Pencarian

Hulubalang Iblis 2

Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis Bagian 2


dia jalan-jalan ke neraka sendiri, kau tak perlu merasa iri!" ujar si Kusir
Hantu. "Pepatah mengatakan: 'Sambil menyelam minum tuak'. Artinya...."
Belum habis Kusir Hantu bicara, Darah Gunung telah lepaskan pukulan jurus
andalannya. Seberkas sinar merah melesat dari telapak tangannya dalam gerakan
seperti kilat menyambar. Clap, clap, clap...! Sinar merah itu menghantam leher
Kusir Hantu. Zeerrb...! Blaaarr...! Ledakan cukup keras terdengar menggema dan menggetarkan beberapa dedaunan.
Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget melihat Kusir Hantu dihantam sinar itu dan mendengar
ledakannya. Tetapi wajah kaget Pendekar Mabuk berubah bengong melompong dan geleng-geleng
kepala setelah melihat keadaan yang sebenarnya. Bukan kepala si Kusir Hantu yang
pecah, melainkan kepala si Darah Gunung sendiri yang pecah bagai habis dihantam
sinar berkekuatan tenaga dalam cukup dahsyat. Sedangkan si Kusir Hantu hanya
cengar-cengir pandangi tubuh Darah Gunung yang melayang-layang limbung tanpa
kepala, kemudian tumbang ke tanah tak bergerak-gerak lagi.
Pecahan kepalanya menyebar ke berbagai arah dan sukar dikenali.
"Ada orang tua bicara belum selesai kok sudah diputus. Akibatnya ya kesamber
geledek begitu. He, he, he...!"
Weeesss...! Tiba-tiba sekelebat bayangan muncul dan tahu-tahu sudah berada di
depan Kusir Hantu. Pendekar Mabuk memandang dengan dahi berkerut dan Kusir Hantu
hanya cengar-cengir bagai tak terkejut melihat kehadiran tokoh tersebut.
* * * 5 TOKOH yang baru datang itu masih tampak muda. Ia seorang gadis berusia sekitar
dua puluh satu tahun, berwajah cantik imut-imut, mengenakan baju hijau
muda, rambut dikonde dua dan berkulit kuning langsat.
Pendekar Mabuk pernah jumpa dengan gadis itu, sedangkan Kusir Hantu sudah tak
merasa asing lagi dengan gadis bermata bundar bening itu. Ia adalah cucu dari si
Tua Bangka yang bernama Cawan Pamujan.
"Cawan Pamujan, rupanya ada sesuatu yang penting sehingga kau menemuiku di sini,
Anak Manis?" sapa Kusir Hantu.
"Betul, Eyang. Aku disuruh menemui Eyang Kusir Hantu," jawab gadis itu dengan
nada manja. Wajah cantiknya kala itu sedang murung, dan kemurungan tersebut
menjadi pusat perhatian Suto Sinting.
"Siapa yang menyuruhmu menemuiku, Cawan Pamujan?"
"Siapa lagi kalau bukan saudaraku sendiri, alias cucumu juga, Eyang."
"Pematang Hati maksudmu?"
"Betul. Dia... dia sekarang dalam bahaya, Eyang!"
sambil Cawan Pamujan mendekati Kusir Hantu yang merupakan adik dari kakeknya
itu. "Bahaya apa yang kau maksud, Cawan Pamujan"!"
tanya Suto Sinting. Gadis itu semakin menampakkan kegelisahannya, memandang
Kusir Hantu dan Pendekar Mabuk berganti-gantian.
"Pematang Hati tertangkap oleh orang-orang Tebing Hitam. Waktu itu, aku dan
Pematang Hati sedang menuju ke Lembah Tirta untuk temui sahabat si Pematang
Hati. Tetapi di perjalanan kami disergap oleh orang-orang Tebing Hitam. Aku bisa
meloloskan diri,
tapi Pematang Hati tertangkap dan dibawa ke Tebing Hitam, Eyang! Pasti dia
disiksa oleh orang-orang Tebing Hitam, setidaknya diperkosa oleh para begundal
Tebing Hitam, Eyang! Oh, berbuatlah sesuatu untuk Pematang Hati, Eyang Kusir
Hantu! Pergilah ke sana dan bebaskan Pematang Hati!"
Cawan Pamujan mendesak dengan kecemasan dan kemanjaan sikapnya. Tapi Kusir Hantu
hanya diam saja, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Sesekali ia tampak
manggut-manggut dengan pandangan mata menatap tajam kepada Cawan Pamujan.
'Mengapa si Kusir Hantu tak merasa tegang atau cemas?" pikir Pendekar Mabuk.
"Mengapa ia tetap tenang-tenang saja" Apakah telinganya sudah budeg, hingga tak
mendengar cucunya dalam bahaya"! Aneh juga orang satu ini!"
Gadis berwajah imut-imut itu semakin merajuk dalam kemanjaannya. Ia menarik-
narik baju birunya Kusir Hantu yang tanpa lengan itu.
"Cepat pergi ke sana, Eyang! Lakukan sesuatu agar Pematang Hati bebas dari
tawanan Tebing Hitam!
Lakukan, Eyang! Jangan diam saja begitu!"
Tiba-tiba tangan Kusir Hantu berkelebat menyodok dada Cawan Pamujan dengan
telapak tangannya. Wuuut, beehk...!
"Uuhk...!" Cawan Pamujan terpental enam langkah dari tempatnya, ia terhempas
kuat hingga membentur pohon. Brruuk...! Lalu jatuh tersentak ke depan dan hampir
saja wajahnya beradu dengan tonjolan akar
pohon yang keras itu.
"Pak Tua, mengapa kau lakukan"! Bukankah dia cucu dari kakakmu sendiri"!" sergah
Pendekar Mabuk dengan rasa kurang setuju melihat sikap kasar Kusir Hantu.
Pak Tua itu hanya cengar-cengir tanpa suara.
Matanya memandangi Cawan Pamujan beberapa saat, kemudian ia melangkah dengan
kalem, seakan merasa tidak berbuat kesalahan apa pun. Pendekar Mabuk buru-buru
mendampinginya dengan maksud mencegah tindakan Kusir Hantu yang dapat menyerang
Cawan Pamujan lagi sewaktu-waktu.
Gadis itu telah berdiri dengan wajah dicekam rasa takut dan kesedihan. Dari
sudut mulutnya keluar darah kental akibat pukulan di dadanya tadi. Darah kental
itu hanya meleleh mendekati dagu dan tak dihapusnya.
"Mengapa Eyang sejahat itu padaku"! Apa salahku, Eyang"!. Aku hanya mengabarkan
bahaya yang dihadapi Pematang Hati...!" sambil si gadis mundur pelan-pelan
karena Kusir Hantu maju terus mendekatinya.
Tiba-tiba kaki Kusir Hantu berkelebat menendang wajah si gadis yang imut-imut
itu. Wuuut, deesss...!
"Aauh...!" pekik Cawan Pamujan sambil tubuhnya terlempar ke samping dan jatuh
berguling-guling. Kusir Hantu melangkah dengan tenang dekati gadis itu dan ingin
melepaskan tendangan lagi.
"Eyang, apa salahku sampai kau tega menghajarku, Eyang"!" ratap gadis itu sambil
menangis. Tepat ketika gadis itu bangkit, tangan si Kusir Hantu segera menghajar ke wajah
cantik itu. Beeet...! Tapi
pukulannya tertahan sebuah telapak tangan yang langsung mencekal genggaman si
Kusir Hantu. Teeeb...! Pendekar Mabuk menahan pukulan itu dengan meremas genggaman Kusir Hantu. Pemuda
tampan itu pun berkata setengah menghardik,
"Pak Tua, jangan lakukan lagi!"
"Minggir kau!" Kusir Hantu balas menghardik.
"Tidak, Pak Tua. Kau tak boleh menghajarnya tanpa alasan yang kuat!"
Tangan yang digenggam Suto itu berputar cepat dan dalam sekejap pergelangan
tangan Suto sudah ganti dicekal oleh Kusir Hantu. Dengan gerakan cepat pula,
kaki Kusir Hantu menyodok perut Suto, lalu menyentakkannya ke atas. Weess...!
Pendekar Mabuk melambung di udara melintas atas kepala Kusir Hantu. Tubuh si
pendekar gagah itu terlempar ke belakang Kusir Hantu dan jatuh tanpa bisa lagi
menjaga keseimbangan tubuhnya.
Brruuuusk...! Kusir Hantu cepat-cepat melepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke arah
Cawan Pamujan dengan kibasan tangan kiri bagai melakukan tamparan.
Wuuut...! Buuhk...!
"Aaah...!" Cawan Pamujan terpekik lagi dan jatuh terpelanting ke kiri.
Ketika Kusir Hantu ingin lepaskan pukulan yang diperkirakan dapat membahayakan
jiwa gadis cantik itu, Suto Sinting cepat-cepat melepaskan jurus 'Jari Guntur'-
nya dari arah belakang Kusir Hantu. Sebuah sentilan yang mempunyai kekuatan
bagai tendangan seekor kuda jantan telah dilakukan Suto dan kenai punggung si
Kusir Hantu. Teesss...! Bhuuhhk...!
"Heegh...! Kusir Hantu tersentak ke depan, lalu jatuh terguling-guling di tanah.
Ia cepat-cepat bangkit, namun menyeringai kesakitan sambil memegangi pinggang
beiakang. "Uuhk... kurang ajar kau, Nak!" geram si Kusir Hantu.
"Maaf, Pak Tua. Terpaksa kulakukan karena tindakanmu keterlaluan! Tak
sepantasnya gadis itu mendapat hajaran seberat itu, Pak Tua. Dan lagi, kau belum
jelaskan apa kesalahannya, sampai-sampai Cawan Pamujan sendiri tak tahu apa
sebabnya kau perlakukan dia seperti itu!"
Kusir Hantu tidak hiraukan kata-kata Suto Sinting, ia segera lakukan lompatan
menerjang Cawan Pamujan yang ingin berlari dan berlindung di belakang Suto
Sinting. Gerakan menerjang itu membuat Suto Sinting pun cepat-cepat lakukan
pencegahan, ia melompat lebih cepat lagi untuk gagalkan terjangan si Kusir
Hantu. Namun di luar dugaan, si Kusir Hantu ternyata telah mencabut senjatanya berupa
cambuk pendek yang sejak tadi terselip di pinggang kanan. Cambuk itu dilecutkan
pada saat ia berada di udara dan arah lecutannya ke tubuh Cawan Pamujan.
Ctaaarrr...! Cambuk yang panjangnya empat jengkal itu dapat
terulur lebih panjang tiga kali lipat dari aslinya.
Sabetannya yang dilakukan dengan tenaga ringan telah hasilkan lecutan kecil
namun memekakkan telinga.
Akibatnya, Pendekar Mabuk buru-buru pejamkan mata karena menahan rasa sakit di
telinganya, yang membuat kekuatannya berkurang, sehingga ketika bertabrakan
dengan tubuh Kusir Hantu, ia terpental sendiri dan jatuh berguling-guling. Kusir
Hantu mampu mendarat dengan kaki tegak, cambuknya yang menjadi panjang itu
segera dikibaskan kembali ke arah Cawan Pamujan yang terpelanting jatuh akibat
gelombang letupan cambuk yang pertama tadi.
Ctaaarrr...! Kali ini ujung cambuk itu memercikkan warna merah api. Cahaya merah api itu
menyambar tangan gadis itu.
Serta-merta gadis itu rentangkan telapak tangan dan hentakkan napas. Dari
telapak tangan itu keluar sinar biru muda yang segera menghantam cahaya merah
api tersebut. Claaap....!
Blegaaarrr...! Dentuman hebat terjadi seketika itu juga. Kusir Hantu terpental, Pendekar Mabuk
terlempar dan si Cawan Pamujan sendiri juga ikut terhempas ke semak-semak akibat
ledakan dahsyat tadi. Sementara itu beberapa pohon menjadi bergetar, dahan-dahan
patah dan daun pun berguguran. Tanah terasa berguncang serta bebatuan saling
bergetar, bahkan ada yang rompal sebagian.
"Gila! Tak kusangka si Cawan Pamujan mempunyai kekuatan tenaga dalam yang layak
diadu dengan cambuk saktinya si Kusir Hantu," pikir Suto sambil bergegas
untuk bangkit berdiri.
Kata hatinya lagi, "Kalau Cawan Pamujan sudah berani lakukan begitu, berarti
pertarungan mereka tak mungkin bisa dihindari lagi. Pasti Cawan Pamujan juga
akan unjuk gigi di depan adik dari kakeknya itu. Bahaya!
Cawan Pamujan bisa celaka, bahkan jika si Tua Bangka tahu, maka Kusir Hantu akan
bertarung dengan si Tua Bangka! Aku harus lakukan sesuatu demi keselamatan
mereka!" Pendekar Mabuk baru saja mau lakukan serangan yang akan melumpuhkan si Kusir
Hantu. Maksudnya agar Kusir Hantu hentikan tindakannya. Tetapi niatnya itu
tertahan oleh pandangan matanya yang tertuju pada Cawan Pamujan.
Gadis itu baru saja bangkit dari semak-semak, tiba-tiba tubuhnya bagaikan
keluarkan asap putih keruh.
Asap itu yang membuat tubuh Cawan Pamujan semakin lama semakin sulit ditembus
pandangan mata. Hanya saja, hembusan angin segera menerbangkan asap itu dan
membuatnya sirna.
Tetapi sosok yang ada di balik asap tersebut ternyata sudah berganti wujud.
Bukan Cawan Pamujan lagi yang di semak-semak itu, melainkan seraut wajah cantik
lain yang masih asing bagi Pendekar Mabuk.
"Gila! Dia berubah wajah"!" gumam Suto tanpa disadari dan gumaman itu sampai di
telinga Kusir Hantu.
Pak Tua tersebut segera mendekati Suto dengan mata tetap memandang ke arah sosok
baru itu. "Sudah kuduga, dia bukan Cawan Pamujan," kata
Kusir Hantu. "Karena itulah kudesak ia dengan serangan supaya cepat menampakkan
wujud aslinya."
Seorang gadis yang tadi menjelma sebagai Cawan Pamujan itu ternyata mempunyai
kecantikan yang sama-sama menarik namun berbeda sorot matanya. Gadis yang
berusia sekitar dua puluh empat tahun itu mempunyai sorot mata berkesan dingin.
Alisnya tebal dan bulu matanya lentik. Hidungnya bangir dan bibirnya mungil.
Gadis itu mengenakan pakaian jubah merah
berbunga-bunga kuning terbuat dari kain satin mengkilap. Sementara itu pakaian
bawahnya berupa kain sutera tipis membayang warna kuning yang mempunyai dua
belahan di kanan kiri sampai ke pangkal paha. Gadis bertubuh sekal dan berdada
montok namun tak terlalu besar itu mempunyai rambut yang disanggul kecil,
sisanya jatuh tergerai seperti ekor kuda. Ia memakai kalung rantai emas kecil
dengan bandul batuan ungu sebesar biji sawo. Di punggungnya tersandang pedang
bergagang hiasan ronce-ronce kuning halus seperti jambul seekor burung.
"Siapa dia sebenarnya, Pak Tua?" bisik Suto Sinting kepada si Kusir Hantu.
"Dia yang bernama: Paras Mendayu, murid kepercayaan Nyai Garang Sayu."
"Siapa Nyai Garang Sayu, Pak Tua?"
"Ibu dari Hulubalang Iblis!" jawab Kusir Hantu dengan tegas tanpa cengar-cengir.
Namun kejap berikutnya ia kembali cengar-cengir sambil maju dekati si Paras
Mendayu karena pada saat itu Paras Mendayu
sendiri maju empat langkah dan berhenti setelah dalam jarak sekitar empat tombak
dari Kusir Hantu.
"Kau memang jeli, Kusir Hantu! Kusangka kau akan terkecoh dengan permainanku
tadi!" ujar Paras Mendayu bernada tegas, bahkan punya kesan angkuh.
"Mata tuaku mungkin memang bisa kau kelabuhi dengan ilmu 'Salin Rupa', tapi
penciumanku tak bisa kau kelabuhi, Paras Mendayu! Aroma wangimu sama seperti
aroma wangi yang kucium saat aku mencari siapa orang yang menyerang Pendekar
Mabuk itu dengan jurus
'Jalasuma'. Ternyata kaulah orangnya, Paras Mendayu!"
"Cukup cerdas juga otak tuamu, Kusir Hantu!" ucap Paras Mendayu dengan mata
melirik ke arah Pendekar Mabuk. Saat itu, Suto Sinting segera maju dan
perdengarkan suaranya yang bernada tegas.
"Mengapa kau menyerangku, Nona"!"
"Karena Guru menyuruhku melumpuhkan kau juga.
Sebab Guru tahu kau akan memihak si Kusir Hantu!"
"Aku akan berada di pihak yang benar! Jika memang Kusir Hantu di pihak yang
salah, tak mungkin aku akan memihaknya!" ujar Suto Sinting mempertegas sikap.
Kusir Hantu segera ajukan tanya, "Gurumu memang keparat! Sama dengan anaknya; si
Hulubalang Iblis itu!
Mereka membuka permusuhan lebih dulu dan pihakku hanya mempertahankan hak untuk
tetap hidup. Pepatah mengatakan: 'Kuman di seberang lautan tampak, tapi gajah di
pelupuk mata... mustahil!' Maksudnya...."
"Persetan dengan kumanmu!" sergah Paras Mendayu.
"Kurasa yang perlu kau ketahui adalah nasib cucumu; si
Pematang Hati! Kalau kau tak datang menghadap guruku sebelum malam tiba, maka
cucumu itu akan menjadi bangkai pada esok harinya!"
"Keparat kau! Di mana...."
Weeeeess...! Paras Mendayu lekas sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melesat
menembus semak dan menerabas ilalang di seberangnya. Kusir Hantu berseru dengan
wajah tegang, "Hei...! Tunggu...!" ia segera bergegas mengejar Paras Mendayu. Tapi seruan
Pendekar Mabuk membuat gerakannya tertahan kembali.
"Pak Tua... jangan gegabah!"
Kusir Hantu hempaskan napas kemarahannya, ia menoleh ke belakang, memandangi
Pendekar Mabuk yang sedang melangkah mendekatinya. Sambil membuka bumbung
tuaknya karena ingin meminum tuak, Pendekar Mabuk berkata kepada si Kusir Hantu,
"Jangan buru-buru mengejarnya, karena aku curiga ia punya jebakan halus yang
sulit kita duga sebelumnya."
"Cucuku tertangkap dan sekarang berada di Tebing Hitam! Aku harus
membebaskannya, Nak!"
"Itu langkah yang benar," sahut Suto Sinting. "Tapi yang perlu kita selidiki
adalah kebenaran kabar itu sendiri. Jangan-jangan kau hanya akan dibuat bulan-
bulanan oleh kabar seperti itu."
Kusir Hantu kembali hembuskan napas panjang dan berpikir beberapa saat sambil
memandang ke arah kepergian si Paras Mendayu. Pendekar Mabuk menenggak tuaknya
tiga teguk, setelah itu ajukan tanya
kepada Kusir Hantu.


Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pak Tua, siapakah orang-orang Tebing Hitam?"
* * * 6 KUSIR HANTU ingin menjawab pertanyaan Suto, tapi niatnya tertahan oleh bunyi
ledakan yang menggelegar dari arah timur. Suto Sinting paling penasaran jika
mendengar suara ledakan seperti itu. Rasa ingin tahunya tumbuh dengan membara,
sehingga tanpa pamit pada si Kusir Hantu, ia melesat ke arah timur dengan
gerakan cepatnya. Kusir Hantu ikut-ikutan ingin tahu, maka ia pun menyusul
gerakan Suto Sinting.
Cambuknya disentakkan dan cambuk panjang itu menjadi pendek kembali. Kemudian
kedua kakinya naik sebatas dua jengkal. Dalam keadaan kedua telapak kaki tidak
menyentuh tanah, Kusir Hantu melesat menyusul Suto Sinting seperti naik kereta
berkuda. Cambuk itu dilecutkan bagai sedang memacu jalannya kuda.
Tar, tar, tar...! Weeess...! Kesaktian Kusir Hantu sungguh mencengangkan para
tokoh berilmu sedang.
Kecepatan geraknya hampir menyamai Suto Sinting.
Dengan mengurangi sedikit gerakan, akhirnya Suto Sinting tersusul dan sejajar
dengan Kusir Hantu.
Mereka berhenti di sebuah lembah berhutan renggang. Karena di sanalah sumber
suara ledakan tadi.
Mereka mengintai dari balik pepohonan, mata mereka
memandang pada suatu pertarungan yang telah membuat beberapa pohon sekitarnya
tumbang dan daun-daun berguguran.
Pertarungan itu dilakukan oleh seorang nenek berjubah hijau melawan seorang
wanita yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, berjubah kuning garis-garis
merah. Wanita cantik yang berkesan judes itu bersenjata tongkat berkepala bunga,
rambutnya disanggul sebagian dan sisanya meriap menutup punggung.
Wanita cantik itu tak lain adalah Nyai Sedap Malam, istri dari Ki Palang Renggo
yang pernah menolong Suto Sinting saat terkena racun berbahaya itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pemburu Darah Satria"). Sedangkan nenek berambut
putih dan berjubah hijau itu tak lain adalah Nyai Jurik Wetan, yang agaknya
sudah berhasil mengatasi lukanya dalam waktu tergolong cukup singkat.
"Jurik Wetan mulai bikin ulah lagi!" gumam Kusir Hantu.
"Kau mengenalnya, Pak Tua?"
Kusir Hantu sunggingkan senyum tipis. "Jurik Wetan bukan saja orang yang
kukenal, tapi lawan yang menjengkelkan. Dia termasuk orang yang nyawanya alot.
Susah matinya! Pepatah mengatakan: 'Menggunting dalam lipatan', artinya...
tukang jahit! Eh, artinya dia sering berlagak sebagai teman, tidak tahunya
justru lawan yang berbahaya."
"Kau juga kenal dengan lawannya itu, Pak Tua?"
"Hmmm... Sedap Malam" Oh, jelas aku kenal dia."
Kusir Hantu manggut-manggut sebentar, lalu teruskan kata sambil tetap
memperhatikan dua perempuan yang bertarung itu.
"Sedap Malam dulu anak buah si Cendana Sutera.
Tapi sejak terpikat dengan seorang lelaki yang menjadi sahabatku juga; si Palang
Renggo itu, ia keluar dari kekuasan Ratu Cendana Sutera dan masuk ke dalam
aliran putih. Pepatah mengatakan:...."
"Cukup, cukup...! Tak perlu pakai pepatah lagi,"
potong Suto Sinting, dan wajah Kusir Hantu tampak kecewa. Tapi Suto buru-buru
menyambungnya, "Karena kelihatannya pertarungan itu semakin seru dan Sedap Malam terdesak
sekali, Pak Tua."
"Hmmm... ya, tentu saja Sedap Malam terdesak, karena ilmunya tak sebanding
dengan si Jurik Wetan.
Ibarat murid melawan Guru, Sedap Malam pasti tumbang kalau tak ada yang
membantunya. Pepatah mengatakan: 'Ketimun menghampiri durian', itu artinya
ketimun nekat!"
Pendekar Mabuk sudah tidak hiraukan lagi kata-kata Kusir Hantu selanjutnya,
sebab ia menjadi cemas saat Nyai Sedap Malam terbanting oleh pukulan tangan kiri
Jurik Wetan yang keluarkan asap tipis itu. Pukulan tersebut kenai pinggang Nyai
Sedap Malam dan dalam sekejap tubuh sekal Nyai Sedap Malam terlempar lima tombak
jauhnya. Nyai Jurik Wetan agaknya benar-benar ingin bunuh Nyai Sedap Malam, sehingga ia
buru-buru melepaskan
jurus mautnya. Seberkas sinar berbentuk bintang warna merah membara melesat dari
punggung tangan kanannya yang disodokkan ke depan. Claaap...! Sinar merah
berbentuk bintang itu melesat ke arah dada Nyai Sedap Malam.
Melihat keadaan itu, Suto Sinting cepat-cepat lepaskan pukulan 'Guntur Perkasa'-
nya, berupa sinar hijau lurus yang mampu menembus sinar lawan.
Claaap...! Sinar hijau dari tangan Suto Sinting itu mempunyai kecepatan lebih
tinggi dari sinar merahnya Nyai Jurik Wetan. Maka ketika sinar merah berbentuk
bintang itu berada di pertengahan jarak antara si Jurik Wetan dengan Nyai Sedap
Malam, sinar hijau tersebut menghantam telak dan masih tersisa menembus hingga
mengenai sebatang pohon di kejauhan sana. Blaaarrr...!
Ledakan cukup keras terjadi dan menimbulkan hentakan gelombang yang menyebar ke
berbagai arah. Nyai Jurik Wetan terlempar akibat ledakan tersebut, sedangkan Nyai Sedap Malam
terseret angin ledakan sejauh empat tombak ke belakang.
"Boleh juga jurus mautmu itu, Nak," ujar Kusir Hantu sambil manggut-manggut.
"Kukenali jurus itu sebagai jurus mautnya si Bidadari Jalang."
"Beliau adalah bibi guruku, Pak Tua."
"Pantas, sebab Gila Tuak dan Bidadari Jalang termasuk satu perguruan, hanya beda
guru. Maksudnya, gurunya Gila Tuak dan gurunya Bidadari Jalang itu suami-istri.
Tapi mempunyai satu sumber kesaktian, yaitu kesaktian dari...."
Kusir Hantu tidak berani lanjutkan ucapannya. Suto Sinting memandangnya
sebentar, dan Kusir Hantu cengar-cengir serta berkata,
"Kalau kusebutkan guru mereka, kita akan disapu badai dahsyat, seolah-olah
kiamat akan tiba. Langit bisa runtuh dan tanah bisa terbelah."
"Terima kasih atas kesediaanmu untuk tidak menyebutkan eyang guruku, Pak Tua,"
ujar Suto Sinting sambil sunggingkan senyum tipis, lalu cepat-cepat memandang ke
arah pertarungan lagi.
Rupanya Nyai Jurik Wetan sudah bangkit kembali dan memandang ke arah Suto dan
Kusir Hantu. Dari tempatnya berdiri nenek agak bungkuk itu berseru lantang,
"Monyet kurap! Datang kemari jika ingin ikut ambil jatah kematianmu!"
Weeesss...! Kusir Hantu bergerak lebih dulu. Suto Sinting melihat si Kusir Hantu
melesat sambil lecutkan cambuk pendeknya, seakan menunggang kereta berkuda
semberani. Kecepatannya begitu tinggi hingga Nyai Jurik Wetan sempat terperanjat
dan lompat ke kiri untuk menghindari terjangan si Kusir Hantu.
Sementara Nyai Jurik Wetan ditanggapi oleh si Kusir Hantu, Suto Sinting cepat-
cepat bergerak ke arah Nyai Sedap Malam yang terluka dalam dan mengeluarkan
darah dari hidung serta telinganya.
"Nyai, minumlah tuak ini!" sambil Suto sodorkan bumbung tuaknya. Perempuan
berdada montok itu pun segera menenggak tuak, sehingga dalam waktu singkat
kesehatannya pulih kembali.
"Untung kau datang pada saat nyawaku belum terlepas dari raga, Suto."
"Aku bersama si Kusir Hantu, Nyai."
"Oh, itu lebih kebetulan lagi, karena aku ada keperluan dengannya!" sambil
berkata demikian, pandangan mata Nyai Sedap Malam terarah kepada Kusir Hantu
yang sedang berhadapan dengan si Jurik Wetan. Kedua tokoh tua itu berada dalam
jarak lima langkah.
Pendekar Mabuk bergegas mendekati Kusir Hantu.
Tetapi lengannya segera dicekal oleh Nyai Sedap Malam. Perempuan itu segera
berkata dalam suara rendah,
"Biarkan Kusir Hantu yang hadapi mantan kekasihnya itu."
"Oh, jadi... jadi si Jurik Wetan itu bekas kekasih Kusir Hantu"!" Suto Sinting
agak terkejut mendengar pernyataan tersebut. Nyai Sedap Malam hanya anggukkan
kepala dengan mulut terkatup bungkam.
"Dari tempat Suto berdiri, suara percakapan dua tokoh tua itu terdengar samar-
samar. Nyai Jurik Wetan lebih dulu mempertinggi suaranya karena hatinya semakin
dibakar kemarahan.
"Sudah kubilang berkali-kali, kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi,
Kusir Hantu! Kau sudah menjadi milik Rahayu, dan aku menjadi milik Bagastirta.
Sekalipun istrimu sudah modar dan suamiku sudah wafat, tapi kita tetap tidak
punya hubungan masa lalu.
Aku muak sekali padamu, Pujasera!"
"Siapa yang menginginkan dirimu, Nenek Peot"! Aku muncul di depanmu karena ingin
menegur tindakan iblismu yang dari dulu sampai sekarang masih belum ada redanya,
bahkan sikapmu semakin menyerupai biang setan!"
"Peduli apa kau dengan diriku, hah"!" bentak si Jurik Wetan. "Bahkan jika
sekarang aku bisa membunuhmu maka aku akan mendapat kedudukan tinggi di Tebing
Hitam!" "Aku pun akan merasa bangga jika bisa melenyapkan ragamu, Jurik Wetan!"
"Keparat! Kalau begitu kita beradu kesaktian sampai salah satu ada yang modar!"
"Jika itu kehendakmu, terpaksa aku harus tega mencabut nyawamu, Sayang. Pepatah
mengatakan: 'Besar pasak daripada gajah', artinya jangan sampai kau besar sesumbar dari
kenyataan! Buktikan kesaktianmu yang dari dulu selalu kau gembar-gemborkan di
depanku itu, Manis!"
"Tutup mulutmu, Monyet Bangkotan!
Heeeaaah...!"
Weers...! Nyai Jurik Wetan menerjang Kusir Hantu.
Terjangan begitu cepat sengaja tidak ditangkis dan dihindari oleh Kusir Hantu,
sebab ia mengandalkan ilmu
'Timbal Rasa'-nya. Kusir Hantu pun terpental bagaikan sehelai daun tua yang
terlempar begitu saja.
Tetapi Pendekar Mabuk yang berdiri di samping Nyai Sedap Malam menjadi cemas
sejak melihat Kusir Hantu
keluarkan darah dari hidungnya. Bahkan Pak. Tua itu terbatuk-batuk dan
mengeluarkan dahak darah dari mulutnya. Ketika ia berdiri, ia pun sempoyongan
bagai orang mabuk ingin tumbang.
"Celaka!" gumam Nyai Sedap Malam. "Kusir Hantu gagal pergunakan ilmu 'Timbal
Rasa'-nya!"
"Benarkah begitu, Nyai"!" tanya Suto Sinting semakin cemas.
"Kalau dia tidak gagal, maka dia tidak akan berdarah.
Agaknya si Jurik Wetan sudah menemukan rahasia kelemahan jurus 'Timbal Rasa'nya
si Kusir Hantu."
"Gawat!" gumam Suto Sinting dengan suara mendesah tegang.
Kusir Hantu sendiri membatin, "Celaka kalau begini!
Dia bisa gagalkan ilmu 'Timbal Rasa'-ku. Rupanya selama ini ia memang pelajari
jurus baru yang dapat untuk menembus lapisan gaibku! Aku harus hati-hati
melawannya!"
Nyai Jurik Wetan berseru, "Maju kau, Kecoa Peot!
Kulumpuhkan seluruh kesaktianmu hari ini juga!"
Kusir Hantu selesai menarik napas, pertanda selesai menyalurkan hawa saktinya
untuk menutup luka dalamnya. Tapi wajahnya masih tampak pucat dan gerakannya
sedikit limbung, ia berdiri dengan kaki sedikit merenggang dan cambuk sudah
sejak tadi terselip di pinggangnya. Nyai Jurik Wetan melangkah ke samping dalam
jalur lingkar, seakan ingin mengelilingi Kusir Hantu.
Tiba-tiba Kusir Hantu menjentikkan jarinya seperti
memanggil ayam. Klikkk...! Nyai Jurik Wetan terpelanting, bagai ada yang
menyampar kakinya.
Brruuk...! Nenek tua itu jatuh telentang. Namun dalam satu sentakan pinggul,
tubuhnya melayang dan berdiri tegak kembali. Wuuut, jleeg...!
"Rupanya kau membela si Sedap Malam karena kau ingin merebutnya dari pelukan si
Palang Renggo!" ujar Nyai Jurik Wetan.
"Jaga mulut kotormu itu, Perempuan Jalang! Kalau sampai Sedap Malam mendengarnya
dan dia kasmaran padaku, aku tak berani bertanggung jawab. Sebab kemampuanku
sudah tak ada, 'kerisku' sudah karatan!"
"Hik, hik, hik, hik...! Kalau begitu kau pantas dikirim ke neraka saja,
Pujasera! Hiaaah...!"
Tiba-tiba tangan kanan Nyai Jurik Wetan menyentak bagai menebarkan sesuatu ke
arah depan. Dari tangan itu melesat sinar merah berbentuk bintang, namun kali
ini berasap merah pula yang membuat sinar itu seperti berekor panjang. Claaap,
weeess...! Kusir Hantu cepat-cepat cabut cambuk pendeknya.
Cambuk dilecutkan dan menjadi panjang. Ujung cambuk itu berkelebat menyabet
sinar merah tersebut. Taaar...!
Jegaaarrr...! Ledakan terjadi dengan dahsyat, membuat alam sekeliling mereka menjadi seperti
kiamat. Bumi berguncang hebat dan pohon-pohon tumbang di sana-sini. Tanah
terbelah di beberapa tempat, bahkan ada yang longsor ke dalam dan membentuk
lubang besar. Keadaan alam yang mengerikan itu pun membuat
Suto Sinting dan Nyai Sedap Malam sama-sama terlempar. Tanpa sadar mereka saling
berpelukan dan berguling-guling di tanah. Bumbung tuak terlepas dari genggaman
Suto Sinting. Jika kaki Nyai Sedap Malam tidak mengait pada sebatang akar pohon
yang mencuat dari dalam tanah, mungkin mereka akan terguling-guling sampai di
tempat jauh. Begitu keadaan alam menjadi tenang kembali, Suto Sinting segera bangkit.
Pertama-tama yang dicari adalah bumbung tuaknya. Zlaaap...! Ia melesat menyambar
bumbung tuaknya. Teeeb...! Kini hatinya lega karena tangannya telah menggenggam
bumbung sakti tersebut.
Nyai Sedap Malam merasakan sakit pada
pinggangnya yang terantuk batu sebesar kepala bayi.
Tulang rusuknya terasa ngilu sekali, ia sempat berdiri sambil menyeringai
memegangi pinggang, namun matanya segera memandang ke arah Nyai Jurik Wetan dan
Kusir Hantu setelah lebih dulu ia melihat Pendekar Mabuk dalam keadaan sehat.
Gelombang ledakan itu menyebarkan udara panas dalam sekejap. Nyai Jurik Wetan
terlempar oleh hembusan angin panas tersebut, ia terpuruk di bawah pohon yang
tak sempat tumbang. Wajahnya menjadi merah kebiruan, rambutnya yang putih sempat
terbakar sebagian, kain jubahnya pun koyak-koyak nyaris seperti gelandangan.
Agaknya perempuan tua itu mengalami luka dalam yang cukup parah, sehingga dari
sudut matanya tampak beberapa tetes darah yang sedang meleleh ke pipi.
Kusir Hantu terkapar bersandar pada batang pohon yang tumbang. Tubuhnya tak
bergerak untuk beberapa saat. Cambuknya masih ada dalam genggaman yang
merenggang. Namun napasnya terlihat melemah dan suara erangannya terdengar
samar-samar sekali.
Pendekar Mabuk buru-buru menghampiri Pak Tua tersebut.
Zlaaap...! Dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah tiba di samping Kusir Hantu,
kemudian memberinya minum tuak. Berkat tuak sakti si Pendekar Mabuk itulah, maka
Kusir Hantu dapat terhindar dari bahaya luka dalam yang cukup parah, ia tampak
segar kembali setelah beberapa saat bangkit dan duduk di batang pohon yang
tumbang itu. Ia memperhatikan si Jurik Wetan yang sedang berusaha berdiri dengan
susah payah.' "Ilmunya memang bertambah, tapi lukanya juga bertambah," ujar Kusir Hantu.
"Apakah kau akan teruskan pertarungan ini, Pak Tua?"
"Ah, capek! Biar saja dia pergi. Nanti kalau ada waktu dilanjutkan lagi," jawab
Kusir Hantu dengan seenaknya saja.
Nyai Jurik Wetan mulai tegak setelah menarik napas beberapa kali dan mengerahkan
tenaga intinya untuk menutup luka. Tapi ia masih tampak menyimpan kecemasan.
Hanya saja ia paksakan diri untuk berseru lontarkan ancaman kepada mantan
kekasihnya. "Sembuhkah dulu lukamu, Kusir Hantu. Kelak aku datang sebagai el maut yang siap
mencabut nyawamu!"
Weeess...! Nyai Jurik Wetan melesat pergi tinggalkan tempat. Kusir Hantu hanya
geleng-geleng kepala dengan kesan meremehkan si Jurik Wetan. Ia dan Suto segera
menghampiri Nyai Sedap Malam yang kala itu ingin mengejar Nyai Jurik Wetan namun
segera tertahan oleh seruan Kusir Hantu,
"Tahan...!"
Nyai Sedap Malam memandang kehadiran Suto Sinting dan Kusir Hantu, ia terpaksa
membiarkan lawannya larikan diri walau hati masih merasa pertarungannya belum
selesai melawan si Jurik Wetan.
"Sedap Malam, mengapa kau sampai terlibat perkara dengan si Jurik Wetan?" tanya
Kusir Hantu sambil memandang ke arah kepergian si Jurik Wetan.
"Aku menghalangi orang Tebing Hitam yang mengejar-ngejar cucumu; si Pematang
Hati." "Pematang Hati..."! Cucuku dikejar-kejar orang Tebing Hitam"!" Kusir Hantu mulai
tampak gusar. "Tapi aku sempat melukai dua orang itu. Cucumu lari terus, sementara Jurik Wetan


Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncul memihak orang Tebing Hitam. Akhirnya, kedua orang Tebing Hitam itu
mengejar cucumu kembali dalam keadaan menderita luka dalam karena pukulanku,
sementara aku berhadapan dengan Jurik Wetan."
"Keparat!" geram Kusir Hantu menampakkan kemarahannya.
"Kurasa cucumu bisa loloskan diri. Aku yakin dua orang Tebing Hitam itu tak akan
mampu menangkap cucumu, sebab luka mereka akan membuat tenaganya
terkuras habis jika dipakai untuk mengejar Pematang Hati."
"Kalau begitu kabar tentang Pematang Hati tertangkap dan tertawan di Tebing
Hitam itu hanya sebuah tipu muslihat saja, Pak Tua," ujar Suto Sinting.
Kata-kata itu membuat Kusir Hantu merenung dan manggut-manggut. Sebentar
kemudian ia menatap Nyai Sedap Malam dan berkata,
"Terima kasih atas tindakanmu itu, Sedap Malam.
Hanya saja, aku ingin tahu ke mana larinya cucuku itu"
Barangkali aku perlu menyusulnya."
"Kulihat ia lari ke arah utara."
"Aku harus segera ke sana! Aku khawatir Pematang Hati temukan rintangan lain."
"Silakan saja kalau itu maumu, Kusir Hantu. Aku harus segera pulang, mengabarkan
kematian Resi Bisma, sahabat suamiku itu."
"Sampaikan salamku kepada Palang Renggo. Dan kau, Nak...," katanya kepada Suto
Sinting. "Apakah kau ingin ikut denganku?"
"Tidak. Aku harus ke Gunung Purwa untuk mengambil air Sendang Ketuban. Ada orang
yang perlu kutolong secepatnya, Pak Tua. Kapan-kapan kita bertemu lagi!"
"Kau ingin ke Gunung Purwa" Oh, kalau begitu satu arah denganku. Mengapa tidak
bersama-sama saja?"
"O, iya... benar juga. Aku memang harus menuju ke utara, tapi barangkali kita
nanti bersimpang jalan, Pak Tua."
"Kurasa tak ada masalah. Jika memang aku sudah bertemu dengan cucuku sebelum
kita berpisah, mungkin aku juga akan mengajak cucuku ke Gunung Purwa. Aku punya
sahabat di sana; Ratu Cumbutari. Akan kuperkenalkan cucuku kepadanya dan...."
"Aku memang mau bertemu dengan Ratu
Cumbutari!" potong Suto dengan semangat. Maka bergegaslah mereka pergi ke arah
utara, sementara Nyai Sedap Malam ke arah selatan.
* * * 7 MATAHARI mulai turun ke barat. Tetapi sang matahari masih bisa melihat gerakan
kecil yang lincah sedang menyusuri kaki bukit tak bernama. Langkah lincah itu
berlari menyelinap dari pohon ke pohon, menerabas semak ke semak, seakan ia
takut oleh bayangan yang mengejarnya.
Langkah kecil yang lincah itu adalah milik seorang gadis cantik berusia dua
puluh dua tahun, berbaju hijau garis-garis benang emas di depan. Baju tanpa
lengan itu berpundak kaku hingga kelihatan pundak sang gadis tegak dan rata.
Panjang baju itu hanya sampai di atas pusar, sehingga kulit perut dan pusarnya
yang berwarna kuning langsat itu terlihat mulus menggoda iman lelaki.
Dengan celananya yang ketat sebatas betis berwarna hijau bergaris emas di bagian
samping, gadis itu
bagaikan senantiasa memamerkan keelokan tubuhnya yang sekal dan berdada indah.
Ia mengenakan kalung tali hitam ketat dengan bandul perak berukir dengan hiasan
tiga batu merah kecil-kecil.
Sepasang antingnya pun berwarna merah delima kecil.
Tangan kanannya mengenakan gelang emas berukir bentuk ular melingkar. Sebuah
pedang terselip di pinggangnya yang bersabuk hitam berhias manik-manik putih
seperti intan. Sarung pedangnya terbuat dari perak ukir, demikian pula gagang
pedangnya. Gadis yang berpenampilan tengil namun penuh daya tarik itu tak lain adalah
Pematang Hati, cucu Kusir Hantu yang hanya tinggal mempunyai satu saudara, yaitu
seorang kakak bernama Mahligai Sukma. Gadis itu pernah nyaris mati terkena uap
racun milik Bunga Ranjang, namun berhasil diselamatkan Suto dengan tuak
saktinya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Ratu Cendana Sutera").
Pematang Hati menyangka masih dikejar dua orang Tebing Hitam, karenanya ia
berlari terus sambil sesekali menengok ke belakang, ia tidak tahu bahwa dua
orang Tebing Hitam itu telah berhenti dan tak sanggup lagi mengejarnya karena
luka yang mereka derita dari pukulan Nyai Sedap Malam membuat mereka semakin
lumpuh. Tenaga mereka terkuras habis, sampai akhirnya mereka tak mampu berdiri
dan menunggu ajal entah sampai kapan. Salah seorang nekat mengerahkan tenaga
untuk berguling-guling dan lompat ke jurang, bunuh diri.
Seorang lagi masih bertahan menunggu kemujuran,
terkapar di semak-semak dengan harapan akan datang bantuan dari pihak mana pun.
Rupanya harapan orang tersebut nyaris terkabul. Ada orang lain yang melintasi
tempat itu dan mendengar rintihan kecilnya. Orang yang melintasi semak-semak itu
tak lain adalah Paras Mendayu yang ingin kembali ke Tebing Hitam setelah
memancing Kusir Hantu dengan berita palsunya itu.
Paras Mendayu hentikan langkah dan perhatikan orang yang merintih di masa
sekarat itu. Ia terperanjat melihat orang tersebut adalah kawannya sendiri.
"Subogo..."!" sentak Paras Mendayu dengan kaget.
Orang yang di ambang sekarat itu ternyata bernama Subogo. Ia berusaha membuka
matanya sedikit dan segera mengenali wajah Paras Mendayu dalam bayang-bayang
keremangan pandang. Maka, Subogo segera berusaha untuk bicara walau hal itu
dilakukan dengan sangat susah payah.
"Tool... toool... tolong ak... aku...."
"Subogo, apa yang terjadi sebenarnya"!"
"Pe... Pematang Ha.... Hari, eh.... Hati, laaa... lari kke... ke utara. Aak...
aku terlu... ka..?"
Dalam hati Paras Mendayu berkata, "Pematang Hati lari ke utara"! Oh, kalau
begitu aku harus segera mengejar dan menangkapnya. Sebaiknya gadis itu kutangkap
dan kuserahkan kepada Guru tanpa mengikutsertakan Subogo. Dengan begitu aku akan
mendapat penghargaan tinggi dari Guru, karena berhasil menangkap gadis itu tanpa
bantuan Subogo atau yang
lain!" Saat itu, Subogo masih terus berucap kata tersendat-sendat dan lirih sekali.
"Tolong akk... akku.... Paras Menn.... Mendadak, eh.... Mendaaayu....
Tolonglah... aakku...."
"Maaf, Subogo. Keadaanmu sangat tidak memungkinkan untuk hidup lagi. Sebaiknya
kusempurnakan saja penderitaanmu!"
Claaap...! Seberkas sinar hijau dari telunjuk Paras Mendayu melesat menghantam
dada Subogo. "Heeekhh...!" Subogo mendelik dan mengejang dengan mulut ternganga ketika sinar
hijau itu menembus dadanya dan dada pun menjadi bolong hangus. Kejap berikutnya,
Subogo menghembuskan napas yang penghabisan. Paras Mendayu tersenyum lega
sesaat, lalu segera melesat ke arah utara dengan kecepatan tinggi.
Weeess...! Pematang Hati tak tahu kalau pengejarnya sudah berganti rupa. Karena itu ia
terkejut ketika tahu-tahu langkahnya harus dihentikan sebab terhadang oleh
kemunculan Paras Mendayu yang sudah dikenalnya sebagai orang Tebing Hitam.
Pematang Hati menjadi tegang, sebab ia pun tahu bahwa Paras Mendayu berilmu
lebih tinggi dari para pengejarnya. Gadis itu buru-buru mencabut pedangnya,
berusaha memberikan perlawanan walau hatinya sudah ciut lebih dulu.
Paras Mendayu hanya sunggingkan senyum ketika melihat Pematang Hati mencabut
pedang. Senyum sinis itu dibarengi oleh ucapan bernada ketus dan sangat tidak
bersahabat. "Untuk apa pedang itu" Menggorok batang lehermu sendiri"! Hmmm..., sebaiknya
buang saja pedangmu itu, Pematang Hati. Menurutlah apa kata perintahku, dan kau
kubawa ke Tebing Hitam tanpa luka sedikit pun. Itu lebih menguntungkan nyawamu,
ketimbang kau pergunakan pedang itu yang akan menggorok batang lehermu sendiri.
Buanglah pedang itu sekarang juga, Pematang Hati!"
"Majulah jika kau ingin melihat kehebatan pedangku ini, Paras Mendayu! Aku tak
sudi kau bawa ke Tebing Hitam. Lebih baik mati di sini ketimbang harus
berhadapan dengan orang-orangmu!"
"Dasar gadis bodoh!" geram Paras Mendayu, lalu ia hentakkan kakinya ke tanah.
Duuuhk...! Weeesss...!
Gelombang tenaga dalam keluar dari kakinya, menghempas ke depan, menghantam
tubuh Pematang Hati dengan kuat. Wuuut...!
Bruuus...! Pematang Hati terlempar dan jatuh ke semak-semak. Gelombang tenaga
dalam itu sangat kuat, hingga membuat pedang di tangan Pematang Hati terpental
jatuh dari pemiliknya.
Napas gadis itu bagaikan tersumbat gumpalan darah sehingga sulit dihela.
Pematang Hati mencoba untuk menarik napas dengan berat dan rasa sakit menghujam
bagian dadanya, ia mencoba pula untuk bangkit dan hadapi lawannya kembali.
Namun tiba-tiba Paras Mendayu menerjangnya dengan satu lompatan kilat.
Wuuuss...! Dua jari tangan
kanannya segera menotok bagian bawah leher Pematang Hati. Deess...!
Pematang Hati sibuk menangkis pukulan tangan kiri lawan tanpa hiraukan bahwa
tangan kanan lawan akan menotoknya.
Akhirnya Pematang Hati jatuh terkulai bagai tak bertulang dan tak berotot lagi.
Totokan itu membuatnya lumpuh dan lemas tanpa daya sedikit pun. Paras Mendayu
tertawa kegirangan, kemudian menyambar tubuh lunglai itu, memanggulnya di pundak
dan membawanya lari ke Tebing Hitam. Weeesss...!
Beberapa saat setelah Paras Mendayu berhasil membawa lari Pematang Hati, dua
sosok lelaki beda usia tiba di tempat itu; Kusir Hantu dan Suto Sinting.
Keduanya sama-sama berhenti setelah Kusir Hantu berseru,
"Tunggu! Ada sesuatu yang mencurigakan hatiku, Nak!"
"Apa maksudmu, Pak Tua?"
Kusir Hantu berbalik arah, ia melangkah dengan jalan kaki. Cambuknya yang
sepanjang perjalanan dilecutkan bagai mempercepat lajunya kuda gaib itu kini
dilipat dan diselipkan di pinggang. Pendekar Mabuk terpaksa ikut berbalik arah
dengan berjalan kaki biasa. Mereka berhenti setelah Kusir Hantu melihat sebilah
pedang bergagang perak berukir tergeletak di antara akar pohon.
"Ini pedang milik cucuku!" ujarnya setelah memungut pedang itu dan mengamatinya.
"Maksudmu, pedang itu milik Pematang Hati?"
"Tak salah lagi. Aku sangat mengenali senjata cucu-cucuku. Pepatah mengatakan:
'Air beriak tanda tak sehat.'"
"Apa artinya?"
"Entahlah. Itu tak penting. Yang terpenting adalah di mana si Manis Pematang
Hati, cucuku itu"!"
Mereka memandang sekeliling dalam berapa saat, kemudian Pendekar Mabuk kemukakan
gagasannya yang tumbuh dari kecemasan hati.
"Jangan-jangan ia tertangkap orang Tebing Hitam yang mengejarnya itu?"
"Hmmm...," Kusir Hantu berpikir sejenak. Kemudian segera berkata, "Rasa-rasanya
pengejarnya itu tak akan mampu menangkap cucuku. Sedap Malam tak pernah meleset
dalam ucapannya. Pengejar cucuku itu pasti benar-benar kehabisan tenaga karena
menderita pukulan Sedap Malam. Tapi...."
"Pak Tua, tiba-tiba firasatku mengatakan, cucumu dalam bahaya!"
"Firasatku pun demikian, Nak. Kita beda keturunan tapi mengapa satu firasat,
ya"! Padahal pepatah mengatakan: 'Rambut boleh sama hitam tapi bisul belum tentu
sama besarnya'. Hmm... sebaiknya ular pedang ini yang menunjukkan di mana
Pematang Hati berada."
Pendekar Mabuk tak jelas maksud Kusir Hantu soal pedang itu. Karenanya ia
berkerut dahi dan ingin ajukan tanya. Namun niatnya itu tertunda karena suatu
hal yang dilakukan oleh si Kusir Hantu.
Pedang itu disangga dengan tangan kiri, kemudian
telapak tangan kanan Kusir Hantu terbuka dan bergetar-getar di atas pedang
tersebut. Claaap...! Ada sinar biru kecil sekali sebesar merica melesat dari
telapak tangan yang bergetar itu. Sinar biru tersebut menembus gagang pedang.
Blees...! Gagang pedang pun menjadi menyala biru pijar. Kemudian tangan yang
menyangga melepaskannya. Pedang tersebut mengambang di udara.
Kusir Hantu segera berkata,
"Gaibku, bawalah kami ke tempat cucuku berada sekarang juga! Jalan!"
Weesss...! Pedang itu pun melesat terbang ke arah tertentu. Kusir Hantu segera
keluarkan cambuknya dan melecutkannya. Taaar...! Kedua kakinya naik, tak
berpijak tanah, lalu tubuhnya melesat dalam keadaan tetap berdiri memegangi
cambuk bagaikan menunggang kereta berkuda gaib.
"Ikuti pedang itu, Nak!" serunya sebelum melesat pergi. Pendekar Mabuk sempat
tertegun sesaat karena terheran-heran melihat kesaktian si Kusir Hantu. Namun
segera sadar dirinya akan tertinggal, maka Pendekar Mabuk pun cepat-cepat
gunakan jurus 'Gerak Siluman'-
nya untuk mengikuti perjalanan pedang tersebut.
Zlaaap...! Pedang Pematang Hati menjadi pemandu arah.
Gerakan terbangnya semakin cepat, sehingga Kusir Hantu dan Pendekar Mabuk pun
mempercepat pelariannya. Mereka melintasi punggung bukit tak bernama, menuruni lereng dan
menyusuri tepian hutan, sesuai arah yang dituju pedang terbang itu.
"Dugaanmu benar," seru Kusir Hantu kepada Suto Sinting yang sejajar dengannya.
"Kita dibawa ke arah Tebing Hitam! Sebentar lagi kita akan memasuki perbatasan
wilayah Tebing Hitam!"
"Kau belum jelaskan siapa orang-orang Tebing Hitam itu, Pak Tua!"
"Nanti akan kujelaskan!"
"Sekarang saja, Pak Tua!" seru Suto. Mereka memang terpaksa berseru untuk
imbangi deru angin yang mereka tembus dalam kecepatan tinggi itu.
"Baiklah kalau kau tak sabar, Nak. Tebing Hitam adalah wilayah kekuasaan Nyai
Garang Sayu. Dia adalah ibu dari si Hulubalang Iblis. Di samping itu, Nyai
Garang Sayu adalah kakak dari si Jurik Setan, bekas kekasihku yang murtad dari
cintanya. Pepatah mengatakan: 'Asam di gunung garam di dapur, bertemu dalam
pertarungan'. Begitulah cinta kami kala itu. Jurik Wetan terpikat oleh lawannya
sendiri; Bagastirta. Ia melupakan diriku dan minggat bersama Bagastirta. Aku tak
berhasil mencarinya. Ketika kutemukan, mereka sudah kawin dan beranak satu. Aku
terpaksa...."
"Yang kutanyakan tentang Tebing Hitam saja, Pak Tua!" potong Suto Sinting dengan
menahan kedongkolan.
"O, iya! Maaf, kupikir kau butuh penjelasan tentang percintaan masa mudaku,"
Kusir Hantu nyengir malu.
"Lalu apa yang dilakukan Hulubalang Iblis dan ibunya di Tebing Hitam itu?"
"Menghimpun suatu kekuatan untuk kuasai rimba
persilatan! Nyai Garang Sayu menurunkan ilmu kepada para pengikutnya. Mereka
disumpah untuk mati demi Tebing Hitam. Pada umumnya yang diturunkan oleh Nyai
Garang Sayu adalah ilmu-ilmu hitam dan kekuatan-kekuatan gaib yang berbahaya.
Dan... oh, ya...
kusarankan padamu, Nak... jika suatu saat kau bertemu dengan Nyai Garang Sayu
lebih baik pulang atau bersembunyi saja."
"Apa sebabnya?" sergah Suto Sinting.
"Sebab...," kata-kata Kusir Hantu terhenti, karena pedang terbang itu ternyata
telah membawa mereka mendekati sesosok bayangan yang berlari dalam keadaan
memanggul seseorang. Kusir Hantu mengenali siapa yang dipanggul dan siapa yang
memanggul. "Hei, lihat... itu si Paras Mendayu. Dan yang dipanggul, di pundaknya itu tak
lain adalah cucuku; si Manis Pematang Hati!"
"Pandanganmu benar, Pak Tua! Aku akan memotong jalan dan menghadangnya dari
samping kanan!"
Zlaaap...! Suto Sinting mempertinggi tenaganya hingga kecepatan larinya pun
lebih tinggi pula. Ia sengaja menyimpang jalan, memutari lembah untuk menghadang
Paras Mendayu. Mereka tak sadar bahwa saat itu mereka sudah berada di wilayah
Tebing Hitam. Wuuut, zeeeb...!
Pendekar Mabuk tiba di depan langkah Paras Mendayu. Gadis itu hentikan langkah
dengan wajah tegang begitu melihat pemuda tampan yang pernah diserangnya dengan
jurus 'Jalasuma' telah berdiri di
depan langkahnya.
Paras Mendayu berpikir cepat, lalu membelok arah untuk hindari pertemuan dengan
pemuda tampan bermata bening itu. Tetapi ia tak tahu bahwa Kusir Hantu sedang
mendekati dari arah belakangnya. Cambuk si Kusir Hantu disentakkan dan berubah
menjadi panjang, lalu cambuk itu dilecutkan dari samping.
Wuuut, taaar...! Ujung cambuk menjerat kaki kiri Paras Mendayu. Seert...!
Brrruk...! Paras Mendayu jatuh tersungkur begitu cambuk ditarik dalam satu
sentakan kuat oleh si Kusir Hantu. Tubuh yang dipanggulnya terlempar ke depan
dan jatuh terkulai tanpa gerakan.
Zlaaap...! Weesss...!
Suto Sinting segera menyambar tubuh Pematang Hati, sementara Kusir Hantu segera
menendang gagang pedang yang menyala biru pijar itu. Dees...! Pedang meluncur
melebihi kecepatan anak panah. Weess...!


Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paras Mendayu segera bangkit setelah menyadari ia terkurung bahaya. Namun baru
saja separuh berdiri, tiba-tiba punggungnya dihujam pedang terbang tanpa ampun
lagi. Jruuub...! "Aaaakh...!"
Asap mengepul dari luka hujaman pedang. Luka itu menjadi hitam hangus tanpa
darah setetes pun. Bukan keampuhan pedang yang membuatnya begitu, melainkan
karena kekuatan tenaga dalam si Kusir Hantu yang menjadikan pedang bagai
berkekuatan bakar sangat
tinggi. Rupanya Paras Mendayu bukan gadis yang mudah menyerah, ia kerahkan tenaganya
untuk tetap berdiri walau dengan wajah memerah menahan penderitaan.
Namun sebelum ia berbalik ke arah Kusir Hantu, Pak Tua itu lebih dulu bergerak
menyambar pedang tersebut.
Weess...! Sleeb...! Pedang itu dicabut dari punggung Paras Mendayu. Luka bakar
tampak bergerak melebar sedikit demi sedikit.
Tubuh Paras Mendayu bergetar, ia ingin ucapkan kata namun ternyata telah
kehilangan kemampuannya untuk bicara.
"Kau tak akan selamat, Paras Mendayu! Itulah akibatnya jika kau mengganggu
cucuku!" ujar Kusir Hantu dengan pandangan mata yang tajam.
Agaknya dalam benak Paras Mendayu mempunyai pertimbangan tersendiri, ia masih
bisa gunakan otaknya untuk memikirkan langkah yang terbaik. Sebab itulah ia
segera memanfaatkan tenaganya yang penghabisan untuk melarikan diri meninggalkan
mereka. Weess...!
"Benar-benar kuat gadis itu!" gumam Kusir Hantu sambil gelengkan kepala pandangi
pelarian Paras Mendayu.
Rupanya sejak tadi Suto Sinting telah ambil tindakan cepat, ia tahu bahwa
Pematang Hati tertotok jalan darahnya, dan totokan itu pun segera dilepaskan
dengan sebuah sentilan pelan di tengkuk si gadis. Pematang Hati sadar, lalu
terkejut melihat Suto Sinting sudah ada di depan hidungnya.
"Sutooo..."!"
Tangan si gadis ingin merangkul, namun Suto Sinting menangkapnya dan berkata
dalam senyum, "Kau kehilangan kekuatan, Pematang Hati. Minumlah tuakku untuk
pulihkan kekuatanmu!"
Maka ketika Paras Mendayu melarikan diri, Pematang Hati segera berseru kepada
kakeknya, "Kakek, dia melarikan diri!" sambil bergegas hampiri sang kakek.
"Biar saja. Dia pasti mengadu kepada Nyai Garang Sayu. Biarkan saja. Cucuku!
Biar Nyai Garang Sayu tahu bahwa kita bukan orang lemah yang mudah ditundukkan!"
"Bagaimana jika Nyai Garang Sayu mengamuk dan menuntut balas pada kita"!"
"Mengapa takut, Cucuku"! Pendekar Mabuk ada di pihak kita!" sambil Kusir Hantu
melirik Suto. Kusir Hantu tambahkan kata, "Bagaimanapun juga.
Pendekar Mabuk pasti akan melindungimu, sebab ia menaruh hati padamu secara
diam-diam. Bukankah begitu, Nak?"
Suto Sinting sempat gelagapan dan tak mengerti harus berkata apa kepada Kusir
Hantu dan cucunya yang tengil itu.
* * * 8 SEBETULNYA Suto Sinting ingin bergegas ke Gunung Purwa untuk mengambil air
Sendang Ketuban.
Tetapi perhatiannya lebih tertarik pada percakapan Kusir Hantu dan cucunya,
hingga langkah Suto menjadi tertahan untuk sementara waktu.
"Aku pergi bukan mencari Pendekar Mabuk, Kek.
Aku mencari adikku; Mahligai Sukma. Sebab kudengar kabar dari seorang teman,
Mahligai Sukma sedang diburu-buru oleh orang-orangnya Hulubalang Iblis.
Kudengar Mahligai lari ke arah timur, dan aku mengejarnya. Tapi tahu-tahu dua
orang Tebing Hitam menghadangku. Mereka juga ingin membunuhku, Kek."
"Rupanya orang Tebing Hitam menghendaki kematian kita," gumam si Kusir Hantu
sambil merenung serius. "Ini berarti kita harus berhadapan dengan Nyai Garang
Sayu. Kita akan berperang melawan kekuatan sebesar itu. Kita hanya bertiga,
dan... oh, ya... lalu kau tak berhasil bertemu dengan adikmu?"
"Tidak, Kek! Aku khawatir Mahligai Sukma telah lebih dulu tertangkap dan entah
bagaimana nasibnya di tangan Nyai Garang Sayu!" wajah Pematang Hati tampak
membendung duka.
"Apa yang membuat mereka memusuhi keluargamu, Pak Tua"!" tanya Suto Sinting yang
merasa iba hati.
"Aku sendiri tak tahu. Yang jelas, apa pun alasan mereka kami harus menghadapi
kekuatan mereka. Jika kau ingin membantuku, aku sangat berterima kasih. Tapi
jika tidak, aku pun akan berterima kasih karena kau telah
membantu melepaskan Pematang Hati dari ancaman maut tadi."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam, berpikir sejenak sambil memandang
matahari yang kian condong ke barat. Kemudian berkata kepada Kusir Hantu dengan
suara tegas. "Aku harus mencari air Sendang Ketuban di negeri Wilwatikta. Ada seseorang yang
perlu kuselamatkan nyawanya dengan air itu. Bagaimana kalau masalahmu ini kita
tangani setelah aku pulang dari Wilwatikta?"
"Aku tak ingin kehilangan cucuku yang satu itu; Mahligai Sukma! Jika kau memang
punya kepentingan lain, aku dan Pematang Hati akan menyerang Tebing Hitam hanya
berdua saja! Pepatah mengatakan: 'Rawe-rawe rantas malang-malang pulung',
artinya maju terus pantang mundur, kecuali kepepet!"
Suto tersenyum sumbang karena hatinya menyimpan kegelisahan. Kusir Hantu
bertekad berangkat saat itu juga ke Tebing Hitam untuk bebaskan Mahligai Sukma,
adik Pematang Hati. Saat itu pula Suto Sinting diliputi oleh kebimbangan yang
meresahkan, antara ikut ke Tebing Hitam atau pergi ke Wilwatikta yang ada di
Gunung Purwa. Namun akhirnya mereka tak jadi bergerak karena melihat kedatangan seberkas
cahaya yang menyerupai bintang jatuh dari langit. Gumpalan cahaya itu berwarna
merah berasap hingga mirip ekor memanjang. Cahaya tersebut jatuh di depan mereka
dalam jarak delapan langkah.
Buuusss...! Asap tebal mengepul tinggi, lalu lenyap disapu angin sore hari. Lenyapnya asap
itu membuat mata mereka dapat melihat seraut wajah cantik berdiri dengan mata
sayu dan bibir mekar menggoda gairah.
Seorang perempuan berdiri di depan mereka, mengenakan pakaian tipis tembus
pandang warna abu-abu, rambutnya lebat terurai lepas, mengenakan mahkota kecil
berhias batuan permata putih. Cahaya matahari yang datang dari arah belakangnya
membuat bayangan tubuhnya yang elok tampak samar-samar dalam bungkusan kain abu-
abu tipis itu. Dadanya pun terlihat menonjol ke depan dengan kencang dan padat.
Bahkan perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun itu tampak tidak
mengenakan pelapis apa pun kecuali hanya jubah abu-abu dengan dua kancing di
bagian perutnya.
"Siapa dia, Pak Tua?" bisik Suto Sinting.
"Dia yang tadi namanya kusebut-sebut: Nyai Garang Sayu."
"Luar biasa sekali!" gumam Suto Sinting bagai tak sadar, matanya sukar berkedip.
"Itulah sebabnya tadi kusarankan kau pergi saja jika bertemu dengannya, sebab
dia punya kecantikan yang memancarkan daya pikat luar biasa bagi lelaki muda
sepertimu. Dan ia paling gemar menggaet hati pemuda tampan bertubuh kekar
sepertimu."
"Taa... tapi dia adalah Ibu dari Hulubalang Iblis"
Betulkah begitu, Pak Tua"!"
"Benar. Tentunya kau heran melihatnya masih
semuda itu. Ketahuilah, ia berusia lebih tua dariku. Ia sebaya dengan kakakku;
si Tua Bangka itu."
"Tutup matamu, Suto!" ujar Pematang Hati ketika Nyai Garang Sayu mendekati
mereka. Suto hanya berkata, "Aku lupa cara menutup mata!"
"Hmmm, dasar mata keranjang!" geram Pematang Hati dengan mencibir ketus.
Terdengar suara Nyai Garang Sayu yang bernada serak-serak menggairahkan itu.
"Kau benar-benar memaksaku turun tangan, Kusir Hantu!"
Kusir Hantu tetap tenang dan sunggingkan senyum yang mirip seringai kuda.
"Kau mengawali permusuhan ini, Garang Sayu!
Orang-orangmu memburu cucu-cucuku, dan itu berarti kau menantangku, Garang
Sayu." "Memang aku ingin membantaimu dan kedua cucumu, karena kalian telah lakukan
penghinaan dengan menolak lamaran putraku; si Hulubalang Iblis!
Penolakan itu adalah penghinaan besar. Lebih besar lagi setelah putraku kau
lukai. Kabarnya si Pendekar Mabuk pun ikut andil dalam penghinaan itu! Maka si
Pendekar Mabuk pun harus ikut lenyap dari permukaan bumi!"
Suto Sinting menyahut, "Aku bersedia menghadapi murkamu, Nyai!"
"Oh, jadi kau yang berjuluk Pendekar Mabuk?"
"Benar!" jawab Suto Sinting tegas sambil melangkah maju.
"Sayang sekali," gumam Nyai Garang Sayu dengan
nada dingin. "Mengapa harus kau yang menjadi Pendekar Mabuk, padahal gairahku
sudah mulai terbakar begitu melihat ketampanan dan kegagahanmu!"
"Dasar perempuan jalang!" seru Pematang Hati dengan lantang.
Nyai Garang Sayu sunggingkan senyum sinis sedingin es. Tapi senyum itu segera
lenyap karena kemunculan sekelebat bayangan yang segera berdiri di sampingnya.
Bayangan itu ternyata adalah kehadiran seorang lelaki bertubuh tinggi-besar,
berotot kekar, berkepala gundul licin dan berwajah menyeramkan. Dia adalah putra
kesayangan Nyai Garang Sayu yang bernama: Hulubalang Iblis.
"Ibu, biar aku yang menghadapinya! Jangan Ibu turun tangan sendiri."
Kusir Hantu sempat menyahut, "Benar. Ibumu jangan boleh turun tangan, nanti
tangannya sampai ke tanah menjadi seperti orang hutan!"
"Tutup bacotmu, Kusir Penyu!" bentak Hulubalang Iblis.
"Putraku," ujar Nyai Garang Sayu dengan kalem.
"Mundurlah, biar Ibu selesaikan penghinaan mereka dengan cara Ibu sendiri. Kau
akan menyaksikan seperti apa kematian orang-orang yang menolak lamaranmu, Nak!"
Pendekar Mabuk segera merenggangkan jarak dari Kusir Hantu, karena ia yakin
harus bertindak cepat sebelum perempuan cantik memikat hati itu lepaskan
serangan mautnya. Tetapi tiba-tiba mereka dibuat heran
oleh kemunculan suara aneh dari arah semak-semak di balik pohon.
Tik, tok, tik, tok, tik, tok...
Pendekar Mabuk segera ingat suara itu dan segera berkata dalam gumam, "Si Bocah
Kolok..."!"
Sosok kurus berambut tipis itu muncul dari semak-semak. Si Bocah Kolok memainkan
rantai berbandul dua bola putih.
"Mau apa datang kemari, Keparat Tua!" tegur Nyai Garang Sayu dengan ketus
sekali, menandaskan rasa permusuhannya dengan si Bocah Kolok.
"Wiio dengar apa yang kalian bicarakan! Wiio ingat sekarang, dari kemarin Wiio
mau jumpa Kusir Hantu, tapi selalu nyasar karena lupa arah. Heh, heh, heh,
heh...!" Tik, tok, tik, tok, tik, tok...!
Mainan tetap berbunyi karena bergerak naik-turun.
Tidak semua orang bisa begitu, membutuhkan ketepatan gerak dan kecepatan
tersendiri. Belum lagi jika harus disaluri tenaga dalam, tentu membutuhkan
perhatian khusus untuk hal itu. Tapi si Bocah Kolok dapat memainkannya sambil
bicara seenaknya.
"Wiio dapat kabar, ada seorang penguasa suatu wilayah yang ingin bantai sebuah
keluarga karena lamaran anaknya ditolak. Aduh, aduh... jahat sekali penguasa
itu, ya?" ujar si Bocah Kolok kepada Kusir Hantu dengan nada seperti anak kecil.
Hulubalang Iblis menggeram penuh luapan amarah.
"Matikan saja dia, Ibu!"
"Tenang, Putraku! Kalau dia memihak Kusir Hantu, terpaksa Ibu bereskan
nyawanya!"
Bocah Kolok mendengar ucapan itu dan menyahut dengan cengar-cengir, "Heh, heh,
heh, heh.... Kusir Hantu, kau dengar bukan, nyawa Wiio mau dikemasi oleh Garang
Sayu. Dia pikir mudah mencabut nyawa tua Wiio ini, heh, heh, heh...!"
Nyai Garang Sayu membentak, "Wiio..!"
"Eh, kaget, kaget, kaget...!" Wiio tersentak kaget dan mengusap dadanya. "Jangan
bentak-bentak begitu, Garang Sayu. Wiio kaget!"
"Persetan dengan lagak bocahmu! Kau telah menantangku secara tak langsung! Kau
kuanggap memihak kepada si Kusir Hantu!"
"Kalau Wiio memihak si Kusir Hantu itu hal yang wajar, sebab Kusir Hantu sahabat
Wiio, Nyai galak!"
jawab Bocah Kolok sambil tetap memainkan tiktok-tiktoknya. "Wiio memang mau
bertandang ke tempat Kusir Hantu, eeh... malah ketemu Pendekar Mabuk yang tarung
dengan adikmu: Jurik Wetan! Aku baru ingat bahwa kaulah orang yang mempunyai
racun 'Kembang Mayat'. Tapi aku pun baru ingat kalau aku mempunyai jurus penolak
racun seperti itu yang bernama jurus
'Napas Kayangan'. Ternyata jurus 'Napas Kayangan'
masih ampuh dan mampu menyelamatkan segenggam nyawa bocah cantik!"
"Banyak cakap kau ini, heaaah...!" Nyai Garang Sayu berwajah ganas, ia kelebat
kan tangannya dan serbuk-serbuk putih pun menyebar ke arah Bocah Kolok yang
berdiri di dekat Kusir Hantu serta Pematang Hati.
Melihat sebaran serbuk putih seperti tepung itu, Kusir Hantu undurkan diri
sambil menarik lengan cucunya dan berseru,
"Awas racun 'Ganda Maut', Wiio!"
"Apa kehebatannya racun itu, Pujasera"!"
Bocah Kolok seperti anak dungu, ia tetap bermain tiktok-tiktok tanpa hiraukan
serbuk yang menyebar ke arahnya. Namun tiba-tiba serbuk-serbuk itu saling
meletup dan memercikkan bunga api yang merimbun, indah dipandang mata namun
berbahaya jika dihirup manusia.
Tar, tratar, tar, tar, trrrrattar...!
"Biadab! Dia lumpuhkan racun itu, Ibu!" seru Hulubalang Iblis.
Nyai Garang Sayu gerakkan kedua tangannya ke sana-sini, memainkan jurus maut
bertenaga dalam cukup tinggi. Dari gerakan tangannya itu keluar uap salju yang
menyebar ke sekeliling dan dapat membekukan darah lawan.
Bocah Kolok semakin cepat memainkan tiktok-tiktoknya. Uap salju itu bagai tak
bisa bergerak ke mana-mana. Nyai Garang Sayu kerahkan tenaga dengan dua tangan
bagai mendorong ke depan. Bocah Kolok makin percepat mainannya.
Tik, tok, tik, tik, tok, tok, tok, tok...!
"Hiaaaahhh...!" Nyai Garang Sayu menguras tenaga untuk mendorong uap salju yang
mulai membeku di udara tapi tidak dapat bergerak ke mana-mana. Tubuh
perempuan cantik itu bergetar, tanah pun bergetar dan pohon-pohon juga bergetar.
Daun-daun rontok karena getaran tubuh Nyai Garang Sayu.
Tooook, tooook, tooook, tooook...!
Semakin tinggi suara mainan si Bocah Kolok, semakin beku uap yang keluar dari
pori-pori Nyai Garang Sayu. Si Bocah Kolok sendiri hanya cengar-cengir bagai
anak kecil kegirangan melihat kemampuannya bermain dengan cepat. Kusir Hantu dan
Pematang Hati hanya pandangi keadaan itu dengan tegang, namun diam-diam Kusir
Hantu telah siapkan pukulan mautnya untuk sewaktu-waktu hadapi bahaya.
Sedangkan Pendekar Mabuk hanya diam pandangi Hulubalang Iblis yang tampak gusar
dan ingin lepaskan pukulan mautnya pula.
"Hhheeeaahhh...!" Nyai Garang Sayu berteriak keras sebagai tanda telah kerahkan
seluruh tenaganya untuk mendorong uap salju. Tapi uap salju semakin sukar
bergerak dan kian membeku karena bunyi tiktok-tiktok kian keras dan cepat.
Rupanya dari suara itulah si Bocah Kolok salurkan hawa saktinya untuk menahan
kekuatan sakti lawannya.
Uap salju itu akhirnya membeku dan membungkus tubuh Nyai Garang Sayu. Tubuh
perempuan itu tak bisa bergerak sedikit pun. Tapi suara erangannya masih
terdengar samar-samar. Akhirnya si Bocah Kolok melemparkan mainannya itu dengan
gerakan cepat. Weees...! Pletak...! Buuuummmm...!
Gumpalan es yang membungkus Nyai Garang Sayu
meledak dengan dahsyat, menyebar ke berbadai arah.
Bersamaan dengan pecahnya gumpalan es itu, tubuh Nyai Garang Sayu pun lenyap
seketika. Tapi suaranya masih terdengar menggema panjang lalu menghilang bagai
ditelan bumi. "Aaaa...!"
Menyadari ibunya telah hancur bersama serpihan es itu, Hulubalang Iblis menjadi
sangat murka. "Bangsaaat...!" ia berteriak sekuat tenaga, sambil melompat menerjang Bocah
Kolok saat Bocah Kolok sedang menangkap mainannya yang memutar kembali ke tempat
semula setelah menghantam gumpalan es tadi.
Zlaaap...! Bruuus...!
Pendekar Mabuk bertindak menerjang Hulubalang Iblis. Keduanya sama-sama
terpental satu arah dan berguling-guling dalam jarak delapan langkah dari Bocah
Kolok.

Pendekar Mabuk 066 Hulubalang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ggrrr...!" Hulubalang Iblis menggeram dengan wajah liarnya. "Kuhisap habis
darahmu, Manusia Bejat!
Heeaahh...!"
Slaaab...! Sinar merah besar keluar dari telapak tangan Hulubalang Iblis. Sinar
merah itu menghantam dada Pendekar Mabuk yang baru saja bangkit dengan setengah
berdiri. Srruub...!
Pendekar Mabuk tersentak kaku, sinar merah itu tiada kunjung padam. Darah si
Pendekar Mabuk tersedot ke telapak tangan Hulubalang Iblis.
"Kakek, Suto tak bisa bergerak! Cepat tolong dia, Kek!" Pematang Hati ribut
sendiri. Tapi sebelum Kusir Hantu lakukan suatu tindakan, tiba-tiba Pendekar Mabuk
berubah menjadi besar dan besar sekali. Tubuhnya menjadi tinggi dan besar.
Mereka terperangah melihat Suto Sinting menjadi raksasa. Hulubalang Iblis juga
terbengong melihat sinar merahnya menjadi seperti lidi yang menggelitik dada
raksasa. Jurus 'Dewatakara' pemberian dari Payung Serambi dipergunakan Suto dalam keadaan
sangat terdesak.
Dengan sekali sambar, tangannya berhasil meremas kepala Hulubalang Iblis yang
gundul itu, lalu melemparkannya tinggi-tinggi. Wuuuusss...!
Hulubalang Iblis melayang di udara.
"Aaaaa...!"
Jeritan kerasnya segera terhenti ketika tubuhnya jatuh ke tanah dan kaki raksasa
Suto itu menginjak dadanya dalam satu hentakan mengerikan. Buuhk...!
"Heeekkh...!"
Darah menyembur dari mulut Hulubalang Iblis yang ternganga. Seakan semua darah
dalam tubuh orang gundul itu terkuras keluar hingga melumuri kaki raksasa Suto.
Maka sejak saat itu, Hulubalang Iblis tak pernah bernapas lagi. Ia mati dalam
keadaan gepeng.
Napas mereka terhempas lega. Pendekar Mabuk segera mengubah diri dan menjadi
seperti semula.
Bertepatan dengan itu, seraut wajah cantik tanpa senyum muncul dari semak-semak.
Gadis yang terkena racun
'Kembang Mayat' itu ternyata telah disembuhkan oleh si Bocah Kolok dan menjadi
sehat tanpa kesan luka sedikit
pun. Pematang Hati terbelalak girang melihat kemunculan gadis berpakaian hitam
bintik-bintik putih bagai paku payung itu. Suaranya terlontar dengan nada ceria,
"Mahligai...!"
Suto Sinting terkejut dan memandang Bocah Kolok.
"Apakah dia... dia yang bernama Mahligai Sukma, Wiio"!"
"Iya. Waktu itu, Wiio lupa namanya dan lupa siapa dirinya. Tapi sejak kau pergi,
Wiio jadi ingat bahwa dia adalah cucu sahabatku dan Wiio ingat dia punya nama
Mahligai Sukma. Dia yang menceritakan rencana pembantaian Hulubalang Iblis
terhadap Kusir Hantu dan kedua cucunya itu."
Wiio tertawa sambil bermain tiktok-tiktoknya. "Heh, heh, heh... maaf, hampir
saja Wiio lupa siapa gadis itu."
"Memang sudah lupa. Kalau kau tak pikun, aku tak akan keluyuran sampai ke sini!"
gerutu Suto Sinting sambil perhatikan Mahligai Sukma yang sedang dipeluk oleh
kakaknya; si Pematang Hati dan kakeknya; si Kusir Hantu.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
TAPAK SILUMAN Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Kisah Si Naga Langit 3 Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Kisah Dua Naga Di Pasundan 7
^