Pencarian

Kencan Di Lorong Maut 2

Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut Bagian 2


biar tidak terlalu berat. Wuut, gu- bruuk...!
Mata si gemuk besar itu mendelik dengan mulut tornganga.
"Untung mulutnya menganga seperti lubang belut, jadi mudah kutuangi
tuak." Karena sangat gemuk, badan Belatung Gerhana tampak membusung
tinggi. Suto Sinting terpaksa naik ke leher dan duduk di dada, lalu
mengucurkan tuak ke mulut itu. Krucuk, krucuk, krucuk...!
Tuak tinggal sedikit. Kurang dari separoh bumbung. Pendekar Mabuk
segera menutup bumbung tuak dengan tutupnya yang berupa tempurung
bersejarah. Baru saja ia akan turun dari atas dada si Belatung, tiba-tiba dari
arah belakangnya meiuncur sekeping logam putih yang sama persis dengan yang
menancap di punggung Belatung Gerhana.
Ziiing...! Trraang...! Bumbung tuak yang masih digenggam di tangannya itu
segera dipakai menangkls benda tersebut. Benda itu memantul dengan gerakan
lebih cepat lagi. Secara tidak sehgaja pantulannya mengarah pada sebatang
pohon. Jeeb...! Tampak oleh Suto benda itu menancap dalam bentuk segitiga
yang salah satu sudutnya tenggelam ke batang pohon.
Zlaap, zlaap...!Pendekar Mabuk berpindah tempat dengan cepat. Arah gerakannya
justru mendekati datangnya senjata rahasia tersebut.
Tampak olehnya seorang lelaki berdiri di balik dua pohon yang tumbuh
merapat. Pohon itu dirimbuni oleh semak-semak pada bagian bawahnya. Suto
Sinting berada di beiakang orang tersebut dalam jarak sekitar tujuh langkah.
"Eheem...!" Suto mendehem satu kali. Orang itu terkejut dan segera berpaling
ke belakang. Suto Sinting menyapanya dengan tenang.
"Haai...! Sedang beternak apa di situ, Mbah.,."!"
Tentu saja sapaan itu berkesan menghina bagi lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun itu. la menggeram dengan mata melotot menampakkan kegalakan-
nya. Tapi pendekar muda itu hanya sunggingkan senyum dengan sikap berdiri
santai, pundak kirinya disandarkan pada pohon, hingga tampak sedikit miring.
Kedua tangannya bersidekap di dada, sedangkan matanya memandang tajam
penuh waspada. "Rupanya kau ingin pamer iimu di depanku, hah"!" gertak orang kurus
kerempeng berambut kucai sepundak.
"Bukankah kau yang memamerkan ilmu di depanku" Kau telah melukas
temanku dan melemparkan senjata rahasiamu padaku. Apa maksudmu meiukai
teman gemukku itu, Mbah"!"
"Dia pernah menyerang kapaiku dengan orang- orangnya! Hampir saja
kapaiku hancur gara-gara ulahnya!"
"Ooo, begitu..."!" Suto Sinting manggut-manggut dengan santainya.
"Jadi kau punya dendam pada si Belatung Gerhana itu"!"
"Juga kepadamu, Pendekar Mabuk!"
"Lho..."!" Suto Sinting sedikit kaget. "Kau sudah mengenalku rupanya!"
"Sudah waktunya menangkapmu!"
"Aneh..."!" gumam Suto pelan sambil memperhatikan orang tersebut. la
merasa baru kali itu bertemu dengan orang yang mengenakan ikat kepala dari
lem- pengan emas berhias batu-batuan. Sambil melangkah ke samping kiri,
mengimbangi lawannya yang melangkah ke samping kiri juga, Suto Sinting
mencoba mengingat-ingat siapa tokoh berpedang bagus di pinggang- nya itu.
Dilihat dari kumisnya yang meiengkung ke dagu, alisnya yang naik dan
wajahnya yang berkesan sadis, Suto Sinting menduga orang tersebut adalah
salah satu anak buah si Bandar Santet. Tapi jubah birunya yang berlengan
panjang itu tampaknya terbuat dari kain berharga mahal.
"Padahal pakaian orang-orangnya Bandar Santet tak ada yang sebagus dia
punya"!" gumam Suto dalam hati.
"Mengapa kau ingin menangkapku"! Siapa kau sebenarnya, Mbah"!"
"Buka matamu yang rabun itu lebar-lebar! Akulah yang pernah diserbu
oleh para pendukungmu di Pantai Karang Hantu."
"Pantai Karang Hantu..."!" Suto Sinting menggumam bernada heran.
Dahinya berkerut cukup tajam.
"Akulah yang bernama Perwira Tombala!"
"Ooo... yaaa, yaaa, yaaa...! Kau orang Mangol yang mencari pemuda tanpa
pusar untuk dijadikan tumbal pembangunan kuil di negerimu sana, bukan"!"
"Biar sinting tapi kau punya otak lumayan cerdas, Bocah kunyuk!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum makin lebar. la sama sekali tak
menduga bakal bertemu dengan Perwira Mangol yang diutus oleh kaisarnya
untuk mencari pemuda tanpa pusar. Tapi kedatangannya ke Tanah Jawa
bersama atasannya yang bemama Laksamana Tanduk Naga itu disambut oleh
para pengikut dan pengagum Pendekar Mabuk dengan uluran pedang.
Pertempuran di Pantai Karang Hantu membuat Perwira Tombala dan
Laksamana Tanduk Naga yang bernama Maharani itu menghilang setelah
kapainya hancur. Sejak itu, kedua orang tersebut tak diketahui berada di ma
na, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pemburu Tumbal").
"Kudengar kau adalah pengawal kepercayaan si Laksamana Tanduk
Naga"!" ujar Suto menjadi tenang kembaii. "Di mana atasanmu itu sekarang
berada" Mengapa tak ikut denganmu" Apakah dia mati di laut dan dimakan
ikan-ikan cucut"! Begitukah, Cut"!" ejek Suto Sinting, semakin membuat Perwira
Tombala menyeringai penuh kebencian.
"Tugasku hanya menangkapmu! Jika kau ingin tahu di mana Laksamana
Tanduk Naga, menyerahlah padaku! Kau akan kubawa menghadap beliau
sekarang juga!"
"Oh, jadi kau tidak mencari Goa Kembar seperti mereka"!"
"Kau mau menyerah secara halus atau memaksaku bertindak kasar"!"
bentak Perwira Tombala dengan garang.
Rupanya orang Mangol itu tidak tahu menahu masalah harta karun
dan Goa Kembar. Secara kebetulan, ketika ia melewati tempat tak jauh dari
situ, ia mendengar suara ledakan. Ledakan itu adalah cahaya merah yang
datang dari tangan Juru Jagal tadi. Ledakan itu memancing minatnya untuk
melihat apa yang terjadi di tempat tersebut.
Tapi ketika ia tiba di situ, Juru Jagal dan dua anak buahnya sedang
mendaki untuk larikan diri. la tak sempat melihat pertarungan Pendekar
Mabuk dengan keenam lawannya tadi. Namun ia melihat Beiatung Gerhana
yang diingatnya pemah mencoba-coba menyerang kapalnya ketika kapa!
bertiang layar tiga itu sedang menuju ke Tanah Jawa.
Kebenciannya kepada si Beiatung Gerhana dilam- piaskan dengan keji.
ia bermaksud membunuh manusia gemuk itu.
la baru sadar bahwa Belatung Gerhana ada bersama Pendekar Mabuk,
setelah Pendekar Mabuk tuangkan tuak ke mulut Belatung Gerhana. Tugas
menangkap pemuda tanpa pusar itu pun segera dilakukan dengan mencoba
melemparkan senjata rahasianya kearah Suto SInting.
"Perwira Tombala...," ujar Suto Sinting, "Sebelum aku menyerahkan diri
padamu, dan mau kau jadikan tumbal demi pembangunan kuil keramat di negeri
Mangol sana, aku ingin mengetahui sesuatu dari dulu. Kuharap kau mau
menjelaskannya dengan benar dan jujur!"
"Keparat! Apa yang ingin kau ketahui, hah"!"
"Siapa yang menyuruhmu mencari tumbal seorang pemuda tanpa pusar
seperti diriku ini"! Siapa pula yang memberitahukan pada pihakmu, bahwa di
Tanah Jawa ini ada pemuda tanpa pusar yang bergelar Pendekar Mabuk alias
Suto Sinting, lengkap dengan ciri-cirinya!"
Tombala berdiri merenggang kaki, tegak dan berkesan gagah walaupun
kerempeng. Kedua jempol tangannya disangkutkan pada ikat pinggang di depan
perut. Matanya memandang penuh perhitungan.
"Apa perlumu kau mengetahuinya"!"
"Supaya aku ikhlas menjadi tumbal kuil keramatmu itu! Jika aku tak ikhlas
menjadi tumbal, maka kuil keramatmu akan runtuh. Bahkan arwahku akan
menjungkir balikkan negerimu!" jawab Suto Sinting beralasan cukup kuat
menurut perhitungan Perwira Tombala.
"Baik. Kukatakan yang sesungguhnya, saran itu datang dari seorang
pendita yang berkelana dan singgah di Mangol. Kami sangat menghargai beliau
karena beliau adalah sahabat ayah kaisar kami!"
"Siapa nama pendita itu"!"
"Pendita Amor...!"
"Ooo...," Suto Sinting menggumam tenang. Tapi sebenarnya hatinya
tersentak kaget.
Pendita Amor adalah musuh gurunya. Musuh si Gila Tuak, Berkali-kali
Pendita Amor mencoba membunuh Gila Tuak, tapi tak berhasil. Bahkan
percobaan yang terakhir dilakukan oleh Pendita Amor aliran sesat itu pada saat
si Gila Tuak sedang sakit parah. Namun Pendekar Mabuk sebagai murid
tunggalnya berhasil memukul mundur Pendita Amor, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Misteri Tuak Dewata').
Pendita aliran hitam itu menaruh dendam bukan saja kepada Gila Tuak,
melainkan juga kepada muridnya si Gila Tuak. la merasa malu, sekaligus sakit
hati, sebab kesaktian ilmunya bisa dikalahkan oleh anak kemarin sore seperti
Suto Sinting itu. Rupanya segala macam cara dipergunakan oleh Pendita Amor
untuk membunuh Pendekar Mabuk sekaligus melenyapkan kebesaran nama si
Gila Tuak. Salah satu cara yang ditempuhnya adalah dengan mempengaruhi
Kaisar Mangol agar memburu Pendekar Mabuk dengan memberi saran konyol
dan memuakkan bagi Suto Sinting sendiri.
"Perwira Tombala, perlu kau ketahui, bahwa Pendita Amor adalah
pendita sesat dari golongan hitam yang menyimpan dendam guruku, juga kepada
diriku. Pihakmu dan pihakku diadu domba oleh Pendita Amor. Berulang kali dia
gagal membunuh guruku karena aku selalu menggagalkan usahanya itu. Maka ia
menggunakan akal liciknya dengan meminjam kekuatan orang-orang Mangol."
"Simpan saja celotehmu buat dongeng menjelang tidur kucingmu!
Sekarang aku harus menangkapmu dan membawamu pulang ke Mangol!"
Suto Sinting hembuskan napas panjang, membu- ang rasa kesal atas sikap
perwira kapal yang ngotot itu! Akhirnya ia pun berkata dengan nada tegas.
"Kalau aku menolak, bagaimana"!"
"Aku terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Kalau aku mau melayani kekerasanmu, bagaimana?"
"Kau pasti akan mati dan yang kubawa pulang adalah mayatmu!"
"Kalau ternyata kau yang mati, bagaimana"!"
"Biadab! Makin lama kata-katamu makin memanaskan telingaku, Pendekar
Mabuk!" geram Perwira Mangol, tampak tak bisa bersabar lagi.
Sreet... pedang mewah itu dicabut dari sarungnya. Cahaya berkilauan
karena sinar matahari sesekali memantul melalui mengkilapnya pedang anti karat
itu. Perwira Tombala memainkannya pelan-pelan sambil bergerak lambat ke arah
kiri. Pendekar Mabuk tetap tenang, bergerak ke arah kiri membentuk lingkaran
dengan senyum tipis tetap menghias bibirnya.
"Agaknya orang ini pandai menggunakan pedang. Ilmu pedangnya pasti
cukup hebat. Aku harus hati-hati dengan jurus tipuan pedangnya," pikir Suto
Sinting sambil mata jelinya mengawasi tiap gerakan tangan dan kaki lawannya.
"Kau akan menyesal berhadapan dengan Perwira Tombala, Bocah bebal!
Perlu kau ketahui, jika satu hari pedangkutak merenggut nyawa manusia, maka
ia akan berjalan sendiri mencari mangsa! Kali ini agaknya walaupun aku tak mau
melakukan pertarungan denganmu, maka pedangku akan berjalan sendiri
merenggut nyawamu, Pendekar Mabuk!"
"Perlu kau ketahui juga, Tombala... pedangmu itu terlalu lamban.
Nyawaku sudah menunggu terlalu lama, tapi baru sekarang ia muncul di
depanku, seperti perawan tua menunggu pangeran tertampan di dunia!"
"Ghhhrrm...!" Perwira Tombala bertambah geram. Matanya memicing
penuh kebencian. Suaranya pun makin merendah tapi bernada berat, seakan
terbebani nafsu untuk membunuh yang begitu besar.
"Buktikan sesumbar busukmu itu, Nak! Heeaaah...!"
Perwira Tombala berlari menyeruduk dengan gerakan! cepat. Ujung
pedangnya yang runcing itu dihujamkan ke perut Pendekar Mabuk. Wuuurt,
suuut...! Zlaaap...! Pendekar Mabuk pindah tempat dalam waktu ter'amat singkat.
Gerakannya yang mengguna kan jurus Gerak Siluman' itu tak sempat dilihat oleh
Perwira Tombala, sehingga pedang sang perwira terpaksa hanya bisa menembus
udara kosong. Dengan wajah angker mata sadis, Perwira Tombala clingak-clinguk
sebentar. Kemudian segera berpalirig ke belakang dengan cepat setelah
mendengar suara lawannya bernada melecehkan.
"Cari apa, Tom..."!"
Seet...! Begitu ia berpaling menatap ke arah Pendekar Mabuk, tiba-tiba
jurus 'Jari Guntur' dilepaskan oleh Suto. Sentilan jari yang keluarkan hawa
padat seberat tendangan kuda jantan itu diarahkan ke dada Perwira Tombala.
Tees...! Perwira Tombala tak kalah cepat. Telapak tangan kirinya disentakkan ke
depan. Deeb...! la terdorong mundur ketika tenaga dalamnya yang keiuar dari
telapak tangan itu terhantam hawa padatnya jurus Jari Guntur'.
Perwira kurus itu masih tetap berdiri dengan sedikit membungkuk, karena
sentakan yang mendorongnya ke belakang tadi tidak membuatnya jatuh. la
justru segera memainkan pedangnya di sekeliling tubuh. Tiba-tiba kaki kirinya
diangkat dan, blaas...! Tubuhnya melesat dengan cepat menerjang Pendekar
Mabuk. Wuiiz, wuiiz...! Dua kelebatan pedang itu disabetkan sebagai penggoda
perhatian Iawan. Setelah itu pedang tersebut menyentak ke depan dengan
sangat cepat. Suuut...!
Traang...! Bumbung tuak Suto menangkisnya. Ujung pedang memercikkan
bunga api ketika berben- turan dengan bumbung tuak.
Trang, trang, tring...! Wuiiz, trang, wuiiz...!
Crass...! "Aahk...!" Suto Sinting melompat mundur sambil terpekik peian.
Lengannya robek akibat tebasan pedang beruntun. Salah satu tebasan meleset
dari tangkisan bumbung tuak sehingga merobekkan kulit dan daging lengan,
dekat pergelangan tangan.
"Gila! Sabetan pedangnya nyaris tak bisa kuterka ke mana arahnya!" geram
Suto Sinting dalam hati sambil pandangi lukanya sebentar. Luka itu cukup
dalam dan membuat darah menjadi berbusa.
"Celaka! Pedangnya ternyata beracun juga. Aku harus mengatasi racun ini
dulu sebelum menyebar ke seluruh tubuhku."
Tak ada kesempatan bagi Suto untuk menenggak tuaknya. Mau tak mau ia
mengatasi luka itu dengan salurkan hawa murninya melalui peredaran darah. la
sengaja mengulur waktu dengan memutar ke sana-sini untuk mengatasi lukanya
itu. Sayang sekali waktu itu Pendekar Mabuk sudah tidak memegang
pedangnya Belatung Gerhana. Pedang itu digeletakkan di samping si gemuk saat
ingin menuangkan tuak. Ketika melesat mencari si pelempar senjata rahasia,
pedang itu tidak ikut terbawa.
Kini pedang tersebut sudah ada di tangan si Beiatung Gerhana. Nyawa
orang gemuk besar itu tertolong oleh tuak Suto. Tapi ketika ia melihat Suto
Sinting bertarung dengan Perwira Tombala, ia ingat siapa orang itu. la pun tahu
bahwa ilmunya tak akan bisa dipakai menggulingkan si tua bertubuh kerempeng.
"Gawat! Dia si pemilik kapal yang tempo hari mau kuganggu itu! Kurasa
dia tadi ingin membunuhku, tapi... tapi sepertinya Suto menyelamatkan nyawaku
dari sesuatu yang diiemparkan si kerempeng itu. Ooh, kalau begitu aku harus
segera lari jauh-jauh agar si kerempeng tak menemukan diriku lagi!"
Belatung Gerhana tak segan-segan melarikan diri. Sekali pun iarinya tak
bisa cepat, tapi ia tetap berusaha menyembunyikan tubuhnya yang besar itu
sebelum pertarungan Suto dengan si kerempeng usai.
Belatung Gerhana tak melihat saat Perwira Tombala kerahkan ilmunya
dalam melawan Pendekar Mabuk. Sebuah ilmu langka digunakan Perwira
Tombala. Pedangnya yang ditebaskan ke kanan-kiri dengan cepat itu
memancarkan sinar merah pada bagian ujung nya. Ketika tubuhnya bermaksud
menerjang Pendekar Mabuk dan pedangnya ditebaskan, sinar merah di ujung
pedang itu keluarkan asap tipis dan kecil sebesar lidi. Asap itu adalah asap
merah yang bergerak bagai- kan benang di ujung pedang.
WuUiz, wuiiz, wuuiz...!
si perwira kapal bukan bermaksud menerjang Suto, tapi hanya bergerak
mendekat dan memutari Pendekar Mabuk dengan gerakan sangat cepat dan
membingungkan. Pendekar Mabuk ingin lepaskan pu- kulan tenaga dalamnya,
tapi pukulan itu tak bisa diarahkan ke lawannya dengan tepat.
Gerakan memutar sernakin cepat. Perwira Tombala seperti ada sepuluh
orang lebih. Sekeliling Suto mulai dipenuhi asap merah. Wajah pemuda tampan
itu sempat menjadi tegang.
"Dia mengurungku dengan asap merah. Pasti asap berbahaya! Aku harus
keluar secepatnya!"


Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Zlaaap...! Craass...!
"Aaouh...!" Suto terpekik dengan suara tertahan.
Pada waktu ia melesat keluar dari asap merah yang mengurungnya, pedang
lawan berhasil menyabet perut dan membuat luka cukup panjang di bagian
perutnya. Luka itu segera keluarkan darah bercampur asap merah.
Pendekar Mabuk mengerang dengan tubuh kejang, karena asap merah
yang mengepul dari luka terhirup dalam pemapasanriya. Paru-paru terasa
terbakar. Panas sekali. Dada bagaikan dipanggang di atas kobaran api.
Pandangan mata pun mulai buram. Urat-urat yang mengejang kaku dipaksakan
untuk melangkah dan jauhi lawan.
Tapi waktu itu Perwira Tombala sempat berseru dengan bangga.
"Kau tak akan bisa selamat jika sudah tergores oleh pedangku, Bocah
sinting! Asap merah dari 'Hawa Iblis'- ku sudah merasuk dalam pernapasanmu,
menyatu pula dengan darahmu. Tak lama lagi Hawa Iblis' itu akan merenggut
nyawamu tanpa ada penangkalnya!"
Pendekar Mabuk kerahkan tenaga untuk bisa melangkah. Tapi sekujur
tubuhnya bagaikan terbuat dari besi. Berat dan kaku sekali. Di samping itu,
hawa panas yang ada di dalam dada semakin menyengat, seakan mengeroposkan
bagian dalam tubuh sedikit demi sedikit.
Pendekar Mabuk ingin menenggak tuaknya. Melihat gelagat demikian,
Perwira Tombala segera menerjang tangan Pendekar Mabuk agar bumbung tuak
terlepas dari genggamannya.
Wuuut...! Bruuus...! Perwira Tombala teriempar ke samping kiri. Rupanya saat tubuhnya
melayang mau menerjang Suto, ada sekelebat bayangan yang menerjangnya pula
dari arah kanan. Terjangan itulah yang membuat Suto Sinting terpelanting,
sebab bayangan yang berkelebat menerjang Perwira Tombala itu keluarkan angin
yang menyentak dan membuat tubuh Suto Sinting terhempas limbung.
"Ooh, uuhk...! Siapa orang itu" Siapa dia yang menolongku"!" tanya Suto
dengan batinnya sendiri.
Suto sempat perhatikan seorang lelaki gemuk berjubah coklat bintik-
bintik putih. Orang yang kini berdiri berhadapan dengan Perwira Tombala itu
memang gemuk, tapi tidak sebesar Belatung Gerhana.
Melihat rambut orang itu hanya di bagian ubun- ubun saja dan berwarna
putih rata, ingatan Suto Sinting masih sempat melayang pada kata-kata gururiya
tentang seorang tokoh yang sosok penampilannya mirip Semar, dalam cerlta
pewayangan. Seketika itu juga hati Suto Sinting menyebut nama si tokoh yang
baru datang itu.
"Eyang... Dewa Kubur..."!" sambil langkah Suto sernakin kaku dan
terhuyung-huyung ke belakang. Tangannya bagaikan tak kuat untuk membuka
tutup bumbung tuak. Matanya pun semakin buram dan mengecil.
"Awas, ada dua sumur di belakangmu, Nak!" seru si kakek berusia sekitar
delapan puluh tahun yang memegang tongkat besi dengan ujung trisula itu. la
memang si Dewa Kubur dari Gunung Gandul.
Dewa Kubur ingin menyambar Pendekar Mabuk yang sudah berada di tepi
lubang yang disebut sumur. Tapi si perwira dari Mango! itu menggeram murka
dan segera lakukan terjangan dengan pedang berasap merah.
"Heeaaat...!"
Weess...! Dewa Kubur angkat tongkat trisulanya, lalu menyentakkan tongkat itu ke
depan dalam jarak pen- dek. Dees...!
Blaab, blaab...! Sinar biru menyebar sekejap. Ketika sinar itu diterjang
Perwira Tombala, terjadilah ledakan yang cukup mengguncangkan alam
sekitarnya. Blegggaaarr...!
Tombala terlempar ke belakang, melayang- layang kehiiangan keseimbangan
badan. Sementara itu, Suto Sinting justru jatuh terpelanting karena gelom-
bang ledakan tadi mengguncangkan tanah yang dipijaknya. la pun tak bisa
menjaga keseimbangan badannya lagi, sehinga akibatnya pemuda itu terlempar
masuk ke salah satu dari dua lubang besar yang disebut sumur tadi.
Brooossk...! "Haah..."! Ooh..."! Aaaaaaa...!" ia hanya bisa memekik sambil tubuhnya
melayang masuk ke dalam salah satu sumur kering itu.
Wuuurrss...! Gema suaranya masih terdengar dari tempat si Dewa Kubur
sentakkan tongkatnya tadi. Tokoh tua yang terlambat bergerak itu segera
melesat dalam satu sentakan. Tahu-tahu ia sudah berada di tepi lubang bergaris
tengah sekitar dua tombak. Ada dua lubang yang ukurannya hamper sama.
Jaraknya hanya satu langkah. Tapi karena rimbunnya rumput yang tumbuh di
sekitarnya, maka lubang tersebut tak sempat terlihat Pendekar Mabuk.
Dewa Kubur mengetahui lubang itu, karena waktu ia dekati tempat
terjadinya ledakan besar tadi, ia hampir saja terjeblos masuk ke lubang
tersebut. Lubang itu sangat dalam dan gelap. Makin ke dalam makin tak bisa
terlihat isinya. Lubang itu menyerupai sumur tanpa dasar. Bahkan suara
terjakan Suto pun menghilang, suara jatuhnya tubuh Suto pun tak terdengar.
Dewa Kubur hanya bisa tarik napas memendam rasa penyesalannya akibat tak
bisa menyambar tubuh anak muda yang tadi didengarnya dipanggii Pendekar
Mabuk oleh Perwira Tombala.
Dewa Kubur ingat, Pendekar Mabuk adalah murid sahabatnya. Sebab
itulah ia bermaksud selamatkan Pendekar Mabuk.
Penyelamatan itu terlambat. Suto Sinting masuk ke dalam sumur tua yang
kedalamannya tak bisa diduga. Dengan begitu, maka nasib si Pendekar Mabuk
pun tak dapat diterka oleh Dewa Kubur. Satu-satunya anggapan yang ada dalam
benak Dewa Kubur, murid sahabatnya itu tewas dan mayatnya tak bisa
ditemukan. 5 Hawa dingin terasa meresap melalui pori-pori, bagaikann rnenembus
sampai ke dasar tulang. Hawa dingin itu membuat kelopak mata sulit dibuka jika
tidak dipaksakan.
Pada muianya yang dirasakan Pendekar Mabuk adalah sebentuk
keheningan tanpa suara apa pun. Keheningan yang bercampur hawa dingin
membuat debar-debar ketegangan tersendiri di dalam hati anak muda itu. Batin
pun berbicara kepada sang jati diri, bertanya dan bertanya dengan nada yang
sama. "Di mana aku ini?"
"Di alam kematian."
"Mengapa begitu sunyi?"
"Tentu saja. Karena kau berada di alam kematian. Kalau suasananya
ramai, pasti kau berada di tengah pasar malam."
"Jadi, sekarang aku sudah mati?"
"Sudah. Kau bertarung dengan Perwira Tombala, lalu terluka dan
terperosok masuk ke sumur tua."
"Aku mau hidup lagi, ah!"
"Tidak bisa. Kau sudah waktunya mati."
"Tapi aku kan belum kawin?"
"Salahnya kenapa tidak mau kawin dari dulu?"
"Lalu, bagaimana nasib kekasihku; Dyah Sariningrum itu?"
"Menjadi janda kembung."
"Husy...! Setahuku yang ada hanya istilah janda kembang. Kalau janda
kembung itu janda yang bagaimana?"
"Janda kembang itu sudah cerai tapi belum punya anak. Kalau janda
kembung sudah cerai tapi belum sempat menikah!"
"Ooo... kasihan, ya?"
"Kasihanilah dirimu sendiri sebelum kau dikasihani orang lain!"
lya, maksudku yang kasihan itu diriku. Belum kawin sudah mati.
Mendingan belum mati tapi sudah kawin, ya?"
"lya...! Sudah, sekarang bersiaplah untuk menghadap pengadilan terakhir!"
"Lho, mati kok diadili"!"
"Mempertanggungjawabkan segala tingkah laku mu selama hidup di dunia.
Semua orang akan begitu!"
"Ooo... lalu, aku nanti dihukum?"
"Tergantung budi baikmu selama kau hidup di dunia. Kalau kau sering
berbuat jahat, ya dihukum. Kalau kau sering berbuat baik, ya tidak dihukum."
"Tapi... tapi aku mau minum tuakku dulu, ah!"
"Tidak bisa. Orang mati tidak boleh minum tuak! Kau harus jadi orang
mati yang patuh."
"Ah, siapa bilang orang mati tidak boleh minum tuak?"
"ingatlah semasa hidupmu. Teman atau kerabatmu yang sudah mati itu,
apakah mayatnya mau minum tuak?"
"Hmmm, yaa... memang belum pernah ada orang mati minum tuak."
"Nah, itu lantaran mereka patuh dengan tata tertib kematian. Salah satu
tata tertib itu berbunyi: 'barang siapa telah mati dan menjadi mayat, dilarang
minum minuman keras'. Makanya mereka tidak ada yang minum tuak atau
minum arak, bukan?"
"Waah... kok begitu ya...?"
Percakapan batin dan sang jati diri berhenti sesaat. Hawa dingin mulai
terasa melonggarkan dada. Seakan ada semacam kabut dingin yang menggumpal-
gumpal di ulu hati, lalu menyebar ke segala penjuru, mencip- takan kelegaan
tersendiri. "Aku mau buka mata, ah!"
"Husy! Orang mati tidak boleh melek!"
"Memangnya kalau melek, kenapa?"
"Kelilipan tanah, Goblok!"
"O, iya, ya..."!"
"Sudah, merem saja!"
"Tapi aku ingin tahu pemandangan di alam kubur Ini. Ngintip sedikit tidak
apa-apa, kan?"
"Ya, sudah. Tapi sedikit saja ngintipnya, ya" Jangan buka mata lebar lebar.'
"Kalau lebar-iebar, kenapa?"
"Dicolok setan, Iho...!"
"O, iya, ya..." Kalau begitu aku mau buka mata sedikit saja, ah!"
Bulu mata yang tergolong lebat untuk ukuran seorang lelaki itu bergerak-
gerak pelan. Sedikit demi sedikit garis kelopak mata Suto Sinting dibuka.
Seet...! Pemandangan masih buram, mungkin terlalu lama memejam, masih perlu
menyesuaikan jarak pandang. Lama kelamaan tampaklah oleh sang mata kiri
sebentuk cahaya yang berpijar-pijar.
Cahaya apa itu, ya?"
jati diri menjawab, "Itu cahaya kehidupanmu yang kini telah kau
tinggalkan."
"Ooo... kok seperti lilin?"
"Karena semasa hidup kau rela berkorban demi menolong orang lain. Lilin
kan begitu. Berani meleleh demi menerangi orang lain."
"Ooo... kalau selama hidupku aku tak mau berkorban untuk menolong
orang lain, cahaya kehidupanku seperti apa?"
"Seperti kunang-kunang. Cahayanya mana bisa dipakai untuk cari uang
jatuh di tempat gelap" Tidak bisa, kan"!"
Kelopak mata terbuka semakin lebar lagi. Cahaya yang dilihatnya
bertambah jelas. Lebih lebar lagi kelopak mata dibuka, lebih jelas lagi bahwa
yang dipandang itu adalah memang sebatang lilin.
Byaak...! Kedua mata Suto Sinting terbuka semua.
"Lhoo... kenapa aku berada di antara lilin-lilin" Di mana aku ini"! Oooh...
kedua tanganku terikat"! Kedua kakiku juga terikat" Siapa yang merentangkan
tangan dan kakiku sebegini rupa"!"
Pendekar Mabuk memandang sekeliling. Ternyata ia berada di sebuah
ruangan besar berdinding batu. Tubuhnya direntangkan pada sebidang batu
rata yang berposisi miring, agak merebah setengah berdiri. Tangan dan kaki yang
direntangkan itu diikat dengan rantai putih. Rantai itu disentakkan, ternyata
tak mudah le pas. Hanya suara gemericiknya yang membuat Suto menjadi
jengkel sendiri.
"Benarkah aku di alam kematian?" batin Suto menjadi sangsi.
Dipandangnya lilin-lilin yang ada di sekitarnya. Nyala api lilin itu menari-
nari dengan gemulai lembut menandakan hembusan angin sangat pelan. Jumiah
lilin yang ada di ruangan itu tak bisa dihitung. Yang paling banyak menggerombol
di sudut kanan-kiri tempat Suto terikat rantai.
Aneh...! Lilin-lilin merah itu tidak ada yang meleleh"! Ooh, mungkin lilin
itu adalah lilin abadi. Dulu aku pernah mendengar cerita tentang lilin abadi
dari Bibi Guru Bidadari Jaiang. Lilin itu dibungkus dengan sejenis kayu yang
keluarkan getah terus-menerus walau sudah dipotong, Lalu kayu itu dibungkus
dengan lilin. Maka jadilah lilin abadi. Jika meleleh, ia bersatu dengan getah
kayu itu dan terjaga keutuhannya."
Pendekar Mabuk hembuskan napas panjang. la sedikit kaget.
"Lho, kok aku masih ada napasnya"!"
la menyentakkan napas lewat mulut beberapa kali.
"Hahh, hahh, hahh, hahh...! Oh, aku masih punya napas. Berarti aku
belum mati"! Berarti ini bukan di alam kematian. Lalu... di alam apa" Mengapa
sepi sekali" Ruangan apa ini"!"
Setelah diperhatikan lebih cermat lagi, ternyata ruangan itu berdinding
batu. Batu tak halus tapi membentuk permukaan dinding. Di sela-sela batu itu
tampak tumbuh lumut berwarna putih, seperti salju.
Ruangan itu sendiri berlangit-langit agak tinggi. Permukaan langitlangitnya
juga tak rata. Ukuran ruangan itu cukup lebar. Bisa untuk berlatih jurus-jurus
siiat yang tidak keluarkan tenaga dalam bersinar. Di sudut seberang ada lorong
membelok ke kanan, ada juga yang membelok ke kiri. Pada kedua lorong itu
masing-masing diterangi nyala api lilin berjumlah sekitar dua puluh batang.
Udara di ruangan itu sedikit lembab. Mungkin jika tanpa nyala api lilin-lilin
itu, udaranya sangat lembab dan tak bagus untuk pernapasan.
"Sepertinya aku berada di ruang bawah tanah," gum am Suto dalam hati.
"Hmmm... siapa yang membawaku kemari"! Bukankah... bukankah aku jatuh ke
dalam sumur saat bertarung melawan Perwira Tombala" Oh, ya... aku juga
sempat melihat tokoh tua yang.. ."
Kata-kata hati itu terhenti seketika, karena dari arah lorong yang
membelok ke kanan tampak sesosok bayangan muncul dari sana. Bayangan itu
melangkah dengan tegap dan menghampiri Pendekar Mabuk. Pada saat itu
pandangan mata Suto Sinting terkesip karena hatinya kaget menatap sosok
wujud orang yang mendekatinya.
Temyata ia seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Tubuhnya selain tinggi juga sekal dan berisi. Rambutnya pendek sepundak lewat
sedikit. Bagian depannya diponi tanpa ikat kepala.
Gadis itu mempunyai wajah yang cantik walau sedikit seperti anak lelaki.
Hidungnya mancung, matanya bundar bening dan terkesan tajam. Bibimya
sedikit tebal tapi terkesan mungil. la berkulit kuning bersih.
Ia mengenakan baju buntung tanpa lengan dari kain berserat tembaga.
Warnanya coklat kehitam-hitaman.
Kain bawahnya seperti rok tapi mini sekali, bagaikan mempunyai rempel
bersusun yang membuatnya menjadi tebal. Kain itu juga berserat tembaga,
coklat kohitam-hitaman. la mengenakan sabuk lebar warna hitam. Pada
sabuknya itu terdapat kantong kantong pisau sejumlah enam buah, lengkap
dengan pisaunya yang bergagang hitam.
Seiain itu, sebilah pedang dari kristai. Baik gagang- nya, mata pedangnya
dan sarung pedangnya terbuat dari kristai. Pada gagang dan sarung pedang
diberi hiasan batu-batuan merah dan hijau.
Si gadis bertubuh sekal dan tampak kekar itu mengenakan lapisan lengan
dari lempengan logam seperti perunggu. Lempengan berukir itu membungkus
perge- langan tangannya sampai mendekati siku. Jadi yang terlihat mulus hanya
batas pundak sampai siku dan batas paha sampai kaki. Alas kaki yang dikenakan
mempunyai tali melilit-lilit rapat di sepanjang betisnya.
Melihat sosok penampilan seperti itu, Pendekar Mabuk teringat
penampilan seorang gadis yang dikenalnya dengan nama Pandawi, mantan
pengawal Istana Kematian yang sudah menjadi sahabatnya itu. Agaknya gadis
yang tinggi tubuhnya sedikit melebihi tinggi badan Suto itu juga seorang
prajurit dari sebuah negeri. Mungkin saja dia penjaga bawah tanah itu.
Wajah cantiknya yang berkesan angkuh dan galak itu sengaja dipamerkan di
depan Pendekar Mabuk, menunjukkan sikap permusuhannya. Tetapi wajah Pen-
dekar Mabuk tetap menampakkan sikap bersahabat, ramah, tenang, tapi juga
punya kesan sedikit wibawa.


Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sriing...! Pedang kristai dicabut dari sarungnya. Ujungnya sangat runcing.
Sepertinya mudah pecah, tapi sebenarnya keras dan kuat seperti baja.
Ketajaman kedua sisinya tak terlihat nyata. Sepertinya tidak tajam, tapi
sebenarnya melebihi ketajaman samurai.
Ujung pedang runcing itu diacungkan di depan leher Suto Sinting. Mata
gadis itu memandang dengan tajam dan berkesan gaiak. Pada saat itu, Pendekar
Mabuk mendengar suara yang menyapanya dengan nada tak ramah.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur jika ingin selamatkan nyawamu sendiri!
Berapa orang temanmu yang masuk kemari"!"
Pendekar Mabuk diam saja, matanya memandang heran ke wajah cantik
itu. Sangat heran. Sebab ia mendengar gadis cantik itu bicara, tapi ia tak
melihat bibir gadis itu bergerak-gerak saat mengucapkan kata. Bibir indah
menggemaskan itu tetap terkatup rapat, tapi sua- ranya terdengar jelas.
Sengaja Suto tak menjawab karena ia sempat sang- si, benarkah ia
mendengar suara gadis itu atau hanya halusinasi saja. Maka dipandanginya terus
bibir si gadis saat suara kedua terdengar menyentak dengan ujung pedang terasa
menempel dingin di tengah Ieher.
"Jawab pertanyaanku, Tuli!"
Pendekar Mabuk hanya berujar dalam batinnya, "Luar biasa gadis ini! Dia
bicara tanpa membuka mulut. Dia merigirimkan suara batinnya padaku hingga
tertangkap oleh indera pendengaranku! Baru sekarang kutemukan seorang gadis
cantik yang mampu mengirimkan suara batinnya."
"Kalau kau sudah tahu tentang suara batin itu, Sekarang jawablah
pertanyaanku tadi!" ujar si gadis. Suto semakin terperanjat heran dalam hatinya.
Ternyata gadis itu juga mampu mendengarkan ucapan batin seseorang. Mungkin
bisa dilakukan dalam jarak tertentu, mungkin juga bisa dilakukan dalam jarak
sejauh apa pun. Yang jelas, hal itu sangat menarik bagi Pendekar Mabuk.
"Kau mendengar suara batinku?" tanya Suto dalam hati. Tapi ia
mendengar si gadis menjawab tanpa gerak- an bibir.
"Kudengar dengan jelas sekali!"
"Baiklah, akan kujawab pertanyaanmu tadi. Aku tidak punya teman."
"Bohong!" bentak si gadis dengan mata sedikit melebar tapi bibir tetap
terkatup rapat.
"Kalau kau tak mau menjawab dengan benar, ku~ tembus lehermu dengan
pedang ini! Ayo, jawab...!"
"Kau boleh membunuhku sekarang juga, sebab aku tak punya jawaban
lain. Aku sendiri masih bingung, di mana aku sekarang ini. Kau bisa jelaskan,
Nona cantik"!"
Kali ini Suto bicara dengan suara. la merasa lebih enak bicara dengan
suara daripada dengan batin. Si gadis memandanginya tanpa kedip, seakan ingin
melihat raut kejujuran di wajah tampan Pendekar Mabuk itu. Sekitar sepuluh
hitungan kemudian, ujung pedang sedikit ditarik ke belakang. Ketegangannya
agak mengendur.
"Kau berada di wilayahku!" gadis itu pun bicara dengan suara mulut.
Bibirnya bergerak-gerak, nada suaranya terdengar sedikit besar dan agak parau.
Tidak sejernih suara gadis keraton.
"Di wilayah mana aku sekarang, Nona"! Tolong jelaskan padaku. Sebab,
seingatku aku sedang bertarung dengan Perwira Tombala, dan terperosok jatuh
ke lubang. Setelah itu aku tak ingat lagi. Begitu aku sadar, aku sudah terikat
begini!" "Siapa namamu"!"
"Suto Sinting...!" sebut Suto dengan jelas dan tegas. Si gadis tampak
tenang, seperti tak mau peduli dengan nama itu. Rupanya ia belum tahu bahwa
Suto Sinting itu adalah nama asli Pendekar Mabuk.
"Nama asliku Suto Sinting, tapi gelarku adalah Pendekar Mabuk!" tambah
Suto untuk memancing tanggapan si gadis. Ternyata gadis itu hanya
menggumam pelan dan pendek. Tak merasa heran dan kagum sedikit pun. Hanya
saja, pedangnya semakin ditarik mundur dan turun ke bawah.
"Kau orang Dataran Salju"!"
"Dataran Salju..."!" Suto Sinting menggumam bernada heran. Dahinya
berkerut tajam, menandakan masih merasa asing dengan nama Dataran Salju.
"Aku baru sekarang mendengar nama Dataran Salju. Maukah kau jelaskan
di mana letak Dataran Salju itu"!"
Si gadis tidak langsung menjawab. la melangkah mundur satu kali. Mata
masih menatap penuh curiga. Rupanya ia sedang menyimak suara batin Suto
yang terheran heran disangka sebagai orang Dataran Saiju. Suara batin Suto
itulah yang dijadikan modal kepercayaan atas jawaban-jawaban tawanannya.
"Nona, apakah kau bermusuhan dengan orang Dataran Salju"!"
"Akan kujelaskan nanti jika kau mau sebutkan dari mana asalmu, siapa
rajamu dan apa jabatanmu"!"
Suto Sinting sunggingkan senyum geli.
"Aku berasal dari Jurang Lindu dan Lembah Badai. Aku tidak punya raja.
Aku bukan prajurit, oleh karenanya aku tidak punya jabatan. Satu-satunya
jabatan yang kumiliki, mungkin... gelar kependekaranku saja! Pendekar Mabuk!"
"Terserah, kau mau mabuk atau mau teler itu urusanmu! Tapi aku ingin
tahu kau ada di pihak mana"'
"Ak... aku semakin bingung menjawab pertanyaanmu. Aku tidak punya
pihak. Aku orang bebas! Termasuk bebas tanyakan siapa namamu, Nona?"
Si gadis masih memandang sedikit angkuh. Setelah diam beberapa saat, ia
pun sebutkan namanya dengan jelas.
"Citra Bisu...."
"Itu... itu namamu?"
"Nama asiiku Citra Mandagi. Tapi karena aku jarang bicara melalui
mulutku, maka beberapa temanku, termasuk Gusti Ratu, menjulukiku: Citra
Bisu." "Sebuah nama yang cantik, secantik orangnya, gumam Suto Sinting dalam
hati. la lupa bahwa suara batinnya bisa didengar oleh Citra Bisu.
Tiba-tiba saja Citra Bisu tebaskan pedangnya empat kali ke arah Pendekar
Mabuk. Wiiz, wiiz, wiiz, wiiz...! Tentu saja tebasan pedang itu sangat
mengejutkan Pendekar Mabuk. Pemuda itu dibuat menggeragap dan terheran-
heran. Tak ada bagian tubuhnya yang terluka atau tergores seujung rambut
pun. Pendekar Mabuk hanya merasakan angin tebasan tadi sangat dingin dan
mendengar suara aneh empat kali.
Triik, triik, triik, trrik...!
Brruk...! Tiba-tiba Suto Sinting jatuh berlutut dalam sentakan kaget.
Kejap berikut ia baru sadar bahwa tebasan pedang tadi telah memutuskan
rantai pengikat pada kaki dan tangannya. Citra Bisu mundur dua langkah, lalu
memasukkan pedang ke sarungnya.
"Getaran batinmu kutangkap bukan sebagai getaran musuh, melainkan
memang sebagai getaran batin orang yang tersesat!" ujar Citra Bisu, tapi
diucapkan melalui batin. Suara batin itu sengaja dikirimkan kepada Suto,
sehingga telinga Suto bagai mendengar bisikan jelas suara tersebut.
Terima kasih kau telah mempercayaiku," jawab Suto menggunakan suara
batin juga. la segera bangkit dan menghembuskan napas lega.
"Aku haus sekali. Apakah kau melihat bumbung tuakku?"
"Kusimpan di Ruang Penangkal."
"Ruang Penangkal."! Ruangan untuk apa itu"!"
"Ikut aku!" tegas Citra Bisu tetap gurtakan suara batin.
Gadis itu melangkah lebih dulu. Langkahnya sangat tegap dan
menampakkan ketegarannya sebagai gadis yang berjiwa pemberani. Pendekar
Mabuk ikuli langkah yang membelok ke kanan, ke lorong tempat kemunculari
Citra Bisu tadi. Tapi Suto sempatkan berhenti dan memandang ke lorong
sebeiah kiri. Lorong itu cukup dalam dan ujungnya membelok ke kiri. Tampak
ada sinar merah pijar di ujung lorong tersebut, seperti cahaya api merabara yang
membuat lorong tersebut menjadi temaram.
"ikut aku, Suto Sinting! Jangan coba-coba jalan ke lorong merah itu!"
tegur Citra Bisu tanpa gerakan bibir.
"Mengapa aku tak boleh ke sana?"
"Maut ada di sana. Kutemukan dirimu di sana, hampir saja menggetsndsng
masuk ke kuburan lahar."
"Kuburan lahar"!"
"Kubangan besar yang penuh dengan lahar panas!"
"Kau... kau temukan aku di sana"!"
"Saat aku lakukan pengawasan keliling, kuiihat tubuhmu melayang dan
jatuh di bibir kuburan lahar. Sebelum kau masuk ke kuburan lahar, kusambar
dirimu dan kuperiksa keadaanmu. Ternyata kau bukan temanku. Oleh
karenanya kau kesembuhkan dari lukamu dan kurantai sampai aku tahu dengan
jelas siapa dirimu."
"Oor jadi kau telah menyelamatkan nyawaku"!"
ikuti iangkahku sekarang juga, Suto!" Citra Bisu melangkah lagi tanpa
peduli pemuda itu masih tertegun bengong merenungi ceritanya. Pendekar
Mabuk segera menyusul langkah Citra Bisu karena ada yang ingin ditanyakan
dengan segera. "Apakah... apakah kita berada di penjara bawah tanah?"
"Anggap saja begitu"
"Di.. di mana tepatnya?"
"Mendekati dasar bumi."
"Ooh..."! Ja... jadi kau siapa" Maksudku... mehgapa kau ada di sini dan
rnenyangkaku sebagai orang Dataran Salju"!"
Citra Bisu tidak langsung menjawab. la justru membawa Suto membelok
ke kanan lagi, lalu kekiri. Mereka sampai di sebuah ruagan bercahaya biru.
Pendekar Mabuk terkesima melihat semua batu dan dinding yang ada di
ruahgan tersebut memancarkan oahaya biru pijar.
Ruangan itu juga penuh dengan senjata aneka jenis, dari tombak, perisai,
golok, kapak, dan lain-lainnya. Senjata-senjata itu diietakkah dalam keadaan
berdiri diatas tanah tanpa penyangga apa pun. Bahkan sebagian senjata tampak
ada yahg melayang- layang di udara tanpa menyentuh tanah atau bebatuan yang
ada di situ, Salah satu benda yang melayang di udara adalah bumbung tuaknya
Pendekar Mabuk; "Oh, itu dia bumbungku!" sentak Suto girang.
"Ambil ah...!" perintah Citra Bisu dengan suara batin. Setelah Suto
Sinting dapatkan bumbung tuaknya, Citra Bisu menyambung ucapannya lagi.
"Ternyata benda itu tak pernah kau gunakan untuk kejahatan."
"Dari mana kau tahu?"
"Semua senjata yang ada di sini akan mengambang di udara jika tak pernah
dipakai untuk kejahatan. Tapi jika benda tersebut punya kekuatan gaib hitam,
sering dipakai membunuh demi kejahatan, maka senjata itu tak bisa
mengambang, melainkan menempel pada tanah. Kekuatan gaibnya tersedot habis
oleh tanah dan bebatuan di sini. Termasuk dirimu...."
"Termasuk diriku bagaimana?"
"Kalau kau berhati jahat, penuh dengan ilmu hitam, maka tanah dan
bebatuan di sini akan menghisap tubuhmu, menyerap habis seluruh ilmu
kejahatanmu melalui telapak kakimu. Tapi jika kau berhati baik, maka kau akan
mengambang di ruangan ini."
"Oh, kalau begitu aku berhati jahat, karena ..."
"Lihat telapak kakimu!"
Pendekar Mabuk memandang telapak kakinya. la sangat terkejut melihat
kedua telapak kakinya tak menyentuh tanah.
"Ooh, ternyata telapak kakiku tak menyentuh tanah"! Dan... dan kau
juga..."!"
Telapak kaki Citra Bisu juga tidak menyentuh ta nah. Kedua telapak kaki
itu mengambang sekitar sete- ngah jengkai dari permukaan tanah. Tapi Suto
Sinting merasa kakinya seperti menginjak tempat yang padat.
"Ajaib sekali ruangan ini"!" gumam hati Pendekar Mabuk yang didengar
oleh tetinga batin Citra Bisu.
"Memang ajaib sekali ruangan ini. Karenanya kunamakan sebagai Ruang
Penangkal."
Pendekar Mabuk rnenggumam dan manggut-manggut. Hasratnya ingin
meminum tuak jadi lupa karena memandangi senjata-senjata yang mengambang
di sana-sini. Sekitar lima puluh senjata ada di ruangan tersebut. Delapan di
antaranya mengambang di udara, sisanya berdiri tegak di tanah. Tidak
menancap, tidak bersandar pada benda apa pun.
Citra Bisu yang sejak tadi pandangi Suto Sinting, kali ini melolos
pedangnya. Pedang diambil bersama sarungnya, lalu dslemparkan ke arah Suto.
Pemuda itu sempat kaget karena tak mengerti maksud Citra Bisu. la berusaha
menangkap pedang kristai tersebut. Tetapi sebelum tersentuh tangannya,
pedang itu ternyata melayang diam di udara setinggi perut.
Suto segera paham arti tindakan itu. Citra Bisu ingin tunjukkan pada
Suto bahwa pedangnya juga bukan pedang untuk kejahatan. Dengan lain kata,
Citra Bisu ingin tunjukkan pada Suto bahwa ia bukan orang jahat yang patut
dicurigai. "Ada beberapa orang yang datang kemari dengan membawa senjata, dan
senjata mereka memang tidak pernah dipakai untuk kejahatan. Tetapi pada saat
mereka masuk kemari, hati mereka diliputi kejahatan dan keserakahan. Maka
ketika ia berada di ruangan ini, kedua kakinya menapak di tanah dan kekuatan
iimu hitamnya tersedot habis. Saat itulah aku segera lenyapkan nyawa orang
tersebut sebelum ia mencabut nyawaku," ujar Citra Bisu dengan suara batin.
Sambungnya lagi, "Dan.., baru sekarang ada orang yang masuk kemari
dengan kaki bisa mengambang di atas permukaan tanah ruangan ini. Orang itu
adalah kau!"
"Apakah itu berarti aku adalah orang baik-baik?" pancing Suto dalam
senyum. "Tidak menutup kemungkinan hatimu akan berubah mehjadi jahat jika
kau sudah melihat isi ruangan "sebefah kanal'1' -
"Ikuti aku lagi!" tegas Citra Bisu sambil menyambar fjedangnya, lalti
melangkah menuju sebuah lorong yang jalan masuknya harus mendaki tiga baris
anak tangga dari batu bercahaya biru.
Lorong yang akan dilewati mempiinyai bias cahaya kuning. Lorong itu-
juga akan membelok ke arah kiri pa da bagiaan ujuhgnya. Bias cahaya kuning
itu datang dari lorong yang membelok ke kiri.
"Kau berada di sini bernama siapa, Citra?" tanya Suto Sinting rnencoha
bicara batin sambil melangkah di belakang Citra Bisu. Ternyata pertanyaan
batin mendapat jawaban batin pula dari Citra Bisu.
"Pada mulanya aku berdua dengan temanku, sesama prajurit, Tapi ia tak
kembali lagi sejak kusuruh melihat keadaan di sekitar istana. Aku sendiri tak
tahu bagaimana kabar temanku yang bernama Desah Bengi itu."
"Desah Bengi..."!" Suto bernada kaget, sebab ia ingat nama Desah Bengi
adafah nama dari ibunya si Beiatung Gerhana.
"Maksudmu... Nini Desah Bengi, si Penguasa Pulau Garong yang kedua
kakinya buntung itu"!"
Citra Bisu hentikan langkahnya secara mendadak. Menatap Suto juga
secara mendadak. Hal itu membuat Suto menjadi kikuk dan safah tingkah.
"Hmm, eeh... kudapatkan keterangan tentang kedua kaki Nini Desah
Bengi yang buntung itu dari anaknya yang bertubuh sangat gemuk itu. Aku
kenal dengan anaknya Nini Desah Bengi yang dikenal dengan nama si Belatung
Gerhana itu. Bukan... bukan aku yang membuat kedua kakinya menjadi buntung.
Sumpah!" "Sejak kapan Desah Bengi menjadi penguasa sebuah pulau?"
"Ak... aku tidak tahu! Aku juga belum kenal dengan Nini Desah Bengi,
sebab...."
"Dia sudah punya anak"!"
"Aku tak tahu secara pasti, tapi si Belatung Gerhana merigaku sebagai
anak Nini Desah Bengi, Aku tak tahu apakah Belatung Gerhana menipuku atau
memang ber-kata yang sebenarnya."
Citra Bisu merenung dan berkerut dahi. Suto sengaja biarkan gadis itu
diam beberapa saat, memberi kesempatan berpikir. Sesaat kemudian, tanpa
bicara melalui bibir atau batin, Citra Bisu teruskan langkahnya dan Suto Sinting
mengikuti dari belakang.
Ketika lorong berbelok ke kiri, Pendekar Mabuk terpaksa kecilkan kedua
kelopak matanya dan menadahkan tangan di atas mata karena merasa silau de-
ngan cahaya kuning yang membias sampai di tempatnya. Namun si cantik yang
meiangkah dengan tegar dan tegap itu tak merasa silau sedikit pun.
Cahaya kuning itu ternyata berasal dari sebuah ruangan sama besarnya
dengan ruangan berlilin banyak tadi. Tetapi kali ini Suto Sinting sudah mulai
ter- biasa dengan cahaya kuning kemilau itu. Bahkan matanya terbelalak lebar sekali
saat mengetahui dari mana asal cahaya kuning kemilau.
Ternyata di depan Suto Sinting terdapat tumpukan emas yang membukit
dan dikeliling dengan liiin-iilin kecil di bagian tepi onggokannya itu. Selain
setumpuk emas yang memantulkan cahaya kuning menyilaukan itu, di sisi lain
terdapat tumpukan permata aneka jenis dan aneka warna. Bias cahayanya


Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memancar bergaris- garis ke sana-sini, sampai membuat mulut Pendekar Mabuk
tak bisa berucap sepatah pun. Mulut itu hanya bisa terperangah bengong dan
bola mata seakan sul t dipakai berkedip.
"Harta karun..."! " hanya dalam hati Suto Sinting bisa berkata demikian,
itu pun tak bisa serentak keras karena jantungnya berdetak-detak sangat cepat.
"Kuharap pikiranmu tak berubah menjadi manusia serakah seperti
beberapa orang yang terpaksa kuhan- curkan itu," ujar Citra Bisu seraya
menatap Suto Sinting.
"Aap... apa... apakah ini... ini harta karun yang... yyaaang diburu oleh
meerr... merreka itu..."!" Suto sampai suiit bicara lisan karena gugupnya
melihat emas permata sebanyak itu.
"Aku tak tahu siapa 'mereka' yang kau maksud itu. Aku juga tak tahu
apakah mereka masih berusaha mencari pintu kedua goa yang sudah kututup
dan kubeukan hingga menjadi batu sekeras baja itu. Yang jelas, tugasku
bersama Desabh Bengi adalah menjaga harta kekayaan negeri kami!"
"Ja.,.. ja... janda, eeh... jadi, kau adalah prajurit dari kerajaan
Hastamanyiana"!"
"Kurasa kau bisa dapatkan penjelasan dari Desah Bengi, bahwa kami
berdua adalah pengawal kepercayan Ratu yang ditugaskan menjaga harta di
persembunyian ini! Kami berdua harus rela pertaruhkan nyawa demi menjaga
agar harta ini tidak dijarah oleh orang- orang Dataran Salju maupun dari pihak
mana pun!"
"Kalau begitu aku sudah masuk ke Goa Kembar..."!" ujar Suto dalam
hatinya. "Apa yang dikatakan Kusir Hantu ternyata salah. Harta karun ini bukan
sebuah khayalan dari sebuah dongeng, melainkan kenyataan yang dijadikan
sebuah dongeng oleh anggap- an orang-orang seperti si Kusir Hantu"!"
Citra Bisu mendengar ucapan batin Pendekar Mabuk. la pun segera
berkata dengan ucapan batin yang dikirirnkan ke telinga hati Pendekar Mabuk.
"Lorong ini memang lorong dari Goa Kembar. Tapi pintu kedua goa itu
sudah kututup mati sejak Oesah Bengi tak kembali lagi kemari dan aku hampir
kewalahan menghadapi para pemburu harta. Entah sudah berapa lama aku
berada di goa ini. Yang jelas, goa ini tidak ikut mengalami perubahan waktu
seperti yang ada di luar goa. Lilin-lilin itu sejak kunyalakan sampai sekarang
masih dalam keadaan hidup dan tidak berkurang. Ini menandakan goa ini
mempunyai geiombang pengikat waktu, yang membuat segala sesuatunya menjadi
abadi. Termasuk beberapa cadangan makanan yang kusimpan di ruang gudang,
sampai sekarang masih segar dan tidak menjadi basi."
"Ajaib sekali!"
Banyak para penjarah harta bermaksud memasuki goa ini dari dua lubang
yang menyerupai cerobong asap itu, tapi aku telah memasang jebakan di
dasarnya, termasuk membelokkan arah lorong ke kuburan lahar. Siapa pun yang
masuk melaiui lubang itu akan terperosok ke kuburan lahar atau mati dirajang
jebakan mautku!"
"Maksudmu... sumur tua yang membuatku terperosok kemari itu"!"
"Aku tak tahu apakah itu sumur tua atau bukan. Tapi yang jelas saat aku
memeriksa di sana, kudengar suara jeritan seseorang. Kuhadang dirinya dan
kusambar ke tempat yang aman. Ternyata orang itu adalah pemuda tampan yang
punya hati bersih!" seraya pandangan matanya semakin tajam, mendekat pelan-
pelan bagaikan ingin semakin melekatkan hatinya ke hati Suto Sinting.
Yang dipandang dan yang didekati semakin deg-degan. Gadis itu lebih
tinggi darinya, tapi punya pesona kecantikan yang berdaya tarik sangat kuat.
Suto Sinting nyaris kehilangan seluruh bahasanya saat Citra Bisu membelai
rambutnya. "Kau jantan sekali kelihatannya," ujar Citra Bisu dengan bahasa batin.
"Kurasa sang Ratu tak akan keberatan jika menerimamu sebagai pengawal
istana. Maukah kau melamar menjadi panglima Kerajaan Hastamanyiana"!"
"Ker... kerajaanmu itu sudah lama hancur, Citra."
"Hahh..."!" Citra Bisu terperanjat, tampak kaget sekali. Sentakan rasa
kagetnya membuatnya mundur satu langkah.
"Kau mendustaiku, Suto"!"
"Aku hanya mendengarnya dari penjelasan seorang kenalanku yang sudah
lama hidup di Lembah Seram. Belatung Gerhana sendiri juga mengatakan be-
gitu. Tapi... jika kau tak keberatan, aku akan coba menyelidiki sendiri apakah
benar negerimu sudah lama hancur dan siapa yang menghancurkannya!"
"Memang harus dibuktikan. Tapi kita mau keiuar lewat mana"!" keluh gadis
itu sangat pelan.
"Jadi... goa ini tidak punya jalan keiuar lagi"!"
"Jalan itu sudah kututup, seperti yang kukatakan tadi."
"Celaka! Lalu.. . lalu bagaimana caranya keiuar dari sii)i"l Haruskah aku di
sini selamanya, bersama harta karun ini"!"
"Sedang kupikirkan jalan keluarnya. Tapi dari dulu hingga sekarang hanya bisa
menjadi buah pertanyaan saja. Aku tak pernah mendapatkan jawaban yang tepat
mengenai jalan keiuar dari tempat ini!"
Pendekar Mabuk pun tertegun bengong menyadari berada dalam lorong goa
yang buntu. 6 Ruang penyimpanan harta karun itu ternyata mempunyai beberapa lorong
sempit dan tak terlalu dalam. Lorong-lorong kecil itu digunakan oleh Citra Bisu
sebagai tempat untuk tidur, bersemedi dan tempat pemujaan terhadap Hyang
Maha Dewa. Salah satu lorong lainnya mempunyai rembasan mata air yang
menggenang menjadi seperti telaga kecil.
Di bagian sisi telaga kecil beratr bening itu terdapat lubang yang
mengaiirkan air entah ke mana. Lubang itu digunakan sebagai pengganti parit.
Citra Bisu membangun parit dengan batu-batu yang ada di sekitar tempat
tersebut. Citra Bisu juga membentuk kamar tidurnya sendiri dengan batu-batu yang
dipotong sedemikian rupa sehingga berbentuk tata seni ruang tersendiri.
Bahkan di dalam ruang tidur itu juga terdapat ranjang batu dilapisi kain tebal
menyerupai permadani. Berbulu lembut dan hangat. Tentu saja barang-barang
seperti permadani dibawanya dari Kerajaan Hastamanyiana pada saat harta
karun itu disembunyikan di goa tersebut.
Satu hal yang mengherankan lagi bagi Pendekar Mabuk adalah bentuk
potongan batu-batu yang menjadi tata letak ruang tidur itu selalu berpotongan
rata. Seperti agar-agar dipotong dengan benang. Halus sekaii potongannya.
"Dengan alat apa dia memotong batu-batu ini se- hingga sampai bisa
sebegini rapi dan halus?" tanya Suto dalam batin. Ternyata gadis itu ada di
pintu ruang tersebut dan mendengar pertanyaan batin Suto.
"Bagiku bukan hal sulit memotong baja atau batu sdrata itu selama
pedangku ada di tangan."
"O, jadi kau memotongnya dengan pedang kaca itu"!"
Citra Bisu tersenyum dan mendekati Suto Sinting.
"Tak ada senjata lain yang bisa memotong batu sebegini rapi kecuali
Pedang Lidah Dewa-ku," sambil pedang itu dilolos dari pinggang bersama
sarungnya. la memamerkan di depan Pendekar Mabuk dengan penuh rasa
bangga. "Karenanya, kuharap kau jangan coba-coba bermaksud jahat padaku.
Dalam sekejap pedang ini dapat memenggal lehermu dengan sangat mudah,"
tambahnya pelan tanpa gerakan bibir. Bibir itu tetap sunggingkan senyum tipis,
namun terkesan lembut dan indah sekaii.
"Mengagumkan sekaii!" gumam Suto Sinting membatin, tapi mata nya
memandang ke arah wajah Citra Bisu yang sedang memperhatikan pedangnya
dengan bangga. "Siapa pun yang mengetahui kesaktian pedang ini, pasti akan
mengaguminya."
"Bukan pedang itu saja maksudku."
Citra Bisu meiirik ke wajah Suto. Mata mereka saling beradu pandang.
"Jika bukan pedang, lalu apa lagi yang mengagumkan dirirnu?" tanya Citra
Bisu. "Kecantikanmu, senyummu, mata indahmu, bibirmu, ooh... semua yang ada
padamu sungguh mengagumkan bagiku, Citra!"
Gadis itu meletakkan pedang di atas meja batu di sampingnya, lalu
bertolak pinggang dengan penuh keberanian, sikapnya bagaikan orang yang
tersinggung. Suto Sinting menjadi grogi lagi rnenghadapi sikap seperti itu.
"Bicaramu mulai melantur, Suto!"
"Oh, hmmm, hmmm... maaf. Tapi apakah bicaraku termasuk sesuatu yang
kau anggap jahat?"
"Bisa menjadi jahat apabila kau tidak membuktikan rasa kagummu itu."
Dahi pemuda tampan itu berkerut. "Mak... maksud- mu..."!"
"Pujianmu membangkitkan macan betina yang selama ini tidur dengan
nyenyak." "Ma... macan..."! Di... di mana ada macan betina"!"
"Di dalam dadaku!" jawab Citra Bisu dengan tegas walau tanpa ucapan
bibir. "Aku... aku tidak mengerti maksudmu, Citra Bisu!" "Jika kau ingin tahu
maksudku, dengarkan degub jantungnya di balik dada ini."
Citra Bisu sedikit sodorkan dadanya. "Dengarkan dengan cara menempeikan
telingamu ke dadaku ini! Dengarkan, Suto...."
Suara gadis itu makin lirih, sedikit membisik. Pendekar Mabuk hanya
tertegun memandang sambil menerka-nerka maksud hati si prajurit cantik itu.
Tempelkan telingamu...!" sambil tangan Citra Bisu meraih kepala Suto
dengan gerakan lembut. Suto Sinting menurut, menempelkan telinga di
permukaan dada si gadis. Terasa hangat permukaan dada yang masih
berpenutup dari kain serat tembaga itu.
"Kau dengar detak jantungku, Suto?"
"Ku... kurang... kurang jelas."
Citra Bisu segera melepaskan pinjung penutup dada itu dengan menarik
pengait di punggungnya. Bahkan bajunya pun ikut dilepaskan pula. Kini telinga
Suto menjadi lebih lekat lagi dengan kulit dada yang halus dan berwarna kuning
langsat itu. Dub, dub, dub, dub, dub....
"Kau dengar detakannya yang keras, Suto?"
"Ya. Tapi... tapi detak jantung keras yang kudengar ini adalah detak
jantungku sendiri, Citra."
Pruuk...! Kain penutup dada dilepas total, jatuh terpuruk di lantai
bersama kain bajunya. Kini gadis itu tak mengenakan pelapis sedikit pun di
bagian dada hingga perut. Kepala Suto justru dipeluk, ditekan lebih merapatlagi
dengan dadanya. Suto Sinting justru bingung mengatasi gemuruh dadanya
sendiri, karena di depan matanya persis tersumbul salah satu dari kedua bukit
sekal berujung tegak menantang siap mengarungi samudera.
Tapi sebelum mereka berlayar mengarungi samudera kenikmatan yang
sebenarnya, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gemuruh yang menggetarkan
lorong goa tersebut. Duuuuunrrrr...!! Citra Bisu cepat bangkit tak jadi
menerima pelukan Suto Sinting yang ingin tengkurap di atasnya. Wajah gadis itu
tampak tegang sekaii. la buru-buru menyambar pakaiannya.
"Cepat kenakan pakaianmu! Cepat, Suto...!"
"Hei, tenang saja! Itu hanya getaran kecil!"
"Kau belum tahu, Suto.... Goa ini tidak boleh terkena getaran sedikit
pun. Jika sampai terjadi getaran, maka langit-langlt goa akan runtuh. Lorong-
idrong di sini akan tersumbat oleh keruntuhan langit-langitnya."
"O, ya..."! Dari mana kau tahu ha! itu"!"
"Sudah lama hal itu kupelajari dan aku tahu persis kelemahan lorong ini!
Cepat kenakan pakaianmu!"
Suara gemuruh itu terdengar untuk yang kedua kalinya.
Duuuurrrrrrrr...!
Krutuk, krutuk, krutuk, krutuk...!
Langit-langit muiai meruntuhkan serpihan batu dan cadas. Pendekar
Mabuk menjadi percaya dengan ucap-an Citra Bisu itu. ia pun segera kenakan
pakaiannya kembali, tanpa pedulikan kemesraan yang tertunda. Lorong yang
penuh kehangatan cinta itu dapat berubah menjadi lorong maut dalam waktu
singkat jika getaran yang timbul semakin kuat.
Ternyata getaran yang timbul akibat suara gemuruh tadi sampai sepuluh
hitungan lebih belum berhenti juga. Langit-langit lorong mulai banyak
meruntuhkan sorpihannya. Citra Bisu membawa Suto Sinting keluar dari ruang
tidur, dan berlari ke arah ruangan bercahaya biru tadi.
Deeuuurrrr...! Suara gemuruh semakin kuat. Ketika mereka tiba di ruangan bercahaya
biru, ternyata keadaannya sudah menjadi parah. Ruangan itu sudah penuh
dengan rerun- tuhan langit-langitnya. Bahkan lorong yang menuju ruang tempat
Suto dirantai pertama kalinya itu tertutup oleh bongkahan batu besar.
Semeritara itu, guncangan yang timbul semakin kuat. Dinding-dinding lorong
mulai retak dan membentuk iapisan-lapisan yang mudah rubuh menutup jalan
lorong. "Citra ..! Bagaimana caranya supaya sampai ke lorong tempat aku jatuh
pertama kali itu"!"
"Jalannya sudah tertutup batu!" seru Citra Bisu dengan suara paraunya,
Gleeerrr...! Suara menggelegar itu timbul dari langit-langit lorong yang
runtuh seluruhnya. Bagian langit-langit yang runtuh seluruhnya adalah langit-
langit yang menuju ruang penyimpanan harta karun itu. Mereka menjadi semakin
panik, karena tak punya jalan untuk meiangkah ke tempat lain.
"Lorong maut ini akhirnya akan membuatku terkubur hidup-hidup di sini!"
geram Suto Sinting dalam hati. "Sebaiknya kugunakan jurus 'Pukulan Guntur
Perkasa' untuk hancurkan batu-batu besar yang menutupi lorong sebelah sana!"
"Jangan!" suara menyentak itu didengar oleh telinga batin Suto Sinting.
Rupanya gadis itu mendengar rencana batin Suto, sehingga ia buru-buru
mencegah- nya. "Jika kau gunakan jurus macam itu, maka ledakannya akan semakin
meruntuhkan langit-langit di atas kita!"
"Celaka! Lalu bagaimana ini..."! Semua lorong sudah tertimbun batu.
Atau... bagaimana jika kau gunakan pedangmu untuk membelah batu-batu itu"!"
"Sia-sia! Geterannya akan mempercepat langit-langit di atas kita runtuh
semua!" "Lalu, apakah kita harus diam saja"!"
Citra Bisu mendekat, kemudian memeluk Suto Sinting tanpa canggung-
canggung lagi. "Mungkin memang benar apa yang sering kude- ngar dalam mimpiku," bisik
Citra Bisu. "Tentang apa, Citra"!"
"Bahwa aku akan mati di sini bersama seorangteman yang masih asing
bagiku!" "Aah...! Itu mimpi ngaco! Jangan percaya dengan suara mimpi! Lawan
dengan kenyataan! Kita harus bisa keluar dari sini! Aku tak mau mati di sini,
Citra!" "Tak ada jalan keiuar, Suto. Jalan utama sudah kututup dan kupadatkan
dengan batu baja. Sukar untuk dihancurkan."
"Di mana..."! Di mana jalan utama itu"!"
"Kita sedang bersandar pada batu baja buatanku itu, Suto!"
Pendekar Mabuk segera berpaling ke belakang. Dinding lorong yang
menjebaknya itu ternyata memang halus dan rata, seperti bikinan manusia. Citra
Bisu mengaku telah menutupnya dengan sebuah iimu yang dapat membuat
bebatuan menjadi lumer dan mengeras sekeras baja. Tapi ketika Suto mendesak
agar Citra Bisu melumerkan dinding itu kembali, ternyata ilmunya tak bisa
melumerkan kembali sesuatu yang semula sudah dilumerkan. Sampai gadis itu
bercucuran keringat, benda yang sudah mengeras seperti baja itu tak mampu
dilumerkan kembali.
"Minggirlah, biar kuhancurkan sekaiian!"
"Tapi langit-langitnya akan runtuh dan kita akan mati terkubur, Suto!"
"Apa bedanya dengan diam saja, toh kita tetap akan mati terkubur di
sini!" ujar Suto Sinting sambii mundur beberapa langkah. Sementara itu, suara
gemuruh dari reruntuhan langit sisi lain terdengar kembali, membuat bagian
atas ruangan yang membuat Suto terperangkap itu semakin menaburkan
bebatuan. Duuurrr...! Gruuuutuk, grutuk, grutuk, grutuuk...!
"Citra, jika dinding ini berhasil kujebol, cepatlah melompat. Tak perlu
tunggu perintah dariku. Paham?"
"Ya, aku paham!" seru Citra Bisu dengan suara keras untuk mengimbangi
suara gaduh yang membisingkan itu.
Sebuah jurus yang jarang dipergunakan, kali ini sengaja dipakai oleh
Pendekar Mabuk. Jurus itu bernama jurus 'Lintang Kesumat'. Dengan kedua


Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan bergerak mengeras di atas, lalu turun perlahan-lahan dengan otot
mengeras bertonjolan di lengan, maka jari-jari Pendekar Mabuk mulai tampak
menyala merah membara di bagian kuku-kukunya. Kedua tangan itu segera
menyiiang di dada, lalu diangkat pelan-pelan ke atas kepala dalam keadaan tetap
menyiiang. Kejap kemudian, kedua tangan itu mengibas ke samping bagaikan
memercikkan air dari jari-jari tangan- nya. Wuuut...! Yang memercik bukan air,
melainkan kilatan cahaya merah dari tiap kuku jari-jari tersebut. Cralaap...!
Sepuluh kilatan cahaya merah itu menghan- tam dinding tersebut.
Jegaaaarrrrr...!
Binding itu jebol dan menjadi berlubang besar.
"Lompat keluar!" teriak Suto Sinting, dan Citra Bisu pun melompat keluar
dengan gunakan kekuatan tenaga dalamnya.
Blaasss...! Zlaaap...! Pendekar Mabuk pun menggunakan jurus 'Gerak Siluman', sehingga dalam
sekejap ia sudah sampai di luar lorong. Berdiri di depan langkah Citra Bisu yang
segera terperanjat melihat Suto sudah ada di depannya.
"Tebing akan runtuh!" seru Suto Sinting dengan tegang.
Tanpa memikirkan bahwa ia sudah berada di luar goa, tempatnya
bertarung me Iawan Juru Jagal dan orang-orangnya, Suto Sinting segera
menyambar tubuh Citra Bisu dengan jurus 'Gerak Siluman'~nya juga. Zlaaap,
wuuut...! Zlaap, zlaap, zlaap...!
Gleeerrrrr...! Tebing itu runtuh ke bawah. Tentu saja lorong goa itu tertimbun padat
oleh bebatuan tebing dan sukar digali lagi. Tapi pada saat itu, Pendekar Mabuk
dan Citra Bisu sudah berada di tempat yang jauh. Dari ketinggian tempat
mereka berada, Citra Bisu hanya bisa memandang runtuhnya tebing itu hingga
beberapa saat lamanya. Suto Sinting pun segera menyadarkan keterpakuan
Citra Bisu dengan ucapan lirih ditelinga gadis itu.
"Pasti ada orang yang mengadu iimu dan membuat ledakan dahsyat hingga
mengakibatkan getaran hebat sampai ke lorong maut itu!"
"Ooh, Suto...!" Citra Bisu memeluk Suto Sinting. "Untung aku bersamamu.
Jika saat itu aku tak bersamamu, maka aku akan terkubur hidup-hidup di dalam
lorong maut itu!"
"Jangan anggap aku berjasa padamu, tapi anggaplah aku terlibat dalam
petualanganmu."
"Petualangan..."!"
"Ya, petualangan kencan di dalam lorong maut itu! Hampir saja kita
berdua mati bersama, Citra!"
"Apakah seiamanya kita akan berdua sampai mati?"
Suto Sinting tarik napas panjang-panjang dan tak tahu harus memberi
jawaban apa kepada prajurit cantik itu. Kini yang terpikir olehnya, siapa orang
yang bertarung hingga timbuikan ledakan dahsyat itu" Dan bagaimana nasib
orang-orang yang memburu harta karun tersebut.
Satu hal yang tiba-tiba menjadi buah pikiran Suto adalah bau wangi
rempah-rempah yang sejak tadi tercium olehnya. Bau wangi rempah-rempah itu
sebenarnya berasal dari tubuh Citra Bisu. Tetapi Suto baru menemukan
pertanyaan batinnya setelah lolos dari lorong maut.
"Gadis ini berbau wangi rempah-rempah. Mungkin bau wanginya dia itulah
yang tercium oleh Mangku Randa saat aku dan Mangku Randa memeriksa
cekungan kembar itu" Atau... atau jangan-jangan Citra Bisu ini malah si Ratu
Sinden"! Ooh, celaka betul nasibku kalau sampai ternyata gadis ini adalah si
Ratu Sinden."
Tiba-tiba Citra Bisu bertanya dengan suara batinnya, "Siapa si Ratu
Sinden itu"!"
Suto Sinting terbengong dan tak bisa menjawab lagi. ia baru sadar bahwa
ia tak boleh bicara sembarangan dalam batinnya, terutama tentang gadis itu.
Sebab suara batinnya bisa didengar oleh si gadis yang sempat membuat Suto
menaruh cunga itu.
SELESAI Pendekar Guntur 6 Gento Guyon 4 Bayar Nyawa Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 1
^