Keranda Hitam 1
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 LANGKAH kaki pemuda tampan itu terhenti karena
seorang lelaki tua berjenggot abu-abu memanggil
beberapa kali dari belakang. "Kisanak... Kisanak...!
Berhentilah sebentar. Kisanak... Ki...!"
Suara itulah yang menahan langkah kaki pemuda
tampan yang menyandang bumbung tempat tuak di
punggungnya. Lelaki berjenggot abu-abu dengan
mengenakan jubah putih itu mendekat. Usianya yang
diperkirakan sekitar delapan puluh tahun lebih itu
membuat langkahnya tertatih-tatih, ia mendekati anak muda itu dengan napas ngos-
ngosan. "Ada apa kau memanggilku, Pak Tua?"
"Bisakah kau menolongku, Kisanak?"
"Apa yang harus kulakukan untukmu?"
Orang bertongkat hitam itu diam sebentar, mengatur
pernapasannya. Matanya yang kecil sempat memandangi
anak muda yang gagah perkasa itu.
"Aku ingin pergi mengunjungi seorang sahabat lama, tapi aku tak tahu arahnya
ke.mana. Bisakah kau
menunjukkan arahnya?"
"Yang ingin kau tuju daerah mana namanya, Pak
Tua?" tanya Suto mulai heran sendiri.
"Aku mau menemui sahabat lamaku. Tokoh sakti
yang disegani tiap orang sesat. Ilmunya tinggi, sulit dikalahkan.''
"Siapa nama tokoh sakti itu, Pak Tua?"
"Sabawana. Hmmm... nama kondangnya si Gila
Tuak!" Anak muda berbaju coklat itu terkejut. Matanya
makin tajam memandang Pak Tua yang sedikit
terbungkuk-bungkuk itu.
"Apakah kau kenal nama sahabat lamaku itu, Nak"
Kalau kau mengenalnya dan tahu tempatnya, tolong
bantu aku tunjukkan di mana ia berada. Nanti aku akan bantu kamu juga
memberitahukan apa yang belum kamu
tahu." Dengan nada heran Suto bertanya, "Bapak siapa?"
"Namaku Wiryasinder, dikenal dengan julukan si
Arak Bayangan. Dulu aku dan sahabatku itu sering
berkelana bersama."
"Kebetulan aku muridnya si Gila Tuak, Eyang!"
"Hahh..." Kalau begitu dugaanku tidak salah" Berarti ilmu nujumku masih berlaku
walau usiaku sudah setua
ini. He, he, he...."
Suto Sinting pun tersenyum ramah dan segera
membungkuk memberi hormat, ia ingat cerita gurunya
tentang sahabat sang Guru yang sudah lama menghilang dari peredaran. Nama si
Arak Bayangan pemah didengar Suto Sinting dari mulut gurunya, sehingga ia perlu
memberi hormat kepada Pak Tua itu.
"Bagaimana kabarnya gurumu" Pasti baik-baik saja."
"Benar, Eyang. Guru dalam keadaan baik."
"Pasti kau murid tunggalnya yang bergelar Pendekar Mabuk?"
"Benar, Eyang. Saya bergelar Pendekar Mabuk. Kok Eyang tahu?"
"Arak Bayangan juga ahli nujum, jadi jangan heran kalau aku bisa mengetahui
bahwa kau adalah anak yang tidak punya pusar."
Suto Sinting tersenyum malu. "Memang benar,
Eyang. Sayalah bocah tanpa pusar yang kemudian
diangkat murid oleh si Gila Tuak...."
"Dan Bidadari Jalang. Benar, bukan?"
"Benar, Eyang. Kok Eyang kenal dengan Bibi Guru saya?"
"He, he, he... aku kan ahli nujum. Masa' begitu saja tidak tahu" Bidadari Jalang
dulu juga temanku, tapi dia nakal dan aku malas berteman dengannya. Eh, dulu aku
pernah dicium sama si Bidadari Jalang. Aku malu sekali.
Maklum waktu itu aku seganteng kamu, jadi bahan
rebutan gadis-gadis, ditarik sana, ditarik sini sampai akhirnya kulitku kendur
begini dan...."
"Sudah, sudah... kalau Eyang Arak Bayangan ingin menemui Guru, jangan melantur-
lantur nanti malah
tersesat lagi. Sebaiknya mari saya antar ke Jurang
Lindu." "O, jadi gurumu tinggal di Jurang Lindu" Ooo...
kalau daerah Jurang Lindu aku sudah hafal. Kalau
begitu, aku akan pergi beranjangsana ke Jurang Lindu sekarang juga. Sampai jumpa
lagi, Pendekar Mabuk...."
"Tapi Eyang bisa tersesat ke pemukiman para janda kalau tidak saya antarkan ke
sana. Tempat itu jauh dari sini."
"Kalau aku tersesat, wajar. Tapi kalau jadi orang sesat, itu kurang ajar. He,
he, he...! Sudah, sudah...
teruskan perjalananmu. Aku akan ke Jurang Lindu
sendiri." "Baiklah kalau Eyang maunya begitu. Saya permisi dulu, Eyang."
"Jaga dirimu baik-baik. Nak. Salam buat gurumu si Gila Tuak dan...."
"Lho, katanya Eyang mau bertemu guru saya, kenapa masih titip salam segala?"
"O, iya. Aku lupa. Maklum sudah tua. Eh, ada sesuatu yang perlu kau ketahui,
Pendekar Mabuk."
Suto Sinting tak jadi memisahkan diri justru
mendekat kembali.
"Ada apa, Eyang?"
"Perjalananmu nanti akan menemui kejutan besar
yang belum pernah kau alami selama hidupmu."
"Maksud Eyang saya akan bertemu bidadari cantik?"
"Hampir mirip itu. Tapi kejutan besar itu akan membuatmu lebih cerdas dan lebih
dewasa lagi. Jangan kaget dan jangan cepat gusar. Terimalah kejutan besar itu
dengan hati sabar. Sebab orang sabar disayang
Tuhan." Suto Sinting tersenyum ramah. "Apakah masih ada yang ingin kau katakan, Eyang?"
"Hmmm... tidak ada. Hanya itu. O, ya... hati-hati dengan Keranda Hitam. Dia akan
jadi lawanmu."
"Keranda Hitam?" Suto memandang heran.
"Ah, sudah, sudah... lupakan saja. Keranda Hitam tak perlu dibicarakan. Itu
ramalan yang kuhafalkan. Nah, kita berpisah, sampai di sini dulu. Lain waktu
kita bertemu lagi, Pendekar Mabuk."
Zlappp...! Tiba-tiba Pak Tua itu lenyap bagai ditelan bumi. Suto Sinting
terperanjat dan terheran-heran. "Apa maksud pertemuanku dengan si Arak Bayangan
ini" Apakah punya arti dalam langkahku mendatang?"
Suto Sinting sempat memikirkan ramalan si Arak
Bayangan, ia menduga-duga kejutan apa yang akan
dialaminya. Tapi sampai jauh melangkah ia hanya
menemukan renungan kosong tanpa makna. Hanya saja
dalam hatinya masih timbul keyakinan bahwa ramalan
itu akan menjadi kenyataan, entah kapan dan di mana.
* * * Gumpalan awan hitam berarak-arak bagai menaungi
langkah serombongan manusia yang melintasi kaki bukit cadas. Di atas guguaan
cadas lainnya, berdiri seorang
pemuda gagah dan tampan yang mengenakan baju coklat
tanpa lengan dan celana putih kusam. Pemuda itu baru saja menenggak tuak dari
bumbung yang kini melintang di punggung. Siapa lagi dia kalau bukan murid
sintingnya si Gila Tuak. Dan siapa lagi murid sintingnya si Gila Tuak kalau
bukan Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
Mata tajam yang berkesan lembut dan menawan hati
lawan jenisnya itu sejak tadi memperhatikan
serombongan orang yang melintasi kaki bukit.
Rombongan orang yang bergerak itu bukan barisan
prajurit kadipaten yang sedang pamer kegagahan,
melainkan iring-iringan para pelayat yang hendak
memakamkan sesosok jenazah dalam keranda hitam.
Iring-iringan jenazah itu makin menjauh, hati Pendekar Mabuk semakin penasaran.
Maka ia pun segera
menyusul rombongan pengantar jenazah itu dengan
menggunakan 'Gerak Siluman' yang mampu
membuatnya bergerak melebihi kecepatan anak panah.
Zlappp...! Tahu-tahu sudah sampai di belakang orang yang ada
paling akhir dari barisan pengiring jenazah itu. Orang yang paling akhir itu
berbadan agak gemuk, berpakaian serba hijau dan tubuhnya tergolong pendek.
Umurnya sekitar empat puluh tahun, sehingga Suto Sinting
menyapanya dengan sebutan 'paman'.
"Maaf, Paman. Boleh saya mengganggu sebentar?"
"Kalau ada orang sedang mengiringi jenazah itu jangan diganggu!" hardik orang
tersebut dengan suara tertahan.
"Maksud saya, mengganggu untuk menanyakan siapa yang ada dalam keranda hitam
itu, Paman."
"Bocah bodoh! Yang ada dalam keranda hitam kok
ditanyakan" Tentu saja mayat! Masa' batu koral"!"
Orang berkumis rimbun itu bersungut-sungut. Suto
Sinting menahan diri untuk tidak menunjukkan
kejengkelannya. Sebab apa yang dimaksud dalam
pertanyaannya tidak dipahami oleh orang berbaju hijau itu. Maka dengan sabar
Suto Sinting yang ikut berjalan beriringan itu menjelaskan apa maksud
pertanyaannya tadi. "Maksud saya, mayat siapa yang ada di dalam
keranda hitam itu, Paman?"
"Ya mayat orang yang sudah mati! Mana mungkin
orang masih hidup kok dimasukkan ke dalam keranda
dan dianggap mayat"!"
Karena jengkel, Suto Sinting akhirnya berkata,
"Barangkali saja Paman kepingin tiduran di dalam keranda, kan bisa saja!"
"Kamu menghinaku"! Jangan bikin perkara lho, ini sedang mengiringi jenazah.
Harus hikmat dan penuh
curahan ikut berbelasungkawa."
Suto Sinting sunggingkan senyum supaya ketegangan
orang itu mengendur.
"Habis Paman ditanya kok jawabannya seenaknya
begitu." "Seenaknya bagaimana" Apa jawabanku tidak sesuai dengan pertanyaanmu?"
"Ya memang sesuai, tapi tidak tepat dengan maksud
saya." "Maksudmu itu bagaimana sih"!"
Salah seorang menghardik. "Ssstt...! Kalian ini kok malah berisik sendiri"!
Nanti kalau mayatnya bangun karena keberisikan, bagaimana"! Dicucup ubun-ubunmu
baru tahu rasa!"
Orang itu hanya menggerutu tak jelas, kemudian ia
mendekati Suto dan berkata dengan nada pelan, "Tuh, dengar kan" Belum jadi mayat
saja dia sudah galak,
apalagi kalau jadi mayat. Makanya kamu jangan bikin ribut denganku, Anak Muda!
Kalau mau ikut melayat ya ikut saja. Tidak perlu pakai berdebat segala."
Sebenarnya Suto ingin tertawa, tapi ia menahan mati-
matian sampai akhirnya ia hanya bisa berkata pelan juga,
"Yang mengajak ribut itu siapa?"
"Lha kamu tadi...?"
"Saya hanya ingin menanyakan jenazah siapa yang ada di dalam keranda hitam itu?"
"Apa maksudmu bertanya begitu?"
"Karena kulihat jumlah pelayatnya cukup banyak.
Aku menduga jenazah itu adalah jenazah orang
terpandang, setidaknya orang punya nama, dan aku ingin tahu siapa orang itu.
Paham?" "Ya jelas paham! Pertanyaan seperti itu saja kok dianggap tidak bisa kupahami!"
Orang itu bersungut-sungut lagi.
"Jadi, jenazahnya siapa itu, Paman?"
"Jenazahnya seorang pendekar sakti. Kata orang-
orang, bagi siapa saja yang ikut memakamkan jenazah
pendekar sakti itu, banyak atau sedikit akan mendapat titisan ilmu sang
almarhum. Maka aku ikut mengiringi pemakaman ini, supaya dapat titisan ilmunya
walau dua-tiga jurus."
"Pendekar sakti siapa, Paman?" Suto berkerut dahi sambil melangkah mengikuti
iring-iringan itu.
"Masa' kamu belum bisa menduga siapa nama
pendekar sakti itu" Pendekar tersebut sangat kondang seantero jagat. Di rimba
persilatan namanya sangat
ditakuti oleh banyak tokoh, terutama tokoh sesat yang ilmunya tanggung-tanggung.
Malah tokoh sesat yang
ilmunya tinggi saja sering gemetar kalau mendengar
nama pendekar almarhum itu."
"O, jadi jenazah itu adalah jenazah Pendekar
Almarhum?" tanya Suto dengan bingung.
Orang berambut ikal itu tertawa dengan mulut
dibekap pakai tangan sendiri.
"Mana ada julukan Pendekar Almarhum"!" katanya kepada Suto. "Namanya bukan
Pendekar Almarhum, tapi Pendekar Mabuk!"
Degg...! Jantung Suto Sinting bagaikan dibetot ke dalam
saking kagetnya. Tanpa sadar langkahnya terhenti,
tangannya mencekal lengan orang berbaju hijau itu.
Orang tersebut pun terpaksa hentikan langkah dan
memandang heran kepada Suto.
"Apa maksudmu menahan langkahku, Anak Muda?"
"Aku belum jelas maksudmu, Paman. Kau tadi
menyebutkan nama Pendekar Mabuk, sedangkan...."
"Memang nama jenazah itu semasa hidupnya adalah Pendekar Mabuk alias Suto
Sinting, muridnya Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Setelah mati julukannya
ditambah menjadi 'Almarhum Pendekar Mabuk'. Sudah jelas,
bukan"! Kalau sudah jelas ayo kita jalan lagi nanti ketinggalan rombongan!"
"Nanti dulu, Paman. Nanti dulu...." Suto Sinting masih menahan orang tersebut.
"Coba Paman bicara yang betul. Jangan asal bicara begitu," kata Suto sedikit
tunjukkan rasa tersinggungnya, karena orang itu menyebutkan nama dan gelarnya.
"Lho, apa kau anggap aku tadi bicaranya ngawur"
Aku bicara yang sebenarnya, Anak Muda! Jenazah itu
adalah jenazah Pendekar Mabuk. Nama aslinya Suto
Sinting. Dia itu muridnya si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang. Begitulah keterangan yang kudengar dari mulut orang-orang yang ikut
melayat di sini. Kalau tidak
percaya tanyakan saja kepada mereka."
Suto Sinting gemetar, matanya memandang tajam
kepada orang berbaju hijau itu.
"Paman tahu siapa aku ini?"
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
''Mana aku mengenalmu, habis kau datang-datang
bukan memperkenalkan diri malah mengajak berdebat
begini"!"
"Akulah yang bernama Suto Sinting, Pamanl"
"Aah... bercanda kamu!" Orang itu tertawa
meremehkan dengan wajah melengos.
"Paman, aku ini Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk. Akulah murid Gila
Tuak dan Bidadari Jalang!"
sambil Suto tepuk dada sendiri.
Orang itu geleng-geleng kepala sambil mencibir.
"Jangan mengaku-aku Pendekar Mabuk. Apa kau pikir aku akan kabur tunggang-
langgang karena
menganggapmu sebagai hantu jika kau mengaku
Pendeksr Mabuk" Oh, tidak bisa, Anak Muda. Aku tidak bisa kau tipu, Nak!"
Pengusung keranda hitam makin menjauh, demikian
pula para pengiringnya. Orang berbaju hijau itu kaget melihat dirinya tertinggal
jauh oleh rombongan, ia
segera bergegas menyusul rombongan dengan mulutnya
menghamburkan makian dan gerutuan kepada Suto.
Sementara itu Suto Sinting sendiri diam termenung
dalam keadaan masih berdiri di tempat. Matanya
memandang ke arah rombongan yang menjauh dengan
hati berkecamuk penuh keheranan.
"Orang itu gila atau goblok" Kata-katanya seperti orang mengigau" Ah, aku jadi
sangat penasaran sekali.
Apa benar orang-orang itu menganggap mayat dalam
keranda hitam adalah mayatku" Apa iya Pendekar
Mabuk sudah mati" Lalu aku ini siapa kalau begitu"!
Bisa benar-benar sinting kalau kupikirkan terus tanpa kucari kebenarannya.
Sebaiknya kutanyakan saja kepada para pengusung jenazah itu!"
Zlapp...! Dalam waktu dua kejap, Suto Sinting sudah ada di
depan rombongan pengusung jenazah, ia berdiri dengan sikap menghadang jalannya
iring-iringan tersebut. Tentu saja langkah para pengusung jenazah menjadi
terhenti tiba-tiba. "Hahh..."!" Delapan pengusung jenazah sama-sama terbelalak dengan mata mendelik
bagai ingin loncat keluar dari rongganya.
"Maaf, aku mengganggu perjalanan Saudara-saudara yang terhormat...," kata Suto
menunjukkan sikap sopannya.
Tapi para pengiring jenazah itu saling terpekik
dengan suara tertahan. Yang memanggul keranda
gemetaran bagai diserang hawa salju hingga menggigil.
"Aaaaa...!" salah seorang berteriak menjerit lengking, keras sekali. Yang
lainnya ikut menjerit pula hingga suasana menjadi gaduh.
"Hantuuuu...!!" teriak salah seorang pengusung jenazah yang baru saja terlepas
dari rasa tercekamnya.
Maka rombongan pengiring jenazah itu pun buyar
seketika. Mereka saling berteriak dan menjerit tak
karuan. Ada yang bersuara jelas, ada yang hanya
terdengar suaranya saja tak jelas ucapannya.
"Settaaaann...!"
"Aaannn...!"
"Hantuuu...!"
Sejumlah empat puluh pengiring saling berlarian ke
sana-sini tak tentu arah, saling mencari tempat
berlindung, saling berusaha berlari secepat mungkin dan sejauh mungkin. Malah
ada yang tersungkur jatuh dan
diinjak beberapa orang.
"Wuadoow...! Matii aku, Maaakk...!"
Ada pula yang saking paniknya berlari menabrak
pohon hingga batang hidungnya pecah. Salah seorang
pingsan karena kejatuhan keranda mayat. Sedangkan
yang sangat ketakutan hingga menggigil dengan wajah
pucat tetap diam di tempat tak bisa melangkah. Tahu-
tahu celananya basah.
Tentu saja Suto Sinting menjadi sangat menyesal,
namun juga sangat sedih melihat ketakutan mereka.
Karena ketakutan itu bagaikan sebuah musibah yang
membuat beberapa orang cedera.
Setelah orang yang pingsan ditolong oleh Suto dari
tindihan keranda hitam, orang itu pun dicekoki dengan tuak. Tuak saktinya Suto
membuat orang itu lekas
siuman. Namun begitu siuman, orang itu kaget melihat wajah Suto ada di
hadapannya. "Haahh..." Orang itu pun akhirnya pingsan lagi.
Sedangkan orang yang tak bisa lari itu masih menggigil di tempat, tubuhnya
limbung ke kiri, kanan, depan,
belakang, tapi tidak jatuh-jatuh sejak tadi.
"Uugggrr... uuhhg... uuhhgg... takut... takut...!"
terdengar suara lirih orang yang menggigil tak bisa lari itu.
"Mereka benar-benar menganggapku sudah mati"!"
pikir Pendekar Mabuk dengan sedih. "Mereka
menganggap bertemu dengan hantu. Berati aku dianggap hantunya mayat yang ada
dalam keranda hitam itu.
Penasaran sekali aku jadinya. Seperti apa mayat dalam keranda itu?"
Pendekar Mabuk dekati keranda yang tutupnya
sedikit terbuka itu. Tapi sebelum terlalu dekat, tiba-tiba
ada sekelebat bayangan yang melintas di depan Suto
Sinting, arahnya dari belakang Suto.
Wuttt...! Brrrakkk...! Tutup keranda hitam itu diterjangnya
hingga terpental. Keranda hitam bukan saja terbuka
tutupnya namun juga rusak karena terjangan orang yang melintas cepat tadi. Mayat
yang ada di dalamnya
terlempar dua langkah dari pecahan tutup keranda.
Bukan mayat yang jadi sasaran pandangan mata Suto,
melainkan wujud sesosok tubuh yang tadi menerjang
keranda hitam itu.
Sosok itu adalah sosok wanita cantik bergincu merah.
Mengenakan pinjung sebatas dada warna merah
bersulam benang emas. Celananya sebatas lutut warna
merah beludru, sama dengan bahan pinjungnya itu.
Sebuah pedang disandang di pinggangnya, tak terlalu
panjang namun berkesan mewah, karena gagangnya
terbuat dari kuningan emas mengkilap yang berukir
indah. Sarung pedangnya pun tampak dari lempengan
logam kuning emas berukir. Entah emas asli atau palsu.
Perempuan itu sungguh cantik. Bulu matanya lentik,
hidungnya bangir, sesuai dengan bentuk bibirnya yang mirip kuncup mawar. Kecil,
menggemaskan. Rambutnya
disanggul, tapi masih ada sisa sedikit yang dibiarkan jatuh berjuntai di kanan-
kirinya. "Mundur kau, Iblis!" hardik wanita cantik berusia sekitar dua puluh delapan
tahun itu. Suto Sinting hanya berkerut dahi memandang dengan sikap tenang.
Sedangkan mata si wanita berkulit kuning langsat itu
menatap tajam penuh sikap menantang.
"Berani mendekati jenazah itu, pedangku akan
mengusirmu dengan paksa!"
Sett...! Pedang pun dicabut dari sarungnya. Kaki
kanannya mundur selangkah, kedua tangan mulai
bersiap menyerang dengan pedang. Cukup gagah dan
tegap. Kelihatan kalau wanita itu berilmu pedang
lumayan. Pandangan mata dan ujung pedang sama-sama
tertuju ke satu arah.
Pendekar Mabuk menarik bumbung tuaknya dari
punggung, kemudian menenggak beberapa teguk.
Sementara itu satu-dua orang memperhatikan dari jarak jauh penuh rasa takut.
Bahkan orang yang menggigil itu kini jatuh lemas dan masih tak bisa bicara apa-
apa. Pendekar Mabuk melangkah menjauhi orang yang
pingsan, mendekati tempat yang lega dan agak dekat lagi dengan si wanita,
sehingga dapat melihat bentuk
kecantikannya lebih jelas lagi.
"Siapa kau, Nona cantik?"
"Aku yang akan bertanya begitu padamu. Siapa kau dan Iblis dari mana asalmu"!"
"Aku Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Aku dari...."
"Bohong! Kau hanya menyamar sebagai Pendekar
Mabuk! Kau Suto Sinting palsu!"
"Kau yang keliru, Nona. Aku Suto yang asli!"
"Yang asli sudah tewas! Lihat itu...!" ia menuding dengan pedangnya.
Suto Sinting baru menyadari kalau mayat yang
terlempar keluar dari dalam keranda itu adalah mayat
dirinya. Badannya gempal berotot, dadanya bidang dan kekar. Bajunya coklat tanpa
lengan, celananya putih
lusuh berlumur darah, ikat pinggangnya merah. Sayang mayat itu tanpa kepala
alias buntung. Tetapi di sisi keranda terdapat bumbung bambu tuak,
persis sekali dengan bumbung tuak yang sedang
dibawanya di pundak.
"Itu bukan aku," ucap Suto datar, seperti bicara sendiri.
"Memang itu bukan kau! Karena kau bukan Suto
Sinting!" Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala. "Kau
keliru...," ucapnya pelan sambil melangkah mendekati mayat tanpa kepala itu.
Hatinya membatin, "Ternyata inilah kejutan besar yang dimaksud si Arak
Bayangan."
"Jangan mendekat!" bentak perempuan itu.
Bentakan tersebut tak dihiraukan oleh Suto.
Akibatnya, sebelum Suto lebih dekat dengan mayat itu, si cantik, berkelebat
menyerang dengan pedangnya.
Wuttt...! Tubuh si cantik melayang sebatas kepala
Suto. Pedangnya berkelebat mengibas bagai ingin
membuntungi kepala Suto. Dengan cekatan Pendekar
Mabuk putar badan sambil menyambar bumbung
tuaknya untuk digunakan menangkis pedang itu.
Traanng...! Benturan pedang dengan benturan bumbung bambu
seperti benturan baja dengan baja. Ayunan pedang yang begitu keras memental
balik hingga membuat tubuh si cantik yang melayang itu oleng ke belakang terbawa
tenaga baliknya. Akibat yang diterima si cantik adalah mendaratkan kaki tak
sempurna. Pendekar Mabuk pun
segera merendah dan menyapu kaki perempuan itu
dengan kaki kanannya.
WUSSS...! Plak...! Bluhgg...!
Perempuan itu jatuh telentang. Tapi dengan serta-
merta pinggulnya dihentakkan sehingga tubuhnya
melesat naik dan tahu-tahu kedua kakinya sudah
memijak tanah dengan kuda-kuda yang kokoh.
Wajahnya segera berpaling ke kanan. Wett...!
Matanya memandang tajam pada Suto Sinting. Yang
dipandang hanya diam, berdiri dengan mata memandang
kalem. Tapi hatinya berkata dengan penuh keheranan.
"Mestinya kakinya patah. Tapi ternyata ia masih bisa berdiri tegak. Berarti
sapuan kakiku yang penuh tenaga tadi dapat ditahan dengan tenaga dalamnya yang
disalurkan melalui betis indahnya itu. Hebat. Dia punya ilmu yang cukup hebat.
Salah besar kalau aku
menyepelekannya. Aku harus hati-hati."
Tetapi perempuan yang mempunyai mata indah
sedang memandang tajam berkesan galak itu juga
berucap kata dalam hatinya.
"Boleh juga jurus si monyet ini"! Tenaganya cukup besar! Sabetan pedangku yang
penuh tenaga itu justru memantul balik lebih besar lagi. Tak kusangka dia bisa
membalikkan tenagaku dua kali lipat besarnya. Aku
harus waspada melawannya. Hanya saja, apa kemauan si monyet ganteng ini?"
Mata bertemu mata. Senyum Suto mengembang
penuh pesona. Mestinya perempuan itu luluh hatinya
karena Suto melepaskan jurus 'Senyuman Iblis' yang
dapat membuat lawan jenis kasmaran dan pasrah. Tetapi jika lawan jenisnya
berilmu tinggi, jurus 'Senyuman Iblis' memang tidak berguna sama sekali.
Jika, ternyata perempuan itu masih menampakkan
wajah ketus dan matanya memandang galak, maka
berarti perempuan itu berilmu tinggi. Suto Sinting
mencatat ketinggian ilmu perempuan cantik itu di dalam hatinya, sehingga ia tak
mau menggantungkan bumbung
tuaknya. Bumbung itu masih dipegang dengan tangan,
talinya melilit di telapak tangan, sehingga dapat
digerakkan ke mana-mana.
"Apa maumu menghadang kami, hah"!" hardik
perempuan itu. "Hanya membuktikan bahwa mayat itu bukan aku.
Pendekar Mabuk adalah aku, Nona. Harap kau percaya."
"Aku tak mau percaya!" katanya dengan sikap menantang.
"Lalu apa maumu jika tak percaya?"
"Aku akan membawa mayat itu!"
"Mau kau bawa ke mana?"
"Kuserahkan kepada gurunya Pendekar Mabuk agar dimakamkan dengan penghormatan
tinggi!" "Apakah kau tahu di mana kediaman gurunya
Pendekar Mabuk?"
"Di Jurang Lindu! Di sanalah si Gila Tuak
bersemayam, sedangkan Bidadari Jalang mengasingkan
diri di Lembah Badai!"
"Dia tahu semua tempat tinggal Guru," pikir Suto.
"Berarti dia bukan perempuan liar yang hanya bisa bicara secara ngawur."
Kemudian Suto bertanya, "Dari mana kau tahu letak kediaman guru-guruku itu,
Nona?" "Dari siapa lagi kalau bukan dari gusti ratuku
sendiri." "Siapa gusti ratumu, Nona?"
"Untuk apa kau bertanya" Sebaiknya kau menyingkir saja dan jangan halangi kami
membawa jenazah
Pendekar Mabuk ini ke Jurang Lindu!"
"Tak kuizinkan kau membawa jenazah ini, karena
dapat menggegerkan rimba persilatan!"
"Kalau begitu kau harus bertarung denganku sampai mati!"
"Jangan sampai mati. Sampai ada yang kalah saja.
Setuju"!"
"Aku tak akan merasa kalah jika nyawaku masih
belum bisa kau cabut!"
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik
celah dua gugusan cadas setinggi rumah itu. Clappp...!
Sinar merah itu bergerak dengan cepat seperti bintang berekor. Nyala sinarnya
sangat terang. Arahnya jelas ke punggung perempuan cantik itu.
Suto Sinting melompat ke depan sambil berseru,
"Awasss...!"
Zlapp...! Tahu-tahu ia sudah beradu punggung
dengan perempuan itu. Tepat ketika perempuan itu
menengok ke belakang, sinar merah sedang dihadang
oleh bumbung tuak Suto. Sinar itu menghantam telak
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bambu tuak tersebut.
Duarrrr...! Ledakan keras terjadi. Daya ledaknya membuat tubuh
Suto Sinting terpental ke belakang berjungkir balik
menabrak perempuan tersebut.
"Keparat...! Mau membokongku kau hah"! Terima
pembalasanku ini! Hiaaat...!" geram perempuan itu.
Kemudian si cantik melepaskan pukulan tenaga
dalamnya dari telapak tangan kiri. Seberkas sinar hijau melesat dari telapak
tangan kirinya itu. Clapp...!
Arahnya ke celah dua gugusan cadas.
Blegarr...! Dua gugusan cadas itu pecah seketika dihantam sinar
hijau. Tapi tak ada seorang pun di balik gugusan cadas tersebut, sehingga
perempuan itu tak bisa mengetahui siapa orang yang hendak menyerangnya dari
belakang tadi. "Untung iblis ganteng itu bergerak cepat menghadang sinar merah tadi. Kalau
tidak, bisa hancur tubuhku
dihantam sinar merah."
Perempuan itu memandang ke arah pemuda tampan
yang dianggap Suto palsu itu. Ia terperanjat namun tak diperlihatkan.
"Dia pingsan"! Oh, harus kuapakan sekarang"
Kutebas dengan pedangku atau kuselamatkann dulu" Dia menghalangi langkahku
membawa jenazah Suto ke
Jurang Lindu, tapi dia menyelamatkan nyawaku."
Perempuan itu menggeram jengkel sendiri dililit
kebimbangan. Sedangkan Suto Sinting benar-benar
pingsan. Sangat cocok jika kepalanya dipakai untuk
menggantikan kepala mayat yang terpenggal itu.
* * * 2 REMBULAN muncul di ujung malam. Bayang-
bayang pohon jatuh menghitam di tanah berumput tipis.
Di tanah itulah Suto Sinting terkapar dan baru saja sadar dari pingsannya.
Rupanya ia pingsan sejak siang dan tak ada yang menolongnya.
"Sial! Perempuan itu ternyata tidak mau menolongku, sehingga aku dibiarkan
pingsan sampai malam begini"!"
gerutu Suto Sinting dalam hati. Bumbung tuak yang
tergeletak di sampingnya segera diraih, kemudian ia menenggak beberapa teguk
tuaknya sebagai penguat
badan, mengembalikan kekuatannya yang sempat lenyap
karena serangan sinar merah tadi siang.
"Rupanya orang yang melepaskan pukulan bersinar merah itu cukup sakti. Terbukti
sinar merahnya tak bisa kukembalikan dengan menangkisnya memakai bumbung
tuak ini. Padahal biasanya kekuatan sebesar apa pun bisa kukembalikan jika
kutangkis memakai bumbung tuakku
ini! Hmm.... Siapa orang yang telah menyerang
perempuan cantik itu" Dan di mana perempuan itu
sekarang" Atau dia...."
Ada suara mengerang samar-samar. Suara orang
mengerang lirih itu datang dari balik sebuah pohon yang
bayangannya jatuh menutupi Suto. Maka pemuda
tampan yang sudah merasa sehat kembali karena sudah
meminum tuak saktinya itu segera menuju ke balik
pohon. "Oh, dia..."!" Suto terkejut melihat perempuan cantik itu ternyata masih ada di
situ dalam keadaan luka memar di wajahnya.
Rupanya perempuan itu baru saja siuman, entah sejak
kapan ia jatuh pingsan di balik pohon. Yang dapat
diketahui Suto adalah keadaan memar di wajah dan
tubuhnya. Cahaya rembulan membuat luka memar itu
terlihat jelas. Bahkan sebagian tulang pipinya tampak membengkak dan kulit
bagian bawah leher hampir
mencapai dada itu bagaikan luka terbakar.
Ada darah lembab yang membekas dari sudut
mulutnya sampai ke rahang. Sedangkan lengannya yang
kanan bagaikan habis digores dengan benda tajam
sejenis ujung pedang. Lengan itu terluka dan lukanya berwarna merah kehitam-
hitaman. Luka itu beracun,
sebab yang keluar dari luka bukan saja darah melainkan juga busa putih seperti
getah. "Kenapa kau"! Siapa yang menyerangmu sedemikian parahnya"!"
Tentu saja pertanyaan Suto tidak bisa dijawab, karena keadaan perempuan itu
sangat lemah. Matanya
memandang sayu, karena di sudut mata kirinya ada luka memar membiru sampai di
bagian pelipis. Mata kirinya itu bengkak, sangat menyedihkan. Kecantikannya
nyaris hilang karena luka parahnya itu. Rambut acak-acakan,
sanggulnya tak tertata rapi lagi.
Akhirnya justru perempuan itu yang ditolong oleh
Suto, bukan Suto yang ditolong perempuan itu dari
pingsannya. Dengan meminumkan tuak saktinya, Suto
Sinting berhasil mengobati luka parah si cantik. Tubuh yang penuh luka itu
menjadi segar kembali. Luka
terkoyak terkatup rapat lagi setelah minum tuaknya Suto.
Warna biru memar pun lenyap, berganti warna kulit asli.
Tulang yang bengkak pun mengempes dan kembali ke
wujud semula. Kini kecantikan perempuan itu terlihat nyata lagi,
bahkan badannya makin lama terasa semakin segar. Rasa perih di bagian dalam
tubuhnya pun tak ada yang
membekas. Hal itu sungguh mengagumkan bagi si
perempuan. Dalam hatinya ia hanya berkata,
"Luar biasa kehebatan tuaknya. Hampir sama dengan kehebatan tuak Suto Sinting.
Apakah dia muridnya Suto Sinting" Kabar yang kudengar, Suto tidak mempunyai
murid. Kabar yang kudengar juga mengatakan bahwa
Suto dikenal pula dengan julukan Tabib Darah Tuak,
karena ia mampu menyembuhkan penyakit dan luka
melalui tuaknya. Apakah pemuda ini juga mempunyai
kesaktian yang setara dengan tuaknya Pendekar Mabuk
itu?" Perempuan itu bergegas bangkit ketika Suto Sinting
memungut pedangnya. Pedang itu tergeletak dalam jarak empat langkah dari
tempatnya terkapar tadi. Pedang itu diambil Suto dan diserahkan kepada
pemiliknya. "Siapa orang yang menyerangmu, Nona?"
Dalam keadaan sudah berdiri, perempuan itu menarik
napas panjang-panjang. Merasakan kelegaan yang enak
sekali, sepertinya ia tak pernah mengalami luka apa pun.
Matanya memandang Suto sebentar. Tapi segera ingat
sesuatu sehingga pandangan matanya beralih ke arah
lain. Kemudian ia tampak sedikit tegang.
Ia berlari ke arah keranda yang berantakan. Wajahnya semakin kelihatan kecewa
dan memendam marah. Sinar
rembulan menampakkan perubahan wajah itu begitu
jelas. Mata indah itu segera memandang ke sana-sini, ternyata keadaan telah
sepi. Suto pun tidak melihat orang yang tadi siang
menggigil ketakutan itu. Bahkan orang yang pingsan
karena kejatuhan keranda juga sudah tidak ada. Satu pun manusia tak ada di sana
kecuali Suto dan perempuan itu.
Bukan hanya para pelayat yang hilang, tapi mayat
tanpa kepala itu juga hilang Dan hilangnya mayat itulah yang membuat perempuan
cantik itu menggeram penuh
kejengkelan. Ketika Suto mendekat, ia mendengar suara perempuan cantik itu
menggeram penuh dendam.
"Pasti dia yang mencuri jenazah itu!"
"Maksudmu dia siapa?" tanya Suto sambil
memandang ke arah sekeliling, seakan ia bertanya
dengan acuh tak acuh.
"Siapa lagi kalau bukan si keparat itu!"
"Iya. Maksudku, siapa nama si keparat itu?" desak Suto kali ini sambil
memandang. "Anak Petir."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi sambil menggumam
heran, "Anak Petir..."! Aneh sekali namanya?"
"Kau baru sekarang mendengar nama itu?"
Suto Sinting mengangguk menandakan kejujurannya.
Tapi perempuan itu justru tersenyum sinis melecehkan Suto.
"Berarti kau bukan tokoh penting dalam dunia
persilatan. Kau boleh saja punya perawakan menyerupai mendiang Pendekar Mabuk,
tapi pengetahuanmu sangat
cetek. Tertinggal jauh dengan Pendekar Mabuk. Pantas kalau kau tidak mengenal
nama Anak Petir."
Perempuan itu bergegas meninggalkan Suto. Maka
buru-buru Suto mencegahnya dengan mengejar langkah
si perempuan. "Hel, tunggu...! Apakah kau tak ingin menyebutkan namamu?"
Perempuan itu hentikan langkah, menatap Suto dalam
linangan cahaya rembulan, ia menatap agak lama,
sepertinya sedang mempertimbangkan jawabannya.
Rupanya ia ragu-ragu untuk memperkenalkan diri. Tapi setelah teringat bahwa
pemuda yang dihadapinya itu
telah menyelamatkan nyawanya dan mengobati lukanya,
akhirnya ia putuskan untuk memperkenalkan diri.
"Namaku... Bulan Sekuntum!"
Ia masih memandang ketika Suto manggut-manggut.
Senyum Pendekar Mabuk yang membias tipis itu
dibiarkan saja, tanpa tanggapan apa pun, tanpa balasan senyum yang serupa. Lalu
ia menyarungkan pedangnya yang dari tadi digenggam. Srekk...! Klak...! Mantap
sekali caranya memasukkan pedang. Melambangkan
sebagai perempuan pemberani.
"Apa lagi yang ingin kau tanyakan?" ujarnya dengan nada angkuh.
"Apakah orang yang melukaimu sampai babak belur itu adalah Anak Petir juga?"
"Ya. Sejak kau pingsan aku bertarung dengannya, karena dia ingin mencuri mayat
Pendekar Mabuk. Aku
bertarung sampai sore, selewat dari sore aku tak tahu lagi."
"Boleh aku tahu apa urusanmu dengan si Anak Petir itu" Agaknya dia ingin
membunuhmu secara pelan-pelan."
"Yang jelas dia musuh kami," jawab Bulan Sekuntum sambil melangkah meninggalkan
tempat itu. Mau tak
mau Suto Sinting mengikutinya.
"Kau mau ke mana, Bulan?"
"Menemui Ki Sabawana!" langkahnya terhenti dan berpaling memandang Suto. "Pasti
kau tidak tahu juga, siapa Ki Sabawana itu?"
Suto Sinting tersenyum meremehkan, sebab itu nama
asli gurunya. "Aku lebih banyak tahu tentang Ki Sabawana
daripada kau, Bulan Sekuntum!"
"Hem...!" Bulan Sekuntum mencibir dan melangkah lagi. Suto mengiringinya dari
samping kanan. "Kalau kau tahu, coba sebutkan siapa orang yang bernama Ki Sabawana itu?"
"Dia adalah tokoh sakti yang namanya tertera di urutan paling atas dari nama
tokoh-tokoh sakti aliran
putih. Nama Ki Sabawana dikenali orang sebagai tokoh yang paling ditakuti yang
berjuluk si Gila Tuak. Nama tokoh sakti kedua adalah Bidadari Jalang yang
bernama asli Nawang Tresni. Dulu perempuan cantik itu adalah tokoh sesat. Tapi
sekarang ia sudah bertobat dan menjadi tokoh aliran putih. Mereka mempunyai guru
suami-istri. Gila Tuak adalah murid Eyang Purbapati dan Bidadari Jalang adalah murid istrinya
Purbapati yang bernama
Eyang Nini Galih. Keduanya mempunyai murid tunggal
bernama Suto Sinting yang akhirnya bergelar Pendekar Mabuk."
Bulan Sekuntum hentikan langkahnya, ia
memandangi Suto lagi. Kali ini pandangan matanya
tidak berkesan meremehkan, melainkan berkesan
memuji, ia memanggut-manggut sesast sambil berkata
pelan. "Boleh juga pengetahuanmu. Sama persis dengan apa yang diceritakan ratu
gustiku." "Siapa ratu gustimu itu?"
"Gusti Dewi Giok."
Suto termenung sebentar dengan dahi berkerut tipis.
"Pasti kau tidak mengenalnya, bukan?"
"Ya, aku tidak mengenalnya. Bahkan baru sekarang aku mendengar namanya," jawab
Suto jujur sambil mengikuti langkah Bulan Sekuntum lagi.
"Kalau begitu kau hanya secara kebetulan saja
mendengar cerita tentang pribadi si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang," kata Bulan Sekuntum. "Kalau kau tahu banyak tentang mereka,
tentunya kau mengenal nama
gusti ratuku itu. Sebab Gusti Dewi Giok adalah adik
sepupu Bidadari Jalang. Usianya sudah banyak tapi
masih awet muda dan...."
"Kalau begitu," potong Suto. "Dewi Giok adalah saudara dari Ratu Ringgit Kencana
yang bernama Asmaradani"!"
Bulan Sekuntum kaget lagi. Langkahnya pun mau tak
mau terhenti. Kali ini dahinya tampak berkerut saat menatap Suto tanpa berkedip.
"Itu nama yang jarang bisa dikenal orang," kata Bulan Sekuntum. "Bagaimana kau
bisa mengenal nama kakak gusti ratuku?"
Kini Suto Sinting tersenyum tipis berkesan sombong,
ia sengaja tersenyum begitu untuk membalas senyuman
sombong Bulan Sekuntum yang sejak tadi dipamerkan
untuk meremehkan Suto. Bahkan kini Suto yang
melangkah lebih dulu, hingga Bulan Sekuntum
mengikutinya. "Asmaradani adalah Ratu Negeri Ringgit Kencana, Negeri itu ada di dasar laut.
Untuk masuk ke pulau itu harus melalui Pulau Bayang. Asmaradani juga memiliki
kesaktian tinggi, ia mempunyai ilmu yang jarang
dimiliki orang, yaitu ilmu 'Rambah Batin'. Dengan ilmu itu ia bisa hadir dalam
mimpi seseorang. Selain itu ia juga mempunyai ilmu langka yang bernama 'Latar
Bayang', bisa membuat suasana pemandangan di dasar
laut seperti di atas bumi, tapi tak punya matahari dan rembulan."
Seketika itu juga lengan Suto dicekal oleh Bulan
Sekuntum agar langkahnya terhenti. Perempuan cantik
yang sudah menata rambutnya kembali itu memandang
semakin heran dan menggumam lirih.
"Bagaimana kau bisa tahu hal itu"!"
"Karena aku pernah datang berkunjung ke Negeri
Ringgit Kencana," jawab Suto dengan bangga. "Aku pernah menyelamatkan
Asmaradani, juga pernah
menyelamatkan Pendeta Agung Dewi Rembulan yang
waktu itu terkena kutuk 'Birahi Salju', dan...."
"Tunggu dulu!" sergah Bulan Sekuntum. "Pendeta Agung Dewi Rembulan itu bibiku.
Jangan sembarangan
bicara kau!"
Suto tersenyum kalem. "Aku tidak bicara
sembarangan, Nona cantik. Aku memang pernah
menyelamatkan beliau dari kutukan itu. Aku memang
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenal beliau, juga kenal Rindu Malam, Kelana Cinta, dan... aku juga kenal dengan
bekas panglima Negeri
Ringgit Kencana yang berjuluk Pelangi Sutera. Nama
aslinya adalah Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang punya anak jin bernama
Logo." (Baca serial Pendekar Mabuk episode; "Seruling Malaikat").
Wajah cantik berbibir menggemaskan itu semakin
tampak tegang, ia menarik napas dan menghembuskan
panjang-panjang untuk menutupi ketegangannya, ia
berjalan bertolak pinggang tiga langkah lalu kembali mendekati Suto dan berhenti
dalam jarak satu langkah di depan Pendekar Mabuk.
"Begitu banyak kau tahu tentang negeri dari kakak gusti ratuku itu. Siapa kau
sebenarnya?"
"Akulah Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"
"Mustahil!"
"Mustajab!" sahut Suto dengan jengkel karena masih tidak dipercaya.
"Pendekar Mabuk sudah tewas dalam keadaan
kepalanya terpenggal. Kau lihat sendiri tadi siang
jenazahnya terlempar dari keranda hitam!"
"Itu bukan jenazahnya Pendekar Mabuk, karena
Pendekar Mabuk adalah aku ini! Masih hidup. Siapa
bilang sudah mati"!"
Bulan Sekuntum makin bingung. Langkahnya tetap
terayun sampai tiba di sebuah desa. Mereka masuk ke
dalam sebuah kedai yang masih buka. Ternyata ke kedai itu juga menyediakan kamar
untuk penginapan dengan
biaya murah. Mereka memesan dua kamar untuk
bermalam. "Kenapa tidak satu kamar saja?" kata Suto Sinting.
"Kalau hanya satu kamar, lantas kau mau tidur di mana?"
"Ya di kamar itu juga," jawabnya sambil nyengir nakal, sekadar untuk bercanda.
Tapi tangan perempuan itu melayang cepat
menampar pipi Suto. Plakk...!
"Kau pikir aku wanita murahan yang bisa kau ajak tidur bersama"!"
"Lho, siapa yang mengajak tidur bersama?" Suto mengusap pipinya dengan wajah
sedih. "Kenapa kau punya maksud mau tidur sekamar
denganku"!"
"Aku tidak mengajakmu tidur. Aku mengajakmu
melek bersama! Apakah kalau sudah di dalam kamar
lantas kita harus tidur berdua" Belum tentu!"
Untung saat itu kedai sudah sepi pembeli, sehingga
yang melihat Suto ditampar hanya si pemilik kedai.
Orang tua itu pun tidak mau ikut campur dan segera
menyingkir ke dapur.
Akhirnya Bulan Sekuntum menyetujui untuk
memesan satu kamar. Tapi Suto Sinting digelarkan tikar dan disuruh tidur di
lantai, sedangkan si cantik itu tidur di dipan beralaskan jerami lembut.
Sekalipun aturan sudah ditetapkan demikian, toh
nyatanya Bulan Sekuntum tidak mau berbaring di atas dipan, ia hanya duduk di
tepian dipan karena Suto
Sinting masih duduk di tikar bersandar dinding. Mereka masih membicarakan
tentang mayat yang dianggap
Bulan Sekuntum adalah mayat Pendekar Mabuk.
"Banyak orang di negeriku yang sudah pernah
melihat Pendekar Mabuk. Ada juga yang belum pernah
melihat langsung, termasuk aku," kata Bulan Sekuntum.
"Dan menurut mereka yang pernah melihat sosok
Pendekar Mabuk, mayat yang ditemukan di perbatasan
negeriku; Negeri Tanjung Samudera, adalah mayat
Pendekar Mabuk tanpa kepala. Ciri-ciri pakaiannya dan badannya tidak disangsikan
lagi. Terlebih setelah mereka menemukan bumbung tuak yang kesohor sebagai wadah
tuak saktinya itu. Gusti Ratu segera mengutusku
mengantarkan jenazah Pendekar Mabuk ke Jurang Lindu
untuk diserahkan kepada si Gila Tuak."
Suto Sinting termenung sejenak. Batinnya mengakui
kesamaan sosok tubuh mayat yang sempat dilihatnya itu.
Menurutnya memang pantas jika orang menduga mayat
tanpa kepala itu adalah dirinya. Tetapi jika seandainya mayat itu berkepala,
tentunya orang yang pernah
mengenalnya tidak akan mengatakan bahwa mayat itu
adalah mayat Pendekar Mabuk. Jadi agaknya ada korban pertarungan yang mati
terpenggal dan korban itu
mempunyai ciri-ciri serupa dengan Pendekar Mabuk.
Entah tidak sengaja atau memang sengaja berpakaian
serupa dengan Pendekar Mabuk, yang jelas orang itu
adalah orang yang bernasib malang.
"Siapa yang memenggal mayat itu?" tanya Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.
Perempuan yang punya tubuh sekal dan dada padat
tak begitu montok itu angkat bahu sambil menjawab,
"Tak ada yang tahu. Pengawas perbatasan negeri
kami yang menemukan mayat tersebut."
"Lalu, apa hubungannya dengan Anak Petir?"
"Itu pun aku tak tahu."
"Kenapa kau menyangka mayat yang terlempar dari keranda itu dicuri oleh Anak
Petir?" "Sebab sebelum aku bertarung melawannya, Anak
Petir menyuruhku meninggalkan mayat itu. Pasti dia
punya maksud tertentu dengan mayat tersebut."
Suto Sinting manggut-manggut dan menggumam
lirih, kemudian diam karena termenung memikirkan hal itu. Bulan Sekuntum
memperhatikan Suto sejak tadi.
Dalam hatinya timbul percakapan batin yang tak
didengar oleh siapa pun.
"Apa benar pemuda ini yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk"
Sekalipun ia mampu
menceritakan tentang si Gila Tuak, Bidadari Jalang, dan Gusti Ratu Asmaradani
bersama seluruh pejabat
istananya, namun aku masih ragu. Jangan-jangan ia
hanya mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk untuk
maksud-maksud tertentu" Aku harus tetap waspada
terhadapnya."
Melihat Suto menenggak tuak, hati Bulan Sekuntum
pun berkata, "Gayanya memang seperti Pendekar
Mabuk, yang menurut mereka, sebentar-sebentar minum
tuak dari bumbungnya. Tapi belum tentu kesaktiannya
sama dengan Pendekar Mabuk. Jika benar dia adalah
murid si Gila Tuak, pasti dia bisa membuat pedangku
hilang. Sebab menurut cerita Gusti Ratu, hanya murid si Gila Tuak yang bisa
melenyapkan benda dengan
menggunakan jurus 'Sembur Siluman' memakai tuaknya.
Kurasa ada baiknya dia kuuji dengan cara begitu."
Suto Sinting hanya tersenyum ketika Bulan Sekuntum
menantangnya menggunakan jurus 'Sembur Siluman'.
"Kau ini memang keras kepala. Sudah kubuktikan
dengan berbagai ceritaku tapi masih sangsi dengan
kebenaranku," kata Suto bersikap malas-malasan.
"Demi membuktikan kebenaranmu, kau harus
sanggup melakukan hal itu. Jika kau beralasan macam-macam, aku terpaksa
menyerangmu karena kau telah
menipuku! Aku paling benci dengan lelaki yang suka
menipu. Karena lelaki begitu akan menjadi pengkhianat
bagi kaum wanita, terutama bagi istrinya sendiri."
"Hei, apa hubungannya dengan istri" Yang kita
bicarakan ini soal mayat, bukan soal istri!"
Bulan Sekuntum meletakkan pedangnya di atas tikar,
ia bagaikan tidak peduli dengan sikap malasnya Suto Sinting.
"Gunakan jurus 'Sembur Siluman'-mu itu, atau aku akan menyerangmu dengan
anggapan kau bukan murid
si Gila Tuak"!"
Ancaman itu sulit ditolak oleh Suto. Akhirnya dengan cengar-cengir yang membuat
Bulan Sekuntum tak yakin, Suto Sinting menuruti keinginan perempuan itu. Ia
menenggak tuaknya, kemudian tuak disemburkan dari
mulutnya ke arah pedang tersebut.
Brrusss...! Slabb...! Pedang itu lenyap tak tersisa walau hanya
ujungnya saja. Lenyapnya pedang karena semburan Suto membuat Bulan Sekuntum
terbelalak kaget. Kemudian
mata bundarnya yang terbelalak itu menatap ke arah
Suto. "Rupanya kau seorang tukang sihir"!"
Oh, jengkel sekali hati Suto. Sudah dibuktikan
sedemikian rupa masih saja perempuan itu tidak mau
mengakui Suto sebagai murid si Gila Tuak. Rasa-
rasanya ingin sekali Suto menabok kepala perempuan itu biar sadar akan apa yang
terjadi dengannya.
"Coba sekarang munculkan kembali pedangku tadi!"
perintahnya dengan wajah penuh keraguan.
"Aku tak bisa!" kata Suto.
'Apaa .."!" Bulan Sekuntum kaget. "Kau tak bisa membuat pedangku muncul
kembali"! Tak mungkin!
Jelas tak mungkin. Sebab menurut cerita ratu gustiku, murid Gila Tuak selalu
bisa melenyapkan benda dengan semburan tuaknya, juga bisa memunculkan benda itu
kembali dengan jurus 'Jelma Siluman'. Kenapa kau tak bisa"!"
"Bukankah menurutmu aku tukang sihir, bukan
Pendekar Mabuk"! Kalau aku bukan Pendekar Mabuk,
tentunya aku tak bisa membuat pedangmu muncul
kembali." "Jangan bercanda kau!" hardik Bulan Sekuntum.
"Lalu bagaimana dengan pedangku" Itu pedang warisan orangtuaku! Apakah harus
hilang selamanya?"
"Yah, itulah nasibmu. Salah sendiri mengapa
menyuruhku menghilangkan pedang itu?" kata Suto membuat Bulan Sekuntum menggeram
jengkel, kedua tangannya mulai menggenggam kuat-kuat.
Tiba-tiba pintu kamar digedor seseorang dengan
kasar. Suara gedoran pintu itu mengagetkan Suto Sinting dan Bulan Sekuntum.
"Siapa yang menggedor pintu itu"!" bentak Bulan Sekuntum.
"Aku...! Utusan dari Ki Lurah Tunggoro!" seru suara di luar kamar.
"Apa maksudmu menggedor kamarku"!"
"Cepat buka pintunya, atau kujebol dengan paksa"!"
ancam orang bersuara besar itu.
Suto Sinting berdiri, melangkah mendekati pintu
bermaksud membukanya. Tetapi pundaknya segera
dicekal kuat oleh Bulan Sekuntum.
"Jangan buka pintunya!"
"Dia akan bikin gaduh tempat ini. Kalau pintu rusak kasihan pemilik kedai ini!"
"Biarkan dia bertindak. Aku ingin tahu, seberapa kehebatannya. Apakah ia mampu
menjebol pintu jika
kulapisi dengan jurus 'Perisai Matahari'-ku ini!"
Tiba-tiba Bulan Sekuntum menyentakkan kedua
tangannya ke depan. Ujung-ujung jari tangan lurus ke arah depan dan memancarkan
sebaris sinar putih
menyilaukan. Sinar putih itu menghantam pintu tanpa
suara dan segera menyebar memenuhi dinding dan pintu.
Kini dinding tempat pintu itu berada menjadi bercahaya pendar-pendar warna
putih. "Buka pintunya!" teriak orang bersuara besar itu.
Bluk, bluk, bluk...! Pintu itu bagaikan tak bergeming ketika ditendang-tendang
oleh orang tersebut. Suara gaduh akibat tendangan atau gebrakan bagai teredam
masuk ke dalam bias sinar putih tersebut.
"Buka pintunya! Atau kuhancurkan kamar ini
sekarang juga!!" teriak orang tersebut. Tapi suaranya seperti ada di kejauhan.
* * * 3 UTUSAN Ki Lurah Tunggoro bernama Gaung
Cablak. Mulutnya besar, suaranya juga besar. Berbadan
tinggi besar berotot, kepalanya juga besar, gundul tanpa sehelai rambut pun.
Tapi kepala itu diikat pakai pita merah berbintik-bintik hitam. Pakaiannya serba
merah, mengenakan gelang bahar besar warna hitam. Ia
menyandang goiok lebar yang diselipkan di pinggang
kirinya. Ia didampingi seorang anak buah yang bertubuh
kurus kerempeng agak pendek, tapi tengil sekali.
Usianya lebih muda dari Gaung Cablak yang berumur empat puluh tahun itu. Orang
kerempeng itu berpakaian serba hitam, rambutnya lurus, tipis, panjang, diikat
dengan kain warna coklat muda. Ia seorang pengawas buruh perkebunan milik Ki
Lurah Tunggoro yang
kerjanya berkeliling terus, sehingga dikenal dengan Mandor Gangsing.
Pintu kamar yang tidak bisa dijebol Gaung Cablak
membuat mereka penasaran, lalu menunggu di luar
kedai. Sedangkan Suto Sinting dan Bulan Sekuntum
malam itu akhirnya tertidur dengan sendirinya dalam
keadaan berbeda tempat. Pendekar Mabuk sendiri capek memikirkan masalah mayat
tanpa kepala itu, hingga tak terasa lelap di atas lantai bertikar.
Ketika mereka keluar dari kedai, hari sudah agak
siang. Bulan Sekuntum lupa bahwa pedangnya belum
dikembalikan oleh Suto. Maka ketika ia tahu di luar sedang ditunggu oleh utusan
Ki Lurah Tunggoro, ia
segera mendekati Pendekar Mabuk dan mendesak agar
pedangnya dikembalikan.
"Aku hanya seorang tukang sihir. Bisa
menghilangkan benda tapi tak bisa memunculkan
kembali," sindir Suto Sinting.
"Keparat kau! Kalau kesabaranku hilang kau kuhajar lebih dulu sebelum mereka
berdua!" geram Bulan Sekuntum.
Suto Sinting hanya tersenyum tenang. "Siapa mereka sebenarnya?"
"Utusan Lurah Turonggo. Aku kenal mereka; yang besar bernama Gaung Cablak, yang
kurus bernama Mandor Gangsing."
"Mengapa orang yang bernama Lurah Tunggoro
mengirim utusan kemari" Siapa yang mereka cari?"
"Sudah pasti aku! Karena Lurah Tunggoro adalah
satu dari sekian lelaki yang tergila-gila padaku.
Lamarannya kutolak, maskawinnya kubuang di depan
hidungnya. Pasti dia sakit hati padaku dan mengirim
kedua orang itu untuk menyeretku menghadapnya!"
"Kalau begitu ini persoalanmu. Aku tidak akan ikut campur."
"Aku tidak butuh campurtanganmu!" ujarnya dengan ketus, kemudian segera menemui
Gaung Cablak. Sementara itu, Suto Sinting tertawa pelan sambil
memperhatikan dari emperan kedai.
"Mengapa hanya kau yang maju, Bulan Sekuntum!
Mengapa pemuda itu tidak ikut maju" Apakah dia takut padaku"!" sambil Gaung
Cablak menuding Suto terang-terangan.
"Ini bukan urusannya!" kata Bulan Sekuntum.
"Kalian datang untuk berurusan denganku bukan dengan
dia!" "Tapi perintah Ki Lurah Tunggoro kami harus
menyeret pemuda itu, karena telah berani bermalam satu kamar denganmu, Bulan
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekuntum!" kata Mandor
Gangsing. "Siapa yang memberi tahu aku ada di sini?"
"Mata-mata kami!" jawab Gaung Cablak. "Tetapi pesan dari Ki Lurah Tunggoro, jika
kau bersedia menghadap beliau sekarang juga, maka pemuda itu kami bebaskan dari ancaman
kecemburuan!"
"Apakah kau sudah mampu melangkahi mayatku
sehingga ingin membawaku menghadap lurah sinting
itu"!"
Ucapan Bulan Sekuntum membuat kedua utusan itu
saling menggeram. Merasa atasannya dihina, Gaung
Cablak yang bertampang sangar itu segera
memerintahkan Mandor Gangsing untuk menyerang
Bulan Sekuntum.
"Mandor Gangsing, lumpuhkan si mulut angkuh itu!"
"Itu soal kecil," kata Mandor Gangsing sambil mencibir meremehkan. "Kau saja
yang maju dulu, kalau kau tak sanggup baru aku yang merampungkan!"
"Kau di bawah perintahku, Goblok!" bentak Gaung Cablak.
Plakk...! Kepala Mandor Gangsing dikeplak. Si kurus
kerempeng itu hanya bisa nyengir sambil mengusap-
usap kepalanya.
"Serang perempuan angkuh itu!"
"Hiaaaaat...!" Mandor Gangsing berteriak cempreng.
"Hiaaaat..! Hiiiaah...!"
Ia melioncat ke sana-sini tanpa ada gerakan maju
menyerang. Hanya suaranya yang makin lama makin
melengking tinggi mengundang perhatian orang dari
kejauhan. Tangannya berkelit mencak sana-sini, tapi
jaraknya makin jauh dari Bulan Sekuntum.
Gaung Cablak merasa dongkol hatinya, ia hampiri
Mandor Gangsing yang bagai sedang memamerkan jurus
itu, lalu kakinya ditendang kuat-kuat oleh Gaung Cablak. Bukk...!
Wuuttt, brukk...!
Mandor Gangsing terpental sejauh tujuh jangkah, ia
jatuh terjungkir tanpa ampun lagi. Wajahnya mencium
tanah hingga bibirnya besot.
"Minggat saja kau!" hardik Gaung Cablak. Kemudian orang tinggi besar itu
menghampiri Bulan Sekuntum.
"Kuperingatkan sekali lagi, Bulan Sekuntum...
sebaiknya kau menghadap Ki Lurah Tunggoro sekarang
juga, supaya pemuda itu tidak menjadi bahan
bantalanku!"
"Aku akan menghadap lurahmu kalau sudah tanpa
nyawa, jangan harapkan aku sudi menghadap lurahmu!"
"Kalau begitu, jangan salahkan aku jika tulangmu remuk sebagian! Heeaaah...!"
Gaung Cablak menyerang dengan satu lompatan tak
seberapa tinggi. Kakinya menerjang wajah Bulan
Sekuntum. Tapi kaki besar itu mampu ditangkis oleh
Bulan Sekuntum dengan tangan kiri sambil bergeser ke samping berubah arah, lalu
memutar dan menendangkan
kakinya ke belakang.
Wuttt...! Plokk...!
Tendangan telak itu mengenai wajah Gaung Cablak.
Tentu saja tendangan kaki itu bukan sekadar tendangan tanpa tenaga dalam. Begitu
besar curahan tenaga dalam pada kaki, sehingga hidung Gaung Cablak pun menjadi
berdarah, tulang hidungnya sempat retak.
"Bangsat...!!" geram Gaung Cablak. Ia segera mencabut golok besarnya. Wusss...!
"Kubedah perutmu, Setan!! Heeeaah...!"
Gaung Cablak menebaskan golok besarnya dengan
gerakan cepat ke sekelilingnya bagaikan membabi buta.
Suara gerakan golok besar menggaung di sekeliling
tempat itu. Wuung, wuung, wuung, wuung...!
Bulan Sekuntum hanya melompat mundur satu
langkah. Kemudian tangan kirinya menyangga telapak
tangan kanan yang berdiri tegak mengeras. Penyatuan
tenaga dari kedua belah sisi disalurkan melalui ujung jari tengah tangan
kanannya. Maka ketika Gaung Cablak
menerjang maju, Bulan Sekuntum menyentakkan
tangannya lurus ke depan. Dari ujung jari melesat sinar biru lurus menerjang
kibasan golok besar yang sulit ditembus pukulan lawan itu.
Clappp...! Prrangng...! Jrubb...!
"Aaaahg...!!" Gaung Cablak memekik keras dan panjang.
Sinar biru lurus itu mampu mematahkan golok besar
menjadi empat bagian, juga mampu menembus
mengenai dada Gaung Cablak. Akibatnya orang tinggi
besar berkulit hitam itu terpental ke belakang sejauh delapan langkah.
Buhhgg...! Ia jatuh berdebam bagaikan pohon rubuh.
Dari tiap lubang keluar asap putih. Sebagian kulit
tubuhnya mengelupas hangus, terutama bagian dada
sampai leher. Wajahnya sendiri menjadi melepuh dan
tampak membendung cairan dari dalam tubuh.
"Wah, gawat! Gaung Cablak mati dalam dua jurus"!
Apa lagi aku"!" pikir Mandor Gangsing.
Dengan ketakutan yang begitu besar, Mandor
Gangsing segera melarikan diri secepat-cepatnya. Tanpa sadar ia berlari lewat di
depan Suto Sinting, sehingga secara iseng Suto Sinting menggertaknya sambil
menghentakkan kaki. "Heeaah...!!"
"Wuaaaw..! Ampuuunn..!" Mandor Gangsing
menjerit kaget dan tambah ketakutan. Larinya salah
sasaran hingga menerobos pagar rumah orang.
Brakk.. ! Ia tambah menjerit lagi antara takut dan
sakit. "Aaaaoow...!" Lalu buru-buru bangkit dan lari lagi bagai dikejar setan. Beberapa
orang yang melihat dari kejauhan, termasuk Suto sendiri, menertawakan kejadian
itu. Tapi bagi Mandor Gangsing lebih baik ditertawakan daripada dibuat seperti
Gaung Cablak. Orang bersuara besar itu tak berkutik, tubuhnya
meringkuk di tanah pekarangan rumah orang. Dilihat
dari gerakan jari kakinya, Suto Sinting tahu orang
bertubuh besar itu belum menghembuskan nyawa.
"Dia masih hidup. Walaupun tinggal sisa nyawa
sejengkai, tapi sepertinya aku masih bisa menolongnya!"
Ziapp...! Pendekar Mabuk berkelebat cepat, tahu-tahu sudah ada di samping Gaung
Cablak. Ia memandangi
korban serangan Bulan Sekuntum sambil geleng-geleng kepala. Hatinya sempat
membatin, "Luar biasa. Satu jurus saja membuat lawan seperti ini. Jika Bulan Sekuntum bisa
babak belur melawan
Anak Petir, berarti Anak Petir lebih ganas dan lebih berbahaya ilmunya ketimbang
Bulan Sekuntum"!
Setidaknya orang yang berjuluk Anak Petir itu bisa
menghadapi jurus sinar birunya Bulan Sekuntum tadi."
Keadaan Gaung Cablak terlalu parah. Mulutnya
ternganga-nganga mencari sisa napasnya. Suto Sinting menuangkan tuak dari
bumbungnya hingga mengucur
masuk ke mulut lebar itu. Beberapa saat kemudian,
Gaung Cablak terbatuk-batuk. Luka bakar yang
membuat kulitnya melepuh itu mulai mengempis.
Saat itu Bulan Sekuntum memandang dengan mata
memancarkan rasa tak suka terhadap perbuatan Suto
Sinting. Tapi ia tak berani menyerang atau melarang, karena ingat bahwa
pedangnya belum dikembalikan, ia hanya menggeram jengkel, lalu masuk ke dalam
kedai. Duduk di sana dengan napas terengah-engah dan wajah
cemberut kesal.
Gaung Cablak mulai merasakan kesembuhannya, ia
mengerang bagai membuang napas. Pelan-pelan
matanya dibuka dan wajah tampan yang tadi ingin
dilawannya itu terlihat jelas di hadapannya. Bahkan kini pemuda tampan itu
menarik tangan Gaung Cablak,
membantunya berdiri.
"Kaau... kau... yang menyelamatkan aku"!" Gaung Cablak bicara pelan dengan sikap
salah tingkah. "Pulanglah dan katakan kepada lurahmu agar tak
perlu mengusik si macan betina itu!" kata Suto pelan juga, takut didengar Bulan
Sekuntum. "Tapi... tapi aku harus berhasil menyeretmu dan...."
"Dan kau kehilangan kesempatan untuk hidup yang kedua kalinya!" sahut Suto
Sinting. Gaung Cablak tak bisa bicara. Akhirnya ia melangkah
pergi meninggalkan tempat itu dengan berbagai
perasaan; malu, sedih, senang, takut, dan sebagainya.
Bulan Sekuntum hanya memandangi kepergian
Gaung Cablak dengan mulut meruncing, ia berdiri di pintu kedai dengan
bertolakpinggang dan tampak masih gusar. Namun di sisi lain hatinya menggumam
penuh keheranan. "Baru sekarang kulihat ada orang yang bisa
menyelamatkan korban jurus 'Racun Baja'-ku. Yang
sudah-sudah tak satu pun ada orang yang berhasil
selamat jika sudah terkena jurus 'Racun Baja' tadi. Jurus itu hanya bisa
dihindari atau ditangkis dengan senjata khusus. Tapi jika sudah telanjur
mengenai kulit tubuh seseorang, maka orang itu tak akan mampu bertahan
hidup lebih dari setengah hari."
Bulan Sekuntum geleng-geleng kepala tipis, takut
terlihat Suto Sinting yang sedang melangkah mendekati
kedai. "Hanya dengan tuak saja dia bisa menyembuhkan
Gaung Cablak dari 'Racun Baja'-ku"! Benar-benar tak masuk akal bagiku. Kalau
begitu, dia memang si Tabib Darah Tuak alias Suto Sinting"! Jika dia memang si
Pendekar Mabuk, lantas yang mati terpenggal itu siapa?"
Wajah ketus itu semakin berang ketika Suto Sinting
sudah ada di depannya.
"Untuk apa kau menyelamatkannya"! Kau
bersekongkol dengan Lurah Tunggoro"! Kau
komplotannya"!"
Pendekar Mabuk hanya nyengir sambil angkat bahu.
"Aku hanya memberi pelajaran padanya, supaya ia bercerita kepada Lurah Tunggoro
dan selanjutnya Lurah Tunggoro tak akan berani menganggumu lagi!"
"Bagaimanapun juga ia tetap akan mengusikku jika masih bernyawa, ia pasti akan
mengajukan keponakannya."
"Siapa keponakannya itu"!"
"Anak Petir!"
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Jadi ada hubungannya dengan Anak
Petir"!"
"Kalau dia tak punya keponakan Anak Petir, mana mungkin dia berani melamarku
dengan mengandalkan
kesaktiannya yang masih jauh di bawahku itu"!"
"Kalau begitu, apakah menurutmu Ki Lurah
Tunggoro juga ada kaitannya dengan hilangnya mayat
tanpa kepala yang kau anggap diriku itu"!"
"Entah!" jawabnya masih bernada ketus. "Aku ingin
kembali ke Tanjung Samudera untuk membicarakan hal
ini kepada Gusti Ratu Dewi Giok. Kurasa beliau bisa
memberikan jawaban tentang mayat tanpa kepala yang
mirip denganmu itu!"
Suto Sinting tersenyum. Dengan mengatakan 'mayat
yang mirip denganmu' Suto merasa sudah diakui sebagai Pendekar Mabuk yang
sebenarnya. "Akhirnya keras kepalanya menjadi lunak kepala,"
pikir Suto. "Ia tidak bersikeras mengatakan mayat itu adalah Pendekar Mabuk, ia
sudah mengakui dirikulah
Pendekar Mabuk sebenarnya. Kurasa sudah waktunya
pedang itu kumunculkan kembali. Biar dia semakin
yakin bahwa aku adalah muridnya si Gila Tuak."
Pedang itu dimunculkan kembali dengan jurus 'Jelma
Siluman'. Saat Suto Sinting menyerahkan pedang itulah kecemberutan Bulan
Sekuntum menjadi pudar. Tapi
tetap saja wanita cantik berdada sekal itu tak mau
sunggingkan senyum yang manis.
"Aku mau pulang ke negeriku. Apakah kau ingin ikut menghadap gusti ratuku?" Ia
berlagak bertanya, walau Suto tahu maksudnya adalah mengajak Suto untuk
menemui sang penguasa Tanjung Samudera. Caranya
mengajak sungguh unik dan lucu, sehingga Suto Sinting menertawakannya beberapa
saat. Setelah itu, Suto berkata dengan gayanya sendiri,
"Aku tidak ingin menghadap ratumu. Untuk apa" Tapi tak ada salahnya kalau aku
mengantarmu pulang. Siapa tahu di tengah jalan kau butuh bantuanku lagi."
"Aku tidak butuh seorang pengawal, sebab aku
sendiri pengawal Ratu! Kalau kau tak ingin bertemu dengan gusti ratuku, pergilah
sana jangan ikut aku!"
"Baiklah. Kalau begitu kita berpisah dari sini. Aku akan ke barat dan kau ke
mana?" Setelah diam sesaat perempuan yang masih ketus itu
menjawab pelan,
"Aku juga ke arah barat."
"Kalau begitu aku yang ke timur."
"Baiklah, kita ke timur bersama!"
Suto Sinting tertawa geli.
Bulan Sekuntum memalingkan wajah. Agaknya ia menyembunyikan
senyum dan tawa yang tak ingin dilihat Suto. Hal itu membuat Suto penasaran
sehingga memutar tubuh Bulan
Sekuntum hingga berhadapan.
"Aku ikut denganmu!" kata Suto.
"Terserah...!" ucapnya sambil melengos.
Perjalanan menuju Negeri Tanjung Samudera
ditempuh dengan jalan kaki. Mulanya Suto Sinting
mengajaknya adu kecepatan berlari, supaya
mempersingkat waktu di perjalanan. Tetapi ternyata
Bulan Sekuntum selalu tertinggal oleh gerakan Suto, sehingga wanita yang mengaku
masih belum mempunyai kekasih itu tak mau diajak adu lari lagi.
"Nanti aku kehilangan kau, dan kau kehilangan aku.
Akhirnya kau tak akan sampai ke negeriku!" kata Bulan Sekuntum yang sudah mulai
ramah walau senyumnya
masih setipis kulit bawang. Namun senyum itu sangat
indah dan menambah kecantikan wajahnya. Suto suka
memandangi senyuman setipis kulit bawang itu.
Perjalanan yang sudah memakan waktu setengah hari
itu terpaksa harus berhenti. Bukan karena mereka ingin beristirahat, meiainkan
karena tiga orang menghadang langkah mereka. Ketiga orang itu turun dari sebuah
bukit, langsung melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Suto dan Bulan Sekuntum.
Untung keduanya mampu menghindari dengan satu
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lompatan bersalto ke atas, sehingga pukulan jarak jauh itu menghantam batu dan
batang pohon. Hantaman itu
membuat alam sekitar mereka bagai mengalami gempa
kecil-kecilan. Itu menandakan pukulan mereka bukan
bertenaga ringan, namun cukup mempunyai kekuatan
menghancurkan alam sekitarnya.
"Siapa tiga orang berwajah kembar itu"!" bisik Suto Sinting kepada Bulan
Sekuntum. "Mereka yang berjuluk Malaikat Tiga Wajah."
"Apa masalahnya sehingga menyerang kita?"
"Entahlah. Tapi menurut perkiraanku, mereka sangka aku telah menghidupkan mayat
yang buntung kepalanya
itu. Kaulah yang dianggap mayat yang buntung itu."
"Kurang ajar. Kasih tahu pada mereka, bahwa aku bukan mayat yang buntung
kepalanya. Beri tahu pula
bahwa Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak masih
hidup. Jika ia macam-macam denganmu, aku yang akan
hadapi mereka bertiga."
Tiga orang berwajah sama dengan potongan rambut
sama pula itu semakin dekat. Dalam satu lompatan
terakhir mereka sudah berada dalam jarak tujuh langkah di depan Suto dan Bulan
Sekuntum. Mereka berdiri
tegak, tegar, dan tampak siap melepaskan serangan
sewaktu-waktu. Mereka mempunyai segala sesuatu serba kembar tiga,
termasuk jenis pedang yang mereka gunakan juga
bentuk dan ukurannya sama persis satu dengan lainnya.
Yang membedakan mereka adalah pakaiannya. Yang
satu berpakaian merah, satu lagi kuning, dan yang
satunya lagi berpakaian biru. Tapi rambut mereka
sepanjang punggung sama-sama lurus dan diikat
memakai kain yang warnanya sesuai dengan pakaian
mereka. Tak sedikit pun wajah mereka ada kelainan. Dari
hidung, mata, dagu, kumis yang tipis tapi panjang ke bawah, semuanya sama.
Ukuran tinggi badan dan
kurusnya badan juga sama persis. Wajah mereka pun
sama-sama memancarkan kebengisan dalam usia yang
sama-sama sekitar lima puluh tahun.
"Apa yang kalian kehendaki dariku"! Mengapa tahu-tahu menyerangku, hah"!" ketus
Bulan Sekuntum, tak kelihatan rasa takut dan gentar sedikit pun. Padahal tiga
wajah kembar itu memancarkan kebengisan, bagai
orang-orang tak mengenal rasa kasihan sedikit pun
terhadap lawannya.
"Kalau kau ingin tahu alasan kami menyerang kalian, jawablah dulu pertanyaanku;
mengapa kau hidupkan
kembali mayat Pendekar Mabuk itu?" kata Maiaikat Merah.
Malaikat Kuning menimpali kata, "Apakah kau
bermaksud ingin memperkuat negerimu untuk
menguasai wilayah kami dengan menggunakan kekuatan
Pendekar Mabuk?"
"Kalian salah paham!" kata Bulan Sekuntum. "Yang ada bersamaku ini bukan mayat
hidup kembali, tapi
memang manusia utuh yang belum punya pengalaman
menjadi mayat!"
"He, he, he...! Kau tak bisa menipu kami, Bulan Sekuntum!" Maiaikat Biru
terkekeh dengan nada
menghina. "Mata kami bertiga lebih awas daripada matamu yang hanya sepasang
itu." "Sebaiknya katakan saja, siapa yang telah
menghidupkan mayat Pendekar Mabuk itu!" suara
Maiaikat Kuning agak menyentak.
"Yang menghidupkan adalah Yang Maha Kuasa!"
sahut Suto setelah meneguk arak satu kali.
"Bocah ingusan, sebaiknya kau tutup mulut saja dan jangan memancing kemarahan
Malaikat Tiga Wajah!
Kau akan menyesal selamanya jika memancing
kemarahan kami!" ancam Maiaikat Merah.
"Terus terang saja, apa maksud kalian sebenarnya"!"
hardik Bulan Sekuntum tak peduli dengan ancaman apa
pun. "Maksud kami adalah tidak setuju kalau Pendekar Mabuk dihidupkan kembali!
Biarkan dia mati dalam
keadaan terpancang kepalanya, seperti kala ditemukan oleh orang-orangmu, Bulan
Sekuntum! Dan jangan
paksakan dia melibatkan diri dengan urusan negerimu, karena kami akan menyerang
negerimu sebelum kalian
merebut wilayah kekuasaan kami di Bukit Rempoa!"
Melaikat Biru menyambung, "Benar! Untuk itu kalau kau tak mau mengembalikan dia
dalam keadaan tanpa
kepala seperti saat ditemukan oleh orang-orangmu, maka kami yang akan
mengembalikan keadaannya sekarang
juga!" "Kalian bertiga belum ada apa-apanya jika bertarung melawannya," kata Bulan
Sekuntum dengan senyum sinis.
"Laknat! Jangan meremehkan Maiaikat Tiga Wajah!
Terimalah salam perkenalan kami ini. Heeeaah...!"
Tiga wajah kembar sama-sama melompat ke atas, tapi
tangan mereka yang kanan sama-sama melepaskan
pukulan sinar merah besar seperti sorot cahaya penerang jalan.
Wuuttt...! Tiga sinar merah yang mengepung dari tiga arah itu
sama-sama menghantam ke arah Pendekar Mabuk.
Bukan ke arah Bulan Sekuntum. Tetapi, merasa
berhutang budi dan menjadi sahabat, Bulan Sekuntum
berkelebat menerjang tiga sinar merah itu dengan
melepaskan sinar putih dari ujung-ujung jarinya.
Slabbb...! Sinar putih dari jurus 'Perisai Matahari' itu menyebar membentuk lapisan penahan
serangan lawan. Dan tiga
sinar merah itu menghantam lapisan 'Perisai Matahari'.
Blegarrr...!! Ledakannya sungguh mengguncang alam sekeliling.
Tiga pohon langsung rubuh karena terkena daya hentak ledakan yang menimbulkan
angin panas berkecepatan
tinggi. Hentakan itu bukan saja mengguncang alam
sekeliling, namun juga membuat tubuh Bulan Sekuntum
terpental ke belakang dan jatuh persis di samping Suto Sinting dalam keadaan
terkapar. "Uuhg...!" Bulan Sekuntum mengerang tertahan.
Ketika hendak bangkit, darah kental menyembur dari
mulutnya. Wuuurrss...!
"Bulan..."!" Suto Sinting terkejut, ia segera menolong Bulan Sekuntum sambil
membatin, "Gawat! Ia terkena getaran beracun dari ledakan sinar merah tadi"! Wah bisa
mampus dalam beberapa saat
anak ini! Aku harus menyelamatkan dia lebih dulu!"
Zlappp...! Suto Sinting tak mau banyak urusan dulu.
Ia membawa lari perempuan cantik tersebut dengan
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Gerakan yang
kecepatannya melebihi anak panah itu membuat
Malaikat Tiga Wajah kebingungan mencari di mana
lawan berada. "Keparat busuk! Itu dia ke arah barat! Kejaaar...!"
Wuurrrsss...! Manusia kembar tiga itu segera
mengejar Suto Sinting dengan menggunakan ilmu
peringan tubuh hingga mampu bergerak cepat pula.
* * * 4 GEMERICIK suara aliran arus sungai seperti irama
pengantar hening. Dalam hening itu Pendekar Mabuk
mulai menemukan satu titik kesimpulan tentang misteri mayat tanpa kepala itu.
"Ternyata ada pihak yang tidak menghendaki aku
Seruling Samber Nyawa 15 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Mempelai Liang Kubur 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 LANGKAH kaki pemuda tampan itu terhenti karena
seorang lelaki tua berjenggot abu-abu memanggil
beberapa kali dari belakang. "Kisanak... Kisanak...!
Berhentilah sebentar. Kisanak... Ki...!"
Suara itulah yang menahan langkah kaki pemuda
tampan yang menyandang bumbung tempat tuak di
punggungnya. Lelaki berjenggot abu-abu dengan
mengenakan jubah putih itu mendekat. Usianya yang
diperkirakan sekitar delapan puluh tahun lebih itu
membuat langkahnya tertatih-tatih, ia mendekati anak muda itu dengan napas ngos-
ngosan. "Ada apa kau memanggilku, Pak Tua?"
"Bisakah kau menolongku, Kisanak?"
"Apa yang harus kulakukan untukmu?"
Orang bertongkat hitam itu diam sebentar, mengatur
pernapasannya. Matanya yang kecil sempat memandangi
anak muda yang gagah perkasa itu.
"Aku ingin pergi mengunjungi seorang sahabat lama, tapi aku tak tahu arahnya
ke.mana. Bisakah kau
menunjukkan arahnya?"
"Yang ingin kau tuju daerah mana namanya, Pak
Tua?" tanya Suto mulai heran sendiri.
"Aku mau menemui sahabat lamaku. Tokoh sakti
yang disegani tiap orang sesat. Ilmunya tinggi, sulit dikalahkan.''
"Siapa nama tokoh sakti itu, Pak Tua?"
"Sabawana. Hmmm... nama kondangnya si Gila
Tuak!" Anak muda berbaju coklat itu terkejut. Matanya
makin tajam memandang Pak Tua yang sedikit
terbungkuk-bungkuk itu.
"Apakah kau kenal nama sahabat lamaku itu, Nak"
Kalau kau mengenalnya dan tahu tempatnya, tolong
bantu aku tunjukkan di mana ia berada. Nanti aku akan bantu kamu juga
memberitahukan apa yang belum kamu
tahu." Dengan nada heran Suto bertanya, "Bapak siapa?"
"Namaku Wiryasinder, dikenal dengan julukan si
Arak Bayangan. Dulu aku dan sahabatku itu sering
berkelana bersama."
"Kebetulan aku muridnya si Gila Tuak, Eyang!"
"Hahh..." Kalau begitu dugaanku tidak salah" Berarti ilmu nujumku masih berlaku
walau usiaku sudah setua
ini. He, he, he...."
Suto Sinting pun tersenyum ramah dan segera
membungkuk memberi hormat, ia ingat cerita gurunya
tentang sahabat sang Guru yang sudah lama menghilang dari peredaran. Nama si
Arak Bayangan pemah didengar Suto Sinting dari mulut gurunya, sehingga ia perlu
memberi hormat kepada Pak Tua itu.
"Bagaimana kabarnya gurumu" Pasti baik-baik saja."
"Benar, Eyang. Guru dalam keadaan baik."
"Pasti kau murid tunggalnya yang bergelar Pendekar Mabuk?"
"Benar, Eyang. Saya bergelar Pendekar Mabuk. Kok Eyang tahu?"
"Arak Bayangan juga ahli nujum, jadi jangan heran kalau aku bisa mengetahui
bahwa kau adalah anak yang tidak punya pusar."
Suto Sinting tersenyum malu. "Memang benar,
Eyang. Sayalah bocah tanpa pusar yang kemudian
diangkat murid oleh si Gila Tuak...."
"Dan Bidadari Jalang. Benar, bukan?"
"Benar, Eyang. Kok Eyang kenal dengan Bibi Guru saya?"
"He, he, he... aku kan ahli nujum. Masa' begitu saja tidak tahu" Bidadari Jalang
dulu juga temanku, tapi dia nakal dan aku malas berteman dengannya. Eh, dulu aku
pernah dicium sama si Bidadari Jalang. Aku malu sekali.
Maklum waktu itu aku seganteng kamu, jadi bahan
rebutan gadis-gadis, ditarik sana, ditarik sini sampai akhirnya kulitku kendur
begini dan...."
"Sudah, sudah... kalau Eyang Arak Bayangan ingin menemui Guru, jangan melantur-
lantur nanti malah
tersesat lagi. Sebaiknya mari saya antar ke Jurang
Lindu." "O, jadi gurumu tinggal di Jurang Lindu" Ooo...
kalau daerah Jurang Lindu aku sudah hafal. Kalau
begitu, aku akan pergi beranjangsana ke Jurang Lindu sekarang juga. Sampai jumpa
lagi, Pendekar Mabuk...."
"Tapi Eyang bisa tersesat ke pemukiman para janda kalau tidak saya antarkan ke
sana. Tempat itu jauh dari sini."
"Kalau aku tersesat, wajar. Tapi kalau jadi orang sesat, itu kurang ajar. He,
he, he...! Sudah, sudah...
teruskan perjalananmu. Aku akan ke Jurang Lindu
sendiri." "Baiklah kalau Eyang maunya begitu. Saya permisi dulu, Eyang."
"Jaga dirimu baik-baik. Nak. Salam buat gurumu si Gila Tuak dan...."
"Lho, katanya Eyang mau bertemu guru saya, kenapa masih titip salam segala?"
"O, iya. Aku lupa. Maklum sudah tua. Eh, ada sesuatu yang perlu kau ketahui,
Pendekar Mabuk."
Suto Sinting tak jadi memisahkan diri justru
mendekat kembali.
"Ada apa, Eyang?"
"Perjalananmu nanti akan menemui kejutan besar
yang belum pernah kau alami selama hidupmu."
"Maksud Eyang saya akan bertemu bidadari cantik?"
"Hampir mirip itu. Tapi kejutan besar itu akan membuatmu lebih cerdas dan lebih
dewasa lagi. Jangan kaget dan jangan cepat gusar. Terimalah kejutan besar itu
dengan hati sabar. Sebab orang sabar disayang
Tuhan." Suto Sinting tersenyum ramah. "Apakah masih ada yang ingin kau katakan, Eyang?"
"Hmmm... tidak ada. Hanya itu. O, ya... hati-hati dengan Keranda Hitam. Dia akan
jadi lawanmu."
"Keranda Hitam?" Suto memandang heran.
"Ah, sudah, sudah... lupakan saja. Keranda Hitam tak perlu dibicarakan. Itu
ramalan yang kuhafalkan. Nah, kita berpisah, sampai di sini dulu. Lain waktu
kita bertemu lagi, Pendekar Mabuk."
Zlappp...! Tiba-tiba Pak Tua itu lenyap bagai ditelan bumi. Suto Sinting
terperanjat dan terheran-heran. "Apa maksud pertemuanku dengan si Arak Bayangan
ini" Apakah punya arti dalam langkahku mendatang?"
Suto Sinting sempat memikirkan ramalan si Arak
Bayangan, ia menduga-duga kejutan apa yang akan
dialaminya. Tapi sampai jauh melangkah ia hanya
menemukan renungan kosong tanpa makna. Hanya saja
dalam hatinya masih timbul keyakinan bahwa ramalan
itu akan menjadi kenyataan, entah kapan dan di mana.
* * * Gumpalan awan hitam berarak-arak bagai menaungi
langkah serombongan manusia yang melintasi kaki bukit cadas. Di atas guguaan
cadas lainnya, berdiri seorang
pemuda gagah dan tampan yang mengenakan baju coklat
tanpa lengan dan celana putih kusam. Pemuda itu baru saja menenggak tuak dari
bumbung yang kini melintang di punggung. Siapa lagi dia kalau bukan murid
sintingnya si Gila Tuak. Dan siapa lagi murid sintingnya si Gila Tuak kalau
bukan Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
Mata tajam yang berkesan lembut dan menawan hati
lawan jenisnya itu sejak tadi memperhatikan
serombongan orang yang melintasi kaki bukit.
Rombongan orang yang bergerak itu bukan barisan
prajurit kadipaten yang sedang pamer kegagahan,
melainkan iring-iringan para pelayat yang hendak
memakamkan sesosok jenazah dalam keranda hitam.
Iring-iringan jenazah itu makin menjauh, hati Pendekar Mabuk semakin penasaran.
Maka ia pun segera
menyusul rombongan pengantar jenazah itu dengan
menggunakan 'Gerak Siluman' yang mampu
membuatnya bergerak melebihi kecepatan anak panah.
Zlappp...! Tahu-tahu sudah sampai di belakang orang yang ada
paling akhir dari barisan pengiring jenazah itu. Orang yang paling akhir itu
berbadan agak gemuk, berpakaian serba hijau dan tubuhnya tergolong pendek.
Umurnya sekitar empat puluh tahun, sehingga Suto Sinting
menyapanya dengan sebutan 'paman'.
"Maaf, Paman. Boleh saya mengganggu sebentar?"
"Kalau ada orang sedang mengiringi jenazah itu jangan diganggu!" hardik orang
tersebut dengan suara tertahan.
"Maksud saya, mengganggu untuk menanyakan siapa yang ada dalam keranda hitam
itu, Paman."
"Bocah bodoh! Yang ada dalam keranda hitam kok
ditanyakan" Tentu saja mayat! Masa' batu koral"!"
Orang berkumis rimbun itu bersungut-sungut. Suto
Sinting menahan diri untuk tidak menunjukkan
kejengkelannya. Sebab apa yang dimaksud dalam
pertanyaannya tidak dipahami oleh orang berbaju hijau itu. Maka dengan sabar
Suto Sinting yang ikut berjalan beriringan itu menjelaskan apa maksud
pertanyaannya tadi. "Maksud saya, mayat siapa yang ada di dalam
keranda hitam itu, Paman?"
"Ya mayat orang yang sudah mati! Mana mungkin
orang masih hidup kok dimasukkan ke dalam keranda
dan dianggap mayat"!"
Karena jengkel, Suto Sinting akhirnya berkata,
"Barangkali saja Paman kepingin tiduran di dalam keranda, kan bisa saja!"
"Kamu menghinaku"! Jangan bikin perkara lho, ini sedang mengiringi jenazah.
Harus hikmat dan penuh
curahan ikut berbelasungkawa."
Suto Sinting sunggingkan senyum supaya ketegangan
orang itu mengendur.
"Habis Paman ditanya kok jawabannya seenaknya
begitu." "Seenaknya bagaimana" Apa jawabanku tidak sesuai dengan pertanyaanmu?"
"Ya memang sesuai, tapi tidak tepat dengan maksud
saya." "Maksudmu itu bagaimana sih"!"
Salah seorang menghardik. "Ssstt...! Kalian ini kok malah berisik sendiri"!
Nanti kalau mayatnya bangun karena keberisikan, bagaimana"! Dicucup ubun-ubunmu
baru tahu rasa!"
Orang itu hanya menggerutu tak jelas, kemudian ia
mendekati Suto dan berkata dengan nada pelan, "Tuh, dengar kan" Belum jadi mayat
saja dia sudah galak,
apalagi kalau jadi mayat. Makanya kamu jangan bikin ribut denganku, Anak Muda!
Kalau mau ikut melayat ya ikut saja. Tidak perlu pakai berdebat segala."
Sebenarnya Suto ingin tertawa, tapi ia menahan mati-
matian sampai akhirnya ia hanya bisa berkata pelan juga,
"Yang mengajak ribut itu siapa?"
"Lha kamu tadi...?"
"Saya hanya ingin menanyakan jenazah siapa yang ada di dalam keranda hitam itu?"
"Apa maksudmu bertanya begitu?"
"Karena kulihat jumlah pelayatnya cukup banyak.
Aku menduga jenazah itu adalah jenazah orang
terpandang, setidaknya orang punya nama, dan aku ingin tahu siapa orang itu.
Paham?" "Ya jelas paham! Pertanyaan seperti itu saja kok dianggap tidak bisa kupahami!"
Orang itu bersungut-sungut lagi.
"Jadi, jenazahnya siapa itu, Paman?"
"Jenazahnya seorang pendekar sakti. Kata orang-
orang, bagi siapa saja yang ikut memakamkan jenazah
pendekar sakti itu, banyak atau sedikit akan mendapat titisan ilmu sang
almarhum. Maka aku ikut mengiringi pemakaman ini, supaya dapat titisan ilmunya
walau dua-tiga jurus."
"Pendekar sakti siapa, Paman?" Suto berkerut dahi sambil melangkah mengikuti
iring-iringan itu.
"Masa' kamu belum bisa menduga siapa nama
pendekar sakti itu" Pendekar tersebut sangat kondang seantero jagat. Di rimba
persilatan namanya sangat
ditakuti oleh banyak tokoh, terutama tokoh sesat yang ilmunya tanggung-tanggung.
Malah tokoh sesat yang
ilmunya tinggi saja sering gemetar kalau mendengar
nama pendekar almarhum itu."
"O, jadi jenazah itu adalah jenazah Pendekar
Almarhum?" tanya Suto dengan bingung.
Orang berambut ikal itu tertawa dengan mulut
dibekap pakai tangan sendiri.
"Mana ada julukan Pendekar Almarhum"!" katanya kepada Suto. "Namanya bukan
Pendekar Almarhum, tapi Pendekar Mabuk!"
Degg...! Jantung Suto Sinting bagaikan dibetot ke dalam
saking kagetnya. Tanpa sadar langkahnya terhenti,
tangannya mencekal lengan orang berbaju hijau itu.
Orang tersebut pun terpaksa hentikan langkah dan
memandang heran kepada Suto.
"Apa maksudmu menahan langkahku, Anak Muda?"
"Aku belum jelas maksudmu, Paman. Kau tadi
menyebutkan nama Pendekar Mabuk, sedangkan...."
"Memang nama jenazah itu semasa hidupnya adalah Pendekar Mabuk alias Suto
Sinting, muridnya Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Setelah mati julukannya
ditambah menjadi 'Almarhum Pendekar Mabuk'. Sudah jelas,
bukan"! Kalau sudah jelas ayo kita jalan lagi nanti ketinggalan rombongan!"
"Nanti dulu, Paman. Nanti dulu...." Suto Sinting masih menahan orang tersebut.
"Coba Paman bicara yang betul. Jangan asal bicara begitu," kata Suto sedikit
tunjukkan rasa tersinggungnya, karena orang itu menyebutkan nama dan gelarnya.
"Lho, apa kau anggap aku tadi bicaranya ngawur"
Aku bicara yang sebenarnya, Anak Muda! Jenazah itu
adalah jenazah Pendekar Mabuk. Nama aslinya Suto
Sinting. Dia itu muridnya si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang. Begitulah keterangan yang kudengar dari mulut orang-orang yang ikut
melayat di sini. Kalau tidak
percaya tanyakan saja kepada mereka."
Suto Sinting gemetar, matanya memandang tajam
kepada orang berbaju hijau itu.
"Paman tahu siapa aku ini?"
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
''Mana aku mengenalmu, habis kau datang-datang
bukan memperkenalkan diri malah mengajak berdebat
begini"!"
"Akulah yang bernama Suto Sinting, Pamanl"
"Aah... bercanda kamu!" Orang itu tertawa
meremehkan dengan wajah melengos.
"Paman, aku ini Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk. Akulah murid Gila
Tuak dan Bidadari Jalang!"
sambil Suto tepuk dada sendiri.
Orang itu geleng-geleng kepala sambil mencibir.
"Jangan mengaku-aku Pendekar Mabuk. Apa kau pikir aku akan kabur tunggang-
langgang karena
menganggapmu sebagai hantu jika kau mengaku
Pendeksr Mabuk" Oh, tidak bisa, Anak Muda. Aku tidak bisa kau tipu, Nak!"
Pengusung keranda hitam makin menjauh, demikian
pula para pengiringnya. Orang berbaju hijau itu kaget melihat dirinya tertinggal
jauh oleh rombongan, ia
segera bergegas menyusul rombongan dengan mulutnya
menghamburkan makian dan gerutuan kepada Suto.
Sementara itu Suto Sinting sendiri diam termenung
dalam keadaan masih berdiri di tempat. Matanya
memandang ke arah rombongan yang menjauh dengan
hati berkecamuk penuh keheranan.
"Orang itu gila atau goblok" Kata-katanya seperti orang mengigau" Ah, aku jadi
sangat penasaran sekali.
Apa benar orang-orang itu menganggap mayat dalam
keranda hitam adalah mayatku" Apa iya Pendekar
Mabuk sudah mati" Lalu aku ini siapa kalau begitu"!
Bisa benar-benar sinting kalau kupikirkan terus tanpa kucari kebenarannya.
Sebaiknya kutanyakan saja kepada para pengusung jenazah itu!"
Zlapp...! Dalam waktu dua kejap, Suto Sinting sudah ada di
depan rombongan pengusung jenazah, ia berdiri dengan sikap menghadang jalannya
iring-iringan tersebut. Tentu saja langkah para pengusung jenazah menjadi
terhenti tiba-tiba. "Hahh..."!" Delapan pengusung jenazah sama-sama terbelalak dengan mata mendelik
bagai ingin loncat keluar dari rongganya.
"Maaf, aku mengganggu perjalanan Saudara-saudara yang terhormat...," kata Suto
menunjukkan sikap sopannya.
Tapi para pengiring jenazah itu saling terpekik
dengan suara tertahan. Yang memanggul keranda
gemetaran bagai diserang hawa salju hingga menggigil.
"Aaaaa...!" salah seorang berteriak menjerit lengking, keras sekali. Yang
lainnya ikut menjerit pula hingga suasana menjadi gaduh.
"Hantuuuu...!!" teriak salah seorang pengusung jenazah yang baru saja terlepas
dari rasa tercekamnya.
Maka rombongan pengiring jenazah itu pun buyar
seketika. Mereka saling berteriak dan menjerit tak
karuan. Ada yang bersuara jelas, ada yang hanya
terdengar suaranya saja tak jelas ucapannya.
"Settaaaann...!"
"Aaannn...!"
"Hantuuu...!"
Sejumlah empat puluh pengiring saling berlarian ke
sana-sini tak tentu arah, saling mencari tempat
berlindung, saling berusaha berlari secepat mungkin dan sejauh mungkin. Malah
ada yang tersungkur jatuh dan
diinjak beberapa orang.
"Wuadoow...! Matii aku, Maaakk...!"
Ada pula yang saking paniknya berlari menabrak
pohon hingga batang hidungnya pecah. Salah seorang
pingsan karena kejatuhan keranda mayat. Sedangkan
yang sangat ketakutan hingga menggigil dengan wajah
pucat tetap diam di tempat tak bisa melangkah. Tahu-
tahu celananya basah.
Tentu saja Suto Sinting menjadi sangat menyesal,
namun juga sangat sedih melihat ketakutan mereka.
Karena ketakutan itu bagaikan sebuah musibah yang
membuat beberapa orang cedera.
Setelah orang yang pingsan ditolong oleh Suto dari
tindihan keranda hitam, orang itu pun dicekoki dengan tuak. Tuak saktinya Suto
membuat orang itu lekas
siuman. Namun begitu siuman, orang itu kaget melihat wajah Suto ada di
hadapannya. "Haahh..." Orang itu pun akhirnya pingsan lagi.
Sedangkan orang yang tak bisa lari itu masih menggigil di tempat, tubuhnya
limbung ke kiri, kanan, depan,
belakang, tapi tidak jatuh-jatuh sejak tadi.
"Uugggrr... uuhhg... uuhhgg... takut... takut...!"
terdengar suara lirih orang yang menggigil tak bisa lari itu.
"Mereka benar-benar menganggapku sudah mati"!"
pikir Pendekar Mabuk dengan sedih. "Mereka
menganggap bertemu dengan hantu. Berati aku dianggap hantunya mayat yang ada
dalam keranda hitam itu.
Penasaran sekali aku jadinya. Seperti apa mayat dalam keranda itu?"
Pendekar Mabuk dekati keranda yang tutupnya
sedikit terbuka itu. Tapi sebelum terlalu dekat, tiba-tiba
ada sekelebat bayangan yang melintas di depan Suto
Sinting, arahnya dari belakang Suto.
Wuttt...! Brrrakkk...! Tutup keranda hitam itu diterjangnya
hingga terpental. Keranda hitam bukan saja terbuka
tutupnya namun juga rusak karena terjangan orang yang melintas cepat tadi. Mayat
yang ada di dalamnya
terlempar dua langkah dari pecahan tutup keranda.
Bukan mayat yang jadi sasaran pandangan mata Suto,
melainkan wujud sesosok tubuh yang tadi menerjang
keranda hitam itu.
Sosok itu adalah sosok wanita cantik bergincu merah.
Mengenakan pinjung sebatas dada warna merah
bersulam benang emas. Celananya sebatas lutut warna
merah beludru, sama dengan bahan pinjungnya itu.
Sebuah pedang disandang di pinggangnya, tak terlalu
panjang namun berkesan mewah, karena gagangnya
terbuat dari kuningan emas mengkilap yang berukir
indah. Sarung pedangnya pun tampak dari lempengan
logam kuning emas berukir. Entah emas asli atau palsu.
Perempuan itu sungguh cantik. Bulu matanya lentik,
hidungnya bangir, sesuai dengan bentuk bibirnya yang mirip kuncup mawar. Kecil,
menggemaskan. Rambutnya
disanggul, tapi masih ada sisa sedikit yang dibiarkan jatuh berjuntai di kanan-
kirinya. "Mundur kau, Iblis!" hardik wanita cantik berusia sekitar dua puluh delapan
tahun itu. Suto Sinting hanya berkerut dahi memandang dengan sikap tenang.
Sedangkan mata si wanita berkulit kuning langsat itu
menatap tajam penuh sikap menantang.
"Berani mendekati jenazah itu, pedangku akan
mengusirmu dengan paksa!"
Sett...! Pedang pun dicabut dari sarungnya. Kaki
kanannya mundur selangkah, kedua tangan mulai
bersiap menyerang dengan pedang. Cukup gagah dan
tegap. Kelihatan kalau wanita itu berilmu pedang
lumayan. Pandangan mata dan ujung pedang sama-sama
tertuju ke satu arah.
Pendekar Mabuk menarik bumbung tuaknya dari
punggung, kemudian menenggak beberapa teguk.
Sementara itu satu-dua orang memperhatikan dari jarak jauh penuh rasa takut.
Bahkan orang yang menggigil itu kini jatuh lemas dan masih tak bisa bicara apa-
apa. Pendekar Mabuk melangkah menjauhi orang yang
pingsan, mendekati tempat yang lega dan agak dekat lagi dengan si wanita,
sehingga dapat melihat bentuk
kecantikannya lebih jelas lagi.
"Siapa kau, Nona cantik?"
"Aku yang akan bertanya begitu padamu. Siapa kau dan Iblis dari mana asalmu"!"
"Aku Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Aku dari...."
"Bohong! Kau hanya menyamar sebagai Pendekar
Mabuk! Kau Suto Sinting palsu!"
"Kau yang keliru, Nona. Aku Suto yang asli!"
"Yang asli sudah tewas! Lihat itu...!" ia menuding dengan pedangnya.
Suto Sinting baru menyadari kalau mayat yang
terlempar keluar dari dalam keranda itu adalah mayat
dirinya. Badannya gempal berotot, dadanya bidang dan kekar. Bajunya coklat tanpa
lengan, celananya putih
lusuh berlumur darah, ikat pinggangnya merah. Sayang mayat itu tanpa kepala
alias buntung. Tetapi di sisi keranda terdapat bumbung bambu tuak,
persis sekali dengan bumbung tuak yang sedang
dibawanya di pundak.
"Itu bukan aku," ucap Suto datar, seperti bicara sendiri.
"Memang itu bukan kau! Karena kau bukan Suto
Sinting!" Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala. "Kau
keliru...," ucapnya pelan sambil melangkah mendekati mayat tanpa kepala itu.
Hatinya membatin, "Ternyata inilah kejutan besar yang dimaksud si Arak
Bayangan."
"Jangan mendekat!" bentak perempuan itu.
Bentakan tersebut tak dihiraukan oleh Suto.
Akibatnya, sebelum Suto lebih dekat dengan mayat itu, si cantik, berkelebat
menyerang dengan pedangnya.
Wuttt...! Tubuh si cantik melayang sebatas kepala
Suto. Pedangnya berkelebat mengibas bagai ingin
membuntungi kepala Suto. Dengan cekatan Pendekar
Mabuk putar badan sambil menyambar bumbung
tuaknya untuk digunakan menangkis pedang itu.
Traanng...! Benturan pedang dengan benturan bumbung bambu
seperti benturan baja dengan baja. Ayunan pedang yang begitu keras memental
balik hingga membuat tubuh si cantik yang melayang itu oleng ke belakang terbawa
tenaga baliknya. Akibat yang diterima si cantik adalah mendaratkan kaki tak
sempurna. Pendekar Mabuk pun
segera merendah dan menyapu kaki perempuan itu
dengan kaki kanannya.
WUSSS...! Plak...! Bluhgg...!
Perempuan itu jatuh telentang. Tapi dengan serta-
merta pinggulnya dihentakkan sehingga tubuhnya
melesat naik dan tahu-tahu kedua kakinya sudah
memijak tanah dengan kuda-kuda yang kokoh.
Wajahnya segera berpaling ke kanan. Wett...!
Matanya memandang tajam pada Suto Sinting. Yang
dipandang hanya diam, berdiri dengan mata memandang
kalem. Tapi hatinya berkata dengan penuh keheranan.
"Mestinya kakinya patah. Tapi ternyata ia masih bisa berdiri tegak. Berarti
sapuan kakiku yang penuh tenaga tadi dapat ditahan dengan tenaga dalamnya yang
disalurkan melalui betis indahnya itu. Hebat. Dia punya ilmu yang cukup hebat.
Salah besar kalau aku
menyepelekannya. Aku harus hati-hati."
Tetapi perempuan yang mempunyai mata indah
sedang memandang tajam berkesan galak itu juga
berucap kata dalam hatinya.
"Boleh juga jurus si monyet ini"! Tenaganya cukup besar! Sabetan pedangku yang
penuh tenaga itu justru memantul balik lebih besar lagi. Tak kusangka dia bisa
membalikkan tenagaku dua kali lipat besarnya. Aku
harus waspada melawannya. Hanya saja, apa kemauan si monyet ganteng ini?"
Mata bertemu mata. Senyum Suto mengembang
penuh pesona. Mestinya perempuan itu luluh hatinya
karena Suto melepaskan jurus 'Senyuman Iblis' yang
dapat membuat lawan jenis kasmaran dan pasrah. Tetapi jika lawan jenisnya
berilmu tinggi, jurus 'Senyuman Iblis' memang tidak berguna sama sekali.
Jika, ternyata perempuan itu masih menampakkan
wajah ketus dan matanya memandang galak, maka
berarti perempuan itu berilmu tinggi. Suto Sinting
mencatat ketinggian ilmu perempuan cantik itu di dalam hatinya, sehingga ia tak
mau menggantungkan bumbung
tuaknya. Bumbung itu masih dipegang dengan tangan,
talinya melilit di telapak tangan, sehingga dapat
digerakkan ke mana-mana.
"Apa maumu menghadang kami, hah"!" hardik
perempuan itu. "Hanya membuktikan bahwa mayat itu bukan aku.
Pendekar Mabuk adalah aku, Nona. Harap kau percaya."
"Aku tak mau percaya!" katanya dengan sikap menantang.
"Lalu apa maumu jika tak percaya?"
"Aku akan membawa mayat itu!"
"Mau kau bawa ke mana?"
"Kuserahkan kepada gurunya Pendekar Mabuk agar dimakamkan dengan penghormatan
tinggi!" "Apakah kau tahu di mana kediaman gurunya
Pendekar Mabuk?"
"Di Jurang Lindu! Di sanalah si Gila Tuak
bersemayam, sedangkan Bidadari Jalang mengasingkan
diri di Lembah Badai!"
"Dia tahu semua tempat tinggal Guru," pikir Suto.
"Berarti dia bukan perempuan liar yang hanya bisa bicara secara ngawur."
Kemudian Suto bertanya, "Dari mana kau tahu letak kediaman guru-guruku itu,
Nona?" "Dari siapa lagi kalau bukan dari gusti ratuku
sendiri." "Siapa gusti ratumu, Nona?"
"Untuk apa kau bertanya" Sebaiknya kau menyingkir saja dan jangan halangi kami
membawa jenazah
Pendekar Mabuk ini ke Jurang Lindu!"
"Tak kuizinkan kau membawa jenazah ini, karena
dapat menggegerkan rimba persilatan!"
"Kalau begitu kau harus bertarung denganku sampai mati!"
"Jangan sampai mati. Sampai ada yang kalah saja.
Setuju"!"
"Aku tak akan merasa kalah jika nyawaku masih
belum bisa kau cabut!"
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik
celah dua gugusan cadas setinggi rumah itu. Clappp...!
Sinar merah itu bergerak dengan cepat seperti bintang berekor. Nyala sinarnya
sangat terang. Arahnya jelas ke punggung perempuan cantik itu.
Suto Sinting melompat ke depan sambil berseru,
"Awasss...!"
Zlapp...! Tahu-tahu ia sudah beradu punggung
dengan perempuan itu. Tepat ketika perempuan itu
menengok ke belakang, sinar merah sedang dihadang
oleh bumbung tuak Suto. Sinar itu menghantam telak
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bambu tuak tersebut.
Duarrrr...! Ledakan keras terjadi. Daya ledaknya membuat tubuh
Suto Sinting terpental ke belakang berjungkir balik
menabrak perempuan tersebut.
"Keparat...! Mau membokongku kau hah"! Terima
pembalasanku ini! Hiaaat...!" geram perempuan itu.
Kemudian si cantik melepaskan pukulan tenaga
dalamnya dari telapak tangan kiri. Seberkas sinar hijau melesat dari telapak
tangan kirinya itu. Clapp...!
Arahnya ke celah dua gugusan cadas.
Blegarr...! Dua gugusan cadas itu pecah seketika dihantam sinar
hijau. Tapi tak ada seorang pun di balik gugusan cadas tersebut, sehingga
perempuan itu tak bisa mengetahui siapa orang yang hendak menyerangnya dari
belakang tadi. "Untung iblis ganteng itu bergerak cepat menghadang sinar merah tadi. Kalau
tidak, bisa hancur tubuhku
dihantam sinar merah."
Perempuan itu memandang ke arah pemuda tampan
yang dianggap Suto palsu itu. Ia terperanjat namun tak diperlihatkan.
"Dia pingsan"! Oh, harus kuapakan sekarang"
Kutebas dengan pedangku atau kuselamatkann dulu" Dia menghalangi langkahku
membawa jenazah Suto ke
Jurang Lindu, tapi dia menyelamatkan nyawaku."
Perempuan itu menggeram jengkel sendiri dililit
kebimbangan. Sedangkan Suto Sinting benar-benar
pingsan. Sangat cocok jika kepalanya dipakai untuk
menggantikan kepala mayat yang terpenggal itu.
* * * 2 REMBULAN muncul di ujung malam. Bayang-
bayang pohon jatuh menghitam di tanah berumput tipis.
Di tanah itulah Suto Sinting terkapar dan baru saja sadar dari pingsannya.
Rupanya ia pingsan sejak siang dan tak ada yang menolongnya.
"Sial! Perempuan itu ternyata tidak mau menolongku, sehingga aku dibiarkan
pingsan sampai malam begini"!"
gerutu Suto Sinting dalam hati. Bumbung tuak yang
tergeletak di sampingnya segera diraih, kemudian ia menenggak beberapa teguk
tuaknya sebagai penguat
badan, mengembalikan kekuatannya yang sempat lenyap
karena serangan sinar merah tadi siang.
"Rupanya orang yang melepaskan pukulan bersinar merah itu cukup sakti. Terbukti
sinar merahnya tak bisa kukembalikan dengan menangkisnya memakai bumbung
tuak ini. Padahal biasanya kekuatan sebesar apa pun bisa kukembalikan jika
kutangkis memakai bumbung tuakku
ini! Hmm.... Siapa orang yang telah menyerang
perempuan cantik itu" Dan di mana perempuan itu
sekarang" Atau dia...."
Ada suara mengerang samar-samar. Suara orang
mengerang lirih itu datang dari balik sebuah pohon yang
bayangannya jatuh menutupi Suto. Maka pemuda
tampan yang sudah merasa sehat kembali karena sudah
meminum tuak saktinya itu segera menuju ke balik
pohon. "Oh, dia..."!" Suto terkejut melihat perempuan cantik itu ternyata masih ada di
situ dalam keadaan luka memar di wajahnya.
Rupanya perempuan itu baru saja siuman, entah sejak
kapan ia jatuh pingsan di balik pohon. Yang dapat
diketahui Suto adalah keadaan memar di wajah dan
tubuhnya. Cahaya rembulan membuat luka memar itu
terlihat jelas. Bahkan sebagian tulang pipinya tampak membengkak dan kulit
bagian bawah leher hampir
mencapai dada itu bagaikan luka terbakar.
Ada darah lembab yang membekas dari sudut
mulutnya sampai ke rahang. Sedangkan lengannya yang
kanan bagaikan habis digores dengan benda tajam
sejenis ujung pedang. Lengan itu terluka dan lukanya berwarna merah kehitam-
hitaman. Luka itu beracun,
sebab yang keluar dari luka bukan saja darah melainkan juga busa putih seperti
getah. "Kenapa kau"! Siapa yang menyerangmu sedemikian parahnya"!"
Tentu saja pertanyaan Suto tidak bisa dijawab, karena keadaan perempuan itu
sangat lemah. Matanya
memandang sayu, karena di sudut mata kirinya ada luka memar membiru sampai di
bagian pelipis. Mata kirinya itu bengkak, sangat menyedihkan. Kecantikannya
nyaris hilang karena luka parahnya itu. Rambut acak-acakan,
sanggulnya tak tertata rapi lagi.
Akhirnya justru perempuan itu yang ditolong oleh
Suto, bukan Suto yang ditolong perempuan itu dari
pingsannya. Dengan meminumkan tuak saktinya, Suto
Sinting berhasil mengobati luka parah si cantik. Tubuh yang penuh luka itu
menjadi segar kembali. Luka
terkoyak terkatup rapat lagi setelah minum tuaknya Suto.
Warna biru memar pun lenyap, berganti warna kulit asli.
Tulang yang bengkak pun mengempes dan kembali ke
wujud semula. Kini kecantikan perempuan itu terlihat nyata lagi,
bahkan badannya makin lama terasa semakin segar. Rasa perih di bagian dalam
tubuhnya pun tak ada yang
membekas. Hal itu sungguh mengagumkan bagi si
perempuan. Dalam hatinya ia hanya berkata,
"Luar biasa kehebatan tuaknya. Hampir sama dengan kehebatan tuak Suto Sinting.
Apakah dia muridnya Suto Sinting" Kabar yang kudengar, Suto tidak mempunyai
murid. Kabar yang kudengar juga mengatakan bahwa
Suto dikenal pula dengan julukan Tabib Darah Tuak,
karena ia mampu menyembuhkan penyakit dan luka
melalui tuaknya. Apakah pemuda ini juga mempunyai
kesaktian yang setara dengan tuaknya Pendekar Mabuk
itu?" Perempuan itu bergegas bangkit ketika Suto Sinting
memungut pedangnya. Pedang itu tergeletak dalam jarak empat langkah dari
tempatnya terkapar tadi. Pedang itu diambil Suto dan diserahkan kepada
pemiliknya. "Siapa orang yang menyerangmu, Nona?"
Dalam keadaan sudah berdiri, perempuan itu menarik
napas panjang-panjang. Merasakan kelegaan yang enak
sekali, sepertinya ia tak pernah mengalami luka apa pun.
Matanya memandang Suto sebentar. Tapi segera ingat
sesuatu sehingga pandangan matanya beralih ke arah
lain. Kemudian ia tampak sedikit tegang.
Ia berlari ke arah keranda yang berantakan. Wajahnya semakin kelihatan kecewa
dan memendam marah. Sinar
rembulan menampakkan perubahan wajah itu begitu
jelas. Mata indah itu segera memandang ke sana-sini, ternyata keadaan telah
sepi. Suto pun tidak melihat orang yang tadi siang
menggigil ketakutan itu. Bahkan orang yang pingsan
karena kejatuhan keranda juga sudah tidak ada. Satu pun manusia tak ada di sana
kecuali Suto dan perempuan itu.
Bukan hanya para pelayat yang hilang, tapi mayat
tanpa kepala itu juga hilang Dan hilangnya mayat itulah yang membuat perempuan
cantik itu menggeram penuh
kejengkelan. Ketika Suto mendekat, ia mendengar suara perempuan cantik itu
menggeram penuh dendam.
"Pasti dia yang mencuri jenazah itu!"
"Maksudmu dia siapa?" tanya Suto sambil
memandang ke arah sekeliling, seakan ia bertanya
dengan acuh tak acuh.
"Siapa lagi kalau bukan si keparat itu!"
"Iya. Maksudku, siapa nama si keparat itu?" desak Suto kali ini sambil
memandang. "Anak Petir."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi sambil menggumam
heran, "Anak Petir..."! Aneh sekali namanya?"
"Kau baru sekarang mendengar nama itu?"
Suto Sinting mengangguk menandakan kejujurannya.
Tapi perempuan itu justru tersenyum sinis melecehkan Suto.
"Berarti kau bukan tokoh penting dalam dunia
persilatan. Kau boleh saja punya perawakan menyerupai mendiang Pendekar Mabuk,
tapi pengetahuanmu sangat
cetek. Tertinggal jauh dengan Pendekar Mabuk. Pantas kalau kau tidak mengenal
nama Anak Petir."
Perempuan itu bergegas meninggalkan Suto. Maka
buru-buru Suto mencegahnya dengan mengejar langkah
si perempuan. "Hel, tunggu...! Apakah kau tak ingin menyebutkan namamu?"
Perempuan itu hentikan langkah, menatap Suto dalam
linangan cahaya rembulan, ia menatap agak lama,
sepertinya sedang mempertimbangkan jawabannya.
Rupanya ia ragu-ragu untuk memperkenalkan diri. Tapi setelah teringat bahwa
pemuda yang dihadapinya itu
telah menyelamatkan nyawanya dan mengobati lukanya,
akhirnya ia putuskan untuk memperkenalkan diri.
"Namaku... Bulan Sekuntum!"
Ia masih memandang ketika Suto manggut-manggut.
Senyum Pendekar Mabuk yang membias tipis itu
dibiarkan saja, tanpa tanggapan apa pun, tanpa balasan senyum yang serupa. Lalu
ia menyarungkan pedangnya yang dari tadi digenggam. Srekk...! Klak...! Mantap
sekali caranya memasukkan pedang. Melambangkan
sebagai perempuan pemberani.
"Apa lagi yang ingin kau tanyakan?" ujarnya dengan nada angkuh.
"Apakah orang yang melukaimu sampai babak belur itu adalah Anak Petir juga?"
"Ya. Sejak kau pingsan aku bertarung dengannya, karena dia ingin mencuri mayat
Pendekar Mabuk. Aku
bertarung sampai sore, selewat dari sore aku tak tahu lagi."
"Boleh aku tahu apa urusanmu dengan si Anak Petir itu" Agaknya dia ingin
membunuhmu secara pelan-pelan."
"Yang jelas dia musuh kami," jawab Bulan Sekuntum sambil melangkah meninggalkan
tempat itu. Mau tak
mau Suto Sinting mengikutinya.
"Kau mau ke mana, Bulan?"
"Menemui Ki Sabawana!" langkahnya terhenti dan berpaling memandang Suto. "Pasti
kau tidak tahu juga, siapa Ki Sabawana itu?"
Suto Sinting tersenyum meremehkan, sebab itu nama
asli gurunya. "Aku lebih banyak tahu tentang Ki Sabawana
daripada kau, Bulan Sekuntum!"
"Hem...!" Bulan Sekuntum mencibir dan melangkah lagi. Suto mengiringinya dari
samping kanan. "Kalau kau tahu, coba sebutkan siapa orang yang bernama Ki Sabawana itu?"
"Dia adalah tokoh sakti yang namanya tertera di urutan paling atas dari nama
tokoh-tokoh sakti aliran
putih. Nama Ki Sabawana dikenali orang sebagai tokoh yang paling ditakuti yang
berjuluk si Gila Tuak. Nama tokoh sakti kedua adalah Bidadari Jalang yang
bernama asli Nawang Tresni. Dulu perempuan cantik itu adalah tokoh sesat. Tapi
sekarang ia sudah bertobat dan menjadi tokoh aliran putih. Mereka mempunyai guru
suami-istri. Gila Tuak adalah murid Eyang Purbapati dan Bidadari Jalang adalah murid istrinya
Purbapati yang bernama
Eyang Nini Galih. Keduanya mempunyai murid tunggal
bernama Suto Sinting yang akhirnya bergelar Pendekar Mabuk."
Bulan Sekuntum hentikan langkahnya, ia
memandangi Suto lagi. Kali ini pandangan matanya
tidak berkesan meremehkan, melainkan berkesan
memuji, ia memanggut-manggut sesast sambil berkata
pelan. "Boleh juga pengetahuanmu. Sama persis dengan apa yang diceritakan ratu
gustiku." "Siapa ratu gustimu itu?"
"Gusti Dewi Giok."
Suto termenung sebentar dengan dahi berkerut tipis.
"Pasti kau tidak mengenalnya, bukan?"
"Ya, aku tidak mengenalnya. Bahkan baru sekarang aku mendengar namanya," jawab
Suto jujur sambil mengikuti langkah Bulan Sekuntum lagi.
"Kalau begitu kau hanya secara kebetulan saja
mendengar cerita tentang pribadi si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang," kata Bulan Sekuntum. "Kalau kau tahu banyak tentang mereka,
tentunya kau mengenal nama
gusti ratuku itu. Sebab Gusti Dewi Giok adalah adik
sepupu Bidadari Jalang. Usianya sudah banyak tapi
masih awet muda dan...."
"Kalau begitu," potong Suto. "Dewi Giok adalah saudara dari Ratu Ringgit Kencana
yang bernama Asmaradani"!"
Bulan Sekuntum kaget lagi. Langkahnya pun mau tak
mau terhenti. Kali ini dahinya tampak berkerut saat menatap Suto tanpa berkedip.
"Itu nama yang jarang bisa dikenal orang," kata Bulan Sekuntum. "Bagaimana kau
bisa mengenal nama kakak gusti ratuku?"
Kini Suto Sinting tersenyum tipis berkesan sombong,
ia sengaja tersenyum begitu untuk membalas senyuman
sombong Bulan Sekuntum yang sejak tadi dipamerkan
untuk meremehkan Suto. Bahkan kini Suto yang
melangkah lebih dulu, hingga Bulan Sekuntum
mengikutinya. "Asmaradani adalah Ratu Negeri Ringgit Kencana, Negeri itu ada di dasar laut.
Untuk masuk ke pulau itu harus melalui Pulau Bayang. Asmaradani juga memiliki
kesaktian tinggi, ia mempunyai ilmu yang jarang
dimiliki orang, yaitu ilmu 'Rambah Batin'. Dengan ilmu itu ia bisa hadir dalam
mimpi seseorang. Selain itu ia juga mempunyai ilmu langka yang bernama 'Latar
Bayang', bisa membuat suasana pemandangan di dasar
laut seperti di atas bumi, tapi tak punya matahari dan rembulan."
Seketika itu juga lengan Suto dicekal oleh Bulan
Sekuntum agar langkahnya terhenti. Perempuan cantik
yang sudah menata rambutnya kembali itu memandang
semakin heran dan menggumam lirih.
"Bagaimana kau bisa tahu hal itu"!"
"Karena aku pernah datang berkunjung ke Negeri
Ringgit Kencana," jawab Suto dengan bangga. "Aku pernah menyelamatkan
Asmaradani, juga pernah
menyelamatkan Pendeta Agung Dewi Rembulan yang
waktu itu terkena kutuk 'Birahi Salju', dan...."
"Tunggu dulu!" sergah Bulan Sekuntum. "Pendeta Agung Dewi Rembulan itu bibiku.
Jangan sembarangan
bicara kau!"
Suto tersenyum kalem. "Aku tidak bicara
sembarangan, Nona cantik. Aku memang pernah
menyelamatkan beliau dari kutukan itu. Aku memang
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenal beliau, juga kenal Rindu Malam, Kelana Cinta, dan... aku juga kenal dengan
bekas panglima Negeri
Ringgit Kencana yang berjuluk Pelangi Sutera. Nama
aslinya adalah Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang punya anak jin bernama
Logo." (Baca serial Pendekar Mabuk episode; "Seruling Malaikat").
Wajah cantik berbibir menggemaskan itu semakin
tampak tegang, ia menarik napas dan menghembuskan
panjang-panjang untuk menutupi ketegangannya, ia
berjalan bertolak pinggang tiga langkah lalu kembali mendekati Suto dan berhenti
dalam jarak satu langkah di depan Pendekar Mabuk.
"Begitu banyak kau tahu tentang negeri dari kakak gusti ratuku itu. Siapa kau
sebenarnya?"
"Akulah Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"
"Mustahil!"
"Mustajab!" sahut Suto dengan jengkel karena masih tidak dipercaya.
"Pendekar Mabuk sudah tewas dalam keadaan
kepalanya terpenggal. Kau lihat sendiri tadi siang
jenazahnya terlempar dari keranda hitam!"
"Itu bukan jenazahnya Pendekar Mabuk, karena
Pendekar Mabuk adalah aku ini! Masih hidup. Siapa
bilang sudah mati"!"
Bulan Sekuntum makin bingung. Langkahnya tetap
terayun sampai tiba di sebuah desa. Mereka masuk ke
dalam sebuah kedai yang masih buka. Ternyata ke kedai itu juga menyediakan kamar
untuk penginapan dengan
biaya murah. Mereka memesan dua kamar untuk
bermalam. "Kenapa tidak satu kamar saja?" kata Suto Sinting.
"Kalau hanya satu kamar, lantas kau mau tidur di mana?"
"Ya di kamar itu juga," jawabnya sambil nyengir nakal, sekadar untuk bercanda.
Tapi tangan perempuan itu melayang cepat
menampar pipi Suto. Plakk...!
"Kau pikir aku wanita murahan yang bisa kau ajak tidur bersama"!"
"Lho, siapa yang mengajak tidur bersama?" Suto mengusap pipinya dengan wajah
sedih. "Kenapa kau punya maksud mau tidur sekamar
denganku"!"
"Aku tidak mengajakmu tidur. Aku mengajakmu
melek bersama! Apakah kalau sudah di dalam kamar
lantas kita harus tidur berdua" Belum tentu!"
Untung saat itu kedai sudah sepi pembeli, sehingga
yang melihat Suto ditampar hanya si pemilik kedai.
Orang tua itu pun tidak mau ikut campur dan segera
menyingkir ke dapur.
Akhirnya Bulan Sekuntum menyetujui untuk
memesan satu kamar. Tapi Suto Sinting digelarkan tikar dan disuruh tidur di
lantai, sedangkan si cantik itu tidur di dipan beralaskan jerami lembut.
Sekalipun aturan sudah ditetapkan demikian, toh
nyatanya Bulan Sekuntum tidak mau berbaring di atas dipan, ia hanya duduk di
tepian dipan karena Suto
Sinting masih duduk di tikar bersandar dinding. Mereka masih membicarakan
tentang mayat yang dianggap
Bulan Sekuntum adalah mayat Pendekar Mabuk.
"Banyak orang di negeriku yang sudah pernah
melihat Pendekar Mabuk. Ada juga yang belum pernah
melihat langsung, termasuk aku," kata Bulan Sekuntum.
"Dan menurut mereka yang pernah melihat sosok
Pendekar Mabuk, mayat yang ditemukan di perbatasan
negeriku; Negeri Tanjung Samudera, adalah mayat
Pendekar Mabuk tanpa kepala. Ciri-ciri pakaiannya dan badannya tidak disangsikan
lagi. Terlebih setelah mereka menemukan bumbung tuak yang kesohor sebagai wadah
tuak saktinya itu. Gusti Ratu segera mengutusku
mengantarkan jenazah Pendekar Mabuk ke Jurang Lindu
untuk diserahkan kepada si Gila Tuak."
Suto Sinting termenung sejenak. Batinnya mengakui
kesamaan sosok tubuh mayat yang sempat dilihatnya itu.
Menurutnya memang pantas jika orang menduga mayat
tanpa kepala itu adalah dirinya. Tetapi jika seandainya mayat itu berkepala,
tentunya orang yang pernah
mengenalnya tidak akan mengatakan bahwa mayat itu
adalah mayat Pendekar Mabuk. Jadi agaknya ada korban pertarungan yang mati
terpenggal dan korban itu
mempunyai ciri-ciri serupa dengan Pendekar Mabuk.
Entah tidak sengaja atau memang sengaja berpakaian
serupa dengan Pendekar Mabuk, yang jelas orang itu
adalah orang yang bernasib malang.
"Siapa yang memenggal mayat itu?" tanya Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.
Perempuan yang punya tubuh sekal dan dada padat
tak begitu montok itu angkat bahu sambil menjawab,
"Tak ada yang tahu. Pengawas perbatasan negeri
kami yang menemukan mayat tersebut."
"Lalu, apa hubungannya dengan Anak Petir?"
"Itu pun aku tak tahu."
"Kenapa kau menyangka mayat yang terlempar dari keranda itu dicuri oleh Anak
Petir?" "Sebab sebelum aku bertarung melawannya, Anak
Petir menyuruhku meninggalkan mayat itu. Pasti dia
punya maksud tertentu dengan mayat tersebut."
Suto Sinting manggut-manggut dan menggumam
lirih, kemudian diam karena termenung memikirkan hal itu. Bulan Sekuntum
memperhatikan Suto sejak tadi.
Dalam hatinya timbul percakapan batin yang tak
didengar oleh siapa pun.
"Apa benar pemuda ini yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk"
Sekalipun ia mampu
menceritakan tentang si Gila Tuak, Bidadari Jalang, dan Gusti Ratu Asmaradani
bersama seluruh pejabat
istananya, namun aku masih ragu. Jangan-jangan ia
hanya mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk untuk
maksud-maksud tertentu" Aku harus tetap waspada
terhadapnya."
Melihat Suto menenggak tuak, hati Bulan Sekuntum
pun berkata, "Gayanya memang seperti Pendekar
Mabuk, yang menurut mereka, sebentar-sebentar minum
tuak dari bumbungnya. Tapi belum tentu kesaktiannya
sama dengan Pendekar Mabuk. Jika benar dia adalah
murid si Gila Tuak, pasti dia bisa membuat pedangku
hilang. Sebab menurut cerita Gusti Ratu, hanya murid si Gila Tuak yang bisa
melenyapkan benda dengan
menggunakan jurus 'Sembur Siluman' memakai tuaknya.
Kurasa ada baiknya dia kuuji dengan cara begitu."
Suto Sinting hanya tersenyum ketika Bulan Sekuntum
menantangnya menggunakan jurus 'Sembur Siluman'.
"Kau ini memang keras kepala. Sudah kubuktikan
dengan berbagai ceritaku tapi masih sangsi dengan
kebenaranku," kata Suto bersikap malas-malasan.
"Demi membuktikan kebenaranmu, kau harus
sanggup melakukan hal itu. Jika kau beralasan macam-macam, aku terpaksa
menyerangmu karena kau telah
menipuku! Aku paling benci dengan lelaki yang suka
menipu. Karena lelaki begitu akan menjadi pengkhianat
bagi kaum wanita, terutama bagi istrinya sendiri."
"Hei, apa hubungannya dengan istri" Yang kita
bicarakan ini soal mayat, bukan soal istri!"
Bulan Sekuntum meletakkan pedangnya di atas tikar,
ia bagaikan tidak peduli dengan sikap malasnya Suto Sinting.
"Gunakan jurus 'Sembur Siluman'-mu itu, atau aku akan menyerangmu dengan
anggapan kau bukan murid
si Gila Tuak"!"
Ancaman itu sulit ditolak oleh Suto. Akhirnya dengan cengar-cengir yang membuat
Bulan Sekuntum tak yakin, Suto Sinting menuruti keinginan perempuan itu. Ia
menenggak tuaknya, kemudian tuak disemburkan dari
mulutnya ke arah pedang tersebut.
Brrusss...! Slabb...! Pedang itu lenyap tak tersisa walau hanya
ujungnya saja. Lenyapnya pedang karena semburan Suto membuat Bulan Sekuntum
terbelalak kaget. Kemudian
mata bundarnya yang terbelalak itu menatap ke arah
Suto. "Rupanya kau seorang tukang sihir"!"
Oh, jengkel sekali hati Suto. Sudah dibuktikan
sedemikian rupa masih saja perempuan itu tidak mau
mengakui Suto sebagai murid si Gila Tuak. Rasa-
rasanya ingin sekali Suto menabok kepala perempuan itu biar sadar akan apa yang
terjadi dengannya.
"Coba sekarang munculkan kembali pedangku tadi!"
perintahnya dengan wajah penuh keraguan.
"Aku tak bisa!" kata Suto.
'Apaa .."!" Bulan Sekuntum kaget. "Kau tak bisa membuat pedangku muncul
kembali"! Tak mungkin!
Jelas tak mungkin. Sebab menurut cerita ratu gustiku, murid Gila Tuak selalu
bisa melenyapkan benda dengan semburan tuaknya, juga bisa memunculkan benda itu
kembali dengan jurus 'Jelma Siluman'. Kenapa kau tak bisa"!"
"Bukankah menurutmu aku tukang sihir, bukan
Pendekar Mabuk"! Kalau aku bukan Pendekar Mabuk,
tentunya aku tak bisa membuat pedangmu muncul
kembali." "Jangan bercanda kau!" hardik Bulan Sekuntum.
"Lalu bagaimana dengan pedangku" Itu pedang warisan orangtuaku! Apakah harus
hilang selamanya?"
"Yah, itulah nasibmu. Salah sendiri mengapa
menyuruhku menghilangkan pedang itu?" kata Suto membuat Bulan Sekuntum menggeram
jengkel, kedua tangannya mulai menggenggam kuat-kuat.
Tiba-tiba pintu kamar digedor seseorang dengan
kasar. Suara gedoran pintu itu mengagetkan Suto Sinting dan Bulan Sekuntum.
"Siapa yang menggedor pintu itu"!" bentak Bulan Sekuntum.
"Aku...! Utusan dari Ki Lurah Tunggoro!" seru suara di luar kamar.
"Apa maksudmu menggedor kamarku"!"
"Cepat buka pintunya, atau kujebol dengan paksa"!"
ancam orang bersuara besar itu.
Suto Sinting berdiri, melangkah mendekati pintu
bermaksud membukanya. Tetapi pundaknya segera
dicekal kuat oleh Bulan Sekuntum.
"Jangan buka pintunya!"
"Dia akan bikin gaduh tempat ini. Kalau pintu rusak kasihan pemilik kedai ini!"
"Biarkan dia bertindak. Aku ingin tahu, seberapa kehebatannya. Apakah ia mampu
menjebol pintu jika
kulapisi dengan jurus 'Perisai Matahari'-ku ini!"
Tiba-tiba Bulan Sekuntum menyentakkan kedua
tangannya ke depan. Ujung-ujung jari tangan lurus ke arah depan dan memancarkan
sebaris sinar putih
menyilaukan. Sinar putih itu menghantam pintu tanpa
suara dan segera menyebar memenuhi dinding dan pintu.
Kini dinding tempat pintu itu berada menjadi bercahaya pendar-pendar warna
putih. "Buka pintunya!" teriak orang bersuara besar itu.
Bluk, bluk, bluk...! Pintu itu bagaikan tak bergeming ketika ditendang-tendang
oleh orang tersebut. Suara gaduh akibat tendangan atau gebrakan bagai teredam
masuk ke dalam bias sinar putih tersebut.
"Buka pintunya! Atau kuhancurkan kamar ini
sekarang juga!!" teriak orang tersebut. Tapi suaranya seperti ada di kejauhan.
* * * 3 UTUSAN Ki Lurah Tunggoro bernama Gaung
Cablak. Mulutnya besar, suaranya juga besar. Berbadan
tinggi besar berotot, kepalanya juga besar, gundul tanpa sehelai rambut pun.
Tapi kepala itu diikat pakai pita merah berbintik-bintik hitam. Pakaiannya serba
merah, mengenakan gelang bahar besar warna hitam. Ia
menyandang goiok lebar yang diselipkan di pinggang
kirinya. Ia didampingi seorang anak buah yang bertubuh
kurus kerempeng agak pendek, tapi tengil sekali.
Usianya lebih muda dari Gaung Cablak yang berumur empat puluh tahun itu. Orang
kerempeng itu berpakaian serba hitam, rambutnya lurus, tipis, panjang, diikat
dengan kain warna coklat muda. Ia seorang pengawas buruh perkebunan milik Ki
Lurah Tunggoro yang
kerjanya berkeliling terus, sehingga dikenal dengan Mandor Gangsing.
Pintu kamar yang tidak bisa dijebol Gaung Cablak
membuat mereka penasaran, lalu menunggu di luar
kedai. Sedangkan Suto Sinting dan Bulan Sekuntum
malam itu akhirnya tertidur dengan sendirinya dalam
keadaan berbeda tempat. Pendekar Mabuk sendiri capek memikirkan masalah mayat
tanpa kepala itu, hingga tak terasa lelap di atas lantai bertikar.
Ketika mereka keluar dari kedai, hari sudah agak
siang. Bulan Sekuntum lupa bahwa pedangnya belum
dikembalikan oleh Suto. Maka ketika ia tahu di luar sedang ditunggu oleh utusan
Ki Lurah Tunggoro, ia
segera mendekati Pendekar Mabuk dan mendesak agar
pedangnya dikembalikan.
"Aku hanya seorang tukang sihir. Bisa
menghilangkan benda tapi tak bisa memunculkan
kembali," sindir Suto Sinting.
"Keparat kau! Kalau kesabaranku hilang kau kuhajar lebih dulu sebelum mereka
berdua!" geram Bulan Sekuntum.
Suto Sinting hanya tersenyum tenang. "Siapa mereka sebenarnya?"
"Utusan Lurah Turonggo. Aku kenal mereka; yang besar bernama Gaung Cablak, yang
kurus bernama Mandor Gangsing."
"Mengapa orang yang bernama Lurah Tunggoro
mengirim utusan kemari" Siapa yang mereka cari?"
"Sudah pasti aku! Karena Lurah Tunggoro adalah
satu dari sekian lelaki yang tergila-gila padaku.
Lamarannya kutolak, maskawinnya kubuang di depan
hidungnya. Pasti dia sakit hati padaku dan mengirim
kedua orang itu untuk menyeretku menghadapnya!"
"Kalau begitu ini persoalanmu. Aku tidak akan ikut campur."
"Aku tidak butuh campurtanganmu!" ujarnya dengan ketus, kemudian segera menemui
Gaung Cablak. Sementara itu, Suto Sinting tertawa pelan sambil
memperhatikan dari emperan kedai.
"Mengapa hanya kau yang maju, Bulan Sekuntum!
Mengapa pemuda itu tidak ikut maju" Apakah dia takut padaku"!" sambil Gaung
Cablak menuding Suto terang-terangan.
"Ini bukan urusannya!" kata Bulan Sekuntum.
"Kalian datang untuk berurusan denganku bukan dengan
dia!" "Tapi perintah Ki Lurah Tunggoro kami harus
menyeret pemuda itu, karena telah berani bermalam satu kamar denganmu, Bulan
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekuntum!" kata Mandor
Gangsing. "Siapa yang memberi tahu aku ada di sini?"
"Mata-mata kami!" jawab Gaung Cablak. "Tetapi pesan dari Ki Lurah Tunggoro, jika
kau bersedia menghadap beliau sekarang juga, maka pemuda itu kami bebaskan dari ancaman
kecemburuan!"
"Apakah kau sudah mampu melangkahi mayatku
sehingga ingin membawaku menghadap lurah sinting
itu"!"
Ucapan Bulan Sekuntum membuat kedua utusan itu
saling menggeram. Merasa atasannya dihina, Gaung
Cablak yang bertampang sangar itu segera
memerintahkan Mandor Gangsing untuk menyerang
Bulan Sekuntum.
"Mandor Gangsing, lumpuhkan si mulut angkuh itu!"
"Itu soal kecil," kata Mandor Gangsing sambil mencibir meremehkan. "Kau saja
yang maju dulu, kalau kau tak sanggup baru aku yang merampungkan!"
"Kau di bawah perintahku, Goblok!" bentak Gaung Cablak.
Plakk...! Kepala Mandor Gangsing dikeplak. Si kurus
kerempeng itu hanya bisa nyengir sambil mengusap-
usap kepalanya.
"Serang perempuan angkuh itu!"
"Hiaaaaat...!" Mandor Gangsing berteriak cempreng.
"Hiaaaat..! Hiiiaah...!"
Ia melioncat ke sana-sini tanpa ada gerakan maju
menyerang. Hanya suaranya yang makin lama makin
melengking tinggi mengundang perhatian orang dari
kejauhan. Tangannya berkelit mencak sana-sini, tapi
jaraknya makin jauh dari Bulan Sekuntum.
Gaung Cablak merasa dongkol hatinya, ia hampiri
Mandor Gangsing yang bagai sedang memamerkan jurus
itu, lalu kakinya ditendang kuat-kuat oleh Gaung Cablak. Bukk...!
Wuuttt, brukk...!
Mandor Gangsing terpental sejauh tujuh jangkah, ia
jatuh terjungkir tanpa ampun lagi. Wajahnya mencium
tanah hingga bibirnya besot.
"Minggat saja kau!" hardik Gaung Cablak. Kemudian orang tinggi besar itu
menghampiri Bulan Sekuntum.
"Kuperingatkan sekali lagi, Bulan Sekuntum...
sebaiknya kau menghadap Ki Lurah Tunggoro sekarang
juga, supaya pemuda itu tidak menjadi bahan
bantalanku!"
"Aku akan menghadap lurahmu kalau sudah tanpa
nyawa, jangan harapkan aku sudi menghadap lurahmu!"
"Kalau begitu, jangan salahkan aku jika tulangmu remuk sebagian! Heeaaah...!"
Gaung Cablak menyerang dengan satu lompatan tak
seberapa tinggi. Kakinya menerjang wajah Bulan
Sekuntum. Tapi kaki besar itu mampu ditangkis oleh
Bulan Sekuntum dengan tangan kiri sambil bergeser ke samping berubah arah, lalu
memutar dan menendangkan
kakinya ke belakang.
Wuttt...! Plokk...!
Tendangan telak itu mengenai wajah Gaung Cablak.
Tentu saja tendangan kaki itu bukan sekadar tendangan tanpa tenaga dalam. Begitu
besar curahan tenaga dalam pada kaki, sehingga hidung Gaung Cablak pun menjadi
berdarah, tulang hidungnya sempat retak.
"Bangsat...!!" geram Gaung Cablak. Ia segera mencabut golok besarnya. Wusss...!
"Kubedah perutmu, Setan!! Heeeaah...!"
Gaung Cablak menebaskan golok besarnya dengan
gerakan cepat ke sekelilingnya bagaikan membabi buta.
Suara gerakan golok besar menggaung di sekeliling
tempat itu. Wuung, wuung, wuung, wuung...!
Bulan Sekuntum hanya melompat mundur satu
langkah. Kemudian tangan kirinya menyangga telapak
tangan kanan yang berdiri tegak mengeras. Penyatuan
tenaga dari kedua belah sisi disalurkan melalui ujung jari tengah tangan
kanannya. Maka ketika Gaung Cablak
menerjang maju, Bulan Sekuntum menyentakkan
tangannya lurus ke depan. Dari ujung jari melesat sinar biru lurus menerjang
kibasan golok besar yang sulit ditembus pukulan lawan itu.
Clappp...! Prrangng...! Jrubb...!
"Aaaahg...!!" Gaung Cablak memekik keras dan panjang.
Sinar biru lurus itu mampu mematahkan golok besar
menjadi empat bagian, juga mampu menembus
mengenai dada Gaung Cablak. Akibatnya orang tinggi
besar berkulit hitam itu terpental ke belakang sejauh delapan langkah.
Buhhgg...! Ia jatuh berdebam bagaikan pohon rubuh.
Dari tiap lubang keluar asap putih. Sebagian kulit
tubuhnya mengelupas hangus, terutama bagian dada
sampai leher. Wajahnya sendiri menjadi melepuh dan
tampak membendung cairan dari dalam tubuh.
"Wah, gawat! Gaung Cablak mati dalam dua jurus"!
Apa lagi aku"!" pikir Mandor Gangsing.
Dengan ketakutan yang begitu besar, Mandor
Gangsing segera melarikan diri secepat-cepatnya. Tanpa sadar ia berlari lewat di
depan Suto Sinting, sehingga secara iseng Suto Sinting menggertaknya sambil
menghentakkan kaki. "Heeaah...!!"
"Wuaaaw..! Ampuuunn..!" Mandor Gangsing
menjerit kaget dan tambah ketakutan. Larinya salah
sasaran hingga menerobos pagar rumah orang.
Brakk.. ! Ia tambah menjerit lagi antara takut dan
sakit. "Aaaaoow...!" Lalu buru-buru bangkit dan lari lagi bagai dikejar setan. Beberapa
orang yang melihat dari kejauhan, termasuk Suto sendiri, menertawakan kejadian
itu. Tapi bagi Mandor Gangsing lebih baik ditertawakan daripada dibuat seperti
Gaung Cablak. Orang bersuara besar itu tak berkutik, tubuhnya
meringkuk di tanah pekarangan rumah orang. Dilihat
dari gerakan jari kakinya, Suto Sinting tahu orang
bertubuh besar itu belum menghembuskan nyawa.
"Dia masih hidup. Walaupun tinggal sisa nyawa
sejengkai, tapi sepertinya aku masih bisa menolongnya!"
Ziapp...! Pendekar Mabuk berkelebat cepat, tahu-tahu sudah ada di samping Gaung
Cablak. Ia memandangi
korban serangan Bulan Sekuntum sambil geleng-geleng kepala. Hatinya sempat
membatin, "Luar biasa. Satu jurus saja membuat lawan seperti ini. Jika Bulan Sekuntum bisa
babak belur melawan
Anak Petir, berarti Anak Petir lebih ganas dan lebih berbahaya ilmunya ketimbang
Bulan Sekuntum"!
Setidaknya orang yang berjuluk Anak Petir itu bisa
menghadapi jurus sinar birunya Bulan Sekuntum tadi."
Keadaan Gaung Cablak terlalu parah. Mulutnya
ternganga-nganga mencari sisa napasnya. Suto Sinting menuangkan tuak dari
bumbungnya hingga mengucur
masuk ke mulut lebar itu. Beberapa saat kemudian,
Gaung Cablak terbatuk-batuk. Luka bakar yang
membuat kulitnya melepuh itu mulai mengempis.
Saat itu Bulan Sekuntum memandang dengan mata
memancarkan rasa tak suka terhadap perbuatan Suto
Sinting. Tapi ia tak berani menyerang atau melarang, karena ingat bahwa
pedangnya belum dikembalikan, ia hanya menggeram jengkel, lalu masuk ke dalam
kedai. Duduk di sana dengan napas terengah-engah dan wajah
cemberut kesal.
Gaung Cablak mulai merasakan kesembuhannya, ia
mengerang bagai membuang napas. Pelan-pelan
matanya dibuka dan wajah tampan yang tadi ingin
dilawannya itu terlihat jelas di hadapannya. Bahkan kini pemuda tampan itu
menarik tangan Gaung Cablak,
membantunya berdiri.
"Kaau... kau... yang menyelamatkan aku"!" Gaung Cablak bicara pelan dengan sikap
salah tingkah. "Pulanglah dan katakan kepada lurahmu agar tak
perlu mengusik si macan betina itu!" kata Suto pelan juga, takut didengar Bulan
Sekuntum. "Tapi... tapi aku harus berhasil menyeretmu dan...."
"Dan kau kehilangan kesempatan untuk hidup yang kedua kalinya!" sahut Suto
Sinting. Gaung Cablak tak bisa bicara. Akhirnya ia melangkah
pergi meninggalkan tempat itu dengan berbagai
perasaan; malu, sedih, senang, takut, dan sebagainya.
Bulan Sekuntum hanya memandangi kepergian
Gaung Cablak dengan mulut meruncing, ia berdiri di pintu kedai dengan
bertolakpinggang dan tampak masih gusar. Namun di sisi lain hatinya menggumam
penuh keheranan. "Baru sekarang kulihat ada orang yang bisa
menyelamatkan korban jurus 'Racun Baja'-ku. Yang
sudah-sudah tak satu pun ada orang yang berhasil
selamat jika sudah terkena jurus 'Racun Baja' tadi. Jurus itu hanya bisa
dihindari atau ditangkis dengan senjata khusus. Tapi jika sudah telanjur
mengenai kulit tubuh seseorang, maka orang itu tak akan mampu bertahan
hidup lebih dari setengah hari."
Bulan Sekuntum geleng-geleng kepala tipis, takut
terlihat Suto Sinting yang sedang melangkah mendekati
kedai. "Hanya dengan tuak saja dia bisa menyembuhkan
Gaung Cablak dari 'Racun Baja'-ku"! Benar-benar tak masuk akal bagiku. Kalau
begitu, dia memang si Tabib Darah Tuak alias Suto Sinting"! Jika dia memang si
Pendekar Mabuk, lantas yang mati terpenggal itu siapa?"
Wajah ketus itu semakin berang ketika Suto Sinting
sudah ada di depannya.
"Untuk apa kau menyelamatkannya"! Kau
bersekongkol dengan Lurah Tunggoro"! Kau
komplotannya"!"
Pendekar Mabuk hanya nyengir sambil angkat bahu.
"Aku hanya memberi pelajaran padanya, supaya ia bercerita kepada Lurah Tunggoro
dan selanjutnya Lurah Tunggoro tak akan berani menganggumu lagi!"
"Bagaimanapun juga ia tetap akan mengusikku jika masih bernyawa, ia pasti akan
mengajukan keponakannya."
"Siapa keponakannya itu"!"
"Anak Petir!"
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Jadi ada hubungannya dengan Anak
Petir"!"
"Kalau dia tak punya keponakan Anak Petir, mana mungkin dia berani melamarku
dengan mengandalkan
kesaktiannya yang masih jauh di bawahku itu"!"
"Kalau begitu, apakah menurutmu Ki Lurah
Tunggoro juga ada kaitannya dengan hilangnya mayat
tanpa kepala yang kau anggap diriku itu"!"
"Entah!" jawabnya masih bernada ketus. "Aku ingin
kembali ke Tanjung Samudera untuk membicarakan hal
ini kepada Gusti Ratu Dewi Giok. Kurasa beliau bisa
memberikan jawaban tentang mayat tanpa kepala yang
mirip denganmu itu!"
Suto Sinting tersenyum. Dengan mengatakan 'mayat
yang mirip denganmu' Suto merasa sudah diakui sebagai Pendekar Mabuk yang
sebenarnya. "Akhirnya keras kepalanya menjadi lunak kepala,"
pikir Suto. "Ia tidak bersikeras mengatakan mayat itu adalah Pendekar Mabuk, ia
sudah mengakui dirikulah
Pendekar Mabuk sebenarnya. Kurasa sudah waktunya
pedang itu kumunculkan kembali. Biar dia semakin
yakin bahwa aku adalah muridnya si Gila Tuak."
Pedang itu dimunculkan kembali dengan jurus 'Jelma
Siluman'. Saat Suto Sinting menyerahkan pedang itulah kecemberutan Bulan
Sekuntum menjadi pudar. Tapi
tetap saja wanita cantik berdada sekal itu tak mau
sunggingkan senyum yang manis.
"Aku mau pulang ke negeriku. Apakah kau ingin ikut menghadap gusti ratuku?" Ia
berlagak bertanya, walau Suto tahu maksudnya adalah mengajak Suto untuk
menemui sang penguasa Tanjung Samudera. Caranya
mengajak sungguh unik dan lucu, sehingga Suto Sinting menertawakannya beberapa
saat. Setelah itu, Suto berkata dengan gayanya sendiri,
"Aku tidak ingin menghadap ratumu. Untuk apa" Tapi tak ada salahnya kalau aku
mengantarmu pulang. Siapa tahu di tengah jalan kau butuh bantuanku lagi."
"Aku tidak butuh seorang pengawal, sebab aku
sendiri pengawal Ratu! Kalau kau tak ingin bertemu dengan gusti ratuku, pergilah
sana jangan ikut aku!"
"Baiklah. Kalau begitu kita berpisah dari sini. Aku akan ke barat dan kau ke
mana?" Setelah diam sesaat perempuan yang masih ketus itu
menjawab pelan,
"Aku juga ke arah barat."
"Kalau begitu aku yang ke timur."
"Baiklah, kita ke timur bersama!"
Suto Sinting tertawa geli.
Bulan Sekuntum memalingkan wajah. Agaknya ia menyembunyikan
senyum dan tawa yang tak ingin dilihat Suto. Hal itu membuat Suto penasaran
sehingga memutar tubuh Bulan
Sekuntum hingga berhadapan.
"Aku ikut denganmu!" kata Suto.
"Terserah...!" ucapnya sambil melengos.
Perjalanan menuju Negeri Tanjung Samudera
ditempuh dengan jalan kaki. Mulanya Suto Sinting
mengajaknya adu kecepatan berlari, supaya
mempersingkat waktu di perjalanan. Tetapi ternyata
Bulan Sekuntum selalu tertinggal oleh gerakan Suto, sehingga wanita yang mengaku
masih belum mempunyai kekasih itu tak mau diajak adu lari lagi.
"Nanti aku kehilangan kau, dan kau kehilangan aku.
Akhirnya kau tak akan sampai ke negeriku!" kata Bulan Sekuntum yang sudah mulai
ramah walau senyumnya
masih setipis kulit bawang. Namun senyum itu sangat
indah dan menambah kecantikan wajahnya. Suto suka
memandangi senyuman setipis kulit bawang itu.
Perjalanan yang sudah memakan waktu setengah hari
itu terpaksa harus berhenti. Bukan karena mereka ingin beristirahat, meiainkan
karena tiga orang menghadang langkah mereka. Ketiga orang itu turun dari sebuah
bukit, langsung melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Suto dan Bulan Sekuntum.
Untung keduanya mampu menghindari dengan satu
Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lompatan bersalto ke atas, sehingga pukulan jarak jauh itu menghantam batu dan
batang pohon. Hantaman itu
membuat alam sekitar mereka bagai mengalami gempa
kecil-kecilan. Itu menandakan pukulan mereka bukan
bertenaga ringan, namun cukup mempunyai kekuatan
menghancurkan alam sekitarnya.
"Siapa tiga orang berwajah kembar itu"!" bisik Suto Sinting kepada Bulan
Sekuntum. "Mereka yang berjuluk Malaikat Tiga Wajah."
"Apa masalahnya sehingga menyerang kita?"
"Entahlah. Tapi menurut perkiraanku, mereka sangka aku telah menghidupkan mayat
yang buntung kepalanya
itu. Kaulah yang dianggap mayat yang buntung itu."
"Kurang ajar. Kasih tahu pada mereka, bahwa aku bukan mayat yang buntung
kepalanya. Beri tahu pula
bahwa Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak masih
hidup. Jika ia macam-macam denganmu, aku yang akan
hadapi mereka bertiga."
Tiga orang berwajah sama dengan potongan rambut
sama pula itu semakin dekat. Dalam satu lompatan
terakhir mereka sudah berada dalam jarak tujuh langkah di depan Suto dan Bulan
Sekuntum. Mereka berdiri
tegak, tegar, dan tampak siap melepaskan serangan
sewaktu-waktu. Mereka mempunyai segala sesuatu serba kembar tiga,
termasuk jenis pedang yang mereka gunakan juga
bentuk dan ukurannya sama persis satu dengan lainnya.
Yang membedakan mereka adalah pakaiannya. Yang
satu berpakaian merah, satu lagi kuning, dan yang
satunya lagi berpakaian biru. Tapi rambut mereka
sepanjang punggung sama-sama lurus dan diikat
memakai kain yang warnanya sesuai dengan pakaian
mereka. Tak sedikit pun wajah mereka ada kelainan. Dari
hidung, mata, dagu, kumis yang tipis tapi panjang ke bawah, semuanya sama.
Ukuran tinggi badan dan
kurusnya badan juga sama persis. Wajah mereka pun
sama-sama memancarkan kebengisan dalam usia yang
sama-sama sekitar lima puluh tahun.
"Apa yang kalian kehendaki dariku"! Mengapa tahu-tahu menyerangku, hah"!" ketus
Bulan Sekuntum, tak kelihatan rasa takut dan gentar sedikit pun. Padahal tiga
wajah kembar itu memancarkan kebengisan, bagai
orang-orang tak mengenal rasa kasihan sedikit pun
terhadap lawannya.
"Kalau kau ingin tahu alasan kami menyerang kalian, jawablah dulu pertanyaanku;
mengapa kau hidupkan
kembali mayat Pendekar Mabuk itu?" kata Maiaikat Merah.
Malaikat Kuning menimpali kata, "Apakah kau
bermaksud ingin memperkuat negerimu untuk
menguasai wilayah kami dengan menggunakan kekuatan
Pendekar Mabuk?"
"Kalian salah paham!" kata Bulan Sekuntum. "Yang ada bersamaku ini bukan mayat
hidup kembali, tapi
memang manusia utuh yang belum punya pengalaman
menjadi mayat!"
"He, he, he...! Kau tak bisa menipu kami, Bulan Sekuntum!" Maiaikat Biru
terkekeh dengan nada
menghina. "Mata kami bertiga lebih awas daripada matamu yang hanya sepasang
itu." "Sebaiknya katakan saja, siapa yang telah
menghidupkan mayat Pendekar Mabuk itu!" suara
Maiaikat Kuning agak menyentak.
"Yang menghidupkan adalah Yang Maha Kuasa!"
sahut Suto setelah meneguk arak satu kali.
"Bocah ingusan, sebaiknya kau tutup mulut saja dan jangan memancing kemarahan
Malaikat Tiga Wajah!
Kau akan menyesal selamanya jika memancing
kemarahan kami!" ancam Maiaikat Merah.
"Terus terang saja, apa maksud kalian sebenarnya"!"
hardik Bulan Sekuntum tak peduli dengan ancaman apa
pun. "Maksud kami adalah tidak setuju kalau Pendekar Mabuk dihidupkan kembali!
Biarkan dia mati dalam
keadaan terpancang kepalanya, seperti kala ditemukan oleh orang-orangmu, Bulan
Sekuntum! Dan jangan
paksakan dia melibatkan diri dengan urusan negerimu, karena kami akan menyerang
negerimu sebelum kalian
merebut wilayah kekuasaan kami di Bukit Rempoa!"
Melaikat Biru menyambung, "Benar! Untuk itu kalau kau tak mau mengembalikan dia
dalam keadaan tanpa
kepala seperti saat ditemukan oleh orang-orangmu, maka kami yang akan
mengembalikan keadaannya sekarang
juga!" "Kalian bertiga belum ada apa-apanya jika bertarung melawannya," kata Bulan
Sekuntum dengan senyum sinis.
"Laknat! Jangan meremehkan Maiaikat Tiga Wajah!
Terimalah salam perkenalan kami ini. Heeeaah...!"
Tiga wajah kembar sama-sama melompat ke atas, tapi
tangan mereka yang kanan sama-sama melepaskan
pukulan sinar merah besar seperti sorot cahaya penerang jalan.
Wuuttt...! Tiga sinar merah yang mengepung dari tiga arah itu
sama-sama menghantam ke arah Pendekar Mabuk.
Bukan ke arah Bulan Sekuntum. Tetapi, merasa
berhutang budi dan menjadi sahabat, Bulan Sekuntum
berkelebat menerjang tiga sinar merah itu dengan
melepaskan sinar putih dari ujung-ujung jarinya.
Slabbb...! Sinar putih dari jurus 'Perisai Matahari' itu menyebar membentuk lapisan penahan
serangan lawan. Dan tiga
sinar merah itu menghantam lapisan 'Perisai Matahari'.
Blegarrr...!! Ledakannya sungguh mengguncang alam sekeliling.
Tiga pohon langsung rubuh karena terkena daya hentak ledakan yang menimbulkan
angin panas berkecepatan
tinggi. Hentakan itu bukan saja mengguncang alam
sekeliling, namun juga membuat tubuh Bulan Sekuntum
terpental ke belakang dan jatuh persis di samping Suto Sinting dalam keadaan
terkapar. "Uuhg...!" Bulan Sekuntum mengerang tertahan.
Ketika hendak bangkit, darah kental menyembur dari
mulutnya. Wuuurrss...!
"Bulan..."!" Suto Sinting terkejut, ia segera menolong Bulan Sekuntum sambil
membatin, "Gawat! Ia terkena getaran beracun dari ledakan sinar merah tadi"! Wah bisa
mampus dalam beberapa saat
anak ini! Aku harus menyelamatkan dia lebih dulu!"
Zlappp...! Suto Sinting tak mau banyak urusan dulu.
Ia membawa lari perempuan cantik tersebut dengan
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Gerakan yang
kecepatannya melebihi anak panah itu membuat
Malaikat Tiga Wajah kebingungan mencari di mana
lawan berada. "Keparat busuk! Itu dia ke arah barat! Kejaaar...!"
Wuurrrsss...! Manusia kembar tiga itu segera
mengejar Suto Sinting dengan menggunakan ilmu
peringan tubuh hingga mampu bergerak cepat pula.
* * * 4 GEMERICIK suara aliran arus sungai seperti irama
pengantar hening. Dalam hening itu Pendekar Mabuk
mulai menemukan satu titik kesimpulan tentang misteri mayat tanpa kepala itu.
"Ternyata ada pihak yang tidak menghendaki aku
Seruling Samber Nyawa 15 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Mempelai Liang Kubur 1