Jejak Telapak Iblis 1
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis Bagian 1
Salam buat Kota Kelahiran,
Sahabat-sahabat,
serta Keluarga Tersayang
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
BAGIAN I Kelelawar mulai beterbangan, sementara dedaunan
pohon berkerosak terombang-ambing oleh sapuan an-
gin senja yang agak santer.
Sungguh suatu senja yang tak berbeda dengan sen-
ja-senja yang lain. Namun bagi mereka yang masih
duduk-duduk di ruangan tamu rumah Ki Selakriya,
agak terasa adanya ketakjuban dan sesuatu yang
mencekam di senja itu.
Perhatian mereka tak putus-putusnya terpancang
pada sebuah ikat pinggang kulit yang berada di tangan Mahesa Wulung.
"Ini sangat berguna bagi kita, Ki Sela!" ujar Mahesa Wulung sambil menunjuk
denah rahasia dari Bukit
Kepala Singa yang tergambar pada ikat pinggang tersebut.
"Yah, memang demikian, Tuan. Beruntung bagi kita
semua, bahwa ikat pinggang berisi denah rahasia itu dapat saya selamatkan.
Mudah-mudahan saja Tuan
dapat memanfaatkannya dengan baik."
"Jangan khawatir, Ki Sela. Harapan Bapak pasti
kupenuhi. Aku akan mempelajari dan membawanya
pula ke Demak."
"Jadi Tuan bersedia menghancurkan bukit terkutuk
itu"!" desis Ki Selakriya dengan mata bersinar kerian-gan.
"Begitulah, Bapak."
"Ooh, heh. Syukurlah, Tuan. Syukurlah. Dengan
begitu hatiku akan merasa tentram. Bagaimanapun
juga, bapak ikut bertanggung jawab terhadap Bukit
Kepala Singa itu," demikian ujar Ki Selakriya. "Tapi...
tetapi...?"
"Mengapa, Bapak?" sahut Mahesa Wulung ketika
orang tua itu menampakkan wajah ragu-ragu dan se-
tengah takut. Sedang yang lainpun ikut keheranan dengan peru-
bahan Ki Selakriya ini. Gagak Cemani, Pandan Arum, Palumpang, Tungkoro dan
Sekarwangi penuh bertanya-tanya di dalam hati. Mereka menunggu penjelasan dari
kakek tua ini. "Aku ternyata masih hidup! Jadi... bagaimanakah
jika Tangan Iblis mengetahuinya" Pastilah dia akan berbuat lebih kejam lagi,
sampai dia yakin benar bahwa aku telah mati."
Mereka yang mendengar segera memahami hal itu,
sementara Mahesa Wulung lalu berkata, "Kekhawati-
ran itu jangan Andika besar-besarkan, Ki Sela. Serah-kanlah hal tersebut kepada
kami. Keselamatan Bapak akan kami jaga dari kemungkinan-kemungkinan tindakan
Tangan iblis. Untuk itu, kami akan menem-
patkan beberapa orang prajurit di sekitar rumah ini, sementara kami kembali ke
Demak dan mencari jejak
Tangan Iblis!"
"Terima kasih, Tuan. Ehh, saya telah membuat An-
dika semua menjadi kerepotan dan menambah persoa-
lan. Harap dimaafkan orang tua yang tak berguna seperti saya ini."
"Jangan berkata demikian, Ki Sela," sahut Gagak
Cemani. "Apa yang baru saja Andika serahkan kepada Adi Mahesa Wulung, ternyata
jauh lebih berharga dari pada pertolongan yang kami berikan kepada Andika.
Karenanya, justru kamilah yang seharusnya lebih banyak berterima kasih kepada Ki
Sela." Mendengar percakapan dan kata-kata yang dikelua-
rkan oleh Ki Selakriya, Palumpang diam-diam merasa kagum. Betapapun Ki Sela
merendahkan diri, namun
kemuliaan dan kebaikan budi tetap bersinar pula, ba-
gai sinar matahari yang menembus kabut awan.
"Tapi siapakah yang akan tinggal di sini, menemani Ki Selakriya, sementara kita
masuk ke kota Demak?"
bertanya Palumpang seraya menatap ke arah Mahesa
Wulung serta sahabat-sahabatnya yang lain. "Bagai-
manakah jika aku saja yang tinggal di sini?"
Mahesa Wulung mengangkat kening lalu menyahut,
"Aah, bukankah Andika sebagai tamuku di Demak"!
Mengapa Andika akan tinggal di sini" Saya kira, Adi Tungkoro dapat pula tinggal
di sini sementara kita kembali ke Demak dan mengirimkan beberapa orang
prajurit yang akan tinggal di sini."
"Maaf, Sobat. Aku masih agak canggung untuk
memasuki kota besar dan bergaul dengan banyak
orang. Mungkin kepalaku akan menjadi pusing dan jatuh pingsan... heh, heh, heh.
Karenanya, biarlah saya tinggal sementara di sini sambil menunggu kedatangan
prajurit-prajurit itu nanti. Aku akan menyusul Andika kemudian. Dalam pada itu,
siapa pula yang tahu bahwa Ki Selakriya masih harus membutuhkan beberapa
ramuan obat yang bisa saya siapkan?"
Mahesa Wulung manggut-manggut lalu tersenyum
dan berkata penuh pengertian, "Baiklah, Sobat Palumpang. Mungkin hal itu baik
juga, sebab tentunya Adi Tungkoro akan segera memberi laporan-laporan kepada
para pimpinan di Demak."
"Saya harap Andika semua tidak akan tergesa-gesa
kembali ke Demak. Hari telah cukup gelap," ujar Ki Selakriya menyela.
"Memang demikian, Ki Sela," sambung Mahesa Wu-
lung pula. "Kami tidak akan berangkat sekarang, tetapi besok, pada saat matahari
telah terbit setinggi tombak."
Tiba-tiba Mahesa Wulung menghentikan bicaranya
sewaktu Palumpang meletakkan jari telunjuknya ke
depan bibirnya sendiri. Sedang tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke arah pintu
samping, sebagai pintu masuk kedua yang terdapat di sebelah selatan.
Seketika suasana menjadi tegang, namun Gagak
Cemani dengan gesitnya melesat ke arah pintu samp-
ing dan membukanya secara tiba-tiba.
Kreettt! "Ki Jagabaya!" terdengar desisan kaget bercampur
takjub ketika di depan pintu yang dibuka secara tiba-tiba tadi terlihatlah
seorang tua, masih dalam sikap orang memasang telinga, mendengarkan suatu
pembicaraan. Karena itu pula, si Jagabaya tadi menjadi
blingsatan seperti sikap kera kena sumpit, menggeleng dan menengok ke kanan kiri
menderita malu.
"Eh, ehh..., ses... saya hanya... kebetulan saja lewat di sini, Tuan-tuan. Saya
biasa melakukan ronda berkeliling di wilayah ini," begitu si Jagabaya berkata
dengan gugup dan terputus-putus. "Harap Tuan-tuan ti-
dak terganggu."
Wajah si Jagabaya yang tersentuh oleh cahaya be-
berapa dian minyak kelapa dari ruang tersebut, membuat lebih jelas betapa wajah
itu tampak kepucatan.
"Eh, tak mengapa, Ki Jagabaya," ujar Gagak Cema-
ni. "Jadi Andika biasa meronda seorang diri"!"
"Beb... beb... begitulah, Tuan," jawab si Jagabaya masih gugup. "Sekarang
permisi..., dan selamat malam...," si Jagabaya tadi menyelesaikan kata-katanya
sambil tergesa-gesa melangkah pergi dari tempat itu.
Gagak Cemani sangat merasa curiga, maka iapun
bermaksud menahan si Jagabaya tadi, tetapi di saat itu juga Mahesa Wulung
menahan maksud Gagak Cemani, seraya berbisik, "Jangan! Biarkan ia berlalu,
Kakang Cemani."
"Hmm," gumam Gagak Cemani menahan perasaan
yang bergemuruh di dalam dadanya. Meski ia rasanya mau mengejar orang itu, tapi
terpaksalah diurungkan karena Mahesa Wulung telah mencegahnya. Dalam
pada itu iapun sadar bahwa maksud Mahesa Wulung
tadi pasti dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang masak.
Mahesa Wulung sendiri yang telah berada di am-
bang pintu, segera dapat melihat sosok tubuh si Jagabaya yang berjalan tergesa-
gesa, kemudian berloncatan lalu lenyap di balik rumpun-rumpun pohon bambu di
sebelah timur. "Maaf, aku membuatmu kecewa, Kakang," gumam
Mahesa Wulung pelahan. "Tapi mudah-mudahan sia-
satku ini berjalan baik."
"Hah, Adi Wulung membuat siasat"!"
"Benar, Kakang Cemani," sahut Mahesa Wulung
kembali. "Biarlah ia melarikan diri, dan jika ternyata ia mempunyai kawan-kawan
pastilah mereka akan saling
berhubungan. Nah, di saat itulah kita akan menyer-
gapnya." "Bagus. Aku menyetujui rencanamu, Adi Wulung."
"Sekarang, baiknya kita memeriksa jejak-jejaknya,
Kakang Cemani. Siapa tahu ia meninggalkan jejak atau tanda-tanda yang dapat kita
kenal"!"
"Pikiran yang tajam. Ayolah kita periksa bersama,"
ujar Gagak Cemani lalu melangkah keluar dan disusul Mahesa Wulung di
belakangnya. Semuanya segera
memeriksa sepanjang tepi dinding luar dan meraba-
raba tanah yang mungkin meninggalkan tanda-tanda
tertentu. "Hee, Adi Wulung! Lihatlah ini!" seru Gagak Cemani seraya berjongkok ke tanah
dengan pandangan mata
membelalak tertuju ke bawah seperti orang yang meli-
hat barang aneh.
Karuan saja Mahesa Wulung buru-buru mendekati
Gagak Cemani dan mengawasi ke tanah, ke arah mana
pula sahabatnya ini menunjukkan jari telunjuknya.
"Hah"!" desah Mahesa Wulung begitu tatapan ma-
tanya sampai ke arah jejak-jejak yang aneh. Sentuhan sinar rembulan yang belum
begitu tinggi cukup membuat jelas suasana di situ. Demikian pula dengan jejak-
jejak tersebut.
"Lihatlah, Adi Wulung! Ternyata jejak kaki ini dapat membuat hancur batu-batuan
yang diinjaknya!" kata
Gagak Cemani. "Orang biasa tak mungkin melakukan-
nya!" "Jadi orang tersebut pasti memiliki tenaga dalam
yang cukup tinggi!" sahut Mahesa Wulung sambil me-
raba pecahan-pecahan batu di sekitar jejak kaki tersebut. "Rupanya saja ia
sengaja memamerkan kesak-
tiannya kepada kita!"
"Mungkin memang begitu."
"Hmmm, si Jagabaya tadi ternyata bukan orang
sembarangan!" Mahesa Wulung berkata menggeren-
deng seperti orang yang merasa tidak senang. "Lalu apa maksudnya?"
"Jelas ia memata-matai kita dengan mendengarkan
pembicaraan kita tentang Bukit Kepala Singa tadi!"
sambung Gagak Cemani. "Maka itulah yang aku kha-
watirkan, Adi Wulung! Bagaimana kalau kita membun-
tutinya"!"
Mahesa Wulung berpikir cepat dan kemudian ber-
kata, "Baiklah! Asal tidak terlalu dekat dan semoga ki-ta mendapat keterangan
lebih banyak."
"Kakang Wulung! Hendak ke mana Andika ber-
dua"!" bertanya Pandan Arum yang telah tiba di luar seraya membawa ranting
menyala guna menerangi
tempat tersebut.
"Ssstt! Ada sesuatu yang penting! Masuklah kembali ke dalam, dan tutup pintu
rapat-rapat. Kami akan berjalan-jalan sebentar di luar."
Pandan Arum mengangguk, namun ia berbisik juga,
"Bagaimana harus kukatakan kepada mereka"!"
"Katakan saja bahwa kami berdua akan menghirup
udara segar untuk beberapa saat."
"Baiklah, Kakang. Tapi... hati-hatilah," ujar Pandan Arum dengan nada cemas,
lebih-lebih setelah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani bergegas meloncat ke arah
timur, untuk membuntuti si Jagabaya.
Maka buru-buru Pandan Arum kembali ke arah pin-
tu dan memenuhi pesan-pesan dari kekasihnya, se-
dang pintu tersebut lalu ditutupnya dari dalam dengan rapat.
Kedua sahabat yang berilmu tinggi itu lalu berlon-
catan di antara semak-semak dan sekali-kali mengendap-endap sambil memeriksa
tempat di sekelilingnya.
Rumpun bambu terdapat di sana-sini dengan lebat-
nya. Terkadang bergeritlah bunyi pergeseran antara cabang-cabang dengan batang
bambu menimbulkan
suara yang cukup mendirikan bulu tengkuk, menye-
ramkan. Beberapa batang bambu yang melengkung ke tanah
malahan kadang-kadang tampak bagaikan tangan-
tangan hantu yang tengah mencegat mangsa.
"Kakang Cemani. Bukankah ke arah ini, si Jaga-
baya tadi melarikan diri?" bisik Mahesa Wulung kepa-da sahabatnya, pendekar
berjubah dan berkumis me-
lintang. "Tidak keliru! Tapi tak terdapat tanda apa-apa di si-ni, Adi Wulung!" balas
Gagak Cemani sambil menebarkan pandangan mata ke arah keliling.
"Sungguh aneh."
"Memang! Ia seperti lenyap ditelan pohon-pohon di
sini," desis Gagak Cemani perlahan.
"Dan tempat ini terlalu sepi!" berbisik Mahesa Wulung di dekat telinga Gagak
Cemani. "Sangat mencurigakan. Berhati-hatilah!"
"Saya merasa seperti ada sesuatu yang mengawasi
kita, Kakang Cemani!"
"Saya pun merasa demikian, Adi."
Ketegangan segera mencekam kedua pendekar ini.
Tanpa diperintah mereka telah bersiaga sepenuhnya, untuk menghadapi segala
sesuatu yang bakal terjadi.
Telinga mereka dengan tajamnya menjaring suara-
suara dan setiap gerakan yang mencurigakan. Namun
sampai sejauh itu, tak satu suarapun yang aneh ke-
dengaran, kecuali desiran angin yang menggoyangkan dedaunan.
Mendadak saja, ketika Mahesa Wulung dan Gagak
Cemani tengah mengawasi pohon-pohon di sekeliling-
nya, berdesirlah sambaran-sambaran angin yang da-
tang tanpa keruan sumbernya.
Wesstt... sringng... sring... sring...! Begitulah desingan-desingan mengurung
Mahesa Wulung berdua den-
gan derasnya laksana air hujan.
"Heeiitt!" dengus Mahesa Wulung sambil meloncat
ke udara, sedang Gagak Cemani pun berbuat yang
sama. "Lindungi dirimu, Kakang Cemani!"
Peringatan Mahesa Wulung tadi ternyata memang
tepat. Sebab itulah Gagak Cemani secepat kilat mencabut golok panjangnya
sekaligus diputarnya melin-
dungi tubuh. Dalam detik yang sama, Mahesa Wulung tanpa ayal
menghunus pedangnya lalu diputarnya sederas puta-
ran angin. Kiranya memang itulah cara satu-satunya yang paling tepat, sebab yang
datang mengurung mereka adalah sambaran-sambaran paku baja.
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Trang.... Tak... tak... taaakk!
Kedua pendekar ini dengan lincahnya memutar sen-
jatanya masing-masing di tangan menyampok runtuh
belasan paku baja yang tengah menyambarnya.
"Paku-paku baja!" desis Mahesa Wulung dengan ge-
ramnya. "Menyerang secara gelap... keparat! Aku harus bertindak keras. Hiaatt!"
Begitu Mahesa Wulung berseru, maka tangan ki-
rinya mendorong ke depan ke arah pepohonan di sekeliling berkali-kali sambil
berputar di udara.
Braak! Kraasss! Braass!
Satu demi satu pepohonan di sekeliling tumbang
terhempas di bumi bagaikan dihajar oleh angin badai.
Rupanya Mahesa Wulung telah menggunakan pukulan
jarak jauh ajaran dari gurunya, si Pendekar Bayangan.
Gagak Cemani yang berada di sebelah Mahesa Wu-
lung, tak kalah herannya melihat hal ini. Ia dengan sepenuhnya kagum oleh ilmu
tersebut, yang dilancarkan ke tempat-tempat di sekeliling guna mencegah serangan
lebih lanjut dari lawan gelapnya ini.
Ketika pohon-pohon di sekeliling mereka roboh, terlihatlah satu bayangan hitam
meloncat kabur sambil mengutuk-ngutuk dan sesaat kemudian disusul suara
ketawa yang bergema.
"Heh, ha, ha, ha. Kali ini aku tak dapat lebih lama bermain-main menemanimu,
Sobat. Tapi lain kali kita akan bertemu lagi!"
"Itulah penyerang gelap yang kita cari, Kakang Ce-
mani!" seru Mahesa Wulung sambil mendaratkan ka-
kinya ke tanah, disusul oleh Gagak Cemani.
"Tapi tinggal suara pantulannya, Adi! Orangnya te-
lah kabur lebih dahulu," sambung Gagak Cemani.
"Ia bergerak kelewat cepat. Memang ia punya kele-
bihan juga, Kakang Cemani. Sayang kita tak dapat
menangkapnya!"
"Jadi jelaslah bahwa si Jagabaya itu orang yang berilmu tinggi!" demikian Gagak
Cemani mengambil ke-
simpulan. "Namun ada juga kemungkinan lain."
"Heh, kemungkinan lain?"
"Benar, Adi. Mungkin pula bahwa si penyerang ge-
lap tadi bukan si Jagabaya sendiri."
"Kalau begitu, orang lain?" tanya Mahesa Wulung.
"Benar."
"Berarti si Jagabaya ini tidak sendirian."
"Sebaiknya kita periksa lebih teliti, Adi Wulung. Kita dapat mendatangi rumah si
Jagabaya itu besok pagi,"
berkata Gagak Cemani sambil memungut beberapa
paku baja dari tanah dan mengamat-amatinya.
"Marilah kita kembali sekarang, Kakang Gagak Ce-
mani. Sudah cukup lama kita meninggalkan rumah Ki
Selakriya. Pasti mereka telah menanti kita."
"Ayo!" sahut Gagak Cemani seraya menyimpan pa-
ku-paku baja tadi, lalu menyertai Mahesa Wulung
kembali ke arah barat. "Kita menghadapi persoalan ba-ru, rupanya."
"Hmm," desah Mahesa Wulung seraya menghela
napas. "Kita telah terlibat persoalan baru, meski segala sesuatunya kait-mengait
dari soal-soal yang terdahu-lu." "Ujarmu tidak keliru, Adi Wulung," sambung
Gagak Cemani. "Segala peristiwa di alam kehidupan ini sering saling mempengaruhi
dan berhubungan antara yang
satu dengan yang lain."
Mahesa Wulung mengangguk tanpa berkata apapun
kecuali melangkahkan kakinya menuruti jalan kecil
yang semula dilewatinya. Daun-daun bambu masih
berdesiran tergoyang oleh sentuhan angin malam yang lembut, bagaikan turut
mengiringi langkah-langkah
kedua pendekar itu kembali ke rumah Ki Selakriya.
Dering suara jengkerik terdengar di sana-sini, sedang bulan makin naik dan
menebarkan warna sinar perak-nya ke permukaan bumi.
BAGIAN II Siang cukup teriknya, ketika Mahesa Wulung dan
Gagak Cemani meminta penjelasan dari Ki Selakriya
tentang si Jagabaya di kampung itu. Mereka bertiga duduk di halaman rumah yang
penuh tetumbuhan indah dan teratur letaknya.
"Ki Sela, apakah Andika kenal baik dengan si Jaga-
baya di kampung ini?" bertanya Mahesa Wulung mem-
buka percakapan mereka.
"Ooh, ya. Tentu saja aku mengenalnya dengan
baik," Ki Selakriya menjawab pasti. "Masih ingatkah Tuan, tentang seorang
setengah tua yang menyambut
Andika ketika aku terluka oleh pukulan Telapak Iblis"
Nah, itulah si Jagabaya Ki Carang yang sangat baik."
Kedua pendekar itu mengangguk-angguk setengah
tidak percaya oleh keterangan Ki Selakriya, sebab bukankah tadi malam mereka
memergoki si Jagabaya
berdiri di belakang pintu.
"Tetapi kami telah mencurigainya semalam, Ki Se-
la," ujar Mahesa Wulung. "Mencurigai Ki Carang ketika kami membuka pintu dengan
tiba-tiba. Ternyata ia berada di situ."
"Ya, ya. Aku dapat memahami kecurigaan Tuan-
tuan. Hanya sayang sekali aku tak melihat dengan jelas wajah si Jagabaya itu.
Dan lagi agaknya sudah se-
patutnya bahwa seorang jagabaya sering berkeliling kesana-kemari secara diam-
diam guna menjaga kea-manan."
"Tapi yang ini lain, Ki Sela," terdengar Gagak Cema-ni ikut bicara. "Ketika kami
sapa, malah melarikan di-ri. Dan Andika tahu" Sewaktu kami berdua mencari
jejaknya, kami telah diserang secara gelap oleh senjata-senjata ini!" demikian
Gagak Cemani berkata seraya menunjukkan tiga buah paku baja kepada Ki Selakriya.
"Hah" Paku baja!" desis Ki Selakriya. "Aku belum
begitu mengenal dengan senjata ini. Tapi apakah
Tuan-tuan telah yakin bahwa hal itu adalah serangan gelap dari Ki Carang?"
"Memang kami belum pasti. Justru kami ingin me-
nyelidiki hal itu, sebab tak urung hal ini menyangkut keselamatan denah rahasia
Bukit Kepala Singa, yang berarti pula menyangkut keselamatan negara kita semua,"
begitu Mahesa Wulung menjelaskan persoalan-
nya. "Aaih, itu benar, Tuan," sambung Ki Selakriya. "Jadi bagaimana maksud dan
rencana Andika berdua"!"
"Kami akan mengunjungi rumah Ki Carang dan
menyelidikinya secara diam-diam," Gagak Cemani
menjelaskan rencananya. "Bagaimanakah jika Ki Sela kami harap mengawani kami ke
sana?" "Yah, aku setuju, Tuan. Aku akan mengantar Andi-
ka berdua ke sana. Dengan begitu kita tidak terlalu mencurigakan dan kita akan
bertamu ke rumahnya."
"Terima kasih, Ki Sela."
"Kita bisa berangkat sekarang ini juga, Tuan," Ki Se-la mengajak kedua pendekar
itu berangkat. "Mudah-
mudahan ia tidak pergi ke mana-mana."
Sejurus kemudian mereka bertiga telah melangkah
pergi meninggalkan halaman dan menuju ke arah jalan rintisan kecil menuju ke
arah timur. Diam-diam Mahesa Wulung dan Gagak Cemani sal-
ing berpandangan. Sebab mereka tahu bahwa semalam
mereka telah melewati jalan ini juga sewaktu mengejar si Jagabaya.
Jalan yang ditempuh semakin ke timur tatkala den-
gan tiba-tiba Ki Selakriya berseru kaget, "Huh! Luar biasa! Apakah yang terjadi
di sini semalam"! Lihatlah, Tuan! Pohon-pohon di sini roboh dan tumbang ke
tanah. Agaknya semalam telah terjadi angin ribut atau mungkin ada hantu
berkelahi di sini."
Mahesa Wulung kembali menatap ke arah Gagak
Cemani. Keduanya sama-sama mengangkat dahi dan
tersenyum dikulum begitu mendengar tutur kata Ki
Selakriya. "Mungkin begitu, Ki Sela," terdengar Gagak Cemani
membenarkan. "Untung tidak menimbulkan korban."
"Ya, marilah kita berbelok ke kanan melintas ke jalan lain," Ki Selakriya
menggumam. "Aku segan melewati tempat tersebut. Siapa tahu ada kekuatan-
kekuatan aneh yang tersembunyi di situ."
Tanpa berkata apa-apa, kedua pendekar ini mengi-
kuti langkah Ki Selakriya sambil tersenyum-senyum
kecil. Tapi kemudian Gagak Cemani menggamit Mahe-
sa Wulung agar senyumnya tidak sampai terlihat oleh Ki Selakriya.
Beberapa kali mereka melewati bulak rumput bam-
bu kemudian ladang jagung yang cukup lebar. Di sebe-lahnya tampaklah sebuah
rumah berukuran sedang
dengan halaman yang bersih dan rapi.
Ki Selakriya kemudian memasuki halaman rumah
tersebut diikuti Mahesa Wulung dan Gagak Cemani
yang hatinya mulai berdebar-debar di dalam dadanya.
"Inilah rumah kediaman Ki Carang," tutur Ki Sela-
kriya kepada kedua pendekar di belakangnya. "Andika berdua dapat mulai memeriksa
segala sesuatunya sekarang."
"Terima kasih, Ki Sela," gumam Mahesa Wulung se-
raya menyenggol lengan Gagak Cemani agar mereka
mulai menjalankan tugasnya.
Setelah mereka lebih jauh memasuki halaman, ta-
hu-tahu seorang perempuan berusia separo tua datang menyongsong mereka bertiga
dari arah pintu masuk.
"Ehh, bukankah ini Ki Selakriya"! Si pemahat ulung dari Demak"!" demikian sapa
si perempuan separo tua serta diiringi ketawa yang ramah.
"Aah, Nyi Carang selalu memperolok-olokku setiap
aku datang sowan ke mari!" sahut Ki Selakriya seraya tertawa-tawa pula.
Mahesa Wulung di dalam hati dapat mencatat hal
ini dengan baik. "Hmm, jelas agaknya bahwa Ki Selakriya telah mengenal lebih
jauh dengan keluarga si Jagabaya ini."
"Nyai, kedatanganku ke mari adalah untuk menen-
gok Ki Carang dan sekaligus memperkenalkan kedua
orang tamuku ini. Sejak aku menderita luka beberapa hari yang lalu, aku belum
sempat bertemu lagi dengan Ki Carang. Apakah kabarnya, Nyai?"
Perempuan setengah baya ini menyudahi senyum-
nya disusui helaan napas panjang seperti menahan sesuatu yang agak berat.
Katanya kemudian, "Syukurlah jika Andika telah sembuh kembali, Ki Sela. Tetapi
so-batmu tidak demikian untung."
"Elho. Tidak untung bagaimana, Nyai?"
"Itu. Ki Jagabaya Carang. Sehari kemudian sesudah
ia menjumpaimu dalam keadaan luka, iapun menda-
pat kecelakaan dan sampai hari ini tak bisa berjalan!
Sepanjang hari ia terbaring di balai-balai tempat tidurnya."
"Hah"!" Ki Selakriya berseru kaget. Tapi yang paling kaget adalah Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani sendiri. Kedua pendekar ini terpaku bisu tanpa berkata apapun.
Betapa mereka dapat begitu saja menerima penutu-
ran Nyi Carang yang mengatakan bahwa suaminya te-
lah menderita sakit, sedang semalam mereka berdua
dapat melihat dengan jelas bahwa si Jagabaya berdiri di depan pintu rumah Ki
Selakriya"!
"Jadi ia tak pernah pergi keluar rumah"!" bertanya Ki Selakriya dengan wajah
yang menampakkan rasa
bingung. Nyi Carang menggeleng-gelengkan kepala sambil
menggumam. "Aaah, Andika ini bagaimana, Ki Sela" Ia bangun dari tempat tidurnya
saja masih harus dito-long. Maka mengherankan bila ia dapat menginjakkan kaki
keluar rumah."
Ki Selakriya berpaling ke samping dan menatap
Mahesa Wulung serta Gagak Cemani. Meski Ki Sela-
kriya tak berkata apapun, namun dari sorot matanya dapatlah Mahesa Wulung berdua
memahami bahwa Ki
Selakriya menunjukkan kenyataan yang bertentangan.
"Kami ingin sekali berjumpa dengan suamimu,"
kembali Ki Selakriya memecah kesunyian.
"Ya, ya. Tentu. Marilah masuk ke dalam. Andika
bertiga dapat segera menjumpainya." Nyai Carang
mempersilahkan mereka ke tempat di mana terdapat
sebuah balai-balai kayu.
Di atas balai-balai tersebut terbaringlah seorang la-ki-laki setengah tua, yang
kira-kira lebih muda beberapa tahun daripada Ki Selakriya.
Ketika Mahesa Wulung dan Gagak Cemani dapat
mengenali wajah orang yang terbaring itu, dada mere-ka seperti tergoncang oleh
gempa, sebab wajah itu adalah wajah Ki Carang, si Jagabaya yang semalam telah
dilihatnya di balik pintu!
"Aaa, Andika sudi menengokku, Sobat"!" seru Ki
Jagabaya Carang dari tempatnya berbaring. "Sialan.
Aku sekarang yang ganti sakit dan terbaring seperti kain tua tanpa daya."
"Semoga Andika lekas sembuh, Ki Carang. Dan ini,
perkenalkanlah dua orang penolongku dan juga tamu-
ku...," ujar Ki Selakriya pula.
Si Jagabaya Carang mengangguk kepada Mahesa
Wulung dan Gagak Cemani. "Terima kasih Andika ber-
dua sudi datang kemari. Perkenalkan, nama saya adalah Ki Carang."
"Saya Mahesa Wulung," berkata Mahesa Wulung
memperkenalkan diri. "Sedang di sampingku ini Gagak Cemani."
"Kecelakaan macam apakah yang telah mencederai
kakimu, Ki Carang?" kembali Ki Selakriya bertanya.
Sementara itu Mahesa Wulung dan Gagak Cemani
saling berpandangan penuh tanda tanya. Dasar lagi
bagi Mahesa Wulung yang otaknya penuh dengan pen-
galaman, iapun lalu menjadi curiga terhadap perihal sakitnya si Jagabaya Carang.
Apakah hal ini bukan
sekedar siasat dan tipuan untuk mengelakkan perta-
nyaan-pertanyaan lainnya"
"Hehh, inilah sakitku yang membuatku tak dapat
berjalan," Ki Carang berkata seraya menyingkapkan
kain selimut yang menutupi kakinya.
Maka tampaklah segera satu pemandangan yang
membuat Mahesa Wulung, Gagak Cemani, dan Ki Se-
lakriya terkejut bukan main.
Pada kaki kanan Ki Carang terlihatlah satu bengkak
kebiruan yang tampaknya sangat menimbulkan rasa
sakit, sehingga keterangan Ki Carang tentang keadaan dirinya dapatlah dipahami.
Ki Selakriya bertiga yang duduk di tepi balai-balai lebar itu tak lepas
pandangan matanya dari kaki Ki Carang tadi, seolah mereka masih meragukan hal
tersebut. "Ki Carang, aku tak sampai hati melihat deritamu
itu. Bolehkah aku mengusulkan sesuatu?" bertanya Ki Selakriya.
Jagabaya itu menghela napas, lalu berkata pula,
"Apakah dayaku, Ki Sela" Bermacam-macam ramuan
jamu untuk meredakan dan menyembuhkan bengkak-
ku ini tak berhasil saya gunakan. Dan putuslah hara-panku sudah. Mungkin sudah
kehendak nasib bahwa
saya akan terbaring lumpuh begini."
"Janganlah berkata demikian, Ki Carang," sambung
Ki Selakriya. "Kau lihat dengan diriku! Semula aku tak mempunyai harapan untuk
hidup lagi. Namun berkat
pertolongan Tuan-tuan berdua ini, maka aku masih
dapat menikmati udara segar dan panasnya sinar ma-
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahari. Karenanya jika Andika tidak berkeberatan, biarlah mereka berdua
memeriksa kakimu," begitu Ki Selakriya berkata lalu berpaling ke arah Mahesa
Wulung dan Gagak Cemani. "Bagaimana, Tuan, apakah Andika
berdua tidak berkeberatan?"
"Ehm. Dengan senang hati kami akan memerik-
sanya, Ki Sela," sahut Mahesa Wulung. "Mudah-
mudahan tidak terlalu berat."
Sebentar kemudian, Mahesa Wulung dan Gagak
Cemani memeriksa kaki Ki Carang yang bengkak kebi-
ruan dengan seksama. Bagi kedua pendekar yang telah banyak memahami segala macam
luka dan cedera, itu
tidaklah begitu sukar.
Namun di saat itulah timbul kegelapan yang begitu
sukar. Sebab dari pemeriksaan itu, Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani terpaksa tergeleng-geleng.
"Ini cedera yang sungguh-sungguh dan menurut
tanda-tandanya yang pasti, si Jagabaya ini telah mendapat bencana kurang lebih
lima atau empat hari yang lalu," demikian pikir Mahesa Wulung diam-diam. "Jadi
tak mungkin ia dapat berjalan-jalan keluar dari rumah ini! Jika demikian,
siapakah yang berdiri di balik pintu rumah Ki Selakriya" Bukankah wajahnya juga
wajah dari orang ini juga"!"
Agaknya saja Gagak Cemanipun menjadi kebingun-
gan dengan peristiwa itu, terlihat bahwa ia cuma ber-diam diri sambil mengelus-
elus kumisnya. Suasana sesaat seperti bisu dan kaku. Untunglah
kemudian muncul Nyai Carang sambil membawa talam
berisi mangkuk-mangkuk minuman dengan sekendi
air minum beserta sepinggan jadah ketan.
"Bengkak ini dapat disembuhkan, Ki Carang. Tapi
tentu saja memakan waktu beberapa hari!" ujar Mahe-sa Wulung. "Dan kamipun harus
meminta bantuan da-
ri teman kami yang seorang lagi. Sekarang ini ia tinggal di rumah Ki Sela."
"Syukurlah, Ki sanak," desis Ki Carang lagi.
"Namun kami ingin pula mengajukan beberapa per-
tanyaan kepada Bapak," Gagak Cemani ikut bicara.
"Pertanyaan apakah, Ki sanak" Silahkan!"
Gagak Cemani segera mengambil satu bungkusan
kain dari ikat pinggangnya dan dibukanya di depan Ki Carang seraya berkata,
"Kenalkah Bapak dengan benda-benda ini"!"
"Hahh! Itu... itu...," desis Jagabaya Carang dengan wajah kepucatan. "Di mana Ki
sanak mendapatnya?"
"Semalam, Ki Carang. Tak Jauh dari rumah Ki Se-
lakriya," sahut Mahesa Wulung pula.
"Mengapa sampai berada di tangan Ki sanak?"
"Semalam kami diserang dengan paku-paku baja
ini, tapi untunglah kami dapat menghindarkannya,"
kembali Gagak Cemani memberi penjelasan.
"Celaka diriku!" desis Jagabaya Carang.
"Mengapa Anda berkata demikian?"
"Paku-paku baja itu adalah senjataku!"
"Senjata dari Ki Carang"!" terdengar Ki Selakriya
berseru. "Ya, benar! Senjata paku baja ini adalah senjata ciri yang khusus tentang
diriku!" kata Ki Carang. "Dengan sendirinya tentu Ki sanak berdua mengira bahwa
aku-lah yang menyerang Andika berdua, bukan"!"
"Begitulah memang perkiraan kami yang semula,"
Mahesa Wulung menegaskan dirinya. "Tetapi dengan
melihat cedera bengkak pada kaki Andika, pastilah hal itu tidak mungkin."
"Yah, memang tidak mungkin. Tambahan lagi, aku
masih cukup waras untuk tidak sembarangan meng-
gunakan senjata ciri khusus seperti ini!" kata Ki Carang dengan suara berat. "Di
samping itu kita tidak bermusuhan, bukan?"
"Hah, itu benar, Ki Carang. Akan tetapi ada satu hal lagi yang menyebabkan kami
menyangka bahwa Andi-kalah yang menyerang kami semalam. Tentu saja kami bertiga
ingin mendengar penjelasan-penjelasan dari Ki Carang sendiri."
Jagabaya Carang menjadi kian tertarik oleh tutur
kata Mahesa Wulung tadi, maka segera ia bertanya,
"Hal apakah yang Ki sanak maksudkan itu?"
"Nah, dengarlah baik-baik, Ki Carang," ujar Mahesa Wulung menjelaskan. "Semalam
kami tengah mengo-brol dengan Ki Selakriya di rumahnya. Di antaranya
ada hal-hal penting yang kami bicarakan. Pada saat itu kami tiba-tiba merasa ada
seseorang yang mendengar dan memata-matai dari balik pintu masuk. Maka
secepatnya kami membuka pintu tersebut, dan ternyata di situ berdirilah
seseorang yang berwajah seperti Andika, Ki Carang! Wajah yang mirip sekali
sehingga kami tak ada alasan lain untuk menyangkal bahwa orang itulah Ki Carang
sendiri!" Mahesa Wulung berhenti sejenak, seolah-olah masih memberi kesempatan
berpikir kepada Ki Carang.
"Hehh... ya. Aku telah mendengarnya. Coba te-
ruskan dengan ceritera tadi," ujar Ki Carang disertai wajah kepucatan.
"Akhirnya kami membuntuti orang tersebut ketika
tak lama kemudian belasan paku-paku baja menye-
rang kami," demikian Mahesa Wulung menyudahi pe-
nuturannya. "Jika demikian maka baiklah aku menjelaskan ke-
pada Andika bertiga, mengapa kakiku sampai menderi-ta cedera seperti ini,"
berkata Ki Carang.
"Itu lebih baik, Ki Carang, Ceriterakanlah lebih jelas kepada Tuan-tuan berdua
ini. Sebab Tuan Mahesa
Wulung ini tidak lain adalah seorang wiratamtama dari Demak."
"Ohh, baik, Gusti. Baik..., hamba akan berceritera dengan sejelas-jelasnya,"
ujar Ki Carang kemudian
dengan wajah ketakutan dan gugup.
"Jangan merubah sikap, Ki Carang. Tetaplah seperti semula dan tidak perlu
membungkuk-bungkuk seperti
ini. Nah, lanjutkanlah ceriteramu tadi," gumam Mahe-sa Wulung kepada Jagabaya
Carang. Memang sikap si Jagabaya Carang tidak dapat dis-
alahkan, sebab ia sangat merasa rendah hati. Jabatan seorang jagabaya seperti
dirinya akan seberapa besar-
nya bila dibandingkan dengan kedudukan dan pangkat wiratamtama dari kerajaan"!
"Malam itu," demikian Ki Carang memulai cerite-
ranya, "yakni sehari sesudah saya menjumpai Tuan-
tuan di depan rumah Ki Selakriya, saya telah diserang di tengah hutan bambu.
Ternyata para penyerang tadi lebih dari seorang dan jelasnya mereka telah menge-
royokku! Salah seorang dari penyerang tadi marah-
marah dan berkata mengapa aku masih bersedia men-
jadi seorang jagabaya dan suka mencampuri urusan
orang lain. Maka saat itu juga terjadilah pertempuran seru di tengah hutan
bambu. Tapi sayang, sebelum
saya sempat menggunakan senjata khususku ini, tiba-tiba saja seorang lawanku
telah menghajar kaki ka-
nanku dengan pukulan sisi telapak tangan yang hebat, sehingga membuatku lumpuh
setengah pingsan. Aku
merasa beberapa orang menggeledahi pakaianku, se-
saat sebelum aku pingsan sama sekali.
"Ketika kemudian aku sadar, aku mendapati bahwa
kaki kananku telah sakit dan mulai bengkak kecil
membiru. Tetapi yang lebih kaget lagi, sewaktu aku meraba ikat pinggangku
ternyata sekantong senjata
paku baja milikku telah hilang! Dengan susah payah aku merangkak pulang sampai
keadaanku seperti Andika ketahui sekarang ini."
Baik Mahesa Wulung, Gagak Cemani maupun Ki
Selakriya terpekur mendengar penuturan Jagabaya
Carang tadi. Lebih-lebih bagi Mahesa Wulung berdua.
Kalau semula ia bersama Gagak Cemani telah ber-
keyakinan bahwa sasaran yang mereka cari adalah si Jagabaya itu, maka di saat
ini juga keyakinan tadi menjadi lenyap.
Jalan yang semula terang, kini menjadi gelap kem-
bali, seakan menyesatkan kedua pendekar yang hen-
dak melewatinya. Oleh karenanya pula Mahesa Wu-
lung dan Gagak Cemani terbisu untuk beberapa saat.
"Masih ada sesuatu yang kurang jelas, Ki Carang,"
tiba-tiba Gagak Cemani melanjutkan bicara, "yaitu tentang wajah seorang asing
yang mirip dengan wajah
Andika." "Hmm, aku belum dapat mengerti hal itu, Tuan,"
ujar Ki Carang. "Jelas bahwa nama saya telah ternoda dalam peristiwa ini."
"Ada dua kemungkinan mengenai wajah itu!" Mahe-
sa Wulung menyela. "Pertama, orang tersebut sengaja menggunakan semacam topeng
dengan maksud meli-batkan nama Ki Carang. Sedang kemungkinan kedua
orang tersebut memang benar-benar memiliki wajah
itu. Mungkin dia adalah salah seorang dari saudara Ki Carang."
"Ya! Keduanya memang serba mungkin!" ujar Ki Ca-
rang pula. "Akupun mempunyai seorang adik yang
berwajah mirip dengan wajahku. Tapi ia telah pergi meninggalkanku belasan tahun
yang lalu. Dan sejak
itu saya tak mendengar lagi kabar beritanya."
"Siapakah nama adik Andika itu, Ki Carang?" Gagak
Cemani bertanya pula. "Jika tidak berkeberatan, biarlah kami sedikit banyak
mengetahui tentang dirinya."
"Namanya adalah Jaka Rebung," jawab Ki Carang
seraya menghela napas. "Dia pergi meninggalkanku
karena satu pertengkaran kecil yang berkisar soal keluarga."
"Itu sudah cukup, Ki Carang," potong Gagak Cema-
ni pula. "Kami tak ingin mencampuri urusan keluarga Andika. Cukuplah dengan
keterangan itu saja pada
kami." "Terima kasih. Semua keteranganku semoga bergu-
na bagi Tuan-tuan berdua."
"Kembali tentang cedera pada kakimu ini, Ki Ca-
rang," kata Gagak Cemani seraya memungut tabung
kecil dari ikat pinggangnya dan menuangkan beberapa butir obat yang berwarna
hijau ke atas telapak tangannya. "Minumlah nanti obat ini dan jalan darah yang
terhenti pada cedera bengkak itu akan menjadi lancar kembali."
"Ooh, terima kasih, Tuan."
"Belum cukup dengan itu, Ki Carang. Tunggulah
nanti. Seorang temanku yang bernama Palumpang
akan datang kemari dan ia akan mengurut serta mem-
balut luka bengkak itu dengan ramu-ramuan ja-
munya." Ki Carang menjadi berseri-seri wajahnya saking
gembira dan kemudian ia meletakkan tiga butir obat pemberian Gagak Cemani ke
dalam mangkuk di sebe-lahnya. Selanjutnya ia mempersilahkan ketiga ta-
munya ini untuk meneguk minuman serta mencicipi
jadah ketannya, dan pembicaraanpun berkisar ke soal-soal biasa yang sehari-hari.
Tampak benar keramahan yang terjelma dalam
pembicaraan mereka. Malahan Nyi Carangpun ikut ke-
luar dan menemani ketiga tamunya dengan membawa
pisang rebus. Ketika matahari mulai condong ke kaki langit di sebelah barat, Ki Selakriya,
Mahesa Wulung, dan Gagak Cemani segera meminta diri. Sedang senja nanti
Palumpang akan datang ke tempat Ki Carang untuk
mengobati bengkak pada kakinya.
*** Sehari kemudian, pada saat matahari telah muncul
di balik pepohonan hutan di sebelah timur, Mahesa
Wulung telah mempersiapkan kudanya bersama yang
lain. Gagak Cemani, Pandan Arum dan Tungkoro sudah
membereskan bekal-bekal dan barang-barangnya.
Tampak pula Ki Selakriya, Sekarwangi dan Palumpang membantunya.
Seperti rencana semula, Palumpang tetap tinggal di rumah Ki Selakriya untuk
beberapa hari sambil menunggu kedatangan beberapa orang prajurit Demak
yang akan tinggal di sekeliling Ki Selakriya.
"Hati hatilah, Sobat Palumpang," ujar Mahesa Wu-
lung sambil tersenyum ramah. "Jagalah Ki Selakriya dan Sekarwangi baik-baik."
"Heh, heh, heh. Andika tak perlu khawatir, Sobat
Wulung," sahut Palumpang. "Akan kujaga mereka den-
gan sebaik-baiknya."
"Terima kasih," ujar Mahesa Wulung sambil menja-
bat tangan sahabatnya itu, disusul oleh Gagak Cema-ni, Pandan Arum dan Tungkoro.
Ki Selakriya dan Se-
karwangipun tidak ketinggalan untuk mengucapkan
selamat jalan kepada rombongan yang akan pergi itu.
Tak lama kemudian, Mahesa Wulung berempat te-
lah menderapkan kudanya meninggalkan halaman
rumah Ki Selakriya, sementara beberapa orang penduduk di situ ikut melambai-
lambaikan tangannya sebagai ucapan selamat jalan.
Debu berkepul-kepul mengalun ke udara mening-
galkan bekas-bekas jalan yang dilalui oleh rombongan kecil yang menuju ke arah
Demak. "Kakang Cemani," ujar Mahesa Wulung. "Persoalan
menjadi kian berbelit-belit, lebih-lebih dengan lenyap-nya jejak penyerangan
gelap yang bersenjatakan paku baja itu."
"Memang, Adi Wulung," sambung Gagak Cemani.
"Namun aku yakin bahwa persoalannya pasti akan da-
pat kita pecahkan."
"Bagaimana dengan Kakang Cemani" Apakah kira-
kira si penyerang gelap itu ada hubungannya dengan Tangan Iblis?"
"Masih terlalu samar-samar, Adi Wulung. Dari ke-
duanya dapatlah kita catat adanya dua peristiwa dalam satu lingkungan, meski
dalam saat yang agak ber-lainan," Gagak Cemani berkata menggambarkan pen-
dapatnya. "Peristiwa dilukainya Ki Selakriya oleh Tangan Iblis dan cederanya Ki
Carang oleh penyerang gelap yang merampas senjata paku bajanya, benar-benar
cukup menyulitkan. Tapi yang lebih penting adalah
melaporkan dan memeriksa denah rahasia Bukit Kepa-
la Singa pemberian Ki Sela, ke Demak!"
"Benar, Kakang Cemani. Sabuk kulit berisi gambar
rahasia itu telah aku bawa dan sekarang aku pasang pula pada pinggangku," ujar
Mahesa Wulung seraya
menepuk ikat pinggang kulit pemberian Ki Selakriya.
"Nah, bukankah hal itu sangat penting. Dan siapa
tahu dari ikat pinggang tersebut, akan tercium pula jejak-jejaknya Tangan
Iblis." "Aku tak mengira bahwa Sugatra yang bergelar
Tangan Iblis itu telah sampai di daerah Demak!"
"Satu pertanda bahwa daerah ini telah kemasukan
musuh-musuh gelap," ujar Gagak Cemani. "Bahkan
salah seorang prajurit kawal telah mengkhianatimu.
Andika masih ingat, Adi Wulung?"
"Benar, Kakang Cemani. Aku masih ingat betapa
Gombong, si prajurit kawal itu, pernah menjebakku, meski akhirnya ia mati dan
menyesal atas perbuatan-nya," ujar Mahesa Wulung menjelaskan. (Bacalah Seri Naga
Geni 17, Seribu Keping Emas untuk Mahesa Wulung)
Gagak Cemani manggut-manggut mengerti dan ia-
pun teringat, betapa Mahesa Wulung telah diculik oleh Surokolo beberapa waktu
yang lalu. Mereka berempat makin mempercepat pacu ku-
danya ke arah selatan melewati tanah-tanah persawahan yang sangat subur.
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa kali mereka berpa-
pasan dengan orang-orang desa yang menggendong
barang-barang dagangan seperti sayur-mayur dan lain-lainnya.
"Rasanya aku ingin lekas-lekas sampai ke Demak,"
desah Mahesa Wulung. "Terlalu banyak persoalan-
persoalan yang harus kita selesaikan."
"Heh, heh, heh," Gagak Cemani tertawa menggele-
gas. "Selama manusia itu hidup akan selalu ada persoalan-persoalan yang
melibatnya. Hal itu harus kita hadapi dengan dada terbuka, Adi Wulung. Anggaplah
sebagai satu ujian saja. Mana yang lebih kuat dan tabah, dialah yang bakal
mengatasi persoalan itu. Sedang yang lemah, pastilah dia bakal terseret dan
tenggelam di dalamnya."
"Heh, yah, kiranya memang begitu," desah Mahesa
Wulung seraya mengangkat muka saking kagumnya
dengan tutur-kata sahabatnya Gagak Cemani tadi.
Keempatnya terus berpacu dan membelok ke kanan
memasuki jalan agak besar yang di kiri kanannya penuh ditumbuhi oleh pohon-pohon
asam. Itulah jalan
yang menuju ke kota Demak.
BAGIAN III Dalam pada itu, jauh di sebelah utara, di luar kota Asemarang, terlihatlah dua
sosok tubuh yang berjalan bergegas tergesa-gesa.
Jalanan di situ cukup sepi dan awan mendung be-
rarak-arak menambah suasana kesenyapan yang me-
nimbulkan kebekuan dan keseraman.
Kalau bayangan yang satu bertubuh ramping den-
gan rambut disanggul di atas, maka yang seorang lagi bertubuh pendek sedikit
gemuk. "Ayolah, Paman Dunuk! Aku tak sabar lagi untuk
tiba di rumah Ki Sungkana. Mari kita berjalan saja,"
demikian seru si tubuh ramping, gadis bersanggul
yang berwajah manis membulat telur itu.
Pada pinggangnya terselip sebatang tongkat hitam
mengkilap. Larinya sangat cepat, tak ubahnya lari seekor kijang.
"Weh, weh. Baik, Angger. Tapi jangan cepat-cepat!"
seru laki-laki bertubuh pendek gemuk yang mengikuti lari si gadis dengan sedikit
susah payah. Tapi ternyata iapun cukup gesit pula.
Ketika Ki Dunuk merasa sedikit tertinggal di bela-
kang, maka berserulah ia dengan komat-kamit, "Tun!
Atun! Atuuunnn! Engkau terlalu cepat berlari."
Namun gadis itu seperti tidak mendengar seruan Ki
Dunuk. "Cepatlah, Paman Dunuk! Susullah aku! Pakailah
ilmu lari yang telah kau pelajari itu!" seru gadis bertongkat hitam seraya
tersenyum, melihat betapa laki-laki gemuk pendek itu terguncang-guncang
mengikuti larinya, tak ubah sebuah bola yang menggelinding di atas tanah
berbatu-batu. Ki Dunuk masih berkomat-kamit, sedang gerundal-
nya terdengar. "Weh, weh. Angger Tuntari memang gesit. Dan benar pula kalau aku
harus menggunakan il-mu lari. Jika tidak, mustahil aku sanggup menyusulnya."
Maka sesaat kemudian iapun mengetrapkan ilmu
larinya dengan landasan ilmu penataan irama napas
dan langkah kaki. Ki Dunuk cukup sebat untuk itu.
Biarpun langkah kakinya tidak lebar-lebar karena tubuhnya yang pendek, tapi ia
mampu menggerakkan-
nya dengan cepat, berganti-ganti tak ubahnya putaran baling-baling.
Sebentar itu pula, keduanya telah berlari dengan
cepatnya hampir-hampir sukar ditangkap mata, kecua-li dua sosok tubuh bagai
bayangan hitam susul-
menyusul tanpa henti.
Kini tampaklah bahwa Ki Dunuk tidak terpaut terla-
lu jauh jaraknya dengan lari si gadis ramping itu. Paling-paling ia cuma terpaut
dua langkah saja di belakangnya, dan itu sudah lebih untung baginya. Keduanya
melewati jalan-jalan yang sunyi dan arahnya makin ke luar kota, menuju ke arah
barat. Gadis bertongkat hitam yang bernama Tuntari itu
tidak mengurangi larinya. Baginya ia harus cepat-cepat tiba di rumah Ki
Sungkana, salah seorang sahabat
ayahnya yang paling akrab.
Demikianlah perintah ayahnya. Ia harus tiba di sa-
na sebelum senja hari dan menerima sesuatu dari Ki Sungkana yang kemudian harus
disampaikan kepada
ayahnya. Tapi barang apakah yang akan diterimanya itu, ia
tak diberitahu, bahkan ayahnya sendiri juga tidak
mengetahuinya. Yang ia masih ingat adalah datangnya seorang utusan Ki Sungkana
ke rumahnya dengan
menyerahkan sebuah surat untuk ayahnya.
Surat tadi menyatakan bahwa ayahnya atau salah
seorang utusannya harus segera mengambil sebuah
barang penting ke rumah Ki Sungkana.
Sekarang dialah yang mewakili ayahnya untuk
mengambil barang tersebut, ditemani oleh Ki Dunuk, salah seorang pembantu
ayahnya yang telah diang-gapnya seperti keluarga sendiri.
Satu perasaan aneh telah menyelinap di dalam dada
Tuntari, menimbulkan degupan dan detak-detak keras.
Dengan sendirinya gadis ini sibuk menerka-nerka,
apakah gerangan yang bakal dijumpainya. Mengapa
hatinya tiba-tiba saja merasa cemas tak tentu arahnya.
Adakah bahaya di depannya"
Namun apa yang dirasakan oleh Tuntari tadi benar-
benar telah terjadi. Tak berapa jauh jaraknya dari Tuntari dan Ki Dunuk berlari-
lari, berlangsunglah satu pertempuran seru di sebuah halaman rumah yang cukup
lebar dan terpelihara rapi. Sayangnya pertarungan yang kini tengah berlangsung,
telah membuat porak-poranda halaman tersebut.
Beberapa tanaman bunga dan pohon-pohon buah
telah hancur terbabat oleh senjata dan terinjak-injak kaki, sehingga
terbayanglah betapa serunya pertarungan ini.
"Ki Sungkana! Kau tak bakal mampu bertahan lama
meski beberapa orang pembantu telah membelamu!"
teriak seorang bertubuh tegap berpakaian warna coklat sedang mulutnya tertutup
oleh kain selendang yang
membalut lehernya. Pada tangan kanannya tergeng-
gam sebilah pedang pendek yang bermata tajam pula
kedua belah sisinya.
"Keparat! Mengapa dengan pengikutmu sebanyak
itu engkau mengepung rumahku"! Apa yang kauke-
hendaki"!" ujar Ki Sungkana dengan beraninya, se-
mentara sebilah keris telah siap di tangan kanannya.
"Ha, ha, ha. Jangan berlagak linglung dan melom-
pong, Sobat Sungkana! Aku tahu bahwa engkau me-
nyimpan barang berharga, yang mahalnya melebihi
emas intan! Ha, ha, ha. Serahkan saja barang itu kepadaku!"
"Tahu apa aku, tentang barang yang kau maksud
itu"!" ujar Ki Sungkana disertai dada berdebaran.
"Ha, ha, ha. Masih pura-pura pilon, hee"! Bukankah engkau menyimpan Arca Ikan
Biru"!" seru si mulut
berselubung dengan lantangnya.
Mendengar ini, bukan main terkejutnya hati Ki
Sungkana. Sebab memang sesungguhnya ia memiliki
dan menyimpannya dengan hati-hati apa yang disebut Arca Ikan Biru tadi. Ia masih
ingat betul bahwa kurang lebih dua pekan yang lalu, di saat ia mengunjungi
daerah Bandar Asemarang telah bertemu dengan seorang
tua yang turun dari sebuah perahu besar.
Pelaut tadi menjumpai Ki Sungkana dan menanya-
kan selanjutnya, apakah Ki Sungkana seorang jujur dan tidak memusuhi
pemerintahan Demak" Ini adalah
satu pertanyaan yang kelewat aneh! Akan tetapi Ki
Sungkana telah menjawabnya dengan tegas dan ra-
mah, bahwa dirinya adalah termasuk orang yang de-
mikian. Maka tiba-tiba saja pelaut tua ini mengeluarkan sebuah arca kecil berbentuk
ikan, terbuat dari batu permata biru. Itulah sebabnya kemudian disebut Arca
Ikan Biru. Kepada Ki Sungkana, benda tadi ditawarkan dengan disertai pesan agar
benda tersebut segera disampaikan kepada salah seorang narapraja yang akan
meneruskannya ke Demak.
Akhirnya Ki Sungkana membeli benda itu dari tan-
gan si pelaut tua. Sekali lagi ia mendengar pesan dari orang ini bahwa Arca Ikan
Biru itu sangat penting artinya bagi kerajaan.
Dan Ki Sungkana sendiri tahu bahwa ia mempunyai
salah seorang sahabat yang kebetulan menjabat seo-
rang narapraja di Asemarang dan kepadanyalah Ki
Sungkana bermaksud akan menyerahkan barang ber-
harga itu. Tetapi sekarang, benda tersebut akan dirampas oleh beberapa orang yang menyerang
rumahnya. Maka sudah tentu Ki Sungkana tidak akan membiarkan hal itu dan dengan
tekadnya ia akan mempertahankan Arca
Ikan Biru di dalam tangannya!
"Jadi kau masih membandel, ya"!" terdengar kem-
bali seruan keras dari mulut lawannya yang berpedang pendek itu.
Ki Sungkana tak menjadi gentar oleh ancaman ini
dan dengan lantangnya ia menyahut, meski dengan
mengelakkan jejak benda berharga itu, "Kau salah
alamat! Seandainya aku memiliki barang tersebut, pasti kupertahankan mati-
matian!" Si pedang pendek menggeram marah oleh jawaban
Ki Sungkana, namun sekelumit keragu-raguan muncul
pula di dalam dadanya. Jangan-jangan Ki Sungkana
tidak menyimpan benda yang dicarinya itu.
Akan tetapi segala sesuatunya telah terlambat,
seandainya saja ia bermaksud menarik serangannya
terhadap Ki Sungkana ini. Bahkan mungkin akan me-
nimbulkan hal-hal yang merugikan dirinya. Tampaklah beberapa pengikutnya telah
bertempur. Maka ia harus melanjutkan tindakannya ini dan se-
gera menumpas Ki Sungkana beserta seluruh penghu-
ni rumahnya! "Mampuslah dengan pedangku ini!" teriak si pedang
pendek seraya meloncat maju dengan menyabetkan
senjatanya ke arah Ki Sungkana.
Ki Sungkana itupun kemudian tidak membiarkan
dadanya terobek oleh pedang lawannya, dengan me-
mutar tubuh ke belakang setengah lingkaran tanpa lu-pa merendahkan kepala.
Maka lewatlah pedang lawan itu sejauh satu jengkal di sisi kepalanya. Namun
terkejut juga Ki Sungkana
dibuatnya. Sambaran pedang itu ternyata sangat ce-
patnya, meski meleset dari sasaran.
Rupanya, Ki Sungkana tidak sekedar mengendap
saja dengan percuma, sebab kakinya tak ketinggalan mengirimkan satu tendangan ke
pinggang lawan dengan cukup deras.
Si Mulut Bertudung melihat hal itu dan segera be-
rusaha menghindarkan diri, tetapi ia tak mempunyai waktu secukupnya hingga
tendangan Ki Sungkana
berhasil pula menggempur pinggangnya. Terasalah suatu deraian rasa sakit seolah-
olah pinggangnya akan patah berkeping-keping.
Sambil mengumpat-umpat, si Mulut Bertudung
mengaduh kesakitan dan terhuyung-huyung ke samp-
ing, sementara Ki Sungkana berusaha mengejarnya
dengan satu tikaman maut dengan kerisnya.
"Hyaaatt!"
Meskipun pinggangnya masih merasa sakit, si Mu-
lut Bertudung tidak menyia-nyiakan dirinya untuk jadi sasaran keris lawannya. Ia
menjatuhkan diri ke tanah dan mengguling-guling menjauh dan kemudian tubuhnya
melenting ke atas seperti ulat.
Kagum juga Ki Sungkana melihat ketrampilan la-
wannya, dan karenanya ia menerjang kembali dengan
kerisnya! Pertempuran hebatnya segera terjadi.
Dalam pada itu, beberapa orang pembantu Ki
Sungkana tak kalah serunya bertarung melawan para
pengikut si Mulut Bertudung. Gema senjata beradu
dan teriakan-teriakan terdengar riuh, menambah keseraman suasana.
Ternyata bahwa para pengikut si Mulut Bertudung
ini sangat tangkas dan ganasnya. Tandang geraknya
tampak liar seperti sekawanan iblis yang sedang men-gerubut mangsa.
Setelah beberapa saat bertempur memeras tenaga
dan menumpahkan segenap kepandaiannya, ternyata-
lah bila para pembantu Ki Sungkana mulai terdesak
oleh lawan-lawannya. Mereka terkurung oleh libatan-libatan senjata golok dan
pedang dari pengikut si Mulut Bertudung. Rupanya saja mereka telah mengguna-
kan ilmu serangan berantai yang gerakannya selalu
bertautan susul-menyusul. Dengan begitu lawan-
lawan yang dihadapi dengan cara ini akan menjadi
buyar dan kewalahan.
Bila mereka tak memiliki ilmu bertempur yang am-
puh, jangan harap sanggup menanggulangi para pen-
gikut si Mulut Bertudung.
Rupanya Ki Sungkana yang lagi gigih bertarung me-
lawan pemimpin menyerbu ini dapat memahami kere-
potan para pembantunya, maka setapak demi setapak
ia berusaha mendekati titik pertempuran mereka agar segera ia dapat membantu
orang-orangnya yang tampak terdesak itu.
Sayang sekali akhirnya. Tampaknya saja si Mulut
Bertudung dapat mencium maksud Ki Sungkana itu,
maka serta-merta ia mempergencar serangan pedang-
nya. Mata pedang pendek si Mulut Bertudung tampak
menjadi puluhan, bahkan sesaat kemudian berbareng
si penyerang aneh ini berseru, maka mata pedangnya menjadi ratusan, menyerang
bagian-bagian pertaha-nan Ki Sungkana yang lemah.
Buat sesaat, Ki Sungkana memang terkejut, tapi ia-
pun meningkatkan serangannya pula dan kerisnya se-
kali-sekali berhasil menyelusup ke dalam putaran pedang pendek si Mulut
Bertudung. Bahkan keris itu pula berhasil menyentuh pakaian
si Mulut Bertudung, hingga lawannya ini mengutuk-
ngutuk manakala beberapa bagian pada pakaiannya
terobek. "Kau pandai juga berolah senjata, Ki Sungkana!" se-ru si Mulut Bertudung dengan
nada geram. "Aku sen-
gaja masih memberi kesempatan kepadamu untuk ber-
lagak!" "Jangan coba-coba menggertak! Aku masih sanggup
melayanimu bertempur sampai malam nanti!" balas Ki Sungkana dengan terus
menggerakkan kerisnya.
"Lekaslah minta ampun kepadaku!"
"Apa perlunya"!"
"Supaya hidupmu masih kuampuni!"
"Heh, heh. Pantasnya kau bercakap-cakap dengan
anak kecil yang masih ingusan," seru Ki Sungkana,
"sehingga mendengar gertakanmu ini, akan gemetar
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis!"
"Terlalu sombong! Coba kau sambut bacokanku ini.
Hyaatt," terdengar si Mulut Bertudung berteriak dan tiba-tiba saja pedang
pendeknya mematuk ke arah kepala Ki Sungkana.
Hampir saja pedang itu sempat membuat lobang
pada kepala Ki Sungkana, jika orang tua ini tidak lekas-lekasnya mengendap ke
bawah. Wess! "Keparat setan! Gesit juga gerakanmu!" umpat si
Mulut bertudung sambil mengejar terus gerakan tubuh lawannya, dan pedangnya
laksana kilat yang menyerbu dan menerjang dengan dahsyatnya.
Apalagi seperti si Mulut Bertudung ini yang melan-
dasi setiap serangannya dengan tenaga dalam yang
cukup tangguh. Traangng! Tiba-tiba saja keris Ki Sungkana membentur pe-
dang lawannya, ketika pedang ini mencoba menikam
dari arah samping.
"Huh!" desah Ki Sungkana begitu kerisnya memben-
tur pedang lawan. Terasa telapak tangannya sangat
nyeri sebab keris tadi seolah-olah membentur dinding baja yang tebal. Tubuhnya
bergetar dan surut beberapa langkah.
Tidak hanya Ki Sungkana, si Mulut Bertudung pun
terperanjat ketika saja pedangnya hampir terpelanting lepas. Hanya saja ia agak
lebih unggul dari lawannya sebab tubuhnya tak bergeming ataupun tergetar surut.
"Hmm, aku masih lebih unggul dari lawanku!" desis
si Mulut Bertudung seraya tersenyum kecut. "Akhirnya toh aku pasti dapat
merobohkannya!"
"Eaarhh!" Terdengar jeritan dari lingkungan per-
tempuran antara pembantu-pembantu Ki Sungkana
melawan para pengikut si Mulut Bertudung.
Seorang pembantu Ki Sungkana roboh dengan dada
sobek, menghamburkan darah segar karena tebasan
golok lawannya. Hal ini terang mempengaruhi teman-
temannya, sehingga sedikit banyak hati mereka tergetar cemas.
Suara gemerincing senjata makin seru dan bunga-
bunga api memercik ke sana-sini menambah gempar
dan kalut. Malahan tak antara lama, terdengar pula teriakan parau berbareng
korban kedua di pihak pem-
bantu-pembantu Ki Sungkana. Orang tersebut ter-
sungkur dan pundak sempal karena dilanggar golok
lawan. Ki Sungkana makin tak sabar melihat beberapa
anak buahnya telah roboh bermandi darah. Akhirnya
ia menggenjotkan kaki dan tubuhnya melenting ke
arah lingkaran pertempuran yang telah kalut.
Sekali ini, Ki Sungkana melesat tanpa memberi ke-
sempatan. Si Mulut Bertudung mendahului tindakan
lawannya. Iapun meloncat ke udara sehingga berpapa-sanlah keduanya di udara
bersamaan kedua senja-
tanya beradu dengan dahsyatnya.
Traaangng...! Keduanya hinggap kembali di atas tanah bagai dua
ekor jago yang habis melambung dan berlaga di udara.
Ki Sungkana tertatih-tatih ke samping, namun ia masih dapat bertahan dan
menguasai keseimbangan tu-
buhnya. Sedang si Mulut Bertudung tertawa terkekeh-kekeh,
manakala kedua kakinya mendarat di tanah dengan
mantapnya, seolah kedua telapak kaki itu mencengkeram bumi tanpa bergeming
sedikitpun. Melihat ini, hati Ki Sungkana berdesir pula. Kini ia tahu bahwa setidak-tidaknya
si Mulut Bertudung itu berada di atasnya dalam tingkat ilmunya. Ia mempunyai
beberapa kelebihan daripada dirinya.
"Hmm, aku harus menyerang secepat kilat," desis Ki Sungkana sambil melesat
dengan tusukan kerisnya ke arah tubuh lawan yang masih berdiri kokoh sambil
tertawa-tawa. Si Mulut Bertudung menyadari bahaya ini dan ber-
kelit ke samping, namun tiba-tiba terasalah lengannya seperti disengat lebah.
Pedih dan panas. Ketika ia menengok ke samping ternyatalah bahwa lengannya ter-
gores mengucurkan darah.
"Kurang ajar!" geram si Mulut Bertudung penuh
kemarahan dan sebentar menyeringai pedih. "Kau ha-
rus menebus lebih mahal untuk kesombonganmu ini,
Ki Sungkana!"
"Hiaah!" Tubuh si Mulut Bertudung tiba-tiba saja
berbalik dan pedang pendeknya menyambar ke lutut
Ki Sungkana yang belum bersiaga sepenuhnya.
Keruan saja gerak naluri Ki Sungkana bekerja ce-
pat. Ia melenting ke udara menghindari sambaran pedang tersebut. Mendadak saja,
dalam saat yang singkat dan berbareng, si Mulut Bertudung menggerakkan tangan
kirinya ke depan.
Sing! Sinngg! Sinngg! Beberapa sinar hitam me-
nyambar langsung ke arah Ki Sungkana dengan de-
rasnya, tak ubahnya sambaran ular-ular ganas yang
menyerang mangsa.
Ki Sungkana tahu hal itu, namun kejadian ini terja-di begitu sangat cepatnya dan
tanpa ampun lagi sinar-sinar hitam tadi sebagian besar menerkam dirinya!
"Eaaarrrgh...!" jerit parau melontar dari mulut Ki Sungkana ketika terasa bahwa
lengan dan bahunya
menjadi pedih bukan main. Ia lalu terhuyung-huyung, sementara tangan kirinya
berusaha meraba bahu kanan dan lengannya yang kini menjadi panas serasa
terbakar dan setengah lumpuh.
"Senjata rahasia!" desis Ki Sungkana ketika jari-
jemarinya menyentuh benda-benda runcing semacam
jarum berukuran kelewat besar bersarang pada daging bahu dan lengannya.
Biarpun rasa sakit mulai menyerang sendi-sendi tu-
lang lengan dan bahunya, Ki Sungkana berusaha buat bertahan diri. Sinar matanya
memancarkan kemarahan yang meluap-luap kepada lawannya: si Mulut Bertudung.
"Hah, ha, ha, ha. Bagaimana Ki Sungkana" Cukup
nikmat, bukan, senjata rahasiaku itu"!" ejek si Mulut Bertudung seraya
menyeringai kepuasan.
Ki Sungkana menggeram marah, telinganya terasa
terbakar oleh bara api yang panas. Dengan langkah-
langkah pelahan dan terhuyung ia bersiaga kembali
untuk serangan terakhir.
"Heh, heh. Hai, bocah-bocah!" seru si Mulut Bertu-
dung kepada para pengikutnya yang lagi sibuk ber-
tempur. "Jangan kepalang tanggung. Binasakan setiap pembantu dan penghuni rumah
Sungkana ini!"
Kemarahan makin memuncak di kepala Ki Sungka-
na, menyebabkan ia mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk melancarkan serangan
balasan dengan kerisnya.
Tetapi ia lebih terkejut lagi begitu ia menerjang ke depan, si Mulut Bertudung
telah mendahului dengan
gerakan pedangnya.
Breettt! "Aaakkk!" Ki Sungkana terhenyak berdiri, sesaat sesudah lambungnya merasa dingin
dan pedih, terobek
oleh pedang lawan. Darah panas terasa membasahi
kakinya. Sambil tertatih-tatih ia bersandar pada dinding rumah, sementara kerisnya
tercampak lolos dari tangannya yang kini setengah lumpuh. Ia sudah tak mampu
berbuat apa-apa dan dirinya telah pasrah kepada Tuhan Yang Maha Penyayang untuk
ajalnya. "Ha, ha, ha! Begitu lebih baik, Sungkana. Sedotlah udara sore yang terakhir
sebelum pedangku ini mem-belah badanmu!" seru si Mulut Bertudung serta me-
langkahkan kakinya perlahan-lahan ke arah Ki Sung-
kana yang bersandar seperti pohon layu tanpa daya.
Tubuhnya terasa makin lemah dan kini tidak lagi
mampu bersandar, tapi perlahan-lahan merosot ke
bawah untuk kemudian jatuh terduduk sambil mene-
bah lambungnya.
Melihat ini, si Mulut Bertudung semakin mengum-
bar ketawa berderai mengalun di udara sore. Hatinya semakin puas meski
seandainya Arca Ikan Biru itu tidak dijumpainya, toh ia berhasil menumpas Ki
Sung- kana! Lawannya itu kini telah tak berdaya, tak ubahnya
seekor ikan yang kekeringan air, terjelapak menanti aj-al. Hanya sorot matanya
saja yang masih menatap senjata pedang di tangan si Mulut Bertudung.
Ujung pedang tersebut bergerak-gerak dan semakin
bertambah dekat seolah-olah mengiramakan tarian
maut, apalagi Ki Sungkana telah sadar bahwa tak ada sedikitpun kesempatan untuk
menghindari. Iapun tahu bahwa para pengikut si Mulut Bertu-
dung telah mengepung rumahnya dengan serapat-
rapatnya. Bahkan tampak pula olehnya bahwa pintu
pagar batu halaman rumah telah pula dijaga oleh empat anak buah si Mulut
Bertudung dan menutupnya
dari dalam. Dengan demikian tipis sekali harapan orang luar
yang berani menolongnya. Apalagi pintu tersebut terbuat dari kayu yang cukup
tebal. Sedang letak rumahnya sendiri terletak jauh di luar kota, jauh dari
keramaian manusia sehari-hari.
Kembali ditatapnya pedang lawannya yang sebentar
lagi pasti menerkam tubuhnya. Ki Sungkana buru-
buru memejamkan mata untuk menjaga agar ia tabah
menghadapi saat kematian.
Telinganya kini mendengar langkah-langkah yang
semakin dekat, diiringi rentetan ketawa yang menggila dan kata-kata kemenangan.
"Haaa, terimalah pedangku ini, Sobat! Hyaat!"
Traaangngng! "Haduuhh!" teriakan sesambat meluncur dari bibir
si Mulut Bertudung, manakala sebuah bayangan hitam yang ramping melesat masuk
dari arah luar pagar
tembok dan langsung menghajarkan tongkat hitam ke
sisi pedang pendeknya yang hampir membacok tubuh
Ki Sungkana. Si Mulut Bertudung tidak hanya sekedar terkejut
biasa tapi terkejut dan luar biasa, sebab hanya dengan benturan itu saja
tubuhnya telah terpental dan bergulingan seolah-olah ia telah terlanggar oleh
tenaga raksasa yang sukar ditakar kekuatannya.
Dalam saat itu tangannya serasa terbakar dan
hampir saja pedangnya terlepas seandainya ia tidak lekas-lekas mengerahkan
tenaga untuk mati-matian
mempertahankannya.
"Setan! Siapa engkau" Berani turut campur uru-
sanku, huh!" gerundal si Mulut Bertudung untuk me-
nutupi tangan kanannya yang masih kesemutan
menggenggam pedang.
"Heh, heh, heh. Jangan berpura-pura, Sobat! Tan-
ganmu merasa kesemutan, bukan?" ujar si penyerang
dengan suara nyaring yang tidak lain adalah Tuntari, si gadis bertongkat hitam.
Si Mulut Bertudung berjingkrak kaget mendengar
ucapan penyerang. Sungguh tepat ucapan tadi. Ter-
nyata memang jari-jari tangan kanannya masih pegal-pegal.
"Hmm, kau mencari mati, hah"!" seru si Mulut Ber-
tudung seraya bersiaga kembali. "Kaukira, dengan seorang diri akan sanggup
menghadapi kami yang sekian banyaknya"!"
"Tak usah banyak cakap! Lihat saja nanti!" seru
Tuntari dengan tenangnya. Tongkat hitam di tangan-
nya telah siap.
"Kau gadis sombong! Sayang sekali kalau aku harus
membunuhmu! Lekas berlalu dari depan mataku!"
Braaaasss! Daaarr!
Tiba-tiba terdengar benturan hebat.
Si Mulut Bertudung terperanjat bukan main oleh
suara benturan yang hebat tadi, dan berpalinglah ia ke
arah tembok halaman.
Sedang Tuntari cuma tersenyum kecil saja.
Ketika semua pandangan si Mulut Bertudung dan
para anak buahnya tertuju ke arah pintu, dapatlah
mereka menyaksikan satu pemandangan yang menga-
getkan penuh pesona.
Pintu gerbang kayu tadi sempal dan pecah, sedang
keempat anak buah si Mulut Bertudung yang berjaga
di situ terpelanting dan tercampak ke atas tanah bagai lembaran-lembaran daun
kering, tanpa dapat bangun
kembali, kecuali menggeliat-geliat diiringi mulutnya menggerung-gerung
kesakitan. Kemudian di tengah-tengah daun pintu yang telah
berantakan itu muncullah seorang bertubuh gemuk
pendek, dan masuklah ia ke dalam halaman, dalam
langkah-langkah tenang.
Beberapa anak buah si Mulut Bertudung yang telah
bersiaga menyambutnya, menjadi mundur teratur dan
bersiap mengepungnya.
"Paman Dunuk!" seru Tuntari keras-keras. "Jangan
tanggung-tanggung menghadapinya! Mereka adalah
orang yang kejam dan tidak berperi-kemanusiaan. Be-rilah hajaran dan jangan
kasih ampun!"
Bersamaan teriakan gadis itu, salah seorang anak
buah si Mulut Bertudung mencoba menerjang maju se-
raya menebaskan goloknya ke arah Ki Dunuk.
"Hyaaatt... mampus kau!"
"Hupp!" Ki Dunuk gesit menggerakkan kedua belah
tangannya dan tahu-tahu si penyerang tadi tertangkap tangan. Dengan sekali
pelintiran tangan, golok tadi terlepas dari tangan si penyerang dan ia
bergelinjang manakala tubuhnya tahu-tahu telah diangkat oleh kedua belah tangan
Ki Dunuk. "Kembali ke teman-temanmu!" seru Ki Dunuk seka-
ligus menggerakkan kedua tangannya ke depan dan
tubuh si penyerang tadi tanpa ampun meluncur deras lalu menimpa tubuh teman-
temannya yang lain!
Broakk! "Earrghh!" Si penyerang yang terlempar tadi men-
dadak menjerit keras sewaktu merobohi teman-
temannya. Ternyatalah bahwa sebuah golok temannya
telah menancap tubuhnya tanpa disengaja! Seketika
tubuhnya berkelojotan dan sesaat kemudian matilah
ia. Melihat hal ini, hati anak buah si Mulut Bertudung lainnya menjadi tergetar,
namun tak ada pilihan selanjutnya, selain mereka serentak menyerang berbareng ke
arah Ki Dunuk. Sekilas kemudian terjadilah pertempuran dahsyat di dekat pintu gerbang tembok
rumah Ki Sungkana. Sementara itu beberapa pembantu Ki Sungkana yang
masih hidup segera terjun ke tengah arena pertempuran dan berdiri di pihak Ki
Dunuk. Si Mulut Bertudung menggeram marah, karenanya
iapun menerjang ke arah Tuntari dengan pedang pen-
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
deknya dan sekali ini ia tak setengah-setengah me-
numpahkan ilmunya, karena ia sadar bahwa gadis
yang menjadi lawannya ini memiliki ilmu yang tinggi.
Pedang pendek si Mulut Bertudung bergerak lebih
hebat daripada yang sudah-sudah. Kini bergulung-
gulung merupakan kilasan-kilasan cahaya yang men-
gurung tubuh Tuntari.
Sebenarnya untuk menghadapi seorang lawan le-
bih-lebih seorang gadis saja, tak perlu ia menggunakan ilmu simpanannya itu.
Tetapi yang dihadapi sekarang adalah Tuntari, seorang gadis yang telah matang
dalam ilmu tatakelahi dan tenaga dalam. Itulah sebabnya, mengapa si Mulut
Bertudung dengan serunya
menyerang Tuntari tanpa sedikitpun memberi kelong-
garan. Berkali-kali pedangnya terjulur, mematuk ke arah
tubuh gadis itu, tapi setiap saat itu pula tongkat hitam di tangan Tuntari
bergerak cepat memapakinya.
Kembali si Mulut Bertudung menyumpah-nyumpah,
sebab setiap kali pedangnya berbentur, seketika tangannya berguncang kepedihan.
Untunglah saja pe-
dangnya tidak terlepas dari jari-jemarinya.
Dari pengalaman itu, maka selanjutnya si Mulut
Bertudung selalu berusaha menghindari benturan-
benturan langsung dengan senjata tongkat Tuntari,
kecuali sentuhan-sentuhan sepintas saja yang ia berani menghadapinya.
BAGIAN IV Selama pertempuran itu, si Mulut Bertudung makin
bertambah gelisah. Sebentar-sebentar ia melirik dengan kilasan mata ke arah anak
buahnya yang lagi bertempur.
Mereka tampak semakin jelas kalau terdesak oleh
gempuran Ki Dunuk dan sisa-sisa pembantu Ki Sung-
kana. Bahkan setelah belasan jurus berlangsung, beberapa orang di antaranya
telah toboh terkapar di tanah.
Memang harus diakui bahwa Ki Dunuk itu memiliki
tenaga besar. Meskipun badannya gemuk pendek tapi
sama sekali tidak mengurangi kelincahannya dalam
bergerak. Serudukan tangannya saja mirip dahsyatnya dengan serudukan seekor
banteng, sehingga beberapa anak buah si Mulut Bertudung yang terkena telah
terpental muntah darah.
Rupanya saja si Mulut Bertudung terpaksa meng-
gunakan cara terakhir, cara di mana ia berhasil merobohkan Ki Sungkana, yakni
dengan senjata-senjata
rahasianya. Maka tak antara lama iapun melambung ke atas
dengan satu serangan menyambar, laksana seekor ga-
ruda, sementara tangan kirinya secara cepat bergerak lincah menebarkan senjata-
senjata rahasianya ke arah Tuntari.
"Hiiaah! Mampus kau sekarang!"
Traang... taang... taangng!
Ternyata Tuntari tidak kurang gesit dan waspada
Harpa Iblis Jari Sakti 19 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Pendekar Riang 2
Salam buat Kota Kelahiran,
Sahabat-sahabat,
serta Keluarga Tersayang
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
BAGIAN I Kelelawar mulai beterbangan, sementara dedaunan
pohon berkerosak terombang-ambing oleh sapuan an-
gin senja yang agak santer.
Sungguh suatu senja yang tak berbeda dengan sen-
ja-senja yang lain. Namun bagi mereka yang masih
duduk-duduk di ruangan tamu rumah Ki Selakriya,
agak terasa adanya ketakjuban dan sesuatu yang
mencekam di senja itu.
Perhatian mereka tak putus-putusnya terpancang
pada sebuah ikat pinggang kulit yang berada di tangan Mahesa Wulung.
"Ini sangat berguna bagi kita, Ki Sela!" ujar Mahesa Wulung sambil menunjuk
denah rahasia dari Bukit
Kepala Singa yang tergambar pada ikat pinggang tersebut.
"Yah, memang demikian, Tuan. Beruntung bagi kita
semua, bahwa ikat pinggang berisi denah rahasia itu dapat saya selamatkan.
Mudah-mudahan saja Tuan
dapat memanfaatkannya dengan baik."
"Jangan khawatir, Ki Sela. Harapan Bapak pasti
kupenuhi. Aku akan mempelajari dan membawanya
pula ke Demak."
"Jadi Tuan bersedia menghancurkan bukit terkutuk
itu"!" desis Ki Selakriya dengan mata bersinar kerian-gan.
"Begitulah, Bapak."
"Ooh, heh. Syukurlah, Tuan. Syukurlah. Dengan
begitu hatiku akan merasa tentram. Bagaimanapun
juga, bapak ikut bertanggung jawab terhadap Bukit
Kepala Singa itu," demikian ujar Ki Selakriya. "Tapi...
tetapi...?"
"Mengapa, Bapak?" sahut Mahesa Wulung ketika
orang tua itu menampakkan wajah ragu-ragu dan se-
tengah takut. Sedang yang lainpun ikut keheranan dengan peru-
bahan Ki Selakriya ini. Gagak Cemani, Pandan Arum, Palumpang, Tungkoro dan
Sekarwangi penuh bertanya-tanya di dalam hati. Mereka menunggu penjelasan dari
kakek tua ini. "Aku ternyata masih hidup! Jadi... bagaimanakah
jika Tangan Iblis mengetahuinya" Pastilah dia akan berbuat lebih kejam lagi,
sampai dia yakin benar bahwa aku telah mati."
Mereka yang mendengar segera memahami hal itu,
sementara Mahesa Wulung lalu berkata, "Kekhawati-
ran itu jangan Andika besar-besarkan, Ki Sela. Serah-kanlah hal tersebut kepada
kami. Keselamatan Bapak akan kami jaga dari kemungkinan-kemungkinan tindakan
Tangan iblis. Untuk itu, kami akan menem-
patkan beberapa orang prajurit di sekitar rumah ini, sementara kami kembali ke
Demak dan mencari jejak
Tangan Iblis!"
"Terima kasih, Tuan. Ehh, saya telah membuat An-
dika semua menjadi kerepotan dan menambah persoa-
lan. Harap dimaafkan orang tua yang tak berguna seperti saya ini."
"Jangan berkata demikian, Ki Sela," sahut Gagak
Cemani. "Apa yang baru saja Andika serahkan kepada Adi Mahesa Wulung, ternyata
jauh lebih berharga dari pada pertolongan yang kami berikan kepada Andika.
Karenanya, justru kamilah yang seharusnya lebih banyak berterima kasih kepada Ki
Sela." Mendengar percakapan dan kata-kata yang dikelua-
rkan oleh Ki Selakriya, Palumpang diam-diam merasa kagum. Betapapun Ki Sela
merendahkan diri, namun
kemuliaan dan kebaikan budi tetap bersinar pula, ba-
gai sinar matahari yang menembus kabut awan.
"Tapi siapakah yang akan tinggal di sini, menemani Ki Selakriya, sementara kita
masuk ke kota Demak?"
bertanya Palumpang seraya menatap ke arah Mahesa
Wulung serta sahabat-sahabatnya yang lain. "Bagai-
manakah jika aku saja yang tinggal di sini?"
Mahesa Wulung mengangkat kening lalu menyahut,
"Aah, bukankah Andika sebagai tamuku di Demak"!
Mengapa Andika akan tinggal di sini" Saya kira, Adi Tungkoro dapat pula tinggal
di sini sementara kita kembali ke Demak dan mengirimkan beberapa orang
prajurit yang akan tinggal di sini."
"Maaf, Sobat. Aku masih agak canggung untuk
memasuki kota besar dan bergaul dengan banyak
orang. Mungkin kepalaku akan menjadi pusing dan jatuh pingsan... heh, heh, heh.
Karenanya, biarlah saya tinggal sementara di sini sambil menunggu kedatangan
prajurit-prajurit itu nanti. Aku akan menyusul Andika kemudian. Dalam pada itu,
siapa pula yang tahu bahwa Ki Selakriya masih harus membutuhkan beberapa
ramuan obat yang bisa saya siapkan?"
Mahesa Wulung manggut-manggut lalu tersenyum
dan berkata penuh pengertian, "Baiklah, Sobat Palumpang. Mungkin hal itu baik
juga, sebab tentunya Adi Tungkoro akan segera memberi laporan-laporan kepada
para pimpinan di Demak."
"Saya harap Andika semua tidak akan tergesa-gesa
kembali ke Demak. Hari telah cukup gelap," ujar Ki Selakriya menyela.
"Memang demikian, Ki Sela," sambung Mahesa Wu-
lung pula. "Kami tidak akan berangkat sekarang, tetapi besok, pada saat matahari
telah terbit setinggi tombak."
Tiba-tiba Mahesa Wulung menghentikan bicaranya
sewaktu Palumpang meletakkan jari telunjuknya ke
depan bibirnya sendiri. Sedang tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke arah pintu
samping, sebagai pintu masuk kedua yang terdapat di sebelah selatan.
Seketika suasana menjadi tegang, namun Gagak
Cemani dengan gesitnya melesat ke arah pintu samp-
ing dan membukanya secara tiba-tiba.
Kreettt! "Ki Jagabaya!" terdengar desisan kaget bercampur
takjub ketika di depan pintu yang dibuka secara tiba-tiba tadi terlihatlah
seorang tua, masih dalam sikap orang memasang telinga, mendengarkan suatu
pembicaraan. Karena itu pula, si Jagabaya tadi menjadi
blingsatan seperti sikap kera kena sumpit, menggeleng dan menengok ke kanan kiri
menderita malu.
"Eh, ehh..., ses... saya hanya... kebetulan saja lewat di sini, Tuan-tuan. Saya
biasa melakukan ronda berkeliling di wilayah ini," begitu si Jagabaya berkata
dengan gugup dan terputus-putus. "Harap Tuan-tuan ti-
dak terganggu."
Wajah si Jagabaya yang tersentuh oleh cahaya be-
berapa dian minyak kelapa dari ruang tersebut, membuat lebih jelas betapa wajah
itu tampak kepucatan.
"Eh, tak mengapa, Ki Jagabaya," ujar Gagak Cema-
ni. "Jadi Andika biasa meronda seorang diri"!"
"Beb... beb... begitulah, Tuan," jawab si Jagabaya masih gugup. "Sekarang
permisi..., dan selamat malam...," si Jagabaya tadi menyelesaikan kata-katanya
sambil tergesa-gesa melangkah pergi dari tempat itu.
Gagak Cemani sangat merasa curiga, maka iapun
bermaksud menahan si Jagabaya tadi, tetapi di saat itu juga Mahesa Wulung
menahan maksud Gagak Cemani, seraya berbisik, "Jangan! Biarkan ia berlalu,
Kakang Cemani."
"Hmm," gumam Gagak Cemani menahan perasaan
yang bergemuruh di dalam dadanya. Meski ia rasanya mau mengejar orang itu, tapi
terpaksalah diurungkan karena Mahesa Wulung telah mencegahnya. Dalam
pada itu iapun sadar bahwa maksud Mahesa Wulung
tadi pasti dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang masak.
Mahesa Wulung sendiri yang telah berada di am-
bang pintu, segera dapat melihat sosok tubuh si Jagabaya yang berjalan tergesa-
gesa, kemudian berloncatan lalu lenyap di balik rumpun-rumpun pohon bambu di
sebelah timur. "Maaf, aku membuatmu kecewa, Kakang," gumam
Mahesa Wulung pelahan. "Tapi mudah-mudahan sia-
satku ini berjalan baik."
"Hah, Adi Wulung membuat siasat"!"
"Benar, Kakang Cemani," sahut Mahesa Wulung
kembali. "Biarlah ia melarikan diri, dan jika ternyata ia mempunyai kawan-kawan
pastilah mereka akan saling
berhubungan. Nah, di saat itulah kita akan menyer-
gapnya." "Bagus. Aku menyetujui rencanamu, Adi Wulung."
"Sekarang, baiknya kita memeriksa jejak-jejaknya,
Kakang Cemani. Siapa tahu ia meninggalkan jejak atau tanda-tanda yang dapat kita
kenal"!"
"Pikiran yang tajam. Ayolah kita periksa bersama,"
ujar Gagak Cemani lalu melangkah keluar dan disusul Mahesa Wulung di
belakangnya. Semuanya segera
memeriksa sepanjang tepi dinding luar dan meraba-
raba tanah yang mungkin meninggalkan tanda-tanda
tertentu. "Hee, Adi Wulung! Lihatlah ini!" seru Gagak Cemani seraya berjongkok ke tanah
dengan pandangan mata
membelalak tertuju ke bawah seperti orang yang meli-
hat barang aneh.
Karuan saja Mahesa Wulung buru-buru mendekati
Gagak Cemani dan mengawasi ke tanah, ke arah mana
pula sahabatnya ini menunjukkan jari telunjuknya.
"Hah"!" desah Mahesa Wulung begitu tatapan ma-
tanya sampai ke arah jejak-jejak yang aneh. Sentuhan sinar rembulan yang belum
begitu tinggi cukup membuat jelas suasana di situ. Demikian pula dengan jejak-
jejak tersebut.
"Lihatlah, Adi Wulung! Ternyata jejak kaki ini dapat membuat hancur batu-batuan
yang diinjaknya!" kata
Gagak Cemani. "Orang biasa tak mungkin melakukan-
nya!" "Jadi orang tersebut pasti memiliki tenaga dalam
yang cukup tinggi!" sahut Mahesa Wulung sambil me-
raba pecahan-pecahan batu di sekitar jejak kaki tersebut. "Rupanya saja ia
sengaja memamerkan kesak-
tiannya kepada kita!"
"Mungkin memang begitu."
"Hmmm, si Jagabaya tadi ternyata bukan orang
sembarangan!" Mahesa Wulung berkata menggeren-
deng seperti orang yang merasa tidak senang. "Lalu apa maksudnya?"
"Jelas ia memata-matai kita dengan mendengarkan
pembicaraan kita tentang Bukit Kepala Singa tadi!"
sambung Gagak Cemani. "Maka itulah yang aku kha-
watirkan, Adi Wulung! Bagaimana kalau kita membun-
tutinya"!"
Mahesa Wulung berpikir cepat dan kemudian ber-
kata, "Baiklah! Asal tidak terlalu dekat dan semoga ki-ta mendapat keterangan
lebih banyak."
"Kakang Wulung! Hendak ke mana Andika ber-
dua"!" bertanya Pandan Arum yang telah tiba di luar seraya membawa ranting
menyala guna menerangi
tempat tersebut.
"Ssstt! Ada sesuatu yang penting! Masuklah kembali ke dalam, dan tutup pintu
rapat-rapat. Kami akan berjalan-jalan sebentar di luar."
Pandan Arum mengangguk, namun ia berbisik juga,
"Bagaimana harus kukatakan kepada mereka"!"
"Katakan saja bahwa kami berdua akan menghirup
udara segar untuk beberapa saat."
"Baiklah, Kakang. Tapi... hati-hatilah," ujar Pandan Arum dengan nada cemas,
lebih-lebih setelah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani bergegas meloncat ke arah
timur, untuk membuntuti si Jagabaya.
Maka buru-buru Pandan Arum kembali ke arah pin-
tu dan memenuhi pesan-pesan dari kekasihnya, se-
dang pintu tersebut lalu ditutupnya dari dalam dengan rapat.
Kedua sahabat yang berilmu tinggi itu lalu berlon-
catan di antara semak-semak dan sekali-kali mengendap-endap sambil memeriksa
tempat di sekelilingnya.
Rumpun bambu terdapat di sana-sini dengan lebat-
nya. Terkadang bergeritlah bunyi pergeseran antara cabang-cabang dengan batang
bambu menimbulkan
suara yang cukup mendirikan bulu tengkuk, menye-
ramkan. Beberapa batang bambu yang melengkung ke tanah
malahan kadang-kadang tampak bagaikan tangan-
tangan hantu yang tengah mencegat mangsa.
"Kakang Cemani. Bukankah ke arah ini, si Jaga-
baya tadi melarikan diri?" bisik Mahesa Wulung kepa-da sahabatnya, pendekar
berjubah dan berkumis me-
lintang. "Tidak keliru! Tapi tak terdapat tanda apa-apa di si-ni, Adi Wulung!" balas
Gagak Cemani sambil menebarkan pandangan mata ke arah keliling.
"Sungguh aneh."
"Memang! Ia seperti lenyap ditelan pohon-pohon di
sini," desis Gagak Cemani perlahan.
"Dan tempat ini terlalu sepi!" berbisik Mahesa Wulung di dekat telinga Gagak
Cemani. "Sangat mencurigakan. Berhati-hatilah!"
"Saya merasa seperti ada sesuatu yang mengawasi
kita, Kakang Cemani!"
"Saya pun merasa demikian, Adi."
Ketegangan segera mencekam kedua pendekar ini.
Tanpa diperintah mereka telah bersiaga sepenuhnya, untuk menghadapi segala
sesuatu yang bakal terjadi.
Telinga mereka dengan tajamnya menjaring suara-
suara dan setiap gerakan yang mencurigakan. Namun
sampai sejauh itu, tak satu suarapun yang aneh ke-
dengaran, kecuali desiran angin yang menggoyangkan dedaunan.
Mendadak saja, ketika Mahesa Wulung dan Gagak
Cemani tengah mengawasi pohon-pohon di sekeliling-
nya, berdesirlah sambaran-sambaran angin yang da-
tang tanpa keruan sumbernya.
Wesstt... sringng... sring... sring...! Begitulah desingan-desingan mengurung
Mahesa Wulung berdua den-
gan derasnya laksana air hujan.
"Heeiitt!" dengus Mahesa Wulung sambil meloncat
ke udara, sedang Gagak Cemani pun berbuat yang
sama. "Lindungi dirimu, Kakang Cemani!"
Peringatan Mahesa Wulung tadi ternyata memang
tepat. Sebab itulah Gagak Cemani secepat kilat mencabut golok panjangnya
sekaligus diputarnya melin-
dungi tubuh. Dalam detik yang sama, Mahesa Wulung tanpa ayal
menghunus pedangnya lalu diputarnya sederas puta-
ran angin. Kiranya memang itulah cara satu-satunya yang paling tepat, sebab yang
datang mengurung mereka adalah sambaran-sambaran paku baja.
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Trang.... Tak... tak... taaakk!
Kedua pendekar ini dengan lincahnya memutar sen-
jatanya masing-masing di tangan menyampok runtuh
belasan paku baja yang tengah menyambarnya.
"Paku-paku baja!" desis Mahesa Wulung dengan ge-
ramnya. "Menyerang secara gelap... keparat! Aku harus bertindak keras. Hiaatt!"
Begitu Mahesa Wulung berseru, maka tangan ki-
rinya mendorong ke depan ke arah pepohonan di sekeliling berkali-kali sambil
berputar di udara.
Braak! Kraasss! Braass!
Satu demi satu pepohonan di sekeliling tumbang
terhempas di bumi bagaikan dihajar oleh angin badai.
Rupanya Mahesa Wulung telah menggunakan pukulan
jarak jauh ajaran dari gurunya, si Pendekar Bayangan.
Gagak Cemani yang berada di sebelah Mahesa Wu-
lung, tak kalah herannya melihat hal ini. Ia dengan sepenuhnya kagum oleh ilmu
tersebut, yang dilancarkan ke tempat-tempat di sekeliling guna mencegah serangan
lebih lanjut dari lawan gelapnya ini.
Ketika pohon-pohon di sekeliling mereka roboh, terlihatlah satu bayangan hitam
meloncat kabur sambil mengutuk-ngutuk dan sesaat kemudian disusul suara
ketawa yang bergema.
"Heh, ha, ha, ha. Kali ini aku tak dapat lebih lama bermain-main menemanimu,
Sobat. Tapi lain kali kita akan bertemu lagi!"
"Itulah penyerang gelap yang kita cari, Kakang Ce-
mani!" seru Mahesa Wulung sambil mendaratkan ka-
kinya ke tanah, disusul oleh Gagak Cemani.
"Tapi tinggal suara pantulannya, Adi! Orangnya te-
lah kabur lebih dahulu," sambung Gagak Cemani.
"Ia bergerak kelewat cepat. Memang ia punya kele-
bihan juga, Kakang Cemani. Sayang kita tak dapat
menangkapnya!"
"Jadi jelaslah bahwa si Jagabaya itu orang yang berilmu tinggi!" demikian Gagak
Cemani mengambil ke-
simpulan. "Namun ada juga kemungkinan lain."
"Heh, kemungkinan lain?"
"Benar, Adi. Mungkin pula bahwa si penyerang ge-
lap tadi bukan si Jagabaya sendiri."
"Kalau begitu, orang lain?" tanya Mahesa Wulung.
"Benar."
"Berarti si Jagabaya ini tidak sendirian."
"Sebaiknya kita periksa lebih teliti, Adi Wulung. Kita dapat mendatangi rumah si
Jagabaya itu besok pagi,"
berkata Gagak Cemani sambil memungut beberapa
paku baja dari tanah dan mengamat-amatinya.
"Marilah kita kembali sekarang, Kakang Gagak Ce-
mani. Sudah cukup lama kita meninggalkan rumah Ki
Selakriya. Pasti mereka telah menanti kita."
"Ayo!" sahut Gagak Cemani seraya menyimpan pa-
ku-paku baja tadi, lalu menyertai Mahesa Wulung
kembali ke arah barat. "Kita menghadapi persoalan ba-ru, rupanya."
"Hmm," desah Mahesa Wulung seraya menghela
napas. "Kita telah terlibat persoalan baru, meski segala sesuatunya kait-mengait
dari soal-soal yang terdahu-lu." "Ujarmu tidak keliru, Adi Wulung," sambung
Gagak Cemani. "Segala peristiwa di alam kehidupan ini sering saling mempengaruhi
dan berhubungan antara yang
satu dengan yang lain."
Mahesa Wulung mengangguk tanpa berkata apapun
kecuali melangkahkan kakinya menuruti jalan kecil
yang semula dilewatinya. Daun-daun bambu masih
berdesiran tergoyang oleh sentuhan angin malam yang lembut, bagaikan turut
mengiringi langkah-langkah
kedua pendekar itu kembali ke rumah Ki Selakriya.
Dering suara jengkerik terdengar di sana-sini, sedang bulan makin naik dan
menebarkan warna sinar perak-nya ke permukaan bumi.
BAGIAN II Siang cukup teriknya, ketika Mahesa Wulung dan
Gagak Cemani meminta penjelasan dari Ki Selakriya
tentang si Jagabaya di kampung itu. Mereka bertiga duduk di halaman rumah yang
penuh tetumbuhan indah dan teratur letaknya.
"Ki Sela, apakah Andika kenal baik dengan si Jaga-
baya di kampung ini?" bertanya Mahesa Wulung mem-
buka percakapan mereka.
"Ooh, ya. Tentu saja aku mengenalnya dengan
baik," Ki Selakriya menjawab pasti. "Masih ingatkah Tuan, tentang seorang
setengah tua yang menyambut
Andika ketika aku terluka oleh pukulan Telapak Iblis"
Nah, itulah si Jagabaya Ki Carang yang sangat baik."
Kedua pendekar itu mengangguk-angguk setengah
tidak percaya oleh keterangan Ki Selakriya, sebab bukankah tadi malam mereka
memergoki si Jagabaya
berdiri di belakang pintu.
"Tetapi kami telah mencurigainya semalam, Ki Se-
la," ujar Mahesa Wulung. "Mencurigai Ki Carang ketika kami membuka pintu dengan
tiba-tiba. Ternyata ia berada di situ."
"Ya, ya. Aku dapat memahami kecurigaan Tuan-
tuan. Hanya sayang sekali aku tak melihat dengan jelas wajah si Jagabaya itu.
Dan lagi agaknya sudah se-
patutnya bahwa seorang jagabaya sering berkeliling kesana-kemari secara diam-
diam guna menjaga kea-manan."
"Tapi yang ini lain, Ki Sela," terdengar Gagak Cema-ni ikut bicara. "Ketika kami
sapa, malah melarikan di-ri. Dan Andika tahu" Sewaktu kami berdua mencari
jejaknya, kami telah diserang secara gelap oleh senjata-senjata ini!" demikian
Gagak Cemani berkata seraya menunjukkan tiga buah paku baja kepada Ki Selakriya.
"Hah" Paku baja!" desis Ki Selakriya. "Aku belum
begitu mengenal dengan senjata ini. Tapi apakah
Tuan-tuan telah yakin bahwa hal itu adalah serangan gelap dari Ki Carang?"
"Memang kami belum pasti. Justru kami ingin me-
nyelidiki hal itu, sebab tak urung hal ini menyangkut keselamatan denah rahasia
Bukit Kepala Singa, yang berarti pula menyangkut keselamatan negara kita semua,"
begitu Mahesa Wulung menjelaskan persoalan-
nya. "Aaih, itu benar, Tuan," sambung Ki Selakriya. "Jadi bagaimana maksud dan
rencana Andika berdua"!"
"Kami akan mengunjungi rumah Ki Carang dan
menyelidikinya secara diam-diam," Gagak Cemani
menjelaskan rencananya. "Bagaimanakah jika Ki Sela kami harap mengawani kami ke
sana?" "Yah, aku setuju, Tuan. Aku akan mengantar Andi-
ka berdua ke sana. Dengan begitu kita tidak terlalu mencurigakan dan kita akan
bertamu ke rumahnya."
"Terima kasih, Ki Sela."
"Kita bisa berangkat sekarang ini juga, Tuan," Ki Se-la mengajak kedua pendekar
itu berangkat. "Mudah-
mudahan ia tidak pergi ke mana-mana."
Sejurus kemudian mereka bertiga telah melangkah
pergi meninggalkan halaman dan menuju ke arah jalan rintisan kecil menuju ke
arah timur. Diam-diam Mahesa Wulung dan Gagak Cemani sal-
ing berpandangan. Sebab mereka tahu bahwa semalam
mereka telah melewati jalan ini juga sewaktu mengejar si Jagabaya.
Jalan yang ditempuh semakin ke timur tatkala den-
gan tiba-tiba Ki Selakriya berseru kaget, "Huh! Luar biasa! Apakah yang terjadi
di sini semalam"! Lihatlah, Tuan! Pohon-pohon di sini roboh dan tumbang ke
tanah. Agaknya semalam telah terjadi angin ribut atau mungkin ada hantu
berkelahi di sini."
Mahesa Wulung kembali menatap ke arah Gagak
Cemani. Keduanya sama-sama mengangkat dahi dan
tersenyum dikulum begitu mendengar tutur kata Ki
Selakriya. "Mungkin begitu, Ki Sela," terdengar Gagak Cemani
membenarkan. "Untung tidak menimbulkan korban."
"Ya, marilah kita berbelok ke kanan melintas ke jalan lain," Ki Selakriya
menggumam. "Aku segan melewati tempat tersebut. Siapa tahu ada kekuatan-
kekuatan aneh yang tersembunyi di situ."
Tanpa berkata apa-apa, kedua pendekar ini mengi-
kuti langkah Ki Selakriya sambil tersenyum-senyum
kecil. Tapi kemudian Gagak Cemani menggamit Mahe-
sa Wulung agar senyumnya tidak sampai terlihat oleh Ki Selakriya.
Beberapa kali mereka melewati bulak rumput bam-
bu kemudian ladang jagung yang cukup lebar. Di sebe-lahnya tampaklah sebuah
rumah berukuran sedang
dengan halaman yang bersih dan rapi.
Ki Selakriya kemudian memasuki halaman rumah
tersebut diikuti Mahesa Wulung dan Gagak Cemani
yang hatinya mulai berdebar-debar di dalam dadanya.
"Inilah rumah kediaman Ki Carang," tutur Ki Sela-
kriya kepada kedua pendekar di belakangnya. "Andika berdua dapat mulai memeriksa
segala sesuatunya sekarang."
"Terima kasih, Ki Sela," gumam Mahesa Wulung se-
raya menyenggol lengan Gagak Cemani agar mereka
mulai menjalankan tugasnya.
Setelah mereka lebih jauh memasuki halaman, ta-
hu-tahu seorang perempuan berusia separo tua datang menyongsong mereka bertiga
dari arah pintu masuk.
"Ehh, bukankah ini Ki Selakriya"! Si pemahat ulung dari Demak"!" demikian sapa
si perempuan separo tua serta diiringi ketawa yang ramah.
"Aah, Nyi Carang selalu memperolok-olokku setiap
aku datang sowan ke mari!" sahut Ki Selakriya seraya tertawa-tawa pula.
Mahesa Wulung di dalam hati dapat mencatat hal
ini dengan baik. "Hmm, jelas agaknya bahwa Ki Selakriya telah mengenal lebih
jauh dengan keluarga si Jagabaya ini."
"Nyai, kedatanganku ke mari adalah untuk menen-
gok Ki Carang dan sekaligus memperkenalkan kedua
orang tamuku ini. Sejak aku menderita luka beberapa hari yang lalu, aku belum
sempat bertemu lagi dengan Ki Carang. Apakah kabarnya, Nyai?"
Perempuan setengah baya ini menyudahi senyum-
nya disusui helaan napas panjang seperti menahan sesuatu yang agak berat.
Katanya kemudian, "Syukurlah jika Andika telah sembuh kembali, Ki Sela. Tetapi
so-batmu tidak demikian untung."
"Elho. Tidak untung bagaimana, Nyai?"
"Itu. Ki Jagabaya Carang. Sehari kemudian sesudah
ia menjumpaimu dalam keadaan luka, iapun menda-
pat kecelakaan dan sampai hari ini tak bisa berjalan!
Sepanjang hari ia terbaring di balai-balai tempat tidurnya."
"Hah"!" Ki Selakriya berseru kaget. Tapi yang paling kaget adalah Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani sendiri. Kedua pendekar ini terpaku bisu tanpa berkata apapun.
Betapa mereka dapat begitu saja menerima penutu-
ran Nyi Carang yang mengatakan bahwa suaminya te-
lah menderita sakit, sedang semalam mereka berdua
dapat melihat dengan jelas bahwa si Jagabaya berdiri di depan pintu rumah Ki
Selakriya"!
"Jadi ia tak pernah pergi keluar rumah"!" bertanya Ki Selakriya dengan wajah
yang menampakkan rasa
bingung. Nyi Carang menggeleng-gelengkan kepala sambil
menggumam. "Aaah, Andika ini bagaimana, Ki Sela" Ia bangun dari tempat tidurnya
saja masih harus dito-long. Maka mengherankan bila ia dapat menginjakkan kaki
keluar rumah."
Ki Selakriya berpaling ke samping dan menatap
Mahesa Wulung serta Gagak Cemani. Meski Ki Sela-
kriya tak berkata apapun, namun dari sorot matanya dapatlah Mahesa Wulung berdua
memahami bahwa Ki
Selakriya menunjukkan kenyataan yang bertentangan.
"Kami ingin sekali berjumpa dengan suamimu,"
kembali Ki Selakriya memecah kesunyian.
"Ya, ya. Tentu. Marilah masuk ke dalam. Andika
bertiga dapat segera menjumpainya." Nyai Carang
mempersilahkan mereka ke tempat di mana terdapat
sebuah balai-balai kayu.
Di atas balai-balai tersebut terbaringlah seorang la-ki-laki setengah tua, yang
kira-kira lebih muda beberapa tahun daripada Ki Selakriya.
Ketika Mahesa Wulung dan Gagak Cemani dapat
mengenali wajah orang yang terbaring itu, dada mere-ka seperti tergoncang oleh
gempa, sebab wajah itu adalah wajah Ki Carang, si Jagabaya yang semalam telah
dilihatnya di balik pintu!
"Aaa, Andika sudi menengokku, Sobat"!" seru Ki
Jagabaya Carang dari tempatnya berbaring. "Sialan.
Aku sekarang yang ganti sakit dan terbaring seperti kain tua tanpa daya."
"Semoga Andika lekas sembuh, Ki Carang. Dan ini,
perkenalkanlah dua orang penolongku dan juga tamu-
ku...," ujar Ki Selakriya pula.
Si Jagabaya Carang mengangguk kepada Mahesa
Wulung dan Gagak Cemani. "Terima kasih Andika ber-
dua sudi datang kemari. Perkenalkan, nama saya adalah Ki Carang."
"Saya Mahesa Wulung," berkata Mahesa Wulung
memperkenalkan diri. "Sedang di sampingku ini Gagak Cemani."
"Kecelakaan macam apakah yang telah mencederai
kakimu, Ki Carang?" kembali Ki Selakriya bertanya.
Sementara itu Mahesa Wulung dan Gagak Cemani
saling berpandangan penuh tanda tanya. Dasar lagi
bagi Mahesa Wulung yang otaknya penuh dengan pen-
galaman, iapun lalu menjadi curiga terhadap perihal sakitnya si Jagabaya Carang.
Apakah hal ini bukan
sekedar siasat dan tipuan untuk mengelakkan perta-
nyaan-pertanyaan lainnya"
"Hehh, inilah sakitku yang membuatku tak dapat
berjalan," Ki Carang berkata seraya menyingkapkan
kain selimut yang menutupi kakinya.
Maka tampaklah segera satu pemandangan yang
membuat Mahesa Wulung, Gagak Cemani, dan Ki Se-
lakriya terkejut bukan main.
Pada kaki kanan Ki Carang terlihatlah satu bengkak
kebiruan yang tampaknya sangat menimbulkan rasa
sakit, sehingga keterangan Ki Carang tentang keadaan dirinya dapatlah dipahami.
Ki Selakriya bertiga yang duduk di tepi balai-balai lebar itu tak lepas
pandangan matanya dari kaki Ki Carang tadi, seolah mereka masih meragukan hal
tersebut. "Ki Carang, aku tak sampai hati melihat deritamu
itu. Bolehkah aku mengusulkan sesuatu?" bertanya Ki Selakriya.
Jagabaya itu menghela napas, lalu berkata pula,
"Apakah dayaku, Ki Sela" Bermacam-macam ramuan
jamu untuk meredakan dan menyembuhkan bengkak-
ku ini tak berhasil saya gunakan. Dan putuslah hara-panku sudah. Mungkin sudah
kehendak nasib bahwa
saya akan terbaring lumpuh begini."
"Janganlah berkata demikian, Ki Carang," sambung
Ki Selakriya. "Kau lihat dengan diriku! Semula aku tak mempunyai harapan untuk
hidup lagi. Namun berkat
pertolongan Tuan-tuan berdua ini, maka aku masih
dapat menikmati udara segar dan panasnya sinar ma-
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahari. Karenanya jika Andika tidak berkeberatan, biarlah mereka berdua
memeriksa kakimu," begitu Ki Selakriya berkata lalu berpaling ke arah Mahesa
Wulung dan Gagak Cemani. "Bagaimana, Tuan, apakah Andika
berdua tidak berkeberatan?"
"Ehm. Dengan senang hati kami akan memerik-
sanya, Ki Sela," sahut Mahesa Wulung. "Mudah-
mudahan tidak terlalu berat."
Sebentar kemudian, Mahesa Wulung dan Gagak
Cemani memeriksa kaki Ki Carang yang bengkak kebi-
ruan dengan seksama. Bagi kedua pendekar yang telah banyak memahami segala macam
luka dan cedera, itu
tidaklah begitu sukar.
Namun di saat itulah timbul kegelapan yang begitu
sukar. Sebab dari pemeriksaan itu, Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani terpaksa tergeleng-geleng.
"Ini cedera yang sungguh-sungguh dan menurut
tanda-tandanya yang pasti, si Jagabaya ini telah mendapat bencana kurang lebih
lima atau empat hari yang lalu," demikian pikir Mahesa Wulung diam-diam. "Jadi
tak mungkin ia dapat berjalan-jalan keluar dari rumah ini! Jika demikian,
siapakah yang berdiri di balik pintu rumah Ki Selakriya" Bukankah wajahnya juga
wajah dari orang ini juga"!"
Agaknya saja Gagak Cemanipun menjadi kebingun-
gan dengan peristiwa itu, terlihat bahwa ia cuma ber-diam diri sambil mengelus-
elus kumisnya. Suasana sesaat seperti bisu dan kaku. Untunglah
kemudian muncul Nyai Carang sambil membawa talam
berisi mangkuk-mangkuk minuman dengan sekendi
air minum beserta sepinggan jadah ketan.
"Bengkak ini dapat disembuhkan, Ki Carang. Tapi
tentu saja memakan waktu beberapa hari!" ujar Mahe-sa Wulung. "Dan kamipun harus
meminta bantuan da-
ri teman kami yang seorang lagi. Sekarang ini ia tinggal di rumah Ki Sela."
"Syukurlah, Ki sanak," desis Ki Carang lagi.
"Namun kami ingin pula mengajukan beberapa per-
tanyaan kepada Bapak," Gagak Cemani ikut bicara.
"Pertanyaan apakah, Ki sanak" Silahkan!"
Gagak Cemani segera mengambil satu bungkusan
kain dari ikat pinggangnya dan dibukanya di depan Ki Carang seraya berkata,
"Kenalkah Bapak dengan benda-benda ini"!"
"Hahh! Itu... itu...," desis Jagabaya Carang dengan wajah kepucatan. "Di mana Ki
sanak mendapatnya?"
"Semalam, Ki Carang. Tak Jauh dari rumah Ki Se-
lakriya," sahut Mahesa Wulung pula.
"Mengapa sampai berada di tangan Ki sanak?"
"Semalam kami diserang dengan paku-paku baja
ini, tapi untunglah kami dapat menghindarkannya,"
kembali Gagak Cemani memberi penjelasan.
"Celaka diriku!" desis Jagabaya Carang.
"Mengapa Anda berkata demikian?"
"Paku-paku baja itu adalah senjataku!"
"Senjata dari Ki Carang"!" terdengar Ki Selakriya
berseru. "Ya, benar! Senjata paku baja ini adalah senjata ciri yang khusus tentang
diriku!" kata Ki Carang. "Dengan sendirinya tentu Ki sanak berdua mengira bahwa
aku-lah yang menyerang Andika berdua, bukan"!"
"Begitulah memang perkiraan kami yang semula,"
Mahesa Wulung menegaskan dirinya. "Tetapi dengan
melihat cedera bengkak pada kaki Andika, pastilah hal itu tidak mungkin."
"Yah, memang tidak mungkin. Tambahan lagi, aku
masih cukup waras untuk tidak sembarangan meng-
gunakan senjata ciri khusus seperti ini!" kata Ki Carang dengan suara berat. "Di
samping itu kita tidak bermusuhan, bukan?"
"Hah, itu benar, Ki Carang. Akan tetapi ada satu hal lagi yang menyebabkan kami
menyangka bahwa Andi-kalah yang menyerang kami semalam. Tentu saja kami bertiga
ingin mendengar penjelasan-penjelasan dari Ki Carang sendiri."
Jagabaya Carang menjadi kian tertarik oleh tutur
kata Mahesa Wulung tadi, maka segera ia bertanya,
"Hal apakah yang Ki sanak maksudkan itu?"
"Nah, dengarlah baik-baik, Ki Carang," ujar Mahesa Wulung menjelaskan. "Semalam
kami tengah mengo-brol dengan Ki Selakriya di rumahnya. Di antaranya
ada hal-hal penting yang kami bicarakan. Pada saat itu kami tiba-tiba merasa ada
seseorang yang mendengar dan memata-matai dari balik pintu masuk. Maka
secepatnya kami membuka pintu tersebut, dan ternyata di situ berdirilah
seseorang yang berwajah seperti Andika, Ki Carang! Wajah yang mirip sekali
sehingga kami tak ada alasan lain untuk menyangkal bahwa orang itulah Ki Carang
sendiri!" Mahesa Wulung berhenti sejenak, seolah-olah masih memberi kesempatan
berpikir kepada Ki Carang.
"Hehh... ya. Aku telah mendengarnya. Coba te-
ruskan dengan ceritera tadi," ujar Ki Carang disertai wajah kepucatan.
"Akhirnya kami membuntuti orang tersebut ketika
tak lama kemudian belasan paku-paku baja menye-
rang kami," demikian Mahesa Wulung menyudahi pe-
nuturannya. "Jika demikian maka baiklah aku menjelaskan ke-
pada Andika bertiga, mengapa kakiku sampai menderi-ta cedera seperti ini,"
berkata Ki Carang.
"Itu lebih baik, Ki Carang, Ceriterakanlah lebih jelas kepada Tuan-tuan berdua
ini. Sebab Tuan Mahesa
Wulung ini tidak lain adalah seorang wiratamtama dari Demak."
"Ohh, baik, Gusti. Baik..., hamba akan berceritera dengan sejelas-jelasnya,"
ujar Ki Carang kemudian
dengan wajah ketakutan dan gugup.
"Jangan merubah sikap, Ki Carang. Tetaplah seperti semula dan tidak perlu
membungkuk-bungkuk seperti
ini. Nah, lanjutkanlah ceriteramu tadi," gumam Mahe-sa Wulung kepada Jagabaya
Carang. Memang sikap si Jagabaya Carang tidak dapat dis-
alahkan, sebab ia sangat merasa rendah hati. Jabatan seorang jagabaya seperti
dirinya akan seberapa besar-
nya bila dibandingkan dengan kedudukan dan pangkat wiratamtama dari kerajaan"!
"Malam itu," demikian Ki Carang memulai cerite-
ranya, "yakni sehari sesudah saya menjumpai Tuan-
tuan di depan rumah Ki Selakriya, saya telah diserang di tengah hutan bambu.
Ternyata para penyerang tadi lebih dari seorang dan jelasnya mereka telah menge-
royokku! Salah seorang dari penyerang tadi marah-
marah dan berkata mengapa aku masih bersedia men-
jadi seorang jagabaya dan suka mencampuri urusan
orang lain. Maka saat itu juga terjadilah pertempuran seru di tengah hutan
bambu. Tapi sayang, sebelum
saya sempat menggunakan senjata khususku ini, tiba-tiba saja seorang lawanku
telah menghajar kaki ka-
nanku dengan pukulan sisi telapak tangan yang hebat, sehingga membuatku lumpuh
setengah pingsan. Aku
merasa beberapa orang menggeledahi pakaianku, se-
saat sebelum aku pingsan sama sekali.
"Ketika kemudian aku sadar, aku mendapati bahwa
kaki kananku telah sakit dan mulai bengkak kecil
membiru. Tetapi yang lebih kaget lagi, sewaktu aku meraba ikat pinggangku
ternyata sekantong senjata
paku baja milikku telah hilang! Dengan susah payah aku merangkak pulang sampai
keadaanku seperti Andika ketahui sekarang ini."
Baik Mahesa Wulung, Gagak Cemani maupun Ki
Selakriya terpekur mendengar penuturan Jagabaya
Carang tadi. Lebih-lebih bagi Mahesa Wulung berdua.
Kalau semula ia bersama Gagak Cemani telah ber-
keyakinan bahwa sasaran yang mereka cari adalah si Jagabaya itu, maka di saat
ini juga keyakinan tadi menjadi lenyap.
Jalan yang semula terang, kini menjadi gelap kem-
bali, seakan menyesatkan kedua pendekar yang hen-
dak melewatinya. Oleh karenanya pula Mahesa Wu-
lung dan Gagak Cemani terbisu untuk beberapa saat.
"Masih ada sesuatu yang kurang jelas, Ki Carang,"
tiba-tiba Gagak Cemani melanjutkan bicara, "yaitu tentang wajah seorang asing
yang mirip dengan wajah
Andika." "Hmm, aku belum dapat mengerti hal itu, Tuan,"
ujar Ki Carang. "Jelas bahwa nama saya telah ternoda dalam peristiwa ini."
"Ada dua kemungkinan mengenai wajah itu!" Mahe-
sa Wulung menyela. "Pertama, orang tersebut sengaja menggunakan semacam topeng
dengan maksud meli-batkan nama Ki Carang. Sedang kemungkinan kedua
orang tersebut memang benar-benar memiliki wajah
itu. Mungkin dia adalah salah seorang dari saudara Ki Carang."
"Ya! Keduanya memang serba mungkin!" ujar Ki Ca-
rang pula. "Akupun mempunyai seorang adik yang
berwajah mirip dengan wajahku. Tapi ia telah pergi meninggalkanku belasan tahun
yang lalu. Dan sejak
itu saya tak mendengar lagi kabar beritanya."
"Siapakah nama adik Andika itu, Ki Carang?" Gagak
Cemani bertanya pula. "Jika tidak berkeberatan, biarlah kami sedikit banyak
mengetahui tentang dirinya."
"Namanya adalah Jaka Rebung," jawab Ki Carang
seraya menghela napas. "Dia pergi meninggalkanku
karena satu pertengkaran kecil yang berkisar soal keluarga."
"Itu sudah cukup, Ki Carang," potong Gagak Cema-
ni pula. "Kami tak ingin mencampuri urusan keluarga Andika. Cukuplah dengan
keterangan itu saja pada
kami." "Terima kasih. Semua keteranganku semoga bergu-
na bagi Tuan-tuan berdua."
"Kembali tentang cedera pada kakimu ini, Ki Ca-
rang," kata Gagak Cemani seraya memungut tabung
kecil dari ikat pinggangnya dan menuangkan beberapa butir obat yang berwarna
hijau ke atas telapak tangannya. "Minumlah nanti obat ini dan jalan darah yang
terhenti pada cedera bengkak itu akan menjadi lancar kembali."
"Ooh, terima kasih, Tuan."
"Belum cukup dengan itu, Ki Carang. Tunggulah
nanti. Seorang temanku yang bernama Palumpang
akan datang kemari dan ia akan mengurut serta mem-
balut luka bengkak itu dengan ramu-ramuan ja-
munya." Ki Carang menjadi berseri-seri wajahnya saking
gembira dan kemudian ia meletakkan tiga butir obat pemberian Gagak Cemani ke
dalam mangkuk di sebe-lahnya. Selanjutnya ia mempersilahkan ketiga ta-
munya ini untuk meneguk minuman serta mencicipi
jadah ketannya, dan pembicaraanpun berkisar ke soal-soal biasa yang sehari-hari.
Tampak benar keramahan yang terjelma dalam
pembicaraan mereka. Malahan Nyi Carangpun ikut ke-
luar dan menemani ketiga tamunya dengan membawa
pisang rebus. Ketika matahari mulai condong ke kaki langit di sebelah barat, Ki Selakriya,
Mahesa Wulung, dan Gagak Cemani segera meminta diri. Sedang senja nanti
Palumpang akan datang ke tempat Ki Carang untuk
mengobati bengkak pada kakinya.
*** Sehari kemudian, pada saat matahari telah muncul
di balik pepohonan hutan di sebelah timur, Mahesa
Wulung telah mempersiapkan kudanya bersama yang
lain. Gagak Cemani, Pandan Arum dan Tungkoro sudah
membereskan bekal-bekal dan barang-barangnya.
Tampak pula Ki Selakriya, Sekarwangi dan Palumpang membantunya.
Seperti rencana semula, Palumpang tetap tinggal di rumah Ki Selakriya untuk
beberapa hari sambil menunggu kedatangan beberapa orang prajurit Demak
yang akan tinggal di sekeliling Ki Selakriya.
"Hati hatilah, Sobat Palumpang," ujar Mahesa Wu-
lung sambil tersenyum ramah. "Jagalah Ki Selakriya dan Sekarwangi baik-baik."
"Heh, heh, heh. Andika tak perlu khawatir, Sobat
Wulung," sahut Palumpang. "Akan kujaga mereka den-
gan sebaik-baiknya."
"Terima kasih," ujar Mahesa Wulung sambil menja-
bat tangan sahabatnya itu, disusul oleh Gagak Cema-ni, Pandan Arum dan Tungkoro.
Ki Selakriya dan Se-
karwangipun tidak ketinggalan untuk mengucapkan
selamat jalan kepada rombongan yang akan pergi itu.
Tak lama kemudian, Mahesa Wulung berempat te-
lah menderapkan kudanya meninggalkan halaman
rumah Ki Selakriya, sementara beberapa orang penduduk di situ ikut melambai-
lambaikan tangannya sebagai ucapan selamat jalan.
Debu berkepul-kepul mengalun ke udara mening-
galkan bekas-bekas jalan yang dilalui oleh rombongan kecil yang menuju ke arah
Demak. "Kakang Cemani," ujar Mahesa Wulung. "Persoalan
menjadi kian berbelit-belit, lebih-lebih dengan lenyap-nya jejak penyerangan
gelap yang bersenjatakan paku baja itu."
"Memang, Adi Wulung," sambung Gagak Cemani.
"Namun aku yakin bahwa persoalannya pasti akan da-
pat kita pecahkan."
"Bagaimana dengan Kakang Cemani" Apakah kira-
kira si penyerang gelap itu ada hubungannya dengan Tangan Iblis?"
"Masih terlalu samar-samar, Adi Wulung. Dari ke-
duanya dapatlah kita catat adanya dua peristiwa dalam satu lingkungan, meski
dalam saat yang agak ber-lainan," Gagak Cemani berkata menggambarkan pen-
dapatnya. "Peristiwa dilukainya Ki Selakriya oleh Tangan Iblis dan cederanya Ki
Carang oleh penyerang gelap yang merampas senjata paku bajanya, benar-benar
cukup menyulitkan. Tapi yang lebih penting adalah
melaporkan dan memeriksa denah rahasia Bukit Kepa-
la Singa pemberian Ki Sela, ke Demak!"
"Benar, Kakang Cemani. Sabuk kulit berisi gambar
rahasia itu telah aku bawa dan sekarang aku pasang pula pada pinggangku," ujar
Mahesa Wulung seraya
menepuk ikat pinggang kulit pemberian Ki Selakriya.
"Nah, bukankah hal itu sangat penting. Dan siapa
tahu dari ikat pinggang tersebut, akan tercium pula jejak-jejaknya Tangan
Iblis." "Aku tak mengira bahwa Sugatra yang bergelar
Tangan Iblis itu telah sampai di daerah Demak!"
"Satu pertanda bahwa daerah ini telah kemasukan
musuh-musuh gelap," ujar Gagak Cemani. "Bahkan
salah seorang prajurit kawal telah mengkhianatimu.
Andika masih ingat, Adi Wulung?"
"Benar, Kakang Cemani. Aku masih ingat betapa
Gombong, si prajurit kawal itu, pernah menjebakku, meski akhirnya ia mati dan
menyesal atas perbuatan-nya," ujar Mahesa Wulung menjelaskan. (Bacalah Seri Naga
Geni 17, Seribu Keping Emas untuk Mahesa Wulung)
Gagak Cemani manggut-manggut mengerti dan ia-
pun teringat, betapa Mahesa Wulung telah diculik oleh Surokolo beberapa waktu
yang lalu. Mereka berempat makin mempercepat pacu ku-
danya ke arah selatan melewati tanah-tanah persawahan yang sangat subur.
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa kali mereka berpa-
pasan dengan orang-orang desa yang menggendong
barang-barang dagangan seperti sayur-mayur dan lain-lainnya.
"Rasanya aku ingin lekas-lekas sampai ke Demak,"
desah Mahesa Wulung. "Terlalu banyak persoalan-
persoalan yang harus kita selesaikan."
"Heh, heh, heh," Gagak Cemani tertawa menggele-
gas. "Selama manusia itu hidup akan selalu ada persoalan-persoalan yang
melibatnya. Hal itu harus kita hadapi dengan dada terbuka, Adi Wulung. Anggaplah
sebagai satu ujian saja. Mana yang lebih kuat dan tabah, dialah yang bakal
mengatasi persoalan itu. Sedang yang lemah, pastilah dia bakal terseret dan
tenggelam di dalamnya."
"Heh, yah, kiranya memang begitu," desah Mahesa
Wulung seraya mengangkat muka saking kagumnya
dengan tutur-kata sahabatnya Gagak Cemani tadi.
Keempatnya terus berpacu dan membelok ke kanan
memasuki jalan agak besar yang di kiri kanannya penuh ditumbuhi oleh pohon-pohon
asam. Itulah jalan
yang menuju ke kota Demak.
BAGIAN III Dalam pada itu, jauh di sebelah utara, di luar kota Asemarang, terlihatlah dua
sosok tubuh yang berjalan bergegas tergesa-gesa.
Jalanan di situ cukup sepi dan awan mendung be-
rarak-arak menambah suasana kesenyapan yang me-
nimbulkan kebekuan dan keseraman.
Kalau bayangan yang satu bertubuh ramping den-
gan rambut disanggul di atas, maka yang seorang lagi bertubuh pendek sedikit
gemuk. "Ayolah, Paman Dunuk! Aku tak sabar lagi untuk
tiba di rumah Ki Sungkana. Mari kita berjalan saja,"
demikian seru si tubuh ramping, gadis bersanggul
yang berwajah manis membulat telur itu.
Pada pinggangnya terselip sebatang tongkat hitam
mengkilap. Larinya sangat cepat, tak ubahnya lari seekor kijang.
"Weh, weh. Baik, Angger. Tapi jangan cepat-cepat!"
seru laki-laki bertubuh pendek gemuk yang mengikuti lari si gadis dengan sedikit
susah payah. Tapi ternyata iapun cukup gesit pula.
Ketika Ki Dunuk merasa sedikit tertinggal di bela-
kang, maka berserulah ia dengan komat-kamit, "Tun!
Atun! Atuuunnn! Engkau terlalu cepat berlari."
Namun gadis itu seperti tidak mendengar seruan Ki
Dunuk. "Cepatlah, Paman Dunuk! Susullah aku! Pakailah
ilmu lari yang telah kau pelajari itu!" seru gadis bertongkat hitam seraya
tersenyum, melihat betapa laki-laki gemuk pendek itu terguncang-guncang
mengikuti larinya, tak ubah sebuah bola yang menggelinding di atas tanah
berbatu-batu. Ki Dunuk masih berkomat-kamit, sedang gerundal-
nya terdengar. "Weh, weh. Angger Tuntari memang gesit. Dan benar pula kalau aku
harus menggunakan il-mu lari. Jika tidak, mustahil aku sanggup menyusulnya."
Maka sesaat kemudian iapun mengetrapkan ilmu
larinya dengan landasan ilmu penataan irama napas
dan langkah kaki. Ki Dunuk cukup sebat untuk itu.
Biarpun langkah kakinya tidak lebar-lebar karena tubuhnya yang pendek, tapi ia
mampu menggerakkan-
nya dengan cepat, berganti-ganti tak ubahnya putaran baling-baling.
Sebentar itu pula, keduanya telah berlari dengan
cepatnya hampir-hampir sukar ditangkap mata, kecua-li dua sosok tubuh bagai
bayangan hitam susul-
menyusul tanpa henti.
Kini tampaklah bahwa Ki Dunuk tidak terpaut terla-
lu jauh jaraknya dengan lari si gadis ramping itu. Paling-paling ia cuma terpaut
dua langkah saja di belakangnya, dan itu sudah lebih untung baginya. Keduanya
melewati jalan-jalan yang sunyi dan arahnya makin ke luar kota, menuju ke arah
barat. Gadis bertongkat hitam yang bernama Tuntari itu
tidak mengurangi larinya. Baginya ia harus cepat-cepat tiba di rumah Ki
Sungkana, salah seorang sahabat
ayahnya yang paling akrab.
Demikianlah perintah ayahnya. Ia harus tiba di sa-
na sebelum senja hari dan menerima sesuatu dari Ki Sungkana yang kemudian harus
disampaikan kepada
ayahnya. Tapi barang apakah yang akan diterimanya itu, ia
tak diberitahu, bahkan ayahnya sendiri juga tidak
mengetahuinya. Yang ia masih ingat adalah datangnya seorang utusan Ki Sungkana
ke rumahnya dengan
menyerahkan sebuah surat untuk ayahnya.
Surat tadi menyatakan bahwa ayahnya atau salah
seorang utusannya harus segera mengambil sebuah
barang penting ke rumah Ki Sungkana.
Sekarang dialah yang mewakili ayahnya untuk
mengambil barang tersebut, ditemani oleh Ki Dunuk, salah seorang pembantu
ayahnya yang telah diang-gapnya seperti keluarga sendiri.
Satu perasaan aneh telah menyelinap di dalam dada
Tuntari, menimbulkan degupan dan detak-detak keras.
Dengan sendirinya gadis ini sibuk menerka-nerka,
apakah gerangan yang bakal dijumpainya. Mengapa
hatinya tiba-tiba saja merasa cemas tak tentu arahnya.
Adakah bahaya di depannya"
Namun apa yang dirasakan oleh Tuntari tadi benar-
benar telah terjadi. Tak berapa jauh jaraknya dari Tuntari dan Ki Dunuk berlari-
lari, berlangsunglah satu pertempuran seru di sebuah halaman rumah yang cukup
lebar dan terpelihara rapi. Sayangnya pertarungan yang kini tengah berlangsung,
telah membuat porak-poranda halaman tersebut.
Beberapa tanaman bunga dan pohon-pohon buah
telah hancur terbabat oleh senjata dan terinjak-injak kaki, sehingga
terbayanglah betapa serunya pertarungan ini.
"Ki Sungkana! Kau tak bakal mampu bertahan lama
meski beberapa orang pembantu telah membelamu!"
teriak seorang bertubuh tegap berpakaian warna coklat sedang mulutnya tertutup
oleh kain selendang yang
membalut lehernya. Pada tangan kanannya tergeng-
gam sebilah pedang pendek yang bermata tajam pula
kedua belah sisinya.
"Keparat! Mengapa dengan pengikutmu sebanyak
itu engkau mengepung rumahku"! Apa yang kauke-
hendaki"!" ujar Ki Sungkana dengan beraninya, se-
mentara sebilah keris telah siap di tangan kanannya.
"Ha, ha, ha. Jangan berlagak linglung dan melom-
pong, Sobat Sungkana! Aku tahu bahwa engkau me-
nyimpan barang berharga, yang mahalnya melebihi
emas intan! Ha, ha, ha. Serahkan saja barang itu kepadaku!"
"Tahu apa aku, tentang barang yang kau maksud
itu"!" ujar Ki Sungkana disertai dada berdebaran.
"Ha, ha, ha. Masih pura-pura pilon, hee"! Bukankah engkau menyimpan Arca Ikan
Biru"!" seru si mulut
berselubung dengan lantangnya.
Mendengar ini, bukan main terkejutnya hati Ki
Sungkana. Sebab memang sesungguhnya ia memiliki
dan menyimpannya dengan hati-hati apa yang disebut Arca Ikan Biru tadi. Ia masih
ingat betul bahwa kurang lebih dua pekan yang lalu, di saat ia mengunjungi
daerah Bandar Asemarang telah bertemu dengan seorang
tua yang turun dari sebuah perahu besar.
Pelaut tadi menjumpai Ki Sungkana dan menanya-
kan selanjutnya, apakah Ki Sungkana seorang jujur dan tidak memusuhi
pemerintahan Demak" Ini adalah
satu pertanyaan yang kelewat aneh! Akan tetapi Ki
Sungkana telah menjawabnya dengan tegas dan ra-
mah, bahwa dirinya adalah termasuk orang yang de-
mikian. Maka tiba-tiba saja pelaut tua ini mengeluarkan sebuah arca kecil berbentuk
ikan, terbuat dari batu permata biru. Itulah sebabnya kemudian disebut Arca
Ikan Biru. Kepada Ki Sungkana, benda tadi ditawarkan dengan disertai pesan agar
benda tersebut segera disampaikan kepada salah seorang narapraja yang akan
meneruskannya ke Demak.
Akhirnya Ki Sungkana membeli benda itu dari tan-
gan si pelaut tua. Sekali lagi ia mendengar pesan dari orang ini bahwa Arca Ikan
Biru itu sangat penting artinya bagi kerajaan.
Dan Ki Sungkana sendiri tahu bahwa ia mempunyai
salah seorang sahabat yang kebetulan menjabat seo-
rang narapraja di Asemarang dan kepadanyalah Ki
Sungkana bermaksud akan menyerahkan barang ber-
harga itu. Tetapi sekarang, benda tersebut akan dirampas oleh beberapa orang yang menyerang
rumahnya. Maka sudah tentu Ki Sungkana tidak akan membiarkan hal itu dan dengan
tekadnya ia akan mempertahankan Arca
Ikan Biru di dalam tangannya!
"Jadi kau masih membandel, ya"!" terdengar kem-
bali seruan keras dari mulut lawannya yang berpedang pendek itu.
Ki Sungkana tak menjadi gentar oleh ancaman ini
dan dengan lantangnya ia menyahut, meski dengan
mengelakkan jejak benda berharga itu, "Kau salah
alamat! Seandainya aku memiliki barang tersebut, pasti kupertahankan mati-
matian!" Si pedang pendek menggeram marah oleh jawaban
Ki Sungkana, namun sekelumit keragu-raguan muncul
pula di dalam dadanya. Jangan-jangan Ki Sungkana
tidak menyimpan benda yang dicarinya itu.
Akan tetapi segala sesuatunya telah terlambat,
seandainya saja ia bermaksud menarik serangannya
terhadap Ki Sungkana ini. Bahkan mungkin akan me-
nimbulkan hal-hal yang merugikan dirinya. Tampaklah beberapa pengikutnya telah
bertempur. Maka ia harus melanjutkan tindakannya ini dan se-
gera menumpas Ki Sungkana beserta seluruh penghu-
ni rumahnya! "Mampuslah dengan pedangku ini!" teriak si pedang
pendek seraya meloncat maju dengan menyabetkan
senjatanya ke arah Ki Sungkana.
Ki Sungkana itupun kemudian tidak membiarkan
dadanya terobek oleh pedang lawannya, dengan me-
mutar tubuh ke belakang setengah lingkaran tanpa lu-pa merendahkan kepala.
Maka lewatlah pedang lawan itu sejauh satu jengkal di sisi kepalanya. Namun
terkejut juga Ki Sungkana
dibuatnya. Sambaran pedang itu ternyata sangat ce-
patnya, meski meleset dari sasaran.
Rupanya, Ki Sungkana tidak sekedar mengendap
saja dengan percuma, sebab kakinya tak ketinggalan mengirimkan satu tendangan ke
pinggang lawan dengan cukup deras.
Si Mulut Bertudung melihat hal itu dan segera be-
rusaha menghindarkan diri, tetapi ia tak mempunyai waktu secukupnya hingga
tendangan Ki Sungkana
berhasil pula menggempur pinggangnya. Terasalah suatu deraian rasa sakit seolah-
olah pinggangnya akan patah berkeping-keping.
Sambil mengumpat-umpat, si Mulut Bertudung
mengaduh kesakitan dan terhuyung-huyung ke samp-
ing, sementara Ki Sungkana berusaha mengejarnya
dengan satu tikaman maut dengan kerisnya.
"Hyaaatt!"
Meskipun pinggangnya masih merasa sakit, si Mu-
lut Bertudung tidak menyia-nyiakan dirinya untuk jadi sasaran keris lawannya. Ia
menjatuhkan diri ke tanah dan mengguling-guling menjauh dan kemudian tubuhnya
melenting ke atas seperti ulat.
Kagum juga Ki Sungkana melihat ketrampilan la-
wannya, dan karenanya ia menerjang kembali dengan
kerisnya! Pertempuran hebatnya segera terjadi.
Dalam pada itu, beberapa orang pembantu Ki
Sungkana tak kalah serunya bertarung melawan para
pengikut si Mulut Bertudung. Gema senjata beradu
dan teriakan-teriakan terdengar riuh, menambah keseraman suasana.
Ternyata bahwa para pengikut si Mulut Bertudung
ini sangat tangkas dan ganasnya. Tandang geraknya
tampak liar seperti sekawanan iblis yang sedang men-gerubut mangsa.
Setelah beberapa saat bertempur memeras tenaga
dan menumpahkan segenap kepandaiannya, ternyata-
lah bila para pembantu Ki Sungkana mulai terdesak
oleh lawan-lawannya. Mereka terkurung oleh libatan-libatan senjata golok dan
pedang dari pengikut si Mulut Bertudung. Rupanya saja mereka telah mengguna-
kan ilmu serangan berantai yang gerakannya selalu
bertautan susul-menyusul. Dengan begitu lawan-
lawan yang dihadapi dengan cara ini akan menjadi
buyar dan kewalahan.
Bila mereka tak memiliki ilmu bertempur yang am-
puh, jangan harap sanggup menanggulangi para pen-
gikut si Mulut Bertudung.
Rupanya Ki Sungkana yang lagi gigih bertarung me-
lawan pemimpin menyerbu ini dapat memahami kere-
potan para pembantunya, maka setapak demi setapak
ia berusaha mendekati titik pertempuran mereka agar segera ia dapat membantu
orang-orangnya yang tampak terdesak itu.
Sayang sekali akhirnya. Tampaknya saja si Mulut
Bertudung dapat mencium maksud Ki Sungkana itu,
maka serta-merta ia mempergencar serangan pedang-
nya. Mata pedang pendek si Mulut Bertudung tampak
menjadi puluhan, bahkan sesaat kemudian berbareng
si penyerang aneh ini berseru, maka mata pedangnya menjadi ratusan, menyerang
bagian-bagian pertaha-nan Ki Sungkana yang lemah.
Buat sesaat, Ki Sungkana memang terkejut, tapi ia-
pun meningkatkan serangannya pula dan kerisnya se-
kali-sekali berhasil menyelusup ke dalam putaran pedang pendek si Mulut
Bertudung. Bahkan keris itu pula berhasil menyentuh pakaian
si Mulut Bertudung, hingga lawannya ini mengutuk-
ngutuk manakala beberapa bagian pada pakaiannya
terobek. "Kau pandai juga berolah senjata, Ki Sungkana!" se-ru si Mulut Bertudung dengan
nada geram. "Aku sen-
gaja masih memberi kesempatan kepadamu untuk ber-
lagak!" "Jangan coba-coba menggertak! Aku masih sanggup
melayanimu bertempur sampai malam nanti!" balas Ki Sungkana dengan terus
menggerakkan kerisnya.
"Lekaslah minta ampun kepadaku!"
"Apa perlunya"!"
"Supaya hidupmu masih kuampuni!"
"Heh, heh. Pantasnya kau bercakap-cakap dengan
anak kecil yang masih ingusan," seru Ki Sungkana,
"sehingga mendengar gertakanmu ini, akan gemetar
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis!"
"Terlalu sombong! Coba kau sambut bacokanku ini.
Hyaatt," terdengar si Mulut Bertudung berteriak dan tiba-tiba saja pedang
pendeknya mematuk ke arah kepala Ki Sungkana.
Hampir saja pedang itu sempat membuat lobang
pada kepala Ki Sungkana, jika orang tua ini tidak lekas-lekasnya mengendap ke
bawah. Wess! "Keparat setan! Gesit juga gerakanmu!" umpat si
Mulut bertudung sambil mengejar terus gerakan tubuh lawannya, dan pedangnya
laksana kilat yang menyerbu dan menerjang dengan dahsyatnya.
Apalagi seperti si Mulut Bertudung ini yang melan-
dasi setiap serangannya dengan tenaga dalam yang
cukup tangguh. Traangng! Tiba-tiba saja keris Ki Sungkana membentur pe-
dang lawannya, ketika pedang ini mencoba menikam
dari arah samping.
"Huh!" desah Ki Sungkana begitu kerisnya memben-
tur pedang lawan. Terasa telapak tangannya sangat
nyeri sebab keris tadi seolah-olah membentur dinding baja yang tebal. Tubuhnya
bergetar dan surut beberapa langkah.
Tidak hanya Ki Sungkana, si Mulut Bertudung pun
terperanjat ketika saja pedangnya hampir terpelanting lepas. Hanya saja ia agak
lebih unggul dari lawannya sebab tubuhnya tak bergeming ataupun tergetar surut.
"Hmm, aku masih lebih unggul dari lawanku!" desis
si Mulut Bertudung seraya tersenyum kecut. "Akhirnya toh aku pasti dapat
merobohkannya!"
"Eaarhh!" Terdengar jeritan dari lingkungan per-
tempuran antara pembantu-pembantu Ki Sungkana
melawan para pengikut si Mulut Bertudung.
Seorang pembantu Ki Sungkana roboh dengan dada
sobek, menghamburkan darah segar karena tebasan
golok lawannya. Hal ini terang mempengaruhi teman-
temannya, sehingga sedikit banyak hati mereka tergetar cemas.
Suara gemerincing senjata makin seru dan bunga-
bunga api memercik ke sana-sini menambah gempar
dan kalut. Malahan tak antara lama, terdengar pula teriakan parau berbareng
korban kedua di pihak pem-
bantu-pembantu Ki Sungkana. Orang tersebut ter-
sungkur dan pundak sempal karena dilanggar golok
lawan. Ki Sungkana makin tak sabar melihat beberapa
anak buahnya telah roboh bermandi darah. Akhirnya
ia menggenjotkan kaki dan tubuhnya melenting ke
arah lingkaran pertempuran yang telah kalut.
Sekali ini, Ki Sungkana melesat tanpa memberi ke-
sempatan. Si Mulut Bertudung mendahului tindakan
lawannya. Iapun meloncat ke udara sehingga berpapa-sanlah keduanya di udara
bersamaan kedua senja-
tanya beradu dengan dahsyatnya.
Traaangng...! Keduanya hinggap kembali di atas tanah bagai dua
ekor jago yang habis melambung dan berlaga di udara.
Ki Sungkana tertatih-tatih ke samping, namun ia masih dapat bertahan dan
menguasai keseimbangan tu-
buhnya. Sedang si Mulut Bertudung tertawa terkekeh-kekeh,
manakala kedua kakinya mendarat di tanah dengan
mantapnya, seolah kedua telapak kaki itu mencengkeram bumi tanpa bergeming
sedikitpun. Melihat ini, hati Ki Sungkana berdesir pula. Kini ia tahu bahwa setidak-tidaknya
si Mulut Bertudung itu berada di atasnya dalam tingkat ilmunya. Ia mempunyai
beberapa kelebihan daripada dirinya.
"Hmm, aku harus menyerang secepat kilat," desis Ki Sungkana sambil melesat
dengan tusukan kerisnya ke arah tubuh lawan yang masih berdiri kokoh sambil
tertawa-tawa. Si Mulut Bertudung menyadari bahaya ini dan ber-
kelit ke samping, namun tiba-tiba terasalah lengannya seperti disengat lebah.
Pedih dan panas. Ketika ia menengok ke samping ternyatalah bahwa lengannya ter-
gores mengucurkan darah.
"Kurang ajar!" geram si Mulut Bertudung penuh
kemarahan dan sebentar menyeringai pedih. "Kau ha-
rus menebus lebih mahal untuk kesombonganmu ini,
Ki Sungkana!"
"Hiaah!" Tubuh si Mulut Bertudung tiba-tiba saja
berbalik dan pedang pendeknya menyambar ke lutut
Ki Sungkana yang belum bersiaga sepenuhnya.
Keruan saja gerak naluri Ki Sungkana bekerja ce-
pat. Ia melenting ke udara menghindari sambaran pedang tersebut. Mendadak saja,
dalam saat yang singkat dan berbareng, si Mulut Bertudung menggerakkan tangan
kirinya ke depan.
Sing! Sinngg! Sinngg! Beberapa sinar hitam me-
nyambar langsung ke arah Ki Sungkana dengan de-
rasnya, tak ubahnya sambaran ular-ular ganas yang
menyerang mangsa.
Ki Sungkana tahu hal itu, namun kejadian ini terja-di begitu sangat cepatnya dan
tanpa ampun lagi sinar-sinar hitam tadi sebagian besar menerkam dirinya!
"Eaaarrrgh...!" jerit parau melontar dari mulut Ki Sungkana ketika terasa bahwa
lengan dan bahunya
menjadi pedih bukan main. Ia lalu terhuyung-huyung, sementara tangan kirinya
berusaha meraba bahu kanan dan lengannya yang kini menjadi panas serasa
terbakar dan setengah lumpuh.
"Senjata rahasia!" desis Ki Sungkana ketika jari-
jemarinya menyentuh benda-benda runcing semacam
jarum berukuran kelewat besar bersarang pada daging bahu dan lengannya.
Biarpun rasa sakit mulai menyerang sendi-sendi tu-
lang lengan dan bahunya, Ki Sungkana berusaha buat bertahan diri. Sinar matanya
memancarkan kemarahan yang meluap-luap kepada lawannya: si Mulut Bertudung.
"Hah, ha, ha, ha. Bagaimana Ki Sungkana" Cukup
nikmat, bukan, senjata rahasiaku itu"!" ejek si Mulut Bertudung seraya
menyeringai kepuasan.
Ki Sungkana menggeram marah, telinganya terasa
terbakar oleh bara api yang panas. Dengan langkah-
langkah pelahan dan terhuyung ia bersiaga kembali
untuk serangan terakhir.
"Heh, heh. Hai, bocah-bocah!" seru si Mulut Bertu-
dung kepada para pengikutnya yang lagi sibuk ber-
tempur. "Jangan kepalang tanggung. Binasakan setiap pembantu dan penghuni rumah
Sungkana ini!"
Kemarahan makin memuncak di kepala Ki Sungka-
na, menyebabkan ia mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk melancarkan serangan
balasan dengan kerisnya.
Tetapi ia lebih terkejut lagi begitu ia menerjang ke depan, si Mulut Bertudung
telah mendahului dengan
gerakan pedangnya.
Breettt! "Aaakkk!" Ki Sungkana terhenyak berdiri, sesaat sesudah lambungnya merasa dingin
dan pedih, terobek
oleh pedang lawan. Darah panas terasa membasahi
kakinya. Sambil tertatih-tatih ia bersandar pada dinding rumah, sementara kerisnya
tercampak lolos dari tangannya yang kini setengah lumpuh. Ia sudah tak mampu
berbuat apa-apa dan dirinya telah pasrah kepada Tuhan Yang Maha Penyayang untuk
ajalnya. "Ha, ha, ha! Begitu lebih baik, Sungkana. Sedotlah udara sore yang terakhir
sebelum pedangku ini mem-belah badanmu!" seru si Mulut Bertudung serta me-
langkahkan kakinya perlahan-lahan ke arah Ki Sung-
kana yang bersandar seperti pohon layu tanpa daya.
Tubuhnya terasa makin lemah dan kini tidak lagi
mampu bersandar, tapi perlahan-lahan merosot ke
bawah untuk kemudian jatuh terduduk sambil mene-
bah lambungnya.
Melihat ini, si Mulut Bertudung semakin mengum-
bar ketawa berderai mengalun di udara sore. Hatinya semakin puas meski
seandainya Arca Ikan Biru itu tidak dijumpainya, toh ia berhasil menumpas Ki
Sung- kana! Lawannya itu kini telah tak berdaya, tak ubahnya
seekor ikan yang kekeringan air, terjelapak menanti aj-al. Hanya sorot matanya
saja yang masih menatap senjata pedang di tangan si Mulut Bertudung.
Ujung pedang tersebut bergerak-gerak dan semakin
bertambah dekat seolah-olah mengiramakan tarian
maut, apalagi Ki Sungkana telah sadar bahwa tak ada sedikitpun kesempatan untuk
menghindari. Iapun tahu bahwa para pengikut si Mulut Bertu-
dung telah mengepung rumahnya dengan serapat-
rapatnya. Bahkan tampak pula olehnya bahwa pintu
pagar batu halaman rumah telah pula dijaga oleh empat anak buah si Mulut
Bertudung dan menutupnya
dari dalam. Dengan demikian tipis sekali harapan orang luar
yang berani menolongnya. Apalagi pintu tersebut terbuat dari kayu yang cukup
tebal. Sedang letak rumahnya sendiri terletak jauh di luar kota, jauh dari
keramaian manusia sehari-hari.
Kembali ditatapnya pedang lawannya yang sebentar
lagi pasti menerkam tubuhnya. Ki Sungkana buru-
buru memejamkan mata untuk menjaga agar ia tabah
menghadapi saat kematian.
Telinganya kini mendengar langkah-langkah yang
semakin dekat, diiringi rentetan ketawa yang menggila dan kata-kata kemenangan.
"Haaa, terimalah pedangku ini, Sobat! Hyaat!"
Traaangngng! "Haduuhh!" teriakan sesambat meluncur dari bibir
si Mulut Bertudung, manakala sebuah bayangan hitam yang ramping melesat masuk
dari arah luar pagar
tembok dan langsung menghajarkan tongkat hitam ke
sisi pedang pendeknya yang hampir membacok tubuh
Ki Sungkana. Si Mulut Bertudung tidak hanya sekedar terkejut
biasa tapi terkejut dan luar biasa, sebab hanya dengan benturan itu saja
tubuhnya telah terpental dan bergulingan seolah-olah ia telah terlanggar oleh
tenaga raksasa yang sukar ditakar kekuatannya.
Dalam saat itu tangannya serasa terbakar dan
hampir saja pedangnya terlepas seandainya ia tidak lekas-lekas mengerahkan
tenaga untuk mati-matian
mempertahankannya.
"Setan! Siapa engkau" Berani turut campur uru-
sanku, huh!" gerundal si Mulut Bertudung untuk me-
nutupi tangan kanannya yang masih kesemutan
menggenggam pedang.
"Heh, heh, heh. Jangan berpura-pura, Sobat! Tan-
ganmu merasa kesemutan, bukan?" ujar si penyerang
dengan suara nyaring yang tidak lain adalah Tuntari, si gadis bertongkat hitam.
Si Mulut Bertudung berjingkrak kaget mendengar
ucapan penyerang. Sungguh tepat ucapan tadi. Ter-
nyata memang jari-jari tangan kanannya masih pegal-pegal.
"Hmm, kau mencari mati, hah"!" seru si Mulut Ber-
tudung seraya bersiaga kembali. "Kaukira, dengan seorang diri akan sanggup
menghadapi kami yang sekian banyaknya"!"
"Tak usah banyak cakap! Lihat saja nanti!" seru
Tuntari dengan tenangnya. Tongkat hitam di tangan-
nya telah siap.
"Kau gadis sombong! Sayang sekali kalau aku harus
membunuhmu! Lekas berlalu dari depan mataku!"
Braaaasss! Daaarr!
Tiba-tiba terdengar benturan hebat.
Si Mulut Bertudung terperanjat bukan main oleh
suara benturan yang hebat tadi, dan berpalinglah ia ke
arah tembok halaman.
Sedang Tuntari cuma tersenyum kecil saja.
Ketika semua pandangan si Mulut Bertudung dan
para anak buahnya tertuju ke arah pintu, dapatlah
mereka menyaksikan satu pemandangan yang menga-
getkan penuh pesona.
Pintu gerbang kayu tadi sempal dan pecah, sedang
keempat anak buah si Mulut Bertudung yang berjaga
di situ terpelanting dan tercampak ke atas tanah bagai lembaran-lembaran daun
kering, tanpa dapat bangun
kembali, kecuali menggeliat-geliat diiringi mulutnya menggerung-gerung
kesakitan. Kemudian di tengah-tengah daun pintu yang telah
berantakan itu muncullah seorang bertubuh gemuk
pendek, dan masuklah ia ke dalam halaman, dalam
langkah-langkah tenang.
Beberapa anak buah si Mulut Bertudung yang telah
bersiaga menyambutnya, menjadi mundur teratur dan
bersiap mengepungnya.
"Paman Dunuk!" seru Tuntari keras-keras. "Jangan
tanggung-tanggung menghadapinya! Mereka adalah
orang yang kejam dan tidak berperi-kemanusiaan. Be-rilah hajaran dan jangan
kasih ampun!"
Bersamaan teriakan gadis itu, salah seorang anak
buah si Mulut Bertudung mencoba menerjang maju se-
raya menebaskan goloknya ke arah Ki Dunuk.
"Hyaaatt... mampus kau!"
"Hupp!" Ki Dunuk gesit menggerakkan kedua belah
tangannya dan tahu-tahu si penyerang tadi tertangkap tangan. Dengan sekali
pelintiran tangan, golok tadi terlepas dari tangan si penyerang dan ia
bergelinjang manakala tubuhnya tahu-tahu telah diangkat oleh kedua belah tangan
Ki Dunuk. "Kembali ke teman-temanmu!" seru Ki Dunuk seka-
ligus menggerakkan kedua tangannya ke depan dan
tubuh si penyerang tadi tanpa ampun meluncur deras lalu menimpa tubuh teman-
temannya yang lain!
Broakk! "Earrghh!" Si penyerang yang terlempar tadi men-
dadak menjerit keras sewaktu merobohi teman-
temannya. Ternyatalah bahwa sebuah golok temannya
telah menancap tubuhnya tanpa disengaja! Seketika
tubuhnya berkelojotan dan sesaat kemudian matilah
ia. Melihat hal ini, hati anak buah si Mulut Bertudung lainnya menjadi tergetar,
namun tak ada pilihan selanjutnya, selain mereka serentak menyerang berbareng ke
arah Ki Dunuk. Sekilas kemudian terjadilah pertempuran dahsyat di dekat pintu gerbang tembok
rumah Ki Sungkana. Sementara itu beberapa pembantu Ki Sungkana yang
masih hidup segera terjun ke tengah arena pertempuran dan berdiri di pihak Ki
Dunuk. Si Mulut Bertudung menggeram marah, karenanya
iapun menerjang ke arah Tuntari dengan pedang pen-
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
deknya dan sekali ini ia tak setengah-setengah me-
numpahkan ilmunya, karena ia sadar bahwa gadis
yang menjadi lawannya ini memiliki ilmu yang tinggi.
Pedang pendek si Mulut Bertudung bergerak lebih
hebat daripada yang sudah-sudah. Kini bergulung-
gulung merupakan kilasan-kilasan cahaya yang men-
gurung tubuh Tuntari.
Sebenarnya untuk menghadapi seorang lawan le-
bih-lebih seorang gadis saja, tak perlu ia menggunakan ilmu simpanannya itu.
Tetapi yang dihadapi sekarang adalah Tuntari, seorang gadis yang telah matang
dalam ilmu tatakelahi dan tenaga dalam. Itulah sebabnya, mengapa si Mulut
Bertudung dengan serunya
menyerang Tuntari tanpa sedikitpun memberi kelong-
garan. Berkali-kali pedangnya terjulur, mematuk ke arah
tubuh gadis itu, tapi setiap saat itu pula tongkat hitam di tangan Tuntari
bergerak cepat memapakinya.
Kembali si Mulut Bertudung menyumpah-nyumpah,
sebab setiap kali pedangnya berbentur, seketika tangannya berguncang kepedihan.
Untunglah saja pe-
dangnya tidak terlepas dari jari-jemarinya.
Dari pengalaman itu, maka selanjutnya si Mulut
Bertudung selalu berusaha menghindari benturan-
benturan langsung dengan senjata tongkat Tuntari,
kecuali sentuhan-sentuhan sepintas saja yang ia berani menghadapinya.
BAGIAN IV Selama pertempuran itu, si Mulut Bertudung makin
bertambah gelisah. Sebentar-sebentar ia melirik dengan kilasan mata ke arah anak
buahnya yang lagi bertempur.
Mereka tampak semakin jelas kalau terdesak oleh
gempuran Ki Dunuk dan sisa-sisa pembantu Ki Sung-
kana. Bahkan setelah belasan jurus berlangsung, beberapa orang di antaranya
telah toboh terkapar di tanah.
Memang harus diakui bahwa Ki Dunuk itu memiliki
tenaga besar. Meskipun badannya gemuk pendek tapi
sama sekali tidak mengurangi kelincahannya dalam
bergerak. Serudukan tangannya saja mirip dahsyatnya dengan serudukan seekor
banteng, sehingga beberapa anak buah si Mulut Bertudung yang terkena telah
terpental muntah darah.
Rupanya saja si Mulut Bertudung terpaksa meng-
gunakan cara terakhir, cara di mana ia berhasil merobohkan Ki Sungkana, yakni
dengan senjata-senjata
rahasianya. Maka tak antara lama iapun melambung ke atas
dengan satu serangan menyambar, laksana seekor ga-
ruda, sementara tangan kirinya secara cepat bergerak lincah menebarkan senjata-
senjata rahasianya ke arah Tuntari.
"Hiiaah! Mampus kau sekarang!"
Traang... taang... taangng!
Ternyata Tuntari tidak kurang gesit dan waspada
Harpa Iblis Jari Sakti 19 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Pendekar Riang 2