Pencarian

Titisan Dewa Pelebur Teluh 2

Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh Bagian 2


kayu bakar."
Setelah menerima bungkusan, Indayani berka-
ta, "Masih hangat. Apakah kedai itu ada di dekat sini?"
"Jauh sekali. Jika ditempuh dengan berjalan
kaki hampir setengah hari."
"Mengapa kau bisa cepat kembali?"
"Karena aku sakti!" jawab Suto Sinting sengaja menyombongkan diri hanya untuk
membalas kesombongan Indayani. Tapi gadis itu mencibir sambil pan-
dangi Suto Sinting yang bergegas mencari kayu bakar.
Ia sempat berseru dengan nada ketus.
"Setiap orang bisa mendapatkan makanan se-
perti ini. Tapi bukan berarti dia sakti. Kesaktian tidak diukur dari cepat atau
lambatnya seseorang mendapatkan makanan...."
Kata-kata selanjutnya tak didengar Suto Sint-
ing, karena hati pemuda tampan itu berkecamuk sen-
diri dalam gerutuannya.
"Benar-benar dungu! Yang kumaksud kecepa-
tan gerakku hingga bisa kembali dalam waktu singkat, adalah kecepatan orang
sakti. Tapi ia sangka aku merasa sakti karena bisa dapatkan makanan. Ah, dasar
otak dipenuhi kesombongan, akhirnya tak bisa men-
gerti maksud pembicaraan orang lain?"
Keheningan malam di tepi pantai sungguh me-
rupakan kehidupan damai yang punya keindahan ter-
sendiri. Deburan ombak bagai irama hidup yang men-
gingatkan adanya tantangan pada diri tiap manusia.
Suasana damai itu kali ini membungkus kedua insan
yang berada dalam goa karang. Nyala perapian meng-
hangatkan suasana, membuat hati mereka saling ber-
kata-kata, yang akhirnya terciptalah percakapan dari kedua belah pihak.
"Cepat atau lambat aku harus bisa dapatkan
Madu Bunga Salju untuk kesembuhan Guru," ujar Indayani sambil bermain tepi
perapian dengan sebatang
ranting kering.
Katanya lagi, "Nyai Guru Serat Biru sudah ku-
anggap orangtuaku sendiri. Aku dirawat dan dibesar-
kan oleh beliau sejak berusia dua tahun. Ibuku yang
melahirkan diriku tanpa suami, karena ayahku tewas
di pertarungan, adalah sahabat Nyai Guru. Sehingga
pada waktu Ibu mau meninggal karena luka dari lawan
yang tak bisa disembuhkan, Ibu menyerahkan bayinya
kepada Nyai Guru. Maksudku, anaknya yang masih
kecil diserahkan kepada Nyai Guru untuk dirawat dan
dibesarkan. Hatiku sangat pedih setelah mendengar
kabar Nyai Guru terluka 'Racun Batu Bisu'. Aku tak
ingin kehilangan Nyai Guru, jadi harus berusaha den-
gan bertaruh nyawa untuk dapatkan Madu Bunga Sal-
ju." "Apa alasan Peri Kedung Hantu sehingga mele-
pas jurus racun berbahayanya kepada Nyai Serat Bi-
ru?" tanya Suto Sinting dengan mata memandang penuh kesungguhan.
"Aku sendiri sedang bingung memikirkan hal
itu. Seingatku, Peri Kedung Hantu tak pernah berselisih dengan Guru. Satu-
satunya perselisihan yang per-
nah terjadi adalah pertarungan Rusa Merah dengan
murid Peri Kedung Hantu yang bernama Selasi Jumpi.
Itu terjadi empat tahun lalu. Dan pertarungan itu
membuat keduanya tewas. Selasi Jumpi tewas seketi-
ka, sedangkan Rusa Merah tewas setelah sampai di
padepokan."
"Apakah perselisihan itu pernah membuat Peri
Kedung Hantu menuntut kepada pihak perguruan-
mu?" "Nyai Guru segera lakukan pertemuan dengan Peri Kedung Hantu. Kalau tak
salah, mereka akhirnya
sepakat untuk tidak saling mendendam karena kedua
murid sama-sama tewas. Jika sekarang Peri Kedung
Hantu menyerang Nyai Guru, aku tidak tahu apakah ia
menggunakan alasan perselisihan Rusa Merah dengan
Selasi Jumpi, atau menggunakan alasan lain yang be-
lum pernah kudengar penjelasannya."
Setelah diam sesaat merenungi cerita Indayani,
Pendekar Mabuk yang duduk berhadapan dengan ga-
dis itu segera ajukan pertanyaan kembali dengan sua-
ranya yang lembut.
"Apakah Peri Kedung Hantu ada hubungannya
dengan Dupa Dewa, Ketua Perguruan Serikat Jagal
itu?" Gadis Dungu kerutkan dahi pandangi Suto Sinting. Ia tidak langsung
menjawab, namun berpikir
sesaat dan sepertinya menemukan sesuatu yang mulai
menegangkan hatinya.
"Kalau begitu...," ucapnya pelan bagaikan ragu-ragu, Peri Kedung Hantu menyerang
Nyai Guru untuk
membela pamannya!"
"Siapa pamannya itu" Dupa Dewa"!"
"Benar. Dupa Dewa adalah pamannya Peri Ke-
dung Hantu. Keduanya sama-sama beraliran sesat,
namun tidak seganas aliran sesat lainnya. Perguruan
Serikat Jagal tidak sembarangan menjagal orang.
Hanya orang-orang tertentu yang terlibat urusan den-
gan mereka atau yang membahayakan bagi mereka
yang akan dijagalnya tanpa ampun lagi. Peri Kedung
Hantu sendiri mengembangkan aliran sifatnya dengan
mencari murid sebanyak mungkin. Karena ia punya
tujuan untuk membentuk pemerintahan sendiri jika
waktunya telah tiba."
"Sejak kapan pihakmu terlibat bentrokan den-
gan Perguruan Serikat Jagal?"
"Seingatku... baru kali ini saja. Dan agaknya
Nyai Guru tidak tahu kalau orang-orangnya Dupa De-
wa menghendaki kematianku. Aku sendiri tak me-
nyangka kalau Togayo dan Gayong tiba-tiba menye-
rangku dengan maksud membunuhku."
"Apa alasan mereka ingin membunuhmu?"
"Aku... aku tak tahu, dan aku tak menanyakan
kala mereka menyerangku."
"Bodoh sekali kau."
"Itulah sebabnya aku dijuluki Gadis Dungu!
Dan Nyai Guru pun agaknya setuju sekali dengan ju-
lukan itu," tutur Indayani dengan polos tanpa rasa ma-lu sedikit pun.
"Apakah antara pihakmu pernah terjadi perseli-
sihan dengan Perguruan Serikat Jagal?"
"Tidak pernah!" jawab Indayani dengan tegas.
Lalu mereka sama-sama diam, termenung.
Setelah menambahkan kayu bakar pada pera-
pian, Suto Sinting perdengarkan suaranya kembali
dengan nada tenang.
"Tak mungkin Dupa Dewa sampai turun tangan
menyerangmu jika tak terjadi masalah besar pada di-
rimu. Pasti kau melakukan kesalahan yang membuat
mereka berang padamu, Indayani!"
"Kesalahan apa"!" Indayani angkat pundak
tanpa tak mengerti.
"Mungkin karena keangkuhanmu telah me-
nyinggung perasaan mereka, dianggap telah menghina
martabat dan harga diri perguruan mereka."
"Kami jarang bertemu. Pertemuanku dengan
mereka terakhir kali terjadi setahun yang lalu, ketika Dupa Dewa sakit dan Nyai
Guru diminta datang men-jenguknya."
Suto Sinting sedikit merasakan kejanggalan da-
ri kata-kata itu, maka ia segera bertanya pelan,
"Menjenguk"! Apakah antara Nyai Guru dengan
Dupa Dewa ada hubungan baik sebelumnya?"
"Nyai Guru pernah menjadi kekasih Dupa Dewa
semasa muda. Tapi hubungan cinta mereka putus, ka-
rena Dupa Dewa ternyata sudah beristri. Dan sejak itu, Nyai Guru tak mau
mempunyai kekasih lagi. Sampai
sekarang Nyai Guru masih perawan dan belum pernah
bersuami. Sepertinya ia masih memendam perasaan
cinta di sela kebenciannya kepada Dupa Dewa."
"Oooo...." Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala. Di bibirnya tersungging
senyum geli mem-bayangkan percintaan para tokoh tua yang sampai se-
karang masih terdengar ceritanya.
"Aneh sekali jika tak ada persoalan mereka
bernafsu membunuhmu," ujar Suto Sinting sambil merenung memandangi nyala
perapian. Pandangan ma-
tanya segera dinaikkan dan kini menatap seraut wajah cantik yang berkesan angkuh
itu. "Setahuku, bukan hanya Dupa Dewa yang ke-
hendaki kematianmu, tapi kelompok orang-orang ker-
dil itu juga agaknya bernafsu sekali untuk membu-
nuhmu. Siapa orang-orang kerdil itu, Indayani" Pasti kau mengenai mereka."
"Memang. Mereka orang-orang yang menama-
kan dirinya Suku Aboradin, dikenal dengan julukan
Penghuni Liang Lahat."
"Baru kali ini aku melihat keberadaan mereka
di antara kehidupan kita."
"Tentu saja, sebab kau manusia yang miskin
pengetahuan," ujar Indayani dengan mencibir, mere-mehkan pemuda yang sejak tadi
sering menatapnya
itu. Yang diremehkan hanya tersenyum, tak merasa
tersinggung karena sudah mulai terbiasa oleh sikap
seperti itu. "Suku Aboradin tinggal di lorong-lorong goa
yang ada di sekeliling Gunung Leak Sewu. Di sana ada banyak goa yang saling
berhubungan, bahkan ada lorong yang bisa tembus ke negeri seberang melalui jalan
di bawah dasar lautan. Jumlah mereka cukup banyak,
namun jarang yang menampakkan diri kecuali mereka
yang tergolong dalam kelompok Penghuni Liang Lahat."
"Sejak kapan mereka mengenalmu?"
"Nyai Guru pernah bentrok dengan pihak Peng-
huni Liang Lahat karena menolak lamaran ketua me-
reka yang berjuluk Mayat Bersiul. Pertarungan kami
terjadi sekitar lima tahun yang lalu. Mayat Bersiul
sempat terluka dan nyaris mati oleh pedang Nyai
Guru. Waktu itu, aku justru tidak ikut campur karena keadaanku masih sakit."
"Tapi mengapa mereka bernafsu sekali membu-
nuhmu?" "Aku tak tahu mengapa mereka begitu. Padahal
perkara itu sudah dianggap kadaluwarsa. Mayat Ber-
siul sendiri sudah mempunyai istri cantik dengan dua orang gundik."
Pendekar Mabuk menggumam panjang. "Mayat
Bersiul itu yang berambut panjang dan botak bagian
depannya, yang melemparkan pisau mengenaimu
itu"!" "Itu panglimanya yang bernama Rekatak Tiban.
Tapi... iya, ya" Aneh juga kalau Rekatak Tiban ingin membunuhku"!" gumam
Indayani dengan nada uca-
pan seperti bicara pada diri sendiri, pandangan ma-
tanya menjadi datar bagai menerawang sesuatu. Pen-
dekar Mabuk perhatikan perubahan air muka itu den-
gan dahi berkerut. Rupanya ada sesuatu yang meng-
herankan di hatinya, sehingga ia pun bertanya kepada Indayani,
"Di mana letak keanehan itu, Indayani?"
"Aku pernah ditolong Rekatak Tiban ketika ter-
jerembab masuk ke kubangan lumpur hidup. Sekali-
pun sikapnya tak begitu ramah padaku, karena ia ta-
hu aku muridnya Nyai Guru Serat Biru, tapi saat aku
hampir mati terkubur lumpur hidup, ia memberikan
pertolongannya. Lalu pada suatu saat aku ganti meno-
longnya, memberikan Galih Kapur Sirih untuk mengo-
bati luka racun anak buahnya yang tak bisa disem-
buhkan kecuali menggunakan Galih Kapur Sirih.
Orang yang terluka itu adalah orang andalan yang se-
lalu mendampinginya dalam setiap tugas. Dan... sete-
lah itu hubungan kami biasa-biasa saja. Makanya ku-
bilang aneh sekali jika Rekatak Tiban terang-terangan ingin membunuhku."
"Mungkin mereka ada hubungannya dengan
Dupa Dewa"! Barangkali mereka diupah oleh Dupa
Dewa atau Peri Kedung Hantu untuk membunuhmu"!"
"Mungkinkah begitu"!" gumam Indayani dalam kebimbangannya sendiri. "Rekatak
Tiban punya adik lelaki yang menikah dengan murid Peri Kedung Hantu.
Apakah hubungan itu yang membuat Rekatak Tiban
berpihak kepada Peri Kedung Hantu lantaran Peri Ke-
dung Hantu membela pamannya dalam memusuhi-
ku"!" Pendekar Mabuk diam seribu bahasa ketika Indayani merenung lama. Namun
dalam hatinya, Pende-
kar Mabuk bicara sendiri mencari jawaban yang pasti
tentang nasib Indayani yang menjadi incaran beberapa orang itu.
"Jangan-jangan ia melakukan kesalahan besar
yang membuat mereka murka dan mendendam, se-
hingga bernafsu sekali untuk membunuhnya. Mungkin
gadis ini lupa akan tindakannya yang menimbulkan
dendam pada lawan-lawannya. Maklum, kedunguan-
nya terlalu besar; sehingga tak mampu mengingat ke-
salahannya sendiri. Kalau bukan gadis yang dungu,
pasti ia sudah pulang ke padepokannya mendengar
Nyai Gurunya sakit dan padepokannya dihancurkan
Peri Kedung Hantu."
Setelah mereka saling membisu cukup lama,
Pendekar Mabuk segera memecah kebisuan itu dengan
suaranya yang terlontar penuh kesan hati-hati sekali.
"Satu hal lagi yang ingin kutanyakan padamu,
karena tadi di kedai aku mendengar rencana seseorang yang ingin menangkapmu
dalam keadaan hidup atau
mati. Orang itu mengupah tiga lelaki berbadan kekar, dan tiga lelaki itulah yang
duduk sebangku denganku
di kedai tersebut."
"Siapa orang yang mengupah tiga orang itu"!
Apakah ia belum tahu kalau Gadis Dungu akan murka
jika diusik ketenangannya" Apakah tiga orang itu be-
lum mendengar kabar kesaktianku"!"
"Mendengar atau tidak itu bukan urusanku.
Yang ingin kutanyakan; siapa orang yang bernama
Pangeran Umbardanu itu"!"
"Ooh..."!" Gadis Dungu tersentak kaget, matanya sempat terbelalak sekejap,
wajahnya pun menja-
di tegang. Sorot matanya menatap Suto Sinting sangat tajam, membuat si Pendekar
Mabuk salah tingkah
sendiri. "Aku hanya mendengar percakapan tiga orang
utusan Pangeran Umbardanu itu. Mereka merencana-
kan menangkapmu dan menyerahkannya kepada Pan-


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geran Umbardanu dengan menggunakan siasat yang
telah mereka susun saat itu."
Indayani termenung lama, bahkan tak bergerak
sedikit pun dari sikapnya yang berdada tegak serta
mata tertuju pada Suto Sinting. Cahaya api unggun
menampakkan seraut wajah cantiknya yang disiram
kepucatan setelah mendengar nama Pangeran Umbar-
danu. Hal itu semakin membuat Suto Sinting menjadi
lebih penasaran lagi dan menunggu jawaban yang pas-
ti tentang siapa Pangeran Umbardanu itu.
Dengan suara kaku dan dingin, Gadis Dungu
akhirnya menjawab,
"Pangeran Umbardanu adalah kekasihku."
"Kekasihmu"!" kini Suto Sinting yang terperanjat dan memandang penuh keheranan.
"Jika dia kekasihmu, mengapa dia ingin menangkapmu hidup atau-
pun mati"!"
6 GADIS Dungu menjadi resah setelah tahu Pan-
geran Umbardanu bermaksud membunuhnya. Hubun-
gannya dengan Pangeran Umbardanu sudah berlang-
sung sekitar empat bulan. Pangeran Umbardanu telah
menyatakan jatuh cinta, tapi Gadis Dungu belum
memberi jawaban pasti, walau hatinya menaruh rasa
kagum dan terpikat oleh ketampanan dan kegagahan
Pangeran Umbardanu.
"Ia putra seorang sultan di Kesultanan Siliwin-
du. Ia naksir berat padaku. Ia harus segera menikah
karena sebentar lagi akan menggantikan ayahnya se-
bagai sultan di Kesultanan Siliwindu. Ia ingin jadikan aku sebagai
permaisurinya...."
"Lalu, mengapa kau tak mau menerimanya"
Bukankah itu kesempatan untuk meraih masa de-
panmu dengan gemilang?" tanya Suto Sinting sambil langkahkan kakinya di awal
pagi, ketika mereka meninggalkan goa karang.
"Tak semudah itu mendapatkan diriku. Kau pi-
kir aku perempuan gila hormat dan gila harta, begitu"
Hmmm...!" ia mencibir angkuh. "Untuk apa menjadi permaisuri jika suami punya
selir lebih dari sepuluh biji"! Aku tak pernah punya cita-cita untuk dimadu.
Aku tak mau punya madu. Jika ia menjadi sultan ma-
ka ia berhak punya selir. Hmm... enak saja. Nanti cintaku digilir bisa tekanan
batin dan lahir!"
"Lalu, kau putuskan menolaknya?"
"Belum kuputuskan begitu. Aku masih me-
nunggu kesanggupan janji dan sumpahnya."
"Janji apa?" tanya Suto sambil tersenyum-
senyum. "Janji untuk tidak mempunyai selir kalau su-
dah menjadi sultan nanti. Dan sebelum ia memberi
janji dan sumpah, aku tak mau memberi jawaban atas
cintanya."
"Barangkali karena sikapmu itulah maka ia sa-
kit hati padamu dan bermaksud membunuhmu"!"
"Ah, mungkin justru karena ia ngebet sekali in-
gin memperistri diriku, maka ia mengupah orang un-
tuk menangkapku."
"Jika penangkapan itu karena rasa cinta, ia ti-
dak akan menyuruh tiga orang itu untuk menangkap-
mu hidup atau mati. Ibarat kata, mayatmu pun laku
dijual oleh ketiga orang itu kepada Pangeran Umbar-
danu. Jika sang pangeran mau mengeluarkan uang
untuk mendapatkan mayatmu, berarti ia tidak punya
perasaan cinta lagi kepadamu, Indayani."
"Itu hanya anggapan sirikmu!" ujar Indayani dengan bersungut-sungut, tak mau
percaya dengan pendapat Pendekar Mabuk. Ia bahkan menambahkan
kata, "Atau mungkin malah kau tidak bertemu dengan ketiga orang itu. Semua yang
kau katakan hanya
bualanmu saja untuk mengacaukan hubunganku den-
gan Pangeran Umbardanu. Sebab setahuku, Pangeran
Umbardanu sangat sayang kepadaku. Dia tergila-gila
padaku, terutama kepada kesaktianku!"
"Kalau aku hanya membual, dari mana ku tahu
nama Pangeran Umbardanu itu?" Suto Sinting menco-ba meyakinkan penjelasannya.
"Mungkin kau kenal dengan Pangeran Umbar-
danu dan dia ceritakan hubungan cintanya denganku,
lalu kau mengarang cerita supaya hubunganku den-
gannya retak. Setelah retak, kau akan ganti menyata-
kan cinta padaku. Hmmm... akal bulus seorang lelaki
sudah di tanganku semua!" sambil ia menepak telapak tangan dengan tangan
kirinya, bersikap membangga-kan diri sebagai perempuan yang tak mudah tertipu
rayuan lelaki. Suto Sinting hanya tertawa kecil tanpa suara.
Langkah mereka tetap menyusuri pantai, karena Suto
Sinting bermaksud mengajak Indayani untuk menca-
pai sebuah teluk tempat kehidupan masyarakat ne-
layan yang pernah disinggahi. Dari teluk itu mereka
dapat menyewa sebuah perahu untuk menyeberang
menuju ke Pulau Dadap, menemui Putri Kunang dan
meminta Madu Bunga Salju.
Namun langkah mereka terhalang oleh kemun-
culan seorang tokoh tua yang belum dikenal oleh Suto Sinting. Orang itu tahu-
tahu berdiri di depan langkah mereka tanpa angin atau perlambang lainnya. Tak
ada gerakan dan suara apa pun yang menyertai kemuncu-
lan seorang nenek berjubah hitam dengan badan sedi-
kit bungkuk. "Nini Kalong..."!" gumam Indayani dengan nada berkesan kaget dan wajahnya mulai
diliputi oleh kecemasan. Pendekar Mabuk sempat berbisik dengan mata
tetap tertuju kepada nenek berambut putih dibiarkan
meriap tanpa pengikat itu.
"Siapa dia, Indayani"!"
"Nini Kalong, dia yang dikenal sebagai Penung-
gu Hutan Rawa Kotek. Dia musuh bebuyutan Nyai
Guru, karena suaminya dibunuh oleh Nyai Guru da-
lam sebuah pertarungan memperebutkan Pusaka Ki-
pas Dewi Murka. Sampai sekarang Nini Kalong masih
menaruh dendam kepada Nyai Guru dan menganggap
kipas pusaka itu ada di tangan Nyai Guru Serat Biru."
"Agaknya dia menginginkan kematianmu juga.
Kulihat pancaran bola matanya tampak bernafsu seka-
li untuk membunuhmu, Indayani."
"Mungkin karena dia tahu aku murid kesayan-
gan Nyai Guru, sehingga ia ingin lampiaskan dendam
lamanya kepadaku, selagi aku tidak bersama Nyai
Guru." "Kalau begitu, biarlah aku yang menghada-pinya." "Jangan sombong kau,
Dogol! Nini Kalong Ilmunya sejajar dengan Nyai Guru. Kau bisa hancur
berkeping-keping jika coba melawannya. Ilmumu tidak
sebanding dengan kesaktiannya. Hanya aku yang tahu
kelemahan Nini Kalong, dan biarlah ia kutumbangkan
dengan kesaktianku! Pergilah menepi, Dogol. Lindungi
dirimu agar jangan sampai terkena jurus salah sasar
Nini Kalong. Sekujur tubuhmu bisa kering mendadak
bagai keripik singkong jika sampai terkena jurus maut Nini Kalong."
Pendekar Mabuk hanya tersenyum masam. Ia
segera menenggak tuak dari bumbungnya. Sementara
itu, Gadis Dungu sengaja maju beberapa tindak ketika Nini Kalong yang memegangi
tongkat hitam itu mulai
melangkah memperpendek jarak.
"Tak kulihat dari mana kau datang, tahu-tahu
sudah menghadang langkahku. Apa maksudmu mun-
cul secara gaib begitu, Nini Kalong"!" sapa Gadis Dungu yang sebenarnya hal itu
tak perlu diungkapkan lagi.
Bahkan dengan kedunguannya ia menambahkan tanya
kepada Nini Kalong, "Kau muncul dari mana, Nini"!"
Tentu saja sebagai tokoh kawakan yang berilmu tinggi, Nini Kalong tak mau
menjawab pertanyaan seperti itu.
Ia langsung berkata dengan suaranya yang tua berna-
da serak, "Aku datang hanya untuk mengakhiri masa hi-
dupmu, Gadis Dungu! Bersiaplah untuk meninggalkan
dunia fana ini, Nak!"
"Aku tak tahu menahu tentang pusaka Kipas
Dewi Murka itu, Nini! Jangan sangkut pautkan diriku
dengan pusaka tua itu! Urusanmu adalah dengan Nyai
Guruku, bukan dengan muridnya. Mengapa kau ber-
maksud membunuhku?"
"Urusan ini memang tidak ada sangkut pautnya
dengan Kipas Dewi Murka. Kematianmu harus tiba se-
belum usiamu mencapai dua puluh lima tahun. Seka-
rang, bersiaplah menerima ajalmu, Indayani yang ma-
lang! Hik, hik, hik, hik...!"
Gadis Dungu membatin, "Agaknya tak bisa di-
hindari lagi. Apa boleh buat, terpaksa aku mencoba
melawannya demi pertahankan nyawaku dan hi-
dupku!" Nini Kalong hentikan tawanya. Wajahnya berubah menjadi bengis. Gadis
Dungu melangkah ke samp-
ing dengan mata tak mau lepas dari arah lawannya.
Tiba-tiba tongkat hitam Nini Kalong dilempar-
kan bagai melemparkan sebatang tombak ke arah Ga-
dis Dungu. Weess...! Gerakan tongkat yang melesat begitu
cepat masih sempat dihindari oleh Gadis Dungu den-
gan memiringkan badan ke kiri. Tongkat itu lolos dari sasaran. Tapi anehnya ia
berhenti di udara dan mundur sedikit lalu menyodok dahi si Gadis Dungu.
Wuuut..! Rasa kaget karena tak menduga akan terjadi
hal seperti itu membuat tangan Gadis Dungu berkele-
bat menangkis tongkat tersebut.
Dees...! "Aauh...!" Gadis Dungu memekik sendiri, tubuhnya terpelanting dan jatuh ke
tanah. Ia segera berguling-guling jauhi tongkat yang mampu bergerak sen-
diri itu. Tangan yang dipakai menangkis tongkat men-
jadi hitam berlendir. Tangan itu bagaikan habis dipakai menangkis besi panas
yang bukan saja membuat
kulit tangan melepuh namun juga hitam hangus. Pa-
dahal tongkat itu dalam keadaan dingin tanpa kelua-
rkan asap selayaknya besi yang terpanggang hingga
membara. "Bahaya! Tongkat itu tak boleh kusentuh," pikir Gadis Dungu. "Selain mampu
terbang dan menyerang lawan, ia juga mempunyai tenaga dalam yang mampu
membuat tubuhku bagai ditendang kuda jika menyen-
tuhnya. Uuh... tulang lenganku terasa patah dan pa-
nas sekali! Agaknya aku harus lakukan pertarungan
jarak jauh, agar tongkat itu tak dapat menyentuhku."
Tongkat hitam ternyata mampu mengejar Gadis
Dungu, bagai seorang lawan yang haus darah. Gadis
Dungu terpaksa bersalto mundur dua kali, kemudian
menyentakkan tangannya untuk keluarkan tenaga
penghancur tongkat. Namun belum sempat tangan itu
menyentak, tongkat sudah melesat dengan cepat
menghantam telapak tangan Gadis Dungu yang sudah
direntangkan di depan dada.
Duuss...! "Aaahg...!" Gadis Dungu memekik sambil terpental terbang ke belakang. Ia bagai
dihantam dengan tenaga yang cukup besar. Tubuhnya terjungkal kehilangan
keseimbangan badan. Sementara telapak tan-
gannya menjadi hangus dan keluarkan asap tipis se-
bagai tanda terbakar oleh ujung tongkat.
"Hik, hik, hik, hik...! Percuma saja kau berta-
han, Indayani. Kau akan mati oleh tongkatku! Hik, hik, hik...!" Indayani benar-
benar terdesak oleh serangan tongkat yang seakan mempunyai nyawa dan tahu
sasaran ke mana harus menyerang. Gerakan tongkat cu-
kup gesit dan lincah, bahkan mampu membelok arah
secara patah. Wut, weess...!
"Indayani dalam bahaya!" gumam Suto Sinting.
"Kalau tak segera dibantu dia bisa mati dihantam tongkat bertenaga dalam tinggi
itu. Rupanya nenek kurus itu bukan tandingan Indayani! Tak mungkin In-
dayani mampu menyelamatkan diri tanpa bantuan da-
ri orang lain, ia tampak kewalahan dan tak mampu
memberikan serangan balasan. Sementara si pemilik
tongkat enak-enakan nonton sambil cekikikan.
Hmmm...! Aku harus segera bertindak!"
Suto Sinting mulai menggenggam tali bumbung
tuaknya dengan tangan kanan. Pada saat itu tongkat
sakti Nini Kalong sedang melesat mengejar Indayani
yang menjauhkan diri dengan lompatan-lompatan ber-
salto cepat. Weeesss...!
Tubuh pemuda tampan itu tiba-tiba melesat
dalam satu lompatan sangat cepat. Tubuh itu me-
layang melintasi bagian atas tongkat, kemudian bum-
bung tuaknya dihantamkan ke badan tongkat.
Blaaarr...! Jegaaar...!
Benturan tongkat dengan bumbung tuak Suto
timbulkan satu dentuman keras. Dentuman itu teru-
lang kedua kalinya dengan lebih keras lagi. Dan ter-
nyata dentuman yang kedua adalah dentuman peng-
hancur tongkat hitam Nini Kalong.
Prrussk...! Nini Kalong terbelalak kaget melihat tongkatnya
hancur menjadi serpihan kayu tanpa arti. Peristiwa itu sama sekali tak diduga-
duga, sehingga nenek kurus
itu tertegun bengong beberapa saat tanpa bergerak sedikit pun. Namun di dalam
hati sang nenek mengge-
ram penuh amarah terhadap tindakan si pemuda tam-
pan itu. "Biadab bocah ganteng itu! Bumbung bambu seperti itu bisa hancurkan
tongkat saktiku. Baru sekarang ada benda lain yang bisa kalahkan kekuatan pa-
da tongkatku! Hmmm... siapa bocah ganteng itu"! Be-
rani-beraninya ikut campur urusanku terlalu dalam.
Barangkali ia perlu kenali siapa Nini Kalong ini!"
Pada saat Nini Kalong membatin sambil pan-
dangi Suto Sinting yang telah mendaratkan kakinya ke tanah, Gadis Dungu segera
menabuh gendangnya dengan kedua tangan.
Dung, plak, dung, plak, dung, dung, plak....
Plak, dung, dung... plak dung, dung... plak,
plak...! Nini Kalong ternyata mampu menahan gelom-
bang getaran suara gendang yang biasanya mampu
mengubah alam pikiran orang lain menjadi mengikuti
irama gendang tersebut. Agaknya Nini Kalong bukan
tokoh tua berilmu sedang-sedang saja. Ia segera me-
nyentakkan tangannya ke arah kiri sambil serukan ka-


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ta, "Hentikan tabuhan dungumu!"
Claaap...! Dari tangan yang menyentak ke arah
Gadis Dungu itu keluar sinar hijau bundar seperti jeruk purut yang berpijar-
pijar. Kecepatan gerak sinar itu sukar dihindari lagi, sehingga sinar bundar
hijau pijar itu menghantam telak tulang rusuk kiri si Gadis Dungu. Zeeeb...!
"Uuhg...!" Gadis Dungu mendelik bagai tak bisa bernapas lagi. Tubuhnya tersentak
mundur tak terlalu jauh, namun segera jatuh terduduk dengan lubang hidung dan
lubang telinga keluarkan asap tipis. Kulit
wajahnya menjadi merah, disusul dengan kulit lengan
dan bagian leher sampai dada menjadi merah bagaikan
kepiting rebus. Nafasnya tersentak-sentak dengan ma-
ta tetap mendelik tak mampu berkedip.
Hanya si Pendekar Mabuk yang perhatikan
keadaan Indayani dengan hati cemas. Tetapi nenek ku-
rus bermata cekung itu justru memandangi Suto Sint-
ing dengan sorot pandangan mata penuh permusuhan.
Tubuh tuanya segera berkelebat tak bisa dilihat gerakannya. Tahu-tahu ia sudah
menerjang kepala Suto
Sinting tanpa ampun lagi.
Bruuus...! "Uaaahg...!" Suto Sinting terlempar lima lang-
kah ke belakang. Tubuhnya membentur pohon dan ja-
tuh tersentak ke depan tanpa bisa menjaga keseim-
bangan badan lagi.
Brrruk...! Hidung si tampan Suto mengucurkan darah se-
gar. Matanya mengerjap-ngerjap bagaikan habis dis-
ambar seekor kuda nil. Kepalanya terasa pecah dan telinganya berdengung-dengung.
Ia tak tahu kalau telinganya pun mengeluarkan darah segar yang membasahi
pundak kanan-kirinya.
"Gila! Benda apa yang menerjangku tadi"!" pikir Pendekar Mabuk sambil berusaha
bangkit berdiri.
Pandangan matanya yang kabur membuatnya terpaksa
merayapi batang pohon untuk bisa berdiri tegak. Se-
mentara itu, Nini Kalong sudah berada di belakangnya dalam jarak lima langkah.
Suaranya terdengar menggeram penuh curahan murka.
"Jika kau mencoba melindunginya, aku pun
terpaksa harus melenyapkan dirimu, Bocah Bagus!"
Dalam keadaan mata masih buram, Suto Sint-
ing berkelebat membalik badan bersama bumbung
tuaknya yang diayunkan memutar.
Wuuung...! Gerakan secara naluriah itu menghasilkan ke-
beruntungan bagi Pendekar Mabuk. Karena pada saat
bumbung tuaknya berkelebat memutar, tubuh kurus
Nini Kalong sedang menerjangnya dengan kecepatan
gerak seperti tadi. Akibatnya bumbung tuak itu meng-
hantam tubuh yang sedang melayang cepat dengan
kaki berusaha menjejak dada Suto Sinting.
Beehg...! Krrrak...!
Suara tulang patah terdengar jelas. Disusul su-
ara jatuhnya tubuh sang nenek ke tanah, kemudian
suara erangan orang kesakitan yang tampak ditahan
mati-matian. Pandangan mata Suto Sinting mulai terang
kembali. Ia segera lompat ke belakang ketika mengetahui tubuh Nini Kalong
terkapar di depannya dalam ja-
rak kurang dari satu langkah. Tubuh tua itu sedang
berusaha bangkit dengan susah payah. Rupanya tu-
lang punggungnya patah akibat hantaman bambu
tempat penyimpanan tuak itu. Hantaman bumbung
tuak bukan hanya membuat tulang punggung sang
nenek menjadi patah, namun juga tulang iganya re-
muk dan siku kanannya hancur.
"Setan alas...!" makinya dengan suara sangat pelan, nyaris tak terdengar. Rasa
sakit itu membuat
suara sang nenek bagai hilang karena urat tenggoro-
kannya mengejang keras. Napas tuanya pun tampak
sulit dihela. Hantaman bumbung tuak bagai melum-
puhkan seluruh tenaga Nini Kalong.
"Aku harus membawa kabur Indayani sebelum
nenek tua ini sehat kembali dan menyerangnya lagi!"
pikir Suto Sinting, kemudian ia segera berbalik arah dan menghampiri Indayani
yang berdarah. Tetapi
alangkah kagetnya Suto Sinting begitu mengetahui
tempat terpuruknya Indayani telah kosong. Gadis
Dungu tak terlihat di sekitar tempat itu.
"Celaka! Siapa yang membawa lari Indayani"!
Tak mungkin gadis itu lari sendiri pasti ada yang
membawanya pergi saat aku bertarung dengan Nini
Kalong tadi!"
*** 7 PENDEKAR Mabuk kehilangan jejak si Gadis
Dungu. Ketika ia kembali ke tempat semula, ternyata
Nini Kalong masih di tempat dalam keadaan tak ber-
daya. Napas tuanya semakin tersengal-sengal dalam
keadaan mirip orang sekarat.
Pendekar Mabuk iba hati melihat nenek tua
semenderita itu. Batin pun berkata, "Kasihan dia. Jika kutolong dengan tuak
saktiku, mungkin ia bisa jelaskan apa alasannya ingin membunuh Indayani sebe-
lum gadis itu berusia dua puluh lima tahun. Tapi ba-
gaimana jika ternyata ia justru menyerangku setelah
keadaannya sehat" Hmmm... kalau memang dia begi-
tu, terpaksa kuhabisi tanpa ampun lagi!"
Pemikiran itulah yang membuat Suto Sinting
akhirnya sembuhkan luka parahnya Nini Kalong den-
gan tuak saktinya. Diharapkan sang nenek dapat
memberi tahu siapa orang yang melarikan si Gadis
Dungu itu. Namun ketika sang nenek sudah mulai bi-
sa bicara, ternyata ia merasa tidak tahu-menahu hi-
langnya si Gadis Dungu.
"Yang jelas ia terluka oleh jurus 'Talak Tujuh'-
ku. Darahnya akan menjadi busuk dalam waktu sing-
kat, kulit dan dagingnya akan keluarkan ribuan ekor
belatung, dan jurus itu tak ada obatnya! Tak sampai
sore hari, si Gadis Dungu akan mengalami nasib se-
perti itu," tutur Nini Kalong dalam keadaan masih duduk di tanah mengatur
pernafasannya. "Minumlah sekali lagi tuakku ini, biar tenaga-
mu cepat pulih, Nini," Suto Sinting menyodorkan bumbung tuaknya dengan maksud
menuang tuak ke
mulut sang nenek. Rupanya tokoh tua beraliran hitam
itu menyadari kehebatan tuak Suto Sinting, dan ia
membutuhkan pemulihan diri secepatnya. Maka ia
pun menerima tawaran itu. Beberapa teguk tuak di-
tenggaknya kembali. Tuak tawaran itulah yang mem-
percepat tenaganya menjadi segar serta pernafasannya menjadi semakin lancar.
Dalam hati sang nenek merasa kagum terhadap kehebatan tuak tersebut, sehingga
meluncurlah pertanyaan dari mulut tuanya yang telah
bergigi ompong itu,
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda"!"
"Kalau kukatakan siapa diriku sebenarnya,
apakah kau akan percaya, Nini Kalong?" Suto Sinting agak sangsi menyebutkan
namanya karena ia khawatir
sang nenek tak mau percaya seperti si Gadis Dungu
itu. "Siapa pun dirimu aku akan mempercayainya,
karena kau telah menyambung nyawaku. Aku berhu-
tang nyawa denganmu walau aku tak suka menerima
kekalahan ini. Katakanlah siapa dirimu, Anak Muda!"
sambil ia berusaha berdiri dan tangan Suto Sinting
membantunya untuk bangkit.
"Aku yang bernama Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk, Nek."
Perempuan tua renta itu terkejut, mata ce-
kungnya menatap penuh curiga. Ia sempat bergumam
dalam nada tanya,
"Murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu"!"
"Benar, aku murid mereka, Nek."
"Celaka!" gumamnya lagi dalam nada geram seperti menyimpan kecemasan. Matanya
beralih pandang
ke arah lain membuat Suto Sinting kerutkan dahi.
"Mengapa kau tampak cemas, Nini Kalong"!"
"Kalau ku tahu kau murid si Gila Tuak dan Bi-
dadari Jalang, tak sudi aku menerima pertolonganmu.
Kedua gurumu itu masih punya hutang nyawa pada-
ku. Seharusnya kubunuh kau sebagai pembalasan
atas kematian Raguli dan Kusmini, adik-adikku itu!"
"Kalau begitu kita lanjutkan pertarungan kita
sampai salah satu ada yang kehilangan nyawa!" tantang Suto Sinting yang merasa
tak suka kedua gu-
runya terancam dendam Nini Kalong. Namun agaknya
perempuan tua berjubah hitam itu punya perhitungan
sendiri terhadap anak muda tersebut.
"Kau satu-satunya orang yang mampu hancur-
kan tongkatku. Rasa-rasanya kedua gurumu itu belum
tentu mampu hancurkan tongkatku. Berarti kuanggap
kau lebih tinggi dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Hmmm..., kurasa tak perlu lagi pertarungan ini kita
lanjutkan."
"Kalau begitu, tentunya kau mau jelaskan apa
alasanmu hingga ingin membunuh si Gadis Dungu
itu!" Pendekar Mabuk menenggak tuak yang ketiga kalinya, tuak yang pertama
ditenggak sebelum ia berlari mencari jejak kepergian Indayani. Dengan begitu
tubuh Suto Sinting menjadi lebih segar lagi dari setelah menenggak tuak yang
kedua saat ingin menolong
Nini Kalong tadi.
Setelah diam beberapa saat, Nini Kalong yang
berdiri dengan agak bungkuk itu mulai jelaskan ala-
sannya kepada Pendekar Mabuk yang secara diam-
diam ditakuti itu.
"Apakah kau belum mengerti bahwa beberapa
tokoh aliran hitam akan mengincar kematian si Gadis
Dungu itu, sebelum gadis tersebut mencapai usia dua
puluh lima tahun"!"
"Aku tahu hal itu, tapi aku tak mengerti apa
alasan mereka!" jawab Suto Sinting dengan nada tegas.
"Sebuah kitab kuno baru-baru ini ditemukan di
dasar samudera oleh tokoh tua aliran hitam yang ber-
nama: si Raja Borok. Kitab itu sendiri adalah kitab
Samak Kubur yang berisi tentang ramalan-ramalan
masa depan bagi dunia persilatan aliran hitam."
"Siapa pemilik kitab itu sebenarnya?"
"Aslinya milik mendiang Resi Tambak Nujum
yang tewas dalam perjalanan pulang dari tanah Tibet,"
jawab Nini Kalong sejujurnya. Ia merasa perlu menje-
laskan hal itu dengan maksud agar Suto Sinting tidak ikut campur lagi dalam
urusan tersebut.
"Kitab Samak Kubur sejak dulu kala sangat di-
percaya ramalannya karena selalu tepat dan tidak pernah meleset sedikit pun.
Kitab itu sempat hilang bersama hancurnya kapal yang ditumpangi Resi Tambak
Nujum dari tanah Tibet. Orang yang menghancurkan
kapal itu adalah Siluman Tujuh Nyawa; manusia ter-
kutuk yang dibenci oleh para tokoh baik dari aliran hitam maupun dari aliran
putih." "Ya, aku kenal dengan Siluman Tujuh Nyawa
yang sampai sekarang masih menjadi buruanku itu!"
sela Pendekar Mabuk sambil mengenang tokoh sesat
yang dikutuk oleh neneknya sendiri menjadi manusia
terkutuk selama tiga ratus tahun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pedang Guntur Biru").
Nini Kalong lanjutkan kata-katanya, "Salah sa-
tu ramalan yang tertulis dalam Kitab Samak Kubur itu adalah kelahiran seorang
bayi dari rahim perempuan
tanpa jari. Bayi itu adalah bayi titisan Dewa Pelebur Teluh yang akan menjadi
malapetaka bagi para tokoh
aliran hitam. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa bayi itu akan menjadi manusia
maha sakti yang tak bisa dila-wan dan bertugas menghancurkan para tokoh aliran
hitam selama satu tahun, yaitu pada saat si bayi beru-
sia dua puluh lima tahun. Satu-satunya orang yang
bisa menumbangkan kekuatan sakti bayi itu hanya si
jahanam; Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa."
Pendekar Mabuk sengaja tidak memotong cerita
Nini Kalong. Ia hanya manggut-manggut sambil me-
nyimak baik-baik cerita tersebut. Nalurinya mengata-
kan bahwa cerita itu bukan dongeng atau karangan
sang nenek belaka, namun suatu kenyataan yang di-
takuti oleh para tokoh aliran hitam.
"Perempuan tanpa jari itu adalah Punjani, yang
menikah dengan seorang pendeta murtad. Bayi perta-
ma yang dilahirkan Punjani itulah yang menjadi bayi titisan Dewa Pelebur Teluh.
Beberapa tokoh aliran hitam mengetahui Punjani melahirkan bayi yang kemu-
dian diasuh oleh Nyai Serat Biru karena kematian Punjani terjadi pada saat sang
bayi masih berusia dua tahun. Bayi itu adalah Indayani; si Gadis Dungu!"
"Hmmm...." Suto Sinting menggumam panjang
dan manggut-manggut kembali. Rasa penasarannya
mulai terkikis dan hatinya merasa lega mendengar
penjelasan tersebut. Tetapi sang nenek peot masih lanjutkan penjelasannya yang
membuat Pendekar Mabuk
tak mau angkat bicara dulu.
"Sebab itu aku dan beberapa tokoh aliran hitam
lainnya segera mencari Indayani begitu kabar ditemu-
kannya Kitab Samak Kubur tersebar ke mana-mana.
Gadis itu sekarang baru berusia dua puluh tiga tahun.
Sebelum ia mencapai usia dua puluh lima tahun harus
segera dibunuh agar kelak tak menjadi biang petaka
bagi aliran kami."
Pendekar Mabuk membatin, "Pantas Indayani
banyak yang ingin membunuhnya. Bahkan kekasihnya
sendiri; Pangeran Umbardanu juga ingin membunuh-
nya. Berarti Pangeran Umbardanu penganut aliran hi-
tam. Mungkin ia ditugaskan oleh gurunya untuk
membunuh Indayani demi keutuhan aliran hitam."
Suasana bisu sejurus itu dipecahkan oleh sua-
ra tua Nini Kalong yang memandang Suto Sinting den-
gan sorot pandangan lunak, seakan menyimpan hara-
pan yang dalam.
"Ku mohon kau tidak ikut campur dalam uru-


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

san ini, Suto Sinting. Jika kau masih memihak gadis
itu, maka kau akan berhadapan dengan sekian banyak
tokoh aliran hitam."
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis.
Setelah menengok ke tempat hilangnya Indayani, ia
berkata dengan nada menyindir ucapan Nini Kalong
tadi. "Bukankah Indayani telah terkena jurus maut-mu yang bernama jurus 'Talak
Tujuh' itu"! Mengapa
kau masih menaruh harapan agar aku tidak memi-
haknya" Apakah kau punya kekhawatiran bahwa In-
dayani akan selamat dari luka jurus 'Talak Tujuh'-mu itu"!" "Jika kau berhasil
menemukannya, tentunya kau akan meminumkan tuak itu kepadanya. Kurasa...
kurasa hanya tuakmu yang mampu mengalahkan ke-
ganasan racun dalam jurus 'Talak Tujuh'-ku itu, Suto Sinting."
Nini Kalong berkata dengan wajah lesu, seakan
ia kecewa terhadap kesaktian tuak Suto yang mampu
lumpuhkan berbagai macam racun, seperti kabar bu-
rung yang tersebar dan sampai di telinga Nini Kalong sendiri. Sebenarnya Nini
Kalong sempat mempunyai
niat untuk merebut dan melenyapkan bumbung tuak
tersebut. Namun begitu ingat tongkat saktinya saja bi-sa hancur oleh bambu
bumbung itu, maka ia merasa
tipis harapan dan membatalkan niatnya demi kesela-
matan jiwanya. Sementara itu, Suto Sinting segera mempunyai
gagasan baru, yaitu memburu titisan Dewa Pelebur Te-
luh untuk menyelamatkannya dari luka akibat jurus
'Talak Tujuh' itu. Dalam hati Suto Sinting berkata,
"Aku harus menemukan Indayani secepatnya,
sebelum darahnya membusuk dan raganya berbela-
tung. Gadis itu harus kuselamatkan, karena kelak
akan menjadi Sang Pelebur Teluh selama satu tahun.
Agaknya aku pun harus mendampingi gadis itu agar
tak terjangkau oleh tangan Siluman Tujuh Nyawa yang
menjadi satu-satunya tokoh sesat berbahaya bagi
nyawa Indayani...."
Nini Kalong berkata, "Kulihat gelagatmu ingin
mencari gadis itu, Suto Sinting. Ku mohon sekali lagi hentikan niatmu dan jangan
campuri urusan ini!"
"Aku hanya ingin mengetahui siapa orang yang
membawanya lari dalam keadaan luka separah itu,"
Suto Sinting merasa tak enak hati, niatnya diketahui oleh Nini Kalong. Karenanya
Ia mencoba beralasan seperti itu. Namun tokoh tua yang sangat tinggi ilmunya itu
tidak mudah percaya begitu saja.
"Jika kau masih bersikeras untuk melindungi
Indayani, terpaksa kau harus bertarung denganku lagi sampai kematianku tiba. Aku
rela korbankan nyawaku
demi membela aliran hitamku!"
Tantangan halus itu ditanggapi dengan senyum
tipis oleh Pendekar Mabuk. Wajah sang nenek keliha-
tan semakin cemas, hatinya gusar dan waswas. Akhir-
nya Suto Sinting berkata kepadanya,
"Sepertinya kau cukup yakin bahwa aku akan
menemukan Indayani, padahal kau tahu aku sedang
kebingungan dan tak tahu siapa orang yang melarikan
Indayani."
"Bukan Pendekar Mabuk jika tak bisa temukan
di mana Indayani berada. Aku percaya dengan ke-
mampuan otakmu. Gila Tuak tak akan mau mempu-
nyai murid yang otaknya tumpul."
"Barangkali dugaanmu memang benar. Tapi
mengapa kau paksakan diri untuk menantang perta-
rungan denganku sampai tiba kematianmu" Tidakkah
kau sayang dengan nyawa dan ragamu?"
"Percuma aku lolos dari kematian tanganmu ji-
ka Indayani terselamatkan oleh tuak saktimu. Tak
urung dua tahun lagi, saat Indayani berusia dua puluh lima tahun, ia akan
menjadi bencana bagi hidupku. Ia akan membunuhku dan aku tak akan mampu menan-
dinginya. Karena memang begitulah yang tersurat da-
lam Kitab Samak Kubur itu, Suto."
"Jika kau ingin panjang umur dan awet hidup,
keluarlah dari aliran hitam dan berhentilah menjadi
orang sesat!"
Nini Kalong diam beberapa saat seperti dihing-
gapi suatu keraguan yang menggelisahkan. Sejenak
kemudian ia pun berkata dengan suara pelan,
"Tak semudah itu tindakan yang harus kulaku-
kan. Aku sudah telanjur berlumur dosa sampai setua
ini. Tak ada pengampunan bagi orang sepertiku ini,
Suto Sinting."
"Tak ada kata terlambat dalam pertobatan, Ni-
ni! Kujamin keselamatanmu jika kau mau berpindah
aliran dan meninggalkan jalan sesatmu sebagai Pe-
nunggu Hutan Rawa Kotek selama ini!"
Nenek renta kembali bungkamkan mulut pan-
dangi Suto Sinting tak berkedip. Yang dipandang ju-
stru tersenyum-senyum tipis dengan tatapan mata
lembut bagai suatu kekuatan penjinak jiwa yang liar.
Agaknya sang nenek sedang dalam pertimban-
gan yang kian meresahkan hatinya. Namun tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh sebuah suara yang muncul da-
ri balik semak belukar di belakang Suto Sinting.
"Lupakan bujukan bocah kemarin sore itu, Nini
Kalong!" Pendekar Mabuk segera palingkan wajah ke
arah belakang. Matanya terkesiap memandang kemun-
culan seorang wanita cantik yang masih kelihatan mu-
da, berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya sekal dan menggairahkan tiap
lelaki. Dadanya montok penuh tantangan yang menebarkan hati lawan jenisnya.
Hidungnya mancung, bola matanya mempunyai manik
mata warna coklat, sedikit sayu penuh bayangan cum-
bu. Nini Kalong menyapa lirih perempuan berambut
sanggul tengah sisanya meriap itu dengan nada bim-
bang, "Rumisita..."!"
Pendekar Mabuk mendengar nama itu di-
ucapkan, namun ia masih belum mengenali perem-
puan tersebut, sebab nama Rumisita adalah nama
yang baru kali itu didengarnya. Pandangan mata Suto
Sinting tak mau lepas dari wajah cantik Rumisita yang memancarkan daya pesona
cukup tinggi. "Selancang itu kau bicara di depan orang setua
Nini Kalong, Pendekar Mabuk! Tak takutkah jika mu-
lutmu robek mendadak"!" ujar Rumisita dengan sikap bermusuhan, wajah cantiknya
tampak galak namun
tetap menyebarkan kekaguman bagi setiap lelaki.
"Dari mana kau tahu namaku, sedangkan aku
tak tahu siapa dirimu, Wanita Cantik"!"
Perempuan berjubah kuning tua dengan pin-
jung penutup dada montoknya berwarna ungu seperti
warna celana ketatnya itu, semakin dekatkan langkah
sambil tangannya memainkan sebatang ranting ber-
daun ujungnya yang tampak belum lama dipetik dari
sebuah pohon di sekitar tempat itu.
"Bumbung tuakmu dan ciri ketampanan wa-
jahmu membuatku teringat pada cerita orang-orang
udik tentang murid sinting si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk, bernama
Suto Sinting. Dugaanku
semakin yakin, setelah kudengar percakapanmu den-
gan Nini Kalong yang bermaksud kurang ajar terhadap
orang setua Nini Kalong. Kuanggap bujukanmu itu su-
atu kelancangan yang patut mendapat hukuman peng-
gal di dalam aliran hitam."
Suto Sinting sunggingkan senyum menawan se-
telah sadar bahwa perempuan cantik itu benar-benar
bermusuhan dengannya. Senyuman lebar itu mengan-
dung kekuatan gaib yang dapat memikat lawan jenis-
nya. Senyuman itu sebuah jurus warisan dari Bibi Gu-
runya; Bidadari Jalang, yang dinamakan jurus
'Senyuman Iblis', di mana ketika Bidadari Jalang menjadi orang sesat sering
digunakan untuk memikat la-
wan jenisnya, menundukkan kekuatan dan keangku-
han setiap lelaki yang disukainya.
Agaknya jurus 'Senyuman Iblis' mulai berpen-
garuh dalam jiwa Rumisita. Batin perempuan berjari
lentik mulai gelisah, jantung mulai berdetak cepat, hati pun berdebar-debar
digeluti perasaan kasmaran. Namun ia pandai menyembunyikan dan menahan gejolak
kasmarannya dengan permainan nafasnya yang tera-
tur, sesekali tertahan di rongga dadanya.
"Tak kusangka wanita secantik kau ternyata
tergolong dalam tokoh beraliran hitam, Rumisita," ujar Suto Sinting bernada
melecehkan sikap Rumisita. Perempuan itu sunggingkan senyum tipis sambil men-
gendalikan napasnya agar tak semakin resah.
"Apa pedulimu"!" jawab Rumisita dengan ketus.
"Kau pikir aliran hitam tak bisa menumbangkan aliran putih"! Jika kau ingin
membuktikan kekuatan aliran
hitamku, kau harus siap korbankan nyawamu dalam
dua jurus!"
Suto Sinting tertawa tanpa suara. "Kau menan-
tangku, Rumisita"! Apakah kau cukup mampu me-
numbangkan diriku"!"
"Jika aku tak mampu menumbangkan dirimu
dalam dua jurus, akan kulepas gelarku sebagai Peri
Kedung Hantu!"
"Ooh..."!" Suto Sinting terkejut mendengar na-ma 'gelar' Peri Kedung Hantu yang
sebenarnya hanya-
lah nama julukan belaka itu. Nama tersebut mengin-
gatkan Suto Sinting pada nama Nyai Serat Biru yang
terkena Racun Batu Bisu-nya Peri Kedung Hantu.
Pandangan mata Pendekar Mabuk menjadi ta-
jam. Dengan suara tegas namun berkesan wibawa,
Pendekar Mabuk lontarkan tanya kepada Peri Kedung
Hantu yang ternyata bernama asli Rumisita.
"Apakah kau juga menghendaki kematian In-
dayani"!"
"Sebenarnya tak perlu kau tanyakan lagi, Suto
Sinting. Bagaimanapun juga murid si Serat Biru itu
harus mati sebelum usia dua puluh lima tahun!"
"Oh...," Suto Sinting manggut-manggut. "Rupanya hasrat membunuh Indayani itulah
yang mem- buatmu menyerang perguruannya dan melumpuhkan
Nyai Serat Biru dengan Racun Batu Bisu andalanmu
itu, Rumisita"!"
Mata perempuan itu sedikit terkesiap, lalu se-
nyum sinisnya tersungging tipis dengan pandangan
mata sedingin salju.
"Perguruan itu terpaksa kuhancurkan, Racun
Batu Bisu terpaksa kutanamkan pada tubuh Serat Bi-
ru, karena mereka sembunyikan si Gadis Dungu itu!"
"Rumisita...!" tukas Nini Kalong dengan tegas.
"Rupanya kau sudah melanggar peraturan aliran hitam untuk tidak menggunakan
Racun Batu Bisu"! Apakah
kau tak ingat perjanjian tersebut, bahwa Racun Batu
Bisu hanya boleh digunakan untuk melumpuhkan si
Gila Tuak atau Bidadari Jalang saja"!"
"Aku terpaksa, Nini! Serat Biru tak bisa dilum-
puhkan jika tidak menggunakan Racun Batu Bisu!"
"Apa pun alasanmu kau sudah melanggar la-
rangan dan perjanjian dalam aliran hitam!" Nini Kalong sedikit menyentak.
"Persoalan itu kita bicarakan nanti saja, Nini.
Yang penting kita lumpuhkan dulu bocah kemarin sore
yang ingin berlagak menjadi pelindung si Gadis Dungu itu!" sambil matanya
berpindah ke wajah Suto Sinting.
"Pendekar Mabuk, sebelum kau tampil sebagai
pelindung titisan Dewa Pelebur Teluh itu, hadapilah
Peri Kedung Hantu ini!" ia menepuk dadanya.
"Akan kulayani jika itu maumu, Rumisita!" jawab Suto Sinting tanpa gentar
sedikit pun. Bed, bed, bed...!
Kedua tangan Peri Kedung Hantu bergerak ce-
pat membuka jurus. Badannya tetap tegak walau ka-
kinya sedikit merendah. Pandangan matanya tertuju
lurus ke wajah Suto Sinting.
Pendekar Mabuk hanya melangkah ke samping
dengan lamban, namun sorot pandangan matanya tak
mau lepas dari tubuh elok di depannya. Tali bumbung
tuak sudah tergenggam melingkar di tangan kanannya.
Ia melangkah sambil menenteng bumbung itu bagai
ingin mengitari Peri Kedung Hantu.
Nini Kalong justru mundur ke bawah pohon,
seakan tak mau mencampuri pertarungan itu, namun
ingin menyaksikan kehebatan ilmu Pendekar Mabuk.
Bola mata di balik rongga yang bertulang menonjol itu bergerak-gerak menyimpan
rasa was-was ketika ia melihat telapak tangan Peri Kedung Hantu mulai berasap
tipis. "Ia langsung menggunakan jurus 'Tangan Ma-laikat' yang cukup dahsyat itu.
Ini menandakan bahwa Peri Kedung Hantu menyadari kekuatan lawannya
yang tak boleh diremehkan," pikir Nini Kalong. "Tapi mampukah jurus itu
menandingi kesaktian Pendekar
Mabuk yang sering disebut-sebut sebagai anak muda
berilmu gila-gilaan itu"! Jangan-jangan Rumisita sendiri yang tumbang oleh
kesaktian si tampan Suto Sinting itu"!"
"Hiaaah...!" pekik Peri Kedung Hantu sambil melesat maju dalam satu lompatan.
Kedua telapak tangannya yang sudah berasap dihantamkan ke dada
Suto Sinting. Tangan pemuda tampan itu berkelebat
cepat menangkis pergelangan tangan lawan.
Des, des, des, des...! Serangan beruntun berha-
sil ditangkis dengan satu tangan. Bahkan dalam satu
kesempatan tangan kiri Suto Sinting yang dipakai me-
nangkis berkali-kali itu berhasil menyodok ke depan
dan pangkal telapak tangannya menghantam dagu Peri
Kedung Hantu cukup kuat.
Duuhg...! "Uufh...!" Peri Kedung Hantu terdorong mundur tiga tindak dengan terhuyung-
huyung nyaris jatuh.
Wajahnya menjadi semburat merah. Hantaman Suto
Sinting mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup
tinggi, tetapi hentakan napas tertahan yang dilakukan Rumisita membuat pukulan
bertenaga dalam itu tak
begitu membahayakan jiwanya.


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gila! Pukulan yang kusangka biasa-biasa saja
sempat membuat dagu Rumisita menjadi biru me-
mar"!" gumam hati Nini Kalong.
Rumisita semakin berang setelah menerima
pukulan yang membuat tulang dagunya seperti remuk
itu. Kedua tangannya berkelebat membuka jurus lagi
dengan asap yang keluar dari pori-pori telapak itu semakin banyak.
"Kuhancurkan kepalamu, Jahanam!" seru Peri Kedung Hantu.
"Majulah lagi, Cantik!" pancing Suto Sinting sambil tubuhnya menggeloyor bagai
orang mabuk ingin jatuh tersungkur, namun ternyata tubuh itu hanya meliuk
sebentar dan tegak kembali pada saat kedua
tangan lawan menghantam ke arah kepalanya.
Wut, wut, wut...! Telapak tangan itu kenai tem-
pat kosong. Tapi gelombang tenaga dalam yang telah
telanjur keluar tanpa sinar itu telah menghantam gu-
gusan batu dan akar sebuah pohon besar.
Brruuss...! Jebrrruusss...!
Gugusan batu hancur menjadi serbuk lembut
bagaikan tepung. Pohon besar itu hancur bagian akar-
nya dan tumbang setelah lima hitungan.
Wwrrrr...! Brrruuukkk...!
Nini Kalong terpental karena dahan pohon ada
yang menyambarnya dari belakang. Ia tak menduga
pohon yang ada di arah sampingnya agak jauh itu
tumbang sampai ke tempatnya berdiri. Akibatnya
punggung bungkuk Nini Kalong terhantam dahan be-
rukuran agak besar dan tubuh itu terpental ke depan, lalu jatuh tersungkur
secara sia-sia.
"Monyet kurap!" makinya dengan hati jengkel dan segera berusaha bangkit.
Ketika itu, Rumisita mulai lakukan serangan
jarak jauh setelah ia tak berhasil menjejak dada Suto Sinting. Jejakan kakinya
yang bertenaga dalam mengenai bumbung tuak yang disilangkan di depan dada
dengan dipegangi dua tangan. Akibatnya, tubuh Rumi-
sita terlempar ke belakang dan cepat bersalto untuk
menjaga keseimbangan dalam menapak nanti.
Jleeg...! Peri Kedung Hantu berdiri tegak dengan pan-
dangan mata kian garang. Ia segera membentangkan
kedua tangannya ke samping, lalu dengan sentakkan
lembut kakinya menghentak ke tanah. Tubuhnya ter-
bang seperti seekor burung garuda yang mengembang
sayap. Wuuusss...!
Lalu dari kedua matanya melesat sinar merah
lurus menghantam Suto Sinting. Clap, clap...! Semen-
tara itu, kedua tangannya segera bergerak lurus, dan dari kesepuluh jarinya
mengeluarkan sinar patah-patah warna hijau bening.
Slap, slap, slap, slap, slap, slap...!
Pendekar Mabuk sempat terkejut dan sedikit
bingung. Dua sinar merah dari mata lawan yang mele-
sat ke arahnya segera dihindari dengan satu lompatan ringan lurus ke atas.
Wuuut...! Tapi kesepuluh sinar hijau patah-patah itu menerjang dari bawah dan
atas. Bambu bumbung tuak segera digunakan untuk me-
nangkis sinar-sinar tersebut. Tetapi tiga sinar hijau patah mengenai paha dan
perut Suto Sinting.
Zrruubb...! Jooosss...!
"Aaahg...!" Suto Sinting memekik kesakitan dengan luka bakar yang mengepulkan
asap merah akibat terkena tiga sinar hijau patah itu. Sisa sinar lainnya berhasil lolos
dari tubuhnya, sebagian lagi ada yang memantul balik dalam keadaan lebih cepat
dan lebih besar dari aslinya. Wuuutt...! Sedangkan dua sinar merah itu menghantam
dua pohon yang berada
jauh di belakang Suto Sinting.
Blegaar...! Jegaar...!
Dua pohon itu langsung hancur menjadi serpi-
han-serpihan kecil. Serpihan itu menyebar ke mana-
mana menimbulkan suara gaduh dan menghujani
tempat pertarungan mereka. Sepotong dahan beruku-
ran sebesar telapak tangan jatuh tepat di kepala Nini Kalong.
Pletok...! "Aauh...!" nenek peot itu meringis kesakitan dan menggerutukan makian tak begitu
jelas. Tangannya mengusap-usap kepala yang terkena pecahan da-
han pohon itu. Tiga sinar hijau yang berubah menjadi lebih be-
sar dari aslinya dan berbalik menyerang Rumisita itu membuat perempuan tersebut
tercengang kaget. Gerakan layangnya oleng demi menghindari ketiga sinar
itu. Tapi salah satu sinar ternyata tak mampu dihinda-ri, sehingga sinar hijau
itu menghantam pundak pemi-
liknya sendiri.
Jrrabb...! "Aaaahhg..!!" Peri Kedung Hantu menjerit keras, lalu tubuhnya roboh ke tanah
bersamaan robohnya
tubuh Suto Sinting.
"Bangsat kauuu...!" geramnya dengan suara berat karena menahan rasa sakit di
bagian pundak. Pundak itu terluka parah, koyak lebar sampai ke ba-
gian punggung. Darah pun menyembur dari luka ter-
sebut, memancarkan cairan hitam bersama kepulan
asap tebal menandakan adanya daya pembakar cukup
tinggi. Sementara itu Suto Sinting pun mengalami lu-
ka cukup parah. Paha dan perutnya berlubang hitam
sebesar biji salak. Asap masih mengepul dari luka tersebut bagaikan daging hidup
ditusuk dengan besi
membara. Luka itu membuat Suto Sinting banyak ke-
hilangan tenaga untuk menahan rasa sakitnya. Dalam
keadaan seperti itu, bumbung tuaknya terlepas dari
genggaman tangan dan tergeletak dalam jarak satu
jangkauan tangan lebih sedikit. Pendekar Mabuk me-
nyeringai kesakitan saat memaksakan diri untuk me-
raih bumbung tuaknya.
Ketika ia merayap, ternyata Peri Kedung Hantu
masih sempat lepaskan jurus mautnya dari jarak jauh.
Seberkas sinar merah berbentuk tombak melesat den-
gan cepat dari telapak tangannya.
Weeesss...! Pendekar Mabuk tak melihat gerakan sinar se-
perti tombak itu. Tetapi tiba-tiba sinar biru bagaikan bintang berekor melesat
dari samping dan menghantam sinar merah tersebut.
Blegaaar...! Benturan kedua sinar itu menimbulkan leda-
kan dahsyat yang mengguncangkan tanah sekitar
tempat itu, menggetarkan beberapa pohon bahkan
sampai ada yang tumbang sebagian. Daun-daun ber-
guguran karena gelombang getaran ledak yang cukup
kuat. Tubuh Rumisita sendiri terdorong mundur dalam
keadaan duduk di tanah. Srrrooottt...! Bhheeg! Pung-
gungnya menghantam batu sebesar anak sapi.
Kerasnya benturan punggung sempat membuat
batu itu retak bagian atasnya. Krrak...!
Rupanya sinar biru tadi datang dari tangan Nini
Kalong yang tidak menginginkan sinar merahnya Ru-
misita mengenai Suto Sinting. Bahkan nenek itu serta-merta melesat dengan sangat
cepat. Tangan kurusnya
mampu menyambar tubuh Suto Sinting yang mulai
terkulai lemas. Bumbung tuak itu pun berhasil disam-
bar dengan kaki kirinya. Wuuut...! Lalu ditangkap oleh tangan kiri pula.
Taab...! Dalam keadaan hanya sekejap tubuh kekar Pendekar Mabuk sudah berada di
atas pundak Nini Kalong.
"Lepaskan dia, Nini Kalong! Hancurkan kepa-
lanya sekarang juga!" teriak Peri Kedung Hantu dengan sisa tenaganya sambil
menyeringai kesakitan.
"Dia telah menyelamatkan nyawaku, sekarang
aku pun ingin membayar hutangku padanya!" kata Ni-ni Kalong. "Mungkin lain waktu
kita akan jumpa berbeda suasana, Rumisita!"
Wuuut...! Nini Kalong berkelebat pergi sambil
memanggul Pendekar Mabuk, sementara Peri Kedung
Hantu hanya bisa menggeram dengan jengkel dan si-
buk menahan rasa sakitnya.
"Jahanam! Apa maksud nenek peot itu mem-
bawanya lari"! Mau dibawa ke mana si bocah gendeng
itu"! Hhmmmrr...!"
8 RUPANYA Nini Kalong punya kesan tersendiri di
balik pertemuannya dengan Pendekar Mabuk. Melalui
bantuannya Suto Sinting berhasil meneguk tuaknya
dan membuat lukanya menjadi sembuh. Hal itu dila-
kukan setelah Nini Kalong membawanya ke tempat
yang aman, jauh dari pertarungan Suto Sinting dengan Peri Kedung Hantu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nini Ka-
long," ucap Suto Sinting saat pertama menyadari di-
rinya telah tertolong dari luka bakar yang semakin melebar itu.
"Kau sudah cukup jauh dari Rumisita. Ia tak
akan mungkin bisa mengejarmu sampai di sini, apa-
lagi dalam keadaan terluka."
"Mengapa kau menyelamatkan nyawaku, Nini?"
"Karena kau menyelamatkan nyawaku juga!"
jawab nenek bongkok berkulit keriput itu. "Aku sudah tidak mempunyai hutang
padamu. Kelak jangan mena-gih hutangku padamu. Sudah kubayar hari ini juga!"
ujar sang nenek sambil melangkah menjauhi Suto
Sinting. "Aku mengerti maksudmu, Nini. Tapi... hei, mau ke mana kau, Nini
Kalong"!"
"Kembali ke Hutan Rawa Kotek."
"Benarkah kau kembali ke sana?"
"Aku butuh keheningan untuk merenungi uca-
panmu tadi."
"Ucapan yang mana"!"
"Kelak kau akan tahu sendiri jika kita jumpa
lagi, Nak. Selamat tinggal, jaga dirimu baik-baik!"
Weeees...! Nini Kalong bagaikan lenyap ditelan
bumi, padahal ia melesat cepat hampir menyamai ke-
cepatan jurus 'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk.
"Apa maksud kata-katanya itu" Tak bisa diter-
ka secara pasti!" pikir Suto Sinting, kemudian ia menarik napas dalam-dalam, menenggak tuak sekali lagi, la-lu bergegas
melangkah ke selatan sambil membatin,
"Yang terpenting bagiku sekarang ini adalah
mencari si Gadis Dungu. Gadis titisan dewa itu harus kuselamatkan dari ancaman
maut jurus 'Talak Tujuh',
agar kelak ia benar-benar menjadi sang pelebur para
tokoh sesat selain Siluman Tujuh Nyawa. Untuk tokoh
sesat yang satu itu, hanya akulah tandingannya!"
Baru dua langkah bergerak maju, tiba-tiba Suto
Sinting mendengar suara dentuman menggelegar dari
arah utara. Dentuman itu cukup dahsyat, karena ta-
nah tempatnya berpijak terasa bergetar dan langit bagaikan bergemuruh
menyeramkan karena gema leda-
kan tersebut membubung ke angkasa.
"Pasti di sana ada pertarungan sangat seru!"
kata Suto Sinting dalam hatinya. "Hhmmm... pertarungan siapa yang sampai
hadirkan ledakan sedahsyat
tadi" Aku jadi sangat penasaran ingin melihatnya!"
Maka tanpa berpikir dua kali lagi, Pendekar Mabuk segera melesat ke arah utara
mendekati daerah lembah
yang berhutan renggang itu.
Tempat yang aman untuk sementara adalah
sebuah pohon berdaun rindang dengan dahan-
dahannya yang bercabang dan kokoh. Di pohon itu Su-
to Sinting sembunyikan dirinya mengintai pertarungan yang terjadi dalam jarak
sekitar lima belas langkah da-ri pohon tersebut. Kedua mata Pendekar Mabuk tam-
pak terkesiap setelah mengetahui siapa yang ada di
pertarungan itu.
"Gadis Dungu ada di sana"!" gumam hati Suto bernada heran.
Indayani, si Gadis Dungu, duduk bersandar
pada sebuah batang pohon yang sudah kering. Kea-
daannya sangat lemah, tak memiliki daya apa pun.
Tubuhnya semakin merah matang, bahkan tampak
membusuk di bagian pipinya. Sedangkan darah yang
mengalir dari hidung dan telinganya tampak hitam
menyebarkan aroma busuk. Untung Suto Sinting be-
rada dalam jarak cukup jauh sehingga bau busuk itu
tidak terlalu tajam bagi hidungnya yang bangir itu.
Tetapi selain si Gadis Dungu, tampak seorang
perempuan cantik berusia sekitar empat puluh tahun
berpakaian jubah putih dengan pakaian dalamnya
warna biru tua, sedang bertarung melawan seorang le-
laki tua berjubah hijau tanpa lengan. Orang itu tak
lain adalah si Dupa Dewa, Ketua Perguruan Serikat
Jagal yang tampaknya hanya sendirian tanpa seorang
murid pun. Dupa Dewa kelihatan bernafsu sekali ingin membunuh Indayani, namun
serangannya selalu dipa-tahkan oleh si perempuan berjubah putih dengan
rambut disanggul seluruhnya. Sehelai selendang biru
dari kain sutera tipis dikalungkan di lehernya.
Rupanya ledakan dahsyat tadi adalah perta-
rungan adu tenaga dalam antara Dupa Dewa dengan
perempuan berselendang biru itu. Gelombang leda-
kannya membuat Dupa Dewa sempat terdorong ke be-
lakang dan membentur pohon, lalu pohon itu tumbang
akibat benturan bertenaga dalam tersebut. Sedangkan
si perempuan berselendang biru hanya terdorong ke
belakang dengan keadaan kedua kaki masih bisa ber-
diri tegak. "Hentikan kepicikanmu, Dupa Dewa! Aku tak
ingin di antara kita ada yang tewas hanya karena ke-
bodohan aliranmu!" ujar perempuan berselendang biru yang memiliki manik mata
warna biru kehitaman itu.
Tetapi agaknya Dupa Dewa masih memancarkan mur-
kanya melalui pandangan mata yang sangat tajam dan
ganas. "Jika kau tak ingin terjadi korban di antara ki-ta, serahkan anak Punjani
itu padaku! Aku tak ingin
gadis itu menjadi pembantai para tokoh aliran hitam
setelah berusia dua puluh lima tahun. Aku tak ingin
Gadis Dungu membunuhku dua tahun lagi. Jika kau
masih membela titisan Dewa Pelebur Teluh itu, maka
aku tak akan segan-segan mengorbankan nyawamu
sebagai tumbal keselamatan aliranku, Serat Biru!"
Suto Sinting terperanjat mendengar nama pe-
rempuan itu disebut oleh Dupa Dewa. Hati sang pen-
dekar tampan pun berkata,
"Jadi... perempuan berselendang biru itu ada-


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lah Nyai Serat Biru, guru si Gadis Dungu"! Masih se-
muda dan secantik itukah guru si Gadis Dungu" Oh,
ya... pasti usianya sudah cukup tua, hanya saja kare-na ia memiliki ramuan atau
ilmu awet muda, maka ia
masih kelihatan secantik sekarang. Tapi... tapi bukankah Nyai Serat Biru dalam
keadaan sakit karena ter-
kena Racun Batu Bisu" Mengapa keadaannya sesehat
ini"! Apakah sudah berhasil disembuhkan oleh seseo-
rang"!" Terdengar lagi suara Dupa Dewa berseru kepada Nyai Serat Biru yang masih
bersikap melindungi
muridnya itu. "Jika kau tetap melindungi muridmu itu, maka
lebih baik kalian berdua kulenyapkan dengan jurus
mautku sekarang juga!"
"Dupa Dewa, dengarkan penjelasanku dulu!"
"Aku tidak butuh penjelasanmu!" bentak Dupa Dewa tampak berang sekali. Matanya
memancarkan nafsu membunuh sangat besar.
"Kalian salah menafsirkan ramalan dalam Kitab
Samak Kubur! Punjani memang mempunyai anak titi-
san Dewa Pelebur Teluh, tapi itu hanya terjadi pada
anak pertamanya."
"Gadis Dungu adalah anak Punjani!"
"Memang. Tapi Punjani mempunyai dua anak
dari mendiang suaminya; si Pendeta Murtad itu. Anak
yang pertama yang lahir dari rahim Punjani adalah
Andardini. Dua tahun kemudian lahirlah Indayani,
muridku itu! Tapi pada saat Indayani berusia tiga bulan, kakaknya meninggal
dalam gendongan ayahnya
saat sang ayah melakukan pertarungan dengan cucu
Resi Tambak Nujum yang beraliran hitam itu."
"Kau pikir semudah itukah kau mendustaiku,
Serat Biru!"
"Ini bukan dusta, Dupa Dewa! Andardini itulah
bocah titisan Dewa Pelebur Teluh, dan bocah itu sudah tewas dalam usia dua tahun
lebih beberapa bulan. Indayani, muridku, adalah anak kedua yang tidak men-
jadi bayi titisan Dewa Pelebur Teiuh! Kau tak perlu takut kepada Indayani walau
ia kelak berusia dua puluh lima tahun, Dupa Dewa!"
"Hentikan bualanmu itu!" bentak Dupa Dewa.
"Aku tak peduli dengan celoteh murahanmu itu, Serat Biru! Gadis itu harus
kubunuh sekarang juga!"
"Kalau begitu kau harus membunuhku lebih
dulu, Dupa Dewa!" ujar Nyai Serat Biru sambil menarik selendangnya yang kini
sudah berada di tangan
kanannya. Hati Suto Sinting berkata, "Kalau begitu Gadis
Dungu adalah korban salah sasaran! Oh, nasibnya le-
bih menyedihkan sekali jika ia mati busuk akibat ra-
cun Nini Kalong tadi. Sebaiknya aku segera memba-
wanya ke tempat aman dan mencoba mengobatinya
dengan tuakku ini!"
Zlaaap...! Suto Sinting berkelebat sangat cepat
hingga tak mampu dilihat mata lagi. Tahu-tahu ia su-
dah berada di belakang Nyai Serat Biru di mana pada
saat itu Nyai Serat Biru segera melompat ke depan
dengan selendangnya dikibaskan ke arah Dupa Dewa.
Wuuut...! Blaaaarrr...! Cahaya biru yang melesat dari ujung selendang
menyambar kepala Dupa Dewa. Tetapi dari tangan
Dupa Dewa segera keluarkan cahaya merah yang me-
mercik dalam sekejap dan menyambar sinar biru petir
dari ujung selendang tersebut. Akibatnya terjadilah ledakan yang cukup dahsyat
dan menyebarkan gelom-
bang hawa panas segera membubung ke angkasa. De-
daunan pohon menjadi sasaran gelombang hawa pa-
nas itu. Daun-daun menjadi kering seketika, lalu ber-guguran terbawa angin ke
arah timur. Pendekar Mabuk tak pedulikan dulu pertarun-
gan itu. Ia berusaha meminumkan tuaknya ke mulut
Gadis Dungu sampai beberapa tegukan. Setelah ber-
hasil meminumkan tuak, napas Suto Sinting terhem-
pas lega, kemudian ia sendiri ikut menenggak tuak
dengan mata melirik ke arah pertarungan mantan se-
pasang kekasih itu. Agaknya mereka benar-benar telah bertekad untuk saling
membunuh, sehingga kekuatan
mereka sama-sama terkuras dan saling diadu kesak-
tiannya. Baru saja Suto Sinting ingin memeriksa kea-
daan Gadis Dungu, tiba-tiba dari balik gerumbulan
semak muncul orang-orang kerdil yang berlompatan
saling menyerang Gadis Dungu. Mereka melemparkan
pisau-pisau kecil yang menghujam serentak ke tubuh
Gadis Dungu. Zrrraaab...!
Pendekar Mabuk cepat ambil tindakan penye-
lamatan dengan menyambar tubuh Gadis Dungu dan
membawanya melesat ke atas pohon. Weeesss...! Aki-
batnya pisau-pisau kecil itu melesat lurus dan menancap pada pohon-pohon di
sekitar pertarungan itu. Ke-
munculan orang-orang suku Aboradin yang bertubuh
kerdil dan berkulit hitam mengkilat hanya mengena-
kan cawat itu membuat perhatian Nyai Serat Biru
menjadi terbagi beberapa bagian.
Akibat perhatian yang terbagi, Nyai Serat Biru
terlambat sentakkan selendangnya sehingga serangan
Dupa Dewa berupa sinar merah seperti cakra menge-
nai dada Nyai Serat Biru. Zuuub...!
"Aaahg...!" Nyai Serat Biru memekik tertahan.
Ia terkena jurus 'Racun Jamur Setan' seperti yang dialami muridnya tadi siang.
Sang nyai segera jatuh berlutut dengan tubuh gemetar. Rupanya ia berusaha me-
lawan pengaruh racun itu dengan kekuatan tenaga inti yang disalurkan melalui
peredaran darahnya.
Suto Sinting meletakkan tubuh Gadis Dungu di
persilangan dahan yang mirip balai-balai bambu. Ga-
dis Dungu disimpan di sana, lalu ia segera meluncur
turun tanpa suara pada saat orang-orang kerdil serentak menyerang Nyai Serat
Biru. "Heeeaaat...!" seru orang-orang kerdil di bawah pimpinan Rekatak Tiban. Mereka
sama-sama menggenggam pisau agak panjang dan bermaksud menghu-
jamkan pisau itu ke tubuh Nyai Serat Biru.
Melihat keadaan seperti itu, Suto Sinting segera
melesat dengan gerakan memutar tubuh Nyai Serat Bi-
ru. Gerakan itu adalah jurus 'Gerak Siluman' yang mirip badai memutari tubuh
Nyai Serat Biru dalam wak-
tu sekejap. Wuuussst...!
Orang-orang kerdil itu terlempar tunggang-
langgang diterjang gerakan kilat Pendekar Mabuk. Da-
lam sekejap ia sudah berdiri di depan Nyai Serat Biru tepat ketika Dupa Dewa
melepaskan pukulan pa-mungkasnya dari jarak tujuh langkah. Pukulan itu di-
namakan jurus 'Halilintar Menjerit', berupa tepukan
keras dari kedua telapak tangannya, dan dari tepukan itu keluar sinar biru
menyebar ke arah depan dalam
jumlah kilatan sinar sekitar sepuluh larik lebih. Sinar-sinar mirip cacing
panjang itu berkelebat dengan gerakan berkelok-kelok menuju ke arah
Nyai Serat Biru. Tetapi karena yang ada di depan Nyai
Serat Biru adalah Suto Sinting, maka Pendekar Mabuk
itulah yang menghadapi serangan jurus 'Halilintar
Menjerit'. Tak ada pilihan lain bagi Suto Sinting untuk
hadapi serbuan sinar-sinar halilintar itu kecuali dengan hembusan nafasnya.
Dengan satu kali menghen-
tak ke bumi pertanda kemarahannya telah bang-kit,
mulut Suto Sinting terbuka dan menyentakkan nafas-
nya dengan satu kali sentak saja.
"Hahhh...!!"
Jurus 'Napas Tuak Setan' menimbulkan suara
gemuruh menggelegar.
Biuuurrr...! Badai dahsyat keluar dari mulut
Pendekar Mabuk. Badai berkekuatan gila-gilaan itu
membuat sinar-sinar biru itu membalik arah lalu me-
ledak sebelum sampai tujuan semula.
Blegaaarrr...! Alam menjadi seperti kiamat. Pepohonan tum-
bang saling berdentuman. Batu sebesar anak sapi pun
bisa terbawa terbang. Hutan di depan Suto Sinting
menjadi hancur bagai dilanda gempa dan badai dah-
syat. Tubuh Dupa Dewa terhempas terbang memben-
tur-bentur pohon, batu atau apa saja sambil mene-
riakkan jeritan memanjang, "Aaaaaa...!!" Semakin lama suara jeritan itu semakin
hilang karena jaraknya yang semakin jauh.
Orang-orang kerdil yang kebetulan ada di tanah
bagian depan Pendekar Mabuk saling terpental ke sa-
na-sini dengan jerit semakin menghilang. Langit pun
mulai bermega tebal, gumpalan awan hitam bergulung-
gulung di angkasa menghadirkan kilatan cahaya petir
yang menyambar-nyambar.
Dalam sekejap saja tempat tersebut sudah
menjadi porak poranda bagai habis dilanda bencana
alam hingga ke tempat jauh, melewati kaki bukit, mencapai tepian sebuah desa di
seberang persawahan yang membentang luas. Tanaman padi pun menjadi hancur
akibat dilanda badai mengerikan itu.
Rekatak Tiban dan sisa anak buahnya segera
melarikan diri melihat kejadian yang amat mengerikan itu. Mereka bergegas lari
menuju ke Gunung Leak Se-wu sebagai masyarakat Penghuni Liang Lahat, yang
menempati goa-goa di sekitar gunung itu. Alam di ba-
gian belakang Suto Sinting sama sekali tidak dijamah angin badai yang mengerikan
itu. Karenanya, Suto
Sinting dapat segera obati Nyai Serat Biru dan mem-
bawa turun Gadis Dungu dari atas pohon.
Wuuut...! Weeeess...!
"Apa-apaan kau, hah"! Main gendong seenak-
nya saja. Aku bisa turun sendiri dari pohon! Kau pikir aku bayi kemarin sore"!"
sentak Gadis Dungu dengan berang kepada Suto Sinting, sedangkan Nyai Serat Bi-ru
segera kerutkan dahi dalam memperhatikan si pe-
muda tampan berbumbung tuak itu.
"Kusangka kau belum sehat, jadi aku mengam-
bilmu dari atas pohon!" kata Suto Sinting kepada si Gadis Dungu.
"Belum sehat, belum sehat...! Apa kau pikir aku sudah jompo"!" gadis yang masih
tetap berkalung gendang itu bersungut-sungut menampakkan keketusan-
nya. "Indayani!" sentak Nyai Serat Biru yang sudah terbebas dari Racun Jamur
Setan-nya si dupa Dewa
itu. "Mengapa sikapmu seperti itu kepadanya"! Ta-
hukah siapa dia"!"
"Dia..."! Oh, Nyai Guru belum tahu rupanya.
Dia adalah murid murtadnya si Dupa Dewa. Dia ber-
nama Dogol, Guru!"
"Bukan!" sentak Nyai Serat Biru. "Dia adalah Pendekar Mabuk, murid sahabatku si
Gila Tuak. Dia bernama Suto Sinting!"
"Guru jangan mudah terkecoh oleh penampi-
lannya!" "Kulihat noda merah di tengah keningnya.
Hanya orang berilmu tinggi yang bisa melihat noda merah yang menjadi lambang
kehormatan sebagai Mang-
gala Yudha Kinasih dari negeri di alam gaib; yaitu negeri Puri Gerbang Surgawi!
Mataku tak bisa salah pandang, Indayani!"
Suto Sinting menjadi tak enak hati karena noda
merahnya di kening diketahui oleh Nyai Serat Biru.
Noda merah itu memang pemberian Ratu Kartika Wan-
gi, calon mertuanya, yang menjadi penguasa di negeri Puri Gerbang Surgawi alam
gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
"Jaa... jadi dia adalah.... Pendekar Mabuk,
Guru"!" "Ya. Dia adalah Pendekar Mabuk. Semestinya sikapmu tidak sekasar itu dan
kau harus berterima
kasih padanya karena dia telah menolong kita!"
"Hmmm... eh...," Gadis Dungu menjadi gugup dan takut. "Hmmm... eeh... maafkan
aku, Pendekar Dogol, eh... anu.... Pendekar Mabuk...."
Suto Sinting buang muka untuk sembunyikan
senyum gelinya. Gadis Dungu tundukkan kepala, an-
tara malu dan takut baik kepada gurunya maupun ke-
pada pemuda tampan yang selama ini tidak dipercaya
sebagai Pendekar Mabuk itu.
"Maafkan kebodohan muridku, Pendekar Ma-
buk." "Lupakan soal itu, Nyai. Yang ingin kutanya-
kan, benarkah Indayani bukan gadis titisan Dewa Pe-
lebur Teluh, seperti yang diramalkan dalam Kitab Sa-
mak Kubur itu?"
"Indayani adalah adiknya. Adik dari bocah titi-
san Dewa Pelebur Teluh. Mereka salah sangka karena
tak tahu persis tentang silsilah Punjani, ibu si Gadis Dungu yang menjadi
sahabat karibku semasa muda
dulu." "Jika begitu, sebaiknya Indayani bersembunyi dulu sebelum kabar yang
sebenarnya menyebar ke seluruh rimba persilatan, sehingga ia tidak dijadikan bu-
ronan tak berdosa!"
"Aku sependapat denganmu. Indayani akan ku-
bawa ke puncak Gunung Randu untuk memperdalam
ilmunya di sana sambil mengasingkan diri beberapa
waktu. Apakah kau keberatan, Indayani?"
"Asal... asal sering ditengok Pendekar Mabuk,
saya tidak keberatan, Guru."
Pendekar Mabuk tertawa kecil, sang guru pun
jadi tersipu-sipu mendengar kenakalan bicara murid-
nya. "Tapi... bolehkah saya bertanya, apakah benar Guru terkena Racun Batu Bisu
dari Peri Kedung Hantu?" "Benar. Tapi Tabib Awan Putih telah datang bersama
Putri Kunang untuk membawakan Madu
Bunga Salju. Dengan madu itu pun racun itu berhasil
ditanggalkan dan keadaanku sehat kembali."
"Kalau begitu, ada baiknya jika kita berangkat
sekarang ke puncak Gunung Randu, Guru!"
"Baik, Muridku." Sang nyai bicara kepada Suto,
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas bantuanmu, Suto. Suatu saat kita pasti
akan bertemu lagi."
"Selamat jalan, Nyai Serat Biru. Selamat jalan,
Indayani," ucap Suto Sinting dengan lembut dan cukup menyentuh perasaan.
Indayani berkata, "Jangan lupa, seringlah me-
nengokku ke puncak Gunung Randu agar aku tak me-
rasa jenuh berada di sana, Dogol... eh, Pendekar Dogol, eeh.... Pendekar
Mabuk...."
Tawa lirih pun mengiringi perpisahan mereka,


Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di mana cahaya senja mulai datang dan pengembaraan
Suto Sinting tetap dilanjutkan memburu musuh uta-
manya : Siluman Tujuh Nyawa.
SELESAI Segera menyusul:
KIPAS DEWI MURKA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 7 Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Keris Pusaka Nogopasung 6
^