Pencarian

Keranda Hitam 2

Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam Bagian 2


hidup lebih lama lagi. Malaikat Tiga Wajah itu terang-terangan menyatakan tidak
setuju jika aku hidup. Tapi, kupikir wajar saja kalau mereka bertiga menghendaki
begitu, sama seperti para musuhku juga tidak suka
melihat aku masih hidup. Mereka menghendaki aku
mati. Sebab jika aku mati, sepak terjang mereka tidak ada yang menghalangi lagi.
Jadi aku ini sebenarnya
dipandang sebagai lawan berat bagi mereka. Baru sadar kalau aku ini ternyata
sakti juga, ya" He, he, he, he...!"
Pemuda tampan itu cengar-cengir sendiri di pinggir
sungai bernaung pohon rindang. Kakinya yang kiri
dibiarkan disampar aliran air sungai yang dingin dan bening itu. Sementara itu
angin yang berhembus
bagaikah meninabobokan siapa saja yang menikmati
kesejukan dan keteduhan di pinggir sungai itu.
"Malaikat Tiga Wajah menyangka aku sudah mati, dan menjadi berang melihat aku
dalam keadaan hidup.
Mereka menduga aku ingin memperkuat Negeri Tanjung
Samudera. Mengapa mereka menjadi waswas begitu"
Alasannya karena mereka takut kalau Negeri Tanjung
Samudera merebut wilayahnya" Apa benar Ratu Dewi
Giok punya rencana mau merebut Bukit Rempoa,
wilayah mereka" Lalu, apakah Malaikat Tiga Wajah ada
hubungannya dengan Anak Petir yang diduga mencuri
mayat mirip aku itu?"
Suto belum menemukan kebenaran dugaan itu.
Bahkan ia sendiri belum yakin betul bahwa mayat tanpa kepala itu dicuri oleh
Anak Petir. Tetapi secara jujur Suto Sinting mengakui kehebatan
ilmu Malaikat Tiga Wajah. Jurus maut yang dikatakan sebagai jurus perkenalan itu
hampir saja merenggut
nyawa Bulan Sekuntum jika perawan itu tidak segera diselamatkan memakai tuak
sakti. Padahal luka yang diderita Bulan Sekuntum hanya akibat sentakan
gelombang ledak perpaduan tenaga dalam mereka.
Apalagi jika Bulan Sekuntum sampai terkena langsung ketiga sinar orang kembar
itu, seperti apa jadinya"
"Orang kembar itu memang perlu diwaspadai dan tak boleh dianggap enteng," ujar
Suto membatin sambil berpaling menengok ke bawah pohon. Rupanya si cantik Bulan
Sekuntum sudah mulai bangun dari tidurnya.
Setelah Suto berhasil meminumkan tuaknya ke mulut
Bulan Sekuntum, perempuan itu segera tertidur. Dengan demikian bagian dalam
tubuhnya yang terkena racun
benar-benar beristirahat dan saat bangun nanti kekuatan dan tenaganya sudah
pulih kembali. Buktinya sekarang gadis itu tampak segar bugar.
Bahkan ia merasa lebih segar dari saat sebelum bertemu dengan Malaikat Tiga
Wajah. Rasa lelah akibat
perjalanan dan adu lari dengan Suto itu pun sirna tak berbekas sedikit pun.
Ia segera mendekati Suto Sinting yang masih duduk
di atas sebuah batu dengan satu kaki menyentuh air
sungai. Pedangnya ditenteng dengan tangan kiri,
matanya yang bening indah itu memandang sekeliling
penuh waspada. Sampai di dekat Suto, ia berhenti dan tetap berdiri memandangi
tanggul berhutan ilalang.
"Mengapa kau tenang-tenang saja" Apakah kau yakin betul bahwa Malaikat Tiga
Wajah tidak akan
menemukan tempat kita ini?" tanyanya sambil tetap memandang ke arah lain.
"Setahuku mereka mengejar salah arah. Aku sudah berhasil mengecohkan mereka
dengan berlagak ke barat, padahal aku lari ke utara."
"Hmm...!" Bulan Sekuntum menggumam pendek sambil senyum sinis. "Kau memang punya
banyak kelicikan rupanya."
"Tapi bukan untuk kejahatan."
Bulan Sekuntum sunggingkan senyum tipis lagi,
berkesan dingin dan kaku. Suto Sinting memandangnya
dengan mendongak, karena ia masih dalam keadaan
duduk di atas batu.
"Tempat ini sudah dekat dengan perbatasan Tanjung Samudera, sebaiknya kita
lanjutkan perjalanan kita.
Selagi tak ada yang menghalangi langkah kita." .
Barulah Suto Sinting berdiri dan berkata, "Baik. Tapi bagaimana menurutmu
tentang Malaikat Tiga Wajah itu"
Haruskah mereka kulumpuhkan jika menghalangi kita
lagi?" "Lumpuhkan saja! Habisi riwayat mereka biar tidak menjadi duri bagi negeri yang
damai, seperti negeriku."
"Menjadi duri" Apakah mereka sering mengganggu
negeri yang damai" Bukankah mereka justru khawatir
wilayahnya akan direbut oleh orang-orangmu?"
"Itu hanya alasan saja. Sebenarnya Malaikat Tiga Wajah sudah lama mengincar
kelengahan kami. Mereka
ingin menguasal wilayah Tanjung Samudera. Mereka
khawatir jika kekuatanmu disatukan dengan kekuatan
Gusti Ratu Dewi Giok, maka usaha mereka merebut
Tanjung Samudera akan semakin sulit."
Bulan Sekuntum mendului melangkah, sehingga Suto
mengikutinya. "Tiga manusia kembar itu haus kekuasaan. Mereka ingin melebarkan sayap. Setiap
negeri berusaha
ditaklukkan untuk mendapatkan pengikut. Mereka ingin Perguruan Tiga Malaikat
menjadi besar dan tersebar di mana-mana. Tetapi sampai sekarang mereka masih
mencari-cari negeri mana yang mudah mereka
taklukkan. Caranya mempelajari kelemahan sebuah
negeri dengan melakuan gangguan-gangguan kecil,
sehingga kekuatan negeri itu dapat diperkirakan besar-kecilnya. Salah satu
negeri yang diincarnya adalah
Tanjung Samudera."
"Mengapa mereka mengincar Tanjung Samudera?"
"Tanahnya subur, dekat pantai, kekayaan alamnya dapat menjadi modal mendirikan
perguruan terbesar di Tanah Jawa."
"Kalau begitu...," ucapan Suto Sinting tidak dilanjutkan karena ia terperanjat
dengan munculnya seorang perempuan berjubah jingga. Bulan Sekuntum
juga kaget melihat perempuan itu muncul dari balik
pohon besar dan melangkah ke pertengahan jalan yang
akan dilalui mereka berdua.
"Siapa lagi ini?" bisik Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.
Bisikan itu belum mendapat jawaban, karena Bulan
Sekuntum sedang adu pandang dengan perempuan
berjubah jingga. Usia perempuan itu sekitar tiga puluh lima tahun. Punya
kecantikan yang menantang gairah
lelaki. Bibir dan matanya berkesan jalang. Rambutnya
dibiarkan meriap lepas, berikat kepala dari bahan logam emas berhias batuan
putih intan. Jubahnya yang terbuka bagian depan menampakkah bentuk dadanya yang
sekal montok, lebih besar dari milik Bulan Sekuntum. Dada
itu terlihat lebih jelas karena ia tidak mengenakan
pinjung rapat, melainkan mengenakan penutup dada dari bahan sutera tipis warna
biru tua, dan hanya bagian
tertentu yang ditutupnya. Sedangkan bagian bawahnya
mengenakan kain sutera tipis warna biru muda juga yang hanya dililitkan asal-
asalan sebatas paha. Sesekali
kainnya menyingkap ke mana-mana jika dihembus
angin, membuat bagian dalamnya sempat tertangkap
oleh mata Pendekar Mabuk.
"Gila! Tubuhnya menantang gairah sekali. Kalau tak kuat hati, bisa luluh aku di
depannya. Untung aku ingat calon istriku Dyah Sariningrum, sehingga hatiku tak
mudah tergoda oleh penampilannya," pikir Suto Sinting sebelum Bulan Sekuntum
akhirnya menjawab
bisikannya tadi.
"Dia yang punya nama Ratu Kelabang Setan, alias Untari."
"Punya urusan juga denganmu pribadi?"
"Dengan negeriku. Bukan denganku pribadi," jawab Bulan Sekuntum semakin pelan.
Matanya tak lepas dari Ratu Kelabang Setan. Sedangkan mata perempuan
berjubah jingga itu tak mau berkedip memandang
Pendekar Mabuk dengan seulas senyum jalang
memancing gairah sang pendekar.
"Kalau tak salah ingatanku, ciri-ciri ketampanan seperti itu adalah ciri
ketampanan muridnya Gila Tuak; Pendekar Mabuk," katanya dengan suara agak serak.
"Benarkah kau murid si Gila Tuak yang bergelar
Pendekar Mabuk itu?"
"Benar!" jawab Suto tegas dan jelas. "Aku murid Gila Tuak. Apa perlumu
menghentikan langkahku?"
"Bukankah kau sudah mati?" Ratu Kelabang Setan justru balik bertanya.
"Dari mana kau mendapat kabar itu?"
"Kabar itu sudah menyebar ke mana-mana. Anak
Petir membawa jenazahmu dalam perjalanan ke tempat
persinggahan gurumu; Gila Tuak."
"Celaka!" gumam Suto dalam hati. "Berita itu bisa menyesatkan alam pikiran Guru.
Seharusnya aku mengejar Anak Petir dan mencegah agar mayat orang
yang mempunyai ciri seperti aku itu tidak sampai ke
tangan Guru!"
Suto Sinting tampak gelisah. Kegelisahannya itu
dipandangi terus oleh Ratu Kelabang Setan dengan
senyum menggoda. Bulan Sekuntum menyipitkan mata
pertanda benci dengan sikap genitnya Ratu Kelabang
Setan. "Untari!" sapa Bulan Sekuntum dengan tak ramah.
"Sebutkan keperluanmu menghadang perjalananku, atau kusingkirkan kau dengan
caraku sendiri"!"
Gadis cantik yang tak pernah punya rasa takut dan
sulit bersikap ramah kepada lawan itu menampakkan
sikap menantang, ia bagaikan tak sabar menunggu
pertarungan. Baginya, tak ada lawan yang harus
disingkirkan secara halus. Pertarungan merupakan
bagian dari darahnya, sehingga tiap kata yang
dilontarkan selalu bernada menantang murka lawan.
Tetapi Ratu Kelabang Setan masih bisa menahan diri
untuk bersikap tenang, kalem, dan murah senyum. Hal
itu lantaran Bulan Sekuntum bersebelahan dengan pria tampan yang baginya amat
menggairahkan, ia harus
menunjukkan sikap manis di depan pria tampan yang
membuat hatinya bergetar karena tak sabar ingin lebih dekat lagi.
"Apakah dia kekasihmu, Bulan Sekuntum?" Mata jelinya melirik Suto sekejap.
"Bukan!" jawab Bulan Sekuntum dengan tegas. "Tapi kau tetap tak kuizinkan
mengganggu sahabatku ini!"
"Sahabat..."!" Suto Sinting menggumam lirih, ia dilirik Bulan Sekuntum dengan
cemberut. Ketika mau
melangkah maju, ia dihadang tubuh Bulan Sekuntum
yang bergeser tepat di depannya dengan mata tetap
terarah pada Untari.
"Biarkan dia bicara dulu padaku," bisik Suto Sinting.
"Ini urusanku! Akan kuselesaikan sendiri dengan caraku!" kata Bulan Sekuntum
dengan nada ketus dan wajah cemberut.
"Untari! Apa maumu sekarang"!"
"Memenggal kepalamu sebagai bukti pada ratumu
bahwa aku tidak bisa diremehkan olehnya. Jika Dewi
Giok tidak mau menyerahkan Pusaka Gelang Naga
Dewa, maka orang-orangnya akan kuhabisi satu
persatu!" "Keparat busuk kau! Kalau begitu mari kita tentukan siapa yang berhak kehilangan
kepala sekarang juga.
Hiaaat ..!"
Bulan Sekuntum melesat maju dengan satu lompatan
yang membawanya bagaikan terbang. Tentu saja
sentakan kakinya ke bumi tadi menggunakan kekuatan
tenaga dalam yang sudah terkendali. Wuttt...! Wesss...!
Ratu Kelabang Setan pun bergerak maju dengan satu
lompatan yang membuatnya bagaikan terbang. Sampai
di pertengahan jarak, mereka saling melepaskan pukulan dan tendangan dengan
gerakan cepat sekali.
Plak, plak, plok, dugg, prak, blarrr...! Pertarungan di udara yang hanya sekejap
itu telah menghasilkan
berbagai serangan melalui kaki dan tangan. Namun
semua pukulan dan tendangan Bulan Sekuntum berhasil
ditangkis oleh Ratu Kelabang Setan. Yang terakhir
mereka saling mengadu kekuatan tenaga dalam yang
tersalur melalui telapak tangan.
Benturan kedua telapak tangan mereka itu
menghasilkan ledakan yang cukup dahsyat bersamaan
dengan memerciknya sinar merah terang dari pertemuan telapak tangan mereka.
Akibatnya, Bulan Sekuntum
terpental ke arah balik dengan tubuh terjungkal,
sedangkan Ratu Kelabang Setan hanya terpental mundur dan jatuh dalam posisi
kedua kaki menapak di tanah
dengan tegak. Bruss...! Bulan Sekuntum jatuh di semak-semak.
Pendekar Mabuk terperanjat, lalu segera
menghampirinya untuk memberi pertolongan.
"Bulan, kau tak apa-apa"!" tanyanya cemas.
Bulan Sekuntum menarik napas setelah berdiri, ia
menyentakkan tangan yang dipegang Suto, seakan tak
mau ditolong untuk bangkit.
"Minggirlah, Suto! Perempuan itu harus kuhabisi dengan pedangku!"
Srekk...! Pedang dicabut, Bulan Sekuntum segera
maju menyerang dengan memainkan jurus-jurus pedang
yang menurut penglihatan Suto cukup aneh. Gerakannya pelan seperti orang menari,
tapi mendadak menjadi cepat dan ganas, lalu berhenti dan pelan kembali, setelah
itu bergerak cepat lagi bagai tak bisa diikuti oleh pandangan mata.
Ratu Kelabang Setan juga mencabut pedangnya.
Wertt..! Pedang yang lurus runcing dan tajam di kedua sisinya itu digenggam
tegak di depan wajahnya. Ketika Bulan Sekuntum menebaskan pedangnya ke arah
leher Ratu Kelabang Setan, pedang tegak lurus itu tiba-tiba
meliuk dengan cepat, menangkis kuat, trang...!
Kemudian memutar cepat dan dihunjamkan ke dada
Bulan Sekuntum. Wuttt...!
Plakk...! Ujung pedang ditahan dengan telapak tangan Bulan
Sekuntum yang mengeras di depan dadanya.
Sementara itu, pedang Bulan Sekuntum pun segera
menebas lengan kanan Ratu Kelabang Setan. Wuttt...!
Plakkk...! Gerakan pedang itu tak sampai menyentuh lengan,
karena kaki kiri Ratu Kelabang Setan bergerak cepat
menendang ke atas, ujung telapak kakinya diadu dengan mata pedang Bulan
Sekuntum. Tentu saja Ratu Kelabang Setan mengerahkan tenaga
dalamnya di ujung kaki, seperti Bulan Sekuntum


Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerahkan tenaga dalamnya di telapak tangan.
Akibatnya, pedang yang tertendang itu terpental lepas dari genggaman pemiliknya.
Wess...! Bulan Sekuntum terperanjat sekejap, lalu tak
menghiraukan pedangnya lagi. Telapak tangan kirinya
masih menahan ujung runcing pedang lawan yang makin
disentakkan maju dengan penuh curahan tenaga dalam.
Lalu, dengan mengeraskan tangan kanannya yang sudah
tak bersenjata lagi itu, pedang lawan dihantamnya dalam satu gerakan cepat.
Wuttt...! Duarrr...! Ternyata perpaduan tenaga dalam pada pedang dan
tenaga dalam pada tangan membuat satu ledakan yang
menyentakkan tubuh Bulan Sekuntum terpental ke
samping dan jatuh terpelanting di bawah pohon.
"Mampus kau, Monyet betina...! Hiaaat...!" Ratu Kelabang Setan menerjang Bulan
Sekuntum dengan
tebasan pedangnya pada saat Bulan Sekuntum bangkit
dari kejatuhannya.
"Hiaah...!" Bulan Sekuntum melompat hingga pedang lawan lewat bagian bawah
kakinya. Kaki itu segera
menjejak batang pohon, dan tubuh Bulan Sekuntum
melayang di udara dengan bersalto melintasi kepala
lawan. Begitu ia mencapai bagian belakang Ratu
Kelabang Setan, kedua tangannya menghantam
punggung lawan menggunakan telapak tangan. Des,
dess...! "Aahg...!" Ratu Kelabang Setan tersedak, dari mulutnya keluar segumpal darah
merah. Tubuhnya
segera berbalik sambil menebaskan pedangnya. Wuttt...!
Bulan Sekuntum melompat mundur, tapi terlambat.
Ujung pedang telah merobek perut Bulan Sekuntum.
Brett...! "Aaahhg...!" pekiknya sambil meyeringai kesakitan.
"Bulan...!" pekik Suto secara tak sadar. Pendekar tampan itu menjadi tegang.
Pada saat itu Ratu Kelabang Setan semakin ganas
melihat lawannya terluka. Tangan kirinya segera
mengeras, lalu menyentak ke depan. Dari ujung jarinya melesat sinar merah
sebesar lidi yang lurus ke arah
kepala Bulan Sekuntum.
Melihat bahaya seperti itu, Pendekar Mabuk segera
melesat menerjang perbatasan jarak kedua perempuan
itu. Zlappp...! Bumbung tuaknya digunakan menghadang kecepatan sinar merah.
Debbb...! Wusss...!
Sinar merah menghantam bumbung tuak, lalu
membias balik membentuk satu sinar merah besar yang
melesat ke arah dada Ratu Kelabang Setan.
"Hiiaat...!" Ratu Kelabang Setan menghindari sinar merah yang lebih besar dari
aslinya itu dengan melesat ke atas dan bersalto ke samping. Akibatnya sinar
merah besar itu menghantam sebatang pohon besar di kejauhan sana. Blarrr...!
Werrr...! Seluruh pohon berguncang, tanah pun ikut bergetar
bagai ingin retak. Pohon yang dihantam sinar merah itu menjadi serpihan lembut,
tak berbentuk sepotong kayu pun. Hal itu membuat Ratu Kelabang Setan terbelalak
heran dan takjub.
"Gila! Biasanya jurus 'Lidah Kelabang' hanya bisa membuat pohon pecah menjadi
delapan bagian, sekarang malah membuat pohon pecah menjadi serpihan selembut
itu"! Untung aku segera menghindari, bukan menahan
dengan jurus lain. Seandainya aku menahannya memakai jurus 'Tameng Candra',
pasti akan jebol juga."
Sementara Ratu Kelabang Setan masih terkagum-
kagum dengan kedahsyatan sinar merahnya tadi, Suto
Sinting buru-buru meminumkan tuak ke dalam mulut
Bulan Sekuntum.
"Lekas minum! Minum sebanyak-banyaknya!"
Walaupun tuak menghambur membasahi wajah dan
bagian tubuh lainnya, tapi Bulan Sekuntum berhasil
meneguk beberapa kali. Rasa sakit akibat perutnya robek lebar mulai berkurang.
"Kau ikut campur urusanku, Pendekar Mabuk! Itu
sama saja mambuatku semakin bernafsu untuk
menghancurkan tubuh gadismu! Hiaaah...!"
Clapp...! Dari telapak tangan kiri Ratu Kelabang Setan melesat sinar biru berpijar-pijar
bagaikan bola bekel. Sinar biru itu hendak menghantam punggung Bulan Sekuntum
yang sedang ditopang tangan Suto Sinting untuk
meminum tuak. Suto tak sempat bertindak karena
keadaannya yang tak memungkinkan, ia hanya bisa
bergeser ke belakang dan menyediakan punggungnya
sendiri yang dijadikan perisai tubuh Bulan Sekuntum.
Desss...! Zrrabb...!
"Aaaahg...!" Suto terpekik dengan tubuh mengejang.
Sinar biru mengenal punggungnya dengan telak.
"Bodoh! Kenapa kau tutup punggungnya dengan
tubuhmu! Bodoh kau!" bentak Ratu Kelabang Setan dengan nada sesal dan jengkel.
Suto Sinting segera berpaling dengan menyeringai
menahan sakit. Kemudian sebuah pukulan jarak jauh
sempat dilepaskan. Jurus itu bernama 'Pukulan Gegana'
berupa sinar kuning patah-patah yang melesat dari kedua jarinya yang dikeraskan.
Clap, clap, clap...!
Ratu Kelabang Setan kaget, dan segera menahan sinar
kuning itu dengan pedangnya. Sinar kuning patah-patah itu pun menghantam
pertengahan pedang yang disaluri
tenaga dalam tinggi.
Blegarrr...! Ratu Kelabang Setan terlempar bagaikan terbang.
Tubuhnya menghantam sebuah pohon dengan keras.
Buhkk ! Durrr...! Pohon itu berguncang hebat. Hampir sebagian besar daunnya
rontok akibat ditabrak tubuh Ratu Kelabang Setan. Bisa dibayangkan betapa
kerasnya tubuh itu melayang dan membentur pohon tersebut.
"Uuhg...!" Ratu Kelabang Setan menyeringai, mulutnya berdarah, hidungnya juga
mengeluarkan darah, termasuk dari lubang telinganya. Tapi pedangnya masih utuh,
hanya hangus pada bagian tengahnya.
"Mati aku! Tulangku remuk semua. Kalau tidak
kutahan pakai pedang, bisa hancur sekujur tubuh-ku!
Ooh... celaka! Kalau tak segera berusaha lari dari sini bisa-bisa nyawaku
dihabisi oleh si Pendekar Mabuk itu!"
Wuttt...! Ratu Kelabang Setan bekelebat ke balik
pohon, ia sempat berseru dengn suara tertahan,
"Tunggu saat pertemuan berikutnya, Pendekar
Mabuk! Kau akan lebih dekat lagi dari pelukanku!"
Selesai bicara begitu, Ratu Kelabang Setan melesat
masuk ke semak-semak
ilalang dan gemerisik
gerakannya terdengar makin lama semakin menjauh.
Suto Sinting tak sanggup mengejarnya karena tubuhnya segera terkulai lemas
berlutut di tanah. Bumbung
tuaknya digunakan untuk menyangga tubuhnya hingga
tak sempat roboh akibat sinar birunya lawan tadi.
Sementara itu, Bulan Sekuntum yang sudah menenggak
tuak beberapa kali tadi semakin tidak merasakan sakit
lagi. Perutnya yang robek perlahan-lahan bergerak
mengering dan mengatup sendiri.
"Suto..."! Suto..."!" ia memekik dengan napas masih terasa sesak, ia segera
meraih kepala Suto Sinting,
namun tubuh Suto sudah semakin lemas dan akhirnya
jatuh terkulai. Bumbung tuaknya yang belum sempat
ditutup itu pun jatuh terlempar ke samping. Tuak di dalamnya tumpah keluar dan
nyaris habis semua.
"Suto..."! Oh, kau terkena jurus beracun! Racun itu berbahaya sekali!" Bulan
Sekuntum berusaha menolong Suto dengan tenaga yang belum pulih betul, ia tampak
sangat cemas dan sedikit panik setelah mengetahui
bahwa Suto terkena jurus pukulan beracun yang
berbahaya. * * * 5 BUMBUNG tuak sempat diselamatkan oleh Bulan
Sekuntum, tapi air tuak sudah habis. Bulan Sekuntum
penasaran, bumbung tuak dijungkirbalikkan dengan
harapan mendapatkan setetes dua tetes tuak untuk
diminum Suto. Tapi yang keluar dari dalam bumbung
hanyalah sebuah cincin.
Bulan Sekuntum tidak tahu bahwa cincin itu adalah
Cincin Manik Intan, sebuah pusaka yang mempunyai
kedahsyatan dapat mengeluarkan tenaga dalam seratus
kali lipat dari tenaga pemakainya, bisa memancarkan
sinar tenaga dalam tanpa disadari pemakainya kalau si
pemakai memendam kemarahan besar, (Baca serial
Pendekar Mabuk episode: "Murka Sang Nyai").
Hanya karena melihat bentuk batu cincinnya yang
berwarna putih intan, Bulan Sekuntum merasa tertarik dan segera memakainya di
jari tangan kanannya.
Sementara itu, Pendekar Mabuk yang tak mampu
bergerak karena pingsan itu mulai mengalami perubahan akibat pukulan beracun
tadi. "Suto dalam keadaan bahaya sekali. Pukulan itu
kukenal sebagai pukulan yang mengandung racun 'Siksa Kubur'. Bintik-bintik hitam
yang keluar dari kulitnya merupakan ciri dari penderitaan pukulan racun 'Siksa
Kubur'. Dulu temanku juga pernah mengalami nasib
seperti ini, dan akhirnya mati dalam keadaan tubuhnya hancur membusuk.
Mengerikan sekali."
Dalam keadaan tegang Bulan Sekuntum sempat
berpikir mencari obat penyembuhnya. Namun ia juga
sempat merasa heran karena kulit tubuh Suto mulai
mengeluarkan gelembung-gelembung seperti bisul.
"Dulu temanku tidak mengeluarkan gelembung
seperti ini, tapi mengalami keretakan pada kulit
tubuhnya, akhirnya robek bagai tercabik-cabik sedikit demi sedikit dan akhirnya
membusuk dalam waktu
kurang dari sehari. Tapi kenapa sekarang tubuh Suto
tidak mengalami keretakan dan tidak seperti tercabik-cabik" Apakah hal ini
dikarenakan kekuatan tenaga
dalam yang dimilikinya" Dulu temanku juga tak sampai pingsan, sehingga ia
mengerang dan merintih kesakitan.
Barangkali kekuatan tenaga dalam Suto yang membuat
ia jatuh pingsan."
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Bulan Sekuntum
segera memanggul tubuh Pendekar Mabuk ke
pundaknya. Dalam hatinya masih berkata penuh
ungkapan rasa sedih.
"Aku harus segera membawanya kepada Gusti Ratu.
Walaupun aku tahu obat penawar racun hanya dimiliki oleh Ratu Kelabang Setan,
tapi siapa tahu Gusti Ratu dapat memberi pertolongan sekadarnya!"
Racun 'Siksa Kubur' memang tak bisa disembuhkan
oleh orang lain kecuali oleh pemiliknya sendiri; Ratu Kelabang Setan. Itulah
sebabnya racun tersebut dianggap racun paling berbahaya karena jika pemiliknya
tidak mau memberikan obat penawarnya maka korbannya tak
akan bisa selamat lagi. Bulan Sekuntum berharap
ratunya dapat memberi pertolongan alakadarnya,
setidaknya dapat memperpanjang usia pendekar tampan
itu hingga tidak bernasib seperti temannya dulu.
Namun lagi-lagi langkahnya terhalang oleh
kemunculan Malaikat Tiga Wajah yang sengaja
mencarinya ke berbagai arah, terutama ke arah
perbatasan Tanjung Samudera.
Manusia berwajah kembar tiga itu melompat turun
dari arah bukit cadas tak seberapa tinggi itu. Bukit cadas tersebut masih di
luar batas wilayah Tanjung Samudera, sehingga seseorang dapat bertindak
sekehendak hatinya tanpa mengikuti undang-undang yang berlaku di dalam
wilayah Tanjung Samudera.
Melihat kemunculan Malaikat Tiga Wajah,
perempuan cantik yang lukanya telah lenyap tanpa bekas itu segera meletakkan
tubuh Suto Sinting dan
bumbungnya di bawah sebuah pohon.
"Tiga keparat ini memang harus kulenyapkan dulu agar tak merintangi langkahku
berikutnya!" geram Bulan Sekuntum sambil melangkah maju mendekati tiga orang
berwajah sama Itu.
"Rupanya bumi ini sempit sekali bagimu, Bulan
Sekuntum. He, he, he...," Malaikat Biru mengejek dengan tawanya yang jelek.
"Tak seorang pun bisa lari dan bersembunyi dari incaran Malaikat Tiga Wajah,"
timpal Malaikat Kuning.
"Mau ke mana saja kau pasti akan terkejar oleh kami, Bulan Sekuntum!"
"Memang dunia ini sempit. Karenanya nasib kalian sangat malang, karena ke mana
saja akan jumpa
denganku, dan itu artinya umur kalian tak akan pernah bisa lebih panjang lagi!"
kata Bulan Sekuntum tanpa rasa takut, ia bicara dengan tolak pinggang, sehingga
Malaikat Merah yang mudah terpancing kemarahannya
menjadi geram dan segera melepaskan serangan
pertamanya. "Mulut perempuan kotor seperti kau memang harus dihancurkan, Bulan Sekuntum!
Terimalah pukulan 'Raja Karang'-ku ini! Heeeahh...!"
Claap...! Sinar merah lurus sebesar kelingking
melesat dari kepalan tangan Malaikat Merah yang
dihantamkan ke depan dalam jarak lima langkah itu.
Dengan gesit Bulan Sekuntum melompat ke samping
sehingga sinar merah itu menghantam pohon di kejauhan sana. Blaarr...! Pohon itu
tumbang, pecah menjadi dua bagian. Bisa dibayangkan, seandainya sinar merah itu
tepat mengenai mulut Bulan Sekuntum, entah apa
jadinya. Lompatan perempuan itu disambut oleh serangan
Malaikat Biru yang menghempaskan telapak tangannya
ke depan dan mengeluarkan gelombang hawa panas
berasap putih. Wuusss...!
Tetapi pada saat itu Bulan Sekuntum sudah
mendaratkan kakinya ke tanah, sehingga dengan
merendahkan badan, satu kaki berlutut ke tanah, ia
melepaskan pukulan jurus 'Racun Baja' yang berupa
seberkas sinar biru itu.
Claappp...! Blaarrr...! Terjadi ledakan cukup besar akibat sinar biru
menghantam gelombang hawa panas tersebut. Ledakan
itu membuat Bulan Sekuntum terjungkal ke belakang
dua kali. Namun ia cepat bangkit dan pasang kuda-kuda kembali.
"Keparat busuk kalian semua!" geramnya penuh kemarahan.
Saat itu tanpa disadari dari tangan Bulan Sekuntum
melesat seberkas sinar berkecepatan tinggi. Zlaapp...!
Kecepatan sinar itu tak dapat ditahan dan dihindari.


Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinar tersebut langsung menembus tubuh Malaikat
Kuning. Brruuss...! Jebol sampai menembus bagian
punggung. "Malaikat Kuning..."!" sentak Malaikat Merah dengan mendelik melihat saudara
kembarnya bolong ulu hatinya sampai ke bagian punggung.
Sedangkan Malaikat Biru yang berdiri di belakang
Malaikat Kuning juga ikut terbengong melompong.
Karena sinar putih itu setelah menembus dan
menjebolkan tubuh Malaikat Kuning, ternyata masih
memancar terang dan bergerak lurus hingga mengenai
dada Malaikat Biru.
Bruuss...! Jebol juga sampai menembus punggung
dan keluar masih melesat lalu menghantam sebongkah
batu besar di kaki bukit cadas. Blegaarr...! Batu itu tampaknya lenyap seketika,
padahal menjadi debu yang beterbangan ke mana-mana.
Bruk...! Malaikat Kuning roboh tak bernyawa.
Disusul oleh robohnya Malaikat Biru yang berwajah
tegang itu. Bruuk...!
"Bangsaaat...!" Malaikat Merah kian murka melihat kedua saudara kembarnya sudah
tak bernyawa. Sedangkan Bulan Sekuntum masih bingung dengan sinar
putih yang keluar dari tangannya itu. Ia merasa tidak memiliki jurus sedahsyat
itu. Sebelum Malaikat Merah mencabut senjatanya, Bulan
Sekuntum mulai sadar bahwa sinar putih dahsyat itu
ternyata berasal dari cincin yang dipakainya: Cincin Manik Intan.
"Luar biasa"! Rasanya cincin ini berkekuatan dahsyat sekali"!" gumam hati Bulan
Sekuntum. Saat ia tertegun memandangi cincin tersebut,
Malaikat Merah segera melepaskan murkanya dengan
menerjang membabatkan goloknya. Wuuuss...!
Golok itu nyaris memenggal kepala Bulan Sekuntum.
Kalau saja ia tak segera melompat mundur, maka
lehernya akan menjadi sasaran senjata lawan. Sekali
tebas kepala akan menggelinding ke tanah.
Dengan melompat mundur menjaga jarak, Bulan
Sekuntum bukan saja berhasil menghindari maut namun
juga berhasil melepaskan tendangan ke arah pinggang
lawan. "Hiaaah...!"
Buuk! Krrak...!
"Uuah...!" Malaikat Merah terpental empat langkah ke belakang, ia sempat jatuh
terduduk, namun cepat-cepat sigap kembali. Dengan satu sentakan pinggang
yang terasa patah salah satu tulang rusuknya itu, tubuh Malaikat Merah melesat
bagaikan terbang ke arah
pepohonan. Bulan Sekuntum mengeraskan tangannya yang
mengenakan cincin pusaka itu. Tangan tersebut segera disentakkan ke arah tubuh
Malaikat Merah yang sedang melambung di udara. Dan tak ayal lagi Cincin Manik
Intan keluarkan kesaktiannya; sinar putih melesat lurus dan cepat menghantam
tubuh Malaikat Merah.
Claapp...! Brruus...! Blegaarr...!
"Aaahg...!" Malaikat Merah memekik dengan suara serak tertahan di
tenggorokannya. Perutnya jebol
diterjang sinar Cincin Manik Intan itu. Sisa sinar yang lolos lewat punggung
Malaikat Merah menghantam
pepohonan dan membuat pepohonan itu berhamburan
selembut pasir.
Brrukkk...! Tubuh Malaikat Merah roboh ke tanah
dalam keadaan telentang. Matanya mendelik, mulutnya
terperangah, napasnya sudah tidak ada lagi setelah
mengalami kejang-kejang sesaat.
Alam menjadi sepi. Angin berhembus bagai tak
berani mengguncangkan pepohonan, seolah-olah takut
dengan kedahsyatan Cincin Manik Intan itu. Si cantik Bulan Sekuntum memandangi
cincin itu hingga
beberapa saat lamanya. Hatinya dipenuhi oleh
kebanggaan dan rasa keberanian yang klan bertambah
besar. "Tak kusangka aku dapat merobohkan Malaikat Tiga Wajah dalam waktu sesingkat
ini. Padahal mereka
mempunyai jurus-jurus sakti yang belum sempat
dikeluarkan. Oh, kalau begini caranya, Anak Petir pun bisa kutumbangkan seperti
ketiga wajah kembar itu.
Cincin ini akan kupakai untuk melawan si Anak Petir!
Aku akan meminjamnya kepada Suto dan... oh, ke mana
Suto"!"
Perempuan berhidung bangir Itu terkejut sekali
melihat Suto tidak ada di tempat. Tapi bumbung tuaknya masih ada di sana. Hati
Bulan Sekuntum pun berdebar-debar penuh ketegangan, ia segera berlari ke
berbagai arah dengan mata memandang liar sekelilingnya. Tapi
Pendekar Mabuk yang tadi dalam keadaan pingsan itu
tidak ditemukan juga.
"Sutooo...!" teriak Bulan Sekuntum. "Suto Sinting...!
Di mana kau..."!"
Wajah perempuan itu kelihatan sekali kalau sedang
ketakutan. Takut kehilangan Pendekar Mabuk. Dan rasa takutnya itu membuatnya
mulai panik, ia berlari naik ke bukit cadas dengan menggunakan ilmu peringan
tubuhnya. Tiga kali sentakan kaki ia sudah sampai di puncak bukit cadas. Tab,
tab, tab...! "Ke mana dia" Pergi sendiri atau ada yang
mencurinya?" pikir Bulan Sekuntum dengan napas
terengah-engah, ia tak sadar bahwa kepanikannya itu
menghadirkan amarah dalam dada. Amarah itu
memancar melalui mata Cincin Manik Intan sehingga
sesekali cincin itu mengeluarkan sinar dan menghantam bebatuan atau pepohonan
yang sejajar dengan arah mata cincin tersebut.
Blaar.... Duaarr...! Blaarr...!
"Oh, cincin ini mengeluarkan tenaga sendiri"!
Rupanya jika hatiku diliputi kejengkelan atau
kemarahan, maka ia dapat mengeluarkan kekuatan tanpa terkendali" Oh, bahaya
sekali. Kalau begitu aku harus memakainya dalam keadaan kubalik saja, biar mata
cincinnya selalu ada dalam genggamanku!" ucap hati Bulan Sekuntum.
Setelah memutar mata cincin menjadi ada dalam
telapak tangannya, Bulan Sekuntum berpikir kembali
kepada hilangnya Suto Sinting. Bahkan ia segera turun lagi dari atas bukit cadas
itu, menuju ke tempat di mana Suto diletakkan bersama bumbung tuaknya, ia
memeriksa tempat itu dengan lebih teliti lagi.
"Bumbung tuaknya tidak ikut pergi" Berarti ada
orang yang mencuri tubuh Suto dan tidak peduli dengan bumbung tuak ini"!
Hmmm..., sebaiknya aku harus
segera mencari Suto Sinting dan bumbung tuak ini harus tetap kubawa. Kulihat
Suto bisa menggunakan bumbung
ini untuk menangkis serangan lawan. Siapa tahu berguna bagiku juga."
Sebelum langkah pencarian diawali, Bulan Sekuntum
memandang penuh curiga pada tanah di balik pohon
tersebut. Tanah berumput tipis itu mempunyai
kejanggalan. Rumputnya rebah pada bagian tertentu,
menandakan habis diinjak oleh seseorang. Rumput yang merebah membentuk telapak
kaki itu menuju ke arah
kerimbunan semak. Tak ada pilihan lain bagi Bulan
Sekuntum kecuali mengikuti jejak tapak kaki tersebut.
"Arahnya ke utara, menuju ke perbataaan negeriku.
Apakah mungkin yang membawa lari Suto adalah orang
dari negeriku sendiri?" kata Bulan Sekuntum dalam hatinya, ia mulai menerabas
masuk ke semak ilalang
yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya itu. Bumbung tuak disilangkan ke
punggung, kedua tangannya siap
siaga menghadapi serangan atau bahaya yang bisa
datang sewaktu-waktu.
Langit mulai kusam. Cahaya mentari kian memudar.
Senja sebentar lagi akan beralih menjadi petang.
Pandangan mata kian terbatas karena kere-mangan senja.
Bulan Sekuntum masih terus melangkah mencari
Suto karena ia belum menemukan gagasan baru tentang
apa yang harus dilakukannya. Yang ada dalam hatinya
adalah rasa tanggung jawab atas hilangnya Suto Sinting, ia harus bisa menemukan
pria tampan itu untuk dibawa menghadap kepada ratunya sebagai pernyataan bahwa
Pendekar Mabuk belum mati.
Tiba di sebuah lembah yang menjadi ujung dari
perbatasan negeri Tanjung Samudera, langkah Bulan
Sekuntum terpaksa terhenti karena kepekaan nalurinya mengatakan ada sesuatu yang
berbahaya datang dari arah belakangnya. Bulan Sekuntum segera sentakkan kaki.
Tubuhnya melayang di udara dan bersalto satu kali. Pada saat itu seberkas sinar
kuning berbentuk seperti bintang melesat menghantam tempat berdirinya tadi.
Duaaar...! Sinar itu meledak ketika mengenai sebongkah batu.
Batu tersebut pecah dan memercik ke udara hingga
sebagian percikannya mengenai kaki Bulan Sekuntum.
"Auh...!" perempuan itu memekik karena mata kakinya bagaikan dilempar dengan
batu kerikil. Tak
seberapa sakit tapi cukup mengejutkan.
Jleeg...! Kedua kaki Bulan Sekuntum mendarat ke
bumi dengan sigap. Matanya memandang ke arah
datangnya sinar kuning tadi.
"Keluar kau, Setan! Jangan hanya berani membokong saja! Hadapi aku kalau kau
memang merasa berilmu
lebih tinggi dariku!" aeru Bulan Sekuntum dengan wajah memancarkan kemarahannya.
Tangan kanannya
menggenggam kuat, merasakan hawa panas yang bisa
diduga datangnya dari cincin yang dikenakan.
Genggaman itu siap dilepaskan untuk menghantam
lawan yang menyerangnya dari belakang tadi.
Namun ketika dari kerimbunan semak di balik pohon
besar itu muncul sesosok tubuh berjubah sutera ungu
tua, Bulan Sekuntum menahan gerakan tangannya, ia
justru terperanjat dan memandang dengan dahi berkerut.
Si jubah ungu itu adalah seorang perempuan cantik
yang tampak masih muda tapi sebenarnya usianya sudah puluhan tahun, ia
mengenakan pakaian dalam berupa
pinjung ketat warna ungu muda dan celana ketat beludru ungu muda juga dengan
hiasan benang emasnya.
Kecantikannya senilai dengan Bulan Sekuntum, hanya
saja perempuan yang pedangnya dilapisi kain beludru
ungu pula itu sedikit berkesan lebih nakal dan lebih menggoda, matanya berkesan
lebih galak lagi.
Keheranan di hati Bulan Sekuntum membuat
mulutnya berucap kata dalam gumam yang tak seberapa
jelas didengar dari jarak tujuh langkah.
"Pelangi Sutera..."!"
Perempuan cantik yang saat ini berwajah sama
angkuhnya dengan Bulan Sekuntum itu melangkah lebih
dekat lagi. Ia adalah Pelangi Sutera, mantan panglima Negeri Ringgit Kencana
yang akrab dikenal dengan
nama aslinya; Sumbaruni. Bekas istri jin yang berilmu tinggi itu sengaja
menampakkan sikap permusuhannya
di depan Bulan Sekuntum, sehingga Bulan Sekuntum
menjadi ragu-ragu untuk melayani sikap permusuhan itu.
Hawa panas dalam genggaman Bulan Sekuntum
segera dilemparkan ke arah pepohonan di belakangnya.
Blaarrr...! Pohon itu pun hancur menjadi debu. Hal itu dilakukan Bulan Sekuntum
untuk membuang tenaga
dalam yang sudah telanjur tertahan dalam genggaman
akibat rasa marahnya tadi. Namun diartikan oleh
Sumbaruni sebagai tindakan pamer kehebatan, sehingga Sumbaruni mencibir sinis
dan berkata dengan ketus.
"Kau pikir hanya kau sendiri yang
bisa menghancurkan sebatang pohon"!"
Sumbaruni segera menyentakkan jari tengahnya.
Claapp .! Seberkas sinar merah terang melesat dari ujung jari itu dan menghantam
sebatang pohon. Begitu sinar itu menyentuh pohon tersebut, tiba-tiba pohon itu
bagaikan lenyap.
Blaap...! Hilang tak berbekas. Yang tersisa hanya bau kayu
bakar tanpa asap sedikit pun. Sumbaruni mencibir sinis memandang ke arah Bulan
Sekuntum yang sedang
tertegun kagum.
"Aku pun bisa melakukannya dengan mudah, Bulan
Sekuntum!" kata Sumbaruni sambil melangkah kalem mendekati Bulan Sekuntum.
"Sumbaruni, aku tidak bermaksud pamer ilmu di
depanmu!" ujar Bulan Sekuntum karena ia tahu bahwa Sumbaruni mempunyai ilmu
lebih tinggi darinya. Bulan Sekuntum selalu hormat kepada Sumbaruni, sebab ia
tahu bahwa Sumbaruni bekas panglima yang menurut
kedudukan punya jabatan lebih tinggi dari jabatan yang disandang Bulan Sekuntum
di Negeri Tanjung
Samudera. Dalam keremangan cahaya senja, Bulan Sekuntum
dapat melihat kedua mata indah Sumbaruni saat itu
sedang dalam keadaan bengkak. Bukan karena suatu
pertarungan, melainkan karena suatu tangis. Namun
tangis karena apa, Bulan Sekuntum tak berani
menanyakan. "Sumbaruni, apa maksudmu menyerangku tadi"
Apakah aku punya dosa kepadamu"!"
"Entah kau atau ratumu, harus berhadapan denganku dan bertarung sampai mati!"
geram Sumbaruni dengan mata kian memancarkan permusuhan. Sambungnya lagi,
"Bila perlu semua orang Tanjung Samudera akan
kupenggal habis tanpa terkecuali, termasuk kau juga, Bulan Sekuntum!"
Dahi yang berkerut semakin tajam menandakan
keheranan Bulan Sekuntum kian meninggi, ia benar-
benar tak menyangka kata-kata itu akan terlontar dari mulut Sumbaruni.
Seingatnya, selama ini antara pihak Tanjung Samudera dan pihak Ringgit Kencana
tak terjadi permusuhan apa-apa. Kedua ratu kakak-beradik itu justru saling membantu
dan bukan saling
bermusuhan. Sumbaruni sendiri, sekalipun sudah keluar dari Negeri Ringgit
Kencana, tidak pernah bikin masalah dengan orang-orang Tanjung Samudera,
demikian pula sebaliknya. Karenanya, Bulan Sekuntum segera bertanya dengan
suara pelan, bagaikan tak percaya mendengar kata-kata Sumbaruni tadi.
"Mengapa kau berkata begitu" Ada persoalan apa
sebenarnya?"
"Persoalannya sudah jelas, kau pasti sudah
mengetahuinya! Aku menuntut kematian murid si Gila
Tuak, Suto Sinting!"
Seketika itu pula wajah Bulan Sekuntum terperangah
tegang, ia belum tahu bahwa Sumbaruni sangat
mencintai Pendekar Mabuk. Walaupun ia tahu Suto


Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinting sudah mempunyai calon Istri di Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota
Sejati; Dyah Sariningrum, tapi Sumbaruni tidak pernah mau peduli akan hal itu.
Sekalipun Suto Sinting pernah menolak cintanya secara halus, namun Sumbaruni
tidak bisa menghentikan rasa
cintanya itu kepada sang murid Gila Tuak tersebut.
Kabar kematian Pendekar Mabuk agaknya
mengguncang hati Sumbaruni dan menimbulkan murka
yang terpendam. Melacak arah datangnya kabar itu,
Sumbaruni segera menuju ke Negeri Tanjung Samudera
untuk mengadakan perhitungan nyawa.
"Kudengar pihak Tanjung Samudera yang membawa
mayat Suto Sinting ke Jurang Lindu. Firasatku
mengatakan, pihakmulah yang menewaskan Pendekar
Mabuk, orang yang amat kucintai itu!"
"Sumbaruni, kau salah paham! Tenangkan dulu
hatimu. Dengarkan keteranganku."
Air mata Sumbaruni mulai menggenang di pelupuk
matanya. Sikapnya semakin dingin. Kedua tangannya
mengeras dengan gigi menggeletuk.
"Aku tak butuh alasan apa pun. Aku hanya butuh
membalas kematian Suto Sinting pada Dewi Giok dan
orang-orangnya. Kaulah orang pertama yang kujumpai,
Bulan Sekuntum! Maka terimalah kematianmu sebelum
matahari lenyap dari permukaan bumi!"
"Tunggu...! Tunggu dulu, Sumbaruni...!" Bulan Sekuntum menahan gerakan
Sumbaruni, namun agaknya
gerakan itu tak bisa ditahan lagi.
Sumbaruni melepaskan pukulan bertenaga dalam
tinggi dari telapak tangannya. "Heeeaaahh...!" ia berteriak liar dan buas
sekali. Wuuusss...! Sinar biru yang amat berbahaya itu
dihantamkan ke arah Bulan Sekuntum. Yang diserang
ragu-ragu untuk melayaninya. Tapi karena sinar biru itu sudah telanjur menuju ke
arahnya, mau tak mau Bulan
Sekuntum menyentakkan telapak tangan kanannya yang
terbuka ke depan. Maka sinar putih dari Cincin Manik Intan pun melesat, diadu
dengan sinar biru tersebut.
Zlaapp...! Blaarr... blegaarrr...!
Dentuman itu bagaikan bunyi langit runtuh di hari
klamat. Bumi berguncang hebat. Pohon-pohon saling
tumbang. Batu-batuan pecah dan menggelinding ke
berbagai arah, bahkan ada yang beterbangan. Tanah di sekeliling mereka menjadi
retak dan membentuk jurang kecil. Langit senja yang merah tiba-tiba menjadi
hitam dengan awan yang bergulung-gulung mengerikan. Angin
berhembus bagaikan badai musim penghujan.
Kedua tubuh perempuan itu saling terpental, terbang
ke mana-mana tak tentu arah. Mereka berpisah jarak dan saling berusaha
menyelamatkan diri dari amukan alam.
* * * 6 PERTARUNGAN itu agaknya memang menuntut
harus ada korban. Tetapi Bulan Sekuntum tidak mau hal itu terjadi, karena ia
tahu persis duduk perkaranya.
Kesalahpahaman akan membawa kematian sia-sia dan
kemenangan tanpa arti. Sebab itulah Bulan Sekuntum
berseru ketika Sumbaruni yang murka itu ingin
melepaskan jurus andalannya lagi.
"Tahan seranganmu, Sumbaruni! Suto tidak mati!
Suto masih hidup!"
Seruan itu membuat Sumbaruni hentikan gerakannya.
Matanya memandang tajam kepada Bulan Sekuntum.
"Pendekar Mabuk masih hidup! Kau dan aku sama-
sama tertipu oleh suatu tindakan yang sengaja atau tidak sengaja!"
Bulan Sekuntum maju mendekati Sumbaruni yang
siap lepaskan jurus andalannya itu. Dalam jarak lima langkah ia berhenti dan
berkata dengan kedua tangan
membuka. "Bunuhlah aku jika aku berbohong padamu. Aku
berani bersumpah, Suto masih hidup! Lihatlah bumbung tuaknya ada padaku!"
"Lalu di mana dia sekarang"!" Sumbaruni berdebar-debar tegang mendengar
pengakuan itu. "Aku sendiri sedang mencarinya, karena ia hilang dalam keadaan pingsan dan
terluka oleh pukulan racun
'Siksa Kubur'."
"Hahhh..."! Racun 'Siksa Kubur'..."! Bukankah itu racunnya Ratu Kelabang Setan
alias si Untari"!"
"Benar!" jawab Bulan Sekuntum, kemudian ia menceritakan seluruh peristiwa yang
dialaminya bersama Pendekar Mabuk. Dari sejak bertemu dalam
iring-iringan jenazah sampai terakhir kali melawan
Malaikat Tiga Wajah.
"Begitukah kejadian yang sebenarnya"!"
"Betul, Sumbaruni! Aku tak keberatan jika harus bertarung denganmu, tapi kalau
hanya karena kesalahpahaman itu lebih baik mengalah. Pertarungan kita hanya akan memakan
korban sia-sia. Kau atau aku nantinya akan kecewa jika salah satu ada yang
korban." Sumbaruni merenung dengan punggung bersandar
pada sebuah pohon, ia tampak letih karena menahan
duka dan murka.
"Kalau begitu, mayat siapa yang dibawa ke Jurang Lindu itu"!"
"Apakah kau melihat mayat tanpa kepala itu?"
"Ya. Dan kubiarkan seseorang membawanya kepada
Gila Tuak. Aku lebih mementingkan mengejar
dendamku ke Tanjung Samudera, karena kupikir
orangmu yang membunuh Suto Sinting!"
"Siapa yang membawa mayat itu ke Jurang Lindu?"
"Serombongan orang pengagum Pendekar Mabuk. Di
antara mereka kulihat juga Kelana Cinta dan beberapa orang lainnya yang pernah
terlibat peristiwa dengan
Suto. Yang jelas berita kematian Pendekar Mabuk telah menyebar ke seluruh rimba
persilatan dalam waktu yang
amat cepat. Dan nama Tanjung Samudera dibawa-bawa
dalam berita tersebut. Banyak orang menyangka
pihakmulah yang membunuh Pendekar Mabuk."
"Celaka!" gumam Bulan Sekuntum dengan mata menerawang. "Sebaiknya kita bicarakan
dengan gusti ratuku saja."
"Tidak. Aku mau mencari Suto. Aku akan menemui
Ratu Kelabang Setan. Dugaanku mengatakan, bahwa
dialah orang yang mencuri tubuh Suto, karena dia bisa memanfaatkan Suto untuk
memuaskan hasratnya dengan
terlebih dulu memberikan obat penawar racun 'Siksa
Kubur' itu!"
"Kalau begitu aku ikut denganmu!"
Ratu Kelabang Setan menempati perbukitan yang
bernama Lembah Ladang Racun, karena di sana banyak
tanaman, akar dan binatang yang beracun ganas.
Mulanya ia memang seorang ratu dari sebuah negeri.
Tapi karena negeri itu dilanda bencana alam, pulau
tempat negeri itu berada tenggelam ke dasar laut, maka Untari menyelamatkan diri
dengan beberapa anak
buahnya ke perbukitan tersebut. Di sana ia mendirikan sebuah perguruan, namun
tak bisa bertahan lama karena para muridnya enggan mengikuti jejak sang guru
yang gemar bercumbu dengan lawan jenisnya itu.
Untari hidup sebagai ratu tanpa rakyat. Namun
kesaktiannya cukup diperhitungkan oleh orang-orang
rimba persilatan, terutama ilmu racunnya yang ditakuti oleh beberapa orang
berilmu tanggung. Sumbaruni
sudah lama mengenal Untari, sejak belum menempati
Lembah Ladang Racun. Karenanya Sumbaruni tahu
persis seberapa kekuatan Ratu Kelabang Setan.
Namun sebelum mereka bergegas pergi menuju
Lembah Ladang Racun, tiba-tiba mata mereka tertuju ke arah utara dengan masing-
masing dahi berkerut.
Gumpalan asap hitam membubung tinggi, mengepul dari
balik gundukan sebuah bukit. Asap itu menandakan
adanya kebakaran di daerah seberang bukit.
"Hatiku jadi tak enak, Sumbaruni," ujar Bulan Sekuntum. Tapi tidak mendapat
tanggapan dari Sumbaruni, sebab Sumbaruni sendiri diam-diam
menyimpan perasaan tak enak dalam hatinya. Seperti
ada firasat yang mengatakan bahwa kepulan asap hitam itu adalah sesuatu hal yang
perlu diketahui.
Sebelum mereka memutuskan untuk peduli atau tidak
peduli dengan kepulan asap tersebut, tiba-tiba dari arah depan mereka tampak
sekelebat bayangan menerjang
semak melintasi celah-celah pepohonan. Sosok
bayangan itu tampak sedang berusaha mendaki lereng
tempat mereka berada.
"Bulan Sekuntum...! Bulaaan...!" teriak orang yang berlari mendekati mereka itu.
"Astaga"! Wanasida..."!"
"Siapa itu Wanasida?" tanya Sumbaruni.
"Penjaga wilayah perbatasan negeriku!" jawab Bulan Sekuntum.
Lelaki bernama Wanasida itu bertubuh kurus tapi
bukan kerempeng, ia mengenakan rompi hijau dan
celana hitam. Ikat kepalanya dari kain warna hijau pula.
"Ada apa, Wanasida"!"
Pria berusia sekitar tiga puluh tahun itu terengah-
engah dan berwajah tegang. Setelah napasnya mampu
dikendalikan sedikit, ia pun mulai bicara kepada Bulan Sekuntum.
"Istana diserang, menara sudut dibakar!"
"Siapa yang melakukan"!"
"Entah. Mereka menuntut kematian Pendekar Mabuk kepada pihak kita. Mereka sangka
kitalah yang membunuh Pendekar Mabuk secara keji. Jadi menurut
dugaanku, mereka adalah para pengagum Pendekar
Mabuk." "Celaka!" geram Bulan Sekuntum, ia memandang ke arah Sumbaruni. Yang dipandang
jadi tak enak hati.
"Bukan aku yang menggerakkan mereka. Jangan
menuduhku menjadi penyulut api permusuhan itu!" kata Sumbaruni dengan sedikit
gusar. "Sebaiknya segeralah temui mereka. Jelaskan bahwa Pendekar Mabuk belum
mati. Tunjukkan bumbung tuak dan ceritakan segalanya kepada mereka!"
"Bagaimana jika kau ikut membantu meredam
kemarahan mereka?"
"Aku akan menemui Ratu Kelabang Setan!
Secepatnya aku akan membawa Suto ke Tanjung
Samudera sebagai bukti kepada mereka bahwa Pendekar
Mabuk masih hidup!"
"Baik! Kita berpisah dulu sekarang!"
Sumbaruni yang yakin betul bahwa orang yang
mencuri Suto Sinting itu adalah Ratu Kelabang Setan,
segera melesat pergi ke Lembah Ladang Racun. Tak
peduli hari menjadi malam, ia menerabas hutan dan
melewati lereng pegunungan untuk mempersingkat
waktu. Sekalipun malam, tapi suasana alam cukup cerah karena rembulan menyinari
bumi penuh keindahan.
Pintu pesanggrahan yang terbuat dari balok-balok
kayu itu ditendang oleh Sumbaruni. Gubraaak...! Satu kali tendangan membuat
pintu gerbang itu menjadi
hancur berantakan. Sumbaruni sudah tak sabar lagi,
takut Suto Sinting terperangkap cinta dalam pengaruh racun asmaranya Ratu
Kelabang Setan.
Pada waktu Sumbaruni tiba di pesanggrahan Lembah
Ladang Racun, keadaan Ratu Kelabang Setan sudah
mengurai rambutnya, melepas perhiasannya. Bahkan ia hanya mengenakan jubah tipis
tanpa pelapis apa pun di dalamnya. Sumbaruni semakin yakin bahwa Ratu
Kelabai.g Setan yang dikabarkan terluka oleh serangan Suto itu sudah berhasil
sembuhkan lukanya, dan segera mencuri Suto dalam keadaan tak berdaya.
Maka begitu Untari menyambut kedatangan
Sumbaruni di pelataran, Sumbaruni langsung
membentak dengan berang.
"Serahkan Pendekar Mabuk padaku, atau
kuhancurkan tempat ini bersama tubuhmu!"
Ratu Kelabang Setan tertawa sinis. "Sumbaruni... ada persoalan apa sehingga kau
datang-datang marah
padaku, Sobat"!"
"Tak perlu banyak bicara!" bentak Sumbaruni. "Mana murid si Gila Tuak itu"!"
"O, aku tidak membawanya!" Untari berlagak polos.
"Kalau kupaksa kau pasti akan mengatakannya!
Hiaaah...!"
Sumbaruni bagaikan terbang. Tubuhnya melesat
cepat ke arah Ratu Kelabang Setan. Kedua tangannya
diluruskan ke depan dengan telapak tangan terbuka. Dari kedua telapak tangan itu
memancar sinar merah bagai
semburan api mengganas.
Wuuusss...! Ratu Kelabang Setan mengadu kekuatan tenaga
dalamnya dengan melepaskan sinar biru dari telapak
tangannya. Wuuusss...!
Kedua sinar itu akhirnya saling berbenturan di
pertengahan jarak. Blaarrr...!
Ledakan besar membuat Untari terlempar dan jatuh
membentur pilar serambi.
"Uuhg...!" Untari memekik tertahan. Wajahnya menjadi pucat pasi.
Kesempatan itu digunakan oleh Sumbaruni untuk
melepaskan jurus 'Anak Rembulan' yang berupa sinar
kuning seperti bintang dalam satu gerakan tangan
melempar cepat.
Claap...! Deeessb...!
"Aauh...!" Sinar kuning itu tepat kenai lambung Ratu Kelabang Setan.
Akibatnya, perempuan berambut panjang meriap itu
tak bisa bangkit lagi. Ia terpuruk lemas di tempat bagaikan kehilangan seluruh
urat dan tulangnya. Jurus
'Anak Rembulan' telah membuat Untari lumpuh,
sehingga ketika Sumbaruni menerjang masuk ke dalam
rumah, memeriksa kamar demi kamar, Untari tak bisa
mencegahnya lagi. Bahkan untuk berteriak keras pun tak mampu.
"Sutooo...! Sutooo...!" teriak Sumbaruni tak sabar, ia berharap mendapat jawaban
dari Suto Sinting, namun
jawaban itu tidak kunjung tiba. Hampir-hampir
Sumbaruni sangsi dan menduga Suto tidak ada di situ.
Namun ketika ia masuk ke ruang semadi, hatinya
menjadi lega, karena Suto Sinting ada di dalam ruang semadi. Mungkin ia memang
disembunyikan di situ oleh Ratu Kelabang Setan.
"Sutooo..."!" Sumbaruni segera kaget melihat keadaan Suto yang menyedihkan.
Tubuh Suto dipenuhi
oleh benjolan seperti bisul. Ada yang kecil, ada yang berukuran besar. Bahkan


Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tulang pipi sebelah kanan dan rahang kiri membengkak besar, dagunya pun
menggelembung ke bawah, keningnya juga bengkak ke
samping, sehingga wajah Suto Sinting sudah tidak
kelihatan tampan lagi. Kepalanya membengkak ke kiri
cukup besar, sebagian rambutnya ada yang rontok.
"Keparat! Kubunuh kau Untari! Racunmu telah
membuat pemuda ini menjadi berubah dan sangat
menderita!" seru Sumbaruni sambil mencoba memapah Suto Sinting.
Keadaan Suto sudah siuman, tapi masih lemas.
Rupanya Untari telah melakukan penyembuhan, namun
belum sepenuhnya.
"Keparat! Sembuhkan dia secepatnya! Hei, Untari...
ke mana kau"!"
Sumbaruni kebingungan mencari Untari. Di serambi
depan tempatnya jatuh terkulai karena lumpuh ternyata sudah kosong. Untari tak
ada di sana. Gerutu dan makian Sumbaruni menyertai pencariannya. Tapi ternyata
orang yang dicarinya memang tak ada di sekitar tempat itu.
"Persetan dengan dia! Yang penting aku harus
membawa Suto keluar dari sini lebih dulu! Urusan dia bisa kutangani belakangan
saja kalau Suto sudah
sembuh!" pikir Sumbaruni.
"Suto, kau kuat berjalan"!"
Suto Sinting yang masih lemas itu menggelengkan
kepala. Sumbaruni menangis dalam hatinya melihat
keadaan Suto Sinting semenderita itu.
"Dia... sedang pulihkan... kekuatanku, belum...
sembuhkan... racun," kata Suto Sinting dengan suara lemah dan lamban. Sumbaruni
menarik napas menahan
kesedihan, ia tahu maksudnya, bahwa Ratu Kelabang
Setan baru memulihkan kekuatan Suto tapi belum
menawarkan racun 'Siksa Kubur'. Itulah sebabnya
keadaan Suto masih bengkak-bengkak tak karuan
bentuknya. Bukan di kepala saja, tapi di bagian tangan, lengan, dada, sampai ke
kaki. Sumbaruni tidak mau banyak bicara lagi, ia segera memanggul Suto Sinting dengan
kekuatan tenaga
dalamnya dan melesat pergi tinggalkan tempat itu. Ia menerobos cahaya rembulan,
bagai seorang pencuri
menggendong hasil curiannya.
Arah pelarian Sumbaruni ke Tanjung Samudera.
Karena ia pun memikirkan nasib Tanjung Samudera
yang mendapat tuduhan dari para pengagum Pendekar
Mabuk sebagai pembunuh sang pendekar. Sumbaruni
sempat bicara tentang hal itu dalam perjalanan
malamnya kepada Suto Sinting, tetapi Suto tidak bisa memberikan jalan keluar.
Keadaannya yang masih lemah dengan pembengkakan yang semakin terkena angin
semakin membesar itu membuat Suto hanya punya satu
keinginan. "Tuak... tolong bumbung tuak...."
"Bumbung itu ada pada Bulan Sekuntum."
"Aku... butuh tuak dari... dari bumbungku.... Itu...
kekuatanku."
Sumbaruni mengerti maksudnya, ia pun jadi ingat
bahwa tuak dari bumbung itu pasti dapat memulihkan
kekuatan Suto. Bahkan mungkin bukan saja memulihkan
kekuatan, tapi juga menawarkan racun yang bekerja
dalam tubuh Suto.
Berpikir tentang bumbung tuak, langkah Sumbaruni
semakin cepat walau masih tetap memanggul Suto
Sinting. Sampai di Istana Tanjung Samudera hari sudah pagi.
Tapi matahari di ambang cakrawala. Keadaan Istana
Tanjung Samudera bagian depannya porak poranda. Para prajurit berkeliaran
menjaga setiap sisi Istana. Dua menara pengawas tampak menghitam, menandakan
sebagai sisa pembakaran. Bahkan pintu gerbang pun
tampak habis dibakar, namun tidak habis seluruhnya.
Asap masih mengepul di sana-sini.
"Sumbaruni..."!" seru Bulan Sekuntum menyambut kedatangan Sumbaruni yang
memanggul Suto Sinting.
"Ke mana mereka" Sudah berhasil kalian usir
semua?" "Mereka pergi untuk sementara. Tengah malam
mereka meninggalkan tempat ini dengan ancaman masih
ingin kembali lagi sebelum kami menyerahkan Gusti Ratu Dewi Giok. Sebab mereka
menuntut kematian
Gusti Ratu sebagai ganti kematian Pendekar Mabuk."
"Apakah kau tak bisa memberi penjelasan kepada
mereka?" tanya Sumbaruni.
"Aku kehabisan cara. Mereka tetap tidak percaya dan menuduh pihakku yang
membunuh Pendekar Mabuk
dengan cara memenggalnya."
"Sekarang ratumu di mana?"
"Kami sembunyikan di suatu tempat. Kami tidak
ingin Gusti Ratu melawan, karena semua ini hanya
kesalahpahaman."
Bulan Sekuntum trenyuh hatinya melihat keadaan
Suto Sinting separah itu. Wajahnya sudah tak kelihatan sebagai pendekar tampan
yang dikagumi para wanita itu.
Suto cenderung mirip orang cacat.
"Isi bumbung itu dengan tuak, biar diminum
olehnya!" perintah Sumbaruni kepada Bulan Sekuntum.
"Di sini sulit mencari tuak. Kami melarang penduduk meminum tuak. Ini terjadi
sejak dulu."
"Pokoknya cari tuak ke mana saja! Suruh orangmu mencari keluar dari wilayah ini!
Tanpa tuak, Suto tidak akan bisa bertindak menolong kalian!"
Tiga orang prajurit berkuda berangkat mencari tuak.
Tapi sampai pagi kian berubah siang, mereka belum
pulang juga. Sedangkan keadaan Suto Sinting semakin
membengkak. Kepalanya menjadi besar, bentuk matanya
sudah tidak karuan. Tapi kekuatannya bertambah sedikit.
Bicaranya agak lancar dan suaranya agak keras, walau belum seperti biasanya.
"Bulan Sekuntum...! Mereka datang lagi dengan
jumlah lebih banyak!" seru seorang pengawal istana.
Sumbaruni dan Bulan Sekuntum segera bergegas ke luar benteng untuk menghadapi
mereka. Ternyata jumlahnya
memang lebih banyak. Sekitar lima puluh orang lebih.
Beberapa orang ada yang dikenal oleh Sumbaruni, di
antaranya: Citradani, Kirana, Putri Kunang, Delima
Gusti, Batu Sampang, Palupi atau si Tandu Terbang,
Hantu Tari, Camar Sembilu, Teratai Kipas. Dewa
Angora dan beberapa orang lainnya yang pada umumnya
adalah wanita pengagum Pendekar Mabuk. Bahkan
Jelita Bule utusan dari Ratu Rangsang Madu pun tampak hadir di situ.
Menurut Sumbaruni, peristiwa ini bisa menjadikan
perang antar negeri jika tidak segera dikendalikan.
Karena di situ tampak pula Muria Wardani yang dikenal dengan nama Telaga Sunyi
dan beberapa prajurit dari
Kadipaten Madusari yang siap menyerang istana
Tanjung Samudera.
"Kita serang saja mereka jika ratunya tidak mau bertanggung jawab atas kematian
Suto!" seru salah seorang dengan suara keras. Orang itu tak lain adalah
Kirana, yang pernah menjadi sahabat akrab Suto Sinting.
"Kirana! Apa maksudmu mengerahkan orang
sebanyak ini"!" bentak Sumbaruni dengan berani.
"Jadi kau sekarang memihak Ratu Dewi Giok"! Aku tidak takut, Sumbaruni! Kematian
Suto harus ditebus
dengan nyawa Dewi Giok!"
"Suto tidak mati! Suto ada di sini!"
"Suruh dia keluar kalau memang tidak mati!" teriak yang lain saling bersahutan.
Sumbaruni menyuruh Bulan Sekuntum untuk
membawa Suto. Namun ketika Suto hadir di depan
mereka, ternyata mereka tidak mau percaya.
"Omong kosong! Itu bukan Pendekar Mabuk! Lihat
saja, wajahnya begitu buruk! Suto Sinting bukan
pendekar berwajah buruk!"
"Ini sama saja penghinaan terhadap Pendekar
Mabuk!" teriak yang lain.
"Dia bukan Suto! Singkirkan dia! Singkirkan...!"
Mereka melempari Suto dan Sumbaruni. Bulan
Sekuntum tak luput pula dari lemparan batu.
Walaupun Suto berkata, "Akulah murid Gila Tuak!
Aku Suto Sinting...." Tapi mereka tetap tidak percaya karena setahu mereka Suto
tidak seburuk itu, kepalanya tidak sebesar itu. Repotnya mereka tidak mau
mendengarkan penjelasan Sumbaruni tentang mengapa
Suto jadi begitu.
Mereka nyaris menyerang habis istana Tanjung
Samudera. Untung pembawa tuak datang, tuak segera
dimasukkan dalam bumbung bambu. Kemudian
diminum oleh Suto Sinting. Dalam beberapa waktu
kemudian, bengkak-bengkak di tubuh Suto mengempes
secara berangsur-angsur. Kekuatan Suto pulih kembali.
Racun 'Siksa Kubur' telah lenyap.
Keributan di depan istana masih berlangsung. Suto
Sinting segera tampil dalam keadaan aslinya; tampan, gagah, segar dan menawan.
"Hentikaaan...!" seru Suto dengan suara lantang.
Tiba-tiba semua gerakan terhenti. Semua mata
memandang ke arah Suto yang ada di atas tembok
benteng. "Ooohh..."!" mereka sama-sama menggumam kagum.
"Jangan teruskan tindakan kalian! Kalian hanya
terpancing siasat seseorang yang punya maksud tertentu.
Mayat yang tanpa kepala itu hanya mayat seseorang
yang tubuhnya serupa denganku. Tapi wajahnya tidak
sama dengan wajahku."
"Oh, dia masih hidup! Dia masih hiduuup...!" seru mereka kegirangan.
Suto menenggak tuak dari bumbung bambu itu,
kemudian berkata lagi kepada mereka.
"Siapa yang membawa mayat itu kepada guruku"!"
"Aku...!" seru seseorang sambil mengacungkan pedangnya. Ternyata orang itu
adalah Intan Selaksa,
gadis cantik berpakaian kuning gading dengan rompi
ungu. Intan Selaksa adalah juru kunci Kuil Swanalingga, murid mendiang Begawan
Sangga Mega yang pernah
terlibat dalam satu peristiwa bersama Suto Sinting,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang
Guntur Biru").
"Dari mana kau memperoleh mayat tanpa kepala itu, Intan Selaksa"!"
"Dari sahabatku: Anak Petir!" jawab Intan Selaksa.
Bulan Sekuntum berkata pelan, hanya bisa didengar
oleh Suto dan Sumbaruni,
"Berarti biang keladi huru-hara ini adalah Anak Petir."
"Apa maksudnya bikin huru-hara ini"!"
Bulan Sekuntum diam sesaat untuk berpikir, lalu
berkata, "Mungkin karena dia tak bisa mengalahkan kekuatan kami, maka dia
memancing murka orang-orang
pengagum Pendekar Mabuk dengan memasang mayat
tanpa kepala. Tentunya ia mencari orang yang
perawakannya serupa dengan Suto. Lalu ia dandani dan ia lengkapi dengan bumbung
tuak. Untuk menghilangkan kesan bahwa mayat itu bukan Suto,
kepala korban dipenggal dan dibuang di suatu tempat
yang tersembunyi. Dengan meletakkan mayat di wilayah Tanjung Samudera, Anak
Petir punya perkiraan bahwa
orang-orang itu akan mencurigai dan menuduh pihak
Tanjung Samudera yang membunuh Pendekar Mabuk.
Sudah tentu ia punya perhitungan, para pengagum
Pendekar Mabuk akan menyerang negeri ini, dan kami
akan dihancurkan oleh orang-orang Itu!"
"Licik sekali dia!" geram Suto Sinting.
"Intan Selaksa, benarkah Anak Petir yang
menyerahkan mayat orang tanpa kepala yang mirip aku
itu?" "Benar, Suto!"
"Kalau begitu, cari Anak Petir dan katakan bahwa aku menantang pertarungan
dengannya!"
"Cariii Anak Petir...!" seru mereka bersahutan, kemudian mereka pun bubar dengan
sendirinya. Semangat mereka sekarang adalah semangat mencari
Anak Petir. "Hancurkan dia! Penggal kepala si Anak Petir yang bikin kita hampir tersesat!"
teriak mereka penuh kemarahan kepada Anak Petir.
"Suto, maaf ada sesuatu yang harus kukembalikan padamu. Kutemukan dari dalam
bumbung tuakmu saat
bumbung itu kosong tanpa tuak!" kata Bulan Sekuntum.
Suto Sinting kaget dan baru sadar bahwa Cincin Manik Intan ternyata ada di
tangan Bulan Sekuntum. Untung si cantik pemberani itu punya kejujuran yang
terpuji, jika tidak... lenyap sudah cincin pusaka maha sakti itu.
"Bulan, sekarang masalahnya sudah beres. Aku ingin bertemu dengan gusti ratumu
itu." Tapi Sumbaruni menyahut agak ketus dengan nada
cemburu, "Tak perlu. Lain kali saja. Cari saja si Anak Petir itu!"
Suto Sinting hanya tertawa pelan. Bulan Sekuntum
mencibir sinis, lalu meninggalkan mereka.
"Aku hanya ingin berkenalan dengan sang Ratu."
"Itu soal gampang. Cari dulu si Anak Petir dan selesaikan urusanmu dengannya.
Bukankah kau tadi
sesumbar ingin menantang pertarungan dengan si Anak Petir?"
"Bagiku itu bukan suatu keharusan. Kalau memang aku bisa bertemu, dan terpaksa
harus lakukan pertarungan, aku bersedia. Tapi jika ia meminta maaf kepadaku, apakah aku harus
tetap menantang
pertarungan dengannya?"
"Seorang pendekar harus setia pada janjinya,
terutama janji pertarungan!" gumam Sumbaruni.
"Kalau yang ditantang takut, bagaimana" Apakah
harus tetap menyerang orang yang sudah merasa tak
berdaya" Jadi sekarang yang penting aku ingin bertemu dengan Ratu Dewi Giok dan
berkenalan dengannya."
"Kusarankan kapan-kapan saja!"
"Kenapa kau cemburu kepadanya?" kata Suto apa adanya membuat wajah Sumbaruni
merah dadu menahan
malu. Dengan mata memandang dingin, Sumbaruni berkata,
"Aku bukan cemburu padanya, hanya malas
mengantarmu bertemu dengan Ratu Dewi Giok."
"Ada masalah apa kau dengan Ratu Dewi Giok"
Tampaknya kau sungkan padanya?" desak Pendekar
Mabuk.

Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah diam sesaat Sumbaruni berkata, "Aku pernah bentrok dengannya perkara
Pusaka Gelang Naga Dewa.
Tapi akhirnya aku malu sendiri karena memang itu
salahku." "O, ya... aku ingat. Ratu Kelabang Setan juga ingin merebut Pusaka Gelang Naga
Dewa! Mungkinkah dia
sekarang sedang menyusun kekuatan untuk menyerang
Ratu Dewi Giok?"
"Aku akan di pihak Ratu Dewi Giok kalau memang
benar Untari mau merebut pusaka Gelang Naga Dewa!"
"Kenapa begitu?"
"Karena Ratu Dewi Giok-lah yang berhak memiliki pusaka itu."
Esok harinya, Suto dan Sumbaruni mendengar kabar
bahwa seorang ibu mengaku kehilangan anak sulungnya
yang kerjanya menebang pohon. Potongan tubuh anak
sulungnya itu serupa dengan Suto Sinting.
"Mungkinkah anak ibu itu yang menjadi korbannya Anak Petir?" tanya Bulan
Sekuntum kepada Sumbaruni.
"Belum tentu. Bisa saja ibu itu hanya mengaku-aku supaya namanya menjadi dikenal
karena terkait dalam
peristiwa ini."
"Agaknya perlu diselidiki lebih teliti lagi. Jika memang benar korban tanpa
kepala itu adalah anak dari ibu itu tadi, tentu saja ia bisa mengenali
pembunuhnya. Mungkin dengan menanyakan tentang Anak Petir, ia
bisa memberi kesaksian memang si Anak Petir yang
layak dicurigai sebagai pembunuh orang yang mirip aku itu," ujar Suto sebelum
meninggalkan Istana Tanjung Samudera.
Tapi pada sore harinya, seorang nelayan menemukan
potongan kepala manusia di pantai, di antara sela-sela bebatuan karang. Penemuan
itu sempat bikin geger
penduduk pantai. Setelah ditanyakan kepada ibu yang mengaku kehilangan anaknya,
ternyata kepala itu
memang milik anak sulungnya.
"Kini yang kupikirkan," kata Sumbaruni. "Kemana
perginya Ratu Kelabang Setan pada malam itu" Tak
mungkin ia bisa lari cepat karena terkena jurus 'Anak Rembulan' yang melumpuhkan
seluruh syaraf manusia."
"Pasti ada yang menyelamatkan dan membawanya
lagi," kata Suto.
"Siapa orang itu?"
"Entahlah. Kita cari saja siapa orangnya!" ujar Pendekar Mabuk dengan rasa
penasaran. SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
GELANG NAGA DEWA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Geger Dunia Persilatan 1 Pedang Pusaka Buntung Karya T. Nilkas Naga Sasra Dan Sabuk Inten 32
^