Jejak Telapak Iblis 2
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis Bagian 2
menghadapi serangan yang demikian tiba-tiba itu. Ta-hu-tahu tongkat hitamnya
telah menjadi dua bagian
dan berputar menangkis serangan senjata rahasia dari lawannya.
Bunyi benturan dari tangkisan tongkat gadis itu telah memukul dan mementalkan
balik semua senjata
rahasia milik si Mulut Bertudung, sehingga hampir sa-ja mengenai kembali kepada
pemiliknya sendiri, seandainya si Mulut Bertudung tidak lekas-lekas berputar ke
udara. Tidak hanya itu saja yang mengagetkan si Mulut
Bertudung, sebab dengan sekali lirikan saja ia telah tahu bahwa sesungguhnya
tongkat di tangan Tuntari
tadi adalah berisi sebilah pedang kecil dan panjang!
Gadis inipun menggunakan kesempatan berikutnya.
Selagi si Mulut Bertudung hendak mendaratkan ka-
kinya, secepat kilat ia melesat menghadap dengan
sambaran tongkat pedangnya.
Wesss.... Syraattt!
"Aauuhhh!"
Si Mulut Bertudung mengaduh tertahan sebab len-
gan kirinya tahu-tahu telah terobek oleh mata tongkat pedang lawannya. Darah
segar mengucur menetes-
netes jatuh di atas tanah.
Terdengar si Mulut Bertudung menggeram saking
marahnya. Sekali lagi ia berusaha menerjang maju
dengan pedang pendeknya, tapi buat kedua kalinya
pula tongkat pedang Tuntari menangkis dengan se-
runya. Traangng! "Uuh"!"
Hampir tak percaya si Mulut Bertudung melihat
bahwa pedang pendeknya terpental lepas begitu mu-
dahnya. Hal ini seakan-akan menyadarkan bahwa tak
berguna lagi untuk melanjutkan pertempuran ini.
Secepat kilat ia memutar tubuhnya untuk kabur,
meski akhirnya ia dibuat kaget sebab secara tiba-tiba pundak kanannya seperti
disengat lebah! Panas dan
nyeri! Si Mulut Bertudung melirik pundak kanannya, ke-
mudian ke arah lawannya. Kiranya gadis itu telah sekali lagi menggerakkan
tongkat pedangnya dan kini
pundak kanannya telah terluka kembali!
Sedang Tuntari sendiri cuma tersenyum-senyum ta-
jam sambil menggerakkan tongkat pedangnya ke ka-
nan-kiri, tak ubahnya seorang anak kecil manja yang mengobat-abitkan sebatang
lidi permainannya! Sungguh mengagumkan tapi juga mengerikan! Gadis ini
yang mempunyai watak keras dan tak mau mengalah
tetap bersiaga menghadapi setiap kemungkinan.
"Keparat! Kau lebih beruntung hari ini!" seru si Mulut Bertudung seraya menahan
sakitnya dengan perin-gisan. "Tapi lain kali aku akan merobohkanmu!"
Selesai berkata demikian, si Mulut Bertudung me-
loncat ke sisi tembok dengan sisa-sisa tenaganya dan berhasil menggantung pada
puncak tembok batu dari
halaman itu. Akan tetapi, rupanya gadis yang berwatak keras ini tidak mau begitu saja
melepaskan lawannya. Lebih-lebih setelah si Mulut Bertudung mengeluarkan anca-
mannya. Maka iapun melesat mengejar ke arah yang
sama dengan ancaman pedangnya.
"Keparat! Kau telah berlaku kejam kepada penghuni
rumah ini! Sekarang terimalah hukumanmu!" teriak
Tuntari seraya menggerakkan pedangnya.
Sekonyong-konyong, sebelum tongkat pedang Tun-
tari menyentuh tubuh si Mulut Bertudung, bertiuplah angin santer mengiringi
turunnya sesosok tubuh berpakaian serba hitam menggenggam sebatang tongkat
panjang yang pada kedua ujung dilengkapi dengan dua buah mata tombak!
"Babo! Babo! Wong denok ayu, jangan kau ganggu
orang ini!" seru si pendatang. Ternyata orang ini berperawakan sedang, rambutnya
disanggul di atas sedang kumis dan jenggotnya lebat.
Ketika ia datang menimbulkan angin santer sehing-
ga terpaksalah Tuntari meloncat ke samping mengu-
rungkan maksudnya karena terhalang oleh si tokoh
pendatang! "Heei, Ki sanak! Masih termasuk apakah engkau
dengan musuhku ini, sampai engkau turun tangan
membelanya"!" seru Tuntari dengan geram.
"Heh, heh, heh. Hi, hi, hi. Dia bukan apa-apaku,
Wong denok ayu!" sahut si pendatang seraya mengga-
ruk-garuk kumisnya.
"Jika demikian apa perlunya"!"
"Aku butuh uang dan ia pasti bersedia membayarku
bila aku membelanya dari seranganmu, Bocah ayu!"
Tuntari terkejut oleh kata-kata tersebut. Sungguh
aneh perangai orang ini! Demikian pikir gadis yang bertongkat pedang. Hampir
saja ia tak dapat memper-
cayai kata-kata tadi, seandainya si Mulut Bertudung yang kini hampir berhasil
tiba di puncak pagar batu, tidak berteriak keras-keras.
"Haaaiii, Wasi Sableng! Kau selalu membuntuti diri-ku! Jangan kau berharap akan
mendapat uang dari
tanganku!"
Sesaat Wasi Sableng agak terkejut namun kemu-
dian ia terkekeh-kekeh dengan tawanya, lalu berkata,
"Bagus! Jadi kau lebih menghargai uang daripada
nyawamu"!"
"Persetan! Kau boleh mengoceh semaumu!" berte-
riak si Mulut Bertudung penuh marah, seperti orang gila layaknya.
"Baiklah jika demikian, Anak bandel!" sahut Wasi
Sableng seraya memaling ke arah Tuntari dan berkata,
"Nah, Bocah ayu! Kau lebih beruntung karena orang yang akan kutolong ternyata
tidak membutuhkan pertolongan tersebut. Sekarang kau bebas bertindak, Bocah ayu!
Nah, jangan ragu-ragu lagi. Akan kau coblos dadanya" Atau kau tebas sampai putus
kedua lengan atau kakinya" Dan bagaimana jika lehernya kau penggal saja, Bocah denok ayu"!
Silahkanlah, dia tak bakal sanggup mengelak ataupun menyelamatkan dirinya."
Si Mulut Bertudung terperanjat oleh kata-kata Wasi Sableng yang demikian memberi
angin kepada gadis
Tuntari. Apalagi jika diingatnya bahwa sebagian besar tubuhnya masih tergantung
di sisi tembok bagian dalam.
Dengan demikian, itu merupakan satu sasaran em-
puk bagi Tuntari yang telah bersiaga dengan tongkat pedangnya. Tampak olehnya
bahwa gadis itu mulai
melangkah ke arah pagar tembok di mana tubuhnya
masih bergelantung.
Seketika keringat dingin mengalir turun dari da-
hinya dan ia ketakutan setengah mati. Sepintas lalu terbayanglah kematian yang
bakal tiba. Mungkin tubuhnya akan terbelah dua oleh tongkat pedang Tuntari yang
panjang dan kecil.
Jika sampai ia mati, maka semua barang miliknya
tak akan berguna lagi. Juga beberapa kantong uang
emas yang ada di rumah, tak akan punya arti apa-apa lagi.
Jadi, apakah salahnya bila ia kehilangan uang be-
berapa keping di saat segawat ini, demi kelangsungan hidupnya"! Sungguh goblok!
Apakah harta lebih berharga daripada nyawa"
Berpikir itu semua, si Mulut Bertudung segera ber-
seru keras-keras, tertuju kepada Wasi Sableng, "Hai, Wasi Sableng! Cegah
tindakan gadis itu! Aku bersedia membayarmu. Aku butuh pertolonganmu sekarang!"
Keruan saja Tuntari terkejut oleh hal itu, sehingga untuk sesaat ia menjadi
ragu, seolah-olah menantikan Wasi Sableng atas teriakan tawaran dari si Mulut
Bertudung. Wasi Sableng tertawa terkekeh-kekeh kesenangan,
dan katanya kemudian, "Ha, ha, ha, ha. Bagus! Mau
bayar berapa engkau untuk pertolonganku ini?"
"Lima keping uang emas!" seru si Mulut Bertudung.
"Terlalu pelit kau, Bocah edan!" bentak Wasi Sab-
leng. "Jika nyawamu cuma seharga lima keping uang
emas itu, mungkin gadis inipun sanggup membayar
sebanyak itu untuk memperoleh nyawamu!"
"Kujadikan sepuluh keping uang emas!"
"Masih terlalu murah, Sobat!"
"Dua puluh keping!"
"Ha, ha, ha. Tidak! Sekarang kau tahu berapa mah-
al nyawamu?"
"Jadi berapa maumu" Limapuluh keping?"
"Hah, ha. Aku menghendaki semua uang yang kau-
bawa sekarang! Jika tidak, maka aku akan membiar-
kan gadis ini mencabut nyawamu!"
"Jangan! Jangan kau biarkan gadis itu melakukan
hal tersebut! Kau boleh mendapatkan semua ua-
ngku...!" ujar si Mulut Bertudung seraya mengambil kantong uangnya dengan susah-
payah. Melihat ini, Wasi Sableng manggut-manggut dengan
diiringi suara ketawa yang mampu menggetarkan dada siapa saja, kemudian berseru
nyaring, "Nah, sekarang lemparkan ke bawah!"
Si Mulut Bertudung segera menuruti perintah Wasi
Sableng. Ia melemparkan kantong uangnya ke bawah
sambil melirik ke arah Wasi Sableng dan Tuntari yang berada di bawah sana.
"Hyaatt!"
Tiba-tiba Wasi Sableng menggerakkan tangan ka-
nannya menarik kembali ke belakang dan terjadilah
satu hal yang hampir sukar dipercaya oleh mata.
Baik si Mulut Bertudung sendiri maupun Tuntari
ternganga kagum oleh hal itu, sebab baru sekali inilah mereka menjumpai kejadian
seaneh begitu. Kantong uang si Mulut Bertudung yang meluncur
ke bawah, tiba-tiba berganti arah dan melayang dengan cepatnya ke arah tangan
kanan Wasi Sableng, seperti tersedot oleh tenaga dalamnya yang cukup hebat!
"Hah, ha, ha. Bagus, bagus! Nah, Bocah denok ayu,
sekarang aku telah dibayar olehnya. Maka berarti aku menjadi pembelanya
sekarang! Kau tak boleh lagi
mengganggunya!" seru Wasi Sableng dengan lantang,
mengejutkan si Mulut Bertudung dan Tuntari.
Akhirnya si Mulut Bertudung tersenyum-senyum
gembira, sebab dengan begitu ia bakal terlindung dari ancaman gadis bertongkat
pedang yang hampir saja
mencabut nyawanya.
Sebaliknya dengan Tuntari, ia menjadi marah bu-
kan main dengan sikap dan tindakan Wasi Sableng.
Karenanya iapun bersiaga untuk meneruskan mak-
sudnya. "Wasi Sableng! Jangan kau menggertakku seperti
anak kecil. Menyingkirlah dari ancaman pedangku. Bi-ar kubereskan lawanku itu!"
seru Tuntari seraya men-gancamkan pedangnya ke arah Wasi Sableng karena
orang tersebut telah menghadang jalannya.
"Bocah denok ayu! Aku memperingatkan sekali lagi
kepadamu. Jangan kau teruskan maksudmu, atau aku
terpaksa bertindak terhadapmu," sahut Wasi Sableng seraya tangan kanannya
menyimpan kantong uang
pemberian si Mulut Bertudung ke dalam bajunya se-
dang tangan kirinya bersiaga dengan tombak yang be-rujung dua.
"Keparat! Aku kepingin mencoba kesaktianmu!
Hyaatt!" teriak Tuntari seraya melesat ke depan, menerjang Wasi Sableng dengan
tongkat pedangnya.
"Huh, kau tak bakal mengalahkan aku, Denok ayu!"
seru Wasi Sableng seraya mengegoskan tubuhnya ke
kiri sedikit dan loloslah ia dari serangan pertama Tuntari.
Dalam pada itu, si Mulut Bertudung yang kini telah berhasil mencapai puncak
pagar batu, menjadi tersenyum-senyum senang karena dirinya sekarang yang
menjadi penonton dari adegan pertempuran itu.
Terlihatlah betapa Wasi Sableng selalu berhasil
mengelakkan setiap serangan Tuntari dengan mudah-
nya, seolah-olah tengah mempermainkan seorang anak kecil.
Kendati demikian diam-diam Wasi Sableng menga-
kui bahwa gadis Tuntari ini adalah calon pendekar ter-
baik. Kegesitannya sangat mengagumkan meski tenaga dalamnya masih jauh di bawah
tingkatnya. Beberapa saat kemudian.
Traangng! Tiba-tiba tongkat pedang Tuntari menghajar tangkai tombak Wasi Sableng yang
melintang di depannya. Keduanya tergetar, lebih lagi dengan kedua sisi senjata
yang saling bersentuhan telah mengepulkan asap panas!
Kiranya dua orang itu telah mengerahkan tenaga
dalamnya. Namun yang akhirnya paling terkejut ada-
lah Tuntari sendiri, sebab begitu tongkat pedangnya menempel pada tombak Wasi
Sableng, terasalah bahwa tenaganya seperti tersedot oleh tenaga dalam lawannya,
tak ubahnya sebatang logam yang disedot
oleh besi sembrani!
Dengan sekuat tenaga, Tuntari berusaha menge-
rahkan kekuatannya untuk menarik diri secepat
mungkin. Bila sampai terlambat, pastilah tenaganya akan habis terkuras sehingga
akibatnya berarti ke-lumpuhan mutlak pada dirinya!
Keadaan menjadi semakin tegang dan boleh dipas-
tikan bahwa sebentar lagi Tuntari akan roboh dengan tubuh yang lumpuh. Sedang Ki
Dunuk yang menyaksikan kejadian tersebut segera berusaha menolong
Tuntari, tapi sayang bahwa iapun masih harus me-
nyingkirkan beberapa sisa anak buah si Mulut Bertudung yang berusaha
mempertahankan diri.
Rupanya memang Tuntari masih bernasib baik.
Mendadak saja satu angin keras menerjang wajah Wasi Sableng, sehingga tokoh yang
berpakaian serba hitam ini terdorong ke belakang beberapa langkah seraya
berseru kaget. Dengan demikian terbebaslah gadis Tuntari dari te-
naga sedotan Wasi Sableng yang dahsyat itu. Dalam
hati Tuntari mengucapkan syukur bahwa dirinya telah terbebas dari bencana.
Sekarang, baik Tuntari, Wasi Sableng sendiri mau-
pun si Mulut Bertudung menjadi terkejut ketika mere-ka melayangkan pandangnya ke
arah tembok pagar
batu di sebelah timur. Dari sana terdengarlah getaran ketawa yang menggelegas
disertai perbawa dingin yang aneh.
Di sana di atas pagar tembok batu itu, berdirilah
seorang laki-laki bertubuh tegap, berkepala gundul, serta mengenakan jubah
berwarna kuning.
Pada tangan kirinya tergenggam seuntai tasbeh
berwarna hitam, sementara tangan kanannya ditekuk
di depan dada dalam sikap abhaya-pasta yang bertu-
juan menentramkan suasana.
"Sadhu... sadhu... sadhu... semoga kejahatan akan
tersingkir dari tempat ini! Aku melihat seorang berilmu sakti mencoba
menghancurkan seorang tunas yang
masih hijau!" ujar si Jubah Kuning dengan suara tenang tapi menyelusup ke
segenap relung-relung hati para pendengarnya.
"Heeii! Kau jangan menggertakku, Gundul!" seru
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wasi Sableng dengan sombongnya. "Apakah kau ingin
mencoba kesaktianku, haa"! Dan siapa pula nama-
mu?" "Berbahagialah orang yang sabar, bijaksana dan
mampu menahan nafsu. Aku, Bikhu Gandhara, hanya
mohon agar Ki sanak cepat-cepat meninggalkan tem-
pat ini!" "Tak perlu ngoceh berkhotbah di hadapan Wasi
Sableng, Bikhu Gandhara! Kaulah yang seharusnya lekas-lekas menyingkir!" berseru
pula Wasi Sableng seraya meloncat marah.
"Hmm, sayang sekali hatimu telah dikuasai oleh
kemarahan dan kebencian! Orang yang demikian tidak akan mencapai kebenaran serta
ketenangan!"
Wasi Sableng menjadi makin marah oleh kata-kata
si Jubah Kuning, maka secepat kilat ia melesat ke arah tembok timur seraya
menusukkan tombaknya.
Tapi belum lagi ia mencapai separo jarak mendadak
saja Bikhu Gandhara mengibaskan tasbihnya ke depan dan seketika berhembuslah
udara dingin dengan ken-cangnya memapaki loncatan Wasi Sableng, sehingga
tokoh ini tergoncang dan terpental balik sejauh hampir dua tombak!
Untunglah bahwa Wasi Sableng masih mampu
menguasai dirinya dengan berputar di udara mema-
tahkan tenaga dorong dari Bikhu Gandhara.
"Tobat! Babo! Babo! Hebat benar kesaktianmu,
Gandhara!" desis Wasi Sableng seraya mendarat ke tanah dengan sedikit cekakaran
dan hampir jatuh.
"Nah, sudah kukatakan, Ki sanak. Kekerasan akan
merugikan dirimu sendiri. Karenanya lekaslah me-
nyingkir dari tempat ini dan biarlah suasana ketenangan kembali seperti
sediakala! Sadhu... sadhu... sadhu....," demikian ucapan si Jubah Kuning seraya
meloncat turun ke dalam halaman dengan gerakan yang
sangat ringan, seolah-olah sebatang daun kering yang melayang turun ke atas
tanah. Si Mulut Bertudung yang berada di puncak pagar
tembok batu menjadi sangat kaget. Hatinya berdebardebar aneh melihat
pertandingan aneh antara kedua
tokoh kuat itu.
Sementara di depan pintu gerbang masuk, Ki Du-
nuk masih terus gigih bertempur. Rupanya saja di antara sisa-sisa anak buah si
Mulut Bertudung masih
ada yang memiliki ilmu yang cukup tangguh, terbukti
bahwa mereka masih dapat bertahan.
Tuntari dapat menarik napas lega meski tenaganya
masih belum pulih seluruhnya. Akibat sedotan tenaga dalam dari Wasi Sableng
tadi, terasa sendi-sendi tulangnya pada ngilu-ngilu seperti hendak copot.
Seandainya pertandingannya melawan Wasi Sableng tadi
masih berlangsung, boleh jadi tenaganya akan lumpuh dan tulang-tulangnya retak,
ataupun hancur.
Dengan begitu, kedatangan si Jubah Kuning itu
sangat menolong jiwanya. Namun ia heran pula bahwa si Jubah Kuning itu belum
dikenalnya sama sekali.
Kini ia menatap dengan penuh perhatian ke arah
dua orang sakti yang telah berhadap-hadapan. Tam-
paknya mereka telah bersedia menghadapi setiap ke-
mungkinan. Hanya saja terlihat jelas dua perbedaan pada kedua tokoh tersebut. Kalau pada
diri Bikhu Gandhara tampak adanya ketenangan diri disertai wajah yang sumeh dan
cerah penuh kesabaran, sedang pada wajah Wasi
Sableng tercermin adanya kemarahan yang meluap,
membuat kulit mukanya merah menyala.
"Kau berani membuat malu diriku di hadapan bo-
cah-bocah ini, Setan!" teriak Wasi Sableng. "Untuk itu kau harus membayar dengan
nyawamu!" "Hmm, sabarlah, Ki sanak!"
Sementara keadaan menjadi tegang, warna merah
senja seperti membakar langit di sebelah barat, hingga suasana di situ kian
tampak dipenuhi oleh warna-warna api dan kemerahan yang menyala-nyala, seperti
marahnya Wasi Sableng terhadap lawannya.
"Kau tak semudah itu menyuruh aku pergi mening-
galkan tempat ini, Gandhara!" teriak Wasi Sableng.
"Jadi apa maumu, Ki sanak"!"
"Aku ingin mencoba kepandaianmu!"
"Hmm, masih juga mempertahankan kekerasan,"
ujar Bikhu Gandhara seraya tersenyum ramah. Satu
hal yang benar-benar mengagumkan. Betapa ia dapat
menguasai diri dan bersabar mendapat kata-kata ka-
sar dari Wasi Sableng.
Namun kesabaran itu justru membuat Wasi Sableng
menjadi lebih berkobar marahnya. Sebab kesabaran
Bikhu Gandhara tampak bagai satu ejekan yang me-
nyakitkan hatinya.
"Coba kau terima ini, Gandhara!" seru Wasi Sableng seraya mendorongkan tenaga
dalam lewat tangan kanannya ke arah si Jubah Kuning.
Nampak sepintas lalu bahwa dorongan tangan Wasi
Sableng ini tidak berarti apa-apa, namun dapatlah se-lintas terlihat betapa
dahsyatnya oleh Tuntari maupun si Mulut Bertudung yang masih terpaku takjub di
atas pagar tembok batu.
Begitu tenaga dorongan tadi melintas, beberapa
daun tua yang kebetulan tersentuh olehnya seketika menjadi hangus! Akan tetapi
si Jubah Kuning tidak
menjadi gentar karenanya. Iapun mendorongkan tan-
gan kanannya ke depan dan terlontarlah suatu tenaga dalam yang tidak kalah
dahsyatnya. Desssss...! Suatu asap putih mengepul ketika dua
tenaga dalam itu bertemu di udara tak ubahnya bara api yang tersiram seember
air. "Babo, babo! Kowe memang hebat!" umpat Wasi
Sableng seraya berjingkrak dan menggaruk-garuk ke-
pala saking marah dan bingungnya. Namun sesaat
kemudian ia menggenggam erat-erat tombaknya yang
bermata tajam pada kedua ujungnya. "Tapi aku belum mau kalah!"
Melihat ini Bikhu Gandhara tetap tenang-tenang sa-
ja. Kini tangan kirinya melipat ke dada sementara tan-
gan kanannya menggenggam erat tasbih hitamnya,
seolah-olah seperti orang yang lagi semadhi memu-
satkan perhatian.
"Hyaattt!" tiba-tiba dengan teriakan menggeledek,
Wasi Sableng melesat ke depan dan menusukkan tom-
baknya ke arah si Jubah Kuning. Gerakan ini sangat cepat dan sukar ditangkap
oleh mata sehingga karenanya, Tuntari terpekik kecemasan.
Serangan ini sangatlah hebatnya. Boleh dipastikan
bahwa si Jubah Kuning pasti terhunjam oleh tombak
Wasi Sableng yang bergerak begitu pesatnya. Cuma sa-ja Bikhu Gandhara tidak
kalah gesit. Diliukkannya tubuhnya ke samping sedikit namun itu sudah cukup
buat menghindari sambaran tombak Wasi Sableng.
Siingng.... "Oooss....! Babo! Babo! Keparat. Sanggup pula
menghindar, hee"!" serapah Wasi Sableng seraya ce-
pat-cepat menahan dorongan gerak tubuhnya sendiri, sebab jika tidak pastilah
tubuhnya bakal menabrak
dinding tembok batu di depannya.
Kembali Wasi Sableng memutar tubuh, dan bersiaga
kembali dengan tombaknya yang baru saja gagal melakukan tugasnya. Sudah barang
tentu ia semakin ma-
rah kalang kabut oleh tindakan lawannya.
Kedua belah tangannya kini berpegang erat pada si-
si pertengahan dari tangkai tombak tersebut, kemu-
dian diiringi satu bentakan kecil, diputarnyalah tombak tadi dengan cepatnya.
Seolah-olah Wasi Sableng kini menggenggam sebuah payung yang selalu berputar di
depannya. Sungguh mengerikan bila menghada-
pi serangan yang demikian. Lingkaran luar dari tombak yang berputar ini tampak
berkilat-kilat karena kedua mata tombaknya tersentuh oleh sinar-sinar mata-
hari senja. Selain menakutkan, putaran senjata Wasi Sableng
tadi menerbitkan pusaran angin panas, akibatnya terjadi pergeseran antara udara
dengan mata tombaknya yang telah dilandasi dengan tenaga dalam.
Wess... wess... wess...!
"Ha, ha, ha, sekarang hadapilah serangan ini, jika engkau berani, Gundul
berjubah!" seru Wasi Sableng beringas. Setapak demi setapak ia menyiapkan jurus
serangan kilat.
Sekalipun hatinya berdesir, si Jubah Kuning tetap
memperlihatkan ketenangan yang mengagumkan
menghadapi sikap lawannya itu.
Inilah yang mengagumkan.
Tuntari diam-diam mencatat peristiwa ini, yang se-
sungguhnya merupakan satu pelajaran yang bernilai
tak terhingga. Seperti ketenangan yang mantap dari Bikhu Gandhara ini, membuat
Tuntari semakin kagum.
Ketenangan memang sangat berguna bagi siapapun
orangnya, lebih-lebih dalam menghadapi setiap bahaya atau kejadian luar biasa.
Dengan ketenangan maka setiap orang dapat lebih jelas menyadari apa yang kini
dihadapi. Tentu saja ketenangan tadi dibarengi oleh kewaspadaan diri yang
senantiasa siap memberikan
tanggapan dalam bentuk apapun, sesuai dengan kebu-
tuhan. "Heeitt!" Satu teriakan keras meledak keras disusul satu loncatan gesit yang
merupakan serangan kilat
paling hebat dari Wasi Sableng. Tokoh berpakaian hitam ini melesat seperti
angin. Tombaknya berputar
mengancam tubuh si Jubah Kuning yang menjadi la-
wannya. Kejadian berikutnya sukar dibayangkan. Sang-
gupkah si Jubah Kuning menanggulangi serangan kilat Wasi Sableng ini" Baik
Tuntari maupun si Mulut Bertudung sama-sama berdebar mengikuti perkembangan
berikutnya. Boleh dipastikan bahwa pertarungan ini jauh lebih seru.
Wess... claangng! Terdengar satu benturan nyaring, membuat kaget hati siapa
saja. Terutama Tuntari, si Mulut Bertudung, dan Wasi Sableng sendiri.
Yang mereka lihat hanyalah Bikhu Gandhara me-
nyampokkan tasbihnya sewaktu tombak Wasi Sableng
menerjang dirinya. Sesudah itu si Jubah Kuning kembali berdiri tenang dengan
wajah cerah, seperti tidak membayangkan suatu kejadian apapun.
Sedang Wasi Sableng sendiri berdiri terlongoh-
longoh keheranan, sebab ketika ia menatap senja-
tanya, tombak itu ternyata telah bengkok melengkung separo lingkaran tanpa bisa
digunakan lagi, kecuali hanya berguna untuk menakut-nakuti anak kecil saja.
Meremang bulu tengkuk Wasi Sableng mengalami
hal begini. Benar-benar sekarang ia tahu bahwa la-
wannya yang berjubah kuning itu jauh lebih tinggi
tingkatan ilmunya. Dan rasanya ia tak bakal memperoleh kemenangan apapun melawan
Bikhu Gandhara,
seperti terbukti beberapa kali serangan mautnya terpa-tah di tengah jalan.
"Babo, babo! Kita sudahi dulu pertandingan ini! Kau boleh berbangga atas
kelebihanmu, Gandhara. Akan
tetapi tunggulah lain kali. Aku akan menantangmu
kembali," teriak Wasi Sableng dengan wajah yang marah bercampur malu, sementara
tangannya mencam-
pakkan tombaknya yang rusak ke atas tanah.
"Hmm, aku menyesal harus merusakkan tombak-
mu, Ki sanak. Tapi apa boleh buat, karena engkau
menyenangi kekerasan. Sekarang berlalulah dari de-
pan hidungku, jika engkau masih menyenangi nyawa-
mu. Bikhu Gandhara lebih menyukai kedamaian," ujar si Jubah Kuning dengan kata-
kata yang tenang, lembut tapi penuh wibawa.
Tanpa menggubris lagi sebenarnya ia telah merasa
kalah dan jerih hatinya. Wesi Sableng lalu menggenjotkan kakinya ke tanah, lalu
melesat ke luar dengan melewati pagar tembok batu.
Si Mulut Bertudung tak punya pilihan lainnya, demi Wasi Sableng meninggalkan
tempat itu. Maka iapun
segera meloncat keluar, turun dari puncak pagar batu dengan mulut bersungut-
sungut karena si penolong-nya telah dikalahkan oleh si Jubah Kuning.
Sedang sisa-sisa anak buah si Mulut Bertudung
yang lagi bertempur melawan Ki Dunuk serta empat
orang pembantu Ki Sungkana, secepat kilat telah menerobos keluar pintu gerbang,
kabur menyelamatkan
diri. Mereka berlima cepat-cepat mendapatkan Tuntari
yang lagi berbicara dengan si Jubah Kuning, Bikhu
Gandhara. Ki Dunuk berlima merangkap kedua tangan lalu
membungkuk dan mengucapkan terima kasihnya.
"Andika telah menolong kami, Sang Bikhu Gandhara.
Terimalah ucapan terima kasih yang tak terhingga beserta salam hormat."
"Damai... damai... damai. Semoga kalian selalu di-
karunia kebijaksanaan dan kesabaran, para ki sanak,"
ujar si Jubah Kuning dengan ramahnya.
"Oh, jika Bapak tidak turun tangan, entah apa yang bakal aku alami," desah
Tuntari seraya menyarungkan kembali pedangnya.
"Sudah sewajibnya manusia saling tolong-menolong,
Angger. Aku kebetulan saja lewat di luar pagar ketika
tiba-tiba telingaku menangkap adanya bentrokan senjata. Maka aku cepat-cepat
masuk ke tempat ini." Si Jubah Kuning berhenti sejenak seraya menatap ke
arah Ki Sungkana yang mengelumpruk kepayahan. Ia
mengeluarkan sebuah kantong kecil berwarna kuning
dan berkata lagi, "Orang itu saya kira memerlukan pertolongan dengan segera.
Nah, gadis yang baik, minum-kanlah obatku kepada orang itu. Tenaganya pasti akan
segera pulih kembali."
"Terima kasih, Bapak," ujar Tuntari seraya meneri-
ma kantong kuning dari tangan Bikhu Gandharapati.
"Nah, Ki sanak semua. Kedamaian telah kembali
dan aku minta permisi. Semoga kalian selalu selamat, dan bahagia. Sadhu...
sadhu... sadhu...," demikian si Jubah Kuning berkata lalu melesat ke luar
meninggalkan halaman rumah Ki Sungkana, dengan melompati
pagar tembok batu.
*** "Lekaslah, Ki sanak. Kau ambil air minum, agar ob-
at ini segera kuminumkan kepadanya," ujar Tuntari
kepada salah seorang dari keempat pembantu Ki
Sungkana yang masih hidup.
"Baik, Nona," ujar orang tersebut seraya buru-buru berlari ke dalam rumah guna
mengambil air. Sebentar itu pula ia telah ke luar dengan membawa sebuah lodong
tanah liat. Akhirnya Tuntari berhasil meminumkan obat itu ke
mulut Ki Sungkana dibantu oleh Ki Dunuk dan seo-
rang lagi. Sedang seorang lainnya telah mengambil selembar kain dari dalam rumah
guna membalut luka-
luka Ki Sungkana.
Dian lampu minyak kelapa telah pula dipasang, se-
mentara sebuah obor dipasang di dalam halaman, me-
nerangi tempat itu untuk menggantikan sinar senja
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang semakin menipis.
Para pembantu Ki Sungkana yang tiga orang sibuk
memeriksa korban-korban dari pertempuran. Ternyata dari kedelapan pembantu Ki
Sungkana, tiga orang telah tewas dan seorang luka-luka parah. Mereka segera
merawatnya baik-baik. Dari pihak anak buah si Mulut Bertudung, tujuh orang telah
meninggal. "Ooh, siapakah Andika yang telah sudi menolong-
ku?" desah Ki Sungkana seraya menatap ke wajah
Tuntari. "Eh, aku seperti pernah melihatmu, Nak."
"Mungkin begitu, Paman. Aku bernama Tuntari, pu-
teri dari Ki Demang Cundraka di Desa Peterongan,"
ujar Tuntari dengan ramahnya.
"Aah, ya, ya. Aku masih ingat itu. Dan kedatangan-
mu ini pasti diutus Ki Cundraka, bukan"!"
"Benar, Paman. Aku memang diutus Ayahanda un-
tuk menjemput sebuah benda berharga dari Paman
Sungkana. Beliau sendiri lagi berkunjung ke desa
lain." "Baiklah, Angger. Memang ayahmu dulu telah ber-
kata demikian. Jika ia berhalangan pasti akan diki-rimnya seorang utusan kemari.
Tak tahunya engkau
sendirilah, Angger Tuntari," ujar Ki Sungkana. "Nah marilah masuk ke dalam
rumah. Akan kuberikan benda itu kepadamu."
Ki Sungkana kemudian dibantu oleh Ki Dunuk dan
Tuntari, dipapahnya masuk ke dalam, sementara
keempat pembantu sibuk dengan masing-masing tu-
gasnya. Mereka bertiga segera memasuki ruangan besar se-
telah melewati pintu kayu yang tebal. Agaknya saja inilah ruang kerja dari Ki
Sungkana. "Aku tak melihat keluarga lainnya, Paman"!" ber-
tanya Tuntari ketika kesenyapan mencekam tempat
itu. "Itulah yang lebih untung. Mereka tengah berkunjung ke sanak keluarga di
tengah kota. Seandainya
mereka di rumah, pastilah akan kalang kabut ketika terjadi penyerbuan tadi."
Tuntari mengangguk-angguk.
Ki Sungkana mendekati sebuah tiang kamar yang
berukir indah, dan sebentar kemudian tampak memu-
tar salah sebuah sisinya.
Ki Dunuk dan Tuntari menjadi kagum, karena tiba-
tiba sebuah sisi tiang terbuka, merupakan pintu kecil yang terahasia. Ruangan
atau relung dalam tiang berukir tadi memang digunakan oleh Ki Sungkana guna
menyimpan benda-benda paling berharga. Sebagai seorang saudagar, Ki Sungkana
memang patut memiliki
tempat-tempat seperti itu.
Tampaklah kemudian Ki Sungkana memungut se-
suatu benda dari dalam relung tadi yang merupakan
bungkusan kain sutera biru.
Ditunjukkannya bungkusan tersebut kepada Ki
Dunuk dan Tuntari, yang telah duduk di atas lantai beralaskan permadani indah.
Setelah ia meletakkan
bungkusan tadi di atas permadani, maka berkatalah
ia, "Angger Tuntari, dengarlah baik-baik segala pesan-ku sebelum Angger menerima
benda ini dari tangan-
ku." Tuntari dan Ki Dunuk mengangguk penuh penger-
tian. "Nah, itu bagus," Ki Sungkana melanjutkan bica-
ranya sambil membuka bungkusan sutera biru di de-
pannya. Maka terlihatlah sebuah arca ikan yang terbuat dari batu permata biru,
lebih kurang sebesar telapak tangan. "Arca ikan ini sangat penting artinya ba-
gi Demak, dan aku telah sepakat untuk menyerahkan-
nya kepada ayahmu, Adimas Demang Cundraka, yang
kemudian akan meneruskannya ke Demak."
Kini Tuntari dapat menyadari betapa pentingnya
benda itu bagi kerajaan. Namun sampai saat ini ia belum paham. Dalam hal apakah
benda tersebut sampai
mempunyai nilai yang sangat tinggi. Apakah karena ia merupakan benda bersejarah,
atau sebuah pusaka,
barangkali"
Maka tak heran bila si Mulut Bertudung dan anak
buahnya berusaha memburu benda ini. Untunglah
bahwa kedatangannya sangat tepat, sehingga ia berhasil membela Ki Sungkana dari
kekejaman si Mulut Bertudung.
"Angger Tuntari, terimalah benda ini dan jangan
sampai jatuh ke tangan orang lain. Kau harus membelanya mati-matian. Bila perlu
kau harus mengorban-
kan kepentinganmu guna membela Arca Ikan Biru ini,"
ujar Ki Sungkana pula. "Bagaimanakah Angger, apa-
kah Angger keberatan?"
"Sama sekali tidak, Paman."
"Itu bagus. Segala seluk-beluk tentang Arca Ikan Bi-ru ini hanya aku dan
ayahmulah yang tahu. Kare-
nanya, berhati-hatilah menjaga benda ini." Ki Sungkana berpaling pula ke arah Ki
Dunuk. "Dan kepada Andika pula, aku berharap agar Andika menjaga Angger Tuntari
dengan sebaik-baiknya."
"Itu sudah sewajibnya, Ki Sungkana. Sejak kecil
aku dibesarkan oleh orang tua Ki Cundraka bersama-
sama, sehingga Ki Cundraka sudah kuanggap sebagai
saudara sendiri. Demikian pula dengan Angger Tunta-ri," begitu kata Ki Dunuk
seraya menundukkan kepala.
"Syukurlah, Ki Dunuk," sambung Ki Sungkana se-
raya tersenyum puas. "Aku sangat menghargai kese-
tiaan Andika yang sebesar itu."
Suasana hening sejenak ketika Tuntari menerima
dan mengamati Arca Ikan Biru di tangannya. Gadis ini tampak meneliti dengan
seksama. "Angger Tuntari dan Dunuk," tiba-tiba Ki Sungkana
memecah kesepian, "waktu sangat berguna bagi Andi-
ka. Karenanya, lekas-lekaslah kalian sampaikan benda ini kepada Adimas Demang
Cundraka."
"Ehh, jadi kami berdua harus meninggalkan Paman
Sungkana sekarang juga?" kata Tuntari setengah ka-
get, begitu mendengar tutur kata Ki Sungkana.
"Benar, begitulah! Saya kira tidak ada pilihan lain,"
sahut Ki Sungkana pula.
"Bagaimana dengan Andika?"
"Tak perlu Angger cemaskan. Bukankah beberapa
orang pembantuku masih ada?" Ki Sungkana menje-
laskan. "Mereka akan mengurus dan merawatku den-
gan baik."
"Jika kehendak Paman demikian, aku tidak berke-
beratan," sambung Tuntari seraya membungkus benda
berharga dengan pembungkus sutera biru. "Dan kami
berdua mohon permisi sekarang juga."
"Silahkan, Angger. Simpanlah ia baik-baik dan hati-hatilah di jalan," kata Ki
Sungkana. "Keadaanku telah lebih baik daripada tadi. Andika berdua tak perlu
khawatir. Yang lebih berguna kalian pikirkan adalah secepat-cepatnya membawa
Arca Ikan Biru ini dengan se-
lamat." Begitulah akhirnya Tuntari dan Ki Dunuk mengun-
durkan diri dan meninggalkan Ki Sungkana di dalam
kamarnya dengan perasaan yang berat, mengingat lu-
ka-luka yang diderita oleh saudagar itu.
Mereka berdua segera meninggalkan halaman ru-
mah Ki Sungkana. Keempat pembantu saudagar itu-
pun mengucapkan selamat jalan dan rasa terima ka-
sihnya. Mereka mengantarkan Tuntari dan Ki Dunuk
sampai ke pintu gerbang pagar halaman.
Di saat itu pula, Ki Dunuk diam-diam melirik ke
arah daun pintu gerbang yang berantakan karena terjangan tenaganya beberapa saat
yang lalu. Tersenyum juga tokoh gemuk pendek ini ketika merasakan akibat
tindakannya. Tapi hal itu terpaksa dilakukannya, karena itulah satu-satunya
jalan bagi dirinya untuk menerobos masuk. Berbeda dengan Tuntari yang sanggup
melesat melewati dinding tembok batu untuk masuk
ke halaman. Mereka berdua lalu melangkah ke arah timur, me-
lewati jalan sunyi yang kini telah ditelan malam. Pohon-pohon yang besar di
sepanjang tepi jalan ini tak ubahnya raksasa-raksasa malam sedang berjaga dengan
ketatnya. Sedang di langit barat, sisa-sisa warna merah senja telah lenyap di
balik pepohonan yang telah menghitam pula, menandakan bahwa sang mata-
hari telah tenggelam dan beradu di balik pelukan kaki langit.
Sebentar-sebentar mereka berdua masih sekali-
sekali menoleh ke belakang, mengawasi bentuk rumah Ki Sungkana yang makin jauh
dan mengecil, sebelum
akhirnya lenyap di balik pepohonan.
Tuntari tidak perlu khawatir lagi karena ia telah
menyimpan bungkusan Arca Ikan Biru ke dalam ba-
junya, sehingga tak seorangpun yang mengetahui
bahwa mereka berdua membawa barang sangat ber-
harga. BAGIAN V Di tanah lapang kecil, yang terbentang di depan Balai Ksatryan Demak, tampaklah
beberapa ekor kuda
yang ditambatkan di bagian timur, tak jauh dari pendapa.
Hari telah senja, sehingga latihan-latihan keprajuri-tan telah selesai dan kini
halaman luas itu menjadi sunyi senyap kecuali beberapa prajurit yang masih
berjaga di tempat-tempat tertentu, seperti pada kedua pintu gerbang.
Di dalam pendapa Balai Ksatryan, diterangi oleh di-an-dian minyak, duduklah
beberapa orang dengan
asyik memperbincangkan sesuatu.
"Hmmm, semuanya telah saya catat, Anakmas,"
ujar Ki Tambakbayan, perwira paling tua yang duduk di depan Mahesa Wulung. Semua
dicatatnya di atas selembar kain dengan cairan tinta, sedang di depannya,
tergeletak selembar ikat pinggang kulit dengan gambar tanah Bukit Kepala Singa.
"Jadi jelaslah bahwa Bukit Kepala Singa itu sangat berbahaya bagi kita.
Karenanya sangatlah berbahaya untuk menyerbu tempat
itu secara langsung."
"Saya telah merencanakan untuk menerobos perta-
hanan mereka secara diam-diam," sahut Mahesa Wu-
lung. "Mudah-mudahan hal ini dapat saya rencanakan lebih teliti sebelum maksud
itu benar-benar dilaksana-kan."
"Ikat pinggang ini boleh kau simpan kembali,
Anakmas Mahesa Wulung. Suatu saat pasti sangat
berguna bagimu."
"Terima kasih."
"Anakmas masih harus membicarakan hal ini lebih
lanjut dengan para Wiratamtama Laut di banjar Jepa-
ra," berkata kembali Ki Tambakbayan. "Namun hal tersebut harus benar-benar
engkau rahasiakan, sebab tidak mustahil bila Rikma Rembyak menyebar kaki tan-
gannya untuk mengetahui segala gerak-gerik kita."
Mahesa Wulung mengangguk-angguk mengerti. Se-
pintas itu juga ia teringat akan pengkhianatan si Gombong yang ternyata adalah
kaki tangan dari Rikma
Rembyak. (Bacalah Seri Naga Geni 16, 17, Pembalasan Rikma Rembyak dan Seribu
Keping Emas untuk Mahesa Wulung) Maka sudah selayaknya kalau ia harus lebih
berhati-hati, meski nasib manusia berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa.
"Dan Anakmas juga harus tinggal di Demak untuk
beberapa waktu, sebab ada hal-hal penting lainnya
yang mesti diketahui oleh Anakmas Mahesa Wulung,"
berkata kembali Ki Tambakbayan dengan suara yang
ramah. "Dengan senang hati, Paman," ujar Mahesa Wulung.
"Kebetulan sekali saya ingin menggembirakan dua
orang sahabat yang telah banyak berjasa menolong diriku. Mereka adalah Kakang
Gagak Cemani dan Ki sa-
nak Palumpang yang saat ini masih tinggal di rumah Ki Selakriya di daerah Muoro
Demak." "Hmm. yah. Akupun mengucapkan terima kasih ke-
pada Andika, Angger Gagak Cemani," sambung Ki
Tambakbayan seraya menatap ke arah Gagak Cemani
yang duduk di sebelah Mahesa Wulung. "Sayang sekali aku belum ketemu dengan Ki
sanak Palumpang. Ehh,
kapankah Anakmas mengirimkan beberapa prajurit ke
rumah Ki Selakriya?"
"Besok pagi setelah orang-orangnya kita pilih."
"Baiklah. Sekarang Anakmas boleh beristirahat
sambil memikir-mikirkan tugas-tugas dan rencana selanjutnya."
Akhirnya, sebentar kemudian mereka telah selesai
dengan pembicaraannya dan keluar meninggalkan
pendapa Balai Ksatryan untuk kembali ke rumah mas-
ing-masing. Mahesa Wulung, Gagak Cemani dan Tungkoro sege-
ra mengambil kuda-kuda mereka di tempat tambatan.
Setelah itu mereka bertiga berpacu ke arah selatan menuju ke tempat bermalam.
Sedang Pandan Arum,
tinggal di rumah salah seorang keluarga pegawai ista-na yang masih terhitung
keluarga mendiang Empu
Baskara. Namun malam itu terjadilah sesuatu yang tidak
disangka-sangka oleh Mahesa Wulung bertiga. Selagi mereka berpacu ke arah
selatan, mendadak saja kuda Mahesa Wulung meringkik-ringkik berjingkrakan
seperti terkejut.
Rupanya Mahesa Wulung segera dapat menangkap
isyarat kudanya, bahwa ia telah mencium sesuatu
yang asing sehingga ia mengeluarkan sikap yang de-
mikian. "Ada sesuatu yang diciumnya, Kakang!" bisik Mahe-
sa Wulung seraya menarik-narik tali kekang kuda.
"Rupanya ia mencium bahaya!" desis Gagak Cema-
ni. "Jika begitu, kita terjang saja ke depan!" seru Tungkoro yang tampaknya
sudah tidak sabar lagi. "Daripa-da kita yang diserang, lebih baik kita
mendahuluinya!"
"Sabar, Adi Tungkoro," potong Mahesa Wulung.
"Ada beberapa hal yang kita belum tahu pasti. Apakah kita telah pasti bahwa
seandainya ada berapa orang bersembunyi di balik semak-semak bambu di depan
kita, apakah mereka bermaksud menghadang dan me-
nyerang kita"!"
Tungkoro terdiam oleh kata-kata Mahesa Wulung.
Ternyata memang ia berpikir terlalu keras dan sedikit bernafsu untuk lekas-lekas
bertempur. Tiba-tiba Gagak Cemani memberi peringatan kepa-
da kedua orang sahabatnya, "Sttt. Dengarlah, ada gerakan di balik semak-semak di
depan. Bersiap-siaplah dengan senjatamu."
Belum lagi lama Gagak Cemani selesai berkata de-
mikian, mendadak saja dua orang penunggang kuda
keluar dari balik semak-semak di depannya, lalu berpacu cepat ke arah selatan.
"Itu dia, orang yang mengintip kita!" seru Tungkoro.
"Mereka memata-matai kita!" ujar Mahesa Wulung
dengan kagetnya. "Kita harus berbuat sesuatu!"
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kejar mereka!" teriak Gagak Cemani seraya mende-
rapkan kudanya ke arah selatan, disusul oleh Mahesa Wulung dan Tungkoro.
Sebentar saja terjadilah kejar-mengejar ke arah selatan antara Mahesa Wulung
bertiga dengan kedua
pengintai. Kedua orang asing itu ternyata pandai mengendarai
kudanya. Mereka berpacu seperti dua orang gila yang dikejar setan. Terlebih lagi
sewaktu Mahesa Wulung berteriak menyapanya, mereka menjadi semakin cepat memacu
kudanya. "Heei! Siapa kalian" Tunggu!"
Debu dan batu-batu kerikil bertebaran oleh terjan-
gan-terjangan kaki-kaki kuda mereka, mengaburkan
pandangan. Namun hal itulah yang membuat kejar-
mengejar itu menjadi semakin seram dan mendebar-
kan. Tanpa terasa, mereka semakin jauh menginjak dae-
rah selatan. Tepat di saat itu pula, Mahesa Wulung bertiga berhasil mendekati
kedua orang asing di depannya.
"Hiaah!" seru Mahesa Wulung dan Gagak Cemani
berbareng seraya meloncat dari punggung kudanya
untuk menerjang kedua orang di depan.
Keduanya bergerak sangat cepat sampai-sampai
Tungkoro tidak begitu jelas melihat gerakan mereka, sebab tahu-tahu Mahesa
Wulung dan Gagak Cemani
telah menerjang kedua orang buronan itu sampai terpelanting jatuh dari punggung
kudanya. Sedang kedua sahabatnya itu sendiri tampak oleh Tungkoro mampu
mendaratkan kedua kakinya di tanah dengan lincah-
nya, tak ubahnya dua ekor bajing yang meluncur dari atas pohon.
Kendatipun demikian, Mahesa Wulung menjadi ka-
get pula bila mengetahui dua buronan tersebut segera berdiri tegak sesudah
mereka bergulingan di atas tanah berbatu-batu ketika terjatuh dari punggung ku-
danya. Bahkan tidak itu saja kekagetan Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani, sebab begitu kedua buronan tadi berdiri, segera menyerang
dengan golok di tangan yang telah terhunus.
Akan tetapi lawan-lawan yang harus mereka hadapi
adalah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani, dua pen-
dekar yang telah lulus dari beberapa gemblengan.
Hanya Tungkoro yang tetap duduk terpaku di atas
punggung kudanya, seolah penonton yang menyaksi-
kan dua pasang jago aduan lagi berlaga di gelanggang.
Pertarungan tersebut berlangsung seru tapi tidak
sampai mencapai dua puluh jurus, seperti yang terlihat kemudian bahwa Mahesa
Wulung melancarkan te-
basan telapak tangan tepat menghajar pergelangan
tangan kanan dari lawannya.
Prakk! "Aduuhh!" seru lawan Mahesa Wulung kesakitan
berbarengan goloknya tercampak lepas. Orang ini kemudian berdiri setengah kaku
sambil mendesis-desis menahan pergelangan tangan kanannya yang seolah-olah
remuk. Sedang Gagak Cemanipun bertindak dengan cepat-
nya. Kedua ujung jari tangan kanannya secara gesit menotok tengkuk lawannya,
membuat orang ini seperti disengat kala dan tahu-tahu goloknya runtuh ke tanah
sementara tubuhnya terasa kaku-kaku.
"Ampun... aduh! Ampun, Tuan!" rintih kedua orang
tersebut dengan ketakutan. "Jangan... jangan sakiti...."
"Baik! Tapi lekas katakan. Apa maksudmu bersem-
bunyi di balik pepohonan ketika kami lewat!" bentak Gagak Cemani dengan tajamnya
kepada kedua orang
tawanan itu. "Ka... kami tidak... sengaja, Tuan."
"Bohong! Kau jangan mengelabuhi kami! Kalian
pasti memata-matai kami bertiga!" ujar Gagak Cemani.
"Ti... tidak...."
"Kalian ingin kubikin lumpuh sama sekali"!"
"Jangan, Tuan. Jangan...."
"Sebab itu katakan cepat! Kalian datang dari mana-
kah?" tanya Gagak Cemani lebih garang.
"Bab... baik... eh... kami... kami...."
"Lekas katakan, dan kami akan mengampuni kalian
berdua!" ujar Mahesa Wulung pula. "Kalian pengikut-pengikut siapa?"
"Kami... kami...."
Wuuss! Plaakk! Plaakk!
"Aarrgghh."
Tiba-tiba saja bertiup angin santer dibarengi dua
benturan keras disusul kedua tubuh tawanan itu
menggeliat kesakitan dan menjerit, untuk kemudian
roboh ke tanah dengan masing-masing punggungnya
berbekas telapak tangan kemerahan!
"Jejak Telapak Iblis!" desis Mahesa Wulung.
"Yang dilontarkan dengan pukulan jarak jauh," seru Gagak Cemani menyambung
seraya menatap ke arah
sekeliling. Bulan tiga perempat memancarkan sinar pe-raknya membuat tempat di
situ cukup terangnya un-
tuk dilihat oleh mata.
Mahesa Wulung tidak membuang waktu. Naluri dan
otaknya bekerja cepat. Kalau kedua orang korban itu roboh menghadap ke arah
barat sedang luka-luka mereka pada punggung, maka pastilah penyerangan itu
datang dari arah timur. Dan memang di sana Mahesa
Wulung melihat adanya sebuah semak pohon ilalang
yang cukup lebat.
Maka seketika Mahesa Wulung melancarkan puku-
lan jarak jauh ajaran Pendekar Bayangan ke arah semak ilalang tersebut. (Bacalah
Seri Naga Geni ke 6 dan ke 8, Munculnya Pendekar Bayangan dan Keruntuhan Netra
Dahana) Ssttt... Braasshh!
Bagai diterkam angin prahara, semak ilalang tadi
tergoncang dan sebagian di antaranya terbetot sampai ke akar-akarnya, lalu
berhambur ke udara.
Mendadak saja, satu bayangan hitam melesat ke-
luar dari balik semak-semak ilalang untuk kemudian terus kabur ke arah selatan
dengan gerakan secepat kilat, diiringi ketawa berderai berkepanjangan.
Tungkoro yang masih berada di punggung kuda
menjadi berdiri bulu tengkuknya, seolah-olah ia baru saja menyaksikan hantu yang
berlari. Hampir saja Mahesa Wulung tak percaya melihat
peristiwa tersebut. Buru-buru pendekar wiratamtama ini melancarkan pukulan jarak
jauhnya yang disebut
"Pukulan Angin Bisu" ke arah bayangan tadi.
Blaasshhh! "Heeitt?" si bayangan menjadi berseru kaget, tapi
dengan gesit ia melenting berputar di udara, menghindari serangan bisu ini
hingga lewat di bawahnya dan selanjutnya ia kabur dan lenyap di pepohonan daerah
selatan. Sekali lagi Mahesa Wulung bermaksud mengejar-
nya, tapi Gagak Cemani segera menahannya seraya
berkata, "Tahan, Adi Wulung! Kukira orang tadi cukup jerih terhadap kita.
Jaraknyapun cukup jauh sehingga lebih banyak kemungkinan untuk tidak berhasil!
Di lain saat pastilah kita akan menemukannya. Kita akan mulai memburu jejak telapak
iblis!" Mahesa Wulung segera dapat memahami hal itu.
"Dan lagi," demikian Gagak Cemani melanjutkan bi-
caranya, "masih banyak tugas-tugas penting yang mes-ti Adi Mahesa Wulung lakukan
bagi kepentingan yang lebih besar."
"Terima kasih, Kakang Cemani. Aku yakin bahwa
orang tersebutlah yang bernama Tangan Iblis!" ujar Mahesa Wulung.
"Akupun mengira demikian."
"Terbukti seperti bekas pukulan telapak tangan pa-
da punggung kuda korban ini," ujar Mahesa Wulung
seraya memperhatikan kedua korban. "Tak berbeda
dengan bekas luka di dada Ki Selakriya dahulu."
"Dan dia telah membunuh kedua orang ini, agar ti-
dak berbicara apapun. Besar kemungkinan mereka
adalah anak buahnya sendiri!" Gagak Cemani berkata.
Tungkoro pun segera mendekat dan turun dari ku-
danya untuk kemudian ikut meneliti korban-korban
tersebut. Ternyata Tungkoro pun dapat mengenal be-
kas pukulan telapak tangan itu.
"Bagaimana dengan kedua korban ini?" bertanya
Gagak Cemani seraya menatap ke wajah Mahesa Wu-
lung dan Tungkoro, seakan menantikan jawaban.
"Hmm..., tinggalkan saja di sini. Dalam perjalanan pulang, akan kita cari rumah
penduduk terdekat, agar mereka mengubur kedua korban ini," ujar Mahesa Wulung.
"Saya kira, hal itu cukup baik, Kakang Wulung,"
Tungkoro menyahut serta sekali lagi melempar pan-
dang ke bawah. "Hei, lihat, Kakang. Sebuah kantong uang agaknya!" Tiba-tiba
Tungkoro menunjuk sesuatu di dekat kedua korban itu, serta memungutnya. "Yaa,
benar. Sekantong uang!"
"Bawalah saja, Adi Tungkoro. Nanti akan kita beri-
kan kepada penduduk yang menguburkannya," Mahe-
sa Wulung berkata, lalu mulai menyiapkan kudanya.
"Sekarang marilah kita kembali."
Tak antara lama, mereka bertiga telah berpacu
kembali ke arah utara, menempuh jalan yang tadi dila-luinya. Dari kejauhan
terdengarlah bunyi himbauan
burung hantu, memilukan hati dan menyelusup di an-
tara celah-celah pepohonan.
*** Dalam pada itu, jauh di sebelah selatan, berlonca-
tanlah sesosok bayangan manusia dengan gerakan-
gerakan ringan tak ubah belalang lagi berkejaran.
Dari satu batu ke batu, dari pohon ke pohon, kedua kakinya bergerak melesat
berganti-ganti, menandakan betapa ia memiliki ilmu peringan tubuh dan loncatan-
loncatan yang baik.
Sambil berloncatan itu, terdengarlah satu gerunda-
lan dari mulutnya dalam nada marah dan jengkel, "Tak kusangka aku menjumpai
orang yang memiliki tenaga
pukulan sedemikian hebat, sampai-sampai mampu
menjebol semak ilalang ke akar-akarnya. Huh, terpak-sa aku harus kabur, karena
memang belum waktunya
aku mengadu tenaga dan kesaktian dengan dia!"
Orang ini terus meloncat-loncat ke arah selatan dan sebentar-sebentar ia menoleh
ke belakang, ke arah
mana Mahesa Wulung hampir menggempur dirinya
dengan pukulan Angin Bisu.
Hatinya masih merasa panas dan mendongkol. Ka-
lau saja ia menuruti amarahnya, rasanya ia mau me-
labrak hancur lawannya itu. Hanya saja ia merasa belum waktunya berhadapan
langsung dengan Mahesa
Wulung. Ketika orang ini menghampiri sebuah pohon berin-
gin tua yang besar iapun berhenti dari loncatannya.
Matanya menyapu ke segenap penjuru dan sebentar
kemudian iapun bersuit nyaring.
Seketika berloncatanlah belasan sosok tubuh ma-
nusia dari balik lipatan-lipatan akar beringin raksasa tadi, lalu menyambut
kedatangan orang ini dengan
membungkuk hormat.
Seorang berlengan satu lalu maju ke depan seraya
berkata hormat, "Guru, agaknya Andika mengalami sesuatu?"
"Benar, Jimbaran! Aku terpaksa membunuh dua
orang di antara anak buahku sendiri, karena mereka hampir membuka rahasia
tentang diriku. Jelasnya,
mereka hendak berkhianat!"
"Sudah sepatutnya mereka mendapat hukuman da-
ri Tangan Iblis," geram Jimbaran, murid utama dari Tangan Iblis yang hanya
berlengan kanan saja. Sedang tangan kirinya telah terpenggal putus ketika
bertempur melawan Tawes di tanah Gilimanuk, di pulau Dewata
pada beberapa waktu yang silam.
"Dan satu hal lagi, Jimbaran. Baru saja aku men-
dapat serangan yang cukup hebat dari seorang lawan yang tadi telah menangkap
kedua orang anak buahku
itu!" kata Tangan Iblis sambil mengepal-ngepalkan
tangan. "Satu waktu aku ingin berhadapan dengan
orang ini!"
"Aku berharap, Andika dapat mengalahkannya,
Guru," sambung Jimbaran. "Kami semua bersedia
membantu Andika untuk hal ini."
"Bagus, Jimbaran. Tapi ada tugas lebih penting dari Kakang Rikma Rembyak yang
harus kita kerjakan dan
inilah yang harus pertama-tama kita laksanakan, sebelum soal-soal kecil
lainnya," begitu kata Tangan Iblis.
"Malam ini kita tak ada kerja lain. Suruhlah orang-orang kita."
"Baik, Guru," sahut Jimbaran seraya meninggalkan
Tangan Iblis untuk melaksanakan perintah-
perintahnya. Sebagian dari anak buah Tangan Iblis kembali ke
rongga-rongga batang pohon beringin tua itu untuk beristirahat. Enam orang
tampak berjaga-jaga di beberapa tempat, sedang Tangan Iblis sendiri melesat ke
atas pohon dan hinggap di atas cabang pohon bagaikan
seekor kelelawar hinggap.
Di situ tersedialah tumpukan daun-daun ilalang
yang dianyam tebal bagaikan kasur untuk tempat ti-
dur bagi Tangan Iblis, pemimpin dari rombongan tersebut.
Sebentar kemudian tampak sepi pohon beringin tua
itu, seakan-akan membayangkan satu keangkeran
yang mengerikan seperti kebanyakan orang percaya
bahwa beringin tua yang sebesar itu pasti ditempati oleh hantu-hantu, jin setan
yang suka mengganggu
manusia. BAGIAN VI Angin siang bertiup cukup santernya di sepanjang
sungai yang mengalir di sebelah barat kota Asemarang.
Jauh di daerah selatan dari sungai ini, terdapat daerah perbukitan batu-batu
karang yang kelihatan angker.
Di situ terlihatlah sisa-sisa sebuah kerangka perahu besar yang konon kabarnya
terdampar dari hempasan
gelombang. Sebuah jangkar raksasa berkarat dapat
terlihat di situ pula, merupakan pemandangan tragis dari sisa-sisa pengalaman
dan riwayat sebuah perahu.
Agak ke selatan, di celah lekukan bukit-bukit, ter-dapatlah sebuah rumah yang
pintu gerbangnya terpa-
hat dari batu-batu karang.
Menilik dari pintu gerbang itu serta dua orang penjaga yang tinggal di situ,
dapat dikira-kira bahwa tempat itu adalah milik orang yang kaya atau paling
tidak berpengaruh.
Memang sebenarnyalah demikian. Rumah berpintu
gerbang batu itu adalah milik seorang saudagar kaya bernama Arya Demung. Selain
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkenal sebagai saudagar, Arya Demung pun tergolong orang yang berilmu
dan sakti. Hal itu tak perlu diherankan, sebab iapun termasuk salah seorang tokoh
persilatan di daerah itu. Namanya cukup terkenal dan ditakuti oleh orang luar
maupun oleh para pengikutnya sendiri.
Di siang itu udara cukup panas, seolah-olah mem-
bakar wajah-wajah manusia yang lagi berkumpul dan
duduk-duduk di halaman rumah yang dirindangi oleh
pohon-pohon sawo.
Bintik-bintik keringat menempel di dahi Arya De-
mung yang tampak kemerahan. Ternyata bukan seke-
dar disebabkan panasnya siang, tapi oleh suasana
yang baru saja dilaporkan oleh si Mulut Bertudung
dengan nada setengah takut.
"Goblok! Jadi gagal juga kau mencari benda terse-
but"!" gereneng Arya Demung jengkel. "Benda seperti Arca Ikan Biru tersebut
sangat penting artinya bagi ki-ta. Maka sungguh celaka jika benda itu sampai
jatuh ke tangan orang lain!"
"Kami sudah menjatuhkan Ki Sungkana, Kakang
Arya. Tetapi mendadak saja datanglah seorang gadis bersama seorang gemuk pendek
yang langsung menghajar kami," demikian si Mulut Bertudung menje-
laskan sekali lagi. "Menurut katanya, ia bernama Tuntari dan si gemuk pendek itu
disebut Ki Dunuk!"
"Hmm, mereka adalah orang-orangnya Ki Demang
Cundraka, sahabat karib dari Sungkana!" desis saudagar Arya Demung. "Tapi kau
tadi menyebut nama Wasi Sableng itu pendekar yang angot-angotan, suka bertindak
semau diri. Bukankah ia dapat kau ajak agar berpihak dengan kita"!"
"Memang saya bermaksud demikian, Kakang Arya
Demung. Tetapi ketika Wasi Sableng dikalahkan oleh Bikhu Gandharapati, ia telah
kabur tanpa kuketahui arah tujuannya dengan membawa sekantong uangku!"
ujar si Mulut Bertudung.
"Jadi sebenarnya Wasi Sableng itu dapat kita guna-
kan," sambung Arya Demung. "Orang seperti dia, yang suka hidup royal dan
bermewah-mewah, pasti banyak
membutuhkan uang dan kita dapat mencukupinya,
bukan?" "Benar, Kakang Arya Demung."
"Sebab itu, engkau harus secepatnya berusaha
mencari Wasi Sableng dan katakan kepadanya, bahwa
ia kuundang ke rumahku," kata Arya Demung seraya
mengeluarkan sekantong uang dari balik bajunya. "Be-
rikan ini kepada Wasi Sableng sebagai hadiah persa-habatan dari Arya Demung."
Dengan tergopoh, si Mulut Bertudung menyambut
kantong uang tersebut dari tangan Arya Demung.
"Akan kucari Wasi Sableng sampai ketemu dan kuajak kemari."
Arya Demung manggut-manggut puas mendengar
kesanggupan si Mulut Bertudung, si pendekar yang
menjadi tangan kanannya. "Hati-hatilah terhadapnya, sebab ia orang yang aneh dan
sukar ditebak kata hatinya. Perlakukan dia dengan baik, karena tugasmu harus
dapat mengambil hatinya."
Belum lagi si Mulut Bertudung mengundurkan diri,
mendadak saja datanglah seorang penjaga pintu ger-
bang dengan mengantar seorang tamu berperawakan
kecil, berikat kepala hijau tua dan yang lebih mengherankan adalah matanya yang
cekung dengan sinar ta-
jam. "Haaa, kau sudah datang, Klenteng!" seru Saudagar
Arya Demung kepada si tamu yang berkulit agak hi-
tam. "Terimalah salam hormatku, Ki Demung!" berkata si
tamu yang bernama Klenteng seraya melangkah mem-
beri hormat kepada tuan rumah.
Si Mulut Bertudung tidak menjadi heran dengan
kedatangan si tamu yang bermata cekung dan berkulit hitam itu, sebab ia telah
mengenalnya beberapa waktu yang lalu, ketika Klenteng, yaitu salah seorang
pengikut Arya Demung, berhasil menyelusup dan bekerja
sebagai tukang sapu di rumah Ki Sungkana.
"Bagaimana, Klenteng" Adakah berita baru yang
sangat penting"!" ujar Arya Demung menanyakan ka-
bar yang diharap-harapkannya dari tamu ini.
"Ki Demung boleh percaya, apa yang akan kucerita-
kan ini membuat persoalan Arca Ikan Biru menjadi lebih jelas," demikian kata
Klenteng memulai jawabannya.
"Ya, ya. Itulah yang aku tunggu. Berita itu sangat kunanti-nanti darimu,
Klenteng!" gumam Arya Demung seperti tidak sabar. "Nah, coba katakan cepat!"
"Setelah penyerbuan Sobat si Mulut Bertudung ke
rumah Ki Sungkana, ternyata Arca Ikan Biru tersebut telah diserahkan ke tangan
Tuntari dan Ki Dunuk!"
"Haaahh"! Celaka! Benda itu sangat berguna bagi
kita! Kau tahu"!" gereneng Arya Demung sambil melo-tot. "Sekarang kau harus
menyelidiki kembali tentang benda itu!"
"Baik, Ki Demung. Yang jelas, benda tersebut pasti akan berada di tangan Demang
Cundraka!" sahut
Klenteng. "Ya, itu memang jelas! Justru hal inilah yang harus kau selidiki dengan segera!
Setelah Arca Ikan Biru itu berada di tangan Demang Cundraka, selanjutnya akan
berpindah ke tangan siapa lagi"! Nah, inilah tugasmu!"
"Hua, ha, ha, ha. Ki Saudagar! Ki Saudagar De-
mung! Keluar lekas!" begitulah tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah
pintu gerbang diiringi ketawa yang menggetarkan udara siang.
Sudah barang tentu Arya Demung, Klenteng, dan si
Mulut Bertudung menjadi terkejut bukan main, sebab baru sekali inilah mereka
mendengar adanya kelancangan yang melewati batas, seperti teriakan-teriakan yang
memanggil nama Arya Demung tadi. Ini merupakan satu kejadian yang aneh dan luar
biasa. Nama Arya Demung merupakan nama yang ditakuti
oleh setiap penduduk di sekitar tempat ini. Mereka akan selalu berhati-hati
untuk menyebut nama itu, tidak seperti teriakan yang baru saja terdengar sangat
gegabahnya! Maka sudah boleh dipastikan bahwa si peneriak ta-
di pastilah orang yang mencari kesulitan. Kalau bukan berarti tantangan, maka
berarti pula kesengajaan bunuh diri.
Karena sesungguhnya, Arya Demung sangat keras
menjaga namanya, bahkan tidak segan untuk turun
tangan bagi setiap orang yang berani mengucapkan
namanya secara sembrono. Beruntunglah kalau
orangnya hanya ditampar, sedang biasanya pastilah
akan disobeknya mulut orang yang malang itu.
Arya Demung bersama orang-orangnya serentak
berdiri dan berlari-lari ke arah pintu gerbang. Malahan segenap penghuni rumah
itu pada bertebaran keluar, laksana sebuah sarang lebah yang kena usik, hingga
semua penghuninya marah-marah.
Sementara berlarian ke arah pintu gerbang, si Mu-
lut Bertudung berkata kepada Arya Demung, "Kakang
Arya, jika tidak keliru suara tersebut adalah suara Wa-si Sableng. Aku masih
bisa mengenalnya!"
"Jika demikian, itu merupakan keuntungan bagi ki-
ta! Ayo, kita sambut orang yang bermulut besar itu!"
seru Arya Demung sambil berlari pula.
Sebentar saja mereka telah sampai di pintu gerbang batu dan dua orang penjaga
serentak melapor kepada Saudagar Arya Demung.
"Kami telah berusaha mengusirnya, Ki Demung. Te-
tapi orang itu membandel dengan berteriak-teriak seperti orang gila!"
"Biarlah aku yang menghadapinya," ujar Arya De-
mung dengan nada gusar, lalu melempar pandang ke
arah halaman di luar pintu gerbang batu karang.
Di sana terlihatlah seorang berpakaian hitam-hitam sedang membrakoti seruas
batang tebu manis. Sikap
orang ini kelihatan ceroboh, apalagi sambil menikmati tebu manis tadi, ia duduk
menongkrong di atas se-bongkah batu.
"Heei, Ki Saudagar! Saudagar Demung! Keluarlah
lekas. Aku sangat haus!" demikian teriak si baju hitam tanpa menggubris bahwa di
tengah pintu gerbang telah terpagar oleh manusia. Merekapun telah bersenjata
pula di tangannya.
"Diaammm! Mulutmu bisa kusobek nanti!" seru
Saudagar Arya Demung dengan mendongkol dan ma-
rah. "Ehh"! Heh, he, he, he. Sudah keluar orangnya"!
Heh, he, he, he. Mana yang bergelar Arya Demung?"
demikian ucapan cerewet terus meluncur dari mulut si baju hitam. "Aku kepengen
ketemu dengan orangnya...
heh, he, he, he."
Mendengar kesembronoan orang asing ini, tiba-tiba
majulah salah seorang anak buah Arya Demung den-
gan golok terhunus. Teriakannya kemudian, "Keparat, orang asing. Sebelum
majikanku bersedia dan sudi
menyambutmu, terlebih dahulu sambutlah golokku
ini!" "Heeit! Cari gara-gara kau! Niih!" teriak orang asing berbaju hitam sambil
mengibaskan tangan kanannya
ke arah si penyerang tadi.
Tanpa terelakkan, ruas tebu yang barusan dibrakoti seketika melesat dan langsung
bersarang ke pelipis si penyerang tersebut, hingga orangnya roboh berkelojotan
bermandi darah, mengerikan!
Hampir semua mulut yang menyaksikan kejadian
itu pada melongo di samping hati mereka merasa keder pula. Orang asing yang
dikira sepele itu, ternyata memiliki ilmu tinggi, seperti terbukti mampu
menimpukkan seruas tebu sampai menancap di pelipis salah seo-
rang dari rekannya.
"Heh, he, he, he. Sambutan yang cukup manis. Tapi
sayang, kepalanya terpaksa kusumbat dengan ruas te-bu. Mudah-mudahan ia dapat
berpikir lebih baik ke-
lak! Dengan begitu baru pantas ia menghadapi Wasi
Sableng!" demikian kata si baju hitam yang tidak lain adalah Wasi Sableng. "Ayo,
siapa penyambut yang berikutnya?"
"Sabarlah, Ki sanak!" kata Arya Demung seraya ma-
ju ke depan. "Hmm. Heh, heh. Siapa pula engkau"! Tampaknya
engkau lebih berhati-hati dari orang itu!" Wasi Sableng bertanya serta sesaat
menatap ke arah si penyerang yang sial dan malang. Beberapa orang anak buah Arya
Demung segera menggotong tubuh si korban dan di-bawanya masuk ke dalam pendapa.
"Harap Sobat tidak bergusar dengan sambutan
orang tersebut," sahut Arya Demung. "Akulah orang-
nya yang engkau cari! Aku bernama Arya Demung."
"Babo! Babo! Toblas..., eh, toblas! Memang engkau-
lah yang aku cari-cari!" ujar Wasi Sableng seraya
menggosok-gosok kumisnya yang penuh serabut tebu.
"Hari amat panas! Kau dengar teriakanku tadi" Aku
butuh minuman dan uang! Lekas berikan kepadaku!"
"Wasi Sableng! Aku telah memaafkan kelancangan-
mu! Tapi perkara uang dan minuman, tidak akan se-
mudah itu engkau memperoleh dari tanganku!" sahut
Arya Demung kemudian. "Kecuali engkau dapat men-
galahkanku!"
"Sangat setuju!" seru Wasi Sableng seraya bersiaga dengan jurus pembukaan yang
sangat aneh! Betapa tidak mengherankan, bila Wasi Sableng cuma berdiri
mengangkangkan kaki dengan tangan kiri bertolak
pinggang, sementara tangan kanan menggaruk-garuk
kepala tak ubahnya orang yang sakit gatal. "Ayolah mulai, Saudagar Arya Demung!"
"Awas, Wasi Sableng! Jika engkau kalah, harus kau
cium ujung kakiku ini!" teriak Arya Demung dengan
hati panas. Diiringi geraman marah, tahu-tahu ia telah melesat ke depan,
menyerang Wasi Sableng sambil
berseru, "Sambut ini jika mampu!"
Mereka yang melihat gerakan ini menjadi terkesiap, ketika tubuh Arya Demung
meluncur pesat seperti
anak panah lepas dari busurnya, disertai angin yang santer.
Wesss.... Tiba-tiba.... "Haahh?" desah kekagetan meluncur dari mulut
Arya Demung, manakala Wasi Sableng menggeliat kecil dengan gerakan sederhana,
namun membuat terka-man mautnya telah meleset!
Akan tetapi Arya Demung pun bukan orang semba-
rangan. Sebelum ia terlanjur kena dorong tenaganya sendiri, cepat ia memutar
dirinya dan melancarkan sa-tu tendangan kaki yang dahsyat.
Wasi Sableng terperanjat buat sesaat. Cepat-cepat
ia menangkiskan tangan kirinya yang ditekuk ke da-
lam, menyongsong dupakan kaki Arya Demung sebe-
lum serangan tersebut benar-benar menyentuh da-
danya. Tangkisan dari Wasi Sableng ini dapat diketahui pu-la oleh Arya Demung, namun ia
tak berusaha merobah gerakannya, agar kakinya tetap membentur tangan lawannya.
Bagaimanapun juga ia telah bertekad untuk
mencicipi ilmu dan kepandaian Wasi Sableng, si pendekar angot-angotan.
Maka terjadilah satu benturan yang tidak ringan
dengan suara bergebruk keras dan menggetarkan se-
tiap dada yang mendengarnya.
Duukk! Arya Demung terpaksa berjumpalitan untuk men-
daratkan kakinya yang terasa panas bagai dibakar oleh api, sementara Wasi
Sableng yang menangkis, hampir saja terpelanting!
Untunglah ia masih mampu menguasai keseimban-
gan tubuhnya, sehingga akibatnya ia cuma jatuh terduduk di tanah sambil mulutnya
bergerundalan, "Hengng! Boleh juga tenaganya. Demi anggur minuman selodong dan uang sekantong,
aku akan bertarung ma-ti-matian untuk mengalahkannya!"
Sampai di sini selesailah Seri Naga Geni "Jejak Telapak Iblis", dan akan
menyusul Seri Naga Geni berju-dul "ARCA IKAN BIRU". Lebih mengasyikkan dan men-
gikat pembaca untuk segera mengetahui apakah sebe-
narnya Arca Ikan Biru itu, dan bagaimana dengan tokoh-tokoh yang mengincarnya.
TAMAT Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
BAGIAN I BAGIAN II BAGIAN III BAGIAN IV BAGIAN V BAGIAN VI Misteri Anak Selir 1 Iblis Ular Hijau Karya Aryani W Hong Lui Bun 11
menghadapi serangan yang demikian tiba-tiba itu. Ta-hu-tahu tongkat hitamnya
telah menjadi dua bagian
dan berputar menangkis serangan senjata rahasia dari lawannya.
Bunyi benturan dari tangkisan tongkat gadis itu telah memukul dan mementalkan
balik semua senjata
rahasia milik si Mulut Bertudung, sehingga hampir sa-ja mengenai kembali kepada
pemiliknya sendiri, seandainya si Mulut Bertudung tidak lekas-lekas berputar ke
udara. Tidak hanya itu saja yang mengagetkan si Mulut
Bertudung, sebab dengan sekali lirikan saja ia telah tahu bahwa sesungguhnya
tongkat di tangan Tuntari
tadi adalah berisi sebilah pedang kecil dan panjang!
Gadis inipun menggunakan kesempatan berikutnya.
Selagi si Mulut Bertudung hendak mendaratkan ka-
kinya, secepat kilat ia melesat menghadap dengan
sambaran tongkat pedangnya.
Wesss.... Syraattt!
"Aauuhhh!"
Si Mulut Bertudung mengaduh tertahan sebab len-
gan kirinya tahu-tahu telah terobek oleh mata tongkat pedang lawannya. Darah
segar mengucur menetes-
netes jatuh di atas tanah.
Terdengar si Mulut Bertudung menggeram saking
marahnya. Sekali lagi ia berusaha menerjang maju
dengan pedang pendeknya, tapi buat kedua kalinya
pula tongkat pedang Tuntari menangkis dengan se-
runya. Traangng! "Uuh"!"
Hampir tak percaya si Mulut Bertudung melihat
bahwa pedang pendeknya terpental lepas begitu mu-
dahnya. Hal ini seakan-akan menyadarkan bahwa tak
berguna lagi untuk melanjutkan pertempuran ini.
Secepat kilat ia memutar tubuhnya untuk kabur,
meski akhirnya ia dibuat kaget sebab secara tiba-tiba pundak kanannya seperti
disengat lebah! Panas dan
nyeri! Si Mulut Bertudung melirik pundak kanannya, ke-
mudian ke arah lawannya. Kiranya gadis itu telah sekali lagi menggerakkan
tongkat pedangnya dan kini
pundak kanannya telah terluka kembali!
Sedang Tuntari sendiri cuma tersenyum-senyum ta-
jam sambil menggerakkan tongkat pedangnya ke ka-
nan-kiri, tak ubahnya seorang anak kecil manja yang mengobat-abitkan sebatang
lidi permainannya! Sungguh mengagumkan tapi juga mengerikan! Gadis ini
yang mempunyai watak keras dan tak mau mengalah
tetap bersiaga menghadapi setiap kemungkinan.
"Keparat! Kau lebih beruntung hari ini!" seru si Mulut Bertudung seraya menahan
sakitnya dengan perin-gisan. "Tapi lain kali aku akan merobohkanmu!"
Selesai berkata demikian, si Mulut Bertudung me-
loncat ke sisi tembok dengan sisa-sisa tenaganya dan berhasil menggantung pada
puncak tembok batu dari
halaman itu. Akan tetapi, rupanya gadis yang berwatak keras ini tidak mau begitu saja
melepaskan lawannya. Lebih-lebih setelah si Mulut Bertudung mengeluarkan anca-
mannya. Maka iapun melesat mengejar ke arah yang
sama dengan ancaman pedangnya.
"Keparat! Kau telah berlaku kejam kepada penghuni
rumah ini! Sekarang terimalah hukumanmu!" teriak
Tuntari seraya menggerakkan pedangnya.
Sekonyong-konyong, sebelum tongkat pedang Tun-
tari menyentuh tubuh si Mulut Bertudung, bertiuplah angin santer mengiringi
turunnya sesosok tubuh berpakaian serba hitam menggenggam sebatang tongkat
panjang yang pada kedua ujung dilengkapi dengan dua buah mata tombak!
"Babo! Babo! Wong denok ayu, jangan kau ganggu
orang ini!" seru si pendatang. Ternyata orang ini berperawakan sedang, rambutnya
disanggul di atas sedang kumis dan jenggotnya lebat.
Ketika ia datang menimbulkan angin santer sehing-
ga terpaksalah Tuntari meloncat ke samping mengu-
rungkan maksudnya karena terhalang oleh si tokoh
pendatang! "Heei, Ki sanak! Masih termasuk apakah engkau
dengan musuhku ini, sampai engkau turun tangan
membelanya"!" seru Tuntari dengan geram.
"Heh, heh, heh. Hi, hi, hi. Dia bukan apa-apaku,
Wong denok ayu!" sahut si pendatang seraya mengga-
ruk-garuk kumisnya.
"Jika demikian apa perlunya"!"
"Aku butuh uang dan ia pasti bersedia membayarku
bila aku membelanya dari seranganmu, Bocah ayu!"
Tuntari terkejut oleh kata-kata tersebut. Sungguh
aneh perangai orang ini! Demikian pikir gadis yang bertongkat pedang. Hampir
saja ia tak dapat memper-
cayai kata-kata tadi, seandainya si Mulut Bertudung yang kini hampir berhasil
tiba di puncak pagar batu, tidak berteriak keras-keras.
"Haaaiii, Wasi Sableng! Kau selalu membuntuti diri-ku! Jangan kau berharap akan
mendapat uang dari
tanganku!"
Sesaat Wasi Sableng agak terkejut namun kemu-
dian ia terkekeh-kekeh dengan tawanya, lalu berkata,
"Bagus! Jadi kau lebih menghargai uang daripada
nyawamu"!"
"Persetan! Kau boleh mengoceh semaumu!" berte-
riak si Mulut Bertudung penuh marah, seperti orang gila layaknya.
"Baiklah jika demikian, Anak bandel!" sahut Wasi
Sableng seraya memaling ke arah Tuntari dan berkata,
"Nah, Bocah ayu! Kau lebih beruntung karena orang yang akan kutolong ternyata
tidak membutuhkan pertolongan tersebut. Sekarang kau bebas bertindak, Bocah ayu!
Nah, jangan ragu-ragu lagi. Akan kau coblos dadanya" Atau kau tebas sampai putus
kedua lengan atau kakinya" Dan bagaimana jika lehernya kau penggal saja, Bocah denok ayu"!
Silahkanlah, dia tak bakal sanggup mengelak ataupun menyelamatkan dirinya."
Si Mulut Bertudung terperanjat oleh kata-kata Wasi Sableng yang demikian memberi
angin kepada gadis
Tuntari. Apalagi jika diingatnya bahwa sebagian besar tubuhnya masih tergantung
di sisi tembok bagian dalam.
Dengan demikian, itu merupakan satu sasaran em-
puk bagi Tuntari yang telah bersiaga dengan tongkat pedangnya. Tampak olehnya
bahwa gadis itu mulai
melangkah ke arah pagar tembok di mana tubuhnya
masih bergelantung.
Seketika keringat dingin mengalir turun dari da-
hinya dan ia ketakutan setengah mati. Sepintas lalu terbayanglah kematian yang
bakal tiba. Mungkin tubuhnya akan terbelah dua oleh tongkat pedang Tuntari yang
panjang dan kecil.
Jika sampai ia mati, maka semua barang miliknya
tak akan berguna lagi. Juga beberapa kantong uang
emas yang ada di rumah, tak akan punya arti apa-apa lagi.
Jadi, apakah salahnya bila ia kehilangan uang be-
berapa keping di saat segawat ini, demi kelangsungan hidupnya"! Sungguh goblok!
Apakah harta lebih berharga daripada nyawa"
Berpikir itu semua, si Mulut Bertudung segera ber-
seru keras-keras, tertuju kepada Wasi Sableng, "Hai, Wasi Sableng! Cegah
tindakan gadis itu! Aku bersedia membayarmu. Aku butuh pertolonganmu sekarang!"
Keruan saja Tuntari terkejut oleh hal itu, sehingga untuk sesaat ia menjadi
ragu, seolah-olah menantikan Wasi Sableng atas teriakan tawaran dari si Mulut
Bertudung. Wasi Sableng tertawa terkekeh-kekeh kesenangan,
dan katanya kemudian, "Ha, ha, ha, ha. Bagus! Mau
bayar berapa engkau untuk pertolonganku ini?"
"Lima keping uang emas!" seru si Mulut Bertudung.
"Terlalu pelit kau, Bocah edan!" bentak Wasi Sab-
leng. "Jika nyawamu cuma seharga lima keping uang
emas itu, mungkin gadis inipun sanggup membayar
sebanyak itu untuk memperoleh nyawamu!"
"Kujadikan sepuluh keping uang emas!"
"Masih terlalu murah, Sobat!"
"Dua puluh keping!"
"Ha, ha, ha. Tidak! Sekarang kau tahu berapa mah-
al nyawamu?"
"Jadi berapa maumu" Limapuluh keping?"
"Hah, ha. Aku menghendaki semua uang yang kau-
bawa sekarang! Jika tidak, maka aku akan membiar-
kan gadis ini mencabut nyawamu!"
"Jangan! Jangan kau biarkan gadis itu melakukan
hal tersebut! Kau boleh mendapatkan semua ua-
ngku...!" ujar si Mulut Bertudung seraya mengambil kantong uangnya dengan susah-
payah. Melihat ini, Wasi Sableng manggut-manggut dengan
diiringi suara ketawa yang mampu menggetarkan dada siapa saja, kemudian berseru
nyaring, "Nah, sekarang lemparkan ke bawah!"
Si Mulut Bertudung segera menuruti perintah Wasi
Sableng. Ia melemparkan kantong uangnya ke bawah
sambil melirik ke arah Wasi Sableng dan Tuntari yang berada di bawah sana.
"Hyaatt!"
Tiba-tiba Wasi Sableng menggerakkan tangan ka-
nannya menarik kembali ke belakang dan terjadilah
satu hal yang hampir sukar dipercaya oleh mata.
Baik si Mulut Bertudung sendiri maupun Tuntari
ternganga kagum oleh hal itu, sebab baru sekali inilah mereka menjumpai kejadian
seaneh begitu. Kantong uang si Mulut Bertudung yang meluncur
ke bawah, tiba-tiba berganti arah dan melayang dengan cepatnya ke arah tangan
kanan Wasi Sableng, seperti tersedot oleh tenaga dalamnya yang cukup hebat!
"Hah, ha, ha. Bagus, bagus! Nah, Bocah denok ayu,
sekarang aku telah dibayar olehnya. Maka berarti aku menjadi pembelanya
sekarang! Kau tak boleh lagi
mengganggunya!" seru Wasi Sableng dengan lantang,
mengejutkan si Mulut Bertudung dan Tuntari.
Akhirnya si Mulut Bertudung tersenyum-senyum
gembira, sebab dengan begitu ia bakal terlindung dari ancaman gadis bertongkat
pedang yang hampir saja
mencabut nyawanya.
Sebaliknya dengan Tuntari, ia menjadi marah bu-
kan main dengan sikap dan tindakan Wasi Sableng.
Karenanya iapun bersiaga untuk meneruskan mak-
sudnya. "Wasi Sableng! Jangan kau menggertakku seperti
anak kecil. Menyingkirlah dari ancaman pedangku. Bi-ar kubereskan lawanku itu!"
seru Tuntari seraya men-gancamkan pedangnya ke arah Wasi Sableng karena
orang tersebut telah menghadang jalannya.
"Bocah denok ayu! Aku memperingatkan sekali lagi
kepadamu. Jangan kau teruskan maksudmu, atau aku
terpaksa bertindak terhadapmu," sahut Wasi Sableng seraya tangan kanannya
menyimpan kantong uang
pemberian si Mulut Bertudung ke dalam bajunya se-
dang tangan kirinya bersiaga dengan tombak yang be-rujung dua.
"Keparat! Aku kepingin mencoba kesaktianmu!
Hyaatt!" teriak Tuntari seraya melesat ke depan, menerjang Wasi Sableng dengan
tongkat pedangnya.
"Huh, kau tak bakal mengalahkan aku, Denok ayu!"
seru Wasi Sableng seraya mengegoskan tubuhnya ke
kiri sedikit dan loloslah ia dari serangan pertama Tuntari.
Dalam pada itu, si Mulut Bertudung yang kini telah berhasil mencapai puncak
pagar batu, menjadi tersenyum-senyum senang karena dirinya sekarang yang
menjadi penonton dari adegan pertempuran itu.
Terlihatlah betapa Wasi Sableng selalu berhasil
mengelakkan setiap serangan Tuntari dengan mudah-
nya, seolah-olah tengah mempermainkan seorang anak kecil.
Kendati demikian diam-diam Wasi Sableng menga-
kui bahwa gadis Tuntari ini adalah calon pendekar ter-
baik. Kegesitannya sangat mengagumkan meski tenaga dalamnya masih jauh di bawah
tingkatnya. Beberapa saat kemudian.
Traangng! Tiba-tiba tongkat pedang Tuntari menghajar tangkai tombak Wasi Sableng yang
melintang di depannya. Keduanya tergetar, lebih lagi dengan kedua sisi senjata
yang saling bersentuhan telah mengepulkan asap panas!
Kiranya dua orang itu telah mengerahkan tenaga
dalamnya. Namun yang akhirnya paling terkejut ada-
lah Tuntari sendiri, sebab begitu tongkat pedangnya menempel pada tombak Wasi
Sableng, terasalah bahwa tenaganya seperti tersedot oleh tenaga dalam lawannya,
tak ubahnya sebatang logam yang disedot
oleh besi sembrani!
Dengan sekuat tenaga, Tuntari berusaha menge-
rahkan kekuatannya untuk menarik diri secepat
mungkin. Bila sampai terlambat, pastilah tenaganya akan habis terkuras sehingga
akibatnya berarti ke-lumpuhan mutlak pada dirinya!
Keadaan menjadi semakin tegang dan boleh dipas-
tikan bahwa sebentar lagi Tuntari akan roboh dengan tubuh yang lumpuh. Sedang Ki
Dunuk yang menyaksikan kejadian tersebut segera berusaha menolong
Tuntari, tapi sayang bahwa iapun masih harus me-
nyingkirkan beberapa sisa anak buah si Mulut Bertudung yang berusaha
mempertahankan diri.
Rupanya memang Tuntari masih bernasib baik.
Mendadak saja satu angin keras menerjang wajah Wasi Sableng, sehingga tokoh yang
berpakaian serba hitam ini terdorong ke belakang beberapa langkah seraya
berseru kaget. Dengan demikian terbebaslah gadis Tuntari dari te-
naga sedotan Wasi Sableng yang dahsyat itu. Dalam
hati Tuntari mengucapkan syukur bahwa dirinya telah terbebas dari bencana.
Sekarang, baik Tuntari, Wasi Sableng sendiri mau-
pun si Mulut Bertudung menjadi terkejut ketika mere-ka melayangkan pandangnya ke
arah tembok pagar
batu di sebelah timur. Dari sana terdengarlah getaran ketawa yang menggelegas
disertai perbawa dingin yang aneh.
Di sana di atas pagar tembok batu itu, berdirilah
seorang laki-laki bertubuh tegap, berkepala gundul, serta mengenakan jubah
berwarna kuning.
Pada tangan kirinya tergenggam seuntai tasbeh
berwarna hitam, sementara tangan kanannya ditekuk
di depan dada dalam sikap abhaya-pasta yang bertu-
juan menentramkan suasana.
"Sadhu... sadhu... sadhu... semoga kejahatan akan
tersingkir dari tempat ini! Aku melihat seorang berilmu sakti mencoba
menghancurkan seorang tunas yang
masih hijau!" ujar si Jubah Kuning dengan suara tenang tapi menyelusup ke
segenap relung-relung hati para pendengarnya.
"Heeii! Kau jangan menggertakku, Gundul!" seru
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wasi Sableng dengan sombongnya. "Apakah kau ingin
mencoba kesaktianku, haa"! Dan siapa pula nama-
mu?" "Berbahagialah orang yang sabar, bijaksana dan
mampu menahan nafsu. Aku, Bikhu Gandhara, hanya
mohon agar Ki sanak cepat-cepat meninggalkan tem-
pat ini!" "Tak perlu ngoceh berkhotbah di hadapan Wasi
Sableng, Bikhu Gandhara! Kaulah yang seharusnya lekas-lekas menyingkir!" berseru
pula Wasi Sableng seraya meloncat marah.
"Hmm, sayang sekali hatimu telah dikuasai oleh
kemarahan dan kebencian! Orang yang demikian tidak akan mencapai kebenaran serta
ketenangan!"
Wasi Sableng menjadi makin marah oleh kata-kata
si Jubah Kuning, maka secepat kilat ia melesat ke arah tembok timur seraya
menusukkan tombaknya.
Tapi belum lagi ia mencapai separo jarak mendadak
saja Bikhu Gandhara mengibaskan tasbihnya ke depan dan seketika berhembuslah
udara dingin dengan ken-cangnya memapaki loncatan Wasi Sableng, sehingga
tokoh ini tergoncang dan terpental balik sejauh hampir dua tombak!
Untunglah bahwa Wasi Sableng masih mampu
menguasai dirinya dengan berputar di udara mema-
tahkan tenaga dorong dari Bikhu Gandhara.
"Tobat! Babo! Babo! Hebat benar kesaktianmu,
Gandhara!" desis Wasi Sableng seraya mendarat ke tanah dengan sedikit cekakaran
dan hampir jatuh.
"Nah, sudah kukatakan, Ki sanak. Kekerasan akan
merugikan dirimu sendiri. Karenanya lekaslah me-
nyingkir dari tempat ini dan biarlah suasana ketenangan kembali seperti
sediakala! Sadhu... sadhu... sadhu....," demikian ucapan si Jubah Kuning seraya
meloncat turun ke dalam halaman dengan gerakan yang
sangat ringan, seolah-olah sebatang daun kering yang melayang turun ke atas
tanah. Si Mulut Bertudung yang berada di puncak pagar
tembok batu menjadi sangat kaget. Hatinya berdebardebar aneh melihat
pertandingan aneh antara kedua
tokoh kuat itu.
Sementara di depan pintu gerbang masuk, Ki Du-
nuk masih terus gigih bertempur. Rupanya saja di antara sisa-sisa anak buah si
Mulut Bertudung masih
ada yang memiliki ilmu yang cukup tangguh, terbukti
bahwa mereka masih dapat bertahan.
Tuntari dapat menarik napas lega meski tenaganya
masih belum pulih seluruhnya. Akibat sedotan tenaga dalam dari Wasi Sableng
tadi, terasa sendi-sendi tulangnya pada ngilu-ngilu seperti hendak copot.
Seandainya pertandingannya melawan Wasi Sableng tadi
masih berlangsung, boleh jadi tenaganya akan lumpuh dan tulang-tulangnya retak,
ataupun hancur.
Dengan begitu, kedatangan si Jubah Kuning itu
sangat menolong jiwanya. Namun ia heran pula bahwa si Jubah Kuning itu belum
dikenalnya sama sekali.
Kini ia menatap dengan penuh perhatian ke arah
dua orang sakti yang telah berhadap-hadapan. Tam-
paknya mereka telah bersedia menghadapi setiap ke-
mungkinan. Hanya saja terlihat jelas dua perbedaan pada kedua tokoh tersebut. Kalau pada
diri Bikhu Gandhara tampak adanya ketenangan diri disertai wajah yang sumeh dan
cerah penuh kesabaran, sedang pada wajah Wasi
Sableng tercermin adanya kemarahan yang meluap,
membuat kulit mukanya merah menyala.
"Kau berani membuat malu diriku di hadapan bo-
cah-bocah ini, Setan!" teriak Wasi Sableng. "Untuk itu kau harus membayar dengan
nyawamu!" "Hmm, sabarlah, Ki sanak!"
Sementara keadaan menjadi tegang, warna merah
senja seperti membakar langit di sebelah barat, hingga suasana di situ kian
tampak dipenuhi oleh warna-warna api dan kemerahan yang menyala-nyala, seperti
marahnya Wasi Sableng terhadap lawannya.
"Kau tak semudah itu menyuruh aku pergi mening-
galkan tempat ini, Gandhara!" teriak Wasi Sableng.
"Jadi apa maumu, Ki sanak"!"
"Aku ingin mencoba kepandaianmu!"
"Hmm, masih juga mempertahankan kekerasan,"
ujar Bikhu Gandhara seraya tersenyum ramah. Satu
hal yang benar-benar mengagumkan. Betapa ia dapat
menguasai diri dan bersabar mendapat kata-kata ka-
sar dari Wasi Sableng.
Namun kesabaran itu justru membuat Wasi Sableng
menjadi lebih berkobar marahnya. Sebab kesabaran
Bikhu Gandhara tampak bagai satu ejekan yang me-
nyakitkan hatinya.
"Coba kau terima ini, Gandhara!" seru Wasi Sableng seraya mendorongkan tenaga
dalam lewat tangan kanannya ke arah si Jubah Kuning.
Nampak sepintas lalu bahwa dorongan tangan Wasi
Sableng ini tidak berarti apa-apa, namun dapatlah se-lintas terlihat betapa
dahsyatnya oleh Tuntari maupun si Mulut Bertudung yang masih terpaku takjub di
atas pagar tembok batu.
Begitu tenaga dorongan tadi melintas, beberapa
daun tua yang kebetulan tersentuh olehnya seketika menjadi hangus! Akan tetapi
si Jubah Kuning tidak
menjadi gentar karenanya. Iapun mendorongkan tan-
gan kanannya ke depan dan terlontarlah suatu tenaga dalam yang tidak kalah
dahsyatnya. Desssss...! Suatu asap putih mengepul ketika dua
tenaga dalam itu bertemu di udara tak ubahnya bara api yang tersiram seember
air. "Babo, babo! Kowe memang hebat!" umpat Wasi
Sableng seraya berjingkrak dan menggaruk-garuk ke-
pala saking marah dan bingungnya. Namun sesaat
kemudian ia menggenggam erat-erat tombaknya yang
bermata tajam pada kedua ujungnya. "Tapi aku belum mau kalah!"
Melihat ini Bikhu Gandhara tetap tenang-tenang sa-
ja. Kini tangan kirinya melipat ke dada sementara tan-
gan kanannya menggenggam erat tasbih hitamnya,
seolah-olah seperti orang yang lagi semadhi memu-
satkan perhatian.
"Hyaattt!" tiba-tiba dengan teriakan menggeledek,
Wasi Sableng melesat ke depan dan menusukkan tom-
baknya ke arah si Jubah Kuning. Gerakan ini sangat cepat dan sukar ditangkap
oleh mata sehingga karenanya, Tuntari terpekik kecemasan.
Serangan ini sangatlah hebatnya. Boleh dipastikan
bahwa si Jubah Kuning pasti terhunjam oleh tombak
Wasi Sableng yang bergerak begitu pesatnya. Cuma sa-ja Bikhu Gandhara tidak
kalah gesit. Diliukkannya tubuhnya ke samping sedikit namun itu sudah cukup
buat menghindari sambaran tombak Wasi Sableng.
Siingng.... "Oooss....! Babo! Babo! Keparat. Sanggup pula
menghindar, hee"!" serapah Wasi Sableng seraya ce-
pat-cepat menahan dorongan gerak tubuhnya sendiri, sebab jika tidak pastilah
tubuhnya bakal menabrak
dinding tembok batu di depannya.
Kembali Wasi Sableng memutar tubuh, dan bersiaga
kembali dengan tombaknya yang baru saja gagal melakukan tugasnya. Sudah barang
tentu ia semakin ma-
rah kalang kabut oleh tindakan lawannya.
Kedua belah tangannya kini berpegang erat pada si-
si pertengahan dari tangkai tombak tersebut, kemu-
dian diiringi satu bentakan kecil, diputarnyalah tombak tadi dengan cepatnya.
Seolah-olah Wasi Sableng kini menggenggam sebuah payung yang selalu berputar di
depannya. Sungguh mengerikan bila menghada-
pi serangan yang demikian. Lingkaran luar dari tombak yang berputar ini tampak
berkilat-kilat karena kedua mata tombaknya tersentuh oleh sinar-sinar mata-
hari senja. Selain menakutkan, putaran senjata Wasi Sableng
tadi menerbitkan pusaran angin panas, akibatnya terjadi pergeseran antara udara
dengan mata tombaknya yang telah dilandasi dengan tenaga dalam.
Wess... wess... wess...!
"Ha, ha, ha, sekarang hadapilah serangan ini, jika engkau berani, Gundul
berjubah!" seru Wasi Sableng beringas. Setapak demi setapak ia menyiapkan jurus
serangan kilat.
Sekalipun hatinya berdesir, si Jubah Kuning tetap
memperlihatkan ketenangan yang mengagumkan
menghadapi sikap lawannya itu.
Inilah yang mengagumkan.
Tuntari diam-diam mencatat peristiwa ini, yang se-
sungguhnya merupakan satu pelajaran yang bernilai
tak terhingga. Seperti ketenangan yang mantap dari Bikhu Gandhara ini, membuat
Tuntari semakin kagum.
Ketenangan memang sangat berguna bagi siapapun
orangnya, lebih-lebih dalam menghadapi setiap bahaya atau kejadian luar biasa.
Dengan ketenangan maka setiap orang dapat lebih jelas menyadari apa yang kini
dihadapi. Tentu saja ketenangan tadi dibarengi oleh kewaspadaan diri yang
senantiasa siap memberikan
tanggapan dalam bentuk apapun, sesuai dengan kebu-
tuhan. "Heeitt!" Satu teriakan keras meledak keras disusul satu loncatan gesit yang
merupakan serangan kilat
paling hebat dari Wasi Sableng. Tokoh berpakaian hitam ini melesat seperti
angin. Tombaknya berputar
mengancam tubuh si Jubah Kuning yang menjadi la-
wannya. Kejadian berikutnya sukar dibayangkan. Sang-
gupkah si Jubah Kuning menanggulangi serangan kilat Wasi Sableng ini" Baik
Tuntari maupun si Mulut Bertudung sama-sama berdebar mengikuti perkembangan
berikutnya. Boleh dipastikan bahwa pertarungan ini jauh lebih seru.
Wess... claangng! Terdengar satu benturan nyaring, membuat kaget hati siapa
saja. Terutama Tuntari, si Mulut Bertudung, dan Wasi Sableng sendiri.
Yang mereka lihat hanyalah Bikhu Gandhara me-
nyampokkan tasbihnya sewaktu tombak Wasi Sableng
menerjang dirinya. Sesudah itu si Jubah Kuning kembali berdiri tenang dengan
wajah cerah, seperti tidak membayangkan suatu kejadian apapun.
Sedang Wasi Sableng sendiri berdiri terlongoh-
longoh keheranan, sebab ketika ia menatap senja-
tanya, tombak itu ternyata telah bengkok melengkung separo lingkaran tanpa bisa
digunakan lagi, kecuali hanya berguna untuk menakut-nakuti anak kecil saja.
Meremang bulu tengkuk Wasi Sableng mengalami
hal begini. Benar-benar sekarang ia tahu bahwa la-
wannya yang berjubah kuning itu jauh lebih tinggi
tingkatan ilmunya. Dan rasanya ia tak bakal memperoleh kemenangan apapun melawan
Bikhu Gandhara,
seperti terbukti beberapa kali serangan mautnya terpa-tah di tengah jalan.
"Babo, babo! Kita sudahi dulu pertandingan ini! Kau boleh berbangga atas
kelebihanmu, Gandhara. Akan
tetapi tunggulah lain kali. Aku akan menantangmu
kembali," teriak Wasi Sableng dengan wajah yang marah bercampur malu, sementara
tangannya mencam-
pakkan tombaknya yang rusak ke atas tanah.
"Hmm, aku menyesal harus merusakkan tombak-
mu, Ki sanak. Tapi apa boleh buat, karena engkau
menyenangi kekerasan. Sekarang berlalulah dari de-
pan hidungku, jika engkau masih menyenangi nyawa-
mu. Bikhu Gandhara lebih menyukai kedamaian," ujar si Jubah Kuning dengan kata-
kata yang tenang, lembut tapi penuh wibawa.
Tanpa menggubris lagi sebenarnya ia telah merasa
kalah dan jerih hatinya. Wesi Sableng lalu menggenjotkan kakinya ke tanah, lalu
melesat ke luar dengan melewati pagar tembok batu.
Si Mulut Bertudung tak punya pilihan lainnya, demi Wasi Sableng meninggalkan
tempat itu. Maka iapun
segera meloncat keluar, turun dari puncak pagar batu dengan mulut bersungut-
sungut karena si penolong-nya telah dikalahkan oleh si Jubah Kuning.
Sedang sisa-sisa anak buah si Mulut Bertudung
yang lagi bertempur melawan Ki Dunuk serta empat
orang pembantu Ki Sungkana, secepat kilat telah menerobos keluar pintu gerbang,
kabur menyelamatkan
diri. Mereka berlima cepat-cepat mendapatkan Tuntari
yang lagi berbicara dengan si Jubah Kuning, Bikhu
Gandhara. Ki Dunuk berlima merangkap kedua tangan lalu
membungkuk dan mengucapkan terima kasihnya.
"Andika telah menolong kami, Sang Bikhu Gandhara.
Terimalah ucapan terima kasih yang tak terhingga beserta salam hormat."
"Damai... damai... damai. Semoga kalian selalu di-
karunia kebijaksanaan dan kesabaran, para ki sanak,"
ujar si Jubah Kuning dengan ramahnya.
"Oh, jika Bapak tidak turun tangan, entah apa yang bakal aku alami," desah
Tuntari seraya menyarungkan kembali pedangnya.
"Sudah sewajibnya manusia saling tolong-menolong,
Angger. Aku kebetulan saja lewat di luar pagar ketika
tiba-tiba telingaku menangkap adanya bentrokan senjata. Maka aku cepat-cepat
masuk ke tempat ini." Si Jubah Kuning berhenti sejenak seraya menatap ke
arah Ki Sungkana yang mengelumpruk kepayahan. Ia
mengeluarkan sebuah kantong kecil berwarna kuning
dan berkata lagi, "Orang itu saya kira memerlukan pertolongan dengan segera.
Nah, gadis yang baik, minum-kanlah obatku kepada orang itu. Tenaganya pasti akan
segera pulih kembali."
"Terima kasih, Bapak," ujar Tuntari seraya meneri-
ma kantong kuning dari tangan Bikhu Gandharapati.
"Nah, Ki sanak semua. Kedamaian telah kembali
dan aku minta permisi. Semoga kalian selalu selamat, dan bahagia. Sadhu...
sadhu... sadhu...," demikian si Jubah Kuning berkata lalu melesat ke luar
meninggalkan halaman rumah Ki Sungkana, dengan melompati
pagar tembok batu.
*** "Lekaslah, Ki sanak. Kau ambil air minum, agar ob-
at ini segera kuminumkan kepadanya," ujar Tuntari
kepada salah seorang dari keempat pembantu Ki
Sungkana yang masih hidup.
"Baik, Nona," ujar orang tersebut seraya buru-buru berlari ke dalam rumah guna
mengambil air. Sebentar itu pula ia telah ke luar dengan membawa sebuah lodong
tanah liat. Akhirnya Tuntari berhasil meminumkan obat itu ke
mulut Ki Sungkana dibantu oleh Ki Dunuk dan seo-
rang lagi. Sedang seorang lainnya telah mengambil selembar kain dari dalam rumah
guna membalut luka-
luka Ki Sungkana.
Dian lampu minyak kelapa telah pula dipasang, se-
mentara sebuah obor dipasang di dalam halaman, me-
nerangi tempat itu untuk menggantikan sinar senja
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang semakin menipis.
Para pembantu Ki Sungkana yang tiga orang sibuk
memeriksa korban-korban dari pertempuran. Ternyata dari kedelapan pembantu Ki
Sungkana, tiga orang telah tewas dan seorang luka-luka parah. Mereka segera
merawatnya baik-baik. Dari pihak anak buah si Mulut Bertudung, tujuh orang telah
meninggal. "Ooh, siapakah Andika yang telah sudi menolong-
ku?" desah Ki Sungkana seraya menatap ke wajah
Tuntari. "Eh, aku seperti pernah melihatmu, Nak."
"Mungkin begitu, Paman. Aku bernama Tuntari, pu-
teri dari Ki Demang Cundraka di Desa Peterongan,"
ujar Tuntari dengan ramahnya.
"Aah, ya, ya. Aku masih ingat itu. Dan kedatangan-
mu ini pasti diutus Ki Cundraka, bukan"!"
"Benar, Paman. Aku memang diutus Ayahanda un-
tuk menjemput sebuah benda berharga dari Paman
Sungkana. Beliau sendiri lagi berkunjung ke desa
lain." "Baiklah, Angger. Memang ayahmu dulu telah ber-
kata demikian. Jika ia berhalangan pasti akan diki-rimnya seorang utusan kemari.
Tak tahunya engkau
sendirilah, Angger Tuntari," ujar Ki Sungkana. "Nah marilah masuk ke dalam
rumah. Akan kuberikan benda itu kepadamu."
Ki Sungkana kemudian dibantu oleh Ki Dunuk dan
Tuntari, dipapahnya masuk ke dalam, sementara
keempat pembantu sibuk dengan masing-masing tu-
gasnya. Mereka bertiga segera memasuki ruangan besar se-
telah melewati pintu kayu yang tebal. Agaknya saja inilah ruang kerja dari Ki
Sungkana. "Aku tak melihat keluarga lainnya, Paman"!" ber-
tanya Tuntari ketika kesenyapan mencekam tempat
itu. "Itulah yang lebih untung. Mereka tengah berkunjung ke sanak keluarga di
tengah kota. Seandainya
mereka di rumah, pastilah akan kalang kabut ketika terjadi penyerbuan tadi."
Tuntari mengangguk-angguk.
Ki Sungkana mendekati sebuah tiang kamar yang
berukir indah, dan sebentar kemudian tampak memu-
tar salah sebuah sisinya.
Ki Dunuk dan Tuntari menjadi kagum, karena tiba-
tiba sebuah sisi tiang terbuka, merupakan pintu kecil yang terahasia. Ruangan
atau relung dalam tiang berukir tadi memang digunakan oleh Ki Sungkana guna
menyimpan benda-benda paling berharga. Sebagai seorang saudagar, Ki Sungkana
memang patut memiliki
tempat-tempat seperti itu.
Tampaklah kemudian Ki Sungkana memungut se-
suatu benda dari dalam relung tadi yang merupakan
bungkusan kain sutera biru.
Ditunjukkannya bungkusan tersebut kepada Ki
Dunuk dan Tuntari, yang telah duduk di atas lantai beralaskan permadani indah.
Setelah ia meletakkan
bungkusan tadi di atas permadani, maka berkatalah
ia, "Angger Tuntari, dengarlah baik-baik segala pesan-ku sebelum Angger menerima
benda ini dari tangan-
ku." Tuntari dan Ki Dunuk mengangguk penuh penger-
tian. "Nah, itu bagus," Ki Sungkana melanjutkan bica-
ranya sambil membuka bungkusan sutera biru di de-
pannya. Maka terlihatlah sebuah arca ikan yang terbuat dari batu permata biru,
lebih kurang sebesar telapak tangan. "Arca ikan ini sangat penting artinya ba-
gi Demak, dan aku telah sepakat untuk menyerahkan-
nya kepada ayahmu, Adimas Demang Cundraka, yang
kemudian akan meneruskannya ke Demak."
Kini Tuntari dapat menyadari betapa pentingnya
benda itu bagi kerajaan. Namun sampai saat ini ia belum paham. Dalam hal apakah
benda tersebut sampai
mempunyai nilai yang sangat tinggi. Apakah karena ia merupakan benda bersejarah,
atau sebuah pusaka,
barangkali"
Maka tak heran bila si Mulut Bertudung dan anak
buahnya berusaha memburu benda ini. Untunglah
bahwa kedatangannya sangat tepat, sehingga ia berhasil membela Ki Sungkana dari
kekejaman si Mulut Bertudung.
"Angger Tuntari, terimalah benda ini dan jangan
sampai jatuh ke tangan orang lain. Kau harus membelanya mati-matian. Bila perlu
kau harus mengorban-
kan kepentinganmu guna membela Arca Ikan Biru ini,"
ujar Ki Sungkana pula. "Bagaimanakah Angger, apa-
kah Angger keberatan?"
"Sama sekali tidak, Paman."
"Itu bagus. Segala seluk-beluk tentang Arca Ikan Bi-ru ini hanya aku dan
ayahmulah yang tahu. Kare-
nanya, berhati-hatilah menjaga benda ini." Ki Sungkana berpaling pula ke arah Ki
Dunuk. "Dan kepada Andika pula, aku berharap agar Andika menjaga Angger Tuntari
dengan sebaik-baiknya."
"Itu sudah sewajibnya, Ki Sungkana. Sejak kecil
aku dibesarkan oleh orang tua Ki Cundraka bersama-
sama, sehingga Ki Cundraka sudah kuanggap sebagai
saudara sendiri. Demikian pula dengan Angger Tunta-ri," begitu kata Ki Dunuk
seraya menundukkan kepala.
"Syukurlah, Ki Dunuk," sambung Ki Sungkana se-
raya tersenyum puas. "Aku sangat menghargai kese-
tiaan Andika yang sebesar itu."
Suasana hening sejenak ketika Tuntari menerima
dan mengamati Arca Ikan Biru di tangannya. Gadis ini tampak meneliti dengan
seksama. "Angger Tuntari dan Dunuk," tiba-tiba Ki Sungkana
memecah kesepian, "waktu sangat berguna bagi Andi-
ka. Karenanya, lekas-lekaslah kalian sampaikan benda ini kepada Adimas Demang
Cundraka."
"Ehh, jadi kami berdua harus meninggalkan Paman
Sungkana sekarang juga?" kata Tuntari setengah ka-
get, begitu mendengar tutur kata Ki Sungkana.
"Benar, begitulah! Saya kira tidak ada pilihan lain,"
sahut Ki Sungkana pula.
"Bagaimana dengan Andika?"
"Tak perlu Angger cemaskan. Bukankah beberapa
orang pembantuku masih ada?" Ki Sungkana menje-
laskan. "Mereka akan mengurus dan merawatku den-
gan baik."
"Jika kehendak Paman demikian, aku tidak berke-
beratan," sambung Tuntari seraya membungkus benda
berharga dengan pembungkus sutera biru. "Dan kami
berdua mohon permisi sekarang juga."
"Silahkan, Angger. Simpanlah ia baik-baik dan hati-hatilah di jalan," kata Ki
Sungkana. "Keadaanku telah lebih baik daripada tadi. Andika berdua tak perlu
khawatir. Yang lebih berguna kalian pikirkan adalah secepat-cepatnya membawa
Arca Ikan Biru ini dengan se-
lamat." Begitulah akhirnya Tuntari dan Ki Dunuk mengun-
durkan diri dan meninggalkan Ki Sungkana di dalam
kamarnya dengan perasaan yang berat, mengingat lu-
ka-luka yang diderita oleh saudagar itu.
Mereka berdua segera meninggalkan halaman ru-
mah Ki Sungkana. Keempat pembantu saudagar itu-
pun mengucapkan selamat jalan dan rasa terima ka-
sihnya. Mereka mengantarkan Tuntari dan Ki Dunuk
sampai ke pintu gerbang pagar halaman.
Di saat itu pula, Ki Dunuk diam-diam melirik ke
arah daun pintu gerbang yang berantakan karena terjangan tenaganya beberapa saat
yang lalu. Tersenyum juga tokoh gemuk pendek ini ketika merasakan akibat
tindakannya. Tapi hal itu terpaksa dilakukannya, karena itulah satu-satunya
jalan bagi dirinya untuk menerobos masuk. Berbeda dengan Tuntari yang sanggup
melesat melewati dinding tembok batu untuk masuk
ke halaman. Mereka berdua lalu melangkah ke arah timur, me-
lewati jalan sunyi yang kini telah ditelan malam. Pohon-pohon yang besar di
sepanjang tepi jalan ini tak ubahnya raksasa-raksasa malam sedang berjaga dengan
ketatnya. Sedang di langit barat, sisa-sisa warna merah senja telah lenyap di
balik pepohonan yang telah menghitam pula, menandakan bahwa sang mata-
hari telah tenggelam dan beradu di balik pelukan kaki langit.
Sebentar-sebentar mereka berdua masih sekali-
sekali menoleh ke belakang, mengawasi bentuk rumah Ki Sungkana yang makin jauh
dan mengecil, sebelum
akhirnya lenyap di balik pepohonan.
Tuntari tidak perlu khawatir lagi karena ia telah
menyimpan bungkusan Arca Ikan Biru ke dalam ba-
junya, sehingga tak seorangpun yang mengetahui
bahwa mereka berdua membawa barang sangat ber-
harga. BAGIAN V Di tanah lapang kecil, yang terbentang di depan Balai Ksatryan Demak, tampaklah
beberapa ekor kuda
yang ditambatkan di bagian timur, tak jauh dari pendapa.
Hari telah senja, sehingga latihan-latihan keprajuri-tan telah selesai dan kini
halaman luas itu menjadi sunyi senyap kecuali beberapa prajurit yang masih
berjaga di tempat-tempat tertentu, seperti pada kedua pintu gerbang.
Di dalam pendapa Balai Ksatryan, diterangi oleh di-an-dian minyak, duduklah
beberapa orang dengan
asyik memperbincangkan sesuatu.
"Hmmm, semuanya telah saya catat, Anakmas,"
ujar Ki Tambakbayan, perwira paling tua yang duduk di depan Mahesa Wulung. Semua
dicatatnya di atas selembar kain dengan cairan tinta, sedang di depannya,
tergeletak selembar ikat pinggang kulit dengan gambar tanah Bukit Kepala Singa.
"Jadi jelaslah bahwa Bukit Kepala Singa itu sangat berbahaya bagi kita.
Karenanya sangatlah berbahaya untuk menyerbu tempat
itu secara langsung."
"Saya telah merencanakan untuk menerobos perta-
hanan mereka secara diam-diam," sahut Mahesa Wu-
lung. "Mudah-mudahan hal ini dapat saya rencanakan lebih teliti sebelum maksud
itu benar-benar dilaksana-kan."
"Ikat pinggang ini boleh kau simpan kembali,
Anakmas Mahesa Wulung. Suatu saat pasti sangat
berguna bagimu."
"Terima kasih."
"Anakmas masih harus membicarakan hal ini lebih
lanjut dengan para Wiratamtama Laut di banjar Jepa-
ra," berkata kembali Ki Tambakbayan. "Namun hal tersebut harus benar-benar
engkau rahasiakan, sebab tidak mustahil bila Rikma Rembyak menyebar kaki tan-
gannya untuk mengetahui segala gerak-gerik kita."
Mahesa Wulung mengangguk-angguk mengerti. Se-
pintas itu juga ia teringat akan pengkhianatan si Gombong yang ternyata adalah
kaki tangan dari Rikma
Rembyak. (Bacalah Seri Naga Geni 16, 17, Pembalasan Rikma Rembyak dan Seribu
Keping Emas untuk Mahesa Wulung) Maka sudah selayaknya kalau ia harus lebih
berhati-hati, meski nasib manusia berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa.
"Dan Anakmas juga harus tinggal di Demak untuk
beberapa waktu, sebab ada hal-hal penting lainnya
yang mesti diketahui oleh Anakmas Mahesa Wulung,"
berkata kembali Ki Tambakbayan dengan suara yang
ramah. "Dengan senang hati, Paman," ujar Mahesa Wulung.
"Kebetulan sekali saya ingin menggembirakan dua
orang sahabat yang telah banyak berjasa menolong diriku. Mereka adalah Kakang
Gagak Cemani dan Ki sa-
nak Palumpang yang saat ini masih tinggal di rumah Ki Selakriya di daerah Muoro
Demak." "Hmm. yah. Akupun mengucapkan terima kasih ke-
pada Andika, Angger Gagak Cemani," sambung Ki
Tambakbayan seraya menatap ke arah Gagak Cemani
yang duduk di sebelah Mahesa Wulung. "Sayang sekali aku belum ketemu dengan Ki
sanak Palumpang. Ehh,
kapankah Anakmas mengirimkan beberapa prajurit ke
rumah Ki Selakriya?"
"Besok pagi setelah orang-orangnya kita pilih."
"Baiklah. Sekarang Anakmas boleh beristirahat
sambil memikir-mikirkan tugas-tugas dan rencana selanjutnya."
Akhirnya, sebentar kemudian mereka telah selesai
dengan pembicaraannya dan keluar meninggalkan
pendapa Balai Ksatryan untuk kembali ke rumah mas-
ing-masing. Mahesa Wulung, Gagak Cemani dan Tungkoro sege-
ra mengambil kuda-kuda mereka di tempat tambatan.
Setelah itu mereka bertiga berpacu ke arah selatan menuju ke tempat bermalam.
Sedang Pandan Arum,
tinggal di rumah salah seorang keluarga pegawai ista-na yang masih terhitung
keluarga mendiang Empu
Baskara. Namun malam itu terjadilah sesuatu yang tidak
disangka-sangka oleh Mahesa Wulung bertiga. Selagi mereka berpacu ke arah
selatan, mendadak saja kuda Mahesa Wulung meringkik-ringkik berjingkrakan
seperti terkejut.
Rupanya Mahesa Wulung segera dapat menangkap
isyarat kudanya, bahwa ia telah mencium sesuatu
yang asing sehingga ia mengeluarkan sikap yang de-
mikian. "Ada sesuatu yang diciumnya, Kakang!" bisik Mahe-
sa Wulung seraya menarik-narik tali kekang kuda.
"Rupanya ia mencium bahaya!" desis Gagak Cema-
ni. "Jika begitu, kita terjang saja ke depan!" seru Tungkoro yang tampaknya
sudah tidak sabar lagi. "Daripa-da kita yang diserang, lebih baik kita
mendahuluinya!"
"Sabar, Adi Tungkoro," potong Mahesa Wulung.
"Ada beberapa hal yang kita belum tahu pasti. Apakah kita telah pasti bahwa
seandainya ada berapa orang bersembunyi di balik semak-semak bambu di depan
kita, apakah mereka bermaksud menghadang dan me-
nyerang kita"!"
Tungkoro terdiam oleh kata-kata Mahesa Wulung.
Ternyata memang ia berpikir terlalu keras dan sedikit bernafsu untuk lekas-lekas
bertempur. Tiba-tiba Gagak Cemani memberi peringatan kepa-
da kedua orang sahabatnya, "Sttt. Dengarlah, ada gerakan di balik semak-semak di
depan. Bersiap-siaplah dengan senjatamu."
Belum lagi lama Gagak Cemani selesai berkata de-
mikian, mendadak saja dua orang penunggang kuda
keluar dari balik semak-semak di depannya, lalu berpacu cepat ke arah selatan.
"Itu dia, orang yang mengintip kita!" seru Tungkoro.
"Mereka memata-matai kita!" ujar Mahesa Wulung
dengan kagetnya. "Kita harus berbuat sesuatu!"
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kejar mereka!" teriak Gagak Cemani seraya mende-
rapkan kudanya ke arah selatan, disusul oleh Mahesa Wulung dan Tungkoro.
Sebentar saja terjadilah kejar-mengejar ke arah selatan antara Mahesa Wulung
bertiga dengan kedua
pengintai. Kedua orang asing itu ternyata pandai mengendarai
kudanya. Mereka berpacu seperti dua orang gila yang dikejar setan. Terlebih lagi
sewaktu Mahesa Wulung berteriak menyapanya, mereka menjadi semakin cepat memacu
kudanya. "Heei! Siapa kalian" Tunggu!"
Debu dan batu-batu kerikil bertebaran oleh terjan-
gan-terjangan kaki-kaki kuda mereka, mengaburkan
pandangan. Namun hal itulah yang membuat kejar-
mengejar itu menjadi semakin seram dan mendebar-
kan. Tanpa terasa, mereka semakin jauh menginjak dae-
rah selatan. Tepat di saat itu pula, Mahesa Wulung bertiga berhasil mendekati
kedua orang asing di depannya.
"Hiaah!" seru Mahesa Wulung dan Gagak Cemani
berbareng seraya meloncat dari punggung kudanya
untuk menerjang kedua orang di depan.
Keduanya bergerak sangat cepat sampai-sampai
Tungkoro tidak begitu jelas melihat gerakan mereka, sebab tahu-tahu Mahesa
Wulung dan Gagak Cemani
telah menerjang kedua orang buronan itu sampai terpelanting jatuh dari punggung
kudanya. Sedang kedua sahabatnya itu sendiri tampak oleh Tungkoro mampu
mendaratkan kedua kakinya di tanah dengan lincah-
nya, tak ubahnya dua ekor bajing yang meluncur dari atas pohon.
Kendatipun demikian, Mahesa Wulung menjadi ka-
get pula bila mengetahui dua buronan tersebut segera berdiri tegak sesudah
mereka bergulingan di atas tanah berbatu-batu ketika terjatuh dari punggung ku-
danya. Bahkan tidak itu saja kekagetan Mahesa Wulung
dan Gagak Cemani, sebab begitu kedua buronan tadi berdiri, segera menyerang
dengan golok di tangan yang telah terhunus.
Akan tetapi lawan-lawan yang harus mereka hadapi
adalah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani, dua pen-
dekar yang telah lulus dari beberapa gemblengan.
Hanya Tungkoro yang tetap duduk terpaku di atas
punggung kudanya, seolah penonton yang menyaksi-
kan dua pasang jago aduan lagi berlaga di gelanggang.
Pertarungan tersebut berlangsung seru tapi tidak
sampai mencapai dua puluh jurus, seperti yang terlihat kemudian bahwa Mahesa
Wulung melancarkan te-
basan telapak tangan tepat menghajar pergelangan
tangan kanan dari lawannya.
Prakk! "Aduuhh!" seru lawan Mahesa Wulung kesakitan
berbarengan goloknya tercampak lepas. Orang ini kemudian berdiri setengah kaku
sambil mendesis-desis menahan pergelangan tangan kanannya yang seolah-olah
remuk. Sedang Gagak Cemanipun bertindak dengan cepat-
nya. Kedua ujung jari tangan kanannya secara gesit menotok tengkuk lawannya,
membuat orang ini seperti disengat kala dan tahu-tahu goloknya runtuh ke tanah
sementara tubuhnya terasa kaku-kaku.
"Ampun... aduh! Ampun, Tuan!" rintih kedua orang
tersebut dengan ketakutan. "Jangan... jangan sakiti...."
"Baik! Tapi lekas katakan. Apa maksudmu bersem-
bunyi di balik pepohonan ketika kami lewat!" bentak Gagak Cemani dengan tajamnya
kepada kedua orang
tawanan itu. "Ka... kami tidak... sengaja, Tuan."
"Bohong! Kau jangan mengelabuhi kami! Kalian
pasti memata-matai kami bertiga!" ujar Gagak Cemani.
"Ti... tidak...."
"Kalian ingin kubikin lumpuh sama sekali"!"
"Jangan, Tuan. Jangan...."
"Sebab itu katakan cepat! Kalian datang dari mana-
kah?" tanya Gagak Cemani lebih garang.
"Bab... baik... eh... kami... kami...."
"Lekas katakan, dan kami akan mengampuni kalian
berdua!" ujar Mahesa Wulung pula. "Kalian pengikut-pengikut siapa?"
"Kami... kami...."
Wuuss! Plaakk! Plaakk!
"Aarrgghh."
Tiba-tiba saja bertiup angin santer dibarengi dua
benturan keras disusul kedua tubuh tawanan itu
menggeliat kesakitan dan menjerit, untuk kemudian
roboh ke tanah dengan masing-masing punggungnya
berbekas telapak tangan kemerahan!
"Jejak Telapak Iblis!" desis Mahesa Wulung.
"Yang dilontarkan dengan pukulan jarak jauh," seru Gagak Cemani menyambung
seraya menatap ke arah
sekeliling. Bulan tiga perempat memancarkan sinar pe-raknya membuat tempat di
situ cukup terangnya un-
tuk dilihat oleh mata.
Mahesa Wulung tidak membuang waktu. Naluri dan
otaknya bekerja cepat. Kalau kedua orang korban itu roboh menghadap ke arah
barat sedang luka-luka mereka pada punggung, maka pastilah penyerangan itu
datang dari arah timur. Dan memang di sana Mahesa
Wulung melihat adanya sebuah semak pohon ilalang
yang cukup lebat.
Maka seketika Mahesa Wulung melancarkan puku-
lan jarak jauh ajaran Pendekar Bayangan ke arah semak ilalang tersebut. (Bacalah
Seri Naga Geni ke 6 dan ke 8, Munculnya Pendekar Bayangan dan Keruntuhan Netra
Dahana) Ssttt... Braasshh!
Bagai diterkam angin prahara, semak ilalang tadi
tergoncang dan sebagian di antaranya terbetot sampai ke akar-akarnya, lalu
berhambur ke udara.
Mendadak saja, satu bayangan hitam melesat ke-
luar dari balik semak-semak ilalang untuk kemudian terus kabur ke arah selatan
dengan gerakan secepat kilat, diiringi ketawa berderai berkepanjangan.
Tungkoro yang masih berada di punggung kuda
menjadi berdiri bulu tengkuknya, seolah-olah ia baru saja menyaksikan hantu yang
berlari. Hampir saja Mahesa Wulung tak percaya melihat
peristiwa tersebut. Buru-buru pendekar wiratamtama ini melancarkan pukulan jarak
jauhnya yang disebut
"Pukulan Angin Bisu" ke arah bayangan tadi.
Blaasshhh! "Heeitt?" si bayangan menjadi berseru kaget, tapi
dengan gesit ia melenting berputar di udara, menghindari serangan bisu ini
hingga lewat di bawahnya dan selanjutnya ia kabur dan lenyap di pepohonan daerah
selatan. Sekali lagi Mahesa Wulung bermaksud mengejar-
nya, tapi Gagak Cemani segera menahannya seraya
berkata, "Tahan, Adi Wulung! Kukira orang tadi cukup jerih terhadap kita.
Jaraknyapun cukup jauh sehingga lebih banyak kemungkinan untuk tidak berhasil!
Di lain saat pastilah kita akan menemukannya. Kita akan mulai memburu jejak telapak
iblis!" Mahesa Wulung segera dapat memahami hal itu.
"Dan lagi," demikian Gagak Cemani melanjutkan bi-
caranya, "masih banyak tugas-tugas penting yang mes-ti Adi Mahesa Wulung lakukan
bagi kepentingan yang lebih besar."
"Terima kasih, Kakang Cemani. Aku yakin bahwa
orang tersebutlah yang bernama Tangan Iblis!" ujar Mahesa Wulung.
"Akupun mengira demikian."
"Terbukti seperti bekas pukulan telapak tangan pa-
da punggung kuda korban ini," ujar Mahesa Wulung
seraya memperhatikan kedua korban. "Tak berbeda
dengan bekas luka di dada Ki Selakriya dahulu."
"Dan dia telah membunuh kedua orang ini, agar ti-
dak berbicara apapun. Besar kemungkinan mereka
adalah anak buahnya sendiri!" Gagak Cemani berkata.
Tungkoro pun segera mendekat dan turun dari ku-
danya untuk kemudian ikut meneliti korban-korban
tersebut. Ternyata Tungkoro pun dapat mengenal be-
kas pukulan telapak tangan itu.
"Bagaimana dengan kedua korban ini?" bertanya
Gagak Cemani seraya menatap ke wajah Mahesa Wu-
lung dan Tungkoro, seakan menantikan jawaban.
"Hmm..., tinggalkan saja di sini. Dalam perjalanan pulang, akan kita cari rumah
penduduk terdekat, agar mereka mengubur kedua korban ini," ujar Mahesa Wulung.
"Saya kira, hal itu cukup baik, Kakang Wulung,"
Tungkoro menyahut serta sekali lagi melempar pan-
dang ke bawah. "Hei, lihat, Kakang. Sebuah kantong uang agaknya!" Tiba-tiba
Tungkoro menunjuk sesuatu di dekat kedua korban itu, serta memungutnya. "Yaa,
benar. Sekantong uang!"
"Bawalah saja, Adi Tungkoro. Nanti akan kita beri-
kan kepada penduduk yang menguburkannya," Mahe-
sa Wulung berkata, lalu mulai menyiapkan kudanya.
"Sekarang marilah kita kembali."
Tak antara lama, mereka bertiga telah berpacu
kembali ke arah utara, menempuh jalan yang tadi dila-luinya. Dari kejauhan
terdengarlah bunyi himbauan
burung hantu, memilukan hati dan menyelusup di an-
tara celah-celah pepohonan.
*** Dalam pada itu, jauh di sebelah selatan, berlonca-
tanlah sesosok bayangan manusia dengan gerakan-
gerakan ringan tak ubah belalang lagi berkejaran.
Dari satu batu ke batu, dari pohon ke pohon, kedua kakinya bergerak melesat
berganti-ganti, menandakan betapa ia memiliki ilmu peringan tubuh dan loncatan-
loncatan yang baik.
Sambil berloncatan itu, terdengarlah satu gerunda-
lan dari mulutnya dalam nada marah dan jengkel, "Tak kusangka aku menjumpai
orang yang memiliki tenaga
pukulan sedemikian hebat, sampai-sampai mampu
menjebol semak ilalang ke akar-akarnya. Huh, terpak-sa aku harus kabur, karena
memang belum waktunya
aku mengadu tenaga dan kesaktian dengan dia!"
Orang ini terus meloncat-loncat ke arah selatan dan sebentar-sebentar ia menoleh
ke belakang, ke arah
mana Mahesa Wulung hampir menggempur dirinya
dengan pukulan Angin Bisu.
Hatinya masih merasa panas dan mendongkol. Ka-
lau saja ia menuruti amarahnya, rasanya ia mau me-
labrak hancur lawannya itu. Hanya saja ia merasa belum waktunya berhadapan
langsung dengan Mahesa
Wulung. Ketika orang ini menghampiri sebuah pohon berin-
gin tua yang besar iapun berhenti dari loncatannya.
Matanya menyapu ke segenap penjuru dan sebentar
kemudian iapun bersuit nyaring.
Seketika berloncatanlah belasan sosok tubuh ma-
nusia dari balik lipatan-lipatan akar beringin raksasa tadi, lalu menyambut
kedatangan orang ini dengan
membungkuk hormat.
Seorang berlengan satu lalu maju ke depan seraya
berkata hormat, "Guru, agaknya Andika mengalami sesuatu?"
"Benar, Jimbaran! Aku terpaksa membunuh dua
orang di antara anak buahku sendiri, karena mereka hampir membuka rahasia
tentang diriku. Jelasnya,
mereka hendak berkhianat!"
"Sudah sepatutnya mereka mendapat hukuman da-
ri Tangan Iblis," geram Jimbaran, murid utama dari Tangan Iblis yang hanya
berlengan kanan saja. Sedang tangan kirinya telah terpenggal putus ketika
bertempur melawan Tawes di tanah Gilimanuk, di pulau Dewata
pada beberapa waktu yang silam.
"Dan satu hal lagi, Jimbaran. Baru saja aku men-
dapat serangan yang cukup hebat dari seorang lawan yang tadi telah menangkap
kedua orang anak buahku
itu!" kata Tangan Iblis sambil mengepal-ngepalkan
tangan. "Satu waktu aku ingin berhadapan dengan
orang ini!"
"Aku berharap, Andika dapat mengalahkannya,
Guru," sambung Jimbaran. "Kami semua bersedia
membantu Andika untuk hal ini."
"Bagus, Jimbaran. Tapi ada tugas lebih penting dari Kakang Rikma Rembyak yang
harus kita kerjakan dan
inilah yang harus pertama-tama kita laksanakan, sebelum soal-soal kecil
lainnya," begitu kata Tangan Iblis.
"Malam ini kita tak ada kerja lain. Suruhlah orang-orang kita."
"Baik, Guru," sahut Jimbaran seraya meninggalkan
Tangan Iblis untuk melaksanakan perintah-
perintahnya. Sebagian dari anak buah Tangan Iblis kembali ke
rongga-rongga batang pohon beringin tua itu untuk beristirahat. Enam orang
tampak berjaga-jaga di beberapa tempat, sedang Tangan Iblis sendiri melesat ke
atas pohon dan hinggap di atas cabang pohon bagaikan
seekor kelelawar hinggap.
Di situ tersedialah tumpukan daun-daun ilalang
yang dianyam tebal bagaikan kasur untuk tempat ti-
dur bagi Tangan Iblis, pemimpin dari rombongan tersebut.
Sebentar kemudian tampak sepi pohon beringin tua
itu, seakan-akan membayangkan satu keangkeran
yang mengerikan seperti kebanyakan orang percaya
bahwa beringin tua yang sebesar itu pasti ditempati oleh hantu-hantu, jin setan
yang suka mengganggu
manusia. BAGIAN VI Angin siang bertiup cukup santernya di sepanjang
sungai yang mengalir di sebelah barat kota Asemarang.
Jauh di daerah selatan dari sungai ini, terdapat daerah perbukitan batu-batu
karang yang kelihatan angker.
Di situ terlihatlah sisa-sisa sebuah kerangka perahu besar yang konon kabarnya
terdampar dari hempasan
gelombang. Sebuah jangkar raksasa berkarat dapat
terlihat di situ pula, merupakan pemandangan tragis dari sisa-sisa pengalaman
dan riwayat sebuah perahu.
Agak ke selatan, di celah lekukan bukit-bukit, ter-dapatlah sebuah rumah yang
pintu gerbangnya terpa-
hat dari batu-batu karang.
Menilik dari pintu gerbang itu serta dua orang penjaga yang tinggal di situ,
dapat dikira-kira bahwa tempat itu adalah milik orang yang kaya atau paling
tidak berpengaruh.
Memang sebenarnyalah demikian. Rumah berpintu
gerbang batu itu adalah milik seorang saudagar kaya bernama Arya Demung. Selain
Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terkenal sebagai saudagar, Arya Demung pun tergolong orang yang berilmu
dan sakti. Hal itu tak perlu diherankan, sebab iapun termasuk salah seorang tokoh
persilatan di daerah itu. Namanya cukup terkenal dan ditakuti oleh orang luar
maupun oleh para pengikutnya sendiri.
Di siang itu udara cukup panas, seolah-olah mem-
bakar wajah-wajah manusia yang lagi berkumpul dan
duduk-duduk di halaman rumah yang dirindangi oleh
pohon-pohon sawo.
Bintik-bintik keringat menempel di dahi Arya De-
mung yang tampak kemerahan. Ternyata bukan seke-
dar disebabkan panasnya siang, tapi oleh suasana
yang baru saja dilaporkan oleh si Mulut Bertudung
dengan nada setengah takut.
"Goblok! Jadi gagal juga kau mencari benda terse-
but"!" gereneng Arya Demung jengkel. "Benda seperti Arca Ikan Biru tersebut
sangat penting artinya bagi ki-ta. Maka sungguh celaka jika benda itu sampai
jatuh ke tangan orang lain!"
"Kami sudah menjatuhkan Ki Sungkana, Kakang
Arya. Tetapi mendadak saja datanglah seorang gadis bersama seorang gemuk pendek
yang langsung menghajar kami," demikian si Mulut Bertudung menje-
laskan sekali lagi. "Menurut katanya, ia bernama Tuntari dan si gemuk pendek itu
disebut Ki Dunuk!"
"Hmm, mereka adalah orang-orangnya Ki Demang
Cundraka, sahabat karib dari Sungkana!" desis saudagar Arya Demung. "Tapi kau
tadi menyebut nama Wasi Sableng itu pendekar yang angot-angotan, suka bertindak
semau diri. Bukankah ia dapat kau ajak agar berpihak dengan kita"!"
"Memang saya bermaksud demikian, Kakang Arya
Demung. Tetapi ketika Wasi Sableng dikalahkan oleh Bikhu Gandharapati, ia telah
kabur tanpa kuketahui arah tujuannya dengan membawa sekantong uangku!"
ujar si Mulut Bertudung.
"Jadi sebenarnya Wasi Sableng itu dapat kita guna-
kan," sambung Arya Demung. "Orang seperti dia, yang suka hidup royal dan
bermewah-mewah, pasti banyak
membutuhkan uang dan kita dapat mencukupinya,
bukan?" "Benar, Kakang Arya Demung."
"Sebab itu, engkau harus secepatnya berusaha
mencari Wasi Sableng dan katakan kepadanya, bahwa
ia kuundang ke rumahku," kata Arya Demung seraya
mengeluarkan sekantong uang dari balik bajunya. "Be-
rikan ini kepada Wasi Sableng sebagai hadiah persa-habatan dari Arya Demung."
Dengan tergopoh, si Mulut Bertudung menyambut
kantong uang tersebut dari tangan Arya Demung.
"Akan kucari Wasi Sableng sampai ketemu dan kuajak kemari."
Arya Demung manggut-manggut puas mendengar
kesanggupan si Mulut Bertudung, si pendekar yang
menjadi tangan kanannya. "Hati-hatilah terhadapnya, sebab ia orang yang aneh dan
sukar ditebak kata hatinya. Perlakukan dia dengan baik, karena tugasmu harus
dapat mengambil hatinya."
Belum lagi si Mulut Bertudung mengundurkan diri,
mendadak saja datanglah seorang penjaga pintu ger-
bang dengan mengantar seorang tamu berperawakan
kecil, berikat kepala hijau tua dan yang lebih mengherankan adalah matanya yang
cekung dengan sinar ta-
jam. "Haaa, kau sudah datang, Klenteng!" seru Saudagar
Arya Demung kepada si tamu yang berkulit agak hi-
tam. "Terimalah salam hormatku, Ki Demung!" berkata si
tamu yang bernama Klenteng seraya melangkah mem-
beri hormat kepada tuan rumah.
Si Mulut Bertudung tidak menjadi heran dengan
kedatangan si tamu yang bermata cekung dan berkulit hitam itu, sebab ia telah
mengenalnya beberapa waktu yang lalu, ketika Klenteng, yaitu salah seorang
pengikut Arya Demung, berhasil menyelusup dan bekerja
sebagai tukang sapu di rumah Ki Sungkana.
"Bagaimana, Klenteng" Adakah berita baru yang
sangat penting"!" ujar Arya Demung menanyakan ka-
bar yang diharap-harapkannya dari tamu ini.
"Ki Demung boleh percaya, apa yang akan kucerita-
kan ini membuat persoalan Arca Ikan Biru menjadi lebih jelas," demikian kata
Klenteng memulai jawabannya.
"Ya, ya. Itulah yang aku tunggu. Berita itu sangat kunanti-nanti darimu,
Klenteng!" gumam Arya Demung seperti tidak sabar. "Nah, coba katakan cepat!"
"Setelah penyerbuan Sobat si Mulut Bertudung ke
rumah Ki Sungkana, ternyata Arca Ikan Biru tersebut telah diserahkan ke tangan
Tuntari dan Ki Dunuk!"
"Haaahh"! Celaka! Benda itu sangat berguna bagi
kita! Kau tahu"!" gereneng Arya Demung sambil melo-tot. "Sekarang kau harus
menyelidiki kembali tentang benda itu!"
"Baik, Ki Demung. Yang jelas, benda tersebut pasti akan berada di tangan Demang
Cundraka!" sahut
Klenteng. "Ya, itu memang jelas! Justru hal inilah yang harus kau selidiki dengan segera!
Setelah Arca Ikan Biru itu berada di tangan Demang Cundraka, selanjutnya akan
berpindah ke tangan siapa lagi"! Nah, inilah tugasmu!"
"Hua, ha, ha, ha. Ki Saudagar! Ki Saudagar De-
mung! Keluar lekas!" begitulah tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah
pintu gerbang diiringi ketawa yang menggetarkan udara siang.
Sudah barang tentu Arya Demung, Klenteng, dan si
Mulut Bertudung menjadi terkejut bukan main, sebab baru sekali inilah mereka
mendengar adanya kelancangan yang melewati batas, seperti teriakan-teriakan yang
memanggil nama Arya Demung tadi. Ini merupakan satu kejadian yang aneh dan luar
biasa. Nama Arya Demung merupakan nama yang ditakuti
oleh setiap penduduk di sekitar tempat ini. Mereka akan selalu berhati-hati
untuk menyebut nama itu, tidak seperti teriakan yang baru saja terdengar sangat
gegabahnya! Maka sudah boleh dipastikan bahwa si peneriak ta-
di pastilah orang yang mencari kesulitan. Kalau bukan berarti tantangan, maka
berarti pula kesengajaan bunuh diri.
Karena sesungguhnya, Arya Demung sangat keras
menjaga namanya, bahkan tidak segan untuk turun
tangan bagi setiap orang yang berani mengucapkan
namanya secara sembrono. Beruntunglah kalau
orangnya hanya ditampar, sedang biasanya pastilah
akan disobeknya mulut orang yang malang itu.
Arya Demung bersama orang-orangnya serentak
berdiri dan berlari-lari ke arah pintu gerbang. Malahan segenap penghuni rumah
itu pada bertebaran keluar, laksana sebuah sarang lebah yang kena usik, hingga
semua penghuninya marah-marah.
Sementara berlarian ke arah pintu gerbang, si Mu-
lut Bertudung berkata kepada Arya Demung, "Kakang
Arya, jika tidak keliru suara tersebut adalah suara Wa-si Sableng. Aku masih
bisa mengenalnya!"
"Jika demikian, itu merupakan keuntungan bagi ki-
ta! Ayo, kita sambut orang yang bermulut besar itu!"
seru Arya Demung sambil berlari pula.
Sebentar saja mereka telah sampai di pintu gerbang batu dan dua orang penjaga
serentak melapor kepada Saudagar Arya Demung.
"Kami telah berusaha mengusirnya, Ki Demung. Te-
tapi orang itu membandel dengan berteriak-teriak seperti orang gila!"
"Biarlah aku yang menghadapinya," ujar Arya De-
mung dengan nada gusar, lalu melempar pandang ke
arah halaman di luar pintu gerbang batu karang.
Di sana terlihatlah seorang berpakaian hitam-hitam sedang membrakoti seruas
batang tebu manis. Sikap
orang ini kelihatan ceroboh, apalagi sambil menikmati tebu manis tadi, ia duduk
menongkrong di atas se-bongkah batu.
"Heei, Ki Saudagar! Saudagar Demung! Keluarlah
lekas. Aku sangat haus!" demikian teriak si baju hitam tanpa menggubris bahwa di
tengah pintu gerbang telah terpagar oleh manusia. Merekapun telah bersenjata
pula di tangannya.
"Diaammm! Mulutmu bisa kusobek nanti!" seru
Saudagar Arya Demung dengan mendongkol dan ma-
rah. "Ehh"! Heh, he, he, he. Sudah keluar orangnya"!
Heh, he, he, he. Mana yang bergelar Arya Demung?"
demikian ucapan cerewet terus meluncur dari mulut si baju hitam. "Aku kepengen
ketemu dengan orangnya...
heh, he, he, he."
Mendengar kesembronoan orang asing ini, tiba-tiba
majulah salah seorang anak buah Arya Demung den-
gan golok terhunus. Teriakannya kemudian, "Keparat, orang asing. Sebelum
majikanku bersedia dan sudi
menyambutmu, terlebih dahulu sambutlah golokku
ini!" "Heeit! Cari gara-gara kau! Niih!" teriak orang asing berbaju hitam sambil
mengibaskan tangan kanannya
ke arah si penyerang tadi.
Tanpa terelakkan, ruas tebu yang barusan dibrakoti seketika melesat dan langsung
bersarang ke pelipis si penyerang tersebut, hingga orangnya roboh berkelojotan
bermandi darah, mengerikan!
Hampir semua mulut yang menyaksikan kejadian
itu pada melongo di samping hati mereka merasa keder pula. Orang asing yang
dikira sepele itu, ternyata memiliki ilmu tinggi, seperti terbukti mampu
menimpukkan seruas tebu sampai menancap di pelipis salah seo-
rang dari rekannya.
"Heh, he, he, he. Sambutan yang cukup manis. Tapi
sayang, kepalanya terpaksa kusumbat dengan ruas te-bu. Mudah-mudahan ia dapat
berpikir lebih baik ke-
lak! Dengan begitu baru pantas ia menghadapi Wasi
Sableng!" demikian kata si baju hitam yang tidak lain adalah Wasi Sableng. "Ayo,
siapa penyambut yang berikutnya?"
"Sabarlah, Ki sanak!" kata Arya Demung seraya ma-
ju ke depan. "Hmm. Heh, heh. Siapa pula engkau"! Tampaknya
engkau lebih berhati-hati dari orang itu!" Wasi Sableng bertanya serta sesaat
menatap ke arah si penyerang yang sial dan malang. Beberapa orang anak buah Arya
Demung segera menggotong tubuh si korban dan di-bawanya masuk ke dalam pendapa.
"Harap Sobat tidak bergusar dengan sambutan
orang tersebut," sahut Arya Demung. "Akulah orang-
nya yang engkau cari! Aku bernama Arya Demung."
"Babo! Babo! Toblas..., eh, toblas! Memang engkau-
lah yang aku cari-cari!" ujar Wasi Sableng seraya
menggosok-gosok kumisnya yang penuh serabut tebu.
"Hari amat panas! Kau dengar teriakanku tadi" Aku
butuh minuman dan uang! Lekas berikan kepadaku!"
"Wasi Sableng! Aku telah memaafkan kelancangan-
mu! Tapi perkara uang dan minuman, tidak akan se-
mudah itu engkau memperoleh dari tanganku!" sahut
Arya Demung kemudian. "Kecuali engkau dapat men-
galahkanku!"
"Sangat setuju!" seru Wasi Sableng seraya bersiaga dengan jurus pembukaan yang
sangat aneh! Betapa tidak mengherankan, bila Wasi Sableng cuma berdiri
mengangkangkan kaki dengan tangan kiri bertolak
pinggang, sementara tangan kanan menggaruk-garuk
kepala tak ubahnya orang yang sakit gatal. "Ayolah mulai, Saudagar Arya Demung!"
"Awas, Wasi Sableng! Jika engkau kalah, harus kau
cium ujung kakiku ini!" teriak Arya Demung dengan
hati panas. Diiringi geraman marah, tahu-tahu ia telah melesat ke depan,
menyerang Wasi Sableng sambil
berseru, "Sambut ini jika mampu!"
Mereka yang melihat gerakan ini menjadi terkesiap, ketika tubuh Arya Demung
meluncur pesat seperti
anak panah lepas dari busurnya, disertai angin yang santer.
Wesss.... Tiba-tiba.... "Haahh?" desah kekagetan meluncur dari mulut
Arya Demung, manakala Wasi Sableng menggeliat kecil dengan gerakan sederhana,
namun membuat terka-man mautnya telah meleset!
Akan tetapi Arya Demung pun bukan orang semba-
rangan. Sebelum ia terlanjur kena dorong tenaganya sendiri, cepat ia memutar
dirinya dan melancarkan sa-tu tendangan kaki yang dahsyat.
Wasi Sableng terperanjat buat sesaat. Cepat-cepat
ia menangkiskan tangan kirinya yang ditekuk ke da-
lam, menyongsong dupakan kaki Arya Demung sebe-
lum serangan tersebut benar-benar menyentuh da-
danya. Tangkisan dari Wasi Sableng ini dapat diketahui pu-la oleh Arya Demung, namun ia
tak berusaha merobah gerakannya, agar kakinya tetap membentur tangan lawannya.
Bagaimanapun juga ia telah bertekad untuk
mencicipi ilmu dan kepandaian Wasi Sableng, si pendekar angot-angotan.
Maka terjadilah satu benturan yang tidak ringan
dengan suara bergebruk keras dan menggetarkan se-
tiap dada yang mendengarnya.
Duukk! Arya Demung terpaksa berjumpalitan untuk men-
daratkan kakinya yang terasa panas bagai dibakar oleh api, sementara Wasi
Sableng yang menangkis, hampir saja terpelanting!
Untunglah ia masih mampu menguasai keseimban-
gan tubuhnya, sehingga akibatnya ia cuma jatuh terduduk di tanah sambil mulutnya
bergerundalan, "Hengng! Boleh juga tenaganya. Demi anggur minuman selodong dan uang sekantong,
aku akan bertarung ma-ti-matian untuk mengalahkannya!"
Sampai di sini selesailah Seri Naga Geni "Jejak Telapak Iblis", dan akan
menyusul Seri Naga Geni berju-dul "ARCA IKAN BIRU". Lebih mengasyikkan dan men-
gikat pembaca untuk segera mengetahui apakah sebe-
narnya Arca Ikan Biru itu, dan bagaimana dengan tokoh-tokoh yang mengincarnya.
TAMAT Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
BAGIAN I BAGIAN II BAGIAN III BAGIAN IV BAGIAN V BAGIAN VI Misteri Anak Selir 1 Iblis Ular Hijau Karya Aryani W Hong Lui Bun 11