Pencarian

Kencan Di Lorong Maut 1

Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut Bagian 1


1 Sampai kapan pun, yang namanya harta karun selalu saja akan menjadi
bahan buruan. Meski ia berada di dasar lautan, para pemburu harta karun
merasa tak pernah putus asa. Bahkan jika harta karun itu dinyatakan lenyap
tanpa bekas, para pemburu justru menjadi penasaran. Perburuan pun semakin
ditingkatkan. "Salah satu sifat manusia adaiah selalu ingin ta...?"
"Tahu.!"
"Terlebih jika sesuatu yang diketahuinya itu dinyatakan lenyap tak
berbekas, maka rasa penasarannya menjadi lebih be..."'1
"Lebih besar, Guru!"
"Ya, menjadi lebih besar," ujar sang guru sambil munggut-manggut. Sang
murid masih bersifat menunggu kata-kata gurunya yang mempunyai kebiasaan
menggantung kata terakhir.
"Rasa penasaran dapat membuat orang menjadi tldak te...."
"Tenang...." '
"Ya. Tidak tenang. Oleh sebab itu, janganlah hatimu dlperbudak rasa
penasaran, supaya hidupmu tidak ge..."
"Geli banget, Guru!"
"Gelisah!" ralat sang guru.
Si murid segera ajukan tanya, "tapi kalau hanya ingin tahu sambil lewat
saja tidak apa-apa, Guru?"
"Kalau sambil lewat saja memang tidak apa-apa. Asal jangan memaksakan
diri untuk dapat mengeta...?"
"Mengetahui...!" lanjut sang murid. Si guru mem benarkan dengan
anggukan. "Maksudku, sambil menuju ke Bukit Esa, aku mau lewat Lembah Seram
untuk melihat kesibukan orang- orang yang memburu harta karun itu, Guru."
"Boleh saja. Tapi jangan mencampuri urusan mereka. Biarlah mereka yang
memburu harta karun bertinqkah dengan lagaknya sendiri-sendiri. Tujuanmu te-
tap menuju Bukit Esa, dan temui kakakmu dengan segera. Kalau rasa kangenmu
sudah terobati kau harus segera pu..,?"
"Pusing...!"
"Pulang!" sentak sang guru membetulkan maksudnya.
"O, iya... aku harus segera pulang. Aku mengerti guru!"
"Nah, berangkatlah sana! Ingat pesanku, jangan mencampuri urusan harta
ka...?" "Kasur... eeh, karun!"
Sang murid yang berusia sekitar dua puluh dua tahun itu akhirnya
berangkat ke Bukit Esa, yang menjadi wilayah kekuasaan Nyimas Gandrung
Arum. Perempuan itu semula adalah tokoh aliran hitam. Tapi sejak ditundukkan
oleh Pendekar Mabuk, ia justru berbalik menjadi pengikut sekaligus pengagum
Pendekar Mabuk. Kabar tentang Nyimas Gandrung Arum yang sudah bergabung
dengan aliran putih itu menyebar sampai akhirnya didengar oleh tokoh tua dari
Gunung Gandul. Sang tokoh tua itulah guru dari si murid yang punya kakak di Bukit Esa.
Tokoh tua itu cukup lama tidak menampakkan diri di rimba persilatan karena
sibuk menurunkan ilmunya kepada sang murid tunggal.
Kini agaknya sang murid mulai diizinkan membaur di rimba persilatan,
karena ilmu yang diturunkan kepada ariak muda itu sudah cukup banyak.
Tetapi agaknya sang guru masih merasa perlu membayang-bayangi
muridnya. Maka ia pun segera turun gunung, mengikuti langkah muridnya dari
kejauhan. "Bocah itu kalau kulepas begitu saja, bisa-bisa tindakannya jadi ngawur!
Kalau sampai dia bikin ulah yang bukan-bukan, waah... nama baikku yang selama
ini terpendam di hati para tokoh rimba persilatan bisa hancur," ujar sang tokoh
tua dalam hatinya.
Sebenarnya Pendekar Mabuk pernah mendengar nama tokoh tua yang
tinggal di Gunung Gandul. Pada waktu itu, Pendekar Mabuk alias Suto Sinting
sedang diwejang oleh gurunya yang terkenal sebagai tokoh paling disegani di
rimba persilatan. Gila Tuak adalah na- ma yang tertera paling atas pada deretan
nama-nama tokoh berilmu tinggi. Nama nomor dua yang tergolong tokoh berilmu
tinggi adalah Bidadari Jalang. Tentu saja deretan nama-nama itu hanya berlaku
untuk golongan putih. Sedangkan dalam golongan hitam nama tokoh terkejam
dan terkutuk adalah Siluman Tujuh Nyawa, alias Durmala Sanca, yang kini
menjadi musuh utama Pendekar Mabuk.
Gila Tuak pernah berkata kepada murid tunggalnya yang tidak punya
pusar itu. "Kelak, jika kau bertemu dengan tokoh tua dari Gunung Gandul yang
dikenal dengan nama si Dewa Kubur, alias Ki Murcapana, berilah salam dan
horrnat kepadanya. Sebab si Dewa Kubur adalah sahabatku juga. Semasa
muda, kami pernah berpetualang bersama, saling menolong dan saling
melihdungi. Jangan sekali-kali kau berani bertarung dengan Dewa Kubur, sebab
jika dia sudah marah dan benar-benar sakit hati, tanpa banyak bicara kau akan
dikirimnya ke liang kubur dalam waktu yang sesingkat-singkatnya."
Tapi selama pengembaraan Suto dalam mengejar Siluman Tujuh Nyawa, ia
belum pernah bertemu dengan tokoh dari Gunung Gandul. Padahal si Gila Tuak
dan Bidadari Jalang pernah menjelaskan ciri-ciri tokoh dari Gunung Gandul itu.
"Perawakannya gemuk seperti tokoh dalam pe-wayangan, yaitu Hanoman."
"Hanoman itu kera!" sahut Bidadari Jaiang. "Bukan seperti Hanoman, tapi
seperti Semar!"
"O, ya... seperti Semar. Maaf, aku salah sebut"
"Maklum, kakek gurumu sudah semakin tua. Jadi rada-rada pikun," bisik
Bidadari Jaiang kepada muridnya yang ganteng itu.
"Jangan ngomong soa! tua. Aku tersinggung!" tegas si Gila Tuak.
"Pokoknya, yang namanya Dewa Kubur itu penampilannya seperti Semar.
Rambut di kepalanya hanya ada di bagian ubun-ubun dari sekarang kalau tak
salcth berwarna putih rata, Betul begitu, Nawang Tresni?"
"Ya, benar. Sekarang sudah putih rata," jawab Bidadari Jaiang yang
bernama asli Nawang Tresni. "Beberapa bulah yang laiu aku pernah jumpa
dengannya. Sekarang ia pun mempunyai murid yang bernama Dimas Genggong."
"Nah, ingat nama muridnya itu. Dimas Genggong. Jangan sarnpai kau
bentrok dengannya, karena jika kau bentrok dengan Dimas Genggong, sama saja
mengi- barkan bendera permusuhan antara aku dan Dewa Kubur. Mengerti?"
"Mengerti, Guru!"
"Dewa Kubur senang memakai jubah coklat bintik- bintik putih, tapi
pakaian dalamnya berwarna hijau," tambah Bidadari Jaiang yang masih tampak
rnuda dan cantik jelita itu. Gila Tuak tambahkan kata, "Dewa Kubur Juga se~
ring tampak membawa tongkat besi putih berujung tri- sufa. Dan kalau bicara,
sering menggantung kalimat belakang. Paham?"
"Paham, Guru!" jawab Suto Sinting dengan tegas.
Keterangan seperti itu didengar oleh Suto Sinting beberapa waktu yang
lalu. Sudah lama sekali. Sebegitu lamanya ia tak pernah Jumpa dengan tokoh
bernama Dewa Kubur, akhimya ia lupa dengan ciri-ciri tersebut Yang ada dalam
ingatan Pendekar Mabuk hanyalah ciri-ciri Siluman Tujuh Nyawa. Sebab tokoh
paling terkutuk di dunia itu selalu dalam buruannya. Cita-cita Pendekar Mabuk
hanya satu: memenggal kepala tokoh terkutuk itu dan menghadiahkan kepala
tersebut kepada Dyah Sariningrum sebagai maskawin pinangannya.
Tapi sampai sekarang, pertarunga'nnya dengan tokoh tertinggi ilmunya di
kalangan aliran hitam itu seialu draw alias seri. Siluman Tujuh Nyawa cepat-
cepat iarikan diri jika merasa kekuatannya mulai sedikit terlumpuhkan.
Akibatnya, sampai sekarang Pendekar Mabuk belum juga bisa melamar ratu
cantik di negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu itu, (Baca se-
rial Pendekar Mabuk dalam episode: "Prahara Pulau Mayat"),
Ketika Suto bermaksud menemui si Kusir Hantu yang tinggal di Lembah
Seram, ia sempat bertemu dengan Siluman Tujuh Nyawa. Bahkan pada waktu
itu, si Kusir Hantu juga muncul membantu Nyai Jurik Wetan yang nyaris mati di
tangan Siluman Tujuh Nyawa. Kusir Hantu sendiri juga hampir mati di tangan
tokoh terkutuk seangkatan si Gila Tuak itu. Tetapi, Suto Sinting segera turun
tangan dan Siluman Tujuh Nyawa kabur sebelum berhasil dipenggal kepalanya
oleh Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri
Lembah Seram").
Bagi tokoh tua yang dikenal dengan nama si Kusir Hantu, kabar tentang
adanya harta karun milik kerajaan Hastamanyiana yang disimpan di Goa Kembar
itu bukan hal yang mengejutkan lagi. Menurutnya, kabar itu hanya sebuah
dongeng yang direkayasa oleh sekelompok orang sehingga seolah-olah menjadi
seperti nyata. Sebab, beberapa waktu yang lalu, Lembah Seram pernah diserbu
para pemburu harta karun. Tapi tak satu pun dari mereka yang menemukan
secuil emas dari harta karun.
Goa Kembar terletak di sebuah tebing dari sebuah bukit yang ada di Lembah
Seram. Tebing itu mempunyai dinding terjal dan keras. Jaraknya antara bagian
alas tebing dengan dasar tebing tidak seberapa tinggi. Maaih memungkinkan
untuk didaki. Tetapi kerasnya dinding tebing yang menyerupai lapisan batu
granit itu Membuat orang menjadi sangsi apakah benar Goa Kembar terletak di
situ. "Para pemburu harta karun yang dulu mengacak- acak Lembah Seram juga
berhenti sampai di tebing ini!" ujar si Kusir Hantu kepada Pendekar Mabuk yang
kala itu minta diantar ke Goa Kembar.
"Tetapi seperti kau lihat sendiri, Goa Kembar sudah tidak ada. Atau
memang tidak pernah ada di tebing ini. Yang ada hanya dua cekungan besar
bersebelahan itu. Aku sendiri tak tahu dengan persis, apakah dua cekungan
besar itu dulunya bekas goa yang berlorong dalam lalu tertimbun bebatuan
sekeras itu, atau memang hanya sepasang cekungan yang terjadi akibat ki- kisan
air hujan dan angin dari masa ke masa. Yang jelas para pemburu harta karun
yang du!u kemari merasa kecewa dan jengkel sendiri, karena tak memperoleh
apa-apa selama berbulan-bulan rnenyelidiki tempat ini. Pepatah mengatakan:
'gajah mati meninggaikan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia
mati meninggalkan gajah dan harimau'."
Peribahasa yang diucapkan si Kusir Hantu terasa janggal dan tak ada
hubungannya dengan apa yang sedang dibicarakan. Tapi memang begitulah
penampilan si Kusir Hantu, gemar bermain peribahasa dalam tiap ucapannya
walaupun artinya berbeda dengan masalah yang dibicarakan. Di situlah letak
daya tarik si Kusir Hantu bagi Pendekar Mabuk dan beberapa tokoh muda
lainnya. "Banyak orang sebutkan tempat ini adalah tempat Goa Kembar berada. Tapi
aku sendiri tak tahu apakah sepasang rongga mirip mulut singa raksasa itu yang
dimaksud Goa Kembar, atau bukanl" ujar gadis cantik berbaju lengan panjang
warna hijau garis-garis benang emas. Gadis itu salab satu dari kedua cucu
cantiknya si Kusir Hantu. ia bernama Pematang Hati, sedangkn adiknya bernama
Mahligai Sukma.
Kala itu Mahligai Sukma tidak ikut ke tanah datar depan tebing.
Keberadaan si Pematang Hati di situ lantaran ia habis diculik oleh Berhala
Murka tapi berhasil dibebaskan oieh Pendekar Mabuk. Sebagai imbal baliknya,
Pematang Hati tak keberatan mengantar Pendekar Mabuk ke tempat yang oleh
orang- orang tempo dulu disebut sebagai Goa Kembar.
Selain Kusir Hantu, Pematang Hati dan Pendekar Mabuk, ada juga
seorang pemuda berambut cepak yang kedua matanya ditutup kain merah tebal
seperti memakai ikat kepala. Kedua mata pemuda itu sebenarnya buta, tapi
untuk menutupi cacat di matanya itu, ia berlagak mengenakan ikat kepala
sampai menutup kedua matanya, Pemuda itu adalah si Mangku Randa, dari
teluk Borok, yang sedang memburu pembunuh ibunya.
Menurut keterangan dari Kelambu Petang, orang yang membunuh Nyai
Sindang Rumi, ibu si Mangku Randa, adalah Ayundani alias si Ratu Sinden.
Perempuan itu menjadi penguasa Tanah Pasung. Sedangkan dalam peristiwa
misteri harta karun di Lembah Seram itu, orang-orang Tanah Pasung ikut ambil
bagian juga. Diduga si Ratu Sinden sudah sampai di Goa Kembar, sehingga
Mangku Randa bernafsu untuk ikut ke Goa Kembar agar dapat bikin
perhitungan pribadi dengan si Ratu SInden
Tapi ternyata tempat itu sepi-sepi saja. Hanya ada empat orang itulah
yang berdiri di sekitar dua cekungan besar mirip mulut singa itu. Pendekar
Mabuk sendiri penasaran dan memeriksa dua cekungan tersebut Ternyata
berdinding sangat keras. Tak ada tanda-tanda bekas sebuah goa. Cekungan itu
hanya bisa untuk meneduh satu orang jika daiam keadaan hujan.
"Menurutku di sini du!u ada sepasang batu besar. Lalu entah karena
gempa atau karena apa, batu besar itu menggelinding atau terbang entah ke
mana. Dan dua cekungan inilah bekasnya," ujar Pendekar Mabuk kepa- da
Mangku Randa. "Tapi aku rnencium bau wangi rempah-rempah, Suto!" bisik Mangku
Randa yang seiafu rnengandalkan ketajaman indera penciuman dan
pendengarannya.
"Maksudmu... bau wewangian yang dipakai oleh si pemhunuh ibumu?"
"Ya. Apakah kau tidak menium wewangian itu?"
Suto berbisik, "Aku justru mencium bau keringatnya si Kusir Hantu.
Agak apek!"
"Yang kau cium itu mungkin bau keringatku sendiri, Suto."
Pendekar Mabuk justru tertawa geli, tapi hanya se perti orang
raenggumam. Sementara itu, Pematang Hati tampak sedang bicara serius
dengan kakeknya yang berbaju biru dan bercelana hitam. Tokoh tua berusia se-
kitar enam puluh tahun yang mempunyai rambut merah jagung itu tampak
sedang memarahi Pematang Hati yang waktu itu ribut dengan adiknya.
Suto Sinting sendiri sengaja membiarkan Pematang Hati kena marah
kakeknya. Ia jjustru tertarsk memeriksa keadaan di sekitar dua cekungan yang
disebut sebagai Goa Kembar itu. Sesekali tuaknya dalam bumbung bambu itu
diteguknya, sehingga ia selalu tetap bersemangat dan berbadan segar.
"Suto, bau aroma wangi rempah-rempah itu kadang tercium tajam, tapi
sesekali bagaikan menjauh"!"
"Tapi di sini tak kulihat ada orang lain kecuali kita berempat"!"
"Tolong periksa bagian atas tebing, Suto. Siapa tahu si Ratu Sinden
sedang mengawasi kita dari atas nana."
Pendekar Mabuk memandangi permukaan tebing dari depan dua
cekungan itu. Taps ia tak melihat sesu- atu yang mencurigakan di atas sana.
Tentu saja si Mangku Randa tak mau ikut memandang ke atas, sebab pekerjaan
seperti itu dianggap pekerjaan yang sia-sia bagi orang buta seperti dirinya.
Hanya saja, beberapa kejap setelah ia diam dan menelengkan kepalanya ke
sana-sini untuk mende- ngarkan suara mencurigakan, tiba-tiba tubuhnya mela-
yang naik dalam satu ayunantubuh yang cukup ringan. Weesss...!
"Gila! Mau ke mana si buta itu?" set u Pematang Hati kepada Pendekar
Mabuk. "Ada sesuatu yang dicurigainya di atas sanaS"
Pematang Hati bukan hanya heran melihat jurus peringan tubuh yang
digunakan Mangku Randa, namun Juga merasa kagum rnelihat pennuda
bermata buta itu dalam sekejap sudah berada di atas tebing dengan dua kali
sentakan kaki. Pertama pada tanah ternpatnya berpijak, kedua pada dindijng
tebing yang sedikit menonjol.
"l munya boieh juga itu anak...," gumam Kusir Hantu sambil manggut-manggut
pandangi Mangku Randa yang mulai melangkah dengan meraba-raba.
. "Awas tergetincir kau!" seru Pendekar Mabuk. Rasa khawatirnya itu
membuat Pendekar Mabuk terpaksa menyusul Mangku Randa.
Ziaaap, weess...!
Satu kali sentakan kaki, Suto Sinting bagaikan lenyap setengah kejap.
Tahu-tahu ia sudah berada dekat Mangku Randa. Kecepatan dari jurus 'Gerak
Siluman' dipadu dengan jurus 'Layang Raga' membuat Kusir Hantu dan cucunya
makin terbengong.
"Yang satu ini lebih gila lagi!" gumam Kusir Hantu.
"Kalau yang itu memang sinting, Kek!" timpal Pematang Hati.
"Anak muda zaman sekarang ilmunya memang gila-gilaan. Seperti pepatah
mengatakan: 'setinggi-tinggi bangau terbang... dia tetap saja bangau'...."
"Uhh... siapa bilang bisa berubah jadi gajah"!" gerutu sang cucu sambil
bersungut-sungut. Si kakek cuek saja.
Ternyata kecurigaan Mangku Randa ada benarnya dan ada tidak
benarnya. Belum sampai sepuluh hitungan ia dan Suto berada di atas tebing,
tiba-tiba sebatang tombak rrjelesat ke arahnya dari belakang. Wuuut...!
Pendekar Mabuk melihat gerakan aneh melaiui ekor matanya. la cepat
berpaling, dan tangannya segera mendorong iengan Mangku Randa. Wuut...!
Brrukk...! Mangku Randa pun terhempas jatuh.
Tapi ia lolos dari maut. Tombak itu segera disarmbar oleh tangan Suto
yang habis mendorong tubuh Mangku Randa. Wuut, teeb,..! Tombak
tergenggam erat di tangan Pendekar Mabuk.
"Suto, ada apa..."!" Mangku Randa tidak marah, lapi firasatnya
mengatakan ada bahaya yang sedang dihadapi Pendekar Mabuk. Suara tangan


Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto menangkap sesuatu didengarnya dengan jelas dan dijadikan pertanyaan
dalam hatinya. Mangku Randa cepat berdiri, ia mendengar suara langkah kaki orang yang
jumlahnya lebih dari dua pasang kaki. Mangku Randa iangsung berbisik kepada
Suto Sinting. "Siapa mereka"!"
"Empat orang berseragam kuning."
"Oo... pasti orang Tanah Pasung!" gumam Mangku Randa. "Biar kuhadapi
mereka!" "Jangan...!"
"Biar mereka panggil ketuanya dan menemuiku disini juga!"
"Tampaknya mereka berilmu tinggi, Mangku Randa!"
"Kau pikir ilmuku rendah?"
"Baiklah. Kau hadapi dua orang, dan aku hadapi sisanya."
Sebenarnya yang datang ke arah mereka adalah tujuh orang. Tapi Suto
Sinting sengaja mengatakan empat orang, sebab ia sudah menduga Mangku
Randa akan menghadapi mereka. Dengan membagi jatah lawan dua kepada
Mangku Randa, maka Suto akan menghadapi lima orang lainnya.
Tujuh orang itu mengepung Suto Sinting dan Mangku Randa. Posisi
kedua pemuda itu membelakangi bibir tebing, sementara ketujuh lawannya
berjajar di depan mereka.
Pendekar Mabuk perdengarkan suaranya bernada tenang.
"Apa maksud kalian melemparkan tombak ke arah kami"!"
Yang mengenakan ikat kepala biru berseru dengan suara berat.
"Daerah ini sudah kami kuasai!"
"Siapa bilang?" Ini wilayahnya Kusir Hantu! Kalian orang-orang Tanah
Pasung hanya sebagai pendatang!"
"Bocah bodoh! Tengok ke bawah sana!"
Pendekar Mabuk berpaling ke belakang, memandang keadaan di tanah
bawah tebing. la sempat terkesiap rnelihat Kusir Hantu dan Pematang Hati
telah dikurung oleh sekitar sepuluh orang berpakaian serba kuning. Bahkan di
punggungnya Kusir Hantu telah menempel sebatang tombak runcing, siap
tembus. Sernentara itu, ieher Pematang Hati telah dikalungi sabit bergagang
panjang. SeJkali tarik, kress...! Leher terpotong, kepala gadis itu akan
menggelinding seenak nya.
"Apa yang terjadi di bawah sana, Suto?" bisik Mangku Randa dengan tatap
penuh waspada. "Kusir Hantu dan Pematang Hati tertangkap mereka!"
"Jahanam busuk!" geram Mangku Randa, lalu segera melolos pedangnya
dengan kalem. "Kau membohongiku, Suto! Aku mendengar napas terhempas
dari sekitar tujuh hidung yang ada di depan kita."
"Ingat, kita baru saja sepakat bahwa jatahmu hanya dua orang, Mangku
Randa!" "Kau curang!"
"Hei, tak perlu berkasak-kusuk lagi!" sentak yang berikat kepala biru.
Orang itu bertubuh kekar dan berkumis melintang.
"Buang senjata kalian!" tambahnya dalam bentakan.
"Aku tidak bersenjata. Temanku ini yang bersenjata," ujar Suto. "Tapi aku
tak tahu apakah temanku tahu cara membuang senjata atau tidak"!"
Bangsat! Masih berlagak juga kau, hah..."!"
Si ikat biru rnaju hampiri Suto. Mangku Randa menghadang dengan
pedang diacungkan ke depan. Maksudnya diarahkan ke dada si ikat biru, tapi
karena ia buta, maka arah pedangnya sedikit meleset ke kiri.
"Hentikan langkahmu atau kutembus lehermu dengan pedangku ini!"
"Arah pedangmu meleset ke kiri. Geser sedikit ke kanan," bisik Suto
Sinting seperti orang menggerutu tak jelas. Tapi bagi Mangku Randa bisikan itu
sangat jelas, karena ketajaman telinganya setajam mata pedangnya. Hanya saja,
Mangku Randa masih diam, tak mau menggeser pedangnya ke kanan.
Si ikat kepala biru menggeram dengan tetap me langkah hampiri Suto.
"Aku tahu kedua matamu buta, Bocah gendeng! Kau tak akan bisa
melukaiku! Justru kau yang akan kubantai lebih dulu, karena kau telah
menantang ketua kami melalui tiga orang kami yang kau lukai itu! Hiaaat...!"
Wees, breet...!
"Aaauh...!" si ikat kepala biru memekik.
Beeet, piook...!
"Ookkhhrr...!" si ikat kepala biru terlempar ke bela- kang, menerjang
teman yang hendak bergerak maju. Mereka jatuh saiing tindih.
Rupanya pedang Mangku Randa tidak ditusukkan ke depan, melainkan
disabetkan ke kanan dengan gerakan cepat sekali. Setelah itu, ia putar
tubuhnya secepat gangsing dan kakinya berhasil menjejak dada lawannya itu.
Akibatnya, lengan dan dada si ikat kepala biru robek seketika tersabet ujung
pedang Mangku Randa. Tubuhnya terlernpar sejauh enam langkah lebih.
"Gila! Tak kusangka dia ingin sabetkan pedangnya ke kanan"! Pantas dia
diam saja, tak mau geserkan pedangnya sejak tadi"!" gurnam hati Suto Sinting
sambil matanya memandang secara cepat wajah lawan-lawan yang bergegas maju
untuk menyerang.
"Heeaaaah...!!"
Salah seorang berseru, yang lainnya ikut berteriak dan bergegas maju
menyerang Pendekar Mabuk dan Mangku Randa. Hanya saja, sebelum mereka
sempat menyerang, sebuah suara berseru lebih keras lagi hing ga menggema di
udara bagaikan memenuhi alam seki- tar tebing tersebut.
"Tahaaaannn...!!"
Semua diam di tempat secara serempak. Si pemilik suara tak teriihat di
mana ia berada. Tapi suaranya terasa mempunyai getaran yang menurunkan nyali
setiap orang. Keberanian dan kernarahan seseorang dapat menjadi kendor
begitu mendengar suara tersebut.
"Bawa si tua itu dengan cucunya ke tempat kita! Hiarkan dua pemuda
ingusan itu kutangani sendiri! Kerjakaaan...!!"
Suara menggema itu menyentakkan orang-orang horseragam kuning.
Mereka segera pergi tinggalkan
Suto Sinting dan Mangku Randa, sementara yang ada di bawah tebing
segera membawa Kusir Hantu dan Pematang Hati yang sudah terlebih dulu
sudah mereka lumpuhkan dengan totokan pada saat Mangku Randa menyerang
si ikat kepala biru tadi. Suto Sinting tak mengetahui keadaan Kusir Hantu dan
Pematang Hati sudah dilumpuhkan.
"Mereka mau membawa kabur Kusir Hantu dan cucunya!" sentak Suto
Sinting. "Kita dalam bahaya besar, Suto!" ujar Mangku Randa terkesan mulai
susut keberaniannya.
Tiba-tiba ia memekik pendek dengan tubuh tersentak. "Uuhk...!!"
"Mangku Randa..."! Kenapa kau... uuuhk!" Suto Sinting juga tersentak.
Tubuh mengejang sebentar, lalu jatuh terpuruk seperti Mangku Randa.
Bruuuk...! Bruusk...!
Seseorang telah menotoknya dari jarak jauh. Hawa padat yang meluncur
mernbentuk totokan yang sangat tidak diketahui datangnya. Tahu-tahu Suto
dan Mangku Randa merasa seperti ditusuk lidi tengkuknya. Mereka masih
sadar, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
2 Seekor capung merah terbang di depan wajah Suto Sinting, memutar-
mutar sebentar, menungging-nunggingkan ekornya, lalu melesat entah ke mana.
Seolah-olah capung merah itu jejingkrakan melihat Suto Sinting terpuruk tanpa
tenaga sedikit pun di samping Mangku Randa.
"Capung gendeng! Minggat kau!" geram Suto Sinting dengan jengkel.
Posisinya yang tersangga batu di punggung membuat Suto Sinting seperti
duduk melonjor sedikit rebah. Mangku Randa justru terbaring dengan kepala
terganjal sebongkah tanah keras tanpa rumput. Mereka masih bisa berpikir,
masih bisa bicara, tapi tak bisa gerakkan miggota badannya.
"Sutoo...! Suto, kau masih hidup, Suto"!"
"Sepertinya masih, Mangku Randa."
"Aku mencium bau wangi rempah-rempah, Suto. Apakah ada orang di
sekitar kita?"
"Hanya kita berdua yang ada. Mungkin bau rempah- rempah yang kau
maksud adalah bau kakimu sendiri, Mangku Randa," jawab Suto agak kesal.
"Dalam keadaan begini masih saja ingat bau rempah-rempah terus"!" gerutunya
dalam hati. "Setan kucir! Apa yang terjadi pada diriku ini, Suto?" suara Mangku
Randa terdengar pelan, bagai tanpa tenaga. Suto Sinting pun begitu juga.
"Jangan tanya padaku, Mangku Randa. Tanyakan pada batu yang
menyangga punggungku ini. Mungkin dia tahu apa yang membuat kita jadi orang-
orang jompo begini. Uuuhkk..,!" Suto Sinting ingin gerakkan kakinya, namun
tetap tak bisa bergerak sedikit pun.
"Apakah napasku masih ada, Suto?"
"Kelihatannya sebentar lagi habis, seperti napasku juga."
Anehnya, mereka masih bisa terengah-engah. Te- naga yang tersisa seolah-
olah hanya khusus untuk ber- napas saja. Itu pun tak bisa bebas. Napas mereka
ba- gaikan dibanduli batu sebesar anak sapi. Berat sekali.
"Seseorang telah menotok kita dari jauh, Suto. Apakah kau melihat orang
yang menotok kita tadi"l"
"Aku hanya melihat seekor semut lewat di depan kakiku,' jawab Suto
masih bernada konyol untuk menghibur kedongkolannya sendiri.
Mereka diam beberapa saat, saling mencoba menggunakan akalnya untuk
mengatasi keadaan seperti itu. Tapi tak satu pun yang mendapat gagasan untuk
melepaskan diri dari totokan tersebut. Pendekar Mabuk justru menggumam
bernada gerutu.
"Mengapa yang mereka bawa pergi Kusir Hantu dan Pematang Hati"
Mengapa bukan kita orang, ya"!" "Mungkin... mungkin Kusir Hantu dianggap
sebagai kunci untuk dapat masuk ke Goa Kembar, sedangkan Pematang Hati
adalalh kunci juga untuk membuka mulut si Kusir Hantu.1'
"Kalau begini caranya, aku bisa...."
"Ssst...!" potong Mangku Randa dalam desah. "Ada orang datang kemari,
Suto." "Hahh..."! Siapa orang itu?"
"Mataku buta, mana bisa melihat"!"
"O, iya... maaf!" Suto Sinting coba pandangi keadaan di depannya dengan
gerakan mata lamban.
"Dia bertubuh besar dan... dan makin mendekat ke arah sini."
Pendekar Mabuk percaya dengan kata-kata Mangku Randa walau ia tak
melihat sepotong hidung pun yang mendekat ke arahnya. la tahu ketajaman
telinga Mangku Randa memang sangat hebat, jarang dimiliki setiap orang.
Mungkin karena kedua mata Mangku Randa buta, maka ia mempunyai kelebihan
pada indera pondengaran dan penciumannya, serta sering bermain flrasat.
"Berteriaklah minta tolong, Suto. Suaraku tak bisa koras. Napasku lemah
sekali." "Kau pikir aku sehat-sehat saja?" gerutu Suto dengan lirih.
Sekitar lima belas hitungan kemudian, orang yang dimaksud Mangku
Randa memang muncul dari arah kanan Suto Sinting. Orang itu bertubuh
sangat gemuk, lemak tubuhnya sampai bergelantungan seperti balon diisi air.
Kegemukannya yang mirip empat pemain sumo dijadikan satu itu membuat
langkah kakinya yang besar menggetarkan tanah. Getaran itu lah yang sejak tadi
sudah ditangkap oieh indera pendengaran Mangku Randa.
Orang tersebut terperanjat setelah melihat Suto Sinting dan Mangku Randa
terkulai tak bergerak.
"Suto..."! Kenapa kau santai-santai saja di situ"! Huaa, haaa, haaa, haaa,
haaa...." Orang gemuk itu berbaju tanpa lengan warna hitam dengan celananya
yang hitam puia. Kancing bajunya dari logam emas. Gelang kanan-kiri dari
lempengan emas berukir. Si gemuk itu tampak sekaii sebagai orang kaya
berwajah lucu-lucu sadis. Bibirnya tebal dan lebar, seperti babat belum
dipotong-potongi Suto Sinting mengenal orang itu ketika ditantang kuat-kuatan
minum arak di sebuah kedai. la tak lain adalah si Belatung Gerhana dari Pulau
Garong, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Lembah Seram").
"Apa yang kalian lakukan di sini"! Kalian pikir di sini tempat untuk berjemur"
Kalian mau mandi matahari" Oohoo, hoo, hoo, hoo...! Bukan di sini tempatnya
ber- mandi matahari. Di pantai sana! Biar disangka ikan pada jemur diri. Haaa,
haaa, haaa, haaa...!"
"Hei, mulut ember!" ujar Mangku Randa. "Kalau tak bisa menolong kami,
minggatlah yang jauh sana! Na-pasku makin sesak mendengar suara besarrnu
itu!" "Hooo, hoo, hooo, hooo... si buta ini marah padaku"! Ngomong jangan
sembarang, Kucing rebus! Bisa kulemparkan ke dasar tebing sana baru tahu
rasa kau!"
"Beiatung Gerhana...," sahut Suto Sinting sebelum pertengkaran itu
menjadi semakin panas. ".... Kami terkena totokan dari jarak jauh. Entah siapa
yang menotok kami hingga begini. Yang penting bagi kami adalah lepas dari
pengaruh totokan ini. Dapatkah kau melepaskan totokan ini, Beiatung
Gerhana"!"
"Haaah, haaa, haaa, haaa... tentu saja itu hal yang amat mudah bagiku,
Suto! Tapi kau harus berjanji akan melayaniku sampai tumbang lagi! Setuju"!"
"Baik. Akan kulayani kau minum arak ataupun tuak sampai perutmu
busung lagi!"
"Bagus, bagus, bagus...! Haa, haa, haa, haa..,."
"Berisik, Bebek!" sentak Mangku Randa tapi dengan suara tetap Hrih.
Belatung Gerhana segera dekati Suto. Kedua tangannya berjari
menguncup. Lalu tangan kanannya menotok ubun ubun Suto seperti seekor
bangau mematuk ikan sepat. Truuk...!
"Nah, sekarang totokanmu sudah bebas! Berdirilah...!" ujar Beiatung
Gerhana. "Bebas dengkulmu! Aku masih belum bisa gerak- kan jempol kakiku!"
"Lho, belum bebas..."! Ohho, hoo, hoo...! Harus kuulangi lagi kalau
begitu." Trrok... trrok... trrok...! "Oh, masih belum bisa bebas juga"!" geram
Belatung Gerhana, lalu tangannya menggenggam, sisi genggaman itu digebukkan
ke ubun-ubunnya Suto Sinting. Duuhk, duuhk, duuhk, duuhk, duuhk...!
Suto Sinting tersentak-sentak, kepalanya terangguk-angguk, wajahnya
menyeringai kesakitan. Pukulan menggunakan sisi bawah genggaman itu
membuat pandangan mata Suto Sinting lama-lama menjadi kabur, kepala terasa
pusing, dan telinga terasa jadi budek.
"Cukup, cukup...! Cukup, Belatung Gerhana...!"
"Cukup..."! Naah... sekarang kau sudah bebas dari totokan! Berdirilah!"
Suto Sinting terengah-engah dulu, baru memaki dengan suara pelan.
"Setan gembrot! Kau mau bebaskan totokanku apa mau memantek
kepalaku"!"
"Lho, belum bebas juga"!"
"Udelmu bodong itu yang bebas!" jawab Suto jengkel sekali. "Ubun-
ubunku sampai mau jebol, tetap saja tak bisa bebas dari totokan ini"!"
Kaiau saja tidak dalam keadaan tertotok begitu, Mangku Randa akan
tertawa keras-keras mendengar gerutuan Suto Sinting dan membayangkan
keadaan Suto dipukul-pukul kepalanya oleh si gemuk itu. Tapi karena keadaan
yang amat lemah, Mangku Randa hanya bisa tertawa pelan seperti orang bisik-
bisik. Suto Sinting tambah dongkol mendengar tawa Mangku Randa.
"Akan kuulangi satu kali iagi, Suto," ujar Beiatung Gerhana.
"Sudah, sudah...! Cukup begini saja." "Satu kali lagi pasti kau bebas dari
totokan, Suto!" "Tidak. Terima kasih atas bantuanmu, Beiatung Gerhana.
Kepataku bukan ceiengan dari tanah yang perlu digepuk-gepuk seperti tadi!
Rontok semua otakku kalau mengikuti caramu beg itu."
Tawa si Mangku Randa makin berkepanjangan. "Kau kurang yakin dengan
ilmuku, Suto," gerutu Belatung Gerhana dengan nada kecewa.
"Aku sangat yakin dengan ilmumu. Maksudku, yakin bakalan membuat
otakku jadi kopyor kalau kelamaan kau gepuk seperti tadi. Jadi menurutku,
sebaiknya kau bantu aku untuk hal lain."
"Apa maksudmu"!"
"Kau iihat bumbung bambu di samping kananku Ini?"
"Ya, mau apa dengan bumbung bambu tempat jangkrik itu?" tanya
Beiatung Gerhana dengan nada horan, sebab pada saat mereka bertemu
pertama kali di kodai, Suto mengaku sebagai penjual jangkrik aduan. Namanya
pun tidak disebutkan secara lengkap, sehing- U" Beiatung Gerhana tidak tahu
bahwa yang ditantangminum waktu itu adalah Pendekar Mabuk.
"Di dalam bambu itu ada tuak. Tolong...."
"Tuak..."!" sahut Belatung Gerhana. "Katamu dulu bambu itu tempat jangkrik
buruanmu?"
"Aku bercanda waktu itu. Bumbung bambu itu sebenarnya berisi tuak.


Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tolong tuangkan tuak itu ke mulutku. Aku haus sekali, Belatung Gerhana."
"Tuak..."!" gumam Belatung Gerhana antara percaya dan tidak. Lalu
bambu panjang sedepa itu diambilnya, dibuka tutupnya, diintip sebentar.
"Oh, iya..."! Benar-benar berisi tuak"!" ujarnya dengan girang. "Kalau
begitu kita pesta mabuk-mabukan sekarang juga, Suto! Setuju..."!"
"Sebelas!" jawab Suto sekenanya. "Yang penting tuangkan dulu tuak itu ke
mulutku. Aku benar-benar kehausan, Belatung Gerhana!"
"Baik! Tapi habis ini kita pesta minum-minum lagi, ya"!"
Belatung Gerhana masih beium sadar siapa orang yang dihadapinya itu. la
menuangkan tuak ke mulut Suto. Tuak mengalir pelan-pelan dan menyatu
dengan darah di dalam tubuh. * Bruuusss...!
"Hup, hap, huaah...! Kurangajar! Kenapa kau sembur mukaku"!" sentak
Belatung Gerhana.
"Aku kehabisan napas, tapi tuak masih kau tuang saja ke mulut! Bisa mati
tenggelam air tuak kalau kutu- ruti terus!" sentak Suto juga. Kali ini suaranya
mulai agak keras.
"Kau kuanggap tidak sopan, Suto! Sudah kutolong tapi balasanmu
menyembur tuak ke mukaku! Kau kan bisa katakan kapan aku harus berhenti
menuang tuak"!"
"Mana bisa orang minum sambil ngomong, Tolol!"
"Hei, hei... suaramu sudah agak keras daripada yang tadi," ujar Belatung
Gerhana dengan nada rendah, tak peduli wajahnya basah dan air tuak masih
menetes dari dagunya.
Mangku Randa yang tahu persis siapa Suto Sinting mulai merasa lega. la
yakin keadaan Suto akan secepat- nya pulih seperti sediakala setelah minum
tuak itu. "Suto... sudah bereskah keadaanmu"!" tanya Mangku Randa.
Wuut...! Suto Sinting bangun dan duduk dengan togak. "Ya, sepertinya
aku sudah cukup beres, Mangku Randa!"
Belatung Gerhana heran. "Aduuh... cucuku sudah bisa berdiri"!"
"Cucu dengkulmu!" gerutu Suto Sinting, lalu ia moncoba berdiri dan
ternyata memang bisa tegak seperti biasanya. Pengaruh totokan yang
melumpuhkan noluruh urat-uratnya telah dikalahkan oleh tuak sakti dari dalam
bumbung tersebut. Belatung Gerhana masih terbengong-bengong, memegang
bumbung tuak yang tetap terbuka. Bumbung itu segera diambil alih oleh Suto
Sinting. "Kau... kau sudah sehat"! Aneh sekali"! Tadi kau lumpuh begitu, sekarang
setelah minum tuak, tak sampai seratus hitungan, kau sudah sehat kembali"!"
"Terima kasih atas bantuanmu, Belatung!"
Plok, plok, plok...! Suto tepuk-tepuk pipi tebal Beiatung Gerhana.
Kemudian ia meminumkan tuak itu ke mulut Mangku Randa. Beberapa kejap
kemudian Mangku Randa pun pulih kembali. Beiatung Gerhana semakin
terbengong dengan mulut melongo mirip lubang tikus.
"Hei, minumlah tuak ini! Katamu kau ingin minum sampai mabuk"!"
"Ooh, iiy... iya.J" Beiatung Gerhana menggeragap. la menenggaktuak
tersebut beberapa teguk. Suto Sinting buru-buru hentikan tenggakan tersebut,
khawatir tuaknya habis disedot manusia seperti sumur itu.
"Uuaaahh...! Segar sekali"!" sambil mata si Beiatung Gerhana terbelalak
berbinar-binar bersama se- nyuman yang sangat menakutkan dan bisa bikin bayi
mati mendadak. "Segar sekali badanku"!" ujarnya lagi. "Kurasa tuakmu tak akan kalah jika
dibandingkan dengan tuaknya Pendekar Mabuk, Suto! Ibuku pernah bercerita
tentang Pendekar Mabuk yang ke mana-mana membawa bumbung tuak dan
tuaknya itu mempunyai kesaktian tersendiri. Selain bisa untuk sembuhkan orang
sakit juga bisa untuk...."
"Untuk menyembur mukamu tadi!" sahut Mangku Randa agak kesal
mendengar kebodohan si Beiatung Gerhana. Suto Sinting tenang-tenang saja,
seakan tak pedulikan celoteh si gendut bodoh itu. Mata Suto me- mandang
keadaan di bawah tebing.
Beiatung Gerhana berkata peian kepada Mangku Randa, "Tuaknya
memang seperti milik Pendekar Mabuk! Kau belum pernah dengar ceritanya,
ya"! Begini... Pendekar Mabuk itu...."
Tangan Mangku Randa mendorong wajah Belatung Gerhana hingga kepala
orang gemuk itu tersentak ke belakang.
"Dia memang Pendekar Mabuk, Tolol!" sentak Mangku Randa.
"Beraninya kau mengobok-obok mukaku, haah"! Aku hajar kau
sekarang...," Beiatung Gerhana hentikan ucapannya secara mendadak. Lalu ia
mendekatkan wajah kepada Mangku Randa.
"Apa katamu tadi"! Dia memang Pendekar Mabuk"!"
Makanya punya badan jangan gemuk-gemuk. Selalu bikin otak jadi tumpul,
juga bikin kuping jadi budeg"
Belatung Gerhana dekati Suto yang berjarak tujuh langkah darinya itu.
"Suto... Suto, dia bilang kau Pendekar Mabuk. Apa benar kau Pendekar
Mabuk yang kata ibuku bernama SutO Sin...." (
Pendekar Mabuk berpaling memandang Belatung Gerhana dengan
tersenyum ramah. Belatung Gerhana hentikan ucapannya, sambil tertegun
bengong, seakan baru ingat nama depan Suto.
"Oooh, celaka...!" gumamnya pelan. "Kalau begitu kau memang Pendekar
Mabuk! Ibuku bilang, nama Pendekar Mabuk adalah Suto Sinting dan saat di
kedai kau perkenalkan dirimu dengan nama Suto. Maksudmu adalah Suto
Sinting, bukan?"
"Benar. Aku memang Suto Sinting. Aku memang Pendekar Mabuk. Kau
mau menantangku minum arak lagi?"
"Biar mampus tak akan sudi lagi aku minum denganmu!" Belatung Gerhana
bersungut-sungut menjauh. "Pantas kau menang! Pantas kau tak sampai mabuk
dan tumbang sepertiku. Rupanya kau si Pendekar Mabuk yang kondang kuat
minum tanpa mabuk sedikit pun itu"! Congor wedus kau...!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan seperti orang menggumam.
"Sekarang lupakan saja persoalan adu kuat-kuatan minum di kedai waktu
itu. Yang sedang kupikirkan adalah menyelamatkan si Kusir Hantu dan cucunya
dari tangan orang-orang Tanah Pasung! Aku harus segera mengejar mereka!"
"Aku ikut!" tegas Mangku Randa.
"Oo, jadi orang Tanah Pasung sudah sampai sini"! Apakah mereka
temukan Goa Kembar itu, Suto"!"
"Mereka menawan sahabatku; Pematang Hati dankakeknya! Tak kulihat
mereka membawa secuil emas pun dari sini!"
"Pasti mereka belum menemukan Goa Kembar!" ujar iBelatung Gerhana
dengan girang. "Goa Kembar ada di bawah tebing ini, Suto!"
"Tidak ada!" sambil kepala Suto menggeleng tegas- tegas. "Yang ada di
bawah tebing ini hanya dua cekungan mirip mulutmu itu, Belatung Gerhana."
"Jangan menyinggung soal mulut! Aku bisa marah!" geram Belatung
Gerhana. "Aku akan memeriksa bagian bawah tebing ini!"
Belatung Gerhana bergegas menuruni tanah di samping tebing. Sedikit
jauh dan agak memutar untuk mencapai tanah depan tebing itu.
"Perlukah kita buktikan ucapannya itu, Suto?"
"Sepertinya dia lebih tahu dari yang lain. Tapi... apakah yang diketahuinya
itu membawa hasil yang benar"!"
"Tapi Pematang Hati akan semakin jauh dibawa mereka jika kita rnelihat
dulu hasil ucapannya itu, Suto."
"Aku tahu. Tapi aku juga tahu ke mana mereka membawa Pematang Hati
dan Kusir Hantu. Pasti ke Pantai Bejat. Kudengar mereka mendarat di sana.
Mungkin si Kusir Hantu dan cucunya dibawa ke kapal mereka!"
"Kalau begitu, Ratu Sinden pasti ada di Pantai Bejat! Aku akan segera ke
sana, Suto!" Mangku Randa mulai berapi-api ingin lampiaskan dendamnya.
"Berangkatlah dulu. Nanti akan kususul. Aku hanya ingin lihat bukti
ucapan si Belatung Gerhana itu. Sebelum melihat hasilnya, hatiku tak tenang
diburu rasa penasaran!"
"Baiklah! Kita berpisah dulu untuki sementara! Susul aku secepatnya,
Suto!" Pendekar Mabuk mengangkat tangan, sebagai isyarat akan menyetujui
langkah Mangku Randa untuk menuju Pantai Bejat lebih dulu.
Setelah pemuda tunanetra itu pergi, Pendekar Ma buk melompat turun
dari atas tebing ke dasar tebing, tempat Kusir Hantu dan Pematang Hati
tertangkap tadi. Wuuut....! Suuuuut...! Tubuhnya bergerak turun dalam
posisitetaptegak. Deeb...! Kedua telapak kaki menepak di tanah tanpa suara.
Pendekar Mabuk memandang ke arah Beiatung Gerhana yang sudah
mencapai kaki tebing sebelah sana. Orang gemuk itu keluarkan peta dari seiipan
ikat pinggangnya. la melangkah sambil memperhatikan petunjuk pada selembar
peta dari kain putih kusam. Tak sadar langkah kakinya dekati Suto Sinting, dan
ia tersentak kaget melihat Suto sudah ada di depannya.
"Lho..."! Sudah sampai di sini kau"! Lewat mana"!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis sambil me- lirik ke atas, menunjuk
jalan yang dilewatinya.
"Gila! Kau melompat dari atas kernari"!"
"Rasa-rasanya memang itulah jalan tersingkat, ketimbang harus lewat
jalanan menurun yang kau lewati tadi."
Belatung Gerhana perhatikan kedua kaki Suto Sinting.,
"Ada apa..."!" tanya Suto heran.
"Kakimu masih utuh"! Tidak patah"! Padaha! kau melompat turun
dari atas sana. Tinggi sekali tebing ini, kan"!"
"Lebih tinggi langit dari tebing ini!"
"Nenek jompo juga tahu kalau langit itu lebih tinggi dari tebing ini!"
gerutu Belatung Gerhana sambil ber- sungut-sungut.
"Rupanya kau membawa peta pemandu jalan, Belatung Gerhana?"
"Ya. Ibu hanya membekaliku peta ini. Ibu tahu per sis di maria harta
karun itu berada. Tapi beliau tak dapat jalan kemari."
"Kenapa..."!"
"Kedua kakinya buntung."
"Ooh, maaf...!" Suto Sinting tampakkan rasa sesalnya. Pertanyaan
tadi membuat raut wajah Belatung Gerhana menjadi sedih.
"Waktu di kedai, seingatku kau hanya disuruh membuktikan apakah
benar di Lembah Seram ada harta karun atau tidak. Tapi sekarang kau
tampak sangat yakin, bahwa di Lembah Seram ada harta karun terpen-
dam. Bahkan kau tahu tentang Goa Kembar segala"!"
"Aku harus berpura-pura begitu. Tapi sesungguhnya, aku ditugaskan oleh
ibuku untuk merneriksa apakah harta karun itu masih ada atau sudah diambil
orang. Jika masih ada, aku harus segera kembali dan mengabarkannya pada Ibu.
Lalu, aku akan datarig kemari bersama sejumlah pengawal untuk ambil harta
karun itu dan membawanya pulang ke Pulau Garong."
Suto Sinting manggut-manggut.
"Suto, kalau kau mau bantu aku, kau akan dapat bagian tersendiri dari
harta karun itu! Ibuku tidak akan serakah. Pasti memberi bagian padamu."
"Aku tidak berminat untuk memiliki harta karun itu. Aku hanya ingin
membuktikan apakah harta karun itu ada atau hanya sebuah dongeng saja."
"Pasti ada!" sahut Belatung Gerhana, lalu memperhatikan ke arah peta
lagi. "Agaknya ibumu sangat yakin kalau harta karun itu memang ada. Siapa
ibumu sebenarnya, Belatung Gerhana."
"Penguasa Pulau Garong," sambil Belatung Gerhana melangkah mengikuti
petunjuk dalam peta.
"Bukankah waktu di kedai sudah kusebutkan bahwa ibuku seorang
penguasa di Pulau Garong?"
"Kau belum sebutkan namanya, jadi yang kutanyakan tadi adalah
namanya!" "Oo... namanya Nini Desah Bengi."
"Nini Desah Bengi"!"
"Cantik Iho. Sudah janda lagi."
"Husyy...!"
"Sumpah...!" sambil Belatung Gerhana tetap melangkah ikuti petunjuk
pada peta, Suto Sinting mengiringinya.
Langkah itu berhenti di depan dua cekungan yang tadi diperiksa Suto
dan Mangku Randa.
"Nah, di sini!" ujar Belatung Gerhana. "Menurut petunjuk dalam peta, di
tempat kita berdiri inilah ter- dapat Goa Kembar!"
"Mana buktinya..."!"
Belatung Gerhana memandangi dua cekungan itu dengan mulut melongo
heran. Rasa penasaran mendorong tubuhnya yang gemuk sekali itu lebih mende-
kati dua cekungan itu. la meraba dinding cekungan yang keras bagaikan batu
granit. "Kenapa hanya dua cekungan seperti ini yang ada di sini"! Mestinya dua
goa bersebelahan!" gumam Belatung Gerhana.
Pendekar Mabuk sengaja pamerkan senyum dingin. Seakan mencibir
kesalahan keyakinan Belatung Gerhana dan ibunya. Belatung Gerhana garuk-
garuk kepala sambil memandang sekelilingnya, mencari kemungkinan tempat lain
yang dimaksud dalam peta tersebut.
Tak jauh dari dua cekungan itu ada batu besar, tingginya hanya sebatas
paha. Belatung Gerhana duduk di sana sambil sesekali memperhatikan peta. Wa-
jahnya tampak murung pertanda memendam rasa kecewa.
Kurasa kau dan ibumu telah terbuai oleh dongeng kuno tentang harta
karun itu, Belatung Gerhana."
"Tidak. Ibuku bukan tukang dongeng. Menurut Ibu, harta karun itu
memang benar-benar disimpan di salah satu dari dua goa kembar yang
bersebelahan. Goa yang satu berisi jebakan-jebakan maut, goa yang satunya lagi
berisi harta karun itu!"
"Dari mana ibumu tahu hal itu?"
"Semasa mudanya, ibuku adalah prajurit wanita dari Kerajaan
Hastamanyiana! Harta karun itu adalah kekayaan dari negeri Hastamanyiana
yang disembunyikan di sini agar tak dirampas oleh musuh yang waktu itu sudah
diduga akan menyerang negeri tersebut! Jadi...."
Wuiiz, teeb...!
Ucapan si gemuk terhenti seketika, karena tiba-tiba tangan Pendekar
Mabuk berkelebat ke punggungnya. Sesuatu telah berhasil ditangkap oleh Suto
Sinting. Sesuatu yang terjepit di sela jemarinya itu tak lain adalah sebilah
pisau beracun. Sasarannya punggung Belatung Gerhana. Ujung pisau tampak kebiru-
biruan sampai di bagian pertengahan mata pisaunya. Gagang pisau terbuat dari
gading berukir.
"Pisau..."!" mata 'si gemuk mendelik lebar. "Wow... keren!"
"Apanya yang keren"! Pisau ini hampir merenggut nyawamu, Goblok!"
"Tapi gagang pisaunya keren, dari gading ukir dan...."
Wuiiz...! Sekeiebat benda muncul kembali dari arah yang berlawanan
dengan kemunculan pisau tadi. Pendekar Mabuk kelebatkan tangan lagi.
Wees...! Meleset. la gagal menangkap benda tersebut. Untung usaha me-
nangkap benda itu disertai gerakan badan melintir ke kanan, sehingga benda itu
yang kali ini diarahkan ke lehernya itu lolos dan menancap pada salah satu
pohon tak jauh dari mereka. Benda itu ternyata juga pisau beracun. Bentuk dan
ukurannya sama dengan pisau pertama.
Belatung Gerhana makin terperangah bengong memandangi pisau yang
menancap di pohon. Kulit pohon itu bergerak-gerak melipat. Daun-daunnya
segera berubah menjadi kuning,makin lama makin coklat dan kering. Dalam
waktu sangat singat, pohon itu menjadi kering tanpa air setetes pun.
"Gila! Ganas sekali racun pada pisau itu"!" gumam Belatung Gerhana,
sementara itu Pendekar Mabuk si buk mencari si pelempar pisau dengan
pandangan matanya yang tajam dan jeli.
3 Hati kecil Suto mengatakan, sasaran utama penyerang geiap itu adalah
Belatung Gerhana. Mungkin orang tersebut ingin dapatkan rahasia harta karun
dalam peta yang dibawa si gemuk. Tetapi karena Suto selamatkan nyawa
Beiatung Gerhana dari lemparan pisau pertama, maka dia pun menjadi sasaran
lemparan pisau kedua.
"Ada orang yang ingin membunuhmu, Beiatung Gerhana?"
"Bangsat kurap!" geram Beiatung Gerhana, seolah baru sadar bahwa
nyawanya diincar orang. la bangkit dari duduknya dan segera mencabut pedang
bersarung perak ukir itu. Dengan suara besarnya ia berteriak memandang kedua
arah datangnya pisau tersebut.
"Heei, pengecut...! Keluarlah dari persembunyian kalian! Jika kalian
berdua ingtnkan nyawaku, hadapilah kami berdua di sini! Keluar kalian
semuaaa...!!"
Dari arah datangnya pisau pertama muncul dua orang berpakaian biru.
Dari arah datangnya pisau kedua muncul juga dua orang berpakaian hijau. Dari


Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah lain muncul lagi dua orang. Muncul juga tiga orang. Dari atas tebing
meluncur lima orang berpakaian warna-warni yang melompat turun dengan
gunakan ilmu peringan tubuhnya. Dari sisi lagi, muncul juga empat orang. Juga
dari sana-sini. Jumlah keseluruhan sekitar lima belas orang lebih mengepung
tempat itu. "Walaaah... banyaksekali"!" ujar Belatung Gerhana dengan mata mendelik
dan wajah menjadi tegang.
"Kau yang menyuruh mereka muncul, bukan?"
"Yaaa, tapi yang kuminta tidak sebanyak ini...," ujarnya bernada keluh.
"Kau kenal dengan mereka?"
"Mereka yang mengikutiku sejak berangkat dari Pulau Garong!"
"Jadi, siapa mereka?"
"Orang-orangnya Bandar Santet, dari Selat Neraka," jawaban itu masih
bernada keluh. "Waah... mati aku kalau begini, Suto. Mereka banyak sekalil"
Suto Sinting sunggingkan senyum tipis. Pisau yang tadi ditangkapnya
masih dimainkan dengan tangan kiri, sementara itu tali bumbung tuak
tergantung di pundak. Satu persatu wajah-wajah angker mereka pandangi Suto
Sinting dengan tatapan mata tajam.
"Yang mana yang bernama Bandar Santet"!"
"Yang pakai jubah ungu itu!" bisik Belatung Gerhana dengan gigi berusaha
tetap rapat, biar tampak tak berbisik.
Orang berjubah ungu itu memang pantas mempunyai nama Bandar Santet.
Rambutnya tipis panjang selewat pundak.Tanpa ikat kepala. Wamanya abu-abu.
Alisnya lebat agak naik. Kumisnya turun ke bawah sampai dagu. Wajahnya
lonjong dengan sepasang mata cekung sadis.
Wajah angker itu bertubuh kurus sehingga tulang di wajahnya saling
bertonjolan. Tangannya berkuku hitam, tidak panjang tapi runcing. Kulit
tubuhnya tampak kusam, sekusam celananya yang berwarna ungu juga itu. la
mengeriakan sabuk hitam dan menyelipkan sebilah keris bergagang merah tua.
Wajah angker berusia sekitar enam puluh tahun itu perdengarkan
suaranya setelah melangkah lebih dekati Suto dan Beiatung Gerhana. Dua anak
buahnya ikut maju dari sisi kanan-kiri Suto. Tapi mereka berhenti dalam jarak
sekitar sepuiuh langkah, sedangkan si wajah angker yang punya codet di bawah
mata kirinya itu hen- tikan langkah setelah berjarak sekitar dua tombak dari
Suto dan Beiatung Gerhana.
"Serahkan peta itu padaku, Beiatung Gerhana!"
Suara serak itu makin membuat wajah Belatung Gerhana menjadi pucat.
la memandang Suto Sinting, seakan minta pendapat atas ucapan si Bandar
Santet itu. Suto Sinting tetap kalem, seakan tak merasa dipandangi Beiatung
Gerhana. la justru menenggak tuaknya dengan santai.
"Serahkan peta itu! Cepaat...!" bentak Bandar Santet yang membuat
jantung Beiatung Gerhana terasa merosot sampai ke lutut. Seeerrr...!
"Suto, bagaimana ini"!" bisik Beiatung Gerhana. Pendekar Mabuk yang
sudah menutup bumbung tuaknya lagi itu hanya menjawab pelan sambil terse-
nyum menampakkan ketenangannya.
"Serahkan saja! Peta itu tidak ada gunanya bagimu!"
"Tapi ibuku berpesan agar peta ini tak boleh jatuh ke tangan orang lain!"
"Kalau ibumu tahu keadaan di sini, dia pasti tak akan berpesan begitu.
Mungkin akan pesan nasi pecel buat oleh-oiehmu nanti!"
"Ah, gila kau! Aku tetap akan pertahankan. Kau bantu aku, ya?"
"Keluarkan galakmu, seperti waktu di kedai itu!"
"Mereka cukup banyak. Kegalakanku tak akan mempan buat mereka.
Apalagi si Bandar Santet sudah pernah mati tiga kali dan hidup lagi, pasti dia
tak akan takut dengan kegalakanku!"
Bandar Santet tak sabar rnelihat orang kasak-kusuk begitu. la segera
berseru, perintahkan pada anak buahnya yang ada di seberang kiri Suto Sinting.
"Gentopati....! Habisi mereka!"
"Haaaaat...!" Gentopati yang berpakaian hijau itu langsung melompat
dengan golok terhunus. Sasaran pertama kali adalah kepala Pendekar Mabuk,
karena menurutnya pemuda itu lebih berbahaya daripada Belatung Gerhana.
Ketenangan Suto membuat mereka ber- kesimpulan bahwa pemuda itu memiiiki
nyali yang patut ditumpas lebih dulu.
Belatung Gerhana justru terkejut dan pedangnya lepas dari genggaman.
Tapi Pendekar Mabuk segera menyambar bumbung tuaknya dan mengibaskan ke
samping dengan cepat. Wuuut...! Traang...! Bumbung bambu itu berhenti
menangkis tebasan golok si Gentopati.
Tapi kaki orang itu menyodok wajah Suto Sinting dengan tenaga kuat.
Wuuut...! Tangan kiri Suto yang masih pegangi pisau bergagang gading tadi
dihadang- kan tepat di depan hidung dengan ujung pisau meng- arah ke depan.
Akibatnya, telapak kaki Gentopati tertancap pisau itu tersebut. Jruub...! Tapi
gagang pisau menyodok mulut Suto. Prook...!
"Aaaow...!" Gentopati berteriak keras-keras dan jatuh dengan kaki
terluka, sedangkan Pendekar Mabuk terhuyung-huyung ke belakang dengan
mulut berdarah. Bibir atasnya robek akibat sodokan gagang pisau tadi.
Gentopati berkelojotan di tanah. Tubuhnya yang terkapar berputar-putar,
dan akhirnya mengejang kaku tak bergerak selama-lamanya. Racun pada ujung
pisau itu telah merenggut nyawanya dalam waktu cukup singkat.
"Edan! Mati dalam waktu singkat"! Ganas sekali racun pada pisau itu?"
gumam Beiatung Gerhana sema- kin tegang.
Bandar Santet tetap tenang melihat anak buahnya tewas. Tapi pandangan
matanya semakin tajam dandingin, persuh dendarn terhadap Pendekar Mabuk.
Anak buah lainnya tak ada yang bergerak maju. Mereka menunggu perintah
dengan patuh sekali. Tapi senjata mereka sudah dihunus semua, siap serang
kapan saja perintah serbu terlontar dari mulut Bandar Santet.
"Su... Su... Suto, apa yang harus kulakukan. Bicara lah padaku, Suto!"
"Mau bicara apa"! Bibirku robek begini"!" sentak Suto dengan hati
dongkol. Bandar Santet berseru sambil sentakkan kepala sedikit. "Bangorpati...!"
Rupanya sentakan kepala itu isyarat agar si Bangorpati, adiknya
Gentopati, ganti menyerang Pendekar Mabuk. Tapi baru saja ia mau menerjang
dengan sabit kembarnya, tangan kiri Suto lebih dulu berkelebat membuang
pisau itu. Wuut...! Jeebs...!
"Ahkk...!" Bangorpati mendelik, terbungkuk di samping Bandar Santet.
Melihat keadaan Bangorpati tak memungkinkan hidup lagi, Bandar Santet
menendangnya dengan kuat. Beet, wuus, bruuk...!
"Kejam...! Bukannya ditolong malah percepat ke liang kubur"!" gumam hati
Pendekar Mabuk yang simpan penyesalan atas lemparan pisaunya tadi. Padahal
lemparan pisau tadi sudah sengaja dimelesetkan, tapi dasar apes, akhirnya
bertengger juga di dada Bangorpati.
Bandar Santet masih memandang dingin ke arahPendekar Mabuk.
Beberapa anak buahnya tampak sudah tak sabar lagi. Sedangkan si Belatung
Gerhana dicekam rasa takut yang membuat wajahnya menjadi berantakan tak
karuan bentuknya.
"Kurasa dua nyawa anak buahku sudah cukup untuk menebus peta harta
karun itu!" ujar Bandar Santet, matanya mulai melirik Belatung Gerhana.
"Aku tidak berkuasa memberikannya. Peta itu bukan milikku, Bandar
Santet!" ujar Suto Sinting.
"Tapi aku sudah ikut campur dalam perkara ini, Bocah tolol! Kau hutang
nyawa denganku!"
"Aku membela diri!" sanggah Suto. "Daripada aku yang mati lebih baik
anak buahmu. Sebab aku belum kawin, jadi masih malas untuk mati muda!"
Mata sadis itu menatap dingin sekaii. Pendekar Mabuk rasakan getaran
jantungnya makin cepat. Bahkan bertambah Sama dipandang, bertambah sesak
na- pasnya. "Ada apa ini?" pikirnya dengan bingung.
Detak jantung bertambah kuat lagi. Sentakannya membuat dada seperti
ingin jebol ke depan. Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam dan kuasai
keadaan itu dengan hawa murninya. Tapi napas yang dihirupnya terasa panas.
Bahkan sekarang hidung dan tenggorokannya menjadi perih untuk lewat napas.
Tiba-tiba Suto Sinting tersentak ke depan dengan tubuh terbungkuk.
"Huuhk...!!" Ada sesuatu yang terasa mendorong dari dalam ulu hatinya. Ada
sesuatu pula yang terasa meremat jantung dan teman-temannya.
"Uuhhueek...!"
Pyuuk...! Hahh..."! Darah..."!" Belatung Gerhana terbelaiak kaget lagi melihat Suto
Sinting tahu-tahu memuntahkan darah kental. Bahkan pemuda tegap itu kini
berlutut satu kaki karena sentakan yang kedua cukup keras.
"Uuhueeek...!"
Darah kentai keluar lagi dari mulut Pendekar Mabuk. Sekujur badan
menjadi terasa panas. Nyata betul rasa panas itu, sehingga Suto Sinting segera
membuka bumbung tuaknya sebelum sentakan ketiga terasa mendesak dari
dalam ulu hatinya.
Melihat seorang pendekar kondang saja bisa rnemuntahkan darah kentai
hanya dengan dipandang saja, Belatung Gerhana semakin ngeri dan khawatir
akan keselamatan nyawanya. Maka ia pun buru-buru menyerahkan peta
tersebut. Peta itu dilemparkan begitu saja dan jatuh di depan kaki si Bandar
Santet. "Ambil ah...!" sentak si gemuk dengan wajah ngeri- ngeri dongkol.
Bandar Santet menyuruh anak buahnya mengambil peta itu dengan isyarat
mata. Pendekar Mabuk selesai menenggak tuak. Rasa panasnya berkurang.
Detak jantungnya mendekati normal kembali.
"Brengsek! Kenapa baru sekarang kau serahkan peta itu"! Mestinya sejak
tadi, sebelum aku muntah darah!"
"Kusangka dia tak akan menggunakan jurus 'Pesona Teluhnya," bisik si
gemuk. "Ternyata di telah menggunakan ilmu itu untuk menyerang!"
"Menyerangku..."!"
"Yang namanya jurus 'Pesona Teluh' adalah melukai bagian dalam tubuh
lawan melalui pandangan mata!" si gembrot semakin berbisik pelan"
Setelah memeriksa peta, Bandar Santet berikan perintah tegas.
"Bedagul, bawa anak buahmu melacak harta itu sesuai petunjuk dalam
peta! Dan kau, Juru Jagal... habisi kedua tikus itu! Kalau perlu suruh anak
buahmu turun tangan!"
Blaas...! Bandar Santet melesat dengan cepat. Tahu-tahu ia sudah ada di
atas tebing, beberapa orangnya ikut naik ke atas tebing, sementara orang yang
dijuluki Juru Jagal segera mengangkat pedang lebarnya. Juru Jagal mempunyai
lima anak buah yang masing-masing berikat kepala merah, seperti pasukan berani
mati. Juru Jagal yang bertubuh tinggi, kekar dan berkulit hitam tanpa
mengenakan baju kecuali celana hitam itu mulai memberi isyarat kepada kelima
anak buahnya yang rata-rata juga tidak memakai baju dan bercelana hitam.
Mereka segera melingkari Suto Sinting dan Belatung Gerhana dengan pedang
dimainkan pelan-pelan. Pedang mereka lebar-lebar dan anti karat semua. Pada
ujung gagangnya terdapat hiasan dari rumbai-rumbai benang merah.
Belatung Gerhana memungut pedangnya yang tadi jatuh karena terkejut.
ia sedikit punya nyali karena yang dihadapi hanya enam orang. la yakin mereka
tidak berilmu tinggi seperti si Bandar Santet. Terlebih ia ada bersama Pendekar
Mabuk, rasa terlindungnya lebih besar daripada ia sendirian menghadapi Juru
Jagal dan anak buahnya.
"Letakkan saja pedangmu," bisik Suto Sinting.
"Aku masih sanggup melawan mereka, Suto!"
"Kalau begitu kutinggalkan kau sendirian di sini, ya" Aku akan mengejar si
Bandar Santet!"
"Walaah... jangan begitu!" sergah Beiatung Gerhana dengan nada cemas.
"Kau bilang masih sanggup menghadapi mereka"!"
"Maksudku... maksudku sanggup menemanimu menghadapi mereka
berenam!" "Memang payah kau!"
"Kalau sakit gigiku sedang kambuh memang suka payah begini."
Seet...! Pedang si Belatung Gerhana direbut Suto dengan cepat. Sebelum
si gemuk itu protes, Suto Sinting sudah berseru lebih dulu kepada Juru Jagal
yang hergerak mengelilingi lawan bersama kelima anak buahnya.
"Aku akan melawan kalian berenam dengan pedang di tangan kiri. Tapi
izinkan temanku ini untuk keluar dari kepungan!"
"Kalian tak akan bisa lolos, Keparat!" geram Juru Jagal.
"Selain menggunakan pedang ini dengan tangan kiri, aku berjanji tak akan
menyerang selain hanya menghindar dan bertahan dari serangan kalian. Kalau
memang kalian bisa memenggal kepalaku, itu namanya apes bagiku. Tapi kalau
kalian tak bisa lakukan hal itu, kalian hanya akan kehabisan tenaga. Tapi aku
tetap tak akan mencabut nyawa kalian. Bagaimana" Kalian se~ tuju dengan
perjanjian ini"!"
Juru Jagal diam beberapa saat sambil tetap ber- gerak pelan-pelan
mengelilingi kedua lawannya, demi- kian pula halnya dengan kelima orangnya.
Mereka masih memainkan pedang lebar yang biasa untuk meman- cung kepala
musuh. Permainan pedang dilakukan dengan pelan sambil menunggu saatnya
menyerang. "Kalian boleh membunuhku, tapi aku tidak boleh membunuh dan melukai
kalian. Ini perjanjianku! Pertimbangkan, apakah kalian setuju atau tidak. Jika
tidak, tak satu pun nyawa kalian yang akan kusisakan! Semua kepala kalian akan
kukirim kepada Bandar Santet!"
Setelah mereka saling melirik Juru Jagal, orang berkumis lebat dan
berdada kekar itu berseru tegas.
"Baik! Kuizinkan si gembrot itu keluar dari kepungan! Lekas...!"
"Tunggulah aku di pohon besar depan sana!" bisik Pendekar Mabuk
kepada si gemuk besar.
"Tapi... tapi...."
"Lekas ke sana! Aku punya cara sendiri untuk hadapi mereka!" desak Suto
Sinting sambil menyilangkan bumbung tuak ke punggung.
"Hat... hat...."
"lya, aku tahu kau mau bilang hati-hati! Aku akan hati-hati. Sudah,
sana...!" Si gendut berlari keluar dari kepungan. Lemak di sekujur tubuhnya
berombak-ombak seperti karung ba sah dibawa lari. Langkah kakinya berdebam
di tanah. Bluuk, bluuk, bluuk, bluuk...!
Sampai di bawah pohon ia melambaikan tangan seakan mengucapkan
selamat berpisah. Suto Sinting tak sempat membalas karena salah satu anak
buah Juru Jagal sudah menyerang lebih dulu. Serangan itu datang dari arah
samping kiri. Sebuah lompatan yang disertai tebasan pedang membuat Suto
Sinting terpak sa harus cepat berlutut dan menadahkan pedangnya ke atas.
Traang...! Pendekar Mabuk berguling ke depan. Di depan ia disambut tendangan
kaki Juru Jagal. Beet...! Plaak...! Tangan kanan menahan tendangan itu saat
Suto baru saja selesai berguling. Gerakan cepatnya membuat Juru Jagal nyaris
kecolongan langkah. la menyangka Suto bergerak ke sisi kanannya, ternyata
Pendekar Mabuk bergerak ke sisi kiri.
Wuut, jleeg...! Baru saja berdiri tegak, dua penye- rang datang dari
belakang. Mereka sama-sama iakukan lompatan sejajar dan pedang mereka
diayunkan dari atas ke bawah, sasarannya pundak kanan-kiri Suto Sinting.
"Heeaaat...!"
Wuut, wuuut...!
Crass, craas...!
"Aaaahk...!"
Kedua pundak Pendekar Mabuk jelas-jelas terkena tebasan pedang iawan.
Walaupun ia segera melompat ke depan dan berguiing dengan punggung tak
menyen- tuh tanah, tapi semua mata rnelihat bahwa tebasan kedua pedang
Iawan tepat kenai kedua pundak Suto.
Tetapi anehnya yang memekik keras tadi adalah si Juru Jagal sendiri.
Bahkan orang tinggi berbadan kekar itu rubuh ke depan dalam keadaan kedua
pundak nyaris putus secara mengerikan. Darah menyembur dari luka bacokan
yang amat dalam dan panjang itu.
"Hahh..."! Kenapa yang terluka si Juru Jagal"!" gumam hati kelima anak
buahnya itu. Mereka tak tahu bahwa sejak tadi Suto Sinting sudah pergunakan jurus
'Alih Raga'. Jurus itu membuat Suto Sinting tak akan terasa sakit walau dipukul
beberapa kali. Tapi justru teman Iawan yang akan merasakan sakit karena
pukulan tersebut.
Demikian pula yang terjadi dengan si Juru JagaL Ketika kedua pundak
Suto terkena bacokan maut dua pedang lawan, Pendekar Mabuk tak terluka
sedikit pun. Rasa sakit dan luka sudah dialihkan ke raga si Juru Jagal. Tak
heran jika kedua pundak Juru Jagal sekarang terluka parah dan tak mampu


Pendekar Mabuk 122 Kencan Di Lorong Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipakai lanjutkan per-tarungan.
"Bangsaat! Habis sudah riwayatmu! Heeeaah...!" salah seorang menyerang
dengan murka. la lakukan serangan dari belakang lagi. Tapi Pendekar Mabuk
cepat berputar tubuh dan pedangnya berkelebat dengan sangat cepat. Traang,
taaang...! Pedang itu berhasil ditangkis. Taps si penyerang menyalurkan tenaga
dalamnya melalui pedang tersebut, sehingga pedang itu tak bisa bergeser dari
arahnya kecuaii hanya tertangkis. Ketika pedang dihujamkan ke depan, srring...
jruub...! "Aaahkk...!"
Ujung pedang masuk sebagian ke tengah leher Suto Sinting. Pemuda itu
segera berjungkir balik ke belakang. Kakinya berhasil menendang tangan lawan
yang memegangi pedang. Beet...! Weerr...! Pedang di tangan lawan kini terlepas
dan terpental melambung ke atas. Tendangan kaki yang dilakukan sambil
berjungkir balik itu rupanya juga berkekuatan tenaga dalam pe- nuh, sehingga
tulang lengan si pemegang pedang terasa patah seketika. Genggamannya
menjadi terlepas.
Wuuuk, jleeg...!
Pendekar Mabuk berhasil tapakkan kedua kakinya di tanah dengan tegak
dan kokoh sekali. Tapi salah seorang dari anak buah Juru Jagal terkapar
dengan leher berlumur darah. Orang tersebut mengerang serak dan kejang-
kejang, untuk kemudian diam tanpa gerakan bersama napasnya yang terhembus
lepas untuk seIama~!amanya.
Sekali lagi, jurus Alih Raga' telah merenggut nyawa salah seorang anak
buah Juru Jagal. Melihat kenyataan seperti itu, Juru Jagal yang terluka parah
memaksakan diri untuk berdiri dan lepaskan pukulan bersinar merah dari
telapak tangan kanannya.
"Hiiiaaah.,.!"
Claap".J Jegaaarr..,!
Sinar merah itu tepat kenai dada Suto Sinting dan sinarnya menyebar ke
mana-mana bersama bunyi ledakan cukup keras. Tetapi ledakan itu hanya
membuat Pendekar Mabuk terlempar mundur tiga langkah. Tubuhnya tetap
utuh walau berselimut asap sepintas.
Namun di sisi lain, salah satu dari Orang yang tadi menyerang pundak
Suto kini dalam keadaan hangus. la tetap berdiri daiani kebisuan tanpa suara
dan gerak. Sekujur tubuhnya menjadi hitam, termasuk rambutnya yang menjadi
keriting bagai habis disambar petir.
Kejap berikut orang itu tumbang tak bernyawa lagi. Brruuk...! Empat
orang yang masih hidup, termasuk Juru Jagal sendiri, menjadi tercengang tak
berkedip. Mereka mulai mundur satu persatu.
Tapi salah seorang yang ada di belakang Pendekar Mabuk masih
penasaran. la nekad menyerang secara tiba-tiba dengan lompatan sangat cepat.
Pedangnya disabetkan dari kiri ke kanan. Wuut, craas...!
Leher Suto jadi sasaran telak. Begitu terasa teng- kuknya disambar
sesuatu, Suto Sinting melompat danberjungkir balik di tanah. Wuut, wuuk.J
Seet..J Dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah berdiri tegak dengan tangan
mengangkat pedang di atas kepala.
"Mestinya kepalanya terpenggal! Kenapa dia masih bisa berdiri"!" gumam
salah seorang. Yang diajak bicara diam saja. Tahu tahu ketika pundaknya
disentuh temannya, kepala orang itu jatuh bagaikan kelapa sawit dan darah
muncrat ke atas dari lehernya. Tentu saja hal itu tidak hanya mengejutkan
orang yang tadi menyenggol lengan si korban, taps juga membuatnya berteriak
kaget tanpa sadar.
"Huaaaaaaww...!!" ia berlari buru-buru menjauhi korban.
"Lariii...!" teriak Juru Jagal yang merasa tak mampu lag! menghadapi iimu
pemuda konyol itu. Tiga orang termasuk Juru Jagal sendiri segera melarikan diri
menyusul Bandar Santet.
"Hoii...! Aku hanya bertahan! Tidak menyerang kalian sesuai perjanjian!
Mengapa kalian lari"!" seru Suto Sinting dengan berlagak bingung, tapi bibirnya
mulai sunggingkan senyum geli melihat mereka lari tunggang langgang. Juru
Jagal diseret dua anah buahnya ketika berusaha mendaki tanah yang meouju ke
atas tebing. Belatung Gerhana berseru kegirangan sambil melompat-lompat.
"Mampus kalian! Mampus semua! Ayo, turun kalian kemari! Ayo, hadapi
pedangku itu! Suruh si Bandar Santet kemari! Lawan pedang pusakaku itu!
Huaa, haaa, haaa, haaa, haaa...!"
Jeebb...! "Haakkh...!" Belatung Gerhana tersentak dengan mata mendelik. Sesuatu
telah menancap di punggungnya.
Suara pekikan tertahan dan tawa terputus si Belatung Gerhana
memancing perhatian Suto Sinting untuk menengok ke arah si gemuk. Pelan-
pelan kepalanya memutar ke belakang bersama tubuhnya yang ikut memutar
juga. Kejap berikut mata Suto Sinting terbelalak melihat Belatung Gerhana
jatuh tengkurap di rerumputan. Bluuumb...!
"Belatung..."! " pekik Suto begitu kagetnya. Zlaaap...! Dalam sekejap ia
sudah berada di samping tubuh gemuk yang kali ini tengkurap di tanah seperti
prasasti tanpa sejarah.
"Belatung...! Belatung Gerhana! Hooi... hoooi...!" Suto Sinting
mengguncang-guncang badan gemuk besar itu dengan dua tangan. Satu tangan
tanpa tenaga dalam tak cukup mengguncang tubuh besar si Belatung Gerhana.
Tapi guncangan itu tidak membuat si Belatung menjawab sepatah kata pun.
4 Mata Suto Sinting terbelalak ketika melihat sekeping logam tertancap di
punggung Belatung Gerhana. Benda itu tepatnya menancap di bawah tengkuk,
mengenai urat nadi yang sangat berbahaya.
Pendekar Mabuk buru-buru mencabut benda tersebut. Sleeb...! Ternyata
sekeping logam putih berbentuk segitiga. Logam putih dengan tepian kehiru-
biruan itu jelas mengandung racun yang cukup berbahaya. Karena menancap
pada urat nadi yang sangat rawan, maka Belatung Gerhana pun tumbang dalam
waktu tiga hitungan.
"Celaka! Kalau tidak segera kutolong dengan tuakku, bisa tewas si gendut
tolol ini!" gumarn Suto Sinting dalam hati. Lalu ia berusaha membalikkan tubuh
gemuk besar yang tengkurap itu. Terpaksa menggunakan tenaga dalam sedikit,
Tiga Dara Pendekar 6 Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan Pedang Langit Dan Golok Naga 27
^