Pencarian

Hulubalang Iblis 1

Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 SEPASANG mata memandang ke arah kaki bukit cadas tanpa nama. Sesuatu yang
dipandang oleh sepasang mata muda itu adalah sebuah pertarungan yang sedang akan
dimulai. Pemuda pemilik mata bening itu berwajah tampan dan berambut lurus
sepundak tanpa ikat kepala. Ia membawa buntung tuak di pundaknya.
Pemuda bercelana putih dengan baju tanpa lengan warna coklat itu tak lain adalah
Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Pertarungan yang akan dimulai itu dilakukan oleh seorang gadis cantik berambut
pendek diponi depan.
Bajunya tanpa lengan berwarna hitam bintik-bintik putih
logam. Baju itu berpundak kaku dengan krah tegak, kaku menutup sebagian
lehernya. Ia juga kenakan celana hitam dengan bagian sampingnya berbintik-bintik
putih logam mirip barisan paku payung. Ikat pinggangnya yang berwarna putih
berbintik-bintik hitam itu dipakai selipkan pedang bersarung perunggu ukir.
Gadis itu tampak tenang dengan matanya yang bundar dan hidungnya yang bangir. Ia
kenakan kalung hitam cekak berbatu merah delima sebesar biji sawo, sama dengan
warna giwangnya yang kecil itu.
Menurut Pendekar Mabuk, gadis itu cukup berani dalam berpenampilan. Sabuknya
yang melingkar di luar baju itu membuat bentuk belahan baju agak lebar, sehingga
bagian dadanya tampak sedikit mengintip memperlihatkan kemulusan kulit yang
berwarna kuning langsat. Agaknya di balik baju tebalnya itu ia tidak mengenakan
kutang atau kain penutup dada lainnya, padahal gadis itu masih berusia sekitar
dua puluh tahun, tentu saja keranuman yang terbayang di balik baju itu menggoda
khayalan si murid sinting Gila Tuak itu.
"Agaknya ia cukup berani. Tak kelihatan gentar sedikit pun menghadapi lawan-
lawannya," pikir Pendekar Mabuk dari atas bukit berbatu-batu itu.
Gadis itu berhadapan dengan tiga orang gundul yang masing-masing berbadan kekar
dan tinggi. Wajah ketiga orang itu tidak ada yang ramah sedikit pun, semuanya
mempunyai wajah angker. Walaupun bentuk tulang rahang maupun bagian wajah
berbeda, tapi kesan keji terlihat jelas pada wajah mereka. Mereka mengenakan
pakaian yang berbeda.
Yang berpakaian serba hitam mempunyai mata kecil tapi pandangannya bagai
memancarkan hawa dingin yang membekukan darah. Ia bersenjata golok lebar yang
tak bisa diselipkan di pinggang karena lebarnya.
Sedangkan yang berpakaian baju merah celana hitam mempunyai bentuk mata sedang-
sedang saja, tapi alisnya tebal dan bibirnya juga tebal. Badannya tampak berotot
dan menyeramkan, ia menyelipkan sebilah parang bergagang kepala burung dengan
rumbai-rumbai benang hitam. Yang satu lagi mengenakan rompi biru dan celana
hitam, dadanya membusung keras bagai dinding batu, mempunyai mata lebar dan
kumis lebat. Sebilah golok bergerigi dipakai sebagai senjata andalannya. Golok itu sudah
dicabut dari sarungnya dan kini tergenggam di tangan kanan, siap untuk
ditebaskan ke arah si gadis cantik itu.
"Siapa tiga orang gundul yang dihadapi gadis itu"
Sepertinya baru sekarang kulihat wajah mereka," ujar Suto membatin. "Sebaiknya
kugunakan ilmu 'Sadap Suara'-ku untuk mendengar percakapan mereka.
Setidaknya aku dapat mengenali nama-nama mereka."
Ilmu 'Sadap Suara' adalah sebuah ilmu yang dapat menyadap pembicaraan seseorang
dari jarak jauh.
Pendekar Mabuk memiliki ilmu tersebut, sehingga ia sering mengetahui berbagai
persoalan orang dari suatu tempat yang tersembunyi.
Tetapi kali ini sebelum ilmu 'Sadap Suara' digunakan, ternyata orang yang
bersenjata golok bergerigi sudah
lebih dulu lakukan serangan ke arah si gadis yang sendirian. Gerakan cepat
menerjang si gadis membuat golok bergerigi itu nyaris membabat dada gadis
tersebut. Weeesss...! Si gadis cepat bersalto ke belakang dengan gerakan cepat pula.
Wuuuttt...! Jleeg...! Begitu ia tapakkan kaki ketanah, ia segera lepaskan
pukulan tenaga dalam ke arah si rompi biru dengan cara menyentakkan tangannya ke
depan dalam keadaan kedua kaki sedikit merendah.
Weeet...! Claaap...!
Ada kilatan sinar hijau sekilas keluar dari telapak tangan si gadis. Sinar hijau
itu cukup kecil dan nyaris tak tertangkap oleh mata siapa pun. Tapi mata tajam
si Pendekar Mabuk mengetahui adanya kilatan cahaya hijau dari tangan si gadis.
Pendekar Mabuk juga melihat sinar hijau itu menghantam pinggang si rompi biru,
sehingga orang itu terpental dalam keadaan sedang melayang di udara.
Wuuuss...! Bruuukk...!
"Bangsaaat...!"
Yang berteriak berang bukan si rompi biru, melainkan temannya yang berbaju merah
dan bercelana hitam. Sebab orang itu ditabrak kuat-kuat oleh tubuh besar si
rompi biru hingga terbawa terpental dan jatuh telentang dalam keadaan tertindih
tubuh si rompi biru.
Tubuh temannya yang menindih itu segera didorong kuat-kuat. Wuuut...! Tubuh si
rompi biru terlempar lagi dan jatuh dalam keadaan leher terlipat.
Brruuuk...! "Uuahhk...!" terdengar pekiknya bagai keluar dari mulut dengan susah payah.
Sementara si baju merah cepat berdiri kembali dalam satu sentakan pinggul,
wuuut...! Jleeeg...! Lalu ia memandangi si gadis dengan mata liar dan berkesan
ganas. Sementara itu, yang mengenakan pakaian serba hitam hanya diam terpaku di tempat
dengan mulut melongo dan mata tertuju kepada si rompi biru. Ketika si baju merah
mencabut parangnya dan ingin membalas serangan si gadis, tiba-tiba tangan orang
berpakaian serba hitam itu merentang, menghadang di dada si baju merah.
Akibatnya gerakan si baju merah tertahan dan ia pandangi temannya sendiri dengan
mata beringas. "Ada apa"!" geramnya menyentak penuh luapan amarah.
''Lihat si Kalapuser itu!" jawab si baju hitam.
Kedua orang gundul itu kini sama-sama pandangi keadaan si Kalapuser yang
mengenakan rompi biru itu.
Si baju merah yang sudah menggenggam parang itu terperanjat melihat tubuh
Kalapuser berasap tipis. Tubuh yang besar itu tiba-tiba menjadi susut, makin
lama semakin susut sepertinya tubuhnya menguap tersedot angin. Si baju merah
jadi terpukau dan terpaku di tempat seperti si baju hitam.
Akhirnya mereka melihat dengan mata telanjang perubahan si Kalapuser yang semula
berbadan tegap dan besar itu menjadi kurus kering. Raut wajahnya tampak tua
karena berkulit keriput. Tentu saja keadaan si Kalapuser sudah tak bernyawa
lagi, karena ia tergolek di
tanah tanpa gerak sedikit pun kecuali susutnya tubuh.
Kedua orang gundul melangkah mundur satu tindak setelah menyadari si Kalapuser
menjadi mayat yang tinggal tulang terbungkus kulit, seakan daging dan jeroannya
menguap tersedot udara. Keadaannya sangat mengerikan. Kepala gundul si Kalapuser
pun jadi mengecil, dan seperti tinggal tengkorak dibungkus kulit keriput.
Dari atas bukit, Pendekar Mabuk yang terkagum-kagum atas kejadian itu juga
mendengar percakapan dua orang gundul tersebut.
"Gadis ini lebih gawat dari kakaknya, Kalatunggir,"
kata si baju hitam.
"Bangsat! Serang dia bersama-sama, Kalabolong!"
Dua orang gundul itu akhirnya maju serempak dengan masing-masing senjata siap
mencelakai nyawa si gadis. Wuuurrrss...!
"Heeeeaat...!"
Teriakan si Kalatunggir yang berbaju merah itu sangat keras dan memanjang,
memekakkan telinga.
Agaknya suara teriakan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang dapat mengganggu
kesigapan lawannya.
Tetapi si gadis berbaju hitam bintik-bintik putih mirip paku payung itu mampu
atasi getaran suara tersebut, sehingga dalam sekejap tubuhnya telah melenting
tinggi dan bersalto melintasi kepala dua orang gundul yang menyerangnya. Wuuuuk,
wuuuk...! Dua kali gerakan berjungkir balik di udara membuat si gadis tahu-tahu sudah
berada di belakang kedua
lawannya beradu punggung dalam jarak tiga langkah.
Kedua lawan itu cepat lakukan serangan kembali dengan berbalik badan dan maju
serentak. Tapi si gadis tiba-tiba melompat dan kedua kakinya menendang cepat ke
belakang bagai seekor kuda menyepak lawan. Wuuuk...!
Beeehk, ploook...!
"Ouhhh...!" pekik si Kalatunggir yang tersentak mundur karena wajahnya terkena
tendangan kaki si gadis. Sedangkan si Kalabolong yang berbaju hitam itu hanya
terlempar ke belakang tak sempat keluarkan pekikan. Ulu hati yang terkena
tendangan bukan saja menyesakkan pernapasan namun juga menyumbat tenggorokan
hingga ia tak bisa terpekik sedikit pun. Ia tumbang dalam keadaan telentang dan
mata mendelik. Kalatunggir buru-buru sigap kembali setelah itu si Kalabolong mencoba bangkit
dengan napas terengah-engah.
"Bocah keparat!" geram Kalatunggir, lalu maju kembali lakukan lompatan menerjang
si gadis dengan parangnya. Weeesss...!
Tapi saat itu si gadis sudah berbalik arah dan lepaskan pukulan seperti tadi.
Sekilas sinar hijau yang sukar dipandang mata itu terlepas dari tangan si gadis
dan menghantam perut Kalatunggir saat masih melambung di udara. Claap...!
Deeesss...l "Aaahk...!" Kalatunggir tiba-tiba berbalik ke arah semula dengan tubuh melayang
dan jatuh terbanting cukup menyedihkan.
"Bangun! Gunakan 'Aji Palang Sukma', Kalatunggir!"
kali ini si Kalabolong lontarkan suara keras menandakan kemarahan yang telah
memuncak. Ia berseru sambil memainkan golok lebarnya di sekeliling tubuhnya.
Wung, wung, wung, wung...! Matanya tertuju tajam kepada si gadis yang tak banyak
bicara itu. "Bangun, Tolol!" serunya lagi tanpa memperhatikan si Kalatunggir.
Gerakan golok lebar terhenti sesaat karena Kalabolong segera terkejut melihat
Kalatunggir tak mau berkutik lagi. Tubuh Kalatunggir berasap tipis, makin lama
semakin susut dan akhirnya tak bernyawa dalam keadaan seperti mayat si
Kalapuser, tinggal tulang terbungkus kulit.
"Ggrrrmmm...!" Kalabolong menggeram penuh murka, matanya yang kecil dilebarkan
memandang si gadis bagaikan berapi-api.
"Kau telah bunuh dua saudaraku! Sekarang kau harus menebusnya dengan nyawamu,
Setan! Heeeaaah...!"
Pendekar Mabuk hanya membatin dari atas bukit,
"Hmmm... siapa gadis itu, sehingga mampu kuasai jurus yang cukup dahsyat itu"!"
Golok lebarnya si Kalabolong berkelebat menebas pundak si gadis. Namun tanpa
pekik dan suara apa pun, si gadis mampu hindari tebasan golok itu dengan
bergerak ke samping, lalu berjungkir balik di tanah menggunakan kedua tangannya.
Wuuurs...! Dalam sekejap ia menjadi tegak kembali.
Tapi di luar dugaan, Kalabolong lepaskan pukulan tenaga dalam dari tangan
kirinya. Claaap...! Seberkas
sinar merah sebesar mata tombak melesat cepat dan menghantam perut si gadis.
Duuubs...! "Uuuhk...!" gadis itu tersentak mundur dengan terhuyung-huyung. Kalabolong
memanfaatkan keadaan demikian dengan lakukan sergapan jurus golok lebarnya yang
menebas cepat ke sana-sini.
"Heeeaaat...!"
Si gadis yang merasa terdesak itu segera lepaskan jurus bersinar hijau sekelebat
tadi. Claaap...! Sinar hijau itu tepat kenai dada Kalabolong sewaktu hendak
membabatkan golok lebarnya ke leher si gadis.
Deesss...! "Aaahk...!" ia terpental ke belakang, melayang rendah dan jatuh berjungkir
balik. Golok lebarnya terlepas dari genggaman tangan, dan Kalabolong tak mau
bergerak lagi. Tubuhnya berasap samar-samar, makin lama semakin susut, akhirnya
menjadi mayat seperti kedua saudaranya itu. Kalabolong pun terpaksa menjadi
mayat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit yang keriput.
Tapi pada saat itu si gadis sendiri masih sempoyongan mencari tempat untuk
berpegangan, ia mendekati sebatang pohon berdaun lebat. Setelah menemukannya, ia
mencoba bertahan berdiri dengan berpegangan pada pohon tersebut. Namun agaknya
kedua kakinya tak mampu menyangga tubuhnya lagi. Ia turun pelan-pelan dan
akhirnya duduk terkulai bersandar pada batang pohon tersebut.
Rupanya serangan bersinar merah dari si Kalabolong tadi telah melukai bagian
dalam tubuh si gadis dan
membuat kulitnya sedikit demi sedikit menjadi biru memar. Wajah cantiknya
berubah pucat kebiru-biruan dan bola matanya mulai tampak semburat merah, ia
tampak terkulai lemas tak berdaya lagi. Seandainya datang musuh lain, maka Suto
Sinting yakin gadis itu tak akan mampu melakukan perlawanan seperti tadi.
Tampak dadanya yang sekal itu naik turun sebagai tanda napasnya terengah-engah
dengan berat. Pendekar Mabuk menenggak tuak dari bumbung bambu yang tadi tergantung di
pundaknya itu. Setelah cukup puas menenggak tuaknya, ia mulai berpikir tentang
gadis berpakaian hitam Itu.
"Ia terluka cukup berbahaya! Aku harus cepat lakukan pertolongan sebelum
akhirnya gadis itu pun kehilangan nyawa seperti ketiga lawannya itu!"
Tapi sebelum Pendekar Mabuk bergerak turun dari atas bukit cadas itu, tiba-tiba
ia melihat sekelebat bayangan yang menuju ke arah si gadis. Pendekar Mabuk
hentikan langkah dan tangguhkan niat untuk sesaat. Batinnya bertanya-tanya,
"Siapa tokoh yang baru saja datang itu"l"
Mata si pemuda tampan itu pandangi sosok
perempuan tua berambut putih rata terurai lepas. Nenek bertongkat hitam itu
kenakan baju hijau tua dengan jubah lengan panjang. Nenek itu berdiri pandangi
mayat-mayat yang bergelimpangan di sana. Bola matanya yang tersembunyi di balik
rongga cekung itu segera pandangi si gadis dengan pancaran nafsu amarah.
"Jahanam busuk!" geramnya dengan suara tua yang
cukup keras. Nenek berusia sekitar delapan puluh tahun itu segera dekati si
gadis. Langkahnya yang terbungkuk-bungkuk tergolong cepat, menandakan nafsu
kemarahannya telah membakar darah dan tak bisa ditangguhkan lagi.
"Kau telah membunuh ketiga muridku, Gadis Jahanam! Kau pun harus mati untuk
menebus ketiga muridku ini! Hiaaah...!"
Tongkat dihantamkan dengan gerakan cepat. Tongkat itu ujungnya mulai memancarkan
cahaya merah seperti besi terpanggang api. Weesss...!
Pendekar Mabuk cepat lakukan gerakan secara naluriah. Seberkas sinar ungu
sebesar lidi melesat dari kedua tangan yang merapat dan disodokkan ke depan.
Claaap...! Weeesss...!
Jurus 'Surya Dewata' yang berwarna ungu itu menghantam ujung tongkat pada saat
tongkat digerakkan menyabet si gadis. Kecepatan sinar ungu itu sungguh luar
biasa, sehingga dalam sekejap tongkat itu terpental bersama pemiliknya saat
terdengar ledakan cukup dahsyat.
Blegaaar...! Gadis itu terguling-guling karena sentakan gelombang ledak tersebut. Tapi si
nenek berjubah hijau itu terpental hingga delapan langkah jauhnya, ia jatuh
terbanting di tanah tak berumput. Tulang tuanya bagai diremukkan oleh gelombang
ledak tadi. Brruskk...!
Tak ada suara yang terdengar, tapi dari wajahnya tampak jelas si nenek sedang
menahan sakit dan
menahan kemarahan yang lebih besar lagi. Si nenek berusaha bangkit dengan
bantuan tongkatnya yang sudah tidak membara merah lagi itu. Tapi ujung tongkat
yang tadi membara merah itu sekarang mengepulkan asap seperti besi panas
tersiram air. Melihat si nenek mau bangkit, Suto Sinting menjadi khawatir akan keselamatan
jiwa si gadis cantik itu. Maka ia segera berkelebat turun dari atas bukit dengan
gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaap...! Dalam waktu sangat singkat Suto Sinting sudah berada di bawah tempat si gadis
tergeletak karena tadi terguling-guling itu. Jurus 'Gerak Siluman' mempunyai
kecepatan gerak melebihi anak panah terlepas dari busurnya, hingga tak


Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengherankan lagi jika Pendekar Mabuk dalam sekejap sudah berdiri menjadi
pelindung si gadis yang kulitnya kian membiru itu.
Sang nenek bangkit dan menggeram setelah menarik napas beberapa saat. Matanya
yang cekung memandang tajam kepada Suto Sinting, seakan memancarkan kekuatan
batin untuk menembus jantung sang pendekar tampan itu. Namun sikap dan
penampilan Suto Sinting tetap tenang, bibirnya sunggingkan senyum tipis hingga
tak terlihat kesan bermusuhannya.
Sang nenek segera bergerak, weesss...! Dalam sekejap sudah berada di depan Suto,
jarak empat langkah. Ini menandakan sang nenek juga mempunyai gerakan cepat
hampir sama dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya Suto Sinting.
'Bocah ingusan!" geram sang nenek. "Siapa kau hingga berani menggagalkan niatku
membunuh si gadis bejat itu, hah!"
"Siapa aku itu tak perlu, tapi yang perlu kau ketahui, aku sekadar melindungi
orang yang lemah. Gadis itu sudah tak berdaya, masih saja ingin kau serang.
Alangkah kejinya hatimu, Nek?"
"Setan alas, kucing belang, babi bengkak...!" makinya beruntun. "Sekarang aku
ingat ciri-cirimu! Kau pasti si Pendekar Mabuk itu!"
"Syukurlah kalau kau sudah mengenaliku sebelum aku memperkenalkan diriku.
Nenek!" "Jangan anggap diriku pikun, Bocah Kurapan! Jurik Wetan biar sudah tua tapi
otaknya masih cerdas dan kekuatannya masih mampu tumbangkan dirimu, Kambing
Borok!" Pendekar Mabuk lebarkan senyum geli. Katanya dengan tenang, "Aku tak ingin
berselisih denganmu, Nyai Jurik Wetan! Aku hanya mencegah
kecerobohanmu."
"Kau tak perlu berlagak satria! Gadis itu telah membunuh tiga muridku, dan aku
harus mencabut nyawanya sebagai tebusannya. Jika kau ingin memihaknya, maka
hadapilah murkaku sekarang juga, Kutang Kusut! Heeeeah...!"
Weesss...! Nenek itu bergerak cepat sekali. Tahu-tahu tongkatnya sudah melayang ke arah
kepala Suto Sinting.
Dengan sedikit rendahkan kaki, Suto Sinting sentakkan
bumbung tuaknya ke samping kiri menghadang tongkat itu. Maka tongkat pun
menghantam bambu tempat tuak dengan telaknya. Trak...! Duaaarrr...!
Ledakan keras terjadi lagi dan percikan bunga api menghambur dalam seketika.
Tenaga dalam yang tersalur pada tongkat itu telah beradu dengan tenaga sakti
yang ada pada bumbung tuak Suto, hingga terjadilah ledakan keras tersebut.
Ledakan itu membuat si nenek menjadi limbung sesaat. Suto Sinting juga
menggeloyor bagai orang mabuk ingin jatuh, namun tiba-tiba punggung tangannya
menyodok ke rusuk Nyai Jurik Wetan. Dees ..! Sodokan bertenaga dalam cukup
tinggi itu membuat Nyai Jurik Wetan terpental ke belakang dalam jarak tiga
langkah. Wuuut...! Jleeeg...!
Si nenek masih mampu berdiri lagi walau sedikit limbung. Tapi ia segera lepaskan
sinar merah pecah yang keluar dari telapak tangan kirinya. Sraaap...!
Sinar merah pecah itu bagai ingin menyergap tubuh Suto Sinting. Maka dengan
cepat Suto Sinting lepaskan jurus penangkisnya yang dinamakan jurus 'Tangan
Guntur'. Seberkas sinar biru besar keluar dari tangannya dan menabrak sinar
merah pecah itu.
Blegaaarrr...! Dentuman dahsyat membuat bumi berguncang dan pepohonan bergetar. Daun-daun
berhamburan dan ranting-ranting patah hingga suara alam sekitar menjadi gaduh.
Tubuh Suto Sinting terlempar dan jatuh terduduk di
dekat gadis yang sudah tak berdaya lagi itu. Sedangkan Nyai Jurik Wetan pun
terlempar cukup jauh dan jatuh dengan tubuh berguling-guling, ia diam untuk
beberapa saat karena rasakan sekujur tubuhnya bagai dicabik-cabik dan tulangnya
bagai dipatah-patah. Suto Sinting pun rasakan hal yang sama, namun ia segera
menenggak tuaknya. Air tuak sakti itu dapat lenyapkan rasa sakit tersebut dalam
sekejap. "Kalau kuteruskan, berbahaya bagi gadis ini! Bisa-bisa ia mati karena terkena
pukulan nyasar dari si nenek.
Sebaiknya kubawa lari dulu gadis ini untuk kuselamatkan jiwanya! Agaknya luka
yang diderita semakin parah dan mengancam nyawanya," Pendekar Mabuk membatin
sambil sesekali pandangi si gadis dan sesekali perhatikan si nenek. Weees,
zlaaap...! Dalam sekejap gadis itu sudah ada di pundak Suto Sinting lalu dibawanya lari
dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman' itu. Nyai Jurik Wetan melihat gerakan cepat yang mirip
menghilang itu. Mata tuanya sangat tajam dan sangat terlatih untuk melihat
gerakan angin, sehingga ia tahu lawannya melarikan diri ke arah barat, ia pun
berseru dengan suara tuanya yang segera terbatuk-batuk.
"Sampai di mana pun kukejar kalian dan kubantai bersamaaa..., uhuk, uhuk,
uhuk...!" Setelah terbatuk-batuk sesaat dan memuntahkan dahak berdarah, Nyai Jurik Wetan
segera lakukan pengejaran ke arah barat. Gerakannya pun seperti orang menghilang
karena kecepatan yang sukar dilihat oleh
mata orang biasa. Weeesss...!
* * * 2 DINDING tebing berongga itu menyerupai sebuah gua berlangit-langit tinggi, tapi
tidak mempunyai lorong ke mana-mana. Rongga itu memang cukup lebar, namun jarak
dari bagian dalam ke bagian luar hanya delapan langkah. Tidak berpintu dan tidak
bersemak, sehingga dapat dilihat jelas dari luar gua.
Sekalipun gua itu tidak terlalu aman, tapi sudah cukup membantu Pendekar Mabuk
dalam menyembunyikan gadis cantik yang terluka. Setidaknya sampai gadis itu menjadi
sembuh karena diberi minum tuak saktinya Suto, ternyata nenek yang mengejarnya
belum temukan tempat itu.
"Aneh. Secepat ini tenaga dan kesehatanku pulih kembali"!" ujar si gadis
membatin. "Padahal tadi nyawaku sudah hampir lepas dari raga, tapi begitu
kurasakan tuak itu masuk ke tenggorokanku dan menghangat di tubuhku, luka
pukulan si Kalabolong menjadi sirna. Badanku menjadi segar sekali, seperti tidak
pernah terluka sedikit pun, bahkan seperti habis mengalami istirahat panjang.
Hmmm... aku tahu sekarang, siapa lagi orang yang memiliki tuak sakti itu kalau
bukan si Suto Sinting alias Pendekar Mabuk."
Gadis itu hanya bicara dalam batinnya, tapi mulutnya
terkatup rapat. Bibirnya yang mungil ranum itu tak mau ucapkan kata apa pun,
walau ia sudah memandangi Suto beberapa saat lamanya. Bahkan senyumnya pun tak
ditunjukkan kepada Suto, padahal Suto sejak tadi telah sunggingkan senyum
menawan dengan mata teduh memandanginya pula
"Kau kenal dengan nenek bernama Jurik Wetan?"
pancing Suto. "Kenal," jawabnya singkat. Suto menunggu penjelasan berikutnya, tapi gadis itu
bahkan memandang ke arah luar gua, lalu hendak melangkah keluar.
Pendekar Mabuk cepat menyambar lengan gadis itu dan hentikan langkah si gadis.
"Jangan keluar dulu. Jurik Wetan sedang mengejar kita. Mungkin ia kehilangan
arah sesaat, tapi aku yakin sebentar lagi pasti ia akan melintasi daerah ini."
Gadis itu menurut. Kini ia duduk di atas batu setinggi lutut sambil hembuskan
napas panjang-panjang. Wajah cantiknya yang tanpa senyum itu tetap memandang ke
arah luar gua, padahal Suto Sinting mendekatinya dan berdiri sekitar dua langkah
darinya. "Benarkah tiga orang gundul tadi adalah murid si Jurik Wetan?"
"Benar," jawabnya, setelah itu diam tanpa suara lagi.
"Mengapa kau bentrok dengan tiga orang murid si Jurik Wetan itu, Nona?" tanya
Suto tetap dengan ramah.
"Benci," hanya itu jawabnya.
Suto Sinting sunggingkan senyum sambil membatin,
"Gadis ini rupanya gadis pendiam dan tak mau banyak
bicara. Melihat dari sikapnya, pasti dia gadis yang keras kepala. Tapi ia cantik
dan menarik perhatianku Aku jadi penasaran untuk mengetahui siapa dirinya."
Kejap berikut terdengar lagi suara Suto Sinting memancing percakapan dengan
gadis yang kulitnya telah menjadi kuning mulus kembali itu.
"Mengapa kau benci dengan mereka?"
"Mereka...," gadis itu diam kembali, seperti ragu untuk jelaskan perkara
sebenarnya. Tapi Suto Sinting segera lakukan desakan agar gadis itu bicara lebih
panjang lagi. "Teruskan ucapanmu. Mereka kenapa?"
"Berusaha membunuh."
"Membunuh siapa?"
"Keluargaku."
"O, kau masih punya keluarga rupanya."
"Kakek dan kakakku."
"Hanya merekakah keluargamu?"
Gadis itu menatap Suto Sinting, lalu anggukkan kepala. Setelah itu memandang ke
arah luar kembali.
Sikapnya seolah-olah acuh tak acuh kepada Suto. Tapi sang Pendekar Mabuk masih
tetap sabar menanggapi kesinisan gadis itu. Justru semakin tertarik untuk
mendekatinya. "Mengapa tiga murid si Jurik Wetan itu ingin membunuh keluargamu?"
"Disuruh."
"Siapa yang menyuruh?"
"Hulubalang Iblis."
"Oh..."!" Suto Sinting terperanjat karena segera teringat sosok tinggi-besar
yang bernama Hulubalang Iblis. Ia pernah bertarung dengan tokoh berwajah ganas
itu. Bentrokan itu terjadi karena Suto, membela si Kusir Hantu dan cucunya yang
bernama Pematang Hati, (Baca serial Pendekar Mabuk daiam episode: "Ratu Cendana
Sutera"). "Boleh kutahu namamu, Nona?"
Gadis itu membisu, tapi beberapa saat bibirnya mulai tampak bergerak-gerak ingin
sebutkan namanya. Sayang sekali kala itu mereka dikejutkan dengan kemunculan
Nyai Jurik Wetan yang bagaikan melompat dari atas tebing. Jleeeg...! Tahu-tahu
nenek bungkuk itu berdiri menghadap ke arah gua, memandang ke arah mereka dengan
mata memancarkan dendam membara. Pendekar Mabuk dan gadis itu tersentak kaget,
namun keduanya cepat kuasai diri.
Bahkan secara naluri jari tangan Suto Sinting menyentil melepaskan jurus 'Jari
Guntur'-nya yang mempunyai kekuatan tenaga dalam sama seperti tendangan kuda
jantan itu. Teees...! Beeed...!
Nyai Jurik Wetan merasa diserang tenaga dalam tanpa sinar. Telapak tangannya
segera menghadang gelombang tenaga itu agar tak kenai ulu hatinya. Tapi kerasnya
sentakan tenaga dalam jurus 'Jari Guntur'
membuatnya tersentak ke belakang dan jatuh berjungkir balik dua kali.
Wes, wes...! Suto Sinting dan gadis itu cepat keluar
dari gua, karena mereka tak mau terdesak serangan lawan dalam keadaan masih
berada di dalam gua. Dalam sekejap saja Nyai Jurik Wetan sudah tegak berdiri dan
berhadapan dengan Suto Sinting. Gadis itu ada di samping kanan Suto dengan kaki
sedikit merenggang dan siap hadapi serangan si Jurik Wetan. Gadis itu tak punya
rasa takut sedikit pun, bahkan sorot pandangan matanya berani menentang tatapan
mata Nyai Jurik Wetan.
"Monyet gancet! Makin lama semakin minta dihancurkan tubuhmu, Anak Sapi!" seru
Nyai Jurik Wetan kepada Suto Sinting. Tetapi pemuda tampan itu justru berbisik
kepada si gadis cantik,
"Menjauhlah, biar kutangani sendiri nenek ini."
Gadis itu tak keluarkan suara apa pun, tapi ia segera melangkah pelan-pelan
menjauhi Suto, sementara pandangan matanya tetap tertuju kepada si Jurik Wetan.
"Rupanya kau ingin menggantikan nyawa si gadis dungu itu, Anak Sapi!" lontar
Nyai Jurik Wetan sambil mengangkat tongkatnya.
"Aku hanya akan menahan serangan liarmu, Nyai Jurik Wetan! Kau tak berhak
mencabut nyawa gadis itu, karena ketiga muridmu itu ternyata bersalah."
"Persetan dengan salah atau benar! Aku sudah telanjur ngidam untuk membunuhmu,
Anak Sapi! Hiiiiah...!"
Tongkat dilemparkan ke arah Suto Sinting.
Weeesss...! Tongkat itu menyala merah seluruhnya bagaikan sinar panjang yang
ingin menghujam dada
sang pendekar. Dengan gerakan sempoyongan mirip orang mabuk, Suto Sinting
berhasil melayangkan bumbung tuaknya dalam keadaan tali bambu itu masih
digenggamnya. Wuuuuk...! Dan tongkat yang berubah menjadi sinar merah itu
membentur bumbung tuak Suto dengan keras.
Jegaaarrr...! Terjadi ledakan yang sangat dahsyat, menyebarkan gelombang getaran begitu besar.
Empat pohon tumbang karena gelombang getaran tadi. Dinding tebing longsor seakan
diguncang gempa. Tanah pun retak di beberapa tempat. Tubuh si gadis yang diam
saja itu terpental dan membentur pohon yang sudah tak berdaun akibat ledakan
tadi. Bukan hanya gadis itu saja yang terlempar akibat ledakan, tapi Pendekar Mabuk
dan Nyai Jurik Wetan juga sama-sama terlempar sejauh delapan tombak.
Tubuh mereka bagaikan remuk, tulang-tulang mereka seakan patah semua akibat
sentakan kuat dan bantingan keras yang membuat mereka kehilangan keseimbangan
badan. Kepala mereka sama-sama membentur pohon dan pandangan mata jadi
berkunang-kunang.
Pendekar Mabuk cepat tenggak tuaknya, sehingga badannya menjadi segar kembali
dan tenaganya pulih seperti sediakala. Dalam hati sang pendekar hanya membatin,
"Gila! Keras sekali lemparan tadi. Mataku terasa seperti buta dalam sekejap
melihat sinar ledakan itu.
Uuuhg...! Bagaimana keadaan lawanku, apakah sama
seperti keadaanku"!"
Nyai Jurik Wetan ternyata punya cara sendiri untuk atasi rasa sakitnya. Dengan
tarikan napas dan menahannya di dada, maka hawa sakti mengalir ke seluruh tubuh
dan tenaganya cepat pulih kembali.
Beberapa saat kemudian ia telah bangkit dan siap lakukan pertarungan lagi.
Sementara si gadis cantik hanya merasakan pusing sedikit serta pandangannya agak
kabur. Dengan mengibaskan kepala beberapa kali, rasa pusing itu pun cepat hilang
dan ia buru-buru memandang ke arah Suto Sinting yang telah berdiri tegak itu.
"Oh, syukurlah dia tak mengalami cedera apa-apa,"
pikirnya dalam kecemasan yang disembunyikan.
Namun ia sempat terkejut dan menjadi tegang manakala melihat Nyai Jurik Wetan
tiba-tiba melayang bagaikan terbang dalam kecepatan tinggi. Weess...!
Tongkat sang nenek yang telah disambarnya lagi itu masih utuh. Tongkat itu
sekarang sedang diarahkan kepada Suto Sinting. Ujung tongkatnya keluarkan pisau
sepanjang dua jengkal. Craaak...!
Pendekar Mabuk segera pasang kuda-kuda seperti orang mabuk mau jatuh. Kedua
kakinya merapat dan saling berhimpit depan belakang. Tubuhnya melengkung ke kiri
dengan tangan pegangi bumbung tuak yang seakan ingin dituangkan ke mulut. Tiba-
tiba tubuh Suto Sinting bergerak melesat cepat sekali ke arah lawannya.
Zlaaap..! Bumbung tuaknya menghantam ujung tongkat
berpisau dua jengkal itu. Traaak...!
Blaarrr...! Terdengar lagi ledakan yang menggelegar
mengguncang alam sekelilingnya. Tapi kali ini Suto Sinting berhasil daratkan
kakinya dengan tegak di tempat pertemuan mereka, sedangkan Nyai Jurik Wetan
terlempar keras membentur pohon kembali. Duuurrr...!
Daun pohon rontok seketika itu juga. Pohon tersebut menjadi tak berdaun selembar
pun. Bahkan salah satu dahannya patah. Untung jatuhnya dahan itu tidak kenai
kepala si Jurik Wetan.
"Edan betul!" gumam hati gadis itu menyimpan kekaguman terhadap ilmu yang
dimiliki Suto Sinting.
"Bumbung tuak itu benar-benar berkekuatan dahsyat!
Jurik Wetan bisa dibuat terlempar sedemikian rupa, dan kalau bukan si Jurik
Wetan mungkin sudah mati saat ini juga!"
Memang kenyataannya si Jurik Wetan masih bisa berdiri tegak dengan satu tarikan
napas yang tertahan di dada. Nenek kurus itu bagai tak mengenal jera sedikit
pun. Ia masih ingin lakukan serangan kembali ke arah Pendekar Mabuk dengan
memutar tongkatnya yang keluarkan bunyi dengung memanjang itu.
Wuuuuung..., wuuuuuung.... Wuuungngng...!
Namun gerakan Nyai Jurik Wetan lambat laun menjadi terhenti karena bunyi aneh
yang datang dari arah semak-semak sebelah kirinya.
Tik, tok, tik, tok, tik, tok...!


Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Mabuk dan gadis itu juga merasa heran
mendengar suara aneh tersebut. Mereka sama-sama memandang ke satu arah tempat
datangnya bunyi aneh itu. Lalu, mereka sama-sama kerutkan dahi melihat
kemunculan seorang tokoh berjubah ungu kusam. Tokoh itu berusia sebaya dengan si
Jurik Wetan. Kepalanya botak tengah, sisa rambutnya yang putih dan tipis terurai
sepanjang pundak. Tubuhnya yang kurus dibungkus kain modei jubah warna ungu
kusam. "Siapa tokoh tua itu" Baru sekarang aku melihat kemunculannya," pikir Suto
Sinting yang merasa asing dengan tokoh tua berjubah ungu kusam itu.
Suara aneh itu timbul dari benda yang dimainkan oleh si tokoh tua berjubah ungu
kusam itu. Rupanya benda yang dimainkannya berupa dua bola sebesar jeruk peras
yang dihubungkan dengan rantai hitam. Bola dari logam putih berkilauan itu
saling berbenturan dalam gerakan ke atas ke bawah sedangkan tangan si tokoh tua
itu memegangi pertengahan rantai tersebut.
Nyai Jurik Wetan pandangi tokoh tua yang bermain dua bandul dari logam putih
anti karat itu. Sementara orang yang dipandangnya yang cengar-cengir sambil
memainkan dengan seenaknya, tanpa melihat gerakan dua bandul yang saling bertemu
ke atas-ke bawah itu.
"Keparat kau, Bocah Kolok! Minggirlah dari sini sebelum kau terkena sasaran
tongkatku! Hentikan mainanmu itu, Bocah Kolok!"
"He, he, he...! Jangan marah pada Wiio, Nyai. Wiio cuma main-main saja. Tidak
ganggu Nyai punya kerja.
Wiio mau nonton Nyai tarung sama anak muda itu kok!"
kata si Bocah Kolok yang lagak-lagunya persis bocah usia lima tahunan. Gerak-
gerik dalam bicaranya juga seperti anak kecil. Bahkan ia menyebut dirinya bukan
dengan kata 'aku' atau 'saya', melainkan menyebut nama kecilnya sendiri: Wiio.
Penampilan yang kekanak-kanakan itu cukup menggelikan hati Pendekar Mabuk,
sehingga senyum sang pendekar pun mekar karena tak bisa ditahan lagi.
"Bocah Kolok!" bentak Nyai Jurik Wetan. "Aku tak percaya kau datang kemari hanya
untuk menyaksikan pertarunganku dengan si Pendekar Mabuk itu! Kau pasti akan
berbuat usil terhadapku!"
"Iiih.... Nyai kok curiga buruk sama Wiio"!" sambil ia bersungut-sungut seperti
anak kecil sewot. "Wiio cuma main-main di sini, kok disangka mau usil" Usil itu
seperti apa, Nyai?"
Tik, tok, tik, tok, tik, tok...!
"Hentikan mainanmu itu, Setan!"
Suara berisik itu berhenti. Lalu terdengar suara Bocah Kolok yang segera
sembunyikan mainannya ke belakang.
"Nyai jahat! Wiio main-main tidak boleh. Kalau Nyai bentak-bentak dengan suara
keras, boleh!"
Gadis cantik yang diam saja di bawah pohon itu sempat terkejut ketika Suto
Sinting berbisik di sampingnya, ia tak tahu kalau pemuda tampan itu sudah ada di
sampingnya. "Siapa dia" Kau mengenalnya?"
Gadis itu hanya gelengkan kepala sambil memandang
ke arah Bocah Kolok dan Nyai Jurik Wetan lagi. Kedua tokoh tua itu sedang perang
mulut. Nyai Jurik Wetan merasa yakin akan mendapat gangguan dari Bocah Kolok,
sementara Bocah Kolok sendiri bersikeras tak mau pergi dari tempat itu dengan
alasan hanya ingin menyaksikan pertarungan si Jurik Wetan.
"Kalau kau tak mau pergi, kau sendiri yang akan kutumbangkan lebih dulu, Bocah
Kolok!" "Jangan, Nyai. Wiio tidak nakal kok!" ujarnya dengan gaya bocah cilik.
"Kau memang keras kepala, sebaiknya.... Uuhk...!"
Nyai Jurik Wetan tiba-tiba tersentak dan pegangi dadanya, ia mundur dua langkah
dengan tubuh semakin membungkuk. Matanya berusaha memandang Bocah Kolok dan
mulutnya berusaha lontarkan kata dengan nada berat.
"Setan kau, Bocah Kolok! Rupanya sudah dari tadi kau telah menyerangku dengan
suara mainanmu itu, Keparat!"
Nyai Jurik Wetan ingin bergerak lakukan serangan, tapi tubuhnya tiba-tiba
menggeloyor ke belakang dengan napas tersentak dan dada didekap lebih kuat.
"Uuhhk...! Benar-benar jahanam kau!" suaranya kian memberat, nyaris tak
terdengar dari tempat Suto Sinting berdiri.
Bocah Kolok pandangi sang nenek dengan dahi berkerut, seolah-olah ia merasa
heran melihat keadaan si Jurik Wetan. Kedua tangannya masih dikebelakangkan dan
kepalanya miring ke sana-sini penuh keheranan.
"Uuuhoooek...!" Nyai Jurik Wetan tiba-tiba memuntahkan darah segar. Tubuhnya
semakin limbung dan bertumpu pada tongkatnya. Pendekar Mabuk dan si gadis cantik
sama-sama tertegun dalam keheranan.
Hanya saja, dalam hati si Pendekar Mabuk sempat membatin kata,
"Jika benar luka itu diderita karena bunyi tik-tok si Bocah Kolok itu, maka tak
salah dugaanku bahwa si Bocah Kolok pasti berilmu tinggi."
Tiba-tiba terdengar suara Nyai Jurik Wetan yang menggeram dengan mata mendelik
menyeramkan ke arah si Bocah Kolok.
"Awas kau! Awas... tunggu pembalasanku! Pasti kau yang melukaiku! Aku kenal
jurusmu yang pernah kurasakan tiga tahun yang lalu! Awas kau, Bocah Kolok!"
Weeeesss...! Nyai Jurik Wetan sentakkan kaki dan melesat pergi bagai menembus
semak-semak, ia menghilang dan tak terdengar suaranya sedikit pun.
Bocah Kolok tegakkan badan, lalu mainannya dipermainkan lagi dengan pelan. Ia
pandangi wajah Pendekar Mabuk, lalu tersenyum bagai bocah kecil sedang nyengir,
ia dekati pemuda tampan dan gadis cantik itu dengan kedua bandul putih itu
saling sentuh tak secepat tadi.
Tik, tik, tik, tik, tik, tik...!
"Hik, hik, hik... nenek itu lari ketakutan. Hik, hik, hik...!" ujarnya setelah
berada dalam jarak empat langkah dari Suto Sinting.
"Terima kasih atas bantuanmu, Pak Tua!"
"Ini bukan Pak Tua," katanya sambil menepuk dada.
"Ini namanya Wiio. Tapi ada yang panggil Wiio dengan julukan Bocah Kolok. Wiio
biarkan saja mereka panggil apa, Wiio tidak mau peduli dengan panggilan itu.!"
"Terima kasih, Bocah Kolok. Kalau tak ada kau, mungkin pertarunganku dengan Nyai
Jurik Wetan belum selesai sampai sekarang juga. Ia seorang nenek yang sukar
ditumbangkan," kata Suto Sinting.
"Kau yang bernama Pendekar Mabuk, ya?"
"Betul, Bocah Kolok," sambil Suto bersikap menghormat.
"Hik, hik, hik... aku tahu kau yang bernama Suto Sinting, bukan?" katanya sambil
nyengir dan menuding-nuding seperti anak kecil.
Suto Sinting membalas keramahan dengan
senyumnya. Tapi si gadis cantik itu diam saja. Tak ada seulas senyum pun tampak
mekar di bibirnya, ia berdiri dan memandangi Bocah Kolok dengan sikap tenang.
Sedikit berkesan judes.
"Bocah Kolok, kalau boleh kutahu dari mana kau mengenal namaku?"
"Ah, Wiio sering dengar orang bicara tentang dirimu.
Wiio hafal ciri-ciri penampilanmu. Wiio juga tahu kau muridnya Kang Sabawana,
yang dikenal dengan nama Gila Tuak itu."
"Oh, kau kenal dengan guruku, Bocah Kolok?"
"Ya, kenal. Wiio bukan orang kurang pergaulan. Wiio dulu sering main-main sama
Kang Sabawana. Pernah
ikut naik ke puncak Gunung Suralaya bersama Kang Sabawana dan pelayannya; si
Gendeng Sekarat itu!"
Pendekar Mabuk seperti mendengarkan celoteh anak kecil yang menyombongkan
pengalamannya. Namun wajah Suto tak pernah berhenti dari keramahannya, seulas
senyum selalu mekar di bibir si pemuda tampan itu. Sang gadis sebentar-sebentar
melirik Suto, sesekali perhatikan si Bocah Kolok. Akibatnya, si Bocah Kolok
menuding gadis itu dan berkata kepada Suto,
"Itu kekasihmu, Suto?"
"Oh, hmmm... eeeh... cobalah tanyakan sendiri padanya," jawab Suto Sinting
dengan kikuk dan sedikit tersipu.
"Yu, kau kekasihnya Pendekar Mabuk, ya Yu?"
Gadis itu gelengkan kepala.
"O, dia bisu?" ujar si Bocah Kolok kepada Suto.
"Hik, hik, hik, hik...!" lalu tertawa menutup mulutnya.
Gadis itu menjadi salah tingkah dan buang pandangan ke arah lain.
"Eh Yu... kau cantik sekali. Pasti hati Pendekar Mabuk berbunga-bunga jika
berada di sampingmu, Yu."
Gadis itu semakin malu dan salah tingkah. Suto Sinting hanya tersenyum senyum
dan sedikit renggangkan jarak dengan gadis itu.
"Jangan membuatnya tersipu malu, Bocah Kolok.
Nanti dia marah kepadaku."
"Gadis cantik kalau sampai marah kepada pemuda setampan dirimu, pasti dia
menyimpan kecemburuan.
Dan kalau dia simpan kecemburuan, berarti dia punya
cinta. Eh, ngomong-ngomong cinta itu seperti apa rasanya, Pendekar Mabuk" Wiio
belum pernah jatuh cinta sampai setua ini. Kasihan, ya?"
Pendekar Mabuk justru tertawa dan tak bisa memberi jawaban. Tapi tiba-tiba tawa
itu harus lenyap setelah tiba-tiba seberkas sinar kuning sebesar jari telunjuk
melesat dan menghantam bawah pundak kiri gadis itu.
Claaap...! Deesss...!
"Aaahk...!" Gadis itu terpekik dan tersentak mundur.
Kejap kemudian ia tumbang dalam keadaan tubuh berasap kuning berbau seperti asap
belerang. Suto Sinting cepat tangkap tubuh gadis itu hingga kepala si gadis tak
sempat terbentur di tanah.
"Racun 'Kembang Mayat'...!" seru si Bocah Kolok dengan nada terkejut juga.
Weeeess...! Ia tiba-tiba lenyap dengan gerakan melompat, seakan menembus alam
gaib. Sementara itu, Suto Sinting yang menjadi tegang itu segera merebahkan
tubuh gadis itu di rerumputan, ia buru-buru menuangkan tuaknya ke mulut si
gadis. Sebagian tuak tertelan, tapi sebagian lagi tumpah ke sekitar mulut.
Weess...! Jleeeg...!
Bocah Kolok kembali lagi dengan wajah menegang.
"Percuma. Tidak ada obat bisa sembuhkan racun
'Kembang Mayat', dan tidak ada yang tahu apa obatnya kecuali pemilik racun
'Kembang Mayat' itu, Suto!"
"Celaka! Apa yang akan terjadi pada diri gadis ini, Bocah Kolok"!"
"Tubuhnya akan mengering dan menjadi kaku. Wiio
pernah lihat orang kena racun seperti itu. Tak sampai malam tiba, tubuh gadis
ini pasti akan menjadi kaku dan kering."
"Siapa pemilik racun itu?"
"Tadi Wiio kejar, tapi orang itu sudah pergi. Wiio tidak menemukan siapa-siapa,
Suto!" "Tapi kau tahu siapa pemiliknya, bukan"!"
"Pemiliknya... hmmm... sebentar, Wiio ingat-ingat dulu nama pemilik racun
itu...." Bocah Kolok kerutkan dahi dan berpikir dengan sungguh-sungguh. Beberapa
saat lamanya baru suara bocahnya terdengar lagi,
"Aduh, Wiio lupa nama pemiliknya. Tapi Wiio tahu siapa orangnya. Kalau ketemu,
Wiio bisa kasih tahu dirimu wajah orangnya!"
"Celaka! Lalu apa yang harus kulakukan untuk selamatkan gadis ini"!" ujar Suto
Sinting setelah perhatikan beberapa saat, ternyata tak ada tanda-tanda
kesembuhan pada diri si gadis, walaupun beberapa tuak sudah masuk ke dalam
kerongkongannya. Gadis itu tetap lemas tak sadarkan diri. Bagian dada bawah
pundak kiri itu membekas hangus sebesar uang kerokan.
"Apakah kau tak bisa sembuhkan gadis ini dari racun
'Kembang Mayat' itu, Bocah Kolok?"
"Wiio belum pernah coba. Tapi... tapi sebaiknya memang harus Wiio coba dulu, ya"
Siapa tahu bisa"!"
* * * 3 TUBUH gadis itu dibaringkan di atas tanah yang dilapisi dedaunan, ia dibawa
masuk ke gua semula atas saran Bocah Kolok.
Agaknya si Bocah Kolok menaruh iba kepada gadis itu. Maka ia pun mencoba
kerahkan tenaga untuk memberi pertolongan gadis tersebut. Suto Sinting tak bisa
berbuat apa-apa dan merasa kecewa karena tuak saktinya tak bisa dipakai untuk
menawarkan racun
'Kembang Mayat' itu. Ia hanya bisa pandangi si Bocah Kolok lakukan penyembuhan
dengan menyalurkan hawa murninya ke tubuh si gadis.
Asap mengepul berulang-ulang dari telapak tangan si Bocah Kolok yang ditempelkan
ke bagian yang hangus di tubuh gadis itu. Asap putih itu lama-lama berubah
menjadi kebiru-biruan. Bocah Kolok gemetar dan keluarkan keringat di sekujur
badannya. Sesaat kemudian ia hembuskan napas sambil melepas telapak tangannya dari luka.
Ia pandangi Suto Sinting sambil berdiri.
"Wiio sudah usahakan tawarkan racun itu, tapi sepertinya tak banyak menolong.
Racun itu masih kerja keras mengeringkan tubuh gadis itu, Suto. Lihat saja,
kulit gadis ini semakin kering dan tampak berbusik-busik. Ih... Wiio jadi ngeri
sendiri membayangkan kekasihmu akan jadi kering seperti kayu bakar."
Pendekar Mabuk diam saja dengan napas terhempas menandakan sangat prihatin atas
nasib gadis yang belum
diketahui namanya itu. Wiio sendiri tampak tak yakin pengobatannya akan
berhasil. Tubuh gadis itu diperhatikan baik-baik, kemudian berkata lagi kepada
Suto Sinting. "Sepertinya Wiio kenal dengan gadis ini, Suto!"
"Bukankah kau datang untuk membela gadis ini?"
"Bukan," jawab Bocah Kolok sambil gelengkan kepala. "Wiio kebetulan saja lewat
tempat ini."
"Tujuannya mau ke mana?"
"Mau... mau... aduh, mau ke mana, ya?" Wiio bingung sendiri, ia berpikir
beberapa saat, tapi belum menemukan jawaban. Wajah tuanya menjadi serupa dengan
bocah bingung yang tak ingat alamat rumahnya.
Suto Sinting geleng-geleng kepala pelan sambil membatin, "Rupanya dia sudah
pikun. Tapi dia masih bisa mengingat namaku dan ciri-ciriku" Apakah dia pikun
untuk hal lain saja, sedangkan untuk mengingat nama dan ciri-ciriku tak termasuk
kepikunannya"
Hmmm... aneh sekali dia. Dari mana asalnya dan siapa dirinya sebenarnya, aku
sama sekali belum mengetahuinya."
"Aduh," keluh si Bocah Kolok dengan jengkel. "Wiio jadi benar-benar lupa harus
ke mana dan mau apa lewat tempat ini" Hmmm... seingat Wiio, ada seseorang yang
ingin Wiio temui. Tapi siapa orang itu dan mengapa ingin menemuinya, Wiio benar-
benar lupa, Suto."
"Dari mana asalmu, apakah kau juga lupa?"
"Hmmm.... Wiio dari... dari...," kakek tua itu diam sebentar, merenungkan tempat
asalnya. Kejap kemudian
ia berkata sambil menatap Suto Sinting.
"Pokoknya Wiio tinggal di Bukit Talang "
"Di mana arah Bukit Talang?"
"Hmmm... di... di...." Bocah Kolok kerutkan dahinya.
"Di... di mana, ya" Aduh, Wiio jadi benci sama otak Wiio sendiri ini! Wiio
sering lupa. Mungkin karena sering makan pantat ayam jadi mudah lupa begini."
Suto Sinting tertawa tanpa suara. Tawa itu cepat reda dan berganti sikap iba
memandangi si gadis cantik.
Ternyata nasib si gadis cantik dapat berubah menjadi kering jika tak tertolong
sampai malam tiba.
"Apakah kau tak punya kekuatan lagi untuk menolong gadis itu, Bocah Kolok?"
Pak tua itu geleng-geleng kepala sambil pandangi si gadis malang.
"Wiio lupa, apakah Wiio punya ilmu lebih tinggi dari yang sudah Wiio pakai
sembuhkan gadis itu tadi, atau masih ada ilmu simpanan lain yang... ah, Wiio
benar-benar lupa, Pendekar Mabuk."
"Tapi kau tidak lupa dengan ciri dan namaku, bukan?"
"O, itu karena Wiio selalu memikirkan dirimu."
"Memikirkan diriku?" Suto Sinting kernyitkan alis.
"Mengapa kau selalu memikirkan diriku?"
"Karena Wiio ingin sekali dapat jumpa dengan pendekar muda yang namanya jadi
bahan bicaraan pada tokoh di rimba persilatan."
"Untuk apa kau ingin jumpa denganku" Sekadar ingin tahu atau ada keperluan
lain?" "Nah, itu dia yang Wiio tidak ingat lagi. Sepertinya Wiio punya keperluan
sendiri padamu, Suto. Tapi... tapi keperluan apa itu" Wiio juga lupa. Mungkin
malah Wiio hanya sekadar ingin ketemu pendekar kondang saja, setelah itu puaslah
hati Wiio. Ah, tak tahulah apa maksud Wiio ini sebenarnya."
"Payah...," gumam Suto Sinting.
"Memang Wllo belakangan ini jadi orang payah!
Jarang punya uang, jarang makan, rumahnya jelek, payah sekali pokoknya."
"Maksudku payah itu, kau benar-benar menyedihkan kalau segala sesuatunya tidak


Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa kau ingat!"
"O, begitu?" Wiio manggut-manggut. Ia diam sejenak, kemudian sebelum Suto
mengatakan sesuatu, Bocah Kolok itu berkata dengan penuh semangat hingga
mengejutkan Suto.
"Aaah... Wiio ingat!" serunya seperti anak kecil bersorak. Tubuhnya ikut
melonjak kegirangan.
Tangannya bertepuk satu kali dan wajahnya sangat ceria.
"Apa yang kau ingat?"
"Wiio punya ilmu buat perpanjang umur."
"Perpanjang umur bagaimana?"
"Namanya ilmu 'Rentang Nyawa'," sambil matanya memandang ke atas sebagai tanda
mengingat-ingat nama ilmu 'Rentang Nyawa' itu.
"Maksudmu, umur seseorang bisa berubah menjadi panjang melampaui batas takdir
hidupnya?" tanya Suto semakin ingin tahu.
"Bukan, bukan...." Bocah Kolok gelengkan kepala
sambil gerakkan tangannya. "Maksud Wiio, ilmu itu bisa untuk menunda kematian
tiba. Tapi tak bisa lama. Hanya satu hari saja."
"Apakah berguna untuk gadis itu?" sambil Suto Sinting menuding si gadis malang.
"Hmmm... sepertinya... sepertinya bisa berguna,"
jawab Wiio seperti anak kecil menyombongkan diri.
"Kalau begitu, coba lakukan untuk gadis itu."
"Tapi umur gadis itu tidak bisa panjang sekali. Ilmu
'Rentang Nyawa' hanya bisa menahan roh seseorang agar tak lekas-lekas tinggalkan
jasadnya. Misalnya, gadis ini sebenarnya nanti malam sudah mati, dengan menerima
getaran hawa ilmu 'Rentang Nyawa', maka roh gadis itu nanti malam belum pergi
keluar dari raga. Roh itu diam di raga karena ditahan getaran gelombang gaib.
Esok malam, barulah roh gadis itu akan pergi tinggalkan raganya."
"Hmmm... jika begitu kita punya waktu lebih panjang lagi untuk mencari obat
penawar racun 'Kembang Mayat'
itu, Wiio."
"Wiio pikir-pikir... memang begitu keuntungannya.
Tapi...," ujarnya sambil melirik seperti anak kecil yang sedang melucu.
"Tapi apa lagi?" Suto tampak tak sabar.
"Tapi percuma saja kita tahan rohnya jika kita tidak tahu bagaimana cara
menangkal racun 'Kembang Mayat'
itu. Kalau kita sudah punya obat penangkal racun, harus diambil di tempat jauh,
nah... untuk memperpanjang waktu bisa saja Wiio pakai ilmu 'Rentang Nyawa' itu.
Tapi kalau...."
"Sudahlah jangan banyak bicara dulu, gunakan saja ilmu 'Rentang Nyawa'mu itu.
Nanti kita pikirkan bagaimana cara mengatasi racun dalam tubuh si gadis malang
itu, Wiio."
"Baiklah, baiklah...!" Wiio manggut-manggut sambil mendekati gadis itu.
Kedua tangan Bocah Kolok mulai berasap setelah bergerak maju dalam keadaan
mengeras. Gerakan itu dilakukan pelan-pelan sambil napasnya keluar dari mulut
berkali-kali. Kemudian tangan yang berasap samar-samar itu mendekati bagian
perut si gadis. Ujung jari-jarinya menyala kuning pijar.
Ketika tangan itu menempel di perut si gadis, maka asap yang keluar dari tangan
tersebut seperti tersedot oleh tubuh si gadis. Kini bagian perut si gadis mulai
tampak keluarkan cahaya kuning pijar samar-samar.
Lebih dari sepuluh helaan napas si Bocah Kolok tempelkan tangan ke perut gadis
itu. Pendekar Mabuk perhatikan betul cara pengobatan tersebut dengan hati sedikit
berdebar-debar.
"Eeeh...!" si gadis mulai mengeluh tipis. Jari-jari tangannya bergerak pelan
lebih dulu, kemudian kakinya mulai bergerak lemah. Dadanya yang sekal tampak
naik turun pertanda ia mulai siuman. Bagian luka hangus mengepulkan asap tipis,
namun warna hitamnya masih belum hilang.
Bocah Kolok segera bangkit dan berkata kepada Suto,
"Wiio hanya bisa menghambat kerja racun, tapi tidak
bisa memusnahkannya."
"Mengapa tidak kau lakukan berkali-kali, siapa tahu racun itu bisa punah oleh
kekuatan ilmu 'Rentang Nyawa'-mu itu?"
Bocah Kolok gelengkan kepala. "Wiio takut, ah!"
Lalu ia jauhi gadis yang mulai menggeliat dan membuka matanya.
"Nyawanya masih akan ada sampai besok sore.
Malamnya ia pasti sudah tidak bernyawa lagi," ujar Wiio, dan keterangan itu
hanya membuat Pendekar Mabuk menarik napas panjang-panjang, merasa sangat sedih
membayangkan nasib si gadis malang itu.
Tiba-tiba Pendekar Mabuk teringat sebuah genangan air menyerupai kolam yang
berwarna hijau bening dalam istana jerami milik Ratu Cumbutari. Kolam itu
sebenarnya sebuah sendang alam yang dirawat dan dijadikan sebuah kolam oleh Ratu
Cumbutari. Kolam itulah yang dinamakan Sendang Ketuban, yang mampu mengalahkan
racun apa pun yang tak bisa dikalahkan oleh obat lain. Sendang Ketuban terletak
di negeri Wilwatikta dan negeri itu berada di Gunung Purwa, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pembantai Raksasa").
Maka membatinlah hati Suto pada saat diam merenung di depan Wiio,
"Haruskah aku lari ke Gunung Purwa untuk mengambil air Sendang Ketuban"
Sepenting itukah aku menyempatkan diri pergi ke sana hanya demi selamatkan gadis
yang belum kukenal ini?"
Hal itu dibicarakan kepada si Bocah Kolok. Lalu orang tua yang bertingkah
seperti anak kecil itu pun keluarkan pendapatnya,
"Kalau kau bisa pergi dan pulang membawa air Sendang Ketuban tak lebih dari esok
malam. Maka usahamu itu tidak akan sia-sia, Suto. Tapi kalau kau datang lewat
dari esok malam, maka percuma saja kau pergi ke Gunung Purwa."
"Kurasa, aku bisa mempercepat langkahku dan tiba di sini pada esok siang."
"Kalau memang bisa begitu, alangkah baiknya kau pergi sekarang juga ke Sendang
Ketuban itu. Wiio akan jaga gadis ini, sambil Wiio ingat-ingat siapa gadis ini
sebenarnya."
"Bagaimana jika kita tanyakan kepadanya siapa dia sebenarnya?"
"Wiio rasa, gadis itu belum bisa bicara, tenaganya masih lemah sekali, dan
mungkin tenggorokannya masih kering, belum bisa dipakai untuk bicara."
Pendekar Mabuk manggut-manggut, kemudian si Bocah Kolok berkata lagi,
"Wiio sarankan kalau mau berangkat ke Gunung Purwa, sebaiknya berangkatlah mulai
sekarang biar waktumu tidak banyak terbuang."
"Baiklah, aku berangkat sekarang dan jaga dia baik-baik!"
"Hati-hatilah, Pendekar Mabuk!" si Bocah Kolok melepas kepergian Pendekar Mabuk
sampai di luar gua.
Lalu, murid sinting si Gila Tuak itu pun melesat ke arah
negeri Wilwatikta dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya yang mempunyai
kecepatan melebihi badai itu.
Zlaaap...! Zlaaap...! Zlaaap...! Setiap niat baik selalu saja akan menemui
cobaan sebagai perwujudan dari kesungguhan niat itu. Demikian halnya dengan si
Pendekar Mabuk, langkahnya terhenti karena sebuah rintangan menghalanginya.
Rintangan itu adalah kemunculan cahaya biru berlarik-larik yang menyebar dan
mengarah kepadanya. Pendekar Mabuk tak tahu datangnya cahaya biru itu dari arah
samping belakangnya. Zraaab...!
Sinar biru berlarik-larik itu akhirnya menghantam Suto Sinting yang membuat si
Pendekar Mabuk itu terpental ke arah lain. Weess...! Burrkk . !
"Aahk...!" Suto Sinting terpekik, kemudian berusaha bangkit, tapi segera
menyadari bahwa dirinya telah terjerat kekuatan dari sinar biru yang kini
mengurungnya dan makin lama sinar-sinar biru itu bergerak semakin rapat dengan
tubuh Suto Sinting. "Celaka! Tubuhku bagai ada yang menjeratnya dengan tambang
yang sangat kuat. Ouuuh...! Pernapasanku sesak sekali!"
Pendekar Mabuk menggeram sambil berusaha lepaskan diri dari jeratan gaib
tersebut. "Uuuh...! Sulit sekali menggerakkan tanganku untuk menenggak tuak"! Kurang ajar
betul orang yang menyerangku ini! Hmmm... sepertinya sinar-sinar biru yang
menjeratku ini pernah kulihat saat si Kusir Hantu dan Pematang Hati mengalami
nasib seperti ini! Kalau
tak salah sinar-sinar biru ini kiriman dari si Hulubalang Iblis!" sambil ingatan
Suto sempat mengenang peristiwa beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Ratu Cendana Sutera").
Beberapa saat kemudian muncullah seraut wajah tua berbaju biru dan celana hitam.
Tokoh itu berambut pendek dan tipis warna merah seperti rambut jagung. Di
pinggangnya terselip cambuk pusaka yang panjangnya hanya sekitar empat jengkal.
Tokoh kurus berambut merah jagung itu tak lain adalah si Kusir Hantu, tokoh
ternama dari Bukit Seram.
"Kusir Hantu... aku terkena...."
Kusir Hantu segera menyahut, "Jurus 'Jalasuma' itu namanya. Kau masih ingat
jurus tersebut, Suto"!
Hmmm... pasti di sekitar sini ada si Hulubalang Iblis.
Akan kucari pentolan setan itu! Pepatah mengatakan:
'Kuda lari jangan dikejar, nasib orang... tidak sama seperti nasib kuda'. Memang
keparat busuk si Hulubalang Iblis itu!"
"Kusir Hantu, tunggu sebentar...."
Weess...! Kusir Hantu pun mampu lakukan gerakan cepat yang mirip orang
menghilang, sehingga sebelum Suto Sinting selesai bicara ia sudah menghilang
lebih dulu dari hadapan sang Pendekar Mabuk.
Suto Sinting hanya mengeluh dan menggeram jengkel dalam hati sambil berusaha
menahan kekuatan jerat dari sinar-sinar biru tersebut. Sebab menurut keterangan
dari si Kusir Hantu yang pernah didengarnya, bahwa sinar biru yang datang dari
jurus 'Jalasuma'-nya si Hulubalang
Iblis itu dapat memotong tubuh manusia yang dijeratnya jika sampai beberapa saat
orang tersebut tak bisa lepaskan diri dari jeratan itu. Pendekar Mabuk pun
menjadi mulai tegang ketika si Kusir Hantu tidak muncul-muncul sampai beberapa
saat lamanya. * * * 4 KETIKA si Kusir Hantu dan cucunya terjerat jurus
'Jalasuma', Pendekar Mabuk yang menolong dengan menghancurkan sinar-sinar biru
tersebut. Kini, keadaan Pendekar Mabuk yang tak berkutik itu ganti ditolong oleh
si Kusir Hantu dengan cara menghancurkan sinar-sinar biru tersebut. Kusir Hantu
muncul kembali setelah beberapa saat kerepotan mencari si pemilik jurus
'Jalasuma' itu.
Seberkas sinar merah kecil dilepaskan oleh si Kusir Hantu dari ujung
telunjuknya. Claaap...! Sinar merah kecil itu menghantam kumpulan sinar-sinar
biru dan menimbulkan ledakan yang cukup keras.
Blaarrr...! Pendekar Mabuk terjungkal ke belakang akibat ledakan tersebut. Badannya terasa
bagai dibungkus api.
Ia buru-buru menenggak tuaknya, maka rasa terbungkus api pun segera lenyap. Kini
ia berdiri pandangi si Kusir Hantu yang sedang tersenyum cengar-cengir
memperhatikannya.
"Satu sama!" celetuk si Kusir Hantu. "Dulu ketika aku terjerat 'Jalasuma' kau
menolongku dengan meledakkan sinar itu dan aku terlempar bersama cucuku.
Sekarang kau pun kutolong dan ikut-ikutan terlempar seperti aku dulu. He, he,
he...! Pepatah mengatakan:
'Lain lubuk lain belalang', artinya lain cara menolong lain pula belalangnya,
he, he, he, he...!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kelegaan sambil sama-sama maju saling
menghampiri. Setelah mencapai jarak satu langkah Kusir Hantu menepuk-nepuk
pundak Suto Sinting dengan sikap ramahnya.
"Sudah dua purnama kita tak jumpa, ternyata kau makin hari makin gagah saja,
Nak!" "Kau pun makin tua makin gagah, Pak Tua."
Keduanya tertawa pelan, lalu wajah mereka saling berkerut setelah Pendekar Mabuk
ajukan tanya, "Apakah orang yang menyerangku dengan jurus 'Jalasuma' tadi
berhasil kau tangkap, Pak Tua?"
"Ya, itulah yang membuatku bingung. Aku tak menemukan si Hulubalang Iblis.
Padahal setahuku jurus itu milik si Hulubalang Iblis. Tapi yang kutemukan adalah
aroma wangi seorang perempuan."
"Perempuannya sendiri ada?" Kusir Hantu gelengkan kepala. Tokoh tua berusia
sekitar enam puluh tahun itu segera berkata dengan gayanya yang senang
menggunakan pepatah walau maksudnya tak pernah jelas.
"Perempuan yang beraroma wangi itu tidak kutemukan. Tapi aku mulai bisa
mengenali aroma wangi
itu, jika suatu saat kujumpa dengan perempuan tersebut.
Pepatah mengatakan: 'Jika ada sumur di ladang, boleh saya menumpang mandi....'"
"Maksud pepatah itu bagaimana, Pak Tua?"
"Jika ada umurku panjang, boleh kita mandi bersama.
He, he, he...! Maksudku, bersama dengan perempuan yang beraroma wangi itu. He,
he, he...!"
Dalam hatinya Suto Sinting hanya membatin, "Tokoh tua yang satu ini memang gemar
bercanda. Seakan dirinya merasa selain muda. Menyenangkan sekali jumpa
dengannya, hanya sayang aku menjadi penasaran dan ingin mengetahui perempuan
mana yang berani menyerangku dengan jurus 'Jalasuma' tadi" Apakah ia ada
hubungannya dengan si Hulubalang Iblis?"
Kusir Hantu yang bernama asli Ki Pujasera itu segera ajukan tanya sambil garuk-
garuk pantatnya, "Nak, apakah kau melihat cucuku di lain tempat?"
"Maksudmu si Pematang Hati?"
"Benar. Aku mencarinya, juga mencari adiknya yang bernama Mahligai Sukma."
"O, aku tidak jumpa dengan cucumu, Pak Tua,"
jawab Suto Sinting. "Apakah ada sesuatu yang penting sehingga kau mencari
mereka?" "Sangat penting, dan menurut dugaanku dia sedang mencarimu."
"Mencariku?" Suto Sinting berkerut dahi.
"Mengapa ia mencariku?"
"Mungkin rindu," jawab si Kusir Hantu. "Mungkin juga karena ia ingin meminta
bantuan padamu. Yang
jelas, terakhir kali kubertemu dengan seorang kenalannya yang mengatakan bahwa
Pematang Hati pergi mencari Pendekar Mabuk. Kusangka ia sudah kau bawa ke
kediaman gurumu, Nak."
"Untuk apa aku membawa cucumu ke sana?"
"Barangkali kalian mau menikah di depan si Gila Tuak?"
Pendekar Mabuk tertawa pelan tapi agak panjang.
"Nak, Pematang Hati itu gadis yang baik dan masih perawan ting-ting. Jangan
anggap remeh cucuku itu, Nak!"
"Aku tidak memandang remeh cucumu, Pak Tua.
Aku hanya menertawakan dugaanmu. Mengapa sampai sejauh itu kau menduga perasaan
hati kami" Belum tentu cucumu sendiri mempunyai niat seperti yang terbayang
dalam otakmu, Pak Tua."
"Kalau Pematang Hati tidak mempunyai niat seperti dugaanku, berarti aku baru
tahu bahwa cucuku itu gadis yang berotak bebal, bodoh dan kolot! Pepatah
mengatakan: 'Ringan sama dijinjing, berat sama dipukul....'"
"Dipikul!" Suto membetulkan ucapan tersebut.
"Iya, dipikul. Artinya...."
Belum sempat Kusir Hantu lanjutkan arti peribahasa yang dilontarkannya itu,
tiba-tiba mereka sama-sama dikejutkan oleh kemunculan dua orang berpakaian serba
hitam. Satu orang berambut ikal pendek dan mengenakan ikat kepala hijau,
sedangkan yang satu berambut panjang sepundak agak kurus dan mengenakan
ikat kepala kuning. Kemunculan mereka bagaikan jatuh dari langit, karena mereka
lakukan lompatan melintas bagian atas semak-semak untuk tiba di tempat itu.
Jleg, jleg....!
Kusir Hantu cepat menyapa kedua orang yang segera menampakkan sikap tak
bersahabat itu.
"Darah Gunung dan Lintah Saberang! Selamat jumpa lagi, Adik-adikku yang ganteng"
Apa kabar kalian, Dik"!"
"Ggrrmmmhh...!" Orang yang berikat kepala hijau itu menggeram menampakkan
permusuhannya. Pendekar Mabuk sempatkan diri berbisik kepada si Kusir Hantu,
"Siapa mereka, Pak Tua?"
"Yang pakai ikat kepala hijau bernama Darah Gunung, dan yang pakai ikat kepala
kuning berbadan kurus serta bermuka lonjong itu adalah si Lintah Saberang.
Mereka anak buah Hulubalang Iblis."
"Kalau begitu, pasti mereka bermaksud tak baik pada kita, Pak Tua,"
"Gelagatnya memang begitu, tapi... tenang saja kau.
Tenang saja. Biar kuhadapi sendiri kedua orangnya si Hulubalang Iblis itu!" ujar
Kusir Hantu sambil tepuk-tepuk lengan Suto Sinting. Bahkan ia tambahkan kata
lagi dalam bisikan,


Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mundurlah sedikit, biar gerakanku tak terhalang keadaanmu."
Suto Sinting angkat bahu dan lebarkan tangan pertanda pasrah kepada si Kusir
Hantu, lalu ia pun melangkah mundur hingga sampai di bawah pohon. Ia
berdiri dengan bumbung tuak menggantung di pundak, kedua tangan bertolak
pinggang sebelah kiri, dan tangan kanannya dipakai menopang ke batang pohon
tersebut. Matanya memperhatikan kedua orangnya Hulubalang Iblis yang tampak sangar-sangar
itu. "Apa maksudmu datang menemuiku di sini, Darah Gunung dan Lintah Saberang?" tanya
si Kusir Hantu dengan sikap tenang, bahkan gerak-geriknya tampak acuh tak acuh,
seakan sangat tidak peduli dengan kedua orang di depannya itu. Sikap seperti itu
rupanya membuat si Lintah Saberang menjadi geram dan menahan kedongkolan dalam
hatinya. Tulang rahangnya yang sedikit menonjol itu tampak sedang
menggeletukkan gigi di dalam mulut dengan pancaran matanya terasa dingin
membekukan darah orang yang dipandangnya.
"Kusir Hantu, bersujudlah di depanku sebelum masa hidupmu berakhir bersama cucu-
cucumu!" ujar Darah Gunung dengan suaranya yang lantang. Tapi si Kusir Hantu
hanya terkekeh memandang remeh terhadap ucapan tadi.
"He, he, he, he.... Aku sudah lupa bagaimana cara bersujud. Jika kau mau, tolong
berikan contoh bagaimana cara bersujud itu, Darah Gunung!"
"Bangsat!" sentak Darah Gunung kemudian tangannya berkelebat melepaskan pukulan
jarak jauh dari tempatnya berdiri. Wuuut, weess...!
Buhhk...! Pukulan itu mengenai dada si Kusir Hantu dengan telak. Tubuh si Kusir
Hantu sampai terjengkang
ke belakang dan jatuh terkapar, kepalanya membentur sebatang pohon kering yang
telah tumbang beberapa waktu yang lalu. Duuuhk...!
Suto Sinting sempat menampakkan kecemasannya dengan buru-buru dekati si Kusir
Hantu dan ingin menolongnya. Tapi Pak Tua itu lebih cepat bangkit sebelum Suto
mengulurkan tangannya.
"Pak Tua, bagaimana keadaanmu?"
"Tenang saja! Pepatah mengatakan: 'Sekali merengkuh dayung dua tiga hari
capeknya tidak hilang-hilang'. Kau tetap tenang saja di tempatmu. Mereka akan
kuselesaikan secara jantan."
Pendekar Mabuk akhirnya mundur dan kembali ke tempatnya semula, membiarkan si
Kusir Hantu maju beberapa langkah dekati kedua lawannya. Wajah tua itu masih
tampak cengar-cengir menjengkelkan lawan.
"Pukulan seperti itu kau lepaskan untuk diriku, Darah Gunung. Bukankah itu
pukulan untuk membunuh nyamuk rawa-rawa"!" ujar si Kusir Hantu dengan nada
mengejek. Darah Gunung semakin dongkol, maka ia pun berseru dengan maju satu
langkah lagi. "Kau ingin yang bisa memecahkan kepalamu"
Terimalah ini, heeaah...!"
Weeess...! Tubuh si Darah Gunung tiba-tiba melayang dalam gerakan seperti singa
menerkam, lalu berubah dalam gerakan salto. Ketika tubuhnya berbalik itulah
kedua kaki si Darah Gunung menendang kepala Kusir Hantu secara beruntun. Duhk,
duhk, duhk...! Tendangan terakhir terasa lebih kuat, bagaikan ingin
memecahkan tulang tengkorak si Kusir Hantu. Tak heran jika si Kusir Hantu
terlempar ke belakang lagi dan jatuh terpelanting dengan dahi membentur ujung
kayu kering. Krraakkk...! "Ha, ha, ha, ha...!" Lintah Saberang tertawa kegirangan melihat Kusir Hantu
terpental begitu rupa.
Suto Sinting geregetan melihat Kusir Hantu tidak ada perlawanan sedikit pun.
Tangan si Pendekar Mabuk itu sudah menggenggam kuat, ingin lakukan serangan
mendadak ke arah Darah Gunung. Tetapi niat itu terpaksa dibatalkan.
Pendekar Mabuk justru terkejut dan memandang heran kepada Darah Gunung yang
tiba-tiba terlempar sendiri dari sikap berdirinya. Wuuut...! Bruuuk...!
Brrrurs...! Buhhk, buhk, bruuusss...!
"Aaauh, oouh, aaaah, uaaah...!"
Lintah Saberang terbelalak dan terheran-heran melihat rekannya jungkir balik,
jatuh-bangun dan tersungkur-sungkur sendiri tanpa ada yang menyerang.
"Kenapa dia seperti orang kena penyakit ayan begitu"!" pikir si Lintah Saberang.
"Padahal si Kusir Hantu sedang bergegas bangun, belum lakukan serangan apa-apa,
tapi mengapa Darah Gunung seperti ada yang menyerangnya tanpa kelihatan wujud
penyerangnya"!"
"Ouuuuhhh...!"
Darah Gunung mengerang panjang sambil wajahnya mencium tanah, ia bangkit pelan-
pelan setelah mendengar seruan Lintah Saberang.
"Darah Gunung, kenapa kau"! Siapa yang
menyerangmu"!"
Darah Gunung mencoba untuk bangun dengan
sempoyongan. Wajahnya yang memandangi si Kusir Hantu itu tampak memar. Banyak
luka yang membiru di sekitar wajah. Bahkan tiba-tiba ia tersentak dan
memuntahkan darah segar dari mulutnya, ia memegangi dadanya yang terasa sakit
bagai habis dihantam pukulan bertenaga dalam cukup besar.
Kusir Hantu hanya cengar-cengir, bagai tak pernah menerima serangan apa pun dari
lawannya. Bahkan dahinya yang membentur ujung pohon kering itu tidak mengalami
luka sedikit pun.
Tetapi dahi Darah Gunung justru berdarah. Lukanya seperti luka bekas benturan.
Kepala bagian belakang juga tampak berdarah, seperti bekas benturan benda keras.
Melihat keadaan itu, Pendekar Mabuk pun segera manggut-manggut dengan senyum
tipis dan hati membatin,
"Ooo, ya, ya, ya... aku ingat sekarang. Kusir Hantu mempunyai ilmu 'Timbal Rasa'
yang membuat lawannya babak belur sendiri jika menyerangnya. Pantas Kusir Hantu
dari tadi diam saja, tidak menangkis, tidak menghindar dan tidak menyerang.
Rupanya ia mengandalkan ilmu 'Timbal Rasa'-nya yang membuat Darah Gunung
menderita sakit di bagian dada, karena ia tadi menghantam dada Kusir Hantu.
Dahinya dan kepalanya yang luka itu pasti terjadi akibat ia tadi menendang
kepala Kusir Hantu hingga Kusir Hantu membentur kayu kering itu. Wah, bisa-bisa
semakin parah serangan Darah Gunung yang kenai tubuh Kusir Hantu, semakin parah pula
luka yang diderita si Darah Gunung sendiri."
Rupanya kedua orang utusan Hulubalang Iblis itu belum dibekali pengetahuan
tentang ilmu 'Timbal Rasa'
yang menjadi salah satu kesaktian si Kusir Hantu, sehingga mereka perlakukan si
Kusir Hantu seenaknya saja, tanpa memikirkan akibat buruk bagi diri mereka
sendiri. Bahkan kali ini Lintah Saberang yang merasa hatinya menjadi makin
panas, ganti menyerang Kusir Hantu dengan mencabut goloknya dan berseru,
"Bangsat tengik kau, Tua Bangka! Kubedah perutmu sekarang juga!"
"Hei, Tua Bangka itu kakakku. Namaku si Kusir Hantu, jangan salah sebut, Kawan!
He, he, he, he...!"
"Heeeaaaah...!"
Lintah Saberang lebih ganas lagi. Ia lakukan lompatan bersalto dengan cepat,
tahu-tahu tubuhnya yang turun dari atas itu sudah berada di depan si Kusir
Hantu. Goloknya segera berkelebat tepat ketika kakinya menyentuh tanah. Wuuut,
craaass...! Menghadapi sabetan golok dari atas ke bawah, si Kusir Hantu hanya diam saja dan
cengar-cengir. Tak heran jika golok itu kenai sasaran; merobek dada hingga perut
si Kusir Hantu.
Tetapi tubuh Lintah Saberang sendiri yang terpental mundur dan suaranya memekik
dengan keras. "Aaaaakh...!"
Ia terhuyung-huyung dalam gerakan mundur dan
mata mendelik. Dadanya sendiri yang robek sampai sebatas bawah pusar. Keadaannya sungguh mengerikan.
Darah menyembur dari luka robekan itu dan isi perutnya pun mulai berhamburan
begitu ia tumbang dalam keadaan telentang.
Darah Gunung mendelik melihat si Lintah Saberang terkapar dalam keadaan sekarat,
ia segera dekati si Lintah Saberang bersama wajah memarnya yang kian menegang.
Tapi sebelum Darah Gunung mendekat, ternyata Lintah Saberang telah hembuskan
napas terakhir dan tubuhnya pun melemas, diam tak berkutik selamanya.
"Bangsat terkutuk kau, Setan Tua!" geram si Darah Gunung sambil pandangi Kusir
Hantu penuh dendam membara.
"Pulanglah dan kusarankan tak perlu menyusul temanmu itu, Darah Gunung. Biarkan
Pedang Sinar Emas 10 Candika Dewi Penyebar Maut I I I Dewi Penyebar Maut 1
^