Harta Tanjung Bugel 1
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel Bagian 1
1 ATAHARI telah sedemikian tergeser ke langit barat
dan cahayanya sudah tidak begitu panas lagi.
M Angin sejuk bertiup nyaman menyapu puncak
puncak pohon dan dedaunan rumput tipis di tepi Kali Serang.
Air sungai yang berwarna putih kecoklatan beriak kecil-kecil dan mengalir dengan
tenangnya seakan-akan tak memperdulikan akan keributan dan kedahsyatan dua
manusia yang tengah bertarung di tempat tersebut, tidak jauh dari tepi sungai.
Agak jauh dari kedua orang itu, seorang pemuda
berkumis tebal tampak terjelepak di atas rerumputan dalam keadaan setengah
pingsan, dan wajah kepucatan Sedang di dekat rumput pisang, dua orang gadis
melihat kesemuanya itu dengan wajah kecemasan dan gelisah.
Betapa tidak. Yang seorang ini tidak lain adalah Pandan Arum dan yang kedua
adalah Endang Seruni.
Melihat pertempuran antara kekasihnya melawan Ki
Bango Wadas yang berlangsung dengan dahsyat dan telah memakan belasan jurus itu,
mau tak mau hati Pandan
Arum berdentang-dentang amat kerasnya secepat irama gerakan silat Mahesa Wulung
melawan Ki Bango Wadas
yang berkepala botak dan berrsenjata penggada berduri logam.
Apa yang tidak dinyana selama ini, telah menimbulkan kecemasan hatinya Pandan
Arum melihat bahwa gerakan Ki Bango Wadas makin bertambah ganas dan mencecar
serta mendesak Mahesa Wulung. Apalagi senjata Ki Bango Wadas tadi seperti
mempunyai mata yang selalu
menyerang bagian-bagian yang lowong dari pertahanan Mahesa Wulung.
Yang paling mengagetkan bagi Pandan Arum adalah
keadaan Mahesa Wulung. Kekasihnya ini seperti kalah cepat dan selalu terkurung
oleh gulungan tubuh Ki Bango Wadas yang berloncatan sebagai bayang-bayang hitam.
Dan celakanya lagi Mahesa Wulung harus selalu terus-menerus menangkis senjata
gada berduri logam yang
datangnya bagai gelombang menghempas bertubi-tubi
tanpa henti. Dengan begitu maka Mahesa Wulung tak
berkesempatan untuk berpikir ataupun menggunakan
cambuk pusakanya, Naga Geni.
Yang semata-mata memenuhi pikirannya adalah
menghalau atau menangkis serangan-serangan senjata
lawannya yang dahsyat itu. Biarpun Mahesa Wulung telah sering berkali-kali
bertempur melawan musuh-musuh yang bersenjata beraneka ragam, namun toh setiap
kali pula ia terpaksa menghadapi senjata-senjata baru yang lebih hebat lagi,
seperti senjata Ki Bango Wadas ini.
"Bocah ingusan!" teriak Ki Bango Wadas dengan marah.
"Sebentar lagi kau akan bertamasya ke neraka!!! Senjataku ini tak kenal akan
belas kasihan."
"Ngocehlah sepuasmu Bango kudisan! Atau kau yang
lebih dulu berkubang di api neraka sana!" seru Mahesa Wulung membalas. "Mengapa
kau tiba-tiba menyerangku"!
Tentang muridmu si Lawunggana itu, kami ada urusan
pribadi yang harus kami selesaikan sendiri dan anda sebagai seorang guru yang
bijaksana, tentunya akan membiarkan anak-anak muda merampungkan persoalannya
sendiri." "Pintar saja kau ngomong bocah ingusan. Kalau kau
telah berani dengan muridnya, dengan gurunyapun kau harus berani menghadapinya!"
"Memang aku tak pernah takut kepada orang-orang
macam tampangmu ini!" seru Mahesa Wulung jengkel.
"Janganlah sekali-kali bikin gertakan terhadap Mahesa Wulung."
Telah berapa jurus mereka berdua bertarung itu, tak terhitung lagi bagi Pandan
Arum serta Endang Seruni yang tengah menonton pertempuran mereka. Pandangan mata
mereka begitu tercengkam oleh kedahsyatan perang
tanding itu, terlebih lagi bagi Endang Seruni yang jarang melihat hal-hal yang
semacam ini. Kadangkala Endang Seruni melirik ke arah tubuh
Lawunggana yang sampai kini masih terhampar di atas rerumputan setengah pingsan.
Sebagai seorang gadis yang pernah dikasihi oleh pemuda itu, tentu saja Endang
Seruni menaruh rasa iba kasihan melihat Lawunggana terkapar setengah pingsan
itu. Di samping rasa iba itu, Endang Serunipun merasakan rasa heran yang terselip di
dalam hatmya. Ia tahu bahwa dahulu Lawunggana tidak berhati keras seperti
sekarang ini. Lawunggana telah dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berhati
lembut dan lebih suka menghindarkan diri dari setiap perselisihan meskipun ia
bisa berkelahi.
Agaknya Endang Seruni bisa menduga bahwa kekerasan
watak Lawunggana ini berubah akibat didikan yang keras dan sedikit mengarah
kekejaman dari gurunya Ki Bango Wadas. Untuk inipun ia telah maklum, dan ia
berharap semoga ia bisa menyadarkannya. Itulah pula yang
menyebabkan ia bergegas mendekati Lawunggana.
"Yunda Pandan Arum, aku akan menengok kakang
Lawunggana yang tergeletak di sana." ujar Endang Seruni meminta diri kepada
kakaknya. Pandan Arum menoleh dan tersenyum lalu berkata
seraya menepuk bahu adiknya. "Ya, tengoklah dia, adi Seruni. Kasihan ia
terharnpar di sana."
"Terima kasih, yunda Pandan Arum." ujar Endang Seruni serta melangkah ke arah
Lawunggana diiringi senyuman Pandan Arum penuh arti. Ia sadar bahwa adiknya ini
masih menaruh rasa cinta kepada si pendekar kumis tebal,
Lawunggana dan jika ia mengingat bahwa pada per-
jumpaan pertama dengan gadis itu ia telah menaruh rasa cemburu maka sekarang ini
ia seperti ingin tertawa geli.
Endang Seruni tadi segera mendekati tubuh
Lawunggana yang tak berkutik membisu bagaikan tak bernyawa lagi dan ini
menyebabkan ia kecemasan. Maka
cepat-cepatlah ia membongkok dan menempelkan tangannya pada dada pendekar ini.
"Ah, masih bernafas kakang Lawunggana ini. Syukurlah jika begitu. Berarti kakang
Mahesa Wulung tidak benar-benar bermaksud membunuhnya!" gumam Endang Seruni
seorang diri. Ia kemudian mengusap dahi Lawunggana
yang penuh oleh keringat serta debu tanah dengan
selembar sapu tangan.
Perlahan-lahan sekali pendekar berkumis tebal ini
menggerakkan kepalanya seraya merintih dan
menggerakkan bibir serta membuka matanya.
Betapa terperanjat Lawunggana ketika pandangan
matanya menatap wajah Endang Seruni berada di
hadapannya. "Adi Endang Seruni." bisik Lawunggana seraya me-
mejamkan matanya sesaat dan kemudian membuka
kembali. " Apakah aku bermimpi" Aku belum mati bukan"!"
"Kakang Lawunggana tidak mimpi dan kakang masih
hidup. Kini berkata-kata di hadapanku." berkata Endang Seruni dengan tangannya
masih mengusap membersihkan dahi serta leher Lawunggana yang masih ditempeli
oleh debu campur keringat. Usapan-usapan ini begitu lembut dan mesra membuat
Lawunggana menyadari bahwa
setidak-tidaknya gadis ini masih menaruh cinta kepadanya.
"Mengapa Mahesa Wulung tidak segera membunuhku?"
berkata Lawunggana dengan nada ragu seperti berkata dengan dirinya sendiri.
"Mengapa?"
"Itu pertanda bahwa kakang Wulung tidak benar-benar bermaksud ataupun
menghendaki salah satu nyawa di
antara kalian tercabut karena gara-gara kesalahpahaman atau pengertian yang
sempit dari hati kakang Lawunggana yang dangkal dan mudah terbakar oleh nafsu
amarah." Mendengar ini hati Lawunggana menjadi pedih bagai
diiris oleh sembilu. Ia sendiri akhirnya insyaf bahwa serangannya terhadap
Mahesa Wulung serta dendamnya
selama ini adalah keliru dan sesat.
Sekali lagi Lawunggana menatap wajah Endang Seruni
sementara tangannya meraba jari-jemari gadis ini dan karenanya, Endang Seruni
sesaat terkejut tapi akhirnya membiarkan Lawunggana menggenggam serta meremas
mesra jari-jari tangannya.
"Maafkan aku, adi Seruni." desah Lawunggana. "Aku
terlalu memperbesar rasa cemburu, namun itu terlahir karena begitu besarnya rasa
cintaku kepadamu."
"Sudah lama aku memaafkanmu kakang Lawunggana."
sahut Endang Seruni. "Rasa cemburu mu memang kelewat besar dan aku tidak
menyenanginya, kakang."
Sesaat Lawunggana memejamkan mata seperti me-
resapkan segala kata-kata kekasihnya ini.
"Kau tahu kakang, siapa gadis yang berdiri di sana itu"
Dialah nona Pandan Arum, kekasih dari kakang Mahesa Wulung dan ternyata adalah
kakak kandungku sendiri!"
"Hah"!" desis Lawunggana kaget. "Jadi gadis itu adalah kekasih Mahesa Wulung?"
"Begitulah." sambung Endang Seruni. "Maka, sekali lagi aku mengharap agar kakang
Lawunggana segera meng-hapuskan dendam hatimu kepada kakang Mahesa
Wulung." Lawunggana menganggukkan kepala serta berkata lirih.
"Baiklah, adi Seruni. Aku berjanji dan semoga harapanmu itu menjadi kenyataan."
Sementara itu pertempuran antara Mahesa Wulung
melawan Ki Bango Wadas masih berlangsung dengan
sengit, tanpa ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar sebagai pemenangnya.
Keduanya telah bercucur keringat.
Tiba pada jurus kelima puluh satu, tiba-tiba semua
dikejutkan oleh suara berdentang keras dan segera setiap mata diarahkan ke arena
pertempuran. Ternyata itu adalah suara benturan pedang Mahesa
Wulung yang menangkis serangan penggada Ki Bango
Wadas. Benturan tadi sedemikian hebat dan akibatnya luar biasa.
Jari-jari Mahesa Wulung merasa nyeri serta bergetar hebat dan pedang ditangannya
itupun terpelanting lepas.
Mahesa Wulung terkejut seketika dan sebelum ia bertindak lebih lanjut tiba-tiba
dengan kecepatan luar biasa, Ki Bango Wadas telah memukulkan kedua ujung jari
telunjuk dan tengah jari tangan kirinya, langsung mengenai dada Mahesa Wulung.
"Heeh!" Mahesa Wulung terperanjat oleh serangan ini.
Dadanya menjadi sesak dan terbatuk-batuk kemudian
lemas, sehingga pendekar muda ini terjelapak jatuh
terduduk di tanah dengan dada kembang-kempis.
"Weh, heh, heh, heh, heh. Mahesa Wulung! Hari ini
adalah saat kematianmu!" seru Ki Bango Wadas sambil terbahak-bahak ketawa
menyeramkan. Suaranya meng-gema di udara tepi Kali Serang. "Sekarang hiruplah
udara sungai ini buat terakhir kalinya!"
Selesai berkata itu, tampak Ki Bango Wadas meng-
angkat penggada berduri logam ditangannya tingg-tinggi serta di putar di atas
kepala sehingga berdesing-desing suaranya.
"Heh, heh, heh, mampus kowe hah!" teriak Ki Bango
Wadas dalam suara yang ganas serta meloncat pendek
untuk kemudian menghantamkan senjatanya ke bawah, ke arah sasarannya, yakni
Mahesa Wulung yang tergeletak lemas di atas tanah.
"Aaaaaa..." terdengar jeritan dan mulut Pandan Arum, juga dari Endang Seruni,
sedang Liwunggana cuma ter-beliak matanya tanpa kuasa menjerit.
"Blaaaarrr!" terdengar suara keras bagai letupan petir menyambar, memekakkan
anak telinga. Pandan Arum yang tak tega dan ngeri segera memejamkan mata.
Demikian pula Endang Seruni.
"Ooh, bapak guru sangat kejam!" desis Lawunggana
seorang diri. Apa yang dilihatnya ini benar-benar ber-tentangan dengan dasar-
dasar keperwiraan yang pernah dikenalnya.
Ki Bango Wadas yang telah mengayunkan penggadanya
ke arah tubuh Mahesa Wulung terkejut sekali oleh suara letupan ini. Bermula
sekali ia yakin bahwa tubuh lawannya akan hancur berlubang-lubang oleh
senjatanya yang
ampuh ini. Namun ketika ia membelalakkan matanya ke depan
betapa terkejutnya pendekar setengah botak ini. Di
hadapannya telah berdiri seorang berpakaian dengan
warna keputihan dan kepalanya berselubung dengan
topeng kain dengan dua lubang mata bulat yang menatap tajam ke arah Ki Bango
Wadas. Orang tersebut berdiri di antara Ki Bango Wadas dengan Mahesa Wulung. Pada
tangan kanannya tergenggarn
sebilah tongkat kayu bercabang dua dan agaknya orang bertopeng inilah yang telah
menangkis pukulan senjata Ki Bango Wadas.
Mahesa Wulungpun kaget pula oleh kedatangan orang
bertopeng yang telah menyelamatkan nyawanya. Ia tidak lupa siapa orang ini, maka
cepat-cepat ia berseru saking gembiranya. "Bapak Pendekar Bayangan!"
"Pendekar Bayangan!" desis Ki Bango Wadas meng-
ulang nama tadi, yang selama ini telah disegani oleh hampir setiap tokoh
persilatan serta ditakuti orang orang jahat.
"Keparat! Kau berani muncul di hadapanku serta
merusak maksudku, hah?" seru Ki Bango Wadas dengan
lantang. "Hmmm, kalau antara murid dengan rnurid bertarung itu sudah lumrah. Tetapi jika
seorang guru seperti tampangmu ini sudah mulai turut campur, maka tak ada
salahnya kalau akupun mencampurinya pula!"
"Eeee, jadi Mahesa rembes itu adalah muridmu juga"!"
seru Ki Bango Wadas. "Apakah ini berarti kau menantang-ku" Menantang Ki Bango
Wadas dari rnuara Kali Serang?"
"Boleh kau mengartikannya demikian!" sahut Pendekar Bayangan. "Tapi aku lebih
suka mengambil cara damai.
Sekarang baiknya engkau berlalu dari tempat ini lekas-lekas dan kalau perlu
bawalah pula muridmu itu!"
"Tidak gampang kau mengusirku dari tempat ini, Topeng busuk! Kecuali jika aku
sudah tahu dan mencoba sampai di mana kesaktianmu!"
Pendekar Bayangan tertawa lirih serta berkata, "Hal itu akan segera engkau
ketahui. Bango Wadas!! Aku siap
melayanimu!"
"Hiaa...!" Ki Bango Wadas berteriak dan bagai
kecepatan kilat ia tahu-tahu telah menerjang ke arah Pendekar Bayangan sekaligus
senjatanya menyambar
dengan pukulan maut.
Tampaknya penggada berduri milik Ki Bango Wadas tadi benar-benar akan meremukkan
kepala si Pendekar
Bayangan jika saja sasarannya ini cuma berdiam diri saja.
Kejadian berikutnya sungguh sangat mengagetkan bagi Mahesa Wulung dan Pandan
Arum yang menyaksikan
pertempuran itu bagai orang setengah mimpi.
Kelihatannya pendekar berkerudung topeng putih itu
cuma menggeliat ke samping bagai orang meregangkan
tubuh sehabis bangun dari tidurnya. Gerakan sederhana dan tampak sepele atau
boleh dianggap setengah main-main ini ternyata cukup hebat.
Begitu tepatnya perhitungan gerak menggeliat tadi dan di saat itu pula penggada
berduri dari Ki Bango Wadas terpaksa bersarang di udara kosong belaka, membuat
Ki Bango Wadas kaget setengah mati.
Sebagai seorang pendekar jagoan ia seketika dapat
menduga betapa tinggi dan sampai dimana kesaktian
Pendekar Bayangan yang berada di hadapannya itu!
Dengan gerakan sederhana seperti main-main saja ia
telah berhasil lolos dari senjata Ki Bango Wadas. Dan karena ini pulalah Ki
Bango Wadas merasa seperti di-permainkan bagai anak kecil oleh lawannya, maka
sudah barang tentu kalau ia marahnya bukan kepalang. Giginya berkerot gemeratak
dan matanya bersinar tajam seperti mau menelan bulat-bulat terhadap lawannya
ini. Sementara itu Pendekar Bayangan masih saja berdiri
dengan seenaknya dan bersandar pada tongkat ber-
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cabangnya sedang dari balik topengnya terdengar tertawa menggelegas bernada
ejekan. "Sess ... ses ... setaaan, kowe!!" seru Ki Bango Wadas sambil melototkan matanya
sampai-sampai bagaikan mau meloncat keluar kedua bulatan mata tadi dari rongga
dan pelupuknya. "Menghina keterlaluan kepadaku, ha!?"
"Sudah aku katakan dari semula bahwa kita bisa
memakai jalan damai tanpa bertegang leher untuk
mengadu tenaga. Sobat sebaiknya berlalu dari tempat ini dan boleh silakan
membawa muridmu kembali." ujar
Pendekar Bayangan seraya mencoker-cokerkan ujung
tongkatnya ke tanah. "Aku tak akan menghalang-halangi lagi maksudmu!"
"Topeng bobrok yang besar mulut! Tak berguna kau
berkhotbah di depan hidungku! Minggir sajalah bila kamu merasa jerih berhadapan
dengan Ki Bango Wadas ini!"
Sekali lagi Pendekar Bayangan memperdengarkan
ketawa menggelegas sambil berkata pula. "Aku masih
tidak marah, sobat! Maka jangan paksakan aku
mengeluarkannya!"
"Hia, ha, ha, ha, itu lebih bagus topeng bobrok!" Seru Ki Bango Wadas. "Mari
tunjukkan kemarahanmu itu! Aku
ingin mengetahuinya!"
"Oooo, kau manusia tak tahu diuntung!" sahut Pendekar Bayangan. "Jangan menyesal
kau nanti!"
"Haaaait!!" begitu Pendekar Bayangan selesai berkata begitu cepat pula ia
menusukkan tongkat cabangnya ke depan dibarengi loncatan kecil.
Ki Bango Wadas terperanjat! Ujung tongkat bercabang tersebut meluncur ke arah
dadanya dan ia sudah lebih dulu merasakan angin tusukan yang terdorong oleh
senjata itu. "Serangan tusukan maut!" desah Ki Bango Wadas dan segara pula ia
menyabetkan penggadanya ke arah kanan keluar untuk menangkis serangan lawannya.
"Braaak!!" Suara keras terdengar gemerocok akibat
benturan kedua senjata tadi. Namun yang paling terkejut adalah Ki Bango Wadas
sendiri. Ia merasa bahwa penggadanya yang menangkis serta membentur tongkat
cabang si Pendekar Bayangan, rasanya seperti membentur sebuah tonggak besi baja
sehingga berakibat tangannya yang menggenggam senjata merasa kesemutan dan
nyeri. Untungnya ia mempunyai tenaga dalam yang cukup tinggi dan segera dapat mencegah
senjatanya yang hampir lepas keluar dari jari-jemari yang menggenggamnya.
"Hmmm, hampir-hampir aku menderita malu oleh
serangan tadi!" Ki Bango Wadas berkata di dalam hati sementara ia memindah
senjatanya ke tangan kiri. "Biar aku akan mencoba serangan pasir maut ini!!"
Tanpa diduga tiba-tiba Ki Bango Wadas mengendap ke
bawah sekaligus meraup pasir di dekat kakinya lalu
menebarkannya ke depan dengan kecepatan dahsyat.
Untungnya Pendekar Bayangan tidak lengah dari segala gerak-gerik lawannya,
sehingga ia tahu apa yang harus diperbuatnya untuk menghadapi serangan lawan
yang pasti mematikan ini.
Butir-butir pasir tadi meluncur deras ke arah Pendekar Bayangan. Serangan ini
terang mematikan sebab jika ia sampai menembus kulit maka akan segera masuk ke
dalam daging atau mengalir dan masuk ke dalam aliran darah sehingga mau tidak
mau korbannya akan segera
mati. Sudah tentu Pendekar Bayangan tidak mau kulit
dagingnya untuk ditembusi oleh butir-butir pasir tadi. Maka secepatnya ia
mendorongkan pukulan tinjunya ke depan memapaki serangan pasir maut.
Sekali ini pula, Ki Bango Wadas terpaksa terlongoh
heran sebab butir-butir pasir tadi tiba-tiba terhenti di tengah jalan, bahkan
kini terdorong oleh serangan angin pukulan dari tinju Pendekar Bayangan pada
melesat berkeredapan ke arah diri Ki Bango Wadas sendiri!
Diam-diam Ki Bango Wadas terpaksa memuji kegesitan
serta kehebatan lawannya dan cepat-cepat ia mengendap serendah mungkin agar
butir-butir pasir maut tadi tidak sampai mengenai dirinya sendiri.
Akan tetapi Pendekar Bayangan tidak membiarkan
lawannya begitu saja nganggur selagi cekakaran
menghindari terjangan butir-butir pasir maut secepat kilat ia menyampokkan
tongkat cabangnya ke arah kaki Ki
Bango Wadas serta mengaitnya dengan tepat dan
hilanglah keseimbangan tubuhnya.
Keruan saja pendekar berkepala botak dari muara Kali Serang tersebut jatuh
terjerembab di atas tanah sambil memaki-maki pedas serta meludah-ludahkan tanah
yang masuk kemulutnya! - Iblis laknat! Topeng bobrok keparat!
Kau kelewat batas menghinaku. Awas tunggu serangan
berikutnya!"
"Hi, hi, hi, bukankah cukup enak makan gum-palan-
gumpalan tanah itu?" ujar Pendekar Bayangan seraya
berguncang-guncang tubuhnya menahan ketawa. "Rasanya asin-asin gurih bukan"!"
"Keparat! Terimalah seranganku ini!" seru Ki Bango
Wadas sekaligus menyerang kembali dengan pukulan
senjatanya yang berdesing mengerikan.
"Wuuuttt wuut-wuutt." Kini penggada berduri di tangan Ki Bango Wadas semakin
garang gerakannya dan
menyerang dengan segala kemampuannya.
Biarpun Pendekar Bayangan juga bergerak hebat,
namun Ki Bango Wadas yang telah mengerahkan ilmu
permainan penggadanya yakni - Bindisrewu - tidak bisa
dianggap enteng begitu saja. Kini penggada berduri logam tadi tampaknya menjadi
beribu-ribu jumlahnya dan
menyerang bertubi-tubi ke segala bagian tubuh Pendekar Bayangan.
Setiap pukulan penggada berduri logam tersebut
menerbitkan angin berputaran menyebabkan debu dan
daun-daun kering bertaburan ke atas. Untuk serangan-serangannya ini. Ki Bango
Wadas sudah bisa memastikan bahwa pendekar bertopeng putih ini akan segera
binasa atau paling sedikit mengalami cedera. Apalagi ujung-ujung duri logam pada
ujung senjatanya pernah dipolesi oleh racun yang mematikan.
Menghadapi serangan-serangan yang sedemikian ganas
dan garangnya, Pendekar Bayangan tidak berani lagi
bermain-main atau setengah-setengah tenaga melayani serangan Ki Bango Wadas itu.
Maka diam-diam ia
menggerakkan ilmu geraknya Samparangin yang membuat gerakan tubuhnya menjadi
ribut, seribut angin
prahara yang mampu menyambar dan menyapu setiap
tetumbuhan di muka bumi hingga roboh sampai seakarnya.
Dalam sekejap mata saja gerakan Samparangin beraksi menyelinap di antara celah-
celah libatan senjata Ki Bango Wadas yang berjurus Bindisrewu.
Sedikit demi sedikit jurus Bindisrewu tersebut tertindih oleh gerakan
Samparangin yang makin ketat melibat tubuh Ki Bango Wadas. Ditambah pula ujung
tongkat cabang si Pendekar Bayangan mematuk-matuk dan menyambar
laksana moncong ular menyemburkan bisa mautnya.
Bukan main kagetnya Ki Bango Wadas menghadapi
serangan-serangan sehebat itu. Kemudian terasa pula bahwa gerakan senjata
Bindisrewu dari dirinya seperti surut dan tanpa daya lagi.
Pada suatu kesempatan yang dinanti-nanti, tiba-tiba saja Pendekar Bayangan
menusukkan ujung tongkat
cabangnya kedada Ki Bango Wadas dan tepat mengenai
sasarannya, meskipun gerak tusukan tadi tidak di-
lancarkannya dengan sepenuh tenaga.
"Heeeekk!" terdengarlah keluhan pendek dari mulut Ki Bango Wadas sambil
melontarkan dirinya surut ke
belakang beberapa tombak. Dengan demikian ia telah
berusaha mengurangi tenaga tusukan dari tongkat
Pendekar Bayangan sehingga tidak sampai dadanya
berlobang. Meskipun begitu, tak urung Ki Bango Wadas merasakan betapa dadanya tiba-tiba
menjadi sesak. Sementara itu, Pendekar Bayangan tidak terus menyerang, melainkan
berdiam diri di tempat sambil mengawasi segala gerak-gerik Ki Bango Wadas.
Pendekar berkepala separo botak itu kembang kempis
mengatur nafas dan dadanya kelihatan turun naik meng-hirup serta menghembus
udara lewat hidungnya. Sedang matanya yang tajam itu melirik ke arah Lawunggana
si murid tunggalnya yang masih terbaring di tanah ditunggui oleh Endang Seruni.
Dilihatnya kedua anak muda itu dengan mesranya saling bercakap-cakap dan tentu
saja Ki Bango Wadas merasa kurang senang karenanya.
Untuk beberapa saat suasana di tempat itu terasa sepi tanpa suara percakapan
manusia kecuali desah angin
siang membelai puncak-puncak pohon dan rerumputan di tepi Kali Serang ini.
Sekonyong-konyong dan dengan gerakan yang secepat
kilat menyambar. Ki Bango Wadas tahu-tahu telah melesat ke arah Lawunggana
terbaring. "Hyaat!"
Gerakan ini sungguh di luar dugaan siapa saja. Tubuh Ki Bango Wadas mirip
gerakan burung bangau berparuh dan berkaki panjang yang dengan sebat menyambar
tubuh Lawunggana sementara kakinya mengirimkan angin
dupakan ke pundak Endang Seruni.
Akibatnya gadis ini terperanjat dan mencoba mengelak ke samping, tetapi ternyata
angin tendangan dari Ki Bango Wadas lebih cepat datangnya. Maka hempas rebahlah
Endang Seruni di atas rerumputan, karena terlanggar oleh angin tendangan
tersebut. Selanjutnya Ki Bango Wadas sambil mengempit tubuh
Lawunggana, tak ubahnya seorang botoh mengempit jago aduannya, lalu melesat ke
arah utara dalam loncatan-loncatan panjang selincah belalang. Sejurus kemudian
Endang Seruni cepat bangun dan mencoba mencegah
tubuh Lawunggana yang setengah sehat itu dibawa lari oleh gurunya, Ki Bango
Wadas! Akan tetapi apa daya orang selemah Endang Seruni
yang tidak pernah mengenal dengan dalam akan gerakan-gerakan silat. Maka tanpa
berdaya sedikitpun ia tak mampu mengejar loncatan-loncatan Ki Bango Wadas.
Gadis ini cuma sempat meratap sambil menitikkan air mata. "Oookh, kakang
Lawunggana." Sebentar itu pula, tubuh Ki Bango Wadas beserta muridnya telah
lenyap ditelan oleh semak belukar di sebelah utara. Sambil memperdengarkan suara
tertawa serta ancamannya.
"Pendekar Bayangan!! Tunggulah dalam kesempatan
lamnya. Kau pasti mampus di tanganku!!"
Mendengar ini baik Mahesa Wulung maupun Pandan
Arum dan Endang Seruni merasa meremang tengkuknya
oleh kata-kata ancaman dari Ki Bango Wadas tadi. Namun berbeda dengan si
Pendekar Bayangan yang masih saja berdiri di tempatnya sambil memperdengarkan
tertawa menggelegas dan manggut-manggut.
Begitulah akhirnya ketegangan tadi berlalu seperti
lalunya angin bertiup di siang ini. Si Pendekar Bayangan perlahan-lahan
melangkah mendekati Mahesa Wulung
yang lagi ditunggui oleh Pandan Arum dan Endang Seruni.
"Oookh, terima kasih bapak Pendekar Bayangan. Andika telah muncul dan menolongku
dalam saat-saat yang
sangat tepat!" ujar Mahesa Wulung seraya tersenyum.
"Hmmm, yah, yah. Sedari kejadian yang pertama, aku
telah mengikutinya, angger Wulung," berkata si Pendekar Bayangan seraya
berjongkok di samping tubuh Mahesa
Wulung. "Aku memang bermaksud berkunjung ke daerah ini dan
menengok Ki Lurah Mijen, sebab telah agak lama merasa rindu kepada Ki Lurah dan
desa Mijen ini. Kau ingat bukan, bahwa kita pernah tinggal bersama-sama di sini
ketika menghadapi gerombolan Topeng Reges?"'
"Benar, bapak." jawab Mahesa Wulung. "Begitupun
saya, telah lama pula ingin bertemu dan bercakap-cakap dengan andika."
"Mmm, tentunya banyak pengalaman-pengalaman kita
masing-masing yang perlu kita ceritakan." sambung
Pendekar Bayangan. "Tapi lebih dulu harus kupulihkan kelumpuhanmu ini. Kau telah
tertotok jalan darah serta urat-urat rongga dadamu, sehingga nafasmu menjadi
sesak dan tidak lancar."
"Dapatkah ia sembuh dengan segera bapak?"" bertanya Pandan Arum dengan nada
kecemasan. "Heh, heh, heh, jangan kuatir, angger. Ia akan ku-
sembuhkan sekarang!" ujar si Pendekar Bayangan
sekaligus mengurut-urutkan jari jemarinya ke leher Mahesa Wulung lalu menurun ke
pundaknya. Selanjutnya tiba-tiba kedua belah ujung tangan Pendekar Bayangan
menotok berbareng ke arah dada Mahesa Wulung sehingga
Pendekar Demak ini mendesis pendek. "Haaekkk!"
Mahesa Wulung sesaat menyeringai sebab dadanya
merasa dialiri oleh aliran hawa panas yang menyengat dan kemudian menyebar ke
segenap rongga dadanya.
Bahkan lebih dari itu, terasa seakan-akan urat darahnya kembali bekerja dengan
sempurna dan darahpun mengalir dengan lancar lewat pembuluh darah membawa udara
bersih ke paru-paru dan jantungnya. Kekuatannya pulihi kembali. Maka tak heran
bila nafas Mahesa Wulung
kembali lancar dan cepat-cepat ia bangkit dan duduk bersama-sama mereka.
*** 2 ENDEKAR BAYANGAN tampak menghela nafas
dalam-dalam serta menatap kepada Mahesa Wulung
P dengan lega. Sedang Pandan Arum serta Endang
Seruni tak henti-hentinya mengagumi si penolong yang berkedok putih ini.
"Mengapakah angger sampai melibatkan diri bertempur dengan murid si Bango Wadas
tadi?" bertanya Pendekar Bayangan kepada Mahesa Wulung.
"Itu terjadi karena kesalah fahaman dan dendam si
Lawunggana yang sesat terhadap saya." berkata Mahesa Wulung menjelaskan sebab-
sebab terjadinya pertarungan antara Lawunggana dengan dirinya. "Sebelumnya
antara kami berdua tidak pernah bertemu, berkenalan, apalagi sampai saling
berselisih. Ternyata, si Lawunggana itu yang sejak semula telah mencintai adi
Endang Seruni, telah mencemburukan adi Endang Seruni dengan diriku. Nah, inilah
rupanya sumber dendam si Lawunggana tadi!"
Pendekar Bayangan mengangguk-angguk oleh
penuturan Mahesa Wulung, sementara otaknya mem-
bayangkan peristiwa-peristiwa yang lalu ketika ia bersama-sama Mahesa Wulung
tinggal di desa Mijen ini untuk menghadapi pengacauan Ki Topeng Reges dan anak
buahnya. Ya, Pendekar Bayangan juga tahu bahwa Mahesa
Wulunglah yang telah membebaskan Endang Seruni dari tangan anak buah Ki Topeng
Reges. Juga ia tahu, bahwa Mahesa Wulung telah menolak kawin dengan Endang
Seruni sebagai hadiah atas kemenangan sayembara.
Bagaimanapun juga Pendekar Bayangan dapat meng-
hargai atas sikap Mahesa Wulung tadi. Satu sikap luhur yang menunjukkan betapa
besar cinta Mahesa Wulung
kepada kekasihnya yakni Pandan Arum.
"Angger Mahesa Wulung. Sayang Ki Bango Wadas telah
minggat dan membawa serta si Lawunggana." ujar
Pendekar Bayangan. "Dari wajah Lawunggana aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa
ia sebenarnya orang yang baik hati!"
"Benar, bapak." sela Endang Seruni. "Memang aku telah mengenal kakang Lawunggana
semenjak kecil mula dan ia adalah orang yang baik-baik!"
"Itulah sayangnya ia mendapat didikan yang sesat dari Ki Bango Wadas, yang
mengutamakan kekerasan dan
kekasaran. Untuk ini aku tak perlu heran sebab sedikit banyak aku telah mengenal
siapa Ki Bango Wadas itu
sebenarnya." ujar Pendekar Bayangan dan kata-kata tersebut cukup membuat Mahesa
Wulung terperanjat.
"Jadi bapak pernah mengenal Ki Bango Wadas itu"!"
seru Mahesa Wulung. "Mmm, tentulah dia orang yang
hebat."
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heh, heh, heh, heh, memang orang yang hebat si
kepala botak itu!" kata Pendekar Bayangan. "Ia telah terkenal sejak mula
kerajaan Demak berdiri."
"Sejak Demak berdiri"!" berseru Mahesa Wulung
dengan terhenyak bagai disengat lebah.
"Heh, heh, heh. Waktu itu ia masih muda sekali."
Pendekar Bayangan berkata. "Dan pada suatu ketika ia melamar ke Demak untuk
menjadi calon tamtama dari
pasukan kerajaan. Akan tetapi sayangnya ia sering
menunjukkan kekasaran serta sikapnya yang selalu
menyombongkan kesaktian dirinya, sehingga akhirnya
Sultan tidak mau menerimanya. Hal ini rupanya membawa kejengkelan dalam hati
Bango Wadas Anom. Maka pemuda sakti inipun meninggalkan kota Demak dengan
kemarahan serta dendam yang berkobar di dadanya. Akhirnya dia menjadi seorang
Pendekar liar yang sering mengganggu kearnanan dan ketenteraman. Di mana dia
berada, di situ pulalah timbul perselisihan-perselisihan serta pertarungan yang
kadang-kadang memakan korban jiwa. Nama Bango
Wadas Anom tersebut semakin ditakuti, makin disegani oleh orang-orang dan
akhirnya juga disingkiri oleh mereka.
Meskipun ia mula-mula merasa bangga atas hal ini, namun toh kesudahannya ia
menjadi kesepian juga. Betapapun juga kecilnya, setiap manusia masih memerlukan
bergaul dan berhubungan dengan manusia lainnya. Keadaan
tersebut justru menambah dendamnya terhadap setiap
orang, terhadap siapa saja yang dijumpainya. Karena itu, akhirnya sekelompok
prajurit-prajurit Demak telah mencoba menangkapnya.
Tentu saja Bango Wadas Anorn tidak tinggal diam dan iapun melawan dengan sekuat
tenaga dan kesaktiannya.
Pertarungan hebat seketika berkobar. Pada kesempatan inilah ia menumpahkan
segala dendam dan kemarahannya. Maka tak perlu heranlah bila dalam beberapa
jurus gebrakan kemudian Banyo Wadas Anom berhasil meroboh-kan lima orang korban
tanpa nyawa lagi, sedang tiga orang lainnya roboh terluka parah!
Beberapa orang sisa pasukan Demak yang merasa tak
mampu lagi menandingi Bango Wadas cepat-cepat berlari meminta bantuan ke kota.
Begitulah, pertempuran hebat untuk kedua kalinya berkobar lagi. Kali inipun dari
kalangan prajurit-prajurit tidak bisa memandang dengan sebelah mata kepada Bango
Wadas Anom. Mereka terpaksa mengakui keunggulan si
pendekar liar ini.
Kembali berjatuhan beberapa korban dari pihak prajurit-prajurit Demak, tetapi
lainnya masih terus mengepung Bango Wadas Anom dan menyerang dengan sengitnya.
Mereka telah bertekad lebih baik mati bersama rekan-rekannya dari pada ngacir
berlari meninggalkan lawannya yang cuma seorang diri.
"Hayo prajurit-prajurit Demak! Jangan rnaju satu
persatu! Tuangkan seluruh teman-temanmu ke mari, dan aku akan melayaninya!"
teriak Bango Wadas Anom dengan garangnya. "Kalian akan mampus, binasa satu
persatu ditanganku. Hua-ha-ha-ha inilah Bango Wadas Anom yang telah ditolak
sebagai calon tamtama Demak dan sekarang kalian akan merasakan betapa sepak
terjangku!"
Sekali lagi Bango Wadas berkelebat dan beberapa orang prajurit pengepungnya
terpelanting roboh ke tanah oleh sambaran kayu penggada ditangan Bango Wadas.
Senjatanya yang tampaknya sederhana itu ternyata terbuat dari galih atau hati
kayu pohon asam yang sangat keras dan ulet. Setiap pukulan dengan senjata ini
akan menyebabkan maut atau paling sedikir patah tulang
belulangnya. Maka celakalah bila lawan yang tak berilmu berani memapaki serangan
gada kayu galih asam tadi!
Tiba-tiba saja dalam keadaan yang sangat kritis dan tanpa harapan bagi prajurit-
prajurit Demak itu, berkelebat-lah sesosok bayangan manusia dari balik pepohonan
lebat langsung melesat ke arah Bango Wadas Anom.
Kedatangan orang ini sangat tepat sebab bersamaan
Bango Wadas Anom akan menghajarkan penggadanya ke
kepala seorang prajurit Demak yang telah kecapaian dan terlongoh-longoh saking
lelahnya. Si pendatang tadi sekonyong-konyong dengan sebat
membenturkan senjatanya yang senantiasa berputar bagai baling-baling ke arah
penggada Bango Wadas yang tengah meluncur ke bawah. "Craaaakkk!"
"Keparat! Setan alas!" umpat Bango Wadas sambil me-
loncat ke belakang menjauhi si pendatang tadi.
Kini Bango Wadas Anom dapat menyaksikan lawan
barunya, seorang pemuda yang berumur sebaya dengan
dirinya dan pada tangannya tergenggamlah sebuah senjata nenggala yang berujung
dua buah sangat runcingnya dan berkilatan ditimpa sinar matahari pagi.
Dengan memegang pada pertengahannya, maka senjata
tadi dapat diputar secepat baling-baling dan sepintas lalu akan miriplah dengan
senjata nenggala si Prabu Baladewa dan cerita Pewayangan yang katanya mampu
memukul hancur sebuah gunung anakan dan mengeringkan sebuah lautan yang dikenainya
dengan senjata nenggala tadi.
"Siapa kau haa" Mencampuri urusanku di sini!" seru
Bango Wadas Anom seraya melototkan matanya ke arah si pendatang tadi. " Apakah
kau sudah bosan hidup juga?"
"Ha, ha, ha, Bango Wadas Anom! Memang hebat sekali
sepak terjangmu ini. Aku lihat beberapa prajurit Demak telah terkapar mati!"
ujar si pendatang.
"Memang hebat, dan jika umurmu masih panjang, kau
akan segera tahu bahwa besok hari pada ujung
penggadaku ini akan kau lihat duri-duri logam yang aku pasang di situ sebanyak
jumlah orang-orang yang telah mati itu!"
"Luar biasa!" desis si pendatang baru itu. "Itulah sudah sepantasnya bila
lamaranmu sebagai calon tamtama
Demak telah ditolak karena kekejaman dan kekerasanmu!"
"Itu sudah menjadi pendirianku serta keyakinan yang telah mendarah daging di
tubuhku!" seru Bango Wadas Anom. "Siapa yang kuat dan paling keras, pastilah
akan paling berkuasa di dunia ini! Dialah orang yang paling ditakuti!"
"Hmmm kau lupa! Bukan hanya dengan kekerasan serta
kekuatan saja orang dapat berkuasa tetapi dengan
keluhuran, akan kebijaksanaan serta keadilan orangpun dapat pula disegani!"
"Bagus, kita bertentang pendirian. Sakarang akan kita buktikan siapa di antara
kita yang paling kuat."
"Heh, heh, heh. Aku senang mendengar tantanganmu
tadi. Namun rupanya kau belum tahu dengan siapa engkau berhadapan!" ujar si
pendatang. "Lhah, siapa namamu he"! Kau kira aku takut men-
dengar nama yang kau ucapkan!" seru Bango Wadas Anom sombong.
"Nah, kenallah lebih dulu. Aku biasa disebut orang si Banyaksekti, saudara
seperguruan Ki Kebo Kenanga dari perguruan Pengging!" ujar si pendatang dengan
tenangnya. "Kau"! Kau orang yang bernama Banyaksekti dari
Pengging?" berseru Bango Wadas Anom dengan muka
terperanjat. Nama tadi telah sering didengarnya sebagai nama yang paling
ditakuti oleh para penjahat, maka sedikit banyak iapun tergetar pula olehnya.
Meskipun begitu Bango Wadas Anom malah tertawa terbahak-bahak. "Heh, kebetulan
sekali kalau begitu. Ayo, sambutlah senjataku ini!"
Banyaksekti terperanjat sebab begitu selesai berkata tahu-tahu senjata galih
asam si Bango Wadas telah
menyelonong menuju ke arah wajahnya.
Untungnya si Banyaksekti cepat bertindak! Dengan
kecepatan angin senjata nenggala di tangannya berkelebat memapaki serangan lawan
dan menyebabkan benturan keras. "Traaang!!"
Bango Wadas Anom terkejut seketika. Tidak dinyana bila serangannya yang cermat
tadi meleset dari sasaran akibat tangkisan lawan. Ujung penggadanya tadi
meluncur satu jengkal dari pelipis Banyaksekti.
Dalam saat yang sama pula tiba-tiba kaki kiri
Banyaksekti mengirimkan tendangan manis ke perut
Bango Wadas disusul bunyi berkerocak dan keluhan tertahan. Bango Wadas Anom
buru-buru meloncat ke
samping, tapi sesaat kemudian iapun muntah-muntah
dengan wajah kepucatan. Sungguh hebat tendangan
Banyaksekti. Melihat ini Banyaksekti tertawa terkekeh-kekeh dan
karenanya Bango Wadas makin bertambah garang saking marahnya. Kembali ia
menyerang Banyaksekti dengan
serangan-serangan maut. Penggadanya tadi berkelebat menyambar-nyambar ke
sekeliling tubuh Bango Wadas
dengan rapatnya tanpa ampun.
Namun sekali lagi Bango Wadas terkecoh, bila ke
nyataannya Banyaksekti senantiasa mampu mengatasi
serangan-serangannya dan tak lama kemudian iapun
merasa bahwa senjata nenggala Banyaksekti berkali-kali mengancam tubuhnya.
Putaran senjata lawannya yang berujung runcing pada kedua belah ujung pangkalnya
berkilatan membuat hati Bango Wadas tergetar pula karenanya. Ia terpaksa bekerja
keras bila tidak ingin tubuhnya di tembus oleh nenggala si Banyaksekti yang
sekali-sekali sempat pula menggores kulit dagingnya.
Untungnya si Banyaksekti cepat bertindak! Dengan
kecepatan angin senjata nenggala ditangannya berkelebat memapaki serangan lawan
yang menyebabkan benturan
keras. "Traaaang!!!!"
Akhirnya Bango Wadas Anom merasa bahwa tenaganya
akan menjadi habis bila diterus-teruskan bertempur
melawan si Banyaksekti yang selincah burung sikatan melesat ke sana ke mari itu.
Begitulah, sebuah tendangan kaki Banyaksekti tak
sempat dihindarinya dan terpentallah Bango Wadas Anom ke samping beberapa
langkah. Akan tetapi di saat itu pula ia telah menyiapkan serangkaian serangan
maut. Sambil berjumpalitan, tangan kiri Bango Wadas tiba-tiba merogoh ikat pinggangnya
dan begitu berkelebat mengibas meluncurlah beberapa jarum beracun ke arah
Banyaksekti dengan cahaya berkeredapan. "Sringng!"
Melihat serangan ini Banyaksekti tidak kehilangan akal.
Tangan kanannya yang menggenggam nenggala, berputar ke kiri ke kanan dengan
cepat dan lincah menyambut
sambaran-sambaran jarum beracun tadi.
Maka terdengarlah bunyi berdenting-denting susul
menyusul dan rontoklah ke tanah jarum-jarum beracun tersampok oleh nenggala
Banyaksekti. Hal ini merupakan keuntungan bagi Banyaksekti sebab kedua matanya segera
menyaksikan betapa rumput-rumput dan tetumbuhan yang terkena jarum beracun tadi
menjadi layu serta mengering beberapa saat kemudian.
Terbayanglah olehnya seandainya tubuhnya ditembusi oleh jarum-jarum beracun tadi
pasti akan mengalami nasib yang sama.
Pada saat Banyaksekti menangkis serangan jarum
beracun tadi si Bango Wadas Anom menggunakan
kesempatan yang paling baik ini dengan melesat ke luar gelanggang pertempuran
seraya berkaok-kaok. "Banyaksekti! Tunggulah saatnya nanti. Kita akan bertemu
lagi untuk melanjutkan pertemuan ini!!" Bango Wadas lenyap di balik kelebatan
pohon-pohon dan tempat itu kembali sepi, kecuali beberapa erangan prajurit-
prajurit yang terluka parah, sementara beberapa prajurit Demak lainnya yang
masih selamat masih saja terhenyak oleh pertempuran yang baru saja berakhir
tadi. Banyaksekti tak tinggal diam. Ia segera mengajak para prajurit tadi untuk
menolong rnereka-mereka yang masih sempat ditolong, sedang kepada mereka yang
telah mati segera pula dikuburnya baik baik.
Sejak itu, Bango Wadas tak terdengar lagi kabar beritanya. Ada sementara orang
yang mengabarkan bahwa ia
mengasmgkan diri di suatu tempat untuk memperdalam
ilmu dan kesaktiannya. Sedang orang lain mengabarkan pula, bahwa setiap orang
yang dijumpai tentu dibunuhnya.
Begitulah kabar bersimpang siur terdengar dari sana-sini.
Namun sampai sejauh itu, Bango Wadas ternyata tidak pernah muncul kembali dan
orangpunn mulai melupakan-nya pula.
Pendekar Bayamian mengakhiri ceritanya dan ke-
heningan kembali mencekam suasana. Mahesa Wulung
berdiam diri, juga Pandan Arum dan Endang Seruni.
"Nah, angger bertiga," ujar Pendekar Bayangan pula, melanjutkan bicaranya.
"Begitu tadii cerita tentang Ki Bango Wadas yang diceritakan sendiri oleh
sahabat karibku yakni si Banyaksekti sendiri."
"Ooh, Banyaksekti itu juga sahabat bapak"!" seru
Mahesa Wulung setengah kagum. "Sungguh bahagia
tentunya mempunyai sahabat seperti Banyaksekti itu."
"Heh, heh, heh, memang benar pendapatmu itu angger."
ujar Pendekar Bayangan seraya ketawa lirih. "Sekarang agaknya hari sudah terlalu
siang. Baiknya kita kembali ke desa Mijen saja, angger Wulung. Aku ingin
berjumpa dengan Ki Lurah. "Baik, bapak. Marilah!" berkata Mahesa Wulung mempersilakan
Pendekar Bayangan yang telah
bangkit dari duduknya.
"Sebentar angger Wulung!" sela Pendekar Bayangan.
"Aku harus lebih dulu melepas topengku ini sebelum tiba di desa. Jika tidak, aku
kuwatir kalau-kalau disangka tukang penari topeng barongan yang kesiangan."
Pendekar Bayangan lalu melepas topengnya yang
berwarna keputihan serta menyimpannya di balik bajunya yang juga berwarna
keputihan. Maka sebentar kemudian Mahesa Wulung bertiga dapat menyaksikan wajah
seorang tua yang masih nampak segar dengan sorot mata yang
bening dan bercahaya, membuat Pandan Arum yang belum pernah melihatnya terpaksa
tercengang kagum.
Tak lama kemudian mereka berempat bergegas menuju
ke jalan desa Mijen yang letaknya tidak jauh lagi. Beberapa semak pohon bambu
tumbuh di kiri-kanan jalan berseling-seling pohon kelapa.
*** 3 I LURAH MIJEN tampak mondar-mandir di pendapa
kelurahan desa Mijen sedang Nyi Lurah diam-diam
K saja duduk di atas balai-balai.
Pada wajah Ki Lurah Mijen terlihat gurat-gurat
kecemasan yang mendalam, lebih-lebih dengan munculnya Lawunggana yang akhirnya
disusul pula dengan pertarungan antara pemuda itu dengan Sorogenen.
Akan tetapi Ki Lurah Mijen tiba-tiba berhenti demi
didengarnya suara orang Bercakap-cakap dari arah
halaman Kelurahan.
Seperti digerakkan oleh tenaga naluriah Ki Lurah segera melayangkan pandangannya
ke arah halaman.
"Oh..." Ki Lurah melihat empat orang menuju ke
halaman Kelurahan dan ia segera dapat mengenalnya.
Mereka adalah Mahesa Wulung, Pandan Arum, Endang
Seruni dan yang seorang lagi"
Ki Lurah mencoba mengingat-ingat dan memusatkan
pikirannya. "Ooooo, siapakah dia" Rasanya aku telah lama mengenalnya." pikir Ki
Lurah beberapa saat dan akhirnya ia menampakkan wajah cerah.
"Hee, ya. Aku tak keliru lagi. Dia adalah Ki Pendekar Bayangan!!!"
Maka Ki Lurah segera bergegas keluar dan
menyongsong mereka seraya berseru. "Ki Pendekar
Bayangan! Ooo, andika masih teringat dengan desa yang buruk ini?"
"Heh, heh, heh, janganlah terlalu merendah Ki Lurah.
Desamu justru sangat indah sehingga aku memerlukannya untuk singgah di sini
kembali." ujar Pendekar Bayangan dengan tersenyum lebar.
"Ayo, ayo, kita terus masuk saja ke dalam!" berkata Ki Lurah Mijen terbata-bata
mempersilakan tamunya yang baru ini masuk ke pendopo.
Mereka duduk di atas balai-balai kayu dan kemudian Ki Lurah membahagiakan
tamunya, menanyakan tentang
kesehatan Ki Pendekar Bayangan dan lain-lainnya.
"Hmm, aku memang sengaja datang ke mari Ki Lurah."
Pendekar Bayangan berkata. "Sebab aku sedikit banyak mulai mencium adanya bahaya
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menyangkut diri Ki Lurah!"
"Eeeh, bahaya apa itu, sahabat" Apakah andika mau
menakut-nakuti diriku yang sudah tua ini," ujar Ki Lurah dengan wajah yang
setengah ketakutan tapi juga setengah senyum, sehingga nampaknya sangat lucu.
"Heh, heh, heh, aku berkata sebenarnya Ki Lurah.
Dengarlah baik-baik. Ketika aku lewat di kota Asemarang dan bersinggah di sebuah
warung minum di dekat bandar pelabuhan, aku melihat seorang pengunjung yang
setengah mabuk dengan bau tuak menghambur dari
mulutnya. Ia mengomel semaunya dengan kata-kata begini. "Hoek, hoooeeek, aku akan segera
kaya dengan harta Tanjung Bugel dan Ki Lurah Mijen tahu itu semua,
hoooeeeekkk!!"
Mendengar ini seketika wajah Ki Lurah Mijen ter-
peranjat, tak terkecuali Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Endang Seruni pula.
Hal itu tentu saja mengejutkan mereka, lebih-lebih bagi Ki Lurah yang namanya
telah disebut sebut oleh si
pemabuk itu, maka tak ada salahnya jika Ki Lurah buru-buru berkata kepada
Pendekar Bayangan.
"Eh. siapakah orang itu, sahabat?"
"Nah, itulah aku yang kurang tahu Ki Lurah. Beberapa saat kemudian sebelum aku
sempat bertanya kepada
orang mabuk itu, tahu-tahu mendekat seorang berwajah garang yang langsung menuju
ke arah si pemabuk itu, lalu berkata seraya menggerutu marah. Selanjutnya ia
memapah si pemabuk tadi ke luar dari warung. Aku cepat-cepat membuntutinya
keluar tapi aku tak mendapati apa-apa kecuali debu berkepul ke udara diseling
bunyi derapan kaki-kaki kuda yang makin menjauh dan lenyap di
kegelapan malam."
"Sangat berbahaya!!" desis Mahesa Wulung setengah
menggeleng-geleng. "Hidung-hidung liar rupanya lebih cepat membau akan harta
terpendam di Tanjung Bugel
itu!!" "Heran sekali aku!" sela Ki Lurah pula. "Dari mana
mereka dapat mengetahui perihal harta tersebut" Tetapi, yah! Aku agak ingat
sekarang bahwa di antara para
pengawal rombongan saudagar yang menanam harta tadi di sana, ada seorang yang
aku curigai!"
"Hooa, lika-liku persoalan ini makin bertambah jelas rupanya!" seru Pendekar
Bayangan. "Jadi Ki Lurah benar-benar mengenal orang yang andika curigai itu"!"
"Kenal sekali!" tukas Ki Lurah Mijen. "Sekarangpun
seandainya berjumpa, aku masih bisa mengenalinya!"
Mendengar kalimat itu Pendekar Bayangan meng-
angguk-angguk mengerti dan berkata pula. "Apakah ia mempunyai cacad atau bekas
tanda luka pada dahinya"!"
"Tepat sekali! Ketelitian andika semakin membuatku
bertambah jelas! Ya, orang itu memang pada dahinya
berbekas tanda luka dan namanya si Blending. Dia adalah seorang yang suka minum
tuak. Meskipun sudah kenyang perutnya dengan minuman tuak, tapi bagi dia belum
ada artinya, maka dia akan menghabiskan beberapa lodong lagi sampai betul-betul
perutnya bulat bagai tempayan, Nah, oleh sebab itulah dia bernama si Blending."
"Hmmm, namanya memang sesuai!" desis si Pendekar
Bayangan manggut-manggut. "Pantas saja kalau pada
waktu aku melihat si Blending itu, di atas mejanya aku lihat beberapa lodong
tuak yang telah kosong berserakan.
Rupanya baru saja habis diminumnya dengan tandas."
"Dengan demikian," sela Mahesa Wulung. "Jelaslah
bahwa harta dari Tanjung Bugel itu banyak yang
mengincarnya!"
"Sebaiknya kita harus cepat-cepat mendapatkan harta itu lebih dulu, angger."
ujar Pendekar Bayangan pula.
"Dan bapak akan bersedia membantu kalian untuk
mencarinya."
"Terima kasih, sahabat!" Ki Lurah Mijen berkata.
Bantuan andika sangat kami butuhkan memang! Sebab
tentunya si Blending yang andika ceritakan tadi tidak mustahil mempunyai teman-
teman lainnya."
Ki Lurah Mijen kemudian bercerita pula tentang riwayat harta Tanjung Bugel
secara singkat kepada Pendekar
Bayangan dan karenanya Pendekar tua itupun menjadi
tercengang kagum. "Eh, eh, eh. Tidak mengira bahwa ada lelakon seelok itu. Mmm,
jadi angger Endang Seruni masih saudara sekandung dengan nona Pandan Arum!?"
"Begitulah, bapak." berkata Pandan Arum seraya
menepuk bahu Endang Seruni yang duduk di sampingnya.
"Jadi dia masih adikku sendiri. Adik sekandung yang aku ketahui karena kalung
kami yang kembar."
"Angger sungguh berbahagia, nona Pandan Arum.
Rakhmat Tuhan telah mempertemukan andika dengan
adik kandung yang telah terpisah sekian lamanya."
Sementara itu Nyi Lurah disertai seorang pembantunya segera menyuguhkan minuman
serta juadah ketan kepada mereka.
Sedang di luar sang matahari telah bergeser jauh ke sebelah barat pertanda bahwa
sore akan tiba sebentar kemudian. Beberapa ekor kelelawar memberanikan diri
terbang di udara menyambar-nyambar serangga yang akan disantapnya sambil
mencicit kegirangan.
*** Dalam pada itu jauh di sebelah utara sana, di daerah
Muara Kali Serang yang tengah diliputi kabut dan
ditumbuhi oleh kelebatan pohon-pohon besar, terdengarlah suara orang memaki
menyumpah-nyumpah dengan
kerasnya. Kadang-kadang terdengar pula bunyi mem-
bentak-bentak disusul oleh suara lecutan-lecutan keras, mengumandang di udara
senja yang senyap sepi.
Di balik pohon pohon besar itu, terdapatlah sebuah
pondok kecil yang tersembunyi letaknya. Suara lecutan-lecutan tadi ternyata
berasal dan samping rumah. Sebuah gawang kayu terpasang di situ dan di bawahnya
tergantung sesosok tubuh manusia pada kedua belah tangannya yang terikat pada
gawang kayu. Di depan gawang itu berdirilah seorang berkepala botak dengan memegang sebuah
cambuk pendek. Rupanya telah berkali-kali ia menghajarkan cambuknya pada seorang
yang tergantung tersebut dan ini terlihat jelas dari luka-luka pada punggungnya
yang berjalur-jalur merah padam
dengan kulit mengelupas serta darah yang membasah.
"Rasakan kau hah! Lawunggana mulai berhati lunak"
Ingin jadi perempuan kau, heee"!"- teriak si botak dengan marahnya. "Aku si
Bango Wadas pendekar jagoan Muara Kali Serang tak pernah mengajarmu untuk
berhati selunak kain bobrok! Kau ternyata kurang memenuhi harapan dan sudah
selayaknya kau menerima pelajaran dari gurumu ini!
Terimalah ini!" Ki Bango Wadas berteriak serta menghajarkan cambuk pendeknya
kepunggung Lawunggana.
"Wesss!"
"Taaaar!"
Begitu cambuk tadi menimpa dan mendera ke kulit
punggung Lawunggana bertambahlah lagi sebuah goresan merah darah melintang
dibarengi kulit mengelupas serta darah melekat pada batang cambuk.
"Eeaaah!" teriak Lawunggana menyeringai saking sakit dan pedihnya. Punggungnya
serasa terbakar oleh
berbongkah-bongkah bara api menyala yang tidak bisa dihindari, kecuali ia
menggemeretakkan giginya menahan rasa sakit tadi.
"Ayo, minta ampun di hadapan gurumu ini!" Kembali Ki Bango Wadas berteriak
garang seraya mengacung
acungkan cambuknya ke wajah Lawunggana yang
bermandi peluh dan debu kotor.
Lawunggana telah lelah sekali dan setengah pingsan
maka ia tak bisa berkata-kata dengan jelas, kecuali merintih. "Aku ... aku ...
minta ... maaf ...."
"Heeh, kau tak bisa berkata keras-keras, hee?" teriak Ki Bango Wadas. "Rupamu
jadi jelek kalau merintih dan
berurai air mata seperti itu. Kau harus tertawa sekarang"
Ayo, tertawa sekarang!"
Tapi Lawunggana tak dapat memenuhi perintah Ki
Bango Wadas itu. Mana bisa orang yang telah menderita seberat dan separah
Lawunggana mampu berkata jelas
apalagi tertawa seperti orang sehat.
"Hmm, keparat! Jadi aku harus memaksamu tertawa
bukan" Haaait!" Ki Bango Wadas yang berwatak bengis itu dengan tiba-tiba
menotokkan ujung jari-jarinya ke leher Lawunggana, tepat pada "urat tertawa"
sehingga sejurus kemudian tanpa sadar, tanpa ada sesuatu yang lucu atau
menggelikan, pemuda ini tertawa terbahak, terkekeh-kekeh tanpa dia dapat menarik
nafas dengan leluasa. "Heh, ha.
ha. Heh, heh, ha, ha, ha ...."
Melihat muridnya tertawa tanpa sadar ini, Ki Bango
Wadas terpaksa ikut ketawa pula. Ia merasa sangat geli menyaksikan Lawunggana
terus menerus dan sambung
menyambung tertawa tanpa hentinya dengan mata melotot dan leher yang tegang.
"Heh, heh, heh. Hah, hah, hah, hah..."
Dengan demikian nafas Lawunggana lama kelamaan
menjadi sesak dan makin sesak, hingga akhirnya ia
terkulai lemas lalu pingsan. Tubuhnya tergantung pada gawangan kayu tadi,
terayun bagaikan bangkai seekor binatang buruan yang telah disembelih.
Melihat ini Ki Bango Wadas meringis puas, lalu berpaling dan bergegas menaju ke
kamarnya. Ia mengambil
mangkuk dari tempurung serta sebuah lodong tembikar.
"Heeh, kau tak bisa berkata keras-keras heee"!" teriak Ki Bango Wadas. "Rupamu
jadi jelek kalau merintih dan keluar air mata seperti itu. Kau harus tertawa
sekarang! Ayo, tertawa sekarang!!"
"Heh, heh, heh, dia harus minum lagi "jamu pelupa" ini sehingga ia akan kembali
ke sifat kejam dan keras yang telah mulai luntur ini!!" Ki Bango Wadas berpikir
seraya mendekat ketubuh Lawunggana. "Sekali minum, maka
lupalah dia akan kejadian kemarin dan selanjutnya akan tunduk di bawah segala
perintah ku! Heh, heh, heh."
Sesudah ia menuangkan cairan jamu yang berwarna
hijau kecoklatan, Ki Bango Wadas segera menjemba dan membuka mulut Lawunggana,
dan secepat kilat ia
meminumkan jamu tersebut ke mulut muridnya, sampai
tertuang habis.
Ki Bango Wadas berdiam diri beberapa saat sambil
menatap ke arah Lawunggana. Ia menunggu kerja serta khasiat jamu tersebut.
Sesaat kemudian Lawunggana mulai bergerak-gerak
tubuhnya. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan segenap kulit tubuhnya.
Perlahan-lahan pemuda berkumis tebal ini mengangkat kepalanya serta memandang ke
wajah Ki Bango Wadas dengan mata yang sayu tetapi
tajam!! Benar-benar mengerikan tak ubahnya mata seekor macan kumbag yang
kelaparan! "Lawunggana!" seru Ki Bango Wadas. "Katakan siapa
aku!" "Kau adalah guruku, Ki Bango Wadas dan kepadamu
aku menurut segala perintahmu!" Lawunggana berkata
dengan nada tegas tanpa ragu-ragu.
"Heh, heh, heh, bagus! Itu bagus Lawunggana!!" teriak Ki Bango Wadas dengan
senangnya, bagaikan bocah
ingusan mendapat oleh-oleh dari ibunya. "Itulah yang aku harapkan Lawunggana!
Kau benar-benar memenuhi
seleraku!"
Ki Bango Wadas kemudian melepas ikatan pada kedua
belah pergelangan tangan Lawunggana dan sebentar saja muridnya yang berkumis
tebal ini telah berdiri tegak di hadapannya.
"Salamku serta hormatku ke hadapan bapak guru!" ujar Lawunggana seraya
membungkukkan tubuhnya ke
hadapan Ki Bango Wadas sedalam-dalamnya. Sedang
pada wajahnya tidak terbayang lagi akan adanya wajah lembut ataupun ramah,
melainkan wajah garang dan kaku.
"Nah, kau sekarang lebih baik, Lawunggana! Heh, heh, heh, heh." Ki Bango Wadas
berkata sambil terkekeh
ketawa amat senang. "Sekarang kau boleh istirahat
sesukamu!!"
Lawunggana sekali mengangguk dan berkata. "Terima
kasih, guru!" Dan kemudian ia melangkah ke ruang
sebelah. Dalam pada itu Ki Bango Wadas kemudian duduk di
atas sebuah bangku dari kayu panjang. Sebuah lodong berisi tuak direguknya puas-
puas sampai kumisnya basah kuyup oleh air tuak. Sambil meletakkan kembali lodong
tuaknya Ki Bango Wadas menyeka mulutnya dengan
tangan. Beberapa daging bakar segera dilahapnya pula dan
mulutnya sibuk berkomat-kamit mengunyah. Namun dasar Ki Bango Wadas memang
seorang pendekar liar yang
bertelinga tajam meskipun sambil rnengunyah santapan daging bakar tersebut,
telinganya selalu terpasang untuk mendengarkan suara- suara yang mencurigakan.
Ya, suara mencurigakan! Itulah yang bisa didengar oleh telinya Ki Bango Wadas.
Beberapa langkah-langkah kaki manusia yang berjalan dengan hati-hati, sebentar
berhenti dan sebentar kemudian melangkah kembali. Mungkin
maksudnya agar tidak bisa didengar oleh telinga siapapun atau paling-paling
hanya di anggap sebagai angin yang berlalu di sela dedaunan.
Akan tetapi berhadapan dengan Ki Bango Wadas tidak
boleh dianggap remeh begitu saja. Ia cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya
sambil memungut tiga buah batu kerikil, langsung disambitkan ke arah semak
belukar di kegelapan malam tidak jauh dari pintu pondok.
"Siapa itu bersembunyi di sebelah sana! Ayo lekas
keluar!!" terdengar Ki Bango Wadas berkata seraya
menunjuk ke arah semak-belukar tersebut. "Kalau tidak kalian akan segera binasa
di tanganku!!"
Dari kamar samping, meloncatlah Lawunggana seraya
bertanya kaget. "Ooh mengapa bapak guru"!"
"Kita ada tamu, Lawunggana." jawab Ki Bango Wadas.
Bersiap-siaplah siapa tahu mereka bermaksud jelek
terhadap kita!!"
"Baik, guru!"
Sejurus kemudian dari arah semak helukar muncullah
tiga sosok tubuh manusia dan berjalan ke arah Ki Bango Wadas serta Lawunggana
berdiri. Apabila ketiga pendatang itu semakin dekat serta
tercapai oleh cahaya dian minyak, maka tampaklah tiga wajah garang yang berdiri
di hadapan Ki Bango Wadas berdua.
Ketiganya membungkuk sesaat memberi hormat.
"Maafkan jika kami bertiga telah membikin andika terkejut, Ki Bango Wadas!" ucap
seorang bertubuh kekar. "Harap andika tidak menjadi gusar dengan kedatangan kami
bertiga!" "Apa maksud kalian datang ke tempat ini!?" bertanya Ki Bango Wadas dengan rasa
curiga. "Kami datang dengan maksud baik-baik!"
"Maksud baik-baik" Kalau begitu lekas katakan dengan jelas!" Ki Bango Wadas
berkata. "Sabar Ki Bango Wadas! Sebelum kami menjelaskan
lebih dahulu kami minta kesediaan andika untuk bersekutu dengan kami."
Mendengar perkataan si kekar tadi Ki Bango Wadas
menjadi tersinggung karena orang ini tidak langsung mengatakan apa keperluannya,
sehingga iapun berseru.
"Kalian bertiga jangan mencoba main-main dengan Ki
Bango Wadas! Kalau tak ada perlu yang penting lekaslah kalian berlalu menyingkir
dan tempat ini!!"
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus kalau andika tak mau diajak bersekutu!" kata si tubuh kekar meringis.
"Sayang sekali kalau emas intan berpeti- peti harus menjadi milik kami sendiri!"
Habis berkata itu, si kekar dan kedua temannya segera bergegas meninggalkan
tempat tersebut. Namun mereka terpaksa menghentikan langkahnya demi didengarnya
Ki Bango Wadas berteriak. "Tunggu dulu! Kalian tadi mengatakan emas intan
berpeti-peti"!"
"Betul Ki Bango Wadas! Kalau andika tak mau ber-
sekutu biarlah kami ambil sendiri harta itu." ujar si kekar.
"Heh, heh, heh. Jika untuk itu, aku bersedia bersekutu dengan kalian!" Ki Bango
Wadas berkata. "Nah, itulah harapan kami. Ki Bango Wadas. Kami
memilih sekutu kepada andika berdua adalah pendekar pendekar gemblengan yang
telah terkenal!"
"Heh, heh, heh! Tidak keliru lagi pilihan anda!" berkata Ki Bango Wadas dengan
nada bangga, karena pujian dari si kekar tadi. "Sekarang katakanlah!"
"Baik Ki Bango Wadas." Si kekar berkata, "Lebih dulu perkenalkan, kami bertiga
adalah utusan Bido Teles dari Tanjung Jati. Saya sendiri adalah Sigayam dan yang
bertubuh gempal pendek ini adalah Bujel, sedang yang berperut buncit itu ialah
adi Blending!" Demikian Sigayam memperkenalkan dirinya serta kedua temannya.
"Hmm, baiklah. Aku adalah Ki Bango Wadas dan ini
adalah muridku Lawunggana." kata Ki Bango Wadas.
"Begini Ki Bango Wadas. Beberapa hari yang lalu adi Bujel ini telah mendapat
keterangan bahwa Ki Lurah Mijen menyimpan harta emas intan di Tanjung Bugel"
berkata Sigayam.
"Haaah"! Harta ernas intan"!" seru Ki Bango Wadas
setengah kaget bercampur takjub. Kata-kata emas intan bagi Ki Bango Wadas sangat
menarik, tak ubahnya kata-kata arak atau tuak bagi seorang peminum. "Tapi
bagaimana sampai si Bujel dapat mendengar tentang
harga emas intan itu"!"
"Hmm sudah lama kami mengintai Ki Lurah Mijen
tersebut. Belasan tahun yang telah silam adi Blending dan ketua kami yang
bergelar Bido Teles pernah bersama-sama mengawal Ki Saudagar yang berdagang emas
intan. Pada suatu ketika semua hartanya ditanam di daerah Tanjung Bugel yang
letak-letak serta tandanya digambarkan pada permata hijau "Soca Wilis" yang
sekarang berada di tangan Endang Seruni, yakni putri Ki Lurah Mijen." demikian
kata Sigayam. "Tapi mengapa Ki Lurah Mijen ada sangkut pautnya
dengan harta tersebut?" sela Ki Bango Wadas.
"Heh, heh, heh, sebab sebenarnya Ki Lurah juga salah seorang pengawal dari Ki
Saudagar itu!!"
Sambil manggut-manggut, Ki Bango Wadas mengelus-
elus kumisnya. Pikirannya jadi melayang ke desa Mijen yang letaknya tidak
terlalu jauh dari tempat tinggalnya ini.
Serasa ia ingin segera tiba di sana serta merenggut kalung permata Soca Wilis
dari leher Endang Seruni itu!
Agaknya Ki Bango Wadas masih sedikit ragu dengan
keterangan Sigayam tadi, lalu secara tiba-tiba ia menatap ke arah kaki kiri si
Bujel yang dibalut oleh lembaran kain putih setengah coklat kotor.
"Hee, rupanya temanmu itu kurang hati-hati Sigayam!!"
berkata Ki Bango Wadas seraya menunjuk ke arah kaki Bujel yang dibalut.
"Maaf, Ki Bango Wadas." ujar Sigayam. "Sebenarnya ia cukup hati-hati. Tapi
sayangnya ketika ia mengintai dan mendengarkan percakapan Ki Lurah Mijen dari
atas genting sirap pendapa kelurahan, tiba-tiba sebuah ujung senjata tajam telah
menusuk serta menembus genting
sirap dari sebelah bawah dan langsung menancap kaki Bujel ini!!"
"Luar biasa!!" desis Ki Bango Wadas kagum. "Si
penusuk tadi pastilah seorang yang berilmu tinggi!!"
"Benar Ki Bango, dan untungnya si Bujel masih sempat dan lekas-lekas
meninggalkan pendapa kelurahan tadi.
Kalau terlambat sedikit saja, oh pastilah ia telah dirangket, diikat oleh
mereka!" Sigayam berkata seraya menepuk-nepuk bahu si Bujel. "Memang di dalam
pendapa kelurahan tadi ada seorang tamu yang bernama Mahesa Wulung."
"Mahesa Wulung!" berseru Ki Bango Wadas. "Keparat
orang itu! Beberapa waktu berselang aku telah bertempur dengan dia. Ternyata dia
memang seorang pendekar
gemblengan. Ketika itu hampir kubinasakan dia, tapi sayang sekali, seorang
bertopeng tiba-tiba muncul dan menyelamatkan jiwanya!"
"Nah, itu lah sebabnya kami mengajak bersekutu
dengan andika Ki Bango Wadas, sebab lawan-lawan yang harus kita hadapi bukanlah
orang-orang ingusan kemarin sore, tetapi adalah pendekar-pendekar pilihan!"
"Kata-katamu benar Sigayam. Tapi tentang emas itu
bagaimana pembagiannya setelah kita peroleh nanti?" Ki Bango Wadas bertanya.
"Tak usah kuwatir Ki Bango." kata Sigayam. "Seluruh emas intan yang kita peroleh
akan kita bagi rata oleh enam orang. Jadi masing-masing menerima seperenam
bagian dari jumlah harta itu!"
"Heh, heh, itu berarti bahwa setiap orang harus bekerja sungguh-sungguh dan
keras! Jika dari pihakmu ada yang bekerja seenaknya, bagian emasnya harus
dikurangi!!"
"Itu sangat setuju Ki Bango!" seru Sigayam. Kami juga setuju!" ujar Bujel dan
Blending berbareng.
"Nah, jika kita telah sepakat dengan persekutuan ini, kami mohon permisi dulu Ki
Bango. Kami akan memberi laporan kepada ketua Bido Teles dan sepuluh hari lagi
kami akan datang ke mari!" berkata Si gayam.
"Bagus, Sigayam." ujar Ki Bango Wadas. 'Pulanglah dan beri tahu kepada Bido
Teles akan persetujuan kami."
Selamat jalan!"
Sigayam, Blending dan Bujel kemudian membungkuk
hormat dan meminta diri. Mereka segera berlalu
meninggalkan pondok Ki Bango Wadas di Muara Kali
Serang itu. Mereka melangkah dengan tenangnya, kecuali si Bujel yang sedikit terseok-seok
setengah pincang langkah kakinya. Sejurus kemudian tubuh mereka bertiga telah
lenyap di dalam pelukan gelap malam.
Ki Bango Wadas dan Lawunggana segera pula masuk ke
dalam kamar setelah mereka mengantar ketiga tamunya tadi sampai di halaman.
Lawunggana menutup pintunya sebab hawa malampun bertambah dingin menusuk ke
dalam daging dan tulang, lebih-lebih seperti hawa di Muara Kali Serang ini.
Pantaslah bila tempat ini jarang diinjak orang, kecuali mereka yang benar-benar
berani menempuh segala bahaya.
Malam itu Lawunggana masih terbaring di atas balai
balai di dalam kamarnya. Matanya sukar dipejamkan
sebab pikirannya sangat ruwet, sangat kacau.
Antara kesadaran dan ketidaksadaran pikirannya ber-
perang sendiri. Kadang-kadang ia teringat akan wajah Endang Seruni, kekasihnya.
Tetapi tiba-tiba pula wajah cantik tadi berubah menjadi wajah yang jelek,
berkeriput dan menakutkan. Wajah tadi seperti menghantui dirinya, sehingga
Lawunggana terpaksa gelisah, sebentar miring ke kiri, sebentar miring ke kanan.
Demikianlah Lawunggana berusaha mengatasi semua
kesadarannya. Namun pengaruh jamu ramuan "pelupa"
dan totokan "urat ketawa" yang mengakibatkan hilangnya kesadarannya itu benar
benar sangat sukar dilawannya.
Maka tak heran bila sebentar sekujur wajah
Lawunggana bermandi peluh. Juga segenap tubuhnya.
Perjuangannya mengatasi kesadaran dirinya tak berhasil, sebab bagaimanapun
usahanya, toh ia masih terlalu
rendah tingkat kepandaiannya dari pada Ki Bango Wadas!
Dengan demikian ia cuma dapat berkeluh kesah saja
dan akhirnya iapun kelelahan dengan sendirinya. Tak lama kemudian Lawunggana
terlena tidur, meskipun sebentar-sebentar ia mengigau juga di tengah tidurnya.
Sedangkan di sebuah lubang dinding pada kamar itu
terlihatlah sepasang mata mengawasi segala gerak-gerik Lawunggana.
Dan itulah mata Ki Bango Wadas yang mengintip
muridnya. Ketika Lawunggana tertidur, si botak itu tertawa lirih. "Heh, heh,
heh, Lawunggana, Lawunggana! Jangan sekali-sekali mencoba melawan kehendak Ki
Bango Wadas ini. Tak akan berhasil percuma" Kau sekarang ada di bawah
pengaruhku! Apapun yang aku perintahkan, kau
pasti akan menaatinya, sekalipun aku perintahkan kau membunuh diri atau terjun
ke dalam kawah gunung berapi!
Heh, heh, heh, harta emas intan! Sebentar lagi aku akan kaya! Heh, heh, heh, dan
tak seorangpun yang dapat
merintangi Ki Bango Wadas dari Muara Kali Serang ini!!"
*** 4 ADA suatu pagi, ketika ujung pepohonan di sebelah
selatan Muara Kali Serang telah disaput oleh cahaya P fajar yang baru saja
merekah, sebuah bayangan
manusia lagi berloncatan di antara batu-batu di tengah sungai.
Melihat gerakannya yang cekatan teranglah bahwa
orang ini mempunyai ilmu yang tinggi. Berulang-ulang ia melenting dari satu batu
ke batu yang lain bolak-balik.
Kalau mula-mula jaraknya cuma dekat, kemudian semakin jauh dan bertambah jauh
hingga akhirnya gerakan orang ini benar benar mirip seorang yang setengah
terbang. Orang yang melihat gerakan tersebut bisa jadi salah terka dengan menyangka
melihat hantu atau dedemit
penunggu muara sungai yang tengah bergembira
berloncatan di tengah sungai.
Namun toh orang akan segera manggut-manggut
setelah ia tahu bahwa si peloncat tadi adalah Lawunggana, murid tunggal dari Ki
Bango Wadas. Pagi ini tengah
melancarkan latihan-latihan pemanas badan dan gerak ulangan.
Si kumis tebal Lawunggana ini semakin menuju ke arah Selatan sehingga cukup jauh
jaraknya dari pondok tempat tinggalnya.
Sementara itu di antara sela-sela dedaunan di sebelah selatan, sepasang mata
tajam di balik topeng kain putih senantiasa mengintai segala gerak-gerik
Lawunggana yang tengah sibuk melatih diri itu.
Ketika Lawunggana semakin bergerak ke arah selatan
dan jaraknya dengan si pengintai tadi cukup dekat, secara tiba-tiba dan sebat,
si pengintai melesat ke arah tengah sungai, menyambut gerakan Lawunggana.
Melihat ini, bukan main kagetnya Lawunggana yang
tidak menyangka akan munculnya seseorang di tempat
sesepi ini. Maka cepat-cepat ia menghentikan gerakannya.
Kedua kakinya dengan lincah mendarat di atas sebuah batu di tengah sungai, dan
seluruh jari-jarinya mencengkeram ke permukaan batu, sehingga tubuhnya ber-
henti tanpa bergoyang sedikitpun, tak ubahnya sebuah patung batu.
Sikap Lawunggana ini sungguh mengagumkan. Selain ia berdiri kukuh tanpa
bergerak, iapun sekaligus memasang kuda-kuda jurus silatnya.
"Hmmm, hebat juga anak ini!" gumam si topeng sambil mendarat pula di atas sebuah
batu. Kedua-duanya kini berhadapan di tengah-tengah sungai.
"Heh, keparat! Kau berani mengganggu latihanku,
heeei"!" bentak Lawunggana keras-keras. "Dan aku seperti pernah melihat tampangmu itu!?"
"Ha, ha, ha, akulah si Pendekar Bayangan yang pernah bertempur dengan gurumu si
botak Bango Wadas itu!!" ujar Pendekar Bayangan.
"Hah, jika demikian engkaupun harus kubinasakan di
tempat ini!" teriak Lawunggana.
"Bicaramu memerahkan telinga, Lawunggana!" kata
Pendekar Bayangan. "Dan mirip dengan perangai si Bango Wadas botak itu!'
"Tak perlu heran kau!" Lawunggana berkata. "Memang
aku muridnya sehingga kami sangat mirip dalam segala sikap dan pikiran!"
"Jadi kau tak punya kepribadian sendiri"!" Pendekar Bayangan berkata. "Engkau
selalu mengekor akan segala perintah gurumu?"
"Apa salahnya"! Kalau engkau musuh guruku, berarti
musuhku pula dan harus mati ditanganku!"
"Hmm, sikapmu itu tidak wajar, bocah! Pasti ada
sesuatu yang tidak beres di dalam tubuhmu. Kasihan!" ujar Pendekar Bayangan
dengan mata sayu.
"Keparat! Kau membuat aku gusar topeng jelek - seru Lawunggana. "Bersiagalah aku
akan membuat perhitungan dengan kamu!"
"Sesukamulah!" sahut Pendekar Bayangan. "Aku datang dengan maksud baik!"
"Maksud baik"!" desis Lawunggana. "Apa itu"!"
"Aku akan membawamu ke desa Mijen." ujar Pendekar
Bayangan. "Untuk mempertemukan dengan nona Endang
Seruni!" "Endang Seruni"! Bah, siapa dia" Aku tak kenal dengan gadis itu!!" ujar
Lawunggana seraya membuang muka
dengan sombongnya.
Melihat ini Pendekar Bayangan mau tak mau mengusap
dadanya seraya bergumam sendiri. "Tobat! Pemuda ini telah kehilangan
kesadarannya sama sekali. Kasihan kalau ia terus menerus begini. Aku harus
segera menolongnya!"
Dalam pada itu rupanya Lawunggana telah mulai
menyiapkan serangannya. Selagi ia melihat Pendekar
Bayangan itu masih berdiam diri, sekonyong-konyong ia telah berteriak keras
menggetarkan udara pagi.
"Hyaaat!!" Lawunggana melesat dan menerjang
Pendekar Bayangan dengan tendangan mautnya!
Tendangan kakinya tersebut berdengung membelah angin dan karenanya Pendekar
Bayangan hampir saja mendapat bencana.
"Weh, serangan maut!!" desis Pendekar Bayangan
sambil mengendap ke samping kanan, menyebabkan
serangan Lawunggana meleset.
Bersamaan waktunya pula Pendekar Bayangan secepat
kilat mengirim sebuah pukulan tangan yang mampu me-
rontokkan tulang-belulang ke arah tubuh Lawunggana.
Seperti terbang semangat pendekar berkumis tebal itu oleh serangan balasan dari
Pendekar Bayangan, maka secepat kilat ia menangkisnya. Tangan kirinya menekuk ke
arah samping menahan pukulan lawan yang begitu deras meluncur ke arah dirinya.
"Bruuuk!!" Benturan keras antara dua kekuatan yang
terpusat meledak berbareng, menyebabkan masing-masing tergetar.
Pendekar Bayangan cepat-cepat menguasai keseim-
bangan badannya sebelum ia terpeleset ke dalam air, sedang Lawunggana terpental
ke dalam air. Akan tetap Lawunggana tidak sebodoh itu untuk
kecebur dalam air. Ketika terpental akihat benturan pukulan tadi ia melenting ke
udara berputaran beberapa kali lalu melayang turun ke arah batu yang lain.
"Tap! Tap!" Kedua kaki Lawunggana mendarat di
permukaan batu sungai yang letaknya kurang lebih dua tombak dari batu yang
semula, membuat Pendekar
Bayangan menggeleng-gelengkan kepalanya setengah
kagum dari kejauhan.
Lawunggana kembali mempersiapkan diri, kemudian
dengan beberapa loncatan panjang ia melesat ke arah Pendekar Bayangan berdiri,
kedua tangannya mengembang bagaikan cakar-cakar rajawali menyerang mangsanya.
Dalam pada itu, Pendekar Bayangan bermaksud me-
lancarkan Pukulan Angin Bisu yang terkenal dahsyatnya, tapi ia buru-buru
menggagalkan maksudnya itu, sebab ia teringat akan bahayanya.
"Mmm, aku berjanji kepada angger Mahesa Wulung
serta Ki Lurah Mijen untuk membawa kembali si
Lawunggana ini ke desa Mijen," begitu gumam Pendekar Bayangan. "Aku harus hati-
hati melaksanakannya!!"
Dengan pertimbangan-pertimbangan yang seperti itu,
Pendekar Bayangan menjadi berbimbang hati beberapa
saat. Itulah sebabnya ketika tubuh Lawunggana meluncur bagaikan meteor ke arah
dirinya, ia menjadi geragapan.
"Wuuuk!" Tangan kiri Lawunggana yang mencengkeram
ke arah kepala Pendekar Bayangan berhasil ditangkis oleh lawannya, tetapi
berbareng itu pula tangan kanan
Lawunggana berhasil membentur pundak Pendekar
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayangan. "Bruuuk!" Pendekar Bayangan dengan diam-
diam meminjamkan tenaga pukulan lawannya, sehingga ia tidak mendapatkan cedera.
Namun akibatnya hebat pula, sebab sesaat kemudian iapun terpelanting ke dalam
air!! Melihat ini Lawunggana meringis kesenangan. Sayang-
nya kesenangan tadi tiba-tiba terhenti, sebab kedua kaki Pendekar Bayangan yang
menyentuh air, tidak langsung amblas ke dalam air sungai, melainkan berdiri di
atas permukaannya.
Itulah ilmu meringankan tubuh dalam tingkatan yang
matang dan sempurna!
Beberapa saat Pendekar Bayanyan berpijak pada
permukaan air untuk kemudian ia melenting lalu mendarat ke sebuah batu sungai di
dekatnya! Lawunggana terlongoh seperti orang mimpi, karena
selama ini belum pernah ia menyaksikan pemandangan
sehebat tadi. Kalau gurunyapun pernah mempertunjukkan ilmu-ilmu yang dahsyat,
tapi yang baru aja dilakukan oleh Pendekar Bayangan ternyata jauh lebih dahsyat.
"Lawunggana memang hebat." gumam Pendekar
Bayangan. "Aku tidak boleh lagi memberi hati kepadanya.
Sekarang harus kuakhiri permainan ini."
Baik Pendekar Bayangan maupun Lawunggana masing-
masing bersiaga kembali. Mereka saling berpandangan dengan tajam, menatap
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 9 Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 15
1 ATAHARI telah sedemikian tergeser ke langit barat
dan cahayanya sudah tidak begitu panas lagi.
M Angin sejuk bertiup nyaman menyapu puncak
puncak pohon dan dedaunan rumput tipis di tepi Kali Serang.
Air sungai yang berwarna putih kecoklatan beriak kecil-kecil dan mengalir dengan
tenangnya seakan-akan tak memperdulikan akan keributan dan kedahsyatan dua
manusia yang tengah bertarung di tempat tersebut, tidak jauh dari tepi sungai.
Agak jauh dari kedua orang itu, seorang pemuda
berkumis tebal tampak terjelepak di atas rerumputan dalam keadaan setengah
pingsan, dan wajah kepucatan Sedang di dekat rumput pisang, dua orang gadis
melihat kesemuanya itu dengan wajah kecemasan dan gelisah.
Betapa tidak. Yang seorang ini tidak lain adalah Pandan Arum dan yang kedua
adalah Endang Seruni.
Melihat pertempuran antara kekasihnya melawan Ki
Bango Wadas yang berlangsung dengan dahsyat dan telah memakan belasan jurus itu,
mau tak mau hati Pandan
Arum berdentang-dentang amat kerasnya secepat irama gerakan silat Mahesa Wulung
melawan Ki Bango Wadas
yang berkepala botak dan berrsenjata penggada berduri logam.
Apa yang tidak dinyana selama ini, telah menimbulkan kecemasan hatinya Pandan
Arum melihat bahwa gerakan Ki Bango Wadas makin bertambah ganas dan mencecar
serta mendesak Mahesa Wulung. Apalagi senjata Ki Bango Wadas tadi seperti
mempunyai mata yang selalu
menyerang bagian-bagian yang lowong dari pertahanan Mahesa Wulung.
Yang paling mengagetkan bagi Pandan Arum adalah
keadaan Mahesa Wulung. Kekasihnya ini seperti kalah cepat dan selalu terkurung
oleh gulungan tubuh Ki Bango Wadas yang berloncatan sebagai bayang-bayang hitam.
Dan celakanya lagi Mahesa Wulung harus selalu terus-menerus menangkis senjata
gada berduri logam yang
datangnya bagai gelombang menghempas bertubi-tubi
tanpa henti. Dengan begitu maka Mahesa Wulung tak
berkesempatan untuk berpikir ataupun menggunakan
cambuk pusakanya, Naga Geni.
Yang semata-mata memenuhi pikirannya adalah
menghalau atau menangkis serangan-serangan senjata
lawannya yang dahsyat itu. Biarpun Mahesa Wulung telah sering berkali-kali
bertempur melawan musuh-musuh yang bersenjata beraneka ragam, namun toh setiap
kali pula ia terpaksa menghadapi senjata-senjata baru yang lebih hebat lagi,
seperti senjata Ki Bango Wadas ini.
"Bocah ingusan!" teriak Ki Bango Wadas dengan marah.
"Sebentar lagi kau akan bertamasya ke neraka!!! Senjataku ini tak kenal akan
belas kasihan."
"Ngocehlah sepuasmu Bango kudisan! Atau kau yang
lebih dulu berkubang di api neraka sana!" seru Mahesa Wulung membalas. "Mengapa
kau tiba-tiba menyerangku"!
Tentang muridmu si Lawunggana itu, kami ada urusan
pribadi yang harus kami selesaikan sendiri dan anda sebagai seorang guru yang
bijaksana, tentunya akan membiarkan anak-anak muda merampungkan persoalannya
sendiri." "Pintar saja kau ngomong bocah ingusan. Kalau kau
telah berani dengan muridnya, dengan gurunyapun kau harus berani menghadapinya!"
"Memang aku tak pernah takut kepada orang-orang
macam tampangmu ini!" seru Mahesa Wulung jengkel.
"Janganlah sekali-kali bikin gertakan terhadap Mahesa Wulung."
Telah berapa jurus mereka berdua bertarung itu, tak terhitung lagi bagi Pandan
Arum serta Endang Seruni yang tengah menonton pertempuran mereka. Pandangan mata
mereka begitu tercengkam oleh kedahsyatan perang
tanding itu, terlebih lagi bagi Endang Seruni yang jarang melihat hal-hal yang
semacam ini. Kadangkala Endang Seruni melirik ke arah tubuh
Lawunggana yang sampai kini masih terhampar di atas rerumputan setengah pingsan.
Sebagai seorang gadis yang pernah dikasihi oleh pemuda itu, tentu saja Endang
Seruni menaruh rasa iba kasihan melihat Lawunggana terkapar setengah pingsan
itu. Di samping rasa iba itu, Endang Serunipun merasakan rasa heran yang terselip di
dalam hatmya. Ia tahu bahwa dahulu Lawunggana tidak berhati keras seperti
sekarang ini. Lawunggana telah dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berhati
lembut dan lebih suka menghindarkan diri dari setiap perselisihan meskipun ia
bisa berkelahi.
Agaknya Endang Seruni bisa menduga bahwa kekerasan
watak Lawunggana ini berubah akibat didikan yang keras dan sedikit mengarah
kekejaman dari gurunya Ki Bango Wadas. Untuk inipun ia telah maklum, dan ia
berharap semoga ia bisa menyadarkannya. Itulah pula yang
menyebabkan ia bergegas mendekati Lawunggana.
"Yunda Pandan Arum, aku akan menengok kakang
Lawunggana yang tergeletak di sana." ujar Endang Seruni meminta diri kepada
kakaknya. Pandan Arum menoleh dan tersenyum lalu berkata
seraya menepuk bahu adiknya. "Ya, tengoklah dia, adi Seruni. Kasihan ia
terharnpar di sana."
"Terima kasih, yunda Pandan Arum." ujar Endang Seruni serta melangkah ke arah
Lawunggana diiringi senyuman Pandan Arum penuh arti. Ia sadar bahwa adiknya ini
masih menaruh rasa cinta kepada si pendekar kumis tebal,
Lawunggana dan jika ia mengingat bahwa pada per-
jumpaan pertama dengan gadis itu ia telah menaruh rasa cemburu maka sekarang ini
ia seperti ingin tertawa geli.
Endang Seruni tadi segera mendekati tubuh
Lawunggana yang tak berkutik membisu bagaikan tak bernyawa lagi dan ini
menyebabkan ia kecemasan. Maka
cepat-cepatlah ia membongkok dan menempelkan tangannya pada dada pendekar ini.
"Ah, masih bernafas kakang Lawunggana ini. Syukurlah jika begitu. Berarti kakang
Mahesa Wulung tidak benar-benar bermaksud membunuhnya!" gumam Endang Seruni
seorang diri. Ia kemudian mengusap dahi Lawunggana
yang penuh oleh keringat serta debu tanah dengan
selembar sapu tangan.
Perlahan-lahan sekali pendekar berkumis tebal ini
menggerakkan kepalanya seraya merintih dan
menggerakkan bibir serta membuka matanya.
Betapa terperanjat Lawunggana ketika pandangan
matanya menatap wajah Endang Seruni berada di
hadapannya. "Adi Endang Seruni." bisik Lawunggana seraya me-
mejamkan matanya sesaat dan kemudian membuka
kembali. " Apakah aku bermimpi" Aku belum mati bukan"!"
"Kakang Lawunggana tidak mimpi dan kakang masih
hidup. Kini berkata-kata di hadapanku." berkata Endang Seruni dengan tangannya
masih mengusap membersihkan dahi serta leher Lawunggana yang masih ditempeli
oleh debu campur keringat. Usapan-usapan ini begitu lembut dan mesra membuat
Lawunggana menyadari bahwa
setidak-tidaknya gadis ini masih menaruh cinta kepadanya.
"Mengapa Mahesa Wulung tidak segera membunuhku?"
berkata Lawunggana dengan nada ragu seperti berkata dengan dirinya sendiri.
"Mengapa?"
"Itu pertanda bahwa kakang Wulung tidak benar-benar bermaksud ataupun
menghendaki salah satu nyawa di
antara kalian tercabut karena gara-gara kesalahpahaman atau pengertian yang
sempit dari hati kakang Lawunggana yang dangkal dan mudah terbakar oleh nafsu
amarah." Mendengar ini hati Lawunggana menjadi pedih bagai
diiris oleh sembilu. Ia sendiri akhirnya insyaf bahwa serangannya terhadap
Mahesa Wulung serta dendamnya
selama ini adalah keliru dan sesat.
Sekali lagi Lawunggana menatap wajah Endang Seruni
sementara tangannya meraba jari-jemari gadis ini dan karenanya, Endang Seruni
sesaat terkejut tapi akhirnya membiarkan Lawunggana menggenggam serta meremas
mesra jari-jari tangannya.
"Maafkan aku, adi Seruni." desah Lawunggana. "Aku
terlalu memperbesar rasa cemburu, namun itu terlahir karena begitu besarnya rasa
cintaku kepadamu."
"Sudah lama aku memaafkanmu kakang Lawunggana."
sahut Endang Seruni. "Rasa cemburu mu memang kelewat besar dan aku tidak
menyenanginya, kakang."
Sesaat Lawunggana memejamkan mata seperti me-
resapkan segala kata-kata kekasihnya ini.
"Kau tahu kakang, siapa gadis yang berdiri di sana itu"
Dialah nona Pandan Arum, kekasih dari kakang Mahesa Wulung dan ternyata adalah
kakak kandungku sendiri!"
"Hah"!" desis Lawunggana kaget. "Jadi gadis itu adalah kekasih Mahesa Wulung?"
"Begitulah." sambung Endang Seruni. "Maka, sekali lagi aku mengharap agar kakang
Lawunggana segera meng-hapuskan dendam hatimu kepada kakang Mahesa
Wulung." Lawunggana menganggukkan kepala serta berkata lirih.
"Baiklah, adi Seruni. Aku berjanji dan semoga harapanmu itu menjadi kenyataan."
Sementara itu pertempuran antara Mahesa Wulung
melawan Ki Bango Wadas masih berlangsung dengan
sengit, tanpa ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar sebagai pemenangnya.
Keduanya telah bercucur keringat.
Tiba pada jurus kelima puluh satu, tiba-tiba semua
dikejutkan oleh suara berdentang keras dan segera setiap mata diarahkan ke arena
pertempuran. Ternyata itu adalah suara benturan pedang Mahesa
Wulung yang menangkis serangan penggada Ki Bango
Wadas. Benturan tadi sedemikian hebat dan akibatnya luar biasa.
Jari-jari Mahesa Wulung merasa nyeri serta bergetar hebat dan pedang ditangannya
itupun terpelanting lepas.
Mahesa Wulung terkejut seketika dan sebelum ia bertindak lebih lanjut tiba-tiba
dengan kecepatan luar biasa, Ki Bango Wadas telah memukulkan kedua ujung jari
telunjuk dan tengah jari tangan kirinya, langsung mengenai dada Mahesa Wulung.
"Heeh!" Mahesa Wulung terperanjat oleh serangan ini.
Dadanya menjadi sesak dan terbatuk-batuk kemudian
lemas, sehingga pendekar muda ini terjelapak jatuh
terduduk di tanah dengan dada kembang-kempis.
"Weh, heh, heh, heh, heh. Mahesa Wulung! Hari ini
adalah saat kematianmu!" seru Ki Bango Wadas sambil terbahak-bahak ketawa
menyeramkan. Suaranya meng-gema di udara tepi Kali Serang. "Sekarang hiruplah
udara sungai ini buat terakhir kalinya!"
Selesai berkata itu, tampak Ki Bango Wadas meng-
angkat penggada berduri logam ditangannya tingg-tinggi serta di putar di atas
kepala sehingga berdesing-desing suaranya.
"Heh, heh, heh, mampus kowe hah!" teriak Ki Bango
Wadas dalam suara yang ganas serta meloncat pendek
untuk kemudian menghantamkan senjatanya ke bawah, ke arah sasarannya, yakni
Mahesa Wulung yang tergeletak lemas di atas tanah.
"Aaaaaa..." terdengar jeritan dan mulut Pandan Arum, juga dari Endang Seruni,
sedang Liwunggana cuma ter-beliak matanya tanpa kuasa menjerit.
"Blaaaarrr!" terdengar suara keras bagai letupan petir menyambar, memekakkan
anak telinga. Pandan Arum yang tak tega dan ngeri segera memejamkan mata.
Demikian pula Endang Seruni.
"Ooh, bapak guru sangat kejam!" desis Lawunggana
seorang diri. Apa yang dilihatnya ini benar-benar ber-tentangan dengan dasar-
dasar keperwiraan yang pernah dikenalnya.
Ki Bango Wadas yang telah mengayunkan penggadanya
ke arah tubuh Mahesa Wulung terkejut sekali oleh suara letupan ini. Bermula
sekali ia yakin bahwa tubuh lawannya akan hancur berlubang-lubang oleh
senjatanya yang
ampuh ini. Namun ketika ia membelalakkan matanya ke depan
betapa terkejutnya pendekar setengah botak ini. Di
hadapannya telah berdiri seorang berpakaian dengan
warna keputihan dan kepalanya berselubung dengan
topeng kain dengan dua lubang mata bulat yang menatap tajam ke arah Ki Bango
Wadas. Orang tersebut berdiri di antara Ki Bango Wadas dengan Mahesa Wulung. Pada
tangan kanannya tergenggarn
sebilah tongkat kayu bercabang dua dan agaknya orang bertopeng inilah yang telah
menangkis pukulan senjata Ki Bango Wadas.
Mahesa Wulungpun kaget pula oleh kedatangan orang
bertopeng yang telah menyelamatkan nyawanya. Ia tidak lupa siapa orang ini, maka
cepat-cepat ia berseru saking gembiranya. "Bapak Pendekar Bayangan!"
"Pendekar Bayangan!" desis Ki Bango Wadas meng-
ulang nama tadi, yang selama ini telah disegani oleh hampir setiap tokoh
persilatan serta ditakuti orang orang jahat.
"Keparat! Kau berani muncul di hadapanku serta
merusak maksudku, hah?" seru Ki Bango Wadas dengan
lantang. "Hmmm, kalau antara murid dengan rnurid bertarung itu sudah lumrah. Tetapi jika
seorang guru seperti tampangmu ini sudah mulai turut campur, maka tak ada
salahnya kalau akupun mencampurinya pula!"
"Eeee, jadi Mahesa rembes itu adalah muridmu juga"!"
seru Ki Bango Wadas. "Apakah ini berarti kau menantang-ku" Menantang Ki Bango
Wadas dari rnuara Kali Serang?"
"Boleh kau mengartikannya demikian!" sahut Pendekar Bayangan. "Tapi aku lebih
suka mengambil cara damai.
Sekarang baiknya engkau berlalu dari tempat ini lekas-lekas dan kalau perlu
bawalah pula muridmu itu!"
"Tidak gampang kau mengusirku dari tempat ini, Topeng busuk! Kecuali jika aku
sudah tahu dan mencoba sampai di mana kesaktianmu!"
Pendekar Bayangan tertawa lirih serta berkata, "Hal itu akan segera engkau
ketahui. Bango Wadas!! Aku siap
melayanimu!"
"Hiaa...!" Ki Bango Wadas berteriak dan bagai
kecepatan kilat ia tahu-tahu telah menerjang ke arah Pendekar Bayangan sekaligus
senjatanya menyambar
dengan pukulan maut.
Tampaknya penggada berduri milik Ki Bango Wadas tadi benar-benar akan meremukkan
kepala si Pendekar
Bayangan jika saja sasarannya ini cuma berdiam diri saja.
Kejadian berikutnya sungguh sangat mengagetkan bagi Mahesa Wulung dan Pandan
Arum yang menyaksikan
pertempuran itu bagai orang setengah mimpi.
Kelihatannya pendekar berkerudung topeng putih itu
cuma menggeliat ke samping bagai orang meregangkan
tubuh sehabis bangun dari tidurnya. Gerakan sederhana dan tampak sepele atau
boleh dianggap setengah main-main ini ternyata cukup hebat.
Begitu tepatnya perhitungan gerak menggeliat tadi dan di saat itu pula penggada
berduri dari Ki Bango Wadas terpaksa bersarang di udara kosong belaka, membuat
Ki Bango Wadas kaget setengah mati.
Sebagai seorang pendekar jagoan ia seketika dapat
menduga betapa tinggi dan sampai dimana kesaktian
Pendekar Bayangan yang berada di hadapannya itu!
Dengan gerakan sederhana seperti main-main saja ia
telah berhasil lolos dari senjata Ki Bango Wadas. Dan karena ini pulalah Ki
Bango Wadas merasa seperti di-permainkan bagai anak kecil oleh lawannya, maka
sudah barang tentu kalau ia marahnya bukan kepalang. Giginya berkerot gemeratak
dan matanya bersinar tajam seperti mau menelan bulat-bulat terhadap lawannya
ini. Sementara itu Pendekar Bayangan masih saja berdiri
dengan seenaknya dan bersandar pada tongkat ber-
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cabangnya sedang dari balik topengnya terdengar tertawa menggelegas bernada
ejekan. "Sess ... ses ... setaaan, kowe!!" seru Ki Bango Wadas sambil melototkan matanya
sampai-sampai bagaikan mau meloncat keluar kedua bulatan mata tadi dari rongga
dan pelupuknya. "Menghina keterlaluan kepadaku, ha!?"
"Sudah aku katakan dari semula bahwa kita bisa
memakai jalan damai tanpa bertegang leher untuk
mengadu tenaga. Sobat sebaiknya berlalu dari tempat ini dan boleh silakan
membawa muridmu kembali." ujar
Pendekar Bayangan seraya mencoker-cokerkan ujung
tongkatnya ke tanah. "Aku tak akan menghalang-halangi lagi maksudmu!"
"Topeng bobrok yang besar mulut! Tak berguna kau
berkhotbah di depan hidungku! Minggir sajalah bila kamu merasa jerih berhadapan
dengan Ki Bango Wadas ini!"
Sekali lagi Pendekar Bayangan memperdengarkan
ketawa menggelegas sambil berkata pula. "Aku masih
tidak marah, sobat! Maka jangan paksakan aku
mengeluarkannya!"
"Hia, ha, ha, ha, itu lebih bagus topeng bobrok!" Seru Ki Bango Wadas. "Mari
tunjukkan kemarahanmu itu! Aku
ingin mengetahuinya!"
"Oooo, kau manusia tak tahu diuntung!" sahut Pendekar Bayangan. "Jangan menyesal
kau nanti!"
"Haaaait!!" begitu Pendekar Bayangan selesai berkata begitu cepat pula ia
menusukkan tongkat cabangnya ke depan dibarengi loncatan kecil.
Ki Bango Wadas terperanjat! Ujung tongkat bercabang tersebut meluncur ke arah
dadanya dan ia sudah lebih dulu merasakan angin tusukan yang terdorong oleh
senjata itu. "Serangan tusukan maut!" desah Ki Bango Wadas dan segara pula ia
menyabetkan penggadanya ke arah kanan keluar untuk menangkis serangan lawannya.
"Braaak!!" Suara keras terdengar gemerocok akibat
benturan kedua senjata tadi. Namun yang paling terkejut adalah Ki Bango Wadas
sendiri. Ia merasa bahwa penggadanya yang menangkis serta membentur tongkat
cabang si Pendekar Bayangan, rasanya seperti membentur sebuah tonggak besi baja
sehingga berakibat tangannya yang menggenggam senjata merasa kesemutan dan
nyeri. Untungnya ia mempunyai tenaga dalam yang cukup tinggi dan segera dapat mencegah
senjatanya yang hampir lepas keluar dari jari-jemari yang menggenggamnya.
"Hmmm, hampir-hampir aku menderita malu oleh
serangan tadi!" Ki Bango Wadas berkata di dalam hati sementara ia memindah
senjatanya ke tangan kiri. "Biar aku akan mencoba serangan pasir maut ini!!"
Tanpa diduga tiba-tiba Ki Bango Wadas mengendap ke
bawah sekaligus meraup pasir di dekat kakinya lalu
menebarkannya ke depan dengan kecepatan dahsyat.
Untungnya Pendekar Bayangan tidak lengah dari segala gerak-gerik lawannya,
sehingga ia tahu apa yang harus diperbuatnya untuk menghadapi serangan lawan
yang pasti mematikan ini.
Butir-butir pasir tadi meluncur deras ke arah Pendekar Bayangan. Serangan ini
terang mematikan sebab jika ia sampai menembus kulit maka akan segera masuk ke
dalam daging atau mengalir dan masuk ke dalam aliran darah sehingga mau tidak
mau korbannya akan segera
mati. Sudah tentu Pendekar Bayangan tidak mau kulit
dagingnya untuk ditembusi oleh butir-butir pasir tadi. Maka secepatnya ia
mendorongkan pukulan tinjunya ke depan memapaki serangan pasir maut.
Sekali ini pula, Ki Bango Wadas terpaksa terlongoh
heran sebab butir-butir pasir tadi tiba-tiba terhenti di tengah jalan, bahkan
kini terdorong oleh serangan angin pukulan dari tinju Pendekar Bayangan pada
melesat berkeredapan ke arah diri Ki Bango Wadas sendiri!
Diam-diam Ki Bango Wadas terpaksa memuji kegesitan
serta kehebatan lawannya dan cepat-cepat ia mengendap serendah mungkin agar
butir-butir pasir maut tadi tidak sampai mengenai dirinya sendiri.
Akan tetapi Pendekar Bayangan tidak membiarkan
lawannya begitu saja nganggur selagi cekakaran
menghindari terjangan butir-butir pasir maut secepat kilat ia menyampokkan
tongkat cabangnya ke arah kaki Ki
Bango Wadas serta mengaitnya dengan tepat dan
hilanglah keseimbangan tubuhnya.
Keruan saja pendekar berkepala botak dari muara Kali Serang tersebut jatuh
terjerembab di atas tanah sambil memaki-maki pedas serta meludah-ludahkan tanah
yang masuk kemulutnya! - Iblis laknat! Topeng bobrok keparat!
Kau kelewat batas menghinaku. Awas tunggu serangan
berikutnya!"
"Hi, hi, hi, bukankah cukup enak makan gum-palan-
gumpalan tanah itu?" ujar Pendekar Bayangan seraya
berguncang-guncang tubuhnya menahan ketawa. "Rasanya asin-asin gurih bukan"!"
"Keparat! Terimalah seranganku ini!" seru Ki Bango
Wadas sekaligus menyerang kembali dengan pukulan
senjatanya yang berdesing mengerikan.
"Wuuuttt wuut-wuutt." Kini penggada berduri di tangan Ki Bango Wadas semakin
garang gerakannya dan
menyerang dengan segala kemampuannya.
Biarpun Pendekar Bayangan juga bergerak hebat,
namun Ki Bango Wadas yang telah mengerahkan ilmu
permainan penggadanya yakni - Bindisrewu - tidak bisa
dianggap enteng begitu saja. Kini penggada berduri logam tadi tampaknya menjadi
beribu-ribu jumlahnya dan
menyerang bertubi-tubi ke segala bagian tubuh Pendekar Bayangan.
Setiap pukulan penggada berduri logam tersebut
menerbitkan angin berputaran menyebabkan debu dan
daun-daun kering bertaburan ke atas. Untuk serangan-serangannya ini. Ki Bango
Wadas sudah bisa memastikan bahwa pendekar bertopeng putih ini akan segera
binasa atau paling sedikit mengalami cedera. Apalagi ujung-ujung duri logam pada
ujung senjatanya pernah dipolesi oleh racun yang mematikan.
Menghadapi serangan-serangan yang sedemikian ganas
dan garangnya, Pendekar Bayangan tidak berani lagi
bermain-main atau setengah-setengah tenaga melayani serangan Ki Bango Wadas itu.
Maka diam-diam ia
menggerakkan ilmu geraknya Samparangin yang membuat gerakan tubuhnya menjadi
ribut, seribut angin
prahara yang mampu menyambar dan menyapu setiap
tetumbuhan di muka bumi hingga roboh sampai seakarnya.
Dalam sekejap mata saja gerakan Samparangin beraksi menyelinap di antara celah-
celah libatan senjata Ki Bango Wadas yang berjurus Bindisrewu.
Sedikit demi sedikit jurus Bindisrewu tersebut tertindih oleh gerakan
Samparangin yang makin ketat melibat tubuh Ki Bango Wadas. Ditambah pula ujung
tongkat cabang si Pendekar Bayangan mematuk-matuk dan menyambar
laksana moncong ular menyemburkan bisa mautnya.
Bukan main kagetnya Ki Bango Wadas menghadapi
serangan-serangan sehebat itu. Kemudian terasa pula bahwa gerakan senjata
Bindisrewu dari dirinya seperti surut dan tanpa daya lagi.
Pada suatu kesempatan yang dinanti-nanti, tiba-tiba saja Pendekar Bayangan
menusukkan ujung tongkat
cabangnya kedada Ki Bango Wadas dan tepat mengenai
sasarannya, meskipun gerak tusukan tadi tidak di-
lancarkannya dengan sepenuh tenaga.
"Heeeekk!" terdengarlah keluhan pendek dari mulut Ki Bango Wadas sambil
melontarkan dirinya surut ke
belakang beberapa tombak. Dengan demikian ia telah
berusaha mengurangi tenaga tusukan dari tongkat
Pendekar Bayangan sehingga tidak sampai dadanya
berlobang. Meskipun begitu, tak urung Ki Bango Wadas merasakan betapa dadanya tiba-tiba
menjadi sesak. Sementara itu, Pendekar Bayangan tidak terus menyerang, melainkan
berdiam diri di tempat sambil mengawasi segala gerak-gerik Ki Bango Wadas.
Pendekar berkepala separo botak itu kembang kempis
mengatur nafas dan dadanya kelihatan turun naik meng-hirup serta menghembus
udara lewat hidungnya. Sedang matanya yang tajam itu melirik ke arah Lawunggana
si murid tunggalnya yang masih terbaring di tanah ditunggui oleh Endang Seruni.
Dilihatnya kedua anak muda itu dengan mesranya saling bercakap-cakap dan tentu
saja Ki Bango Wadas merasa kurang senang karenanya.
Untuk beberapa saat suasana di tempat itu terasa sepi tanpa suara percakapan
manusia kecuali desah angin
siang membelai puncak-puncak pohon dan rerumputan di tepi Kali Serang ini.
Sekonyong-konyong dan dengan gerakan yang secepat
kilat menyambar. Ki Bango Wadas tahu-tahu telah melesat ke arah Lawunggana
terbaring. "Hyaat!"
Gerakan ini sungguh di luar dugaan siapa saja. Tubuh Ki Bango Wadas mirip
gerakan burung bangau berparuh dan berkaki panjang yang dengan sebat menyambar
tubuh Lawunggana sementara kakinya mengirimkan angin
dupakan ke pundak Endang Seruni.
Akibatnya gadis ini terperanjat dan mencoba mengelak ke samping, tetapi ternyata
angin tendangan dari Ki Bango Wadas lebih cepat datangnya. Maka hempas rebahlah
Endang Seruni di atas rerumputan, karena terlanggar oleh angin tendangan
tersebut. Selanjutnya Ki Bango Wadas sambil mengempit tubuh
Lawunggana, tak ubahnya seorang botoh mengempit jago aduannya, lalu melesat ke
arah utara dalam loncatan-loncatan panjang selincah belalang. Sejurus kemudian
Endang Seruni cepat bangun dan mencoba mencegah
tubuh Lawunggana yang setengah sehat itu dibawa lari oleh gurunya, Ki Bango
Wadas! Akan tetapi apa daya orang selemah Endang Seruni
yang tidak pernah mengenal dengan dalam akan gerakan-gerakan silat. Maka tanpa
berdaya sedikitpun ia tak mampu mengejar loncatan-loncatan Ki Bango Wadas.
Gadis ini cuma sempat meratap sambil menitikkan air mata. "Oookh, kakang
Lawunggana." Sebentar itu pula, tubuh Ki Bango Wadas beserta muridnya telah
lenyap ditelan oleh semak belukar di sebelah utara. Sambil memperdengarkan suara
tertawa serta ancamannya.
"Pendekar Bayangan!! Tunggulah dalam kesempatan
lamnya. Kau pasti mampus di tanganku!!"
Mendengar ini baik Mahesa Wulung maupun Pandan
Arum dan Endang Seruni merasa meremang tengkuknya
oleh kata-kata ancaman dari Ki Bango Wadas tadi. Namun berbeda dengan si
Pendekar Bayangan yang masih saja berdiri di tempatnya sambil memperdengarkan
tertawa menggelegas dan manggut-manggut.
Begitulah akhirnya ketegangan tadi berlalu seperti
lalunya angin bertiup di siang ini. Si Pendekar Bayangan perlahan-lahan
melangkah mendekati Mahesa Wulung
yang lagi ditunggui oleh Pandan Arum dan Endang Seruni.
"Oookh, terima kasih bapak Pendekar Bayangan. Andika telah muncul dan menolongku
dalam saat-saat yang
sangat tepat!" ujar Mahesa Wulung seraya tersenyum.
"Hmmm, yah, yah. Sedari kejadian yang pertama, aku
telah mengikutinya, angger Wulung," berkata si Pendekar Bayangan seraya
berjongkok di samping tubuh Mahesa
Wulung. "Aku memang bermaksud berkunjung ke daerah ini dan
menengok Ki Lurah Mijen, sebab telah agak lama merasa rindu kepada Ki Lurah dan
desa Mijen ini. Kau ingat bukan, bahwa kita pernah tinggal bersama-sama di sini
ketika menghadapi gerombolan Topeng Reges?"'
"Benar, bapak." jawab Mahesa Wulung. "Begitupun
saya, telah lama pula ingin bertemu dan bercakap-cakap dengan andika."
"Mmm, tentunya banyak pengalaman-pengalaman kita
masing-masing yang perlu kita ceritakan." sambung
Pendekar Bayangan. "Tapi lebih dulu harus kupulihkan kelumpuhanmu ini. Kau telah
tertotok jalan darah serta urat-urat rongga dadamu, sehingga nafasmu menjadi
sesak dan tidak lancar."
"Dapatkah ia sembuh dengan segera bapak?"" bertanya Pandan Arum dengan nada
kecemasan. "Heh, heh, heh, jangan kuatir, angger. Ia akan ku-
sembuhkan sekarang!" ujar si Pendekar Bayangan
sekaligus mengurut-urutkan jari jemarinya ke leher Mahesa Wulung lalu menurun ke
pundaknya. Selanjutnya tiba-tiba kedua belah ujung tangan Pendekar Bayangan
menotok berbareng ke arah dada Mahesa Wulung sehingga
Pendekar Demak ini mendesis pendek. "Haaekkk!"
Mahesa Wulung sesaat menyeringai sebab dadanya
merasa dialiri oleh aliran hawa panas yang menyengat dan kemudian menyebar ke
segenap rongga dadanya.
Bahkan lebih dari itu, terasa seakan-akan urat darahnya kembali bekerja dengan
sempurna dan darahpun mengalir dengan lancar lewat pembuluh darah membawa udara
bersih ke paru-paru dan jantungnya. Kekuatannya pulihi kembali. Maka tak heran
bila nafas Mahesa Wulung
kembali lancar dan cepat-cepat ia bangkit dan duduk bersama-sama mereka.
*** 2 ENDEKAR BAYANGAN tampak menghela nafas
dalam-dalam serta menatap kepada Mahesa Wulung
P dengan lega. Sedang Pandan Arum serta Endang
Seruni tak henti-hentinya mengagumi si penolong yang berkedok putih ini.
"Mengapakah angger sampai melibatkan diri bertempur dengan murid si Bango Wadas
tadi?" bertanya Pendekar Bayangan kepada Mahesa Wulung.
"Itu terjadi karena kesalah fahaman dan dendam si
Lawunggana yang sesat terhadap saya." berkata Mahesa Wulung menjelaskan sebab-
sebab terjadinya pertarungan antara Lawunggana dengan dirinya. "Sebelumnya
antara kami berdua tidak pernah bertemu, berkenalan, apalagi sampai saling
berselisih. Ternyata, si Lawunggana itu yang sejak semula telah mencintai adi
Endang Seruni, telah mencemburukan adi Endang Seruni dengan diriku. Nah, inilah
rupanya sumber dendam si Lawunggana tadi!"
Pendekar Bayangan mengangguk-angguk oleh
penuturan Mahesa Wulung, sementara otaknya mem-
bayangkan peristiwa-peristiwa yang lalu ketika ia bersama-sama Mahesa Wulung
tinggal di desa Mijen ini untuk menghadapi pengacauan Ki Topeng Reges dan anak
buahnya. Ya, Pendekar Bayangan juga tahu bahwa Mahesa
Wulunglah yang telah membebaskan Endang Seruni dari tangan anak buah Ki Topeng
Reges. Juga ia tahu, bahwa Mahesa Wulung telah menolak kawin dengan Endang
Seruni sebagai hadiah atas kemenangan sayembara.
Bagaimanapun juga Pendekar Bayangan dapat meng-
hargai atas sikap Mahesa Wulung tadi. Satu sikap luhur yang menunjukkan betapa
besar cinta Mahesa Wulung
kepada kekasihnya yakni Pandan Arum.
"Angger Mahesa Wulung. Sayang Ki Bango Wadas telah
minggat dan membawa serta si Lawunggana." ujar
Pendekar Bayangan. "Dari wajah Lawunggana aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa
ia sebenarnya orang yang baik hati!"
"Benar, bapak." sela Endang Seruni. "Memang aku telah mengenal kakang Lawunggana
semenjak kecil mula dan ia adalah orang yang baik-baik!"
"Itulah sayangnya ia mendapat didikan yang sesat dari Ki Bango Wadas, yang
mengutamakan kekerasan dan
kekasaran. Untuk ini aku tak perlu heran sebab sedikit banyak aku telah mengenal
siapa Ki Bango Wadas itu
sebenarnya." ujar Pendekar Bayangan dan kata-kata tersebut cukup membuat Mahesa
Wulung terperanjat.
"Jadi bapak pernah mengenal Ki Bango Wadas itu"!"
seru Mahesa Wulung. "Mmm, tentulah dia orang yang
hebat."
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heh, heh, heh, heh, memang orang yang hebat si
kepala botak itu!" kata Pendekar Bayangan. "Ia telah terkenal sejak mula
kerajaan Demak berdiri."
"Sejak Demak berdiri"!" berseru Mahesa Wulung
dengan terhenyak bagai disengat lebah.
"Heh, heh, heh. Waktu itu ia masih muda sekali."
Pendekar Bayangan berkata. "Dan pada suatu ketika ia melamar ke Demak untuk
menjadi calon tamtama dari
pasukan kerajaan. Akan tetapi sayangnya ia sering
menunjukkan kekasaran serta sikapnya yang selalu
menyombongkan kesaktian dirinya, sehingga akhirnya
Sultan tidak mau menerimanya. Hal ini rupanya membawa kejengkelan dalam hati
Bango Wadas Anom. Maka pemuda sakti inipun meninggalkan kota Demak dengan
kemarahan serta dendam yang berkobar di dadanya. Akhirnya dia menjadi seorang
Pendekar liar yang sering mengganggu kearnanan dan ketenteraman. Di mana dia
berada, di situ pulalah timbul perselisihan-perselisihan serta pertarungan yang
kadang-kadang memakan korban jiwa. Nama Bango
Wadas Anom tersebut semakin ditakuti, makin disegani oleh orang-orang dan
akhirnya juga disingkiri oleh mereka.
Meskipun ia mula-mula merasa bangga atas hal ini, namun toh kesudahannya ia
menjadi kesepian juga. Betapapun juga kecilnya, setiap manusia masih memerlukan
bergaul dan berhubungan dengan manusia lainnya. Keadaan
tersebut justru menambah dendamnya terhadap setiap
orang, terhadap siapa saja yang dijumpainya. Karena itu, akhirnya sekelompok
prajurit-prajurit Demak telah mencoba menangkapnya.
Tentu saja Bango Wadas Anorn tidak tinggal diam dan iapun melawan dengan sekuat
tenaga dan kesaktiannya.
Pertarungan hebat seketika berkobar. Pada kesempatan inilah ia menumpahkan
segala dendam dan kemarahannya. Maka tak perlu heranlah bila dalam beberapa
jurus gebrakan kemudian Banyo Wadas Anom berhasil meroboh-kan lima orang korban
tanpa nyawa lagi, sedang tiga orang lainnya roboh terluka parah!
Beberapa orang sisa pasukan Demak yang merasa tak
mampu lagi menandingi Bango Wadas cepat-cepat berlari meminta bantuan ke kota.
Begitulah, pertempuran hebat untuk kedua kalinya berkobar lagi. Kali inipun dari
kalangan prajurit-prajurit tidak bisa memandang dengan sebelah mata kepada Bango
Wadas Anom. Mereka terpaksa mengakui keunggulan si
pendekar liar ini.
Kembali berjatuhan beberapa korban dari pihak prajurit-prajurit Demak, tetapi
lainnya masih terus mengepung Bango Wadas Anom dan menyerang dengan sengitnya.
Mereka telah bertekad lebih baik mati bersama rekan-rekannya dari pada ngacir
berlari meninggalkan lawannya yang cuma seorang diri.
"Hayo prajurit-prajurit Demak! Jangan rnaju satu
persatu! Tuangkan seluruh teman-temanmu ke mari, dan aku akan melayaninya!"
teriak Bango Wadas Anom dengan garangnya. "Kalian akan mampus, binasa satu
persatu ditanganku. Hua-ha-ha-ha inilah Bango Wadas Anom yang telah ditolak
sebagai calon tamtama Demak dan sekarang kalian akan merasakan betapa sepak
terjangku!"
Sekali lagi Bango Wadas berkelebat dan beberapa orang prajurit pengepungnya
terpelanting roboh ke tanah oleh sambaran kayu penggada ditangan Bango Wadas.
Senjatanya yang tampaknya sederhana itu ternyata terbuat dari galih atau hati
kayu pohon asam yang sangat keras dan ulet. Setiap pukulan dengan senjata ini
akan menyebabkan maut atau paling sedikir patah tulang
belulangnya. Maka celakalah bila lawan yang tak berilmu berani memapaki serangan
gada kayu galih asam tadi!
Tiba-tiba saja dalam keadaan yang sangat kritis dan tanpa harapan bagi prajurit-
prajurit Demak itu, berkelebat-lah sesosok bayangan manusia dari balik pepohonan
lebat langsung melesat ke arah Bango Wadas Anom.
Kedatangan orang ini sangat tepat sebab bersamaan
Bango Wadas Anom akan menghajarkan penggadanya ke
kepala seorang prajurit Demak yang telah kecapaian dan terlongoh-longoh saking
lelahnya. Si pendatang tadi sekonyong-konyong dengan sebat
membenturkan senjatanya yang senantiasa berputar bagai baling-baling ke arah
penggada Bango Wadas yang tengah meluncur ke bawah. "Craaaakkk!"
"Keparat! Setan alas!" umpat Bango Wadas sambil me-
loncat ke belakang menjauhi si pendatang tadi.
Kini Bango Wadas Anom dapat menyaksikan lawan
barunya, seorang pemuda yang berumur sebaya dengan
dirinya dan pada tangannya tergenggamlah sebuah senjata nenggala yang berujung
dua buah sangat runcingnya dan berkilatan ditimpa sinar matahari pagi.
Dengan memegang pada pertengahannya, maka senjata
tadi dapat diputar secepat baling-baling dan sepintas lalu akan miriplah dengan
senjata nenggala si Prabu Baladewa dan cerita Pewayangan yang katanya mampu
memukul hancur sebuah gunung anakan dan mengeringkan sebuah lautan yang dikenainya
dengan senjata nenggala tadi.
"Siapa kau haa" Mencampuri urusanku di sini!" seru
Bango Wadas Anom seraya melototkan matanya ke arah si pendatang tadi. " Apakah
kau sudah bosan hidup juga?"
"Ha, ha, ha, Bango Wadas Anom! Memang hebat sekali
sepak terjangmu ini. Aku lihat beberapa prajurit Demak telah terkapar mati!"
ujar si pendatang.
"Memang hebat, dan jika umurmu masih panjang, kau
akan segera tahu bahwa besok hari pada ujung
penggadaku ini akan kau lihat duri-duri logam yang aku pasang di situ sebanyak
jumlah orang-orang yang telah mati itu!"
"Luar biasa!" desis si pendatang baru itu. "Itulah sudah sepantasnya bila
lamaranmu sebagai calon tamtama
Demak telah ditolak karena kekejaman dan kekerasanmu!"
"Itu sudah menjadi pendirianku serta keyakinan yang telah mendarah daging di
tubuhku!" seru Bango Wadas Anom. "Siapa yang kuat dan paling keras, pastilah
akan paling berkuasa di dunia ini! Dialah orang yang paling ditakuti!"
"Hmmm kau lupa! Bukan hanya dengan kekerasan serta
kekuatan saja orang dapat berkuasa tetapi dengan
keluhuran, akan kebijaksanaan serta keadilan orangpun dapat pula disegani!"
"Bagus, kita bertentang pendirian. Sakarang akan kita buktikan siapa di antara
kita yang paling kuat."
"Heh, heh, heh. Aku senang mendengar tantanganmu
tadi. Namun rupanya kau belum tahu dengan siapa engkau berhadapan!" ujar si
pendatang. "Lhah, siapa namamu he"! Kau kira aku takut men-
dengar nama yang kau ucapkan!" seru Bango Wadas Anom sombong.
"Nah, kenallah lebih dulu. Aku biasa disebut orang si Banyaksekti, saudara
seperguruan Ki Kebo Kenanga dari perguruan Pengging!" ujar si pendatang dengan
tenangnya. "Kau"! Kau orang yang bernama Banyaksekti dari
Pengging?" berseru Bango Wadas Anom dengan muka
terperanjat. Nama tadi telah sering didengarnya sebagai nama yang paling
ditakuti oleh para penjahat, maka sedikit banyak iapun tergetar pula olehnya.
Meskipun begitu Bango Wadas Anom malah tertawa terbahak-bahak. "Heh, kebetulan
sekali kalau begitu. Ayo, sambutlah senjataku ini!"
Banyaksekti terperanjat sebab begitu selesai berkata tahu-tahu senjata galih
asam si Bango Wadas telah
menyelonong menuju ke arah wajahnya.
Untungnya si Banyaksekti cepat bertindak! Dengan
kecepatan angin senjata nenggala di tangannya berkelebat memapaki serangan lawan
dan menyebabkan benturan keras. "Traaang!!"
Bango Wadas Anom terkejut seketika. Tidak dinyana bila serangannya yang cermat
tadi meleset dari sasaran akibat tangkisan lawan. Ujung penggadanya tadi
meluncur satu jengkal dari pelipis Banyaksekti.
Dalam saat yang sama pula tiba-tiba kaki kiri
Banyaksekti mengirimkan tendangan manis ke perut
Bango Wadas disusul bunyi berkerocak dan keluhan tertahan. Bango Wadas Anom
buru-buru meloncat ke
samping, tapi sesaat kemudian iapun muntah-muntah
dengan wajah kepucatan. Sungguh hebat tendangan
Banyaksekti. Melihat ini Banyaksekti tertawa terkekeh-kekeh dan
karenanya Bango Wadas makin bertambah garang saking marahnya. Kembali ia
menyerang Banyaksekti dengan
serangan-serangan maut. Penggadanya tadi berkelebat menyambar-nyambar ke
sekeliling tubuh Bango Wadas
dengan rapatnya tanpa ampun.
Namun sekali lagi Bango Wadas terkecoh, bila ke
nyataannya Banyaksekti senantiasa mampu mengatasi
serangan-serangannya dan tak lama kemudian iapun
merasa bahwa senjata nenggala Banyaksekti berkali-kali mengancam tubuhnya.
Putaran senjata lawannya yang berujung runcing pada kedua belah ujung pangkalnya
berkilatan membuat hati Bango Wadas tergetar pula karenanya. Ia terpaksa bekerja
keras bila tidak ingin tubuhnya di tembus oleh nenggala si Banyaksekti yang
sekali-sekali sempat pula menggores kulit dagingnya.
Untungnya si Banyaksekti cepat bertindak! Dengan
kecepatan angin senjata nenggala ditangannya berkelebat memapaki serangan lawan
yang menyebabkan benturan
keras. "Traaaang!!!!"
Akhirnya Bango Wadas Anom merasa bahwa tenaganya
akan menjadi habis bila diterus-teruskan bertempur
melawan si Banyaksekti yang selincah burung sikatan melesat ke sana ke mari itu.
Begitulah, sebuah tendangan kaki Banyaksekti tak
sempat dihindarinya dan terpentallah Bango Wadas Anom ke samping beberapa
langkah. Akan tetapi di saat itu pula ia telah menyiapkan serangkaian serangan
maut. Sambil berjumpalitan, tangan kiri Bango Wadas tiba-tiba merogoh ikat pinggangnya
dan begitu berkelebat mengibas meluncurlah beberapa jarum beracun ke arah
Banyaksekti dengan cahaya berkeredapan. "Sringng!"
Melihat serangan ini Banyaksekti tidak kehilangan akal.
Tangan kanannya yang menggenggam nenggala, berputar ke kiri ke kanan dengan
cepat dan lincah menyambut
sambaran-sambaran jarum beracun tadi.
Maka terdengarlah bunyi berdenting-denting susul
menyusul dan rontoklah ke tanah jarum-jarum beracun tersampok oleh nenggala
Banyaksekti. Hal ini merupakan keuntungan bagi Banyaksekti sebab kedua matanya segera
menyaksikan betapa rumput-rumput dan tetumbuhan yang terkena jarum beracun tadi
menjadi layu serta mengering beberapa saat kemudian.
Terbayanglah olehnya seandainya tubuhnya ditembusi oleh jarum-jarum beracun tadi
pasti akan mengalami nasib yang sama.
Pada saat Banyaksekti menangkis serangan jarum
beracun tadi si Bango Wadas Anom menggunakan
kesempatan yang paling baik ini dengan melesat ke luar gelanggang pertempuran
seraya berkaok-kaok. "Banyaksekti! Tunggulah saatnya nanti. Kita akan bertemu
lagi untuk melanjutkan pertemuan ini!!" Bango Wadas lenyap di balik kelebatan
pohon-pohon dan tempat itu kembali sepi, kecuali beberapa erangan prajurit-
prajurit yang terluka parah, sementara beberapa prajurit Demak lainnya yang
masih selamat masih saja terhenyak oleh pertempuran yang baru saja berakhir
tadi. Banyaksekti tak tinggal diam. Ia segera mengajak para prajurit tadi untuk
menolong rnereka-mereka yang masih sempat ditolong, sedang kepada mereka yang
telah mati segera pula dikuburnya baik baik.
Sejak itu, Bango Wadas tak terdengar lagi kabar beritanya. Ada sementara orang
yang mengabarkan bahwa ia
mengasmgkan diri di suatu tempat untuk memperdalam
ilmu dan kesaktiannya. Sedang orang lain mengabarkan pula, bahwa setiap orang
yang dijumpai tentu dibunuhnya.
Begitulah kabar bersimpang siur terdengar dari sana-sini.
Namun sampai sejauh itu, Bango Wadas ternyata tidak pernah muncul kembali dan
orangpunn mulai melupakan-nya pula.
Pendekar Bayamian mengakhiri ceritanya dan ke-
heningan kembali mencekam suasana. Mahesa Wulung
berdiam diri, juga Pandan Arum dan Endang Seruni.
"Nah, angger bertiga," ujar Pendekar Bayangan pula, melanjutkan bicaranya.
"Begitu tadii cerita tentang Ki Bango Wadas yang diceritakan sendiri oleh
sahabat karibku yakni si Banyaksekti sendiri."
"Ooh, Banyaksekti itu juga sahabat bapak"!" seru
Mahesa Wulung setengah kagum. "Sungguh bahagia
tentunya mempunyai sahabat seperti Banyaksekti itu."
"Heh, heh, heh, memang benar pendapatmu itu angger."
ujar Pendekar Bayangan seraya ketawa lirih. "Sekarang agaknya hari sudah terlalu
siang. Baiknya kita kembali ke desa Mijen saja, angger Wulung. Aku ingin
berjumpa dengan Ki Lurah. "Baik, bapak. Marilah!" berkata Mahesa Wulung mempersilakan
Pendekar Bayangan yang telah
bangkit dari duduknya.
"Sebentar angger Wulung!" sela Pendekar Bayangan.
"Aku harus lebih dulu melepas topengku ini sebelum tiba di desa. Jika tidak, aku
kuwatir kalau-kalau disangka tukang penari topeng barongan yang kesiangan."
Pendekar Bayangan lalu melepas topengnya yang
berwarna keputihan serta menyimpannya di balik bajunya yang juga berwarna
keputihan. Maka sebentar kemudian Mahesa Wulung bertiga dapat menyaksikan wajah
seorang tua yang masih nampak segar dengan sorot mata yang
bening dan bercahaya, membuat Pandan Arum yang belum pernah melihatnya terpaksa
tercengang kagum.
Tak lama kemudian mereka berempat bergegas menuju
ke jalan desa Mijen yang letaknya tidak jauh lagi. Beberapa semak pohon bambu
tumbuh di kiri-kanan jalan berseling-seling pohon kelapa.
*** 3 I LURAH MIJEN tampak mondar-mandir di pendapa
kelurahan desa Mijen sedang Nyi Lurah diam-diam
K saja duduk di atas balai-balai.
Pada wajah Ki Lurah Mijen terlihat gurat-gurat
kecemasan yang mendalam, lebih-lebih dengan munculnya Lawunggana yang akhirnya
disusul pula dengan pertarungan antara pemuda itu dengan Sorogenen.
Akan tetapi Ki Lurah Mijen tiba-tiba berhenti demi
didengarnya suara orang Bercakap-cakap dari arah
halaman Kelurahan.
Seperti digerakkan oleh tenaga naluriah Ki Lurah segera melayangkan pandangannya
ke arah halaman.
"Oh..." Ki Lurah melihat empat orang menuju ke
halaman Kelurahan dan ia segera dapat mengenalnya.
Mereka adalah Mahesa Wulung, Pandan Arum, Endang
Seruni dan yang seorang lagi"
Ki Lurah mencoba mengingat-ingat dan memusatkan
pikirannya. "Ooooo, siapakah dia" Rasanya aku telah lama mengenalnya." pikir Ki
Lurah beberapa saat dan akhirnya ia menampakkan wajah cerah.
"Hee, ya. Aku tak keliru lagi. Dia adalah Ki Pendekar Bayangan!!!"
Maka Ki Lurah segera bergegas keluar dan
menyongsong mereka seraya berseru. "Ki Pendekar
Bayangan! Ooo, andika masih teringat dengan desa yang buruk ini?"
"Heh, heh, heh, janganlah terlalu merendah Ki Lurah.
Desamu justru sangat indah sehingga aku memerlukannya untuk singgah di sini
kembali." ujar Pendekar Bayangan dengan tersenyum lebar.
"Ayo, ayo, kita terus masuk saja ke dalam!" berkata Ki Lurah Mijen terbata-bata
mempersilakan tamunya yang baru ini masuk ke pendopo.
Mereka duduk di atas balai-balai kayu dan kemudian Ki Lurah membahagiakan
tamunya, menanyakan tentang
kesehatan Ki Pendekar Bayangan dan lain-lainnya.
"Hmm, aku memang sengaja datang ke mari Ki Lurah."
Pendekar Bayangan berkata. "Sebab aku sedikit banyak mulai mencium adanya bahaya
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menyangkut diri Ki Lurah!"
"Eeeh, bahaya apa itu, sahabat" Apakah andika mau
menakut-nakuti diriku yang sudah tua ini," ujar Ki Lurah dengan wajah yang
setengah ketakutan tapi juga setengah senyum, sehingga nampaknya sangat lucu.
"Heh, heh, heh, aku berkata sebenarnya Ki Lurah.
Dengarlah baik-baik. Ketika aku lewat di kota Asemarang dan bersinggah di sebuah
warung minum di dekat bandar pelabuhan, aku melihat seorang pengunjung yang
setengah mabuk dengan bau tuak menghambur dari
mulutnya. Ia mengomel semaunya dengan kata-kata begini. "Hoek, hoooeeek, aku akan segera
kaya dengan harta Tanjung Bugel dan Ki Lurah Mijen tahu itu semua,
hoooeeeekkk!!"
Mendengar ini seketika wajah Ki Lurah Mijen ter-
peranjat, tak terkecuali Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Endang Seruni pula.
Hal itu tentu saja mengejutkan mereka, lebih-lebih bagi Ki Lurah yang namanya
telah disebut sebut oleh si
pemabuk itu, maka tak ada salahnya jika Ki Lurah buru-buru berkata kepada
Pendekar Bayangan.
"Eh. siapakah orang itu, sahabat?"
"Nah, itulah aku yang kurang tahu Ki Lurah. Beberapa saat kemudian sebelum aku
sempat bertanya kepada
orang mabuk itu, tahu-tahu mendekat seorang berwajah garang yang langsung menuju
ke arah si pemabuk itu, lalu berkata seraya menggerutu marah. Selanjutnya ia
memapah si pemabuk tadi ke luar dari warung. Aku cepat-cepat membuntutinya
keluar tapi aku tak mendapati apa-apa kecuali debu berkepul ke udara diseling
bunyi derapan kaki-kaki kuda yang makin menjauh dan lenyap di
kegelapan malam."
"Sangat berbahaya!!" desis Mahesa Wulung setengah
menggeleng-geleng. "Hidung-hidung liar rupanya lebih cepat membau akan harta
terpendam di Tanjung Bugel
itu!!" "Heran sekali aku!" sela Ki Lurah pula. "Dari mana
mereka dapat mengetahui perihal harta tersebut" Tetapi, yah! Aku agak ingat
sekarang bahwa di antara para
pengawal rombongan saudagar yang menanam harta tadi di sana, ada seorang yang
aku curigai!"
"Hooa, lika-liku persoalan ini makin bertambah jelas rupanya!" seru Pendekar
Bayangan. "Jadi Ki Lurah benar-benar mengenal orang yang andika curigai itu"!"
"Kenal sekali!" tukas Ki Lurah Mijen. "Sekarangpun
seandainya berjumpa, aku masih bisa mengenalinya!"
Mendengar kalimat itu Pendekar Bayangan meng-
angguk-angguk mengerti dan berkata pula. "Apakah ia mempunyai cacad atau bekas
tanda luka pada dahinya"!"
"Tepat sekali! Ketelitian andika semakin membuatku
bertambah jelas! Ya, orang itu memang pada dahinya
berbekas tanda luka dan namanya si Blending. Dia adalah seorang yang suka minum
tuak. Meskipun sudah kenyang perutnya dengan minuman tuak, tapi bagi dia belum
ada artinya, maka dia akan menghabiskan beberapa lodong lagi sampai betul-betul
perutnya bulat bagai tempayan, Nah, oleh sebab itulah dia bernama si Blending."
"Hmmm, namanya memang sesuai!" desis si Pendekar
Bayangan manggut-manggut. "Pantas saja kalau pada
waktu aku melihat si Blending itu, di atas mejanya aku lihat beberapa lodong
tuak yang telah kosong berserakan.
Rupanya baru saja habis diminumnya dengan tandas."
"Dengan demikian," sela Mahesa Wulung. "Jelaslah
bahwa harta dari Tanjung Bugel itu banyak yang
mengincarnya!"
"Sebaiknya kita harus cepat-cepat mendapatkan harta itu lebih dulu, angger."
ujar Pendekar Bayangan pula.
"Dan bapak akan bersedia membantu kalian untuk
mencarinya."
"Terima kasih, sahabat!" Ki Lurah Mijen berkata.
Bantuan andika sangat kami butuhkan memang! Sebab
tentunya si Blending yang andika ceritakan tadi tidak mustahil mempunyai teman-
teman lainnya."
Ki Lurah Mijen kemudian bercerita pula tentang riwayat harta Tanjung Bugel
secara singkat kepada Pendekar
Bayangan dan karenanya Pendekar tua itupun menjadi
tercengang kagum. "Eh, eh, eh. Tidak mengira bahwa ada lelakon seelok itu. Mmm,
jadi angger Endang Seruni masih saudara sekandung dengan nona Pandan Arum!?"
"Begitulah, bapak." berkata Pandan Arum seraya
menepuk bahu Endang Seruni yang duduk di sampingnya.
"Jadi dia masih adikku sendiri. Adik sekandung yang aku ketahui karena kalung
kami yang kembar."
"Angger sungguh berbahagia, nona Pandan Arum.
Rakhmat Tuhan telah mempertemukan andika dengan
adik kandung yang telah terpisah sekian lamanya."
Sementara itu Nyi Lurah disertai seorang pembantunya segera menyuguhkan minuman
serta juadah ketan kepada mereka.
Sedang di luar sang matahari telah bergeser jauh ke sebelah barat pertanda bahwa
sore akan tiba sebentar kemudian. Beberapa ekor kelelawar memberanikan diri
terbang di udara menyambar-nyambar serangga yang akan disantapnya sambil
mencicit kegirangan.
*** Dalam pada itu jauh di sebelah utara sana, di daerah
Muara Kali Serang yang tengah diliputi kabut dan
ditumbuhi oleh kelebatan pohon-pohon besar, terdengarlah suara orang memaki
menyumpah-nyumpah dengan
kerasnya. Kadang-kadang terdengar pula bunyi mem-
bentak-bentak disusul oleh suara lecutan-lecutan keras, mengumandang di udara
senja yang senyap sepi.
Di balik pohon pohon besar itu, terdapatlah sebuah
pondok kecil yang tersembunyi letaknya. Suara lecutan-lecutan tadi ternyata
berasal dan samping rumah. Sebuah gawang kayu terpasang di situ dan di bawahnya
tergantung sesosok tubuh manusia pada kedua belah tangannya yang terikat pada
gawang kayu. Di depan gawang itu berdirilah seorang berkepala botak dengan memegang sebuah
cambuk pendek. Rupanya telah berkali-kali ia menghajarkan cambuknya pada seorang
yang tergantung tersebut dan ini terlihat jelas dari luka-luka pada punggungnya
yang berjalur-jalur merah padam
dengan kulit mengelupas serta darah yang membasah.
"Rasakan kau hah! Lawunggana mulai berhati lunak"
Ingin jadi perempuan kau, heee"!"- teriak si botak dengan marahnya. "Aku si
Bango Wadas pendekar jagoan Muara Kali Serang tak pernah mengajarmu untuk
berhati selunak kain bobrok! Kau ternyata kurang memenuhi harapan dan sudah
selayaknya kau menerima pelajaran dari gurumu ini!
Terimalah ini!" Ki Bango Wadas berteriak serta menghajarkan cambuk pendeknya
kepunggung Lawunggana.
"Wesss!"
"Taaaar!"
Begitu cambuk tadi menimpa dan mendera ke kulit
punggung Lawunggana bertambahlah lagi sebuah goresan merah darah melintang
dibarengi kulit mengelupas serta darah melekat pada batang cambuk.
"Eeaaah!" teriak Lawunggana menyeringai saking sakit dan pedihnya. Punggungnya
serasa terbakar oleh
berbongkah-bongkah bara api menyala yang tidak bisa dihindari, kecuali ia
menggemeretakkan giginya menahan rasa sakit tadi.
"Ayo, minta ampun di hadapan gurumu ini!" Kembali Ki Bango Wadas berteriak
garang seraya mengacung
acungkan cambuknya ke wajah Lawunggana yang
bermandi peluh dan debu kotor.
Lawunggana telah lelah sekali dan setengah pingsan
maka ia tak bisa berkata-kata dengan jelas, kecuali merintih. "Aku ... aku ...
minta ... maaf ...."
"Heeh, kau tak bisa berkata keras-keras, hee?" teriak Ki Bango Wadas. "Rupamu
jadi jelek kalau merintih dan
berurai air mata seperti itu. Kau harus tertawa sekarang"
Ayo, tertawa sekarang!"
Tapi Lawunggana tak dapat memenuhi perintah Ki
Bango Wadas itu. Mana bisa orang yang telah menderita seberat dan separah
Lawunggana mampu berkata jelas
apalagi tertawa seperti orang sehat.
"Hmm, keparat! Jadi aku harus memaksamu tertawa
bukan" Haaait!" Ki Bango Wadas yang berwatak bengis itu dengan tiba-tiba
menotokkan ujung jari-jarinya ke leher Lawunggana, tepat pada "urat tertawa"
sehingga sejurus kemudian tanpa sadar, tanpa ada sesuatu yang lucu atau
menggelikan, pemuda ini tertawa terbahak, terkekeh-kekeh tanpa dia dapat menarik
nafas dengan leluasa. "Heh, ha.
ha. Heh, heh, ha, ha, ha ...."
Melihat muridnya tertawa tanpa sadar ini, Ki Bango
Wadas terpaksa ikut ketawa pula. Ia merasa sangat geli menyaksikan Lawunggana
terus menerus dan sambung
menyambung tertawa tanpa hentinya dengan mata melotot dan leher yang tegang.
"Heh, heh, heh. Hah, hah, hah, hah..."
Dengan demikian nafas Lawunggana lama kelamaan
menjadi sesak dan makin sesak, hingga akhirnya ia
terkulai lemas lalu pingsan. Tubuhnya tergantung pada gawangan kayu tadi,
terayun bagaikan bangkai seekor binatang buruan yang telah disembelih.
Melihat ini Ki Bango Wadas meringis puas, lalu berpaling dan bergegas menaju ke
kamarnya. Ia mengambil
mangkuk dari tempurung serta sebuah lodong tembikar.
"Heeh, kau tak bisa berkata keras-keras heee"!" teriak Ki Bango Wadas. "Rupamu
jadi jelek kalau merintih dan keluar air mata seperti itu. Kau harus tertawa
sekarang! Ayo, tertawa sekarang!!"
"Heh, heh, heh, dia harus minum lagi "jamu pelupa" ini sehingga ia akan kembali
ke sifat kejam dan keras yang telah mulai luntur ini!!" Ki Bango Wadas berpikir
seraya mendekat ketubuh Lawunggana. "Sekali minum, maka
lupalah dia akan kejadian kemarin dan selanjutnya akan tunduk di bawah segala
perintah ku! Heh, heh, heh."
Sesudah ia menuangkan cairan jamu yang berwarna
hijau kecoklatan, Ki Bango Wadas segera menjemba dan membuka mulut Lawunggana,
dan secepat kilat ia
meminumkan jamu tersebut ke mulut muridnya, sampai
tertuang habis.
Ki Bango Wadas berdiam diri beberapa saat sambil
menatap ke arah Lawunggana. Ia menunggu kerja serta khasiat jamu tersebut.
Sesaat kemudian Lawunggana mulai bergerak-gerak
tubuhnya. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan segenap kulit tubuhnya.
Perlahan-lahan pemuda berkumis tebal ini mengangkat kepalanya serta memandang ke
wajah Ki Bango Wadas dengan mata yang sayu tetapi
tajam!! Benar-benar mengerikan tak ubahnya mata seekor macan kumbag yang
kelaparan! "Lawunggana!" seru Ki Bango Wadas. "Katakan siapa
aku!" "Kau adalah guruku, Ki Bango Wadas dan kepadamu
aku menurut segala perintahmu!" Lawunggana berkata
dengan nada tegas tanpa ragu-ragu.
"Heh, heh, heh, bagus! Itu bagus Lawunggana!!" teriak Ki Bango Wadas dengan
senangnya, bagaikan bocah
ingusan mendapat oleh-oleh dari ibunya. "Itulah yang aku harapkan Lawunggana!
Kau benar-benar memenuhi
seleraku!"
Ki Bango Wadas kemudian melepas ikatan pada kedua
belah pergelangan tangan Lawunggana dan sebentar saja muridnya yang berkumis
tebal ini telah berdiri tegak di hadapannya.
"Salamku serta hormatku ke hadapan bapak guru!" ujar Lawunggana seraya
membungkukkan tubuhnya ke
hadapan Ki Bango Wadas sedalam-dalamnya. Sedang
pada wajahnya tidak terbayang lagi akan adanya wajah lembut ataupun ramah,
melainkan wajah garang dan kaku.
"Nah, kau sekarang lebih baik, Lawunggana! Heh, heh, heh, heh." Ki Bango Wadas
berkata sambil terkekeh
ketawa amat senang. "Sekarang kau boleh istirahat
sesukamu!!"
Lawunggana sekali mengangguk dan berkata. "Terima
kasih, guru!" Dan kemudian ia melangkah ke ruang
sebelah. Dalam pada itu Ki Bango Wadas kemudian duduk di
atas sebuah bangku dari kayu panjang. Sebuah lodong berisi tuak direguknya puas-
puas sampai kumisnya basah kuyup oleh air tuak. Sambil meletakkan kembali lodong
tuaknya Ki Bango Wadas menyeka mulutnya dengan
tangan. Beberapa daging bakar segera dilahapnya pula dan
mulutnya sibuk berkomat-kamit mengunyah. Namun dasar Ki Bango Wadas memang
seorang pendekar liar yang
bertelinga tajam meskipun sambil rnengunyah santapan daging bakar tersebut,
telinganya selalu terpasang untuk mendengarkan suara- suara yang mencurigakan.
Ya, suara mencurigakan! Itulah yang bisa didengar oleh telinya Ki Bango Wadas.
Beberapa langkah-langkah kaki manusia yang berjalan dengan hati-hati, sebentar
berhenti dan sebentar kemudian melangkah kembali. Mungkin
maksudnya agar tidak bisa didengar oleh telinga siapapun atau paling-paling
hanya di anggap sebagai angin yang berlalu di sela dedaunan.
Akan tetapi berhadapan dengan Ki Bango Wadas tidak
boleh dianggap remeh begitu saja. Ia cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya
sambil memungut tiga buah batu kerikil, langsung disambitkan ke arah semak
belukar di kegelapan malam tidak jauh dari pintu pondok.
"Siapa itu bersembunyi di sebelah sana! Ayo lekas
keluar!!" terdengar Ki Bango Wadas berkata seraya
menunjuk ke arah semak-belukar tersebut. "Kalau tidak kalian akan segera binasa
di tanganku!!"
Dari kamar samping, meloncatlah Lawunggana seraya
bertanya kaget. "Ooh mengapa bapak guru"!"
"Kita ada tamu, Lawunggana." jawab Ki Bango Wadas.
Bersiap-siaplah siapa tahu mereka bermaksud jelek
terhadap kita!!"
"Baik, guru!"
Sejurus kemudian dari arah semak helukar muncullah
tiga sosok tubuh manusia dan berjalan ke arah Ki Bango Wadas serta Lawunggana
berdiri. Apabila ketiga pendatang itu semakin dekat serta
tercapai oleh cahaya dian minyak, maka tampaklah tiga wajah garang yang berdiri
di hadapan Ki Bango Wadas berdua.
Ketiganya membungkuk sesaat memberi hormat.
"Maafkan jika kami bertiga telah membikin andika terkejut, Ki Bango Wadas!" ucap
seorang bertubuh kekar. "Harap andika tidak menjadi gusar dengan kedatangan kami
bertiga!" "Apa maksud kalian datang ke tempat ini!?" bertanya Ki Bango Wadas dengan rasa
curiga. "Kami datang dengan maksud baik-baik!"
"Maksud baik-baik" Kalau begitu lekas katakan dengan jelas!" Ki Bango Wadas
berkata. "Sabar Ki Bango Wadas! Sebelum kami menjelaskan
lebih dahulu kami minta kesediaan andika untuk bersekutu dengan kami."
Mendengar perkataan si kekar tadi Ki Bango Wadas
menjadi tersinggung karena orang ini tidak langsung mengatakan apa keperluannya,
sehingga iapun berseru.
"Kalian bertiga jangan mencoba main-main dengan Ki
Bango Wadas! Kalau tak ada perlu yang penting lekaslah kalian berlalu menyingkir
dan tempat ini!!"
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus kalau andika tak mau diajak bersekutu!" kata si tubuh kekar meringis.
"Sayang sekali kalau emas intan berpeti- peti harus menjadi milik kami sendiri!"
Habis berkata itu, si kekar dan kedua temannya segera bergegas meninggalkan
tempat tersebut. Namun mereka terpaksa menghentikan langkahnya demi didengarnya
Ki Bango Wadas berteriak. "Tunggu dulu! Kalian tadi mengatakan emas intan
berpeti-peti"!"
"Betul Ki Bango Wadas! Kalau andika tak mau ber-
sekutu biarlah kami ambil sendiri harta itu." ujar si kekar.
"Heh, heh, heh. Jika untuk itu, aku bersedia bersekutu dengan kalian!" Ki Bango
Wadas berkata. "Nah, itulah harapan kami. Ki Bango Wadas. Kami
memilih sekutu kepada andika berdua adalah pendekar pendekar gemblengan yang
telah terkenal!"
"Heh, heh, heh! Tidak keliru lagi pilihan anda!" berkata Ki Bango Wadas dengan
nada bangga, karena pujian dari si kekar tadi. "Sekarang katakanlah!"
"Baik Ki Bango Wadas." Si kekar berkata, "Lebih dulu perkenalkan, kami bertiga
adalah utusan Bido Teles dari Tanjung Jati. Saya sendiri adalah Sigayam dan yang
bertubuh gempal pendek ini adalah Bujel, sedang yang berperut buncit itu ialah
adi Blending!" Demikian Sigayam memperkenalkan dirinya serta kedua temannya.
"Hmm, baiklah. Aku adalah Ki Bango Wadas dan ini
adalah muridku Lawunggana." kata Ki Bango Wadas.
"Begini Ki Bango Wadas. Beberapa hari yang lalu adi Bujel ini telah mendapat
keterangan bahwa Ki Lurah Mijen menyimpan harta emas intan di Tanjung Bugel"
berkata Sigayam.
"Haaah"! Harta ernas intan"!" seru Ki Bango Wadas
setengah kaget bercampur takjub. Kata-kata emas intan bagi Ki Bango Wadas sangat
menarik, tak ubahnya kata-kata arak atau tuak bagi seorang peminum. "Tapi
bagaimana sampai si Bujel dapat mendengar tentang
harga emas intan itu"!"
"Hmm sudah lama kami mengintai Ki Lurah Mijen
tersebut. Belasan tahun yang telah silam adi Blending dan ketua kami yang
bergelar Bido Teles pernah bersama-sama mengawal Ki Saudagar yang berdagang emas
intan. Pada suatu ketika semua hartanya ditanam di daerah Tanjung Bugel yang
letak-letak serta tandanya digambarkan pada permata hijau "Soca Wilis" yang
sekarang berada di tangan Endang Seruni, yakni putri Ki Lurah Mijen." demikian
kata Sigayam. "Tapi mengapa Ki Lurah Mijen ada sangkut pautnya
dengan harta tersebut?" sela Ki Bango Wadas.
"Heh, heh, heh, sebab sebenarnya Ki Lurah juga salah seorang pengawal dari Ki
Saudagar itu!!"
Sambil manggut-manggut, Ki Bango Wadas mengelus-
elus kumisnya. Pikirannya jadi melayang ke desa Mijen yang letaknya tidak
terlalu jauh dari tempat tinggalnya ini.
Serasa ia ingin segera tiba di sana serta merenggut kalung permata Soca Wilis
dari leher Endang Seruni itu!
Agaknya Ki Bango Wadas masih sedikit ragu dengan
keterangan Sigayam tadi, lalu secara tiba-tiba ia menatap ke arah kaki kiri si
Bujel yang dibalut oleh lembaran kain putih setengah coklat kotor.
"Hee, rupanya temanmu itu kurang hati-hati Sigayam!!"
berkata Ki Bango Wadas seraya menunjuk ke arah kaki Bujel yang dibalut.
"Maaf, Ki Bango Wadas." ujar Sigayam. "Sebenarnya ia cukup hati-hati. Tapi
sayangnya ketika ia mengintai dan mendengarkan percakapan Ki Lurah Mijen dari
atas genting sirap pendapa kelurahan, tiba-tiba sebuah ujung senjata tajam telah
menusuk serta menembus genting
sirap dari sebelah bawah dan langsung menancap kaki Bujel ini!!"
"Luar biasa!!" desis Ki Bango Wadas kagum. "Si
penusuk tadi pastilah seorang yang berilmu tinggi!!"
"Benar Ki Bango, dan untungnya si Bujel masih sempat dan lekas-lekas
meninggalkan pendapa kelurahan tadi.
Kalau terlambat sedikit saja, oh pastilah ia telah dirangket, diikat oleh
mereka!" Sigayam berkata seraya menepuk-nepuk bahu si Bujel. "Memang di dalam
pendapa kelurahan tadi ada seorang tamu yang bernama Mahesa Wulung."
"Mahesa Wulung!" berseru Ki Bango Wadas. "Keparat
orang itu! Beberapa waktu berselang aku telah bertempur dengan dia. Ternyata dia
memang seorang pendekar
gemblengan. Ketika itu hampir kubinasakan dia, tapi sayang sekali, seorang
bertopeng tiba-tiba muncul dan menyelamatkan jiwanya!"
"Nah, itu lah sebabnya kami mengajak bersekutu
dengan andika Ki Bango Wadas, sebab lawan-lawan yang harus kita hadapi bukanlah
orang-orang ingusan kemarin sore, tetapi adalah pendekar-pendekar pilihan!"
"Kata-katamu benar Sigayam. Tapi tentang emas itu
bagaimana pembagiannya setelah kita peroleh nanti?" Ki Bango Wadas bertanya.
"Tak usah kuwatir Ki Bango." kata Sigayam. "Seluruh emas intan yang kita peroleh
akan kita bagi rata oleh enam orang. Jadi masing-masing menerima seperenam
bagian dari jumlah harta itu!"
"Heh, heh, itu berarti bahwa setiap orang harus bekerja sungguh-sungguh dan
keras! Jika dari pihakmu ada yang bekerja seenaknya, bagian emasnya harus
dikurangi!!"
"Itu sangat setuju Ki Bango!" seru Sigayam. Kami juga setuju!" ujar Bujel dan
Blending berbareng.
"Nah, jika kita telah sepakat dengan persekutuan ini, kami mohon permisi dulu Ki
Bango. Kami akan memberi laporan kepada ketua Bido Teles dan sepuluh hari lagi
kami akan datang ke mari!" berkata Si gayam.
"Bagus, Sigayam." ujar Ki Bango Wadas. 'Pulanglah dan beri tahu kepada Bido
Teles akan persetujuan kami."
Selamat jalan!"
Sigayam, Blending dan Bujel kemudian membungkuk
hormat dan meminta diri. Mereka segera berlalu
meninggalkan pondok Ki Bango Wadas di Muara Kali
Serang itu. Mereka melangkah dengan tenangnya, kecuali si Bujel yang sedikit terseok-seok
setengah pincang langkah kakinya. Sejurus kemudian tubuh mereka bertiga telah
lenyap di dalam pelukan gelap malam.
Ki Bango Wadas dan Lawunggana segera pula masuk ke
dalam kamar setelah mereka mengantar ketiga tamunya tadi sampai di halaman.
Lawunggana menutup pintunya sebab hawa malampun bertambah dingin menusuk ke
dalam daging dan tulang, lebih-lebih seperti hawa di Muara Kali Serang ini.
Pantaslah bila tempat ini jarang diinjak orang, kecuali mereka yang benar-benar
berani menempuh segala bahaya.
Malam itu Lawunggana masih terbaring di atas balai
balai di dalam kamarnya. Matanya sukar dipejamkan
sebab pikirannya sangat ruwet, sangat kacau.
Antara kesadaran dan ketidaksadaran pikirannya ber-
perang sendiri. Kadang-kadang ia teringat akan wajah Endang Seruni, kekasihnya.
Tetapi tiba-tiba pula wajah cantik tadi berubah menjadi wajah yang jelek,
berkeriput dan menakutkan. Wajah tadi seperti menghantui dirinya, sehingga
Lawunggana terpaksa gelisah, sebentar miring ke kiri, sebentar miring ke kanan.
Demikianlah Lawunggana berusaha mengatasi semua
kesadarannya. Namun pengaruh jamu ramuan "pelupa"
dan totokan "urat ketawa" yang mengakibatkan hilangnya kesadarannya itu benar
benar sangat sukar dilawannya.
Maka tak heran bila sebentar sekujur wajah
Lawunggana bermandi peluh. Juga segenap tubuhnya.
Perjuangannya mengatasi kesadaran dirinya tak berhasil, sebab bagaimanapun
usahanya, toh ia masih terlalu
rendah tingkat kepandaiannya dari pada Ki Bango Wadas!
Dengan demikian ia cuma dapat berkeluh kesah saja
dan akhirnya iapun kelelahan dengan sendirinya. Tak lama kemudian Lawunggana
terlena tidur, meskipun sebentar-sebentar ia mengigau juga di tengah tidurnya.
Sedangkan di sebuah lubang dinding pada kamar itu
terlihatlah sepasang mata mengawasi segala gerak-gerik Lawunggana.
Dan itulah mata Ki Bango Wadas yang mengintip
muridnya. Ketika Lawunggana tertidur, si botak itu tertawa lirih. "Heh, heh,
heh, Lawunggana, Lawunggana! Jangan sekali-sekali mencoba melawan kehendak Ki
Bango Wadas ini. Tak akan berhasil percuma" Kau sekarang ada di bawah
pengaruhku! Apapun yang aku perintahkan, kau
pasti akan menaatinya, sekalipun aku perintahkan kau membunuh diri atau terjun
ke dalam kawah gunung berapi!
Heh, heh, heh, harta emas intan! Sebentar lagi aku akan kaya! Heh, heh, heh, dan
tak seorangpun yang dapat
merintangi Ki Bango Wadas dari Muara Kali Serang ini!!"
*** 4 ADA suatu pagi, ketika ujung pepohonan di sebelah
selatan Muara Kali Serang telah disaput oleh cahaya P fajar yang baru saja
merekah, sebuah bayangan
manusia lagi berloncatan di antara batu-batu di tengah sungai.
Melihat gerakannya yang cekatan teranglah bahwa
orang ini mempunyai ilmu yang tinggi. Berulang-ulang ia melenting dari satu batu
ke batu yang lain bolak-balik.
Kalau mula-mula jaraknya cuma dekat, kemudian semakin jauh dan bertambah jauh
hingga akhirnya gerakan orang ini benar benar mirip seorang yang setengah
terbang. Orang yang melihat gerakan tersebut bisa jadi salah terka dengan menyangka
melihat hantu atau dedemit
penunggu muara sungai yang tengah bergembira
berloncatan di tengah sungai.
Namun toh orang akan segera manggut-manggut
setelah ia tahu bahwa si peloncat tadi adalah Lawunggana, murid tunggal dari Ki
Bango Wadas. Pagi ini tengah
melancarkan latihan-latihan pemanas badan dan gerak ulangan.
Si kumis tebal Lawunggana ini semakin menuju ke arah Selatan sehingga cukup jauh
jaraknya dari pondok tempat tinggalnya.
Sementara itu di antara sela-sela dedaunan di sebelah selatan, sepasang mata
tajam di balik topeng kain putih senantiasa mengintai segala gerak-gerik
Lawunggana yang tengah sibuk melatih diri itu.
Ketika Lawunggana semakin bergerak ke arah selatan
dan jaraknya dengan si pengintai tadi cukup dekat, secara tiba-tiba dan sebat,
si pengintai melesat ke arah tengah sungai, menyambut gerakan Lawunggana.
Melihat ini, bukan main kagetnya Lawunggana yang
tidak menyangka akan munculnya seseorang di tempat
sesepi ini. Maka cepat-cepat ia menghentikan gerakannya.
Kedua kakinya dengan lincah mendarat di atas sebuah batu di tengah sungai, dan
seluruh jari-jarinya mencengkeram ke permukaan batu, sehingga tubuhnya ber-
henti tanpa bergoyang sedikitpun, tak ubahnya sebuah patung batu.
Sikap Lawunggana ini sungguh mengagumkan. Selain ia berdiri kukuh tanpa
bergerak, iapun sekaligus memasang kuda-kuda jurus silatnya.
"Hmmm, hebat juga anak ini!" gumam si topeng sambil mendarat pula di atas sebuah
batu. Kedua-duanya kini berhadapan di tengah-tengah sungai.
"Heh, keparat! Kau berani mengganggu latihanku,
heeei"!" bentak Lawunggana keras-keras. "Dan aku seperti pernah melihat tampangmu itu!?"
"Ha, ha, ha, akulah si Pendekar Bayangan yang pernah bertempur dengan gurumu si
botak Bango Wadas itu!!" ujar Pendekar Bayangan.
"Hah, jika demikian engkaupun harus kubinasakan di
tempat ini!" teriak Lawunggana.
"Bicaramu memerahkan telinga, Lawunggana!" kata
Pendekar Bayangan. "Dan mirip dengan perangai si Bango Wadas botak itu!'
"Tak perlu heran kau!" Lawunggana berkata. "Memang
aku muridnya sehingga kami sangat mirip dalam segala sikap dan pikiran!"
"Jadi kau tak punya kepribadian sendiri"!" Pendekar Bayangan berkata. "Engkau
selalu mengekor akan segala perintah gurumu?"
"Apa salahnya"! Kalau engkau musuh guruku, berarti
musuhku pula dan harus mati ditanganku!"
"Hmm, sikapmu itu tidak wajar, bocah! Pasti ada
sesuatu yang tidak beres di dalam tubuhmu. Kasihan!" ujar Pendekar Bayangan
dengan mata sayu.
"Keparat! Kau membuat aku gusar topeng jelek - seru Lawunggana. "Bersiagalah aku
akan membuat perhitungan dengan kamu!"
"Sesukamulah!" sahut Pendekar Bayangan. "Aku datang dengan maksud baik!"
"Maksud baik"!" desis Lawunggana. "Apa itu"!"
"Aku akan membawamu ke desa Mijen." ujar Pendekar
Bayangan. "Untuk mempertemukan dengan nona Endang
Seruni!" "Endang Seruni"! Bah, siapa dia" Aku tak kenal dengan gadis itu!!" ujar
Lawunggana seraya membuang muka
dengan sombongnya.
Melihat ini Pendekar Bayangan mau tak mau mengusap
dadanya seraya bergumam sendiri. "Tobat! Pemuda ini telah kehilangan
kesadarannya sama sekali. Kasihan kalau ia terus menerus begini. Aku harus
segera menolongnya!"
Dalam pada itu rupanya Lawunggana telah mulai
menyiapkan serangannya. Selagi ia melihat Pendekar
Bayangan itu masih berdiam diri, sekonyong-konyong ia telah berteriak keras
menggetarkan udara pagi.
"Hyaaat!!" Lawunggana melesat dan menerjang
Pendekar Bayangan dengan tendangan mautnya!
Tendangan kakinya tersebut berdengung membelah angin dan karenanya Pendekar
Bayangan hampir saja mendapat bencana.
"Weh, serangan maut!!" desis Pendekar Bayangan
sambil mengendap ke samping kanan, menyebabkan
serangan Lawunggana meleset.
Bersamaan waktunya pula Pendekar Bayangan secepat
kilat mengirim sebuah pukulan tangan yang mampu me-
rontokkan tulang-belulang ke arah tubuh Lawunggana.
Seperti terbang semangat pendekar berkumis tebal itu oleh serangan balasan dari
Pendekar Bayangan, maka secepat kilat ia menangkisnya. Tangan kirinya menekuk ke
arah samping menahan pukulan lawan yang begitu deras meluncur ke arah dirinya.
"Bruuuk!!" Benturan keras antara dua kekuatan yang
terpusat meledak berbareng, menyebabkan masing-masing tergetar.
Pendekar Bayangan cepat-cepat menguasai keseim-
bangan badannya sebelum ia terpeleset ke dalam air, sedang Lawunggana terpental
ke dalam air. Akan tetap Lawunggana tidak sebodoh itu untuk
kecebur dalam air. Ketika terpental akihat benturan pukulan tadi ia melenting ke
udara berputaran beberapa kali lalu melayang turun ke arah batu yang lain.
"Tap! Tap!" Kedua kaki Lawunggana mendarat di
permukaan batu sungai yang letaknya kurang lebih dua tombak dari batu yang
semula, membuat Pendekar
Bayangan menggeleng-gelengkan kepalanya setengah
kagum dari kejauhan.
Lawunggana kembali mempersiapkan diri, kemudian
dengan beberapa loncatan panjang ia melesat ke arah Pendekar Bayangan berdiri,
kedua tangannya mengembang bagaikan cakar-cakar rajawali menyerang mangsanya.
Dalam pada itu, Pendekar Bayangan bermaksud me-
lancarkan Pukulan Angin Bisu yang terkenal dahsyatnya, tapi ia buru-buru
menggagalkan maksudnya itu, sebab ia teringat akan bahayanya.
"Mmm, aku berjanji kepada angger Mahesa Wulung
serta Ki Lurah Mijen untuk membawa kembali si
Lawunggana ini ke desa Mijen," begitu gumam Pendekar Bayangan. "Aku harus hati-
hati melaksanakannya!!"
Dengan pertimbangan-pertimbangan yang seperti itu,
Pendekar Bayangan menjadi berbimbang hati beberapa
saat. Itulah sebabnya ketika tubuh Lawunggana meluncur bagaikan meteor ke arah
dirinya, ia menjadi geragapan.
"Wuuuk!" Tangan kiri Lawunggana yang mencengkeram
ke arah kepala Pendekar Bayangan berhasil ditangkis oleh lawannya, tetapi
berbareng itu pula tangan kanan
Lawunggana berhasil membentur pundak Pendekar
Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayangan. "Bruuuk!" Pendekar Bayangan dengan diam-
diam meminjamkan tenaga pukulan lawannya, sehingga ia tidak mendapatkan cedera.
Namun akibatnya hebat pula, sebab sesaat kemudian iapun terpelanting ke dalam
air!! Melihat ini Lawunggana meringis kesenangan. Sayang-
nya kesenangan tadi tiba-tiba terhenti, sebab kedua kaki Pendekar Bayangan yang
menyentuh air, tidak langsung amblas ke dalam air sungai, melainkan berdiri di
atas permukaannya.
Itulah ilmu meringankan tubuh dalam tingkatan yang
matang dan sempurna!
Beberapa saat Pendekar Bayanyan berpijak pada
permukaan air untuk kemudian ia melenting lalu mendarat ke sebuah batu sungai di
dekatnya! Lawunggana terlongoh seperti orang mimpi, karena
selama ini belum pernah ia menyaksikan pemandangan
sehebat tadi. Kalau gurunyapun pernah mempertunjukkan ilmu-ilmu yang dahsyat,
tapi yang baru aja dilakukan oleh Pendekar Bayangan ternyata jauh lebih dahsyat.
"Lawunggana memang hebat." gumam Pendekar
Bayangan. "Aku tidak boleh lagi memberi hati kepadanya.
Sekarang harus kuakhiri permainan ini."
Baik Pendekar Bayangan maupun Lawunggana masing-
masing bersiaga kembali. Mereka saling berpandangan dengan tajam, menatap
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 9 Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 15