Kipas Dewi Murka 1
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 LANGKAH si tampan Pendekar Mabuk terpaksa
berhenti ketika ia mendengar suara aneh yang
mencurigakan. Suara itu datang dari hutan sebelah
kirinya yang penuh dengan semak belukar. Daun-daun
ilalang tumbuh subur dalam ketinggian melebihi tubuh manusia dewasa. Dari dalam
semak belukar itulah suara mirip orang merintih terputus-putus terdengar
menembus kelebatan semak.
"Ada yang terluka di sana"!" pikir Suto Sinting dalam keraguan. "Suara orang
merintih karena luka, atau suara orang yang merintih karena nikmat"!"
Telinga si murid sinting Gila Tuak itu dipertajam
lagi. Suara rintihan yang terdengar samar-samar karena jaraknya agak jauh itu
terdengar semakin meragukan
bayangan yang ada dalam benak Suto Sinting.
"Uh, aah... aduh, aduh, aaah... uuuh... ooh, oh, oh...."
Hati pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa
ikat kepala itu mulai membatin lagi sambil dahi tetap berkerut tajam.
"Suara itu jelas suara perempuan. Tapi perempuan tua atau muda, ya"! Hmmm...
jangan-jangan perempuan itu sedang bercumbu" Tapi mengapa suara lawan jenisnya
tidak terdengar" Apakah ia bercumbu dengan lelaki
bisu" Ah, sialan! Jantungku jadi berdebar-debar begini.
Sebaiknya kutinggalkan saja suara itu."
Namun rasa penasaran yang mudah terpancing dalam
hati Suto Sinting, tak mungkin mampu membuatnya
pergi begitu saja. Walaupun hati berdebar-debar dan
keringat dingin sempat keluar karena bayangan mesum yang muncul di benaknya,
Suto Sinting akhirnya nekat mendekati suara rintihan seorang wanita itu. Ia
menerabas semak dengan langkah pelan-pelan agar tak menimbulkan bunyi, ia
bermaksud ingin mengintip si
pemilik suara tersebut.
"Ooh... uuuh... ah, ah, ah, aaaahh...," lalu disusul suara napas terengah-engah
seperti orang habis berlari jauh.
Semakin dekat semakin jelas suara napas ngos-
ngosan itu, sehingga kini Pendekar Mabuk pun semakin gemetar dan hati kian
berdebar-debar karena bayangan dalam benak Suto bertambah syur. Tapi kaki tetap
melangkah mendekati suara tersebut dengan batin kian bicara,
"Suaranya merdu, agak serak-serak basah. Sepertinya ia masih muda dan sedang
diburu hasrat cinta yang
menggebu-gebu. Oh, ya... sebaiknya kuintip dari atas pohon saja. Biar
pemandangannya lebih jelas lagi."
Wuuut...! Tubuh kekar berdada bidang itu melesat ke
atas dan hinggap di atas pohon tanpa suara dan gerakan berisik. Itu menandakan
bahwa ilmu peringan tubuh
yang dimiliki Suto Sinting cukup tinggi, sehingga
tubuhnya mampu melayang dan hinggap bagaikan kapas
tanpa beban berat. Tak satu pun daun pohon itu yang
bergerak walau kaki Suto Sinting sempat menginjak
permukaan daun sebelum akhirnya pindah ke sebuah
dahan sebesar lengannya.
"Ya, ampuuun..."!" Pendekar Mabuk lebarkan matanya yang indah itu. Ia terkejut
melihat apa yang dicarinya sejak tadi. "Ternyata aku salah khayal. Ooh...
celaka! Kalau begini caranya aku tak boleh terlalu lama ada di sini. Aku harus
segera turun dan... dan... ah, tapi kalau aku turun dan mendekatinya, ia bisa
salah paham padaku"! Aduh, bingung juga kalau begini"!"
Pemandangan yang diintainya itu adalah
pemandangan segar yang menyedihkan. Seorang gadis
dengan rambut terurai lepas dari ikatannya berdiri di antara dua pohon yang
tumbuh dalam jarak dekat. Gadis itu berwajah cantik, matanya berbulu lantik dan
berbinar-binar indah sekali. Suto Sinting memperkirakan usia gadis itu sekitar
dua puluh dua tahun.
Tubuhnya sekal padat berisi, dengan dada yang
membengkak bagai penuh tantangan yang menggiurkan
setiap lelaki. Keadaan si gadis sangat menyedihkan.
Kedua tangannya diikat dalam keadaan terentang pada
dua pohon di kanan-kirinya. Kakinya juga merentang ke kanan-kiri dalam keadaan
diikatkan pada dua pohon
tersebut. Jelas gadis itu tertawan dan seorang musuh telah mengikatnya
sedemikian rupa hingga mendebarkan hati Pendekar Mabuk.
Hal yang paling mendebarkan si Pendekar Mabuk itu
adalah keadaan gadis itu yang mirip bayi. Ia ditawan sebegitu rupa dalam keadaan
polos tanpa selembar
benang pun. Keadaan itu yang membuat hati Suto
Sinting kian berdebar dan jantungnya menyentak-
nyentak. Sesaat ia seperti terpesona melihat pemandangan di
hadapannya. Gadis itu berkulit kuning langsat, mulus tanpa cacat sedikit pun.
Bentuk tubuhnya sangat indah, tak terlalu kurus, juga tak terlalu gemuk. Sekal,
padat berisi. "Ah, uuhh... eeeh... uuuh...!" suara si gadis mengerang dan mendesah bukan
lantaran menikmati
sentuhan mesra, namun berusaha menarik tangan agar
terlepas dari tali pengikatnya. Sebentar kemudian ia berhenti dan terengah-engah
kelelahan. Bibirnya yang ranum mungil itu digigit sendiri bagai sedang menangis.
Melihat bibir digigit, Suto Sinting semakin menggeram gemas dalam hatinya.
"Apa yang harus kulakukan jika begini?" pikir Pendekar Mabuk dalam kebingungan.
"Kalau kudekati, nanti disangkanya aku ingin
menyaksikan kemulusannya. Kalau dibiarkan saja, oh...
alangkah kasihannya gadis itu"! Agaknya tali yang
dipakai untuk mengikatnya bukan sembarang tali.
Semakin ditarik-tarik semakin mengencang membuat
pergelangan tangan gadis itu menjadi kian terjerat dan kulitnya berubah merah."
Pakaian si gadis tak kelihatan di sana-sini. Senjatanya pun tak ada di sekitar
tempat itu. Timbul pertanyaan di batin Suto Sinting,
"Apakah gadis itu setiap harinya memang polos
begitu ke mana pun ia pergi"! Mengapa tak ada selembar pakaian pun di
sekitarnya" Jika aku berhasil melepaskan ikatannya, lalu apa yang harus
kulakukan"!"
Pendekar Mabuk akhirnya duduk di atas dahan itu
merenungkan langkah yang harus diambil. Renungan itu disertai pandangan mata
tertuju lurus pada si gadis yang malang. Semakin lama merenung semakin hanyut
khyalannya, sehingga yang terbayang dalam benak Suto Sinting bukan mencari cara
melepaskan gadis itu
melainkan bayangan indah dalam menikmati kemulusan
dan keterbukaan gadis cantik bertahi lalat kecil di ujung bibir kirinya Itu.
Lamunan ngeres itu segera lenyap setelah gadis itu
perdengarkan suara walau lirih dan hampir tak terdengar oleh Pendekar Mabuk dari
atas pohon. "Kalau saja ada orang yang datang menolongku, aku akan sangat berterima kasih
padanya. Jika ia perempuan, aku akan mengabdi kepadanya sebagai saudara angkat.
Jika yang menolongku seorang lelaki, seburuk apa pun
wajahnya aku akan bersedia menjadi istrinya dan akan kuturuti apa kemauannya.
Daripada aku harus begini
terus-terusan, lama-lama aku bisa mati nganggur! Oh, Dewaaaaa... kirimkan-lah
seorang penolong bagiku."
Kepala gadis itu akhirnya terkulai menunduk.
Mungkin menangis, tapi tak terlihat air mata meleleh di pipinya. Mungkin hanya
tangis batin yang dapat
dilakukannya. Hati Suto Sinting pun menjadi kian iba melihatnya.
Pendekar Mabuk akhirnya beranikan diri untuk
berseru dari tempatnya. Keberanian itu timbul setelah ia menenggak tuak beberapa
teguk dari bumbung bambu,
tempat tuak yang ke mana pun perginya selalu dibawa-
bawa. "Nona cantik, bolehkah aku datang menolongmu"!"
"Oooh... suara seorang lelaki"!" gadis itu terbelalak kaget sekali, ia mulai
tampak gusar dan panik. Matanya membelalak memandangi arah sekelilingnya dengan
gerakan menggeragap. Jantung gadis itu menyentak-
nyentak cukup kuat karena rasa malu dan bingung
menyadari keadaan dirinya.
"Haruskah kubiarkan seorang lelaki datang
menolongku dalam keadaan tubuhku seperti ini"!" pikir si gadis sambil menyentak-
nyentak tangannya yang
ingin bergerak menutup bagian depan secara naluriah.
Namun tangan itu tetap terjerat tali yang terbuat dari sejenis akar aneh, karena
jika tali itu semakin ditarik jeratannya bukan mengendur melainkan justru
semakin mengencang. "Jawablah pertanyaanku tadi, Nona! Aku akan
menolongmu melepaskan penjerat itu, tapi apakah kau
izinkan diriku untuk mendekatimu?"
"Jangan!" jawabnya seketika itu juga. Tapi ia jadi berpikir lagi dan ragu-ragu
memberi keputusan.
"Eh, tapi... boleh saja kau kemari, eh... anu... jangan, sebab aku dalam
keadaan... tapi, iya... silakan datang asal... asal... asal kau tutup kedua
matamu dan kau tak boleh mengintip sedikit pun. Eh, tapi... anu juga...
begini...."
Tak ada yang jelas kata-katanya. Bagi si tampan
murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu, kata-kata gadis tersebut sangat
membingungkan sehingga ia tak tahu apa yang harus dilakukan, ia diam beberapa
saat memikirkan jalan terbaik.
"Kau... kkau... ada di mana"!" seru gadis itu dengan wajah pucat karena rasa
malu. Bagaimanapun juga ia
tahu bahwa ada seorang lelaki yang telah melihat
keadaannya dari balik persembunyian. Dan kesadaran
itulah yang membuatnya sangat malu hingga kakinya
gemetar. "Nona, aku ingin menolongmu bukan ingin bertindak tak sopan padamu!" seru Suto
lagi. "Bersumpahlah bahwa kau tak akan memandangiku
dengan nakal!"
"Aku... aku tak pernah bersumpah, jadi aku tak bisa bersumpah."
"Ooh...!" gadis itu lemas, karena ia tahu tubuhnya yang polos itu akan menjadi
pusat pandangan mata
seorang lelaki. Alangkah memalukannya jika hal Itu
sampai terjadi, sementara ia belum kenal siapa lelaki itu dan belum tahu seperti
apa wajah si lelaki. Tak heran jika dalam hati gadis itu timbul rasa muak dan
sebal kepada suara lelaki yang didengarnya.
"Tapi aku butuh bantuannya untuk melepaskan tali penjerat ini"! Jika kuturuti
perasaan malu dan muakku, belum tentu ada seorang perempuan yang lewat hutan ini
dan menolongku. Aduh, bagaimana diriku jika sudah
begini"!" ujarnya membatin dengan sangat sedih dan salah tingkah.
"Kau ada di mana, Kang..."!" seru gadis itu memanggil 'kang' karena melalui
suara yang didengar ia dapat menduga bahwa lelaki yang akan menolongnya
belum terlalu tua.
"Aku ada di suatu tempat yang mudah mencapai
tempatmu dalam sekejap!" seru Suto Sinting. Suaranya yang bergema membuat ia
sulit diketahui letak
persembunyiannya.
"Apakah... apakah kau melihat keadaanku dengan
jelas"!"
"Jelas sekali!"
"Gawat!" gumamnya, lalu berseru lagi, "Dari mana kau melihatku saat ini"!"
"Dari arah depanmu, Nona!"
"Mati aku!" ucapnya dalam hati dengan rasa malu semakin menghujam hati dan
membuatnya serba salah.
Kemudian ia berseru kembali dengan suara bergetar
karena menahan perasaan yang bercampur aduk.
"Tutup matamu sekarang juga! Tutup!"
"Baik, sudah kututup mataku saat ini!" seru Suto Sinting dengan mata terbuka
lebar dan tetap memandang ke arah gadis itu melalui celah dedaunan.
"Kau... kau boleh mendekatiku dari belakang. Jangan dari depan!"
"Mengapa dari belakang"!"
"Aku mempunyai jurus 'Ludah Geni'. Jika kau
mendekatiku dari depan, ludahku bisa keluar secara tak sadar dan membakar kulit
tubuhmu!" seru sang gadis, kemudian membatin kata untuk dirinya sendiri,
"Lebih baik kubohongi begitu, biar dia tidak
mendekatiku dari depan. Biarlah dia mendekatiku dari belakang dan melepaskan
tali penjerat ini. Jika sudah terlepas semua, kubunuh pria itu supaya tidak
membayangkan kepolosan tubuhku terus-terusan!
Biarlah aku menjadi jahat satu kali ini saja. Tebusan dosaku akan kuterima
seberat apa pun.'
Hutan menjadi sepi, alam menjadi sunyi. Suara pria
yang diharapkan oleh sang gadis itu terdengar lagi. Sang gadis menjadi bertanya-
tanya dalam hati dengan rasa heran. Matanya masih mencari ke sana-sini, namun
tak ditemukan sesosok tubuh yang mendekatinya dari balik semak mana pun juga.
"Celaka! Jangan-jangan orang itu justru pergi karena mendengar aku mempunyai
jurus 'Ludah Geni' yang
kukatakan tadi" Oh, bodohnya aku ini! Bodoh sekali!
Mestinya biarlah aku menderita malu sebentar, yang
penting aku bisa bebas dari jeratan akar setan ini!
Mestinya aku tak perlu menakut-nakuti dia, sehingga
akhirnya dia pergi tak mau menolongku. Mungkin dia
seorang lelaki pencari kayu atau mengembara tanpa
nyali." Rasa sesal si gadis membuatnya dongkol dan semakin
salah tingkah, ia segera mencoba berseru ke arah depan, karena menurut pengakuan
yang didengar tadi orang
tersebut dapat melihatnya dari arah depan. Perkiraan si gadis mengatakan, bahwa
pria yang berseru itu ada di semak depan, di bawah sebuah pohon besar berdaun
rimbun itu. "Hoii...! Kenapa kau diam saja"! Kau ada di mana, Kang"! Jawablah seruanku ini!
Jangan main-main
denganku, aku bisa mencelakakan dirimu walau kau ada di balik semak-semak.
Jawablah, di mana kau sekarang berada!"
"Aku ada di belakangmu!"
"Oooh..."!" gadis itu memekik kaget. Begitu kagetnya sampai tubuhnya terlonjak
dan tali penjerat-nya kian mengencang, ia ingin berpaling ke belakang, tapi tak
jadi sebab dari suara pelan yang didengarnya tadi ia tahu bahwa si ielaki sudah
ada di belakangnya dalam jarak sekitar dua atau tiga langkah.
"Celaka! Ternyata dia sudah ada di belakangku"!
Mengapa tak kulihat dan tak kudengar gerakannya saat berpindah tempat"!" pikir
si gadis dengan jantung kian menyentak-nyentak kuat. Ia tak tahu bahwa Suto
Sinting mampu bergerak cepat bagai sekelebat bayangan
dihembus badai karena mempunyai jurus yang bernama
'Gerak Siluman', di mana kecepatan geraknya itu
melebihi kecepatan anak panah yang melesat dari
busurnya. Suto Sinting memang ada di belakang gadis itu. Tapi
ia terpaku di tempat memandangi tubuh si gadis yang
mulus dengan keringat berbintik-bintik di permukaan
kulit halusnya itu. Pendekar Mabuk memandang penuh
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasa kagum dan hati berdebar-debar diburu hasrat ingin memeluknya. Namun hasrat
itu segera dikuasai dengan
tarikan napas pelan-pelan. Tetapi mata si tampan itu tak bisa berkedip memandang
kesekalan tubuh polos di
depannya. "Pantatnya montok sekali!" gumam hati Suto Sinting dengan jari bergerak-gerak
bagai Ingin meremas gemas.
Sesuatu yang lebih menarik lagi bagi mata bening
Pendekar Mabuk adalah sebuah tato yang ada di
punggung gadis itu. Pada punggung dekat pundak kiri
gadis itu ada tato bergambar setangkai bunga mawar
warna Jingga. Tato itu tidak seberapa besar namun
tampak indah dan mempunyai nilai seni cukup tinggi.
Tato itu menyimbulkan bahwa si gadis bukan wanita
yang cengeng dan penakut, bahkan mungkin tubuhnya
sudah terbiasa menerima sentuhan yang menyakitkan,
sehingga ia berani ditato dengan jarum dan getah
pewarna pada kulit punggungnya.
"Hei, mengapa diam saja di belakangku, Setan!"
sentak si gadis mulai berang karena sejak tadi Pendekar Mabuk tak berbuat apa-
apa. Gadis itu menjadi risi
dipandangi dari belakang.
"Apakah namamu, Mawar Jingga?" tanya Suto
Sinting setelah maju selangkah lagi. Suaranya makin
dekat, hingga si gadis merasa merinding menerima
hembusan napas dari mulut dan hidung Suto Sinting saat bicara tadi.
"Tak perlu tanya soal nama!" ketus si gadis dengan jengkel. "Lepaskan dulu
ikatanku baru kita bicara soal nama!" ujarnya dengan tetap tak berani memandang
ke belakang. Pendekar Mabuk tertawa kecil, hati gadis itu kian
dongkol. "Lakukanlah sekarang juga, Tolol!" bentak si gadis tak sabar lagi.
Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Tuak tidak
ditelan semua, namun sebagian disimpan di mulut.
Kemudian tuak itu disemburkan ke tali pengikat pada
tangan kanan si gadis. Brruss...!
Laaap...! Brrusssh...! Semburan berikutnya pada tali pengikat
di tangan kiri si gadis. Laaap...!
Si gadis terbengong melompong di tempat. Hampir-
hampir ia tak sadar bahwa tali dan kakinya sudah tidak terikat lagi. Hal yang
membuatnya tertegun di tempat adalah keanehan yang dilihatnya dengan mata kepala
sendiri. Dua pohon yang tadi digunakan untuk mengikat tali dan tangannya itu
tiba-tiba lenyap tak berbekas sedikit pun, demikian pula tali pengikat itu
hilang bagaikan ditelan angin.
Si gadis tidak tahu bahwa Suto Sinting mempunyai
jurus 'Sembur Siluman' yang dapat melenyapkan benda
apa pun dengan semburan tuaknya dari mulut. Semburan itu mempunyai kekuatan
sentak tersendiri yang berbeda dengan sentakan napas saat ia pergunakan jurus
'Sembur Husada', yaitu semburan untuk menghilangkan luka pada diri seseorang.
Lenyapnya pohon membuat tali pengikat itu pun
hilang seketika. Kedua tangan dan kaki si gadis kini telah bebas. Namun rasa
heran dan terkagum-kagum
membuatnya masih diam di tempat dengan mulut
melongo dan mata terbelalak tak berkedip.
Brruk...! Gadis itu terkejut karena Suto Sinting
melemparkan baju coklatnya yang tanpa lengan itu. Baju itu jatuh di pundak si
gadis bersamaan suara Suto
Sinting yang berkata dengan nada kalem.
"Pakailah bajuku itu untuk sementara supaya kau tidak masuk angin."
Ucapan itu membuat si gadis sadar bahwa dirinya
dalam keadaan polos. Dengan tetap memunggungi Suto
Sinting, ia mengenakan baju coklat tersebut dan
merapatkan bagian depannya dengan dipegangi dua
tangan. Baju itu panjangnya sampai paha, hingga
menutup bagian yang harus ditutupi di sekitar paha.
Walau tak tertutup sepenuhnya, namun bagian tersebut sudah tak terbuka ngablak
seperti goa tanpa pintu.
Gadis itu pun segera berpaling memandang Suto
Sinting. Deeg...! Hatinya bagai tersentak oleh rasa kaget di luar dugaan.
"Ternyata dia seorang pemuda yang tampan, kekar
dan gagah"! Oh, tak kusangka penolongku seorang
pemuda setampan dia" Kalau begitu, niatku untuk
membunuhnya kuurungkan saja. Tak baik membunuh
orang yang telah menolongku. Lagi pula... tak begitu rugi tubuhku dari tadi
diperhatikan pemuda setampan dia. Kusangka yang memperhatikan tubuhku dari tadi
adalah lelaki bertampang memuakkan!"
Pandangan mata si gadis tertuju pada wajah Suto
Sinting. Kecamuk batinnya segera terhenti karena Suto Sinting mengajaknya bicara
dengan senyum kalem yang
menawan hati. "Di mana pakaianmu, Nona?"
"Entahlah. Mungkin dibuang ke tempat jauh oleh si iblis itu!"
"Siapa yang memperlakukan dirimu sedemikian
memalukannya"!"
"Peri Kedung Hantu!"
"Ooh... dia"!"
"Apakah kau kenal dengannya"!" si gadis agak curiga karena Suto Sinting manggut-
manggut. "Aku kenal hanya sepintas, ia pernah bertarung
denganku dan kutinggalkan dalam keadaan luka," jawab Suto Sinting lalu
membayangkan pertarungannya
dengan Peri Kedung Hantu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Titisan Dewa Pelebur Teluh").
Gadis itu merasa lega setelah tahu bahwa Suto
Sinting ternyata bukan berada di pihak Peri Kedung
Hantu, ia pun menceritakan pertarungannya dengan Peri Kedung Hantu yang
mempunyai nama asli Rumisita itu.
"Dia berhasil menotokku, membuatku lemas tak
berdaya. Aku sempat pingsan beberapa saat. Ketika aku sadar, keadaanku sudah
terikat seperti tadi dan aku tak tahu pakaianku dikemanakan oleh si perempuan
Iblis itu!" "Rumisita memang menyebalkan."
"Hei, kau tahu nama aslinya segala. Siapa kau
sebenarnya?"
"Suto Sinting, itu namaku!"
"Mak... maksudmu... maksudmu kau si Pendekar
Mabuk, muridnya Gila Tuak?"
"Benar, Nona. Bagaimana kau bisa mengenali diriku sampai tahu nama guruku?"
"Aku pernah mendengar cerita dari guruku tentang dirimu."
"Siapa gurumu itu, Nona?"
"Nini Kalong, Penghuni Hutan Rawa Kotek!"
"Oooo...," Suto Sinting manggut-manggut. Ia segera terbayang wajah tua keriput
yang badannya kurus dan
sedikit bungkuk berjubah hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Titisan Dewa Pelebur Teluh").
"Aku kenal dengan gurumu; Nini Kalong. Tapi aku tak kenal siapa muridnya yang
cantik dan meminjam
bajuku ini."
Gadis itu sunggingkan senyum tersipu, menunduk
sejenak, kemudian memandang Suto Sinting lagi dengan bibir ranumnya masih
tersungging senyum indah.
"Namaku adalah Puspita Jingga. Murid kedua dari Nini Kalong setelah Syair
Kusumi." "Pantas kau punya tato bunga mawar jingga."
"Apakah kau suka dengan tatoku itu?"
Pendekar Mabuk yang kini hanya bercelana putih
kusam dengan ikat pinggang kain merah itu hanya
sunggingkan senyum menawan. Senyuman itu membuat
hati Puspa Jingga berdebar-debar bagai digelitik
keindahan. "Aku lebih suka lagi jika kau mau sebutkan apa
alasanmu sehingga kau bertarung dengan Peri Kedung
Hantu"!"
Puspa Jingga masih mendekap diri untuk merapatkan
baju yang dipakainya, ia melangkah ke samping hingga mencapai bawah pohon. Dari
sana ia berkata kepada
Suto Sinting dengan suara sedikit pelan.
"Aku diutus oleh Guru untuk mengambil sebuah
pusaka yang ada di dalam makam Resi Dirgantara. Guru membekaliku selembar denah
tempat makam Resi
Dirgantara. Rupanya percakapanku dengan Guru disadap oleh Peri Kedung Hantu. Di
perjalanan, denah itu
direbutnya. Aku mempertahankan, tapi ilmuku kalah
sakti dengan Peri Kedung Hantu. Denah itu berhasil
direbut dan dibawanya pergi bersama pakaianku."
"Pusaka apa yang ada dalam makam itu"!" tanya Suto Sinting, namun Puspa Jingga
ragu-ragu untuk
mengatakannya. * * * 2 NINI Kalong adalah tokoh beraliran hitam yang kala
itu pernah dilumpuhkan oleh Suto Sinting pada saat ia menyerang si Gadis Dungu.
Tetapi lukanya itu segera
ditolong pula oleh Suto Sinting, hingga si nenek pun akhirnya terselamatkan
jiwanya. Pada saat Suto Sinting bertarung oleh Peri Kedung
Hantu yang merasa tak suka terhadap sikap Suto Sinting dalam mempengaruhi Nini
Kalong, keduanya menjadi
terluka parah setelah adu kesaktian. Namun Suto Sinting segera dilarikan oleh
Nini Kalong dan melalui bantuan Nini Kalong tuak dalam bumbung bambu itu
berhasil diminumkan pada Suto, sehingga luka itu pun sembuh
kembali. Nini Kalong segera meninggalkan Suto Sinting yang
kala itu sedang mengejar si pembawa lari Gadis Dungu yang ternyata adalah Nyai
Serat Biru, guru si Gadis
Dungu itu sendiri. Kepergian Nini Kalong agaknya
mempunyai maksud tersembunyi. Suto Sinting
merasakan nasihatnya kepada Nini Kalong untuk beralih ke aliran putih cukup
mengena di hati nenek tua itu.
Maka ketika Suto Sinting bertemu dengan Puspa
Jingga, gadis itu pun menceritakan diri sang guru yang telah berubah dari tokoh
aliran hitam menjadi tokoh
aliran putih. Namun mengenai pusaka yang diburunya
sejak dulu itu masih tetap merupakan rencana dalam
hidup Nini Kalong.
"Guru tidak ingin pusaka itu jatuh di tangan tokoh aliran hitam, sehingga begitu
mendapat kabar dari
seorang pertapa tentang di mana adanya pusaka tersebut, Guru memerintahkan
diriku untuk mengambil pusaka itu lebih dulu sebelum telanjur diambil dan
dikuasai oleh tokoh aliran hitam," ujar Puspa Jingga sambil mencari pakaiannya.
"Mengapa bukan Nini Kalong sendiri yang
mengambil pusaka itu"!"
"Guru belum selesai lakukan tapa gantung...."
"Tapa gantung..."!" Suto Sinting agak heran.
"Bertapa dengan kaki terikat di atas dan tubuh
berjungkir balik, itu yang dimaksud tapa gantung. Dalam beberapa waktu lagi Guru
akan selesai lakukan tapa
tersebut. Tapi merasa takut jika pusaka itu dimiliki orang lain, maka aku
ditugaskan untuk mengambil pusaka
tersebut."
"Mengapa kau tak mau sebutkan nama pusaka itu
padaku?" "Guru melarangku bicara kepada siapa pun tentang nama pusaka tersebut. Maafkan
aku, aku tak bisa
mengatakannya padamu."
Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi mengingat-
ingat peristiwa pertemuannya dengan Nini Kalong. Kala itu ia bersama Gadis Dungu
yang sekarang mengasingkan diri bersama gurunya; Nyai Serat Biru, di puncak Gunung Randu.
Seingat Suto, waktu itu Indayani si Gadis Dungu pernah sebutkan satu nama pusaka
yang sering menjadi bahan bentrokan antara Nini Kalong
dengan Nyai Serat Biru. Suto Sinting mencoba
mengingat-ingat nama pusaka itu, namun sampai
akhirnya ia menemukan pakaian Puspa Jingga, nama
pusaka itu masih belum bisa diingatnya dengan jelas.
Pakaian gadis itu ditemukan di jalanan bawah bukit
yang tak seberapa tinggi itu. Bahkan senjata Puspa
Jingga berupa pedang bersarung merah dengan
gagangnya yang dlbungkus kain merah itu juga ada tak jauh dari pakaiannya.
Gadis itu segera mengenakan pakaiannya di balik
semak. Kejap berikutnya ia tampil dengan lebih cantik lagi mengenakan pakaian
berlengan komprang warna
ungu tanpa jubah. Pedangnya diselipkan pada ikat
pinggangnya yang terbuat dari kain warna hitam.
Rambutnya yang panjang disanggul sebagian, sisanya
dibiarkan meriap dengan lembut gemulai.
"Kau tampak cantik dan anggun jika mengenakan
pakaian seperti itu," ujar Suto Sinting setelah gadis itu keluar dari semak
belukar, selesai berganti pakaian, ia lemparkan baju coklat Suto Sinting hingga
baju itu jatuh di pundak Suto Sinting.
"Kau justru tampak perkasa jika tanpa baju begitu,"
katanya sambil tersenyum-senyum.
"Kalau aku tanpa baju, kau pasti tak akan bisa pergi mencari pakaianmu karena
aku tak bisa meminjamkan
bajuku ini padamu."
"Tapi, sekalipun kau mengenakan baju itu, masih saja tampak gagah dan perkasa!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyumnya dengan
mata melirik ke arah Puspa Jingga. Yang dilirik alihkan pandangan dengan sikap
malu-malu. Suto Sinting pun
mengenakan bajunya kembali.
Namun baru saja selesai mengenakan baju, tiba-tiba
ia harus melesat dan bersalto melintasi sisi kanan Puspa Jingga. Wuuut...! Sang
gadis terkejut lalu memandang dengan heran ketika Suto Sinting berdiri
memunggunginya dengan wajah menengok kepadanya.
"Apa maksudmu melompat begitu" Mau pamer
ilmu?" Suto Sinting berbalik arah berhadapan dengan Puspa
Jingga. Tangannya yang menggenggam segera membuka
dan sebilah logam berbentuk bintang segi enam terselip di sela-sela jarinya.
"Hampir saja kau mati oleh senjata rahasia ini!"
katanya sambil matanya melirik ke arah datangnya
senjata rahasia itu. Puspa Jingga terbelalak kaget dan segera berkerut dahi
tajam-tajam. "Bintang Neraka"!" gumam Puspa Jingga yang agaknya cukup kenal dengan pemilik
senjata rahasia itu.
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seandainya kau tidak menyambar logam putih itu, maka tubuhku akan menjadi lumer
karena terkena racun yang ada di ujung keruncingan bintang itu," kata Puspa
Jingga, ia pun segera mencabut pedangnya. Sraaang...!
Matanya menjadi nanar memandang ke arah datangnya
senjata maut tersebut.
"Bintang Neraka itu nama orang atau nama senjata ini"!"
"Nama senjata itu!" jawabnya dengan lirih sambil bersiap menebaskan pedang jika
terjadi serangan
mendadak, ia berkata juga kepada Suto Sinting walau
tanpa memandangi pemuda tampan itu.
"Pemiliknya sangat kukenal. Bintang Neraka adalah senjata andalan Pangeran
Umbardanu."
"Oh, ya... aku pernah mendengar nama Pangeran
Umbardanu," gumam Suto Sinting sambil masih
memandang ke arah sekeliling, ia teringat nama
Pangeran Umbardanu sebagai nama kekasih dari si
Gadis Dungu yang kala itu ikut mengejar-ngejar Gadis Dungu untuk dibunuh.
Dalam penjelasan Indayani, si Gadis Dungu itu, saat Suto Sinting ikut
mengantarkan sampai di kaki Gunung Randu, orang yang bernama Pangeran Umbardanu
itu memang putra seorang sultan di Kesultanan Siliwindu.
Timbulnya peristiwa pengejaran titisan Dewa Pelebur
Teluh itu, Indayani menjadi tahu bahwa Umbardanu
sebenarnya bukan mencintainya, melainkan berusaha
menangkapnya untuk dibunuh. Sebab kala itu Indayani
menjadi bahan buruan para tokoh aliran hitam dan akan dihabisi masa hidupnya
sebelum Gadis Dungu mencapai
usia dua puluh lima tahun.
Dalam kitab kuno yang bernama Kitab Samak Kubur
berisi ramalan-ramalan masa depan para tokoh aliran
hitam disebutkan bahwa titisan Dewa Pelebur Teluh
akan membantai habis para tokoh aliran hitam setelah bocah itu berusia dua puluh
lima tahun. Dan si Gadis Dungu dicurigai sebagai titisan Dewa Pelebur Teluh itu,
sehingga dikejar-kejar oleh para tokoh aliran hitam. Jika Pangeran Umbardanu
ikut ingin melenyapkan si Gadis
Dungu, berarti Pangeran Umbardanu termasuk murid
seorang guru yang beraliran hitam.
"Mengapa Pangeran Umbardanu sekarang
menyerangmu dengan senjata andalannya ini"!" tanya Suto.
Belum sampai Puspa Jingga menjawab pertanyaan
itu, tiba-tiba kilauan benda logam melayang lagi dari arah samping kanan gadis
itu. Gerakannya begitu cepat bagaikan kilasan cahaya perak. Zingg... zingg...!
Pedang yang sudah siap di tangan itu segera
berkelebat menangkisnya dengan gerakan cepat. Tring, tring...! Tubuh gadis itu
melompat ke arah belakang, dan tangkisan pedang itu membuat dua bintang segi
enam itu terpental ke dua arah yang berlawanan. Salah satu benda tersebut
menancap pada sebatang pohon.
Jrrraab...! Pohon itu kepulkan asap dari tempatnya yang
tertancap bintang segi enam. Makin lama asapnya
semakin tebal, menandakan bahwa benda itu mempunyai
racun yang berbahaya. Sementara itu bintang yang masih ada dalam jepitan jari
tangan Suto Sinting itu segera dilemparkan ke arah datangnya dua benda yang
ditangkis Puspa Jingga tadi. Ziiing...!
Zrrraaak...! Benda itu menerabas semak rimbun, lalu
terdengar suara nyaring bagaikan sentuhan logam
dengan besi. Traaang...!
Pohon yang tadi terkena Bintang Neraka itu menjadi
busuk dan seluruh daunnya berguguran. Pohon kekar itu menjadi lumer bagaikan
gedebong pisang yang sebentar lagi membusuk. Sedangkan benda yang dilemparkan
Suto Sinting tadi tidak menampakkan perubahan apa-apa pada dua buah pohon yang
ada di balik semak. Berarti bintang itu tidak mengenai pohon tersebut, tapi
mengenai sesuatu yang menimbulkan suara denting.
"Keluarlah kau dari situ! Aku tahu kau adalah
Pangeran Umbardanu!" seru Puspa Jingga dengan sikap siaga menghadapi serangan
lawan. "Bagaimana kalau ternyata dia bukan Pangeran
Umbardanu"!" bisik Suto Sinting dalam jarak dua langkah di samping kiri gadis
itu. "Senjata yang kau lemparkan tadi sebenarnya
mengenai dadanya, tapi karena kebiasaannya memakai
baju perisai besi, maka ia tidak mengaiami luka apa pun!" balas Puspa Jingga
dalam bisikan pula.
Beberapa saat lamanya mereka hanya menunggu
kemunculan dan serangan berikutnya dari orang di balik semak belukar. Tetapi
ternyata yang ditunggu tak
muncul-muncul juga, sehingga Puspa Jingga kehilangan kesabaran. Kemudian ia
lepaskan pukulan jarak jauhnya dari tangan kiri. Pukulan itu berupa gumpalan
asap merah sebesar buah jeruk. Wuuut...!
Zrrraak...! Bruaaasss...!
Semak belukar rusak, menghambur ke atas bagaikan
diterjang badai pemangkas yang cukup besar. Daun-daun terpotong bagai dipangkas
dengan senjata tajam. Dalam sekejap saja semak belukar itu telah lenyap, tempat
itu menjadi terang seakan siap dipakai untuk jalanan.
"Gila! Kau menyerang musuh atau babat hutan buat jalanan"!" bisik Suto Sinting
dengan nada sedikit kagum
dan geli. Puspa Jingga menjadi jengkel sendiri karena rasa
penasarannya. Orang yang menyerangnya secara
sembunyi-sembunyi itu tidak muncul-muncul juga.
Akhirnya ia berkelebat menerjang semak dan mencari
orang tersebut di sekeliling tempat itu. Suto Sinting melesat ke atas, tubuhnya
dengan sangat ringan
melayang tanpa bersalto dan hinggap di atas sebuah
pohon. Dari sana ia memandang ke arah sekelilingnya, ia melompat dari dahan ke
dahan, dari pohon ke pohon.
Namun ia tak menemukan sesosok bayangan pun selain
bayangan Puspa Jingga sendiri.
"Mungkin ia telah kabur!" seru Suto Sinting sambil meluncur turun dari atas
pohon. Tubuhnya melayang
dengan tenang dan kakinya mendarat ke tanah tanpa
hentakan dan suara apa-apa.
Puspa Jingga yang melihat hal itu hanya membatin,
"Benar-benar tinggi ilmu peringan tubuhnya. Pantas jika Guru merasa kagum dan
bangga terhadap si Pendekar
Mabuk ini. Biar sering minum tuak, tapi matanya tidak kelihatan merah seperti
beberapa orang pemabuk yang
pernah kujumpai di kedai-kedai itu. Namanya saja
Pendekar Mabuk, tapi matanya bening dan teduh,
membuat hatiku sering berdesir indah penuh khayalan
asmara. Ah, lupakan dulu soal kehebatannya itu!"
Puspa Jingga menarik napas dan kecamuk batinnya
pun sirna seketika. Kini ia memandang ke sana-sini,
masih penasaran mencari orang yang menyerangnya dari persembunyian tadi.
"Apakah Pangeran Umbardanu itu seorang
pengecut"!" tanya Suto Sinting seraya mengambil tempat di bawah pohon rindang,
ia berdiri dengan satu tangan bersandar pada batang pohon itu. Bumbung
tuaknya tetap menggantung di pundak, siap
dipergunakan sewaktu-waktu.
"Aku tak tahu apakah Pangeran Umbardanu itu
sebenarnya orang yang punya nyali atau seorang
pengecut. Tapi dari jenis senjatanya tadi aku dapat pastikan bahwa dialah
penyerangnya."
"Apakah kau ada masalah dengan Pangeran
Umbardanu?"
"Dia pernah ingin melamarku. Dia menyatakan
hatinya jatuh cinta padaku. Tapi aku menolaknya secara kasar, sebab aku tahu dia
punya maksud tersembunyi
dari ungkapan cintanya itu."
"Maksud apa kira-kira?"
"Dia mengincar pusaka, dan rahasia pusaka itu ada di tangan guruku. Dia ingin
dapatkan pusaka itu dengan
memperalat diriku."
"Pusaka apa yang dimaksud?"
"Pusaka yang ada dalam makam Resi Dirgantara."
Pendekar Mabuk tertawa kecil. "Kelicikannya selalu gagal. Cinta dipakainya
sebagai jembatan memperoleh
keinginannya. Kurasa lelaki macam dia satu hari bisa jatuh cinta seratus kali.
Agaknya ia cukup berbahaya bagi seorang wanita seperti kau, Puspa Jingga. Untung
kau cukup waspada. Hal yang sama pun pernah dialami
oleh Indayani dan...."
"Indayani..."! Oh, si Gadis Dungu itu maksudmu?"
"Benar. Pangeran Umbardanu mendekati Indayani
dengan bahasa cinta, padahal ia ingin membunuh gadis itu pada saat si gadis
lengah. Namun usahanya gagal, sebelum niatnya tercapai Indayani telah berhasil
diselamatkan oleh gurunya; Nyai Serat Biru."
"Apakah kau punya hubungan dekat dengan
Indayani?" pancing Puspa Jingga dengan nada curiga.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum lebar, tertawa
pelan tanpa suara.
"Hubungan dekatku dengan Indayani bukan untuk
masalah cinta."
"Syukurlah kalau kau tak jatuh cinta kepada Indayani.
Guru pasti akan mengecammu jika kau jatuh cinta pada Indayani, sebab Guru
bermusuhan dengan Nyai Serat
Biru." Suto Sinting membuka tutup bumbung bambu itu,
kemudian beberapa teguk tuak ditenggaknya. Badannya
terasa segar setelah meneguk tuak yang mempunyai
kesaktian sendiri bersama bumbungnya itu.
Puspa Jingga memasukkan pedang ke sarungnya.
Trak...! Lalu ia berkata kepada Pendekar Mabuk yang
baru saja menutup bumbung tuaknya.
"Kurasa Pangeran Umbardanu melapor kepada
gurunya mengenai keberadaanmu bersamaku."
"Siapa guru Pangeran Umbardanu itu?"
"Dupa Dewa, dari Perguruan Serikat Jagal."
"Ooo... pantas dia sampai hati ingin membunuh
Indayani, rupanya rencana itu atas perintah gurunya;
Dupa Dewa yang merasa takut kalau Indayani tetap
hidup sampai usia dua puluh lima tahun."
"Kudengar si Dupa Dewa ingin membalas dendam
padamu. Menurut cerita seorang anak buahnya yang
pernah bertemu denganku, Dupa Dewa menderita luka
parah saat bertarung denganmu. Lukanya sampai
sekarang belum sembuh betul, dan ia menyimpan
dendam pada Pendekar Mabuk."
Suto Sinting hanya tertawa kecil, ia teringat saat
bertarung dengan Dupa Dewa yang membuat Dupa
Dewa terpental akibat hembusan badai yang keluar dari jurus 'Naga Tuak Setan'-
nya itu. Rupanya Dupa Dewa
masih hidup, dan sekarang tentunya sedang persiapkan diri untuk melakukan balas
dendam kepadanya. Tapi
Suto Sinting tak punya rasa takut sedikit pun, bahkan menertawakan dengan
rencana balas dendam itu.
"Aku akan pergi ke makam Resi Dirgantara," ujar Puspa Jingga pelan sekali,
seperti takut didengar orang lain.
"Aku akan mendampingimu. Tapi apakah kau tahu
tempatnya" Bukankah peta menuju ke makam itu telah
direbut oleh Peri Kedung Hantu"!"
"Aku masih ingat patokannya. Mendiang Resi
Dirgantara dimakamkan dalam goa. Goa itu ada di Bukit Batok, letak bukit itu ada
di antara Gunung Sumbar dan anak gunung itu yang bernama Gunung Gempur."
"Kau tahu arah menuju ke Bukit Batok"!"
"Patokan kita adalah Gunung Sumbar yang tinggi dan ada di sebelah timur tempat
ini. Kalau kita sudah
temukan Gunung Sumbar, kita mudah temukan Bukit
Batok. Kalau kau mau mendampingiku, kau harus siap
menghadapi Peri Kedung Hantu, sebab perempuan itu
pasti ke sana."
"Kalau mau bergerak lebih cepat dari Peri Kedung Hantu, kau harus mau kugendong,
karena aku akan
pergunakan jurus 'Gerak Siluman' supaya cepat sampai di sana."
"Bodoh sekali aku kalau sampai merasa keberatan dengan usulmu," ujar Puspa
Jingga dengan senyum indah mekar di bibirnya yang ranum itu.
Baru saja Suto Sinting dekati Puspa Jingga dan ingin menggendongnya, tiba-tiba
dua berkas sinar kuning
sebesar lidi menghantam punggung mereka. Clap,
clap...! Deb, deb...!
"Uhg...! Sssu.... Suto..."!"
Puspa Jingga tersentak dengan tubuh mengejang, lalu
meliuk sebentar dan jatuh terkulai dalam keadaan tak sadarkan diri. Sedangkan
Pendekar Mabuk juga
mengalami hal serupa, tapi ia berusaha untuk bertahan.
Napasnya yang terasa sesak itu dipaksakan untuk disedot dalam-dalam. Tetapi
semakin lama pandangan mata Suto Sinting mulai berkunang-kunang. Tubuh pendekar
tampan itu semakin lemas, dan ia jatuh berlutut dengan kepala mulai tertunduk
lemas. Dalam keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk sempat
melihat sekelebat bayangan yang menyambar tubuh
Puspa Jingga. Sayang sekali yang dapat dilihat Suto
Sinting hanya berupa sekelebat bayangan, tak jelas
seperti apa wajah orang itu dan siapa sebenarnya orang itu.
Pendekar Mabuk pun roboh ke depan saat Puspa
Jingga disambar dan dibawa pergi oleh orang tersebut.
Suto Sinting dibiarkan terkulai di tanah tanpa ada yang mengusiknya lagi.
* * * 3 TEBING terjal berbatu karang mempunyai rongga
menyerupai goa. Di dalam goa Itulah Pendekar Mabuk
sadarkan diri dan terkejut melihat keadaannya terkapar di atas batu datar
setinggi lutut. Batu itu seukuran dengan sebuah tempat tidur yang cukup untuk
dua orang. Langit-langit goa yang tinggi adalah sasaran pertama ketika Suto Sinting membuka
matanya. Sebelum ia
bangkit duduk, terlebih dulu dirasakan gerakan urat-urat sekujur tubuhnya. Masih
terasa kaku dan linu, namun
sudah bisa untuk bergerak sebagaimana mestinya.
Pendekar Mabuk pun segera bangkit dan bertanya dalam hati,
"Di mana aku ini"! Hmmm... siapa yang membawaku ke sini"! Bagaimana dengan Puspa
Jingga"!"
Goa itu sangat sunyi, kosong tanpa orang lain. Tapi
melihat tumpukan kayu bakar bekas api unggun, Suto
Sinting yakin bahwa goa ini bukan dihuni oleh dirinya sendiri. Pasti ada
seseorang yang membawanya ke situ.
Beberapa buah kelapa hijau tampak terbelah dan
berserakan di sana-sini, juga beberapa sisa makanan lain, termasuk tempat
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembakaran ikan yang tersisa
tulangnya di sekitar tempat bara.
Bumbung tuak sakti ada di samping batu, bersandar
dalam keadaan berdiri. Pendekar Mabuk cepat ambil
bumbung tuak itu dan menenggak tuak beberapa teguk.
Dalam waktu singkat tubuhnya menjadi segar dan
kekuatannya pulih kembali seperti sediakala.
Turun dari batu datar Suto Sinting melangkah dekati
mulut goa. Oh, ternyata ia berada di lereng tebing dalam kemiringan tegak lurus.
Di bawahnya tampak lautan
bergelombang besar. Jaraknya cukup jauh dari mulut
tebing. Di depan pintu goa yang ternganga lebar itu ada sebidang tanah berbatu,
di sanalah Suto Sinting berdiri dan memandang ke atas. Ternyata jarak antara
mulut goa dengan bagian atas tebing iebih dekat ketimbang jarak ke perairan
laut. "Tempat yang sungguh aman untuk persembunyian.
Hmmm... siapa orang yang menempati goa ini
sebenarnya" Mengapa ia tidak ada di tempat" Tak
kulihat ada manusia di sekitar tebing ini. Ah, sial betul, aku tak bisa menduga-
duga siapa orang yang
membawaku kemari sebenarnya"!"
Akhirnya Pendekar Mabuk putuskan untuk
menunggu di dalam goa sambil sesekali menikmati
tuaknya secara sedikit demi sedikit. Keadaan di dalam goa diperiksanya untuk
menentukan dugaan siapa
penghuni goa tersebut. Goa yang tidak mempunyai jalan
tembus ke mana-mana dan keadaannya tak terlalu dalam itu mendapat sorotan sinar
matahari dari arah timur.
Sinar matahari itu cukup menyegarkan udara di dalam
goa, walau sinarnya tak sampai menembus ke dinding
dasar goa, tapi sinar itu membuat terang goa tersebut, sehingga benda apa pun
yang ada di situ bisa dilihat dengan jelas.
Beberapa saat lamanya Pendekar Mabuk menunggu si
penolong yang membawanya ke goa tersebut. Hatinya
menjadi tak sabar dan ingin segera meninggalkan goa
itu. Tetapi tiba-tiba niatnya terpaksa dibatalkan karena sekelebat bayangan
masuk ke dalam goa saat Suto
Sinting bergegas ingin menuju ke pintu goa. Langkah
murid sinting si Gla Tuak itu pun terhenti dan
pandangan matanya tertuju kepada orang yang baru
datang itu. Orang tersebut pastilah yang membawanya
ke tempat itu dalam keadaan pingsan.
"Sudah sehatkah keadaanmu, Suto"!"
"Rara Santika..."!" gumam Suto Sinting dengan lirih dan bernada kagum.
Perempuan yang rambutnya disanggul dan dihiasi
permata itu sunggingkan senyum manis kepada Suto.
Benak Suto Sinting segera teringat peristiwa saat
bertemu dengan perempuan berusia sekitar dua puluh
delapan tahun yang berwajah cantik, bulat telur,
berhidung mancung, dan bermata indah itu. Jubah satin warna merah jambu menutup
dada montoknya yang
dilapisi kain biru muda sesuai kain bagian bawahnya
membuat Suto Sinting segera mengenali perempuan itu.
Ia mengenal Rara Santika dalam satu peristiwa yang
cukup menegangkan karena perempuan itu mempunyai
saudara kembar beraliran hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gundik Sakti").
"Tak kusangka kaulah orangnya yang membawaku
kemari dalam keadaan aku tidak berdaya," ujar Suto Sinting saat Rara Santika
mendekatinya. "Aku pun tak menyangka sejak perpisahan kita
setelah menghancurkan Goa Tumbal Perawan dulu,
tahu-tahu kujumpa dirimu dalam keadaan terkapar tanpa daya. Kau telah pingsan
selama dua hari, Suto."
"Oh, jadi aku berada di sini sudah dua hari?"
"Lebih tepatnya dua hari tiga malam. Ini hari
ketigamu berada di sini. Kupikir kau tak dapat siuman kembali. Aku sudah
berusaha mengobati dengan tenaga
intiku dan hawa murniku, namun tak mampu
membuatmu sadar. Aku baru saja pergi ke seorang tabib untuk membawanya kemari,
tapi sayang tabib itu tidak ada di tempat."
Perempuan bersenjata kipas gading dengan hiasan
ronce-ronce merah di bagian gagang kipasnya itu
memandangi Suto Sinting dengan sorot pandangan mata
yang ceria dan berbinar-binar. Agaknya ia punya kesan pribadi tersendiri selama
bersama Pendekar Mabuk
dalam usaha menghancurkan Desa Lambung Bumi yang
ada di dalam Goa Tumbal Perawan, bekas tempat
kekuasaan adik kembarnya yang berjuluk si Gundik
Sakti itu. "Siapa orangnya yang bisa membuatmu sampai
pingsan beberapa hari itu, Suto"!" sambil tangan perempuan itu mengusap rambut
Suto Sinting dengan
penuh kelembutan.
"Aku tak tahu siapa orangnya, karena kala itu aku sedang bersama Puspa
Jingga...."
"Maksudmu, si genit murid Nini Kalong itu?"
"Benar, apakah kau kenal dengannya?"
"Aku cukup kenal dengan Nini Kalong dan kedua
murid andalannya; Puspa Jingga dan Syair Kusumi. Tapi hanya sebatas kenal biasa,
tanpa ikatan jasa apa pun.
Yang jelas kami tidak saling bermusuhan."
"Apakah kau juga tahu siapa orang yang membawa
lari Puspa Jingga dalam keadaan tak berdaya itu?"
Rara Santika berkerut dahi. "Jadi, Puspa Jingga dibawa lari oleh seseorang?"
Pendekar Mabuk segera ceritakan masalah
sebenarnya tentang Puspa Jingga. Perempuan itu pun
menanyakan tentang pusaka yang ada di dalam makam
Resi Dirgantara, tapi Suto Sinting tak bisa memberi
penjelasan. "Puspa Jingga sendiri tak mau menyebutkan nama
pusaka tersebut karena takut melanggar larangan dari gurunya," ujar Suto Sinting
sambil duduk di batu tempatnya terbaring tadi.
"Resi Dirgantara semasa hidupnya adalah sahabat dari mendiang ayahku," kata Rara
Santika. "Tapi beliau tidak pernah bicara tentang pusaka miliknya kepada
Ayah. Semasa berusia empat belas tahun, aku pernah
ikut Resi Dirgantara menyeberang ke Pulau Sumbing,
dan dalam perjalanan itu aku dapat mengetahui bahwa
Resi Dirgantara tak pernah punya pusaka. Rasa-rasanya janggal sekali jika ada
kabar yang mengatakan bahwa di dalam makam Resi Dirgantara terdapat sebuah
pusaka." "Apakah Resi Dirgantara tidak mempunyai senjata apa pun?"
"Hmmm... ya, memang punya, tapi menurutnya
bukan pusaka, itu hanya senjata biasa untuk keamanan dirinya."
Suto Sinting terbungkam dalam keadaan merenung.
Kemudian terdengar gumam lirihnya secara samar-
samar, "Jadi untuk apa Nini Kalong membekali muridnya sebuah peta menuju makam Resi
Dirgantara"! Benarkah
Nini Kalong mendapat petunjuk dari dewata bahwa ada
pusaka di dalam makam Resi Dirgantara"!"
"Kurasa itu hanya rekaan Nini Kalong saja. Kalau toh di dalam makam itu ada
pusaka, satu-satunya orang yang tahu persis adalah Nyai Serat Biru. Sebab dia
adalah adik kandung dari Resi Dirgantara."
"Nyai Serat Biru..."!" Pendekar Mabuk kerutkan dahi.
"Aku kenal betul dengan Nyai Serat Biru."
"Tanyakanlah kepada Nyai Serat Biru tentang pusaka itu. Kurasa hanya dialah yang
bisa menjelaskan
mengenai isi makam Resi Dirgantara."
Untuk memperjelas keadaan yang sebenarnya,
Pendekar Mabuk merasa perlu menemui Nyai Serat Biru
yang sedang mengasingkan diri di puncak Gunung
Randu yang bersama muridnya: Indayani, si Gadis
Dungu. Ketika hal itu dikemukakan oleh Suto, Rara Santika menampakkan wajah
kurang setuju dan serba
salah. "Sebenarnya aku tak suka dengan Indayani yang
sombong itu," ujarnya kepada Suto Sinting. "Aku sering cekcok mulut dengan murid
Bibi Serat Biru. Jika tidak memandang Bibi Serat Biru termasuk sahabat mendiang
ayahku, sudah kuhancurkan mulut si Gadis Dungu itu."
Suto Sinting tertawa pendek. "Apakah ia pernah bikin persoalan denganmu?"
"Memang tidak, tapi aku tak betah mendengar kata-katanya. Hatiku cepat panas
jika ia berbicara muluk-
muluk." "Kendalikan saja hatimu, jangan terpengaruh oleh sifatnya yang memang sudah
begitu adanya. Setiap
orang mempunyai pembawaan pribadi sejak kecil. Kau
harus bisa berlapang dada dan memaklumi pembawaan
tiap pribadi manusia."
Rara Santika diam termenung, semantara itu Suto
Sinting sudah berada di ambang mulut goa. Ia
memandang ke arah lautan lepas. Sejenak kemudian
berpaling menatap Rara Santika dan bertanya dengan
suara merdunya.
"Aku akan berangkat ke puncak Gunung Randu
menemui Nyai Serat Biru. Bagaimana dengan dirimu"
Apakah mau ikut ke sana atau tidak?"
Rara Santika tarik napas dalam-dalam, ia memandang
Suto Sinting dengan hati diliputi kebimbangan. Setelah dua helaan napas ia
bangkit dan mendekati Suto Sinting.
"Baik, aku akan ikut ke Gunung Randu. Tapi dengan satu syarat yang harus kau
penuhi." "Syarat apa?" seraya Suto Sinting sunggingkan senyum tipis.
"Jangan terlalu dekat dengan Indayani!"
"Mengapa jika aku terlalu dekat dengannya?"
"Aku bisa benci padamu, karena kuanggap kau ikut-ikutan menjadi manusia
sombong." Tawa pelan mirip suara menggumam itu
berkepanjangan. Rara Santika menjadi tersipu malu dan salah tingkah sendiri.
Pendekar Mabuk segera meraih
kedua pundak perempuan itu dan menghadapkan ke
arahnya. Wajah cantik yang sudah cukup dewasa itu
dipandanginya beberapa saat dalam hiasan senyum yang menawan.
"Baiklah, akan kuturuti saranmu itu. Tapi kau tidak boleh mudah cemburu jika aku
bicara padanya."
"Siapa yang cemburu"!" Rara Santika bersungut-sungut, Pendekar Mabuk tertawa
geli. Mereka berdua segera melesat menuju Gunung
Randu. Mereka bergerak ke arah selatan dari tebing
curam itu. Namun baru mendapat beberapa langkah
terpaksa harus berhenti karena kehadiran seseorang yang tahu-tahu menghadang di
depan mereka. Jleeg...! Orang tersebut bagaikan hantu yang muncul dari
alam gaib. Tahu-tahu ada di depan mereka dan
mengejutkan Rara Santika. Mata tajam Pendekar Mabuk
mulai memandangi sosok orang yang berdiri
menghadang langkahnya itu, namun sikapnya masih
tampak tenang dan tak menunjukkan keheranan sedikit
pun. Keheranan itu hanya dipendam dalam hati, karena Suto merasa baru sekarang
berjumpa dengan orang
tersebut. "Kau kenal dengannya?" bisik Suto Sinting kepada Rara Santika.
"Aku tak pernah jumpa dengannya," jawab Rara Santika dengan mata tetap tertuju
pada seorang pemuda berusia sebaya dengan Suto Sinting. Pemuda itu
mengenakan pakaian hijau berhias benang emas dengan
celananya yang berwarna sama pula. Rambutnya
panjang sebatas punggung dengan kepala mengenakan
ikat dari logam emas berhias butiran permata kecil.
Tangan kirinya menggenggam pedang bersarung kuning
emas dengan ukiran indah.
"Dilihat dari pedang dan pakaiannya, agaknya
pemuda itu bukan dari golongan masyarakat biasa!"
bisik Suto Sinting.
Rara Santika memperhatikan rompi perunggu yang
dikenakan pemuda itu dalam keadaan rapat. Rompi itu berukir dan tampak tebal
sekali. Agaknya rompi itu
berguna sebagai pelindung dada dari serangan senjata tajam dan sejenisnya.
Rara Santika segera menyapa dengan sikap tak
ramah, "Siapa kau sebenarnya, dan apa perlumu
menghadang langkah kami"!"
"Aku ingin bicara dengan pemuda sinting itu!"
jawabnya sambil menuding Pendekar Mabuk.
Pemuda berkumis tipis dengan ketampanan yang
berkesan licik itu diperhatikan Suto Sinting tanpa
berkesip. Di bibir Suto masih ada seulas senyum tipis sebagai kesan menyepelekan
kewibawaan pemuda
tersebut. Suto Sinting sengaja tidak bicara, sehingga Rara Santika mewakilinya.
"Ada perlu apa kau ingin bicara dengan sahabatku ini"!"
"Kulihat tadi dia bersama kekasihku; Puspa Jingga!"
"O.... jadi kau yang bernama Pangeran Umbardanu"!"
sahut Suto Sinting segera dapat menyimpulkan siapa
pemuda itu. "Kalau kau sudah tahu siapa aku, sekarang kau harus memberi tahu di mana
kekasihku; Puspa Jingga itu"!"
"Kalau dia kekasihmu, tentunya kau tidak akan
menyerangnya dengan senjata Bintang Neraka-mu,
Pangeran!" kata Suto Sinting tak kalah ketus.
Senyumnya justru dibuat sinis dan memancing
kejengkelan Pangeran Umbardanu.
"Aku tadi ingin membunuhmu, bukan membunuh
Puspa Jingga."
"Arahnya jelas kepada Puspa Jingga, bukan
kepadaku. Kau punya kemarahan kepada Puspa Jingga
karena tak mau menerima cintamu, bukan"!"
"Persetan dengan cinta! Sekarang yang kuminta
darimu adalah sebuah peta! Kudengar Puspa Jingga yang membawa sebuah peta dari
gurunya untuk menuju ke
makam Resi Dirgantara. Aku yakin peta itu sekarang
sudah berpindah ke tanganmu karena kulihat kau pandai
membujuk hati wanita!"
Pendekar Mabuk kian sunggingkan senyum bernada
sinis. "Kau tak akan mendapatkan apa-apa dariku, Pangeran Umbardanu! Aku bukan
pria sepertimu;
mendekati wanita untuk maksud kelicikan pribadi! Sama halnya kala kau mendekati
Indayani dan berlagak jatuh cinta...."
"Tutup mulutmu!" sentak Pangeran Umbardanu sambil tangannya mulai memegang
gagang pedangnya.
"Kucabik-cabik tubuhmu kalau tak segera serahkan peta itu!"
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, kau mencabik-cabik dia"! Kalau begitu ada
baiknya kau hadapi dulu aku, Umbardanu!" ujar Rara Santika dengan sikap
menantang tanpa rasa takut sedikit pun.
"Perempuan lacur kau! Jangan berlagak menjadi
pelindung pemuda ingusan macam dia! Menyingkirlah
dari hadapanku!"
"Dapatkah kau memaksaku untuk menyingkir dari
tempatku"!"
"Keparat! Rupanya kau belum tahu siapa Pangeran Umbardanu ini, hah"!
Hiaaaat...!"
Srang...! Pedang dicabut dari sarungnya dan Pangeran Umbardanu lompat ke depan.
Wuuut...! Tangan bersenjata pedang terangkat ke atas, siap
menebaskan pedang tersebut ke kepala Rara Santika.
Namun tubuh Rara Santika segera bergerak cepat, ia
bersalto ke belakang sambil salah satu kakinya
menendang pergelangan tangan Pangeran Umbardanu.
Wuuut...! Deess...!
"Aaauuh...!" Pangeran Umbardanu terpekik menahan sakit. Pedang yang ada di
tangannya itu terlepas dan terpental. Sementara itu Rara Santika sudah berdiri
tegak kembali dengan kaki sedikit merenggang dan merendah, siap hadapi serangan
lawannya. Namun sang lawan
agaknya tidak cepat bergerak akibat menahan rasa sakit pada tulang tangannya.
"Setan kurap! Tendangannya mematahkan tulang
tanganku! Uuh...! Sakitnya bukan main. Pasti ia salurkan tenaga salju ke dalam
tendangannya hingga seluruh
darahku teraaa dingin sekali! Hmmm... agaknya aku
harus gunakan Bintang Neraka untuk membunuh
perempuan keparat itu!"
Pangeran Umbardanu menggeram-geram sambil
bergerak membuka jurus baru. Sementara itu, Suto
Sinting hanya senyum-senyum saja dari tempat
berdirinya di dekat gerumbulan semak belukar. Matanya memperhatikan Pangeran
Umbardanu dengan sikap
mencemooh ilmu putra sultan itu.
Zub, zub, zub...! Tiba-tiba tiga keping logam melesat dari tangan Pangeran
Umbardanu yang bergerak
melemparkan benda itu dengan gerakan cepat.
Sepertinya ia mengambil benda berbentuk bintang segi enam itu dari balik rompi
perunggunya. Tiga benda yang melayang ke arah Rara Santika itu
sengaja tidak dihindari. Namun tangan Rara Santika
dengan cepat menyambar senjata kipas gadingnya yang sejak tadi tertutup kain
jubahnya. Suut...! Kipas gading
itu pun dibentangkan di depan dada. Bred...!
Jub, jub, jub...! Tiga keping bintang bersegi enam
menancap pada kipas gading bagaikan besi semberani.
Kipas itu segera dikibaskan ke depan, weesss...! Dan tiga keping senjata rahasia
itu melesat ke arah Pangeran
Umbardanu. Zing, zing, zing...!
"Heaaah...!" pekik Pangeran Umbardanu sambil lakukan lompatan bersalto ke
belakang. Senjata rahasia yang memburu balik ke arahnya itu melesat ke tempat
kosong dan akhirnya ketiga senjata itu menancap pada tiga batang pohon. Jrab,
jrab, jrab...! Pohon yang segera menjadi layu itu tidak dihiraukan
oleh mereka. Pangeran Umbardanu masih penasaran
untuk lakukan serangan beruntun kepada Rara Santika.
Sebuah tendangaan berputar bagaikan kipas dilancarkan dengan cepat. Wut, wut
wut, wut...! Kaki kekar itu melayang bagai ingin membabat
kepala Rara Santika. Namun perempuan itu
menghindarinya dengan meliuk-liukkan kepala dan
punggung hingga lolos dari tendangan putar beruntun
tersebut. Hanya saja, pada saat tendangan Pangeran
Umbardanu berubah menjadi menyodok lurus ke depan,
Rara Santika hampir saja terkena tendangan tersebut di bagian wajahnya. Untung
tangan kirinya segera
berkelebat dan telapak tangan itu menahan tendangan
yang menggunakan ujung kaki itu.
Dees...! Kipas segera mengatup. Taab...! Kemudian ujung
kipas disodokkan ke mata kaki Pangeran Umbardanu.
Duuhg...! "Aaaauuww...!" Pangeran Umbardanu menjerit keras karena mata kaki kanannya remuk
seketika itu juga. Ia tak bisa berdiri dengan menggunakan kaki kanannya, ia
terlonjak-lonjak ke belakang menggunakan kaki kiri,
sementara tangannya memegangi kaki kanannya.
"Bangsat kau, Perempuan Iblis!!" teriaknya penuh murka.
Rara Santika hanya sunggingkan senyum sinis sambil
berdiri dengan tangan memegangi kipas terangkat ke
atas. Kipas itu sendiri masih dalam keadaan tertutup.
Matanya memandang tajam tak berkedip.
"Terpaksa kuhancurkan tubuhmu yang kotor itu,
Jahanam! Heeeaah...!"
Pangeran Umbardanu sentakkan kedua tangannya.
Wuuut...! Dari kedua tangan itu meluncur dua larik sinar biru sebesar gagang
pedang. Wuuut, wuuut...!
Rara Santika segera membuka kipasnya. Breed...!
Lalu dikibaskan dari atas ke bawah, dan ke atas lagi.
Wuus, wees...! Sinar biru menghantam tanah. Blaaarr...! Tanah
menjadi retak, tubuh Pangeran Umbardanu hampir
terperosok masuk ke dalam belahan tanah. Namun
sebelum ia terperosok, angin badai berhembus sangat
cepat dan kencang. Wuuusss...!
Cahaya petir biru kemerahan memercik dari tepian
kipas sebanyak tiga larik dan saling bertebaran
menghantam tubuh Pangeran Umbardanu. Trat, trat,
trat...! Sayang sekali tubuh itu telah terbang dihempaskan angin badai yang dahsyat.
Sinar petir itu menghantam beberapa pohon yang ikut jebol dan terbang karena
angin badai dari kipas Rara Santika itu.
Duaaar, blegaaarrr...!
Gleeeerrrr...! Suara gemuruh bagai langit roboh terdengar
menggema panjang. Alam menjadi porak-poranda.
Pohon-pohon dijungkirbalikkan oleh angin badai dari
kipas Rara Santika. Tempat itu bagai dilanda bencana alam. Tanah yang terbelah
akibat sinar birunya Pangeran Umbardanu tadi menjadi kian retak dan bergetar
hebat. Bahkan keretakan tanah terjadi di sana-sini, terutama pada bekas pohon yang
tumbang dan jebol bersama
akarnya. Pendekar Mabuk hanya bisa tertegun bengong
menyaksikan kehebatan kipas Rara Santika yang hampir menyerupai kedahsyatan
'Napas Tuak Se-tan'-nya. Jika jurus 'Napas Tuak Setan' dipergunakan Pendekar
Mabuk, maka langit pun menjadi gaduh, petir menyambar-nyambar dan awan hitam
datang bergulung-gulung.
Kali ini awan hitam juga datang bergulung-gulung
walau tak sebanyak jika 'Napas Tuak Setan' digunakan Suto Sinting. Kilatan
cahaya petir bermunculan dari
gulungan awan hitam di langit, alam dibuat semakin
gaduh oleh gelegar guntur yang bersahutan.
"Dahsyat juga kipas itu"! Dalam sekejap saja hutan ini menjadi bersih bagai
ladang tanpa tanaman"!" pikir Suto Sinting sambil pandangi tumpukan pohon yang
menggunung di kejauhan sana. Di antara tumpukan
pohon itu, terdapat tubuh Pangeran Umbardanu yang tak jelas apakah masih hidup
atau sudah tak bernyawa.
Rara Santika juga memandang ke arah depannya
yang bersih dan terang karena tanpa pepohonan lagi.
Napasnya ditarik panjang-panjang, kipasnya dikatupkan dan diselipkan ke pinggang
kanan, tertutup jubah merah jambunya.
"Mengapa sampai seperti itu kau melawannya"
Mestinya tak perlu sampai merusak alam," ujar Suto Sinting yang melangkah
mendekatinya. "Tanggung," jawab Rara Santika dengan datar. "Dia tak akan berani menantangmu
sembarangan lagi. Itu
baru melawanku, belum melawanmu! Kurasa ia akan
cepat menjadi mayat jika melawanmu."
"Kalau dia sampai tewas, berarti kita akan berurusan dengan Perguruan Serikat
Jagal dan orang-orang dari
Kesultanan Siliwindu."
"Akan kugulung habis mereka jika masih coba-coba membalas dendam padamu."
Pendekar Mabuk diam saja, tapi hatinya membatin,
"Begitu marahnya ia melihat diriku ditantang orang"
Apa arti sikapnya ini"! Seakan ia tak ingin orang lain menyinggung perasaanku
sedikit pun. Jika begitu ia akan murka jika melihat orang lain melukai tubuhku
walau segores pun"! Apa benar ia punya sikap seperti itu"!"
Rara Santika berkata dengan tegas, "Lanjutkan
langkah kita! Jangan bertindak jika ada yang ingin
berkurang ajar padamu. Biar aku yang bertindak
memberi pelajaran pada mereka! Jika perlu akan
kuhentikan masa hidupnya siapa pun juga orangnya
yang menantangmu dengan gegabah!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil menyimpan rasa geli
dan bangga hati. Ia nyaris tertinggal karena Rara Santika melangkah lebih dulu.
Sambil menyusul langkah Rara
Santika hati Pendekar Mabuk pun berkata pada diri
sendiri, "Pembelaannya itu jelas mempunyai maksud tertentu yang amat pribadi. Maukah ia
menjelaskannya jika
kutanya maksud pembelaannya ini"!"
* * * 4 DALAM perjalanan menuju Gunung Randu, tiba-tiba
Pendekar Mabuk tersentak oleh ingatan tentang Puspa
Jingga. Langkahnya terhenti seketika, membuat Rara
Santika memandanginya dengan dahi berkerut merasa
heran. "Ada apa, Suto?" tegurnya pelan.
"Puspa Jingga," jawab Suto Sinting dari wajah menunduk jadi terangkat memandang
Rara Santika. "Kenapa dengan Puspa Jingga?"
"Siapa yang membawa lari Puspa Jingga pada saat kami sama-sama pingsan?"
"Mengapa baru sekarang kau berpikir begitu?"
"Karena kusangka Pangeran Umbardanu yang
membawa lari Puspa Jingga. Ternyata bukan dia, dan
bukan Pangeran Umbardanu juga yang menghantam
kami dari belakang hingga tak sadarkan diri itu."
Setelah diam sebentar, Rara Santika ajukan tanya
kembali dengan nada sedikit meremehkan,
"Apakah hilangnya Puspa Jingga adalah hal yang
amat penting bagimu, Pendekar Mabuk"! Apakah ia
dalam tanggung jawabmu"!"
"Memang tidak dalam tanggung jawabku. Tetapi
hilangnya Puspa Jingga melibatkan diriku, sebab akulah yang saat itu ada
bersamanya. Aku pula yang terkena
serangan dari orang yang membawa pergi Puspa Jingga
itu." "Mungkin orang itu adalah Nini Kalong sendiri."
"Tidak mungkin," sangkal Pendekar Mabuk. "Nini Kalong sedang bertapa gantung.
Karenanya ia tugaskan Puspa Jingga untuk mengambil pusaka di dalam makam
Resi Dirgantara."
"Tak bisakah kau melupakan Puspa Jingga?"
"Tak bisa, Rara. Setidaknya aku juga ingin tahu siapa orang yang menyerangku
dari belakang itu!"
Rara Santika menarik napas panjang lalu
menghembuskannya lepas-lepas. Pandangan matanya
dialihkan ke arah lain. Perempuan itu tampak
sembunyikan kedongkolan dalam hatinya. Rasa tak suka melihat Suto Sinting
terlalu peduli dengan perempuan lain membuat Rara Santika menjauh tiga langkah,
seakan sedang memandangi alam sekeliling mereka.
Pada saat itulah Rara Santika melihat sekelebat
bayangan melintas di sela-sela pepohonan seberang.
Pandangan matanya berubah menjadi tajam seketika.
"Suto, ada orang di seberang sana!" ucapnya pelan, tapi sampai juga di telinga
murid si Gila Tuak itu.
Pandangan mata Pendekar Mabuk pun segera mengarah
ke tempat yang diperhatikan Rara Santika.
"Benar apa katamu. Tapi agaknya ia orang berilmu tinggi. Gerakannya sangat cepat
dan hampir-hampir tak bisa dilihat oleh mata kepala kita."
"Tapi ia tidak tahu kalau kita ada di sini."
"Mungkin tahu, tapi tak mau peduli dengan diri kita.
Aku jadi penasaran dan ingin menguntitnya."
"Jangan, Suto! Tak perlu kita...."
Zlaaap...! "Sutooo..."!" panggil Rara Santika, tetapi Pendekar Mabuk telah lenyap bagai
ditelan bumi. Ia melesat
dengan kecepatan lebih tinggi dari bayangan yang
berkelebat di hutan seberang mereka itu. Mau tak mau Rara Santika mengikuti
gerakan Suto Sinting dengan
gerutuan tak jelas.
Orang yang diikuti Suto Sinting itu akhirnya berhenti di balik pohon besar yang
berongga mirip goa. Ia
bersembunyi di sana, tapi Suto Sinting melihatnya dan segera menghampiri orang
itu. Wuuut...! Zeeb...! Tahu-tahu Suto Sinting sudah berdiri di depan mulut
rongga pohon besar itu dalam jarak empat langkah. Orang yang bersembunyi itu
terkejut hingga memekik tertahan.
"Hahh..."!" matanya mendelik memancarkan
perasaan takutnya.
"Resi Pakar Pantun..."!" sapa Suto Sinting dengan
terheran-heran.
"Oooh... syukurlah. Akhirnya kutemukan juga
dirimu, Suto Sinting," ujar orang tua berpakaian abu-abu dalam potongan pakaian
biarawan. Tokoh ini sudah
tidak asing lagi bagi Suto Sinting, karena belakangan Suto Sinting memang banyak
terlibat masalah yang ada hubungannya dengan Resi Pakar Pantun, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Sabuk Gempur
Jagat"). "Kau tampak ketakutan sekali, Resi Pakar Pantun.
Apa yang terjadi pada dirimu"!"
"Ikan teri makanan perkutut,
ketan wajik makanan hewan.
Aku lari bukan karena takut,
tapi jijik berhadapan dengan lawan."
Sang Resi pun langsung berpantun, karena memang
ia gemar bermain pantun. Suto Sinting hanya
sunggingkan senyum tipis setelah mendengar arti pantun sang Resi. Orang tua
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjenggot putih agak gemuk itu keluar dari rongga pohon, matanya memandang ke
sana-sini dengan rasa waswas.
"Siapa lawan yang mengejarmu itu. Resi?" tanya Suto Sinting menahan geli melihat
wajah tua berusia delapan puluh tahun itu sangat lucu jika dalam ketakutan
begitu. "Lawanku kali ini bukan lawan sembarangan, Suto.
Aku... aku benar-benar jijik berhadapan dengan lawanku itu."
"Bukankah beberapa waktu yang lalu, kala kita
berpisah, kau pergi ke negeri Bumiloka untuk membantu
muridmu; Kertapaksi, yang sedang diserang oleh Ratu
Sangkar Mesum"!"
"Benar. Itu benar sekali!" jawabnya penuh semangat Sang Resi pun ingat masa
perpisahannya dengan
Pendekar Mabuk beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Gundik Sakti").
"Lalu, bagaimana hasilnya" Apakah kau tak bisa
menyelamatkan negeri muridmu itu"!"
"Bukan aku tak mampu menyelamatkan muridku, tapi justru sekarang pihak Ratu
Sangkar Mesum berbalik
memusuhiku."
"Lalu, kau lari dari pertarungan dengan Ratu Sangkar Mesum itu?" desak Suto
Sinting, tapi sang Resi agaknya tak mau dikecam begitu saja. Ia mulai berpantun
kembali. "Ikan teri main garukan dengan kuku,
memancing ikan di gayung adalah sia-sia.
Lari dari pertarungan adalah tabu bagiku,
tapi menghindari maut adalah kewajiban tiap
manusia." Suto Sinting tertawa-tawa kecil dan berkata, "Bilang saja kau takut menghadapi
Ratu Sangkar Mesum!"
"Ikan teri kalau berenang baunya kecut,
orang disunat susah dicabut
Bukan perempuan itu yang membuatku takut,
tapi mayat hidup yang bikin aku kalang kabut."
Dahi pemuda tampan itu mulai berkerut dan
menggumam lirih, "Mayat hidup..."!" '
"Ratu Sangkar Mesum kerahkan pasukan mayat
hidup, ia membangkitkan beberapa mayat dari dalam
kubur untuk menyerangku. Padahal aku paling jijik
dengan mayat. Salah satu mayat ada yang mengejarku
dan sukar kuhancurkan dengan tenaga dalamku. Padahal semasa hidup mayat itu aku
sangat kenal dengannya."
"Mayat siapa yang kau maksudkan itu, Resi?"
"Mayat sahabatku sendiri; mendiang Resi
Dirgantara!"
"Hahh..."!" Pendekar Mabuk tersentak kaget dan matanya mendelik lebar.
"Baru kuceritakan kebangkitannya saja kau sudah kaget dan menjadi takut, apalagi
jika berhadapan dengan mayat itu!" ujar sang Resi salah duga.
"Ja... jadi mayat Resi Dirgantara dibangkitkan oleh Ratu Sangkar Mesum" Oh,
kalau begitu kuburan sang
Resi Dirgantara menjadi rusak"!"
"Ceritanya begini," kata Resi Pakar Pantun berlagak tenang dalam memberi
penjelasan. Padahal hatinya
penuh kecemasan karena takut tertangkap pengejarnya.
"Aku berhasil melumpuhkan anak buah Ratu Sangkar Mesum. Rupanya perempuan itu
menjadi murka, kami
adu kesaktian, ia keteter melawanku, lalu memanggil
Dewi Geladak Ayu...."
"Maksudmu, si bajak laut wanita itu"!"
"Benar. Menghadapi si bajak laut wanita itu aku menjadi terdesak, lalu segera
larikan diri untuk mencuri kesempatan memukul kelemahan si Dewi Geladak Ayu.
Namun ternyata siasat lariku itu justru dikejar oleh Ratu Sangkar Mesum. Mayat-
mayat dibangkitkan dari kubur
untuk ikut mengejarku. Para mayat itu bisa kuhancurkan, tapi ada satu mayat yang
susah kulawan; selain tak tega juga sukar dihancurkan. Mayat itu adalah mayat
mendiang sahabatku; Resi Dirgantara."
"Apakah kau berlari ke arah Bukit Batok?"
"Benar, aku berlari ke arah sana tanpa kusadari. Dan ketika melewati makam Resi
Dirgantara, tahu-tahu goa itu jebol, mayat sahabatku yang sudah berpuluh-puluh
tahun dimakamkan itu bangkit menyerangku dan, hiiii...!
Ngeri!" sang Resi bergidik. Matanya melirik ke kanan kiri dengan tegang.
Pendekar Mabuk menjadi kian geli melihat tokoh tua yang terkenal sakti itu
dicekam perasaan takut yang bukan sekadar main-main.
"Lalu... di mana pelayanmu si Kadal Ginting itu, Resi"!"
"Wah, tak tahu bagaimana nasibnya anak itu! Dia lari ngibrit tunggang langgang
begitu serangan mayat
pertama datang. Sejak itu kami berpisah dan saling tidak mengetahui nasib
masing-masing," jawab sang Resi yang bernada menggelikan bagi Suto Sinting.
"Seorang Resi berilmu tinggi kok takut sama
mayat"!"
"Kalau mayat mati aku tak takut, tapi kalau mayat hidup aku memang takut. Aku tak pernah berurusan
dengan mayat hidup, sejak kecil sampai setua ini!"
"Padahal dirimu sendiri sebenarnya mayat hidup, Resi."
"Ah, bercanda kau!" sang Resi melirik bersungut-sungut.
Kitab Pusaka 7 Mustika Lidah Naga 6 Harpa Iblis Jari Sakti 33
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 LANGKAH si tampan Pendekar Mabuk terpaksa
berhenti ketika ia mendengar suara aneh yang
mencurigakan. Suara itu datang dari hutan sebelah
kirinya yang penuh dengan semak belukar. Daun-daun
ilalang tumbuh subur dalam ketinggian melebihi tubuh manusia dewasa. Dari dalam
semak belukar itulah suara mirip orang merintih terputus-putus terdengar
menembus kelebatan semak.
"Ada yang terluka di sana"!" pikir Suto Sinting dalam keraguan. "Suara orang
merintih karena luka, atau suara orang yang merintih karena nikmat"!"
Telinga si murid sinting Gila Tuak itu dipertajam
lagi. Suara rintihan yang terdengar samar-samar karena jaraknya agak jauh itu
terdengar semakin meragukan
bayangan yang ada dalam benak Suto Sinting.
"Uh, aah... aduh, aduh, aaah... uuuh... ooh, oh, oh...."
Hati pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa
ikat kepala itu mulai membatin lagi sambil dahi tetap berkerut tajam.
"Suara itu jelas suara perempuan. Tapi perempuan tua atau muda, ya"! Hmmm...
jangan-jangan perempuan itu sedang bercumbu" Tapi mengapa suara lawan jenisnya
tidak terdengar" Apakah ia bercumbu dengan lelaki
bisu" Ah, sialan! Jantungku jadi berdebar-debar begini.
Sebaiknya kutinggalkan saja suara itu."
Namun rasa penasaran yang mudah terpancing dalam
hati Suto Sinting, tak mungkin mampu membuatnya
pergi begitu saja. Walaupun hati berdebar-debar dan
keringat dingin sempat keluar karena bayangan mesum yang muncul di benaknya,
Suto Sinting akhirnya nekat mendekati suara rintihan seorang wanita itu. Ia
menerabas semak dengan langkah pelan-pelan agar tak menimbulkan bunyi, ia
bermaksud ingin mengintip si
pemilik suara tersebut.
"Ooh... uuuh... ah, ah, ah, aaaahh...," lalu disusul suara napas terengah-engah
seperti orang habis berlari jauh.
Semakin dekat semakin jelas suara napas ngos-
ngosan itu, sehingga kini Pendekar Mabuk pun semakin gemetar dan hati kian
berdebar-debar karena bayangan dalam benak Suto bertambah syur. Tapi kaki tetap
melangkah mendekati suara tersebut dengan batin kian bicara,
"Suaranya merdu, agak serak-serak basah. Sepertinya ia masih muda dan sedang
diburu hasrat cinta yang
menggebu-gebu. Oh, ya... sebaiknya kuintip dari atas pohon saja. Biar
pemandangannya lebih jelas lagi."
Wuuut...! Tubuh kekar berdada bidang itu melesat ke
atas dan hinggap di atas pohon tanpa suara dan gerakan berisik. Itu menandakan
bahwa ilmu peringan tubuh
yang dimiliki Suto Sinting cukup tinggi, sehingga
tubuhnya mampu melayang dan hinggap bagaikan kapas
tanpa beban berat. Tak satu pun daun pohon itu yang
bergerak walau kaki Suto Sinting sempat menginjak
permukaan daun sebelum akhirnya pindah ke sebuah
dahan sebesar lengannya.
"Ya, ampuuun..."!" Pendekar Mabuk lebarkan matanya yang indah itu. Ia terkejut
melihat apa yang dicarinya sejak tadi. "Ternyata aku salah khayal. Ooh...
celaka! Kalau begini caranya aku tak boleh terlalu lama ada di sini. Aku harus
segera turun dan... dan... ah, tapi kalau aku turun dan mendekatinya, ia bisa
salah paham padaku"! Aduh, bingung juga kalau begini"!"
Pemandangan yang diintainya itu adalah
pemandangan segar yang menyedihkan. Seorang gadis
dengan rambut terurai lepas dari ikatannya berdiri di antara dua pohon yang
tumbuh dalam jarak dekat. Gadis itu berwajah cantik, matanya berbulu lantik dan
berbinar-binar indah sekali. Suto Sinting memperkirakan usia gadis itu sekitar
dua puluh dua tahun.
Tubuhnya sekal padat berisi, dengan dada yang
membengkak bagai penuh tantangan yang menggiurkan
setiap lelaki. Keadaan si gadis sangat menyedihkan.
Kedua tangannya diikat dalam keadaan terentang pada
dua pohon di kanan-kirinya. Kakinya juga merentang ke kanan-kiri dalam keadaan
diikatkan pada dua pohon
tersebut. Jelas gadis itu tertawan dan seorang musuh telah mengikatnya
sedemikian rupa hingga mendebarkan hati Pendekar Mabuk.
Hal yang paling mendebarkan si Pendekar Mabuk itu
adalah keadaan gadis itu yang mirip bayi. Ia ditawan sebegitu rupa dalam keadaan
polos tanpa selembar
benang pun. Keadaan itu yang membuat hati Suto
Sinting kian berdebar dan jantungnya menyentak-
nyentak. Sesaat ia seperti terpesona melihat pemandangan di
hadapannya. Gadis itu berkulit kuning langsat, mulus tanpa cacat sedikit pun.
Bentuk tubuhnya sangat indah, tak terlalu kurus, juga tak terlalu gemuk. Sekal,
padat berisi. "Ah, uuhh... eeeh... uuuh...!" suara si gadis mengerang dan mendesah bukan
lantaran menikmati
sentuhan mesra, namun berusaha menarik tangan agar
terlepas dari tali pengikatnya. Sebentar kemudian ia berhenti dan terengah-engah
kelelahan. Bibirnya yang ranum mungil itu digigit sendiri bagai sedang menangis.
Melihat bibir digigit, Suto Sinting semakin menggeram gemas dalam hatinya.
"Apa yang harus kulakukan jika begini?" pikir Pendekar Mabuk dalam kebingungan.
"Kalau kudekati, nanti disangkanya aku ingin
menyaksikan kemulusannya. Kalau dibiarkan saja, oh...
alangkah kasihannya gadis itu"! Agaknya tali yang
dipakai untuk mengikatnya bukan sembarang tali.
Semakin ditarik-tarik semakin mengencang membuat
pergelangan tangan gadis itu menjadi kian terjerat dan kulitnya berubah merah."
Pakaian si gadis tak kelihatan di sana-sini. Senjatanya pun tak ada di sekitar
tempat itu. Timbul pertanyaan di batin Suto Sinting,
"Apakah gadis itu setiap harinya memang polos
begitu ke mana pun ia pergi"! Mengapa tak ada selembar pakaian pun di
sekitarnya" Jika aku berhasil melepaskan ikatannya, lalu apa yang harus
kulakukan"!"
Pendekar Mabuk akhirnya duduk di atas dahan itu
merenungkan langkah yang harus diambil. Renungan itu disertai pandangan mata
tertuju lurus pada si gadis yang malang. Semakin lama merenung semakin hanyut
khyalannya, sehingga yang terbayang dalam benak Suto Sinting bukan mencari cara
melepaskan gadis itu
melainkan bayangan indah dalam menikmati kemulusan
dan keterbukaan gadis cantik bertahi lalat kecil di ujung bibir kirinya Itu.
Lamunan ngeres itu segera lenyap setelah gadis itu
perdengarkan suara walau lirih dan hampir tak terdengar oleh Pendekar Mabuk dari
atas pohon. "Kalau saja ada orang yang datang menolongku, aku akan sangat berterima kasih
padanya. Jika ia perempuan, aku akan mengabdi kepadanya sebagai saudara angkat.
Jika yang menolongku seorang lelaki, seburuk apa pun
wajahnya aku akan bersedia menjadi istrinya dan akan kuturuti apa kemauannya.
Daripada aku harus begini
terus-terusan, lama-lama aku bisa mati nganggur! Oh, Dewaaaaa... kirimkan-lah
seorang penolong bagiku."
Kepala gadis itu akhirnya terkulai menunduk.
Mungkin menangis, tapi tak terlihat air mata meleleh di pipinya. Mungkin hanya
tangis batin yang dapat
dilakukannya. Hati Suto Sinting pun menjadi kian iba melihatnya.
Pendekar Mabuk akhirnya beranikan diri untuk
berseru dari tempatnya. Keberanian itu timbul setelah ia menenggak tuak beberapa
teguk dari bumbung bambu,
tempat tuak yang ke mana pun perginya selalu dibawa-
bawa. "Nona cantik, bolehkah aku datang menolongmu"!"
"Oooh... suara seorang lelaki"!" gadis itu terbelalak kaget sekali, ia mulai
tampak gusar dan panik. Matanya membelalak memandangi arah sekelilingnya dengan
gerakan menggeragap. Jantung gadis itu menyentak-
nyentak cukup kuat karena rasa malu dan bingung
menyadari keadaan dirinya.
"Haruskah kubiarkan seorang lelaki datang
menolongku dalam keadaan tubuhku seperti ini"!" pikir si gadis sambil menyentak-
nyentak tangannya yang
ingin bergerak menutup bagian depan secara naluriah.
Namun tangan itu tetap terjerat tali yang terbuat dari sejenis akar aneh, karena
jika tali itu semakin ditarik jeratannya bukan mengendur melainkan justru
semakin mengencang. "Jawablah pertanyaanku tadi, Nona! Aku akan
menolongmu melepaskan penjerat itu, tapi apakah kau
izinkan diriku untuk mendekatimu?"
"Jangan!" jawabnya seketika itu juga. Tapi ia jadi berpikir lagi dan ragu-ragu
memberi keputusan.
"Eh, tapi... boleh saja kau kemari, eh... anu... jangan, sebab aku dalam
keadaan... tapi, iya... silakan datang asal... asal... asal kau tutup kedua
matamu dan kau tak boleh mengintip sedikit pun. Eh, tapi... anu juga...
begini...."
Tak ada yang jelas kata-katanya. Bagi si tampan
murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu, kata-kata gadis tersebut sangat
membingungkan sehingga ia tak tahu apa yang harus dilakukan, ia diam beberapa
saat memikirkan jalan terbaik.
"Kau... kkau... ada di mana"!" seru gadis itu dengan wajah pucat karena rasa
malu. Bagaimanapun juga ia
tahu bahwa ada seorang lelaki yang telah melihat
keadaannya dari balik persembunyian. Dan kesadaran
itulah yang membuatnya sangat malu hingga kakinya
gemetar. "Nona, aku ingin menolongmu bukan ingin bertindak tak sopan padamu!" seru Suto
lagi. "Bersumpahlah bahwa kau tak akan memandangiku
dengan nakal!"
"Aku... aku tak pernah bersumpah, jadi aku tak bisa bersumpah."
"Ooh...!" gadis itu lemas, karena ia tahu tubuhnya yang polos itu akan menjadi
pusat pandangan mata
seorang lelaki. Alangkah memalukannya jika hal Itu
sampai terjadi, sementara ia belum kenal siapa lelaki itu dan belum tahu seperti
apa wajah si lelaki. Tak heran jika dalam hati gadis itu timbul rasa muak dan
sebal kepada suara lelaki yang didengarnya.
"Tapi aku butuh bantuannya untuk melepaskan tali penjerat ini"! Jika kuturuti
perasaan malu dan muakku, belum tentu ada seorang perempuan yang lewat hutan ini
dan menolongku. Aduh, bagaimana diriku jika sudah
begini"!" ujarnya membatin dengan sangat sedih dan salah tingkah.
"Kau ada di mana, Kang..."!" seru gadis itu memanggil 'kang' karena melalui
suara yang didengar ia dapat menduga bahwa lelaki yang akan menolongnya
belum terlalu tua.
"Aku ada di suatu tempat yang mudah mencapai
tempatmu dalam sekejap!" seru Suto Sinting. Suaranya yang bergema membuat ia
sulit diketahui letak
persembunyiannya.
"Apakah... apakah kau melihat keadaanku dengan
jelas"!"
"Jelas sekali!"
"Gawat!" gumamnya, lalu berseru lagi, "Dari mana kau melihatku saat ini"!"
"Dari arah depanmu, Nona!"
"Mati aku!" ucapnya dalam hati dengan rasa malu semakin menghujam hati dan
membuatnya serba salah.
Kemudian ia berseru kembali dengan suara bergetar
karena menahan perasaan yang bercampur aduk.
"Tutup matamu sekarang juga! Tutup!"
"Baik, sudah kututup mataku saat ini!" seru Suto Sinting dengan mata terbuka
lebar dan tetap memandang ke arah gadis itu melalui celah dedaunan.
"Kau... kau boleh mendekatiku dari belakang. Jangan dari depan!"
"Mengapa dari belakang"!"
"Aku mempunyai jurus 'Ludah Geni'. Jika kau
mendekatiku dari depan, ludahku bisa keluar secara tak sadar dan membakar kulit
tubuhmu!" seru sang gadis, kemudian membatin kata untuk dirinya sendiri,
"Lebih baik kubohongi begitu, biar dia tidak
mendekatiku dari depan. Biarlah dia mendekatiku dari belakang dan melepaskan
tali penjerat ini. Jika sudah terlepas semua, kubunuh pria itu supaya tidak
membayangkan kepolosan tubuhku terus-terusan!
Biarlah aku menjadi jahat satu kali ini saja. Tebusan dosaku akan kuterima
seberat apa pun.'
Hutan menjadi sepi, alam menjadi sunyi. Suara pria
yang diharapkan oleh sang gadis itu terdengar lagi. Sang gadis menjadi bertanya-
tanya dalam hati dengan rasa heran. Matanya masih mencari ke sana-sini, namun
tak ditemukan sesosok tubuh yang mendekatinya dari balik semak mana pun juga.
"Celaka! Jangan-jangan orang itu justru pergi karena mendengar aku mempunyai
jurus 'Ludah Geni' yang
kukatakan tadi" Oh, bodohnya aku ini! Bodoh sekali!
Mestinya biarlah aku menderita malu sebentar, yang
penting aku bisa bebas dari jeratan akar setan ini!
Mestinya aku tak perlu menakut-nakuti dia, sehingga
akhirnya dia pergi tak mau menolongku. Mungkin dia
seorang lelaki pencari kayu atau mengembara tanpa
nyali." Rasa sesal si gadis membuatnya dongkol dan semakin
salah tingkah, ia segera mencoba berseru ke arah depan, karena menurut pengakuan
yang didengar tadi orang
tersebut dapat melihatnya dari arah depan. Perkiraan si gadis mengatakan, bahwa
pria yang berseru itu ada di semak depan, di bawah sebuah pohon besar berdaun
rimbun itu. "Hoii...! Kenapa kau diam saja"! Kau ada di mana, Kang"! Jawablah seruanku ini!
Jangan main-main
denganku, aku bisa mencelakakan dirimu walau kau ada di balik semak-semak.
Jawablah, di mana kau sekarang berada!"
"Aku ada di belakangmu!"
"Oooh..."!" gadis itu memekik kaget. Begitu kagetnya sampai tubuhnya terlonjak
dan tali penjerat-nya kian mengencang, ia ingin berpaling ke belakang, tapi tak
jadi sebab dari suara pelan yang didengarnya tadi ia tahu bahwa si ielaki sudah
ada di belakangnya dalam jarak sekitar dua atau tiga langkah.
"Celaka! Ternyata dia sudah ada di belakangku"!
Mengapa tak kulihat dan tak kudengar gerakannya saat berpindah tempat"!" pikir
si gadis dengan jantung kian menyentak-nyentak kuat. Ia tak tahu bahwa Suto
Sinting mampu bergerak cepat bagai sekelebat bayangan
dihembus badai karena mempunyai jurus yang bernama
'Gerak Siluman', di mana kecepatan geraknya itu
melebihi kecepatan anak panah yang melesat dari
busurnya. Suto Sinting memang ada di belakang gadis itu. Tapi
ia terpaku di tempat memandangi tubuh si gadis yang
mulus dengan keringat berbintik-bintik di permukaan
kulit halusnya itu. Pendekar Mabuk memandang penuh
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasa kagum dan hati berdebar-debar diburu hasrat ingin memeluknya. Namun hasrat
itu segera dikuasai dengan
tarikan napas pelan-pelan. Tetapi mata si tampan itu tak bisa berkedip memandang
kesekalan tubuh polos di
depannya. "Pantatnya montok sekali!" gumam hati Suto Sinting dengan jari bergerak-gerak
bagai Ingin meremas gemas.
Sesuatu yang lebih menarik lagi bagi mata bening
Pendekar Mabuk adalah sebuah tato yang ada di
punggung gadis itu. Pada punggung dekat pundak kiri
gadis itu ada tato bergambar setangkai bunga mawar
warna Jingga. Tato itu tidak seberapa besar namun
tampak indah dan mempunyai nilai seni cukup tinggi.
Tato itu menyimbulkan bahwa si gadis bukan wanita
yang cengeng dan penakut, bahkan mungkin tubuhnya
sudah terbiasa menerima sentuhan yang menyakitkan,
sehingga ia berani ditato dengan jarum dan getah
pewarna pada kulit punggungnya.
"Hei, mengapa diam saja di belakangku, Setan!"
sentak si gadis mulai berang karena sejak tadi Pendekar Mabuk tak berbuat apa-
apa. Gadis itu menjadi risi
dipandangi dari belakang.
"Apakah namamu, Mawar Jingga?" tanya Suto
Sinting setelah maju selangkah lagi. Suaranya makin
dekat, hingga si gadis merasa merinding menerima
hembusan napas dari mulut dan hidung Suto Sinting saat bicara tadi.
"Tak perlu tanya soal nama!" ketus si gadis dengan jengkel. "Lepaskan dulu
ikatanku baru kita bicara soal nama!" ujarnya dengan tetap tak berani memandang
ke belakang. Pendekar Mabuk tertawa kecil, hati gadis itu kian
dongkol. "Lakukanlah sekarang juga, Tolol!" bentak si gadis tak sabar lagi.
Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Tuak tidak
ditelan semua, namun sebagian disimpan di mulut.
Kemudian tuak itu disemburkan ke tali pengikat pada
tangan kanan si gadis. Brruss...!
Laaap...! Brrusssh...! Semburan berikutnya pada tali pengikat
di tangan kiri si gadis. Laaap...!
Si gadis terbengong melompong di tempat. Hampir-
hampir ia tak sadar bahwa tali dan kakinya sudah tidak terikat lagi. Hal yang
membuatnya tertegun di tempat adalah keanehan yang dilihatnya dengan mata kepala
sendiri. Dua pohon yang tadi digunakan untuk mengikat tali dan tangannya itu
tiba-tiba lenyap tak berbekas sedikit pun, demikian pula tali pengikat itu
hilang bagaikan ditelan angin.
Si gadis tidak tahu bahwa Suto Sinting mempunyai
jurus 'Sembur Siluman' yang dapat melenyapkan benda
apa pun dengan semburan tuaknya dari mulut. Semburan itu mempunyai kekuatan
sentak tersendiri yang berbeda dengan sentakan napas saat ia pergunakan jurus
'Sembur Husada', yaitu semburan untuk menghilangkan luka pada diri seseorang.
Lenyapnya pohon membuat tali pengikat itu pun
hilang seketika. Kedua tangan dan kaki si gadis kini telah bebas. Namun rasa
heran dan terkagum-kagum
membuatnya masih diam di tempat dengan mulut
melongo dan mata terbelalak tak berkedip.
Brruk...! Gadis itu terkejut karena Suto Sinting
melemparkan baju coklatnya yang tanpa lengan itu. Baju itu jatuh di pundak si
gadis bersamaan suara Suto
Sinting yang berkata dengan nada kalem.
"Pakailah bajuku itu untuk sementara supaya kau tidak masuk angin."
Ucapan itu membuat si gadis sadar bahwa dirinya
dalam keadaan polos. Dengan tetap memunggungi Suto
Sinting, ia mengenakan baju coklat tersebut dan
merapatkan bagian depannya dengan dipegangi dua
tangan. Baju itu panjangnya sampai paha, hingga
menutup bagian yang harus ditutupi di sekitar paha.
Walau tak tertutup sepenuhnya, namun bagian tersebut sudah tak terbuka ngablak
seperti goa tanpa pintu.
Gadis itu pun segera berpaling memandang Suto
Sinting. Deeg...! Hatinya bagai tersentak oleh rasa kaget di luar dugaan.
"Ternyata dia seorang pemuda yang tampan, kekar
dan gagah"! Oh, tak kusangka penolongku seorang
pemuda setampan dia" Kalau begitu, niatku untuk
membunuhnya kuurungkan saja. Tak baik membunuh
orang yang telah menolongku. Lagi pula... tak begitu rugi tubuhku dari tadi
diperhatikan pemuda setampan dia. Kusangka yang memperhatikan tubuhku dari tadi
adalah lelaki bertampang memuakkan!"
Pandangan mata si gadis tertuju pada wajah Suto
Sinting. Kecamuk batinnya segera terhenti karena Suto Sinting mengajaknya bicara
dengan senyum kalem yang
menawan hati. "Di mana pakaianmu, Nona?"
"Entahlah. Mungkin dibuang ke tempat jauh oleh si iblis itu!"
"Siapa yang memperlakukan dirimu sedemikian
memalukannya"!"
"Peri Kedung Hantu!"
"Ooh... dia"!"
"Apakah kau kenal dengannya"!" si gadis agak curiga karena Suto Sinting manggut-
manggut. "Aku kenal hanya sepintas, ia pernah bertarung
denganku dan kutinggalkan dalam keadaan luka," jawab Suto Sinting lalu
membayangkan pertarungannya
dengan Peri Kedung Hantu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Titisan Dewa Pelebur Teluh").
Gadis itu merasa lega setelah tahu bahwa Suto
Sinting ternyata bukan berada di pihak Peri Kedung
Hantu, ia pun menceritakan pertarungannya dengan Peri Kedung Hantu yang
mempunyai nama asli Rumisita itu.
"Dia berhasil menotokku, membuatku lemas tak
berdaya. Aku sempat pingsan beberapa saat. Ketika aku sadar, keadaanku sudah
terikat seperti tadi dan aku tak tahu pakaianku dikemanakan oleh si perempuan
Iblis itu!" "Rumisita memang menyebalkan."
"Hei, kau tahu nama aslinya segala. Siapa kau
sebenarnya?"
"Suto Sinting, itu namaku!"
"Mak... maksudmu... maksudmu kau si Pendekar
Mabuk, muridnya Gila Tuak?"
"Benar, Nona. Bagaimana kau bisa mengenali diriku sampai tahu nama guruku?"
"Aku pernah mendengar cerita dari guruku tentang dirimu."
"Siapa gurumu itu, Nona?"
"Nini Kalong, Penghuni Hutan Rawa Kotek!"
"Oooo...," Suto Sinting manggut-manggut. Ia segera terbayang wajah tua keriput
yang badannya kurus dan
sedikit bungkuk berjubah hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Titisan Dewa Pelebur Teluh").
"Aku kenal dengan gurumu; Nini Kalong. Tapi aku tak kenal siapa muridnya yang
cantik dan meminjam
bajuku ini."
Gadis itu sunggingkan senyum tersipu, menunduk
sejenak, kemudian memandang Suto Sinting lagi dengan bibir ranumnya masih
tersungging senyum indah.
"Namaku adalah Puspita Jingga. Murid kedua dari Nini Kalong setelah Syair
Kusumi." "Pantas kau punya tato bunga mawar jingga."
"Apakah kau suka dengan tatoku itu?"
Pendekar Mabuk yang kini hanya bercelana putih
kusam dengan ikat pinggang kain merah itu hanya
sunggingkan senyum menawan. Senyuman itu membuat
hati Puspa Jingga berdebar-debar bagai digelitik
keindahan. "Aku lebih suka lagi jika kau mau sebutkan apa
alasanmu sehingga kau bertarung dengan Peri Kedung
Hantu"!"
Puspa Jingga masih mendekap diri untuk merapatkan
baju yang dipakainya, ia melangkah ke samping hingga mencapai bawah pohon. Dari
sana ia berkata kepada
Suto Sinting dengan suara sedikit pelan.
"Aku diutus oleh Guru untuk mengambil sebuah
pusaka yang ada di dalam makam Resi Dirgantara. Guru membekaliku selembar denah
tempat makam Resi
Dirgantara. Rupanya percakapanku dengan Guru disadap oleh Peri Kedung Hantu. Di
perjalanan, denah itu
direbutnya. Aku mempertahankan, tapi ilmuku kalah
sakti dengan Peri Kedung Hantu. Denah itu berhasil
direbut dan dibawanya pergi bersama pakaianku."
"Pusaka apa yang ada dalam makam itu"!" tanya Suto Sinting, namun Puspa Jingga
ragu-ragu untuk
mengatakannya. * * * 2 NINI Kalong adalah tokoh beraliran hitam yang kala
itu pernah dilumpuhkan oleh Suto Sinting pada saat ia menyerang si Gadis Dungu.
Tetapi lukanya itu segera
ditolong pula oleh Suto Sinting, hingga si nenek pun akhirnya terselamatkan
jiwanya. Pada saat Suto Sinting bertarung oleh Peri Kedung
Hantu yang merasa tak suka terhadap sikap Suto Sinting dalam mempengaruhi Nini
Kalong, keduanya menjadi
terluka parah setelah adu kesaktian. Namun Suto Sinting segera dilarikan oleh
Nini Kalong dan melalui bantuan Nini Kalong tuak dalam bumbung bambu itu
berhasil diminumkan pada Suto, sehingga luka itu pun sembuh
kembali. Nini Kalong segera meninggalkan Suto Sinting yang
kala itu sedang mengejar si pembawa lari Gadis Dungu yang ternyata adalah Nyai
Serat Biru, guru si Gadis
Dungu itu sendiri. Kepergian Nini Kalong agaknya
mempunyai maksud tersembunyi. Suto Sinting
merasakan nasihatnya kepada Nini Kalong untuk beralih ke aliran putih cukup
mengena di hati nenek tua itu.
Maka ketika Suto Sinting bertemu dengan Puspa
Jingga, gadis itu pun menceritakan diri sang guru yang telah berubah dari tokoh
aliran hitam menjadi tokoh
aliran putih. Namun mengenai pusaka yang diburunya
sejak dulu itu masih tetap merupakan rencana dalam
hidup Nini Kalong.
"Guru tidak ingin pusaka itu jatuh di tangan tokoh aliran hitam, sehingga begitu
mendapat kabar dari
seorang pertapa tentang di mana adanya pusaka tersebut, Guru memerintahkan
diriku untuk mengambil pusaka itu lebih dulu sebelum telanjur diambil dan
dikuasai oleh tokoh aliran hitam," ujar Puspa Jingga sambil mencari pakaiannya.
"Mengapa bukan Nini Kalong sendiri yang
mengambil pusaka itu"!"
"Guru belum selesai lakukan tapa gantung...."
"Tapa gantung..."!" Suto Sinting agak heran.
"Bertapa dengan kaki terikat di atas dan tubuh
berjungkir balik, itu yang dimaksud tapa gantung. Dalam beberapa waktu lagi Guru
akan selesai lakukan tapa
tersebut. Tapi merasa takut jika pusaka itu dimiliki orang lain, maka aku
ditugaskan untuk mengambil pusaka
tersebut."
"Mengapa kau tak mau sebutkan nama pusaka itu
padaku?" "Guru melarangku bicara kepada siapa pun tentang nama pusaka tersebut. Maafkan
aku, aku tak bisa
mengatakannya padamu."
Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi mengingat-
ingat peristiwa pertemuannya dengan Nini Kalong. Kala itu ia bersama Gadis Dungu
yang sekarang mengasingkan diri bersama gurunya; Nyai Serat Biru, di puncak Gunung Randu.
Seingat Suto, waktu itu Indayani si Gadis Dungu pernah sebutkan satu nama pusaka
yang sering menjadi bahan bentrokan antara Nini Kalong
dengan Nyai Serat Biru. Suto Sinting mencoba
mengingat-ingat nama pusaka itu, namun sampai
akhirnya ia menemukan pakaian Puspa Jingga, nama
pusaka itu masih belum bisa diingatnya dengan jelas.
Pakaian gadis itu ditemukan di jalanan bawah bukit
yang tak seberapa tinggi itu. Bahkan senjata Puspa
Jingga berupa pedang bersarung merah dengan
gagangnya yang dlbungkus kain merah itu juga ada tak jauh dari pakaiannya.
Gadis itu segera mengenakan pakaiannya di balik
semak. Kejap berikutnya ia tampil dengan lebih cantik lagi mengenakan pakaian
berlengan komprang warna
ungu tanpa jubah. Pedangnya diselipkan pada ikat
pinggangnya yang terbuat dari kain warna hitam.
Rambutnya yang panjang disanggul sebagian, sisanya
dibiarkan meriap dengan lembut gemulai.
"Kau tampak cantik dan anggun jika mengenakan
pakaian seperti itu," ujar Suto Sinting setelah gadis itu keluar dari semak
belukar, selesai berganti pakaian, ia lemparkan baju coklat Suto Sinting hingga
baju itu jatuh di pundak Suto Sinting.
"Kau justru tampak perkasa jika tanpa baju begitu,"
katanya sambil tersenyum-senyum.
"Kalau aku tanpa baju, kau pasti tak akan bisa pergi mencari pakaianmu karena
aku tak bisa meminjamkan
bajuku ini padamu."
"Tapi, sekalipun kau mengenakan baju itu, masih saja tampak gagah dan perkasa!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyumnya dengan
mata melirik ke arah Puspa Jingga. Yang dilirik alihkan pandangan dengan sikap
malu-malu. Suto Sinting pun
mengenakan bajunya kembali.
Namun baru saja selesai mengenakan baju, tiba-tiba
ia harus melesat dan bersalto melintasi sisi kanan Puspa Jingga. Wuuut...! Sang
gadis terkejut lalu memandang dengan heran ketika Suto Sinting berdiri
memunggunginya dengan wajah menengok kepadanya.
"Apa maksudmu melompat begitu" Mau pamer
ilmu?" Suto Sinting berbalik arah berhadapan dengan Puspa
Jingga. Tangannya yang menggenggam segera membuka
dan sebilah logam berbentuk bintang segi enam terselip di sela-sela jarinya.
"Hampir saja kau mati oleh senjata rahasia ini!"
katanya sambil matanya melirik ke arah datangnya
senjata rahasia itu. Puspa Jingga terbelalak kaget dan segera berkerut dahi
tajam-tajam. "Bintang Neraka"!" gumam Puspa Jingga yang agaknya cukup kenal dengan pemilik
senjata rahasia itu.
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seandainya kau tidak menyambar logam putih itu, maka tubuhku akan menjadi lumer
karena terkena racun yang ada di ujung keruncingan bintang itu," kata Puspa
Jingga, ia pun segera mencabut pedangnya. Sraaang...!
Matanya menjadi nanar memandang ke arah datangnya
senjata maut tersebut.
"Bintang Neraka itu nama orang atau nama senjata ini"!"
"Nama senjata itu!" jawabnya dengan lirih sambil bersiap menebaskan pedang jika
terjadi serangan
mendadak, ia berkata juga kepada Suto Sinting walau
tanpa memandangi pemuda tampan itu.
"Pemiliknya sangat kukenal. Bintang Neraka adalah senjata andalan Pangeran
Umbardanu."
"Oh, ya... aku pernah mendengar nama Pangeran
Umbardanu," gumam Suto Sinting sambil masih
memandang ke arah sekeliling, ia teringat nama
Pangeran Umbardanu sebagai nama kekasih dari si
Gadis Dungu yang kala itu ikut mengejar-ngejar Gadis Dungu untuk dibunuh.
Dalam penjelasan Indayani, si Gadis Dungu itu, saat Suto Sinting ikut
mengantarkan sampai di kaki Gunung Randu, orang yang bernama Pangeran Umbardanu
itu memang putra seorang sultan di Kesultanan Siliwindu.
Timbulnya peristiwa pengejaran titisan Dewa Pelebur
Teluh itu, Indayani menjadi tahu bahwa Umbardanu
sebenarnya bukan mencintainya, melainkan berusaha
menangkapnya untuk dibunuh. Sebab kala itu Indayani
menjadi bahan buruan para tokoh aliran hitam dan akan dihabisi masa hidupnya
sebelum Gadis Dungu mencapai
usia dua puluh lima tahun.
Dalam kitab kuno yang bernama Kitab Samak Kubur
berisi ramalan-ramalan masa depan para tokoh aliran
hitam disebutkan bahwa titisan Dewa Pelebur Teluh
akan membantai habis para tokoh aliran hitam setelah bocah itu berusia dua puluh
lima tahun. Dan si Gadis Dungu dicurigai sebagai titisan Dewa Pelebur Teluh itu,
sehingga dikejar-kejar oleh para tokoh aliran hitam. Jika Pangeran Umbardanu
ikut ingin melenyapkan si Gadis
Dungu, berarti Pangeran Umbardanu termasuk murid
seorang guru yang beraliran hitam.
"Mengapa Pangeran Umbardanu sekarang
menyerangmu dengan senjata andalannya ini"!" tanya Suto.
Belum sampai Puspa Jingga menjawab pertanyaan
itu, tiba-tiba kilauan benda logam melayang lagi dari arah samping kanan gadis
itu. Gerakannya begitu cepat bagaikan kilasan cahaya perak. Zingg... zingg...!
Pedang yang sudah siap di tangan itu segera
berkelebat menangkisnya dengan gerakan cepat. Tring, tring...! Tubuh gadis itu
melompat ke arah belakang, dan tangkisan pedang itu membuat dua bintang segi
enam itu terpental ke dua arah yang berlawanan. Salah satu benda tersebut
menancap pada sebatang pohon.
Jrrraab...! Pohon itu kepulkan asap dari tempatnya yang
tertancap bintang segi enam. Makin lama asapnya
semakin tebal, menandakan bahwa benda itu mempunyai
racun yang berbahaya. Sementara itu bintang yang masih ada dalam jepitan jari
tangan Suto Sinting itu segera dilemparkan ke arah datangnya dua benda yang
ditangkis Puspa Jingga tadi. Ziiing...!
Zrrraaak...! Benda itu menerabas semak rimbun, lalu
terdengar suara nyaring bagaikan sentuhan logam
dengan besi. Traaang...!
Pohon yang tadi terkena Bintang Neraka itu menjadi
busuk dan seluruh daunnya berguguran. Pohon kekar itu menjadi lumer bagaikan
gedebong pisang yang sebentar lagi membusuk. Sedangkan benda yang dilemparkan
Suto Sinting tadi tidak menampakkan perubahan apa-apa pada dua buah pohon yang
ada di balik semak. Berarti bintang itu tidak mengenai pohon tersebut, tapi
mengenai sesuatu yang menimbulkan suara denting.
"Keluarlah kau dari situ! Aku tahu kau adalah
Pangeran Umbardanu!" seru Puspa Jingga dengan sikap siaga menghadapi serangan
lawan. "Bagaimana kalau ternyata dia bukan Pangeran
Umbardanu"!" bisik Suto Sinting dalam jarak dua langkah di samping kiri gadis
itu. "Senjata yang kau lemparkan tadi sebenarnya
mengenai dadanya, tapi karena kebiasaannya memakai
baju perisai besi, maka ia tidak mengaiami luka apa pun!" balas Puspa Jingga
dalam bisikan pula.
Beberapa saat lamanya mereka hanya menunggu
kemunculan dan serangan berikutnya dari orang di balik semak belukar. Tetapi
ternyata yang ditunggu tak
muncul-muncul juga, sehingga Puspa Jingga kehilangan kesabaran. Kemudian ia
lepaskan pukulan jarak jauhnya dari tangan kiri. Pukulan itu berupa gumpalan
asap merah sebesar buah jeruk. Wuuut...!
Zrrraak...! Bruaaasss...!
Semak belukar rusak, menghambur ke atas bagaikan
diterjang badai pemangkas yang cukup besar. Daun-daun terpotong bagai dipangkas
dengan senjata tajam. Dalam sekejap saja semak belukar itu telah lenyap, tempat
itu menjadi terang seakan siap dipakai untuk jalanan.
"Gila! Kau menyerang musuh atau babat hutan buat jalanan"!" bisik Suto Sinting
dengan nada sedikit kagum
dan geli. Puspa Jingga menjadi jengkel sendiri karena rasa
penasarannya. Orang yang menyerangnya secara
sembunyi-sembunyi itu tidak muncul-muncul juga.
Akhirnya ia berkelebat menerjang semak dan mencari
orang tersebut di sekeliling tempat itu. Suto Sinting melesat ke atas, tubuhnya
dengan sangat ringan
melayang tanpa bersalto dan hinggap di atas sebuah
pohon. Dari sana ia memandang ke arah sekelilingnya, ia melompat dari dahan ke
dahan, dari pohon ke pohon.
Namun ia tak menemukan sesosok bayangan pun selain
bayangan Puspa Jingga sendiri.
"Mungkin ia telah kabur!" seru Suto Sinting sambil meluncur turun dari atas
pohon. Tubuhnya melayang
dengan tenang dan kakinya mendarat ke tanah tanpa
hentakan dan suara apa-apa.
Puspa Jingga yang melihat hal itu hanya membatin,
"Benar-benar tinggi ilmu peringan tubuhnya. Pantas jika Guru merasa kagum dan
bangga terhadap si Pendekar
Mabuk ini. Biar sering minum tuak, tapi matanya tidak kelihatan merah seperti
beberapa orang pemabuk yang
pernah kujumpai di kedai-kedai itu. Namanya saja
Pendekar Mabuk, tapi matanya bening dan teduh,
membuat hatiku sering berdesir indah penuh khayalan
asmara. Ah, lupakan dulu soal kehebatannya itu!"
Puspa Jingga menarik napas dan kecamuk batinnya
pun sirna seketika. Kini ia memandang ke sana-sini,
masih penasaran mencari orang yang menyerangnya dari persembunyian tadi.
"Apakah Pangeran Umbardanu itu seorang
pengecut"!" tanya Suto Sinting seraya mengambil tempat di bawah pohon rindang,
ia berdiri dengan satu tangan bersandar pada batang pohon itu. Bumbung
tuaknya tetap menggantung di pundak, siap
dipergunakan sewaktu-waktu.
"Aku tak tahu apakah Pangeran Umbardanu itu
sebenarnya orang yang punya nyali atau seorang
pengecut. Tapi dari jenis senjatanya tadi aku dapat pastikan bahwa dialah
penyerangnya."
"Apakah kau ada masalah dengan Pangeran
Umbardanu?"
"Dia pernah ingin melamarku. Dia menyatakan
hatinya jatuh cinta padaku. Tapi aku menolaknya secara kasar, sebab aku tahu dia
punya maksud tersembunyi
dari ungkapan cintanya itu."
"Maksud apa kira-kira?"
"Dia mengincar pusaka, dan rahasia pusaka itu ada di tangan guruku. Dia ingin
dapatkan pusaka itu dengan
memperalat diriku."
"Pusaka apa yang dimaksud?"
"Pusaka yang ada dalam makam Resi Dirgantara."
Pendekar Mabuk tertawa kecil. "Kelicikannya selalu gagal. Cinta dipakainya
sebagai jembatan memperoleh
keinginannya. Kurasa lelaki macam dia satu hari bisa jatuh cinta seratus kali.
Agaknya ia cukup berbahaya bagi seorang wanita seperti kau, Puspa Jingga. Untung
kau cukup waspada. Hal yang sama pun pernah dialami
oleh Indayani dan...."
"Indayani..."! Oh, si Gadis Dungu itu maksudmu?"
"Benar. Pangeran Umbardanu mendekati Indayani
dengan bahasa cinta, padahal ia ingin membunuh gadis itu pada saat si gadis
lengah. Namun usahanya gagal, sebelum niatnya tercapai Indayani telah berhasil
diselamatkan oleh gurunya; Nyai Serat Biru."
"Apakah kau punya hubungan dekat dengan
Indayani?" pancing Puspa Jingga dengan nada curiga.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum lebar, tertawa
pelan tanpa suara.
"Hubungan dekatku dengan Indayani bukan untuk
masalah cinta."
"Syukurlah kalau kau tak jatuh cinta kepada Indayani.
Guru pasti akan mengecammu jika kau jatuh cinta pada Indayani, sebab Guru
bermusuhan dengan Nyai Serat
Biru." Suto Sinting membuka tutup bumbung bambu itu,
kemudian beberapa teguk tuak ditenggaknya. Badannya
terasa segar setelah meneguk tuak yang mempunyai
kesaktian sendiri bersama bumbungnya itu.
Puspa Jingga memasukkan pedang ke sarungnya.
Trak...! Lalu ia berkata kepada Pendekar Mabuk yang
baru saja menutup bumbung tuaknya.
"Kurasa Pangeran Umbardanu melapor kepada
gurunya mengenai keberadaanmu bersamaku."
"Siapa guru Pangeran Umbardanu itu?"
"Dupa Dewa, dari Perguruan Serikat Jagal."
"Ooo... pantas dia sampai hati ingin membunuh
Indayani, rupanya rencana itu atas perintah gurunya;
Dupa Dewa yang merasa takut kalau Indayani tetap
hidup sampai usia dua puluh lima tahun."
"Kudengar si Dupa Dewa ingin membalas dendam
padamu. Menurut cerita seorang anak buahnya yang
pernah bertemu denganku, Dupa Dewa menderita luka
parah saat bertarung denganmu. Lukanya sampai
sekarang belum sembuh betul, dan ia menyimpan
dendam pada Pendekar Mabuk."
Suto Sinting hanya tertawa kecil, ia teringat saat
bertarung dengan Dupa Dewa yang membuat Dupa
Dewa terpental akibat hembusan badai yang keluar dari jurus 'Naga Tuak Setan'-
nya itu. Rupanya Dupa Dewa
masih hidup, dan sekarang tentunya sedang persiapkan diri untuk melakukan balas
dendam kepadanya. Tapi
Suto Sinting tak punya rasa takut sedikit pun, bahkan menertawakan dengan
rencana balas dendam itu.
"Aku akan pergi ke makam Resi Dirgantara," ujar Puspa Jingga pelan sekali,
seperti takut didengar orang lain.
"Aku akan mendampingimu. Tapi apakah kau tahu
tempatnya" Bukankah peta menuju ke makam itu telah
direbut oleh Peri Kedung Hantu"!"
"Aku masih ingat patokannya. Mendiang Resi
Dirgantara dimakamkan dalam goa. Goa itu ada di Bukit Batok, letak bukit itu ada
di antara Gunung Sumbar dan anak gunung itu yang bernama Gunung Gempur."
"Kau tahu arah menuju ke Bukit Batok"!"
"Patokan kita adalah Gunung Sumbar yang tinggi dan ada di sebelah timur tempat
ini. Kalau kita sudah
temukan Gunung Sumbar, kita mudah temukan Bukit
Batok. Kalau kau mau mendampingiku, kau harus siap
menghadapi Peri Kedung Hantu, sebab perempuan itu
pasti ke sana."
"Kalau mau bergerak lebih cepat dari Peri Kedung Hantu, kau harus mau kugendong,
karena aku akan
pergunakan jurus 'Gerak Siluman' supaya cepat sampai di sana."
"Bodoh sekali aku kalau sampai merasa keberatan dengan usulmu," ujar Puspa
Jingga dengan senyum indah mekar di bibirnya yang ranum itu.
Baru saja Suto Sinting dekati Puspa Jingga dan ingin menggendongnya, tiba-tiba
dua berkas sinar kuning
sebesar lidi menghantam punggung mereka. Clap,
clap...! Deb, deb...!
"Uhg...! Sssu.... Suto..."!"
Puspa Jingga tersentak dengan tubuh mengejang, lalu
meliuk sebentar dan jatuh terkulai dalam keadaan tak sadarkan diri. Sedangkan
Pendekar Mabuk juga
mengalami hal serupa, tapi ia berusaha untuk bertahan.
Napasnya yang terasa sesak itu dipaksakan untuk disedot dalam-dalam. Tetapi
semakin lama pandangan mata Suto Sinting mulai berkunang-kunang. Tubuh pendekar
tampan itu semakin lemas, dan ia jatuh berlutut dengan kepala mulai tertunduk
lemas. Dalam keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk sempat
melihat sekelebat bayangan yang menyambar tubuh
Puspa Jingga. Sayang sekali yang dapat dilihat Suto
Sinting hanya berupa sekelebat bayangan, tak jelas
seperti apa wajah orang itu dan siapa sebenarnya orang itu.
Pendekar Mabuk pun roboh ke depan saat Puspa
Jingga disambar dan dibawa pergi oleh orang tersebut.
Suto Sinting dibiarkan terkulai di tanah tanpa ada yang mengusiknya lagi.
* * * 3 TEBING terjal berbatu karang mempunyai rongga
menyerupai goa. Di dalam goa Itulah Pendekar Mabuk
sadarkan diri dan terkejut melihat keadaannya terkapar di atas batu datar
setinggi lutut. Batu itu seukuran dengan sebuah tempat tidur yang cukup untuk
dua orang. Langit-langit goa yang tinggi adalah sasaran pertama ketika Suto Sinting membuka
matanya. Sebelum ia
bangkit duduk, terlebih dulu dirasakan gerakan urat-urat sekujur tubuhnya. Masih
terasa kaku dan linu, namun
sudah bisa untuk bergerak sebagaimana mestinya.
Pendekar Mabuk pun segera bangkit dan bertanya dalam hati,
"Di mana aku ini"! Hmmm... siapa yang membawaku ke sini"! Bagaimana dengan Puspa
Jingga"!"
Goa itu sangat sunyi, kosong tanpa orang lain. Tapi
melihat tumpukan kayu bakar bekas api unggun, Suto
Sinting yakin bahwa goa ini bukan dihuni oleh dirinya sendiri. Pasti ada
seseorang yang membawanya ke situ.
Beberapa buah kelapa hijau tampak terbelah dan
berserakan di sana-sini, juga beberapa sisa makanan lain, termasuk tempat
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembakaran ikan yang tersisa
tulangnya di sekitar tempat bara.
Bumbung tuak sakti ada di samping batu, bersandar
dalam keadaan berdiri. Pendekar Mabuk cepat ambil
bumbung tuak itu dan menenggak tuak beberapa teguk.
Dalam waktu singkat tubuhnya menjadi segar dan
kekuatannya pulih kembali seperti sediakala.
Turun dari batu datar Suto Sinting melangkah dekati
mulut goa. Oh, ternyata ia berada di lereng tebing dalam kemiringan tegak lurus.
Di bawahnya tampak lautan
bergelombang besar. Jaraknya cukup jauh dari mulut
tebing. Di depan pintu goa yang ternganga lebar itu ada sebidang tanah berbatu,
di sanalah Suto Sinting berdiri dan memandang ke atas. Ternyata jarak antara
mulut goa dengan bagian atas tebing iebih dekat ketimbang jarak ke perairan
laut. "Tempat yang sungguh aman untuk persembunyian.
Hmmm... siapa orang yang menempati goa ini
sebenarnya" Mengapa ia tidak ada di tempat" Tak
kulihat ada manusia di sekitar tebing ini. Ah, sial betul, aku tak bisa menduga-
duga siapa orang yang
membawaku kemari sebenarnya"!"
Akhirnya Pendekar Mabuk putuskan untuk
menunggu di dalam goa sambil sesekali menikmati
tuaknya secara sedikit demi sedikit. Keadaan di dalam goa diperiksanya untuk
menentukan dugaan siapa
penghuni goa tersebut. Goa yang tidak mempunyai jalan
tembus ke mana-mana dan keadaannya tak terlalu dalam itu mendapat sorotan sinar
matahari dari arah timur.
Sinar matahari itu cukup menyegarkan udara di dalam
goa, walau sinarnya tak sampai menembus ke dinding
dasar goa, tapi sinar itu membuat terang goa tersebut, sehingga benda apa pun
yang ada di situ bisa dilihat dengan jelas.
Beberapa saat lamanya Pendekar Mabuk menunggu si
penolong yang membawanya ke goa tersebut. Hatinya
menjadi tak sabar dan ingin segera meninggalkan goa
itu. Tetapi tiba-tiba niatnya terpaksa dibatalkan karena sekelebat bayangan
masuk ke dalam goa saat Suto
Sinting bergegas ingin menuju ke pintu goa. Langkah
murid sinting si Gla Tuak itu pun terhenti dan
pandangan matanya tertuju kepada orang yang baru
datang itu. Orang tersebut pastilah yang membawanya
ke tempat itu dalam keadaan pingsan.
"Sudah sehatkah keadaanmu, Suto"!"
"Rara Santika..."!" gumam Suto Sinting dengan lirih dan bernada kagum.
Perempuan yang rambutnya disanggul dan dihiasi
permata itu sunggingkan senyum manis kepada Suto.
Benak Suto Sinting segera teringat peristiwa saat
bertemu dengan perempuan berusia sekitar dua puluh
delapan tahun yang berwajah cantik, bulat telur,
berhidung mancung, dan bermata indah itu. Jubah satin warna merah jambu menutup
dada montoknya yang
dilapisi kain biru muda sesuai kain bagian bawahnya
membuat Suto Sinting segera mengenali perempuan itu.
Ia mengenal Rara Santika dalam satu peristiwa yang
cukup menegangkan karena perempuan itu mempunyai
saudara kembar beraliran hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gundik Sakti").
"Tak kusangka kaulah orangnya yang membawaku
kemari dalam keadaan aku tidak berdaya," ujar Suto Sinting saat Rara Santika
mendekatinya. "Aku pun tak menyangka sejak perpisahan kita
setelah menghancurkan Goa Tumbal Perawan dulu,
tahu-tahu kujumpa dirimu dalam keadaan terkapar tanpa daya. Kau telah pingsan
selama dua hari, Suto."
"Oh, jadi aku berada di sini sudah dua hari?"
"Lebih tepatnya dua hari tiga malam. Ini hari
ketigamu berada di sini. Kupikir kau tak dapat siuman kembali. Aku sudah
berusaha mengobati dengan tenaga
intiku dan hawa murniku, namun tak mampu
membuatmu sadar. Aku baru saja pergi ke seorang tabib untuk membawanya kemari,
tapi sayang tabib itu tidak ada di tempat."
Perempuan bersenjata kipas gading dengan hiasan
ronce-ronce merah di bagian gagang kipasnya itu
memandangi Suto Sinting dengan sorot pandangan mata
yang ceria dan berbinar-binar. Agaknya ia punya kesan pribadi tersendiri selama
bersama Pendekar Mabuk
dalam usaha menghancurkan Desa Lambung Bumi yang
ada di dalam Goa Tumbal Perawan, bekas tempat
kekuasaan adik kembarnya yang berjuluk si Gundik
Sakti itu. "Siapa orangnya yang bisa membuatmu sampai
pingsan beberapa hari itu, Suto"!" sambil tangan perempuan itu mengusap rambut
Suto Sinting dengan
penuh kelembutan.
"Aku tak tahu siapa orangnya, karena kala itu aku sedang bersama Puspa
Jingga...."
"Maksudmu, si genit murid Nini Kalong itu?"
"Benar, apakah kau kenal dengannya?"
"Aku cukup kenal dengan Nini Kalong dan kedua
murid andalannya; Puspa Jingga dan Syair Kusumi. Tapi hanya sebatas kenal biasa,
tanpa ikatan jasa apa pun.
Yang jelas kami tidak saling bermusuhan."
"Apakah kau juga tahu siapa orang yang membawa
lari Puspa Jingga dalam keadaan tak berdaya itu?"
Rara Santika berkerut dahi. "Jadi, Puspa Jingga dibawa lari oleh seseorang?"
Pendekar Mabuk segera ceritakan masalah
sebenarnya tentang Puspa Jingga. Perempuan itu pun
menanyakan tentang pusaka yang ada di dalam makam
Resi Dirgantara, tapi Suto Sinting tak bisa memberi
penjelasan. "Puspa Jingga sendiri tak mau menyebutkan nama
pusaka tersebut karena takut melanggar larangan dari gurunya," ujar Suto Sinting
sambil duduk di batu tempatnya terbaring tadi.
"Resi Dirgantara semasa hidupnya adalah sahabat dari mendiang ayahku," kata Rara
Santika. "Tapi beliau tidak pernah bicara tentang pusaka miliknya kepada
Ayah. Semasa berusia empat belas tahun, aku pernah
ikut Resi Dirgantara menyeberang ke Pulau Sumbing,
dan dalam perjalanan itu aku dapat mengetahui bahwa
Resi Dirgantara tak pernah punya pusaka. Rasa-rasanya janggal sekali jika ada
kabar yang mengatakan bahwa di dalam makam Resi Dirgantara terdapat sebuah
pusaka." "Apakah Resi Dirgantara tidak mempunyai senjata apa pun?"
"Hmmm... ya, memang punya, tapi menurutnya
bukan pusaka, itu hanya senjata biasa untuk keamanan dirinya."
Suto Sinting terbungkam dalam keadaan merenung.
Kemudian terdengar gumam lirihnya secara samar-
samar, "Jadi untuk apa Nini Kalong membekali muridnya sebuah peta menuju makam Resi
Dirgantara"! Benarkah
Nini Kalong mendapat petunjuk dari dewata bahwa ada
pusaka di dalam makam Resi Dirgantara"!"
"Kurasa itu hanya rekaan Nini Kalong saja. Kalau toh di dalam makam itu ada
pusaka, satu-satunya orang yang tahu persis adalah Nyai Serat Biru. Sebab dia
adalah adik kandung dari Resi Dirgantara."
"Nyai Serat Biru..."!" Pendekar Mabuk kerutkan dahi.
"Aku kenal betul dengan Nyai Serat Biru."
"Tanyakanlah kepada Nyai Serat Biru tentang pusaka itu. Kurasa hanya dialah yang
bisa menjelaskan
mengenai isi makam Resi Dirgantara."
Untuk memperjelas keadaan yang sebenarnya,
Pendekar Mabuk merasa perlu menemui Nyai Serat Biru
yang sedang mengasingkan diri di puncak Gunung
Randu yang bersama muridnya: Indayani, si Gadis
Dungu. Ketika hal itu dikemukakan oleh Suto, Rara Santika menampakkan wajah
kurang setuju dan serba
salah. "Sebenarnya aku tak suka dengan Indayani yang
sombong itu," ujarnya kepada Suto Sinting. "Aku sering cekcok mulut dengan murid
Bibi Serat Biru. Jika tidak memandang Bibi Serat Biru termasuk sahabat mendiang
ayahku, sudah kuhancurkan mulut si Gadis Dungu itu."
Suto Sinting tertawa pendek. "Apakah ia pernah bikin persoalan denganmu?"
"Memang tidak, tapi aku tak betah mendengar kata-katanya. Hatiku cepat panas
jika ia berbicara muluk-
muluk." "Kendalikan saja hatimu, jangan terpengaruh oleh sifatnya yang memang sudah
begitu adanya. Setiap
orang mempunyai pembawaan pribadi sejak kecil. Kau
harus bisa berlapang dada dan memaklumi pembawaan
tiap pribadi manusia."
Rara Santika diam termenung, semantara itu Suto
Sinting sudah berada di ambang mulut goa. Ia
memandang ke arah lautan lepas. Sejenak kemudian
berpaling menatap Rara Santika dan bertanya dengan
suara merdunya.
"Aku akan berangkat ke puncak Gunung Randu
menemui Nyai Serat Biru. Bagaimana dengan dirimu"
Apakah mau ikut ke sana atau tidak?"
Rara Santika tarik napas dalam-dalam, ia memandang
Suto Sinting dengan hati diliputi kebimbangan. Setelah dua helaan napas ia
bangkit dan mendekati Suto Sinting.
"Baik, aku akan ikut ke Gunung Randu. Tapi dengan satu syarat yang harus kau
penuhi." "Syarat apa?" seraya Suto Sinting sunggingkan senyum tipis.
"Jangan terlalu dekat dengan Indayani!"
"Mengapa jika aku terlalu dekat dengannya?"
"Aku bisa benci padamu, karena kuanggap kau ikut-ikutan menjadi manusia
sombong." Tawa pelan mirip suara menggumam itu
berkepanjangan. Rara Santika menjadi tersipu malu dan salah tingkah sendiri.
Pendekar Mabuk segera meraih
kedua pundak perempuan itu dan menghadapkan ke
arahnya. Wajah cantik yang sudah cukup dewasa itu
dipandanginya beberapa saat dalam hiasan senyum yang menawan.
"Baiklah, akan kuturuti saranmu itu. Tapi kau tidak boleh mudah cemburu jika aku
bicara padanya."
"Siapa yang cemburu"!" Rara Santika bersungut-sungut, Pendekar Mabuk tertawa
geli. Mereka berdua segera melesat menuju Gunung
Randu. Mereka bergerak ke arah selatan dari tebing
curam itu. Namun baru mendapat beberapa langkah
terpaksa harus berhenti karena kehadiran seseorang yang tahu-tahu menghadang di
depan mereka. Jleeg...! Orang tersebut bagaikan hantu yang muncul dari
alam gaib. Tahu-tahu ada di depan mereka dan
mengejutkan Rara Santika. Mata tajam Pendekar Mabuk
mulai memandangi sosok orang yang berdiri
menghadang langkahnya itu, namun sikapnya masih
tampak tenang dan tak menunjukkan keheranan sedikit
pun. Keheranan itu hanya dipendam dalam hati, karena Suto merasa baru sekarang
berjumpa dengan orang
tersebut. "Kau kenal dengannya?" bisik Suto Sinting kepada Rara Santika.
"Aku tak pernah jumpa dengannya," jawab Rara Santika dengan mata tetap tertuju
pada seorang pemuda berusia sebaya dengan Suto Sinting. Pemuda itu
mengenakan pakaian hijau berhias benang emas dengan
celananya yang berwarna sama pula. Rambutnya
panjang sebatas punggung dengan kepala mengenakan
ikat dari logam emas berhias butiran permata kecil.
Tangan kirinya menggenggam pedang bersarung kuning
emas dengan ukiran indah.
"Dilihat dari pedang dan pakaiannya, agaknya
pemuda itu bukan dari golongan masyarakat biasa!"
bisik Suto Sinting.
Rara Santika memperhatikan rompi perunggu yang
dikenakan pemuda itu dalam keadaan rapat. Rompi itu berukir dan tampak tebal
sekali. Agaknya rompi itu
berguna sebagai pelindung dada dari serangan senjata tajam dan sejenisnya.
Rara Santika segera menyapa dengan sikap tak
ramah, "Siapa kau sebenarnya, dan apa perlumu
menghadang langkah kami"!"
"Aku ingin bicara dengan pemuda sinting itu!"
jawabnya sambil menuding Pendekar Mabuk.
Pemuda berkumis tipis dengan ketampanan yang
berkesan licik itu diperhatikan Suto Sinting tanpa
berkesip. Di bibir Suto masih ada seulas senyum tipis sebagai kesan menyepelekan
kewibawaan pemuda
tersebut. Suto Sinting sengaja tidak bicara, sehingga Rara Santika mewakilinya.
"Ada perlu apa kau ingin bicara dengan sahabatku ini"!"
"Kulihat tadi dia bersama kekasihku; Puspa Jingga!"
"O.... jadi kau yang bernama Pangeran Umbardanu"!"
sahut Suto Sinting segera dapat menyimpulkan siapa
pemuda itu. "Kalau kau sudah tahu siapa aku, sekarang kau harus memberi tahu di mana
kekasihku; Puspa Jingga itu"!"
"Kalau dia kekasihmu, tentunya kau tidak akan
menyerangnya dengan senjata Bintang Neraka-mu,
Pangeran!" kata Suto Sinting tak kalah ketus.
Senyumnya justru dibuat sinis dan memancing
kejengkelan Pangeran Umbardanu.
"Aku tadi ingin membunuhmu, bukan membunuh
Puspa Jingga."
"Arahnya jelas kepada Puspa Jingga, bukan
kepadaku. Kau punya kemarahan kepada Puspa Jingga
karena tak mau menerima cintamu, bukan"!"
"Persetan dengan cinta! Sekarang yang kuminta
darimu adalah sebuah peta! Kudengar Puspa Jingga yang membawa sebuah peta dari
gurunya untuk menuju ke
makam Resi Dirgantara. Aku yakin peta itu sekarang
sudah berpindah ke tanganmu karena kulihat kau pandai
membujuk hati wanita!"
Pendekar Mabuk kian sunggingkan senyum bernada
sinis. "Kau tak akan mendapatkan apa-apa dariku, Pangeran Umbardanu! Aku bukan
pria sepertimu;
mendekati wanita untuk maksud kelicikan pribadi! Sama halnya kala kau mendekati
Indayani dan berlagak jatuh cinta...."
"Tutup mulutmu!" sentak Pangeran Umbardanu sambil tangannya mulai memegang
gagang pedangnya.
"Kucabik-cabik tubuhmu kalau tak segera serahkan peta itu!"
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, kau mencabik-cabik dia"! Kalau begitu ada
baiknya kau hadapi dulu aku, Umbardanu!" ujar Rara Santika dengan sikap
menantang tanpa rasa takut sedikit pun.
"Perempuan lacur kau! Jangan berlagak menjadi
pelindung pemuda ingusan macam dia! Menyingkirlah
dari hadapanku!"
"Dapatkah kau memaksaku untuk menyingkir dari
tempatku"!"
"Keparat! Rupanya kau belum tahu siapa Pangeran Umbardanu ini, hah"!
Hiaaaat...!"
Srang...! Pedang dicabut dari sarungnya dan Pangeran Umbardanu lompat ke depan.
Wuuut...! Tangan bersenjata pedang terangkat ke atas, siap
menebaskan pedang tersebut ke kepala Rara Santika.
Namun tubuh Rara Santika segera bergerak cepat, ia
bersalto ke belakang sambil salah satu kakinya
menendang pergelangan tangan Pangeran Umbardanu.
Wuuut...! Deess...!
"Aaauuh...!" Pangeran Umbardanu terpekik menahan sakit. Pedang yang ada di
tangannya itu terlepas dan terpental. Sementara itu Rara Santika sudah berdiri
tegak kembali dengan kaki sedikit merenggang dan merendah, siap hadapi serangan
lawannya. Namun sang lawan
agaknya tidak cepat bergerak akibat menahan rasa sakit pada tulang tangannya.
"Setan kurap! Tendangannya mematahkan tulang
tanganku! Uuh...! Sakitnya bukan main. Pasti ia salurkan tenaga salju ke dalam
tendangannya hingga seluruh
darahku teraaa dingin sekali! Hmmm... agaknya aku
harus gunakan Bintang Neraka untuk membunuh
perempuan keparat itu!"
Pangeran Umbardanu menggeram-geram sambil
bergerak membuka jurus baru. Sementara itu, Suto
Sinting hanya senyum-senyum saja dari tempat
berdirinya di dekat gerumbulan semak belukar. Matanya memperhatikan Pangeran
Umbardanu dengan sikap
mencemooh ilmu putra sultan itu.
Zub, zub, zub...! Tiba-tiba tiga keping logam melesat dari tangan Pangeran
Umbardanu yang bergerak
melemparkan benda itu dengan gerakan cepat.
Sepertinya ia mengambil benda berbentuk bintang segi enam itu dari balik rompi
perunggunya. Tiga benda yang melayang ke arah Rara Santika itu
sengaja tidak dihindari. Namun tangan Rara Santika
dengan cepat menyambar senjata kipas gadingnya yang sejak tadi tertutup kain
jubahnya. Suut...! Kipas gading
itu pun dibentangkan di depan dada. Bred...!
Jub, jub, jub...! Tiga keping bintang bersegi enam
menancap pada kipas gading bagaikan besi semberani.
Kipas itu segera dikibaskan ke depan, weesss...! Dan tiga keping senjata rahasia
itu melesat ke arah Pangeran
Umbardanu. Zing, zing, zing...!
"Heaaah...!" pekik Pangeran Umbardanu sambil lakukan lompatan bersalto ke
belakang. Senjata rahasia yang memburu balik ke arahnya itu melesat ke tempat
kosong dan akhirnya ketiga senjata itu menancap pada tiga batang pohon. Jrab,
jrab, jrab...! Pohon yang segera menjadi layu itu tidak dihiraukan
oleh mereka. Pangeran Umbardanu masih penasaran
untuk lakukan serangan beruntun kepada Rara Santika.
Sebuah tendangaan berputar bagaikan kipas dilancarkan dengan cepat. Wut, wut
wut, wut...! Kaki kekar itu melayang bagai ingin membabat
kepala Rara Santika. Namun perempuan itu
menghindarinya dengan meliuk-liukkan kepala dan
punggung hingga lolos dari tendangan putar beruntun
tersebut. Hanya saja, pada saat tendangan Pangeran
Umbardanu berubah menjadi menyodok lurus ke depan,
Rara Santika hampir saja terkena tendangan tersebut di bagian wajahnya. Untung
tangan kirinya segera
berkelebat dan telapak tangan itu menahan tendangan
yang menggunakan ujung kaki itu.
Dees...! Kipas segera mengatup. Taab...! Kemudian ujung
kipas disodokkan ke mata kaki Pangeran Umbardanu.
Duuhg...! "Aaaauuww...!" Pangeran Umbardanu menjerit keras karena mata kaki kanannya remuk
seketika itu juga. Ia tak bisa berdiri dengan menggunakan kaki kanannya, ia
terlonjak-lonjak ke belakang menggunakan kaki kiri,
sementara tangannya memegangi kaki kanannya.
"Bangsat kau, Perempuan Iblis!!" teriaknya penuh murka.
Rara Santika hanya sunggingkan senyum sinis sambil
berdiri dengan tangan memegangi kipas terangkat ke
atas. Kipas itu sendiri masih dalam keadaan tertutup.
Matanya memandang tajam tak berkedip.
"Terpaksa kuhancurkan tubuhmu yang kotor itu,
Jahanam! Heeeaah...!"
Pangeran Umbardanu sentakkan kedua tangannya.
Wuuut...! Dari kedua tangan itu meluncur dua larik sinar biru sebesar gagang
pedang. Wuuut, wuuut...!
Rara Santika segera membuka kipasnya. Breed...!
Lalu dikibaskan dari atas ke bawah, dan ke atas lagi.
Wuus, wees...! Sinar biru menghantam tanah. Blaaarr...! Tanah
menjadi retak, tubuh Pangeran Umbardanu hampir
terperosok masuk ke dalam belahan tanah. Namun
sebelum ia terperosok, angin badai berhembus sangat
cepat dan kencang. Wuuusss...!
Cahaya petir biru kemerahan memercik dari tepian
kipas sebanyak tiga larik dan saling bertebaran
menghantam tubuh Pangeran Umbardanu. Trat, trat,
trat...! Sayang sekali tubuh itu telah terbang dihempaskan angin badai yang dahsyat.
Sinar petir itu menghantam beberapa pohon yang ikut jebol dan terbang karena
angin badai dari kipas Rara Santika itu.
Duaaar, blegaaarrr...!
Gleeeerrrr...! Suara gemuruh bagai langit roboh terdengar
menggema panjang. Alam menjadi porak-poranda.
Pohon-pohon dijungkirbalikkan oleh angin badai dari
kipas Rara Santika. Tempat itu bagai dilanda bencana alam. Tanah yang terbelah
akibat sinar birunya Pangeran Umbardanu tadi menjadi kian retak dan bergetar
hebat. Bahkan keretakan tanah terjadi di sana-sini, terutama pada bekas pohon yang
tumbang dan jebol bersama
akarnya. Pendekar Mabuk hanya bisa tertegun bengong
menyaksikan kehebatan kipas Rara Santika yang hampir menyerupai kedahsyatan
'Napas Tuak Se-tan'-nya. Jika jurus 'Napas Tuak Setan' dipergunakan Pendekar
Mabuk, maka langit pun menjadi gaduh, petir menyambar-nyambar dan awan hitam
datang bergulung-gulung.
Kali ini awan hitam juga datang bergulung-gulung
walau tak sebanyak jika 'Napas Tuak Setan' digunakan Suto Sinting. Kilatan
cahaya petir bermunculan dari
gulungan awan hitam di langit, alam dibuat semakin
gaduh oleh gelegar guntur yang bersahutan.
"Dahsyat juga kipas itu"! Dalam sekejap saja hutan ini menjadi bersih bagai
ladang tanpa tanaman"!" pikir Suto Sinting sambil pandangi tumpukan pohon yang
menggunung di kejauhan sana. Di antara tumpukan
pohon itu, terdapat tubuh Pangeran Umbardanu yang tak jelas apakah masih hidup
atau sudah tak bernyawa.
Rara Santika juga memandang ke arah depannya
yang bersih dan terang karena tanpa pepohonan lagi.
Napasnya ditarik panjang-panjang, kipasnya dikatupkan dan diselipkan ke pinggang
kanan, tertutup jubah merah jambunya.
"Mengapa sampai seperti itu kau melawannya"
Mestinya tak perlu sampai merusak alam," ujar Suto Sinting yang melangkah
mendekatinya. "Tanggung," jawab Rara Santika dengan datar. "Dia tak akan berani menantangmu
sembarangan lagi. Itu
baru melawanku, belum melawanmu! Kurasa ia akan
cepat menjadi mayat jika melawanmu."
"Kalau dia sampai tewas, berarti kita akan berurusan dengan Perguruan Serikat
Jagal dan orang-orang dari
Kesultanan Siliwindu."
"Akan kugulung habis mereka jika masih coba-coba membalas dendam padamu."
Pendekar Mabuk diam saja, tapi hatinya membatin,
"Begitu marahnya ia melihat diriku ditantang orang"
Apa arti sikapnya ini"! Seakan ia tak ingin orang lain menyinggung perasaanku
sedikit pun. Jika begitu ia akan murka jika melihat orang lain melukai tubuhku
walau segores pun"! Apa benar ia punya sikap seperti itu"!"
Rara Santika berkata dengan tegas, "Lanjutkan
langkah kita! Jangan bertindak jika ada yang ingin
berkurang ajar padamu. Biar aku yang bertindak
memberi pelajaran pada mereka! Jika perlu akan
kuhentikan masa hidupnya siapa pun juga orangnya
yang menantangmu dengan gegabah!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil menyimpan rasa geli
dan bangga hati. Ia nyaris tertinggal karena Rara Santika melangkah lebih dulu.
Sambil menyusul langkah Rara
Santika hati Pendekar Mabuk pun berkata pada diri
sendiri, "Pembelaannya itu jelas mempunyai maksud tertentu yang amat pribadi. Maukah ia
menjelaskannya jika
kutanya maksud pembelaannya ini"!"
* * * 4 DALAM perjalanan menuju Gunung Randu, tiba-tiba
Pendekar Mabuk tersentak oleh ingatan tentang Puspa
Jingga. Langkahnya terhenti seketika, membuat Rara
Santika memandanginya dengan dahi berkerut merasa
heran. "Ada apa, Suto?" tegurnya pelan.
"Puspa Jingga," jawab Suto Sinting dari wajah menunduk jadi terangkat memandang
Rara Santika. "Kenapa dengan Puspa Jingga?"
"Siapa yang membawa lari Puspa Jingga pada saat kami sama-sama pingsan?"
"Mengapa baru sekarang kau berpikir begitu?"
"Karena kusangka Pangeran Umbardanu yang
membawa lari Puspa Jingga. Ternyata bukan dia, dan
bukan Pangeran Umbardanu juga yang menghantam
kami dari belakang hingga tak sadarkan diri itu."
Setelah diam sebentar, Rara Santika ajukan tanya
kembali dengan nada sedikit meremehkan,
"Apakah hilangnya Puspa Jingga adalah hal yang
amat penting bagimu, Pendekar Mabuk"! Apakah ia
dalam tanggung jawabmu"!"
"Memang tidak dalam tanggung jawabku. Tetapi
hilangnya Puspa Jingga melibatkan diriku, sebab akulah yang saat itu ada
bersamanya. Aku pula yang terkena
serangan dari orang yang membawa pergi Puspa Jingga
itu." "Mungkin orang itu adalah Nini Kalong sendiri."
"Tidak mungkin," sangkal Pendekar Mabuk. "Nini Kalong sedang bertapa gantung.
Karenanya ia tugaskan Puspa Jingga untuk mengambil pusaka di dalam makam
Resi Dirgantara."
"Tak bisakah kau melupakan Puspa Jingga?"
"Tak bisa, Rara. Setidaknya aku juga ingin tahu siapa orang yang menyerangku
dari belakang itu!"
Rara Santika menarik napas panjang lalu
menghembuskannya lepas-lepas. Pandangan matanya
dialihkan ke arah lain. Perempuan itu tampak
sembunyikan kedongkolan dalam hatinya. Rasa tak suka melihat Suto Sinting
terlalu peduli dengan perempuan lain membuat Rara Santika menjauh tiga langkah,
seakan sedang memandangi alam sekeliling mereka.
Pada saat itulah Rara Santika melihat sekelebat
bayangan melintas di sela-sela pepohonan seberang.
Pandangan matanya berubah menjadi tajam seketika.
"Suto, ada orang di seberang sana!" ucapnya pelan, tapi sampai juga di telinga
murid si Gila Tuak itu.
Pandangan mata Pendekar Mabuk pun segera mengarah
ke tempat yang diperhatikan Rara Santika.
"Benar apa katamu. Tapi agaknya ia orang berilmu tinggi. Gerakannya sangat cepat
dan hampir-hampir tak bisa dilihat oleh mata kepala kita."
"Tapi ia tidak tahu kalau kita ada di sini."
"Mungkin tahu, tapi tak mau peduli dengan diri kita.
Aku jadi penasaran dan ingin menguntitnya."
"Jangan, Suto! Tak perlu kita...."
Zlaaap...! "Sutooo..."!" panggil Rara Santika, tetapi Pendekar Mabuk telah lenyap bagai
ditelan bumi. Ia melesat
dengan kecepatan lebih tinggi dari bayangan yang
berkelebat di hutan seberang mereka itu. Mau tak mau Rara Santika mengikuti
gerakan Suto Sinting dengan
gerutuan tak jelas.
Orang yang diikuti Suto Sinting itu akhirnya berhenti di balik pohon besar yang
berongga mirip goa. Ia
bersembunyi di sana, tapi Suto Sinting melihatnya dan segera menghampiri orang
itu. Wuuut...! Zeeb...! Tahu-tahu Suto Sinting sudah berdiri di depan mulut
rongga pohon besar itu dalam jarak empat langkah. Orang yang bersembunyi itu
terkejut hingga memekik tertahan.
"Hahh..."!" matanya mendelik memancarkan
perasaan takutnya.
"Resi Pakar Pantun..."!" sapa Suto Sinting dengan
terheran-heran.
"Oooh... syukurlah. Akhirnya kutemukan juga
dirimu, Suto Sinting," ujar orang tua berpakaian abu-abu dalam potongan pakaian
biarawan. Tokoh ini sudah
tidak asing lagi bagi Suto Sinting, karena belakangan Suto Sinting memang banyak
terlibat masalah yang ada hubungannya dengan Resi Pakar Pantun, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Sabuk Gempur
Jagat"). "Kau tampak ketakutan sekali, Resi Pakar Pantun.
Apa yang terjadi pada dirimu"!"
"Ikan teri makanan perkutut,
ketan wajik makanan hewan.
Aku lari bukan karena takut,
tapi jijik berhadapan dengan lawan."
Sang Resi pun langsung berpantun, karena memang
ia gemar bermain pantun. Suto Sinting hanya
sunggingkan senyum tipis setelah mendengar arti pantun sang Resi. Orang tua
Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjenggot putih agak gemuk itu keluar dari rongga pohon, matanya memandang ke
sana-sini dengan rasa waswas.
"Siapa lawan yang mengejarmu itu. Resi?" tanya Suto Sinting menahan geli melihat
wajah tua berusia delapan puluh tahun itu sangat lucu jika dalam ketakutan
begitu. "Lawanku kali ini bukan lawan sembarangan, Suto.
Aku... aku benar-benar jijik berhadapan dengan lawanku itu."
"Bukankah beberapa waktu yang lalu, kala kita
berpisah, kau pergi ke negeri Bumiloka untuk membantu
muridmu; Kertapaksi, yang sedang diserang oleh Ratu
Sangkar Mesum"!"
"Benar. Itu benar sekali!" jawabnya penuh semangat Sang Resi pun ingat masa
perpisahannya dengan
Pendekar Mabuk beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Gundik Sakti").
"Lalu, bagaimana hasilnya" Apakah kau tak bisa
menyelamatkan negeri muridmu itu"!"
"Bukan aku tak mampu menyelamatkan muridku, tapi justru sekarang pihak Ratu
Sangkar Mesum berbalik
memusuhiku."
"Lalu, kau lari dari pertarungan dengan Ratu Sangkar Mesum itu?" desak Suto
Sinting, tapi sang Resi agaknya tak mau dikecam begitu saja. Ia mulai berpantun
kembali. "Ikan teri main garukan dengan kuku,
memancing ikan di gayung adalah sia-sia.
Lari dari pertarungan adalah tabu bagiku,
tapi menghindari maut adalah kewajiban tiap
manusia." Suto Sinting tertawa-tawa kecil dan berkata, "Bilang saja kau takut menghadapi
Ratu Sangkar Mesum!"
"Ikan teri kalau berenang baunya kecut,
orang disunat susah dicabut
Bukan perempuan itu yang membuatku takut,
tapi mayat hidup yang bikin aku kalang kabut."
Dahi pemuda tampan itu mulai berkerut dan
menggumam lirih, "Mayat hidup..."!" '
"Ratu Sangkar Mesum kerahkan pasukan mayat
hidup, ia membangkitkan beberapa mayat dari dalam
kubur untuk menyerangku. Padahal aku paling jijik
dengan mayat. Salah satu mayat ada yang mengejarku
dan sukar kuhancurkan dengan tenaga dalamku. Padahal semasa hidup mayat itu aku
sangat kenal dengannya."
"Mayat siapa yang kau maksudkan itu, Resi?"
"Mayat sahabatku sendiri; mendiang Resi
Dirgantara!"
"Hahh..."!" Pendekar Mabuk tersentak kaget dan matanya mendelik lebar.
"Baru kuceritakan kebangkitannya saja kau sudah kaget dan menjadi takut, apalagi
jika berhadapan dengan mayat itu!" ujar sang Resi salah duga.
"Ja... jadi mayat Resi Dirgantara dibangkitkan oleh Ratu Sangkar Mesum" Oh,
kalau begitu kuburan sang
Resi Dirgantara menjadi rusak"!"
"Ceritanya begini," kata Resi Pakar Pantun berlagak tenang dalam memberi
penjelasan. Padahal hatinya
penuh kecemasan karena takut tertangkap pengejarnya.
"Aku berhasil melumpuhkan anak buah Ratu Sangkar Mesum. Rupanya perempuan itu
menjadi murka, kami
adu kesaktian, ia keteter melawanku, lalu memanggil
Dewi Geladak Ayu...."
"Maksudmu, si bajak laut wanita itu"!"
"Benar. Menghadapi si bajak laut wanita itu aku menjadi terdesak, lalu segera
larikan diri untuk mencuri kesempatan memukul kelemahan si Dewi Geladak Ayu.
Namun ternyata siasat lariku itu justru dikejar oleh Ratu Sangkar Mesum. Mayat-
mayat dibangkitkan dari kubur
untuk ikut mengejarku. Para mayat itu bisa kuhancurkan, tapi ada satu mayat yang
susah kulawan; selain tak tega juga sukar dihancurkan. Mayat itu adalah mayat
mendiang sahabatku; Resi Dirgantara."
"Apakah kau berlari ke arah Bukit Batok?"
"Benar, aku berlari ke arah sana tanpa kusadari. Dan ketika melewati makam Resi
Dirgantara, tahu-tahu goa itu jebol, mayat sahabatku yang sudah berpuluh-puluh
tahun dimakamkan itu bangkit menyerangku dan, hiiii...!
Ngeri!" sang Resi bergidik. Matanya melirik ke kanan kiri dengan tegang.
Pendekar Mabuk menjadi kian geli melihat tokoh tua yang terkenal sakti itu
dicekam perasaan takut yang bukan sekadar main-main.
"Lalu... di mana pelayanmu si Kadal Ginting itu, Resi"!"
"Wah, tak tahu bagaimana nasibnya anak itu! Dia lari ngibrit tunggang langgang
begitu serangan mayat
pertama datang. Sejak itu kami berpisah dan saling tidak mengetahui nasib
masing-masing," jawab sang Resi yang bernada menggelikan bagi Suto Sinting.
"Seorang Resi berilmu tinggi kok takut sama
mayat"!"
"Kalau mayat mati aku tak takut, tapi kalau mayat hidup aku memang takut. Aku tak pernah berurusan
dengan mayat hidup, sejak kecil sampai setua ini!"
"Padahal dirimu sendiri sebenarnya mayat hidup, Resi."
"Ah, bercanda kau!" sang Resi melirik bersungut-sungut.
Kitab Pusaka 7 Mustika Lidah Naga 6 Harpa Iblis Jari Sakti 33