai tak mengetahui bahwa muridnya
tersusupi ilmu aliran lain?"
"Saya mohon. Eyang Buyut Guru jangan menyalahkan Kakek Gila Tuak. Beliau sama sekali tidak tahu menahu tentang Ilmu
'Dewatakara' yang telah saya miliki ini. Saya sendiri belum pernah menceritakan
kepada Kakek Gila Tuak, Eyang!"
"Sekalipun begitu, mestinya Sabawana mengetahui
keberadaan ilmu asing di dalam diri muridnya! Untuk apa namanya ada di deretan
teratas dari daftar orang-orang sakti itu jika
persoalan begini saja tidak
mengetahuinya?"
Pendekar Mabuk merasa tak patut melibatkan si Gila Tuak.
Ia ingin menanggung kesalahan itu tanpa melibatkan siapa pun. Karenanya, ia segera ajukan alasan demi membela si Gila
Tuak. "Eyang Buyut Guru. saya rasa Kakek Guru Gila Tuak adalah
manusia. Selama beliau menjadi manusia, tentunya tidak akan bebas dari kesalahan sekecil apa pun. Apalagi dalam usianya
yang telah cukup banyak ini. Jadi, wajar jika Kakek Guru lakukan kesalahan
karena khilaf dan sebagainya. Tetapi pada dasarnya, sayalah yang bersalah dan
siap menerima hukuman, Eyang."
Lalu terdengar suara orang menggerutu, "Kau ini selalu
saja membela si Gila Tuak. Ya, sudah! Kumaafkan kalian, tapi segera buang ilmu itu."
"Baik, Eyang!"
"Hentikan bertapamu itu. Kau melakukan sesuatu yang sia-sia. Lebih baik kau
segera pergi ke Gerbang Siluman dan mengatasi keributan di sana. Istana Laut
Kidul menyerang istriku karena mereka ingin membawamu pulang ke Istana Laut Kidul!"
"Saya tidak akan pergi ke mana-mana sebelum mendapatkan 'Tuak Dewata', Eyang
Buyut Guru! Kakek Gila Tuak sedang sakit dan butuh obat 'Tuak Dewata'."
"Tuak yang kau cari itu tidak ada!"
"Harus ada, Eyang!"
"Tidak ada! Biar sampai seratus turunan kau mencarinya, tidak akan berhasil kau
temukan. 'Tuak Dewata' tidak ada yang punya."
"Lalu bagaimana harus mengobati sakitnya Kakek Guru; si Gila Tuak itu, jika
'Tuak Dewata' tidak saya temukan, Eyang Buyut Guru"!"
"Biarkan si Gila Tuak menjalani garis hidupnya sendiri. Kau tak bisa mencegah
kematian seseorang yang sudah menjadi garis kehidupan terakhirnya itu!"
"Tidak! Firasat saya mengatakan, Kakek Guru Gila Tuak belum tiba pada akhir
kehidupannya. Kakek Guru masih bisa tertolong dengan kesaktian 'Tuak Dewata'
itu!" "Jangan membangkang di depanku, Suto! Pergi dan tinggalkan tempat ini.
Kembalilah pada si Gila Tuak dan terimalah kenyataan yang ada. Sebelumnya,
redakan dulu geger di depan Gerbang Siluman itu, karena hanya kaulah yang bisa
membendung amukan dari Istana Laut Kidul."
Dalam keadaan duduk bersimpuh tegak, Suto Sinting tetap tundukkan kepala dan
bicara dengan suara tegar.
"Firasat saya tetap mengatakan bahwa 'Tuak Dewata'
itu memang ada. Jika Eyang Buyut Guru tidak mau sebutkan di mana 'Tuak Dewata'
itu berada, saya tidak akan ikut campur dalam keributan di Gerbang Siluman itu!"
Suasana menjadi hening beberapa saat. Suara Eyang Wijayasura tidak terdengar
sampai beberapa helaan
napas. Pendekar Mabuk sempat berdebar-debar karena cemas. Namun setelah Pendekar
Mabuk menarik napas panjang, suara Eyang Wijayasura terdengar kembali, cukup
melegakan hati sang cucu buyut.
"Rupanya kau benar-benar ingin berbakti kepada gurumu itu, Suto."
"Tidak ada kebahagiaan lain bagi saya tanpa kesembuhan Kakek Guru, Eyang Buyut!"
tegas Suto. "Kau memang murid yang patut dibanggakan. Aku tadi
hanya menguji kesungguhanmu dalam mengupayakan kesembuhan si Gila Tuak. Ternyata kemauanmu begitu keras dan benar-
benar murni tanpa maksud-maksud tertentu!"
"Saya merasa satu napas dengan Kakek Guru Gila Tuak, Eyang Buyut!"
"Ya, ya, ya.... Aku tahu maksudmu," ujar suara Eyang Wijayasura. Dapat
dibayangkan saat itu sang Eyang sedang manggut-manggut dan tersenyum bangga
sambil pandangi Suto Sinting.
"Baiklah, akan kutunjukkan padamu di mana kau bisa dapatkan 'Tuak Dewata' itu.
Tapi berjanjilah bahwa kau akan mengusir mereka yang ingin menghancurkan
Gerbang Siluman itu!"
"Saya berjanji, Eyang!"
"Bagus." Suara itu kini bergerak menjadi tepat di samping telinga Suto Sinting.
"Sebenarnya, 'Tuak Dewata' itu adalah sebuah kata kiasan, Tuak adalah pengganti
kata air, Dewata mewakili kata hidup, karena hidup kita adalah milik Hyang Maha
Dewa. Jadi 'Tuak Dewata' adalah air kehidupan. Kau bisa mencari air kehidupan
itu jika kau menemui Guru Sejati."


Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di mana saya bisa menemui Guru Sejati itu, Eyang"!"
"Di dalam sepanjang kehidupanmu sendiri. Cepat atau lambat, kau akan dapat
bertemu dengan Guru Sejati.
Mintalah padanya, karena dialah pemilik air kehidupan itu."
Suto Sinting diam berpikir, ia mencoba memahami kata-kata tersebut. Tapi hanya
sebagian kecil saja yang diketahuinya.
"Eyang Buyut Guru, sekali lagi saya mohon diberi pandangan ke mana langkah yang
harus saya tempuh untuk bertemu dengan seseorang yang berjuluk Guru Sejati itu?"
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapat jawaban dari suara Eyang Wijayasura.
Bahkan ketika Suto mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali, jawaban yang
diharapkan hadir ternyata tetap tidak ada.
"Eyang Buyut Guru..."!" Suto sengaja berseru. Tapi yang didengar adalah suara si
pemandu cantik; Sang Tiara.
"Beliau telah pergi, Suto."
"Oh, tidak! Dia harus menjawab pertanyaanku!" ucap Suto dengan nada penuh
kecewa, ia semakin tampak resah,
sehingga Sang Tiara mencoba untuk menenangkannya.
"Minumlah tuakmu agar kau tenang kembali, Suto,"
sambil Sang Tiara mengambil bumbung tuak dan
menyodorkannya.
Pendekar Mabuk terperanjat melihat bumbung tuak itu ternyata sudah menampakkan
diri lagi. Berarti suara Eyang Wijayasura benar-benar telah tiada dan berubah
menjadi wujud bambu tempat tuak.
Setelah menenggak tuaknya dan sebagai tanda
berakhirnya masa semadi, Pendekar Mabuk hempaskan napas sambil berdiri. Sang
Tiara yang juga telah berdiri segera perdengarkan suaranya.
"Agaknya kita harus segera ke Gerbang Siluman."
"Tapi aku harus mencari tahu di mana tokoh yang menamakan dirinya Guru Sejati
itu berada"!"
"Kurasa bisa ditanyakan kepada istri Eyang Buyut Gurumu itu, Suto."
Maka ingatan Suto pun kembali ke percakapan gaib tadi. Ia ingat bahwa suara
Eyang Wijayasura tadi menyebut-nyebut tentang 'istriku'. Suto harus membantu
istrinya Eyang Wijayasura.
"Siapa yang dimaksud sebagai istri Eyang Buyut Guru tadi"!"
"Siapa lagi kalau bukan Eyang Putri Batari"!"
"Hahh..."!" Suto Sinting terkejut. "Ja... jadi... jadi Eyang Putri Batari itu
istrinya Eyang Buyut Guru"!"
"Kudengar Gusti Kartika Wangi pernah menceritakan silsilah itu di depan kedua
putrinya; Dyah Sariningrum dan Betari Ayu."
"Gila!"
gumam Suto Sinting menegang, bulu kuduknya menjadi merinding. "Tak kusangka aku juga
berjumpa dengan Istri Eyang Buyut Guru. Tak kusangka masih semuda itu istri
Eyang Buyut Guru"!"
"Alam keabadian yang membuat kami tetap awet muda, usia kami tak pernah
bertambah, wajah kami tak pernah berubah. Seperti kau ketahui sendiri, di sini
tak ada siang tak ada malam. Tak ada terang tak ada gelap.
Semuanya serba abadi. Demikian pula halnya dengan kecantikan dan usia kami."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dengan pandangan mata terbengong-bengong, ia tak pernah mendengar cerita tentang istri
Eyang Wijayasura dari si Gila Tuak. Karenanya, peristiwa yang dialami saat itu
dianggapnya sebagai peristiwa yang sangat penting dan tak akan bisa dilupakan
sepanjang hidupnya.
"Suto, bertindaklah sekarang sebelum segalanya terlambat," ujar Sang Tiara
mengingatkan Suto pada janjinya tadi. Pendekar Mabuk segera sadar dari
lamunannya, kemudian bergegas keluar dari Gua Pedupan. * * * 6 DENGAN menggunakan ilmu 'Pusar Badai' milik
Sang Tiara, mereka berdua tiba-tiba sudah berada di tengah pertempuran yang
cukup seru. Pertempuran itu terjadi di depan gapura batu yang menjadi jalan
utama menuju Gerbang Siluman.
Denting suara pedang beradu terjadi di sekeliling Suto Sinting dan Sang Tiara.
Suara pekik kematian pun menggema
silih berganti. Ledakan demi ledakan membuat tanah tempat mereka berpijak tiada hentinya dari guncangan.
"Mengapa bisa jadi begini, Tiara"!"
"Entahlah! Yang jelas aku tak mungkin tinggal diam melihat rekan-rekanku
bertempur begini!"
Sreet...! Sang Tiara pun segera mencabut pedangnya, lalu menghambur ke dalam
pertarungan yang sedang terjadi di depan matanya.
Pendekar Mabuk menjadi kebingungan sendiri. Pertempuran itu terjadi antara prajurit berseragam merah seperti Sang Tiara
dengan orang-orang berseragam hijau muda. Baik yang berseragam hijau maupun yang
berseragam merah terdiri dari perempuan semua. Tak saju pun ada lelaki di antara
mereka, kecuali Suto Sinting sendiri.
Melihat seragam merah seperti yang dikenakan Sang Tiara, Suto segera tahu bahwa
mereka adalah prajurit dari Puri Gerbang Surgawi, pasukan tempurnya Ratu Kartika
Wangi. Sedangkan mereka yang berseragam hijau adalah prajurit dari Istana Laut
Kidul, terlihat dari jurus-jurus yang mereka gunakan banyak kemiripan dengan
jurus-jurusnya Payung Serambi.
"Celaka kalau begini. Bagaimana aku harus mengambil sikap" Aku seorang Manggala Yudha dari Puri Gerbang Surgawi,
seharusnya aku segera turun tangan membereskan tentara perangnya Istana Laut
Kidul. Tetapi di sisi lain, aku punya ikatan moral dengan pihak Istana Laut
Kidul, terutama terhadap Payung Serambi
yang telah banyak menolongku, menyelamatkan nyawaku dan memberiku ilmu 'Dewataraka' itu."
Pendekar Mabuk melesat jauhi pertempuran untuk sementara. Di atas gundukan batu
yang membukit, Pendekar
Mabuk merenung sambil pandangi pertempuran yang membuat debu-debu beterbangan.
Mayat bergelimpangan di sana-sini, sementara sang Manggala
Yudha masih belum bisa mengambil kepastian harus memihak mana dirinya saat itu.
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat melintasi kepala mereka yang sedang
bertempur. Sinar merah besar itu terbang dengan cepat menuju ke satu arah. Tapi
dari arah yang dituju sinar itu muncul pula seberkas sinar biru besar yang juga
melambung melintasi kepala prajurit yang sedang bertempur itu. Kedua sinar itu
saling bertabrakan di udara, dan terjadilah ledakan yang sungguh dahsyat pada
saat itu juga. Blegaaaarrrrr....!
Gwwwuuurrr...! Ledakan itu menyebarkan sinar ungu, membuat langit menjadi bercahaya ungu dalam
sekejap. Cahaya ungu itu mempunyai gelombang hentakan yang sungguh dahsyat.
Para prajurit yang bertarung terpisah menjadi dua bagian dengan sendirinya. Yang
berseragam merah terpental ke sisi kiri, yang berseragam hijau terpental di sisi
kanan. Selain alam sekitar menjadi guncang hebat, batu-batu
beterbangan atau pecah menjadi bongkahan-bongkahan kecil, langit pun mulai
turunkan kabut ungu samar-samar yang menyelimuti alam sekiling Gerbang Siluman.
Pendekar Mabuk terpental jatuh dari berdirinya, tapi tak sampai turun dari atas
bongkahan batu. Walau demikian, batu yang dipijaknya sempat mengalami keretakan
di beberapa tempat, namun masih bisa berdiri kokoh.
"Luar biasa! Kekuatan tenaga dalam siapa tadi yang saling beradu di udara itu"!"
ucap Suto Sinting dengan suara lirih, menyerupai sebuah gumam keheranan.
Rupanya ledakan dahsyat yang memisahkan kedua
pihak yang sedang bertarung itu telah membentuk jalur khusus di antara
prajuritnya Ratu Kartika Wangi dan prajuritnya Ratu Nyai Kandita alias Ratu Nyai
Roro Kidul. Jalur itu menjadi lega, dan sekarang dipakai untuk melesatnya sesosok bayangan
berwarna biru-kuning.
Bayangan biru-kuning itu datang dari arah munculnya sinar merah tadi. Sedangkan
dari arah munculnya sinar biru tampak sekelebat bayangan melesat pula berwarna
kuning emas. Kedua bayangan itu saling menerjang dalam keadaan melayang di
udara. Lalu seberkas cahaya hijau kemerah-merahan pecah membias dalam sekejap
bersama ledakan menggelegar kembali.
Jegaaaarr...! Kedua bayangan saling terpental mundur, tapi
agaknya keduanya sama-sama sigap sehingga dapat menapakkan kaki ke tanah dengan
tegak. Jleeg, jleeg...!
"Oh, si Payung Serambi..."!" tanpa sadar Suto Sinting
menyebutkan nama dari bayangan yang tadi tampak berkelebat warna biru-kuning
itu. Lalu, pandangan mata Suto beralih kepada lawan Payung Serambi yang tadi
tampak sebagai bayangan berwarna kuning emas itu.
"Ooh... Cendana Wilis"!" nada suara ini terdengar lebih ditekankan lagi,
menandakan Suto Sinting merasa lebih heran dan terkejut melihat kemunculan
Cendana Wilis, orang kepercayaan pertama Dyah Sariningrum.
Cendana Wilis adalah pengawal pribadi Dyah Sariningrum yang berpakaian ketat warna kuning emas dengan rompi putih melapisi
bagian dada dan punggung.
Rambutnya diponi depan, matanya bulat indah, dadanya cukup montok. Cendana Wilis
gadis berusia dua puluh empat tahun yang cantik dan mempunyai bentuk tubuh sama
eloknya dengan Payung Serambi. Suto Sinting kenal betul dengan gadis yang
mempunyai pusaka
'Pedang Cendana' itu, sebab selain Suto pernah meminjam pedang tersebut untuk kalahkan seorang lawan, juga sering bertemu
dengan si pengawal pribadi kekasihnya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Prahara Pulau Mayat").
"Apa yang membuat Dyah mengirimkan pengawal pribadinya dalam pertarungan ini"!"
pikir Suto sambil matanya memperhatikan ke arah pertemuan kedua
perempuan cantik dan sama-sama mempunyai keberanian tinggi itu.
Pendekar Mabuk segera gunakan jurus 'Sadap Suara'
yang dapat mendengarkan pembicaraan dari jarak jauh.
Tak heran jika ia dapat mendengar perdebatan antara
Payung Serambi dengan Cendana Wilis yang sama-sama ketus itu.
"Panggil ratumu dan suruh ia berhadapan denganku!"
ujar Payung Serambi alias Ratih Kumala.
Cendana Wilis tak mau kalah ketus. "Ratuku; Gusti Mahkota Sejati, tak mau kotori
tangannya dengan melawan cecunguk macam kau! Cukup aku saja yang harus membuang
bangkaimu ke wajah penguasa Laut Kidul itu!"
"Biadab kau!" geram Payung Serambi. "Kulumat habis seluruh tubuhmu hingga tak
tersisa setetes darah pun! Hiaaah...!"
Payung Serambi segera sentakkan kedua tangan yang saling merapat itu. Tangan
tersebut disentakkan ke samping, dan dalam sentakan itu melesatlah sinar besar
warna merah api menerjang Cendana Wilis.
Weeees...! Blegaaar...! Ledakan terjadi dengan dahsyat lagi karena Cendana Wilis sentakkan kedua
tangannya ke depan dengan kedua kaki merendah. Sentakan kedua tangan Cendana
Wilis itu keluarkan cahaya biru bintik-bintik yang segera menghantam
cahaya merahnya Payung Serambi. Akibatnya, kedua gadis itu saling terpental dan jatuh terbanting ke tanah.
"Dahsyat sekali! Ck, ck, ck...!" Suto menggumam kagum melihat adu tenaga dalam
itu. Sementara itu, para prajurit dari kedua belah pihak tidak ada yang berani ikut
campur dalam pertarungan
tersebut. Mereka justru bertindak sebagai penonton yang selalu siap siaga hadapi
bahaya sewaktu-waktu.
Rupanya adu tenaga dalam itu membuat Cendana
Wilis mengalami luka dalam. Dari mulutnya keluar darah kental walau tak seberapa
banyak. Tetapi di pihak Payung Serambi juga keluarkan darah dari hidungnya yang
tidak begitu banyak pula. Sekalipun demikian, keduanya masih sama-sama belum mau
menyerah,

Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga dalam waktu singkat mereka sudah berhadapan kembali dan siap lakukan
serangan berikutnya.
Sreeet...! Payung Serambi mencabut pedangnya yang menyala merah membara. Cendana
Wilis pun mencabut senjata dengan garang. Sreeet...!
Pedang cendana itu tidak memancarkan cahaya merah seperti milik Payung Serambi,
tapi memercikkan bunga api di bagian sekeliling tepiannya.
"Hiaaah...!" pekik Payung Serambi yang segera terbang menyerang lawannya.
Cendana Wiiis tidak banyak suara, namun menyambut serangan Payung Serambi dengan lakukan lompatan cepat menyerupai
kilatan cahaya yang ingin membelah pinggang Payung Serambi.
Wuuut, weesss...!
Traaang, blaaar...!
Bet, bet, bet, traaaang...! Blaaar, blaar...! Pertarungan kedua pedang itu
selalu membiaskan cahaya merah kekuning-kuningan
bersama bunyi ledakan yang memekakkan gendang telinga.
Kedua perempuan itu segera daratkan kakinya dalam
posisi bertukar tempat. Payung Serambi jatuh berlutut dengan kedua tangan
menggenggam gagang pedang, memunggungi Cendana Wilis. Sementara itu, Cendana
Wilis masih tetap berdiri dengan kedua kaki sedikit ditekuk dan memunggungi
Payung Serambi.
Ketika Cendana Wilis berbalik arah, ternyata mulutnya semakin keluarkan darah lebih banyak lagi.
Tetapi Payung Serambi mengalami luka pada pundak kirinya.
Luka sabetan pedang Cendana Wilis membuatnya gemetar dan berlumuran darah.
Sekalipun terluka, Payung Serambi masih sanggup hadapi Cendana Wilis. Bahkan ia
sempat berseru dengan matanya yang menjadi nanar dan liar.
"Kau tak mungkin bisa kalahkan diriku, Cendana Wilis! Ilmumu masih belum ada
sekuku hitam dibanding dengan ilmuku! Tekadku mati untuk mendapatkan
Pendekar Mabuk telah mendarah daging dalam diriku.
Aku merasa bangga jika bisa mati karena memperebutkan pemuda itu! Kebanggaan apa yang kau miliki jika sampai mati di
tanganku" Menang atau kalah, kau tidak akan mendapatkan Suto Sinting, dan dia
akan menjadi milik ratumu yang pengecut itu!"
Kata-kata 'pengecut' yang ditujukan kepada Dyah Sariningrum membuat hati Suto
Sinting tak bisa menerima begitu saja. Pendekar Mabuk menggeram, namun tetap tak
tega melepaskan kemarahannya kepada Payung Serambi karena teringat jasa-jasa
gadis itu. Rupanya hinaan yang dilontarkan Payung Serambi berhasil memancing kemunculan
seorang wanita cantik
berjubah kuning sutera dengan pakaian dalamnya biru muda. Wanita itu mengenakan
mahkota pada sanggulnya dan memakai kalung susun tiga sebagai tanda bahwa
keperawanannya masih tetap suci. Wanita cantik berpenampilan kalem itu tak lain adalah Dyah Sariningrum. "Hahh..."! Dia muncul..."!" Suto Sinting terbelalak tegang.
"Dari mana dia muncul" Tak kulihat kemunculannya, tahu-tahu sudah ada di depan Cendana Wilis"!"
Jantung Suto Sinting berdetak-detak melihat calon istrinya tampil di
pertempuran. Darah mulai mengalir deras, dan napasnya pun mulai memberat karena
memendam murka. Jika Payung Serambi sampai melukai Dyah Sariningrum, maka Suto tak akan dapat tertahan lagi.
Sebelum Suto lakukan sesuatu, Dyah Sariningrum sudah lebih dulu perdengarkan
suaranya yang lembut dan merdu, namun punya nada-nada ketegasan yang berwibawa.
"Cendana Wilis, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri dia."
"Bagus! Akhirnya kau muncul juga dari persembunyianmu,
Mahkota Sejati!" ujar Payung Serambi ketika Cendana Wilis undurkan sambil sembuhkan luka dengan hawa murninya.
"Apa yang kau kehendaki sebenarnya, sehingga kau menyerang Gerbang Siluman dan
mengusik ketenangan nenekku, Ratih Kumala"!"
"Jangan berlagak bodoh! Kau sudah tahu kalau aku mencintai Suto Sinting, bukan"!
Dia sekarang dalam kesulitan
mencari 'Tuak Dewata', dan aku akan membawanya ke Istana Laut Kidul, karena Gusti Ratu Nyai Kandita mempunyai 'Tuak
Dewata'. Tetapi tuak itu harus
diserahkan langsung kepada orang yang mencarinya, tak boleh melalui tanganku. Dan agaknya nenekmu;
si Putri Batari itu, tetap bersikeras sembunyikan Suto Sinting serta tak rela jika aku membawa pemuda itu ke Istana
Laut Kidul! Kuanggap tindakan nenekmu itu sengaja ingin menyusahkan Suto dan
membuat gurunya Suto tewas karena penyakitnya!"
"Kau tak berhak ikut campur dalam kehidupan Suto Sinting," ujar Dyah Sariningrum
dengan tetap kalem.
"Pihakku yang punya urusan dengan pemuda itu, sehingga kami merasa layak jika
tak rela Suto kau bawa ke Istana Laut Kidul!"
"Aku merasa berhak ikut campur, karena darah Suto sudah sejenis dengan darahku!
Sejak kutanamkan ilmu
'Dewatakara', Suto telah menjadi pendekar berdarah siluman.
Jangan bermimpi lagi menjadi istrinya. Mahkota Sejati! Dia tak akan bisa menikah denganmu, atau dengan siapa saja,
kecuali dengan perempuan yang juga berdarah siluman, seperti diriku!"
"Aku tidak keberatan jika memang harus terjadi begitu. Semua kuserahkan kepada
Hyang Maha Dewa, pengatur kehidupan manusia. Tetapi aku jelas akan bertindak
jika kau mengusik ketenangan nenekku: Eyang Putri Batari di Gerbang Siluman
ini!" "Selama dia belum serahkan Suto kepadaku, akan kuhancurkan Gerbang Siluman ini!
Kanjeng Ratu Kidul telah izinkan padaku untuk hancurkan Gerbang Siluman jika tak
mendapatkan Suto Sinting!"
Dyah Sariningrum diam sebentar, kemudian terdengar suaranya berkata dengan tegas.
"Baiklah kalau memang begitu keinginanmu. Demi mempertahankan Pendekar Mabuk dan
demi membela ketenangan
eyang putriku, kulayani apa pun kemauanmu, Ratih Kumala!"
"Bersiaplah untuk mati jika begitu, Sariningrum!"
Weeesss...! Tiba-tiba sekali Payung Serambi memutar tubuhnya bersama pedang diputar di atas
kepala menyerupai payung, lalu tubuh itu melesat tak terlihat lagi.
Sedangkan Dyah Sariningrum sendiri tahu-tahu lenyap dari penglihatan siapa pun.
Kedua perempuan itu lenyap dalam satu helaan
napas. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan menggelegar menggetarkan alam sekitar
mereka. Blaaarrr...! Dyah Sariningrum tahu-tahu sudah berada di samping Cendana Wilis. Mata para
prajurit dari kedua belah pihak sama-sama terperanjat, karena mereka tiba-tiba
melihat Payung Serambi terkapar dalam keadaan separuh tubuhnya menjadi hitam hangus. Rupanya mereka bertempur dengan kecepatan
tinggi hingga gerakan mereka tak dapat dilihat lagi. Dan dalam pertarungan maha
kilat itu, Dyah Sariningrum berhasil
melukai Payung Serambi dengan tapak tangannya dan membuat Payung Serambi hangus
separuh tubuhnya.
Namun dalam keadaan bagian kirinya hangus dari kepala sampai kaki, Payung
Serambi masih belum mau menyerah.
Luka pedang Cendana Wilis semakin merambah menjadi lebar. Luka itu pun tidak dihiraukan oleh Payung Serambi, ia
segera bangkit dengan suara menggeram dan pandangan mata penuh kebencian.
"Sudah waktunya menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati!" geram Payung
Serambi. "Bagi yang hidup ia berhak mendapatkan Suto Sinting dengan menunjukkan
cinta kasih dan kesetiaannya melalui 'Tuak Dewata' itu!"
"Tuak Dewata' tidak ada!" ucap Dyah Sariningrum dengan tegas.
"Kau perempuan bodoh, sehingga kau beranggapan seperti itu! Yang dinamakan 'Tuak
Dewata' hanya ada di tangan Gusti Ratuku; Nyai Kandita!"
Pendekar Mabuk sempat bergumam dalam hati,
"Benarkah 'Tuak Dewata' ada di tangan Nyai Kandita"!
Bukankah suara Eyang Buyut Guru mengatakan bahwa
'Tuak Dewata' ada di tangan Guru Sejati" Hmmm... tapi siapa
Guru Sejati sebenarnya"
Apakah Dyah Sariningrum itulah si Guru Sejati, karena dia bergelar Gusti Mahkota Sejati"!"
Kecamuk batin Suto tiba-tiba terhenti karena ia melihat tubuh Payung Serambi
mulai memancarkan cahaya merah samar-samar. Cahaya merah itu dibarengi oleh
kepulan asap tipis yang menyelimuti seluruh
tubuhnya dari kaki sampai kepala.
Bluuubb...! Asap itu meletup cepat dan menjadi tebal membungkus tubuh Payung Serambi. Ketika asap tebal itu sirna, tampaklah sesosok
tubuh tinggi, besar dan bersisik tebal seperti baja. Warna kulit dan sisiknya
seperti warna tembaga.
"Celaka! Dia menggunakan ilmu 'Dewatakara' untuk menyerang Dyah Sariningrum"!"
Suto Sinting menjadi tegang sekali begitu melihat Payung Serambi berubah menjadi
makhluk bertanduk dengan wajah mirip wajah naga.
Baik wajah maupun tubuhnya sangat

Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeramkan, membuat para prajurit dari kedua belah pihak saling berdesak
mundur. Tetapi Dyah Sariningrum dan Cendana Wilis masih tetap berdiri di tempatnya.
Mereka pandangi perubahan wujud Payung Serambi yang menjadi makhluk berekor
panjang. Ekor itu berduri menyerupai mata pisau. Tinggi makhluk itu sekitar
empat kali lipat tinggi Suto Sinting.
Dengan kedua tangan berkuku tajam bak mata
pedang, makhluk itu mulai melangkah dekati Dyah Sariningrum, kedua tangannya
diangkat ke atas seakan siap menerkam tubuh halus mulus di depannya.
"Menjauhlah, ini bukan bagianmu juga, Cendana Wilis," bisik Dyah Sariningrum.
Sang pengawal pribadi itu menurut, ia segera mundur menjauh. Tinggal Dyah
Sariningrum yang berhadapan langsung dengan makhluk menyeramkan itu.
"Grrraaoww...!"
Makhluk itu keluarkan suara menyeramkan juga,
seakan setiap jantung pendengarnya diguncang dan diremas oleh suara tersebut.
Tapi Dyah Sariningrum masih tampak tenang, tanpa ada rasa takut sedikit pun.
Zlaaap...! Suto Sinting tak bisa tinggal diam hadapi kekasihnya dalam ancaman bahaya
menyeramkan itu. Ia segera gunakan jurus 'Gerak Siluman' dan tahu-tahu sudah
berada di samping Dyah Sariningrum.
"Biar kuhadapi dia!" kata Suto Sinting sambil menatap Dyah Sariningrum yang
tidak terkejut sedikit pun melihat kemunculan Suto Sinting itu. Rupanya sejak
tadi ia sudah mengetahui Suto ada di kejauhan jarak, memandangi
pertempuran tersebut. Namun Dyah Sariningrum berlagak tidak tahu-menahu tentang Suto, sehingga kemunculan pemuda
itu tidak membuatnya heran dan kaget.
"Akhirnya kau mau turun membelaku juga, Suto,"
ujar Dyah Sariningrum dengan pelan. "Kusangka kau akan memihak Payung Serambi."
"Aku mencintaimu, Dyah," bisik Suto Sinting, lalu sempatkan diri mencium pipi
Dyah Sariningrum dengan lembut.
"Grrrraaooww...!"
Makhluk mengerikan itu semakin berang melihat
Suto Sinting mencium pipi Dyah Sariningrum. Ekornya berkelebat menghantam tubuh
Suto. Weess...! Tetapi Suto Sinting segera memeluk Dyah Sariningrum dan melesat
dengan gerakan yang tak dapat dilihat mata
telanjang itu. Zlaaap...! Pendekar Mabuk membawa pindah calon istrinya ke tempat yang lebih aman.
Sementara itu, kibasan ekor makhluk berkaki lebar telah kenai tiga prajurit dari
Istana Laut Kidul. Brruusss...!
"Aaaa...!"
mereka menjerit keras-keras dalam keadaan tubuh koyak dan mengucurkan darah segar. Dua dari ketiga prajurit yang
menjadi salah sasaran itu tewas seketika, yang satu masih sempat kelojotan dalam
keadaan sekarat.
Zlaaaap...! Suto Sinting kembali hadapi makhluk ganas itu
setelah menempatkan Dyah Sariningrum di tempat yang aman. Kini ia berdiri
menantang makhluk itu dengan bumbung tuak di tangan kanan.
"Hentikan tindakanmu, Ratih Kumala!" seru Suto Sinting kepada makhluk ganas itu.
"Grraaaooww...! Ggrrraaooww...!" sambil makhluk itu geleng-gelengkan kepala.
Matanya yang merah sebesar jeruk peras itu memandang ke arah Dyah Sariningrum.
Agaknya makhluk jelmaan Payung Serambi masih mengancam nyawa Dyah Sariningrum.
Tetapi sebelum makhluk itu bergerak ke arah putri bungsunya Ratu Kartika Wangi
itu, Pendekar Mabuk segera serukan kata sebagai pengalih perhatian Payung
Serambi. "Ratih Kumala..., jika kau tetap ingin mencelakai Dyah Sariningrum, aku akan
tega melawanmu sekarang
juga!" "Ggrraaaooww...!" Makhluk itu angguk-anggukkan kepala. Rupanya gertakan Suto
disambut dengan berani.
Payung Serambi tidak keberatan jika harus menghadapi Suto Sinting.
Maka dalam kejap berikutnya, tubuh Suto Sinting pun kepulkan asap tebal.
Buuuss...! Asap itu membubung tinggi dan tubuh Suto tidak kelihatan lagi.
Namun ketika asap itu mulai lenyap, ternyata yang muncul dari gumpalan asap
tersebut adalah sesosok makhluk berkepala dua yang wajahnya mirip wajah leak,
berambut kuning memanjang ke samping. Tubuh
makhluk jelmaan Suto Sinting itu berlendir dan berduri-duri. Makhluk itu juga
berekor panjang dan mempunyai dua ekor yang setiap ujung ekornya mempunyai duri
runcing bagaikan mata tombak. Tinggi makhluk jelmaan Suto itu melebihi tinggi
makhluk jelmaan Payung Serambi.
Rupanya Suto Sinting ingin menaklukkan makhluk jelmaan Payung Serambi dengan
menggunakan ilmu
'Dewatakara' pemberian Payung Serambi sendiri. Ilmu itu membuat tubuh Suto
berubah menjadi makhluk menyeramkan yang mempunyai sepasang taring tajam dan
panjang. "Hoookkrr...! Hoookkrr...!"
Makhluk jelmaan Suto Sinting itu maju, demikian pula makhluk jelmaan Payung
Serambi. Di pertengahan jarak mereka saling bertemu dan saling bergulat dengan
serunya. Suara-suara erangan mereka menggelegar dan
berkumandang ke mana-mana. Hentakan-hentakan kaki mereka membuat alam sekitarnya
menjadi bergetar beberapa kali. Suara pertarungan itu memancing orang-orang
Gerbang Siluman muncul untuk menyaksikannya.
Tetapi Eyang Putri Batari tidak tampak di antara mereka.
Kedua makhluk itu berusaha saling gigit dan saling menggulingkan. Suaranya gaduh
sekali. Tampaknya keduanya sama-sama kuat. Sekalipun makhluk jelmaan Suto
Sinting berkepala dua, tetapi ternyata tidak mudah menggigit makhluk jelmaan
Payung Serambi.
Tiba-tiba seberkas sinar hijau melayang dengan ekornya
yang panjang. Weess...! Sinar hijau itu menghantam kedua makhluk itu.
Zeebs...! Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi begitu kuat dan mengguncangkan Gerbang Siluman. Beberapa prajurit saling jatuh bertindihan
karena guncangan yang hebat itu.
Ledakan sinar hijau tadi ternyata membuat kedua makhluk itu lenyap dan berubah
menjadi sosok Pendekar Mabuk dan Payung Serambi.
Dari arah datangnya sinar hijau tadi terdengar suara gemuruh seperti datangnya
banjir besar. Suara gemuruh itu makin lama semakin jelas dan bayang-bayang
kehadiran sebuah kereta berkuda enam tampak samar-samar. Rupanya suara gemuruh
itu adalah suara derap kaki kuda yang menarik sebuah kereta berlapiskan emas
permata. Di atas kereta itu, tampak seorang perempuan berdiri
dengan rambut terurai meriap-riap yang dihiasi mahkota pada
bagian depannya. Perempuan cantik yang menunggang kereta berkuda enam berbulu hitam itu mengenakan jubah lengan panjang
warna hijau muda seperti daun baru bersemi. Jubah hijau itu dibuka bagian
depannya dan tampaklah pakaian dalam penutup dada warna hitam berhias benang
emas yang membungkus separuh gumpalan dada montok menyegarkan itu.
Melihat sosok penampilan perempuan berkuda enam itu, Pendekar Mabuk segera
kerutkan dahi dan bersiap siaga untuk hadapi serangan, karena ia belum mengenal
perempuan cantik berambut panjang itu. Melihat langkah kudanya yang ternyata tidak menapak tanah dan setiap derapnya
mengepulkan asap putih membungkus sebagian
roda kereta, Pendekar Mabuk dapat memastikan bahwa perempuan itu mempunyai ilmu
lebih tinggi dari Payung Serambi. Sinar hijau tadi bisa dipastikan datang dari
perempuan berjubah hijau muda tersebut. Dan rupanya di belakang kereta itu
tampak beberapa kuda berbulu coklat mengiringinya dengan para
penunggangnya berseragam warna Jingga. Pendekar Mabuk sempat menyangka munculnya pihak ketiga dalam perkara di Gerbang
Siluman itu. Tetapi secara tiba-tiba, Dyah Sariningrum muncul di samping Suto Sinting tanpa
suara dan langkah yang diketahui oleh siapa pun. Suto sempat terkejut ketika
Dyah Sariningrum berbisik pelan padanya.
"Nyai Kandita datang! Bersiaplah untuk hadapi dia."
"Oh..."! Jadi yang berada di atas kereta berkuda enam
itu adalah Nyai Kandita, si Ratu Laut Kidul itu"!"
"Benar! Agaknya dia merasa perlu turun tangan dalam upaya membawamu ke Istana
Laut Kidul! Hati-hati dengan bujukannya. Tuak yang kau cari tidak ada di
tangannya!"
Pendekar Mabuk diam sambil tetap memandangi
kedatangan Ratu Laut Kidul itu yang tampak semakin dekat, semakin pelan pula
langkah kudanya. Sebenarnya Suto ingin berbisik kepada Dyah Sariningrum, tetapi
niatnya urung dikarenakan munculnya suara gemuruh lagi dari arah yang
berlawanan. Mereka memandang ke arah datangnya suara gemuruh dan seruan ringkikan kuda secara bersahutan.
Rupanya dari arah itu muncul seorang perempuan menunggang kereta terbuka seperti
yang dikendarai Nyai Kandita itu. Kereta tersebut juga dilapisi emas murni dan
batuan permata. Kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda putih berjambul lebat.
Dan perempuan yang ada di atasnya
mengenakan jubah ungu dengan rambut disanggul sebagian sisanya meriap lepas. Di sanggulnya itu terdapat mahkota yang
memancarkan cahaya kemilau batuan intan berlian.
"Ibu Ratu datang..."!" sentak Suto Sinting dengan mata terbelalak tegang.
Dyah Sariningrum berkata setelah menghempaskan napas panjangnya.
"Pasti Ibu tahu kalau Nyai Kandita akan ikut campur urusan ini, sehingga beliau
sempatkan diri datang ke sini untuk hadapi Nyai Kandita!"
Kini kedua kereta berhenti, dan para penunggangnya masih belum turun dari atas
kereta yang tanpa atap itu.
Kuda-kuda mereka saling melonjak dengan ringkik bersahutan. Seakan kuda-kuda
mereka juga saling melontarkan tantangan permusuhan.
Sementara itu, sorot pandangan mata Nyai Ratu Laut Kidul tertuju tajam ke arah
Ratu Kartika Wangi. Sang Ratu Kartika Wangi menampakkan sikap tenang dan
berwibawa, namun penuh keberanian.
Kedua tokoh ratu berilmu tinggi itu saling pandang dalam kebisuan beberapa saat.
Tak satu pun dari mereka yang ada di sekitar tempat itu bersuara sekecil apa
pun. Suasana menjadi hening, senyap, dan kuda-kuda pun ikut terbungkam tanpa ringkik
maupun dengan napas hewaninya.
* * * 7 KEDUA ratu itu masih berdiri di atas keretanya. Nyai Kandita lontarkan kata
lebih dulu kepada Ratu Kartika Wangi, sementara yang lain tetap membisu bagai
tak terbungkam ilmu yang membisukan mereka.
"Apa maksudmu menghalangi pihakku membantu Suto Sinting, Kartika Wangi"!"
"Karena kami tahu kau licik dan tak punya 'Tuak Dewata'," jawab Ratu Kartika
Wangi dengan tegas.
"Kalau aku licik, berarti kau bodoh, Kartika! Karena kau tak pernah mengerti apa
sebenarnya 'Tuak Dewata'
dan siapa pemiliknya!"
"Kau pun sebenarnya tak tahu siapa pemilik tuak itu.
Jika kau memang memilikinya, tunjukkan pada kami sekarang juga!"
Nyai Ratu Kandita diam, tapi sorot matanya masih tertuju ke wajah Ratu Kartika
Wangi. "Aku bukan orang yang gemar pujian. Untuk apa tunjukkan tuak itu di depan
kalian" Pendekar Mabuk yang
membutuhkannya,
jadi selayaknya tuak itu kutunjukkan di depan Pendekar Mabuk! Sekarang juga aku akan membawa Pendekar
Mabuk ke Istana Laut Kidul!"
"Aku melarangnya!"
"Apa hakmu melarang pemuda itu kubawa pergi"!"
"Dia calon menantuku!"
"Itu hanya impian semata. Suto Sinting sudah berdarah siluman dan tak bisa kawin
dengan putrimu itu!"
"Aku akan berusaha melenyapkan ilmu 'Dewatakara'
dari tubuhnya, dan akan mencuci bersih darahnya agar tidak tercemar oleh darah
siluman dari-mu!"
"Apakah kau mampu melakukannya"!"
"Gila Tuak lebih mampu dari diriku dalam hal ini!"
"Hmmm...!" Ratu Laut Kidul mencibir sinis. "Gila Tuak sebentar lagi akan mati
jika tak segera ditolong dengan 'Tuak Dewata'. Dengan begitu, tak ada lagi orang
yang bisa membersihkan darah Suto Sinting dari kekuatan gaib silumanku!"
"Kita buktikan saja nanti!" ujar sang Ratu Kartika Wangi dengan tetap tenang.
Kemudian, Nyai Ratu Kandita berkata kepada
Pendekar Mabuk.
"Suto Sinting, maukah kau mendapatkan 'Tuak Dewata' itu untuk sembuhkan sakit
gurumu"!"
"Tentu saja aku mau, Nyai!" jawab Suto dengan suara tegas dan berwibawa.


Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika kau ingin dapatkan tuak itu, ikutlah kami ke Istana Laut Kidul.
"Aku tak akan mengikutimu sebelum kau tunjukkan wujud 'Tuak Dewata' itu!" kata
Suto sebagai bukti keragu-raguannya terhadap pengakuan Nyai Ratu Laut Kidul itu.
"Aku tak bisa tunjukkan padamu sekarang. Tapi akan kutunjukkan padamu jika kau
sudah berada di istanaku!"
"Aku tak mau tertipu, Nyai!"
Perempuan berjubah hijau itu menggeram lirih
pertanda menahan kejengkelan atas ucapan Suto Sinting.
Namun sikapnya masih tetap dibuat tenang, dan sorot pandangan matanya tertuju
tajam kepada Suto Sinting.
Beberapa kejap kemudian, Nyai Ratu Laut Kidul
berkata lagi kepada Suto.
"Baiklah, agaknya kau tidak percaya pada maksud baikku! Jangan menyesal jika
gurumu tewas karena terlambat meminum 'Tuak Dewata' itu! Satu kali kau
menyangsikan kebaikanku, selamanya aku tak akan berikan 'Tuak Dewata' itu
padamu!" Pendekar Mabuk menjadi gundah, pertimbangan
otaknya menjadi semakin kacau. Di satu sisi ia sangat membutuhkan 'Tuak Dewata',
di sisi lain ia sadar akan
mengecewakan Dyah Sariningrum jika ia ikut ke Istana Laut Kidul.
"Pendekar Mabuk, kuberi kesempatan terakhir padamu, mau ikut aku untuk mengambil 'Tuak Dewata'
atau tetap setia pada calon istrimu yang berarti harus mengorbankan nyawa
gurumu. Sedangkan kau sendiri kelak juga akan mengorbankan istrimu itu, karena
darahmu tak bisa bercampur dengan darahnya calon istrimu itu!"
Pendekar Mabuk masih diam dalam kebimbangan.
Tapi tiba-tiba Dyah Sariningrum berbisik menggunakan bisikan batin yang hanya
didengar oleh Suto Sinting seorang.
"Jangan tinggalkan aku, Suto. Apa pun yang terjadi aku siap mati demi kasih kita
berdua...."
Bisikan itu menggugah semangat Pendekar Mabuk
untuk segera lontarkan jawaban kepada Ratu Laut Kidul.
"Aku tidak mau ikut denganmu. Nyai Ratu! Aku tahu kau akan mengawinkan diriku
dengan Payung Serambi!"
"Karena dia sangat mencintaimu. Suto!" sahut Nyai Ratu Kandita.
"Tapi aku tidak bisa menerima cintanya, Nyai! Aku akan tetap menikah dengan Dyah
Sariningrum, apa pun yang terjadi dari sekarang sampai kelak di kemudian hari!"
Ucapan tegas itu menyentakkan hati Payung Serambi yang sudah berada tak jauh
dari keretanya Nyai Ratu Kandita. Pancaran mata Payung Serambi berubah
menjadi tajam dan penuh permusuhan terhadap Suto
Sinting. Bahkan kini ia berseru dengan suara lantangnya.
"Manusia keji kau! Kembalikan ilmu 'Dewatakara'-ku itu!"
"Ambillah!" jawab Suto Sinting tegas sekali. "Aku tak merasa rugi kehilangan
ilmu 'Dewatakara'-mu ini, Ratih Kumala. Tapi aku akan merasa rugi besar jika
kehilangan Dyah Sariningrum!"
"Keparat! Hiaaaah...!"
Payung Serambi segera ulurkan tangannya dengan telapak tangan mengembang, ia
berusaha menarik kekuatan gaib dari ilmu 'Dewatakara' hingga tubuhnya mulai bergetar. Tetapi tiba-tiba sang Nyai berseru
kepadanya. "Hentikan Ratih!"
"Dia akan melawan kita dengan ilmu 'Dewatakara'
jika tak diambil, Nyai Gusti!"
"Biarkan ilmu itu ada padanya. Tak akan ada yang bisa mencabutnya. Dia akan
tetap berdarah siluman dan hanya akan bisa menikah denganmu! Suatu saat dia akan
datang merangkak-rangkak
menciumi kakimu dan meminta kesediaanmu menikah dengannya. Sekarang, kita pulang! Semuanya
pulaaaang...!"
Seruan Nyai Ratu Kandita itu tak pernah diabaikan oleh para pengikutnya. Maka
kereta berkuda enam itu segera tinggalkan tempat tersebut dengan langkah kaki
kudanya yang tidak menyentuh tanah. Para prajurit dan Payung Serambi pun segera
pergi tinggalkan tempat itu.
Pendekar Mabuk tertegun bengong setelah mengetahui bahwa dirinya sengaja diikat
dengan darah siluman agar mau dikawinkan dengan Payung Serambi.
Ratu Kartika Wangi segera berseru kepada para
prajuritnya. "Kembali ke istana!"
"Ibu... bagaimana dengan Suto"!"
seru Dyah Sariningrum sambil hampiri ibunya di atas kereta yang sudah berbalik arah itu.
Wajah sang putri bungsu itu tampak cemas, membuat sang ibu tarik napas panjang-
panjang. Tiba-tiba seraut wajah cantik berambut putih panjang itu muncul tanpa suara dan
tanpa angin. Eyang Putri Batari tahu-tahu sudah berada di samping Suto Sinting
dan berseru kepada Ratu Kartika Wangi serta Dyah Sariningrum.
"Pulanglah kalian dan biarkan Suto bersamaku sejenak!"
"Tapi, Eyang... saya tidak ingin kehilangan dia!"
rengek sang cucu, membuat dada Suto terasa membengkak seketika karena dihujani rasa bangga dan bahagia mendengar pernyataan
Dyah Sariningrum itu.
"Cucuku, percayalah padaku, kau tak akan kehilangan pemuda nakal ini! Nenek akan
turun tangan sendiri ikut membantu sembuhkan si Gila Tuak. Karena hanya Gila
Tuak yang bisa lenyapkan ilmu 'Dewatakara' dan membersihkan darah Suto dari
darah siluman!"
Ratu Kartika Wangi berkata kepada putri bungsunya.
"Serahkan perkara ini kepada nenekmu, Ningrum.
Karena bagaimanapun juga, kakekmu adalah Eyang Buyut Guru bagi Suto Sinting.
Tentunya kakekmu tidak akan tinggal diam dalam hal ini, Ningrum!"
Dyah Sariningrum akhirnya pasrah kepada janji para sesepuhnya. Namun ia tetap
dekati Suto Sinting dan berkata penuh kelembutan.
"Jangan menyerah! Cari terus 'Tuak Dewata' itu dan sembuhkan
gurumu. Aku menunggumu di Pulau Serindu, Suto!"
"Aku akan selalu hadir dalam mimpimu. Sayang."
Sang nenek cantik menggoda dengan menembangkan sebuah kidung masa kecilnya.
"Selamat jalan, duhai kekasih...."
"Ah, Eyang...!" Dyah Sariningrum tersipu malu, lesung pipitnya tampak menggoda
hati Suto. Namun pemuda itu hanya tundukkan kepala dan ikut tersipu-sipu juga.
Tetapi ketika Suto Sinting mengangkat wajah kembali, ia menjadi terkejut bukan kepalang, karena ia tidak
menemukan siapa-siapa di depannya. Dyah Sariningrum tidak ada, para prajurit berseragam merah, termasuk Sang Tiara, juga
tidak ada. Bahkan Ratu Kartika Wangi pun lenyap begitu saja tanpa terdengar
derap kaki kudanya. Sedangkan Eyang Putri Batari yang tadi ada di sampingnya,
kini hilang entah ke mana.
Tempat itu menjadi sunyi, bagaikan tanpa kehidupan sama sekali. Yang ada hanya
gapura batu hitam yang masih berdiri kokoh sebagai jalan masuk menuju Gerbang
Siluman. "Aneh. Tanah di sekitar sini juga tak ada bekas tapak kaki satu pun. Padahal
tadi sewaktu kupakai bertarung melawan makhluk besar jelmaan Payung Serambi,
tanahnya sampai gompal dan acak-acakan. Kenapa sekarang menjadi bersih, rapi,
dan lengang sekali"!"
Pandangan mata Suto Sinting menyapu alam sekitarnya. Tembok yang besar menjadi benteng istana Gerbang Siluman masih
tampak jelas tanpa harus mengusap wajahnya. Tetapi di sana pun tidak ada satu
orang pun yang tampak berdiri sebagai penjaga gerbang.
Sementara itu, alam tetap teduh, tanpa siang dan tanpa malam.
"Aku akan masuk ke Gerbang Siluman dan menanyakan hal ini kepada Eyang Putri Batari! Siapa tahu Eyang Putri juga bisa
tunjukkan padaku ke mana aku harus pergi menemui orang yang bergelar Guru Sejati
itu," pikirnya, kemudian ia bergegas melangkah melalui jalan di tengah gapura
batu hitam itu.
Belum sampai dekati pintu gerbang, langkah Suto Sinting terhenti karena
kemunculan wajah Eyang Putri Batari. Wajah itu muncul dalam bayang-bayang di
udara dan hanya separuh bagian. Namun suaranya yang masih merdu itu terdengar
jelas di telinga sang Pendekar Mabuk.
"Ada apa lagi, Bocah Ganteng"!"
"Oh, hmmm...," Suto agak gugup sedikit karena kaget melihat bayangan itu muncul
di depannya. "Ada yang ingin saya tanyakan, Eyang Putri. Kemana orang-orang yang tadi ada di
sekitar saya itu"!"
"Mereka pulang ke tempatnya masing-masing. Dan memang begitulah cara mereka
pergi, tidak perlu harus berjalan kaki."
"Ooo...," Suto menggumam lirih.
"Sepertinya ada yang mengganjal di hatimu, Bocah Tampan"!" pancing Eyang Putri
Batari yang agaknya sudah mengetahui maksud hati Suto.
"Benar, Eyang," Suto tersenyum malu namun tetap penuh hormat. "Saya ingin
menanyakan sesuatu yang saya peroleh dari hasil semadi saya di Gua Pedupan,
Eyang. Hmmm... anu, saya disuruh mencari orang yang berjuluk Guru Sejati jika
ingin dapatkan 'Tuak Dewata'.
Tetapi saya tidak tahu, di mana saya bisa temukan si Guru Sejati itu, Eyang
Putri." "Di sini," jawab Eyang Putri Batari pendek saja, tapi sempat bikin Suto
kebingungan dan terheran-heran.
"Maksudnya... di sini bagaimana, Eyang" Maaf, saya kurang paham."
"Sebab itulah, jangan terlalu banyak berpikir tentang perempuan, nanti otakmu
menjadi tumpul. Pendekar gagah!" goda Eyang Putri Batari yang membuat Suto makin
tersipu. Sambungnya lagi, "Jika kau mau mencari Guru Sejati, temuilah dirimu sendiri,
Suto. Di dalam dirimu itulah letak persinggahan sang Guru Sejati. Karena setiap
manusia mempunyai Guru Sejati sendiri-sendiri yang wajahnya serupa dengan
wajahmu." Pendekar Mabuk melongo menerima penjelasan itu.
Dahinya berkerut, matanya tak berkedip pandangi bayangan sang Eyang Putri yang
tampak ramah dan ceria.
"Tiap manusia begitu lahir mempunyai empat saudara
pribadi yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Empat saudara pribadi itu mempunyai sifat sendiri-sendiri, dan sifat itu adalah
sifatmu juga. Lalu satu lagi yang tak bisa ditinggalkan oleh manusia adalah Guru
Sejati, yaitu kehakikian dari jati dirimu sendiri."
"Apa hubungannya dengan 'Tuak Dewata' itu, Eyang?" "'Tuak Dewata' adalah air kehidupan. Jati dirimu sendiri yang mempunyai air
kehidupan tersebut, Suto.
Tuakmu tidak bisa menjadi penyembuh luka dan sakit apa
pun jika jati dirimu tidak ikut serta menyembuhkannya!"
"Apakah... apakah yang dimaksud jati diri itu hampir sama dengan keyakinan atau
kepercayaan, Eyang"!"
"Benar! Seseorang yang kurang percaya diri, tidak yakin dengan kemampuannya,
maka ia akan gagal
melakukan apa pun! Sebaliknya, orang itu akan berhasil dalam melakukan pekerjaan
sesulit apa pun, jika ia yakin dan percaya bahwa dirinya mampu!"
Suto Sinting termenung beberapa kejap. Lalu ia memandang bayangan Eyang Putri
Batari lagi. "Jadi, pada waktu Kakek Guru Gila Tuak kuberi minum tuak dan ternyata sakitnya
tidak sembuh, itu lantaran pada waktu itu saya ragu-ragu alias kurang percaya
diri. Eyang"!"
"Tepat sekali! Sebenarnya kau tak perlu mencari
'Tuak Dewata' ke mana-mana. Tuak itu ada pada dirimu, yaitu sebentuk keyakinan
atau kepercayaan dari sang jati diri alias sang Guru Sejati. Karena itu, aku
berpesan padamu, Bocah Ganteng... minumkan tuakmu kepada si Gila Tuak dengan rasa percaya
diri bahwa tuak itu akan menyembuhkannya, maka ia pun benar-benar akan
sembuh! Tapi jika kau ragu-ragu alias tak yakin akan dapat
menyembuhkan si Gila Tuak,

Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan kau minumkan tuak itu, karena itu akan sia-sia belaka!"
Pendekar Mabuk semakin tertegun mendengar penjelasan tersebut, bahwa ternyata 'Tuak Dewata' sejak dulu sudah ada pada
dirinya. Yang hilang dari dirinya saat menyembuhkan si Gila Tuak adalah
keyakinan dan kepercayaan dari sang Guru Sejati.
"Pulanglah, sembuhkan Kakek Gurumu itu dengan tuakmu. Tuak itulah yang disebut
'Tuak Dewata'!"
Slaaap...! Bayangan Eyang Putri Batari hilang begitu saja, membuat Suto Sinting
tercengang dan masih terpaku di tempat hingga beberapa saat.
"Rupanya saat aku meminumkan tuak kepada Kakek Guru, hatiku diliputi rasa kurang
percaya diri. Maklum saja,
karena beberapa tokoh sakti tidak berhasil mengobati Guru, maka aku merasa diriku lebih tidak berhasil lagi. Sebenarnya aku
tak boleh merasa seperti itu, dan harus tetap percaya pada kemampuanku sendiri,"
pikir Suto Sinting dalam mencerna kata-kata Eyang Putri Batari tadi.
Ia pun segera pulang ke alam nyata, dan meminumkan tuak itu kepada sang Guru. Rasa percaya diri yang tumbuh membara
dalam hati dan sanubari Suto ternyata benar-benar mampu sembuhkan penyakit si
Gila Tuak. Tokoh tertinggi di rimba persilatan alam nyata itu
pun akhirnya berkata kepada murid tunggalnya.
"Aku sendiri tak sadar kalau aku bicara tentang 'Tuak Dewata' itu. Tetapi semua
ini mempunyai arti yang besar bagi kehidupan kita bersama, Suto. Perjalananmu ke
Gerbang Siluman ternyata adalah perjalanan mencari jati dirimu yang sempat
hilang sebentar itu."
"Benar, Kakek Guru! Aku pun tak menyangka akan mendapat pelajaran tentang
saudara pribadiku dan Guru Sejatiku."
"Catat dalam ingatanmu semua hikmah dari peristiwa ini.
Dan yang perlu kita lakukan lagi adalah menyirnakan ilmu 'Dewatakara' agar darahmu bukan darah siluman lagi. Kau sudah
siap, Muridku"!"
"Aku sudah siap, Guru!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas dan penuh rasa percaya
diri. SELESAI PENDEKAR MASUK Segera terbit!!!
BENCANA SELAPUT IBLIS
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Pedang Tanpa Perasaan 13 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Anak Berandalan 1
^