Pencarian

Bencana Selaput Iblis 1

Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 JURANG Lindu adalah sebuah tempat yang
mempunyai tebing cukup tinggi. Di bawah tebing itu ada sungai dangkal berbatu-
batu. Tebing itu juga
mempunyai curahan air terjun yang cukup deras hingga suara gemuruhnya dapat
terdengar dari jarak radius lima kilometer.
Di balik curahan air terjun yang bening itu, ternyata ada sebuah gua cukup besar
yang menjadi tempat tinggal seorang tokoh tua kelas tinggi dan namanya cukup
kondang di rimba persilatan. Tokoh itu tak lain adalah Ki Sabawana alias si Gila
Tuak. Gila Tuak mempunyai murid yang masih muda,
tampan, gagah, berani, dan agak sinting. Bukan otaknya yang sinting, melainkan
ilmunya itulah yang sinting.
Karena dalam usia belum mencapai dua puluh delapan tahun, ia sudah mampu
tumbangkan tokoh-tokoh sesat berilmu tinggi. Anak muda berbaju coklat tak
berlengan dengan celana putih kusam dan rambut panjang
sepundak tanpa ikat kepala itu tak lain adalah Suto Sinting, yang kemudian
dikenal dengan nama Pendekar Mabuk.
Pemuda itu ke mana-mana selalu membawa bumbung
bambu berisi tuak. Tuaknya itu bukan tuak
sembarangan. Mampu untuk sembuhkan penyakit dan
melenyapkan luka dalam waktu singkat. Tuak itu
dikatakan sebagai tuak sakti, tapi sebenarnya bukan tuaknya yang sakti,
melainkan bumbung bambunya.
Sebab bumbung bambunya itu adalah jelmaan dari tokoh kawakan yang berilmu
tinggi, yang tanpa pusar seperti Suto sendiri, dan tokoh kawakan itu adalah
Eyang Wijayasura. "Kau boleh minum tuak sepuas-puasmu, kapan saja dan di mana saja, tetapi
ingat... jangan sampai mabuk!
Sekali lagi, jangan sampai mabuk!"
Itu wanti-wanti si Gila Tuak kepada sang murid
tunggalnya. "Kau boleh mabuk, tapi hanya dalam memainkan
jurusmu saja. Dalam kenyataannya kau harus tetap sadar dan waspada."
"Minum tuak banyak-banyak kok tidak boleh mabuk.
Guru" Mana bisa begitu?"
"Bisa saja! Minum tuak atau arak supaya tidak mabuk ada caranya sendiri."
"Caranya bagaimana, Guru?"
"Caranya, salurkan air tuak ke dalam sel-sel darah merahmu pada saat tuak sudah
masuk ke tenggorokan.
Jangan dinikmati dengan hatimu, tapi nikmatilah dengan darahmu. Jika kau
menikmati tuak dengan darahmu,
maka seluruh tubuhmu akan ikut menikmati. Sebab
seluruh tubuhmu mempunyai darah."
"Ada yang tidak mempunyai darah, Guru."
"Bagian apa yang tidak mempunyai darah dalam
tubuh kita?"
"Rambut! He, he, he, he...! Rambut kita kalau dipotong tidak berdarah, Guru.
Jenggot Guru kalau
dipotong juga tidak berdarah kan?"
"Tapi kalau kepalamu diketok pakai kayu kok
berdarah"! Kalau tak percaya, mari kucoba...."
"Eh, eh... jangan, Guru! Jangan...! Ampun, Guru!"
"Murid kalau dikasih tahu kok pasti banyak
ngototnya!" gerutu Gila Tuak sambil bersungut-sungut.
Itu percakapan beberapa tahun yang lalu, ketika Suto Sinting baru tumbuh sebagai
remaja dan ilmunya belum seberapa tinggi. Sekarang, acara ngotot-ngotot sudah
jarang dilakukan oleh Suto. Walau kadang-kadang
memang ia masih suka ngotot, tapi tidak sebandel dulu.
Sekarang jika Gila Tuak memberi wejangan ini-itu,
Suto Sinting hanya mengangguk dan menerima
wejangan itu dengan penuh kesungguhan. Apalagi sejak sang Guru hampir mati
karena penyakit aneh itu, Suto
Sinting mulai jarang membandel di depan gurunya.
Beberapa waktu yang lalu, Gila Tuak sakit parah.
Hampir saja nyawanya cabut dari raganya. Penyakit itu disebabkan karena hukuman
atas kelalaian si Gila Tuak.
Seperti apa kata Eyang Putri Batari, neneknya Dyah Sariningrum yang menjadi
kekasih pujaan hati Suto itu, bahwa Gila Tuak punya ilmu yang lupa belum
diturunkan atau dibuang dalam batas usia sampai
sekarang. Karena, ilmu itu membuat Gila Tuak sakit dan hampir koit, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam
episode : "Gerbang Siluman").
"Aku sendiri memang lupa kalau aku punya ilmu yang bernama 'Sukma Lingga'. Sebab
ilmu itu jarang kugunakan. Sudah puluhan tahun aku tidak pernah
memakai ilmu tersebut, tapi juga lupa belum
membuangnya," kata Gila Tuak sambil duduk berslia berhadapan dengan muridnya di
atas sebongkah batu
besar yang datar tak seberapa jauh dari curahan air terjun.
"Ilmu 'Sukma Lingga' itu ilmu apa, Guru?"
"Ilmu itu sejenis ilmu siluman, yaitu merupakan kesatuan dari kekuatan batin dan
pikiran yang bekerjasama dengan napas serta roh sejati kita."
"Perlu latihan berapa lama, Guru?"
"Satu purnama sudah cukup, terutama bagi orang yang sudah memiliki ilmu dasar
pernapasan dan pemusatan kekuatan batin."
"Apa yang kita dapatkan dari ilmu 'Sukma Lingga'
itu, Guru?" tanya Suto yang selalu ingin tahu jika bicara
soal ilmu. "'Sukma Lingga' dapat mengubah diri kita menjadi raksasa, ular naga, burung
hantu, atau apa saja yang bersifat aneh dan tidak masuk akal. Sebab ilmu 'Sukma
Lingga' tercipta oleh Eyang Buyut Guru-mu itu dari suatu kekuatan inti khayal
yang diubah menjadi inti nyata. Aku jarang memakainya, karena aku tak suka
berkhayal."
"Apakah ilmu itu sama dengan ilmu 'Dewatakara'
pemberian si Payung Serambi yang sekarang masih
kumiliki ini, Guru?"
"Ya, sama persis, bahkan bisa lebih tinggi
'Sukmalingga' jika kau pandai mengolahnya dalam tiap denyut nadi dan tiap helaan
napasmu. Tergantung
seberapa tingginya daya khayalmu sebelum
menggunakan ilmu 'Sukma Lingga' itu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Hatinya
berdebar-debar karena merasa kagum dengan kehebatan ilmu itu dan merasa bangga
jika ia bisa memiliki ilmu tersebut.
"Sekarang ilmu itu akan kuturunkan padamu."
"Benar, Guru. Sayang sekali kalau harus dibuang, kan?"
"Sebenarnya akan kubuang. Tapi mengingat kau telah selamatkan nyawaku saat aku
dalam keadaan sekarat
gara-gara hukuman ilmu itu, maka sebagai hadiahnya,
'Sukma Lingga' akan kuturunkan padamu. Tapi ingat, kalau ilmu itu sudah berada
dalam dirimu selama dua ratus tahun, kau harus membuangnya atau mewariskan
kepada muridmu kelak. Sebab jika tidak kau buang atau kau wariskan kepada
seseorang, maka ilmu itu akan
mengeringkan darahmu dan membusukkan jantung,
paru-paru, limpa, hati, usus, babat, dan sebagainya. Kau akan menderita seperti
penyakitku tempo hari itu."
"Saya akan selalu mengingat pesan Kakek Guru ini!"
jawab Suto dengan tegas.
Sang Guru yang usianya sudah mencapai dua ratus
lima belas tahun itu segera berkata lagi dengan penuh wibawa.
"Ilmu 'Sukma Lingga' dapat meleburkan ilmu
'Dewatakara' yang kini berada dalam dirimu itu. Jika ilmu 'Dewatakara' telah
lebur, maka darahmu bukan lagi darah siluman. Kau akan kembali sebagai pemuda
berdarah manusia biasa, namun mempunyai kekuatan
gaib setinggi para siluman, yaitu dengan cara
mengendalikan ilmu 'Sukma Lingga' tersebut. Paham?"
"Paham sekali, Guru! Kapan saya mulai latihan"
Sekarang?"
"Nanti dulu...!" sang Guru bersungut-sungut. "Aku perlu berunding dulu dengan
Bibi Guru-mu; Bidadari Jalang. Sebab, dulu aku pernah janji padanya, kalau dia
mau masuk aliran putih, aku akan menurunkan ilmu itu padanya."
Bidadari Jalang adalah tokoh cantik yang berilmu
tinggi, satu tingkat di bawah Gila Tuak. Mereka dulu boleh dikatakan satu
perguruan, hanya saja beda guru.
Jika Gila Tuak gurunya Eyang Purbapati, maka Bidadari Jalang gurunya Eyang Nini
Galih. Sedangkan Purbapati
dan Nini Galih itu suami-istri, mempunyai satu guru dan satu aliran, guru mereka
adalah Eyang Wijayasura.
Tetapi ketika Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih sudah wafat, Bidadari Jalang
menyimpang dari ajaran agung sang Guru. Kehebatan ilmunya membuat Bidadari
Jalang lupa daratan dan jadilah ia seorang tokoh sesat yang sukar ditumbangkan.
Kejahatan Bidadari Jalang berkisar pada masalah
gairah dan cinta. Tak peduli lelaki itu sudah punya istri, kalau Bidadari Jalang
bergairah kepada lelaki itu, maka ia akan berusaha dengan cara kasar untuk
mendapat kemesraan tersebut. Kalau perlu, istri lelaki itu dibunuh.
Dan kalau lelaki itu tidak mau melayani gairahnya, menolak ajakan bercumbu, maka
hal itu sama saja si lelaki menghendaki umur pendek. Bidadari Jalang tak segan-
segan membunuh lelaki yang menolak ajakan
bercumbunya. Akibat ulahnya yang tergolong sesaat itu, maka
Bidadari Jalang banyak musuhnya. Terutama musuh
perempuan, sebab yang banyak dikecewakan olehnya
adalah kaum perempuan yang merasa suami atau
kekasihnya direbut oleh Bidadari Jalang. Tetapi setelah Bidadari Jalang
menemukan bocah tanpa pusar berusia sekitar tujuh tahun, ia menjadi tertarik
untuk turunkan ilmunya, ia berebut dengan kakak perguruannya sendiri; Gila Tuak.
Akhirnya mereka sepakat untuk sama-sama menurunkan ilmu mereka kepada bocah
tanpa pusar itu.
Dan bocah tersebut tumbuh menjadi dewasa, hingga
sekarang menjadi seorang pendekar perkasa berjuluk
Pendekar Mabuk. Sejak itulah Bidadari Jalang bertobat, insaf, sadar, tak mau
menjadi perempuan sesat lagi. Kini ia menjadi tokoh aliran putih dan
mengasingkan diri di Lembah Badai, ia ingin menebus segala dosanya dengan banyak
mendekatkan diri kepada Hyang Widi Wasa,
banyak bersujud kepada Yang Maha Kuasa.
Tetapi hutang lama Bidadari Jalang masih banyak
dan belum terlunasi. Tak heran jika banyak pula para penagih hutang yang
mencarinya dan bikin perhitungan dengannya. Salah satu penagih hutang yang
berhasil temukan tempat pengasingan Bidadari Jalang adalah
Nyai Watu Wadon, yang merasa dirugikan seumur
hidupnya karena ulah Bidadari Jalang tempo dulu.
"Sebelum nyawaku sirna dari raga, aku tetap
mengejarmu, Bidadari Jalang! Tak peduli apakah
sekarang kau sudah jadi orang baik atau orang buruk atau juga jadi orang hutan,
tapi hutang nyawa tetap harus dibalas nyawa! Tak pernah ada hutang nyawa dibayar
dengan beras!" ujar Nyai Watu Wadon ketika berhasil temukan Bidadari Jalang di
Lembah Badai. Perempuan yang kehilangan suaminya karena dibawa
lari oleh Bidadari Jalang, dan beberapa hari kemudian ditemukan sang suami sudah
tak bernyawa di tepi hutan itu, sekarang usianya sudah delapan puluh tahun.
Tetapi berkat kesaktian ilmu yang dimilikinya, Nyai Watu
Wadon masih tampak tegar, kulitnya masih kencang
untuk ukuran seorang nenek seperti dia. Rambutnya
memang sudah putih rata dan digulung asal-asalan.
Tetapi ia belum bungkuk dan jalannya tidak tertatih-
tatih, ia bahkan masih tampak lincah dan gerakannya cukup gesit.
Nyai Watu Wadon mengenakan jubah abu-abu
dengan pakaian penutup bagian pentingnya berwarna
kuning kunyit. Dengan senjata tongkat hitam yang
ujungnya diberi senjata mirip bulan sabit itu, Nyai Watu Wadon berdiri tegak
menantang pertarungan dengan
Bidadari Jalang.
"Barangkali ada baiknya kalau suamimu mati di tanganku, Watu Wadon!" ujar
Bidadari Jalang. "Karena suamimu sendiri adalah Ketua Perampok Laut Wetan!
Kalau sekarang ia masih hidup, ia tetap akan merugikan pihak lain yang tak
berdosa padanya."
"Bicaramu seperti seorang biksu saja. Perempuan Liar! Jangan bicara tentang
dosa, karena kau juga
manusia yang tak pernah kenal dosa! Sekarang hadapi saja hukuman dariku sebagai
penebus kematian
suamiku!" "Aku tidak mau membunuh lagi, Watu Wadon."
"O, kalau begitu kau lebih suka dibunuh"! Aha, itu sangat bagus. Kita pasangan
yang cocok; kau suka
dibunuh dan aku suka membunuh!"
"Tapi kalau kau memaksaku harus mempertahankan nyawa, dengan terpaksa kulayani
tantanganmu, Watu
Wadon!" "Eh, plin-plan juga kau rupanya. Mulutmu harus dirobek dulu dengan tongkat
'Tanduk Keong' ini.
Hiaaaat...!!"
Weeesss...! Nyai Watu Wadon berkelebat menerjang Bidadari
Jalang. Gerakannya ternyata sangat cepat dan membuat Bidadari Jalang terlambat
menghindarinya. Tongkat
'Tanduk Keong' hampir saja merobek wajah Bidadari
Jalang jika perempuan yang masih cantik dan berdada montok itu tidak melompat ke
kiri. Namun toh
lompatannya itu tak luput dari kibasan ujung tongkat yang bawah, sehingga kening
Bidadari Jalang terhantam kibasan tongkat tersebut.
Plaaak...! Brrruk...! Bidadari Jalang jatuh terbanting. Rupanya tongkat itu mempunyai
kekuatan tenaga dalam yang
sama besarnya dengan serudukan seekor banteng.
Kepala Bidadari Jalang terasa mau pecah. Keningnya membekas merah kebiru-biruan.
Pandangan matanya
menjadi buram dan makin lama makin gelap.
Bidadari Jalang mencoba bangkit dengan tenaga yang masih ada. Tapi baru separo
berdiri, tahu-tahu
tengkuknya ditendang oleh Nyai Watu Wadon yang
menggunakan tendangan belakang seperti kuda betina menyepak lawannya. Duuuhk...!
"Uuhk...!"
Bruuuk...! Bidadari Jalang tersungkur ke depan, darahnya keluar dari mulut. Menyembur deras
sebelum jatuh tadi.


Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tendangan itu pun dialiri kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, hingga membuat
seluruh tubuh Bidadari Jalang menjadi panas bagai dipanggang api.
Agaknya Nyai Watu Wadon sekarang jauh lebih
tangkas dari waktu mudanya, ia telah memperdalam
ilmunya yang sengaja dipersiapkan untuk melawan
Bidadari Jalang. Pada dasarnya, Bidadari Jalang
sebenarnya tak ingin melawan, apalagi membunuh Nyai Watu Wadon, ia tak mau
lakukan hal itu. Ia hanya ingin menghindari keributan tersebut dengan sedikit
memberi pertahanan agar tak sampai terbunuh.
Tetapi rupanya Nyai Watu Wadon memang tidak
ingin memberi kesempatan kepada Bidadari Jalang
untuk bernapas lebih lama lagi. Cita-citanya adalah membunuh Bidadari Jalang
dalam dua-tiga jurus saja.
Jadi dia tidak boros jurus.
Karena itulah, begitu melihat Bidadari Jalang
terpuruk dalam keadaan luka dalam cukup parah. Nyai Watu Wadon segera mengangkat
tongkatnya 'Tanduk
Keong' itu. Dengan satu lompatan, tongkat itu
dihujamkan ke bawah untuk memenggal leher Bidadari Jalang.
"Habis riwayatmu sekarang, Jahanam! Hiaaaah...!"
Wuuuut...! Brruuus...! Nyai Watu Wadon justru terpental agak jauh dan
tubuhnya menabrak sebatang pohon besar. Tubuh yang terhempas kuat pada batang
pohon itu akhirnya jatuh tersungkur dan membuat tulang-tulangnya terasa mau
patah semua. Pandangan mata Nyai Watu Wadon pun
menjadi berkunang-kunang, hingga ia perlu mengerjap-ngerjapkan mata sambil
berusaha bangkit dengan
bantuan tongkatnya.
"Maling kecut, kunyuk botak...!" umpat sang Nyai.
"Siapa yang menerjangku tadi"!" sambil ia clingak-clinguk. Lalu sebuah suara
menjawab dari belakangnya.
"Aku yang menerjangmu, Nona!"
"Baah...! Bocah keparat kau, berani menerjang orang tua! Apa matamu buta, aku
sudah jadi nenek. Jangan panggil aku Nona lagi. Itu penghinaan namanya!"
Pemuda yang menerjangnya itu tersenyum kalem.
Pemuda itu adalah Suto Sinting yang sudah siap dengan bumbung tuaknya di tangan
kanan. "Siapa kau, sehingga berani menggagalkan rencanaku membunuh Bidadari Jalang"!"
"Aku muridnya! Namaku Suto Sinting alias Pendekar Mabuk!"
"Bohong!" bentak Nyai Watu Wadon. "Kau tak pantas jadi muridnya, karena kau
tampan dan gagah
perkasa begitu. Kau pasti gundiknya si Jalang ini!"
"Aku muridnya!" tegas Suto. "Kalau kau mau membunuh Bibi Guru, kau harus
membunuhku lebih
dulu, Mbah!"
"Jangan panggil aku Mbah! Kuno itu!" sentak Nyai Watu Wadon. "Panggil aku Dik...
eh, jangan... itu terlalu muda. Panggil aku Mbak... oh, jangan itu. Tapi... tapi
persetan kau mau panggil aku apa, yang jelas kau telah ikut campur dalam urusan
ini dan kau harus mati di tanganku. Ciaaaatt...!"
"Ssssttt...!!"
Nyai Watu Wadon hentikan langkahnya yang ingin
menyerang Suto dengan ujung tongkat sudah siap
disodokkan ke leher pemuda itu. Suto menempelkan
telunjuknya di mulut yang berdesis tadi, sepertinya ingin membisikkan sesuatu
yang amat rahasia. Nyai Watu
Wadon kendurkan ketegangan dan melangkah biasa
sambil menyodorkan telinganya.
"Ada apa?" tanyanya dalam nada bisik. Suto pun bicara dengan suara rendah
seperti orang berbisik.
"Orang sudah tua tak baik melawan anak muda. Nanti kualat! Durhaka!"
"Setan kampret!" sentak Nyai Watu Wadon. Lalu ia hantamkan tangannya ke dagu
Suto. Wuuut...!
Plak...! Tangan Suto berkelebat menangkis dengan
badan miring ke kiri, lalu mengayun ke belakang seperti orang mabuk mau jatuh.
Nyai Watu Wadon berputar dan kakinya menyepak ke belakang. Wuuut...!
Ploook...! "Aduuuh...!" Suto Sinting terkena tendangan pada bagian pipinya, ia terpelanting
dan hampir jatuh kalau tidak segera berpegangan pada sebatang pohon.
"Bocah kupret mau coba-coba melawanku dengan
tipu muslihat, hmmm...! Cekak umurmu, Nak!" seru Nyai Watu Wadon. "Kalau tak
percaya bahwa umurmu akan cekak, inilah buktinya! Heeeeah...!"
Nyai Watu Wadon melompat dan mengibaskan
tongkat 'Tanduk Keong' dengan cepat. Wuuut...!
Tongkat itu tiba-tiba menghantam sesuatu. Trring...!
Seperti menghantam logam besi, tapi sebenarnya yang dihantam adalah bambu
bumbung tuak. Bambu itu tidak lecet atau remuk, justru tongkat sang Nyai yang
hampir saja terlepas dari genggamannya.
Suto segera berkelebat dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman' yang punya kecepatan seperti cahaya pindah tempat itu.
Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di samping Bidadari Jalang.
"Bibi Guru, minumlah tuak ini. Lekas...! Aku akan hadapi dia!"
"Jangan. Dia bukan lawanmu."
"Masa bodoh, yang jelas dia mau bunuh Bibi Guru, berarti dia harus berhadapan
denganku dulu!"
Pendekar Mabuk tinggalkan bumbung tuaknya agar
diminum Bidadari Jalang, ia terpaksa harus lakukan satu lompatan cepat, karena
Nyai Watu Wadon sudah
menyerang kembali dengan tongkatnya.
Kali ini logam putih tajam yang mirip tanduk atau bulan sabit itu memancarkan
sinar merah bara. Ketika disodokkan ke depan, dua berkas sinar merah berkelok-
kelok meluncur ke arah Bidadari Jalang.
Claaap...! Pendekar Mabuk melompat dan berguling di tanah.
Wuuut...! Kini ia berlutut satu kaki dan sentakkan kedua tangannya ke depan.
Dari kedua tangan itu melesat dua larik sinar ungu sebesar lidi. Kedua sinar
dari jurus 'Surya Dewata' itu bertabrakan dengan sinarnya Nyai Wato Wadon.
Cralaaap...! Blegaaarrr...!
Ledakan itu mengguncangkan tanah sekitar mereka.
Pohon-pohon pun bergetar, daunnya berguguran.
Gelombang ledakan itu menyentak kuat, membuat Nyai
Watu Wadon terjungkal ke belakang dan Suto Sinting terlempar ke samping.
Brruus...! Gusraaak...!
"Maling tak sunat kau, Cah Pitak! Rupanya kau punya kekuatan untuk hadapi jurus
'Sepasang Paruh
Kuda'-ku tadi. Kalau begitu, coba tahan jurus 'Bencana Gaib'-ku ini! Hiaaah...!"
Nyai Watu Wadon yang ganas itu segera lepaskan
tongkatnya. Tongkat berdiri tegak di tanah tanpa
ditancapkan. Lalu kedua pergelangan tangannya saling rapat. Dan kedua tangan itu
menyodok ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka. Wuuut...! Dari sodokan
tangan itu melesat sinar besar warna merah berasap.
Wuuus...! Pendekar Mabuk cepat-cepat pergunakan jurus
'Tangan Guntur'-nya. Kedua tangan menyentak ke depan lagi dan keluarlah sinar
biru besar dari telapak tangannya itu. Claaap...!
Sinar itu pun akhirnya menghantam sinar merahnya
Nyai Watu Wadon di pertengahan jarak.
Jegaaaarrr...!! Brruuk...! Gusraak...! Sruuuk...!
Bruuuss...! Pohon-pohon tumbang karena ledakan kali ini
sungguh dahsyat. Tubuh Suto dan Bidadari Jalang
terlempar sepuluh langkah dari tempat semula. Tubuh Nyai Watu Wadon terpental
pula dan membentur pohon.
Pohon itu sendiri tumbang dan menindih tubuh Nyai
Watu Wadon. Beberapa pohon lainnya pecah, batu-batu hancur, tanah terbelah
menjadi beberapa bagian.
Cahaya ungu yang berkerilap bersama bunyi ledakan
dahsyat tadi masih menyala dan membubung tinggi
menyebar lebar, menutup cahaya matahari. Langit
bagaikan diselaputi kain ungu yang membuat cahaya
matahari sukar menembus ke bumi.
Cahaya ungu yang bercampur kabut tipis itu makin
lama semakin tinggi, lalu tampaklah matahari bersinar ungu dan menjadi temaram.
"Uuuhk...! Hiiiaaahk...!"
Nyai Watu Wadon menghantam pohon yang
menimpanya itu dengan kedua tangan. Praak...!
Blaaarr...! Pohon itu hancur, ia segera dapat meloloskan diri.
Namun ketika ia berdiri menyambar tongkatnya, tiba-tiba ia memuntahkan darah
dari mulut. "Hoeek...!"
Zrrrook...! Darah yang dimuntahkan berwarna hitam dan cukup
banyak. Nyai Watu Wadon mengerang dan mulai
terbatuk-batuk.
"Keparat kau, Jahanam Busuk! Kau lukai aku separah ini dan... uuuhk...!" Nyai
Watu Wadon pegangi dadanya dengan menyeringai menahan sakit. Wajahnya menjadi
pucat pasi. "Celaka aku ini! Kalau tetap melawan bocah
sontoloyo itu bisa mampus di sini!" gerutunya dalam hati.
Maka ia pun segera lakukan sentakan kaki yang
membuatnya melambung ke atas dan hinggap pada sisa batang pohon yang patah di
pertengahannya. Jleeeg...!
"Bocah congor sapi!" serunya dengan suara tertahan.
"Tunggu pembalasanku! Aku akan datang dengan
murid-muridku pada saatnya nanti!"
Blaaasss...! Nyai Watu Wadon pergi dengan
berkelebat cepat. Pendekar Mabuk yang mengucurkan
darah dari hidung dan telinganya bergegas mengejar.
Tapi Bidadari Jalang segera berseru,
"Tunggu, Suto...!"
Langkah pengejaran terhenti, Pendekar Mabuk
berpaling memandang Bibi Guru-nya.
"Jangan kejar dia!" larang Bidadari Jalang.
"Kenapa, Bi"!"
"Dia Ketua Janda Liar!"
"Apa kehebatannya"!"
* * * 2 WAJAH Bidadari Jalang yang cantik dan awet muda
itu kini tampak murung diliputi kecemasan. Walaupun luka dalamnya telah sembuh
dan badannya cepat
menjadi segar kembali karena minum tuaknya Suto, tapi kegelisahan itu masih
belum bisa sirna dari raut wajah cantiknya.
Pendekar Mabuk tak habis pikir melihat Bibi
Gurunya menyimpan kecemasan. Mulanya ia ajukan
tanya, tapi sang Bibi Guru tak mau menjawab yang
sebenarnya. Kecurigaan Suto membuat hatinya kian
penasaran hingga mendesak terus dengan pertanyaan
yang sama. "Sebenarnya ada apa, Bi"! Mengapa Bibi Guru
berpura-pura tenang padahal
hati menyimpan kecemasan"!"
Bidadari Jalang agaknya masih belum mau menjawab
secara apa adanya. Bahkan ia sengaja alihkan
pembicaraan agar sang murid lupa
dengan kegelisahannya.
"Apakah kedatanganmu ke Lembah Badai ini diutus oleh Kakek Guru-mu?"
"Benar, Bibi. Aku diutus Kakek Guru untuk
memanggilmu datang ke Jurang Lindu. Ada masalah
yang ingin dibicarakan Kakek Guru kepada Bibi Guru."
"Masalah apa?"
"Tentang ilmu 'Sukma Lingga' yang bikin sakit Kakek Guru tempo hari itu, Bi!"
"Oooo...," Bidadari Jalang
manggut-manggut.
Sekarang ia baru ingat bahwa Gila Tuak memang punya ilmu 'Sukma Lingga' yang
akan merusak jiwa raganya jika dalam dua ratus tahun tak dibuang atau dialihkan
ke orang lain. Suto Sinting juga menceritakan tentang janji Gila Tuak kepada
Bidadari Jalang, sesuai dengan cerita sang Kakek Guru itu.
"Memang, dulu Gila Tuak membujukku agar masuk ke aliran putih. Bahkan dia
menjanjikan akan
memberikan ilmu 'Sukma Lingga' kepadaku jika aku mau masuk aliran putih dan
meninggalkan jalan sesatku.
Tetapi pada waktu itu aku menolak."
"Apakah Bibi Guru tidak mempunyai ilmu itu?"
"Tidak, ilmu 'Sukma Lingga' adalah ilmu wasiat dari Eyang Purbapati. Aku
mendapat warisan ilmu wasiat sendiri dari Eyang Nini Galih, yaitu ilmu 'Candra
Geni'. Dan ilmu itu akan kuturunkan padamu sesuai janjiku, karena kau telah berhasil
sembuhkan Kakek Guru-mu dengan 'Tuak Dewata' itu."
Pendekar Mabuk tarik napas lega bercampur gembira, karena ia juga akan mendapat
ilmu tambahan dari Bibi Guru-nya. Karena sebelum itu, Bidadari Jalang memang
pernah berjanji akan menurunkan ilmu 'Candra Geni'
jika Suto berhasil selamatkan nyawa Gila Tuak dari penyakit aneh itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri Tuak Dewata").
"Tetapi agaknya kau harus selesaikan dulu urusanmu dengan Kakek Guru-mu. Nanti
setelah ilmu 'Sukma
Lingga' kau kuasai, aku baru akan menurunkan ilmu
'Candra Geni' itu."
"Apakah Bibi Guru tidak keberatan jika ilmu 'Sukma Lingga' diwariskan padaku?"
Bidadari Jalang menggeleng. "Aku bertobat dan masuk ke aliran putih bukan karena
ingin memiliki ilmu
'Sukma Lingga'. Jadi bagiku tidak ada masalah ilmu itu mau diwariskan padamu
atau mau dibuang oleh si Gila Tuak. Jika memang akhirnya kau yang akan menerima
ilmu wasiat itu, pada dasarnya aku setuju saja. Tapi yang terpenting bagiku
sekarang ini...," Bidadari Jalang hentikan kata.
Wajah cantik itu tampak resah lagi dan jelas sekali keresahan itu sengaja ingin
disembunyikan namun gagal.
Suto Sinting melihat keresahan itu mengganggu
ketenangan Bibi Guru-nya, sehingga ia berusaha
membujuk sang Bibi Guru mau jelaskan rahasia
keresahannya itu.
"Kesulitan Bibi Guru sama saja dengan kesulitanku.
Kalau Bibi Guru tidak mau membagi masalah denganku, berarti aku sudah bukan lagi
murid dari Bibi Guru! Aku akan pamit pergi dan tak akan kembali lagi ke sini!"
"Pergilah sana dan tak perlu ke sini lagi!"
"Yaaah... tadi kan cuma gertakan saja, Bi!" Suto Sinting merajuk seperti anak
kecil, ia memang sering manja jika sedang berhadapan dengan Bibi Guru-nya.
"Jangan suruh aku benar-benar pergi, Bi. Nanti aku sedih kalau kehilangan Bibi
Guru." "Ah, rayuanmu tak bisa menyentuh hatiku!" sambil Bidadari Jalang melengos.
"Kalau Bibi bukan guruku juga, pasti Bibi akan kurayu dengan asmara dan Bibi
Guru akan kelabakan
mencari kemesraanku. He, he, he, he...."
"Kalau kau bukan muridku, aku juga tidak akan turunkan jurus 'Rayuan iblis' yang


Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat melumpuhkan hati perempuan mana pun itu!"
"Jadi, sekarang aku masih muridmu, bukan?" sambil Suto sengaja berpindah tempat
agar berhadapan dengan Bidadari Jalang.
Perempuan cantik berjubah ungu muda dan pinjung
penutup dada serta celana beludrunya yang berwarna merah itu sengaja berbalik
arah agar memunggungi
murid tampannya.
"Tinggalkan aku dan biarkan aku berpikir sendiri, Suto."
Sang murid cengar-cengir. "Bibi terlalu cantik kalau cemberut begitu."
"Tinggalkan aku sekarang juga, Suto!" sentaknya tanpa berpaling kepada Suto yang
ada di belakangnya.
Suto memegangi jubah sang Bibi Guru.
"Bibi jangan membentak begitu, nanti hatiku deg-degan. Sebab kalau Bibi sedang
marah, wajah Bibi Guru jauh lebih cantik daripada rembulan dan...."
"Suto...!!" bentak sang Bibi Guru semakin keras. Suto Sinting terlonjak kaget
dan segera undurkan diri. Ia menundukkan kepala ketika Bibi Guru-nya memandang
dengan mata memancarkan kemarahan. Namun sesekali
mata Suto melirik wajah sang Bibi Guru dengan senyum geli disembunyikan.
"Persoalan ini adalah persoalanku, dan kau tak boleh tahu!"
"Tapi, Bibi..., sebagai muridmu juga, aku harus bisa membantumu dalam melepaskah
diri dari segala
kesulitan."
"Tidak perlu. Aku tidak butuh bantuan siapa pun.
Yang penting, sekarang pergi dari sini dan kembalilah ke Jurang Lindu. Katakan
kepada Kakek Guru-mu bahwa
aku setuju jika ilmu 'Sukma Lingga' itu diwariskan padamu. Sudah, pergi sana!"
"Kenapa Bibi Guru menjadi begitu berang
kepadaku?" Suto berlagak manja dan bersungut-sungut.
"Dari dulu cuma Bibi Guru yang sering mengomelku!"
"Karena kau murid yang bandel, nakal, dan...."
"Dan tampan, bukan?" goda Suto sambil nyengir, pamer senyum ketampanan di depan
Bibi Guru-nya. Plaaak...! Suto ditampar dan Suto Sinting kaget, lalu berkata dengan wajah
memelas. "Terima kasih...!"
Bidadari Jalang bergegas pergi tinggalkan Suto
Sinting. Tapi sang murid bandel tetap memburunya,
serta tiba-tiba menghadang langkah sang Bibi Guru.
Jleeg...! "Pergi kau dari hadapanku!" gertak Bidadari Jalang.
"Aku tak ingin pergi sebelum Bibi Guru ceritakan apa sebabnya Bibi Guru gelisah
dan resah sekali."
"Kau mau melawan Bibi Guru-mu ini"!"
"Boleh saja kalau memang Bibi Guru ingin adu ilmu denganku!" jawab Suto sambil
berlagak cuek, garuk-garuk kepala dan memandangi daun-daun pohon.
"Kau benar-benar murid yang minta dibasmi!" geram Bidadari Jalang.
"Memangnya aku tikus sawah, kok mau dibasmi
segala"!" Suto bersungut-sungut, Bidadari Jalang melengos sembunyikan senyum.
Kemudian perempuan itu bergegas pergi dengan satu
lompatan cepat.
Wuuut,..! Tapi Suto Sinting
menyusulnya dengan jurus 'Gerak Siluman' yang lebih cepat dari gerakan Bibi
Guru-nya. Zlaaap...! Bidadari Jalang hentikan langkah karena Suto sudah menghadang di depannya-
Ia berani lakukan canda seperti itu, karena ia yakin Bibi Guruhnya tidak benar-
benar marah. Hanya merasa jengkel oleh ulahnya. Dan semakin sang Bibi Guru
kelihatan jengkel, semakin berani Suto mempermainkan sang Bibi Guru. Kebetulan
saat-saat bahagia dalam
canda seperti itu sudah lama tidak terjalin di antara mereka berdua, karena Suto
Sinting sibuk mengejar
musuh utamanya; Siluman Tujuh Nyawa. Kepala tokoh terkutuk bernama Siluman Tujuh
Nyawa itulah yang
akan menjadi maskawinnya nanti dalam melamar
seorang ratu cantik dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam nyata. Ratu itu
bergelar Gusti Mahkota Sejati dengan nama asli yang cantik: Dyah Sariningrum.
"Kau benar-benar membuatku marah, Suto!" geram Bidadari Jalang. "Kuhitung sampai
tiga kali kalau kau masih berdiri menghadangku, akan kuhajar kau sampai gempor,
Suto!" "Kuadukan kepada Kakek Guru, kau akan kena
marah, Bibi!"
"Adukan sana! Aku tidak takut berhadapan dengan si Gila Tuak!" sentak Bidadari
Jalang dengan wajah cantik cemberut.
"Jangan, ah! Kalau kuadukan nanti Bibi Guru
dimarahi oleh Kakek Guru. Kasihan, Bibi... sudah tak punya sanak keluarga masa'
harus dimarahi terus"!"
"Minggir kau, Suto! Satuuu...!"
"Duaaaa...!" Suto ikut-ikutan menghitung.
"Diam kau! Biar aku yang menghitung!"
"Aku cuma tunjukkan bahwa aku ingin membantu
setiap pekerjaan dan kesulitanmu. Sebagai contoh, aku ikut membantu menghitung
ancamanmu itu, Bibi Guru."
"Duaaa...!"
Pendekar Mabuk sengaja cengar-cengir di depan Bibi Guru-nya. Wajah cantik itu
makin tampak kesal, bahkan sempat menggeram dengan napas tertarik.
Tiba-tiba mereka mendengar suara dentuman dari
arah timur. Wajah mereka tampak terperanjat seketika.
Dentuman itu terdengar tak begitu jauh dari mereka.
Pendekar Mabuk mulai penasaran sebab ia yakin di
sebelah timur pasti ada pertarungan. Wajah cengar-
cengirnya sirna seketika. Bidadari Jalang sendiri juga kehilangan
kejengkelannya.
Zlaaap...! Suto Sinting pergi ke arah timur tanpa
pamit apa-apa pada Bibi Guru-nya, sebab ia yakin sang Bibi Guru pasti akan
mengikutinya. Keyakinan Pendekar Mabuk memang terbukti. Bidadari Jalang segera
melesat mengikuti muridnya menuju ke timur. Saat itu bumi
terasa bergetar kembali dengan suara dentuman yang menggelegar seperti tadi.
Blegaarr...! Dari ketinggian tanah cadas yang menyerupai bukit
kecil itu, Suto dapat melihat dua sosok wanita saling berhadapan dan saling
memainkan jurus lamban.
Permainan jurus itulah yang diperhatikan Suto Sinting setiap ia mengintai
pertarungan. "Hmmm... jurus yang aneh. Lamban tapi mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup
besar!" gumam Suto Sinting. "Rupanya Nyai Watu Wadon tak sempat
melarikan diri jauh-jauh. Ia masih terluka, tapi mengapa berani lakukan
pertarungan dengan perempuan berjubah bunga-bunga merah hitam itu"!"
Pertarungan itu memang dilakukan oleh Nyai Watu
Wadon dan seorang perempuan berjubah kuning dengan pola bunga-bunga merah hitam.
Agaknya perempuan
berjubah bunga-bunga itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi, karena serangan
tongkat 'Tanduk Keong' Nyai Watu Wadon tak dapat melukai kulitnya yang halus,
mulus, dan berwarna kuning langsat itu. Perempuan
yang tampaknya berusia sekitar tiga puluh tahun kurang sedikit itu sengaja
membiarkan dirinya diserang dengan senjata ujung tongkat itu berkali-kali. Bet,
bet, bet...! Tak satu pun bagian tubuh yang tergores atau lecet karena tebasan tongkat Nyai
Watu Wadon. Bahkan
ketika Nyai Watu Wadon hujamkan tongkatnya ke dada perempuan cantik berpayudara
montok itu, ternyata
logam tajam di ujung tongkat itu justru patah dan tak berguna lagi.
Wuuut...! Traak...!
"Celeng sunat!" sentak Nyai Watu Wadon melihat senjatanya patah.
Perempuan berambut panjang diriap lepas dengan
bagian tengahnya dikonde kecil itu masih tetap bergerak seperti orang menari
malas-malasan, ia bagaikan tidak peduli dengan makian dan keberangan Nyai Watu
Wadon. Bahkan ketika Nyai Watu Wadon mengangkat
tongkatnya dan tongkat itu menyala merah seperti besi
membara, perempuan berjubah bunga-bunga itu tetap
bergerak lamban bagai menari-nari.
"Modar kau sekarang, Gayung Jamban! Heaaah...!"
Wuuuut, praaak...!
Tongkat itu dihantamkan di kepala si cantik. Tapi
ternyata kepala itu tetap awet dan utuh, retak sedikit pun tidak. Justru tongkat
sang Nyai yang menjadi patah dan cahaya merah baranya lenyap seketika. Tempat
patahnya itu mengepulkan asap bagaikan bara habis tersiram air.
"Gila! Rupanya perempuan cantik itu tahan
bacokan"!" gumam Suto Sinting lirih.
"Dia kuasai ilmu 'Kulit Baja'...!"
Pendekar Mabuk sempat terperanjat sekejap, karena
tahu-tahu ada suara yang menimpali gumaman lirihnya tadi. Ternyata suara itu
milik Bibi Guru-nya yang menyusul di balik pohon persembunyian itu.
"Bibi kenal dengan perempuan berjubah bunga-bunga itu"!"
"Ya. Dia dikenal dengan nama: Selimut Senja."
"Orang mana dia, Bi?"
"Ssst...! Lihat saja pertarungan itu. Agaknya si Watu Wadon mulai terdesak!"
Pendekar Mabuk tak jadi ajukan tanya lagi, karena
perhatiannya terpusat pada pertarungan yang cukup seru.
Selimut Senja tampak berhasil menguras tenaga Nyai Watu Wadon dengan pancingan
jurusnya. Nyai Watu Wadon menyerang terus karena Selimut
Senja kelihatan sering lengah. Padahal kelengahan
Selimut Senja justru suatu bahaya bagi Nyai Watu
Wadon. Setiap pukulan tangan atau tendangan kaki tanpa
cahaya yang kenai tubuh Selimut Senja ternyata dapat menyerap tenaga orang yang
memukulnya. Terbukti,
setiap Nyai Watu Wadon berhasil menghantam
punggung alau dada lawannya, ia selalu terengah-engah dan menggelosor sendiri
bagai kekurangan tenaga.
Sedangkan Selimut Senja hanya oleng ke kiri atau ke kanan, sesekali tampak
terhuyung ke belakang, namun tegak kembali dan bergerak gemulai lagi bagai
menari tanpa tenaga.
Tapi ketika Nyai Watu Wadon melepaskan pukulan
bersinar merah yang dipakai menyerang Suto tadi,
Selimut Senja melambung ke atas dan bersalto dengan cepatnya. Sambil lakukan
gerakan bersalto, seberkas sinar putih kecil lurus terlepas dari tangannya dan
kenai leher kiri Nyai Watu Wadon. Claap...!
Caaaasszz...! "Aaahk...!" Nyai Watu Wadon mengejang dengan tubuh melengkung ke belakang. Sinar
putih yang kenai lehernya itu membuat leher itu menjadi hitam seketika dan
berasap. Kejap berikutnya, Selimut
Senja mendaratkan kakinya ke tanah. Jleeg...! Tanah di
sekitarnya tampak bergetar, daun-daun berguguran
karena getaran tersebut. Nyai Watu Wadon jatuh berlutut sambil masih mengerang
dengan mata mendelik
menyeramkan. Kedua tangannya memegangi leher yang
hitam dan berasap itu.
"Kepp... kepaarraat... kauuu...."
"Sekarang akulah yang menjadi Ketua Janda Liar!"
ujar Selimut Senja dengan rentangkan kaki kanan ke belakang jauh-jauh, dan kaki
kirinya merendah hingga lututnya tampak menonjol maju, satu tangan terangkat di
atas kepala dengan jari lentik bagai ingin mencari, tapi tangan yang satunya
lagi menggenggam kuat di depan dada.
"Celaka! Mengapa aku diam saja"!" gumam Bidadari Jalang tepat ketika Nyai Watu
Wadon akhirnya roboh ke belakang dan kepalanya menggelinding satu langkah
darinya. "Terlambat! Sudah terlambat!" ucap Bidadari Jalang dalam geram membisik. Ucapan
itu memancing keheranan Suto, sehingga murid tampan yang nakal itu pun akhirnya ajukan tanya
dengan dahi berkerut.
"Ada apa sebenarnya, Bi"! Wajah Bibi Guru
kelihatan semakin resah dan seperti ketakutan"!"
Weees...! Pendekar Mabuk kaget, karena saat ia
berpaling memandangi Selimut
Senja, ternyata
perempuan cantik berdada montok itu sudah melesat
lebih dulu, lenyap dari pandangan Suto. Ia pergi ke arah barat dan Suto ragu-
ragu untuk mengejarnya, ia lebih tertarik dengan kecemasan yang tampak makin
mencekam jiwa Bibi Guru-nya itu.
"Seharusnya kita tidak membiarkan Nyai Watu
Wadon terbunuh!" ujar Bidadari Jalang sambil memandang ke arah kepergian Selimut
Senja. "Bukankah Nyai Watu Wadon adalah musuh Bibi
Guru" Dia tadi ingin membunuh Bibi Guru. Mengapa
sekarang Bibi Guru tampak menyesal melihat Nyai
Watu Wadon dibunuh Selimut Senja"!"
"Pandanglah langit!" hanya itu jawaban Bidadari Jalang, kemudian berkelebat
pergi tinggalkan tempat itu.
Pendekar Mabuk tak mengerti maksud Bidadari
Jalang. Ia memandang langit sebentar. Langit masih dilapisi kabut ungu. Sinar
matahari hanya membayang tipis membuat alam menjadi temaram berkesan redup.
"Bibi, tunggu...!"
Zlaaap...! Suto Sinting menyusul Bibi Guru-nya
dengan menggunakan kecepatan 'Gerak Siluman'. Dalam waktu singkat ia sudah
berhasil menghadang langkah Bibi Guru-nya lagi.
"Bibi Guru, apa maksudmu menyuruhku memandang langit"!"
"Bodoh!" sentak Bidadari Jalang dengan jengkel karena langkahnya terhadang lagi
itu. "Kalau aku bukan murid bodoh aku tidak akan
bertanya kepada Bibi Guru. Kalau aku pintar, Bibi Guru yang akan menjadi
muridku!" "Bocah lancang!" geram Bidadari Jalang sambil mengangkat tangan untuk menampar
wajah Suto. Tetapi sang murid segera menampar pipinya sendiri dengan
tangan kirinya. Plaak...!
"Sudah, Bibi. Tak perlu repot-repot menamparku, aku sudah menampar wajahku
sendiri untuk meringankan
beban Bibi Guru, biar irit tenaga! Tapi jelaskan apa maksud Bibi Guru menyuruhku
memandang ke langit"!"
"Apakah kau tidak melihat matahari diselimuti
cahaya ungu berkabut"!"
"Ya, memang, itu karena jurusnya Nyai Watu Wadon yang hampir merenggut nyawaku
tadi. Ternyata cahaya ungu berkabut itu belum sirna juga."
"Watu Wadon menggunakan jurus 'Bencana
Gaib'....!"
"O, ya... kudengar tadi dia menyebutkan nama jurus itu," sahut Suto Sinting.
"Seharusnya sinar merahnya tadi jangan kau tangkis dengan jurus 'Tangan Guntur'
yang memancarkan sinar biru. Mestinya kau tangkis dengan jurus lain atau kau
hindari. Sinar merah itu hanya akan membuat benda
yang dikenainya menjadi lenyap, namun bayangannya
masih membekas di tanah, tergantung dari mana arah matahari datangnya."
"Jadi jika aku tadi terkena jurus 'Bencana Gaib', maka tubuhku akan lenyap tapi
bayanganku masih ada,
begitu?" "Ya. Dan bayanganmu masih bisa berjalan ke sana-sini atau berbuat apa saja, tapi
tak bisa disentuh atau menyentuh orang lain."
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Lantas, apa salahnya jika kutangkis
dengan jurus 'Tangan


Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Guntur' tadi" Toh membuatku selamat dan benda apa
pun tidak menjadi lenyap."
"Benar! Tapi jurus 'Bencana Gaib', jika bertemu sinar biru, dia akan berubah
ungu dan membentuk cahaya
abadi berkabut. Cahaya ungu yang abadi dan menutup sinar matahari dinamakan
'Selaput iblis'. Sinar matahari
tetap memancar, tapi timbulkan hawa lain yang
mempengaruhi kehidupan di bumi. Matahari tak akan
bergerak ke barat atau ke timur, karena ia terpaku 'oleh
'Selaput iblis' itu."
Bidadari Jalang mengusap wajahnya dan selalu
berusaha bicara tanpa memandang Suto Sinting. Bahkan ia tampak sekali tak mau
diperhatikan oleh murid-nya, sehingga sebentar-sebentar Suto terpaksa bergeser
mencari tempat yang bisa beradu muka dengan Bibi
Guru-nya. "Apakah selamanya matahari tidak akan bergerak ke barat atau ke timur, Bibi"!"
"Ya. Selamanya matahari akan diam di sana, sebelum
'Selaput Iblis' itu hancur. Dan...," Bidadari Jalang tampak ragu, namun desah
napasnya menandakan
kecemasannya kian bertambah. Pendekar Mabuk
menjadi tambah penasaran lagi.
"Lanjutkan penjelasanmu, Bibi Guru! Tolong, jangan bikin hatiku penasaran dan
ingin menggodamu terus, Bibi!"
"Kuperintahkan padamu, cari kekuatan yang bisa hancurkan 'Selaput Iblis' itu!"
"Mengapa harus dihancurkan" Apa yang terjadi jika
'Selaput iblis' itu tidak dihancurkan, Bibi Guru"!" Suto mendesak lebih detil
lagi. "Ketahuilah, Anak Brengsek...! Cahaya matahari yang menembus 'Selaput Iblis'
akan memudarkan semua kekuatan ilmu pengawet ayu. Siapa pun orangnya yang
menggunakan ilmu atau mantra awet ayu dan awet
muda, dalam waktu dekat kekuatan itu akan sirna
termakan bias cahaya matahari yang menembus lapisan ungu itu. Aku dan yang
lainnya, akan menjadi tua,
wajahku akan buruk, keriput, rambutku akan berubah, kecantikanku akan hancur
dan... oooh...!"
Bidadari Jalang berbalik wajah, dan menghantamkan
tangannya pada sebatang pohon yang dipakai untuk
sembunyikan wajah dari pandangan sang murid.
Duuur...! Pohon itu bergetar keras, ranting dan
daunnya berguguran akibat pukulan tangan Bidadari
Jalang tadi. Suto Sinting tak peduli tentang daun gugur itu. Ia segera dekati
Bibi Guru-nya dengan mengitari pohon tersebut. Kini ia berada di depan Bibi
Guru-nya yang tertunduk.
"Bibi Guru...," sapanya pelan, bernada serius. Sang Bibi Guru angkat wajah dan
pandangi Suto Sinting.
"Bibi masih kelihatan cantik, menarik, dan... dan sangat mengagumkan," ujar Suto
Sinting bagai merayu seorang kekasih.
"Sebentar lagi aku akan berubah menjadi buruk dan menjijikkan! Semua perempuan
yang menggunakan
ilmu atau mantra awet muda, akan menjadi tua dan
menyeramkan setelah setiap bayangan benda berubah
menjadi ungu muda."
Pendekar Mabuk segera memandang bayangannya
sendiri. Ada bayangan samar-samar di tanah akibat bias sinar matahari yang redup
itu. Bayangan tersebut masih berwarna hitam seperti biasanya. Tapi warna-warna
ungu mulai tampak tipis pada tepian bayangan itu.
Bayangan pohon dan batu pun demikian.
Pendekar Mabuk menjadi tegang dan bertanya dalam
hati, "Benarkah jika setiap bayangan sudah berubah menjadi ungu, maka seluruh
ilmu pengawet kecantikan akan pudar dan membuat wajah-wajah mereka menjadi
menyeramkan"! Oh, kalau begitu, aku harus segera
menghancurkan 'Selaput Iblis' itu agar Bibi Guru tak menjadi buruk rupa! Tapi
dengan apa aku menghancurkannya"!"
Pendekar Mabuk menanyakan hal itu, tapi Bidadari
Jalang mengaku tidak tahu persis tentang kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput
Iblis' itu. "Kekuatan itu ada pada Nyai Watu Wadon! Hanya dia yang bisa menghancurkan
'Selaput iblis'," kata Bidadari Jalang.
"Tapi... tapi bagaimana mungkin dia bisa hancurkan
'Selaput Iblis' itu, Bibi Guru, sebab Nyai Watu Wadon sudah mati dan kepalanya
tadi dibawa lari oleh Selimut Senja!"
"Itulah masalah yang harus kau hadapi.
Bagaimanapun juga, kau ikut andil dalam membentuk
'Selaput Iblis' yang kini menutupi matahari itu. Jika kau tidak gunakan jurus
'Tangan Guntur' yang bercahaya biru, tak mungkin cahaya merahnya si Watu Wadon
akan berubah menjadi cahaya ungu!"
"Ja... jadi aku termasuk bersalah dalam hal ini. Bibi Guru?"
"Aku... aku tak bisa bicara lagi. Lihat, bayangan kita sudah mulai berwarna ungu
pada tepiannya."
Pendekar Mabuk memandang dengan mata tak
berkedip dan mulut terbengong melompong.
* * * 3 BIDADARI Jalang sempat berdebat dengan Gila
Tuak setelah Pendekar Mabuk dilaporkan pergi mencari kekuatan yang dapat
hancurkan 'Selaput iblis' itu.
Agaknya si Gila Tuak tidak setuju jika Suto Sinting dikatakan sebagai orang yang
ikut andil dalam
menciptakan 'Selaput iblis' di langit.
"Warna merah apa pun, kalau bercampur dengan warna biru, jelas akan hasilkan
warna ungu," kata Gila Tuak. "Jurus apa pun yang memancarkan sinar biru, jika
bertemu dengan sinar merahnya si Watu Wadon, tentu saja akan membiaskan warna
ungu. Tetapi bukan berarti Suto Sengaja menciptakan 'Selaput Iblis' di langit
untuk memudarkan kecantikanmu, Nawang Tresni!"
"Aku tidak menuduhnya begitu, Sabawana! Aku
hanya mengatakan bahwa ia ikut bertanggung jawab atas terciptanya kabut sinar
ungu yang menutupi matahari itu! Jadi dia harus ikut berusaha mencari kekuatan
yang dapat menghancurkan 'Selaput iblis' itu!"
"Seandainya Suto tidak mencari kekuatan tersebut, dia tidak bersalah! Justru si
Watu Wadon yang bersalah, karena ia menggunakan jurus maut yang dapat
membahayakan kaum wanita di seluruh bumi ini! Dan
justru Suto bertindak benar, karena melindungimu
sebagai perilaku yang baik bagi seorang murid!"
Bidadari Jalang tak mau berdebat lagi. Pikirnya,
perdebatan itu hanya akan membuat mereka berdua
saling bersitegang yang salah-salah bisa mengakibatkan permusuhan dalam sekejap.
Bidadari Jalang sudah
merasa sungkan jika harus bertarung dengan saudara seperguruannya lagi. Ia
mempunyai rasa hormat kepada Gila Tuak, sebagai tokoh tertinggi di deretan nama
para tokoh dunia persilatan.
Akhirnya Bidadari Jalang memohon dengan suaranya
yang datar dan dingin.
"Lalu, bagaimana nasibku sekarang" Tak dapatkah kau menghancurkan kabut sinar
ungu di langit itu"!"
Gila Tuak menarik napas. Kumisnya terbang
beberapa lembar karena napas yang segera dihembuskan itu cukup kuat.
"'Selaput Iblis' dulu memang pernah tercipta, ketika Nyai Rumpun Sari, gurunya
si Watu Wadon melepaskan jurus 'Bencana Gaib' kepada Tunggul Ketawang, dan
Tunggul Ketawang mengadunya dengan sinar jurus
bersinar biru. Tetapi pada waktu itu, Raja Maut masih hidup. Dia yang mempunyai
jurus penghancur 'Selaput iblis', sehingga bencana buruk muka tidak sempat
melanda para wanita. Sebab kala itu Tunggul Ketawang dibela oleh si Raja Maut."
"Ya. Aku ingat juga peristiwa itu. Tapi sekarang Raja Maut sudah tiada. Apakah
kita harus memaksa mayatnya agar menghancurkan 'Selaput Iblis' itu"!"
"Jelas mayat Raja Maut tak mungkin mau biar
diancam pakai seribu pedang pun!" kata Gila Tuak
dengan nada datar. "Sebaiknya kita bicarakan kepada para sahabat kita. Mungkin
si Tua Bangka atau Batuk Maragam mengetahui cara melumpuhkan 'Selaput iblis'
itu." Kebetulan sekali pada waktu itu Pendekar Mabuk
bertemu dengan Batuk Maragam dalam perjalanannya
mencari kekuatan yang dapat hancurkan 'Selaput Iblis'
itu. Ia menemukan Batuk Maragam dalam sebuah arak-
arakan manusia yang menuju ke sebuah lembah.
Iring-iringan itu kebanyakan terdiri dari kaum wanita.
Hanya beberapa orang lelaki saja yang tampak ikut
dalam iring-iringan tersebut. Di antaranya adalah lelaki tua berusia sembilan
puluh tahun dengan rambut abu-abu potongannya mirip rambut Suto Sinting. Pak Tua
yang mengenakan jubah kuning dan celana biru itu
selalu terbatuk-batuk dan suara batuknya bisa beraneka ragam. Sebab itulah ia
dijuluki Batuk Maragam di
kalangan para tokoh persilatan. Nama aslinya:
Brajamusti. Tapi ia enggan menggunakan nama itu
karena kurang populer dan lebih kondang serta terasa lebih angker baginya dengan
nama Batuk Maragam.
Sebongkah tanah cadas sebesar kepalan tangan orang dewasa melesat ke arah
tengkuk Batuk Maragam.
Wees...! Gumpalan tanah cadas yang keras itu tiba-tiba berhenti sendiri dalam
jarak satu jengkal sebelum kenai tengkuk Batuk Maragam. Seet...! Gumpalan tanah
itu diam di udara bagai ada kekuatan yang menyangganya.
Pada saat itulah Batuk Maragam segera berpaling ke belakang, lalu gumpalan tanah
cadas itu jatuh dengan
sendirinya. Pluk...! Batuk Maragam geleng-geleng
kepala sambil memandang Suto Sinting yang cengar-
cengir di depannya.
"Tak mungkin kau bisa menyerangku dari belakang, Suto. Sebab aku telah kuasai
aji 'Lembu Sekilan'.
Belajarlah kepada si Gila Tuak bagaimana cara
mengalahkan aji 'Lembu Sekilan' itu, Bocah Konyol!"
Pendekar Mabuk hanya tertawa sambil lebih
mendekat lagi. "Maaf, aku hanya ingin mengganggu ketenanganmu, Ki Brajamusti!"
Batuk Maragam segera tersenyum kecil, kemudian
menepuk-nepuk punggung Suto Sinting.
"Kau pasti akan tampil lebih baik dari peserta lainnya."
"Maksudnya tampil apa, Ki?"
"Bukankah kau ingin mengikuti sayembara itu?"
"Sayembara apa"!" Pendekar Mabuk semakin heran, matanya memandang kepada iring-
iringan yang menuju lembah.
"Jadi kau kemari bukan untuk mengikuti sayembara tanding laga?"
"Aku tidak sengaja lewat sini, Ki Brajamusti. Aku tidak tahu kalau ada sayembara
tanding laga. Siapa yang mengadakan sayembara itu?"
"Partai Janda Liar mengadakan sayembara tanding laga melawan Selimut Senja.
Siapa bisa tumbangkan
Selimut Senja, dia akan diangkat oleh anggota Partai Janda Liar sebagai
ketuanya. Tetapi jika dua puluh peserta yang tampil tak bisa tumbangkan Selimut
Senja, maka mereka akan menetapkan Selimut Senja sebagai
Ketua Partai Janda Liar."
"Dan kau ingin mengikuti sayembara itu, Ki
Brajamusti"!"
"Mana mungkin aku mau jadi Ketua Partai Janda Liar, bisa-bisa aku nanti, uhuk,
uhuk, uhuk, ehek, huueeek...! Cuih!"
Batuk Maragam ambil napas dan lanjutkan bicaranya,
"Bisa-bisa aku nanti mati lemas jika harus berada di antara para janda itu. Heh,
heh, heh, heh, uhuk, uhuk, eheeek, huueeek...! Cuih...!"
"Lalu, apa maksudmu datang ke sini, Ki Brajamusti?"
"Hanya ingin tahu apakah muridku si Camar Sembilu ikut-ikutan dalam sayembara
itu atau tidak. Kalau
sampai ikut-ikutan, aku tidak setuju dan akan kupecat, tidak kuakui sebagai
muridku lagi."
"Ooh, begitu...?" Pendekar Mabuk manggut-manggut.
Terbayang pula seraut wajah cantik yang sederhana
milik Camar Sembilu yang dulunya bekas murid Peri
Sendang Keramat, wajah cantik berhidung bangir itu sudah lama tidak dijumpai
Suto, hingga menimbulkan rasa kangen di hatinya, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Peri Sendang Keramat").
Pendekar Mabuk terpaksa ikuti langkah Batuk
Maragam ke arena pertarungan yang tak jauh dari
bangunan bekas sebuah candi. Bangunan itu dipakai
sebagai pesanggrahan Partai Janda Liar.
"Kurasa," kata Batuk Maragam,"... tidak akan ada orang yang bisa menggulingkan
Selimut Senja, karena
dia menguasai ilmu 'Kulit Baja'. Tubuhnya yang mulus itu tak akan bisa dilukai
oleh benda apa pun. Tapi kalau di... uhuk, uhuk, dan di... uhuk, ehek, ehek,
huueek. Cuih! Kurasa bisa!"
"Kau ini ngomong apa sebenarnya, Ki Batuk
Maragam"!" sambil Suto Sinting tertawa pelan.
"Yah, beginilah kalau orang sudah tua tapi masih keluyuran ke mana-mana; ngomong
sedikit batuk, tertawa sedikit batuk, nguap sedikit saja batuk!" sambil Batuk Maragam mendongak
ke atas. Tiba-tiba ia
terperanjat dan kerutkan dahi.
"Lho... jadi sejak tadi matahari dilapisi... oh, bukankah itu lapisan bencana
yang dinamakan 'Selaput Iblis'"!" Batuk Maragam menuding bayangan matahari di
balik kabut sinar ungu.
"Apakah Paman baru tahu"!"
"Kusangka tadi cuaca mendung."
"Justru itulah kesulitanku, Paman."
"Kau ini memanggilku Paman, tadi Ki, tempo hari Eyang, mana yang kau suka
sebenarnya"! Uhuk, uhuk, huuuaakr... cuih!"
"Aku hanya menirukan panggilan keponakanku;
Dewi Angora, yang memanggilmu Paman. Sedangkan
untuk menghormatimu sebenarnya aku pantas
memanggilmu Eyang. Tapi sebagai tanda keakrabanku, rasanya aku pantas pula
memanggilmu Ki Brajamusti."
"Ya, sudah...! Tak usah dibahas hal itu.
Menghabiskan waktu. Yang penting aku ingin tahu,
mengapa tadi kau bilang 'itulah kesulitanku', maksudnya
bagaimana?"
"Bibi Guru; Bidadari Jalang, mengutusku mencari kekuatan yang dapat untuk
hancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman. Sebab katanya 'Selaput Iblis' itu dapat
melunturkan seluruh ilmu pengawet muda yang
digunakan beberapa perempuan, termasuk Bibi Guru
Bidadari Jalang sendiri."
"Iya. Memang benar! Tapi yang kuherankan mengapa
'Selaput Iblis' itu sampai terjadi dan menutupi matahari"
Kalau begini caranya, jemuranku tak akan kering-kering karena tak mendapat panas
matahari. Dan hal ini akan berlangsung lama. Tak akan ada siang tak ada malam.
Kerupuk yang kujemur di loteng juga akan bantat, tak akan bisa mekar jika
digoreng."
"Ceritanya begini, Paman...," kemudian Suto Sinting menceritakan pertarungannya
dengan Nyai Watu
Wadon, sampai akhirnya ia melihat Nyai Watu Wadon
dibunuh oleh Selimut Senja dan penggalan kepalanya dibawa lari sebagai bukti
bahwa Selimut Senja berhasil membunuh Ketua Partai Janda Liar itu.
"Oo... pantas para anggota Partai Janda Liar menguji Selimut Senja dalam suatu
sayembara tanding laga ini"!"


Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Batuk Maragam manggut-manggut.
"Apakah Paman tahu kekuatan apa yang bisa dipakai untuk hancurkan 'Selaput
Iblis' itu?" tanya Suto Sinting.
Batuk Maragam diam sebentar. Matanya memandang
ke arah panggung rendah yang lebar dan dipakai sebagai arena pertarungan. Kala
itu, Selimut Senja sedang
menghadapi seorang perempuan kurus yang berambut
jambul. Tapi perhatian Batuk Maragam jelas tidak ke arah pertarungan, melainkan
kepada pertanyaan Suto Sinting tadi.
Kejap berikut suara Batuk Maragam terdengar lagi.
"Kalau kau bermaksud menghancurkan 'Selaput Iblis'
itu, berarti kau harus menemui seorang sahabatku yang bernama Begawan Parang
Giri. Beliau tinggal di Bukit Canting bersama cucu-cucunya."
"Kau yakin bahwa dia punya kekuatan untuk
menghancurkan 'Selaput Iblis' itu, Paman?"
"Uhuk, uhuk, ehek, ihik, ihiiiik, ahhh...!" Ki Brajamusti terbatuk sesaat,
kemudian menjawab
kesangsian Suto Sinting tadi.
"Begawan Parang Giri itu kakak sepupunya mendiang Raja Maut. Dulu Raja Maut
dapat menghancurkan
'Selaput Iblis' karena mendapat petunjuk dari Begawan Parang Giri."
"Dengan apa mendiang Raja Maut menghancurkan
'Selaput Iblis' itu, Paman?"
"Aku hanya mendengar ceritanya saja. Aku tak
melihat sendiri, karena pada waktu itu aku masih
memperdalam ilmu di Pegunungan Sojiyama. Tapi...
sebaiknya temui saja Begawan Parang Giri dan mintalah bantuan kepadanya,
setidaknya mintalah petunjuk
bagaimana caranya menghancurkan 'Selaput Iblis itu."
"Kalau begitu, agaknya aku harus ke Bukit Canting sekarang juga, Paman."
"Maaf, aku tak bisa mendampingimu. Aku masih
harus mencari muridku di antara para wanita itu!"
"Aku akan berangkat ke sana sendiri. Hanya saja, kira-kira ke arah mana aku
harus melangkah agar sampai di Bukit Canting, Paman?"
"Ke selatan. Jika kau menemukan kuil kembar, maka di situlah Begawan Parang Giri
berada. Karena...," ucap Batuk Maragam terhenti. "Oh, itu dia murid-ku, si Camar
Sembilu"!"
Seorang gadis cantik berjubah hijau dengan pinjung penutup dada warna coklat
berbulu halus sedang
mendekati Batuk Maragam dan Suto Sinting. Gadis
bersanggul kecil dengan sisa rambut meriap itu telah sunggingkan senyum lebih
dulu begitu matanya menatap ke arah Suto Sinting. Suto menyambutnya dengan
lambaian tangan kecil dan senyum yang menawan hati setiap wanita.
"Tak kusangka kau ada di sini, Suto."
"Kebetulan saja kulihat Paman Batuk Maragam
menyaksikan pertarungan tanding laga itu, jadi
kusempatkan menyapa beliau," ujar Suto Sinting penuh keramahan.
"Aku mencarimu, Camar Sembilu! Apakah kau ikut dalam sayembara itu?"
"Tidak, Guru! Saya hanya ingin tahu siapa akhirnya yang menjadi Ketua Partai
Janda Liar setelah kematian Nyai Watu Wadon."
"Syukurlah jika kau tidak ikut. Sebab kalau kau ikut sayembara tanding laga dan
kau menang, aku tidak
setuju kau menjadi Ketua Partai Janda Liar. Apalagi kalau kau kalah dan mati,
aku sangat tidak setuju kau
mati mendahuluiku. Itu namanya murid yang ngelunjak!
Gurunya belum mati kok muridnya sudah mati lebih
dulu. Uhuk, uhuk, uhuk, uhuuuiiik, ahh...!"
Sambil tertawa kecil, Camar Sembilu berkata, "Guru tak perlu khawatir. Aku tak
punya minat menjadi Ketua Partai Janda Liar, sebab aku belum pernah kawin, mana
mungkin bisa menyandang gelar sebagai janda"
Bukankah begitu, Suto?"
"Bukan. Eh... iya!"
Setelah Batuk Maragam bertemu dengan Camar
Sembilu, maka Suto Sinting pun segera pamit untuk
pergi ke Bukit Canting menemui Begawan Parang Giri.
Sementara itu, matahari masih tetap tidak bergerak dan kabut sinar ungu itu
semakin membuat bayangan benda mulai berwarna ungu. Tapi warna hitamnya masih
lebih besar khususnya pada bagian tengah bayangan.
Tiba-tiba langkah Suto Sinting berhenti sejenak
karena mendengar suara denting pedang beradu. Suara itu berasal dari hutan
seberang kirinya, dan diyakini sebagai suara pertarungan berpedang. Pendekar
Mabuk tak bisa cuek dengan suara pertarungan. Hasrat ingin mengintip Jurus-jurus
yang digunakan dalam
pertarungan sangat besar, sehingga ia sempatkan
berkelebat ke arah hutan seberang. Zlaaap...!
Wuuut, wuuut...!
Pendekar Mabuk melompat ke atas dalam gerakan
bersalto naik. Dalam sekejap ia sudah berada di sebuah dahan besar dari sebatang
pohon berdaun kecil namun rimbun. Dari pohon itu ia dapat melihat pertarungan
yang terjadi dalam jarak sekitar sepuluh langkah dari pohon itu.
"Ooh..."! Kalau tak salah perempuan berjubah ungu muda itu adalah si Pelangi
Sutera alias Sumbaruni"!"
gumam Suto Sinting dengan hati berdebar-debar. Tapi dahinya berkerut sebagai
tanda keraguan atas apa yang telah dilihatnya.
"Benarkah dia Sumbaruni"!"
Sumbaruni adalah salah satu dari sekian wanita cantik yang ngebet sekali
cintanya kepada Suto Sinting. Hanya saja, Suto Sinting selalu menjaga jarak
sehingga Sumbaruni tidak terlalu kecewa atas penolakan Suto.
Perempuan cantik dan bertubuh sexy sekali itu seperti berusia dua puluh lima
tahun. Padahal usianya sudah cukup banyak, ia mantan istri jin Kazmat yang
mendapat warisan ilmu dari seorang pertapa sakti. Karenanya, sampai sekarang ia
masih kelihatan cantik dan dadanya montok menawan setiap pria, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak").
Tapi dalam keremangan cahaya matahari yang redup,
wajah Sumbaruni tampak sedikit berbeda dari biasanya.
Dan hal itulah yang membuat Suto Sinting berkerut dahi, merasa heran serta ragu-
ragu dengan penglihatannya.
"Mengapa wajahnya tampak berbeda dari biasanya"
Apakah karena aku sudah lama tidak melihatnya"
Hmmm... wajah itu sedikit berkeriput dan hidungnya tak begitu mancung. Tepian
bibirnya juga kelihatan agak berkerut, rambutnya... oh, rambutnya itu ada
ubannya walau tak rata. Bukankah Sumbaruni mempunyai rambut
yang hitam mengkilat dan lembut"!"
Sementara itu, perhatian Suto berpindah kepada
lawan Sumbaruni yang tampaknya juga cukup mahir
dalam bermain pedang. Perempuan yang satu itu hanya mengenakan kutang hijau
muda, pinggulnya dibungkus kain warna merah. Rambutnya pendek diponi depan, ia
gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun, bermata bundar nakal, berhidung
bangir dan mempunyai bibir yang sensual. Selain montok juga berpinggul sexy.
Pendekar Mabuk mengenal gadis itu sebagai Awan
Setangkai, mantan prajurit ulung dari Selat Bantai.
Tetapi sekarang ia menjadi penguasa Selat Bantai setelah Ratu Cendana Sutera
dikalahkan oleh Suto Sinting,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pemburu Darah Satria").
Awan Setangkai mempunyai ilmu cukup tinggi, ia
mempunyai ilmu yang dapat mengubah-ubah wajah
menjadi orang lain. Tetapi Sumbaruni juga berilmu
tinggi, ia dapat mengukur seberapa tingginya ilmu
seseorang dengan menggunakan ilmu 'Gerat Sukma'-
nya. Ia juga bekas panglima negeri Ringgit Kencana yang mempunyai ratu cantik
bernama Ratu Asmaradani.
Pertarungan dengan pedang itu membuat keduanya
sama-sama kerahkan tenaga dan keluarkan jurus-jurus pedang mautnya. Percikan
bunga api selalu menyebar ke mana-mana setiap pedang mereka saling beradu.
Tapi dalam kesempatan tertentu, Awan Setangkai
berhasil lukai punggung Sumbaruni dengan gerakan
memutari tubuh lawannya begitu cepatnya. Breet...!
Punggung Sumbaruni berdarah dari samping kiri ke
kanan. Tetapi kala itu, Sumbaruni hanya diam dan
membiarkan dipandangi oleh Awan Setangkai.
Senyum Awan Setangkai tersunggingkan sebagai
senyum kemenangan. Tetapi Sumbaruni juga
sunggingkan senyum sinis punya makna tersendiri.
"Sebentar lagi kau akan mati kering termakan oleh racun pedangku, Sumbaruni!
Dengan begitu, maka
urusan lama kita tentang dendamku kepadamu telah
selesai. Dulu kau melukaiku sampai aku hampir mati, sekarang aku pun melukaimu
dengan luka yang sangat berbahaya."
Awan Setangkai masih sunggingkan senyum sinis, ia
berkata lagi dengan nada bangga. "Tapi agaknya kau perlu mengetahuinya,
Sumbaruni... sekarang aku bukan anak buahnya Ratu Cendana Sutera lagi. Aku bukan
dari golongan hitam, melainkan sudah mengikuti jejak
Pendekar Mabuk, membawa orang-orang Selat Bantai
masuk dalam aliran putih. Sayang sekali kau terluka oleh pedangku, dan itu
berarti...."
Ocehan Awan Setangkai berhenti seketika, ia
merasakan hawa panas membakar perutnya. Hawa panas itu semula justru terasa
seperti hawa dingin. Makin lama semakin panas dan merayap ke seluruh permukaan
perutnya. Maka, kecurigaan hati Awan Setangkai
membuatnya terpaksa melirik ke arah perut.
"Setan...!" geramnya dengan gigi menggeletuk.
Ternyata perutnya juga tergores pedang Sumbaruni. Dan pedang itu pun beracun,
karena luka yang melintang dari
kiri ke kanan itu berwarna hitam dan darah yang keluar pun berwarna merah
kehitam-hitaman.
"Apakah hanya kau sendiri yang mampu melukai
dengan pedang beracun"!" ujar Sumbaruni sambil menahan rasa sakit hingga
keringat dinginnya keluar semua.
"Biadab kau, Sumbaruni!"
"Kau lebih biadab karena kuanggap menyerangku dari belakang!"
"Kalau begitu, tentukan saja siapa yang harus minggat ke neraka di antara kita
berdua! Hiaaat...!"
Awan Setangkai sentakkan pedangnya ke depan,
maka melesatlah sinar merah lurus dari ujung pedang itu. Claaap...!
Rupanya Sumbaruni juga sudah siap hadapi serangan
lawan, ia pun segera tebaskan pedangnya dari kiri bawah ke kanan atas, Wuuut...!
Claaap...! Angin tebasan
pedang itu keluarkan cahaya hijau panjang yang
berkelebat hampiri Awan Setangkai.
Pendekar Mabuk segera lakukan sesuatu dengan
melemparkan bumbung tuaknya ke pertengahan jarak di antara kedua perempuan itu.
Wuuut...! Weeees...!
Bumbung tuak melesat sangat cepat dan tiba di
pertengahan jarak dihantam oleh dua sinar tadi.
Jlegaaaarrr...!!
Ledakan dahsyat terjadi mengguncang bumi,
membuat kedua perempuan itu sama-sama terpental ke belakang. Beberapa pohon di
dekat, mereka menjadi
retak, nyaris terbelah menjadi dua dari atas ke bawah.
Tapi Suto merasa lebih beruntung keadaan begitu
daripada kedua sinar itu saling beradu, maka gelombang ledakan yang akan
ditimbulkan oleh kedua sinar yang bertabrakan itu akan membuat keadaan lebih
parah lagi. Bisa-bisa dada kedua perempuan itu sama-sama pecah, sebab tiba-tiba saja firasat
Suto mengatakan bahwa kedua perempuan itu sama-sama keluarkan jurus
unggulan yang sukar dilawan. Oleh sebab itulah, Suto melemparkan bumbung tuaknya
sebagai penangkis
kedua sinar itu. Toh bumbung tuak itu tetap utuh dan tak mengalami luka goresan
sedikit pun, karena bumbung itu memang terbuat dari bambu sakti jelmaan Eyang
Wijayasura. Zlaaap...! Suto Sinting segera tiba di pertengahan jarak dan memungut bumbung
tuaknya yang jatuh di
tanah dalam keadaan berdiri bagai tonggak kekar. Kedua perempuan yang sama-sama
memuntahkan darah dari
mulutnya itu segera bangkit, lalu mereka terkejut memandang kehadiran pemuda
tampan yang sudah
sama-sama mereka kenal.
"Pendekar Mabuk..."!"
"Sutooo..."!"
Sumbaruni dan Awan Setangkai sama-sama dekati
Pendekar Mabuk dalam keadaan sempoyongan. Pemuda
berambut sepundak tanpa ikat kepala yang memiliki
wajah tampan dan hidung bangir itu hanya sunggingkan senyum bernada canda.
"Maaf, aku mengganggu pertarungan kalian, karena bumbung tuakku tiba-tiba lari
sendiri dan tak sempat
kukejar." "Kau berada di pihak mana, hah"!" gertak Sumbaruni.
Awan Setangkai juga menggertak, "Kau akan
membela dia, Suto"!"
"Sabar, sabar...," Suto Sinting semakin melebarkan senyum dan tampak tenang
sekali. "Sebaiknya kalian sama-sama meminum tuakku dulu biar luka kalian tak
mengakibatkan kematian!"
"Biar aku saja yang meminum tuakmu! Dia tak
perlu!" sentak Awan Setangkai.
"Harus adil," kata Suto. "Kau sahabatku, dan Sumbaruni juga sahabatku!"
"Sahabat istimewa!" sahut Sumbaruni.
"Istimewa apa" Cuih...!" Awan Setangkai meludah, Sumbaruni juga meludah.
"Cuih...!"
Suto ikut-ikutan meludah. "Cuih...!" Tapi kemudian ia berkata dengan geli.
"Kok kita malah main ludah-ludahan, ya"!"
Kedua perempuan itu akhirnya sama-sama tertolong
oleh tuak Suto. Luka mereka lenyap setelah meneguk tuak dari bumbung sakti
tersebut. Tubuh mereka pun menjadi lebih segar dari sebelumnya.
Tetapi Awan Setangkai tampak tak suka melihat Suto bersikap ramah kepada
Sumbaruni. "Sekiranya kau ingin lampiaskan rindumu kepada perempuan keparat itu, pergilah
dari sini dan jangan bermesraan di depanku, Suto!"
"Siapa yang rindu...?" Suto Sinting bersungut-sungut.
"Aku hanya ingin bicara kepada Sumbaruni tentang...."
"Tidak, Suto!" potong Sumbaruni setelah melirik bayangan dirinya di tanah telah
menjadi semakin ungu.
Sumbaruni cepat palingkan wajah tak berani
memandang Suto Sinting.
Tetapi Pendekar Mabuk yang merasa penasaran itu
segera berusaha berdiri di depan Sumbaruni, hanya saja perempuan itu selalu
menghindari pertemuan wajah
dengan Suto. "Pergilah kalian! Kau tak perlu temui aku lagi, Suto!"
"Sumbaruni, mengapa kau begitu"! Hei... pandanglah aku, Sumbaruni!"
"Tidak! Tidak...!" Sumbaruni menjauh dengan rasa takut. Kedua tangannya berusaha
menutupi wajah.
"Apa yang terjadi, Sumbaruni"! Aku akan
membantumu!"
"Aku akan berusaha mengatasinya sendiri. Selamat tinggal, Suto!" Blaas...!
"Sumbaruni...!" Suto ingin mengejar, namun Sumbaruni sudah jauh dan menghilang
di balik kerimbunan hutan.
Awan Setangkai tertawa kecil bernada sinis,


Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat Suto Sinting yang terbengong segera sadar dan segera menarik napas
dalam-dalam. "Tentu saja dia tak berani kau pandang, karena wajahnya semakin tampak tua dan
buruk!" ucap Awan Setangkai. "Matahari yang menembus kabut sinar ungu itu akan
membuat wajah tuanya yang asli menjadi
kelihatan. Ilmu awet ayunya akan sirna dan ia akan malu
jika kau pandang!"
"Rupanya kau tahu tentang 'Selaput Iblis' itu, Awan Setangkai."
"Tentu saja, sebab dulu mendiang Ratu Cendana Sutera sangat takut dengan warna
ungu di langit. Kalau saja Ratu Cendana Sutera sekarang masih hidup, ia juga
akan bersembunyi di bawah kolong ranjang, karena takut ketahuan wajah tuanya
yang asli!"
Awan Setangkai mencibir angkuh dibuat-buat.
"Hmmm...! Mendingan wajahku, biar tak seberapa cantik, tapi asli! Tanpa mantra
kecantikan, tanpa ilmu pengawet ayu!" sambil ia melenggok dan melengos seakan
jual mahal. "Kau tahu kekuatan apa yang bisa dipakai untuk hancurkan 'Selaput iblis' itu?"
"Mengapa kau bertanya begitu" Apakah
ketampananmu juga akan luntur jika terkena sinar
matahari yang menembus kabut sinar ungu itu"!"
Pendekar Mabuk mulai sunggingkan senyum.
"Ketampananku asli, bukan kekuatan mantra atau minum obat awet ganteng!"
"Kalau begitu kita sama-sama punya wajah rupawan yang asli, Suto," sambil mata
Awan Setangkai memandang nakal, senyumnya mulai tampak bermaksud
jahil. Pendekar Mabuk menatapnya tak berkedip ketika lidah Awan Setangkai
menyapu bibirnya sendiri pelan-pelan.
"Apakah aku kalah cantik dengan Sumbaruni?"
Suto hanya bisa menggeleng dengan tetap
terbengong. Awan Setangkai mendekat dengan langkah lenggak-lenggok penuh irama
penggoda gairah. Ketika tiba di depan Suto dalam jarak kurang dari satu langkah,
Awan Setangkai berucap kata dengan suara bisik.
"Sengaja aku keluar dari Istana Selat Bantai untuk mencarimu, Suto."
"Untuk apa kau mencariku?"
"Aku sakit," jawabnya lirih sekali.
"Sakit kok keluyuran?"
"Sakit rindu," jawabnya lagi dengan suara mendesah dan tangannya mulai berani
merayap di dada Suto. Jari-jarinya berlagak mempermainkan tepian baju Suto,
sesekali menyentuh kulit dada kekar itu.
"Aku rindu dan ingin sekali jumpa denganmu. Sudah beberapa malam aku tak bisa
tidur, Suto."
"Karena memikirkan diriku?"
"Karena banyak nyamuk di kamarku."
"Mengapa tak memakai selimut?"
"Selimutku pergi dan sudah lama tak kembali padaku.
Kini selimutku ada di depan mataku, namun masih tak mau menyelimuti diriku."
Awan Setangkai mendekatkan wajah, makin lama
semakin dekat, dan bibirnya muali menyentuh bibir Suto Sinting. Bibir itu
mengecup bibir Suto Sinting dengan pelan-pelan. Sesekali di sela lumatan bibir
itu Awan Setangkai menggigit pelan bibir Suto. Tetapi Suto
Sinting diam saja bagaikan patung.
Namun ketika Awan setangkai meraihnya dalam
pelukan, dan lumatan bibirnya mulai mengganas, Suto
Sinting tak dapat diam lagi. Ia membalas kecupan yang hangat dan membakar gairah
cintanya. Bahkan ketika Awan Setangkai mengerang dengan kepala mendongak
seakan memberi kesempatan pada mulut Suto untuk
menyapu habis lehernya, tangan pemuda itu dituntun untuk menelususp ke tempat
yang lebih hangat lagi.
Ternyata tangan Suto cukup tanggap dengan kemauan
Awan Setangkai. Tangan itu segera meraba, mengusap, merayap, dan akhirnya
meremas sesuatu yang padat
namun kenyal di permukaan dada Awan Setangkai.
"Ooh, Suto... aku ingin sekali mendapatkan yang lebih dari ini. Ingin sekali,
Sutooo...!"
Maka tangan Suto pun ditarik ke bawah. Tangan itu
menurut saja. Suto tak bisa bicara karena mulutnya disumbat oleh gumpalan dada
yang membusung padat
itu. Tapi tangan Suto pun mulai bekerja menjamah pusat keindahan Awan Setangkai.
"Oouh...!"
Awan Setangkai memekik, lalau
mengerang, "Sutoo... aku suka itu, Suto! Teruskan, Sayang.... teruskan...!"
Awan Setangkai bersandar di pohon, kedua kakinya
berjauhan, kedua tangannya meremas-remas rambut
Suto Sinting sambil memberi tekanan, seakan kepala Suto tak boleh jauh dari
Tangan Berbisa 5 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Kemelut Di Karang Galuh 2
^